Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
Transcript of Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
1
PENGARUH PEMBERIAN BEKATUL DAN TEPUNG TEMPE TERHADAPPROFIL GULA DARAH PADA TIKUS YANG DIBERI ALLOXAN
(The Influence of Rice bran and Flour Tempeh on Blood Sugar Profile in Rats Fed Alloxan)
Sufiati Bintanah 1, Hapsari Sulistya Kusuma 2
1) Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan KesehatanUniversitas Muhammadiyah Semarang
2) Instalasi gizi Rumah Sakit Nurmalasari SukoharjoPenulis korespondensi, email: [email protected]
ABSTRACT
One of the food as an option in the menu diet is soy-based food. Study at diabetic mice treated with bran oildiet improved insulin sensitivity. Whether the effect of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture ofblood sugar profiles in Wistar rats fed alloxan. This study aims to determine the effect of blood glucoseprofile after administration of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture in mice that had been givenalloxan. The study was a randomized experimental laboratory using pre post test design with control group.Number of rats 6 tails for each group (3 groups of treatment and 1 control group) so that the overall samplesum was 24 rats. Results of study the Through of post hoc test showed that differences in blood sugar levelsevery week in all three treatment groups when compared with the control group was statistically significant(p = 0.000, p = 0.000, p = 0.000). Tempeh group as compared with mixed groups differences in blood sugarlevels in 3 weeks was not significant (p = 0.491, p = 0.764, p = 0.319). Rice bran group than the groupdifferences in levels of sugar mixture in 3 weeks was not significant (p = 0.374, p = 0.297, p = 0.093).Tempe rice bran group than the group differences in blood sugar levels at 3 weeks was not significant (p =1.000, p = 0.993, p = 0.954). The substitution tempeh flour, rice bran, and mix both in diabetic rats by 50%of daily food intake can lower blood sugar levels every week compared to untreated mice.
Key words: soybean, rice bran, blood sugar levels, diabetic.
PENDAHULUAN
WHO memprediksi kenaikan jumlah
pasien Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia dari
8,4 juta pada tahun 2004 meningkat menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006).
Terapi DM dengan pengaturan diet tidak
memerlukan biaya mahal, mudah dilakukan
namun perlu kedisiplinan yang tinggi. Salah satu
bahan makanan sebagai pilihan dalam menu diet
adalah bahan makanan berbasis kedelai
(Retnaningsih et al, 2001). Pada penelitian Chen
dan Cheng (2006) pada tikus yang menderita
diabetes dengan perlakuan diet minyak bekatul
diperoleh hasil peningkatan sensitivitas insulin,
penurunan plasma trigliserida, LDL kolesterol dan
hepatik trigliserida.
Konsumsi kedelai yang merupakan bahan
dasar dari tempe memperbaiki kadar lemak darah
pada manusia dan binatang, dan lebih jauh lagi
proses pencernaan kedelai akan mengatur insulin
dalam keadaan normal (Ascencio et al, 2004).
Komponen kedelai terdiri dari protein,
lemak, serat, dan phitochemical termasuk
isoflavone. Beberapa penelitian mengenai
isoflavone mengungkapkan isoflavone sebagai
komponen bioaktif yang penting dari kedelai.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
2
Isoflavone terdiri dari 3 komponen yaitu genistein,
daidzein dan glycitein. Penelitian Mezei et al
(2003) mengatakan bahwa konsumsi kedelai akan
mengurangi beberapa gejala DM tipe 2 seperti
insulin resistance dan glycemic control, efek ini
kemungkinan adalah hasil dari profil lipid darah
yang membaik. Kedelai mungkin mempunyai efek
positif secara langsung dalam manajemen diabetes
melalui beberapa mekanisme yang belum
diketahui, salah satunya melalui peroxisome
proliferator activated receptors (PPAR). PPAR
adalah reseptor nuklear yang berperan dalam sel
untuk menjaga keseimbangan lemak dan aksi
insulin. Pada hasil penelitian Mezei et al (2003)
menunjukkan bahwa isoflavone memperbaiki
metabolisme lemak dan glukosa melalui aktifasi
reseptor PPAR.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah eksperimental
laboratorik menggunakan rancangan randomized
pre post test dengan kelompok kontrol
(Randomized pre post test with control-group).
Pemeliharaan dan intervensi hewan coba
dilaksanakan di Unit Pengembangan Hewan
Percobaan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Pemeliharaan semenjak masa seleksi
sampai masa perlakuan berlangsung dalam waktu
30 hari. Pemeriksaan laboratorium dilakukan di
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sampel yang digunakan diambil secara
acak dari populasi terjangkau yaitu tikus putih
jantan strain Wistar yang berusia 7 minggu yang
berada di Unit Pengembangan Hewan Percobaan
Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan
syarat sesuai kriteria inklusi. Kriteria
inklusi yaitu 1) Kadar gula darah tikus > 142
mg/dl dan 2) Sehat dan lincah.
Jumlah tikus yang digunakan sebanyak 6
untuk masing-masing kelompok (3 kelompok
perlakuan dan 1 kelompok kontrol) sehingga
jumlah sampel keseluruhan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 24 ekor. Untuk
mengantisipasi kemungkinan tikus ada yang mati
maka tiap-tiap kelompok diberi cadangan 1 ekor
sehingga jumlah keseluruhan ada 28 ekor.
Kebutuhan pakan tikus adalah 10% dari
berat badan tikus, sehingga jika berat badan tikus
rata-rata 200 gr maka jumlah kebutuhan pakan
adalah 20 gr. Bekatul dan tempe yang diberikan
dalam bentuk bubuk 50 % dari 20 gr yaitu 10 gr
yang dicampur dalam pakan tersebut. Campuran
tepung tempe dan bekatul adalah bahan makanan
yang terbuat dari bahan dasar tepung tempe kedele
dan bekatul yang dicampur dengan proporsi 1:1.
Campuran tepung temped an bekatul tersebut
diberikan sebagai substitusi bersama dengan
pakan standart tikus dengan konsentrasi 50%.
Cara pemberian pakan adalah menggunakan sonde
agar semua pakan dapat dimakan oleh tikus dan
tidak tersisa.
Penyuntikan alloxan dilakukan secara intra
peritoneal dengan dosis 80 mg/kg berat badan
tikus (Retnaningsih et al, 2001, Suarsana et al,
2008). Tikus dipelihara dalam ruangan yang
berventilasi cukup, dikandangkan secara
berkelompok (1 kandang terdiri dari 6 tikus).
Suhu ruangan berkisar 28 – 32oC, dengan
kelembaban 56 ± 5%. Setiap 2 hari dilakukan
pembersihan kandang.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
3
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan (Retnaningsih et al, 2001)
Bahan PakanstandartAIN 93
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Pati jagung 620,69 310 310 310Kasein 140 70 70 70Sukrosa 100 50 50 50Minyak kedelai 40 20 20 20Serat 50 25 25 25Campuran mineral 35 17,5 17,5 17,5Campuran vitamin 10 5 5 5Kholin bitartrat 2,5 1,25 1,25 1,25L-sistin 1,8 0,9 0,9 0,9Serbuk bekatul - 499,19 - 249,6Serbuk tempe - 499,19 249,6Total(g) 998,38 998,84 998,84 998,84Total (kal) 3346,40 3045,9 2417 2731,5
Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol
hanya diberi ransum standar AIN 93 selama 21
hari. Kelompok 2 sebagai kelompok perlakuan 1
diberi ransum standart yang telah dicampur
dengan bekatul dengan konsentrasi 50% selama
21 hari. Kelompok 3 sebagai kelompok perlakuan
2 diberi ransum standart yang telah dicampur
dengan tepung tempe dengan konsentrai 50%
selama 21 hari. Kelompok 4 sebagai kelompok
perlakuan 3 diberi pakan standart yang telah
dicampur dengan campuran bekatul dan tepung
tempe dengan konsentrasi 50% selama 21 hari.
Kadar glukosa darah tikus diukur pada hari
ke 0 sebelum perlakuan injeksi alloxan, hari ke 21
setelah injeksi alloxan yang berarti hari ke 0
perlakuan dan hari ke 22 setelah perlakuan. Darah
yang telah diambil melalui pembuluh darah ekor ±
1 µl kemudian disentrifuge sehingga diperoleh
serum. Kemudian untuk pemeriksaan kadar gula,
perlu dipersiapkan sampel dan blanko. Blanko
adalah campuran dari 5 mikron aquabidest dan
500 mikron reagen. Sampel adalah campuran 5
mikron sampel dan 500 mikron reagen. Sampel
darah yang sudah siap kemudian di inkubasi
selama 10 menit pada suhu 37oC, lalu diperiksa
melalui spektrofotometer. Spektrofotometer yang
digunakan adalah merk Varta, sedangkan reagen
glucose yang digunakan adalah merk Dyasis®.
Data yang terkumpul dikelompokkan
berdasarkan perlakuan, diberi kode dan
dimasukkan dalam file komputer. Data dianalisis
secara statistik dengan proses sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif dengan menampilkan
diagram dan tabel silang menurut kelompok
intervensi. Dikelompokkan dan ditampilkan
jumlah penurunan kadar gula darah pada
kelompok kontrol, perlakuan 1, 2 dan 3.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
4
2. Analisis statistik dengan melakukan uji beda
yang didahului uji normalitas data, distribusi
datanya normal maka dilakukan uji Anova
untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar
gula darah pada kelompok kontrol, perlakuan 1,
2 dan 3. Kemudian dilakukan uji posthoc
untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar
gula darah antara kontrol dengan masing-
masing perlakuan.
3. Batas derajat kemaknaan yang akan dicapai
adalah p< 0,05 dengan power penelitian 80%
dan intervensi kepercayaan sebesar 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian tepung tempe dan
bekatul pada tikus yang diberi alloxan tersaji pada
Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa 2 minggu
setelah pemberian alloxan semua kelompok tikus
telah mengalami peningkatan kadar gula darah.
Untuk mengetahui pengaruh substitusi pakan
terhadap perubahan kadar gula darah, dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan kadar gula darah
(mg/dl) dengan perlakuan pemberian substitusi
tepung tempe, bekatul, campuran, dan kontrol
Penurunan kadar gula darah setiap minggu
berdasarkan masing-masing perlakuan secara
statistik signifikan. Hal ini dapat diketahui melalui
uji Anova yang dilakukan pada minggu 1, 2, dan
3.
Penurunan kadar gula darah setiap minggu
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Rata-rata kadar gula darah tikus (mg/dl)
Jenis perlakuan PreAlloxan
Postalloxan
Minggu 1perlakuan
Minggu 2perlakuan
Minggu 3perlakuan
Tepung Tempe 50% 65 209,8 131,1 110,8 94,6Tepung Bekatul 50% 58,1 193,1 117,5 103,8 93Campuran Tepung tempe dan bekatul 50% 71,5 206,3 97,8 88,8 61,5Control pakan standar 100% 116,6 199,8 195,1 196,3 193.8
Tabel 3. Rata-rata penurunan kadar gula darah
Perlakuan N Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Mean SD Mean SD Mean SD
Kontrol 6 -4.7 3.3 -3.5 12.9 -6.0 13.2
Tempe 6 -78.7 37.5 -99.0 32.7 -115.0 31.9
Bekatul 6 -75.7 36.1 -89.3 28.3 -100.0 33.1
Campuran 6 -109.0 21.1 -118.0 16.8 -145.0 14.2
050
100150200250
Kada
r Gul
a Da
rah
(mg/
dl)
Perubahan Kadar Gula Darah
Tempe
Bekatul
Campuran
Kontrol
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
5
Berdasarkan ketiga deskripsi mean
penurunan kadar gula darah setiap minggu, dapat
diketahui bahwa terjadi penurunan kadar gula
darah pada setiap minggu pada ketiga kelompok
perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan
penurunan kadar gula darah antara kelompok
kontrol, dengan masing-masing perlakuan maka
dilakukan uji Anova yang dapat dilihat pada Tabel
4, 5, 6.
Tabel 4. Hasil Anova tentang beda meankadar gula darah antar kelompok perlakuanpada minggu ke I
Kelompok N Mean SD F P
Kontrol 6 -4.6 3.2 14.69 <0.001
Tempe 6 -78.6 15.3
Bekatul 6 -75.6 14.7
Campuran 6 -108.5 8.6
Pada minggu pertama setelah perlakuan
diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar
gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara
statistik signifikan karena nilai p <0.001.
Tabel 5. Hasil Anova tentang beda mean kadargula darah antar kelompok perlakuan padaminggu ke IIKelompok N Mean SD F P
Kontrol 6 -3.5 12.8 26.51 <0.001
Tempe 6 -99.0 13.3
Bekatul 6 -89.3 11.5
Campuran 6 -117.5 6.8
Pada minggu kedua setelah perlakuan
diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar
gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara
statistik signifikan karena nilai p <0.001.
Tabel 6. Hasil Anova tentang beda mean kadargula darah antar kelompok perlakuan padaminggu ke IIIKelompok N Mean SD F P
Kontrol 6 -6.0 13.1 34.65 <0.001
Tempe 6 -115.1 31.9
Bekatul 6 -100.1 33.0
Campuran 6 -144.8 14.1
Pada minggu ketiga setelah perlakuan
diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar
gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara
statistik signifikan karena nilai p <0.001. Untuk
membandingkan perbedaan penurunan kadar gula
darah antara satu kelompok dengan kelompok lain
dilakukan post hoc test. Hasil post hoc test pada
setiap minggu dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan ketiga post hoc test setiap
minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan
dapat menurunkan kadar gula darah secara
signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi
penurunan kadar gula darah antara perlakuan
tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula
penurunan kadar gula darah antara perlakuan
campuran dengan perlakuan tempe tidak
signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara
perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak
signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat
bahwa 2 minggu setelah pemberian alloxan semua
kelompok tikus telah mengalami peningkatan
kadar gula darah. Kondisi tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Retnaningsih (2001) yang
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
6
menyatakan bahwa satu hari setelah injeksi
alloxan menunjukkan peningkatan kadar glukosa
serum pada semua kelompok tikus. Hal ini
menunjukkan bahwa semua kelompok tikus telah
mengalami DM. Sesuai dengan pendapat Ganung
pada penelitian Retnaningsih (2001) yang
menyatakan bahwa alloxan adalah salah satu
senyawa yang dapat menghambat sekresi insulin
yang kemudian menyebabkan terjadinya
hiperglisemia. Tahap berikutnya adalah perlakuan
substitusi pakan pada masing-masing kelompok
yang diberikan setelah tikus mengalami diabetes.
Pemberian perlakuan tempe, bekatul, dan
campuran selama 3 minggu secara umum
cenderung terjadi penurunan kadar gula darah,
masing-masing sebesar 54,9%, 51,8%, dan
70,18%. Pada Tabel 5, perlakuan tempe dapat
menurunkan kadar gula darah 209,8 mg/dl
menjadi 94,6 mg/dl.
Tabel 7. Nilai p hasil post hoc test tentang perbandingan rata-rata penurunankadar gula darah antara control dengan kelompok perlakuanPerlakuan Perlakuan Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3
Beda mean p Beda mean p Beda mean PKontrol Tempe 74,0 0,022 95,5 0,002 109,2 0,001
Bekatul 71,0 0,022 85,8 0,001 94,2 0,002Campuran 103,8 0,000 114,0 0,000 138,8 0,000
Tempe Kontrol -74,0 0,022 -95,5 0,002 -109,2 0,001Bekatul -3,0 1,000 -9,7 0,993 -15,0 0,954Campuran 29,8 0,491 18,5 0,764 29,7 0,319
Bekatul Kontrol -71,0 0,022 -85,8 0,001 -94,2 0,002Tempe 3,0 1,000 9,7 0,993 15,0 0,954Campuran 32,8 0,374 28,2 0,297 44,7 0,093
Campuran Kontrol -103,8 0,000 -114,0 0,000 -138,8 0,000Tempe -29,8 0,491 -18,5 0,764 -29,7 0,319Bekatul -32,8 0,374 -28,2 0,297 -44,7 0,093
Hasil penelitian ini didukung oleh Irianti
dan Dwiana pada penelitian Retnaningsih (2001)
yang menyebutkan bahwa protein kedelai mampu
bersifat hipoglisemik pada tikus diabetik induksi
alloxan, memperbaiki resistensi insulin dan
meningkatkan sensitivitas insulin pada binatang
diabetik. Protein kedelai memiliki kandungan
arginin yang lebih banyak dibandingkan kasein.
Menurut Irianti pada penelitian Retnaningsih
(2001) menyebutkan secara in vivo pada tikus
dimana terjadi peningkatan konsentrasi insulin
plasma secara signifikan setelah melakukan
penambahan 0,5% arginin dari protein kedelai
pada pakan yang mengandung kasein.
Tempe memiliki efek hipoglikemik yang
dapat mengembalikan fungsi sel pankreas
sehingga meningkatkan sekresi insulin,
menghambat absorbsi glukosa di usus dan
menghambat kinerja enzim α-glukosidase. Enzim
α-glukosidase adalah enzim yang berfungsi untuk
menghidrolisis karbohidrat menjadi gula
sederhana (glukosa) pada usus. Senyawa yang
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
7
dapat menghambat kinerja enzim tersebut dapat
berpotensi sebagai antidiabetes karena dapat
menurunkan kadar gula darah dengan cara
memperlambat penyerapan karbohidrat
postprandial (Suarsana et al, 2008).
Tempe mempunyai indeks glikemik
rendah, kaya fitat, serat larut dan tannin yang
dapat menurunkan pencernaan karbohidrat dan
respon glikemik (Anderson et al, 1999). Menurut
Jenkins DJA dan Holf S et al pada penelitian
Madar (1983) mengatakan bahwa serat tempe
mengandung pectin, galactomannans dan
arabinogalactans dengan viskositas tinggi, bentuk
polisakarida ini memperlambat pengosongan
lambung dan absorbsi glukosa. Hasil penelitian
Madar (1983) menyimpulkan bahwa diet serat
dari tempe dapat menurunkan kadar toleransi
glukosa.
Hasil penelitian lain yang berbeda dengan
hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Liu
(2010) yang menyimpulkan bahwa pemberian
protein kedelai selama 3 atau 6 bulan dengan atau
tanpa suplemen isoflavones tidak menghasilkan
perubahan yang lebih baik pada kontrol glikemik,
resisitensi insulin, kadar glukosa puasa dan
glukosa 2 jam postprandial.
Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian Chen dan Cheng (2006) yang
mengatakan bahwa komponen γ oryzanol dan γ
tocotrienol dalam bekatul meningkatkan
sensitivitas insulin pada tikus diabetes mellitus.
Sedangkan menurut Madar (1983) serat bekatul
hanya sedikit memberikan efek pada toleransi
glukosa.
Data yang diperoleh setelah pemeriksaan
kadar gula darah setiap miggu kemudian
dilakukan analisis data. Uji normalitas data
digunakan uji Shapiro Wilk diperoleh hasil p >
0,05, sehingga dapat dikatakan data berdistribusi
normal, kemudian digunakan uji Anova untuk
mengetahui perbedaan penurunan kadar gula
darah antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan tempe, bekatul, dan campuran.
Berdasarkan hasil uji Anova pada minggu ke 1,
minggu ke 2, dan minggu ke 3 diperoleh nilai p <
0,001, yaitu p = 0,000. Ketiga perlakuan dapat
menurunkan kadar gula darah secara signifikan.
Untuk membandingkan perbedaan penurunan
kadar gula darah antara satu kelompok dengan
kelompok lain dilakukan post hoc test.
Berdasarkan ketiga post hoc test setiap
minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan
dapat menurunkan kadar gula darah secara
signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi
penurunan kadar gula darah antara perlakuan
tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula
penurunan kadar gula darah antara perlakuan
campuran dengan perlakuan tempe tidak
signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara
perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak
signifikan.
Hasil penelitian ini seiring dengan hasil
penelitian Nygren dan Hollmans (1982) bahwa
ada perbedaan kadar gula darah yaitu pada tikus
diabetes yang diberi bekatul mentah lebih rendah
dibandingkan pada tikus diabetes yang tidak
diberi bekatul.
Hasil penelitian lain yang seiring adalah
penelitian Villegas et al (2008) menunjukkan susu
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
8
kedelai dapat menurunkan kadar gula darah tetapi
hubungan antara konsumsi kedelai dengan
diabetes tidak signifikan. Hasil penelitian lain
yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah
penelitian oleh Liu (2010) yang menyimpulkan
bahwa pemberian protein kedelai selama 3 atau 6
bulan dengan atau tanpa suplemen isoflavones
tidak menghasilkan perubahan yang lebih baik
pada control glikemik, resisitensi insulin, kadar
glukosa puasa dan glukosa 2 jam postprandial.
KESIMPULAN
1. Pemberian subsitusi tepung tempe, tepung
bekatul, dan campuran keduanya pada tikus
diabetes sebanyak 50% dari asupan makan
sehari dapat menurunkan kadar gula darah
setiap minggunya dibandingkan tikus yang
tidak diberi perlakuan.
2. Penurunan kadar gula darah pada pemberian
substitusi tepung tempe, tepung bekatul dan
campuran keduanya secara statistik tidak
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson J W, Smith B M and Washnock C S.1999. Cardiovascular and Renal Benefit ofDry Bean and Soybean Intake. TheAmerican Journal of Clinical Nutrition.70:464-474.
Anonim. Cyber Nurse. 2002. Konsep DiabetesMellitus. http://forum.ciremai.com. Cited atDecember 12, 2009.
Anonim. Mengenal Manfaat Bekatul. NaturalOrganik. 2009.http://www.naturalorganik.multiply.com/journal/item/5/Mengenal Manfaat Bekatul. citedat December 12, 2009.
Anonim. Tempe. Wikipedia. 2009. http ://www.wikipedia.org/wiki/tempe. cited atDecember 23, 2009.
Ascencio C., Torres N, Isoard-Acosta F, Gomez-Perez J F, Hernandez-Pando R, and Tovar AR. 2004. Soy Protein Affects Serum Insulinand Hepatic SREBP-1 mRNA and ReducesFatty Liver in Rats. Journal of Nutrition.134 : 522-529.
Hu F B, Manson J E, Stampfer M J, Colditz G,Liu S, Solomon C G, dan Willett W C. 2001.Diet, Lifestyle, and The Risk of Type 2Diabetes Mellitus In Woman. New EnglandJournal of Medicine. 345:790-797.
Charlotte N and Goran H. 1982. Effects ofProcessed Rye Bran and Raw Rye Bran onGlucose Metabolism in Alloxan DiabeticRats. Journal of Nutrition. 112:17-20.
Chen C W and Cheng H H. 2006. A Rice Bran OilDiet Increases LDL-Receptor and HMG-CoA Reductase mRNA Expressions andInsulin Sensitivity in Rats withStreptozotocin/Nicotinamide-Induced Type2 Diabetes. Journal of Nutrition. 136:1472-1476.
Chicco A, Alessandro M E D, Karabatas L,Pastorale C, Basabe J C and Lombardo Y B.2003. Muscle Lipid Metabolisme and InsulinSecretion Are Altered in Insulin ResistantRats Fed a High Sucrose Diet. Journal ofNutrition. 133:127-133.
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.2003. Peran Diit Dalam PenanggulanganDiabetes. Departemen Kesehatan RI.
Gibney M J, Vorster H H and Kole F J. 2002.Introduction to Human Nutrition. New York: Blackwell Science. Hal : 69-80.
Hiswani. 1997. Peranan Gizi Dalam DiabetesMellitus. Fakultas Kedokteran. UniversitasSumatra Utara.
Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Bagian IlmuGizi Fakultas Kedokteran UniversitasSumatra Utara. USU digital library. Hal : 1-13.
Irawan M A. 2007. Karbohidrat. Sport ScienceBrief. Vol : 01. No :03.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
9
Irawan M A. 2007. Glukosa & MetabolismeEnergy. Sport Science Brief. Vol : 01. No:06.
Kerckhoffs D A.J.M, Brouns F, Hornstra G, andMensink R P. 2002. Effects on the HumanSerum Lipoprotein Profile of β-Glucan, SoyProtein and Isoflavones, Plant Sterols andStenols, Garlic and Tocotrienols. Journal ofNutrition. 132:2494-2505.
Linder M C. 1992. Biokimia Nutrisi danMetabolisme Dengan Pemakaian SecaraKlinis. Jakarta : Penerbit UniversitasIndonesia (UI-Press). Hal : 27-58.
Liu Z M, Chen Y M, Ho S C, Ho Y P and Woo J.2010. Effects of Soy Protein and Isoflavoneson Glicemic Control and Insulin Sensitivity :a 6-mo Double Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial in Postmenopausal ChineseWomen With Prediabetes or Untreated EarlyDiabetes. The American Journal of ClinicalNutrition. 91:1394-1401.
Madar Z. 1983. Effect of Brown Rice andSoybean Dietary Fiber on the Control ofGlucose and Lipid Metabolism in DiabeticRats. The American Journal of ClinicalNutrition. 38:388-393.
Mezei O, Banz W J, Steger R W, Peluso M R,Winters T A and Shay N. 2003. SoyIsoflavones Exert Antidiabetic andHypolipidemic Effects Through the PPARPathways in Obese Zucker Rats and Murine
RAW 264,7 cells. Journal of Nutrition.133:1238-1243.
Perkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan danPencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 diIndonesia 2006.
Retnaningsih C, Noor Z dan Marsono Y. 2001.Sifat Hipoglikemik Pakan Tinggi ProteinKedelai Pada Model Diabetik InduksiAlloxan. Jurnal Teknologi dan IndustriPangan. XII : 141-146.
Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 1995.Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suarsana I N, Priosoeryanto B P , Bintang M danWresdiyati T. 2008. Aktivitas Daya HambatEnzim α-Glucosidase dan EfekHipoglikemik Ekstrak Tempe Pada TikusDiabetes. Jurnal Veteriner. 9 : 122-127.
Team Farmakologi. 2008. Buku PetunjukPraktikum Farmakologi I. LaboratoriumFarmakologi Fakultas KedokteranUniversitas Muhammadiyah Surakarta.
Villegas R, Gao Y T, Li H L, Elasy T A, ZhengW, and Shu X O. 2008. Legume and SoyFood Intake and The Incidence of Type 2Diabetes in the Shanghai Women’s HealthStudy. The American Journal of ClinicalNutrition. 87:162-167.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
10
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
11
AKTIVITAS ANTIBAKTERI MINUMAN FUNGSIONAL SARI TEMPE KEDELAIHITAM DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK JAHE
(STUDY OF ANTIBACTERIAL ACTIVITYFUNCTIONAL DRINKS OF BLACK SOYBEAN TEMPE
WITH ADDITION GINGER EXTRACT)
Nurhidajah
Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarangemail: [email protected]
ABSTRACT
Nutrition in Tempe can be useful for metabolic reactions, also contains a natural antibiotic that caninhibit the emergence of various diseases, such as antibacterial components which are very beneficial tohealth. Beverage products form tempe which The addition of ginger extract on the functional beverage blacksoybean tempe. This study consists of 2 stages. Phase I is introductory, covering the manufacture of blacksoybean tempe (2 times the boiling), followed by analysis of water and protein content, then phase 2 is afunctional beverage processing optimization with ginger extract additional variation were 0 %, 1%, 2%, 3%and 4%, in treatment that is by non-instant and instant. The design of the study in phase 2 is 5x2 factorialexperiment using a Completely Randomized Design. The first factor is the addition of ginger extract with 5variations, and the second factor of 2 variations of processing, so there were 10 treatment combinations.The results showed black soybean tempe has a water content of 61.81%, protein 20.36%, fat 2.9% and0.97% ash. Organoleptic assessment showed non instant processing has a flavor that is higher thanprocessed an instant. Protein consentration of black soybean tempe functional beverage with the highestnon-instant processing with the addition of ginger extract 2%. Drink black soybean tempe has a relativelyweak antibacterial activity (<5 mm), and there is the influence of treatment with antibacterial activity insoybean tempe drink black. suggested further research to otimasi black soybean tempe beverage processingand processing of instant non-instantaneous with the addition of ginger extract at least 4%.
Key words: black soybean, functional drinks, antibacterial activity
PENDAHULUAN
Tempe merupakan makanan hasil
fermentasi antara kedelai dengan jamur Rhizopus
sp. Rasanya yang lezat, harganya murah dan
mudah didapat. Sepotong tempe mengandung
berbagai unsur bermanfaat, seperti karbohidrat,
lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein,
genisten. Sifat antibakteri pada tempe juga
dimanfaatkan pada penanganan diit untuk
penderita diare, khususnya anak-anak.
Pada umumnya tempe dibuat dari bahan
kedelai kuning, tempe dapat dibuat dari bahan
kedelai hitam yang banyak mengandung
anthosianin. Kandungan anthosianin tinggi pada
kedelai hitam mempunyai aktivitas antioksidan
besar, yang lebih tinggi dibandingkan tokoferol
(Purwanti, 2004). Selain antioksidan, dari segi gizi
dan citarasa kedelai hitam juga lebih unggul
dibandingkan kedelai kuning. Hasil penelitian
Lunggani (2008), tentang diversifikasi produk
tempe dengan bermacam-macam bahan, yang
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
12
disukai oleh panelis adalah produk tempe dari
bahan dasar kedelai hitam.
Selama ini tempe masih sangat terbatas
dalam hal pengolahan, sehingga penelitian tentang
tempe, khususnya dalam hal diversifikasi
pengolahan misalnya menjadi minuman sangat
diperlukan untuk lebih memperkaya bentuk
olahan tempe. Untuk menunjang produk minuman
tempe menjadi minuman fungsional yang kaya
manfaat, penambahan ekstrak jahe diharapkan
dapat meningkatkan citarasa minuman disamping
manfaat jahe yang ikut menunjang kesehatan.
Berdasarkan latar belakang di atas
dirumuskan permasalahan penelitian apakah ada
pengaruh jumlah ekstrak jahe dan jenis
pengolahan (instan dan non instan) terhadap
aktivitas antibakteri dan kadar protein serta mutu
organoleptik minuman fungsional tempe kedelai
hitam. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas
antibakteri, kadar protein dan mutu organoleptik
minuman fungsional tempe kedelai hitam dengan
penambahan ekstrak jahe.
METODOLOGI
Merupakan penelitian eksperimen di
bidang kesehatan dan teknologi pangan, yang
menjelaskan hubungan antar variabel dengan
beberapa variasi perlakuan. Tempet penelitian
dilakukan di Laboratorium Gizi, Organoleptik
dan Laboratorium Kimia Pangan Unversitas
Muhammadiyah Semarang.
Bahan pembuatan minuman fungsional
tempe kedelai hitam adalah kedelai hitam
diperoleh dari Purwodadi, ragi tempe merk
”Raprima”, jahe emprit, air, gula pasir, garam
tablet katalis, batu didih, dan H2SO4 pekat, H2O2
30%, H3BO4 indikator MR (methyl red), HCL 0,2
N, kultur bakteri Escherichia coli (gram-negatif)
berumur 18 – 24 jam dalam Nutrien Broth (NB),
media Nutrien Agar (NA) sedangkan alat yang
dibutuhkan adalah timbangan, waskom, dandang,
nyiru, kompor, indikator pH, blender, cawan
porselen, oven, desikator dan neraca. Untuk
analisis kadar protein (Mikro Kjeldahl) dan
aktivitas anti bakteri adalah seperangkat alat
destilasi, buret, erlenmeyer cawan petri. Penelitian
ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pembuatan
tempe dan minuman fungsional dengan variasi
penambahan ekstrak jahe dan pengolahan (instan
dan non instan) serta tahap 2 pengujian minuman
fungsional yang meliputi mutu organoleptik,
kadar protein dan aktivitas antibakteri.
Pembuatan Tempe Kedelai Hitam
dengan cara pencucian dan perebusan selama 60
menit, perendaman dengan air perebusnya,
kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 20-
22 jam, lalu pengupasan dan pencucian.
Perebusan kedua pada kedelai tanpa kulit selama
45-60 menit selanjutnya penirisan dan peragian
dengan inokulum sebanyak 0,2%, pembungkusan
dengan plastik PE yang telah diberi lubang dengan
ketebalan 3 cm. Tahap terakhir pembuatan tempe
adalah pemeraman (inkubasi) pada suhu sekitar
30-37°C selama 22-26 jam hingga seluruh
permukaan tempe tertutupi miselium kapang
berwarna putih.
Pembuatan ekstrak jahe dengan
pencucian jahe dan pengecilan ukuran. Setelah itu
penghancuran dengan blender ditambah air
dengan perbandingan 1:1 (jahe:air), lalu
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
13
penyaringan. Pembuatan minuman fungsional
tempe kedelai hitam meliputi proses blancing,
penghancuran (blender) dengan penambahan air 5
kali berat tempe, dan penyaringan dengan kain
saring. Perebusan dengan penambahan ekstrak
jahe sesuai variasi perlakuan dan gula pasir 8%
dari volume cairan. Proses pembuatan minuman
fungsional tempe kedelai hitam instan berbeda
pada penambahan air, yaitu saat penghancuran
ditambahkan 2 kali berat tempe dan penambahan
gula pasir 1:1 kemudian dipanaskan sampai
terbentuk kristal gula.
Analisis mutu organoleptik (Rahayu,
1998) dengan 15 panelis agak terlatih, penilaian
meliputi warna, aroma, rasa, dan kekentalan
tempe menggunakan formulir uji kesukaan
dengan kriteria penilaian adalah 4 = sangat suka,
3 = suka, 2 = tidak suka dan 1 = sangat tidak
suka. Analisis Kadar Protein metode Mikro
Kjeldhal (AOAC,1990) dan analisis antibakteri
dengan metode Difusi Agar menggunakan bakteri
Escherichia coli (gram-negatif) berumur 24 jam
dalam media Nutrien Broth (NB). Rancangan
penelitian pada tahap 2 adalah percobaan
Faktorial 5x2 dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL), meliputi faktor
penambahan ekstrak jahe 5 variasi dan faktor
pengolahan 2 variasi, sehingga terdapat 10
kombinasi perlakuan. Data diuji homogenitas
dengan uji Kolmogorov Smirnov, dilanjutkan
dengan analisa sidik ragam atau Analysis of
Varians (ANOVA) dilanjutkan uji HSD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Tempe Kedelai Hitam (Astawan,
2008 dan Nurhidajah, 2009)
Pembuatan tempe kedelai hitam dengan
karakteristik tempe yang baik dilakukan dengan
dua kali pemasakan dan penambahan ragi 3 g / kg
kedelai kering. Ukuran ketebalan tempe 2 cm.
Hasil pengamatan tempe kedelai hitam tampak
miselium berwarna putih tumbuh sempurna pada
24 jam setelah peragian di seluruh permukaan dan
di sela-sela kedelai. Gambar tempe kedelai hitam
dengan konsentrasi ragi 3 g / kg kedelai kering
ditunjukkan pada Gambar 1.
Menurut Astawan (2008), tempe yang
terlalu banyak bahan akan menyebabkan suhu
terlalu tinggi dan menghambat pertumbuhan
jamur.
Gambar 1. Tempe Kedelai Hitam
Hasil Analisis Proksimat Tempe Kedelai Hitam
Hasil analisis proksimat tempe kedelai
hitam pada Tabel 1 dibandingkan tempe kedelai
kuning menurut Ditjen Gizi Depkes RI (1995)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
14
mempunyai kadar protein yang lebih tinggi,
sedangkan kadar air, abu dan lemak lebih rendah.
Tempe kedelai kuning sebagai pembanding pada
Tabel 1 adalah dari bahan baku kedelai impor,
sedangkan tempe kedelai sampel dalam penelitian
ini digunakan kedelai lokal.
Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat TempKedelai Hitam
Zat Gizi
Tempe kedelai
kuning (Depkes
1995)
Tempe
Kedelai
Hitam
Air (%)
Protein (BB %)
Lemak (%)
Abu (%)
64,0
18,3
4,0
1,0
61.81
20.36
2,90
0.97
Analisis Mutu Organoleptik
Analisis kesukaan minuman fungsional
tempe kedelai hitam dengan variasi pengolahan
instan dan non instan dengan variasi penambahan
ekstrak jahe dari 0% sampai 4% dilakukan dengan
menggunakan uji kesukaan terhadap warna, rasa,
aroma dan kekentalan. Uji kesukaan yang
dilakukan oleh 23 panelis agak terlatih dan umum,
menunjukkan hasil tertinggi adalah pada
pengolahan minuman non instan dengan
penambahan ekstrak jahe tertinggi, yaitu 4 %. Hal
ini dimungkinkan minuman fungsional tempe
kedelai hitam non instan mempunyai warna,
aroma, rasa dan kekentalan yang lebih disukai
panelis.
Warna minuman yang paling disukai
adalah minuman non instan dengan penambahan
jahe 2%, yaitu memberikan warna coklat muda,
sedangkan yang mempunyai nilai terendah adalah
minuman instan dengan jahe 0%, dengan warna
coklat. Secara umum minuman fungsional tempe
kedelai hitam dengan pengolahan instan
memberikan warna lebih gelap sehingga tidak
disukai konsumen.
Warna coklat pada minuman tempe
kedelai hitam ini terbentuk karena reaksi Maillard
antara karbohidrat pada gula yang ditambahkan
dan protein kedelai. Pada proses pengolahan
minuman instan dilakukan penguapan dengan
suhu yang lebih tinggi dari perebusan, sehingga
menimbulkan warna coklat yang lebih tua.
Penilaian terhadap aroma tempe kedelai
hitam menunjukkan pola yang sama dengan
warna, yaitu tertinggi pada produk minuman non
instan. Hal ini disebabkan minuman tempe
kedelai hitam non instan yang diolah dengan suhu
perebusan (±100°C) aroma khas tempe yang agak
langu dapat direduksi oleh jahe. Nilai aroma
tertinggi adalah minuman non instan dengan jahe
4%.
Aroma minuman tempe kedelai hitam
instan dengan semua variasi penambahan jahe
secara umum mempunyai nilai lebih rendah.
Menurut komentar panelis, minuman instan
menimbulkan aroma yang over cooking. Hal ini
karena proses penguapan dengan suhu lebih tinggi
dengan waktu yang lebih lama akan menyebabkan
terjadinya reaksi browning non enzimatis
(maillard) yang berlebihan dengan aroma agak
gosong.
Penilaian terhadap rasa minuman tempe
kedelai hitam mempunyai pola yang sama dengan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
15
warna dan rasa, yaitu lebih tinggi pada non instan.
Rasa minuman non instan lebih alami, dengan
rasa jahe yang lebih tajam. Prosentase jahe
tertinggi paling disukai konsumen, karena rasa
langu direduksi oleh rasa jahe. Menurut komentar
panelis, minuman tempe kedelai hitam dengan
pengolahan instan mempunyai rasa agak hambar.
Kekentalan minuman tempe kedelai hitam
non instan sangat ditentukan oleh penambahan
cairan pada saat penghancuran tempe. Pada
pengolahan dengan instan yang telah mengalami
penguapan, juga dipengaruhi tingkat kemanisan
seduhan instan. Pada penelitian ini, minuman
instan dengan tingkat kemanisan yang optimum
mempunyai tingkat kekentalan yang lebih rendah
sehingga kurang disukai konsumen. Analisis mutu
organoleptik minuman fungsional tempe kedelai
hitam untuk masing-masing kriteria penilaian
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Mutu OrganoleptikMinuman Tempe Kedelai Hitam
Secara keseluruhan, perbandingan citarasa
minuman fungsional tempe kedelai hitam dengan
variasi pengolahan instan dan non instan disajikan
pada Gambar 2 yang memperlihatkan bahwa dari
semua kriteria penilaian organoleptik yang
meliputi warna, aroma, rasa dan kekentalan
minuman tempe kedelai hitam, pengolahan non
instan mempunyai citarasa yang lebih tinggi
dibanding instan. Penambahan ekstrak jahe
menunjukkan kecenderungan semakin banyak
prosentase yang ditambahkan semakin tinggi
tingkat kesukaan konsumen, dan kecenderungan
ini berbanding terbalik pada minuman instan,
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Citarasa Minuman FungsionalTempe Kedelai Hitam
Uji statistik daya terima menunjukkan ada
pengaruh yang sangat bermakna pada semua
kriteria penilaian dengan hasil p= 0,000 < 0,05.
Kadar Protein Minuman Fungsional TempeKedelai Hitam
Hasil analisis kadar protein minuman
fungsional tempe kedelai hitam menunjukkan
secara keseluruhan minuman yang diolah tanpa
proses instanisasi mempunyai nilai yang lebih
tinggi dibandingkan minuman tempe kedelai
hitam yang dibuat instan. Hal ini disebabkan
karena pada proses pengolahan minuman instan
dengan pemanasan suhu lebih tinggi dan waktu
-
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
Nila
i Kes
ukaa
n
0% 1% 2% 3% 4% 0% 1% 2% 3% 4%
Non Instan Instan
Pengolahan & Penambahan Jahe
Analisis Kesukaan Minuman Tempe Kedelai Hitam
Warna
Rasa
Aroma
Kekentalan
0
1
2
3
4
Nila
i Kes
uka
an
0% 1% 2% 3% 4%
Penambahan Jahe
Non Instan
Instan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
16
lebih lama untuk menguapkan air sampai
terbentuk tekstur yang kering, menyebabkan
terjadinya penurunan protein.
Winarno (1997) menyatakan bahwa
pemanasan (perebusan dan penggorengan) yang
dilakukan secara berlebihan pada waktu yang
lama dapat mengakibatkan nilai gizi protein akan
berkurang karena terbentuknya ikatan silang
dalam protein. Hasil analisis kadar protein tersaji
pada Gambar 4.
Gambar 4.Kadar Protein MinumanFungsional Tempe Kedelai Hitam
Menurut Stodolak (2008), proses
fermentasi tempe dapat meningkatkan
ketersediaan protein sekitar 25%. Ketersediaan
protein dari pengolahan konvensional lebih besar
dibandingkan dari biji-bijian yang difermentasi,
tetapi pada analisa in invitro, lebih banyak protein
larut (10%) yang dilepaskan pada saat
pengolahan.
Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan
ada pengaruh variasi pengolahan dengan kadar
protein minuman tempe kedelai hitam dengan F
hitung 7,615 dan p 0,000 < 0,05. Uji lanjut
menunjukkan pengolahan minuman fungsional
tempe kedelai hitam yang diolah secara non instan
dengan penambahan jahe 2% mempunyai
kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan
variasi lain.
Analisis Antibakteri Minuman FungsionalTempe Kedelai Hitam
Minuman fungsional dengan bahan tempe
kedelai hitam ditambah ekstrak jahe sebagai
penambah citarasa, yang juga memiliki metabolit
sekunder yang potensial sebagai anti mikroba,
diharapkan dapat meningkatkan fungsi
antibakterinya. Hasil analisis antibakteri dengan
metode Difusi Agar menunjukkan kecenderungan
semakin banyak prosentase ekstrak jahe yang
ditambahkan, semakin luas daerah hambatan
terhadap bakteri. Hasil analisis kadar protein
tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Aktifitas Antibakteri MinumanFungsional Tempe Kedelai Hitam
Aktifitas antibakteri minuman tempe
kedelai hitam yang diukur dengan besar diameter
zona bening berkisar antara 0,9-4,8 mm. Pada
penambahan ekstrak jahe tertinggi yaitu 4% pada
minuman yang diolah non instan menunjukkan
zona bening yang tertinggi. Dari kecenderungan
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
Kad
ar
Pro
tein
(%
)
0% 1% 2% 3% 4%
Penambahan Ekstrak Jahe
Non Instan
Instan
0
1
2
3
4
5
Dia
mete
r h
am
bata
n(m
m)
0% 1% 2% 3% 4%Penambahan Ekatrak Jahe
Non Instan
Instan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
17
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekstrak
jahe mempunyai aktifitas antibakteri, sehingga
semakin tinggi prosen penambahan ekstrak jahe,
semakin besar aktifitas antibakterinya.
Lemahnya aktivitas antibakteri pada
minuman tempe kedelai instan ini dimungkinkan
kulit kedelai yang tersisa saat pembuatan tempe
sangat kecil, sedangkan senyawa antibakteri
banyak terdapat pada kulit yang berwarna hitam
tersebut.
Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan
ada pengaruh variasi pengolahan dengan aktivitas
antibakteri minuman tempe kedelai hitam dengan
p 0,000 < 0,05. Uji lanjut menggambarkan
pengolahan minuman fungsional tempe kedelai
hitam yang diolah secara non instan dengan
penambahan jahe 4% (prosentase tertinggi)
mempunyai perbedaan aktivitas antibakteri yang
paling kuat dibandingkan variasi yang lain.
KESIMPULAN
Tempe kedelai hitam mempunyai
kandungan air 61,81%, protein 20,36%, lemak
2,9% dan abu 0,97%. Bila dibandingkan dengan
tempe kedelai kuning, kandungan proteinnya lebih
tinggi, tetapi lebih rendah kandungan air, lemak
dan abu.
Semua kriteria penilaian organoleptik yang
meliputi warna, aroma, rasa dan kekentalan
minuman tempe kedelai hitam menunjukkan
pengolahan non instan mempunyai citarasa yang
lebih tinggi dibanding yang diolah dengan cara
dibuat instan. Pada minuman non instan, ada
kecenderungan semakin banyak penambahan
ekstrak jahe semakin tinggi tingkat kesukaan
konsumen.
Uji statistik daya terima menunjukkan ada
pengaruh yang sangat bermakna pada semua
kriteria penilaian yang meliputi warna, aroma,
rasa dan kekentalan dengan variasi pengolahan.
Kadar protein minuman fungsional tempe
kedelai hitam tertinggi pada pengolahan non
instan dengan penambahan ekstrak jahe 2%. Pada
semua variasi penambahan ekstrak jahe, secara
umum menunjukkan kecenderungan kandungan
protein yang lebih tinggi pada pengolahan non
instan dibandingkan yang instan. Hasil analisis
Ragam menunjukkan ada pengaruh variasi
pengolahan dengan kadar protein minuman tempe
kedelai hitam
Minuman tempe kedelai hitam mempunyai
aktifitas antibakteri yang tergolong lemah, dan ada
pengaruh variasi pengolahan dengan aktifitas
antibakteri pada minuman tempe kedelai hitam.
Disarankan pada pengolahan minuman
tempe kedelai hitam sebaiknya secara non instan
dengan penambahan ekstrak jahe minimal 4%
sehingga menghasilkan minuman fungsional yang
mempunyai mutu organoleptik tinggi, juga kadar
protein dan aktifitas antibakterinya, dan perlu
dilakukan penelitian lanjut terkait optimasi
pengolahan minuman tempe kedelai hitam
sehingga dapat meningkatkan nilai fungsionalnya
untuk peningkatan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis, 14 th
edn. Washington DC.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
18
Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Tempe.PanduanLengkap Menjaga Kesehatan denganTempe. PT Dian Rakyat, Jakarta.
Lunggani,AT., S.Nurjanah., B. Raharjo. 2008.Diversifikasi Produk Tempe DenganInokulum Rhizopus Sp Indigenous UntukPengembangan Pangan Fungsional.
Nurhidajah. 2009. Daya Tarima Dan KualitasProtein In Vitro Tempe Kedelai Hitam(Glycine soja) Yang Diolah Pada SuhuTinggi. Tesis Magíster Gizi MasyarakatUniversitas Diponegoro, Semarang.
Purwanti,S. 2004. Kajian Suhu Ruang SimpanTerhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan
Kedelai Kuning. Jurnal Ilmu Pertanian Vol.11 No.1, 2004 : 22-31.
Rahayu, WP. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Stodolak, Bożena., Starzyńska,. Janiszewska, A.2008. The Influence Of Tempe FermentationAnd Conventional Cooking On Anti-NutrientLevel And Protein Bioavailability (In VitroTest) Of Grass-Pea Seeds. Journal of theScience of Food and Agriculture, Volume88, Number 13, October 2008.
Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
19
PENGGUNAAN NATRIUM SIKLAMAT PADA ES LILIN BERDASARKANPENGETAHUAN DAN SIKAP PRODUSEN
DI KELURAHAN SRONDOL WETAN DAN PEDALANGANKOTA SEMARANG
(Natrium Cyclamate on the Ice Candle Based on the Producer’s Knowledge in SrondolWetan and Pedalangan, Semarang Regency)
Retno Purwaningsih1), Rahayu Astuti2), Trixie Salawati2)
1) Balai Besar POM Semarang2) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang
Penulis Korespondensi, email: [email protected]
ABSTRACT
Sodium Cyclamate is an artificial sweetener that is often used. Sodium cyclamate could becarcinogenic. The use of sodium cyclamate in Indonesia regulated in a No 722/MenKes/Per/IX/88Permenkes RI and RI Permenkes no.208/MenKes/Per/IV/85 about usage limits for each food product. Thedata of BBPOM Semarang in 2007 found sodium cyclamate in food snacks (student of primary school)including ice candle. The purpose of this study is to measure the use of sodium cyclamate at ice candleproducers based on knowledge and attitudes about the content of sodium cyclamate.. This research isexplanatory with the survey method. The population is all the ice candle producers in Srondol Wetan andPedalangan, as many as 25 producers. Samples were tested in the laboratory ice candle BB POMSemarang. Data analysis using Spearman rank correlation test. The results showed the level of knowledgeof respondents 'good' by 16.0%, the category of "enough" of 52.0% and "less" of 32.0%. Respondents whohave the attitude of "support" of 64.0% and 36.0% "no support". The content of sodium cyclamate in 17samples (68.0%) positive and 8 samples (32.0%) negative. Positive samples containing sodium cyclamate,there were 14 samples (82.35%) that concentration is still below the maximum limit and 3 samples (17.65%)which exceeds the maximum limit. There is a relationship between knowledge and attitude of the ice candleproducers with the use of sodium cyclamate in Srondol Wetan and Pedalangan of Semarang.Key words: Sodium Cyclamate, Knowledge, Attitude, Prodecers of ice candle
PENDAHULUAN
Siklamat merupakan salah satu pemanis
buatan yang sering digunakan, yang biasa disebut
biang gula. Siklamat mempunyai intensitas
kemanisan 30-80 kali dari gula murni. Siklamat
sangat disukai karena rasanya yang murni
tanpa cita rasa tambahan (tanpa rasa pahit)
(Cahyadi W, 2006). Siklamat umumnya
digunakan oleh industri makanan dan minuman
karena harganya relatif murah. Siklamat biasanya
dipakai dalam produk pangan berkalori rendah
untuk penderita diabetes, penderita kegemukan,
atau penyakit lain agar kalori dari makanan yang
dikonsumsi dapat terkontrol dengan baik, dan
natrium siklamat bukan untuk konsumsi umum
apalagi anak sekolah dasar.
Pemakaian siklamat yang berlebihan dapat
membahayakan kesehatan. Siklamat sebagai
pemanis buatan masih diragukan keamanannya
bagi kesehatan konsumen. Beberapa negara
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
20
mengeluarkan peraturan secara ketat atau bahkan
melarang (Cahyadi W, 2006). Amerika Serikat,
Kanada, Inggris telah melarang penggunaan
siklamat dengan alasan keamanan bagi konsumen
sejak tahun 1970 karena hasil metabolisme
siklamat yaitu berupa siklohexamin bersifat
karsinogenik (Cahyadi W, 2006; Winarno FG dan
Rahayu TS, 1994).
Penggunaan siklamat di Indonesia sebagai
bahan pemanis buatan, baik jenis maupun
jumlahnya diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/MenKes/Per/IX/88 dan Permenkes RI
no.208/MenKes/Per /IV/85 tentang pemanis
buatan. Batas penggunaan pemanis buatan ini
berbeda-beda untuk setiap jenis produk makanan
(PP RI, 1988 dan Cahyadi, 2006).
Siklamat biasanya dicampurkan pada
makanan jajanan anak sekolah. Makanan jajanan
anak sekolah harus mendapat perhatian, karena
makanan tersebut akan terus dikonsumsi oleh
anak sekolah dalam jangka panjang atau selama
sekolah. Hal ini tentunya akan memberikan
dampak yang kurang baik terhadap kesehatan.
Salah satu makanan yang dijual di lingkungan
sekolah adalah es lilin.
Jumlah sekolah dasar (SD) di Kelurahan
Pedalangan sebanyak 6 SD yang tersebar di 5
lokasi (Kelurahan Pedalangan, 2009). Dari lokasi
yang tersebar di Kelurahan Srondol Wetan dan
Pedalangan pengelolaan makanan jajanan cukup
baik. Penyediaan makanan jajanan sudah banyak
yang memiliki kantin sendiri, tetapi di lingkungan
luar sekolah masih banyak penjual yang
menjajakan makanan jajanan yang banyak
diminati oleh anak-anak.
Berdasarkan survey awal sebanyak 60
anak di 12 lokasi sekolah dasar pada kedua
kelurahan tersebut, didapat bahwa anak-anak
menyukai es lilin karena rasanya beraneka ragam
dan dingin sehingga rasa haus menjadi hilang.
Menurut penjual es lilin yang ada di lingkungan
sekolah dalam satu hari mereka menjual 50-100
buah es lilin. Es lilin tersebut diperoleh dari
produsen, namun ada penjual yang menjual hasil
produknya sendiri.
Apakah pengetahuan dan sikap mendasari
praktik penggunaan natrium siklamat dalam es
lilin? Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu
untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
penggunaan natrium siklamat dalam es lilin oleh
produsen serta hubungannya dengan pengetahuan
dan sikap produsen es lilin pada seluruh sekolah
dasar yang ada di dilingkungan sekolah yang
merupakan produk industri rumah tangga yang
banyak menggunakan pemanis buatan sebagai
pengganti gula (Siagian A, 2002).
Tahun 2007 BBPOM di Kota Semarang
melakukan penelitian terhadap makanan jajanan
anak sekolah. Dari jumlah 740 sekolah dasar yang
ada diambil sampel sebanyak 26 SD. Sampel di
ambil sebanyak 196 produk makanan yang terdiri
dari es lilin, makanan ringan (snack) dan
minuman ringan dalam kemasan. Hasilnya 103
sampel (52,55%) tidak memenuhi syarat, dari
sampel yang tidak memenuhi syarat ditemukan 8
sampel (7,76%) mengandung rodamin dan
metanil yellow, 42 sampel (40,77%) mengandung
mikroba, 3 sampel (2,91%) mengandung formalin
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
21
dan 50 sampel (48,60%) mengandung pemanis
buatan yaitu natrium siklamat (BB POM, 2008).
Pada 26 sekolah dasar yang di teliti oleh
BBPOM di Semarang, 2 lokasi diantaranya ada
di kelurahan Srondol Wetan. Sampel yang diambil
sebanyak 12 sampel, yang terdiri dari mie, tahu
dan es lilin. Sebanyak 4 diantara es lilin yang
diperiksa 50% positif mengandung siklamat. Di
kelurahan Srondol Wetan terdapat 13 Sekolah
Dasar, sekolah-sekolah dasar tersebut berada di 7
lokasi yang tersebar di Kelurahan Srondol Wetan
(Kelurahan Srondol Wetan, 2009). Kelurahan
Pedalangan berdekatan dengan kelurahan Srondol
Wetan. Di Kelurahan Pedalangan belum pernah
dilakukan penelitian tentang penggunaan
natrium
METODOLOGI
Jenis penelitian adalah “Explanatory
Research”. Penelitian ini menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel penelitian melalui
pengujian hipotesis menggunakan metode survei
melalui wawancara dan di lengkapi dengan uji
laboratorium dengan pendekatan belah lintang
(cross sectional) dimana variabel bebas dan
terikat yang diteliti diambil dan diukur pada waktu
yang bersamaan dan hanya diobservasi sekali saja
(Notoatmodjo, 2002).
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh produsen es lilin yang tinggal di
Kelurahan Srondol Wetan dan Kelurahan
Pedalangan yaitu sebanyak 25 produsen. Seluruh
anggota populasi diteliti semua. Es lilin tersebut
dijual di lingkungan sekolah dasar yang tersebar
di 7 lokasi di Kelurahan Srondol Wetan dan 5
lokasi di Kelurahan Pedalangan. Tiap produsen es
lilin diambil sampel es lilin untuk diuji natrium
siklamat di laboratorium.
Variabel bebas adalah pengetahuan
produsen es lilin mengenai natrium siklamat
dalam es lilin. Variabel terikat adalah penggunaan
pemanis buatan natrium siklamat dalam es lilin.
Instrumen penelitian dengan menggunakan alat
bantu penelitian berupa kuesioner dan uji
laboratorium. Prosedur pengujian dengan
menggunakan
metode gravimetri. Uji validitas dan reliabilitas
instrumen pengetahuan dan sikap dilakukan di
kelurahan Padangsari dengan kriteria responden
mempunyai karakteristik yang hampir sama
dengan subyek penelitian. Ternyata hasilnya pada
instrumen pengetahuan sebanyak 20 item dan
instrumen sikap sebanyak 20 item valid dan
reliabel, dengan alpha Cronbach masing-masing
0,902 dan 0,953. Analisis data menggunakan
Korelasi Rank Spearman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum resonden
Penelitian ini dilakukan pada produsen es
lilin sebanyak 25 produsen yang ada di Kelurahan
Srondol Wetan dan Kelurahan Pedalangan.
Sebanyak 15 produsen berada di Kelurahan
Srondol Wetan yang tersebar di 7 lokasi.
Sebanyak 10 produsen berada di Kelurahan
Pedalangan yang tersebar di 5 lokasi. Sebagian
besar merupakan produksi rumah tangga. Sebagai
gambaran mengenai tingkat pendidikan, jenis
kelamin dan umur dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
22
Tabel 1. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan tingkatpendidikan.
TingkatPendidikan
Jumlah Persentase(%)
SD 2 8,0SMP 5 20,0SMA 17 68,0PT/D3 1 4,0
Jumlah 25 100,0
Tabel 2. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase(%)
Laki-laki 3 12,0Perempuan 22 88,0Jumlah 25 100,0
Tabel 3. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan umur.
Umur Jumlah Persentase (%)26 − 35 8 32,036 − 45 11 44,046 − 55 6 24,0Jumlah 25 100,0
Berdasarkan Tabel 1, 2, dan 3, dapat
dilihat bahwa sebagian besar responden adalah
berpendidikan SMA yaitu sebanyak 17 orang
(68%), berjenis kelamin perempuan sebanyak 22
orang (88,0%) dan persentase terbanyak umur
responden 36-45 tahun yaitu sebanyak 11 orang
(44,0%).
Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan responden
didasarkan pada pengetahuan mereka mereka
tentang pengertian Pemanis buatan Natrium
Siklamat, dari 20 soal pertanyaan tentang
pengetahuan diperoleh nilai minimal 45 dan
maksimal 95 dengan rata-rata 68,60 dan standar
deviasi 13,112. Setelah dikategorikan menurut
Waridjan (1999) maka tingkat pengetahuan
responden dapat dijelaskan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Tingkat pengetahuan respondententang pemanis buatan.
TingkatPengetahuan
Jumlah Persentase (%)
Baik 4 16,0Cukup 13 52,0Kurang 8 32,0Jumlah 25 100,0
Pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa
sebagian besar responden berpengetahuan cukup
yaitu sebanyak 13 orang (52,0%), sisanya
berpengetahuan kurang dan baik.
Berdasarkan jawaban responden atas tiap-
tiap pertanyaan soal pengetahuan, diketahui masih
banyak responden yang memiliki pengetahuan
kurang mengenai natrium siklamat. Sebanyak
72,0% responden tidak mengetahui tentang
tingkat kemanisan natrium siklamat. Sebanyak
88,0% responden sudah mengetahui pengertian,
manfaat dan nama lain dari natrium siklamat,
hanya 12,0% responden yang belum
mengetahuinya.
Sebanyak 84,0% responden sudah
mengetahui bahwa pencampuran natrium siklamat
yang berlebihan akan menimbulkan rasa pahit,
hanya 16,0% responden yang beranggapan bahwa
pencampuran natrium siklamat yang berlebih akan
menimbulkan rasa yang sangat manis. Sebanyak
80,0% responden sudah mengetahui bahwa dalam
pencampuran natrium siklamat tetap
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
23
menggunakan gula murni, hanya 20,0% responden
yang tidak mengetahui jika gula murni tetap
digunakan sebelum mencampurkan natrium
siklamat namun menurut mereka cukup dengan
natrium siklamat saja tanpa gula murni.
Menurut PerMenKes 722/Men/Per /IX/88
bahwa natrium siklamat merupakan salah satu
BTP yang diperbolehkan dengan batas
penggunaan yang berbeda-beda untuk setiap
produk makanan. Dan penggunaan ditujukan
untuk produk berkalori rendah untuk penderita
diabetes bukan untuk konsumsi umum apalagi
anak sekolah dasar (Winarno FG, Rahayu TS,
1994).
Sikap
Skor sikap berkisar antara 50 sampai 71
dengan nilai rata-rata 65,64 dan standar deviasi
5,492. Sikap responden mengenai Natrium
Siklamat dikategorikan menjadi 2 yaitu sikap
positif (mendukung) dan sikap negatif (tidak
mendukung). Dikatakan mendukung jika lebih
dari sama dengan rata-rata skor sikap, dan tidak
mendukung jika total skor kurang dari rata-rata
skor sikap. Untuk mengkategorikan sikap diuji
kenormalan dan didapat hasil berdistribusi tidak
normal sehingga menggunakan nilai median.
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sikap responden tentang pemanisbuatan
.Sikap
respondenJumlah Persentase
(%)Mendukung 16 64,0Tidakmendukung
9 36,0
Jumlah 25 100,0
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian
besar responden bersikap mendukung tidak
digunakan natrium siklamat yaitu sebesar 16
orang (64%), sisanya bersikap tidak mendukung.
Pada analisis item sikap dapat diketahui
bahwa sebanyak 68,0% responden tidak setuju
pada pernyataan “tidak perlu menambahkan gula
murni karena tingkat kemanisan natrium siklamat
sama dengan gula murni”. Umumnya responden
sudah mengetahui bahwa natrium siklamat
ditambahkan sebagai penambah rasa manis,
sehingga pemakaiannya cukup satu sampai
setengah sendok teh tetapi rasa manis yang
dihasilkan sudah tinggi. Responden sudah
mengetahui jika gula murni tetap harus digunakan.
Natrium siklamat lebih murah dari pada gula
murni dengan tingkat kemanisan 30-80 kali tetapi
tidak memiliki nilai gizi (non nutritive) sedangkan
kalori yang dihasilkan jauh lebih rendah dari gula
murni (Peraturan Pemerintah RI, 1988), sehingga
natrium siklamat ditambahkan untuk
memantapkan rasa manis dan menghemat biaya
produksi.
Sebanyak 84,0% responden sangat tidak
setuju pada pernyataan “penggunaan natrium
siklamat secara terus menerus tidak
membahayakan kesehatan”. Adapun sikap
responden yang mendukung dapat diketahui dari
jawaban pada pertanyaan sikap, sebanyak 88,0%
responden setuju jika penggunaan natrium
siklamat ada batas maksimalnya dan penggunaan
yang sesuai aturan dapat menghemat biaya
produksi. Sebanyak 60,0% responden sangat
setuju jika penggunaan natrium siklamat yang
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
24
berlebihan menimbulkan rasa pahit dan dalam
waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan.
Walaupun natrium siklamat masih
diperbolehkan oleh pemerintah, tetapi sebaiknya
dalam penggunaannya sesuai dengan aturan
sehingga tidak melebihi batas maksimal yang
diperbolehkan. Dalam PerMenKes
no.722/MenKes/Per/IX/88 tentang Bahan
Tambahan Pangan disebutkan bahwa penggunaan
natrium siklamat untuk es lilin batas maksimal
yang diperbolehkan 3 g/kg atau 0,3%.
Efek yang ditimbulkan natrium siklamat
itu tidak langsung, mungkin harus menunggu dua
puluh atau tiga puluh tahun kemudian tetapi bagi
anak-anak sebaiknya dihindari, selain tidak
mengandung energi juga tidak bernilai gizi
Takayama S, 2009). Pemakaian siklamat yang
berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Hasil
metabolisme siklamat yaitu berupa siklohexamin
bersifat karsinogenik. Ekresinya melalui urine dan
dapat merangsang pertumbuhan tumor, kanker
kandung kemih dan migrain (Cahyadi W, 2006;
Winarno FG dan Rahayu TS, 1994).
Keberadaan Natrium Siklamat Dalam Es Lilin
Untuk mengetahui kadar natrium siklamat
pada es lilin dilakukan uji dengan metode
gravimetri, adapun hasil uji tersebut bila positif
mengandung natrium siklamat berupa endapan
yang diabukan dan ditimbang sehingga diketahui
berapa kadar natrium siklamat tersebut. Hasil uji
natrium siklamat dalam es lilin terdapat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Keberadaan natrium siklamatpada es lilin
Keberadaannatriumsiklamat
Jumlah Persentase (%)
Negatif 8 32,0Positif 17 68,0
Jumlah 25 100,0
Pada Tabel 6 terlihat bahwa 17 responden
(68,0%) produsen es lilin menggunakan natrium
siklamat sebagai pemanis buatan, sedangkan 8
responden (32,0%) lainnya tidak menggunakan.
Pada es lilin yang positif mengandung natrium
siklamat dilakukan pengujian untuk mengetahui
kadarnya. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Statistik Deskriptif Kadar SiklamatDalam Es Lilin (%)
Varia-bel
Terendah Ter-tinggi
Rata-rata
Simpa-nganbaku
KadarNatriumSiklamat
O,13 0,38 0,21 0,73
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa kadar
natrium siklamat yang ada pada es lilin paling
rendah sebesar 0,13%, sedangkan paling tinggi
sebesar 0,38%. Rata – rata kadar natrium siklamat
dalam es lilin adalah sebesar 0,21%, Sedangkan
syarat menurut peraturan tentang Bahan
Tambahan Makanan khususnya pemanis buatan
batas maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin
sebesar 0,3%. Dari 17 sampel yang mengandung
natrium siklamat 14 sampel (82,35%) kadar
natrium siklamatnya masih berada dibawah batas
maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin,
hanya 3 sampel (17,65%) yang melebihi batas
maksimal.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
25
Analisis Bivariat
Sebelum dilakukan pengujian hubungan
antara pengetahuan dan sikap dengan penggunaan
natrium siklamat dalam es lilin, terlebih dahulu
dilakukan pengujian normalitas untuk menentukan
jenis uji. Hasil pengujian normalitas
menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test
diperoleh hasil bahwa variabel pengetahuan
berdistribusi normal (p=0,136), variabel sikap
berdistribusi tidak normal (p= 0,000) dan kadar
natrium siklamat berdistribusi tidak normal (p=
0,006), sehingga untuk menguji hubungan
pengetahuan dan sikap produsen dengan kadar
natrium siklamat digunakan uji Korelasi Rank
Spearman.
Hubungan Sikap Produsen Es Lilin DenganPenggunaan Natrium Siklamat Pada Es Lilin
Setelah dilakukan uji Korelasi Rank
Spearman terhadap variabel sikap produsen
dengan kadar natrium siklamat diperoleh nilai
koefisien korelasi r = - 0,700 dengan p = 0,00 (<
0,05) dengan demikian ada hubungan antara
sikap produsen dengan kadar natrium siklamat.
Hubungan antara sikap dan kadar natrium
siklamat dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2. Diagram Tebar HubunganSikap dengan Kadar Natrium Siklamat
Berdasarkan hasil pengujian terlihat nilai
signifikansi sebesar 0,00 < 0,05 menunjukkan
bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan
yang nyata antara sikap produsen es lilin dengan
kadar pemanis buatan natrium siklamat dalam es
lilin. Koefisien korelasi (r) didapat : - 0,700
artinya kekuatan/ keeratan hubungan kuat dan
berpola negatif yaitu bila terjadi kenaikan satu
variabel (sikap) diikuti penurunan variabel
yang lain (Kadar Natrium Siklamat). Koefisien
Determinan (r²) didapat (-0,700)2 = 0,49 = 49%
artinya besarnya natrium siklamat dapat
dijelaskan oleh sikap sebesar 49 %, dapat
disimpulkan ada pola bahwa semakin baik sikap
seseorang maka semakin rendah kadar natrium
siklamat.
Menurut pendapat Notoatmodjo (2002)
bahwa sikap merupa hal yang penting dalam
kehidupan sehari-hari, jika sikap sudah terbentuk
dalam diri seseorang maka sikap akan ikut
menentukan tingkah laku terhadap sesuatu
skor sikap757065605550
kada
r si
klam
at (%
)
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
R Sq Linear = 0.255
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
26
(Notoatmodjo, 2003). Dalam penelitian ini bahwa
semakin mendukung sikap responden maka kadar
natrium siklamat semakin rendah.
KESIMPULAN
Sebanyak (68,0%) es lilin yang diperiksa
mengandung natrium siklamat. Dari sampel es
lilin yang mengandung natrium siklamat,
sebanyak 14 sampel (82,35%) kadar natrium
siklamatnya masih berada dibawah batas
maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin,
hanya 3 sampel (17,65%) yang melebihi batas
maksimal.
Terdapat hubungan yang nyata antara
pengetahuan produsen es lilin dengan kadar
natrium siklamat dalam es lilin yang
diproduksinya (p=0,00), dan ada hubungan yang
nyata antara sikap produsen es lilin dengan kadar
natrium siklamat dalam es lilin
yang diproduksinya (p=0,00).
Saran bagi Balai POM melalui DKK
setempat hendaknya lebih memperhatikan
produsen makanan jajanan khususnya es lilin
yaitu dengan melakukan pembinaan melalui
peningkatan pengetahuan serta sikap dan
pengawasan sehingga diharapkan produsen es lilin
tidak menggunakan zat pemanis secara
berlebihan. Selanjutnya Balai POM melalui DKK
setempat bisa memberikan sangsi tegas supaya
produsen tidak meremehkan, dapat melakukan
pengawasan dan memberikan peringatan baik
berupa teguran lisan maupun teguran tertulis
terhadap produsen yang masih menggunakan
bahan tambahan makanan khususnya pemanis
buatan secara berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. 2008.Laporan Kegiatan Tahun 2008. BB POMSemarang.
Cahyadi W. 2006. Analisis dan Aspek KesehatanBahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara.Jakarta.
Indriasari L. Si Manis yang Perlu Diwaspadai!http://64.203.71.11/kesehatan/news/0507/25/065512.htm. Diakses 7 Maret 2009.
Kelurahan Srondol Wetan. 2009. LaporanBulanan Kelurahan Srondol Wetan,Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.
Kelurahan Pedalangan. 2009. Laporan BulananKelurahan Pedalangan, KecamatanBanyumanik, Kota Semarang
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi PenelitianKesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2003a. Pendidikan dan PerilakuKesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2003b. Promosi Kesehatan danIlmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.
PP RI. 1988. Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia no. 722/MenKes/Per/IX/88,tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta.
Siagian, A. 2002. Bahan Tambahan Pangan.http:/library.usu.ac/id/ modules.php?
Takayama S, dkk. Long Term Toxicity andCarcinogenity. Study of Cyclamate inNon Human.http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/content/full53/1/33. Diakses 20 Februari 2009.
Waridjan. 1999. Tes Hasil Belajar Gaya Obyektif.IKIP Semarang.
Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahanuntuk Makanan dan Kontaminan. PustakaSinar Harapan. Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
27
POTENSI CAMPURAN KECAMBAH BERAS COKLAT DAN KECAMBAHKEDELAI SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL TINGGI SERAT DAN PROTEIN
(Potential for Mixed Brown Rice Sprouts and Soybean Sprouts as Fuctional BeverageHigh Fiber and Protein)
Siti AminahProgram Studi Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Semarang
Email: [email protected]
ABSTRACT
Brown rice sprouts and soybean sprouts potential as a functional beverage ingredients. This studyaims to measure the levels of protein and fiber beverage from a mixture of brown rice sprouts and soybeansprouts, and knowing the nature organoletiknya. The materials used are brown rice, local soybean, spicesand sugar. The experimental design in this study was completely randomized design with sprouted flourconcentration factor with three replicates. The highest protein content in the treatment of mixing flour andsprouted brown rice seedling soybean: 10:90% as much as 35.20 g% is the lowest protein content in thetreatment of 50:50% as much as 18.87 g%. The highest fiber content in the treatment of 30:70% as much as0:35 g%, while the lowest levels in the treatment of 50%: 50% as much as 0.027 g%. Rendement sproutedbrown rice flour as much as 80% and 67% soybean sprout flour. Organoletik score highest on treatment E:50:50%. Statistical analysis showed no treatment effect on protein content, and organoleptic, but did notaffect the fiber content.
Key words: Brown Rice, Soybean, Sprout, Functional Beverage
PENDAHULUAN
Proses percambahan dapat menyebabkan
perubahan komponen gizi atau kimia bahan
pangan. Kecambah pada umumnya tersedia dari
bahan kacang-kacangan seperti kacang hijau,
kacang tunggak dan kacang kedelai. Bahan
pangan yang tergolong dalam serealia seperti
jagung dan beras dapat pula dikecambahkan. Hasil
perkecambahan dari bahan serealia khususnya
beras mempunyai komponen yang berbeda dengan
beras. Beras kecambah diperoleh dengan
merendam beras pecah kulit yang berwarna
coklat, hasil percambahan dari beras coklat
dikenal dengan brown rice germination (BRC).
Kandungan asam amino essensial Lysine dari
BRC menjadi tiga kali lipat, dan untuk gamma-
aminobutyric acid (GABA) naik menjadi sepuluh
kali lipat. Demikian juga pada kedelai selama
perkecambahan, vitamin B meningkat 2.5-3 kali
lipat, vitamin E meningkat 24-230 mg/100 g
kecambah, sedangkan vitamin C mengalami
peningkatan dari jumlah sangat sedikit menjadi
12 mg per 100 g pada kacang kedelai yang
dikecambahkan selama 48 jam. (Astawan, 2004),
nilai cerna protein meningkat 1,26 persen
(Antarlina, dkk, 2000).
Mengingat potensi bahan tersebut, maka
perlu dilakukan penelitian mengenai potensi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
28
campuran tepung beras kecambah coklat dengan
tepung kecambah kedelai sebagai minuman
fungsional tinggi serat dan protein. Permasalahan
yang dirumuskan adalah bagaimana proporsi yang
paling optimum antara kedua tepung kecambah
tersebut berdasar kadar serat dan proteinnya serta
karakteristik organoleptiknya.
Tujuan penelitian ini adalah mengukur
kadar protein, dan serat formula minuman
campuran tepung kecambah beras coklat dan
kecambah kacang kedelai serta mengetahui sifat
organoleptik minuman campuran kecambah beras
coklat dan kecambah kedelai. Penelitian dilakukan
di Laboratorium Gizi dan Kimia Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Semarang.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan adalah beras coklat
yang diperoleh dengan menggiling gabah hingga
pecah kulit, kedelai lokal, alginat dan bahan
rempah (jahe, kayu manis, cengkeh dan pandan).
Bahan untuk analisis protein dan serat meliputi
H2SO4 pekat, HCl 0.02 N, K2SO4, HgO, H2BO3 ,
NaOH 40 %, ZnSO4, antifoam agent, NaOH (1,25
g NaOH/100 ml=0.313 N NaOH), H2SO4 (1.25 g
H2SO4pekat/100 ml = 0.255 N H2SO4), aquades,
indikator PP dan MR, larutan dan tepung
kecambah: beras coklat, kecambah kedelai. Alat
untuk analisa kadar protein dan kadar serat
secara berurutan adalah sebagai berikut: neraca
analitik, buret, gelas ukur, pengaduk, labu
kjeldhal, desilator, labu destilasi, pipet volum,
erlenmeyer, oven, desikator, dan kurs porselin
Prosedur penelitian meliputi pembuatan
kecambah dan penepungan, formulasi dan
pembuatan minuman, analisis protein, serat, kadar
air, dan pengukuran rendemen serta uji
organoletik. Minuman dibuat dengan
menambahkan ekstrak jahe yang telah dikristalkan
dengan gula. Analisis kadar protein dilakukan
dengan metode Mikro Kjeldhal (Apriyantono,
1992), Kadar Serat Kasar (Apriyantono, 1992),
Organoleptik (metode scoring, Rahayu, 1998).
Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap, lima perlakuan dengan
faktor konsentrasi tepung kecambah. Ulangan
dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing
ulangan dianalisis secara duplo, perlakuan dalam
percobaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan Percobaan
Perlakuan Proporsi %Tepung
KecambahBeras Coklat
TepungKecambah
KedelaiA 10 90B 20 80C 30 70D 40 60E 50 50
Data kadar protein dan kadar serat
diuji dengan Analisis of Varian (Anova).
Apabila diantara perlakuan terdapat pengaruh
nyata maka dilanjutkan dengan uji beda antar
perlakukan dengan Least Significant Difference
(LSD). Data uji organoleptik dianalisis dengan
Friedman Test dengan bantuan SPSS 15.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein
Kadar protein tertinggi pada perlakuan
pencampuran tepung kecambah beras coklat dan
kecambah kedelai adalah 10:90 % sebanyak 35,20
g% sedang kadar protein terendah pada perlakuan
campuran tepung kecambah beras coklat dan
tepung kecambah kedelai adalah 50:50 %
sebanyak 18,87 g%. Semakin tinggi proporsi
tepung kecambah kedelai kadar protein semakin
tinggi. Tepung kecambah kedelai mempunyai
kadar protein yang lebih tinggi dibanding dengan
tepung kedelai dan bahan lainnya, protein tepung
kecambah kedelai meningkat menjadi 135,79 %
dibanding dengan kandungan tepung kedelai.
Tepung kecambah beras coklat menunjukkan hal
yang sebaliknya, kadar protein tepung kecambah
sedikit lebih rendah dibanding kadar protein beras
coklat, turun menjadi 95 %, sedangkan kadar
protein tepung beras coklat sedikit lebih rendah
dibanding dengan tepung beras putih. Kadar
protein tepung kecambah kedelai lebih tinggi dari
tepung kecambah beras coklat, sehingga semakin
tinggi proporsi tepung kecambah kedelai maka
kadar protein campuran kedua bahan tersebut juga
semakin tinggi sehingga semakin banyak
ditambahkan, tepung kedelai maka protein juga
akan meningkat. Hasil analisis terhadap kadar
protein disajikan pada Gambar 1
Gambar 1. Rerata Kadar Protein FormulaMinuman Campuran TepungKecambah Beras Coklat danTepung Kecambah Kedelai
Hasil analis statistik menunjukkan ada
pengaruh signifikan perlakuan proporsi tepung
kecambah beras coklat dan tepung kecambah
kedelai terhadap kadar protein dengan p = 0,00 <
0,05. Uji lanjut dengan Mann whitney Test
menunjukkan terdapat perbedaan pada setiap
perlakuan kecuali perlakuan C-D dan D-E tidak
ada perbedaan nyata dengan p masing-masing
0,065>0,05 dan 0.132>0,5.
Peningkatan kadar protein kecambah
kedelai terjadi selama perkecambahan Selama
perkecambahan akan terjadi perubahan
komponen kimia (gizi), diantaranya adalah
protein. Menurut Astawan (2004) menyatakan,
berdasarkan berat kering, protein tauge kacang
hijau meningkat menjadi 119 % dibandingkan
dengan kandungan awal pada biji. Hal ini
35.2
23.3520.79 19.78 18.87
0
5
10
15
20
25
30
35
40
A B C D E
Kad
ar P
rote
in (
g %
)
Perlakuan Formula Minuman CampuranTepung Kecambah Beras Coklat dan
Tepung Kecambah Kedelai
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
30
0.28
0.330.35
0.32
0.27
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
A B C D E
Kad
ar S
erat
(g
%)
Perlakuan Formula Minuman CampuranTepung Kecambah Beras Coklat dan
Tepung Kecambah Kedelai
disebabkan terjadinya sintesa protein selama
germinasi. Tauge kedelai mengandung lebih
banyak energi, protein, dan lemak daripada tauge
kacang hijau. Selama proses berkecambah, terjadi
hidrolisis protein yang menyebabkan kenaikan
kadar asam amino di dalam kecambah. Terlihat
dengan jelas bahwa tauge merupakan sumber
asam amino esensial yang sangat potensial serta
dengan komposisi yang lebih baik dibandingkan
dengan kedelai (Astawan, 2004). Proses
perkecambahan kacang-kacangan yang
menghasilkan kecambah (sprouts), yang
kemudian ditepungkan, ternyata dapat
menghilangkan berbagai senyawa anti gizi
didalamnya, dapat mempertahankan mutu
proteinnya dan menandung vitamin C yang cukup
tinggi (Koswara).
Hasil penelitian Pangestuti, dkk. (2005)
menunjukkan bahwa penambahan tepung
kecambah kedelai dapat menyumbang protein 63-
73 persen total protein flakes (15.45-18.91
persen), asam folat 98-99 persen total asam folat
flakes (60-100 miug/100 g), dan asam lemak tidak
jenuh 63-78 persen total asam lemak tidak jenuh
flakes (3.12-5.27 persen atau 82.76-84.05 persen
total lemak flakes). Penelitian Antarlina, dkk,
(2000) juga menunjukkan perkecambahan biji
kedelai dapat meningkatkan kadar protein, nilai
cerna protein dan vitamin C tepung kedelai. Kadar
protein rata-rata meningkat sebesar 0,15 persen,
nilai cerna protein meningkat 1,26 persen dan
vitamin C meningkat 7,67 mg.
Kadar Serat
Hasil analisis terhadap serat menujukkan
kisaran yang hampir sama dari masing-masing
perlakuan, tidak menunjukkan kecenderungan
peningkatan atau penurunan. Tabel 5 adalah rerata
hasil analisis serat formula minuman campuran
tepung kecambah beras coklat dan kecambah
kedelai
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak
ada pengaruh perlakuan proporsi tepung
kecambah beras coklat dan tepung kecambah
kedelai terhadap kadar serat dengan p = 0.775 >
0.05. Hasil analisis tersebut juga tidak berbeda
jauh dengan hasil analisis kadar serat pada bahan.
Kadar serat bahan baik tepung beras coklat,
tepung kecambah beras coklat, tepung kedelai dan
tepung kecambah kedelai menunjukkan angka
yang hampir sama, kadar serat terendah adalah
tepung kecambah beras coklat.
Gambar 2. Rerata Kadar Protein FormulaMinuman Campuran TepungKecambah Beras Coklat danTepung Kecambah Kedelai
Hal tersebut berbeda dengan pernyataan
Kayahara bahwa Tim peneliti Jepang menemukan
beras pecah kulit yang dikecambahkan dengan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
31
cara merendam beras pecah kulit selama beberapa
jam sebelum dimasak, dapat meningkatkan
kandungan gizinya. Beras kecambah mengandung
serat yang lebih tinggi dibanding beras pecah kulit
biasa, selain itu kandungan asam amino essensial
Lysine menjadi tiga kali lipat, dan untuk gamma-
aminobutyric acid (GABA) naik menjadi sepuluh
kali lipat (Kahayara). Gambar 2 menunjukkan
rerata hasil analisis kadar serat.
.
Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat
akhir dengan berat bahan awal. Rendemen dapat
digunakan untuk mengetahui adanya penyusutan
atau penambahan berat/volume setelah proses
pengolahan. Hasil perhitungan terhadap rendemen
tepung kecambah beras coklat dengan tepung
kecambah kacang hijau disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata Rendemen Tepung KecambahBeras Coklat dan KecambahKecambah Kedelai
JENISTEPUNG
RENDEMEN (%)I II III Rerata
KecambahBeras Coklat
KecambahKedelai
80.80 70.60 88.60 80.00
70 63 69 67.33
Tabel 2 menunjukkan bahwa kedua bahan
mengalami penyusutan setelah proses pengolahan
(perendaman, pengeringan dan penepungan)
menjadi tepung kecambah. Perhitungan rendemen
tepung kecambah menunjukkan kecenderungan
rendemen yang lebih tinggi pada tepung
kecambah dari bahan beras dibandingkan kacang-
kacangan. Hal ini dimungkinkan beras
mempunyai total padatan terlarut yang lebih besar
dibandingkan kacang.kacangan dan kadar air lebih
kecil, sehingga tepung kecambah serealia
mempunyai rendemen yang lebih besar dibanding
kecambah kacang-kacangan. Selama proses
pengolahan pada tepung beras kecambah tidak ada
komponen yang di buah, sehingga diperkirakan
penyusutan terjadi karena proses pengeringan
yang mengakibatkan segian kadar air menguap.
Sedangkan pada kecambah kedelai, setelah terjadi
pengecambahan sebelum dikeringkan kulit kedelai
terkelupas dari bijinya sehingga kulit ini
dihilangkan. Pengurangan sebagain bahan ini akan
mempengaruhi rendeman dari bahan,
Sifat Organoleptik
Secara berurutan skor organoleptik
tertinggi dari minuman dari campuran tepung
kecambah beras coklat dengan tepung kecambah
kedelai adalah perlakuan kecambah beras coklat:
kecambah kedelai = (E) 50 : 50; (D) 40:60; (A)
10:90, (C) 30:70) dan B (20:80).
Hasil uji statistik menunjukkan ada
pengaruh perlakuan organoleptik menunjukkan
ada pengaruh perlakuan terhadap aroma, rasa,
warna dan konsistensi minuman.
KESIMPULAN
Tepung kecambah beras coklat dan
kecambah kedelai dapat digunakan sebagai bahan
minuman, namun diperlukan perlakukan
pendahuluan yang dapat meningkatkan cita rasa
dengan mengurangi rasa dan aroma yang kurang
enak, diantaranya dengan blanching sebelum
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
32
dilakukan pengeringan. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk meningkatkan komponen-
komponen antioksidan seperti fenolik dan vitamin
E dan aktifitas antioksidan serta sejumlah zat gizi
yang terkandung dalam kecambah beras coklat
dan kedelai, dengan elisitasi karbohidrat pada
kedua bahan tersebut sebelum melalui masa
perkecambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, 2004. Sehat Bersama Aneka SeratPangan Alami. Tiga Serangkai. Solo
Antarlina,S.S, Rahmianna,AA, Sudaryono,Sudarsono, Tastra. 2001 Utilization ofsoybean sprout flour as raw material inweaning food processing. Balai PenelitianTanaman Kacang-kangan dan Umbi-umbian, Malang (Indonesia).
Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni LuhPuspitasari, Sedarnawati, SlametBudiyanto. 1992. Petunjuk LaboratoriumAnalisis Pangan. IPB. Bogor
Gasol, 2007. Beras Kecambah. http://gasolpertanianorganik.com
Kayahara,H. Beras Kecambah, Shinshu Universitydi Nagano, Japan
Koswara, Kacang-Kacangan Sumber Serat yangSangat Tinggi. E-Book Pangan
Pangestuti, Andarwulan, N.; Koswara, S. Potensikecambah kedelai sebagai sumber protein,asam folat, dan asam lemak tidak jenuhdalam produk sarapan bergizi untuk anakPDII-LIPI (Pusat Dokumentasi danInformasi Ilmiah-Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia) diakses padatanggal 20 September 2010http://garuda.dikti.go.id/jurnal
Rahayu, P.W. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi FTP IPB Bogor
Sutrisno Koswara www.Ebookpangan.com
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
33
RESIDU LOGAM BERAT IKAN DARI PERAIRAN TERCEMAR DI PANTAIUTARA JAWA TENGAH
(Residual Heavy Metals in Fish from Contaminated Water in North Coast of CentralJava)
Agus Suyanto1), Sri Kusmiyati2), Ch. Retnaningsih3)
1) Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang,2) Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,
3)Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katholik Soegiyopranoto Semarang
Penulis Korespondensi, email: [email protected]
ABSTRACT
Heavy metal pollution is increasing in line with increasing industrialization. Research on the Heavy MetalResidues in fish from polluted water and unpolluted water in Central Java using descriptive-explorativeresearch approach, using samples of fish from ponds and estuaries . Samples were taken from threelocations coastal areas in district of Semarang, Tegal and Pati. Analysis of heavy metals consists of Pb, Cu,Zn, Hg, Cd, and As by AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). The results showed levels of heavy metalsfrom 0.08 to 0.12 ppm Hg above the threshold regulation Ditjen POM RI no 03725/B/SK/VII/89 on fish frompolluted and unpolluted ponds and estuaries polluted and not polluted in Pati and Semarang. Zinc (Zn)heavy metal at 40.11 ppm from unpolluted estuaries district of Tegal above the set threshold.
Key words: fish, ponds, esturia, contaminated heavy metals
PENDAHULUAN
Cemaran air oleh berbagai limbah B3 telah
masuk dalam aliran tambak rakyat dan secara
perlahan terkontaminasi logam berat. Dari hasil
penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan
Provinsi Jawa Tengah tahun 2004, menunjukkan
bahwa di 12 kabupaten/kota pantai utara Jawa
Tengah telah mengandung logam berat (Hg, Cd,
Co, Pb, Cr, Ni, Zn, dan As) pada air, sedimen dan
jaringan lunak kerang, kandungan logam berat
tersebut sebagian besar telah melebihi ambang
batas baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004;
Surat Keputusan Dirjen POM Nomor
3725/B/SKNTI/89; WHO dalam US FDA (1993);
maupun Ontorio Ministry of Enviroment (1998).
Penelitian Bappeda Provinsi Jawa Tengah
dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Universitas Diponegoro tentang kualitas estuaria
di Jawa Tengah tahun 2002 menunjukan 5 sungai
dan estuaria yang tercemar logam berat melebihi
ambang batas meliputi Kota Tegal (Sungai Gung
dan Sibelis), Kabupaten Pekalongan (Sungai
Pekalongan), Kota Semarang (Sungai Babon dan
Sungai Garang) dan Pati (Sungai Juwana). Bahkan
beberapa wilayah estuaria yang berdekatan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
34
dengan TPA, ikan-ikan telah tercemar lecheate
(air lindi) yang di dalamnya terkandung logam
yang sangat berbahaya. Penelitan yang sama juga
dilakukan oleh Budi Widianarko di perairan
Semarang (2003) menunjukkan bahwa kandungan
logam berat (Hg, Cd, Cu, Ph, Cr, Ni, Zn, dan As)
pada kerang-kerangan di peraian Semarang telah
melebihi ambang batas. Penelitian Siregar (2004)
di perairan Teluk Buyat, Minahasa oleh PT.
Newmont Minahasa Raya, konsentrasi tertinggi
logam berat berbahaya ditemukan di sekitar mulut
pipa tailing. Sejumlah sampel ikan telah terpapar
logam berat Hg, As, dan senyawa Sianida (CN)
yang relatif tinggi.
Pencemaran logam berat semakin
meningkat sejalan dengan proses meningkatnya
industrialisasi. Pencemaran logam berat dalam
lingkungan bisa menimbulkan bahaya kesehatan
baik pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun
lingkungan. Efek gangguan logam berat terhadap
kesehatan manusia tergantung pada bagian mana
dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh
serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari
logam berat mampu menghalangi kerja enzim
sehingga mengganggu metabolisme tubuh,
menyebabkan alergi,
Ikan merupakan organisme air yang dapat
bergerak dengan cepat. Ikan pada umumnya
mempunyai kemampuan menghindarkan diri dari
pengaruh pencemaran air. Namun demikian, pada
ikan yang hidup dalam habitat yang terbatas
(seperti sungai, danau dan teluk), ikan itu sulit
melarikan diri dari pengaruh pencemaran tersebut.
Akibatnya, unsur-unsur pencemaran itu masuk ke
dalam tubuh ikan. Terkait dengan itu, secara
umum, logam berat masuk ke dalam jaringan
tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan,
yaitu saluran pernafasan, pencernaan, dan
penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan,
logam diabsorpsi oleh darah, berikatan dengan
protein darah yang kemudian didistribusikan ke
seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang
tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan
ekskresi (ginjal) (Darmono, 2001).
Pengaruh pertama toksisitas logam adalah
pada insang. Insang selain sebagai alat pernapasan
ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur
tekanan antara air dan dalam tubuh ikan
(osmoregulasi). Jaringan tubuh organisme yang
cepat terakumulasi logam berat adalah jaringan
insang, akibatnya ikan akan mati lemas karena
terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-
gas melalui insang (Mukono, 2002).
Pengaruh toksisitas logam kedua adalah
pada alat pencernaan. Toksisitas logam dalam
saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang
terkontaminasi oleh logam. Pengaruh ketiga
logam pada ginjal ikan. Ginjal ikan ini berfungsi
untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang
biasanya tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk
bahan racun seperti logam berat. Hal ini
menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan
oleh daya toksik logam. Keempat pengaruh
tersebut semuanya menghasilkan akumulasi
logam dalam jaringan (bioakumulasi). Proses
akumulasi ini terjadi setelah absorbsi logam dari
air atau melalui pakan yang terkontaminasi.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
35
METODOLOGI
Tipe Penelitian
Penelitian Residu Logam Berat pada Ikan
di Perairan Tercemar di Jawa Tengah
menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-
eksploratif, yaitu untuk mengetahui gambaran
paparan logam berat pada air dan ikan dari
perairan yang diduga tercemar dan perairan yang
diduga tidak tercemar baik di estuaria (luar
tambak) dan dalam tambak. Penelitian eksplorasi
dilakukan dengan meneliti kandungan logam berat
pada ikan melalui analisis kandungan logam berat
di laboratorium. Eksplorasi kandungan logam
berat dilanjutkan dengan membandingkan
karateristik keberadaan logam berat pada air dan
ikan dari perairan yang diduga tercemar dan
perairan yang diduga tidak tercemar.
Perbandingan kandungan logam berat juga
dilakukan terhadap air dan ikan yang berasal dari
luar tambak dan yang berasal dari dalam tambak.
Tempat penelitian dilakukan di wilayah perairan
tercemar Kota Semarang, Kabupaten Pati dan
Kota Tegal.
Analisis kandungan logam berat pada air
dan ikan ikan meliputi logam berat Pb, Cu, Zn,
Hg, Cd, dan As. Preparasi sampel dengan
menyiapkan daging ikan sebanyak 300 gram
selanjutnya pengabuan, pemberian larutan standar
sesuai jenis logam berat yang akan dianalisa dan
terakhir pembacaan kandungan logam berat
menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectroscopy). Uji kimia kandungan logam berat
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Teknologi
Pencegahan Pencemaran Industri Semarang.
Variabel penelitian meliputi kadar logam
berat daging ikan dan kadar logam berat air dari
dalam luar tambak dan dari dalam tambak yang
diduga tercemar. Variabel yang berikutnya yaitu
sampel yang diambil dari sumber perairan yang
diduga tidak tercemar dari dalam dan luar tambak.
Sampel diambil dari 3 lokasi di perairan Kota
Semarang, Kota Tegal dan Kabupaten Pati. Dalam
satu lokasi dianalisis 12 sampel logam berat yang
berasal 1) ikan dari luar tambak yang diduga
tercemar, 2) ikan dari dalam tambak yang diduga
tercemar, 3) ikan dari luar tambak yang diduga
tidak tercemar, 4) ikan dari dalam tambak yang
diduga tidak tercemar, 5) air dari luar tambak
yang diduga tercemar, 6) air dari dalam tambak
yang diduga tercemar, 3) air dari luar tambak yang
diduga tidak tercemar, 4) air dari dalam tambak
yang diduga tidak tercemar.
Sampel ikan yang digunakan sebagai biota
indikator pada perairan tambak dan estuari
berbeda, untuk perairan tambak digunakan ikan
bandeng sedangkan pada perairan estuari jenis
ikan yang digunakan sebagai sampel adalah ikan
Mujahir dan ikan Keting.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan logam berat pada Air Tambak danAir Estuaria
Sumber pencemaran perairan pesisir dan
lautan dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelas
yaitu limbah, industri, limbah cair pemukiman
(sewage), limbah cair perkotaan (urban storm
water), pertambangan, pelayaran (shipping),
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
36
pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan
bahan pencemar utama yang terkandung dalam
buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut
berupa sedimen, unsur hara (nutrient), logam
beracun (toxic metal), pestisida, organisme
eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen
depleting substance (bahan yang menyebabkan
oksigen terlarut dalam air berkurang)
(Dahuri,1998).
Hasil analisis kandungan logam berat pada
sampel air dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan
logam berat sampel air menunjukkan bahwa
logam berat Pb, Cu, Zn, Cd, Hg dan As melebihi
ambang batas standar Meneg Lingkungan Hidup
SK Nomor 51 tahun 2004, dengan kecenderungan
lokasi tercemar (daerah yang terletak di dekat
kawasan industri), memiliki kandungan logam
berat lebih tinggi daripada lokasi tidak tercemar
(daerah yang terletak jauh dari kawasan industri),
sedangkan kandungan Zn di bawah baku mutu.
Konsentrasi Pb di daerah perairan tambak dan
estuaria yang disampel rata-rata 30x lebih besar
dibandingkan dengan konsentrasi baku mutu,
bahkan di daerah tambak yang tidak tercemar
(0,326 ppm) di daerah Pati konsentrasinya kurang
lebih 300x lebih besar dari batas konsentrasi yang
diperbolehkan menurut baku mutu Standard
Meneg LH No 51 Tahun 2004 (0,008 ppm).
Kandungan merkuri (raksa/Hg) untuk
hampir semua lokasi juga menunjukkan nilai yang
telah melebihi ambang batas baku mutu kualitas
air laut untuk budidaya perikanan, karena
konsentrasi yang diperbolehkan sesuai baku mutu
untuk Hg adalah kurang dari 0.001 mg/L (<0.001
mg/L), sedangkan kandungan Hg yang terdeteksi
pada sampel air yang diambil dari tambak dan
estuari baik yang tercemar maupun yang tidak
tercemar di daerah Pati dan Semarang berkisar
antara 0.001mg/L sampai 0.920 mg/L (terdeteksi
di daerah tambak tidak tercemar di daerah Pati).
Dari 4 lokasi tambak dan estuari (tercemar dan
tidak tercemar) di daerah Semarang dan Pati, yang
kandungan Hg-nya di bawah batas ambang hanya
satu, yang lainnya semua melebihi batas ambang
baku mutu.
Kandungan Cu yang melebihi baku mutu
0,008 ppm berkisar antara 0,010-0,032 ppm,
terdapat di tambak tidak tercemar Kabupaten Pati,
air tambak tercemar Kabupaten Pati dan air
estuaria tercemar Kabupaten Pati. Kandungan
logam berat Cd yang melebih baku mutu air laut
0,001 ppm berkisar antara 0,006-0,048 ppm.
Kandungan logam berat As yang melebih baku
mutu air laut 0,012 ppm sebesar 0,03 ppm pada air
tambak tercemar Kota Tegal.
Menurut Palar (1994) dan Sulistia (1980),
dalam keadaan normal, jumlah tembaga (Cu) yang
diperlukan untuk proses enzimatik biasanya
sangat sedikit, sedangkan pada keadaan
lingkungan yang tercemar, tingginya konsentrasi
Cu dalam tubuh dapat menghambat sistem enzim
(enzim inhibitor), kadar Cu ditemukan pada
jaringan beberapa spesies hewan air yang
mempunyai regulasi sangat buruk terhadap logam.
Pada binatang lunak (moluska) sel leukosit sangat
berperan dalam sistem translokasi dan detoksikasi
logam. Hal ini terutama ditemukan pada kerang
kecil (oyster) yang hidup dalam air yang
terkontaminasi tembaga (Cu) yang terikat oleh sel
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
37
leukosit, sehingga menyebabkan kerang tersebut
berwarna kehijau-hijauan.
Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Sampel Air Tambak dan Air Estuaria diKabupaten Pati, Kota Semarang dan Kota Tegal
Sampel LokasiTimbal
(Pb)Tembaga
(Cu)Seng(Zn)
Kadmium(Cd)
Raksa(Hg)
Arsen(As)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/lAir TambakTidak tercemar
Pati 0,326* 0,032* <0,010 0,048* 0,920* 0,007Semarang <0,030 <0,005 <0,010 0,025* 0,009* 0,005Tegal <0,03 <0,005 <0,01 0,037* <0,001 0,003
Air EstuariTidak tercemar
Pati <0,030 <0,005 0,034 <0,005 0,005* 0,006Semarang <0,030 <0,005 <0,010 <0,005 0,001 0,007Tegal <0,03 <0,005 0,017 0,011* 0,001 0,002
Air TambakTercemar
Pati <0,030 0,010* <0,010 0,006* 0,044* 0,010Semarang <0,030 <0,005 0,018 0,010* 0,085* 0,004Tegal <0,03 <0,005 <0,01 0,017* 0,002* 0,03*
Air EstuariaTercemar
Pati <0,030 0,028* 0,011 0,011* 0,018* 0,004Semarang <0,030 <0,005 <0,010 0,005* 0,016* 0,004Tegal <0,03 <0,005 0,021 0,024* <0,001 0,002
Standard Meneg LH (N0 51 th2004) 0,008 0,008 0,05 0,001 0,001 0,012
Sumber : Data primer (Uji Laboratorium, Tahun 2008)*) Melebihi batas baku mutu kualitas air laut
Apabila dilihat dari kandungan logam Pb,
Cd, Cu dan Hg-nya lokasi yang mengalami
pencemaran lebih besar dibandingkan dengan
lokasi yang lain adalah di lokasi tambak tercemar
di daerah Pati, karena ketiga jenis logam berat
tersebut kandungannya paling besar dan semua
melebihi batas ambang baku mutu yang
diperbolehkan.
Terjadinya pencemaran perairan tambak
dan estuari oleh logam berat akan mempengaruhi
juga kehidupan organisme di perairan. Salah satu
organisme yang bisa dijadikan indikator terjadinya
pencemaran adalah ikan. Jika di dalam tubuh ikan
telah terkandung kadar logam berat yang tinggi
dan melebihi batas normal yang telah ditentukan
dapat sebagai indikator terjadinya suatu
pencemaran dalam lingkungan. Kandungan logam
berat dalam ikan erat kaitannya dengan
pembuangan limbah industri di sekitar tempat
hidup ikan tersebut, seperti sungai, danau, dan
laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan
terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk
senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas
mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis dan
unsur ikan yang hidup di lingkungan tersebut.
Besarnya kandungan logam berat yang
terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang
masih layak dikonsumsi manusia ditentukan oleh
suatu standar.
Konsentrasi logam pada penelitian tersebut
menjadi indikator awal untuk lebih berhati-hati
mengkonsumsi ikan, terlebih untuk jenis-jenis
organisme yang mencari makan di dasar perairan
(udang, rajungan, dan kerang), karena konsentrasi
logam berat di dasar perairan lebih tinggi akibat
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
38
dari pengendapan (sedimentasi) logam berat.
Hasil laut jenis krustasea perlu diwaspadai
terhadap pencemaran logam berat, terlebih lagi
jenis krustasea banyak digemari sebagai salah satu
bahan yang di konsumsi oleh masyarakat.
Kandungan Logam Berat pada Ikan di
Tambak dan Estuaria
Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa logam
berat Pb, Cu, Zn, Cd, Hg, dan As semua terdeteksi
pada ikan yang disampling dari 4 lokasi (tambak
dan estuari yang tercemar dan tidak tercemar) di 3
daerah (Pati, Semarang dan Tegal). Logam berat
Zn (perairan Kota Tegal) dan Hg (perairan Kota
Semarang dan Pati) melebihi ambang batas Ditjen
POM. Kandungan Pb pada ikan di semua lokasi di
3 daerah menunjukkan konsentrasi yang
cenderung sama dengan kisaran 0,1-0,14 ppm,
sedangkan untuk tembaga (Cu) antara 0,25- 1,88
ppm. Kandungan Seng (Zn) terdeteksi paling
besar pada ikan yang diambil dari estuaria tidak
tercemar di daerah Tegal yaitu sebesar 40,11 ppm,
ikan dari lokasi yang lain menunjukkan
konsentrasi seng berkisar antara 3,70-30,15 ppm.
Kadmium dan Arsen terdeteksi sebesar <0,01 ppm
pada semua sampel ikan yang diambil dari 4
lokasi (tambak dan estuaria) di 3 daerah (Pati,
Tegal dan Semarang). Merkuri atau raksa (Hg)
terdeteksi berkisar antara <0,01 ppm sampai 0,12
ppm.
Apabila dilihat dari besarnya kandungan
logam berat, terlihat bahwa logam berat Cu dan
Zn terdeteksi lebih besar dibandingkan logam
berat yang lain (Pb, Cd, Hg dan As), hal ini dapat
disebabkan karena kedua unsur logam tersebut
merupakan logam essensial yang sangat
dibutuhkan oleh ikan untuk pengaturan
metabolisme khususnya dibandingkan logam berat
non essensial yang lain seperti Pb, Cd, Hg dan As.
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Sampel Ikan di Tambak dan Estuaria diKabupaten Pati, Kota Semarang dan Kota Tegal
Jenis sampel Lokasi Timbal(Pb)
Tembaga(Cu)
Seng(Zn)
Kadmium(Cd)
Raksa(Hg)
Arsen(As)
ppm ppm Ppm ppm ppm ppmIkan tambaktidak tercemar
Pati <0,1 0,37 6,01 <0,01 0,11* <0,01Semarang 0,11 0,32 3,97 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,14 0,60 10,22 <0,01 <0,01 <0,01
Ikan Estuariatidak tercemar
Pati <0,1 1,88 30,15 <0,01 0,08* <0,01Semarang 0,12 1,10 6,62 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,12 0,50 40,11* <0,01 <0,01 <0,01
Ikan tambaktercemar
Pati <0,1 0,32 6,05 <0,01 0,12* <0,01Semarang <0,1 0,26 3,70 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,10 0,41 5,28 <0,01 <0,01 <0,01
Ikan Estuariatercemar
Pati 0,11 1,07 17,44 <0,01 0,11* <0,01Semarang 0,10 0,52 8,37 <0,01 0,11* <0,01Tegal 0,12 0,25 6,97 <0,01 <0,01 <0,01
Standar Ditjen POM 2,0 20,0 40,0 0,01 0,03 0,1Standar UK - 33,0 0,01-0,09 - -Sumber : Data primer (Uji Laboratorium, Tahun 2008)
*) melebihi ambang batas yang diperbolehkan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
39
Logam merkuri (Hg) adalah salah satu
trace element yang mempunyai sifat cair pada
temperatur ruang dengan spesifik gravity dan daya
hantar listrik yang tinggi. Karena sifat-sifat
tersebut, merkuri banyak digunakan baik dalam
kegiatan perindustrian maupun laboratorium.
Merkuri yang terdapat dalam limbah atau waste di
perairan umumnya diubah oleh aktifitas
mikroorganisme menjadi komponen methyl
merkuri (CH3-Hg) yang memiliki sifat racun dan
daya ikat yang kuat disamping kelarutannya yang
tinggi terutama dalam tubuh hewan air. Hal
tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi
melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi
dalam jaringan tubuh hewan-hewan air, sehingga
kadar merkuri dapat mencapai level yang
berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun
kesehatan manusia, yang makan hasil tangkap
hewan-hewan air tersebut.
Kandungan logam berat pada ikan
bersumber dari makanan dan lingkungan perairan
yang sudah terkontaminasi oleh logam berat.
Kontaminasi makanan dan lingkungan perairan
tidak terlepas dari aktivitas manusia didarat
maupun pada perairan. Logam berat masuk
ketubuh ikan melalui penyerapan pada permukaan
tubuh, secara difusi dari lingkungan perairan
(Conell dan Miller, 1995). Di sisi lain sifat ikan
yang mencari makan dari fitoplankton ataupun
ikan-ikan yang kecil akan sangat mungkin
terkontaminasi logam berat dari pakan organisme
tersebut yang berupa organisme detritus yang
dimungkinkan telah mengabsorbsi logam berat
dari sedimen di tambak atau estuaria yang
merupakan habitatnya. Sifat logam berat yang
akumulatif pada suatu jaringan organisme serta
sulit terurai menyebabkan tingginya kandungan
logam-logam tersebut pada ikan yang disampling
dari berbagai lokasi di 3 daerah tersebut.
Kemampuan biota laut (ikan, udang dan
moluska) dalam mengakumulasi logam berat di
perairan tergantung pada jenis logam berat, jenis
biota, lama pemaparan serta kondisi lingkungan
seperti pH, suhu dan salinitas. Semakin besar
ukuran biota air, maka akumulasi logam berat
semakin meningkat. Toksisitas logam berat dalam
kerang yang ditimbulkan akibat akumulasi dalam
jaringan tubuh mengakibatkan keracunan dan
kematian bagi biota air yang mengkonsumsinya
(Sukiyanti, 1987).
Ikan sebagai salah satu biota air dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat
pencemaran yang terjadi di dalam perairan. Jika di
dalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam
berat yang tinggi dan melebihi batas normal yang
telah ditentukan dapat sebagai indikator terjadinya
suatu pencemaran dalam lingkungan. Menurut
Anand (1978), kandungan logam berat dalam ikan
erat kaitannya dengan pembuangan limbah
industri di sekitar tempat hidup ikan tersebut,
seperti sungai, danau, dan laut. Banyaknya logam
berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan
bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi
polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur
sedimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di
lingkungan tersebut.
Toksisitas Hg anorganik menyebabkan
penderita biasanya mengalami tremor. Jika terus
berlanjut dapat menyebabkan pengurangan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
40
pendengaran, penglihatan, atau daya ingat.
Senyawa merkuri organik yang paling populer
adalah metil merkuri yang berpotensi
menyebabkan toksisitas terhadap sistem saraf
pusat. Kejadian keracunan metil merkuri paling
besar pada makhluk hidup timbul di tahun 1950-
an di Teluk Minamata, Jepang yang terkenal
dengan nama Minamata Disease (Astawan,
2008).
Sumber pencemaran logam Pb diantaranya
berasal dari industri baterai, kabel, cat (sebagai zat
pewarna), penyepuhan, pestisida, dan yang paling
banyak digunakan sebagai zat antiletup pada
bensin. Pb juga digunakan sebagai zat penyusun
patri atau solder dan sebagai formulasi
penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk
rumah tangga mempunyai banyak kemungkinan
kontak dengan Pb (Saeni, 1997). Kerang-kerangan
(molusca) dan udang-udangan (crustacea) yang
berasal dari perairan tercemar kadar Pb lebih
tinggi dari 250 mkg/kg (Winarno dan Rahayu,
1994). Jenis bahan pangan lain yang mengandung
kontaminan timbal cukup tinggi adalah sayuran
yang ditanam di tepi jalan raya. Kandungan rata-
ratanya sebesar 28,78 ppm, jauh di atas batas
aman yang diizinkan Direktorat Jendral Pengawas
Obat dan Makanan, yaitu sebesar 2 ppm
(Winarno, 1997).
Kadar Cd yang berlebihan di dalam tubuh
yang dapat masuk melalui makanan, minuman,
dan inhalasi akan mengganggu metabolisme tubuh
dan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain
gangguan pada ginjal, hati, paru-paru, jantung
serta sistem reproduksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dosis intake Cd dan lama
paparan berpengaruh sangat nyata tergadap kadar
Cd dalam hepar, yang tercemin pada peningkatan
kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase). Semakin tinggi kadar
SGOT dan SGPT menandakan semakin
bertambahnya kerusakan pada hepar .
Kasus keracunan Cd tercatat sebagai
epidemi yang pernah menimpa sebagian penduduk
Toyama, Jepang. Penduduknya mengalami sakit
pinggang bertahun – tahun, sakit pada tulang
punggung karena terjadi pelunakan dan
kerapuhan, gagal ginjal yang berakhir pada
kematian. Kerapuhan pada tulang-tulang
penderita ini biasa disebut dengan “Itai-itai
diseases”.
Keracunan yang disebabkan oleh Cd bisa
bersifat akut dan kronis. Toksisitas kronis Cd bisa
merusak sistem fisiologis tubuh, antara lain sistem
urinaria (ginjal), sistem respirasi (paru-paru),
sistem sirkulasi (darah) dan jantung, kerusakan
sistem reproduksi, sistem syaraf, dan bahkan
dapat mengakibatan kerapuhan tulang. Penelitian
pada hewan percobaan tikus yang diberi Cd dalam
dosis 0,5 – 5 ppm BB tikus dapat mengakibatkan
nekrosis testis, menurunkan motalitas sperma,
menurunkan indeks spermatogenik, dan dapat
menyebabkan infertil permanen. Selain itu tikus
yang terpapar Cd dalam jumlah besar dapat
mengalami atropi testis, disfungsi ginjal, anemia
mikrositik hipokromik, dan menurunnya simpanan
zat besi pada tubuh tikus (Haas, 2005).
Tidak seperti logam-logam Hg, Pb, dan
Cd, logam tembaga (Cu) merupakan mikroelemen
esensial untuk semua tanaman dan hewan,
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
41
termasuk manusia. Logam Cu diperlukan oleh
berbagai sistem enzim di dalam tubuh manusia.
Oleh karena itu, Cu harus selalu ada di dalam
makanan. Yang perlu diperhatikan adalah
menjaga agar kadar Cu di dalam tubuh tidak
kekurangan dan juga tidak berlebihan. Kebutuhan
tubuh per hari akan Cu adalah 0,05 ppm berat
badan. Pada kadar tersebut tidak terjadi akumulasi
Cu pada tubuh manusia normal. Konsumsi Cu
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
gejala-gejala yang akut (Astawan, 2008).
Logam Cu yang digunakan di pabrik
biasanya berbentuk organik dan anorganik.
Logam tersebut digunakan di pabrik yang
memproduksi alat-alat listrik, gelas, dan zat warna
yang biasanya bercampur dengan logam lain
seperti alloi dengan Ag, Cd, Sn, dan Zn. Garam
Cu banyak digunakan dalam bidang pertanian,
misalnya sebagai larutan “Bordeaux” yang
mengandung 1-3% CuSO4 untuk membasmi
jamur pada sayur dan tumbuhan buah. Senyawa
CuSO4 juga sering digunakan untuk membasmi
siput sebagai inang dari parasit, cacing, dan juga
mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono,
1995). Akibat kelebihan Cu secara kronis
menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati
yang dapat menyebabkan nekrosis hati atau
serosis hati. Konsumsi sebanyak 10-15 ppm sehari
dapat menimbulkan muntah dan diare. Berbagai
tahap perdarahan indra fascular dapat terjadi,
begitupun nekrosis sel-sel hati dan gagal ginjal
(Al Matsier, 2000).
Seng (Zn) adalah suatu unsur yang penting
bagi kesehatan manusia. Bilamana orang-orang
menyerap terlalu kecil seng mereka dapat
mengalami hilangnya nafsu makan, indera rasa
dan penciuman berkurang, penyembuhan luka
lamban dan sakit kulit. Kekurangan zinc dapat
menyebabkan kelahiran cacat. Walaupun manusia
mampu menangani konsentrasi seng yang besar,
zinc terlalu banyak dapat menyebabkan
permasalahan kesehatan utama, seperti kram
perut, iritasi kulit dan kekurangan darah merah.
Tingkatan seng yang sangat tinggi dapat
merusakkan pankreas dan mengganggu
metabolisme protein dan menyebabkan
pengapuran pembuluh darah. Seng bisa berbahaya
bagi anak-anak yang belum lahir dan baru lahir,
ketika para ibu mereka sudah menyerap
konsentrasi seng yang besar, anak-anak dapat
terkena melalui darah atau susu dari ibu mereka
(Anonim, 2005).
Gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh
toksisitas arsen (As) antara lain mual, muntah,
kerongkongan terasa terbakar, sakit perut, diare
dengan kotoran air cucian beras (kadang
berdarah), mulut terasa kering dan berasa logam,
dan keluhan sulit menelan dan bahkan bisa
menimbulkan kematian. Logam berat Arsen (As)
dapat juga menimbulkan gejala autisme.
Kandungan alamiah logam berat dalam
lingkungan dapat berubah-ubah, tergantung pada
kadar pencemaran oleh ulah manusia atau
perubahan alam, seperti erosi. Kandungan logam
tersebut dapat meningkat bila limbah perkotaan,
pertambangan, pertanian, dan perindustrian yang
banyak mengandung logam berat masuk ke
lingkungan. Dari berbagai limbah tersebut,
umumnya yang paling banyak mengandung logam
berat adalah limbah industri. Hal ini disebabkan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
42
senyawa atau unsur logam berat dimanfaatkan
dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku,
katalisator, maupun sebagai bahan tambahan.
Penyebab utama logam berat menjadi bahan
pencemar berbahaya adalah karena sifatnya yang
tidak dapat dihancurkan (nondegradable) oleh
organisme hidup yang ada di lingkungan.
Akibatnya, logam-logam tersebut terakumulasi ke
lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan
membentuk senyawa kompleks bersama bahan
organik dan anorganik secara adsorbsi dan
kombinasi (Astawan, 2008).
KESIMPULAN
Pada daging ikan yang ada Tambak tidak
tercemar maupun tambak tercemar dan perairan
estuaria tidak tercemar maupun tercemar di
Kabupaten Pati dan Kota Semarang ditemukan
adanya kandungan logam berat melebihi ambang
batas SK Ditjen POM Nomor 03725/B/SK/VII/89
adalah kadar Hg berkisar antara 0,08-0,12 ppm.
Kadar Zn pada ikan melebihi ambang batas
berasal dari perairan estuaria tidak tercemar Kota
Tegal yaitu 40,11 ppm. Kadar logam berat Pb, Cu,
Cd dan As baik di tambak maupun estuaria tidak
tercemar dan tercemar masih di bawah ambang
batas yang dipersyaratkan oleh Ditjen POM.
Adanya kandungan logam berat pada ikan yang
melebihi ambang batas baik dari tambak maupun
luar tambak menjadi peringatan (warning)
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap
keamanan pangan masyarakat dari sumber ikan.
Perlunya meningkatkan kewaspadaan
terhadap keamanan pangan dari ikan yang
terkontaminasi logam berat dari perairan tercemar,
baik dari dalam tambak maupun perairan luar
tambak (estuaria) dengan cara menertibkan
industri yang membuang limbahnya ke sungai
agar menetralisir limbahnya melalui Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)
Propinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu peneliti
menyampaikan ucapan banyak terima kasih
kepada Balitbang Propinsi Jawa Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Anonim. 1989. Keputusan Direktur JenderalPengawasan Obat dan Makanan No.03725/B/ SK/ VII/89.
Anonim. 2008. Dampak Pencemaran Pantai bagiKesehatan Manusia.http://www.serasan.co.cc/
Adtjas, D. 2008. Dampak kadar kadmiumterhadap kesehatan manusia.http://polapikirmalukutenggarabarat.blogspot.com/
Anand, S.J.S., 1978, “Determination Of Mercury,Arsenic, And Cadmium In Fish By NeutronActivation”, Jounal of RadioanalyticalChemistry, 44 -101.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistim BiologiMahluk Hidup, Universitas Indonesia Pers,Jakarta.
Haas, E.M. 2005. Cadmium.http://www.healthy.net/scr/article.asp?ID=2049. 2 Desember 2006
Hutagalung, H.B. 1991. Pencemaran laut olehlogam berat. Status pencemaran laut diIndonesia dan teknik pemantauannya.Puslitbang Oseanologi (LIPI), Jakarta.Hlm 45 – 59.
Klaassen, C.D., M.O.Amdur, J.Doull. 1986.Toxicology The Basic Science of Poisons.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
43
New York: Macmillan PublishingCompany
Made Astawan. 2008. Pencemaran Logam Beratjuga bisa terdapat dalam Makanan.http://www.kompas.com
Mulyaningsih, T.R. 1998. Penentuan tingkatpencemaran logam berat Pb, Cd dan Hgpada hasil laut dan konsumennya. Tesis,Program Pascasarjana, IPB, Bogor. 195hlm.
Palar, H. 1994. Pencernaan danToksikologiLogam Berat, PT Rineka CiptaJakarta.
Sanusi, H. S. 1980. Sifat-sifat Logam BeratMerkuri Di Lingkungan Perairan Tropis.Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya DanLingkungan, Fakultas Perikanan IPB,Bogor. 19 p
Sibbald, B. 2002. “Arsenic Poisoning Rampant inBangladesh”. Canadian MedicalAssosiation. Journal; Jun 11, 2002; 166,12; ProQuest Psychology Journals Page1578
Tiruppathi, C. 2008. Heavy Metal Toxicity.
Widowati, W; Sastiono, A; Yusuf, R. 2008. EfekToksik Logam: Pencegahan danPenanggulangan Pencemaran. PenerbitAndi. Yogyakarta
Winarno, F.G. 1997. Kimia pangan dan gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
44
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
45
KADAR PROTEIN DAN SIFAT ORGANOLEPTIK NUGGET RAJUNGANDENGAN SUBSTITUSI IKAN LELE (Clarias gariepinus)
(Protein Levels and Organoleptic Crab Nugget with Substitution Catfish (Clariasgariepinus))
Anas Ubadillah dan Wikanastri Hersoelistyorini
Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]
ABSTRACT
Crab meat (Second-grade) is a sort of meat produced by crab processing industry which has exportquality. Crab meat (second-grade) used to a product which has value added but has not been optimal. Oneof effort to develop this product is substitute the crab meat with catfish meat into crab nugget product.Catfish is one source of animal protein which is cheaper but it has high nutrient. So the substitution isexpected to be an affordable price of processed product. The research object is a product with a substitutioncrab nugget into catfish meat (Clarias gariepinus). The independent variables in this research werevariations of substitution and dependent variable is the proportion of protein and flavor in crab nuggetproduct. Chemical analysis is carried out quantitative analysis of protein and flavor. The design usedcompletely randomized design in three replication. The results showed that there are effects of substitutioncatfish meat and crab meat on protein crab nugget product. While flavor of aroma, flavor and texture exceptcolor there are not effect on protein crab nugget product. The highest protein of crab nugget product isproduct with substitution L0: R100 is 10.06% while product with substitution L95: R5 has little proteinabout 8.15%. The result showed that favorite flavor of crab nugget product is a product which hassubstitution L65: R35 about 2.95 and substitution of product with L0: R100 has the smallest value about2.56.
Key words: crab nugget, protein, substitution catfish.
PENDAHULUAN
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan
salah satu jenis kepiting dari suku Portunidae
yang mempunyai potensi besar menjadi komoditas
ekspor perikanan, dimana ekspor rajungan secara
kuantitas maupun nilai jualnya terus mengalami
peningkatan (Dirjen Perikanan, 2003).
Produk utama ekspor rajungan adalah
daging rajungan pasteurisasi (pasteurize crab
meat). Produk ini memerlukan bahan baku daging
rajungan yang berkualitas tinggi (excellent),
sehingga dalam proses produksi juga dihasilkan
daging rajungan kualitas kedua (second grade).
Saat ini daging rajungan kualitas kedua hanya
dijual dalam bentuk produk rajungan sterilisasi
dan hanya dipasarkan di dalam negeri. Walaupun
demikian produk rajungan sterilisasi ini masih
memiliki nilai jual yang cukup tinggi, sehingga
kurang terjangkau oleh masyarakat pada
umumnya.
Produk rajungan kualitas kedua masih
berpotensi untuk dikembangkan melalui
pengolahan menjadi produk pangan yang menarik
, memiliki nilai gizi yang tinggi, dan ekonomis
harganya. Salah satu upaya pengembangan yang
perlu dicoba adalah mensubstitusi daging rajungan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
46
dengan daging ikan lele menjadi produk naget
rajungan.
Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan
salah satu komoditas perikanan yang cukup
populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari benua
Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia
pada tahun 1984. Lele dumbo termasuk ikan yang
paling mudah diterima masyarakat karena
berbagai kelebihannya. Kelebihan tersebut
diantaranya adalah pertumbuhannya cepat,
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan
kandungan gizinya cukup tinggi serta harganya
murah. Komposisi gizi ikan lele meliputi
kandungan protein (17,7 %), lemak (4,8 %),
mineral (1,2 %), dan air (76 %) (Astawan, 2008).
Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan
produk hewani lainnya adalah kaya akan leusin
dan lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam
amino esensial yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan anak-anak dan menjaga
keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna
untuk perombakan dan pembentukan protein otot.
Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam
amino esensial yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin
termasuk asam amino yang sangat penting dan
dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak (Zaki, 2009).
Alasan pengolahan produk naget rajungan
dengan substitusi ikan lele adalah harga produk
naget rajungan kurang terjangkau dan hanya
dipasarkan melalui swalayan atau supermarket.
Berdasarkan permasalahan tersebut, diharapkan
dari substitusi daging rajungan kualitas kedua
(second grade) dan daging ikan lele dapat
dihasilkan produk naget rajungan substitusi yang
bergizi tinggi dan ekonomis, sehingga harga
produk olahan tersebut menjadi terjangkau.
METODOLOGI
Rancangan percobaan pada penelitian ini
adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal
dengan jumlah perlakuan sebanyak tujuh
perlakuan. Masing masing percobaan dilakukan
ulangan sebanyak 3 kali, sehingga akan diperoleh
satuan percobaan sebanyak 21 buah. Variasi
substitusi ikan lele yang digunakan tersaji pada
Tabel 1.
Tabel 1. Variasi Substitusi Ikan LeleSubstitusi
daging ikanlele
Pengulangan1 2 3
L0 : R100 U1 U2 U3L20 : R80 U1 U2 U3L30 : R65 U1 U2 U3L50 : R50 U1 U2 U3L65 : R35 U1 U2 U3L80 : R20 U1 U2 U3L95 : R5 U1 U2 U3
Keterangan:
L : daging leleR : daging rajunganU : ulangan0 - 100 : angka prosentase substitusi
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi: daging
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang
berumur sekitar 3 bulan dari peternak ikan di
Desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak, daging rajungan second grade
dari PT. Windika Utama Semarang, tepung
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
47
maizena, tepung terigu, tepung roti, bawang putih,
bawang bombay, gula, garam, dan bahan pencelup
(telur), selenium, H2SO4 pekat, aquades, NaOH
40%, HCl 0,02 N, asam borat, indikator pp dan
BTB.
Alat yang digunakan : seperangkat alat
dapur untuk memasak naget rajungan, pemanas
Kjeldahl lengkap, labu Kjeldahl, alat destilasi
lengkap, alat titrasi lengkap, formulir uji
organoleptik, piring kecil dan gelas.
Prosedur Penelitian
Variasi yang digunakan dalam formulasi
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
dalam pembuatan produk naget rajungan adalah
L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35, L80:R20,
L95:R5 dan satu perlakuan tanpa substitusi daging
ikan lele (kontrol 0%). Setelah proses pembuatan
produk naget rajungan selesai maka dilanjutkan
dengan pengujian kadar protein dan sifat
organoleptik.
Pembuatan produk naget rajungan
Tahap-tahap pembuatan produk naget
rajungan dengan substitusi daging ikan lele adalah
sebagai berikut:
1. Persiapan bahan : daging ikan lele dipisahkan
dari duri, kotoran, dan bagian kepala ikan
sehingga didapat daging ikan lele utuh
kemudian dicuci bersih. Daging rajungan dan
capit rajungan (sebagai tangkai pegangan pada
produk nugget) dicuci sampai bersih.
2. Pencampuran bahan yang terdiri dari daging
ikan lele, daging rajungan, es, garam, dan
fosfat dalam food processor berkecepatan
tinggi. Kemudian ditambahkan tepung
maizena, tepung terigu, bawang putih, bawang
bombay, garam, lada dan penyedap rasa dan
diaduk rata dengan ditambah irisan seledri,
pengadukan dilanjutkan hingga adonan kalis.
3. Adonan dibentuk menyerupai drum stick
seberat + 50 gr dengan memanfaatkan capit
rajungan sebagai sticknya. Kemudian adonan
dicelupkan ke dalam telur dan digulingkan ke
dalam tepung roti, digoreng dalam minyak
panas hingga matang, diangkat, dan ditiriskan.
Prosedur Uji Kadar Protein Metode Mikro
Kjedahl (Sudarmadji, 2003)
1. Destruksi
Sampel ditimbang 0,05 gr, kemudian masukkan
ke dalam labu destruksi yang bersih dan kering,
ditambahkan katalisator Silenium 0,5 gr
ditambah 2 ml H2SO4 pekat kemudian
dipanaskan dalam ruangan asam dengan
kemiringan 45 oC sampai warna jernih (tidak
ada karbon) lalu didinginkan.
2. Destilasi
Hasil destruksi ditambah dengan aquades
sedikit demi sedikit sambil dimasukkan
kedalam labu destilasi, penambahan aquades +
½ labu destilat. Selanjutnya ditambahkan 10 ml
NaOH 40% dan indicator pp 3 tetes, kemudian
ditutup dan dipanaskan. Hasil sulingan
ditampung dalam erlenmeyer yang berisi asam
borat yang ditambahkan indicator BTB (warna
kuning). Destilasi dihentikan setelah berubah
menjadi warna hijau dengan volume + 15 ml,
sebelumnya cairan yang keluar dari ujung
destilator dites dengan kertas saring yang telah
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
48
ditetesi indicator pp, kemudian tetesi dengan
cairan yang keluar dari ujung destilator.
Apabila kertas saring tidak berubah warna,
maka destilasi dihentikan. Cairan yang keluar
tersebut menunjukkan pH netral, maka destilasi
telah selesai.
3. Titrasi
Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,02 N dan
titik akhir titrasi ditandai dengan destilat
berubah warna kuning. Blanko juga dikerjakan
dengan cara yang sama.
Perhitungan :
Kadar N (%) =
samplemg
100 x14,007 xHClN xBlanko)ml-BahanHCl(ml
Kadar Protein = Kadar N X F
Keterangan : F = Faktor konversi protein
(6,25)
Penilaian Sifat Organoleptik Nugget (Soekarto,
1990)
Penilaian organoleptik merupakan cara
penilaian terhadap mutu atau sifat suatu komoditi
dengan menggunakan formulir uji organoleptik
sebagai instrument atau alat. Dalam penelitian ini
dilakukan uji kesukaan yang berfungsi untuk
mengetahui kesukaan suatu produk. Pada uji
scoring diberikan penilaian terhadap mutu
sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuannya
adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu
terhadap suatu karakteristik (Rahayu, 1998).
Panelis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah panelis agak terlatih yang terdiri dari
sekelompok mahasiswa S1 Teknologi Pangan
Universitas Muhammadiyah Semarang sebanyak
15 orang. Produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele tersebut akan diujikan dengan
memberi kode, kemudian panelis diminta
memberi penilaian yang meliputi warna, aroma,
rasa, dan tekstur dengan kriteria nilai sebagai
berikut :
4 = sangat suka 3 = suka 2 = tidak
suka 1 = sangat tidak suka
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein Bahan Baku
Analisa bahan baku yang dilakukan pada
daging ikan lele dan daging rajungan, meliputi
kadar protein. Hasil analisa uji kadar protein
daging ikan lele dan daging rajungan secara
kuantitatif tersaji pada Tabel 2. Walaupun daging
rajungan merupakan daging second grade dari
industri pengolahan rajungan bukan berarti nilai
gizi dalam daging rajungan juga ikut rusak. Hal
ini dikarenakan daging rajungan yang masuk
dalam suatu industri pengolahan rajungan yang
berkualitas ekspor sudah teruji, baik dari kondisi
fisik (bentuk, ukuran, warna, aroma, tekstur, dan
rasa) maupun kandungan gizi rajungan.
Daging second grade merupakan daging
sortiran yang tidak sesuai dengan bentuk yang
diinginkan untuk produk dalam suatu industri,
misal daging kurang tebal, daging terkelupas dan
sebagainya. Sedangkan kualitas protein daging
ikan lele dari peternak ikan dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah pakan ikan,
habitat ikan dan sebagainya.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
49
Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku
Bahan Baku
% KadarProteinHasilPenelitian
% KadarProteinBedasarLiteratur*
Ikan Lele 15,74% 17,70%
Rajungan 17,05% 16,85%
*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)
Kadar Protein Naget Rajungan
Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan dalam
pembuatan produk naget rajungan, variasi
substitusi yang digunakan adalah lele (L) :
rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,
L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar
protein dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa
kadar protein naget rajungan dengan substitusi
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
1.
Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.
Gambar 1, menunjukan bahwa produk
yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi
yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan
lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-
rata kadar protein terendah yaitu pada produk
dengan substitusi daging ikan lele dan daging
rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini
terjadi karena daging rajungan memiliki kadar
protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan
lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari
bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak
daging rajungan yang digunakan akan samakin
banyak protein yang terkandung dalam produk
dan begitu juga rata-rata kadar protein pada
produk semakin sedikit karena penggunaan daging
rajungan yang semakin sedikit pula.
Hasil uji kenormalan didapatkan data
normal pada kadar protein dan selanjutnya data
dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan
menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil
bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan terhadap
kadar protein produk naget rajungan. Kemudian
data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut
anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD
diketahui ada perbedaan kadar protein pada
substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,
L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.
Badan Standarisasi Nasional menetapkan
standar minimal kadar protein untuk produk
nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan
substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar
8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan
substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional.
Terjadinya penurunan kadar protein pada
naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
49
Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku
Bahan Baku
% KadarProteinHasilPenelitian
% KadarProteinBedasarLiteratur*
Ikan Lele 15,74% 17,70%
Rajungan 17,05% 16,85%
*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)
Kadar Protein Naget Rajungan
Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan dalam
pembuatan produk naget rajungan, variasi
substitusi yang digunakan adalah lele (L) :
rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,
L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar
protein dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa
kadar protein naget rajungan dengan substitusi
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
1.
Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.
Gambar 1, menunjukan bahwa produk
yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi
yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan
lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-
rata kadar protein terendah yaitu pada produk
dengan substitusi daging ikan lele dan daging
rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini
terjadi karena daging rajungan memiliki kadar
protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan
lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari
bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak
daging rajungan yang digunakan akan samakin
banyak protein yang terkandung dalam produk
dan begitu juga rata-rata kadar protein pada
produk semakin sedikit karena penggunaan daging
rajungan yang semakin sedikit pula.
Hasil uji kenormalan didapatkan data
normal pada kadar protein dan selanjutnya data
dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan
menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil
bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan terhadap
kadar protein produk naget rajungan. Kemudian
data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut
anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD
diketahui ada perbedaan kadar protein pada
substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,
L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.
Badan Standarisasi Nasional menetapkan
standar minimal kadar protein untuk produk
nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan
substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar
8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan
substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional.
Terjadinya penurunan kadar protein pada
naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
49
Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku
Bahan Baku
% KadarProteinHasilPenelitian
% KadarProteinBedasarLiteratur*
Ikan Lele 15,74% 17,70%
Rajungan 17,05% 16,85%
*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)
Kadar Protein Naget Rajungan
Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan dalam
pembuatan produk naget rajungan, variasi
substitusi yang digunakan adalah lele (L) :
rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,
L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar
protein dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa
kadar protein naget rajungan dengan substitusi
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
1.
Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.
Gambar 1, menunjukan bahwa produk
yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi
yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan
lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-
rata kadar protein terendah yaitu pada produk
dengan substitusi daging ikan lele dan daging
rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini
terjadi karena daging rajungan memiliki kadar
protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan
lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari
bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak
daging rajungan yang digunakan akan samakin
banyak protein yang terkandung dalam produk
dan begitu juga rata-rata kadar protein pada
produk semakin sedikit karena penggunaan daging
rajungan yang semakin sedikit pula.
Hasil uji kenormalan didapatkan data
normal pada kadar protein dan selanjutnya data
dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan
menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil
bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan terhadap
kadar protein produk naget rajungan. Kemudian
data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut
anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD
diketahui ada perbedaan kadar protein pada
substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,
L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.
Badan Standarisasi Nasional menetapkan
standar minimal kadar protein untuk produk
nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan
substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar
8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan
substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional.
Terjadinya penurunan kadar protein pada
naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
50
proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan
dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi
yang terkandung dalam suatu bahan pangan
karena dalam pengolahan yang melibatkan
pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein
akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non
enzimatis). Reaksi Maillard merupakan
pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan
atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan
oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-
glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus
amino bebas dari suatu asam amino yang
merupakan bagian dari suatu rantai protein.
Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh
suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard
termasuk dalam kelompok senyawa amin
heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa
toksik imodazaquinolin (IQ) dan
imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).
Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan menggunakan
uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang
di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap
warna, aroma, rasa, dan tekstur.
Warna
Warna pada produk naget rajungan lebih
cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini
dikarenakan proses pengolahan dengan
penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi
Maillard yang menghasilkan warna coklat karena
panas. Penggorengan yang terlalu lama akan
menjadikan warna naget menjadi kehitaman
sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis
terhadap warna produk naget rajungan dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Warna naget rajungan
Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui
bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah
pada subtitusi daging ikan lele dan daging
rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33
sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35
dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi
L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai
dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka
produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk
dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,
dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji
kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.
Hasil uji friedman diperoleh nilai p value
0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan terhadap warna naget
rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna
pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut
dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji
wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi
L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
50
proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan
dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi
yang terkandung dalam suatu bahan pangan
karena dalam pengolahan yang melibatkan
pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein
akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non
enzimatis). Reaksi Maillard merupakan
pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan
atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan
oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-
glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus
amino bebas dari suatu asam amino yang
merupakan bagian dari suatu rantai protein.
Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh
suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard
termasuk dalam kelompok senyawa amin
heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa
toksik imodazaquinolin (IQ) dan
imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).
Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan menggunakan
uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang
di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap
warna, aroma, rasa, dan tekstur.
Warna
Warna pada produk naget rajungan lebih
cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini
dikarenakan proses pengolahan dengan
penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi
Maillard yang menghasilkan warna coklat karena
panas. Penggorengan yang terlalu lama akan
menjadikan warna naget menjadi kehitaman
sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis
terhadap warna produk naget rajungan dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Warna naget rajungan
Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui
bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah
pada subtitusi daging ikan lele dan daging
rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33
sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35
dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi
L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai
dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka
produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk
dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,
dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji
kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.
Hasil uji friedman diperoleh nilai p value
0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan terhadap warna naget
rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna
pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut
dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji
wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi
L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
50
proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan
dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi
yang terkandung dalam suatu bahan pangan
karena dalam pengolahan yang melibatkan
pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein
akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non
enzimatis). Reaksi Maillard merupakan
pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan
atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan
oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-
glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus
amino bebas dari suatu asam amino yang
merupakan bagian dari suatu rantai protein.
Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh
suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard
termasuk dalam kelompok senyawa amin
heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa
toksik imodazaquinolin (IQ) dan
imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).
Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan menggunakan
uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang
di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap
warna, aroma, rasa, dan tekstur.
Warna
Warna pada produk naget rajungan lebih
cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini
dikarenakan proses pengolahan dengan
penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi
Maillard yang menghasilkan warna coklat karena
panas. Penggorengan yang terlalu lama akan
menjadikan warna naget menjadi kehitaman
sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis
terhadap warna produk naget rajungan dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Warna naget rajungan
Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui
bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah
pada subtitusi daging ikan lele dan daging
rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33
sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35
dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi
L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai
dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka
produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk
dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,
dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji
kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.
Hasil uji friedman diperoleh nilai p value
0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan terhadap warna naget
rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna
pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut
dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji
wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi
L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
51
L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin
disebabkan oleh warna dari bahan baku daging
rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.
Daging ikan lele setelah digiling berwarna
kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah
digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam
pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna
dari produk yang dihasilkan.
Aroma
Aroma yang timbul dalam proses
penggorengan, sebagian merupakan aroma dari
senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil
sehingga ikut menguap bersama air bebas yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Bahan makanan mengandung karbohidrat
dan protein akan mengalami pencoklatan non-
enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan
(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau
enak maupun tidak enak. Bau tidak enak
dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,
dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan
yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan
rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari
asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan
atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).
Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau
tidak suka terhadap naget rajungan.
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
3.
Gambar 3. Aroma naget rajungan
Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma
yang banyak disukai panelis adalah pada
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang
disukai panelis adalah pada produk dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L95:R5 dengan rata-rata 2,67.
Hasil uji statistik friedman diperoleh p
value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan
kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat
organoleptik aroma yang hampir sama karena
merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis
banyak yang berpendapat bahwa aroma produk
rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang
dilakukan.
Rasa
Pengolahan penggorengan selain
menghasilkan warna dan aroma, juga
menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek
samping dari reaksi kimia dalam proses
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
51
L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin
disebabkan oleh warna dari bahan baku daging
rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.
Daging ikan lele setelah digiling berwarna
kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah
digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam
pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna
dari produk yang dihasilkan.
Aroma
Aroma yang timbul dalam proses
penggorengan, sebagian merupakan aroma dari
senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil
sehingga ikut menguap bersama air bebas yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Bahan makanan mengandung karbohidrat
dan protein akan mengalami pencoklatan non-
enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan
(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau
enak maupun tidak enak. Bau tidak enak
dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,
dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan
yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan
rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari
asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan
atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).
Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau
tidak suka terhadap naget rajungan.
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
3.
Gambar 3. Aroma naget rajungan
Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma
yang banyak disukai panelis adalah pada
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang
disukai panelis adalah pada produk dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L95:R5 dengan rata-rata 2,67.
Hasil uji statistik friedman diperoleh p
value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan
kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat
organoleptik aroma yang hampir sama karena
merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis
banyak yang berpendapat bahwa aroma produk
rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang
dilakukan.
Rasa
Pengolahan penggorengan selain
menghasilkan warna dan aroma, juga
menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek
samping dari reaksi kimia dalam proses
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
51
L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin
disebabkan oleh warna dari bahan baku daging
rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.
Daging ikan lele setelah digiling berwarna
kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah
digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam
pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna
dari produk yang dihasilkan.
Aroma
Aroma yang timbul dalam proses
penggorengan, sebagian merupakan aroma dari
senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil
sehingga ikut menguap bersama air bebas yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Bahan makanan mengandung karbohidrat
dan protein akan mengalami pencoklatan non-
enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan
(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau
enak maupun tidak enak. Bau tidak enak
dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,
dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan
yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan
rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari
asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan
atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).
Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau
tidak suka terhadap naget rajungan.
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
3.
Gambar 3. Aroma naget rajungan
Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma
yang banyak disukai panelis adalah pada
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang
disukai panelis adalah pada produk dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
L95:R5 dengan rata-rata 2,67.
Hasil uji statistik friedman diperoleh p
value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma
produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan
kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat
organoleptik aroma yang hampir sama karena
merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis
banyak yang berpendapat bahwa aroma produk
rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang
dilakukan.
Rasa
Pengolahan penggorengan selain
menghasilkan warna dan aroma, juga
menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek
samping dari reaksi kimia dalam proses
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
52
penggorengan. Produk naget rajungan memiliki
rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan
memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan
sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada
saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget
rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada
substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata
yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak
disukai pada substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan adalah pada variasi substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20
dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak
suka terhadap rasa produk dengan variasi
substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji
kesukaan dibawah 2,5.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 4.
Gambar 4. Rasa naget rajungan
Hasil uji statistik friedman di peroleh p
value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk
naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada
rasa juga disebabkan karena bahan baku yang
digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan
rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan
yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir
sama.
Tekstur
Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002
adalah kompak dan padat, begitu juga naget
rajungan memiliki tekstur yang kompak dan
padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan
konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa
suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas
bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya
rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air
liur, semakin kental suatu bahan penerimaan
terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin
berkurang.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
tekstur produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 5.
Gambar 5. Tekstur naget rajungan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
52
penggorengan. Produk naget rajungan memiliki
rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan
memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan
sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada
saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget
rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada
substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata
yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak
disukai pada substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan adalah pada variasi substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20
dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak
suka terhadap rasa produk dengan variasi
substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji
kesukaan dibawah 2,5.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 4.
Gambar 4. Rasa naget rajungan
Hasil uji statistik friedman di peroleh p
value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk
naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada
rasa juga disebabkan karena bahan baku yang
digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan
rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan
yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir
sama.
Tekstur
Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002
adalah kompak dan padat, begitu juga naget
rajungan memiliki tekstur yang kompak dan
padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan
konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa
suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas
bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya
rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air
liur, semakin kental suatu bahan penerimaan
terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin
berkurang.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
tekstur produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 5.
Gambar 5. Tekstur naget rajungan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
52
penggorengan. Produk naget rajungan memiliki
rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan
memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan
sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada
saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget
rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada
substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata
yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak
disukai pada substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan adalah pada variasi substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20
dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak
suka terhadap rasa produk dengan variasi
substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji
kesukaan dibawah 2,5.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 4.
Gambar 4. Rasa naget rajungan
Hasil uji statistik friedman di peroleh p
value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk
naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada
rasa juga disebabkan karena bahan baku yang
digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan
rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan
yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir
sama.
Tekstur
Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002
adalah kompak dan padat, begitu juga naget
rajungan memiliki tekstur yang kompak dan
padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan
konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa
suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas
bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya
rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air
liur, semakin kental suatu bahan penerimaan
terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin
berkurang.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap
tekstur produk naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada
Gambar 5.
Gambar 5. Tekstur naget rajungan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
53
Hasil uji statistik friedman di peroleh p-
value > 0,05 yaitu 0,319 menunjukkan tidak ada
pengaruh pada tekstur produk naget rajungan
dengan substitusi daging ikan lele dan daging
rajungan. Hal ini disebabkan tekstur dari bahan
baku sendiri yang bisa dikatakan memiliki tekstur
yang sama, karena merupakan sumberdaya hasil
perairan. Sehingga nilai uji kesukaan daya terima
dari panelis memiliki rata-rata di atas 2,5-3 yang
artinya hampir semua panelis suka terhadap
semua variasi substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan.
KESIMPULAN
Daging rajungan yang digunakan memiliki
kadar protein sebesar 17,05% dan kadar protein
ikan lele yang digunakan untuk substitusi sebesar
15,74%. Sehingga produk nugget yang
menggunakan daging rajungan mengandung kadar
protein yang lebih tinggi dibandingkan produk
yang menggunakan daging ikan lele lebih banyak.
Hasil statistik menunjukan ada pengaruh substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan terhadap
kadar protein produk naget rajungan.
Produk nuget dengan substitusi ikan lele
0% dan rajungan 100% memiliki kandungan
protein paling tinggi sebesar 10,06%, tetapi dalam
tingkat kesukaan panelis memiliki nilai rata-rata
paling rendah sebesar 2,56; sedangkan produk
nuget dengan kadar protein terendah terdapat pada
produk dengan substitusi ikan lele 95% dan
rajungan 5% yaitu sebesar 8,15% dengan tingkat
kesukaan panelis sebesar 2,74.
Pembuatan produk naget rajungan tidak
sebatas pada substitusi daging ikan lele saja, tetapi
produk tersebut dapat pula diolah dengan
mensubstitusi hasil sumberdaya perairan yang lain
seperti ikan mas, belut, ikan pindang, ikan jui,
atau ikan lain yang memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi tetapi memiliki nilai jual yang
ekonomis. Sehingga perlu pengkajian lebih lanjut
untuk dapat mengangkat hasil sumber daya
perairan menjadi suatu produk yang memiliki
nilai jual yang baik dan diharapkan mampu
meningkatkan kekhasanahan pangan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2008. Lele bantu pertumbuhan janin.http://wilystra2007.multiply.com/journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin (13September 2008)
Badan Standarisasi Nasional. 2002. Naget Ayam(Chicken Nugget). SNI 01-6683-2002.
BBPMHP. 1995. Laporan PengembanganPengolahan Kepiting Bakau dan Rajungan.Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2003. “StatistikEkspor Hasil Perikanan” DepartemenKelautan dan Perikanan: Jakarta.
PT. Windika Utama. 2002. “Petunjuk TeknisStandart Mutu Bahan Baku Rajungan”Departemen Quality Control: Semarang
Rahayu, WP. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi, Fakultas Teknologi panganIPB: Bogor.
Ridwan, M. 2008. Sifat-sifat OrganoleptikPengolahan produk. Universitas NegeriBangka Blitung (UBB): Bangka Blitung.
Soekarto, T. Soewarno. 1990. PenilaianOrganoleptik. Bhatara Karya Aksara:Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
54
Sudarmadji,S, B. Haryono dan Suhardi. 2003.Analisa Bahan Makanan Pertanian.Liberty:Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1997. Pangan Gizi Teknologi dankonsumen. PT . Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Zaki. 2009. Budi Daya Ikan Lele ( Clariasbatrachus ).http://wilystra2008.biologi.com/journal/item/54/Budi_Daya_Ikan_Lele(Clariasbatrachus).(September 2008)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
55
PENGARUH PENAMBAHAN BEKATUL TERHADAP KADAR PROTEIN DANSIFAT ORGANOLEPTIK BISKUIT
(The Influence of Addition of Rice Bran to Protein Consentration and OrganolepticCharacteristic)
Mita Wulandari dan Erma Handarsari1) Program Studi D III Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah SemarangPenulis korespodensi, email: [email protected]
Rice bran for people deemed to have low social value and is only used as animal feed ingredients.Rice bran contains high protein, can be used as food that is safe and cheap. Use of rice bran to increase thequality or value-added of the biscuit. General aim of this study to determine the effect of adding rice bran toprotein content and organoleptic characteristic. Protein analysis by the method mikrokjeldhal. Results ofanalysis of protein content in rice bran biscuit with the addition of 0% (9.34 g%), 5% (10.06 g%), 10%(10.74 g%), 15% (11.6 gr%) and 20 % (13.66 g%). statistical test results show that there are differences inlevels of protein biscuits in a variety of additional rice brand. Favorite level of texture, color, aroma, andtaste showed that the highest value on the addition of bran 0% and 5%.
Key Words : rice brand, biscuit, protein, organoleptic
PENDAHULUAN
Bekatul dinilai sebagai bahan kurang
bermanfaat karena bekatul merupakan limbah
dalam proses pengolahan gabah menjadi beras.
Sisa dari penumbukkan atau penggilingan padi
ini dinamakan bekatul. Sejak dulu bekatul hanya
dikenal masyarakat sebagai bahan pakan ternak
dengan mutu yang rendah. Untuk lebih
meningkatkan manfaat bekatul yang jumlahnya
berlimpah di masyarakat, memiliki daya jual
murah atau nilai ekonomis yang rendah, maka
bekatul dapat digunakan sebagai bahan makanan
campuran pada produk makanan.
Kandungan zat gizi yang dimiliki bekatul
yaitu protein 13,11 – 17,19 persen, lemak 2,52 –
5,05 persen, karbohidrat 67,58 – 72,74 persen,
dan serat kasar 370,91 -387,3 kalori serta kaya
akan vitamin B, terutama vitamin B1 (thiamin).
Berdasarkan sumbernya, protein yang terdapat
dalam bekatul dapat dimanfaatkan untuk dibuat
suatu produk yang dimungkinkan dapat
mengatasi masalah kurang gizi. Selain memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi bekatul
juga tergolong sebagai bahan makanan yang
aman untuk dikonsumsi.
Proses penambahan bekatul pada
pembuatan produk bertujuan untuk
meningkatkan kandungan gizi terutama protein
pada produk tersebut, sehingga dapat
memberikan nilai tambah tersendiri bagi
bekatul. Kelebihan dari penambahan bekatul ini
bisa meningkatkan kualitas dari suatu produk,
karena bekatul memiliki kandungan lysine yang
cukup tinggi. Dalam proses pembuatan produk
yang memiliki kandungan gizi yang rendah,
karena adanya asam amino pembatas lysine,
maka penambahan bekatul dapat meningkatkan
nilai gizi dari produk tersebut.
Melihat hal-hal di atas kiranya dapat
dibuat sebuah produk yang praktis, mudah
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
56
dikonsumsi dan banyak diminati dalam bentuk
biskuit yang berasal dari proses penambahan
bekatul yang dicampur dengan tepung terigu,
telur, margarine, dan susu.
Biskuit adalah jenis kue kering yang
mempunyai rasa manis, berbentuk kecil dan
diperoleh dari proses pengovenan dengan bahan
dasar tepung terigu, margarine, gula halus dan
kuning telur. Tujuan dari penelitian ini adalah
menciptakan biskuit dengan subsitusi bekatul ,
menganalisis pengaruh penambahan bekatul
terhadap kadar protein dan sifat organoleptik
biscuit.
METODOLOGI
Tempat penelitian
Tempat pembuatan biscuit, analisa kadar
dan uji organoleptik dilakukan di laboratorium
teknologi pangan D III Gizi Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pembuatan
biskuit adalah tepung terigu ( merk roda biru),
bekatul dengan jenis IR 64, margarine ( merk
blue band), susu bubuk ( merk dancow), gula
halus, kuning telur. Sedangkan alat yang
digunakan adalah baskom, ralling, mixer, oven,
cetakan dan spatula.
Bahan yang digunakan untuk analisa kadar
protein adalah H2SO4 pekat, HgO, K2SO4,
NaOH 40%, asam borat 2%, indikator BCG,HCI
0,02 N, dan Indikator PP. Sedangkan alat yang
digunakan adalah labu destruksi, labu destilasi,
Buret + penjepit, Erlenmeyer, Gelas ukur, Pipet
volum, Bekker glass, statif, Corong, pemanas,
Selang + Alongan dan Pipet tetes.
Bahan yang digunakan untuk uji
organoleptik adalah biskuit bekatul. Sedangkan
alat yang digunakan adalah piring penghidang,
gelas, dan formulir uji organoleptik.
Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan ini membuat
biskuit dengan berbagai variasi penambahan
bekatul, yang bertujuan untuk memanfaatkan
bekatul yang semula hanya sebagai limbah,
kemudian dibuat menjadi biskuit . Dalam
pembuatan biskuit bahan yang digunakan terdiri
tepung terigu sebagai bahan dasar dan bekatul
diteliti terlebih dahulu kandungan proteinnya
dengan mikrokjedahl didapatkan 14,34 gr%,
sedangkan kandungan protein tepung terigu 8,9
gr%. Dalam uji coba pembuatan biskuit bekatul
menggunakan 25% bekatul dari total tepung
100 gr yang menghasilkan biskuit dengan cita
rasa pahit, aroma khas biskuit, tekstur padat,
warna coklat kekuningan. Sehingga untuk
mengurangi ini biskuit dibuat dengan
menurunkan konsentrasi bekatul dari 25%
menjadi 20%. Karena batas daya terima
konsumsi biskuit bekatul hanya dengan
penambahan bekatul 20%, maka variasi
penambahan bekatul dibuat dengan konsentrasi
0 %, 5 %, 10 %, 20 % dari total tepung 100 gr.
Prosedur Pembuatan Biskuit
Margarine, susu bubuk, gula halus
dicampur dan diaduk dengan menggunakan
mixer dalam waktu lima menit. Kuning telur
dimasukkan dan diaduk dengan mixer dengan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
57
waktu sepuluh menit. Setelah semua bahan
tercampur tepung terigu dan bekatul
dimasukkan kedalam adonan tadi dan dicampur
sampai homogen. Adonan yang sudah homogen
digiling kurang lebih 0,5 cm, lalu dicetak.
Kemudian diletakkan di atas loyang yang
sebelumnya telah diolesi margarine. Loyang
berisi adonan dipanggang dengan oven pada
suhu 180oC selama 15 menit. Prosedur
pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 1,
sedangkan komposisi biskuit dengan
penambahan bekatul dapat dilihat pada Tabel 1
:
Penelitian Utama
Setelah dilakukan penelitian pendahuluan
maka dilanjutkan dengan penelitian utama dengan
rancangan penelitian, penelitian utama dilakukan
dengan satu kali perlakuan penambahan bekatul 0
%, 5 %, 10%, 15 % dan 20 %. Parameter yang
digunakan untuk menilai kualitas dari biskuit
adalah kadar protein dengan Metode Mikro
Kjeldhal, dan penilaian organoleptik dengan
Hedonic scale skoring.
Rancangan Percobaan
Margarine, gula halus, susu bubuk Pencampuran ( mixer) selama 5 menit
Kuning telur Pencampuran ( mixer) selama 10 menit
Tepung terigu dan Bekatul Pencampuran
Penggilingan 0,5 menit
Pencetakan
Pemanggangan dengan suhu 180 oC 15 menit
BISKUIT
Gambar 1. Diagram alur proses pembuatan biskuit
Tabel 1. Komposisi biskuit dengan penambahan bekatul
Komposisi Bahan Penambahan bekatul (gr)0 5 10 15 20
Tepung terigu 100 95 90 85 80Bekatul 0 5 10 15 20
Gula halus 50 50 50 50 50Kuning telur 20 20 20 20 20Margarine 65 65 65 65 65
Susu 15 15 15 15 15
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
58
Rancangan percobaan pada penelitian ini
adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal
yang dilakukan dengan dua kali ulangan dengan
satu perlakuan sebanyak lima taraf perlakuan
yaitu 0%,5 %, 10%, 15%, dan 20% .
Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dibuat
grafik, kemudian dianalisa dengan menggunakan
uji Anova faktor tunggal. Sedangkan data uji
organoleptik dianalisa dengan uji Friedmen.
Perhitungan uji Anova dan uji Friedmen dengan
bantuan computer program SPSS versi 11,5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian utama yaitu biskuit
dengan penambahan bekatul sebesar 0%, 5%,
10%, 15% dan 20 % masing-masing diuji kadar
protein dan cita rasanya.
Kadar Protein
Hasil uji kadar protein menggunakan
metode mikrokjeldhal didapatkan hal yang
berbeda-beda sebagai berikut:
Dengan melihat hasil dari Tabel 2
diketahui, bahwa kandungan protein menunjukkan
ada kenaikan tiap-tiap perlakuan penambahan
bekatul, hal ini dikarenakan pada bekatul
mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi
(14,34 gr%) dibandingkan tepung terigu (8,9
gr%).
Hasil uji statistik Anova menunjukkan
bahwa ada perbedaan dari masing-masing
penambahan, didapatkan hasil F Hitung =
1063,86, F Tabel α 5%=5,19, F Tabel α 1 % =
11,39. Hasil uji statistik menunjukkan F Hitung
lebih besar dari F Tabel pada taraf 5% dan 1%,
demikian berarti ada pengaruh yang sangat
signifikan pada setiap penambahan bekatul 0%,
5%, 10%, 15% dan 20% terhadap kadar protein.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antar
perlakuan dilakukan uji lanjut dengan hasil P
value = 0,001 (p value < 0,05). Dengan melihat
hasil dari uji lanjut bahwa probabilitas kurang
dari 0,005 sehingga menunjukkan adanya
perbedaan setiap perlakuan penambahan bekatul
pada biskuit.
Hasil Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan untuk
mengetahui kualitas suatu bahan pangan yang
menyebabkan seseorang menerima atau tidak.
Faktor yang mempengaruhi daya terima terhadap
suatu makanan adalah rangsangan cita rasa yang
meliputi tekstur, warna, aroma dan rasa yang
melibatkan panelis sebanyak 25 orang dengan
kriteria agak terlatih. Pada tahap penilaian, panelis
Tabel 2. Kadar protein biskuit dengan penambahan bekatul
Kadar protein ( gr%) Penambahan Bekatul0 5 10 15 20
Ulangan 1 9,04 10,17 10,83 11,66 13,69Ulangan 2 9,64 9,94 10,65 11,54 13,63
Rata-rata 9,34 10,06 10,74 11,6 13,66
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
59
ini mengisi formulir penilaian organoleptik,
kemudian hasil tersebut dihitung.
Tekstur
Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh
bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven
yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan
biskuit yang menggunakan gandum keras (hard
wheat) dan memiliki kandungan protein yang
tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat
besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan
bekatul juga memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.
Pada proses pencampuran bahan,
pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh
terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan
ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC
selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga
akan mempengaruhi proses pengempukan.
Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur
Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,
antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%
dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada
perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai
tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.
Biskuit dengan penambahan 15% tingkat
kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang
menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar
dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan
hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih
disukai dari pada biskuit dengan penambahan
bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value
< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari
segi tekstur.
Warna
Warna biskuit dengan berbagai variasi
penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian
warna antara lain : putih kekuningan, kuning,
krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit
dengan penambahan 0% mempunyai warna putih
kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%
mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna
coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.
Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 5 10 15
4.43.88
3.323.64
Variasi Penambahan Bekatul ( %)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
59
ini mengisi formulir penilaian organoleptik,
kemudian hasil tersebut dihitung.
Tekstur
Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh
bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven
yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan
biskuit yang menggunakan gandum keras (hard
wheat) dan memiliki kandungan protein yang
tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat
besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan
bekatul juga memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.
Pada proses pencampuran bahan,
pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh
terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan
ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC
selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga
akan mempengaruhi proses pengempukan.
Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur
Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,
antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%
dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada
perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai
tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.
Biskuit dengan penambahan 15% tingkat
kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang
menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar
dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan
hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih
disukai dari pada biskuit dengan penambahan
bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value
< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari
segi tekstur.
Warna
Warna biskuit dengan berbagai variasi
penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian
warna antara lain : putih kekuningan, kuning,
krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit
dengan penambahan 0% mempunyai warna putih
kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%
mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna
coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.
Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna
15 20
3.643.16
Variasi Penambahan Bekatul ( %)
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 5
4.44
3.76
Variasi Penambahan Bekatul ( %)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
59
ini mengisi formulir penilaian organoleptik,
kemudian hasil tersebut dihitung.
Tekstur
Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh
bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven
yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan
biskuit yang menggunakan gandum keras (hard
wheat) dan memiliki kandungan protein yang
tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat
besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan
bekatul juga memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.
Pada proses pencampuran bahan,
pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh
terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan
ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC
selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga
akan mempengaruhi proses pengempukan.
Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur
Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,
antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%
dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada
perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai
tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.
Biskuit dengan penambahan 15% tingkat
kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang
menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar
dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan
hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih
disukai dari pada biskuit dengan penambahan
bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value
< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari
segi tekstur.
Warna
Warna biskuit dengan berbagai variasi
penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian
warna antara lain : putih kekuningan, kuning,
krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit
dengan penambahan 0% mempunyai warna putih
kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%
mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna
coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.
Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna
10 15 20
3.763.36 3.2
2.56
Variasi Penambahan Bekatul ( %)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
60
Pada grafik di atas diketahui, bahwa
biskuit dengan warna putih kekuningan paling
disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak
menggunakan bekatul sebagai bahan
tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit
yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan
bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,
bahwa semakin besar persentase penambahan
bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat
kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik
diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Aroma
Aroma biskuit dengan berbagai
penambahan bekatul menunjukkan perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma
Dengan melihat grafik di atas diketahui,
bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan
perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan
tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan
penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan
biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih
disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.
Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini
berarti ada perbedaan pada setiap penambahan
bekatul terhadap biskuit.
Rasa
Rasa manis pada biskuit diperoleh dari
penambahan gula, selain itu dengan penambahan
susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai
pembangkit rasa pada biskuit.
Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa
Dengan melihat dari grafik diatas
diketahui, bahwa secara keseluruhan ada
perbedaan antara biskuit dengan penambahan
bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%
dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,
menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak
berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value
> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki
rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 5 10 15
4.283.92
3.32 3.4
Variasi Penambahan Bekatul (%)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
60
Pada grafik di atas diketahui, bahwa
biskuit dengan warna putih kekuningan paling
disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak
menggunakan bekatul sebagai bahan
tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit
yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan
bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,
bahwa semakin besar persentase penambahan
bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat
kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik
diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Aroma
Aroma biskuit dengan berbagai
penambahan bekatul menunjukkan perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma
Dengan melihat grafik di atas diketahui,
bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan
perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan
tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan
penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan
biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih
disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.
Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini
berarti ada perbedaan pada setiap penambahan
bekatul terhadap biskuit.
Rasa
Rasa manis pada biskuit diperoleh dari
penambahan gula, selain itu dengan penambahan
susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai
pembangkit rasa pada biskuit.
Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa
Dengan melihat dari grafik diatas
diketahui, bahwa secara keseluruhan ada
perbedaan antara biskuit dengan penambahan
bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%
dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,
menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak
berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value
> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki
rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul
15 20
3.43.12
Variasi Penambahan Bekatul (%)
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 5
4.244
Penambahan variasi bekatul (%)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
60
Pada grafik di atas diketahui, bahwa
biskuit dengan warna putih kekuningan paling
disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak
menggunakan bekatul sebagai bahan
tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit
yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan
bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,
bahwa semakin besar persentase penambahan
bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat
kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik
diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Aroma
Aroma biskuit dengan berbagai
penambahan bekatul menunjukkan perbedaan
pada setiap penambahan bekatul.
Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma
Dengan melihat grafik di atas diketahui,
bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan
perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan
tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan
penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini
dikarenakan pada proses pencampuran bahan
biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih
disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.
Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini
berarti ada perbedaan pada setiap penambahan
bekatul terhadap biskuit.
Rasa
Rasa manis pada biskuit diperoleh dari
penambahan gula, selain itu dengan penambahan
susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai
pembangkit rasa pada biskuit.
Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa
Dengan melihat dari grafik diatas
diketahui, bahwa secara keseluruhan ada
perbedaan antara biskuit dengan penambahan
bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%
dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,
menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak
berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value
> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki
rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul
10 15 20
3.363.08
2.84
Penambahan variasi bekatul (%)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
61
5%. Sedangkan untuk biskuit dengan penambahan
bekatul 10%, 15% dan 20% mempunyai rasa agak
manis dan rasa khas dari bekatul masih terasa.
Semakin besar penambahan bekatul, rasa
manisnya semakin berkurang karena rasa pahit
bekatul mulai terasa. Dari hasul uji statistik
diperoleh, P value < 0,05. Ini berarti ada
perbedaan pada setiap penambahan bekatul pada
biskuit.
Rekapitulasi Sifat Organoleptik
Hasil penilaian panelis secara keseluruhan
yang meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa
untuk sifat organoleptik biskuit bekatul dapat
dilihat pada Tabel 3 :
Tabel 3. Reakapitulasi sifat organoleptikbiskuit bekatul
N O% 5% 10% 15% 20%Tekstur 4,4 3,88 3,32 3,64 3,16Warna 4,44 3,76 3,36 3,2 2,56Aroma 4,28 3,92 3,32 3,4 3,12Rasa 4,24 4 3,36 3,08 2,84
Rerata 4,34 3,89 3,34 3,33 2,92
Tabel 3 menunjukkan bahwa biskuit
dengan penambahan bekatul 0% ada perbedaan
dengan biskuit bekatul 5%. Hal ini dilihat dari
segi tekstur, warna, dan aroma yang menunjukkan
perbedaan, tetapi pada segi rasa biskuit bekatul
0% dengan biskuit bekatul 5% tidak menunjukkan
perbedaan. Dipilihnya biskuit dengan penambahan
bekatul 5% ini, karena tingkat kesukaan pada
biskuit dengan penambahan bekatul 5 % lebih
tinggi dari biskuit dengan penambahan bekatul
10% sampai 20% dan dilihat dari segi kandungan
proteinnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan
biskuit bekatul 0%.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pembuatan biskuit dengan bahan dasar tepung
terigu sebanyak 100 gr dengan variasi
penambahan bekatul 0% (9,34 gr%), 5% (
10,06 gr%), 10% ( 10,74 gr%), 15% ( 11,6
gr%) dan 20% ( 13,66 gr%) menunjukkan
bahwa semakin tinggi penambahan bekatul
maka semakin tinggi pula kadar protein dari
biskuit tersebut.
2. Hasil penilaian panelis menunjukkan bahwa
biskuit yang paling disukai adalah biskuit
dengan penambahan bekatul 0% setekah itu
biskuit dengan penambahan bekatul 5%. Hal
ini terlihat dari penilaian organoleptik biskuit
0% sebesar 4,34, sedangkan pada biskuit
bekatul 5% tingkat kesukaannya bsebesar
3,89.
3. Berdasarkan uji statistik kadar protein pada
biskuit menunjukkan bahwa ada perbedaan
antara variasi penambahan bekatul.
4. Hasil uji statistik biskuit berdasarkan sifat
organoleptik menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara variasi penambahan bekatul
pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%
dilihat dari segi tekstur, warna, aroma dan rasa
biskuit.
Penambahan bekatul dalam pembuatan
biskuit sebaiknya menggunakan variasi bekatul
5% karena memiliki kandungan protein dan cita
rasa tinggi serta disukai oleh panelis . Dan Perlu
penelitian lebih lanjut pada perlakuan biskuit
bekatul 5 % dengan uji ketengikan dan lama
penyimpanan pada biskuit.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
62
DAFTAR PUSTAKA
Almamatsier, S. 2001. Prinsip dasar Ilmu Gizi.PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.
Associates, Us Wheat. 1981. Pedoman pembuatanRoti dan Kue. Djambatan, Jakarta.
Buckle, K.A et.al diterjemahkan oleh HariPurnomo dan Adiono, 1987. Ilmu Pangan,UI-Press, Jakarta.
Desrosier, Norman W diterjemahkan oleh MuchjiMuljohardjo. 1988. Teknologi PengawetanPangan, UI-Press. Jakarta.
Anonim. 1999. Pengkajian dan PengembanganProduk Pangan Olahan dari Serealia danUmbi-Umbian. IPB, Bogor.
Anonim. 1996. Pengembangan Produk PanganFabrikasi Pusat Studi Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.
Nurmala, T. 1998, Serealia : Sumber KarbohidratUtama. Rineka Cipta, Jakarta.
Sediaotama, AD. 1988. Ilmu Gizi. Dian Rakyat,Jakarta.
Soekarno, S.T. 1985. Penilaian Organoleptikuntuk Industri Pangan dan HasilPertanian. Bharatara Karya Aksara,Jakarta.
Suparyono dan Agus Setyono. 1997. MengatasiPermasalahan Bididaya Padi. PenebarSwadaya, Jakarta.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
63
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
A. FormatSeluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atas-bawah
dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times NewRoman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel dari publikasisebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halaman diberi nomorsecara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah. Publikasi ilmiahditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunan naskah hasil penelitiandibuat sebagai berikut:1. Judul
Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dankedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata(kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yang berbahasaInggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampu menerangkan isi tulisandengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyai kesan umum sepertipenelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan dan penambahannama latin.2. Nama dan Alamat Penulis
Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisan namatidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagian atas namabelakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi (alamatinstitusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yangmemungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain.3. Abstrak
Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah. Abstrakditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu ke artikellengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul “ABSTRACT”, palingbanyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring dengan spasi tunggal. Abstrak berisiringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, danKesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab. Abstrak tidak mencantumkantabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata, jangan mengulang judul dalam abstrak.4. Kata Kunci
Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Kata kuncidengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan di bawahabstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunci yang baikdapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer oleh pembaca.5. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik dan masalahnya,terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatan penulisan artikel.Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan serta kegunaan artikel agarsubstansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan penafsiran makna bagipembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dan tujuan penelitian dilakukan.
Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajian harusrunut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas. Kerangka
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
64
berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakan untukmembahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh. Pentingdikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis, jika mungkinyang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya.
Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknya tidakmengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme (Indonesia/daerah)yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertama kali.6. Metodologi
Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harussesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis(deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jikametode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukupdengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidakmenggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkanprodusennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapiperalatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rincibahkan sampai ke tipenya.7. Hasil dan Pembahasan
Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan,tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian data harussitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinya bukanmenarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan data mentah)dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dan dilampirkansecara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan keterangan tabel ditulisdi atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafik dapat dibuat pada halamanterpisah.
Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitian yangdiperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dipublikasikan. Dalammenarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalam pembahasan juga dilakukan analisaatau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi dengan mengaitkan hasil, teori atau temuansebelumnya.
Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatankuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai, subyektifitassedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidak bebas nilai. Hasilpembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun ada generalisasi terbataspada lingkup obyek penelitian.8. Kesimpulan
Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat dengan hati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut. simpulantidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik.9. Ucapan Terima Kasih
Penulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun kepadainstitusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandang dana supayadituliskan secara lengkap.10. Daftar Pustaka
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010
65
Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh:a. Jurnal :Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of glyphosate
in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528.b. Buku :Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall.d. Abstrak :Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi Jawa
Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 8-9 Agustus2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189.
e. Prosiding :Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes with
Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of the InternalWorkshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm 77-79.
f. Skripsi/Tesis/Disertasi :Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah.
(Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor.g. Informasi dari Internet :Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly
(Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21 Agustus1999)
Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakangkata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftar pustakayang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata, ungkapanatau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulis dan bilaternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat.
B. Ketentuan Umum1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang
ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkup pangandan gizi.
2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD atau melalui e-mail.
3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember.4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan sebelum
jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewan redaksi sebagaidasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.