Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
-
Upload
nanda-wirawan -
Category
Documents
-
view
308 -
download
2
Transcript of Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
1/99
VOLUME 2
NOMOR 1
APRIL 2014
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
2/99
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
3/99
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
4/99
DAFTAR ISI
ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN Brassica oleracea
BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis MELALUI PENDEKATAN
MORFOLOGI.
Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si. .........................
Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae terhadap Biomassa dan Kadar Saponin
Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara In-vitro.
Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U. ………………………………………….
Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes
aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya
Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun. …………………………………………………
INTERAKSI BLEKOK SAWAH (Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS LAIN SAAT
MENCARI MAKAN DI WONOREJO.
Christian Agung S, Bambang Irawan, Sucipto Hariyanto. ..........................................................
Fluktuasi Populasi Larva Aedes aegypti pada berbagai Jenis Tempat
Perkembangbiakan di Rumah Penderita DBD.
Etik Ainun Rohmah, Noer Moehammadi, dan Salamun. ……………………………...................
Potential Hydrolysis with Cellulase Enzyme Fermentation Bacteria Isolates of
Bacillus sp. This thesis under the guidance.
Novia Tri Rahayu, Drs. Agus Supriyanto M. Kes, and Drs. Salamun. ……………………
Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan danProduktivitas Tanaman Seledri (Apium graveolens L.)
Tini Surtiningsih, Nurul Qomariyah Sayuti dan Hery Purnobasuki. …………………………….
VARIASI MORFOLOGI CANGKANG KIJING Elongaria orientalis (Lea, 1840) DI SUNGAI
BRANTAS, JAWA TIMUR
Sulistiana Megawati, Bambang Irawan, dan Moch. Affandi. ……………………………………..
UJI EFEK ANTIPROLIFERASI DAN SITOTOKSIS MEDAN LISTRIK 100KHz
TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SECARA IN VITRO
IzzatunAjrina, DwiWinarni, danTrianggonoPrijo. …………………………………………………
EFEK EKSTRAK DAN FRAKSI TUMBUHAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)
TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR
PLUMBUM
Dr. Alfiah Hayati, Milatussakdiyah, dan Drs. I.B. Rai Pidada, M.Si. ….....................................
1‐10
11‐20
21‐29
30‐39
40‐49
50-57
58-67
68-78
79-86
87-95
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
5/99
1
LAMPIRAN 1
RINGKASAN
ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN
Brassica oleracea BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis
MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI
Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si.
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar
anggota genus Brassica berdasarkan karakter morfologi dan mengetahui karakter
yang dapat digunakan untuk dapat membedakan atau mengelompokkan antaranggota genus Brassica penelitian ini telah dilakukan di Kebun Organik Brenjonk,
Trawas Mojokerto dan perkebunan di Cangar Batu Malang. Pada penelitian ini
terdapat 9 spesimen dari genus Brassica, yaitu Brassica juncea L., Brassica rapa
L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)
Hanelt. var. alba, Brassica rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica
rapa L. subsp. pekinensis (Vourt.) Hanelt., Brassica oleracea L. var. italicaPlenk. , Brassica oleracea L. var. aboglabra (L.H.Bailey) Masil., Brassica
oleracea L. var. capitata, dan Brassica oleracea L. var. boytris L. Karaktertanaman yang digunakan berjumlah 35 karakter, berupa karakter morfologi yang
meliputi karakter dari batang, daun, dan krop. Penelitian ini bersifat observasional,
berupa pengamatan karakter morfologi, terhadap 9 spesimen dari anggota genus
Brassica, dengan melakukan 3 kali pengulangan pada setiap spesimen. Hasil penelitian menunjukkan adanya keanekaragaman diantara 27 kluster, berdasarkandendogram, yaitu B. rapa subsp. chinensis var. alba lebih dekat dengan B. rapa
subsp. chinensis var. viridis dibandingkan dengan B. rapa convar. parachinensis
yang lebih dekat dengan B. juncea, dan B. oleracea var. italica, lebih dekatdengan B. oleracea var. alboglabra dibandingkan dengan B. oleracea var.
capitata yang lebih dekat B. oleracea var. boytris, serta B. rapa subsp. pekinensis
memiliki hubungan paling jauh dengan delapan spesimen.
Kata kunci: Hubungan kekerabatan, genus Brassica, karakter morfologi.
ABSTRACT
This research aims are to know fenetic relationship among members of
genus Brassica based on phenomenological morphology characters and to know
which character could be used to distinguish or classify the fenetic relationship
among specimens of genus Brassica. This research was run in OrganicHorticultural Brenjonk, Trawas Mojokerto dan holticultural in Cangar BatuMalang. In this research, there were 9 specimens from genus Brassica, those were
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
6/99
2
Brassica, yaitu Brassica juncea L., Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt.
var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba, Brassicarapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica rapa L. subsp. pekinensis
(Vourt.) Hanelt., Brassica oleracea L. var. italica Plenk. , Brassica oleracea L. var.
aboglabra (L.H.Bailey) Masil., Brassica oleracea L. var. capitata, dan Brassica
oleracea L. var. boytris L. 35 characters of morphological plant (habitus, stalk,leaves, and compact head) were used. This was an observational research with
morphological characters observation on 9 specimens from genus Brassica, with
three times replication of each specimen. Fenetic relationship between B. rapa
subsp. chinensis var. alba closer to B. rapa subsp. chinensis var. viridis than B.rapa convar. parachinensis and B. juncea, and B. oleracea var. italica, closer to B.
oleracea var. alboglabra than B. oleracea var. capitata and B. oleracea var.boytris, also B. rapa subsp. pekinensis having longest relationship with eightspecimen.
Keywords : Fenetic relationship, genus Brassica., phenomenological morphology.
PENDAHULUAN
Brassicaceae, umumnya dikenal sebagai famili sawi (mustar),Brassicaceae mencakup lebih dari 300 genus dan 3000 spesies, termasuk didalamnya adalah tanaman setahun dan dua-tahunan, baik sebagai sayuran penting
maupun tanaman penghasil minyak biji dan tanaman hias yang bernilai tinggiyang tersebar di seluruh dunia. Berbagai varietas dari spesies Brassica oleracea
mempunyai karakter tidak membuahi sendiri, dan karena itu, penyerbukan silang
kemungkinan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman. Hal itu
disebabkan karena pada varietas tersebut memiliki karakter protogini (putikterlebih dahulu matang daripada kepala sari) antar varietasnya, misalnya padakubis bunga dan kubis telur, fertilisasi sulit terjadi secara alami, matangnya organ
kelamin jantan dan betina yang berbeda waktunya, yang memberikan peluang besar terjadinya perkawinan silang dan dengan rentang waktu yang lama dapat
dimungkinkan terjadi perubahan baik secara morfologi atau secara genetik dan
akan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjawab permasalahan mengenai hubungan kekerabatan
Brassica sp. karena informasi mengenai hubungan kekerabatan Brassica sp.sangat diperlukan mengingat beberapa penelitian yang dilakukan terhadap
tanaman Brassica sp. sejauh ini memang lebih banyak terfokus pada pemanfaatan
kandungan senyawa biokimiawinya, seperti kandungan senyawa etil asetat pada
tanaman kubis dimanfaatkan sebagai antiseptik alami antara lain oleh Rusmiati et
al. (2007). Penelitian tentang budidaya caisim ( Brassica juncea L.) menggunakanekstrak teh dan pupuk kascing yang telah dilakukan oleh Fahrudin (2009), penelitian tetang budidaya pada tanaman caisin, yaitu untuk mengetahui pengaruh
pemberian sungkup plastik dan warna sungkup plastik terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman caisin ( Brassica chinensis) oleh Sulistyaningsih (2005), penelitian
tentang jamur penyebab karatan pada Brassica junce dengan menggunakan
Brassica carinata oleh Gupta (2010), respon varietas kubis (brassica oleraceae)
dataran rendah terhadap pemberian berbagai jenis mulsa oleh Ramli (2010),
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
7/99
3
sedangkan penelitian mengenai hubungan kekerabatan Brassica sp., salah satunya
melalui pendekatan morfologi sejauh ini memang belum ditemukan. Hal ini
didasarkan pada pendapat dari Rubatzky (1998) yang menyatakan bahwa
taksonomi Brassica sp. memang rumit dan masih belum terpecahkan, dan nama
umumnya tidak mencerminkan keterkaitan spesiesnya.
Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan mengenai hubunganfenetik antar organisme melalui pendekatan morfologi sangat perlu dilakukan. Hal
itu disebabkan karena karakter morfologi merupakan karakter pada tanaman yang
sifatnya melekat erat/menjadikan karakter yang ditunjukkan komponen struktural
dari tumbuhan dan berhubungan dengan organ tumbuhan yang dapat dilihat
dengan kasat mata jika dibandingkan dengan bukti taksonomi lainnya seperti
anatomi, fisiologi, biokima atau molekuler, sehingga lebih cepat mendapatkandata dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, jika menggunakan datayang diperoleh dari pengamatan morfologi, hasil pengelompokan kekerabatan
suatu organisme yang diperoleh juga tidak jauh berbeda jika dibandingkan data
secara molekuler.
Berdasarkan hal ini, studi analisis keanekaragaman antar anggota Brassica
sp. melalui pendekatan morfologi perlu dilakukan. Selain untuk mengetahuihubungan kekerabatan antar anggota Brassica sp., diharapkan penelitian ini juga
dapat menjadi sumber ilmiah untuk dasar penelitian yang lebih lanjut dalam bidang taksonomi tumbuhan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kebun Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas
Kabupaten Mojokerto dan Perkebunan Sayur Kota Batu Malang, selama 4 bulan,
mulai bulan Maret hingga bulan Juni 2013. Bahan tumbuhan yang digunakandalam penelitian ini adalah 9 spesimen dari genus Brassica yang meliputi,
Brassica juncea L., Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis,
Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba, Brassica rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica rapa L. subsp. pekinensis (Vourt.) Hanelt.,
Brassica oleracea L. var. italica Plenk. , Brassica oleracea L. var. aboglabra(L.H.Bailey) Masil., Brassica oleracea L. var. capitata, dan Brassica oleracea L.
var. boytris L.., dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kameradigital, meteran, penjepit, lup, jangka sorong, pH meter, thermometer , bolpoin.
Metode dilakukan adalah metode observasi sampel di wilayah perkebunan
Komunitas Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, dan di
perkebunan Cangar Batu Malang, sampel diperlakukan sebagai sampel hidup,kemudian dilakukan karakterisasi morfologi sebanyak 35 karakter, dari organ batang, daun, dan krop.
Analisis data metode deskriptif
Data pengamatan yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran fenotip
tanaman kemudian di data sesuai dengan parameter yang digunakan. Kemudiandata karakter morfologi dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan sifat khas
setiap OTU. Analisis deskriptif meliputi deskripsi analitik, diagnostik dan
diagnostik diferensial.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
8/99
4
Analisis data untuk mengelompokkan
Data hasil identifikasi karakter morfologi (batang dan daun) yang telahdiperoleh selanjutnya disusun dalam matriks Operational Taxonomyc Unit (OTU)
karakter untuk dikuantifikasikan sebagai data multivariate. OTU dinyatakan
sebagai jenis dari sampel penelitian genus Brassica yang diteliti dan karakterdinyatakan sebagai ada (1) dan tidak ada (0) serta multivariate dari data morfologiyang diperoleh pada setiap sampel penelitian yang digunakan. Setelah melakukan
scoring, data dimasukkan dalam program SPSS dengan memilih analize, classify,
hierarchial cluster. Hal ini dilakukan untuk menentukan indeks kesamaan atau
indeks similaritas (IS) (OTU vs OTU) dengan menggunakan koefesien Simple Matching. Koefisien Simple Matching digunakan untuk melihat peran kehadiran
dan ketidakhadiran karakter data morfologi dalam pengelompokan.Menggabungkan karakter morfologi (fenotip) melalui average linkage, untukmenentukan OTU yang akan mengelompok dengan sesamanya. Indeks similaritas
akan mempengaruhi pengelompokan OTU dalam averge linkage. Hasil
pengelompokkan melalui average linkage akan dikonfirmasi ulang melalui PCA
(Principal Component Analyses). Hasil PCA digunakan untuk mengetahui bobotnilai karakter pembeda dalam pemisahan OTU. Akhirnya akan menghasilkan
bentuk fenogram hubungan kekerabatan takson. Pemisahan OTU dapat dilihatmelalui fenogram hasil pengelompokan average linkage dan PCA yang dapatdigunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar OTU berdasarkananalisis karakter morfologi (fenotip) (Hamidah, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pencandraan terhadap karakter morfologi pada genus Brassica dapat
diketahui adanya keanekaragaman antar spesimen, yang meliputi karakter batangdaun dan krop. Data hasil pencandraan dapat dibuat menjadi kunci determinasi
yang dapat menggambarkan jati diri suatu organisme (Hamidah, 2009).
Kunci determinasi
1. a. Memiliki krop………………………..……………………………………….3
b. Tidak terbentuk krop…………………………..……………………...……...6
2. a. Filotaksis roset akar…………………..………………………………………7 b. Filotaksis tersebar………………………………………..…………………...5
3.a.Warna permukaan atas daun berwarna kuning pucat-hijau muda-hijau
tua………………………………. Brassica rapa subsp. chinensis var. pekinensis
b. Warna pemukaan atas daun berwarna hijau tua……………..………………4
4. a. Bentuk krop bulat agak pipih……..…..…...… Brassica oleracea var. capitata
b. Bentuk krop setengah lingkaran………………………..…………………….55. a. Krop berwarna putih………………….….…… Brassica oleracea var. boytris
b. Krop berwarna hijau tua .................................... Brassica oleracea var. italica
6. a. Tidak memiliki trikoma pada daun .......................................... …………….8
b. Memiliki trikoma pada daun…………………………………………………7
7. a. Bangun daun oblongatus, tepi bisseratus, ujung rounded , pangkal acute dan
permukaan daun rugros.………………..… Brassica rapa convar. parachinensis
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
9/99
5
b. Bangun daun obvate, tepi revolute, ujung obtusus, pangkal cuneat dan
permukaan daun opacus..…………………… ............................ Brassica juncea
8. a. Daging daun perkamenteus dan permukaan batang tidak bernodus…………………………………….. Brassica oleracea var. alboglabra
b. Daging daun membranaceous dan permukaan batang bernodus.……………9
9. a. Tangkai daun berwarna hijau..…... Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis b. Tangkai daun berwarna putih…...…. Brassica rapa subsp. chinensis var. alba
Hasil analisis hubungan kekerabatan antar anggota genus Brassica sp.
melalui metode fenetik
Analisis pengelompokkan dengan metode fenetik adalah untuk mengetahui
hubungan kekerabatan antar anggota dari genus Brassica sp. berdasarkan 35karakter morfologi yang digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan
kekerabatan antar spesimen dengan menggunakan program SPSS 16.00. tiga puluh lima karakter yang digunakan sebagai dasar pengelompokkan terdiri dari 2
karakter perawakan, 4 karakter batang, 22 karakter daun, dan 7 karakter krop.
Pengelompokkan spesimen dari genus Brassica dilakukan dengan menggunakananalisis gugus (classify hierarchial cluster ) dan sebagai pelengkap digunakananalisis komponen utama ( principal component analysis). Analisis gugus
dilakukan didasarkan atas pengukuran kesamaan antar satuan taksonomi
operasional (STO) dengan menggunakan classify hierarchial cluster untuk data
interval. Pengukuran tersebut didasarkan pada sebaran karakter morfologi dari 9
spesimen dari genus Brassica. Dari data yang telah diskoring dan diproses dengan
program SPSS 16.00 diperoleh hasil perhitungan indeks similaritas dengan
koefisien simple matching (tabel 4.1) dan nilai koefisien pengelompokkan
kesamaan karakteristik morfologi sampel dengan menggunakan metode
agglomerative (pendekatan penggabungan) berdasarkan average linkage (tabel
4.2).
Tabel 4.1 Indeks kesamaan antara 9 spesimen tanaman dari genus Brassica
sebagai sampel penelitian
Case
Correlation between Vectors of Values
1: 2: 3: 4: 5: 6: 7: 8: 9:
1: 1.000 .422 -.130 -.077 -.318 -.178 -.060 .301 .169
2: .422 1.000 .482 -.017 -.098 .103 .162 .032 -.090
3: -.130 .482 1.000 .544 .381 .083 .036 .091 .032
4: -.077 -.017 .544 1.000 .654 .041 -.106 .325 .2785: -.318 -.098 .381 .654 1.000 .231 .042 .323 .241
6: -.178 .103 .083 .041 .231 1.000 .906 .368 .378
7: -.060 .162 .036 -.106 .042 .906 1.000 .256 .268
8: .301 .032 .091 .325 .323 .368 .256 1.000 .827
9: .169 -.090 .032 .278 .241 .378 .268 .827 1.000
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
10/99
6
Tabel 4.1 di atas adalah tabel yang menunjukkan indeks nilai kesamaan
diantara spesimen. Dari tabel didapatkan beberapa spesimen yang memiliki nilai
kesamaan yang paling kecil, yaitu pada angka di garis bawahi. Indeks kesamaan
terkecil yaitu 0,032 pada spesimen antara spesimen 2 & spesimen 8 dan spesimen
3 & spesimen 9, yang menunjukkan bahwa dintara keduanya (2 & 8) dan (3 & 9)
memiliki karakter morfologi yang cukup berbeda, sehingga nilai kesamaannyakecil. Sedangkan nilai indeks kesamaan yang lebih dari 0,5 dianggap memiliki
nilai kesamaan yang banyak, yaitu pada angka di pertebal. Sedangkan OTU yang
memiliki nilai indeks di bawah 0,5 (angka yang di underline) dianggap memiliki
kesamaan yang semakin sedikit diantara OTU.
Nilai indeks kesamaan dapat menentukan hubungan kekerabatan antara
OTU yaitu dapat ditunjukkan dengan besar kecilnya nilai indeks kesamaan. Data
nilai indeks kesamaan yang dihasilkan pada Tabel 4.1, dilakukan rating, yaitudengan mengurutkan spesimen yang memiliki nilai indeks terbesar hingga yang
terkecil (Tabel 4.2). Spesimen yang menempati posisi teratas adalah spesimenyang memiliki hubungan paling dekat, yaitu spesimen 6 dan 7, dengan nilaiindeks kesamaan 0.96, dan spesimen yang berada pada urutan paling akhir adalah
specimen 1 dan 2, yang berarti memiliki hubungan kekerabatan paling jauh,dengan nilai indeks kesamaan yaitu 0,16.
Tabel 4.2 Penggabungan karakter morfologi berdasarkan average linkage
Keterangan:
1. angka yang tertera pada kolom cluster 1 dan cluster 2 menunjukkan kode
dari OTU yang dibandingkan,
2.
angka yang tertera pada kolom coefficients menunjukkan besarnya nilai
kesamaan morfologi dari dua kelompok OTU yang dibandingkan serta
menyebabkan ke 2 OTU yang dibandingkan tersebut mengelompok.
Data hasil dari indeks similarity dan average linkage digambarkan dalam
dendogram, yang menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesimen
(Gambar 5).
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
11/99
7
Gambar 5 Dendogram Hubungan kekerabatan antara tanaman dari genus
Brassica.
Keterangan:
1 = Brassica oleracea var. pekinensis
2 = Brassica oleracea var. capitata
3 = Brassica oleracea var. boytris4 = Brassica oleracea var. italica
5 = Brassica oleracea var. alboglabra
6 = Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis
7 = Brassica rapa subsp. chinensis var. alba
8 = Brassica rapa convar. parachinensis9 = Brassica juncea
Berdasarkan dendogram Gambar 5 di atas, di dapatkan nilai similaritas
sebesar 25%, dapat diketahui bahwa Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)
Hanelt var. viridis lebih dekat dengan Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)Hanelt var. alba, dibandingkan dengan Brassica rapa L. convar. parachinensis(L.H.Bailey) yang lebih dekat dengan Brassica juncea L. , dan Brassica oleracea
L. var. italica Plenck. lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. alboglabra
(L.H.Bailey) Masil , dibandingkan dengan Brassica oleracea L. var. capitata L.yang lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. boytris L. , serta Brassicaoleracea L. var. pekinensis (Vourt.) Hanelt , yang memiliki hubungan kekerabatan
paling jauh dengan delapan spesimen.
Setelah dilakukan analisis cluster yang menghasilkan dendogram,
kemudian dilanjutkan dengan analisis PCA (Principal Component Analyst ) yang
digunakan untuk mengetahui karakter yang berpengaruh besar terhadap
pemisahan atau pengelompokan spesimen dari genus Brassica sp. Hasil analisis
PCA di tunjukkan dalam tabel berikut ini.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
12/99
8
Tabel 4.3 Nilai komponen karakter utama tanaman dari genus Brassica sp.
Component
1 2 3
Tinggi batang -.591 .770 -.171Kerapatan .749 -.489 -.061
Panjang batang -.726 .660 .044
Permukaan batang .726 -.660 -.044
Warna batang -.734 .142 .306
Bangun daun .542 .693 -.156
Tepi daun .288 .202 .848
Ujung daun .658 .067 -.086
Pangkal daun -.566 .594 .418
Ibu tulang daun .499 -.364 -.401
Warna daun atas .202 .884 -.040
Warna daun bawah .423 .530 -.040
Sifat permukaan -.296 .292 -.760
Ada/tidak .533 -.244 .776
Trikoma pada daun tua .663 -.050 .689
Trikoma pada daun muda .515 -.582 .622
Daging daun -.103 .670 -.638
Filotaksis .726 -.660 -.044
Rumus daun -.375 .056 .217
Sifat daun -.375 .056 .217
Jarak internodus -.751 .593 .097
Panjang daun ke 5 .618 .651 .299
Panjang daun ke 6 .677 .521 .490
Lebar daun ke 5 .460 .544 .434
Lebar daun ke 6 .518 .669 -.154
Bagian yang terlebar .215 .764 .552
Ada/tidak -.846 -.371 .229
Warna tangkai -.798 .131 .386
Panjang tangkai ke 5 -.846 .222 .320Panjang tangkai ke 6 -.941 .213 .158
Ada/tidak .351 .891 -.116
Bentuk krop .713 .648 -.048
Warna krop .461 .721 .219
Permukaan krop .023 .874 .097
Teksture krop .649 .660 -.342
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
13/99
9
Penyusun krop -.117 .864 .055
Diameter krop .543 .579 -.473
Dari analisis PCA pada tabel 4.3 di atas terdapat 3 komponen utamakarakter yang berperan utama dalam memisahkan kelompok pada genus Brassica
sp. komponen 1 merupakan karakter yang paling berperan utama dalammemisahkan kelompok pada genus Brassica sp.. Sedangkan komponen ke 2merupakan komponen karakter pendukung pertama dari komponen 1 dankomponen ke 3 merupakan komponen karakter pendukung kedua komponen 1
dan 2. Nilai yang dicetak tebal pada tabel di atas merupakan karakter yangmempunyai nilai ≥ 0,750 yang berarti karakter tersebut sangat berpengaruh kuat
terhadap pengelompokkan pada tanaman dari genus Brassica sp., sedangkankarakter yang mempunyai nilai 0,500 ≤ X < 0,750, merupakan karakter yangcukup berpengaruh terhadap pengelompokkan dan nilai karakter yang < 0,500merupakan karakter yang kurang berperan dalam pengelompokkan pada tanaman
dari genus Brassica sp.
Karakter-karater yang termasuk ke dalam 3 komponen pada tabel di atas,
yang termasuk karakter yang berperan sangat besar atau karakter yangmempunyai nilai ≥ 0,750 pada komponen 1 adalah jarak internodus, ada/tidaknya
tangkai daun, warna tangkai daun, panjang tangkai daun pada duduk daun ke 5
dan ke 6, pada komponen ke 2 adalah tinggi batang, warna daun pada permukaan
atas, bagian yang terlebar pada daun, ada/tidaknya krop, permukaan krop,
penyusun krop. Dan pada komponen 3 yaitu karakter, tepi daun, sifat permukaan
daun, ada/tidaknya trikoma.
KESIMPULAN
Hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, yaitu Brassica rapa L. subsp.
chinensis (L.) Hanelt. var. viridis lebih dekat dengan Brassica rapa L. subsp.chinensis (L.) Hanelt. var. alba, dibandingkan dengan Brassica rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey) yang lebih dekat dengan Brassica juncea L. , dan Brassica oleracea L. var. italica Plenck. lebih dekat dengan Brassica oleracea L.
var. alboglabra (L.H.Bailey) Masil , dibandingkan dengan Brassica oleracea L.
var. capitata L. yang lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. boytris L. ,serta Brassica oleracea L. var. pekinensis (Vourt.) Hanelt. , yang memiliki
hubungan kekerabatan paling jauh dengan delapan spesimen. Karakter yang dapat
mengelompokkan dan memisahkan antar tanaman pada genus Brassica sp, yaitu
sebanyak 35 karakter yang meliputi karakter dari perawakan batang daun dan krop.
SARAN
Penelitian biosistematika yang dilakukan terhadap tanaman dari genus
Brassica sp. dengan menggunakan karakter yang telah digunakan pada penelitian
ini, masih perlu diperluas, karena masih banyak karakter yang dapat digunakan
untuk mendukung penelitian ini, misalnya karakter anatomi, fisiologi, hingga ke
tingkat DNA. Penelitian perlu dilakukan pada fase yang berbeda, yaitu pada fase
generatif, sehingga akan diketahui lebih luas tentang variasi karakter yang
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
14/99
10
dimiliki tanaman dari genus Brassica sp, sehingga dapat tanaman tersebut dapat
dikenal masyarakat dengan baik. Pada saat penelitian sebaiknya tanaman di
kondisikan tetap tertutup tetapi masih mendapatkan cahaya yang cukup, agar
tanaman tidak rusak karena terkena hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Fahrudin, F. 2009. Budidaya Caisim ( Brassica juncea L.) Menggunakan Ekstrak
Teh Dan Pupuk Kascing. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Gupta, K., Deepak P., Abha A. 2010. Pyramiding White Rust Resistance andAltenaria Blight Tolerance In low Erucic Brassica juncea using Brassicacarinata. Jurnal of Oilseed Brassica. 1 (2): 55-56
Hamidah, 2009. Biosistematika Annona muricata L., Annona squamoa L., dan
Annona reticulata L. Dengan Pendekatan Numerik. Disertasi. Fakultas Biologi.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ramli. 2010. Respon Varietas Kubis (Brassica Oleraceae) Dataran RendahTerhadap Pemberian Berbagai Jenis Mulsa. Jurnal Agroland. 17 (1): 30-37
Rubatzky, V. E., dan Yamaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip Produksi
dan Gizi. ITB. Bandung
Rusmiati, D., Kusuma, S.A.F., Susilowati, Y., dan Sulistianingsih. 2007.
Pemanfaatan Kubis ( Brassica oleracea var. Capitata alba) Sebagai Candidat
Antikeputihan. Skripsi. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sulistyaningsih, E., Kurniasih, B., dan Kurniasih, E. 2005. Pertumbuhan dan Hasil
Caisin Pada Berbagai warna Sungkup Plastik. Jurna Ilmu Pertanian. 12 (1): (65-67)
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
15/99
11
Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae terhadap Biomassa dan
Kadar Saponin Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara
In-vitro.
Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U.
Departement of Biology, Faculty of Sains and Technology
Airlangga Universitye-mail: [email protected]
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of various concentrations of S.
cerevisiae extract as biotic elicitor and time of harvesting to biomass and saponin
levels of adventitious roots T. paniculatum(Jacq) Gaertn in-vitro. Leaves of T. paniculatum grown on Murashige and Skoog medium (MS) supplemented 2 mg /
L IBA and S. cerevisiae extract with concentrations of 0; 0.025; 0.05, and 0.1% g/ L. Biomass and saponin levels of adventitious root T. paniculatum measured at
harvest age 2, 4, and 6 weeks. Biomass measured after fresh weight of
adventitious roots T. paniculatum dried in the oven 500C, for 5 days. Saponinlevels are determined by semi-quantitative method on TLC plate and eluted with
propanol : H2O with a ratio of 14 : 3. Elicitor concentration 0.025% by harvest
time at the 4th week produced highest average biomass of 16.1 mg. Lowest mean
value of biomass produced at giving elicitor concentration 0.1% harvesting the
2nd week in 1.4 mg. Brown-Forsythe test results show extracts of S. cerevisiae
give effect on adventitious root biomass T. paniculatum (Sig 0.003
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
16/99
12
mengandung saponin. Zat tersebut merupakan hasil metabolit sekunder dari
tanaman. Saponin diketahui terdapat pada kingdom plantae dan dapat
digolongkan dalam tiga bentuk yaitu triterpenoid, steroid dan steroid glikoalkoloid
(Turk, 2006). Sampai saat ini, uji kandungan dan efektivitas saponin antara lain
sebagai anti radang (Sumastuti, 1999), potensi androgenik (Winarni, 2009), dan
potensi viabilitas sperma (Rahmi dkk., 2011).
Metode kultur jaringan bisa digunakan untuk mengambil hasil metabolit
sekunder dari suatu tanaman. Namun hasil yang diperoleh dari metode kultur
jaringan masih terlalu sedikit karena itu diperlukan teknik untuk meningkatkan
hasil metabolit sekunder dari tanaman yaitu dengan pemberian elisitor (Braz et
al., 1990 dalam Korsangruang, 2010).
Elisitor adalah materi biotik maupun abiotik yang dapat meningkatkan
biosintesis fitoaleksin dan metabolit sekunder (Endress, 1994). Penggunaan
elisitor biotik berupa Saccharomyces cerevisiae telah banyak dilaporkan berhasil
meningkatkan kandungan metabolit sekunder dari tanaman. Salah satunya
Santoso (2012) dalam penelitianya berhasil meningkatkan kadar saponin kalus T.
paniculatum dengan menggunakan elisitor ekstrak S. Cerevisiae yang dipanen
pada usia penanaman 6 minggu, Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan kadar
saponin total kalus T. paniculatum dihasilkan pada pemberian elisitor ekstrak S.
Cerevisiae konsentrasi 0,1%.
Dari latar belakang tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
berbagai konsentrasi elisitor ekstrak S. cerevisiae dan waktu pemanenan terhadap
biomassa dan kadar saponin akar adventif T. paniculatum .
MATERI DAN METODE
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah eksp;an daun gingseng jawa, bahan
kimia penyusun media MS zat pengatur tumbuh IBA 2ppm, bahan kimia
penyusun media PDA dan media PDB, elisitor ekstrak S.cerevisiae, aquadest,
clorox 10 %, alkohol 70 %, saponin (Calbiochem), etanol 96 % (p.a), anisaldehid
(Merck), asam asetat glacial (Merck), asam sulfat pekat, 2-propanol (Merck).
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
17/99
13
ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoclave, laminar
air flow (LAF), oven, timbangan analitik, magnetic stirrer , waterbath, botol
kultur, pinset, scalpel, erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, gelas beker, corong,
bunsen, ose, spatula, sprayer, kompor listrik, mortar, mikropipet, pH indikator
universal, kromatografi lapis tipis silica gel GF254 (Merck).
METODE
Sterilisasi alat
Peralatan yang tahan panas seperti scapel, pinset, erlenmeyer, cawan petri,
botol kultur, dan gelas ukur disterilkan menggunakan autoclave pada temperatur
1210C, tekanan 1,2 atm selama 15-20 menit.
Pembuatan elisitor S. cerevisiae
Isolat S. cerevisiae diinokulasikan pada media PDA (Potato dextrose
agar ) yang ditaruh pada tabung reaksi dengan metode streak untuk dijadikan stok .
Tutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibungkus dengan kertas aluminium
foil. Kemudian disimpan pada suhu ruang. Isolat S. cerevisiae yang sudah tumbuh
dikultur dalam media PDB (Potato dextrose broth) dan di shaker pada 100 rpm pada suhu 25 selama 3 hari. Kultur dipanen dengan cara sentrifugasi 8000 rpm
selama 10 menit untuk mendapatkan pelet. Pelet S. cerevisiae di cuci dengan
aquadest steril sebanyak tiga kali. kemudian dikeringkan pada suhu 60 pada
oven selama 3 hari untuk mendapatkan biomassa. Biomassa S. cerevisiae digerus
dengan mortar sampai halus.
Pembuatan media kultur jaringan
Aquades 500 mL ditambahkan komponen bahan kimia penyusun
makronutrien, selanjutnya memasukkan 5 mL larutan stok zat besi, 1 mL stok
mikronutrien, 4 mL larutan stok vitamin, IBA 2 ppm, 100 mg myo-inositol,
elisitor ekstrak S. cerevisiae dan 30 g sukrosa dilarutkan sampai homogen, pH
larutan diatur 5,6-5,8. Kemudian menambahkan aquadest sampai volume 1000
mL dan agar-agar 12 g, dipanaskan di kompor listrik sampai larut. Dalam keadaan
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
18/99
14
masih cair, media dibagi ke dalam botol kultur ± 20 mL/botol. Selanjutnya
medium disterilkan dengan autoclave pada temperatur 1210C, tekanan 1,2 atm
selama 15 menit.
Sterilisasi ruang kerja
Membersihkan permukaan meja LAF dengan kain yang telah dibasahi
alkohol 70%. Memasukkan alat-alat dan media steril ke dalam LAF (laminar air
flow). Kemudian Lampu UV pada LAF dinyalakan selama 15 menit.
Kultur daun T. paniculatum dalam medium MS dengan penambahan IBA 2 mg/L
dan elisitor
Daun T. paniculatum dicuci dengan detergen selama 2 menit, lalu dibilas
dengan air mengalir. Kemudian direndam dengan calcium hypochlorite (Clorox)
10% selama 10 menit. Dibilas dengan aquadest sebanyak 3 kali, kemudian
ditiriskan pada kertas saring steril. Daun dipotong ±1 cm2, ditanam di media MS
yang telah ditambah dengan IBA 2 mg/L dan elisitor pada botol kultur, tiap botol
kultur di isi 7 potong daun. Elisitor yang digunakan yaitu S. cerevisiae dengan 4
konsentrasi yaitu 0%; 0,025%; 0,05%; dan 0,1%. Kemudian diinkubasi dalam
keadaan gelap, dan pada suhu ʹ . Pengukuran biomassa dan kadar
saponin dilakukan pada umur akar 2, 4, dan 6 minggu.
Pengukuran biomassa dan kadar saponin akar adventif
Pengamatan biomassa dilakukan dengan cara mengeringkan akar adventif
yang telah dipanen dengan oven pada temperatur 600C selama 5 hari kemudian
ditimbang. Untuk kadar saponin analisis kromatografi lapis tipis (KLT) diawali
dengan menggerus sampel biomassa akar adventif sampai halus dengan mortar,
dilanjutkan ekstraksi menggunakan pelarut etanol absolut 10 mL selama 45 menit
di waterbath pada suhu 800C . Hasil ekstrasi disaring menggunakan kertas saring,
dan untuk mencuci kertas saring digunakan etanol absolut 10 mL. Kemudian
dipekatkan dengan cara dipanaskan hingga diperoleh 1 mL ekstrak. Ekstrak
ditotolkan pada KLT dan dielusi degan propanol:H2O pada perbandingan 14:3.
Selanjutnya untuk mengetahui noda sampel dilakukan penyemprotan dengan
anisaldehide-H2SO4 dan dipanaskan di oven selama 8 menit.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
19/99
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biomasa akar adventif T. paniculatum
Gambar 1.3 Akar adventif pada eksplan daun T. Paniculatum a: akar
adventif; b: eksplan daun; c: kalus. (bar = 1cm).Dalam penelitian ini yang akan di gunakan sebagai sampel yang akan diuji
biomassa dan kadar saponinnya yaitu akar adventif yang diinduksi dari eksplan
daun. Hasil induksi akar adventif eksplan daun T. Paniculatum dapat dilihat pada
gambar 1.3 Selain akar adventif, diketahui muncul sedikit kalus pada eksplan
daun.
Tabel 1 Rerata berat segar dan berat kering akar adventif T. paniculatum. (n=3)
Konsentrasielisitor
(%)
berat segar akar adventif (mg) berat kering akar adventif (mg)
minggu ke- minggu ke-
2 4 6 2 4 6
0 (k0)
156,1 ±93,2 242,4 ± 112,5 342,9 ± 8,5 8,1 ± 3,0 9,3 ± 3,9 14,2 ± 4,3
0.025 (k1)99,4 ±
66,9 331,6 ± 190,6 141,7 ± 113,2 7,1 ± 4,1 16,1 ± 3,8 10,3 ± 5,3
0.05 (k2)50,4 ±
61,8 75,5 ± 61,8 196.4 ± 101,7 3,2 ± 0,2 10,2 ± 5,5 9,2 ± 2,9
0.1 (k3)20,1 ±
23,4 62,5 ± 4,1 104,7 ± 140,51,3 ±
0,6*
3,5 ± 0,2 5,3 ± 7,2
* rerata berbeda nyata signifikan pada taraf 5%
Pengaruh elisitor ekstrak S. cerevisiae terhadap biomassa akar adventif T. paniculatum
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
20/99
16
l u a s n o d a ( c m )
r e r a t a B K ( m g )
l u a s n o d a ( c m )
r e r a t a B K ( m g )
Gambar 1.1 Grafik rerata berat kering akar adventif T. paniculatum
Dari grafik 1.1 dapat diketahui bahwa rerata biomassa tertinggi dihasilkan
dari perlakuan k1 pemanenan minggu ke-4. Sedangkan rerata biomassa terendah
pada perlakuan k3 usia pemanenan 2 minggu.
Kadar saponin akar adventif T. paniculatum
Luas noda saponin pada kromatogram diukur menggunakan rumus
lingkaran. Hasil pengukuran luas noda senyawa saponin dapat dilihat pada
gambar 1.2.
16,0
14,0
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
0,38
9,3
8,2
0,13
2 4
14,3
0,13
6
0,45
0,40
0,35
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
18,0 0,28
16,0 16,1 14,0
12,0 0,20
10,0
8,0 7,1
6,0
4,0
2,0
0,0
2 4
0,30
0,25
0,20
10,3 0,15
0,10
0,07
0,05
0,00
6 rerata BK
k0 minggu ke‐ rerata BK minggu ke‐
luas noda k1 luas noda
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
21/99
17
l u a s n o d a ( c m )
r e r a t a B K ( m g
)
l u a s n o d a ( c m
)
r e r a t a B K ( m g )
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
0,20
3,3
2
10,2
0,13
4
0,25 6,0
9,2 0,20 5,0
0,15
4,0
3,0
0,13 0,10 2,0
0,05 1,0
0,00 0,0 6
rerata berat
3,6
0,13
0,13
1,4
2 4
0,25 5,3
0,20
0.20
0,15
0,10
0,05
0,00
6
minggu ke‐ kering
k2 luas noda
minggu ke‐
k3
rerata BK
luas noda
Gambar 1.2 Grafik rerata berat kering dan kadar saponin akar adventif T.
paniculatum k0: kontrol ; k1: elisitor 0,25% ; k2: elisitor 0,05% ; k3:elisitor 0,1%.
Dari gambar 1.2 dapat diketahui bahwa luas noda saponin tertinggi yaitu
pada k0 usia panen 2 minggu. Sedangkan luas noda saponin terendah pada k1 usia
6 minggu. Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae yang terbaik untuk
meningkatkan kadar saponin akar adventif T. paniculatum adalah perlakuan k1
(konsentrasi 0,025%) usia 2 minggu.
PEMBAHASAN
Biomassa akar adventif T. paniculatum
Uji Brown-forsythe pada program SPSS menunjukan bahwa ekstrak S.
cerevisiae berpengaruh terhadap biomassa (berat kering) akar adventif T.
paniculatum ( Sig 0,003 < 0,05). Kemudian untuk mengetahui beda nyata antar
perlakuan dilanjutkan dengan uji Games-howel. Kelompok kontrol (k0) hanya
berbeda nyata dengan kelompok k3 (sig 0,011 < 0,05). Waktu pemanenan juga
di uji dengan Brown-forsythe. Hasil uji menunjukan bahwa waktu pemanenan
berpengaruh terhadap biomassa akar adventif T. paniculatum ( Sig .043 < 0,05),
Namun dari uji Games-howel tidak menunjukan beda signifikan antar perlakuan.
Pengukuran biomassa tanaman menggunakan berat kering tanaman.
Pertambahan ukuran maupun berat kering tanaman mencerminkan bertambahnya
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
22/99
18
protoplasma yang terjadi karena bertambahnya ukuran dan jumlah sel (Khristyana et
al, 2005).
Kasmiyati et al,. (2007) dalam penelitianya menjelaskan penambahan
elisitor ekstrak Pythium aphanidermatum usia panen 6 minggu mempengaruhi
berat segar dari Artemisia vulgaris namun tidak menunjukan beda nyata dalam uji
statistik tersebut dikarenakan pada konsentrasi rendah elisitor lebih berperan
menginduksi metabolit sekunder dibanding pemacu pertumbuhan planlet sehingga
keberadaan ekstrak khamir tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan planlet .
Pada perlakuan k3 biomassa dari akar adventif lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontrol sebab Pada elisitor konsentrasi yang tinggi terjadi
perebutan prekusor antara metabolisme primer dan sekunder sehingga produksi
biomassa menurun tetapi sebaliknya produksi metabolit sekunder menjadi tinggi
(Moreno et al., 1994). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ratnasari et al., (2007) peningkatan kandungan ajmalisisn dari agregat sel
Catharanthus roseus (L.) diikuti oleh penurunan berat kering.
Kadar saponin akar adventif T. paniculatum
Untuk meningkatkan kadar saponin berdasarkan hasil analisis data secara
deskriptif, Pemberian elisitor yang terbaik untuk meningkatkan kadar saponin
akar adventif T. paniculatum adalah perlakuan k1 (konsentrasi 0,025%) usia 2
minggu. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan kadar
saponin lebih sebentar sehingga lebih efisien.
Menurut Hahn (1996) derivat dinding sel S. cerevisiae yang berupa glukan
mempunyai binding site yang sesuai dengan reseptor pada agregat sel. Sehingga
elisitor akan menginduksi terbentuknya fitoaleksin. Menurut Aprianita et al.,
(2003) elisitor dapat menginduksi terbentuknya fitoaleksin, yang selanjutnya
fitoaleksin dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder dengan dua cara,
yaitu peningkatan aktivitas enzim dan peningkatan sintesis enzim yang terlibat
dalam jalur biosintesis metabolit tertentu.
Kemampuan ekstrak S. cerevisiae dalam meningkatkan kadar saponin
diduga berasal dari homogenatnya yang sebagian berupa β-glukan. β-glukan
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
23/99
19
merupakan homopolisakarida yang sangat berlimpah dan mudah ditemukan pada
kelompok yeast ( Kusmiati et al., 2007). Diduga homogenat berupa β-glukan
merupakan senyawa spesifik yang dapat berikatan dengan gugus protein reseptor
pada bagian membran sel akar adventif. Hal ini didukung oleh Hu et al dalam
Santoso (2012) bahwa homogenat fungi yang berperan dalam mengaktifkan jalur
transduksi sinyal NADPH oxidase dalam sintesis saponin adalah jenis gula.
KESIMPULAN
1 Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae 0,025%, dengan waktu pemanenan
minggu ke-4 memiliki rerata biomassa tertinggi sebesar 16,1 mg. Nilai rerata
biomassa terendah ditunjukan pada pemberian elisitor konsentrasi 0,1%
dengan waktu pemanenan minggu ke- 2 sebesar 1,4 mg.
2. Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae yang terbaik untuk meningkatkan
kadar saponin akar adventif T. paniculatum adalah konsentrasi 0,025%
dengan waktu pemanenan minggu ke-2.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianita. R.R. Esyanti., Siregar. A.H. 2003. Pengaruh Pemberian Homogenat
Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. Terhadap Kandungan
Ajmalisin Dalam Kultur Kalus Berakar C. roseus (L) G. Don . Berita
biologi (6) 4Endress R. 1994. Plant cell biotechnology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Germany.p.173-225
Faridah G. E, dan Isfaryanti A. F. 1996. Skrining Fitokimia Akar Som jawa.
Prosiding Seminar Nasional Pokjanas Tanaman Obat Indonesia XI.
Surabaya
Hahn GM. 1996. Microbial Elicitors and Their Receptors in Plant. Annual ReviewPhytopathology 34, 387-412
Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia II.Jakarta: Depkes RI
Kasmiyati. S, Herawati. M.M, Kristiana.E.B.E. 2008. Pertumbuhan Artemisiavulgaris Secara Kultur Pucuk pada Medium dengan KandunganMioinositol dan Ekstrak Khamir. Biota Vol. 13 (2). Fakultas Biologi,
Universitas Kristen Satya Wacana : Salatiga
Khristyana.L., Endang. A. , Marsusi Perumbuhan. 2005. Kadar Saponin dan
Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada
Pemberian Asam Giberelat (GA3). Biofarmasi 3 (1): 11-15. Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS): Surakarta
Korsangruang S., Soonthornchareonnon, N., Chintapakorn, Y., Saralamp, P.,
Prathanturarug, S. 2010. Effects of abiotic and biotic elicitors on growth
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
24/99
20
and isoflavonoidaccumulation in Pueraria candollei var. candollei and P.
candolleivar. mirifica cell suspension cultures. Plant Cell Tiss OrganCult 103:333-342. Department of Pharmaceutical Botany, Faculty of
Pharmacy, Mahidol University Bangkok, ThailandKusmiati, Tamar, S.R., Nuswantara, S., dan Isnaini, S., 2007. Produksi dan
penetapan -glukan dari tiga galur Saccharomyces cerevisiae dalam
media mengandung molase.Jurnal ilmu kefarmasian Indonesia. 5(1): 7-
16
Lestari, E.G., dan I. Mariska. 1997. Kultur in vitro sebagai metode pelestarian
tumbuhan obat langka. Buletin Plasma Nuftah 2 (1):1-8
Moreno, P. R. H., R. Van der Heijden, and R. Verpoorte, effect of Elicitation on
different metabolic pathways in Catharanthus roseus (L)G.Don cellsuspension cultures, in verpoorte ,R., (ed), 1994, Influence of StressFactor of Secondary Metabolism in Suspension Cultured C. Roseus Cell,53-78.
Wijayakusuma, H., H.M. Dalimarkha dan A.S. Wirian. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Pustaka Kartini
Turk, F. M. 2006. Saponins Versus Plant Fungal Pathogens. Journal of cell andmolecular Biology (5): 13-17. Halic University: Turkey
Rahmi, Eriani,K., dan Widyasari., 2011. Potency of java gingseng (Talinum
paniculatum Gaertn) root extract on quality and viability of mice sperm.
Jurnal natural.11 (1); 7-10
Ratnasari, J., Siregar. A.H, Rizkita .R.E. 2001. Pengaruh Pemberian ElisitorEkstrak Khamir Saccharomyces cerevisiae Terhadap Kandungan
Ajmalisin Dalam Kultur Agregat Sel Catharanthus roseus (L.) G. Don.
Berita Biologi Volume 5. Institut Teknologi Bandung
Santoso, A.M., 2012. Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae Dan
CuSO4 terhadap biomassa, profil protein, Dan kadar saponin kalusTalinum paniculatum (jacq) Gaertn. Departemen Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. (TESIS )
Sumastuti, R., 1999. Efek anti radang infus daun akar som jawa (Talinum
paniculatum) pada tikus putih in-vitro. Warta tumbuhan obat Indonesia
5(4): 15-17Winarni, D., 2009. Potensi Androgenik Akar Gingseng Jawa (Talinum
paniculatum Gaertn) pada Kondisi Testosteron rendah. Disertasi. Jurusan
Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga Surabaya
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
25/99
21
Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan
Nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya
Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun. Program S1 Biologi,
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
ABSTRACT
The observation of potential container as a breeding places of Aedes aegypti was
done an area that had the highest incidence of dengue fever during the last 3
years in the urban districts Tambaksari, Pacar Kembang village. The comparison
area where used was the area with the lowest number of incidents of dengue
during the last 3 years, that area was Rangkah village. The observation was
conducted in February-June 2013. The results showed that Aedes aegypti larvae
were more common in the barrel and wells. Aedes aegypti prefered container was
made from cement and plastics. Most of the containers that was found an abate
indeed Aedes aegypti larvae. Pacar Kembang village had larval index (HI =
89.3%, CI = 49.8% and 166.4% BI) was bigger than the Rangkah village (HI =
51.2%, CI = 29.3%, and BI = 85.4%, but both of them had the possibility of
transmission of dengue disease was still huge.
Keywords : Aedes aegypti, container, Tambaksari
PENDAHULUAN
DBD terjadi di lebih dari 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar
manusia beresiko terinfeksi, dan diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun
(Anonimus, 2002). Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti.Dengan cara menusuk, maka nyamuk Aedes aegypti menularkan virus dengue.
Namun hanya nyamuk betina saja yang menghisap darah, karena nyamuk betina
membutuhkan nutrisi tertentu yang terdapat dalam darah untuk proses pematangan
telur, sedangkan nyamuk jantan tidak. Nyamuk Aedes aegypti umumnya
memiliki habitat di lingkungan perumahan, tempat terdapat banyak penampungan
air jernih dalam bak mandi ataupun tempayan yang menjadi sarang
berkembangbiaknya. Selain itu, menurut Harwood & James (1979) kebiasaan
pendewasaan Aedes aegypti adalah pada bejana buatan manusia yang berada di
dalam maupun di luar rumah. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terhadap perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, air, suhu,kelembaban, dan kondisi lingkungan (Suwasono dan Nalim, 1988). Untuk
keperluan pemberantasan penyakit DBD, ternyata mengidentifikasi TPA (Tempat
Penampungan Air) atau kontainer lebih bermanfaat daripada data angka jentik
(larva index). Bahkan di Vietnam (Focks and Cladee, 1997) survei entomologi
sudah diorientasikan pada identifikasi TPA dan surveilan kepadatan nyamuk
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
26/99
22
dewasanya. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dan jenis kontainer atau
TPA yang terdapat jentik nyamuk pada Kecamatan Tambaksari maka dilakukan
penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbedaan
macam-macam kontainer (TPA) dan karakteristik kontainer yang digunakan oleh
nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat perkembangbiakan di daerah dengan
insiden DBD tertinggi dan insiden DBD terendah di Kecamatan Tambaksari, Kota
Surabaya.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengamatan dilakukan di wilayah Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan
Tambaksari, Surabaya yang meliputi 11 RW dengan total ukuran sampel 123
rumah. Pada wilayah tersebut jumlah insiden DBD selalu tinggi di kecamatan
Tambaksari selama 3 tahun terakhir. Sebagai pembanding, dilakukan pula
pengamatan di wilayah Kelurahan Rangkah pada kecamatan yang sama yang
meliputi 9 RW dengan total ukuran sampel 122 rumah. Di lokasi pembanding ini
sangat jarang terjadi insiden DBD selama 3 tahun terakhir. Total ukuran sampel
diperoleh dari hasil penghitungan menggunakan rumus Taro Yamane
(Notoatmodjo, 2005).
Data kontainer yang digunakan sebagai tempat perkembangbiakan
diperoleh dengan cara survei jentik secara single larva dan secara visual.
Kontainer yang berisi air diperiksa terdapat jentik/pupa atau tidak dengan
menggunakan senter, sekaligus dicatat tentang jenis dan karakteristik kontainer
yang meliputi bahan dasar, keberadaan tutup, dan keberadaan abate. Pengambilan
jentik menggunakan pipet plastik dan dimasukkan ke dalam botol film yang telah
diisi air untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Karena
banyaknya rumah yang diteliti, maka penelitian ini memakan waktu yang cukuplama yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2013.
Hasil dari penelitian ini dilaporkan dengan deskripsi, tabulasi, dan analisis.
Analisis data menggunakan penghitungan (Lok, 1985): House Index (HI),
Container Index (CI), dan Breteau Index (BI).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis TPA
Berdasarkan Tabel 1 distribusi TPA sehari-hari berdasarkan jenisnya yang
paling banyak ditemukan di kelurahan Pacar Kembang adalah jenis bak mandi
(111), gentong (76), tandon air (14) dan yang paling sedikit adalah panci (3).Sedangkan persentase jentik Aedes aegypti paling banyak ditemukan pada
tandon air (42,9%), kemudian bak mandi (30,6%), gentong sebesar 25%, dan
tidak ditemukan jentik sama sekali pada panci.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
27/99
23
Tabel 1. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan
jenisnya
No Jenis TPA
Kelurahan
Pacar Kembang Rangkah
Jml + (%) Jml + (%)1
a
b
c
d
2
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
3
a
b
TPA Sehari-hari
Gentong
Bak mandi
Tandon air
Panci
TPA Non Sehari-hari
Ember
Bak plastik
T. minm hewan
Vas bunga
Pot bunga
Kolam
Aquarium
Tempat air suci
Penyiram bunga
Tandon dispenser
Tandon kulkas
Barang bekas
Jerigen
TPA Alami
Sumur
Tempurung kelapa
76 19 25
111 34 30,6
14 6 42,9
3 0 0
21 0 0
13 1 7,7
29 0 0
7 0 0
2 2 100
2 0 0
12 0 0
1 0 0
1 0 0
19 4 21,1
0 0 0
18 14 77,8
1 0 0
29 22 75,90 0 0
106 71 67
106 34 30,6
11 7 63,6
4 0 0
41 12 29,3
29 5 17,2
7 1 14,3
0 0 0
1 0 0
3 0 0
7 1 14,3
3 2 66,7
0 0 0
18 2 11,1
4 0 0
30 10 33,3
0 0 0
40 32 801 0 0
Keterangan :
Jml : Jumlah TPA yang diperiksa
+ : Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
Di kelurahan Rangkah, TPA sehari-hari yang paling banyak digunakan
sama dengan pada kelurahan Pacar Kembang yaitu bak mandi (106) yang
jumlahnya sama dengan jumlah gentong yang diperiksa, tandon air (11), dan
panci (1). TPA sehari-hari pada daerah penelitian ini yang paling banyak
ditemukan jentik adalah nyamuk Aedes aegypti adalah gentong, dari 106gentong yang diperiksa, 71 (67%) diantaranya positif jentik. Tingginya jumlah
kontainer sehari-hari yang positif jentik nyamuk ini dimungkinkan karena
pelaksanaan 3M yang kurang tepat. Karena pada hasil wawancara masih banyak
ditemukan responden yang tidak melakukan kegiatan menguras tempat
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
28/99
24
penampungan air sehari-hari minimal sekali dalam seminggu. Hal tersebut
berhubungan dengan ketersediaan makanan bagi larva Aedes aegypti yang
berupa lumut, rotifer, protozoa, dan spora jamur. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopratono, et al., (1998)
yang menyatakan bahwa dari beberapa survei yang dilakukan dibeberapa kota di
Indonesia menunjukkan tempat perkembangbiakan yang paling disukai oleh
nyamuk Aedes aegypti dan paling potensial adalah pada tempat penampungan
air sehari-hari seperti bak mandi, gentong, tempayan, dan sejenisnya. Banyaknya
bak mandi yang positif jentik nyamuk bisa dimungkinkan juga karena bak mandi
berada pada kondisi tempat yang gelap dengan kelembaban yang tinggi.
TPA non sehari-hari merupakan TPA yang paling banyak jenisnya. Jenis
TPA non sehari-hari yang paling sering ditemui di kelurahan Pacar Kembang
adalah tempat minum hewan (29). Namun, pada tempat minum hewan tersebut
tidak satupun ditemukan adanya jentik nyamuk, hal ini bisa terjadi karena
tempat minum hewan sering diganti airnya. Pada kelurahan Rangkah, TPA non
sehari-hari yang sering dijumpai adalah ember (41) dan 12 buah diantaranya
dijumpai adanya jentik nyamuk Aedes aegypti.
Sumur merupakan TPA alami yang paling banyak digunakan pada
kelurahan Pacar Kembang maupun kelurahan Rangkah. Dari total 69 sumur
yang diperiksa, 54 sumur (77,1%) diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk
Aedes aegypti. Sumur merupakan tempat penampungan air alami yang memiliki
jumlah paling banyak dan juga merupakan tempat yang paling sering digunakan
oleh nyamuk sebagai tempat perkembangbiakan. Sumur termasuk dalam tempat
penampungan air alami karena air bersumber dari tanah meskipun dindingnya
merupakan buatan manusia. Tingginya persentase jentik pada sumur
dimungkinkan karena sumur memiliki air yang jernih, tenang (tidak mengalir),tempatnya yang berada sangat dalam menyebabkan intensitas cahaya rendah dan
kelembaban udara yang tinggi. Bentuk sumur yang dalam tersebut juga
menyebabkan sulitnya menguras dan membersihkan. Dari hasil observasi juga
ditemukan sebagian besar sumur sudah jarang dan hampir tidak pernah dipakai.
Responden lebih memilih menggunakan pompa air, hal ini menyebabkan air
disumur selalu tenang. Pada kelurahan Rangkah juga ditemukan TPA alami yang
lain berupa tempurung kelapa namun tidak ditemukan adanya jentik nyamuk
pada tempurung kelapa tersebut karena letaknya yang berada di luar rumah
sehingga terpapar matahari secara langsung.
Bahan dasar TPA
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 2 jentik nyamuk
di kelurahan Rangkah ataupun di kelurahan Pacar Kembang sebagian besar
banyak ditemukan pada kontainer yang terbuat dari bahan dasar semen dan
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
29/99
25
plastik. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Hidayah dan Badrah (2011)
menemukan bahwa jenis bahan kontainer atau TPA yang disukai nyamuk Aedes
aegypti sebagai tempat perindukan yaitu bahan semen (kasar) 45%, dan plastik
(halus) 36,8%. Apabila pada suatu tempat penampungan air ditemukan atau
tidak ditemukan jentik nyamuk, maka kemungkinan hal tersebut berhubungan
dengan adanya persediaan makanan.
Tabel 2. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan bahan
dasar TPA
No Bahan Dasar TPA
Kelurahan
Pacar Kembang Rangkah
Jml + (%) Jml + (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Plastik
Semen
Keramik
Kaca
Logam
Fiber
Tanah
Kayu
Karet
174 37 21,3
66 38 57,6
91 26 28,6
15 0 0
6 4 66,7
2 0 0
1 0 0
0 0 0
0 0 0
218 89 40,8
99 74 74,7
64 32 50
8 2 25
7 2 28,6
8 3 37,5
2 0 0
1 0 0
1 1 100
Keterangan :
Jml : Jumlah TPA yang diperiksa
+ : Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
Permukaan semen yang kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudahditumbuhi lumut, dan mempunyai refleksi cahaya yang rendah, sehingga jenis
bahan dasar yang demikian akan disukai oleh nyamuk Aedes aegyppti sebagai
tempat perindukannya. Sesuai dengan kebiasaan hidup nyamuk Aedes aegypti
yang senang pada kelembaban yang tinggi dan bersifat fototaksis negatif. Bahan
dasar kontainer atau TPA sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk
Aedes aegypti, karena semakin banyak bahan dasar kontainer yang disukai akan
semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk
Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin
tinggi pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat
sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat (Yudhastuti, 2011).
Ketersediaan tutup kontainer
Ketersediaan tutup pada kontainer berperan untuk mencegah nyamuk
masuk kedalam kontainer sehingga berkembangbiak. Hal ini terjadi karena
nyamuk menyukai kontainer yang terbuka tanpa tutup dan terlindung dari sinar
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
30/99
26
matahari (Anonimus, 2005). Pada kelurahan Pacar Kembang dan kelurahan
Rangkah sebagian besar gentong dan tandon air memiliki tutup. Pada kelurahan
Pacar Kembang, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 78 buah
dan 24 diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk Aedes aegypti. Pada
kelurahan Rangkah, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 105
buah dan 69 diantaranya terdapat jentik.
Tabel 4.3 Distribusi ketersediaan tutup pada kontainer
No Kelurahan
Ketersediaan tutup
Ada tutup Tidak ada tutupTotal
Jml + (%) Jml + (%)
1 Pacar Kembang 78 24 (30,8) 12 3 (25) 90
2 Rangkah 105 69 (65,7) 8 4 (50) 113
Keterangan :
Jml : Jumlah kontainer yang diperiksa
+ : Jumlah kontainer yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
% : Persentase TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
Persentase gentong dan tandon air yang terdapat jentik lebih banyak di
kelurahan Rangkah dibandingkan dengan Kelurahan Pacar Kembang yang
memiliki kasus DBD lebih tinggi persentase keberadaan jentik terbesar ada pada
tempayan yang terdapat tutup di kelurahan Rangkah sebesar 65%.
Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kontainer yang terdapat
tutup pun masih ditemukan jentik nyamuk. Hal ini terjadi dimungkinkan karena:
pertama, responden dan keluarga tidak menutup kontainer dengan rapat
sehingga nyamuk dewasa masih bisa masuk ke dalam kontainer untuk berkembangbiak. Kedua, ketika mengganti air, dinding permukaan kontainer
tidak disikat secara bersih, sehingga kemungkinan masih terdapat telur-telur
nyamuk. Kontainer harus ditutup dengan rapat, setelah air digunakan harus
dijaga agar kontainer tetap tertutup dengan benar. Menurut Anonimus (2000)
menutup kontainer cukup efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk
seperti yang telah dilakukan di Thailand.
Ketersediaan abate pada kontainer
Salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue
adalah dengan program abatisasi. Penggunaan abate masih sangat kurang pada
kedua kelurahan. Terlihat dari tabel 4 bahwa dari total semua kontainer (358
buah) yang ada pada kelurahan Pacar Kembang, hanya 15 kontainer saja yang
ditemukan adanya abate dan 1 diantaranya terdapat jentik. Pada kelurahan
Rangkah, dari 408 kontainer yang ada hanya 5 kontainer yang ditemukan
terdapat abate dan 1 diantaranya terdapat jentik nyamuk.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
31/99
27
Tabel 4 Distribusi penggunaan abate pada kontainer
No KelurahanAda abate
Total+ (%) ± (%)
1 Pacar Kembang 1 (6,7) 14 (93,3) 15
2 Rangkah 1 (20) 4 (80) 5
Keterangan :
+ : Jumlah kontainer positif jentik
- : Jumlah kontainer yang negatif jentik
Indeks jentik
Dari hasil survei jentik juga didapatkan larva index berupa House Index
(HI) , Container Index (CI) , Breteau Index(BI) , dan Angka Bebas Jentik (ABJ) di
masing±masing kelurahan. Nilai HI pada kelurahan Pacar Kembang (89,3%)
lebih tinggi daripada kelurahan Rangkah (51,2%), Nilai CI pada kelurahan Pacar
Kembang (49,8%) lebih tinggi dari kelurahan Rangkah (29,3%). Nilai BI padakelurahan Pacar Kembang juga lebih tinggi (166,4%) dibandingkan pada
kelurahan Rangkah (85,4%). Namun meskipun kelurahan Rangkah lebih rendah
nilai HI,CI, dan BI, kemungkinan transmisi penyakit DBD masih tergolong
besar sekali. Pada kelurahan Pacar Kembang mendapatkan hasil penghitungan
ABJ sebesar 48,8% sedangkan pada kelurahan Rangkah hanya 10,6%, padahal
Yotopranoto (2007) menyatakan menurut standar nasional untuk nilai ABJ
DGDODK • VHKLQJJD UHVLNR penularan DBD di kelurahan Rangkah lebih tinggi
dibandingkan di kelurahan Pacar Kembang.
Tabel 4. Indeks Jentik Aedes aegypti di kecamatan Tambaksari
No KelurahanRumah
JmlKontainer
Jml CI
(%)
HI
(%)
BI
(%)
ABJ
(%)Ada
(+)
TA
(-)
Ada
(+)
TA
(-)
1Pacar
Kembang63 60 123 105 253 358 49,8 89,3 166,4 48,8
2 Rangkah 109 13 122 203 205 408 29,3 51,2 85,4 10,6
Keterangan tabel:
Jml : jumlah rumah atau kontainer
TA : Tidak Ada
CI : Container Index
HI : House IndexBI : Breteau Index
ABJ : Angka Bebas Jentik
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
32/99
28
SIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa
TPA yang paling sering digunakan oleh warga baik di kelurahan Pacar Kembang
maupun di kelurahan Rangkah adalah berupa TPA sehari-hari yaitu gentong dan
bak mandi yang sebagian besar berbahan dasar dari semen dan plastik. Sedangkan
larva Aedes aegypti lebih banyak ditemukan pada TPA yang berbahan dasar
semen. TPAyang paling sering ditemukan terdapat larva Aedes aegypti adalah
gentong dan sumur. Penggunaan abate juga sangat efektif untuk memberantas
larva Aedes aegypti, namun penggunaan di masyarakat masih sangat kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2002. Special Programme for Research and Training in Tropical
Diseases-TDR. WHO
Anonimus. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD di Indonesia.
Ditjen PP & PL Depkes RI: Jakarta
Harwood, R.F., James M.T. 1979. Entomology in Human and Animal Health. 7th
Ed. Mc Millan Pub. Co.p. 548
Suwasono, H dan S. Nalim. 1988. Korelasi antara Evaluasi Kepadatan Aedes
aegypti (L) dengan Ovitrap terhadap Kasus Demam Berdarah di Jakarta.
Seminar Parasitologi Nasional V. Bogor. 1988
Focks D.A. and D.D. Cladee. 1997. Pupal Survey an Epidemiologically Signifi-
cant Surveillance Method for Ae. Aegypti : an Example Using Data fromTrinidad. Am. J. Trop. Med. Hyg. 56: 159-16
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta:
Jakarta
Lok, Chan Kai. 1985. Singapores Dengue Haemorhagic Fever Control
Programme: A Case Study on The Succesful Control of Aedes aegypti and
Aedes albopictus Using Mainly Environmental Measure as A Part of
Integrated Vector Control. SEAMIC: Tokyo
Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida. 1998. Dinamika Populasi Vektor pada
Lokasi Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di
Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Vol 9 : No.
1-2
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
33/99
29
Mardihusodo, S. J. 1988. Pengaruh Perubahan Lingkungan Fisik Terhadap
Penetasan Telur Nyamuk Aedes aegypti. Berita Kedokteraan Masyarakat
Vol. 4 No. 6
Hidayah, N., dan Badrah, S. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk
Aedes aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan
Penajan Kecamatan Penajan Kabupaten Penajan Paser Utara. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Vol 1. No. 2: 155
Yudhastuti, R. 2011. Pengendalian Vektor Dan Rodent . Pustaka Melati: Surabaya
Anonimus. 2000. Petunjuk Lengkap Terjemahan dari WHO Regional Publication
6($52 1R ³3UHYHQWLRQ &RQWURO 2I 'HQJXH DQG 'HQJXH +HPRUUDJLF
)HYHU´ . WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta
Yotopranoto, S. 2007. Mewaspadai Penyakit Avian Influenza, Demam Berdarah
Dengue, dan Malaria, dalam makalah yang disampaikan dalam seminar
sehari di Tropical Disease Center (TDC). Universitas Airlangga: Surabaya
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
34/99
30
INTERAKSI BLEKOK SAWAH ( Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS
LAIN SAAT MENCARI MAKAN DI WONOREJO
Christian Agung S, Bambang Irawan, Sucipto Hariyanto
Program Studi S-1, Biologi, Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi
waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang berinteraksi dengan blekok
sawah dan frekuensi masing-masing spesies burung air yang berinteraksi dengan
blekok sawah saat mencari makanan. Proses pengambilan data dilakukan selama 5
bulan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013 dengan metode scan
sampling. Dipilih dua titik untuk pengambilan data yang masing-masing mewakili
kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Berdasarkan hasil pengamatan, blekok
sawah aktif mencari makan di pagi hari (06.00-11.00) dan pada sore hari (14.00-
17.00). Di kawasan yang dekat pantai tercatat 12 jenis burung yang berinteraksi
dengan blekok sawah saat makan, dan di kawasan yang jauh dari pantai tercatat 9
jenis burung yang berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan. Kelompok
burung air yang sering berinteraksi dengan blekok sawah pada kawasan yang dekat
maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa dan Egretta alba. Menurut hasil
analisis, Egretta garzetaa mempunyai nilai frekuensi interaksi sebesar 11,67
menit/individu pada kawasan dekat pantai dan 12,38 menit/individu pada kawasan
yang jauh dari pantai, sedangkan Egretta alba mempunyai nilai frekuensi interaksi
sebesar 5,53 menit/individu pada kawasan yang dekat pantai dan 7,15 menit/individu
pada kawasan yang jauh dari pantai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa blekok sawah sering berinteraksi dengan burung Egretta garzetaa dan Egretta alba
ketika mencari makan pada kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai.
Kata kunci : interaksi, blekok sawah, waktu makan
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
35/99
31
ABSTRACT
This study was done in order to know general description of the feeding time
allocation of javan pond heron, water bird species who interact with javan pond
heron and frequency of each species of water birds who interact with javan pond
heron while foraging. This study was conducted for 5 months starting at January
2013 until May 2013 with a scan sampling method. Two site points were selected for
obtaining data, each representing the areas near and away from the beach. Based on
observations, javan pond heron actively feed in the morning (6:00am to 11:00am)
and in the afternoon (02:00pm to 05:00pm). In areas near the beach was recorded 12
species of birds which interact with javan pond heron while foraging, and in areas
away from the beach recorded 9 species of birds that interact with javan pond heron
while foraging. Species of water birds that has frequent interaction with javan pond
heron in areas near and far from the beach is little egret and great egret. According
to the analysis, interaction frequency of little egret has a value of 11.67 min /
individuals in the area near the beach and 12.38 min / individuals in areas away from
the beach, and interaction frequency of great egret has a value of 5.53 minutes /
individual in areas near the beach and 7.15 min / individuals in areas away from the
beach. Thereby can be concluded that javan pond heron often interact with little
egret and great egret when foraging in areas near and away from the beach.
Key words : interaction, javan pond heron, feeding time
LATAR BELAKANG
Pantai Timur Surabaya meliputi kelurahan Tambak Wedi sampai sungaiDadapan di wilayah Gunung Anyar, yaitu daerah perbatasan kotamadya Surabaya dan
kabupaten Sidoarjo (Affandi, 1994), dan Wonorejo adalah salah satu daerah yang
berada di wilayah Pantai Timur Surabaya. Kawasan Wonorejo banyak dimanfaatkan
oleh penduduk sekitar sebagai lahan pertambakan untuk memelihara ikan dan udang.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
36/99
32
Daerah pertambakan ini sering dijadikan tempat beristirahat dan mencari makan oleh
kelompok burung air.
Burung air adalah kelompok burung yang kehidupannya sangat bergantung
pada habitat air dalam siklus hidup mereka, baik dalam hal mencari makan maupun
berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan bentuk dan ukuran paruh yang
disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya (Howes et
al., 2003). Terdapat 10 famili dari 53 jenis burung air yang menghuni kawasan
pertambakan Wonorejo (Nurdini,2009), salah satunya adalah burung air dari jenis
blekok sawah ( Ardeola speciosa). Blekok sawah yang terdapat di kawasan Wonorejo
merupakan predator karena memangsa berbagai jenis ikan kecil dan hewan kecil
lainnya termasuk kodok, cacing, udang, dan kepiting. Pada saat melakukan aktivitasmakan di daerah pertambakan, burung air tersebut melakukan interaksi dengan jenis
lain.
Interaksi adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan yang
lainnya. Ada dua macam interaksi berdasarkan jenis individu yang melakukannya
yaitu intraspesies dan interspesies. Interaksi intraspesies adalah hubungan antara
individu yang berasal dari satu spesies, sedangkan interaksi interspesies adalah
hubungan yang terjadi antara individu yang berasal dari spesies yang berbeda
(Dwidjoseputro, 1991).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi
waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang sering beinteraksi dengan
blekok sawah saat mencari makan, frekuensi tiap-tiap jenis burung air yang
berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan, serta jenis-jenis burung air
apa saja yang sering berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan.
METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di daerah pertambakan dan bozem di wilayah
Wonorejo Rungkut Surabaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei
2013.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
37/99
33
Alat dan bahan penelitian
Peralatan yang digunakan dalam inventarisasi jenis burung adalah teropong
binokular, teropong monokular, tripod, buku panduan lapangan jenis burung
MacKinnon et al. (2005), buku catatan lapangan, alat tulis, tabel inventarisasi jenis
burung, kamera, jam, dan kamuflase.
Prosedur kerja
Pengambilan data diawali dengan penelitian pendahuluan untuk memilih
tempat-tempat yang akan digunakan sebagai stasiun pengamatan dan penetapan
alokasi waktu penelitian. Pemilihan stasiun pengamatan didasarkan pada tempat yang
kerap dikunjungi oleh burung Ardeola speciosa sepanjang hari. Berdasarkan
penelitian pendahuluan tersebut, ditetapkan dua stasiun untuk tempat pengambilan
data. Stasiun I adalah kawasan bozem Wonorejo dengan titik koordinat 7o18’36,96”
LS ; 112o49’23,58” BT, dan stasiun II adalah kawasan pertambakan yang dekat
dengan laut dengan titik koordinat 7o18’59,84”LS ; 112
o49’54,02” BT.
Pengambilan data selama penelitian dilakukan dengan metode Scan Sampling.
Metode Scan Sampling dapat digunakan untuk mendapatkan data dari beberapa
individu dalam satu kelompok, sehingga memungkinkan pengamat untuk melakukan
observasi terhadap lebih dari satu individu dalam waktu yang bersamaan (Altmann
1974). Total keseluruhan waktu pengamatan perilaku makan burung Ardeola
speciosa adalah 255 jam 28 menit yang terdiri atas 247 jam 24 menit pengamatan
Ardeola speciosa saat makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit untuk
pengamatan saat makan dengan sesamanya. Untuk identifikasi jenis burung, buku
panduan pengamatan lapangan yang digunakan adalah Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali, dan Kalimantan (MacKinnon et al., 2005). Selama proses pengambilan
data peneliti menggunakan kamuflase agar tidak megganggu burung air saat mencari
makan.
Pengamatan meliputi jenis-jenis burung apa saja yang berinteraksi dengan
Ardeola speciosa saat mencari makan beserta durasi dan jumlah individunya di 2
stasiun pengamatan dengan interval waktu tertentu. Data yang diperoleh kemudian
akan dianalisis secara deskriptif.
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
38/99
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Penelitian interaksi Ardeola speciosa saat mencari makan dilakukan antara
bulan Januari-Mei 2013 di kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Pengamatan
dilakukan selama 255 jam 28 menit, dimana 247 jam 24 menit dilakukan pengamatan
interaksi saat mencari makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit dilakukan
pengamatan interaksi saat mencari makan dengan sesamanya. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa Ardeola speciosa aktif mencari makan di pagi hari yaitu pukul
06.00-11.00 WIB dan sore hari yaitu pukul 14.00-17.00WIB. Dari hasil pengamatan
tercatat 12 jenis burung air yang berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari
makan pada kawasan dekat dengan pantai, dan 9 jenis burung air yang berinteraksidengan Ardeola speciosa pada kawasan jauh dari pantai, dan keseluruhan burung air
tersebut terbagi dalam 5 famili.
Burung air dari jenis Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah burung yang
sering dijumpai berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan pada
kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai pada saat pagi, siang, maupun sore hari.
Namun, terdapat perbedaan jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan
Ardeola speciosa pada pagi, siang, maupun sore hari di kawasan yang dekat ataupun
jauh dari pantai.
Di kawasan yang dekat pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai
berinteraksi dengan Ardeola speciosa pada pagi hari adalah Tringa nebularia dengan
catatan waktu perjumpaan selama 30 menit. Pada siang dan sore hari adalah Egretta
eulophotes, dengan catatan waktu perjumpaan selama 14 dan 28 menit. Sedangkan
untuk kawasan yang jauh dari pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai
berinteraksi pada pagi, siang dan sore hari adalah sama, yaitu Tringa glareola dengan
catatan waktu perjumpaan selama 57, 4, dan 10 menit.
Tercatat selama 2100 menit pada pengamatan pagi, 1006 menit pada
pengamatan siang, dan 2012 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari
pantai, Egretta garzetaa berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan.
Total waktu 505 menit pada pengamatan pagi, 156 menit pada pengamatan siang, dan
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
39/99
35
390 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari pantai, Egretta alba
berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Sedangkan untuk kawasan
yang jauh dari pantai, tercatat selama 2009 menit pada pengamatan pagi, 989 pada
pengamatan siang, dan 1987 menit pada pengamatan sore total waktu interaksi
burung Egretta garzetaa saat mencari makan dengan Ardeola speciosa. Total waktu
387 menit pada pengamatan pagi, 75 menit pada pengamatan siang, dan 339 menit
pada pengamatan sore total waktu interaksi burung Egretta alba dengan Ardeola
speciosa saat makan.
Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa (11,67%), dan Egretta alba(5,53%). Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat dari pantai adalah Egretta eulophotes (1,09%), sedangkan untuk kawasan jauh
dari pantai adalah Tringa glareola (2,26%).
Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Ardeola speciosa aktif mencari makan
di pagi hari (06.00-11.00 WIB) dan juga sore hari (14.00-17.00WIB). Hal ini sesuai
dengan pendapat yang menyebutkan bahwa Ardeola speciosa adalah salah satu
burung diurnal yang aktif pada pagi dan sore hari (Anonim , 2011). Selain itu, selama
pengamatan berlangsung ketika siang hari di kawasan tambak Wonorejo banyak
dijumpai aktifitas manusia seperti memancing. Hal ini akan mengganggu
kenyamanan dari Ardeola speciosa sehingga Ardeola speciosa akan berpindah ke
tempat yang dianggapnya lebih aman. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et
al (2005) yang mengatakan bahwa Ardeola speciosa termasuk jenis burung yang
sensitif. Di sisi lain, keadaan bozem pada siang hari saat penelitian lebih seringdigenangi oleh pasang air laut, hal ini menyebabkan Ardeola speciosa akan berpindah
ke tempat yang lebih tinggi seperti vegetasi mangrove untuk bertengger.
Burung Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis burung air yang sering
berinteraksi dengan Ardeola speciosa pada kawasan yang dekat maupun jauh dari
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
40/99
36
pantai. Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis burung penetap yang dapat
dijumpai pada kawasan Wonorejo dan merupakan jenis burung air yang satu famili
dengan Ardeola speciosa yaitu Ardeidae (MacKinnon, et al 2005). Selain itu, Egretta
garezetaa dan Egretta alba memiliki kebiasaan yang sama yaitu senang berkelompok
dan membaur dengan jenis yang lainnya ketika sedang mencari makanan (MacKinnon,
et al 2005). Secara umum, bentuk morfologi paruh, tubuh, dan kaki antara Egretta
garzetaa, Egretta alba, dan Ardeola speciosa memiliki banyak persamaan. Oleh karena
persamaan tersebut, ketiga burung ini cenderung memiliki habitat dan modus makan
yang sama.
Tringa nebularia adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan
Ardeola speciosa pada pagi hari di kawasan dekat pantai. Sedangkan, pada siang dansore hari Egretta eulophotes adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi
dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Tringa glareola adalah jenis burung air
yang jarang berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan pada pagi, siang,
maupun sore hari di kawasan jauh dari pantai.
Tringa nebularia dan Tringa glareola adalah jenis burung yang termasuk dalam
famili Scolopacidae yang mempunyai beberapa perbedaan morfologi dengan Ardeola
speciosa, seperti perbedaan bentuk paruh, ukuran tubuh, dan kaki. Bentuk paruh Tringa
nebularia adalah panjang, tipis dan melengkung keatas, sedangkan Tringa glareola
adalah tipis dan memanjang (MacKinnon, et al 2005). Selain itu, ketiga burung tersebut
jarang berinteraksi dengan Ardeola speciosa disebabkan karena ketiga burung tersebut
merupakan burung migran yang suka menggunakan kawasan sekitar pantai untuk
beristirahat ataupun mencari makan. Burung migran pada lokasi penelitian dapat
dijumpai pada bulan Maret-Mei karena burung migran tersebut melakukan
perjalanannya kembali ke bumi bagian utara (Rusia dan sekitarnya) untuk berbiak,
dan pada bulan September-November dimana burung migran tersebut mulai
melakukan perjalan ke bumi bagian selatan (Australia dan negara-negara Pasifik)
untuk menghindari musim dingin (Howes, et al 2003).
Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
-
8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1
41/99
37
dekat maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa dan Egretta alba. Hal ini juga
didukung dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa burung ini sering dijumpai
pada lokasi yang sama dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Selain itu,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Tri et al. (2012) di Wonorejo, menunjukkan
bahwa burung dari famili Ardeidae merupakan famili yang mempunyai jumlah
spesies dan jumlah individu terbesar. Burung air famili Ardeidae mempunyai jumlah
spesies dan individu terbesar di Wonorejo disebabkan karena sebagian besar jenis
dari famili ini merupakan burung penetap (residence) (MacKinnon, et al 2005).
Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat dari pantai adalah Egretta eulophotes, sedangkan untuk kawasan jauh dari pantai adalah Tringa glareola. Kedua jenis burung ini mempunyai nilai frekuensi
terendah disebabkan karena burung ini termasuk jenis burung-burung migran yang
singgah sementara di kawasan Wonorejo.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya fre