KAJIAN PERATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI SEKTOR …
Transcript of KAJIAN PERATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI SEKTOR …
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2 (2018): 299-322
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no2.1665
KAJIAN PERATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
DI SEKTOR PERBANKAN
Aad Rusyad Nurdin*
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 20 Februari 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 19 April 2018
Abstract
The dynamics of carrying out intensive banking business activities between
customers and banks have the potential to raise various problems that cause
violations of the rights of customers as consumers of a bank's business
activities. To overcome the problems of customers as banking consumers, it is
necessary to examine the regulations in the banking sector regarding consumer
protection regulations in the banking sector with Law No. 8 of 1999
concerning Consumer Protection (UUPK). This research is a normative
research that study the law of consumer protection as contained in the UUPK.
The results of the study show that the legislation in the banking sector in
general is in accordance with the regulation on consumer protection as
regulated in the UUPK So that the regulation of consumer protection in the
banking sector can be used as a benchmarking for the development of the
development of consumer protection in other sectors, and also be an input into
changes in the UUPK.
Keywords: Customers, Consumer Protection, Banking.,
Abstrak
Dinamika pelaksanakan kegiatan usaha perbankan yang intensif antara nasabah
dengan pihak bank berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang
menyebabkan terlanggarnya hak- hak dari nasabah sebagai konsumen dari
suatu kegiatan usaha bank. Untuk mengatasi permasalahan nasabah sebagai
konsumen perbankan tersebut perlu dikaji peraturan-peraturan di sektor
perbankan mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan di sektor
Perbankan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang
meneliti hukum perlindungan konsumen sebagaimana terdapat dalam UUPK.
Hasil penelitian menunjukkan peraturan perundang-undangan di sektor
perbankan secara umum sudah sesuai dengan pengaturan tentang perlindungan
konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK. Sehingga pengaturan
perlindungan konsumen di sektor perbankan dapat dijadikan benchmarking
bagi pengembangan pembangunan perlindungan konsumen di sektor lainnya,
dan juga menjadi masukan dalam perubahan UUPK.
Kata Kunci: Nasabah, Perlindungan Konsumen, Perbankan.
300 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
I. LATAR BELAKANG
Perbankan merupakan sektor yang berperan penting dalam menjalankan
roda perekonomian bangsa. Sebagai sektor yang bergerak di bidang jasa
keuangan yaitu lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary
institution), pelaksanaan kegiatan usaha bank yang utama adalah menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat dalam bentuk kredit maupun pembiayaan. Selain itu juga
perbankan memberikan jasa-jasa di bidang keuangan lainnya seperti transfer
dana, kliring dan RTGS (Real Time Gross Settlement), bank garansi, internet
banking dan lain-lain. Dalam melaksanakan kegiatan usaha perbankan tersebut
banyak terjadi interaksi yang intensif antara nasabah dengan pihak bank.
Sehingga dinamika yang terjadi dari interaksi tersebut menimbulkan, atau
berpotensi memunculkan, berbagai permasalahan yang antara lain
menyebabkan terlanggarnya hak- hak dari nasabah sebagai konsumen dari
suatu kegiatan usaha bank. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari
pengaduan yang disampaikan oleh nasabah bank kepada OJK.
Menurut data OJK semester I tahun 2015, terdapat 644 pengaduan yang
diterima OJK dari para konsumen. Dari 644 pengaduan tersebut, sektor
perbankan menyumbang pengaduan yang paling besar sebanyak 390
pengaduan atau 60,5% dari keseluruhan pengaduan. Selebihnya di sektor
industri keuangan non bank (IKNB) sebanyak sebanyak 231 pengaduan atau
35,8% dan sisanya sebanyak 23 pengaduan atau 3,7% dari sektor pasar modal.1
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi nasabah sebagai
konsumen perbankan tersebut perlu dikaji peraturan- peraturan di sektor
perbankan mengenai perlindungan konsumen. Mengingat menurut Pasal 64
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dikemukakan bahwa dasar hukum perlindungan konsumen adalah segala
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi
konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan.
Peraturan- peraturan tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur
secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(yang selanjutnya disebut sebagai “UUPK”) tersebut telah diundangkan 19
tahun yang lalu yaitu sejak tanggal 20 April 1999. Sebagaimana yang
diamanatkan pembuat undang-undang, UUPK bukan merupakan awal dan
akhir dari hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.2 Lebih
lanjut disebutkan bahwa UUPK merupakan “payung yang mengintegrasikan
dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.3 Oleh
karena itu setiap peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang terkait
dengan konsumen, seharusnya membuat peraturan yang memuat ketentuan-
ketentuan yang memberikan perlindungan kepada konsumen, sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam UUPK termasuk di sektor perbankan.
1http://finansial.bisnis.com/read/20150730/90/457862/pengaduan-konsumen-bank-
paling-banyak-dapat-komplain, diunduh 6 Juni 2018. 2 Penjelasan Bagian Umum, paragraf 10 UUPK. 3 Penjelasan Bagian Umum, paragraf 13 UUPK.
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 301
Dikaitkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 50 Tahun
2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, kajian terhadap
peraturan perundang-undangan ini dapat membantu tercapainya salah satu
tujuan Strategi Nasional Perlindungan Konsumen yaitu mempercepat
penyelenggaraan perlindungan konsumen di sektor-sektor prioritas, salah
satunya sektor perbankan.4 Kajian ini juga sesuai dengan arah kebijakan
perlindungan konsumen Indonesia tahun 2017-2019 yaitu untuk memperkuat
fondasi perlindungan konsumen di Indonesia dan mempercepat
penyelenggaraan perlindungan konsumen di sektor-sektor prioritas yang dapat
membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia serta penciptaan
iklim usaha dan hubungan yang lebih berkeadilan antara pelaku usaha dan
konsumen.5
Di samping itu, salah satu strategi dalam pilar dalam Strategi Nasional
Perlindungan Konsumen adalah peningkatan efektifitas peran pemerintah.
Strategi yang akan dilakukan untuk mencapai hal ini salah satunya adalah
memfokuskan dalam penyusunan regulasi perlindungan konsumen yang
mendukung iklim usaha yang sehat, salah satunya di sektor perbankan. Dengan
demikian keberadaan peraturan- peraturan perbankan yang sesuai dengan
UUPK, tidak saja memberikan kepastian hukum bagi konsumen, tetapi juga
bagi pelaku usaha.6
II. POKOK PERMASALAHAN
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kesesuaian
peraturan di sektor Perbankan (di luar sistem pembayaran) dengan Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yang sangat berbeda
secara metodologis dengan penelitian di bidang sains ataupun ilmu-ilmu
sosial. Pendekatan utama penelitian ini adalah kajian atas norma hukum yaitu
hukum perlindungan konsumen sebagaimana terdapat dalam UUPK.
Penelitian ini akan diawali dengan mengumpulkan dan
mengidentifikasi berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah di tingkat pusat yang terkait dengan perlindungan konsumen
di sektor perbankan (di luar sistem pembayaran). Untuk membantu memahami
dan menganalisis substansi dan latar belakang peraturan-peraturan tersebut
akan dilakukan kajian literatur dan pengumpulan data kualitatif berupa
dokumen hukum dari setiap peraturan yang diteliti.
Penelusuran data dilakukan terhadap dokumen hukum dan literatur
pendukungnya. Temuan data akan diolah dan dianalisis kesesuaiannya dengan
ketentuan yang ada dalam UUPK. Analisis data dilakukan terhadap aturan-
aturan yang ada dalam pasal- pasal maupun ayat- ayat dari produk hukum
4 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No 50 Tahun 2017 tentang Strategi
Nasional Perlindungan Konsumen, Bab I tentang Pendahuluan, sub bab B tentang Tujuan. 5 Ibid, Bab IV tentang Arah Kebijakan Perlindungan Konsumen. 6 Ibid.
302 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
perbankan. Dengan demikian akan dapat dilihat kesesuaian atau
ketidaksesuaiannya dengan ketentuan UUPK. Analisis kesesuaian dengan
UUPK tersebut antara lain mengenai: 1) Hak dan Kewajiban Konsumen dan
Pelaku Usaha; 2) Perbuatan yang Dilarang; 3) Tanggung Jawab Pelaku Usaha;
dan 4) Penyelesaian Sengketa.
A. Perlindungan Konsumen Pada Sektor Perbankan
Perbankan merupakan salah satu pilar penting dalam sistem keuangan
di Indonesia karena sekitar 75% pangsa sektor keuangan dikuasai oleh
perbankan. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan yang dimaksud dengan bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Dalam hukum perbankan dikenal 2 (dua) jenis bank yakni:
1. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; dan
2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran7.
Sebelum masuk kepada perlindungan konsumen pada sektor perbankan
di Indonesia, terlebih dahulu akan diuraikan secara sekilas perkembangan
permasalahan perlindungan konsumen sebelum dan sesudah berdirinya OJK.
Dalam konteks hukum perbankan di Indonesia perihal perlunya perlindungan
konsumen di sektor perbankan telah secara singkat disinggung dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU
Perbankan) yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (3) mengatur: “dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan
usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.”
2. Pasal 29 ayat (4) menyebutkan dengan tegas “untuk kepentingan
nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah
yang dilakukan melalui bank.”
Perubahan undang-undang perbankan tersebut merupakan salah satu
upaya mengatasi krisis perbankan yang terjadi sejak pertengahan 1997
sehingga sejak undang-undang tersebut berlaku pada November 1998. Otoritas
7Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, pasal 1 angka 1-4.
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 303
perbankan masih terfokus kepada penanganan restrukturisasi perbankan hingga
awal tahun 2002.
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) pada tanggal 20 April
1999 dan baru berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000 belum mendapat
respon dari otoritas perbankan pada waktu itu. Baru pada awal tahun 2002
Bank Indonesia mulai menyusun cetak biru (blue print-banking landscape)
sistem perbankan nasional yang di dalamnya mengatur pula mengenai
perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen sektor perbankan
tersebut baru dapat direalisasikan oleh Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari
2004 dengan peluncuran Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang
menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar penting dari 6
Pilar dalam API tersebut.
API merupakan suatu cetak biru (blue print-banking landscape) sistem
perbankan nasional yang terdiri dari 6 (enam) pilar untuk mewujudkan visi
sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan
sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional. Enam pilar dalam API adalah
1. struktur perbankan yang sehat;
2. sistem pengaturan yang efektif;
3. sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4. industri perbankan yang kuat;
5. infrastruktur yang mencukupi; dan
6. perlindungan nasabah.
Upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah kemudian
dituangkan menjadi 4 (empat) aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah,
pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan
edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dimasukkan ke dalam empat
program API, yaitu:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen;
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk; dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Keterkaitan satu sama lain dari keempat program di atas secara
bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-
hak nasabah. Seharusnya implementasi program-program tersebut dimulai
dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan
produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini, selain untuk memperluas
wawasan masyarakat mengenai industri perbankan, juga ditujukan untuk
mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan
perencanaan keuangan. Setelah edukasi, dilaksanakan transparansi produk-
produk keuangan dan perbankan agar masyarakat yang berkeinginan untuk
menjadi nasabah bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai
manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu.
Dengan demikian keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah
304 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon
nasabah.8
Produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan produk dan jasa perbankan
tersebut berjalan seiring dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan
pelayanan jasa keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif dari
perbankan. Kecenderungan nasabah untuk melihat sebuah bank sebagai
“financial supermarket” telah memaksa bank-bank untuk memasarkan produk-
produk yang lebih bervariasi.9
Segala kebutuhan keuangan Nasabah diharapkan dapat dipenuhi oleh
perbankan sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa perbankan bagi
nasabah. Oleh karena itu bank dituntut untuk dapat menyediakan semua jasa
keuangan dalam satu atap, sehingga nasabah tidak hanya mendapatkan
produk-produk bank saja melainkan juga produk-produk yang disediakan oleh
lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas, seperti
deposito, tabungan, kredit dan lain sebagainya, melainkan juga menawarkan
produk-produk baru seperti bancassurance (produk asuransi), derivatif (asset
backed securities, credit linked notes) dan investasi (seperti reksadana, dan
equity linked deposit).
Selain hal di atas, perkembangan kemajuan teknologi informasi (ICT-
Information Communication & Technology) berjalan sangat pesat
menyebabkan distribution channels untuk memasarkan produk dan jasa bank
menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat borderless. Bank-bank
semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan
memanfaatkan electronic based channels seperti pemakaian ATM, internet
banking, phone banking dan electronic fund transfer at point of sales
(EFTPOS). Penggunaan teknologi informasi dalam distribusi pelayanan jasa
bank tersebut menyebabkan risiko yang dihadapi oleh industri perbankan juga
semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya
exposures risiko tersebut harus mampu diantisipasi dengan menerapkan
prudential banking activities.10
Semakin meningkatnya exposures risiko tersebut, berpotensi terjadinya
friksi antara bank dengan nasabah. Apabila tidak segera diselesaikan dapat
berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Timbulnya sengketa
tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:
1. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau
jasa yang ditawarkan bank;
2. pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan
yang masih kurang;
3. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank; dan
8Muliaman D. Hadad, Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen
Nasional, Jakarta,16 Juni 2006. 9AgusSudiarto, ArsitekturPerbankan Indonesia: SuatuKebutuhan Dan
TantanganPerbankanKeDepan: Kompas 5 Juni 2003. 10 Agus Sudiarto, Ibid
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 305
4. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian
awal friksi dan atau sengketa yang terjadi antara nasabah dengan
bank.11
Pada tanggal 20 Januari 2005 Bank Indonesia menerbitkan PBI No.
7/6/PBI/2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan
Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang “Penyelesaian
Pengaduan Nasabah” serta PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006
tentang “Mediasi Perbankan”. Penerbitan ketiga peraturan tersebut merupakan
realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha
perbankan dengan amanat UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan
adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen
(nasabah). Melalui aturan-aturan tersebut, kepentingan nasabah secara
eksplisit telah terakomodasi.
Dalam pengimplementasian peraturan tersebut, diperlukan suatu upaya
yang berkelanjutan untuk lebih mengefektifkan program-program perlindungan
nasabah di atas. Program-program dimaksud meliputi pelaksanaan edukasi
masyarakat mengenai hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank,
pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi untuk memberdayakan
masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial literacy)
untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu
merencanakan keuangannya secara bijaksana. Dalam hal ini, edukasi keuangan
diharapkan tidak hanya memberikan peningkatan pemahaman mengenai
produk keuangan dan perbankan namun juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat melalui perencanaan
keuangan yang tepat.12 Edukasi Nasabah menjadi penting karena setidaknya
berguna untuk menjelaskan produk dan jasa bank, memberikan bantuan hukum
struktural serta bantuan hukum teknikal.
Pengawasan dan pengaturan di sektor jasa keuangan sebelumnya berada
di bawah otoritas Bank Indonesia yang mengatur dan mengawasi sektor
perbankan, sedangkan Lembaga Keuangan Bukan Bank/LKBB atau sekarang
dikenal dengan IKNB (Industri Keuangan Non Bank) berada dalam
pengawasan Departemen Keuangan cq. BAPEPAM-LK (Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Dibentuknya OJK menjadikan
pengaturan dan pengawasan sektor keuangan dilakukan secara terintegrasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang OJK tersebut,
terhitung sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Sedangkan untuk sektor perbankan
terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
11Muliaman D. Hadad, Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen
Nasional, Jakarta,16 Juni 2006. 12Muliaman D. Hadad, ibid.
306 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
pada Pasal 28 dan Pasal 29 menyebutkan bahwa OJK berwenang melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat. Kewenangan OJK
tersebut meliputi: (1) memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat
atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; (2) meminta
Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan (3) tindakan lain yang
dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengatur pelayanan
pengaduan Konsumen oleh OJK. Pelayanan tersebut meliputi: menyiapkan
perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; membuat mekanisme
pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh
pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 30 mengatur perlindungan Konsumen oleh OJK dalam melakukan
pembelaan hukum. Kewenangan OJK tersebut meliputi: mengajukan gugatan
untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada
Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran
atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Sejak berfungsinya OJK, telah dikeluarkan sejumlah Peraturan dan
Surat Edaran OJK yang terkait dengan perlindungan konsumen di sektor jasa
keuangan, antara lain:
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara
Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5431;
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.
Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5499;
3. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014
Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi
Keuangan KepadaKonsumen Dan/Atau Masyarakat;
4. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014
Tentang Pelayanan Dan Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa
Keuangan;
5. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014
Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk
dan/atau Layanan Jasa Keuangan;
6. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014
Tentang Perjanjian Baku; dan
7. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015
Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Sektor Jasa Keuangan.
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 307
Selain ketentuan OJK tersebut di atas, khusus untuk para nasabah
penyimpan dana berlaku pula perlindungan dana simpanan nasabah pada
perbankan di Indonesia. Perlindungan tersebut yang dilaksanakan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh LPS.
Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ada terdapat
juga ketentuan yang melindungi nasabah di sektor jasa keuangan terutama
pasal yang mengatur mengenai Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your
Customer Pinciples) dan penundaan transaksi (dalam hal pengguna jasa
melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang
berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana atau diketahui dan/atau patut
diduga menggunakan dokumen palsu)13.
Pengaturan perlindungan konsumen oleh OJK tampaknya telah
memperhatikan standar dan ketentuan yang berlaku secara internasional yang
merupakan best practices on consumer protection, antara lain ketentuan yang
diterbitkan oleh Bank Dunia terkait dengan perlindungan konsumen.
Pada tahun 2012 World Bank telah menerbitkan pedoman perlindungan
konsumen disektor jasa keuangan.14 Pedoman ini bertujuan untuk memastikan
bahwa konsumen mendapatkan informasi yang cukup dalam pengambilan
keputusan, tidak menjadi subyek dari praktik-praktik penipuan dan ketidak
wajaran serta memiliki akses untuk mekanisme penyelesaian perselisihan.
Pedoman ini ditujukan antara lain untuk sektor Perbankan, Asuransi
dan Lembaga Pembiayaan yang isinya meliputi:
1. Institusi perlindungan konsumen;
2. Praktik keterbukaan dan penjualan;
3. Pemeliharaan dan penanganan rekening nasabah;
4. Perlindungan Data dan Privacy;
5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa;
6. Insolvency dan skema jaminan;
7. Financial Literacy dan penguatan konsumen;
8. Perlindungan konsumen dan persaingan usaha.
Hukum perlindungan konsumen, pengaturan dan struktur
pengawasannya adalah elemen yang sangat esensial dari sistem keuangan
modern. Kecukupan pemenuhan perlindungan konsumen, perilaku bertanggung
jawab para pelaku usaha dan kemampuan pengguna/konsumen untuk
melindungi kepentingannya di sektor jasa keuangan berkontribusi penting bagi
penguatan ekonomi masyarakat dan stabilitas di sektor keuangan. Agresivitas
target inklusi keuangan baik pada level nasional maupun internasional dan
kebijakan untuk mendukung sebaran inklusi keuangan perlu didukung oleh
13Undang- UndangNomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang, pasal 18-21 dan pasal 26 14Pedoman ini berjudul : The World Bank, Good Practices for Financial Consumer
Protection. Washington DC, June 2012.
308 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
implementasi perlindungan konsumen yang efektif dan peningkatan kapabilitas
konsumen.15
Menurut The World Bank, dalam Global Survey on Consumer
Protection and Financial Literacy Oversight Frameworks and Practices in 114
Economies, terdapat enam dimensi perlindungan konsumen yang mencakup:
1. Legal Framework
2. Institutional Arrangements
3. Fair Treatment
4. Disclosure requirements & Responsible lending
5. Dispute resolution dan recourse
6. Financial Literacy.
Menurut ketentuan UU Perbankan dan juga Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UUPS), ada
terdapat beberapa jenis nasabah atau pihak yang menggunakan jasa bank dalam
sistem perbankan yang meliputi:
1. Nasabah Penyimpan Dana, yaitu nasabah yang menempatkan dananya
di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan
nasabah yang bersangkutan;
2. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan;
3. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank
Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara
Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan;
4. Walk-In Customer adalah nasabah pengguna jasa bank yang tidak
memiliki rekening pada bank tersebut, tidak termasuk pihak yang
mendapatkan perintah atau penugasan dari nasabah untuk melakukan
transaksi atas kepentingan nasabah tersebut.16
Sedangkan hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan
nasabahnya dapat digambarkan dari kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh
lembaga perbankan berdasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan dan
Pasal 19 dan Pasal 20 UUPS. Secara garis besar kegiatan usaha bank dalam
pasal tersebut jika disarikan menjadi sebagai berikut: (1) bank menghimpun
dana dari masyarakat;(2) menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau
pembiayaan, (3) melakukan jual-beli dan/atau menjamin surat-surat berharga,
(4) melakukan penyertaan pada perusahaan lain di sektor keuangan; dan (5)
memberikan jasa-jasa perbankan. Atas kegiatan usaha yang dijalankan oleh
lembaga perbankan maka bentuk-bentuk hubungan hukum antara bank dengan
nasabahnya selaku konsumen antara lain dapat berupa: hubungan hukum
kreditur dan debitur, penjual dan pembeli, penyewa dan yang menyewakan,
pemberian kuasa, penjaminan, pendiri dana pensiun dan pemegang saham pada
15The World Bank, Global Survey on Consumer Protection and Financial Literacy
Oversight Frameworks and Practices in 114 Economies. Washington DC, 2014. 16 Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang
Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank
Umum.
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 309
perusahaan yang didirikan oleh bank yang bersangkutan dan bentuk hubungan
hukum lainnya.
Secara umum perlindungan Nasabah perbankan terdiri dari dua bentuk,
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Perlindungan langsung atau
Direct/Explicit Protection Scheme diatur melalui Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 28 - 31; Pasal 29 dan Pasal
37 b UU Perbankan, Pasal 36, 38-39 UUPS, UU LPS, POJK mengenai
Perlindungan Konsumen. Sedangkan yang bersifat tidak langsung atau
Indirect/Implicit (impliedly) Protection Scheme dilakukan melalui Pembinaan
& Pengawasan OJK dan BI (Pasal29-37 UUP), PBI Transparansi Produk Bank
dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah (PBI 7/6/2005), PBI Laporan
Pengaduan Nasabah, PBI Laporan Mediasi Perbankan, UU Perlindungan
Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), KUHPerdata Pasal 1365,1367 dan
Wanprestasi serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Pasal 19 jo 22, Pasal 26, 41 jo
66-67.
Untuk selanjutnya uraian di bawah ini akan membahas Peraturan-
peraturan terkait lembaga jasa keuangan perbankan (tidak termasuk sistem
pembayaran), yang telah ada tersebut perlu dikaji bagaimana kesesuaiannya
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Berikut adalah pemaparan
kesesuaian peraturan perundang-undangan terkait lembaga jasa keuangan
perbankan tersebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
B. Peraturan-Peraturan di Sektor Perbankan Terkait UUPK
Pada sektor perbankan peraturan- peraturan yang terkait dengan UUPK
antara lain adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790
2. Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867
4. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang
Peningkatan Literasi Dan Inklusi Keuangan Di Sektor Jasa Keuangan
Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat, Lembaran Negara Tahun 2016
Nomor 315, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6003.
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.
Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5499.
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara
310 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5431
8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi
Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 16 DPNP/DPBS/DPBPR,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4475
9. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah. Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 17
DPNP/DPBS/DPBPR, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4476
10. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi
Perbankan. Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor
DPNP/DPBS/DPBPR, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
11. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014
Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi
Keuangan Kepada Konsumen Dan/Atau Masyarakat.
12. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014
Tentang Pelayanan Dan Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa
Keuangan.
13. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014
Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk
Dan/Atau Layanan Jasa Keuangan.
14. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014
Tentang Perjanjian Baku.
15. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015
Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Sektor Jasa Keuangan.
C. Kesesuaian Dengan Ketentuan Tentang Hak dan Kewajiban
Konsumen dan Pelaku Usaha
Hak dan Kewajiban merupakan hal penting bagi para pihak yang
memiliki hubungan hukum. Para pihak akan dapat memahami hal-hal apa saja
yang bisa atau tidak bisa dilakukan. Konsumen dan Pelaku usaha dalam hal ini
adalah pengguna dan penyelenggara jasa keuangan perbankan. Dalam UU
Perbankan, UUPS, Undang-Undang OJK, POJK dan SEOJK hak dan
kewajiban konsumen diatur sebagai berikut.
UU Perbankan, Pasal 29 ayat (3) mengatur: dalam memberikan kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha
lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Pasal 29
ayat (4) menyebutkan dengan tegas untuk kepentingan nasabah, bank wajib
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Fungsi bank sebagai financial intermediary terutama bekerja dengan
dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap
bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan
masyarakat padanya. Sedangkan setiap bank harus memiliki pedoman dalam
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 311
pemberian informasi kepada nasabahnya, terutama mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian nasabah dan juga agar akses untuk memperoleh
informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang
sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia Perbankan.
UUPS, Pasal 36 mengatur dalam menyalurkan Pembiayaan dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh
cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan
kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya. UUPS, Pasal 38
mengatur Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip
mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
UUPS, Pasal 39 mengatur Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan
kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah
dan/atau UUS. Selanjutnya dalam POJK Nomor: 1/POJK.07/2013
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK PK)
merupakan aturan di bawah undang-undang OJK yang memerinci aspek
perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan yang berisi sebagai berikut:
Pasal 1 Definisi
Pasal 2 Prinsip Perlindungan Konsumen
Pasa 3 Itikad baik konsumen
Pasal 4 - 13 Informasi produk
Pasal 14 Edukasi konsumen
Pasal 15 Akses yg setara
Pasal 16 Kemampuan konsumen
Pasal 17-20 Pemasaran produk
Pasal 21 Keseimbangan perjanjian
Pasal 22 Perjanjian baku
Pasal 23 Benturan kepentingan
Pasal 24 Konsumen berkebutuhan khusus
Pasal 25-26 Keamanan simpanan
Pasal 27-28 Laporan kepada konsumen
Pasal 29 Kerugian konsumen
Pasal 30 Penyalahgunaan yang merugikan konsumen
Pasal 31 Larangan pemberian data konsumen
Pasal 32-37 Pengaduan konsumen
Pasal 38-40 Penyelesaian pengaduan konsumen via OJK
Pasal 41-46 Fasilitasi OJK dalam pengaduan konsumen
Pasal 47-49 Sisdur Perlindungan konsumen
Pasal 50 Pengendalian internal konsumen
Pasal 51-52 Pengawasan kepatuhan
Pasal 53 Sanksi
Pasal 54 Penyesuaian perjanjian baku
Pasal 55-57 Ketentuan penutup
Dalam Pasal 3 menyebutkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi
dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan. Dalam Pasal 4 ayat (1) POJK PK disebutkan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai
312 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
Pasal-pasal tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku usaha jasa perbankan
wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah serta menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko
kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank. Apabila penyelenggara jasa perbankan menempuh cara-cara yang tidak
merugikan nasabah dan menyediakan informasi mengenai resiko yang dapat
terjadi maka hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam menggunakan jasa akan terpenuhi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
4 huruf a dan c UUPK. Pengguna jasa memiliki hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UUP dan Pasal 39 UUPS serta
POJK PK tersebut di atas.
Pasal 4 sampai dengan Pasal 13 mengatur mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha dalam menginformasikan produknya.
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan
tidak menyesatkan. Pasal 14 mengatur mengenai edukasi konsumen, Pelaku
Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka
meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat. Selain
itu, Pasal 15 POJK PK mengatur bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memberikan akses yang setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi
Konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal
tersebut menunjukkan bahwa POJK PK melindungi hak konsumen untuk
mendapatkan informasi mengenai produk lembaga jasa keuangan, edukasi dan
dilayani secara tidak diskriminatif, dalam kondisi apapun semua pelanggan
diperlakukan sama.
Selanjutnya, hal yang terpenting juga diatur dalam POJK PK Pasal 29
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk
kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Hal ini sesuai dengan hak
konsumen untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi sebagaimana diatur
dalam UUPK. Dengan demikian, POJK PK mengatur hak-hak pengguna yang
sesuai dengan apa yang tercantum dalam UUPK.
Hak yang dimiliki pengguna jasa berkaitan erat dengan kewajiban yang
harus dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan. Pelaku usaha jasa
keuangan memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan simpanan, dana, atau
aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa
Keuangan; memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan
layanan kepada Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian
dengan Konsumen; memberikan laporan kepada Konsumen tentang posisi
saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban Konsumen secara
akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian
dengan Konsumen. Hal-hal tersebut diatur dalam Pasal 25-26 POJK PK.
Dengan demikian, hak konsumen atas keamanan simpanan, dana atau aset
konsumen sudah dilindungi dan sesuai dengan UUPK.
Ada pula kewajiban pelaku usaha untuk menangani pengaduan nasabah
sebagaimana di atur dalam Pasal 32–37 POJK PK. Pelaku Usaha Jasa
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 313
Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan bagi Konsumen. Mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan tersebut wajib diberitahukan kepada Konsumen.
Sedangkan Pasal 49 mengatur mengenai kewajiban Pelaku Usaha Jasa
Keuangan memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis
perlindungan Konsumen. Kebijakan tersebut wajib dituangkan dalam standar
prosedur operasional yang kemudian dijadikan panduan dalam seluruh kegiatan
operasional Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Disamping hal diatas sebagaimana
diatur dalam Pasal 50 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem
pengendalian internal terkait dengan perlindungan Konsumen yang sekurang-
kurangnya mencakup kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen dan sistem pelaporan dan
monitoring terhadap tindak lanjut pengaduan Konsumen.
Penjabaran ketentuan di atas pada intinya memberikan perlindungan
bagi konsumen untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang baik sehingga
haruslah sesuai dengan standar pelayanan, juga hak atas informasi yang benar
dan akurat, memperoleh ganti kerugian, selain itu juga mendapatkan pelayanan
pengaduan konsumen dalam penyelengaraan jasa keuangan. Apabila kita
memperhatikan apa sudah yang diatur di dalam peraturan terkait perlindungan
konsumen di sektor jasa keuangan dan UUPK, hak dan kewajiban yang ada di
peraturan tersebut nampak sudah cukup lengkap dan sesuai dengan yang ada
pada UUPK.
D. Kesesuaian Dengan Ketentuan Tentang Perbuatan Yang Dilarang
Dalam ketentuan Undang-Undang dibidang Perbankan termasuk juga
UU OJK tidak secara spesifik diatur mengenai perbuatan yang dilarang
sepanjang terkait dengan perlindungan konsumen. Namun demikian norma
perlindungan konsumen yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang di
bidang perbankan dan UU OJK kemudian diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia dan Peraturan OJK yang secara tegas mengatur hal yang dilarang
dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan. Selain mengatur kewajiban
pelaku usaha sektor jasa keuangan, terdapat juga larangan-larangan yang
berlaku bagi pelaku usaha/penyelenggara jasa sektor keuangan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 17, 19, 22 ayat (3), Pasal 31 dan Pasal 33 POJK PK sebagai
berikut:
1. Pasal 17: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi
pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan
memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam
mengambil keputusan.
2. Pasal 19: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran
produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui
sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.
3. Pasal 22 ayat (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku
Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
314 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk
dan/atau layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha
Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan
oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika
Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya
kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen,
bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi
harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk
dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak
oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen
memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli
oleh Konsumen secara angsuran.
4. Pasal 31: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada
pihak ketiga kecuali dalam hal Konsumen memberikan persetujuan
tertulis; dan/atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
5. Pasal 33: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun
kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.
Perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 18
UUPK memang lebih banyak mengatur larangan-larangan dalam penjualan
barang selain ada pula aturan yang dilarang dalam sektor perdagangan jasa
termasuk dalam hal ini sektor jasa keuangan keuangan. Jika dilihat dan
dibandingkan dengan UUPK, peraturan-peraturan terkait jasa keuangan agak
berbeda dengan apa yang diatur di UUPK karena memang peraturan jasa
keuangan lebih menekankan pada pemberian jasa atau financial services
sehingga perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang tentu saja khusus
terkait dengan delivery of financial services yang berpotensi mengganggu
penyelenggaraan jasa keuangan.
E. Kesesuaian Dengan Ketentuan Tentang Tanggung Jawab Pelaku
Usaha
Berdasarkan pemaparan pasal-pasal sebelumnya, pada prinsipnya setiap
perbuatan pelaku usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
ataupun tidak sesuai dalam perjanjian jasa keuangan dan merugikan pengguna
jasa maka penyelenggara jasa keuangan wajib bertanggung jawab baik dengan
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 315
ganti rugi dan/atau sanksi denda. Dalam UUPK ketentuan tentang tanggung
jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Pada
dasarnya norma tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam UUPK
tersebut dapat diterapkan pada pelaku usaha disektor jasa keuangan. Namun
ada hal yang berbeda dengan ketentuan di UUPK, dalam mana di sektor jasa
keuangan, pelaku usaha dapat juga menyelesaikan permasalahan dengan
konsumen berupa permohonan maaf yang dibuat berdasarkan kesepakatan
bersama antara pelaku usaha dan konsumen selain penyelesaian beruap ganti
kerugian.
Apabila terjadi permasalahan antara konsumen dan pelaku usaha sektor
jasa keuangan biasanya akan digunakan mekanisme pengaduan nasabah kepada
penyelenggaran jasa keuangan, yang pada tahap pertama akan ditangani
terlebih dahulu secara internal oleh pelaku usaha/penyelenggara jasa keuangan.
Apabila tidak tercapai penyelesaian maka dapat menggunakan forum
penyelesaian di luar pengadilan yakni melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan atau konsumen dapat
menggunakan forum pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi tersebut17.
Dalam Surat Edaran OJK Nomor : 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan
dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Penyelesaian Pengaduan dapat Berupa Pernyataan Maaf Atau Menawarkan
Ganti Rugi (Redress/Remedy) antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan
Konsumen dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tata cara pemberian “pernyataan maaf” dibuat berdasarkan kesepakatan.
Dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara PUJK dan Konsumen maka
“pernyataan maaf” dilakukan secara tertulis.
2. Yang dapat diberikan ganti rugi adalah kerugian yang terjadi karena aspek
finansial. Ganti rugi sebagaimana dimaksud, harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. terdapat pengaduan yang mengandung tuntutan ganti rugi yang
berkaitan dengan aspek finansial;
b. pengaduan Konsumen yang diajukan adalah benar, setelah PUJK
melakukan penelitian;
c. adanya ketidaksesuaian antara perjanjian produk dan/atau layanan
dengan produk dan/atau layanan yang diterima;
d. adanya kerugian material;
e. Konsumen telah memenuhi kewajibannya.
3. Mekanisme pengajuan ganti rugi harus memenuhi sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan ganti rugi dengan disertai kronologis
kejadian bahwa penjelasan mengenai produk dan/atau pemanfaatan
layanan yang tidak sesuai yang disertai dengan bukti-bukti;
b. permohonan paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk dan/atau
layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian;
17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan junctoSurat Edaran OJK Nomor :
2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan Dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan
316 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
c. permohonan diajukan dengan surat permohonan dan dapat diwakilkan
dengan melampirkan surat kuasa;
d. ganti kerugian hanya yang berdampak langsung terhadap Konsumen
dan paling barnyak sebesar nilai kerugian yang dialami oleh
Konsumen.
F. Kesesuaian Dengan Ketentuan Tentang Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana telah diuraikan di atas, di sektor jasa keuangan apabila
terjadi sengketa dengan nasabah maka langkah pertama adalah mengupayakan
diselesaikan oleh pelaku usaha yang bersangkutan melalui mekanisme
pengaduan nasabah. Atas pengaduan tersebut pelaku usaha akan
mengupayakan penyelesaian secara internal terlebih dahulu. Apabila dapat
disepakati diselesaikan melalui permintaan permohonan maaf dan atau
pemberian ganti rugi kepada konsumen yang telah dirugikan. Namun jika
persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan secara internal maka konsumen
dapat menggunakan forum Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di
Sektor Jasa Keuangan dengan layanan penyelesaian sengketa dapat berupa
mediasi, ajudikasi dan arbitrasi.
Khusus perbankan syariah perihal penyelesaian sengketa ini ada diatur
secara tegas dalam Pasal 55 UUPS. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Peradilan Agama,
maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Penyelesaian
sengketa tersebut tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pada bagian
penjelasan UUPS ada disebutkan yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam Pasal 23 UUPK disebutkan bagi Pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen. Pasal 45-48 juncto Pasal 52-58 UUPK mengatur mengenai
penyelesaian sengketa baik melalui non litigasi maupun litigasi.
Berdasarkan uraian di atas dalam hal penyelesaian sengketa konsumen
di sektor jasa keuangan pada prinsipnya telah sesuai dengan ketentuan dalam
UUPK, meskipun secara kelembagaan penyelesaian sengketa di sektor jasa
keuangan lebih lengkap jika dibandingkan pengaturan dalam UUPK.
G. Matriks Kesesuaian UUPK dan POJK Perlindugan Konsumen
UU Perlindungan Konsumen Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perlindungan Konsumen
Pasal 4 huruf c: Pasal 4:
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 317
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi mengenai produk dan/atau
layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
Pasal 5:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyampaikan informasi yang terkini dan
mudah diakses kepada Konsumen tentang
produk dan/atau layanan.
Pasal 8:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyusun dan menyediakan ringkasan
informasi produk dan/atau layanan.
Pasal 4 huruf f:
Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen
Pasal 14:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyelenggarakan edukasi dalam rangka
meningkatkan literasi keuangan kepada
Konsumen dan/atau masyarakat.
Pasal 4 huruf g:
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
Pasal 15:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memberikan akses yang setara kepada
setiap Konsumen sesuai klasifikasi
Konsumen atas produk dan/atau layanan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 4 huruf h:
Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
Pasal 29:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan
dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau
pihak ketiga yang bekerja untuk
kepentingan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
Pasal 6 huruf b:
Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik
Pasal 3:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
untuk memastikan adanya itikad baik
Konsumen dan mendapatkan informasi
dan/atau dokumen mengenai Konsumen
yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
Pasal 7 huruf b:
Memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
Pasal 4:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi mengenai produk dan/atau
layanan yang akurat, jujur, jelas, dan
tidak menyesatkan.
318 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
Pasal 7 huruf c:
Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
Pasal 15:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memberikan akses yang setara kepada
setiap Konsumen sesuai klasifikasi
Konsumen atas produk dan/atau layanan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 7 huruf g: memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian
Pasal 29:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan
dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau
pihak ketiga yang bekerja untuk
kepentingan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
Pasal 18 Ayat 1:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
Pasal 22:
Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan
menggunakan perjanjian baku, perjanjian
baku tersebut wajib disusun sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 Ayat 2:
Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
Pasal 7 ayat:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menggunakan huruf, tulisan, simbol,
diagram dan tanda yang dapat dibaca
secara jelas.
Pasal 19 Ayat 1:
Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
Pasal 29:
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan
dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau
pihak ketiga yang bekerja untuk
kepentingan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
Pasal 45 Ayat 1:
Setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
Pasal 40:
(1) Konsumen dapat menyampaikan
pengaduan yang berindikasi sengketa
antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan
dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat
menyampaikan pengaduan yang
berindikasi pelanggaran atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 45 Ayat 2:
Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa.
Pasal 39:
(1) Dalam hal tidak mencapai
kesepakatan penyelesaian pengaduan,
Konsumen dapat melakukan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau melalui
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 319
pengadilan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa
tidak dilakukan melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Konsumen dapat menyampaikan
permohonan kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk memfasilitasi
penyelesaian pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.
H. Kesimpulan
Peraturan perundang-undangan di sektor perbankan secara umum sudah
sesuai dengan pengaturan tentang perlindungan konsumen sebagaimana diatur
dalam UUPK. Dalam hal ini sektor Perbankan telah cukup banyak mengatur
perihal perlindungan konsumen jasa keuangan. Beberapa peraturan yang terkait
konsumen yang telah diatur pada prinsipnya sesuai dengan apa yang diatur
dalam UUPK bahkan secara infrastruktur sektor jasa keuangan telah memenuhi
unsur best practices (praktik terbaik) dalam penanganan consumer protection
karena telah memenuhi berbagai elemen yang mendasari penanganan
perlindungan konsumen yang baik yang terdiri dari:.
a. Keberadaan aturan hukum yang secara tegas mengatur
perlindungan konsumen;
b. Adanya pengaturan kelembagaan yang jelas;
c. Perlakuan yang adil;
d. Penerapan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab;
e. Penyelesaian sengketa dan ganti rugi; serta
f. Program Edukasi nasabah.
I. Rekomendasi
Pengaturan perlindungan konsumen di sub sektor perbankan dapat
dijadikan benchmarking atau contoh baik bagi pengembangan pembangunan
perlindungan konsumen di sektor lainnya pada sektor jasa keuangan, dan juga
menjadi masukan dalam perubahan UUPK.
320 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku/ Makalah/Artikel
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Nasution Az.Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
cetakankesatu, 1995.
Rachmat, Budi.Multi Finance Handbook (Leasing, Factoring, Consumer
Finance) Indonesian Perspective. Jakarta: PT Pradnya Paramita,
Cetakan Pertama, 2004.
Samsul, Inosentius. Disertasi dengan judul: Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta: Grasindo,
2000.
Shofie, Yusuf editor.Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dalam
Kurikulum Fakultas Hukum. Jakarta: YLKI-USAID 1998.
Soekanto, Soerjono ed. Bahan Bacaan Perspektif Teoritis dalam Sosiologi
Hukum.Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
_____. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3. Jakarta: UI Press, 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Raja Grafindo Perkasa, 2007.
Sutandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya.Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.
Tarr, A.A. “Consumer Protection Legislation and the Market Place”, Otago
Law Review, 1983, Vol. 5 No. 3.
Hadad, Muliaman D. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia. Makalah disampaikan pada diskusi
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta,16 Juni 2006.
Sudiarto, Agus. Arsitektur Perbankan Indonesia: Suatu Kebutuhan Dan
Tantangan Perbankan Ke Depan: Kompas 5 Juni 2003.
The World Bank.Good Practices for Financial Consumer Protection.
Washington DC, June 2012.
Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen, Aad Rusyad Nurdin 321
_____. Global Survey on Consumer Protection and Financial Literacy
Oversight Frameworks and Practices in 114 Economies. Washington DC,
2014.
2. PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun
1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 4125.
________. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU No. 21
Tahun 2011, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253.
________. Undang-Undang tentang Perbankan. UU No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. LN
No. 31Tahun 1992, TLN No. 3473
dan LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790.
________. Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. UU No 21 Tahun
2008, LN No. 94Tahun 2008, TLN Nomor 4867
________. Undang-Undang tentang Perasuransian. UU No 40 Tahun 2014,
LN No.337Tahun 2014, TLN Nomor 5618
________.Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian PP No. 73 Tahun 1992.
________.Peraturan Presiden Tentang Lembaga Pembiayaan. Perpres Nomor
9 Tahun 2009.
________.Peraturan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non-Bank. Nomor 30/PMK.010/2010.
Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan.Nomor 1/POJK.07/2013
________.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan
Dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Pada Perusahaan Perasuransian,
Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, Dan Perusahaan Penjaminan.
Nomor 4/POJK.05/2013
________.Peraturan tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di
Sektor Jasa Keuangan.Otoritas Jasa Keuangan. Nomor
1/POJK.07/2014
________.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Peningkatan Literasi
Dan Inklusi Keuangan Di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen
dan/atau Masyarakat.Nomor 76/POJK.07/2016.
322 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
________.Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaksanaan
Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen
Dan/Atau Masyarakat. Nomor 1/SEOJK.07/2014
________.Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelayanan Dan
Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan.Nomor 2/SEOJK.07/2014
________.Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian
Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk Dan/Atau Layanan Jasa
Keuangan.Nomor 12/SEOJK.07/2014
________.Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan tentang Perjanjian
Baku.Nomor 13/SEOJK.07/2014
________.Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penilaian
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Nomor
7/SEOJK.07/2015
Bank Indonesia.Peraturan tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah.Nomor 7/6/PBI/2005
________. Peraturan tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.Nomor
7/7/PBI/2005
________. Peraturan tentang Mediasi Perbankan. Nomor 8/5/PBI/2006