KADAR SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE 1 PADA …

69
KADAR SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE 1 (SFLT-1) PADA HIPERTENSI GESTASIONAL DAN PREEKLAMPSIA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN LUARAN PERINATAL THE LEVEL OF SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE-1 (SFLT-1) ON GESTATIONAL HYPERTENSION AND PREECLAMPSIA AND ITS RELATION WITH PERINATAL OUTCOMES Gusriani SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of KADAR SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE 1 PADA …

KADAR SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE 1 (SFLT-1)

PADA HIPERTENSI GESTASIONAL DAN PREEKLAMPSIA

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN LUARAN PERINATAL

THE LEVEL OF SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE-1 (SFLT-1) ON

GESTATIONAL HYPERTENSION AND PREECLAMPSIA AND ITS

RELATION WITH PERINATAL OUTCOMES

Gusriani

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

Kadar soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) pada

Hipertensi Gestasional dan Preeklampsia serta

Hubungannya dengan Luaran Perinatal

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Kebidanan

Disusun dan diajukan oleh

GUSRIANI

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan anugerah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan untuk

melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan program Magister

Kebidanan di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Masyarakat.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah peneliti mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ketua Program Studi S2 Kebidanan Sekolah Pascasarjana

Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc.,Sp.GK atas

segala dorongan dan bimbingan selama kami mengikuti pendidikan.

2. Pembimbing, Dr.dr. Irfan Idris, M.Kes dan Dr. Mardiana Ahmad,

S.Sit.,M.Keb atas waktu dan bimbingannya selama proses

penyusunan hingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Penguji, Dr.dr. Sharvianty Arifuddin, Sp.OG(K), Dr.dr. Burhanuddin

Bahar, MS., Dr.dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ atas waktu yang

diluangkan untuk mengikuti presentasi ujian tesis peneliti serta

memberikan saran dan koreksi kepada peneliti.

4. Direktur RSKDIA Siti Fatimah serta para staf yang telah sangat

membantu selama peneliti melakukan penelitian.

5. Direktur RSIA Siti Khadijah I Makassar serta para staf yang telah

sangat membantu selama peneliti melakukan penelitian.

6. Staf Prodi S2 kebidanan atas kerjasama dan segala bantuan yang

diberikan selama penyusunan tesis.

7. Rekan-rekan sejawat mahasiswa S2 Kebidanan Universitas

Hasanuddin Angkatan Ke-IV atas segala dukungan selama

penyusunan tesis

8. Ayah dan Ibu tercinta atas segala doa dan dukungan, atas segala

pengertian dan kasih sayang sehingga peneliti sampai pada tahap

akhir penyelesaian tesis ini.

9. Kakak dan adik serta seluruh keluarga yang juga selalu memberikan

doa dan dukungan.

Akhirnya perkenankanlah peneliti mengucapkan terimakasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu

persatu, yang telah membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan

tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada semua

pihak yang dengan ikhlas membantu terselesainya tesis ini.

Makassar, 2017

Peneliti

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Gusriani

Nomor Induk Mahasiswa : P4400215012

Program Studi : Ilmu Kebidanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa proposal/tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atas pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini merupakan karya

orang lain maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Makassar, Juli 2017 Yang Menyatakan,

Gusriani P4400215012

ABSTRAK

GUSRIANI. Kadar soluble Fms-like tyrosine Kinase-1 (sFlt-1) pada

Hipertensi Gestasional dan Preeklampsia serta Hubungannya dengan

Luaran Perinatal. (Dibimbing oleh Irfan Idris dan Mardiana Ahmad).

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar sFlt-1 pada

preeklampsia, hipertensi gestasional dan kehamilan normal serta

mengetahui hubungan antara kadar sFlt-1 dengan luaran perinatal.

Penelitian ini menggunakan studi observasional analitik secara potong

silang. Sampel yang digunakan adalah ibu inpartu preeklampsia sebanyak

22 orang, ibu inpartu hipertensi gestasional sebanyak 10 orang dan ibu

hamil normal sebanyak 18 orang. Kadar sFlt-1 diperiksa menggunakan

metode ELISA. Data dianalisis menggunakan uji kruskal wallis, uji One

Way Anova dan uji korelasi Pearson.

Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik subjek penelitian

pada kelompok preeklampsia, hipertensi gestasional dan kelompok kontrol

tidak berbeda bermakna (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna antara

kadar sFlt-1 pada kelompok preeklampsia, hipertensi gestasional dan

kelompok kontrol (7,876±3,792 ng/mL, 5,686±1,712 ng/mL, 3,348±1,653

ng/mL; p<0,05). Terdapat korelasi antara kadar sFlt-1 dengan asfiksia

(p=0,003) dan berat badan lahir (p=0,015) pada kelompok preeklampsia,

sedangkan pada kelompok hipertensi gestasional dan kelompok hamil

normal tidak ditemukan hubungan antara kadar sFlt-1 dengan asfiksia

maupun berat badan lahir (p>0,05).

Kata Kunci : sFllt-1, preeklampsia, hipertensi gestasional, berat badan

lahir, asfiksia.

Abstract

GUSRIANI. The Level Of Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase-1 (Sflt-1) On

Gestational Hypertension And Preeclampsia And Its Relation With

Perinatal Outcomes. (Supervised by Irfan Idris and Mardiana Ahmad).

Soluble fms like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) is one of the markers that

play a role in the pathogenesis of pregnancy induced hypertension. The

aims of the research were to determine the difference between sFlt-1 level

in preeclampsia and gestational hypertension and normal preegnancy and

to determine the relationship beteween sFlt-1 level and prenatal outcome.

The samples werw preeclampsia inpartu consisting of 22 peopole,

gestational hypertension inpartu consisting of 10 people, and normal

pregnancy women consisting of 18 people. Analytic observational study

with cross sectional was conducted. The level of sFlt-1 was examined

using ELISA. Statistic analysis used Kruskal Wallis test, One way Anova

test and Pearson correlation test.

The result indicate that the characteristics of research subject in

preeclampsia group, gestational group and control group do not have a

significant difference (p>0.05).The negative linear relationship occured

between sFlt-1 level with asphyxia (p=0,003) and birth weight in

preeclampsia (p=0,015). While, in the group of gestational hypertension

and the group of normal pregnancy was not available of the relationship

either sFlt-1 level with asphyxia or birth weight in the both groups (p>0.05).

Keywords: sFlt-1, preeclampsia, gestational hypertension, birth weight,

asphyxia.

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN SAMPUL I

PRAKATA II

ABSTRAK III

DAFTAR ISI VI

DAFTAR TABEL IX

DAFTAR GAMBAR X

DAFTAR LAMPIRAN XI

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN XII

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 6

E. Ruang Lingkup/ Batasan Penelitian 6

F. Sistematika Penulisan 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 9

A. Tinjauan tentang Faktor Angiogenik 9

1. Faktor Proangiogenik 10

2. Faktor Antiangiogenik 13

B. Tinjauan tentang Hipertensi Gestasional 16

1. Definisi 16

2. Faktor Risiko 17

3. Etiologi dan Patofisiologi 18

4. Penegakan Diagnosa 20

5. Penatalaksanaan 21

C. Tinjauan tentang Preeklampsia 25

1. Definisi 25

2. Faktor Risiko 26

3. Etiologi dan Patofisiologi 31

4. Penegakan Diagnosa 38

5. Penatalaksanaan 39

D. Tinjauan tentang Luaran Perinatal 43

E. Tinjauan tentang Kadar sFlt-1 pada Hipertensi 47

Gestasional dan Preeklampsia serta hubungannya

Dengan Luaran Perinatal

F. Kerangka Teori 50

G. Kerangka Konsep 51

H. Hipotesis Penelitian 51

I. Definisi Operasional 52

III. Metodologi Penelitian 54

A. Rancangan Penelitian 54

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 54

C. Populasi dan Tekhnik Sampel 54

1. Populasi Penelitian 54

2. Sampel 55

3. Kriteria 55

4. Pemilihan Sampel 55

D. Instrumen Pengumpulan Data 56

E. Analisis Data 56

F. Tahapan Penelitian 57

G. Alur Penelitian 60

H. Izin Penelitian dan Kelayakan Etik 61

IV. Hasil dan Pembahasan 65

A. Hasil Penelitian 65

B. Pembahasan 73

C. Keterbatasan Penelitian 84

V. Kesimpulan dan Saran 86

A. Kesimpulan 86

B. Saran 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

nomor halaman

1. Penatalaksanaan Hipertensi Gestasional 14

2. Faktor risiko preeklampsia 17

3. Rekomendasi perawatan ekspektatif pada 31

preeklampsia tanpa gejala berat

4. Karakteristik Subyek Penelitian 65

5. Rerata kadar sFlt-1 pada ketiga kelompok penelitian 66

6. Hasil uji post hoc test rerata kadar sFlt-1 67

antar kelompok penelitian

7. Distribusi perbedaan status Asfiksia pada 68

ketiga kelompok penelitian

8. Perbedaan BBL bayi pada ketiga kelompok penelitian 68

9. Korelasi Kadar sFlt-1 dengan Asfiksia dan berat 69

badan lahir bayi

10. Perbedaan BBL bayi pada ketiga kelompok penelitian 69

11. Korelasi Kadar sFlt-1 dengan Asfiksia dan berat 69

badan lahir bayi.

12. Korelasi kadar sFlt-1 dengan Paritas dan Umur Ibu 70

DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

1. Perbandingan plasenta pada kehamilan normal 28

dan preeklampsia

2. Penatalaksanaan preeklampsia tanpa gejala berat 32

3. Penatalaksanaan preeklampsia dengan gejala berat 33

DAFTAR LAMPIRAN

nomor

1. Master Tabel Penelitian

2. Lembar Penjelasan kepada Responden

3. Informed Choiche

4. Lembar observasi hipertensi gestasional dan luaran perinatal

5. Lembar observasi preeklampsia dan luaran perinatal

6. Surat keterangan selesai pengambilan data dari RSPTN Unhas

7. Surat keterangan selesai melakukan penelitian dari RSKDIA Siti

Fatimah Makassar

8. Surat keterangan selesai melakukan penelitian dari RSIA Siti

Khadijah I Makassar

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/

singkatan Arti dan Keterangan

nL

ACOG

ANC

ARDV

BBLR

CD4

ELISA

Et al.

FGR

HDP

HELLP

HLA-G

HUVECs

IMT

IUGR

Kg

LSD

mg

MHC

mmHg

Nanoliter

The American College of Obstetricians and Gynecologis

Ante Natal Care, asuhan selama kehamilan

Absent or reversed end diastolic velocity

Bayi berat lahir rendah

Jenis sel darah putih atau limfosit

Enzyme-linked immunosorbent assay

et alii, dan kawan kawan

Fetal Growth Restriction, Pertumbuhan Janin Terhambat

High Blood Pressure

Hemolysis, elevated liver enzyme, low platelets

Human Leukosit Antigen G

Human umbilical vein endothelial cells

Indeks Masa Tubuh

Intra-uterine Growth Restriction

Kilogram, tetapan berat badan

Least significant difference

Miligram

Major histocompatibility complex, Kompleks histokompatibilitas utama

Milimeter Merkuri (Hydrargyrum), satuan tekanan darah

Mmol

NK

NO

PGE2

PlGF

PNPK

rpm

sEng

sFlt-1

SGA

SPSS

TXA2

VEGF

WHO

Milimoles

Natural Kiler

Nitrat Oksidasi

Prostaglandin E2

Placental Growth Factor

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Revolutions Per Minute atau Revolusi Per Menit

soluble Endoglin

Soluble Fms-like tyrosine kinase 1

Small for Gestational Age

Statistical Product and Service Solution

Tromboksan A2

Vascular Endothelial Growth Factor

World Health Organization, Organisasi kesehatan dunia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tekanan darah tinggi (High Blood Pressure atau hipertensi)

adalah kondisi medis kronis yang ditandai dengan peningkatan tekanan

darah pada dinding arteri setiap kali jantung berkontraksi yaitu ≥ 140/90

mmHg (American Heart Association, PubMed Healt Glossary,

Prawirohardjo, 2012., Sibai, 2002). Pada kehamilan, terdapat beberapa

gangguan hipertensi yang sering terjadi, diantaranya adalah hipertensi

gestasional dan preeklampsia (Prawirohardjo, 2012., Sibai, 2002).

Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologis

(2014), Hofmeyr and Belfort (2009) dan Wagner (2004), hipertensi

gestasional adalah hipertensi yang baru terjadi pada usia kehamilan di

atas 20 minggu tanpa disertai proteinuria. Sedangkan preeklampsia

adalah hipertensi yang dapat mempengaruhi semua organ, terjadi setelah

usia kehamilan 20 minggu yang diawali dengan disfungsi endotel dan

penurunan perfusi organ serta seringkali ditandai dengan adanya

proteinuria (Airoldi and Weinsten, 2007., Poon and Niolaides, 2014.,

Myrta, 2015).

World Health Organization (WHO) mencatat angka kejadian hipertensi

dalam kehamilan di seluruh dunia mencapai 5%-8%. Sementara untuk

preeklampsia, prevalensinya mencapai 1,3%-6% di negara maju dan

1,8%-18% di negara berkembang (Monica et al.,2015). Angka prevalensi

yang tinggi menjadikan hipertensi dalam kehamilan menempati urutan ke

dua penyebab kematian ibu dan bayi. Sajith et al (2014) menuliskan,

hipertensi dalam kehamilan menyebabkan 50.000 kematian per tahun

atau 10% dari total kematian ibu. Sedangkan preeklampsia bertanggung

jawab atas 70.000 kematian.

Dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) diagnosis

dan tata laksana preeklampsia (2016), angka kejadian hipertensi dalam

kehamilan di Indonesia tercatat mencapai 5% - 15%, sedangkan

preeklampsia mencapai 128.273 kasus atau sekitar 5,3% per tahun. Di

Sulawesi Selatan pada tahun 2015 tercatat 36 kematian ibu yang

disebabkan hipertensi dalam kehamilan. Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu

dan Anak (RSKDIA) Siti Fatimah Makassar pada tahun 2015 tercatat

angka kejadian hipertensi gestasional sebanyak 78 kasus dan

preeklampsia sebanyak 82 kasus. Sedangkan di RSIA Siti Khadijah I

Makassar pada tahun yang sama ada sebanyak 83 kasus untuk hipertensi

gestasional dan 180 kasus untuk preeklampsia.

Tingginya angka kematian yang dikarenakan hipertensi gestasional

dan preeklampsia berkaitan dengan komplikasi yang disebabkannya.

Muti.(2015), membuktikan peran serta hipertensi gestasional dalam

meningkatkan risiko penyakit jantung, penyakit ginjal dan stroke pada ibu.

Pada preeklampsia, komplikasi pada ibu meliputi oliguria, anuria, solusio

plasenta dan sindrom hemolysis, elevated liver enzyme, low

platelets (HELLP). Pada bayi, hipertensi gestasional dapat meningkatkan

risiko Intra-uterine Growth Restriction (IUGR), Small for Gestational Age

(SGA) dan kelahiran prematur, sedangkan preeklampsia, meningkatkan

risiko kematian intrauterine, pertumbuhan janin terhambat, prematuritas

dan asfiksia perinatal (Sivakumar, 2007).

Hingga saat ini belum ditemukan cara ideal untuk dapat memprediksi

secara dini terjadinya hipertensi gestasional dan preeklampsia karena

etiologi dan patogenensisnya yang belum pasti. Beberapa penelitian telah

dikembangkan dengan menggunakan berbagai marker laboratorium untuk

memprediksi terjadinya hipertensi gestasional dan preeklampsia. Salah

satu marker yang menjadi perhatian saat ini karena dianggap paling

memberi harapan terkait patogenesis hipertensi gestasional dan

preeklamsia adalah faktor anti angiogenesis yaitu peningkatan kadar

soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1).

Peningkatan kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional dikarenakan

terjadinya stres oksidatif, terutama di pembuluh darah, yang berkontribusi

pada disfungsi vaskular dan hipertensi. Pada preeklampsia, peningkatan

kadar sFlt-1 disebabkan iskemia plasenta. Peningkatan kadar sFlt-1 pada

hipertensi gestasional dan preeklampsia menyebabkan disfungsi endotel

yang mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response sehingga

terjadi gangguan organ baik pada ibu maupun bayi. Hal inilah yang

memperburuk luaran perinatal ibu hipertensi gestasional dan

preeklampsia sehingga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas

(Lam, 2005).

Pada kehamilan normal kadar sFlt-1 rendah sampai dengan akhir

trimester II. Konsentrasi mulai meningkat mendekati akhir trimester II pada

wanita yang nantinya mengalami preeklampsia, 4 sampai 5 minggu

sebelum manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Pengukuran sFlt-1

pada kehamilan dapat menolong memprediksi onset awal preeklampsia

dengan sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas 96% (Maynard et al,

2011).

Penelitian mengenai kadar sFlt-1 pada preeklampsia telah dilakukan

dibeberapa tempat dengan menggunakan berbagai metode penelitian.

Penelitian yang dilakukan sejauh ini memiliki kesimpulan yang sama

bahwa kadar sFlt-1 pada preeklampsia jauh lebih tinggi dibanding

kehamilan normal dan dihubungkan dengan patogenesis preeklampsia

(Mc Keeman et al 2004, Maynard et al 2005, Powers et al 2010, Rahmi et

al 2016). Untuk penelitian tentang kadar sFlt-1 pada hipertensi

gestasional, sepengetahuan peneliti masih sangat kurang dilakukan di

Indonesia sehingga data mengenai kadar sFlt-1 pada hipertensi

gestasional masih minim, karena itu perlu dilakukan penelitian terkait

kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional yang nantinya akan dibandingkan

dengan kadar sflt-1 pada preeklampsia sehingga didapatkan nilai cut off

point dari masing-masing kategori.

Berdasar pada uraian tersebut, peneliti bermaksud melakukan

penelitian kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional dan preeklampsia serta

hubungannya dengan luaran perinatal.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Berapa kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional dan bagaimana

hubungannya dengan luaran perinatal?

2. Berapa kadar sFlt-1 pada preeklampsia dan bagaimana hubungannya

dengan luaran perinatal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terbagi atas 2, yaitu :

1. Tujuan umum

Untuk mengukur kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional dan

preeklampsia serta hubungannya dengan luaran perinatal

2. Tujuan khusus

a. Mengukur kadar sFlt-1 pada hipertensi gestasional

b. Mengukur kadar sFlt-1 pada preeklampsia

c. Menganalisis hubungan antara kadar sFlt-1 dengan luaran

perinatal

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi :

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan masukan di setiap unit pelayanan kesehatan dan digunakan

oleh setiap tenaga kesehatan khususnya para bidan sebagai dasar

pencegahan dan penanganan hipertensi gestasional dan

preeklampsia

2. Manfaat Teoritis

Hasil peneliian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan tambahan pengetahuan dalam

memperkaya konsep dan teori terhadap ilmu pengetahuan dalam

bidang kebidanan terutama dalam patafisiologi hipertensi gestasional

dan preeklampsia.

E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional. Data yang

digunakan adalah data primer yaitu dengan melakukan pengambilan

darah melalui vena cubiti ibu inpartu sebanyak 2 ml. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh ibu inpartu di RSKDIA Siti Fatimah dan RSIA

Siti Khadijah I Makassar. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah

ibu inpartu dengan hipertensi gestasional atau preeklampsia sesuai

dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan oleh peneliti.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian

F. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Faktor Angiogenik

B. Tinjauan Tentang Hipertensi Gestasional

C. Tinjauan Tentang Preeklampsia

D. Tinjauan Tentang Luaran Perinatal

E. Tinjauan tentang Kadar sFlt-1 pada Hipertensi Gestasional

dan Preeklampsia serta hubungannya dengan Luaran

perinatal

F. Kerangka Teori

G. Kerangka Konseptual

H. Hipotesis

I. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

C. Populasi dan Sampel

D. Instrumen Pengumpulan Data

E. Analisis Data

F. Tahapan Penelitian

G. Alur Penelitian

H. Etika Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Faktor Angiogenik

Endotel vaskular merupakan sistem yang paling serba guna di dalam

tubuh yang menyediakan berbagai macam fungsi pertukaran dan regulasi

yang penting. Peranan penting sel endotel vaskular adalah memiliki

kemampuan untuk berproliferasi dan membentuk jaringan kapiler. Proses

ini dikenal dengan istilah angiogenesis, terutama saat masa

perkembangan embrio (Lam et al, 2005). Plasenta merupakan organ

vaskuler dan banyak memproduksi faktor angiogenik. Faktor

proangiogenik yang beredar disekresikan oleh plasenta mencakup faktor

endotel vaskular pertumbuhan (VEGF) dan faktor pertumbuhan plasenta

(PlGF) sedangkan faktor antiangiogenik yaitu Fms-seperti larut tyrosine

kinase reseptor (sFlt-1) (atau dikenal sebagai larut reseptor VEGF tipe I)

dan endoglin (Seng) (Maynard and Karumanchi, 2011).

Plasenta mensekresikan sFlt-1 dan sEndoglin yang meningkat dalam

sirkulasi ibu beberapa minggu sebelum timbulnya preeklampsia. Faktor

anti-angiogenik menghasilkan disfungsi endotel sistemik, mengakibatkan

hipertensi, proteinuria, dan manifestasi lain dari preeklampsia (Maynard et

al, 2011).

1. Faktor proangiogenik

a. Placental Growth Factor (PlGF)

Placenta Growth factor atau PlGF pertama kalai di klon dari

plasenta pada tahun 1991. Telah terdeteksi pada jaringan lain

selain plasenta, misalnya terdapat pula di paru-paru, jantung, otot

dan jaringan lemak. Terdapat kemiripan antara PlGF dan vascular

endothelial factor (VEGF) dengan kemiripan struktur mencapai

42%. Terdapat 4 bentuk PlGF yaitu PLGF-1, PlGF-2, PlGF3 dan

PlGF4. Ukuran molekulnya kecil sekitar 30 kDa dan di filtrasi

melewati urin.

Pada endotel PlGf berperan penting dalam menstimulasi

pembetukan oksidasi nitrit sebagai vasodilator. Protein PlGF ini

terutama bekerja sebagai vasodilator kuat dan melebarkan arteri.

Bila tidak terjadi gangguan PlGF berperan sangat penting

(terutama bila tidak terjadi hipoksia) dalam menunjang

pertumbuhan plasenta dan janin. Pada sebuah penelitian kadar

PlGF serum ibu pada kehamilan normal usia 11-13 minggu rata-

rata mencapai 34,71% pg/mL, sedangkan yang berkembang

menjadi preeklampsia pada usia selanjutnya rata-rata 25,08 pg/ml,

atau lebih rendah dari kehamilan normal. Sedangkan kehamilan

normal usia 30-33 minggu, rata-rata mencapai 475,25 pg/mL, dan

yang menderita preeklampsia mempunyai kadar rata-rata hanya

178,10 pg/mL.

Pada kehamilan normal, kadar PlGF meningkat pada usia

kehamilan 8-12 minggu dan mencapai puncaknya pada usia

kehamilan 29-32 minggu, kemudian menurun pada saat usia

kehamilan 33-40 minggu. Kadar PlGF pada wanita dengan risiko

preeklampsia lebih rendah daripada kehamilan normal dimulai pada

usia kehamilan 13-16 minggu sampai dengan . Kadar serum

PlGF pada kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat secara

signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal

pada usia kehamilan 33 minggu, tetapi tidak pada usia kehamilan

17 atau 25 minggu (Maynard and Karumanchi, 2011., Warrington,

2013).

Faktor angiogenesis bekerja saat VEGF dan PlGF berinteraksi

dengan reseptor VEGF. Meskipun kedua faktor pertumbuhan

diproduksi oleh plasenta, tingkat serum PlGF naik lebih signifikan

pada kehamilan (Hladunewich, 2007). Maynard et al , 2011

mengamati bahwa kadar serum VEGF dan PlGF mengalami

penurunan pada wanita dengan preeklampsia. Peneliti lain telah

mengkonfirmasi temuan ini dan menunjukkan temuan yang sama

(Cerdeira, 2011).

b. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Salah satu yang penting untuk pertumbuhan dan

kehidupan endotelium adalah VEGF. Faktor proangiogenik ini

menginduksi terjadinya angiogenesis dan proliferasi sel endotel

serta berperan penting dalam proses vaskulogenesis. VEGF

memiliki banyak reseptor, dan yang paling berperan dalam

plasentasi adalah VEGF Reseptor 1 (VEGFR-1) atau Fms-like

tyrosine kinase 1 (Flt-1) dan VEGF Reseptor 2 (kinase-insert

domain region (KDR)). VEGF merupakan sitokin yang multifaktor

yang berperan dalam angiogenesis secara invivo. VEGF dapat

ditemukan pada sel yang berbeda, contohnya seperti otot polos, sel

endotel, monosit/makrofag, dan polymorphonuclear neutrophils

(PMNs) (Steinberg et al , 2009).

Reseptor utama VEGF adalah Kinase insert domain (KDR),

kerjanya tergantung pada tanda angiogenik yang dihasilkan dari

pertumbuhan pembuluh darah dalam keadaan normal. Sebaliknya,

Flt-1 merupakan implikasi patologi dari angiogenesis dan inflamasi.

VEGF yang terikat dengan Flt-1 akan menginduksi kemotaksis

monosit dan memodulasi migrasi PMN transendotelial dan

aktivasinya. Flt-1 hanya ditemukan pada sirkulasi kehamilan

sehingga pada wanita yang tidak hamil maupun pria tidak akan

ditemukan flt-1. Meskipun VEGF total menunjukkan peningkatan

ringan pada preeklampsia, namun VEGF terikat oleh sFlt-1 yang

mempunyai afinitas yang lebih kuat terhadap VEGF daripada PlGF

sehingga menyebabkan VEGF bebas jumlahnya menurun di

sirkulasi maternal. Penurunan VEGF ini biasanya terjadi hingga <

30 pg/mL dan kebanyakan tidak dapat terdeteksi karena

konsentrasinya di bawah batas deteksi Enzyme Linked Immuno

Sorbent Assay (ELISA) (Wang, 2009).

2. Faktor Antiangiogenik

Faktor antiangiogenik yang disekresikan plasenta yaitu sFlt-1 dan

sEng. sEng merupakan koreseptor untuk TGF-β yang terdapat pada

sitotrofoblas selama trimester pertama. sFlt-1 merupakan inhibitor kuat

terhadap PlGF dan VEGF, karena ikatannya terhadap kedua faktor

proangiogenik pada sirkulasi maternal, menyebabkan terhalangnya efek

angiogenik (Power, 2010). Pengukuran sFlt-1 pada kehamilan dapat

menolong memprediksi onset awal preeklampsia dengan sensitivitas

sebesar 83% dan spesifisitas 96% (Maynard et al , 2011).

a. Soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1)

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penumpukan sekresi

molekul antiangiogenik yang dihasilkan plasenta, yang dikenal sebagai

sFlt-1 (disebut juga soluble vascular endothelial growth factor receptor

-1/ sVEGFR-1) berperan terhadap patogenesis preeklampsia. Produksi

Flt-1 melalui sekresi trofoblas secara endogen menghasilkan potongan

Flt-1 yang bersifat larut air sehingga disebut dengan soluble Flt-1 yang

kemudian dilepaskan ke sirkulasi maternal. sFlt-1 merupakan bentuk

Flt-1 yang kehilangan domain sitoplasmik dan transmembran, tetapi

masih memiliki domain ligand-binding. Beraksi dengan antagonis

terhadap reseptor VEGF dan PlGF (VEGFR-1) dan mempunyai daya

ikat yang lebih erat terhadap VEGF dan PlGF dibandingkan dengan

VEGFR-1 sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi

melemahkan PlGF dan menyebabkan proses angiogenesis plasenta

terganggu (Schoofs, 2014., Warrington, 2013). Keadaan ini pada

akhirnya akan menimbulkan sindrom preeklampsia seperti proteinuria,

hipertensi dan disfungsi endotel (Bdolah et al ., 2005; Andersen et al .,

2015).

Kadar sFlt-1 mulai meningkat mendekati akhir trimester II pada

wanita yang nantinya mengalami preeklampsia, 4 sampai 5 minggu

sebelum manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Seiring dengan

berjalannya waktu, manifestasi preeklampsia nyata sebagai

peningkatan sFlt-1 dengan konsentrasi meningkat 2-4 kali dibanding

kehamilan normal dan terbesar pada preeklampsia berat (Maynard et

al , 2011). Kadar sFlt-1 akan menurun secara drastis setelah

melahirkan, baik pada preeklampsia maupun pada kehamilan normal

(Cerdeira, 2012).

Peran sFlt-1 dalam patogenesis preeklampsia memiliki nilai

prediktif dan implikasi diagnostik yang penting, hal yang sama

diharapkan dapat diaplikasikan pada hipertensi gestasional mengingat

patofisiologinya yang serupa.

b. Soluble Endoglin

Soluble Endoglin merupakan reseptor angiogenik pada permukaan

sel endotel dan syncytiotrofoblas plasenta. Disebut juga dengan CD

105, merupakan suatu glikoprotein transmembran (dulay, 2014). sEng

mempunyai dua varian yang teridentifikasi, yaitu Endoglin-L yang

terdiri dari 633 asam amino dengan 47 asam amino sitoplasmik dan

Endoglin-S yang terdiri dari 600 asam amino dan 14 asam amino

sitoplasmik. Berat molekul sEng sebesar 180 kDa dan merupakan

suatu koreseptor homodimerik untuk golongan transforming growth

factor (TGF) (Chen 2009). sEng merupakan reseptor TGFβ-1 dan β-3.

Eng memodulasi signal TGFβ dengan cara berinteraksi dengan

reseptor TGFβ-1 dan 2 (Venkatesha, 2006).

Endoglin mengikat TGF-beta dalam hubungan dengan reseptor

TGF-beta yang merupakan molekul proangiogenic, sehingga efek dari

Seng adalah anti-angiogenik. Beberapa pengamatan mendukung

peran Seng dalam patogenesis Preeklampsia (Lam, 2005). Hal ini

ditemukan dalam darah wanita dengan Preeklampsia hingga 3 bulan

sebelum tanda-tanda klinis dari kondisi tersebut, tingkat dalam darah

ibu berkorelasi dengan keparahan penyakit, dan tingkat Seng dalam

darah turun setelah melahirkan. Dalam penelitian pada tikus hamil,

sEng menyebabkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan

hipertensi (Hladunewich, 2007).

Endoglin merupakan protein terkait proliferasi dan hipoksia yang

diekspresikan dalam jumlah besar pada sel endotel angiogenik. Serum

ini banyak terlihat pada membrane sel sinsitiotrofoblas, sel endotel

vaskuler, dan juga terdapat pada sel lain seperti pada monosit dan

sel-sel stem hemopoetik (Cerdeira, 2012). Kadar sEng pada kehamilan

normal rata-rata dalam keadaan yang relatif stabil dan sedikit

meningkat pada usia kehamilan 33-42 minggu. Namun sirkulasi

konsentrasi sEng signifikan meningkat pada kehamilan dengan

Preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat (Dulay, 2014).

B. Tinjauan tentang Hipertensi Gestasional

1. Definisi

Hipertensi gestasional adalah tekanan darah tinggi yang terjadi pada

trimester II kehamilan (setelah 20 minggu) dengan sistolik ≥ 140 mmHg

atau diastolik ≥ 90 mmHg tanpa disertai proteinuria dan menghilang pasca

melahirkan. Meskipun akan menghilang pasca melahirkan, hipertensi

gestasional dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi di kemudian

hari ataupun terulang kembali pada persalinan berikutnya. Hipertensi

gestasional juga dapat berkembang menjadi preeklampsia. Kondisi ini

sering terjadi pada wanita muda dengan kehamilan pertama, pada

kehamilan kembar dan pada wanita di atas usia 35 tahun (Packard, 2016.,

Lindheimer, 2008., Leeman, 2008).

2. Faktor risiko

Penyebab hipertensi gestasional belum diketahui dengan pasti.

Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi

gestasional, antara lain:

a. Penyakit ginjal

Semua studi yang diulas oleh Duckitt menyimpulkan risiko

hipertensi gestasional meningkat sebanding dengan keparahan

penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal (PNPK, 2016).

b. BMI 35 kg / m2 atau lebih

Hasil penelitian yang dilakukan Kazemian et al menunjukkan

obesitas pra-kehamilan dan berat badan kehamilan yang

berlebihan sebagai faktor risiko potensial terkena hipertensi

gestasional (Kazemian et al , 2014).

c. Hipertensi pada kehamilan sebelumnya

Penelitian menyimpulkan wanita dengan hipertensi pada kehamilan

sebelumnya memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena hipertensi

gestasional (Dalmaz, 2011).

d. Usia ibu lebih tua dari 40

Duckitt melaporkan peningkatan risiko hipertensi hampir dua kali

lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada

primipara maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko

(PNPK, 2016).

e. Kehamilan multipel

Sibai et al dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

menunjukkan, kehamilan kembar meningkatkan risiko hipertensi

hampir 3 kali (PNPK, 2016).

f. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio

Metaanalisis Masoudian et al (2016) memberikan bukti lebih lanjut

yang mendukung bahwa donasi telur meningkatkan risiko

hipertensi gestasional dibandingkan dengan metode teknologi

reproduksi lainnya atau pembuahan alami.

g. Ras kulit hitam

Kintiraki et al (2015) menyimpulkan bahwa wanita dengan kulit

hitam lebih berisiko untuk mengalami hipertensi gestasional

h. Nulipara

Wanita nulipara berisiko mengalami hipertensi gestasional, dan tiga

kali lipat berpotensi mengalami preeklampsia (Kintiraki et al , 2015)

i. Diabetes melitus

Penelitian yang dilakukan oleh Lykke et al menyimpulkan bahwa

ada hubungan yang erat antara kejadian diabetes melitus dengan

hipertensi gestasional (Lykke et al , 2009).

3. Etiologi dan Patofisiologi

Mekanisme yang bertanggung jawab untuk patogenesis hipertensi

gestasional belum diketahui pasti. Studi selama dekade terakhir, telah

mencoba memberikan penjelasan yang lebih baik terkait mekanisme

potensial atas patogenesis hipertensi gestasional. Penyebab awal

hipertensi gestasional diduga bermula dari berkurangnya perfusi

uteroplasenta akibat sitotrofoblas invasi abnormal pada arteriol spiral.

Iskemia plasenta menyebabkan luas aktivasi / disfungsi endotel vaskular

ibu yang meningkatkan produksi endotelin dan tromboksan, selain itu,

disfungsi endotel juga meningkatkan sensitivitas vaskular menjadi

angiotensin II dan penurunan pembentukan vasodilator seperti nitrat

oksida dan prostasiklin. Pentingnya kuantitatif dari berbagai faktor endotel

dan humoral dalam mediasi penurunan hemodinamik ginjal dan fungsi

ekskretoris dan elevasi tekanan arteri selama hipertensi gestasional masih

belum jelas. Para peneliti berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor

plasenta yang bertanggung jawab untuk menengahi aktivasi / disfungsi

endotel vaskular ibu (Tam, 2011).

Analisis microarray gen pada iskemik plasenta memberikan

penjelasan baru tentang hubungan iskemia plasenta dan hipertensi.

Iskemik plasenta pada hipertensi dikaitkan dengan peningkatan plasma

sFlt-1. Peningkatan sFlt-1 dikarenakan terjadinya stres oksidatif, terutama

di pembuluh darah, yang berkontribusi pada disfungsi vaskular dan

hipertensi. Penurunan natriuresis tekanan ginjal dan peningkatan sFlt-1

dapat menyebabkan hipertensi dan dimediasi oleh endotelin yang

menurunkan perfusi ginjal (Egeland, 2016., Tam, 2011).

4. Penegakkan Diagnosis

Diagnosis sering didasarkan pada peningkatan tekanan darah, tetapi

gejala lainnya dapat membantu penegakkan diagnosis hipertensi

gestasional. Tes untuk hipertensi gestasional antara lain sebagai berikut :

a. Pengukuran tekanan darah

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg

sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15

menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah

peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau

110 mmHg diastolik. Mat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter

air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter

jarum atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru

menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan alat otomatis

sering memberikan hasil yang lebih rendah (PNPK, 2016).

Pemeriksaan tekanan darah dimulai ketika pasien dalam keadaan

tenang; posisi duduk dengan manset sesuai level jantung ; gunakan

ukuran manset yang sesuai ; gunakan bunyi korotkoff V pada pengukuran

tekanan darah diastolik. Pasien juga dianjurkan tidak merokok 30 menit

sebelum pemeriksaan tekanan darah (National Institute for Health and

Care Execellence, 2011).

b. Tes urin

Pengecekan proteinuria wajib dilakukan untuk untuk memastikan tidak

terjadi preeklampsia. Diagnosa proteinuria signifikan jika protein urin :

rasio kreatinin lebih besar dari 30 mg / mmol atau divalidasi dalam 24 jam

hasil pengumpulan urin menunjukkan lebih besar dari 300 mg protein.

Namun jika hal ini tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dapat digantikan

dengan pemeriksaan semikuantitatif menggunakan dipstik urin > 1+

(National Heart and Blood Institute, 2015).

c. Tes fungsi hati dan ginjal

Tes ini perlu dilakukan untuk penegakan diagnosa. Gangguan ginjal

terjadi jika kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar

kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.

Sedangkan Gangguan liver yaitu jika terjadi peningkatan konsentrasi

transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik /

regio kanan atas abdomen. Jika kedua hal tersebut positif, maka pasien

dipastikan tidak mengalami hipertensi gestasional, melainkan

preeklampsia (PNPK, 2016).

d. Tes pembekuan darah

Pada wanita hipertensi gestasional ditemui komplikasi hematologi.

Kompilkasi hematologi ini adalah trombositopenia yaitu jumlah

trombositnya < 100.000 / mikroliter (PNPK, 2016).

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hipertensi gestasional adalah sebagai berikut

(National Institute for Health and Care Execellence, 2014., Anaesthesiol,

2014):

a. Pada wanita dengan hipertensi gestasional penilaian penuh harus

dilakukan dalam pengaturan perawatan sekunder oleh tenaga

kesehatan profesional.

b. Pada wanita dengan hipertensi gestasional, mempertimbangkan

faktor-faktor risiko berikut yang membutuhkan penilaian tambahan

meliputi : nulliparity ; usia 40 tahun atau lebih tua ; kehamilan

multipel ; obesitas ; riwayat pre-eklampsia atau hipertensi

gestasional ; sudah ada penyakit ginjal.

c. Penawaran wanita dengan hipertensi gestasional paket terpadu

meliputi masuk ke rumah sakit, perawatan, pengukuran tekanan

darah, pengujian untuk proteinuria dan tes darah seperti yang

ditunjukkan pada Tabel berikut :

Tabel 1. Penatalaksanaan Hipertensi Gestasional (National Institute for

Health and Care Excellence, 2011)

Degree of

Hypertension

Mild

hypertension

(140/90 to 149/99

mmHg)

Moderate

hypertension (150/100

to 159/109 mmHg)

Severe hypertension

(160/110 mmHg 0r higher)

Admit to

Hospital

No No Yes (until blood pressure is

159/109 mmHg or lower)

Treat No With oral labetalol as

first-line treatment to

keep :

- Diastolic blood

pressure between

80-100 mmHg

- Systolic blood

pressure less than

150 mmHg

With oral labetalol as first-

line treatment to keep:

- Diastolik blood pressure

between 80-100 mmHg

- Systolic blood pressure

less than 150 mmHg

Measure

blood

pressure

Not more than

once a week

At least twice a week At least four times a day

Test for

proteinuria

At each visit

using automated

reagent-strip

reading device or

urinary protein :

creatinine ratio

At each visit using

automated reagent-strip

reading device or

urinary protein :

creatinine ratio

Daily using automated

reagent-strip reading device

or urinary protein :

creatinine ratio

Blood tests Only those for

routine antenatal

care

Test kidney function,

electrolytes, full blood

count, transaminases,

bilirubin

Test at presentation and

then monitor weekly :

- Kidney function,

electrolytes, full blood

count transaminases

bilirubin

d. Hanya menawarkan wanita dengan hipertensi gestasional

pengobatan antihipertensi selain labetalol setelah

mempertimbangkan efek samping untuk wanita, janin dan bayi

baru lahir. Alternatif termasuk metildopa † dan nifedipine †.

e. Pada wanita yang menerima perawatan rawat jalan untuk

hipertensi gestasional berat, setelah itu telah dikendalikan secara

efektif di rumah sakit, mengukur tekanan darah dan tes urine dua

kali seminggu dan melakukan tes darah mingguan.

f. Pada wanita dengan hipertensi presentasi ringan sebelum 32

minggu, atau berisiko tinggi pre-eklampsia, mengukur tekanan

darah dan tes urine dua kali seminggu.

g. Jangan menawarkan istirahat di rumah sakit sebagai pengobatan

untuk hipertensi gestasional.

h. Jangan menawarkan lahir sebelum 37 minggu untuk wanita

dengan hipertensi gestasional yang tekanan darah lebih rendah

dari 160/110 mmHg, dengan atau tanpa pengobatan

antihipertensi.

i. Untuk wanita dengan hipertensi gestasional yang tekanan darah

lebih rendah dari 160/110 mmHg setelah 37 minggu, dengan atau

tanpa pengobatan antihipertensi, waktu lahir, dan indikasi ibu dan

janin untuk lahir harus disepakati antara wanita dan dokter

spesialis kandungan.

j. Penawaran melahirkan wanita dengan refraktori hipertensi

gestasional parah setelah pemeriksaan kortikosteroid (jika

diperlukan) telah selesai.

C. Tinjauan tentang Preeklampsia

1. Definisi

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan (setelah 20

minggu) yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon

maternal berupa peningkatan tekanan darah (≥140/90 mmHg) dan

proteinuria (≥ 0,3 gram/hari atau 0,30 mg / protein mmol / rasio kreatinin)

terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi

pada wanita yang sebelumnya normotensi, dan akan hilang sepenuhnya

pada postpartum ≤ 6 minggu (PNPK, 2016., Dulay, 2014). Tidak hanya

ditandai oleh hipertensi dan proteinuria, preeklampsia juga disertai

peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel, dan

koagulopati. 20% wanita preeklampsia berat juga didapatkan sindrom

HELLP yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar,

trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem koagulasi. Angka

kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000 kehamilan (Myrta, 2015).

2. Faktor Risiko

Tabel 2. Faktor risiko preeklampsia (PNPK, 2016., English, 2015)

Faktor – faktor Risiko Preeklampsia

Faktor

Maternal

Inheren Umur < 20 atau 35-40

Nulliparitas

Diri/keluarga dengan riwayat PE

atau penyakit kardiovaskular

Wanita yang terlahir PJT

Kondisi medis Obesitas

Hipertensi Kronik

Penyakit Ginjal kronis

DM (IR, type 1 dan GDM)

APS

Penyakit Jaringan ikat

Thrombophilia

Stress

Kehamilan Spesifik Kehamilan majemuk

Oocyte donation

UTI

Janin dengan kelainan

(molahydtidosa, hydrops fetalis,

anomali structural)

Faktor

Paternal

Paparan dgn semen &

sperma terbatas

Barrier contraception

Pertama kali menjadi ayah

Donor Insemination

Suami dengan riwayat PE dengan pasangan terdahulu

Berikut beberapa paparan mengenai faktor yang terbukti

meningkatkan risiko Preeklampsia (PNPK, 2016., English, 2015) :

a. Usia

Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua

kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada

primipara, maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko

preeklampsia secara bermakna. Robillard et al melaporkan bahwa

risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan usia

ibu.

b. Nulipara

Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat.

c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai

faktor risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat

pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma.

d. Jarak antar kehamilan

Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,

memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan

sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia

hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk melaporkan bahwa

risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya

interval dengan kehamilan pertama.

e. Riwayat Preeklampsia sebelumnya

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan

faktor risiko utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali

lipat. Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia

sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia

berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.

f. Riwayat keluarga preeklampsia

Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko

hampir 3 kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu

meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali lipat.

g. Kehamilan multipel

Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,

kehamilan kembar meningkatkan risiko Preeklampsia hampir 3 kali

lipat. Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki

risiko hampir 3 kali lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk

menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang

lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan

normal.

h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau

donor embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis

yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun.

Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum

diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi

preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi

preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin

mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita

hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih

lama.

Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada

kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada

kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami

preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas menurun

apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya

peningkatan risiko Preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita

dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat

preeklampsia.

i. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat

pertama kali Ante Natal Care (ANC)

Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin

besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat

berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan

faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko

preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita dengan

IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki

risiko preeklampsia 4 kali lipat.

Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan

pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi

preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang kurus (IMT <

19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang

gemuk (IMT > 29,0).

j. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)

Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila

diabetes terjadi sebelum hamil

k. Penyakit Ginjal

Semua studi yang diulas oleh Duckitt, risiko preeklampsia

meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita

dengan penyakit ginjal.

l. Sindrom antifosfolipid

Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan

adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan

lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10

kali lipat.

m. Hipertensi kronik

Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik,

didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% dan

hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu)

dengan luaran maternal dan perinatal yang lebih buruk. Chappel

juga menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai

secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklampsia

superimposed pada wanita hamil dengan hipertensi kronik yaitu :

riwayat Preeklampsia sebelumnya, penyakit ginjal kronis, merokok,

obesitas, diastolik >80 mmHg dan sistolik >130 mmHg.

3. Etiologi dan patofisiologi preeklampsia

Etiologi dan patogenesis preeklampsia belum diketahui pasti, karena

itu preeklampsia disebut sebagai disease of theories. Patofisiologi

preeklampsia lebih dari peningkatan tekanan darah dan fungsi ginjal.

Beberapa dari etiologi potensial preeklampsia antara lain (Anaesthesiol,

2014., Robert J M, 2014) :

a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah

dari cabang – cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus

miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi

arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri

basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan terjadi invasi

trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan

degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi

arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah,

penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero

plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi

jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan

baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada preeklampsia

terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku

dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan

vasodilatasi, sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah

hipoksia dan iskemia plasenta.

b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel

1) Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas

Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat

plasenta mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan

radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai

toksin. Radiakl hidroksil akan merusak membran sel yang banyak

mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel

2) Disfungsi Endotel

Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya

fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel

keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan menyebabkan

terjadinya :

a) Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya

produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator

kuat.

b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang

mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi

tromboksan (TXA2) yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam

keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak dari pada

tromboksan. Sedangkan pada preeklampsia kadar tromboksan

lebih banyak dari pada prostasiklin, sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan darah.

c) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus

(glomerular endotheliosis)

d) Peningkatan permeabilitas kapiler.

e) Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu

endotelin. Kadar NO menurun sedangkan endotelin meningkat.

f) Peningkatan faktor koagulasi

3) Teori intoleransi imunologik ibu dan janin

Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil

konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human

Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas

janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan

mempermudah invasis el trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada

plasenta ibu yang mengalami preeklampsia terjadi ekspresi penurunan

HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke

dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada

preeklampsia.

4) Teori Adaptasi kardiovaskular

Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan

vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap

rangsangan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih

tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi

akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel endotel. Pada

preeklampsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan

vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap

bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami

vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

5) Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.

Genotype ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan

secara familial jika dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti

bahwa ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya

akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak

menantu mengalami preeklampsia.

6) Teori Stimulasi Inflamasi

Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam

sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses

inflamasi. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia,

dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga

produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat.

Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon

inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit

yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan

gejala – gejala preeklampsia pada ibu.

Dari banyak teori yang disampaikan, pertimbangan utama terkait

penyebab terjadinya preeklampsia mengarah pada plasenta sebagai fokus

patogenik, karena preeklampsia hanya terjadi pada keberadaan plasenta

dan persalinan menjadi penyembuhan definitif satu-satunya. Kelainan

invasi trofoblas merupakan penyebab utama hipertensi terkait dengan

sindrom preeklampsia. Hal ini karena hipoperfusi plasenta yang dihasilkan

dari invasi mempengaruhi pelepasan senyawa vasoaktif sistemik yang

menyebabkan respon inflamasi yang semuanya berkontribusi terhadap

disfungsi organ dan berbagai fitur klinis penyakit (Uzan, 2011., Eiland,

2012).

Dalam Textbook of Perinatal Medicine Second Edition patofisiologi

preeklampsia digambarkan dalam dua tahap, yaitu:

a. Perubahan perfusi plasenta

Patofisiologi preeklampsia dimulai dengan kelainan pada

perkembangan plasenta yang menyebabkan produksi zat

vaskulogenik normal yang setelah mencapai sirkulasi maternal

menghasilkan sindrom klinis ibu. Ada bukti yang cukup atas peran

plasenta dalam patogenesis preeklampsia yakni pada kehamilan

mola, preeklampsia tetap terjadi.

Pada kehamilan normal, sitotrofoblas invasif bermigrasi menuju

desidua tunika arteri spiral maternal dan mengganti endotelium

dalam proses yang disebut pseudovascularization. Diferensiasi

trofoblas sepanjang jalur invasif melibatkan perubahan ekspresi

dari molekul, termasuk sitokin, molekul adhesi, matriks

ekstraselular, metalloproteinase dan kelas Ib major

histocompatibility complex (MHC) molekul, HLA-G. Sebagai hasil

dari perubahan ini, arteri spiral maternal mengalami transformasi.

Hal ini memungkinkan peningkatan aliran darah dari ibu-janin.

Perubahan arteriol ini mungkin dimulai pada trimester pertama dan

berakhir pada kehamilan 18-20 minggu. Namun, usia kehamilan

yang tepat di mana invasi berhenti tidak diketahui (Tannetta, 2013).

Pada pemeriksaan plasenta dari kehamilan dengan preeklampsia

umumnya ditemukan plasenta mengalami infark dan terjadi

penyempitan karena sklerosis dari arteri dan arteriole yang ditandai

dengan kelainan invasi endovaskuler oleh sitotrofoblas dan tidak

adekuatnya remodeling dari arteri spiralis uterus. Penyebab utama

kegagalan sitotrofoblas invasif untuk menjalani

pseudovascularization tidak jelas. Namun, faktor imunologi dan

genetik telah dicurigai menjadi salah satu penyebab (Lim, 2016).

Faktor proangiogenik dan antiangiogenik bekerjasama dalam

perkembangan plasenta. Angiogenesis plasenta pada

preeklampsia tidak efektif, sitotrofoblas gagal merubah ikatan cell-

surface dan adhesion molecules. Perubahan yang abnormal dari

sitotrofoblas merupakan deteksi awal yang akan menyebabkan

iskemi plasenta (Roberts, 2014).

Gambar 1. Perbandingan plasenta pada kehamilan normal dan

preeklampsia

Dalam perkembangan plasenta normal, terjadi proses

"pseudovasculogenesis" atau "Mimikri vaskular" (tanda panah

atas). Sedangkan pada preeklampsia, sitotrofoblas gagal untuk

mengadopsi fenotip endotel invasif sehingga invasi arteri spiral

menjadi lebih pendek dan resisten (tanda panah bawah) (Lim,

2016).

b. Sindrom Maternal

Abnormalitas plasenta yang timbul akibat kegagalan remodeling

sitotrofoblas arteri spiralis uterus menyebabkan pelepasan

beberapa faktor angiogenik tersekresi ke sirkulasi maternal dan

mencapai puncaknya pada simpton klinis preeklampsia yang

dikenal dengan sindrom maternal. Pada kehamilan normal, respon

bawaan kekebalan tubuh ibu diaktifkan untuk membawa keadaan

inflamasi. Hal ini memainkan peran menguntungkan selama

kehamilan, seperti inflamasi sitokin yang terlibat dalam proses

implantasi dan plasentasi (Goulopoulou, 2015). Namun pada

preeklampsia terjadi penurunan sirkulasi CD4 regulatory T38 cells

yang diregulasi dalam berbagai gangguan autoimun. Kelainan ini

menjadi penyebab poor plasentation, mengurangi perfusi plasenta

dan stres serta aktivasi kekebalan kronis.(Warrington et al , 2013)

Hipertensi pada preeklampsia ditandai dengan perifer

vasokonstriksi. Disfungsi endotel timbul sebelum adanya gejala

klinis preeklampsia dan tetap bertahan pasca persalinan adalah

bukti bahwa aktivasi biokimia endotel lebih tinggi pada

preeklampsia. Proteinuria menggambarkan terjadinya endotheliosis

glomerulus yang ditandai dengan pembengkakan sel endotel

glomerulus dan hilangnya fenestrasi. Podocytes (sel epitel

glomerulus) juga dilepaskan dan dapat ditemukan dalam urin

sebelum timbulnya gejala klinis preeklampsia (Stocks, 2014).

4. Penegakkan Diagnosis

Menurut American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis

dibuat jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran

dengan durasi 6 jam disertai proteinuria >300 mg/ hari (Eiland et al ,

2012). Edema, yang merupakan gambaran klasik preeklampsia, tidak lagi

digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas maupun

spesifisitasnya rendah. Pada 20% kasus preeklampsia tidak ditemukan

proteinuria ataupun hipertensi namun salah satu gejala dan gangguan lain

dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu

(PNPK, 2016) :

a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada

kelainan ginjal lainnya

c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali

normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan

atas abdomen

d. Edema Paru

e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan

sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction

(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic

velocity (ARDV)

5. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki

luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta

memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.

Tabel 3. Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa

gejala berat (PNPK, 2016)

No Penatalaksanaan Level

evidence

Rekomendasi

1 Manajemen ekspektatif direkomendasikan

pada kasus Preeklampsia tanpa gejala berat

dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu

dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih

ketat

II C

2 Perawatan poliklinis secara ketat dapat

dilakukan pada kasus Preeklampsia tanpa

gejala berat

IIb B

3 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :

b. Evaluasi gejala maternal dan gerakan

janin setiap hari oleh pasien

c. Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam

seminggu secara poliklinis

d. Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver

setiap minggu

II C

e. Evaluasi USG dan kesejahteraan janin

secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam

seminggu)

f. Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin

terhambat, evaluasi menggunakan doppler

velocimetry terhadap arteri umbilikal

direkomendasikan

II A

Gambar 2. Penatalaksanaan preeklampsia tanpa gejala berat (PNPK,

2016)

Preeklampsia

Usia kehamilan ≥ 37 minggu

atau

UK ≥ 34 minggu dengan :

- Persalinan atau ketuban pecah

- Perburukan kondisi ibu dan janin

- Pertumbuhan janin terhambat

- Didapatkan solusio plasenta

Usia kehamilan < 37 minggu

Perawatan poliklinis :

- Evaluasi ibu 2 kali dalam

seminggu

- Evaluasi kesejahteraan janin 2

kali dalam seminggu

Usia kehamilan ≥ 37 minggu

Perburukan kondisi ibu dan janin

Persalinan atau ketuban pecah

Lakukan

Persalinan

Ya

Ya

Tidak

Gambar 3. Penatalaksanaan preeklampsia dengan gejala berat (PNPK,

2016)

Preeklampsia dengan gejala berat

Evaluasi di kamar bersalin 24-48 jam

Kortikosterois untuk pematangan paru,

Magnesium sulfat profilaksis, antihipertensi

USG, evaluasi kesejahteraan janin, gejala dan

pemeriksaan laboratorium

Kontraindikasi perawatan ekspektatif :

Eklampsia, edema paru, DIC, HT berat, tidak

terkontrol, Gawat Janin, Solusio Plasenta, IUFD,

Janin tidak viabel

Lakukan

Persalinan

setelah stabil

Iya

Komplikasi perawatan ekspektatif :

Gejala persisten, sindrom HELLP, Pertumbuhan

Janin Terhambat, Severe olygohydramnion,

reversed end diastolic flow, KPP atau inpartu,

gangguan renal berat.

Pemberian

Kortikosteroid

pematangan

paru

Persalinan

setelah 48 jam

Iya

Perawatan ekspektatif :

Tersedia fasilitas perawatan maternal dan

neonatal intensif

Usia kehamilan : janin viabel – 34 minggu

Rawat Inap

Stop MgSo4 dalam 24 jam

Evaluasi ibu dan janin setiap hari

Usia kehamilan ≥ 34 minggu

KPP atau inpartu

Perburukan maternal – fetal

Adanya salah satu gejala kontraindikasi

perawatan ekspektatif

Lakukan

Persalinan

setelah stabil

Iya

D. Tinjauan tentang Luaran Perinatal

1. Mortalitas Perinatal

Kelahiran mati (stillbirth) adalah kematian janin setelah minggu kedua

puluh kehamilan. Lahir mati juga disebut kematian janin di intrauterin

(IUFD). Sebanyak 25% dari jumlah stillbirth, kematian bayi dengan usia

kehamilan sekurang-kurangnya 20 minggu atau jika bayi ditimbang

beratnya mencapai 500 gram, dan kematian neonatal pada negara

berkembang diasosiasikan dengan hipertensi dalam kehamilan. Di

negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, masih banyak

rumah sakit yang sulit bahkan tidak dapat mengakses neonatal intensive

care unit, sehingga mortalitas dan morbiditas yang berkaitan dengan

hipertensi dalam kehamilan masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan

angka mortalitas dan morbiditas pada negara dengan akses yang lebih

baik terhadap fasilitas kesehatan tersebut.

2. Morbiditas Perinatal

Hipertensi gestasional dan preeklampsia memberikan pengaruh pada

suplai darah dari ibu ke plasenta, yang dapat menyebabkan buruknya

pertumbuhan janin dalam kandungan ibu dan dapat memicu terjadinya

persalinan prematur. Menjadi penyebab dari 12% bayi yang lahir dengan

berat badan lahir rendah dan seperlima dari bayi yang lahir prematur.

Komplikasi yang berasosiasi dengan kelahiran prematur meliputi

respiratory distress, apneu, ikterik, kern iketrik, kesulitan dalam menyusu,

hipoglikemia, kejang, periventricular leucomalacia, dan memperpanjang

waktu perawatan di rumah sakit. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa

bayi yang lahir dari ibu dengan preeklampsia memiliki risiko lebih besar

untuk menderita cerebral palsy dibandingkan dengan anak yang lahir dari

ibu dengan kondisi kehamilan tanpa komplikasi dan 30 juta bayi

mengalami gangguan pertumbuhan setiap tahunnya di negara

berkembang, dan 1 dari 7 bayi tersebut berhubungan dengan kasus ibu

dengan preeklampsia.

a. Intrauterine growth restriction (IUGR)

IUGR adalah janin yang berat badannya sama atau kurang dari 10

persentil yang tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal karena

terhambat oleh faktor maternal, fetal atau plasenta. (Harper, 2004).

IUGR adalah janin dengan berat badan kurang atau sama dengan 10

persentil, atau lingkaran perut kurang atau sama dengan 5 persentil

yang disebabkan karena berkurangnya perfusi plasenta atau karena

kelainan khromosom atau karena factor lingkungan atau infeksi.

Pertumbuhan janin dalam kandungan merupakan penanda yang baik

akan kondisi janin. Kehamilan dengan komplikasi intrauterine growth

restriction didefinisikan sebagai proses patologis reduksi pertumbuhan

janin yang diasosiasikan dengan meningkatan angka kematian

perinatal. Preeklampsia sebagai komplikasi kehamilan dengan karakter

penurunan aliran darah dan iskemi uteroplasenta merupakan faktor

risiko yang paling dominan dalam terjadinya intra uterine growth

restriction.

b. Berat badan lahir rendah (BBLR)

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang

dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi

pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan

(intrauterine growth restriction). Pertumbuhan janin dalam uterus ibu

memiliki pengaruh yang besar terhadap berat badan bayi ketika lahir.

Suplai darah dan nutrisi dari sistem uteroplasenta memiliki peran yang

penting dalam pertumbuhan janin intra uteri dan berat badan lahir.

Pada kasus ibu dengan hipertensi gestasional dan preeklampsia,

dimana terjadi gangguan pada sistem uteroplasenta, pertumbuhan

janin dan berat badan lahir menjadi tidak optimal sehingga muncul

luaran perinatal berupa bayi berat badan lahir rendah.

c. Asfiksia

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak

Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada

saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Sebuah studi menunjukkan

bahwa faktor risiko akan terjadinya asfiksia pada bayi dapat dilihat dari

riwayat obstetri ibu, riwayat perkembangan janin, dan komplikasi

persalinan. Di antara faktor risiko tersebut, terdapat preeklampsia dan

kelahiran prematur sebagai faktor risiko terjadinya asfiksia

d. Gawat janin

Gawat janin adalah bila ditemukan denyut jantung janin diatas

160/menit atau dibawah 100/menit, denyut jantung tidak teratur, atau

keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan (Prawirohardjo,

2012). Gawat janin merupakan suatu reaksi ketika janin tidak

memperoleh oksigen yang cukup. Salah satu patogenesis dari

preeklampsia adalah adanya hipoperfusi uteroplasenta yang berefek

pada terganggunya suplai oksigen dari ibu kepada janin. Jika kondisi

ini terus menerus berlanjut, maka janin akan berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan yang kadar oksigennya tidak optimal

dan berusaha untuk melindungi organ-organ vital dari kerusakan yang

disebabkan oleh kondisi tersebut. Proses adaptasi yang diupayakan

oleh janin tidak dapat terus berlangsung, terlebih lagi jika suplai

oksigen terus turun dan menstimulasi kemoreseptor pada arteri

karotikus sehingga refleks vagal muncul dan menyebabkan janin

mengalami bradikardi yang nampak sebagai kondisi gawat janin

e. Kelahiran prematur

Menurut WHO bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup sebelum

usia kehamilan 37 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir )

tanpa memperhatikan berat badan. Preeklampsia dapat muncul jika

proses inflamasi sistemik pada ibu menyebabkan ibu untuk melakukan

dekompensasi. Ibu dengan preeklampsia mengalami peningkatan

produksi kortisol dan dan sitokin yang lebih besar dibandingkan

dengan ibu tanpa komplikasi kehamilan. Hal ini diasosiasikan dengan

meningkatnya risiko kelahiran bayi prematur. Studi lain menunjukkan

bahwa kelahiran prematur sering terjadi pada ibu dengan preeklampsia

terjadi dikarenakan persalinan merupakan terapi definitif preeklampsia,

sehingga persalinan perlu dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan

bayi.

E. Tinjauan tentang Kadar sFlt-1 pada Hipertensi Gestasional dan

Preeklampsia serta Hubungannya dengan Luaran Perinatal

Angiogenesis fetoplasental selama kehamilan bersifat bifasik, pada

trimester pertama angiogenesis ditandai dengan proses percabangan

pembuluh darah kecil. Awal trimester kedua, pertambahan besar plasenta

sesuai dengan proliferasi dari sel endotel. Berbeda dengan trimester

pertama, proses angiogenesis pada trimester kedua dan ketiga tidak

terjadi proses percabangan (Wang, 2009). Dasar hipotesis bahwa

preeklampsia terjadi karena adanya perubahan dari angiogenesis

didukung dengan fakta bahwa serum PlGF (Placental Grow Factor) pada

pasien preeklampsia lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan tanpa

preeklampsia (Anderson, 2013).

Kadar sFlt-1 pada hipertensi dalam kehamilan mengalami

peningkatan mulai dari 5 minggu sebelum gejala klinis terlihat. Dalam

penelitian secara invitro menunjukkan bahwa kadar PlGF menurun

dan kadar sFlt-1 meningkat pada sel trofoblas yang dikondisikan dengan

kekurangan oxygentension (Anderson, 2013). Hal ini memperlihatkan

defisiensi PlGF dan peningkatan sFlt-1 sebagai hasil dari adanya hipoksia

plasenta yang dikaitkan dengan adanya incomplete remodeling dari arteri

spiralis maternal. Adanya remodel yang inkomplit dari arteri spiralis

menyebabkan tingginya laju tahanan darah pada arteri, hal inilah yang

diduga sebagai penyebab terjadinya hipertensi dalam kehamilan (Lim and

Ramus, 2016).

Penelitian terbaru telah difokuskan pada mekanisme dimana sFlt-1,

yang sangat terikat pada matriks ekstraselular, mendapatkan akses ke

sirkulasi ibu. Al-Ani et al (2010) ditunjukkan dalam HUVECs bahwa proses

ini dapat terjadi melalui aktivasi endotel proteinase-activated receptor-2

(PAR-2) yang mengarah ke peningkatan produksi sFlt-1. Gould et al

(2013) melaporkan bahwa urotensin-II , vasokonstriktor dan agen pro-

angiogenik meningkat pada preeklamsia, terkait dengan peningkatan sFlt-

1 yang disekresi oleh plasenta dalam kondisi hipoksia.

Kadar sFlt-1 meningkat di plasenta dan serum wanita dengan

preeklampsia. Protein ini bekerja dengan mengikat daerah receptor–

binding PlGF dan VEGF, mencegah interaksinya dengan reseptor

endotelial di permukaan sel, sehingga menginduksi terjadinya disfungsi

endotel. Terganggunya fungsi endotel sebagai vasodilator berperan dalam

patofisiologi hipertensi yang merupakan salah satu dari gejala pada

preeklampsia (Schlondorff, 2005). Pada preeklampsia juga terjadi spasme

pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Hal ini teramati

pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Jika

semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah

akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar

oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Proteinuria dapat disebabkan oleh

spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus. Dengan

demikian disfungsi endotel menonjol pada penderita preeklampsia dan

merupakan patogenesa yang berperan penting pada preeklampsia

(Mellembakken et al, 2001).

Remodelling arteri spiralis yang tidak lengkap pada preeklampsia

menyebabkan sirkulasi uteroplasenter tahanan tinggi, perfusi ke plasenta

berkurang. Kelainan iskemia-reperfusi merupakan penyebab malperfusi

dari beberapa sistem organ. Pada preeklampsia terdapat spasme arteriola

spiralis desidua sehingga terdapat penurunan aliran darah ke plasenta.

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan perfusi

plasenta. Sehingga dengan menurunnya perfusi darah melalui plasenta ke

janin, maka terjadi hipoksia janin yang mengakibatkan terjadinya asfiksia

pada bayi baik selama di dalam uterus mapun setelah dilahirkan

(Mellembakken et al, 2001).

Secara garis besar proses yang terkait berat badan lahir rendah pada

preeklampsia diduga juga disebabkan oleh kegagalan remodelling arteri

spiralis. Insufisiensi vaskular utero-plasenta menyebabkan disfungsi

plasenta yang kemudian menginduksi retardasi pertumbuhan intrauterine

sehingga dapat terjadi IUGR (Intrauterine Growth Restriction) dan bayi

lahir dengan berat badan rendah (Lapidus, 2009).

F. Kerangka Teori

G. Kerangka Konsep

Keterangan :

Variabel independen : sFlt-1

Variabel dependen : Luaran perinatal

Variabel antara : Hipertensi gestasional, preeklampsia

H. Hipotesis Penelitian

Berdasar dugaan sementara Hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan

adalah sebagai berikut :

1. Kadar sFlt-1 pada preeklampsia lebih tinggi dibandingkan kadar sFlt-1

pada hipertensi gestasional maupun kehamilan normal

2. Kadar sFlt-1 hipertensi gestasional lebih tinggi dibandingkan kadar

sFlt-1 kehamilan normal

3. Ada hubungan antara kadar sFlt-1 dengan luaran perinatal kelompok

hipertensi gestasional

Hipertensi

Gestasional

sFlt-1

Preeklampsia

Luaran Perinatal :

BBL

Asfiksia

4. Ada hubungan antara kadar sFlt-1 dengan luaran perinatal kelompok

preeklampsia

I. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya kesalahan dalam pengumpulan data,

berdasarkan identifikasi dan klasifiksai variabel, maka operasional variabel

tersebut didefinisikan sebagai berikut:

Variabel Definisi Operasional Kreiteria

Objektif Instrumen Skala

Kadar

Soluble Flt-1

Singkatan dari soluble

Fms like tyrosine kinase

1, merupakan reseptor

dari Vascular Endothel

Growth Factor (VEGF) 1

antiangiogenesis yang

berada dalam bentuk

bebas didalam darah

yang dikeluarkan oleh

jaringan trophoblas yang

sedang tumbuh.

Pemeriksaan kadar

dilakukan dengan

mengambil darah ibu

melalui vena yang

kemudian diperiksa

dengan metode Elisa.

ng/mL Reagen

Human

Soluble Flt-1

Immunoassay

Quantikine(R)

DVR100

Rasio

Preeklampsia Kelainan malfungsi

endotel pembuluh darah

atau vaskular dengan

tekanan darah > 140/90

mmHg, proteinuri > 0,3

mg/dl disertai gangguan

organ pada kehamilan di

atas 20 minggu

1. Ya

2. Tidak

Lembar

observasi

Nominal