Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

download Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

of 37

Transcript of Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    1/99

    VOLUME 2

    NOMOR 1

    APRIL 2014

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    2/99

     

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    3/99

     

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    4/99

    DAFTAR ISI

    ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN Brassica oleracea

    BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis MELALUI PENDEKATAN

    MORFOLOGI.

    Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si. .........................

    Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae terhadap Biomassa dan Kadar Saponin

    Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara In-vitro.

    Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U. ………………………………………….

    Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes

     aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya

    Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun. …………………………………………………

    INTERAKSI BLEKOK SAWAH (Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS LAIN SAAT

    MENCARI MAKAN DI WONOREJO.

    Christian Agung S, Bambang Irawan, Sucipto Hariyanto. ..........................................................

    Fluktuasi Populasi Larva Aedes aegypti pada berbagai Jenis Tempat

    Perkembangbiakan di Rumah Penderita DBD.

    Etik Ainun Rohmah, Noer Moehammadi, dan Salamun. ……………………………...................

    Potential Hydrolysis with Cellulase Enzyme Fermentation Bacteria Isolates of

    Bacillus sp. This thesis under the guidance.

    Novia Tri Rahayu, Drs. Agus Supriyanto M. Kes, and Drs. Salamun. ……………………

    Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan danProduktivitas Tanaman Seledri (Apium graveolens L.)

    Tini Surtiningsih, Nurul Qomariyah Sayuti dan Hery Purnobasuki. …………………………….

    VARIASI MORFOLOGI CANGKANG KIJING Elongaria orientalis (Lea, 1840) DI SUNGAI

    BRANTAS, JAWA TIMUR

    Sulistiana Megawati, Bambang Irawan, dan Moch. Affandi. ……………………………………..

    UJI EFEK ANTIPROLIFERASI DAN SITOTOKSIS MEDAN LISTRIK 100KHz

    TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SECARA IN VITRO 

    IzzatunAjrina, DwiWinarni, danTrianggonoPrijo. …………………………………………………

    EFEK EKSTRAK DAN FRAKSI TUMBUHAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)

    TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR

    PLUMBUM

    Dr. Alfiah Hayati, Milatussakdiyah, dan Drs. I.B. Rai Pidada, M.Si. ….....................................

    1‐10 

    11‐20 

    21‐29 

    30‐39 

    40‐49 

    50-57

    58-67

    68-78

    79-86

    87-95 

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    5/99

     

    LAMPIRAN 1

    RINGKASAN

    ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN

     Brassica oleracea BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis

    MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI

    Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si.

    Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

    Universitas Airlangga, Surabaya

    ABSTRAK

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar

    anggota genus  Brassica  berdasarkan karakter morfologi dan mengetahui karakter

    yang dapat digunakan untuk dapat membedakan atau mengelompokkan antaranggota genus  Brassica  penelitian ini telah dilakukan di Kebun Organik Brenjonk,

    Trawas Mojokerto dan perkebunan di Cangar Batu Malang. Pada penelitian ini

    terdapat 9 spesimen dari genus Brassica, yaitu Brassica juncea L., Brassica rapa

    L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)

    Hanelt. var. alba,  Brassica rapa L. convar.  parachinensis (L.H.Bailey), Brassica

    rapa L. subsp.  pekinensis (Vourt.) Hanelt.,  Brassica oleracea L. var. italicaPlenk. ,   Brassica oleracea L. var. aboglabra (L.H.Bailey) Masil.,  Brassica

    oleracea  L. var. capitata, dan  Brassica oleracea L. var. boytris L. Karaktertanaman yang digunakan berjumlah 35 karakter, berupa karakter morfologi yang

    meliputi karakter dari batang, daun, dan krop. Penelitian ini bersifat observasional,

     berupa pengamatan karakter morfologi, terhadap 9 spesimen dari anggota genus

     Brassica, dengan melakukan 3 kali pengulangan pada setiap spesimen. Hasil penelitian menunjukkan adanya keanekaragaman diantara 27 kluster, berdasarkandendogram, yaitu  B. rapa subsp. chinensis var. alba lebih dekat dengan  B. rapa

    subsp. chinensis var. viridis  dibandingkan dengan  B. rapa convar.  parachinensis

    yang lebih dekat dengan  B. juncea, dan  B. oleracea var. italica, lebih dekatdengan  B. oleracea var. alboglabra  dibandingkan dengan  B. oleracea var.

    capitata yang lebih dekat  B. oleracea var. boytris, serta  B. rapa subsp.  pekinensis

    memiliki hubungan paling jauh dengan delapan spesimen.

    Kata kunci: Hubungan kekerabatan, genus Brassica, karakter morfologi.

    ABSTRACT

    This research aims are to know fenetic relationship among members of

    genus  Brassica  based on   phenomenological morphology characters and to know

    which character could be used to distinguish or classify the fenetic relationship

    among specimens of genus  Brassica. This research was run in OrganicHorticultural Brenjonk, Trawas Mojokerto dan holticultural in Cangar BatuMalang. In this research, there were 9 specimens from genus Brassica, those were

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    6/99

     

     Brassica, yaitu  Brassica juncea L.,  Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt.

    var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba,  Brassicarapa L. convar.  parachinensis (L.H.Bailey),  Brassica rapa L. subsp.  pekinensis

    (Vourt.) Hanelt., Brassica oleracea L. var. italica Plenk. ,  Brassica oleracea L. var.

    aboglabra (L.H.Bailey) Masil.,  Brassica oleracea   L. var. capitata, dan  Brassica

    oleracea L. var. boytris L. 35 characters of morphological plant (habitus, stalk,leaves, and compact head) were used. This was an observational research with

    morphological characters observation on 9 specimens from genus  Brassica, with

    three times replication of each specimen. Fenetic relationship between  B. rapa

    subsp. chinensis var. alba closer to  B. rapa subsp. chinensis var. viridis  than  B.rapa convar. parachinensis  and  B. juncea, and  B. oleracea var. italica, closer to B.

    oleracea var. alboglabra  than  B. oleracea var. capitata and  B. oleracea var.boytris, also  B. rapa subsp.  pekinensis  having longest relationship with eightspecimen.

    Keywords : Fenetic relationship, genus Brassica.,  phenomenological morphology.

    PENDAHULUAN

    Brassicaceae, umumnya dikenal sebagai famili sawi (mustar),Brassicaceae mencakup lebih dari 300 genus dan 3000 spesies, termasuk didalamnya adalah tanaman setahun dan dua-tahunan, baik sebagai sayuran penting

    maupun tanaman penghasil minyak biji dan tanaman hias yang bernilai tinggiyang tersebar di seluruh dunia. Berbagai varietas dari spesies  Brassica oleracea

    mempunyai karakter tidak membuahi sendiri, dan karena itu, penyerbukan silang

    kemungkinan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman. Hal itu

    disebabkan karena pada varietas tersebut memiliki karakter protogini (putikterlebih dahulu matang daripada kepala sari) antar varietasnya, misalnya padakubis bunga dan kubis telur, fertilisasi sulit terjadi secara alami, matangnya organ

    kelamin jantan dan betina yang berbeda waktunya, yang memberikan peluang besar terjadinya perkawinan silang dan dengan rentang waktu yang lama dapat

    dimungkinkan terjadi perubahan baik secara morfologi atau secara genetik dan

    akan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman.

    Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjawab permasalahan mengenai hubungan kekerabatan

     Brassica sp. karena informasi mengenai hubungan kekerabatan  Brassica sp.sangat diperlukan mengingat beberapa penelitian yang dilakukan terhadap

    tanaman  Brassica sp. sejauh ini memang lebih banyak terfokus pada pemanfaatan

    kandungan senyawa biokimiawinya, seperti kandungan senyawa etil asetat pada

    tanaman kubis dimanfaatkan sebagai antiseptik alami antara lain oleh Rusmiati et

    al. (2007). Penelitian tentang budidaya caisim ( Brassica juncea L.) menggunakanekstrak teh dan pupuk kascing yang telah dilakukan oleh Fahrudin (2009), penelitian tetang budidaya pada tanaman caisin, yaitu untuk mengetahui pengaruh

     pemberian sungkup plastik dan warna sungkup plastik terhadap pertumbuhan dan

    hasil tanaman caisin ( Brassica chinensis) oleh Sulistyaningsih (2005), penelitian

    tentang jamur penyebab karatan pada  Brassica junce dengan menggunakan

     Brassica carinata oleh Gupta (2010), respon varietas kubis (brassica oleraceae)

    dataran rendah terhadap pemberian berbagai jenis mulsa oleh Ramli (2010),

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    7/99

     

    sedangkan penelitian mengenai hubungan kekerabatan  Brassica sp., salah satunya

    melalui pendekatan morfologi sejauh ini memang belum ditemukan. Hal ini

    didasarkan pada pendapat dari Rubatzky (1998) yang menyatakan bahwa

    taksonomi  Brassica sp. memang rumit dan masih belum terpecahkan, dan nama

    umumnya tidak mencerminkan keterkaitan spesiesnya.

    Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan mengenai hubunganfenetik antar organisme melalui pendekatan morfologi sangat perlu dilakukan. Hal

    itu disebabkan karena karakter morfologi merupakan karakter pada tanaman yang

    sifatnya melekat erat/menjadikan karakter yang ditunjukkan komponen struktural

    dari tumbuhan dan berhubungan dengan organ tumbuhan yang dapat dilihat

    dengan kasat mata jika dibandingkan dengan bukti taksonomi lainnya seperti

    anatomi, fisiologi, biokima atau molekuler, sehingga lebih cepat mendapatkandata dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, jika menggunakan datayang diperoleh dari pengamatan morfologi, hasil pengelompokan kekerabatan

    suatu organisme yang diperoleh juga tidak jauh berbeda jika dibandingkan data

    secara molekuler.

    Berdasarkan hal ini, studi analisis keanekaragaman antar anggota  Brassica

    sp. melalui pendekatan morfologi perlu dilakukan. Selain untuk mengetahuihubungan kekerabatan antar anggota  Brassica sp., diharapkan penelitian ini juga

    dapat menjadi sumber ilmiah untuk dasar penelitian yang lebih lanjut dalam bidang taksonomi tumbuhan.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini dilakukan di Kebun Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas

    Kabupaten Mojokerto dan Perkebunan Sayur Kota Batu Malang, selama 4 bulan,

    mulai bulan Maret hingga bulan Juni 2013. Bahan tumbuhan yang digunakandalam penelitian ini adalah 9 spesimen dari genus  Brassica yang meliputi,

     Brassica juncea L.,  Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis,

     Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba, Brassica rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica rapa L. subsp.  pekinensis (Vourt.) Hanelt.,

     Brassica oleracea L. var. italica Plenk. ,  Brassica oleracea L. var. aboglabra(L.H.Bailey) Masil.,  Brassica oleracea   L. var. capitata, dan  Brassica oleracea L.

    var. boytris L.., dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kameradigital, meteran, penjepit, lup, jangka sorong, pH meter,  thermometer , bolpoin.

    Metode dilakukan adalah metode observasi sampel di wilayah perkebunan

    Komunitas Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, dan di

     perkebunan Cangar Batu Malang, sampel diperlakukan sebagai sampel hidup,kemudian dilakukan karakterisasi morfologi sebanyak 35 karakter, dari organ batang, daun, dan krop.

    Analisis data metode deskriptif

    Data pengamatan yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran fenotip

    tanaman kemudian di data sesuai dengan parameter yang digunakan. Kemudiandata karakter morfologi dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan sifat khas

    setiap OTU. Analisis deskriptif meliputi deskripsi analitik, diagnostik dan

    diagnostik diferensial.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    8/99

     

    Analisis data untuk mengelompokkan

    Data hasil identifikasi karakter morfologi (batang dan daun) yang telahdiperoleh selanjutnya disusun dalam matriks Operational Taxonomyc Unit   (OTU)

    karakter untuk dikuantifikasikan sebagai data multivariate. OTU dinyatakan

    sebagai jenis dari sampel penelitian genus  Brassica yang diteliti dan karakterdinyatakan sebagai ada (1) dan tidak ada (0) serta multivariate dari data morfologiyang diperoleh pada setiap sampel penelitian yang digunakan. Setelah melakukan

    scoring, data dimasukkan dalam program SPSS dengan memilih analize, classify,

    hierarchial cluster. Hal ini dilakukan untuk menentukan indeks kesamaan atau

    indeks similaritas (IS) (OTU vs OTU) dengan menggunakan koefesien Simple Matching. Koefisien Simple Matching digunakan untuk melihat peran kehadiran

    dan ketidakhadiran karakter data morfologi dalam pengelompokan.Menggabungkan karakter morfologi (fenotip) melalui average linkage, untukmenentukan OTU yang akan mengelompok dengan sesamanya. Indeks similaritas

    akan mempengaruhi pengelompokan OTU dalam averge linkage. Hasil

     pengelompokkan melalui average linkage akan dikonfirmasi ulang melalui PCA

    (Principal Component Analyses). Hasil PCA digunakan untuk mengetahui bobotnilai karakter pembeda dalam pemisahan OTU. Akhirnya akan menghasilkan

     bentuk fenogram hubungan kekerabatan takson. Pemisahan OTU dapat dilihatmelalui fenogram hasil pengelompokan average linkage dan PCA yang dapatdigunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar OTU berdasarkananalisis karakter morfologi (fenotip) (Hamidah, 2009).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil pencandraan terhadap karakter morfologi pada genus  Brassica dapat

    diketahui adanya keanekaragaman antar spesimen, yang meliputi karakter batangdaun dan krop. Data hasil pencandraan dapat dibuat menjadi kunci determinasi

    yang dapat menggambarkan jati diri suatu organisme (Hamidah, 2009).

    Kunci determinasi

    1. a. Memiliki krop………………………..……………………………………….3

     b. Tidak terbentuk krop…………………………..……………………...……...6

    2. a. Filotaksis roset akar…………………..………………………………………7 b. Filotaksis tersebar………………………………………..…………………...5

    3.a.Warna permukaan atas daun berwarna kuning pucat-hijau muda-hijau

    tua………………………………. Brassica rapa subsp. chinensis var. pekinensis

     b. Warna pemukaan atas daun berwarna hijau tua……………..………………4

    4. a. Bentuk krop bulat agak pipih……..…..…...… Brassica oleracea var. capitata

     b. Bentuk krop setengah lingkaran………………………..…………………….55. a. Krop berwarna putih………………….….…… Brassica oleracea var. boytris

     b. Krop berwarna hijau tua .................................... Brassica oleracea var. italica

    6. a. Tidak memiliki trikoma pada daun .......................................... …………….8

     b. Memiliki trikoma pada daun…………………………………………………7

    7. a. Bangun daun oblongatus, tepi bisseratus, ujung rounded , pangkal acute dan

     permukaan daun rugros.………………..… Brassica rapa convar.  parachinensis

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    9/99

     

     b. Bangun daun obvate, tepi revolute, ujung obtusus, pangkal cuneat  dan

     permukaan daun opacus..…………………… ............................ Brassica juncea

    8. a. Daging daun  perkamenteus  dan permukaan batang tidak bernodus…………………………………….. Brassica oleracea var. alboglabra

     b. Daging daun membranaceous dan permukaan batang bernodus.……………9

    9. a. Tangkai daun berwarna hijau..…... Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis b. Tangkai daun berwarna putih…...…. Brassica rapa subsp. chinensis var. alba

    Hasil analisis hubungan kekerabatan antar anggota genus  Brassica sp.

    melalui metode fenetik

    Analisis pengelompokkan dengan metode fenetik adalah untuk mengetahui

    hubungan kekerabatan antar anggota dari genus  Brassica sp.  berdasarkan 35karakter morfologi yang digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan

    kekerabatan antar spesimen dengan menggunakan program SPSS 16.00. tiga puluh lima karakter yang digunakan sebagai dasar pengelompokkan terdiri dari 2

    karakter perawakan, 4 karakter batang, 22 karakter daun, dan 7 karakter krop.

    Pengelompokkan spesimen dari genus  Brassica dilakukan dengan menggunakananalisis gugus (classify hierarchial cluster ) dan sebagai pelengkap digunakananalisis komponen utama ( principal component analysis). Analisis gugus

    dilakukan didasarkan atas pengukuran kesamaan antar satuan taksonomi

    operasional (STO) dengan menggunakan classify hierarchial cluster untuk data

    interval. Pengukuran tersebut didasarkan pada sebaran karakter morfologi dari 9

    spesimen dari genus  Brassica. Dari data yang telah diskoring dan diproses dengan

     program SPSS 16.00 diperoleh hasil perhitungan indeks similaritas dengan

    koefisien simple matching (tabel 4.1) dan nilai koefisien pengelompokkan

    kesamaan karakteristik morfologi sampel dengan menggunakan metode

    agglomerative (pendekatan penggabungan) berdasarkan average linkage (tabel

    4.2).

    Tabel 4.1 Indeks kesamaan antara 9 spesimen tanaman dari genus  Brassica

    sebagai sampel penelitian

    Case

    Correlation between Vectors of Values

    1: 2: 3: 4: 5: 6: 7: 8: 9:

    1: 1.000 .422 -.130 -.077 -.318 -.178 -.060 .301 .169

    2: .422 1.000 .482 -.017 -.098 .103 .162 .032 -.090

    3: -.130 .482 1.000 .544 .381 .083 .036 .091 .032

    4: -.077 -.017 .544 1.000 .654 .041 -.106 .325 .2785: -.318 -.098 .381 .654 1.000 .231 .042 .323 .241

    6: -.178 .103 .083 .041 .231 1.000 .906 .368 .378

    7: -.060 .162 .036 -.106 .042 .906 1.000 .256 .268

    8: .301 .032 .091 .325 .323 .368 .256 1.000 .827

    9: .169 -.090 .032 .278 .241 .378 .268 .827 1.000

     

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    10/99

     

    Tabel 4.1 di atas adalah tabel yang menunjukkan indeks nilai kesamaan

    diantara spesimen. Dari tabel didapatkan beberapa spesimen yang memiliki nilai

    kesamaan yang paling kecil, yaitu pada angka di garis bawahi. Indeks kesamaan

    terkecil yaitu 0,032 pada spesimen antara spesimen 2 & spesimen 8 dan spesimen

    3 & spesimen 9, yang menunjukkan bahwa dintara keduanya (2 & 8) dan (3 & 9)

    memiliki karakter morfologi yang cukup berbeda, sehingga nilai kesamaannyakecil. Sedangkan nilai indeks kesamaan yang lebih dari 0,5 dianggap memiliki

    nilai kesamaan yang banyak, yaitu pada angka di pertebal. Sedangkan OTU yang

    memiliki nilai indeks di bawah 0,5 (angka yang di underline) dianggap memiliki

    kesamaan yang semakin sedikit diantara OTU.

     Nilai indeks kesamaan dapat menentukan hubungan kekerabatan antara

    OTU yaitu dapat ditunjukkan dengan besar kecilnya nilai indeks kesamaan. Data

    nilai indeks kesamaan yang dihasilkan pada Tabel 4.1, dilakukan rating, yaitudengan mengurutkan spesimen yang memiliki nilai indeks terbesar hingga yang

    terkecil (Tabel 4.2). Spesimen yang menempati posisi teratas adalah spesimenyang memiliki hubungan paling dekat, yaitu spesimen 6 dan 7, dengan nilaiindeks kesamaan 0.96, dan spesimen yang berada pada urutan paling akhir adalah

    specimen 1 dan 2, yang berarti memiliki hubungan kekerabatan paling jauh,dengan nilai indeks kesamaan yaitu 0,16.

    Tabel 4.2 Penggabungan karakter morfologi berdasarkan average linkage

    Keterangan:

    1. angka yang tertera pada kolom cluster 1 dan cluster 2 menunjukkan kode

    dari OTU yang dibandingkan,

    2. 

    angka yang tertera pada kolom coefficients menunjukkan besarnya nilai

    kesamaan morfologi dari dua kelompok OTU yang dibandingkan serta

    menyebabkan ke 2 OTU yang dibandingkan tersebut mengelompok.

    Data hasil dari indeks similarity dan average linkage digambarkan dalam

    dendogram, yang menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesimen

    (Gambar 5).

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    11/99

     

    Gambar 5 Dendogram Hubungan kekerabatan antara tanaman dari genus

     Brassica.

    Keterangan:

    1 = Brassica oleracea var.  pekinensis

    2 = Brassica oleracea var. capitata

    3 = Brassica oleracea var. boytris4 = Brassica oleracea var. italica

    5 = Brassica oleracea var. alboglabra

    6 = Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis

    7 = Brassica rapa subsp. chinensis var. alba

    8 = Brassica rapa convar.  parachinensis9 = Brassica juncea

    Berdasarkan dendogram Gambar 5 di atas, di dapatkan nilai similaritas

    sebesar 25%, dapat diketahui bahwa  Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)

    Hanelt  var. viridis  lebih dekat dengan  Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)Hanelt var. alba,  dibandingkan dengan  Brassica rapa L. convar.  parachinensis(L.H.Bailey) yang lebih dekat dengan Brassica juncea L. , dan Brassica oleracea

    L. var. italica Plenck.  lebih dekat dengan  Brassica oleracea  L. var. alboglabra

    (L.H.Bailey) Masil ,  dibandingkan dengan  Brassica oleracea  L. var. capitata L.yang lebih dekat dengan  Brassica oleracea L. var. boytris L. , serta  Brassicaoleracea  L. var.  pekinensis (Vourt.) Hanelt , yang memiliki hubungan kekerabatan

     paling jauh dengan delapan spesimen.

    Setelah dilakukan analisis cluster yang menghasilkan dendogram,

    kemudian dilanjutkan dengan analisis PCA (Principal Component Analyst ) yang

    digunakan untuk mengetahui karakter yang berpengaruh besar terhadap

     pemisahan atau pengelompokan spesimen dari genus  Brassica sp. Hasil analisis

    PCA di tunjukkan dalam tabel berikut ini.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    12/99

     

    Tabel 4.3 Nilai komponen karakter utama tanaman dari genus Brassica sp.

    Component

    1 2 3

    Tinggi batang -.591 .770 -.171Kerapatan .749 -.489 -.061

    Panjang batang -.726 .660 .044

    Permukaan batang .726 -.660 -.044

    Warna batang -.734 .142 .306

    Bangun daun .542 .693 -.156

    Tepi daun .288 .202 .848

    Ujung daun .658 .067 -.086

    Pangkal daun -.566 .594 .418

    Ibu tulang daun .499 -.364 -.401

    Warna daun atas .202 .884 -.040

    Warna daun bawah .423 .530 -.040

    Sifat permukaan -.296 .292 -.760

    Ada/tidak .533 -.244 .776

    Trikoma pada daun tua .663 -.050 .689

    Trikoma pada daun muda .515 -.582 .622

    Daging daun -.103 .670 -.638

    Filotaksis .726 -.660 -.044

    Rumus daun -.375 .056 .217

    Sifat daun -.375 .056 .217

    Jarak internodus -.751 .593 .097

    Panjang daun ke 5 .618 .651 .299

    Panjang daun ke 6 .677 .521 .490

    Lebar daun ke 5 .460 .544 .434

    Lebar daun ke 6 .518 .669 -.154

    Bagian yang terlebar .215 .764 .552

    Ada/tidak -.846 -.371 .229

    Warna tangkai -.798 .131 .386

    Panjang tangkai ke 5 -.846 .222 .320Panjang tangkai ke 6 -.941 .213 .158

    Ada/tidak .351 .891 -.116

    Bentuk krop .713 .648 -.048

    Warna krop .461 .721 .219

    Permukaan krop .023 .874 .097

    Teksture krop .649 .660 -.342

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    13/99

     

    Penyusun krop -.117 .864 .055

    Diameter krop .543 .579 -.473

    Dari analisis PCA pada tabel 4.3 di atas terdapat 3 komponen utamakarakter yang berperan utama dalam memisahkan kelompok pada genus  Brassica

    sp. komponen 1 merupakan karakter yang paling berperan utama dalammemisahkan kelompok pada genus  Brassica sp.. Sedangkan komponen ke 2merupakan komponen karakter pendukung pertama dari komponen 1 dankomponen ke 3 merupakan komponen karakter pendukung kedua komponen 1

    dan 2. Nilai yang dicetak tebal pada tabel di atas merupakan karakter yangmempunyai nilai ≥  0,750 yang berarti karakter tersebut sangat berpengaruh kuat

    terhadap pengelompokkan pada tanaman dari genus  Brassica sp., sedangkankarakter yang mempunyai nilai 0,500 ≤ X < 0,750, merupakan karakter yangcukup berpengaruh terhadap pengelompokkan dan nilai karakter yang < 0,500merupakan karakter yang kurang berperan dalam pengelompokkan pada tanaman

    dari genus Brassica sp.

    Karakter-karater yang termasuk ke dalam 3 komponen pada tabel di atas,

    yang termasuk karakter yang berperan sangat besar atau karakter yangmempunyai nilai ≥  0,750 pada komponen 1 adalah jarak internodus, ada/tidaknya

    tangkai daun, warna tangkai daun, panjang tangkai daun pada duduk daun ke 5

    dan ke 6, pada komponen ke 2 adalah tinggi batang, warna daun pada permukaan

    atas, bagian yang terlebar pada daun, ada/tidaknya krop, permukaan krop,

     penyusun krop. Dan pada komponen 3 yaitu karakter, tepi daun, sifat permukaan

    daun, ada/tidaknya trikoma.

    KESIMPULAN

    Hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, yaitu  Brassica rapa  L. subsp.

    chinensis (L.) Hanelt. var. viridis  lebih dekat dengan  Brassica rapa  L. subsp.chinensis (L.) Hanelt. var. alba,  dibandingkan dengan  Brassica rapa  L. convar. parachinensis (L.H.Bailey)  yang lebih dekat dengan  Brassica juncea L. , dan Brassica oleracea   L. var. italica Plenck. lebih dekat dengan  Brassica oleracea   L.

    var. alboglabra (L.H.Bailey) Masil ,  dibandingkan dengan  Brassica oleracea  L.

    var. capitata L. yang lebih dekat dengan  Brassica oleracea  L. var. boytris L. ,serta  Brassica oleracea  L. var.  pekinensis (Vourt.) Hanelt. , yang memiliki

    hubungan kekerabatan paling jauh dengan delapan spesimen. Karakter yang dapat

    mengelompokkan dan memisahkan antar tanaman pada genus  Brassica sp, yaitu

    sebanyak 35 karakter yang meliputi karakter dari perawakan batang daun dan krop.

    SARAN

    Penelitian biosistematika yang dilakukan terhadap tanaman dari genus

     Brassica sp. dengan menggunakan karakter yang telah digunakan pada penelitian

    ini, masih perlu diperluas, karena masih banyak karakter yang dapat digunakan

    untuk mendukung penelitian ini, misalnya karakter anatomi, fisiologi, hingga ke

    tingkat DNA. Penelitian perlu dilakukan pada fase yang berbeda, yaitu pada fase

    generatif, sehingga akan diketahui lebih luas tentang variasi karakter yang

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    14/99

     

    10 

    dimiliki tanaman dari genus  Brassica sp, sehingga dapat tanaman tersebut dapat

    dikenal masyarakat dengan baik. Pada saat penelitian sebaiknya tanaman di

    kondisikan tetap tertutup tetapi masih mendapatkan cahaya yang cukup, agar

    tanaman tidak rusak karena terkena hujan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Fahrudin, F. 2009. Budidaya Caisim ( Brassica juncea  L.) Menggunakan Ekstrak

    Teh Dan Pupuk Kascing. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

    Gupta, K., Deepak P., Abha A. 2010. Pyramiding White Rust Resistance andAltenaria Blight Tolerance In low Erucic Brassica juncea using Brassicacarinata. Jurnal of Oilseed Brassica. 1 (2): 55-56

    Hamidah, 2009. Biosistematika Annona muricata L., Annona squamoa L., dan

     Annona reticulata L. Dengan Pendekatan Numerik.  Disertasi. Fakultas Biologi.

    Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

    Ramli. 2010. Respon Varietas Kubis (Brassica Oleraceae)  Dataran RendahTerhadap Pemberian Berbagai Jenis Mulsa. Jurnal Agroland. 17 (1): 30-37

    Rubatzky, V. E., dan Yamaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip Produksi

    dan Gizi. ITB. Bandung

    Rusmiati, D., Kusuma, S.A.F., Susilowati, Y., dan Sulistianingsih. 2007.

    Pemanfaatan Kubis ( Brassica oleracea var. Capitata alba) Sebagai Candidat

    Antikeputihan. Skripsi. Universitas Padjadjaran. Bandung.

    Sulistyaningsih, E., Kurniasih, B., dan Kurniasih, E. 2005. Pertumbuhan dan Hasil

    Caisin Pada Berbagai warna Sungkup Plastik. Jurna Ilmu Pertanian.   12 (1): (65-67)

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    15/99

     

    11 

    Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae  terhadap Biomassa dan

    Kadar Saponin Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara

     In-vitro.

    Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U.

    Departement of Biology, Faculty of Sains and Technology

    Airlangga Universitye-mail: [email protected]

    ABSTRACT

    This study aimed to determine the effect of various concentrations of S.

    cerevisiae   extract as biotic elicitor and time of harvesting to biomass and saponin

    levels of adventitious roots T. paniculatum(Jacq) Gaertn in-vitro. Leaves of T. paniculatum   grown on Murashige and Skoog medium (MS) supplemented 2 mg /

    L IBA and S. cerevisiae  extract with concentrations of 0; 0.025; 0.05, and 0.1% g/ L. Biomass and saponin levels of adventitious root T. paniculatum  measured at

    harvest age 2, 4, and 6 weeks. Biomass measured after fresh weight of

    adventitious roots T. paniculatum dried in the oven 500C, for 5 days. Saponinlevels are determined by semi-quantitative method on TLC plate and eluted with

     propanol : H2O with a ratio of 14 : 3. Elicitor concentration 0.025% by harvest

    time at the 4th week produced highest average biomass of 16.1 mg. Lowest mean

    value of biomass produced at giving elicitor concentration 0.1% harvesting the

    2nd week in 1.4 mg. Brown-Forsythe test results show extracts of S. cerevisiae

    give effect on adventitious root biomass T. paniculatum  (Sig 0.003

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    16/99

     

    12 

    mengandung saponin. Zat tersebut merupakan hasil metabolit sekunder dari

    tanaman. Saponin diketahui terdapat pada kingdom  plantae  dan dapat

    digolongkan dalam tiga bentuk yaitu triterpenoid, steroid dan steroid glikoalkoloid

    (Turk, 2006). Sampai saat ini, uji kandungan dan efektivitas saponin antara lain

    sebagai anti radang (Sumastuti, 1999), potensi androgenik (Winarni, 2009), dan

     potensi viabilitas sperma (Rahmi dkk., 2011).

    Metode kultur jaringan bisa digunakan untuk mengambil hasil metabolit

    sekunder dari suatu tanaman. Namun hasil yang diperoleh dari metode kultur

     jaringan masih terlalu sedikit karena itu diperlukan teknik untuk meningkatkan

    hasil metabolit sekunder dari tanaman yaitu dengan pemberian elisitor (Braz et

    al., 1990 dalam Korsangruang, 2010).

    Elisitor adalah materi biotik maupun abiotik yang dapat meningkatkan

     biosintesis fitoaleksin dan metabolit sekunder (Endress, 1994). Penggunaan

    elisitor biotik berupa Saccharomyces cerevisiae telah banyak dilaporkan berhasil

    meningkatkan kandungan metabolit sekunder dari tanaman. Salah satunya

    Santoso (2012) dalam penelitianya berhasil meningkatkan kadar saponin kalus T.

     paniculatum dengan menggunakan elisitor ekstrak S. Cerevisiae yang dipanen

     pada usia penanaman 6 minggu, Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan kadar

    saponin total kalus T. paniculatum dihasilkan pada pemberian elisitor ekstrak S.

    Cerevisiae konsentrasi 0,1%.

    Dari latar belakang tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh

     berbagai konsentrasi elisitor ekstrak S. cerevisiae dan waktu pemanenan  terhadap

     biomassa dan kadar saponin akar adventif T. paniculatum .

    MATERI DAN METODE

    Bahan

    Bahan tanaman yang digunakan adalah eksp;an daun gingseng jawa, bahan

    kimia penyusun media MS zat pengatur tumbuh IBA 2ppm, bahan kimia

     penyusun media PDA dan media PDB, elisitor ekstrak S.cerevisiae, aquadest,

    clorox  10 %, alkohol 70 %, saponin (Calbiochem), etanol 96 % (p.a), anisaldehid

    (Merck), asam asetat glacial (Merck), asam sulfat pekat, 2-propanol (Merck).

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    17/99

     

    13 

    ALAT

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoclave, laminar

    air flow (LAF), oven, timbangan analitik, magnetic stirrer , waterbath, botol

    kultur, pinset, scalpel, erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, gelas beker, corong,

     bunsen, ose, spatula, sprayer, kompor listrik, mortar, mikropipet, pH indikator

    universal, kromatografi lapis tipis silica gel GF254 (Merck).

    METODE

    Sterilisasi alat

    Peralatan yang tahan panas seperti scapel, pinset, erlenmeyer, cawan petri,

     botol kultur, dan gelas ukur disterilkan menggunakan autoclave  pada temperatur

    1210C, tekanan 1,2 atm selama 15-20 menit.

    Pembuatan elisitor S. cerevisiae

    Isolat S. cerevisiae diinokulasikan pada media PDA (Potato dextrose

    agar ) yang ditaruh pada tabung reaksi dengan metode streak untuk dijadikan stok .

    Tutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibungkus dengan kertas aluminium

    foil. Kemudian disimpan pada suhu ruang. Isolat S. cerevisiae yang sudah tumbuh

    dikultur dalam media PDB (Potato dextrose broth) dan di shaker  pada 100 rpm pada suhu 25  selama 3 hari. Kultur dipanen dengan cara sentrifugasi 8000 rpm

    selama 10 menit untuk mendapatkan pelet. Pelet S. cerevisiae  di cuci dengan

    aquadest   steril sebanyak tiga kali.  kemudian dikeringkan pada suhu 60   pada

    oven selama 3 hari untuk mendapatkan biomassa. Biomassa S. cerevisiae digerus

    dengan mortar sampai halus.

    Pembuatan media kultur jaringan

    Aquades 500 mL ditambahkan komponen bahan kimia penyusun

    makronutrien, selanjutnya memasukkan 5 mL larutan stok zat besi, 1 mL stok

    mikronutrien, 4 mL larutan stok vitamin, IBA 2 ppm, 100 mg myo-inositol,

    elisitor ekstrak S. cerevisiae dan 30 g sukrosa dilarutkan sampai homogen, pH

    larutan diatur 5,6-5,8. Kemudian menambahkan aquadest   sampai volume 1000

    mL dan agar-agar 12 g, dipanaskan di kompor listrik sampai larut. Dalam keadaan

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    18/99

     

    14 

    masih cair, media dibagi ke dalam botol kultur ± 20 mL/botol. Selanjutnya

    medium disterilkan dengan autoclave  pada temperatur 1210C, tekanan 1,2 atm

    selama 15 menit.

    Sterilisasi ruang kerja

    Membersihkan permukaan meja LAF  dengan kain yang telah dibasahi

    alkohol 70%. Memasukkan alat-alat dan media steril ke dalam LAF (laminar air

     flow). Kemudian Lampu UV pada LAF  dinyalakan selama 15 menit.

    Kultur daun T. paniculatum dalam medium MS dengan penambahan IBA 2 mg/L

    dan elisitor

    Daun T. paniculatum dicuci dengan detergen selama 2 menit, lalu dibilas

    dengan air mengalir. Kemudian direndam dengan calcium hypochlorite (Clorox)

    10% selama 10 menit. Dibilas dengan  aquadest   sebanyak 3 kali, kemudian

    ditiriskan pada kertas saring steril. Daun dipotong ±1 cm2, ditanam di media MS

    yang telah ditambah dengan IBA 2 mg/L dan elisitor pada botol kultur, tiap botol

    kultur di isi 7 potong daun. Elisitor yang digunakan yaitu S. cerevisiae dengan 4

    konsentrasi yaitu 0%; 0,025%; 0,05%; dan 0,1%. Kemudian diinkubasi dalam

    keadaan gelap, dan pada suhu ʹ . Pengukuran biomassa dan kadar

    saponin dilakukan pada umur akar 2, 4, dan 6 minggu.

    Pengukuran biomassa dan kadar saponin akar adventif

    Pengamatan biomassa dilakukan dengan cara mengeringkan akar adventif

    yang telah dipanen dengan oven pada temperatur 600C selama 5 hari kemudian

    ditimbang. Untuk kadar saponin analisis kromatografi lapis tipis (KLT) diawali

    dengan menggerus sampel biomassa akar adventif sampai halus dengan mortar,

    dilanjutkan ekstraksi menggunakan pelarut etanol absolut 10 mL selama 45 menit

    di waterbath pada suhu 800C . Hasil ekstrasi disaring menggunakan kertas saring,

    dan untuk mencuci kertas saring digunakan etanol absolut 10 mL. Kemudian

    dipekatkan dengan cara dipanaskan hingga diperoleh 1 mL ekstrak. Ekstrak

    ditotolkan pada KLT dan dielusi degan propanol:H2O pada perbandingan 14:3.

    Selanjutnya untuk mengetahui noda sampel dilakukan penyemprotan dengan

    anisaldehide-H2SO4 dan dipanaskan di oven selama 8 menit.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    19/99

     

    15 

    HASIL DAN PEMBAHASAN

     Biomasa akar adventif T. paniculatum

    Gambar 1.3 Akar adventif pada eksplan daun T. Paniculatum a: akar

    adventif; b: eksplan daun; c: kalus. (bar = 1cm).Dalam penelitian ini yang akan di gunakan sebagai sampel yang akan diuji

     biomassa dan kadar saponinnya yaitu akar adventif yang diinduksi dari eksplan

    daun. Hasil induksi akar adventif eksplan daun T. Paniculatum dapat dilihat pada

    gambar 1.3 Selain akar adventif, diketahui muncul sedikit kalus pada eksplan

    daun.

    Tabel 1 Rerata berat segar dan berat kering akar adventif T. paniculatum. (n=3)

    Konsentrasielisitor

    (%)

     berat segar akar adventif (mg) berat kering akar adventif (mg)

    minggu ke- minggu ke-

    2 4 6 2 4 6

     0 (k0)

    156,1 ±93,2 242,4 ± 112,5 342,9 ± 8,5 8,1 ± 3,0 9,3 ± 3,9 14,2 ± 4,3

    0.025 (k1)99,4 ±

    66,9 331,6 ± 190,6 141,7 ± 113,2 7,1 ± 4,1 16,1 ± 3,8 10,3 ± 5,3

    0.05 (k2)50,4 ±

    61,8 75,5 ± 61,8 196.4 ± 101,7 3,2 ± 0,2 10,2 ± 5,5 9,2 ± 2,9

    0.1 (k3)20,1 ±

    23,4 62,5 ± 4,1 104,7 ± 140,51,3 ±

    0,6*

     3,5 ± 0,2 5,3 ± 7,2

    * rerata berbeda nyata signifikan pada taraf 5%

    Pengaruh elisitor ekstrak S. cerevisiae terhadap biomassa akar adventif T. paniculatum

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    20/99

     

    16 

         l    u    a    s    n    o     d    a     (    c    m     )

        r    e    r    a    t    a     B     K     (    m    g     )

         l    u    a    s    n    o     d    a     (    c    m     )

        r    e    r    a    t    a     B     K     (    m    g     )

     

    Gambar 1.1 Grafik rerata berat kering akar adventif T. paniculatum

    Dari grafik 1.1 dapat diketahui bahwa rerata biomassa tertinggi dihasilkan

    dari perlakuan k1 pemanenan minggu ke-4. Sedangkan rerata biomassa terendah

     pada perlakuan k3 usia pemanenan 2 minggu.

    Kadar saponin akar adventif T. paniculatum

    Luas noda saponin pada kromatogram diukur menggunakan rumus

    lingkaran. Hasil pengukuran luas noda senyawa saponin dapat dilihat pada

    gambar 1.2.

    16,0 

    14,0 

    12,0 

    10,0 

    8,0 

    6,0 

    4,0 

    2,0 

    0,0 

    0,38 

    9,3 

    8,2 

    0,13 

    2  4 

    14,3 

    0,13 

    0,45 

    0,40 

    0,35 

    0,30 

    0,25 

    0,20 

    0,15 

    0,10 

    0,05 

    0,00 

    18,0 0,28 

    16,0  16,1 14,0 

    12,0  0,20 

    10,0 

    8,0 7,1 

    6,0 

    4,0 

    2,0 

    0,0 

    2  4 

    0,30 

    0,25 

    0,20 

    10,3 0,15 

    0,10 

    0,07 

    0,05 

    0,00 

    6 rerata BK 

    k0 minggu ke‐ rerata BK  minggu ke‐

    luas noda  k1 luas noda 

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    21/99

     

    17 

         l    u    a    s    n    o     d    a     (    c    m     )

        r    e    r    a    t    a     B     K     (    m    g

         )

         l    u    a    s    n    o     d    a     (    c    m

         )

        r    e    r    a    t    a     B     K     (    m    g     )

     

    12,0 

    10,0 

    8,0 

    6,0 

    4,0 

    2,0 

    0,0 

    0,20 

    3,3 

    10,2 

    0,13 

    0,25 6,0 

    9,2 0,20  5,0 

    0,15 

    4,0 

    3,0 

    0,13  0,10 2,0 

    0,05 1,0 

    0,00  0,0 6 

    rerata berat 

    3,6 

    0,13 

    0,13 

    1,4 

    2  4 

    0,25 5,3 

    0,20 

    0.20 

    0,15 

    0,10 

    0,05 

    0,00 

    minggu ke‐ kering 

    k2 luas noda 

    minggu ke‐

    k3

    rerata BK 

    luas noda 

    Gambar 1.2 Grafik rerata berat kering dan kadar saponin akar adventif T.

     paniculatum k0: kontrol ; k1: elisitor 0,25% ; k2: elisitor 0,05% ; k3:elisitor 0,1%.

    Dari gambar 1.2 dapat diketahui bahwa luas noda saponin tertinggi yaitu

     pada k0 usia panen 2 minggu. Sedangkan luas noda saponin terendah pada k1 usia

    6 minggu. Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae  yang terbaik untuk

    meningkatkan kadar saponin akar adventif T. paniculatum  adalah perlakuan k1

    (konsentrasi 0,025%) usia 2 minggu.

    PEMBAHASAN

     Biomassa akar adventif T. paniculatum

    Uji Brown-forsythe pada program SPSS menunjukan bahwa ekstrak S.

    cerevisiae  berpengaruh terhadap biomassa (berat kering) akar adventif T.

     paniculatum ( Sig 0,003 < 0,05).  Kemudian untuk mengetahui beda nyata antar

     perlakuan dilanjutkan dengan uji Games-howel. Kelompok kontrol (k0) hanya

     berbeda nyata dengan kelompok k3 (sig 0,011 < 0,05). Waktu pemanenan juga

    di uji dengan Brown-forsythe. Hasil uji menunjukan bahwa waktu pemanenan

     berpengaruh terhadap biomassa akar adventif T. paniculatum ( Sig .043 < 0,05),

     Namun dari uji Games-howel tidak menunjukan beda signifikan antar perlakuan.

    Pengukuran biomassa tanaman menggunakan berat kering tanaman.

    Pertambahan ukuran maupun berat kering tanaman mencerminkan bertambahnya

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    22/99

     

    18 

     protoplasma yang terjadi karena bertambahnya ukuran dan jumlah sel (Khristyana et

    al, 2005).

    Kasmiyati et al,. (2007) dalam penelitianya menjelaskan penambahan

    elisitor ekstrak Pythium aphanidermatum usia panen 6 minggu mempengaruhi

     berat segar dari Artemisia vulgaris namun tidak menunjukan beda nyata dalam uji

    statistik tersebut dikarenakan pada konsentrasi rendah elisitor lebih berperan

    menginduksi metabolit sekunder dibanding pemacu pertumbuhan  planlet sehingga

    keberadaan ekstrak khamir tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan planlet .

    Pada perlakuan k3 biomassa dari akar adventif lebih kecil bila

    dibandingkan dengan kontrol sebab Pada elisitor konsentrasi yang tinggi terjadi

     perebutan prekusor antara metabolisme primer dan sekunder sehingga produksi

     biomassa menurun tetapi sebaliknya produksi metabolit sekunder menjadi tinggi

    (Moreno et al., 1994). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

    Ratnasari et al., (2007) peningkatan kandungan ajmalisisn dari agregat sel

    Catharanthus roseus (L.) diikuti oleh penurunan berat kering.

    Kadar saponin akar adventif T. paniculatum

    Untuk meningkatkan kadar saponin berdasarkan hasil analisis data secara

    deskriptif, Pemberian elisitor yang terbaik untuk meningkatkan kadar saponin

    akar adventif  T. paniculatum  adalah perlakuan k1 (konsentrasi 0,025%) usia 2

    minggu. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan kadar

    saponin lebih sebentar sehingga lebih efisien.

    Menurut Hahn (1996) derivat dinding sel S. cerevisiae yang berupa glukan

    mempunyai binding site yang sesuai dengan reseptor pada agregat sel. Sehingga

    elisitor akan menginduksi terbentuknya fitoaleksin. Menurut Aprianita et al.,

    (2003) elisitor dapat menginduksi terbentuknya fitoaleksin, yang selanjutnya

    fitoaleksin dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder dengan dua cara,

    yaitu peningkatan aktivitas enzim dan peningkatan sintesis enzim yang terlibat

    dalam jalur biosintesis metabolit tertentu.

    Kemampuan ekstrak S. cerevisiae dalam meningkatkan kadar saponin

    diduga berasal dari homogenatnya yang sebagian berupa β-glukan. β-glukan

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    23/99

     

    19 

    merupakan homopolisakarida yang sangat berlimpah dan mudah ditemukan pada

    kelompok  yeast   ( Kusmiati et al., 2007). Diduga homogenat berupa β-glukan

    merupakan senyawa spesifik yang dapat berikatan dengan gugus protein reseptor

     pada bagian membran sel akar adventif. Hal ini didukung oleh Hu et al dalam

    Santoso (2012) bahwa homogenat fungi yang berperan dalam mengaktifkan jalur

    transduksi sinyal NADPH oxidase dalam sintesis saponin adalah jenis gula.

    KESIMPULAN

    1  Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae 0,025%, dengan waktu pemanenan

    minggu ke-4 memiliki rerata biomassa tertinggi sebesar 16,1 mg. Nilai rerata

     biomassa terendah ditunjukan pada pemberian elisitor konsentrasi 0,1%

    dengan waktu pemanenan minggu ke- 2 sebesar 1,4 mg.

    2.  Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae yang terbaik untuk meningkatkan

    kadar saponin akar adventif T. paniculatum adalah konsentrasi 0,025%

    dengan waktu pemanenan minggu ke-2.

    DAFTAR PUSTAKA

    Aprianita. R.R. Esyanti., Siregar. A.H. 2003. Pengaruh Pemberian Homogenat

    Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. Terhadap Kandungan

    Ajmalisin Dalam Kultur Kalus Berakar C. roseus (L) G. Don . Berita

    biologi (6) 4Endress R. 1994. Plant cell biotechnology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

    Germany.p.173-225

    Faridah G. E, dan Isfaryanti A. F. 1996. Skrining Fitokimia Akar Som jawa.

    Prosiding Seminar Nasional Pokjanas Tanaman Obat Indonesia  XI.

    Surabaya

    Hahn GM. 1996. Microbial Elicitors and Their Receptors in Plant. Annual ReviewPhytopathology 34, 387-412

    Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia II.Jakarta: Depkes RI

    Kasmiyati. S, Herawati. M.M, Kristiana.E.B.E. 2008. Pertumbuhan Artemisiavulgaris Secara Kultur Pucuk pada Medium dengan KandunganMioinositol dan Ekstrak Khamir. Biota Vol. 13 (2). Fakultas Biologi,

    Universitas Kristen Satya Wacana : Salatiga

    Khristyana.L., Endang. A. , Marsusi Perumbuhan. 2005. Kadar Saponin dan

     Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada

    Pemberian Asam Giberelat (GA3). Biofarmasi 3 (1): 11-15. Jurusan

    Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS): Surakarta

    Korsangruang S., Soonthornchareonnon, N., Chintapakorn, Y., Saralamp, P.,

    Prathanturarug, S. 2010. Effects of abiotic and biotic elicitors on growth

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    24/99

     

    20 

    and isoflavonoidaccumulation in Pueraria candollei  var. candollei and P.

    candolleivar. mirifica cell suspension cultures. Plant Cell Tiss OrganCult 103:333-342. Department of Pharmaceutical Botany, Faculty of

    Pharmacy, Mahidol University Bangkok, ThailandKusmiati, Tamar, S.R., Nuswantara, S., dan Isnaini, S., 2007. Produksi dan

     penetapan -glukan dari tiga galur Saccharomyces cerevisiae dalam

    media mengandung molase.Jurnal ilmu kefarmasian Indonesia. 5(1): 7-

    16

    Lestari, E.G., dan I. Mariska. 1997. Kultur in vitro sebagai metode pelestarian

    tumbuhan obat langka. Buletin Plasma Nuftah 2 (1):1-8

    Moreno, P. R. H., R. Van der Heijden, and R. Verpoorte, effect of Elicitation on

    different metabolic pathways in Catharanthus roseus (L)G.Don cellsuspension cultures, in verpoorte ,R., (ed), 1994, Influence of StressFactor of Secondary Metabolism in Suspension Cultured   C. Roseus Cell,53-78.

    Wijayakusuma, H., H.M. Dalimarkha dan A.S. Wirian. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Pustaka Kartini

    Turk, F. M. 2006. Saponins Versus Plant Fungal Pathogens. Journal of cell andmolecular Biology (5): 13-17. Halic University: Turkey

    Rahmi, Eriani,K., dan Widyasari., 2011. Potency of java gingseng (Talinum

     paniculatum Gaertn) root extract on quality and viability of mice sperm.

     Jurnal natural.11 (1); 7-10

    Ratnasari, J., Siregar. A.H, Rizkita .R.E. 2001. Pengaruh Pemberian ElisitorEkstrak Khamir Saccharomyces cerevisiae Terhadap Kandungan

    Ajmalisin Dalam Kultur Agregat Sel Catharanthus roseus   (L.) G. Don.

     Berita Biologi Volume 5. Institut Teknologi Bandung

    Santoso, A.M., 2012. Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae Dan

    CuSO4 terhadap biomassa, profil protein, Dan kadar saponin kalusTalinum paniculatum (jacq) Gaertn. Departemen Biologi Fakultas Sains

    dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. (TESIS )

    Sumastuti, R., 1999. Efek anti radang infus daun akar som jawa (Talinum

     paniculatum) pada tikus putih in-vitro. Warta tumbuhan obat Indonesia

    5(4): 15-17Winarni, D., 2009. Potensi Androgenik Akar Gingseng Jawa (Talinum

     paniculatum Gaertn) pada Kondisi Testosteron rendah.  Disertasi. Jurusan

    Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga Surabaya

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    25/99

     

    21 

    Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan

    Nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya

    Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun. Program S1 Biologi,

    Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

    Surabaya.

     ABSTRACT

    The observation of potential container as a breeding places of Aedes aegypti was

    done an area that had the highest incidence of dengue fever during the last 3

     years in the urban districts Tambaksari, Pacar Kembang village. The comparison

    area where used was the area with the lowest number of incidents of dengue

    during the last 3 years, that area was Rangkah village. The observation was

    conducted in February-June 2013. The results showed that Aedes aegypti larvae

    were more common in the barrel and wells. Aedes aegypti prefered container was

    made from cement and plastics. Most of the containers that was found an abate

    indeed Aedes aegypti larvae. Pacar Kembang village had larval index (HI =

    89.3%, CI = 49.8% and 166.4% BI) was bigger than the Rangkah village (HI =

    51.2%, CI = 29.3%, and BI = 85.4%, but both of them had the possibility of

    transmission of dengue disease was still huge.

    Keywords : Aedes aegypti, container, Tambaksari

    PENDAHULUAN

    DBD terjadi di lebih dari 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar

    manusia beresiko terinfeksi, dan diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun

    (Anonimus, 2002). Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk  Aedes aegypti.Dengan cara menusuk, maka nyamuk  Aedes aegypti  menularkan virus dengue.

     Namun hanya nyamuk betina saja yang menghisap darah, karena nyamuk betina

    membutuhkan nutrisi tertentu yang terdapat dalam darah untuk proses pematangan

    telur, sedangkan nyamuk jantan tidak. Nyamuk  Aedes aegypti  umumnya

    memiliki habitat di lingkungan perumahan, tempat terdapat banyak penampungan

    air jernih dalam bak mandi ataupun tempayan yang menjadi sarang

     berkembangbiaknya. Selain itu, menurut Harwood & James (1979) kebiasaan

     pendewasaan  Aedes aegypti  adalah pada bejana buatan manusia yang berada di

    dalam maupun di luar rumah. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi

    terhadap perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, air, suhu,kelembaban, dan kondisi lingkungan (Suwasono dan Nalim, 1988). Untuk

    keperluan pemberantasan penyakit DBD, ternyata mengidentifikasi TPA (Tempat

    Penampungan Air) atau kontainer lebih bermanfaat daripada data angka jentik

    (larva index). Bahkan di Vietnam (Focks and Cladee, 1997) survei entomologi

    sudah diorientasikan pada identifikasi TPA dan surveilan kepadatan nyamuk

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    26/99

     

    22 

    dewasanya. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dan jenis kontainer atau

    TPA yang terdapat jentik nyamuk pada Kecamatan Tambaksari maka dilakukan

     penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbedaan

    macam-macam kontainer (TPA) dan karakteristik kontainer  yang digunakan oleh

    nyamuk  Aedes aegypti  sebagai tempat perkembangbiakan di daerah dengan

    insiden DBD tertinggi dan insiden DBD terendah di Kecamatan Tambaksari, Kota

    Surabaya.

    METODOLOGI PENELITIAN

    Pengamatan dilakukan di wilayah Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan

    Tambaksari, Surabaya yang meliputi 11 RW dengan total ukuran sampel 123

    rumah. Pada wilayah tersebut jumlah insiden DBD selalu tinggi di kecamatan

    Tambaksari selama 3 tahun terakhir. Sebagai pembanding, dilakukan pula

     pengamatan di wilayah Kelurahan Rangkah pada kecamatan yang sama yang

    meliputi 9 RW dengan total ukuran sampel 122 rumah. Di lokasi pembanding ini

    sangat jarang terjadi insiden DBD selama 3 tahun terakhir. Total ukuran sampel

    diperoleh dari hasil penghitungan menggunakan rumus Taro Yamane

    (Notoatmodjo, 2005).

    Data kontainer yang digunakan sebagai tempat perkembangbiakan

    diperoleh dengan cara survei jentik secara single larva  dan secara visual.

    Kontainer yang berisi air diperiksa terdapat jentik/pupa atau tidak dengan

    menggunakan senter, sekaligus dicatat tentang jenis dan karakteristik kontainer

    yang meliputi bahan dasar, keberadaan tutup, dan keberadaan abate. Pengambilan

     jentik menggunakan pipet plastik dan dimasukkan ke dalam botol film yang telah

    diisi air untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Karena

     banyaknya rumah yang diteliti, maka penelitian ini memakan waktu yang cukuplama yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2013.

    Hasil dari penelitian ini dilaporkan dengan deskripsi, tabulasi, dan analisis.

    Analisis data menggunakan penghitungan (Lok, 1985):  House Index (HI),

    Container Index (CI), dan Breteau Index (BI).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Jenis TPA

    Berdasarkan Tabel 1 distribusi TPA sehari-hari berdasarkan jenisnya yang

     paling banyak ditemukan di kelurahan Pacar Kembang adalah jenis bak mandi

    (111), gentong (76), tandon air (14) dan yang paling sedikit adalah panci (3).Sedangkan persentase jentik  Aedes aegypti  paling banyak ditemukan pada

    tandon air (42,9%), kemudian bak mandi (30,6%), gentong sebesar 25%, dan

    tidak ditemukan jentik sama sekali pada panci.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    27/99

     

    23 

    Tabel 1. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan

     jenisnya

     No Jenis TPA

    Kelurahan

    Pacar Kembang Rangkah

    Jml + (%) Jml + (%)1

    a

     b

    c

    d

    2

    a

     b

    c

    d

    e

    f

    g

    h

    i

     j

    k

    l

    m

    3

    a

     b

    TPA Sehari-hari

    Gentong

    Bak mandi

    Tandon air

    Panci

    TPA Non Sehari-hari

    Ember

    Bak plastik

    T. minm hewan

    Vas bunga

    Pot bunga

    Kolam

    Aquarium

    Tempat air suci

    Penyiram bunga

    Tandon dispenser

    Tandon kulkas

    Barang bekas

    Jerigen

    TPA Alami

    Sumur

    Tempurung kelapa

    76 19 25

    111 34 30,6

    14 6 42,9

    3 0 0

    21 0 0

    13 1 7,7

    29 0 0

    7 0 0

    2 2 100

    2 0 0

    12 0 0

    1 0 0

    1 0 0

    19 4 21,1

    0 0 0

    18 14 77,8

    1 0 0

    29 22 75,90 0 0

    106 71 67

    106 34 30,6

    11 7 63,6

    4 0 0

    41 12 29,3

    29 5 17,2

    7 1 14,3

    0 0 0

    1 0 0

    3 0 0

    7 1 14,3

    3 2 66,7

    0 0 0

    18 2 11,1

    4 0 0

    30 10 33,3

    0 0 0

    40 32 801 0 0

    Keterangan :

    Jml : Jumlah TPA yang diperiksa

    + : Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti

    Di kelurahan Rangkah, TPA sehari-hari yang paling banyak digunakan

    sama dengan pada kelurahan Pacar Kembang yaitu bak mandi (106) yang

     jumlahnya sama dengan jumlah gentong yang diperiksa, tandon air (11), dan

     panci (1). TPA sehari-hari pada daerah penelitian ini yang paling banyak

    ditemukan jentik adalah nyamuk  Aedes aegypti   adalah gentong, dari 106gentong yang diperiksa, 71 (67%) diantaranya positif jentik. Tingginya jumlah

    kontainer sehari-hari yang positif jentik nyamuk ini dimungkinkan karena

     pelaksanaan 3M yang kurang tepat. Karena pada hasil wawancara masih banyak

    ditemukan responden yang tidak melakukan kegiatan menguras tempat

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    28/99

     

    24 

     penampungan air sehari-hari minimal sekali dalam seminggu. Hal tersebut

     berhubungan dengan ketersediaan makanan bagi larva  Aedes aegypti  yang

     berupa lumut, rotifer, protozoa, dan spora jamur. Hasil penelitian ini didukung

    oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopratono, et al.,  (1998)

    yang menyatakan bahwa dari beberapa survei yang dilakukan dibeberapa kota di

    Indonesia menunjukkan tempat perkembangbiakan yang paling disukai oleh

    nyamuk  Aedes aegypti  dan paling potensial adalah pada tempat penampungan

    air sehari-hari seperti bak mandi, gentong, tempayan, dan sejenisnya. Banyaknya

     bak mandi yang positif jentik nyamuk bisa dimungkinkan juga karena bak mandi

     berada pada kondisi tempat yang gelap dengan kelembaban yang tinggi.

    TPA non sehari-hari merupakan TPA yang paling banyak jenisnya. Jenis

    TPA non sehari-hari yang paling sering ditemui di kelurahan Pacar Kembang

    adalah tempat minum hewan (29). Namun, pada tempat minum hewan tersebut

    tidak satupun ditemukan adanya jentik nyamuk, hal ini bisa terjadi karena

    tempat minum hewan sering diganti airnya. Pada kelurahan Rangkah, TPA non

    sehari-hari yang sering dijumpai adalah ember (41) dan 12 buah diantaranya

    dijumpai adanya jentik nyamuk Aedes aegypti.

    Sumur merupakan TPA alami yang paling banyak digunakan pada

    kelurahan Pacar Kembang maupun kelurahan Rangkah. Dari total 69 sumur

    yang diperiksa, 54 sumur (77,1%) diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk

     Aedes aegypti. Sumur merupakan tempat penampungan air alami yang memiliki

     jumlah paling banyak dan juga merupakan tempat yang paling sering digunakan

    oleh nyamuk sebagai tempat perkembangbiakan. Sumur termasuk dalam tempat

     penampungan air alami karena air bersumber dari tanah meskipun dindingnya

    merupakan buatan manusia. Tingginya persentase jentik pada sumur

    dimungkinkan karena sumur memiliki air yang jernih, tenang (tidak mengalir),tempatnya yang berada sangat dalam menyebabkan intensitas cahaya rendah dan

    kelembaban udara yang tinggi. Bentuk sumur yang dalam tersebut juga

    menyebabkan sulitnya menguras dan membersihkan. Dari hasil observasi juga

    ditemukan sebagian besar sumur sudah jarang dan hampir tidak pernah dipakai.

    Responden lebih memilih menggunakan pompa air, hal ini menyebabkan air

    disumur selalu tenang. Pada kelurahan Rangkah juga ditemukan TPA alami yang

    lain berupa tempurung kelapa namun tidak ditemukan adanya jentik nyamuk

     pada tempurung kelapa tersebut karena letaknya yang berada di luar rumah

    sehingga terpapar matahari secara langsung.

    Bahan dasar TPA

    Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 2 jentik nyamuk

    di kelurahan Rangkah ataupun di kelurahan Pacar Kembang sebagian besar

     banyak ditemukan pada kontainer yang terbuat dari bahan dasar semen dan

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    29/99

     

    25 

     plastik. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Hidayah dan Badrah (2011)

    menemukan bahwa jenis bahan kontainer atau TPA yang disukai nyamuk  Aedes

    aegypti sebagai tempat perindukan yaitu bahan semen (kasar) 45%, dan plastik

    (halus) 36,8%. Apabila pada suatu tempat penampungan air ditemukan atau

    tidak ditemukan jentik nyamuk, maka kemungkinan hal tersebut berhubungan

    dengan adanya persediaan makanan.

    Tabel 2. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan bahan

    dasar TPA

     No Bahan Dasar TPA

    Kelurahan

    Pacar Kembang Rangkah

    Jml + (%) Jml + (%)

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    Plastik

    Semen

    Keramik

    Kaca

    Logam

    Fiber

    Tanah

    Kayu

    Karet

    174 37 21,3

    66 38 57,6

    91 26 28,6

    15 0 0

    6 4 66,7

    2 0 0

    1 0 0

    0 0 0

    0 0 0

    218 89 40,8

    99 74 74,7

    64 32 50

    8 2 25

    7 2 28,6

    8 3 37,5

    2 0 0

    1 0 0

    1 1 100

    Keterangan :

    Jml : Jumlah TPA yang diperiksa

    + : Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti

    Permukaan semen yang kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudahditumbuhi lumut, dan mempunyai refleksi cahaya yang rendah, sehingga jenis

     bahan dasar yang demikian akan disukai oleh nyamuk  Aedes aegyppti  sebagai

    tempat perindukannya. Sesuai dengan kebiasaan hidup nyamuk  Aedes aegypti

    yang senang pada kelembaban yang tinggi dan bersifat fototaksis negatif. Bahan

    dasar kontainer atau TPA sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk

     Aedes aegypti, karena semakin banyak bahan dasar kontainer yang disukai akan

    semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk

     Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk  Aedes aegypti,  maka semakin

    tinggi pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat

    sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat (Yudhastuti, 2011).

    Ketersediaan tutup kontainer

    Ketersediaan tutup pada kontainer berperan untuk mencegah nyamuk

    masuk kedalam kontainer sehingga berkembangbiak. Hal ini terjadi karena

    nyamuk menyukai kontainer yang terbuka tanpa tutup dan terlindung dari sinar

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    30/99

     

    26 

    matahari (Anonimus, 2005). Pada kelurahan Pacar Kembang dan kelurahan

    Rangkah sebagian besar gentong dan tandon air memiliki tutup. Pada kelurahan

    Pacar Kembang, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 78 buah

    dan 24 diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk  Aedes aegypti. Pada

    kelurahan Rangkah, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 105

     buah dan 69 diantaranya terdapat jentik.

    Tabel 4.3 Distribusi ketersediaan tutup pada kontainer

    No Kelurahan

    Ketersediaan tutup

    Ada tutup Tidak ada tutupTotal

    Jml + (%) Jml + (%)

    1 Pacar Kembang 78 24 (30,8) 12 3 (25) 90

    2 Rangkah 105 69 (65,7) 8 4 (50) 113

    Keterangan :

    Jml : Jumlah kontainer yang diperiksa

    + : Jumlah kontainer yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti

    % : Persentase TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti

    Persentase gentong dan tandon air yang terdapat jentik lebih banyak di

    kelurahan Rangkah dibandingkan dengan Kelurahan Pacar Kembang yang

    memiliki kasus DBD lebih tinggi persentase keberadaan jentik terbesar ada pada

    tempayan yang terdapat tutup di kelurahan Rangkah sebesar 65%.

    Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kontainer yang terdapat

    tutup pun masih ditemukan jentik nyamuk. Hal ini terjadi dimungkinkan karena:

     pertama, responden dan keluarga tidak menutup kontainer dengan rapat

    sehingga nyamuk dewasa masih bisa masuk ke dalam kontainer untuk berkembangbiak. Kedua,  ketika mengganti air, dinding permukaan kontainer

    tidak disikat secara bersih, sehingga kemungkinan masih terdapat telur-telur

    nyamuk. Kontainer harus ditutup dengan rapat, setelah air digunakan harus

    dijaga agar kontainer tetap tertutup dengan benar. Menurut Anonimus (2000)

    menutup kontainer cukup efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk

    seperti yang telah dilakukan di Thailand.

    Ketersediaan abate pada kontainer

    Salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue

    adalah dengan program abatisasi. Penggunaan abate masih sangat kurang pada

    kedua kelurahan. Terlihat dari tabel 4 bahwa dari total semua kontainer (358

     buah) yang ada pada kelurahan Pacar Kembang, hanya 15 kontainer saja yang

    ditemukan adanya abate dan 1 diantaranya terdapat jentik. Pada kelurahan

    Rangkah, dari 408 kontainer yang ada hanya 5 kontainer yang ditemukan

    terdapat abate dan 1 diantaranya terdapat jentik nyamuk.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    31/99

     

    27 

    Tabel 4 Distribusi penggunaan abate pada kontainer

    No KelurahanAda abate

    Total+ (%) ± (%)

    1 Pacar Kembang 1 (6,7) 14 (93,3) 15

    2 Rangkah 1 (20) 4 (80) 5

    Keterangan :

    + : Jumlah kontainer positif jentik

    - : Jumlah kontainer yang negatif jentik

    Indeks jentik

    Dari hasil survei jentik juga didapatkan larva index berupa House Index

    (HI) , Container Index   (CI) , Breteau Index(BI) , dan Angka Bebas Jentik (ABJ) di

    masing±masing kelurahan. Nilai HI pada kelurahan Pacar Kembang (89,3%)

    lebih tinggi daripada kelurahan Rangkah (51,2%), Nilai CI pada kelurahan Pacar

    Kembang (49,8%) lebih tinggi dari kelurahan Rangkah (29,3%). Nilai BI padakelurahan Pacar Kembang juga lebih tinggi (166,4%) dibandingkan pada

    kelurahan Rangkah (85,4%). Namun meskipun kelurahan Rangkah lebih rendah

    nilai HI,CI, dan BI, kemungkinan transmisi penyakit DBD masih tergolong

     besar sekali. Pada kelurahan Pacar Kembang mendapatkan hasil penghitungan

    ABJ sebesar 48,8% sedangkan pada kelurahan Rangkah hanya 10,6%, padahal

    Yotopranoto (2007) menyatakan menurut standar nasional untuk nilai ABJ

    DGDODK • VHKLQJJD UHVLNR penularan DBD di kelurahan Rangkah lebih tinggi

    dibandingkan di kelurahan Pacar Kembang.

    Tabel 4. Indeks Jentik Aedes aegypti di kecamatan Tambaksari

    No KelurahanRumah

    JmlKontainer

    Jml CI

    (%)

    HI

    (%)

    BI

    (%)

    ABJ

    (%)Ada

    (+)

    TA

    (-)

    Ada

    (+)

    TA

    (-)

    1Pacar

    Kembang63 60 123 105 253 358 49,8 89,3 166,4 48,8

    2 Rangkah 109 13 122 203 205 408 29,3 51,2 85,4 10,6

    Keterangan tabel:

    Jml : jumlah rumah atau kontainer

    TA : Tidak Ada

    CI : Container Index

    HI : House IndexBI : Breteau Index

    ABJ : Angka Bebas Jentik

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    32/99

     

    28 

    SIMPULAN

    Dari hasil pengamatan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa

    TPA yang paling sering digunakan oleh warga baik di kelurahan Pacar Kembang

    maupun di kelurahan Rangkah adalah berupa TPA sehari-hari yaitu gentong dan

     bak mandi yang sebagian besar berbahan dasar dari semen dan plastik. Sedangkan

    larva  Aedes aegypti  lebih banyak ditemukan pada TPA yang berbahan dasar

    semen. TPAyang paling sering ditemukan terdapat larva  Aedes aegypti adalah

    gentong dan sumur. Penggunaan abate juga sangat efektif untuk memberantas

    larva Aedes aegypti, namun penggunaan di masyarakat masih sangat kurang.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonimus. 2002. Special Programme for Research and Training in Tropical

     Diseases-TDR. WHO

    Anonimus. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD di Indonesia.

    Ditjen PP & PL Depkes RI: Jakarta

    Harwood, R.F., James M.T. 1979. Entomology in Human and Animal Health. 7th

    Ed. Mc Millan Pub. Co.p. 548

    Suwasono, H dan S. Nalim. 1988. Korelasi antara Evaluasi Kepadatan Aedes

    aegypti (L) dengan Ovitrap terhadap Kasus Demam Berdarah di Jakarta.

    Seminar Parasitologi Nasional V. Bogor. 1988

    Focks D.A. and D.D. Cladee. 1997. Pupal Survey an Epidemiologically Signifi-

    cant Surveillance Method for Ae. Aegypti : an Example Using Data fromTrinidad. Am. J. Trop. Med. Hyg. 56: 159-16

     Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta:

    Jakarta

    Lok, Chan Kai. 1985. Singapores Dengue Haemorhagic Fever Control

    Programme: A Case Study on The Succesful Control of Aedes aegypti and

     Aedes albopictus Using Mainly Environmental Measure as A Part of

     Integrated Vector Control. SEAMIC: Tokyo

    Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida. 1998. Dinamika Populasi Vektor pada

    Lokasi Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di

    Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Vol 9 : No.

    1-2

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    33/99

     

    29 

    Mardihusodo, S. J. 1988. Pengaruh Perubahan Lingkungan Fisik Terhadap

    Penetasan Telur Nyamuk Aedes aegypti.  Berita Kedokteraan Masyarakat

    Vol. 4 No. 6

    Hidayah, N., dan Badrah, S. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk

     Aedes aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan

    Penajan Kecamatan Penajan Kabupaten Penajan Paser Utara.  Jurnal

    Kesehatan Masyarakat   Vol 1.  No. 2: 155

    Yudhastuti, R. 2011. Pengendalian Vektor Dan Rodent . Pustaka Melati: Surabaya

    Anonimus. 2000. Petunjuk Lengkap Terjemahan dari WHO Regional Publication

    6($52 1R ³3UHYHQWLRQ &RQWURO 2I 'HQJXH DQG 'HQJXH +HPRUUDJLF

    )HYHU´ . WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta

    Yotopranoto, S. 2007. Mewaspadai Penyakit Avian Influenza, Demam Berdarah

     Dengue, dan Malaria, dalam makalah yang disampaikan dalam seminar

    sehari di Tropical Disease Center (TDC). Universitas Airlangga: Surabaya

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    34/99

     

    30 

    INTERAKSI BLEKOK SAWAH ( Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS

    LAIN SAAT MENCARI MAKAN DI WONOREJO

    Christian Agung S, Bambang Irawan,   Sucipto Hariyanto

    Program Studi S-1, Biologi, Departemen Biologi

    Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

     [email protected]

    ABSTRAK

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi

    waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang berinteraksi dengan blekok

    sawah dan frekuensi masing-masing spesies burung air yang berinteraksi dengan

     blekok sawah saat mencari makanan. Proses pengambilan data dilakukan selama 5

     bulan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013 dengan metode scan

    sampling. Dipilih dua titik untuk pengambilan data yang masing-masing mewakili

    kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Berdasarkan hasil pengamatan, blekok

    sawah aktif mencari makan di pagi hari (06.00-11.00) dan pada sore hari (14.00-

    17.00). Di kawasan yang dekat pantai tercatat 12 jenis burung yang berinteraksi

    dengan blekok sawah saat makan, dan di kawasan yang jauh dari pantai tercatat 9

     jenis burung yang berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan. Kelompok

     burung air yang sering berinteraksi dengan blekok sawah pada kawasan yang dekat

    maupun jauh dari pantai adalah  Egretta garzetaa dan  Egretta alba. Menurut hasil

    analisis,  Egretta garzetaa  mempunyai nilai frekuensi interaksi sebesar 11,67

    menit/individu pada kawasan dekat pantai dan 12,38 menit/individu pada kawasan

    yang jauh dari pantai, sedangkan  Egretta alba mempunyai nilai frekuensi interaksi

    sebesar 5,53 menit/individu pada kawasan yang dekat pantai dan 7,15 menit/individu

     pada kawasan yang jauh dari pantai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa blekok sawah sering berinteraksi dengan burung  Egretta garzetaa dan  Egretta alba

    ketika mencari makan pada kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai.

    Kata kunci : interaksi, blekok sawah, waktu makan

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    35/99

     

    31 

     ABSTRACT

    This study was done in order to know general description of the feeding time

    allocation of javan pond heron, water bird species who interact with javan pond

    heron and frequency of each species of water birds who interact with javan pond

    heron while foraging. This study was conducted for 5 months starting at January

    2013 until May 2013 with a scan sampling method. Two site points were selected for

    obtaining data, each representing the areas near and away from the beach. Based on

    observations, javan pond heron actively feed in the morning (6:00am to 11:00am)

    and in the afternoon (02:00pm to 05:00pm). In areas near the beach was recorded 12

    species of birds which interact with javan pond heron while foraging, and in areas

    away from the beach recorded 9 species of birds that interact with javan pond heron

    while foraging. Species of water birds that has frequent interaction with javan pond

    heron in areas near and far from the beach is little egret and great egret. According

    to the analysis, interaction frequency of little egret has a value of 11.67 min /

    individuals in the area near the beach and 12.38 min / individuals in areas away from

    the beach, and interaction frequency of great egret has a value of 5.53 minutes /

    individual in areas near the beach and 7.15 min / individuals in areas away from the

    beach. Thereby can be concluded that javan pond heron often interact with little

    egret and great egret when foraging in areas near and away from the beach.

    Key words : interaction, javan pond heron, feeding time

    LATAR BELAKANG

    Pantai Timur Surabaya meliputi kelurahan Tambak Wedi sampai sungaiDadapan di wilayah Gunung Anyar, yaitu daerah perbatasan kotamadya Surabaya dan

    kabupaten Sidoarjo (Affandi, 1994), dan Wonorejo adalah salah satu daerah yang

     berada di wilayah Pantai Timur Surabaya. Kawasan Wonorejo banyak dimanfaatkan

    oleh penduduk sekitar sebagai lahan pertambakan untuk memelihara ikan dan udang.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    36/99

     

    32 

    Daerah pertambakan ini sering dijadikan tempat beristirahat dan mencari makan oleh

    kelompok burung air.

    Burung air adalah kelompok burung yang kehidupannya sangat bergantung

     pada habitat air dalam siklus hidup mereka, baik dalam hal mencari makan maupun

     berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan bentuk dan ukuran paruh yang

    disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya (Howes et

    al., 2003).  Terdapat 10 famili dari 53 jenis burung air yang menghuni kawasan

     pertambakan Wonorejo (Nurdini,2009), salah satunya adalah burung air dari jenis

     blekok sawah ( Ardeola speciosa). Blekok sawah yang terdapat di kawasan Wonorejo

    merupakan predator karena  memangsa berbagai jenis ikan kecil dan hewan kecil

    lainnya  termasuk kodok, cacing, udang, dan kepiting. Pada saat melakukan aktivitasmakan di daerah pertambakan, burung air tersebut melakukan interaksi dengan jenis

    lain.

    Interaksi adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan yang

    lainnya. Ada dua macam interaksi berdasarkan jenis individu yang melakukannya

    yaitu intraspesies dan interspesies. Interaksi intraspesies adalah hubungan antara

    individu yang berasal dari satu spesies, sedangkan interaksi interspesies adalah

    hubungan yang terjadi antara individu yang berasal dari spesies yang berbeda

    (Dwidjoseputro, 1991).

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi

    waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang sering beinteraksi dengan

     blekok sawah saat mencari makan, frekuensi tiap-tiap jenis burung air yang

     berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan, serta jenis-jenis burung air

    apa saja yang sering berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan.

    METODE PENELITIAN

    Tempat dan waktu penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di daerah pertambakan dan bozem  di wilayah

    Wonorejo Rungkut Surabaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei

    2013.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    37/99

     

    33 

    Alat dan bahan penelitian

    Peralatan yang digunakan dalam inventarisasi jenis burung adalah teropong

     binokular, teropong monokular, tripod, buku panduan lapangan jenis burung

    MacKinnon et al.  (2005), buku catatan lapangan, alat tulis, tabel inventarisasi jenis

     burung, kamera, jam, dan kamuflase.

    Prosedur kerja

    Pengambilan data diawali dengan penelitian pendahuluan untuk memilih

    tempat-tempat yang akan digunakan sebagai stasiun pengamatan dan penetapan

    alokasi waktu penelitian. Pemilihan stasiun pengamatan didasarkan pada tempat yang

    kerap dikunjungi oleh burung  Ardeola speciosa  sepanjang hari. Berdasarkan

     penelitian pendahuluan tersebut, ditetapkan dua stasiun untuk tempat pengambilan

    data. Stasiun I adalah kawasan bozem Wonorejo dengan titik koordinat 7o18’36,96”

    LS ; 112o49’23,58” BT, dan stasiun II adalah kawasan pertambakan yang dekat

    dengan laut dengan titik koordinat 7o18’59,84”LS ; 112

    o49’54,02” BT.

    Pengambilan data selama penelitian dilakukan dengan metode Scan Sampling.

    Metode Scan Sampling  dapat digunakan untuk mendapatkan data dari beberapa

    individu dalam satu kelompok, sehingga memungkinkan pengamat untuk melakukan

    observasi terhadap lebih dari satu individu dalam waktu yang bersamaan (Altmann

    1974). Total keseluruhan waktu pengamatan perilaku makan burung  Ardeola

    speciosa adalah 255 jam 28 menit yang terdiri atas 247 jam 24 menit pengamatan

     Ardeola speciosa saat makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit untuk

     pengamatan saat makan dengan sesamanya. Untuk identifikasi jenis burung, buku

     panduan pengamatan lapangan yang digunakan adalah Burung-burung di Sumatera,

    Jawa, Bali, dan Kalimantan (MacKinnon et al., 2005). Selama proses pengambilan

    data peneliti menggunakan kamuflase agar tidak megganggu burung air saat mencari

    makan.

    Pengamatan meliputi jenis-jenis burung apa saja yang berinteraksi dengan

     Ardeola speciosa  saat mencari makan beserta durasi dan jumlah individunya di 2

    stasiun pengamatan dengan interval waktu tertentu. Data yang diperoleh kemudian

    akan dianalisis secara deskriptif.

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    38/99

     

    34 

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil penelitian

    Penelitian interaksi  Ardeola speciosa saat mencari makan dilakukan antara

     bulan Januari-Mei 2013 di kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Pengamatan

    dilakukan selama 255 jam 28 menit, dimana 247 jam 24 menit dilakukan pengamatan

    interaksi saat mencari makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit dilakukan

     pengamatan interaksi saat mencari makan dengan sesamanya. Hasil pengamatan

    menunjukkan bahwa Ardeola speciosa  aktif mencari makan di pagi hari yaitu pukul

    06.00-11.00 WIB dan sore hari yaitu pukul 14.00-17.00WIB. Dari hasil pengamatan

    tercatat 12 jenis burung air yang berinteraksi dengan  Ardeola speciosa  saat mencari

    makan pada kawasan dekat dengan pantai, dan 9 jenis burung air yang berinteraksidengan  Ardeola speciosa pada kawasan jauh dari pantai, dan keseluruhan burung air

    tersebut terbagi dalam 5 famili.

    Burung air dari jenis  Egretta garzetaa dan  Egretta alba  adalah burung yang

    sering dijumpai berinteraksi dengan  Ardeola speciosa saat mencari makan pada

    kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai pada saat pagi, siang, maupun sore hari.

     Namun, terdapat perbedaan jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan

     Ardeola speciosa pada pagi, siang, maupun sore hari di kawasan yang dekat ataupun

     jauh dari pantai.

    Di kawasan yang dekat pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai

     berinteraksi dengan  Ardeola speciosa pada pagi hari adalah Tringa nebularia dengan

    catatan waktu perjumpaan selama 30 menit. Pada siang dan sore hari adalah  Egretta

    eulophotes, dengan catatan waktu perjumpaan selama 14 dan 28 menit. Sedangkan

    untuk kawasan yang jauh dari pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai

     berinteraksi pada pagi, siang dan sore hari adalah sama, yaitu Tringa glareola  dengan

    catatan waktu perjumpaan selama 57, 4, dan 10 menit.

    Tercatat selama 2100 menit pada pengamatan pagi, 1006 menit pada

     pengamatan siang, dan 2012 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari

     pantai,  Egretta garzetaa   berinteraksi dengan  Ardeola speciosa   saat mencari makan.

    Total waktu 505 menit pada pengamatan pagi, 156 menit pada pengamatan siang, dan

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    39/99

     

    35 

    390 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari pantai,  Egretta alba

     berinteraksi dengan  Ardeola speciosa  saat mencari makan. Sedangkan untuk kawasan

    yang jauh dari pantai, tercatat selama 2009 menit pada pengamatan pagi, 989 pada

     pengamatan siang, dan 1987 menit pada pengamatan sore total waktu interaksi

     burung  Egretta garzetaa saat mencari makan dengan  Ardeola speciosa. Total waktu

    387 menit pada pengamatan pagi, 75 menit pada pengamatan siang, dan 339 menit

     pada pengamatan sore total waktu interaksi burung  Egretta alba dengan  Ardeola

    speciosa  saat makan.

    Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang

     berinteraksi dengan  Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang

    dekat maupun jauh dari pantai adalah  Egretta garzetaa (11,67%), dan  Egretta alba(5,53%). Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang

     berinteraksi dengan  Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang

    dekat dari pantai adalah  Egretta eulophotes (1,09%), sedangkan untuk kawasan jauh

    dari pantai adalah Tringa glareola (2,26%).

    Pembahasan

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa  Ardeola speciosa  aktif mencari makan

    di pagi hari (06.00-11.00 WIB) dan juga sore hari (14.00-17.00WIB). Hal ini sesuai

    dengan pendapat yang menyebutkan bahwa  Ardeola speciosa  adalah salah satu

     burung diurnal yang aktif pada pagi dan sore hari (Anonim , 2011). Selain itu, selama

     pengamatan berlangsung ketika siang hari di kawasan tambak Wonorejo banyak

    dijumpai aktifitas manusia seperti memancing. Hal ini akan mengganggu

    kenyamanan dari  Ardeola speciosa  sehingga  Ardeola speciosa  akan berpindah ke

    tempat yang dianggapnya lebih aman. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et

    al (2005) yang mengatakan bahwa  Ardeola speciosa  termasuk jenis burung yang

    sensitif. Di sisi lain, keadaan bozem pada siang hari saat penelitian lebih seringdigenangi oleh pasang air laut, hal ini menyebabkan  Ardeola speciosa  akan berpindah

    ke tempat yang lebih tinggi seperti vegetasi mangrove untuk bertengger.

    Burung  Egretta garzetaa dan Egretta alba   adalah jenis burung air yang sering

     berinteraksi dengan Ardeola speciosa  pada kawasan yang dekat maupun jauh dari

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    40/99

     

    36 

     pantai.  Egretta garzetaa dan  Egretta alba  adalah jenis burung penetap yang dapat

    dijumpai pada kawasan Wonorejo dan merupakan jenis burung air yang satu famili

    dengan Ardeola speciosa   yaitu Ardeidae (MacKinnon, et al  2005). Selain itu,  Egretta

    garezetaa   dan  Egretta alba memiliki kebiasaan yang sama yaitu senang berkelompok

    dan membaur dengan jenis yang lainnya ketika sedang mencari makanan (MacKinnon,

    et al  2005). Secara umum, bentuk morfologi paruh, tubuh, dan kaki antara  Egretta

    garzetaa, Egretta alba, dan Ardeola speciosa memiliki banyak persamaan. Oleh karena

     persamaan tersebut, ketiga burung ini cenderung memiliki habitat dan modus makan

    yang sama.

    Tringa nebularia adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan

     Ardeola speciosa   pada pagi hari di kawasan dekat pantai. Sedangkan, pada siang dansore hari  Egretta eulophotes  adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi

    dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Tringa glareola adalah jenis burung air

    yang jarang berinteraksi dengan  Ardeola speciosa  saat mencari makan pada pagi, siang,

    maupun sore hari di kawasan jauh dari pantai.

    Tringa nebularia dan Tringa glareola adalah jenis burung yang termasuk dalam

    famili Scolopacidae yang mempunyai beberapa perbedaan morfologi dengan  Ardeola

    speciosa, seperti perbedaan bentuk paruh, ukuran tubuh, dan kaki. Bentuk paruh Tringa

    nebularia  adalah panjang, tipis dan melengkung keatas, sedangkan Tringa glareola

    adalah tipis dan memanjang (MacKinnon, et al  2005). Selain itu, ketiga burung tersebut

     jarang berinteraksi dengan Ardeola speciosa disebabkan karena ketiga burung tersebut

    merupakan burung migran yang suka menggunakan kawasan sekitar pantai untuk

     beristirahat ataupun mencari makan. Burung migran pada lokasi penelitian dapat

    dijumpai pada bulan Maret-Mei karena burung migran tersebut melakukan

     perjalanannya kembali ke bumi bagian utara (Rusia dan sekitarnya) untuk berbiak,

    dan pada bulan September-November dimana burung migran tersebut mulai

    melakukan perjalan ke bumi bagian selatan (Australia dan negara-negara Pasifik)

    untuk menghindari musim dingin (Howes, et al 2003).

    Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang

     berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang

  • 8/20/2019 Jurnal S1 Bio Vol 2 No 1

    41/99

     

    37 

    dekat maupun jauh dari pantai adalah  Egretta garzetaa dan Egretta alba. Hal ini juga

    didukung dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa burung ini sering dijumpai

     pada lokasi yang sama dengan  Ardeola speciosa  saat mencari makan. Selain itu,

    menurut penelitian yang dilakukan oleh Tri et al. (2012) di Wonorejo, menunjukkan

     bahwa burung dari famili Ardeidae merupakan famili yang mempunyai jumlah

    spesies dan jumlah individu terbesar. Burung air famili Ardeidae mempunyai jumlah

    spesies dan individu terbesar di Wonorejo disebabkan karena sebagian besar jenis

    dari famili ini merupakan burung penetap (residence) (MacKinnon, et al 2005).

    Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang

     berinteraksi dengan  Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang

    dekat dari pantai adalah  Egretta eulophotes, sedangkan untuk kawasan jauh dari pantai adalah Tringa glareola.  Kedua jenis burung ini mempunyai nilai frekuensi

    terendah disebabkan karena burung ini termasuk jenis burung-burung migran yang

    singgah sementara di kawasan Wonorejo.

    Hal lain yang menyebabkan rendahnya fre