Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)
-
Upload
bhutabarat -
Category
Business
-
view
502 -
download
0
description
Transcript of Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)
STULOS 7/2 (Agustus 2007)
PERSPEKTIF KRISTEN TENTANG HAK KEBEBASAN BERAGAMA DI DALAM
DEKLARASI UNIVERSAL HAM
Binsar Antoni Hutabarat, M.C.S
PENDAHULUAN
Hak Kebebasan beragama sebagaimana yang dituangkan di
dalam Deklarasi Universal HAM diakui sebagai Deklarasi HAM manusia
modern, karena baru dicetuskan pada abad ke 20. Pernyataan ini tidak
boleh diartikan bahwa Kekristenan sebagai agama yang hadir jauh
sebelum Deklarasi Universal HAM itu tidak memiliki pengakuan atas
HAM, khususnya tentang kebebasan beragama.
Sejarah kekristenan melaporkan bahwa ada intoleransi agama
Kristen terhadap agama-agama lain, namun, sesungguhnya itu bukanlah
bagian dari kebenaran Kristiani. Jika ditelusuri secara lebih mendalam isi
dari Deklarasi Universal HAM itu sendiri sesungguhnya, sangat
dipengaruhi pemikiran Kristiani. Itulah sebabnya jika kekristenan
mendukung HAM, itu bukanlah suatu kompromi, melainkan suatu
perjuangan nilai yang didasarkan pada Alkitab.
Tulisan ini akan memaparkan “Hak Kebebasan Beragama dari
sudut pandang Iman Kristiani dalam konteks Deklarasi Universal HAM”,
secara khusus dalam pasal 1 dan 18, dengan terlebih dahulu menguraikan
secara singkat mengenai sejarah pemikiran Deklarasi Universal HAM,
baru akan diuraikan mengenai sejarah pemikiran hak kebebasan
beragama yang tertuang dalam pasal 1 dan 18 dari Deklarasi Universal
HAM, kemudian penulis akan memaparkan pandangan Kristiani
mengenai HAM, secara khusus tentang kebebasan beragama dalam
96 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
konteks Deklarasi Universal HAM.
DASAR DASAR PEMIKIRAN DEKLARASI UNIVERSAL HAM
Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai ideologi
internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Meski implementasi dari
HAM tersebut pada banyak Negara masih sangat memprihatinkan,
namun, adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu
tentu merupakan suatu prestasi penting.1 Apabila deklarasi tersebut
dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu
negara, maka HAM mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam
suatu negara.
Sejak diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu
telah banyak mempengaruhi banyak negara di dunia untuk
melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi
tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada,2
demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah
tumbangnya rejim yang otoriter.
Deklarasi Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi
pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas dasar
pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan
melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya.
1 Ibid., hl. xvi-xi2 B.S. Mardiatmaja, “Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Teologi Katolik”
dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, E.Shobirin Nadj dan Naning Mardinah, ed. ( Jakarta: Cesda LP3ES, 2000), h. 73.
JURNAL TEOLOGI STULOS 97
Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena ia terlahir sebagai manusia,3
secara eksplisit itu dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal
HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah
serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota
umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan
perdamaian didunia.”4 Pandangan tersebut berlandaskan pada hukum
kodrat yang dicetuskan oleh John Locke.5Karena itu tidaklah
mngherankan jika Rhoda seorang pengamat tentang hak-hak asasi
manusia mengatakan,
“Hak asasi manusia adalah masalah sekuler: hak ini berasal dari
pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan keputusan
Ilahi. Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih
terjamin kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar
keagamaan ini tidak mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari
deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya.
Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti harus universal,
tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya
sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan
didasarkan pada agama, melainkan pada masyarakat sekuler,
pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang diperlukan
3 Kita dapat menelusuri asal-usul hak-hak asasi manusia itu kepada teori-teori filsafat tentang “hukum kodrati” suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Menurut teori ini, individu sebagai manusia membawa dalam dirinya sendiri sejak lahir hak-hak asasi tertentu yang tidak dapat dihilangkan. David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif Kesejarahan,” hl. 2. Dalam Davies, Hak-Hak asasi Manusia, hl. 2.
4 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), hl. 261.
5 “Teori Lock itu mulai dengan suatu keadaan alam pra sosial di mana individu-individu yang sama memiliki hak-hak kodrati akan kehidupan, kebebasan, dan harta warisan. Namun karena tiadanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu hampir-hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab konflik yang hebat. Oleh karena itu, rakyat membentuk masyarakat, dan masyarakat menciptakan pemerintahan guna memungkinkan mereka sendiri menikmati hak-hak kodrati” George Clack (ed), Hak Asasi manusia, terj. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 4.
98 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
semua orang untuk hidup bermartabat”6
Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk menanggapi pandangan
yang menolak universalitas dari HAM. Pemahaman Rhoda tentang HAM
yang bersifat universal itu juga merupakan penelusuran konsep HAM
modern yang memang dipelopori oleh para filsuf, secara khusus John
Locke. Sayangnya, Rhoda tidak menganalisa, darimanakah asalnya
pikiran masyarakat sekuler tersebut.
Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan memiliki
martabat yang sama, sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi Universal
HAM yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, merupakan sesuatu yang
berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen. Yaitu diatas pengakuan
manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Memang pemahaman
bahwa manusia dikarunia akal serta hati nurani dan harus bergaul dalam
semangat persaudaraan berasal dari pikiran pencerahan.7
Untuk memahami pengaruh kekristenan dan Yahudi dalam
pembentukan pemikiran hukum kodrat John Lock, dapat ditelusuri
dengan mempelajari sejarah pembentukan pemikiran Barat. Baik di
Inggris maupun Amerika, tempat dimana pemikiran HAM yang modern
dikembangkan. Pengaruh kekristenan terhadap institusi legal nyata ketika
agama Kristen menjadi agama negara pada waktu pertobatan
Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara dipengaruhi oleh
pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan dalam
lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami,
heterosexual dan seumur hidup.
Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak
untuk kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah.
6 Rhoda E.Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,2000), hl. 19.
7 Wolfgang Huber, “Human Rights and Biblical Legal Thought” dalam Religious Human Rights in Global Perspective (religious Persfectives), John White Jr. dan Johan D.Von der Veyner, ed., (London: Martinus Nijhoff Publisher), h. 60.
JURNAL TEOLOGI STULOS 99
Reformasi mengakui bahwa semua manusia memiliki martabat yang
sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran bahwa semua
manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan negara.
Pemahaman manusia memiliki martabat yang mulia dan
kesederajatan tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap Deklarasi
Amerika dan Perancis. Munculnya dasar lain selain agama dalam
pembentukan sistem perundang-undangan negara baru terjadi setelah
terjadi konflik sektarian yang melahirkan perang berdarah,8 Namun tidak
berarti nilai-nilai kebenaran Kristen tidak lebih baik dari standar sekuler
yang kemudian melahirkan HAM dalam perspektif masyarakat modern,
karena pikiran sekuler tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran agama
yang telah mengalami sekularisasi. Tanpa memahami perkembangan
tahapan itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik.9
Pikiran Rhoda yang ingin mengabaikan agama dengan
menganggap HAM adalah buah karya masyarakat sekuler dengan tidak
mempertimbangkan pentingnya pengaruh agama juga akan
mengakibatkan terciptanya jurang antara Barat dan non Barat.10 Karena
bagi orang-orang yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Kongfucu
hukum dan agama memiliki kesatuan yang dalam, sehingga menganggap
HAM hanyalah buah pikiran manusia sekuler dan tidak
mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukan HAM justru akan
melahirkan penolakan terhadap HAM yang bersifat universal.
Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, Karena pernyataannya dianggap sebagai
penetapan yang paling awal dari HAM secara konstitusional,11 Maka
Locke dianggap sebagai peletak dasar dari HAM jaman modern.
8 Huber, Religious Human Rights. hl. 51.9 Ibid., hl. 52.10 Ibid., hl. 54.11 Gunawan Setiardja, Hak-hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 83.
100 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
Sehingga lahirnya HAM dalam konsep modern tidak dapat dianggap
sebagai buah karya masyarakat sekuler semata-mata (produk Barat),
karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat sarat dengan
pemikiran Kristen, dan itu ada dalam pikiran John Locke, karena John
Locke seorang pemeluk agama Kristen dan seorang anggota jemaat dari
Church of England.12
Mengenai pengaruh pikiran John Locke dalam isi Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat David Weissbrodt menjelaskan sebagai
berikut:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776
menyatakan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua
orang untuk hidup, untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-
hak ini diturunkan dari teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang
mengatakan bahwa individu itu pada kodratnya otonom. Begitu
masuk ke dalam masyarakat, otonomi setiap individu bergabung
membentuk kedaulatan rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat
yang tidak dapat dihilangkan itu telah berubah menjadi hak untuk
memerintah diri sendiri (self government) termasuk hak untuk
menentukan dan mengubah pemerintahnya. Namun masing-
masing individu juga masih tetap memiliki beberapa otonominya
yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri
tidak boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak yang
masih dimiliki itu telah menyebabkan masing-masing negara
bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan Bill Of Rights
kepada Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.13
Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan hasil dari
analisis kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk suatu
12 Lauren S.Bahr dan Bernard Johnston (ed.), Collier’s Encyclopedia, vol.14 (New York : 1992), hl. 719.13 Davis, Hak-Hak asasi Manusia, h. 8.
JURNAL TEOLOGI STULOS 101
pemerintahan. Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum
kodrat yang terkait erat dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut
tertuang dalam pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
ditulis oleh Thomas Jefferson seperti berikut:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan
sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa
penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang
tidak dapat dicabut; bahwa di antara hak-hak ini adalah hak
untuk hidup bebas dan mengejar kebahagiaan- bahwa untuk
menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan,
yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan
persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja
suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat
berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.14
Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat
yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan
keagamaan, bukan sekuler. Jelaslah, Pengakuan HAM tidak dapat
dilepaskan dengan pengaruh kekristenan.
Pengakuan akan hak-hak Asasi manusia sebagaimana tertuang
dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ada dalam Deklarasi
Perancis tentang hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789.15
Naskah Deklarasi Perancis ini diberi judul Deklarasi Hak Manusia dan
Warga negara. Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa manusia memiliki
hak yang “kodrati” yang melekat pada manusia dan tak dapat dicabut,
pernyatan tersebut terdapat dalam pasal 1 Deklarasi Hak Manusia dan
Warga Negara tertanggal 26 Agustus 1789, yang mengatakan bahwa:
14 Scott Davidson, Hak-hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1999), h. 2.
15 “Pasal 2 Deklarasi Perancis menyatakan bahwa: Tujuan masyarakat politik adalah mempertahankan hak-hak manusia yang alami dan yang tidak dapat diganggu gugat. Hak-hak ini meliputi kebebasan, milik, keamanan dan perlawann menentang penindasan” ( Setiarja, Hak-hak asasi Manusia, hl 84).
102 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
“Semua manusia terlahir dan tetap selalu dalam kebebasan dan
persamaan hak. Perbedaan kedudukan dalam masyarakat hanya dapat
didasari oleh kemanfaatan manusia.” Kemudian dalam pasal 4 dinyatakan
bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang
tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas pelaksanaan
hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan pelaksanaan
hak kodrati bagi anggota lain masyarakat. Batas-batas tersebut hanya
dapat ditentukan oleh hukum”.16 Perbedaannya adalah, jika Amerika
Serikat berjuang untuk merdeka, maka Perancis berjuang menghancurkan
sistem pemerintahan yang absolut dan mendirikan negara demokrasi.17
Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional
dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Perancis pada abad
XVII di Eropa sudah banyak orang berpikir tentang masalah HAM. Hal
ini tidak mengherankan karena pada tahun 1215, di Inggris, lahir Piagam
Mulia (Magna Charta) hasil perjuangan kaum bangsawan melawan
kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi batasan yang jelas dan tegas
terhadap kekuasaan raja yang absolut.18 Piagam Mulia ini menjadi induk
bagi perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern.19 Apabila
HAM dipahami sebagai hasil dari pemikiran masyarakat sekuler semata-
mata, maka secara bersamaan HAM akan dianggap sebagai sesuatu yang
dilahirkan oleh budaya Barat dan tidak harus diterima oleh non Barat.
Jadi pemahaman tentang HAM yang menyeluruh merupakan sesuatu
yang amat penting dalam memahami sifat HAM yang bersifat universal.
Percakapan dan penghormatan HAM juga sudah ada sejak
sebelum Masehi. Pada jaman Yunani kuno, abad kedua sebelum Masehi,
seorang ahli hukum Romawi kuno bernama Cicero mencetuskan
16 Lih Jerome Samuel dan Sidney Peyroles, editor, Dua Abad Perkembangan Undang-Undang Dasar Perancis, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991), hl.1-7.
17 S. Baut Paul,dan Benny Herman K (ed), Kompilasi Hak Asasi Manusia ( Jakarta: YBHI, 1998), hl. 5.
18 Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusi, hl. 74.19 Davidson, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 2.
JURNAL TEOLOGI STULOS 103
pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah
sama dan semua manusia dilahirkan bebas”.20 Tetapi apabila ditarik lebih
jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan
kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama
melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah
(Kejadian 1: 26). Jadi, martabat manusia yang mulia bukan ada dengan
sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah. Tidak
seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu
sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan
terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya. Walaupun
pada abad XIX Gereja Katolik secara organisasi merupakan pendukung
pemerintahan monarkhi dan menolak HAM, sikap gereja itu bukan
didasarkan pada Alkitab, tetapi lebih disebabkan oleh trauma yang
dialami gereja pada waktu Revolusi Perancis yang menghukum mati
ribuan imam Katolik karena tidak mau mengucapkan sumpah pada
konstitusi.21 Puncak penolakan kebebasan beragama dalam gereja Katolik
terjadi pada tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi
dikutuk sebagai kesesatan.22 Sikap gereja yang melakukan pelanggaran
HAM juga nyata dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja
Katolik dan aliran Protestan yang dianggap bidat.23 Namun tindakan-
tindakan salah gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui
tindakan tersebut. Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja
mendukung penegakan HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes
Paulus II yang memuji Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan
sendi yang mendasar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.24 Calvin seorang
20 A.M.Fatwa, “Hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama Dan Ketahanan Nasional” dalam HAM Dan Pluralisme Agama, Anshari Thayib dkk, ed, (Surabaya: PKSK), hl. 28.
21 Franz Magnis Suseno, “Hak Asasi Manusia Dalam Theologi Katolik Kontemporer” dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, Shobirin Nadj, Naning Mardinah, ed., ( Jakarta: Cesda LP3ES), h. 86.
22 Ibid., hl. 87.23 Ravitch, Diane dan Thernsrom, Abigail (ed), Demokrasi: Klasik Dan
Modern, ( Jakarta: Yayasan Obor, 2005), hl. 54-71.24 Davies, Hak Asasi Manusia, hl. 35.
104 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
tokoh reformator Protestan juga pernah mendapat pujian sebagai pioner
kebebasan hati nurani dan HAM.25
Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa semua agama besar
di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama
lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat
kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama
terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti
politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah
perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma yang
dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta
perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan
proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik.26 Perjuangan HAM yang
bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan
Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan
kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional
tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir
tanggal 10 Desember 1948.27 Dan piagam tersebut oleh majelis PBB
ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua
puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of
Rights Amerika Serikat.28 Karena itu tidaklah mengherankan jika
Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya
25 John Witte Jr., “Moderate Religious Liberty In Theology Of John Calvin” dalam Religious Liberty in Western Thought, Noel B. Reynolds and W. Cole Durham Jr., ed. (Atlanta: Scholars Press, 1996), hl. 84.
26 Barulah seusai malapetaka perang dunia ke II, hukum hak asasi manusia Internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas, kekejaman NAZI terhadap penduduknya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usaipun sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup komitmen untuk melindungi hak asasi manusia, Scott David, Hak Asasi, h. 15.
27 A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 85.28 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negri ( Jakarta:
Yayasan Obor), hl. 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 105
dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati.
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB sebagai standar
umum bersifat tidak mengikat, karena itu dalam usaha untuk menegakkan
HAM yang bersifat universal lahirlah konvensi-konvensi yang bersifat
mengikat.
SEJARAH HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN
PENDEKLARASIANNYA
Hak Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Universal HAM
merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia, hal tersebut
dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1
dan 18 yang berbunyi:
Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam
martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus
saling bergaul dalam semangat persaudaraan (pasal 1). Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama
atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi, atau bersama-
sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi,
untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran,
praktek, ibadah dan kataatan (pasal 18).29
Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata
dengan adanya pengakuan kebebasan beragama dalam “The Peace of
Westphalia” tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30 tahun. Pada
29 James.W Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utam,1996), hl. 262-65.
106 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam negara
Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam negara Protestan.
Westphalia pada waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama.30
Pemisahan total antara agama dan negara yang merupakan kelahiran
negara sekuler dipelopori oleh pengakuan “Peace of Westphalia” dan
pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler
Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama.
Dokumen Peace of Westphalia juga dianggap sebagai karya
manusia modern. Sehingga pangakuan kebebasan beragama juga
dianggap produk masyarakat sekuler. Mengenai kesepakatan “Peace of
Westphalia”, Thamrin Amal Tomagola menjelaskan seperti berikut:
Kesepakatan itu sendiri sebenarnya merupakan anak kandung
dari proses Renaissance yang telah bergulir sejak abad 13 di
sana. Proses ini secara signifikan mempreteli kekuasaan gereja
dan memunculkan negara sekuler. Negara sekuler ini selain
mengharuskan pemisahan agama dari negara, ia juga didirikan
berlandaskan asumsi bahwa individualisme telah menjadi
kenyataan dan berperan nyata sebagai pilar-pilar negara.
Dicanangkannya individu-individu yang mandiri ini secara
asertif mampu melepaskan diri baik dari ikatan dan tekanan
kolektiva suku maupun agama (umat).31
Pandangan Thamrin Amal Tomagola nampak sejalan dengan
Rhoda yang menganggap bahwa HAM, secara khusus kebebasan
beragama merupakan karya masyarakat sekuler. Sebagaimana Rhoda
yang tidak mencoba melihat perkembangan pemikiran Barat yang
dipengaruhi oleh kekristenan dan Yahudi, demikian juga Thamrin tidak
30 Leonard.M. Hammer, The InternationalHuman Rights to Freedom of Conscience (Dartmouth: Ashgate, 2001), hl.14-5.
31 Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju Nasionalisme, makalah seminar mengenang 100 tahun Dr. Yohanes Leimena. Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005.
JURNAL TEOLOGI STULOS 107
melihat bahwa perkembangan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya
kesepakatan “Peace of Westphalia,” yaitu pengaruh kekristenan dan
Yahudi yang mempengaruhi pemikiran Barat. Penafsiran HAM sering
dianggap merupakan produk sekuler pada saat ini juga karena teolog-
teolog Kristen kurang memaparkan bahwa HAM dipengaruhi oleh
kekristenan karena dorongan untuk menjelaskan HAM dari sudut
pandang kekristenan baru mulai sekitar tahun 1970.32
Pengakuan hak kebebasan beragama sesungguhnya tidak boleh
dianggap sebagai karya manusia sekuler semata-mata, dan dokumen
“Peace of Westphalia” bukan semata-mata lahir oleh pemikiran
Renaissance, tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat yang memiliki pengaruh terhadap dimasukkannya
kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM yang dianggap
dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuif jaman modern
yangjuga yang adalah seorang Kristen.33 Pernyataan Hak Kebebasan
Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat dilindungi
oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (negara sekuler)
dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam
tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang dia tulis
ketika berada dalam pengasingan di Belanda tahun 1965.34 Mengenai
pemisahan antara agama dan negara, Locke menjelaskan sebagai berikut:
Kekuasaan sipil akan sama di mana saja: di tangan seorang raja
Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada gereja, dibanding dengan seorang
kafir…Dari mana pun asalnya kekuasaan tersebut, karena
bersifat gerejawi, kekuasaan tersebut harus terbatas dalam batas-
32 Huber, Religious Human Rights., h. 47.33 Lih. W.Cole Durham, “Perspectives on Religious Liberty: A Comparative
Framework” dalam Religious Human Rights in Global Perspectives, Legal Perspectives, ed by White John and John D. Von der Veyner (London: Martinus Nijhoff Pub, 1966), hl. 3-12.
34 John Locke, “A Letter Concerning Toleration” dalam. Demokrasi Klasik dan Modern, Revitch, Diane & Thernstrom, Abigail, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 55.
108 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
batas gereja, dan dengan cara apa pun tidak boleh diperluas ke
urusan-urusan sipil; karena gereja itu dalam dirinya sendiri
adalah mutlak terpisah dan berbeda dari masyarakat. Batas-batas
di kedua belah pihak adalah tetap dan tak dapat digoyahkan.35
Bagi Locke negara dan agama harus terpisah, sehingga orang yang
beragama apa pun yang memegang kekuasaan negara tidak boleh
memberikan hak khusus kepada kelompok agama tertentu..
Hak Kebebasan beragama yang tertuang dalam Deklarasi
Amerika ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perlindungan
kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM, maka pengakuan
hak kebebasan beragama tidak boleh dianggap sebagai buah karya
manusia sekuler.
Hak kebebasan beragama merupakan pengakuan yang tertua
secara internasional dari elemen-elemen HAM lainnya, namun ternyata
penegakkan kebebasan beragama justru merupakan yang paling lambat
dari pada hak-hak lainnya, ini bisa terjadi karena agama sering kali
dimanipulasi untuk kepentingan politik.36 Faktanya, hampir semua
masyarakat penganut agama mayoritas di sebuah negara pernah
melakukan kekerasan terhadap masyarakat penganut agama lain
(minoritas). Penguasa di negara yang menjadikan Kristen sebagai agama
negara juga didapati melakukan kekerasan atau penghukuman terhadap
warga yang dinilai menganut ajaran sesat (bidat) dengan sangat kejam.
Tindakan intoleran itu dilakukan oleh penganut agama Islam terhadap
agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial
secara spesipik bagi penganut agama di luar Islam. Kekerasan terhadap
penganut agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di
Jepang, Buddha sebagai agama negara juga tidak bersikap toleran dengan
35 Ibid., h. 61-63.36 Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, ( Jakarta: Pustaka Utan
Kayu, 2002), hl.6
JURNAL TEOLOGI STULOS 109
agama-agama lain.37 Jika melihat kekerasan yang mengatasnamakan
agama tampak bahwa ada faktor lain yang menyertakan kekerasan agama
sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:
Fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan
apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan dan
penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan
disalaharahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi
eksternal, agama propetis (nabi), seperti Islam dan Kristen,
cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka
terancam. Dari sisi internal, agama profetis cenderung
melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar
kehendak Tuhan. Oleh karena pemahaman agama atau
bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan
yang mendasari kekerasan politik agama.38
Penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap agama-agama
tertentu dilakukan untuk melestarikan kekuasaan oknum yang berkuasa.
Agama-agama nasibnya ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika agama-
agama tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah,
agama-agama melakukan tindakan yang inkonstitusional untuk
mendapatkan akses tersebut, terjadilah tindakan kekerasan antaragama.
Perlindungan Hak Kebebasan Beragama yang telah diakui secara
internasional jauh lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam
implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit, apalagi
dengan adanya perbedaan pandangan mengenai Hak Kebebasan
Beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik yang berasal
dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk
menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan. Hal
ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian
37 Leonard.M Hammer, The International Human Right, hl. 8-12.38 Thomas Santoso, Kekerasan, hl. 6.
110 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
dibuat suatu covenant on human rights tahun 1966. Kemudian pada tahun
1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya “Declaration on
the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on
Religion or Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat
menunjukan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus
berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara lebih serius.
Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi tersebut
menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan miliaran
manusia di bumi ini, dan harus terus diperjuangkan
PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TENTANG HAM
Dalam perspektif kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam
Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah
lama diakui. Pernyataan bahwa semua manusia memiliki martabat dan
hak-hak yang sama (pasal 1-2), pengakuan akan hak-hak sipil (pasal 3-
21), dan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta
pasal-pasal penutup (pasal 28-30) yang menetapkan bahwa setiap orang
berhak atas ketertiban sosial dan internasional dengan menjalankan
kewajibannya dalam masyarakat, adalah sesuatu yang telah lama
dinyatakan oleh Alkitab.
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pandangan kristiani
mengenai HAM dalam konteks Deklarasi Universal HAM dalam tiga
bagian besar, yaitu: pertama mengenai sumber dari HAM, kedua keadilan
Allah dalam implementasi HAM, ketiga mengenai hak beragama
menurut pandangan Alkitab.
Sumber HAM
Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari
HAM merupakan sesuatu yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat
JURNAL TEOLOGI STULOS 111
Kristen. Hanya saja dalam pandangan kristiani, HAM tidak mungkin
dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan dengan Allah
pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama bergantung pada
pernyataan Allah sendiri. Kejadian 1: 27 menjelaskan bahwa manusia
diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dari ciptaan
lainnya, manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan
kekuasaan manusia sebagai raja itu diberikan oleh Allah, sehingga
manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berbeda namun berada
dalam kesederajatan.39 Dari pernyataan Alkitab tentang martabat manusia
yang mulia dan memiliki kesedarajatan tersebut dapat dipahami bahwa
HAM dalam persfektif Kristiani, pertama, mengakui bahwa martabat
manusia berasal dari Allah dan tak tertanggalkan, karena semua manusia
diciptakan oleh Allah. Kejatuhan manusia dalam dosa juga tidak
menghilangkan gambar Allah meski mengalami kerusakan, tetapi karena
kejatuhan terjadi setelah penciptaan, maka pada hakikatnya semua
manusia adalah sama-sama mulia. Agama apapun yang dipegang
seseorang tidak mengurangi kemuliaannya sebagai manusia, karena
martabat manusia itu tak tertanggalkan. Kedua, Pernyataan bahwa
Alkitab menciptakan semua manusia itu sama-sama mulia dapat di
artikan bahwa dalam pergaulan antarsesama manusia tidak boleh terjadi
perbedaan, manusia wajib berprilaku baik terhadap semua manusia.
Ketiga, karena manusia mendapat mandat dari Allah untuk mengelola
alam, dunia ini, maka hal tersebut juga berarti bahwa semua manusia
berkewajiban untuk menjaga implementasi dari hak-hak asasi tersebut.40
Dalam persfektif kristiani HAM tidak berarti suatu kebebasan
tanpa batas dalam arti manusia dapat melakukan apa saja sesuai
39 Bandingkan. Greidanus, Sidney, “Human Rights in Biblical Perspective” dalam Calvin Theological Journal ( ), 5-31
40 Lih. John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta: YKBKasih/OMF, 1984), hl. 210,11.
112 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
keinginannya, karena manusia diperintahkan Allah untuk melakukan
perintah Allah atau hukum-hukum Allah. Tanpa ketaatan pada hukum-
hukum Allah manusia tidak memiliki kebebasan. Mengenai HAM yang
terkait dengan kewajiban ini, Stephen Tong menjelaskan demikian:
Jika kita berbicara tentang hak asasi manusia, maka jangan kita
hanya membicarakan hak tanpa menyinggung tentang kewajiban,
maka yang diperebutkan dan yang diperdebatkan setiap hari
justru akan menjadi sesuatu yng menghantui, sehingga kita tidak
mungkin dapat mencapai suatu keharmonisan.41
Jadi HAM tidak berarti tidak tanpa batas, karena HAM secara
bersamaan berisi kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain,
singkatnya, tidak ada tanggung jawab tanpa ketaatan dan demikian juga
tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan sebagaimana dikatakan oleh
Eka Darmaputra mengutip Douglas Elwood seperti berikut:
Ketika hak dipahami hanya sebagai klaim atas orang lain, dan
tidak juga sebagai tanggung jawab moral dipihak kita, maka
perjuangan HAM telah disalahtafsirkan sebagai tidak lebih dari
sebuah pergulatan kekuasaan, dan dengan demikian istilah HAM
lalu menjadi slogan yang indah untuk suatu perang ideologi atau
suatu eufemisme untuk perjuangan bersenjata. Ia menjadi agitasi
yang menyulut permusuhan ketimbang sebuah advokasi positif
dan konstruktif … HAM adalah nilai-nilai moral universal yang
melampaui klaim-klaim partikular atau parokhial; ia adalah hak-
hak moral yang dimiliki oleh setiap orang semata-mata oleh
karena ia adalah manusia, dan ia hanya terwujud di dalam saling
keterkaiatan dengan tanggung jawab moral. HAM sebagi nilai-
nilai moral universal tidak pernah berdiri sendiri, melainkan
selalu terkait dengan hak-hak yang sah dari orang lain dan
41 Stephen Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Momentum, 1999), h. 7.
JURNAL TEOLOGI STULOS 113
kewajiban kita untuk menghormati hak-hak orang lain itu.42
Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut juga
memiliki kewajiban yang sama pula, yaitu untuk menjaga hak-hak
orang lain. Pandangan kristiani mengenai HAM ini secara nyata
tertuang dalam Deklarasi Perancis tentang Deklarasi Hak Manusia
dan Warga negara yang menjelaskan bahwa kebebasan adalah
melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Dan
batas-batas pelaksanaan hak kodrati setiap manusia dibatasi oleh
jaminan pelaksanaan hak kodrati. Dan batas-batas tersebut
ditentukan oleh hukum.
Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM.
Sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia dapat hidup dengan
menikmati hak-haknya sebagai manusia, tanpa mendapat halangan dari
sesamanya, karena manusia bergantung total pada Allah, dan Allah
memberikan kemampuan kepada manusia untuk melaksanakan
kebebasannya secara benar. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa,
tak seorang pun manusia dapat menaati hukum Allah secara sempurna.
Pada masa sebelum kerajaan Israel, Allah juga telah memberikan
hak-hak kepada manusia dan Allah sendiri yang menjaga
terimplementasinya hak-hak tersebut dengan memberikan hukum-hukum-
Nya yang adil. Pada waktu Kain membunuh Habel, Allah menghukum
Kain, demikian juga ketika manusia bertambah jahat di mana manusia
tidak mentaati Allah, maka Allah menghukum manusia yang tidak
menghormati sesamanya dengan mengambil hak hidup dari manusia dan
hanya menyisakan Nuh dengan keluarganya. Jadi pada waktu belum ada
negara Allah secara langsung memerintah dunia dengan keadilan-Nya.
Manusia terus bertambah banyak dan ingin membangun
pemerintahan sendiri, kemudian Allah mencerai-beraikan mereka di
42 Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hl. 155. Lih juga Douglas G. Elwood, Human Rights: A Christian Perspective (Quezon City: New Day, 1990), hl.2
114 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
Menara Babel. Tetapi Allah terus menjaga ciptaan-Nya dengan memilih
Abraham untuk membangun komunitas yang hidup menyembah Allah
dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Disini Israel
dijadikan sebagai bangsa. Baru dalam Kejadian 12 ini Allah membangun
institusi negara. Tetapi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan,
karena institusi negara ada setelah kejatuhan. Dalam perjalanan Israel
sebagai bangsa, Mesir melakukan penjajahan terhadap umat Allah. Dan
dengan kekuasaan-Nya, Allah membebaskan Israel untuk dapat hidup
mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah, karena Allah
adalah Raja Israel.
Dalam pemerintahan Israel Allah yang menetapkan Undang-
Undang Dasarnya yaitu 10 Hukum, dan raja wajib menjalankan UUD
tersebut dalam pemerintahannya. Apabila raja tidak mentaatinya maka
Allah akan menghukum raja tersebut. Dalam kerajaan Israel tersebut juga
ada Nabi Allah yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintaha Israel,
serta Imam-imam yang menjelaskan mengenai hukum-hukum kerajaan
yang bersumber dari 10 Hukum yang adalah Undang-Undang Dasar
Israel. Tidaklah mengherankan jika pemerintahan Israel disebut oleh ahli-
ahli PL sebagai pemerintahan teokratis yang demokratis.43 Karena
pemimpin Israel adalah Allah, raja dan rakyat kerajaan adalah umat
Allah, dan mereka secara bersama-sama taat kepada Allah yang adalah
pemimpin Israel. Pemerintahan yang teokratis dan demokratis akhirnya
lenyap dari Israel karena kejahatan manusia.
Allah memakai bangsa-bangsa lain untuk menjadi “hakim” atas
umat-Nya. Umat Allah berada dalam penjajahan bangsa yang tidak
mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada mereka. Jika
pada mulanya Allah memerintah secara langsung “pemerintahan
teokrasi”, kemudian Allah memakai pemerintahan orang-orang yang
43 Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 145.
JURNAL TEOLOGI STULOS 115
tidak menyembah Allah Israel untuk tetap memelihara umat-Nya. Namun
sebagai negara kerajaan kafir juga harus bertanggung jawab kepada
Allah. Karena kodrat dari negara yang diciptakan Allah adalah untuk
pemeliharaan dunia. Siapapaun yang menjadi raja di dunia ini, raja
tersebut bertanggung jawab kepada Allah.
Salah satu bukti mengenai kedaulatan Allah dalam kerajaan kafir
adalah ketika Allah menolong Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Ketiga
orang tersebut mendapat perlakuan yang tidak adil. Sekelompok orang
yang menginginkan kekuasaan memasukkan aturan yang tidak
berkeadilan dalam pemerintahan Babel, dan yang terkena dampak
langsung dari ketidakadilan tersebut adalah Sadrak, Mesakh dan
Abednego. Tetapi oleh kedaulatan Allah mereka dipelihara ketika
menjadi tawanan di negara Raja Nebukadnezar. Tetapi sebagai alat
Tuhan, Sadrak, Mesakh dan Abednego harus berjuang bagi adanya
hukum yang berkeadilan. Penghormatan terhadap bangsa yang berbeda
dan pemeluk agama yang berbeda tetap terjaga dalam pemerintahan
bangsa-bangsa di luar Israel walaupun tidak sempurna, karena negara
tempat di mana Israel dibuang oleh Allah tetap berada dalam kedaulatan
Allah. Negara tersebut dapat menghargai pluralisme suku dan agama
karena kebenaran umum Allah ada pada semua orang. Kebanaran umam
yang ditanamkan Allah dalam semua manusia ini menjadi alat Allah
dalam memelihara dunia. Bagi orang Kristen negara merupakan alat
Allah untuk menahan tindakan kejahatan manusia, karena itu dalam
negara yang dipimpin oleh siapapun, seorang Kristen harus berusaha
untuk berperan agar tugas negara dalam memenuhi tanggung jawab yang
bersumber dari Allah tersebut terpenuhi.
Dalam Perjanjian Baru, Allah tidak lagi membedakan bangsa
Israel dan non Israel. Kerajaan Romawi tempat di mana gereja lahir dan
bertumbuh adalah pemerintahan non Israel. Pada waktu itu masih ada
penghormatan terhadap kebebasan beragama, sebagaimana dilaporkan
Alkitab bahwa murid-murid Tuhan Yesus dapat berkumpul dan beribadah
116 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
kepada Allah. Mereka tetap dapat beribadah sesuai dengan agama
mereka.
Pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena Gereja yang
lahir dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang
membutuhkan dukungan komunitas Yahudi yang besar pada waktu itu
berpihak kepada agama Yahudi, sehingga Kristen dianggap bidat. Warga
Yahudi yang menjadi Kristen pun mendapat perlakuan yang amat
diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa. Pelanggaran kebebasan
beragama terjadi karena negara tidak menjalankan wewenangnya dengan
baik, yaitu menciptakan keadilan di antara kelompok-kelompok yang
berbeda. Pemerintahan yang adalah alat Allah untuk menegakkan
keadilan demi terjaganya kesejahteraan ciptaan mengingkari tanggung
jawabnya, maka terjadilah pelanggaran HAM. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang
penting bagi suatu negara untuk dapat menjaga implementasi HAM
secara maksimal, karena hukum-hukum Allah adalah adil, karena itu
hukum-hukum yang mengatur kehidupan dalam bernegara harus adil.
Apabila negara menegakkan keadilan Allah maka hubungan antar-sesama
manusia akan terpelihara dengan baik.
Kebebasan Beragama Menurut Alkitab.
Alkitab memerintahkan dalam Keluaran 20: 3, “Jangan ada padamu
allah lain di hadapan-Ku”. Dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengatakan,
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu”(Matius 22: 37). Kebenaran
tersebut dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat menyembah
kepada dua tuan (Matius 6: 24). Hal itu juga menjelaskan bahwa semua
manusia hidup di hadapan Allah, sehingga semua manusia harus
menyembah Allah, jadi pada hakikatnya semua manusia beragama,
karena itu dapt disimpulkan semua kehidupan manusia adalah agama.44
44 Bdk. Greidanus, Sidney, Human Rights in Biblical perspective, hl. 28-31.
JURNAL TEOLOGI STULOS 117
Jika hidup manusia adalah agama, maka kebebasan beragama
berarti juga kebebasan untuk memilih siapa yang ingin disembah dan
yang tidak ingin disembah oleh seseorang, mengenai hal ini Stephen
Tong menjelaskan seperti berikut:
Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang
menghargai hak manusia untuk melawan Tuhan. Manusia
diberikan hak kebebasan oleh Tuhan termasuk kemungkinan
untuk melawan Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh
Tuhan… Disini kita dapat melihat bahwa Tuhan bukan diktator,
dan Ia tidak menindas semua yang melawanNya. Tetapi waktu
kita memakai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan, maka itu
berarti kita sedang membunuh hak asasi kita sendiri, karena hak
asasi kita hanya dapat terjamin di dalam tangan Tuhan saja.45
Dengan demikian jelaslah kebebasan beragama juga berarti hak
untuk melepaskan keyakinan agamanya atau berganti agama
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM
yang berbunyi demikian: “Hak kebebasan beragama adalah kemerdekaan
untuk memeluk agamanya yang didasarkan atas kehendak bebas manusia
(sesuai dengan keinginan hati nuraninya), tidak seorang pun dapat
dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa yang ia
tidak ingin menyembahnya,”46 sebagaimana yang juga dinyatakan dalam
Vatikan II tahun 1965. Kebebasan beragama merupakan hak yang
didasarkan pada martabat manusia yang dinyatakan oleh firman Allah.47
Negara tidak dapat merampas hak kebebasan beragama, karena hak ini
diberikan oleh Tuhan. Sebaliknya negara wajib menjaga implementasi
dari hak-hak tersebut.
Selanjutnya kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan
45 Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia, h. 33.46 Tierney, Brian, Religious Right, hl. 242.47 Stahnke, Tad and J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic
Document (New York: Columbia University, 1998), hl. 205-19.
118 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
berkumpul karena aktivitas agama bersifat komunal. Namun dalam hal
pengimplementasian hak tersebut juga adalah hak untuk menyendiri,
karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak memeluk agama-agama
yang ada, misalnya agama resmi versi Departemen Agama RI. Karena
hidup itu agama, maka manusia yang menolak untuk memeluk agama
yang ditawarkan kepadanya, akan tetap beragama, entah itu berupa
penyembahan diri sendiri atau yang lainnya, hal itu juga merupakan
agama, bahkan Marxisme pun dapat disebut sebagai “agama.” Karena
hak kebebasan beragama adalah hak dari Allah, karena itu aktivitas
agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Namun karena
kebebasan beragama tidak tanpa batas, maka kebebasan beragama secara
bersamaan juga merupakan kewajiban untuk umat beragama lain dapat
melaksanakan kebebasan beragamanya.
Pemahaman bahwa HAM secara bersamaan juga merupakan
kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain dapat terpenuhi, secara
tegas dinyatakan dalam Matius 7:12, yang berbunyi demikian: “Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Pernyataan tersebut juga
dinyatakan dalam Lukas 6:31. Ayat tersebut biasa disebut sebagai “The
Golden Rule”, pesan ayat tersebut dalam bentuk yang negative juga ada
dalam kitab rabi orang Yahudi, demikian juga agama Budha, Hindu dan
Kongfucu.48 “Golden Rule” merupakan kewajiban setiap manusia yang
berharap diperlakukan sama dengan apa yang dikehendakinya.
Dalam hubungan dengan kebebasan beragama, hukum tersebut
mewajibkan setiap orang untuk menjaga hak kebebasan beragama orang
lain. Dan apabila semua orang berusaha untuk mengusahakan hak-hak
kebebasan beragama orang lain terpenuhi, maka pastilah semua manusia
akan terlindungi hak-hak nya.
48 Kenneth Barker (ed.), The NIV Study Bible ( Grand Rapids: Zondervan Pub ., 1985), hl. 1452.
JURNAL TEOLOGI STULOS 119
Hak Kebebasan Beragama dalam pandangan Martin Luther,
seorang tokoh Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap
orang untuk menafsirkan Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai
dengan hati nuraninya. Pada waktu itu tidak setiap orang boleh membaca
Alkitab dan menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh tidak setuju
dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja.49 Sehingga bidat
dalam sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja
dengan memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani. Jadi
Gereja pernah tidak taat kepada Alkitab dengan menindas bidat dengan
memakai tangan negara. Mengenai penyimpangan dalam Gereja tetsebut
Kuyper menjelaskan demikian :
Kewajiban pemerintah untuk menyingkirkan setiap bentuk
agama yang salah dan penyembahan berhala bukan penemuan
Calvinisme (apa kata Alkitab), tetapi berasal jauh dari Konstantin
Agung, dan merupakan reaksi terhadap penganiayaan-
penganiayaan mengerikan yang dilakukan oleh para Kaisar kafir
pendahulunya terhadap sekte Nazaret. Sejak hari itu, sistem ini
telah dipertahankan oleh semua teolog Katolik Roma dan
diterapkan oleh semua raja dan pangeran Kristen. Pada masa
Luther dan Calvin, ada keyakinan universal bahwa sistem itu
adalah sistem yang benar. Sementara itu orang-orang Calvinis
pada jaman Reformasi menyerahkan korban-korban mereka,
yang jumlahnya mungkin puluhan ribu, ke tiang gantungan dan
tiang pembakaran (korban pihak Lutheran dan Katolik Roma
hampir-hampir tidak layak dihitung), sejarah telah bersalah
dalam hal ketidakadilan yang besar dalam hal menuding eksekusi
hukuman bakar hidup-hidup atas Servetus sebagai crimen
49 Ozment, Steven, “Martin Luther on Religious Liberty.” Dalam Religious Liberty in Western Thoght, Noel B.Reynolds and W.Cole Durham Jr, ed. (Georgia: Scholars Press, 1996), hl. 75-82.
120 HAK KEBEBASAN BERAGAMA
nefandum (kejahatan yang keji) 50
Penganiayaan terhadap bidat merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan pengajaran Kristen yang Alkitabiah dan secara
bersamaan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, hal
ini dituangkan dalam deklarasi tahun 1649 dimana dinyatakan, bahwa
“penganiayaan karena iman adalah pembunuhan spiritual, pembunuhan
terhadap jiwa, suatu kemarahan yang diarahkan terhadap Allah sendiri,
dosa yang paling mengerikan,”51 Selama bidat-bidat Kristen atau bidat-
bidat agama lain tetap hidup mentaati undang-undang yang berlaku, maka
keberadaan mereka tidak boleh dihalangi oleh orang Kristen, baik oleh
kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan menggunakan kekuasaan
pemerintah.
KESIMPULAN
Hak Kebebasan Beragama sebagaimana dituangkan dalam deklarasi
universal HAM adalah sesuatu yang telah diakui oleh Alkitab, jauh
sebelum deklarasi HAM itu di kumandangkan. Umat Kristiani bukan
hanya tidak memiliki keberatan terhadap pasal 1 dan 18 dari Deklarasi
Universal HAM tentang kebebasan beragama, tetapi mengakuinya
sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan dan tidak bisa dirampas oleh
manusia dengan cara apapun.
Pengakuan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani juga
mempunyai cakupan yang lebih luas dari Deklarasi Universal HAM,
karena kekristenan bukan saja mengakui setiap individu mempunyai hak
untuk memilih agama dan kepercayaan, di mana ada perbedaan antara
agama dan kepercayaan, tetapi dalam perspektif Kristen semua manusia
beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama, maka tidak seoranpun
yang tidak beragama. Semua manusia berhak berdasarkan kedaulatan
50 Kuyper, Lecturer on Calvinism, hL. 114.51 Ibid., hL. 117.
JURNAL TEOLOGI STULOS 121
individunya sendiri untuk memilih agama maupun melepaskannya tanpa
boleh dihalangi oleh negara. Sebaliknya negara harus menjamin
kebebasan individu untuk dapat menikmati hak-hak nya, tanpa
mengganggu hak-hak orang lain.