Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte

86
1 Agustus 2013 l Kinescope l FREE MAGAZINE - EDISI 1 AGUSTUS 2013 PREMIERE Kinescope f i l m , s e n i & e d u k a s i Music Report SETELAH 15 TAHUN TINO SAROENGGALLO J a n g a n B e r s e d i h LA TAHZAN LEHER ANGSA KAMTIS ARMY ATAMBUA 39 0 CELCIUS KARAKTER BENYAMIN SUEB JAVA ROCKIN’ LAND MIRACLE IN CELL NO 7 REVIEW ON LOCATION BEHIND THE SCENE

description

Kinescope Free Magz 1st Edition.. Enjoy! :-)

Transcript of Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte

  • 1. Kinescope f i l m , s e n i & e d u k a s i free magazine - edisi 1 agustus 2013 Leher angsa Tino Saroenggallo setelah 15 tahun Premiere Miracle in Cell no 7 Atambua 390 Celcius review on location benyamin sueb karakter Kamtis Army LA TAhzAN behind the scene J a n g a n B e r s e d i h Music Report JAVA ROCKIN LAND Agustus 2013 l Kinescope l 1
  • 2. 2 l Kinescope l Agustus 2013
  • 3. Agustus 2013 l Kinescope l 3
  • 4. Contents Cover Story 10 La Tahzan ( jangan bersedih) Sebuah Film Drama religi, dipersembahkanoleh Falcon Pictures padaLebaran 2013 inidisutradaraiolehDanialRifki. RESENSI FILM 16 Sang Kyai Berbicara tentang proses p embuatan sebuah film yang m engangkat tema ejarah, agama s dan budaya memang memiliki kesulitan tersendiri. 34Kamtis Army 55 Andr Bazin 40 Tino Saroengallo 17 Will Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. Opini Publik 18 Tradisi Sinema tanpa Industri Sinema Pada kenyataannya budaya sinema terjadi di Indonesia, akan tetapi belum mampu melahirkan sebuah industri. FESTIVAL 20 10 Film Terlaris Korean Selatan 2012-2013 Memberikan Alternatif Tontonan Selama Sepekan REVIEW 22 Miracle in Cell no 7 Eksploitasi Keterbelakangan Mental Membawa Kesuksesan Box Office HOT ISSUE 26 Industri Film Indonesia Di penghujung tahun 2011, sineas dan pelaku industri film di Asia Tenggara berkumpul dalam Festival Film ASEAN. 28 Setelah 15 Tahun Pemutaran perdana film dokumenter karya Tino Saroengallo 4 l Kinescope l Agustus 2013 38 Atambua 390 Celcius On Location 36 LUPUS Menampilkan foto-foto on-location shoot Bangun Lagi Dong, Lupus! KARAKTER 42 Benyamin Sueb Benyamin Sueb okoh seni egendaris T l Indonesia. Seorang pemeran film,pelawak, sutradaradanjuga enyanyi. p KABAR GEMBIRA 50 PerfilmanIndonesia mulai bangkit Indonesia Kembali Menjadi Kandidat Network of Asian Fantastic Films di Puchon International Fantastic Film Festival 2013 di Korea 52 Festival Kesenian Yogyakarta Ruh Yogyakarta ada pada pendidikan, budaya dan kesenian. 54 Sejarah Membaca Sejarah Sinema Indonesia Lewat Si Anak Sabiran EduKASI 64 Sinema Indonesia Butuh Pertolongan Disana batasan mereka adalah ide, disini batasnya budget! dengan hasil yang profesional.program mereka. 66 Mise En Scene (Unsur Visual) Komunitas 70 Subkulture Rockabilly Yogyakarta Interview 74 deddi Mizwar Tidak Ada Peran Negara Dalam Industri Film Indonesia! Music 80 JAVA ROCKIN LAND Sebuah pagelaran festival musik rock. 82 Kerugian Industri Music Indonesia Industri musik Indonesia akibat pembajakan capai Rp 4,5 miliar rupiah pertahun.
  • 5. Agustus 2013 l Kinescope l 5
  • 6. Kinescope f i l m , s e n i & e d u k a s ii u k a s Penasehat Redaksi Farid Gaban Wanda Hamidah Andibachtiar Yusuf Biem T Benjamin Pemimpin Umum Hasreiza Marketing & Promotion Jusuf Alin Lubis Pemimpin Redaksi Reiza Patters Wakil Pemimpin Redaksi Gumanti Syakib Redaktur Pelaksana Muhammad Adrai Reporter Dyah Kusumawardhani Aji Wibowo Faisal Fadhly Kontributor Shandy Gasella Primayani Putri Andhini Taufiqul Rizal Doni Agustan Ranty Yustina Dewi Daniel Rudi Haryanto Art DIrector al Fian adha Designer Indra Kusuma Fotografer Herry Yohannes Ilustrator Seto Bije Digital & Mobile Applications Farid Gaban Distribusi & Sirkulasi Faisal Fadhly Community Development Hasreiza Event & Promotion Ollivia Selagusta subcriptions Gedung Graha Utama Jl. Raya Pasar Minggu KM 21 Jakarta Selatan Email : [email protected] @KinescopeMagz 6 l Kinescope l Agustus 2013 Salam Redaksi B erangkat dari dan dengan memperhatikan kondisi stagnan dari kehidupan dan perkembangan dunia sinema Indonesia yang seharusnya memberikan pengaruh positif terhadap budaya dan peradaban bangsa Indonesia, muncullah keinginan kami untuk memberikan kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik sebagai upaya membangun dunia sinema dan seni Indonesia secara umum yang lebih positif dan produktif dalam membangun pola pemikiran, budaya dan peradaban Indonesia yang lebih maju. Bentuk kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik tersebut kami wujudkan dalam sebuah media cetak yang akan terbit setiap bulan. Majalah ini akan mengambil peran sebagai wadah untuk aspirasi, diskusi, perdebatan hingga pergumulan dan konflik pemikiran atas perkembangan budaya dan peradaban ditinjau dari perspektif sinema, music, dan seni lainnya. Untuk itu kami hadir sebagai penyambung dari para pemikir, praktisi, penggiat dan sekaligus penikmat dari seni dan proses budaya dari peradaban bangsa ini. Majalah Kinescope adalah majalah bulanan yang fokus utamanya mengulas seputar dunia Film serta Seni di Indonesia, dan mencoba untuk memberikan muatan edukasi secara kritis namun tetap menghibur. Majalah ini dibangun dengan tujuan untuk memfasilitasi harapan, kritikan, rasa keingintahuan hingga uneg-uneg para pecinta, pemeharti, praktisi serta pengajar di bidang film, seni dan teknologi, khususnya film dan musik Indonesia dengan kemasan yang populis dan tetap menghibur. Keinginan yang kuat untuk menjadikan Majalah Kinescope sebagai media yang dapat mengulas perkembangan seni film Indonesia hingga ahirnya, sedikitnya dapat turut serta mengontrol perkembangan sinema Indonesia. Majalah ini diberi nama Kinescope yaitu sebuah alat yang digunakan untuk menterjemahkan sinyal menjadi gambar. Filosofi dari nama Kinescope adalah ingin mendorong majalah ini menjadi penterjemah nilai-nilai seni, sinema, musik dan lainnya menjadi gawang untuk kontribusi positif dan produktif atas budaya dan peradaban masyarakat Indonesia. Majulah sinema dan seni Indonesia! Cover Story Jangan Bersedih La tahzan | Sebuah Film Drama religi, dipersembahkan oleh Falcon Pictures pada Lebaran 2013 ini disutradarai oleh Danial Rifki. Film yang pada awalnya memiliki working tittle Orenji, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi La Tahzan, terinspirasi dari Buku Best Seller berjudul La Tahzan For Student, kumpulan cerita para warga negara Indonesia, pelajar mahasiswa pekerja, yang hidup di Jepang.
  • 7. Film Schedule August 2013 Film Indonesia Agustus La Tahzan La TahzanJangan Bersedih adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah buku yang berjudul La Tahzan For Students. Film yang disutradarai oleh Danial Rifki tersebut mengambil lokasi syuting sebagian besar di beberapa kota di Jepang, seperti Osaka, Kyoto, Kobe dan Wakayama. Moga Bunda Disayang Allah 1. Get M4rried Tayang 2 Agustus 2013 2. La Tahzan Tayang 2 Agustus 2013 3. oga Bunda Disayang Allah M Tayang 2 Agustus 2013 4. 2014 Tayang 22 Agustus 2013 5. Crazy Love Tayang 22 Agustus 2013 6. Cinta/Mati Tayang 29 Agustus 2013 7. 2 Menit Untuk Selamanya 1 Tayang 29 Agustus 2013 Get M4rried Crazy Love Film arahan Guntur Soeharjanto (BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG, TAMPAN TAILOR) tersebut dibintangi sederet nama-nama baru di scene perfilman tanah air. Selain Adipati Dolken yang namanya sudah tak asing lagi, ada Tatjana Saphira, Kemal Pahlevi, Una Putri dan Zidni Adam turut meramaikan film ini. Cinta Mati Berkisah mengenai seorang gadis bernama Acid yang memilih untuk mengakiri hidupnya karena berbagai persoalan. Namun, usahanya terus gagal hingga akhirnya ia bertemu Jaya, seorang pemuda yang juga putus asa. Sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel bestseller karya Tere Liye dengan judul yang sama. Diangkat dari salah satu kisah nyata paling mengharukan. Film ini berkisah tentang tentang Karang dan Melati, seorang anak perempuan yang buta, tuli dan juga bisu. Film ini disutradarai oleh Jose Poernomo dan dibintangi oleh Fedi Nuril Shandy Aulia. Sebuah film komedi terbaru Get M4rried karya sutradara Monty Tiwa dan diproduksi oleh Starvision. Get M4rried bercerita tentang perjuangan Guntoro, Benny dan Eman untuk mencari cowok baru buat Sophie atas suruhan Mae, karena Mae yakin, yang namanya cinta monyet itu gampang hilangnya. 2014 12 Menit Untuk Selamanya Film 2014adalah sebuah film yang mengisahkan tentang persaingan menuju kursi kepresidenan 2014. Tidak hanya politik, film ini juga mengisahkan cerita cinta dan sebuah ambisi. Film ini disutradarai oleh Rahabi Mandra danHanung Bramantyo. Diproduksi oleh Mahaka Pictures, bekerjasama dengan Dapur Film. Sebuah Film yang diangkat dari novel karya Jaumil Aurora, dengan judul yg sama 12 Menit untuk Selamanya. Novel dan Film ini mengisahkan perjuangan anak-anak Marching Band (MB) Bontang Pupuk Kaltim tampil selama 12 menit dalam kompetisi Grand Prix Marching Band (GPMB), dan sukses di sepuluh kejuaraan nasional. Agustus 2013 l Kinescope l 7
  • 8. MAGAZINE LaunCh PARTY! august 30th 2013 ATRIUM F3 FX SUDIRMAN Magazine Launching | Talkshow "Peran dan Kontribusi Dunia Seni Dalam Peradaban Bangsa" | Acoustic Live Music | Door Prize KINESCOPE INDONESI A Gedung Graha Utama Jl. Raya asar Minggu KM 21 P Jakarta Selatan Email : [email protected] 8 l Kinescope l Agustus 2013
  • 9. Agustus 2013 l Kinescope l 9
  • 10. COVER STORY Jangan Bersedih mUHAMMAD aDRAI M enurut Danial, film ini memiliki pesan sederhana, yaitu ingin menularkan Virus La Tahzan. Rumput tetangga, terkadang lebih indah dari rumput sendiri. Padahal, dimanapun berada, kemuliaan bakal diraih dengan berkerja keras. Jadi, janganlah bersedih. Kata-kata La Tahzan jadi menemui konteksnya di sini, ujar Danial, sutradara film pendatang baru yang pernah meraih Penghargaan dalam kategori Penulis Naskah Asli Terbaik, di Festival Film Indonesia dan Penghargaan Penulis Skenario Terpuji, pada Festival Film Bandung . Danial menggandeng Joe Taslim, Ario Bayu, dan Atiqah Hasiholan sebagai pemeran utama dalam film ini. La Tahzan sendiri, merupakan film Indonesia yang dibintangi Joe Taslim, setelah ia bermain dalam film The Raid dan dalam film Hollywood berjudul, Fast And Furious 6. Kekuatan akting para pemain film ini juga sangat diperhatikan oleh Danial. Sehingga, film ini bukan hanya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup. Tapi dipadukan 10 l Kinescope l Agustus 2013 dengan potret bulir-bulir kesulitan, frustasi, hingga momen-momen bangkit untuk tidak menyerah yang dapat memberi warna sepanjang perjalanan film.Joe Taslim menyatakan, kalau dirinya menemukan pengalaman yang seru selama syuting, karena film La Tahzan berbeda dengan film-film yang pernah ia bintangi sebelumnya. Genre drama sangatlah baru buat saya. Belajar bahasa Jepang dan memainkan karakter setengah Indonesia setengah Jepang, sangat menantang saya. Tanpa persiapan yang baik akan sangat sulit. Danial Rifki sangat berbakat, with Bayu dan Atiqah sebagai lawan main, saya banyak belajar, tambah Joe. Sementara itu, Ario Bayu mengaku, merasa sangat senang, selama menjalani proses syuting film La Tahzan. It was a super fun shoot! Dengan team yang kita miliki, kita menjadi lebih akrab dan proses shootingnya sendiri, tidak terasa conventional, Ujarnya. Film La Tahzan juga menghadirkan lagu milik Almarhum Ustadz Jefry Al Buchory berjudul Bidadari Surga, menjadi original soundtrack-nya. Majalah Kinescope juga mendapat sedikit penjelasan tentang La Tahzan dari Danial Rifky. Sutradara yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik sebelum masuk Fakultas Film & Televisi Institut Kesenian Jakarta jurusan Penyutradaraan ini menerangkan bahwa ia sendiri merasa beruntung bisa mendapat kesempatan dari Falcon Pictures untuk menggarap cerita hasil pengalamannya bertemu dengan para warga Indonesia yang tinggal di Jepang. Beberapa tahun yang lalu, Danial pergi Jepang menghadiri Festival Film di Kyoto. Film Pendek Tugas Akhir kuliahnya yang berjudul Anak-Anak Lumpur
  • 11. Genre Website Drama www.film2014official.com Production Twitter Pictures Falcon @film2014resmi Director Facebook Danial Rifki Film-2014 Executive Producer HB Naveen / Dallas Sinaga Producer Frederica Production Falcon Pictures Sebuah Film Drama religi, dipersembahkan oleh Falcon Pictures pada Lebaran 2013 ini disutradarai oleh Danial Rifki. Film yang pada awalnya memiliki working tittle Orenji, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi La Tahzan, terinspirasi dari Buku Best Seller berjudul La Tahzan For Student, kumpulan cerita para warga negara Indonesia, pelajar mahasiswa pekerja, yang hidup di Jepang. Co Producer Rina Harahap Cast Joe Taslim Atiqah Hasiholan Ario Bayu Martina Nobuyuki Suzuki Piet Pagau Early Ashy] ewi Irawan Prilly Latu Contina Music Raymondo Gascaro Dono Firman Written Jujur Prananto Sinopsis menang di festival itu. Mereka, orang-orang Indonesia yang tinggal di Jepang, pernah membuat buku berjudul La Tahzan for Student isinya berupa kumpulan cerita mereka yang terinspirasi dari buku motivasi terkenal berjudul La Tahzan. Oleh-oleh dari Jepang itu ia susun bersama Rina Yanti Harahap, co-producer film ini beserta tim kecilnya menjadi sebuah karya tulis cerita baru. Kemudian hasilnya ia bawa ke Jujur Prananto. Selanjutnya cerita ia olah bersama Jujur Prananto. Orangorang Indonesia yang datang ke Jepang terbagi menjadi dua arus, tutur Danial. Pertama sebagai pelajar dan mahasiswa, kedua adalah pekerja ditambah ada orang Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Masing-masing bagian ini mempunyai cerita sendiri-sendiri yang cukup unik. Realita-realita itulah yang kami rangkum menjadi satu cerita. Difokuskan lagi oleh Mas Jujur menjadi sebuah cerita cinta segitiga, tambahnya. Setelah hasilnya terasa cukup baik kemudian mereka ajukan cerita tersebut ke Falcon Pictures yang segera disambut dengan sangat baik. Viona (AtiqahHasiholan) danteman-temannyamendarat di bandara Kansai, Osaka, untuk program belajarsambilArubaito belajar sambil bekerja di Jepang. Viona bertemu Yamada (Joe Taslim), seorang fotografer freelance, yang ternyata mengerti bahasa Indonesia. Hal ini membuat Viona yang merasa asing di Jepang, seperti mendapat sahabat baru. Mereka pun menjadi akrab. Hingga Yamada, yang begitu langsung tanpa basa basi, berterus terang ingin melamarnya. Bahkan Yamada siap pindah agama. Pada persiapan Yamada menjadi mualaf, Viona terusik masa-masa di Indonesia, ketika seorang ibu menitipkan alamat untuk mencari anaknya di Jepang; Hasan (Ario Bayu), teman dekat Viona. Hasan yang selama ini menghindar dari Viona dan keluarga, pergi dengan meninggalkan pertanyaan bagi Viona. Dengan bantuan Yamada, akhirnya Hasan berhasil di temukan di Osaka. Ketika itu, kondisi Hasan sama sekali berbeda. Pada sebuah malam di Osaka Port, Hasan menceritakan semuanya. Kejujuran yang menjawab pertanyaan hati Viona Yamada, Hasan, Viona --- Ketiganya dalam persimpangan memilih agama, kekekasih dan masa depan. Tidak ada yang mudah, namun sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Janganbersedih, diantarasatukesulitanadaduakemudahan. a film by DANIAL RIFKI LA TAHZAN ARIO BAYU / ATIQAH HASIHOLAN / JOE TASLIM / MARTINA / NOBUYUKI SUZUKI / PIET PAGAU / EARLY ASHY / DEWI IRAWAN / PRILLY LATUCONSINA OST. BIDADARI SURGA BYUSTADZ JEFRY AL BUCHORY WRITTENBYJUJUR PRANANTO CO PRODUCED BY RINA YANTI HARAHAP PRODUCED BY FREDERICA EXECUTIVE PRODUCED BY HB NAVEEN DALLAS SINAGA DIRECTED BYDANIAL RIFKI Agustus 2013 l Kinescope l 11
  • 12. STATISTIK filmindonesia.or.id 1 2 892.915 Coboy Junior The Movie 683.144 3 Refrain 280.707 12 l Kinescope l Agustus 2013 7 Cinta Dalam Kardus 212.974 Mika 169.151 9 270.821 5 Sang Kiai Air Terjun Pengantin Phuket 215.161 8 4 308 Data Penonton Cinta Brontosaurus 6 Operation Wedding 153.386 10 219.734 Dead Mine 144.768
  • 13. Agustus 2013 l Kinescope l 13
  • 14. REVIEW Produser Ferri Yuniardo Sutradara Herman Kumala Panca Penulis Herman Kumala Panca Pemeran Iwa K Saykoji Sania MathiasMuchus Ras Muhamad 2014 R icky Bagaskoro (Rizky Nazar) siswa SMA tingkat akhir yg sedang mengalami dilema. Antara mengejar mimpinya jadi pengajar anak-2 terlantar atau harus mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi seorang Politikus. Bagas sendiri adalah seorang ayah yg sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Persaingan menuju kursi kepresidenan sangat ketat antara Bagas Notolegowo, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk menelusuri kasus dan mempertemukan Ricky dengan Khrisna Dorojatun (Donny Damara) seorang pengacara idealis dan bersih yg banyak memenangkan kasus-kasus kemanusiaan. Selain itu Ricky juga mulai dekat dengan Laras (Maudy Ayundya), anak Khrisna Dorojatun. Tak Sempurna 1 1 Juli 2013 akan menjadi tanggal rilis film Tak Sempurna di bioskop seluruh Indonesia, sebuah karya Herman Kumala Panca. Ini adalah film cerita panjang pertama karya Panca, yang sebelumnya lebih banyak berperan sebagai Editor dalam puluhan film, antara lain film Postcard From the Zoo, Babi Buta yang Ingin Terbang, dan Kara Anak Sebatang Pohon yang diputar di Directors Fortnight Cannes 2005. Herman Kumala Panca selaku Pencetus ide, Produser, Sutradara, dan Editor (yang lebih suka disebut Film Designer) berharap film Tak Sempurna akan menjadi sebuah referensi kehidupan. Penulis film Tak Sempurna, Baskoro Adi, yang sebelumnya menulis Hi5teria, dapat meng-intepretasi ide cerita hiphop menjadi struktur skenario secara mudah, karena background sebagai rapper. Film dengan preposisi Film Hip Hop Indonesia pertama ini diproduksi oleh Cineprime Pictures dan Putaar Production. Film ini tidak menceritakan musik hip hop, namun seperti musik hip hop sendiri, dimana hiphoper sering memasukkan teknik sampling dari musik lain, kadang refrain, atau bassline untuk dimasukkan ke musik mereka. Jadi film ini juga semacam mash up kehidupan Jakarta, yang disajikan dengan sarkasme yang kental. Banyak elemen cerita film terinspirasi oleh lagu hip-hop Indonesia era 90an Film ber-genre hiphop dengan sentuhan laga ini akan menceritakan kerasnya kehidupan marjinal di Jakarta, dimana seseorang bisa kehilangan nyawa karena hal kecil, kejahatan bisa terjadi di depan mata, dan kekerasan baik fisik maupun verbal jadi bahasa sehari-hari. Hip hop sebagai kultur, mendidik agar berani, solider, dan tetep tenang menghadapi itu semua. Dibintangi oleh Dallas Pratama, Norman Akyuwen, Mathias Muchus. Serta HipHoper Indonesia: Iwa K, Sania, Derry (Neo), Saykoji, John Parapat (Sweet Martabak), Udjo dan Yossi Project Pop. Film ini turut menampilkan pendatang baru: Reggie Gvoiz (Trigger), Jaydee Soul ID dan Tya Arifin. Something in the Way A Produser Teddy Soeriaatmadja, Indra TamoronMusu Sutradara Teddy Soeriaatmadja, Penulis Teddy Soeriaatmadja, Pemeran RezaRahadian Ratu FelishaRenatya VerdiSolaiman Yayu AW Unru Daniel Rudi Haryanto 14 l Kinescope l Agustus 2013 hmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di Jakarta. Dia kecanduan bacaan maupun video seks, namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak mampu. Yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian di depan televisi, atau lewat masturbasi diam-diam dalam taksinya. Setiap malam, ia sering mendengar komentar rekan-rekannya sesama supir taksi tentang pelacur atau istri mereka. Siangnya, ia rajin mengunjungi masjid, di mana ia belajar tentang pentingnya kesucian, moral, dan Al-Quran. Sepercik harapan tumbuh ketika Ahmadjatuh cinta dengan tetangganya, Kinar (Ratu Felisha), seorang pekerja seks komersial dan menjadi pengantarnya ke tempat kerja. Hubungan mereka sayangnya terhambat oleh mucikari Kinar. Konflik antara seks sebagai produk dan tekanan moral agama membingungkan Ahmad, yang hanya ingin membebaskan Kinar dan dirinya dari hidup penuh moda. Film ini diputar perdana di Berli nale (Berlin International Film Festival) 2013 dalam program Panorama.
  • 15. Kemasukan Setan Produser Iwan Tjokro Saputro Roy A Steven Sutradara Dwi Ilalang E ddy mempunyai hobi cukup aneh: mencari setan dan ingin bertemu dengan setan. Eddy selalu berfikir secara logis dan tidak percaya sekadar omongan. Semua harus dengan bukti nyata. Hampir dua tahun usahanya mencari bukti tentang keberadaan setan selalu menuai hasil nihil. Suatu hari Eddy merasa jenuh. Akhirnya dia memilih jalan ekstrem untuk bisa berkomunikasi dengan mahluk gaib. Penulis Robert Ronny Maruska Bath Dwi Ilalang Pemeran RoziHerdian Gita Sinaga Arick Pramana Daniel ED Rombot Irwan Gardiawan Baron Hermanto Produser M Zainudin Sutradara Muhammad Yusuf Penulis Muhammad Yusuf Pemeran Aldi Taher Vivi Sofia Yofani Farah DibaYofani Gevangenis K isah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Tak banyak yang tahu kalau dalam waktu dekat, sebuah film Indonesia berjudul Gevangenis akan segera tayang di layar lebar. Film yang disutradarai oleh Dwi Ilalang dan dibintangi oleh Rozi Herdian, Gita Sinaga, Arick Pramana, Daniel ED Rombot, Irwan Gardiawan, serta Baron Hermanto ini bahkan sudah merilis trailer mereka. Ada dua trailer yang bisa Criters tonton di bawah ini; Pre-Trailer yang sudah ditonton oleh 55 ribu orang, dan trailer yang baru rilis 17 Oktober lalu. Hingga berita ini diturunkan, trailer penuh film tersebut telah disaksikan oleh 11,749 orang penonton. Gevangenis yang berarti Penjara dalam bahasa Belanda bercerita tentang kisah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Film produksi Humalang ini menawarkan nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia pada umumnya. Film yang naskahnya ditulis oleh Robert Ronny, Maruska Bath, dan Dwi Ilalang ini tak hanya akan menampilkan kisah drama dan action, tapi juga cerita kelam dibalik jeruji penjara dan serbaserbi kehidupan seorang narapidana. Belum ada tanggal pasti mengenai kapan film ini akan rilis. Kalau criters penasaran, bisa langsung follow akun twitter mereka di @GevangenisMovie untuk informasi lebih lanjut. N ing berhenti bekerja di toko pakaian dan pindah ke sebuah tokoh meubel. Pada hari pertama kerjanya, bersama Mur, sopir, ia mengantar sebuah sofa pesanan pelanggan di sebuah desa terpencil lewat jalan pegunungan yang mengular. Di perjalanan Ning menemukan percakapanpercakapan dan perhatian sederhana yang dirindukannya. Terjadilah perselingkuhan di sebuah penginapan. Sementara, di rumah yang terletak di pinggiran kota, Jarot, suami Ning yang penganggur, masih terus senang nonton televisi. Ia kemudian berusaha jual bensin eceran di tepi jalan dan sempat pula pergi ke pelacur. Satu dari 15 film perserta kompetisi Festival Film Locarno kategori Cineasti del Presente (Sineas masa kini). Didukung oleh Swiss Agency for Development and Cooperation dan Hubert Bals Fund. Tayang perdana dunia juga dalam festival itu tanggal 3,4,5 Agustus 2012. Sutradara Yosep Anggi Noen Penulis Yosep Anggi Noen Pemeran Christy Mahanani Muhammad Abe Baasyin Joned Suryatmoko Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya Agustus 2013 l Kinescope l 15
  • 16. RESENSI Sang Kiai | Berbicara tentang proses embuatan p sebuah film yang engangkat m tema ejarah, agama dan s budaya memang memiliki kesulitan tersendiri. Selain keterampilan teknis sinematografis yang harus banyak menyesuaikan ituasi s dahulu dengan kondisi masa kini, ekuatan riset dan kesk esuaian ejarah menjadi hal s yang sangat krusial untuk d iperhatikan oleh pembuat film. Kesesuaian Sejarah, Perjuangan Kemerdekaan dan Teknis Sinematografis Mumpuni Reiza T erkait dengan itu, film Sang Kiai, garapan sutradara Rako Prijanto, banyak mendapatkan pujian sekaligus juga menuai kritik. Seperti misalnya, kesesuaian tokoh KH Hasyim Asyari yang lembut dan tidak keras, sangat bagus diperankan oleh Ikranegara. Kemudian film ini juga berusaha menggambarkan dengan baik peran santri dan pesantren dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Secara umum, film ini memiliki kualitas sinematografi dan visualisasi yang baik. Rako Prijanto dapat dikatakan berhasil menanggulangi kesulitan dalam penyesuaian antara kreasi sinematografis dengan kondisi asli dimasa lalu. Disamping itu, adegan-adegan dalam film ini tergolong dinamis dan tidak monoton. Visualisasi peperangan di Surabaya, ketika pesawat-pesawat sekutu membombardir kota tersebut, juga berhasil ditampilkan ke hadapan mata penonton tanpa harus memperlihatkan rekayasa visual yang terlalu mencolok. Namun kritik terhadap kesesuaian sejarah juga diberikan terhadap film ini. Bagaimana kita dapat melihat kesalahan alur sejarah yang ditampilkan. Seperti misalnya, pidato Bung Tomo dalam menyikapi ultimatum Inggris dimunculkan lebih dahulu sebelum adegan pertempuran Surabaya 10 November 1945. Sedangkan di antara kedua adegan itu, terselip banyak adegan lain yang sebetulnya bukan berada di antara pidato Bung Tomo dan Pertempuran hebat dengan Sekutu tersebut, seperti beberapa pertempuran di bulan Oktober 16 l Kinescope l Agustus 2013 1945 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata yang melibatkan Bung Karno. Ini bisa menimbulkan distorsi sejarah dan pemahaman yang keliru, sebab fakta sejarah mengatakan bahwa pidato Bung Tomo itu dilakukan tidak lama sebelum Sekutu menggempur Surabaya tanggal 10 November 1945. Lalu kita bisa melihat di akhir film ini, terdapat teks yangtentang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda yang terjadi pada tanggal 27 September 1949. Ini sangat berbeda dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Bahwa pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. Namun begitu, film yang berbiaya produksi sebesar 10 milyar ini, yang sudah tayang sejak 30 Mei 2013 ini memberikan pencerahan tentang sebuah penggambaran sejarah yang apik, dan mendidik di tengah gencarnya film-film Indonesia yang saat ini masih dikuasai oleh jenis film yang bertemakan cerita horor, hantu dan kisah percintaan yang klise. Film-film yang bertemakan kisah horor dan hantu itu hanya berputarputar pada penggambaran yang keliru dan dianggap tidak mendidik masyarakat, selain hanya mencari keuntungan komersil. Sama halnya dengan film percintaan klise yang hanya menampilkan romantisme yang kebanyakan hanya mengobral seksualitas dan kisah kesedihan tiada akhir. Film Sang Kiai ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar dalam karir Rako Prijanto, yang banyak dikenal dengan filmfilm bertemakan komedi macam DBijis (2007) dan Malaikat Tanpa Sayap (2012). Menggambarkan seorang tokoh yang tercatat dalam sejarah dan menceritakannya dalam sebuah film memang tidak mudah. Namun kita mencatat beberapa film bertema sama yang sangat bagus dari banyak segi seperti film Tjoet Nja Dhien karya Eros Djarot, Gie (2005), atau yang dianggap sebagai pendahulu film ini, yaitu Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo (2010). Lalu ada juga film Habibie & Ainun (2012) lalu yang menjadi Box Office Indonesia. Walaupun begitu, film ini dianggap masih belum terlalu fokus pada penggambaran KH Hasyim Asyari secara utuh dan terkesan agak melompat-lompat dengan penggambaran karakter tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Berbeda dengan film Sang Pencerah yang dalam penggambarannya terhadap kepribadian dan karakter KH Ahmad Dahlan, terasa fokus dan total selama film berlangsung. Namun tetap saja bahwa kekuatan riset, visualisasi semangat perjuangan kemerdekaan dan teknis sinematografis yang mumpuni dalam film ini patut diacungi jempol dan membuat film ini menjadi patut untuk ditonton, khususnya bagi penggemar sejarah dan penikmat film kolosal.
  • 17. Miracle of Istanbul Will | Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. S ebelumnya, banyak kita temukan filmfilm bertema sepak bola. Jika kita mau menderetkannya, maka akan terdapat puluhan film populer bertema sepak bola. Dari yang bergenre komedi hingga dokumenter. Salah satu di antaranya adalah Will. Film yang bercerita tentang seorang bocah pencinta klub sepakbola Liverpool FC. Film yang dirilis pada 4 November 2011 itu secara detil mengisahkan perjuangan Will Brenan dalam mewujudkan impiannya menonton final Liga Champions Eropa yang kelak melibatkan klub kesayangannya di laga tersebut. Kisah dimulai di sebuah asrama sekolah tempat Will yang yatim karena kehilangan ibunya saat masih kecil, sedang ayahnya juga pergi. Namun tiga tahun setelah meninggalkan Will, Gareth sang ayah datang mengunjungi dan menghadiahinya tiket laga final Liga Final Liga Champions di Istanbul. Dalam pertemuan singkat itu, kedua anak bapak banyak menghabiskan aktivitas seputar sepak bola, entah memainkannya atau mendongeng tentang ayah dan kakek Will yang beruntung menjadi saksi kepahlawanan Kenny Dalglish dalam sebuah final Piala FA melawan Chelsea. Cobaan pertama datang saat Gareth meninggal dan membuat impian Will untuk menyaksikan laga klub kesayangannya menjadi sulit. Seorang anak kecil harus berada dalam dampingan orang tuanya. Namun bantuan dari teman-temannya membuat Will bisa pergi dari asrama beserta dua tiket final dalam kaus kakinya. Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. Meski sulit dan mustahil selalu ada jalan jika ada keinginan yang kuat untuk mewujudkannya. Kesulitan-kesulitan seperti meninggalnya sang ayah, pihak asrama yang melarangnya pergi dan menyimpan tiketnya, serta akhirnya ketika sukses pergi pun ternyata kesulitan lain datang, tiket yang dimilikinya ternyata palsu. Ketiga kesulitan itu seperti tiga gol cepat AC Milan ke gawang Liverpool, hanya keajaiban yang bisa membalikkannya menjadi kemenangan. Nilai-nilai lain yang disampaikan secara gamblang oleh film ini adalah kredo dari Liverpool FC yakni, Youll Never Walk Alone. Benar, Will tidak sendirian dalam mewujudkan mimpinya. Ada teman-teman asrama sekolah yang membantunya keluar, ada Alex Zukic yang membantunya ke Istanbul dari Paris, dan ada suporter juga legenda Kenny Dalglish yang membawanya masuk ke stadion dan menjadi saksi Miracle of Istanbul. Judul Will bisa mengacu pada nama pemeran utamanya pun bisa ditafsirkan sebagai keinginan dari suporter juga dari sebuah klub untuk memenangi apapun yang diimpikan. Baik Will dan Liverpool memiliki keinginan untuk tidak mau kalah. Film berdurasi 1 jam 42 menit ini juga menampilkan bintang-bintang Liverpool FC seperti Steven Gerrard dan Jamie Carragher dalam sekelebat penampilan. Will ringan dan sederhana untuk dinikmati terutama untuk kalangan anak- Aji Wibowo anak. Namun bagi orang dewasa, film itu bisa dianggap biasa-biasa saja jika menilik alur cerita yang mudak ditebak dan klimaks yang ditampilkan. Kenyataannya, film ini juga tidak terlalu meledak dan terkesan kurang terdengar. Film ini semakin menegaskan kesan bahwa film-film bertema sepak bola selalu menunjukkan come back hebat dari para pemeran utamanya dengan hasil akhir menang. Sebut saja Trilogi Goal!, Shaolin Soccer, Bend it Like Beckham, Escape to Victory dan lain-lain. Agustus 2013 l Kinescope l 17
  • 18. OPINI PUBLIK Tradisi Sinema tanpa Industri Sinema Daniel Rudi Haryanto 18 l Kinescope l Agustus 2013
  • 19. A da satu pengalaman membuat dokumenter di Halmahera Utara pada tahun 2003. Di kota kecamatan Tobelo (Sebelum pemekaran seperti sekarang) terdapat sebuah gedung bioskop yang masih memutar film Indonesia. Saya lupa judulnya, tetapi saya ingat pada papan pengumuman gedung bioskop tertempel selembar poster kecil film Indonesia. Pada selembar poster itu terdapat gambar seorang perempuan bergaun merah dengan paha dan dada yang terbuka. Kehadiran saya ke Tobelo waktu itu adalah untuk mengerjakan sebuah riset di bawah naungan UNDP. Topik riset adalah seputar dampak konflik yang terjadi di Tobelo, Galela dan Tobelo Selatan. Dari pengalaman menemukan gedung bioskop di Tobelo itu saya menemukan distribusi film produksi orang Indonesia sampai di wilayah yang sangat jauh dari Jakarta. Pada kesempatan lainnya, pada tahun 2012 di Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Saya hadir di wilayah itu juga untuk mengerjakan sebuah film dokumenter. Saat mampir di warung kopi di pasar Serdang Bedagai, saya mendapati cerita tentang gedung di seberang warung kopi. Menurut beberapa orang tua yang saya temui di warung kopi itu, gedung itu dulunya adalah sebuah gedung bioskop. Nama gedung bioskop itu adalah Admiral?. Orang-orang tua di warung kopi itu kemudian membicarakan film yang pernah mereka tonton. Jaka Sembung dan Si Buta dari Goa Hantu adalah dua tokoh yang mereka ingat. Tentu ini menjadi menarik , karena film yang menceritakan keberadaan dua tokoh tersebut masih membekas dalam ingatan orang-orang tua di warung kopi. Padahal, film tersebut merupakan film yang diproduksi pada tahun 1981 dan 1970. Dalam kesempatan berbincang itu saya menyampaikan pertanyaan, film apa lagi yang mereka ingat? Mereka tidak ingat lagi film apa, sebab tidak ada lagi film Indonesia yang hadir di bioskop tersebut, sejak 1990 an bioskop mulai jarang memutar film dan pada akhirnya tutup, bangkrut. Setiap bepergian ke daerah-daerah di Indonesia untuk membuat film dokumenter, ada kebiasaan saya untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang beberapa hal. Pertama adalah gedung bioskop, kedua adalah film apa yang mereka ingat dan ketiga adalah di mana keberadaan warung kopi Indra Dan Permata Bioskop Indra dan Bioskop Permata terdapat di Jogjakarta. Bioskop Permata terdapat di kawasan Malioboro, sedangan bioskop Indra ada di sekitar wilayah Pakualaman. Keduanya berada di pusat perekonomian Yogyakarta. Saat saya menyambangi bioskop Indra, saya bertemu dengan Pak Sugeng. Ia adalah proyeksionis yang telah puluhan tahun bekerja mengoperasikan projector film. Malam itu saya memperhatikan kegiatan pemutaran film di gedung bioskop Indra. Penonton datang sejak sore. Mereka menunggu jadwal pemutaran dengan duduk-duduk di teras gedung bioskop sambil merokok, minum kopi atau menceritakan film-film yang pernah mereka tonton. Dari beberapa orang yang saya ajak ngobrol, saya tahu mereka datang dari beberapa wilayah, ada dari Bantul, ada dari Patuk. Kedua wilayah itu jauh dari pusat kota. Mereka datang bersepeda ontel. Saat ruang tiket dibuka, mereka satu-satu berdiri antri dan membeli tiket. Harga tiket tidak terlalu mahal. Sekitar 5 ribu rupiah. Seorang teman pak Sugeng bertugas mencatut tiket. Penonton masuk satu-satu. Menariknya, di tahun 2008 itu saya masih mendapati pemandangan yang khas gedung bioskop tanpa AC. Di ruang sinema, dalam suasana gelap, masih dapat ditemukan cipratan korek api, seorang, dua orang, tiga orang pada tempat duduk yang berbeda mulai merokok di dalam ruangan. Mirip dengan pemandangan yang seringkali terdapat di film-film Eropa era 60 an yang masih hitam putih. Film yang diputar malam itu adalah film dari Hongkong, aktornya Andi Lau, judulnya saya sudah lupa. Di Halmahera, Serdang Bedagai dan Yogyakarta saya menyaksikan masyarakat menggemari sinema. Mereka datang ke gedung bioskop, sebagian datang dari tempat yang jauh. Mereka membeli tiket, menonton dan pulang dengan membawa cerita dan kemudian merindukan film baru. Saya menyebutnya sebagai tradisi penonton sinema. Dari Aceh Sumatra hingga Papua, masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi menonton film, baik di gedung bioskop atau di tanah lapang pada acara layar tancap. Mereka mengenal Jaka Sembung dan Si Buta Dari Goa Hantu. Mereka juga mengenal Superman, Agen 007 James Bond atau pendekarpendekar Cina dan Pahlawan-pahlawan film Laga India berikut penari dan penyanyinya. Masyarakat kita mengenal tokoh-tokoh film Jepang dan Korea, juga sebagian tokoh-tokoh film Eropa. Akan tetapi, tradisi sinema di masyakat penonton Indonesia belum mampu terpenuhi oleh film yang diproduksi sendiri oleh orang Indonesia. Hari ini televisi padat oleh tayangan sinetron dan Film Televisi (FTV) akan tetapi bisnis bioskop lokal untuk film buatan orang-orang Indonesia bangkrut, Bioskop 21 dan XXI dapat bertahan dan mengembangkan usaha dari film-film Holywood. Pada kenyataannya budaya sinema terjadi di Indonesia, akan tetapi belum mampu melahirkan sebuah industri, yang dimaksudkan adalah sebuah sistem produksi, distribusi dan eksibisi film Indonesia yang mampu berkelanjutan. Dalam hal ini setiap elemen bisnis perfilman terlibat di dalamnya. Jalan menuju industri film di Indonesia nampaknya masih jauh, bukan karena masyarakat penonton, tetapi karena kesadaran berindustri para pegiat produksi perfilman di Indonesia sendiri belum mampu mengatasi tantangannya sendiri. Quo vadis tradisi sinema di masyarakat yang tanpa sistem industri ini? *penulis adalah Sutradara dan Penulis Skenario Film Dokumenter Prison And Paradise pernah ditampikan pada Asia Pacific Screen Awards 2010. Agustus 2013 l Kinescope l 19
  • 20. FESTIVAL 10 Film Terlaris Korean Selatan 2012-2013 Memberikan Alternatif Tontonan Selama Sepekan Doni Agustan B oomerang Family karya sutradara Song Hae-Sung dipilih sebagai film pembuka. Kami ingin mengenalkan film-film terbaru yang berisi budaya tradisional maupun kontemporer. Kami berharap festival ini akan berjalan sukses dan terus disukai di Indonesia begitu ujar Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Young-Sun, ketika membuka rangkaian kegiatan festival ini di Blitzmegaplex, Grand Indonesia. Duta Besar Korea Selatan juga berharap kegiatan ini akan dilanjutkan secara dua arah. Rencananya September mendatang akan digelar Festival Film Indonesia di Korea Selatan. Pada malam pembukaan juga 20 l Kinescope l Agustus 2013 hadir sutradara dan pemain dari film Boomerang Family, Park Hae-Il dan Yoon Jae-Moon. Festival ini berlangsung di dua site Blitzmegaplex, yaitu Pacific Place, Jakarta dan Paris Van Java, Bandung dan tidak dipungut biaya sama sekali alias gratis. Sepuluh film diputar selama festival berlangsung. Kesepuluh film tersebut antara lain, A Wonderful Moment, Boomerang Family, Deranged, How To Use Guys With Secret Tips, Masquerade, Miracle In Cell No 7, Runaway Cop, Pluto, The Grand Heist dan The Thieves. Semua film yang ditayangkan memiliki genre yang berbeda-beda, mulai dari drama, komedi, hingga genre thriller. Action seru ala The Thieves dan Deranged. Film drama mengharu biru seperti Miracle in Kami ingin mengenalkan filmfilm terbaru yang berisi budaya tradisional maupun kontemporer. Kami berharap festival ini akan berjalan sukses dan terus disukai di Indonesia Kim Young-Sun
  • 21. KFF 2013 | Untuk kesekian kalinya Festival Film Korea (KFF 2013) kembali diadakan oleh Korean Culture Centre (KCC) dan Kedutaan besar Korea Selatan di Jakarta. Festival yang diadakan sejak tahun 2009 ini, digelar selama satu minggu, dimulai pada tanggal 25 Juni 2013 hingga 30 Juni 2013. Boomerang Family Deranged How To Use Guys With 10 Film Terlaris A Wonderful Moment Cell no 7 dan Boomerang Family. Komedi yang siap mengocok perut penonton seperti Runaway Cop dan How to Use Guy with Secret Tips. Serta film peraih banyak penghargaan di Korea seperti Masquerade. Sebelum festival dimulai, calon penonton sudah bisa melakukan pre-booked tiket. Menurut hasil pengamatan, peminat festival film Korea tahun ini sangat banyak, terbukti dari setiap hari menjelang festival, Blitzmegaplex Pacific Place ramai dikunjungi oleh calon penonton. Saat festival berlangsung tiket untuk setiap film bisa diambil dua jam sebelum pemutaran. Itupun banyak sekali penonton yang kecewa karena tidak berhasil mendapatkan tiket A Wonderful Moment Boomerang Family Deranged How To Use Guys With Secret Tips Masquerade Miracle In Cell No 7 Runaway Cop Pluto The Grand Heist The Thieves karena peminat yang begitu banyak. KFF 2013 tidak hanya sekedar memberikan kegiatan menonton film, bagi para peminat film, bisa mengikuti seminar industri perfilman Korea. Pada seminar yang berlangsung pada Rabu 26 Juni 2013 tersebut mendatangkan pembicara pakar industri film langsung dari Korea. Seminar ini diharapkan bisa menjadi forum bertukar ilmu dan pengetahuan film antara Indonesia dan Korea Selatan. Film Miracle in Cell no 7 karya sutradara Lee Kwan-Yeung dipilih untuk menutup kegiatan festival ini, yaitu pada 30 Juni 2013. Masquerade Runaway Cop Pluto Agustus 2013 l Kinescope l 21
  • 22. REVIEW Miracle in Cell no 7 Eksploitasi Keterbelakangan Mental Membawa Kesuksesan Box Office Doni Agustan M iracle in Cell no 7 tidak menuturkan kisahnya sesederhana premis di atas. Ketika Ye-Seung membela ayahnya di pengadilan, penonton sudah tidak lagi bertemu dengan ayahnya. Apa yang terjadi? Itulah kemudian yang menjadi daya tarik film ini. Pilihan alur maju mundur menjadi pengikat dan berhasil membuat penonton bertahan hingga film ini selesai. Dua kisah paralel ditampilkan dalam film ini, masa sekarang dan kembali pada tahun 1997. Yong-Goo hidup bahagia bersama putrinya Ye-Seung kecil (Kal So-Won), meskipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang hampir setara dengan putrinya. Ye-Seung sangat mendambakan untuk memilik tas Sailor Moon berwarna kuning. Tetapi sialnya, satu-satunya tas yang dia dambakan tersebut telah terjual. Suatu hari Yong-Goo melihat seorang anak perempuan seusia Ye-Seung memakai tas tersebut, dia mengikutinya, namun nasib buruk sedang menghampirinya. Tanpa penyebab yang jelas, anak perempuan tersebut tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Yong-Goo yang membantu memberikan CPR justru sebaliknya malah dituduh men- 22 l Kinescope l Agustus 2013 culik dan melakukan pelecehan seksual. Pengadilan memberikan hukuman mati pada Yong-Goo. Satu-satunya yang menjadi pikirannya bagaimana Ye-Seung kecil hidup tanpanya. Saat ayahnya mendekam di penjara, Ye Seung kecil harus tinggal di panti asuhan. Di penjara, YongGoo berbagi sel dengan lima narapidana lainnya. Karakter kelima narapidana ini kemudian menjadi bagian yang memberi warna komedi pada Miracle in Cell no 7. Terutama karakter Yang-Ho (Oh Dal-Su) yang digambarkan sebagai seorang pimpinan gangster yang ternyata tidak bisa membaca. Karena menyelamatkan Yang-Ho dari sebuah rencana pembunuhan, Yang-Ho kemudian menawarkan untuk membantu Yong-Goo dengan cara apapun untuk membalas budi. Bersama keempat narapidana lainnya, Yang-Ho kemudian berencana untuk membuat keajaiban pada hidup Yong-Goo, yaitu bertemu lagi dengan putrinya, Ye-Seung, sebelum hukuman matinya terlaksana. Miracle in Cell no 7 dipilih oleh programmer Festival Film Korea (KFF 2013), Jakarta, yang digelar pada tanggal 25 Juni hingga 30 Juni 2013, sebagai film penutup. Tentu
  • 23. Sutradara Lee Kwan-Yeung Pemain Ryoo Seung-Ryong Park Shin-Hye Kal So-Won Oh Dal-Su Jeong Man-Sik Jun Jin-Young Park Won-Sang Kim Jung-Tae. Yong Goo (Ryoo Seung-Ryong) adalah seorang ayah dengan keterbelakangan mental, yang mencintai putri semata wayangnya. Yong-Goo harus menerima kenyataan dituduh melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan terhadap seorang anak perempuan seusia putrinya dan dikirim ke penjara. Ye-Seung (Park Shin-Hye), putrinya, yang adalah seorang mahasiswa sekolah hukum, berusaha untuk membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah. dengan alasan karena film ini adalah tipe film yang bisa segara membuat penonton tersentuh dengan jalan ceritanya. Selain karena film ini juga meraih pemasukan yang sangat memuaskan ketika rilis di Korea Selatan. Rilis perdana pada tanggal 24 Januari 2013, film ini bertahan hingga Mai 2013, dan meraih pendapatan hingga mencapai 12,32 juta dan menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan bersama The Thieves (2012) dan The Host (2006). Miracle in Cell No 7 memiliki semua faktor untuk sebuah film bisa menjadi box office. Kisah yang menyentuh, pemain-pemain yang ternama dan menjual, akting yang baik dari semua pemainnya serta gambar yang cukup memanjakan mata. Ketika karakter utama pada sebuah film tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya, itu adalah salah satu kekuatan untuk mengikat penonton, membuat penonton berpihak dan menunggu keadilan tersebut terwujud. Hal ini digunakan dengan sangat baik dalam film ini. Yong-Goo harus menerima kenyataan pahit dihukum mati untuk sesuatu yang kemudian kita ketahui bersama tidak dia lakukan. Ditambah lagi dengan keterbelakangannya dalam bertindak dan berpikir, tekanan dari berbagai keadaan yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah serta usahanya untuk bertemu dengan YeSeung. Semua aspek ini memberikan alasan kenapa film ini sangat mengikat penontonnya. Semua pemain bermain dengan sangat baik, terutama Ryoo Seung-Ryong yang berperan sebagai Yong-Goo. Seung-Ryong sukses membuat kita percaya bahwa tingkat kecerdasannya memang tidak berkembang dengan baik. Bahasa tubuh, tingkah laku dan cara berbicaranya terlihat seperti anak-anak, meskipun tidak sebaik yang ditampilkan oleh Sean Penn dalam I am Sam (2001). Hubungannya dengan Ye-Seung kecil yang diperankan oleh pendatang baru Kal So-Won, terasa sekali kedekatan mereka sebagai ayah-anak, perhatikan adegan ketika Yong-Go berhasil kembali bertemu dengan Ye-Seung kecil di penjara, sangat membuat haru dan membuat penonton meneteskan air mata. Hubungan Yong-Goo dan Ye-Seung ini mengingatkan kita pada hubungan antara Sam dan Lucy dalam I am Sam (2001) yang diperankan oleh Sean Penn dan Dakota Fanning. Lupakan penjara yang kumuh dan kejam, pikirkan hanya keberpihakan kita pada YongGoo, dan berdamailah dengan segala hal-hal klise yang banyak terjadi dalam film, dijamin anda akan sangat menikmati film ini. Film ini dengan sangat mudah memanipulasi penontonnya ketika untuk pertama kalinya karakter Yong-Goo diperkenalkan. Eksploitasi keterbelakangan Yong-Goo dengan kenyataan bahwa dia memiliki seorang putri dengan tingkat kecerdasan yang hampir sama, segera mengambil hati semua penontonnya. Satu hal yang agak menganggu dari film ini adalah bahwa nama Ye-Seung disebut hampir di semua adegan film, mungkin nyaris ratusan kali kita mendengar semua karakter dalam ini menyebut nama itu kecuali karakter Ye-Seung itu sendiri. Agustus 2013 l Kinescope l 23
  • 24. HOT ISSUE Perfilman Indonesia Shandy Gasela Membicarakan perfilman Indonesia seakan selalu tak berkesudahan. Hal yang dibicarakan pun sebetulnya itu-itu saja, seperti hal berikut ini yang akan kita bicarakan, bahkan enam puluh tahun yang lalu seseorang yang bergelut dalam dunia perfilman Indonesia, katakanlah wartawan kesenian pada masa itu, pasti sudah pernah membicarakannya. N amun, hal ini akan tetap menarik untuk dibicarakan karena percaya atau tidak permasalahan perfilman Indonesia yang kita hadapi sekarang keadaannya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 1950an. Lalu, orang-orang yang terlibat di dalam dunia perfilman Indonesia selama kurun waktu lebih dari setengah abad itu ngapain aja? Kenapa saat ini keadaan menjadi tak lebih baik? Atau adakah yang berpendapat bahwa keadaannya kini sudah lebih baik? Maaf saja, saya tak sependapat. Film sedari dulu pada awalnya ia diciptakan adalah untuk dagangan, lalu unsur-unsur artistik, estetika, nilai-nilai seni itu kemudian belakangan disematkan padanya. Namun tetap saja pada awalnya dan hingga kini, film akan selalu menjadi produk dagangan terlepas film tersebut memiliki nilai seni atau tidak. 'L'Arrive d'un train en gare de La Ciotat' atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi 'Arrival of a Train at La Ciotat', film bisu yang dipertunjukkan pertama kali pada 1896 berdurasi 50 detik saja yang hanya "bercerita" soal kedatangan kereta api di stasiun La Ciotat karya Lumiere bersaudara diputar keliling di paradeparade sirkus, orang harus membayar untuk menyaksikan pertunjukan gambar bergerak itu. Dari situlah film lalu mendunia dan orangorang berlomba membuat film terbaik mereka -- atau yang terlaku yang bisa mereka buat. Tak seperti negara Amerika, India, Cina, Thailand, Jepang, Korea, Perancis dan sejumlah 24 l Kinescope l Agustus 2013 negara lain yang terkenal akan kualitas film buatan sineasnya masing-masing, dan mampu menjual film-filmnya ke pasar dunia, Indonesia tak terpetakan. Atau bagi anda yang dipenuhi rasa optimisme serta overdosis nasionalisme bolehlah mengatakan "belum terpetakan". Bisa saja anda tak sependapat dan berargumen bahwa sutradara Garin Nugroho terkenal dan telah mengenalkan keindonesiaan kepada dunia khususnya di negara-negara Eropa lewat sejumlah karya filmnya yang selalu diputar dan jadi langganan festival-festival film di sana atau sutradara Edwin yang konon tak kalah populer dengan Lars Von Trier di panggung dunia film, tapi mereka hanya terkenal di kalangan film sendiri, di kalangan penonton film dengan level keakutan yang tinggi. Bagi penonton reguler yang pergi ke bioskop reguler yang memutar film-film Hollywood semisal Ironman, tak ada yang tahu sinema Indonesia. Namun di sisi yang lain, kita tahu sinema India, kita kini menggilai sinema Korea, bahkan kita mengenal Park Chan-wook, sutradara Korea yang tak kalah terkenal dengan (katakanlah) Christoper Nolan. Perfilman Indonesia bisa saja mendapatkan tempatnya di kancah dunia, potensi itu ada sedari awal film 'Terang Boelan' karya Albert Balink dan Wong Brothers dipertunjukkan pertama kali di tahun 1938. Film ini sukses hingga diekspor ke Malaysia dan bahkan meraup untung yang banyak. Namun sayang potensi yang baik itu segera dirusak, diracuni oleh orang-orang yang sama busuknya dengan pejabat dan politikus negeri ini. Bila politikus negeri ini tak mengerti politik serta tak tahu cara menyejahterakan rakyat selain meraup uang sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri, pun begitu yang terjadi dengan para penggiat perfilman Indonesia, banyak di antara mereka yang tak mengerti film namun ingin meraup untung sebanyak mungkin darinya. Ini sudah terjadi di awal sejarah film Indonesia bermula, dan hingga kini keadaan belum banyak berubah. Tak perlulah membicarakan soal pasar dunia, untuk pasar negara sendiri saja perfilman Indonesia belum begitu diperhitungkan. Bagi masyarakat pada umumnya yang menganggap pergi ke bioskop laksana piknik ke taman hiburan, mereka cenderung lebih memilih menghabiskan uangnya untuk membeli satu tiket film aksi Hollywood yang menghibur ketimbang satu film Indonesia yang (katanya) belum ketahuan bakal menghibur atau tidak. Nah, situasi seperti ini siapa yang menciptakan? Bila harus menunjuk batang hidung biang keladinya, saya berani mengatakan bahwa ini ulah para penggiat film sendiri diantaranya para produser, pemilik modal dan sutradara, pemerintah dan pihak bioskop pun sama bersalahnya, diperparah oleh peran media di negeri ini yang tak dapat diandalkan. Kita tak punya media mainstream semacam The Hollywood Reporter, Washington Post yang dapat
  • 25. jadi acuan terpercaya sebelum calon penonton memutuskan hendak menonton film apa di bioskop. Pada tahun 1954 walikota Jakarta, Soediro, mengeluarkan aturan "wajib putar" film Indonesia di bioskop kelas 1 dalam rangka menyikapi gempuran film dari luar khususnya India dan Filipina yang mulai gencar menginvasi bioskop ibukota. Itu pun berkat usaha panjang dari segelintir para penggiat film dan pemerhati kebudayaan khususnya film seperti Usmar Ismail dan beberapa koleganya yang sangat vokal pada masa itu. Jelas bila tak didesak, pemerintah toh ogahan-ogahan campur tangan urusan perfilman negaranya sendiri. Tak seperti negara lain yang ikut memajukan dunia perfilman bangsanya, pemerintah kita hanya mampu mengais pajak dan sok mengatur moral lewat badan sensornya tanpa bisa berbuat apa-apa demi kemajuan perfilman negeri ini. Dan mengharapkan pemerintah ikut andil memajukan perfilman Indonesia itu ibarat mengaharapkan hujan salju untuk turun di kota Jakarta. Mari kita lupakan saja anganangan muluk itu. Di lain pihak, bioskop sebagai penjaja film patutlah juga ditunjuk batang hidungnya. Dan kita sama-sama tahu bioskop yang dimaksud adalah bioskop yang biasa kita datangi di lantai paling atas di setiap mall yang ada di segala penjuru kota negeri ini. Pihak bioskop selalu mengklaim bahwa mereka adalah "etalase" pertunjukan film dan menurut mereka masyarakat sendirilah yang menentukan pilihan tontonannya. Padahal nyatanya mereka sangat mempengaruhi pilihan penonton. Film Hollywood, Bollywood, bahkan Korea sekalipun yang kita tonton di bioskop telah terlebih dahulu "dikuratori" oleh pihak bioskop. Bila mereka pikir filmnya menjual maka mereka beli lalu ditayangkan. Perlakuan ini tak terjadi pada film Indonesia. Untuk film Indonesia, pihak bioskop bertindak bak pemilik warung yang dititipi roti tanpa mau tahu roti yang mereka jajakan itu sudah busuk, kadaluarsa, atau bahkan tak layak dimakan. Pihak bioskop turut andil membentuk selera penonton kita, dan itu tak terbantahkan. Dan semestinya mereka membeli film Indonesia dari tangan produser, dan hanya lewat sistem ini maka film-film Indonesia yang tayang adalah hasil kurasi, maka tak sembarang film Indonesia bisa tayang di bioskop, hanya yang berkualitas baik saja. Jadi, sutradara seperti Demian Dematra, Boy Rano, Shakuntala, Nayato, Yoyok Dumprink, Nuri Dahlia, tak bakal sering-sering membuat film. Film yang laku itu adalah film yang disukai penonton. Film 'The Host' dari Korea bisa diputar di bioskop Indonesia karena film itu laku luar biasa bahkan box office di negera asalnya sendiri. Selain laku film itu pun baik secara kualitas. Indonesia memiliki 'The Raid' yang juga mendunia, walaupun film ini disutradari oleh seorang bule. Sayang, kita baru punya 'The Raid' saja, tak seperti negara Korea atau Thailand misalnya yang konsisten mengekspor film-filmnya dengan tetap menjaga kualitas mutu. Setelah kesuksesan 'The Host' kita masih dapat menikmati sederet film lainnya seperti 'Hello Ghost', 'The Thieves' dan yang baru-baru ini tayang 'Miracle in Cell No. 7'. Semestinya 'The Raid' bisa jadi barometer film aksi, dan lambat laun selera penonton akan film-film yang baik dapat terbentuk. Namun apa yang terjadi? Selepas 'The Raid' mendunia pun kita masih berjumpa dengan poster film konyol semisal 'Pokun Roxy', 'Kembalinya Nenek Gayung', 'Im Star' di etalase bioskop. Para sineas pembuat film yang saya sebut tadi jelas tak merasa tersaingi dan merasa sebodo amat ketika melihat sesama koleganya membuat film yang baik. Pada tahun 50an kita memiliki Usmar Ismail yang tak main-main ketika membuat film. Namun, di tahun itu pula para produser keturunan Tionghoa mulai menghancurkan industri film Indonesia di usianya yang masih belia. Produser-produser keturunan Tionghoa ini memproduksi film dengan bujet yang rendah dalam tempo sesingkat-singkatnya demi mendapatkan keuntungan yang banyak. Hal tersebut tentu saja mengakibatkan mutu film yang diproduksi menjadi buruk tak terkira. Bila dulu perfilman Indonesia diracuni para produser keturunan Tionghoa, kini selera penonton kita didikte oleh para produser keturunan India semisal KK Dheeraj. Dulu, para sineas yang idealis seperti Usmar Ismail jadi terjepit, karyanya berada di bawah bayang-bayang sejumlah film bikinan produser keturunan Tionghoa pencari untung semata itu. Kini, para sineas idealis era sekarang pun seperti Edwin, Mouly Surya, pendatang baru Dirmawan Hatta, dan beberapa nama lain, tak bernasib lebih baik ketimbang Usmar Ismail pada zamannya. Sejak kemunculan 'Petualangan Sherina' lebih dari satu dekade lalu, negeri ini sesungguhnya mendapatkan pengharapan baru, juga talenta-talenta sineas baru yang hebat. Sineassineas baru nan muda inilah yang sejatinya dapat membentuk selera pasar yang baik. 'Ada Apa Dengan Cinta' yang rilis pada 2002 karya Rudy Soedjawro sukses luar biasa. Film ini disukai penonton, dan tak hanya itu, film ini pun baik secara kualitas. Sayang, momentum baik ini dilihat dengan cara yang picik oleh mata para pedagang berkedok produser film. Lalu tiba-tiba saja seorang Rudy Soedjarwo sutradara 'Ada Apa Dengan Cinta' yang fenomenal itu diproduseri Leo Sutanto membuat film 'Mendadak Dangdut' dalam tempo tujuh hari syuting, dan lama-lama makin banyak yang mengikuti cara "syuting serampangan"-nya itu, Nayato salah satunya. Tentu saja output film dari cara kerja serampangan itu tak kan berakhir baik walaupun tetap menjual dan mampu menuai profit, namun penonton kita dicemari dan lama-lama terkondisikan selera tontonannya. Jangan heran bila ada yang menonton film 'Surat Kecil Untuk Tuhan' hingga sampai tiga kali berturut-turut di bioskop dan mengang- gapnya sebagai film yang menginspirasi. Di tangan para pedagang seperti KK Dheeraj yang terakhir memproduksi 'Jokowi', film jadi kehilangan esensinya. Ia dan sejumlah koleganya berkontribusi banyak menanam citra film Indonesia yang buruk ke benak penonton. Seperti di tahun ini misalnya, ada beberapa film baik dari beberapa sutradara baik yang luput mendapatkan perhatian. Film-film baik ini jeblok di pasaran. Masyarakat ogahan-ogahan untuk menonton karena mereka tak mau berspekulasi. Tahun lalu kita memiliki 'Habibie & Ainun', film yang baik secara kualitas dan mengesankan dalam menoreh raihan jumlah penonton. Tahun ini KK Dheeraj membuat 'Jokowi' yang dimaksudkan mengikuti kesuksesan 'Habibie & Ainun', namun ia beserta pembuat film di belakangnya lupa diri bahwa mereka bukanlah sineas yang baik -- sejauh ini. Filmnya buruk walau harus diakui 'Jokowi' ini memang tak seburuk film-filmnya yang terdahulu seperti 'Mr. Bean Kesurupan Depe' dan ke-30 filmnya yang lain. 'Cinta Brontosaurus' arahan Fajar Nugros dan diproduseri oleh Chand Parwez Servia adalah film dengan raihan jumlah penonton terbanyak tahun ini. Kontras dengan kesuksesannya di tangga box office, film ini buruk secara kualitas -- dibuat dengan production value yang mengerikan, skrip yang lemah juga di beberapa departemen lain. Dan entah bagaimana cara yang tepat untuk mengatakan ini: para sineas di belakangnya tak lebih baik dari seorang KK Dheeraj. Bila penonton kita ternyata menyukai suguhan buruk seperti 'Cinta Brontosaurus', mungkin itu lah hasil tempaan terus menerus dari begitu banyaknya film Indonesia buruk yang dijajakan di bioskop kita. Sebagian orang berpendapat bahwa film itu cuma soal selera. Satu pendapat negatif soal sebuah film dari seorang kritikus bisa jadi itu cuma gambaran selera si kritikus itu seorang diri. Namun bila sepuluh orang kritikus memberikan pendapat negatifnya terhadap sebuah film, maka telaklah film itu memang buruk. 'Cinta Brontosaurus' bila ditelaah oleh sepuluh orang kritikus, setidaknya delapan diantaranya akan memberikan penilaian negatif. Dan ini sudah saya buktikan. 'Cinta Brontosaurus' ini menarik sekali dan karena itu saya jadikan sample yang tepat sebagai ilustrasi bahwa film yang buruk ternyata bisa juga disukai oleh penonton. Hal yang lumrah. Namun sebagai seorang sineas -- seorang seniman, bukankah mencipta masterpiece adalah angan-angan yang selalu ingin dicapai? Mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya tentulah menjadi impian semua produser film, juga sutradara yang membantu mewujudkannya. Namun alangkah jahatnya bila film itu dibuat tanpa kesungguhan dan dengan cara yang tak benar, seperti penjual gorengan yang menambahkan boraks dan zat pewarna tekstil pada adonannya, membahayakan jiwa bila dikonsumsi secara terus menerus. Agustus 2013 l Kinescope l 25
  • 26. HOT ISSUE Industri Film Indonesia Di penghujung tahun 2011, sineas dan pelaku industri film di Asia Tenggara berkumpul dalam Festival Film ASEAN. Salah satu bahasan utama dalam acara itu adalah bagaimana mencari solusi atas nasib indutri film di negaranegara ASEAN yang terus terpuruk dan kalah bersaing dengan produk film-film Hollywood. syakib gumanti 26 l Kinescope l Agustus 2013
  • 27. P ara sineas film Asia Tenggara ini memiliki ramai penonton, maka film itu akan terus tayang. kekhawatiran yang sangat besar akan nasib Kalau filmnya dianggap sepi, biasanya dua hari masa depan industri film mereka. Kegelisa- sudah hilang, jelasnya. han terbesar adalah para anak-anak muda Dari dua pendapat tersebut, terlihat bahwa di Negara mereka seakan menjauhi film-film prioritas membangun industri film di Indoneproduksi dalam negerinya. Kami gelisah akar sia masih pada tahap bagaimana menciptakan kebudayaan kami akan hilang, ujar Jose Miguel profit atau keuntungan sebesar-besarnya. Lalu De La Rosa dari Filipina. dukungan negara yang lemah dan cenderung Jose mengatakan lima tahun sebelumnya, tidak peduli. Hal ini bisa menjadi berbahaya negaranya sanggup menciptakan ratusan film, bagi industri film Indonesia. Bahwa peningkatan Namun kini kita hanya bisa memproduksi pulukualitas akan menjadi kesulitan tersendiri di han film, ujarnya. samping melakukan promosi industri film. DitamLalu bagaimana dengan kondisi industri film bah dengan tidak adanya kebijakan Negara yang di Indonesia? Sineas film Indonesia mengamini khusus mengatur tentang itu, sehingga industri hal serupa. Bahkan permasalahan dalam industri film Indonesia seolah berjuang dan bergerak film di Indonesia sangat parah. Aktor senior Dedy sendiri bertarung dengan ekspansi besar film-film Mizwar mengatakan industri film di Indonesia luar negeri yang mendesak pasar dan industri film dipaksa untuk berjalan sendiri tanpa panduan dari dalam negeri terus menerus. pemerintah. Lain lagi apa yang dialami oleh Luna Maya. ArTidak ada peran negara disini, ujar aktor tis yang juga sedang merambah profesi sutradara senior yang baru saja terpilih sebagai Wakil dalam film Pintu Harmonika ini, mengungkapkan Gubernur Jawa Barat ini. Industri film akan tetap kekecewaannya akibat gagal melakukan kegiatan berjalan. Namun jika tidak didukung oleh pemernonton bareng dengan penggemarnya karena intah, maka akan begini-begini saja, tandasnya. filmya sudah tidak tayang lagi. Menurut Dedi, sampai saat ini belum ada poPadahal saya membuat film ini untuk memlitical will yang baik dari pemerberikan edukasi, sosialisasi intah untuk mengangkat industri serta bukti bahwa film produksi Peran Negara, film Indonesia ke jenjang yang seperti di India dan lokal tidak kalah dengan lebih baik. Industri film Indonesia produksi luar negeri, jelasnya Korea Selatan, memang tetap berjalan, namun konferensi pers. sangat aktif dalam dalam sebuah bila dibandingtanpa arah yang jelas. Yah, Memang, membantu industri kan dengan Korea Selatan, beginilah kondisinya, ujarnya film di negaranya. industri film Indonesia sangat sambil seolah putus asa. Ia juga mempertanyakan Sementara kita disini jauh tertinggal. Data tahun ketika industri film berada di harus bersaing dan 2007 menunjukkan film Indobawah Kementerian Pendidikan office US$ berjibaku sendirian nesia mencapai box ternyata Nasional, tidak ada satu orang 100 juta. Jumlah ini melawan film-film hanya 2 persen dari yang perpun yang paham akan dunia film Hollywood yang di Kementerian tersebut. Kan nah dicapai oleh film-film India. lucu, industrinya film, tapi tidak Membaca kondisi di atas ditunjang dengan diurus oleh mereka yang paham muncul pertanyaan, bagaimana modal produksi soal film itu sendiri, tegasnya yang sangat besar, film Indonesia akan menjadi sambil tersenyum. tuan rumah di negeri sendiri -Andibachtiar YusufSementara itu, Andibachtiar jika tidak ada perlindungan dan Yusuf, sutradara film Hari Ini kebijakan yang berpihak pada Pasti Menang, mengatakan bahwa bila dilihat mereka? Banyak praktisi dan pengamat film mendengan negara asia lainnya, seperti Korea Selatan, gatakan, sebetulnya untuk menjadikan film Indomaka industri film Indonesia saat ini sudah sangat nesia bisa berbicara banyak di dalam negeri, juga jauh tertinggal. Padahal Indonesia yang memiliki luar negeri, tidaklah sulit. Seperti yang dikatakan sejarah panjang dalam dunia perfilman, seharusn- Dedy Mizwar, hanya dibutuhkan political will dari ya sudah unggul di Asia. pemerintah untuk menciptakan kondisi itu. Peran Negara, seperti di India dan Korea Memang, persoalan masa tayang film di Selatan, sangat aktif dalam membantu industri bioskop sepertinya tidak bisa dilepaskan kepada film di negaranya. Sementara kita disini harus bermekanisme pasar saja. Harus ada peran pemersaing dan berjibaku sendirian melawan film-film intah dan visi yang jelas, untuk mengembangkan Hollywood yang ditunjang dengan modal produksi industri film Indonesia. Selama itu tidak ada, yang sangat besar, ujarnya. maka jangan berharap Industri film Indonesia Ia mencontohkan bahwa tidak ada aturan akan mampu berbicara banyak, walaupun di yang mengatur dan membatasi lama tayang dalam negerinya sendiri. sebuah film Indonesia di studio atau bioskop. Adanya dukungan dari pemerintah dan Padahal menurutnya, aturan ini akan melindungi instansi terkait, sebetulnya sudah bisa menghapus industri film Indonesia. Andibachtiar juga menduapertiga kemelut yang terjadi dalam industri contohkan bagaimana di Korea Selatan dan India, film itu sendiri. Sayangnya, itu belum terjadi. film-film lokal di sana memiliki aturan tentang Bahkan ada paradigma bahwa kondisi industri film maksimal waktu tayang, yaitu maksimal selama nasional dibiarkan untuk selalu berada dalam podua minggu. sisi seperti itu, justru untuk kepentingan ekonomi Disini kan tidak ada. Kalau filmnya dianggap sebagian pelakunya. Agustus 2013 l Kinescope l 27
  • 28. HOT ISSUE mUHAMMAD aDRAI 3 Juni 2013. Dewan Kesenian Jakarta dan Jakarta Media Syndication mengadakan pemutaran perdana film dokumenter karya Tino Saroengallo berjudul Setelah 15 Tahun di gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. 28 l Kinescope l Agustus 2013
  • 29. Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari film ini berdasarkan pandangan para narasumber Reformasi tahun 1998 hanya menurunkan Soeharto dan bukan membersihkan sebuah rezim yang dinamakan rezim Orde Baru di seluruh sektor pemerintahan. Para mahasiswa tidak siap dengan kenyataan bahwa pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto secara tiba-tiba mengundurkan diri. Mereka tidak menyangka Soeharto akan mundur dan secepat itu. Saat Soeharto turun, mahasiswa tidak memiliki agenda menghadapi kenyataan tersebut. Gerakan mahasiswa tahun 1998 ibarat para ksatria datang, menumpas raja yang zalim, setelah itu para ksatria langsung pergi meninggalkan kerajaan yang kosong seolah-olah tidak ada urusan lagi di situ. Kemudian kerajaan tersebut diisi kembali oleh kroni-kroni dari rezim raja yang lalim. Mahasiswa tidak lagi memiliki tujuan atau cita-cita bersama setelah Soeharto turun. Pasca Reformasi yang berhasil diraih hanya kebebasan berpolitik, kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan mendapatkan informasi. Sisanya sama saja bahkan semakin memburuk. L ayaknya pemutaran perdana sebuah film, penonton yang datang cukup mengisi registrasi di buku tamu. Begitu masuk ke dalam gedung, para tamu yang datang disediakan jajanan pasar seperti bajigur, ubi rebus, singkong rebus, kacang rebus lengkap dengan gerobaknya. Suguhan yang unik dan sangat merakyat. Di website Dewan Kesenian Jakarta, kita bisa melihat sinopsis film ini yang berisi tentang evaluasi perjalanan Reformasi, hasil Reformasi sampai dengan tahun 2012, dengan cara mewawancarai mantanmantan aktivis 1998, anggota masyarakat dan mahasiswa saat ini. Selain wawancara, film ini juga menampilkanfootageterkait pergerakan pada masa Orde Baru yang dulu dilarang tayang di media massa. Misalnya Peristiwa Gejayan. Kalau film Tragedi Jakarta 1998 (Student Movement in Indonesia) didedikasikan bagi korban Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I maka film Setelah 15 Tahun... didedikasikan untuk Moses Gatotkaca (korban Peristiwa Gejayan) dan Yun Hap (korban Tragedi Semanggi II). Mereka mewakili banyak korban lain selama masa Orde Baru. Tepat pada pukul 19:30 WIB penonton masuk ke dalam ruang pertunjukan. Di awal film ditayangkan, layar masih hitam. Terdengar suara anak kecil berkata, menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Para hadirin diminta berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua lampu dimatikan. Para penonton menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh khidmat. Suatu rutinitas yang hampir tidak pernah kita lakukan lagi selepas sekolah. Momen yang sungguh sangat menggetarkan hati dan menumbuhkan kembali spirit nasionalisme. Kemudian film muncul dengan gambar cuplikancuplikan demonstrasi mahasiswa tahun 1998, TNI dan POLRI (dahulu ABRI) yang memegang senjata, kerusuhan pasca penembakan di Universitas Trisakti, Tragedi Semanggi dan pidato pengunduran diri Soeharto, diiringi lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Soed. Sebuah intro yang membawa pesan sangat jelas untuk para penonton. Kemudian Tora Sudiro muncul memandu cerita dari satu bagian ke bagian yang lain. Adegan pun bergulir dari satu wawancara ke wawancara yang lain. Narasumber yang diwawancara beraneka ragam. Antara lain dosen, politikus, mantan aktivis, pembuat film, keluarga korban Tragedi Semanggi, wartawan, pustakawan, mahasiswa, karyawan sampai pedagang.Para narasumber memberikan komentarnya masing-masing mengenai peristiwa Reformasi 1998 dan kenyataan yang terjadi setelah Reformasi. Agustus 2013 l Kinescope l 29
  • 30. HOT ISSUE Dari keseluruhan film, benang merah yang dapat dilihat antara lain adalah sebuah pertanyaan, apakah Reformasi gagal? Beberapa pernyataan dari narasumber yang cukup bisa membuat terhenyak, Dulu ada aliansi bubarkan Golkar. Sekarang aliansinya bubar, Golkarnya nggak. Bahkan orang-orang aliansi masuk ke GolkarWartawan Pecahan Golkar itu banyak. Ada Hanura, Gerindra, dan Nasdem. Jadi ya kalau 2014 isinya mereka ya campur semuanya Dosen, Ekonom Mudah-mudahan dengan menonton film ini masyarakat bisa disembuhkan dari penyakit lupa dan kembali berupaya menegakkan cita-cita Reformasi. Hari Selasa, 18 Juni 2013, Kinescope mendapat izin dari Tino Saroengallo untuk mewawancarai beliau mengenai filmnya Setelah 15 Tahun yang baru saja ia luncurkan pada awal bulan Juni yang lalu. Berikut ini wawancaranya. Selamat atas peluncuran perdana film Setelah 15 Tahun Kapan screening lagi? Saya belum tahu. Sejauh ini belum ada lagi. Saya maunya lebih untuk ke mahasiswa. Tapi jangan asal screening. Saya pun juga tidak mau royal seperti film saya yang sebelumnya (Student Movement In Indonesia: They forced them to be violent, 2002). Sekarang saya mau coba, bisa atau tidak penonton Indonesia mengapresiasi film dokumenter? Bentuk apresiasinya seperti apa? Kami yang shooting, kami yang punya ide, kebetulan idenya kontroversial, kemudian kami yang berani pasang badan, mereka ada tidak apresiasinya untuk itu? Dan ini sejarah. Anda apresiasi sejarah negeri anda sendiri atau tidak? Siapa lagi yang buat sejarah Reformasi dalam bentuk film? 30 l Kinescope l Agustus 2013 Kalau begitu apa yang bedakan film Student Movement sama film Setelah 15 Tahun.. dari segi eksebisi? Waktu film Student Movement saya royal, siapa aja yang mau ambil silahkan. Yang datang nonton film itu, saya kasih saja dvdnya. Sekarang tidak. Itu kaitannya lebih kepada saya sebagai pembuat film. Sudah waktunya mendidik apresiasi penonton Indonesia terhadap film dokumenter. Seperti contohnya, ada satu kelompok cendekiawan. Kami bertemu di hotel, ada yang minta film ini diputar. Saya bilang, oke nggak ada masalah. Tapi saya minta nanti setiap panitia dan penonton membayar lima puluh ribu rupiah. Kalau mengundang seratus orang ya tinggal dikalikan aja dan uang itu. Terus terang saya lagi mengumpulkan uang untuk saya bisa pasang film ini ke bioskop. Kayak buang batu ke laut, man. Abis itu nggak nyaut lagi tuh orang. Asyik nggak tuh republik lu ini? Ada juga kelompok nirlaba di luar kota, begitu juga. Oke, tidak ada masalah.. intinya, akan dikirim dan ada yang mengawal film itu, tapi tolong panitia membayar pengawalnya. Buang batu ke laut lagi. Saya tidak mencari untung. Saya hanya minta akomodasi orang yang mengawal film ini termasuk penginapan. Itu saja. Dan sebenarnya, saya pun nggak terlalu hirau. Karena target saya memang mau pasang di bioskop. Saya sendiri lagi mengumpulkan uang. Kerja lagi, nabung lagi sampai saya bisa bikin 5 sampai 10 copy. Dvd sudah ada beberapa yang menawarkan, tapi saya ingin film ini masuk bioskop dulu. Ada rencana untuk dibawa ke festival? Ke FFI mungkin. Atau yang di Jogjakarta. Atau dimana lah. Sudah sempat saya kirim ke Denmark, sih. Tapi saya masih belum pikirkan akan kirim kemana lagi. Karena isyunya tidak seperti Student Movement yang global. Isyu di film ini lebih cocok hanya untuk di negara Indonesia. Tapi itu nanti lah, yang saya harapkan sekarang ini bisa ke bioskop dulu. Targetnya mudah-mudahan tanggal 17 Agustus bisa tayang di bioskop, kemudian mudahmudahan dvdnya keluar tanggal 13 November bertepatan dengan peristiwa Semanggi 1. Gejalanya sekarang, anak muda yang umurnya 24 tahun atau yang lebih muda tidak tahu banyak tentang peristiwa Reformasi 1998. Iya. Karena di sejarah di sekolah kan belum ada banyak pelajaran tentang itu. Di sekolah mungkin gaungnya masih lebih banyak tentang Soeharto daripada Reformasi. Nah, itu yang ironis kan. Jangan mentang-mentang kejadiannya dekat, kalau kita ngomong 15 tahun.. itu sama saja orang pada tahun 1960 sudah tidak mengerti apa yang terjadi di tahun 1945. Sama persis. Orang kelahiran
  • 31. tahun 1950 tidak tahu apa-apa tentang tahun 1945, dianggapnya Indonesia selalu merdeka. Benar nggak? Sekarang banyak anak yang merasa kalau kita mau maki pemerintah kita biasa-biasa saja, bebas-bebas aja. Coba itu terjadi disaat sebelum Reformasi, belum tentu kan? Nah, apresiasi terhadap sejarah itu yang cukup menyedikan. Kalau ketika saya buat film Student Movement itu, saya mikir, selama puluhan tahun saya dibohongi sama angkatan 1945, atau sama mereka yang mengklaim dirinya angkatan 1945. Oh, pahlawan jaman dulu. Saya buat lah Student Movement karena membuat rekamannya memang sudah memungkinkan. Dulu kan tidak memungkinkan. Ternyata setelah Student Movement pun orang juga sudah lupa kan? Tidak tahu juga, tidak ingat juga.., bahkan ada sebagian kecil dari pelaku reformasi ada yang tidak tahu diri. Seperti yang anda bilang, anak umur 24 tahun ke bawah juga sudah tidak mengerti. Karena ketika itu terjadi dia umur berapa? Masih 9 tahun.. Mengingat Soeharto yang mengundurkan diri, mahasiswa yang bergerak di jaman reformasi tidak bisa klaim telah menurunkan Soeharto dong? Lho. Soeharto turun karena didesak oleh mahasiswa kan? Tapi kalau kita bilang benar-benar itu gerakan mahasiswa, itu sama naifnya seperti kalau ada yang bilang tahun 1966 itu akibat gerakan UI dan ITB. Tidak ada gerakan mahasiswa yang bisa sukses kalau tidak didukung oleh sekelompok elit yang memang tidak menyukai lagi pemerintahan yang berkuasa. Mau itu elit militer atau elit sipil. Dan itu yang terjadi di jaman Soeharto terakhir kan? Ada gerakan muda tentara juga yang antara lain, kalau saya tidak salah ingat itu namanya Jenderal Agus Wirahadikusumah, almarhum. Dia termasuk Jenderal pembaharuan. Dia sebeulnya pada jaman Soeharto sudah melancarkan juga gerakan-gerakan pembaharuan itu. Dia meninggal karena jantung. Nggak jelas. Ketika dia bilang akan umumkan keuangan militer TNI, tidak lama kemudian lewat dia. Tiba-tiba jantung. Padahal masih muda. Dibawahnya Prabowo. Artinya, maksud saya, pasti ada elit disitu yang bermain. Tidak mungkin hanya mahasiswa doang. Begitu lho. Dan apa yang dikatakan oleh Faisal Basri di film ini benar. Soeharto mundur, oke. Dia tidak diturunkan. Dia mundur untuk melindungi rezimnya. Kalau Soeharto waktu itu bersikeras, akan terjadi benturan kelompok. Dia mundur. Nah, orang-orang langsung euforia, dikirain sudah menang. Nggak tahunya rezimnya sudah disiapkan untuk tetap berkuasa. Birokrasi tetap sama. Menyangkut Student Movement: They Forced Them To Be Violent? Yang tadi saya bilang. Saya merasa dibohongin sama orang-orang yang mengaku pahlawan itu. Ternyata korupsi semua. Yang angkatan 1966 lah.. yang apa lah.. Ternyata semua jadi kroninya Soeharto. Kebetulan saya kerja di TV Jerman. Saya di lapangan terus. Ya, sekalian aja saya bawa kamera. 80 persen di film Student Movement itu saya yang ambil gambarnya. Gimana awalnya bisa sampai muncul gagasan untuk membuat film Setelah 15 Tahun? Sebenarnya saya mau rilis ulang film Student Movement. Terus ada yang nyeletuk, kenapa nggak buat aja yang baru sekarang udah 15 tahun, apa yang terjadi? Kan biasa tuh kita ngobrol, ada aja yang nyeletuk. Terus kepikiran. Mulai tanya. Ternyata begitu ketemu orang, tanya-tanya, berkembangnya menjadi sangat menarik. Pernyataan-pernyataan mereka sangat menarik. Mereka kawan-kawan saya waktu tahun 1998, walaupun bukan responden saya, tapi saya tahu mereka adalah simpul-simpul yang penting. Shooting di tiga kota. Jakarta, Makassar dan Jogjakarta. Saya sendiri yang berangkat ke luar kota. Shooting dengan komunitas di Makassar dan Jogjakarta. Kenapa di tiga kota itu? Waktu itu kan awal munculnya kekerasan di daerah Solo, Jogjakarta dan Makassar. Benturan pertama di tiga tempat itu sebelum muncul kekerasan di Jakarta. Kalau sekarang mungkin sih biasa saja. Tapi pada waktu itu ada mahasiswa berbenturan dengan aparat di jaman Orde Baru itu dahsyat! Kemudian ada juga footage yang kami ambil dengan mengirim orang ke Lapindo-Sidoarjo. Alasan memilih Tora Sudiro untuk jadi pemandu cerita? Sebagai penetral. Dia orang yang tidak terlalu serius dan dia mewakili generasinya. Pada waktu kejadiannya sendiri pun Tora tidak ada di Indonesia. Tidak ada hal yang berat sih. Tadinya kepikiran Lukman, atau angkatan mereka lah. Akhirnya ya sudah sekalian aja saya tabrakin. Kalau misalnya Lukman, orang sudah bisa menerima karena itu film serius. Atau kalau itu mas Slamet Rahardjo, misalnya. Kalau yang ngomong itu sejarawan kan biasa. Ya Tora saja lah.. itu kan juga milik semua orang. Bahwa seseorang seperti Tora Sudiro pun yang katanya dianggap hanya tahu senang-senang punya hak untuk berbicara soal itu. Judul Setelah 15 Tahun.. Sutradara ino Saroengallo Produksi Jakarta Media Syndication Tema Peringatan 15 tahun Reformasi 1998 Isi Evaluasi perjalanan Reformasi, hasil Reformasi sampai dengan tahun 2012, dengan cara mewawancarai mantan aktivis 1998, anggota masyarakat dan mahasiswa saat ini. Apakah Reformasi gagal? Durasi 93 menit. Format Digital Video Masa Produksi Desember 2012 Mei 2013 Lokasi Syuting Jakarta, Jogjakarta, Makassar dan Surabaya Catatan Produksi film ini bisa terlaksana karena bantuan teman-teman komunitas film di Jakarta, Jogjakarta dan Makassar yang membantu syuting maupun editing secara pro bono. Agustus 2013 l Kinescope l 31
  • 32. SPOTLIGHT There is no glory in war! Battle of Surabaya | Titik cerah animasi Indonesia bersinar dari Yogyakarta. Battle of Surabaya, Film Animasi 2D pertama di Indonesia Produksi MSV Pictures/STMIK AMIKOM YOGYAKARTA ini akan segera dirilis di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. D emi menghasilkan film yang berkelas Hoolywood, perusahaan ini memberangkatkan crew Film Battle of Surabaya menuju ke kota Surabaya guna mendapatkan referensi untuk kebutuhan dalam pembuatan film ini. Tempat yang dikunjungi oleh crew film ini diantaranya Museum Surabaya, Hotel Majapahit (dahulu bernama Hotel Yamato), Jembatan Merah dan tempat bersejarah lainnya di Surabaya. Sinopsis Film Battle of Surabaya menceritakan petualangan Musa, remaja tukang semir sepatu yang menjadi kurir bagi perjuangan pejuang arek-arek Suroboyo dan TKR dalam peristiwa pertempuran dahsyat 10 November 1945 di Surabaya.Cerita dibuka dengan visualisasi dahsyat dari pemboman kota Hiroshima oleh Sekutu yang menandakan menyerahnya Jepang. Indonesia merdeka, itu yang kudengar dari RRI, Jepang menyerah!! kata Musa. Tetapi langit Surabaya kembali merah dengan peristiwa Insiden Bendera dan kedatangan sekutu yang ditumpangi oleh Belanda. Belum lagi gangguan oleh beberapa kelompok pemuda Kipas Hitam yang dilawan oleh Pemuda Republiken. Residen Sudirman, Gubernur Suryo, Pak Moestopo, Bung Tomo dan tokoh-tokoh lain membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo & pemuda Indonesia bangkit melawan penjajahan. Musa dipercaya sebagai kurir surat dan kode-kode rahasia yang dikombinasikan dengan lagu-lagu keroncong dari Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia yang didirikan Bung Tomo. Berbagai peristiwa dilalui Musa sebagai kurir, kehilangan harta dan orang-orang yang dikasihi menjadi konsekuensi tugas mulia tersebut. Cerita ini merupakan cerita adaptasi dari peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Selain tokoh-tokoh nyata, terdapat tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Pesan perang tentang semangat, cinta tanah air dan perdamaian. 32 l Kinescope l Agustus 2013 Judul Battle of Surabaya Sutradara Aryanto Yuniawan Penulis Prof. M. Suyanto (Direktur STIMIK AMIKOM Yogyakarta) Aryanto Yuniawan
  • 33. Agustus 2013 l Kinescope l 33
  • 34. BEHIND THE SCENE Kamtis Army : Tentara Mantan Copet, Mafia, Pemabuk dkk RIEZKY ANDHIKA PRADANA H ingga kini sejak diluncurkannya pada 12 Desember 2012 lalu, sebanyak 3.300 lebih boxset ekslusif mereka telah terjual. Bahkan edisi album yang terbatas ini sudah banyak diborong oleh Kamtis Family (fans Endank Soekamti) yang ada di negeri jiran Malaysia. Uniknya, bahkan ada juga pasangan kamtis yang menjadikan boxset album ke lima Endank Soekamti ini sebagai mas kawin mereka. Lagu pertama yang dikerjakan video klip nya adalah Angka 8. Sesuai isi lagunya, video klip ini bercerita soal persahabatan. Seperti yang terlihat padaartworkdi album terbaru mereka yang berjudul sama, tema yang diusung kental dengan nuansa militer. Untuk keperluan kostum, bandpop punkasal Yogyakarta ini membuat sendiri seragam militer ala Kamtis Army. Menurut Erix Soekamti, video klip ini bercerita tentang Kesatuan Soekamti Company yang berlatar belakang berbeda-beda. Di dalamnya terdapat copet, mafia, pemabuk, dan sebagainya. Mereka kemudian ditahan polisi dan masuk ke sebuah wilayah bernama Area 8 yang diam-diam dimanfaatkan untuk membuat pasukan elite Kamtis Army. Persahabatan itu oke disaat segalanya fine, tapi kalau sedang nggak punya uang, suasana nggak fine semuanya akan berbeda, teman sejati ada ketika sedang tidak oke, gambaran situasi yang cocok adalah saat perang, dimana taruhannya adalah nyawa, 34 l Kinescope l Agustus 2013 ujar Erix menjelaskan konsep proyek tersebut. Dalam pembuatan karya ini, Erix yang juga selaku sutradara mengaku terinspirasi dari film Band Of Brother. Hal ini bisa terlihat dari tata artistik, kostum, hingga spesial efek yang akan digunakannya. Ke-16 lagu tersebut nantinya akan dipotong-potong dan disusun menjadi satu cerita, dan produksinya pun lebih
  • 35. PERTENGAHAN Februari ini tepatnya Selasa (12/2) lalu, Endank Soekamti memulai mengerjakan proyek besar mereka. Setelah meluncurkan novel, video dokumenter, dant album ke lima yang spektakuler dan inspiratif, dilanjutkan dengan promo media tour, trio Erix, Dory, dan Ari kini mengerjakan videoklip dari lagu-lagu terbaru mereka. Tidak tanggung-tanggung, rencananya 16 lagu yang terdapat di album Angka 8 ini semuanya akan dibuatkan video klip dengan tema sama, dan saling berkaitan. fokus ke film. Secara pribadi sebenarnya Erix mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi tentara, namun ada nilai positif yang bisa diambil dari ketentaraan bagi seorang rocker, di antaranya adalah kedisiplinan. Band rock kan identik dengan slenge-an, nggak bisa bangun pagi, saat jadwal promo, semua jadwal itu kan pagi hari, jadi harus belajar disiplin. Sebagusbagusnya band, nggak akan jadi kalau tidak ada disiplin di dalamnya, tegas frontman Endank Soekamti ini. Jika disimak dari artwork yang terdapat pada sampul album Angka 8 Endank Soekamti ini, kita bisa melihat berbagai simbol dan pesan yang tersirat didalamnya. Contohnya, pada gambar tersebut terlihat Erix sedang mengangkat dan mengepalkan tangannya. Ini melambangkan kemerdekaan, yaitu merdeka membuat karya sesuai apa yang diinginkan. Di tengah, Ari sang penggebuk drum mengacungkan telunjuknya seolah sedang menantang, sedangkan posisi tangan sang gitaris Dory terlihat seperti onani, yang melambangkan ketika berkarya juga harus memuaskan diri sendiri. Sedangkan tank di belakang mereka bertiga diibaratkan sebagai Euforia Records, label baru mereka yang siap memperjuangkan apa yang ingin dikerjakan, tanpa harus bergantung dari industri besar yang selama ini menaungi mereka. Ketika ditanyakan apa yang sebenarnya ingin dilawan oleh seorang Erix Soekamti? ia menjawab santai, Yang pertama ya harus bisa melawan diri sendiri, contohnya rasa takut, sifat nggak pede, dan lainnya, jawabnya. Meski hujan deras mengguyur di saat produksi mulai siang hingga sore, namun seluruh kru Endank Soekamti tetap melanjutkansyuting video klip yang dilakukan di pesisir Pantai Parangkusumo, Bantul ini. Pengambilan gambar yang dilakukan oleh kameramen Erick Wirasaktu ini pun tetap dilakukan meski seluruh badan basah kuyup diguyur hujan. Pada proyek ini, Endank Soekamti melibatkan seluruh kru, dan teman-teman dekat untuk ikut berpartisipasi dalam produksinya. Menurut Erix kunci bagaimana Endank Soekamti dan seluruh kru bisa selalu harmonis, dan bersinergis adalah sederhana, yaitu saling menghargai, dan percaya. Respect, and trust each others, itu kata kunci menjaga kekompakan, tegasnya. Pada video-video ini, lelucon khas Endank Soekamti tentunya juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dalam setiap karya mereka. Contohnya, sebagai Pasukan Elit, mereka menggunakan senjata yang tidak mungkin dikenakan oleh tentara pada umumnya. Nantinya, video-video tersebut akan diunggah per lagu, dimana setiap bulannya Endank Soekamti akan mengunggah satu lagu. Sete