Komplikasi Akut Pada Preeklampsia Iyat (2)
description
Transcript of Komplikasi Akut Pada Preeklampsia Iyat (2)
KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA
Oleh :
Akhmad Ahdiyat Budianto 0318011002
Mutiara Fitri Subiyanto 0518011020
M. Adithya Prawiranata 0618011029
Pembimbing :
dr. Wahdi, Sp.OG.
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN - UNIVERSITAS LAMPUNGMETRO
2012
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003). Angka kematian ibu adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih tergolong tinggi.
Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah pre-eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi. Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui. Pada kondisi berat pre-eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang.
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia..
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.
Pre-eklampsia berat dan eklampsia merupakan risiko yang membahayakan ibu di samping membahayakan janin melalui placenta. Setiap tahun sekitar 50.000 ibu meninggal di dunia karena eklampsia. Insidensi eklampsia di negara berkembang berkisar dari 1:100 sampai 1:1700. Beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada stadium akhir yang disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia tidak ditangani secara cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau
perdarahan otak. Oleh karena itu kejadian kejang pada penderita eklampsia harus dihindari. Karena eklampsia menyebabkan angka kematian sebesar 5% atau lebih tinggi.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF,2000). Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang memadai, atau pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap > 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai > 300 mg/24 jam atau > +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.
Pada makalah ini akan dibahas tentang komplikasi klinis dari preeklampsia. Beberapa komplikasi akut preeklampsia, yaitu eklampsia, sindroma HELLP (hemolisis, elevasi enzim hati, penurunan platelet), ruptur hepar, edema pulmonal, gagal ginjal, koagulopati intravaskular diseminasi, kedaruratan hipertensi dan hipertensi ensefalopati serta kebutaan kortikal.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi),
pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin (proteinuria)
yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3
kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering tidak
diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa
disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu
dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma. Kejadian eklampsia di negara
berkembang berkisar antara 0,3% sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar
dalam keadaan pre-eklampsia berat dan eklampsia.
B. Gejala-gejala
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan
tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester pertama
atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita hipertensi
kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua
dan ketiga, mungkin penderita menderita preeklampsia.
Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan
diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-
kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih
atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose.
Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada
keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah
indikasi terjadi preeklampsia berat.
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan
biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada kaki, jari-
jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti
untuk penentuan diagnosa pre-eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu
dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa
kali atau 3 kg dalam sebulan pre-eklampsia harus dicurigai. Atau bila terjadi
pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin
merupakan tanda preeklampsia. Tambah berat yang sekonyong-konyong ini desebabkan
retensi air dalam jaringan dan kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang
dengan istirahat. Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-
eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH ( Hipertensi dalam kehamilan)
tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam
air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 + ( menggunakan
metode turbidimetrik standard ) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang
dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih yang
diambil minimal 2 kali dengan jarak 6 jam. Proteinuri biasanya timbul lebih lambat dari
hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering ditemukan pada preeklampsia,
rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal. Karena itu harus
dianggap sebagai tanda yang cukup serius. Disamping adanya gejala yang nampak diatas
pada keadaan yang lebih lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang membawa pasien ke
dokter.
Gejala subyektif tersebut ialah:
1. Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.
2. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema,
atau sakit kerena perubahan pada lambung.
3. Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang
pasien buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae.
Perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.
4. Gangguan pernafasan sampai sianosis
5. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran
Sedangkan penyakit preeklampsia digolongkan berat apabila satu atau lebih
tanda / gejala dibawah ini ditemukan:
1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg
atau lebih
2. Proteinuria 5 gram atau lebih dalam 24 jam, 3+ atau 4+ pada pemeriksaan
semikuantitatif.
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam.
4. Keluhan cerebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium.
5. Edema paru-paru atau sianosis.
Disamping terdapat preeklampsia ringan dan berat / eklampsia, dapat pula ditemukan
hipertensi kronis yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang menetap.
Kebanyakan wanita dengan hipertensi kronik ( Hipertensi esensial ) telah didiagnose
sebelum kehamilan; kebanyakan wanita didapat menderita hipertensi pada kunjungan
antenatal pertama. Bila tanpa penyebab sekunder hipertensi (misalnya stenosis arteri
renalis atau feokromositoma), peninggian tekanan darah (> 140/90) yang menetap dan
terjadi sebelum kehamilan atau dideteksi sebelum kehamilan minggu ke 20, diagnosis
hipertensi esensial dapat ditegakkan.
Tanda klinik dan diagnosis:
1. Hipertensi terjadi pada awal kehamilan
2. Fungsi ginjal normal atau hanya terdapat sedikit albuminuria
3. Jika kehamilan kebelakang terdapat peningkatan tekanan darah dan albuminuria
secara bermakna, maka akan sulit dibedakan dengan preeklampsia berat
( Superimposed preeklampsia ). Hipertensi esensial menjadi penyulit pada 1-3 persen
kehamilan, danlebih sering terdapat pada wanita di atas usia 35 tahun.
Faktor Predisposisi
Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami pre-eklampsia biala
mempunyai faktor-faktor predisposing sebagai berikut:
1. Nulipara
2. Kehamilan ganda
3. Usia < 20 atau > 35 th
4. Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya
5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia
6. penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum
kehamilan
7. obesitas.
Komplikasi-komplikasi pada preeklampsia:
EKLAMPSIA
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia
tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil akhir
dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada wanita
dengan eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme
serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema
vasogenik dan kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan
penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu
yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar 15 % dari seluruh
kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh dunia disebabkan oleh
eklampsia.
Epidemiologi dan insiden
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial
ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya
meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan
dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.
Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran
hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000
kelahiran hidup.
Manifestasi klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau koma pada
wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya. Kejang eklampsia
hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptik secara
klinis dan elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik umum
lainnya. Secara umum, wanita dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisit neurologik fokal
atau koma yang berlangsung lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan
elektroensefalografik atau pencitraan serebral. Kondisi klinis selain
eklampsia yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada wanita hamil
yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia
Traumatik cerebrovaskulerPerdarahan intraserebralTrombosis arteri dan vena serebral
Penyakit hipertensiHipertensi ensefalopatiPheochromocytoma
Penekanan lesi pada susunan syaraf pusatTumor otakAbses
Kelainan metabolicHipoglikemiaUremiaInappropriate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxiccation
InfeksiMeningitisEncefalitis
Trombotik trombositopenik purpuraEpilepsi idiopatik
Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari 20%
terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada kehamilan
aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang karena
eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam
sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis
yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin
tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik
yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus
postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi
eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada
penatalaksanaan wanita dengan eklampsia yaitu mempertahankan fungsi vital ibu,
mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi
untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga
jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan
penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit, obat
anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih untuk
mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita yang
telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus
dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita
yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram
MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk
diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4
dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja
MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga
memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,
mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek
antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D-aspartat (yang merupakan
fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang
eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek anti
konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol
kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti
menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk
menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis
total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada eklampsia.
Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung dengan derajat
peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan dengan tekanan darah
diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah
tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti menganjurkan untuk menggunakan
anti hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110
mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara
prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah
otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya
kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan
darah yang normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada
kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan
persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular.
Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian
5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV,
diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis
tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau
mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah
ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan
eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan komplikasi
dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis aspirasi, edema
pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan jenis obat untuk
keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai
obat pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih
anti konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti fenitoin
atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah penelitian klinis
terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:
• The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian prospektif terhadap
905 wanita eklampsia yang secara random dipilih untuk mendapat Magnesium atau
Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara random menerima Magnesium
atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer adalah kejang rekuren dan kematian
maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan separuh angka kejang
rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%). Tidak ada perbedaan yang
bermakna pada kematian maternal atau perinatal atau angka komplikasi diantara kedua
kelompok. Wanita yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang rekuren
dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian penelitian ini wanita
yang menerima magnesium <8% yang menerima perawatan intensif, <8% mendapat
bantuan ventilator dan <5% menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang
diberikan fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan pada angka kematian maternal dan
perinatal.
• Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik
koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin hidroklorid)
untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia. Manfaat tambahan dari
terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara pemberian yang mudah (tidak
membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan
fenitoin. Magnesium juga tampak secara selektif meningkatkan aliran darah serebral
dan konsumsi oksigen pada wanita dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin.
Dosis pemeliharaan MgSO4 adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang
kontinyu. Fase pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon
yang dalam adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit,
urine output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan jika
status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan toksisitas
potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang yang jelas untuk
meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah direkomendasikan sekitar 4,8-8,4
mg/dL. Dosis harus disesuaikan menurut respon klinis pasien, sesuai table 2.
Evaluasi pada persalinan
Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia kehamilan
untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi
dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang paling sesuai
untuk persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara
umum, kurang dari sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada
kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang belum matang untuk
dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks
dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus
dihindari.
Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan keadaan
yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini tidak
memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat membantu
janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan hiperstimulasi
uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan dengan takikardi janin kompensata
bahkan dengan deselerasi denyut jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam
waktu 20 sampai 30 menit.
Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus, meliputi DIC, gagal
ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung
paru, pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan
hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi akan
sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan atau
iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif
terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah
13,9% (138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita
dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan
komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan prenatal
yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Satu
penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia
menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat
kejang pada otaknya menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan
kortikal petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi lobus
occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang dijumpai.
Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan eklampsia paska persalinan.
Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan
erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu penelitian terhadap 54
parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan 28 minggu adalah 93%; angka ini
hanya sebesar 9% pada penelitian lain dengan rata-rata usia kehamilan pada saat
melahirkan 32 minggu. Kematian perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur,
solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.
Kehamilan berikutnya
Eklampsia dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Risiko tersebut dapat dikurangi
dengan pemantauan ibu yang ketat dan intervensi segera jika terjadi preeklampsia. Tetapi
belum ada cara yang efektif untuk mencegah terjadinya preeklampsia. Tingkat rekurensia
eklampsia diperkirakan berkisar sekitar 2%.
Kehamilan berikutnya pada wanita dengan riwayat preeklampsia berat / eklampsia juga
meningkatkan risiko komplikasi obstetri lainnya dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat
tersebut, termasuk solusio plasenta (2,5-6,5% berbanding 0,8%), persalinan preterm (15-
21% berbanding 7-8%), pertumbuhan janin terhambat (12-23% berbanding 10%) dan
peningkatan tingkat kematian perinatal (4,6-16,5% berbanding 1-3%). Wanita dengan
riwayat preeklampsia/eklampsia pada kehamilan < 28 minggu, memiliki risiko tertinggi
untuk terjadinya komplikasi tersebut. Risiko tersebut tampaknya sama, baik pada
preeklampsia berat maupun eklampsia.
Dapatkah eklampsia diprediksi ?
Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda dari iritabilitas kortikal (sakit kepala,
gangguan penglihatan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan kejang-kejang masih
belum jelas. Analisis retrospektif terhadap 383 kasus eklampsia di Inggris menemukan
hanya 59% wanita eklampsia menunjukkan satu atau lebih gejala prodromal - sakit kepala,
gangguan penglihatan (skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia, hemianopsia
homonimus), atau nyeri epigastrium - sebelum terjadinya kejang eklampsia. Selanjutnya,
besarnya peningkatan tekanan darah tampaknya tidak dapat memprediksi terjadinya
eklampsia, walaupun keadaan tersebut berhubungan erat dengan insidensi terjadinya
gangguan serebrovaskular. Analisis retrospektif menunjukkan bahwa eklampsia merupakan
manifestasi pertama dari penyakit hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan pada
20-38% kasus. Temuan yang sama juga dilaporkan pada penelitian di Swedia, Skotlandia
dan Amerika Serikat. Pada salah satu dari penelitian tersebut, faktor-faktor tersebut paling
tidak secara parsial bertanggung jawab terhadap gagalnya pencegahan terhadap eklampsia
(179 kasus) merupakan kesalahan dokter (36%), kegagalan magnesium (13%), onset pada
paska persalinan lanjut (12%), onset dini sebelum kehamilan 21 minggu (3%), onset
mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-
kasus eklampsia tampaknya tidak dapat dicegah, walaupun pada wanita-wanita dengan
asuhan prenatal yang teratur.
Pencegahan terhadap kejang eklampsia pertama
Walaupun tidak semua kasus eklampsia dapat diprediksi, pemberian terapi anti kejang
terhadap parturien risiko tinggi dapat mencegah terjadinya kejang pertama pada wanita
dengan preeklampsia berat. Dua penelitian besar telah menunjukkan keunggulan
magnesium sulfat dibandingkan dengan fenitoin dalam mencegah eklampsia, Kelompok
rumah sakit Parkland secara acak memberikan magnesium atau fenitoin terhadap 2138
wanita preeklampsia. Kejang eklamptik timbul pada 10 dari 1089 wanita yang menerima
fenitoin dibandingkan dengan tidak ada satupun kejang eklamptik dari 1049 wanita yang
menerima magnesium (P = 0,004). Keluaran ibu dan neonatus adalah sama pada kedua
kelompok. Data tersebut didukung oleh penelitian yang baru dilakukan di Afrika Selatan
dimana 685 wanita dengan preeklampsia berat secara acak diberikan profilaksis kejang
dengan terapi magnesium sulfat atau placebo. Perkembangan menjadi eklampsia lebih
rendah pada kelompok magnesium (0,3% berbanding 3,2% [P = 0,003]).
Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada saat memberikan
terapi kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan serviks sebelum
perencanaan persalinan pada wanita dengan preeklampsia berat. Terapi harus dilanjutkan
hingga 24 sampai 48 jam pascapersalinan dan risiko terjadinya kejang adalah rendah.
Regimen magnesium sulfat yang paling sering digunakan adalah dosis awal 4 sampai 6 g
diberikan intravena lebih dari 20 menit, diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam sebagai infus
kontinyu. Tidak jelas apakah semua wanita dengan preeklampsia memerlukan profilaksis
untuk mencegah terjadinya kejang pada sejumlah kecil pasien (0,6 - 3,2%). Selanjutnya
pada wanita hipertensi tanpa proteinuria , insidensi terjadinya kejang adalah sangat rendah
(< 0,1%) yang akan aman bila tidak diberikan profilaksis kejang pada wanita tersebut.
TABEL 2. Pencegahan kejang berulang pada wanita dengan eklampsia
Obat Dosis awal Dosis rumatan Kadar terapi
Direkomendasikan sebagai terapi utamaMagnesium
sulfat
4-6 g IV lebih dari 10-20
menit
2-3 g/jam IV infus 4-8 mEq/L*
10 g IM (5 g pada setiap
bokong)
5 g IM setiap 4 jam Seperti diatas
Terapi yang direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap Fenitoin 1-1,5g IV lebih dari 1 jam
(tergantung berat badan)
250-500 mg setiap
10-12 jam oral atau
10-20 ^g/ml
Diazepam° - 10 mg/jam IV infuse -Chlormethiazol
ef
40-100 mL dari 0,8% lebih
dari 20 menit
60 ml/jam IV infus
* Tidak diuji secara prospektif ° Amobarbital / pentotal f Tidak tersedia di Amerika Serikat
GAGAL GINJAL
Gagal ginjal akut ditandai dengan pelepasan reduksi pada filtrasi glomerular, yang
mengarah kepada eksesif retensi urea dan air sama halnya dengan sejumlah elektrolit dan
gangguan keseimbangan asam basa. Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi yang
jarang terjadi pada preeklampsia, tetapi keadaan yang sebenarnya tetap tidak bisa
ditentukan. Berdasarkan pengalaman pada satu senter, 18% dari semua kasus gagal ginjal
akut berasal dari kasus obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi
dengan didahului oleh preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi
sindroma hemolisis uremia, penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.
Etiologi dan Patogenesis
Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah adanya endoteliasis
glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak dengan sel-sel endotel bervakuola.
Gambaran histologis ini, berpasangan dengan vasokonstriksi umum yang menandai
preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma ginjal dan
glomerular filtrasi dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun, kerusakan
fungsional pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum bersifat ringan dan
mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal ginjal akut pada
wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang terjadi.
Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori besar;
prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim),
intraarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan postrenal
(yang berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan intrarenal (akut
tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada preeklampsia.
Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat paling
umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna setelah
persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29% dari kasus-kasus
gagal ginjal akut pada kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dihubungkan
dengan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal beserta
komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada wanita dengan latar belakang hipertensi
kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal sebagai penyakit parenkim ginjal, solusio
plasenta atau DIC.
Prognosis
Pada tahun 1990, Sibai dan kawan-kawan melaporkan pengalaman mereka tentang hasil
kehamilan preterm, keluaran kehamilan selanjutnya, dan mengontrol prognosis pada 31
pasien dengan preeklamsia yang berkomplikasi dengan gagal ginjal akut yang dikumpulkan
lebih dari 11 tahun. Insisdensi nyata gagal ginjal akut tidak bisa ditentukan karena sebagian
besar pasien dikirim dari institusi lain. Angka kematian maternal adalah 10 % (3/31). Secara
keseluruhan 14 dari 31 pasien (46,6%) memerlukan dialisis, dan tidak ada perbedaan dalam
presentase antara wanita yang memerlukan dialisis untuk preeklampsia (50%) dan
hipertensi kronik dengan superimpos preeklampsia (42%). Dari ke-18 pasien dengan gagal
ginjal akut yang didahului oleh preeklampsia mengalami akut tubular nekrosis, dengan
resolusi lengkap dari fungsi ginjal setelah melahirkan. Sebaliknya 3 dari 13 pasien dengan
hipertensi kronik dan superimpos preeklampsia mengalami nekrosis korteks bilateral, 9 dari
11 (81,8%) pasien yang hidup memerlukan dialisis jangka panjang, dan 4 pasien mengalami
kematian karena gagal ginjal terminal sebelum publikasi. Berdasarkan hal ini dapat
disimpulkan bahwa identifikasi dini dan penanganan yang tepat dari gagal ginjal akut pada
parturien yang sebelumnya sehat dengan preeklamsia tidak berakhir dengan kerusakan
ginjal residual jangka panjang.
Penelitian yang sama dari Memphis, Tennessee, sebelumnya melaporkan
pengalaman mereka dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut. Dari semua kasus gagal
ginjal akut yang didahului oleh sindroma HELLP adalah 7,3 %. Pada penelitian kohort
mereka, didapatkan angka kematian maternal sebesar 13 % dan angka kematian perinatal
sebesar 34%. Sebagian besar dari 32 pasien dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut
terjadi saat pascapersalinan. Analisis lebih lanjut mengatakan bahwa keadaan dengan latar
belakang hipertensi kronik berhubungan dengan keluaran hasil persalinan yang kurang
begitu baik diharapkan dan prognosis jangka panjang yang lebih baik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklamsia harus difokuskan
pada penyingkiran diagnosis lain, khususnya kondisi yang mungkin bersifat reversibel (misal
dehidrasi atau obstruktif uropati). Terapi suportif meliputi kontrol tekanan darah,
pengaturan posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah ginjal, koreksi keseimbangan
cairan dan elektrolit, dan mempertahankan nutrisi yang adekuat. Bila dialisis diperlukan
selama masa kehamilan, maka hemodialisis yang dianjurkan bukan dialisis peritoneal.
KEDARURATAN HIPERTENSI
Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang
terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan
evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah
terjadinya hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang
yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan
terjadinya eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut merupakan
salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.
Diagnosis banding
Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam kelainan ini.
Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk berbagai
kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal. Diagnosia
alternatif yang mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis, gejala rebound
pada pemberian klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin, hiperemi akut pada
kulit akibat penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang melatarbelakangi
terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk atau eksaserbasi akut
dari preeklampsia.
Patofisiologi
Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya
tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter
dari krisis hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus
lebih dari 115 mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan diagnosis
hipertensi krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA dapat terjadi
pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter diatas. Para ahli
yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah dibandingkan dengan
pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab terjadinya kerusakan otak.
Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan atau
perdarahan pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal hati,
solusio plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi akibat
hipertensi akut yang tidak terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada organ
akhir tersebut harus segera mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang
mengacu pada pengontrolan tekanan darah.
Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan hemodinamik yang
invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya dirawat pada pusat
rujukan tersier dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki keahlian dalam
bidang kedaruratan medik (critical care medicine).
Penatalaksanaan
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang sangat
bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi krisis adalah
untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara tiba- tiba
harus dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %, dengan
target untuk sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga hasilnya akan
sangat membantu dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang refrakter dalam
terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan terminasi kehamilan, dan untuk
kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea perimortem perlu dilakukan.
Pada hipertensi akut dengan komplikasi hipertensi ensefalopati penatalaksanaanya
harus dilakukan dengan menggunakan fasilitas ICU. Pemberian sodium nitropruside
merupakan obat pilihan utama antihipertensi pada keadaan ini. Pada dosis yang melebihi
dari 8 |ig/kg/menit, hati-hati terjadinya akumulasi sianida dan tiosianat pada janin .
Dianjurkan dilakukan pengawasan ketat dari kadar sianida pada pasien-pasien yang
mendapat sodium nitropruside dosis tinggi. Obat-obat lainnya yang dapat digunakan pada
keadaan ini untuk menurunkan tekanan darah secara akut telah dirangkum dalam tabel 3.
TABEL 3. Penatalaksanaan farmakologi krisis hipertensi akut
Obat Dosis Keterangan
Direkomendasikan sebagai terapi utamaHidralazin 5 mg iv bolus diberikan dalam 10 menit x
2
Hati-hati terhadap hipotensi
dandosis: kemudian dilanjutkan 10 mg iv
bolus
kemungkinan akibat buruk
padadiberikan dalam 20 menit sampai
tekanan darah
perfusi uteroplasenta.stabil pada 140-150/90-100 mm Hg
Labetalol 10-20 mg iv bolus : ulangi dalam 10-20
menit
Hati-hati terhadap hipotensi
dandengan dosis ganda (tidak lebih dari 80
mg
kemungkinan akibat buruk
padadalam beberapa dosis tunggal) saampai
total
perfusi uteroplasenta.maksimum 300 mg.
Nifedipin 10 mg oral dalam 30 menit x 2 dosis:
kemudian
Nifedipin sublingual lebih baik10-20 mg peroral per 4-6 jam dihindari
Direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap
terapi utama
Sodium 0,5-3,0 |ag/kg/min iv perinfus (tidak
melebihi
Sebaiknya hanya dilakukan
olehnitroprusid 800 |ag/min) seseorang yang
berpengalamanNitrogliserin 5 |ag/min iv perinfus ditingkatkan sesuai Kontraindikasi relatif padakebutuhan setiap 5 menit sampai dosis keadaan hipertensi
ensefalopatimaksimum 100 |ag/min. karena dapat meningkatkan
aliran darah otak dan tekanan
intrakranial.
Penatalaksanaan definitif dari hipertensi krisis yang disebabkan preeklampsia adalah
terminasi kehamilan. Anestesi analgesik regional lebih sering dipakai pada keadaan ini jika
tidak ada bukti-bukti terjadinya koagulopati dan tidak ada kontraindikasi untuk dilakukannya
anestesi regional. Pada pasien-pasien ini penting untuk mencegah terjadinya hipotensi. Jika
dibutuhkan anestesi umum maka diperlukan pengawasan tekanan darah dan diperlukan
premedikasi untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang seringkali dijumpai pada fase
induksi dari anestesi umum.
HIPERTENSI ENSEFALOPATI DAN BUTA KORTIKAL
Buta kortikal diketahui sebagai komplikasi dari preeklampsia berat. Manifestasi optalmologi
dari preeklampsia antara lain : ablasio retina, vasospasme arteriola retina dan trombosis
arteri-arteri sentralis retina. Insiden dari buta kortikal yang merupakan manifestasi dari
ensefalopati hipertensi pada preeklampsia berat adalah 1-15 %.
Patofisiologi
Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh suatu sistim
autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan sistemik yang mempunyai
rentang yang bervariasi. Untuk penatalaksanaan hipertensi sistemik, arteriol-arteriol
serebral perlu dilebarkan untuk mempertahankan perfusi yang adekuat, dimana pembuluh-
pembuluh mengalami penyempitan sebagai respon dari tingginya tekanan sistemik. Diatas
dari batas tertinggi dari autoregulasi, dapat terjadi ensefalopati hipertensi . Hipertensi
ensefalopati merupakan suatu sindroma neurologik subakut yang ditandai dengan sakit
kepala, kejang, penurunan penglihatan dan gangguan-gangguan neurologik lainnya
(perubahan status mental, gejala-gejala fokal neurologik) pada keadaan tekanan darah yang
meningkat. Walaupun sindroma ini bersifat reversibel jika hipertensi yang terjadi diobati
secara dini, namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali atau jika
pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan diagnosisnya mungkin
sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang menderita penyakit lainnya.
Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi seperti CVA, trombosis vena, ensefalitis dapat
menutupi gejala klinis dari hipertensi ensefalopati. MRI berguna dalam menegakkan
diagnosa pada kasus-kasus klinik yang sesuai.
Studi -studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960 menghasilkan suatu
pendapat bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih sering dihubungkan dengan meluasnya
edema serebral. Lesi yang paling sering dijumpai adalah perdarahan petekie multipel pada
daerah kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena perdarahan
petekie berkaitan dengan adanya trombus kapiler, maka para ahli menyimpulkan bahwa
lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu gangguan vaskuler yang menyebabkan lokal
iskemik. Kadang-kadang edema difus yang berat tampak pada eklampsia, namun semakin
spesifik lesi, maka edem otak semakin terlokalisir pada jaringan penghubung substansia
alba dan grisea pada lobus oksipital. Kerentanan dari sirkulasi posterior pada lesi hipertensi
ensefalopati sudah dikenal, tapi fenomena terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu
penjelasan yang mungkin adalah terdapatnya hubungan dengan heterogenitas regional dari
penemuan simpatis vaskuler.
Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-arteriol
intrakranial telah terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan tekanan darah yang
bermakna. Kemudian , studi-studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa sistim karotis
interna mendapat suplai yang lebih baik dengan inervasi simpatis jika dibandingkan dengan
sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut menurut hipotesa ini dapat menstimulasi saraf-saraf
simpatis perivaskuler, yang dapat melindungi bagian anterior tapi tidak inervasi bagian
posterior yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa tersebut dapat menghasilkan suatu
hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat pada lobus oksipital yang
bermanifestasi klinis pada mata.
Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan klinis dan
radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I menyatakan bahwa
hipertensi ensefalopati disebabkan karena adanya spasme dari vaskular serebral sebagai
respon dari hipertensi akut, yang juga dapat menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis
arteriol, dan edema sitotoksik. Hipotesis alternatif yang terbaru adalah sindrom-sindrom
yang berasal dari rusaknya autoregulasi dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol
serebral, yang mengacu pada peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan
dan protein sampai disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik ( hidrostatik).
Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari progresifitas penyakit adalah edema serebral
fokal. Terdapatnya edema serebral pada hasil CTscan dan MRI kepala, tidak membantu
dalam mendefinisikan mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya hipertensi
ensefalopati. Peningkatan neuroimaging mungkin dilakukan, termasuk SPECT (single photon
emission computed tomography), yang dapat membedakan baik area hiper/hipoperfusi,
yang telah memungkinkan dilakukannya penyelidikan secara lebih terperinci dari respon
vaskuler serebral pada hipertensi.
Pada tahun 1992, Schwarts dkk melaporkan pada penggunaan CT MRI dan SPECT
pada 14 pasien dengan ensefalopati hipertensi, termasuk 8 diantaranya menderita
preeklampsia. Semua pasien mempunyai lesi-lesi hipodens pada lobus oksipital yang
tampak pada CT, yang berkaitan dengan lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang
terdapat pada T2 weighted MRI . SPECT yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode
hipertensi pada area yang terbuka akan meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan
dengan lesi-lesi yang ditemukan pada CT-scan dan MRI. Data-data ini menunjang konsep
yang menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi merupakan hasil primer dari peningkatan
permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema vasogenik. Jika vasospasme dan
resultan iskemia merupakan hal-hal yang penting, penurunan perfusi serebral pada SPECT
mungkin akan lebih diawasi dengan infark yang mungkin terjadi. Namun infark ini jarang
terjadi baik secara klinis maupun secara eksperimental.
Penatalaksanaan
Buta kortikal dan manifestasi lainnya dari ensefalopati hipertensi merupakan suatu
kontraindikasi untuk dilakukannya perawatan dari preeklampsia dalam kehamilan.
Kelahiran bayi dan plasenta merupakan satu-satunya terapi yang kuratif. Tanggung jawab
lainnya dari penatalaksanan ini termasuk menyingkirkan penyebab lainnya dari kebutaan
(mis : perdarahan oksipital, dan ablasio retina) dan pengontrolan tekanan darah . Buta
kortikal akan sembuh secara sempurna sesudah kelahiran walaupun masa
penyembuhannya mungkin memakan waktu beberapa minggu.
HELLP SINDROME
Singkatan HELLP pertama kali diperkenalkan oleh Weinsteint (1982)
yang menjelaskan, bahwa Sindroma HELLP, berarti preeclampsia - eclampsia
yang mengalami :
H : hemolisis,
EL : elevated liver enzyme : tanda adanya disfungsi hepar
LP : low patelet count : throbositopenia
Permasalahan yang sering timbul pada sindroma ini baik pada diagnosis maupun dalam hal
penatalaksanaan. Karena gejala dan tanda sindroma HELLP sangat bervariasi sehingga
seringkali diagnosis ditegakkan saat penyakit sudah berada dalam stadium lanjut. Akibatnya
morbiditas ibu lebih tinggi lagi. Morbiditas yang paling sering terjadi adalah penggunaan
transfusi darah atau produk-produk darah. Disamping itu resiko terjadinya edema paru, “
consumptive coagulopathy “, gagal ginjal, infark dan ruptur hepar serta gagal jantung paru
sangat tinggi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis Hellp syndrome masih belum jelas. Normalnya pada kehamilan terutama pada
trimester III akan terjadi penurunan tekanan darah, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin
dan volume darah meningkat. Pada PEB terjadi tekanan darah yang meningkat, sedang
renin, angiotensin II, prostasiklin menurun. Prostasiklin menyebabkan penurunan
vasokonstriksi, platelet agregation, uterine activity dan peningkatan utero-plasental blood
flow. Sedang Tromboksan bekerja sebaliknya. Perubahan material-material diatas dianggap
berperan untuk terjadinya Hellp sindrome.
Hemolisis mikroangiopati pertama kali dikemukakan tahun 1962 dan didefinisikan sebagai
kelompok gangguan klinik dengan fragmentasi sel-sel darah merah dalam sirkulasi. Oleh
Weinstein (1982) mengemukakan bahwa pada preeklampsia hemolisis terjadi akibat
vasospasme pembuluh darah dan interaksi sel darah merah dengan sel endotel pembuluh
darah yang abnormal atau mungkin juga oleh karena proses imun. Terjadinya reaksi
peroksidase pada membran sel darah merah menyebabkan ketidakstabilan membran
eritrosit dan perubahan ini menyebabkan eritrosit rentan untuk mengalami hemolisis.
Kelainan membran ini terutama didapatkan pada penderita yang disertai kelainan hepar.
Ada beberapa parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya
hemolisis mikroangiopati antara lain haptoglobin, LDH, bilirubin (semen dan urine),
hemoglobin bebas, apusan darah tepi. Meskipun demikian pemeriksaan yang di anggap “
Gold standar “ belum ada. Diantara beberapa parameter ini, haptoglobin merupakan
pemeriksaan yang paling sensitif untuk mengetahui secara dini adanya hemolisis
mikroangiopati.
Peningkatan enzim hati (alanin aminotrasferase, aspartat aminotransferase dan laktat
dehidrogenase) terjadi karena adanya nekrosis parenkim dan perdarahan dalam sinusoid
hepar. Terjadinya nekrosis dan perdarahan ini akibat tumpukan bahan yang menyerupai
fibrin dalam sinusoid hepar sehingga terjadi obstruksi aliran darah. Jika perdarahan dan
nekrosis dan nekrosis cukup berat akan terjadi infark atau pembentukan hematoma
subkapsuler. Berapa nilai yang dianggap abnormal juga berbeda-beda. Weinstein yang
pertama kali mempopulerkan istilah ini tidak menyebutkan kadar berapa yang dianggap
abnormal. Menurut Goodlin dan Thiagarah, kadar SGOT yang dianggap abnormal bila nilai >
50 IU/L. Vandam dkk menggunakan nilai > 16 IU/L, Brazy dkk menggunakan nilai 50 IU/L dan
sibai dan Aarnnoudse menggunakan nilai ≥ 72 IU/L sedangkan Martin dkk menggunakan
kadar SGOT ≥ 40 IU/L dan SGPT ≥ 40 IU/L. Kadar LDH yang dianggap abnormal
bervariasi antara 195 – 600 IU/L . Trombositopenia. Meskipun jarang berat, merupakan
kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia. Disebut
trombositopenia bila jumlah trombosit ≤ 150.000. Dan jika didapatkan trombositopenia ≤
100.000 maka lambat atau cepat dapat masuk kedalam “fulminant HELLP“. Angka kejadian
trombositopenia pada PEB sebesar 20%.
Pathofisiologi terjadinya penurunan jumlah trombosit pada penderita preeklampsia:
1. Meningkatnya pemakaian dan agregasi/aglutinasi diperifer
2. Aktivasi trombosit meningkat
3. Waktu hidup trombosit lebih pendek
4. Dan penurunan kadar prostasiklin (prostasiklin merupakan penghambat agregasi
trombosit yang kuat).
Oleh sebab itu beratnya trombositopenia menggambarkan derajat kerusakan sel endotel,
agregasi trombosit, pemecahan/destruksi trombosit dan penumpukan mikrotrombus.
Jumlah trombosit pada penderita preeklampsia merupakan indikator yang paling baik untuk
melihat adanya komplikasi pada ibu, janin maupun neonatus. Jumlah trombosit yang <
150.000/ul merupakan periode transisi dan jumlah trombosit < 100.000/uL merupakan
tanda bahwa penyakit cukup berat sehingga bila persalinan ditunda trombosit akan
menurun menilai lebih rendah lagi. Penderita dengan jumlah trombosit ≤ 50.000/ul
mempunyai risiko tinggi untuk mengalami perdarahan post partum, komplikasi perdarahan
dari luka operasi atau luka episiotomi juga ada hubungannya dengan jumlah trombosit.
Pemberian trannsfusi trombosit untuk tindakan profilaksis tidak menjamin bahwa
komplikasi perdarahan post partum atau dari luka operasi akan menurun. Oleh karena itu
adalah penting untuk untuk melakukan pengamatan jumlah trombosit pada penderita
preeklampsia khususnya preeklampsia berat khususnya yang mendapatkan perawatan
konservatif.
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan
kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung
nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam
mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai
standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit. Di
University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD. (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,
Memphis)
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm
Klasifikasi sindroma HELLP
Berdasar kadar thrombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi, menjadi :
Klas 1 : thrombositopenia : ≤ 50.000/cc
Klas 2 : > 50.000 ≤ 100.000/cc
Klas 3 : > 100.000 ≤ 150.000/cc
Disertai : hemolisis dan disfungsi hepar yaitu : LDH ≥600 IU/L, AST dan/atau
ALT ≥ 40 IU/L
PENATALAKSANAANPasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 ataU 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkanjumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup; pasienpasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP. Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam. Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yangmengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harusdiizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umuR kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan,jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari. Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom
HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum. Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat
PENUTUP
KESIMPULAN
Preeklampsia merupakan suatu penyebab yang bermakna dari penyebab kematian
maternal dan perinatal serta komplikasinya. Sekali diagnosis dari preeklampsia dibuat,
pilihan dari terapi adalah terbatas. Karena itu, perhatian lebih difokuskan pada pencegahan
terjadinya preeklampsia. Walaupun penelitian secara ekstensif telah dilakukan, tidak ada
strategi tunggal yang telah menunjukkan kelebihan dalam mencegah perkembangan
preeklampsia baik pada populasi dengan risiko tinggi atau rendah. Preeklampsia merupakan
suatu kelainan implantasi plasenta dan hal ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Kelahiran
dari janin dan plasenta menjadi satu-satunya terapi kuratif.
Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah dengan agresifitas dan
intervensi dini dari komplikasi preeklampsia, mungkin dapat mengurangi kerugian yang
terdapat pada janin dari ibu yang mengalami preeklampsia berat.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG
Technical Bulletin No. 219. Washington, DC: ACOG, 1996
Apollon KM, Robinson JN, Schwartz RB, et al. Cortical blindness in severe preeclampsia:
Computed tomography, magnetic resonance imaging and single-photon emisson
computed tomography findings. Obstet Gynecol. 2000;95:1017-1019
Bamlleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin Obstet Gynecol
2002 ; 45: 22-34
Briggs GG, Freeman RK. Drug in pregnancy and lactation. 6 th ed. Philadelphia.Baltimore.New
York. London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2002:995
Campbell DM, Templeton AA. Is eclampsia preventable? In: Bonnar J, MacGillivray I,
Symonds ED, eds. Pregnancy Hypertension. Baltimore: University Park Press, 1980:483
Gilstrap LC, 3rd, Cunningham FG, Whalley PJ. Mangement of pregnancy-induced
hypertension in the nulliparous patient remote from term. Semin Perinatol. 1978;2:73
Hall DR, Odendaal HJ, Smith M. Is the prophylactic administration of magnesium sulphate in
women with preeclampsia indicated prior the labour? Br J Obstet Gynaecol.
2000;107:903
Lucas MJ, Leveno KJ. Cunningham FG. A comparison of magnesium sulfate with phenytoin
for the prevention of eclampsia. N Eng J Med. 1995;333:201
Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes in acute hypertension: An
ultrastructural study. Lab Invest. 1977;39:150-161
Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia. Clin Obstet Gynecol
2002 ; 45: 308-329
Sibai BM, Ramadhan MK. Acute renal failure in pregnancies complicated by hemolysis,
elevated liver enzymes, and low platelets. Am J Obstet Gynecol. 1993;168:1682-1687
Sibai BM, Villar MA, Mabie BC. Acute renal failure in hypertensive disorders of pregnancy:
Pregnancy outcome and remote prognosis in thirty-one consecutive cases. Am J
Obstet Gynecol. 1990;162:777-783
Stratta P, Canavese C, Colla L, et al. Acute renal failure in preeclampsia-eclampsia. Gynecol
Obstet Invest. 1987;24:225-231
Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd ed. Philadelphia.Baltimore.New
York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2001:101
Lampiran 1. Hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi kronikDiobservasi sebelum kehamilan atau usia kehamilan 20 minggu, tekanan darah lebih 140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 6 jam
Hipertensi dalam kehamilanTransient hypertension dalam kehamilan: tanpa gejala preeklampsia dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu setelah melahirkan
Hipertensi kronikDidiagnosis jika kenaikan tekanan darah menetap
Preeklampsia/eklampsiaBiasanya terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Hipertensi yang disertai oleh proteinuria (protein lebih dari 0,3 g dalam 24 jam pemeriksaan). Diduga apabila adanya gejala-gejala yang khas yakni peningkatan tekanan darah, sakit kepala, pandangan kabur, nyeri perut, jumlah platelet rendah, peningkatan enzim-enzim hati.
Superimpus preeklampsia pada hipertensi kronikKetika preeklampsia dijumpai pada wanita yang menderita hipertensi, prognosis pada ibu dan janin yang lebih jelek dari kondisi sebenarnya.
Lampiran 2. Obat-obatan antihipertensi selama kehamilanObat Dosis nonakut Efek samping Keterangan
Methyldopa 250-1500 mg BID sampai maksimun 3000 mg/hari
hipertensi posturnal, drowsicness, retensi cairan
Biasanya digunakan pada hipertensi dalam kehamilan, potensi ringan
Hidralazine 10, 25, 50, 100 mg TID-QID sampai maksimum 400 mg/hari
nyeri kepala, berdebar, sindroma seperti lupus
Biasanya digunakan untuk kontrol jangka pendek
Labetalol 100, 200, 300 mg sampai maksimum 2400 mg/hari
nyeri kepala, blok jantung, mulut kering, tremubusnes
Hindari pada penderita astma, PJK, hati-hati pada diabetes
Nifedipine Kerja lama: 30-60 mg dimulai 30, 60, 90 mg maksimum 120 mg/hari
nyeri kepala, kelelahan, pusing, edema perifer, konstipasi
Efek yang sangat besar untuk penurunan tekanan darah
Thiazide 12,5 mg sampai dengan 25 mg/hari
sama dengan nifedipine
Efek yang selektif pada otot polos pembuluh darah.Terganggunya elektrolit yang menyebabkan komplikasi diagnosis preeklampsia
Furosemide 20-40 mg/hari sampai sama dengan Thiazide sama dengan Thiazide
dg 160 mg BID
Nitoprusside Jarang digunakan pada Hipertensi non-akut
hipotensi, keracunan sianida pada penggunaan yang lama
Digunakan ketika gagal metode lainnya: pertimbangkan ganguan arteri pada penggunaannya
Lampiran 3. Strategi pengontrolan hipertensi kronik pada kehamilan dan postpartum
Rejimen Pengobatan Primer Pengobatan Sekunder Pengobatan Tersier
Antepartum
I Methyldopa Labetalol
II Felodipine Diuretic
III Felodipine Labetalol
IV Hydralazine Labetalol
Postpartum
I Hydralazine Nifedipine XL/ Felodipine Labetalol
II Nifedipine XL/ Felodipine Labetalol Diuretic
III ACE inhibitor Calcium channel blocker Beta blocker
Lampiran 4. Protokol penatalaksanaan krisis hipertensi dalam kehamilan
Manifestasi klinik Penatalaksanaan
Dosis Kontra indikasi Keterangan
TD konsisten > 160/105,plg tidak pada dua kali pe-- meriksaan pd ka-kasus darurat
Labetalol (hidra lazin digunakan sbg agen alternatif pilihan per tama)
Dosis I:5-10 mg iv,kmd dosis diberi kan 2x lipat per 15 mnt sampai men capai dosis maks 300mg.
Astma, ggl jan-tung, bradikar- dia
Pemantauan ibu dengan TD regu ler setiap 10 me nit, tes labor, manifestasi kli-nis, pengawas-an janin secara TD tdk bisa dikon
trol dg regimen diatas
Hidralazin 10mg iv setiap 10-15 menit sampai mencapai dosis maks 300 mg
perawatan se-cara ekstrim bila ada riwayat penyakit jantung
TD tdk bisa dikon trol dg regimen diatas, pertimbang kan tim pelaksana yg terdiri atas spe-sialis fetomaternal
Nifedipin dpt dipakai sebagai agen alter natif.Pertimbangkan partus dg peng-gunaan sodium nitroprusside
10 mg peroral setiap 10-15 menit sampai Tercapai do-sis maks 90 mg. 0,25 ug/kg/mnt (ditimgkatkan sebanyak
Bukti klinis adanya hipo- perfusi serebral.
Harus dirawat di ICU dg pe-ngawasan TD, Pengawasan ja nin, monito-ring keracunan sianida.
ug/kg/mnt)
Lampiran 5. Protokol Penatalaksanaan non emergensi dari hipertensi berat dalam kehamilan
Manifestasi klinis Penatalaksanaan Dosis Kontraindikasi Keterangan
TD konsisten > alfa metil dopa Umumnya 250 Riwayat hepati- Pengawasan ibu dengan
160/105 plg tdk (para ahli lbh cen-
mg peroral di- tis atau disfung-
TD reguler, tes labor,
pd 2 kali pemerik- derung menggu- biarkan selama si otonom, pasi-
manifestasi klinis, pe-
saan nakan B bloker 24 jam- 48 jam en yg mendapat
meriksaan berkala janin,
sbg agen pilihan untuk menca- terapi MAO in dan pertumbuhan
janin
utama). pai efek optimal. Tingkatkan sampai mencapai dosis maksimal 2 g/hr (Sebaiknya di-gunakan dosis terbagi shg efek yg lebih stabildapat dicapai )
hibitor. serta pemeriksaan ar-teri umbilikus dg meng-gunakan Doppler.
TD tdk adekuat walaupun dikon-trol dg regimen diatas (setelah men capai dosis tertentu dimana metil- dopa telah mencapai dosis terapeutik).
Labetalol Umumnya 100 mg peroral 2X sehari, diting- kaatkan sampai mencapai dosis maksimal 2400 mg/hr. Gu-nakan dosis 4 x sehari jika diper lukan, nadi dpt di gunakan sbg in-dikator adanya blokade B.
Astma, ggl jan-tung, bradikar dia.
Lampiran 6. Pengobatan pada hipertensi akut yang berat pada kehamilan
Obat Anjuran1. Hidralazin Dimulai dg 5-10 mg im, jk respon terbatas, diulang dg interval 20
menit. Sekali TD dpt dikontrol scr baik, ulangi seperlunya (biasanya selama 3 jam). Pertimbangkan obat lainnya, jika tdk sukses dg dosis 20 mg iv atau 30 mg im.
2. Labetalol Dimulai dg 20 mg iv bolus, jk efeknya suboptimal maka berikan 40 mg,10 menit kmd 2x dan 80 mg,10 mnt dlm 2 dosis, sesuai kebutuhan (20,40,40,40,80,80 sampai mencapai dosis total 300 mg). Dilanjutkan dengan infus dimulai / sampai 2 mg/menit. Gunakan dosis maksimum 300 mg peroral/iv. Jika tekanan darah yg stabil tidak dicapai, ganti denggan obat lain. Hindari pemberian 3. Nifedipin Dimulai dengan dosis 10 mg peroral dan diulang setiap 30 menit jika diperlukan. FDA tidak merekomendasi penggunaan nifedipin dengan masa kerja singkat untuk penatalaksanaan hipertensi.
4. Sodium Nitroprusside
Dipakai pada kasus-kasus hipertensi yang tidak memberikan respon pada penggunaan obat-obat diatas, ditemukannya manifestasi klinis dari ensefalopati hipertensi, atau keduanya. Dimulai dengan dosis rata-rata 0,25 mg/kg/mnt sampai mencapai dosis maksimum 5 mg/kg/mnt. Keracunan sianida pada janin dapat terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam, perhatikan gangguan
Lampiran 7. Penatalaksanaan preeklampsia berat di bagian Obgin RSMHI. Perawatan aktif
A. Indikasi: bila didapatkan satu atau lebih keadaan ini:1. Ibu
a. Kehamilan > 37 minggub. Adanya tanda impending eklampsiac. Perawatan konservatif gagal:- 6 jam setelah pengobatan medisinalis terjadi kenaikan TD- 24 jam setelah pengobatan medisinalis gejala tak berubah
2. Janina. Adanya tanda-tanda gawat janinb. Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahimc. Laboratorik: Adanya sindroma HELLP
B. Pengobatan medisinalis1. Segera MRS2. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)3. Infus D5: RL = 2 : 1 (60-125 ml/jam)4. Antasida5. Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam6. Obat-obatan anti kejang: sulfas magnesikus (MgSO4)
a. Dosis awal 8 g MgSO4 (20 ml 40 %) im: 4 g bokong kanan 4 g bokong kirib. Dosis ulangan: tiap 6 jam diulangi 4 g MgSO4 (10 ml 40 %) imc. Syarat-syarat pemberian sulfas magnesikusi. Tersedia kalsium glukonas 1 g = 10 ml 10 % iv pelan 3 menitii. Reflek patella (+) kuatiii. Pernapasan > 16 x/m tanpa tanda-tanda distress pernapasaniv. Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/KgBB/jam)d. Dihentikan bila:i. Adanya tanda-tanda intoksikasiii. Setelah 24 jam pascapersalinaniii. 6 jam pascapersalinan normotensif, selanjutnya dg luminal 3 x 30 - 60
C. Mencegah komplikasi1. Diuretika diberikan atas indikasi:
a. Edema parub. Payah jantung kongestifc. Edema anasarkad. Kelainan fungsi ginjal (bila faktor prerenal sudah diatasi) yang dipakai adalah derivat furosemid (lasix 40 mg im)
2. Antihipertensi diberikan atas indikasi:Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolic > 110 mmHg Preparat:
a. Clonidine (Catapres) 1 amp = 0,15 mg/ml + 10 ml NaCl fls/aquades, masukkan 5 ml iv pelan, tunggu 5 menit, kemudian TD diukur, bila tak turun berikan sisanya (5 ml iv pelan 5 menit). Pemberian obat dapat diulangi tiap 4 jam sampai TD normotensif.b. Nifedipin: 4 x 10 mg (p.o) sampai diastolic 90 - 100 mmHg
c. Hidralazin (Apresolin) 1 amp = 20 mg, 1 amp diencerkan, diberikan iv pelan, melalui selang infus, dapat diulangi setelah 20 - 30 menit.
3. Kardiotonika a.i terdapat tanda-tanda menjurus payah jantungDiberikan cedilanid, digitalisasi cepat sebaiknya kerja sama dg penyakit jantung
4. Lain-lain:a. Antipiretika a.i suhu rectal > 38,5 oC, Xylomidon 2 ml dan atau kompres.b. Antibiotika kalau ada indikasic. Analgetika a.i kesakitan/gelisah: 50-75 mg pethidin < 2 jam sblm janin lahir
D. Pengobatan obstetrikCara pengakhiran kehamilan/persalinan
1. Belum inpartu:a. Induksi persalinan:
i. amniotomiii. drip oksitosin dg syarat skor Bhisop 5
b. Seksio sesar bila:i. syarat drip oksitosin tak terpenuhiii. 12 jam sejak drip oksitosin belum masuk fase aktifiii. pada primipara cendrung seksio sesar
2. Inpartu:a. Kala I : - fase laten tunggu 6 jam, tetap fase laten > seksio sesar
- fase aktif: amniotomi + drip oksitosin6 jam pembukaan tidak lengkap > seksio sesar
b. Kala II: Tindakan dipercepat sesuai dg syarat yg dipenuhiII. Perawatan konservatif
A. Indikasi perawatan konservatif Bila terdapat keadaan:1. Kehamilan < 37 minggu2. Keadaan janin baik3. Tidak ada impending eklampsia
B. Pengobatan medisinalis1. Awal diberikan 8 g MgSO4 40 % im bokong kanan-bokong kiri dilanjutkan dg 4 g im tiap 6 jam
2. Bila ada perbaikan atau tetap teruskan 24 jam3. Apabila setelah 24 jam ada tanda-tanda perbaikan maka pengobatan diteruskan sbb:
a. Diberikan tablet luminal 3 x 30-60 mgb. Anti hipertensi oral bila TD masih > 160/110 mmHg
C. Pengobatan obstetrik1. Observasi dan evaluasi sama dg perawatan aktif, hanya tidak dilakukan pengakhiran kehamilan2. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambat- lambatnya 24 jam.
D. Lebih dari 24 jam tak ada perbaikan maka perawatan konservatif dianggap gagal dan dilakukan terminasi kehamilan.
E. Penderita boleh pulang bila:1. Penderita sudah mencapai perbaikan dg tanda-tanda preeklampsia ringan,
perawatan dilanjutkan hingga 3 hari lagi.2. Bila selama 3 hari keadaan tetap baik (tanda-tanda preeklampsia ringan) maka penderita bisa dipulangkan.