KAJUN PENIINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM...
Transcript of KAJUN PENIINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM...
KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG
PENGUATAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
Oleh:
Bambang Suhada 1)
, E. Gumbira Sa’id 2)
, LW. Rusastra 2)
dan Sukardi 2)
1) Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Metro
2) Falcultas Tehologi Pertanian IPB
ABSTRACT
The tendency of the decline of national productivity of sugar cane industry needs to be
examined in depth to avoid Indonesian sugar industry getting worse and the dependence of
domestic consumption on imported sugar can be reduce gradually, as a result it will reserves
our national foreign exchange T1re purpose of this study were: (I) Obtaining the position of
the productivity of the jour sugar mills studied, (2) Obtaining a map of the condition of the
sugar cane industry clusters nationwide and (3) Generating recommendations productivity
improvements at the micro level (farm and factory) and at the macro level. The Data that are
colleded in this study are the primary data through a survey of expert opinion (respondents)
derived from the researcher of P3Gl Pasuruan (1 person), University (1 person), Ministry of
Agriculture (1 person), Indonesian Sugar Council (l people) and the sugar mills (4 people).
While the secondary data were collected through literature study, as well as journal published
by the relevant institutions. 77te method of analysis in this study used the productivity
mapping and the industry cluster approach. The results of study as follows : (1) the position of
PG GM productivity is in a high category (Score efficiency 311,16 and effectiveness 149, 03),
(2). The position of PG KA productivity is on the medium category (Score efficiency 259,9
and effectiveness 140,82), (3.) The position of PG PB productivity is on the medium category
(Score efficiency 233,4 and effectiveness 125, 79), meanwhile (4). The position of PG BM
productivity is on the low category (Score efficiency 225 and effectiveness 99,9). In order to
view the position of each sugar mill in the context of industrial dusters, we use several
parameters: cluster performance, supply chain integration, infrastructure support and business
and economic environment, as a result the position of the PG GM has the best position in the
context of cluster systems, Since most of the sub-system has a value that tends to be high. PG
KA and PG PB are categorized as medium category in productivity and PG BM is categorized
as a law category in productivity
Keywords: productivity, cane sugar industry, industry cluster, yield sugar crystalline
PENDAHULUAN
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dikaji dari sisi
sumberdaya alam dan iklim, mengingat tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah
telah tumbuh secara meluas di daerah tropis (Sawit et al,. 2003). Hal ini dapat dibuktikan dari
kenyataan bahwa Pada periode penjajahan Belanda khususnya pada periode 1930 - 1940,
Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri gula. Pada saat itu, produktivitas tebu
hampir mendekati 140 ton per hektar, rendemen 12 persen lebih dan produktivitas hablurnya
mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu,
rendemen dan hablur pada tahun 2005 berturut-turut sebesar 78 ton per hektar, rata-rata 7
persen dan 6 ton per hektar. Berbagai program peningkatan industri gula yang dijalankan
Pemerintah sejak tahun 1950 hingga saat ini - belum terintegrasi dan masih memperlihatkan
relatif rendahnya kinerja industri gula nasional. (Simatupang et al., 2005).
Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas
tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di
Indonesia selama kurun waktu 2003 sampai 2009, seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Dari
Gambar 1 tersebut terlihat bahwa tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran
angka 67,61 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya. Demikian juga dengan tingkat
rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas
hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya
(Kementrian Pertanian, 2010). Apabila dibandingkan antara pulau Jawa dan luar pulau 1awa,
perbedaan kinerja industri gulanya semakin terlihat. Rata-rata rendemen gula pada area tebu
luar pulau Jawa meningkat dari 8,32 persen pada tahun 2006, menjadi 8,44% pada tahun
2007. Sebaliknya, rendemen gula di pulau Jawa turun dari 7,31 persen menjadi 6,91%.
Namun, karena perbedaan rendemen yang signifikan di luar pulau Jawa belum diimbangi
dengan peningkatan produktivitas di tingkat kebun, maka secara rata-rata produktivitas gula
yang dihasilkan turun dari 5,88 ton/ha menjadi 5,66 ton/ha. Produktivitas tebu luar pulau Jawa
menurun dari 70,70 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 69,42 ton per hektar pada tahun
2007 (Dewan Gula Indonesia, 2008)
Gambar 1. Produksi dan Produktivitas Tebu dan Gula Indonesia Tahun 2003-2009
(Kementerian Pertanian, 2010)
Kebijakan pengembangan industri gula nasional seyogyanya dilakukan dengan
memperhitungkan seluruh aspek yang ada, mengingat nilai investasi pada industri gula relatif
mahal. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh P3GI (2009), untuk pendirian satu
pabrik gula dengan kapasitas produksi sebesar 8.733 ton gula per harinya dibutuhkan biaya
investasi sebesar Rp. 1,648 trilyun atau kurang lebih 165 juta US Dolar. Untuk itu, penurunan
produktivitas pada industri gula perlu dicermati secara mendalam agar industri gula Indonesia
tidak semakin terpuruk dan dapat diminimalisir ketergantungan konsumsi domestik pada gula
impor secara bertahap dapat berkurang, sehingga dapat menghemat cadangan devisa nasional.
Penelitian ini bertujuan (l) memperoleh posisi produktivitas masing-masing pabrik
gula yang diteliti, (2) mendapatkan peta kondisi Master industri gula tebu nasional dan (3)
menghasilkan rekomendasi peningkatan daya saing industri gula tebu nasional dalam
mendukung penguatan Master industri gula tebu nasional.
METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data
Data yang dianalisis menggunakan data primer yang diperoleh dari pendapat 8 (delapan)
orang pakar yang terdiri dari : Dewan Gula Indonesia (1 orang), Kementerian Pertanian (1
orang), P3GI Pasuruan (1 Orang), Perguruan Tinggi (1 orang) dan pabrik gula (4 orang). Alat
analisis yang digunakan dengan memberikan skor pada masing-masing pabrik gula
berdasarkan nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas
Gambar2.Kerangka Pemikiran Penelitian Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu
Nasional
Kerangka Pikir Penelitian
Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan produktivitas dan daya
saing industri gula tebu nasional adalah dengan cara menyusun strategi peningkatan
produktivitas yang komprehensif dengan mengintegrasikan aspek kebun dan aspek pabrik
gula (PG). Dari aspek kebun, fokus penyusunan strategi diarahkan dalam upaya meningkatkan
sistem budidaya, penggunaan bibit, pemupukan, pasca panen dan sistem bagi hasil yang
proporsional. Sementara dari aspek pabrik gula, penekanan lebih pada tinjauan mengenai
teknologi, manajemen dan sistem produksi. Kedua aspek tersebut merupakan masukan
penting dalam proses revitalisasi kebijakan dalam peningkatan keunggulan komparatif dan
kompetitif (aspek makro), penyempurnaan manajemen operasi, peningkatan mutu produksi
gula, penurunan harga pokok produksi, inovasi teknologi, redesain kebijakan nasional.
Perumusan strategi peningkatan produktivitas dalam mendukung penguatan Master industri
gula tebu nasional dapat dirumuskan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut (Gambar 2)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Produktivitas
Kriteria Produktivitas dapat dibangun berdasarkan kaiegori efisiensi, efektivitas dan
inferensial (Nurdin dan Zabidi , 2005). Namun untuk penelitian ini, kriteria-kriteria yang
digunakan untuk mengkaji produktivitas keempat pabrik gula contoh adalah sebagai berikuti
1. Kriteria efisiensi, menunjukkan bagaimana penggunaan sumber daya perusahaan, seperti
tenaga kerja, energi, material serta modal yang sehemat mungkin (Kriteria 3,4,5,6,7, 8, 11
dan 12)
2. Kriteria efektivitas, menunjukkan bagaimana perusahaan mencapai hasil bila dilihat dari
sudut akurasi dan kualitasnya (Kriteria 1,2,9 dan 10)
Dalam melakukan analisis produktivitas di 4 (empat) pabrik gula contoh, beberapa kriteria
produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut
Tabel l Kriteria- Kriteria Produktivitas Pabrik Cula Contoh
Kriteria Kriteria-Kriteria Produktivitas
Kriteria 1 Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)
Kriteria 2 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton)
Kriteria 3 Jumlah Tebu Giling (Tony Produksi Energi Bagas (Kwh)
Kriteria 4 Jumlah Tebu Giling (Ton) 1 Kebutuhan Energi (Kwh)
Kriteria 5 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari)
Kriteria 6 Jumlah Ttbu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton)
Kriteria 7 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton)
Kriteria 8 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton)
Kriteria 9 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)
Kriteria 10 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton)
Kriteria 11 Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction
Kriteria 12 Boiler House Recovery (BHR) / Nortna BHR
Posisi Produktivitas Pabrik Gula
Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas dari masing-masing pabrik gula yang diteliti,
maka nilai-nilai yang membentuk produktivitas tersebut di eloborasi lebih lanjut, dengan
menempatkan masing-masing pabrik gula dalam matriks produktivitas. Untuk mengetahui
posisi produktivitas pabrik gula dalam matriks produktivitas, digunakan penilaian dari
masing-masing kriteria produktivitas yang diperoleh dengan menggunakan skala likert dengan
nilai 1 sampai 5 dan kemudian dikalikan dengan bobotnya (Gambar 17)
Gambar.3 Matriks Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional
Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang
diteliti, digunakan parameter yang mengkombinasikan ukuran dari kriteria efisiensi dan
efektivitas. Penjelasan tentang ukuran yang menentukan tingkat produktivitas tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas diatas rataan totalnya, maka tingkat
produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas tinggi (Berada pada kuadran 1)
2. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas mendekati nilai rataan total, maka tingkat
produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas sedang (Berada pada kuadran II
dan Kuadran IV) 3. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas dibawah rataan
totalnya, maka tingkat produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas rendah
(Berada pada kuadran III)
Untuk mengetahui posisi tingkat produktivitas digunakan skala likert (1 sampai 5)
untuk masing-masing rasio produktivitas yang diperoleh keseluruhan (kebun dan pabrik),
selanjutnya dilakukan perkalian antara nilai dengan bobot masing-masing kriteria (Tabel 2) :
Tabel. 2. Perhitungan skor Produktivitas Pabrik Gula
Kriteria Ratio Produktivitas PG
Gunung Madu
PG Bunga mayang
PG Kebon Agung
PG Pesantren
Baru
EFISIENSI Nilai x bobot
Nilai x bobot
Nilai x bobot
Nilai x bobot
3 Jumlah Tebu Giling (Tony Produksi Energi Bagas (Kwh) 43,7 35,08 35,32 34,44
4 Jumlah Tebu Giling (Ton) 1 Kebutuhan Energi (Kwh) 46,1 25,56 25,7 25,83
5 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari) 41,25 25,56 33,32 22,95
6 Jumlah Ttbu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton) 43,7 31,04 31,28 32,52
7 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton) 33 24,06 31,28 22,95
8 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton) 31,08 25,56 35,32 25,83
11 Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction 41,25 34,08 34,32 34,44
12 Boiler House Recovery (BHR) / Nortna BHR 31,08 24,06 33,32 34,44
Total Hasil Efisiensi 3111,16 225 259,9 233,4
EFEKTIVITAS
1 Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 43,7 26,31 42,9 43,05
2 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton) 41,25 24,81 30,28 25,83
9 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 33 24,81 34,32 34,39
10 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton) 31,08 24,06 33,32 32,52
Total Hasil Efektivitas 149,03 99,99 140,82 125,79
Dari hasil perkalian antara nilai dan bobot dari masing-masing kriteria (efisiensi dan
efektivitas), diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut
(Gambar 4) :
1. Posisi Produktivitas Pabrik Gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi
311,16 dan nilai efektivitas 149,03)
2. Posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9
dan nilai efektivitas 140,82)
3. Posisi Produktivitas Pabrik PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4
dan nilai efektivitas 125,79)
4. Posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai efisiensi 225
dan nilai efektivitas 99,9)
TINGKAT PRODUKTIVITAS PABRIK GULA
Gambar 4. Posisi Tingkat Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti
Evaluasi Master Industri Gula Tebu
Pembahasan Master industri gula tebu nasional dalam penelitian ini menggunakan
kerangka pemikiran Porter (1998), yang memberikan definisi Master sebagai konsentrasi
geografis perusahaan-perusahaan yang saling terhubung, para pemasok khusus dan penyedia
jasa, perusahaan-perusahaan dalam industri terkait, serta lembaga-lembaga yang terasosiasi
(misalnya universitas, agen dan asosiasi perdagangan) dalam bidang-bidang tertentu.
Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu nasional, digunakan metode yang
dikembangkan oleh Porter (Monslead, 2010 dalam Pahan, 2011). Dalam melakukan evaluasi
klaster industri gula tebu, sumber informasi diperoleh dari delapan orang pakar, masing-
masing dari Peneliti P3GI Pasuruan, Dewan Gula Indonesia (DGI), Kementerian Pertanian,
Perguruan Tinggi dan empat orang dari pabrik gula. Dengan menggunakan empat sistem
dengan sub sistemnya masing-masing, hasil evaluasi Master industri gula tebu disajikan pada
Tabel 54 berikut :
Tabel 3. Komponen Evaluasi Master Industri Gula Tebu
Komponen Evaluasi Klaster PG PB PG
KA
PG
BM PG GM
Kinerja Klaster Industri
1.1 Biaya Transaksional 3,4 3,4 3,2 4
1.2 Pengaruh Jejaring Kerja 3,4 3,6 2,8 3,6
Integrasi Rantai Pasokan
2.1 Pemasok 3 3,2 3,4 3,6
2.2 Perkebunan 3,8 3,4 3,6 4,8
2.3 Pengolah 3,8 4,2 3,6 5
2.4 Pemasar 3,25 3,75 3,25 3,8
Infrastruktur Pendukung
3.1 Universitas / Litbang 3,8 4 3,2 3,2
3.2 Lembaga Keuangan 3,8 4,2 3,6 3,6
3.3 Ketersediaan Bakat (SDM) 3,6 4,2 3,25 4
3.4 Lembaga Techno-Prenuer 3,6 3,4 3,4 3,4
3.5 Infrastruktur Fisik 3,8 4,4 2,2 3,8
Lingkungan Ekonomi dan Bisnis
4.1 Efisiensi Pemerintahan 3,6 3,8 3,2 3,2
4.2 Efisiensi Bisnis 3,2 3,6 3,2 4
4.3 Kinerja Ekonomi 3,6 4,4 3,2 3,2
4.4 Efisiensi Infrastruktur 42 3,8 3 3
Skala Penilaian
1 = Sangat Buruk, 2 = Buruk, 3 = Sedang, 4 = Baik, 5 = Sangat Baik
Dari hasil analisis dengan menggunakan empat sistem yang mempengaruhi kinerja Master
industri gula tebu nasional tersebut, jika distrukturkan maka posisi dari masing-masing pabrik
gula dalam kerangka Master industri tersebut dapat diringkas seperti terlihat pada Gambar 5
sebagai berikut :
Gambar 5. Posisi Master Dari Pabrik Cula Yang Diteliti
1. Pabrik Gula Gunung Madu
Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem Master,
mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub
sistem pendukung Master yang memiliki niiai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja. 2)
Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas 1 Litbang 6) Sumberdaya Manusia
(SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.
Saat ini dapat dikatakan bahwa PG Gunung Madu telah menjadi referensi utama (best
practises) dari pabrik gula swasta maupun dibawah afiliasi BUMN di Indonesia dalam
manajemen perkebunan maupun pengolahan gula. Hubungan yang terjalin dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) relatif intensif.
Pabrik gula Gunung Madu memiliki efisiensi iinggi dalam hal penyediaan pasokan
bahan baku mengingat 90 persen lebih kebutuhan proses produksinya di pasok dari kebun
sendiri (TS) sehingga mutu tebu dapat dikatakan memiliki tingkat rendemen yang relatif
seragam dan tinggi.
2. Pabrik Gula Bungamayang
Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula
Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang terburuk dalam konteks sistem Master,
mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang
cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi hanyalah
pengolah.
3. Pabrik Gula Kebon Agung
Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem
Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.
Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring
kerja 2) Pengolah 3) Infrastruktur fisik 4) Efisiensi bisnis 5) EFsiensi bisnis 6) Kinerja
ekonomi dan 7) Efisiensi infrastruktur.
4. Pabrik Gula Pesantren Baru
Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem
Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.
Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring
kerja 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya
Manusia (SDM) 7) lnfrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.
Dari hasil kajian terhadap elemen-elemen sistem Master tersebut, terlihat bahwa PG
GM, PG KA dan PG PB merupakan representasi dari sistem Master yang telah berkembang
dengan baik. Namun demikian, agar Master industri gula tebu nantinya bertambah baik dan
memberikan dampak pengganda yang besar, elemen-elemen yang masih perlu ditingkatkan
perannya adalah biaya transaksional, ketersediaan bakat (SDM), lembaga fechno-preneur,
efisiensi bisnis dan kinerja ekonomi. Dari hasil evaluasi kondisi Master dari keempat pabrik
gula yang diteliti tersebut, maka dapat distrukturkan skema tentang perwujudan dari kondisi
eksisting model Master industri gula tebu nasional, seperti yang terlihat pada Gambar 6
sebagai berikut :
Gambar.6- Struktur Master Industri Gula Tebu
(Diadaptasi Dari Pahan, E.Gumbira-Sa’id, Tambunan, Asmono dan Suroso, 2011)
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari hasil perkalian antara nilai dan bobot dari masing-masing kriteria (efisiensi dan
efektivitas), diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut : 1)
Posisi Produktivitas Pabrik Gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi
311,16 dan nilai efektivitas 149,03), 2) Posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori
produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82), 3) Posisi Produktivitas
Pabrik PB masuk kategori -produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas
125,79) dan 4) Posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai
efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9)
Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem Master,
mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung 6nggi. Sub-sub
sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja. 2)
Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya Manusia (SDM)
7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis. Berbeda dengan PG Gunung Madu yang
memiliki posisi terbaik, pabrik gula Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang
terburuk dalam konteks sistem Master, mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub
sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki
nilai tinggi hanyalah pengolah.
Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem
Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.
Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring
kerja 2) Pengolah 3) Infrastruktur fisik 4) Efisiensi bisnis 5) Efisiensi bisnis 6) Kinerja
ekonomi dan 7) Efisiensi infrastruktur.
Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem
Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.
Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring
kerja 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya
Manusia (SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.
Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula
Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang terburuk dalam konteks sistem Master,
mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang
cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi hanyalah
pengolah.
SARAN / REKOMENDASI
Dalam rangka meningkatkan daya saing industri gula nasional, diperlukan
rekomendasi baik untuk tingkat kebun, tingkat pabrik maupun tingkat makro. Saran-saran
yang diperlukan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Tingkat Kebun. Strategi intensifikasi
budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), dengan
implikasi manajerial sebagai berikut : . 1) Pemerintah Daerah selaku pembina perlu secara
intensif melakukan pembinaan kepada petani tebu di wilayahnya dengan menyusun standard
operating procedure (SOP) mulai dari pemilihan bibit, pemeliharaan sampai dengan
penanganan pasca panen tebu rakyat (TR). 2) Pemerintah perlu melakukan kerjasama yang
sinergis dengan perguruan tinggi setempat untuk menemukan varietas tebu unggul yang
sesuai dengan kondisi agroklimatnya (rendemen tinggi dan tahan serangan hama), 3)
Pemerintah perlu melakukan pembinaan teknis yang intensif kepada para petani penangkar
bibit tebu yang cukup berkembang di sekitar lokasi pabrik gula, agar tebu yang dihasilkan
petani mampu ditingkatkan produktivitasnya, 4) Mengingat pupuk anorganik seringkali
digunakan over dosis oleh petani tebu, sebaiknya perlu dipertimbangkan penggunaan pupuk
organik secara berimbang agar kesuburan tanah dapat dipertahankan secara berkelanjutan. (2).
Tingkat Pabrik. Strategi peningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good
Manufacturing Practises (GM) , dengan implikasi manajerial sebagai berikut : . 1) Pemerintah
perlu menyusun kebijakan pengurangan bea impor atas mesin-mesin produksi yang
diperlukan oleh pabrik gula untuk mengganti mesin-mesin produksinya yang sudah usang
agar efisiensi pabrik gula meningkat. 2) Pabrik gula dalam rangka meningkatkan
produktivitasnya dan meminilasir penurunan rendemen perlu menggunakan Standar
Operating Procedure (SOP). 3) Pabrik gula hendaknya menerapkan konsep produksi bersih
sehingga produksi buangannya termanfaatkan semua baik untuk kepentingan internal maupun
masyarakat sekitar. 4) Untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atas hasil produksi
gulanya, pabrik gula perlu untuk melakukan sertifikasi proses produksi (ISO) maupun
keamanan pangan (HACCP) dari lembaga internasional, 5) Mengingat konsumen terbesar
gula adalah masyarakat yang beragama Islam, maka sebaiknya pabrik gula memperoleh
sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). (3). Tingkat Makro. Strategi
sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu
nasional, dengan implikasi kebijakan sebagai berikut : l) Pemerintah melalui Badan Pusat
Statisik perlu menyusun satu neraca (Produksi dan konsumsi Gula Domestik) gula yang
standar dan menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pergulaan
nasional, 2) Agar kebijakan impor gula (GKP) tidak terus dilakukan dan menghemat devisa
negara, maka perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk menyusun kebijakan yang
memperbolehkan industri gula rafinasi untuk memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk
keperluan konsumsi masyarakat. 3) Pemerintah perlu memberikan insentif, kemudahan
pelayanan perizinan dan membuka peluang bagi investor (PMDN maupun PMA) untuk
mendirikan pabrik gula baru di luar pulau Jawa agar swasembada gula dapat tercapai pada
iahun 2014, 4) Pemerintah perlu menyusun kebijakan pergulaan yang lebih komprehensif dan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk berkontribusi dengan arah pengembangan
industri gula yang terstruktur dan sistematis atas target-target yang ingin dicapai, 5) Untuk
mengurangi aktivitas pencarian rente ekonomi (rent seeking behavior) secara bertahap yang
berdampak terhadap munculnya biaya transaksi yang tinggi dan mengurangi daya saing gula
nasional, maka diperlukan tata kelola pergulaan nasional yang baik (good governance dan
good corporate governance)
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Gula Indonesia (1999). Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi
Reformasi Gula Indonesia., Jakarta
Davies (2000). Partner Risk : Managing The Downside of Strategic Alliances. Purdue
University Press.
Ditjen Bina Pproduksi Perkebunan (2002). Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional : 2002 - 2007, (buku 1). Ditjen BPP Deptan, Jakarta
E. Gumbira - Sa’id dan Rahayu (2006). Pengembangan Disian dan Teknologi Untuk
Peningkatan Daya Saing Potensi Unggulan Daerah. Makalah Pada Pertemuan Pusat
dan Daerah tentang “Strategi Penggalian dan Pengembangan Potensi Ekonomi
Daerah”, Jakarta 17-19 Juli 2006.
Mardianto, S., P. Simatupang, P.U. Hadi, H. Malian dan A Susmiadi. (2005). Peta Jalan
(Road Map) dan Kebyakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Forum Penelitian
Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1 Juli 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
Malian dan Saptana (2004). Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
Mardianto, et al., (2005). Peta jalan (Road map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gala
Nasional. FAE, Vol 23, No.l. 1 luli 2005. Pulitbangsosek Departemen Pertanian
Monke dan Person (1989). The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell
University Press, Ithaca (USA) and London.
Malian, A.H., M. Ariani, K.S. Indraningsih, A.K. Zakaria, A. Askin dan J. Hestina. (2004).
Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula; Laporan Akhir. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Munir R (2007) Peranan Master Industri Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Produk
Unggulan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Produk Unggulan
Daerah, Departemen Dalam Negeri, 2007.
Nurdin dan Zabidi (2005). Pengukuran dan Analisis Produktivitas Lini Produksi PT. XYZ
Dengan Menggunakan Metode Objective Matrix. Jurusan Teknik Industri, STTA.
Jogjakarta.
P3G1, (2008). Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi
Industri Gula Nasional. P3G( Pasuruan.
Pahan, E. Gumbira-Sa’id, Tambunan, Asmono, Suroso (2011). The future palm oil industrial
cluster of Riau Region - Indonesia, Europena Journal of Social Science, volume 24,
Number 3 (2011)
Pakpahan (2009). Transformasi Industri Nasional Berbasis Tebu. Makalah pada Simposium
Pergulaan. KADIN, Jakarta
Pakisama Inc (2010). 2010 - 2015 : Threat Of Extinction Or Opportunity For Liberation.
Pakisama Policy Paper
Rusastra LW, Suprihatini R, dan Iqba M (1999). The Anticipative Sugar Development
Strategy Facing Economics Crisis And Competitive market. Centre For International
Economics Studies. University Of Adelaide.
Rusastra. et al., (1998). Keunggulan Komparatif. Struktur - Proteksi dan Perdagangan
Internasional. Dalam Buku Ekonomi Gula Di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor.
Rigss. J.L. (1988). Production Systems : Planning, Analysis and Control. Fourth Edition.
John Willey and Sons, New York.
Susmiadi, Toharisman dan Bakrie (2005). Swasembada Gula : Mungkinkah Tercapai ?.
Majalah Gula Indonesia Vo. XXIV No.l Febriari 1005.
Sumanth. D.1 (1984). Productivity Engineering And Management, International Student
Edition. McGnv-Hill Book Company, New York
Sudana, Simatupang, Friyatno, Muslim dan Sulstyo (2000). Dampak Deregulasi Industri
Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan dan pendapatan petani.
Laporan Penelitian, Pusat penelitian sosial Ekonomi Pertanian , Bogor
Susila dan Susmiadi. (2000). Analisa Dampak pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan
Bebas Terhadap industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, Bogor
Susila (2005). Pengembangan Industri Gula Indonesia ; Analisis Kelayakan Dan
Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi S3 Institut pertanian Bogor. Tidak
Dipublikasikan.
Susila W.R dan Sinaga. (2005). Analisis Kelayakan Industri Gula Nasional. Jurnal Agro
Ekonomi Vol. 23 No. I Mei 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian..
Soentoro, N. Indiarto, dan A.M.S. Ali. (1999). (Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di
Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
Sawit, Erwidodo, Kuntohartono dan Siregar (2003). Penyehatan dan Penyelamatan Industri
Gula Nasional. Jornal Analisa Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Social Ekonomi Pertanian. Vol 1 No. 3 September 2003. Bogor
Stainer, A (1997). Capital Input And Total Productivity Management. MCB University Press.
Midllesex University. London
Toharisman, A. (2007). Kinerja Industri Gula Indonesia 2007. P3GI Pasuruan