KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

25
292 Hukum dan Pembangunan KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA Arsin Lukman 1 Monetary crisis that was occurred in Indonesia had brought impacts on economic and another several crisis, included in legal aspects . One of legal aspects crisis is in the land law subject. Many land disputes was affected various impacts such as in Rarahan-Cimacan, Tapos, Rancamaya, Ngaliyan and Mijen in Semarang Regions. The last disputes related to extention of public road for real estate housing of Bukit Semarang Baru, Kedungombo, Hebe-Ohee at Papua and Dayak Bahau-talivaq representing as Hak Ulayat land disputes. Indonesian land law secured protection for legitimated land owners from any dispute aroused later on. Here is submitted recommendation for dispute resolution that applied not only legal approaches, but also emphaty (verstehen-Dutch) and considering all party involved in the land disputes. I. Pendahuluan Krisis Ekonomi yang semula hanya merupakan krisis moneter, akibat terjadinya perubahan nilai mata uang yang demikian tinggi, yang semula hanya menimpa Thailand dan Korea, tetapi kemudian menjalar ke Malaysia, Philip ina dan Indonesia. Tetapi justru Indonesia yang mengalami nasib paling parah, karena tidak hanya menyangkut krisis moneter semata tetapi mempunyai dampak pada krisis ekonomi yang lebih luas, bahkan berdampak pada krisis-krisis lainnya. Krisis ekonomi sebagai gambaran meliputi sistem perbankan dalam negeri, defisit neraca berjalan yang tidak sustainable, struktur utang luar negeri - yang semuanya justru merupakan pondasi perekonomian Indonesia, walaupun Pemerintah berkoar-koar fundamental ekonomi Indonesia kuat, pada awal terjadinya 1 Pengajar Tidak Tetap FHUI (mata kuliah Hukum Agraria dan Perbandingan Hukum Tanah); berpraktek sebagai Notaris di Jakarta dan sedang menyelesaikan Program Doktor IImu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang . Oktober - Desember 2004

Transcript of KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Page 1: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

292 Hukum dan Pembangunan

KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Arsin Lukman 1

Monetary crisis that was occurred in Indonesia had brought impacts on economic and another several crisis, included in legal aspects . One of legal aspects crisis is in the land law subject. Many land disputes was affected various impacts such as in Rarahan-Cimacan, Tapos, Rancamaya, Ngaliyan and Mijen in Semarang Regions. The last disputes related to extention of public road for real estate housing of Bukit Semarang Baru, Kedungombo, Hebe-Ohee at Papua and Dayak Bahau-talivaq representing as Hak Ulayat land disputes . Indonesian land law secured protection for legitimated land owners from any dispute aroused later on. Here is submitted recommendation for dispute resolution that applied not only legal approaches, but also emphaty (verstehen-Dutch) and considering all party involved in the land disputes.

I. Pendahuluan

Krisis Ekonomi yang semula hanya merupakan krisis moneter , akibat terjadinya perubahan nilai mata uang yang demikian tinggi , yang semula hanya menimpa Thailand dan Korea, tetapi kemudian menjalar ke Malaysia, Philip ina dan Indonesia. Tetapi justru Indonesia yang mengalami nasib paling parah, karena tidak hanya menyangkut krisis moneter semata tetapi mempunyai dampak pada krisis ekonomi yang lebih luas, bahkan berdampak pada krisis-krisis lainnya. Krisis ekonomi sebagai gambaran meliputi sistem perbankan dalam negeri, defisit neraca berjalan yang tidak sustainable, struktur utang luar negeri - yang semuanya justru merupakan pondasi perekonomian Indonesia, walaupun Pemerintah berkoar-koar fundamental ekonomi Indonesia kuat, pada awal terjadinya

1 Pengajar Tidak Tetap FHUI (mata kuliah Hukum Agraria dan Perbandingan Hukum Tanah); berpraktek sebagai Notaris di Jakarta dan sedang menyelesaikan Program Doktor IImu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang.

Oktober - Desember 2004

Page 2: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 293

krisis moneter. Akibat krisis ekonomi ini , maka laju pertumbuhan ekonomi menjadi minus 15 dan menurut seorang ahli telah terjadi swing sebesar 22 dari plus 7 semulanya, telah terjadinya resesi ekonomi yang takutnya berkepanjangan, karena hingga kini belum nampak tanda­tandanya perbaikan ke arah yang lebih baik. Laju inflasi yang terlalu tinggi bahkan mencapai 75% sejak Ianuari - Oktober 1998. Tingkat pengangguran meningkat tajam, akibat banyak perusahaan yang gulung tikar, atau tidak jadi melakukan investasi yang sebetulnya akan mampu menyerap tenaga kerja. Iumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Krisis ekonomi tidak bisa lepas dari krisis global karena hampir semua negara di dunia mengalami masa-masa sulit di bidang ekonomi, sehingga para pakar mempertanyakan kembali sistem ekonomi liberal yang dijadikan platform.

Krisis birokrasi, di kalangan para birokrat yang telah membudaya dengan posisi priyayi , abdi dalem yang berbeda dengan abdi masyarakat, tetapi minta dilayani -walaupun strukturnya berubah menyesuaikan dengan struktur modern, tetapi ruhnya tetap priyayi, abdi dalam, sehingga Crouch menyebutkan sebagai neo patrimonial; birokrasi rente - kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah , yang mempunyai dampak pada pelbagai pungutan liar, yang mempunyai dampak pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy) .

Krisis kebangsaan, yang dapat mempunyai dampak terhadap disintegrasi bangsa dan negara, yang mengancam esensi, eksistensi, dan identitas kita sebagai bangsa. Dengan perkataan lain kiranya identik dengan - meminjam istilah Mudji Sutrisno - krisis perekat hati dalam rasa disintegrasi. Keadaan ini tergambar dalam politik penguasaan masa apung (floating mass), mahasiswa dipisahkan dari rakyat dalam politik hegemoni negara dan dominasi negara, antar agama dan kemajemukan diatur dalam kontrol politik pewadahan yang diawasi dan dikontrol, seh ingga menumbuhkan saling curiga antarkita lantaran adu domba hingga perasaan kelompok yang satu merasa sedang diakali dan dikuasai kelompok lain mendidih marah dan meninggi derajat curiganya. Belum lagi rasa dipingggirkan, kegetiran ditumbalkan sebagai yang miskin, selalu dikalahkan terus menumpuk bersama dengan jurang menganga yang kaya dan kolusi makin kaya dan berkuasa, sedang yang miskin sengsara makin terpuruk. Terkait dengan krisis kebangsaan ini, maka dengan terjadinya kerusuhan, kekerasan, dan konflik sosial vertikal-horizontal yang belakangan ini terjadi di banyak tempat di Tanah Air adalah suatu

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 3: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

294 Hukum dan Pembangunan

fenomena yang membuktikan lemahnya kemampuan masyarakat kita menangani primordialisme-pluralisme.

Krisis sosial, terjadi karena aspek sosial menjiwai politik, ekonomi, dan hukum bersama-sama. Sebagai bangsa, kita sedang bergulat mengatasi krisis sosial ini, karena sistem politik, ekonomi, dan hukum yang berlaku dinilai tidak sehat, paralyzed, sehingga tidak bisa memainkan peran sosialnya sebagai sarana yang dapat menghasilkan kesejahteraan umum. Penolakan masyarakat terhadap sistem sosial yang sa kit bertujuan untuk meneiptakan kembali sistem sosial yang responsif yakni politik yang demokratis sehingga menampung aspirasi rakyat, ekonomi yang mendorong perubahan dan pemerataan, serta hukum yang responsif dan antisipatif terhadap perkembangan masyarakat.

Krisis hukum, baik dalam ketimpangan struktur hukumnya, produk hukumnya, penegakan hukumnya. Krisis hukum ini terkait dengan kondisi dan sistem sosial di Indonesia yang idealnya adalah meneapai posisi otonom. Tetapi disadari sendiri oleh Prof. Satjipto Rahardjo tujuh belas tahun yang lalu, bahwa untuk menempati posisi otonom akan sulit, manakala suatu bangsa itu masih harus bergulat dengan masalah-masalah yang fundamental sifatnya seperti mengatur kembali struktur dan hirarki pemerintahan dari pusat sampai ke bawah, mengatur kembali sistem alokasi sumber-sumber dayanya, yaitu sistem perekonomiaruiya, sampai kepada P4 dan sebagainya. Gambaran itu tujuh belas tahun kemudian sekarang ini tampaknya masih relevan dibicarakan, dan tampaknya belum tuntas , karena kita kembali hangat membicarakan mengenai bentuk negara yang terkait dengan pembagian sumber daya masing-masing daerah; apakah negara kesatuan yang dibentuk sekarang ini sudah coeok dengan justru menjadi ketimpangan pembagian dana pembangunan yang mengalir kembali ke daerah, misalnya Aeeh yang menyumbang demikian banyak sumber pembiayaan ke pusat, tetapi mengalir kembali ke daerah Aeeh tak berimbang. Demikian pula dengan P4 yang dahulu menggebu-gebu diterapkan dan malah diharapkan masyarakat Indonesia sudah di-P4-kan seluruhnya dengan target tahun sekian, padahal semua ini membutuhkan dana yang tidak sedikit dan hasilnya pun menjadi tanda tanya besar dengan tidak dilanjutkannya P4 sekarang ini. Kalau dilihat kegiatan P4 tidak lain semaeam hegemoni bahkan meneapai tingkat dominasi - kalau meminjam istilah Alan Hunt. Sedangkan krisis hukum berkaitan dengan hukum tanah paling tidak menyangkut dua krisis yaitu krisis alam dan krisis keadilan.

Oktober - Desember 2004

Page 4: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 295

Krisis alam menyangkut hancurnya lingkungan segala makhluk hidup akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala makhluk hidup (bukan hanya manusia). Sedangkan Krisis keadilan adalah menyangkut ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial (berdasar kelas, gender, ras, dll.) terhadap tanah beserta tumbuhan dan apa yang terkandung di bawahnya, berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah.' Krisis lainnya adalah hal-hal tersebut di bawah ini, yaitu:

1. Penyediaan kaidah-kaidah hukum tanah nasional kita, beserta peraturan pelaksanaannya, yang sampai saat ini masih centang perenang;

2 . Penerapan peraturan-peraturan hukum tanah nasional kita yang masih menjadi persoalan besar;

3. Penyediaan institusi pemutus untuk mengantlslpasi timbulnya permasalahan berhubungan dengan kedua butir tersebut di atas, khususnya yang menyangkut hukum tanah nasional beserta peraturan pelaksanaannya;

4. Apakah ketiga hal terse but di atas yang merupakan fundamental hukum tersebut, telah bekerja dengan baik, sehingga perlindungan dan keadilan benar-benar telah diberikan, serta telah berhasil pula memajukan kehidupan bangsa, khususnya dalam kaitannya dengan misalnya hak-hak penguasaan atas tanah yang sekarang ini tampaknya masih timpang, dirnana segelintir orang dapat menguasai tanah sedemikian luasnya dalam tameng-tameng pengusahaan tanah oleh perusahaan, sedangkan rakyat kebanyakan justru menguasai tanah di bawah batas minimum yang ditentukan.

Krisis sendiri berarti keadaan yang berbahaya, genting, juga dapat berarti keadaan yang suram (berkaitan dengan ekonomi dan moral) ] Kumulasi krisis tidak lain di sini digambarkan terjadinya penumpukan atau penimbunan dari kedaan genting dan suram dari pelbagai macam krisis.

2 NoeT Pauzi, "Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21," I Desember 1998

3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 2, eel. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal. 531.

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 5: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

296 Hukum dan Pembangunan

Ada juga yang menyebutnya sebagai krisis berat, krisis multidimensional, krisis kebudayaan atau krisis acuan'

II. Tentang Sengketa Tanah

Sengketa tanah merupakan masalah yang tidak sedikit bahkan mendominasi perkara di Pengadilan maupun di PTUN dan bahkan sejak meluncurnya era reformasi dimana terjadi euphoria termasuk pendudukan, penanaman, penjarahan tanah milik orang lain tanpa seijin pemiliknya, secara singkat kiranya dapat dikategorikan melakukan "okupasi illegal" seperti pendudukan dan penanaman lapangan golf dengan tanaman singkong di Rarahan, Cimacan, begitu juga di Tapos tempat peternakan sapi milik mantan Presiden Soeharto walaupun atas nama PT. Redjosaribumi; di desa Cijayanti dan Bojongkoneng, Kecamatan Citeureup, Bogor, dalam areal kawasan perumahan Bukit Pelangi dimana mantan penggarap tanah meminta kembali tanah garapannya; petani Rancamaya yang sekarang menjadi perumahan Rancamaya juga menuntut pengembalian tanah mereka; petani Hambalang di Citeureup, Bogor meminta kembali tanah garapannya yang sudah dialihkan dari PTP XI kepada Yayasan Tirasa tahun 1990. Areal perkebunan PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Negara) II yang meliputi kawasan Tanjung Gusta , Mabar, Tembung, serra Laut Dendang yang ditanami dengan pelbagai tanaman palawija; demikian juga dengan lokasi rencana lapangan terbang Kuafanamu . yang akan menggantikan Polonia dijarah dan digarap dengan ditanami pohon palawija dan tanaman semusim lainnya. Tak ketinggalan di Semarang, warga Kecamatan Ngaliyan dan Mijen yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan guna keperluan perumahan Bukit Semarang Baru menuntut ganti rugi yang layak sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Dan masih banyak lagi pelbagai sengketa tanah yang dpat kita baca melalui su rat kabar, atau pun menyaksikan lewat media lainnya.

Contoh sengketa tanah yang cukup menarik perhatian, antara lain ialah kasus Ohee Obe mengenai ganti rugi tanah di Irian juga menjadi

4 M. Junus Melalatoa . "Krisis Kebudayaan, Sebuah Duka Sejarah, " Suara Pembaruan (21 Desember 1998).

Oktober - Desember 2004

Page 6: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 297

preseden yang kurang baik dan mencoreng dunia peradilan kita, dimana Ohee Obe telah menang, tetapi terbentur dalam pelaksanaan eksekusinya, sehingga praktis hanya menang di atas kertas, penyebab utamanya, kiranya yang menjadi korban untuk membyar ganti rugi adalah pemerintah (daerah), sehingga menjadi cermin dihadapan hukum kita tidak sarna kedudukannya sebagaimana adagium equality before the law yang masih menjadi mimpi.

Kasus lain, adalah kasus ganti rugi tanah ulayat suku Dayak Bahau-talivaq dengan PT. Anangga Pundinusa, sebuah anak perusahaan Barito Pacific. Suku Dayak siap menggelar peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat (hak-hak tanah masyarakat hukum adat) dengan PT. Anangga Pundinusa, perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Sejak 1992, protes suku Dayak terhadap perusahaan yang dianggap mengambil alih tanah ulayat seluas 14.000 hektar itu tak kunjung berhasil. Gara-gara PT. Anangga Pundinusa, menurut Ding Kueng, 49 tahun, kepala adat suku Dayak Bahau, mereka kehilangan makam leluhurnya, begitu pula tanaman obat-obatan dan hutan sumber makanan mereka yang sangat diperlukan ketika musim paceklik. Bahkan, akibat kebakaran hutan tahun 1997, berbagai tanaman, lumbung padi, dan rumah mereka habis dilalap si jago merah. Seorang warga wanita bernama Lahae Ajang juga meninggal terpanggang api.

Setelah reformasi bertiup tuntutan mereka diadili secara adat. Selaku penuntut, Ding Kueng , yang berpakaian kulit beruang hitam, meminta PT. Anangga Pundinusa membayar ganti rugi sebesar Rp 5 miliar karena menguasai tanah ulayat mereka. PT. Anangga Pundinusa juga dituntut ganti rugi senilai Rp 765 juta - masing-mas ing sebesar Rp 5 juta untuk satu kepala keluarga - akibat kebakaran hutan . Namun, menurut PT. Anangga Pundinusa, kebakaran hUlan yang menghanguskan sepertiga areal PT. Anangga Pundinusa terjadi lebih disebabkan oleh EI Nino - gejala kemarau panjang.

Adapun soal tanah ulayat, Narmodo tak pernah menengetahuinya. "Yang kami tahu, pemerintah menawarkan kepada kami untuk membuka HTI di lokasi itu, asalkan bekerja sarna dengan perusahaan negara." PT. Anangga Pundinusa rnerupakan perusahaan patungan antara PT. Tunggal Yudhi, anak perusahaan Barito, dan PT Inhutani I. Memang, kini PT. Anangga Pundinusa berrnaksud rnenghormati hak ulayat tersebut. Narnun akibat krisis ekonorni plus tak beroperasinya perusahaan gara-gara dikuasai warga , pihaknya hanya sangggup rnembayar sebesar Rp 2,5 juta

Namar 4 Tahun XXXIV

Page 7: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

298 Hukum dan Pembangunan

per satu kepala keluarga untuk kebakaran hutan. Untuk pengakuan hak ulayat, perusahaan menawarkan ganti rugi sebesar Rp 200 juta. Lagi pula, pada Desember 1998, PT. Anangga Pundinusa pernah memberi Rp 171,7 juta kepada para penuntut.

Setelah diselingi makan siang dan jeda untuk memberi kesempatan berlobi bagi kedua pihak, akhirnya peradilan adat selama enam setengah jam itu selesai. Hasilnya, PT. Anangga Pundinusa sepakat untuk membayar semacam ganti rugi sekitar Rp 1,3 miliar. Uang itu akan dibayarkan secara bertahap. Bagaimana kelanjutannya , yang jelas, kasus semacam ini juga dialami berbagai masyarakat adat di pelosok Nusantara. Mereka acap tersingkir oleh proyek kehutanan, industrialisasi, dan kini kebakaran hutan plus krisis ekonomi.'

Kasus sengketa Kedungombo yang berkenaan dengan pengadaan tanah untuk pelaksanaan proyek irigasi waduk Kedungombo, yang dilakukan melalui pembebasan tanah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Penggugat adalah sebagian kecil dari rakyat yang tanahnya diambil untuk pembangunan waduk Kedungombo (Citrorejo Wagiman dkk), sedangkan yang menjadi Tergugat adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Pimpinan Waduk Kedungombo . Semua pemilik tanah sudah menyetujui tanah kepunyaannya digunakan untuk pembangunan proyek irigasi waduk Kedungombo. Bentuk dan jumlah ganti kerugian ditetapkan berdasarkan pedoman dari Gubernur. Sebagian terbesar pemilik menyetujui ganti kerugian yang ditetapkan dan telah pula menyerahkan tanahnya masing-masing. Tinggal para Penggugat yang tidak bersedia menerimanya. Berdasarkan fatwa Wakil Ketua Mahkamah Agung tanggal 16 November 1988 Nomor 578 / 1320/881II/Um-Tu/Pdt, kalau mereka tetap tidak bersedia, maka dalam praktek dilakukan penawaran pembayaran, diikuti konsinyasi uang ganti rugi kerugiannya pada Pengadilan, menurut ketentuan Pasal 1404 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun yang menjadi permasalahan apakah jika belum tercapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanah maupun ganti kerugiannya, sudah ada pihak yang berpiutang dan pihak yang berhutang, sebagai yang disyaratkan dalam pasal-pasal yang mengatur lembaga tersebut. Tetapi kenyataannya penggunaan lembaga penawaran pembayaran dan konsinyasi tersebut selalu dibenarkan dan

5 TEMPO, No. 21 /XXVI (23 Peb - 1 Mar 1999)

Oktober - Desember 2004

Page 8: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 299

diterima oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam kasus Kedungombo ternyata konsinyasi dapat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Boyolali , dengan dikeluarkannya pelbagai penetapan.

Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yang mengatur mengenai "Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum", maka ketiga Peraturan Menteri Dalam Negeri yaitu berturut-turut Nomor 15 Tahun 1975, Nomor 2 Tahun 1976, Nomor 2 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Para pemilik tanah mengajukan gugatan dengan alasan antara lain, bahwa:

1. para Penggugat tidak keberatan melepaskan hak miliknya untuk digunakan pembangunan waduk Kedungombo untuk kepentingan umum, namun caranya harus sesuai yang ditentukan oleh hukum, yaitu secara musyawarah untuk mufakat;

2. ganti kerugian sangat jauh dari kelayakan dan ditetapkan secara sepihak tanpa musyawarah, maka para Penggugat berhak menolaknya;

3. ada intimidasi, antara lain oleh Camat Kumusu, bahwa: "Apabila ganti rugi tidak diterima, maka akan dikenakan pidana penjara selama 3 bulan dan dikenakan denda Rp 10.000,-. Setelah pulang dari penjara tanah hak miliknya akan hilang menjadi milik negara, tanpa ganti rugi. "Juga adanya penjagaan oleh Polisi dan Tentara yang membawa senjata;

4. bulan Januari 1989 para Tergugat telah menenggelamkan tanah dan lain-lain milik Penggugat, sehingga menghilangkan mata pencaharian para Penggugat;

5. dengan demikian para Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan para penggugat, karena terpaksa mengungsi ke tempat lain.

Ganti kerugian yang dituntut oleh para Penggugat adalah Rp 10.000,- per meter persegi untuk tanah , sedang untuk bangunan dan tanaman disebut jumlahnya masing-masing.

Pola sengketa tanah menurut KPA sebagai berikut:

1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah sebagai sumber eksploitasi.

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 9: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

300 Hukum dan Pembangunan

Seperti hutan untuk eksploitasi kayu dan eksploitasi tambang. Contoh yang terkenal adalah tanah adat suku Amungme - Irian yang diambil dari PT. Freeport dalam rangka eksploitasi emas dan eksploitasi tembaga; tanah suku Oayak Bentian - Kalimantan Timur yang diambil PT. Kahold Utama untuk Hutan Tanaman Industri. Variasinya, terjadi pula di Jawa: Perhutani memaksa petani keluar dari wilayah hutan produksi yang mereka klaim, seperti yang terjadi di Sagara - J awa Bara!.

2. Sengketa tanah akibat program "swasembada beras" (Revolusi Hijau).

Prakteknya mengakibatkan penguasaan tanha yang terkonsentrasi di satu pihak dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah. Gejala ini terjadi di pantai utara Jawa, penguasaan tanah lebih dari 50 Ha di tangan satu orang , lebih 50 % petani tak bertanah. Oalam rangka revolusi hijau , pembangunan waduk-waduk besar juga menyita tanah­tanah petani, seperti di Kedungombo - Jawa Tengah dan Saguling di Jawa Bara!.

3. Perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat.

Contoh historisnya adalah tanah rakyat Penunggu (Jaluran) Sumatera Utara yang dijadikan lokasi perkebunan. Sengketa yang baru-baru ini meledak terjadi di Janggawah - Jawa Timur. Variasi sengketa ini adalah Konflik Perkebunan dengan petani dalam hubungan Inti-Plasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) seprti yang terjadi di Arso - Irian Jaya, Sei Lepan - Sumatera Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan - Sumatera Utara, dan Cimerak - Jawa Barat.

4. Pengurusan tanah untuk industri jasa, seperti real estate untuk perumahan mewah, hotel-hotel dan fasilitas wisata.

Oi labotabek, luas tanah yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan real estate sudah lebih luas dari kota Jakarta itu sendiri. Oi Bali, terjadi penggusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan sarana dan pra sarana pariwisata. Oi pesisir Lombok, terjadi penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Oi Jawa Barat saja terdapat setidaknya 21 lapangan golf.

Oktober - Desember 2004

Page 10: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 301

5. Penggusuran tanah untuk apa yang dinyatakan sebagai "Program Pembangunan" oleh pemerintah sendiri.

Tanah dibutuhkan untuk pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, sarana militer, dan lain-lain. Sengketa tanah Blangguan di Jawa Timur merupakan contoh penetapan tanah rakyat untuk tempat latihan Marinir. Dalam hal ini pemerintah secara lang sung turun tangan membersihkan rintangan-rintangan yang menghalangi mulusnya "pembangunan" .

6. Pencaplokan tanah untuk pabrik-pabrik di dalam maupun di luar kawasan industri.

Sengketa tanah ini merebak di kawasan Jabotabek, dan "pusat-pusat pertumbuhan ekonomi" lainnya. Calo-calo tanah bermain mereguk uang dengan cara: menekan harga pembelian ke rakyat dan menjualnya ke pemodal besar dengan harga tinggi.

7. Pencabutan hak tanah rakyat atas nama kelestarian lingkungan.

Rakyat di sekitar Gunung Leuser - Aceh dan Pulo Panggung -Lampung harus tersingkir karena pemerintah menetapkan lokasi perumahan dan kebun rakyat untuk hutan lindung, kawasan suaka marga satwa dan sejenisnya.

8. Sengketa yang timbul disebabkan pencemaran lingkungan.

Pemilik tanah di rugikan akibat pencemaran lingkungan oleh limbah industri. Akibatnya tanah menjadi tidak produktif. Pencemaran juga terjadi pada tambak-tambak milik rakyat membuat ikan-ikan menjadi mati.

9. Sengketa akibat kebijakan perencanaan kota yang tidak konsisten.

Perencanaan kota mudah berubah seperti gubuk deritanya si Henry (kasus penggusuran yang telah beberapa kali dialaminya akibat perubahan perencanaan kota).

10. Administrasi pertanahan yang korup .

Banyak terdapat biaya siluman yang sudah biasa dipungut, besarnya jauh melebihi biaya resmi seperti untuk mengurus sertifikat tanah, dsb.

Sengketa atau konflik tanah pun yang terjadi dewasa ini dapat dikategorikan ke dalam dua macam hubangan konflik yaitu:

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 11: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

302 Hukum dan Pembangunan

1. Secara horizontal, konflik tanah terjadi antara pemilik modal dan pemilik tanah dan tenaga kerja hal ini berlangsung akibat semakin langkanya tanah yang mengakibatkan masyarakat "lapar tanah" dan membengkaknya lapisan masyarakat tuna wisma. Di daerah pedesaan, konflik sedemikian ini berlangsung antara mereka yang lebih kaya, petani pemilik tanah luas yang dengan berbagai sebab mengakibatkan konsentrasi tanah segelintir orang.

2. Secara vertikal, konflik tersebut berlangsung antara rakyat dengan pemerintah yang mengasumsikan bahwa semua tanah adalah milik negara, dan karena itu negara berhak untuk memberi, mengambil dan menata tanah untuk kepentingan negara atau kepentingan pembangunan, atau bahkan kepentingan individu yang punya akses kepada negara . Selain itu melibatkan antara rakyat dengan negara, yang didukung oleh seluruh aparat birokrasinya yang berlangsung dengan asumsi bahwa tanah adalah milik negara dan demi kepentingan pembangunan, negara berhak mengambil alih tanah milik siapapun, seluas apapun, dan dalam status hukum macam apapun.

III. Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah

Dalam menyelesaikan masalah-masalah tanah secara hukum disediakan pelbagai upaya yang memberikan perlindungan bagi yang empunya hak, asasnya dalam Hukum Tanah Nasional kita sebagai berikut:

a. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi oleh Hukum, harus dilandasi salah satu hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional kita;

b. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan oleh siapapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh penguasa/pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;

c. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana untuk menanggulangi gangguan-gangguan yang ada, yaitu:

c.l. gangguan oleh sesama warga masyarakat: diselesaikan melalui gugatan perdata pada Peradilan Umum atau diselesaikan dengan bantu an Bupati/Walikotamadya berdasarkan Undang-undang

OklOber - Desember 2004

Page 12: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 303

Nomor 51 Prp Tahun 1960. Penguasaan oleh siapapun tidak dibenarkan oleh hukum. Bahkan ada ancaman hukuman menurut Pasal 385 KUHP bilamana terjadi penjualan tanah milik orang lain.

c.2. gangguan oleh penguasa yang tidak ada landasan hukumnya: diselesaikan melalui gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Umum, tergantung sifat sengketanya.

d. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun Guga untuk proyek-proyek yang mempunyai sifat kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki oleh seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama, baik melalui penyerahan tanahnya maupun mengenai bentuk dan besarnya imbalanfpengganti kerugian dan bahwa tidak dibenarkan adanya paksaan, tipuan atau ancaman dari pihak manapun. Peroleharr tanah yang diperlukan melalui acara pemindahan hakfjual beli atau j ika pihak yang memerlukan tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan, melalui acara pembebasan tanah (semula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, sekarang Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993);

e. Bahwa dalam keadaan memaksa, j ika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dapat dilakukan pengambilan secara paksa. Dalam arti tidak diperlukan persetujuan lebih dulu dari yang empunya, melalui apa yang disebut acara pencabutan hak, yang kemungkinannya dibuka oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961;

f. Bahwa baik dalam perolehan melalui kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pihak yang memperoleh imbalanfpengganti kerugian;

g. Bahwa baik dalam perolehan melalui kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, bentuk dan jumlah imbalanfpengganti kerugian tersebut haruslah sedemikian rupa, hingga yang empunya tidak mengalami kemunduran dalam keadaan ekonomi dan sosialnya.

Paling tidak dijumpai tiga asas yang sekarang tampaknya tidak berjalan sebagaimana mestinya, khususnya guna mendukung Hukum Tanah Nasional kita, yaitu:

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 13: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

304 Hukum dan Pembangunan

I. Asas Fungsi Sosial; hak atas tanah mencakup tiga pengertian, yakni:

(1) Yang harus memenuhi fungsi sosial adalah semua macam hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (I) UUPA;

(2) Tidak diperkenankan menyalahgunakan hak atas tanah, lagipula harus mengusahakan agar tanah tidak hanya bermanfaat bagi pemegang hak, namun juga bermanfaat bagi masyarakat.

(3) Harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan, kepentingan perseorangan diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan

2. Asas Landrejorm;

Oasar rekstrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah sebagai penjabaran asas landrejorm, yang menegaskan bahwa tanah pertanian pada prinsipnya harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya, didapati pada Pasal 10 ayat (I) dan (2) UUPA. Asas landrejoml lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 13 juncto Pasal 17, Pasal 7, dan Pasal 53 UUPA yang berkaitan dengan penggunaan tanah oleh bukan pemiliknya. Jelas kiranya bahwa asas landrejorm memang ditujukan untuk terlaksananya pemerataan penguasaan tanah dan hasilnya.

3. Asas Lingkungan Hidup;

Yakni penggunaan tanah secara teratur, bermanfaat, dan dengan mengingat pelestarian lingkungan, kiranya akan tetap relevan selama penggunaan sumber daya alam tersebut harus dapat dinikmati tidak saja oleh generasi sekarang namun juga oleh generasi yang akan datang.

IV. Hal-hal yang Mengurangi Perlindungan Hukmn Hak atas Tanah

Ada beberapa hal yang kiranya dapat mempunyai kesan mengurangi perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, walaupun tidak terkait langsung dengan hak atas tanahnya sendiri.

1. Oengan keluarnya Ijin Lokasi, atau ada yang menyebut Surat Ijin Lokasi dan Pembebasan Tanah. Khusus di OKI Jakarta untuk proses pembebasan atau pelepasan haknya kepada calon pengembang dapat

Okrober - Desember 2004

Page 14: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengkela Tanah di Indonesia 305

diberikan SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990, dan bilamana telah membebaskan 75 % (tujuh puluh lima prosen) , maka dapat dikeluarkan SIPPT (Surat Ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah) . Dalam kaitannya ini, kalau kita lihat dari kacamata pemegang hak atas tanah, yang kebetulan tanahnya masuk dalam area Ijin Lokasi itu , maka ada pembatasan-pembatasan terhadap pemegang hak atas tanah, ia tidak dapat membangun bangunan diatas tanah haknya (karena Instansi Dinas Pengawasan Pembangunan Kota di DKI Jakarta , Dinas Pekerjaan Umum di luar Jakarta sebagai instansi pemberi Ijin Mendirikan Bangunan, tidak dapat mengeluarkan ijin tersebut). Di samping itu pemegang hak tidak mempunyai alternatif lain dalam hal menjual tanah, kecuali hanya kepada pemegang Ijin Lokasi, sehingga disini tampak kesan monopoli penjualanJpembelian tanah (ataukah semacam "involuntary transferred "?). Kalau hargainilai ganti rugi memadai , mungkin bagi pemegang hak atas tanah tidak akan menjadi masalah , akan tetapi justru dalam kenyataannya nilai ganti rugi dalam pelepasan hak ini relatif rendah.

2. Di lain pihak justru dari pihak pemegang hak atas tanah yang merasa berhak atas tanah yang dikuasainya , mengalami kesulitan dalam hal pembuktiannya. Sebagai contoh tanah-tanah yang berstatus Bekas Hak Milik Adat yang dinyatakan dalam Penegasan Konversi menjadi Hak Milik, sepanjang pemegang haknya berstatus warga negara Indonesia Tunggal , dalam hal ini justru pemegang hak mengalami kesulitan pembuktian adanya Hak Milik (Bebas Hak Milik Adat) tersebut. Dari dahulu girik, petuk, kekitir, pajak hasil bumi selalu dianggap oleh masyarakat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, makanya masyarakat belum tenang kalau belum bayar pajak bumi. Tetapi dalam pandangan "Pejabat" dan juga disebut dalam girik, petuk, kekitir selalu dikatakan sebagai "bukan bukti atas tanah" . Sekarang ini apalagi ditambah lagi tanah-tanah yang berstatus hak milik hasil konversi Hak Milik Adat tidak bisa lagi langsung dikonversi menjadi hak milik, tetapi harus melalui tahap "pengakuan hak" dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitan tanah-tanah Bekas Milik Adat, yang lebih perlu ditekankan, sekarang ini jual beli tanah Bekas Hak Milik Adat cukup dibuktikan dengan SPPT PBB (Sural Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan) dari

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 15: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

306 Hukum dan Pembangunan

Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

3. Selain tanah-tanah bekas Hak Milik Adat, yang juga perlu mendapat perhatian mengenai pembuktian-pembuktian tanah ulayat, yang cukup sulit bagi masyarakat hukum adat untuk membuktikan keberadaan hak ulayat ini. Di dalam Pasal 3 UUPA dikatakan kalau sudah tidak ada , jangan diadakan Hak Ulayat tersebut, sehingga Hak Ulayat menjadi Tanah Negara. Jangan sampai Hak Ulayat ini menjadi seperti pada jaman Hindia Belanda sebagai vrijiandsdomein (tanah milik negara bebas).

4. Jual beli tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita menggunakan dan mengambil oper pengertian jual beli tanah dalam hukum adat, yaitu merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maksudnya dalam waktu yang bersamaan dilakukan dua perbuatan hukum sekaligus yaitu penjual menyerahkan hak atas tanahnya kepada pihak pembeli, dan sebaliknya pembeli melakukan pembayaran harganya kepada penjual. Tidak menjadi persoalan apakah pembayaran itu sudah dilakukan seluruhnya atau baru sebagian. Dalam konsepsi ini masalah jual belinya sudah selesai pada saat tersebut. Kalaupun belum dibayar seluruhnya oleh pembeli, hal itu merupakan masalah lain (termasuk dalam masalah utang piutang). Pengertian jual beli tanah seperti ini banyak disalahgunakan oleh para "spekulan tanah" yang hanya membayar tanah mungkin separohnya atau bahkan baru seperempatnya, akan tetapi hak atas tanah sudah beralih kepadanya, berikut segala surat-surat bukti hak atas tanahnya.

5. Dikenalnya beberapa sebab yang menyebabkan hapusnya sesuatu hak atas tanah, seperti diatur dalam Pasal 27, 34, 40 UUPA. Yang kiranya perlu diperhatikan sebagai salah satu penyebab hapusnya hak adalah karena tanah ditelantarkan. Sampai saat ini tampaknya belum ada kesepakatan mengenai pengertian tanah terlantar khususnya untuk tanah-tanah non perkebunan. Sehingga kadang kala timbul gejolak disatu pihak menganggap sebagai tanah terlantar, dan karenanya dilakukan penggarapan secara ilegal (okupasi ilegal) , tetapi di lain pihak kalau dianggap melakukan penguasaan tanah tanpa hak (okupasi ilegal) tersebut, pemegang hak atas tanah bisa menggunakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor

Oklober - Vesember 2004

Page 16: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 307

511Prp/1960 mengenai larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak.

6. Sistem pendaftaran tanah negatif yang dianut di negara kita. Walaupun dikatakan negatif yang cenderung positif, karena dikatakan sertipikat adalah alat pembuktian hak atas tanah yang kuat. Akan tetapi sebagaimana telah diuraikan di atas, pemegang sertipikat pun masih dapat digugat dan karenanya ada anggapan tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sekarang ini telah ada suatu ketentuan bahwa bilamana suatu bidang tanah bersertipikat dan telah mempunyai jangka waktu berlaku 5 tahun, maka pemegang hak yang telah bersertipikat dilindungi secara hukum (rechtsverwerking). Masalah yang berkaitan dengan Tata Ruang Wilayah yang bisa menjadi merugikan karena mungkin saja tanpa kehendak pemegang hak atas tanah, ternyata tanahnya diperuntukkan sebagai Penghijauan Umum (PHU), sehingga pemegang hak menjadi tidak mungkin menggunakan tanahnya untuk tinggal atau usaha. Atau sebaliknya bisa menguntungkan misalnya dari peruntukan hunian menjadi komersil (apakah itu Kkt - Karya Perkantoran atau Kpd - Perdagangan).

7. Lalu soal luas pemilikan tanah di perkotaan, bagaimana menentukannya? Sebuah perusahaan real estate boleh menguasai tanah hingga berapa luas maksimumnya? Tak hanya di satu kota luas lahan mereka harus ditentukan, melainkan di seluruh Indonesia. Tak boleh perusahaan itu memiliki tanah di propinsi A, B, C, 0 , dan E, setelah dijumlah ternyata luasnya se-kota Bandung. Itu tidak boleh dan mesti diatur. Di negara kapitalis saja diatur, sebuah perusahaan hanya boleh memiliki tanah sebesar-besarnya sekian hektar, walaupun tersebar di beberapa kota.

V. Pendekatan Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa yang timbul tidak hanya dapat dilakukan pendekatan secara yuridis , kadangkala kita mesti melihat upaya pendekatan lainnya, yang seyogyanya dipergunakan, yaitu:

1. Pendekatan historis, yakni pendekatan historis yang antara lain akan melacak apakah hak-hak semacam itu pernah ada dan bagaimana

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 17: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

308 Hukum dan Pembangunan

eksistensinya saat ini, yang dapat diketahui dengan menggunakan paling tidak tiga tolak ukur, yakni tentang keberadaan subyek haknya (yakni masyarakat hukum adat yang bersangkutan); obyek haknya, merupakan lebensraum masyarakat hukum adat tersebut, serta kewenangan mengatur peruntukan dan segal a hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah yang berada dalam wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat tersebut. Apapun hasilnya, dalam arti tebal-tipisnya suatu hak ulayat sifatnya sangat individual sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi. Apabila terbukti bahwa hak ulayat memang masih ada, dengan berpedoman pada tolak ukur tersebut diatas sesuai dengan kriteria yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan, betapa pun kadar eksistensinya, yang diperlukan adalah penghormatan terhadap keberadaan hak terse but.

2. Pendekatan yang bersifat empati (verstehen), yaitu pendekatan yang bersifat elllpati (verstehen) yang berusaha Illelllahami masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan pola pikir , aspirasi , dan ekspektansi mereka. Kalau memang dikehendaki untuk diberikan ganti kerugian atau imbalan , atau apapun namanya, kehendaknya dipahallli bahwa hal itu diberikan sesuai dengan asas penghormatan kepada yang mempunyai hak, sesuai dengan tata cara yang dianut/berlaku dan dalam bentuk yang disepakati bersama.

3. Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada komitmen dari pihak yang memerlukan tanah, bahwa yang harus diperhitungkan bukan hanya biaya ekonollli (yang hampir selalu berarti memberikan ganti kerugian yang serendah mungkin), tetapi juga biaya sosial berupa penyediaan fasilitas yang dapat meningkatkan taraf hidup Illasyarakat yang diambil hak atas tanahnya. Bagaimana pun juga, pembangunan bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sosial kepada seluruh masyarakat, termasuk kepada mereka yang telah menyerahkan hak atas tanahnya untuk menunjang kegiatan berbagai sektor pembangunan itu.

Ada 2 segi sosiologis yang penting, berkaitan dengan penyelesaian sengketa tanah, yaitu:

I. Positivisme hukum yang telah berlangsung sejak abad 19, yang melakukan penyelesaian semata-mata berpatokan pada hukum normatif.

Oklober - Desember 2004

1

Page 18: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Mulli Dimensi dan Sengkela Tanah di Indonesia 309

2. Menganalisis kondisi-kondisi sosial , konteks kultural, model-model organisasional riset ilmiah.

Berkaitan dengan sengketa tanah, kiranya lebih tepat mengkaitkannya dengan segi yang kedua, dengan menganalisis kondisi­kondisi sosial , konteks kultural kita melalui refleksi epistemologis. Mungkin memang sudah waktunya paradigma sosial dikedepankan dibandingkan dengan paradigma lainnya yang telah mendapatkan gilirannya terlebih dahulu. Dengan mengedepankan paradigma sosial, maka kita mendudukkan manusia pada harkat sebenarnya sebagai manusia yang patut dimanusiawikan, sebagai berikut:

1. Prinsip komnnitas - solider horizontal

Dengan prinsip komunitas , yang berasaskan saling tenggang rasa antara sesama anggota masyarakat, maka diharapkan penyelesaian masalah tanah pun merupakan suatu penyelesaian yang sarna-sarna menang, tidak ada yang terkalahkan (win-win solution).

Synthese paradigma yang berbeda terutama paradigma ilmiah (paradigma pengetahuan yang meyakinkan) dan paradigma sosial (paradigma hidup yang meyakinkan).

Antara tiga prinsip regulasi (pasar, negara dan komuniias), prinsip komunitas yang paling gagal untuk dua ratus tahun lalu, hampir berakhir diabsorbsi oleh prinsip pasar dan negara.

Tidak seperti prinsip pasar dan negara; prinsip komunitas harus membayar mahal, menjadi marginal, dan terpatahkan. Prinsip komunitas ada 3 elemen, yaitu : a. Partisipasi; b. Solidaritas; c . Kesenangan.

Dikaitkan dengan kolonisasi oleh ilmu pengetahuan modern , maka kolonisasi partisipasi khususnya dijumpai dalam lingkungan politik seperti teori politik liberal, juga dalam lingkungan kehidupan sosial , sedangkan kolonisasi solidaritas mengambil masyarakat kapitalis advance dalam "welfare state " (negara kemakmuran) atau dalam solidaritas komunitas nonspesialis dalam masyarakat kemakmuran, dan kolonisasi mengambil melalui industrialisasi kesenangan dan waktu bebas serta homo ludens.

, Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 19: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

310 Hukum dan Pembangunan

Prinsip komunitas dan rasionalitas estetika-ekspresif karenanya merupakan representasi modernitas yang paling tak terselesaikan. Ketidakseimbangan equilibrium antara regulasi dan emansipasi, yang merugikan posisi emansipasi, diupayakan asimetri yang memihak emansipasi atas regulasi, yang dicapai dengan keterlibatan epistemologis baik prinsip komunitas dan rasionalitas estetika-ekspresif.

2. Rasionalitas moral praktis, etika dan hukum

Dalam pilar emansipasi, dari antara tiga rasionalis, dua rasionalis yang saling berhadapan yaitu rasionalis moral praktis dan estetika ekspresif. Rasional moral praktis yang menyangkut etika dan hukum, sedangkan rasional estetika ekspresif menyangkut seni dan sastra. Etika merupakan pemikiran tentang nilai, prinsip, kaidah, norma, yang dianggap benar atau baik, dan yang dijadikan dasar dan motivasi bagi perbuatan atau perilaku. Titik berat etika pada pertimbangan dan sikap batin. Moral berkaitan dengan perilaku, tindakan atau perbuatannya (Sutarno). Sehingga moral menyangkut sikap lahir, yang bersifat empirik. Sedangkan hukum merupakan norma atau kaidah yang mempunyai sanksi bagi si pelanggarnya.

3. Pengembangan common sense dan humanitas

Model rasional ilmiah global (Barat) dengan vanaSl-vanaSl internal, mendiskriminasi terhadap 2 bentuk pengetahuan non-ilmiah yaitu "common sense", dan humanitas. Rasionalitas ilmiah baru sebagi model global identik dengan model totalitarian karena menolak rasionalitas untuk semua bentuk pengetahuan yang tidak patuh pada epistemologi maupun metodologi sendiri. Feature yang paling baik dengan simbol keterputusannya dengan pardigma-paradigma ilmiah sebelumnya. Para pendukung paradigma baru tersebut terlibat dalam perjuanagn penuh semangat melawan semua bentuk dogmatisme dan otoritas. Cara pandang baru pada dunia dan kehidupan ini muncullah dua perbedaan dasar antara pengetahuan ilmiah dan common sense, pada satu sisi, dengan alam dan manusia pada sisi lainnya. Ilmu pengetahuan modern tidak mempercayai bukti dari pengalaman langsung, yang merupakan akar commOn sense, karena dituduh ilusif. Dalam ilmu pengetahuan modern pemisahan antara alam dan manusia adalah total. Alam bersifat pas if, eternal dan reversibel.

Ok/aber - Desember 2004

Page 20: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 311

Sedangkan pengamatan fenomena alam menggunakan cara yang bebas, tanpa pamrih dan sistematis serta seketat mungkin. Bacon menyatakan eksperimen tidak menyampingkan penteorian sebelumnya, pemikiran deduktif atau bahkan spekulasi dan mengharuskan observasi empiris. Sedangkan Descartes bergerak maju secara jelas dari ide-ide ke benda­benda dan bukan sebaliknya, dan memberikan prioritas pada metafisika sebagai basis pokok ilmu pengetahuan.

4. Pengetahuan sebagai Emansipasi

Dari Pengetahuan sebagai Regulasi ke Pengetahuan sebagai Emansipasi Paradigma modernitas terdiri dari 2 bentuk pengetahuan, yaitu:

a. Pengetahuan sebagai emansipasi; b. Pengetahuan sebagai regulasi.

Pengetahuan sebagai emansipasi memerlukan lintasan antara suatu keadaan ignorence (kolonialisme) dan keadaan knowing (solidaritas). Pengetahuan sebagai regulasi memerlukan lintasan antara suatu keadaan ignorance (chaos) dan keadaan knowing (ketertiban). Sementara bentuk pengetahuan sebagai emansipasi bergerak maju dari kolonialisme ke arah solidaritas , sedangkan pengetahuan sebagai regulasi bergerak maju dari chaos ke arah ketertiban. Dari sudut paradigma, ikatan mutual antara pilar regulasi dan pilar emansipasi mengimplikasikan bahwa kedua bentuk pengetahuan terse but seimbang satu sarna lain dalam suatu cara yang dinamis , maksudnya daya knowing dari knowing dari ketertiban menghidupi daya knowing dari solidaritas dan sebaliknya (membentuk suatu sirkulasi). Pemenuhan equilibrium dinamis ini dipercayakan kepada 3 bentuk rasionalitas tersebut di atas , yaitu rasionalitas moral-praktis, rasionalitas estetika-ekspresif dan rasionalitas kognitif-instrumental. Ternyata rasionalitas kognitif-instrumental dalam dua ratus tahun (abad 20) mengatasi rasionalitas lainnya. Ternyata pengetahuan sebagai regulasi lebih diutamakan atas pengetahuan sebagai emansipasi . Keadaan ini pada abad 20 berubah dengan dilakukannya rekodifikasi yaitu keadaan knowing (solidaritas) pad a pengetahuan sebagai emansipasi menghidupi daya chaos pada pengetahuan sebagai regulasi dan sebaliknya (juga membentuk sirkulasi). Ada 2 komitmen epistemologis penting:

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 21: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

312 Hukum dan Pembangunan

a. Tercakup penilaian ulang chaos sebagai suatu bentuk pengetahuan bukannya ignorance . Transisi ini dapat diamati dalam ilmu pengetahuan modern dalam teori-teori ten tang chaos. Penilaian ulang fit mempunyai kontribusi terhadap pengurangan penyimpangan, yang ditirnbulkan oleh ilmu pengetahuan modern, baik antara kapasitas untuk bertindak dan kapasitas untuk meramal. Chaos akan mengundang kita pada pengetahuan yang bijaksana, yang identik dengan pragmatisme. Kebijaksanaan mempunyai 2 sisi, yaitu satu sisi berkaitan dengan kekuatan dan kompleksitas ekstrim praksis teknologi; sisi lain berkaitan dengan hermeneutika kecurigaan tertentu, yang disebut oleh Riceour konsekuensi-konsekuensi negatif yang meragukan.

b. Tercakup dalam penilaian ulang solidaritas sebagai suatu bentuk knowing. Berdasarkan hegemoni pengetahuan sebagai regulasi, solidaritas saat ini dipahami sebagai suatu bentuk chaos dan koJo"ialisme sebagai suatu bentuk ketertiban.

5. Peralihan I1mu Pengetahuan ke lImu Pengetahuan sosiai, khususnya Studi Humanistik

Semua pengetahuan alamiah-alamiah sosial ilmiah. Pengetahuan mengenai paradigma emergen ini cenderung tidak dualistis, malah sebal iknya ia merupakan pengetahuan yang didasarkan pada penggantian terhadap semUJ perbedaan yang familiar dan jelas dianggap pasti sampai akhir-akhir ini: subyek/obyek, alam/kultur, alamiah/artifisial, hidup/mati, pikiran/materi, pengamat/yang diamati, subyektif/obyektif, binatang/orang . Terdapat kecenderungan untuk menggantikan pembedaan antara lain ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, walaupun tetap ada saja yang berpendirian bahwa penggantian terhadap dikotomi ilmu pengetahuan alam/sosial, sedang berlangsung di bawah payung i1mu pengetahuan alam. Tetapi tampaknya dengan melihat pelbagai teori seperti teori "struktur dissipatif" Prigogine dan teori "sinergetik" Haken, yang menjelaskan partikel-partikel dengan konsep-konsep seperti revolusi sosial, kekerasan, perbudakan, dominasi, demokrasi nuklir - yang semuanya itu dipinjam dari ilmu pengetahuan sosial; sehingga terlihat terjadi perubahan dari ilmu pengetahuan alam ke ilmu pengetahuan sosial. Seolah motto Durkheim telah berbalik: Bukannya meneliti fenomena alam seolah fenomena sosial.

Oktober - Desember 2004

Page 22: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengketa Tanah di Indonesia 313

Penggantian terhadap dikotomi antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial telah dilaksanakan di bawah payung ilmu pengetahuan sosial, tidaklah cukup untuk melakukan karakterisasi model pengetahuan dalam paradigma emergen ini, yakni model pengetahuan emansipatoris postmodern. Menurut B. Santos, ilmu pengetahuan sosial disusun berdasarkan dua kecenderungan yang salah satunya terhubungan rapat dengan epistemologi positivis, yang dicetak dalam suatu tradisi filosofis kompleks fenomenologi, interaksionisme, simbolisme-mitos, hermeneutik, eksistensialisme dan pragmatisme . Karenanya sampai tingkat bahwa ilmu pengetahuan alam sedang menjadi semakin dekat ke ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan sosial sedang semakin dekat dengan apa yang secara tradisional disebut humanitis. Penggantian dikotomi ilmu pengetahuan alam/sosial, karenanya cenderung menilai ulang "studi-studi humanistik" .

Perubahan paradigma sendiri telah diutarakan oleh Satjipto Rahardjo sejak tahun 1983 dengan mengistilahkan "mengarahkan pandangan keluar" setelah mengungkapkan bahwa Friedman membedakan unsur sistem hukum ke dalam: struktur, subtansi dan kultur dalam melakukan usaha modernisai hukum. Tampaknya menurutnya modernisasi selama ini hanya menyangkut unsur struktur dan subtansi saja, sedangkan unsur kultur hukumnya tidak mendapat perhatian yang seksama. Sudah waktunya peranan kultur hukum yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum ditingkatkan, karena demikian pentingnya 6.

Oleh karena menyangkut nilai-nilai baik buruk benar salah, maka dalam hal ini kita tidak bisa lepas dari etika dan moral , yang kadangkala dicampuradukkan atau disinonimkan, padahal berbeda. Sudah waktunya mengubah dalih: "membiarkan hukum untuk direkayasa oleh kekuasaan" menjadi "merekayasa hukum berdasarkan pertimbangan moral" atau "membiarkan kekuasaan untuk direkayasa oleh hukum."

Peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk mengatasi krisis ini sangat diperlukan, hendaknya disesuaikan dengan talenta yang dimiliki. Keragaman yang identik dengan pluralistik, dalam pengertiannya tidak berarti hukum (tanah)-nya pluralistik, hukum (tanah)-nya sendiri adalah

6 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia , (Bandung: Alumni,1983). hal. 12.

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 23: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

314 Hukum dan Pembangunan

satu, yang berlaku nasional dari Sabang sampai Merauke, akan tetapi menyangkut penerapan dan pelaksanaannya akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, apalagi menyangkut hak-hak atas tanah yang disebut hak ulayat, yang identik dengan tanah hak komunal.

VI. Kesimpulan

Ibarat penyakit, Indonesia itu sudah mengalami pelbagai penyakit yang dalam dunia kedokteran disebut komplikasi, mungkin tepat digunakan akumulasi krisis, karena krisi yang dialami bukan hanya sekedar satu macam krisis, tetapi pelbagai macam krisis, sehingga ada yang mengistilahkan krisis multidimensi . Tidak terkecuali dalam dunia hukum pun ikut imbasnya krisis, dan merupakan bagian dari itu pun tidak terlepas dunia hukum tanah, yang justru penuh dengan unsur KKN.

Pada beberapa kasus yang menarik perhatian publik yang justru antara lain merupakan contoh krisis dalam dunia hukum. Perubahan paradigma, Lampaknya mau tidak mau harus dilakukan oleh Indonesia, karena keadaan sekarang ini sepertinya kita sedang berada dalam keadaan anomali, sehingga mesti ada gestalt switch yaitu dalam bentuk perubahan paradigma. Kiranya peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk mengatasi krisis ini sangat diperlukan, hendaknya disesuaikan dengan talenta yang dimiliki. Keragaman yang identik dengan pluralistik, dalam pengertiannya tidak berarti hukum (tanah)-nya pluralistik, hukum (tanah)­nya sendiri adalah satu , yang berlaku nasional dari Sabang sampai Merauke, akan tetapi menyangkut penerapan dan pelaksanaannya akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, apalagi menyangkut hak­hak atas tanah yang disebut hak ulayat, yang identik dengan tanah hak komunal. Keadaan multi krisis tersebut di atas yang menghinggapi bumi pertiwi itu memang sudah akut, walaupun bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin.

Oktaber - Desember 2004

Page 24: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

Krisis Multi Dimensi dan Sengke/a Tanah di Indonesia 315

Daftar Pustaka

Arsin. "Taktik dan Strategi Penasehat Hukum Dalam Kasus Pertanahan Dalam Era Globalisasi." Paper dismpaikan pada Pendidikan Khusus Kursus Pengacara, 1998.

-------. "Masalah Pertanahan Dalam Dekade Masa Kini." Kursus LBH, Jakarta.

Fauzi, Noer. "Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 2l." (1 Desember 1998).

Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russel Sage Foundation, 1975 .

Harsono, Boedi. "Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah." Seminar Fakultas Hukum Universitas Trisakti - Badan Pertanahan Nasional, 14 Agustus 1997.

-------. "Sengketa-sengketa Tanah Dewasa ini dan Penanggu1angannya." Jakarta, 27 September 1994.

------- . "Tinjauan Hukum Pertanahan di Waktu Lampau, Sekarang, dan Masa Mendatang." Seminar, 1992.

Hunt, Alan. Explorations in Law and Society: Toward A Constitutive Theory of Law. London: RoutJedengane, 1993.

Kazuo, Takahashi. Agenda for International Development. Tokyo: Fasid, 1998.

Majalah UMMAT. Nomor 32 Tahun [V, 22 Februari 1999.

Mangunwijaya, Y.B. Menuju Indonesia Saba Baru. Jakarta: Gramedia, 1998.

Melalatoa, M. Junus. "Krisis Kebudayaan, Sebuah Duka Sejarah." Suara Pembaruan (21 Desember 1998).

Mudji Sutrisno, SJ. "Keindonesiaan Yang Mau Mendengarkan. " Kompas (24 November 1998).

Poggi, Gianfranco. The Development of The Modern States, A Sosiological Introduction.

Rahardjo, Satjipto. Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakal .

Nomor 4 Tahun XXXIV

Page 25: KRISIS MULTI DIMENSI DAN SENGKETA TANAH DI INDONESIA

316 Hukum dan Pembangunan

-------. "Hati Nuraniisme." Kompas (15 Februari 1999).

-------. Ilmu Hukum. Edisi Revisi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

-------. Pemanfaatan Ilmu-i/mu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1977.

------ . "Pembangunan Hukum dan Masyarakat Warga." Suara Pembaruan (13 Desember 1998) .

------. Permasalahan Hukum di Indonesia. Handung: Alumni , 1983.

Santos, Boaventura De Sousa. Toward A New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition. Great Britain: Routledge , 1995.

Sjahrir. Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total. Jakarta: Yayasan Obor, 1998.

Sumardjono, Maria S.W. "Dampak Pennasalahan Koordinasi Terhadap Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah." Seminar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada - Badan Pertanahan Nasional , Yogyakarta, 26 Oktober 1996.

Suseno, Frans Magnis. "Masyarakat Semakin Tidak Menghargai Pluralisme." Kompas (8 Februari 1999).

SUlamo. "Dekade Etik dan Moral?" Suara Pembaruan (13 Desember 1998).

Sutiknjo, Imam. "Politik Pertanahan Nasional dengan Jiwa dan Semangat UUPA dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II." Seminar, 1992.

Swasono, Sri Edi. "Demokrasi Ekonomi dalam Mengembangkan Hukum Pertanahan Nasional Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. " Seminar, 1992.

Tjondronegoro, Sediono. "Aspek Ekonomi dalam Mengembangkan Hukum Pertanahan Nasional Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap II." Seminar, 1992.

Ok/aber - Desember 2004