Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

105
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 ISSN : 1411-268x Jurnal Komunikasi Massa Volume 2 Nomor 2 Halaman 91-189 Januari 2009 ISSN: 1411-268x Jurusan Ilmu Komunikasi Fak. Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Visi jurnalisme publik dalam demokratisasi politik Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia? Perang dalam tata kehidupan antarbangsa The economic strategies Pursued by Moro Islamic Liberation Front (MILF) for self- determination in the Southern Philippines The importance and functional role of qualitative audience analysis within the stakeholders of Malaysia screen industry Proposionalitas anggota DPRD: Kajian terhadap proses perekrutan anggota DPRD hasil Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan mahasiswa Program D3 Komunikasi Terapan FISIP Universitas Sebelas Maret Peranan teknologi komunikasi terhadap perubahan sosia Communication as culture Online learning and the quality of learning in journalism course Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 Mursito Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara Totok Sarsito Shamsuddin L. Taya Dwi Tiyanto Surisno Satrijo Utomo Sutopo Pamela Nilan Sri Hastjarjo Widodo Muktiyo Hisham Dzakaria & Nuraini Yusoff

description

Jurnal Komunikasi Massa adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia.

Transcript of Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Page 1: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Vol. 2 No. 2 Januari 2009ISSN : 1411-268x

JurnalKomunikasi

Massa

Volume2

Nomor2

Halaman91-189

Januari2009

ISSN:1411-268x

Jurusan Ilmu KomunikasiFak. Ilmu Sosial & Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Visi jurnalisme publik dalam demokratisasipolitik

Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Perang dalam tata kehidupan antarbangsa

The economic strategies Pursued by MoroIslamic Liberation Front (MILF) for self-determination in the Southern Philippines

The importance and functional role ofqualitative audience analysis within thestakeholders of Malaysia screen industry

Proposionalitas anggota DPRD: Kajianterhadap proses perekrutan anggota DPRDhasil Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihanmahasiswa Program D3 Komunikasi TerapanFISIP Universitas Sebelas Maret

Peranan teknologi komunikasi terhadapperubahan sosia

Communication as culture

Online learning and the quality of learningin journalism course

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Mursito

Musafir Kelana &Abubakar Eby Hara

Totok Sarsito

Shamsuddin L. Taya

Dwi Tiyanto

Surisno Satrijo Utomo

Sutopo

Pamela Nilan

Sri Hastjarjo

Widodo Muktiyo

Hisham Dzakaria &Nuraini Yusoff

Page 2: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Komunikasi MassaMassaJurnal

ISSN : 1411-268xVol. 2 No. 2 Januari 2009

Diterbitkan oleh:Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu PolitikUniversitas Sebelas Maret

Page 3: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

ii Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Jurnal Komunikasi MassaTerbit dua kali setahun

Hak cipta dilindungi Undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk mediumbaik cetakan, elektronik, maupun mekanik.

ISSN: 1411-268x

Diterbitkan olehJurusan Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Sebelas Maret

Desain dan tata letak oleh Sri Hastjarjo

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 iii

Komunikasi MassaMassaJurnal

Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ISSN: 1411-268x

DEWAN REDAKSI

Pemimpin RedaksiDra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph.D.

Redaktur PelaksanaDrs. Hamid Arifin, M.Si.Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si.

Sekretaris RedaksiMahfud Ansori, S.Sos.

Redaktur AhliDrs. Pawito, Ph.D.Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D.Susanto Karthubij, S.Sos., M.Si.

Mitra BestariProf. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D.(Universitas Indonesia)Prof. Dr. Dedy Mulyana(Universitas Padjajaran)A/Prof. Pamela Nilan, Ph.D.(University of Newcastle, Australia)

Alamat RedaksiJurusan Ilmu KomunikasiFISIP Universitas Sebelas MaretJl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126Tel./Fax. +62 271 632478.Email: [email protected]

Pemasar/SirkulasiBudi Aryanto, Tel. +62 271 632478

Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali dalam setahun, diterbitkan oleh Ju-rusan Ilmu Komunikasi FISIP Univer-sitas Sebelas Maret Surakarta sebagai media wacana intelektualitas bagi pe-ngembangan Ilmu Komunikasi.Dewan Redaksi mengundang para pe-ngajar, peneliti, dan praktisi bidang ko-munikasi dan media massa untuk me-ngirimkan tulisan baik berupa artikel il-miah maupun hasil penelitian. Syarat penulisan artikel tercantum di halaman sampul belakang. Dewan Redaksi ber-hak menyeleksi dan mengedit naskah tanpa mengurangi esensi isi.

DAFTAR ISI

Visi jurnalisme publik dalam demokratisasipolitik .................................................................. 91 Mursito

Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia? ..... 97 Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara

Perang dalam tata kehidupan antarbangsa .......... 112 Totok Sarsito

The economic strategies Pursued by Moro Islamic Liberation Front (MILF) for self-determinationin the Southern Philippines ................................. 127 Shamsuddin L. Taya

The importance and functional role of qualitative audience analysis within the stakeholders of Malaysia screen industry ..................................... 139

Proposionalitas anggota DPRD: Kajian terhadap proses perekrutan anggota DPRD hasil Pemilu2004 di Kabupaten Wonogiri .............................. 146 Dwi Tiyanto

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan mahasiswa Program D3 Komunikasi TerapanFISIP Universitas Sebelas Maret .........................155 Surisno Satrijo Utomo

Peranan teknologi komunikasi terhadap perubahan sosial .................................................................... 159 Sutopo

Communication as culture ................................... 165 Pamela Nilan

Online learning and the quality of learning in journalism course ................................................ 172 Sri Hastjarjo

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 ....... 182 Widodo Muktiyo

Hisham Dzakaria and Nuraini Yusoff

Page 4: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

ii Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Jurnal Komunikasi MassaTerbit dua kali setahun

Hak cipta dilindungi Undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk mediumbaik cetakan, elektronik, maupun mekanik.

ISSN: 1411-268x

Diterbitkan olehJurusan Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Sebelas Maret

Desain dan tata letak oleh Sri Hastjarjo

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 iii

Komunikasi MassaMassaJurnal

Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ISSN: 1411-268x

DEWAN REDAKSI

Pemimpin RedaksiDra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph.D.

Redaktur PelaksanaDrs. Hamid Arifin, M.Si.Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si.

Sekretaris RedaksiMahfud Ansori, S.Sos.

Redaktur AhliDrs. Pawito, Ph.D.Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D.Susanto Karthubij, S.Sos., M.Si.

Mitra BestariProf. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D.(Universitas Indonesia)Prof. Dr. Dedy Mulyana(Universitas Padjajaran)A/Prof. Pamela Nilan, Ph.D.(University of Newcastle, Australia)

Alamat RedaksiJurusan Ilmu KomunikasiFISIP Universitas Sebelas MaretJl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126Tel./Fax. +62 271 632478.Email: [email protected]

Pemasar/SirkulasiBudi Aryanto, Tel. +62 271 632478

Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali dalam setahun, diterbitkan oleh Ju-rusan Ilmu Komunikasi FISIP Univer-sitas Sebelas Maret Surakarta sebagai media wacana intelektualitas bagi pe-ngembangan Ilmu Komunikasi.Dewan Redaksi mengundang para pe-ngajar, peneliti, dan praktisi bidang ko-munikasi dan media massa untuk me-ngirimkan tulisan baik berupa artikel il-miah maupun hasil penelitian. Syarat penulisan artikel tercantum di halaman sampul belakang. Dewan Redaksi ber-hak menyeleksi dan mengedit naskah tanpa mengurangi esensi isi.

DAFTAR ISI

Visi jurnalisme publik dalam demokratisasipolitik .................................................................. 91 Mursito

Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia? ..... 97 Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara

Perang dalam tata kehidupan antarbangsa .......... 112 Totok Sarsito

The economic strategies Pursued by Moro Islamic Liberation Front (MILF) for self-determinationin the Southern Philippines ................................. 127 Shamsuddin L. Taya

The importance and functional role of qualitative audience analysis within the stakeholders of Malaysia screen industry ..................................... 139

Proposionalitas anggota DPRD: Kajian terhadap proses perekrutan anggota DPRD hasil Pemilu2004 di Kabupaten Wonogiri .............................. 146 Dwi Tiyanto

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan mahasiswa Program D3 Komunikasi TerapanFISIP Universitas Sebelas Maret .........................155 Surisno Satrijo Utomo

Peranan teknologi komunikasi terhadap perubahan sosial .................................................................... 159 Sutopo

Communication as culture ................................... 165 Pamela Nilan

Online learning and the quality of learning in journalism course ................................................ 172 Sri Hastjarjo

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 ....... 182 Widodo Muktiyo

Hisham Dzakaria and Nuraini Yusoff

Page 5: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

iv Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 6: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 91-96

Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Mursito BMJurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Radio dan televisi bersinergi dengan telepon, kemudian membangun sebuah institusiyang populer disebut “dialog interaktif”. Di bawah payung kebebasan, ketiganyamenggerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi, yang di masa Orde Baru dibuat“diam”, kini dirangsang untuk aktif berbicara. Kebebasan dan telepon membuatakses publik ke media menjadi semakin besar, membuat orang yang kritis dan aktifmenjadi semakin banyak. Jurnalisme publik mendapatkan ”tempatnya” dalamproses demokratisasi ini. Yakni membangun realitas berdasarkan agenda publik,yang berarti “mendekatkan jarak” antara realitas media denganrealitas empirik.

Kata kunci: jurnalisme publik; bajir informasi; konstruksi realitas

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 91

Pendahuluan

Masyarakat post-industrial adalah ma-syarakat yang sebagian besar warganya bekerjadi sektor informasi. Seseorang mengungkapkanklaim ini dengan nada bangga, tetapi seseorangyang lain dengan rasa skeptis. Namun keduanyasama-sama merasakan adanya limpahan infor-masi yang demikian banyak ke masyarakat, ha-sil pasokan media. Situasi ini lazim diformula-sikan sebagai “banjir informasi” segala macaminformasi mengalir ke rumah kita, banyak seka-li, menggenangi lingkungan kita.

Mereka yang mendapat banyak manfaatdari banjir informasi ini membuat ilustrasi begi-ni; Jika sekarang saya memerlukan informasitentang model rumah dari pelbagai bangsa diseluruh dunia, dengan cepat akan saya dapat-kan. Saya pergi ke perpustakan, atau membukapel-bagai situs internet. Dalam waktu dua atautiga jam informasi itu terkumpul, sekeranjang.Tetapi jika hal yang sama saya lakukan, kata-kanlah 100 tahun yang lalu, keadaannya akan

lain. Saya mungkin memerlukan waktu satu ta-hun atau lebih sebab saya harus pergi secara fi-sik keliling dunia, berjalan kaki bergantian de-ngan naik perahu layar.

Neil Postman dalam bukunya “Menghi-bur Diri Sampai Mati” memberi catatan kritistentang situasi banjir informasi ini. Ada feno-mena yang ia sebut informasi bebas konteksbahwa nilai informasi tak perlu dikaitkan de-ngan fungsi apapun yang dapat dilayaninya da-lam pengambilan keputusan sosial-politik. Ni-lai informasi tersebut dapat berupa aktualitas,daya tarik, dan rasa ingin tahu yang ditimbul-kan. Informasi menjadi komoditas, sesuatuyang dapat dibeli dan dijual tanpa hubungan de-ngan kegunaan maupun maknanya (Postman,1995:76). Ungkapan terkenal dari Coleridge,yang dikutip Postman, yakni “begitu banyak airdi mana-mana tanpa ada yang bisa diminum”,dapat dijadikan metafor mengenai lingkunganinformasi yang terdekontekstualisir: dalam la-utan informasi, hanya sedikit yang dapat di-gu-nakan.

Page 7: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

92 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Tesisnya adalah, informasi mendapat-kan posisi pentingnya dari kemungkinan ada-nya tindak yang diambil berdasarkan informasiyang diterimanya. Dengan rumusan lain: ratioinformasi - aksi. Dari sekian banyak informasiyang disampaikan media, informasi apa (saja)yang membuat kita bertindak? Beberapa di an-taranya dapat kita catat. Berita tentang kenaikanharga bensin yang diberlakukan mulai nantimalam pukul 00.00, contohnya, membuat mo-bil-mobil, temasuk yang mewah, berkerumundi sekitar SPBU; berita tentang tsunami diAcehdan gempa bumi di Yogya menggerakkan aksikemanusiaan. Ada aksi setelah menerima infor-masi. Tetapi kita tahu, jauh lebih banyak infor-masi media yang tidak melahirkan tindakan.

Selain banjir informasi, ada problem se-rius pada media, khususnya televisi, mengenaiprogram informasinya. Jurnalisme memilahkandengan tegas fakta dan opini, seperti yang ma-sih kita lihat di koran. Tetapi infotainmen yangdiklaim sebagai program jurnalisme mengabur-kan batas keduanya. Jurnalisme bekerja berba-sis fakta tetapi infotainmen membuat gosip di-berlakukan sebagai fakta. Jurnalisme media ce-tak menggunakan simbol huruf-huruf tersusunsebagai media pengantar informasi, infotain-men memakai perempuan berpakaian “modeltertentu” sebagai “media” informasinya. Jur-nalisme menggunakan kata kunci obyektivitas,infotaimen menggunakan kata kunci menarik.Jurnalisme merangsang intelektualitas, info-tainmen memprovokasi emosi dan nafsu.

Jika kita melihat layar monitor televisi,akan terlihat hal yang menarik bagi seseorang,tetapi absurd bagi seseorang yang lain. Di bagi-an atas, di sudut kiri ada logo stasiun TV ber-sangkutan, sementara di sudut kanan ada infor-masi mengenai program yang ditawarkan. Dibagian bawah, tertayang news sticker, disusuldi atasnya ada iklan; Di atasnya lagi adalah cap-tion program berita, atau teks film asing. Maka,seseorang yang lain lagi mengibaratkan menon-ton televisi seperti menikmati makanan ringan:rasanya ramai-ramai.

Deskripsi singkat situasi media televisiini dimaksudkan sebagai pengantar, tetapi jugabahan pertimbangan, bagaimana kita memposi-sikan misi pendidikan pemilih melalui mediaelektronika. Kita akan berhadapan dengan kul-tur televisi kita yang karakter jurnalismenya se-dikit terpapar di atas; kita dihadapkan padasituasi yang menempatkan program jurnalistik

tidak pada posisi dominan (tidak sebagaimanayang kita lihat di media cetak); kita melihat se-buah institusi media yang mereduksi hampirsemua programnya menjadi bernuansa hiburan.Namun tidak berarti tidak ada peluang, meski-pun sulit. Kita akan telisik fenomena-fenomenayang memungkinkan kita bisa mewujudkan mi-si pendidikan pemilih ini, kemudian kita disku-sikan.

Radio dan televisi, kini, bersinergi de-ngan telepon, kemudian membangun sebuah in-stitusi yang populer disebut “dialog interaktif”.Di bawah payung kebebasan, ketiganya meng-gerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi,yang di masa Orde Baru dibuat “diam”, kini di-rangsang untuk aktif berbicara. Seorang “rakyatbiasa”, melalui telepon dari rumah, bisa berde-bat dengan para pakar atau politisi dan disiarkansecara langsung media televisi atau radio. Adasemangat baru, ada greget untuk berpendapatdan berbeda pendapat. Dari sini wacana publikdibangun.

Fenomena ini terjadi di mana-mana, daripusat hingga ke daerah, dari topik resep masak-an hingga ke topik politik yang panas. Di bebe-rapa radio swasta dan radio Pemda di Solo, dia-log interaktif mengambil waktu diantara pemu-taran kaset wayang kulit. RRI, nasional dan lo-kal, secara rutin menyelenggarakan dialog in-teraktif, dengan pelbagai topik yang didasarkanpada berita media (news peg). Dialog interaktiftelah menjadi “budaya media” baru di kalanganmedia penyiaran, baik radio maupun televisi.

Kita sedang menyaksikan masyarakatyang sedang menggunakan haknya dan menja-lankan sebuah peran penting: partisipasi (poli-tik). Kebebasan dan telepon telah membuat me-dia massa berubah, dari “searah” ) ke“dua arah” ( ) interaktif. Dari siarantunda ke siaran langsung. Kebebasan dan tele-pon membuat akses publik ke media menjadisemakin besar, membuat orang yang kritis danaktif menjadi semakin banyak. Tidak hanya da-lam pengertian rakyat menjadi subyek berita,tetapi juga warga masyarakat “memberitakandirinya” ke media.

Yang pertama perlu digarisbawahi darifenomena empirik di atas adalah peran tekno-logi telepon dan radio atau televisi yang ter-nyata menjadi lebih produktif ketika dioperasi-onalkan pada setting masyarakat bebas. Yang

Jurnalisme (dan Forum) Publik

(one waytwo way

Page 8: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 93

kedua, dialog interaktif tercipta karena topikyang ditetapkan menarik minat publik. Ia dimi-nati berkat isu yang dipilih dalam pemberitaanmedia sesuai dengan minat publik. Dengan katalain, agenda media sesuai dengan agenda pub-lik, atau agenda media mencerminkan agedapublik.

Ketiga, dialog interaktif adalah buktibahwa kalau ada akses langsung ke media, pub-lik akan “masuk” memanfaatkannya. Ketikamedia ditekan, seperti yang terjadi di era OrdeBaru, media akan berfikir seribu kali untukmemberikan akses langsung ke publik. Mediaterpaksa menyeleksi dan mengedit dengan ketatsetiap opini yang dijadikan berita. Meluasnyaakses langsung publik ke media elektronika ju-ga kita saksikan melalui apa yang di media ce-tak dikenal sebagai “surat pembaca”, katakan-lah “suara pemirsa”, bisa lewat telepon kabel,

(SMS) telepon seluler,atau e-mail. Berita-berita tentang pemilihan gu-bernur harus bisa menciptakan suasana di manapublik aktif berakses langsung ke media, meng-gunakan “forum” yang media wajib menye-diakan.

Fenomena ini, fenomena dibukanya ak-ses langsung media, sungguh sesuai benar de-ngan “anjuran” Bill Kovach (2001: 172) bahwamedia harus menciptakan dan menjadikan diri-nya sebagai forum publik. Berita-beritanya ha-rus merangsang publik untuk berdialog, berdis-kusi, baik di forum-forum masyarakat maupundi forumyang ada dan diciptakan media.

Kovach memaparkan proses terbentuk-nya forum publik begini; Ini dimulai dari lapor-an awal yang di dalamnya wartawan meng-ingatkan publik akan sesuatu peristiwa ataukondisi di komunitas misalnya ada keributanantar pendukung kandidat gubenur. Laporan inibisa saja berisi analisis yang menyebutkan dam-pak yang mungkin timbul. Konteks mungkindihadirkan untuk perbandingan atau kontras,dan editorial yang membarenginya bisa sajamengevaluasi informasi tersebut. Kolumnismungkin menghadirkan komentar pribadi un-tuk persoalan ini.

Semua bentuk medium yang dipakaiwartawan sehari-hari bisa berfungsi untuk men-ciptakan forum di mana publik diingatkan akanmasalah-masalah penting mereka sedemikianrupa sehingga mendorong wargauntuk membu-at penilaian dan mengambil sikap. Rasa ingintahu membuat orang bertanya-tanya sesudah

short message service

membaca liputan acara-acara yang sudah ter-jadwal, pembeberan penyimpangan, atau repor-tase tentang suatu kecenderungan yang ber-kembang. Saat publik mulai beraksi terhadappembeberan ini, suara publik pun mengisi ko-munitasdi acara radio yang menyiarkan telepondari pemirsa, acara bincang-bincang televisi,opini pada halaman

. Saat suara-suara itu terdengar olehyang berwenang, mereka menaruh perhatianuntuk memahami perkembangan opini publikseputar suatu subyek.

Persoalannya adalah, ada “prinsip” da-lam jurnalisme yang bisa jadi kurang mendu-kung kehendak untuk membangun forum pub-lik ini. Dalam memproduksi berita, media akanmemilih peristiwa berdasarkan kriteria yangdikenal sebagai . Salah satu yangmasuk dalam kriteria ini adalah(berhubungan dengan ketenaran). Dalam pil-kada, para balon dan calon kepala daerah tentulebih banyak diberitakan karena lebih

ketimbang anggota publik.Di sisi lain, media bekerja untuk kepen-

tingan publik. Bahkan ketika ada konflik antaraelit dan publik, media harus “berfihak” untuk“membela” kepentingan publik. Keberfihakankepada publik harus diperjuangkan dengan me-nyuarakan kepentingan publik melalui berita-beritanya. Inilah salah satu argumen penting-nya kita mengembangkan jurnalisme publik( ).

Di sini ada paradoks antara berita yanghanya berdasarkan kriteria dan prin-sip jurnalisme publik. Pada berita yang menda-sarkan pada , pers seakan-akan “ber-fihak” kepada elit. Ia hanya memberitakan to-koh-tokoh yang masuk dalam kriteria

. Pada kampanye pilkada, berita-beritamedia akan dipenuhi oleh para kandidat kepaladaerah beserta peristiwa yang “diciptakannya”jika prominence menjadi kriteria utamanya da-lam kebijakan pemberitaannya. Artinya, mediaberfihak kepada elit.

Kesan lain yang bisa muncul adalah, me-dia bersifat “pasif” karena hanya memberitakanperistiwa yang sifatnya “ ”. Ini berbeda de-ngan jurnalisme publik, yang menuntut aktifdalam “menggali” aspirasi publik. Dikatakan“menggali” karena aspirasi publik tidak sema-nifest aspirasi elit yang dengan mudah ditemu-kan. Maka, pers dituntut aktif mendorong war-ga negara untuk berpartisipasi dan terlibat da-

op-ed (opinion and editor-ial page)

news valueprominence

promi-nence

public journalism

news value

news value

promi-nence

given

Page 9: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

94 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

lam wacana mengenai .Dengan jurnalisme publik, agenda media

tidak ditentukan oleh para elit tetapi ditentukanoleh media berdasarkan . Pada titikini kita akan melihat aktualisasi media sebagai“kekuatan keempat”. Media akan mengguna-kan kekuatannya untuk mengembangkan iklimdiskusi publik, yang bisa dimulai dengan me-nyediakan “ruang publik” di media itu sendiri.Rubrik-rubrik yang berhubungan dengan aksespublik ke media diperluas, sehingga “suara pu-blik” akan lebih dominan ketimbang suara elit.

Pada tahapan lanjut, ketika ruang publikpolitis belum terbentuk di masyarakat, mediamensponsori diskusi-diskusi publik. Dengankata lain, medialah yang membantu mencipta-kan ruang publik politis di masyarakat. Jikaruang publik politis ini benar-benar memenuhisyarat inklusif, egaliter, dan bebas tekananmaka media mendapat bahan pemberitaan yangmemungkinkannya menerapkan jurnalismepublik.

Jurnalisme publik bisa strategis peran-annya dalam memilih pemimpin (gubernur)yang tepat dalam Pilkada. Kenapa? Karenaagenda media dalam jurnalisme publik berang-kat dari agenda publik, yang didapatkannya daridiskusi publik di ruang publik politis, bukan“agenda kandidat kepala daerah.” Jika diskusipublik itu mengenai pilkada, maka agenda dis-kusi lebih ditekankan pada identifikasi perma-salahan di daerah itu dan solusinya yang harusdikerjakan kepala daerah, serta kreteria kepaladaerah seperti apa yang bisa menyelesaiakanpermasalahan itu. Hasilnya adalah opini publik.

Proses terciptanya opini publik ini selaludiberitakan media, sehingga publik juga tahuperkembangannya. Dengan opini publik berupakriteria, maka rakyat akan mendapat “pegang-an” untuk menentukan pilihannya. Para kandid-at yang muncul akan dinilai berdasarkan krite-ria opini publik itu. Dalam kondisi demikian,media menghadapi problem netralitas dalampilkada. Melalui pemberitaan proses terbentuk-nya opini publik, tidak bisa tidak media akan“kelihatan” berfihak pada kandidat gubernurtertentu, yang sesuai dengan kriteria yang di-bentuk oleh opini publik. Tetapi apa salahnyaberfihak jika keberfihakan itu pada publik.

Media memiliki fungsi pendidikan, tentujuga termasuk pendidikan untuk para pemilih.

public affair

public affair

Konstruksi Realitas

Alat untuk menjalankan pendidikan itu adalahjurnalisme. Seperti diketahui, jurnalisme ada-lah kegiatan pengelolaan informasi mengum-pulkan merumuskan, dan memformat peristiwamenjadi berita. Nilai-nilai, etika, dan kaidah,tentu menjadi pegangan. Persoalannya adalah,bagaimana jurnalisme bisa menjalankan fungsipendidikan jika tugasnya hanya terbatas padamengelola berita?

Memang terbatas. Pendidikan yang dila-kukan media terbatas pada upaya mengendali-kan dan mengarahkan efek penyiaran informa-si. Artinya, setiap informasi yang disiarkanmedia dipilih dan diformat demikian rupa se-hingga menimbulkan efek seperti yang diharap-kan. Pada umumnya yang diharapkan efek pe-nyiaran informasi adalah pemahaman, kesa-daran, dan tindakan. Informasi tentang pilkada,umpamanya, menimbulkan efek pemahaman,kesadaran, dan tindakan memilih; dapat men-ciptakan suasana persaingan yang sehat, memi-nimalisasi konflik dan tindak kekerasan. Dan,seperti dipaparkan di atas, berita-beritanyamampu merangsang publik untuk berwacanadalam forum-forum yang diciptakan media.Dalam praktik tentu tak sesederhana itu.

Bagaimana jurnalisme dapat melakukanpekerjaan itu? Jawabnya ada pada esensi jurnal-isme: bagaimana jurnalisme mengkonstruksiperistiwa menjadi berita; bagaimana jurnalismementransformasi realitas empirik menjadi re-alitas simbolik. Jurnalisme memiliki infrastruk-tur untuk melakukan pekerjan itu. Kita diskusi-kan elemen-elemennya, serta proses bagaimanarealitas empirik itu menjadi realitas simbolik,yang berarti juga realitas media.

Berita adalah laporan tentang peristiwa,bukan peristiwanya itu sendiri. Dengan definisiini hendak dikatakan, peristiwa tidak sama de-ngan berita. Suatu kejadian besar ledakan bomdi mal, misalnya tetap akan menjadi kejadiandan tidak menjadi berita jika tidak ada warta-wan yang dapat meliput dan menyiarkannya dimedia. Dengan bahasa lain, berita adalah (hasil)konstruksi fakta dengan berdasarkan prisip-prinsip jurnalisme.

Klausa “berita tidak sama dengan peristi-wa” tidak hanya berarti berubahnya realitas em-pirik menjadi realitas simbolik, tetapi juga ber-arti tereduksinya fakta oleh faktor-faktor yangoleh jurnalisme ditetapkan sebagai syarat. Yangutama adalah, fakta dalam suatu peristiwa dise-leksi oleh apa yang dikenal sebagai ,news value

Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Page 10: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 95

yakni fakta-fakta yang diasumsikan wartawanbernilai bagi publik. Dengan “hukum” ini, ha-nya peristiwa atau fakta bagian dari peristiwatertentu saja yang dapat dijadikan berita. Kon-sekuensinya, sesungguhnya peristiwa-peristi-wa yang disiarkan media hanya bagian kecil sa-ja dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Konse-kuenasinya lagi, sulit untuk mengatakan, beritadi media merupakan representasi dari situasimasyarakat.

Kecenderungan yang lain adalah adanya“pemadatan berita.” Lester Markel dari NewYork Times membuat metafor (Rivers, 1994:98). Jika wartawan mengumpulkan 50 fakta,katanya, ia akan memilih 12 untuk diserahkandalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta.Kemudian, wartawan tadi atau redakturnya me-nentukan mana dari 12 fakta itu yang sebaiknyaditempatkan dalam alinea pertama dari berita-nya. Dengan demikian menonjolkan satu faktadi atas 11 yang lain. Berikutnya, redaktur me-nentukan di halaman satu atau di halaman duabelas berita itu akan ditempatkan. Bila ditem-patkan di halaman satu, berita itu akan menarikperhatian berlipat ganda dibandingkan bila di-tempatkan di halaman dua belas.

Tentu saja kita tahu, angka 12 atau 50atau berapapun sekadar contoh, untuk meng-gambarkan proporsi fakta yang terkumpul danyang dipangkas. Banyak fakta yang dipangkaskarena alasan keterbatasan ruang dan waktu.Televisi dibatasi oleh waktu, koran dibatasi ru-ang. Di sisi lain, berita memang “hanya” meru-pakan potongan peristiwa. Berita tidak dapatmengcover seluruh peristiwa, bukan hanya ka-rena keterbatasan ruang dan waktu, tetapi jugakarena berita adalah realitas simbolik, yang takbisa sepenuhnya merepresentasikan realitasempirik.

Pemadatan berita yang berlebihan bisamenjadi masalah, sama halnya dengan peliput-an yang berlebihan. Sebagian kritikus menuduhmedia terlalu memperhatikan masalah seksual,kejahatan, dan kekerasan. Berita mengenaiskandal tokoh penghibur bisa mekar melebihiisi yang selayaknya diliput. Wartawan mudahtergoda untuk memperuncing fakta-fakta de-ngan menghilangkan frasa dari sebuah kutipan,memfokuskan suatu detail yang kecil tapi me-nyentil, atau dengan memancing kutipan-kutip-an yang provokatif. Berita remeh temeh soalperceraian artis bisa memakan waktu berhari-hari di program infotainmen kita.

Bahaya yang mungkin timbul adalah, pe-madatan berita mengandung resiko lepasnyafakta dari peristiwa. Fakta dilepas dari konteks-nya. Tayangan televisi tentang unjuk rasa diAbenpura beberapa waktu yang lalu bisa dijadi-kan contoh. Perkelahian adalah fakta, sedangperistiwanya adalah konflik mengenai kebera-daan Free Port. Jika hanya fakta perkelahian sa-ja yang ditayangkan, pemirsa akan kehilangankonteks, akan sulit untuk memahami konflik diAbepura secara utuh.

Lantas, bagaimana proses konstruksi pe-ristiwa menjadi berita? Siapa yang paling ber-peran dalam proses konstruksi terebut? Yangpaling berperan adalah komunikator profesi-onal (DeFleur/Dennis, 1988: 23), yakni “orang-orang media” itu sendiri atau dari institusi lainyang membentuk pesan dalam suatu formatyang dapat ditransmisikan melalui media mas-sa. Mereka adalah para spesialis yang memilikikeahlian khusus di bidangnya, seperti para pro-duser, editor, reporter, wartawan, redaktur, danbagian teknis, yang mengorganisiasi, mengedit,dan menyebarkan informasi, hiburan, drama,dan bentuk isi media yang lain. Umumnya me-reka ada di rumah produksi (production house),perusahaan atau biro iklan.

Dengan proses yang rumit dan kompleksini, membuat media memiliki realitasnya sendi-ri, berbeda dengan realitas dalam komunikasiinterpersonal. Media telah mengubah per-cakapan natural dalam komunikasi interperso-nal, realitas sehari-hari, menjadi apa yang olehPostman disebut “konversasi”. Demikian dah-syatnya media dapat mengubah bahkan mem-produksi realitas sehingga Postman (1995:18-19) sampai mengatakan: bentuk konversasi me-nyeleksi substansinya. Mirip dengan itu adalahpremis McLuhan: .Medium mendefinisikan perilaku komunikasiseseorang, menjadikan seseorang sebagai bagi-an dari konversasi. Bahasa media dengan demi-kian adalah konversasi.

Dalam menngkonstruksi fakta, prinsipyang paling sering disebut adalah obyektivitas.Tugas jurnalisme media adalah menyajikanfakta yang obyektif, yang tidak dicampuri opiniwartawannya. Obyektivitas berita sering difa-hami seperti itu, bahwa berita yang obyektifadalah berita yang disamping berdasarkan faktadi lapangan, juga fakta yang tidak dimasuki opi-ni wartawan. Tentu saja kita setuju. Namunmungkinkah obyektivitas semacam itu?

the media is the message

Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Page 11: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

96 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Obyektivitas dalam jurnalisme merupa-kan sebuah “aturan main” tentang representasifakta. Intinya tetap pada pengelolaan fakta, fak-tualitas, yang memiliki dimensi kebenaran danrelevansi. Fakta dalam berita harus benar, da-lam arti lengkap dan akurat. Substansi peristiwaterliput.

Tetapi berita juga sering memuat faktayang tidak ada relevansinya dengan pokok soalyang diberitakan. Sebagai misal, dua orang so-pir angkot berkelahi karena rebutan penum-pang, seorang di antaranya tertusuk senjata ta-jam hingga meninggal. Dalam berita tentu dise-butkan fakta-fakta yang relevan dengan perkaraituidentitas keduanya, duduk selehnya perkara,dan sebagainya. Tetapi ketika dalam berita itudisebutkan asal etnis dan agama yang kebetulanberbeda dari dua sopir itu, berita jadi bias. Aparelevansinya rebutan penumpang dengan latarbelakang etnis atau agama? Ini bisa menyulutkonflik lanjutan.

Dimensi obyektivitas lain yang palingsering disebut adalah keberimbangan (

) atau dan netralitas. Beritayang obyektif adalah berita yang menggunakansumber-sumber yang berimbang agar didapatnetralitas. Kasus Raju, anak yang bertengkardengan tetangganya kemudian ditahan satu ru-angan dengan tahanan orang dewasa, bisa dija-dikan contoh. Di televisi, kita hanya melihattayangan Saju yang menangis di gendonganayahnya karena takut masuk ruang pengadilan,atau simpati tokoh atas teraniayanya anak ini.Kita tak pernah menyaksikan tayangan “fihak”lawan bertengkar Saju. Ini tidak fair.

Tugas media adalah membantu mendefi-nisikan komunitas. Membantu merumuskan,bukan merumuskan. Media tidak bisa meng-ambil keputusan sendirian dalam merumuskankomunitas ini. Relitas yang hendak dijadikanberita harus merupakan hasil kerjasama mediadengan publiknya. Dengan kata lain, realitasmedia adalah hasil rumusan intersubyektivitasmedia, sumber berita, fakta peristiwa, opiniwarga, dan mereka yang terlibat dalam peristi-wa itu. Jika demikian, fakta hasil intersubyek-tivitas memungkinkan digalinya “kebenaran”di balik fakta. Dalam bahasa Peter du Toit(2000:10), “kita mencari fakta, baik fakta sebe-narnya maupun kebenaran di balik fakta”. Per-nyataan sunber berita tentang fakta bukan peni-

coverboth side fairness

Penutup

laiannya tentang fakta harus dicek “kebenaran-nya” lewat infrastruktur jurnalisme yang lain.Observasi dan investigasi, misalnya.

Nilai-nilai jurnalisme yang lain adalah,kita memberi informasi yang mereka butuhkanuntuk dapat berpartisipasi dalam masyarakatdan kewarganegaraan. Memberikan apa yangdibutuhkan masyarakat berarti meliputi semuaaspek kehidupan masyarakat, tentang hak dankewajibannya sebagai warganegara. Rakyatperlu tahu informasi yang dibutuhkan untukmemutuskan, misalnya, siapa yang memimpinnegeri ini. Media juga memiliki peran memban-tu masyarakat “mengerti dunia.” Media perlumemberi informasi sehingga rakyat tahu ten-tang kehidupannya dalam konteks social, poli-tik, kultural yang lebih luas. Media menjelaskansistem sosial, sistem politik, kultur yang ada dikomunitas atau dunia lain yang berbeda denganlingkungannya. Tujuannya bukan menunjuk-kan “keanehannya” melainkan menyebarkanpengertian.

Yang harus diingat adalah, media tidakhanya menyiarkan informasi yang diperuntuk-kan khusus bagi suatu komunitas atau kelom-pok tertentu. Media massa bersifat umum, arti-nya ditujukan kepada umum, sehingga kepada-nya media ditujukan. Dengan demikian, infor-masi tentang suatu komunitas suku atau kelom-pok penganut agama, misalnya bukan hanya di-baca oleh kelompok itu tetapi juga dibaca olehsemua audiens. Media juga bukan mediator da-lam konflik dua kelompok pendukung kandidatgubernur, misalnya. Oleh karena itu, tanggung-jawabnya bukan kepada dua kelompok yangberkonflik sebagaimana tanggungjawab medi-ator. Media bertanggungjawab kepada audienskeseluruhan.

DeFleur, D. (1988).Boston: Houghton Mifflin.

Kovach, B. & Rosentiel, T. (2001).. Jakarta: Institut Studi

Arus Informasi dan Kedutaan Besar Ame-rika Serikat.

Postman, Nl. (1995).. Jakarta: Sinar Harapan.

Rivers, W.L. & Mathews, C. (1994).. Jakarta: Gramedia.

Toit, P. (2000). .Jakarta: Internews.

Daftar Pustaka

Understanding Mass Com-munication.

Elemen-Elemen Jurnalisme

Menghibur Diri SampaiMati

Etika Me-dia Massa

Reportase untuk Perdamaian

Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Page 12: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 97-111

Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Musafir Kelana & Abubakar Eby HaraFakulti Pengajian Antarabangsa Universiti Utara Malaysia

kinship

kinship

Abstrak

Prinsip kekerabatan atau dipandang penting dalam hubungan dua negaraserumpun Indonesia-Malaysia. Namun di balik asumsi umum ini, jarang ada kajianyang membahas masalah ini secara spesifik dan proposional. Dalam paper ini, parapenulis melihat bahwa konsep kekerabatan tidak dapat difahami sebagai sebuahkonsep yang indah terlepas dari konteks hubungan yang berlaku. Dalam kontekskedaulatan sebagai negara merdeka, seringkali tidak bermakna, namundalam konteks kerjasama kawasan, prinsip keserumpunan sebenarnya merupakansalah satu cara yang telah membantu diplomasi kerjasama yang saling menghormatidan tenggang rasa, baik antara Malaysia dan Indonesia maupun dalam kerjasamaASEAN. Para penulis juga melihat bahwa kekerabatan bisa menjadi landasankerjasama Malaysia-Indonesia untuk jangka panjang. Dengan prinsip serumpun,kedua-dua negara dapat membuat suatu visi bersama untuk membangunkesejahteraan bersama. Visi ini bukan suatu utopia karena dalam sejarahnya kedua-dua negara pernah saling membantu dan menyokong satu sama lain dalam bidangpendidikan misalnya. Sumber daya, baik manusia maupun sumber daya alam yangkaya, boleh saling melengkapi di masa depan terutama untuk menghadapi cabarandunia internasional. Namun visi jangka panjang ini seringkali terganggu olehkepentingan jangka pendek di kedua-dua negara yang memanfaatkan berbagai isuseperti pekerja dan masalah sosial mereka untuk kepentingan politik kelompoksemasa. Untuk mengatasi hal ini sebuah payung kerjasama jangka panjang berupa'visi kerjasama serumpun 2050' misalnya perlu segera dirintis.

Kata kunci kekerabatan Indonesia-Malaysia, visi bersama, kesejahteraan bersama, visikerjasama serumpun 2050.

:

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 97

PendahuluanHubungan Malaysia-Indonesia ini sering

dilihat sebagai hal yang unik karena adanya hu-bungan budaya, kekerabatan dan sejarah yangdekat antara kedua-duanya. Istilah-istilah yangdipakai seperti hubungan 'adik-beradik', 'kawandalam suka dan duka' (Fachir 2007), kemudianbak kata pepatah 'dekat di mata, dekat di hati'(Ayip 2007), menandakan suatu hubungan yangakrab dan mencerminkan suasana kejiwaan pe-

1

mimpin kedua negara. Para pengamat di Malay-sia pun suka menggunakan istilah ini, yang ma-na Malaysia menganggap Indonesia sebagaiabang dan sebagai adik, Malaysiakadang-kadang perlu meminta nasehat kepadaabangnya. Karena adik beradik pula lah merekasering terlibat pertengkaran yang tentu sajaakan diselesaikan secara kekeluargaan (Liow2005: 26; Ishak 2007).

(big brother)

Page 13: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

98 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Pada satu sisi kondisi kekerabatan ininampaknya melahirkan sentimen dan kecende-rungan positif dalam hubungan kedua-dua ne-gara. Sejak mereka berkuasa tahun 2005 sampaiNovember 2007 misalnya, Perdana Menteri,Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, sudahtujuh kali melawat Indonesia; manakala Presi-den Susilo BambangYudhoyono yang berkuasatahun 2004 pula telah empat kali mengunjungiMalaysia, dan Timbalan Presiden, Jusuf Kallatelah tujuh kali melawat negara ini (Ayip,2007). Di tahun 2007 Badawi mendapatkanbintang mahaputra Adi Pradana yang merupa-kan bintang tertinggi yang diberikan kepada pe-mimpin negara asing oleh Indonesia. Sebelum-nya Badawi juga datang mengucapkan pidato

(Dr. HC) tentang IslamHadari di salah satu Universitas Islam terkemu-ka Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hida-yatullah, Jakarta. Dalam kunjungan ke Jakarta,PM Badawi menyebutkan hubungan persauda-raan negara serumpun itu ibarat dua kawan dimasa senang dan susah (Kompas, 22 Februari2007). Dari pihak Indonesia, Wakil PresidenYusuf Kalla juga mendapat gelar Dr. HC dariUniversiti Malaya.

Namun pada sisi lain, kekerabatan ini se-ring pula melahirkan sentimen negatif dalamhubungan Indonesia-Malaysia. Dalam levelmasyarakat ketegangan sering terjadi. Masya-rakat Indonesia melakukan protes terhadap apayang sering dipandang sebagai kesewenang-wenangan, pelecehan dan penghinaan Malaysiaterhadap bangsa Indonesia dalam beberapa ka-sus seperti pemukulan, penyiksaan tenaga ker-ja, penangkapan orang Indonesia di Malaysiadan penggunaan hasil karya bangsa Indonesiatanpa izin. Sementara di kalangan masyarakatMalaysia, hal-hal ini dianggap sebagai hal bia-sa, atau mungkin wajar untuk menertibkanorang Indonesia yang dikenal mereka sebagaibangsa yang tidak kenal aturan, sering melaku-kan kejahatan dan selalu menimbulkan masalahsosial di negeri mereka. Dalam anggapan seba-gian masyarakat Malaysia, kalau bukan karenaada hal-hal berkaitan dengan imigran ini, negerimereka seharusnya aman dan tertib.

Dengan demikian, di sebalik persepsi ke-serumpunan yang indah dalam kata-kata, dalampraktek dan sejarah hubungan Indonesia-Ma-laysia, sebetulnya realitas hubungan sepertiyang terjadi sekarang sangat kompleks. Berba-

Doctor Honoris Causa

gai masalah dan ketegangan sering terjadi seca-ra berulang. Masalah itu bisa dipicu soal perba-tasan, soal persaingan di kawasan, masalah per-sepsi yang berbeda tentang kawasan dan jugasoal para pekerja Indonesia di Malaysia. Seja-rah menunjukkan dua negara pernah meng-alami yang serius semasa Sukarno,kemudian sengketa yang dipicu soal TenagaKerja Indonesia (TKI), setelah itu ada kete-gangan karena pulau Sipadan dan Ligitan yangkini menjadi milik Malaysia. Paling akhir ada-lah soal klaim terhadap blok laut Ambalat. Ma-salah-masalah seputar TKI dan Ambalat masihmenjadi api dalam sekam yang bisa memanassetiap saat.

Kenyataan bahwa ketegangan sering ber-laku antara kedua-dua negara, menimbulkanpertanyaan seberapa jauh konsep kekerabatansebenarnya bisa dipakai dan berlaku dalammenjelaskan hubungan kedua-dua negara. De-ngan kata lain, seberapa jauh kah persaudaraandan kekerabatan bisa menggatasi kesenjangan( ) dan jurang perbedaan di antara kedua-duanegara berdaulat ini? Potensi apa kah yang da-pat dikembangkan dari konsep kekerabatanyang memang sudah ada sejak lama di kedua-dua negara? Makalah ini mencoba menjawabpertanyaan-pertanyaan ini.

Asumsi utama dari tulisan ini adalah bah-wa konsep kekerabatan atau serumpun memangmemiliki kegunaan terbatas dalam hubungankedua-dua negara dan lebih tepat dilihat sebagaisebuah alat diplomasi dalam hubungan kedua-dua negara dan bukan sebagai tujuan. Konsepkekerabatan cenderung tidak berlaku dan kehi-langan makna ketika kedua-dua negara mene-gakkan kedaulatan. Namun sebagai sebuah alatdiplomasi, dalam kadar tertentu kekerabatandapat berkembang menjadi bagian dari kulturstrategis ) dalam hubungankedua-dua negara. Hubungan kekerabatan jugabisa menjadi landasan bagi pengembangan visistrategis untuk menghadapi cabaran globalisasidi hadapan kedua-dua negara.

Makalah ini dibagi empat bagian. Bagianpertama adalah perbincangan tentang konsepkekerabatan dalam hubungan Indonesia-Ma-laysia. Diikuti dengan pembahasan tentang hu-bungan antara dengan kedaulatan. Ba-gian ketiga melihat potensi sebagai ba-gian dari kedua-dua negara.Bagian keempat adalah tentang dan po-

Konfrontasi

gap

(strategic culture

kinshipkinship

stragic cultureskinship

2

Page 14: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 99

tensi yang dapat dikembangkan dalam memba-ngun hubungan kedua-dua negara di masa men-datang.

Dalam istilah sosiologis hubungan yangbersifat persaudaraan yang ditandai dengan per-samaan budaya dan juga keturunan sering dise-but dengan hubungan atau kekerabatan.Orang sering menganggap fenomena demikiansebagai unik karena jarang dijumpai di duniainternasional. Namun demikian sebenarnya adabeberapa negara yang berhubungan darah danbudaya seperti Jerman Barat dan Timur, Viet-nam Utara dan Selatan, lalu Yaman Utara danSelatan yang kini semua telah bersatu kembali.Negara-negara Arab yang terpecah dalam ba-nyak negara, Korea Utara dan Selatan juga se-betulnya berada dalam satu kekerabatan. Tetapinegara-negara yang disebut terakhir ini tetapmempertahankan identitas masing-masing bah-kan ikatan kekerabatan emosional di negara-ne-gara itu telah hampir hilang karena kuatnya so-sialisasi sebagai negara-negara berdaulat dalammembentuk identitas, nasionalisme, ideologidan sentimen lainnnya. Dengan kata lain nega-ra-negara ini tidak melihat sebagai bagi-an utama dari budaya strategis yang dikem-bangkan mereka.

Dalam hubungan Malaysia-Indonesia,konsep 'kekerabatan kakak beradik' atau 'temandalam suka duka' berkaitan dengan konsep-konsep budaya yang saat ini mulai menjadi per-hatian para pengaji studi hubungan internasio-nal. Namun konsep sering disalahme-ngerti sebagai akan berpengaruh langsung ter-hadap hubungan dua negara. Konsep ini mesti-nya diletakkan dalam suatu konteks mengapa iamenjadi penting, tidak penting atau berpotensiuntuk menjadi penting. Ia menjadi penting ter-gantung interpretasi dominan yang tercipta pa-da satu masa dan konteks tertentu.

Sejauh ini ada dua interpretasi tentangkonsep kekerabatan.Yang pertama adalah meli-hat konsep ini sebagai sebuah situasi nyata de-ngan analogi keluarga dan dianggap signifikandalam hubungan kedua-dua negara. Yang keduaadalah melihat konsep ini secara dinamik seba-gai sesuatu yang selalu berkembang dengan in-terpretasi yang berbeda, baik di Indonesia mau-pun Malaysia. Walaupun kedua-dua pemaham-

Konsep Kekerabatan: dari Melayu keSerumpun

kinship

kinship

kinship

an ini, sebagaimana akan dijelaskan, memilikiketerbatasan dalam menjelaskan hubungan ke-dua-dua negara, namun pendekatan kedua lebihkuat untuk menjelaskan makna kekerabatan da-lam hubungan Malaysia-Indonesia.

Sebagai sebuah realitas, memang tidakdapat dipungkiri ada hubungan kekerabatan se-rumpun kedua-dua negara. Kedua-dua negaramemiliki kaitan darah , bu-daya dan hubungan famili, dan karena itu seringdisebut juga sebagai negara serumpun. Persa-maan budaya antaraorang Melayu di kedua-duanegara paling terasa di hampir semua daerahMelayu Malaysia dan di daerah seperti Suma-tera serta sebagian Kalimantan di Indonesia.Orang-orang keturunan Indonesia pun banyakyang menjadi warga negara dan menjadi orangpenting di Malaysia. Hikayat-hikayat lama jugamenceritakan satu kawasan Melayu yang meli-puti Malaysia dan sebagian Indonesia. Lebih ja-uh lagi bahkan Wallace dalam Zain (2003: 130)mentakrifkan bahwa yang disebut Melayu bu-kan saja meliputi Malaysia dan Indonesia, teta-pi juga keseluruhan rantau Asia Tenggara sam-pai ke Pulau Solomon di Tenggara dan Luzon diUtara. Mereka disebut Melayu karena mempu-nyai ciri-ciri fisik yang sama dan akar aksara(huruf abjad) yang sama sejak jaman Sriwijayadulu (Zain 2003).

Namun dalam pemahaman konsep keke-rabatan sebagai sebuah realitas, sejak awal kon-sep ini sebenarnya mudah memicu kemarahan(rentan) terhadap manipulasi dan politisasi. Isti-lah Melayu semakin berubah makna semantik-nya terutama ketika Indonesia dan Malaysiaatau Persekutuan Tanah Melayu menjadi negaramerdeka. Definisi Melayu menjadi lebih sempitlagi ketika di Malaysia ia dibatasi hanya padamereka yang mengamalkan budaya Melayu danberagama Islam, karena kepentingan kelom-pok-kelompok politik di dalam negeri negaraitu. Perluasan makna Melayu seperti asal-usul-nya yang luas menjadi tidak mungkin lagi kare-na akan ditentang oleh kelompok politik sepertiUMNO yang mendapatkan keuntungan politikdari definisi sempit Melayu sekarang.

Jadi cukup jelas bahwa konsep Melayudan kekerabatan Melayu tidak dapat difahamisecara esensial lagi karena perkembangan yangada. Sejalan dengan itu konsep kekerabatan j-uga seringkali dijadikan sebagai sopan-santun(basa-basi) politik dan alat untuk mencapai tu-

(blood-brotherhood)

Page 15: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

100 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

juan tertentu. Jepang sebagai contoh pernahmemanipulasi konsep persaudaraan, untuk tu-juan menguasai Asia Tenggara. Istilah kekera-batan misalnya digunakan oleh Jepang sebagaiSaudara Tua bagi negara-negaraAsia. Tetapi sa-ngat jelas istilah itu hanya dipakai sebagai janjipalsu Jepang untuk manipulasi dan alat legiti-masi bagi kehadiran Jepang sebagai penjajah diAsia. Itu adalah bagian dari ambisi Jepang un-tuk menciptakan wilayahAsiaTimur Raya.

Walaupun istilah kakak adik yang dipa-kai dalam hubungan Malaysia-Indonesia tidakmengacu pada istilah yang dipakai Jepang, kon-sep ini melukiskan suasana yang sangat terbatasdan tidak menjelaskan keadaan dari hubungankedua-dua negara. Dalam istilah kakak adik di-asumsikan adanya suasana dalam satu keluargaatau serumpun. Dalam asumsi demikian, ba-nyak persoalan bisa diselesaikan secara kekelu-argaan dan tenggang rasa. Ketegangan yangmuncul dianggap sebagai bagian dari masalahkeluarga yang bisa terjadi. Adalah hal biasa ka-lau adik dianggap merajuk kepada abangnya,sebaliknya kalau abang marah, itu juga diang-gap wajar karena dia dianggap saudara lebihtua.

Dari pandangan ini, sebenarnya konsepini hanya terbatas sebagai alat untuk meng-ingatkan bahwa kita ini masih kerabat sehinggaharus mengatasi konflik. Namun konsep ini ti-dak dapat mencegah konflik, seperti pada masaSoekarno, masalah pekerja dan soal sengketakepulauan. Dengan demikian sulit untuk men-cari hubungan kausal secara langsung antarakonsep kekerabatan ini dengan harmoni atau-pun konflik dalam hubungan kedua-dua Nega-ra.

Interpretasi kedua-dua tentangadalah lebih kuat karena ia melihat konsep inisecara anjal (fleksible) sesuai dengan interpre-tasi dominan para pembuat keputusan di kedua-dua Negara. Konsep itu berkembang menurutipara penafsirnya di kedua-dua negara. Dalamperjalanannya konsep kekerabatan pada awal-nya paling konkrit ditafsirkan oleh para pejuangkemerdekaan kedua-dua negara. Para tokoh inibersimpati satu dengan lainnya dalam melawanpenjajah. Pada tahun 1940-an di Malaysia, adamisalnya Burhanudin Al-Helmy, Ibrahim Ya-koob, Ahmad Boestaman, Mokhtaruddin La-sso; dan, di Indonesia Muhammad Yamin, Mo-hammad Hatta dan Sukarno yang membin-

kinship

cangkan tentang bentuk kerjasama negara mer-deka di Nusantara. Walaupun masing-masingkelompok mengajukan penamaan yang berbedayakni Melayu Raya, Indonesia Raya dan kemu-dian juga Nusantara, di baliknya ada asumsibahwa mereka adalah serumpun (Liow 2005:23). Istilah Dunia Melayu menggambarkan le-bih kuat lagi kedekatan ini. Di sini padamulanya setidaknya dalam cita-cita ada halkonkrit yang ingin dicapai dalam konsep se-rumpun Melayu ini.

Namun kemudian kedua-dua konsep itutidak berjalan sesuai dengan keinginan merekakarena kedua-dua negara mengembangkankonsepsi sendiri-sendiri dalam membentuk ne-gara. Indonesia yang terdiri dari banyak pulaudan suku tidak mengembangkan konsep ini ka-rena megesankan afiliasi etnik tertentu saja. Su-ku Melayu adalah satu kelompok suku di Indo-nesia yang terdapat di pulau Sumatera dan Kali-mantan. Sementara di Malaysia, ada klaim ter-hadap keutamaan bumiputra dalam cita-cita po-litik di negara itu. Penyempitan konsep Melayudi Malaysia dirasakan penting bagi justifikasikekuasaan di negara multirasial ini.

Pendekatan kedua ini mencoba menje-laskan bahwa terus mengalami interpre-tasi dan reinterpretasi yang berbeda antara to-koh di kedua-dua negara. Karena reinterpretasiyang berlanjut terus ini, para pengamat sepertiLiow (2003: xii), menyimpulkan bahwa konsepkekerabatan tidak bisa menjelaskan atau tidakada kaitannya dengan perdamaian dan konflikantara Indonesia dan Malaysia. Dengan kata la-in kekerabatan Melayu bisa tetap ada, tetapi hu-bungan kedua-dua negara adalah masalah lainyang sulit dijelaskan dari aspek ini.

Pemahaman dan pendekatan Liow yangmelihat konsep kekerabatan secara dinamikadalah menarik dan bisa menjadi acuan dalammemahami makna kekerabatan, tetapi kesim-pulannya tentang pengaruh kekerabatan perludikaji ulang. Dalam menjelaskan hubunganMalaysia-Indonesia, Liow membatasi diri padainterpretasi tentang keserumpunan berdasarkankemelayuan yang kemudian baginya menjadikurang penting karena penyempitan konsep ke-melayuan. Satu hal penting dalam perkembang-an interpretasi konsep kekerabatan dan kese-rumpunan Melayu adalah mulai hilangnya ataupenyempitan istilah Melayu itu sendiri dalamwacana hubungan kedua-dua negara. Namun

kinship

kinship

kinship

Page 16: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 101

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

ada satu hal penting yang dilupakan disini yaituistilah keserempunan Melayu memang perla-han-lahan hilang namun keserumpunan dalampengertian lebih luas mulai berkembang dalammemahami hubungan Indonesia-Malaysia. Ke-serumpunan tetaplah diakui dan menjadi latarbelakang hubungan kedua-dua negara. Kedua-dua negara secara implisit mengakui keberada-an keserumpunan itu yang tercermin dalam ka-ta-kata seperti hubungan dalam suka dan duka,abang dan adik, atau dekat di mata dekat di hati.Dalam kata-kata itu kata-kata keserumpunanMelayu hanya menjadi latar belakang historisyang semakin jarang digunakan. Ia kini telahbertransformasi ke dalam hubungan keserum-punan Malaysia dan Indonesia sebagai sebuahnegara dan tidak lagi terbatas pada konsep ke-melayuan.

Transformasi konsep kekerabatan Mela-yu menjadi konsep serumpun saja ini berjalansecara kontinyu seiring sejalan dengan pe-nyempitan istilah Melayu dan perkembangankedua-dua negara untuk menegakkan kedau-latan masing-masing, dan dalam pergaulan me-reka sebagai negara merdeka di kawasan. Kon-sep keserumpunan atau kekerabatan Melayu se-makin sirna terutama seiring dengan berkem-bangnya kedua-dua negara menjadi negara ber-daulat penuh.

Untuk melihat perkembangan konsep ke-kerabatan dalam hubungan kedua-dua negara,konsep ini mesti diletakkan dalam konteks dimana ia digunakan. Dalam tulisan ini kekera-batan akan ditempatkan dalam konteks kerang-ka penguatan kedaulatan dan dalam pemben-tukan budaya strategis oleh kedua-dua negara.

dengan kata-kata 'Melayu' adalah salahsatu faktor yang tidak mendapatkan tempat da-lam penguatan kedaulatan negara, namun ia da-lam pengertian luas kekerabatan antar negaramempunyai potensi dalam pembentukan

kedua-dua negara, terutama seba-gai alat dalam diplomasi regional.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia-Ma-laysia, kedaulatan mendapatkan sosialisasiyang kuat dan menjadi aspek penting sehinggamengalahkan aspek lain, termasuk kekerabatandalam pembentukan identitas kedua-dua nega-ra. Dalam tulisan ini kedaulatan diartikan bukandalam bentuk yang sudah jadi bahwa negara

Kinship

strate-gic cultures

Kekerabatan dan Kedaulatan

merdeka adalah negara berdaulat mutlak. Keda-ulatan di sini difahami sebagai suatu proses se-hingga tercipta otoritas dan kekuatan negaramasing-masing negara dalam mewujudkan ci-ta-cita nasional mereka. Perjalanan sejarah In-donesia dan Malaysia ditandai dengan persa-ingan dan perebutan dalam menegakkan keda-ulatan, baik wilayah maupun otoritas sebagainegara merdeka.

Sebagai negara bekas jajahan, pemerin-tah di kedua-dua negara harus memperjuang-kan kedaulatan, baik ke dalam maupun ke luar.Di dalam negeri, mereka harus mengkonsolida-si diri sehingga otoritas pemerintahan bisa te-gak dan persatuan nasional bisa diwujudkan.Mereka harus memastikan bahwa negara benar-benar berdaulat sehingga tidak ada lagi ancam-an pemisahan diri atau separatisme. Ke luar ne-geri, negara-negara ini juga menata hubungandengan negara lain sehingga keselamatan dankeamanan negara bisa terjamin dari seranganluar.

Pengalaman sejarah kedua-dua negaradalam menegakkan kedaulatan negara berbeda.Dalam kaitan dengan pembentukan negara ber-daulat, hubungan kekerabatan memang pernahsecara signifikan menjadi salah satu faktor stra-tegis yang mempengaruhi hubungan kedua-duanegara. Kekerabatan paling kuat ketika benih-benih nasionalisme muncul di negara-negaraini yaitu ketika mereka melawan penjajah untukmecapai kemerdekaan. Persaudaran Melayu di-cerminkan dengan keinginan untuk membentukMelayu Raya sebagai negara merdeka yang me-liputi pula Indonesia. Demikian juga ada cita-cita Indonesia Raya di mana Melayu menjadibagian dari negara merdeka itu.

Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, cita-cita itu tidak pernah terwujud. Perjuangan ke-merdekaan ala revolusi sosial yang banyak me-ngorbankan jiwa dan lebih jauh lagi menggusurfeodalisme di Indonesia, kurang mendapat sim-pati dari mayoritas masyarakat di Malaysia. Se-jalan dengan ini sebagaimana diungkapkan diatas penyempitan istilah Melayu ini pun terjadi.Melayu hanya mewakili sebagian suku di In-donesia sedangkan di Malaysia, Melayu didefi-nisikan secara lebih sempit lagi secara politik.Dengan penyempitan makna Melayu ini, pe-ngaruh keserumpunan Melayu menjadi kurangrelevan dalam hubungan kedua-dua negara.Walaupun perlahan mengalami perubahan, wa-

Page 17: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

102 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

cana hubungan kedua-dua negara bertransfor-masi tidak lagi menggunakan istilah keserum-punan Melayu tetapi hubungan normal sebagaidua negara yang berdaulat.

Yang terjadi kemudian adalah perbedaanpersepsi dalam penguatan kedaulatan ini. Indo-nesia memandang kedaulatan Malaysia seha-rusnya diperoleh melalui perjuangan yang

dengan melawan penjajah, bukan denganmendapatkan hadiah dari penjajah. Ini kemu-dian berlanjut kepada yang dimo-tori oleh Sukarno. Dalam konfrontasi, Sukarnoyang marah dengan demonstrasi besar-besarananti Indonesia seperti penistaan gambar dirinya,bendera Indonesia dan lambang negara, me-minta dukungan masyarakat untuk mengga-nyang Malaysia (Sulaiman 2007). Di sebalikkampanye itu, terdapat tujuan berganda, yaituselain mendiskreditkan Malaysia sekaligus ju-ga untuk membangun kesatuan dalam negeridengan mengandaikan musuh dari luar ini. Su-karno melakukan itu untuk menunjukkan wiba-wa Indonesia dan untuk memberikan kebang-gaan kepada rakyat Indonesia akan kekuatan re-volusi mereka.

Dalam perspektif kedaulatan pula, ke-dua-dua Negara juga berbeda haluan ketika Ma-laysia bersimpati kepada kelompok-kelompokluar Jakarta untuk mendapatkan hak yang lebihbesar dari pusat di tahun 1955-1960. Hubunganerat antara partai Islam Masyumi Indonesia de-ngan tokoh-tokoh Islam di Malaysia, telahmembuat banyak kalangan di Malaysia bersim-pati terhadap pemberontakan daerah-daerahterhadap pusat di tahun 1955-an.

Strategi untuk memperkuat otoritas dankedaulatan juga berbeda dalam menata ke-amanan kawasan Asia Tenggara. Memang In-donesia dan Malaysia adalah pendukung utamadalam pembentukan ASEAN karena melaluiASEAN kerjasama dan penyelesaian masalahbisa dikembangkan di kawasan. Mereka jugamemegang teguh prinsip-prinsipASEAN untukmenghormati kedaulatan masing-masing nega-ra. Namun dalam hal mempersepsikan ancamanterhadap ASEAN, kedua-dua negara mempu-nyai persepsi yang berbeda. Malaysia bagaima-napun melihat pentingnya kekuatan besar se-perti Inggris danAmerika Serikat dalam menja-ga kestabilan. Ini dicerminkan dalam Pakta Li-ma Negara yang ditandatangani Malaysia, Si-ngapura dengan AS, Australia dan New Zea-

ge-nuine

Konfrontasi

land. Dalam ide ZOPFAN pada awalnya Malay-sia menghendaki suatu jaminan dari negara-ne-gara besar ini terhadap zona damai diASEAN.

Indonesia sebaliknya melihat bahwaASEAN harus mandiri dalam menjaga kestabil-an kawasan. ASEAN bagi Indonesia harus be-bas dari pengaruh asing melalui kekuatan nega-ra-negara anggota sendiri. Konsep wawasan na-sional dan wawasan regional menjelaskan pent-ingnya kekuatan dari kalangan negara per nega-ra untuk mencegah ancaman dan campur tanganasing terhadap kawasan ini.

Kesatuan dan integritas wilayah merupa-kan warisan sejarah yang sampai kini melekatkuat dalam pandangan politik Indonesia. Indo-nesia sangat khawatir akan negaranya yang ka-ya dengan berbagai pulau dan rawan infiltrasi.Weinsten (1976) mengistilahkan pandangan elittentang Indonesia itu, sebagai seperti seoranggadis yang ingin digoda oleh banyak negara la-in. Dalam konteks ini lah kedaulatan Indonesiaatas pulau-pulau di garis perbatasan lautnyamenjadi kekhawatiran besar. Lepasnya Sipadandan Ligitan misalnya sangat disesali oleh ba-nyak orang Indonesia. Lepasnya kedua-dua pu-lau itu sempat menyulut emosi masyarakat wa-laupun tidak sampai menyebabkan konfrontasidi kedua-dua negara. Demikian juga sengketaperbatasan laut di blok Ambalat telah memba-kar nasionalisme banyak orang Indonesia. Me-dia Indonesia misalnya melaporkan peristiwaitu dengan liputan yang luas dan membakar pe-rasaan nasionalisme masyarakat. Militer Indo-nesia juga sudah siap untuk diterjunkan bila adakonfrontasi militer. Pulau-pulau di garis perba-tasan luar menjadi banyak pihak di In-donesia walaupun mereka kadangkala frustrasidengan ketidakmampuan untuk menjaganyakarena kekurangan teknologi dan kapal-kapalperang.

Langkah-langkah Malaysia apalagi sete-lah lepasnya Sipadan dan Ligitan selalu dipan-dang curiga oleh masyarakat umum dan mediaIndonesia. Setelah kedua-dua pulau itu, merekamenganggap bahwa Ambalat merupakan targetberikutnya dari Malaysia. Tidak mengherankanketika terjadi peningkatan dinamika di laut itukarena Malaysia memberikan izin bagi perusa-haan minyak Amerika untuk mengeksplorasiminyak di blok Ambalat kekhawatiran itu tam-bah besar. Ini diikuti pula dengan ketegangan diseputar wilayah laut itu dan terjadinya sedikit

concern

Page 18: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 103

benturan antar kapal Malaysia dan Indonesia.Peristiwa itu memicu protes rakyat, demonstra-si anti Malaysia di depan Kedutaan Besar Ma-laysia di Jakarta.

Di Malaysia peristiwa ini tidak dipan-dang sebagai suatu masalah serius karena adaanggapan bahwa yang dilakukan adalah dalamkepentingan ekonomi dan masih dalam bataswilayah Malaysia. Media Malaysia pun tidakpunya kepedulian yang berlebih untuk masalahini. Mereka melaporkan peristiwa itu denganwajar. Tentu saja ini wajar dalam konteks Ma-laysia karena sebetulnya tujuan utama merekaadalah ekonomi dan keuntungan bagi negara,dan tidak dilihat dari konteks nasionalisme.

Bagi pihak Indonesia, tindakan sepertiini dipandang sebagai bagian dari upaya untukmengambil tanah dan menghancurkan keda-ulatan RI. Dalam konteks Indonesia, demikiantingginya kekhawatiran itu, sehingga sulit difi-kirkan secara jernih siapa yang lebih berhakatas daerah itu. Karena hal itu tidak penting lagi,yang penting adalah adanya ancaman territorialyang dilakukan oleh Malaysia. Dari kasus ini,dalam konteks kedaulatan, kekerabatan sering-kali tidak memiliki makna. Pada masa Sukarno,banyak orang melihat bahwa politik Konfron-tasinya dilakukan untuk mengalihkan persoalankesatuan Indonesia yang begitu rumit sebagainegara baru dan kesulitan untuk membangunnegara itu sesuai janji kemerdekaan. Malaysiadijadikan musuh bersama atau secaraefektif untuk menggalang dan memobilisasi ke-kuatan bersama di dalam negeri.

Malaysia semasa Konfrontasi telah disa-makan oleh Soekarno dengan kekuatan impe-rialis. Kemerdekaannya yang tidak melalui per-lawanan dan revolusi dilihat sebagai bagian darikonspirasi kekuatan imperialisme dan kolonial-isme negara-negara Barat untuk mengepungnegara-negara penentang penjajahan (

) seperti Indonesia. Kontras yang di-ciptakan Sukarno ini merupakan kelanjutan da-ri penciptaan lawan yang pada gilirannya diha-rapkan akan menyatukan kekuatan dalaman( ) di Indonesia, dan untuk sementarawaktu rakyat dapat melupakan penderitan hi-dup dan kesulitan ekonomi. Mereka mengkon-solidasi diri dan bersatu di belakang Soekarnodengan nasionalisme, idealisme dan semangatrevolusi.

Hal yang kurang lebih sama juga berlaku

the other

anti-co-lonialism

internal

di dalam negeri Malaysia dewasa ini. Di Malay-sia kedaulatan negara antara lain diperkuat an-tara lain dengan memperlihatkan bahwa perso-alan-persoalan seperti kejahatan di dalam nege-ri banyak terjadi karena para pendatang yangbekerja di negara itu. Pendatang yang bekerjadilaporkan oleh media misalnya sebagai sum-ber masalah sosial di negara itu. Laporan-lapor-an media misalnya menyebutkan bahwa sebagi-an besar jumlah tahanan adalah para pekerjatermasuk pekerja tanpa izin dari Indonesia. Ju-dul laporan itu misalnya “25.000 Pekerja Indo-nesia bawa Penyakit Setiap Tahun”, "PekerjaAsing Biadab", "Orang Indon Mengganas".Akibat pemberitaan itu telah menciptakan opininegatif di kalangan masyarakat Malaysia terha-dap orang Indonesia. (Kompas, 9 November2007); walaupun sebetulnya seperti diberitakanBerita Harian, 17 November 2007, jauh lebihbanyak warga Malaysia sendiri yang melaku-kan kejahatan, karena ternyta kejahatan yangdilakukan oleh orang asing kurang dari 3% (Li-hat juga 17 November 2007) .Namun penggambaran media yang berulang-ulang, seolah-olah menunjukkan bahwa orang-orang asing ini hanya mengacaukan dan meru-sak masyarakatMalaysia.

Laporan-laporan ini tentu saja untukkonsumsi dalam negeri dan kepentingan politiksesaat, tapi dalam jangka panjang mengimpli-kasikan sikap antipati terhadap semua orang In-donesia. Bangsa Malaysia menjadi yakin bah-wa Malaysia yang berdaulat dan teratur denganbaik telah dikacaukan oleh para pendatang. Ti-dak ada sisi positif yang diungkapkan dari keda-tangan para pekerja ini dalam membantu prosespembangunan Malaysia, karena ini bisa menga-caukan persepsi antara Malaysia yang baik danteratur dan mereka para pendatang yang mem-buat kacau. Dengan demikian, di dalam negeri,yang asing yaitu para pendatang digambarkansebagai sumber masalah dari masyarakat Ma-laysia yang seharusnya baik dan bermartabat.Perihal kehadiran pekerja asing termasuk tena-ga kerja Indonesia turut memberi kontribusi be-sar dalam pembangunan di Malaysia.

Berita Harian 3

Dari sudut positif, kehadiran pekerja asingterbukti banyak membantu negara [Malay-sia]. Mercu tanda Menara Berkembar Petro-nas, Menara KL, Litar F1 Sepang, StadiumNasional Bukit Jalil dan Pusat PentadbiranKerajaan Persekutuan di Putrajaya tidak akan

Page 19: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

104 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

jadi kenyataan tanpaadanya pekerja asing.4

Proses penguatan kedaulatan ke dalamini, dengan demikian menunjukkan bahwa ni-lai-nilai kekerabatan tidak bermakna sama se-kali. Kekerabatan memang ada sebagai sebuahrealitas namun dalam perkembangannya ia ti-dak diberi makna yang penting dalam pejalananpembentukan negara berdaulat Malaysia danIndonesia. Bahkan perbedaan yang besar dalambagaimana kedaulatan harus diperkuat menye-babkan ketegangan hubungan kedua-dua nega-ra tersebut.

ada sebuah konsep ten-tang prilaku suatu negara yang lebih kompleksdaripada konsep rasionalitas keamanan yangmengandaikan selalu adanya ancaman darinegara lain. Menurut Hoffmann dan Longhurst(1999: 145-146) ada empat asumsi dasar

:

Dalam konteks ini, budaya strategis In-donesia dan Malaysia dalam sejarahnya walau-pun singkat cukup berbeda. Selama 63 tahun In-donesia merdeka dan 50 tahun Malaysia merde-ka pengalaman sejarah yang membentuk buda-ya strategis kedua-dua negara berbeda. Indone-sia disosialisasikan kepada keadaaan tentangnegerinya yang rentan dalam menghadapi pe-ngaruh asing. Kerentananan itu seringkali di-perparah oleh rasa khawatir dan frustrasi karenaketidakmampuan untuk melindungi diri. Tetapidalam sejarahnya untuk mengatasi ini Indone-sia tidak mau meminta bantuan asing tapi harus

Kekerabatan, Diplomasi dan StrategicCulture

Strategic culture

stra-tegic culture

'Firstly, a strategic culture approach em-phasises national specific attributes of secu-rity approaches and policies as deriving fromhistorical experiences thus cancelling out thenotion of a universal assumed rationality. Se-condly, strategic culture is about collectivesand their shared attitudes and beliefs, whe-ther that be military establishments, policycommunities or entire societies. Thirdly, it iscontinuities and discernible trends acrosstime and contexts rather than change that isfocused upon, change is generally portrayedas gradual in the absence of dramatic shocksand trauma. Finally, strategic culture is seenas intimate to behaviour, acting as a milieuthrough which information is received, me-diated and processed in to appropriate res-ponses.

mengandalkan kekuatan diri sendiri. Mengan-dalkan kekuatan asing akan membuat indepen-densi terombang ambing dan menjadi permain-an kekuatan besar, yang justru akan memper-mudah infiltrasi kekuatan asing itu ke bumi In-donesia. Ini tertuang dalam deklarasi politik lu-ar negeri negara ini yaitu bebas dan aktif yangbermakna bahwa Indonesia bebas dari dalammelakukan pilihan politik internasional tetapijuga aktif mempromosikan perdamaian. Kemu-dian prinsip ini dirumuskan dalam konsep wa-wasan nusantara oleh rejim Orde Baru.

Seperti diungkapkan di mukamenyangkut

' atau kolektivitas, kebersa-maan, nilai-nilai dan sikap yang dipilih olehsuatu negara dalam melihat hubungan dengannegara lain. Nilai-nilai ini dianut oleh sebagianbesar dari elit dan massa di negara itu yang ter-bentuk lewat perjalanan sejarah mereka meng-hadapi cabaran dari persekitaran, baik yangberasal dari dalam maupun dari luar. Nilai-nilaiitu menentukan apakah mereka akan misalnyamelakukan konfrontasi atau bersikap damai de-ngan membina kerjasama dalam menghadapinegara lain. Terdapat beberapa negara di duniamemilih jalan konfrontatif dalam hubungan in-ternasional. Amerika Serikat misalnya melaku-kan politik pembendungan ( ) ter-hadap Uni Soviet; dan pada ketika ini, politikpembendungan ini dilakukan terhadap negara-negara yang mereka anggap membangkang danmendukung terorisme. Di kawasanAsia Selatandan Timur Tengah, konfrontasi lebih menonjoldaripada kolaborasi. Demikian juga di Asia Ti-mur terutama antara dua Korea. Pilihan-pilihankonfrontasi ini terbentuk dalam perjalanan seja-rah dan sikap yang berkembang itu dianut olehsebagian besar dari elit dan massa ketika meng-hadapi negara-negara tentangganya itu.

Secara umum Malaysia dan Indonesiadan juga negara-negara Asia Tenggara umum-nya berhasil mengembangkan kultur strategisyang lebih bersifat harmoni daripada konfron-tasi. Ini tentu saja tidak lepas dari perjalanan se-jarah mereka semenjak kemerdekaan. Apakahada peranan kekerabatan dalam menentukan pi-lihan kerjasama? Peranannya barangkali secaratidak langsung memberikan kondisi bagi dia-log-dialog yang akrab dan intensif bagi negara-negara di kawasan ini. Negara-negara di kawas-an ini merasa sebagai bagian dari satu kawasan

strategicculture 'collectives and shared at-titudes and beliefs

containment

Page 20: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 105

yang bertentangga. Mereka memiliki kulturAsia atau mungkin kultur Melayu kalau mau,secara umum dan menganggap bahwa hidupbertetangga yang baik adalah penting.

Dalam konteks ini, hubungan Indonesia-Malaysia juga menjadi lebih dekat karena ada-nya aspek kekerabatan. Ada dialog yang sangatintensif antara pemimpin kedua-dua negara. Iamemberikan kesempatan untuk dialog dan ko-munikasi secara lebih akrab. Konfrontasi dalamkonteks ini bisa dianggap sebagai sebuah kon-tradiksi dari hubungan kekerabatan dan berten-tangan dengan prinsip hidup bertetangga. Pro-ses dialog menemui jalan buntu karena ambisipemimpin kedua-dua negara yang begitu kuat.

Sebaliknya unsur kekerabatan bisa di-maknai secara positif untuk mengembangkandialog bagi perdamaian. Pengakhiran Konfron-tasi kedua-dua negara di tahun 1966 tidak terle-pas dari dialog-dialog dan dimungkinkan untukberakhir dengan baik dan damai karena adanyaunsur kekerabatan ini. Banyak pengamat misal-nya sangat heran, konflik bertahun-tahun yangpenuh kebencian dengan istilah-istilah seperti'ganyang Malaysia' dan juga militer yangserius di perbatasan Kalimantan, selesai dalampertemuan dua hari antara Menteri Luar NegeriAdam Malik dan rekannya Tun Abdul Razak diBangkok. Bahkan pengakhiran itu tanpa adaperjanjian yang ditandatangani dengan jelas( , ). Ini tentunya berbedakalau konflik terjadi melibatkan dua negarayang tidak memiliki ikatan kekerabatan. Nega-ra-negara ini tentu meminta jaminan yang jelasbahwa peristiwa yang sama tidak akan berlakulagi. Dalam konflik Indonesia dengan Cina mi-salnya, pemerintahan Orde Baru di Indonesiamisalnya tidak mau membuka hubungan diplo-matik dengan negara tirai bambu itu sampaiCina menyatakan secara resmi bahwa merekatidak lagi mendukung gerakan-gerakan komu-nis di Indonesia.

Terhadap keheranan bahwa konflik de-ngan Indonesia bisa berakhir dengan begitu ce-pat, Menlu Malaysia hanya berujar bahwa inilah cara kami, cara Asia dalam menyelesaikanmasalah (Ishak, 2007). Seorang pegawai Ma-laysia pernah menyatakan bahwa konflik sebe-lum ini sebenarnya adalah konflik antara unsurKomunis dan non-Komunis yang secara tersirat( ) hendak memberi justifikasi bahwaKonfrontasi bukan konflik antara dua negara

clash

Time 10 June 1966

implisit

serumpun. Di sebalik proses ini, tentu sajakekerabatan menjadi salah satu

faktor yang membuat komunikasi tidak pernahputus antara kedua-dua negara. Lagi pula TunAbdul Razak dan Adam Malik, tokoh utama disebalik perdamaian itu, adalah dua saudara se-pupu jauh.

Terlepas dari siapa yang diuntungkan da-lam menggunakan konsep kekerabatan dalamdiplomasinya, dalam perkembangannya, nega-ra-negara ASEAN juga mengembangkan me-kanisme dialog dalam menyelesaikan persoal-an-persoalan mereka. Sedikit banyak unsur-un-sur budaya seperti konsensus, persaudaraan,musyawarah dan mufakat dan pertemuan-per-temuan informal yang populer di mayarakatMelayu Indonesia dan Malaysia menjadi caradalam menyelesaikan perbedaan di antara me-reka. Dengan kata lain ini menjadi semacam bu-daya strategis yang dikembangkanASEAN.

Cara demikian kemudian sering dikenaldengan istilah ' . Tentu saja tidaksemua ' ini positif, tetapi dalamhal-hal tertentu cara ini cukup efektif untukmendinginkan ( ) suasana panasyang terjadi antara anggota ASEAN. ASEANdalam menyelesaikan suatu masalah yang kon-troversial biasanya mendiamkannya sampai di-ngin sebelum melakukan tindakan yang sering-kali tanpa ada solusi. Solusi diharapkan munculbersamaan dengan perjalanan waktu dan diha-rapkan ada solusi damai yang nantinya dapatditerima oleh semua pihak. Kalau keadaan me-nguntungkan tentu saja solusi damai bisa di-kembangkan tetapi bilamana berlaku krisis da-lam hubungan antar negara ASEAN atau de-ngan Negara lainnya, sebuah solusi damai bisasemakin jauh. Lewat mekanisme ini ASEANmisalnya dapat mendinginkan suasana panasdalam konflik Sabah antara Malaysia dan Fili-pina demikian juga konflik perebutan kepulau-an Spratley di Laut Cina Selatan dan juga masa-lah-maslah di perbatasan Malaysia dan Thai-land, walaupun belum ada solusi yang jelas ter-hadap soal-soal itu.

Cara menyelesaikan konflik demikianjuga mengandalkan dialog-dialog dan perun-dingan terus menerus yang bisa menimbulkansaling kepercayaan antara pemimpin-pemim-pin negara ini, walaupun kadangkala tanpamencapai kata sepakat. Masyarakat keamananatau di ASEAN misalnya

background

ASEAN way'ASEAN way'

cooling down

security community

Page 21: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

106 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

tercipta karena mereka para pemimpin ini per-caya satu sama lain. ASEAN

misalnya tidak dibuat dalam kerangka per-janjian keamanan sebagaimana umum terjadiuntuk masyarakat keamanan di Barat.

Dalam konteks kawasan, relevansi darikonsep kekerabatan, dengan demikian adalahsebagai alat dan mekanisme dalam mendorongdialog-dialog yang bermanfaat ini. Indonesiadan Malaysia agaknya memanfaatkan kede-katan kekerabatan ini terutama dalam perkem-bangan hubungan semasa PMAbdullah Badawidan Presiden Susilo BambangYudhoyono di In-donesia untuk meningkatkan dialog di antaramereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa komuni-kasi di tingkat antara kedua-dua negara sa-ngat intensif, sehingga tercipta semacam

antara pemimpin kedua-dua negara yangsangat penting bila ada krisis. Dalam banyakhal intensitas hubungan dan komunikasiini bisa meredakan kalau tidak mengatasi se-jumlah persoalan dalam hubungan kedua-duanegara. Tentu saja juga bisa tercipta wa-laupun dua buah negara tidak mempunyai hu-bungan kekerabatan sama sekali. Tetapi bila adalandasan kekerabatan proses ini bisa lebih mu-lus lagi.

Makalah ini melihat bahwa konsepatau kekerabatan mestinya diletakkan se-

cara proporsional dalam hubungan kedua-duanegara. Kesalahan dalam memahamiadalah bahwa konsep ini sering difahami akanmempengaruhi secara langsung hubungan In-donesia dan Malaysia. Ini kesimpulan yang ter-buru-buru karena konsep baru memi-liki makna kalau kita melihatnya dalam suatukonteks yang dilakukan oleh kedua-dua negara.Dalam makalah ini diletakkan dalamkonteks penguatan kedaulatan dan dalam kon-teks pembentukan budaya strategis kedua-duanegara. agaknya tidak diperhitungkanbila dua negara ini berbicara dalam konteks pe-nguatan kedaulatan negara, sebuah konsepyang sangat penting bagi dua negara yang barumerdeka. Dalam konteks penguatan kedaulat-an, ada kecenderungan pada satu negara untukmensosialisasikan negara lain sebagai asingatau bahkan membawa persoalan bagi ke-utuhan dan keharmonian masyarakat mereka.Laporan-laporan media seringkali menunjuk-

security commu-nity

elitehot-

line

elite

hotline

kin-ship

kinship

kinship,

kinship

Kinship

alien

Kinship dan 'Visi Serumpun' ke depan

kan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah duanegara yang berasingan satu dengan lain, bukansebuah negara serumpun. Dalam konteks ini is-tilah yang tepat adalah 'kita adalah kerabat tapimasing-masing kita juga berdaulat'.

Dapatkah konsep kekerabatan atau kese-rumpunan Melayu ini dikembangkan lebih ja-uh? Dalam pertanyaan yang lebih konseptual,Boleh kah 'Visi Serumpun' ( “Serum-pun”) atau 'Wawasan Serumpun' yang populersemasa Tun Abdul Razak dan Suharto dikem-bangkan? Dalam mengelaborasi jawaban terha-dap pertanyaan ini ada beberapa hal yang perludibahas.

Poin pertama adalah bahwa sebagai duanegara bertetangga, kedua-dua negara berde-katan secara geografis, punya ikatan budayayang tak dapat dielakkan, karena sejak zamandahulu kala sehingga era globalisasi ketika inibanyak masalah di sektiar kedua-dua negaraberkaitan satu sama lain. Dahulu kedua-dua ne-gara adalah bahagian dari kerajaan-kerajaan dinusantara seperti Majapahit, Melaka dan Johor(Ghazali, 2007). Ini sebuah keadaan yang bisasaja dianggap tidak penting tapi tidak dapat di-elakkan atau ibarat sebuah ungkapan '

(Thamrin, 2007). Pada masa kini bukan sajaarus pekerja dan migran tapi juga arus budayapop masuk ke Malaysia dari Indonesia. Para pe-labur dari Malaysia juga semakin ramai datangke Indonesia demikian juga para pelancong.Bisa dipastikan di masa datang kondisi hubung-an ini makin kompleks. Ia tidak hanya terbataskepada pemerintah dengan pemerintah saja te-tapi pemerintah dengan masyarakat di kedua-dua negara. Karena kedekatan geografis ini ber-bagai masalah tidak akan terelakkan akan berla-ku dalam hubungan kedua-dua negara. Kedua-dua negara mungkin tidak menyukai hal ini,tapi letak geografis itu telah menjadi takdiryang ditentukan Tuhan.

Melihat fakta sejarah, geografis dan hu-bungan sejak lama ini, dalam konteks hubunganIndonesia-Malaysia bagaimanapun juga kese-rumpunan atau ini tetap menginforma-sikan banyak segi dan keputusan dalam hu-bungan kedua-dua negara. Dari fakta yang se-derhana misalnya dapat dikatakan bahwa parapemrotes terhadap kebijakan Malaysiamenggunakan hasil karya bangsa Indonesiaataupun dalam perlakuan terhadap pekerja

Visions of

you canchoose your friends but not your neighbours'

kinship

Page 22: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 107

asing maupun orang Indonesia di Malaysia, pa-da umumnya diinformasikan oleh sentimen ke-kerabatan ini. Mereka secara emosional mem-protes negara tetangga yang tidak lagi menghar-gai saudara tuanya. Sentimen yang muncul dikalangan para ini adalah anggapanbahwa saudaranya ini kini tidak tahu diri. Tanpaada sentimen seperti ini sikap paraini tidak lah terlalu galak. Misalnya terhadappencurian hasil-hasil karya Indonesia misalnyaoleh Singapura, Jepang, Belanda atau lembagaSmithsonian Amerika misalnya, reaksi yang di-lakukan oleh orang Indonesia tidak lah sekerasterhadap Malaysia (Daery, 2007). Bahkan ter-hadap hilangnya pulau-pulau Indonesia karenadiambil pasirnya oleh Singapura (Utusan Ma-laysia, 17 November 2007), tidak ada protesyang dramatis seperti kalau itu berlaku karenaperlakuan Malaysia.

Pada fihak lain, Malaysia pun agaknyamenganggap bahwa banyak khazanah budayadi Nusantara ini adalah warisan serumpun. Me-reka mungkin tidak menyadari bahwa produk-produk budaya yang telah menjadi bagian darikehidupan masyarakat adalah berasal dari In-donesia. Lagu kebangsaan Negaraku misalnyadiklaim berasal dari Indonesia, namun menurutsastrawan Zawawi Imron, lagu itu sesungguh-nya merupakan puji-pujian yang sebenarnya hi-dup di kalangan pesantren sejak lama (Daery,2007). Jadi ia kira-kira merupakan warisan se-rumpun bersama karena pesantren wujud, baikdi Indonesia maupun Malaysia.

Karena itu poin kedua yang penting ada-lah bahwa untuk mengatasi berbagai masalahyang muncul dan akan muncul antara kedua-dua negara, sebagai dua negara serumpun, me-reka mestinya berhasil mengembangkan pa-yung kerjasama yang berjangka panjang. Pa-yung kerjasama ini bisa disebut misalnya seba-gai 'Wawasan Serumpun' yang akan dijadikan

utama bila berlaku masalah dan kete-gangan dalam hubungan kedua-dua negara.Hendaklah kedua-dua negara dalam mengatasipersoalan mereka, melihat pada tujuan jangkapanjang dalam 'visi serumpun' ini. Visi sedemi-kian bukan lah suatu yang mustahil apalagi ke-dua-dua negara sudah meletakkan meletakkanWawasan mereka. Malaysia dengan Wawasan2020 dan 2057 misalnya, sedangkan Indonesiamembuat 'Visi Indonesia 2030'. Mereka dapatmenyeleksi aspek-aspek kedua-dua wawasan

chauvinist

chauvinist

reference

itu untuk disinergikan bersama.Visi serumpun semasa Tun Abdul Razak

pada tahun 1967-1975 terasa pendek dan sangatdilandasi oleh semacam euforia setelah kon-frontasi yang pahit. Masa itu memang sering di-sebut sebagai tahun-tahun emas hubungan da-rah Indonesia-Malaysia (Yong, 2003), namun iadilandasi oleh trauma konfrontasi, yang manakemudian dalam banyak hal Malaysia mencobauntuk memahami bahkan konsultasi dengan Ja-karta dalam isu-isu penting untuk kestabilan ka-wasan. Hubungan yang akrab demikian tidakberlanjut pada masa selanjutnya karena kehen-dak Malaysia dan semua negara merdeka jugauntuk mengembangkan identitas dan rasa per-caya diri sendiri di dunia internasional terlepasdari bayang-bayang pengaruh negara lain.

Dengan demikian, dan ini adalah poinketiga, visi serumpun yang dapat dirintis adalahvisi yang dapat memberikan peluang dan ruangbagi kebebasan dan identitas masing-masingnegara untuk berkembang, namun mengarahkepada satu tujuan yang saling mendukung satusama lain. Tujuan itu adalah kesejahteraan dankeamanan bagi masing-masing negara. Sebagaidua negara serumpun yang memiliki banyak ke-samaan budaya dan , adalahwajar kalau satu negara ingin melihat negaralainnya makmur, sejahtera dan damai. Perasaansedarah dan serumpun mestinya menjadi energipositif untuk melihat saudara-saudara merekamaju. Kemakmuran dan kedamaian satu negaratidak dilihat dengan iri dan dengki tapi disam-but baik karena juga berdampak positif untuknegaranya. Agaknya konsep

, sebagai kontras dariyang sering diucapkan oleh pa-

ra pemimpin Malaysia dan Indonesia adalah re-levan dalam konteks membangun 'visi serum-pun 2050' misalnya. Apalagi kedua-dua negarakaya akan sumber alam dan sumber daya manu-sia. Konsep Melayu unggul juga bisa dijadikanlandasan bagi visi ini.

Dalam sejarahnya prinsipini telah pula diterapkan terlebih da-

hulu oleh Indonesia, ketika negara ini mengi-rimkan puluhan ribu guru sains, dokter, pakarteknik dan tenaga medis untuk mendidik danmembantu Malaysia yang kekurangan tenagadan pengetahuan di berbagai bidang di tahun1950-an. Secara tidak langsung para senimanmusik, sastrawan, pemusik dan penyanyi juga

'blood brotherhod'

'prosper-thy-neighbour' 'beggar-thy-neigbour' policy

'prosper-thy-neighbour'

Page 23: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

108 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

memberi sumbangan tidak sedikit dalam kema-juan industri seni kedua-dua negara. Karya-kar-ya seniman Indonesia juga menyumbangkanbagi kemajuan berbagai bidang seni di Malay-sia.

Namun ada poin keempat yang pentingdalam proses mewujudkan 'visi serumpun 2050'itu yaitu perlunya upaya konkrit. Seperti 'Vision2020' Malaysia, visi itu hendaknya juga berisilangkah-langkah konkrit yang akan dicapaisampai tahun 2050. Langkah konkrit pentingadalah membetuk semacam tim khusus di ke-dua-dua negara yang bisa dimulai dari kalanganakademisi, kemudian swasta, pengusaha dankemudian pemerintah untuk merumuskan 'Wa-wasan Serumpun' Indonesia-Malaysia ini. Me-rujuk kepada visi Indonesia 2030 , maka 'Vi-sions of Serumpun' dapat dikembangkan untukmendukung kepentingan kedua-dua negara. Iamisalnya dapat meliputi upaya untuk memben-tuk sinergi tiga modal utama kedua-dua negarayaitu modal manusia, modal alam dan fisik, danmodal sosial. Dalam sinergi itu kedua-dua ne-gara dapat bekerja sama untuk “Mewujudkankehidupan masyarakat yang berkualitas dan be-bas dari kemiskinan”, kemudian mereka dapatbekerja sama memanfaatkan kekayaan alam ke-dua-dua negara yang kaya secara optimal danberkelanjutan. Kedua-dua negara juga memilikipotensi untuk melakukan sinergi kelompok wi-rausaha, birokrasi dan pekerja dalam rangkamenciptakan daya saing yang global. Demikianjuga 'Wawasan Serumpun' ini dapat mening-katkan perwujudan Wawasan 2020 Malaysiamisalnya dalam kaitan dengan cabaran yang ke-enam untuk mewujudkan masyarakat Malaysiayang progresif, mempunyai daya perubahanyang tinggi dan memandang ke depan yang ti-dak hanya menjadi pengguna teknologi tetapijuga penyumbang peradaban ilmu dan teknolo-gi di masa depan (Wawasan 2020).

Dalam jangka pendek upaya konkrit uta-ma mengatasi hubungan yang rapuh adalahupaya untuk mengurangi konflik-konflik spora-dik dalam hubungan antara kedua-dua negarayang dapat merugikan pencapaian visi itu. Se-bagaimana dijelaskan di atas, seringkali identi-tas kedua-dua negara dibentuk melalui penci-traan tentang negara lain yang buruk, terbela-kang, pembawa masalah sosial dan moral; se-mentara negara sendiri adalah maju, murni dantenteram damai seperti yang dicitrakan di Ma-

5

laysia lewat pemberitaan terhadap TKI di ber-bagai media mereka. Sebaliknya di Indonesiajuga kini terjadi pencitraan terhadap Malaysiasebagai negara yang tidak tahu diri, tidak bisaberterima kasih, maling dan mau untung sendi-ri, yang belakangan muncul dalam menyikapisengketa soal pengambilan lagu daerah dan ha-sil-hasil karya bangsa Indonesia lainnya olehMalaysia.

Kepentingan politik sesaat di balik pen-citraan ini bisa untuk pen-capaian cita-cita bersama tadi. Seperti dikata-kan Hussain (2007), isu-isu seperti imigran ha-rus diatasi secara serius dan tidak semata untukkepentingan pilihan raya. Ia mengatakan:

Hubungan kedua-dua negara ini be-lakangan menjadi sangat sensitif dan seringkalimemicu ketegangan. Kasus penyiksaan wargaIndonesia oleh majikan dan pemukulan terha-dap warga RI oleh polisi adalah puncak dariproses pencitraan itu. Perlakuan itu mungkindirasa wajar, alamiah dan mungkin begitulahseharusnya bagi masyarakat Malaysia karenatelah terjadi proses pencitraan yang sistematisdi media bahwa para pekerja Indonesia seringmembuat masalah sosial dan datang tanpa izin.Pada gilirannya pencitraan itu juga berhasilmencitrakan bahwa para pekerja itu adalahcermin sebenarnya dari orang Indonesia secarakeseluruhan. Ini tentu saja telah membutakanmata bahwa para pekerja yang melanggar hu-kum adalah sebagian kecil dari pekerja dan In-donesia lebih luas dan kompleks serta memilikihal-hal yang baik dan unggul pula. Para pekerjaitu pun sebetulnya melakukan perbuatan itu ka-rena dipicu oleh berbagai masalah sosial, eks-ploitasi, masalah birokrasi dan administratifyang merugikan mereka yang kadang berasaldari oknum orang Indonesia juga.

Di Indonesia, peroses pencitraan jugaberlangsung untuk melawan apa yang berlakudi Malaysia. Media juga ramai misalnya me-nyebut Malaysia dengan berbagai istilah sepertiMalingsia untuk menggambarkan bahwa Ma-laysia suka mengambil hak milik orang Indone-

counter-productive

'Isu imigran dan pekerja asing perlu diperha-lusi dalam kontkes cabaran yang berkait ra-pat dengan strategi daya saing negara di pe-ringkat global, dan tidak sepatutnya bersifat

semata-mata untuk me-muaskan hati orang ramai tatkala pilihan rayamenjelang tiba' (Hussain, 2007).

knee-jerk reaction

Page 24: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 109

sia. Mereka juga curiga bila Malaysia memberikapal selam, maka itu dianggap ditujukan untukmemata-matai atau siap untuk menyerang Indo-nesia. Di dalam negeri Indonesia, hal-hal yangmemojokkan Indonesia ini, dijadikan bahanoleh para ini untuk mempermasalah-kan hubungan kedua-dua negara sehingga hu-bungan menjadi semakin keruh (Daery, 2007).

Proses pencitraan ini perlu diatasi karenaia membutakan mata masyarakat tentang apayang telah dilakukan oleh para pekerja itu untukMalaysia dan kadangkala menyesatkan fikiransehat karena mengira bahwa di Indonesia sana,semua orang adalah seperti para kuli pekerjadan pembantu rumah tangga itu. Walaupunmungkin kemajuan di Indonesia tidak sepesat diMalaysia, tetapi tetap ada juga hal positif di In-donesia yang menarik untuk dihargai. Malaysiasudah menjadi maju dan baik tanpa harus men-citrakan orang lain sebagai buruk dan terbela-kang. Seperti dikatakan bekas Wakil PM Ma-laysia Anwar Ibrahim, orang Malaysia umum-nya hanya mengenal Indonesia dari para peker-ja kasar dan pendatang tanpa izin. Padahal me-nurutnya seharusnya mereka mengenal Indone-sia dari tokoh-tokoh besar seperti Sukarno-Hat-ta, sastrawan dan pujangga-pujangga besar se-perti Rendra dan Chairil Anwar. Namun menu-rut Ibrahim, hal ini tidak penting lagi bagi parapemimpin Malaysia (Kompas, 30 Oktober2007).

Sementara itu respon kaum diIndonesia ini juga perlu diatasi karena tidakproduktif dalam membangun hubungan kedua-dua negara. Akan berkembang kesan bahwaMalaysia adalah negara yang sombong dan ti-dak tahu diri di dalam negeri Indonesia. Kelom-pok ini mulai menyebutkan Malaysia sebagainegara yang suka mencuri dan sombong. Sebu-ah situs internet juga sudah di-buat yang banyak berisi hujatan terhapan Ma-laysia. Perlakuan para aparat keamanan di Ma-laysia dalam mengintrogasi identitas pelajar In-donesia perlahan-lahan akan menambah keke-cewaan para pelajar yang sebenarnya ingin me-nuntut ilmu di Malaysia. Kalau dulu merekaberkampanye mengajak kawan untuk belajar diMalaysia karena fasilitas yang baik, sebagianmereka kini mulai mengkampanyekan agar ja-ngan pergi belajar di Malaysia karena masalah-masalah di luar pelajaran yang sering menyulit-kan. Proses pencitraan terhadap Malaysia se-

chauvinist

chauvinist

malingsia.com

perti ini berlangsung di Indonesia terutama be-berapa tahun belakangan ini terutama karenatindakan pihak berkuasa (aparat) Malaysiayang berlebihan terhadap warga Indonesia.

Sementara itu sebagaimana difahami,proses pencitraan di Malaysia itu sudah ber-langsung sangat agresif pada masa PM Maha-thir Mohamad dan digunakan untuk kepenting-an politik seperti untuk mencapai keseimbang-an rasial baru dan untuk mencitrakan keamanandalam negeri dari ancaman busuk para penda-tang. Dalam istilah Barry Buzan et. al. (1997),telah terjadi proses terhadap parapekerja Indonesia yang diistilahkan dengan se-butan 'para pendatang haram'. Proses

itu sebagaimana diketahui telah terjadisecara sistematis dan dramatis pada saat ini dandilakukan dengan kekuatan resmi negara dankekuatan media. Proses terhadapancaman para pekerja Indonesia itu masih ber-lanjut dalam kadar tertentu dengan berbagai ke-simpulan di media bahwa para pekerja asing ba-nyak menimbulkan masalah untuk negara ini.Media di Malaysia yang umumnya dikontrolpemerintah agaknya mempunyai kecenderung-an bahwa yang dinamakan berita adalah bila pa-ra pekerja asing, terutama Indonesia berbuat ke-jahatan atau sesuatu yang salah. Sementara ke-berhasilan dan sumbangan mereka bukan di-anggap suatu berita yang layak dilaporkan.

Diharapkan proses terha-dap pekerja Indonesia ini segera berlalu, se-hingga sebuah ruang baru yang melihat hu-bungan secara lebih rasional berdasarkan ke-inginan untuk kemajuan bersama lebih terbuka.Salah satu langkah positif dalam mengatasipencitraan adalah dengan menempatkan per-masalahan pada proporsinya. Tentu saja ada pe-kerja yang melanggar hukum namun tidak perludisimpulkan atau dicitrakan semua yang me-langgar hukum adalah pekerja Indonesia. Lang-kah untuk mengganti istilah Indon dengan Indo-nesia juga dipandang positif karena kata Indonmengalami proses pemaknaan yang negatif.Untuk para pekerja yang memang latar bela-kang pendidikan dan sosialnya rendah di Indo-nesia, kiranya ada upaya komprehensif untukmempersiapkan dan mensosialisasikan merekadengan sistem hukum dan budaya di Malaysia.Proses birokrasi tenaga kerja adalah satu halyang agaknya tak kunjung bisa diatasi, semen-tara pemahaman mereka tentang negara baru

securitization

securiti-zation

securitization

securitization

Page 25: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

110 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

tempat mereka bekerja adalah hal lain yangpenting untuk disosialisasikan kepada mereka.

Selain itu perlu upaya konkrit untuk me-ningkatkan pemahaman tentang kedua-dua ne-gara. Tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahimmisalnya menyayangkan bahwa banyak orangMalaysia tidak tahuapa yang sebenarnya terjadidi Indonesia. Media di Malaysia yang dikontrololeh pemerintah tidak memberikan informasiyang lengkap tentang Indonesia. Mereka misal-nya tidak bisa memahami mengapa Indonesiaseringkali begitu cemburu dan marah-marahdengan Malaysia. Media di Malaysia umumnyamenunjukkan sisi buruk yang ditampilkan olehpara pekerja dan pendatang tanpa izin di Malay-sia. Karena itu menurut Ibrahim perlu ada upayauntuk memberikan saling pemahaman yang le-bih mendalam tentang saudaranya dan tetang-ganya ini sebagaimana pemahaman yang berla-ku antara pemimpin kedua-dua negara di masalampau. Menurutnya politik di Malaysia tidaksepatutnya memunculkan sentimen anti Indo-nesia lewat media. Menurut beliau 'sentimenrakyat harus dididik. Orang Malaysia bukannyatidak perduli dengan apa yang terjadi, tetapi diatidak tahu karena media tidak memberitakan sa-ma sekali'.

Paper ini melihat bahwa konsepadalah konsep yang tetap penting dan bergunadalam hubungan Indonesia-Malaysia. Namun

atau kekerabatan perlu dilihat dalamproporsi dan konteksnya, dan tidak serta mertadilihat secara emosional dan nostalgik. Dalampemahaman yang proporsional dan konteks-tual, tidak mempunyai makna pentingdalam konteks kedaulatan negara, sebuah kon-sep yang sangat penting bagi dua negara merde-ka. Namun ada potensi yang bisa dikembang-kan dari konsep kekerabatan terutama sebagaialat atau mekanisme dalam diplomasi interna-sional. Kekerabatan bisa membantu proses dia-log untuk meredakan konflik dan meningkat-kan kerjasama. merupakan landasanuntuk memulai satu pembicaraan yang kon-struktif. juga dalam kadar tertentu men-jadi fondasibagi kerjasamaASEAN.

Selain sebagai alat diplomasi yang me-landasi kerjasama di ASEAN, konsep serum-pun bisa dikembangkan juga sebagai landasankerjasama Malaysia-Indonesia. Namun berda-

Kesimpulan

kinship

kinship

kinship

Kinship

Kinship

sarkan pengalaman hubungan, ada beberapapoin yang penting dalam konteks kerjasama iniyang perlu diingat. Pertama adalah kenyataanyang tidak dapat diubah bahwa kedua-dua ne-gara secara geografis dan budaya adalah berde-katan dan kedua-duanya berada dalam era glo-balisasi yang saling bergantung. Itu semacamtakdir yang bisa dimaknai dengan positif mau-pun negatif. Kedua, perjalanan sejarah menun-jukkan bahwa ikatan darah dan budaya ini per-nah menjadi pengikat kuat kerjasama dan cita-cita, namun sayangnya konsep seperti 'visi se-rumpun' di tahun 1970-an hanya digunakan un-tuk tujuan dan kepentingan jangka pendek. Ka-rena itu poin ketiga yang penting adalah upayauntuk membangun 'visi serumpun' jangka pan-jang untuk mencapai cita-cita kemakmuran dankeamanan bersama yang boleh dimasukka da-lam konsep seperti ' ' dan' '. Keempat, dalam visi jang-ka panjang ini, kepentingan politik jangka pen-dek yang memanfaatkan berbagai masalah danisu dalam hubungan kedua-dua negara adalahpenting dihindari. Pemanfaatan isu pendatangharam misalnya untuk kepentingan keamanandalam negeri selain akan mencitrakan Indone-sia sebagai negara penuh masalah sosial dankriminal, juga dalam jangka panjang tidak me-nguntungkan visi jangka panjang untuk kemak-muran bersama itu.

“ ', , .“Apa selepas kapal Selam?”,

, 27 Oktober 2007.“Indonesia Hilang Pulau Lagi?”,

17 November 2007.Ayip, Z. (2007). “Bersama Diplomat: Indonesia

mahu perbetul tanggapan”,15 November 2007.

Buzan, B. , Wæver, O. and de Wilde, J. (1997).

Boulder: Lynne Rienner Publishers.Daery, V. (2007). “Penyelesaian Kasus Lagu-

lagu Serumpun”, 15 Novem-ber.

Fachir, M. (2007). “Hubungan RI-Malaysia se-sudah 50 tahun 'Cabaran dan Harapan'”,makalah disampaikan di depan UniversitiUtara Malaysia, 27 Maret 2007.

Ghazali, A.Z. (2007). “Malaysia Indonesia da-lam Sejarah: Liku-Liku Hubungan Serum-

prosper-thy-neighboursmart partnership

An Uproar of Peace” Time 10 June 1966Rasa Sayang,

Utusan MalaysiaUtusan Ma-

laysia,

Berita Harian,

Security: A New Framework for Analysis,

Jawa Pos,

Daftar Pustaka

Page 26: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 111

pun Sehingga Kurun Ke-19”, Makalah di-presentasikan pada

di Universiti Malaya, Kuala LumpurMalaysia pada tanggal17 Juli 2007.

Hoffmann, A. & Longhurst, K.(1999). “Ger-man Strategic Culture and the ChangingRole of the Bundesweh”, No.22.

Hussain, M.M. (2007). “Cara Melayan Imi-gran”, 14 November2007.

Ishak, M.M. (2007). “Peranan Tun Adam Ma-laik dalam Membina Hubungan RI-Ma-laysia”, paper pada

, Medan 24Februari 2007.

Johnston, A.I. (1995). “Thinking about Strate-gic Culture”, , 19: 4.

Liow, J.C. (2004).

. NewYork: RoutledgeCurzon.Sulaiman, Y. (2007). “Soekarno, Malaysia, dan

PKI”, , 29 September.Thamrin, Y.O. (2007). “50 Tahun Indonesia-

Malaysia: Harapan dan Tantangan ke De-pan”, paper pada

, Medan 24 Februari2007.

, retrieved 12 November2007 from

., Biro Tata Negara, Jabatan Per-

dana Menteri, 1991.Weinstein, F.B. (1976).

. Itha-ca and London: Cornell University Press.

Yong, J.L.C. 2003. “Visions of 'Serumpun': TunAbdul Razak and the golden years of Indo-Malay blood brotherhood, 1967-75”,

Seminar 50 TahunMerdeka: Hubungan Malaysia Indone-sia

WeltTrends,

Utusan Malaysia,

Annual Lecture Me-ngenang Tokoh Diplomasi Adam Malik:Apresiasi Perjalanan 50 tahun HubunganDiplomatik RI-Malaysia

International SecurityThe Politics of Indonesia-

Malaysia Relations: One Kin, Two Na-tions

Kompas

Annual Lecture Menge-nang Tokoh Diplomasi Adam Malik: Apre-siasi Perjalanan 50 tahun Hubungan Di-plomatik RI-Malaysia

Visi Indonesia 2030

Wawasan 2020

Indonesian Foreign Po-licy and the Dilemma of Dependence

http://ppij-nagoya.org/MISC/Buklet%20Visi%20Indonesia%202030%5b1%5d.pdf

South East Asia Research

Sari

, Vol. 11, No. 3,November.

Zain, S.M. (2003). “Penyebaran Orang Rum-pun Melayu Pra-Islam dan PerkembanganTulisan Bahasa Melayu”, , 21.

Catatan

1.Ini adalah pernyataan Presiden RI Susilo Bam-bang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Ba-dawi dalam sidang akhbar ( ) se-telah penyampaian penghargaan

kepada PM Abdullah diIstana Negara, Jakarta 22 Februari 2007. (LihatFachir, 2007).

2 atau budaya strategis dalam tu-lisan ini didefinisikan sebagai nilai-nilai dan buda-ya-budaya yang terbentuk melalui perjalanan seja-rah dan dianut sebagian besar dari elit dan massadalam melihat dan melaksanakan hubungan de-ngan lingkungan internasional. Budaya strategisberkembang sejalan dengan sejarah dan tantangandomestik dan internasional yang dihadapi suatunegara dalam menegakkan kedaulatan mereka se-bagai negara merdeka. Tantangan yang berbedamenyebabkan mereka mengembangkan budayastrategis yang berbeda terhadap lingkungan inter-nasionalnya. Lihat misalnya Johnston (1995).

3.Misalnya di Pahang dilaporkan bahwa tahun laludari 1,077 orang yang melakukan jenayah keke-rasan, sebanyak 37 orang adalah pen-datang asing, manakala bagi tempoh Januari hing-ga September lalu, 948 kes jenayah kekerasan di-laporkan dan hanya 35 daripadanya dilakukanwarga asing. "Bagi jenayah harta benda pada ta-hun lalu, 53 kes daripada keseluruhan 6,490 kesdilakukan warga asing, manakala bagi tempohsembilan bulan pertama tahun ini sebanyak 30 kesdaripada keseluruhan 1,673 kes dilaporkan, dila-kukan warga asing. Lihat Berita Harian Online, 18November 2007

4.“Menangani Isu PekerjaAsing”, Harian Metro, 24November 2007, hal. 12.

5.Lihat, 'Visi Indonesia 2030'

press conferenceBintang Republik

Indonesia Adi Pradana

.Strategic cultures

.

daripadanya

http://www.ppij-nag-oya.org/MISC?Buklet%20Visi%20Indonesia%202030[1].pdf.

Page 27: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 112-126

Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Totok SarsitoJurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Perang tampaknya telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dibumi. Dilaporkan bahwa sejak tahun 3600 SM dunia hanya mengenyam periode perdamaianselama 292 tahun. Selama masa tersebut telah terjadi perang besar maupun kecil sebanyak14,531 kali, dengan menelan korban 3,640 juta orang. Dari tahun 1496 SM sampai 1861(3,358 tahun), terdapat masa damai 227 tahun, sisanya 3,130 tahun dipenuhi dengan perang,atau 13 tahun masa perang untuk setiap tahun masa damai.

Upaya untuk menghapus perang telah dilakukan sejak Perang Dunia I (19141918) ber-akhir, yaitu dengan mendirikan Liga Bangsa Bangsa (10 Januari 1920) dan kemudian digan-tikan Perserikatan Bangsa Bangsa (24 Oktober 1945). Namun, hingga sampai sekarang, pe-rang dengan segala bentuk dan manifestasinya masih saja terus terjadi. Sebagai misal, di ta-hun 1990 Irak menyerbu dan menganeksasi Kuwait. Untuk memaksanya meninggalkan Ku-wait, di tahun 1991 Amerika Serikat menyerang Irak. Kemudian setelah tragedi 11 September2001, Amerika Serikat kembali mengobarkan perang melawan teror (War on Terror) denganmenginvasi Afghanistan (Oktober 2001) dan kemudian Irak (Maret 2003). Hingga sampaisaat ini kedua perang tersebut masih terus berlanjut, bersamaan dengan kurang lebih 30 pe-rang atau konflik bersenjata lainnya.

Sebagai tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa lawan kita guna meme-nuhi keinginan kita, atau sebagai konflik bersenjata yang nyata, luas dan disengaja antara ko-munitas-komunitas politik yang dimotivasi oleh ketidaksepahaman yang tajam atas persoalankepemerintahan, perang selalu menyisakan duka, menelan biaya yang sangat luar biasa jum-lahnya, serta kerusakan atas fasilitas-fasiltas penting yang mendukung kehidupan masyara-kat banyak.

Mengapa perang terjadi? Perang terjadi antara lain karena beberapa sebab, yaitu: se-bab-sebab psikologis (seperti frustasi dan mispersepsi), sebab-sebab kultural dan ideologis,sebab-sebab ekonomi dan sebab-sebab politis. Akan tetapi, didalam kenyataannya, tidak satupun perang yang memiliki sebab tunggal.

Kesadaran untuk menghapus perang dari muka bumi telah membawa ke arah pengem-bangan studi ilmu hubungan internasional yang kemudian melahirkan berbagai teori, antaralain: (1) Perspektif Idealis, (2) Perspektif Realis, (3) Perspektif Liberalisme Klasik, (4) Pers-pektif Ekonomi Politik, (5) Perspektif Ahli Psikologi, (6) Doktrin Perang yang Sah, dan (7)Perspektif Pasifis. Akan tetapi karena potensi manusia dan atau negara untuk melakukan pe-rang tetap ada, upaya menghapus perang telah menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Berba-gai pemikiran tentang bagaimana mencegah dan atau mengelola perang telah berkembangbegitu luas dan beragam, dari yang mengandalkan pada pembentukan organisasi regionalmaupun internasional, bertumpu pada ”balance of power” atau perimbangan kekuatan, per-luasan pasar bebas, perluasan demokrasi ke seluruh penjuru dunia, mencegah atau menghi-langkan mispersepsi, penolakan total perang melalui penyelesaian persoalan secara damai,sampai penerapan hukuminternasional.

Keywords: LBB dan PBB, perang melawan terror, penyebab perang, upaya mencegah danmengelola perang.

112 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 28: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 113

Pendahuluan

Di dalam bukunya berjudul

sebagaimana dikutip oleh psiko-log Djamaludin Ancok, Ralph K. White (1968)mengatakan bahwa siapapun tidak menyukaipeperangan. Walaupun demikian sejak dahulukala peperangan adalah suatu hal yang tidak da-pat dihindari. Lembaran sejarah hampir semuabangsa di dunia ini telah dibasahi oleh darahdan air mata akibat peperangan (http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-17/psikologi-dan-perdamai-an.html

Perang tampaknya telah menjadi bahagi-an tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Da-lam artikelnya yang berjudul ”The Great WarF igu res Hoax: an Inv es t iga t ion inPolemomythology,”

B. Jongman dan J. Van der Dennen melaporkanbahwa bahwa sejak tahun 3600 SM dunia ha-nya mengenyam periode perdamaian selama292 tahun. Selama masa tersebut terhitung telahterjadi perang sebanyak 14,531 kali, baik pe-rang besar atau kecil, dengan korban jiwa seba-nyak 3,640,000,000 orang. (RAND InternalPub, 1961) Catatan lain menyebutkan bahwasejak tahun 1496 SM sampai tahun 1861, atauselama 3,358 tahun, terdapat masa damai sela-ma 227 tahun dan sisanya 3,130 tahun dipenuhidengan perang, atau 13 tahun masa perang un-tuk setiap tahun masa damai (Novicow, 1912).Angka ini tidak jauh berbeda dengan kalkulasiyang dibuat para ahli dari Soviet yang menye-butkan dalam kurun waktu 5,500 tahun yanglewat telah terjadi 14,500 perang besar dan kecildengan korban terbunuh sebanyak 3,600 jutaorang (Tabunov, 1986).

Upaya para pemimpin negara di duniauntuk menghapus atau mencegah terjadinya pe-rang telah dilakukan sejak berakhirnya PerangDunia I (1914-1918) yaitu dengan melalui pem-bentukan Liga Bangsa Bangsa atau LBB (10 Ja-nuari 1920), namun hingga sampai sekarang pe-rang dengan segala bentuk dan manifestasinyamasih saja terus terjadi.

Tidak lama setelah berdirinya LBB, pe-cah Perang Dunia II (19391945) dengan skalayang lebih besar, cakupan yang lebih luas, sertakorban harta dan jiwa yang jauh lebih mengeri-kan. Ironisnya, negara-negara yang memulai

”NobodyWanted War: Misperception in Vietnam andOther Wars”

).

(http://rechten.eldoc.ub.rug.nl/FILES/departments/Algemeen/overigepu-blicaties/2005enouder/HOAX/HOAX.pdf)

perang justru negara-negara yang kebetulan du-duk sebagai anggota tetap Council LBB, yaituJepang, Italia dan Jerman. Liga Bangsa Bangsayang didirikan atas dasar(1919-1920) ternyata telah gagal mewujudkancita-citanya yaitu: melakukan perlucutan senja-ta, mencegah perang melalui prinsip keamananbersama, menyelesaikan pertikaian antarnegaramelalui negosiasi, diplomasi dan peningkatankesejahteraan. Kegagalan LBB dibuktikan olehketidakmampuannya mencegah Jepang mela-kukan penyerbuan ke Manchuria (1931), eks-pansi militer Italia ke Ethiopia (1935), interven-si militer Jerman ke Austria, dan Cekoslovakia(1938-1939), serta serbuan Rusia atas PolandiaTimur, Estonia dan Lithuania (1939-1940),yang kesemuanya itu kemudian telah menyulutpecahnya Perang Dunia II.

Berakhirnya Perang Dunia II juga telahmembawa harapan baru bagi terwujudnya du-nia yang lebih aman dan damai. Segera setelahperang usai, negara-negara pemenang perangyaitu (Amerika Serikat, Ing-gris, Perancis, Cina dan Uni Soviet) sepakat un-tuk membentuk suatu organisasi internasionalyang baru dengan keanggotaan yang lebih luas,yang diberi nama Perserikatan Bangsa Bangsaatau PBB (24 Oktober 1945). Salah satu tujuanutama PBB sebagaimana dinyatakan di dalamPasal 1 Piagam adalah memelihara perdamaiandan keamanan internasional atas dasar prinsipkeamanan bersama

Akan tetapi, didalam kenyataannya PBBjuga tidak sepenuhnya mampu menjaga agardunia tetap aman dan damai terbebas dari anca-man dan bahaya perang. Tidak lama setelahPBB didirikan, dunia kembali dilanda perangbaru yang dikenal dengan nama Perang Dingin

yang melibatkan dua blokkekuatan besar yang membagi dunia: Blok Ba-rat yang kapitalis dipimpin Amerika Serikatdan Blok Timur yang komunis di bawah kepe-mimpinan Uni Soviet, yang masing-masingberusaha menjaga dan atau memperluas daerahpengaruhnya di dan atauke seluruh penjuru dunia.

Awal tahun 1990an Perang Dingin ber-akhir dengan kekalahan di pihak Blok Timurdan kemenangan di pihak Blok Barat. Berakhir-nya Perang Dingin disambut dengan pesta

Treaty of Versailles

“The Big Fives”

(to maintain internationalpeace and security based on collective securityprinciple).

(the Cold War),

(sphere of influence)

Page 29: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

kemenangan di pihak Blok Barat. Kemenanganini semakin meneguhkan keyakinan merekaakan kebenaran dan keunggulan sistem demo-krasi liberal atau demokrasi kapitalisme yangselama ini dianutnya. Namun, di pihak lain te-lah timbul kekhawatiran bahwa keruntuhan sis-tem politik internasional dua kutub

sebagai akibat ambruknya rejim UniSoviet akan menjadikanAmerika Serikat keluarsebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang taktertandingi, yang akan dengan mudah bertindaksebagai polisi dunia.

Kekhawatiran itu terbukti benar. KetikaIrak di bawah Presiden Saddam Hussein me-nyerbu dan menganeksasi Kuwait (2 Agustus1990), Amerika Serikat dengan mudah menda-patkan persetujuan Dewan Keamanan PBB un-tuk memimpin pasukan koalisi guna mengusirIrak keluar dari Kuwait (1991). Sekalipun Irakadalah sekutu dekatnya, Uni Soviet samasekalitidak membelanya ketika Irak dikenai sanksioleh Dewan Keamanan PBB karena tindakan-nya tersebut, sesuatu yang kecil kemungkinan-nya terjadi seandainya Perang Dingin masihberlangsung. Sekali lagi terjadinya Perang Te-luk telah memperlihatkan sisi gelap dari sifatdan watak manusia yang suka akan kekerasan,dan itu bukanlah yang terakhir.

Amerika Serikat kembali memperlihat-kan kekuatannya tidak lama setelah tragedi 11September 2001 yang menyebabkan runtuhnya

di New York. Dengan dalihmemerangi terorisme,Amerika Serikat kembalimengobarkan perang denganmenginvasi Afghanistan (Oktober 2001) dankemudian Irak (Maret 2003). Hingga sampaisaat ini kedua perang tersebut masih terus ber-lanjut bersamaan dengan perang-perang lain-nya yang terjadi di berbagai wilayah dunia, ter-masuk perang saudara Beberapa diantaranya bahkan telah berlangsung cukup la-ma, akan tetapi, sekalipun telah dilakukan ber-bagai upaya untuk mengakhirinya, belum terda-pat tanda-tanda perang tersebut segera akan se-lesai.

Perang selalu menyisakan duka bagi me-reka yang terpaksa harus meregang nyawa, ataumereka yang terpaksa kehilangan sanak keluar-ga (apakah ayah, ibu, anak, saudara, dan lain se-bagainya) karena menjadi korban dari ganasnya

(bipolarsystem)

World Trade Center

(War on Terror)

(civil war).

Derita Perang

perang. Belum lagi kerugian material maupunfinansial yang tak ternilai harganya. Sebagaicontoh, sejak invasi militer ke Irak dimulai (20Maret 2003) hingga sampai 19 Maret 2008,Amerika Serikat telah kehilangan tentaranyakarena tewas sejumlah 4,462 orang

sementarakorban jiwa di kalangan tentara maupun pendu-duk sipil Irak diperkirakan berjumlah 655 ribujiwa (Washington Post, October 11 2006)sampai 1.189.173 jiwa

Jumlah korban tersebut masihakan terus bertambah mengingat tindak keke-rasan di Irak masih terus berlanjut.

Selain itu, Perang Irak yang telah ber-langsung enam tahun telah menelan biaya lebihdari 12 milyar US dollar per bulan, belum ter-masuk kerugian yang diderita Irak karena keru-sakan atas fasilitas-fasiltas penting seperti ins-talasi listrik, instalasi air minum, industri per-minyakan, pabrik-pabrik, rumah sakit, sekolah-an, dan sarana ekonomi penting lainnya, akibatpemboman yang dilakukan Amerika Serikat.Diperkirakan oleh Joseph E. Stiglitz (pemenanghadiah Nobel bidang ekonomi) dan Linda J.Bilmes dalam bukunya

hingga sampai tahun 2017 nanti, pro-yek perang dan pendudukan Afghanistan danIrak akan menelan biaya antara 1,7 sampai 2,7trilliun US dollar, dua pertiganya digunakan un-tuk membeayai operasinya di Irak. Apabila di-hitung dengan beaya ekonomi dan sosial lain-nya maka jumlahnya masih akan bertambahhingga jadi 5 trilliun US dollar (http://news.ya-hoo.com/s/ap/20080309/ap_on_re_mi_ea/iraq_war costs).

Carl von Clausewith, seorang filosof pe-rang dari Jerman, dalam bukunyamengartikan perang sebagai “suatu tindakankekerasan yang dimaksudkan untuk memaksalawan kita guna memenuhi keinginan kita”

“Perang adalahseperti duel akan tetapi dalam skala yang luas”

Dikatakan pula oleh Clausewith bahwa perangbukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri.”Perang adalah merupakan kelanjutan politikdengan cara lain”

(Stanford Encyclopedia

,

.

“The Three Trillion Do-llar War,”

“On War”

(War is an act of violence intended to compelour opponent to fulfil our will).

(War is like a duel, but on an extensive scale).

(War is the continuation ofpolicy by other means)

Definsi Perang

(http://pro-jects.washingtonpost.com/fallen/)

(http://www.antiwar.com/casualties/)

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

114 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 30: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

of Philosophy, http://www.science.uva.nl/~seop/entries/war/ Dengan kata lain, “jikapara diplomat gagal menyelesaikan pertikaiandengan cara damai maka para jendral akanmengambil alih tugasnya dengan menggunakanperang sebagai alat untuk menyelesaikan perti-kaian.”

Michael Gelven di dalam bukunya “(1994) juga mengatakan bahwa

”perang adalah konflik bersenjata yang nyata,luas dan disengaja antara komunitas-komunitaspolitik yang dimotivasi oleh ketidaksepahamanyang tajam atas persoalan kepemerintahan”

. “Perang adalah peng-gunaan kekuatan masa yang disengaja untukmenyelesaikan perselisihan atas persoalankepemerintahan”

. “Perang adalah kepemerintahan denganmenggunakan pemukul”

. “Perang adalah gejalaantropologis, yaitu tentang kelompok masyara-kat mana yang dapat mengatakan apa yang bo-leh berlaku di suatu wilayah tertentu”

(Stanford Encyclopedia of Philo-sophy, http://www.science.uva.nl/~seop/en-tries/war/).

Pendek kata, perang adalah konflik ber-senjata yang nyata, disengaja dan luas yang ter-jadi di antara dua komunitas politik atau lebihyang saling bermusuhan.Baku hantam di antaraorang-orang yang bersifat individual tidak da-pat dikatakan sebagai perang, termasuk jugaperkelahian antar gang atau perseteruan antarawarga yang berasal dari suatu daerah tertentudengan warga yang berasal dari daerah lain.(Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://www.science.uva.nl/~seop/entries/war/)

Perang adalah gejala yang terjadi di anta-ra komunitas politik yang didefiniskan sebagaientitas yang bisa berupa negara atau yang ber-maksud menjadi negara. Perang klasik adalahperang internasional, yaitu suatu perang yangmelibatkan negara-negara yang berbeda, seper-ti misalnya Perang Dunia I dan II. Sedangkanperang sipil atau perang saudara adalah perang

).

Warand Existence”

(War is intrinsically vast, communal [or politi-cal] and violent. It is an actual, widespread anddeliberate armed conflict between politicalcommunities, motivated by a sharp disagree-ment over governance)

(War is the intentional use ofmass force to resolve disputes over governan-ce)

(War is, indeed, go-vernance by bludgeon)

(War isprofoundly anthropological: it is about whichgroup of people gets to say what goes on in a gi-ven territory)

.

yang terjadi di dalam suatu negara yang meli-batkan kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas yang saling bermusuhan. Kelompokpenekan tertentu, seperti organisasi teroris, bisadianggap sebagai komunitas politik karena me-reka adalah juga sekumpulan orang yang memi-liki tujuan politik tertentu. Banyak di antara ke-lompok-kelompok ini yang telah mengaspirasi-kan atau memimpikan berdirinya suatu negaraatau mempengaruhi pengembangan negara disuatu wilayah tertentu (Stanford Encyclopediaof Philosophy, http://www.science.uva.nl/~se-op/entries/war/).

Ada dua macam sebab terjadinya pe-rang, yaitu sebab langsung atau dansebab-sebab umum. Sebab langsung hanyalahmerupakan peristiwa yang mendorong suatu pi-hak merasa sah dan adil untuk memulai perangatas yang lain. Sebab langsung ini tidak akantimbul seandainya tidak ada sebab-sebab umumyang mendahuluinya.

Sebab-sebab perang bisa bermacam-ma-cam, yaitu sebab-sebab psikologis, sebab-sebabkultural dan ideologis, sebab-sebab ekonomidan sebab-sebab politis.

Djamaludin Ancok dalam tulisannya”Psikologi dan Perdamaian” (2007) (http://an-cok.staff.ugm.ac.id/h-17/psikologi-dan-per-damaian.html) mengatakan bahwa peperanganadalah suatu jenis tingkah laku dari sekian ba-nyak tingkah laku manusia di dunia ini. Karenaperang adalah “tingkah laku” maka penyebabperang dapat dilihat dari beberapa pendekatanyang berbeda antara satu dengan lainnya, yaitu:Pendekatan Motivasional, Pendekatan Rein-forsemen, Pendekatan Kognitif, dan Pendekat-an Struktur Sosial.

Menurut pendekatan sum-ber penyebab terjadinya peperangan terdapat didalam diri manusia sendiri. Ada beberapa pan-dangan tentang aspek Motivasional yang mem-pengaruhi perilaku perang:

a) Freud (1932) beranggapan bahwa pe-rang terjadi oleh karena adanya dorongan agre-sif yang destruktif di dalam diri manusia. Doro-ngan ini bersumber dari (instinctuntuk mati) yang sudah ada sejak manusia dila-

Sebab-sebab Terjadinya Perang

casus belli

”thanatos”

A. Sebab-sebab Psikologis

Motivasional

1.Teori Psikoanalisis:

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 115

Page 31: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

hirkan. Dorongan ini timbul karena manusia ke-hilangan rasa dicintai WalaupunFreud percaya bahwa akal sehat manusia dapatmengontrol munculnya dorongan untuk mem-bunuh atau merusak, akan tetapi dorongan ter-sebut tidak pernah bisa dihilangkan karena su-dah merupakan kebutuhan dasar manusia, yangtidak berbeda dengan kebutuhan makan dan mi-num. Perang, kekerasan terhadap orang lain(pembunuhan), dan kekerasan terhadap dirisendiri (bunuh diri) akan terjadi bila manusia didalam kehidupannya bersama orang lain meng-alami frustasi.

b)Adler (1956) beranggapan bahwa “do-rongan superior” lah yang mendorong sese-orang untuk berbuat agresif-destruktif. Penda-pat yang sama diajukan oleh Rollo May (1943)yang mengatakan bahwa adanya keinginan ma-nusia untuk “mengukuhkan kembali kekuasaandirinya” yang tadinyatenggelam oleh adanya hambatan dari orang la-in mendorong seseorang untuk berbuat agresif-destruktif. Pengukuhan kembali kekuasaan inibertujuan untuk menegakkan “indetitas diri”dan “mengaktualisasi diri.”

J. Dollard dkk. (1939) membuat hipote-sis bahwa: “Agresi selalu merupakan konse-kuensi dari frustasi, dan keberadaan frustasi se-lama menyebabkan terjadinya tindakan dalambentuk agresi”

Miller (1941) kemudian memperhalusnya de-ngan menggantikan kata “always” dengan“usually.” Ditinjau dari teori Frustrasi-Agresi,perang bersumber dari adanya rasa frustasiyang berupa frustrasi terhadap penguasa, atau-pun frustrasi terhadap suatu bangsa lain yangingin berkuasa di bidang politik, ekonomiataupun aspek lainnya.

Menurut pendekatan seti-ap orang cenderung melakukan perbuatan yangmenghasilkan keuntungan atau terhindar darikerugian. Bandura (1973) mengatakan bahwaperbuatan agresi dilakukan orang karena perbu-atan tersebut menghasilkan Di da-lam bukunya

Bandura menulis: “Sejumlah besaragresi didorong oleh harapan memperoleh ke-untungan”

(loss of love).

(restructuring of power)

(Agression is always a conse-quence of frustation, and the existence of frus-tration always lead to some form of agression.”

“reward.”“Agression: A Social Learning

Analysis,”

(A great deal of aggression is

2.Teori Frustasi-Agresi

Untung-Rugi

prompted by its anticipated benefits).

(misperception)

“Diabolical enemy image”

“Vipile self image”

“Moral self image”

“Selective in attention”

“Absence of empathy”

“Military over confidence”

Pandangan bahwa musuh jahat sepertisetan

Dalam menjelaskan pandangan bahwadiri sendiri adalah jantan,

Pandangan bahwa diri sendiri adalahmoralis

Perangyang dilakukan dengan tujuan ”kolonialisasi”atau “ekspansi territorial” yang dapat memberi-kan keuntungan secara ekonomis adalah meru-pakan contohnya.

Menurut pendekatan konflikinternasional terjadi karena adanya proses per-sepsi yang keliru di dalam me-nanggapi suatu situasi yang terjadi. Ralph K.White (1970) mengatakan bahwa ada enam halyang merupakan yang seringkalimenimbulkan konflik internasional yaitu:1. (pandangan bah-

wa musuh jahat seperti setan).2. (pandangan bahwa diri

sendiri jantan).3. (pandangan bahwa diri

sendiri adalah moralis)4. (tidak memperha-

tikan hal-hal yang bertentangan dengan ke-yakinan).

5. (tidak adanya rasaempati).

6. (keyakinan yangberlebih-lebihan akan kekuatan militer).

terjadi ketika dua negara dalam keadaankonflik, negara-negara tersebut akan melihatnegara musuhnya dalam bayangan yang serbanegatif. Masing masing negara melihat musuh-nya sebagai “agresor” dan negara tersebut seba-gai obyek agresi.

White menggunakankasus perang Vietnam untuk menunjukkan ada-nya pandangan tersebut. Pidato-pidato yang di-sampaikan oleh para senator di KongresAmeri-ka Serikat dalam kaitannya dengan perang Viet-nam pada umumnya berisikan pernyataan bah-wa Amerika harus bersikap jantan, tidak pena-kut di dalam menghadapi masalah Vietnam.Amerika harus berani berperang demi menjaganama baik.

terjadi ketika negara yang berada dalamkonflik dengan negara lain melihat dirinya se-bagai yang benar, dan Tuhan bersama dia. Buatkebanyakan orang Amerika, segala tindakanAmerika di luar negeri dianggap benar, karenamemperjuangkan hak azasi manusia dan men-ciptakan perdamaian dunia. Pikiran yang berka-itan dengan keuntungan bagi Amerika Serikat

Kognitif

mispersepsi

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

116 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 32: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

sendiri dari tindakannya di luar negeri biasanyatidak begitu terlintas di pikiran mereka.

dapat dilihat di da-lam keadaan konflik orang-orang seringkali ti-dak mau mengindahkan pendapat dan atau beri-ta-berita yang bertentangan dengan apa yangdia yakini. Segala informasi dari negara musuhdianggap tidak benar. Semua pendapat atau be-rita yang berasal dari sumber lain yang berten-tangan akan dianggap tidak benar dan diabai-kan. Pokoknya yang paling benar hanyalah diri-nya sendiri.

terjadi ketikadalam keadaaan konflik negara yang terlibat ti-dak memiliki sama sekali rasa empati terhadappenderitaan yang dirasakan oleh lawan. Hadir-nya rasa empati terhadap penderitaan lawan di-anggap suatu “ketidak jantanan”dan hal ini akan memperlemah keyakinan bah-wa pihak merekalah yang benar, dan lawanlahyang salah.

menyebabkan perang an-tarnegara yang terjadi ketika masing masing ne-gara merasa yakin akan keampuhan kekuatanmiliter yang dimilikinya. Masing masing nega-ra yakin bahwa negaranya pasti menang di da-lam peperangan. Pikiran yang demikian sering-kali hanya merupakan ilusi.

Disamping ke-enam hal tersebut di atas,masih ada lagi suatu bentuk kesalahan pandang-an yang dapat menimbulkan kon-flik internasional, yaitu cara berpikir

Cara berpikir ini biasanya hanya meli-hat sesuatu dari dua kemungkinan

atauCara berpikir de-

mikian seringkali menimbulkan kesalahan dida-lam melihat sesuatu masalah internasional.

Selanjutnya pendekatan me-ngatakan bahwa masalah pada struktur kehidu-pan yang ada di masyarakat merupakan sumberterjadinya konflik, kekerasan, atau peperangan.Adanya strata di dalam kehidupan bermasyara-kat dan kehidupan bernegara dapat menjadisumber pertikaian, terutama apabila strata ter-sebut menjadi sumber ketidak-adilan. Stratifi-kasi sosial, seperti golongan kaya, golonganme-nengah, dan golongan miskin dapat men-jadi sumber bentrokan dan tindakan kekerasanapabila terjadi ketidak-adilan dalam distribusi

Tidak memperhatikan hal-hal yang ber-tentangan dengan keyakinan

Tidak adanya rasa empati

(ummanly),

Keyakinan yang berlebih-lebihan terha-dap kekuatan militer

(mispersepsi)“hitam-

putih.”“kalau bu-

kan kawan saya, pasti lawan saya” ”kalautidak Amerika, pasti Rusia.”

Struktural

kekayaan dalam suatu negara.Ancaman tersebut dapat terjadi oleh ka-

rena pengelompokan yang ada dalam kehidup-an bermasyarakat memberi peluang bagi terja-dinya “konflik antar kelompok"

Pengelompokan akan membuat perasaanvs semakin jelas. Ang-

gota-anggota kelompok biasanya merasakankelompok dialah yang paling baik, dan oleh ka-rena itu harus diperhatikan kesejahteraannya.Pengelompokan ini apabila disertai dengankompetisi dalam bidang tertentu akan dapat me-nimbulkan konflik yang meregangkan hubung-an antar kelompok. Di dalam kelompok, orang-orang lebih mudah kehilangan kontrol sosial,sehingga mereka lebih mudah melakukan tin-dakan-tindakan yang a-sosial. Dalam kelom-pok, dorongan destruktif yang dimiliki dapatdengan mudah dilepaskan, salah satu cara pele-pasannya adalah dengan perang.

Adanya perbedaan dalam pandangan dannilai-nilai di antara anggota masyarakat nasio-nal maupun internasional secara riel maupunpotensial merupakan sumber perselisihan da-lam masyarakat. Sebetulnya tidak ada karakter-istik kebudayaan tertentu yang erat kaitannyadengan batas-batas nasional, oleh karena itu

se-ring menjadi penyebab yang lebih besar terjadi-nya perang dibanding dengan

itu sendiri.Perang Salib Katholik-Protestan atau pe-

rang Hindu-Muslim adalah merupakan contoh-contoh perang disebabkan oleh adanya perbe-daan dalam sistem nilai, meskipun hal itu bu-kanlah satu-satunya. Perang dalam masa revo-lusi Perancis adalah merupakan perang yang di-akibatkan adanya pertentangan antara kekuatandemokrasi melawankekutan ortodoks yang konservatif dan feo-dalistis. Kemudian Perang Dingin antara UniSoviet dan Amerika Serikat merupakan perangyang disebabkan oleh adanya perbedaan ideo-logi kapitalisme melawan komunisme.

Ada banyak pendapat tentang perangyang disebabkan oleh alasan-alasan ekonomi.

mengatakan bahwa perangdilakukan dengan maksud meningkatkan taraf

(group con-flict).“in group” “out group”

(liberty, egality, fraternity)

B. Sebab-sebab kultural dan ideologis

C. Sebab-sebab ekonomi

pe-rasaan adanya perbedaan kebudayaan

adanya perbe-daan kebudayaan

Pendapat pertama

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 117

Page 33: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

hidup rakyatnya. Jepang,Jerman dan Italia melakukan perang karena me-reka merasa dirinyayang membutuhkan daerah yang lebih luas gu-na menambah sumber penghasilan mereka se-hingga rakyatnya akan hidup dengan lebih se-jahtera.

mengatakan perangterjadi karena adanya hambatan-hambatan da-lam perdagangan. Tarif yang tinggi, pajak im-por yang mahal, larangan dan pembatasan eks-por, dan lain sebagainya akan mengakibatkanterhambatnya perdagangan antara bangsa-bangsa yang ada di dunia yang akibatnya akanmenimbulkan perang. Perang akan dapat dihin-dari manakala hambatan-hambatan perdagang-an tersebut dihapuskan sehingga tercipta sistemperdagangan bebas. Perdagangan bebas akanmendapatkan jalinan hubungan ekonomi antarbangsa di dunia dan hal ini akan merupakan ika-tan kuat dipertahankannya perdamaian.

mengatakan bahwa pe-rang timbul karena adanya dorongan untukmemperoleh keuntungan yang tinggi dari pen-jualan perlengkapan-perlengkapan perang.Adanya perang akan mengakibatkan perminta-an amunisi perang, senjata, tank, pesawat tem-pur, peluru kendali, dan lain sebagainya me-ningkat dan hal ini akan sangat menguntungkanpara industrialis-industrialis perang

bankir-bankir internasional dan kapi-talisme wall-street yang haus perang

.disampaikan oleh

kaum Marxis yang mengatakan bahwa perangsangat erat kaitannya dengan kolonialisme danimperialisme. Keduanya merupakan akibatyang langsung dari adanya kapitalisme. Kapita-lisme telah menyebabkan terjadinya produksiyang melebihi kebutuhan di dalam negeri. Overproduksi ini terjadi karena kaum kapitalis telahmembayar buruhnya dengan cara yang tidakwajar sehingga mereka bisa menumpuk keun-tungan. Untuk mengatasi over produksi merekaterpaksa menyalurkan hasil produksinya kedaerah-daerah yang belum maju dan di daerah-daerah tersebut mereka memanamkan modal-nya serta mendapatkan bahan mentah gunamendukung produksinya. Sejalan dengan se-makin berkembangnya daerah tersebut sebagaidaerah pamasaran akan hasil-hasil produksinyadan sumber penyediaan barang mentah yang

(standard of living)

“the have not countries”

(merchantof dead),

(war mo-nger)

Pendapat kedua

Pendapat ketiga

Pendapat keempat

diperlukan maka kebutuhan akan perlindungankeamanan atas kepentingan mereka di daerahtersebut menjadi semakin besar. Untuk itu ke-mudian diciptakanlah kekuasan-kekuasaan ko-lonial yang didukung dengan kekuatan senjata.Sebagai akibatnya konflik kepentingan antarakaum kapitalis untuk mengeskploitir daerah ter-sebut melawan kepentingan rakyat yang ber-sangkutan untuk melindungi hak-hak merekasering terjadi dan berakhir pada terjadinya pe-rang. Kapitalisme akan memperluas daerah ko-lonisasinya (kolonialisme) ke seluruh penjurudunia (imperialisme) apabila eksploitasi di dae-rah tersebut telah habis..

Perang terjadi karena tidak adanya lem-baga pemerintahan yang efektif. Dengan katalain perang timbul karena adanya anarki, yaitusuatu kondisi di mana inidividu atau kelompokindividu mencoba hidup tanpa pemerintahanyang efektif. Keadaan demikian menyebabkantiadanya kerjasama atau tiadanya kepastian un-tuk bertindak di antara unsur-unsur yang adadalam masyarakat (nasional maupun internasi-onal) dan pada akhirnya menyebabkan terjadi-nya perang.

Perang mungkin juga terjadi karena ada-nya usaha dari setiap negara untuk selalu men-dapatkan, memelihara, meningkatkan dan men-demonstrasikan mereka guna menjaminkeamanan nasionalnya. Di dalam keadaan tan-pa adanya lembaga supranasional ini maka seti-ap negara harus mengandalkan kekuatan sendi-ri di dalam usahanya untuk menjamin keaman-an nasionalnya yang besarnya diukur berdasarkemampuannyauntuk membeayai perang.

Negara-negara yang memiliki persama-an kepentingan atau setidak-tidaknya kepenti-ngan mereka tidak bertentangan cenderung un-tuk membentuk aliansi apabila mereka merasa

yang dimilikinya tidak cukup untuk me-nopang keamanan nasionalnya di dalam mela-wan kekuatan negara lain. Sebaliknya, aliansisemacam ini akan menimbulkan meningkatnyarasa tidak aman atas diri negara lain dan oleh ka-rena itu mereka juga akan berusaha untuk me-ngimbanginya dengan meningkatkan -nya, kalau perlu juga dengan jalan membangunaliansi. Dan karena itu sifatnya relatif,maka tidak akan pernah ada satu negara punatau kelompok negara pun yang merasa telah

D. Sebab sebab politik

power

power

power

power

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

118 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 34: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

terjamin keamanan nasionalnya apabilayang mereka miliki secara riil bukan yang pa-ling besar. Jadi, ketakutan dan kekhawatiran su-atu negara atas adanya ancaman dari negara lainterhadap keamanan nasionalnya dan sampai ak-hirnya terjadi perang adalah merupakan akibatdari usaha sia-sia untuk mencapai keamanan itusendiri.

Namun, sangat sulit untuk menentukanapakah suatu perang disebabkan oleh alasanpsikologis, kultural ideologis, ekonomi ataupunpolitik. Yang jelas, di dunia ini tidak ada sebuahperang pun yang mempunyai sebab tunggal ka-rena perdamaian adalah merupakan keseim-bangan dari banyak faktor yang ada dalam ma-syarakat.

Perdamaian yang memiliki derajad yangberbeda-beda adalah suatu kondisi di mana in-dividu atau kelompok individu dalam suatu ma-syarakat termasuk masyarakat dunia terbebasdari penggunaan kekuatan fisik di dalam ber-hubungan satu dengan yang lain. Sebab-sebabperang adalah senantiasa berupa elemen-ele-men ataupun kekuatan-kekuatan fisik oleh indi-vidu atau kelompok individu atau kelompokmasyarakat atau negara untuk melawan yanglain.

Meskipun rumit dan tidak mudah, manu-sia tidak pernah jera maupun lelah untuk beru-paya menghapuskan perang dari muka bumi.Perang telah menggugah kesadaran manusiaakan perlunya mencari solusi yang tepat danmemadai guna mencegahnya atau mengontrol-nya apabila sudah terlanjur terjadi. Kesadarantersebut salah satunya telah membawa ke arahpengembangan studi ilmu hubungan internasio-nal sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri di ber-bagai universitas di Amerika Serikat (1920)yang kemudian meluas ke seluruh penjuru du-nia. Dari pengembangan studi ilmu hubunganinternasional ini kemudian muncul berbagai pe-mikiran tentang perang, terutama tentang ba-gaimana menghindari atau menghapuskannyadari muka bumi.

Para tokoh-tokoh idealis terkemuka se-perti Henri de Saint-Simon, William Ladd, Ric-hard Cobden, Mahatma Gandhi, Woodrow Wil-son, Bertrand Russel dan lain sebagainya yang

power

Berbagai Teori Menghapus Perang

A. Perspektif Idealis

masih diguncang oleh kenangan pahit PerangDunia I telah mengadopsi suatu pendekatanyang bersifat moralistik-legalistik, yang me-mandang perang sebagai suatu kecelakaan atausuatu dosa. Sebagai suatu kecelakaan karenaperang terjadi sebagai akibat dari tiadanya lem-baga internasional yang efektif yang menyedia-kan alternatif-alternatif yang berarti bagi parapemimpin negara untuk saling berargumentasisecara langsung. Sebagai suatu dosa karena pe-rang telah mempertontonkan sisi gelap dari sifatmanusia dan oleh karena itu perang apapun ben-tuk dan manifestasinya harus segera diakhiride-ngan sekuat tenaga.

Pandangan kaum idealis yangmendominasi masa antara PD I dan PD II iniselanjutnya mengatakan bahwa perang terjadikarena adanya perjanjian-perjanjian rahasia an-tarnegara dan jika setiap warganegara dari seti-ap negara tersebut menyadari maka perjanjianyang sedemikian ini tidak akan bisa ditolerir.Kaum idealis, oleh karena itu, menyerukan di-akhirinya diplomasi rahasia serta mendesakpartisipasi masyarakat dalam perumusan danpenyelenggaraan politik luar negeri (Maghroo-ri & Ramberg, 1982: 10).

Kaum idealis juga mendesak perlunyadibentuk organisasi internasional yang akanmenyediakan suatu forum bagi negara-negarauntuk merundingkan perbedaan-perbedaanyang terjadi di antara mereka. Program idealisadalah ditinggalkannya “sistem perimbangankekuatan” danmenggantinya dengan “sistem keamanan ber-sama” yang akanmewajibkan negara-negara mengurangi kesiap-an militernya sampai ke tingkat yang palingrendah, dan kemudian menyandarkan keaman-an nasional mereka kepada kemampuan militergabungan dari masyarakat dunia guna melawanagresi bersenjata yang mungkin terjadi. (Magh-roori & Ramberg, 1982: 10)

Dengan kata lain, mereka menghendakidibentuknya “pemerintahan dunia”

yang dilengkapi dengan kewenang-an untuk mengadili dan kekuatan pemaksa yangmemadai untuk menyelesaikan setiap perseng-ketaan yang terjadi di antara negara-negara. Idekaum idealis ini kemudian diwujudkan denganpembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) di ta-hun 1920.

Cita-cita kaum idealis adalah jelas yaitu

(utopian)

(balance of power system)

(collective security system)

(world go-vernment)

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 119

Page 35: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

terbentuknya suatu tata dunia dan tata kehidup-an yang penuh dengan kedamaian

, dan hal itu akan dapat terwujud hanyaapabila manusia/negara tunduk pada aturan-aturan, baik itu aturan yang memiliki daya pak-sa maupun yang sifatnya sukare-la. Ketika manusia/negara tunduk kepada suatuaturan, dan juga norma-norma universal, makaseluruh manusia/negara akan bersinergi demimeraih kepentingan dan cita-cita bersama (http://phyto.wordpress.com/2007/09/17/damai-dan-perang/)

Segera sesudah berakhirnya Perang Du-nia II suatu generasi baru ilmuwan pragmatismuncul dengan menamakan dirinya kaum real-is, seperti Edward H. Carr, Hans J. Morgenthau,Frederick Schuman, Nicholas Spykman, Ken-nethThompson dan lain sebagainya. Mereka inipada prinsipnya menolak konsep moralistik-le-galistik dalam diplomasi dan sebaliknya mene-kankan pada pendapat bahwa kebijakan yangdidasarkan pada atau kekuatan akanmampu mewujudkan keamanan global. (Cou-lumbis &Wolfe, 1978: 4)

Teori-teori kaum realis - yang kebanyak-an merupakan kritik terhadap pandangan kaumidealis - sangat menjunjung tinggi hak-hak ne-gara nasional yang berdaulat sebagai unit dasaranalisis untuk mengejar serta mengan-dalkan pada guna me-rintangi kompetisi yang terjadi di antara negara-negara.

Hans. J. Morgenthau dalam bukunyamengatakan bahwa:

bahwa pengejaranmerupakan dorongan yang bersifat

alami dan bahwa negara yang ti-dak berusaha meningkatkan -nya sebe-narnya justru akan mengundang perang. Selainitu masyarakat negara yang terdiri dari aktor-aktor individu yang sedang berjuang untuk me-ningkatkan , pengaruh dan keamanannyayang bersifat mendasar akan secara alamiah di-tarik kedalam suatu pesekutuan yang bersifatsementara yang secara bergantian akan cende-rung untuk memaksakan ter-tentu di antara blok-blok negara yang salingbermusuhan. (Mahgroori & Ramberg, 1982:10)

Bagi kaum realis, perdamaian dipersep-

(fulfil withpeace)

(punishment)

.

power

powerbalance of power system

Po-litics Among Nations “Asof all politics, international politics is of neces-sity power politics,” nation-al power

(natural drive)power

power

balance of power

B. Perspektif Realis

sikan sebagai suatu keadaan bersama yang dija-min oleh perimbangan kekuatan yang bertan-ding ( , Tahun I-Desember1983:35) Perimbangan kekuatan merupakansuatu rancangan pengaturan yang baik. Apabilakekuasaan terbagi seimbang di antara negara-negara, maka akan tidak ada satu negara punyang mencapai hegemoni internasional (Doug-herty & Platzgraf Jr, 1983: 78). Cita-cita tentangperdamaian dan keamanan internasional seba-gaimana dimaksudkan oleh kaum realis dikem-bangkan berdasarkan pada konsep-konsep ke-kuatan; perdamaian seolah-olah bisa dijaminapabila tercipta suatu perimbangan kekuatan,baik sebagai potensi daya tempur maupun po-tensi daya tangkal ( , TahunI-Desember 1983:35).

Pendek kata, perang tak akan pernah ter-jadi apabila terdapat keseimbangan kekuatan

di antara kedua belah pihakJika salah satu pihak lebih lemah dibanding pi-hak lain, maka genderang perang sudah pastiakan ditabuh oleh pihak yang lebih kuat. Nase-hat yang diberikan oleh kaum realis kalau kitamenghendaki perdamaian adalah bersiaplahuntuk perang: “

Bagi parapemikir realis, tata nilai perdamaian yang di-agung-agungkan oleh negara dan juga oleh lem-baga-lembaga internasional seperti LBB atauPBB hanyalah omong kosong belaka. http://phyto.wordpress.com/2007/09/17/damai-dan-perang/)

Immanuel Kant (1795) secara sistematikmengartikulasikan peran positif kemerdekaanpolitik dalam mengeliminasi perang dan meng-usulkan bahwa republik konstitusional perlu di-bangun untuk menjamin perdamaian yang uni-versal. Menurut Kant “semakin merdeka rak-yat ikut memerintah kehidupannya, semakinbanyak kekuasaan pemerintah dibatasi secarakonstitusional, semakin besar pemimpin ber-tanggungjawab melalui pemilihan umum yangbebas terhadap rakyatnya, maka para pemim-pinnya akan semakin lebih terkendali dalammemutuskan perang.”

Kaum liberal, seperti Kant, de Montes-quieu, Thomas Paine, Jeremy Bentham, JohnStuart Mill, dan lain sebagainya, percaya bahwaada harmoni kepentingan yang bersifat alami di

Jurnal Luar Negeri

Jurnal Luar Negeri

(balance of power) .

If you want to keep peaceful inthe world, prepare yourself to war!”

.

C. Perspektif Liberalisme Klasik

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

120 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 36: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

antara bangsa-bangsa di dunia, dan bahwa per-dagangan bebas akan memfasilitasi terbentuk-nya harmoni ini dan mempromosikan perdama-ian. Menurut keyakinan mereka, aristokrasimonarki memilikikepentingan tetap untuk me-lakukan perang (R.J. Rummel, http://www. fire-armsandliberty.com/rummel.war.html).

Bruce Bueno de Mesquita dalam tulisan-nya berjudul

( , Vol. 100,No. .4, Nov. 2006) mengatakan bahwa perspek-tif ekonomi politik yang menekankan pada ke-pentingan dan insentif politik dalam negeri, me-nemukan logika yang membedakan politik luarnegeri dari para pemimpin yang demokratis danyang tidak demokratis (otoriter). Kekalahan da-lam perang, sebagai misal, merupakan penga-laman yang mahal bagi masyarakat dan oleh ka-rena itu lebih menyakitkan bagi pemimpin de-mokratis yang akuntabel, dibanding bagi pe-mimpin monarki, otokratis atau junta.

Berkaitan dengan beaya politik dari sua-tu kekalahan, pemimpin demokrat hanya mauberperang apabila mereka percaya kesempatanuntuk menang tinggi dan atau apabila semuaupaya negosiasi menemui kegagalan. Dikare-nakan pemimpin otokratis tetap menduduki ja-batan atau berhenti menduduki jabatan bukankarena dukungan rakyat, maka kekalahan da-lam perang bagi mereka sering secara politik ti-daklah dianggap begitu mahal dibanding bagipemimpin demokrat. Hal yang demikian inimembuat para pemimpin otokratis lebih sukaberperang walaupun akibatnya mungkin akanmembuat negaranya menjadi lebih miskin.

Karena para pemimpin demokrat selektifdalam melakukan perang, mereka pada umum-nya berhasil memenangkan perang yang di-inginkannya. Selama dua abad terakhir negara-negara demokrasi berhasil memenangkan 92persen dari perang yang dilakukan, sementaranegara-negara otokratis hanya berhasil meme-nangkan 60 per sen dari perang yang mereka la-kukan.

Jika dua orang demokrat terlibat perseli-sihan, perang tidak mungkin terjadi. Masing-masing pemimpin demokrasi memiliki insentifyang sama yang didorong secara kelembagaan:

(monarchical aristocracies)“vested interest”

“Game Theory, Political Econo-my, and the Evolving Study of War and Peace”American Political Science Review

D. Perspektif Ekonomi Politik

masing-masing berusaha keras untuk meme-nangkan perang jika perang terjadi; masing-masing memerlukan keberhasilan kebijakanuntuk bisa menduduki jabatan lagi; masing-ma-sing harus percaya di awal bahwa kemungkinanmemenangkan perang sangatlah tinggi. Bila pe-mimpin demokrat tidak berpendapat bahwamereka pasti mendekati kemenangan, makamereka memilih untuk melakukan negosiasidaripada berperang.

Model ekonomi politik menyimpulkanbahwa para pemimpin negara demokrasi yangsaling bermusuhan cenderung lebih suka berun-ding daripada berkelahi. Sebaliknya, karena ti-dak menghadapi rintangan seperti yang dihada-pi para pemimpin demokratis, khususnya dalamproses pembuatan keputusan, para pemimpinotoriter lebih siap untuk berperang bahkan se-kalipun kemungkinan untuk menang sangat ke-cil. Tampaknya mereka lebih suka membelanja-kan sumber kekayaan negara untuk membeayaiperang meskipun dengan resiko kalah, yangmemberi kesempatan bagi para kroninya mem-peroleh ganjaran untuk kepentingan pribadi-nya, daripada membagikan sumber kekayaannegara untuk kesejahteraan para pendukung-nya.

Berdasar pada realitas tersebut upaya un-tuk mengeliminasi perang, menurut pandanganekonomi politik, dapat dilakukan melalui perlu-asan demokrasi ke seluruh penjuru dunia..

Apabila telah diyakini bahwa perang ter-jadi karena adanya kelompok-kelompok manu-sia yang merasa kepentingannya terancam, ma-ka jalan untuk menghindari peperangan itu tia-da lain kecuali melenyapkan adanya keteran-caman tersebut. Oleh karena perasaan terancamseringkali timbul oleh terhadap si-tuasi yang sebenarnya, maka usaha untuk men-ciptakan perdamaian harus diarahkan untukmenghilangkan ini:

1) Orang-orang (kelompok atau negara)harus berusaha untuk menyadari bahwa

akan terjadi apabila ada ketertutupan didalam komunikasi. Usaha-usaha antar kelom-pok atau antarnegara untuk membuka komuni-kasi perlu dilakukan guna mencapai saling pe-ngertian (persepsi yang akurat). Program-prog-ram pertukaran pelajar, pemuda, mahasiswa an-tarnegara atau saling kunjung mengunjungi pe-

E. PerspektifAhli Psikologi

mispersepsi

mispersepsi

misper-sepsi

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 121

Page 37: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

jabat pemerintah antarnegara dapat digunakansebagai sarana.

2) Penciptaan sesuatu yang merupakankepentingan bersama. Konsep

dapat digunakan untuk mengurangi kon-flik antar kelompok. Usaha untuk menciptakan

telah dibuktikan olehPerancis dan Jerman; sebelum adanya Masya-rakat Ekonomi Eropa yang kemudian berubahmenjadi Uni Eropa yang bertujuan untuk me-ningkatkan kepentingan bersama sesama nega-ra anggota, Jerman dan Perancis telah berpe-rang sebanyak tiga kali. Setelah kedua negaraini bergabung ke dalam MEE, mereka hidup da-mai tanpa peperangan (http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-17/psikologi-dan-perdamaian.html)

Sementara para pemikir idealis, realis, li-beral klasik, ekonomi politik, psikolog, dan pa-sifis berbicara tentang bagaimana menghindariperang, muncul doktrin lain yang berbicara ten-tang apa yang harus dilakukan manakala suatunegara terpaksa harus berperang. Doktrin ini di-sebut sebagai doktrin perang yang sah.

Doktrin tentang Perang yang Sah adalahupaya untuk membedakan antara cara-carayang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapatdibenarkan dalam penggunaan angkatan ber-senjata yang terorganisasi. Doktrin Perang yangSah membahas moralitas penggunaan kekuatandalam tiga bagian, yaitu: (1) kapan suatu pihakdapat dibenarkan dalam menggunakan angkat-an bersenjatanya atau dengan kata lain kapansuatu negara diperbolehkan untuk berperang(keprihatinan tentang (2) cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggu-nakan angkatan bersenjata itu atau dengan katalain bagaimana suatu negara harus berperang(keprihatinan tentang ) dan (3) ba-gaimana suatu peperangan dapat diakhiri de-ngan adil dan perjanjian perdamaian dapat dica-pai, sementara penjahat-penjahat perang jugadapat diadili atau dengan kata lain bagaimanasuatu negara harus menghentikan suatu perang(keprihatinan tentang ) (http://id.wikipedia .org/wiki/Doktrin_tentang_Perang_yang_Sah).

Pasifisme berkeyakinan bahwa perangseperti apapun secara moral tidak sah. Kaum

“Super OrdinateGoal”

“Super Ordinate Goal”

jus ad bellum

jus in bello

jus post bellum

.

F. Doktrin tentang Perang yang Sah

,

,

G. Perspektif Pasifis

)

Pasifis menentang Doktrin tentang Perang yangSah dengan argumentasi bahwa doktrin itu me-mang membela perlindungan dan kesucian nya-wa orang-orang yang tidak bersalah, namun ke-nyataannya dalam suatu peperangan nyawaorang-orang yang tidak bersalah tidak dapat di-jamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawaorang-orang yang tidak bersalah tidak dapat di-jamin, maka perang dalam bentuk apapun tidakdapat dianggap sah dengan alasan apapun juga(http://id.wikipedia.org/wiki/Doktrin_tentang_Perang_yang_Sah).

Bagi kaum pasifis, konsep moral dapatditerapkan secara bermafaat dalam kehidupanmasyarakat dunia. Tidak masuk akal memperta-nyakan apakah perang itu adil atau tidak: itulahisu yang penting dan bermakna. Tetapi hasil da-ri penerapan normatif, dalam hal perang, adalahselalu bahwa perang tidak seharusnya dilaku-kan. Jika teori perang yang sah dan adil kadang-kadang bersifat permisif dalam hal perang, pa-sifisme selalu melarang perang. Bagi kaum pa-sifis, perang adalah selalu salah. Selalu ada caraterbaik untuk menyelesaikan suatu masalah da-ripada dengan melalui perang (StanfordEncyclopedia of Philosophy, http://www.science.uva.nl/ ~seop/entries/war/).

Setiap manusia/negara pasti mengingin-kan kehidupan yang aman dan damai, terhindardari malapetaka perang. Akan tetapi kalau ter-paksa, ada banyak di antara mereka yang relaberkorban untuk berperang guna mempertahan-kan hak dan atau nilai-nilai kebenaran yang di-miliki dan diyakini. Itu berarti bahwa potensimanusia/negara untuk melakukan perang tetap-lah ada dan tidak dapat dihapuskan.

Berbagai pemikiran tentang bagaimanamencegah dan atau mengelola perang telah ber-kembang begitu luas, masing-masing memilikikelemahan dan kekuatannya sendiri-sendiri.Ti-dak ada suatu konsep tunggal yang dapat digu-nakan untuk menyelesaikan semua persoalantentang perang yang terjadi di dunia ini.

1. Pembentukan organisasi regionalmaupun internasional sebagaimana direkomen-dasikan kaum idealis dalam batas-batas tertentucukup efektif untuk mencegah terjadinya pe-rang, seperti (Juli 1947) yangtelah mempersatukan negara-negara Eropa Ba-rat sehingga, paling tidak untuk kurun waktu le-

Evaluasi Kristis dan Kesimpulan

European Union

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

122 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 38: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

bih dari 50 tahun terakhir, Eropa Barat terhindardari malapetaka perang. Begitu juga pemben-tukan ASEAN (Agustus 1967) yang dinilai te-lah cukup berhasil menjaga stabilitas politikdan keamanan di kawasan Asia Tenggara untukkurun waktu yang cukup lama.

Namun sebaliknya, SAARCyang

dibentuk Desember 1985 dan beranggotakanAfghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Mal-dives, Nepal, Pakistan, dan Srilanka hingga saatini belum mampu menciptakan kawasan yangaman dan damai seperti yang dicita-citakan.Sampai saat ini, pergolakan bersenjata dan pe-rang saudara masih terjadi di kawasan tersebut.

Begitu juga PBB, sekalipun selalu dipro-tes karena sering dijadikan sebagai alat politikluar negeri negara-negara adidaya, dalam haltertentu juga telah berhasil menjalankan tugas-nya. Kalaupun tidak sebagai , PBBtelah berhasil menjalankan tugasnya sebagai

di beberapa wilayah konflik di du-nia, seperti di Libanon, Kongo, Bosnia, dan lainsebagainya. Namun di daerah di mana kepenti-ngan negara adidaya sangat besar, PBB telahgagal menjalankan fungsinya. Sebagai misal,PBB telah gagal mencegahAmerika Serikat be-serta dengan sekutunya melakukan tindakanunilateral dengan menyerang dan mendudukiIrak dengan dalih untuk mencari dan menghan-curkan senjata pemusnah masal yang ternyatatidak terbukti. Selain itu, PBB juga tidak berha-sil memaksa Israel mengundurkan diri dari wi-layahArab yang diduduki sejak PerangArab-Is-rael tahun 1967.

2. Gagasan pemeliharaan perdamaiandengan lebih mengandalkan ”perimbangan ke-kuatan sebagaimana dire-komendasikan oleh kaum realis dalam batas-batas tertentu memang dapat meredam terjadi-nya konflik bersenjata. Akan tetapi di dalamprakteknya, sering dimaknaibukan sebagai keadaan di mana kekuatan be-nar-benar terbagi secara seimbang. Yang terjadijustru setiap negara berupaya untuk meningkat-kan kekuatannya hingga sampai titik di manakekuatan yang dimiliki dirasakan lebih ungguldaripada kekuatan yang dimiliki negara lain.Keadaan ini berakibat terjadinya perlombaansenjata dan perebutan daerah pengaruh

yang tak pernah kunjung berhenti,khususnya di antara negara-negara adidaya.

(South Asi-an Association for Regional Cooperation)

peace maker

peace keeper

” (balance of power)

balance of power

(sphereof influence)

Selain itu, adanya anggapan bahwa un-tuk memelihara perdamaian diperlukan suatukemampuan, baik kemampuan untuk merinta-ngi ataupun mengatasi kekuatan yang ada da-lam masyarakat guna menjaga keselamatan ni-lai-nilai lainnya; dan bahwa memelihara ke-amanan berarti mengontrol dan mengorganisir

, untuk itu diperlukan kapasitas untukmempengaruhi alokasi dari banyak nilai sertakapasitas untuk mempengaruhi alokasi dari ba-nyak tujuan, (Karl W. Deutsch 1968: 170) telahmenumbuhkan keyakinan di kalangan penga-nut faham realis akan perlunya kekuatan duniayang hegemonik yaitu sua-tu kekuatan yang memiliki kemampuan untukmelakukan pengorbanan atas kepentinganjangka pendeknya guna mencapai kepentinganjangka panjang. (Paul F. Diehl 1989: 218)Akantetapi dalam kenyataannya,telah sering mengakibatkan terjadinya kete-gangan karena sikap dan tindakannya yang cen-derung bersifat

3. Liberalisasi perdagangan atau perda-gangan bebas sering direkomen-dasikan sebagai wahana untuk menjauhkan du-nia dari malapetaka perang. Dalam batas-batastertentu perdagangan bebas bisamenimbulkan saling ketergantungan (interde-pendensi) di antara bangsa-bangsa di dunia, in-terdependensi akan bisa memunculkan harmo-ni, dan harmoni pada akhirnya akan mencipta-kan perdamaian.

Akan tetapi di dalam prakteknya perda-gangan bebas tidak selalu bisa memunculkanharmoni. Robert Gilpin dalam bukunya

(1987) mengatakan di dunia yang terbagi di an-tara banyak kelompok atau negara yang berbe-da dan sering saling bertentangan, maka pasar(meliputi perdagangan, modal dan investasi) te-lah memiliki pengaruh yang sangat berbeda de-ngan yang dikatakan para teoritikus ekonomi.Kegiatan-kegiatan ekonomi akan mempenga-ruhi politik, sosial, dan kesejahteraan ekonomidari berbagai kelompok masyarakat dan negarasecara secara berbeda-beda (Gilpin 1987: 22)Selain itu pula, ekonomi pasar juga akan secarasignifikan mempengaruhi distribusi kekayaandan kekuasaan di dalam atau di antara masyara-kat. Pertumbuhan kekayaan dan penyebaran ak-tivitas ekonomi cenderung tidak merata, di satupihak ada negara yang diuntungkan dan di pi-

power

(hegemonic power),

hegemonic power

”double standard.”

(free market)

(free market)

ThePolitical Economy in International Relations

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 123

Page 39: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

hak lain ada negara yang dirugikan. (Gilpin 23)Keadaan semacam ini bukannya memunculkanharmoni, akan tetapi justru sebaliknya konflikdan ketegangan.

4. Pemeliharaan perdamaian dan kea-manan melalui perluasan demokrasi ke seluruhpenjuru dunia akan berdampak baik apabila di-lakukan melalui proses transformasi secara da-mai di antara elemen-elemen masyarakat yangada di masing-masing negara yang berkepenti-ngan. Apabila proses demokratisasi, termasukpenerapan HAM, dilakukan secara paksa, apa-lagi digunakan sebagai alat politik luar negerinegara tertentu guna mencapai kepentingannyasendiri, pasti akan menimbulkan ketegangandan berakhir pada terjadinya perang.

Di dunia yang sangat heterogen ini tidakada pemahaman yang sama akan makna dari ka-ta ”demokrasi” dan ”kebebasan.” Hampir dimasing-masing negara, demokrasi dan ataukebebasan mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Di negara-negara Islam, pemvisualisasi-an Nabi Muhammad SAW dalam bentuk kari-katur dipandang tidak hanya sebagai penghina-an akan tetapi juga pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa pada tanggal 30September 2005, surat kabar terbesar Denmark,

telah memuat 12 karikatur Na-bi Muhammad SAW, yang kemudian diikutioleh surat kabar lainnya seperti , dariNorwegia, 10 Januari 2006; surat kabar Jerman,

; surat kabar Perancis, dansurat kabar lain di Eropa (http://id.wikipedia.org/wiki/Karikatur_Nabi_Muhammad_Jyllands-Posten).

Kebebasan bukan berarti setiap orang di-perbolehkan berbuat apa saja termasuk melem-par tinja ke muka orang lain dan kemudian me-ngatakan itu dilakukan demi kebebasan. Kalauperluasan demokrasi dan kebebasan dibiarkanberkembang menuju ke sana, maka bukan per-damaian dan keamanan yang diperoleh, akantetapi ketegangan dan konflik fisik.

Sangat sering terjadi dunia Barat mem-praktekkan kebijakan da-lam masalah demokrasi dan kebebasan. Seba-gai contoh, ketika Presiden Iran Ahmadinejadmengatakan bahwa atau pemus-nahan etnis Yahudi oleh tentara Nazi Jerman dimasa Perang Dunia II hanyalah omong kosongbelaka, pemimpin Israel dan Presiden Bush me-

Jyllands-Posten,

Magazinet

Die Welt France Soir

”double standard”

”holocaust”

nyatakan kemarahannya bahkan disertai an-caman.

Respons yang berbeda para pemimpindunia Barat terhadap kasus karikatur di suratkabar dan pernyataan Iran ten-tang memperjelas adanya kebijakan

di kalangan pemimpin du-nia Barat. Sangat sering terjadi, kebijakan

yang dipraktekkan duniaBarat bukannya membantu upaya pemeliharaanperdamaian dan keamanan dunia, akan tetapijustru sebaliknya, memicu terjadinya tindak ke-kerasan lainnya, salah satunya adalah dalambentuk

5. telah dipandang oleh paraahli psikologi sebagai sumber terjadinya pe-rang. Untuk mencegah terjadinya perang maka

yang terjadi di antara masyarakatdunia, utamanya di antara para pemimpin du-nia, perlu dihapuskan. Kesulitannya adalahbahwa sering kali sengaja dimun-culkan sebagai justifikasi atas kebijakan yangtelah maupun akan diambil dalam upaya untukmencapai tujuan nasional negara. Tuduhan-tu-duhan bahwa Irak di bawah Saddam Hussein te-lah membuat atau menyimpan senjata pemus-nah massal, bahwa program nuklir Iran dituju-kan bukan untuk kepentingan damai akan tetapiuntuk kepentingan pembuatan senjata nuklir,bahwa pengaruh Iran di Timur Tengah akan me-nguat apabila pasukan Amerika Serikat ditarikdari Irak, dan lain sebagainya, merupakan mis-persepsi yang sengaja dihembus-hembuskanuntuk menyelubungi kepentingan-kepentinganyang berada di balik tindakannya.

Keterkaitan antara Perang Irak dengankepentingan-kepentingan ekonomi AmerikaSerikat telah dicoba dibeberkan oleh komentat-or politik Naomi Klein dan Antonia Juhasz. Di-jelaskan secara rinci bahwa pendudukan Iraktelah memungkinkanAmerika Serikat memilikikewenangan melakukan restrukturisasi ekono-mi Irak yang didasarkan pada prinsip-prinsipneo-liberal yang ketat. Majalahmengatakan bahwa untuk memenuhi daftar ha-rapan para investor asing dan agen-agen donoryang menghendaki pengembangan pasar diIrak, pemerintah Washington telah mengada-kan langkah-langkah ke arah privatisasi 200perusahaan negara Irak yang memungkinkan100% sahamnya dimiliki oleh pemilik-pemilikmodal asing, diluar perusahaan minyak dan

Jyllands-Postenholocaust

”double standard”

”double standard”

”terrorisme.”Mispersepsi

mispersepsi

mispersepsi

The Economist

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

124 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 40: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

sektor-sektor pengilangan,

(http://www.why-war.com/news/2004/10/01/arethewa.html)

6. Pada akhirnya, mengandalkan pemeli-haraan perdamaian dan keamanan dunia mela-lui atau pene-gakkan hukum internasional juga belum meru-pakan jaminan. Di dunia sekarang ini telah ter-dapat banyak rejim internasional yang meng-atur kehidupan masyarakat maupun negara, se-perti DK-PBB (keamanan), IMF (neraca pem-bayaran), WTO (perdagangan), ILO (perburuh-an), IAEA (nuklir), ICAO (penerbangan sipil),dan lain sebagainya.

Rejim internasional didefinisikan olehStephen D. Krasner dalam bukunya

(1983) sebagai ”prinsip-prinsip,norma-norma, aturan-aturan, dan prosedurpembuatan keputusan di sekitar mana harapan-harapan para aktor saling berkonvergensi dalamsuatu area tertentu dalam hubungan internasio-nal.” (Krasner 1983:3).

Rejim internasional yang biasanya dalambentuk organisasi internasional selain bisaberfungsi sebagai pengubah secara sistematikterhadap perilaku negara, atau sebagai aktor dipanggung internasional, juga bisa berfungsi se-bagai instrumen kebijakan luar negeri suatu ne-gara. Sekalipun demikian, tidak semua negaramempunyai kemampuan yang sama untukmenjadikan rejim internasional sebagai alatpolitik luar negerinya guna mencapai kepenti-ngan nasionalnya. Keadaan ini sering menye-babkan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur pembuatan keputusan da-lam rejim internasional lebih banyak mengabdiuntuk kepentingan negara-negara besar atau ne-gara-negara yang secara potensial memiliki ak-ses untuk melakukan hal itu.

Dengan melihat kelemahan maupun ke-kuatan dari masing-masing pendekatan, makapenerapan satu pendekatan tertentu tidaklah cu-kup untuk melakukan pencegahan dan pengelo-laan perang atau . Ke-cenderungan yang terjadi adalah mengadopsibeberapa pendekatan secara bersamaan denganmemberikan penekanan pada satu atau dua pen-dekatan yang dianggap paling sesuai dengan si-tuasi dan kondisi yang ada di masing-masingwilayah.

Sebagai fenomena yang spektakuler da-

”for full repatriat-ion of profits, and for a 15% cap on corporatetaxes.”

enforcement of international laws

Internati-onal Regimes

management of conflict

.

lam kehidupan umat manusia, perang selalu ter-jadi dalam suatu keadaan di mana manusia ber-beda pendapat tentang kapan dan di mana per-damaian harus dimulai. Oleh karena itu, peranseorang pemimpin negara yang terkait dalamperang akan sangat menentukan keberhasilanupaya mewujudkan perdamaian. Sebagai con-toh, sekalipun sebahagian besar rakyatAmerikaSerikat sendiri menghendaki agar Amerika Se-rikat segera mengakhiri pendudukannya atasIrak, Presiden George W. Bush bersikukuh un-tuk melanjutkan perang dengan alasan bahwasekarang ini belumlah saatnya bagi dia untukmengakhiri perang dan memulai perdamaian.Hasil pooling dan

(20-22 Juli 2007): hanya 25% respondenyang menyatakan puas terhadap kinerja Presi-den Bush di Irak, sedangkan 69% menyatakantidak puas; sementara itu jumlah respondenyang menghendaki agarAmerika Serikat segerakeluar dari Irak meningkat dari 28% menjadi51%).

Pada akhirnya, dengan meminjam kata-kata bijak Karl W. Deutsch dari Harvard Uni-versity:

(http://en.wikipedia.org/wiki/Quincy_Wright),tulisan ini dimaksudkan untuk memberikansumbangan pemikiran yang bermanfaat bagisetiap upaya mencegah dan atau mengakhiri pe-rang serta mempromosikan perdamaian.

Are the War and Globalization Really Connect-ed? http://www.why war.com/news/2004/10/01/arethewa.html.

Clausewitz, C. (1995). , trans. by A. Ra-poport. Harmondsworth,UK: Penguin.

Couloumbis, T.A and Wolfe, J.H. (1078).

. Englewood Cliff: Prentice-Hall.

Damai dan Perang, http://phyto.wordpress.com/2007/09/17/damai-dan-perang/.

Brown, D. Study Claims Iraq's 'Excess' DeathToll Has Reached 655,000,

, October 11, 2006, p. A12.Deutsch, K.W. (1968).

. Englewood Cliff: Pren-tice Hall.

Djamaluddin Ancok, Psikologi dan Perdamai-

The New York Times CBSNews

"War, to be abolished, must be under-stood. To be understood, it must be studied,”

On War

Intro-duction to International Relations: Powerand Justice

WashingtonPost

The Analysis of Interna-tional Relations

Daftar Pustaka

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 125

Page 41: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

an, http://ancok. staff.ugm.ac.id/h-17/psi-kologi-dan perdamaian.html.

Doktrin Tentang Perang yang Sah http://id.wi-kipedia.org/wiki/ Doktrin_tentang_pe-rang_yang_sah.

Dougherty, J.& Platzgraf Jr, R. (1978).

Philadelphia: J.B. Lippincot.Gelven, M. (1994). . Phila-

delphia: Pennsylvania University Press.Gilpin, R. (1987).

Princeton: Prince-ton University Press.

Hanley, C.J., Iraq costs US$12 B per month.

.

Jongman, B. & Dennen, J.V. The Great War Fi-gures Hoax: an Investigation in Polemo-mythology.

.Krasner, S.D. (ed.). (1983).

. Ithaca: Cornell University Press.

,

Con-tending Theories of International Relat-ions,

War and Existence

The Political Economy of In-ternational Relations.

International Re-gimes

http://news.yahoo.com/s/ap/20080309/ap_on_re_mi_ea/iraq_war costs

http://rechten.eldoc.ub.rug.nl/FILES/departments/Algemeen/overigepublicaties/2005enouder/HOAX/HOAX.pdf

Hasan, F. Upaya Pemeliharaan Perdamaian Da-lam Penyelesaian Sengketa Internasional,

,p

Hass, E.B. (1989).

dalam Diehl, P.F. (ed).

Chicago: Dorsey Press, pp. 189-223.

Jurnal Luar Negeri Badan LitbangDeplu, tahun I, no. 2, Des1983, p. 19-44.

Conflict Management andInternational Organizations, 1945-1981,

The Politics of In-ternational Organizations: Patterns andInsights.

List of civil wars. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_civil_wars.

Maghroori, R. & Ramberg, B. (1982).

Colorado: WestviewPress.

May, R.J.R. Political Systems, Violence, andWar.

.Mesquita, B.B.(2002). Game Theory, Political

Economy, and the Evolving Study of War., Vol.

100, no. 4, Nov 2002, pp. 637-641.Military Fatalities: By Time Period, http://ica-

sualties.org/oif/.Masoed, M. (1994).

, Jakarta: LP3ES.Morgenthau, H. (1973).

. NewYork: Knopf.Ongoing conflicts. http://en.wikipedia.org/

wiki/Ongoing_conflicts.

Pentland, C. (1989).dalam Diehl, P.F.

(ed).Chicago:

Dorsey Press. pp. 5-16., July

20-22, 2007.Waltz, K. (1978). .

Princeton: Princeton University Press.http://www.science.uva.nl/~seop/

entries/war/.

Global-ism versus Realism: International Relat-ions Third Debate.

American Political Science Review

Ilmu Hubungan Internasi-onal

Politics AmongNations 5th ed.

International Organizat-ions and Their Roles,

The Politics of International Organi-zations: Patterns and Insights

The New York Times and CBS News Poll

Man, The State and War

War,

http://www.firearmsandliberty.com/rummel.war.html

Sarsito, T. (1993). Teori Politik InternasionalHans J. Morgenthau: Suatu Analisis danKritik. Solo: UNS Press.

.

Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

126 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 42: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 127

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 127-138

The Economic Strategies Pursued by the Moro IslamicLiberation Front (MILF) For Self-Determination in the

Southern Philippines

Shamsuddin L. TayaDepartment of International Relations, Faculty of International Studies

Universiti Utara Malaysia

Abstracts

This study examines and analyzes the economic strategies adopted by the Moro Islamic Libe-ration Front (MILF) over time to liberate the Bangsamoro from the clutches of the Governmentof the Republic of the Philippines (GRP). It looks at the organization's economic self-relianceprograms which include: farming, raising farm animals (husbandry) and establishment ofsmall business enterprises in the Southern Philippines. These efforts are parts of the MILF'squest to liberate the Bangsamoro homeland and its people from the rule of the GRP and itsagents.

The data for this analysis came from primary and secondary sources, namely newspa-pers, policy statements, speeches, press releases, joint communiqué, peace agreements, books,magazines, and journals. Interviews with informed people were also conducted.

The study found that the economic strategies of the MILF in its quest for freedom andself-determination of the Bangsamoro homeland and its people were effective and workable.The economic strategies of the organization have not only guaranteed its survival, but theyeven managed to transform the attitudes and behaviors, not only the MILF's freedom fighters,but also a significant number of Bangsamoro masses, from dependent creatures to self-reliantmembers of the organization. As a result, the MILF's members are now considered assets ra-ther than liabilities to the movement.

Keywords: Moro, economic strategies.

Background to the Study

The Bangsamoro struggle for self-deter-mination started during the period of Spanishcolonialism and has continued up to the present.However, the Bangsamoro independencemovements became better organized from theAmerican period (1898-1946) and the Christ-ian-Filipino era (1946 up to the present). The

in 1968, thein 1971 and the

in 1972 during President Ferdinand

Jabidah Massacre Manili Massa-cre Malisbong (Palimbang)Massacre

E. Marcos' time sparked resentment against thePhilippine government. The Jabidah Massacre,in fact, led to the founding of the Bangsamoromovements for self-determination such as theMindanao Independence Movement in 1968(MIM) led by Datu Udtog Matalam, a formergovernor of the Cotabato Empire. This was fol-lowed by the creation of the Moro National Li-beration Front (MNLF) led by Nur Misuari, theMoro Islamic Liberation Front (MILF) led bySalamat Hashim, and others .

1

2

Page 43: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

128 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

The MNLF as a movement for Bangsa-moro self-determination survived for decades.It, however, succumbed to pressures from its fo-reign supporters (the Organization of IslamicConference (OIC) and more specifically the Li-byan and Saudi Arabian governments) and theGRP. As a result, the two GRP-MNLF's PeaceAgreements were signed: the 1976 TripoliPeace Agreement (Libya) and the 1996 JakartaPeaceAgreement (Indonesia). The 1976 TripoliAgreement had sparked internal divisionsamong the MNLF top ranks and one divisionmoved out and established the New MNLF(Founded by Salamat Hashim- who passedaway in 2003). Now the MILF is led by MuradEbrahim. With the incorporation of the MNLFinto the mainstream of the Philippine-body po-litic and eventually, the imprisonment of itsleader, Nur Misuari, the MILF has emerged asthe only revolutionary organization. Currently,the GRP is pursuing its peace efforts with theMILF. Indeed, both parties (the GRP and theMILF) signed confidence-building measures inLibya (2001) and Malaysia (2002). The MILF ispursuing its objective of total independencewhile the GRP is willing to compromise stop-ping short of independence. Both parties havehardened their positions in the past , but inrecent exploratory talks (2004) held inMalaysia, there were accommodation andgestures of friend-ship on the part of bothnegotiating parties (the GRPand MILF).

Aside from the MNLF, and MILF, theAbu Sayyaf Group or theASG (founded and ledby the late Janjalani Abdul Rajak- now, led byhis brother Khadafy Janjalani) is another Bang-samoro independence movement, which is de-manding an independent Bangsamoro state.The GRP claims that this group (ASG) is asmall, but radical and violent group. In Novem-ber 1992, a daily newspaper in Zamboanga citycarried a brief item about the issue of theASG asa terrorist group. Since then, the group has beenconsidered as a threat to the security of thecountry according to the GRP.

Bangsamoro factionalism, compoundedby declining foreign support and general warweariness, has hurt the Bangsamoro Islamicand nationalist movements both on the battle-field and at the negotiating table. The GRP con-tinues to struggle with Bangsamoro insurgen-cies, in general, and the MILF, in particular, in

3

4

the Southern Philippines. The MILF is pursuingits objective of total independence and the GRPis willing to compromise stopping short of inde-pendence.

As part of the , theMILF encouraged the Bangsamoro, in general,and, the members of the organization, in parti-cular, to follow a sustainable livelihood prog-ram that would sustain their daily basic needs inthe pursuit of the freedom and self-determinat-ion of the Bangsamoro homeland and its peop-le. This was part of the MILF's philosophy in itsquest for achieving the freedom and self-deter-mination of the Bangsamoro and their home-land. In fact, based on the experiences of the in-dependence movements all over the world, theMILF had to develop the concept of self-reli-ance in its totality. Being aware that among themajor factors that led to the failure of some re-volutionary movements was the financial con-straints; the MILF organized and developed itsown model of economic activities that was em-bodied in the concept of self-reliance. A con-crete example of dependence was the MNLF,which in the past was the most dominant liberat-ion movement in the Southern Philippines. TheMNLF was a well-established contemporaryindependence movement in the Southern Phi-lippines and was strongly supported and recog-nized by almost all Muslim countries.

However, because the MNLF had enjoy-ed full outside support its leadership ignored thereality that before depending or relying on ot-hers for its survival it should rely first on its owncapabilities. The MNLF failed to internalizethis pragmatic approach i.e. the importance ofthe self-reliance concept.

The MNLF was fully dependent on gene-rating foreign financial resources rather thanfrom domestic ones. It failed to realize that out-side financial support was very unpredictableand temporary and, therefore, it could ceaseanytime. This was exactly what happened. It isnot merely a theoretical statement, but rather afactual one. As a matter of fact, even if theMILF's foreign support did not cease altogether,at least it slowed down as a result of the UnitedStates and its allies' campaign against “internat-ional terror.” The local economic source waslasting and forever, if it was fully explored and

The Self-reliance Program

self-reliance program

5

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 44: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 129

properly exploited. The MILF explained its po-sition on this issue as follows:

The aimed to in-culcate in the minds of the Bangsamoro, andmore specifically, the to engage ineconomic activities that would sustain theirquest for freedom and independence.This prog-ram would achieve not only economic advanta-ges, but more importantly, it would develop asense of economic independence on the part ofthe Bangsamoro in their quest to achieve theirfreedom and self-determination. Thus, throughthis program the members of the MILF, the

, would serve as assets to the move-ment, instead of being liabilities as had been thecase with the MNLF's members. For instance,many of the members of the MNLF joined themovement, because they thought that theMNLF would provide them with all their needs.

However, the MILF through its self-reli-ance program educated its members that theMILF as liberation movement depended in itssurvival on their support, not the other wayaround. This set of orientation was one of themain reasons for the survival of the MILF des-pite of the slow down of its foreign support, Iq-bal said.

In an operational sense, the self-relianceprogram basically included activities such asfarming, raising animals, small business andmany others as a source of income for the organ-ization that ensured its survival. These econo-mic activities will be discussed in more detail inthe later section of this chapter. In a chronologi-cal order, the self-reliance program was dividedinto four stages. The first stage (1980-1985)aimed to establish the machinery to motivatethe people to engage in economic activities suchas farming, small businesses, and rearing ani-mals. The Second stage (1985-1990) aimed toimplement the said program. The Third stage(1995) aimed to enhance the actual involvementof the MILF in the implementation of the prog-ram. The fourth stage (1995-2000) aimed formore refinement and expansion of the program.

The isolation of the MNLF taught us the hardway that people who wanted to become freeshall rely on themselves first and on otherslater. Self-reliance has taught our peoplesturdiness and creativeness, which led us tomarshal our resources and to discover thehidden talent and ingenuity of our people.6

7

Self-reliance Program

mujahideen,

mu-jahideen

These activities were evident in most of theMILF's controlled areas.

Interestingly, the self-reliance programwas intensified after the fall of the Camp AbuBakre As-Siddique (followed by the othercamps in late 2000 as a result of President Es-trada's all-out war policy against the move-ment). The MILF intensified the self-relianceprogram, because this program had compen-sated for the economic constraints of the move-ment brought about by the international cam-paign on terrorism which was led by the UnitedStates and its allies. Millions of the Bangsamorocontributed to the survival of the MILF, directlyand indirectly. The MILF's Consultative As-sembly held in May 2005 at the Camp Darapa-nan, Sultan Kudarat, Maguindanao, was a casein point. The meeting was attended by millionsof the Bangsamoro who had used their hard-earned money to attend the gathering. TheMILF leadership tried to make the MILF as amass-based movement or organization becausethey understood that a massive public supportwould ensure the survival of the MILF as an in-dependence movement.

Learning from the lessons of the MNLF,the MILF exerted its efforts to develop and uti-lize all the available economic means in thehomeland through its self-reliance program.The MILF tried to reshape the mindset of itsleaders as well as its followers to consider thedomestic financial resources as primary and vi-tal source of the liberation movement for its sur-vival, while the foreign source was just a se-condary one. This concept was, however, gra-dually inculcated into the minds of the Bangsa-moro through constant series of dialogues, se-minars and discourses spearheaded by the lateMILF Chairman, Sheikh Salamat Hashim, andcontinued by his successor, Chairman Al HajMurad Ebrahim. The MILF leadership, in gene-ral, and Sheikh Salamat Hashim, in particular,emphasized this issue to their followers. For in-stance, he (Hashim) consistently encouragedhis followers to be self-reliant people in theirquest for freedomand self-determination.

However, the MILF leadership did notrule out the essential role of international sup-port in its struggle against the GRP and itsagents in all dimensions. The main priority ac-cording to the MILF was to focus first on gene-rating income from the available domestic eco-

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 45: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

nomic resources. The MILF leadership recog-nized the paramount significance of the help ofinternational communities, particularly the OIC, but at the same time tried not to be dependenton foreign donors because such dependencywould result in loss of sovereignty and greaterinterference from the foreign donors as the caseof the MNLF and Libya. Libya had forced theMNLF to accept the GRP's offer of autonomy,instead of independence, as the solution of theproblem of the conflict in the region.

Thus, the self-reliance program aimed toempower the Bangsamoro, in general, and theMILF's members, in particular, to be more inde-pendent in sustaining their independence move-ment, Iqbal argued. The self-reliance programaimed to inculcate in the minds of the

or freedom fighters a sense of free will sothat they could stand and sustain their quest forfreedom and self-determination even withoutforeign support. Indeed, the MILF's self-relian-ce program played important role to compen-sate for the slow down of foreign support as a re-sult of the United States and its allies' campaignagainst terrorism. After September 11, 2001,there was a dramatic slow down of foreign sup-port to the MILF. The United States and its allieshad frozen the bank accounts of suspected ter-rorists, both individuals and groups operatingall over the world. This made it difficult for theMILF's foreign donors (mostly individuals) totransfer money from their respective countriesto the Bangsamoro homeland. However, theself-reliance program helped to alleviate acutefinancial constraint.

The late MILF Chairman Sheikh SalamatHashim was very determined to change the atti-tude that everything would be provided for onceone became a member of the MILF. This meantthat if someone joined the Bangsamoro inde-pendence movement the organization wouldautomatically provide all his/her needs.As a re-sult, the member fully relied on the organizationin almost all of his/ her daily needs. This kind ofattitude was detrimental to the liberation move-ment. The MILF tried to make the Bangsamo-ro and and its more productive andself-reliant. In this respect, every member of theorganization was supposed to be an asset or aplus point to the group not a burden, Sheikh Sa-lamat Hashim argued. Sheikh Salamat Hashimhimself lamented the situation in his own organ-

8

9

10

mujahi-deen

mujahideen

ization where the members of the organizationhad become a burden to the MILF.

The MILF started its implementationfrom the top leadership down to the lower-ranksof the organization. For instance, the organizat-ion required all new trainees to bring along withthem all the basic necessary things such as rice,sugar, coffee, soap, etc, during their stay in thecamp. The self-reliance campaign of the organ-ization was the duty of every MILF committeefrom the Central Committee to the BarangayCommittee levels in all the departments andagencies like the military, political, economic,education, information, , youth, womenand social welfare committees. We turn now tolook at the different activities initiated by theMILF as part of its self-reliance program.

The MILF through its self-reliance prog-ram concentrated more on farming activitiessuch as planting corn, banana, rearing animalsand other related economic activities which itconsidered as basic to its survival and that of itsmembers. In this respect, the movement urgedthe Bangsamoro to work hard. Sheikh SalamatHashim urged his people to abandon their pri-mitive way of farming and utilize modern tech-niques of farming including the use of pestici-des, tractors, irrigation and other new methodsof farming that would give higher yields. In theSouthern Philippines, a significant number ofpeople, mostly those who lived in remote areas,were practicing traditional methods of farming.They refused to fully utilize those modern tech-nologies and new methods of farming that usu-ally yielded higher crops and harvests.

Thus, the MILF organized many coope-ratives that managed and regulated differentfarming activities in its controlled areas. Thosecooperatives gave some subsidies to the farmersnecessary for the cultivation of their farms.Monthly expenses of farmers were also provid-ed so that they could concentrate on the cultivat-ion of their farms. It was agreed that the coope-ratives would buy the produce for a reasonableprice corresponding to the market price. In re-turn, the farmers had to pay back their debtsafter the harvest with zero interest rate. Inter-estingly, if the farmers could not pay back theirdebts due to harvest failure or other justifiedcircumstances, the cooperatives would extendpayment into the next harvest. If, the payment

11

da'wah

Farming

130 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 46: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

was really beyond the capacity of the farmersand might give too much unnecessary burden,then the cooperatives might altogether write-off.

The MILF's farming activities weremainly for subsistence purposes. This meantthey aimed mainly to sustain the daily needs ofthe . For instance, they used theireconomic produce to sustain the needs of theirfamilies and the expenses they needed duringtheir duties in guarding the MILF's defense pe-rimeters against theAFPincursions and those ofother paramilitary groups organized by the GRPsuch the Civilian Volunteer Organization(CVO). However, it meant that the MILF'sfarming was not a subsistence activity, but alsoa commercial one. Indeed, they sold their sur-plus produce to markets outside their campsusually in areas like Cotabato and Davao Cities.

This farming system was very effective.It managed to sustain some of the basic neces-sities of the MILF's standing armies, the ISFand the BIAF which guarded the defense peri-meters of the movement's camps all over theBangsamoro homeland. Grains like rice, cornand maize were very important as the basic foodof the regular members of the BIAF and the ISFwho secured or guarded the MILF's defense pe-rimeters from the AFP's incursions. The move-ment also supervised large plantations of bana-nas and cassava in its respective camps that sus-tained the daily needs of the regular freedomfighters on duty. The producers earned a lot ofmoney that helped finance the MILF's activitiesin all aspects.

Both leaders and members of those com-mittees discussed in chapter 3, were involved indifferent fields of economic development, whe-ther outside or inside the MILF camps and con-trolled areas. The Bangsamoro generally enga-ged in farming and other agricultural activitiesas means of their livelihood the land was veryfertile in nature and many types of crops couldbe grown with minimal use of chemicals andfertilizers. Others were involved in small scalebusiness, trade and industry.

The soil of the Bangsamoro homeland isvery fertile which makes farming an obviouschoice of economic activities. The Camp AbuBakre As-siddique was considered a model inthis aspect. Sheikh Salamat Hashim himselfwas directly involved in agricultural production

12

13

14

15

mujahideen

as well as trading and business through the es-tablishment of multi-purpose cooperativesamong the Bangsamoro populace within thecamp. The MILF combatants practiced farm-ing in all MILF major camps during their freetime , while their wives were doing small trad-ing and business in small markets usually estab-lished in the camps. The understanding wasthat everybody in the camps had to earn his/herown income as part of the self-reliance idea.

The MILF members and sympathizersresiding outside the camps were involved in thesame activities. Everybody was trying to gene-rate an adequate source of income, eitherthrough trading and business or planting agri-cultural products.

The MILF education committee was alsotasked to run all existing Islamic schools (

) within the areas controlled by the liberat-ion movement with minimal involvement of fi-nancial demand. The Bangsamoro teachers,preachers and social workers were always en-couraged to share with their knowledge and toserve the Bangsamoro societies on a voluntarybasis. As a result of this perception, most of theexisting Islamic schools in the Southern Philip-pines were manned by the Bangsamoro volun-teer teachers, preachers as well as social work-ers.

The military committee, as part of theself-reliance campaign, successfully estab-lished small factories in the camps which werecapable of producing home made weapons ofdifferent types. These factories produced differ-ent types of light arms with minimal expensesbecause most of the workers were self-relianceminded people. This meant that the workers hada sense of independence in their respective jobs.They did not want to create unnecessary burdento the liberation movement especially financial-ly.

The MILF political committee engagedits experienced staff and political workers byproviding only a minimal form of material in-centive. Mostly they carried out or implement-ed their tasks at their own expense in line withthe concept of self-reliance. For example, theMILF political negotiators who were composedof Bangsamoro professionals such as lawyers,teachers etc. were always ready to share theirtalent, and expertise to serve the Bangsamorocause on purely voluntary basis. The concept of

16

17

18

19

20

ma-daris

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 131

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 47: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

self-reliance almost became the rallying cry ofthe movement.

In husbandry farm animal, the MILFthrough its Multi-Purpose Cooperatives sub-sidized some of the needed materials of needyfarmers and their families by providing themwith the necessary capital to purchase neededanimals for rearing. However, many farmerswho tried to stand on their own feet to secure theneeded materials for their agricultural activitiessuch as the rearing of animals. The MILFbought hundreds of animals such as carabao,cows, goats, ducks, chicken and many others.These animals were distributed to the MILF'sfarmers and their families. The movement alsoprovided money for the maintenance and otherneeded materials for the purpose of raising ani-mals like poultries. This policy has continued atthe time of the writing of this thesis.

The same situation was visible in otherMILF committees which also tried to the con-cept of self-reliance in their respective areas ofresponsibilities. This concept was re-enforcedby the development reached by the MILFthrough the peace negotiations with the Manilagovernment where the Bangsamoro Develop-mentAgency (BDA) was created. This agencywas fully mandated by the MILF in line with theAgreement on Peace between the GRP and theMILF on June, 19-22, 2001, in Libya, in whichboth parties agreed that the MILF “shall deter-mine, lead and manage rehabilitation and deve-lopment projects in all conflict affected areas.”Thus, the BDA was created as a fruit of this ag-reement which independently executed andhandled the rehabilitation and developmentprojects in all conflict affected areas in theSouthern Philippines without any interferencefrom the Manila government. Through theBDA, the MILF was determined to maximizethe benefits and welfare of the agreements thatit had signed with the GRP for the Bangsamoro.Thus, the MILF applied pressure on the GRP toimplement agreements that both parties hadsigned by recognizing the BDA as the sole de-velopment agency in the Southern Philippines.

Furthermore, the MILF called upon all itsmembers, supporters and all Bangsamoro,NGO's, and business groups to fully recognizethe BDA as a development agency. Accordingto the MILF, among the immediate problemsthat had to be settled was the settlement of thou-

21

22

23

24

sands of displaced Bangsamoro in the regionwho suffered as a result of decades of hostilitybetween the BIAF and the AFP forces and thenon-stop influx of the Christian-Filipinos fromLuzon and Visayas islands into the SouthernPhilippines. Hence, as part of the developmentand rehabilitation drive, a new settlement forinternally displaced Bangsamoro had to be es-tablished in line with the institutionalization de-velopment program of the liberation move-ment, Dawan argued. For instance, the MILFurged the GRP to look seriously into the plightof those innocent civilians affected by the con-flict between the BIAF andAFP and its parami-litary forces. The latest of those armed conflictbetween the two parties during the time of thewriting of this thesis was the conflict in theMunicipality of Palimbang, Sultan Kudarat. Asa result of this conflict, thousands of civiliansfrom several barangays or villages (Namat, Ki-sek, Kidayan, Maganao, Malatunol and BatangBagras) fled to protect their lives. An MILF'sCommander, Morzad Baguilan, from that mu-nicipality (Palimbang), claimed that they wereattacked by the PNPpersonnel assigned in thoseareas and guided by a notorious warlord knownas Commander Diok through the initiation ofthe Municipal Mayor Labualas Mamansualknown as Samrod, a former MNLF commanderwho surrendered to the GRP. However, whenthe MILF sent reinforcements, the attackersquickly withdrew.

Another concern was the issue of land-grabbing which was initiated by some Christi-an-Filipinos who dreamed of a better life, parti-cularly those who were landless. They saw agreat opportunity to change fulfill their livesthrough migration and, consequently, settledpermanently in the Bangsamoro homeland.The MILF was very determined to stop this il-legal influx of migrant because they posed athreat not only to the political and economicinterests of the Bangsamoro but also to their ve-ry existence as the original people of the region.In this connection, the migration of ChristianFilipinos from Luzon and Visayas had to bestopped and the remaining untitled and publicland in Mindanao and the adjacent islands hadto be preserved for the Bangsamoro, Dawan in-sisted.

In its controlled areas, the MILF estab-

25

26

Small Business Enterprises

132 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 48: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

lished communities which involved themselvesin business activities. The liberation movementestablished communities which it patterned ac-cording to the principles of Islamic polity. Theyestablished or Islamic schools, mos-ques, and markets. In the MILF's controlledareas, they encouraged the Bangsamoro, most-ly, the freedom fighters and their families toengage in small businesses such as selling clot-hes, rice, and other products. They were alsoselling food like , (a favorite food of Ma-guindanaon), , and many others. Bu-sinesses like these were common in the areascontrolled by the freedom fighters. This writerremembers, when he and some friends visitedthe Camp Abu Bakre as-Siddique in 2000, fewmonths before President Estrada's all-out-warpolicy against the MILF, we bought andsome other food for our lunch without the at-tendance of the sellers. We simply had to choosethe food of our preference and leave the moneythere. Change was also self-regulated.The poli-cy of self-service has taken a new meaning.

The MILF established cooperatives likethe Bangsamoro Multi-Purpose Cooperativewhich provided capital for the business groups.However, the debtors should pay the saidamount to the creditors at zero per cent interestand also at their convenience to ensure the suc-cess of the said businesses. Through this sys-tem, the people in the camps managed to earn anincome that would sustain their basic necessi-ties and that of the families of the freedom fight-ers while they were on duty in safeguarding thedefense perimeters of the MILF's camps againstmilitary incursions.

The business cooperatives run by theMILF were entrusted to Ismael Dalinan,a high ranking officer of the movement. TheBangsamoro Multi-Purpose Cooperative serv-ed as a middle-man between the business com-munities in the MILF's controlled areas and thebusiness groups outside their camps. The co-operative bought stuff from outside and broughtand distribute it to the smaller business groupsin their controlled areas. There were also someweaknesses of this program because some ofthe sellers were not business minded. As a re-sult, some of them folded. Generally speaking,however, this strategy had worked in sustainingthe financial needs of the movement.

However, the MILF's economic prog-

madrasah

pastilpetulakan

pastil

Ustadz

rams of self-reliance were disrupted by Presi-dent Estrada's all-out war policy that led to thedown fall of the Camp Abu Bakre As-Siddiqueand other MILF's camps to the AFP in 2000.During the incursions, most of these economicactivities were stopped temporarily. The MILFmobilized all its resources and utilized thoseresources to finance its war against the GRP.Most of these activities were abandoned tempo-rarily but they were resumed later due to acutefinancial difficulty. Fortunately, the Bangsa-moro masses readily offered their support in thename of .As a result, the MILF managed tocollect hundreds of millions of local currencywhich guaranteed the survival of the organizat-ion.

The MILF's self-reliance program wasvery effective. The September 11, 2001 attackhad changed the fundamental rules of the gameof international politics. The United States andits allies froze suspected terrorists' bank ac-counts as part of the campaign against terror-ism. This unfolding event had far-reaching im-plications not only for terrorists' organizationsbut also for the liberation movements, includingthe MILF.

The United States and its allies' cam-paign on terror disrupted the flow of foreign aidfrom foreign donors (mostly individuals) to theMILF. Foreign support was crucial to the organ-ization to finance its various programs and acti-vities. Indeed, the United States campaign onterror, in general, and, the freezing of the bankaccounts of the suspected terrorists (both indivi-duals and organizations), in particular, disrupt-ed the transfer of money from the foreign do-nors to the MILF, Dawan lamented. He alsorevealed that most of their foreign donors werefrightened by this development. A significantnumber of them were either detained/imprison-ed indefinitely or killed by the United States andits allies' agents. As a result, the foreign donorsslowed down their financial support since 2001up to the time of writing this thesis. This was agreat setback for the MILF's financial re-sources.

These financial constraints caused by theUnited States and its allies, however, were com-pensated by the MILF's self-reliance program.

27

28

jihad

Effectiveness of the Self-relianceProgram

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 133

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 49: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

When Sheikh Salamat Hashim introduced thisconcept as part of the MILF's four-point prog-ram, many Bangsamoro professional groupswere skeptical and even ridiculed him. The ho-listic approach and the wisdom behind the intro-duction of the program were misunderstood, ifnot deliberately distorted by opponents of theMILF. The Ampatuan family, in general, and,Zamzamin (former Chief of the Office of theMuslim Affairs known as OMA), in particular,were two of examples of these opponents to theself-reliance program. These groups werestaunch enemies of the MILF.

Nevertheless, the Bangsamoro realizedthe program's paramount significance after2001 when the United States and its allies inten-sified their campaign on terror and started freez-ing bank accounts of those suspected terrorists,including some of the MILF's foreign donors.These foreign donors felt that it was their religi-ous responsibility to support mujahideen in theSouthern Philippines.

The MILF progressively intensified itsself-reliance program, more specifically, in thefarming sector in its respective camps and forti-fications. The activities sustained its basicneeds and thus ensured its survival as a liberat-ion movement.

In this respect, the Bangsamoro Deve-lopment Agency (BDA) played a very crucialrole. Indeed, among the priorities that the BDAundertook was to minimize the level of povertywithin the Bangsamoro societies. The MILFdeclared that the number one enemy of theBangsamoro nowadays was poverty. Thus, itwas imperative for it to combat poverty whichwas deemed by all Bangsamoro as a consequen-ce of the GRP's occupation over the Bangsamo-ro homeland and its people.

To fight poverty, the BDA was set up toencourage business, trading, entrepreneurship,and other self-help economic activities, and topromote and develop the vocational livelihoodcourses among the poor Bangsamoro populat-ion. The BDA also wanted to maximize andexploit the natural resources in the homelandbut at the same time avoid misuse of land thatwould cause damage to the Bangsamoro naturalresources. It was, however, suggested that the

methodology and approach had to beinvolved in the BDA's poverty alleviation stra-tegy and sustainable economic activity. In

da'wah

29

education, the BDA also played an importantrole. For instance, it initiated a plan for the re-structuring of the educational system to make itmore suitable and beneficial to the developmentof the Bangsamoro, Dawan said.

The above-discussed four-point programof the MILF had been successfully implement-ed within the span of twenty years (20) startingfrom the year 1980 up to the year 2000. Realiz-ing the significant outcome of the said programfor the Bangsamoro in the homeland in all as-pects of their lives, the MILF decided to plan anew time frame for the second segment of theprogram in order to continue the four-point ma-jor thrusts with the addition of some issues andsubjects to be emphasized and implemented.The organization introduced a fifty (50) yearprogram which already started from the year2000 to be completed by the year 2050, Dawanstated. The new additional subjects or issueswere as follows: 1) to establish justice for all, 2)to establish full freedom and respect of humanrights, 3) to overcome criminality, poverty andignorance, 4) to ensure equality for all, 5) to pro-mote health and sanitation, 6) to overcome graftand corruption, and 7) to preserve the patrimonyand to protect the environment

The above-mentioned developmentprogram of the organization was a clear eviden-ce of the unequivocal stand of the MILF on theissue of development in the Bangsamoro home-land. This would rebut the allegations of certaingroups in the Southern Philippines who accusedthe MILF and the Bangsamoro were anti-deve-lopment and anti-progress.

In fact, the MILF eagerly welcomed de-velopment provided it would endange theBangsamoro's religion and Islamic heritage aswell as their identity, Dawan argued. TheMILF fully welcomed developments that werein accordance with the Bangsamoro concept ofdevelopment which encompassed the truemeaning of development in both its spiritualand material dimensions. The Bangasmorowanted a development that would bring benefitsto the people as a whole regardless of theirraces, creeds and philosophies of their lives.Thus, the MILF wanted to have both qualitativeand quantitative kinds of development thatwould address not only the material side of life,but more importantly, its spiritual dimension.

As proof, the MILF allowed some deve-

30

31

32

33

34

134 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 50: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

lopment projects within its controlled areas. Forinstance, the Multi-Million National IrrigationProject near the Camp Abu Bakre As-Siddique,the government's construction of a concreteroad within the camp, the construction of a go-vernment water reservoir project (two huge wa-ter tanks) near Al Haj Murad's office in theCamp Abu Bakre as-Siddique, and the largestproject was the US$ 600 million Maridagao-Malitubog Irrigation Project constructed bySouth Korean engineers in NorthCotabato.

However, while welcoming all these go-vernment development projects, the MILFleadership was fully aware that all those pro-jects were part of the Philippine governmentcounterinsurgency program, but the organizat-ion was very confident that this program wouldnot work as long as theAFP forces were alwaysout to harass and abuse the Bangsamoro. In thissituation, the late MILF Chairman, Sheikh Sala-mat Hashim, expressed the opinion that the ef-fective government policy should be to leavethe Bangsamoro free in their ancestral land.This implied that any political and military ap-proaches that would not address the root causesof the problems of the Bangsamoro would notsucceed and thus, conflict would continue toprevail in the region.

Recently, the MILF demonstrated thesuccess of its self-reliance concept during itsGeneral Assembly Consultation which was at-tended by millions of Bangasmoro comingfrom all over the Southern Philippines at theirown expense. The participants voluntarilybrought their own food, drink and other basicthings during the three-day program in CampDarapanan, Sultan Kudarat, Maguindanao.

To sum up, the MILF adopted severaleconomic strategies embodied in its self-relian-ce program in its quest for achieving the free-dom and self-determination of the Bangasmoroand their homeland from the socio-economic,military and political clutches of the Manilagovernment.These strategies included farming,rearing animals, planting basic products such ascorn, rice and banana and small-scale business-es operating all over the Bangsamoro home-land.

The main thrust of this self-reliance pro-gram was to inculcate in the minds of the Bang-

35

36

37

Conclusion

samoro, in general, and, the MILF's members,in particular, a sense of independence. This wasvery effective, but the level of success of this(self-reliance) program could not be verified.But one thing is for sure, the self-reliance pro-gram was one of the main reasons that had en-sured the survival of the MILF as a liberationmovement despite the disruption of supportfrom foreign donors. Thus, the MILF utilized itslocal sources of income and exploited them forthe survival of the movement.

Arguilals, C.C. (2003). The Cost of War Part 1:Economic Cost of Never Ending Conflictis 30-M Daily Money for Development orWar? RetrievedJanuary 20, 2004. http://www.mindanews.com/2003/02/12pep-cost.html.

ARMM Designed to Perpetuate Colonial Occu-pation. (2004).

Arroyo, D.M. (2004). Poverty: Root Cause ofMindanao Conflict.

Bangsamoro People Stand for Peace and SocialJustice: Recognize and Respect for theBangsamoro People's Right to Self-deter-mination. (2002).

. RetrievedMay 13, 2004. http://www.yonip.com/main/articles/people.html.

Brown, M. (1994).London: Princeton

University.Buendia, R.G. (2004). The GRP-MILF Peace

Talks.Che Man, W.K. (1990).

.Oxford: Oxford University Press.

Christie, K. (1998).. London: Cur-

son Press.Davis, L. (1987).

. London: The Macmil-lan Press Ltd.

Diaz, P.P. (2003). Understanding MindanaoConflict.

vol. 2, no. 108.

Bibliography

MindaNews .

Luwaran.com: MoroIslamic Liberation Front,

INQ7Money

Consortium of Bangsa-moro Civil Society,

Causes and Implications ofEthnic Conflict.

Southeast AsianAffairs.Muslim Separatism:

The Moros of the Southern Philippinesand the Malays of Southern Thailand

Ethnic Conflict, Tribal Po-litics: A Global Perspective

The Philippines: People, Po-verty and Politics

MindaViews: A Publication ofthe Mindanao News and Information Co-operative Center,

, March 12

October 13.

, July 26.

September

, January20

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 135

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 51: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Patricio P. Diaz, What's New,? (2005, August20).

vol. 15, no. 087.

Ferriols, Des. (2003, December 27). U.N.,European Community Agree to Assist inMindanao. Retrieved January 15,2004.

.Gladstone, Jack A. (2002). Population and

Security: How Demographic Change CanLead to Violence.

vol. 59, no. 1.Gowing, P. G. (1979).

. Quezon City: NewDay Publisher.

GRP, MILF to Address Local Feuds inMaguindanao. (2004, October 12).

.Hedman, E. E. & Sidel, J. T. (2000).

. London: TJ InternationalLtd., Padstow, Cornwall.

Hashim, Salamat. (1999, March 16-31).Bangsamoro Muslims' Determination toEstablish an Islamic State.

Interviewed SalamatHashim, Leader of the Moro IslamicLiberation Front at his Main Base at CampAbu Bakre As-Siddique, CentralMindanao.

Hashim, S. (1985).

Mindanao: Bangsamoro Publication.Islam, S. S. (2000).

.New York: Sage

Publisher.Islam, S. S. (2005).

. Singapore:Thomson Learning.

Julkarnain, Al Khadaff A. (2000). Ethnicity,Leadership and the Moro IndependenceMovements in the Philippines. M.Hsc.Thesis, International Islamic University,Malayasia.

Kadir, B. J. (2002)..

MindaViews: A Publication of theMindanao News and InformationCooperative Center,

Star.

Journal of InternationalAffairs,

Muslim Filipino-Heritage and Horizon

Luwaran.com: Moro Islamic LiberationFront

PhilippinePolitics and Society in the TwentiethCentury: Colonial Legacy, Post-colonialTrajectories

CrescentInternational

The Bangsamoro Mujahid:His Objectives and Responsibilities.

Ethnic Communal Conflictin the Philippines Ethnic Conflict inSoutheast Asia (ed.).

The Politics of IslamicIdentity in Southeast Asia

History of the Moro andIndigenous Peoples in Minsupala

http://www.newsflash.org/2003/05/be/be002673.htm

Mindanao: Mindanao State University.Khutabah Delivered by Sheikh Salamat

Hashim. (n. d.). Strategies of IslamicResurgence. Camp Abu Bakre As-Siddique, Maguindanao

Lingga, A. S. M. (2002, February 7). PeaceProcess in Mindanao: The MILF-GRPNegotiations.

.Lingga, A. S. M. (2002, March 8).

U n d e r s t a n d i n g B a n g s a m o r oIndependence as a Mode of Self-determination. .

Lingga, A. S. M. (2002, July 17). DemocraticApproach to Pursue the BangsamoroPeople's Right to Self-determination.

. Retrieved March 20, 2004.

.Lingga, A. S. M. (2002, September).

Referendum: A Political Option forMindanao.

. Retrived March20, 2004.

.Lingga, A. S. M. (2004, June 4). Mindanao

Peace Process: The Need for NewFormula. .Retrieved November 20, 2004.

.Lingga, A. S. M. (2004, June 5). Muslim

Minority in the Philippines.Re t r i ev ed

November 20, 2004.

.Magdalena, F. V. (1997). The Peace Process in

Mindanao: Problems and Prospects.

Makol-Abdul, P. R. (1997). Colonialism andChange: The Case of the Muslims in thePhilippines.

vol. 17, no. 2.Man tawi l , M. (1 99 7) . Bang samo ro

Independence Movement. , vol.4, no. 6.

Institute of BangsamoroStudies

Media Monitors Network

Bangsamoro People's ConsultativeAssembly

Bangsamoro People'sConsultative Assembly

Institute of Bangsamoro Studies

Institute ofB ang samoro Stud ie s .

Southeast AsianAffairs.

Journal of Muslim MinorityAffairs,

Homeland

http://www.yonip.com/main/articles/bangsarights.html

http://www.yonip.com/main/articles/referendum.html

http://www.yonip.com/main/articles/peaceprocess.html

http://www.aljazeerah.info/Opinion%20editorials/2004%20opinions/June/5o/Muslim%20Minority%20in%20the%20Philippines%20By%20Abhoud%20Syed%20M.%20Lingga.htm

136 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 52: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Martin, R. (1994). Resurgent Islam: Moros areFervently Proselytizing in the SouthernPhilippines.

Mastura, M. O. (1984).Philippines: PDM Press, Inc.

-----. (2003). Just Peace: Understanding theFrameworks Document.. Retrieved November 20, 2004. http://

www.mindanews.com/peprcs/peacetalk/mastura.shtml.

Mercado, Jr., E. R. (2000). The Five Issues Con-fronting Mindanao Vis-à-vis the Roles ofthe Civil Society.

. Retrieved November20, 2004. http://www.philsol.nl/fora/NL00a-Mercado.html.

Mezzera, M. (2001). The Camps of the Sun:MILF's Stronghold after Military Offen-sive. .

Montesano, M.J. The Philippines in2002, Playing Politics. , vol.13, no. 1.

Moro Islamic Liberation Front. (2002).

. Mindanao: Office of the MILF Cen-tral Committee.

Muslim, M. A. (1994).

. Marawi City: Of-fice of the President and College AffairsMindanao State University.

Noble, L. G. (1983). Roots of the Bangsa MoroRevolution vol. 4, no. 97.

Nu'ain bin Abdulhaqq. (2001).

(ed.). Mindanao:AgencyforYouthAffairs-MILF.

One Victory More Needed. (2000)..

Peace by Christmas? (1998).

Quevedo, O. B. (2003). Injustice: The Roots ofConflict in Mindanao.

Quimpo, N. G. (2000). Options in the Pursuit ofa Just, Comprehensive and Stable Peace inMindanao.

Retrieved November20, 2004.

.

Far Eastern Economic Re-view .

Muslim Filipino Experi-ence.

MindaNews

Institute of Social Stu-dies

Focuson the Global South

Asian Survey

An Ap-peal to the Organization of Islamic Con-ference (OIC) and All Peace Loving Na-tions

The Moro Armed Strug-gle in the Philippines: The NonviolentAutonomy Alternative

“.” Solidarity,

The Bangsamo-ro People's Struggle against Oppressionand Colonialism

The Econo-mist

The Economist.

Tabang Mindanao.

Institute of Islamic Social Stu-dies .

, February 17

, July8

, September 29

, March 7(2003).

, July 15,

June 27

,July 18

, September 29http://www.philsol.nl/NL00a-

Quimpo.html

Salah J. (1999). :. Kuala Lumpur, Malay-

sia: IQ Marin Sdn. Bhd.Sarmiento, B. (2005). MILF Holds Month-long

Education Campaign on the Peace Pro-cess. vol. 3, no. 93

. Retrieved November 20, 2004. http://www.mindanews.com/2004/08/25nws-talks.html.

Sorting out the South. (2001)..

Speech Delivered by Sheikh Salamat Hashim.(2001). Sangan nu Kangudan sya Kanu Ji-had Fi Sabilillah. CampAbu BakreAs-Si-ddique, Maguindanao .

Stark, J. (2003). Muslims in the Philippines., vol.

23, no. 1.Taya, S.L. (2007). The Political Strategies of the

Moro Islamic Liberation Front for Self-Determination in the Philippines.

, vol.15, no. 1.-----. (2007). Conflict and Conflict-Resolution

in the Southern Philippines..

Tiglao, R. (1995). Hidden Strength: Muslim In-surgents Shun Publicity and Grow in Po-wer.

.Torres, M. T. (2005). MILF Peace Pact to Take

Time. . Re-trieved November 16, 2005. http:// www.manilatimes.net/national/2005/feb/04/yehey/top_stories/20050204top10.html.

Vitug, M. D. & Gloria, G.M. (2000)..

Quezon City:Ateneo Center for Social Po-licy and Public Affairs and Institute forPopular Democracy.

Bangsamoro A Nation underEndless Tyranny

MindaNews,

The Economist

Journal of Muslim Minorities Affairs

Intel-lectual Discourse

Journal ofInternational Studies

Far Eastern Economic Review

The Manila Times

Under theCrescent Moon: Rebellion in Mindanao

, August,25

,July 7

, May 26

, Feb-ruary 23

, February 4

Notes

1. Salah Jubair,(Kuala Lumpur: IQ Marin Sdn.

Bhd., 1999), 134.2. Ibid., 135. See also Samuel K. Tan, “The

Bangsamoro Struggle,”, Tomo 1, Blg. 7

( M a y o / H u n y o 2 0 0 0 ) : 6 - 8 .<

>.3. Miriam Coronel Ferrer, “The Philippines:

Governance Issues Come to the Fore,”(2000): 251-3.

Bangsamoro: A Nation underEndless Tyranny,

Opisyal na Publikasyonng Universidad ng Pilipinas

SoutheastAsianAffairs

http://www.up.edu.ph/forum/2000/06/mayjune/bangsamoro.htm

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 137

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 53: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

4. Mark Turner, “Terrorism and Secession in theSouthern Philippines: The Rise of the AbuSayyaf,” vol. 17,no. 1 (1995): 1. See also “Sorting out the South,”

July 7, 2001, 21. See also “TheContinuing Search for Sustainable Peace inMindanao: A View from a Distance,”

,F e b r u a r y 2 8 , 2 0 0 5 , 1 2 - 3 .<

>.5. Cesar Adib Majul,

, 64. See also SalahJubair,

, 173-176. See also Wan Kadir Che Man,

, 79-80. See also Al Khadaff Abu BakarJulkarnain “Ethnicity, Leadership and the MoroIndependence Movements in the Philippines”(M.Hsc. Thesis, IIUM, 2000), 92.

6. “MILF Comprehensive Report to OIC, 2000, byMILF Information Committee, 3.

7. Mohagher Iqbal, Interview by author, KualaLumpur, Malaysia, 15 September 2005. See alsoa Khutabah Delivered by Sheikh SalamatHashim, “Strategies of Islamic Resurgence,”Camp Abu Bakre As-Siddique, Maguindanao,(n.d.), 2-4.

8. Mohagher Iqbal, Interview by author.9. Salman Dawan, Interview by author, Kuala

Lumpur, Malaysia, 15 September 2005.10. Ibid.11. From 1999 interview with the late Chairman

Salamat Hashim at his jungle base, Camp AbuBakre As-Siddique. The present writer haslengthy and deep discussion with the chairmanabout the concept of self-reliance program of theMILF.

12.Abuomair, Interview by author, Kuala Lumpur,Malaysia, November September 2007.

13. Ibid.14.Eliseo R. Mercado, “Culture, Economics and

Revolt in Mindanao: The Origins of the MNLFand the Politics of Moro Separatism” in ArmedSeparatism in Southeast Asia: Issues inSoutheast Asia Security, Ed. LimJoo-Jock andVani S., Institute of Southeast Asia Studies,1984, 152.

15.Muhammad Ameen,, 89.

16.From a 1999 interview with the director of one ofmulti-purposes cooperatives in Camp Abu Bakras-Siddique.

17.Wan Kadir Che Man,

, 93.

Contemporary Southeast Asia,

The Economist,

Center forSustainable Peace and Economic Justice

The Contemporary MuslimMovement in the Philippines

Bangsamoro: A Nation Under EndlessTyrannyMuslim Separatism: The Moros of SouthernPhilippines and the Malays of SouthernThailand

Biography of ChairmanSalamat Hashim, MILF Central Committee

Muslim Separatism: TheMoros of the Southern Philippines and theMalays of Southern Thailand

http://www.philsol.nl/A00a/Minda-CSPEJ-chronology-june00.htm

18.ABS CBN interview with one of MILF FreedomFighters' wives, Camp Abu Bakre As-Siddique,1999.

19.ABS CBN Interview with Al Haj Murad, CampAbu Bakr, 1999.

20. Interview with a group of Islamic teachers andpreachers directly involved in teaching and

activities in central Mindanao, (February29, 2003), Mindanao, Philippines.

21.Mohagher Iqbal, Interview by author.22.Abuomair, Interviewby author.23.The Bangsamoro Development Authority

(BDA) is a product or fruit of the peace talksbetween the MILF and the GRP under theadministration of President Gloria M. Arroyowherein the said agency is tasked with strongmandate of the MILF, to handle the developmentand rehabilitation programs in central Mindanaoand its adjacent islands, specifically the affectedconflict areas. This agency was created by theMILF as an independent agency meant fordevelopment and rehabilitation programs. Allfinancial aid whether from abroad or local mustbe channeled through this agency without anyform of inference of any party particularly thePhilippine government.

24.SeeArticle III, Definition of Terms , no.4, 1-2, inAgreement on Peace between the GRP and theMILF on June 22, 2001, Tripoli, Libya, in GRP-MILF Peace Negotiations: Signed Documents(January 27, 1997- March 28, 2003, (1st.ed.) July2003, by MILF Committee on Information, 23-24.

25.Salman Dawan, Interview by author. It was alsostated by Abuomair, Interview by author. It wasargued by Mohagher Iqbal, Interviewby author.

26.Salman Dawan, Interview by author.27.Abuomair, Interviewby author.28.Salman Dawan, Interview by author.29.Salman Dawan, Interview by author. It was also

stated by Mohagher Iqbal, Interview by author.30.Salman Dawan, Interview by author.31. Ibid. See also Salamat Hashim, (ed. Nu'ain bin

Abdulhaqq),, 66-8.

32.“MILF Comprehensive Report to OIC, 2000,” by, 3.

33.Salman Dawan, Interview by author.34.Eric Gutierez, “Islam and Development” in

Rebels,Warlords and Ulama, 156.35. Ibid, 157.36.Marites D. Vitug and Glenda M. Gloria,

, 108.37.Abdullah Hamza, “MILF Given New Mandate to

Lead the Bangsam”.

da'wah

The Bangsamoro People's Struggleagainst Oppression and Colonialism

MILFInformation Committee

Underthe Crescent Moon: Rebellion in Mindanao

138 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 54: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 139-145

The Importance and Functional Role of QualitativeAudience Analysis within the Stakeholders of Malaysia

Screen Industry

Hisham Dzakaria and Nuraini YusoffFaculty of Communication and Modern Language at Universiti Utara Malaysia

Abstract

In the words of Justin Lewis (1991), any screen production power lies in its encounterwith the audience. One cannot exist without the other. As he immediately proceeds toacknowledge, however, this idea is “ofthen difficult to grasp empirically” (p. 61) andthe issue of how the idea works in practice remain full of methodological confusionand perplexity. This article reviews the contemporary shift and the importance ofunderstanding of audience preferences, perspectives, behaviours, and routinestowards the production of films, movies, and television production in Malaysia. Itproceeds to examine the comparatively underdeveloped state of Malaysian researchabout screen production audience, and the variety of incentives to develop suchresearch. The distance between academic and industry research in Malaysia isdiscussed, and the possible explanations of gap in our academic knowledge ofMalaysian screen and film audiences are offered. Finally, the article considerspossible means to approach the meaningful study of the media reception processwithin Malaysian audiences or viewers. The audience profile is considered as a keyfactor for programming of screen production. Understanding audience and theirpreferences could sustain continuous programming and development of newproduction. This article advocated the need for the professionals in the industry toincalculate such uinderstanding and call for more qualitative research into audienceanalysis for sustainable development of the industry in this country.

Introduction

The landscape of the screen industry inMalaysia is changing fast. But like any othercountries, there is much uncertainty of successand failure of any production within its industry.Will , ,

, , ,, , be a

box office movie? No one can be certain of that.There are so many factors that contribute to the

Pontianak Menjerit Qaisy & Laila EvilEyes-Mania War of the Worlds Hostage Un-leashed Batman Begins Amityville Horror

success of any screen production. One of thosefactors is the ability of the industry to under-stand the audience, their preferences, perspect-ives, and thoughts.

It is important to listen to and understandaudience or viewers' voices and perspectives onfilms, movies, television programmes in Ma-laysia because of the complex mix of cultures,languages, and urban and rural factors. Ad-ditionally, there is a need to reflect on the effect-iveness of such production, programes, and

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 139

Page 55: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

services provided from time to time. In doingso, stakeholders in the screen industry and insti-tutions need to get a balanced picture of what is“right” and “wrong”in their movies, films, andprogrammes. Understanding how the film, mo-vies' experience discourages of frustrates the lo-cal Malaysian audience or viewers enables themovie makers, producers and institutions, andothers to reflect and make contructive changesto create the condition for better screen product-ion in the future.

A study that focussed on audience orviewers' and experiences indistance learning and their learning interactionsis important for several reasons. First, therehave been virtually no major studies that havesought the voices of audience or viewers in Ma-laysia. For this reason, this article advocates andcall upon academics and professionals to study,explore and offer an understanding of audienceor viewers' perceptions of their preferences andperspectives on films, and movies to construct arich and detailed account of the wide range offactors that might have influence and build theMalaysian audience or viewers' character andbehavior. Audience in many ways are

. One may have different expectation,social system, believes, culture, educationaland family background, and these variables

point of viewing

hetero-geneous

may interact differently with the media andmessages generated in movies, programmes,and so forth.

As depicted by Diagramme 1, such vari-ables have direct impact on the acceptance orrejection of any screen production. Some maylike a particular movie, others may not. Someaccept the messages posted in a movie, othersreject. There are so many dimension of humanbehavior that the screen industry needs to un-derstand. Therefore, this paper advocates thatthere is no other method of investigation thatwork best to understand audience other thanperforming audience analysis.

The primary basis of any screen produc-tion influences lies in the nature of the interde-pendencies between the human factors, themedia and other social systems and how theseinterdependencies shape audience relationshipswith the movies or tv programmes.

Therefore, performing an audience ana-lysis is paramount. The unpredictability of au-dience preference is no myth. Nobody knowswhat makes a hit or when it will happen, sinceaudience make hits not by revealing prefer-ences they already have, but by discoveringwhat they like. The string ofcould be deemed as 'successful' for some quart-ers because it was able to position its production

Scenario movies

Diagramme 1The Complexity of Reaching an Audience within the Screen Industry

Human Variables:Educational & family

background, expectations,culture, religion, preferences

AUDIENCEANALYSIS

REACHINGYOUR AUDIENCE

Media/ScreenProductionMovies, TV

programmes, etc.

Effects:PositiveNegative

AcceptanceRejection

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

140 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 56: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

as comedy entertainment for Malaysians. Ne-vertheless, its latest production of ScenarioXXX remains to be seen. Audience can and inmany cases remains unpredictable. No theatre,film and movie maker in Malaysian or elsewhere, not even Hollywood or Bollywood canand able to ascertain success or box office salesin advance.

Tha fact remains that there has been verylittle market research on modern 21st centuryaudiences. Most audience research is based onaudience response to a film they have alreadyseen. Practicing a film's box-office success isnever an easy business. Many film producersand media miscalculated by basing their deci-sions on past box-office performance ratherthan potential audience response. Therefore, itis important for us to realise that it is not justbecause audiences are flocking to CrouchingTiger, Hidden Dragon (Ang, 1996), mean theywill flock to see the nextAsian martial arts flick.Audience perception happens almost every se-cond. People change. Some audience are simi-lar with another, others are vastly different inpersonality, attitude, behaviour, thoughts, androutines.

The best means to understand audienceswas most clearly and succinctly expressed byFiske (1987) in his simple affirmation that : “au-dience is composed of a wide variety of groupsand is not a homogeneous mass... these groupsactively watch ... in order to produce from itsmeanings that connect with their social expe-rience” (p.84). Audience for that matter is hete-rogeneus must always be understood in the plu-ral.

In addition, Morley (1974) identified theimportant characteristics of audiences to beconsidered in any analysis, must include socialclass, gender, age, ethnicity, level of formaleducation and region of residence. ThoughMalaysia is fairly small country compared tothe United States, India, Australia, though dif-ference among audience preferences betweenand within states may differ greatly. The south-ern people perhaps have different perception,preferences towards movies, comedy, than peo-ple in eastern part of Malaysia.

All of these characteristics were seen tocorrespond with different audience groups andsubgroups, and likewise with alternative cultur-al codes and meaning systems. At that veryearly juncture in the emergence of ethnographic

audience research, Morley (1974) wrote :“[W]hat is needed is the development of a 'cul-tural map' of the audience so that we can beginto see which classes, section of classes and sub-groups share which cultural codes and meaningsystem, to what extent” (p. 12). This is certain-ly true with a country like Malaysia where cul-tural plurality and diversity is at the forefrontparticularly in trying to understand the audienceperspectives, preferences and behaviours to-wards any screen production.

Together with the more contemporarywork for Morley (e.g., 1980, 1986, 1992),Ang'swork (e.g., 1985, 1991, 1996) has contributedvery importantly to continuing debate abouthow 'audiences' should, or should not, be in-vestigated. In Desperately Seeking the Audi-ence (1991), Ang made a powerful case for ne-cessity of the ethnographic approach. Sheclaimed that our knowledge of audiences hadbeen formed and shaped by what she called “theinstitutional point of view”. This institutionalpoint of view is the way in which industry andmainstream academic research were inclined topercieve audiences. Evidently, such approachhad in fact prevented a true understanding of theaudience. In Ang's view, only “a perspectivethat display sensitivity to the everyday prac-tices and experiences of actual audiences them-selves” can supply any true insight into viewers(see Ang, 1991). We feel that such approach istimely and suits the screen industry in Malaysia.Only when we understand the composition andpreferences among the richly diverse populat-ion of viewers in Malaysia that perhaps betterprogrammingand production could be made.

Institutional knowledge, according toAng, is formed by the industry's need to “get” anaudience. The audience as seen by the industryis a group of individuals with identifiable andcategorizable attributes: age, gender, and soforth. Ang demonstrates that this view of “theaudience” (singular) is a discursive constructand therefore does not match any actual audi-ence. This in turn explain why broadcasting or-ganization are bound to be “desperately seekingaudience”. Despite all of the sophisticated me-thods of audience measurement--for example,the people meter--the industry is never truly cer-tain of actually “having” an audience. Actualaudiences are unpredictable, constantly chang-

Need for EthnographyApproach

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 141

Page 57: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

ing their preferences, and therefore the attemptto describe the audience in term of neatly de-fined categories is in itself absurd. The industryis never truly certain of actually “having” an au-dience. Actual audiences are unpredistable,constantly changing their preferences, andtherefore the attempt to describe the audience interm of neatly defined categories is in itself ab-surd.

She proceeds to describe the uncomfort-able relationship between both private and pub-lic broadcasting organizations and their audi-ences. Athough the two types of organizationsdiffer in their conceptualizations. Privatebroadcaster like TV3, NTV 7, ASTRO andother see audiences as consumers to be sold toadvertisers while public broadcasters like RTMsee audiences as citizens to be educated and in-formed--both lack insight into the behaviour oftheir viewers. Ang provides detailed and usefulinsight into institutional conceptualizations ofaudiences and the difficulties encountered intheir efforts to attract viewers. Finally, shepoints out that communication researches haveoften too easily adopted the institutional pointof view. She argues that mainstream communi-cation research, with its search for generaliza-tions, is totally in contrast to the etnographic ap-proach that she advocates. Rather than seek togeneralize, etnographic research under the rub-ric of qualitative research method asks how spe-cific audiences differ in the social production ofmeaning within their daily lives and especiallyin view of the diverse social settings in whichmedia are recieved. Practically, such analysisrequires qualitative empirical methods includ-ing in-depth interviews and observations of theaudiences in the primary settings where view-ing ocurs.

The key focus as depicted in Diagram-me 1 was on the realisation that we are, ofcourse, dealing with human communicationthat it rich with signs and symbols, which onlyhave meaning within the terms of reference sup-plied by codes (of one sort or another) which theaudience shares, to some greater or lesser ex-tent, with the producers of messages. The pre-mises of encoding/decoding model were :

The same event can be encoded in more thantwo way.

The Communicative Dimension ofAudience Research

The message always contains more than onepotential “reading”. Message propose and“prefer” certain readings over others, butthey can never become wholly closed aroundone reading: they remain polysemic (i.e. ca-pable, in principle, of a variety of interpret-ations).Understanding the message is also a prob-lematic practice, however transparent and“natural” it may seem. Messages encodedone way can always be decoded in a differentway.

The message in any product of screenproduction is treated here as a complex sign, inwhich a “preferrred reading” has been inscrib-ed, but which retains the potential, if decoded ina manner different from the way in which it hasbeen encoded, of communicating a differentmeaning. The message is thus a structured poly-semy. Your perspective and experiences ofwatching , , wouldpossibly be similar or vastly different than otherviewers. It is central to argument that all mean-ings do not exist “equally” in the message:which is seen to have been structured in domi-nance, despite the impossibility of a “total clos-ure” of meaning. Further, the “preffered read-ing” is itself part of the message, and can beidentified within its linguistic and communi-cative structure.

There will be no necessary “fit” or tran-sparency between the encoding and decodingends of the communication chains. It is precise-ly the lack of transparency, and its consequen-ces for communication which we need to in-vestigate qualitatively. Having established thatthere is always a possibility if disjunction bet-ween the codes of those sending and those re-ceiving through the circuit of mass communi-cations, the problem of the “effects” of commu-nication could now be reformulated, as that ofthe extent to which decoding take place withinthe limit of the preferred (or dominant) mannerin which the message has been initially encod-ed.

Screen theory was centrally concernedwith the analysis the effects of cinema (and es-pecially, the regressive effects of mainstream,commercial cinema) in “positioning” the spec-tator (or subject) of the film, through the way inwhich the text (by means of camera placement,editing, and other formal characteristic “fixed”the spectator into a particular kind of “subject-

Puteri Gunung Ledang Sepet

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

142 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 58: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

position”, which it was argued “guaranteed” thetransmission of a certain kind of “bourgeois ide-ology” of naturalism, realism, and probability.

Undoubtedly, on of the Screen theory'sgreat achievements, drawing was to restore anemphasis to the analysis of text which has beenabsent in much previous work. In particular, theinsight of psychoanalysis were extremely influ-ential in the development of later feminist workon the role of media in the construction of gen-dered identities and gendered form of spectator-ship (see, Kuhn, 1982 ; Modleski, 1984).

Proponents of Screen theory argued thatprevious approaches had neglected the analysisof the textual forms and patterns of media pro-ducts, concentrating instead of the analysis ofpatterns of ownership and control.

In Screen theory, it was the text itselfwhich was the central (if not exclusive) focus ofthe analysis, of the assumption that, since thetext “positioned” the spectators, all that was ne-cessary was the close analysis of texts, fromwhich their “effects” on their spectators couldbe automatically deduced, as spectators werebound to take up the “positions constructedfrom them by the text (film).

Much of the methodological complexityderives from the initial discovery that specificreadings of media text originate in both macro-social factors, such as class, ethnicity, gender,age, and so forth as well as in micro-social orinteractional/contextual relations such ashousehold dynamic, which impose their owninfluences and at the same time serve to mediatethe larger macrosocial factors that are operative(see Schroder, 1994).

What further complicates any researchdesign is the reality that media reception occursin a variety of setting, of which the household isbut one and only dominant-setting, and it is me-diated and negotiated in a yet greater variety ofmultiple social setting. Schroder (1994) strikeshome the fundamental reality that even researchwhich summons together naturally interactivesocial groups (such as families or peer groups)is problematic in the sense that each member ofsuch a group or “interpretive community” issimultaneously a member of many other socialgroups or commu-nities. Just by virtue of the actof selecting one of these as the unit of analysis,

Fundamental and Issues of AudienceAnalysis

the researcher unavoidably accords priority tothat unit, to the necessary exclusion or neglectof all of other interpretive communities towhich the individualbelongs.

If, say, we wanted to explore the recept-ive of Scenario productions for example on Ma-laysia audiences and its social signifying pro-cesses among the population of the country, itwould be impossible to do justice to the vast-ness of this subject through a study of one inter-pretive community. To interview families/households, for instance, is clearly insufficientif one wants to capture the multiple interperso-nal discourses through which people make sen-se of the message and story line that Scenarioprojects to deliver.

As qualitative practioners and research-ers we feel that the best solution is to use theindividual interview in the informant's home asthe research setting that best does justice to thewhole array of cultural discourses that individu-al inhabits, After all, one need not directly ob-serve the individual in each and every possiblesocial setting; while the individual is situated inthe household setting, one can also freely ex-plore the multiple sociocultural circumstanceswhich contribute to the individual's readingsand uses of television or other media. As Schro-der states, “this is ultimately an empirical quest-ion” (p. 342), and a research design can be for-mulated in such a way as to capture the experi-ences of subjects in other settings.

A preliminary step in the formulation ofany research design is the need to first sketchout the variety of household that are containedwithin Malaysia as a country case and to assem-ble some of the available data regarding theirrespective patterns of media usage. It can beseen that one “overseas” contribution of those,such asAng and Morley do provide fruitful fod-der for the empirical exploration of the recept-ion process as it operates here. Since the domi-nant setting of ethnographic audience researchis the household, what can add to the fodder arethe potential useful linkages between discuss-ion of households in the family studies literatureand discussions of households media receptionin the media studies literature. There is, in otherwords, much to be gained from an at-temptedintegration or at least intersection of family stu-dies and media studies along several counts,particularly if one is concerned, like most eth-nographic audience researchers, to unravel the

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 143

Page 59: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

operation of the media reception process withinits everyday household context.

For example, there is a tendency withinethnographic audience research to treat familiesand households in a monolithic manner, to con-sider socalled “nuclear” families almost exclu-sively, and to overlook the extensive and in-creasing diversity of family forms and house-hold types including solo-parent families,childless couples, gay and lesbian couples, mul-ti-generational households, one-person house-holds, and so forth. There is, in other words, ten-dency to overlook the variety of ways in whichhouseholds are differentially structured, whichin turn leads to differential configurations of in-teractional dynamics, and which in turn can beexpected to lead to different patterns of mediausage and differential outcomes of the media re-ception experience.

There are also several components ofmedia usage patterns that can be distinguished,including: the type and quantity of media avail-able within a household, the extent of usage,gendered patterns of usage, and, not, unrelated-ly, power and control over media usage as it isexercised within the social-interaction dyna-mics of family media experiences. Unfortu-nately, the available Malaysian data are largelylimited to those regarding the extent to whichMa-laysian households are equipped with com-munication and information technologies.These data are indeed extraordinary, and reflectthe tradition whereby Malaysians have tendedhistorically to be ravenous consumers of mediatechnologies.

Lull's (1990) discussion of cultural varia-tions in family viewing and the rituals and ruleof social interaction and communication withinhouseholds moves further towards a compre-hensive and contextualized understanding ofthe media reception process. His notion of “cul-tural variation” extends to three levels of analy-sis: by “the culture” he refers to characteristicsof a social context beyond the microlevel para-meters of the household; “the household” en-compasses the structure of family relations aswell as the physical location or place in whichtelevision is experienced; and the third level ofanalysis is “the person”. He acknowledges thattelevision viewing occurs most commonly andmost fundamentally within the household: whatis understood to be a complex, very intricatemix of persons, social roles, power relations,

ritual activities, processes of interpersonal com-munication, and physical factors that charac-terize the household environment, as well as thetechnological equipment con-ained within it.

Television, as the dominant medium to-wards which attention is directed in these dis-cussions, is seen to serve a variety of purposesin everyday family relations. In household withchildren, it can be called upon to alleviate some-what the burden of child care by occupying theattention of children while other household la-bor chores are completed. In solo-parent house-holds, it is sometimes called upon in order toplay out symbolically the role of the second pa-rent. And in all but one-person households, itcan be incorporated into strategies to avoid phy-sical or emotional contact with other householdmembers.

As Morley (1980, 1986), Rogger & Jen-sen (1988), and others have demonstrated, theuses and patterns of television viewing may behighly routinized, yet are not at all static or in-vulnerable to change. Where household cir-cumstances change for example, where thecomposition of the household changes or wherea member becomes unemployed-family view-ing patterns can be dramatically affected withrespect to the amount of viewing, the content ofviewing, and the linkages between viewing andother household activities. In the case of ahousehold struck by unemployment, communi-cation and relations between members can beexpected to change as new viewing patterns arenegotiated in order to arrive at a viable arrange-ment that will work within the nexus of prefi-gured social relations in the household.

This paper advocates the need for allstakeholders in the screen industry particularlyfilm producers, directors to conduct audienceanalysis by segmenting their audience to targettheir messages. This article suggests, in a highlyexploratory and tentative fashion, that it is time-ly for the industry to realize the importance ofgathering qualitatively of existent knowledgeof Malaysian audience, Malaysia family struc-tures and family dynamics, alongside and toge-ther with existent knowledge of family mediaconsumption and culture in order to begin to ad-dress questions of screen production receptionin Malaysia in a truly comprehensive and con-textually sensitive manner.

Conclusion

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

144 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Page 60: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Such work might call upon a variety ofmethods, but this paper advocated the use ofqualitative approach to better understand theMalaysia audience preference, perspectives,believe system, and behaviours towards screenproduction. We believe that such powerful re-search method could have the industry and al-low the viewers or audience to express theirviews freely, and such informed knowledgecould make it possible for the stakeholders inthe industry to fully understand how the socialcharacteristiscs of viewers shaped their res-ponses.

Ang, L. (1985).. Lon-

don: Methuen.-----. (1991).

London : Routledge.-----. (1996).

. London: Routledge.Fiske, J. (1987). . London:

Methuen.Lewis, J. (1991).

References

Watching Dallas: Soap Operaand Melodramatic Imagination

Desperately Seeking The Audi-ence.

Living Room Wars: RethinkingMedia Audience for A PostmodernWorld

Television Culture

The Ideological Octopus: AnExploration of Television and its audi-

enceInside family viewing: Etno-

graphic research on television's audi-ences

Loving With A Vengeance

The nationwide audience: Struc-ture and decoding

Family television: Cultural powerand domestic leisure

Television, audiences, andcultural studies

World families watch television

Media Research. Media,Culture & Society

. NewYork: Routledge.Lull, J. (1997).

. NewYork: Routledge.Modleski, T. (1984). .

London: Mutheun.Morley, D. (1974). Reconceptualizing the me-

dia audience: Towards an ethnography ofaudiences. University of Birmingham,Centre for Contemporary Cultural Stu-dies, Stencilled Occasional Papers.

-----. (1980).. London: British Film

Institute.-----. (1986).

. London: Comedia.-----. (1992).

. London : Routledge.Rogger, J., & Jensen, K. (1988). Everyday life

and television in west Germany: An em-phatetic-interpretive perspective on thefamily as system. In James Lull (Ed.),

(pp. 80-115). London: Sage.

Schroder, K.C. (1994). Audience semiotics,interpretive communities, and the “etno-graphic turn” in

, 16 (2), 337-347.

Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 145

Page 61: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 146-154

Proporsionalitas Anggota DPRD:Kajian Terhadap Proses Rekrutmen Anggota DPRD

Hasil Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri

Dwi TiyantoJurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Penelitian ini merupakan sebuah langkah untuk mencoba melakukan evaluasi atas jalannyakegiatan Politik lima tahunan yang dalam terminologi politik sering disebut sebagai Pemilih-an Umum; khususnya mengenai bagaimana Sistem Pemilihan yang dipergunakan dalam Pe-milu legislatif yang terakhir dilaksanakan yakni Pemilu pada tahun 2004, dengan berlandas-kan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2003.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proporsionalitas keanggotaanDPRD yang diperoleh melalui Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri. Diambilnya DPRD Wo-nogiri sebagai obyek penelitian mengingat bahwa disanalah merupakan satu-satunya DPRDdi bekas wilayah Karesidenan Surakarta, yang memiliki 2 orang angota yang terpilih sebagaianggota DPRD dengan melampaui angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) seperti diaturdalam pasal 107 UU No. 12 Tahun 2003. Karena penelitian ini masih bersifat penelitian awal,yakni berupa penjajagan, maka metode yang dilakukan dengan menggunakan metode analisisdata sekunder, yang diperoleh dari DPRD Kabupaten Wonogiri dan KPUD Kabupaten yangsama.

Hasil penelitian ternyata diketahui bahwa secara proporsionalitas penggunaan sistemcampuran yakni perwakilan berimbang dengan daftar terbuka, yang dipergunakan dalamPemilu legislatif tahun 2004 belum mampu menjaring banyak anggota dewan yang mampumelebihi BPP, kebanyakan anggota karena diuntungkan ketika pencalonannya berada padaposisi jadi, menempati nomor urut atas/kecil yang telah diatur oleh partai politik yangmencalonkannya, sehingga pada Daerah pemilihan partai politiknya meraih kursi di dewan,otomatis jatah kursinya diambil oleh calon legislatif yang memiliki nomor atas tersebut.

Untuk itu direkomendasikan agar terwujud kinerja dewan perwakilan rakyat yang re-presentatif, kelak dalam Pemilu-pemilu yang akan datang bisa direvisi Sistem Pemilihan yangselama ini dipergunakan dengan menggunakan sistem mayoritas sederhana, sehingga kapasi-tas kader partai politik yang akan menentukan bukan kepentingan partai politik apalagi pe-ngurus partainya.

Keywords: Pemilu, proporsionalitas legislatif, komunikasi politik, Wonogiri.

146 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Pendahuluan

Perkembangan demokrasi di Indonesiamengalami pasang surut yang sangat dinamissesuai dengan perkembangan sistem politikyang melingkupinya. Perubahan menuju tran-

sisi demokrasi, seperti yang diusung olehsemangat reformasi akhirnya telah merubah se-cara struktural sistem politik yang selama ini di-anggap sangat berpihak pada kekuasaan ekse-kutif menjadi lebih condong kepada kekuatanlegislatif. Apalagi dengan serangkaian amande-

Page 62: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 147

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

men yang telah empat kali dilakukan terhadapkonstitusi negara, maka muncul beberapa atur-an perundangan sebagai aturan organik yangharus dibuat sebagai konsekwensi terhadap per-ubahan UUD 1945 tersebut, beberapa aturanpokok itu khususnya di bidang politik antaralain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Un-dang-UndangNomor 23 tahun 2003 tentang Pe-milihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentangperubahan Undang-Undang Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kese-muanya telah merubah secara struktural sistempemerintahan yang ada sejak reformasi politikdilakukan.

Undang-Undang nomor 12 tahun 2003tentang pemilu menggunakan sistem

atau sering disebut Sis-tem Perwakilan Berimbang (

). Oleh karea itu sejak diundang-kannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003tersebut sistem pemilihan anggota legislatif di-dasarkan pada sistem Proporsional Daftar Ca-lon Terbuka (

); dimana pemilih dalam me-nentukan pilihan politiknya kecuali mencoblostanda gambar partai politik, juga mencoblos na-ma calon anggota legislatif dari partai bersang-kutan yang dikehendakinya.

Lebih lanjut konsekwensi dari sistem pe-milu yang demikian ini, maka seseorang calonlegislatif yang bisa memenuhi angka BilanganPembagi Pemilih otomatis akan langsung terpi-lih menjadi anggota Dewan; sedangkan calonyang tidak mencapai angka BPP, penetapan ca-lon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urutpada daftar calon di daerah pemilihan yang ber-sangkutan (lihat UU Nomor 12 tahun 2003 pa-sal 107). Dengan demikian dapat dimaknai bah-wa anggota legislatif yang terpilih disebabakanoleh perolehan suara yang sama atau melebihiBPP maka yang bersangkutan telah memenuhiazas proporsionalitas, sementara bagi merekayang terpilih meskipun tidak memenuhi angkaBPP tetapi berdasarkan nomor urut daftarpencalonan di daerah pemilihan mereka, dapatdikatakan tidak memenuhi azas proporsionali-tas, dan ini berlaku bagi anggota legislatif PusatDPR maupun daerah atau DPRD.

Untuk keperluan itulah peneliti tertarik

Multy-Member Constituency

Proportional Re-presentation

Opened List Proportional Repre-sentation System

untuk meneliti apakah azas proposionalitas ter-sebut telah terpenuhi dalam rekrutmen anggotadewan legislatif DPRD yang dihasilkan dari pe-nyelenggaraan Pemilu tahun 2004 yang lalu.Kemudian mengingat hasil Pemilu LegislatifDaerah di Kabupaten Wonogiri ternyata meng-hasilkan fenomena politik yang sangat menarik,yakni bahwa diantara beberapa kabupaten yangterdapat di bekas wilayah Karesidenan Surakar-ta, maka hanya di Kabupaten Wonogiri terdapatdua kandidat anggota DPRD yang berhasil me-menuhi azas proporsionalitas dalam arti meme-nuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), sehing-ga dengan demikian langsung bisa mendudukikursi di lembaga perwakilan daerah setempat,sementara tidak ada seorangpun kandidat di ka-bupaten lainnya di wilayah tersebut yang bisamenjadi anggota DPRD dengan memenuhi azasproposionalitas tersebut, maka peneliti bermak-sud untuk meneliti tentang apa dan bagaimanaserta mengapa terdapat dua kandidat legislatifdaerah di Kabupaten Wonogiri tersebut bisamemenuhi azas proporsionalitas sehingga ter-pilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Wono-giri.

Berdasarkan pemaparan dimuka maka didalam penelitian ini diajukan suatu perumusanmasalah sebagai berikut: “Bagaimanakah AzasProporsionalitas dalam Proses RekrutmenAng-gota DPRD hasil Pemilu 2004 di KabupatenWonogiri?”

Penelitian ini dapat dikategorikan ke da-lam penelitian diskriptif penelitian diskriptif-kualitatif dengan mengambil bentuk Studi Ka-sus, yakni sebuah penelitian yang dilakukan ter-batas pada usaha mengungkapkan suatu masa-lah, keadaan atau peristiwa bahkan fenomenasebagaimana adanya sehingga bersifat peng-gambaran fakta yang terjadi. Fenomena ini sa-ngat bersifat spesifik sehingga dapat diklasifi-kasikan ke dalam studi kasus, dimana hasil pe-nelitian ini diarahkan pada pemberian gambar-an secara obyektif tentang keadaan yang sebe-narnya dari obyek penelitian yang sedang diteli-ti, yakni proses rekrutmen anggota DPRD diKabupaten Wonogiri berdasarkan Undang-Un-dang Nomor 12 Tahun 2003.

Sedangkan rancangan penelitian ini

Perumusan Masalah

Metode Penelitian

Page 63: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

148 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

menggunakan teknik penyamplingan yang ber-sifat Total Sampling, dalam pemahaman bahwasemua responden yang dijadikan unit analisispenelitian ini adalah semua anggota DPRD Ka-bupaten Wonogiri yang berhasil menjadi ang-gota DPRD yang akan menjadi dasar bagi pe-ngumpulan dan analisis datanya, sedangkan da-ta-data lain bersifat komplementer yang akandipergunakan untuk melengkapi data dari pararesponden dalam penelitian ini yang tentunyaakan diperoleh dengan menggali dari sumberdata yang bersifat sekunder baik dari dokumenresmi lembaga KPUD Kabupaten Wonogirimaupun dari DPRD KabupatenWonogiri.

Untuk menguji keabsahan data yang te-lah didapatkan, maka dalam penelitian ini di-pergunakan triangulasi data, yakni dengan me-lakukan pemeriksaan keabsahan data denganmenggunakan atau memanfaatkan sesuatu yanglain di luar data untuk keperluan pengecekanatau sebagai pembanding terhadap data tersebut(Moleong, 1994:178); di mana apabila mem-pergunakan klasifikasi dari Denzin (1978) yangmembedakan adanya empat jenis triangulasidata sebagai teknik pemeriksaan yang meliputipenggunaan sumber, metode, penyidik dan teo-ri, maka dalam penelitian ini peneliti akanmenggunakan uji keabsahan data berdasarkankepada penggunaan sumber data sebagai tekniktrianggulasinya. Untuk itu data yang dikumpul-kan dan akan dianalisis yang diperoleh dari ang-gota DPRD yang dipilih secara langsung karenadapat melampaui BPP akan dikonfirmasikandengan data dari sumber-sumber lain baik daridalam lembaga DPRD Kabupaten Wonogirimaupun dari KPUD KabupatenWonogiri.

Berdasarkan data yang dikumpulkan se-lama penelitian ini, terutama dari dokumentasiyang terdapat di Sekretariat Dewan PerwakilanRakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Wonogiridan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Dae-rah (KPUD) Kabupaten Wonogiri, maka dapatdisajikan penelitian sebagai berikut:

Dikarenakan jumlah penduduk Kabupa-ten Wonogiri telah mencapai 1.122.557 jiwa,sementara berdasarkan aturan perundangan-un-dangan yang ada maka jumlah anggota DPRDyang berada di daerah tersebut telah ditetapkan

Hasil Penelitian

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Kabupaten Wonogiri

sebanyak 45 orang. Berdasarkan hasil pemilih-an umum (PEMILU) yang diselenggarakantahun 2004 yang lalu maka telah ditetapkanjumlah dan susunan keanggotaan DPRD Kabu-paten Wonogiri sebanyak 45 orang anggotaDPRD yang terdiri dari perwakilan 5 (lima) par-tai politik yang mengikuti jalannya pemilihanumum tahun 2004 yang lalu, yakni dari PDIP24orang, partai Golkar 12 orang dan partai Demo-krat 1 orang.

Wakil rakyat sebanyak 45 orang tersebutyang berasal dari 5 partai pemenang pemilu2004 di kabupaten Wonogiri kemudian dike-lompokkan ke dalam 4 (empat) Fraksi, yang ter-diri dari Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar,Fraksi PAN dan Fraksi PKS, di mana masing-masing Fraksi memiliki susunan keanggotaanseperti tersaji padaTabel 1 sampaiTabel 4.

Dengan demikian dari ke 45 anggotaDPRD Kabupaten Wonogiri tersebut telahterserap ke dalam 4 Fraksi yang dibentuk diDPRD, dan hanya satu orang wakil yakni dariPartai Demokrat karena jumlahnya hanya 1orang, maka tidak memungkinkan untukmembentuk Fraksi tersendiri, sehinggabergabung ke dalamFraksi PKS.

DPRD Kabupaten Wonogiri memiliki 4(empat) Komisi yang dibagi berdasarkan alfa-betisasi, yakni mulai dari Komisi A yang mem-bidangi Bidang Pemerintahan. Komisi B Bi-dang Ekonomi dan Keuangan, Komisi C Bi-dang Pembangunan dan Komisi D membidangiBidang Kesejahteraan Rakyat.

Hasil Pemilu Legislatif DPRD Kabupa-ten Wonogiri telah ditetapkan oleh Komisi Pe-milihan Umum Daerah (KPUD) KabupatenWonogiri melalui Rapat Pleno Terbuka yang di-ikuti dan disaksikan oleh seluruh Pimpinan Par-tai Politik peserta Pemilu tahun 2004 besertapara saksinya. Tokoh Masyarakat, dan TokohAgama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Orga-nisasi Masyarakat, dan undangan lainnya, sertaBadan Penyelenggaraan Pemilu di KabupatenWonogiri

Penetapan dilaksanakan pada tanggal 8Mei 2004 tertunda selama 4 (empat) hari karenamundurnya penetapan hasil pemilu 2004 secaranasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Pene-tapan dilakukan untuk menghitung dan mene-tapkan perolehan kursi kemudian ditentukan

B. Penetapan Hasil Perolehan Kursi danCalon Terpilih Anggota DPRD

Page 64: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 149

calon terpilih dari masing-masing Partai Politikpeserta Pemilu sesuai denga jumlah kursi yangmereka peroleh. Untuk Kabupaten Wonogiribahan yang dipergunakan untuk penetapan iniadalah Berita Acara dan Sertifikat hasil penghi-tungan suara yang telah ditandatangani padaRapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Peng-hitungan Suara di KabupatenWonogiri.

Penetapan telah dilakukan untuk setiapDaerah Pemilihan pemilu Anggota DPRD Ka-bupaten Wonogiri dan dimulai dari Daerah Pe-milihan Wonogiri 1 (satu) sampai Daerah Pemi-lihan 5. Setiap daerah Pemilihan dilakukanhingga selesai yakni dari Penetapan BPP (Bila-ngan Pembagi Pemilih), perolehan kursi hinggaCalonAnggota DPRD KabupatenWonogiri ter-pilih. (lihat KPU Kabupaten Wonogiri, 2004).Alur penetapan hasil Pemilu Anggota DPRDKabupaten Wonogiri tahun 2004 tersebut dapatdilihat pada Bagan 1.

1.Penetapan Perolehan KursiLangkah-langkah dalam penetapan hasil

Pemilu dilalui dengan menetapkan perolehankursi masing-masing partai politik peserta pe-milu di Kabupaten Wonogiri. Penetapan pero-lehan kursi masing-masing Partai Politik peser-ta Pemilu di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) di-lakukan dengan memenuhi mekanisme dan ke-tentuan sebagaimana diatur:

a. P

Apabila jumlah suara sah partai politik samaatau lebih besar daripada angka BPP, makadiperoleh kursi dalam penghitungan tahappertama, dengan kemungkinan masih terda-pat sisa suara sah partai politik yang dihitungdalam penghitungan tahap kedua,Apabila jumlah suara sah partai politik lebihkecil daripada angka BPP, dalam penghitu-ngan tahap pertama sebagaimana dimaksudpada ketentuan diatas tidak memproleh kursidan jumlah suara sah partai politik tersebutdikategorikan sebagai sisa suara sah partaipolitik yang dihitung dalam penghitungan ta-

enetapan angka bilangan PembagiPemilih (BPP) untuk setiap Daerah Pemilihan,yakni diperoleh dengan membagi jumlah suarasah partai politikyang diperoleh di DP tertentudengan jumlah kursi yang tersedia di DaerahPemilihan bersangkutan.

b. SetelahAngka BPPdiperoleh selanjut-nya jumlah suara sah masing-masing partai po-litik dibagi dengan angka BPP, denga ketentu-an:

hap kedua,Pembagian sisa kursi pada penghitungan ta-hap kedua, dilakukan dengan cara membagi-kan sisa kursi yang terbagi satu demi satuberturut-turut, dimulai dari partai politikyang mempunyai sisa suara paling banyaksampai sisa kursi tersebut habis terbagi;Apabila jumlah partai politik yang mempu-nyai jumlah sisa suara sama lebih banyak da-ripada jumlah sisa kursi yang belum terbagihabis, maka sisa kursi tersebut dibagikan ke-pada partai politik yang bersangkutan berda-sarkan undian;Undian sebagaimana dimaksud, dilakukandalam rapat pleno KPU Kabupaten Wonogiriyang dihadiri Saksi dan Panitia PengawasPemilu Kabupaten Wonogiri serta undangan,dengan ketentuan masing-masing partai poli-tik yang mengikuti undian memiliki kesem-patan yang sama dalam memperoleh satu sisakursi.

Untuk Pemilu legislatif tahun 2004 yanglalu hasil penghitungan BPP dari masing-ma-sing daerah Pemilihan adalah sebagai berikut:a. Dapil Wonogiri 1: suara sah 137.015, jumlah

kursi 10, BPP13.702;

b. Dapil Wonogiri 2: suara sah 122.110, jumlahkursi 9, BPP13.568;

c. Dapil Wonogiri 3: suara sah 109.962, jumlahkursi 9, BPP12.218;

d. Dapil Wonogiri 4: suara sah 110.644, jumlahkursi 9, BPP12.294;

e. Dapil Wonogiri 5: suara sah 137.203, jumlahkursi 9, BPP14.150.

Pada saat penetapan kursi ternyata di-warnai suasana yang tegang, karena dari 45 kur-si yang diperebutkan dari masing-masing dae-rah pemilihan, terdapat 30 kursi yang diperolehmasing-masing partai politik melalui peraihansuara penuh, sedangkan 15 kursi sisanya diper-rebutkan dengan melalui penghitungan sisasuara sah masing-masing partai politik. Padapenghitungan dan penetapan kursi tersebut di-hasilkan penetapan sebagai berikut:a. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

(PDIP) memperoleh 21 kursi penuh dan 3kursi dari sisa suara sah;

b. Partai Golkar mendapatkan 9 kursi penuhdan 3 kursi dari sisa suara sah;

c. Sedang 3 partai lain, yakni PAN mendapat-kan 4 kursi, PKS 4 kursi dan Partai Demokrat1 kursi masing-masing memperoleh dari sisasuara sah.

Page 65: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

150 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Dengan demikian dari 45 kursi di DPRDKabupaten Wonogiri yang diperebutkan, akhir-nya setelah melalui penghitungan suara dankursinya, diperoleh komposisi PDIP memper-oleh 24 kursi, Partai Golkar 12 kursi, PAN 4kursi, PKS 4 kursi dan Partai Demokrat 1 kursi.Secara rinci, perolehan kursi DPRD KabupatenWonogiri dari hasil Pemilu 2004 disajikan da-lam Tabel 5 dan Tabel 6.

C. Proposionalitas Keanggotaan DPRDKabupaten Wonogiri

Berdasarkan data yang tersaji di muka,dapat dinyatakan meskipun dibandingkan ke-anggotaan DPRD Kabupaten-Kabupaten dankota lain, keanggotaan DPRD Kabupaten Wo-nogiri relatif ada yang bisa memenuhi ketentu-an yang terdapat dalam pasal 107 dari Undang-Undang No. 12 tahun 2003, dimana keanggota-an seseorang anggota dewan disebabkan olehadanya dukungan suara yang bias memenuhiBilangan Pembagi Pemilih (BPP) di Daerah Pe-milihannya (DP), yakni sebanyak 2 (dua) orangdari 45 (empat puluh lima) orang anggotaDPRD Kabupaten Wonogiri, sementara menu-rut data yang ada pada KPUD di daerah-daerahlain di wilayah Surakarta, tidak ada satupunanggota DPRD yang ditetapkan keanggotaan-nya setelah memenuhi BPP, dalam perspektifini maka keanggotaan DPRD Kabupaten Wo-nogiri relatif lebih baik.

Namun demikian secara internal dilaku-kan perhitungan analisis secara kualitatif, makasebenarnya dari 2 orang anggota yang bisa me-menuhi BPP tersebut, yakni atas nama WawanSetya Nugraha, S.Sos dan Muhammad Zainu-din, S.Sos, yang masing masing mewakili Dae-rah Pemilihan Wonogiri 1 dan Wonogiri 2 dankeduanya berasal dari PDIP, belum dikatakanideal memenuhi azas proposionalitas dalam pe-ngangkatannya, sebab jikalau harus diprosenta-sekan maka akan didapat nilai prosentase yangmasih rendah, yakni sebesar 4,44% saja dari ke-seluruhan anggota DPRD Kabupaten Wonogiri.Kemudian secara internal kepartaian PDIPting-kat proposionalitasnya juga masih rendah yakni8,33%.

Data lain yang lebih menarik yang dida-pat dari dokumentasi KPU Kabupaten Wonogi-ri, ternyata terungkap ada banyak anggotaDPRD yang diangkat dengan dukungan suarayang minim jauh dari BPP, tetapi karena sistem

mendukungnya yakni dari hitungan sisa suarasah, untuk membagi kursi sisa yang sebanyak15 tersebut, maka apabila azas proposionalitasini diperhitungkan jelaslah banyak anggotayang tidak memenuhinya, semisal ada anggotaDPRD dari partai besar di Kabupaten Wonogiriyang bisa diangkat menjadi anggota Dewan cu-kup dengan mendapatkan dukungan 1.231 sua-ra, namun karena partainya meraih 5 kursi diDaerah Pemilihan tersebut, sementara dalamdaftar Calon Legislatif dia berada pada nomor4, maka secara otomatis partainya akan mene-tapkan dia sebagai anggota terpilih nomor 4 diDaerah Pemilihannya, bahkan anggota dari Par-tai lain yang lebih kecil bisa menjadi anggotaDPRD Kabupaten Wonogiri, dengan dukungansuara yang sangat tidak signifikan yakni hanyasebesar 420 suara, namun lagi-lagi karena didalam daftar pencalonannya yang bersangkutanyang kebetulan orang atas pada partai politik-nya di daerah bersangkutan, dan untuk daerahpilihan yang bersangkutan didudukkan padanomor urut 1, dan ketika partainya meraih kursidari sisa suara sah yang diperolehnya, maka ja-tah 1 kursi tersebut tentunys untuk yang ber-sangkutan, meskipun jika dihitung perolehansuaranya sangat kecil sekali.

Dengan demikian terlihat bahwa kecualidua orang anggota yang bisa memenuhi BPPtersebut, banyak anggota DPRD di KabupatenWonogiri yang secara legitimasi dukungan sua-ranya, sangat tidak signifikan, namun karenasistem Pemilu mengatur yang demikian itu, da-lam arti mempersandingkan sistem daftar calonlegislatif di samping partai politiknya, makamasih banyak aktor-aktor politik yang sebenar-nya tidak kuat mengakar, namun karena memi-liki kekuasaan di partai pilitiknya, maka akandengan mudah meraih akses kekuasaan di De-wan, apabila partainya dapat jatah kursi di Dae-rah Pemilihannya, karena sudah tentu para pe-tinggi partai akan dicalonkan pada posisi nomorkecil atau nomor jadi, sehingga tanpa susah pa-yah membangun dukungan asalkan Partai Poli-tik mereka adalah partai yang banyak massapendukungnya, maka dapat dipastikan partai-nya akan meraih kursi di Dewan, dan para calonpemilik nomor urut kecil, yang biasanya parapetinggi partai atau aktor-aktor politik yang me-miliki akses dengan kekuasaan partai akan de-ngan mudah meraih kursi di dewan

Page 66: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 151

Penutup

A. KesimpulanBerdasarkan data yang berhasil dikum-

pulkan dan setelah dilakukan analisis, bisa di-simpulkan sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan Pemilu denganmempergunakan Sistem Pemilihan seperti yangdipergunakan dalam Pemilu 2004, yang salahsatu tujuannya untuk memilih anggota legislatifbaik di Pusat maupun Daerah, ternyata sulit un-tuk bisa mendapatkan anggota legislatif yangbenar-benar representatif mewakili rakyat;

2. Untuk daerah Kabupaten Wonogiri,meskipun mengalami kesulitan namun realitaspolitik masih menunjukkan adanya fenomenayang menarik karena terdapat dua orang ang-gota DPRD yang dipilih menjadi anggota de-wan, karena mendapat dukungan suara melebi-hi batas angka BPP dari Daerah Pemilihan me-reka; mereka itu adalah wakil dari Partai Demo-krasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yakni Wa-wan Setya Nugraha, S.Sos yang meraih duku-ngan 14.107 suara, melebihi BPP dari DaerahPemilihan Wonogiri 1 sebesar 13.702. Semen-tara yang bersangkutan pada daftar pencalonanpartai PDIP untuk Daerah Pemilihan tersebutada pada urutan ke 4 (empat). Sedangkan ang-gota lain adalah Muhammad Zainudin, S.Sosyang meraih dukungan suara 20.378 jauh dariangka BPP untuk Dapil Wonogiri 2 sebagai ba-sis peraihan suaranya sebesar 13.568; dan posi-si pencalonannya pun berada pada nomor 5.

3. Meskipun terdapat dua anggota yangbisa memenuhi BPP di DPRD Kabupaten Wo-nogiri, namun dari aspek proporsionalitas ke-anggotaan, sebenarnya tidak proporsional, ka-rena dari 45 anggota dewan, yang 43 dipilih dandiangkat sebagai anggota dewan karena diten-tukan oleh partai politik yang mencalonkan me-reka, sehingga dengan demikian angka propor-sionalitas yang terdapat di DPRD KabupatenWonogiri masih sangat rendah, yakni sebesar4,44%.

4. Sedangkan apabila dilihat angka pro-porsionalitas dari perspektif internalpun, yakniPDIP maka ditemukan angka proporsionalitassebesar 8,33% mengingat anggota DPRD Ka-bupaten Wonogiri yang berasal dari PDIP seba-nyak 24 orang.

5. Dikarenakan sistem pemilihan yangdipergunakan memang masih menumpulkanpengangkatan keanggotaan seseorang calon pa-

da kekuatan partai politik yang mencalonkan-nya, maka menjadi realitas politik pula apabiladitemukan sebuah datum bahwa ada seoranganggota DPRD yang bisa duduk menjadi ang-gota DPRD Kabupaten Wonogiri hanya dengandukungan 420 suara, karena Partai Politik yangmencalonkan berhasil mendapat jatah kursi 1(satu) buah dari penghitungan sisa suara sahdalam penghitungan tahap kedua, karena yangbersangkutan dicalonkan pada nomor urut per-tama di daerah pemilihannya, maka oleh partai-nya jatah kursi tersebut pastilah diberikan kepa-danya; dalam konteks semacam ini maka azasrepresentasi seorang dewan menjadi sebuahpertanyaan.

Berdasarkan kesimpulan dimuka, makamelalui laporan penelitian ini direkomendasi-kan beberapa hal:

1. Agar dihasilkan performa DPRD yangrepresentatif, maka pada pemilu-pemilu yangakan datang, paling tidak tahun 2009 perlu dila-kukan perubahan Undang-Undang tentang Pe-nyelenggaraan Pemilihan Umum yang lebih bi-sa menamung azas-azas representasi.

2. Sistem Pemilihan () yang selama ini dipergunakan, yakni sitem

perwakilan Berimbang () perlu ditinjau ulang kefaedahannya da-

lam komteks tingkat keterwakilan, karena pe-ngalaman politik selama ini mengajarkan bah-wa dengan sistem ini, hanya menghasilkan wa-kil-wakil partai dan bukan wakil-wakil rakyatseperti yang diharapkan masyarakat politik In-donesia baik pada tingkat Pusat maupun Dae-rah. Perlu dipertimbangkan pengadopsian Sis-tem Pemilihan yang lebih bisa memberi pelu-ang bagi tampilnya wakil-wakil rakyat yang be-nar-benar mewakili rakyat, bukan wakil partaipolitik, yakni dengan mengadopsi Sistem Dis-trik tetapi yang tidak mutlak ( )tetapi seperti sistem Pemilu 2004 yang lalu, na-mun dengan ketentuan diambil ranking teratassampai rangking di mana kuota calon legislatifdari Daerah pemilihan tertentu terpenuhi, mi-salkan Daerah Pemilihan 1 mendapat jatah kur-si 5 buah, maka siapapun dari partai manapunyang memiliki dukungan suara terbanyak darirangking 1 sampai 5 itulah yang akan mewakiliDaerah Pemilihan tersebut. Dengan sistem iniakan membuka variasi keterwakilan yang sa-ngat beragam, dan keberhasilan seseorang be-

B. Rekomendasi

electoral-formula-tion

proportional represen-tation

Simple Majority

Page 67: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

152 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

nar-benar akan diuji dan ditentukan oleh kapa-sitas pribadinya masing-masing.

Abar, A.Z. (1990)Surakarta: Ramadhani.

Budiardjo, M. (1993).. a

Crouch, H. (1986). Jakarta: Sinar Harapan.

Gaffar, A. (2004)..

-----. (2000). Otonomi Daerah, PembangunanDaerah, dan Kesempatan Kerja. Makalahpada

1

Geertz, C. (1960). Glen-coe, Illinois: The Free Press.

Jackson, K.D. & Pye, L.W. (1978).

Daftar Pustaka

Beberapa Aspek Pembangu-nan Orde Baru.

Dasar-Dasar Ilmu Poli-tik J karta: Gramedia.

Militer dan Politik di Indo-nesia

Politik Indonesia TransisiMenuju Demokrasi Yogyakarta: PustakaPe-lajar.

Seminar Nasional Otonomi Daerahdan Kesempatan Kerja, Surakarta 6 De-sember 2000.

The Religion of Java.

PoliticalPower and Communication in Indonesia.

Berkeley: California University Press.Kantaprawira, R. (1999).

.Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonogi-

ri. (2004).Wonogiri: Sekreta-

riat KPU KabupatenWonogiri.Lijphart, A. (1984).

, New Ha-ven:Yale University.

Moleong, L.J. (1993)..

Muhajir, N. (1992)..Yogyakarta: Rake Sarasin.

Sundhausen, U. (1986)..

Jakarta: LP3ES.-----. (2003).

. Sema-rang: Duta Nusindo.

Surbakti, R. (1992). .Jakarta: Gramedia.

Sistem Politik Indone-sia Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Pemilihan Umum Tahun 2004 diKabupaten Wonogiri.

Democracies: Patterns ofMajoritarianism and Consensus Govern-ment in Twenty-One Countries

Metodologi PenelitianKualitatif Bandung: Remaja Rosdakarya.

Metodologi Penelitian Ku-alitatif

Politik Militer Indone-sia 1945 -1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI

Undang-Undang Nomor 12 Tahun2003 tentang Pemilihan Umum

Memahami Ilmu Politik

Tabel 1 Susunan Keanggotaan Fraksi PDIP DPRDKabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan

1 Martanto SH Ketua2 Giyanto Wakil Ketua3 Endang Puji Astuti, S.PAK. Sekretaris4 Rudatin Haryanto, SE Anggota5 Nawa Adi S., S.Pd Anggota6 Wawan Setya Nugraha, S.Sos Anggota7 Budi Mulyono Wriyatmo Anggota8 Darno Anggota9 AS. Joko Prayitno Anggota

10 Drs. Heru Suprihadi Anggota11 Muhammad Zainudin, S.Sos Anggota12 Ir. Joko Purnomo Anggota13 Sriyono S.Pd Anggota14 Catur Winarko Anggota15 Reting Puryanto Anggota16 Suwarsi Anggota17 Sugimin Djoko Suwondo, ST Anggota18 Kartini, SH., S.IP Anggota19 Gimanto, SH Anggota20 Sudiyarso Anggota21 Wahyudi W, S.H Anggota22 Setyo Sukarno Anggota23 Soetarno SR Anggota24 Widodo Anggota

Tabel 2 Susunan Keanggotaan Fraksi GolonganKarya DPRD Kabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan

1 Sardi Djoko Pratopo, SE Penasehat2 Drs. H. Sri Hardono Ketua3 Sutrisno, SE Wakil Ketua4 Edy Santoso, SH Sekretaris5 Samino, S.IP Wk Sekr6 Toekino HS Bendahara7 Yuliawan Agung Nugroho Wk Bend8 Soefi Hartojo MS Anggota9 Sugiarto, S.Pd Anggota10 S. Santoso SD Anggota11 Rijomo Anggota12 Suhardono Anggota

Page 68: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 153

Tabel 4 Susunan Keanggotaan Fraksi Partai Ama-nat Nasional DPRD Kabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan

1 H. Fuad Ketua2 Yusuf Iskandar, S.Ag. Wakil Ketua3 Sardi Anggota4 H.N. Hadi Nawoto, B.A. Anggota

Tabel 3 Susunan Keanggotaan Fraksi KeadilanSejahtera DPRD Kabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan

1 Drs. Hamid Noor Yasin Ketua2 Ahmad Zarif Wakil Ketua3 Ramono Anggota4 Dr. Ngadiyono Anggota5 Tinggeng Anggota

Tabel 5 Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri

PEROLEHAN SUARA

Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5

Partai Suara Jml Suara Jml Suara Jml Suara Jml Suara Jml TOTALsah kursi sah kursi sah kursi sah kursi sah kursi KURSI

PDIP 64.457 5 68.443 5 55.196 5 56.575 5 59.936 4 24

Golkar 34.580 3 30.084 2 29.233 2 29.817 3 27.812 2 12

PAN 10.004 1 3.680 0 5.330 1 5.426 1 11.790 1 4

PKS 8.665 1 4.289 1 5.376 1 4.461 0 6.451 1 4

PD 6.299 0 4.611 1 3.601 0 3.290 0 2.912 0 1

TOTAL 137.015 10 112.110 9 102.962 9 110.664 9 113.203 9 45

Sumber: diolah dari dokumen halaman 481-482 Buku Laporan Pemilu 2004 oleh KPU KabupatenWonogiri

PenetapanCalon Terpilih

Dapil 1

PenetapanCalon Terpilih

Dapil 2

PenetapanCalon Terpilih

Dapil 3

PenetapanCalon Terpilih

Dapil 4

PenetapanCalon Terpilih

Dapil 5

PenetapanPerolehan Kursi

Dapil 1

PenetapanPerolehan Kursi

Dapil 2

PenetapanPerolehan Kursi

Dapil 3

PenetapanPerolehan Kursi

Dapil 4

PenetapanPerolehan Kursi

Dapil 5

Penetapan BPP di Setiap DapilAnggota DPRD Kabupaten Wonogiri

Bagan 1. Alur penetapan hasil Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri tahun 2004

Page 69: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

154 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Tabel 6 Daftar Nama Calon Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri Terpilih pada Tahun 2004

Partai Dapil Kursi Nama Calon Terpilih Kecamatan Keterangan

PDIP Wonogiri 1 5 1. Giyanto Selogiri 2.6562. Rudatin Haryanto, SE Eromoko 9.1053. Nawa Adi S., S.Pd Wonogiri 1.5044. Wawan Setya Nugraha, S.Sos. Wonogiri 14.107 (penuhi BPP)5. Budi Mulyono Wriyatmo Manyaran 6.426

Wonogiri 2 5 1. Darno Girimarto 9.6062. Martanto, S.H. Jatisrono 2.5723. A.S. Joko Prayitno Ngadirojo 3.6884. Drs. Heru Suprihadi Sidoharjo 4.7875. Muhammad Zainudin, S.Sos. Ngadirojo 20.378 (penuhi BPP)

Wonogiri 3 5 1. Ir. Joko Purnomo Purwantoro 6.8892. Sriyono, S.Pd. Puh Pelem 4.8083. Catur Winarko Purwantoro 3.1294. Reting Puryanto Puh Pelem 3.4245. Suwarsi Slogohimo 1.922

Wonogiri 4 5 1. Sugimin Djoko Suwondo, S.T. Jatisrono 2.9022. Kartini, S.H., S.IP. Tirtomoyo 4.0583. Gimanto, S.H. Batuwarno 6.1024. Sudiyarso Jatisrono 1.2315. Wahyudi W., S.H. Jatiroto 4.713

Wonogiri 5 4 1. Setyo Sukarno Baturetno 6.8682. Endang Pujiastuti, S.PAK. Wonogiri 2.7783. Soetarno S.R. Wonogiri 8.2994. Widodo Giriwoyo 6.000

Golkar Wonogiri 1 3 1. Sutrisno, S.E. Wonogiri 2.5742. Edy Santosa, S.H. Wonogiri 3.4943. Samino, S.IP. Selogiri 3.338

Wonogiri 2 2 1. Toekino, H.S. Wonogiri 2.5002. Suhardono Sidoharjo 5.289

Wonogiri 3 2 1. Rijomo Purwantoro 2.9472. Soefi Hartojo M.S. Wonogiri 3.066

Wonogiri 4 3 1. Sardi Djoko Pratopo, S.E. Jatisrono 3.5522. S. Santosa, S.D. Tirtomoyo 3.1603. Drs. Sri Hardonjo Wonogiri 1.134

Wonogiri 5 2 1. Sugiarto, S.Pd. Pracimantoro 5.4982. Yuliawan Agung Nugroho Baturetno 3.473

PAN Wonogiri 1 1 H. Fuad Wonogiri 1.827Wonogiri 3 1 Sardi Selogiri 465Wonogiri 4 1 H.N. Hadi Narwoto, B.A. Wonogiri 420Wonogiri 5 1 Yusuf Iskandar, S.Ag. Giriwoyo 2.568

PKS Wonogiri 1 1 Drs. Hamid Noor Yasin Wonogiri 2.862Wonogiri 2 1 Ahmad Zarif Ngadirojo 973Wonogiri 3 1 Jarmono Purwantoro 1.065Wonogiri 5 1 Dr. Ngadiyono Giriwoyo 2.098

PD Wonogiri 2 1 Tinggeng Ngadirojo 1.200

Total Jumlah Kursi 45

Page 70: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 155-158

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pilihan MahasiswaProgram D3 Komunikasi Terapan FISIP

Universitas Sebelas Maret

Surisno Satrijo UtomoJurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Abstract

The study aims to analyze factors that influence the student choice behavior at the AppliedCommunication D3 Students Fisip UNS. As the dependent variable is the student choice beha-vior which decides the study at the applied communication especially Broadcasting, Advert-ising, and Public Relations. This research is the case study that intends to analyze the differen-ce among students at those three programs. Meanwhile, as the dependent variables are theinfluence of functional, social, emotional, epistemic, and conditional values, and the promot-ion media.

The kind of this research is explanative that is used to examine hypothesis quantitative-ly. This research uses the survey method, means that the primary data finding is done throughquestionnaires. The research subject is D3 Students at the applied communication Fisip UNS2004 with the total amount 250 respondents. The total sampling is 130 students. The statisticanalysis uses the Three Group of Discriminant Analysis. The hypothesis explains students whochoose broadcasting have higher difference than students who choose advertising and publicrelations. This is that based on the influence of functional, social, emotional, epistemic, andconditional values. If the three concentrations are different, which are variables have domi-nant influence to the students' choice behavior at the applied communication D3?

Based on the discriminant analysis, the research finds: (1) the functional value variableis below 0,05 (0,001) that means there is a difference among students of Broadcasting, Advert-ising, and Public Relations. Therefore, more jobs need those applied communication prog-rams, more people compete to learn and master those concentrations. (2) there is a differenceamong students of Broadcasting, Advertising, and Public Relations especially at the promot-ion media where the value is under 0,05 (0,001) at Broadcasting, Advertising, and Public Re-lations. The values, such as conditional, social, emotional, epistemic, and conditional values,present big nominal. It means there are not any differences among Broadcasting, Advertising,and Public relation based on these values.

Based on the influence of functional value and the promotion media, there is a differentamong the broadcasting students that are compared with the advertising and public relationsstudents especially at the applied communication D3 student 2004. Thus, the hypothesis hasbeen proved. Mean while the social, emotional, epistemic, and conditional, values do not in-fluence the three concentrations. Therefore, the research concludes that the functional valueand the promotion media differ the student choice behavior at the applied communication D3student Fisip UNS.

Keywords: communication training, factors influencing student preference..

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 155

Page 71: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

156 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Permasalahan

Kerangka Pemikiran

Studi ini mempelajari faktor yang mem-pengaruhi pilihan konsumen (

) rogram D3 KomunikasiTerapan FISIP UNS. Penelitian ini merupakanstudi kon-sumen untuk melihat faktor yang pa-ling membedakan pada mahasiswa ketiga kon-sentrasi, Penyiaran, Periklanan, &

dalam menentukan pilihannya di programstudi Komunikasi Terapan. Dalam teori komu-nikasi pemasaran dikatakan bahwa seseorangdalam menentukan pilihan itu bisa dipengaruhioleh beberapa faktor antara lain:

, , , dan(Shimp, 1993; 58). Selain hal itu media

promosi diduga turut mempengaruhi pilihanmahasiswa.

Permasalahan penelitian ini adalah: apa-kah terdapat perbedaan pada mahasiswa ketigakonsentrasi (Penyiaran, Periklanan, dan

) dalam menentukan pilihannya, padamasing masing konsentrasi di Program D3 Ko-munikasi Terapan karena pengaruh faktor nilaifungsional, sosial, emosional, epistemic, kondi-sional,dan media promosi?

Dalam penelitian ini, c(perilaku pilihan mahasiswa) dalam

menentukan pilihannya konsentrasi studi dite-tapkan sebagai Sedangkanvariabel-variabel independennya adalah bebe-rapa faktor nilai yang meliputi: ,

, , dan. Peneliti juga menduga bahwa

perilaku disebabkan karena variabel lain, misal-nya media promosi yang menerpa khalayak ma-hasiswa pada saat masa kampanye pendidikanberlangsung. juga di-perlakukan sebagai variabel independen. Ke-rangka pemikiran di atas tertuang pada Bagan 1.

consumer choicebehavior

Public Rela-tions,

nilai fungsi-onal sosial emosional, epistemic kondisi-onal

PublicRelations

onsumer choicebehavior

variabel dependen.

nilai fungsionalnilai sosial nilai emotional nilai epistemicnilai kondisional

Pengaruh media promosi

mahasiswa P

Hipotesis yang diajukan dalam studi iniadalah: Ada perbedaan yang signifikan antarapilihan konsentrasi oleh mahasiswa akibat pe-ngaruh oleh faktor-faktor nilai fungsional, sosi-al, emosional, epistemik, kondisional, dan me-dia promosi. Dari sini kemudian dikaji faktormanakah yang paling menyebabkan perbedaanperilaku memilih olehmahasiswa.

Dari hasil analisa uji diskriminan, dite-mukan bahwa hanya variabel nilai fungsionaldan media promosi yang membedakan pilihanmahasiswa. Untuk variabel nilai sosial, niaiemosional, nilai epistemik dan nilai kondisonaltidak ada perbedaan pengaruh.

Nilai koefisien diskriminan untuk varia-bel nilai fungsional adalah 0,05 (0,001). Ini ber-arti ada perbedaan antar kelompok mahasiswa,pada kelompok Penyiaran, Periklanan, dan

yang memilih konsentrasi studikarena dipengaruhi oleh nilai fungsional, di ma-na pilihan mahasiswa dipengaruhi oleh pemah-aman akan manfaat (pengetahuan dan ketram-pilan) yang ditawarkan dan diharapkan akandikuasasi oleh lulusan sebuah konsentrasi studi.

Variabel media promosi turut membeda-kan pengaruhnya dalam menentukan pilihanmahasiswa pada ketiga kelompok mahasiswakomunikasi terapan UNS nampak dari nilai ko-efisien determinan 0,05 (0,001).

Sementara variabel nilai kondisional,menunjukkan angka yang paling besar; ini ber-arti tidak ada perbedaan antara kelompok Pe-

Metode Penelitian

Penelitian ini jenis explanatif untuk me-nguji hipotesa secara kuantitatif. Metode yangdipergunakan dengan metode survei, yakni pe-ngambilan data primer menggunakan kuesi-oner. Subyek dari penelitian ini adalah mahasis-wa Program D3 Komunikasi Terapan FISIPUNS angkatan 2004 yang berjumlah 250 orang.Sampel sebesar 130 mahasiswa diambil berda-sarkan panduan mengambil sampel dari ukuranpopulasi tertentu (Sekaran, 1992:235).

Kemudian untuk melihat faktor manayang paling membedakan (variabel

) in

r.

indepen-dent dalam mempengaruh pilihanmahasiswadilakukan uji statistis menggu akan uji diskri-minan tiga kelompok berdasar tiga jurusanyang ada, yaitu: Penyiaran, Periklanan se taPublic Relations

Hasil Penelitian

Pu-blic Relations

Pilihan mahasiswaProgram D3 Komu-nikasi Terapan ataskonsentrasi:

- Penyiaran- Periklanan- Public Relations

Nilai Fungsional

Nilai Sosial

Nilai Emosional

Nilai Epistemik

Nilai Kondisional

Media Promosi

Bagan 1Kerangka pemikiran hubungan antar variabel

Page 72: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 157

nyiaran, Periklanan maupun Public Relations,karena pengaruh nilai kondisional tersebut. De-mikian pula variabel lain, yaitu nilai sosial, nilaiemosional, nilai epistemik, tidak ada perbedaanpengaruh dalam memilih untuk masing masingkelompok Penyiaran, Periklanan,maupun

.Hal ini membuktikan hipotesis yang me-

ngatakan bahwa mahasiswa konsentrasi Penyi-aran mempunyai perbedaan dalam menentukanpilihannya karena pengaruh nilai fungsional,serta media promosi, dengan mahasiswa Perik-lanan dan Public Relations, Program D3 Komu-nikasi Terapan untuk angkatan 2004. Semen-tara nilai sosial, nilai emosional, nilai episte-mic, serta nilai kondisional tidak berbeda pe-ngaruhnya pada ketiga konsentrasi.

Implikasi dari penelitian ini adalah, ada-nya keterkaitan antara pilihan jenis merek dankeputusan pembelian saling bergantung. (Kris-hnamurthi, 1988). Dari pandangan ini, bila di-kaitkan adanya beberapa alternatif pilihan yangmenjadi kompetitor dari dari masing masingkonsentrasi pada Program D3 Komunikasi Te-rapan, yaitu konsentrasi Penyiaran, Periklanan,dan

Mahasiswa Program D3 Komunikasi Te-rapan Fisip UNS dalam menentukan pilihan pa-da masing masing konsentrasi karena pengaruhvariabel nilai

(Shimp,1993:56-59), juga Media Promosi. Dari perhitungan sta-tistik, kanyataannya yang paling membedakandalam mempengaruhi pada ketiga konsentrasiPenyiaran Periklanan dan ada-lah nilai Fungsional dan Media Promosi. Pema-haman diatas bila ditarik suatu manfaat yangbisa diambil adalah sebagai berikut.

Manfaat dari hasil penelitian ini bisa un-tuk dijadikan pengambilan keputusan dalammenentukan arah kebijakan pada sektor pendi-dikan khususnya pada komunikasi terapan. Ka-rena nilai fungsional pendidikan sangat diper-lukan, ini berarti fungsi pendidikan pada ke-inginan mahasiswa yang mengambil pada studikomunikasi terapan sangat memerlukan kebu-tuhan pendidikan itu. Artinya bahwa semakindibutuhkan fungsi pendidikan pada komunikasiterapan akan semakin dicari oleh masyarakatpendidikan di sektor komunikasi terapan itu.Sehingga pendidikan komunikasi terapan harussemakin mengarah pada ketrampilan yang se-

Pub-lic Relations

Public Relations.

Fungsional, Social, Emotional,Epistemic dan Conditional

Public Relations

suai dengan bidangnya.Sementara media promosi sangat mem-

pengaruhi dalam menentukan pilihan mahasis-wa, untuk itu perlu meningkatkan promosi se-cara lebih intensive serta lengkap materi pesan-nya. Dengan semakin lengkapnya materi pesanpada media promosi, mahasiswa dalam menen-tukan pilihannya akan semakin berkurang kebi-ngungannya. Media promosi yang paling tidakbisa ditinggalkan pada kenyataannya adalahmedia getok tular. Atau apa yang disebut seba-gai komunikasi mulut ke mulut komunikasi darimulut ke mulut adalah cara paling efektif untukmeningkatkan citra lembaga,yang pada giliran-nya akan mengajak adik klasnya untuk menik-mati pendidikan di komunikasi terapan FisipUNS. Selain hal itu citra lembaga itu akan me-ningkat sejalan dengan image yang ada dalambenak mahasiswa yang sudah mengenyam pen-didikan di dalam D3 komunikasi terapan itusendiri, yang kemudian mereka sebar luaskankepada calon mahasiswa atau orang luar yangbelum mengerti keadaan Program D3 Komu-nikasi Terapan FISIPUNS.

Angel, J.F., Balcwell, R.D., & Miniard, P.W.(1994). . Jakarta: BinaRupaAksara.

Armstrong, J.S. (1994). Research versus Teach-ing. .April.1994.

Belch, G. & Belch, M.E. (1990).

: Richard D. Erwin Inc.Bloch & Richins. (1983).

.

Foxall. (1993).

,vol. 95, no. 9 pp. 32-36.

Henkof, R. (1994)., Juni 1994.

Kotler, P. (2000). Ja-karta: Prenhalindo.

Ratner, R.K. & Kahn, B.E. (1999). Private vs.Public Consumption: The Impact of Im-pression Management on Variety Seeking.

1999.

Daftar Pustaka

Perilaku Konsumen

Journal of Business School Prestige

Introduction toAdvertising and Promotion Management.Boston

A theoretical Modelfor the Study of product importance per-ceptions Journal of Marketing, 47, 3, pp.69-81.

The Influence of Cognitive Styleon Consumers Variety Seeking amongFood Innovations, British Food Journal

Service Is Everybody`s Bu-siness. Fortune

Marketing Management.

Journal University of North Carolina atChapel Hill

Page 73: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

158 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Saladin J.H. (1994).. Bandung: Mandar Maju.

Santoso, S. (2002). .Jakarta: PTElex Media Komputindo.

Shimp, T.A. (2000). 5ed. Forth Forth: Dryden Press.

Singarimbun, M. & Efendy, S. (1999).. Jakarta: LP3ES.

Sutisna. (2001).Bandung: Rosda Kar-

ya.Swasta, B & Handoko, H. (2000).

Jakarta: BPFE.Swasta, B. (1994). Perilaku Berbelanja Konsu-

men tahun 90an dan strategi Pemasaran.no 1 1994.

Yazid. (2001) . Yogyakarta:Ekonisia Fak. Ekonomi UII.

Dasar dasar ManajemenPemasaran

SPSS Statistik Multivariat

Advertising Promotion

MetodePenelitian Survai

Perilaku Konsumen & Komu-nikasi Pemasaran.

ManajemenPemasaran.

Jurnal & Bisnis Indonesia. Pemasaran Jasa

th

Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

Page 74: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal.159-164

Peranan Teknologi Komunikasi terhadapPerubahan Sosial

SutopoJurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 159

Fungsi Komunikasi dan PerubahanSosial

Perubahan Tanpa Komunikasi

Bagaimana komunikasi dapat membawaperubahan sosial di tengah-tengah dunia yangsemakin semrawut ini? Tanggapan semacam iniberasal dari pandangan mereka yang mengang-gap komunikasi sebagai suatu proses dan yangmenyamakan proses dengan perubahan. Isi pe-san di negara-negara berkembang sebagian be-sar merupakan: hiburan, pembangkit fantasi,berpihak pada status quo bukan mendorong per-ubahan sosial.

Dari segi teoritis, sebenarnya komunika-si bukanlah selamanya menjadi penyebab per-ubahan dan juga tidak selamanya tidak relevandengan perubahan kontradiksi dan kekacauandalam analisa komunikasi dan perubahan ber-sumber dari pencampuradukan tingkat analisa,dari refikasi proses komunikasi dan percampur-an isi pesan-pesan yang nyata dengan potensipertukaran pesan yang dikendalikan oleh kaumelit. Berikut ini akan dibahas secara singkat in-dependensi komunikasi dan perubahan sosialdengan maksud agar uraian tentang bagaimanakomunikasi dapat dijadikan alat untuk perubah-an atau sebaliknya dengan adanya perubahanyang secara cepat (Demokratis serta Dinamis)akan mempengaruhi pola komunikasi yang ter-jadi.

Perubahan dunia yang semakin cergas(dinamis) ini nampaknya dapat berubah sendirioleh kekuatan-kekuatan yang datangnya tidakdisangka dan tidak dapat dikendalikan. Per-ubahan-perubahan ini bisa membawa akibat-

akibat yang mendasar dalam mempengaruhipola hidup manusia. Sebagai contoh munculnyasebuah gunung berapi di ladang kedelai akanmengubah cara-cara bertani di ladang itu, jugaakan mengubah perilaku petani di daerah itu.Begitu juga dengan adanya pantai yang ombaklautnya besar akan mempengaruhi tata ruangdan pola hidup masyarakat di tepi pantai untukmensikapi bila datang gelombang Tsunamiyang datangnya mendadak tersebut.

Seseorang bisa menyebabkan perubahanpada orang lain, baik secara sadar atau tidak,dengan jalan TANPA KOMUNIKASI. Sebagaicontoh seseorang yang tidak “berperikemanu-siaan” dengan tega menuangkan “racun” kedalam sumber air minum (umbul) di sebuah de-sa pada suatu malam yang gelap hal ini akanmenimbulkan perubahan besar terhadap ma-syarakat desa itu. Apa yang terjadi? Dari uraiansingkat dapat disimpulkan bahwa komunikasimerupakan suatu alat hanya salah satu alat dantidak selalu yang terpenting dalam membawaperubahan sosial. Arti penting di sini “RELA-TIF” dari komunikasi dalam perubahan tidakdapat dipisahkan dari masyarakat tertentu dimana perubahan sedang dipelajari atau diusa-hakan (Rogers, 1976:124).

Bahwa di suatu daerah berlangsung ko-munikasi dalam hal ini, tetapi tidak membawaperubahan pada orang yang menjadi sasaran-nya. Fenomena ini sebenarnya tidak diragukanlagi, bahwa dalam sistem sosial manapun terda-pat banyak sekali komunikasi yang dimaksud-kan untuk memperkecil atau menghalangi peru-bahan yang cenderung akan terjadi bila tidak

Komunikasi tanpa Perubahan

Page 75: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

160 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ada komunikasi itu. Permasalahannya adalahbagaimanasuatu masyarakat bisa tetap utuh danstabil tidak lebih dan tidak kurang mendasarnyadengan masalah bagaimana masyarakat itu da-pat mengubah dirinya atau justru diubah olehkekuatan dari luar, baik lewat media massa ataulewat opinion leaders setempat. Dari berbagaikajian di lapangan komunikasi yang bersifatritual pada prinsipnya dimaksudkan untuk me-melihara kestabilan ini. Hubungan antara indi-vidu sebagian dipelihara dengan komunikasipewarisan kebudayaan banyak tergantung padakomunikasi. Banyak pertukaran pesan-pesanberfungsi untuk memperkuat pandangan ataunilai-nilai yang telah dianut sebelumnya, bukanuntuk mengubahnya sekiranya tidak ada komu-nikasi tanpa perubahan, maka tidak mungkinmenggunakan komunikasi untuk membendungperubahan. Padahal kegunaan semacam itu sa-ngat penting demi kelangsungan hidup organi-sasi organisasi dan hubungan hubungan sosial(Rogers, 1976:125).

Kehidupan kelompok hanya dapat ber-lanjut sejauh para anggotanya mengatur ting-kah laku mereka sesuai dengan seperangkat ha-rapan yang dijunjung bersama atau paling tidakmenurut seperangkat peranan yang cukup ter-padu. Namun demikian, setiap anggota suatumasyarakat tidak harus persis sama dengan ang-gota anggota lainnya. Kebudayaan bukanlahhasil peniruan keseragaman psikis, sebagaima-na ditegaskan oleh Wallace (1970). Demikianjuga seorang anggota masyarakat tidak harustahu semua seluk beluk koordinasi dan organi-sasi interaksi dalam masyarakat. Namun, jikastabilitas hubungan dan pandangan itu tidak ter-pelihara maka masyarakat itu sendiri tidak akandapat terus bertahan. Perubahan-perubahan da-lam suatu masyarakat hanya mungkin terjadiapabila kelompok itu sampai pada batas tertentuberusaha memperhatikan diri selama proses pe-rubahan itu berlangsung.

Pada Pola ini, Komunikasi adalah masa-lah yang essensial dalam perubahan sosial. Pro-ses sosial pada pola ini meliputi tiga langkah ya-itu (proses ide-ide baru diciptakanatau dikembangkan), (proses inovasiitu disebarkan kepada anggota masyarakat),dan (perubahan yang terjadi aki-bat inovasi itu diterimaatau ditolak).

Komunikasidengan Perubahan

inventiondisfusion

consequences

Oleh karena itu, perubahan sosial disiniterjadi ketika penerimaan dan penolakan ide-ide baru yang dikomunikasikan memiliki suatuefek. Dengan demikian perubahan sosial adalahefek dari komunikasi. Perubahan sosial ialahproses terjadinya perubahan dalam struktur danfungsi suatu sistem sosial. Dari sisi perspektiflain dapat dilihat dari unit yang menerimanyaatau menolak ide-ide baru itu. Di dalam sistemmasyarakat banyak perubahan terjadi: 1) padalevel individu, dalam arti individu adalah pene-rima atau penolak inovasi itu. Perubahan padalevel ini sering disebut dengan berbagai istilah;Difusi Adopsi,Akulturasi atau Sosialisasi. Pen-dekatan seperti ini dapat kita sebut pendekatanMicroanalistis, dalam arti titik perhatian peru-bahan itu ialah pada perilaku individual; 2) Per-ubahan dapat juga terjadi di level sistem sosialyang sebaliknya sering diberi istilah; pemba-ngunan, spesialisasi, integrasi, atau adopsi, pa-da level ini perubahan yang ada di level sistemsosial, oleh sebab itu, pendekatannya adalahMicroanalistis.

Untuk selanjutnya perubahan yang terja-di di dua level ini sangat erat berinteraksi danberhubungan satu dengan yang lain. Mungkinseluruh analisa perubahan sosial pada akhirnyaharus memusatkan perhatian utamanya padaproses komunikasi.

Dalam mengkomunikasikan ide-ide baruitu di dalam sistem sosial masih memiliki jenispengaruh lain, inovasi yang telah disebarkankepada masyarakat dapat diterima atau ditolakoleh individu anggota suatu sistem atau seluruhanggota suatu sistem sosial. Hubungan antarasistem sosial dan keputusan untuk menerimasuatu inovasi dapat diuraikan sebagai berikut :

1. , yaitu suatu keputu-san yang dibuat oleh individu terlepas dari ke-putusan yang dibuat oleh individu-individu lainyang ada dalam sistem itu. Dalam kasus ini punkeputusan individual itu jelas dipengaruhi olehnorma-norma sistem sosialnya dan kepenting-annya untuk menyelaraskan diri dengan tekan-an kelompok. Keputusan individual seorang pe-tani untuk meningkatkan bibit unggul dan kepu-tusan seorang ibu rumah tangga untuk meneri-ma dan menggunakan tablet pembatasan kela-hiran adalah merupakan contoh dari keputusanyang demikian.

Komunikasidan Dehumanisasi

Optional Decision

Page 76: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 161

2. , di mana individu-individu yang ada dalam suatu sistem sosial se-tuju untuk membuat suatu keputusan berdasar-kan suatu kesepakatan bersama. Setelah kepu-tusan yang demikian dibuat, semua orang harusmenyelaraskan dirinya dengan keputusan sis-tem itu. Contohnya ialah pemberian flouridpada air untuk minum di suatu kota. Sekali ke-putusan masyarakat telah dibuat maka individuharus menerima air yang telah mengandungflourid tersebut.

3. , yaitu seorang ko-munikator yang menyampaikan informasi ke-pada komunikan (sasaran atau masyarakat), de-ngan cara memaksakan kehendaknya supayakomunikannya untuk memberi keputusan gunamenerima informasi/inovasi tersebut. Misalnyaoleh seorang supervisor dalam suatu organisasibirokrasi. Dalam penerimaan dan penolakaninovasi tersebut, sikap individu terhadap ino-vasi bukan merupakan faktor yang penting. Iahanya diberitahu dan diharapkan untuk menye-suaikan diri dengan keputusan inovasi yang di-buat oleh yang berwenang. Dengan demikianproses komunikasi seperti ini pihak komunikanmengalami terjadinya Dehumanisasi. Beberapapenelitian tentang tipe keputusan inovasi seper-ti ini nampak hasil penelitian Suryono tentangdifusi inovasi program inseminasi buatan dikalangan kelompok tani di Kecamatan KebakKramat Kabupaten Karanganyar. Hasil peneli-tian menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasiIB (Inseminasi Buatan) mencapai 88,8% de-ngan pendekatan ”kekuasaan” lewat pilar biro-krasi dengan ditakut-takuti kalau tidak ikutmenggunakan suntikan IB bagi hewan sapinya.Begitu juga hasil penelitian tentang AdopsiKontrasepsi KB spiral bagi masyarakat pinggir-an kota Sukoharjo mencapai 92,8%. Sebab so-sialisasi kontrasepsi KB spiral itu, dikaitkan de-ngan ”upaya kenaikan pangkat pegawai negeri”(Subiyanto, 1998:28). Dengan demikian meng-gambarkan dua hasil penelitian itu menunjuk-kan dalam menerima inovasi tidak ada kebebas-an untuk menolaknya, maka masyarakat sasar-an mengalami Dehumanisasi.

Dalam mengenalkan teknologi yang ba-ru, selalu akan berhadapan dengan dua unsur

Collective Decision

Authority Decision

Pengaruh Perkembangan TeknologiKomunikasi Terhadap PerubahanSosial

yang penting yaitu hubungan sosial dan pe-ngendalian masyarakat. Pengawasan, pengen-dalian dan penilaian terhadap teknologi yangbersangkutan terutama pada pe-ngaruh tekno-logi terhadap organisasi sosial penerima. Kegi-atan pengendalian merupakan tugas manaje-men teknologi yang mencakup kemungkinanpenyalahgunaan dan gangguan terhadap ling-kungan sosial/fisik alami serta buatan.

Terhadap setiap teknologi setiap masya-rakat mengharapkan adanya pengaturan yangmemadai demi ketertiban, ketenangan dan ke-teraturan dalam masyarakatnya, dengan sedikitmungkin gangguan terhadap kehidupan sehari-hari. Dengan demikian setiap introduksi tekno-logi baru, mensyaratkan suatu persiapan yangcukup dini dan perencanaan, yang memperhi-tungkan reaksi dan kemampuan wadah peneri-manya/ masyarakat.

Untuk itu diperlukan persiapan dan pe-mikiran-pemikiran yang matang tentang dam-pak teknologi terhadap struktur sosial-politikekonomi-budaya dengan memperhatikan aspekorganisasi (sosial, teknologi, dan ekonomi) danaspek budaya milik perancang teknologi danmasyarakatnya yang telah melandasi teknologiyang bersangkutan

Telah dilihat bahwa secara tidak sadarperancang pun telah memasukkan keinginan-keinginan pribadinya, termasuk sistem nilailingkungan/pemesan, yang diintegrasikan de-ngan daya kreasi, pengetahuan dan ketrampilanperancang/konstruktor/produsen. Hal inilahyang telah mengakibatkan bahwa seoyektif-ob-yektifnya suatu teknologi ia tetap berbias kepa-da pihak-pihak yang terlibat dalam proses pe-rancangannya. Karena itulah maka suatu tekno-logi tidak bebas organisasi, tidak bebas nilai bu-daya-sosial-ekonomi dan politik.

Dengan demikian agar supaya suatu tek-nologi berfungsi dengan semaksimal mungkin,maka ia perlu bertemu dengan lingkungan danwadah yang mirip/cocok dengan budaya negaraasalnya. Inilah yang terjadi dalam proses glo-balisasi yang biasanya akibatnya saja yang kitasadari terutama bila tidak cocok dengan lingku-ngan barunya. Maka dampak dari penggunateknologi itu, akan melahirkan perubahan sosialyang mengarah kepada budaya asli teknologidari negara asal.

Faktor dan yang te-lah kita kenal sebelumnya, kini ditambah de-

hardware brainware

Page 77: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

162 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ngan istilah untuk unsur sumber dayamanusia sebagai salah satu unsur manajemendisamping modal dan perangkat keras, itulahsebabnya Pacey mendefinisikan teknologimenjadi : ”

” (Pacey, 1983: 6-7)Definisi ini sekurang-kurangnya juga te-

lah mampu untuk memasukkan bidang ilmu pe-ngetahuan yang tercakup dalam proses peren-canaan, pengadaan, bahkan konstruksi dan pro-duksi teknologi itu sendiri. Pada tahap inilahterjadi pertumbukan atau adaptasi dan modifi-kasi oleh masyarakat atau peneliti perancangterhadap IPTEK karena sebagaimana telah dili-hat, teknologi tidak berdiri sendiri, tidak bebasdari nilai-nilai sosial-ekonomi-politik, oleh ka-rena itu masyarakat penggunanya juga telah ter-cemar oleh budaya negara asal teknologi, se-hingga sedikit banyak juga sudah memuncul-kan fenomena dehumanisasi.

Adaptasi tidak sukar, apabila selalu disa-dari bahwa suatu teknologi dikembangkan (le-bih lanjut) selalu berdasarkan suatu dorongandan motivasi untuk mencapai sesuatu. Dorong-an ini tentunya berakar pada suatu nilai : nilaiprofesional IPTEK atau dorongan-dorongansosial-politik-ekonomi yang ditanamkan duniaekonomi-industri dalam proses pengembangansuatu teknologi. Proses ini terjadi secara sadaratau tidak sadar dan mempengaruhi duniaIPTEK bila melaksanakan R&D terhadap suatumasalah.

Sumber nilai yang lain bagi teknologidan profesi IPTEK ialah pengalamannya sendi-ri ( ) yang lambat launmenjadi standar teknis atau bahkan standar etisprofesi IPTEK. Kemudian terjadilah interaksiantara ”pengalaman” IPTEK dan nilai dorong-an sosial-politik-ekonomi yang telah diterimaoleh dunia IPTEK dan melahirkan apa yang di-kenal sebagai . Ke-lompok nilai IPTEK inilah yang oleh Einsteindisebut ”

” sebagai milik dunia IPTEK/theExpert-Sphere, yang harus selalu lebih baik, le-bih teliti, lebih rinci, dan lebih cepat serta lebihmurah.

Dalam rangka mempercepat datangnya

live-ware

the application of scientific andother knowlegde to practical tasks by orderedsystem that involue people and organization, li-ving thing and machines

technological experience

technological imperatives

The joyfull sense of intelectual power/challenges

Masyarakat Informasi

masyarakat informasi, industri informasi saatini sedang menyajikan sisi positif dari teknologitinggi, khususnya teknologi Komunikasi. Wa-laupun orang tidak dapat menyalahkan industriinformasi yang sedang membangun citra ideal,pengaruh yang diharapkan yang mempercepatdatangnya masyarakat informasi dapat me-nyebabkan munculnya konsekuensi sosial tat-kala industri informasi tidak secara simultanbertanggung jawab terhadap munculnya efeksamping dari cepatnya perubahan dari masyara-kat industri menuju masyarakat informasi.

Tampaknya, orang sepakat dengan Mar-gareth Mead (1973: 345) yang menyatakan bah-wa kemajuan teknologi pada dasarnya adalahnetral, yang tampak adalah intervensi manusiaterhadap teknologi, secara cepat mengingkarikenetralan ini. Para peneliti terus menunjukkanpengaruh yang muncul dari teknologi informa-si. Persoalan-persoalan krusial yang berkaitandengan masyarakat informasi, diantaranya ke-limpahan informasi (Gabor, 1973; Branscomb,1979; Pelton, 1983), campur tangan masalahpribadi (Donner, 1986; Diebol, 1973), ketidak-adilan informasi (lihat Evans, 1979; Oettinger,1980), isolasi psikologis (Silberman, 1977),sentralisasi informasi (Schller, 1981), dan pe-nyalahgunaan informasi (Parker, 1983).

Ketakutan masyarakat informasi, karenamenyangkut glamornya teknologi tinggi. Apa-kah konsep masyarakat informasi benar-benarperlu dipromosikan? Dengan glamornya tekno-logi komputer pada masyarakat kini, apakahkonsep masyarakat informasi perlu disebarlu-askan? Jawabannya adalah ya. Masyarakat me-rasa belum begitu puas dengan prospek tekno-logi telekomunikasi (lihat Davis, 1983). Sikapmasyarakat terhadap konsep masyarakat tekno-kratik di mana tukang pos digantikan oleh me-sin elektronik dan berbelanja dapat dilakukandengan videotext, tetap negatif. Sementarahampir semua orang terpesona dengan kemam-puan komputer yang luar biasa dalam mempro-ses segudang informasi dalam hitungan nano-detik, sebagian yang lain merasa khawatir yangcanggih yang melewati batas kehidupan indi-vidu.

Ketakutan pelanggaran tersebut merupa-kan ketakutan terhadap industri informasi yangakan mengendalikan sistem informasi. Menurutpandangan ini, kabel, komputer, dan sistemkomputer secara cepat menjadi hak milik sege-

Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

Page 78: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 163

lintir konglomerat besar. Sebagian orang perca-ya bahwa konglomerat ini akan segera dapatmengendalikan arus informasi walaupun tam-paknya tidak demikian. John Wicklein (1981),misalnya, berpendapat bahwa sistem kabel in-teraktif yang baru, yang berjumlah 108 salurandapat dikontrol oleh operator. Walaupun hal inidibuat-buat, namun ada yang merasa khawatirkalau-kalau pemerintah atau pihak swasta dapatmengendalikan informasi dan teknologi infor-masi.

Samuel C. Florman (1981: 181) meng-ungkapkan bahwa teknologi ditakuti karena mi-tos teknologi itu sendiri dan mitos elit teknokra-tik. Dalam sebuah artikel yang berjudul ” Sa-ving the Consumer from the Computerized Sna-fu” (Ross, 1980:56) menyatakan bahwa “kon-sumen senantiasa merasa sebagai korban yangtak berdaya dari mesin birokrasi yang besar danseragam orang tidak dapat diajak berbicara,atau berpikir”. Pada tahun1970, banyak filmdan novel yang mengusung tema sejenis:

dan , semua menggambarkansuatu masa depan dunia yang serba komputer,tidak mempunyai nafsu sama sekali. Industri in-formasi dengan cepat telah mempersepsikanbahwa sikap negatif publik terhadap teknologitinggi akan hilang dengan cara melakukan pro-mosi media yang positif.

Masyarakat yang disebutkan sebagai ta-hap setelah era industrialisasi atau yang santerdengan sebutan masyarakat ”pasca industrial”dinamakan juga sebagai masyarakat informasi.Tahapan masyarakat dimaksud memang telahberkali-kali digambarkan oleh para ahli yangberusaha menunjukkan ciri-ciri penting daritahapan kehidupan tersebut dengan memperli-hatkan perbedaannya dengan tahap-tahap sebe-lumnya.

Masyarakat informasi (Rogers, 1986) di-rumuskan sebagai ”suatu bangsa dimana mayo-ritas angkatan kerja adalah terdiri dari para pe-kerja informasi, dan dimana informasi merupa-kan elemen yang paling penting. Jadi, masyara-kat informasi mencerminkan suatu perubahanyang tajam dari masyarakat industrial dimanamayoritas tenaga kerja bekerja dalam pekerjaanmanufacturing seperti perakitan mobil dan pro-duksi baja, dan yang merupakan elemen kunciadalah energi.

Kontras dengan itu, para pekerja individu

2001:A Space Odyssey, Tron, Looker, Rollerball,Zaidoz, THX 1138

pada masyarakat informasi adalah mereka yangaktivitas utamanya memproduksi, mengolah,atau mendistribusikan informasi, dan mempro-duksi teknologi informasi”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan :masyarakat informasi yaitu masyarakat yangsadar akan informasi, dan mengandalkan infor-masi dalam segala bidang kehidupan, sekaliguspemerataan informasi serta berlangsungnya in-teraksi terbuka dan bertanggung jawab dalamproses komunikasi dan tercapainya integrasisosial dalam menunjang pembangunan nasio-nal.

Informasi merupakan energi bahan yangberpola ( ) yang mempe-ngaruhi probabilitas yang tersedia bagi seorangindividu dalam pembuatan keputusan. Informa-si tidak memiliki eksistensi fisik secara sendiri,dan hanya dapat diekspresikan dalam bentukmaterial (seperti tinta di atas kertas) atau dalambentuk energi seperti impuls atau gelombangelektrik. Seringkali informasi dapat disubtitusi-kan oleh sumber ( ) lain seperti uang.

Dari gambaran di atas nampaknya ma-syarakat informasi dibentuk dari 3 aspek yaitu1) segi ekonomi (daya guna informasi): bagai-mana dapat bekerja melalui pendayagunaan in-formasi; 2) segi sosial budaya (budaya informa-si): bagaimana mengandalkan informasi dalamsegala bidang kehidupan dan mampu mengha-silkan mengolah dan memanfaatkan secara efi-sien dan efektif; 3) segi teknologi (infrastrukturinformasi): bagaimana memiliki infrastrukturyang lengkap, yang mampu mengakses infor-masi ke seluruh penjuru dunia melalui suatu hu-bungan dengan jari tangan informasi dan jaring-an telekomunikasi global.

Bila ketiga aspek maupun dalam kehidu-pan yang akurat dan benar, baik dalam kehidup-an informasinya maupun dalam kehidupan so-sial dan budayanya. Dengan terbentuknya ma-syarakat informasi konsekuensinya akan mu-dah terjadi interkoneksi global komunikasi ber-gerak secara aliansi global juga, implikasi se-lanjutnya adalah hilangnya batas geografis; hi-langnya ketergantungan pada waktu dan ruang;hubungan komunikasi terdistribusi dalam “ru-ang”; dan manusia menjadi anggota dari “

”.Untuk dampak yang lain, dengan adanya

maka: demokrasicenderung berkembang pesat; pertumbuhan

patterned matterenergy

resources

manyglobal non place communities

information superhighway

Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

Page 79: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

164 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ekonomi cenderung meningkat; dan nilai infor-masi semakin dihargai.

Dengan terwujudnya masyarakat infor-masi maka akan sangat berpengaruh terhadap:meningkatnya pemerataan informasi yang tentuakan sangat berpengaruh terhadap meningkat-nya gerakan perubahan sosial. Dengan adanyatransparansi dan akuntabilitas semakin kuatmaka fenomena yang bersifat dehumanisasi se-makin berkurang juga; meluasnya informasipembangunan secara terpadu dan merata; me-ningkatnya kemampuan sumber daya manusia,sarana, dan prasarana; dan meningkatnya inter-aksi positif antara media massa, pemerintah danmasyarakat.

Beberapa kritik yang dilontarkan kepadaperan media massa dalam pembangunan di an-taranya adalah:a. Perlu dicermati adalah dengan berkembang-

nya Ilmu dan Teknologi Komunikasi, bahwamedia massa di negara-negara berkembangsebagai suatu perpanjangan hubungan yangeksploitatif dengan berbagai perusahaanmulti nasional di negara-negara maju khu-susnya lewat produk iklan-iklan komersial.

b. Terkait dengan pola pemilikan dan penga-wasan elit atas lembaga-lembaga media mas-sa nampaknya berpengaruh terhadap isi me-dia (tidak obyektif lagi)

c. Sumbangan komunikasi massa dalam per-ubahan sosial (pembangunan) sering terham-bat oleh struktur sosial dan kurang adanyabahan masukan (hanya kritik saja), dan ku-rang banyak memberitahukan hambatanpembangunan.

d. Banyak harapan di Negara-negara berkem-bang (misalnya, Columbia) bahwa komuni-kasi merupakan faktor penunjang moderni-sasi dan pembangunan, tetapi kenyataannya

Kritik Media Massa dalamPembangunan

berpengaruh kecil kecuali lebih dahulu dila-kukan perubahan struktur untuk mengawaliproses pembangunan.

e. Masih diperlukan banyak cara yang mema-dai atau suatu penelitian tentang menguji ke-benaran suatu hipotesa adanya kesenjanganakibat adanya komunikasi. Hipotesa tentangkesenjangan yang disampaikan para pakarkomunikasi untuk menunjukkan bahwa salahsatu pengaruh komunikasi massa adalahmemperlebar jurang perbedaan pengetahuandi antara dua kelompok masyarakat yang ber-status ekonomi tinggi dan berstatus ekonomirendah, untuk itu perlu penelitian lebih lanjutmengenai “kesenjangan akibat pengaruh ko-munikasi dengan menggunakan model

.

Indajit, R.E. (2001).. Jakarta:

Gramedia.McAnany, E.G. (1980).

. New York: Praegen Pu-blisher.

Rahardjo, B. (2002).. Jakarta: Gramedia.

Roger, E.M. (1976).. Jakarta: LP3ES.

Salvaggio, J.L (2000). Membangun Citra Posi-tif Masyarakat Informasi. No.VOktober 2000.

Scoot, N.M. (1991).. Ox-

ford: Oxford University Press.Sutopo. (2001). Pendidikan Perubahan Sosial.

Bahan latihan riset aksi. Surakarta: Puslit-bangdeka-Lemlit UNS.

-----. (2005).. Surakarta: Pustaka

Ramayana Ilalang dengan Program PascaSarjana Komunikasi UNS.

Usesand Gratification

Manajemen Sistem Infor-masi dan Teknologi Informasi

Communications in theRural Third Word

Memahami Teknologi In-formasi

Komunikasi dan Pemba-ngunan

Jurnal ISKI

Information Technologyand Organizational Tranformation

Komunikasi, Perubahan Sosialdan Dehumanisasi

Daftar Pustaka

Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

Page 80: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 165-171

Communication as Culture

Pamela NilanSchool of Social Science, The University of Newcastle Australia

Abstract

Culture is not only things which can be touched. It also include 'the way of life' of a society. It isa series of practices too. While media and popular culture products are the form ofcommunication. For example the popular musical genre, nasyid, and the new television trend,'reality'/ horror shows. There is the cultural studies approach, which tries to find out and digsabout how people are binded to the particular context of culture. This article will explore aboutthe intersection of communication and culture, especially in Asia, as one of the most dynamicmodern places in the world.

Keywords: communication, popular culture, cultural studies, media.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 165

Introduction

The topic today comes from a questionhow do communication and culture intersect inspecific Asian societies in the twenty-first cen-tury? To define culture, I will use the followingdefinition:

If culture is 'a way of life' then this drawsour attention to the fact that culture is not fixedor static. Indeed it has been been claimed thatwe are always living culture. The antropholo-gist Brian Street (1993) argues that culture is averb, not simply a state of being, but a series ofpractises. So there be no time or place which isoutside lived culture.As culture change though,there is certainly the impression that some waysof being, and knowing are being left behind,even eclipsed, as new form of culture develop

The human creation and use of symbols andartefacts. Culture maybe taken as constitut-ing 'the way of life' of an entire society, andthis will include codes of manners, dress, la-nguage, rituals, norms of behaviour and sys-tems of belief (Jary and Jary, 1991:138).

from inside and from outside sources. Bothwestern nations and developing nations are nowenmeshed in the workings of what is increasing-ly a global economy and what some claim to bea 'global culture'. Yet there is really no suchthing as a singular form of global culture assuch. For while technologically-driven western(particularly American) culture threatens tosweep te planet (Waisbord 1998), there areother cultural 'cores' in the world from whichnew cultural trends are distribted (such as Ja-pan, India, SouthAmerica and the Middle East)which many people in the world prefer as a formof mediated symbolic communication.

So, talking about communication today, Iwill be generally referring to the form of com-munication we usually call media newspapers,journals, magazines, television, internet, films,advertising and other forms of popular culturesuch as fashion and pop songs. As specific ex-amples, I will be considering the popular music-al genre of and the new television trendto 'reality' shows. In the socialsciences and humanities in western universities,

nasyidmistery/horor

Page 81: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

166 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Nilan : Communication as Culture

there are three main ways of analysing the relat-ionship between media and culture. The first ofthese is sociological, an approach which usuallyemphasises the ideological and political econo-my influences upon the citizenry that comefrom media (for example, Curran 2002). Ano-ther popular angle of analysis is political scien-ces, which emphasises the political economy ofthe media industry (see Croteau & Hoynes2002), especially issues of transnational own-ership and distribution. Finally, there is the cul-tural study approach, which seeks to explore theways that media links, enfolds or otherwisebinds people in particular contexts of culture(Holden, 2004; Fiske 1996). Holden maintainsthat the essential (but often neglected) dimens-ion in cultural studies of media is context (Di-mitriadis 2001). Culture is communicated in thelived spaces of everyday life where local andglobal identities are mediated (for example Wi-dodo 2002; Nilan 2001; Gillespie 1995) and ar-ticulated (Morley & Robins 1995).

Although there are pockets of underde-velopment and backward thinking in Asia (forexample Burma and North Korea)Asia is one ofthe most dynamic modern places in the world.There are forms of media coming out of Asiawhich are different to those produced anywhereelse in the world and they have a profound ef-fects on Asian cultural identity (Lent 1995). Al-though pessimistic view is that people in non-western countries are brainwashed by western-controlled media (Best & Kellner 1998) intothe consumption of cheap, culturally meaning-less commodities (see Gitlin 2000; Hibbs 1999;Giroux 1997; Adorno & Horkheimer 1977);thereby losing their traditional culture and be-coming slaves to the style/ fashion trends andideologies manufactured by global marketing(Klein 2000; Ritzer 1993), I believe the reverseto be true (Harrington & Bielby 2001 2001;Bennet 2000; Willis 1991; Hebdige 1988; Ben-jamin 1973).

The literary critic Walter Benjamin, forexample, argued strongly against the pessimis-tic thesis. He pointed out that mass media al-lows the masses to participate openly in aes-thetic and communicative reception and appre-tiation. Like Benjamin, Wilis (1991), writingabout British working class-youth, stresses thedemocratic and active, rather than be hegemo-nic and oppresive, potential of contemporary

popular culture. He maintated the people appro-priated and synthesised cultural materials fromall kinds of sources for their own creative andsocial ends (Thompson 1995). Therefore, intalking about the relationship between commu-nication and culture in Asia we must considernot only the local 'meanings' constructed globalmedia messages and icons, but the meaningspeople construct about established cultural tra-ditions and identities which exist in arelationship (see Hoogvelt 2001 : 11) with these'modern' western and other hegemonic iconsand symbols (Sunyindo 1998). Before we un-thinkingly accept the idea that western culturalforms constitute a massive homogenising jug-gernaut that sweeps all before it (Appadurai1996; Barker 1999), we must recognise that themajority of Asian people are still 'located' intheir local communities with specific culturalhistories (Cunningham & Sinclair 2000). Thisis the 'context' that Holden demands we under-stand. Pattiera (1995), writing about Philipin-nes, claims in the postmodern moment there is'a colonication where the past coexist with thepresent'. Local identities are still nurtured butthese are interfaced with 'the cultural bound-aries of a global order' (1997) in the context ofpeople's everyday lives. In this context, hybridforms of media culture emerge, so that the past(real or imagined), touces te increasingly tech-nological present at key points in the framing ofidentities (Nilan, 1999). Pieterse (1995) des-cribes this hybridisation as the 'creolisation ofglobal culture', and instances of this phenome-non from theexamples below.

Asia is a collection of cultural contexts adynamic, variegated, discontinous collection ofstates. It is full of dissimilar political systems,economic and class ordering, religious prac-tices, cultural histories, social and ethnic group-ings, technological prospects, and media prefer-ences. As a result in the increasingly complexsocieties of Asia, media forms are becomingever more complex and 'creolised', yet real-world events are still represented and modelledin an interative fashion by media as a form ofcommunication which speaks to local identi-ties. We may consider the case oforiginally 'cute' goods marketed only as toys for

dialectical

Hello Kitty

Media Communication and AsianCulture

Page 82: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 167

Nilan : Communication as Culture

children in Japan which has come over threedecades to target a wide range of ages world-wide, and are now affixed to everything fromstationery to vacuum cleaners, surfboard tohandbags. In Asia, has become atransnational filter for chatter about race, gen-der, and sexuality. In short, media (mediatedcommunication) is a major if not a primarymeans through which Asian experience, under-stand, effect and are affected by the worldscontaining them.

Yet despite the often simplistic 'mediat-ion equation' in contemporary communicationstudies the ways in which media routinly filter,if not influence, they myriad activities of sociallife the manner in which such media/societyinterfaces transpire is far from uniform. For ex-ample, ethnographic research in Indoa revealsthat beneath the public, liberal, culture of con-sumption projected by television, in popularmagazines, and through Bollywood films andadvertising, there still exists a private worldbuilt around family, class, and gender, one re-taining many aspects of traditional moral andhierarchical principles. Even if various media inthe Indian context routinly present the emer-gent, consumer, middle class citizens free-wheeling in western clothes, this may be merelysurface level representation. The same is true inIndonesia, where girls in a ruralmight gather to watch the glamorous contestanscompeting for pop idol status in

In a sense does not re-present their lives at all, but that is not the pointof why they watch the show. In Indonesia, en-thusiastic consumers of media texts such asKung Fu or Bollywood movies, sinetron, SouthAmerican telenovela, Sinchan cartoon and co-mics, rock music from Slank, or pop music fromSheila on 7 or Dewa reveal not simply the exist-ence of a substantial consumerict middle class,but at the level of practice, the existence of amuch wider of consumers who do not match theideal image, but whose conspicuous sense ofidentity is still built around gendered concept-ions of beauty, body, image of love and the poli-tics of 'cool'.

Yet it is certainly clear from a wealth ofempirical studies that modern media productsnewspaper, journals, television, radio, the inter-net, films, pop music, fashion magazines, ad-vertising etc. have become resources for con-

Hello Kitty

pesantren

AFI (AkademiFantasi Indosiar). AFI

structing cultures of identity for the new consu-merists Asia middle class. Altough media pro-ducts are only a few of the myriad commoditiesnow flooding into developing countries, theyare unique in their ability to enchant and tacitlyadvertise countless other consumer goods.Mass media produce a space for the imaginationthat beckons consumers to experience and livesas their own. These images provide a new formof social currency that consumers, especiallymiddle-class youth employ in their efforts toconstruct new cultures of identity.

Modernity and religion, developmentand tradition, sit somewhat uneasily together inIndonesia, configured differently from regionto region. In the last two decades of the twen-tieth century, Indonesia underwent a period ofrapid social and political transformation whichsaw the dramatic ascendancy of a high-consu-ming urban middle-class, followed by a devast-ating economic collapse in 1997/98, fromwhich there as yet to be real financial recovery.Since reformasi and the first free election in1999, all forms of the media have developed re-markably. Because of their apparently unlimit-ed representational scope, media are now high-ly significant means through which Indonesiansexperience, understand, effect and are affectedby the social world around them A significantvolume of work has been produced on the topicof media and culture in Indonesia, particularlythe cultural impact of globalized Western me-dia. As many have noted, commentators can bedivided into those who understand the impact asnegative, destructive of Indonesian cultures,and those who favour a model of cultural appro-priation, synthesis and hybridization (see Crane2002; Morris 2002 for discussions of this de-bate).

It is argued in this paper that people in In-donesia are not dupes of culture nor pitiful vic-tims of a cultural onslaught from the West(Abou-El-Haj 1991; Said 1978). Rather, theyengage with contemporary media local, region-al and global in an urban social and work con-text that promotes an inviting set of discoursesabout how to live and position oneself advan-tageouslybin the world, drawing not only onmodernist ideology, but on significant

discourses of life and work. Therefore, al-

Indonesia Media and Culture

traditi-onal

Page 83: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Nilan : Communication as Culture

168 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

though complex, the relationship between me-dia and identity is theorised here as two-wayconstitution of subjectivity. On the one hand,individuals bring both actual and potential iden-tity discourses to their moments of media en-gangement. For Indonesians, these 'local' dis-courses derive mostly from the following re-sources:etnho-locality, tradition/ religion, andnationalism.

Mass media, on the other hand, offer ahugely diverse range of discourses some ofwhich may bear on the identity discoursesabove, others which may not. Part of this deter-mination lies in media form and content, both ofwhich have the ability to confer salience to, andsymbolic power upon, certain discourses, whilesurpressing others. At the same time, it is onlythrough actual engangement by the individuals,as an embodied subject, with the identity dis-courses transmitted by the media as a form ofcultural communication, that an effect constitu-tive of identity can possibly occur. Importantly,if there is little or no affinity between these iden-tity discoursesno provocation between the twosets of discursive 'prompts' then media contentmay be ignored. To offer an example, most In-donesian men completely ignore women's day-time television programs, even when the showplays in their presence.

So, like Morley and Robins (1995:44),we should reject any simplicistic model wheremedia, especially new media technology, isseen as exerting impacts 'on a set of pregivenobjects, national (or cultural) identities', Indo-nesian people have enganged with forms of glo-bal media (broadly speaking) for a very longtime without losing their distinctive Indonesianidentity. In reference to Kathmandu, Liechtyhas capture this verity well when he argues:“identity refers to a person's sense of inclusionin (or exclusion from) a range of social roles andways of being, both 'real' (those derived fromlived experience) and 'imagined' (those en-countered in realms beyond the everyday: tales,religious epics, etc.)” (1995:167;emphasis added).

Despite the propagandistic approach em-bodied in New Order communications, con-temporary Indonesian mass media do not usual-ly preach at, or even speak directly to people inthe evocation of discourse. More often they ad-dress consumers indirectly, by representations.

mass media

Yet media representations encode particularlypowerful identity messages, operating as theydo through embodiment, voice (including writ-ten media), and acts which directly appeal toemotions and morals values. It has been arguedthat media consumers 'cruise' texts such as me-dia products, constantly seeking representat-ions through which they might reconstitute fra-gile subjectivity as stable and strong (Barthes1977). Through the appropriation of offereddiscourses, media 'play a pivotal role in organi-sing the images and discourses through whichpeople make sense of the world' (Golding andMurdock 1996:11), and make sense of theirown identity. In reference to this claim about theimplied relatiuonship between culture and me-dia as communication, the remainder of this pa-per will deal with two specific examples of in-novative Indonesian media phenomena whichillustrate the points above.

Barendregt argues that Southeast AsianIslam increasingly carves out a public space ofits own, and popular culture plays an importantrole in the distribution of this new public visibi-lity. The assosiation of Islam with various formsof popular culture simultaneously arouses bothcelebration and controversy. Current debatesabout a distinctively Islamic popular culturehighlight the ambiguous attitude of many, parti-cularly older generation, Southeast Asian to-wards popular culture They tend to re-gard it as imported, as morally corrupting andlikely to bring about the alienation of youth.Young Moslems, however, often strongly relateto local efforts to shape a popular culture that isboth nationalistic as well as modern 'cool' butnot western. For many Southeast Asians theurge for such national popular culture forms hasbecome synonymous with shaping a truly Isla-mic popular culture (Barendregt, 2004).

In the region, traditional and local religi-ous musical forms have hybridised with moreglobal popular music genres, and new kinds ofmusical expressions (like and )have emerged, even becoming part of the activepolitical process. In the last decade of the twen-tieth century, the popular musical genredeveloped among the Islamic youth of South-east Asia. first became popular in Ma-laysia. The music is performed by ensembles of

The Nasyid Phenomenon

per se.

dangdut orkes

nasyid

Nasyid

Page 84: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Nilan : Communication as Culture

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 169

young men singing in harmony. The popularityof may accord with the popularity ofwestern boy bands like

or to some extent, but nasyid isemphatically Islamic. In the 1990s be-came popular in Indonesia, especially after re-formasi when the genre gained many Indone-sian followers.

The traditional song forms from whichcontemporary derives have always beenused by the younger Muslim generation to com-ment on contemporary events (Barendregt,2004). Facilitated by the spread ofArabic Islamthrough Southeast Asia, has proved at-tractive to many young people with a strong Is-lamic conscioussness who want to be both in-formed and entertained by morally and spirit-ually responsible popular media. Latelyhas become professionalised with art-ists travelling between Malaysia and Indonesia.So, might serve to illustrate the rise of aregional transculturalism: a culture that is in-creasingly shared by Southeast Asian Muslimsin spite of being geographically divided. Bothmusic and related websites provide young Is-lamic fans with important symbols of modern-ity so desperately sought by the middle class.The genre has therefore proved import-ant in the development of a moderate, modernbut not western , 'cool', image both Malaysianand Indonesian MuslimYouth.

In another example of a highly hybridis-ed yet emphatically local popular culture mediaform, Rachmah (2004) draws our attention tothe appearance of 'reality' horror/ mysteryshows on Indonesian television in the lastcouple of years. Prime time shows like

exploit popular beliefs in ghostsand supernatural. These are 'reality' shows inthe sense of the viewer being taken into a 'real'place, for example a haunted house, by a scien-tific 'expert' leading a volunteer member of thepublic in to experience supernatural presences.A typical scene is an 'ordinary' person advanc-ing slowly in a state of terror into a decayed ruinat night, apparently with only the aid of infra-red lighting. The voice-over commentary re-lates the usually murderous history of the dwell-ing. A faint change in the density of the black-ness of the interior is remarked upon by the

nasyidBoys II Men, Backstreet

Boys, Westlifenasyid

nasyid

nasyid

nasyidnasyid

nasyid

nasyid

DuniaLain abangan

The TelevisionMisteri Phenomenon

commentator, and the scene is frozen while thecamera zooms into the still. What looked to theviewer like just a lighter patch in the darknessturn out to be ghostly face when enough techno-logy is applied. This illustrates to viewers thekind of danger the volunteer is exposed to.

Often the member of the public is thenleft there for hours, alone in the dark. Subsequ-ently the viewing audience rejoins him or herand the person gets to talk about their superna-tural experiences. Finally a (Islamicpreacher) cleanses the person (and often thehaunted place as well) of evil spirits and taints.Rachmah (2004) maintains that when this hap-pens, presides, and Islamic faith is re-inforced. Some shows in this genre has to do en-tirely with exorcism, so that the conjure thespirits up with prayers, and even communicatewith them, before the exorcism resolves thestate of evil and impurity. It is noted that on oneoccasion, the successfully exorcised house wasprovided with a sticker which proclaimed it'free from ghosts' possibly a tribute to the film

In analysing the phenomenon,Rachmah maintains that indigenous is elevatedas a model of reality and this appeals most to

working class and rural Muslim view-ers in Indonesia. She further purposes that thisserves as an example of the democratisation ofMuslim religious beliefs and practices, andtheir incorporation into a popular culture fromwhich promotes Islam as a major social forse. Inthis way her claims about showsare similar to Barendgret's interpretation of

. In both cases it is not just a matter of thesyncretic aspects of the cultural form and genre,but the role of professionalism and technologythat makes the phenomenon a distinctively 'mo-dern' sensation.

These two examples demonstrate thatculture, and media as a form of communication,are tightly tied. As example, they suggest cul-ture as a series of a creative practised in livedeveryday interaction. As society changes in re-ference to the new global order, culture and me-diated communication forms change at sametime. In Indonesia, there is evidence that formsof popular culture media which incorporate andcelebrate Islam as a shaping force in nationalidentity are emerging not from the top down

kiai

'ulamma'

kiai

Ghostbusters.

abangan

misteri/ hororna-

syid

Conclusion

Page 85: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Nilan : Communication as Culture

170 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

(like state-sponsored propaganda) but from cre-ativity and encouragement of ordinary peoplethemselves-youth, the working class, rural vil-lages and communities. It seems certain thatmany young people in Indonesia show a markedcultural preference for these local formsof me-diated symbolic communication which speak tothem of their Muslim identity, over the importedwestern product.

Abou-El-Haj, B. (19910 'Languages and Mo-dels for Cultural Exchange', in J. Eade (ed)

, London & New York:Routledge.

Adorno, T. & Horkheimer, M. (1997) 'The Cul-ture Industry: Enlightenment as Mass De-ception', in J. Curran, M. Gurevitch & J.Woollacott (eds)

, London: EdwardArnold.Appadurai, A. (1996)

,Minneapolis: University of MinnesotaPress.

Barendregt, B. (2004) 'Cyber-Nasyid: Trans-national Soundcapes in Muslim SoutheastAsia', in T.J.M. Holden & T.Scrase (eds)

, London: Routledge .Barker, C. (1999)

, Buckingham and Phi-ladelphia: Open University Press.

Barthes, R. (1977) , trans-lated by. S. Heath, London: Fontana.

Benjamin, W. (1973) , trans. H.Zohn, London: Fontana.

Bennett, A. (20000)Basingstoke and London: Mac-

millan.Best, S. & Kellnes, D. (1998) 'Beavis and Butt-

Head: No Future for Postmodern Youth',in J. Epstein (ed)

Oxford: BlacwellPublishers.

Crane, D. (2002) 'Culture and Globalization:Theoretical Model and Emerging Trends',in D. Crane, N. Kawashima and K. Kawa-saki (eds)NewYork & London: Routledge.

Croteau, D. & Hoynes, W. (2002)

Pine Forge: Pine Forge Press.

Reference

Living the Global City: Globalization as aLocal Process

Mass Communicationand Society

Modernity at Large: TheCultural Dimensions of Globalisation

Medi@siaTelevision, Globalization and

Cultural Identities

Image-Music-Text

Illuminations

Popular Music and YouthCulture,

Youth Culture: Identity ina Postmodern World,

Media, Arts and Globalization,

Media/So-ciety: Industries, Images and Audiences,

Cunningham, S. & Sinclair, J. (2002) 'Intro-duction', in S. Cunningham & J. Sinclair(eds)

, Brisbane: University ofQueensland Press.

Curran, J. (2002) London &NewYork: Routledge.

Dimitriadis, G. (2001) “In the clique”: PopularCulture, Constractions of Place, and theEveryday Lives of Urban Youth',

vol 32,no. 1, pp. 29-42.

Fiske, J. (1996) Postmodernism and television,in J. Curran & M. Gurevitch (eds)

Edition, London &NewYork:Arnold.

Gillespie, M. (1995), London & New York:

Routledge.Giroux, H. (1997) Basing-

stoke & London: Macmillan.Gitlin, T. (2001)

, New York: Metropo-litan Books.

Golding, P. & Murdock, G. (1996) 'Culture,Communications and Political Economy',in J. Curran & M. Gurevitch (eds),

Lon-don & NewYork:Arnold.

Harrington, C.L.& Bielby, D. (2001) “Con-structing the Popular: Cultural Productionand Consumption', in C.L. Harrington &D. Bielby (eds)

, Malden Oxford:Blackweel Publishing.

Hebdige, D. (1998) , Lon-don: Routledge.

Hibbs, T.S. (1999)

, Dallas: Spence PublishingCompany.

Holden, T.J.M. (2004) 'Introduction', in T.J.M.Holden & T. Scrase (eds) , Lon-don: Rotledge.

Hoogvelt, A. (2001)

, 2 Edition, Ba-singstoke: Palgrave.

Jary, D. & Jary, J. (1991)Glasgow: HarperCollins Pub-

lishers.

Floating Lives: The Media and AsianDiasporas: Negotiating Cultural Identitythrough Media

Media and Power,

Anthro-pology and Education Quarterly,

MassMedia and Society-2

Television, Ethnicity andCultural Change

Channel Surfing,

Media Unlimited: How theTorrent of Images and Sounds Over-whelms our Lives

MassMedia and Society (Second Edition),

Popular Culture: Product-ion and Consumption

Hiding in the Light

Shows about Nothing: Nihil-ism in Popular Culture from the Exorcistto Seinfield

Medi@sia

Globalization and thePostcolonial World: The New PoliticalEconomy of Development

Collins Dictionary ofSociology.

nd

nd

Page 86: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Nilan : Communication as Culture

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 171

Klein, N. (2000) Hammersmith: Fla-mingo/HarperCollins.

Lent, J. (1995) 'Introduction', in J. Lent (ed)Boulder San Fransis-

co Oxford:Westview Press.Liechty, M. (1995) 'Youth and Modernity in

Kathmandu, Nepal', in V. Amit-Talai &Wulff, H. (eds)

London & NewYork: Routledge.

Morley, D. & Robins, K. (1995)

Londonand NewYork: Routledge.

Morris, N. (2002) 'The Myth of UnadulteratedCulture Meets the Threat of Imported Me-dia', vol. 24, pp.278-289.

Nilan, P. (2001) 'Gendered Dreams: WomenWatching 'Sinetron' (Soap Operas) On In-donesia TV',

vol. 29, no. 84, pp. 85-98.Pertierra, R. (1995)

Manila: Ateneo deManila University Press.

Pieterse, J.N. (1995) 'Globalization as Hybrid-ization', in M. Featherstone, S. Lash and R.Robertson (eds) Lon-don: Sage.

No Logo,

Asi-an Popular Culture,

Youth Cultures: A Cross-Cultural Perspective,

Spaces ofIdentity: Global media, Electronic Land-scapes and Cultural Boundaries,

Media, Culture & Society,

Indonesia and the MalayWorld,

Philippine Localities andGlobal Perspective,

Global Modernities,

Rachmah, I. (2004) 'Ghost or Gossip; The Pic-ture of the Indonesian television Industryin the 2000s', paper delivered to the 15thBiennial Conference of the Asian StudiesAssociation of Australia, Canberra, 29June 2 July, 2004.

Ritzer, G. (1993)Thousand Oaks: Pine ForgePress.

Said, E. (1978) London: Rout-ledge & Kegan Paul.

Street, B. (1993) 'Culture is a Verb: Anthropo-logical Aspects of Language and CulturalProcess', BritishStudies in Applied Linguistics 7. Cleve-don: Multilingual Matters, pp. 23-24.

Sunindyo, S. (1998) 'Wacana Gender di TVRI:Antara Hegemoni Kolonialisme dan Hol-lywood', in I.S. Ibrahim and H. Suranto(eds) Bandung: Rema-ja Rosdakarya.

Thompson, J.B. (1995)

Cambridge, polity Press.Waisbord, S. (1998) 'When the Cart of Media is

before the Horse of Identity: A Critique ofTechnology-Centered Views on Global-ization', vol.25, pp. 377-98.

The McDonaldisation of So-ciety,

Orientalism,

Language and Culture,

Wanita dan Media,

The Media and Mo-dernity: A Social Theory of the Media,

Communication Research,

Page 87: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 172-181

Online Learning and Quality of Learningin Journalism Course

Sri HastjarjoDepartment of Mass Communication, Sebelas Maret University

Abstract

This paper reports the findings of a study of the application of online learning and its impactson the learning process (learning approaches) and learning outcomes for students whoenrolled in a Journalism course in an Indonesian university. Based on Biggs' Model of StudentLearning, with prior knowledge of journalism, computer skills, internet skills, and teachingmethod as independent variables; students' learning approaches as an intervening variable,and learning outcomes, which comprise grades, productivity, and quality of works, asdependent variables. Students in the online class demonstrated a deeper learning experienceand better quality learning outcomes. Students' prior knowledge and learning approacheswere linked to better learning outcomes. This study demonstrates that online learning has thepotential to be used to complement or to replace traditional face-to-face lecturing inuniversities in Indonesia.

Keywords: journalism course, online learning, quality of learning.

172 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Introduction

The main goal of every professional edu-cation is to produce capable practitioners. Suchcapability depends on both knowledge and skillwhich are perhaps better conceived as two kindsof knowledge: propositional and procedural(Ryle, 1976, p.160). This is true in journalismeducation. Professional journalists must knowthat certain propositions are true and must knowhow to perform certain skills, either intellectualor physical, or how to demonstrate certain capa-bilities or competencies (Gagne, 1974, pp.19-33). The ideal course requires a balance of aca-demic studies, applied capacities and talent and,within the sphere of occupational learning, si-mulations of real working experience and en-gagement with the real world of journalism (deBurgh, 2003, pp.95; Utari, 2004, pp. 154-155).

One of the major problems faced by jour-

nalism educators in Indonesia is that althoughgraduates have sufficient theoretical knowled-ge about journalism, they do not possess thepractical knowledge and skills required by themedia industry. The existing Journalism courserelies heavily on the use of a traditional lectur-ing method in a face-to-face classroom environ-ment. Within such a learning environment, stu-dents tend to be reluctant to express their views,opinions or arguments on any issue. Eachmeeting in the face-to-face class is generally aone-way communication from the teacher to thestudent. This is a traditional format in a societywhich values education and respects those whoare teachers.

This practice has produced a situation notfar from the one observed by Biggs (1987) inwhich students are inclined to adopt a surfaceapproach to their study. Their motive is to gain

Page 88: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 173

a qualification at its most basic level and theirconsequent strategy is to reproduce informationthrough rote learning. This surface approachdenies the student the opportunity to achieve adesirable learning outcome which is well struc-tured, personally involving, and compatiblewith institutional requirements (Biggs, 1987,pp.96).

Biggs and Collis (1982) argue that highquality learning is determined by teaching pro-cedures and student approaches. The purposeof this study is to devise a learning environmentwhich would be an alternative to the existingface-to-face lecturing classroom and that wouldencourage a deeper learning experience andprovide the student with a “simulation” of a realworld situation of journalism work. This in turnwould assist the student to produce the desiredlearning outcomes. Reviews of the literatureshow that a combination of online learning anda problem-based approach has the potential toserve this purpose.

Education is one of the most importantventures of the Internet (Whitherspoon & John-stone, 2001). Many developments have usedthe Internet for higher education. These deve-lopments are the result of two main factors:firstly, the growth and popularity of the Internet;and secondly, key changes in the world of edu-cation. In the case of Indonesia, there is a greatchallenge in providing access to higher educat-ion. Every year around 1.6 millions students fi-nish their high school study, but higher educat-ion providers (government and privately own-ed) only have capacity to accept 600.000 newstudents annually. Soekartawi (2006) stated thatonly 14.6% of people of university/college age(19-24 years old) attend higher education.

Many believe that online learning willbecome one of the most important solutions forIndonesia's problem in providing adequatehigher education.The Indonesian Secretary Ge-neral of the Ministry of National Educationstated that teledukasi (Indonesia's term for on-line education) is the suitable method for know-ledge distribution in Indonesia (Muklas, 2001).

In this paper, the term “online learning”is chosen. It is defined as an approach to teach-ing and learning that utilizes Internet technolo-

Literature Reviews

Online Learning

gies to communicate and collaborate in an edu-cational context. This includes technology thatsupplements traditional classroom training withweb-based components and learning environ-ments where the educational process is experi-enced online (Kearsly, 1997).

The most crucial issue to consider whendeveloping an online course is pedagogy (Ma-son, 1998). Online technology does not auto-matically improve courses. Simply placing lec-ture notes on a website will not enhance stu-dents' learning experience. Application of on-line technology in education demands rethink-ing of the educational design and learning ap-proaches associated with the use of new media(Flew, 2002). Best practice in implementingonline education is to develop an approach thatconstructs a more interactive, self-directinglearning experience for students (Littlejohn &Stefani, 1999).

There are advantages of online learning,identified in the literature, in economics, ac-cess, technology, and pedagogy (Flew, 2000).Hiltz (1994) identified characteristics of onlinelearning that related to learning access andlearning effectiveness. These advantages relat-ed to educational access, including flexibility inrelation to place and time of access to thecourse. In terms of learning effectiveness, Hiltzlists collaborative learning opportunities, moreactive learning, facilitation of self-pacing, avai-lability of other computer resources and com-plete course notes. Harasim (1990) identifiedtext-based communication as one of the charac-teristics of online learning which has cognitivebenefits.

A key power of the web is its capacity tointer-link content. The web is also a potent com-munication tool. By putting these two functionstogether the Web provides a tool by which userdriven communication operates by linking con-tributions together. The result is web discussionforums. There are two types of web-based dis-cussion: synchronous (for example, in a chat-room) and asynchronous (for example, e-mailor discussion forum).

Asynchronous web discussion has cha-racteristics almost opposite those of synchron-ous discourse. It is slow paced (because theparticipants are not limited to a certain time-frame), perpetually transcribed, and comprisedof threads that can be followed in any direction.

Page 89: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Asynchronous on-line discussions can last fromseveral days to several months. Because on-linediscussions take place by sending or postingelectronic text messages, and because these me-ssages can be archived, the discussion can existas a perpetual transcript. This perpetual tran-script is important because it enables asynchro-nous on-line discourse to have many threads ac-tive simultaneously. By referring to this trans-cript, discussion participants can easily followthe discussion threads in any direction and com-ment on any portion of the transcript (Salahub,1997).

The asynchronous Web-based discuss-ions offer opportunities to develop reciprocityand cooperation among students, required ac-tive learning, provided prompt feedback, andsupported diverse talents and ways of learning.Sabine and Gilley (1999) attempted to simulateclassroom interaction and reached the conclus-ion that threaded discussions may be superior toface-to-face discussions because students havean opportunity to reflect on posts before submit-ting them. These online discussions create a“shared space” where ideas can be debated andlinked to other ideas, and hypotheses can bemade or refuted (Bonk & Kim, 1998).

In asynchronous web-based discussiongroups, learners construct their own learning byengaging themselves and others in reflectiveexplorations of ideas, drawing conclusionsbased on their explorations, and synthesizingthose conclusions with previous knowledge inwhat tends to be a non-linear process (Biesen-bach-Lucas, 2003). In this process of learning,students are engaged in more inductive, prob-lem solving activities as opposed to deductive,analytic teacher-based exercises and lectures(Nunan, 1999).

To summarize this section, the onlinelearning environment has a potential to shift theparadigm from teacher-centred to student-cen-tred learning. This shift will have an impact onthe roles and responsibilities of teachers andstudents. To be successful in an online learningenvironment, both teachers and students need tohave certain attitudes and skills. The onlinelearning environment, especially web-baseddiscussion, has advantages that may enhancethe learning experience. Those advantages in-clude a flexible, self-paced, active, deep andcollaborative learning environment. The feat-

ures of online learning encourage and supportsuch strategies as problem-based learning,case-based learning, and even work place learn-ing; strategies that are considered to be appro-priate for professional education.

Problem-based learning (PBL) had itsbeginning in medical education at McMasterUniversity in Canada in the mid-1960s (Nor-man & Schmidt, 1992). It was developed in res-ponse to concerns that a focus on academic dis-ciplines was not effective preparation for futureprofessionals (Boud, 1985). Since PBL first ap-peared, it has spread to many countries and dif-ferent fields of professional education includ-ing, nursing, engineering, law and business(Boud & Feletti, 1991).

Although there are many variations in theapplication of the PBL, they appear to sharesome common characteristics. Charlin et al.(1998) identified three core principles of PBL:(1) the starting point for learning should be aproblem; (2) the implementation should be aneducational approach rather than a sporadicallyused technique in a traditional program; (3) itshould be a learner-centred approach. Schmidt(1983) argued for the success of PBL on thebasis of its implementation of three key princip-les of the information processing approach,namely, activation of existing knowledge whenlearning begins, encoding of retrieval cues withlearned information, and elaboration of knowl-edge through immediate application.

As problem-based learning is a student-centered process, it is the responsibility of theindividual student to participate fully, not onlyfor his or her own learning, but also to aid thelearning of others in the group. In PBL, studentsdevise a plan for gathering more information,then do the necessary research and reconvene toshare and summarize their new knowledge inthe group. Students may present their conclus-ions, and there may or may not be an end pro-duct.Again, students should have adequate timefor reflection and self-evaluation.

Although students generally prefer prob-lem based learning courses, to be successful inthier study they need to change their traditionalassumption of the teacher's role as a main orsole disseminator of knowledge and the traditi-onal approach of learning by memorization of

Problem-Based Learning (PBL)

174 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Page 90: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

facts (Donnelly & 2005). Withoutthese changes, students will have difficulties inengaging in the learning process

).Barrows (1986) listed four objectives

which he claimed were not well addressed byother educational methods but might be achi-eved through PBL: structuring of knowledge tosupport practice; developing effective clinicalreasoning; developing self-directed learningskills; and increasing motivation for learning.Schmidt (1983) argued that in PBL settings stu-dents implement the three key principles of theinformation processing approach to learning:(1) activation of existing knowledge whenlearning begins; (2) encoding of retrieval cueswith learned information; and (3) elaboration ofknowledge through immediate application.

To summarize this section, PBL can im-prove students' learning process and learningoutcomes. PBL encourages students to thinkmore about connecting academic knowledgewith practical applications. PBL also can in-crease students' motivation for self-directedlearning. On the other side, the success of PBLrelies heavily on the attitude of the individualstudent. Therefore, students' characteristics -especially their motives and their approach to

Fitzmaurice,

(Reithling-shoefer, 1992

learning - are important factors that determinethe success of the learning experience.

In the previous sections, it has been ar-gued that both online learning and problem-based learning require students with certaincharacteristics to reap the benefits of the learn-ing experience. Biggs and Collis (1982) arguethat learning outcomes are determined by inter-actions between teaching procedures and stu-dent characteristics.

In his General Model of Student Learn-ing, Biggs proposed that academic attainmentwas a result of both “personological” factorsand “institutional” factors. Biggs argued thatthe effects of personological and institutionalfactors on students' academic performanceswere mediated by “study processes”, which in-cluded students' values, motives, and strategies.The personological and institutional factorsconstitute independent variables; study proces-ses constitute intervening variables; and mea-sures of academic attainment constitute depen-dent variables. This paper used Biggs' modelwith several modifications to suit the purpose ofthis study which focus on the application of on-line learning in a Journalism training (see Fi-gure 1).

Students' Learning Process

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 175

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Performance

GradeProductivity

(Assignments)Quality of works

(SOLO level)

Learning ProcessComplex(Study Approaches)

Personal

Situational

Prior Knowledge(Journalism)

Abilities(Computer)(Internet)

Teaching method:(Online Learning)(Face-to-face)

Figure 1. Biggs’ General Model of Student Learning

The term “learning approach” refers to the method by which students attend to the process oflearning and the effect this has on the learning outcome. Biggs (1987) proposed that learningapproach refers to students' motives and strategies for learning. A learning approach impliesa motive or intention to learn as well as the adoption of strategies to fulfill that intention(Edwards, 1999).

Page 91: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

176 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Marton and Säljö (1976a, 1976b) foundthat students demonstrated different learningoutcomes dependent on the way they processedthe material to be learnt. The manner in whichthey processed the material was related to theintention of the student. The students who usedthe strategy of reading the text and focusing ondetail and memorization demonstrated poorgrasp of the overall meaning of the material.Those who focused on the main points and triedto inter-relate them with other data in the mate-rial or their own experiences were able better tounderstand the material. Marton and Säljö(1976a) termed the former “surface processing”and the latter “deep processing.”

Biggs (1987) proposed a third approachof learning, labeled “achieving”. Ramsden andEnwistle (1983) labeled this a “strategic ap-proach.” An achieving approach is thought toreflect the desire to attain the highest markspossible in order to boost self-esteem. It usessuch strategies as good organization, complet-ing set work on time, and trying to influenceself-perception as successful students (Rams-den & Enwistle, 1983). Table 1 describes themotives and strategies component of theselearning approaches (Biggs, 1987).

After the students have experienced alearning session, an evaluation is needed tomeasure how much has been learned and howwell it has been learned. Marton (1976) statesthat this evaluation involves both quantitativeand qualitative aspects. Biggs & Collis (1982,

The Quality of Learning Outcomes

Tabel 1. Motive and Strategy in Approaches to Learning

Approach Motive Strategy

SA:Surface Surface motive (SM) is insttumental: Surface Strategy (SS) is reproductive:its main purpose is to meet require- limit target to bare essential and repro-ment minimally; a malance between duce through rote learning.working too hard and failing.

DA:Deep Deep Motive (DM) is intrinsic: stu- Deep Strategy (DS) is meaningful:dy to actualize interest and compe- read widely, inter-relate with previoustence in particular academic subject. relevant knowledge.

AA:Achieving Achieving Motive (AM) is based on Achieving Strategy (AS) is based oncompetition and ego-enhancement; organizing one’s time and workingobtain highest grade, whether or not space: behave as ‘model student’.material is interesting.

1989) developed a taxonomy known as theStructure of Observed Learning Outcome(SOLO). This taxonomy describes the structur-al organisation of knowledge and has been usedmainly to measure secondary and tertiary stu-dents' learning (Biggs & Collis, 1982, 1989;Boulton-Lewis, 1994, 1995). The SOLO taxo-nomy focuses on the structure of an individual'sresponse to describe the quality of the learning.

The SOLO taxonomy is based on mea-suring the complexity of thought processes inthe student's statements, based on a classifica-tion into prestructural, unistructural, multis-tructural, relational and extended abstract,. Thestages are derived from the work of Piaget andhis stages of cognitive development. State-ments are expected to show a continuum oflearning from initial recognition to reflectionand complex understanding (Hewson &Hughes, 1998).

The SOLO taxonomy is a well-establish-ed technique for establishing the presence ofdeep learning. Biggs and Collis (1982) provid-ed detailed examples how the SOLO Taxonomycould be applied in the assessment of students'work in various subjects including history, ma-thematics, English, geography, and modern la-nguages. Many other studies have provided evi-dence that the SOLO Taxonomy is useful as anassessment instrument in various subjects anddisciplines such as social numercy, counselling,biochemistry, and reflective writing. It is arguedthat the taxonomy also can be used as an assess-ment instrument for students' work in journal-ism.

Page 92: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 177

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Methodology and Procedures

This study was an investigation of the ap-plication online learning ad its impacts on stu-dents' learning. In order to carry out the inves-tigation, an online class had to be set up as an al-ternative to the regular face-to-face class. Theonline class had the same features as the face-to-face class in its course materials, its assess-ment tasks and assessment techniques.The onlydifference was the teaching method. While theface-to-face class used lecturing as the mainteaching method, the online class used a com-bination of problem-based learning and web-based learning as the method of instruction.

The Journalism Online class was prob-lem-based. For each unit in the syllabus, stu-dents were presented with a problem based on arealistic journalism situation. The students hadto address the problem using the theory they hadacquired in the literature. Each unit used thesame format: students were required to com-plete a set of tasks in specified times. For eachunit, the group of students was presented with aproblem based on a real-life journalism situa-tion. Along with the problem, there was pre-scribed material from the literature that neededto be read by each student.After reading the pre-scribed materials, each student individuallyposted his or her response to the group discuss-ion forum. Other members of the group couldcomment on those responses, and then onemember of the group would post a conclusionbased on the members' responses. This conclu-sion became the group response to the problem.

Subjects for this study comprised the to-tal population ( = 72) of third year studentsenrolled in the Journalism Course in the Depart-ment of Communications, Sebelas Maret Uni-versity, Surakarta, Indonesia. The subjectswere 22 male and 50 female, all of whom hadsome experience in using a computer and the in-ternet. Subjects in this study were divided ran-domly into two groups: the control group (face-to-face class) and the experimental group (on-line learning).

Instrument used in this study comprisedof a set of questionnaires to measure the inde-pendent variables: prior knowledge of Journal-ism, computer and internet skills, and Biggs'Study Process Questionnaires (SPQ) to mea-sure the learning approaches used by the stu-dents. The dependent variables examined in

n

this study include: student's grades, product-ivity (the number of submitted writing assign-ments), and the quality of students' works(using SOLO Taxonomy developed especiallyfor assessing Journalism works).

There were two phase of data collection:before and after the course commenced. On thepre-test data collection, both groups wereadministered with all the questionnaires, whilein the post-test data collection, only the SPQwere administered to both groups. Theadministration of SPQ on the pre-test and post-test data collection was used to determinedwhether any changes of learning approacheshad occured as a result of different learningexperience. Another set of questionnaires wereadministered only to the Online Class group tomeasure the students' perceptions on theirlearning experience in the Online Class.

The stastitical analyses undertaken inthis study comprised of: descriptive statistics,correlations, means comparisons (t-tests), and aseries ofAnalyses ofVariance (ANOVAs).

The Online Class in Journalism which in-corporated the principles of Problem BasedLearning (PBL) in an online learning environ-ment was demonstrated to produce higher qua-lity outcomes than traditional lecturing in aface-to-face setting. The superiority of the On-line Class over the traditional Face-to-face classwas confirmed in three ways.1. Students in the Online Class produced better

learning outcomes in terms of their grades,their productivity, and the quality of thenews pieces they produced compared withstudents in the face-to-face class.

2. Students in the Online Class indicated thatthey experienced deeper learning practicesin the Online Class compared with theirlearning experiences in face-to-face classesthey have attended previously.

3. Participation in an Online Class helped im-prove the academic performance of studentswho indicated that they held inferior or un-desirable approaches to learning.

It has been argued that these results canbe attributed to features of the learning environ-ment. Those features are the Problem BasedLearning approach, collaborative learning, andasynchronous web-based discussion. The com-

Results and Implications

The Impacts of Online Learning

Page 93: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

178 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

bination of these features in a learning situationseems to have been instrumental in producingbetter quality learning, developing the practiceof deep learning, and encouraging students toadopt a more active attitude towards their work,and as a result to be more productive.

One of the key features highlighted inthis study is the efficacy of presenting studentswith real-life situations or problems that need tobe addressed and solved using theoretical per-spectives they have obtained from course mate-rials. This approach reduces the danger of stu-dents gaining knowledge of theories withoutdeveloping the ability in put those theories intopractice. This remains a major problem in ter-tiary education, especially in developing coun-tries such as Indonesia. This approach also re-duces the danger of students developing practi-cal capabilities without a solid theoretical foun-dation, a situation which can emerge in appren-ticeship programs in the media industry. Usingreal-life situations, one of the guiding principlesof problem-based learning, enables students toobtain the “know what” as well as the “knowhow” of the practice of journalism.

The second key element emphasized inthis study is the use of online technology (in thiscase, a web-based asynchronous discussion fo-rum) as the medium for delivering the coursecontents and as the medium for communicationto and interaction with the participants, bothstudents and lecturer. This online medium pro-vides a more flexible learning situation (interms of space and time), and, it is argued, en-courages deeper and more active learning bystudents. The web-based discussion forumkeeps a record of every contribution by eachstudent and this record can be accessed anytime. As a result, students can read and re-readas much as they need, at their own pace, in anattempt to understand the topic under discus-sion. This situation is cannot occur in a face-to-face class because some students may not beable to keep up with the speed of other students'thinking or presentation of arguments and as aresult theycan lose track of the discussion.

The asynchronous nature of web-baseddiscussion also gives students more time to r-eflect and think before they make a contribu-tion. The students are given more time careful-ly and thoughtfully to compose, edit and revisetheir opinions or comments before they submit

them to the discussion forum. This situation isseldom present in a face-to-face class. In face-to-face discussion, there is usually not enoughtime for every student to express their opinions.The time is taken up by students who have moreconfidence in public speaking, while studentswho are shy or who have a slower pace in learn-ing usually stay in the background and do notvolunteer their opinions. The online environ-ment gives equal opportunities for all studentsto make a contribution to the class discussion.

The collaborative learning required inthe Online Class seems to help students adopt amore active and productive attitude to learning.The absence of direct encounters with other stu-dents and the lecturer may have encouraged stu-dents to make a greater contribution to discus-sions compared with their contribution in aface-to-face setting. The students who find thatthey have difficulty speaking in public now canhave more freedom to express their views inwriting. Although they know their fellow stu-dents and the lecturer will be reading what theywrite, the absence of the physical presence ofother participants may make the process easierfor them. The other factor that might have beenhelpful in encouraging students to contributemore is their realisation that, in the online en-vironment, they have more time for thinkingand revising before submitting their work.

An implication of this study is that a com-bination of a problem-based approach with aweb-based discussion format provides an alter-native or a substitute model for the lecture/tu-torial method that is still used widely in highereducation. This study has demonstrated thatthis model has enhanced students' deeper learn-ing practices and has improved learning out-comes in a journalism course. It is likely thatthe application of this model will produce simi-lar benefits not only for other professionalcourses that want equip their students withknowledge as well as skills, but also for othercourses, as long as the course can provide stu-dents with problems (scenarios) that mirror areal world situation they may encounter. Togain the optimal benefits of this model, the for-mat and requirements the course need to ensurethe active involvement of each student. With-out a mechanism or a rule that “forces” indivi-dual students to get involved in the learningprocess, the discussion will be dominated by

Page 94: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 179

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

few active students and the course will be littledifferent from face-to-face classes.

Although this model with its combina-tion of a problem-based approach and an onlinediscussion format was demonstrated to be bene-ficial for students at large, the learning environ-ment is not the only factor affecting students'learning. Another important factor is the learn-ing approach adopted by students. It emergedin this study that students with inferior ap-proaches to learning who engaged in the OnlineClass outperformed students with better learn-ing approaches in the face-to-face class. Whencomparisons were made among students in theOnline Class only, it was found that studentswith better learning approaches (deep andachieving approaches) generally produced bet-ter outcomes than those who adopted inferiorapproaches.

The implication of these results is that,although the environment provided by the On-line Class provides advantages over the face-to-face class, it is up to individual students to adoptappropriate learning motives and strategies ifthey wish to produce high quality learning. Theflexibility of place and time in the Online Classmight be more of a peril than a privilege forstudents who do not have appropriate learningbehaviours. The online learning environmentdemands significant attributes from studentsincluding self-direction, motivation, and self-responsibility.

This is also true for the application of aproblem-based approach. The problem-basedapproach requires that students adopt specificattitudes toward learning. Students need to ac-cept that it is they and not the lecturer who playthe dominant role in learning. They have todiscard the commonly held attitude that lectureris the sole source of knowledge. Students needto be active in searching for information. And,the most importantly, students have to be awarethat in a problem-based approach, they will beasked to apply knowledge or theories to solve areal-life problem, not merely memorize andrecite facts.

Given that the current study has demon-strated that online learning can provide learningexperiences and learning outcomes that are si-

Student LearningApproaches

Conclusions and Recomendations

milar to, or better than, face-to-face lecturingand discussion, online courses should be usedas an alternative or a replacement for existingface-to-face courses. Considering the applica-tion of online courses, the format that seemsmost beneficial is a combination of a problem-based approach and online discussion. Puttinglecture notes or some audio/visual or multime-dia materials on the web is not sufficient for anonline course. If an online course is to producemaximum benefits, two features should be in-corporated in the teaching and learning format.Though there are a wide range of format andmedia that can be used, including text-basedscenarios or digital audio/visual and multime-dia, the emphasis should be on the learning pro-cess that involves real-life problem-solving incollaborative learning situations.

The development of an online coursedoes not guarantee an ideal learning experienceand desirable outcomes. Equally important arethe learning motives and strategies adopted bythe students. Because students need to adopt de-sirable attitudes and behaviours to be successfulin an online course, it is recommended that apreparation or introduction course is providedfor students prior to the commencement of theonline course. This preparation course shouldmake students aware of the factors that will leadto success. These factors not only include thetechnical skills for working online but also, andmore importantly, the development of desirableattitudes (for instance, motivation, time mana-gement, self-regulation) and skills such as prob-lem-solving and writing.

Aside of the course content, another fac-tor that also determines the success of an onlinecourse is sufficient resources including equip-ment (servers, PCs, network, modems, tele-phone lines, etc.) and technical officers who canprovide assistance. Often, lecturers do not po-ssess adequate skills to set up the online course.They might be experts in the subject and havedeveloped excellent course content, but they re-quire assistance with setting up the onlinecourse and maintaining the “technical aspects”which include setting up the server and the net-work and installing the course managementsoftware with the aid of skilled technicians(such as server administrators, web-designers,and computer technicians). It is recommendedthat before the decision is taken to implement an

Page 95: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

180 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

online course, a thorough study of the institut-ion's readiness to do this effectively is under-taken.

There are financial issues that need to beconsidered carefully. The cost of setting up anonline course, especially when all the hardwareis to be purchased and a new computer networkbuilt, is relatively high. There is also the cost ofpurchasing the CMS (Course Management Sys-tem) software, although there are some OpenSource CMS programs that are available forfree (for example Moodle). In addition to thecost, establishing the course content for the firsttime requires time and effort. Another factor isthe time and expertise required to upload all thecourse content and test it before launching thecourse. On a more positive note, once thecourse is set up correctly, the workload of up-dating and maintaining the course is lighter.

In developing countries like Indonesiathere are some regions that do not have tele-phone access, so there can be no internet access.In the regions that have internet service, notevery student has access to a personal computeror to internet access in their homes. Those whodo not have internet access at home usually relyon internet cafes or internet connection at theircampus or office. The cost of internet serviceis still relatively expensive. Because of theseconstraints, it is recommended that prior to thedevelopment of an online course, market res-earch is conducted to determine whether poten-tial students will be able to afford the cost of anonline course, not only the tuition fees but alsothe cost of purchasing the hardware and theinternet connections theywill need.

Barrows, H. S. (1986).A taxonomy of problem-based learning methods.

Biesenbach-Lucas, S. (2003). Synchronous dis-cussion groups in teacher training classes:Perceptions of native and non-native stu-dents. vol 7 no. 3. p. 24-46.

Biggs, J.B. & Collis, K.F. (1989). Towards amodel of school-based curriculum deve-lopment and assessment: Using the SOLOtaxonomy.

, 33, 149-161.

References

Medical Educa-tion, 20, 481-486.

JALN

Australian Journal of Educat-ion

Biggs, J.B. (1987).. Melbourne: Aus-

tralian Council for Educational Research.Biggs, J.B. and Collis, K.F. (1982). Evaluating

the Quality of Learning: The SOLO Taxo-nomy (Structure of the Observed LearningOutcome). Sydney:Academic Press.

Bonk, C., & Kim, K. (1998). Extending socio-cultural theory to adult learning. In M. C.Smith & T. Pourchot (Eds.),

Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.Boud, D. (1985). Problem-based learning in

perspective. In D. Boud (Ed.),

(pp. 13-18). Sydney: Higher Edu-cation Research Society ofAustralasia.

Boud, D., & Feletti, G. (Eds.). (1991).New

York: St. Martin's Press.Boulton-Lewis, G.M. (1994). Tertiary students'

knowledge of their own learning and aSOLO taxonomy. 28,387-402.

-----. (1995) The SOLO Taxonomy as a Meansof Shaping and Assessing Learning inHigher Education,

, 14(2), 143-154.Charlin, B. et.al. (1988). The many faces of

problem-based learning: A framework forunderstanding and comparison.

20 (4), pp. 323-330.De Burgh, H. (2003). Skill are not Enough: The

Case of Journalism as an Academic Dis-cipline. 4 (1), 47-63.

Donnelly, R. & Fitzmaurice, C. (2005). Colla-borative Project-based Learning and Prob-lem-based Learning in Higher Education:A Consideration of Tutor and StudentRoles in Learner-Focused Strategies. In O'Neill, G. , Moore, S., McMullin, B. (Ed s).

. Dublin:AISHE, 2005.

Edwards, P.S. (1999). The Impact of Instruct-ional Interventions on Students' LearningApproaches, Attitudes and Achievement.PhD Thesis. Newcastle: Curtin Universityof Technology.

Flew, Terry (2002).. Oxford: Oxford University Press.

Student Approaches toLearning and Studying

Adult learn-ing and development: Perspectives fromEducational Psychology (pp. 67-88).

Problem-Based Learning in Education for the Pro-fessions

Thechallenge of problem based learning.

Higher Education,

Higher Education Re-search and Development

MedicalTeacher,

Journalism

Emerging Issues in the Practice of Univer-sity Learning and Teaching

New Media: an Introduct-ion

Page 96: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 181

Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Gagne, R.M. (1974).. New York: Holt, Rinehart and

Winston.Harasim, L.M. (1990). Evaluating the Virtual

Classroom in Harasim L.M.

. NewYork: Praeger.Hewson, L. and Hughes, C. (1998) Templates

for online teaching, , 329-338 [on-line] http://cedir.uow.edu.au/ASCILITE98/asc98-pdf/hewsonhughes.pdf.

Hiltz, S.R. (1994).

. Norwood:Ablex Publishing.Kearsley, G. (1997).

<http://gwis.circ.gwu.edu/~etl/online.html>, accessed 3 February 2004.

Littlejohn, A. and Stefani, L.A.J. (1999). Ef-fective use of communicaton and informa-tion technology: Bridging the skills gap.

7, 2, 66-76.Marton, F. & Saljo, R. (1976a). On qualitative

differences in learning: outcome and pro-cess.

, 46, pp. 4-11.Marton, F. & Saljo, R. (1976b). On qualitative

differences in learning: outcome as a func-tion of the learner's conception of the task.

, 46, pp. 115-127.Marton, F. (1976). What Does it take to learn?

Some implications of an alternative viewof learning. In N. Entwistle (Ed.),

. Amsterdam: Swets &Zeitzlinger.

Mason, R. (1998).. London: Rout-

ledge.Muklas, M.. Opening speech in the National

Conference on Development ofTeledukasi Network. Jakarta, 9 August

Principles of InstructionalDesign

Online Edu-cation: Perspectives on a New Environ-ment

ASCILITE'98

The Virtual Classroom:Learning Without Limits Via ComputerNetworks

A Guide to Online Educat-ion

ALT-J: Association for LearningTechnology Journal,

Britich Journal of Educational Psy-chology

British Journal of Educational Psycholo-gy

Strategies for research and development inhigher education

Globalising Education:Trends and Application

2001.Norman, G. R., & Schmidt, H. G. (1992). The

psychological basis of problem-basedlearning:Areview of the evidence.

, 67(9), 557-565.Nunan, D. (1999).

. Boston: Heinle and Heinle.Ramsden, P. & Entwistle, N. (1983).

. London:Croom Helm.

Reithlingshoefer, S. J. (Ed.) (1992). The futureof Nontraditional/InterdisciplinaryPrograms: Margin or mainstream? Papersfrom the

. Virginia Beach.Ryle, G. (1966). “Knowing How and Knowing

That” in I Scheffler.. Boston:Allyn and Bacon.

Sabine, G., & Gilley, D. (1999). Taking it on-line: Abootstrap approach. Proceedings of

Retrieved September 26,2003, from http://www.mtsu.edu/~itconf/proceed99/ gilley.htm.

Salahub, E. (1997). Threaded Web Discussion.vol. 7 no. 1.

Schmidt, H. G. (1983). Problem-based learning:Rationale and description.

,Soekartawi. (2006). Blended e-Learning: An

alternative for distance education in Indo-nesia. Paper presented in

, University Islam Indonesia,Yogyakarta, June 2006.

Utari, P. (2004). The Gap between IndonesianMedia Training and the Profession: Fac-tors Affecting Young Women in Commu-nication Studies and Media Careers. PhDThesis. The University of Newcastle.

Witherspoon, J.P. and Johnstone, S.M. (2001).Qualitiy in online education: results from arevolution.15(30).

Acade-mic Medicine

Second Language Teachingand Learning

Under-standing Student Learning

Tenth Annual Conference onNontraditional and InterdisciplinaryPrograms

Philosophy andEducation

the Mid-South Instructional TechnologyConference.

APA Newsletter

Medical Edu-cation 17, 11-16.

Distance Learn-ing Seminar

Education at a Distance

Page 97: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi MassaVol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 182-189

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Widodo MuktiyoJurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

182 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Pendahuluan

Sejarah perkembangan surat kabar (ko-ran) di Indonesia semenjak jaman penjajahanhingga era reformasi mengalami situasi pasangsurut yang demikian tajam. Orientasi surat ka-bar berkembang mengikuti arah perkembanganmasyarakat dan situasi politik yang sedang ter-jadi. Dari koran yang digunakan sebagai alatpolitik perjuangan untuk memompakan heroikkemerdekaan yang penuh retorika menjadi se-buah institusi bisnis yang sarat dengan modalyang besar dan teknologi tinggi yang diorienta-sikan sebagai mesin ekonomi politik untuk me-raih keuntungan maupun kekuasaan. Mediamenjadi makhluk raksasa yang dikendalikandengan berbagai kepentingan pemiliknya, se-perti untuk tujuan-tujuanakumulasi kapital.

Di Indonesia sampai Orde Baru hampirtidak dikenal adanya pers bebas seperti Un-dang-undang pengekang kebebasan pers padazaman Hindia Belanda Drukpers Regiement ditahun 1856 dengan pemberlakuan sensor pre-ventif; Pers Ordonantie tahun 1931 dengan mo-del pembredelan. Zaman Jepang adanya OsamaSeirei Undang-undang Nomor 16 tentang Perstahun 1942 dengan sensor preventif. Pada za-man RI : Peraturan Peperti (Penguasa PerangTertinggi Nomor 10 tahun 1960 yang member-lakukan izin terbit sampai dengan Undang-un-dang Nomor 11 tahun 1966 tentang KetentuanPokok Pers dengan SIT yang kemudian men-jelma menjadi SIUPP (Rosihan Anwar, pidatodi UIN Syarif Hidayatullah, 2006) ternyata ke-hidupan koran senantiasa terus berjalan dengandinamika yang tinggi.

Dalam pemerintahan Soekarno yang di-kenal dengan zaman liberal (dasawarsa 1950-an) kehidupan pers relatif menikmati kebebas-an namun pihak penguasa dalam hal ini tentaramenggunakan alasan keadaan SOB (

) keadaan darurat perang mela-rang terbit koran selama beberapa hari. OlehMarbangun dari Lembaga Pers dan PendapatUmum koran dibagi menjadi atauyang terkait dengan partai politik, milik partaidan menjadi corong partai danyaitu koran yang berorientasi pada ideologi par-tai tertentu tetapi bukan bagian dari organ par-tai.

Pada masa rezim Orde Baru yang ternya-ta berlangsung 32 tahun menjadikan kehidupankoran berada dalam situasi yang berubah totalatau posisi yang berlawanan yaitu media dijadi-kan sebagai , memperteguhkepentingan dan kehendak penguasa daripadamenjadi institusi sosial yang independen. Me-dia bukan sebagai pilar demokrasi tetapi seba-gai pilar tegaknya rezim. Perubahan sistem po-litik di Indonesia yang selalu berjalan secara

, yang awalnya diharapkan mela-hirkan sebuah sistem politik yang lebih baik dandemokratis tidak menjadikan kondisi mediamassa berada dalam situasi yang menguntung-kan. Orientasi pemerintah yang bertumpu padaupaya perwujudan stabilitas, pertumbuhan danpemerataan pembangunan kerapkali memper-alat media sebagai jembatan penghubung mau-pun corong yang efektif dalam mensosialisasi-kan nilai-nilai tertentu yang mendukung ke-langgengan kekuasaannya. Model-model ko-munikasi pembangunan yang sarat dengan ni-

Staat VanOorlog en Beley

party bound

party directed

aparatus penguasa

discontinuity

Page 98: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 183

lai-nilai status quo menjadi menu wajib bagi se-mua media.

Runtuhnya hegemoni media yang terjadibersamaan dengan jatuhnya pemerintahan OrdeBaru menjadikan realitas media berubah secaramendasar atau mengalami perubahan paradig-matis. Era reformasi telah menciptakan suasanamenuju tatanan yang yang diharapkan demo-kratis di dalam kehidupan masyarakat Indone-sia. Keruntuhan Orde Baru pimpinan Soehartotahun 1998 juga menjadi tanda babak baru da-lam tatanan sosial, politik dan budaya. Perubah-an terjadi ditandai dengan proses desentralisasipemerintahan atau diberlakukannya model oto-nomi daerah, peningkatan partisipasi dan pela-yanan publik dalam berbagai aspek kehidupan,serta lahirnya kembali kebebasan pers.

Kehadiran media cetak berujud koranyang secara tiba-tiba berubah menjadi demiki-an banyak jumlahnya dan tidak hanya tersentraldi Jakarta menjadikan baru dalam kha-sanah khalayak media. Alternatif dan pilihanterhadap beragam koran menjadikan pembacalebih terpenuhi kebutuhannya. Surat kabar (ko-ran) mulai merebak di berbagai daerah denganberbagai orientasi dan kepentingannya masing-masing yang demikian beragam, situasi ini ter-jadi karena pada masa pemerintahan BJ Habibiedengan Menteri Penerangan Yunus Yosfiahmembuka kran perijinan dalam pembuatan ko-ran mulai diperlonggar tanpa ada SIUPP lagi.Para kapitalis-kapitalis media yang baru mulailahir dan dapat diidentifikasi dalam beberapabentuk, yang adalah kepemilikan insti-tusi pers yang sifatnya lokal hanya dimiliki olehwarga atau pemodal setempat. Yang ada-lah kombinasi adanya unsur pemilik lokal de-ngan para konglomerat nasional, sedangkanyang adalah murni dimiliki oleh pemilikmedia, yang punya jaringan berskala nasionalyang berkeinginan memperluas jaringan bisnismedianya. Bahkan dalam masa Pilkada bergu-lir, media cetak lokal menjadi phenomena me-dia lokal tersendiri di mana ia bisa berafiliasipada kandidat tertentu calon kepala daerah sam-pai pada media lokal yang hanya hidup di saatpilkada berlangsung dan akan mati pada saatpilkada berakhir, sehingga model koran lokalyang partisan terhadap calon kepala daerah da-pat terjadi secara eksplisit ataupun implisityang kesemuanya demi kepentingan ekonomidan juga politik lokal.

booming

pertama

kedua

ketiga

Surat Kabar Lokal dan Pilgub Jateng2008

Dalam tulisan ini, penulis bermaksudmenyajikan hasil penelitian yang dilakukan ter-hadap sejumlah surat kabar lokal di Jawa Te-ngah (Jateng). Tujuan penelitian ini adalah un-tuk mengetahui kecenderungan isi/produk yangdihasilkan oleh media yang bersangkutan sela-ma periode bulan Januari sampai dengan Maret2008. Harian lokal yang dipilih dalam pene-litian ini adalah Harian Kompas (DIY/Jateng),Jawa Pos (Radar Solo), Solopos dan Suara Mer-deka. Keempat media tersebut dipilih karenatelah eksis dalam kurun waktu yang relatif lama(establish). Dengan menggunakan analisis isi,unit analisis dalam penelitian ini meliputi beritaPilgub dalam surat kabar yang ditunjang de-ngan foto, berita Pilgub tanpa foto, artikel Pil-gub, paparan tentang cagub dan partainya, pem-beritaan tentang KPU dan penunjangnya. Ber-ikut ini adalah data hasil temuan penelitian yangdiperoleh.

Porsi pemberitaan terhadap tema PilgubJateng 2008 yang disertai dengan foto sebagaipenunjang relatif sangat beragam (lihat Tabel1). Suara Merdeka Semarang punya kuantitasyang paling tinggi (64) dibandingkan dengan 3media lainnya. Jangkauan wilayah peredaran-nya yang paling menyeluruh di Jateng barang-kali dapat menjadi alasan kuat tentang ini. Se-mentara itu Harian Kompas yang wilayah pa-sarnya juga lebih luas dibandingkan Soloposdan Jawa Pos (Radar Solo) mencoba melakukanpenetrasi pasar yang juga relatif lebih kuat (25)dibandingkan dengan harian lokal Solopos.Kombinasi tayangan pemberitaan yang dito-pang dengan foto cagubnya tersebut ternyatadapat menguatkan terhadap isi beritanya danmenjadi unsur peneguh dalam visualisasi citracagub. Secara umum isi berita tentang cagubyang senantiasa diikuti dengan foto cagubnyadapat menguatkan maksud tertentu dalam pem-beritaan oleh medianya. Meskipun demikiandibandingkan dengan totalitas pemberitaanyang ada kombinasi berita yang diserta denganfoto jauh lebih kecil.

Perbandingan antara berita tanpa fotodengan yang disertai foto demikian kontras (li-hat Tabel 2). Artinya penyertaan foto terhadapsebuah berita politik pilgub terasa sekali dalampertimbangan keterbatasan ruang (Jawa Pos

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Page 99: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

184 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

77:8; Solo Pos 125:19; Suara Merdeka 184:64dan Kompas 44:25). Terlihat di Kompas bahwapenyertaan foto menjadi lebih penting dalammenguatkan pemberitaan pilgub (44:25), se-dangkan Solo Pos justru didominasi pemberita-an tulis saja tanpa foto (125:19), juga Jawa Posyaitu 77:8. Tendensi terhadap penonjolan isi be-rita yang disertai foto akan lebih kentara kepen-tingannya sehingga dapat lebih mudah diinter-pretasikan tertentu oleh publik.

Kepedulian terhadap kajian ilmiah danditulis dari pihak luar media tampak nyata da-lam kemunculan artikel yang berkaitan dengan

pilgub (lihat Tabel 3). Bangunan wacanailmiah ini umumnya tidak memunculkan keber-pihakan terhadap salah satu calon, andaikanpunterjadi itupun dikupas secara lebih ilmiah. Sua-ra Merdeka yang dikendalikan dari ibukota pro-vinsi tampak punya greget yang lebih tinggi da-lam membangun wacana pilgub secaralebih ilmiah dan ditulis oleh beragam penulis.Sementara itu, Jawa Pos terasa minim dalampemberian ruang media untuk artikel. Kompasdan Solo Pos mempunyai jumlah yang sama da-lam tampilan artikel yaitu 8 kali, meskipun tam-pak jelas Solo Pos mulai tinggi frekuensinyapada bulan Maret.

Dari analisis tokoh yang dipapar oleh ke-empat media secara bersama (lihat Tabel 4) ter-lihat bahwa Bibit Rustri punya skor paling ting-gi (67) diikuti Agus Kholiq (58), Tamzil Rozaq(49), Sukawi Sudharto (26) dan Bambang Ad-nan (25). Namun, apabila dilihat per media ma-ka Bibit-Rustri terbanyak di Suara Merdeka(25) dan Solo Pos (24), Agus-Khaliq terbanyakdi Suara Merdeka (29) dan Solo Pos (18); Tam-zil-Rozak terbanyak di Suara Merdeka (21) danSolo Pos (14), Sukawi-Sudharto terbanyak diSuara Merdeka (15) dan Solo Pos/Kompas (5),Bambang-Adnan terbanyak di SM (10) dan So-lo Pos (10). Di Suara Merdeka urutan berdasar-kan banyaknya terpaan adalah Agus-Khaliq,Bibit-Rustri, Tanzil-Razak, Sukawi-Sudahrto,dan Bambang-Adnan. Di Espos urutan terba-nyaknya: Bibit-Rustri, Agus-Khaliq, Tamzil-Razak, Bambang-Adnan, dan Sukawi-Sudhar-ta. Di Kompas urutan terbanyaknya adalah Bi-bit-Rustri (15), Agus-Khaliq, dan Tanzil-Razak(10), Sukawi-Sudharta (5) dan Bambang-Ad-nan (4).

Dalam 3 bulan terakhir, ketidakpastianAli Mufiz dalam pencalonan cagub punya porsi

event

event

pemberitaan yang tinggi di Suara Merdeka (18)dan Kompas (10). Di bulan Maret, Ali Mufizsudah tidak menarik diberitakan dalam penca-lonan hanya di Suara Merdeka (5) itupun lebihsebagai gubernur. Jawa Pos dalam penayanganberita pilgub yang berimplikasi pada sosokcagub sangat minim. Untuk 5 kandidat plusgubernur secara khusus hanya dibahas 9 kali.

Pemberitaan dalam cagub Jateng ternya-ta juga berisi tentang beragam informasi sepertiyang berkaitan dengan KPUD, Panwas, SoalKTP dan kartu pemilih, Polling, Sosialisasi, Le-lang, Pemantau sampai juga KPK. Secara kuan-titatif yang paling sering memuat isu-isu terse-but Suara Merdeka (109), Solo Pos (90), JawaPos (77) dan Kompas (35). Porsi pemberitaanyang tinggi pada unsur penunjang menjadikannilai/bobot netralitas media terhadap keinginanmenayangkan sosok tertentu sedikit terkabur-kan.

Dalam analisis kualitatif Solo Pos dalampemberitaan Pilgub lebih sering berisi pemberi-taan yang terdiri atas beberapa Cagub sehinggalebih sulit dilihat kecenderungan pada Cagubtertentu dan menguatkan pada spirit netralitas.Pemuatan rubrik warga bicara pada bulan Feb-ruari di Jawapos memberi keragaman tersendirikarena setiap rubriknya berisi antara 2 sampaidengan 3 pendapat dari masyarakat, meskipunditulis secara singkat. Kompas sebagai jaringankoran nasional dalam menaruh perhatian terha-dap pilgub secara umum lebih besar di-bandingkan koran nasional Jawa Pos.

Kecenderungan penggarapan terhadapberita-berita politik lokal (pilgub) sebagai ko-moditas lebih diperhatikan oleh media lokal So-lo Pos dan Suara Merdeka. Secara kuantitatifpemuatan cagub tertentu memberikan gambar-an bahwa ada atensi yang lebih kepada cagubtertentu apabila dibandingkan dengan cagubyang lain. Seperti munculnya Bibit Rustri yangrelatif baru namun frekuensinya cukup tinggi,baik di Solo Pos (24), Suara Merdeka (15) danKompas (15). Bambang Adnan yang lebih dulumuncul justru punya frekuensi paparan relatifkecil yaitu Solo Pos (10), Suara Merdeka (10)dan Kompas (4). Tamzil yang jauh-jauh harisudah tampil meskipun sendirian punya freku-ensi paparan yang relatif tinggi di Suara Merde-

Kecenderungan Isi Media Cetak Lokaldalam Pilgub Jateng 2008

event

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Page 100: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 185

ka (22), Solo Pos (14) dan Kompas (10). OlehMosco (1999) secara khusus jugadijelaskan da-lam mengamati realitas media sebagai institusisosial sekaligus institusi bisnis dihadapkanpada 3 konsep dasar yaitu

. mengacupada proses transformasi nilai guna, nilai yangdidasarkan pada kemampuan dalam memenuhikebutuhan terhadap suatu nilai tukar yang dida-sarkan pada kepentingan pasar. Komodifikasiini menjadi penting dalam komunikasi karenaprosesnya akan memberikan sumbangan dalamproses komodifikasi ekonomi secara keselu-ruhan.

Dalam praktik komodifikasi dapat men-cakup dalam tiga kategori, yaitu :

. merupakan prosesmengubah pesan dari sekumpulan data ke da-lam sistem makna yang kemudian dapat dipa-sarkan. Berbagai terhadap nilai-nilailokal Budaya Jawa di dalam koran lokal seba-gai manifestasi dan aktualisasi dari nilai-nilailokal tersebut dapat difahami sebagai sebuahproses komodifikasi yang sangat strategis. Pro-ses olahan dalam ruang redaksi akan berjalandemikian dinamis dalam berbagai pertimbang-an antara struktur dan agensi. Representasi isiyang muncul tersebut pada akhirnya menjadi

yang telah mengalami proses komodi-fikasi.

Bila selama ini isi media yang dinilai la-yak jual lebih banyak berkisar pada isu-isu poli-tik maupun yang berbau sex, perang ataupunke-\kerasan, maka jenis isu yang mengandungnilai-nilai budaya setempat dapat dijadikan se-bagai sebuah keragaman isi dalam konteks ko-moditas yang mudah menyentuh emosi kha-layak atau ada unsur-unsur sentimen kedaerah-an, kedekatan geografis ataupun kebanggaanlokal yang bisa diolah dalam proses produksimedia hingga menghasilkan produk akhir yangbernilai jual bagi medianya.

memiliki maknabahwa media mampu menghasilkan sebuahproses yang memungkinkan media menjajakansejumlah khalayak sebagai konsumen. Mediahadir dalam kerangka hubungan dengan pihaklain yaitu pembacanya. Realitas isi yang hadirmenjadi sebuah komodifikasi yang senantiasadirelasikan dengan kepentingan institusi bisnislainnya seperti pengiklan, biro iklan atau pihak-

komodifikasi, spasi-alisasi dan strukturasi Komodifikasi

komodifikasiisi, komodifikasi khalayak dan komodifikasicybernetic Komodifikasi isi

exposure

exposure

Komodifikasi khalayak

pihak yang ingin menjadikan media sebagaiwahana “tampil” yang efektif. Komodifikasikhalayak menjadi bagian integral dari komodi-fikasi isi dalam menopang survival institusi me-dia. Dalam praktek terhadap nilai-nilai budayasetempat maka relasi itu akan saling menguat-kan terhadap isi yang hendak dibangunnya se-hingga keterlibatan khalayak menjadi perlu di-pertimbangkan secara mutualistik. Komodifi-kasi khalayak mengaggregasikan berbagai un-sur dalam sebuah kepentingan yang lebih utamayaitu keuntungan bagi medianya oleh karenaproses tersebut menjadikan media berada da-lam tujuan utama dalam hal keuntungan kapi-talnya.

Dalam dibagime-liputi komodifikasi dan

. adalah tinjauan la-yanan jasa khalayak oleh media sehing-ga yang dipertukarkan bukan pesan atau khala-yak akan tetapi nilai yang dihasilkan.Berbagai lembaga riset media meneliti, meng-olah dan menjual hasil kajian yang menyangkut

tersebut sebagai sebuah komoditas yangdiperlukan media agar senantiasa berada dalamtampilan yang optimal di mata khalayaknya.Dalam media penyiaran seperti TV proses inibanyak ditempuh sehingga kepentingansebagai panglima bagi pengelola media. Na-mun dalam media cetak juga tetap diper-timbangkan sebagai hasil survey seperti SRIatau menjadi acuan penting dalampenentuan ragam isi di masa yang akan datang.

merupakan pro-ses komodifikasi yang menjangkau seluruh ke-lembagaan pendidikan, informasi pemerintah,media dan budaya yang diharapkan menjadipendorong bagi khalayak sehingga tidak semuaorang dapat mengakses produk media. Dengandemikian komodifikasi menjadikanmedia sebagai sebuah ajang adu prestasi yangdinilai publik. Media menjadi representasi per-sepsi publik dimana diversitas isi didasarkanatas adanya selera dan penilaian publik akan se-natiasa menjadi parameter keberhasilannya me-ngelola media.

Keberadaan media massa tidak pernahsteril dari berbagai kepentingan ideologi, ke-pentingan pemilik modal, penguasa, kepenting-an politik ataupun kepentingan lainnya yangmenjadikan masyarakat pada akhirnya seringterjadi ketegangan terbuka yang berupa konflik

komodifikasi cyberneticinstrinsik ekstrin-

sik Komodifikasi instrinsikrating

rating

rating

rating

rating

media scene

Komodifikasi ekstrinsik

cybernetic

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Page 101: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

186 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

ataupun ketegangan laten lainnya. Berbagaikonflik tersebut berada pada sekian ragam ideo-logi yang bersaing di tengah-tengah masyara-kat. Media akhirnya berperan sebagai penyalur( ) dan “toko“ informasi. AntonioGramci (1981) mengatakan media adalah

. (So-bur, 2001: 30).

Kerja jurnalistik dari ketiga media (SoloPos, Suara Merdeka, dan Kompas) dalampilgub Jateng ternyata punya kecenderunganyang hampir sama yaitu ada sikap simpati ter-tentu yang nilainya relatif kecil dan sulit dide-teksi secara kasat mata. Sementara itu Jawa Posbarangkali masih menunggu moment berikut-nya. Media massa dalam pandangan McQuail(2000:66) punya peran strategis yaitu: ,media massa dilihat sebagai

. Dengan media memungkinkankhalayak bisa melihat apa yang sedang terjadidi luar dirinya. Media juga dapat dijadikan sara-na belajar terhadap berbagai peristiwa tersebut.Peran strategis bagi media lokal tidak lepas darimencuatnya isu-isu dan peristiwa-peristiwa lo-kal yang senantiasa dibumbui oleh kultur se-tempat. Potret lokalitas menjadi menu pentingbagi media agar ia punya nilai lebih dan punya”greget” yang beda dengan media global.

, media massa dapat dipandang se-bagai

. Media se-bagai cermin beragam kejadian atau peristiwayang terjadi dalam masyarakat dan seluruh pen-juru dunia, yang direfleksikan secara apa ada-nya. Refleksi terhadap berbagai fakta seringkalitidak dipertimbangkan ekses yang ditimbulkanbilamana ia sekedar memaparkan fakta .Sehingga dalam narasi pemberitaan ataupungambar/visual kerapkali fakta dipaparkan apaadanya yang kemudian berdampak negatif bagikhalayak. Dalam konteks inilah media lokal da-pat secara lugas memainkan proses pemotretanrealitas lokalnya dalam bingkai lokal. Kelentur-an dalam menangkap gejala-gejala lokal yangsarat dengan nuansa kulturalnya akan menjadi-kan media lokal lebih membumi bagi khalayak-nya.

, media sebagai yangdituntut mampu melakukan seleksi terhadapberbagai hal, hal-hal mana yang dianggap pen-ting dan mana yang tidak, sehingga media mela-kukan proses seleksi berbagai isi yang hendak

disseminatorthe

battle ground for competition ideologies

event

pertamawindow on event

and experience

Keduaa mirror of events in society and the

world, implying a faithful reflection

an sich

Ketiga gatekeeper

disajikan dalam kacamata pengelolanya. Mediamemilihkan sesuatu sajian yang dikonsumsikhalayaknya. , media juga dipandangsebagai pembimbing maupun penerjemah ter-hadap berbagai hal sehingga tanpa sadar khala-yak ditunjukan arah atas berbagai alternatifyang sangat beragam.

, media dipandang sebagai waha-na atau forum yang dapat digunakan untukmempresentasikan berbagai ide dan informasikepada khalayak yang kemudian memungkin-kan terjadinya respon atau umpan balik yangsifatnya dua arah. Dalam berbagai peristiwa ka-sus tertentu disebut polemik. , mediamassa dapat dilihat sebagai . Mediamenunjukkan terjadinya komunikasi yang in-teraktif, bukan sekedar medium untuk lalu la-langnya informasi tetapi sebagai partner yangbisa lebih intent. Narasi yang lahir dalam termi-nologi lokal akan lebih mengesankan nilai yangmengena dan lebih interaktif terhadap idiom-idiom lokal, baik dalam bahasa, lambang mau-pun kode-kode lokalnya.

Media massa menjadi medium yang stra-tegis dalam berbagai proses sosial, ekonomidan politik bangsa. Produk media dapat mem-pengaruhi berbagai sikap dan perilaku masya-rakat dan mampu menanamkan gambaran ter-tentu dalam benaknya oleh Walter Lippman(1921) disebut sebagai

. Realitas yang dibangun media senantia-sa direspon khalayaknya sebagai sebuah pro-duk yang hendak dikonsumsinya layaknya pro-duk-produk lainnya, sehingga paparan mediadipandang merepresentasikan realitas ob-yektifnya. Hal ini sejalan dengan pandangan

George Gerbner (1972),Noelle Neumann (1974) maupun

oleh Mc Comb and DonaldShaw (1969).

Apabila pemberitaan cagub kali ini lebihmenggambarkan adanya atensi media terhadapberbagai realitas yang melekat pada cagub ma-ka pada waktu-waktu yang akan datang sangatmungkin para tim sukses memilih media yangtepat dalam beriklan atau advertorial. Model-model iklan di TV lokal hingga saat ini belumdisentuh oleh aturan yang ketat. TV lokal akanmemanfaatkan kondisi ini sampai titik tertentuaturan ditegakkan layaknya pemasangan span-duk/baliho yang sekian lama dibiarkan jalansendiri-sendiri. Sukses Pilgub dan netralitas

Keempat

Kelima

Keenaminterlocutor

the pictures in ourheads

Teori Kultivasi spiralof silenceAgenda Setting

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Page 102: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 187

media adalah indikator pendidikan demokrasiyang makin dewasa dan matang karena tarikanpolitik sesaat tidak melunturkan idealisme me-dia. Media Hidup karena konsumen bukan iklanpartai

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwamedia cetak memiliki kecenderungan tersendiridalam pemberitaan tentang Pilgub Jateng 2008.Kecenderungan ini selain dipengaruhi oleh ca-kupan geografis dan ideologinya, juga dipenga-ruhi oleh mekanisme yang berlangsung dalamproses redaksi media yang bersangkutan. Net-ralitas media dalam pemberitaan di ranah poli-tik merupakan tuntutan yang harus dilakukansebagai upaya menjalankan fungsi media seba-gai egen pendidikan politik bagi masyarakat.

Kecenderungan pemberitaan dan wa-cana media dalam peristiwa pilgub Jateng 2008kali ini menunjukkan adanya keterkaitan de-ngan hasil pilgub itu sendiri yaitu pasangan Bi-bit Waluyo dan Rustriningsih yang pada akhir-nya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur me-mang sejak awal lebih unggul dalam memba-ngun wacana di media tersebut. Dinamika Ko-ran daerah tetap menarik dalam kontek socialpolitik yang sedang berlangsung.

Adam, A. (1995).. Ja-

karta: Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu.Albaran, A.B. (1966).

Iowa State University Press.Arawinda, J. (2005). Ekonomi Politik Media

Majalah Hiburan Pria.Vol. IV/No. 3,

September Desember.Badriati, M. (2006). Dominasi Pemilik Modal

dan Resistensi Pekerja Media.Vol. V/

No. 1 Januari April.Darmopamujo, S. (2002). Pers Berbahasa Ja-

wa Tinggal Kenangan. , 14Februari.

Deliarnov. (2006). Jakarta:Penerbit Erlangga.

Emka, Z.A. (2005). .Surabaya: StikosaAWS.

Penutup

Daftar Pustaka

Sejarah Awal Pers dan Ke-bangkitan Kesadaran Keindonesiaan

Media Economics, Un-derstanding Markets, Industries and Con-cepts. Ames:

Thesis - Jurnal Pe-nelitian Ilmu Komunikasi,

Thesis - Jur-nal Penelitian Ilmu Komunikasi.

Suara Merdeka

Ekonomi Politik.

Wartawan Juga Bisa Salah

Gustama, T.R. (2004). Manifestasi HegemoniMedia Internasional di Tingkat Lokal.

,Vol. III/No 1 Januari April.

Hamad, I. (2004).. Jakarta: Granit.

-----. (2004). Media Massa dan KonstruksiRealitas Politik.

, Vol. III/ No.1 Januari-April.

-----. (2005). Membumikan Kriteria KualitasPenelitian.

,Vol. IV/No 1, Januari April.-----. (2005). Teori dan Penelitian, dalam Teori-

teori Kritis.Vol. IV/No. 2 , Mei Agustus.

Hidayat, D.N. et al. (2000).

Gramedia Pustaka Utama.Lippman, W. (1998). . Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.Littlejohn, S.W. (2006).

. Belmont: WadsworthPublishing.

Lukmantoro, T. (2002). RUU. 14 Septem-

ber.Luwarso, L. (ed.). (2003).

. Jakarta: Dewan Pers & Unesco.-----. (2005).

. Jakarta: Dewan Pers &FES.

McQuail, D. & Siune, K. (1998).

. London: Sage Publication.McQuail, D. (2005).

5 Ed. London: Sage Publi-cation.

Mosco, V. (1996).

London: Sage Publications, London.Nasir, Z. (2005). Perubahan Struktur Media

Massa Indonesia dari Orde Soeharto keOrde Reformasi.

Vol. IV/No. 2 , MeiAgustus.

Oetama, J. (2001).. Ja-

The-sis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

Konstruksi Realitas Politikdalam Media Massa

Thesis - Jurnal PenelitianIlmu Komunikasi

Thesis - Jurnal Penelitian IlmuKomunikasi

Thesis - Jurnal Penelitian IlmuKomunikasi

Pers dalam Revo-lusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni.Jakarta:

Pendapat Umum

Theories of HumanCommunication

Penyiaran danBudaya Lokal Suara Merdeka,

Mengatur Kebebas-an Pers

Kompetensi Wartawan: PedomanPeningkatan Profesionalisme Wartawandan Kerja Pers

Media PolicyConvergence, Concentration & Com-merce

McQuil's Mass Communi-cation Theory

The Political Economy ofCommunication, Rethingking and Renew-al.

Thesis - Jurnal PenelitianIlmu Komunikasi

Pers Indonesia Berkomuni-kasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus

Hidayat, D.N. (1997)..

Paradigma dan Per-kembangan Penelitian Komunikasi ISKI,September.

th

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Page 103: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

188 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

karta: Kompas Media Nusantara.Pareno, S.A. (2003).

Surabaya Pener-bit Popyrus.

Rahayu (ed.). (2006).. Ja-

karta: Pusat Kajian Media dan Budaya Po-puler, Dewan Pers & Depkominfo.

Sarwono, B.A. (2004). Pemaknaan Karir Poli-tik Presiden Perempuan dalam Masyara-kat Patriakhi.

, Vol. III/No. 2 Mei-Agustus.Sen, K. & Hill, D.T. (2001).

. Jakarta: ISAI.Shobur, A. (2001). . Ban-

Manajemen Berita, Anta-ra Idealisme dan Realita. :

Menyingkap Profesional-isme Kinerja Surat Kabar di Indonesia

Jurnal Penelitian Ilmu Ko-munikasi

Media, Budayadan Politik Indonesia

Analisis Teks Media

dung: Rosda Karya.Siregar, A. & Pasaribu, R. (2000).

Yogyakarta: Adikarya IKAPS & The FordFoundation.

Smythe, D. (1977). Communication: Blindspotof Western Marxism.

,Vol 1 No. 3.Sudibyo, A. (2001).

.Yogyakarta: LKIS.Surjomihardjo, A. et al. (2002).

Jakarta: Kompas Media Nusantara.Tester, K. (2003).

Yogyakarta: Penerbit Juxtapose.

BagaimanaMengelola Media Korporasi Organisasi.

Canadian Journal ofPolitical and Social Theory

Politik Media dan Perta-rungan Wacana

Beberapa SegiPerkembangan Sejarah Pers di Indonesia.

Media, Budaya & Moralitas.

Tabel 1. Berita Pilgub yang Ditunjang dengan Foto

Bulan Surat Kabar

Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas

Januari 3 10 6 8

Februari 1 3 12 7

Maret 4 6 46 10

Total 8 19 64 25

Tabel 2. Berita Pilgub tanpa Foto

Bulan Surat Kabar

Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas

Januari 20 24 45 17

Februari 46 29 64 9

Maret 11 72 74 18

Total 77 125 183 44

Tabel 3. Kupasan Pilgub dalam Bentuk Artikel

Bulan Surat Kabar

Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas

Januari 9 2

Februari 1 1 8 4

Maret 7 9 2

Total 1 8 25 8

Page 104: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 189

Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Tabel 4. Frekuensi Paparan Cagub dan Partainya

Pasangan Cagub Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas Total

Jan Feb Mar Jan Feb Mar Jan Feb Mar Jan Feb Mar

Agus S-Khaliq 1 - - 10 4 4 14 6 9 7 1 2 58(PKB)

Bambang-Adnan 1 - - 2 3 5 1 4 5 1 - 3 25(Golkar)

Bibit-Rustri 2 - 1 4 9 11 4 9 12 5 1 9 67(PDIP)

Sukawi-Sudarto 1 - - 1 2 2 2 4 9 2 - 3 26(PKS)

Tanzil-Rozak 3 - - 7 5 2 8 8 6 5 1 4 49(PAN)

Ali Mufiz 1 - - 1 - - 3 10 5 4 6 - 30(Gubernur)

Page 105: Jurnal Komunikasi Massa Vol 2 No 2 Tahun 2009

Syarat-syarat Penulisan Artikel

1. Artikel merupakan hasil refleksi, penelitian, atau kajian analitis terhadap berbagai fenomenakomunikasi, khususnya komunikasi massa, yang belum pernah dipublikasikan di media lain.

2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan panjang tulisan antara 6.000-8.000kata, diketik di halamanA4, spasi tunggal, margin atas dan kiri 4 cm, margin bawah dan kanan 3cm, menggunakan font Times New Roman 11 point. Artikel dilengkapi dengan abstrak sepan-jang 100-150 kata dan 3-5 kata kunci.

3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Instansi asal Penulis, Alamat Kontak Penulis (termasuktelepon dan email), Abstrak, Kata-kata kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), Sub-sub Judul(sesuai kebutuhan),Penutup atau Simpulan, Catatan-catatan dan Daftar Kepustakaan.

4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata/istilah Indonesia atau belum menjadiistilah teknis, diketik dengan huruf miring.

5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai endnotes.

6. Kutipan langsung 5 baris atau lebih diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipanlangsung kurang dari 5 baris dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teksdi antara dua tanda petik. Kutipan tidak langsung (parafrase) ditulis tanpa tanda petik.

7. Daftar Kepustakaan diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalamartikel. Penulisan referensi menggunakan sistemContoh:

Fakih, M. (1997). .Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Holmer-Nadesan, M. (1986). “Organizational Identity and Space ofAction”,

17 (1), 1986, hal. 49-81.

8. Penulis diminta menyertakan biodata singkat.

9. Artikel dikirimkan kepada Tim Penyunting dalam bentuk file Microsoft Word (.doc atau .rtf)disimpan dalam disket, CD, USB flash disk, ataupun sebagai dalam e-mail.

10. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah diberitahukan kepada penulis melalui surat atau e-mail.Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kepada penulis, kecuali atas perminta-an penulis.

11. Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima ucapan terima kasih berupa nomor bukti 3eksemplar.

12. Artikel dikirimkan ke alamat di bawah ini:

Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas MaretJl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta 57126.

Email: [email protected]

American Pschycological Association (APA)

Analisis Gender dan TransformasiSosialOrganizational

Studies

attachment

JURNAL KOMUNIKASI MASSA