KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE … · l) Dr. Rochayah Machali dan Dr. Ludmilla...
Transcript of KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE … · l) Dr. Rochayah Machali dan Dr. Ludmilla...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN
TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
DISERTASI
OLEH M A S D U K I
T140306004
PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK MINAT UTAMA BIDANG PENERJEMAHAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
MEI 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN
TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan
Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji pada Sidang Senat Terbuka Terbatas
di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Profesor Dr. Ravik Karsidi, MS
pada Hari Rabu 4 Mei 2011
Oleh: Masduki
NIM: T140306004
PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK
MINAT UTAMA BIDANG PENERJEMAHAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA MEI 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN
TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
Oleh
M a s d u k i NIM: T140306004
TIM PEMBIMBING
1. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana .……………………. Promotor
2. Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd ……....……… Ko-Promotor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA:
PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
DISERTASI Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Linguistik
Minat Utama Linguistik Penerjemahan Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji
pada Sidang Senat Terbuka Terbatas Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada Tanggal 4 Mei 2011 Oleh Masduki
Lahir di Kediri, 1 April 1973 DEWAN PENGUJI: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS (…………………………….) (Penguji utama) 2. Prof. Drs. Suranto, MSc., Ph.D (…………………………….) (Sekretaris merangkap anggota) 3. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (…………………………….) (Promotor merangkap anggota) 4. Prof. Dr. Thomas Soemarno, MPd (…………………………….) (Ko-Promotor merangkap anggota) 5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto (…………………………….) (Anggota) 6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo (…………………………….) (Anggota) 7. Prof. Drs. MR Nababan, MA., MEd., Ph.D (…………………………….) (Anggota) 8. Dr. Tri Wiratno, MA (……....…………………….) (Anggota)
Mengetahui, Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS
NIP:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Masduki
NIM : T140306004
Program : Pascasarjana UNS
Program Studi : S3 Linguistik
Tempat/Tanggal Lahir : Kediri, 01 April 1973
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi saya yang berjudul:
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST
TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
adalah asli (bukan cuplikan) dan belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk
memperoleh gelar akademik tertentu. Semua temuan, pendapat, atau gagasan orang
lain yang dikutip dalam disertasi ini ditempuh melalui tradisi akademik yang berlaku
dan dicantumkan dalam sumber rujukan dan atau dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, kami sanggup menerima
sanksi yang berlaku.
Surakarta, 4 Mei 2011
Yang membuat pernyataan
Masduki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
Be firm in principle, flexible in creation, make compromises if necessary…
Buat mutiara-mutiaraku:
Annaura Nabilla Masduki Annajwa Ahima Masduki
kuserahkan tongkat estafet ini kepada kalian…
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadlirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
terselesaikannya penulisan disertasi ini. Disertasi ini mengambil judul “Kesepadanan
Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide dan Terjemahannya: Pendekatan
Kritik Holistik”, yang terdiri dari enam bab yaitu (1) pendahuluan, (2) kajian pustaka,
landasan teori, dan kerangka pikir, (3) metodologi penelitian, (4) sajian data,
(5) pokok-pokok temuan dan pembahasan, dan (6) simpulan, implikasi temuan, dan
rekomendasi. Disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kritik
holistik dengan aspek-aspek yaitu: aspek objektif (dokumen novel The Highest Tide
dan terjemahannya Pasang Laut), aspek genetik (penerjemah novel), dan aspek
afektif (pembaca hasil terjemahan novel).
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih atas terselesaikannya disertasi ini
kepada:
a) Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Solo yang
telah memberikan kesempatan belajar di universitas ini.
b) Prof. Dr. Ir. H. Ariffin, MS, selaku Rektor Universitas Trunojoyo Madura yang
telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan tugas belajar.
c) Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana yang telah
memberikan kesempatan menyelesaikan studi program doktor.
d) Prof. Dr. H. D. Edi Subroto, selaku Ketua Program S3 Linguistik yang telah
memotivasi demi terselesaikannya disertasi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
e) Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana, selaku Sekretaris Program S3 Linguistik dan
promotor utama yang penuh ketelatenan dan kesabaran memberikan saran-saran
yang sangat berharga demi terselesaikannya disertasi ini.
f) Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd selaku promotor kedua yang penuh kesabaran
telah meluangkan waktunya dan memberikan pencerahan yang sangat berharga
demi terselesaikannya penulisan disertasi ini.
g) Prof. Drs. Nababan, M.Ed., MA., Ph.D, selaku pakar penerjemahan yang telah
memberikan masukan dan saran yang sangat berarti demi terselesaikannya
penulisan disertasi ini.
h) Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, selaku pakar luar yang dengan sabar dan
ketulusan hati memberikan masukan yang sangat berharga terhadap kelancaran
disertasi ini.
i) Dr. Tri Wiratno, MA, yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat
berarti di dalam penyempurnaan disertasi ini.
j) Drs. Arif Subiyanto, MA, selaku penerjemah novel The Highest Tide yang telah
bersedia diwawancarai dan memberikan keterangan panjang lebar mengenai novel
yang diterjemahkan.
k) Mas Adiloka dan Mas Sugeng Hariyanto, yang telah banyak membantu dalam
bertukar pikiran secara panjang lebar dan memberikan masukan yang cukup
berarti dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
l) Dr. Rochayah Machali dan Dr. Ludmilla Stern, selaku tentative advisors yang telah
banyak membantu menyediakan akses dan referensi di University of New South
Wales Australia.
m) Teman-teman di Fairmount St, Lakemba, New South Wales Australia, yang telah
membantu menyediakan akomodasi demi terselesaikannya disertasi ini.
n) Teman-teman s3, Mbah Wardi, Om Kir, Om Rudi, Mas Aris, Om Kanisulam, dan
Om Karsono yang dengan suka-duka menimba ilmu bersama-sama.
o) Segenap dosen Sastra Inggris Unijoyo yang telah mendorong agar disertasi cepat-
cepat terselesaikan.
p) Terkhusus buat istriku tercinta, Alfiah, yang dengan sabar menunggu hingga
terselesaikannya disertasi ini.
q) Pemerintah RI melalui Dirjen Dikti yang telah memberikan beasiswa BPPS dan
kesempatan mengikuti Program Sandwich selama studi program doktor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL i
PEMERTAHANAN DISERTASI ii
PROMOTOR DAN KO-PROMOTOR iii
PENGESAHAN iv
PERNYATAAN v
MOTTO vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xvi
DAFTAR BAGAN xvii
DAFTAR GAMBAR xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
DAFTAR SINGKATAN xx
ABSTRAK xxi
ABSTRACT xxiiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Pembatasan Masalah 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
1.3 Rumusan Masalah 11
1.4 Tujuan Penelitian 11
1.5 Manfaat Penelitian 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,
DAN KERANGKA PIKIR 14
2.1 Kajian Pustaka 14
2.2 Landasan Teori 21
2.2.1 Penerjemah 21
2.2.2 Proses Penerjemahan 25
2.2.3 Makna dan Gaya dalam Penerjemahan 32
2.2.3.1. Definisi Meaning, Denotation, Reference, dan Sense 33
2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif 38
2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan 42
2.2.3.4 Gaya 48
2.2.4 Hakikat Susastra 55
2.2.4.1 Novel 58
2.2.4.2 Resume Novel The Highest Tide 63
2.2.4.3 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide 66
2.2.4.3.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi 66
2.2.4.3.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
2.2.4.3.3 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial 68
2.2.4.3.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa 71
2.2.5 Penerjemahan Novel 78
2.2.6 Teori Polisistem 86
2.2.7 Konsep Norma 89
2.2.8 Konsep Kesepadanan 94
2.2.9 Evaluasi Kualitas Terjemahan 103
2.2.10 Parameter Kualitas Terjemahan 108
2.2.11 Pendekatan Kritik Holistik 120
2.3 Kerangka Pikir 122
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 126
3.1 Strategi dan Jenis Penelitian 126
3.2 Sumber Data dan Jenis Data 128
3.3 Teknik Cuplikan 131
3.4 Teknik Pengumpulan Data 133
3.5 Validitas Data 137
3.6 Teknik Analisis Data 139
BAB IV SAJIAN DATA 148
4.1 Sajian Data 148
4.1.1 Kesepadanan Makna dan Gaya 149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
4.1.1.1 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide 149
4.1.1.1.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi 150
4.1.1.1.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi 151
4.1.1.1.3 Ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Budaya Sosial 154
4.1.1.1.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa 158
4.1.1.2 Jenis-jenis Makna dan Gaya di Dalam Penerjemahan Novel The Highest Tide 160
4.1.1.2.1 Jenis-jenis Makna 161
4.1.1.2.1.1 Makna Leksikal 162
4.1.1.2.1.2 Makna Situasional atau Kontekstual 164
4.1.1.2.1.3 Makna Tekstual 167
4.1.1.2.1.4 Makna Sosiokultural 170
4.1.1.2.1.5 Makna Implisit 174
4.1.1.2.2 Gaya 177
4.1.1.2.2.1 Penggunaan Pilihan Kata 179
4.1.1.2.2.2 Penggunaan Ekspresi Idiomatik 182
4.1.1.2.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa 185
4.1.1.2.2.4 Penggunaan Jenis Bahasa Tertentu 187
4.1.1.2.2.5 Penggunaan Tanda Baca 190
4.1.1.3 Kualitas Kesepadanan 193
4.1.1.3.1 Terjemahan Hampir Sempurna (THS) 195
4.1.1.3.2 Terjemahan Sangat Bagus (TSB) 198
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
4.1.1.3.3 Terjemahan Baik (TB) 201
4.1.1.3.4 Terjemahan Cukup (TC) 205
4.1.1.3.5 Terjemahan Kurang (TK) 210 4.1.2 Deskripsi mengenai Penerjemah 213 4.1.2.1 Latar Belakang Penerjemah 213 4.1.2.2 Langkah-langkah Penerjemah dalam Menerjemahkan
Novel The Highest Tide 226
4.1.2.3 Strategi Penerjemah dalam Menerjemahkan Hal-hal yang Khusus dalam Novel The Highest Tide 231
4.1.3 Pemahaman Pembaca 233
BAB V POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN 243
5.1 Pokok-pokok Temuan 243
5.2 Pembahasan 246
5.2.1 Kesepadanan Makna dan Gaya 246
5.2.2 Penerjemah 256
5.2.2.1 Persiapan 260
5.2.2.2 Menerjemahkan 264
5.2.2.3 Mengedit 270
5.2.3 Tanggapan Pembaca 276
5.2.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, 282 Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI TEMUAN, DAN REKOMENDASI 284
6.1 Simpulan 284
6.2 Implikasi Temuan 285
6.3 Rekomendasi 289
DAFTAR PUSTAKA 292 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Terjemahan (Rochayah, 2000) 113
Tabel 2.2 Skala dan Definisi Kualitas Terjemahan (Nababan, 2004) 114
Tabel 2.3 Skala Relevansi (Zhonggang, 2006) 117
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Terjemahan dalam Penelitian ini 119
Tabel 5.1: Rekapitulasi Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide yang Mengandung Ungkapan-ungkapan Budaya Materi, Istilah Ekologi, Budaya Sosial, dan Gaya Bahasa (N=115) 247 Tabel 5.2 Hasil Penilaian Terjemahan 251
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Proses Penerjemahan (Nida, 1975) 26
Bagan 2.2 Proses Penerjemahan (Nababan, 2003:25) 27
Bagan 2.3 Hubungan Sintakmatik 36
Bagan 2.4 Hubungan Paradigmatik 37
Bagan 2.5 Initial Norm 90
Bagan 2.6 Preliminary Norms 91
Bagan 2.7 Operational Norms 92
Bagan 2.8 Pendekatan Kritik Holistik (Sutopo, 2006:145) 121
Bagan 2.9 Kerangka Pikir 125
Bagan 3.1 Triangulasi Sumber 139
Bagan 3.2 Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2006:120) 140
Bagan 5.1 Jenis-jenis Makna dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi Novel The Highest Tide 248
Bagan 5.2 Parameter Gaya dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi
Novel The Highest Tide 249 Bagan 5.3 Proses Penerjemahan Novel The Highest Tide 259
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Sea Star atau Starfish 153
Gambar 4.2 Trivial Pursuit 156
Gambar 4.3 Dolar Pasir 169
Gambar 4.4 The Easter Bunny, Santa, The Tooth Fairy 173
Gambar 4.5 Marlboro Man 174
Gambar 5.1 Outline Program TRADOS 2006 263
Gambar 5.2 Contoh Catatan Kaki Penerjemahan Novel HT 266
Gambar 5.3 Contoh Revisi Penerjemahan Novel HT 271
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a Data mengenai Budaya Materi 1
Lampiran 1b Data mengenai Istilah-istilah Ekologi 5
Lampiran 1c Data mengenai Budaya Sosial 9
Lampiran 1d Data mengenai Gaya Bahasa 29
Lampiran 2a Data Makna Leksikal di dalam Novel HT 43
Lampiran 2b Data Makna Situasional di dalam Novel HT 50
Lampiran 2c Data Makna Tekstual di dalam Novel HT 53
Lampiran 2d Data Makna Sosiokultural di dalam Novel HT 54
Lampiran 2e Data Makna Implisit di dalam Novel HT 83
Lampiran 3a Data Paramater Gaya: Penggunaan Pilihan Kata di dalam Novel HT 87
Lampiran 3b Data Paramater Gaya: Penggunaan Ekspresi Idiomatik di dalam Novel HT 114
Lampiran 3c Data Paramater Gaya: Penggunaan Gaya Bahasa di dalam Novel HT 123
Lampiran 3d Data Paramater Gaya: Penggunaan Bahasa Tertentu di dalam Novel HT 126
Lampiran 3e Data Paramater Gaya: Penggunaan Tanda Baca di dalam Novel HT 130
Lampiran 4a Data Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Novel HT 111
Lampiran 4b Data Terjemahan Sangat Bagus (TSB) Novel HT 149
Lampiran 4c Data Terjemahan Baik (TB) Novel HT 163
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xx
Lampiran 4d Data Terjemahan Cukup (TC) Novel HT 170
Lampiran 4e Data Terjemahan Kurang (TK) Novel HT 173
Lampiran 5 Kuesioner Pembaca 175
Lampiran 6a Kisi-kisi Format Wawancara dengan Penerjemah 177
Lampiran 6b Kisi-kisi Format Wawancara dengan Pakar Penerjemahan 179
Lampiran 7 Hasil Analisis Kuesioner 180
Lampiran 8 Penilaian Ketepatan Terjemahan 184
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxi
DAFTAR SINGKATAN
Bb : Bab
Bsa : Bahasa Sasaran
Bsu : Bahasa Sumber
Chap : Chapter
Hal : Halaman
HT : The Highest Tide
Ind : Indonesia
Ing : Inggris
Pg : Page
PL : Pasang Laut
THS : Terjemahan Hampir Sempurna
Tsa : Teks Sasaran
TSB : Terjemahan Sangat Bagus
Tsu : Teks Sumber
TB : Terjemahan Baik
TC : Terjemahan Cukup
TK : Terjemahan Kurang
005.HT.Chap16.Pg117: Mengandung makna bahwa nomor urut data adalah 005 dan
data ini terdapat dalam novel HT (The Highest Tide) pada
Chapter 16 Page 117
PL.Bb16.Hal161 : Mengandung makna bahwa data ini terdapat dalam novel PL
(Pasang Laut) pada Bab 16 Halaman 161
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxii
ABSTRAK
Masduki. T14036004. Kesepadanan Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide dan Terjemahannya: Pendekatan Kritik Holistik. Disertasi. Surakarta 2011. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Tim Pembimbing: Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (Pembimbing I), Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd (Pembimbing II).
Penelitian ini mengkaji masalah utama mengenai kesepadanan makna dan gaya di dalam novel The Highest Tide (HT) dan terjemahannya. Analisis kesepadanan makna dan gaya ini difokuskan pada teks di dalam novel HT dan terjemahannya yang mengandung ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa. Penelitian ini dipaparkan secara holistik yang digali dari tiga faktor utama, yaitu faktor objektif (novel HT dan terjemahannya), faktor genetik (penerjemah novel HT), dan faktor afektif (pembaca novel HT).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritik holistik. Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: (1) dokumen berupa novel HT dan terjemahannya Pasang Laut (PL), (2) penerjemah novel HT, dan (3) pembaca buku terjemahan. Jenis data di dalam penelitian ini adalah: (1) kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat yang mengandung ungkapan-ungkapan: budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa yang terdapat pada novel HT; dan (2) kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat dari jawaban kuesioner dan hasil wawancara dengan penerjemah novel, pakar penerjemahan novel, dan para pembaca novel terjemahan. Sumber data yang dicuplik adalah sumber data afektif (para pembaca novel) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik simak dan catat, kuesioner, dan wawancara mendalam, dengan teknik analisis model interaktif.
Pokok-pokok temuan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, jenis-jenis makna yang ditemukan di dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel HT adalah makna leksikal (9,57%), situasional (4,35%), tekstual (1,74%), sosiokultural (70,43%), dan implisit (13,91%). Kedua, parameter gaya yang digunakan yaitu berupa penggunaan pilihan kata (64,35%), ekspresi idiomatik (20%), gaya bahasa (1,74%), kata/ekspresi sesuai tipe teks (8,70%), dan tanda baca (6,96%). Ketiga, penerjemahan novel HT berada dalam rentang nilai 61-75, yaitu termasuk dalam kategori terjemahan baik (74,04%). Penilaian bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit dicapai. Keempat, penerjemah novel HT memiliki latar belakang akademik dalam bidang linguistik penerjemahan, mengampu mata kuliah sastra dan penerjemahan, berprofesi sebagai penerjemah profesional selama lebih dari 15 tahun, dan telah menerjemahkan beragam karya terjemahan novel dan bunga rampai baik dalam bentuk buku maupun artikel. Kelima, proses penerjemahan dilakukan dengan tahapan: persiapan, menerjemahkan, dan mengedit, dengan menggunakan kompetensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxiii
profesional, teknis, dan instrumental. Keenam, strategi penerjemahan dilakukan dengan mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata, dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan. Ketujuh, menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan dan cara penerjemah mengurangi atau menambahkan makna pada teks sasaran membuat hasil terjemahan lebih hidup. Kedelapan, hasil dari sampel pembaca menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan.
Berdasarkan pokok-pokok temuan dan pembahasan secara holistik, disimpulkan bahwa makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel sumber The Highest Tide diterjemahkan ke dalam novel sasaran Pasang Laut dengan kualitas terjemahan baik (74,04%) dan berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan makna sosiokultural dengan gaya berupa penggunaan berbagai pilihan kata di dalam teks sasaran sering muncul di dalam penerjemahan novel HT. Persentase tersebut tidak mengindikasikan dominasi atau superioritas, namun hanya menunjukkan tingkat keseringan kemunculan penggunaan makna dan gaya di dalam terjemahan novel HT. Kualitas terjemahan yang baik tersebut didukung oleh latar belakang akademik, pengalaman profesi penerjemah, strategi yang dilakukan penerjemah, pendapat pakar penerjemahan, dan pemahaman dari sampel pembaca. Namun demikian, terdapat kegagalan penerjemahan novel HT di dalam menjembatani perbedaan karakteristik bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu ketidakajegan penerjemah di dalam menerjemahkan istilah-istilah khusus. Implikasi dari temuan penelitian ini adalah bahwa penerjemah novel yang profesional dengan latar belakang akademik yang baik dan pengalaman profesi yang kuat berdampak positif terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan dan kepandaian penerjemah di dalam mentransfer budaya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia berdampak positif dan dapat dicontoh oleh penerjemah yang lain di dalam menghasilkan terjemahan yang berkualitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxiv
ABSTRACT
Masduki. T14036004. The Equivalence of Meaning and Style in The Novel The Highest Tide and Its Translation: Holistic Criticism Approach. Dissertation. Surakarta 2011. Postgraduate Program University of Sebelas Maret. Board of Advisors: Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (Advisor I), Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd (Advisor II).
This research investigated the equivalence of meaning and style in the novel The Highest Tide (HT) and its translation. Analysis on the equivalence of meaning and style was focused on specific features of the novel HT and its translation, namely: (1) material culture, (2) ecological terms, (3) social culture, and (4) figures of speech. This research was taken holistically from three main factors, consisting of genetic factor (the translator of HT novel), objective factor (the HT novel and its translation), and affective factor (the reader of the novel translation).
This research constituted as qualitative descriptive study with the approach of holistic criticism. Sources of data applied in this research were: (1) the translator of the novel HT, (2) source texts of the novel HT and its translation Pasang Laut (PL), and (3) the readers of translation.Types of data used in this research were: (1) words, phrases, or sentences containing features: (1) material culture, (2) ecological terms, (3) social sulture, and (4) figures of speech in the novel HT; and 2) words, phrases, or sentences collected from questionnaire’s responses and in- depth interview of the translator, the expert, and the readers. Sources of data were sampled purposively.The data were collected using document analysis, questionnaire distribution, and in-depth interview, with the analysis technique of interactive model.
The findings of this research were: First, types of meaning realized in translating novel HT were lexical meaning (9,57% ), situational or contextual meaning (4,35%), textual meaning (1,74%), socio-cultural meaning (70,43%), and implicit meaning (13,91%). Second, styles realized in translating novel HT were the usage of choices of words (64,35%), of idiomatic expression (20%), of figure of speech (5,22%), of suitable words/expressions in target texts relevant to its type of text (8,70%), and of punctuation mark (1,74%). Third, quality of translation of the novel HT into PL viewed on criteria of translation quality assessment categorized in good translation with the score 61-75. Meanwhile, since there was no perfect translation and no scoring toward equivalence of meaning and style objectively, then the scoring was relative and based on criteria more or less. Forth, the translator of the HT novel acquired academic background in translation study and applied linguistics, gained professional experience in translating more than 15 years, and translated several miscellaneous craft of translation of novel, books, and articles. Fifth, process of translation conducted by the translator involved three main steps: preparation, translating, editing, with the special characteristics, namely; the professional, technique, and instrumental competence applied in process of translating the novel HT. Sixth, strategies applied by the translator in translation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxv
specific terms in novel HT were to vouch for contexts of words or phrases being translated, create footnotes, neutralize or naturalize words being translated, and create his own equaivalent words. Seventh, according to the translation expert, in general the translation of the novel HT was very good, and the ways how the translator reduced or added meaning in target texts made the texts alive. Eighth, data from samples of readers showed that language used in novel translation was good to read, texts were very clear, and words used were relevant to convey information.
Based on research findings and the discussion, it can be concluded that meaning and style on specific features of the novel HT and its translation in terms of material culture, ecological terms, social culture, and figures of speech is in category of good translation. It is supported by the translator’s academic background in translation study and applied linguistics, professional experience in translating, and strategies applied by the translator, the statement from the expert of translation, and the statement from the readers. Meanwhile, there is fruitlessness in translating the novel HT in bridging the characteristics differences of English language and bahasa Indonesia, namely the inconsistency of the translator in translating the specific terms. Implications from the research findings are that the professional novel translator having qualified academic background and experience in the field generates positive impact toward the translation quality and the capability of the translator in trasfering English culture into Bahasa Indonesia generates positive impact and can be modeled by other translators in producing qualified translation.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxvi
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN
TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
Oleh M a s d u k i
NIM: T140306004
Disertasi ini telah direvisi sesuai masukan para Penguji dan disetujui untuk diajukan pada sidang senat terbuka terbatas.
Tim Penguji pada ujian tertutup:
1. Prof. Drs. Suranto, MSc., Ph.D (…………………………….)
(Ketua merangkap anggota)
2. Dr. Tri Wiratno, MA (……....…………………….)
(Sekretaris merangkap anggota)
3. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (…………………………….)
(Anggota)
4. Prof. Dr. Thomas Soemarno, MPd (…………………………….)
(Anggota)
5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto (…………………………….)
(Anggota)
6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo (…………………………….)
(Anggota)
7. Prof. Drs. MR Nababan, MA., MEd., Ph.D (…………………………….)
(Anggota)
Mengetahui,
Ketua Program Studi Linguistik S3
Prof. Dr. H. D. Edi Subroto
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxvii
Kepada YTH: Prof. Dr. Thomas Soemarno, M. Pd d/a. Griyan RT 2 RW 10 Jl. Bangle no 4 Pajang Utara Laweyan Solo
Pengirim: Masduki (Mahasiswa S3 Linguistik Penerjemahan UNS) d/a. Perum Seruni C-5 Banyuajuh Kamal Bangkalan Madura
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxviii
ISI POWER POINT
BAB I
BAB II
Kajian Pustaka: Pen. relevan
Kesepadanan (Vinay &Darbelnet dan Jakobson)
Makna (sumarno)
Gaya (Bolanos)
Bagian-bagian khas (Newmark)
Pend. Kritik Holistik
Kerangka Pikir
BAB III
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxix
BAB IV
BAB V
BAB VI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa menerjemahkan novel
tidaklah mudah. Seorang penerjemah novel diharapkan untuk memahami bahasa
sumber dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya karya susastra lebih
mengandung unsur ekspresi pengarang dan kesan khusus yang ingin
ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya susastra juga mengandung unsur-
unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi,
dengan segala nuansa yang mengiringinya.
Penerjemahan karya susastra sebagai proses pengalihan pesan tidak hanya
melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran,
namun juga melibatkan kondisi sosiobudaya yang berbeda karena suatu teks
dalam penerjemahan berada dalam konteks sosiobudaya yang terkait dengan
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan karya susastra
tidak bisa dilihat hanya sebagai upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke
teks bahasa lain. Faktor lain yang sangat dibutuhkan adalah adanya suatu
kompetensi mengenai suatu wacana untuk menghasilkan suatu terjemahan yang
benar secara sintaktik, tepat makna, memenuhi unsur kewajaran, keterbacaan, dan
secara sosial berterima di dalam suatu konteks yang didasari budaya. Apabila
yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali pesan
bahasa sumber dalam bahasa sasaran, maka teks sasaran (Tsa) haruslah sepadan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dengan teks sumber (Tsu), yaitu dua teks yang isi dan gayanya dapat dipahami
secara sama oleh penerima (pembaca) masing-masing teks dalam bahasa sumber
dan bahasa sasaran.
Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan
praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan
pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit
dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah
dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari
pesan teks bahasa sumber. Oleh sebab itu penerjemah karya susastra perlu
mempunyai pengetahuan yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari
bahasa sumber tersebut, memiliki pengetahuan dan kualitas khusus (kesusastraan
dan estetika, dan artistika kebahasaan), harus dapat mengidentifikasi unsur-unsur
susastra dan memiliki pemahaman budaya dan nilai-nilai karya susastra yang
diterjemahkan, serta memahami karya susastra secara menyeluruh.
Di dalam menerjemahkan karya susastra, penerjemah perlu memahami
karya itu secara keseluruhan dan harus mengetahui konsep-konsep dasar karya
susastra dan analisis karya susastra (Suryawinata, 1982:85). Konsep dasar karya
susastra adalah bahwa karya susastra sebaiknya dipandang dari fungsinya sebagai
komunikasi. Dengan demikian, karya susastra dilihat sebagai suatu wacana, yaitu
sebagai suatu keutuhan yang mengandung informasi, amanat, ekspresi pengarang,
dan juga unsur fiksi. Kesemua unsur tersebut diserap dan dihayati di dalam
kehidupan dan pengalaman pengarang yang kemudian disusun dan dijalin dengan
imajinasinya dan dituangkan ke dalam cerita, drama, atau novel dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
menggunakan bahasa yang sederhana, segar, tepat, dan hidup sehingga karya yang
dihasilkan tidak membosankan, dapat mengemukakan secara jelas apa yang
dimaksud oleh pengarang sehingga pembaca dapat memahami makna dan pesan
yang diinginkan, dan juga dapat menciptakan suasana yang diinginkan dengan
cara memakai idiom yang sesuai, register yang sesuai, dan pemakaian bahasa
yang benar-benar dapat menggambarkan watak dan kelas sosial. Kesemua unsur
tersebut saling terkait di dalam teks secara keseluruhan. Di samping itu, secara
praktis yang dibutuhkan seorang penerjemah karya susastra bukanlah untuk
mendalami kritik susastra sebagai disiplin ilmu untuk kemudian menjadi seorang
kritikus susastra, namun untuk menginterpretasikan suatu karya susastra dengan
lebih baik dan menyeluruh. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh seorang
penerjemah karya susastra adalah pendekatan analisis yang lebih praktis untuk
tujuan pemahaman yang komprehensif dan memadai untuk digunakan di dalam
menerjemahkan nantinya.
Suparman (2003: 142) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan karya
susastra, misalnya novel bahasa Inggris, penerjemah membaca novel tersebut
secara tuntas dari awal hingga akhir dengan maksud untuk menangkap ide global
dan aspek-aspek yang ada dalam novel tersebut. Bentuk dan jenis kalimat dalam
novel dapat menunjukkan keadaan isi cerita. Pengarang novel sengaja
menuangkan ide-idenya dalam novel dengan kalimat sederhana dan pendek pada
halaman-halaman awal. Pada halaman-halaman tengah, kalimat cenderung lebih
panjang dan kompleks yang mencerminkan bahwa cerita itu mulai problematik
dan memunculkan adanya masalah yang cukup serius. Pengarang sengaja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menunjukkan masalah yang cukup rumit dengan kalimat yang rumit juga. Dengan
demikian, kalimat cenderung sulit dipahami sebagaimana sulitnya memahami
permasalahan yang ditimbulkan. Pengarang sengaja menggunakan komposisi
kalimat semacam itu untuk merefleksikan bahwa sederhana-rumitnya kalimat
yang dipakai mencerminkan ide cerita.
Menerjemahkan karya susastra, dalam hal ini adalah novel, tidak
dilakukan secara kata per kata, yang secara sepintas enak dibaca, tetapi secara
keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya.
Suatu kalimat di dalam novel tidak sekadar ujaran yang berdiri sendiri, namun
berfungsi sebagai petunjuk akan hadirnya ide-ide yang akan menyusul (Basnett-
McGuire,1980). Apabila penerjemah hanya menerjemahkan kata-kata tersebut
sebagai kata-kata yang berdiri sendiri dan hanya berdasarkan makna dalam setiap
kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan terasa dangkal dan kehilangan
keseluruhan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang aslinya kepada para
pembacanya.
Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan
kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya kesulitan
penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan
peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan
karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel
penerjemahan, maupun juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam
menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Untuk tujuan penelitian ini, peneliti mengkaji sebuah novel yang berjudul
The Highest Tide karya Jim Lynch (2005) yang telah diterjemahkan oleh Arif
Subiyanto. Novel tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan
Februari 2007 dengan ukuran buku 13.5 x 20 cm dan tebal 328 halaman. Novel
tersebut menarik perhatian peneliti untuk dianalisis karena novel tersebut
merupakan pemenang Pacific Northwest Booksellers Book Award 2006 dan telah
dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik. Novel The Highest Tide karya
Jim Lynch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan
diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga
bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah
bahasa saat ini, dan novel The Highest Tide ini merupakan sumber data penelitian
yang dianggap sangat bermanfaat untuk menjawab semua permasalahan yang
sudah dirumuskan dan target yang ingin dicapai oleh peneliti.
Novel The Highest Tide ini mengisahkan dua minggu musim panas
dalam kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia
hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan
sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles.
Di dalam novel tersebut, penulis novel tidak hanya ingin menyampaikan
kepeduliannya kepada lingkungan setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di
dekat tempat tinggalnya, namun dia juga memberi porsi yang cukup untuk bagian-
bagian lain yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi,
pertemanan, dan problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun
mendapatkan pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mengasyikkan dan seringkali memaksa pembaca tertawa-tawa sendiri. Dalam
kaitannya dengan kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan
sebagai anak yang sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca
buku-buku biologi laut Rachel Carson. Begitu bagusnya pemahaman Miles O’
Malley tentang perilaku makhluk laut, sampai-sampai Profesor Kramer
mengatakan “kau membuat ilmuwan dan orang-orang lain tampak bodoh”. Maka,
tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang bahwa buku ini
memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan.
Beberapa pemilihan diksi yang dilakukan penerjemah di dalam
menerjemahkan novel The Highest Tide tercermin dalam beberapa contoh
penerjemahan dari Tsu ke dalam Tsa berikut:
(a) Tsu: The G-spot, Squid Boy.(page 30) Tsa: G-spot, Dasar anak sotong! (halaman 45) (b) Tsu: Angie sang in a band called “L.O.C.O.” You couldn’t call it “Loco” for
some reasons. (page 18) Tsa: Angie pernah menjadi vokalis untuk band bernama “L.O.C.O.” Entah
kenapa bukan “Loco” saja. (halaman 31) (c) Tsu: Part of the fuss had to be my appearance. I was a pink-skinned, four-
foot-eight, seventy-eight-pound soprano. I came off as an innocent nine-year-old even though I was an increasingly horny, speed-reading thirteen-year-old insomniac.(page 2)
Tsa: Kehebohan itu sebagian dipicu oleh penampilanku. Aku hanyalah bocah lelaki dengan kulit kemerahan, tinggi satu meter empat puluh enam, berat tiga puluh sembilan kilo, dan suaraku melengking. Penampilanku mirip bocah sembilan tahun yang masih polos, padahal sebenarnya aku sudah remaja, penderita insomnia tiga belas tahun yang mulai berahi dan kutu buku yang keranjingan membaca. (halaman 9).
Di dalam contoh penerjemahan novel tersebut dapat dilihat bahwa :
(a) Di dalam menerjemahkan Squid Boy, penerjemah menggunakan padanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang
muncul dalam cerita, yaitu dengan sebutan ‘dasar anak sotong’. Padanan makna
dari sebutan di atas sudah tepat dan berterima. Namun padanan gaya, dalam hal
ini adalah padanan struktur kalimat mengalami perubahan, yaitu dari sebuah frasa
dalam Tsu berubah menjadi kalimat eliptik dalam teks terjemahannya. Perubahan
ini mungkin dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan, yaitu sekali pun
dimungkinkan adanya terjemahan harfiah menurut struktur gramatikal,
padanannya tidak wajar atau kaku dalam bahasa sasaran.
(b) Penerjemah menerjemahkan kata-kata khusus dalam Tsu (misalnya nama
tertentu seperti loco) dengan padanan makna dan gaya yang tetap ke dalam bahasa
dan budaya sasaran yaitu loco.
(c) Penerjemahan tokoh atau karakter di dalam teks novel asli di atas ke dalam
karakterisasi yang disesuaikan dengan masyarakat pembaca novel terjemahan
mengalami perbedaan, misalnya kulit badan tokoh pink-skinned diterjemahkan
menjadi kulit kemerahan. Dalam bidang warna, pink memiliki makna yang
berbeda dengan kemerahan. Warna pink terbentuk dari perpaduan antara warna
merah dengan warna putih, sementara kemerahan merujuk pada objek yang
mengarah ke atau menjadi merah. Padanan ini akan menjadi lebih berterima
seandainya kata pink diterjemahkan dengan merah muda. Selain itu, kalimat I was
a pink-skinned juga memiliki efek yang berbeda dengan kalimat aku hanyalah
bocah lelaki dengan kulit kemerahan. Kata was di dalam kalimat sumber memiliki
makna yang berbeda dengan kata hanyalah di dalam kalimat sasaran. Penerjemah
di dalam mencari padanan makna dan gaya di dalam menggambarkan tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
mengenai tinggi badan four-foot-eight di dalam kalimat sumber menjadi satu
meter empat puluh enam, berat badan tokoh seventy-eight-pound menjadi tiga
puluh sembilan kilo di dalam kalimat sasaran sudah benar dan berterima.
Padanan istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman
sosiokultural yang muncul dalam cerita, kata-kata khusus yang ada dalam Tsu,
dan gaya yang muncul di dalam contoh di atas dan juga di dalam keseluruhan teks
novel The Highest Tide perlu dikaji lebih mendalam, hal ini dimaksudkan untuk
mencari hubungan padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa, apakah padanan
makna dan gaya antara Tsu dan Tsa tersebut untuk memenuhi tuntutan kewajaran
atau dipaksakan oleh penerjemah yang disebabkan kekurangpahaman terhadap
kedua bahasa.
Hal ini menarik untuk diteliti, karena analisis penerjemahan novel yang
didasarkan pada analisis karya terjemahan semata dapat diduga bahwa kualitas
terjemahan yang dihasilkan tidak akan memberikan pemahaman yang mendalam
dan menyeluruh, hal ini karena karya terjemahan dihasilkan melalui suatu proses
penerjemahan dan baik-tidaknya karya terjemahan sangat tergantung pada
kompetensi dan strategi penerjemah dalam melakukan proses penerjemahan, dan
penerjemah adalah pelaku utama (main agent) proses penerjemahan, karenanya
pembuatan keputusan penerjemah sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan
kompetensinya. Dengan kata lain, penelitian penerjemahan haruslah dipandang
secara menyeluruh (holistik) yang meliputi latar belakang dan kompetensi
penerjemah, produk yang dihasilkan, dan tanggapan pembaca terhadap produk
terjemahan yang dihasilkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1.2 Pembatasan Masalah
Dengan bertitik tolak pada latar belakang di atas dan untuk menghasilkan
pemahaman masalah secara lebih mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada
kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel Pasang Laut
(PL) dengan analisis penerjemahan yang melibatkan kesepadanan antara Tsu dan
Tsa (faktor objektif), penerjemah (faktor genetik), dan pembaca terjemahan
(faktor afektif).
a) Kesepadanan antara Tsu dan Tsa sebagai faktor objektif dibatasi pada
kesepadanan makna (leksikal, situasional, tekstual, sosiokultural, dan/atau
implisit) antara tsu dan tsa yang berhubungan dengan penerjemahan bagian-
bagian substansi di dalam novel HT, yaitu: (1) budaya materi, (2) istilah
ekologi, (3) budaya sosial, dan (4) gaya bahasa ; dan kesepadanan gaya yang
meliputi: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur
kata tertentu, dan tanda baca yang digunakan dalam tsu dan tsa. Sedangkan
kualitas terjemahan dikategorikan berdasarkan: terjemahan hampir sempurna,
terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup, dan terjemahan
kurang.
b) Penerjemah sebagai faktor genetik dibatasi pada masalah latar belakang
penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT,
dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan bagian-bagian yang khas
dalam novel HT. Penerjemah yang dimaksud adalah penerjemah profesional
Indonesia yang karya terjemahannya telah diterbitkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c) Pembaca sebagai faktor afektif dibatasi pada pemahaman pembaca terhadap
kualitas terjemahan yang dihasilkan, yaitu novel terjemahan Pasang Laut.
Pemahaman pembaca ini dilandasi dengan pertimbangan bahwa pemahaman
terhadap sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang dapat digunakan
untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu teks yang diterjemahkan.
Peneliti menyadari bahwa di dalam menganalisis penerjemahan suatu
novel haruslah dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain:
kepribadian penerjemah, latar belakang sosial dan budaya penerjemah, dan
berbagai peristiwa di sekitar penerjemah yang berkaitan dengan proses
penerjemahan. Namun dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh
peneliti, beberapa aspek tersebut tidak diteliti. Di samping itu, peneliti tidak
meneliti secara satu per satu kata yang terdapat di dalam novel sumber dan
terjemahannya, namun dibatasi pada analisis penerjemahan bagian-bagian yang
khas yang terdapat di dalam novel. Pembatasan ini selain pertimbangan
keterbatasan waktu, juga dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman masalah
secara lebih khusus dan mendalam, yaitu tidak meneliti terjemahan novel secara
harfiah dan umum saja, namun lebih pada bagian-bagian yang khas atau khusus di
dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya Pasang Laut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a) Bagaimanakah kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya
materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The
Highest Tide dan terjemahannya?
b) Bagaimanakah latar belakang penerjemah dan keterkaitannya dengan
kualitas terjemahan yang dihasilkan?
c) Bagaimanakah pemahaman pembaca dan keterkaitannya dengan kualitas
terjemahan yang dihasilkan?
1.4 Tujuan Penelitian
(a) Menganalisis dan mengevaluasi kesepadanan makna dan gaya ungkapan-
ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di
dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya.
(b) Menjelaskan dan menganalisis latar belakang penerjemah dan keterkaitannya
dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan.
(c) Menganalisis dan mengevaluasi pemahaman pembaca dan keterkaitannya
dengan kualitas terjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun praktis.
1.5.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai:
(a) Masukan berupa konsep teori yang berhubungan dengan kesepadanan
makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya
sosial, dan gaya bahasa antara Tsu dan Tsa.
(b) Kontribusi pemikiran bagi penelitian penerjemahan novel dengan
mempertimbangkan bahwa kualitas penerjemahan novel yang baik
dipengaruhi oleh kualitas penerjemah, yaitu penerjemah yang memiliki latar
belakang akademik bidang penerjemahan, pengalaman profesi penerjemahan,
beragam karya terjemahan, dan pemahaman pembaca novel terjemahan.
(c) Kontribusi pemikiran atau gagasan yang berkaitan dengan penerjemahan
novel dengan mempertimbangkan bahwa proses penerjemahan tidak hanya
menggunakan kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga
kompetensi instrumental, dan proses penerjemahan tidak hanya pada makna
saja, tetapi juga gaya dengan memperhatikan bahwa pencarian padanan
makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai akan menghasilkan terjemahan
yang tidak lengkap dan tidak efisien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan:
(a) Sebagai masukan operasional bagi penerjemah mengenai masalah
kesepadanan dalam penerjemahan Tsu sebuah novel ke dalam Tsa sebuah
novel. Penerjemah dapat mempergunakan hasil penelitian ini sebagai
landasan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas terjemahan di
bidang susastra, khususnya penerjemahan novel.
(b) Memberi rangsangan bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitian
sejenis, misalnya mengkaji proses decision-making dalam proses
menerjemahkan karya terjemahan novel, mengkaji strategi yang paling
mungkin digunakan dalam menerjemahkan karya terjemahan non-literer, dan
sebagainya.
(c) Sebagai referensi di bidang penerjemahan susatra, khususnya novel, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa yang mendalami bidang
penerjemahan untuk pengembangan dan perbaikan penerjemahan novel
khususnya tentang kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa yang
berhubungan dengan penerjemahan bagian-bagian yang khas dalam susastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian penerjemahan haruslah dilakukan secara menyeluruh (holistik),
yaitu yang melibatkan faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif. Namun
demikian, beberapa penelitian penerjemahan, khususnya kesepadanan makna dan
gaya pada bagian-bagian khas karya susastra novel sejauh ini masih belum
dilakukan secara ekstensif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan
memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti di dalam penelitian ini
dipaparkan lebih lanjut di bawah ini. Beberapa penelitian mengenai novel ataupun
mengenai penerjemahan, namun tidak memiliki keterkaitan dengan analisis
penerjemahan secara holistik, maka beberapa penelitian tersebut tidak dipaparkan.
Di dalam bahasa Indonesia, beberapa penelitian penerjemahan secara
holistik yang melibatkan faktor genetik, objektif, dan afektif yang dapat
ditemukan sejauh ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nababan, dkk. (2004),
Martha Budianto (2007), dan AP. Sudarno (2008). Penelitian oleh Nababan, dkk.
(2004) dengan judul Keterkaitan Antara Latar Belakang Penerjemah dengan
Proses Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Penerjemah
Profesional di Surakarta) merupakan penelitian penerjemahan secara holistik
yang melibatkan tiga aspek penting dalam penelitian, yaitu aspek genetik
(bersumber pada penerjemah), aspek objektif (karya terjemahan), dan aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
afektif (pembaca teks bahasa sasaran). Ketiga aspek tersebut saling terkait satu
sama lain. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa para penerjemah
memiliki latar belakang pendidikan yang cukup memadai untuk menjadi
penerjemah, pengetahuan mereka tentang konsep dan proses penerjemahan sangat
memadai, dan beberapa hasil terjemahan sudah tergolong terjemahan yang
berkualitas dengan indikator bahwa pesan yang disampaikan sudah cukup akurat
dan teks terjemahan mudah dipahami oleh pembaca.
Penelitian oleh Martha Budianto (2007) dengan judul Kajian
Penerjemahan Film (Subtitling) berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia
(Sebuah Studi Kebijakan) juga melibatkan tiga aspek penting dalam penelitian
kualitatifnya, yaitu aspek genetik (bersumber pada penerjemah film), aspek
objektif (dialog film bahasa sumber ke teks film bahasa sasaran), dan aspek
afektif (pengamat terjemahan film). Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama
lain. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa secara umum proses subtitling
yang selama ini diterapkan di Indonesia sudah benar. Proses subtitling dibagi ke
dalam tiga tahap, yaitu proses persiapan, proses penerjemahan, dan proses
penyelarasan. Di dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa kesulitan, yaitu
kesulitan teknis dan strategi untuk mengatasinya, kesulitan karena budaya bahasa
sumber yang berbeda dengan budaya bahasa sasaran, kesulitan karena kompetensi
penerjemah film, dan keterbatasan subtitles.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh AP. Sudarno (2008)
dengan judul Evaluasi Terjemahan Buku-buku Teks di Bidang Rancang Bangun.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi ketepatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dan kesepadanan hasil terjemahan dari buku-buku teks bahasa sumber ke dalam
terjemahan bahasa Indonesia, mendeskripsikan dan mengklasifikasikan penilaian
hasil terjemahan yang digolongkan tepat, tepat tetapi masih memerlukan
perbaikan, tidak tepat, serta menerangkan sebab-sebab terjadinya terjemahan yang
dianggap tidak tepat. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa hasil
penerjemahan pada frase-frase pada kalimat tunggal dan majemuk ada yang tepat,
ada yang tepat tetapi masih memerlukan perbaikan susunan dan ada yang tidak
tepat. Pada frase-frase yang bukan istilah teknik biasanya penerjemahannya sudah
tepat tetapi pada frase-frase yang di dalamnya terkandung istilah teknik, frase-
frase tersebut diterjemahkan kurang tepat. Hal ini disebabkan karena penerjemah
tidak melibatkan pakar teknik atau pakar yang membidangi ilmu tersebut, terdapat
kesalahan terjemahan dalam tataran kalimat dari buku yang diterjemahkan, pada
tataran kalimat yang banyak terjadi kesalahan adalah pada kalimat majemuk dan
kompleks karena kalimat tersebut terdiri dari banyak klausa, tiga atau lebih yang
hubungan antar klausanya satu dengan yang lain sangat rumit sehingga sulit
diterjemahkan; dan istilah-istilah teknik yang khas banyak terdapat dalam buku-
buku tersebut dan kadang-kadang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa
Indonesia.
Penelitian-penelitian di atas, setelah diamati secara seksama, memberikan
gambaran dan memiliki keterkaitan dengan penelitian di dalam disertasi ini,
utamanya mengenai kualitas hasil terjemahan dengan melibatkan aspek-aspek
penting di dalam penelitian penerjemahan secara holistik, yaitu yang melibatkan
tiga aspek penting berupa aspek genetik, aspek objektif, dan aspek afektif. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
demikian, masing-masing penelitian di atas memiliki ranah tersendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh Nababan, dkk. (2004) lebih memfokuskan pada analisis
kualitas penerjemahan teks bahasa, penelitian yang dilakukan oleh Martha
Budianto (2007) lebih menitikberatkan pada analisis penerjemahan film,
sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh AP. Sudarno (2008) lebih
mengarah pada evaluasi ketepatan dan kesepadanan hasil terjemahan buku-buku
ilmiah. Ketiga penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang disajikan di
dalam disertasi ini. Penelitian di dalam disertasi ini lebih menitikberatkan pada
analisis penerjemahan novel secara holistik yang melibatkan aspek genetik,
objektif, dan afektif.
Sementara itu, di dalam bahasa Inggris, beberapa penelitian penerjemahan
yang berhubungan dengan penelitian di dalam disertasi ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Qusai Anwer Aldebyan (2008), Caixia Yang (2010), dan Xu
Minhui (2010). Penelitian oleh Qusai Anwer Aldebyan (2008) dengan judul
Strategies for Translating Arabic Cultural Makers into English: A Foreignizing
Approach berusaha untuk mengeksplorasi strategi penerjemahan yang digunakan
di dalam menerjemahkan budaya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris,
mengeksplorasi pengaruh penggunaan strategi penerjemahan domesticating dan
foreignizing terhadap kualitas terjemahan, dan mengeksplorasi penerjemahan dari
perspektif budaya dan etnografi. Korpus dari penelitian ini diambilkan dari enam
novel bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menerjemahkan budaya adalah
sesuatu yang cukup problematik dan menantang, khususnya apabila penerjemahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
terjadi antara dua bahasa yang secara linguistik dan budaya berbeda. Strategi
penerjemahan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan budaya tersebut
adalah dengan menggunakan prosedur komparatif, yaitu masalah-masalah di
dalam penerjemahan terlebih dahulu dibahas dan dinalisis dari berbagai perspektif
(semantik, pragmatik, studi budaya, sosiolinguistik, teori susastra, dsb).
Kemudian, kedua Tsu dan teks terjemahan dideskripsikan secara kontekstual,
semantik, komunikatif, dan estetik sebelum kedua teks tersebut dibandingkan dan
dievaluasi. Langkah selanjutnya adalah membandingkan kedua teks tersebut
untuk melihat apakah kedua teks tersebut sepadanan atau tidak. Strategi
penerjemahan domesticating tidak cocok untuk menerjemahkan budaya, karena
strategi ini mengarah pada hilangnya informasi sumber, penyimpangan fakta dan
kebenaran, dan misrepresentasi nilai budaya. Penerjemahan budaya yang paling
berhasil adalah dengan menggunakan strategi penerjemahan foreignizing, karena
strategi ini membantu memelihara identitas Tsu dan menjaganya sedekat mungkin
dengan teks aslinya. Foreignizing juga mampu memberikan informasi penting dan
rinci di dalam memperkenalkan kepada pembaca sasaran mengenai budaya,
masyarakat, dan sastra sumber. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
penerjemahan memainkan peranan yang sangat penting di dalam representasi dan
misrepresentasi budaya.
Penelitian oleh Caixia Yang (2010) dengan judul Strategies of
Transmitting English Cultural Elements into Chinese: Reflexion on E-C Literary
Translation in China berusaha mengeksplorasi strategi unsur-unsur budaya bahasa
Inggris ke dalam budaya Cina secara efektif melalui penerjemahan literer Inggris-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Cina. Penelitian tersebut didasari pemikiran bahwa di dalam konteks globalisasi
kesadaran untuk saling memahami perbedaan budaya sangat penting dan bahwa
penerjemahan susastra sebagai alat pengalihan informasi budaya memainkan
peranan yang sangat diperlukan di dalam meningkatkan toleransi dan apresiasi
terhadap suatu perbedaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang penerjemah seharusnya
memiliki kepekaan dan memberikan perhatian yang lebih di dalam memetakan
perbedaan budaya di dalam konteks budaya Inggris dan Cina, dan menyampaikan
perbedaan-perbedaan tersebut baik yang kelihatan maupun tidak ke dalam teks
yang diterjemahkan. Penerjemah harus mampu mengenali unsur-unsur budaya di
dalam teks aslinya dan mentransfer informasi budaya dengan akurat dan tepat
dengan menggunakan strategi-strategi yang paling memungkinkan. Strategi yang
dapat digunakan untuk menerjemahkan budaya Inggris-Cina adalah dengan
memasukkan informasi budaya yang relevan ke dalam teks yang diterjemahkan
dan mengalihkannya secara alami, yaitu dengan ekspresi yang tidak kaku dan
informasi yang tidak berlebihan dan menggunakan catatan kaki untuk
mendapatkan hasil yang sepadan.
Penelitian oleh Xu Minhui (2010) dengan judul On Scholar Translators in
Literary Translation: A Case Study of Kinkley’s translation of “Biancheng”
berusaha membahas lebih dalam hasil terjemahan novel melalui tiga perspektif,
yaitu: posisi bahasa sumber dan bahasa sasaran (Cina dan Inggris), posisi penulis
(Shen Congwen), dan posisi penerjemah (Jeffrey Kinkley). Penelitian ini
mendasarkan analisis pada novel Biancheng karya Shen Congwen yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Border Town oleh Jeffrey Kinkley,
seorang profesor di St. John’s University di Amerika. Di dalam menerjemahkan
novel Biancheng, Kinkley berusaha menunjukkan sebanyak mungkin ekspresi
unik atau khusus bahasa Cina yang ada di dalam teks sumber dengan cara
memberikan penjelasan yang lengkap yang tersirat di dalam ekspresi tersebut.
Kinkley juga memberikan banyak catatan kaki untuk memberikan informasi yang
berhubungan dengan sejarah dan budaya yang ada di dalam teks sumber. Strategi
tersebut disebut dengan in-text explications dan out-text endnotes.
Hasil penelitian oleh Minhui menunjukkan bahwa karya susastra Cina
(Tsu) dan Inggris (Tsa) memiliki posisi yang berbeda. Karya susastra Cina
memiliki posisi yang marjinal di bidang susastra dunia, sedangkan karya susastra
Inggris memiliki kekuatan yang sangat dominan terhadap karya dari berbagai
bahasa di seluruh dunia. Posisi yang berbeda tersebut memberikan hipotesis
terhadap ketidaksepadanan struktur kedua bahasa dan menyiratkan bahwa
terjemahan dari bahasa Cina ke dalam bahasa Inggris dilakukan berdasarkan
norma yang mengatur penerjemahan dari bahasa yang terdominasi ke dalam
bahasa yang mendominasi. Hasil lain adalah bahwa semakin tinggi latar belakang
seorang penerjemah, maka hasil terjemahannya akan semakin berorientasi pada
teks sumber dan sekali suatu teks dipilih untuk diterjemahkan, maka posisi
penerjemah memiliki kekuatan yang sangat menentukan.
Penelitian-penelitian di atas, sepanjang pengamatan peneliti, tidak meneliti
penerjemahan novel secara holistik namun masih memiliki relevansi dengan
penelitian di dalam disertasi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Qusai Anwer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Aldebyan (2008) lebih menekankan pada analisis karya terjemahan novel (aspek
objektif) saja, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yang (2010) dan Minhui
(2010) lebih menekankan pada aspek genetik, yaitu memberikan gambaran
analisis hanya pada posisi seorang penerjemah dan strategi yang digunakan di
dalam menerjemahkan novel. Untuk itu, diperlukan lagi penelitian yang lebih
menyeluruh untuk melihat kualitas penerjemahan novel, yaitu penelitian novel
yang diarahkan pada analisis karya terjemahan novel (aspek objektif), penerjemah
novel (aspek genetik), dan pembaca novel (aspek afektif), sebagaimana yang
dieksplorasi di dalam disertasi ini.
2.2 Landasan Teori
Di dalam subbab ini diuraikan secara rinci mengenai teori-teori yang
melandasi dan memberikan kerangka di dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut
meliputi penerjemah, proses penerjemahan, makna dan gaya dalam penerjemahan,
hakikat susastra, penerjemahan novel, teori polisistem, konsep norma, konsep
kesepadanan, evaluasi kualitas terjemahan, parameter kualitas terjemahan, dan
pendekatan kritik holistik.
2.2.1 Penerjemah
Secara sederhana definisi penerjemah adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk mengalihkan pesan tertulis dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa
sasaran (Bsa). Dengan kata lain bahwa menerjemahkan melibatkan dua bahasa
yang memungkinkan akan terjadi suatu alih kode. Namun menerjemahkan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
hanya sekadar alih kode tetapi juga sebuah profesi yang memerlukan pendidikan
dan pelatihan pada tingkat lanjutan.
Di dalam penerjemahan susastra, penerjemah susastra adalah orang yang
sangat memperhatikan terhadap penerjemahan teks-teks susastra (Kolawole, dkk,
2008:1). Seorang penerjemah susastra secara umum menerjemahkan suatu teks
dengan tulisan yang indah dengan memperhatikan bahasa, bentuk, dan isi teks
(Newmark: 1988:1). Penerjemah karya susastra berperan aktif dalam kegiatan
kreatif penulis dan kemudian menciptakan struktur kalimat dan tanda dengan cara
menyesuaikan teks dalam Bsa dengan teks dalam Bsu sedekat mungkin.
Penerjemah perlu memikirkan dengan mendalam mengenai kualitas teks susastra
yang diterjemahkan dan keberterimaannya dengan pembaca sasaran.
Menurut Nababan (2004:31), seorang penerjemah yang menekuni
pekerjaannya dapat digolongkan ke dalam penerjemah berdasarkan (1) keahlian,
(2) proses pemahaman dan pemroduksian teks, (3) status profesi, dan (4) sifat
pekerjaan sehari-hari penerjemah.
Nababan (2004:31) menggolongkan penerjemah berdasarkan keahliannya
menjadi lima tipe penerjemah, yaitu penerjemah pemula, penerjemah lanjutan,
penerjemah kompeten, penerjemah mahir, dan penerjemah ahli. Penerjemah,
dilihat dari sudut pandang cara mereka memahami dan menghasilkan teks, dapat
dibagi menjadi associate translator, subordinated translator, compound
translator dan coordinated translator. Keempat jenis penerjemah tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) Associate translator adalah penerjemah yang
semata-mata menerjemahkan hanya dengan menghubungkan unsur-unsur leksikal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
dari bahasa sumber ke unsur-unsur leksikal bahasa sasaran. Karena proses ini
didasarkan sepenuhnya pada unsur-unsur kebahasaan dan tidak
menghubungkannya dengan proses mental, maka jenis penerjemahan ini tidak
merepresentasikan keseluruhan proses penerjemahan, (2) Subordinated translator
yaitu penerjemah yang menerjemahkan dengan menghubungkan proses mental
hanya dengan salah satu dari dua bahasa, proses yang dilibatkan di sini adalah
menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa ke unsur-unsur leksikal
bahasa yang lain dan kemudian menghubungkannya dengan proses mental,
(3) Compound translator yaitu penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur
leksikal salah satu bahasa dengan repertoir tunggal proses mental dan darinya
hubungan dengan unsur-unsur leksikal dengan bahasa lain dapat ditemukan, dan
(4) Coordinated translator yaitu penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur
leksikal salah satu bahasa dengan repertoir proses mental yang dimiliki sendiri
dengan proses mental khusus pada repertoir kedua yang pada akhirnya
dihubungkan dengan unsur-unsur leksikal dari bahasa lain. Dengan kata lain
bahwa masing-masing bahasa memiliki cara paham sendiri dan menghasilkan
informasi sendiri-sendiri.
Lebih lanjut berdasarkan pada cara pandang dan cara menghasilkan
informasi ini maka penerjemah dibedakan ke dalam penerjemah pemula dan
penerjemah ahli. Perbedaan antara penerjemah ahli dan pemula adalah bahwa
(1) penerjemah ahli mempunyai keterampilan khusus kebahasaan, sementara
penerjemah pemula tidak memiliki keterampilan tersebut, (2) penerjemah ahli
digolongkan ke dalam penerjemah koordinat, sementara penerjemah pemula ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dalam golongan penerjemah kompaun dan subordinat, (3) penerjemah ahli dapat
mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan menghasilkan informasi,
sementara penerjemah pemula tidak, dan (4) penerjemah ahli cenderung
mempertimbangkan penerjemahan pada tataran teks sedangkan penerjemah
pemula cenderung pada tataran kata.
Di lihat dari sudut pandang status profesinya, penerjemah digolongkan ke
dalam penerjemah amatir, penerjemah semi-profesional, dan penerjemah
profesional. Penerjemah amatir adalah penerjemah yang melakukan tugas
penerjemahan sebagai hobi. Sebaliknya, penerjemah profesional adalah
penerjemah yang menghasilkan terjemahan secara profesional dan menjadikan
kegiatan terjemahan sebagai suatu profesi. Penerjemah semi-profesional adalah
penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan untuk memperoleh kesenangan
diri atau hobi dan dampaknya akan mendapatkan imbalan dari hobinya tersebut.
Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka, penerjemah digolongkan
menjadi penerjemah paruh waktu dan penerjemah penuh waktu. Penerjemah
paruh waktu biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan
tambahan. Sebaliknya, penerjemah penuh melakukan tugas penerjemahan demi
uang. Pembagian ini menyiratkan bahwa penerjemah paruh waktu dapat disebut
penerjemah semi-profesional sedangkan penerjemah penuh dapat disebut
penerjemah profesional. Penggolongan penerjemah di dalam menekuni pekerjaan
sebagaimana tersebut di atas digunakan peneliti sebagai acuan untuk menjelaskan
kategori penerjemah di dalam penelitian ini dan hubungannya terhadap kualitas
hasil terjemahan yang dihasilkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2.2.2 Proses Penerjemahan
Penerjemahan secara umum dipahami sebagai pengalihan pesan dan gaya
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Untuk itu penerjemah paling tidak
melakukan dua kegiatan, yaitu memahami makna bahasa sumber dan
merekonstruksi makna yang telah dipahaminya itu ke dalam bahasa sasaran.
Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah tidak dapat hanya
menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah (grammar) bahasa sumber,
tetapi ia juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu.
Hal yang sama terjadi ketika ia harus merekonstruksikan makna yang telah
dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ia perlu menyesuaikan
kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan
penerjemahan, dan sebagainya.
Sumarno (1997:13) mengatakan bahwa proses penerjemahan adalah
langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada waktu dia
melakukan penerjemahannya. Hal ini berarti bahwa sebelum menerjemahkan
suatu teks, seorang penerjemah harus melakukan langkah-langkah penerjemahan.
Langkah-langkah penerjemahan yang dimaksud adalah (1) menganalisis,
(2) mentransfer, dan (3) merestrukturisasi.
Proses penerjemahan yang didefinisikan oleh Sumarno di atas selaras
dengan proses penerjemahan yang telah dinyatakan oleh Nida (1975:80) yang
membagi proses penerjemahan menjadi tiga tahap atau langkah, yaitu:
(1) analysis, (2) transfer, dan (3) restructuring, sebagaimana yang digambarkan di
dalam bagan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Bagan 2.1 Proses Penerjemahan (Nida, 1975) Sementara itu, Nababan (2003:24-25) mengartikan proses penerjemahan
sebagai (1) serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada
saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran atau
(2) suatu sistem kegiatan dalam aktivitas menerjemahkan. Dari definisi Nababan
di atas dapat dilihat bahwa sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah harus
melakukan berbagai langkah atau tahap penerjemahan yang terangkai dalam suatu
sistem di dalam menerjemahkan. Lebih lanjut, tahap-tahap menerjemahkan
menurut Nababan (sebagaimana dikutip dari Suryawinata, 1989:80) terdiri dari
tiga tahap, yaitu (1) analisis teks bahasa sumber, (2) pengalihan pesan, dan
Source
language text
Analysis
Receptor language
text
Transfer
Restructuring
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(3) restrukturisasi. Ketiga tahap dalam proses penerjemahan itu digambarkan
dalam bagan berikut:
Bagan 2.2 Proses Penerjemahan (Nababan, 2003: 25)
Proses penerjemahan yang didefinisikan oleh Nababan di atas bila
dicermati lebih lanjut memiliki kesamaan gagasan mengenai proses penerjemahan
yang telah dinyatakan oleh Sumarno dan Nida dengan membagi proses
penerjemahan menjadi tiga tahap atau langkah, yaitu: (1) analysis, (2) transfer,
dan (3) restructuring. Lebih lanjut, Nababan menyatakan bahwa di dalam proses
Analisis
Restrukturisasi
Teks Bahasa
Sasaran
Isi
Makna Pesan
Isi
Makna Pesan
Teks
Bahasa Sumber
Padanan
Pemahaman
Evaluasi dan Revisi
PROSES BATIN
Transfer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
analisis perlu apa yang disebut dengan pemahaman terhadap teks bahasa sumber,
di dalam proses transfer selalu melibatkan apa yang disebut dengan proses batin,
dan dalam proses batin perlu melakukan evaluasi dan revisi.
Pada tahap analisis, sebelum seorang penerjemah menganalisis teks yang
akan diterjemahkan, penerjemah selalu dihadapkan pada teks sumber (Tsu)
terlebih dahulu (Sumarno, 2003:16; Nababan, 2003:24). Di dalam tahap analisis
ini yang dapat dilakukan penerjemah adalah membaca dan memahami isi Tsu
(Nababan, 2003:25-26). Kegiatan membaca Tsu dimaksudkan untuk memahami
isi Tsu.
Di dalam memahami isi teks tersebut diperlukan adanya pemahaman
terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu.
Unsur linguistik mengacu pada unsur kebahasaan dan unsur ekstralinguistik yang
mengacu pada unsur yang berada di luar kebahasaan. Unsur ekstralinguistik ini
terkait dengan sosio-budaya teks bahasa sumber yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari bahasa itu. (Nababan, 2003: 26).
Pernyataan Nababan di atas selaras dengan yang dinyatakan oleh Nord
(1997) bahwa Tsu dapat dianalisis melalui faktor-faktor ekstratekstual dan
intratekstual yang ada di dalam teks bahasa sumber tersebut. Dari sudutpandang
ekstratekstual, faktor-faktor seperti waktu, tempat, pengirim, medium, dan motif
dapat mempengaruhi pilihan kata. Dari sudutpandang intratekstual, analisis
struktur kalimat mengarah pada informasi mengenai karakteristik pokok masalah,
struktur kata, fitur-fitur suprasegmental, dan sintaksisnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Sebagaimana diketahui, setiap bahasa memiliki bentuk dan makna. Bentuk
bahasa, yang dalam bahasa tulis disebut teks, dapat berupa kata, frase, klausa,
kalimat, atau wacana. Sementara itu, makna bahasa, yaitu apa yang terkandung di
dalam bentuk bahasa, dapat berupa makna leksikal, makna gramatikal, makna
tekstual, makna kontekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Untuk
memahami kalimat bahasa sumber, orang dituntut untuk memahami tidak saja
makna masing-masing kata yang terdapat di dalam kalimat itu, melainkan juga
hubungan dari masing-masing kata tersebut. Kadangkala suatu kalimat
mengandung makna lebih dari sekadar makna harfiah, namun ada makna lain
yang ingin diungkapkan selain yang tersurat. Untuk memahaminya, orang perlu
mempertimbangkan konteks digunakannya kalimat tersebut.
Pada tahap pengalihan (transfer), seorang penerjemah pada tahap ini harus
mampu mencarikan padanan untuk semua kata, frase, klausa, kalimat, dan bahkan
mencarikan padanan untuk seluruh wacana. Pencarian padanan ini terjadi di batin
seorang penerjemah (Sumarno, 2003:17). Kata, frase, klausa, kalimat, dan bahkan
seluruh wacana tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran. Pencarian
padanan tersebut tidak mudah karena kadang-kadang terdapat ungkapan-ungkapan
yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran, dan bahkan
kadang-kadang terdapat makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan
padanannya dalam bahasa sasaran.
Pada langkah transfer tersebut, penerjemah melakukan pemindahan makna
teks yang diperoleh dari hasil analisis pada langkah pertama tersebut dari bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Di sini penerjemah di tuntut mencari dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
menentukan padanan dalam bahasa sasaran pada setiap tingkatan atau unsur
dalam bahasa sumber, mulai dari kata, frase, klausa, kalimat, hingga wacana.
Mengingat tidak ada dua bahasa yang identik, penerjemah boleh jadi akan
mengalami kesulitan pada fase ini. Kesulitan tersebut dapat berasal dari elemen
internal bahasa atau dari elemen luar bahasa. Kesulitan internal berkaitan dengan
sistem bahasa itu sendiri, seperti mencari padanan tenses. Kesulitan eksternal
berkaitan dengan elemen-elemen di luar sistem bahasa, seperti kesulitan budaya.
Di dalam tahap ini Nababan (2003: 27) juga menyampaikan hal yang
senada dengan Sumarno bahwa setelah penerjemah dapat memahami makna dan
struktur bahasa sumber, maka penerjemah akan dapat menangkap pesan yang
terkandung di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah mengalihkan isi, makna,
pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam
tahap pengalihan pesan ini, penerjemah dituntut untuk menemukan padanan kata
bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Proses pengalihan isi, makna, dan pesan
tersebut merupakan proses batin, proses yang berlangsung di dalam pikiran
penerjemah.
Pada tahap penyelarasan (restructuring), tahap ini sering pula di sebut
dengan tahap penyelarasan (Sumarno, 2003: 17) yaitu setelah penerjemah
menemukan semua padanan dalam bahasa sasaran, maka penerjemah harus
menuangkan semua padanan tersebut ke dalam draft atau rencana terjemahan. Di
dalam draft tersebut ungkapan-ungkapan di dalam bahasa sasaran masih bersifat
sementara dan masih perlu perbaikan atau penyelarasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Lebih lanjut, Nababan (2003:28) menyatakan bahwa restrukturisasi atau
penyelarasan adalah pengubahan proses pengalihan menjadi bentuk stilistik yang
cocok dengan bahasa sasaran, pembaca, atau pendengar. Dengan demikian, pada
tahap penyelarasan tersebut, seorang penerjemah perlu memperhatikan ragam
bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan jenis teks yang
diterjemahkan dan juga memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu ditujukan.
Di dalam proses ini apa yang disampaikan Nababan bahwa penerjemah
perlu memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu ditujukan mengacu pada
terjemahan yang fungsional, yaitu bahwa penerjemah seharusnya tidak
dikendalikan oleh fungsi dari Tsu tetapi dikendalikan oleh fungsi Tsa yang ingin
dicapai di dalam budaya sasaran dengan fungsi Tsa yang ditentukan oleh
penerimanya.
Pada langkah restrukturisasi, penerjemah menyusun padanan pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Restrukturisasi pesan tersebut dilakukan
berdasarkan kaidah-kaidah bahasa sasaran yang berterima sehingga pesan tersebut
dapat dipahami secara wajar oleh pembaca sasaran. Apabila dimungkinkan,
penerjemah diharapkan mampu memberikan nuansa terjemahannya sedemikian
rupa sehingga pembaca tidak merasa bahwa pembaca sedang membaca karya
terjemahan. Hal itu sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas bahwa
penerjemahan tidak sekadar membuat pembaca sasaran memahami pesan tetapi
juga memiliki respon yang relatif sama dengan pembaca bahasa sumber ketika
mereka membaca teks bahasa sumber. Di sini penerjemah dituntut menyesuaikan
kalimat-kalimatnya dengan konteks penggunaan bahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Proses penerjemahan yang telah diuraikan di atas, dijadikan sebagai
referensi di dalam penelitian ini dalam mengungkapkan proses penerjemahan
yang dilakukan oleh penerjemah dan hubungannya dengan kualitas terjemahan
yang dihasilkan.
2.2.3 Makna dan Gaya dalam Penerjemahan
Makna dan gaya merupakan aspek-aspek penting yang perlu
dipertimbangkan dalam setiap kegiatan penerjemahan. Sebagaimana dinyatakan
oleh Bell (1991:5) bahwa “translation is the expression in another language (or
target language) of what has been expressed in another, source language,
preserving semantic and stylistic equivalences”, hal ini berarti bahwa padanan
makna dan gaya adalah sangat penting (preserving semantic and stylistic
equivalences). Jadi, dalam penerjemahan seorang penerjemah tidak hanya
mempertahankan makna saja tetapi juga harus mempertahankan gayanya.
Makna dan gaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
penerjemahan (Siad Shiyab, 2003:5). Penerjemahan atau pencarian padanan
makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai, hasil terjemahan akan menjadi
tidak lengkap dan tidak efisien. Makna adalah substansi yang dikomunikasikan
ke pembaca terjemahan, sedangkan gaya adalah cara bagaimana
mengkomunikasikan makna tersebut ke pembaca terjemahan. Sebagaimana
dinyatakan di dalam website Read Me First Network (2003) bahwa “ … style is
fundamental to literary writing and understanding it is essential. If content is
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
what to communicate, then style is how we communicate that content, that is, the
form of the work”.
Dengan demikian apabila makna suatu teks dalam bahasa sumber
menggunakan gaya ilmiah, maka terjemahannya juga menggunakan gaya ilmiah.
Begitu juga bila makna teks bahasa sumber menggunakan gaya susastra, maka
terjemahannya juga menggunakan gaya susastra.
Makna merupakan sesuatu hal yang utama dalam kegiatan penerjemahan.
Tidak akan ada kegiatan penerjemahan jika tidak ada makna yang harus dialihkan.
Dalam kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah harus mampu mencari
padanan makna dalam bahasa sasaran (Bsa) yang sedekat-dekatnya sama dengan
makna yang ada dalam bahasa sumber (Bsu). Soemarno (1999:1) menjelaskan
bahwa seorang penerjemah yang baik harus mampu menganalisis suatu wacana
atau teks untuk mendapatkan makna yang tepat dalam tataran leksikal, frase,
kalimat, dan bahkan makna dari seluruh wacana itu kemudian mengalihkannya ke
dalam bahasa sasaran.
2.2.3.1. Definisi Meaning, Denotation, Reference, dan Sense
Kajian mengenai makna ini termasuk dalam ranah semantik. Dalam studi
semantik, istilah makna bermacam-macam, yakni meaning, sense, denotation/
designation, dan reference (Edi Subroto, 1999:1). Menurut Edi Subroto, yang
dimaksud dengan meaning (diterjemahkan menjadi arti) adalah bentuk
pengetahuan kognitif yang terdapat di dalam bahasa, yang terdapat dan
distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar. Hal
tersebut berarti bahwa arti itu dipahami oleh pengguna bahasa secara empirik
berdasarkan kemampuan kognitifnya sejak mulai belajar dan menguasai bahasa.
Dengan penguasaan arti secara empirik dan kognitif itu, seorang penutur mampu
melakukan pembahasaan atau simbolisasi secara verbal akan sebuah referent yang
ada disekitarnya. Sejumlah referent yang secara faktual barangkali berbeda-beda,
namun memiliki sejumlah ciri konseptual yang sama akan dibahasakan dengan
unit leksikal yang sama. Sebagai contoh, sebuah unit leksikal dengan nama
‘kursi’, meskipun secara empirik ditangkap adanya sejumlah benda yang disebut
kursi yang memiliki ciri-ciri konseptual yang berbeda-beda baik dalam hal
bahannya, wujudnya, jumlah kakinya, namun secara bersama dapat disimbolkan
dengan unit leksikal yaitu ‘kursi’.
Kemudian yang dimaksud dengan designation (designasi) atau denotation
(denotasi) adalah bagian dari arti yang ditentukan oleh sistem bahasa dan tidak
bergantung pada situasi yang khas dari sebuah tuturan. Designasi atau denotasi ini
mempunyai maksud yang serupa dengan istilah meaning di atas. Menurut Lyons
(1995:79) bahwa denotasi atau designasi ini memiliki kesamaan dengan meaning,
yaitu bahwa denotasi dari suatu leksem atau kalimat bersifat invarian dan tidak
tergantung pada tuturan, sebagaimana dinyatakan berikut:”…that the denotation
of an expression is invariant utterance-independent: it is part of the meaning
which the expression has in the language-system, independently of its use on
particular occasions of utterance.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Sementara itu, yang dimaksud dengan reference (referensi) adalah bagian
dari arti yang bergantung pada situasi pemakaiannya dan bergantung pada wujud
tuturannya. Dalam arti bahwa referensi adalah suatu bentuk penunjukan dalam
kegiatan berbahasa yang nyata, yang bersifat tertentu, dan bergantung pada
konteks. Misalnya, ‘kursi’ dan ‘kursi itu’ mengandung maksud yang berbeda.
Yang pertama berkaitan dengan konsep denotasi, yaitu mengacu pada golongan
entity (maujud) yang dipersepsikan sama sebagai kursi, dan sebaliknya, ‘kursi itu’
termasuk proses referensi karena hanya menunjuk pada ‘kursi’ tertentu saja.
Hal berikutnya adalah sense. Edi Subroto memadankan istilah sense ini
dengan makna, yaitu arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat
berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya, dan intonasinya.
Menurut Allan (1986: 68) yang dimaksud dengan sense adalah makna sebuah unit
leksikal atau tuturan sebuah kalimat dalam pemakaian yang konkret dalam situasi
tertentu. Tuturan sebuah kalimat itu terikat oleh latar pembicaraan, lingkungan
tekstual, dan dunia nyata yang dituturkan. Makna sebuah unit leksikal ini biasanya
ditunjukkan di dalam sebuah kamus. Dengan demikian, kalau arti (sebagai
padanan meaning) itu bersifat dasar, maka makna itu sudah bersifat spesifik
karena dirambu-rambui oleh struktur, oleh konteks pemakaian, oleh intonasi, dan
oleh latar yang melingkupinya. Misalnya kata baru. Untuk mengetahui makna
baru ini harus dikaji kemungkinannya berkombinasi atau disubstitusi dengan
leksem-leksem lain, misalnya lama, usang, tua, dan sebagainya.
Sementara itu, Lyons (1995:124) menyatakan bahwa sense hanya dapat
diterangkan dalam konteks hubungan makna antara leksem yang satu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
leksem yang lain, atau antara ekspresi yang satu dengan ekspresi yang lain di dalam
sistem bahasa yang sama. Berkaitan dengan itu, Lyons menggunakan konsep
hubungan kombinatorial dan substitusional untuk menentukan makna sebuah
leksem. Hubungan tersebut sering disebut dengan hubungan sintagmatik dan
hubungan paradigmatik.
Hubungan sintakmatik merupakan hubungan linier antara unsur-unsur
bahasa dalam tataran tertentu; misal hubungan antara saya, bermain, dan kelereng
dalam kalimat: Saya bermain kelereng. Hubungan itu dikatakan hubungan in
praesentia. Di dalam pola kalimat bahasa Indonesia, pola sintakmatik tersebut dapat
dilihat di dalam bagan sebagai berikut:
S P O
Saya Bermain Kelereng
Bagan 2.3 Hubungan Sintakmatik
Sementara itu, hubungan paradigmatik merupakan hubungan antara unsur-
unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang
dapat dipertukarkan; misal dalam kalimat saya bermain kelereng. Antara saya dan
dia, mereka, Tuan Kate, dapat dipertukarkan. Hubungan antara unsur-unsur itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dikatakan hubungan in absentia. Hubungan pertukaran tersebut dapat dilihat di
dalam bagan sebagai berikut:
S P O
Saya Bermain Kelereng
Bagan 2.4 Hubungan Paradigmatik
Dengan melihat pada pendefinisian di atas, nampak bahwa yang dapat
dialihbahasakan dalam penerjemahan terutama adalah sense atau maknanya.
Dengan kata lain, sense atau makna memiliki peran yang penting di dalam
penerjemahan.
Saya Pak Udin Mereka Menteri Tuan Kate
Menendang Menanam Bermain Memberikan Menjual
Bola Jagung Kartu Hadiah Ikan Hias
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif
Pengertian makna literal dan makna figuratif pada dasarnya mengarah
pada pembedaan di dalam sistem kebahasaan untuk menganalisis makna suatu
bahasa. Contoh dari pembedaan makna di atas dapat dilihat di dalam kalimat
berikut: The ground is thirsty. Kalimat ini memiliki makna berkias. Kata ground
sendiri memiliki makna literal, namun kata ground atau tanah dapat dipahami
bahwa ground itu tidaklah hidup, oleh karenanya ground tidak memerlukan
minuman atau merasakan haus. Pembaca kalimat tersebut akan secara langsung
menolak suatu interpretasi literal dan secara pasti akan menginterpretasikan
bahwa kata-kata tersebut yang dimaksud adalah The ground is dry, suatu analogi
yang mengarah pada kondisi yang menimbulkan rasa haus pada manusia atau
binatang. Begitu pula di dalam contoh kalimat yang diucapkan sebagai berikut:
“It’s raining cats and dogs”. Kalimat ini memiliki makna literal pada masing-
masing katanya, namun bagi pendengar akan secara langsung menolak interpretasi
literal tersebut karena dirasakan tidak sesuai, namun pendengar akan memilih
interpretasi figuratif dari tuturan tersebut, yang dibantu oleh suatu konteks, bahwa
yang dimaksud di dalam tuturan tersebut adalah kondisi atau keadaan hujan deras.
Menurut Motsch & Pasch (1987:35), makna harfiah ialah makna ujaran
yang konteks ujarannya tidak membawa kepada penafsiran semula terhadap
makna tertentu dari segi tatabahasa bagi kata atau ungkapan itu. Disini juga
makna harfiah itu berada pada suatu konteks namun tidak dipengaruhi oleh
konteks tersebut. Sementara itu, Searle (1979: 132) membuat perbedaan antara
makna penutur, makna kalimat, dan makna harfiah. Menurut Searle, makna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
harfiah berada dalam domain makna kalimat dan makna penutur bergantung pada
makna kalimat. Searle mengungkapkan bahwa makna harfiah berada pada suatu
konteks.
Menurut Israel (2004:1), makna literal merupakan makna lugas dan
termasuk ke dalam jenis makna yang paling sederhana, yang bersifat langsung,
harfiah, dan menerapkan aturan tatabahasa sewajarnya (ordinary rules of
grammar), dalam arti bahwa makna leksikal tersebut tidak memerlukan
penambahan imajinasi, inferensi, maupun gaya bahasa. Makna literal tersebut
terletak di dalam kata itu sendiri. Sementara itu, Turner (1991:147) memberikan
konsep pemahaman makna literal di dalam hubungan antara bahasa, pemikiran,
dan realitas. Menurut Turner, makna leksikal mengabaikan peranan imajinasi di
dalam konstruksi makna keseharian, berhubungan dengan suatu kebenaran dan
pemikiran di satu sisi, dan bertentangan dengan kebohongan dan khayalan di sisi
yang lain, sebagaimana yang dinyatakan sebagai berikut:
The real world is exhaustively literal: literal language refers to it; literal concepts mirror the literal world; literal language evokes literal concepts... Separate from all this, so the folk theory runs, there are mental imaginative connections that are false; they are expressed in figurative, non-literal language or literally false language; we must transform the meaning of this language in order to arrive at interpretations of it that can be literal and true. Makna leksikal tersebut tidak secara tiba-tiba berdiri sendiri, namun
keberadaannya tetap di dalam suatu kalimat atau paragraf, namun memiliki makna
yang terbebas dari konteks atau tidak dipengaruhi oleh suatu konteks. Di dalam
suatu tuturan yang panjang, misalnya di dalam sebuah novel, makna literal
mungkin berupa suatu cerita narasi biasa saja, yang terbebas atau tidak memiliki
asosiasi moral, politik, estetik, atau asosiasi simbolik lain yang ingin disampaikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Saeed (2000:15-17) menyatakan bahwa perbedaan antara makna literal
dan makna figuratif dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa yang literal dan
non-literal. Penggunaan bahasa yang literal mengarah pada suatu keadaan, yaitu
pembicara yang mengungkapkan tuturan secara netral dan secara faktual tepat,
sedangkan penggunaan bahasa yang non-literal mengacu pada suatu keadaan,
yaitu pembicara secara berlebih-lebihan menggambarkan sesuatu dengan istilah-
istilah atau kata-kata yang tidak benar (untrue) dan tidak mungkin (impossible)
yang tujuannya untuk mendapatkan efek khusus. Lebih lanjut, Saeed memberikan
contoh sebagai berikut:
a. I’m hungry.
b. I’m starving.
c. I could eat a horse.
Di dalam contoh tersebut, bahwa pada kondisi atau keadaan lapar,
pembicara mungkin secara literal akan mengungkapkan tuturan sebagaimana poin
a, atau juga secara non-literal seperti pada poin b dan c. Di sini nampak bahwa di
dalam penggunaan bahasa non-literal, pembicara menggeser makna suatu kata
untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang baru. Pergeseran atau
penyimpangan bentuk ungkapan bahasa ini, menurut Gorys Keraf (2002:113)
disebut dengan gaya bahasa (figures of speech), yaitu cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis atau pengguna bahasa. Pemakaian dengan cara yang khas tersebut ditandai
oleh adanya penyimpangan dari pemakaian bahasa lumrah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Penggunaan gaya bahasa sering terjadi di dalam dunia sastra sebab kata-
kata harfiah memiliki keterbatasan. Dengan mengandalkan makna harfiah semata
dalam mendeskripsikan suatu objek atau ide, seorang pengarang akan menemui
halangan. Dengan gaya bahasa seorang pengarang dapat memperkaya makna
sehingga pengarang dapat menyampaikan pesan yang diinginkan secara lebih
leluasa.
Sementara itu, menurut Ratna (2009:164) figures of speech disebut juga
dengan majas, yaitu pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau
pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Menurut Ratna, secara
umum majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan,
b) perbandingan, c) pertentangan, d) dan majas sindiran. Beberapa jenis majas
dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Secara
tradisional bentuk-bentuk tersebut disebut dengan gaya bahasa. Namun demikian,
di dalam perkembangan kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya
bahasa. Majas dengan demikian merupakan penunjang, unsur-unsur yang
berfungsi untuk melengkapi gaya bahasa. Dengan kalimat lain, gaya bahasa jauh
lebih luas daripada majas. Pada saat menganalis sebuah karya sastra, tidak
terhitung jenis gaya bahasa yang timbul yang harus dibicarakan, seperti panjang
pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-kata
serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya. Gaya bahasa juga meliputi
cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti: plot, tokoh,
kejadian, dan sudut pandang. Tidak ada suatu pemahaman apa pun tanpa adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
cara-cara tertentu yang berbeda. Demikian juga tidak ada karya sastra tertentu
tanpa gaya bahasa tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum dapat dipahami
bahwa makna leksikal atau sering disebut dengan makna harfiah adalah makna
yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa
adanya, atau makna kalimat yang bebas dari konteks yang melatarinya, sedangkan
makna figuratif atau makna kiasan adalah makna bahasa berkias yang dapat
menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Makna
figuratif ini merujuk pada kata atau kelompok kata yang dilebih-lebihkan atau
diubah makna sebenarnya yang dibantu oleh suatu konteks. Makna figuratif ini
dapat berupa suatu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdot,
eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks,
satire, pars pro toto, totem pro parte, ataupun paradoks.
2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan
Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.1 mengenai definisi
meaning, denotation, reference, dan sense bahwa di dalam penerjemahan yang
dapat dialihbahasakan adalah sense atau makna. Oleh karena itu, makna atau
sense ini memegang peranan penting di dalam penerjemahan. Lebih lanjut, makna
dalam penerjemahan tidak hanya bisa dirunut dari kata per kata secara individual,
tetapi makna dalam penerjemahan harus dilihat dari rangkaian antarkata yang
saling berkaitan secara utuh yang terbungkus dalam suatu prosodi atau dengan
situasi tempat kata-kata itu digunakan (Soemarno, 1999:2). Dengan kata lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
bahwa makna yang dibahas di dalam penerjemahan adalah makna-makna yang
langsung berhubungan dengan makna yang terdapat dalam teks.
Di dalam praktek menerjemahkan, perhatian seorang penerjemah terfokus
tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata, namun meluas ke masalah
pengalihan pesan atau message (Nababan, 2003: 48). Pesan merupakan
keseluruhan makna atau isi suatu wacana yang hendak disampaikan oleh penulis
atau pembicara untuk dimengerti dan diterima oleh pembaca atau pendengar. Jadi,
pesan terdiri dari serangkaian kata atau lambang yang mempunyai makna, yang
kemudian dituturkan atau dituliskan untuk menyampaikan informasi kepada
pembaca atau pendengar. Misalnya, belajar adalah suatu kata. Kata belajar itu
mempunyai arti tetapi belum dapat dikatakan sebagai suatu pesan karena
informasi yang ada pada kata tersebut belum lengkap. Namun, kata belajar
tersebut akan memiliki pesan apabila dituliskan dengan rangkaian kalimat Naura
dan Najwa belajar membuat kue pastel kemarin. Rangkaian kata tersebut
mengandung pesan karena disusun secara logis dan memiliki informasi yang
cukup lengkap untuk diterima oleh pembaca.
a) Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem di
dalam suatu teks yang bersifat tetap. Makna tersebut dapat berupa makna literer
maupun makna non-literer (Saeed, 2000: 15-17). Di dalam proses penerjemahan,
penerjemah bisa mencari padanan makna yang mempunyai ciri-ciri fisik yang
sama dalam bahasa sasaran. Tetapi dalam penerjemahan seringkali para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
penerjemah mendapat kesulitan untuk menemukan padanan yang betul-betul sama
persis. Hal ini disebabkan karena makna dalam suatu bahasa yang selalu
mengikuti perkembangan budaya suatu bangsa.
Dalam kaitannya dengan penerjemahan, Soemarno (1999:3)
mengelompokkan kata-kata bermakna leksikal ke dalam tiga kelompok utama,
yaitu: (1) kata-kata dalam Bsu yang dengan mudah dapat dicari padanannya dalam
Bsa, misalnya kata-kata seperti radio = radio, computer = computer, book =
buku, gold = emas, dan sebagainya, (2) kata-kata bermakna leksikal Bsu yang
mempunyai padanan dalam Bsa, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit
berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal
tersebut (dalam Bsu dan Bsa) masih dianggap padanan, sehingga penerjemah
masih bisa menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan, misalnya kata
‘rich’ (Ing) dan ‘kaya’ (Ind). Kata itu masih bisa digunakan sebagai padanan
walaupun ukuran ‘kaya’ antara negara satu dengan lainnya berbeda-beda, (3) kata-
kata dalam Bsu yang sulit dicari padanannya dalam Bsa, bahkan ada kata-kata
tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa (untranslatable), dan
ketakterjemahan ini bisa dilihat dari faktor linguistik maupun kultural. Misalnya
kata ‘thanksgiving’ dalam bahasa Inggris sulit dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia, sebaliknya kata ‘permisi’ (yang diucapkan sewaktu seseorang yang
akan meninggalkan rumah) sulit dicari padanannya dalam bahasa Inggris, karena
kebiasaan itu tidak ada dalam bahasa Inggris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
b) Makna Situasional atau Kontekstual
Setiap kata dalam suatu bahasa sering sekali mempunyai makna lebih
dari satu. Makna apa yang ada dalam satu kata itu sangat dipengaruhi oleh
konteks di mana kata itu digunakan dalam proses komunikasi. Makna suatu kata
akan mempunyai arti sebanyak situasi atau konteks yang menyertainya
(Soemarno,1999:5). Dengan demikian kemampuan penerjemah dalam memahami
situasi di mana kata itu digunakan menjadi sangat penting, sehingga ia mampu
menemukan padanan makna yang sesuai dalam bahasa sasaran. Konteks sering
kali terikat oleh tempat dan juga waktu yang menyertainya. Sebagaimana contoh
berikut:
a. The prisoner thought that the policeman would not have the heart to fine him.
b. The rescue team hopes that the weather will be fine soon. c. Do you think the victims of the earthquake will be fine soon.
Fine pada ketiga kalimat tersebut tampaknya tidak mempunyai makna yang
benar-benar sama, walaupun bentuk kata tersebut benar-benar sama. Makna kata
fine dalam masing-masing kalimat tersebut sudah sangat dipengaruhi oleh konteks
di mana kalimat tersebut digunakan. Pada kalimat 1, fine berhubungan dengan
konteks hukum yang berarti ‘mendenda’. Hal ini berbeda dengan kalimat 2, fine
berarti ‘cerah’ karena berkaitan dengan kontek cuaca, sedangkan kalimat 3, fine
berarti ‘sehat’ karena berkaitan dengan kesehatan.
c) Makna Tekstual
Makna tekstual adalah makna yang berkaitan erat dengan suatu teks atau
wacana (Soemarno,1999:6). Kadang-kadang suatu bentuk kata yang sama akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
mempunyai makna yang berbeda apabila kata itu digunakan dalam wacana yang
membicarakan bidang kajian yang berbeda. Misalnya kata morfologi yang
digunakan di dalam wacana biologi akan berbeda maknanya dengan morfologi
yang digunakan di dalam wacana linguistik. Makna instrumen dalam wacana
penelitian berbeda dengan instrumen dalam wacana musik. Perbedaan makna itu
dikarenakan adanya perbedaan konteks.
Sebenarnya makna tekstual masih ada kaitannya dengan makna
kontekstual. Bedanya adalah kalau makna kontekstual hanya sekadar dipengaruhi
oleh satu atau dua kalimat saja, sedangkan makna tekstual sangat dipengaruhi oleh
seluruh wacana yang menjadi latar belakang di mana kata itu digunakan. Kedua
pengertian ini masih sering dicampuradukkan oleh beberapa kalangan, karena
kedua hal tersebut dianggap suatu hal yang sama.
d) Makna Sosiokultural
Makna suatu bahasa sangat berkaitan erat dengan situasi sosiokultural di
mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat
(Soemarno,1999:7). Kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya sebagai
pengguna bahasa tentu saja mempunyai istilah-istilah budaya yang bersifat unik
yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan padanannya dalam bahasa yang lain.
Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup
masyarakat sebagai pengguna bahasa itu. Makna ini, selain sering ditemukan
dalam bentuk kata-kata istilah budaya, seperti thanksgiving, labamba, mitoni, dan
sebagainya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu,
seperti miss the boat, feel like a million buck, black sheep dan sebagainya.
Seorang penerjemah harus peka terhadap kata-kata yang erat kaitannya
dengan istilah-istilah sosiokultural itu. Penerjemah harus mampu mengidentifikasi
apakah istilah-istilah itu ada kemiripan atau padanannya dalam bahasa sasaran
atau tidak, sehingga penerjemah dapat menentukan apa yang harus diperbuat
ketika mengalihkan makna yang berkaitan dengan sosial budaya suatu masyarakat
tertentu.
e) Makna Implisit
Makna implisit adalah makna yang tidak diungkapkan secara nyata atau
tertulis oleh penulis atau pembicara karena pembaca atau lawan bicara/pendengar
sebagai interlocutor (teman bicara) telah memahami maksud dari tulisan atau
pembicaraan itu (Soemarno, 1999:8).
Di dalam bahasa pragmatik penutur tidak mengungkapkannya melalui
eksplikatur, tetapi melalui implikatur. Istilah implikatur ini diciptakan oleh Grice
(1975), yang semula membedakan makna ujaran menjadi dua, yakni makna
natural dan makna non-natural. Makna natural adalah makna yang muncul bila
ujaran yang sama muncul. Jadi makna natural suatu ujaran selalu sama. Makna
non-natural adalah makna yang berubah-ubah tergantung pada konteks
percakapannya. Makna non-natural inilah yang kemudian menjurus ke apa yang
disebut oleh Grice sebagai implikatur, yaitu yang mengacu ke makna yang
tersirat: yang tidak dikatakan oleh penutur, tetapi dikomunikasikan juga. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
implikatur, petutur menerka-nerka yang mana sebenarnya yang dimaksud oleh
penutur.
Makna implisit sering kali tersembunyi di balik gramatika bahasa, intonasi
bahasa, dan juga tersembunyi dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat kiasan.
Agar mampu memahami makna yang ada dibalik gramatika bahasa itu,
penerjemah harus paham mengenai sistem yang ada pada bahasa tersebut. Untuk
menghindari kesalahpahaman pembaca hasil terjemahan, penerjemah boleh saja
mengalihkan makna yang implisit itu menjadi eksplisit sehingga pembaca
terjemahan tidak mengalami salah persepsi. Sebagai contoh dapat diamati dialog
berikut:
i. :What are you eating? ii. :Bread
Dalam menjawab pertanyaan di atas, B tidak perlu mengucapkan kata-kata
‘I am eating’ karena B menganggap bahwa A pasti mengetahui apa isi kata-kata
yang tidak diucapkan itu. Bagian makna yang tidak diucapkan itu disebut makna
implisit.
2.2.3.4 Gaya
Konsep gaya (style) menurut Leech and Short (1981:10) adalah suatu
sistem pilihan penggunaan bahasa. Secara lebih khusus Leech and Short
menjelaskan bahwa gaya merupakan sistem pilihan penggunaan bahasa secara
individu yang dilakukan oleh penulis dan gaya tidak digunakan sebagai suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
sistem pemakaian bahasa yang melibatkan tingkat sosial suatu kelompok, yaitu
pemakaian bentuk bahasa yang berhubungan dengan situasi sosial tertentu.
Clifford (2001: 90) mendefinisikan gaya sebagai berikut: “Style can be
defined as a characteristic mode of expression, and consciously or unconsciously
the translator displays one. In this respect, style is inextricably intertwined with
one’s idiolect, the way an individual normally speaks”. Definisi ini selaras
dengan yang dinyatakan Wales dalam kamusnya Dictionary of Stylistics
(2001:371) bahwa gaya pada dasarnya merupakan manner of expression dari
seorang penulis atau consistent way of such choosing yang dilakukan secara nyata
oleh penulis (Sandell, 1977:15).
Sementara itu di dalam kamus bahasa Inggris Encarta (2004) disebutkan
bahwa gaya merupakan way of writing or performing, yaitu cara bagaimana suatu
kata atau kalimat ditulis atau diucapkan yang secara nyata dibedakan dengan
kandungan atau isi tulisan atau ucapan. Lebih lanjut, Lynch (2001) memberikan
konsep gaya yang lebih luas bahwa gaya berarti sesuatu mengenai cara bagaimana
kita menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan yang membedakan tulisan yang baik
dengan tulisan yang jelek. Di sini jelas bahwa gaya digunakan sebagai suatu
istilah yang menekankan pada bentuk atau format dan membedakannya dengan isi
tulisan. Dengan kata lain, bahwa gaya adalah bagaimana (how) cara menyajikan
atau mengkomunikasikan sesuatu sedangkan isi atau makna mengacu pada apa
(what) yang disajikan atau dikomunikasikan. Gaya juga merupakan jembatan
individu yang membedakan seorang penulis yang baik dengan penulis biasa
(Chandler, 2004:1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Di dalam karya susastra, gaya adalah penggunaan bahasa yang dilakukan
oleh pengarang yang berbeda dengan penggunaan bahasa secara umum (Toolan,
1990: 3). Gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana
pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan
paragraf. Misalnya, seorang penulis mungkin menggunakan kata-kata sederhana
dan kalimat langsung, sementara penulis yang lain mungkin menggunakan
kosakata yang sulit dan mengelaborasi struktur kalimatnya (Encarta, 2004).
Lebih jauh, gaya dalam karya susastra tidak dapat dipisahkan dengan
makna atau pesan yang ada di dalam karya tersebut. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Saad (2003:6) bahwa karya susastra, misalnya puisi atau prosa
tidak dapat menyampaikan pesan yang terpisah dengan bentuknya, keduanya baik
pesan dan bentuk harus seiring sejalan.
Enkvist (1964:15) menyatakan bahwa gaya adalah suatu efek emosi
tertentu di dalam karya susastra yang dicapai melalui penggunaan unsur bahasa.
Penggunaan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan
menggunakan bahasa yang rapi, indah, yang biasa saja, ataupun dengan
menggunakan bahasa yang buruk. Dengan kata lain, penggunaan unsur bahasa
yang berbeda-beda tersebut dilakukan dengan menggunakan kosakata denotatif
maupun konotatif untuk menimbulkan suatu efek keindahan. Sementara itu, Junus
(1989: 101) menyatakan bahwa gaya tidak bisa dilepaskan dari makna, karena
gaya berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Oleh karena
itu, apabila berhadapan dengan sebuah teks atau wacana, maka kita dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
memberikan interpretasi terhadap penggunaan gaya tersebut. Dengan kata lain,
gaya adalah sesuatu yang dapat diinterpretasikan.
Gaya di dalam penerjemahan karya susastra merupakan potret dari wajah
si pengarang. Gaya seorang pengarang menentukan pilihan katanya dan
penerjemah menjadi seorang mediator yang harus memberikan berbagai pilihan
padanan. Jadi, pilihan kata yang menurut pengarang benar juga akan menjadi
benar menurut penerjemah.
Di dalam menerjemahkan karya susastra, memahami fitur-fitur kebahasaan
sangatlah penting, dan penerjemah seharusnya memiliki kemampuan
mengapresiasi dan menganalisis unsur seni dan pencitraan yang disajikan.
Penguasaan bahasa asing saja tidaklah mencukupi, namun penguasaan bahasa
asing ini penting sebagai landasan atau dasar yang baik untuk menerjemahkan.
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa salah satu faktor penting di dalam
menerjemahkan karya susastra adalah kealamian karya tersebut dan penggunaan
sifat-sifat kebahasaan di dalam susastra tersebut. Bahasa susastra melibatkan
serangkaian fitur-fitur kebahasaan tertentu dan cara bagaimana fitur-fitur
kebahasaan tersebut digunakan. Memahami karya susastra berarti melibatkan
pemahaman dan penganalisisan fitur-fitur bahasa susastra tersebut. Oleh karena
itu, memahami karya susastra merupakan syarat mutlak dalam menerjemahkan
karya susastra, sebagaimana dinyatakan oleh Said Shiyab and M. Stuart Lynch
(2003:4) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
What translators need, in this respect, is not only to analyze words and concepts, but to create the artistic representations that affect the audience. The audience through the poetic images and the artistic representations conveyed in the original text and manifested in the translation must feel such ‘art’. In this respect, translating a text means creating a work of art in another language, this kind of work requiring the translator to be sensitive and imaginatively creative. The study of style, therefore, is the most fundamental issue in the translation of literary texts, playing an important role in literary translation, particularly the work that embodies such artistic devices as metaphor, symbolism, and even repetition.
Duff ( 1981: 7) menyatakan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah
harus mempertimbangkan, misalnya, untuk siapa karya atau terjemahannya itu
diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca. Itu
berarti dia harus menentukan ragam bahasa terjemahannya dan mempertahankan
ragam bahasa itu secara ajeg. Bila kita cermati pendapat Duff ini, maka seorang
penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks
yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah,
dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal sama
berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan
sebuah prosa, maka penerjemah harus memunculkan gaya prosa tersebut dalam
terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa prosa tersebut tidak
seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah.
Di dalam mempertahankan gaya, di samping tentunya kesetiaan pada isi
pesan, maka pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara tepat. Penerjemah
harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan bagaimana tingkat
kemampuan khusus para pembacanya. Hal ini perlu karena kemampuan seorang
ahli akan berbeda dari kemampuan seorang yang belum ahli dalam memahami isi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
teks terjemahan yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang mereka geluti.
Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para pembaca yang bukan ahli dalam
disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat
terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa mengaburkan atau menghilangkan
pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Kata-kata yang masih asing
bagi mereka perlu dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran yang
memungkinkan pembaca dapat memahami konsep yang terkandung dalam kata-
kata tersebut. Sebaliknya, pembaca yang profesional tidak begitu mengalami
kesulitan dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang diungkapkan dengan
kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah yang rumit dan
konseptual.
Juga, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak
hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya saja tetapi lebih dari satu gaya, maka
penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya yang
digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, gaya menunjukkan keakuratan
dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata penerjemah
adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam Tsu.
Gaya dapat diukur secara kuantitatif dengan cara menentukan frekuensi
unsur-unsur gaya tersebut (Leech and Short, 1981:42). Unsur-unsur gaya tersebut
dapat dilihat dari sudutpandang kebahasaan (Xiaoshu, 2003: 2; Shiyab, 2003:4).
Di dalam sudut pandang kebahasaan ini, di dalam proses penerjemahan, semua
paragraf, kalimat, dan kata harus betul-betul diperhatikan sehingga pemilihan
terbaik dapat diambil untuk menghasilkan pemikiran, perasaan, dan gaya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
alami. Dari sudutpandang ini, gaya dibentuk dengan penggabungan paragraf,
kalimat, dan kata. Oleh karena itu, beberapa kalimat atau kata-kata tunggal yang
tidak diterjemahkan dengan baik, kalimat atau kata-kata tersebut tidak akan
mempengaruhi gaya secara keseluruhan dari karya yang diterjemahkan.
Di sini jelas bahwa paragraf, kalimat, dan kata benar-benar penting di
dalam gaya. Paragraf, kalimat, dan kata merupakan dasar utama dari gaya.
Kalimat dibentuk dari kata-kata, paragraf dibentuk dari kalimat-kalimat, dan
keseluruhan karya dibentuk dari paragraf-paragraf. Karya yang sangat baik
dihasilkan melalui kesempurnaan paragraf, paragraf dihasilkan melalui pemakaian
kalimat yang sempurna, dan kalimat dihasilkan melalui pemilihan kata yang
benar-benar sesuai. Ke semua hal tersebut adalah yang ingin dicapai oleh penulis
dan penerjemah dalam usahanya membuat hasil terjemahan yang benar-benar
sepadan gayanya. Dengan demikian, di dalam proses penerjemahan, penerjemah
harus melihat keseluruhan karya melalui kata-kata, kalimat dan paragraf dan
menentukan gaya yang bagaimana yang akan dipakai. Kemudian penerjemah
mulai menerjemahkan secara kalimat per kalimat dan paragraf per paragraf mulai
dari awal sampai akhir dengan terus memperhatikan pada reproduksi gaya yang
digunakan.
Bolaños (2008: 212) menyatakan bahwa gaya merupakan karakteristik
tekstual dari semua jenis teks yang menunjukkan bentuk verbalisasi penulis sesuai
dengan maksud komunikatifnya. Lebih lanjut Bolaños menyebutkan lima
parameter untuk menjelaskan gaya. Pertama adalah mendramatisir pergeseran
gaya, yaitu penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
atau menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak
ada di dalam Tsa. Kedua adalah penggunaan ekspresi idiomatik, yaitu
menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik
yang digunakan di dalam Tsu. Ketiga adalah penggunaan gaya bahasa, yaitu
penggunaan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan
gaya bahasa di dalam bahasa sumber. Keempat adalah penggunaan jenis bahasa
tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai
ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya. Kelima adalah
penggunaan tanda baca, yaitu penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat
diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
Dari paparan yang disajikan di dalam sub-bab 2.1.3.1 mengenai jenis-jenis
makna dan sub-bab 2.1.3.2 mengenai parameter gaya, keseluruhan jenis-jenis
makna tersebut, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna situasional atau
kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, makna implisit, dan parameter
yang digunakan untuk menjelaskan gaya sebagaimana disampaikan di atas,
dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
2.2.4 Hakikat Susastra
Berbicara masalah susastra tidak bisa lepas dari kajian teks. Susastra
sering diidentikkan dengan teks yang diungkapkan dengan menggunakan medium
bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Teks susastra maupun teks bukan
susastra sama-sama memiliki unsur kata, kalimat dan makna. Sebagai penanda
utama bahwa suatu teks tergolong ke dalam teks susastra apabila di dalam teks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
tersebut mengandung unsur estetika. Patokan estetik inilah yang biasanya sering
digunakan sebagai dasar penilaian teks susastra (Rene Wellek dan Austin Warren,
1977: 11).
Bahasa di dalam teks susastra bukan sebagai penentu akhir sarana
komunikasi karena bahasa di dalam teks susastra dapat digunakan tanpa batas.
Oleh karena itu, kalimat di dalam teks susastra sering bersifat abstrak, simbolis,
ambigu, dan bahkan inkonvensional. Bahasa sering disusun melalui permainan
kata-kata yang diwujudkan dengan ungkapan makna yang imajinatif. Makna
inilah yang mampu memberikan estetika isi di dalam teks susastra.
Bentuk nyata karya susastra adalah genre (Ratna, 2005:136; 2009:107).
Karya susastra adalah salah satu genre dari sejumlah peradaban manusia sebagai
aktivitas kreatif untuk memberikan kepuasan terhadap manusia dengan
memanfaatkan aspek keindahan. Secara garis besar karya susastra dibedakan
menjadi susastra lama dan susastra modern, susastra lisan dan susastra tulisan.
Karya susastra diklasifikasikan atas tiga genre utama, yaitu: puisi, prosa, dan
drama, yang ketiganya menggunakan medium bahasa, baik bahasa tulis maupun
lisan.
Karya susastra terdiri dari bentuk (struktur) dan isi (kandungan) (Ratna,
2009: 117). Kedua aspek tersebut memerlukan cara penyajian masing-masing,
tetapi aspek bentuklah yang dominan, sebagai suatu gaya bahasa. Tidak ada
penyajian aspek isi secara khas melainkan secara inklusif terkandung di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
aspek bentuk itu sendiri. Oleh karena itu, disebutkan bahwa di dalam karya
susastra bahasa berfungsi sekaligus sebagai alat dan tujuan.
Sesuai dengan hakikatnya, karya susastra, baik sebagai hasil karya
pengarang maupun pemahaman pembaca, adalah imajinasi dan kreativitas.
Meskipun demikian, imajinasi dan kreativitas bukanlah khayalan. Karya susastra
memiliki acuan dan kemampuan di dalam menunjukkan gejala masyarakat pada
saat tertentu, kecenderungan tertentu, pandangan dunia, sistem sosial, berbagai
bentuk sistem kebudayaan, dan menampilkan adanya kecenderungan ilmu
pengetahuan sebagaimana ditunjukkan melalui fiksi ilmiah.
Novel The Highest Tide, misalnya, dapat dimasukkan ke dalam karya
susastra yang mengandung unsur fiksi ilmiah. Novel tersebut memuat berbagai
peristiwa yang dapat dikaitkan dengan ilmu pengetahuan biologi kelautan dan
sekaligus pengetahuan seputar kehidupan manusia. Meskipun demikian, fiksi
ilmiah tidak bermaksud untuk menjadi ilmu pengetahuan, fiksi ilmiah hanyalah
sebuah genre susastra, sehingga melalui karya tersebut dan dengan gaya bahasa
tertentu suatu kenyataan yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda.
Membaca karya susastra berbeda dengan ilmu pengetahuan. Permasalahan
dalam karya susastra, seperti tokoh dan kejadian harus dibaca melalui cara
pemahaman dan pengertian yang lebih banyak melibatkan perasaan, bukan
pembuktian secara intelektual. Memang benar bahwa di dalam menciptakan suatu
karya, pengarang harus membaca, bahkan melakukan penelitian, namun dalam
proses penulisan yang terpenting adalah bagaimana hasil pengalaman tersebut
disajikan kembali, yaitu dalam bentuk imajinasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Secara mendasar, suatu teks susastra setidaknya mengandung tiga aspek
utama, yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare
(memberikan kenikmaan melalui unsur estetik), dan movere (mampu
menggerakkan kreativitas pembaca) (Fananie, 2002:4). Aspek-aspek tersebut
tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih
khusus, karena susastra tidak hanya sekadar mengurai maknanya secara harfiah.
Karya susastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan
emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang
didasarkan pada aspek kabahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa
biasanya diungkapkan melalui aspek puitik sedangkan estetika makna
diungkapkan melalui aspek kedalaman maknanya.
2.2.4.1 Novel
Sebagai salah satu genre susastra, karya fiksi atau prosa fiksi mengandung
unsur-unsur yang meliputi (a) pengarang atau narator, (b) isi penciptaan,
(c) media penyampai is berupa bahasa, dan (d) elemen-elemen fiksional atau
unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi
suatu wacana. Di dalam memaparkan unsur-unsur tersebut, pengarang
memaparkannya melalui (a) penjelasan atau komentar, (b) dialog maupun
monolog, dan (c) melalui kegiatan atau aksi. Lebih lanjut, karya fiksi dapat
dibedakan dalam berbagai bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen.
Perbedaan berbagai macam bentuk tersebut pada dasarnya terletak pada kadar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang
mendukung cerita itu sendiri (Aminuddin, 2009: 66).
Novel sebagai salah satu bentuk karya susastra memiliki keunikan
tersendiri yang membedakannya dengan jenis karya susastra yang lain seperti
puisi dan drama. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang dinyatakan
oleh Suryawinata (1982: 92-95) adalah: (a) puisi merupakan jenis karya susastra
yang paling emotif karena merupakan ekspresi penyair yang dikomunikasikan
melalui media puisi. Puisi juga mengeksploitasi asosiasi keindahan kata serta
efek-efek bunyi seperti keindahan efek bunyi yang berulang dalam rima, eliterasi
dan asonansi. Selain itu puisi juga memiliki unsur pokok yang membedakan
dengan jenis karya susastra yang lain, yaitu unsur pencitraan yang diungkapkan
dalam metafora atau kata-kata yang segar dan unik, (b) drama memiliki unsur
pokok yang berupa dialog atau monolog. Tanpa dialog drama tidak mungkin
dilakukan. Selain itu, drama memiliki unsur yang tidak kalah pentingnya yang
berupa karakterisasi atau penokohan. Tanpa karakterisasi yang kuat, drama akan
menjadi hambar dan tokoh-tokoh dalam drama akan menjadi pemain tanpa watak,
dan (c) novel memiliki unsur-unsur yang hampir sama dengan drama dengan
perbedaannya yang khusus. Novel memiliki unsur pokok berupa dialog dan dialog
ini merupakan salah satu unsur yang dipakai untuk mendapatkan bahasa yang
segar dan realistis. Unsur lain yang dimiliki novel adalah penokohan atau
karakterisasi yang kuat. Suatu novel, sebagaimana juga drama, akan menjadi
hambar apabila tidak memiliki unsur karakterisasi yang kuat karena tokoh-tokoh
yang tampil akan berubah menjadi sekadar pelaku untuk kelangsungan cerita saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Secara garis besar novel memiliki unsur-unsur yang berupa tema, ajang
(setting), suasana, plot, konflik, krisis, klimaks, dan penyelesaian dengan
menggunakan bahasa yang deskriptif, emotif, berbentuk dialog, nada, keindahan
bunyi, dan pencitraan dengan peran karakterisasi yang protagonis, antagonis, dan
peran pembantu. Selanjutnya Aminuddin (2009: 67-103) menyebutkan bahwa
novel memiliki unsur-unsur berupa tema, ajang, gaya, penokohan, alur, dan titik
pandang.
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Seorang pengarang sebelum memulai proses kreatif penciptaan
haruslah memahami tema cerita yang akan dipaparkan, dan ini berbeda dengan
pembaca cerita yang baru dapat memahami tema apabila mereka telah selesai
memahami unsur-unsur penting yang menjadi media pemapar tema tersebut.
Ajang atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa
tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fisikal untuk membuat cerita
menjadi logis dan fungsi psikologis untuk menuansakan makna tertentu serta
mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau
aspek kejiwaan pembacanya.
Gaya dalam karya susastra mengandung pengertian sebagai cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang
mengungkapkan gagasannya dalam karya ilmiah tentunya berbeda dengan cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
pengarang dalam karya susastra. Pengarang dalam karya ilmiah akan
menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya
bahasa yang mengandung makna konotatif, sedangkan pengarang dalam karya
susastra justru menggunakan pilihan kata yang mengandung makna penuh,
refletif, asosiati, dan konotatif. Selain itu, susunan kalimat-kalimatnya juga
menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan
keindahan dan bukan hanya nuansa makna harfiah atau tertentu saja. Oleh karena
itu, masalah gaya di dalam karya susastra pada akhirnya juga berkaitan dengan
masalah gaya bahasa itu sendiri.
Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku di dalam
suatu cerita. Cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya
berbeda-beda. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang
hidup di dalam mimpi, pelaku yang memiliki cara seperti kehidupan manusia
yang sebenarnya, ataupun pelaku yang mementingkan diri-sendiri. Di dalam cerita
fiksi, pelaku tersebut dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang bersifat
seperti manusia, misalnya kucing, sepatu, boneka, dan lain-lain.
Alur atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam
rangkaian peristiwa yang berbeda-beda. Tahapan tersebut dapat berupa dalam
rangkaian komplikasi, konflik, klimaks, peleraian, penyelesaian, dan pengenalan,
atau mungkin berawal dari eksposisi, komplikasi, klimaks, revelasi, penyelesaian,
dan sebagainya. Bagi pengarang, plot dapat diibaratkan sebagai suatu kerangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan keseluruhan isi cerita.
Bagi pembaca, pemahaman plot berarti juga pemahaman terhadap isi cerita secara
runtut dan jelas.
Titik pandang atau titik kisah adalah cara pandang pengarang menampilkan
para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang tersebut meliputi
narator atau pengisah yang sekaligus berfungsi sebagai pelaku cerita atau
pengisah yang hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para
pelaku. Pengisah sebagai pelaku cerita biasanya menyebut pelaku utama dalam
cerita dengan nama pengarang sendiri, aku atau saya, sedangkan pengisah sebagai
pengamat menyebut nama pelakunya dengan dia, ia, mereka, atau nama-nama
lain.
Lebih lanjut, di dalam memahami karya susastra, khususnya novel, dapat
dilakukan dengan berbagai cara (Ratna, 2005: 552-556). Cara-cara tersebut adalah
dengan: (1) menganggap novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia
dalam kata-kata. Cara ini menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial,
seperti: tokoh, peristiwa dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia
nyata. Tidak ada novel yang semata-mata diciptakan melalui imajinasi, dan
(2) novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya susastra lebih
banyak ditentukan oleh masyarakat. Cara ini mengkondisikan karya sebagai suatu
alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan
aspirasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
2.2.4.2 Resume Novel The Highest Tide
Novel The Highest Tide karya Jim Lynch (2005) telah diterjemahkan oleh
Arif Subiyanto ke dalam novel berbahasa Indonesia Pasang Laut. Novel tersebut
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan Februari 2007 dengan
ukuran buku 13.5 x 20 cm dan tebal 328 halaman. Novel tersebut menarik
perhatian peneliti untuk dianalisis karena novel tersebut merupakan pemenang
Pacific Northwest Booksellers Book Award 2006 dan telah dipublikasikan
sehingga menjadi konsumsi publik. Novel The Highest Tide karya Jim Lynch ini
merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan diterjemahkan dalam
kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga bahasa yang
digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah bahasa saat
ini, dan novel The Highest Tide ini merupakan sumber data penelitian yang
dianggap sangat bermanfaat (menurut peneliti) untuk menjawab semua
permasalahan yang sudah dirumuskan dan target yang ingin dicapai oleh peneliti.
Novel The Highest Tide ini mengisahkan dua minggu musim panas dalam
kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia
hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan
sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles.
Yang pertama begitu menonjol terkait dengan kegemaran Miles kepada
laut. Sebagai seorang bocah penggemar laut dan segala isinya, ditambah lagi
dengan insomnia yang diidapnya, Miles suka menyelinap keluar rumah malam-
malam dan berjalan-jalan di paya asin dekat rumahnya. Malam itu, dia
menemukan cumi-cumi raksasa terdampar. Tahu bahwa tidak lazim mendapati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
cumi raksasa di perairan dangkal, kepada wartawan yang meliput secara iseng
Miles mengatakan, “Mungkin bumi ingin mengatakan sesuatu kepada kita”.
Anehnya, kata-katanya itu malah menjadikannya didengar banyak orang.
Ditambah lagi, beberapa hari sesudahnya datang seorang reporter yang mengupas
habis tentang kehidupannya, mulai dari keluarga, kehidupan pertemanan, hingga
sekolahnya. Maka, sejak itu Miles menjadi seorang selebritis dadakan, seorang
mesias kecil yang menyampaikan pesan dari alam.
Kejadian penting kedua terkait dengan keluarganya. Miles tumbuh dengan
keluarga yang tidak wajar. Ayahnya tidak dewasa dan sangat terobsesi dengan
tinggi badan. Si ayah mengukur tinggi badan Miles setiap bulan untuk mengetahui
perkembangannya. Sementara ibunya bekerja di kantor pemerintahan yang
membosankan dan mengaku menyesal menikah dengan ayahnya. Bahkan
sekurangnya tujuh kali Miles mendengar Ibu menyebut dia hasil kecelakaan.
Miles adalah buah dari kegagalan aborsi. Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh
ucapan seperti ini kepada seorang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan
pikirannya gampang menerima kesan. Pertengkaran demi pertengkaran ayah
ibunya kian meruncing dan Miles sampai menebak-nebak mereka akan cerai, dan
hatinya sudah siap hancur.
Terakhir terkait dengan dunia sosialnya, Miles dipaksa untuk bersiap-siap
ditinggalkan orang-orang yang dekat dengannya. Angie Stegner, mantan
perawatnya yang juga menjadi gadis yang memenuhi khayalan seks-nya, kian
tenggelam dalam pergaulan bebas, dan dia sudah bersiap-siap melanjutkan
studinya ke kota lain. Sobat karib Miles, seorang perempuan tua bernama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Florence, kian tak bisa diharapkan untuk selalu menjadi teman bicaranya.
Kesehatannya kian buruk. Yang selalu dekat dengannya tinggal Phelp, seorang
sebaya yang juga menjadi karyawannya untuk mencari tiram. Phelp sosok yang
sangat mengingatkan pembaca kepada tokoh Huck Finn dalam novel anak klasik
The Adventure of Tom Sawyer dan The Adventure of Huckelberry Finn karya
Mark Twain yang menyuplai Miles dengan bacaan, gambar, dan cerita-cerita
merangsang yang semakin membuat resah Miles pada awal masa pubernya itu.
Jim Lynch (penulis) membawa konflik-konflik ini kepada klimaksnya
masing-masing dengan tenang. Perceraian kedua orang tua Miles, ramalan
Florence tentang akan terjadinya pasang tertinggi, keadaan Miles, Angie Stegner,
semuanya terjawab pada bab-bab akhir novel tersebut. Ketrampilan Lynch
meracik kenakalan, kegetiran, dan keranjingan seks yang terkesan jenaka
berpotensi membuat pembaca resah untuk cepat-cepat mengetahui ujung cerita.
Meskipun penulis sangat ingin menyampaikan kepeduliannya kepada
lingkungan setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di dekat tempat
tinggalnya, dia tetap memberi porsi yang cukup untuk hal-hal lain yang
mempengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi, pertemanan, dan
problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun mendapatkan
pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang mengasyikkan
dan seringkali memaksa kita tertawa-tawa sendiri. Dalam kaitannya dengan
kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan sebagai anak yang
sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca buku-buku biologi
laut Rachel Carson. Saking bagusnya pemahaman dia tentang perilaku makhluk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
laut, Profesor Kramer mengatakan “kau membuat ilmuwan dan orang-orang lain
tampak bodoh”. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang
bahwa buku ini memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan.
2.2.4.3 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide
Di dalam penelitian ini yang dimaksud dengan bagian-bagian substansi
dalam novel adalah ungkapan-ungkapan yang lebih khusus dari teks novel sumber
yang tidak hanya mengenai maknanya secara umum atau memiliki karakter
leksikal, namun bagian-bagian teks novel yang mengandung atau memiliki
pemahaman mengenai konteks budaya dan struktur bahasa yang memiliki makna
figuratif atau konotatif. Bagian-bagian yang khas atau khusus tersebut adalah
ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan budaya materi, istilah-istilah
ekologi, budaya sosial, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Dari sinilah teks novel
ditentukan kualitas dan kekhasannya yang istimewa.
2.2.4.3.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi
Newmark (1988:97) menyebutkan beberapa ungkapan yang termasuk
ke dalam budaya materi, yaitu:
a. Food (makanan), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan istilah-
istilah makanan, minuman dan cara penyajiannya. Di Amerika, misalnya,
terdapat macaroni, spaghetti, ravioli, pizza, junk food, hors d’oeuvre, starter,
dessert, Algerian wine, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
b. Cloth (pakaian), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan istilah-
istilah pakaian tradisional, kostum nasional, dan cara berpakaian. Di beberapa
negara, misalnya, terdapat istilah sari, kimono, yukala, jubbah, jeans, dan
sebagainya.
c. House (tempat tinggal, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan
tempat tinggal komunitas masyarakat yang biasanya memiliki tempat tinggal
yang khas dan memiliki tujuan tertentu, misalnya palazzo, hotel, bungalow,
hacienda, pension, villa, borgata, dan sebagainya. Sementara itu, Sumarno
(2003: 18-21) menambahkan bahwa budaya materi juga dapat berupa bangunan
tradisional, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan ciri khas
bangunan di suatu budaya dan tidak terdapat di budaya lain. Di Cina, misalnya,
terdapat bagunan yang disebut Tembok Cina, di Indonesia terdapat Rumah
Gadang, Pendhopo Agung, dan sebagainya.
d. Transport (moda transportasi), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan
dengan sarana dan sistem perhubungan. Di beberapa negara, alat transportasi
ini telah menjadi simbol dari kepemilikan pribadi dan seringkali
mengkonotasikan martabat seseorang. Beberapa nama alat transportasi tersebut
tidak hanya memiliki nama lokal, namun juga telah meng-internasional,
misalnya: jumbo jet, Metro, BMW, Volvo, fly-over, phaethon, landau, tulbury,
dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
2.2.4.3.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi
Istilah–istilah ekologi berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya
lain tergantung pada penamaan masing-masing wilayah dan tingkat kekhasannya
(Newmark, 1988: 97). Beberapa negara memiliki istilah-istilah lokal dengan
unsur-unsur lokalnya yang sangat kuat, dan penamaan istilah-istilah lokal tersebut
memiliki fungsi yang penting dalam menunjukkan geografis dan identitas suatu
negara. Misalnya, plateau yang secara geografis merujuk pada wilayah yang
terdapat di Inggris dan Amerika, sedangkan nama lainnya yaitu mesa, altipiano,
secara geografis langsung merujuk pada suatu wilayah yang ada di Spanyol dan
Italia.
Selain itu, beberapa unsur-unsur ekologi lain, yaitu jenis musim, hujan,
lembah, ikan, dan lain sebagainya yang tidak dapat dipahami baik secara denotatif
maupun konotatif juga memiliki kata-kata budaya yang perlu dicarikan
penyelesaian padanan, misalnya jenis ikan nudibranch yang hanya terdapat di
Lautan Pasifik, namun tidak ditemukan di wilayah lain, begitu pula unsur-unsur
ekologi lain yang erat kaitannya dengan unsur komersial, misalnya mango,
advocado dan lain-lain yang menjadi produk dan kekhasan suatu wilayah yang
kemudian di bawa atau di impor ke wilayah lain yang kemudian dinaturalisasikan
menjadi mangue, avocat, dan lain-lain di wilayah lain.
2.2.4.3.3 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial
Menurut Newmark (1988:98) yang dimaksud dengan budaya sosial
secara khusus adalah manifestasi tertentu di dalam suatu masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
diungkapkan dengan menggunakan bahasa khusus atau tertentu, atau dengan kata
lain sebagai foreign cultural words. Yang tergolong ke dalam budaya sosial
tersebut adalah ungkapan-ungkapan di dalam suatu pekerjaan dan kegiatan di
waktu senggang yang biasanya dilakukan oleh anggota suatu komunitas
(Newmark, 1988: 99), sebutan atau penamaan yang diberikan kepada seseorang
(Thriveni, 2002:1), dan peristiwa budaya (Sumarno, 2003: 18-21).
a. Pekerjaan
Di dalam menerjemahkan masalah pekerjaan, penerjemah harus
membedakan antara masalah penerjemahan denotatif dan konotatif dari pekerjaan
tersebut. Ungkapan-ungkapan pekerjaan yang denotatif biasanya jarang
menimbulkan masalah terjemahan, karena kata-kata atau ungkapan-ungkapan
tersebut dapat secara fungsional didefinisikan atau ditransfer, misalnya,
ungkapan-ungkapan di dalam Tsu pork-butcher, cake shop with café, menjadi
jagal, warung kopi di dalam Tsa.
Ungkapan-ungkapan konotatif di dalam pekerjaan mungkin dapat
menimbulkan masalah terjemahan, misalnya, ungkapan-ungkapan the masses, the
working class. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat menimbulkan makna positif
dan negatif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dapat berarti sekelompok orang yang
bekerja (bukan pengangguran) ataupun kelompok orang yang bekerja di pabrik
(pekerja pabrik) atau pekerja kasar yang miskin.
b. Kegiatan Waktu Senggang
Ungkapan-ungkapan budaya sosial yang merujuk pada kegiatan-
kegiatan yang dilakukan pada saat santai dapat berupa pertandingan-pertandingan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
nasional, misalnya: cricket, bull-fighting, tennis, card-games, gambling games,
dan sebagainya.
c. Sebutan atau Penamaan
Sebutan atau penamaan terhadap seseorang merupakan unsur budaya
sosial yang sering diwujudkan atau diungkapkan di dalam suatu kelompok atau
komunitas tertentu. Ungkapan-ungkapan tersebut juga sering digunakan oleh
penulis atau pengarang sebagai nilai asosiatif. Misalnya, sebutan Tuan Kate untuk
menyebut seseorang yang kerdil, yang diibaratkan mirip dengan ayam kate. Selain
itu sebutan atau penamaan tersebut juga sering diwujudkan untuk
mengekspresikan ungkapan-ungkapan tertentu terhadap karakter fisik seseorang,
misalnya menyebut rambut dengan ungkapan bangs, dan sebagainya.
d. Peristiwa budaya
Peristiwa budaya, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan
kegiatan atau peristiwa suatu negara, seperti Thanksgiving di Amerika Serikat,
Sekaten, Kenduren, dan sebagainya di Indonesia. Peristiwa-peristiwa budaya
tersebut menimbulkan permasalahan di dalam menerjemahkan karena peristiwa
budaya di suatu tempat sangat mungkin tidak dapat ditemukan padanannya di
budaya lain.
Peristiwa budaya ini juga menyangkut kegiatan-kegiatan keorganisasian,
keagamaan, kesenian, dan juga istilah-istilah khusus suatu konsep atau gagasan.
Istilah-istilah khusus mengenai suatu gagasan merujuk pada suatu istilah yang
dipakai baik secara populer maupun dalam bidang tertentu sebagai suatu entitas
atau kejadian. Di dalam perkembangannya, sekarang banyak orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
menganggap bahwa gagasan adalah suatu kekayaan intelektual seperti hak cipta
atau paten.Terma organisasi maupun religi merujuk pada istilah-istilah suatu
organisasi atau religi yang dapat berupa organisasi politik, sosial, negara, sekolah,
dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut seringkali memiliki istilah-istilah
yang unik dan hanya dimiliki oleh anggota organisasi tersebut, misalnya,
organisasi militer, yang memiliki istilah-istilah seperti junta, guinta, junte, mayor,
dan sebagainya. Sementara itu, di dalam bahasa religi, juga diwujudkan dalam
berbagai varian istilah atau ungkapan, misalnya Santa Claus, Saint Nicholas,
Father Christmas, Kris Kringle, dan lain-lain.
Sementara itu, istilah artistik merujuk pada suatu produk atau proses dari
suatu unsur yang sedemikian rupa mempengaruhi makna, emosi, dan
intelektualitas. Artistik mencakup berbagai wilayah kegiatan, kreasi, dan bentuk
ekspresi manusia yang termasuk di dalamnya adalah musik, potografi, film,
patung, lukisan, gedung seni, dan sebagainya.
2.2.4.3.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa
Di dalam penelitian ini, peneliti menegaskan bahwa gaya bahasa berbeda
dengan gaya. Sebagaimana yang peneliti uraikan di dalam subbab 2.2.3.2 bahwa
gaya adalah way of writing atau cara bagaimana penulis atau pengarang
menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan, sedangkan gaya bahasa adalah cara
bagaimana menyusun bahasa sehingga menimbulkan nuansa keindahan. Gaya
digunakan sebagai suatu istilah yang menekankan pada bentuk tulisan dan
membedakannya dengan isi tulisan. Cara penulis menyajikan tulisannya mungkin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
saja menggunakan struktur kata atau kalimat yang kompleks atau sederhana,
menggunakan istilah-istilah teknis atau budaya, menggunakan pemilihan
partisipan dari beragam sudutpandang, ataupun juga menggunakan bahasa-bahasa
figuratif atau gaya bahasa yang berbeda-beda. Dengan kata lain, gaya bahasa
merupakan bagian dari gaya.
Secara umum yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah cara-cara yang
khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga
tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal (Ratna , 2009: 3). Di
dalam karya susastra, gaya bahasa adalah cara penyusunan bahasa sehingga
menimbulkan aspek estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan
majas atau suatu kiasan yang digunakan penulis atau pembicara dalam rangka
memperoleh aspek keindahan. Majas tersebut secara umum dibedakan menjadi
empat macam, yaitu: majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas
sindiran.
Dilihat dari hakikat karya susastra secara keseluruhan, sebagai kualitas
estetis, perbandingan dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua
majas pada dasarnya memiliki ciri-ciri perbandingan. Metafora, sebagai salah satu
bentuk majas, merupakan yang paling banyak dan paling sering di dalam
memanfaatkan perbandingan, atau dengan kata lain, di antara semua majas, maka
metaforalah yang paling penting. Menurut Wellek dan Warren (1989: 246) makna
karya susastra justru terletak di dalam metafora yang berkaitan dengan
perumpamaan secara umum karena di dalam susastra yang penting adalah citra
yang ditampilkan dengan ciri khasnya yang estetis. Oleh karena itu, di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
penelitian ini, metafora menjadi objek kajian yang berhubungan dengan gaya
bahasa.
Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas.
Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, hiperbola,
personifikasi, dan sebagainya. Pengertian metafora secara luas meliputi semua
bentuk kiasan, penggunaan bahasa yang dianggap menyimpang dari bahasa baku.
Di dalam kaitannya dengan penciptaan citra atau kesan baru, metafora menurut
Larson (1984: 246) dibagi menjadi dua kategori, yaitu metafora hidup dan
metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang temporer atau serta-merta
diciptakan oleh penulis atau pembicara untuk melukiskan sesuatu, yang
seringkali penciptaannya dilakukan secara emosional. Misalnya, penggunaan
bahasa ‘pisau tajam’, yang semula mengacu pada pengertian benda nyata
kemudian menjadi ‘pikiran tajam’ untuk menunjukkan kejernihan, kedalaman,
dan ketelitian seseorang dalam menganalisis suatu permasalahan, sama dengan
kemampuan pisau tersebut. Pisau yang tajam atau benda-benda lain yang tajam
tidak akan menghasilkan makna yang baru sebab makna tajam yang dimiliki oleh
pisau sudah dianggap sebagai makna literal. Sebaliknya, pikiran tajam berhasil
membangkitkan emosi sebab makna tajam itu sendiri sudah berada di dalam
konteks yang baru. Dengan kata lain bahwa metafora hidup merupakan estetis
yang memberikan kesan baru. Metafora hidup ini akan mudah dipahami apabila
pembaca atau pendengar memberikan perhatian yang khusus terhadap
perbandingan yang telah dibuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Metafora mati atau seringkali disebut dengan bahasa klise atau idiom
merupakan metafora yang dibentuk dengan tidak lagi memikirkan pembanding
makna dasarnya, namun langsung memikirkan pada makna idiomatis yang
dibentuknya. Contoh dari metafora mati ini adalah leg of the table atau kaki meja.
Penulis atau pembicara membentuk metafora ini dengan membandingkannya
antara kaki meja dengan kaki manusia, namun penulis dan pembaca tidak lagi
memikirkan kaki manusia ketika menggunakan tersebut. Metafora seperti kaki
meja ini memiliki makna yang tetap atau tidak berubah. Jadi, makna metafora
mati atau idiom tidak dapat diprediksi dari kata-kata yang membentuk idiom
tersebut. Misalnya, if convicted, he will certainly get the hot seat, yang memiliki
makna ‘hukuman mati’. Arti idiom tersebut sama sekali tidak dapat diprediksi dari
kata-kata pembentuknya, yaitu hot dan seat.
Larson (1984: 246) menyatakan bahwa idiom memiliki makna idiomatik
yang juga disebut dengan non-literal meaning (figurative meaning) atau figure of
speech, yaitu sebuah kata atau frase yang dipakai untuk menciptakan efek khusus
dan dipakai bukan dalam arti yang sebenarnya. Idiom bisa merupakan kelompok
kata atau frase, klausa, dan bahkan kalimat. Idiom termasuk ke dalam ungkapan
figuratif yang terdapat di dalam semua bahasa dan makna dari idiom tersebut
tidak bisa diprediksi dari kata-kata yang menyusunnya secara harfiah.
Walaupun pengarang susastra melakukan penyimpangan struktur-struktur
bahasa yang lazim dipakai, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri
secara total akan konvensi susastra. Menurut Aminuddin (2009:44-46), konvensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
susastra tersebut secara umum dapat dilihat melalui penanda-penanda sebagai
berikut:
a) Bahasa yang dipakai di dalam susastra adalah bahasa yang bersifat estetis,
puitis, dan menyentuh rasa keindahan. Keindahan bahasa susastra tercipta
lewat pendiksian yang tepat serta kompensasi bunyi yang serasi. Setiap novel
pasti memenuhi penanda ini.
b) Karya susastra bersifat imajinatif atau fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang
berangkat dari daya khayal kreatif. Karya susastra bersifat intuitif yang
mengutamakan faktor rasa. Imajinasi merupakan wilayah khusus yang tidak
perlu dicocok-cocokkan dengan kenyataan, walaupun sesuatu yang bersifat
imajinatif tidak harus irasional. Sesuatu yang bersifat imajinatif boleh jadi
terjadi dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun juga karya susastra
merupakan refleksi kehidupan manusia.
c) Bahasa susastra bersifat konotatif dan multiinterpretasi. Bahasa susastra
mempunyai banyak makna dan dapat ditafsirkan melalui berbagai macam
aspek dan dimensi. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa karya susastra
memang merupakan karya kreatif yang harus mampu menggugah kreativisme
dan merangsang daya pikir. Jika seseorang berhasil menginterpretasikan
ungkapan-ungkapan susastra yang rumit, maka dia tidak perlu mengklaim
bahwa tafsirannyalah yang paling benar, karena penafsiran karya susastra
terbuka terhadap banyak tafsir. Karya susastra selalu mempunyai berlapis-
lapis makna dan karenanya selalu mengundang penafsiran makna-makna baru.
Karya susastra bersifat dinamis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
d) Bahasa susastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif. Bahasa
susastra mengungkapkan sesuatu dengan kiasan. Penggunaan bahasa kias
dalam karya susastra bukan berarti pengarang sengaja membuat pembaca
bingung, namun justru lebih mendorong pembaca untuk berfikir kreatif.
Bahasa kias juga mencerminkan kehalusan perasaan pengarang dan daya
asosiasi yang tinggi.
e) Tokoh-tokoh didalam karya susastra dilukiskan dengan karakter, pribadi, dan
pencitraan diri yang kuat. Keberadaan tokoh-tokoh tersebut terasa hidup dan
berada kuat di tengah-tengah kita. Setting dilukiskan dengan cermat dan
hidup, sedangkan plotnya begitu memikat. Adanya setting dan plot
memungkinkan para tokoh bias bergerak dengan leluasa untuk melahirkan
konflik-konflik yang dramatis.
Dengan mengacu pada konvensi di atas dan dengan mempertimbangkan
gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa secara khas, maka pemakaian bahasa yang
khas dapat diidentifikasi dengan (1) secara teoretis, menemukan ciri-ciri
pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam kaitannya
dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah karya susastra,
dan (b) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa
sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai perumpamaan (Ratna,
2009:13). Namun demikian, dikaitkan dengan relevansinya sebagai kekhasan itu
sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, maka pemakaian bahasa yang
khas pada umumnya dibatasi pada karya susastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Dominasi penggunaan bahasa yang khas ini di dalam karya susastra
diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a) Karya susastra merupakan karya yang mementingkan unsur keindahan.
b) Karya susastra di dalam menyampaikan pesan menggunakan cara-cara tidak
langsung, sepert refleksi, manifestasi, dan representasi.
c) Karya susastra adalah curahan emosi, bukan intelektual.
Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional
mengarahkan bahasa susastra pada bentuk penyajian terselubung dan bahkan
sengaja disembunyikan. Ada suatu kesan bahwa untuk menemukan pesan di
dalam karya susastra harus dilakukan melalui jalan yang panjang dan berbelok-
belok. Jadi, karya susastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindari
unsur estetis dan emosionalitas. Karya susastra juga berbeda dengan bahasa
sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti.
Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa susastra
berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah. Tidak ada perbedaan
prinsip seperti kosakata dan leksikal antara bahasa susastra, bahasa ilmiah, dan
bahasa sehari-hari. Ciri khas dan perbedaannya diperoleh melalui proses
pemilihan dan penyusunan kembali. Analog dengan kehidupan sehari-hari, gaya
sebagai salah satu cara hidup di antara berbagai cara yang lain, gaya bahasa
adalah masalah cara pemakaian yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda
dengan bahasa dalam kamus. Dengan kata lain, kekhasan yang dimaksudkan
adalah kekhasan dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-
kata. Pilihan-pilihan seperti itulah yang justru memegang peranan karena di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
proses tersebut terkandung kualitas proses kreatif, kemampuan imajinatif, dan
kekuatan kata-kata.
Sementara itu, Zuchridin (1982: 87-91) menegaskan bahwa kekhasan
bahasa di dalam karya susastra adalah kekhasan dari sifat-sifat susastra itu sendiri,
yaitu bahwa karya susastra selain memiliki unsur-unsur ekspresi, amanat,
informasi, fiksi, juga bersifat individulisasi. Oleh karena kekhasannya tersebut,
maka penggunaan bahasa di dalam karya susastra harus digunakan sebaik-
baiknya. Bahasa yang digunakan harus sederhana, segar, tepat, dan hidup. Dengan
melihat pada sifat kekhasan bahasa di dalam karya susastra, maka seorang
penerjemah perlu atau harus dapat memberikan interpretasi dan apresiasi yang
tepat terhadap karya terjemahan yang akan diterjemahkan.
2.2.5 Penerjemahan Novel
Sebagaimana disebutkan di dalam bab pendahuluan bahwa penerjemahan
karya susastra sebagai proses pengalihan pesan tidak hanya melibatkan dua
bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran, namun juga
melibatkan kondisi sosiobudaya yang berbeda karena suatu teks dalam
penerjemahan berada dalam konteks sosiobudaya yang terkait dengan bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan karya susastra tidak
bisa dilihat hanya sekadar sebagai upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke
teks bahasa lain. Faktor lain yang sangat dibutuhkan adalah adanya suatu
kompetensi mengenai suatu wacana untuk menghasilkan suatu terjemahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
benar secara sintaktik, tepat makna, memenuhi unsur kewajaran, keterbacaan, dan
secara sosial berterima di dalam suatu konteks yang didasari budaya.
Menerjemahkan karya susastra, dalam hal ini adalah novel, tidak
dilakukan secara kata per kata, yang secara sepintas enak dibaca, tetapi secara
keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya.
Suatu kalimat di dalam novel tidak sekadar ujaran yang berdiri sendiri, namun
berfungsi sebagai petunjuk akan hadirnya ide-ide yang akan menyusul. Apabila
penerjemah hanya menerjemahkan kata-kata tersebut sebagai kata-kata yang
berdiri sendiri dan hanya berdasarkan makna dalam setiap kalimat saja, maka
hasil terjemahannya akan terasa dangkal dan kehilangan keseluruhan makna yang
ingin disampaikan oleh pengarang aslinya kepada para pembacanya.
Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan
kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya kesulitan
penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan
peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan
karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel
penerjemahan, dan juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam
menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit.
Sementara itu, Newmark (1988: 170) menyatakan bahwa karya susastra novel
pada dasarnya merupakan karya susastra yang rumit untuk diterjemahkan karena
bahasa yang digunakan di dalam karya susastra memiliki perbedaan yang nyata
dengan teks biasa dan novel mengandung unsur komunikasi antarbudaya dan
antarpribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Penerjemahan novel sebagai komunikasi antarbudaya berangkat dari suatu
pandangan bahwa bahasa dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Suatu kegiatan
akan menjadi komunikatif bila kegiatan itu dilakukan melalui suatu tanda yang
dihasilkan dengan penuh maksud oleh seorang pengirim dan diteruskan ke
penerima. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nord (1997:16) bahwa: “Action
becomes communicative ”when it is carried out through signs produced
intentionally by one agent, usually referred to as the ’sender’, and directed
toward another agent referred to as the ‘addressee’ or the ‘receiver’”. Ini berarti
bahwa pengirim dan penerima membentuk situasi komunikasi pada waktu dan
tempat tertentu yang menambahkan dimensi sejarah dan budaya terhadap proses
komunikasi. Dimensi sejarah dan budaya tersebut mempengaruhi pengetahuan
dan harapan pengirim dan penerima, kebahasaan mereka, dan cara mereka
mendapatkan situasi tertentu.
Sementara itu di dalam situasi komunikasi, pengirim dan penerima
diharapkan memiliki dasar yang sama dalam komunikasi agar supaya komunikasi
mereka berhasil. Penerjemah di dalam hal ini adalah sebagai mediator
kebahasaan dan sekaligus mediator budaya. Penerjemah tidak hanya
membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai bahasa sumber dan
bahasa sasaran tetapi juga budaya sumber dan budaya sasaran.
Penerjemahan tidak hanya antarbudaya namun juga antarindividu dan
terdiri dari sejumlah pemain peran. Menurut Nord (1991:5-11) yang dimaksud
dengan para pemain peran tersebut adalah penghasil Tsu, pengirim Tsu, Tsu,
penerima Tsu, inisiator, penerjemah, Tsa dan penerima Tsa. Dalam konteks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
tersebut Nord membuat perbedaan antara penghasil Tsu dan pengirim Tsu.
Penghasil Tsu menghasilkan Tsu dan mungkin juga sekaligus sebagai pengirim
Tsu. Hal ini bisa mengakibatkan ketidaksesuaian antara maksud pengirim dan teks
yang ditulis oleh produser. Tsu yang dihasilkan pada umumnya dimaksudkan
untuk pembaca Tsu. Meskipun penerima Tsu tidak memainkan peranan yang aktif
di dalam komunikasi antarbudaya, penerima teks masih mempengaruhi Tsu dalam
hal karakteristik bahasa. Sebaliknya, situasi yang dihasilkan oleh Tsa berbeda
dengan situasi yang dihasilkan Tsu dengan pengirim Tsu dan penerima Tsa yang
berbeda karena perbedaan waktu dan jarak. Semua faktor tersebut harus
dipikirkan oleh penerjemah.
Peranan penerjemah sangatlah unik karena penerjemah hanya memiliki
ketertarikan dalam menerjemahkan Tsu saja. Penerjemah akan secara kritis
membaca teks sebagai penerima Tsu. Berdasarkan pada tingkat kemampuan
penerjemah di dalam bahasa sumber dan budaya sumber dan juga bahasa sasaran,
penerjemah harus mampu melihat reaksi yang mungkin muncul dari penerima Tsu
dan mengantisipasi reaksi yang mungkin muncul dari penerima Tsa serta menguji
kecukupan fungsional dari terjemahan yang dihasilkan. Meskipun penerjemah
bukanlah pengirim Tsu, penerjemah menghasilkan suatu teks komunikatif di
dalam budaya sasaran yang mengungkapkan maksud-maksud pada Tsu.
Pentingnya melihat penerjemahan sebagai transfer antarbudaya dan
antarindividu karena suatu kenyataan bahwa penerjemahlah orang pertama yang
dianggap sebagai aktor dalam proses penerjemahan. Penerjemah tidak lagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
membatasi pada penerapan prosedur penerjemahan untuk memindah Tsu ke Tsa
menurut prinsip kesamaan (equivalence) tetapi juga prinsip transfer budaya.
Penerjemahan sebagai suatu transfer budaya maksudnya adalah bahwa
penerjemahan tidak lagi semata-mata sebagai transfer komunikasi tetapi sebagai
suatu penawaran informasi pada kegiatan komunikatif yang telah terjadi,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Nord sebagai berikut:
A text can therefore only be an offer of information, from which the receiver will choose the pieces that are relevant to his situation and purpose. In the same vein, every translation, independent of its function and text type (genre), is an offer of information in the target language and its target culture based on information offered in the form of a source text in a source language and its source culture. Translation is thus no longer simply a transfer of communication but an offer of information on a communicative act that has already taken place. (1997: 141)
Maksudnya bahwa penerjemah suatu teks tidak akan pernah dapat
menuntut bahwa suatu teks diterima pembaca berdasarkan keinginan tersendiri
dari penerjemah. Penerjemah hanya dapat menyarankan suatu pemahaman
tertentu dari suatu teks. Cara teks tersebut dipahami akan tergantung pada situasi
dan masing-masing pembaca. Beragam pembaca akan memahami teks yang sama
secara berbeda-beda, meskipun mereka yang berasal dari budaya yang sama
sekalipun. Oleh karena itu, suatu teks hanya dapat menjadi sebagai tawaran
informasi dan pembacalah yang akan memilih teks terjemahan yang sesuai dengan
situasi dan tujuan pembaca.
Berdasarkan informasi di dalam Tsu, penerjemah akan memilih informasi
sesuai dengan harapannya terhadap penerima sasaran dan situasi pembaca. Di sini
jelas bahwa harapan-harapan tersebut dan juga tawaran informasi terhadap Tsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
akan berbeda dengan tawaran informasi dalam Tsu karena penerima Tsu dan Tsa
memiliki komunitas budaya dan bahasa yang berbeda. Suatu kenyataan bahwa
perbedaan budaya pastilah memiliki aturan dan norma yang berbeda pula dan oleh
karena itu di dalam penerjemahan Tsa tidak akan pernah menawarkan sejumlah
informasi yang sama atau hampir sama dengan Tsu melainkan menawarkan
informasi yang berbeda dengan cara yang berbeda pula.
Lebih lanjut Nord (1997:60) menyatakan bahwa:
Since the translator cannot always derive the purpose the translation is to fulfill in the target language and target culture from the source text or his own experience, he needs a translation brief. It is either given to the translator by the initiator/commissioner or established in a discussion between the translator and initiator/commissioner.
Jadi, penerjemahan tidak lagi hanya ditentukan oleh adanya prinsip
kesepadanan (equivalence) tetapi berdasarkan kecukupan (adequacy). Namun
demikian, terjemahan tersebut harus masih bertalian secara logis atau masuk akal
(coherent).
Suatu penerjemahan dikatakan bertalian secara logis bila penerjemahan
tersebut mempunyai makna terhadap penerima atau sasaran atau sebagaimana
yang dinyatakan oleh Nord (1997:35) ”...it should make sense in the
communicative situation and culture in which it is received”. Pertalian inilah yang
disebut dengan koherensi intratekstual, yang berbeda dengan koherensi
intertekstual yang mengacu pada hubungan antara Tsu dan Tsa. Hubungan antara
Tsu dan Tsa ini tergantung pada interpretasi penerjemah terhadap Tsu dan fungsi
Tsa yang harus dipenuhi oleh penerjemah di dalam budaya sasaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Berdasarkan pada pernyataan tersebut di atas, Reiss dan Vermeer
(2000:221-232) merumuskan teori penerjemahan umum yang terdiri dari lima
aturan dasar, dengan aturan keenam yang menyatakan bagaimana kelima aturan
tersebut saling berhubungan. Keenam aturan tersebut adalah:
a) A translation depends on its skopos, i.e. its intended purpose. b) A translation is an offer of information in the target culture and target
language based on an offer of information in the source culture and source language.
c) A translation presents an offer of information and is as such not reversible.
d) A translation must be coherent in itself. e) A translation must be coherent with regard to its source text. f) The above rules are hierarchically interlinked in the stipulated order.
Maksud dari teori umum di atas adalah bahwa:
a) Suatu terjemahan tergantung pada tujuan yang diinginkan.
b) Suatu terjemahan merupakan tawaran informasi di dalam budaya sasaran dan
bahasa sasaran berdasarkan tawaran informasi di dalam budaya dan bahasa
sumber.
c) Suatu terjemahan menyajikan tawaran informasi dan bukan sebaliknya (Tsu
tidak dapat dihasilkan dari Tsa).
d) Suatu terjemahan harus bertalian logis di dalam teks itu sendiri (koherensi
intratekstual).
e) Suatu terjemahan harus bertalian logis dengan Tsunya (koherensi intertekstual).
f) Aturan-aturan di atas secara hirarkhi saling berhubungan.
Berdasarkan rumusan di atas terlihat bahwa penerjemahan
menggabungkan prinsip-prinsip penerjemahan sebagai komunikasi antarbudaya
dan transfer budaya dan tujuan (skopos) menempati posisi teratas. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
demikian, Nord (1997: 124-128) percaya bahwa seorang penerjemah juga harus
mempertimbangkan penulis Tsu, penggagas, dan pembaca Tsa. Hal ini berarti
bahwa seorang penerjemah tidak mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan
dengan maksud penulis Tsu atau gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu
penerjemahan menjadi berterima di dalam budaya sasaran. Tanggung jawab
penerjemah dalam mempertimbangkan hal tersebut di atas disebut dengan loyalty
(kesetiaan), yaitu mengacu pada hubungan interpersonal antara partisipan di
dalam proses komunikasi penerjemahan dan membatasi jangkauan fungsi Tsa
yang dapat dijangkau untuk satu Tsu tertentu, sedangkan fungsi mengacu pada
faktor-faktor yang membuat Tsa bekerja sesuai dengan yang dimaksud di dalam
situasi sasaran. Fungsional dan kesetiaan berarti bahwa penerjemah akan berusaha
menghasilkan Tsa yang fungsional yang sesuai dengan uraian ringkas terjemahan
yang dimaksudkan oleh penggagas dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena
memasukkan pertimbangan-pertimbangan budaya tertentu.
Baker (2001: 127) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penerjemahan karya susastra adalah suatu karya penerjemahan yang dilakukan
oleh penerjemah karya susastra. Dengan kata lain bahwa penerjemahan karya
susastra merupakan kegiatan subjektif murni pada ranah sosial dan budaya yang
kompleks yang dilakukan oleh penerjemah dengan memadukan unsur-unsur
imajinatif, intelektual, dan intuisi ke dalam suatu karya tulis yang disebut dengan
terjemahan. Sementara itu, Gunarwan (2005: 4) menyatakan bahwa
penerjemahan karya susastra termasuk ke dalam golongan penerjemahan literer,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
yaitu penerjemahan yang mengacu pada penerjemahan karya susastra baik prosa
maupun puisi.
Dengan melihat pada cakupan ranah yang luas dan penggunaan unsur-
unsur yang kompleks dari pernyataan-pernyataan di atas, penerjemahan literer
atau penerjemahan karya susastra dianggap lebih sukar daripada penerjemahan
nonliterer karena pada dasarnya karya susastra lebih bersifat ekspresi diri si
pengarang yang berpusat pada efek dan kesan yang ditimbulkan kepada para
pembacanya, dan di dalam penerjemahan karya susastra tersebut, penerjemah
dituntut untuk menghasilkan padanan yang dinamis, yaitu padanan yang efeknya
dirasakan oleh pembaca bahasa sasaran sebanding dengan efek yang dirasakan
oleh pembaca bahasa sasaran (Nida dan Taber, 1974). Penerjemah di dalam karya
susastra di samping harus menguasai bahasa sumber, bahasa sasaran, bidang ilmu
yang diterjemahkan, teori terjemahan, juga dituntut menguasai hal lain yang
berhubungan dengan ilmu susastra, yaitu yang berupa pemahaman latar belakang
pengarang, gaya bahasa, gaya pengarang dalam menuangkan ide cerita, aspek-
aspek budaya dalam karya, dan lain-lain.
2.2.6 Teori Polisistem
Even-Zohar (1997:9-45) di dalam model yang dikembangkannya, yaitu
teori polisistem, melihat penerjemahan karya susastra sebagai bagian dari sistem
budaya, susastra, dan sejarah dari bahasa sasaran (Munday, 2000:108). Karya
susastra tidaklah dilihat sebagai karya yang dipelajari secara terpisah namun
sebagai bagian dari sistem susastra yang dinamis di dalam polisistem secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
keseluruhan dengan menekankan bahwa penerjemahan karya susastra bekerja
pada sistem: (1) bahasa sasaran memilih karya untuk penerjemahannya, dan
(2) norma, tingkah laku, dan kebijakan penerjemahan dipengaruhi oleh sistem
yang lain (co-system).
Sebagaimana dinyatakan oleh Shuttleworth and Cowie (dalam Munday,
2000: 109) bahwa: ”The polysystem is conceived as a heterogeneous, hierarchized
conglomerate (or system) of systems which interact to bring about an ongoing,
dynamic process of evolution within the polysystem as a whole”. Pernyataan
tersebut mengandung dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu hirarki dan
proses evolusi yang dinamis. Yang dimaksud dengan hirarki adalah mengacu pada
posisi dan interaksi dari strata yang berbeda dari polisistem. Bila posisi tertinggi
diduduki oleh jenis karya susastra inovatif, maka strata yang lebih rendah
diduduki oleh jenis karya susastra konservatif, begitu pula sebaliknya. Proses
evolusi yang dinamis menunjukkan bahwa hubungan antara sistem inovatif dan
konservatif suatu karya susastra tidaklah tetap atau statis, namun mungkin
menempati posisi utama atau kedua di dalam polisistem. Bila karya susastra
terjemahan menempati posisi utama berarti bahwa karya susastra tersebut
memberi pengaruh yang sangat kuat dalam polisistem dan sebaliknya bahwa
karya susastra yang menempati posisi kedua berarti bahwa karya susastra tersebut
sangat lemah dan tidak memiliki pengaruh yang berarti.
Di dalam polisistem nampak bahwa posisi yang diduduki oleh karya
terjemahan di dalam polisistem menentukan strategi penerjemahan. Apabila karya
terjemahan merupakan karya utama, penerjemah tidak akan merasa terbatasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
untuk mengikuti model susastra sasaran dan lebih siap untuk berekspresi, dan
penerjemah seringkali menghasilkan Tsa yang sangat sepadan atau berkecukupan
(adequacy) dengan bahasa sumber. Sebaliknya, bila karya terjemahan menempati
posisi kedua, penerjemah cenderung menggunakan model budaya sasaran yang
sudah ada untuk Tsa dan menghasilkan penerjemahan yang tidak berkecukupan
(non-adequate).
Dengan dasar pada teori Even-Zohar, Toury (1995) mengembangkan suatu
teori penerjemahan umum yang dikenal dengan Descriptive Translation Studies
dengan mengusulkan tiga fase metodologi, yaitu:
a) Menempatkan teks di dalam sistem budaya sasaran dengan melihat
kepentingan dan keberterimaannya.
b) Membandingkan Tsu dan Tsa, mengidentifikasi hubungan antara pasangan
segmen-segmen Tsu dan Tsa, dan berusaha memberikan generalisasi konsep
penerjemahannya.
c) Membuat gambaran pembuatan keputusan untuk penerjemahan berikutnya.
Menilik pada metodologi di atas, tampak bahwa salah satu langkah
penting di dalam penerjemahan adalah kemungkinan pengulangan pada fase
pertama dan fase kedua bagi pasangan teks yang sama lainnya untuk memperluas
dan membangun profile penerjemahan sesuai dengan jenis teks, pengarang,
pembaca, dan sebagainya (Pym, 2005:16-21). Dengan cara ini, norma-norma yang
menyinggung masing-masing jenis penerjemahan dapat diidentifikasi dengan
tujuan akhir penetapan penerjemahan secara umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
2.2.7 Konsep Norma
Tujuan utama konsep norma yang diusulkan oleh Toury (1995) adalah
untuk membedakan kecenderungan perilaku penerjemahan, membuat generalisasi
yang berhubungan dengan proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh
penerjemah dan kemudian merekonstruksi norma-norma yang telah bekerja di
dalam penerjemahan dan membuat hipotesis yang dapat diuji melalui kajian
deskriptif berikutnya. Definisi yang dinyatakan oleh Toury adalah sebagai berikut:
”the translation of general values or ideas shared by a community-as to what is
right or wrong, adequate or inadequate-into performance instructions
appropriate for and applicable to particular situations”.
Menurut Toury, semua manusia memiliki kecenderungan untuk
bersosialisasi dan diterima secara sosial, dan sebagai akibatnya bahwa di bawah
kondisi yang normal manusia cenderung menghindari perilaku yang dilarang dan
mengadopsi tingkah laku yang dianggap sesuai di dalam kelompok tempat
mereka tinggal. Terdapat adanya suatu pengetahuan yang secara sosial sama
antara anggota masing-masing komunitas yang dianggap sebagai hal yang baik
atau pantas di dalam perilaku komunikatif. Pengetahuan tersebut muncul dalam
bentuk norma-norma. Norma-norma di dalam penerjemahan sebagaimana yang
ditentukan oleh Toury erat sekali hubungannya dengan suatu ideologi, dengan
kata lain bahwa norma-norma dapat dipahami sebagai perwujudan ideologi dari
konsep kebersesuaian dan keberterimaan.
Menurut Toury bahwa norma mengatur setiap langkah pengambilan
keputusan di dalam proses penerjemahan mulai dari pilihan teks yang akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
diterjemahkan sampai pada pilihan paling akhir dalam proses strategi
penerjemahannya. Lebih lanjut, Toury memperkenalkan tiga jenis norma:
a) initial norm; b) preliminary norms; dan c) operational norms.
Initial norm (Bagan 2.3) mengacu pada pemilihan secara umum yang
dilakukan oleh penerjemah. Di dalam norma ini penerjemah dapat memusatkan
diri mereka sendiri ke dalam norma-norma yang diwujudkan di dalam Tsu atau
norma-norma dari bahasa dan budaya sasaran. Apabila diwujudkan ke dalam Tsu,
maka Tsa akan menjadi mencukupi (adequate); dan apabila di dalam norma
budaya sasaran, maka Tsa akan menjadi berterima (acceptable). Kutub dari
kebercukupan dan keberterimaan adalah pada suatu rangkaian kesatuan karena
pada dasarnya tidak ada penerjemahan yang secara penuh berkecukupan atau
berterima dan pergeseran-pergeseran di dalam penerjemahan adalah hal yang
tidak terelakkan.
Bagan 2.5 Initial Norm
Initial norm
Subjection to target culture norms Subjection to source norms
Adequate translation Acceptable translation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Preliminary norms (Bagan 2.4) mengatur semua keputusan yang
dilakukan yang berkaitan dengan translation policy dan translation directness.
Translation policy mengacu pada faktor-faktor yang menentukan dan mengatur
semua keputusan pemilihan jenis teks untuk diterjemahkan ke dalam budaya atau
bahasa tertentu dalam kurun waktu tertentu, sedangkan directness of translation
berhubungan dengan apakah penerjemahan terjadi melalui bahasa perantara, dan
juga pada ambang toleransi mengenai bahasa apa yang digunakan dalam
menerjemahkan ke budaya sasaran.
Bagan 2.6 Preliminary Norms
Operational norms (Bagan 2.5) mengacu pada keputusan langsung yang
diambil selama kegiatan penerjemahan. Keputusan ini digolongkan ke dalam
matricial norms dan textual-linguistic norms. Matricial norms mengatur
segmentasi dan distribusi materi tekstual di dalam Tsa. Textual-linguistic norms
mengatur pemilihan materi untuk membuat Tsa ataupun mengganti materi Tsu.
Preliminary norms
Directness of translation Translation policy
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Bagan 2.7 Operational Norms
Dengan pengaruh karya Even-Zohar dan Toury, beberapa pakar
memberikan paradigma baru mengenai penerjemahan susastra, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Hermans dalam Munday (2000: 120) sebagai berikut:
What they have in common is a view of literature as a complex and dynamic system: a conviction that there should be a continual interplay between theoretical models and practical case studies: an approach to literary translation which is descriptive, target-organized, functional and systemic; and an interest in the norms and constraints that govern the production and reception of translations, in the relation between translation and other types of text processing, and in the place and role of translations both within a given literature and in the interaction between literatures.
Dari pernyataan Hermans di atas tampak jelas bahwa terdapat suatu
hubungan yang sangat kuat antara teori polisistem dan Descriptive Translation
Studies, suatu hubungan yang saling berkesinambungan antara teori dan praktek
penerjemahan. Lebih lanjut, Lambert dan Hendrik van Gorb (dalam Munday,
2000:120) membuat suatu skema yang dapat digunakan untuk membandingkan
sistem kesusastraan dalam Tsu dengan Tsa dan penggambaran hubungan antara
Operational norms
Matricial norms Textual-linguistic norms
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
keduanya. Lambert dan van Gorb membagi skema tersebut ke dalam empat
bagian:
a) Preliminary data: pada tahap ini peneliti mengidentifikasi informasi pada
halaman judul, metateks (pendahuluan, dan sebagainya), dan strategi umum
(apakah terjemahan tersebut sebagian atau lengkap). Hasilnya akan mengarah
pada hipotesis yang berkaitan dengan level 2 dan 3 berikut ini.
b) Macro-level: pada tahap ini peneliti melihat pada pembagian teks, judul dan
penyajian bab, struktur naratif internal dan komentar penulis. Tingkat ini akan
memunculkan hipotesis pada level 3 berikut ini.
c) Micro-level: yaitu peneliti mengidentifikasi pergeseran pada tingkat
kebahasaan yang berbeda yang meliputi tingkat leksikal, pola gramatikal,
narasi, sudut pandang dan modalitas. Hasil dari tingkat ini akan berinteraksi
dengan tingkat makro (level 2) dan mengarah pada konteks sistemik yang
lebih luas.
d) Sistemic context: pada tahap ini tingkat mikro dan makro, teks dan teori
dibandingkan dan norma-norma diidentifikasi. Hubungan intertekstual
(hubungan dengan teks-teks yang lain di dalam penerjemahan) dan hubungan
intersistemik (hubungan dengan tipe teks yang lain) juga digambarkan.
Sementara itu, Suryawinata (1982: 83) dan Suparman (2003: 143)
menyatakan bahwa penerjemah karya susastra harus memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:
a) Memahami bahasa sumber secara hampir sempurna. Dalam tingkat rekognisi
kemampuannya diharapkan mendekati seratus persen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
b) Menguasai dan mampu memakai bahasa sasaran dengan baik dan efektif.
c) Mengetahui dan memahami susastra, apresiasi susastra, serta teori terjemahan.
d) Mempunyai kepekaan terhadap karya susastra.
e) Memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural.
f) Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
2.2.8 Konsep Kesepadanan
Penerjemahan pada dasarnya merupakan pengalihan suatu pesan dan gaya
bahasa suatu teks yang sepadan dari bahasa yang satu (bahasa sumber) ke bahasa
yang lain (bahasa sasaran). Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang
dilakukan oleh penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan
akhir penerjemahan (Zhu, 2004). Di dalam usaha mencari suatu padanan yang
optimal bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan
banyak masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan
gramatikal, semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Menurut Machali (2000, 106) kesepadanan bukanlah kesamaan. Hal ini karena
bahasa berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk maupun kaidah yang
mengatur konstruksi gramatikal. Hal senada disampaikan oleh Bassnett (2002:37)
bahwa kesepadanan (equivalence) di dalam penerjemahan seharusnya tidak
disebut dengan kesamaan (sameness) karena kesamaan tidak dapat muncul
bersama antara dua bentuk Tsa dari teks yang sama, namun tetap berdiri sendiri
antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, Pym (2007:2) mengatakan bahwa teks bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
sumber dan teks bahasa sasaran tidak bisa disebut berpadanan karena konsep
terjemahan itu sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep
sendiri-sendiri.
Lebih lanjut, menurut Nababan (2008) suatu kesepadanan penerjemahan
antara Tsa dengan Tsu sangatlah problematik, dalam arti bahwa kesepadanan
mutlak sangatlah sulit dicapai. Hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin
suatu teks memiliki interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang
sama dalam kesempatan yang berbeda; penerjemahan merupakan interpretasi
subjektif dari penerjemah (sama dengan pendapat William, 2001) ; dan tidak
mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana tanggapan
pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali dibuat. Di
dalam usaha mencari hubungan padanan ini, beberapa pakar penerjemahan
(Catford (1974); House (1977:49); Newmark (1981); Nida and Taber (1982:200-
201); Bell (1991:6); Baker (1992:11-12); Vinay dan Darbelnet (1995:342);
Munday (2000); Jakobson (2000: 233)) menyodorkan berbagai pendapat
mengenai konsep kepadanan dalam penerjemahan.
Vinay and Darbelnet (1995:342) memandang kesepadanan sebagai suatu
prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya
meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan
Tsu. Menurut Vinay dan Darbelnet, apabila prosedur ini diterapkan dalam proses
penerjemahan, prosedur tersebut mampu menjaga bentuk atau gaya dari Tsu ke
dalam Tsa. Oleh karena itu, kesepadanan tersebut merupakan metode yang sangat
ideal di dalam menerjemahkan peribahasa, idiom, frase nominal atau sifat, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
juga onomatopi suara binatang.
Lebih lanjut Vinay dan Darbelnet mengatakan penciptaan kesepadanan
muncul dari suatu situasi, yaitu situasi di dalam Tsu yang akan dicarikan
solusinya atau padanannya oleh penerjemah. Di dalam mencari padanan ini,
penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus
atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau
konteks yang sama atau dalam istilah mereka di sebut dengan 'full equivalents'.
Kesepadanan menurut Jakobson (2000: 233) adalah penggunaan sinonim
untuk mendapatkan makna dari Tsu (hal yang sama juga disampaikan oleh
Amstrong, 2005:44). Hal ini berarti bahwa di dalam penerjemahan tidak ada yang
namanya full equivalence antara fitur-fitur kebahasaaan di dalam Tsu dan Tsa. Di
dalam konsep kesepadanan ini dapat dijelaskan bahwa penerjemahan melibatkan
dua pengalihan pesan yang sepadan di dalam dua fitur kebahasaan yang berbeda.
Lebih lanjut Jakobson mengatakan bahwa dari sudut pandang gramatikal bahasa
pastilah berbeda satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berarti bahwa
penerjemahan tidak dapat dilakukan, atau dengan kata lain bahwa penerjemahan
tetap dapat dilakukan meskipun menghadapi masalah di dalam mencari padanan
penerjemahan. Di dalam mencari padanan ini dapat dilakukan dengan cara
peminjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, atau penciptaan kata sendiri.
Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Jakobson ini dapat dijelaskan
bahwa di dalam hal-hal tertentu tidak ada kesepadanan literal untuk kata-kata atau
kalimat tertentu atau khas di dalam Tsu dan oleh karena itu penerjemah harus
memilih atau mencari cara yang paling sesuai atau memungkinkan diterapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
pada Tsa. Di sini nampak bahwa ada kesamaan antara konsep kesepadanan Vinay
dan Darbelnet dengan konsep Jakobson. Kedua konsep kesepadanan tersebut
menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam
menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman
kata (loanwords), pergeseran semantik, dan sebagainya. Kedua konsep tersebut
menjelaskan keterbatasan teori linguistik dan menjelaskan bahwa penerjemahan
tetap dapat dilakukan karena masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih oleh
penerjemah.
Menurut Nida (1982:200-201) terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu
kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal mengacu
pada kesepadanan maksimal pada kata atau frase bahasa sumber. Nida dan Taber
memberikan kejelasan bahwa tidak selalu ada kesepadanan formal antara dua
bahasa. Oleh karena itu, Nida dan Taber menyarankan bahwa kesepadanan formal
dipakai apabila penerjemahan bertujuan untuk mendapatkan kesepadanan yang
benar-benar formal daripada kesepadanan yang sifatnya dinamis. Penggunaan
kesepadanan formal ini membawa implikasi yang cukup serius di dalam Tsa
karena penerjemahan tersebut tidak akan mudah dipahami oleh pembaca (Fawcett,
1997). Nida dan Taber sendiri menyatakan bahwa kesepadanan formal pada
umumnya menyimpangkan pola gramatikal dan gaya dari bahasa sasaran, dan
oleh karenanya juga menyimpangkan pesan atau makna yang disampaikan kepada
pembaca karena pembaca akan sangat sulit memahami pesan yang disampaikan.
Kesepadanan dinamis mengacu pada prinsip penerjemahan bahwa
penerjemah berusaha mencari makna asli sedemikian rupa sehingga kata-kata di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
dalam Tsa akan membangkitkan pengaruh atau efek yang sama kepada pembaca
sasaran sebagaimana pengaruh atau efek yang dibangkitkan Tsu terhadap
pembaca Tsu. Hal ini berarti bahwa bentuk atau gaya di dalam Tsu dapat diubah
sepanjang perubahan tersebut mengacu pada konsistensi kontekstual dalam
pengalihannya.
Konsep kesepadanan oleh Nida dan Taber ini menyiratkan secara jelas
bahwa kesepadanan dinamis lebih efektif (Ibrahim, 2008:1) daripada kesepadanan
formal karena hal ini dapat dipahami bahwa konteks atau situasi jauh lebih akurat
dan komunikatif daripada menggunakan pendekatan linguistik di dalam
menerjemahkan, atau dengan kata lain kualitas pragmatik-semantik lebih
menjelaskan kesepadanan dalam penerjemahan daripada sekadar kesepadanan
harfiah saja. Atau dalam pandangan Hatim dan Munday (2004:27) bahwa
kesepadanan formal hanya melibatkan pendeskripsian sistem kebahasaan saja
(langue) dan bukannya perbandingan dan kesepadanan antara Tsu dan Tsa.
Newmark (1981) membedakan konsep kesepadanan antara kesepadanan
semantik dan kesepadanan komunikatif. Sama halnya dengan konsep kesepadanan
dinamis yang diberikan oleh Nida dan Taber, kesepadanan komunikatif juga
berusaha menciptakan efek terhadap pembaca Tsa yang sama dengan apa yang
diterima oleh pembaca Tsu.
Munday (2000) menggambarkan konsep kesepadanan dalam lima jenis
kesepadanan, yaitu: (1) kesepadanan denotatif, yaitu yang berhubungan dengan
kesepadanan ekstralinguistik suatu teks, (2) kesepadanan konotatif, yaitu yang
berhubungan dengan pilihan-pilihan leksikal, (3) kesepadanan teks-normatif, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
yang berhubungan dengan jenis-jenis teks, (4) kesepadanan pragmatik, atau
kesepadanan komunikatif, yaitu kesepadanan yang ditujukan pada pembaca teks,
dan (5) kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang berhubungan dengan bentuk
atau gaya suatu teks.
Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Catford (1974) ini benar-benar
berbeda dengan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet, Jakobson, maupun
Nida dan Taber karena Catford lebih menekankan pada pendekatan yang berbasis
linguistik dengan kontribusi terbesarnya di dalam terjemahan yaitu mengenai
pergeseran terjemahan (translation shift). Gagasan mengenai pergeseran
terjemahan tersebut pada dasarnya berawal dari perbedaan antara kesepadanan
formal dan kesepadanan tekstual. Di dalam terjemahan terikat (rank-bound
translation), kesepadanan dilakukan secara kata per kata atau morfem per morfem
di dalam Tsa. Sementara itu, di dalam terjemahan bebas (unbounded translation),
kesepadanan tidak terikat pada tataran tertentu, dalam arti bahwa kesepadanan
dapat ditemukan di dalam tingkat kalimat, klausa, ataupun tingkat yang lain.
Oleh karena itu, menurut Catford bahwa kesepadanan formal selalu ada
antara Tsu dan Tsa dan memiliki konfigurasi yang sama di dalam tataran (ranks)
Tsu dan Tsa. Salah satu masalah yang nyata di dalam kesepadanan formal adalah
meskipun bermanfaat di dalam perbandingan bahasa, namun tidak benar-benar
sesuai di dalam memcari kesepadanan terjemahan antara Tsu dan Tsa. Sementara
itu, kesepadanan tekstual terjadi ketika teks di dalam bahasa sasaran diselaraskan
supaya sepadan dengan teks yang ada di dalam bahasa sumber. Sejauh pergeseran
terjemahan dapat dilakukan, maka kesepadanan terjemahan dapat dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Dengan alasan ini, Catford membedakan pergeseran terjemahan dengan
pergeseran tingkat (level shifts) dan pergeseran kategori (category shifts).
Konsep kesepadanan Catford ini menuai banyak kritik. Salah satu kritik
yang paling tajam berasal dari Snell-Hornby (1988:19-20), yaitu yang mengatakan
bahwa definisi kesepadanan tekstual Catford yang sangat bergantung pada faktor
tekstual ‘benar-benar tidak cukup’ di dalam proses penerjemahan. Snell-Hornby
menyatakan bahwa proses penerjemahan tidak cukup hanya dengan pengurangan
atau pergeseran pada tataran linguistik saja, namun masih ada faktor-faktor lain
yang perlu diperhatikan, yaitu aspek budaya dan konteks.
House (1977:49) lebih menekankan pada kesepadanan semantik dan
pragmatik dan menyatakan bahwa Tsu dan Tsa seharusnya memiliki fungsi dan
dimensi situasional yang sama. Jadi, apabila Tsu dan Tsa secara substansial
berbeda dimensi situasinya dan kemudian secara fungsinya tidak sepadan, maka
terjemahan tersebut tidak memiliki kualitas terjemahan yang tinggi.
Sementara itu, Baker mengeksplorasi kesepadanan dalam berbagai
tingkatan di dalam proses penerjemahan. Menurut Baker (1992:11-12),
kesepadanan dapat digolongkan ke dalam: (a) kesepadanan kata, yaitu
kesepadanan antar kata, (b) kesepadanan gramatikal, yaitu mengacu pada
perbedaan-perbedaan kategori gramatikal bahasa sumber dengan bahasa sasaran,
(c) kesepadanan tekstual, yaitu mengacu pada kesepadanan antara Tsu dan Tsa
dalam hal makna dan kohesinya, dan (d) kesepadanan pragmatik, yaitu mengacu
pada implikatur dan strategi yang digunakan selama proses penerjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Bell (1991:6) membagi kesepadanan berdasar sifat bahasa itu sendiri, yaitu
sebagai struktur formal dan sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai struktur
formal terdiri dari unsur-unsur yang dikombinasikan dan yang memiliki makna.
Bahasa sebagai sistem komunikasi dalam arti bahwa bentuk-bentuk struktur
formal tersebut mengacu pada entitas dan disertai dengan sinyal-sinyal yang
memiliki nilai komunikasi. Berdasarkan sifat bahasa ini kesepadanan terjemahan
dibedakan atas kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang bebas konteks, dan
kesepadanan fungsional, yaitu kesepadanan yang berorientasi pada nilai-nilai
komunikasi teks.
Dari beberapa konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh para pakar
tersebut, secara substansial dapat dilihat bahwa beberapa pakar lebih berfokus
pada aspek linguistik dan beberapa pakar lain lebih pada fungsinya. Pernyataan
yang sama diungkapkan oleh Leonardi (2000:1) bahwa konsep kesepadanan
dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok pakar penerjemahan
yang mendasarkan pada pendekatan linguistik di dalam upaya mencari
kesepadanan di dalam menerjemahkan, (2) kelompok pakar penerjemahan yang
mendasarkan kesepadanan dengan melihat pada perbedaan aspek
pragmatik/semantik, fungsi, dan budaya, dan (3) kelompok pakar penerjemahan
yang berdiri di tengah-tengah, yang menganggap bahwa penerjemahan dapat
didasarkan pada pendekatan linguistik maupun dengan melihat pada perbedaan
aspek semantik dan budaya.
Di dalam penelitian ini, konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Vinay
dan Darbelnet dan konsep kesepadanan oleh Jakobson digunakan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
landasan di dalam menentukan kesepadanan makna dan gaya. Kedua konsep
tersebut dianggap mewakili dalam menentukan konsep kesepadanan di dalam
penelitian ini, yaitu bahwa kesepadanan adalah sebagai suatu prosedur pengalihan
situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya
menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Di dalam mencari
padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya
melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam
situasi atau konteks yang sama. Kedua konsep kesepadanan tersebut juga
menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam
menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman
kata (loanwords), pergeseran semantik, atau cara-cara lain yang dapat dipilih oleh
penerjemah.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan
gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran,
maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat
berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur
(Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi
yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat
berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi
mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk
menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada
perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
sepadan makna dan gayanya. Sementara itu, menurut Aguardo (2005:294) strategi
lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesepadanan adalah dengan
menggunakan berbagai strategi menerjemahkan dengan memperhatikan pada
tataran kata, kalimat, dan pertanyaan-pertanyaan pada makna-makna leksikal.
Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan
budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan
substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan (Riazi, 2008).
Penerjemah perlu mempertimbangkan secara mendalam penggunaan gaya di
dalam Tsa. Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa,
penerjemah dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam
bahasa sasaran yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya (Pinto,
2001; House, 2001) dan juga tugas penerjemah perlu mengenali jenis-jenis teks
sebelum memulai menerjemahkan (Nieminen, 2004).
2.2.9 Evaluasi Kualitas Terjemahan
Penilaian penerjemahan selalu melibatkan dua hal penting, yaitu
bagaimana pesan dan bentuk Tsu dialihkan ke dalam teks terjemahan. Jadi,
penilaian terjemahan pada dasarnya berkisar pada bagaimana kedua hal tersebut
dialihkan. Umumnya, yang ditekankan pada penilaian adalah pengalihan makna,
yaitu apakah pesan yang disampaikan tetap setia pada Tsu atau adakah pesan
yang hilang ataupun ditambah. Penilaian berikutnya adalah pada bentuk, yaitu
apakah bentuk Tsa atau teks terjemahan dapat terbaca sebagai tulisan asli atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
tidak, apakah ada atau tidak interferensi dari bahasa sumber, dan ada atau
tidakkah kesalahan gramatikal di dalam Tsa.
Evaluasi terhadap kualitas terjemahan dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Soemarno (1988: 33-35) menyatakan bahwa cara-cara menilai suatu
terjemahan dapat dilakukan melalui: (a) terjemahan balik, (b) pengujian
pemahaman, (c) pengujian melalui performansi seseorang.
a) Terjemahan Balik
Suatu teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Hasil
terjemahan dalam bahasa B diterjemahkan kembali ke dalam A1. Untuk
menilai hasil terjemahan itu, terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A.
Semakin dekat terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A, semakin
tinggi nilainya. Terjemahan A1 memang tidak akan sama dengan teks asli A.
b) Pengujian Pemahaman
Teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Seseorang,
dengan membaca hasil terjemahan dalam bahasa B itu, diminta untuk
memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau kuesioner dalam bahasa B
yang materinya diambil dari teks dalam bahasa A. Jawaban terhadap
kuesioner tersebut digunakan untuk menilai hasil terjemahan tersebut.
c) Pengujian Melalui Performansi Seseorang
Cara ini digunakan untuk menilai suatu terjemahan dari suatu naskah yang
bersifat teknis. Pengujian ini dilakukan dengan menyuruh seseorang
melakukan suatu perbuatan sesuai dengan apa yang dituliskan dalam naskah
yang diterjemahkan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Di samping cara menilai terjemahan seperti yang disampaikan
Soemarno di atas, cara-cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan teknik
cloze (cloze technique), teknik membaca dengan suara nyaring (reading
aloud technique), dan pendekatan berdasar padanan (equivalence based
approach).
a. Teknik Cloze
Teknik cloze merupakan tes pemahaman pembaca yang digunakan sebagai
suatu indikator tentang sukar atau mudahnya teks terjemahan bagi pembaca
(Suryawinata, 1982: 107). Indikator kemudahan teks cukup dilihat dari persentasi,
yaitu 75% pembaca dapat mengerjakan dengan benar 50% dari soal berarti teks
terjemahan itu cukup mudah dipahami, yang berarti penerjemahannya dapat
dianggap cukup baik. Menurut Nababan (2004: 20), teknik cloze ini menggunakan
tingkat keterpahaman pembaca terhadap teks bahasa sasaran sebagai prediktor
kualitas terjemahan. Semakin mudah pembaca menebak kata berikutnya dalam
kalimat dalam suatu terjemahan, semakin mudah kata tersebut dapat dipahami
dalam konteks tertentu.
Teknik cloze ini dianggap memiliki ciri-ciri tes integratif dan bahkan
pragmatik. Tes cloze selalu menggunakan wacana yang mengandung konteks,
bukan semata-mata kalimat-kalimat lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan
wacana mensyaratkan kemampuan memahami unsur-unsur kebahasaan maupun
non-kebahasaan, sebagai bagian dari pemahaman terhadap wacana secara
keseluruhan. Kemampuan untuk mengerjakan tes cloze mengandalkan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
kemampuan memahami wacana tulis, yang ditunjang oleh penguasaan tatabahasa,
kosakata, serta wacana secara umum.
Dalam penerapannya, teknik ini digunakan sebagai suatu proses
pemahaman wacana yang disertai dengan melengkapi kekurangan-kekurangan
yang ada. Kekurangan-kekurangan yang harus dilengkapi itu terdiri dari kata-kata
yang merupakan bagian dari suatu wacana, yang dengan sengaja dihilangkan dari
teks aslinya. Kemampuan untuk mengenali dan mengembalikan kata-kata yang
telah dihilangkan itu secara tepat, menunjukkan tingkat kemampuan pemahaman
dan merupakan sasaran tes cloze.
Penghilangan kata-kata dari suatu wacana tulis merupakan ciri pokok tes
cloze. Penghilangan kata-kata itu dilakukan secara sistematis, dengan
menggunakan rumus yang dikenal dengan penghilangan kata ke-n. Maksudnya
adalah bahwa pada suatu teks yang telah dipilih, kata yang ke-sekian (misalnya
ke-7, ke-8, dan sebagainya) dihilangkan sehingga meninggalkan suatu tempat
kosong. Dengan demikian pada teks yang digunakan sebagai bahan tes cloze
terdapat sejumlah tempat kosong yang terjadi secara ajeg (reliabel), yaitu setiap
kata ke-n.
Dalam mengerjakan tes cloze, peserta harus berusaha untuk menentukan
kata yang telah dihilangkan dan memasukkannya kembali ke dalam tempatnya
yang sesuai, sedemikian rupa sehingga teks itu kembali utuh secara kebahasaan
dan makna, seperti teks aslinya. Untuk itu dibutuhkan kemampuan berbahasa
yang bersifat menyeluruh, yang tidak semata-mata terbatas pada penguasaan
ejaan, penulisan, dan makna kata-kata, tetapi juga pemahaman terhadap wacana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
secara keseluruhan dengan berbagai hubungan antarbagian wacana yang terdapat
di dalamnya.
Dalam penyelenggaraan tes cloze, hubungan antarbagian dalam wacana
merupakan unsur yang penting. Untuk itu dibutuhkan wacana yang cukup panjang
dan bukan sekadar kumpulan kalimat-kalimat lepas. Selain adanya hubungan
antarbagian, wacana yang cukup panjang memungkinkan penghilangan kata-kata
dalam jumlah yang layak untuk menyusun satu tes yang utuh. Semakin panjang
teks yang digunakan, semakin banyak jumlah kata di dalamnya. Dan semakin
banyak jumlah kata dalam suatu teks semakin banyak jumlah kata yang dapat
dihilangkan atau semakin jarang jarak penghilangan katanya. Dapat dicatat bahwa
semakin rapat jarak penghilangan kata, yang berarti semakin banyak jumlah kata
yang dihilangkan, akan semakin sulit tesnya, dan sebaliknya. Tes cloze dengan
penghilangan setiap kata ke-5, misalnya, lebih sulit daripada tes serupa dengan
jarak penghilangan setiap kata ke-9.
b. Teknik membaca dengan suara nyaring
Teknik membaca dengan suara nyaring melibatkan para pembaca dalam
menentukan kualitas terjemahan. Penilai meminta beberapa pembaca untuk
membaca teks terjemahan dengan suara nyaring di hadapan pendengar. Jika para
pembaca tersendat-sendat ketika membaca teks terjemahan, maka diasumsikan
bahwa teks terjemahan tersebut mengandung masalah (Nababan, 2004:21).
Teknik membaca dengan suara nyaring ini pada dasarnya hanyalah mengukur
tingkat kelancaran membaca saja. Jika pembaca mampu membaca dengan lancar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
tidak menjamin bahwa pembaca tersebut benar-benar memahami isi teks
terjemahan dengan baik.
c. Pendekatan berdasarkan Padanan
Pendekatan berdasarkan padanan menggunakan padanan antara teks bahasa
sumber dengan teks bahasa sasaran sebagai kriteria untuk menentukan kualitas
terjemahan. Sebuah terjemahan dikatakan mempunyai kualitas yang tinggi jika
terjemahan yang bersangkutan dapat mencapai padanan yang optimal antara teks
bahasa sumber dan teks bahasa sasaran (Nababan, 2004:26).
Untuk mengetahui apakah teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran sudah
sepadan, penilai perlu membandingkan kedua teks tersebut dalam hal: tipe teks,
ciri kebahasaan yang digunakan, dan faktor-faktor ekstralinguistik. Tipe teks
mengacu pada fungsi utama bahasa dalam suatu teks; ciri kebahasaan menyangkut
ciri semantik, gramatikal, dan stilistik; dan faktor-faktor ekstralinguistik mengacu
pada dampak faktor-faktor pada strategi verbalisasi, termasuk tingkat pengetahuan
yang berbeda-beda tentang isi teks yang dimiliki oleh para pembaca teks bahasa
sumber dan teks bahasa sasaran, pengetahuan dan persepsi yang berbeda-beda
tentang fenomena tertentu.
2.2.10 Parameter Kualitas Terjemahan
Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3 bahwa makna dan gaya
merupakan hal yang sangat penting dalam penerjemahan dan merupakan hal yang
mendasar yang ingin dilakukan di dalam menerjemahkan. Dalam kegiatan
penerjemahan, seorang penerjemah harus mampu mencari padanan makna dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
gaya dalam bahasa sasaran yang sedekat-dekatnya sama dengan makna yang ada
dalam bahasa sumber.
Di dalam usaha mencari padanan makna dan gaya tersebut perlu
dirumuskan suatu parameter penilaian kualitas terjemahan. Parameter ini
digunakan untuk memberikan kriteria-kriteria yang objektif mengenai kualitas
hubungan antara Tsu dengan Tsa.
Parameter kualitas penerjemahan dapat dilihat dari berbagai sudut atau
perspektif. Menurut Gerzymisch (2001:229) parameter kualitas terjemahan dapat
dilihat dari perspektif individual (an itemized perspective), perspektif pola
hubungan (a relational pattern perspective), dan perspektif pola keseluruhan
(a holistic perspective). Perspektif individual melihat masalah-masalah secara satu
per satu yang ada di dalam suatu teks dan mengidentifikasi fenomena tekstual
lokal seperti metafora, makna leksikal, makna gramatikal, makna ambigu, dan
sebagainya. Perspektif pola hubungan menggambarkan pola-pola yang dapat
diidentifikasi sebelumnya dengan unsur-unsur yang dapat diidentifikasi
berikutnya di dalam suatu teks dan kita dapat mengidentifikasi titik awal masalah
yang dapat ditelusuri di dalam perkembangannya terhadap keseluruhan teks dan
yang dapat digambarkan sebagai rangkaian fenomena individual. Perspektif pola
keseluruhan melihat pola-pola holistik sebagai entitas fungsional yang
membentuk teks yang dengan perspektif tersebut kita dapat mengidentifikasi pola-
pola di dalam suatu teks yang tidak ada titik awal yang dapat diidentifikasi
sebelumnya. Pola-pola holistik tersebut dibentuk oleh unsur-unsur yang secara
fungsional saling berhubungan dengan salah satu unsur fungsional yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
kemudian menjadi suatu unsur di dalam entitas fungsional yang besar. Contoh-
contoh dari perspektif ini adalah hubungan-hubungan budaya, pola pengetahuan,
dan sebagainya.
Sementara itu, Al-Qinai (2000:499) menyatakan bahwa parameter
penilaian penerjemahan dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi suatu
teks dengan melihat pada fungsi sintaktik, semantik, dan pragmatik dalam
kerangka budaya yang ada baik dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Menurut Al-Qinai, parameter tersebut adalah:
a) Tipologi Teks dan Tenor: misalnya, struktur naratif dan kebahasaan dari Tsu
dan Tsa, fungsi teks (didaktif, informatif, instruksional, persuasif, dan
sebagainya).
b) Hubungan Formal: keseluruhan makna dan bentuk teks, pembagian paragraf,
tanda baca, kuotasi, dan sebagainya.
c) Koherensi Struktur Tematik: Tingkat kesimetrisan tematik bahasa sumber
dengan bahasa sasaran.
d) Kohesi: Referensi (ko-referensi, anapora, katapora), substitusi, elipsis, deiksis,
dan konjungsi.
e) Kesepadanan Teks Pragmatik (Dinamik): Tingkat kedekatan Tsa dengan
maksud Tsu (misal, kepuasaan atau penyimpangan harapan pembaca) dan
fungsi ilokusioner Tsu dan Tsa.
f) Register: jargon, idiom, kata pinjaman, kolokasi, parafrase, konotasi, dan aspek
emotif dari makna leksikal.
g) Kesepadanan Gramatikal: susunan kata, struktur kalimat, modalitas, tense.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Parameter bahwa suatu terjemahan sudah sepadan makna dan gayanya bila
terjemahan yang bersangkutan dapat mencapai padanan makna dan gaya yang
optimal antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Kalimat dikatakan
mempunyai padanan makna bila semua kata atau kelompok kata di dalam bahasa
sumber dan bahasa sasaran memiliki makna leksikal, gramatikal, tekstual,
kontekstual, sosiokultural, dan/atau makna implisit yang sama. Kalimat dikatakan
mempunyai padanan gaya bila semua kata atau kelompok kata di dalam bahasa
sumber dan bahasa sasaran memiliki kategori yang sama dalam unsur-unsur
gayanya, yaitu pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur
kata tertentu, dan tanda baca dalam upaya bagaimana menyajikan atau
mengkomunikasikan hasil terjemahannya dalam bentuk tulisan.
Sementara itu, keterbacaan, keakuratan, dan kewajaran sangatlah penting
di dalam menilai kualitas terjemahan. Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan
dapat memenuhi tujuan praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks
bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang
bersangkutan sulit dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan
yang mudah dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya
menyimpang dari pesan teks bahasa sumber.
Parameter bahwa suatu terjemahan sudah memenuhi unsur keterbacaan
bila suatu teks tersebut dapat dipahami oleh para pembaca dan seberapa besar
usaha yang dilakukan para pembaca terhadap teks tersebut, suatu terjemahan
memenuhi unsur keakuratan bila pembaca bahasa sasaran dapat memahami pesan
secara akurat seperti yang dimaksud oleh penulis asli (makna dan gaya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
diterjemahkan sudah sepadan dan berterima secara optimal), dan suatu terjemahan
memenuhi unsur kewajaran bila pesan dapat dikomunikasikan dalam bentuk yang
sealami mungkin, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibaca adalah
teks yang asli atau tidak tampak seperti suatu terjemahan.
Menurut Machali (2000: 108) pentingnya penilaian hasil terjemahan
karena dua alasan, yaitu untuk menciptakan hubungan dialektik antara teori dan
praktek penerjemahan dan untuk kepentingan kriteria dan standar dalam menilai
kompetensi penerjemah. Penilaian hasil penerjemahan ini mengacu pada produk
atau karya terjemahan itu sendiri. Menurut Nababan (2000: 121) ada dua arah
penelitian dalam penerjemahan, yaitu penelitian yang berorientasi pada produk
dan penelitian yang berorientasi pada proses. Penelitian yang berorientasi pada
produk inilah yang bisa dinilai dan dievaluasi oleh seorang penilai terjemahan,
sedangkan penelitian yang mengacu pada proses sangat sulit untuk dinilai karena
yang dikaji mengarah pada proses ketika aktivitas penerjemahan dilakukan oleh
penerjemah.
Hal pokok dalam penilaian karya terjemahan adalah rambu-rambu atau
kriteria penilaian karya terjemahan. Kriteria penilaian ini ditentukan untuk
menjaga validitas dan reliabilitas hasil penilaian. Namun demikian, perlu
dipahami bahwa tidak ada hasil terjemahan yang sempurna sehingga penilaian
pun bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian
terhadap padanan semua tataran satuan lingual secara objektif sulit dicapai
(Machali, 2000:115 dan Nababan, 2004:60) sehingga penentuan kriteria dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
indikator pun tidak dapat bersifat objektif, ketat, dan tetap terpengaruh pada
sujektifitas penilai.
Machali (2000:119) menyampaikan kriteria penilaian hasil terjemahan
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Terjemahan (Machali, 2000)
Kategori Nilai Indikator Terjemahan hampir sempurna Terjemahan sangat bagus Terjemahan baik Terjemahan cukup Terjemahan kurang
86-90 (A)
76-85 (B)
61-75 (C)
46-60 (D)
20-45 (E)
Penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan, tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah. Tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah, ada satu-dua kesalahan tata bahasa, ada satu-dua kesalahan penggunaan ejaan dan tanda baca/ejaan. Tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku tetapi relatif tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan, kesalahan tata bahasa dan idiom relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, ada satu-dua penggunaan istilah yang tidak baku/umum, ada satu-dua kesalahan ejaan. Terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku tetapi relatif tidak lebih dari 25% keseluruhan teks, ada beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, tetapi relatif tidak lebih dari 25% keseluruhan teks, ada penggunaan istilah yang tidak baku/umum dan atau tidak jelas. Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 25% dari keseluruhan teks), terdapat distorsi makna, dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25% keseluruhan teks.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Apabila kita cermati, kriteria yang diberikan oleh Rochayah mempunyai
sedikit kekurangan. Pada kategori terjemahan hampir sempurna terdapat sedikit
kekurangan pada kriteria indikatornya. Kekurangan tersebut adalah tidak adanya
indikator ‘tidak ada distorsi makna’ seperti pada kategori terjemahan sangat bagus
dan terjemahan baik. Indikator tidak ada distorsi makna ini seharusnya
ditambahkan di dalam indikator terjemahan hampir sempurna karena dalam
penerjemahan yang dilakukan adalah pencarian padanan makna yang seoptimal
mungkin.
Nababan (2004) dalam disertasinya yang berjudul Translation Processes,
Practices, and Products of Professional Indonesian Translators menggunakan
dua instrumen untuk menilai kualitas terjemahan. Instrumen tersebut adalah
Accuracy-Rating Instrument yang diadaptasi dari Nagao, Tsujii dan Nakamura
(1998) yang didasarkan pada skala 1 sampai 4 sebagaimana yang ditunjukkan
berikut ini:
Tabel 2.2 Skala dan Definisi Kualitas Terjemahan (Nababan, 2004)
Scale Definition 1 The content of the source sentence is accurately conveyed into the
target sentence. The translated sentence is clear to the evaluator and no rewriting is needed.
2 The content of the source sentence is accurately conveyed into the target sentence. The translated sentence can be clearly understood by the evaluator, but some rewriting and some change in word order are needed.
3 The content of the source sentence is accurately conveyed into the target sentence. There are some problems with the choice of lexical items and with the relationship, between phrase, clause, and sentence elements.
4 The source sentence is not translated all into target sentence, i.e., it is omitted or deleted.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Kriteria atau rambu-rambu penilaian hasil terjemahan yang dinyatakan
oleh Nababan menunjukkan suatu kemudahan, keefektifan indikator dibanding
yang telah dinyatakan oleh Machali, dan hal ini juga ditunjukkan dengan
penggunaan skala 1 sampai 4. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa
dalam menilai terjemahan harus dilihat apa yang akan dinilai, apakah itu teks
ilmiah ataukah teks susastra, dan kepada sasaran pembaca yang mana.
Lebih lanjut Machali menyatakan bahwa di samping makna dan kriteria,
hal pokok dalam menilai karya terjemahan adalah cara menilai hasil terjemahan.
Machali (2000:117-123) membagi ke dalam dua cara yaitu cara umum dan cara
khusus. Cara umum digunakan untuk teks yang umum, yakni teks yang tidak
mempunyai ciri tertentu yang beda dengan yang lain secara universal. Misalnya
ciri penggunaan bahasa dalam teks ilmiah mempunyai ciri universal, yaitu efektif,
lugas, tidak taksa, dan formal. Ciri tersebut berlaku untuk semua teks ilmiah,
misalnya jurnal, makalah, artikel, disertasi, dan lain-lain.
Penilaian secara umum dapat dimulai dari asumsi umum bahwa tidak ada
terjemahan yang sempurna, penerjemahan semantik dan komunikatif merupakan
reproduksi pesan yang umum, dan penilaian bersifat umum dan relatif. Penilaian
karya terjemahan dapat dilakukan dengan tahapan penilaian fungsional, penilaian
berdasarkan makna dan kriterai, dan penilaian berdasarkan indikator dan nilai
untuk menentukan kesepadanan pesan hasil terjemahan, yakni terjemahan yang
hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup
dan terjemahan buruk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Sementara itu, cara penilaian khusus digunakan untuk menilai teks yang
mempunyai ciri penggunaan yang khusus atau tidak mempunyai ciri penggunaan
bahasa yang universal dengan teks lainnya, misalnya puisi. Di samping makna,
bentuk puisi harus dipertimbangkan oleh penerjemah sehingga dalam
menerjemahkan harus dapat memasukkan minimal dua unsur tersebut agar
keindahan bentuknya juga dapat terhubung dalam karya terjemahan puisi. Oleh
karena itu, penilaian khusus harus mempertimbangkan bentuk, sifat, dan fungsi.
Lebih lanjut Machali (2000:121-122) menjelaskan bahwa kriteria yang
dapat digunakan dalam penilaian khusus adalah berubah atau tidak berubah,
menyeluruh atau lokal, jelas atau tidak jelas, baku atau tidak baku, wajar atau
tidak wajar (misalnya puisi yang mengandung metaforik), benar atau tidak.
Namun demikian cara yang dilakukan tidak berbeda dengan cara penilaian umum,
yakni penilaian fungsional, penilaian berdasarkan makna dan kriteria, dan
penilaian berdasarkan indikator dan nilai untuk menentukan keberterimaan,
kesepadanan pesan hasil terjemahan, dan kualitas terjemahan, yakni terjemahan
hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup,
dan terjemahan buruk.
Senada dengan cara penilaian khusus yang disampaikan oleh Machali,
Zhonggang (2006: 45) menilai suatu karya terjemahan susastra, baik puisi
maupun novel, dengan menggunakan skala relevansi. Menurut Zhonggang, yang
dimaksud dengan skala relevansi adalah suatu tingkat relevansi yang mana
pembaca memahami suatu teks tergantung pada jumlah pengaruh kontekstual
terhadap teks dan upaya untuk memahami teks tersebut. Semakin banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
pengaruh kontekstual, semakin relevan teks tersebut; semakin sedikit upaya yang
dilakukan pembaca dalam memahami suatu teks, semakin relevan teks tersebut.
Skala relevansi ini dikelompokkan menjadi: relevansi optimal, relevansi kuat,
relevansi lemah, dan tidak ada relevansi, sebagaimana tersaji berikut:
Tabel 2.3 Skala Relevansi (Zhonggang, 2006: 45)
Relevance Contextual implication Processing effort
Optimal relevance Fully comprehensible Without unnecessary effort
Strong relevance Relatively clear With some necessary effort
Weak relevance Implied Considerable effort taken
Irrelevance Vague and unclear All the effort is in vain
Ketiga cara penilaian yang telah disampaikan oleh Machali, Nababan, dan
Zhonggang di atas merupakan rambu-rambu penilaian hasil terjemahan yang,
menurut hemat peneliti, lebih mengutamakan pada keakuratan makna. Di dalam
penelitian ini, selain makna, penggunaan gaya dalam penerjemahan novel ini juga
sama pentingnya dengan makna. Sebagaimana diuraikan di dalam sub-bab 2.1.3.
bahwa makna dan gaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
penerjemahan (Siad Shiyab, 2003:5). Penerjemahan atau pencarian padanan
makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai, hasil terjemahan akan menjadi
tidak lengkap dan tidak efisien. Makna adalah apa yang dikomunikasikan ke
pembaca terjemahan, sedangkan gaya adalah cara bagaimana mengkomunikasikan
makna tersebut ke pembaca terjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Selain itu, hal penting lainnya adalah tingkat pemahaman pembaca atau
unsur keterbacaan terjemahan. Keterbacaan, menurut para pakar terjemahan,
mengacu pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh
pembaca. Keterbacaan merupakan keseluruhan unsur dalam sebuah teks tulis yang
mempengaruhi keterpahaman pembaca (dalam Nababan; 2004, 29). Sementara
itu, Suryawinata (1982: 104-105) menyatakan bahwa keterbacaan adalah berpusat
pada masalah mudah tidaknya suatu teks untuk dibaca dan dipahami oleh
pembacanya dan tidak mempermasalahkan kesetiaan suatu teks terjemahan
terhadap sumber aslinya.
Dari beberapa pendapat para pakar terjemahan tersebut dapat disimpulkan
bahwa keterbacaan adalah suatu kriteria mengenai sejauh mana suatu teks dapat
dipahami oleh para pembaca dan seberapa besar usaha yang dilakukan para
pembaca terhadap teks tersebut. Jadi, keterbacaan suatu teks sangatlah tergantung
pada pembaca karena pada dasarnya suatu teks tidak dapat dibaca sendiri oleh
teks tersebut. Di sini jelas bahwa tingkat keterbacaan ditentukan oleh pembaca
dengan tingkat kemampuan, pengetahuan, dan konsentrasi pembaca dalam
memahami teks terjemahan, meskipun keterbacaan itu sendiri juga dipengaruhi
oleh fitur-fitur teks sebagaimana dikutip dalam Nababan (2004: 29) bahwa
keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang didasarkan pada
panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, jumlah kata baru yang
digunakan dalam teks, kosa kata, konstruksi kalimat yang digunakan penulis,
penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa,
penggunaan kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Oleh karena itu, berdasarkan perpaduan dari kriteria-kriteria penilaian
hasil terjemahan yang telah disampaikan oleh Machali, Nababan, Zhonggang di
atas, dan juga parameter penggunaan unsur-unsur gaya yang ada dalam
penerjemahan dan unsur pemahaman pembaca, maka kriteria penilaian hasil
terjemahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Terjemahan dalam Penelitian ini
Kategori Nilai Indikator Terjemahan hampir sempurna Terjemahan sangat bagus Terjemahan baik Terjemahan cukup Terjemahan kurang
86-90 (A)
76-85 (B)
61-75 (C)
46-60 (D)
20-45 (E)
Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
2.2.11 Pendekatan Kritik Holistik
Pendekatan kritik holistik merupakan pendekatan yang digunakan untuk
penelitian evaluasi kualitatif yang didasari dengan pola pikir keberkaitan semua
variabel pokok yang terlibat (Sutopo, 2006: 114). Penelitian evaluasi bertujuan
untuk menggali, menemukan, dan memahami, baik kekuatan maupun kelemahan
dari semua variabel pokok yang terlibat dalam suatu kegiatan, peristiwa,
pelaksanaan program, atau suatu karya tertentu.
Pendekatan kritik holistik dianggap lengkap karena memandang berbagai
masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain menyatu
dalam suatu konteks. Dengan kata lain bahwa suatu karya, program, atau peristiwa
dan kondisi tertentu, kualitasnya harus dipandang dari perspektif latarbelakangnya
(faktor genetik), kondisi formal yang berupa kenyataan objektifnya (faktor objektif),
dan hasil atau dampaknya (output, product, outcome) yang juga meliputi persepsi
orang yang berinteraksi dengan program atau karya yang dievaluasi tersebut (faktor
afektif) (Sutopo, 2006: 142-143). Simpulan akhir dari model ini dilakukan dengan
membuat sintesis dari informasi yang bersumber dari tiga faktor tersebut. Tidak ada
satu pun faktor yang memiliki otoritas atau dominan dalam pendekatan kritik
holistik. Variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent
variable) saling terkait dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, penerjemah,
terjemahan, dan pembaca yang memahami terjemahan saling terkait dan
mempengaruhi.
Berbeda dengan pendekatan kritik yang lain, misalnya kritik historis yang
mementingkan faktor latarbelakangnya saja, kritik objektif yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
mementingkan faktor objektifnya atau kondisi formalnya, dan model kritik
emosional yang lebih mementingkan faktor afektifnya, sehingga secara keseluruhan
simpulan makna dari tiga model tersebut dipandang berat sebelah, memihak dan
setengah-setengah. Atas dasar itu pendekatan kritik yang dipandang paling lengkap
dan tepat adalah pendekatan kritik holistik. Dalam pendekatan ini beragam
informasi dikelompokkan ke dalam tiga jenis faktornya, yaitu (1) faktor genetik,
(2) faktor objektif, (3) faktor afektif. Dari tiga jenis informasi tersebut dibahas
secara menyeluruh dan saling terkait sehingga bisa dilakukan sintesis sebagai suatu
simpulan makna akhir dari penelitiannya. Adapun faktor-faktor tersebut
digambarkan di dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 2.8 Pendekatan Kritik Holistik (Sutopo, 2006: 145)
Faktor Genetik
Sintesis
Faktor Afektif
Faktor Objektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
2.3 Kerangka Pikir
Penelitian ini diawali dari pemikiran bahwa menerjemahkan novel
tidaklah mudah. Seorang penerjemah novel diharapkan untuk memahami bahasa
sumber dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya karya susastra lebih
mengandung unsur ekspresi pengarang dan kesan khusus yang ingin
ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya susastra juga mengandung unsur-
unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi,
dengan segala nuansa yang mengiringinya.
Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan
praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan
pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit
dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah
dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari
pesan teks bahasa sumber. Oleh sebab itu penerjemah karya susastra perlu
mempunyai pengetahuan yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari
bahasa sumber tersebut, memiliki pengetahuan dan kualitas khusus
(kesususastraan dan estetika, dan artistika kebahasaan), harus dapat
mengidentifikasi unsur-unsur susastra dan memiliki pemahaman budaya dan nilai-
nilai karya susastra yang diterjemahkan, serta memahami karya susastra secara
menyeluruh, memandang karya susastra sebagai suatu wacana yang mengandung
unsur informasi, amanat, ekspresi pengarang, dan unsur fiksi.
Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah
menemukan kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
kesulitan penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi
dan peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan
karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel
penerjemahan, dan juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam
menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit.
Padanan istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman
sosiokultural yang muncul dalam cerita, kata-kata khusus yang ada dalam Tsu,
unsur-unsur susastra, dan gaya yang muncul di dalam keseluruhan teks novel
perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan untuk mencari hubungan
padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa, apakah padanan makna dan gaya
antara Tsu dan Tsa tersebut untuk memenuhi tuntutan kewajaran atau dipaksakan
oleh penerjemah yang disebabkan kekurangpahaman terhadap kedua bahasa.
Berdasarkan pemikiran di atas, analisis penerjemahan novel perlu dikaji
secara holistik, yaitu menganalisis novel pada faktor objektif, faktor genetik, dan
faktor afektif. Penelitian ini diawali dengan menganalisis faktor objektif, yaitu yang
berkaitan dengan masalah kesepadanan makna dan gaya antara novel HT dan
terjemahannya PL. Bagian kedua, analisis diarahkan pada faktor genetik, yaitu
mengungkap latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam
menerjemahkan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel bahasa Indonesia
Pasang Laut (PL), dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang
khas dalam novel The Highest Tide. Bagian ketiga, analisis diarahkan pada faktor
afektif, yaitu pembaca yang dipandang sebagai subjek yang memberikan pendapat
bagaimana terjemahan itu dipahami. Pembaca dalam penelitian ini adalah pembaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
ahli yaitu para dosen bahasa Inggris yang benar-benar memiliki kemampuan bahasa
Inggris dengan baik dan sering menerjemahkan berbagai novel dan telah
dipublikasikan untuk mengungkap pendapat dan saran mengenai penerjemahan
novel, dan para mahasiswa bahasa Inggris untuk mengungkap tanggapan mereka
tentang hasil dari novel yang telah diterjemahkan. Dalam pelaksanaan penelitian ini
komponen-komponen analisis tersebut saling berkaitan dan berinteraksi.
Kerangka pikir penelitian ini digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
↑↑
Bagan 2.9 Kerangka Pikir
Sepadan/tidak sepadan
- Latar belakang penerjemah - Langkah-langkah
penerjemah dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel bahasa Indonesia PL
- Strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT
Pemahaman terhadap hasil
terjemahan
Kesepadanan makna
Analisis
Objektif: Novel
Sepadan/tidak sepadan
Genetik: Penerjemah
Afektif: Pakar dan Pembaca
Makna leksikal, gramatikal, tekstual,
kontekstual, sosiokultural, dan/atau
makna implisit
Kesepadanan gaya
Pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca
Simpulan Akhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Tidak
Adapun unsur-unsur gaya di dalam menerjemahkan karya susastra (Christensen:
http//teachers.lakesideschool.org/us/English/LiteraryStyle.htm, retrieved on
21/10/2008), meliputi:
1. Susunan kalimat, yaitu apakah kalimat yang digunakan panjang atau pendek,
apakah kalimat yang digunakan terdiri dari beberapa anak kalimat atau sering
terfragmentasi, dan apakah sering terjadi penyimpangan atau pemenggalan
kalimat.
2. Diksi, yaitu apakah penulisannya pendek, ketat, dan efisien ataukah
mengelaborasi dan panjang, kapan penerjemah menggunakan kata-kata yang
pendek, ketat, dan efisien ataupun elaborasi dan panjang, dan mengapa
menggunakan kata-kata tersebut.
3. Kosakata, yaitu apakah kata-kata yang digunakan sederhana ataukah khayalan,
teknis, berbunga-bunga, percakapan sehari-hari, kabur, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
4. Gaya bahasa, yaitu apakah terdapat berbagai jenis gaya bahasa misalnya
metafora, simile, simbol, ataupun jenis gaya bahasa yang lain misalnya
personifikasi, metonimi, dan sebagainya.
5. Penggunaan dialog, yaitu seberapa sering dialog digunakan untuk bercerita,
apakah dialog menyajikann seluruh percakapan apakah beberapa fragmen saja,
dan apakah dialognya formal atau bahasa sehari-hari.
6. Sudutpandang, yaitu sudut pandang pertama, kedua, ketiga, terbatas, kompleks.
7. Pengembangan karakter, yaitu bagaimana penulis memperkenalkan karakter,
dan bagaimana kita melihat evolusi mereka di dalam cerita.
8. Struktur paragraf/bab, yaitu apakah paragraf yang digunakan sangat pendek
ataukah cukup panjang, apakah bab yang ada pendek atau panjang, berapa jumlah
keseluruhannya, bagaimanakah paragraf atau bab tersebut diorganisir, dan
mengapa pengorganisasian tersebut sangat penting.
9. Kronologi waktu, yaitu bagaimana penulis mengorganisasikan kronologi suatu
peristiwa atau kejadian.
10.Nada, yaitu bagaimana sikap penulis, bagaimana nuansa dalam cerita, apakah
penulisnya kasar, agresif, pesimistik, penuh kasih, penuh filosofi, ketus, dan
sebagainya.
Jelaskan lebih rinci
Dari berbagai konsep mengenai gaya di atas, maka di dalam penelitian ini,
penggunaan gaya adalah …..terdiri dari susunan kalimat, diksi, kosakata, gaya
bahasa, dan struktur paragraf/bab. Susunan kalimat yang dimaksud adalah apakah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
kalimat yang digunakan panjang atau pendek, apakah kalimat yang digunakan
terdiri dari beberapa anak kalimat atau sering terfragmentasi, dan apakah sering
terjadi penyimpangan atau pemenggalan kalimat. Diksi yang dimaksud adalah
apakah penulisannya pendek, ketat, dan efisien ataukah mengelaborasi dan
panjang, kapan penerjemah menggunakan kata-kata yang pendek, ketat, dan
efisien ataupun elaborasi dan panjang, dan mengapa menggunakan kata-kata
tersebut. Kosakata yang dimaksud adalah apakah kata-kata yang digunakan
sederhana ataukah khayalan, teknis, berbunga-bunga, percakapan sehari-hari,
kabur, dan sebagainya. Gaya bahasa yang dimaksud adalah apakah terdapat
berbagai jenis gaya bahasa misalnya metafora, simile, simbol, ataupun jenis gaya
bahasa yang lain misalnya personifikasi, metonimi, dan sebagainya. Sedangkan
struktur paragraf/bab yang dimaksud adalah apakah paragraf yang digunakan
sangat pendek ataukah cukup panjang, apakah bab yang ada pendek atau panjang,
berapa jumlah keseluruhannya, bagaimanakah paragraf atau bab tersebut
diorganisir, dan mengapa pengorganisasian tersebut sangat penting.
Buat tabelnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
BAB III METODOLOGI
3.1 Strategi dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dikaji yaitu menganalisis novel The
Highest Tide (HT) dan terjemahannya dengan pendekatan kritik holistik, maka
strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dikatakan
demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kasus terhadap hasil
terjemahan novel HT yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia. Strategi ini akan mampu menangkap dan memerikan permasalahan-
permasalahan secara mendalam sehingga akan terungkap pula hasilnya secara
mendalam mengenai permasalahan yang sudah dirumuskan maupun rumusan-
rumusan masalah yang mungkin muncul pada waktu pengumpulan data maupun
analisis data. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap makna dari
interaksi penerjemah, hasil terjemahan, dan tanggapan pembaca terjemahan.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal yang berasal dari
dokumen berupa novel HT dan terjemahannya, penerjemah novel HT, pakar
penerjemahan dan pembaca hasil terjemahan novel HT. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Sutopo (2006: 112) bahwa suatu penelitian disebut penelitian studi
kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu karakteristik, artinya
penelitian ini hanya diarahkan pasa satu sasaran, yaitu penerjemahan novel HT ke
dalam novel PL. Di dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan secara rinci dan
mendalam mengenai novel HT dan terjemahannya dengan apa adanya. Pada bagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
pertama, perhatian diarahkan pada masalah kesepadanan makna dan gaya antara
novel HT dan terjemahannya PL. Bagian kedua, perhatian diarahkan pada latar
belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel
HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel
HT. Bagian ketiga, perhatian diarahkan pada pembaca yang dipandang sebagai
subjek yang memberikan pendapat bagaimana terjemahan itu dipahami. Pembaca
sebagai sumber data afektif dalam penelitian ini adalah pakar terjemahan yang
telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering mempublikasikan hasil karya
mereka dan memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik, dan juga pendapat
para pembaca novel termasuk mahasiswa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan holistik, yaitu memandang sesuatu hal
secara utuh, tidak bagian perbagian saja (Sutopo, 2006:142). Penelitian ini
memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari
kondisi yang lain yang menyatu dalam suatu konteks. Variabel yang ada di dalam
penelitian ini tidak bisa dipahami dan dipelajari secara terpisah dari keterkaitannya
di dalam konteks yang utuh. Variabel bebas (independent variable) dan variabel
terikat (dependent variable) saling terkait dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini,
penerjemah, terjemahan, dan pembaca yang memahami terjemahan saling terkait
dan mempengaruhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
3.2 Sumber Data dan Jenis Data
Di dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah:
(a) dokumen novel, (b) penerjemah, dan (c) pembaca buku terjemahan. Secara rinci
sumber data dan jenis data tersebut diuraikan sebagai berikut:
3.2.1 Dokumen Novel
Sumber data dokumen dalam penelitian ini adalah novel The Highest Tide
(HT) yang ditulis dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul novel Pasang Laut (PL). Alasan pemilihan sumber data
dokumen berupa novel ini adalah bahwa: (1) novel HT ditulis oleh seorang
jurnalis yang telah memenangkan Pacific Northwest Booksellers Book Awards
2006 dan telah dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik, (2) novel HT
karya Jym Linch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan
diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga
bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah
bahasa saat ini, (3) novel HT merupakan sumber data penelitian yang dianggap
sangat bermanfaat (menurut peneliti) untuk menjawab semua permasalahan yang
sudah dirumuskan dan target yang dicapai oleh peneliti.
3.2.2 Penerjemah
Penerjemah merupakan sumber data genetik yang digunakan oleh peneliti.
Komponen informasi genetik ini meliputi latar belakang penerjemah, langkah-
langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel The Highest Tide, dan strategi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel The Highest
Tide.
3.2.3 Pembaca
Pembaca yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pakar
penerjemahan yang telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering
mempublikasikan hasil karya mereka serta memiliki kemampuan bahasa Inggris
dengan baik. Dengan demikian pendapat dan masukan yang diberikan akan sangat
membantu. Juga, pendapat para pembaca novel yaitu para mahasiswa. Tujuan
utama peneliti memilih pakar penerjemahan yang berpengalaman ini adalah
untuk mendapatkan informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh
karena itu, pakar penerjemahan ini sekaligus sebagai penilai tentang kesepadanan
makna dan gaya dalam penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel
berbahasa Indonesia PL; dan para mahasiswa dipilih untuk menggali pendapat
mereka mengenai dampak atau kualitas terjemahan yang dihasilkan.
Adapun jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: (1) data
verbal berupa kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat di dalam teks novel HT
dan terjemahannya, (2) informasi berupa kata-kata atau frasa-frasa yang berasal
dari jawaban kuesioner atau hasil wawancara dengan penerjemah novel, pakar
penerjemahan novel, dan para pembaca novel terjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
3.2.4 Jenis Data 1
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan oleh peneliti, jenis
data di dalam penelitian ini adalah kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat
yang mengandung: budaya materi, istilah-istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya
bahasa yang terdapat pada novel HT. Data ini selanjutnya disebut dengan data
primer dan data ini kemudian oleh peneliti diinterpretasi dan diperkaya dengan
data yang lain. Data ini selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 1a sampai 1e.
Untuk menentukan data primer ini, peneliti membaca secara seksama
semua kalimat yang ada di dalam novel dan kemudian mengidentifikasi kata-
kata, frasa-frasa di dalam kalimat-kalimat yang mengandung aspek atau hal-hal
yang khas dalam susastra. Bila terdapat dua atau lebih kata atau frasa yang sama
di dalam kalimat, maka hanya satu kata atau frasa saja yang dijadikan data.
Setelah melalui identifikasi yang seksama, maka ditemukan sebanyak 122 kalimat
yang dijadikan data. Agar supaya data yang telah diidentifikasi ini lebih akurat,
peneliti meminta pendapat kepada seorang pakar bahasa dan sastra untuk
memastikan bahwa data yang telah diambil benar-benar merupakan data
mengenai hal-hal yang khas dalam susastra. Dari hasil masukan pakar bahasa dan
sastra tersebut didapatkan bahwa dari 122 kalimat yang telah diidentifikasi,
sebanyak 115 kalimat yang dapat dijadikan data. Data-data tersebut selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis makna dan gaya yang terdapat di dalam
Tsu dan Tsa. Lebih lanjut data tersebut dapat dilihat di dalam lampiran 2a-e dan
3a-e.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
3.2.4 Jenis Data 2
Data selanjutnya adalah data informasi yang berupa kata-kata, frasa-frasa,
atau kalimat-kalimat yang dikumpulkan dari jawaban kuesioner dan hasil
wawancara dengan penerjemah novel, pakar penerjemahan novel, dan para
pembaca novel terjemahan. Data ini selanjutnya disebut dengan data sekunder.
Data ini dimaksudkan untuk mendukung dan mempertajam analisis pada data
primer.
3.3 Teknik Cuplikan
Teknik cuplikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, yaitu yang berkaitan dengan pembatasan jumlah dan jenis
dari sumber data yang digunakan dalam penelitian. Teknik ini berarti bahwa
sumber data yang diambil didasarkan pada kelengkapan dan jenis data yang
diperlukan untuk menjawab masalah-masalah yang telah diajukan dalam
penelitian ini, sehingga cuplikan data yang didapat mewakili informasi yang
dibutuhkan (Sutopo, 2006:54-55).
Sumber data yang dicuplik di dalam penelitian ini adalah para pembaca
novel. Para pembaca novel, sebagai faktor afektif, yang dicuplik adalah
(1) pembaca yang dipandang layak untuk dijadikan nara sumber, yaitu pakar
penerjemahan yang telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering
mempublikasikan hasil terjemahan serta memiliki kemampuan bahasa Inggris
dengan baik. Tujuan utama peneliti memilih pakar penerjemahan yang
berpengalaman ini adalah untuk mendapatkan informasi sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
permasalahan yang diteliti, dan (2) para pembaca novel lain yang dicuplik adalah
para mahasiswa. Para mahasiswa yang dimaksud adalah para mahasiswa jurusan
sastra Inggris. Mengingat keterbatasan waktu dan pertimbangan kemudahan
dalam mengumpulkan data, maka sumber data mahasiswa diambilkan dari
mahasiswa jurusan sastra Inggris tempat peneliti bekerja. Secara keseluruhan
para pembaca tersebut adalah:
a. Seorang lulusan Program Doktor Universitas Negeri Malang dengan penelitian
disertasi pada bidang Penerjemahan, telah menerjemahkan berbagai buku dan
novel (sebagai pakar penerjemah sekaligus penilai).
b. Seorang lulusan Program Magister Penerjemahan Universitas Negeri Sebelas
Maret Solo (sebagai penilai).
c. Seorang lulusan Program Doktor Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya
(sebagai pakar bahasa dan sastra).
d. Peneliti sendiri (sebagai penilai).
e. Mahasiswa jurusan sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura kelas B
semester 1 tahun akademik 2009/2010 (sebagai pembaca novel terjemahan).
Sementara itu, penerjemah novel, sebagai faktor genetik, tidak dicuplik
karena penerjemah sudah terfokus dan mewakili individu atau tidak mewakili
populasi, dan karenanya digunakan sebagai sampel penelitian. Sedangkan
dokumen novel, sebagai faktor objektif, tidak dicuplik karena semua kata-kata,
frasa-frasa, atau kalimat-kalimat di dalam novel tersebut dijadikan data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik simak dan catat, kuesioner, dan wawancara mendalam (Sutopo, 2006:58-70).
3.4.1Teknik Simak dan Catat
Peneliti sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat,
terarah, dan teliti terhadap sumber data primer dalam rangka memperoleh data
yang diinginkan. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang dimaksud adalah
dokumen penerjemahan novel bahasa Inggris HT dan terjemahannya PL. Hasil
penyimakan ini kemudian dicatat sebagai data (Edi Subroto, 1992:41-42). Semua
aktivitas di dalam simak dan catat ini disesuaikan dengan metodologi yang ada di
dalam penelitian ini dan dalam setiap mulai pengumpulan data dilakukan
pengkodean. Adapun teknik simak dan catat ini dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Membaca secara keseluruhan novel HT beserta terjemahannya PL dengan
teliti.
b. Membaca dengan teliti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf dalam novel
sumber yang telah dijadikan data beserta kata, kelompok kata, kalimat, atau
paragrafh dalam novel terjemahannya.
c. Memberi kode pada setiap kartu data yang menjelaskan tentang nomor urut
data, buku, dan nomor halaman tempat ditemukannya data. Contoh: data
dengan kode 005.HT.chap16.pg117/PL.bb16.hal161. Kode ini menjelaskan
bahwa nomor urut data adalah 005 dan data ini terdapat dalam buku HT (The
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Highest Tide) pada chapter 16 page 117 dan buku PL (Pasang Laut) pada bab
16 halaman 161.
d. Mengklasifikasikan jenis-jenis makna dan yang ada di dalam Tsu dan Tsa.
e. Mencatat kesepadanan makna dan gaya yang telah ditandai dan dicatat di
dalam kartu data. Penjelasan tentang tata cara pengkodean ini dibahas dalam
subbab 3.6.
f. Menganalisis hasil kajian dokumen yang diperoleh, dalam arti bahwa data yang
sama mengalami proses penyisihan dan dalam proses ini terjadi analisis.
3.4.2 Wawancara Mendalam
Tujuan wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah untuk
mengumpulkan data yang berupa informasi tentang proses penerjemahan novel
HT dan pertimbangan-pertimbangan yang mendasari penerjemah dalam
menerjemahkan serta dampak hasil terjemahan.
Wawancara yang dilakukan peneliti ditujukan kepada narasumber
penerjemah dan pakar penerjemahan. Garis besar wawancara kepada penerjemah
berpusat pada masalah-masalah genetik yang meliputi latar belakang
penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan
strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT.
Adapun wawancara kepada pakar mencakup tentang bagaimana pendapat dan
saran serta pengalaman yang dimiliki oleh pakar penerjemahan tersebut. Format
wawancara selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 6a dan 6b. Teknik wawancara
mendalam ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
a. Menentukan narasumber yang dipandang mampu memberikan data yang
diperlukan. Topik-topik yang digunakan sebagai dasar pertanyaan dalam
wawancara kepada penerjemah adalah mengenai latar belakang penerjemah,
langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi
penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Topik-
topik wawancara dengan pakar penerjemahan adalah mengenai hasil
terjemahan novel HT secara umum dan masukan mengenai hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penerjemahan novel HT.
b. Menghubungi narasumber guna konfirmasi kesediaannya untuk diwawancarai
dan menentukan jadwal wawancara.
c. Melakukan wawancara sesuai kesepakatan yang telah dibuat.
d. Membuat fieldnote.
e. Mengulangi wawancara bila dipandang perlu.
Wawancara dengan penerjemah dilakukan pada tanggal 20 Juli 2009
sehari setelah penerjemah mengisi materi pada seminar ‘National Seminar and
Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing’ di Universitas
Brawijaya, sedangkan wawancara dengan pakar penerjemah dilakukan pada
tanggal 27 Juli 2009.
3.4.2 Kuesioner
Pengumpulan data melalui kuesioner dilakukan secara tertulis dengan
menggunakan teknik angket. Kuesioner ini bersifat terbuka (open-ended
questionnaire), artinya pada setiap pertanyaan memang bisa juga diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
alternatif jawaban, namun di dalam kuesioner juga diberi ruang yang cukup untuk
memberikan kesempatan kepada responden untuk menulis alasan mengapa
responden menjawab demikian, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah
yang ditanyakan. Kuesioner ini ditujukan kepada para pembaca novel terjemahan.
Penggunaan kuesioner ini dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa hal yang
berhubungan langsung dengan masalah yang telah dirumuskan atau yang mungkin
tidak dipikirkan sebelumnya. Adapun garis besar kuesioner ini adalah untuk
mendapatkan data mengenai pendapat para pembaca novel mengenai kualitas
terjemahan yang dihasilkan dan dampak yang ditimbulkannya.
Sebelum kuesioner ini didistribusikan ke pembaca, terlebih dahulu
kuesioner diujicobakan kepada try outer, yaitu para mahasiswa sastra Inggris
Universitas Trunojoyo Madura semester 1 angkatan 2009/2010 kelas A pada
tanggal 31 Agustus 2009. Uji coba ini dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat
validitas yang baik sebelum diberikan kepada para pembaca sebagai sumber data
yang sesungguhnya. Hasil uji coba tersebut kemudian dianalisis untuk dilakukan
perbaikan terhadap format kuesioner yang telah disebarkan. Dari hasil analisis uji
coba, maka beberapa perbaikan dilakukan, yaitu: (1) petunjuk pengerjaan angket
perlu disederhanakan dan (2) perlu penambahan ruang (space) untuk alasan dan
komentar. Format kuesioner selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 5. Setelah
perbaikan dilakukan, kemudian kuesioner didistribusikan ke pembaca penerjemah
yang sesungguhnya, yaitu para mahasiswa jurusan sastra Inggris Universitas
Trunojoyo Madura kelas B semester 1 tahun akademik 2009/2010 pada tanggal 22
September 2009.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Hasil kuesioner kemudian dianalisis untuk mendapatkan beragam
jawaban terbuka yang diutarakan oleh para informan yang berkaitan dengan
kualitas terjemahan yang dihasilkan. Untuk mempermudah di dalam memahami
analisis hasil kuesioner ini, maka dibuatkan kode-kode seperti contoh berikut:
001.I1.Jwb C. Skor 1. Kode ini menjelaskan bahwa nomor urut data 001 pada
item nomor 1 memberikan jawaban C dengan nilai 1. Hasil analisis ini secara
lengkap dapat dilihat pada lampiran 7.
3.5 Validitas Data
Untuk meningkatkan validitas data dalam penelitian ini digunakan
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data tersebut.
Patton (dalam Sutopo, 2006: 78-85) menyatakan bahwa ada empat macam
teknik triangulasi, yaitu (1) triangulasi sumber, (2) triangulasi peneliti,
(3) triangulasi metodologis, dan (4) triangulasi teoretis. Triangulasi ini merupakan
tehnik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif.
Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara
pandang. Misalnya dalam memandang suatu benda, apabila kita hanya
menggunakan satu perspektif maka kita akan melihat satu bentuk saja. Jika benda
tersebut kita lihat dari beberapa perspektif yang berbeda maka dari setiap hasil
pandangan kita akan menemukan bentuk yang berbeda dengan bentuk yang
dihasilkan dari pandangan lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Dari keempat macam triangulasi di atas, penelitian ini menggunakan
triangulasi sumber, yaitu memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk
menggali data yang sejenis. Di dalam triangulasi sumber ini, penekanannya pada
perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain. Di
dalam penelitian ini, peneliti menggali data dari sumber yang berbeda-beda, yaitu
penerjemah novel HT, dokumen berupa novel HT dan terjemahannya PL, pakar
penerjemahan, dan para pembaca novel.
Triangulasi sumber di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, yaitu
data dari sumber data dokumen novel HT dan terjemahannya yang dikumpulkan
melalui hasil simak dan catat dibandingkan dengan data dari penerjemah novel HT
yang dikumpulkan melalui hasil wawancara. Pembandingan ini dilakukan untuk,
misalnya, mencari atau menemukan data tentang ketidaksetiaan makna pada buku
hasil terjemahan (faktor objektif). Data ini kemudian ditriangulasikan dengan data
dari sumber data pakar penerjemahan (faktor afektif) yang diperoleh dari hasil
wawancara, yang digunakan untuk menemukan padanan makna, ketakterjemahan,
pengurangan, dan penambahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
(lampiran 8). Data ditriangulasikan lagi dengan data dari sumber data para pembaca
novel terjemahan (faktor afektif) yang diperoleh dari penyebaran angket.
Selanjutnya, data ditriangulasikan kembali dengan data dari sumber data dokumen
novel untuk mendapatkan data yang lebih mantap.
Triangulasi sumber tersebut dapat digambarkan dengan bagan sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
Bagan 3.1 Triangulasi Sumber
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teknik analisis
model interaktif, yaitu teknik analisis data kualitatif yang terdiri dari tiga komponen
pokok: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dan verifikasi (Sutopo,
2006: 120).
Proses analisis tersebut dapat digambarkan dengan diagram berikut:
Dokumen berupa novel
Pembaca novel
Wawancara
Kuesioner
Data
Simak dan catat
Penerjemah
Wawancara Data
Data
Pakar Penerjemahan
Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
Bagan 3.2 Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2006:120)
Di dalam pelaksanaan penelitian ini komponen-komponen analisis tersebut
saling berkaitan dan berinteraksi serta tidak bisa dipisahkan dari komponen
pengumpulan data. Proses analisis sudah dilakukan pada waktu peneliti
mengumpulkan data.
a. Reduksi Data
Sejak data awal terkumpul, analisis data telah dilakukan, yaitu dengan cara
melakukan reduksi data agar data lebih terseleksi, terfokus, dan mempermudah
pengaturan data sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Reduksi data pada saat
proses pengumpulan data dilakukan dengan cara membuat ringkasan catatan, yaitu
menentukan batas-batas permasalahan yang hanya berpusat pada kesepadanan
makna dan gaya di dalam novel sumber HT dan novel terjemahannya PL yang
berhubungan dengan penerjemahan hal-hal yang khas dalam susastra, penerjemah
novel HT, dan tanggapan pembaca.
Pengumpulan Data
Reduksi data Sajian data
Penarikan simpulan/verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
Data yang telah diseleksi dibuatkan kode-kode khusus agar mudah dianalisis
lebih lanjut. Pengkodean data ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini:
054.HT.Chap13.Pg96/PL.Bb13.Hal133 Tsu: People rarely got stuck while wading. It usually happened while they were
crossing soft exposed mud, with the typical rescue involving wooden planks upon which trapped mudders would lay their torsos and crawl free from the muck. Oystermen did it all the time. So did Evergreen students. This was different.
Tsa: Orang yang berjalan di rawa-rawa jarang terjebak lumpur. Petaka itu
biasanya terjadi jika mereka nekat melangkah ke dalam lumpur yang lembut, dan cara yang ditempuh untuk menyelamatkan diri adalah meraih sebilah papan, menempelkan bagian atas tubuh mereka ke papan itu sambil merangkak menuju dataran kering. Penagkap tiram selalu melakukannya. Begitu juga mahasiswa-mahasiswa dari kampus Evergreen. Tapi kali ini situasinya berbeda.
Kode-kode di atas secara lengkap diuraikan sebagai berikut:
a. Nomor urut data ditulis paling awal. Nomor urut data untuk data Tsu sama
dengan nomor urut Tsa. Nomor urut data ini dimulai dari data 001. Jadi, nomor
urut data 054 di dalam contoh di atas menunjukkan bahwa nomor urut data
yang diambil oleh peneliti adalah data nomor 054 dari data-data yang diambil
di dalam novel The Highest Tide dan novel terjemahannya Pasang Laut.
b. Berikutnya setiap data Tsu dan Tsa juga diberi kode mengenai kode novel, bab
yang ada di dalam novel, dan halaman novel. Kode-kode tersebut adalah
sebagai berikut:
HT : novel sumber The Highest Tide
Chap : chapter atau bab yang ada di dalam novel The Highest Tide
Pg : page atau halaman yang ada di dalam novel The Highest Tide
PL : novel terjemahan Pasang Laut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Bb : bab yang ada di dalam novel terjemahan Pasang Laut
Hal : halaman yang ada di dalam novel terjemahan Pasang Laut
Dari kode-kode di atas dapat diketahui bahwa data dapat kita temukan di
dalam novel sumber The Highest Tide, Chapter 13, page 96 dan novel terjemahan
Pasang Laut, Bab 13, halaman 133. Data yang telah dikodekan di atas, kemudian
dianalisis berdasarkan jenis-jenis makna dan gaya teks bahasa sumber dengan
terjemahan teks bahasa sasaran, yaitu apakah data yang telah dikodekan tersebut
temasuk ke dalam makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna
tekstual, makna sosiokultural, dan/atau makna implisit, dan termasuk ke dalam gaya
yang meliputi: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata
tertentu, dan/atau tanda baca yang digunakan dalam Tsu dan Tsa.
Pengklasifikasian tersebut dapat dilihat dalam contoh di bawah ini:
025.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal53 Tsu: She looked to see if I was enjoying this. She’d definitely been crying. I
glared at frankie, and he smiled warmly back. He was such an effortless Marlboro man he made me feel like a circus midget.
Tsa: Angie melirik padaku untuk melihat reaksiku. Matanya sembap, dia pasti
habis menangis. Aku melotot pada Frankie, tapi dibalasnya dengan senyum hangat. Dia memang lelaki yang memesona, dan di hadapannya aku merasa seperti badut cebol di sirkus.
Teks di atas digolongkan ke dalam atau memiliki makna sosiokultural,
dengan penjelasan bahwa makna sosiokultural adalah makna suatu bahasa yang
sangat berkaitan erat dengan sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai
alat komunikasi oleh masyarakat (Soemarno,1999:7). Makna sosiokultural
seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat sebagai pengguna bahasa itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Makna ini, selain sering ditemukan dalam bentuk kata-kata istilah budaya, sering
juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang tidak dapat dijelaskan
maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu.
Marlboro Man di dalam Tsu dipadankan menjadi lelaki yang memesona di
dalam Tsa. Sebenarnya, Marlboro Man ini merupakan sosok yang digunakan di
dalam kampanye iklan tembakau untuk rokok Marlboro. Sosok ini pertama kali
dicitrakan sebagai seorang koboi dengan sebatang rokok yang secara alami selalu
melekat padanya. Iklan tersebut sebenarnya digunakan untuk mempopulerkan
rokok filter yang sebelumnya dianggap sebagai rokok feminim (rokoknya orang
perempuan). Kampanye iklan Marlboro ini disebut sebagai salah satu iklan yang
paling brilian pada saat itu, yaitu yang mentransformasikan citra feminisme ke
dalam cita rasa maskulin, bahwa rokok filter adalah juga rokoknya lelaki atau
rokoknya koboi.
Kemudian data dianalisis lebih lanjut berdasarkan kategori kesepadanan
makna dan gaya, yaitu terjemahan hampir sempurna (THS), terjemahan sangat
bagus (TSB), terjemahan baik (TB), terjemahan cukup (TC), dan terjemahan
kurang (TK). Di dalam menganalisis kesepadanan makna dan gaya antara Tsu di
dalam novel The Highest Tide dengan Tsa di dalam novel terjemahannya Pasang
Laut disajikan sebagaimana contoh berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
047.HT.Chap13.Pg85/PL.Bb13.Hal118
Teks Sumber Teks Sasaran THS TSB TB TC TK Pansing showed up first. He had arms the color of old pennies and a smile so quick it was to miss.he studied the geoduck drom three angles and carefully set it in an iced cooler, jammed thirty-two manilas and nine butter clams in there with it.
Ternyata Pansing yang muncul duluan. Lengannya cokelat legam seperti keping uang kuno dan senyumnya tipis, dan nyaris tak terlihat. Dia membolak-balik geoduck itu, lalu dengan hati-hati memasukkannya ke dalam kotak es, berikut dua puluh tiga manila dan sembilan ekor remis butter clam.
Alasan:
Contoh data di atas di analisis kesepadanan makna dan gayanya dalam
penerjemahan hal-hal yang khas dalam susastra, dengan penjelasan sebagai
berikut:
047 : nomor urut data
HT.Chap13.Pg85 : data tersebut diambil dari novel sumber The Highest
Tide, Chapter 13, Page 85
PL.Bb13.Hal118 : data tersebut diambil dari novel terjemahan Pasang Laut,
Bab 13, Halaman 118
THS : terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan
hampir sempurna
TSB : terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan sangat
bagus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
TB : terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan baik
TC : terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan cukup
TK : terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan kurang
Dalam paparan contoh di atas, Tsu yang dicetak tebal memiliki makna
bahwa dia tersenyum sangat cepat dan singkat sehingga lawan bicaranya kadang
tak sempat memperhatikan senyuman itu. Namun, dalam konteks bahasa sasaran
(bahasa Indonesia), tersenyum sangat cepat dan singkat tersebut sangat sulit
dicarikan padanannya. Bahasa Indonesia tidak mempunyai konsep ’tersenyum
cepat’ atau ’tersenyum pendek’. Tertawa pendek, semacam ha! misalnya, masih
bisa kita bayangkan, tapi tersenyum singkat atau tersenyum pendek sangat langka
dalam wacana Indonesia, sehingga di dalam Tsa yang dicetak tebal pada contoh di
atas padanan yang diberikan oleh penerjemah adalah senyuman tipis. Dalam
paparan di atas tidak ada perubahan bentuk. Dengan tidak adanya perubahan
bentuk dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, maka terjemahan tersebut
makna dan gayanya sangat bagus.
b. Sajian Data
Setelah data direduksi kemudian disajikan dalam bentuk uraian secara
lengkap. Data hasil reduksi ditata secara kronologis dan sistematis sehingga
membentuk suatu rangkaian yang berurutan dan utuh yang bisa memberikan
gambaran keseluruhan informasi secara gamblang. Sajian data dalam penelitian
ini berupa narasi data tentang kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa
yang berhubungan dengan penerjemahan hal-hal yang khas dalam novel yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
dibahas secara rinci mengenai jenis makna dan gaya yang digunakan dalam
penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel berbahasa Indonesia
PL dan kualitas kesepadanan yang dihasilkan. Kualitas kesepadanan terjemahan
novel HT ini diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna
(THS), 2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB),
4) terjemahan cukup (TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Penerjemah dibahas
secara rinci, yaitu berupa latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah
dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan
hal-hal yang khas dalam novel HT. Pemahaman pembaca dideskripsikan
berdasarkan pada masukan dan pendapat para pembaca mengenai terjemahan
yang dihasilkan. Hasil tersebut dibandingkan dan diinterpretasikan dengan
keadaan nyata pada teks dan akan disusun dengan kalimat-kalimat yang
sistematis. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah analisis lebih lanjut.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Setelah selesai melakukan reduksi data dan sajian data, peneliti melakukan
penarikan simpulan. Simpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan penelitian
yang telah dirumuskan. Misalnya, data mengenai kualitas kesepadanan terjemahan
novel pada kategori terjemahan baik (TB) sebagaimana contoh berikut:
082.HT.Chap21.Pg158/PL.Bb21.Hal211 Tsu: Carolyn led me into another room and then through a passage with a fake
waterfall and some smelly hyacinths into a curved auditorium with a half-bowl of sloped theater seating. People were straightening a stage and double-checking microphones, testing, testing, testing. Meanwhile, that same endless stargazing song played on. I saw a whole lot of whispering,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
eye-swiveling and those pleasant zombie smile that the jellyfish rescuers had bombarded me with on the flats.
Tsa: Carolyn membawaku ke ruangan lain, melewati air terjun buatan dan
beberapa bunga bakung yang baunya menusuk hidung, menuju sebuah auditorium dengan kursi-kursi yang dijajarkan bertingkat-tingkat membentuk setengah lingkaran seperti gedung teater. Orang-orang di sana sedang meluruskan panggung dan memeriksa perangkat pengeras suara: testing, testing, testing. Sementara itu musik pengiring penggemar teropong bintang tadi masih terus mengalun tanpa henti. Kerumunan orang itu berbisik-bisik, lalu puluhan pasang mata lainnya melirik ke arahku, dan lagi-lagi kulihat senyuman mirip zombie yang pernah kulihat dari anggota pemujaan yang mengikutiku melempar ubur-ubur ke air dalam di hamparan lumpur teluk beberapa hari yang lalu.
Setelah diamati secara seksama dan mendalam, menurut peneliti, data
nomer 082 di atas termasuk ke dalam terjemahan baik (TB).Untuk mendapatkan
simpulan yang mantap, maka simpulan ini perlu diverifikasi. Verifikasi ini
dilakukan dengan membandingkan hasil simpulan peneliti di atas dengan simpulan
yang diberikan oleh para informan (penilai) lain, yaitu bahwa menurut penilai I,
data nomer 082 di atas termasuk ke dalam kategori terjemahan baik (TB),
sedangkan menurut penilai II data nomer 082 tersebut termasuk ke dalam kategori
terjemahan sangat bagus (TSB).
Apabila dalam verifikasi ada kejanggalan-kejanggalan maka peneliti
kembali ke pengumpulan data, atau memeriksa reduksi data, atau sajian data. Di
dalam proses ini, peneliti tetap terbuka dan terus mencermati munculnya informasi
baru yang akan mempengaruhi hasil simpulan akhir tersebut. Sesuai dengan model
interaktif yang digunakan dalam kajian ini, Proses siklus ini akan dilakukan terus-
menerus hingga memperoleh simpulan yang mantap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
BAB IV SAJIAN DATA
4.1 Sajian Data
Di dalam bab ini disajikan mengenai hasil-hasil penelitian berdasarkan
rumusan masalah yang telah ditentukan, yaitu kesepadanan makna dan gaya
mengenai ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan
gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya, deskripsi
mengenai penerjemah, dan deskripsi pemahaman pembaca novel terjemahan.
Kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa dibahas secara rinci dan
berurutan. Pertama, sajian data berupa ungkapan-ungkapan budaya materi,
istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa yang terdapat di dalam novel HT
dan terjemahannya. Kedua, jenis makna dan gaya yang digunakan dalam
penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel berbahasa Indonesia
Pasang Laut (PL). Ketiga, kualitas kesepadanan makna dan gaya di dalam novel
HT dan terjemahannya. Kualitas kesepadanan terjemahan novel HT ini
diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2)
terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup
(TC), dan 5) terjemahan kurang (TK).
Deskripsi mengenai penerjemah dipaparkan tentang: latar belakang
penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel The
Highest Tide (HT), dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang
khas dalam novel HT. Pemahaman pembaca dideskripsikan berdasarkan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
masukan dan pendapat para pembaca mengenai terjemahan yang dihasilkan.
Dengan demikian pendapat dan masukan mereka akan sangat membantu untuk
mendapatkan informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
4.1.1 Kesepadanan Makna dan Gaya
Sebelum menganalisis kualitas kesepadanan makna dan gaya di dalam
novel HT dan terjemahannya, penulis menyajikan secara rinci mengenai:
(1) bagian-bagian substansi di dalam novel HT, yaitu ungkapan-ungkapan yang
berhubungan dengan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya
bahasa, dan (2) jenis makna dan gaya yang digunakan dalam penerjemahan novel
HT ke dalam novel berbahasa Indonesia Pasang Laut (PL).
Di dalam analisis berikut ini, setiap kata, frasa, atau kalimat yang
dianalisis diberi kode: nomor urut, tempat terdapatnya data, dan nomor halaman
tempat terdapatnya data. Misalnya, kode 007.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal14
mengandung maksud: nomor urut data 007 terdapat dalam buku The Highest Tide
pada Chapter 1 page 6, dan dalam buku Pasang Laut pada Bab 1 halaman 14.
4.1.1.1 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel HT
Data-data mengenai bagian-bagian yang khas di dalam novel The Highest
Tide yang diterjemahkan ke dalam novel Pasang Laut mencakup sajian mengenai
ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan a) budaya materi, b) istilah-istilah
ekologi, c) budaya sosial, dan d) gaya bahasa.
Data mengenai ungkapan-ungkapan tersebut adalah sebagaimana berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
4.1.1.1.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi
Sebagaimana diuraikan di dalam subbab 2.2.4.3.1 bahwa beberapa
ungkapan yang tergolong ke dalam konteks budaya materi, yaitu food (makanan),
cloth (pakaian), house (tempat tinggal), transport (moda transportasi). Di dalam
penerjemahan pada aspek budaya materi tersebut dapat ditemukan dalam contoh
penerjemahan berikut:
016.HT.Chap4.Pg22/PL.Bb4.Hal35 Tsu: The weatherman, who’d mastered the ability to simultaneously smile and
speak, promised his forecast was next, then stranded me with a commercial that left me with the confusing impression that waterskiing was somehow safer and more fun with Tampax. I waited for the phone to bark, the door to collapse, the house to be surrounded by hecklers. But nothing happened.
Tsa: Penyiar prakiraan cuaca yang pintar berbicara sambil tersenyum berjanji
akan menyampaikan ramalannya setelah segmen iklan yang selalu membuatku bingung, karena mereka bilang pembalut Tampax bisa membuat main ski air lebih aman dan mengasyikkan. Aku menunggu-nunggu telepon berdering, pintu depan roboh, atau rumahku diserbu oleh para reporter tolol itu. Tapi ternyata itu tidak terjadi.
Tampax di dalam Tsu merupakan salah satu merek dagang pembalut
wanita yang digunakan untuk menyerap cairan, khususnya darah, pada saat
menstruasi. Pembalut wanita biasanya memiliki berbagai ukuran, yang besarnya
tergantung pada tingkat penyerapan dan bungkusnya. Di Amerika, pembalut
wanita tersedia dalam berbagai ukuran penyerapan, yaitu ukuran junior untuk
penyerapan 6 gram ke bawah, ukuran regular untuk tingkat penyerapan 6-9 gram,
super untuk tingkat penyerapan 9-12 gram, dan super plus untuk tingkat
penyerapan 12-15 gram. Beberapa nama produk pembalut wanita tersebut antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
lain: Rely, Kotex, O.B., Platex, Lil-Lel, dan Tampax. Kata di dalam Tsu di atas
dipadankan dengan frase pembalut wanita di dalam Tsa.
Contoh lain mengenai ungkapan budaya materi adalah sebagaimana data
berikut:
100.HT.Chap26.Pg202/PL.Bb26.Hal267 Tsu: I told him I’d take him fishing on Skookumchuck once I saved enough to
buy a Lund. “The twelve-footers are perfect for fishing,” I explained. “They’re so sturdy you can stand up in them. And I bet I can get one for about five hundred, maybe four-fifty, if I wait until somebody gets tired of watching one rust in their yard.”
Tsa: Kujanjikan padanya dia akan kuajak menangkap ikan di Teluk
Skookumchuck setelah tabunganku cukup untuk membeli perahu motor Lund. “Perahu ukuran 3.6 meter sangat bagus untuk memancing,” kataku menjelaskan. “Perahu itu begitu kuat dan kau bisa berdiri di atasnya. Dan aku bisa menebusnya dengan harga empat ratus, mungkin empat ratus lima puluh, asalkan aku cukup sabar menunggu sampai ada pemilik Lund yang bosan melihat perahunya dimakan karat di halaman rumahnya.”
Lund merupakan salah satu nama merek terkenal di Amerika yang
menawarkan berbagai jenis alat transportasi dan aksesori kendaraan yang
fungsional dan selalu mengikuti perkembangan. Produk-produk yang ditawarkan
mulai dari kapal motor merek Lund, aksesori mobil, kotak penyimpanan, sampai
aksesoris tempat tidur. Secara keseluruhan, data mengenai budaya materi dalam
penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1a.
4.1.1.1.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi
Istilah–istilah ekologi berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya
lain tergantung pada penamaan masing-masing wilayah dan tingkat kekhasannya.
Penamaan istilah-istilah tersebut memiliki fungsi yang penting dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
menunjukkan geografis dan identitas suatu negara. Beberapa unsur ekologi,
sebagaimana diuraikan di dalam subbab 2.2.4.3.2 adalah jenis wilayah, musim,
hujan, lembah, ikan, dan lain sebagainya.
Penerjemahan istilah-istilah ekologi di dalam novel HT dapat ditemukan
dalam penerjemahan berikut:
069.HT.Chap18.Pg131/PL.Bb18.hal179 Tsu: I told them how the Cyanea jelly grows from the size of a gum ball to that of
an umbrella in a few months.”And when they’re full grown,” I said, “they trail these long poisonous tentacles behind them that some smart baby fish use to shelter themselves from predators.”
Tsa: Kuterangkan pada mereka tentang pesatnya pertumbuhan ubur-ubur
Cyanea yang semula hanya sebesar kunyahan permen karet namun bisa melar selebar payung dalam beberapa bulan saja. “Dan kalau sudah mencapai ukuran maksimumnya, badan mereka akan ditumbuhi tentakel beracun yang sangat panjang berumbai-rumbai di belakang tubuhnya, dan sering dimanfaatkan ikan-ikan kecil untuk berlindung dari serangan predator.”
Berdasarkan data di atas, istilah ekologi yang dimaksud di dalam Tsu
adalah Cyanea jelly. Frasa tersebut di dalam Tsa dipadankan dengan ubur-ubur
Cyanea. Dalam bidang ekologi, ubur-ubur ini termasuk dalam spesies ubur-ubur
yang paling besar. Binatang ini biasanya berada di dalam suhu air laut yang
dingin sepanjang laut Atlantik utara dan laut Pasifik utara.
Contoh lain mengenai istilah-istilah ekologi adalah sebagaimana data
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
009.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal15 Tsu: I bagged that sea slug-it weighed nothing-and set it in my backpack next to
the Jesus star. Then I gave the crabs a wide berth, found the moon snail, poked him in the belly until he contracted, bagged him and paddled south toward home beneath the almost full moon.
Tsa: Kumasukkan siput laut yang sangat ringan itu ke dalam kantong plastik, dan
kuletakkan di samping si bintang laut salib. Aku terus melangkah sambil menghindari kepiting-kepiting ganas itu, kutemukan kembali kerang kalung tadi, kusodok-sodok perutnya sampai dia masuk ke dalam cangkangnya, kusimpan di dalam kantong plastik, dan mulai kudayung kayakku ke arah selatan, pulang di bawah siraman cahaya bulan yang hampir bulat sempurna.
A Jesus Star di dalam Tsa sebenarnya merupakan ikan laut berbentuk
bintang lima, sering disebut starfish atau sea stars. Terdapat sekitar 1800 spesies
ikan sea star dan kebanyakan ikan ini terdapat di wilayah tropis Indo-Pasifik.
Wilayah penyebaran yang paling banyak adalah di daerah bersuhu tropis sekitar
Australia, dan air bersuhu dingin sekitar Pasifik Utara yang membentang dari
California sampai Alaska. A Jesus Star dipadankan menjadi si bintang laut
salib di dalam Tsa. Secara keseluruhan, data mengenai istilah dalam penelitian ini
dapat dilihat pada lampiran 1b.
Gambar 4.1 Sea Star atau Starfish
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
4.1.1.1.3 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial
Budaya sosial secara khusus adalah manifestasi tertentu di dalam suatu
masyarakat yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa khusus atau tertentu,
atau dengan kata lain sebagai foreign cultural words (subbab 2.2.4.3.3).
Tergolong ke dalam budaya sosial tersebut adalah ungkapan-ungkapan di dalam
suatu pekerjaan dan kegiatan di waktu senggang yang biasanya dilakukan oleh
anggota suatu komunitas, sebutan atau penamaan yang diberikan kepada
seseorang, peristiwa budaya, dan kegiatan-kegiatan keorganisasian, keagamaan,
kesenian, dan juga istilah-istilah khusus suatu konsep atau gagasan.
Penerjemahan budaya sosial yang terdapat dalam novel HT dapat
ditemukan dalam penerjemahan berikut ini:
055.HT.Chap13.Pg93/PL.Bb13.Hal129 Tsu: Phelps was a classic-rock freak, and considered himself an aficionado of lead
gitarists during “the age of guitar”, as his brother called it. We all deferred to Phelps on music and forgot he didn’t know how to actually play anything. He didn’t sully his musical reputation by struggling to play “Yankee Doodle.” He pursued his calling by acting like a rock star, by sleeping in, smoking in public and scowling at adults. It was easy to forget he wasn’t already a bandleader.
Tsa: Phelps sangat gila musik rock klasik dan membanggakan dirinya sebagai
penggila jawara-jawara dari “zaman keemasan gitar”- seperti kata kakaknya. Kami anggap Phleps orang yang serba tahu soal musik, meskipun kenyataannya dia tak bisa memainkan instrumen apa pun. Dia sangat menjaga reputasinya sebagai maestro musik, dan jangan harap dia sudi mengiringi “Yankee Doodle” dengan gitar ajaibnya. Agar lebih meyakinkan, dia sengaja bertingkah seperti bintang musik cadas, bangun tidur kesiangan, merokok di muka umum, dan menatap garang kepada orang-orang dewasa. Orang pasti lupa kalau dia bahkan tak punya kelompok band.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
Yankee Doodle merupakan salah satu budaya nasional yang sangat
terkenal. Yankee Doodle merupakan jenis lagu Inggris yang sangat terkenal dan
banyak diadopsi di berbagai negara, salah satunya adalah Amerika Serikat. Lagu
ini dinyanyikan secara patriotik sebagai lagu kebangsaan di negara bagian
Cunnecticut, Amerika. Lirik lagu yang sangat terkenal tersebut adalah sebagai
berikut:
Yankee Doodle went to town, A-Riding on a phony;
He stuck a feather in his cap, And called it macaroni.
Contoh lain mengenai budaya sosial adalah sebagaimana data berikut:
051.HT.Chap13.Pg88/PL.Bb13.Hal123 Tsu: For almost a week, summer resumed its regularly scheduled programming. I
even talked my parents into playing Trivial Pursuit, thinking maybe board games kept families together, but it just made by father feel stupid and pissed off my mother when I got such easy questions that I won.
Tsa: Selama hampir seminggu kehidupan pada musim panas itu kembali normal.
Aku bahkan berhasil mengajak Ayah-Ibu bermain Trivial Pursuit, siapa tahu permainan itu bisa menyatukan keluargaku yang porak-poranda. Tapi Ayah jadi kesal karena permainan papan itu membuatnya merasa tolol, sedangkan Ibu berang karena aku selalu mendapat pertanyaan yang mudah-mudah.
Trivial Pursuit di dalam Tsu merupakan salah satu permainan yang
pemenangnya ditentukan oleh kemampuannya untuk menjawab pertanyaan
pengetahuan umum (general knowledge) dan pengetahuan popular (popular
culture). Objek dari permainan ini adalah bergerak mengitari papan dengan cara
menjawab secara benar pertanyaan-pertanyaan trivia, yaitu pertanyaan-pertanyaan
yang menarik namun sebenarnya kurang penting. Pertanyaan dibagi ke dalam
enam kategori, dengan masing-masing kategori memiliki warna tersendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
Keenam kategori tersebut adalah kategori geograpi (berwarna biru), hiburan
(berwarna pink), sejarah (berwarna kuning), seni dan sastra (berwarna coklat),
ilmu pengetahuan dan alam (berwarna hijau), dan olahraga (berwarna oranye).
Permainan ini terdiri dari papan, lembar permainan, kartu pertanyaan, kotak, dan
dadu.
Gambar 4.2 Trivial Pursuit
Penerjemahan budaya sosial yang lain dapat ditemukan dalam contoh
penerjemahan berikut:
057.HT.Chap15.Pg108/PL.Bb15.Hal148 Tsu: “In fact, the professor says he intends to push for something he called a
“BioBlitz,” in which a variety of scientists would team up to perform an animal census of sorts in the Sound’s southern bays.”
Tsa: “Bahkan Profesor Kramer ingin mengadakan aksi massal yang disebutnya
‘Bio Blitz’, yang akan melibatkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menggelar sensus hewan di pesisir selatan Puger Sound.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Berdasarkan data di atas, istilah-istilah khusus pada konsep atau gagasan
yang dimaksud di dalam Tsu adalah istilah BioBlitz. Istilah BioBlitz ini biasanya
digunakan di dalam konsep atau gagasan untuk mempelajari kehidupan makhluk
hidup dan dilakukan secara serentak atau bersama-sama. Istilah tersebut di dalam
Tsa dipadankan dengan Bio Blitz.
Contoh lain adalah sebagaimana data berikut:
106.HT.Chap27.Pg212/PL.Bb27.Hal279 Tsu: The goal of the exercise, as the professor kept repeating, was a “snapshot
census” of the animal and plant life of the Sound’s southernmost bays. Yet despite all the serious grown-up talk, it still sounded like a silly game designed by children because this so-called census had to be completed within twenty-four hours.
Tsa: Tujuan kegiatan hari itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, adalah
melakukan “sensus kilat” terhadap semua binatang dan tumbuhan yang hidup di ujung selatan teluk kami. Namun, terlepas dari percakapan serius orang-orang dewasa itu, aku merasa semua itu mirip permainan anak-anak karena sensus ini hanya berlangsung selama dua puluh empat jam.
Frase snapshop census merupakan istilah khusus pada bidang biologi atau
perikanan yang digunakan untuk mempermudah pengungkapan keterangan dari
yang panjang menjadi sederhana dan mudah dipahami. Kata snapshot di dalam
Tsu merupakan teknik memotret yang dilakukan secara tidak sempurna, tidak
fokus, atau asal-asalan yang penting cepat. Sementara itu, kata census di dalam
Tsu merupakan prosedur perekaman informasi mengenai anggota suatu populasi
yang dilakukan secara sistematik dan reguler. Di dalam Tsa, kata snapshop census
tersebut dipadankan dengan sensus kilat. Secara keseluruhan, data mengenai
ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan budaya sosial dalam penelitian ini
dapat dilihat pada lampiran 1c.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
4.1.1.1.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek
estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan majas atau suatu kiasan
yang digunakan penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek
keindahan. Majas tersebut secara umum dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Metafora,
sebagai salah satu bentuk majas, merupakan yang paling banyak dan paling sering
di dalam memanfaatkan perbandingan, atau dengan kata lain, di antara semua
majas, maka metaforalah yang paling penting.
Metafora dikategorikan menjadi metafora hidup dan metafora mati.
Metafora hidup adalah metafora yang serta-merta diciptakan oleh penulis atau
pembicara untuk melukiskan sesuatu, atau dengan kata lain bahwa metafora hidup
merupakan estetis yang memberikan kesan baru. Metafora mati atau seringkali
disebut dengan idiom merupakan metafora yang dibentuk dengan tidak lagi
memikirkan pembanding makna dasarnya, namun langsung memikirkan pada
makna idiomatis yang dibentuknya. Makna metafora mati atau idiom tidak dapat
diprediksi dari kata-kata yang menyusunnya secara harfiah.
Contoh penerjemahan gaya bahasa di dalam novel HT ini adalah:
071.HT.Chap19.Pg141/PL.Bb19.Hal190 Tsu: Angie turned around to drink something, leaving us staring at the back of her
dress that had such narrow stripes it seemed to move on its own. Some guy screamed, “Angie, I love you!” More people laughed, then yipped and hooted rodeo-style. I was hoping the music would start again before anyone noticed us, or someone else confessed their love. I looked around for phony Frankie, but I couldn’t make out a face. Every second the music didn’t play felt like our last.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Tsa: Angie membalikkan badan dan menenggak sesuatu seraya membiarkan kami
menatap bagian belakang gaunnya yang seperti bergerak-gerak sendiri. Ada yang berteriak, “Angie, I love you!” Mereka tertawa semakin keras, lalu mulai bersorak-sorak mirip penonton rodeo. Aku berharap mereka segera bermain lagi sebelum orang mengetahui keberadaan kami, atau ada yang meneriakkan cintanya lagi pada Angie. Kucari-cari sosok Frankie si cowok gadungan di ruangan itu, tapi sulit sekali melihat dalam gelap. Selama jeda itu setiap detik seperti merambat lama sekali.
Ungkapan but I couldn’t make out a face di dalam Tsu merupakan
ungkapan idiomatik yang mengandung makna bahwa seseorang tidak berhasil
melakukan sesuatu karena keadaan atau yang berhubungan dengan keadaan atau
situasi. Ungkapan tersebut di dalam Tsa dipadankan dengan ungkapan tapi sulit
sekali melihat dalam gelap.
Contoh lain mengenai gaya bahasa adalah sebagaimana data berikut:
066.HT.Chap17.Pg123/PL.Bb17.Hal169 Tsu: Overhead lights had crashed onto dozens of desks, but Mrs. Guthrie’s
portable classroom actually fell off its blocks and split in two, as if struck by a huge axe. The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth grade. So why was her classroom singled out? Or what about the stretch of crumbled chimneys the quake left behind on just one side of Jefferson Avenue? And why did the brand-new fake fountain at the entrance to Sunset states crack all the way through?
Tsa: Ruangan-ruangan kelas lainnya tak seberapa rusak, kecuali bola-bola lampu
yang jatuh menimpa lusinan bangku, tapi ruang kelas Ibu Guthrie jatuh anjlok dari beton penyangganya dan terbelah menjadi dua seperti dihantam kapak raksasa. Ratu Es yang judes itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas empat. Jadi, kenapa hanya ruang kelasnya yang dipilih oleh petaka itu? Atau, mengapa di Jalan Jefferson bangunan-bangunan yang rata dengan tanah hanya di satu sisi saja? Dan mengapa air mancur buatan di gerbang kompleks Sunset estates yang baru selesai itu harus hancur berkeping-keping?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
Kalimat The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth
grade di dalam Tsu merupakan suatu metafora yang diungkapkan dengan maksud
memberikan perbandingan analogis, yaitu bahwa di dalam Tsu Ibu Guru Guthrie
diibaratkan sebagai The Ice Queen. Ungkapan tersebut diciptakan oleh si narator
yang dilakukan secara emosional untuk melukiskan karakter Ibu Guru Guthrie
yang benar-benar dingin melebihi dinginnya es, sehingga dia disebut sebagai
ratunya es. Di dalam Tsa kalimat tersebut dipadankan menjadi Ratu Es yang judes
itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas
empat. Secara keseluruhan, gaya bahasa dalam penelitian ini dapat dilihat pada
lampiran 1d.
4.1.1.2 Jenis-jenis Makna dan Gaya di dalam Penerjemahan Novel HT
Di dalam penelitian ini terdapat beberapa jenis makna dan gaya yang
dipakai di dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel PL yang berhubungan
dengan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan
gaya bahasa.
Jenis-jenis makna yang dimaksud adalah makna leksikal, makna
situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, dan makna
implisit. Sedangkan parameter gaya yang dimaksud adalah penggunaan berbagai
pilihan kata di dalam Tsa, penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama
dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, penggunaan gaya bahasa
yang sama di dalam Tsa untuk menggantikan gaya bahasa di dalam Tsu,
penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan penggunaan tanda baca di dalam Tsa
yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
4.1.1.2.1 Jenis-jenis Makna
Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.3 bahwa bahasa digunakan
untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena
itu makna bahasa pun menjadi bermacam-macam di lihat dari segi maupun
pandangan yang berbeda-beda.
Menurut Sumarno (1999:3-9), penerjemahan selalu melibatkan dua macam
budaya yang berbeda, dengan demikian meskipun kata itu mempunyai makna
yang sama, makna kata-kata yang berasal dari budaya yang berbeda itu jarang
sekali memiliki makna yang sama persis, kecuali apabila kata-kata tersebut
berhubungan dengan istiah-istilah ilmu pengetahuan atau teknologi. Dalam ilmu
terjemahan, makna yang dibahas adalah makna-makna yang langsung
berhubungan dengan makna yang terdapat dalam teks. Ilmu-ilmu lain sangat
berpengaruh pada makna dalam penerjemahan ini, misalnya ilmu kebahasaan dan
ilmu sastra. Adapun jenis-jenis makna yang direalisasikan di dalam penelitian ini
adalah: makna leksikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual,
makna sosiokultural, dan makna implisit.
Jenis-jenis makna tersebut adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
4.1.1.2.1.1 Makna Leksikal
Yang dimaksud dengan makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh
sebuah leksem di dalam suatu teks yang bersifat tetap. Makna tersebut dapat
berupa makna literer maupun makna non-literer (Saeed, 2000: 15-17). Di dalam
penelitian ini makna leksikal yang dimaksud adalah makna leksikal yang
berhubungan dengan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya
sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya.
Data mengenai makna leksikal yang berhubungan dengan ungkapan
budaya materi ditemukan sebanyak tiga (3) data, istilah ekologi sebanyak tiga (3)
data, budaya sosial sebanyak lima (5) data, dan gaya bahasa sebanyak nol (0) data.
Contoh data yang mempunyai makna leksikal tersebut antara lain sebagai berikut:
001.HT.Chap1.Pg2/PL.Bb1.Hal9 Tsu: People usually take decades to sort out their view of the universe, if they
bother to sort at all. I did my sorting during one freakish summer in which I was ambushed by science, fame and suggestions of the divine. You may recall hearing pieces of it, or seeing that photo of me looking like some bloodshot orphan on the mudflats. Maybe you remember the ridiculous headline USA Today pinned on me after that crazy cult took an intereset: KID MESSIAH?
Tsa: Biasanya orang perlu waktu berpuluh-puluh tahun untuk memaknai
kehidupan mereka di jagad raya ini, itu pun kalau mereka berusaha. Aku sendiri sedang berusaha memahami semua itu pada suatu musim panas yang aneh, ketika ketenangan hidupku tiba-tiba terusik oleh perdebatan-perdebatan ilmiah, ketenaran, dan bisikan-bisikan dari Tuhan. Mungkin sedikit-sedikit kalian pernah mendengar cerita itu, atau melihat fotoku di koran, yang mirip anak yatim-piatu sakit-sakitan dari pantai lumpur di Puget Sound. Mungkin kalian masih ingat bunyi kepala berita konyol koran USA Today yang ditulis besar-besar di atas fotoku setelah terjadi pemujaan gila-gilaan terhadapku yang sangat menghebohkan itu: MESIAS KECIL?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Berdasarkan data tersebut frase mesiah bermakna leksikal di dalam Tsu
yang dikategorikan dalam kata-kata bermakna leksikal bahasa sumber yang
mempunyai padanan dalam bahasa sasaran, tetapi makna itu sebenarnya sudah
sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna
leksikal tersebut (dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran) masih dianggap
padanan. Di dalam bahasa sasaran kata-kata tersebut direalisasikan dengan
ungkapan makna yang tetap, yaitu mesias. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Soemarno (1999:3) bahwa kata-kata bermakna leksikal dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) kata-kata dalam bahasa sumber yang
dengan mudah dapat dicari padanannya dalam bahasa sasaran, (2) kata-kata
bermakna leksikal bahasa sumber yang mempunyai padanan dalam bahasa
sasaran, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik
maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal tersebut (dalam bahasa sumber
dan bahasa sasaran) masih dianggap padanan, sehingga penerjemah masih bisa
menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan, (3) kata-kata dalam
bahasa sumber yang sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran, bahkan ada
kata-kata tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa (untranslatable),
dan (4) ketakterjemahan ini bisa dilihat dari faktor linguistik maupun kultural.
Data di atas termasuk kelompok kata bermakna leksikal di dalam bahasa sumber
yang sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran dan atau bahkan tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran (untranslatable) yang dikarenakan faktor
budaya, yaitu yang berhubungan istilah-istilah geografi dan ekologi.
Makna leksikal lain dapat ditemukan dalam data berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
024.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal52 Tsu: We found Angie beneath the willow near our property line sharing a
cigarette with Frankie Marx. Frankie was always friendly to me, but I hated him anyway. He was obnoxiously handsome, and I didn’t trust anyone who made looking cool seem that easy. So, of course, I was determined to save Angie from him, but I couldn’t resist Lizzy, his hyper chocolate Labs, who got up, tongue dangling, to greet us.
Tsa: Kami dapati Angie sedang duduk di bawah pohon willow di dekat garis batas
tanah kami, berbagi rokok dengan Frankie Marx. Frankie selalu bersikap ramah padaku, tapi aku membencinya. Dia lelaki tampan, dan sungguh mati aku tak percaya pada setiap lelaki yang memanfaatkan ketampanannya. Jadi, tentu saja aku bersumpah akan menyelamatkan Angie darinya, tapi aku selalu terpesona pada Lizzy, anjing Labrador cokelat kesayangannya yang spontan bangkit dengan lidah terjulur menyambut kedatangan kami.
Makna leksikal di dalam data di atas diwujudkan dalam kata Labs dalam
novel sumbernya, dan kata Labrador dalam novel sasaran. Frasa dalam Tsu juga
dikategorikan dalam kelompok kata bermakna leksikal yang sulit dicari
padanannya dalam Tsa. Adapun data penelitian secara keseluruhan yang memiliki
makna leksikal dapat ditemukan pada data yang tersaji dalam lampiran 2a.
4.1.1.2.1.2 Makna Situasional atau Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna suatu kata atau kalimat yang dikaitkan
dengan situasi atau konteks penggunaan bahasa, yaitu makna suatu kata di dalam
kalimat tertentu atau makna suatu kalimat di dalam paragraf tertentu. Dengan kata
lain makna suatu kata atau kalimat akan mempunyai arti sebanyak situasi atau
konteks di dalam kalimat yang menyertainya (Soemarno,1999:5).
Data mengenai makna situasional yang berhubungan dengan ungkapan
budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak dua (2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak dua (2) data.
Dalam penelitian ini ditemukan data yang mempunyai makna situasional atau
kontekstual antara lain sebagai berikut:
059.HT.Chap16.Pg115/PL.Bb16.Hal158 Tsu: So, year after year the tavern remained the same, without even a change in
its two fading signs-one that said CHICKEN AND STEAKS, the other that just said EAT-or its fifty-five-year-old septic field buried in soil too soggy to absorb the sewage of more than a couple small families.
Tsa: Jadi, dari tahun ke tahun keadaan penginapan itu tak pernah berubah, bahkan
dua papan iklannya yang masing-masing bertuliskan AYAM DAN DAGING PANGGANG dan RUMAH MAKAN, begitu juga tanki septik besar berumur setengah abad yang terbenam di tanah yang terlalu lembab untuk menyerap limbah yang berasal dari beberapa keluarga kecil di sana.
Contoh data di atas nampak bahwa kata EAT dalam Tsu sangat
dipengaruhi sekali oleh situasi atau konteks yang mengelilinginya. Konteks ini
sangat dipengaruhi atau terikat sekali oleh tempat yang menyertainya. Kata EAT
ini ditulis dalam konteks bahwa di sekitar Teluk Puged Sound terdapat kegiatan
bisnis berupa sebuah penginapan yang masih tetap ada meski sudah sangat lama
dan jorok. Penginapan ini menyediakan berbagai menu makanan laut dan
melayani seluruh anggota atau kelompok warga sekitar teluk yang ingin bermain
kartu dan menyantap makanan laut di penginapan tersebut. Jadi, kata EAT yang
secara literal bermakna makan, dalam konteks tersebut diberikan padanan berupa
RUMAH MAKAN dalam Tsa.
Makna situasional atau kontekstual lain dapat ditemukan dalam data
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
031.HT.Chap9.Pg57/PL.Bb9.Hal81
Tsu: Shoreside temperatures along South Sound usually swing between forty and sixty degrees, with summer offering more of the same until it suddenly broils into the eighties and nineties for a few weeks, the aggressive heat feeling like a fabulous mistake, as if tropical weather had been sent to the wrong zip code. When the suns sets, though, the temperature falls with it the way it does in the mountains, but in this case it’s the ocean, not the altitude, chilling the air. Any breeze blowing off the north Pacific is refrigerated by cold deep water unless the sun is around to bake it. So T-shirt nights are as novel as blizzards to kids growing up along the Sound.
Tsa: Suhu pantai di sekitar South Sound bervariasi antara lima dan lima belas
derajat tanpa banyak mengalami perubahan, sampai tiba-tiba udara seperti dijerang hingga mencapai suhu dua puluh lima atau tiga puluh derajat selama beberapa pekan, sampai-sampai orang menganggap gelombang panas itu sebuah kekeliruan fatal, sepertinya cuaca tropis itu dikirim dengan kode pos yang salah. Namun, setelah matahari terbenam, suhu lautan berubah menggigil seperti di puncak pegunungan, dan udara pun jadi beku. Udara yang diembuskan ke kawasan Pasifik Utara menjadi sejuk karena pengaruh air laut yang dingin dan dalam, kecuali pada siang hari saat matahari bersinar garang. Jadi, buat anak-anak yang dibesarkan di kawasan South Sound, memakai kemeja pada malam hari adalah hal yang sangat langka, seperti halnya hujan salju di kawasan itu.
T-shirt nights di dalam Tsu sebenarnya merupakan T-shirt atau disebut
juga sebagai kaos oblong, yaitu jenis pakaian yang menutupi sebagian lengan,
seluruh dada, bahu, dan perut. Kaus oblong biasanya tidak memiliki kancing,
kerah, ataupun saku. Pada umumnya, kaus oblong berlengan pendek (melewati
bahu hingga sepanjang siku) dan berleher bundar. Bahan yang umum digunakan
untuk membuat kaus oblong adalah katun atau poliester (atau gabungan
keduanya). Mode kaus oblong meliputi mode untuk wanita dan pria, dan dapat
dipakai semua golongan usia, termasuk bayi, remaja, ataupun orang dewasa. Asal
muasal nama inggrisnya, T-shirt, tidak diketahui secara pasti. Teori yang paling
umum diterima adalah nama T-shirt berasal dari bentuknya yang menyerupai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
huruf "T", atau dikarenakan pasukan militer sering menggunakan pakaian jenis ini
sebagai "training shirt". Kaus oblong pada mulanya digunakan sebagai pakaian
dalam. Sekarang kaus oblong tidak lagi hanya digunakan sebagai pakaian dalam
tetapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Kaos oblong biasanya di pakai pada saat
santai dan cuaca panas. Di dalam Tsu, pemakaian T-shirt ini situasinya berbeda,
yaitu pada saat malam hari di dekat Teluk Sound Puget yang sangat dingin, justru
anak-anak memakai T-shirt daripada mantel atau baju penghangat lainnya. Di
dalam Tsa, kalimat So T-shirt nights are as novel as blizzards to kids growing up
along the Sound dipadankan dengan Jadi, buat anak-anak yang dibesarkan di
kawasan South Sound, memakai kemeja pada malam hari adalah hal yang sangat
langka, seperti halnya hujan salju di kawasan itu. Adapun data penelitian yang
memiliki makna situasional atau kontekstual ditemukan dilihat pada lampiran 2b.
4.1.1.2.1.4 Makna Tekstual
Makna tekstual adalah makna yang berkaitan erat dengan suatu teks atau
wacana (Soemarno,1999:6). Kadang-kadang suatu bentuk kata yang sama akan
mempunyai makna yang berbeda apabila kata itu digunakan dalam wacana yang
membicarakan bidang kajian yang berbeda. Atau dengan kata lain bahwa
perbedaan jenis teks atau wacana dapat menyebabkan makna suatu kata menjadi
berbeda.
Data mengenai makna tekstual yang berhubungan dengan ungkapan
budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak satu (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak nol (0) data.
Contoh dari makna tekstual yang ditemukan dalam penelitian ini adalah:
043.HT.Chap11.Pg74/PL.Bb11.Hal104 Tsu: “You hear that crunching sound?” I asked.
“Yeah.” “ You’re killing sand dollars.” She winced. “Walk over here,” I said.
Tsa: “Kau dengar suara gemeretak itu?” tanyaku padanya.
“Ya”. “Kau sedang membunuh dolar pasir.” Spontan dia melompat ke samping. “Lewat sini,” kataku.
Makna tekstual di atas dinyatakan di dalam Tsu sand dollars yang
dipadankan ke dalam Tsa yaitu dolar pasir. Frasa sand dollars tersebut
mengandung istilah terminologi khusus, yaitu bahwa teks tersebut berada dalam
lingkup ilmu perikanan. Frasa sand dollars ini merujuk pada salah satu nama
binatang laut invertibrata dari golongan Clypeastroida kelas Echinoidea yang
memiliki bentuk pipih seperti disket dan ukuran tubuhnya berdiameter 5-10 cm.
Binatang ini menggunakan tulang belakangnya untuk menggali dan menutupi
seluruh permukaan tubuhnya di dalam pasir. Mulutnya berada di tengah pada
permukaan bawah tubuhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
Gambar 4.3 Dolar Pasir
Dalam bidang ekonomi, kata dollar itu sendiri merujuk pada nama mata
uang resmi di beberapa negara, tanah jajahan, dan daerah lain seperti misalnya
Dolar Amerika Serikat, Dolar Australia, Dolar Bahama, Dolar Barbados, Dolar
Belize, Dolar Bermuda, Dolar Brunei, Dolar Kepulauan Cayman, Dolar Karibia
Timur, Dolar Fiji, Dolar Guyana, Dolar Hong Kong, Dolar Jamaika, Dolar
Kanada, Dolar Liberia, Dolar Namibia, Dolar Selandia Baru, Dolar Singapura,
Dolar Kepulauan Solomon, Dolar Suriname, Dolar Taiwan, dan Dolar Trinidad
dan Tobago. Sementara kata sand (pasir) secara umum dapat diartikan sebagai
butir-butir batu yang halus; kersik halus; atau lapisan tanah atau timbunan kersik
halus.
Makna tekstual lain dapat ditemukan dalam data berikut:
057.HT.Chap15.Pg108/PL.Bb15.Hal148 Tsu: “Professor Kramer agrees,” she said dramatically, noting that he’d told he
that it was obviously high time for a fresh inventory of sea life in South Sound. “In fact, the professor says he intends to push for something he called a “BioBlitz,” in which a variety of scientists would team up to perform an animal census of sorts in the Sound’s southern bays.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
Tsa: “Profesor Kramer menyatakan setuju,” ujarnya menggebu-gebu, seraya mengatakan bahwa Profesor pernah mengingatkan sudah tiba saatnya melakukan inventarisasi hewan dan tumbuhan laut di teluk South Sound. “Bahkan Profesor Kramer ingin mengadakan aksi massal yang disebutnya ‘Bio Blitz’, yang akan melibatkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menggelar sensus hewan di pesisir selatan Puger Sound.”
Nama BioBlitz, juga ditulis tanpa huruf kapital bioblitz, merupakan salah
satu bidang studi tersendiri, yang mana sekelompok ilmuwan dan para
sukarelawan melakukan inventarisasi biologis secara intensif 24 jam, dengan
berusaha mengidentifikasi dan mencatat semua spesies makhluk hidup di wilayah
tertentu yang telah ditentukan. Pemilihan wilayah biasanya dilakukan di taman
terbuka atau konservasi alam. Istilah atau konsep bioblitz tidak terdaftar, memiliki
hak paten, atau bermerek dagang, namun merupakan gagasan yang dapat
digunakan atau dimodifikasi oleh suatu kelompok secara bebas tergantung tujuan
mereka sendiri. Namun demikian, bioblitz ini biasanya memiliki dua tujuan
utama, yaitu menentukan tingkat diversifikasi biologis di dalam suatu wilayah dan
membantu memopulerkan ilmu pengetahuan. Para pakar tanaman, ahli biologi,
pakar ekologi, maupun ahli serangga semua terlibat dan memiliki peran yang
penting di dalam kegiatan bioblitz ini. Secara keseluruhan, data penelitian yang
memiliki makna tekstual dapat dilihat pada lampiran 2c.
4.1.1.2.1.5 Makna Sosiokultural
Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.1.2 bahwa makna
sosiokultural adalah makna suatu bahasa yang sangat berkaitan erat dengan
sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh
masyarakat (Soemarno,1999:7). Kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
sebagai pengguna bahasa tentu saja mempunyai istilah-istilah budaya yang
bersifat unik yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan padanannya dalam
bahasa yang lain.
Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup
masyarakat sebagai pengguna bahasa itu. Makna ini, selain sering ditemukan
dalam bentuk kata-kata istilah budaya, seperti thanksgiving, labamba, mitoni, dan
sebagainya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang
tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu,
seperti miss the boat, feel like a million buck, black sheep dan sebagainya.
Data mengenai makna sosiokultural yang berhubungan dengan ungkapan
budaya materi ditemukan sebanyak tujuh (7) data, istilah ekologi sebanyak tujuh
(7) data, budaya sosial sebanyak empat puluh lima (45) data, dan gaya bahasa
sebanyak dua puluh dua (22) data. Contoh dari makna sosiokultural yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah:
018.HT.Chap4.Pg24/PL.Bb4.Hal39 Tsu: I’d seen it building inside her, this troubling investigation into the sequence
of events that stranded her in a tiny, stilted house with an unambitious baseball fanatic who still barhopped with his high school pals-the three Dons-and cried during Academy Awards speeches. (My mother had little use for sentimentality. Our family photo stayed in shoe boxes, and Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy stopped showing up once I turned seven). Maybe, I thought, her pathetic job at the state personnel department was what disappointed her most.
Tsa: Kulihat kekesalan yang semakin menumpuk di hati Ibu, setiap kali dia
mengenang berbagai rangkaian kejadian yang mendamparkannya ke sebuah rumah kecil reyot bersama seorang penggemar bisbol tanpa ambisi, yang masih keluyuran dengan teman-teman SMU-nya-tiga bersaudara Don-dan suka menangis terharu kalau mendengarkan pidato pada malam penganugerahan Academy Awards. (Ibuku tak suka sentimental. Foto-foto keluarga kami disimpannya di kotak sepatu, dan boneka Santa, Kelinci
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
Paskah, dan Peri Gigi sudah dibuangnya sejak aku berumur tujuh tahun). Kurasa, mungkin pekerjaannya yang memuakkan di departemen kepegawaian negara bagian adalah yang paling membuatnya kecewa.
Makna sosiokultural di dalam contoh di atas dinyatakan di dalam Tsu
yaitu Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy, yang dipadankan ke dalam
Tsa menjadi boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi. Di dalam budaya
sumber makna dari Santa, Easter Bunny dan Tooth Fairy masing-masing
mempunyai istilah-istilah budaya yang menarik dan unik. Santa, misalnya, di
dalam budaya sumber disebut juga dengan Santa Claus, Saint Nicholas, Father
Christmas, Kris Kringle merupakan figur legendaris dan mitis, yang di beberapa
budaya Barat disimbolkan dengan membawa hadiah ke rumah-rumah bagi anak-
anak yang baik menjelang tengah malam atau sesaat menjelang Christmas Eve
pada tanggal 24 desember atau pada saat Saint Nicholas Day pada tanggal 6
desember. Sementara itu, The Easter Bunny atau Easter Hare merupakan suatu
karakter atau sosok yang digambarkan sebagai kelinci antromorpis (berkarakter
manusia). Dalam legenda ini, makhluk ini membawa keranjang-keranjang yang di
isi penuh dengan telur berwarna-warni, permen, dan mainan yang diberikan ke
rumah anak-anak pada malam sebelum Easter (hari libur umat Kristiani untuk
merayakan kebangkitan Jesus Kristus). The Easter Bunny akan menaruh
keranjang-keranjang tersebut sedemikian rupa atau menyembunyikannya di dalam
rumah yang kemudian akan ditemukan oleh anak-anak pada saat mereka bangun
tidur di pagi hari. The Tooth Fairy, merupakan figur legendaris yang
dikarakterisasikan sebagai seorang peri yang memberi uang atau hadiah kepada
anak-anak sebagai ganti dari gigi susunya yang telah copot. Anak-anak biasanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
menempatkan gigi susunya yang telah tanggal di bawah bantal pada malam hari,
dan kemudian peri akan mengambil gigi yang ada di bawah bantal tersebut dan
menggantinya dengan uang atau hadiah pada saat anak-anak terlelap tidur.
Gambar 4.4 The Easter Bunny, Santa, The Tooth Fairy
Contoh lain dari makna sosiokultural ini adalah sebagai berikut:
025.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal53 Tsu: She looked to see if I was enjoying this. She’d definitely been crying. I
glared at frankie, and he smiled warmly back. He was such an effortless Marlboro man he made me feel like a circus midget.
Tsa: Angie melirik padaku untuk melihat reaksiku. Matanya sembap, dia pasti
habis menangis. Aku melotot pada Frankie, tapi dibalasnya dengan senyum hangat. Dia memang lelaki yang memesona, dan di hadapannya aku merasa seperti badut cebol di sirkus.
Marlboro Man di dalam Tsu dipadankan menjadi lelaki yang memesona di
dalam Tsa. Sebenarnya, Marlboro Man ini merupakan sosok yang digunakan di
dalam kampanye iklan tembakau untuk rokok Marlboro. Sosok ini pertama kali
dicitrakan sebagai seorang koboi dengan sebatang rokok yang secara alami selalu
melekat padanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
Gambar 4.5 Marlboro Man
Iklan tersebut sebenarnya digunakan untuk mempopulerkan rokok filter
yang sebelumnya dianggap sebagai rokok feminim (rokoknya orang perempuan).
Kampanye iklan Marlboro ini disebut sebagai salah satu iklan yang paling brilian
pada saat itu, yaitu yang mentransformasikan citra feminisme ke dalam cita rasa
maskulin, bahwa rokok filter adalah juga rokoknya lelaki atau rokoknya koboi.
Data penelitian yang memiliki makna sosiokultural secara keseluruhan dapat
dilihat pada lampiran 2d.
4.1.1.2.1.6 Makna Implisit
Makna implisit adalah makna yang tidak diungkapkan secara nyata atau
tertulis oleh penulis atau pembicara karena pembaca atau lawan bicara/pendengar
sebagai interlocutor telah memahami maksud dari tulisan atau pembicaraan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
(Soemarno, 1999:8). Atau dengan kata lain, makna implisit adalah makna yang
tersembunyi di balik suatu ujaran. Ada sesuatu yang tersirat dari yang tersurat.
Data mengenai makna implisit yang berhubungan dengan ungkapan
budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak nol (0)
data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak lima belas
(15) data. Contoh dari makna implisit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah:
034.HT.Chap10.Pg65/PL.Bb10.Hal91 Tsu: She frowned impatiently. “If I’m gonna write a story about you, I need to
talk to people who know you, right?” “I thought the story was about ragfish.” She laughed. This lady showed every card. “It’s just a little story about the boy who keeps finding cool stuffs in the Sound.” “What kind of a story?” “A good one. A good little one.” I nodded, but I was confused. She put her camera away and glanced toward her car.
Tsa: Seketika wajahnya merengut. “Kalau aku mau menulis kisah tentangmu, aku
harus bicara pada orang-orang yang mengenalmu, bukan?” “Kukira kau akan menulis berita tentang ikan ragfish itu.” Dia terbahak. Perempuan itu tahu apa yang dilakukannya. “Ini cuma kisah kecil tentang bocah yang selalu menemukan benda-benda hebat di teluk.” “Kisah yang bagaimana?” “Yang bagus. Cerita singkat yang bagus.” Aku mengangguk, meski masih bingung juga. Dia lepaskan kameranya, lalu memandang ke arah mobilnya.
Makna implisit di dalam Tsu dinyatakan dengan kalimat this lady showed
every card. Kalimat tersebut dipadankan ke dalam Tsa dengan kalimat perempuan
itu tahu apa yang dilakukannya. Tsu this lady showed every card mengandung
makna secara implisit bahwa perempuan tersebut menyatakan dengan jujur dan
terbuka keinginannya untuk menulis cerita tentang anak tersebut. Jadi, makna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
showed every card bukanlah secara harfiah menunjukkan satu persatu kartu yang
dia miliki, namun lebih pada makna pengungkapan keinginan atau maksud yang
ingin disampaikan seseorang dengan sejujurnya pada orang lain.
Contoh lain dari makna implisit ini adalah sebagai berikut:
015.HT.Chap4.Pg21/PL.Bb4.Hal35 Tsu: I’d never seen anyone I knew on television other than Judge Stegner, so I
was surprised by how little Professor Kramer resembled himself. He looked pale, almost criminal, his collar askew, his hair reckless. Then the camera panned to some kid who came up to the professor’s bicep and looked a whole lot like me, staring at the squid, orange hair flattering, the high camera angle reducing me to one of Charlie Brown’s big-headed side-kicks. Suddenly my peeling nose was bigger than life in front of me. I looked into the camera the way a baby does, as if I didn’t realize it was really on me, which was the truth.
Tsa: Selain Hakim Stegner, aku belum pernah melihat orang-orang yang kukenal
dekat muncul di layar televisi. Itulah mengapa aku begitu kaget melihat Profesor Kramer yang sama sekali tidak mirip dengan aslinya. Di televisi dia terlihat pucat, hampir mirip penjahat, kerah bajunya miring sebelah dan rambut jabriknya makin awut-awutan. Lalu sorot kamera dialihkan pada seorang anak yang tingginya tak lebih dari lengan Profesor Kramer, yang tampangnya sangat mirip diriku, dengan mata tak berkedip menatap bangkai cumi-cumi itu, dan rambutnya yang kemerahan tertiup angin, lalu kamera tinggi itu membuatku semakin cebol dan mirip dengan salah satu tokoh antek Charlie Brown yang berkepala besar.Tiba-tiba kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Aku memandang ke kamera dengan tatapan mata bayi yang polos, seakan tak sadar bahwa semua kamera benar-benar terarah pada diriku.
Makna harfiah dari kalimat my peeling nose was bigger than life in front
of me adalah kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas.
Namun demikian, kalimat di dalam Tsu di atas mengandung makna implisit yang
tersirat di dalam teks. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa makna my
peeling nose was bigger than life in front of me yang dimaksud adalah ungkapan
rasa terkejut atau tidak percaya atas apa yang telah dilihat oleh Miles O Malley
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
hingga tanpa sadar dia sampai terbengong-bengong seperti anak kecil yang lugu,
dalam hal ini adalah tidak percaya kalau semua sorot kamera sedang tertuju
padanya dan ini menjadi hal yang luar biasa karena selama hidupnya dia belum
pernah melihat orang-orang terdekatnya di sorot kamera televisi, apalagi dirinya
yang sedang menjadi pusat perhatian. Ketidakpercayaannya tersebut seolah-olah
seperti hidungnya yang mengelupas membesar melebihi apa yang sedang terjadi
di dalam televisi yang sedang dia lihat. Adapun data penelitian yang memiliki
makna implisit dapat dilihat pada lampiran 2e.
4.1.1.2.2 Gaya
Selain jenis-jenis makna di atas, di dalam penelitian ini terdapat juga
beberapa parameter gaya yang dipakai di dalam menerjemahkan novel
The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut yang berhubungan dengan
ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya
bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa gaya merupakan sistem pilihan
penggunaan bahasa secara individu yang dilakukan oleh penulis. Di dalam karya
sastra, gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana
pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan
paragraf.
Paragraf, kalimat, dan kata merupakan dasar utama dari gaya. Kalimat
dibentuk dari kata-kata, paragraf dibentuk dari kalimat-kalimat, dan keseluruhan
karya dibentuk dari paragraf-paragraf. Karya yang sangat baik dihasilkan melalui
kesempurnaan paragraf, paragraf dihasilkan melalui pemakaian kalimat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
sempurna, dan kalimat dihasilkan melalui pemilihan kata yang benar-benar sesuai.
Ke semua hal tersebut adalah yang ingin dicapai oleh penulis dan penerjemah
dalam usahanya membuat hasil terjemahan yang benar-benar sepadan gayanya.
Dengan demikian, di dalam proses penerjemahan, penerjemah harus melihat
keseluruhan karya melalui kata-kata, kalimat dan paragraf dan menentukan gaya
yang bagaimana yang akan dipakai. Kemudian penerjemah mulai menerjemahkan
secara kalimat per kalimat dan paragraf per paragraf mulai dari awal sampai akhir
dengan terus memperhatikan pada reproduksi gaya yang digunakan.
Dalam penelitian ini digunakan lima parameter untuk menjelaskan gaya.
Pertama adalah mendramatisir pergeseran gaya, yaitu penggunaan berbagai
pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah atau menambahkan kata-kata
secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada di dalam Tsa. Kedua
adalah penggunaan ekspresi idiomatik, yaitu menggunakan ekspresi idiomatik
dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu.
Ketiga adalah penggunaan gaya bahasa, yaitu penggunaan gaya bahasa yang sama
di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa
sumber. Keempat adalah penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan
kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa
sesuai dengan jenis teksnya. Kelima adalah penggunaan tanda baca, yaitu
penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah
membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
Ekspresi gaya di sini bukan berarti menunjukkan dominasi satu sama lain,
namun lebih pada tingkat frekuensi kemunculan gaya. Dalam penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
terdapat beberapa jenis gaya yang dipakai di dalam menerjemahkan novel
The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut yang berhubungan dengan hal-hal
yang khas di dalam susastra. Jenis-jenis gaya tersebut adalah sebagai berikut:
4.1.1.2.2.1 Penggunaan Pilihan Kata
Penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah atau
menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada
di dalam Tsa sering kali dilakukan oleh penerjemah untuk membuat hasil
terjemahannya menjadi lebih baik.
Sebagaimana disebutkan pada subbab 2.2.6 di atas bahwa karena adanya
perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan
bahasa sasaran, maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi
tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan
penyesuaian struktur (Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah
memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang
ditambahkan dapat berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan.
Penghilangan informasi merujuk pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan
struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur
merujuk pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan
yang sepadan makna dan gayanya.
Data mengenai penggunaan pilihan kata yang berhubungan dengan
ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak sepuluh (10) data, istilah ekologi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
sebanyak sembilan (9) data, budaya sosial sebanyak empat puluh (40) data, dan
gaya bahasa sebanyak lima belas (15) data. Dalam penelitian ini ditemukan
penggunaan pilihan kata yang dilakukan oleh penerjemah sebagai berikut:
072.HT.Chap19.Pg142/PL.Bb19.Hal192 Tsu: I had time to think seventeen thoughts and feel everything from fear to
jealousy before smoke leaked out of Phelps’s mouth and he started coughing wildly. I wasn’t sure if he’d been assaulted or initiated, but once his smile surfaced I felt nothing but envy. He stuck out his hand for five. I gave it to him hard enough for it to sting, then refocused on the stage until I found an angel to see my girl, who I told myself was far smarter, cuter and ten times cooler than Phelps’s dundula even if she wasn’t filing me with smoky kisses.
Tsa: Berbagai pikiran memenuhi benakku, mulai dari rasa ngeri sampai iri,
sebelum akhirnya asap rokok itu keluar dari mulut Phelps dan dia terbatuk-batuk. Aku tidak tahu apakah Phelps tadi disakiti atau diplonco, tapi begitu kulihat lagi senyumannya, aku hanya bisa merasa iri. Dia mengangkat tangan tanda menyerah. Aku yakin dia pasti kesakitan sekali. Lalu kembali kuarahkan pandanganku ke panggung, sampai kudapatkan sudut pandang yang nyaman untuk memandangi gadisku, yang bagiku jauh lebih pintar, cantik, dan hebat ketimbang sundal jalang yang lagi berjongkok di samping Phelps, meskipun dia tak pernah mengecup mulutku dengan asap rokoknya.
Pilihan kata yang digunakan penerjemah dalam data di atas adalah
menambahkan informasi yang tidak terdapat di dalam Tsu ke dalam Tsa.
Penerjemah menambahkan kata-kata secara lebih rinci untuk memperjelas makna
yang terkandung di dalam Tsu. Informasi yang dimaksud adalah dengan
menuliskan kata-kata tambahan yaitu bahwa dundula di dalam Tsu yang
dimaksud adalah sundal jalang yang lagi berjongkok . Meskipun kata-kata
tambahan tersebut tidak ada di dalam Tsa, namun kata-kata tersebut dirasa perlu
untuk mempertegas arti yang di maksud di dalam Tsu. Hal yang sama juga
dilakukan oleh penerjemah dengan menambahkan kata-kata yang rinci bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
yang dimaksud dengan blue-hand adalah si kelomang yang memiliki capit biru,
sebagaimana contoh berikut:
109.HT.Chap27.Pg216/PL.Bb27.Hal285 Tsu: Finally, blue-hand grabbed the victim and slammed it facedown into the
poisonous flower of large sea anemone, then held it there, smothering the poor hermit in the anemone’s poison.
Tsa: Akhirnya si kelomang bercapit biru mencekal korbannya dan
membantingnya ke atas bunga anemon laut yang beracun dan terus membiarkannya di sana sampai kelomang malang itu tersedak racun.
Selain penambahan kata, penghilangan informasi juga dilakukan oleh
penerjemah. Penghilangan informasi tersebut merujuk pada penghilangan isi dan
bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal,
sebagaimana contoh berikut:
020.HT.Chap5.Pg28/PL.Bb5.Hal43 Tsu: Most of those huge clams-pronounced gooey-duck for some reason-lived
farther out in the bay, but there were still plenty of exposed burrows if the tide fell low enough and you knew where to look.
Tsa: Sebagian besar tiram raksasa itu suka menggali sarang di bagian teluk yang
dalam, namun kalau air pasang tidak terlalu tinggi, dengan mudah kalian dapat melihat pintu masuk liang mereka, sehingga tidak sulit mencarinya.
Hal lain yang dilakukan penerjemah adalah menyelaraskan struktur
tatabahasa. Penyelarasan struktur ini dilakukan dengan menggeser tatabahasa Tsu
ke dalam Tsa, sebagaimana contoh berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
054.HT.Chap13.Pg96/PL.Bb13.Hal133 Tsu: People rarely got stuck while wading. It usually happened while they were
crossing soft exposed mud, with the typical rescue involving wooden planks upon which trapped mudders would lay their torsos and crawl free from the muck. Oystermen did it all the time. So did Evergreen students. This was different.
Tsa: Orang yang berjalan di rawa-rawa jarang terjebak lumpur. Petaka itu
biasanya terjadi jika mereka nekat melangkah ke dalam lumpur yang lembut, dan cara yang ditempuh untuk menyelamatkan diri adalah meraih sebilah papan, menempelkan bagian atas tubuh mereka ke papan itu sambil merangkak menuju dataran kering. Penagkap tiram selalu melakukannya. Begitu juga mahasiswa-mahasiswa dari kampus Evergreen. Tapi kali ini situasinya berbeda.
Dalam contoh di atas, pergeseran yang dilakukan oleh penerjemah adalah
pergeseran bentuk pada tataran sintaksis yaitu pergeseran bentuk dari frasa di
dalam Tsu Evergreen students ke dalam kalimat mahasiswa-mahasiswa dari
kampus Evergreen di dalam Tsa. Lebih lanjut, data penelitian mengenai
penggunaan pilihan kata dapat dilihat pada lampiran 3a.
4.1.1.2.2.2 Penggunaan Ekspresi Idiomatik
Penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi
idiomatik yang digunakan di dalam Tsu merupakan parameter lain di dalam
melihat kemunculan gaya di dalam penerjemahan. Idiom ini tidak dapat
dimengerti dalam arti literalnya dan tidak mungkin secara gramatikal tepat. Idiom
mempunyai arti yang berbeda dari pernyataan literal.
Ungkapan idiomatik ini menggambarkan bahwa masing-masing
masyarakat atau bangsa itu memiliki kekhasan penciptaan atau penggunaan idiom
dalam tuturannya. Idiom-idiom itu bersifat unik, artinya tidak terdapat bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
idiom yang sama dalam bahasa lain (Soemarno, 1999: 7). Misalnya, ekspresi
"bekerja keras" masyarakat Indonesia dinyatakan dengan idiom membanting
tulang, dan masyarakat Inggris dinyatakan dengan to go the whole hog.
Data mengenai penggunaan ekspresi idiomatik yang berhubungan dengan
ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi
sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak tujuh (7) data, dan gaya bahasa
sebanyak tujuh belas (17) data. Di dalam penelitian ini ekspresi idiomatik dapat
dilihat dalam contoh berikut:
010.HT.Chap2.Pg9/PL.Bb2.Hal19 Tsu: I stated it as fact in the cool dawn and my mother suspended her furious
mopping to squint at me through puffy, nearsighted eyes as if her son were speaking in tongues.
Tsa: Kukatakan dengan tegas sebagai sebuah fakta pada pagi hari yang dingin itu,
sampai-sampai ibuku yang sedang mengepel lantai berhenti sejenak sambil melotot ke arahku dengan matanya yang rabun dekat dan sembab, seakan anaknya baru saja bicara dalam bahasa asing.
Ungkapan idiomatik di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan speaking in
tongues. Ungkapan speaking in tongues ini di dalam budaya sumber
menggambarkan istilah-istilah atau ucapan-ucapan yang digunakan di dalam ritual
keagamaan maupun kepercayaan, atau sering disebut dengan istilah ‘bahasa doa’,
‘bahasa surga’, ‘glosolalia’, atau yang sering disebut dengan mantra. Secara literal
speaking in tounges berarti to speak dan tongues/languages yang berasal dari
bahasa Latin yang maksudnya adalah berbicara dan bahasa. Di dalam Tsa,
ungkapan tersebut dipadankan menjadi bicara dalam bahasa asing.
Contoh lain dari penggunaan ekspresi idiomatik ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
022.HT.Chap5.Pg30/PL.Bb5.Hal45 Tsu: The G-spot, Squid Boy. Phelps popped out a Kent, clutched it between the
least dirty of his fingers and lit it. “ It’s the button inside women that drives them wild. “He mumbled around his cigarette like a gangster. “Once we find out where it’d at, we’re in.”
Tsa: “G-spot, dasar anak sotong!” Phelps menarik sebatang Kent, menjepitnya
dengan jari-jarinya yang masih kering, lalu menyulutnya. “Semacam tombol di dalam tubuh perempuan yang akan membuat mereka jadi binal.” Dia bergumam sambil mengulum rokonya, mirip gangster.”Sekali kautemukan titiknya, mereka pasti kecantol padamu.”
Ungkapan idiomatik di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan squid boy.
Ungkapan squid boy ini di dalam budaya sumber dapat menggambarkan
ungkapan yang digunakan di dalam situasi informal yang diucapkan oleh
seseorang dengan tujuan untuk mengejek lawan bicaranya dengan tanpa maksud
untuk merendahkannya, atau di dalam konteks bahasa Indonesia ungkapan ini
sering digunakan sebagai bahasa gaul atau tidak resmi, yaitu dengan ungkapan
dasar cumi (cuma mimpi, cuma minjam) atau cumi lo, atau istilah squid boy
dapat berarti suatu binatang mutan, yaitu binatang yang secara fisik berbeda
dengan binatang yang lain karena adanya perubahan gen. Sebagai suatu mutan,
squid boy ini digambarkan sebagai mutan yang memiliki kemampuan di atas
manusia yang mampu bernafas dan berjalan di dalam air. Secara literal squid
berarti cumi-cumi dan boy adalah anak laki-laki yang mulai tumbuh dewasa.
Frase squid boy di dalam Tsa, ungkapan tersebut dipadankan menjadi dasar anak
sotong. Ekspresi idiomatik ini secara keseluruhan dapat dilihat dalam lampiran
3b.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
4.1.1.2.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Dengan gaya bahasa,
penulis bermaksud menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan
lebih mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan suasana
tertentu, dan menampilkan efek estetis. Efek estetik tersebut menyebabkan karya
sastra atau terjemahan sastra bernilai seni.
Data mengenai penggunaan gaya bahasa yang berhubungan dengan
ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi
sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak nol (0) data, dan gaya bahasa
sebanyak enam (6) data. Dalam penelitian ini, gaya bahasa disajikan seperti dalam
contoh berikut:
029.HT.Chap8.Pg54/PL.Bb8.Hal77 Tsu: My size, I was beginning to fear, put me on the outside of romance, like a
frog who couldn’t croak loud enough to attrack female. Tsa: Aku mulai khawatir ukuran tubuhku akan membuatku tersisih dari dunia
pecintaan, seperti katak yang tak bisa berteriak lantang untuk memikat betina.
Gaya bahasa di dalam Tsu dinyatakan di dalam klausa like a frog who
couldn’t croak loud enough to attract female. Gaya bahasa yang disampaikan di
dalam Tsu tersebut menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk membawa
maksud penulis pada pemberian sifat kepada benda atau binatang yang memiliki
kemiripan atau keserupaan dengan manusia. Makna personifikasi tersebut, bukan
hal yang mudah untuk ditafsirkan, sebab makna tersebut tidak tersurat atau tidak
dieksplisitkan dengan jelas sebagaimana dalam bahasa biasa. Namun demikian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
makna personifikasi tersebut dapat dimaknai satu atau lebih makna figuratif
dengan tanpa menghilangkan makna aslinya. Makna personifikasi tersebut
dipadankan oleh penerjemah dengan padanan seperti katak yang tak bisa
berteriak lantang untuk memikat betina.
Contoh lain dari penggunaan gaya bahasa adalah sebagai berikut:
006.HT.Chap1.Pg5/PL.Bb1.Hal13 Tsu: Mottled sea stars were common, but I’d examined thousands of stars and had
never seen this same color or pose. I picked it up. Its underside was as pale as a black man’s palm, and its two bottom legs appeared fussed. I wondered how it moved well enough to hunt, but it looked healthy, its hundreds of tiny suction-cup feet apparently fully operable. I stuck it in a sack with some water and slipped it into my backpack. I then waded up to my calves toward the mid-sized oyster farm belonging to Judge Stegner.
Tsa: Bintang laut burik ada dimana-mana, tetapi dari ribuan bintang laut yang
pernah kuamati, tak ada yang bentuk dan warnanya aneh seperti itu. Kupungut binatang itu. Bagian bawah tubuhnya pucat seperti telapak tangan orang kulit hitam, dan ternyata dua kaki bawahnya benar-benar saling menempel. Aku tak habis pikir, mana mungkin dia bisa mencari mangsa dengan kaki seperti itu, tetapi binatang itu kelihatan sehat. Ratusan kaki isapnya berfungsi normal. Kumasukkan dia ke dalam kantong plastik yang telah kuisi air, lalu kuselipkan ke dalam ransel. Dan aku terus berjalan menyusuri lumpur setinggi betis, nemuju petiraman Hakim Stegner.
Gaya bahasa di dalam Tsu dinyatakan di dalam kalimat Its underside was
as pale as a black man’s palm. Gaya bahasa yang disampaikan di dalam Tsu
tersebut merupakan suatu bentuk simile untuk menyamakan sesuatu objek atau
benda (its underside) dengan sesuatu benda yang lain (a black man’s palm).
Makna simile tersebut lebih memberikan suatu kesan dan tidak menghilangkan
bentuk dan makna aslinya. Makna simile tersebut dipadankan oleh penerjemah
dengan padanan bagian bawah tubuhnya pucat seperti telapak tangan orang kulit
hitam. Istilah black man atau black people biasanya merujuk pada kelompok ras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
manusia dengan warna kulit mulai dari coklat muda sampai mendekati hitam.
Istilah ini biasanya juga digunakan untuk mengelompokkan sejumlah populasi
berdasarkan hubungan sejarah. Di antara kelompok ras tersebut, warna kulit gelap
seringkali dihubungkan dengan ekspresi alami mengenai bagian tubuh yang lain,
misalnya rambutnya yang hitam dan keriting, serta bagian-bagian tubuh yang lain
yang secara keseluruhan cenderung hitam. Temuan penggunaan gaya bahasa ini
selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 3c.
4.1.1.2.2.4 Penggunaan Jenis Bahasa Tertentu
Penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai,
struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis
teksnya. Penggunaan jenis bahasa tertentu yang dimaksud adalah penggunaan
bahasa sebagai alat pergaulan tertentu di dalam suatu budaya yang berupa
penggunaan jargon, ataupun cara-cara pengungkapan gagasan tertentu. Jargon
merupakan bahasa khas, teknis, idiom tertentu yang sering dihubungkan dengan
ilmu tertentu seperti ilmu hukum, kedokteran, biologi, dan sebagainya yang
merupakan jargon teknis dan ilmiah yang dipakai oleh kelompok atau profesi
tertentu.
Namun demikian, bagi kelompok yang tidak berprofesi, penggunaan
jargon dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa
umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota
kelompok profesional, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mempermudah
pengungkapan keterangan yang panjang menjadi lebih efektif. Karena faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
kemudahan dan keakraban inilah, jargon dapat mengungkapkan gaya yang
menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut (Baikoeni, 2008).
Data mengenai penggunaan jenis bahasa tertentu yang berhubungan
dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi
sebanyak empat (4) data, budaya sosial sebanyak enam (6) data, dan gaya bahasa
sebanyak nol (0) data. Dalam penelitian ini, penggunaan bahasa tertentu disajikan
dalam contoh berikut:
098.HT.Chap26.Pg202/PL.Bb26.Hal266 Tsu: “You’re a jealous fuck. And you know why? You have no musical talent.”
That was true. I’d played the trumpet for three years, and all I was known for was getting a silver mute stuck on my left pinky. Try hiding that in your armpit during algebra while your finger swells. I eventually had to go to the fire department to get the dang thing sawed off. “Would you play Zeppelin in church?” I asked. “Of course not.” “Well, this is my church.” Phelps glanced around at Chatham’s half-exposed flats.” I don’t see any crucifixes.”
Tsa: “Kau iri padaku. Kau tahu kenapa? Kau tak punya bakat musik.”
Phelps memang benar. Aku pernah belajar meniup trompet selama tiga tahun, tapi jadi terkenal gara-gara jari tangan kiriku terjepit ring penyumbat trompet. Kucoba menyembunyikan benda itu di ketiakku saat jariku mulai membengkak. Terpaksa aku pergi minta tolong ke dinas pemadam kebakaran untuk menggergaji benda keparat itu. “Kau mau mainkan lagu Zeppelin di gereja?” ejekku sengit. “Tentu saja tidak.” “Nah, tempat ini gerejaku.” Mata Phelps memandangi sekeliling hamparan lumpur Teluk Chatham yang setengah tergenang. “Tapi tak ada satu pun salib di sini.”
Penggunaan jenis bahasa tertentu di dalam Tsu dinyatakan dengan kata
Zeppelin yang digunakan sebagai cara pengungkapan tertentu di dalam pergaulan
yang ada dalam Tsu. Istilah Zeppelin ini biasanya sering dihubungkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
suatu pesawat, yaitu balon pesawat yang pertama kali digunakan untuk terbang.
Namun, yang dimaksud di dalam Tsu di atas bukanlah Zeppelin sebagai balon
terbang, tapi sebagai salah satu nama kelompok musik dari Inggris. Di dalam Tsa,
kata Zeppelin tersebut dipadankan dengan lagu Zeppelin. Sebenarnya, Zeppelin,
atau lengkapnya Led Zeppelin, merupakan kelompok musik rock dari Inggris
yang dibentuk bulan September 1968, dan dibubarkan setelah pemain drum John
Bonham meninggal. Led Zeppelin terdiri dari Jimmy Page, Robert Plant, John
Paul Jones, dan John Bonham. Dengan musiknya yang menonjolkan suara gitar
yang keras dan berat, Led Zeppelin dianggap sebagai salah satu band heavy metal
yang pertama. Sebagian besar lagu-lagu mereka merupakan interpretasi musik
blues dan folk yang diberi nuansa rock. Setelah 25 tahun bubar akibat
meninggalnya John Bonham pada tahun 1980, Led Zeppelin tetap disanjung
penggemar musik berkat pencapaian artistik, kesuksesan komersial, dan
pengaruhnya yang luas di kalangan musisi rock. Hingga saat ini, album Led
Zeppelin telah laku lebih dari 300 juta keping, di antaranya, 109,5 juta keping
laku di Amerika Serikat, dan menjadi satu-satunya grup musik yang berhasil
menempatkan semua albumnya ke dalam urutan Top 10 tangga album Billboard.
Contoh lain dari penggunaan jenis bahasa tertentu dapat dilihat di dalam
contoh berikut:
106.HT.Chap27.Pg212/PL.Bb27.Hal279 Tsu: The goal of the exercise, as the professor kept repeating, was a “snapshot
census” of the animal and plant life of the Sound’s southernmost bays. Tsa: Tujuan kegiatan hari itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, adalah
melakukan “sensus kilat” terhadap semua binatang dan tumbuhan yang hidup di ujung selatan teluk kami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Kata snapshot di dalam Tsu lebih populer di sebut dengan potografi yaitu
menjepret secara spontan dan cepat, sering dilakukan dengan tanpa tujuan artistik.
Kegiatan snapshop ini sering dilakukan dengan teknik memotret yang tidak
sempurna, tidak fokus, atau asal-asalan yang penting cepat. Sementara kata census
di dalam Tsu merupakan prosedur perekaman informasi mengenai anggota suatu
populasi yang dilakukan secara sistematik dan reguler. Kata-kata snapshop census
merupakan istilah yang tidak seperti bahasa umumnya digunakan sehingga sulit
dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok ahli biologi
atau perikanan, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mempermudah
pengungkapan keterangan yang panjang menjadi lebih efektif. Di dalam Tsa, kata
snapshop census tersebut dipadankan dengan sensus kilat. Penggunaan jenis
bahasa tertentu ini secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 3d.
4.1.1.2.2.5 Penggunaan Tanda Baca
Tanda baca adalah simbol yang tidak berhubungan dengan fonem (suara)
atau kata dan frasa pada suatu bahasa, melainkan berperan untuk menunjukkan
struktur dan organisasi suatu tulisan, dan juga intonasi serta jeda yang dapat
diamati sewaktu pembacaan. Aturan tanda baca berbeda antarbahasa dan beberapa
aspek tanda baca adalah suatu gaya spesifik yang karenanya tergantung pada
pilihan penulis. Penggunaan tanda baca di dalam Tsa dapat diubah setelah
membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
Data mengenai penggunaan tanda baca yang berhubungan dengan
ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi
sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak nol (0) data, dan gaya bahasa
sebanyak dua (2) data. Penggunaan tanda baca ini dapat dilihat di dalam contoh
berikut:
108.HT.Chap27.Pg216/PL.Bb27.Hal285 Tsu: There must have been a shell shortage going on that morning because
everywhere I looked some hermit was hauling around an extra shell or bullying another hermit out of its home. And two of the biggest bullies, a hairy hermit and a blue-handed hermit, faced off in a tug-of-war over a lurid rocksnail shell, which at the time was the shiny castle of a smaller hermit who’d been minding its own business. I played God and lifted it away from the bullies, but they found it again and resmued their duel.
Tsa: Pagi itu sepertinya di pantai sedang terjadi krisis cangkang, karena dimana-
mana kulihat kelomang sibuk menarik-narik cangkang, atau memaksa kelomang lain keluar dari cangkangnya. Dan yang paling seru, kulihat kelomang berbulu sedang berebut cangkang siput karang dengan kelomang bercapit biru, padahal di dalam cangkang itu masih hidup kelomang kecil yang mati-matian tak sudi diusir dari istananya. Dengan berlagak seperti Tuhan, kupungut dan kujauhkan dia dari kedua bangsat yang mengerubutinya. Tapi kedua kelomang yang sudah kesetanan itu berhasil menemukannya lagi, dan kembali berduel memperebutkannya.
Di dalam teks di atas dapat dilihat bahwa tanda baca di dalam Tsa diubah
setelah dibandingkan dengan tanda baca di dalam Tsu. Tanda baca yang
digunakan di dalam bahasa sasaran adalah dengan mengubah ke dalam bentuk
tanda koma. Secara umum, tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara
yang satu dari kalimat setara yang berikutnya, atau dipakai untuk memisahkan
anak kalimat dari induk kalimat apabila anak kalimat tersebut mendahului induk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
kalimatnya, sebagaimana contoh di dalam Tsa: Dengan berlagak seperti Tuhan,
kupungut dan kujauhkan dia dari kedua bangsat yang mengerubutinya.
Contoh lain dari penggunaan tanda baca adalah sebagai berikut:
030.HT.Chap8.Pg55/PL.Bb8.Hal79 Tsu: “So,love is affordable, fun sex with someone you know?”
“Exactly.” “You’re sick.” “Me? I’m not the one who was caught French-kissing chocolate Labs.”
Tsa: “Jadi, menurutmu cinta adalah seks murah dengan orang yang kaukenal?”
“Tepat sekali.” “Dasar sinting.” “Aku? Bukankah kau sendiri yang menciumi mulut anjing Labrador itu?”
Berdasarkan data tersebut nampak bahwa penggunaan tanda baca dapat
diidentifikasi di dalam kalimat yang dapat dilihat baik dalam bentuk deklaratifnya
maupun susunan kalimatnya. Kalimat deklaratif I’m not the one who was caught
French-kissing chocolate Labs di dalam Tsu memiliki fungsi pernyataan, dengan
artikel the yang digunakan dengan kata benda one didalam Tsu yang dipakai
untuk menunjukkan atau menjelaskan sesuatu yang sudah tentu, dalam arti
sesuatu yang tidak atau belum diidentifikasi oleh lawan bicaranya. Di dalam Tsu
tersebut yang dimaksud dengan sesuatu yang sudah tentu adalah Me?. Kalimat
deklaratif di dalam Tsu tersebut disusun ke dalam kalimat pasif yang berfungsi
untuk memberikan penekanan pada subjek kalimat sebagai pelaku kegiatan, yang
dalam kalimat sumber diwakili oleh the one yang merepresentasikan dan
menegaskan subjek I. Kalimat deklaratif di dalam Tsu tersebut diberikan padanan
yang berbeda di dalam Tsa, yaitu dengan cara mengungkapkan ke dalam fungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
pertanyaan Bukankah kau sendiri yang menciumi mulut anjing Labrador itu?
yang disusun ke dalam kalimat aktif. Cara mengekspresikan hubungan antara
kata kerja dan frasa kata benda di dalam kalimat sasaran ini berbeda dengan
kalimat sumber, yaitu dari subjek I dipadankan dengan subjek kau dan kalimat
pernyataan pasif dipadankan ke dalam kalimat pertanyaan aktif. Cara
penyampaian tersebut mungkin berbeda-beda antara Tsu dan Tsa, namun
memiliki makna dasar yang hampir sama. Secara keseluruhan penggunaan tanda
baca ini dapat ditemukan di dalam data lampiran 3e.
4.1.1.3 Kualitas Kesepadanan
Kualitas kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya
materi, istilah ekologi, gerak isyarat dan kebiasaan, budaya sosial, dan gaya
bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya diklasifikasikan
berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2) terjemahan sangat
bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup (TC), dan 5)
terjemahan kurang (TK).
Terjemahan hampir sempurna (THS) adalah bahwa makna dalam bahasa
sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar
dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya
keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada
kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa,
jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
Terjemahan sangat bagus (TSB) adalah makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan
harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan
dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan
gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata
tertentu, dan tanda baca.
Terjemahan baik (TB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun
tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya
untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata,
ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
Terjemahan cukup (TC) adalah makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan;
teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya;
ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa,
penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca.
Terjemahan kurang (TK) adalah makna dalam bahasa sumber tidak
diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai
terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah
untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan
kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
4.1.1.3.1 Terjemahan Hampir Sempurna (THS)
Terjemahan hampir sempurna (THS) adalah bahwa makna dalam bahasa
sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar
dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya
keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada
kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa,
jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
Contoh dari terjemahan hampir sempurna ini adalah sebagai berikut:
018.HT.Chap4.Pg24/PL.Bb4.Hal39 Tsu: I’d seen it building inside her, this troubling investigation into the sequence
of events that stranded her in a tiny, stilted house with an unambitious baseball fanatic who still barhopped with his high school pals-the three Dons-and cried during Academy Awards speeches. (My mother had little use for sentimentality. Our family photo stayed in shoe boxes, and Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy stopped showing up once I turned seven). Maybe, I thought, her pathetic job at the state personnel department was what disappointed her most.
Tsa: Kulihat kekesalan yang semakin menumpuk di hati Ibu, setiap kali dia
mengenang berbagai rangkaian kejadian yang mendamparkannya ke sebuah rumah kecil reyot bersama seorang penggemar bisbol tanpa ambisi, yang masih keluyuran dengan teman-teman SMU-nya-tiga bersaudara Don-dan suka menangis terharu kalau mendengarkan pidato pada malam penganugerahan Academy Awards. (Ibuku tak suka sentimental. Foto-foto keluarga kami disimpannya di kotak sepatu, dan boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi sudah dibuangnya sejak aku berumur tujuh tahun). Kurasa, mungkin pekerjaannya yang memuakkan di departemen kepegawaian negara bagian adalah yang paling membuatnya kecewa.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan
hampir sempurna, karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, penyampaian wajar dan
hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan
gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata
tertentu, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Santa,
the Easter Bunny and the Tooth Fairy yang tergolong ke dalam nama-nama yang
sudah tentu (proper names), makna tunggal yang tidak merupakan makna umum
dan tidak menimbulkan konotasi, yang sering muncul baik di dalam cerita,
dongeng, maupun sebagai sosok legendaris (historical figure) diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri
Gigi. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa Santa, the Easter Bunny and
the Tooth Fairy yang dimaksud adalah boneka Santa, boneka Kelinci Paskah, dan
boneka Peri Gigi yang menggambarkan sosok yang memiliki karakter sangat baik
hati kepada anak-anak. Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu
upaya keras untuk memahaminya dan disampaikan dengan wajar, yaitu dengan
menaturalisasikan Tsu ke dalam teks sasaran dan penaturalisasiannya hampir
tidak terasa seperti terjemahan. Pilihan kata yang digunakan penerjemah dalam
data di atas adalah menambahkan informasi yang tidak terdapat di dalam Tsu ke
dalam Tsa. Penerjemah menambahkan kata-kata secara lebih rinci untuk
memperjelas makna yang terkandung di dalam Tsu. Informasi yang dimaksud
adalah dengan menuliskan kata-kata tambahan yaitu bahwa Santa, the Easter
Bunny and the Tooth Fairy di dalam Tsu yang dimaksud adalah boneka Santa,
Kelinci Paskah, dan Peri Gigi. Meskipun kata-kata tambahan tersebut tidak ada di
dalam Tsa, namun kata-kata tersebut dirasa perlu untuk mempertegas arti yang di
maksud di dalam Tsu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
Contoh lain dari terjemahan hampir sempurna adalah sebagai berikut:
076.HT.Chap19.Pg144/PL.Bb19.Hal195 Tsu: A Starburst flew out of his mouth. “You gotta be making this shit up. What
they call a pussy?” “The ‘precious gateway,’” I said, “or the ‘golden doorway.’” Phelps roared. “My lady, may I brighten your golden doorway with my wand of light?”
Tsa: Phelps tertawa keras mendengarnya. “Itu pasti karanganmu sendiri. Lalu apa
sebutan untuk vagina?” “’Gerbang yang mulia’, “ jawabku, ‘atau gerbang kencana.” Lagi-lagi tawa Phelps meledak. “Tuan putriku, bolehkah kuterangi gerbang kencanamu dengan tongkat cahayaku?”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu precious gateway dan golden
doorway diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu gerbang
yang mulia dan gerbang kencana. Secara leksikal makna dari precious adalah
berharga atau bernilai, gateway adalah pintu gerbang, golden adalah keemasan,
dan doorway adalah pintu keluar masuk. Namun demikian, ekspresi kata di atas
mengandung ungkapan idiomatik yang di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan
precious gateway dan dipadankan ke dalam bahasa sasaran dengan ungkapan
gerbang yang mulia atau gerbang kencana. Pemadanan ini jelas memandang
kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama
dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang
berbeda antara Tsa dengan Tsu.
Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk
memahaminya dan disampaikan dengan wajar, yaitu dengan menaturalisasikan
Tsu ke dalam teks sasaran dan penaturalisasiannya hampir tidak terasa seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
terjemahan. Penggunaan ekspresi idiomatik di dalam Tsa diterjemahkan dengan
sepadan dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu.
Berdasarkan contoh data di atas (data nomer 018 dan 076), semua
informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori
terjemahan hampir sempurna. Ketepatan terjemahan tersebut didasarkan pada
konteksnya bahwa penciptaan kesepadanan muncul dari suatu situasi, yaitu situasi
di dalam Tsu yang dicarikan solusinya atau padanannya oleh penerjemah, yang di
dalam usaha mencari padanan tersebut, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya
mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga mencari
padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama. Secara keseluruhan, data
terjemahan hampir sempurna dapat dilihat pada lampiran 4a.
4.1.1.3.2 Terjemahan Sangat Bagus (TSB)
Terjemahan sangat bagus (TSB) adalah makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan
harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan
dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan
gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata
tertentu, dan tanda baca.
Contoh dari terjemahan sangat bagus tersebut adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
007.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal14 Tsu: I saw hundreds, maybe thousands, assembling like tank battalions. I stepped
back and felt their shells crunch beneath my feet and the wind pop out of me. Once I steadied, I flashed my headlamp on the oyster fence that three red rock crabs were aggressively scaling. It looked like a jail break with the biggest ringleaders leading the escape.
Tsa: Kulihat ratusan, bahkan mungkin ribuan kepiting bergerombol mirip batalion
tank siap tempur. Aku melangkah mundur, dan kurasakan kulit mereka remuk terinjak kakiku, dan aku kaget bukan kepalang. Setelah hatiku tenang, kusorotkan senter di kepalaku ke arah pagar kasa; di sana ada tiga kepiting tengah memanjat dengan agresif. Ulah mereka mirip tiga gembong besar sedang memimpin pembobolan penjara.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan
sangat bagus karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan
harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan
dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan
gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata
tertentu, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu a jail
break with the biggest ringleaders leading the escape diterjemahkan secara akurat
ke dalam bahasa sasaran tiga gembong besar sedang memimpin pembobolan
penjara. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa the biggest ringleaders
yang dimaksud adalah tiga ekor kepiting yang memanjat pagar dengan agresif.
Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk
memahaminya dan disampaikan dengan wajar dan hampir tidak terasa seperti
terjemahan. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan
dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu the biggest ringleaders lebih baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
seandainya dipadankan dengan pemimpin gerombolan terbesar daripada gembong
besar di dalam Tsa, meskipun sebenarnya pilihan kata tersebut tidak mengubah
maknanya.
Contoh lain dari terjemahan sangat bagus adalah sebagai berikut:
105.HT.Chap27.Pg211/PL.Bb27.Hal278 Tsu: The closer we inched to the BioBlitz the more it looked like some confusing
festival assembling on Spencer Spit. On the south side, more than fifty people squatted near Hal’s cabin in dirty tents, and RVs with bug-splattered windshields. Meanwhile, Blue Moon Outfitters strung huge bright tents and canopies on the north side in meadows soon overrun by new strangers wearing sensible shoes, clean jeans and handy vests crammed with gauges, vials and pocket guides.
Tsa: Dari hari ke hari, persiapan menyambut acara BioBlitz itu makin mirip
dengan festival yang kacau di seputar Spencer Spit. Di sisi selatan, lebih dari lima puluh orang berdesak-desakan di dekat pondok Hal Haleluya dalam tenda kotor, mobil, dan mobil van yang kaca depannya dipenuhi bangkai kutu dan ngengat. Sementara itu perusahaan Blue Moon Outfitters memasang tenda-tenda dan kanopi berwarna cerah di padang rumput sebelah utara yang segera diserbu oleh orang-orang asing bersepatu kets, memakai jeans bersih, dan rompi yang dipenuhi alat-alat pengukur, botol plastik, dan buku panduan.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Blue Moon Outfitters
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu perusahaan Blue
Moon Outfitters. Penerjemah menggunakan pilihan kata dengan cara
menambahkan informasi, yaitu memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu
ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan berupa informasi teknis. Penambahan
informasi tersebut merujuk pada penambahan isi dan bukan penyelarasan struktur
untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Tujuan penambahan informasi
ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Baik Tsu maupun Tsa
sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk memahaminya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
disampaikan dengan wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan.
Penggunaan pilihan kata di dalam Tsa diterjemahkan dengan sepadan dengan
pilihan kata yang digunakan di dalam Tsu.
Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan
dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu outfitters lebih baik seandainya
dipadankan dengan para penjual pakaian eceran di dalam Tsa. Pemadanan ini
jelas memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau
konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya
menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu.
Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 007 satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori terjemahan sangat
bagus dan satu informan menyatakan bahwa tersebut tergolong terjemahan baik.
Sementara untuk data nomer 105, satu informan menyatakan bahwa terjemahan
tersebut termasuk dalam kategori terjemahan sangat bagus dan satu informan
menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan cukup.
Secara keseluruhan, data terjemahan sangat bagus dapat dilihat pada lampiran 4b.
4.1.1.3.3 Terjemahan Baik (TB)
Terjemahan baik (TB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun
tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya
untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
Contoh dari terjemahan baik ini adalah sebagai berikut:
082.HT.Chap21.Pg158/PL.Bb21.Hal211 Tsu: Carolyn led me into another room and then through a passage with a fake
waterfall and some smelly hyacinths into a curved auditorium with a half-bowl of sloped theater seating. People were straightening a stage and double-checking microphones, testing, testing, testing. Meanwhile, that same endless stargazing song played on. I saw a whole lot of whispering, eye-swiveling and those pleasant zombie smile that the jellyfish rescuers had bombarded me with on the flats.
Tsa: Carolyn membawaku ke ruangan lain, melewati air terjun buatan dan
beberapa bunga bakung yang baunya menusuk hidung, menuju sebuah auditorium dengan kursi-kursi yang dijajarkan bertingkat-tingkat membentuk setengah lingkaran seperti gedung teater. Orang-orang di sana sedang meluruskan panggung dan memeriksa perangkat pengeras suara: testing, testing, testing. Sementara itu musik pengiring penggemar teropong bintang tadi masih terus mengalun tanpa henti. Kerumunan orang itu berbisik-bisik, lalu puluhan pasang mata lainnya melirik ke arahku, dan lagi-lagi kulihat senyuman mirip zombie yang pernah kulihat dari anggota pemujaan yang mengikutiku melempar ubur-ubur ke air dalam di hamparan lumpur teluk beberapa hari yang lalu.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan
baik karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun
tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya
untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata,
ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan/atau tanda
baca.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu zombie smile diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran senyuman mirip zombie. Dalam berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
karya fiksi, makna zombie atau zombi ini biasanya digambarkan sebagai sosok
mayat membusuk dengan kecerdasan rendah dan berjalan terseok-seok, namun
punya selera makan daging manusia. Pada beberapa kasus, zombie lebih
mengincar bagian otak manusia untuk disantap. Secara literal, makna zombie ini
lebih mirip dengan vampir atau mayat hidup dalam konteks Indonesia. Zombie,
vampir, dan juga mayat hidup, di dalam cerita fiksi sama-sama bisa menular ke
orang sehat lewat gigitan atau cakaran. Korban serangan zombie biasanya
langsung tewas dan berubah menjadi zombie. Zombie bisa dibunuh dengan
memotong bagian kepala atau menghancurkan otak zombie. Pada beberapa kasus,
seluruh bagian tubuh zombie harus dihancurkan kalau tidak mau bagian tubuh
zombie yang sudah putus bergerak-gerak terus. Seperti layaknya kisah horor lain,
cerita zombie tidak berakhir happy ending dan selalu ada saja zombie yang masih
tersisa.
Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa zombie smile yang
dimaksud adalah senyuman hampa atau tanpa harapan yang diibaratkan mirip
dengan zombie, yaitu mayat hidup yang pucat dan tanpa ekspresi, yang berasal
dari kerumunan orang-orang yang bekerja di auditorium. Penerjemahan harfiah
dari Tsu zombie smile ke dalam Tsa senyuman mirip zombie terasa kaku namun
tidak terlalu terasa seperti terjemahan. Hal ini karena makna zombie di dalam Tsu
tetap dipertahankan dan tidak disesuaikan dengan makna yang ada di dalam Tsa.
Kemungkinan hal ini dilakukan oleh penerjemah untuk memenuhi unsur
kewajaran dalam terjemahannya. Teks jelas, tetapi dengan sedikit upaya untuk
memahaminya. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
penyimpangan dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu zombie smile lebih baik
seandainya dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu
senyuman mayat hidup, meskipun sebenarnya pilihan kata tersebut tidak
mengubah maknanya.
Contoh lain dari terjemahan baik adalah sebagai berikut:
060.HT.Chap16.Pg117/PL.Bb16.Hal161 Tsu: She was in her chair, head tilted back, a washcloth and a bag of ice in her
lap. She looked alarmed to see us, as if we’d come to kidnap her. She also didn’t look like herself as aresult of her nose being twice as large as normal. “Florence!” the judge cried. “You hurt yourself!” She shook her head, her eyes reflecting so many lights they looked like kaleidoscopes.“No, Norman, I didn’t hurt myself, but I’m considering filing charges against Mother Earth.”
Tsa: Florence masih duduk di kursinya, kepalanya mendongak, sambil memegang
handuk dan sekantong es di pangkuannya. Dia sangat cemas melihat kedatangan kami, seolah-olah kami ke sana untuk menculiknya. Wajahnya juga agak berubah karena hidungnya bengkak dan tampak dua kali lebih besar. “Florence!” teriak Hakim Stegner. “Kau menyakiti dirimu sendiri!” Dia menggeleng dan kedua matanya berkilat-kilat memantulkan cahaya dari segala arah, mirip cermin kaledioskop.“Tidak, Norman, aku tak ‘menyakiti diriku sendiri,” tapi aku berniat akan menuntut Bumi.”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Mother Earth diterjemahkan
secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu Bumi. Penerjemah menggunakan
pilihan kata dengan cara pengurangan informasi. Pengurangan atau penghilangan
informasi ini merujuk pada penghilangan isi di dalam Tsa dan bukan penyelarasan
struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Tujuan dari
pengurangan atau penghilangan informasi ini adalah untuk menghasilkan
terjemahan yang lebih baik. Penghilangan informasi di atas tampak terasa kaku
namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan. Lebih lanjut, di dalam penggunaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
gaya terdapat penyimpangan dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu Mother
Earth lebih baik seandainya dipadankan secara sejajar yaitu Ibu Pertiwi di dalam
Tsa. Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan
situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan pengalihannya
menggunakan kata-kata yang sejajar antara Tsa dengan Tsu.
Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 082 satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan baik
dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori
terjemahan sangat bagus. Sementara untuk data nomer 060, satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan
sangat bagus dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk
dalam kategori terjemahan baik. Secara keseluruhan, data terjemahan baik dapat
dilihat pada lampiran 4c.
4.1.1.3.4 Terjemahan Cukup (TC)
Terjemahan cukup (TC) adalah makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan;
teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya;
ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa,
penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca.
Contoh dari terjemahan cukup ini adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
015.HT.Chap4.Pg21/PL.Bb4.Hal35 Tsu: I’d never seen anyone I knew on television other than Judge Stegner, so I
was surprised by how little Professor Kramer resembled himself. He looked pale, almost criminal, his collar askew, his hair reckless. Then the camera panned to some kid who came up to the professor’s bicep and looked a whole lot like me, staring at the squid, orange hair flattering, the high camera angle reducing me to one of Charlie Brown’s big-headed side-kicks. Suddenly my peeling nose was bigger than life in front of me.I looked into the camera the way a baby does, as if I didn’t realize it was really on me, which was the truth.
Tsa: Selain Hakim Stegner, aku belum pernah melihat orang-orang yang kukenal
dekat muncul di layar televisi. Itulah mengapa aku begitu kaget melihat Profesor Kramer yang sama sekali tidak mirip dengan aslinya. Di televisi dia terlihat pucat, hampir mirip penjahat, kerah bajunya miring sebelah dan rambut jabriknya makin awut-awutan. Lalu sorot kamera dialihkan pada seorang anak yang tingginya tak lebih dari lengan Profesor Kramer, yang tampangnya sangat mirip diriku, dengan mata tak berkedip menatap bangkai cumi-cumi itu, dan rambutnya yang kemerahan tertiup angin, lalu kamera tinggi itu membuatku semakin cebol dan mirip dengan salah satu tokoh antek Charlie Brown yang berkepala besar. Tiba-tiba kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Aku memandang ke kamera dengan tatapan mata bayi yang polos, seakan tak sadar bahwa semua kamera benar-benar terarah pada diriku.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan
cukup karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber
diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan;
teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya;
ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa,
penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan/atau tanda baca.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu my peeling nose was bigger
than life in front of me diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran kulihat sendiri di
hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Di dalam konteks bahasa
sumber di atas bahwa makna my peeling nose was bigger than life in front of me
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
yang dimaksud adalah ungkapan rasa terkejut atau tidak percaya atas apa yang
telah dilihat oleh Miles O Malley hingga tanpa sadar dia sampai terbengong-
bengong seperti anak kecil yang lugu, dalam hal ini adalah tidak percaya kalau
semua sorot kamera sedang tertuju padanya dan ini menjadi hal yang luar biasa
karena selama hidupnya dia belum pernah melihat orang-orang terdekatnya di
sorot kamera televisi, apalagi dirinya yang sedang menjadi pusat perhatian.
Ketidakpercayaannya tersebut seolah-olah seperti hidungnya yang mengelupas
membesar melebihi apa yang sedang terjadi di dalam televisi yang sedang dia
lihat.
Secara harfiah penerjemahan dari Tsu my peeling nose was bigger than
life in front of me ke dalam Tsa kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang
terus mengelupas terasa kaku dan terasa sebagai suatu terjemahan. Hal ini karena
makna di dalam Tsu diterjemahkan apa adanya dan tidak disesuaikan dengan
makna yang ada di dalam Tsa. Teks lumayan jelas, namun dengan upaya yang
agak keras untuk memahaminya. Hal ini karena di dalam Tsu tersebut
mengandung makna implisit yang tersirat di dalam teks. Selain itu, di dalam
penggunaan gaya terdapat penyimpangan dalam penggunaan ekspresi idiom
bahwa di dalam Tsu my peeling nose was bigger than life in front of me lebih baik
seandainya dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu aku
seperti tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang ini.
Contoh lain dari terjemahan cukup adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
033.HT.Chap10.Pg63/PL.Bb10.Hal88 Tsu: A reporter called the next day to ask if she could talk to me about the
unusual fish that had been hauled away that morning to the same university lab where Professor kramer and other scientists were still examining that dang squid. When I opened the door, a tall angular lady with a camera strapped diagonally between her breasts looked down and asked me if Miles O’Malley was home. She couldn’t hide her delight when I told her she was looking at him. It fell out in a half-laugh. “You were the one who found the ratfish?” “Ragfish.” “You also found that giant squid?” “Uh-huh.”
Tsa: Keesokan harinya ada telepon dari reporter yang ingin menanyaiku perihal
ikan aneh yang pagi itu diangkut ke universitas tempat Profesor Kramer dan ilmuwan-ilmuwan lainnya masih memeriksa bangkai cumi malang itu. Ketika pintu kubuka, seorang perempuan bertubuh jangkung dengan kamera tergantung tepat di sela-sela tonjolan payudaranya memandang padaku seraya menanyakan apakah Miles O’Malley ada di rumah. Dia sangat senang ketika tahu akulah orang yang dicarinya. Sambil tertawa-tawa dia membuka percakapan. “Jadi, kau yang menemukan ikan ratfish itu?” “Ragfish.” “Kau juga yang menemukan cumi-cumi raksasa itu?” “He-eh.”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu It fell out in a half-laugh
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran menjadi Sambil tertawa-tawa dia
membuka percakapan. Penerjemah menggunakan pilihan kata dengan cara
menambahkan informasi ke dalam Tsa. Penerjemah menambahkan kata-kata
secara lebih rinci untuk memperjelas makna yang terkandung di dalam Tsu.
Meskipun kata-kata tambahan tersebut tidak ada di dalam Tsa, namun kata-kata
tersebut dirasa perlu untuk mempertegas arti yang di maksud di dalam Tsu.
Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terjemahan tersebut terdapat
penyimpangan dalam pilihan kata. Di dalam Tsu di atas, yang dimaksud dengan a
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
half-laugh sebenarnya memiliki konteks bahwa ada sesuatu yang sangat lucu,
sehingga menjadi bahan tertawaan, atau dengan kata lain frasa a half-laugh
tersebut merupakan istilah atau ungkapan sarkasme yang digunakan karena ada
kejadian, peristiwa, atau sesuatu yang menggelikan. Sesuatu yang lucu tersebut
adalah pada saat sang reporter yang bertubuh jangkung menanyakan kepada orang
di depannya dan tidak menyangka kalau orang yang dicari tersebut adalah
bertubuh pendek dan masih anak-anak. Kalimat It felt out in a half-laugh tersebut
lebih baik seandainya dipadankan dengan Ini/hal ini menggelikan di dalam Tsa.
Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan
situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan pengalihannya
menggunakan kata-kata yang sepadan antara Tsa dengan Tsu.
Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 015 satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan
cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam
kategori terjemahan kurang. Sementara untuk data nomer 033, satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan
cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam
kategori terjemahan kurang. Secara keseluruhan, data terjemahan cukup dapat
dilihat pada lampiran 4d.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
4.1.1.3.5 Terjemahan Kurang (TK)
Terjemahan kurang (TK) adalah makna dalam bahasa sumber tidak
diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai
terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah
untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan
kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
Contoh dari terjemahan kurang ini adalah sebagai berikut:
113.HT.Chap29.Pg233/PL.Bb29.Hal305 Tsu: As we rolled toward the bridge, we saw a tall, bearded man practicing slow-
motion karate, and behind him a pretty lady selling “self-opening miracle umbrellas” and telling everyone that it was less than an hour to high tide, which reminded me of the local oddity that theh tide peaked eighteen minutes later in Skoomkumchuck Bay than it did downtown.
Tsa: Ketika kami meluncur menuju jembatan, kami lihat seorang lelaki jangkung
berjenggot sedang melakukan gerakan wu-shu, dan di belakangnya seorang ibu sedang menjajakan “payung ajaib yang bisa membuka sendiri” sambil mengingatkan semua orang bahwa air pasang tertinggi akan datang kurang dari sejam lagi, dan itu mengingatkanku pada sebuah keanehan, di mana air pasang itu menerjang Teluk Skookumchuck delapan belas menit lebih lambat dari yang terjadi di kota.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan
kurang karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber tidak
diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai
terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah
untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan
kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu slow-motion karate
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran gerakan wushu. Di dalam konteks bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
sumber di atas bahwa makna slow-motion karate yang dimaksud adalah karate
dengan gerakan lambat. Secara harfiah penerjemahan dari Tsu slow-motion karate
ke dalam Tsa gerakan wushu tidak tepat, tidak jelas, terasa kaku dan terasa
sebagai suatu terjemahan. Hal ini karena makna di dalam Tsu diterjemahkan apa
adanya dan tidak disesuaikan dengan makna sebenarnya berdasarkan konteks dan
konsep yang jelas. Makna karate di dalam Tsu berbeda maknanya dengan kata
wushu di dalam Tsa. Karate, secara etimologis berarti kosong (kara) dan tangan
(te). Kata kosong berarti teknik beladiri dengan tidak memerlukan senjata, hanya
menggunakan anggota badan seperti tangan dan kaki sebagai pengganti senjata.
Jadi, karate bermakna teknik atau aliran beladiri yang dibentuk oleh dua karakter
yaitu tangan dan tidak menggunakan senjata, atau dengan kata lain seni beladiri
tangan kosong atau seni beladiri tanpa senjata. Wushu, merupakan olahraga atau
seni beladiri yang lebih umum dikenal dengan sebutan kungfu. Pengertian wushu
bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti perang (Wu) dan seni
(Shu). Secara etimologis wushu bisa diartikan sebagai seni berperang/bertempur.
Dalam wushu kegiatan yang dilakukan adalah melatih kemampuan fisik yang
meliputi koordinasi sempurna antara kelenturan, kekuatan, kelincahan, serta irama
gerak dan menggunakan berbagai jenis senjata misalnya golok, pedang, tongkat,
toya, dan sebagainya. Wushu adalah seni berperang dan bukan suatu aliran seperti
misalnya Karate, Aikido, Jiujitsu, Ninjitsu, Kendo, Judo, dan lain-lain. Jadi,
semua seni beladiri atau seni bertarung alias berperang disebut wushu.
Selain itu, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan dalam
penggunaan istilah bahwa di dalam Tsu slow-motion karate lebih baik seandainya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu karate dengan
gerak lambat.
Contoh lain dari terjemahan kurang adalah sebagai berikut:
087.HT.Chap24.Pg187/PL.Bb24.Hal249 Tsu: Florence and Yvonne treated my breathless question like a punch line.
After she stopped laughing, Florence assured me that auras can’t be photographed and that nobody’s was as prominent as my golden halo in the newspaper. Plus, the color was way off, a bright sunshiny gold, instead of my soft yellow.
Tsa: Florence dan Yvonne menanggapi pertanyaanku yang bertubi-tubi dengan
sangat serius. Setelah tawanya reda, Florence berusaha menegaskan bahwa aura tak mungkin bisa difoto, dan mustahil ada orang punya aura begitu mencolok seperti fotoku di koran itu. Apalagi, menurutnya, aura di fotoku itu warnanya salah, kuning keemasan, bukannya kuning lembut.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu like a punch line diterjemahkan
ke dalam bahasa sasaran menjadi dengan sangat serius. Secara harfiah
penerjemahan dari Tsu like a punch line ke dalam Tsa dengan sangat serius tidak
tepat. Hal ini karena makna di dalam Tsu diterjemahkan tidak disesuaikan dengan
makna sebenarnya berdasarkan konteks dan konsep yang jelas.
Di dalam Tsu di atas, yang dimaksud dengan like a punch line adalah
suatu ungkapan kata-kata atau kalimat yang dimaksudkan untuk melucu dan
memancing atau membangkitkan tawa bagi yang mendengarnya. Ungkapan a
punch line ini biasanya berasal dari humor-humor yang tak diduga-duga. Frasa a
punch line tersebut lebih baik seandainya dipadankan dengan sambil guyon di
dalam Tsa. Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan
pengalihannya menggunakan kata-kata yang sepadan antara Tsa dengan Tsu.
Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 113 satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan
cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam
kategori terjemahan kurang. Sementara untuk data nomer 087, satu informan
menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan
cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam
kategori terjemahan kurang. Secara keseluruhan, data terjemahan kurang dapat
dilihat pada lampiran 4e.
4.1.2 Deskripsi mengenai Penerjemah Deskripsi mengenai penerjemah dipaparkan tentang: latar belakang
penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT , dan
strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT.
4.1.2.1 Latar Belakang Penerjemah
Penerjemah novel The Highest Tide ke dalam novel bahasa Indonesia
Pasang Laut, Arif Subiyanto, lahir di Salatiga pada tanggal 8 Januari 1966.
Penerjemah merupakan alumnus jurusan sastra Inggris dengan konsentrasi
penerjemahan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sala, yaitu Universitas
Negeri Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
Penerjemah adalah seorang pengajar di perguruan tinggi negeri di Malang,
yaitu sebagai dosen negeri di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang. Penerjemah mulai mengajar di perguruan tinggi tersebut tahun
1995. Pada bulan Juni 1999, Penerjemah melanjutkan studi pada Faculty of Arts,
The University of Queensland, St. Lucia, Brisbane, Australia dan mendapatkan
gelar MA in Applied Linguistics bidang studi Second Language Research and
Teaching pada bulan Juni 2001.
Untuk lebih meningkatkan dan untuk mengukur kemampuan bahasa
Inggris, Penerjemah mengikuti tes TOEFL dan tes IELTS. Tes TOEFL
dilakukan pada tanggal 12 Maret 2005 dengan nilai yang diperoleh 623, dan tes
IELTS dilakukan pada tanggal 18 maret 2008 dengan nilai yang diperoleh 7,5.
Beberapa mata kuliah yang diampu oleh penerjemah sejak tahun 1995
adalah mata kuliah English grammar 1,2,3; writing 1,2; speaking 1,2,3;
introduction to literature; English drama; English prose 1,2; extensive reading;
poetry 1,2; translation 1 and 2, translation and interpretation, fieldwork in
translation; literary and specialized translation (technical and legal translation);
English education for young learners; English education for elementary school
teachers; discourse analysis; TOEFL preparation; English for specific purpose;
dan pembimbing skripsi tentang berbagai masalah-masalah sastra dan
penerjemahan (sejak 2002 sampai sekarang).
Beberapa judul skripsi hasil bimbingan penerjemah adalah: An Analysis of
George Bernard Shaw’s Criticism on Victorian Morality in Pygmalion (2002);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
Aspects of Romanticism in D.H. Lawrence’s Women in Love (2002); An Analysis
of Robert Frost’s Selected (2002); Translation Error Analysis of the Indonesian
Subtitle of the Movie A Few Good Men on VCD (2003); The Will to Freedom as a
Dominant Motif in the Symbolism of James Joyce’s Novel A Portrait of the Artist
as A Young Man: A Genetic-Structuralist Approach (2004); Existentialist
Humanity in Albert Camus‘ The Outsider (2005); Feminist Interpretation of Jane
Austen’s (2006); Chicken Run the Movies: The Representational Exploitation
Behind (2008); Pond’s Advertisement and Women Exploitation (2008); dan
Lyra’s World and Citagezze: A Parallel Universe in His Dark Material Trilogy
(2008).
Di samping berkarir sebagai seorang pengajar, beliau juga berprofesi
sebagai seorang penerjemah profesional. Pengalaman sebagai seorang penerjemah
profesional dimulai pada bulan Juni 1994 sebagai penerjemah paruh waktu untuk
divisi fiksi, PT. Penerbit Erlangga di Jakarta. Pada bulan Februari 2002 sampai
sekarang sebagai konsultan bahasa dan penerjemah paruh waktu untuk
International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance),
Stromsborg S-103 34, Stockholm, Sweden (http://www.idea.int) dan sejak maret
2003 sampai sekarang sebagai penerjemah paruh waktu untuk Ecole Française
d’Extreme-Orient, 22 Avenue du President Wilson, 75116 Paris, France. Pada
bulan juli 2006 sampai sekarang sebagai penerjemah paruh waktu untuk Ufuk
Publishing House, Jakarta, Indonesia, dan mulai desember 2006 sampai sekarang
sebagai penerjemah fiksi untuk PT. Gramedia Pustaka Utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
Sebagai penerjemah profesional selama lebih kurang 15 tahun (1994-
2009), penerjemah telah menerjemahkan berbagai karya terjemahan baik dalam
bentuk buku maupun artikel, baik berupa terjemahan karya sastra novel maupun
karya terjemahan bunga rampai (psikologi populer, motivasi, politik dan gender,
pemasaran dan manajemen, animasi komputer dan manual, produksi film dan
editing, dan sebagainya). Beberapa daftar terjemahan yang telah dilakukan oleh
penerjemah dan diterbitkan di Indonesia adalah:
A. Karya Terjemahan Sastra
a) Novel Cries in the Night karya Rodney Stone, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia pada
tahun1994;
b) Novel Death and Life of Superman karya Roger Stern, diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia
1994;
c) Novel Striptease karya Carl Hiaasen, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia pada tahun1995;
d) Novel grafik Superman: Secret Identity karya Stuart Immonent & Kurt Busiek,
D.C. Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh
Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
e) Novel grafik Gotham Central 2: Half a Life karya Greg Rucka & Michael
Lark, D.C Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
f) Novel grafik Gotham Central 1: In the Line of Duty karya Greg Rucka &
Michael Lark, D.C Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
g) Novel grafik Y: the Last Man-Girl on Girl karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra
& Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
h) Novel grafik Y: the Last Man-Ring of Truth karya Brian K. Vaughan, Pia
Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
i) Novel grafik Y: the Last Man-Safeworld karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra &
Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh
Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
j) Novel grafik Y: the Last Man-One Small Step karya Brian K. Vaughan, Pia
Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
k) Novel grafik Y: the Last Man-Cycles karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra &
Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh
Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
l) Novel grafik Y: the Last Man-Unmanned karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra
& Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
m) Novel Resurrection karya Tucker Malarkey, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2006;
n) Novel The Highest Tide karya Jim Linch, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2007;
o) Novel State of Fear karya Michael Crichton, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2008;
p) Novel Eleven Minutes karya Paolo Coelho, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2008;
q) Novel American Gods karya Neil Gaiman, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2008; dan
r) Novel Two Women karya Martina Cole, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia
pada tahun 2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
Selain itu, penerjemah juga menerjemahkan karya sastra ke dalam bahasa
Inggris yaitu “Gajah Mada” Pentalogy by Langit Kresna Hariadi (Gajah Mada;
Gajah Mada-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara; Gajah Mada-Hamukti
Palapa; Gajah Mada-Perang Bubat; Gajah Mada-Hamukti Moksa) dan diterbitkan
oleh Tiga Serangkai-Solo, Indonesia pada tahun 2008.
B. Karya Terjemahan non-Sastra
a) Buku Test Your Lateral Thinking IQ karya Eric Sloane, diterbitkan oleh PT.
Penerbit Erlangga pada tahun 1995;
b) Buku Lateral Thinking Puzzle karya Eric Sloane, diterbitkan oleh PT. Penerbit
Erlangga pada tahun 1995;
c) Buku Larger than Life: Marlon Brando’s Biography, diterbitkan oleh PT.
Penerbit Erlangga pada tahun 1996;
d) Handbook International IDEA serie 4, Democracy at the Local Level,
diterbitkan oleh International IDEA Stockholm pada tahun 2002;
e) Handbook International IDEA (versi regional), Women in Parliement: Beyond
Number, diterbitkan oleh International IDEA Stockholm pada tahun 2002;
f) Handbook International IDEA, Gender Strategic Policy Advocacy Manual,
CLD, Manila, the Philippines, diterbitkan oleh International IDEA Stockholm
pada tahun 2004;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
g) Buku the Complete Idiot’s Guide to Direct Marketing karya Robert W. Bly,
Alpha-Pearson Education Company, diterbitkan oleh Prenada Media Group-
Jakarta pada tahun 2005;
h) Buku the Complete Idiot’e Guide to Human Resource Management karya
Arthur R. Pell, Ph.D, Alpha-Pearson Education Company, diterbitkan oleh
Prenada Media Group-Jakarta pada tahun 2005;
i) Buku the Book of Absolute Beauty karya Shahnaz Hussain, diterbitkan oleh
Shahnaz Hussain Group of Companies-Jakarta pada tahun 2005.
j) Buku Character Animation in 3D karya Steve Roberts, Focal Press-ELSEVIER,
diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006;
k) Buku Timing for Animation karya Harold Whitaker & John Halas, Focal Press-
ELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006;
l) Buku A Guide to Computer Animation for TV, Games, Multimedia and Web
karya Marcia Kupenberg, Focal Press-ELSEVIER, diterbitkan oleh
Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006;
m) Buku How to Maximize the Power of Your Subconscious Mind karya Dr.
Joseph Murphy, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2007;
n) Buku Grammar of the Edit karya Roy Thompson, Focal Press-ELSEVIER,
diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
221
o) Buku buku Grammar of the Shot karya Roy Thompson, Focal Press-
ELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007;
p) Buku Customer Relationship Management oleh Francis Buttle, diterbitkan oleh
Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007;
r) Buku Think and Grow Rich karya Napoleon Hill, diterbitkan oleh Ufuk
Publishing House pada tahun 2007;
s) Buku The Law of Attraction karya Michael Losier, diterbitkan oleh Ufuk
Publishing House pada tahun 2007;
t) Buku 19 Secrets of Super Success karya Lynn Pierce, diterbitkan oleh Ufuk
Publishing House pada tahun 2008;
u) Buku 5 Secrets You Must Discover Before You Die karya John Izzo, PhD,
diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2008; dan
v) Buku 101 Great Youth Soccer Drills karya Robert Koger, diterbitkan oleh Saka
Mitra Kompetisi-Klaten pada tahun 2008.
C. Kumpulan Artikel
Daftar terjemahan kumpulan artikel besar untuk Ecole Francaise d’Extreme
Orient’s Project (Paris) yang diterbitkan PT. Gramedia dalam buku “Sejarah
Penerjemahan di Indonesia dan Malaysia” adalah terjemahan bahasa Indonesia:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
222
a) Translating Java Towards Europe-the Winter Family, Prof. Vincent J. Houben,
Humboldt University, Berlin;
b) Funerary Inscriptions from Early Century Islam in the Malay World, Claude
Guillot, CNRS, EHESS, Paris;
c) Translations from Urdu in Malay Traditional Literature, Vladimir Braginsky &
Anna Suvurora, University of London;
d) A Note on Javanese Translation, C.F. Winter, Stuart Robson; A Chinese
Pujangga from Surabaya? Yap Gwan Thay in an Era of Translation, Matthew
Isaac Cohen, University of Glasgow;
e) The ‘Translation’ of Arabic into Malay: a Reflection, A.H Johns, The
Australian National University, Canberra;
f) Soviet Ideology and Literature in Indonesian Translation, Alexander K.
Ogloblin, University of St. Petersburg, Russia;
g) Translating the Qur’an into Indonesian, Peter G. Riddel, London Biblical
Center for Islamic Studies, Brunel University, London;
h) Ifta’ as Translation Represented Implicit Hierarchies of Islamic Languages and
Script, Michael Laffan, International Institute of Asian Studies, Leiden, the
Netherlands; Indian Calendars Translated into Old Javanese, Ian Proudfoot,
Australian National University, Canberra; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
223
i) Tissue and Repository of Quotation from Persia in Traditional Malay Literature
with Special Reference to ‘Persian Stories’, Vladimir Braginsky, University of
London. Proyek terjemahan tersebut diedit oleh Dr. Henry Chambert Loir of
EHESS (Paris).
D. Beberapa Daftar Karya Terjemahan yang sedang Diedit dan Siap Terbit
a) Terjemahan bahasa Indonesia: “Komedie Stamboel” karya Matthew Isaac
Cohen, Royal Holloway of London;
b) Terjemahan bahasa Indonesia “Body Language Bible” karya Judi James, Ufuk
Publishing House;
c) Terjemahan bahasa Indonesia novel Jimmy Coates karya Joe Craig, untuk
Penerbit Tiga Serangkai (4 episode: Killer, Target, Revenge, Sabotage);
d) Terjemahan bahasa Inggris novel “Candi Murca” dan “Perang Paregrek” karya
Langit Kresna Hariadi;
e) Terjemahan bahasa Inggris buku Batik Tulis Tradisional Kauman Solo, Pesona
Budaya nan Esotik, Penerbit Tiga Serangkai; dan
f) Terjemahan bahasa Indonesia & bahasa Inggris untuk arsip dan model
pengajaran AusAID-LAPIS.
Sebagai seorang penerjemah profesional yang telah menghasilkan banyak
karya terjemahan, penerjemah telah menarik minat berbagai masyarakat
akademik. Ketertarikan masyarakat akademik ini diwujudkan dengan
diundangnya penerjemah sebagai pemateri dalam berbagai seminar dan workshop
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
224
penerjemahan, antara lain: (1) seminar ‘Translation in The Globalized World’ di
Politeknik Negeri Malang pada tanggal 8 Desember 2007. Di dalam seminar
tersebut dibahas dan dipandukan seluk-beluk tentang penerjemahan di era global,
kerja sama penerjemah, penerjemahan film (subtitling), penjurubahasaan
(interpreting), penerjemahan hukum (legal translation), penerjemahan situs web,
penerjemahan brosur dan iklan, penerjemahan novel, dan penerjemahan komik.
Penerjemah, di dalam seminar tersebut, menyajikan materi tentang ‘Penerjemahan
Novel dan Novel Grafis’ yang dilanjutkan dengan memandu peserta seminar
dalam menerjemahkan novel dan novel grafis, dan (2) seminar ‘National Seminar
and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing’ di
Universitas Brawijaya Malang bekerja sama dengan Masyarakat Penerjemah
Malang dan Bahtera (Milis Penerjemah Indonesia) pada tanggal 19 Juli 2009. Di
dalam seminar tersebut, penerjemah memaparkan tentang pentingnya menjadi
seorang penerjemah novel yang berkualitas. Menurut penerjemah, pekerjaan
menerjemahkan, sebagaimana pekerjaan-pekerjaan yang lain, memerlukan
sejumlah syarat agar bisa berkualitas. Karena penerjemahan termasuk bidang jasa,
si pemberi jasalah yang merupakan modal utamanya. Seorang penerjemah (yang
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) harus menguasai bahasa Indonesia
dengan sangat baik, baik ragam tulis maupun lisan. Selain itu, penerjemah juga
mutlak harus menguasai bahasa sumber dengan sangat baik karena tanpa
menguasai bahasa sumber dengan baik, mustahil seseorang bisa menerjemahkan
dengan hasil yang memuaskan. Syarat lain adalah mengenal dengan baik bahan
yang akan diterjemahkan, mengetahui cara menggunakan sumber bantuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
225
misalnya cara menggunakan kamus (baik kamus manual maupun kamus online),
sumber informasi di internet, dan sumber bantuan lain berupa milis para
penerjemah. Yang terakhir, yang juga diperlukan oleh penerjemah adalah
ketrampilan menggunakan beberapa program komputer semacam Trados, Dejavu,
Wordfast dan lain-lain untuk membantu penerjemah membangun translation
memory di komputernya untuk memudahkan penerjemahan baik dokumen
maupun novel yang selalu diperbarui.
Menurut penerjemah, istilah penerjemah itu pada dasarnya ada dua, yaitu
penerjemah umum (generalist) dan penerjemah khusus (specialist). Penerjemah
umum yaitu penerjemah yang bekerja seperti pemborong, yaitu menerima semua
naskah dalam bentuk apapun (bunga rampai) untuk diterjemahkan, misalnya
naskah kedokteran, hukum, komputer, dan sebagainya. Sedangkan penerjemah
khusus adalah penerjemah yang mengkhususkan pada naskah-naskah terjemahan
tertentu, misalnya novel, legal document, dan sebagainya. Penerjemah sendiri,
dalam pengakuannya, lebih suka atau tertarik dengan spesialisasi pada
penerjemahan novel, karena dengan menerjemahkan novel, akan menambah
wawasan, ilmu, kata-kata baru, sedangkan kalau menerjemahkan dokumen legal,
hanya kopi-paste sudah selesai.
Karena penerjemah adalah sebagai profesi dan bukan karir, maka untuk
menjaga tingkat keprofesian tersebut seorang penerjemah harus terus-menerus
memupuk kualitas penerjemahannya, menjadikan penerjemahan sebagai aktivitas
sampai akhir hayat, dan yang terpenting adalah menjalin komunikasi dengan
kliennya dengan tetap memberikan kepercayaan bahwa kita (penerjemah)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
226
mumpuni dalam menerjemahkan. Menurut penerjemah, kunci untuk
menghasilkan terjemahan yang baik adalah bukan hanya karena gelar akademik
saja, namun lebih pada bagaimana menjadi seorang penerjemah yang berkualitas.
Gelar akademik penting, terutama untuk meningkatkan status penerjemah dalam
lingkup akademik, namun di dalam profesi kerja, bukti nyata seorang penerjemah
yang berkualitaslah yang akan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan terjemahan,
dan hal ini akan berlangsung dalam simbol yang saling menguntungkan.
Misalnya, penerjemah yang pada awalnya melamar ke penerbit dan kemudian
dinyatakan layak oleh penerbit sebagai partner kerja, lantas diberi kepercayaan
untuk menerjemahkan sebuah novel. Apabila kemudian novel tersebut diterbitkan,
biasanya selain mendapatkan royalti, penerjemah juga akan mendapatkan novel
aslinya dari penerbit. Hal ini tentunya akan memberikan semangat yang luar biasa
bagi penerjemah untuk terus menerjemahkan, dan penerbit tentu saja akan terus
mendapatkan keuntungan karena novel atau buku yang mereka terbitkan
dinikmati oleh banyak konsumen.
4.1.2.2 Langkah-langkah Penerjemah dalam Menerjemahkan Novel The Highest Tide
Proses penerjemahan novel HT dilakukan pada tahun 2007 dan
diselesaikan selama kurang lebih tiga (3) bulan. Novel sumber HT dengan jumlah
246 halaman telah diterjemahkan menjadi 328 halaman. Di dalam
menerjemahkan novel HT ini, penerjemah pada dasarnya menggunakan langkah-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
227
langkah sebagai berikut: melakukan persiapan, menerjemahkan, dan mengedit
terjemahan.
Persiapan-persiapan yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
persiapan umum dan persiapan khusus. Persiapan umum yang dilakukan adalah
membaca teks HT secara keseluruhan sebelum diterjemahkan. Hal ini dilakukan
penerjemah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai isi novel dan
gaya bercerita yang ada di dalam novel tersebut. Selain itu, penerjemah
melakukan searching atau browsing internet sebelum menerjemahkan. Searching
atau browsing internet ini, menurut penerjemah, sangat penting dilakukan
sebelum kegiatan menerjemahkan, yaitu untuk mempercepat pekerjaan
menerjemahkan dan mendapatkan berbagai referensi pendukung yang berkaitan
dengan isi novel HT. Persiapan umum lain yang dilakukan penerjemah adalah
mempersiapkan kamus yang cukup layak, yaitu koleksi berbagai macam kamus
baik kamus ekabahasa maupun dwibahasa, kamus manual maupun kamus online,
baik kamus umum maupun kamus khusus. Persiapan berbagai macam kamus ini
amat penting, menurut penerjemah, karena dalam menerjemahkan seringkali
terdapat kata-kata maupun kalimat yang dicuplik dari kata-kata atau kalimat dari
bahasa lain. Misalnya, beberapa kata khusus di dalam novel HT yang sebenarnya
diambil dari bahasa Latin (kata nudibrance, dan lain-lain), dan kata-kata tersebut
harus diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dan tidak boleh ada makna dalam
kata-kata tersebut yang tidak diterjemahkan. Beberapa kamus yang sering
digunakan penerjemah adalah: Longman Dictionary, Oxford Dictionary, Webster
Dictionary, Longman CD-ROM Dictionary, Encarta CD-ROM Dictionary, CD-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
228
ROM Collins COBUILD Dictionary, National Geography Dictionary, Thesaurus,
dan Ensiklopedia. Di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide ini
penerjemah paling sering menggunakan kamus Longman CD-ROM Dictionary
dan National Geography Dictionary karena kedua kamus tersebut sangat
mewakili kata-kata ataupun istilah-istilah khusus yang ada di dalam novel
tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan persiapan khusus yang dilakukan
penerjemah adalah mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan isi teks novel
yang akan diterjemahkan. Oleh karena itu, persiapan khusus yang dilakukan
penerjemah adalah secara penuh memahami istilah-istilah yang termuat dalam
indeks. Persiapan khusus lainnya adalah membaca berbagai novel baik novel
terkini maupun terdahulu dan berbagai artikel yang berhubungan dengan hal-hal
khas ataupun istilah-istilah khusus yang terdapat di dalam novel HT dan sekaligus
untuk menambah wawasan dan membuka kembali schemata maupun translation
memory. Hal lain yang tak kalah pentingnya di dalam persiapan khusus ini adalah
memperhatikan masalah gaya. Menurut penerjemah, menerjemahkan novel tidak
hanya sekadar memindahkan kata-kata atau kalimat-kalimat saja tetapi juga
diperlukan hiasan-hiasan atau aksesori-aksesori dan nuansa kata-kata indah.
Masalah gaya yang dimaksud oleh penerjemah adalah bagaimana
mempertimbangkan masalah panjang-pendek kalimat/paragraf, lebar atau luas
halaman, jenis font dan jarak baris, ukuran kertas, jenis kolom, dan yang paling
penting adalah menjangkau alam pikiran pembaca, memperhatikan situasi atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
229
konteks kejadian cerita yang ada di dalam novel ke dalam konteks atau situasi
para pembaca.
Dalam menerjemahkan novel HT, yang dilakukan penerjemah adalah
berusaha menerjemahkan dengan setepat-tepatnya. Menerjemahkan dengan
setepat-tepatnya ini bukan berarti menerjemahkan kata per kata atau
menerjemahkan secara harfiah, namun lebih pada penyediaan pilihan-pilihan kata
sebanyak mungkin yang telah dikembangkan dari indeks kata-kata dalam
menerjemahkan novel HT yang kemudian diselaraskan dengan situasi pembaca.
Misalnya, menerjemahkan kata walk. Kata tersebut tidak langsung diterjemahkan
secara harfiah berjalan. Tapi perlu dilihat konteksnya, apakah istilah walk yang
dimaksud adalah berjalan naik tangga, berjalan terseok-seok, berjalan gontai, atau
berjalan yang bagaimana, karena berjalan naik tangga tentunya akan memiliki
konteks yang berbeda dengan berjalan terseret-seret, ataupun berjalan dengan
berat. Pilihan-pilihan kata inilah yang harus disediakan oleh penerjemah.
Setelah persiapan, langkah selanjutnya yang dilakukan penerjemah di
dalam menerjemahkan novel HT ini, sama halnya dengan menerjemahkan novel-
novel yang lain, yaitu: menulis hasil terjemahan di komputer sambil mencari hasil
penerjemahan kata-kata dan frase sebelumnya di dalam translation memory,
mencari makna dari kata-kata yang sulit diterjemahkan di dalam kamus (biasanya
kamus online), memahami makna kata tersebut secara mendalam berdasarkan
konteksnya (karena novel HT bercerita tentang kehidupan laut, maka perlu
melihat pada National Geography Dictionary), mengakses dan mendalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
230
sumber-sumber rujukan lain di internet, dan menulis ulang kata atau kalimat yang
telah diterjemahkan ke dalam ekspresi yang lain.
Di dalam menulis hasil terjemahan tersebut, hal yang hampir bersamaan
dilakukan adalah mempertimbangkan jenis kata yang sesuai dengan keadaan,
selera, dan tujuan pembaca. Maksudnya adalah untuk kalangan penikmat
terjemahan yang bagaimanakah yang akan menjadi pembaca terjemahan tersebut.
Apakah novel tersebut ditujukan untuk kalangan akademik, anak-anak, atau
remaja. Menerjemahkan yang berdasarkan fungsinya inilah yang menurut
penerjemah akan menjadi terjemahan yang baik, yaitu terjemahan yang setepat-
tepatnya sesuai dengan selera pembaca Tsa ( di dalam pengungkapan makna Tsu
ke dalam Tsa penerjemah berusaha mengupayakan penggunaan bentuk-bentuk
kebahasaan yang lebih disukai oleh pembaca Tsa). Menurut penerjemah,
menyelami pembaca ini sangatlah penting, apalagi di dalam menerjemahkan
sebuah novel. Misalnya, ketika membaca novel HT, penerjemah membayangkan
untuk mengajak pembaca menyelami konteks cerita-cerita di laut, jenis-jenis
makhluk hidup laut, dan sebagainya.
Setelah melalui pertimbangan yang cukup matang, yang dilakukan
penerjemah berikutnya adalah memutuskan apakah menggunakan kata pinjaman
(loan words), kata-kata yang dinaturalisasikan, ataukah menggunakan sinonim di
dalam Tsa, dan apabila memungkinkan juga menciptakan kata-kata terjemahan
baru yang memang tidak ada sebelumnya. Di dalam memutuskan penggunaan
kata-kata ini tidak jarang penerjemah harus berkonsultasi dengan para penerjemah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
231
lain, dosen bahasa Inggris, dan terkadang dengan dosen-dosen lain yang
menguasai bidang atau kata-kata teknis khusus yang ada di dalam novel.
Berikutnya adalah menuangkan kata-kata yang telah diputuskan ke dalam
draft terjemahan. Penerjemah membuat dratf terjemahan dahulu dan menandai
bagian-bagian yang sulit diterjemahkan untuk ditindaklanjuti nantinya. Biasanya
waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan kata-kata yang sulit tersebut sekitar
satu minggu, sementara kata-kata yang mudah (dalam arti kata-kata harfiah dan
umum) mengalir begitu saja karena penerjemah sudah sering menerjemahkan
kata-kata yang sejenis.
Langkah terakhir yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan
novel HT adalah merevisi novel terjemahannya. Penekanan revisi biasanya adalah
pada kualitas kebahasaan teks terjemahan dan kealamian terjemahan yang
dihasilkan. Setelah beberapa perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan
revisi akhir dan membiarkan hasil terjemahan tersebut selama satu atau dua
minggu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir terjemahan yang benar-
benar alami.
4.1.2.3 Strategi Penerjemah dalam Menerjemahkan Bagian-bagian yang Khas dalam Novel The Highest Tide
Menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel The Highest Tide ini bagi
penerjemah membutuhkan waktu dan pemikiran tersendiri. Dalam arti bahwa
penerjemah harus memikirkan dalam-dalam dan matang-matang pilihan padanan
yang akan diberikan, hal ini karena hal-hal yang khas ini memiliki karakter
tersendiri di dalam novel. Menurut penerjemah, hal-hal yang khas tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
232
meliputi penerjemahan istilah-istilah yang khusus di dalam Tsu yang tidak
dijumpai atau tidak ada padanannya di dalam Tsa. Misalnya, nama-nama hewan
yang hidup di laut di pesisir Puged Sound yang memang hanya berhabitat di dekat
lautan Pasifik, misalnya, ikan nudibranch, The Jesus star, dan hewan-hewan laut
tersebut tidak dijumpai di perairan Indonesia. Hal-hal khas lainnya menurut
penerjemah adalah istilah-istilah budaya di dalam novel sumber, misalnya frasa
Malboro Man, zombie smile , dan juga gaya bahasa.
Di dalam mempertimbangkan secara matang padanan yang akan diberikan,
menurut penerjemah, yang sangat diperlukan adalah kemampuan untuk
mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan
diterjemahkan, atau yang sering disebut dengan background knowledge.
Misalnya, di dalam menerjemahkan frasa Malboro Man, penerjemah perlu
melihat secara menyeluruh makna dari frasa tersebut apa, dengan cara
mengajukan beberapa pertanyaan misalnya, apakah Malboro itu? Malboro Man
itu memiliki karakter bagaimana? adanya di mana? dan sebagainya. Setelah
mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian baru penerjemah
memberikan padanan yang sesuai.
Pada saat menemukan kata-kata yang sulit biasanya yang paling sering
dilakukan penerjemah adalah membuat catatan kaki atau menetralisir atau
menaturalisasi kata tersebut. Catatan kaki sifatnya adalah sebagai suatu komentar
atau catatan-catatan kecil yang diperlukan untuk memberikan tambahan informasi.
Misalnya, pada saat menerjemahkan kata bell, penerjemah membuat catatan kaki
mengenai istilah-istilah dalam bahasa sasaran yang memiliki beberapa makna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
233
Kata bell bisa dipadankan dengan lonceng ataupun genta. Catatan kaki yang
diberikan adalah penambahan informasi bahwa yang disebut dengan lonceng
adalah bel yang bentuk dan ukurannya kecil, dan cukup dibunyikan saja,
sementara genta adalah bel yang bentuk dan ukurannya besar , biasanya adanya di
kuil, dan membunyikannya dengan cara diayun kemudian dipukulkan.
Menetralisir atau menaturalisasi kata atau frase sering dilakukan penerjemah
terutama bila berhubungan dengan nama-nama ekologi maupun budaya di dalam
Tsu. Misalnya, frasa his baby-blue El Camino di dalam novel The Highest Tide
dinaturalisasikan menjadi mobil El Camino birunya.
Namun apabila sudah benar-benar tidak ada ide lagi, maka yang dilakukan
penerjemah adalah menyelami dan mempraktekkan sendiri kata-kata tersebut,
karena di sini (menurut penerjemah) menerjemahkan tidak lagi masalah kamus,
grammar, maksud pengarang, namun sudah berada di dalam konteks yang harus
benar-benar dilakukan, dan kemudian memutuskan untuk menghilangkan kata
tersebut atau menciptakan sendiri kata yang sepadan.
4.1.3 Pemahaman Pembaca
Pemahaman pembaca dideskripsikan berdasarkan pada masukan dan
pendapat para pembaca mengenai terjemahan yang dihasilkan. Dengan demikian
pendapat dan masukan mereka akan sangat membantu untuk mendapatkan
informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun masukan tersebut
berasal dari dua sumber data, yaitu pakar penerjemahan dan para mahasiswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
234
Pakar penerjemahan yang dijadikan sumber data memiliki pengalaman dan
perjalanan profesi yang cukup panjang. Pakar penerjemahan ini berkarir sebagai
seorang dosen di Politeknik Negeri Malang dengan bahasa asli bahasa Indonesia
dan bahasa asing yang dipergunakan adalah bahasa Inggris. Pakar penerjemahan
ini memulai karirnya pada tahun 1991 dan sampai sekarang sebagai pengajar
Business English di Jurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Malang.
Tahun 2009 sampai sekarang sebagai pengajar pada program pascasarjana Unisma
Malang. Profesi sebagai penerjemah dimulai pada tahun 2000 dan sampai
sekarang sebagai penerjemah paruh waktu pada beberapa agen internasional, dan
tahun 2004 sampai sekarang sebagai dosen tamu Computer Assisted Tools at the
Translation Studies Program Pascasarjana Universitas Gunadarma, Jakarta.
Pakar penerjemahan merupakan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
IKIP Malang tahun 1991, kemudian melanjutkan pada Diploma in Linguistics
dengan proyek akhir novel translation pada tahun 1997 di RELC, Singapura. Pada
tahun 1999, pakar penerjemahan mendapatkan gelar magister pada program
pascasarjana IKIP Malang dengan tesis novel translation strategies, dan pada
tahun 2009 pakar penerjemahan ini mendapatkan gelar doktor dengan disertasi
website translation from English into Indonesian dari Universitas Negeri Malang.
Beberapa pelatihan penerjemahan yang pernah diikuti oleh pakar
penerjemahan ini adalah: Postgraduate Research Skill pada bulan oktober 2008
sampai februari 2009 di University of Queensland, Australia; Locstudio Online
Training pada tahun 2008 oleh SDL, Singapura; dan Helium Online Training pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
235
tahun 2008 oleh SDL, Singapura. Pakar penerjemahan juga merupakan anggota
Himpunan Penerjemah Indonesia dan ketua Himpunan Penerjemah Malang.
Di dalam perjalanan profesinya sebagai penerjemah, pakar penerjemahan
aktif dalam berbagai seminar sebagai paper presenter dalam bidang
penerjemahan, antara lain: The Teaching of Translation and Entrepreneurship
Building pada tahun 2009 di Unisma Malang; CAT Tools oleh HPI, Jakarta pada
tahun 2008; Globalization and Website Localization di Politeknik Negeri Malang
pada tahun 2007; Translating Books oleh FKIP Universitas Lambung Mangkurat
pada tahun 2006; dan Subtitling within the Constraint of Media and Culture,
Seminar Internasional tentang Penerjemahan, oleh Universitas Sebelas Maret,
Surakarta pada tahun 2005.
Beberapa karya terjemahan yang telah dipublikasikan adalah: English
Business Correspondent, A Practical Guide Business and Secretary (2006);
Abunawas and His Impossible Missions; Abunawas and King Aaron; Abunawas
and Minister Abeydron, Kanisius Publisher, Yogyakarta (2000); Nasreddin, A
Man Who Never Gives Up, Kanisius Publisher, Yogyakarta (1998); Nasreddin, A
Man with Thousands of Ideas; Nasreddin, The Foolish Man; Nasreddin, The
Clever Man; Nasreddin, The Wise Man, Kanisius Publisher, Yogyakarta (1995),
dan juga beberapa online article, antara lain: The Implication of Culture on
Translation Theory and Practice
(http://www.translationdirectory.com/article634.htm) dan Methods in Translating
Poetry (http://www.translationdirectory.com/article638.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
236
Menurut pakar penerjemahan, di dalam menerjemahkan karya susastra,
maka penerjemah tidak bisa hanya menerjemahkan maknanya saja, namun ada hal
lain yang perlu dipertimbangkan dengan matang, yaitu mengenai kemana arah
pesan di dalam novel sumber yang akan disampaikan ke pembaca, dan untuk
tujuan apa terjemahan tersebut disampaikan, dalam arti bahwa menarik dan
tidaknya novel yang diterjemahkan akan sangat bergantung pada cara penerjemah
menyampaikan pesan yang ada di dalam novel tersebut kepada para pembacanya.
Setelah membaca novel HT secara keseluruhan, menurut pakar
penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik, hal tersebut
karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan hal lain yang
membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT mengurangi atau
menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup, sebagaimana
dicontohkan dalam teks berikut:
008.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal15 Tsu: I stopped and waited with them, to actually see the moment when the tide
started returning with its invisible buffet of plankton for the clams, oysters, mussels, and other filter feeders. It was right then, ankle deep in the Sound, feet numbing, eyes relaxed, that I saw the nudibranch.
Tsa: Aku ikut diam menunggu, lalu kusaksikan sendiri detik-detik ketika laut
kembali pasang dan membawa jutaan plankton yang lezat untuk remis, tiram, remis kepah, dan makhluk-makhluk pemakan plankton lainnya. Saat itulah, ketika sedang berdiri di kubangan lumpur Puget Sound dengan kaki mati rasa, kulihat seekor nudibranch.
Di dalam teks tersebut, penerjemah berusaha menghilangkan atau tidak
menerjemahkan kata yang terdapat di dalam Tsu eyes relaxed ke dalam Tsa. Hal
ini barangkali untuk membuat Tsa menjadi lebih hidup atau memenuhi unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
237
kewajaran di dalam teks. Hal yang sama juga terdapat di dalam contoh berikut
bahwa klausa pronounced gooey-duck for some reason di dalam Tsu sengaja
dihilangkan oleh penerjemah.
020.HT.Chap5.Pg28/PL.Bb5.Hal43 Tsu: We started out studying the little chimney holes in the mud through which
clams siphoned and spat seawater, hunting for the telltale signs of the geoduck. Most of those huge clams-pronounced gooey-duck for some reason-lived farther out in the bay, but there were still plenty of exposed burrows if the tide fell low enough and you knew where to look.
Tsa: Kami mulai dengan mengamati gundukan-gundukan kecil mirip cerobong
asap di lumpur, yang digunakan tiram untuk menyedot dan menyemprotkan air laut, sambil mengamati tanda-tanda keberadaan mereka. Sebagian besar tiram raksasa itu suka menggali sarang di bagian teluk yang dalam, namun kalau air pasang tidak terlalu tinggi, dengan mudah kalian dapat melihat pintu masuk liang mereka, sehingga tidak sulit mencarinya.
Selain penghilangan makna dalam Tsa, hal menarik lainnya adalah
bagaimana penerjemah menambahkan makna dalam Tsa, sebagaimana contoh
berikut bahwa penerjemah menambahkan frase yang judes di dalam Tsa yang
sebenarnya makna tersebut tidak tersurat di dalam Tsu:
066.HT.Chap17.Pg123/PL.Bb17.Hal169 Tsu: Overhead lights had crashed onto dozens of desks, but Mrs. Guthrie’s
portable classroom actually fell off its blocks and split in two, as if struck by a huge axe. The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth grade. So why was her classroom singled out? Or what about the stretch of crumbled chimneys the quake left behind on just one side of Jefferson Avenue? And why did the brand-new fake fountain at the entrance to Sunset states crack all the way through?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
238
Tsa: Ruangan-ruangan kelas lainnya tak seberapa rusak, kecuali bola-bola lampu yang jatuh menimpa lusinan bangku, tapi ruang kelas Ibu Guthrie jatuh anjlok dari beton penyangganya dan terbelah menjadi dua seperti dihantam kapak raksasa. Ratu Es yang judes itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas empat. Jadi, kenapa hanya ruang kelasnya yang dipilih oleh petaka itu? Atau, mengapa di Jalan Jefferson bangunan-bangunan yang rata dengan tanah hanya di satu sisi saja? Dan mengapa air mancur buatan di gerbang kompleks Sunset estates yang baru selesai itu harus hancur berkeping-keping?
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terjemahan novel HT, menurut
pakar penerjemahan adalah tingkat konsistensi hasil terjemahan dan tingkat
keakuratan dalam menerjemahkan. Tingkat konsistensi ini sebagaimana contoh
berikut:
048.HT.Chap13.Pg87/PL.Bb13.Hal121 Tsu: B.J. never asked to see records. I’d told his answering machines that I had a
nudibranch for ten dollars, a sunflower star for fifteen and an unsual mottled star for five. I told him the prices were final. “The sunflower’s too big for anyone to want that thing,” he insisted. “It’s a monster.” “Fine.” I knew he was buffling. “So do you want the nudibranch or the blue star? I tried to sound disinterested. “Can’t you see I’m thinking? What’s the rush, Squirt?” “Going fishing with my father,” I lied. “He’s inside, getting ready.” B.J. snorted. “I’ll do you a favor here. I’ll take all three of them off your hands.”
Tsa: B.J tak pernah peduli dengan catatan hasil tangkapanku. Kutinggalkan pesan
di mesin penjawabnya bahwa aku punya nudibranch seharga sepuluh dolar, juga bintang bunga matahari dan bintang laut biru yang masing-masing kuhargai lima belas dan lima dolar. Dan sudah kutegaskan harganya tak bisa ditawar. “Bunga matahari itu kelewat besar,” katanya ketus. “Dia seperti seekor monster.” “Biar saja.” Aku tahu dia cuma menggertak. “Jadi, kau mau yang mana? Nudibranch atau bintang laut biru itu?” Aku berusaha tetap bersikap dingin. “Biar kupikir dulu. Kenapa buru-buru, Tuan Kate?” “Aku mau memancing dengan ayahku,” sahutku berbohong. “Dia lagi berkemas di dalam.” B.J. mendengus kesal. “Baik, aku mau menolongmu. Biar kubeli ketiganya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
239
050.HT.Chap13.Pg88/PL.Bb13.Hal122 Tsu: “That slug’s fading,” he interrupted, “and you now it. If it dies right away in
some asshole’s tank I gotta give him his bills back. And I don’t know who the hell will want that blue star anyway. And, like I said, the sunflower’s too big for my customers so I’ll probably get stuck with that monster if the aquariums don’t need him. Twenty is plenty. That’s a shitload of bubble gum, Little Man.”
Tsa: “Siput itu sudah sekarat,” potongnya, “kau sendiri tahu. Kalau nanti dia
langsung mati di akuarium orang, aku yang harus membayar ganti ruginya. Lagi pula siapa yang tertarik dengan bintang laut biru seperti itu? Tadi juga sudah kubilang bunga matahari itu kelewat besar buat langgananku, jadi terpaksa aku harus merugi kalau tak ada akuarium yang mau membelinya. Dua puluh dolar itu banyak. Bisa kau pakai memborong permen karet, Tuan Kate.”
Di dalam contoh data 048, kata Squirt di dalam Tsu diterjemahkan
menjadi Tuan Kate, sementara frase Little Man dalam data 050 juga
diterjemahkan menjadi Tuan Kate. Di sini nampak bahwa penerjemah
menyamakan makna kata Squirt dan frase Little Man menjadi Tuan Kate.
Sementara itu, hasil kuesioner yang telah dikumpulkan dari sampel
pembaca menunjukkan bahwa dari:
a. Pertanyaan mengenai apakah bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan
Pasang Laut terasa enak dibaca, sebanyak 19 pembaca ( 61,29%) menyatakan
bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, sebanyak 10 pembaca
(32,26%) menyatakan bahasa yang digunakan sepertinya enak dibaca, dan
sebanyak 2 pembaca (6,45%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan tidak
enak dibaca.
Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan
terasa enak dibaca adalah bahwa bahasa yang digunakan tidak seperti novel
terjemahan pada umumnya, kalimat-kalimatnya selalu mengejutkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
240
membuat pembaca semakin penasaran untuk membaca terus dan mengetahui
akhir cerita, meskipun di dalam novel terjemahan banyak menggunakan istilah-
istilah asing, namun penggunaan istilah tersebut terasa enak dibaca dan tepat,
dan bahasanya ringan. Namun demikian, pembaca yang menyatakan bahwa
bahasa yang digunakan agak terasa enak dibaca karena bahasa yang digunakan
di dalam novel terjemahan agak baku dan terdapat beberapa istilah yang masih
asing. Sementara untuk alasan bahwa bahasa yang digunakan tidak enak dibaca
karena terdapat beberapa paragraf yang menceritakan lebih dari satu maksud,
sehingga terasa alur cerita seperti meloncat-loncat.
b. Pertanyaan mengenai apakah bahasa yang digunakan di dalam novel
terjemahan Pasang Laut mengalir dengan lancar, sebanyak 14 pembaca
(45,16%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan mengalir dengan lancar,
sebanyak 12 pembaca (38,71%) menyatakan bahasa yang digunakan
sepertinya mengalir dengan lancar, dan sebanyak 5 pembaca (16,13%)
menyatakan bahwa bahasa yang digunakan tidak mengalir dengan lancar.
Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan
mengalir dengan lancar adalah bahwa teks di dalam novel terjemahan
menggunakan kalimat-kalimat yang koheren, bahasanya jelas, dan alur cerita
mudah ditangkap. Sementara itu, pembaca yang ragu-ragu memberikan alasan
bahwa bahasa yang digunakan sepertinya lancar karena menggunakan kata-kata
dan istilah yang asing dan sulit dipahami maksudnya namun mengalir dengan
lancar, dan beberapa kata yang digunakan di dalam Tsa (dalam hal ini bahasa
Indonesia) sudah umum atau sering dipakai, namun terdapat beberapa kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
241
yang aneh dan kaku seperti kata ‘mudah-mudah’, yang seharusnya cukup
ditulis ‘mudah’ saja. Sementara itu, untuk alasan bahwa bahasanya tidak
mengalir dengan lancar karena masih banyak penulisan kata-kata yang tidak
sesuai dengan konteks yang melatarinya.
c. Pertanyaan mengenai apakah teks di dalam novel terjemahan Pasang Laut
sangat jelas, sebanyak 14 pembaca (45,16%) menyatakan bahwa teks di dalam
novel terjemahan sangat jelas, sebanyak 12 pembaca (38,71%) menyatakan
teks di dalam novel terjemahan sepertinya sangat jelas, dan sebanyak 5
pembaca (16,13%) menyatakan bahwa teks di dalam novel terjemahan tidak
jelas.
Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa teks di dalam novel
terjemahan sangat jelas adalah karena teksnya mudah dibaca dan dicetak jelas,
bahasanya ringan, segar, dan lucu, dan penulisan antar paragraf terjalin dengan
baik. Pembaca yang agak ragu-ragu untuk mengungkapkan kejelasan teks di
dalam novel terjemahan beralasan bahwa terdapatnya beberapa istilah-istilah
asing di dalam teks membutuhkan pemahaman yang lebih dan terkadang
menimbulkan interpretasi lain, namun tetap menarik karena diungkapkan
dengan bahasa yang sederhana. Sementara itu, pembaca yang menyatakan
bahwa teks di dalam novel terjemahan tidak jelas lebih karena banyaknya
istilah atau kata-kata asing yang susah untuk dimengerti.
d. Pertanyaan mengenai apakah kata-kata digunakan di dalam novel terjemahan
sesuai untuk menyampaikan informasi di dalam novel, sebanyak 17 pembaca
(54,84%) menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sudah sesuai dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
242
menyampaikan informasi di dalam novel, sebanyak 12 pembaca (38,71%)
menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sepertinya sesuai dalam
menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan, dan sebanyak 2 pembaca
(6,49%) menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan tidak sesuai dalam
menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan.
Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan
sudah sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel adalah karena
hasil terjemahan tersebut dapat dengan jelas disampaikan kepada pembaca,
kata-kata yang digunakan saling terkait dan mewakili isi cerita, dan kata-kata
atau istilah asing yang digunakan sering diberi informasi tambahan untuk
memperjelas informasi yang disampaikan. Sementara itu, pembaca yang
menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sepertinya sesuai dalam
menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan beralasan bahwa
terdapatnya beberapa istilah-istilah khusus dalam Tsu yang diterjemahkan ke
dalam Tsa dapat menimbulkan masalah mengenai keakuratan penyampaian
informasi dan kemungkinan terjadinya salah pemaknaan oleh pembaca, namun
demikian isi cerita dapat dengan mudah untuk dipahami. Pembaca yang
menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan tidak sesuai dalam
menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan berasalan bahwa
pemilihan kata kurang efisien dan tidak tepatnya informasi tambahan yang
diberikan untuk memperjelas istilah-istilah asing yang tidak diterjemahkan.
Hasil kuesioner secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
243
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
244
2. Di dalam penerjemahan tersebut penerjemah menggunakan
beranekaragam prosedur penerjemahan yaitu: a) pinjaman kata, b) padanan
budaya, c) penerjemahan literal, d) penghilangan, e) dan parafrase.
BUAT TABLE PERSENTASINYA
Contoh-contoh dari prosedur tersebut terdapat di dalam penerjemahan
sebagai berikut:
3. Penerjemahan makna dan gaya sama pentingnya. Misalnya……..
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
243
BAB V POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pokok-pokok Temuan
Di dalam subbab ini dibahas mengenai pokok-pokok temuan yang
menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan. Pokok-pokok temuan tersebut
berkaitan dengan kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya
materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The
Highest Tide dan terjemahannya, latar belakang penerjemah dan keterkaitannya
terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan, dan pemahaman pembaca dan
keterkaitannya terhadap kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke
dalam novel terjemahan Pasang Laut (PL). Adapun pokok-pokok temuan tersebut
adalah sebagai berikut:
a) Jenis-jenis makna di dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan budaya materi,
istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel HT adalah
makna leksikal (9,57%), makna situasional atau kontekstual (4,35%), makna
tekstual (1,74%), makna sosiokultural (70,43%), dan makna implisit (13,91%).
b) Jenis-jenis gaya yang direalisasikan dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan
budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel
HT adalah penggunaan pilihan kata di dalam Tsa (64,35%), penggunaan
ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sepadan dengan ekspresi idiomatik yang
digunakan di dalam Tsu (20%), penggunaan gaya bahasa yang sepadan di
dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
244
sumber (5,22%), penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai
ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya (8,70%), dan
penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah
membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu (1,74%). Di dalam
klasifikasi tersebut satu data tidak hanya mengandung satu pemakaian gaya
saja, namun juga dapat direalisasikan ke dalam berbagai bentuk gaya.
c) Kualitas terjemahan dilihat pada rentang nilai pada kategori kriteria penilaian
hasil terjemahan, maka penerjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel
HT ke dalam novel PL ini termasuk ke dalam rentang nilai 61-75, yaitu masuk
dalam kategori terjemahan baik dan hasil penilaian tersebut berada sedikit di
bawah kategori terjemahan sangat baik. Namun demikian, karena tidak ada
hasil terjemahan yang sempurna, maka penilaian pun bersifat relatif dan
berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna
dan gaya secara objektif sulit dicapai. Oleh karena itu, nilai yang diperoleh
bersifat tidak absolut.
d) Penerjemah novel HT memiliki latar belakang akademik dalam bidang
linguistik penerjemahan dan linguistik terapan, mengampu mata kuliah sastra
dan penerjemahan, dan membimbing skripsi dalam bidang sastra dan
penerjemahan. Penerjemah memiliki pengalaman profesi sebagai penerjemah
profesional selama lebih dari 15 tahun, dan telah menerjemahkan beragam
karya terjemahan novel dan bunga rampai baik dalam bentuk buku maupun
artikel. Dengan melihat pada latar belakang akademik, pengalaman profesi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
245
beragam karya terjemahan yang telah dihasilkan, penerjemah dapat
dikategorikan dalam penerjemah ahli dan profesional.
e) Proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan
novel HT pada dasarnya menggunakan tiga langkah utama, yaitu: persiapan,
menerjemahkan, dan mengedit terjemahan, dengan beberapa keunikan
tersendiri, yaitu (1) penerjemahan novel HT tidak hanya menggunakan
kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga kompetensi instrumental
dilakukan oleh penerjemah mulai pada tahap awal sampai pada tahap akhir,
(2) masalah gaya sangat dipertimbangkan oleh penerjemah mulai pada tahap
awal sampai pada tahap akhir proses penerjemahan.
f) Strategi yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan bagian-bagian
khusus yang ada di dalam novel HT, yaitu dengan cara mengungkapkan
konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, atau sering
disebut dengan background knowledge, membuat catatan kaki, menetralisir
atau menaturalisasi kata yang akan diterjemahkan, dan menciptakan sendiri
kata atau frase yang sepadan.
g) Menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat
baik, hal tersebut karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan
hal lain yang membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT
mengurangi atau menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terjemahan novel HT, menurut pakar
penerjemahan adalah tingkat konsistensi hasil terjemahan dan tingkat
keakuratan dalam menerjemahkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
246
h) Hasil kuesioner dari sampel pembaca mengenai penerjemahan novel HT ke
dalam novel PL menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak
dibaca, bahasa mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat
jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di
dalam novel terjemahan.
5.2 Pembahasan Di dalam subbab ini dibahas mengenai interpretasi pokok-pokok temuan
dan hubungannya dengan kajian teori dan jawaban-jawaban terhadap rumusan
masalah yang telah ditentukan. Interpretasi pokok-pokok temuan berkaitan
dengan kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah
ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan
terjemahannya, latar belakang penerjemah dan keterkaitannya terhadap kualitas
terjemahan yang dihasilkan, dan pemahaman pembaca dan keterkaitannya
terhadap kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel
terjemahan Pasang Laut (PL).
5.2.1 Kesepadanan Makna dan Gaya
Faktor objektif di dalam penelitian ini adalah novel sumber The Highest
Tide dan novel terjemahan Pasang Laut. Setelah data terkumpul kemudian di
analisis berdasarkan konteksnya. Dalam terjemahan bagian-bagian yang substansi
di dalam novel HT tersebut ditemukan data tentang jenis-jenis makna dan gaya
yang direalisasikan dalam beberapa jenis makna dan beberapa paramater gaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
247
Keseluruhan data mengenai jenis-jenis makna dan gaya di dalam novel The
Highest Tide yang mengandung ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah
ekologi, budaya sosial dan gaya bahasa terangkum di dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 5.1: Rekapitulasi Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide yang Mengandung Ungkapan-ungkapan Budaya Materi, Istilah Ekologi, Budaya Sosial dan Gaya Bahasa (N=115)
Bagian Substansi Novel HT Makna dan Gaya
Budaya Materi
Istilah Ekologi
Budaya Sosial
Gaya Bahasa
Total
Makna F
F
F
F
F %
Leksikal 3 3 5 0 11 9,57 Situasional 0 2 1 2 5 4,35 Tekstual 0 1 1 0 2 1,74 Sosiokultural 7 7 45 22 81 70,43 Implisit 0 0 1 15 16 13,91
Jumlah 115 100 Gaya
Peng. Pilihan Kata
10 9 40 15 74 64,35
Peng. Ekspresi Idiomatik
0 0 7 17 23 20
Peng. Gaya Bahasa
0 0 0 6 6 5,22
Peng. Jenis Bahasa Sesuai Jenis Teks
0 4 6 0 10 8,70
Pengg. Tanda Baca
0 0 0 2 2 1,74
Jumlah 115 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
248
Berdasarkan tabel di atas, jenis-jenis makna yang ditemukan di dalam
penerjemahan novel HT adalah makna leksikal, makna situasional, makna
tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Data mengenai jenis-jenis
makna tersebut dirangkum dalam bagan sebagai berikut:
Berdasarkan bagan di atas, penerjemahan bagian-bagian yang khas novel
HT ke dalam novel PL direalisasikan dalam beberapa jenis makna. Jenis-jenis
makna tersebut adalah makna leksikal, makna situasional atau kontekstual, makna
tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Setelah data diklasifikasi dari
115 data, sebanyak 11 data atau 9,57% merupakan data yang mengandung makna
leksikal, sebanyak 5 data atau 4,35% bermakna situasional atau kontekstual,
sebanyak 2 data atau 1,74% bermakna tekstual, sebanyak 81 data atau 70,43%
Situasional4,35% implisit
13,91%
Tekstual1,74%
Sosiokultural70,43%
leksikal9,57%
Bagan 5.1 Jenis-jenis Makna dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi Novel The Highest Tide
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
249
mengandung makna sosiokultural, dan sebanyak 16 data atau 13,91% bermakna
implisit.
Sementara itu, parameter gaya adalah penggunaan berbagai pilihan kata di
dalam Tsa, penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sepadan dengan
ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, penggunaan gaya bahasa yang
sepadan di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam
bahasa sumber, penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai
ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan penggunaan
tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan
tanda baca di dalam Tsu. Data mengenai parameter gaya tersebut dirangkum
dalam bagan sebagai berikut:
Pilihan Kata64,35%Gaya Bahasa
5,22%
Ekspresi Idiomatik
20%
Struktur Kata8,70% Tanda Baca
1,74%
Bagan 5.2 Parameter Gaya dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi Novel The Highest Tide
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
250
Berdasarkan bagan di atas, penerjemahan bagian-bagian yang khas di
dalam novel HT ke dalam novel PL direalisasikan dalam beberapa jenis gaya.
Setelah data diklasifikasi dari 115 data, sebanyak 74 data atau 64,35% merupakan
gaya yang menggunakan berbagai pilihan kata di dalam Tsa, sebanyak 23 data
atau 20% menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi
idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, sebanyak 6 data atau 5,22%
menggunakan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk
menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber, sebanyak 10 data atau 8,70%
menggunakan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada
di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan sebanyak 2 data atau 1,74%
menggunakan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah
membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
Dengan melihat pada hasil klasifikasi di atas nampak bahwa penggunaan
makna sosiokultural dan makna leksikal dengan gaya yang menggunakan
berbagai pilihan kata di dalam Tsa sering muncul di dalam terjemahan bagian-
bagian yang khas novel HT. Namun demikian perlu dicatat bahwa persentase
tersebut tidaklah mengindikasikan dominasi atau superioritas dari penggunaan
makna dan gaya di atas. Persentase ini hanyalah menunjukkan tingkat keseringan
kemunculan makna dan gaya di dalam terjemahan bagian-bagian yang khas di
dalam novel HT ini, dan tingkat keseringan kemunculan tersebut sangat mungkin
dipengaruhi oleh konsep kata atau frase Tsu, fungsi yang dimaksudkan dari Tsa,
dan pilihan individu dari penerjemah novel HT itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
251
Lebih lanjut, mengenai kualitas kesepadanan makna dan gaya ungkapan-
ungkapan budaya materi, istilah ekologi, gerak isyarat dan kebiasaan, budaya
sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya,
diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS),
2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup
(TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Kualitas terjemahan novel HT ini dapat
dilihat di dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.2 Hasil Penilaian Terjemahan
Kriteria Terjemahan
Penilai I Penilai II Peneliti Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Terjemahan Hampir Sempurna (THS)
59 51,30 34 29,57 52 45,22
Terjemahan Sangat Baik (TSB)
31 26,96 37 32,17 38 33,04
Terjemahan Baik (TB)
15 13,04 29 25,22 16 13,91
Terjemahan Cukup (TC)
9 7,83 11 9,57 6 5,22
Terjemahan Kurang (TK)
1 0,87 4 3,48 3 2,61
Total 115 100 115 100 115 100
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa terjemahan bagian-bagian yang
khas di dalam novel HT dikatakan terjemahan hampir sempurna (THS) apabila
makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa
sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks
sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan
tidak ada kesalahan atau penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik,
gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Dalam penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
252
dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 52 data atau 45,22% merupakan
terjemahan hampir sempurna. Kategori terjemahan hampir sempurna ini meliputi
salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan hampir
sempurna ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis
oleh penilai, sebanyak 59 data atau 51,30% (penilai 1) merupakan terjemahan
hampir sempurna, dan sebanyak 34 data atau 29,57% (penilai 2) merupakan
terjemahan hampir sempurna.
Berikutnya, terjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT
dinyatakan sebagai terjemahan sangat bagus (TSB) apabila makna dalam bahasa
sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada
terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas
dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua
kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa,
jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 38 data
atau 33,04% merupakan terjemahan sangat bagus. Kategori terjemahan sangat
bagus ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan
dengan sangat bagus ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang
dianalisis oleh penilai, sebanyak 31 data atau 26,96% (penilai 1) merupakan
terjemahan sangat bagus, dan sebanyak 37 data atau 32,17% (penilai 2)
merupakan terjemahan sangat bagus.
Terjemahan dikategorikan sebagai terjemahan baik (TB) apabila makna
dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
253
terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks
jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua
kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa,
jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca.
Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 16 data
atau 13,91% merupakan terjemahan baik. Kategori terjemahan baik ini meliputi
salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan baik ke dalam
Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai,
sebanyak 15 data atau 13,04% (penilai 1) merupakan terjemahan baik, dan
sebanyak 29 data atau 25,22% (penilai 2) merupakan terjemahan baik.
Terjemahan dikategorikan sebagai terjemahan cukup (TC) apabila makna
dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa
sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras
untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan
idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa,
dan tanda baca.
Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 6 data atau
5,22% merupakan terjemahan cukup. Kategori terjemahan cukup ini meliputi
salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan kualitas cukup
ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai,
sebanyak 9 data atau 7,83% (penilai 1) merupakan terjemahan cukup, dan
sebanyak 11 data atau 9,57% (penilai 2) merupakan terjemahan cukup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
254
Terjemahan kurang (TK) adalah apabila makna dalam bahasa sumber tidak
diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai
terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah
untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan
kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 3 data atau
2,61% merupakan terjemahan kurang. Kategori terjemahan kurang ini meliputi
salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan kurang ke
dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai,
sebanyak 1 data atau 0,87% (penilai 1) merupakan terjemahan kurang, dan
sebanyak 4 data atau 3,48% (penilai 2) merupakan terjemahan hampir sempurna.
Secara keseluruhan, di dalam tabel di atas apabila dikuantifikasikan hasil
analisis tersebut terhadap sampel dengan memberikan angka berdasarkan kriteria
terjemahan di dalam penelitian bahwa terjemahan hampir sempurna 86-90,
terjemahan sangat baik 76-85, terjemahan baik 61-75, terjemahan cukup 46-60,
dan terjemahan kurang 20-45, maka dengan mengambil rentang nilai paling
rendah pada masing-masing kategori, diperoleh hasil sebagai berikut:
Untuk penilai 1
Kategori Rentang Nilai Terendah (S)
Frekuensi data (F)
F x S
Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK)
86 76 61 46 20
59 31 15 9 1
5074 2356 915 414 20
Jumlah 115 8779
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
255
Apabila dicari rerata nilai terjemahan tersebut adalah: Rerata = 8779 = 76,34, 115
sedangkan untuk penilai 2 adalah
Kategori Rentang Nilai Terendah (S)
Frekuensi data (F)
F x S
Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK)
86 76 61 46 20
34 37 29 11 4
2924 2812 1769 506 80
Jumlah 115 8091 Dengan nilai rata-rata adalah: Rerata = 8091 = 70,36, 115
dan untuk peneliti sebagai penilai adalah sebagai berikut:
Kategori Rentang Nilai Terendah (S)
Frekuensi data (F)
F x S
Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK)
86 76 61 46 20
52 38 16 6 3
4472 2888 976 276 60
Jumlah 115 8672 Dengan nilai rata-rata adalah: Rerata = 8672 = 75,41. 115
Dari ketiga rerata di atas, apabila dijumlahkan dan diambil rata-ratanya,
maka akan menghasilkan nilai akhir yaitu 74,04. Dan apabila melihat pada
rentang nilai pada kategori kriteria penilaian hasil terjemahan, maka
penerjemahan bagian-bagian yang khas novel HT ke dalam novel PL ini termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
256
ke dalam rentang nilai 61-75, yaitu masuk dalam kategori terjemahan baik dan
hasil penilaian tersebut berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak ada hasil terjemahan yang
sempurna sehingga penilaian pun bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang
lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit
dicapai. Oleh karena itu, nilai yang diperoleh bersifat tidak absolut.
5.2.2 Penerjemah
Penerjemah dengan latar belakang akademik dan pengalaman profesi yang
dimiliki, serta karya terjemahan yang telah dihasilkan, sangat menunjang sekali di
dalam menerjemahkan novel HT ini. Hal ini terlihat dari latar belakang akademik
penerjemah yang merupakan lulusan dari jurusan penerjemahan pada suatu
perguruan tinggi di dalam negeri dan lulusan pada jurusan linguistik terapan di
luar negeri. Selain itu, penerjemah juga seorang pengajar di sebuah perguruan
tinggi negeri yang mengajarkan mata kuliah dalam bidang bahasa, sastra, dan
penerjemahan. Dengan melihat pada latar belakang akademik tersebut,
penerjemah dapat disebut atau dikategorikan dalam penerjemah ahli, yaitu
penerjemah yang memiliki kompetensi khusus kebahasaan. Hal ini senada dengan
yang dinyatakan oleh Nababan (2004:31) bahwa berdasarkan keahliannya,
seorang penerjemah dapat digolongkan ke dalam penerjemah pemula,
penerjemah lanjutan, penerjemah kompeten, penerjemah mahir, dan penerjemah
ahli. Penerjemah ahli adalah penerjemah yang mempunyai kompetensi khusus
kebahasaan, dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
257
menghasilkan informasi, dan memiliki kecenderungan mempertimbangkan
penerjemahan pada tataran teks.
Sementara itu, pengalaman menerjemahkan yang dimiliki oleh
penerjemah, juga sangat mendukung di dalam menerjemahkan novel HT ini. Hal
ini terlihat dalam rentang waktu menerjemahkan yang cukup lama, yaitu sekitar
lima belas (15) tahun, yaitu sejak tahun 1994/1995. Di dalam rentang tersebut,
penerjemah telah bekerja sebagai seorang penerjemah dan konsultan
penerjemahan pada divisi fiksi, PT. Penerbit Erlangga di Jakarta, International
IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stromsborg S-103 34,
Stockholm, Sweden (http://www.idea.int), Ecole Française d’Extreme-Orient, 22
Avenue du President Wilson, 75116 Paris, France, Ufuk Publishing House,
Jakarta, Indonesia, dan PT. Gramedia Pustaka Utama (lihat 4.1.2.1).
Dengan melihat pada pengalaman menerjemahkan tersebut, penerjemah
dapat digolongkan ke dalam penerjemah profesional dan penerjemah penuh
waktu. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh penerjemah bahwa salah satu
syarat untuk menjadi seorang penerjemah yang profesional adalah seorang
penerjemah harus terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya dan
menjadikan kegiatan penerjemahan sebagai kegiatan seumur hidup. Bukti sebagai
penerjemah yang berkualitas menjadi tolok ukur dalam keberhasilan terjemahan
dan pada akhirnya akan berlangsung dalam simbol yang saling menguntungkan.
Pernyataan ini selaras dengan yang disampaikan oleh Nababan (2004:31) bahwa
penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan secara
profesional dan menjadikan kegiatan terjemahan sebagai suatu profesi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
258
Bukti keprofesionalan tersebut dapat dilihat dengan beberapa karya
terjemahan yang telah dihasilkan. Sepanjang profesinya sebagai penerjemah,
penerjemah telah menerjemahkan berbagai karya terjemahan baik dalam bentuk
buku maupun artikel, baik berupa terjemahan karya sastra novel maupun karya
terjemahan bunga rampai (subbab 4.1.2.1). Dengan beragamnya karya terjemahan
yang telah dihasilkan dan dengan beragam kompetensi yang dilakukan dalam
menerjemahkan, maka dapat dikatakan bahwa penerjemah merupakan seorang
penerjemah kordinat berdasarkan cara memahami dan menghasilkan teks, yaitu
penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa dengan
repertoir proses mental yang dimiliki sendiri dengan proses mental khusus pada
repertoir kedua yang pada akhirnya dihubungkan dengan unsur-unsur leksikal dari
bahasa lain.
Lebih lanjut, proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah,
sebagaimana yang terungkap di dalam subbab 4.1.2.2, pada dasarnya
menggunakan tiga langkah utama di dalam menerjemahkan, yaitu: persiapan,
menerjemahkan, dan mengedit terjemahan. Proses penerjemahan tersebut dapat
dirangkum di dalam suatu bagan seperti di bawah ini. Bagan ini mengilustrasikan
kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah di dalam menerjemahkan
novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut, yang mencakup tahapan
persiapan, tahapan menerjemahkan, dan tahapan mengedit terjemahan. Masing-
masing tahapan tersebut memiliki beberapa langkah atau tindakan yang dilakukan
oleh penerjemah. Bagan 5.1 berikut menunjukkan proses penerjemahan novel The
Highest Tide.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
259
Persiapan umum
Persiapan Khusus
Kata-kata umum
Kata-kata khusus
Bagan 5. 3 Proses Penerjemahan Novel The Highest Tide
Merevisi kualitas terjemahan
P E R S I A P A N
Mempelajari Tsu
Menyiapkan kamus, glosari
Mempelajari teks terkait
Mempelajari gaya
M E N E R J E M A K A N
- Mengecek kata/frase - Mencari makna yang sulit di dalam kamus - Mengakses rujukan di internet - Menulis dalam ekspresi lain
M E N G E D I T
Merevisi kealamian terjemahan
SELESAI
- Memahami makna berdasarkan konteks - Mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera,
tujuan pembaca) - Memutuskan untuk memakai loan words,
naturalisasi, sinonim, catatan kaki, atau menciptakan kata baru
- Berkonsultasi dengan penerjemah lain dan/atau pakar
- Menuangkan kata ke dalam draft terjemahan
ya
tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
260
Penjelasan dari bagan di atas adalah sebagai berikut:
5.2.2.1 Persiapan
Langkah persiapan yang dilakukan di dalam proses penerjemahan novel
The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut ini dapat dibedakan menjadi dua
yaitu persiapan umum dan persiapan khusus. Persiapan umum yang dilakukan
adalah membaca teks HT secara keseluruhan sebelum diterjemahkan, melakukan
searching atau browsing internet sebelum menerjemahkan, dan mempersiapkan
kamus yang cukup layak, yaitu koleksi berbagai macam kamus baik kamus
ekabahasa maupun dwibahasa, kamus manual maupun kamus online, baik kamus
umum maupun kamus khusus.
Adapun persiapan khusus yang dilakukan penerjemah adalah secara penuh
memahami istilah-istilah yang termuat dalam indeks, membaca berbagai novel
baik novel terkini maupun terdahulu dan berbagai artikel yang berhubungan
dengan hal-hal khas ataupun istilah-istilah khusus yang terdapat di dalam novel
HT, dan yang tak kalah pentingnya adalah memperhatikan masalah gaya, bahwa
menerjemahkan novel tidak sekadar memindahkan kata-kata atau kalimat-kalimat
saja tetapi juga diperlukan hiasan-hiasan atau aksesori-aksesori dan nuansa kata-
kata indah. Masalah gaya yang dimaksud oleh penerjemah adalah bagaimana
mempertimbangkan masalah panjang-pendek kalimat/paragraf, lebar atau luas
halaman, jenis font dan jarak baris, ukuran kertas, jenis kolom, dan yang paling
penting adalah menjangkau alam pikiran pembaca, memperhatikan situasi atau
konteks kejadian cerita yang ada di dalam novel ke dalam konteks atau situasi
para pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
261
Langkah selanjutnya adalah menulis hasil terjemahan di komputer dan di
saat yang bersamaan penerjemah: mengecek kata/frase, mencari makna yang sulit
di dalam kamus, memahami makna berdasarkan konteks, mengakses rujukan di
internet, menulis dalam ekspresi lain, mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera,
tujuan pembaca), memutuskan untuk memakai loan words, naturalisasi, sinonim,
catatan kaki, atau menciptakan kata baru, berkonsultasi dengan penerjemah lain
dan/atau pakar, dan menuangkan kata ke dalam draft terjemahan.
Langkah terakhir adalah mengedit terjemahan. Penekanan revisi adalah
pada kualitas kebahasaan teks terjemahan dan kealamian terjemahan yang
dihasilkan. Setelah beberapa perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan
revisi akhir dan membiarkan hasil terjemahan tersebut selama beberapa waktu
untuk mendapatkan hasil akhir terjemahan yang benar-benar alami.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa langkah-langkah menerjemahkan
atau proses penerjemahan novel HT dimulai dengan tahap persiapan, tahap proses
utama, dan tahap akhir. Pada tahap awal atau persiapan, penerjemah mempelajari
keseluruhan Tsu di dalam novel HT untuk mendapatkan gambaran dan gagasan
yang menyeluruh mengenai isi novel dan gaya bercerita yang ada di dalam novel
tersebut yang akan diselaraskan dengan karakteristik Tsa. Untuk melakukan hal
tersebut, penerjemah menggunakan kompetensi profesional. Di dalam langkah ini,
penerjemah tidak hanya mempelajari karakter kebahasaan Tsu dan Tsa, namun
juga beberapa faktor penting lain yang dipertimbangkan, diantaranya adalah
waktu penyelesaian, alur cerita, gaya penyampaian, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
262
Selain itu, penerjemah juga melakukan persiapan teknis. Persiapan teknis
ini berhubungan dengan software, internet, dan kamus. Persiapan teknis ini
tidaklah berhubungan dengan komponen kebahasaan. Di dalam langkah ini,
penerjemah mempersiapkan software berupa program TRADOS 2006,
mengaktifkan internet, dan beberapa kamus, terutama Encarta CD-ROM
Dictionary dan National Geography Dictionary yang banyak memuat daftar kata-
kata atau istilah-istilah yang ada di dalam novel HT. Pada akhir persiapan,
penerjemah memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan karakter
khusus Tsu dan istilah-istilah kunci di dalam teks. Pada tahap ini, kompetensi
instrumental diperlukan, yaitu untuk menyiapkan glosari. Persiapan glosari ini
dimaksudkan untuk membuka file atau membuat yang baru dan biasanya
berhubungan dengan software terjemahan (translation memory). Di dalam
tahapan ini, yang dilakukan penerjemah antara lain membuka file untuk
menerjemahkan, melihat kembali kalimat di dalam memori penerjemahan, melihat
terminologi, mencari istilah-istilah yang sesuai, dan memeriksa kembali hasil
terjemahan. Ke semua kegiatan tersebut dilakukan secara langsung di dalam
software TRADOS 2006 sebagaimana di dalam gambar outline program tersebut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
263
Gambar 5.1 Outline Program TRADOS 2006
Tahap awal ini sesuai dengan langkah awal di dalam proses penerjemahan
yang telah dinyatakan oleh Sumarno (1997:13; 2003:16) dan Nababan (2003:24-
25) bahwa secara umum, sebelum seorang penerjemah menganalisis teks yang
akan diterjemahkan, penerjemah selalu dihadapkan pada teks bahasa sumber
terlebih dahulu. Di dalam tahap analisis ini yang dapat dilakukan penerjemah
adalah membaca dan memahami isi teks bahasa sumber. Kegiatan membaca teks
bahasa sumber dimaksudkan untuk memahami isi teks bahasa sumber.
Di dalam memahami isi teks tersebut diperlukan adanya pemahaman
terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
264
Unsur linguistik merujuk pada unsur kebahasaan dan unsur ekstralinguistik
mengacu pada unsur yang berada di luar kebahasaan. Unsur ekstralinguistik ini
terkait dengan sosio-budaya teks bahasa sumber dan faktor pendukung lain yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa itu.
5.2.2.2 Menerjemahkan
Selanjutnya, tahap utama yang dilakukan penerjemah adalah
menerjemahankan novel HT. Proses penerjemahan yang dilakukan oleh
penerjemah ini terdiri dari beberapa tindakan dan keputusan. Tindakan dan
keputusan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan berbeda-beda.
Penerjemah melakukan tindakan menerjemahkan maju-mundur (back and forth)
dari kata atau kalimat yang satu ke kata atau kalimat yang lain. Beberapa tindakan
dan keputusan tersebut, sebagaimana dalam subbab 4.1.2.2, adalah mengecek
kata/frase, mencari makna yang sulit di dalam kamus, memahami makna
berdasarkan konteks, mengakses rujukan di internet, menulis dalam ekspresi lain,
mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera, tujuan pembaca), memutuskan untuk
memakai loan words, naturalisasi, sinonim, catatan kaki, atau menciptakan kata
baru, berkonsultasi dengan penerjemah lain dan/atau pakar, dan menuangkan kata
ke dalam draft terjemahan.
Di dalam tahap ini penerjemah novel HT mencarikan padanan untuk
semua kata, frase, klausa, dan/atau kalimat. Namun demikian, di dalam mencari
padanan tersebut yang perlu diperhatikan oleh penerjemah novel HT adalah
bahwa beberapa kata tertentu memiliki karakter atau sifat tertentu pula, beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
265
kata tersebut tidak dapat diterjemahkan secara literal hanya dengan menyalin dari
kamus atau glosari dua bahasa saja, dan oleh karena itu memerlukan perhatian
yang khusus pula. Beberapa kata yang memiliki karakter khusus tersebut
memungkinkan sekali menimbulkan masalah penerjemahan. Masalah-masalah
penerjemahan hal-hal yang khas atau khusus ini, sebagaimana dinyatakan oleh
Baker (1992) dapat berupa: konsep budaya tertentu, kata bahasa sumber yang
secara semantik sangat kompleks, bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki
makna yang sangat berbeda, bahasa sasaran memiliki kekurangan superordinat,
bahasa sasaran memiliki kekurangan istilah-istilah khusus, perbedaan konsep
secara fisik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, perbedaan dalam
pengungkapan makna, perbedaan gaya, perbedaan frekuensi dan tujuan
penggunaan bentuk-bentuk khusus, dan penggunaan kata pinjaman di dalam Tsu.
Sementara itu, menurut penerjemah novel HT, masalah-masalah penerjemahan
mengenai hal-hal yang khas tersebut meliputi penerjemahan istilah-istilah yang
khusus di dalam Tsu yang tidak dijumpai atau tidak ada padanannya di dalam Tsa,
istilah-istilah budaya di dalam novel sumber, dan juga gaya bahasa.
Lebih lanjut, untuk mengatasi masalah pemadanan kata-kata atau istilah-
istilah khusus yang ada di dalam novel HT, beberapa strategi dilakukan oleh
penerjemah, yaitu dengan cara mengungkapkan konteks yang melingkupi kata
atau frase yang akan diterjemahkan, atau sering disebut dengan background
knowledge, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata yang akan
diterjemahkan dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh penerjemah bahwa pengungkapan konteks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
266
yang melingkupi kata atau frase dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
secara menyeluruh makna dari kata atau frase yang diterjemahkan, membuat
catatan kaki dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi mengenai
istilah-istilah dalam bahasa sasaran yang memiliki beberapa makna, menetralisir
atau menaturalisasi kata atau frase dilakukan apabila berhubungan dengan istilah-
istilah khusus terutama nama-nama ekologi maupun budaya di dalam Tsu.
Adapaun salah satu contoh dari strategi penerjemah, yaitu membuat catatan kaki
sebagaimana yang dilakukan oleh penerjemah sebagai berikut:
Gambar 5.2 Contoh Catatan Kaki Penerjemahan Novel HT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
267
Di dalam contoh di atas, penerjemah menerjemahan kata Squirt dengan
menggunakan catatan kaki, yaitu berupa informasi mengenai sebutan atau
penamaan terhadap seseorang dengan pilihan padanan yang serinci dan setepat
mungkin, bahwa ungkapan squirt dapat bermakna cebol, kurcaci, maupun kate
dan memiliki persepsi dan nilai rasa yang berbeda-beda. Strategi yang digunakan
oleh penerjemah ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Baker (1992) bahwa
beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah
penerjemahan hal-hal yang khas di dalam susastra adalah dengan: menggunakan
kata-kata yang lebih umum (superordinat), menggunakan kata-kata netral,
menggunakan substitusi budaya, peminjaman kata (loan words), memparafrase
kata atau kalimat, penghilangan kata, dan menerjemahkan dengan menggunakan
ilustrasi.
Sebagaimana diketahui bahwa penerjemahan secara umum dipahami
sebagai pengalihan pesan dan gaya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Untuk itu penerjemah paling tidak melakukan dua kegiatan, yaitu memahami
makna bahasa sumber dan merekonstruksi makna yang telah dipahaminya itu ke
dalam bahasa sasaran. Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah tidak
dapat hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber,
tetapi ia juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu.
Hal yang sama terjadi ketika ia harus merekonstruksikan makna yang telah
dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ia perlu menyesuaikan
kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan
penerjemahan, dan sebagainya. Untuk itu, bahasa yang digunakan seharusnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
268
merupakan wacana yang bisa saling dipahami oleh para komunikan di dalam
tindak komunikasi tersebut. Makna yang dikaji dikaitkan dengan penutur di
dalam arti untuk apa si penutur mengutarakan suatu kata, frase, atau kalimat. Oleh
karenanya norma-norma penerjemahan di dalam budaya sasaran akan sangat
berpengaruh sekali.
Hal yang sama dinyatakan oleh Chesterman (1997) bahwa strategi yang
dapat digunakan di dalam mengatasi masalah-masalah penerjemahan hal-hal yang
khas di dalam novel HT adalah dengan menggunakan strategi pragmatik, yaitu
dengan: (l) filter budaya, (2) perubahan eksplisit, (3) perubahan informasi,
(4) perubahan interpersonal, (5) perubahan ilokusioner, (6) perubahan koherensi,
(7) penerjemahan parsial, (8) perubahan kemunculan penerjemah, (9) edit ulang,
dan (10) perubahan pragmatik yang lain.
Filter budaya merupakan strategi penerjemahan yang digunakan oleh
penerjemah di dalam menerjemahkan hal-hal khusus di dalam budaya sumber ke
dalam budaya sasaran atau sering juga disebut dengan kesepadanan fungsional,
sehingga hasil terjemahan sesuai dengan norma bahasa sasaran. Strategi ini juga
sering disebut dengan naturalization, domestication atau adaptation. Perubahan
eksplisit merupakan strategi penerjemahan bahwa makna di dalam Tsa dibuat
menjadi lebih eksplisit atau bahkan lebih implisit. Perubahan eksplisit ini adalah
dengan cara menambahkan komponen secara eksplisit di dalam Tsa dari Tsu yang
disampaikan secara implisit. Sebaliknya, perubahan implisit adalah dengan
menghilangkan beberapa komponen atau elemen implisit ketika penerjemah
menganggap bahwa pembaca sasaran telah memahami dari konteks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
269
terjemahannya. Perubahan informasi merupakan strategi penerjemahan yang
berupa penambahan atau penghilangan informasi. Penambahan informasi merujuk
pada penambahan informasi baru yang dianggap sesuai dengan keterbacaan Tsa
namun yang tidak muncul di dalam Tsu. Penghilangan informasi merujuk pada
penghilangan informasi dalam Tsu yang dianggap tidak sesuai dengan
keterbacaan Tsa. Perubahan interpersonal merupakan strategi menerjemahkan
yang bekerja pada perubahan gaya. Dengan kata lain bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan perubahan di dalam hubungan antara penulis dan pembaca
disebut dengan perubahan interpersonal. Perubahan ilokusioner merujuk pada
perubahan tindak tutur (speech acts), misalnya dari suatu pernyataan ke
permintaan. Perubahan koherensi merujuk pada perubahan di dalam
pengorganisasian informasi logis di dalam suatu teks pada tataran ideasional.
Perubahan ini dapat dilakukan dalam pengorganisasian ulang suatu paragraf di
dalam Tsa. Sementara itu, strategi lain adalah penerjemahan parsial. Strategi ini
meliputi semua jenis penerjemahan parsial, seperti penerjemahan ringkasan,
abstrak, dan juga transkrip. Perubahan kemunculan penerjemah merupakan
strategi lain yang merujuk pada perubahan status kehadiran penulis atau
penerjemah. Hal ini berarti bahwa kehadiran penerjemah dapat dibuat lebih
menonjol ataupun tidak muncul. Contoh dari strategi ini adalah catatan kaki
penerjemah, komentar dalam kurung, dan juga penambahan glosari secara
eksplisit untuk menggambarkan perhatian pembaca terhadap kehadiran
penerjemah. Strategi yang lain adalah edit ulang, yaitu yang merujuk pada
pengeditan ulang yang kadang-kadang sangat radikal dilakukan oleh penerjemah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
270
terhadap Tsu yang sangat jelek. Oleh Karena itu, strategi meliputi penyusunan
ulang yang total dan penulisan ulang secara keseluruhan atau pada tingkatan yang
lebih umum, dan terakhir adalah strategi lain yang mengarah pada perubahan-
perubahan yang dapat merubah pesan Tsu.
Strategi yang ditawarkan oleh Chesterman (1997) tersebut dapat
digunakan untuk menerjemahkan hal-hal atau istilah-istilah khusus pada tataran
kata, frase, klausa, atau kalimat. Namun demikian, beberapa strategi tersebut
mungkin dapat digunakan untuk menerjemahkan kata dan frase sekaligus klausa
dan kalimat, strategi yang lain mungkin hanya dapat digunakan untuk
menerjemahkan kata dan frase saja atau klausa dan kalimat saja.
5.2.2.3 Mengedit
Tahap terakhir adalah mengedit terjemahan. Sebagaimana dinyatakan di
dalam temuan hasil di atas bahwa dalam tahap mengedit terjemahan ini, yang
dilakukan oleh penerjemah adalah melakukan revisi atau penyelarasan terhadap
draft terjemahan. Penekanan revisi adalah pada kualitas kebahasaan teks
terjemahan dan kealamian terjemahan yang dihasilkan. Setelah beberapa
perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan revisi akhir dan membiarkan
hasil terjemahan tersebut selama beberapa waktu untuk mendapatkan hasil akhir
terjemahan yang benar-benar alami. Revisi untuk mendapatkan kualitas
kebahasaan dan kealamian yang optimal ditunjukkan di dalam contoh revisi yang
dilakukan oleh penerjemah berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
271
Gambar 5.3 Contoh Revisi Penerjemahan Novel HT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
272
Di dalam contoh di atas, penerjemah merevisi frase kemaluan perempuan
menjadi vagina dari Tsu yaitu a pussy, dan kalimat itu omong kosong paling
brengsek direvisi menjadi itu omong kosong paling gombal dari Tsu that is some
outrageous bullshit. Penyelarasan tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil
kesepadanan yang maksimal. Sementara itu, penerjemah berusaha membuat hasil
padanannya sealami mungkin dengan menambahkan informasi berupa kata-kata
maupun mengubah struktur kalimat dengan tanpa maksud merubah maknanya,
yaitu kalimat Phelps terbahak-bahak sampai hampir terjatuh menjadi Phelps
terbahak-bahak sampai hampir terjatuh dari sepeda, dari Tsu Phelps giggled
himself off balance, dan kalimat ya, katanya sesekali kita harus orgasme di dalam
hati direvisi menjadi ya, katanya sesekali kita harus menikmati orgasme di dalam
hati, yang di dalam Tsu adalah yeah, they say we should orgasm within ourselves
sometimes. Begitu pula, kau harus tetap membuka mata kalau lagi bercinta
direvisi strukturnya menjadi kau jangan memejamkan mata kalau lagi bercinta,
dari Tsu like you’re supposed to always keep your eyes open when you’re making
love.
Perbaikan pada kualitas kebahasaan dan kealamian terjemahan pada tahap
akhir ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Nababan (2003:28) bahwa
restrukturisasi atau penyelarasan adalah pengubahan proses pengalihan menjadi
bentuk stilistik yang cocok dengan bahasa sasaran, pembaca, atau pendengar.
Dengan demikian, pada tahap penyelarasan tersebut, seorang penerjemah perlu
memperhatikan ragam bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan
jenis teks yang diterjemahkan dan juga memperhatikan untuk siapa terjemahannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
273
itu ditujukan. Penerjemah perlu memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu
ditujukan mengacu pada terjemahan yang fungsional, yaitu bahwa penerjemah
seharusnya tidak dikendalikan oleh fungsi dari Tsu tetapi dikendalikan oleh fungsi
Tsa yang ingin dicapai di dalam budaya sasaran dengan fungsi Tsa yang
ditentukan oleh penerimanya.
Dari uraian bagan mengenai proses penerjemahan di atas, dapat peneliti
katakan bahwa proses penerjemahan novel The Highest Tide di atas selaras
dengan proses penerjemahan secara umum yang dirumuskan oleh Nida (1975:80),
Sumarno (1997;13), dan Nababan (2003:24-25), yaitu menganalisis, mentransfer,
dan merestrukturisasi. Namun demikian, di dalam proses penerjemahan novel HT
ini terdapat beberapa keunikan tersendiri, yaitu (1) dengan diperlukannya tidak
hanya kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga kompetensi
instrumental yang dilakukan oleh penerjemah mulai pada tahap awal sampai pada
tahap akhir, (2) masalah gaya juga dipelajari dan dipertimbangkan mulai pada
tahap awal sampai pada tahap akhir proses penerjemahan, dan (3) proses
penerjemahan novel HT tidak semata-mata melihat penerjemahan sebagai
kegiatan kebahasaan saja, namun sebagai kegiatan komunikasi antara pengirim
dan penerima.
Pada tahap awal, penerjemah selain mempersyaratkan penggunaan
kompetensi profesional (mempelajari keseluruhan Tsu) , kompetensi teknis
(mempersiapkan software, internet, dan kamus), juga harus menguasai
kompetensi instrumental (memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan
karakter khusus Tsu dan istilah-istilah kunci di dalam teks yang secara elektronik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
274
diunduh di dalam glosari atau file lain di komputer). Di dalam tahap
menerjemahkan, kompetensi instrumental juga diperlukan, yaitu kompetensi di
dalam menulis hasil terjemahan (Tsa) di dalam komputer, mengecek kata atau
frase, mencari makna yang sulit di dalam kamus, khususnya kamus online,
memahami makna berdasarkan konteks , mengakses rujukan di internet, ataupun
menulis dalam ekspresi lain. Di dalam tahap akhir, kompetensi instrumental juga
dibutuhkan untuk mengecek dan merevisi kualitas terjemahan, khususnya untuk
mengecek aspek kualitas kebahasaan di dalam novel terjemahannya, misal
mengecek konsistensi penggunaan istilah-istilah khusus di dalam novel yang
diterjemahkan.
Masalah padanan gaya, di dalam proses penerjemahan ini juga sangat
diperhatikan oleh penerjemah. Hal tersebut ditunjukkan dengan pertimbangan
penerjemah mulai pada saat sebelum menerjemahan, yaitu pada saat persiapan dan
berlanjut pada saat proses menerjemahkan. Pada tahap menerjemahkan, yang
dilakukan oleh penerjemah adalah mempertimbangkan masalah gaya, terutama
yang berhubungan dengan jenis kata, selera, dan tujuan pembaca, dan juga
menulis kata, frase, maupun kalimat ke dalam ekspresi yang lain. Jadi, untuk
memahami makna bahasa sumber, penerjemah novel HT ini tidak hanya
menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber, tetapi
penerjemah juga mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu.
Hal yang sama terjadi ketika penerjemah harus merekonstruksikan makna yang
telah dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penerjemah perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
275
menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang
diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya.
Bagan proses penerjemahan novel di atas juga mengindikasikan bahwa
penerjemahan yang dilakukan juga berhubungan dengan tindak komunikasi, yaitu
yang berkaitan antara pengirim dan penerima pesan. Proses tindak komunikasi ini
selaras dengan yang dinyatakan oleh Nord (1997: 16) bahwa suatu kegiatan
penerjemahan akan menjadi komunikatif bila kegiatan itu dilakukan melalui
suatu tanda yang dihasilkan dengan penuh maksud oleh seorang pengirim dan
diteruskan ke penerima. Ini berarti bahwa pengirim dan penerima membentuk
situasi komunikasi pada waktu dan tempat tertentu dengan menambahkan dimensi
budaya terhadap proses komunikasi tersebut. Dimensi budaya tersebut
mempengaruhi pengetahuan dan harapan pengirim dan penerima, kebahasaan
mereka, dan cara mereka mendapatkan situasi tertentu.
Sementara itu di dalam situasi komunikasi, pengirim dan penerima
diharapkan memiliki dasar yang sama dalam komunikasi agar komunikasi mereka
berhasil. Penerjemah di dalam hal ini adalah sebagai mediator kebahasaan dan
sekaligus mediator budaya. Penerjemah tidak hanya membutuhkan pengetahuan
yang menyeluruh mengenai bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya
sumber dan budaya sasaran. Meskipun penerjemah bukanlah pengirim Tsu,
penerjemah menghasilkan suatu teks komunikatif di dalam budaya sasaran yang
mengungkapkan maksud-maksud pada Tsu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
276
Namun demikian, seorang penerjemah juga harus mempertimbangkan
penulis Tsu dan pembaca Tsa. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah tidak
mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan dengan maksud penulis Tsu atau
gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu penerjemahan menjadi berterima di
dalam budaya sasaran. Hal ini berarti bahwa penerjemah harus berusaha
menghasilkan Tsa yang fungsional yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
penulis teks dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena memasukkan
pertimbangan-pertimbangan budaya tertentu.
5.2.3 Tanggapan Pembaca
Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 4.1.3 bahwa di dalam
menerjemahkan novel HT, penerjemah tidak hanya menerjemahkan maknanya
saja, namun ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dengan matang, yaitu
mengenai kemana arah pesan di dalam novel sumber yang akan disampaikan ke
pembaca, dan untuk tujuan apa terjemahan tersebut disampaikan, dalam arti
bahwa menarik dan tidaknya novel yang diterjemahkan akan sangat bergantung
pada cara penerjemah menyampaikan pesan yang ada di dalam novel tersebut
kepada para pembacanya.
Dengan mencermati pada sajian di atas, nampak bahwa di dalam
menerjemahkan karya susastra, gaya merupakan pilihan kata atau frase dari
pengarang dan bagaimana pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase
tersebut di dalam kalimat dan paragraf. Misalnya, seorang penulis mungkin
menggunakan kata-kata sederhana dan kalimat langsung, sementara penulis yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
277
lain mungkin menggunakan kosakata yang sulit dan mengelaborasi struktur
kalimatnya. Gaya seorang pengarang menentukan pilihan katanya dan penerjemah
menjadi seorang mediator yang harus memberikan berbagai pilihan padanan. Jadi,
pilihan kata yang menurut pengarang benar juga akan menjadi benar menurut
penerjemah. Lebih jauh, gaya dalam karya susastra tidak dapat dipisahkan dengan
makna atau pesan yang ada di dalam karya tersebut. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Saad (2003:6) bahwa karya susastra, misalnya puisi atau novel
tidak dapat menyampaikan pesan yang terpisah dengan bentuknya, keduanya baik
pesan dan bentuk harus seiring sejalan.
Masukan dari pakar penerjemahan yang menyatakan bahwa penerjemah
harus mempertimbangkan untuk siapa karya terjemahannya itu diperuntukkan dan
bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca, berarti bahwa penerjemah
harus menentukan ragam bahasa terjemahannya dan mempertahankan ragam
bahasa itu secara ajeg. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah harus
menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang
diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah, penerjemah
harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal sama berlaku
juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan sebuah
novel, maka penerjemah harus memunculkan gaya novel tersebut dalam
terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa novel tersebut tidak
seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah.
Pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara tepat, di samping tentunya
kesetiaan pada isi pesan. Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
278
pembaca yang bukan ahli dalam disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah
perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa
mengaburkan atau menghilangkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa
sumber. Kata-kata yang masih asing bagi mereka perlu dicarikan padanannya
dalam bahasa sasaran yang memungkinkan pembaca dapat memahami konsep
yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Sebaliknya, pembaca yang profesional
tidak begitu mengalami kesulitan dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang
diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah
yang rumit dan konseptual.
Lebih lanjut, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa
sumber tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya saja tetapi lebih dari satu
penggunaan gaya, maka penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan
berbagai pilihan ragam atau gaya yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa gaya pada dasarnya juga menunjukkan
keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata
penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam
Tsu.
Setelah membaca novel HT secara keseluruhan, menurut pakar
penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik, hal tersebut
karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan hal lain yang
membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT mengurangi atau
menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
279
Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh
penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal dari bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan akhir
penerjemahan (Zhu, 2004). Di dalam usaha mencari suatu padanan yang optimal
bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan banyak
masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan gramatikal,
semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan gramatikal,
semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka
diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa
penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur
(Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi
yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat
berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi
mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk
menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada
perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang
sepadan makna dan gayanya.
Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan
budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan
substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan. Penerjemah
perlu mempertimbangkan secara mendalam penggunaan gaya di dalam Tsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
280
Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa, penerjemah
dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam bahasa sasaran
yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya.
Sementara itu, hasil kuesioner yang telah dikumpulkan dari sampel
pembaca menunjukkan bahwa di dalam penerjemahan novel HT ke dalam novel
PL, mayoritas pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan di dalam
novel terjemahan PL terasa enak dibaca, bahasa yang digunakan di dalam novel
terjemahan PL mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan PL sangat
jelas, teks yang ada di dalam novel terjemahan lumayan mudah dipahami, dan
kata-kata yang digunakan sudah sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam
novel yang diterjemahkan.
Alasan secara umum yang dikemukakan oleh pembaca terhadap jawaban
kuesioner di atas (sebagaimana ditunjukkan di dalam subbab 4.1.3) adalah bahwa
bahasa yang digunakan tidak seperti novel terjemahan pada umumnya, kalimat-
kalimatnya selalu mengejutkan dan membuat pembaca semakin penasaran untuk
membaca terus dan mengetahui akhir cerita; meskipun di dalam novel terjemahan
banyak menggunakan istilah-istilah asing, namun penggunaan istilah tersebut
terasa enak dibaca dan tepat, dan bahasanya ringan; teks di dalam novel
terjemahan menggunakan kalimat-kalimat yang koheren, bahasanya jelas, dan alur
cerita mudah ditangkap; teksnya mudah dibaca dan dicetak jelas, bahasanya
ringan, segar, dan lucu, dan penulisan antar paragraf terjalin dengan baik; hasil
terjemahan dapat dengan jelas disampaikan kepada pembaca, kata-kata yang
digunakan saling terkait dan mewakili isi cerita, dan kata-kata atau istilah asing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
281
yang digunakan sering diberi informasi tambahan untuk memperjelas informasi
yang disampaikan. Namun demikian, terdapat beberapa bagian yang mudah
dipahami namun beberapa bagian yang lain di dalam novel harus dibaca dua kali,
terdapat teks yang agak membingungkan, beberapa kata yang agak kaku dan tidak
sesuai dengan struktur bahasa sasaran, dan alur cerita yang flash back sehingga
agak menyulitkan memahami cerita secara kronologis.
Alasan-alasan yang disampaikan oleh pembaca di atas menunjukkan
bahwa kesepadanan mutlak di dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel
PL sangatlah sulit dicapai. Hal tersebut wajar karena di dalam setiap bahasa
memiliki sistem yang berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk
maupun kaidah yang mengatur konstruksi gramatikal dan konsep terjemahan itu
sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep sendiri-
sendiri.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh William (2001) dan Nababan
(2008) bahwa suatu kesepadanan penerjemahan antara Tsa dengan Tsu sangatlah
problematik, hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin suatu teks memiliki
interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang sama dalam kesempatan
yang berbeda, penerjemahan merupakan interpretasi subjektif dari penerjemah,
dan tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana
tanggapan pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali
dibuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
282
5.2.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca
Dengan berbagai strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah,
yaitu mulai dari mempertimbangkan secara matang dan menyeluruh padanan yang
diberikan dengan cara menggunakan kemampuan mengungkapkan konteks yang
meliputi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki,
menetralisir, atau menaturalisasi kata-kata atau frase yang sulit, sampai dengan
menyelami dan mempraktekkan sendiri kata-kata atau frase yang sudah benar-
benar tidak diketemukan padanannya, namun sudah berada di dalam konteks yang
harus benar-benar dilakukan, dan kemudian mengambil keputusan untuk
menghilangkan kata atau menciptakan sendiri kata yang sepadan, mampu
menunjukkan atau menghasilkan terjemahan novel The Highest Tide ke dalam
novel Pasang Laut dengan baik, dengan bukti bahwa kesepadan makna dan gaya
ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya
bahasa diterjemahkan secara hampir sempurna dengan rerata 42.03%, sangat baik
dengan rerata 30,72%, baik dengan rerata 17,39%, atau secara keseluruhan
kualitas terjemahan tersebut termasuk ke dalam kategori terjemahan baik
(74,04%) dan berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil
kualitas terjemahan baik tersebut didukung oleh pendapat pakar penerjemahan
bahwa secara umum penerjemahan novel HT sangat baik dan pembaca novel yang
menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, bahasa mengalir
dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang
digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
283
Dengan kata lain, kualitas terjemahan (faktor objektif) novel HT yang termasuk
ke dalam kategori terjemahan baik atau berada sedikit di bawah kategori
terjemahan sangat baik dipengaruhi oleh penerjemah (faktor genetik) yang
memiliki latar belakang akademik penerjemahan, pengalaman profesi yang cukup
lama, dan beragam karya terjemahan novel, dengan kualitas terjemahan yang
didukung atau diperkuat oleh pendapat dari pakar penerjemahan dan pembaca
novel terjemahan (faktor afektif). Adapun keterkaitan tersebut dapat digambarkan
ke dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 5.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca Novel Terjemahan HT
Faktor Genetik Penerjemah memiliki: Pendidikan penerjemahan Pengalaman Beragam karya terjemahan
Faktor Objektif
Novel diterjemahkan
dengan baik (skor 74,04%)
Faktor Afektif
Pembaca mudah memahami novel
terjemahan
Sintesis
Kualitas terjemahan yang baik dipengaruhi oleh faktor genetik dan didukung oleh hasil/pendapat faktor afektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
284
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI TEMUAN, DAN REKOMENDASI
6.1 Simpulan
Berdasarkan pokok-pokok temuan dan pembahasan terhadap kesepadanan
makna dan gaya antara Tsu dan Tsa yang berhubungan dengan penerjemahan
bagian-bagian yang khas dalam novel, penerjemah, dan pemahaman pembaca
novel terjemahan, disimpulkan bahwa kesepadan makna dan gaya ungkapan-
ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di
dalam novel sumber The Highest Tide diterjemahkan ke dalam novel sasaran
Pasang Laut dengan kualitas terjemahan baik (74,04%) dan berada sedikit di
bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil penilaian ini bersifat relatif dan
berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan
gaya secara objektif sulit dicapai. Lebih lanjut, hasil klasifikasi menunjukkan
bahwa penggunaan makna sosiokultural dan makna leksikal dengan gaya yang
menggunakan berbagai pilihan kata di dalam Tsa sering muncul di dalam
terjemahan bagian-bagian yang khas novel HT. Namun demikian, persentase
tersebut tidaklah mengindikasikan dominasi atau superioritas dari penggunaan
makna dan gaya di atas. Persentase tersebut hanyalah menunjukkan tingkat
keseringan kemunculan makna dan gaya di dalam terjemahan bagian-bagian yang
khas novel HT.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
285
Kualitas terjemahan yang baik tersebut didukung oleh latar belakang
akademik, pengalaman profesi penerjemah, dan strategi yang dilakukan
penerjemah di dalam menerjemahkan kata-kata atau istilah-istilah khusus yang
ada di dalam novel HT, yaitu dengan cara mengungkapkan konteks yang
melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki,
menetralisir atau menaturalisasi kata yang akan diterjemahkan, dan menciptakan
sendiri kata atau frase yang sepadan.
Selain itu, kualitas terjemahan baik tersebut didukung oleh pendapat pakar
penerjemahan bahwa secara umum penerjemahan novel HT sangat baik dan
pembaca novel yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak
dibaca, bahasa mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat
jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di
dalam novel terjemahan. Namun demikian, terdapat beberapa kegagalan
penerjemahan novel HT di dalam menjembatani perbedaan karakteristik bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu ketidakajegan penerjemah di dalam
menerjemahkan istilah-istilah khusus dan pengubahan cara pandang dalam
menampilkan para pelaku antara Tsu dan Tsa.
6.2 Implikasi Temuan
Implikasi-implikasi dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Penerjemah novel yang profesional dengan latar belakang akademik yang baik
dan pengalaman profesi yang kuat berdampak positif terhadap kualitas
terjemahan yang dihasilkan. Dengan memiliki latar belakang akademik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
286
baik, seorang penerjemah novel memiliki ketrampilan khusus kebahasaan,
memahami dan menguasai kesusastraan, dan mampu menciptakan struktur
kalimat dengan cara menyesuaikan teks bahasa sasaran dengan teks bahasa
sumber sedekat dan seoptimal mungkin. Sementara itu, dengan pengalaman
profesi yang kuat, menunjukkan bahwa penerjemah adalah seorang penerjemah
yang profesional, yang terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya,
dan kualitas terjemahan yang dihasilkan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan
terjemahannya.
b) Kepandaian penerjemah di dalam mentransfer budaya bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia berdampak positif dan dapat dicontoh oleh penerjemah yang
lain di dalam menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Di dalam
menerjemahkan novel, penerjemah tidak hanya mempelajari karakter
kebahasaan Tsu dan Tsa, namun juga mempertimbangkan beberapa faktor
penting lain, yaitu waktu penyelesaian, alur cerita, gaya penyampaian, dan
sebagainya. Selain itu, penerjemah juga melakukan persiapan teknis, yaitu yang
berhubungan dengan software, internet, dan kamus. Penerjemah juga harus
memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan karakter khusus Tsu
dan istilah-istilah kunci di dalam teks dengan cara menyiapkan glosari.
Persiapan glosari ini dimaksudkan untuk membuka file atau membuat yang
baru dan biasanya berhubungan dengan software terjemahan. Ketrampilan-
ketrampilan tersebut secara umum diperlukan di dalam memahami isi Tsu
terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu
tersebut. Dengan kata lain, untuk memahami makna bahasa sumber,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
287
penerjemah tidak dapat hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-
kaidah bahasa sumber, tetapi juga harus mempertimbangkan konteks
digunakannya bahasa sumber itu. Hal yang sama terjadi ketika penerjemah
harus merekonstruksikan makna yang telah dipahaminya dari bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran. Penerjemah perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya
dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan
sebagainya.
c) Di dalam usaha mendapatkan kesepadanan terjemahan yang maksimal,
penerjemah novel perlu mempertimbangkan secara matang strategi di dalam
menerjemahkan hal-hal yang khas di dalam novel dan mempertimbangkan
bahwa prioritas utama di dalam menerjemahkan novel tidak hanya pengalihan
pesan secara akurat, namun juga penggunaan gaya. Penerjemahan novel yang
tidak mempertimbangkan strategi dan pemfokusan pada aspek makna saja akan
berdampak negatif terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan. Seorang
penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis
teks yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks
ilmiah, dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal
yang sama berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah
menerjemahkan sebuah novel, maka penerjemah harus memunculkan gaya
novel tersebut dalam terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa
novel tersebut tidak seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan
gaya bahasa ilmiah. Di dalam mempertahankan gaya, di samping tentunya
kesetiaan pada isi pesan, maka pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
288
tepat. Penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan
bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembacanya. Juga, dimungkinkan
sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak hanya terdapat satu jenis
ragam atau gaya bahasa saja tetapi lebih dari satu gaya bahasa, maka
penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya bahasa-gaya
bahasa yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, gaya
menunjukkan keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan
pilihan kata penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin
dengan gaya dalam Tsu.
d) Penerjemah perlu memikirkan dengan mendalam mengenai kualitas teks
susastra yang diterjemahkan dan pembaca novel. Pertimbangan ini sangat
penting dan berdampak positif terhadap keberterimaan hasil terjemahan
dengan pembaca sasaran. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah tidak
mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan dengan maksud penulis Tsu
atau gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu penerjemahan menjadi
berterima di dalam budaya sasaran. Penerjemah harus berusaha menghasilkan
Tsa yang fungsional yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis teks
dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena memasukkan pertimbangan-
pertimbangan budaya tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
289
6.3 Rekomendasi
Di dalam hubungannya dengan simpulan penelitian, beberapa saran
ditawarkan kepada pembaca potensial penelitian ini, yaitu ditujukan terutama
kepada para penerjemah, institusi penerjemahan, dan juga para peneliti lanjut
yang berhubungan dengan penelitian ini.
6.3.1 Kepada para Penerjemah
Latar belakang akademik, pengalaman profesi, dan beragam karya
terjemahan yang telah dihasilkan oleh seorang penerjemah sangat berpengaruh di
dalam menerjemahkan suatu novel. Oleh karena itu, (a) penerjemah, khususnya
penerjemah yang memfokuskan pada penerjemahan novel, perlu sekali membekali
diri dengan kompetensi dan keahlian akademik agar penerjemah memiliki
kompetensi kebahasaan, kesusastraan, dan penguasaan teori-teori penerjemahan
yang baik; (b) penerjemah juga perlu meningkatkan pengalaman profesinya, yaitu
dengan secara terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya;
(c) penerjemah perlu memiliki kompetensi profesional, kompetensi teknis,
kompetensi instrumental, dan ketrampilan di dalam menggunakan berbagai
strategi penerjemahan. Kompetensi dan ketrampilan tersebut sangat penting di
dalam memahami makna bahasa sumber dan merekonstruksi makna yang telah
dipahaminya itu ke dalam bahasa sasaran; dan (d) penerjemah novel perlu
mempertimbangkan secara matang penggunaan makna dan gaya di dalam
penerjemahannya. Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah novel
tidak hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
290
tetapi juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu.
Penerjemah perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran,
materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. Ke semua hal
tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang benar-benar
sepadan makna dan gayanya.
6.1.2 Kepada Institusi Penerjemahan
Jurusan penerjemahan sebagai satu-satunya jurusan yang mempersiapkan
para lulusannya memiliki kemampuan akademik dan ketrampilan yang kuat di
dalam menerjemahkan, sudah selayaknya apabila para calon penerjemah yang
dihasilkan oleh jurusan penerjemahan tersebut perlu dibekali tidak hanya
pengetahuan profesional mengenai teori-teori penerjemahan, namun juga
ketrampilan-ketrampilan praktis yang berhubungan dengan penerjemahan.
Ketrampilan-ketrampilan tersebut sejalan dengan perkembangan teknologi dan
persaingan di dalam memperebutkan lapangan pekerjaan. Salah-satu persyaratan
tersebut adalah kompetensi dan ketrampilan yang berhubungan dengan
pengoperasian software penerjemahan dan pencarian informasi di dalam internet
untuk membantu proses pengambilan keputusan di dalam menerjemahkan novel.
Untuk itu, silabus di dalam kurikulum penerjemahan perlu disesuaikan dengan
menambahkan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengoperasian software
penerjemahan dan ketrampilan pencarian informasi di dalam internet, yang pada
akhirnya mampu memfasilitasi kompetensi dan ketrampilan menerjemahkan para
lulusan penerjemahan secara holistik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
291
6.1.3 Kepada para Peneliti Lanjut
Penelitian ini memfokuskan pada analisis penerjemahan novel, khususnya
mengenai kesepadanan makna dan gaya di dalam penerjemahan novel. Di dalam
penelitian ini, kesepadanan penerjemahan novel dipertimbangkan tidak hanya
makna atau isi novel, tetapi juga gaya dalam terjemahan dengan memperhatikan
bahwa pencarian padanan makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai akan
menghasilkan terjemahan yang tidak lengkap dan tidak efisien. Untuk itu, bagi
peneliti lanjut, disarankan untuk melakukan penelitian sejenis, misalnya
mengkaji proses decision-making dalam proses menerjemahkan karya terjemahan
novel, mengkaji strategi yang paling mungkin digunakan dalam menerjemahkan
novel, dan mengkaji model proses penerjemahan novel sebagaimana yang
terangkum di dalam penelitian ini dengan lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan
untuk menguji lebih lanjut validitas model proses penerjemahan novel,
mengungkap kelebihan dan kekurangannya, dan memperbaiki dan merumuskan
model proses penerjemahan novel secara universal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
292
DAFTAR PUSTAKA Aguardo, Pilar. 2005. Translation-Strategies Use: A Classroom-Based
Examination of Baker’s Taxonomy. Online Translation Journal. Meta, vol. 50, n° 1, 2005, p. 294-311. (http:// http://id.erudit.org/iderudit/010675ar).
Aldebyan, Qusai Anwer. 2008. Strategies for Translating Arabic Cultural
Markers into English: A Foreignizing Approach. Ph.D. Dissertation. Arkansas: University of Arkansas
Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning 1. London: Routledge and Kegan Paul. Al-Qinai, Jamal. 2000. Translation Quality Assessment Strategies, Parametres,
and Procedures. Online Translation Journal. Meta, Vol. XLV, 3, 2000, pg 497-519. (http://www.erudit.org/en/revue/meta/2000/v45/n3/index.html, retrieved on 29 October, 2008).
Amstrong, Nigel. 2005. Translation, Linguistics, Culture. Great Britain:
Multilingual Matters Ltd. Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. Arif Subiyanto. 2007. Pasang Laut. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Asim Gunarwan. 2005. Pragmatik dalam Penilaian Terjemahan: Pendekatan
Baru? Artikel disajikan dalam International Conference on Translation di Solo 14-15 September 2005.
Baikoeni, Efri Yoni. 2008. Bahasa ‘Jargon’ dan ‘Argot’. Online Article.
(http://baikoeni.multiply.com/journal/item/136, retrieved on 3 April 2008).
Baker, Mona. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation, London:
Routledge. Baker, Mona.(2001) (Ed.). Routledge Encyclopedia of Translation Studies.
London: Routledge.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
293
Basnett, Susan. 2002. Translation Studies (Third edition). London/New York: Routledge, Taylor & Francis Group.
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London:
Longman Group Ltd. Bolaños Cuellar, Sergio. 2008. Towards an Intergrated Translation Approach:
Proposal of Dynamic Translation Model. Ph.D. Dissertation. Hamburg: Hamburg University.
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory on Translation. London: Oxford
University Press. Chandler, Raymond. 2004. Words about Words-Raymond Chandler Speaking.
(http://www. Wordspy.com/waw/Chandler-Raymond.asp) Chesterman, Andrew. 1997. Memes of Translation. Amsterdam: John Benjamins
B.V. Duff, Alan. 1981. The Third Language: Recurrent Problems of Translation into
English. England: Pergamon Press. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta:
UNS Press. Edi Subroto. 1999. Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dalam Bahasa
Indonesia. Surakarta: PPs UNS. Enkvist, Nils Erik. 1964. Linguistics and Style. London: Oxford University Press. Even, Itamar-Zohar. 1997. Polysystem Studies. Online Translation Journal.
Poetics Today. International Journal for Theory and Analysis of Literature and Communication Volume 11, Number 1.
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press. Fawcett, Peter. 1997. Translation and Language: Linguistic Theories Explained,
Manchester: St Jerome Publishing Gerzymisch, Heidrun-Arbogast. 2001. Equivalence Parameters and Evaluation.
Germany: University of Saarbrucken. Gorys Keraf. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
294
Hardi, Thomas. Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia 2004.(http://Encarta.msn.com©)1997-2004 Microsoft Corporation.
Hardi, Thomas. 2004. Translation: An Advanced Resource Book. London/New
York: Routledge, Taylor & Francis Group. Hemingway, Ernest Miller. Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia
2004.(http://Encarta.msn.com©)1997-2004 Microsoft Corporation. House, Juliane. 1977. A Model for Translation Quality Assessment, Tübingen:
Gunter Narr. House, Juliane. 2001. Translation Quality Assessment: Linguistic Description
versus Social Evaluation. Online Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 243-257. (http://www.erudit.org).
Ibrahim, Fatima Ahmed. 2008. Problems of Dynamic Equivalence in Translation.
Online Translation Article. (http://www.TranslationDirectory.com) Israel, Michael. 2004. Common Sense and ‘Literal Meaning’ . Online Journal of
Semantics. XX. 1-31. (http://www.Israel-Literalism.com) Jakobson, Roman. 2000. 'On Linguistic Aspects of Translation', in R. A. Brower
(ed. 1959) On Translation, Cambridge, MA: Harvard University Press. James, Kate. 2002. Cultural Implications for Translation. Online translation
Article. (http://accurapid.com/journal/22delight.htm) Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Malaysia: Percetakan Dewan
Bahasa dan Pustaka. Landers, Clifford E. 2001. Literary Translation. A Practical Guide. Sydney:
Multilingual Matters ltd. Larson, Mildred L. 1984. Meaning based Translation. A Guide to Cross
Language Equivalence. New York: University Press of America, Inc. Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan Berdasarkan Makna. Terjemahan
Kencanawati Taniran. Jakarta: Arcan. Leech, G & M. Short.1981. Style in Fiction. A Linguistic Introduction to English
Fictional Prose. London: Longman. Leonardi, Vanessa. 2000. Equivalence in Translation: Between Myth and Reality.
Online Translation Journal, 4, 4, 1-14. (http://accurapid.com/journal/14equiv.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
295
Lynch, Jack. 2001. Guide to Style and Grammar.
(http://www.andromeda.rutgers.edu.) Lynch, Jim. 2005. The Highest Tide. New York: Bloomsbury Publishing. Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge
University Press. Martha Budianto. 2007. Kajian Penerjemahan Film (Subtitling) Berbahasa
Inggris ke dalam Bahasa Indonesia (Sebuah Studi Kebijakan). Disertasi S3 PPS UNS Surakarta.
Motsch, Wolfgang & Renate Pasch. 1987. "Illokutive Handlungen: Satz, Text,
prachliche Handlung (= .Studia grammatical, 25) disunting oleh Wolfgang Motsch, II -79. Berlin: Akademic -Vlg.
Minhui, Xu. 2010. On Scholar Translators in Literary Translation: A Case Study
of Kinkley’s Translation of “Biancheng”. Hong Kong: The Hong Kong Polytechnic University.
Munday, Jeremy. 2000. Introducing Translation Studies. London/New York:
Rutledge. Nababan, Rudolf. 2008. Equivalence in Translation: Some Problem-Solving
Strategies. Online Translation Article. (http:// http://www.proz.com/doc/2071)
Nababan, Rudolf. 2003. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Surakarta:
Pustaka Pelajar. Nababan, Rudolf. 2003. Arah Penelitian Penerjemahan. Artikel disajikan dalam
Kongres Nasional Penerjemahan di Solo, 15-16 September 2003. Nababan, Rudolf. dkk. 2004. Keterkaitan antara Latar Belakang Penerjemah
dengan Proses Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Penerjemah Profesional di Surakarta). Laporan Penelitian. Surakarta: PPs UNS.
Nababan, Rudolf. 2004. Translation Processes, Practices, and Products of
Professional Indonesian Translators. Unpublished Dissertation. New Zealand: Victoria University of Wellington.
Nadar, F.X. 2005. Materi dan Teknik Pengajaran Penerjemahan. Artikel
disajikan dalam International Conference on Translation di Solo 14-15 September 2005.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
296
Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Germany: Pergamon Press. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. UK: Prentice Hall
International. Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translating. Leiden: E.J. Brill. Nida, Eugene A and Ch. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation.
Helps for Translators. Den Hags: Brill. Nida, Eugene A. 1975. Language Structure and Translation. California: Stanford
University Press. Nieminen, T. (2004). The Value of Register, Text Type and Genre for Translation
and Translation Assessment. ( http://www.uta.fi/) Nord, Christiane. 1991. Text Analysis in Translation. Theory, Methodology, and
Dicdactic Application of a Model for Translation-Oriented Text Analysis. Amsterdam: Rodopi B.V.
Nord, Christiane. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist
Approaches Explained. Manchester: St. Jerome Publishing. Pinto, M. (2001). Quality Factors in Documentary Translation. Online
Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 288-300. (http://www.erudit.org).
Pym, Anthony. 2005. On Toury’s Laws of How Translators Translate. Translation
Article. Intercultural Studies Group. Universitat Rovira, Virgili Tarragona, Spain. (http://www.tinet.cat/~apym/publications/publications.html)
Pym, Anthony.2007. On History in Formal Conceptualizations of Translation.
Translation Journal. Intercultural Studies Group. Universitat Rovira i Virgili Tarragona, Spain. (http://www.tinet.cat/~apym/on-line/translation/translation_ny.pdf)
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika. Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Read Me First Network. 2003. Understanding Style.
(http://goodtools.net/pages/SUNstyle/style.net.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
297
Riazi, Abdolmehdi. 2008. On the Test Methods and Translation Criteria Used to
Assess Iranian Students’ Translations in Translation Courses. Online Translation Article.(http://www.TranslationDirectory.com).
Rochayah Machali. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. Saad, Ibrahim. 2003. Language and Choice for Learning/Translating English.
(http://accurapid.com/journal). Saeed, John I. 2000. Semantics. UK: Blackwell Publishers Ltd. Sandell, Rolf. 1977. Linguistic Style and Persuasion. New York: Academic Press
Inc. Searle, John R. 1979. "Literal Meaning". Expression and Meaning. Studies in the
Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Shiyab, Said, et al. 2003. Can Literary Style Be Translated? Journal Article in
Editions UNESCO 1. France. http://accurapid.com/journal. Snell-Hornby, Mary.1988. Translation Studies: an Integrated Approach,
Amsterdam and Philadelphia: John Benjamins. Sudarno, AP. 2008. Evaluasi Terjemahan Buku-buku Teks di Bidang Rancang
Bangun. Disertasi S3 PPS UNS Surakarta. Sumarno, Thomas. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang
Penerjemahan, Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris, dan Tipe-Tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.. Disertasi S3 Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Sumarno, Thomas. 1997. Proses dan Hasil Terjemahan. Haluan Sastra Budaya no
32, Th. XVI. Oktober 1997. Surakarta: FSSR UNS. Sumarno, Thomas. 1999. Makna dalam Penerjemahan. Makalah dalam Seminar
Nasional Semantik I di UNS Surakarta. Sumarno, Thomas. 2003. Menerjemahkan itu Sulit dan Rumit. Makalah disajikan
dalam Kongres Nasional Penerjemah 15-16 September 2003. Surakarta.
Suparman. 2003. Terjemahan dalam Sastra. Artikel disajikan dalam Kongres
Nasional Penerjemahan di Solo, 15-16 September 2003.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
298
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press. Thriveni, C. 2002. Cultural Elements in Translation. Online Journal Article,
Volume 6, No.1. January 2002. (http://accurapid.com/journal/19culture.htm)
Toolan, Michael J. 1990. The Stylistics of Fiction. A Literary-Linguistic
Approach. London: Routledge Toury, G. 1995. Descriptive Translation Studies and Beyond. Amsterdam: John
Benjamins. Toury, G. 2000. The Nature and Role of Norms in Translation. In L. Venuti. The
Translation Studies Reader (hal. 198-211). London: Routledge. Turner, Mark. 1991. Reading minds: the Study of English in the Age of Cognitive
Science. Princeton, NJ: Princeton University Press. Vermeer, H. J. 2000. Skopos and commission in translational action (A.
Chesterman, Trans.). In L. Venuti (Ed.) The Translation Studies Reader (pp. 221-32). London: Routledge.
Vinay, J.P. and J. Darbelnet. 1995. Comparative Stylistics of French and
English: a Methodology for Translation, translated by J. C. Sager and M. J. Hamel, Amsterdam / Philadelphia: John Benjamins.
Wales, K. 2001. A Dictionary of Stylistics. London: Longman. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1977. Theory of Literature.London: Harcourt
Brace Javanovich Publisher. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1989. (Edisi Terjemahan). Teori Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia. Williams, M. 2001. The Application of Argumentation Theory to Translation
Quality Assessment. Online Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 326- 344.(http://www.erudit.org)
Xiaoshu, Song. 2003. Translation of Literary Style. Journal of Translation,
Volume 7, Number 1. Chinese Translators Journal. (http://accurapid.com/journal/23style.htm)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
299
Yang, Caixia. 2010. Strategies of Transmitting English Cultura Elements into Chinese: Reflexion on E-C Literary Translation in China. China: Renmin University of China.
Zhonggang, Sang. 2006. A Relevance Theory Perspective on Translating the
Implicit Information in Literary Texts. Journal of Translation, Volume 2, Number 2. China: Chinese Translators Journal.(http://accurapid.com/journal)
Zhu, Chunshen. 2004. Ut Once More: The Sentence as the Key Functional Unit of
Translation. Online Translation Journal. Meta: Translators' Journal, vol. 44, n° 3, 2004, p. 429-447. (http://id.erudit.org/iderudit/004644ar)
Zuchridin Suryawinata. 1982. Analisis dan Evaluasi terhadap Terjemahan Novel
Sastra the Adventures of Huckleberry Finn dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Unpublished Dissertation. Malang. IKIP Malang, Pascasarjana.
Zuchridin Suryawinata. 1989. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
300
BIODATA
Nama : Masduki Tempat/tanggal lahir : Kediri, 01 April 1973 NIP : 197304012003121001 Institusi tempat kerja : Universitas Trunojoyo Madura Jurusan : Sastra Inggris Alamat Korespondensi: Perum Seruni C5 Banyuajuh
Kamal Bangkalan Madura E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan 1997 Lulus S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri Malang 2003 Lulus S2 Pendidikan Bahasa Inggris PPS Universitas Negeri Malang 2011 Studi S3 Linguistik Penerjemahan PPS UNS Solo Kegiatan Ilmiah 5 Tahun Terakhir 2006 Seminar Establishing the Indonesian Translator Community di Solo 2007 Pelatihan Curriculum for Department of Letters di Universitas Negeri Malang 2007 Kursus Singkat Specialist Certificate on Curriculum and Materials Development di
RELC, Singapura 2008 Sandwich Program Professional Practicum Program di University of New South
Wales, Australia 2009 Seminar and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing di
Politeknik Negeri Malang 2009 Pelatihan Meningkatkan Kesadaran Lingkungan Melalui Kritik Sastra Berperspektif
Lingkungan di Universitas Airlangga Surabaya 2010 Seminar Internasional FIT Sixth Asian Translators’ Forum di University of Macau,
Cina Penelitian dan Publikasi Ilmiah 5 Tahun Terakhir 2006 Studi Kepedulian Laki-laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan. Research
Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2006 Meningkatkan Kemampuan bahasa Inggris Mahasiswa Non-English Department
melalui Program Intensive Course Model B. Research Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2007 Studi Efektivitas Pembelajaran bahasa Inggris Anak Usia Sekolah Dasar di Tempat-
tempat Kursus di Kabupaten Bangkalan. Research Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2010 Memaknai Interaksi Lintas Bahasa dan Budaya dalam Konteks Lokal. Jurnal
PROSODI Sastra Inggris Unijoyo, Vol. 4, hal 31-40 2010 Kompetensi Wacana dalam Penerjemahan (Perspektif Multikultural). Prosiding
Semnas Unijoyo, Hal 187-199 2011 Examining A Novel Translation Equivalence: A Holistic Criticism Approach.
Prosiding FIT Asian Translator’s Forum, Macau, page 559-575
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
301