Jurnal Maarif Institute Feb 2008

75

description

Jurnal Maarif Institue, Februari 2008. Yogyakarta.

Transcript of Jurnal Maarif Institute Feb 2008

Page 1: Jurnal Maarif Institute Feb 2008
Page 2: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 2, No. 4, Juni 2007

Page 3: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

1

MEDIA MAARIFEdisi Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

Penasehat : Abdul Munir Mulkhan, Jeffrie Geovanie,Haedar Nashir, M. Deddy Julianto, M.Amin Abdullah,Rizal Sukma, Sudibyo P. Lapidus.Pemimpin Umum : Raja Juli AntoniPemimpin Redaksi : Fajar Riza Ul HaqDewan Redaksi : Ahmad Imam Mujadid Rais, EndangTirtana,Joko Sustanto, Siti Sarah MuwahidahSekretaris : M. SupriadiDistribusi dan Sirkulasi : Iwan Setiawan

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkantulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIFInstitute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisanmengacu standar ilmiah, dan panjang tulisan 6000-10.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksidan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbitperbulan. Tema edisi mendatang

Salam Redaksi ........................................................................................ 2Artikel

Menyoal Moral-Politik Agama di Ruang PublikIvan A. Hadar.................................................................... 3

Dari “Politisasi Agama” Menuju “Moral Publik Agama”Zuhairi Misrawi ................................................................. 11

Agama dan Nalar Negara-KekuasaanBenny Susetyo.................................................................. 18

OpiniIslam Moderat adalah Sebuah ParadoksAhmad Najib Burhani ........................................................ 28

RisalahMegatruh KambuhWS.Rendra ........................................................................ 31

Bedah BukuMembangun Toleransi Berbasis Al-Quran ......................... 43

Catatan RedaksiDicari, Pemimpin Visioner dan Bernurani !Fajar Riza Ul Haq ............................................................. 47

Saat Negara Membangun Jembatan DialogSiti Sarah Muwahidah ...................................................... 51

Call for PaperPeranan Syafii Maarif dalam Membangun PluralismeAndriansyah ................................................................... 55

PerspektifBelajar dari Negeri Para MullahFauzi Fashri .................................................................... 67

RekeningYayasan Ahmad Syafii Maarif :Bank Permata Cabang MID Plaza.No. Rekening : 0701136993

website : www.maarifinstitute.orge-mail : [email protected]

Pengelola

Page 4: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

2

Salam Redaksi

Pada dasarnya, bangsa kita memiliki cukup banyak potensi dansumber daya yang bisa membuatnya bergerak keluar dari kemelutmasalah serta mendorong bandul kesejahteraan ekonomi pada saat yangsama. Setidaknya, suksesi kepemimpinan nasional (pilpres) yang relatifdemokratis, arus demokratisasi politik di semua level pemerintahan, dankehadiran partisipasi kelompok-kelompok sipil dalam ruang publikmerupakan modal penting bagi upaya pembangunan demokrasi, baikpolitik dan ekonomi, yang berpijak pada keadilan. Pertanyaan mendasaryang sering mengemuka adalah mengapa bangsa Indonesia belum dapatkeluar dari krisis yang cukup lama mendera kita; lalu, apa yang dapatkita lakukan bersama sebagai jalan untuk mengakhiri krisis tersebutsekaligus meletakkan arah pencerahan bangsa yang berkeadilan, baikdari perspektif agama, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Pada konteks ini, peran partisipasi bahkan kontrol kelompok-kelompok sipil dalam proses perbaikan kualitas hidup bangsa tidak bisadiabaikan. Meskipun negara Indonesia bukanlah negara agama namunpada kenyataannya organisasi keagamaan dan kelompok lintas agamatelah diakui berkontribusi penting dalam rentang sejarah bangsa ini.Panggilan tanggungjawab moral, sosial, dan kemanusiaan agama adalahalasan mendasar mengapa kelompok agamawan serta aktivis sosial harusaktif berpartisipasi di ruang-ruang publik yang selama ini didominasipetualang-petualang politik tanpa visi keadilan dan kemanusiaan.

Di saat sistem politik serta kepemimpinan mengalami kebuntuandan tidak pro keadilan, partisipasi gerakan moral- politik agama dalamruang publik mutlak diperlukan. Ironisnya, agama lebih banyakdieksploitasi sebagai instrumen bahkan dibajak untuk kepentinganpolitik jangka pendek. Agama menjadi kehilangan karakter kiritis dankeberpihakannya yang dibangun nilai-nilai moral dan kemanusiaan.Secara substansial, tindakan moral kelompok maupun aktivis agama bisabersifat ataupun berdampak “politik” dalam makna pembebasan,sebagaimana lontarkan Antonio Gramsci. Tema “Menyoal Moral-PolitikAgama di Ruang Publik” di edisi awal tahun ini hendakmempertanyakan sekaligus memberi arah bagi keharusan peran-peraninstitusi dan aktivis agama untuk pencerahan dan kemandirian bangsa.

Page 5: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

3

Secara ringkas dan padat, demokrasididefenisikan sebagai Regierung der Regierten -pemerintahan dari mereka yang diperintah. Defenisiini mengandung arti bahwa mereka yang diperintahharus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistempolitik. Peluang partisipasi politis warga negaradalam arti seluas-luasnya ini, antara lain berupaungkapan opini, kepentingan, serta kebutuhansecara diskursif dan bebas tekanan. Semua itumerupakan inti ide ruang publik politis1.

Dalam negara hukum demokratis, ruang publikpolitis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sen-sor peka yang menjangkau seluruh masyarakat.Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi prob-lem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia jugamenjadi mediator antara keanekaragaman gayahidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satupihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lainpihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politissebagai struktur intermedier di antara masyarakat,negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosialberbasis agama, lembaga swadaya masyarakat,perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis,kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, danmasih banyak lainnya dalam ruang publikmemberikan isyarat problem mereka agar dapatdikelola oleh negara.

Sebenarnya, dalam perkembangan terakhirsistem demokrasi, hampir tak ada lagi lokus yangnetral dari pengaruh ekonomi dan politik. Karena

MENYOAL MORAL-POLITIK AGAMADI RUANG PUBLIK

Ivan A. HadarKoordinator Nasional TARGET MDGs – Beppenas/UNDP

Artikel

Page 6: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

4

itu, ruang publik politis harusdimengerti secara “normatif”, yaitutidak hanya berada di dalam forumresmi, melainkan di mana sajawarga negara bertemu danberkumpul mendiskusikan temayang relevan serta bebas dariintervensi. Ruang publik politisjuga bisa ditemukan, misalnya,dalam gerakan protes, dalam aksiadvokasi, dalam forum perjuanganhak-hak asasi manusia, dalamperbincangan politis interaktif ditelevisi atau radio, dalampercakapan keprihatinan diwarung-warung, dan seterusnya.Dengan demikian, ruang publikpolitis yang berfungsi baik identisdengan kedaulatan rakyat.

Bagi Habermas, ruang publikpolitis adalah kondisi-kondisikomunikasi yang memungkinkanwarga negara membentuk opinidan kehendak bersama.Persyaratannya, adalah sebagaiberikut. Pertama, kondisi tersebuthanya mungkin ketika semuawarga menggunakan bahasa yangsama dengan semantik dan logikayang konsisten. Kedua, semuapartisipan dalam ruang publikpolitis memiliki peluang yang samauntuk mencapai suatu konsensusyang fair dan memperlakukanmitra komunikasinya sebagaipribadi otonom yang mampubertanggung jawab dan bukanlah

sebagai alat yang dipakai untuktujuan-tujuan di luar diri mereka.Ketiga, harus ada aturan bersamayang melindungi proseskomunikasi dari represi dandiskriminasi sehingga partisipandapat memastikan bahwakonsensus dicapai hanya lewatargumen yang lebih baik.Singkatnya, ruang publik politisharus “inklusif”, “egaliter”, dan“bebas tekanan”. Ciri-ciri lainnyaadalah pluralisme,multikulturalisme, toleransi, danseterusnya2.

Dalam konteks ini, kontribusimoral-politik agama menjadisesuatu yang menarik untukdikaji, terutama ditilik darimaraknya upayamengejawantahkan “syari’ah”dalam kehidupan masyarakat dinegeri ini berbarengan denganhilangnya nilai-nilai bersamaakibat gempuran kapitalisme.Maraknya legislasi dan regulasiberdasarkan Syari’ah yangmelanda berbagai daerah di Indo-nesia selama beberapa tahunterakhir ini, telah menimbulkantiga jenis spekulasi. Pertama,mengingat hal ini dilakukan didaerah-daerah dengan mayoritaspenduduk muslim, “gerakan” inidimaksudkan untuk kepentinganpolitik pemerintah daerahsetempat dalam rangka mencari

Page 7: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

5

dukungan politik danmengukuhkan legitimasikekuasaan dengan basiskeagamaan. Kedua, hal ini bisadianggap sebagai upaya kelompokpolitik Islam untuk Islamisasinegara pada tingkat lokal setelahggal di tingkat nasional melaluipemberlakuan kembali PiagamJakarta dan pembentukan NegaraIslam Indonesia. Ketiga,merupakan indikasi terjadinyakolaborasi politik antara kekuatanIslam garis keras dengankekuatan-kekuatan politik lokaluntuk saling mendukung dalamkepentingan masing-masing.

Harus diakui bahwa perda-perda Syari’ah menyangkut isu-isu tertentu seringkali justrumendatangkan masalah sosialbaru, misalnya ketidakadilan gen-der dan marginalisasi ataupembatasan kebebasanperempuan dalam kehidupanpublik. Selain itu, denganmenganggap seolah-olahmoralitas Syari’ah terbatas padaisu-isu syahwat dan hedonisme,para perancangnya jelasmenghindari masuk ke wilyahmoralitas struktural yang lebihbersifat publik seperti praktekkorupsi, penyelahgunaankekuasaan, kejahatan HAM,pencucian uang dan kejahatan-kejahatan publik lain. Boleh jadi,

penyebabnya terkait kenyataanbahwa banyak pejabatpemerintahan daerah, termasukmereka yang diindikasikan terlibatkejahatan-kejahatan korupsi,terlibat sebagai penganjurSyari’ahisasi. Hal, yangdikalkulasikan bisa menjadi“proyek politik” yangmenguntungkan.

Sementara itu, secara global,bagi mereka yang pesimis,mensinyalir gempuran kapitalismetelah memunculkan sebuah sistemkemasyarakatan (Gesellschaft) duniayang tidak lagi memilikikesepakatan etika (ethical consensus).Untuk waktu yang cukup lama,terutama di Eropa yang sekuler,agama tidak (terlalu) diperdulikan.Siapa pun yang terlalu seringberkutat dengan agama, bakaldianggap terbelakang. Baru sejakbeberapa tahun terakhir, agamakembali ada dan menjadi – tidaksekedar – bumbu dalam perdebatansosial-politik. Di Jerman, misalnya,berkembang diskusi tentangseberapa menentukan nilai-nilaiagama Kristiani bagi berfungsinyasebuah masyarakat? Pada saatsama, muncul pertanyaanbagaimana seharusnya bersikapterhadap konsep-konsep moralagama lain: diintegrasi ataukahdiisolasi? Pertanyaan yang samajuga berlaku di Indonesia, terutama

Page 8: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

6

ketika maraknya Perda Syar’ah dibeberapa propinsi dan kabupaten/kota.

Dalam politik internasional,kembalinya agama sebagai alatkekuasaan pun semakin kasat mata.Pemerintahan George W. Bush,misalnya, mendulang sumberlegitimasinya dari moral dan lobik e l o m p o k - k e l o m p o kfundamentalis Kristen. Padanannyadalam Islam, memanfaatkan strengeGlaeubigkeit (kepercayaan yangrigid) sebagai strategi politik.Agama sebagai alat kekuasaan jugaterbaca dalam konflik di Kashmir,Sri Langka dan Irlandia Utara.Dalam kadar tertentu, juga terseretdalam konflik komunal di tingkatlokal. Pertanyaan yangmengemuka, adalah apa sajapersyaratan politik yang menjadipemicu konflik agama? Apa pulakemampuan integratif yangditawarkan agama-agama?

Bagi publisis Gret Heller,“pemisahan antara gereja dannegara samasekali tak terkaitdengan pemisahan antara agamadan politik”. Hal tersebut diyakinitidak mempertanyakan keabsahanmasyarakat sekuler serta tatanandemokrasi. Perdebatan tentangberbagai perspektif agama,biasanya berjalan relatif demokratis.Yang lebih sulit, karena tidak begitujelas ketika berbicara tentang

kepentingan apa yang berbicaraterkait kepercayaan. Karena,ketika banyak berbicara tentangmoral, biasanya banyak pulamenyangkut kekuasaan.Mengakui bahwa dua hal tersebutsaling terkait, tidak berartiterjerembeb ke dalam sifat non-demokratis agama ataupun,sebaliknya, kehilangan nilai-nilaibersama.

Yang tak kalah penting adalahkenyataan berikut. Vernunft (yangsering diterjemahkan sebagai akalsehat, rasional) seperti yangditemukan pada masa Aufklaerung(pencerahan), kini, banyakdikritik, terutama terkaitdampaknya dalam mendudukkanmanusia sebagai “penguasa”alam. Pada saat yang sama,kepercayaan (agama), telahbanyak melakukan otokritik dandekonstruksi teologis yangmembebaskan. Beberapa tahunlalu, ada diskusi antara KardinalRatzinger – yang kini, menjadiPaus, dengan Habermas, filosofJeman terkenal, terkait bagaimanamenemukan basis moral bagisebuah masyarakat pluralistis.Menurut Ratzinger, rasionalitassekuler bukanlah sesuatu yanguniversal, Vernunft dankepercayaan harus melakukanreposisi. Bagi Habermas, baikkesadaran religius maupun

Page 9: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

7

sekelur, perlu melakukanpenyesuaian. Klaim ataskebenaran absolut oleh agama,perlu dihindari. Namun, merekayang menganggap Vernunftsebagai kebenaran universal, darisegi jumlah terbilang minoritas.Harus diakui bahwa mayoritasumat manusia, adalah merekayang percaya akan keberadaanTuhan. Bagi kelompok mayoritasini, agama adalah yang terpenting,lebih penting ketimbangdemokrasi, misalnya.

Meski bukan tanpasanggahan, jauh lebih banyak or-ang menjawab penyebabkebutuhan untuk beragama adadalam fitrahnya manusia –betapapun sebagian ilmuwanmenisbahkan hal tersebut padailusi, ketakutan dan supresi.Dalam klaim kebenaran absolut,penganutan agama memendampotensi konflik. Sumbernya,bukan terletak pada agama itusendiri, melainkan lebih seringakibat manipulasi untukkeperluan-keperluan opresif atauagenda-agenda lain3, termasukdalam upaya mewarnai ataumengatur ruang publik. CharlesKimbal, professor ahli sejarahagama yang juga seorang pastormenulis: “Di jantung orientasi danpencarian religius, manusiamendapatkan makna dan

harapan. Dalam ajaran asli danintinya agama boleh jadi mulia, tapibagaimana ia nyaris selaluberkembang tak sesuai denga idealseperti itu? Para pengikut (agama)acapkali menjadikan pemimpin-pemimpin, doktrin-doktrin, dankeperluan untuk mempertahankanstruktur-struktur institusional,sebagai kendaraan dan justifikasibagi perilaku yang tak dapatditerima”, termasuk “metransendensikan kepentingan-kepentingan diri yang sempit kedalam pengejaran nilai-nilai dankebenaran-kebenaran yang lebihtinggi”4.

Tak heran banyak yangmensinyalir telah muncul krisisagama-agama, terutama tampakdalam kian merosotnya penampilanagama di tengah kehidupan publik.Sejauh ini, krisis tersebuttermanifestasikan dalam gejalapolitisasi dan komersialisasi agama.Politisasi agama bisa dilihat darimaraknya penggunaan nilai-nilai,symbol-simbol, dan jargon-jargonagama demi kepentingankelompok, tak jarang dengan tujuanpolitik jangka pendek. Sedangkankomersialisasi agama munculdalam bentuk pendomplenganmodal dalam berbagai jenis institusidan tradisi agama-agama untukkomodifikasi. Pada titik ini agamasebenarnya berada dalam posisi

Page 10: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

8

yang terancam dari perannyasendiri sebagai sumber ilham bagiperubahan, yang tak jarang bersifatrevolusioner.

Saat ini, menurut MudjiSutrisno5, sedikitnya terdapat tigapersoalan menyangkut bagaimanamerumuskan kembali peran agamadalam wilayah publik. Pertama,persoalan internal agama itu sendiriterkait tafsiran mengenai Tuhanyang penuh kasih dan Tuhan yangmenghukum. Ringkasnya,menyangkut ketegangan antaratafsir etis dan tafsir legalis. Kedua,agama yang diwakili tokoh-tokohnya, menjadi idenifikasiuntuk membela kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi.Ketiga, munculnyafundamentalisme sebagai bentukpemurinan agama-agama dalammerespon dinamika yang beradadiluar dirinya.

Untuk mengatasi tiga persoalandi atas, Muji menekankan perlunyamerumuskan peran baru agamamelalui jalan kebudayaan. Caranya,dengan menafsirkan kitab suciagama secara kontekstual. Sebagaijalan kebudayaan, dialog antaragama pada dasarnya adalah dia-log nilai-nilai, terutama yang bisamemberika kedamaian dankemanusiaan dalam kehidupanbersama. Konkretnya,memengaruhi hukum sebagai

bahasa keadilan, ekonomi sebagaibahasa pemerataan, dan sosialsebagai bahasa perdamaian bagisemua tanpa tersekat dalamkepentingan kelomok ataukepentingan sesaat. Mengatasifundametalisme, dapat dilakukanlewat mempertemukanspiritualitas agama-agama yangkemudian ditransformasikan kedalam kehidupan publik. Hal ini,bisa diarahkan utukmengembangkan cara interaksiantar manusia yang didasarkanpada persamaan dan keadilansebagai sebuah “agama” sepertiyang diajurkan Rouseau dandipopulerkan Robert N. Bellahdengan istilah agama sipil atauagama madani.

Dalam bayangan Bellah,negara Amerika itu – sepertihalnya Indonesia, yanghakikatnya berdasarkan nilai-nilaiagama, tidak akan pernah menjadisekuler. Karena itu, diperlukansebuah agama yan dianut olehseluruh warganegara. Dalambayangan Bellah, agama sipiladalah sebuah keberagamaanyang tidak terbatas pada agama-agama tradisional yang ada, tetapimerupakan seperangkatkeyakinan dasar yang mengikat –dalam kasus ini, warga Amerika.

Intinya, seperti halnyaRosseau, Bellah memikirkan

Page 11: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

9

sebuah agama yang bisamenyediakan kesetiaan tunggalteradap negara. Pemikiran sepertiini, bagi Jalaluddin Rakhmat6,cocok dengan situasi Indonesiasaat ini ketika agama-agama resmi,termasuk Islam, ternyatmenawarkan kesetiaan gandayang seringkali bersifat dikotomis,saling menegasikan antara Negaradan agama. Ini membuat “umat”dan “warganegara” sebagai duakategori yang berlawanan.Agama-agama seperti Islam,Kristen, Katolik, Hindu, Budhamatau Konghucu, menurut KangJalal, tidak bisa diandalkan karenabersifat partikular, dan hanyaberfungsi sebagai acuan doktrinalbagi para pemeluknya. Agama-agama partikular hanya mampumemberikan kesetiaan partikularyang tertutup, bukan kesetiaanterbuka yang bersifat civicterhadap negara.

Khusus terkait agamaanutannya, putera seorang kyaiyang menjadi kepala desa didaerah cicalengka, Bandung ini,mengatakan Islam harusberkembang menjadi agamamadani, agar tersedia suatuargumen teologis yang mampumembuat warganegaraberkhidmat kepada negara sepertimereka berkhidmat kepadaagama. Dengan gagasan seperti

itu, ia membayangkan akan tumbuhmotivasi umat Islam untukmemperjuangkan kesejahteraanbangsa oleh perasaan beragama,tanpa sekat. Agama sipil, dengandemikian, menempatkan dirinyasebagai legitimasi normatif baginegara. Bukan agama yangmembebek pada negara, tetapisebuah agama yang kontributif bagiusaha kolektif umat-warganegarauntuk berpartisipasi di dalamnya.

Untuk memperkenalkan Islamdalam paradigma sebagai agamaMadani, Kang Jalal mengakuimendasarkan kerangkametodologinya pada apa yangdiperkenalkan oleh Kuntowijoyountuk mengubah umat Islam daricara berpikir subjektif ke objektif.Dengan kerangka ini, berpikirobjektif tentang agama tidakmemerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis tentangbenar salahnya agama lain. Agama-agama lain tidak memerlukanpembenaran teologis secara Islamuntuk menjamin eksistensinyamasing-masing di tengah-tengahmasyarakat Islam. Bahwa agamalain ada secara objektif, cukuplahbagi umat Islam. Umat tidak perlurepot-repot berpikir tentangkedudukan teologis agama laindalam Islam.

Perubahan cara berpikirsubjektif ke objektif, berarti

Page 12: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

10

pengakuan sepenuhnya bahwaagama yang ada di luar itu adasecara objektif. Sesuatu yangmenjadi dasar bagi eksistensibersama, dasar dari pluralismeagama-agama, termasuk agama-agama yang secara resmi tidakdiakui – bahkan dari kalangan non-agama, agama-agama tradisional,aliran kepercayaan, agnostik danatheis. Agama madani, harus dijagadan memang tidak dimaksudkanberada di bawah suatu otoritaspolitis apapun. Ia dimaksudkanhanya untuk kepentingan negarabukan penyelenggara negara sertadirumusknan untuk memberikanjustifikasi etis dan rasional untukperjuangan bersamamensejahterakan bangsa.

Memakai kata-kata Kang Jalal,agama madani dimaksudkanmenjadi semacam kerangka politiketis, misalnya, untuk memberantaskorupsi atau menentangkapitalisme global yangmenyingkirkan pedagang-pedagang kecil, menentang tipumuslihat privatisasi demikepentingan neoliberalisme.Sebuah landasan bagi sebuahmoral-politik agama-agama,termasuk Islam, dalammerumuskan perannya di ruangpublik.

Catatan Kaki

1 Juergen Habermas, Strukturwandel derOeffentlicgkeit, Frankfurt aM, 1990.Lihat juga F. Budi Hardiman, RuangPublik Politis: Komunikasi Politis dalamMasyarakat Majemuk, Jakarta.

2 Lihat F. Budi Hardiman, Ruang PublikPolitis: Komunikasi Politis dalamMasyarakat Majemuk, Jakarta.

3 Lihat Haidar Bagir, Agar Agama TidakMenjadi Evil, Reform Review, April-Juni 2007

4 Charles Kimball, When ReligionBecomes Evil – dikutip dari HaidarBagir, Reform Review, April-Juni2007, halaman 83-84

5 Lihat Reform Review, April-Juni 2007,halaman 38-39

6 Jalaluddin Rakhmat, Membangun IslamSebagai Agama Madani , makalahdipresentasikan pada ulang tahunYayasan Paramadina, 20 November2006.

Page 13: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

11

Relasi agama dan negara merupakan diskursusyang pada zaman ini paling banyak diperbincangkan.Sejauh ini diskursus tersebut telah melahirkandualisme pandangan, yaitu antara mereka yangmendukung sekularisme dan mereka yang menolakmentah-mentah sekularisme dengan mengajukan pro-posal formalisasi agama.

Hanya saja yang menjadi persoalan utama, baikmereka yang mendukung sekularisme maupun yangmenghendaki formalisasi agama belum mampumenjawab masalah utama yang sedang dihadapi olehpublik. Kedua kubu tersebut seringkali berlindungdibawah klaim nilai yang sebenarnya kalau dilihatsama-sama absurd.

Lihat misalnya, negara-negara yang secara nyatamenjunjungtinggi nilai-nilai agama dalam politikseperti Saudi Arabia, Pakistan, Irak, bahkan Malay-sia. Negara-negara tersebut sedang menghadapimasalah serius, terutama dalam rangka melindungikelompok minoritas, diskriminasi terhadap kalanganperempuan, radikalisme dan terorisme. Agama yangdijadikan sebagai sumber utama dalam politik tidakmampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-politik. Kendatipun secara ekonomi relatif baik,seperti Saudi Arabia dan Malaysia, tetapi dalam ranahpolitik selalu ada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Secara nyata kedua negaratersebut tercatat mempunyai catatan buruk perihalperlindungan terhadap kaum buruh migran.

Di sisi lain, negara-negara yang menasbihkan

Dari “Politisasi Agama”Menuju “Moral Publik Agama”

Zuhairi MisrawiIntelektual Muda Nahdhatul Ulama dan Direktur Moderate Muslim Society

Artikel

Page 14: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

12

dirinya sebagai “negara sekuler”juga dihadapkan pada hilangnyamoralitas publik di pentas global.Sekularisme yang tidak didasaripada kehendak untuk mewujudkankesetaraan dalam politik dankepentingan bersama kerapkalimelahirkan otoritarianisme yangberujung pada konflik sosial yangbersifat permanen. Invasi AmerikaSerikat ke Irak merupakan contohtentang ketidakmampun“sekularisme” dalam ranah politikdimaknai sebagai penghargaanterhadap kemanusiaan. Begitu pulaperlindungan pemerintah Perancisterhadap para imigran dinilaisebagai “kebangkrutansekularisme” dalam menjawabmasalah keadilan sosial.

Sementara di sisi lain,pemandangan yang cukupmengejutkan yaitu kegagalandalam ranah politik ditutup-tutupidengan perselingkuhan antara“institusi agama” dan “institusipolitik”. Negara-negara yangdisebut sebagai sponsor utamasekularisme, seperti AmerikaSerikat dan Perancis belakanganmulai telanjang terlihat bermainmata dengan institusi agama, yangsecara implisit bisa dipahamisebagai cara untuk menutupikegagalan dalam menutupikegagalan.

Begitu halnya, di negara-negara

yang menganut politisasi agama,sikap politik semacam itumerupakan praktik politikmurahan yang seringkali ibaratpisau bermata dua. Di satu sisiingin menampakkan diri sebagai“pembela agama”, tetapi di sisilain sebenarnya lebih merupakanpembajakan terhadap nilai-nilaiagama. Sebab yang terungkap dipermukaan adalah pelanggaranterhadap hak asasi manusia sertaproses pemiskinan yang bersifatmassif. Agama tidak menjadiunsur konstruktif, melainkanjustru dijadikan sebagai unsurdestruktif.

Maka dari itu, diperlukanpergeseran pemikiran baru darisekadar pemisahan agama dannegara yang selama inidikampanyekan oleh penganutsekularisme atau mereka yangmenganut penggandengan agamadan negara. Pemikiran yangdibutuhkan di masa mendatang,yaitu meletakkan agama sebagaiunsur transformatif danemansipatoris dalam ranah publik.Agama bisa dan harus hadir padaranah publik, tetapi bukan dalamkapasitasnya sebagai “penguasaotoriter” sebagaimanadipraktekkan oleh PemerintahSaudi melalui dominasiwahabismenya maupunpemerintah Malaysia dengan etnis

Page 15: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

13

Melayunya. Agama harus mampumengambil jalan tengah sebagaipenyeimbang dan kontrol sosial.Agama diharapkan dapat menjadikekuatan moral yang efektif bagiterwujudnya cita-cita keadilan,kesetaraan, kedamaian dankesejahteraan sosial.

Moral Publik Agama:Transformatif-Humanis

Agama pada hakikatnyamerupakan hasil pergulatanantara realitas dengan nilai. Dariposisi paradigmatik seperti ini,mau tidak mau, agama harusmenjadi nilai yang mampuditerjemahkan dalam realitassosial. Paradigma agama sebagainilai harus dimaknai secara lebihteliti dan hati-hati. Sebagai nilai,tentu saja berbeda denganpandangan agama sebagaikekuatan simbolik.

Salah satu konsekuensi agamasebagai kekuatan nilai, yaituagama harus menjadi pembela danpendorong bagi pluralisme.Maksudnya, agama diupayakanagar tidak terjerambab dalamperebutan simbolik dan klaimkebenaran kelompok tertentu. Disini, agama sebagai kekuatanpluralisme berlaku tidak hanyadalam hubungan antar-agama,tetapi juga harus menjadikekuatan pluralisme dalam inter-

nal agama. Sebab, dalamsejarahnya, friksi dan polarisasidalam internal agama tidak kalahdahsyatnya dengan konflik antar-agama yang menghiasi sejarahkemanusiaan.

Kaitannya dengan pluralisme,Peter L. Berger, dalam The SacredCanopy: Elements of a SociologicalTheory of Religion, sekularisasisesungguhnya mempunyai misiyang sama yaitu melahirkankesadaran tentang pentingnyapluralisme, yang pada akhirnyaakan menjadi modal penting bagiterwujudnya demokrasi.

Hanya saja, harus diakui dalamperjalanannya sekularisme jugatidak mampu menjamin lahirnyapluralisme, karena sekularisme jugatidak terlepas dari kepentingan-kepentingan subyektif mereka yangterlibat dalam praktik politiksekularistik. Karena itu, dalam tesisterbarunya, Berger memandangperlunya pluralisme didorong olehkekuatan lain, yaitu agama. Dalamkonferensi tentang pluralisme, TheNew Religious Pluralism and Democ-racy, ia menyatakan bahwa saatnyaagama juga memberikanpengayaan nilai bagi pluralisme.

Di tengah-tengah kegagalanparadigma sekularistik, kalangankonservatif di Amerika Serikatmulai bergerak untuk menjadikangereja sebagai pihak yang dapat

Page 16: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

14

melakukan intervensi pada ranahpublik. Mereka pun mulaimelibatkan agama dalam ranahpolitik, yang merupakan ranahpublik. Lihat misalnya dalamkonvensi untuk pemilihanPresiden Amerika, salah satulembaga survei membuat sebuahpolling yang diantarapernyatannya: Apakah Jesusmendukung Obama atau HillaryRodham Clinton. Dalam hasilsurvei tersebut, Obama mendapatdukungan 64 menggungguliHillary.

Sementara itu, gerakankembali ke Syariat juga menggemadi dunia Islam. Setidaknya, wajahtersebut dapat terlihat dengannyata di Pakistan dan Indonesia.Berbeda dengan Saudi Arabia danMalaysia yang merupakan duarepresentasi negara Muslim yangsecara ekonomi relatif sejahteradan maju, tapi Indonesia dan Pa-kistan merupakan potret negaraMuslim yang sedang dalam krisisekonomi dan politik. Di keduanegara terakhir, Syariat menjadieskapisme dari kegagalan. Pilihanterhadap Syariat sebenarnyamerupakan reaksi dan respon darikegagalan pemerintahan sekuleruntuk mewujudkan keadilan dankesejahteraan sosial. Maka lahirlahperaturan-peraturan daerah, baiksecara eksplisit maupun implisit

mengusung agenda-agendaSyariat secara politis. Artinya,yang diperjuangkan bukanlahtujuan-tujuan utama Syariat(maqashid al-syari’ah) melainkanbagian-bagian partikular dariSyariat, seperti hukum potongtangan, pemakaian jilbab. Adapunsesuatu yang paling prinsipil dariSyariat diletakkan sebagai bahansekunder, untuk tidakmengatakan dilupakan. KalanganIslam formalis kerapkali bernaungdi balik jubah Syariat.

Di sini, agama harus mampudipahami secara progresif dalamranah publik. Fakta penggiringanagama sebagai legitimasikekuasaan otoriter secaragamblang telah mereduksi agamaitu sendiri. Sebab dalamrealitasnya agama tampil dalamwajah yang garang, bahkankerapkali menistakankemanusiaan dengan merebaknyapembunuhan. Untuk kasus Paki-stan, sudah berapa banyak korbanyang tewas berjatuhan akibatambisi untuk menegakkan Syariatdalam politik.

Menurut Berger, dalam ranahglobalisasi yang semakinkompleks, agama-agama harusmampu melahirkan pluralismebaru (new pluralism). Yaitupluralisme yang mampumembangun nilai-nilai sosial yang

Page 17: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

15

transformatif seperti spiritvoluntarisme. Pluralisme harusmembawa spirit pembebasan.

Ia menambahkan, bahwa Is-lam, Protestan dan Katolikmerupakan fenomena agama glo-bal yang mempunyai tantanganyang kurang lebih sama. Agama-Agama tersebut hampir dianutoleh seluruh penduduk duniayang sedang menghirup anginglobalisasi. Sedikit banyakperannya dalam ranah global tidakbisa dihindari.

Di sini menurut Berger, agamaharus mengubah perannyasebagai pembawa pesan-pesannormatif-formalistik (heretical im-perative) menjadi pembawa pesan-pesan transformatif-humanis (vol-untary imperative). Pluralisme padahakikatnya akan membukakanmata hati dan pikiran untukmelihat, bahwa masalah utamayang sedang mengancamkemanusiaan bukanlahkeragaman, melainkanketidakadilan dan kemiskinanyang dialami oleh setiap agama.Kemiskinan bukan hanyafenomena masyarakat Muslim,melainkan juga menimpa umatagama-agama lain, baik itu Kristenmaupun Yahudi. Karena itu,agama harus keluar dari jebakanfundamentalisme yangmenganggap masalah utama

agama adalah keragaman.Muhammad Thahir bin

‘Asyur juga mempunyaipandangan yang menarik tentangpentingnya membangunparadigma moral publik agama,yaitu pentingnya membumikanMaqashid al-Syariah pada ranahpublik. Ia memandang, bahwaSyariat dalam ranah publik harusditerjemahkan dalam tiga hal:Pertama, agama harus mampumendorong kesejahteraan publik,baik itu sandang, pangan maupunpapan. Agama harus mampumenyelesaikan masalahkemiskinan.

Kedua, menyediakan fasilitasdemi terwujudnya kesejahteraansosial. Dalam hal ini, harus adakebijakan publik yang dapatmenjamin terwujudnya lapanganpekerjaan. Bila menggunakanparadigma ini, maka anggaran 20persen untuk pendidikanmerupakan kebijakan yang sejalanuntuk Syariat. Perlindunganterhadap anak-anak juga menjadikebijakan yang bernuansa Syariat.Subsidi yang progresif terhadappara petani untuk meningkatkanhasil petani juga menjadikebijakan yang sesuai denganSyariat.

Ketiga, memperhatikanpentingnya menghargai hak asasimanusia dan mengedepankan

Page 18: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

16

kepentingan orang banyak. Di sini,kepentingan publik harusdidahulukan daripada kepentingangolongan yang bersifatsektarianistik. Pada suatu hariputerinya Fatimah danmenantunya Ali bin Abi Thalibtidak mempunyai makanan yangcukup di rumahnya. Keduanyamencoba meminta kepada NabiMuhammad SAW sebagai orangtua dan mertuanya. Tetapi Nabimenyatakan akan mendahuluiumatnya, yang sedang diderakelaparan dari pada keluarganya.MItulah teladan pembebasan yangdiwariskan Nabi Muhammad SAWkepada umatnya. Kepentinganumat harus diutamakan daripadakepentingan diri dan keluarganya.

Dengan demikian, sebenarnyaagama-agama mempunyai potensiuntuk menjadi kekuatan publikyang transformatif daripada hanyasekadar fundamentalistik-formalistik. Agama-agama tidakhanya kaya doktrin, melainkan jugakaya pengalaman tentangtransformasi sosial, yang sudahdipraktekkan sejak dahulu kala.Karenanya, tugas yang diembansesungguhnya lebih mudah yaitumenagih kekuatan politik untukmenerjemahkan nilai-nilaitransformatif tersebut dalam ranahsosial.

Para pendiri bangsa ini,

sebenarnya merupakan contohyang sangat baik dalam rangkamenerjemahkan nilai-nilaitransformatif agama dalam ranahpublik. Pancasila merupakan salahsatu bentuk konstitusi yangmenjamin nilai-nilai hadir dalambentuknya yang melindungisemua kalangan. Karena itu,menurut Nadirsyah Hosen dalamShari’a and Constitutional Reform inIndonesia, konstitusi yang kitamiliki sebenarnya memuat nilai-nilai substansi dalam agama,khususnya Islam. Konstitusitersebut lebih baik daripada Turkiyang menganut sistem sekulermaupun Pakistan, Malaysia, Irandan Saudi Arabia yang menganutsistem Islam. Moral publik agama-agama sudah terangkum dengansangat baik di dalam Pancasila danUUD 1945.

KesimpulanMoral publik agama

sesungguhnya sudah menjadimodus vivendi pada bangsa ini sejakawal kemerdekaannya.Masalahnya adalah sejauhmanaseluruh pihak, baik kekuatan po-litical society maupun civil societymempunyai pemahaman yangkomprehensif tentang paradigmatransformatif sebagaimana terteradalam konstitusi. Sebab, masihbanyak pihak yang kurang

Page 19: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

17

Daftar Pustaka

Peter L. Berger, The Secred Canopy:Elements of a Sociological Theory ofReligion, Anchor Books, New York, 1967

____________, Pluralism,Prostetanization and he VoluntaryPrinciple, makalah conferensi tentangThe New Religious Pluralism andDemocracy yang dilaksanakan padatanggal 21-22 April di UniversitasGeorgetown, Amerika Serikat

Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashidal-Syari’ah al-Islamiyyah, Dar al-Salam,Kairo, 2005

Nadirsyah Hosen, Shari’a and Constitu-tional Reform in Indonesia, ISEAS,Singapura, 2007

mengerti tentang kelebihan dankeistimewaan konstitusi tersebut.

Tantangannya terdapat padasejauhama nilai-nilai yangdiusung oleh konstitusi tersebutditerjemahkan dalam realitassosial politik. Jika nilai-nilaitersebut diterapkan dengan baik,maka politisasi agama tidak akanmenemukan tempatnya direpublik ini. Sebaliknya, biladitinggalkan maka bangsa ini telahmenelantarkan kesempatan emasuntuk menjadi bangsa yangunggul dan bermartabat. Di sini,pluralisme merupakan kenyataanhistoris yang harus dikonstruksimenjadi kekuatan transformatifuntuk mewujudkan perubahan.

Page 20: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

18

PROBLEM kehidupan beragama di Indonesiamasih cukup banyak dan setiap saat muncul prob-lem yang berbeda-beda. Untuk menjalankankehidupan beragama secara bersama-samaantarpemeluk dengan semangat toleransi tinggimasih menghadapi tantangan yang tidak kecil.

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagaiwacana publik, namun praktiknya tidaklah semudahyang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudahterdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangunbukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatanbersama, namun pandangan atas ‘agamaku’,’keyakinanku’ justru sering menjadi dasar dariberbagai perilaku sehari-hari yang bermuatankekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya sloganBhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangantak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesiayang menghantui dan menghambat terwujudnyasolidaritas, soliditas, dan toleransi antarumatberagama di Indonesia.

Gairah beragama yang tinggi tidak selalumemiliki pengertian setara dengan semangatberagama yang hakiki, yakni untuk mengubah carahidup yang lebih manusiawi. Sudah sering umatberagama kehilangan visi dan perspektif hidup.Mereka kehilangan kemampuan untuk menggambiljarak kritis, dan kehilangan kemampuan untuk

Agama dan Nalar Negara-Kekuasaan

Benny SusetyoSekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan

Konferensi Waligereja Indonesia

Artikel

Page 21: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

19

menjadi hening. Mereka jugakehilangan kemampuan untukberkontak dengan Tuhan. Inilahyang paradoks dalam kehidupanberagama saat ini. Kehidupanmenjadi kontraproduktif karenagairah beragama tak lagi menjadibagian dari perubahan laku.

Beragama Secara ParsialBeragama dan ber-Tuhan

dengan mengedepankan toleransisering hanya bisa diucapkanmelalui kata-kata. Dalam berbagaiperilaku kehidupan toleransiberagama dan membumikan nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinyadiemban oleh semua agama seringhanya menjadi penghias bibir.Perilaku kehidupan yangmementingkan keserakahan disatu sisi dan kesucian di sisi lainseringkali berseberangan secaraekstrim. Keduanya salingmengklaim sebagai pembawakebenaran satu-satunya. Bagiperkembangan kemanusiaan dansolidaritas, kedua pandangan inisering berkontribusi negatif.

Solidaritas tidak tumbuhseiring dengan berbagai masalahyang dihadapi. Solidaritas mati ditengah sikap sombong manusia.Tugas agama untuk membawapesan-pesan keadilan dankedamaian hilang ditelan olehtindak-tanduk kaum beragama

yang intoleran dan bersikap inginmenang sendiri. Akal budi dankemanusiaan pun luntur karenasikap individualistik yang semakinhari semakin tajam. Orangberagama hilang kepeduliannyapada sesama.

Kecenderungan manusiasekarang adalah pragmatisme. Kitadididik oleh ajaran-ajaran menjalanikehidupan secara instan.Pragmatisme dalam konteks inihanya melihat manusia dalam satusegi saja, yakni memilih salah satudi antara keduanya: material atauspiritual. Jika memilih aspekkeduniawian, pola pikir seperti iniakan sangat memuliakan materi.Orientasi berkehidupan terjebakdalam pemenuhan hal-halinderawi. Orientasi keuntunganfisik belaka. Tak ubahnya barang,semua aspek terdalam dari manusia—seperti kemanusiaan— direduksike dalam perilaku mekanis,individualis dan pragmatis. Halyang sama juga terjadi bila aspekspiritualitas yang dipilih tanpamengindahkan keberadaan materi.Keberagamaan yang demikianhanya melahirkan manusia yangmerasa dekat dengan Tuhannyatapi enggan bersentuhan denganrealitas.

Ketika terjadi musibah,manusia sudah “pasrahbongkokan” alias fatalis dan

Page 22: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

20

menyerahkan semua keadaankepada yang “Di Atas”. Semuamerupakan kehendak Tuhan, danmanusia hanya bisa berpasrah diri.Manusia dengan kategori seperti initidak akan pernah menyalahkansemua kegagalan kepada dirinya,karena semua sudah kehendakberkuasa. Tidak ada refleksimendalam bahwa setiap bencanaselalu ada sebabnya. Tidakmungkin ada api kalau tak ada bara,tak mungkin ada banjir kalaumanusia tidak serakah menjarah.

Dalam keadaan seperti inimanusia menyerahkan semuanasibnya kepada yang di atas, danmelihat semua fenomena sebagaitakdir. Mental pasrah danmenerima ini bahkan diyakinimelekat dalam diri kita sebagaikaum berbangsa dan beragama.Semua ujung permasalahan ditarikke dalam kubangan takdir, seolahmanusia tidak pernah bersalah —dan terkadang melihat nyata-nyatakesalahan manusia juga sebagaitakdir. Tidak sedikit pola pikir yangpertama menjadi kecenderungandan kekuatan bertindak-tanduk.Tidak sedikit pula pola pikir yangkedua menjadi kecenderunganumat beragama di bangsa seribusatu bencana ini.

Keduanya saling berebutmemperebutkan kedudukan dantempat terbaiknya dan mengaku

sebagai cara terbaik berketuhanan.Keduanya menjalani kehidupandalam bentuk yang ekstrim. Takdisadari bahwa keduanya sedangmelihat Tuhan dalam dua sisi yangberbeda. Mereka tidak melihatTuhan dalam kacamata yang utuh.Sudah begitu, lantang diteriakkanbahwa di antara merekalah yangterbaik melihat segala aspekketuhanan dan kemanusiaan.Tidak disadari bahwa adasemangat yang hilang dalamkedua cara tersebut memandangkehidupan. Bahwa aspekkemanusiaan dihilangkan,persaudaraan dimatikan, danmerasa bisa hidup bahagia dengankeserakahan di satu pihak dankesucian di lain pihak.

Kebahagiaan yang dicapaimelalui keserakahan dan kesucianyang diraih dengan menegasikanmenjadi cara pandangberkehidupan yang mengabaikanpesan-pesan luhur Tuhan darisemua agama, yakni kemanusiaan.Manusia yang terbatasi dalamdirinya ruang dan waktu merasasudah bisa memahami Tuhanyang berada dalam ruang danwaktu tak terbatas. Klaimkebenaran muncul di mana-mana.Kebenaran yang dicaridinyatakannya sudah berakhirdalam satu tafsir tunggal. Di antaramereka menyatakan sebagai

Page 23: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

21

penafsir tunggal terbenar tentangsegala hal terkait dengan Tuhan.

Ketika agama dipahamidengan cara parsial seperti itu, takpernah disadari bahwa umatmanusia dan kemanusiaannyatelah terjerambab dalam kubanganlumpur yang dalam dan gelap.Mereka yang melihat gajah dalamsatu sisi berkoar menyatakan gajahberkaki dua, dan mereka yanghanya sempat melihat belalainyaberkeyakinan gajah hanyamerupakan sesuatu yangmemanjang. Integrasi semangatkedua keyakinan ini sulit menyatukarena dalam diri mereka masing-masing telah tumbuh egoisme dansikap yang sangat individualistik.Agama dengan tafsiran monolitikseperti ini lalu menjadi carapandang berkehidupan yangutama dengan hasrat kuat untuksaling menguasai sekaligusmengabaikan faktor-faktorkemanusiaan dan solidaritasterhadap sesama.

Kekerasan dalam BeragamaSalah satu persoalan

mendasar dalam demokrasi Indo-nesia adalah kebebasanmenjalankan ibadat dankeyakinan. Pada 2007 adalah saatdi mana pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinanterjadi sangat nampak di

permukaan. Serangkaianperusakan, kekerasan, danpenangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat”dan kelompok agama lain terjadidan dipertontonkan kepada publik.Sepanjang Januari-November,Setara Institite mencatat 135peristiwa pelanggaran kebebasanberagama dan keyakinan. Dari 135peristiwa yang terjadi, tercatat 185tindak pelanggaran dalam 12kategori.

Jumlah terbanyak kelompok(korban) yang mengalamipelanggaran kebebasan beragamadan berkeyakinan adalah al Qiyadahal Islamiyah. Aliran ini ditimpa 68kasus pelarangan, kekerasan,penangkapan dan penahanan.Kelompok berikutnya adalahjemaah Kristen/ Katholik yangmengalami 28 pelanggaran, disusulAhmadiyah yang ditimpa 21tindakan pelanggaran. Dari pelaku185 pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinan adalahnegara. Sejumlah 92 pelanggarandilakukan oleh negara (commission)dalam bentuk pembatasan,penangkapan, penahanan, danvonis atas mereka yang dianggapsesat. Termasuk dalam tindakanlangsung ini adalah dukungan danpembenaran otoritas negara ataspenyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.

Page 24: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

22

Sedangkan 93 tindakanpelanggaran lainnya terjadi karenanegara melakukan pembiaran(ommision) terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukanoleh warga atau kelompok.

Berbagai laporan yangdikeluarkan menunjukkan eskalasikekerasan berbasis agama yangterjadi sepanjang 2007 mengandungdestruksi yang sangat serius danmengkhawatirkan. Penyerahanotoritas negara kepada organisasikeagamaan korporatis negaradalam menilai sebuah ajaran agamadan kepercayaan merupakanbentuk ketidakmampuan negarauntuk berdiri di atas hukum danbersikap netral atas setiap agamadan keyakinan. Aparat hukumbertindak di atas dan berdasarkanpada fatwa agama tertentu danpenghakiman massa. Padahalinstitusi penegak hukum adalahinstitusi negara yang seharusnyabekerja dan bertindak berdasarkankonstitusi dan undang-undang.

Dapat dilihat di sini negaratelah gagal mempromosikan,melindungi, dan memenuhi hakkebebasan beragama danberkeyakinan. Negara, bahkan telahbertindak sebagai pelakupelanggaran hak asasi manusia(HAM) akibat tindakannya yangmelarang aliran keagamaan dankeyakinan dan membiarkan

warga/ organisasi keagamaanmelakukan persekusi massal ataskelompok-kelompok keagamaandan keyakinan. Di sini kita melihatbanyak kontradiksi-kontradiksi.Dalam konstitusi yang lebih tinggi,kebebasan umat beragama danmelakukan ibadah dijamin, tapidalam peraturan di bawahnyaterdapat kecenderunganmenghambat umat untukberibadah. Ada pengekangan.

Misalnya dalam konteksrumah ibadah, itu bukanlah soalbagaimana suatu rumah ibadahdiserbu bahkan dibakar olehsekelompok orang yang menjadipersoalan utama. Itu sekedar eksessaja. Jauh lebih penting dipikirkanadalah bagaimana peranpemerintah menjadi mediator,perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengaturpendirian rumah ibadah. SKByang menjadi dasar aturan ituterkesan tidak adil. Dengandemikian pelaksanaannyamelahirkan dampak umat yangtidak dewasa memandang umatlain. Bukanlah umat beragamayang serta merta dipersalahkandalam kasus ini, melainkanketidakmampuan pemerintahuntuk melihat pluralitas dengankacamata lebih adil danmenguntungkan bagi semua.

Negara gagal memberikan

Page 25: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

23

perlindungan dan kesempatanyang adil bagi semua pemelukagama untuk beribadah sesuaikeyakinannya masing-masing.Jika demikian, lalu Pancasilauntuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa parafounding father merumuskanfalsafah bangsa yang demikianberharga dan terhormat itu jikadalam perilaku sehari-hari kitatidak bisa mempraktikkannyadengan sepenuh hati?

Walaupun kehidupan sosialpolitik kita sudah mengalamikebebasan, nyatanya itu belumberimplikasi pada kebebasan asasiwarga untuk beribadat. Beribadat,seperti kata Romo Magnis, adalahhak warga paling asasi, dan hanyarezim komunis yang melarangnya.Rezim seperti apakah kita iniketika membiarkan kekerasandalam beragama tanpa adanyaruang dialog untuk membicarakanulang secaralebih manusiawi?

Pemerintah berkewajibanuntuk menjaga, melestarikan danmeningkatkan kesadaran dankedewasaan umat terutama dalampandangannya terhadap umat dankeyakinan beragama yangdianggap “lain”. Pemerintahberkewajiban untuk memberikanpencerahan dan pendewasaanpemikiran umat akan toleransi danpluralisme. Itulah yang dimaui

Pancasila. Dengan begitu kebijakanyang berpeluang untukmenumbuhsuburkan antipatiterhadap saudara sebangsanyayang lain perlu didudukkan ulanguntuk dibahas dan diganti dengankebijakan yang lebih adil danmencerahkan. Buat apamempertahankan sesuatu yangdianggap tidak adil? Pemerintahharus mendengar dan benar-benarmendengar tuntutan seperti ini.

Kekerasan telah menjadi modelyang sering dibungkus denganornamen keagamaan dankesukuan. Inilah yang membuatwajah kekerasan semakin harisemakin subur di bumi pertiwi ini.Meski kita seharusnya merajut nilaipersaudaraan yang secara jelasmengacu pada Pancasila, tapi kianhari Pancasila tidak lagi menjaditujuan hidup bersama. Pancasilayang seharusnya menjadi perekatkehidupan bangsa tampak semakinhari semakin terkikis oleh kefasikankeagamaan, kedaerahan dankesukuan. Pancasila seringdiucapkan tapi sama sekali takdipahami maknanya.

Pancasila tidak dijadikanpembatinan nilai kehidupanbersama untuk mewujudkanbangsa yang beradab. Peradabanbangsa yang diukur dengankomitmen warga untukmewujudkan nilai kemanusiaan

Page 26: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

24

dan keadilan tidak pernah berhasil.Tampak bangsa ini sangatmengagungkan formalismekeagamaan dan persatuan yangdihayati secara “fasis”. Inilah yangmembuat bangsa ini gagalmelompat menjadi bangsa yangmenekankan rasionalitas karenakekerasan melekat menjadi kulturdalam diri kita sebagai bangsa.

Sampai sejauh ini dapat dilihatbahwa pemerintah dan DPR belumbersikap dan bertindak sama sekaliatas setiap peristiwa kekerasan,diskriminasi, dan pelanggarankebebasan beragama danberkeyakinan. Padahal, berbagaipernyataan, sikap, dan tindakanbeberapa institusi mitra DPR itumengandung muatan destruktif,membiarkan kekerasan, dan turutserta melakukan pelanggarankebebasan beragama danberkeyakinan di Indonesia . Adalahfakta, bahwa kebebasan beragamadan berkeyakinan merupakan hakkonstitusional warga yang dijaminoleh konstitusi. Karena itu,pengingkaran terhadappemenuhan hak-hak tersebut tidaksemata melanggar HAM tapi jugamelanggar konstitusi.

Nalar Negara-KekuasaanAdalah Machiavelli,

cendekiawan politik yang masyhurdengan Il Principe (Sang Pangeran)-

nya dan cita-cita negara kekuasaanmelalui alat represi, menerima‘hujatan’ atas teorinya tidak saja dimasa lalu ketika ia masih hidup,bahkan sampai sekarang ia terusdicerca. Pengabaiannya terhadapeksistensi moral dan prinsip baikburuk dalam pemerintahanmerupakan dasar-dasar di manakekerasan (represi) absahdigunakan untuk tujuankekuasaan.

Peperangan yangmelegitimasi piranti-pirantikekerasan di masa Alexander IIdan Julius Caesar II, Caesar Borgiadan Keluarga Medici, Maximiliandan Louis XII, membuatMachiavelli gerah. Ia lantasmerumuskan teori kenegaraanmodern, yakni menyarankanpenggunaan kekuatan represifuntuk membangun sebuah negarayang kuat. Jalan satu-satunyauntuk menghentikan peperanganadalah hadirnya seorang pangeranyang kuat, yang mampumenyatukan kekuatan manusiadan hewan.

Teori pencapaian kekuasaandengan segala cara alamachiavellianism ini dikutuk olehnegara-negara masa kini, tokoh-tokoh politik, agamawan sertamasyarakat lain umumnya karenabertentangan denganhumanisme/HAM. Namun,

Page 27: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

25

betapapun demikian, kutukantersebut nampak hanya dalamkonsep saja. Realitasnya, carauntuk mencapai kekuasaandengan kekerasan, baik fisik/nonfisik (dominasi/hegemoni), baiklangsung/tidak, di dunia modernini nampak semakin seringdigunakan. Terorisme yangdilakukan negara atau kelompoktertentu dalam masyarakat adalahcontoh baik untuk disebut.

Apa yang bisa kita petik darikisah di atas adalah pelajaranmengenai sikap manusia yangsering paradoksal. Tidak selaluniat baik menghasilkan tujuanbaik, karena dalam perjalanannyamanusia tergoda dan terbiuskepentingan jangka pendek. Niatdamai tak selalu dipahami orangagar dicapai dengan jalan damaipula. Sebagian dari merekacenderung menggunakan jalankekerasan. Perubahan peta politikdan sosial yang berlangsungdengan cepat ternyata takmenghasilkan rasa tentram.Kekerasan sosial akibat krisisekonomi dan politik semakinmeningkat tajam.

Contoh kekerasan dalamberagama selama beberapa waktuterakhir cukup ironis. Reformasi,yang diyakini sebagai masatransisi demokrasi di Indonesia,diwarnai dengan segala sesuatu

yang gelap gulita. Persoalan demipersoalan datang tak terduga,saling tindih. Akibatnya, hampirtak satupun ada kasus kekerasanyang tuntas diusut sampai akar-akarnya.

Dapat dicatat bahwa otoritaskekuasaan kehilangan orientasiuntuk mewujudkan ketertibanumum. Mereka tak mampumengatasi budaya premanismeyang menjamur di kalangan sipildengan menggunakan bajukeagamaan, kedaerahan,kesukuan, dan kepartaian. Iniakibat negara jugamengembangkan budayapremanisme yang hampir serupa,yakni kerap mengintimidasi danmeneror! Tanpa kita sadari bahwatumbuhnya kekerasan dalambungkus premanisme inimenghancurkan peradabankemanusiaan.

Menurut Robert W. Heffner,kelahiran pelbagai laskar,misalnya, bisa dilacak saatkekuasaan Soeharto (alm) diambang kehancuran, atausebelumnya sebagai kekuatanuntuk menyanggahnya.Kenyataannya ada berbagai laskarsipil yang bertumbuh danberkembang subur dalammasyarakat, di mana kelakuanmiliteristiknya kerap melebihimiliter formal sesungguhnya.

Page 28: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

26

Keberadaan mereka selama inisering meresahkan daripadamembantu keamanan masyarakat.Alih-alih menciptakan kekacauandan teror daripada ketentramandan kedamaian.

Di sisi lain, kekuasaan-negaratidak menyadari bahwa kelahiranberbagai laskar tersebutdiakibatkan negara tak mampumelindungi masyarakat. Atau jugakarena sengaja dibentuk negarauntuk beberapa kepentinganjangka pendek para elitnya. Maka,tanpa sadar elit politik kita lebihmengedepankan nalar negara-kekuasaan (machiavellianism)daripada nalar negara-moral. Demialasan ini pula, kekerasan bisadigunakan atas nama negara.

Harus diakui bahwa sejarah In-donesia memang penuh kekerasan,mulai dari Ken Arok di Singosarisampai dengan Amangkurat I danII di Mataram. Dalam The History ofJava, Raffles menceritakan betapasadis Amangkurat I: “Bila ia merasatak enak hati, ia selalu menghabisiorang yang menjadi sumberketidaksenangannya.” Ia bahkanpernah mengumpulkan 6000 orang(para agamawan besertakeluarganya) ke alun-alun, danmembunuhnya tak kurang dariwaktu 30 menit. Atau cerita dariBabad Tanah Jawi yangmenunjukkan betapa sadisnya

Amangkurat II. Ia menikam danmencincang Trunajaya, lantasmembagi-bagikan hatinya agardimakan para bupati yang hadir disuatu balairung pembantaian itu(!) (Catatan Pinggir GunawanMuhammad).

Potensi kekerasan yang adadalam kultur kita tersebut,haruskah kita pelihara sampai kinidalam sebuah situasi dunia dimana kita disebut sebagai bangsaramah? Maka, berangkat daripengakuan/kesadaran bahwakekerasan adalah potensi yang adadalam habitat kita, mengharuskanbangsa ini untuk lebih banyakmerefleksi diri. Kekerasandiberikan legalisasi atas namanegara –yang lebih berkuasaketimbang nalar moral. Moralitaspolitik tunduk pada nalar negara.Akibatnya selama bertahun-tahunkita terjebak pada litani kekerasan.Litani ini terus-menerusmenghidupi politik, budaya,agama, pendidikan dan militer.Litani ini bergerak menjadilingkaran ‘fasis’ di mana jargonagama, nasionalisme, ekonomi,dan politik diusung para elit untukkepentingan pribadinya sendiri-sendiri.

Karakter kekerasan inilahyang lebih lanjut beranak–pinakdalam bentuk radikalismekeagamaan, kedaerahan dan

Page 29: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

27

kesukuan. Ini membuat orang hidup dalam sikap: “Yang penting akumenang, cara apapun yang dipakai tidak soal” (machiavelianism).Keangkuhan untuk menang menyeret bangsa ini ke dalam mentalismedan fanatisme sempit yang lahir dari ketidakberdayaan dan keenggananberkompetisi. Potensi kekerasan tidak hanya berada di luar sana, tapijuga di dalam sini.

Lambertikirche, katedral bersejarah di Kota Muenster, Jerman, yang menjadi saksi atas kekejamanfasisme Nazi terhadap orang-orang Yahudi di era Perang Dunia II. doc. Fajar

Page 30: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

28

Moderation“Moderation” ... is Russell’s Paradox,

reduced to a single word.For being moderate in moderation,

means one is immoderate in some respect;and if one is completely moderate,one is immoderate in moderation.

Rabbi Amos EdelheitWillimantic, Conn.

Dalam wacana keberagamaan sekarang ini, istilahmoderat memiliki konotasi yang sangat positif.Moderat adalah kata yang menghipnotis. Islammoderat, misalnya, dimaknai sebagai Islam yang anti-kekerasan dan anti-terorisme. Islam moderat identikdengan Islam yang bersahabat, tidak ekstrem kanandan tidak ekstrim kiri. Nahdlatul Ulama (NU) danMuhammadiyah pun dengan tegas mengklaimdirinya sebagai representasi dari Islam yang moderat,bukan liberal dan juga bukan fundamentalis.

Landasan teologis-ontologis pun dibangun untukmengokohkan pilihan ini. Dalam beberapakesempatan Azyumardi Azra, direktur pascasarjanaUIN Jakarta, dan Din Syamsuddin, ketua umumMuhammadiyah, menjelaskan bahwa istilah Islammoderat memiliki padanan dengan istilah Arabummatan wasathan atau al-din al-wasath (Qs 2:143) yangberarti “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrim.Bagi Ali Syariati, pembaharu Islam di Iran, dan Buya

Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks

Ahmad Najib BurhaniPeneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan

Associate Peneliti MAARIF Institute

Opini

Page 31: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

29

Hamka, tokoh Muhammadiyah,al-din al-wasath berarti Islamberada di tengah antara esoterismeKristiani dan eksoterisme Yahudi.

Dalam konteks percaturanglobal saat ini, dan juga kontekslokal Indonesia, menjadi Muslimmoderat barangkali menjadipilihan yang pas dan “aman”. Tapilabel moderat ini seringkali hanyamenjadi baju ketika seseorangtidak bisa menjelaskan posisidirinya di tengah perebutanpengaruh antara kelompok gariskeras Islam dan kelompok liberalIslam. “Tidak kanan” dan “tidakkiri” adalah sebuah negasi, belummenjadi sebuah identitas.

Bagi Muhammadiyah danNU, pemakaian nama Islammoderat adalah sebuah fenomenabaru. SebelumnyaMuhammadiyah menyebutdirinya sebagai Islam modernisdan NU sebagai Islam Aswaja(ahlussunnah wal jamaah).Muhammadiyah terkenal denganstruktur dan infrastrukturorganisasi yang modern sejakpendiriannya di tahun 1912.Ketika identitas modernis yanglama melekat di Muhammadiyahmulai luntur, makaMuhammadiyah tidak menolakketika orang luar memberinya sifatbaru yang untuk saat iniberkonotasi positif, moderat.

Bagi organisasi sepertiMuhammadiyah dan NU,mengambil posisi moderat tampakseperti sebuah pengkhianatanterhadap misi pendirian mereka.Sifat ini akan menghilangkan peranmereka sebagai gerakan (movement)yang memiliki visi yang jelas.Menjadi moderat juga berartimembiarkan umat mereka terusberada dalam perebutan berbagaialiran ekstrim. Moderat adalah pasifdan terus-menerus menjadi obyek.Bagi kedua organisasi itu, moderatelebih berarti medioker daripadanetral.

Ahmad Dahlan, pendiriMuhammadiyah, dan HasyimAsy’ari, pendiri NU, tentu bukanlahorang-orang moderat. NabiMuhammad pasti juga bukan orangmoderat. Jesus juga bukan orangmoderat. Mereka adalah pararevolusioner sejati. Pemaknaan al-din al-wasath sebagai agama yangmoderat atau agamanya orangmoderat justru menyesatkan.Dalam konteks ini, wasath mestidimaknai sebagai center atau heart,agama yang menjadi pusat danjantung peradaban.

Kekuranglincahan NU danMuhammadiyah saat ini terutamabersumber pada keputusan merekauntuk memposisikan diri sebagaiumat yang tengah-tengah saja.Hanyut dalam dekapan penguasa,

Page 32: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

30

baik yang tingkatnya nasional,seperti pada zaman Orde Baru,ataupun penguasa wacana globalsaat ini, seperti Amerika Serikatatau kelompok radikal Islam.Mengambil posisi moderat tentubebas dari beresiko, tak berbahaya,dan terkesan taktis. Namundemikian, moderat tidak punyasemangat pembaruan sedikitpundalam dirinya. Selama keduaorganisasi itu memilih posisimoderat, maka keduanya tidakakan menjadi pemenang.

Beberapa waktu sebelumturunnya Soeharto darikepresidenan tahun 1998, seorangtokoh penting dalam ormas Islamdi Indonesia mengatakan kepadasaya, “Tidak usah meminta Bapakturun, kita tunggu saja dengansabar. Toh, tidak lama lagi dia akanturun dengan sendirinya. Berapasih umurnya manusia?” Menungguturunnya Soeharto darikepresidenan secara natural, dalamarti meninggal dunia, berarti masihperlu waktu 10 tahun. Sepanjangwaktu itu kita tidak perlumelakukan apa-apa, yangterpenting selamat. Ini adalah caraberpikir moderat.

Sebagai mahasiswa kajianagama di Amerika, secara pribadisaya lebih suka menjadi murid daridosen yang benar-benar atheis atauMuslim taat atau Kristen taat atau

dosen yang seratus persen tidakberagama daripada dosen yangtidak sempurna bentukkeberagamaannya. Mereka yangsudah jelas posisinya seringterbukti lebih bisa menunjukkanhormat kepada orang yangmemiliki keyakinan berbedadaripada orang yang masih belummapan pandangankeagamaannya.

Karena itulah, Muslimmoderat di Indonesia perlumenjelaskan identitas dirinya,perlu menegaskan karakternya,bukan sekadar menunjukkannegasi bagi kelompok lain, bahwaia “bukan ini” dan “bukan itu”.Bernegasi ria adalah ciri daripseudo-moderate. Tanpamemberikan definisi, maka Islammoderat bisa dimaknai sebagaiMuslim banci, seperti pernahdituduhkan Abu Bakar Ba’asyir.

Page 33: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

31

Penyair besar Ronggowarsito, di pertengahanabad 19, menggambarkan zaman pancarobasebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akalsehat diremehkan. Perbedaan antara benar dansalah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidakdigubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akalsehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalelakarena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas danbawah.

Zaman “Kalabendu” adalah zaman yangmantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalahpenindasan. Ketidakadilan malah didewakan.Ulama-ulama mengkhianati kitab suci. Penguasalalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi.Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaummiskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan,orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari“Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atasadalah saduran bebas dari isi tembang aslinya.Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa“Kalatida” adalah zaman edan, karena akal sehatdiremehkan, dan “Kalabendu” adalah zamanhancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilaidan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara

Pengantar Redaksi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menganugrahkan DoktorHonoris Causa kepada budayawan WS Rendra. Pada pidato pengukuhannya,5 Maret 2008, Si Burung Merak menyampaikan renungan yang berjudulMegatruh Kambuh. Kami mengucapkan terima kasih banyak kepadaPendiri Teater Bengkel ini yang telah mengijinkan Jurnal MAARIF memuatpidato pengukuhannya sebagai DR. HC ke-19 UGM.

MEGATRUH KAMBUHRenungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu

Dr. (HC) W.S. Rendra*

Risalah

Page 34: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

32

merata.Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya, setelah

“Kalatida” dan “Kalabendu”, pasti akan muncul zaman “Kalasuba”,yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamatdi masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalampermainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin,sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantumdi dalam kitab suci-Nya. Maka, nanti akan datang secara tiba-tiba masa“Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba”tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke-19, tetapi jugaterjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba,di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portu-gal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun,kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau“timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkahtajamnya penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman”serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya pagi ini(saat pengukuhan doktor honoris cause-red).

Namun, sebelum itu perkenankan saya mengingatkan, menurutteori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan, bahwa di dalamchaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itutidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandanganpenyair Ronggowarsito mengenai “Kalasubo”. Ratu Adil bukan lahirdari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja.Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannyaRonggowarsito menunjukkan –sekali lagi— ketajaman dan kepekaanmata batinnya.

Melewati pidato ini saya persembahkan sembah sungkem sayayang khidmat kepada penyair besar Ronggowarsito.

Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”,“Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di mana pun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “MesinBudaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yangmengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturanekonomi, dan aturan hukum; itu semua adalah aturan-aturan yang takbisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusiadalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan

Risalah

Page 35: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

33

aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan,

dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin Budaya” yangmampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakatdalam negara. Tetapi, “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yangmenindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahayauntuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Di dalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyatdan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diaturoleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetuaadat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, makapemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepadaadat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat sepertiitu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggiadalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakatdan alam lingkungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam daristruktur keta tanegaraannya.

Dengan begitu, kepentingan kekuasaan asing dan bahkankekuasaan raja sendiri –yang politik ataupun yang dagang- tak bisamenjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati kontrolhukum adat dan dewan adat. Itulah sebabnya masyarakat serupa itusukar dijajah oleh kekuasaan asing, atau ditindas oleh rajanya sendiri.

Ditambah lagi kenyataan, bahwa masyarakat dan alam lingkunganyang bisa hidup dalam harmoni baik –berkat tatanan hukum yangadil— pada akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri,kreatif dan dinamis, karena selalu punya ruang untuk berinisiatif.Begitulah, daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyatdan daulat manusia. Syah dan rakyat yang berdaulat sukar dijajaholeh kekuasaan asing.

Memang, pada kenyataannya, suku-suku bangsa di Indonesia yangkuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh V.O.C. Dan jugasukar dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisaditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punyasenapan yang bisa dikokang, senapan mesin, dan dinamit.

Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun1905, Toraja tahun 1910, Bali tahun 1910 dan Ternate tahun 1923 sertaRuteng tahun 1928.

Sedangkan, pada suku bangsa yang masyarakat dan alamlingkungannya tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemahkarena tidak berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yangberlaku adalah apa kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing

Risalah

Page 36: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

34

bisa langsung menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisamengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.

Adapun kohesi rakyat dalam masyarakat adat kuat karena bersifatorganis. Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah.

Kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan rajasemata, sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentanterhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi,Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Senapati, KerajaanSurakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kutai, dan Madura. Gampangditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah. Kemudian parapenjajah bersekutu dengan raja, sebagai anteknya, lalu langsung bisamengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan “Kalabendu”pun melanda negara! - Persekutuan antara raja-raja Mataram,Surakarta, dan Jogjakarta dengan penjajah ini, di zaman sekarang,menjadi model persekutuan antara pemerintah atau partai-partai politikdengan kekuatan dagang yang merugikan rakyat yang tak berdaulatitu!

Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruhNusantara, maka yang pertama mereka lakukan, ialah dengan meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu-domba dengan para bangsawan di pemerintahan, sehingga denganmelemahnya adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat danalam lingkungannya. Selanjutnya, penghisapan kekayaan alam bisalebih bebas dilakukan oleh para penjajah itu.

Di zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar dilemahkanadalah yang ada di Bali, karena hubungannya dengan agama dan pura,dan yang ada di Sumatera Barat karena berhubungan dengan syariatdan kitab Allah. Dan di Ternate karena nilai “bela kusu sei kano-kano”,rakyat dan raja merupakan anggota keluarga sama rata di bawah adat.

Tata hukum dan tata negara sebagai “Mesin Budaya”, di zamanpenjajahan Hindia Belanda menjadi “Mesin Budaya” yang buruk bagikehidupan bangsa. Karena tata hukum dan tata Negara Hindia Belandamemang diciptakan untuk kepentingan penjajahan. Ketika membangunnegara, pemerintah Hindia Belanda juga tidak punya kepentinganuntuk memajukan bangsa, melainkan membangun untuk bisamenghisap keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingankemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Begitu pula industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modalasing yang bebas pajak, alat berproduksi juga didatangkan dari luarnegeri dengan bebas pajak, dan bahan baku juga diimport dengan bebaspajak pula, kemudian pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak

Risalah

Page 37: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

35

berikut tanahnya. Yang kena pajak cuma keuntungannya. Itupun bolehditransfer keluar negeri. Jadi devisa terbuka! Alangkah total dan rapipemerintah Hindia Belanda membangun “Mesin Budaya” penghisapanterhadap daya hidup rakyat dan kekayaan alam lingkungan Indone-sia. Semuanya itu dikokohkan dengan “Ordonansi Pajak 1925”.

Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun HindiaBelanda masih terus dilestarikan oleh elit politik kita. “Ordonansi Pajak1925” hanya diubah judulnya menjadi “Undang-undang PenanamanModal Asing”. Sehingga sampai sekarang kita sangat tergantung padamodal asing. Pembentukan modal dalam negeri serta perdaganganantardesa dan antarpulau tidak pernah dibangun secara serius.

Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas padamelahirkan tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator dan produsirtak nampak ada. Mengkonsumsi teknologi yang dibeli disamakandengan ambil-alih teknologi.

Bagaimana mungkin mengembangkan sumber daya manusiatanpa menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya!Tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam perkembanganilmu pengetahuan.

Dan juga, melengahkan pembentukan industri hulu, sepertipenjajah tempo dulu, ini tidak bisa diterima! Sangat menyedihkanbahwa pabrik baja kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanyahanya mendaur ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita -di hampirsemua bidang- pesawat terbang, mobil, sepeda, obat batuk hitam, obatflu, cabe, kobis, padi, jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua assem-bling! Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan, selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkanmesin-mesin berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat spesialis yangcukup jumlahnya, pemerintah kita, sejak zaman Orde Baru, telahmenjual modal alam. Akibatnya yang memperoleh keuntungan besaradalah modal asing yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenagaspesialis. Alam dan lingkungan rusak karena kita memang tak berdayamenghadapi kedahsyatan kekuatan modal asing.

Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeriasing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, darisejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian danpangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multinasional.

Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkanbahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung

Risalah

Page 38: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

36

pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadayapangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dariSabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dariSabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambiluntuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi ituterbatas, maka para pakar asing menasihati agar ada intensifikasipertanian padi, artinya: impor lah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesakdan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlahpabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beuratyang lama kelamaan mengakibatkan tanah menjadi bantat. Lading-ladang pertanian berubah menjadi pot-pot tanaman yang tergantungpada pupuk.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailahberbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisidauntuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebunbuah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela tanaman, dan dianggap mengganggu,sebenarnya adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkansecara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas denganherbisida maka akan lenyaplah gulma selama-lamanya. Artinyarusaklah ekosistem. Dan pada hakikatnya herbisida itu berbahayauntuk semua organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan, bahwaintensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida inimenyebabkan agrikultur kehilan gan “kultur” dan berubah menjadi“agrisida” atau “ agriracun”.

Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini tak bisa diuraidan tak bisa ditahan. Pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni airtanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.

Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naiktinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaianpupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi danrusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada impor bahanmakanan. Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justruketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, sertaeksploitasi modal alam yang serakah sebelum kita menguasaipengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukuptenaga spesialis, semua itu merusak alam lingkungan. Hal itumerupakan tanggung jawab dari begawan-begawan ekonomi dan

Risalah

Page 39: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

37

bapak pembangunan di zaman Orde Baru! Inilah salah satu faktor“Kalabendu” yang kita hadapi saat ini. Dosa ini sama beratnya dengandosa korupsi dan dosa pelanggaran terhadap hak asasi. - Banyak korbannyawa, cacat badan, dan rusak kesejahteraan hidup rakyat banyak,sebagai akibat dari pembangunan sableng semacam itu.

Pembangunan dalam negara kita juga mengabaikan sarana-saranapembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalahtulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa.Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja.Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%.Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu, tidak ada pro-gram pemerintah yang dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan-darat yang menjadi penghubung antardesa, yang penting untukkegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbataspersediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan mereka dengan check yang berlaku mundur.Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka daripermainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku. – Notabene:Ternyata data terakhir menunjukkan, bahwa jumlah UKM naik menjadi48,5 juta, tetapi sumbangannya kepada GNP merosot menjadi 54%.Sedangkan jumlah non-UKM 0,5 % berbanding dengan jumlah UKM99,5% dari seluruh perusahaan di Indonesia. Jumlah non-UKM yang0,5% itu sama dengan sekitar 5000 perusahaan. Dan sumbangan non-UKM pada GNP hanya 46%. Jadi kalah dengan UKM. Angka-angkaini menunjukkan bahwa akhir-akhir ini UKM dalam keadaan tertekan.Maklumlah harga BBM dan bahan baku naik dan pengadaannyalangka, sedangkan infrastruktur makin rusak tidak karuan. Dan angka-angka itu juga menunjukkan bahwa pemerintah hanya berorientasipada Makro Ekonomi, tetapi Ekonomi Rakyat diterlantarkan!

Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengahsangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, dan ulet daya tahannya.Di abad 7 mereka yang seni-pertaniannya menanam jewawut, dengancepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta beternak lembu—yang diperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan.Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahandari India; semacam sawo, mangga, jambu, dan sebagainya. Bahkanpada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisapunya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerapseni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri.Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas,pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan

Risalah

Page 40: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

38

dalam kitab “Pararaton”.Di zaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi

dengan tanaman-tanaman baru, seperti kedele, ketan, wijen, soga, danlain sebagainya. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyakgoreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap.Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang kerajinantangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan,membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptakangandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknyaunsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tatanilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di jaman tanam paksa dan kerja paksa, ketikakehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk - karena meskipunmereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet,coklat, vanili, dan sebagainya - tetapi mereka hanya bisa jadi buruhperkebunan, atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin merekamenjadi pemilik perkebunan; namun, segera mereka belajar menanamsayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada,wortel, dan sebagainya, untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah”di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota. Akhirnyabencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadimakmur.

Dan sekarang, meski mereka dalam keadaan teraniaya olehkeadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah -bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM- toh merekatetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawananrakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Mereka lah pahlawanpembangunan yang sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan danmembela kemampuan mereka, sebagaimana Prof. Sri Edi Suwasonoyang selalu menganjurkan koperasi rakyat, dan pemerintahmenciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalahharapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masihmeneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajahHindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulanDaulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat. Dan juga, sama-samamenerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dankeperkasaan, dan tidak kepada etika. Dengan sendirinya tata hukumdan tata negara serupa itu tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika

Risalah

Page 41: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

39

bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untukmengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.

Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebarcakupannya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yangtak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya.Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, satu sila yang indah dariPancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun biladilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihat lah kasuspembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura,pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuhan yang lain lagi.

Para buruh pabrik di Cengkareng yang mogok dan berjuang untukmemperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu-biru olehpetugas keamanan. Biar pun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan,tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan olehmajikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugaskeamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.

Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untukmelindungi diri dari polusi yang ditimbulkan olah limbah pabrik.Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikanpabrik.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Keadilan Sosial, danKedaulatan Rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalamundang-undang pelaksanaan. KUHP yang berlaku adalah warisanpenjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.

Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karenaKedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukumdan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.

Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaikikenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlakuberkepanjangan dan masuk lah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menunjukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadikenyataan. Inilah zaman kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahatdipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru olehulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul duwurmendem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti maknamenjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!

Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yangmenghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulatetika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang danmengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya

Risalah

Page 42: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

40

tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi, sangat penting paraahli hukum segera membahas dan meninjau kembali mutu kegunaantata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakankehidupan berbangsa.

Bahkan Dr. Soetanto Soepiadhy, ahli tata negara dari Surabayaberpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan.Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untukmembatasi kekuasaan presiden, bukannya menghasilkan daulat rakyatyang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partaiyang lebih kuat.

Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD ‘45 yang asli,wilayah Republik Indonesia tidak jelas ditunjukkan. Lalu padaamandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yangberbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negarakepulauan yang bercirikan Nusantara dengan wilayah yang batas-batasdan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.

Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negarapun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalaunama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indone-sia.

Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memilikilaut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kitamempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, LautBanda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, LautHalmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraankita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?Ataukah ini warisan dari budaya Mataram?

Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”,padahal ini persyaratan internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisamengamankan lautan kita! Kita harus mempunyai “Sea and CoastGuard”! Dunia Internasional tidak mengakui Polisi Laut dan AngkatanLaut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, PolisiLaut itu dianggap alat perang. Jadi apa sulitnya membentuk “Sea andCoast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah inimenyinggung kepentingan rezeki satu golongan? Tetapi kalau memangada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara,bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution”?

Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan,pendirian lagi beberapa mercusuar, dan mengumumkan claim yangjelas dan rasional mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama

Risalah

Page 43: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

41

menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga intelejenkita mempunyai direktorat maritim.

Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, di segenap bidang,mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekadar “Tanah” saja.

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “NegaraPelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijasah interna-tional. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, makanegara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakuipunya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untukpertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen padatahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannyanegara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yangjelas petanya.

Jadi, Van Der Capellen tidak sekadar mengandalkan kekuatanAngkatan Laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politikuntuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraanmaritim!

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana MenteriJuanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengangigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di duniaInternasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harustanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampumengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yangtelah kita ratifikasi.

Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan UniversitasMaritim yang bisa memberikan ijasah internasional untuk syahbandardan nahkoda, belum juga mendapatkan izin dari DepartemenPendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itutidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkankedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan, dan tata pembangunan yang sablengseperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan“Kalabendu” di negara kita.

Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada,tidak mengkompromikan akal sehal. Dan juga harus sabar tawakal.Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan Ratu Adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasidatangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karenadalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan danketeraturan, tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan

Risalah

Page 44: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

42

kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untukemansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani,intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwasetelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Na-poleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacamitu di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekadar sabar dantawakal. Toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai olehdiktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti diTimor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkanusaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dantata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dandaya cipta bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya RatuAdil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal

Wassalam.Cipayung Jaya, DepokHotel Quality, Yogya29 Februari 2008

Biodata Singkat:W.S Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Beliaumendapat pendidikan di Jurusan Sastera Barat Fakultas SastraUGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuanmengenai drama dan teater di American Academy ofDramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967).

Sekembali dari Amerika, beliau mendirikan Bengkel Teater diYogyakarta dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Tahun 1971dan 1979 dia membacakan sajak-sajaknya di Festival PenyairInternational di Rotterdam. Pada tahun 1985 beliau mengikutiFestival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulanpuisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 KumpulanSajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak SepatuTua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980),Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung(1993) dan Perjalanan Aminah (1997).

Sumber: http://penyair.wordpress.com/2007/12/18/biografi-ws-rendra (diakses 14 Maret 2008)

Risalah

Page 45: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

43

Judul Buku : Al-Quran Kitab Toleransi:Inklusivisme, Pluralisme danMultikulturalisme

Penulis : Zuhairi MisrawiPenerbit : FITRAHCetakan : 2007Tebal : xxxiii+520 halaman

Al-Quran bagi banyak kalangan diyakinimemuat dan mengajarkan ajaran perdamaian dankedamaian. Tapi tak segelintir pula orang yangmencomot beberapa teks kitab ini sebagai pijakandasar mereka untuk berbuat aksi kekerasan danpermusuhan.

Kalau mau blak-blakan, al-Quran ialah sumberkebaikan dan keadilan, bukan keburukan dankelaliman. Meski didapati sejumlah ayat yang ketikadibaca literal bernuansa kekerasan, tapi ditemukanpula ratusan ayat yang secara eksplisit tegasmenyerukan sikap toleransi terhadap orang lain yangberbeda, apapun perbedaannya; agama, keyakinan,budaya, ras, suku, bangsa. Ini sebagaimana bahwatak sedikit ayat yang mengecam kezaliman dantindak penganiayaan.

Ironisnya, ideologisasi dan fungsionalisasi al-Quran untuk radikalisme dan ekstremisme seakanterus terjadi, baik dalam bentuk perkataan ataupunperbuatan. Basis itu semua ialah tafsir keagamaanyang sempit dan cetek oleh sekelompok kecil orang.Mereka menganggap pemahaman agama yang adadi otak dan benaknya sama absolutnya dengan yangada di kitab sucinya. Mereka mengklaim diri sebagai

Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran

Bedah Buku

Page 46: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

44

kebenaran itu sendiri. Siapa punyang beda keyakinan denganmereka adalah sesat dan layak dilempar ke neraka.

Dalam kerangka itulah bukuAl-Quran Kitab Toleransidituangkan. Ditulis oleh saudaraZuhairi Misrawi, seorangintelektual muda NU dan penggiattoleransi, buku ini hendakmenghadirkan al-Quran sebagaikitab suci yang mampu mendobrakpelbagai tindakan intoleransisekaligus mendorong padatoleransi, sehingga terwujudperadaban toleransi yangberlandaskan muatan-muatan al-Quran.

Pandangan bahwa al-Quranialah gudang ajaran toleransisebenarnya bisa dibenarkan dengantumpukan hadits yang merekamsetiap perkataan dan tindak-tandukNabi yang mengajak, baik eksplisitatau implisit, pada sikap santun dantoleran terhadap orang lain yangberbeda. Logikanya, jika hadits sajamemberikan perhatian secara ver-bal tentang toleransi, apalagi al-Quran yang notabene menempatiurutan teratas sebagai peganganutama umat Muslim sebelumhadits.

Sebagai kitab toleransi, al-Quran menghadirkan pesanadiluhungnya itu secara tersuratdan tersirat. Kategori tersurat ialah

ayat-ayat yang berbicara tentangkerahmatan (QS. al-Anbiya’: 107,al-Saba’: 28), kebebasan dalamberagama dan berkeyakinan (QS.al-Baqarah: 256), atau laranganatas setiap bentuk paksaan dankekerasan (QS. al-Nahl: 125).

Adapun kategori tersiratdicerminkan oleh ayat-ayat yangmembincang pesan Tuhan padamanusia agar selalu bertindak adildan menebarkan amal saleh (QS.al-Nisa’: 58, al-Nahl: 91, al-Maidah:8, al-Baqarah: 82, dst). Ketikamembincang untaian ayat-ayat al-Quran perihal toleransi,setidaknya ada tiga paradigmayang mesti perhatikan dengancermat.

Pertama, inklusivisme, yang disini dipahami sebagai paham yangmenyatakan bahwa kebenaranjuga terdapat pada agama lain. Inidirefleksikan dalam sejumlah ayatperihal penghargaan danpenghormatan terhadap kitab suciagama-agama lain berikutpenganutnya, yaitu Taurat(Yahudi) dan Injil (Kristen); (QS.al-Maidah: 44, 46, 68-69, 82-83, al-Baqarah: 62, 183, al-Hajj: 17, Ali‘Imran: 113, dst). Bahkan, dalamkonteks teologi Islam, imankepada kitab-kitab suci sebelumal-Quran menjadi salah satu variankeimanan seorang Muslim yangwajib dipegang.

Page 47: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

45

Aspek utama yang ditekankandalam inklusivisme adalahpemahaman yang konstruktifterhadap kelompok keagamaanlain. Artinya, harus ada keyakinanbahwa ada dimensi kesamaansubstansi dan nilai dalam agama-agama, seperti keadilan,kesetaraan, persamaan, danperdamaian. Semua agama pastimengajarkan kebaikan dankebajikan, kerukunan dankedamaian. Karena, sumber utamaagama-agama hanyalah satu, yaituTuhan yang Maha Tunggal. Hanyasaja, syariat yang diberikan ituberbeda-beda kepada setiap umat(QS. al-Maidah: 48), juga cara-caraberibadah (QS. al-Hajj: 34, 67).

Kedua, pluralisme, sebagaipaham yang pertama-tamamengakui perbedaan dankeragaman. Mesti diyakini,perbedaan dan kemajemukanialah sebuah keniscayaan yangtelah dititahkan Tuhan kepadasetiap makhluk-Nya, dan faktayang harus diterima sebagaisunnatullah. Usia perbedaan ialahseusia manusia itu sendiri ada dijagad raya. Dalam pluralisme, adaspirit toleransi yang sangat kuatdan kental. Ia menuntut kerjasamadalam konteks memanusiakanmanusia: menegakkan keadilandan kesejahteraan. Komitmenpluralisme adalah untuk

menancapkan bendera ketuhanandan kemanusiaan universal. Dan,semua agama pasti satu katatentang ini.

Semangat pluralisme acapkaliditunjukkan oleh al-Quran, bahkansecara jelas dan gamblang. Setiapumat mempunyai kiblat, makahendaklah mereka berlomba dalamkebaikan (QS. al-Baqarah: 148).Kebaikan bukanlah menghadapkanwajah-wajah kalian ke timur dan barat.Akan tetapi kebaikan ialah berimankepada Allah, hari akhir, malaikat, kitabsuci, para nabi, dan menyalurkan hartakepada saudara dekat, anak yatim, fa-kir-miskin, pejuang di jalan Allah,mereka yang memerlukan bantuan danhamba sahaya. (QS. al-Baqarah: 177).

Ringkasnya, pluralismemenarik ruang inklusivisme dariranah teologis-paradigmatikmenuju ranah sosial-praksis. Darikonstruk pemahaman menujulangkah-langkah konkrit.

Ketiga, multikulturalisme. Disini, perhatian utama diarahkanpada kaum minoritas. Karena, objektoleransi paling penting adalahmereka yang selama ini tidakdisentuh secara moral dan hukum,selain kerap diperlakukan secaratidak adil. Tindakan intoleransiseringkali mereka terima.

Tuhan menciptakan manusiadalam kategori mayoritas danminoritas sebenarnya bertujuan

Page 48: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

46

agar yang pertama mengayomiyang kedua. Padahal, kalau tohmau, Tuhan bisa menjadikanmanusia itu satu umat dan tidakberagam. Di sinilahmultikulturalisme menjadi salahsatu prinsip dasar dalam realitassosial. Artinya, demi terwujudnyamasyarakat yang multkulturalistik,dibutuhkan komitmen untukmerangkul kelompok-kelompokminoritas. Jadi, tindakan salingbenci dan diskriminasi sama sekalitidak dibenarkan, apapunalasannya. Karena bisa jadi, yangdibenci itu lebih baik ketimbangyang membenci (QS. al-Hujurat:11).

Ketiga paradigma toleransiyang terdapat dalam al-Quran tadihendak mengemukakanpentingnya toleransi dalam Islam.Karena Islam, yang selaludidengungkan sebagai agamakerahmatan global, tentu niscayadibangun di atas pilar-pilartoleransi dan kebersamaan.

Pada akhirnya, meski bisadibilang ambisius, buku lumayantebal ini memiliki urgensi cukupbesar dalam kontekskeindonesiaan, terlebih di tengahkehidupan keagamaan kita yangtak jarang dengan mudahnyadiserang penyakit truth claim,memutus salah dan sesat kelompoklain yang berbeda tanpa pijakan

yang berdasar, yang tak jarangdisertai aksi-aksi intoleransi dankekerasan. Di sini, toleransi dariumat Islam terhadap kelompokminoritas, baik dalam intra-agamamaupun antar-agama, sedangdipertaruhkan. Buku yang ditulisoleh Gus Mis—panggilan akrabZuhairi Misrawi—menjadi salahsatu jembatan untuk membanguntoleransi berbasis al-Quran.

M. Zaenal Arifin, Penulisadalah pencinta buku dan penelitimasalah keislaman.

Page 49: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

47

Dalam pidato pertamanya di depan para pembesar pribumiKaresidenan Lebak, Max Haveelar, tokoh sentral dalam buku MaxHaveelar yang ditulis Multatuli (1860), menyampaikan kegembiraan yangmenyelimuti hatinya setelah dilantik menjadi Asisten Residen Lebak,Banten Selatan. Ia gembira bukan karena telah menjadi pejabat pentingyang dapat sewenang-wenang mengeksploitasi rakyat kecil sebagaimanalayaknya prilaku pejabat kolonial Hindia Belanda. Lalu apa yangmembuatnya hatinya berbunga-bunga? Jawabnya, ia merasa banggakarena terpilih untuk mengubah ratapan orang-orang miskin menjadisyukur. “Karena saya tahu, bahwa Allah mencintai orang-orang miskindan bahwa Dia memberikan kekayaan kepada siapa yang akan diuji-Nya. Tetapi kepada orang-orang miskin Dia mengirim orang yang diutusmenyampaikan firman-firman-Nya, agar mereka berikhtiar di dalamkemelaratan” (Max Haveelar dalam Moechtar, 2005).

Meskipun diucapkan satu setengah abad lalu namun pesan moralyang terkandung didalamnya masih aktual disaat kemiskinan sertakesulitan hidup makin menohok mata di era reformasi ini. Kemelaratanmerupakan masalah kemanusiaan universal, melintasi aras waktu,

DICARI, PEMIMPIN VISIONER DAN BERNURANI!Catatan Komitmen Gerakan Peduli Moral Bangsa

Fajar Riza Ul Haq

Catatan Redaksi

Dua orang perwakilan kelompokmasyarakat miskin membacakan PiagamWarga (Citizen Charter) sebagai bentukkontrak sosial masyarakat denganpemerintah dan DPRD daerah. PiagamWarga yang dideklarasikan dalam rangkapengentasan kemiskinan di Kota Metro,Lampung, itu difasilitasi oleh MAARIFInstitute for Culture and Humanity.doc.Maarif

Page 50: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

48

budaya, dan keyakinan.Kemiskinan merupakan anomalisosial yang bersifat lintas golongandan agama, bukan ancaman untuksekelompok orang. Pada saat yangsama, kehadiran satu pihak, baikperseorangan maupun kolektif,yang mampu mementik harapandan menabalkan etos perubahanmerupakan keniscayaan sejarah.Simak saja petikan sebuah HadisQudsi yang meriwayatkan bahwa“Carilah karunia Allah denganmendekati orang yang dekatdengan orang miskin karena padamerelah Aku jadikan keridhaan-Ku”.

Dalam lintasan sejarah, orang-orang bijak yang bermata dengannurani selalu memberikan ruanghatinya untuk orang-orang yangmenderita, teraniaya, melarat, dankehilangan orientasi hidup.Sekedar menyebut sebagai contoh,riwayat Sidharta Gautama yangtercerahkan (Buddha), Isa AlMasih AS, dan RasullulahMuhammad SAW sarat dengannilai-nilai kemanusiaan; memberitongkat kehidupan pada orang-orang yang terperosok ke dalamparit penderitaan dan kenistaan.Semangat profetik dankemanusiaan selalu berjalanseiring. Misalnya, gerakan teologipembebasan di Asia sebagaimanadiurai Michael Amaladoss (2001,

terjemahan) menginformasikanbetapa kemunculan gerakan-gerakan pembebasan sertaperlawanan tidak lepas dari faktorsistem keyakinan masyarakatnyadan kekuatan kepemimpinan parapemimpinnya.

Memimpin = Memakmurkan,Kapan?

Agama bukanlah pelumasapalagi bahan bakar politik.Namun para pemimpin agamasangat berkepentingan dengankesejahteraan ekonomi, sosialbahkan politik komunitasnya yangdalam konsep modern merupakaninti kontrak politik dari eksistensinegara. Menurut Bhikkhu SriPannavaro Mahathera, pemimpinCandi Mendut, hidup tidakmanusiawi (miskin dan melarat)menodai martabat manusiasebagai mahluk mulia. Tak pelak,inilah kewajiban moral politik parapemuka agama untukmengingatkan pemerintah yangterpilih akan kewajiban politik-konstitusi negara dalam menjaminterrealisasinya kehidupanmasyarakat secara layak dan lebihmanusiawi.

Dalam setiap pembicaraandengan tokoh-tokoh lintas agama,Buya Syafii berkali-kalimengutarakan kegusarannyamencermati kondisi bangsa yang

Page 51: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

49

kian memprihatinkan. Belummasalah korupsi birokrasi dankemiskinan dituntaskan jalankeluarnya, kini muncul ancamankelangkaan pangan yang disertaikenaikan harga pelbagaikebutuhan dasar. “Secara umum,harus saya katakan secara jujurmeski pahit, pemerintah telahsetengah gagal di tahun 2007”,ungkap mantan Ketua PPMuhammadiyah ini. Indikasikegagalan itu dapat dilihat darimakin tidak terkontrolnyakemiskinan dan pengangguran,penyimpangan prilaku moral,korupsi yang menggurita, dankesulitan hidup makin menyergapmasyarakat bawah. Reformasipolitik dan ekonomi masih sebatasslogan.

Tanpa mengesampingkanfaktor-faktor lain, kepemimpinanyang tidak berkarakter merupakanakar tunjang kegagalan rodapemerintahan selama ini.Demokratisasi politik yang terusbergulir di semua lini, mulai daripemerintah pusat hingga desa/kelurahan, belum mencapaisubstansi demokrasi, yaknikeadilan sosial dan kesejahteraan.Pada kenyataannya, demokratisasipolitik belum berkorelasi positifdengan kebijakan demokratisasipada aras ekonomi mikro ataupunkerakyatan. Padahal inilah urgensidemokrasi. Demokrasi telahdibajak. Meskipun begitu, justrumelalui mekanisme demokrasi,yaitu partisipasi publik, kita dapatmengontrol bahkan menekan

Tokoh-tokoh Gerakan Peduli Moral Bangsa, Ahmad Syafii Maarif, Kardinal Julius Darmaatmaja SJ, Pdt. Andreas Yengawoe,Haksu Queshi Djaengrana, Nyoman Udayana Sungging, menyampaikan surat terbuka merespon kompleksitas permasalahanbangsa, Metro, 26 Januari 2008

Page 52: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

50

pemerintah untuk serius mengurusnegara dan rakyatnya.

Tokoh-tokoh agama sepertiProf. Syafii Maarif, Kardinal JuliusDarmaatmaja, Pdt. A. Yengawoe,Bhikkhu Sri PannyavaroMahathera, serta Haksu XueshiDjaengrana Ongawijaya dan yangtergabung dalam Gerakan PeduliMoral Bangsa sangat prihatindengan ketidakseriusan pemerintahmemberikan ketauladanan danmengutamakan kepentinganrakyat. Kota Metro, Lampung, 26Januari 2008 jadi saksi atas testimokebangsaan gerakan ini yangdifasilitasi MAARIF Institute.Mereka menilai pemerintah tidakmampu menjaga jarak dengankepentingan partai-partai politikyang pada akhirnya merecokikebijakan di pelbagai sektor. Yangkita butuhkan saat ini adalahpemimpin visioner yangmenempatkan kekuasaan sebagaimedium mensejahterakanmasyarakatnya, bukan sebagaitujuan akhir. Memimpin harusberorientasi pada upayamemakmurkan sebagian besarmasyarakat yang kurangberuntung. Bukankah hakekatmemimpin adalah “menyalib”kepentingan diri sendiri untuksebuah kebangkitan sebagaimanaajaran Isa AS? Juga telahditunjukkan oleh ketauladan

Ibrahim AS pada saatmenyembelih putranya, simbolego keduniawian. Karakterkepemimpinan semacam ini yangmasih langka ditemukan dalamnegara kita.

Untuk menarik gerbongbangsa yang hampir lumpuhditerpa gelombang badai ujiantentu dibutuhkan lokomotifkepemimpinan yang kuat,visioner, siap berkorban, dan kerjatuntas, meminjam istilahBudayawan Jakob Oetama. Jikasyarat utama kepemimpinanseperti ini terus diabaikan dalamsetiap proses demokrasi maka bisajadi kita (akan) memilikipemimpin-pemimpin berjiwakolonial. Padahal Max Haveelar,seorang amtenar Hindia Belanda,berani menyuarakan semangatpencerahan dan ketidakadilanketika menyaksikan penderitaanyang dialami masyarakat jajahannegerinya. Lalu, bagaimanadengan para pemimpin kita yangberasal dari bahkan dipilihbangsanya sendiri? Wallhu‘alam.

Page 53: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

51

Medio Februari lalu, MAARIF Institute mendapat kepercayaan dariDepartemen Luar Negeri RI untuk menyusun dan mempersiapkanProgramme. Program ini merupakan program pertukaran/ ajang salingkunjung beberapa aktivis interfaith Indonesia dan Inggris.

Embrio program ini sebenarnya muncul dua tahun yang lalu,tepatnya saat mantan Perdana Menteri Inggris, Toni Blair berkunjungke Indonesia. Tertarik dengan kemajemukan agama dan budayamasyarakat Indonesia, terutama corak kehidupan masyarakat Muslimdi negara ini, Toni Blair dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lantasmenyepakati terbentuknya suatu project dimana kedua negara dapatsaling mempelajari budaya dan isu-isu antaragama.

Tony Blair dan SBY lantas menyurati tujuh tokoh Islam di negaramereka masing-masing, dan kemudian membentuk suatu badan yangdisebut Indonesia-UK Islamic Advisory Group (IUIAG). Anggota IslamicAdvisory Group dari Indonesia adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua),KH. Hasyim Muzadi, Prof.Dr. Din Syamsuddin, Marwah Daud Ibrahim,PhD., Prof. Dr. Nasarudin Umar, Abdul Mu’ti, dan Yenny ZannubaWahid. Sementara, anggota Islamic Advisory Group Inggris adalah Dr.Musharraf Hussain (Ketua), Asim Siddiqui, Shaykh Muhammad Bilal

SAAT NEGARA MEMBANGUN JEMBATAN DIALOGCatatan Program Indonesia-United Kingdom Interfaith Exchange

Siti Sarah Muwahidah

Catatan Redaksi

Delegasi program pertukaran tokohagama Indonesia-Inggris berfotobersama Bhikkhu Sri PannyavaroMahathera di pelataran Vihara Mendut,Magelang.

Page 54: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

52

Abdallah, Mishal Husain, YusufIslam, Moulana Shahid Raza, danSabira Lakha.

Tujuan utama pembentukanbadan ini ialah untuk menyusunrekomendasi-rekomendasi praktisbersama tentang cara terbaikuntuk menghadapi kelompokagama ekstrim, dan meningkatkanhubungan Islam dan Barat. Badanini kemudian mempresentasikanr e k o m e n d a s i - r e k o m e n d a s itersebut kepada pemerintah Indo-nesia dan Inggris.

Pada pertemuan pertama,sekaligus peresmian IUIAG, diLondon, 31 Januari 2007, telahdisusun delapan rekomendasiutama (Eight Key Emerging Recom-mendations). Sementara,pertemuan IUIAG kedua diJakarta, 12-15 Juni 2007, sepakatuntuk segera menjalankan tigadari delapan rekomendasi. Salahsatunya adalah melaksanakan pro-gram pertukaran aktivisantariman ini.

Pada 29 Oktober- 3November2007, lima orang aktivis muda In-donesia: Raja Juli Antoni (DirekturEksekutif MAARIF Institute),Malik Haramain (Sekjen PBAnsor), Abidah Muflihati (DosenUIN Sunan Kalijaga), NatalisSitumorang (Ketua PemudaKatolik Indonesia), dan FavorBancin (Pengurus Persekutuan

Gereja Indonesia) telah mendapatkesempatan untuk berkunjung keInggris untuk mempelajarikehidupan beragama, dandinamika hubungan antarkelompok iman disana.

Selanjutnya, pada 18-24Februari lalu, enam orang aktivisantariman dari Inggrismengadakan kunjungan balasanke Jakarta, dan Yogyakarta.Keenam orang tersebut adalah:Khalil A. Kazi (Muslim Imam,Batley), Peter Tarleton (Konsultandan Pembimbing Rohani, Batley),Sughra Ahmed (Peneliti di The Is-lamic Foundation, Leicester),Cathy Morrison (Pengurus St.Phillip’s centre, Leicester), C. AlanAmos (Pembimbing Rohani diRumah Sakit Medway Maritime,Kent), dan Khabeer Bostan(Aktivis Forum Kristen MuslimUK).

Kunjungan ini diawali denganpresentasi dan diskusi tentangagama-agama di Indonesia, baikdari sisi sejarah maupun undang-undang yang mengaturnya.Kedua narasumber Prof. Dr.Azyumardi Azra (UIN Jakarta)dan Dr. Atho Mudzhar(Departemen Agama), terutamamenjelaskan bahwa Indonesiabukan negara sekuler, tetapi jugabukan negara agama. Indonesiatidak didominasi oleh suatu ajaran

Page 55: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

53

agama tertentu, tetapi didasarioleh suatu rumusan yangberlandaskan kepercayaanterhadap Tuhan YME, dan nilai-nilai luur lainnya, sebagaimanaterkandung dalam Pancasila.

Selama di Jakarta, delegasidari Inggris ini mendapatkesempatan untuk berdiskusisecara langsung dengan DinSyamsyudin, Hasyim Muzadi,British Ambassador H. E. CharlesHumfrey dll. Mereka jugamelakukan kunjungan ke MasjidIstiqlal, Gereja Kathedral Jakarta,Universitas Katolik Atmajaya, In-donesian Conference on Religion forPeace (ICRP). Selainmembicarakan akar kulturalyang menjadi dasar toleransiantar umat beragama, merekajuga berdiskusi tentang masalah-masalah seputar identitas agamayang belum tuntas, sepertiketidakjelasan hukumpernikahan antar agama, tandasetrip di KTP bagi pemeluk alirankepercayaan, pengrusakantempat ibadah di beberapadaerah, dan juga penerapansyariah Islam di beberapa kotadan provinsi.

Adapun dalam pembicaraantentang beberapa kelompok Is-lam ekstrem yang seringmenghalalkan kekerasan,ternyata didapat informasi

bahwa ternyata kelompok-kelompok tersebut tidak dapatdianggap mewakili mayoritas umatIslam Indonesia. Jumlah pengikutkelompok ekstrem tersebutsebenarnya tidak banyak, tetapikarena pendapat dan tindakanradikal mereka seringkali dieksposoleh pers, gaung mereka menjadilebih besar.

Selanjutnya, pada saatkunjungan ke Daerah IstimewaYogyakarta, rombongan berdiskusidengan pengajar dan mahasiswaCenter for Religious and Cross-cul-tural Studies dan Indonesian Con-sortium of Religious Studies di Uni-versitas Gadjah Mada, juga denganaktivis antariman di Yogyakartadan sekitarnya yang difasilitasi olehDian/Interfidei. Untukmempelajari realitas kehidupanberagama di akar rumput, delegasijuga berkunjung ke Dusun Kotesan.Dusun yang terletak di dekatPrambanan ini terkenal denganhubungan antaragamanya yangerat dan harmonis. Disini, anggotadelegasi mendapat kesempatanuntuk bertemu dan bercakap-cakapdengan tokoh-tokoh agama danmasyarakat lokal.

Di Magelang, selainmengunjungi Borobudur, danVihara Mendut, delegasi jugaberkunjung ke Pondok PesantrenPabelan, dan menunaikan shalat

Page 56: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

54

Jum’at disana. Anggota delegasiberkeliling pondok, sambilberdikusi dengan bahasa Arab danInggris dengan para santri putri danputra yang memandu mereka.Beberapa bangunan pondok, yangternyata merupakan donasi daridermawan non-Muslim,merupakan salah satu buahkerjasama antaragama di Indonesia.

Di penghujung minggu,rombongan dari Inggris ini,berpisah menjadi tiga kelompokdan masing-masing menginap ditiga tempat yang berbeda, yaituPondok Pesantren Pandanaran,Pondok Pesantren Mu’allimin danPusat Pengembangan Spiritual Uni-versitas Kristen Duta Wacana (PPSUKDW). Di kesempatan ini, paraanggota delegasi mencobamembaur dan merasakan gayahidup santri-santri di pesantren danmahasiswa di PPS UKDW. Merekaumumnya sangat terkesan dengansemangat dan energi yang dimilikioleh para santri yang notabenememiliki jadwal kegiatan yangpadat, dan jadwal istirahat yangminim. Terakhir, rombonganmengunjungi Padepokan SaptaDarma di daerah Taman Siswa,Yogyakarta. Mereka berkesempatanuntuk mengobrol langsung denganPemimpin Sapta Darma, dan belajartentang sejarah, ritual, dan masalah-

masalah yang mereka hadapi.Secara umum, para delegasi

merasa sangat terkesan dengankemampuan aneka suku bangsadan kelompok agama di Indone-sia untuk hidup berdampinganbersama, tetapi sebagaimana yangdikatakan oleh beberapa aktivisdan tokoh agama Indonesia,situasi ideal ini tidak terjadi diseluruh wilayah, sepanjang masa.Walaupun Indonesia memiliki visikebhinekaan yang ideal dimanakemajemukan itu dihargai dandisyukuri bersama, friksi danganjalan untuk merealisasikan visiitu masing sering muncul. Namun,justru disitulah, menurut delegasiUK, poin utama yang merekapelajari. Kesadaran banyak orangbahwa visi ideal belum tercapai,pengakuan bahwa masih banyaktantangan yang harus dihadapibersama merupakan suatu buktibahwa masyarakat Indonesiapeduli, dan mau terus berusahauntuk menciptakan Indonesiayang bhineka dan harmonis.

Page 57: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

55

Pluralisme: Sebuah Pemahaman AwalPrestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat

berkaitan erat dengan penghargaannya ataspluralisme. Hal ini akan menjadi tolok ukur, apakahbangsa tersebut berhasil menegakan nilai-nilaipluralis seperti toleransi, kesetaraan, dan kooperasiatau hanya sebatas jargon saja. Penegakan pluralismemerupakan “rukun iman” yang tidak bisa dinafikandengan alasan apapun. Mengabaikan nilai tersebutberarti mencederai demokrasi yang sedang kitabangun.

Namun demikian, pluralisme ternyata bukansesuatu yang mudah diterima, khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat kolektifitas danhomogenitas yang tinggi. Nilai-nilai pluralistik bukansesuatu yang given atau terberikan begitu saja,melainkan harus diperjuangkan. Dengan kata lain,fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu pluraltidak serta merta menjadikan orang yang hidupdidalamnya memahami dan menghargai pluralisme.

Pengantar RedaksiDalam rangka menyuburkan tradisi berpikir terbuka dan kritis di kalanganmahasiswa S1 dari pelbagai latarbelakang disiplin keilmuan, Redaksi MediaMAARIF mengadakan “Call for Paper I: Syafii Maarif dalam Perspektif”. Informasimengenai hal ini kami sebarkan ke pelbagai perguruan tinggi, organisasimahasiswa dan kepemudaan, serta milist di internet sejak awal Pebruari 2008.Sampai batas deadline 8 Maret, redaksi menerima banyak tulisan dari beragamkampus di Indonesia. Salah satu tulisan terpilih adalah “Peranan Syafii Maarifdalam Membangun Pluralisme di Indonesia” yang ditulis oleh Andriansyah

Call For Papper

PERANAN SYAFII MAARIFDALAM MEMBANGUN PLURALISME DI INDONESIA:

Sebuah Telaah Deskriptif

AndriyansyahMahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Langlangbuana, Bandung

Page 58: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

56

Oleh karena itu, penegakanpluralisme merupakan kewajibanmendasar bagi mereka yangpeduli dengan demokrasi dankeberlangsungan hidup bangsaini.

Pluralisme itu sendiriberarti suatu pemahaman yangmengakui adanya keragaman ataueksistensi yang berbeda-beda.Dalam bahasa Fanani, pluralismeadalah sebuah pengakuan akanhukum Tuhan yang menciptakanmanusia yang tidak hanya terdiridari satu kelompok, suku, warnakulit, dan agama saja1. Dengandemikian, pluralisme merupakanruh dari demokrasi yangmengakui adanya perbedaan. Disisi lain, pluralisme jugamemberikan suatu arahan tentangbagaimana memahami suatukebenaran mutlak yangdisandingkan dengan realitasteologis yang bermacam-macamyang termanifestasi dalam agama-agama2.

Di Indonesia, fakta bahwamasyarakat kita adalahmasyarakat yang plural adalahsesuatu yang tak terbantahkan.Namun, seperti yang sayapaparkan di atas, pluralitas bangsaini tidak serta merta menggiringmasyarakatnya untuk menghargaipluralisme. Menurut DawamRahardjo, hal itu disebabkan

karena pluralitas di Indonesiatidak diimbangi denganpemahaman tentang pluralisme3.Sehingga, tidak mengherankanjika benturan antar elemenmasyarakat sering terjadi.

Fenomena kekerasan terhadapJemaah Ahmadiyah belakanganini merupakan ciri dari kurangnyasensitivitas terhadap pluralismeitu sendiri. Karena, artikulasi yangbenar dari pluralisme bukan hanyamembiarkan yang lain (the other)untuk hidup dengan caranyasendiri, tetapi juga bagaimanamemahami dan menghargaikeyakinan the other tersebut dalambingkai kemanusiaan. Idepluralisme diharapkan membawapaham kesetaraan antar orang or-ang beriman ke arah kerja sama diantara umat beragama (dan jugayang tidak beragama) untukmenanggulangi masalah-masalahkemanusiaan seperti kemiskinan,ketidakadilan sosial, diskriminasiterhadap kaum perempuan, dansebagainya4. Sayangnya,kurangnya pemahaman terhadappluralisme diperparah oleh orang-orang yang justru anti denganpemahaman pluralisme itu sendiriserta menuduh pluralisme sebagibagian dari paham impor yangharus diwaspadai5.

Page 59: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

57

Posisi Syafii Maarif DitengahPejuang Pluralisme

Pemahaman tentangpluralisme sebenaranya telahcukup lama diperkenalkan padamasyarakat Indonesia. Rintisan initelah dimulai oleh Harun Nasutionmelalui bukunya, “Islam Ditinjaudari Berbagai Aspeknya”6.Menurutnya, agama Islammerupakan suatu nilai yangterbuka. Islam merupakankeberlangsungan dari tradisi-tradisi agama sebelumnya.Dengan demikian, Islam memilikikekerabatan yang erat dengantradisi agama-agama lain untuksaling melengkapi, bukanmembatalkan. Tren pemikiran inikemudian diteruskan olehgenerasi kedua, yakni Cak Nur,Abdurahman Wahid (Gus Dur),dan last but not least Syafii Maarifyang merupakan perwakilan darikelompok reformis-modernis(attajdid wal hadatsah). Penulissengaja menempatkan SyafiiMaarif pada posisi yang berbedadalam jajaran para pejuangpluralisme.

Hal ini disebabkan beberapaalasan. Pertama, ia mewakili suatu“tenda” besar, yaituMuhammadiyah yang menjaditenda bagi kelompok pembaharu(mujaddid). Hal inimembedakannya dari Gus Dur

yang meskipun sama-samapenganut pluralisme namun latarbelakangnya adalah tradisionalis(turatsniyyun). Sehingga, latarbelakang yang berbeda inimembawa perbedaan pulaterhadap perspektif keduanyadalam memahami pluralisme.Sedangkan Cak Nur, meskipunbanyak pemikirannya dipengaruhineo-modernisme Islam-nya FazlurRahman namun ia seorangakademisi. Cak Nur tidak memilikipengalaman memimpin ormas Is-lam mainstream seperti halnya GusDur dan Syafii Maarif (kecualipernah menjadi Ketua Umum PBHMI-red).

Sebagai seorang akademisi perse, Cak Nur memiliki privilegeberupa kebebasan akademis yangtidak dimiliki secara otomatis olehseorang pemimpin ormas Islam.Pada posisi sebagai pemimpinormas Islam, ada kemungkinanpengaruh atau pamornya jatuhhanya gara-gara pendapatnya tidaksesuai dengan suara mayoritas ditubuh ormas yang dipimpinnya.Pendapat Syafii Maarif dan Gus Durtentang demokrasi, pluralisme,kesetaraan, dan kemanusiaanterkadang menuai kritik pedasbahkan caci maki. Resiko inilahyang kemudian harus ditanggungoleh Buya Syafii dan Gus Dur.Keduanya harus siap untuk tidak

Page 60: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

58

populer karena lebih memilihnilai-nilai islam yang substantifdan manusiawi. Namun demikian,sejarah mencatat mereka sebagaipara pejuang nilai-nilaikemanusiaan.

Muhammadiyah merupakantenda bagi kaum puritan yangcenderung tidak toleran denganpandangan keagamaan yang tidakortodok7. Puritanisme inilah yangmenimbulkan banyakkekhawatiran bahwa ormasmodernis ini akan lebihmendukung ide negara Islamketimbang ide Pancasila8. Hal initerbukti dengan generasi awaltokoh-tokoh dari ormas ini yangmendukung pemberlakuan PiagamJakarta. Ini sangat berbeda denganNahdhatul Ulama (NU) yang cukupprogresif dengan menerima NKRIdan asas tunggal Pancasila padazaman Orde Baru. Namun sejarahternyata mengubah haluanMuhammadiyah danperkembangan zaman telahmemodifikasi ideologi puritanismeMuhammadiyah menjadi lebihmoderat. Pada akhirnya,Muhammadiyah juga menerimaNKRI sebagai bentuk final dalamkehidupan bernegara. Kewajibanutama umat islam menurutMuhammadiyah bukan menegakanIslam yang formalistik dalambentuk negara, melainkan

bagaimana menerapkan nilai-nilaiIslam yang substantif dalammasyarakat9. Sehingga, tujuannyabukanlah menegakan negara Islam,melainkan masyarakat yang Islamiyang pernah digagas olehRasulullah dan para sahabat.

Namun demikian, gerakanpuritanisme yang berhaluankonservatif tetap ada. Sehingga,Muhammadiyah boleh dibilangtelat dalam melahirkan kader-kader yang progresif dan liberal.Kalaupun ada, kelompok-kelompok yang progresif tersebuttidak terlalu menonjolsebagaimana kader-kader NU.Setelah kran reformasi dibuka,banyak kader-kaderMuhammadiyah yang mulaimuncul dengan ide-ide segar.Menurut Sukidi, meruyaknyakader-kader liberal-progresif ditubuh Muhammadiyah tidak lepasdari peranan Syafii Maarif10. SyafiiMaarif dalam hal ini merupakantransformator yang berperan besardalam melahirkan kader-kader lib-eral-progresif. Bermunculannyakader-kader Muhammadiyahyang liberal dan progresif hampirbersamaan ketika Syafii Maarifmemimpin Muhammadiyah11.

Relativitas Pemikiran danKemutlakan Pluralisme

Ketika paper ini dibuat, saya

Page 61: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

59

belum sempat membaca buku“Otobiografi Ahmad Syafii Maarif:Titik-titik Kisar di Perjalananku(2006)” yang konon merupakansebuah pledoi tentang perubahanpemikirannya selama ini. Namunbeberapa tulisannya, baik yangtersebar di koran, majalah ataupunbuku, mengindikasikan bagaimanagigihnya pembelaan dia terhadappluralisme. Syafii Maarif sangatmenganjurkan sikap lapang dadadan santun dalam menghadapikehidupan ini, dengan tidakmemandang perbedaan latarbelakang agama, etnis, dan ideologipolitik. Dia menganggap agamayang digunakan untuk membela“rasisme” sebagai sesuatu yangdestruktif dan harus secepatnyadimasukan dalam museumsejarah12.

Pembelaan Syafii Maarifterhadap pluralisme juga terlihatdengan jelas dalam kolom resonansidi HU Republika tentang Surat alBaqarah ayat 62 dan al Ma’idah ayat69 bahwa orang-orang yangberiman, orang-orang Yahudi,Nasrani, dan Shabiin akan sama-sama mendapat ganjaran kebaikandari Allah. Di sana, Syafii Maarifmerujuk pada Tafsir Al Azhar karyaBuya Hamka yang merupakangurunya13. Ia dengan jelas telahmelampaui pakem konvensionaltentang masalah keselamatan.

Lebih jauh lagi, Syafii Maarifmendeklarasikan sikapnyatentang kenisbian penafsiran yangdilakukan oleh manusia; apakah iaseorang mufassir atau seorangmujtahid. Dalam pandangannya,

“Iman saya mengatakan bahwa alQur’an itu mengandungkebenaran mutlak, karena iaberhulu dari yang mutlak. Tetapi,sekali ia memasuki otak dan hatimanusia yang serba nisbi, makapenafsiran yang keluar tidakpernah mencapai posisi mutlakbenar, siapapun manusianya,termasuk mufassir yang dinilaipunya otoritas tinggi, apalagiyang menafsirkannya itumanusia-manusia seperti saya”14

Dengan sangat cemerlangSyafii Maarif membedakan antarafirman Tuhan dengan pemahamanmanusia itu sendiri. Dimana yangpertama bersifat mutlak danilahiah (divine) sedangkan yangkedua bersifat relatif dan profan.Perbedaan yang “jomplang” inilahyang jarang disadari oleh paraapolog Islam.

Kritikan terhadap sejumlahulama terpandang serta karya-karya mereka memang masihmenjadi tabu tersendiri. Hal initerlihat dari adagium mereka yangberusaha untuk menjaga namabaik para ulama Islam, khususnya

Page 62: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

60

mereka yang termasuk generasisalafus shalih, denganmengesampingkan kekuranganmereka karena ilmunya. Olehkarena itu, kritikan objektif atauilmiah bisa dituding sebagai suatupenyimpangan. Bahkan aliranpembaharu yang mengklaimijtihad sekalipun tidak bisa keluardari “penjara” pengkultusanterhadap generasi awal Islam ini15.Absolutisme tafsir inilah yangmerupakan pangkal segala jenispemahaman Islam yang eksklusifdan anti-pluralisme.

Apa yang luput daripemahaman para apolog Islamialah mereka tidak memilikikeberanian untuk keluar daribayang-bayang sejarah masa lalu.Bayang-bayang tersebut adalahberupa kemapanan otoritas teksdan ulama dimana sinergikeduanya telah melahirkan masakeemasan peradaban Islam dimasa lampau. Maarifberpendapat:

“I want to propose two kinds ofIslam, qur’anic and historical.The Qur’anic Islam is the onethat represents a total islamicworld view based on the genuineand authentic interpretation ofthe Qur’an. The historical Islamis the one resulted largely fromits wrestling and interaction withthe blood and flesh of history

which is not always necessarilycompatible with the prophet’strue mission as a grace towardsall mankind”16

Mereka lupa bahwa lahirnyateks-teks yang berupa penafsiranatas al Qur’an (termasukpenafsiran atas Islam) tidak lahirdi ruang hampa, melainkan hasilinteraksi yang simultan antararealitas dan idealisme yangdikandung kitab suci tersebut.Dengan kata lain, penafsiranseorang ulama mengenai ayattertentu al Qur’an boleh jadidipengaruhi oleh kondisi padazamannya. Ia melanjutkan,

“From this perspective, what weknow then as sunnism, shi’ism,and kharijism were no doubtparts of the historical islam, andevery moslem has the right toquestion the validity and authen-ticity of their claims for truthwhen seen from the qur’anicworld view”17

Syafii Maarif berpendapatbahwa pluralisme merupakanfakta keras sejarah. Pluralismememberikan peluang pada setiaporang untuk berbeda danmeyakini agamanya sebagaikebenaran mutlak. Tetapi iamengingatkan bahwa hak serupajuga harus diberikan pada

Page 63: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

61

penganut agama atau keyakinanlain untuk memegang prinsip yangsama. Disini ia memberikanpenekanan tentang perlunya sikaptoleran atau tenggang rasa denganpenganut agama atau kepercayaanlain. Bahkan, seorang atheissekalipun, dalam pandangannya,harus tetap dihormati hak-haknyaselama ia tidak melanggar hukumpositif yang berlaku. Penghakimanterhadap keyakinan seseorangadalah mutlak hak prerogatifTuhan. Manusia tidak memiliki haktersebut dan perampasan hakprerogatif itu merupakan sebuahkesombongan yang tidaktermaafkan18.

Syafii Maarif dan Syariat IslamPandangan lain yang

menggambarkan Syafii Maarifsebagai tokoh yang membelapluralisme adalah penolakannyaterhadap perda-perda yangbernuansa Syariat Islam. Alasanyang dikemukakan olehnya bukankarena alasan ketidaktahuan, tetapijustru karena pemahaman yangmendalam tentang syariat itusendiri19. Apabila benar SyafiiMaarif tidak memahami Syariat Is-lam, maka akan sangat ganjil jikadia bisa tampil sebagai orang nomorsatu di organisasi Muhammadiyah.

Dalam pandangan kaumfundamentalis, syariat dipandang

sebagai sekumpulan kodifikasihukum yang terdapat dalam alQur’an, sunnah dan kitab-kitabpara ulama; yang dimulai dari babthaharah (bersuci) sampai denganbab daulah (negara). Pandangandemikian sebenarnya telahmereduksi ajaran Islam sebagaiajaran legal-formal belaka.Pandangan demikian nyarisseperti pandangan kaum Yahuditerhadap agamanya yang dikecamsedemikian rupa oleh parafundamentalis itu. Hanya saja,perbedaanya Sebagai mana kitatahu, meskipun Agama Yahudiadalah agama yang legalistik,namun tidak ada pandangankeagamaan mereka yangmenyangkut masalah-masalahprofan seperti ekonomi, politik atauhubungan internasional.Misalnya, tidak ada pendapatrabbi Yahudi tentang bagaimanamenegakan “Ekonomi a laYahudi”.

Kaum fundamentalis juga antidengan demokrasi, karenademokrasi memberi peluang padamanusia untuk hidup damaidalam iklim multi kultural danmulti agama. Mereka inginmenegakan pemerintahan yangotoriter20. Dengan demikian,agama ditangan mereka tidaklebih sebagai alat kekuasaan untukmemonopoli kebenaran. Hal ini

Page 64: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

62

ditempuh dengan melakukanIslamisasi (atau lebih tepatnyasyariatisasi) dalam semua bidang:ekonomi Islam, negara Islam,sistem Islam, dan lainsebagainya21.

Pandangan ultra-legalistikseperti ini mengandaikan Islamsama seperti ideologi Sekuler. Is-lam dibayangkan sebagai sistemtotaliter yang mengatur semuaaspek kehidupan manusia; yangberupa blue print dan dapatditerapkan di setiap tempat dankeadaan. Namun, pandangandemikian jelas sangat berbahaya,kemungkinan besar islam akanmengalami kegagalan serupasebagai mana ideologi Marxisme22.Yang tidak disadari oleh parapengagum syariat ini adalahkehidupan manusia terusberkembang. Akan tetapi merekamembayangkan Islam sebagaisebuah formula atau kapsul ajaibyang bisa menjawab setiappersoalan yang dihadapi olehmanusia modern.

Apa yang terjadi di ArabSaudi, Afghanistan pada masaThaliban, Sudan atau Iran adalahcontoh par excellence bagaimanasyariat yang ideal harusberhadapan dengan realitas yangterkadang pahit. Alih-alih menjadinegara yang maju yang makmur,bangsa-bangsa tersebut malah

terdaftar sebagai bangsa yangbanyak melakukan pelanggaranHAM berat. Tentunya haldemikian menjadi sangatkontraproduktif dengan tujuanawal Islam sebagai rahmat bagisemesta alam (rahmatan lil‘alamiin).

Salah satu aspek modernitasyang cukup menonjol adalahberkembangnya kehidupanmanusia yang multi kultur; yangberarti multi etnik dan multiagama. Syariat yang dipahamioleh kalangan pluralis sepertiSyafii Maarif adalah syariat yangmampu mengayomi aspek multikultural tersebut dalam bingkaikebangsaan yang adil danmanusiawi. Sungguh sangat ironisjika syariat yang berisi pesanTuhan untuk kebaikan, maslahat,manusia namun hasilnya malahmenindas kemanusian itu sendiri.

Secara tidak langsung, SyafiiMaarif menganggap ada korelasiantara syariat dengan pluralisme.Penerapan perda-perda Syariat Is-lam yang lebih banyakmendiskriminasi (khususnyakaum perempuan) danmenimbulkan kecurigaan sertakecemburuan penganut agamalain jelas bertentangan dengansemangat pluralisme yang dicita-citakan Islam. Syariat dengandemikian harus ditafsir ulang,

Page 65: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

63

bukan dalam wujudnya yangharfiah dan kaku, namun dalambentuknya yang fleksibel dandinamis. Boleh jadi suatu aturantidak membawa-bawa nama Islam,namun isi yang dikandungnyamampu menjamin maslahat bagimanusia banyak. Maka, secaraotomatis aturan tersebut Islamimeski tidak ada label Islam disana.

Penutup: Benteng PluralismeKeindonesiaan

Peranan Syafii Maarif sebagaibapak sekaligus guru bangsamenjadi sangat menentukan. Halini bukan semata-mata karenaketokohannya, namun juga karenapercik-percik pemikirannya yangberusaha untuk melawan, dengansantun, arus konservatisme danradikalisme yang kian menguat.Sebuah pemikiran tandingan yangia gagas tidak digunakan untukmembinasakan lawan namununtuk memberi penerangan ataupencerahan.

Hal yang patut untukdirenungkan, bahwa sikap danpemikirannya yang pluralistersebut bukanlah relativisme yanga-nilai, melainkan sikap yangberpihak pada kebenaran, keadilanserta nilai-nilai kemanusiaan yanguniversal. Pluralisme-relativistikyang tidak berpihak, hanya akanmelahirkan nihilisme besar yang

tidak membawa perubahanapapun. Pluralisme jenis demikianadalah buah dari era pasca-mod-ern yang didapat bukan dari hasilusaha atau perjuangan, namunakibat dari ketidakmampuandalam memahami realitas.

Syafii Maarif percaya bahwajalan keluar terbaik untukmenangkal radikalisme dankonservatisme ini adalah denganmenegakan demokrasi yang sehat.Demokrasi yang bukan hanyasekedar wacana, namun mampumemberikan keadilan bagimasyarakat seluas-luasnya. Maariftidak menganggap bahwagerakan-gerakan konservatif danradikal, yang merebak sejak awalera Reformasi, sebagai suatu jeniskejahatan yang harus dimusuhi.Dia melarang menghukumkelompok garang ini selamamereka masih taat pada konstitusi,hukum, dan etika pergaulan23.

Radikalisme dankonservatisme merupakan buahdari ketidakadilan ekonomi, sosial,dan politik. Oleh karena itu, harusdicarikan solusi yang berkaitandengan masalah tersebut. Kitatidak bisa semata-mataberpandangan pluralistiksedangkan disebelah kita masihmenderita kelaparan dankemiskinan. Sebagai sebuah ide,pluralisme merupakan barang

Page 66: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

64

mewah yang hanya bisa dinikmatioleh orang-orang terpelajar, orang-orang yang pernah bergaul dengan“dunia luar” atau setidaknya orang-orang yang pernah membaca danmemahami (dari buku-buku mahaltentunya!) “mahluk” yang bernamapluralisme.

Bagi kebanyakan masyarakat,pandangan keagamaan yangkonvensional dan hitam-putih jauhlebih memadai. Pandangan bahwahanya “kita” yang benar dan“mereka” salah, jauh lebih mudahdipahami, apalagi jika yang disebut“mereka” (the other) itu adalah lebihkaya, kuat, dan elok. Pendeknya,segala kelemahan danketidakberdayaan yang menerpaumat menjadi tertanggungkandengan menerima paham yangekslusif dan konservatif.Pluralisme, bagi masyarakat awamyang lemah, hanya dianggap akanmeruntuhkan bentengketidakberdayaan yang merekabangun dengan susah payah.

Pluralisme yang inginditegakkan hendaknya dibarengidengan usaha bagaimanamenciptakan struktur sosial-politikyang berkeadilan di masyarakat.Masyarakat yang sibuk mengatururusan “aqidah” orang lain,kebanyakan adalah masyarakatyang secara ekonomi lemah.Mereka merasa terancam dengan

hadirnya orang-orang luar yangberbeda baik dari segi agama,ekonomi maupun strata sosial.

Pengalaman bangsa-bangsamaju didalam mengembangkanpluralisme tidak terlepas dariusaha mereka untuk mengurangikesenjangan dan ketidakadilan.Masyarakat di Eropa, Amerika danJepang terkenal karena etikanyayang tinggi, penghormatanterhadap hak-hak orang lain dankeuletannya didalam bekerja.Mereka tidak mempunyai waktuuntuk menghakimi semua jenisperbedaan, karena pribadiseseorang dinilai dari kontribusidan prestasinya di masyarakat.

Disini, pendekatan nilai Islamyang mendukung pluralismeharus dikaji kembali denganmenggunakan pendekatan yangsesuai dengan kondisi Indonesia.Syafii Maarif dalam hal ini percayabahwa Islam mampu menjadi in-tegrator atau pemersatukehidupan berbangsa. Terpaansejarah yang berkali-kali memukulbangsa Indonesia bisa ditemukanakarnya pada kelalaian fatal elitebangsa ini dalam menegakanprinsip keadilan. Padahalmenurutnya, Islam, jikaditafsirkan dengan benar mampumenjadi perekat yang sekaligusmenguatkan pluralisme itusendiri24.

Page 67: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

65

Sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan oleh Syafii Maariflewat pemikirannya saat ini merupakan tonggak dari benteng-bentengkeindonesiaan yang sedang kita bangun. Benteng tersebut adalahtegaknya pluralisme yang menjadi ruh bagi demokrasi. Syafii Maarifdalam hal ini telah memulainya dengan menuangkan setiap gagasannyalewat tulisan. Kewajiban kita sekarang adalah bagaimanamempertahankan benteng tersebut agar tidak ambruk karena demokrasiyang kokoh harus ditopang oleh pluralisme yang kokoh pula.

Catatan Kaki:1. Ahmad Fuad Fanani, Islam, Pluralisme, dan kemerdekaan beragama (12/09/2005). http://

islamlib.com/id/index.php?page=article&id=8832. Adnan Aslan, Menyingkap kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen

Sayyed Hussein Nasr dan John Hick , cet 1, april 2004, Penerbit Alifya, Bandung.3. DawamRahardjo, Mengapa Semua Agama itu Benar (03/01/2006). http://islamlib.com/id/

index.php?page=article&id=9624. Budhi Munawwar Rahman dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, Cet 2002, Jaringan

Islam Liberal, Jakarta.5. Adhian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler-

Liberal , cet 2005, Gema Insani Press, Jakarta.6. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Cet. 3, UI Press, 1979. Jakarta.7. Ciri menonjol puritanisme adalah keyakinannya yang absolut dan tidak kenal kompromi.

Dalam banyak hal, orientasi kelompok puritan ini cenderung tidak toleran terhadapberbagai sudut pandang Islam yang berbeda, dan memandang realitas pluralis sebagaisuatu bentuk kontaminasi pada kebenaran sejati.Lih. Khaled Abou El Fadhl, SelamatkanIslam dari Muslim Puritan, cet 1, Desember 2006, Penerbit Serambi, Jakarta. Hal 29.

8. Menurut Syafii Maarif, Muhammadiyah sejak semula merupakan gerakan terbuka yangmembuka diri terhadap berbagai gagasan pemikiran Timur dan Barat yang kemudiandisaring sesuai dengan sumber pokok ajaran Islam. Syafii Maarif, Menggugah NuraniBangsa, cet 1, Juni 2005, Maarif Institute, Jakarta. Hal. 209

9. www.muhammadiyah.or.id , khittah berbangsa. http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task =view&id=16&Itemid=75

10. Sukidi Mulyadi, …….,Tempo, (17 Juli 2005 ).11. Kader-kader Muhammadiyah tersebut antara lain Sukidi Mulyadi dan mereka yang

tergabung dalam Jaringan intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Ibid.12. Syafii Maarif, op. cit., hal. 28

Page 68: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

66

13. Republika, (Resonansi, 21/11/2006 )14. Syafii Maarif, (Republika online, 26/12/2006)15. Kelompok Salafy atau yang di Indonesia sering disebut Wahabi memiliki fanatisme yang

besar dalam hal ittiba terhadap “Manhaj Salaf”. Meski mereka mengaku tidak mengikutisalah satu madzhab yang empat, namun ketundukan mereka terhadap fatwa-fatwaMuhammad ibn Abdul Wahab, Bin Baz, Nashirudin Al Albany dan Syekh Utsaiminnyaris mirip dengan seorang Muqallid . http://web.salafy.or.id/modules/konten/?id=2.

16. Maarif, op.cit hal 186-18717. Loc. cit18. Syafii Maarif, (Republika online, 26/12/2006)19. Dengan sedikit agak berlebihan, Adian Husaini didalam kolom catatan akhir pekannya

menganggap Syafii Maarif bukan pakar dibidang syariat Islam. Meski benar Syafii Maariftidak dididik di perguruan tinggi Islam yang mengajarkan syariat, tetapi ini tidak bisadijadikan alasan bahwa ia tidak memahami syariat Islam. Lihat Catatan akhir pekan, AdianHusaini, www.Hidayatullah.com/ catatan akhir pekan ( 17/07/2006 )

20 Maarif, Op.cit hal. 3421 Di Indonesia, kelompok yang paling bersemangat menegakan semua hal yang berbau Islam

salah satunya adalah Hizbut Tahrir. Kelompok yang di inspirasi oleh Taqiyuddin AnNabhani ini menyatakan bahwa Islam bukan sekedar agama, tapi juga sistem yangmenyeluruh yang mengatur hampir setiap aspek kehidupan manusia setindak demisetindak. www.hizbut-tahrir.or.id

22 Ulil Abshar-Abdalla, Syariat Islam: pandangan muslim liberal , cet 1, Jaringan IslamLiberal, Jakarta, 2007

23 Maarif, Op.cit hal 3424 Dari Fundamentalis ke Pluralis, Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Suara Merdeka ( 19/06/

2006 )

Page 69: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

67

Chu buvad, Taneh-e man buvad (ketika ada, makaSaya ada). Ini adalah sepenggal syair yangdituturkan oleh Ferdowsi –penyair legendarisbangsa Iran- dalam magnum opus-nya “Surat Raja”(Shanameh). Karya Shanameh memuat syair-syairkepahlawanan yang memberikan inspirasi bagimasyarakat Iran guna meraih kedaulatanbangsanya. Di saat bahasa Arab mendominasi kosakata kalangan cendekiawan dan penyair pada abadke 3-11 H, Ferdowsi dengan berani keluar daripakem mainstream dengan menceritakan kisah-kisahkepahlawanan dan kebesaran bangsa Persia.

Shanameh ditulis Ferdowsi untukmembangkitkan nasionalisme bangsa danmenumbuhkan kebanggaan akan bahasa sendiriyang sudah lama hilang akibat dominasipenggunaan bahasa Arab pada masa itu. Lewatkarya genuine-nya, Ferdowsi menggugah kesadarannasionalisme masyarakat akan tradisi, sejarah, dancerita-cerita pahlawan bangsanya sendiri. Iamembuka lembar-lembar kejayaan bangsanya danmenegaskan bahwa untuk meraih kembali kejayaantersebut, semua komponen masyarakat mestilahpaham dan sadar akan sejarah bangsanya gunamenghidupkan kembali semangat nasionalismeyang sempat redup.

Dengan begitu, rakyat memiliki gelora cintaakan sejarah bangsanya, ketinggian peradaban yangpernah dimiliki. Rakyat tidak akan rela ketikabangsanya diinjak-injak, apalagi menjual tanahairnya untuk dimiliki negara lain. Jiwa kebangsaan

Belajar Dari Negeri Para Mullah

Fauzi FashriPenulis Buku Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu

Perspektif

Page 70: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

68

tadi mendarah daging dalampikiran dan tindakan rakyat(termasuk pemimpin) dengantidak membiarkan bangsa lainmendiktenya, merampaskekayaan alamnya danmemberangus hak-hak rakyatdemi bangsa lain. Sudahsemestinya, secara rendah hati,kita belajar dari bangsa yangmampu menjaga kedaulatannya -seperti Iran- yang mencontohkanbagaimana membangun bangsalewat kemandirian dan keyakinanbahwa bangsanya dapat majukarena dirinya sendiri, bukanberharap dari pertolongan bangsalain.

Tidak bisa dipungkiri, Iran dibawah kepemimpinan MahmoudAhmadinejad, kini menjadi negarapaling berpengaruh di TimurTengah. Belum lagi kemampuannuklir yang membuat negara Baratketar-ketir. Iran menjadi simbolperlawanan atas negara Adidayadi samping Venezuela dan Bolivia.Kepemimpinan PresidenMahmoud Ahmadinejad yangdikenal sangat berani menentangkesombongan Amerika Serikat dibawah kendali Presiden George WBush, sungguh menggelitik untukdicermati di tengah-tengahlemahnya kepemimpinan nasionalbangsa kita.

Ketika berkesempatan

mengikuti short course selama 2bulan di Iran, penulis bertanya padasalah satu Profesor yang menjadipengajar kami, “apa yang menjadifaktor utama negara Iran dapatberkembang maju seperti sekarangini?”. Profesor tadi menjawabsingkat, “faktor utamanya karenaIran di embargo”. Sejarah telahmencatat bahwa sejak 22 Mei 1980,Iran mengalami embargo ekonomioleh Amerika Serikat. Belum lagiIran didera perang selama delapantahun setelah tahun pertamarevolusi Iran. Embargo berlangsunghingga sekarang, tapi masyarakatIran masih tetap bertahan. Embargobukan malah menjadikan orang-or-ang Iran malas bekerja, memohondengan welas bantuan dari bangsalain, atau mendorong perpecahan diinternal rakyat Iran.

Lewat embargo, orang-orangIran tersadarkan bahwa merekamesti hidup dengan keringatmereka, bekerja keras gunamenunjukkan kepada dunia bahwaIran adalah bangsa yang mandiridan berdaulat. Mari kita dengarsejenak ucapan Imam Khomeiniuntuk memberi semangat rakyatIran dalam menghadapi embargo,“Kita jangan pernah takut atas em-bargo ini. Jika merekamengembargo kita, kita akan lebihgiat bekerja, dan hal ini bermanfaatbagi kita. Orang-orang yang takut

Page 71: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

69

terhadap embargo hanyalah orang-orang yang menjadikan ekonomidan duniawiah sebagai tujuanhidupnya semata”. Mata duniaterbelalak saat melihat kemajuanIran di berbagai bidang serayamenunjukkan jikalau embargobukanlah akhir sebuah dunia. Padatahun 2006-2007, investasi asingmencapai nilai tertingginya di Iranberbarengan dengan pemberitaangencar mengenai resolusi embargoterhadap Iran akibat proyeknuklirnya.

Lazimnya, ketika kitamendengar negara Iran maka yangterbayangkan adalah negerinyapara mullah (ulama) di mana peranmullah sangat dominan dalamproses politik. Citra yang terbangundi Barat, Iran adalah sebuah negarayang dikuasai oleh kepemimpinanotoritarian kaum agamawan yangsertamerta dicap sebagai negaratidak demokratis. Kalau kita telitilebih seksama, Iran memiliki sistempemerintahan yang unik untukkemudian mengembangkan sistemdemokrasi yang khas ala Iran. Meskiberbentuk republik, Iran mengenalposisi Rahbar atau leader yangditahbiskan sebagai pemimpintertinggi dalam Republik Islam Iran.Berbeda dengan opini yang tersebardi Barat bahwa Iran is undemocraticstate, Rahbar sebagai posisi tertinggisebenarnya dipilih rakyat secara

tidak langsung. Setiap delapantahun sekali, rakyat memilih 86ulama dari berbagai penjurunegeri untuk duduk dalam sebuahdewan yang dikenal dengan istilahMajles-e Khubregan (Dewan Pakar).Melalui Dewan Pakar inilahdiadakan sidang untuk memilihsatu ulama yang berhakmenduduki posisi Rahbar.

Rahbar juga memilikikekuasaan yang melebihiPresiden. Namun kekuasaannyatidak bersifat semena-mena, iamesti mengikuti prosedur legal.Bila Presiden dianggap melanggarhukum, setelah mendapat mositidak percaya dari Parlemen danvonis bersalah dari MahkamahAgung, Rahbar-lah yang akanmemecat Presiden. Kalau begitusiapa yang memiliki otoritasmengawas Rahbar? DewanPakarlah yang memilikiwewenang memecat Rahbarapabila telah melakukanpelanggaran hukum. Menjaditerang bahwa Iran bukanlahnegara yang tidak demokratis –kecuali kalau ukurannya adalahdemokrasi liberal Barat-. Iranmemiliki konsepsi demokrasitersendiri yang khas. Bukankahyang terpenting dalam demokrasiyaitu tercapainya keadilan dankesejahteraan bagi rakyat. Iransedang mengajarkan kepada kita

Page 72: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

70

bagaimana demokrasi substantifdiselenggarakan secara baik yangtidak semata-mata berhenti padademokrasi prosedural.

Fenomena Iran menyeruakketika Presiden Ahmadinejaddengan lantang memimpinbangsanya untuk melawankedzaliman struktural danketidakadilan global yangdilancarkan Amerika Serikatbeserta sekutunya. Dalamwawancaranya dengan TV CBS,Ahmadinejad menuturkan bahwadunia harus diatur denganundang-undang dan keadilan.Tanpa adanya undang-undangmengakibatkan kehancuran segalasesuatu. Sembari mengutippepatah Persia yang berbunyi,“batu yang ditumpukkan di atasbatu tidak akan terikat satu samalain”, Ahmadinejad menegaskanbahwa kita membutuhkanundang-undang dan keadilanuntuk mengatur dunia. Tanpakeduanya, untuk mengatur desapun kita tidak akan mampu.

Kepemimpinan Ahmadinejadmerupakan gabungan antarakeberanian untuk mengambilkeputusan dan ketidaktakutanterhadap siapa pun kecuali Tuhan.Ketika wajah dunia kehilangan ronakemanusiaannya akibat dariketidakadilan yang dipraktikkanoleh negara-negara super power, Irandi bawah kepemimpinan

Ahmadinejad mengembalikanmartabat kemanusiaan pada posisitertinggi. Kedzaliman yang luarbiasa ketika negara-negara adidayamenindas rakyat yang tidakbersalah.

Ahmadinejad adalah simbolperlawanan terhadappenyimpangan, ketidakadilan, dankedzaliman. Ia merepresentasikanpsikologi mustadh’afin –meminjamistilah Azyumardi Azra-, sebuahjiwa yang bersarang di dalamtubuh-tubuh orang tertindas danteraniaya. Psikologi mustadh’afinbekerja efektif ketika berhadapandengan kekuatan-kekuatan yangmenindas, baik itu rezim politikdalam negeri maupun keputusandan kebijakan politik negara-negarakuat yang menindas dan tidak adil.Psikologi mustadh’afin mengakarkuat dalam masyarakat Iran dengantradisi Syiah yang kental. Sejatinyapsikis mustadh’afin tidak sajadimonopoli oleh negara Iran,belahan dunia lainnya, sepertiAmerika Latin, Afrika, sebagianAsia, juga memiliki psikologi ini.

Psikologi mereka yangteraniaya dan tertindas inimembutuhkan kepemimpinankolektif yang diiringi dengankeberanian serta visi keadilanmemimpin dunia. Dalam suratnyakepada Presiden Amerika Serikat,George W Bush, Ahmadinejadmempertanyakan mengapa

Page 73: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

71

Amerika menentangkepemimpinan yang lahir dariproses pemilihan umum yangdemokratis, sementarakepemimpinan yang berasal dariproses kudeta tidak ditentangmalah didukung.

Dengan “santun” Ahmadinejadmenasehati Bush, “Menurut saya,Bush bisa lebih melayani rakyatnyasendiri. Ia dapat memperbaikikembali perekonomian Amerikadengan metode yang benartentunya. Tanpa perlu membunuh,menjajah dan mengancam, ia perlupergi melihat warga Amerikasendiri dan mencari tahu apa yangmereka katakan tentangnya. Sayasangat sedih ketika mendengar satupersen dari rakyat Amerika melaluihari-harinya di penjara, dua puluhpersen rakyat Amerika buta hurufdan sekitar empat puluh lima persenwarga Amerika tidak mendapatkanpelayanan kesehatan. Yang palingmembuat saya sedih adalah dalamsejarah satu abadnya Amerika telahterjadi seratus sebelas kali merekamelakukan peperangan. Menurutsaya, Bush bisa melihat masalahdengan kaca mata lain. Tentunyabeliau bebas untuk bersikap, namunjangan berharap masyarakat akanmengikutinya dan pada waktunyamereka akan menjawab perilakunyaselama ini.”

Kemimpinan Ahamdinejaddapat dijadikan ilham bagi

kepemimpinan nasional bangsa kitabahwa pemimpin yang membelarakyat akan selalu dicintai rakyatnya;pemimpin yang dilandaskankeberanian untuk tidak tunduk padakekuatan adidaya selalumengantarkannya pada simpatirakyat banyak; sebuah prototypepemimpin yang satu kata danlangkah. Ahmadinejad dalammembangkitkan nasionalisme rakyatIran –dengan tidak menafikankelemahan yang ada- menempatkanbangsanya pada posisi tertinggi;tidak menggadaikan martabatbangsa di bawah kendali bangsa laindan yang terutama kepercayaanterhadap rakyatnya sendiri sebagaimodal berharga untuk membangunnegaranya, sebuah kepercayaanuntuk berdiri sendiri, berdikari danmelihat sejarah bangsanya denganpenuh kebanggaan.

Akhirul kalam, masa depan negeriini berpulang pada keberanianpemimpin kita untuk membangunbangsa secara mandiri dan berdikari,tidak berpangku tangan padabantuan negara lain. Karena sejarahmencatat, pemimpin yang mampubertindak dan berkata untukkesejahteraan rakyatnya akanmendapatkan cinta dari rakyatnya.Sementara pemimpin yang retakantara kata dan lakunya tidak akanmendatangkan simpati darirakyatnya sendiri.

Page 74: Jurnal Maarif Institute Feb 2008

MAARIF Vol. 3, No. 1, Pebruari 2008

72

Untaian kata-kata bijak tersebut ditanamkan di lingkungan lembaga pendidikan Kamehameha School,Hawaii. Pesan moral yang terkandung di dalamnya sungguh universal dan mengajarkan manusia untukberjiwa besar: menyerap kebajikan dari manapun sumbernya dan berbuat mulia terhadap siapapun. doc.Fajar

Page 75: Jurnal Maarif Institute Feb 2008