ISSN 1907-4263 -...

47

Transcript of ISSN 1907-4263 -...

ISSN 1907-4263

Volume 10 Nomor 1 2015

DAFTAR ISI

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan ......... 1(Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach)Erythrina dan Zulkifli Zaini

Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi GasRumah Kaca di Lahan Sawah ......................................................... 9(Contribution of Sulfur to Rice Productivity and AtmosphericGreenhouse Gases in Lowland)A. Wihardjaka dan Poniman

Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak .......... 19(Improvement of Soybean Resistance to Armyworm)Titik Sundari dan Kurnia Paramita Sari

Kontaminasi Aflatoxin dalam Rantai Distribusi Kacang Tanah diIndonesia .......................................................................................... 29(Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain inIndonesia)Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo

Determinan Agronomis Produktivitas Jagung ................................. 39(The Agronomic Factors Determining Maize Productivity)Sutoro

Pengantar

Pada terbitan nomor 1 tahun ke-10, BuletinIptek Tanaman Pangan menyajikan limatulisan review hasil penelitian. Tulisanpertama dan kedua membahas aspekpemupukan pada tanaman padi yangdikaitkan dengan upaya peningkatanproduktivitas, pendapatan, dan pelestarianlingkungan. Hal ini sejalan dengan upayapemerintah untuk mewujudkan swasem-bada beras dan menekan dampak emisigas rumah kaca dari lahan sawah denganmitigasi perubahan iklim global.

Tulisan ketiga membahas upayaperbaikan ketahanan varietas kedelaiterhadap ulat grayak. Dewasa ini ulat grayaktelah berubah status menjadi hama utamakedelai yang tentu saja perlu dikendalikanagar tidak menurunkan produksi.

Aflatoxin pada kacang tanah mem-bahayakan kesehatan konsumen. Penyakitini juga merusak biji jagung dan beberapakomoditas lainnya. Oleh karena itu, aflatoxinmendapat prioritas untuk diteliti. Tulisankontaminasi aflatoxin pada kacang tanahjuga mengisi Buletin Iptek TanamanPangan kali ini. Tulisan berikutnya mem-bahas determinan agronomis produktivitasjagung.

Redaksi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman PanganBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Bogor, Indonesia

Buletin Iptek Tanaman Panganmerupakan publikasi yang memuatmakalah review hasil penelitian tanamanpangan (padi dan palawija).

Redaksi mengutamakan makalahdari peneliti lingkup Puslitbang TanamanPangan dan menerima makalah darisemua institusi penelitian tanamanpangan lainnya di Indonesia, termasukperguruan tinggi, LIPI, dan BATAN.Makalah review yang dikirimkanhendaknya sudah mendapat persetujuandari pimpinan instansi masing-masing.

Ketentuan penulisan makalah untukdapat dimuat di buletin ini tertera dalam"Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

PETUNJUK BAGI PENULIS

KETENTUAN UMUM• Buletin Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atau

analisis dari sejumlah referensi hasil penelitian menjadigagasan baru untuk dapat memberikan pemecahan masalahpertanian tanaman pangan.

• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.• Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernah diterbitkan di

media publikasi lain.• Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentuk print out

atau melalui email ke alamat www.pangan.litbang.deptan.go.id.• Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhak menerima satu

buletin asli dan cetak lepas 10 eksemplar.

STANDAR PENULISAN• Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasi untuk

Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran. Bidang ketikberjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepikanan, atas, dan bawah.

• Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial dengan ukuranfont 12 untuk teks dan 10-11 untuk Tabel dan Lampiran.

• Naskah diketik dalam program Microsoft Word.• Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan

instansi, abstrak, pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan,ucapan terima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka.

SISTEMATIKA PENULISAN• Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yang

mencerminkan isi naskah.• Nama penulis: sesuai dengan pencantuman untuk pustaka.• Nama lembaga/instansi: disertai dengan alamat lengkap.• Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata, dandituangkan dalam satu paragraf.

• Kata kunci (key word): maksimum 5 kata.• Pendahuluan: menggambarkan latar belakang, tujuan,

sasaran dan pustaka yang mendukung.• Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahas secara jelas

pokok bahasan dengan mengacu kepada tujuan penulisan.• Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansi pokok

bahasan.• Ucapan terima kasih (kalau ada).• Daftar Pustaka:

a. Menggunakan minimal 25 referensi dalam 10 tahun terakhirdengan proporsi minimal 50% dari jurnal ilmiah.

b. Pengutipan pustaka dari internet hanya diperbolehkan darisumber yang dapat dipercaya seperti jurnal ilmiah dariinstansi pemerintah atau swasta.

c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah, disusunalfabetis dan tahun terbit. Di belakang tahun, baik dalamteks maupun di daftar pustaka dapat dibubuhi huruf kecil(a, b, c) jika penulis yang sama menulis lebih dari satuartikel dalam tahun yang sama. Nama penulis yang lebihdari dua orang, di dalam kutipan teks menggunakan et al.setelah penulis pertama. Di daftar pustaka, semua penulisharus ditulis sesuai dengan kaidah penulisan pustaka.

• Beberapa contoh penulisan sumber rujukan:

BukuSyam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan kedelai.

Puslitbangtan. Bogor. 317 p.

JurnalWahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada

padi sawah dengan metode bagan warna daun. JurnalLitbang Pertanian 22(4):156-161.

Artikel dalam bukuSubandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Areal pertanaman

dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Kedelai:Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbang TanamanPangan. Bogor. p. 135-144.

InternetMutert, E. W. 2008. Plant nutrient balances in Asian and Pasific

regions. The consequences for agricultural production. http://www.agnet. org/library/eb/415.

ProsidingSembiring, H. dan Wasito. 2004. Peluang pengembangan sistem

integrasi padi-ternak dalam pemberdayaan kelompok taniuntuk meningkatkan kualitas lahan dan pendapatan petani diSumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Sistem IntegrasiTanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Kerja samaPuslitbang Peternakan - BPTP Bali- CASREN. Bogor. p. 104-115.

Tesis/disertasiKoesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanan kedelai terhadap

aluminium. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 127 p.

CARA PENULISAN• Tabel

a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial dengan jarak1 spasi dan ukuran font 10-11.

b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yangmenggunakan huruf kapital, diletakkan di atas Tabel, dandiberi nomor urut dengan angka Arab.

c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi dan ukuranfont 9-10.

• Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipe Arialdengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11, diletakkan dibawah Gambar atau Grafik berupa kalimat singkat dan jelas.Hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital dandiberi nomor urut sesuai dengan letaknya.

• Satuan ukuran: memakai sistem internasional.• Penulisan angka desimal: dalam bahasa Indonesia

dipisahkan dengan koma (,) dan dalam bahasa Inggris dengantitik (.).

ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH

1

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan(Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach)

Erythrina1 dan Zulkifli Zaini2

1Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi PertanianJl. Tentara Pelajar No. 10 Bogor 16114

E-mail: [email protected] Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111, Jawa BaratE-mail: [email protected]

Naskah diterima 11 November 2014 dan disetujui diterbitkan 4 Mei 2015

ABSTRACT

IAARD in the Ministry of Agriculture has produced a wide range of technology for site specific nutrientmanagement (SSNM), in form of soil-test kit equipment and software. This paper presents the concept ofrevitalization the system and direction for an efficient fertilization usage. A more rational use of fertilizersbased on a specific locational need is expected in the long term to reduce the amount of fertilizer subsidies,without reducing the rice production. The effect of SSNM had been shown to give opportunities for yieldincreases per unit of fertilizer, to reduce loss of fertilizer, to improve agronomic efficiency and at the sametime had positive influence on the environment. SSNM could be used to develop plan for fertilizer requirementper farmers’ group (RDKK) which in reality was often not compiled by field extension in accordance with thearea of land and fertilizer needs. Inaccurate RDKK preparation had been causing problem on the distributionof subsidized fertilizer, because it was often showing an overestimate of the amount of fertilizer needed, ascompared with the availability of fertilizer. Funds allocated for the preparation of RDKK could be routed tothe procurement of hardware such as computers and to train the agricultural extension workers in eachAgricultural Extension Center in Indonesia, to be able to access the website-specific nutrient fertilizationthrough the internet. Assessment Institute of Agricultural Technology located in every province could facilitatethis technology transfer process.Keywords: Fertilizer, SSNM technology, RDKK, rice paddy.

ABSTRAK

Badan Litbang Kementerian Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemupukan hara spesifiklokasi (PHSL), baik berupa peralatan maupun perangkat lunak. Tulisan ini menyajikan pemikiran tentangupaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Penggunaan pupuk yang lebih rasional danspesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpamenurunkan produksi padi. Pemupukan hara spesifik lokasi terbukti meningkatkan hasil per unit pemberianpupuk, mengurangi kehilangan pupuk, meningkatkan efisiensi agronomi dari pupuk sekaligus berpengaruhpositif terhadap lingkungan. Teknologi PHSL dapat digunakan untuk menyusun RDKK yang dalamkenyataannya seringkali tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuknya. PenyusunanRDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidaksesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKKdapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer dan melatih para penyuluh pertaniandi setiap Balai Penyuluhan Pertanian di Indonesia untuk dapat mengakses situs web pemupukan haraspesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapatmempercepat proses alih teknologi ini.Kata kunci: Pupuk, teknologi PHSL, RDKK, padi sawah.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

2

PENDAHULUAN

Terminologi revolusi hijau digunakan untuk menjelaskanpeningkatan aktivitas fotosintesis dari pigmen hijau daunatau klorofil, untuk dapat menghasilkan lebih banyakkarbohidrat. Proses ini tidak hanya melibatkanpenggunaan energi matahari dan karbon dioksida secaraefektif dari atmosfer, tetapi juga air dan unsur hara,terutama nitrogen, fosfor, dan kalium dari tanah (Horie etal. 2004). Melalui proses penyilangan dan seleksi,arsitektur tanaman dimodifikasi dari varietas lokal, denganpostur tanaman tinggi menjadi varietas unggul dengananakan lebih banyak, daun tegak, berbatang pendek dankokoh untuk dapat menahan gabah yang lebih banyakpada malai yang terbentuk, jika lahan diberi pupuk danair yang cukup. Arsitektur tanaman yang lebih pendekdan kokoh mampu menggunakan eksternal input secaraefisien yang berasal dari pupuk kimia dan air irigasi untukmenghasilkan gabah dalam jumlah yang lebih banyakdengan umur tanaman yang lebih pendek (Zaini 2012).

Revolusi hijau yang memperkenalkan varietas unggulberdaya hasil tinggi merupakan faktor utama yangmemungkinkan sejumlah negara, termasuk Indonesia,untuk meningkatkan produksi padi dan jagung pada tahun1970 sampai 1980-an. Dampak positif dari peningkatanproduksi adalah menurunnya angka kemiskinan melaluipeningkatan pendapatan petani dan tersedianya berasdengan harga yang terjangkau bagi konsumenberpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupunperkotaan.

Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dariberbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomimaupun sosial. Terjadinya degradasi lingkungan akibatpenggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan,perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak,menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagaivarietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetikterhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanyadinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebihmampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggidari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampaimemperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagiwanita tani (Kesavan and Swaminathan 2006).

Di sisi lain, produksi padi cenderung melandai sejakdua dasawarsa yang lalu akibat menurunnya lajupeningkatan produktivitas. Dalam periode 1993-2013 lajupeningkatan produktivitas padi sawah irigasi hanya 33kg/tahun (R2=0,674) (BPS 2014).

Pemerintah harus memastikan ketersediaan beraspada tingkat harga yang tidak memberatkan konsumendan sekaligus memberikan keuntungan yang memadaikepada petani (Menko Perekonomian 2011). Situasi ini

hanya mungkin dicapai bila usahatani padi sawah dapatmengoptimalkan setiap penggunaan input. Pupukmerupakan salah satu input utama untuk memproduksipadi.

Pemerintah telah mengurangi subsidi pupuk kimiasejak 1 April 2010, yang menyebabkan harga pupukmeningkat 25-40% di atas harga eceran tertinggi (HET)yang berlaku (Rachman 2011). Pupuk urea dipatok denganharga Rp1.800/kg, pupuk majemuk NPK Rp2.300/kg, SP-36 Rp2.000/kg, ZA Rp1.400/kg, dan pupuk organik Rp500/kg. Harga itu berlaku sejak 2012. Dengan naiknya hargapupuk di pasaran, petani harus lebih efisien dalammengelola pemupukan padi sawah.

Pupuk berperan penting dalam peningkatanproduktivitas dan produksi tanaman pangan. Walaupunpenyaluran pupuk bersubsidi terus meningkat (Tabel 1),tetapi ketersediaannya masih terbatas sehingga seringtidak tersedia pada saat petani membutuhkan.

Subsidi pupuk di negara-negara berkembangcenderung meningkat, dengan pola dan ketentuan yangberbeda. Dibandingkan dengan China dan India, subsidipupuk di Indonesia terbilang kecil, sekitar Rp 21 triliunpada tahun 2015 atau hanya sekitar 5% dari total subsidiyang dikeluarkan pemerintah. Subsidi paling besardikeluarkan pemerintah untuk energi (61%) dan listrik(26%). Besaran pupuk bersubsidi diperkirakan akan terusmeningkat karena kenaikan harga bahan baku dandepresiasi rupiah yang menyebabkan harga pokokproduksi (HPP) pupuk terus meningkat.

Tulisan ini menyajikan suatu pemikiran tentang upayadan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien.Tingginya subsidi pupuk yang dialokasikan pemerintahmembebani anggaran Kementerian Pertanian.Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasidiharapkan dalam jangka panjang dapat menurunkanjumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi.Penyuluh dan petani harus memahami bahwa penggunaanpupuk sesuai kebutuhan tanaman tidak hanyameningkatkan efisiensi pemupukan dan penghematanpupuk tetapi juga berpengaruh positif terhadap lingkungan.

Tabel 1. Penyaluran pupuk bersubsidi, 2007-2012 (ton).

Tahun Urea SP36 ZA NPK Organik

2007 4.300.000 800.000 700.000 700.000 02008 4.800.000 814.400 750.350 962.680 345.0002009 5.500.000 1.000.000 923.000 1.500.000 450.0002010 4.931.000 850.000 849.749 2.100.000 750.0002012 5.100.000 1.000.000 1.000.000 2.593.000 835.000

Laju/tahun 2,88% 6,12% 8,89% 36,55% 24,73%

Sumber: Kementerian Pertanian 2012.

ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH

3

DINAMIKA REKOMENDASI TEKNOLOGIPEMUPUKAN

Pada zaman penjajahan Belanda hanya pupuk nitrogenyang dianjurkan, dengan takaran 20-40 kg N/ha. Air irigasidiperkirakan dapat menyediakan unsur hara lainnya,terutama kalium (Giessen 1942, Dijk 1951). BalaiPenyelidikan Teknik Pertanian (sekarang PuslitbangTanaman Pangan) dengan berbagai keterbatasannya,mampu melaksanakan penelitian efektivitas kombinasipemupukan N, P, dan K pada varietas lokal Bengawan(dilepas tahun 1943) dan Sigadis (dilepas tahun 1953) diJawa pada tahun 1961-1962 (Nataatmadja et al. 1988).

Rekomendasi Pemupukan Bersifat Umum

Pada tahun 1980, Program Intensifikasi Khusus (Insus)menerapkan teknologi Sapta Usahatani sebagaipenyempurnaan Panca-Usahatani dengan pilar utamapenggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi danresponsif terhadap pemupukan hara N, P, dan K sebagaiandalan utama revolusi hijau. Implementasi program Insusyang didukung oleh penyuluhan dan perbaikan infrastrukturpertanian mampu meningkatkan produksi padi secarasignifikan dan menghantarkan Indonesia mencapaiswasembada beras pada tahun 1984 (Fagi et al. 2009).

Rekomendasi pemupukan padi sawah yang berlakusaat itu masih bersifat umum untuk semua wilayahIndonesia tanpa mempertimbangkan status hara tanahdan kemampuan tanaman menyerap hara (Sofyan et al.2004). Sementara diketahui bahwa status hara P dan Klahan sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi(Adiningsih et al. 1989).

Pemupukan P dan K secara terus-menerus sejakdikembangkan program Insus dan Supra Insus dengan10 jurus paket D menyebabkan sebagian besar lahansawah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Lombok, dan Baliberstatus hara P dan K relatif tinggi (Sofyan et al. 2004).Selain itu penggunaan pupuk P dan K secara terus-menerus menyebabkan ketidakseimbangan hara ditanah. Ketidak seimbangan hara diduga sebagaipenyebab terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off)padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi menyebabkanketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan(Dobermann and Fairhurst 2000).

Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi

Konsep Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) telahdikembangkan sejak pertengahan tahun 1990-an, yangkemudian diteliti pada sekitar 200 lokasi lahan sawahirigasi di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia

pada tahun 1997-2000 (Dobermann et al. 2002, Bureshet al. 2010).

Penelitian manajemen pemupukan nitrogen (N) telahberubah: (1) dari pendekatan menekan kehilangan haramenjadi pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman;(2) dari indikator utama recovery efficiency menjadiagronomic efficiency, yaitu setiap kg kenaikan hasil gabahper kg pupuk yang diberikan, dan partial factor productivityyaitu jumlah gabah yang dihasilkan untuk setiap kgpemberian pupuk; (3) dari rekomendasi yang bersifatumum menjadi rekomendasi berdasarkan respon tanamandan efisiensi agronomi; dan (4) dari pemberian N yangberlebihan pada tahap awal pertanaman menjadipemberian N sesuai stadia dan kebutuhan tanaman(Buresh 2007).

Perubahan ini mengharuskan pemberian pupukberbeda dosis antar lokasi, musim tanam, dan varietasyang digunakan. Pemupukan spesifik lokasi memberipeluang untuk meningkatkan hasil per unit pemberianpupuk, mengurangi kehilangan pupuk, dan meningkatkanefisiensi agronomi pupuk (Zaini 2012).

Teknologi Pemetaan Status Hara P dan K Tanah

Peta status hara menggambarkan dan memberikaninformasi tentang sebaran dan luasan status hara dalamsuatu wilayah. Dari peta tersebut dapat diketahui berapaluas tanah yang mempunyai status hara rendah, sedang,tinggi, dan lokasinya. Peta status hara tanah skala1:250.000 dapat digunakan sebagai dasar alokasi pupukdi tingkat provinsi, sedangkan peta status hara tanahskala 1:50.000 dapat digunakan sebagai dasarpenyusunan rekomendasi pemupukan tingkat kecamatan(Sofyan et al. 2004). Sebagian besar lahan sawah diIndonesia berstatus P sedang dan tinggi, sedangkan yangberstatus P rendah hanya 17% (Tabel 2).

Tabel 2. Status hara P tanah sawah skala 1:250.000 di beberapapulau di Indonesia.

Status hara P (‘000 ha)Pulau Total

Rendah Sedang Tinggi

Jawa 543 1.658 1.452 3.653Sumatera 428 1.081 771 2.280Kalimantan Selatan 146 164 155 465Bali 2 16 74 92Lombok 0 12 111 123Sulawesi 152 312 433 897

Total 1.271 3.243 3.996 7.510

Sumber: Sofyan et al. 2004

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

4

Kalium merupakan hara mikro ketiga yang dapatmenjadi kendala bila hasil panen diangkut terus-menerusdan jerami tidak dikembalikan ke tanah. Pada lahan sawahyang digenangi selama pertumbuhan tanaman,ketersediaan K relatif tinggi karena perubahan danpergerakan K terjadi secara cepat. Air irigasi yangmengandung K dan pengembalian jerami yangmengandung K cukup tinggi dapat memperkecilkemungkinan lahan sawah kahat K. Luas lahan sawahyang berstatus K rendah hanya 12% (Tabel 3).

Teknologi Petak Omisi

Petak Omisi atau minus satu unsur hara terdiri atas empatpetak yaitu: (1) petak 0 N, yaitu petakan yang diberi pupuk

P dan K tanpa N, (2) petak 0 P, yaitu petakan yang diberipupuk N dan K tanpa P, (3) petak 0 K, yaitu petakanyang diberi pupuk N dan P tanpa K, dan (4) petak NPKyaitu petakan yang diberi pupuk NPK (Abdulrachman etal. 2003).

Pasokan hara asli tanah adalah jumlah hara tertentuyang tersedia dalam tanah yang berasal dari segalasumber (misalnya tanah, sisa tanaman, air irigasi), kecualipupuk anorganik yang diberikan ke tanah, yang tersediabagi tanaman selama musim tanam (Dobermann andFairhurst 2000). Indikator pasokan hara dalam tanah yangpraktis adalah hasil tanaman pada kondisi hara terbatas,yang dapat diukur dari hasil gabah pada petak omisi(misalnya hasil dengan keterbatasan N pada petak omisiyang dipupuk P dan K, tetapi tidak dipupuk N)(Abdulrachman et al. 2003).

Teknologi PHSL

Hasil penelitian PHSL telah dipublikasikan oleh Bureshet al. (2006) dan Buresh et al. (2012) yang mengemukakanbahwa penggunaan teknologi pemupukan hara spesifiklokasi berpotensi meningkatkan hasil gabah sekitar 400kg/ha/musim tanam. Hasil uji lapangan di delapan provinsimenunjukkan, dibandingkan pemupukan cara petani (FFP),penggunaan rekomendasi PHSL meningkatkan hasil gabahdari 200 kg/ha di Jawa sampai 600 kg/ha di luar Jawa sertameningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1,1 juta diJawa sampai Rp 2 juta di luar Jawa (Gambar 1).

Gambar 1. Rata-rata hasil gabah dan keuntungan usahatani padi dari penggunaan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).

Tabel 3. Status hara K tanah sawah skala 1:250.000 di beberapapulau di Indonesia.

Status hara K (‘000 ha)Pulau Total

Rendah Sedang Tinggi

Jawa 473 1.172 2.008 3.653Sumatera 246 1.181 858 2.280Kalimantan Selatan 66 261 138 465Bali - - 92 92Lombok - - 123 123Sulawesi 90 197 609 897

Total 875 2.806 3.829 7.510

Sumber: Sofyan et al. 2005

Jawa Luar Jawa

6,76,9

5,04,4

PHSL Cara petani

Hasil gabah (kg/ha)

1.134.960

2.082.340Jumlah petani:Jawa = 75 Luar Jawa = 231

Jawa Luar Jawa

Keuntungan usahatani (Rp/ha)

ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH

5

Peningkatan hasil gabah diperoleh denganpenggunaan takaran pupuk yang lebih rendah. Denganpenggunaan PHSL rataan penggunaan pupuk N menurundari 194 menjadi 94 kg/ha di Jawa dan dari 112 menjadi85 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk P menurundari 34 menjadi 20 kg/ha di Jawa dan dari 33 menjadi 26kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk K menurun dari25 menjadi 18 kg/ha di Jawa tetapi tidak menurun di luarJawa (Gambar 2).

Temuan ini menunjukkan peningkatan produktivitaspadi sawah dapat dicapai dengan pemberian pupuk yanglebih rendah yang mengindikasikan dengan teknologiPHSL mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupukdimana kenaikan hasil gabah per satuan pupuk makinmeningkat.

PENGARUH PHSL TERHADAP LINGKUNGAN

Pemakaian pupuk urea di tingkat petani seringkali melebihidosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosispemupukan urea yang dianjurkan pemerintah 200-250 kg/ha, tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakanpupuk urea 350-500 kg/ha (Buresh et al. 2012).

Penggunaan pupuk secara berlebihan karena petanimasih beranggapan bahwa pupuk urea sebagai sumberhara N mutlak diperlukan, sementara sumber hara lainnyaseperti P dan K merupakan pupuk pelengkap.

Dari total pupuk urea yang diberikan hanya 50% yangdapat diserap oleh tanaman, sedangkan sisanya hilang

karena tercuci maupun menguap ke udara. Emisi gasN2O di lahan sawah meningkat nyata dengan semakintingginya takaran pupuk N (Engel et al. 2010; Weller etal. 2015). Terbentuknya N2O dipicu oleh kondisi hara Nyang berlebihan di tanah pada kondisi tidak jenuh air(Sander et al. 2014). Keuntungan penerapan PHSL diantaranya menekan secara langsung emisi gas N2Okarena pemberian pupuk N sesuai waktu dan jumlahnya.Pemberian N yang sesuai dengan kebutuhan tanamanakan mengurangi kelebihan sisa N dalam tanah (Gaihreet al. 2014).

DISEMINASI REKOMENDASI PEMUPUKANSPESIFIK LOKASI

Untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat desa,skala usaha petani yang tidak memadai menjadi faktorpembatas. Pendataan usahatani oleh Badan PusatStatistik (BPS 2010) pada tahun 2009 menunjukkankondisi pemupukan padi saat ini, di mana 53,6%kepemilikan lahan sawah tergolong kecil dari 0,5 ha dan8,2% dari 15 juta rumah tangga petani tidak menggunakanpupuk. Kondisi kepemilikan lahan sawah yang kecil,menyebabkan manajemen pengelolaan lahan beragamantarpetani maupun antarhamparan sawah. Kondisi inimemerlukan teknologi yang tepat guna dan spesifik lokasiuntuk usahatani lahan sawah.

Faktor kunci dalam peningkatan produksi padinasional adalah air irigasi, varietas unggul, dan pupuk.Tidak seperti penyebaran varietas unggul baru, adopsi

Jawa Luar Jawa

194

94 85

112

PHSL Cara petani

PupukN

Jawa Luar Jawa

34

2026

33

PHSL Cara petani

PupukP

Jawa Luar Jawa

25

18

2422

PHSL Cara petani

PupukK

Gambar 2. Penghematan penggunaan pupuk N, P2O5, dan K2O dengan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani diJawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

6

teknologi pemupukan spesifik lokasi berjalan sangatlambat (Erythrina dan Zaini 2013, Erythrina et al. 2013).Di lain pihak, pupuk merupakan biaya produksi keduaterbesar dalam usahatani padi. Bila pupuk diberikan terlalusedikit, terlalu banyak, atau pada waktu yang tidak tepat,maka tanaman tidak memberikan hasil yang tinggisehingga tidak meningkatkan pendapatan petani.

Badan Litbang Pertanian telah mengembangkanbeberapa alat atau piranti untuk meningkatkan efisiensipenggunaan pupuk pada padi sawah. Pemupukan P danK berdasar hasil Perangkat Uji Tanah Sawah (soil testkit) (Setyorini dan Abdulrachman 2008) atau Petak Omisi(Abdulrachman et al. 2003), peta status hara P dan K(Sofyan et al. 2004) dan Kalender Tanam (Badan LitbangPertanian 2014).

Rekomendasi pemupukan PHSL padi sawah yangdapat diakses melalui situs web http://webapps.irri.org/nm/id diresmikan penggunaannya oleh Menteri Pertanianpada Januari 2011 di Jakarta. Teknologi PHSL dapatdidiseminasikan melalui dua cara yaitu:(1) Berbasis Web. Teknologi ini ditujukan untuk teknisi

BPTP dan para penyuluh pertanian yang kantorBPPnya dilengkapi dengan fasilitas komputer daninternet. Dalam hal ini, penyuluh dapat mengakseshttp://webapps.irri.org/nm/id untuk menginput datadan outputnya adalah rekomendasi pupuk dalambentuk tercetak, dapat diberikan kembali ke masing-masing petani.

(2) Berbasis Android. Teknologi ini juga ditujukan untukpenyuluh pertanian maupun petani yang mempunyaitelepon pintar (smart phone) dengan fitur Android.Menggunakan telepon pintar, penyuluh pertanianmendatangi dan mewawancarai para petani secaraoffline. Setelah semua pertanyaan terjawab,informasinya dapat disimpan dalam telepon pintartersebut. Bila telah terdapat signal ke internet,rekomendasi pemupukan dapat dikirimkan ke masing-masing telepon seluler petani melalui pesan sms.

PHSL SEBAGAI BAHAN PENYUSUNANRDKK

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI, No. 15/M-DAG/PER/4/ 2013, Rencana Definitif KebutuhanKelompok tani (RDKK) adalah perhitungan rencanakebutuhan pupuk bersubsidi yang disusun kelompok taniberdasarkan luasan area yang diusahakan petani anggotakelompok tani dengan rekomendasi pemupukanberimbang spesifik lokasi, sesuai dengan ketentuan yangditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk penyelenggaraanpertanian. RDKK disusun oleh PPL, kemudian digabung

pada tingkat kecamatan oleh GAPOKTAN. DokumenRDKK digunakan sebagai penyusun kebutuhan pupukbersubsidi mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsikemudian diteruskan ke Kementerian Pertanian.

Penelitian lapangan menunjukkan RDKK tidakdisusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuk(Zaini 2012). Penyusunan RDKK yang tidak akuratmenjadi permasalahan dalam penyaluran pupukbersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhandengan ketersediaan pupuk yang meliputi tepat jenis,jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.

Teknologi pemupukan spesifik lokasi,baik yangmenggunakan peralatan seperti Perangkat Uji TanahSawah atau Peta status hara P dan K maupun pirantilunak seperti Kalender Tanam dan PHSL, dapat digunakansebagai alat bantu penyusunan RDKK. Dengan cara inidapat diperhitungkan kebutuhan pupuk, baik berdasarkanindividu petani maupun kelompok tani. Dana yangdialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkanuntuk pengadaan perangkat keras seperti komputer,printer, dan modem serta melatih para penyuluh pertaniandi setiap Balai Penyuluhan Pertanian untuk bisamengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasimelalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanianyang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat prosesalih teknologi ini.

KESIMPULAN

1. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi,penggunaan pupuk oleh petani dapat lebih rasionalsesuai kebutuhan tanaman sekaligus meningkatkanproduksi dan pendapatan petani.

2. Teknologi pemupukan spesifik lokasi, baik berupaperalatan maupun piranti lunak, dapat digunakansebagai alat bantu penyusunan RDKK.

3. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifiklokasi dalam jangka panjang diharapkan dapatmenurunkan subsidi pupuk tanpa menurunkanproduksi padi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., C. Witt, dan T. Fairhurst. 2003.Petunjuk teknis pemupukan spesifik: implementasipetak omisi. Kerjasama IRRI, Balai PenelitianTanaman Padi dan PPI/PPIC. Singapore. 33 hlm.

Adiningsih, J.S., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi.1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawahintensifikasi di Jawa. Hlm. 63-89 Prosiding Lokakarya

ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH

7

Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung,25 November 1988.

Badan Litbang Pertanian. 2014. Sistem InformasiKalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.18 hal.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Produktivitas padi1993-2013. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3&id_subyek=53&notab=0. 09 Oktober 2014.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Pendataan usahatani padi, jagung, dan kedelai, 2009. Badan PusatStatistik. Jakarta.

Buresh, R. J. 2007. Fertile progress. Rice today. July-Sept. 2007. p 32-33.

Buresh R.J, D. Setyorini, S. Abdulrachman, F. Agus, C.Witt, I. Las, S. Hardjosuwirjo. 2006. Improvingnutrient management for irrigated rice with particularconsideration to Indonesia. pp 165-178. In Sumarno,Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO (eds.) RiceIndustry, Culture and Environment: Book 1.Proceedings of the International Rice Conference,12-14 September 2005, Bali.

Buresh R.J., M.F. Pampolino, and C. Witt. 2010. Field-specific potassium and phosphorus balances andfertilizer requirements for irrigated rice-basedcropping systems. Plant Soil. 335:35-64.

Buresh, R.J., Z. Zaini, M. Syam, S. Kartaatmadja,Suyamto, R. Castillo, J. dela Torre, P.J. Sinohin, S.S. Girsang, A. Thalib, Z. Abidin, B. Susanto, M.Hatta, D. Haskarini, R.Budiono, Nurhayati, M. Zairin,D. W. Soegondo, M. van den Berg, H. Sembiring,M. J. Mejaya, and V. B. Tolentino. 2012. Nutrientmanager for rice: a mobile phone and internetapplication increases rice yield and profit in ricefarming. Paper presented at International RiceSeminar, ICRR, Sukamandi.

Dijk, J.W. van. 1951. Plant, bodem en bemesting. J. B.Wolters, Groningen, the Netherlands.

Dobermann, A., and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrientdisorders & nutrient management. International RiceResearch Institute and Potash & Phosphate Institute/Potash & Phosphate Institute of Canada.

Dobermann, A., C. Witt, S. Abdulrachman, H.C. Gines,R. Nagarajan, T.T. Son, P.S. Tan, G.H. Wang, N.V.Chien, V.T.K.Thoa, C.V. Phung, P. Stalin, P.Muthukrishnan, V. Ravi, M. Babu, S. Chatuporn, M.Kongchum, Q. Sun, R. Fu, G.C. Simbahan, andM.A.A. Adviento. 2002. Site-spesific nutrientmanagement for intensive rice cropping systems inAsia. Field Crops Res. 74:37-66.

Engel, R.D.C. Liang, and R. Wallander. 2010. Influenceof urea fertilizer placement on nitrous oxideproduction from a silt loam soil. J. Environment Qual39:115-125.

Erythrina dan Z. Zaini. 2013. Indonesia Ricecheckprocedure: An approach for accelerating the adoptionof ICM. Palawija 30(1):6-8.

Erythrina, A R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajiansifat inovasi komponen teknologi untuk menentukanpola diseminasi pengelolaan tanaman terpadu padisawah. JPPTP. 17(1):45-55.

Fagi, A.M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusihijau. Peran dan Dinamika Lembaga Riset. BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi. International RiceResearch Institute. 34 hlm.

Gaihre, Y.K., R. Wassmann, A. Tirol-Padre, G. Villegas-Pangga, E. Aquino, and B.A. Kimball. 2014.Seasonal assessment of greenhouse gas emissionsfrom irrigated lowland rice fields under infraredwarming. Agriculture, Ecosystems & Environment184: 88-100.

Giessen, C. van der. 1942. Rice culture in Java andMadura. Central Research Institute for Agriculture,Bogor. Contribution No. 11.

Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, andH. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumesthe increases that showed in the 1980s?. Paper onInternational Crop Science Congress. p. 1-24.

Kementerian Pertanian. 2012. Penyaluran pupukbersubsidi, 2007-2012. Direktorat Jenderal Saranadan Prasarana, Kementerian Pertanian.

Kesavan, P.C. and M.S. Swaminathan. 2006. From greenrevolution to evergreen revolution: pathways andterminologies. Current Sci. 91(2): 145-146.

Menko Perekonomian. 2011. Road map peningkatanproduksi beras nasional (P2BN) menuju surplusberas 10 juta ton pada tahun 2014. KementerianKoordinator Bidang Perekonomian.

Nataatmadja, H., D. Kertosastro, dan A. Suryana. 1988.Perkembangan produksi dan kebijaksanaanpemerintah dalam produksi beras. Dalam Padi, Buku1 (Ismunadji et al. eds). Puslitbang TanamanPangan, hlm. 37-53.

Rachman, B. 2011. Kajian harga pupuk di lima provinsisentra padi. Pusat Sosial Ekonomi dan KebijakanPertanian. Bogor.

Sander, B.O., M. Samson, and R.J. Buresh. 2014. Methaneand nitrous oxide emissions from flooded rice fieldsas affected by water and straw management betweenrice crops Geoderma 235: 355-36.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

8

Setyorini, D. dan S. Abdulrachman. 2008. Pengelolaanhara mineral teknologi tanaman padi. Padi: inovasiteknologi dan ketahanan pangan. Buku 1, hlm. 110-150.

Sofyan, A., Nurjaya, dan A. Kasno. 2004. Status haratanah sawah untuk rekomendasi pemupukan.Dalam: Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya.Hlm. 83-114. Pusat Penelitian dan PengembanganTanah dan Agroklimat. Bogor.

Weller, S., D. Kraus, K.R.P. Ayag, R. Wassmann, M.C.R.Alberto, K. Butterbach-Bhal and R. Kiese. 2015.Methane and nitrous oxide emissions from rice andmaize production in diversified rice croppingsystems. Nutr. Cycl. Agroecosyst 101:37-53.

Zaini, Z. 2012. Pupuk majemuk dan pemupukan haraspesifik lokasi pada padi sawah. Iptek TanamanPangan 7(1):1-7.

WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI

9

Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi danEmisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah

(Contribution of Sulfur to Rice Productivity and AtmosphericGreenhouse Gases in Lowland)

A. Wihardjaka dan Poniman

Balai Penelitian Lingkungan PertanianJl. Jakenan-Jaken Km 5 Kotak Pos 5 Jakenan Pati 59182 Jawa Tengah

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015

ABSTRACT

National food demand, especially rice increases in accordance with the rate of population growth. Theavailability of rice mostly is still relying on the intensification of irrigated and rainfed lowlands, throughapplying balance nutrients fertilization, including the management of sulfur (S). Sulfur as one of the essentialnutrients, is required for protein and enzyme syntheses, amino acids formation and metabolic acticities inplants. However, the program of rice production increases is also impacting on the increase of atmosphericgreenhouse gases. The objective of this paper was to discuss sulfur management on rice production systemand its impact on greenhouse gas emissions in lowland rice areas in Indonesia. Sulfur fertilization of 20 kgS/ha along with the application of N, P, K fertilizers was considered adequate to provide better plant growthand to yield of 5 t grains/ha. Sulfur fertilization should be applied before active tillering phase by broadcastingon the surface of flooded lowland rice field to obtain higher efficiency of S fertilizer. Besides increasing cropyield, sulfuric fertilization on rice crop played a role in mitigating greenhouse gases emission. The sulfuricfertilizer application reduced atmospheric greenhouse gases (GHGs) release, especially CH4 and N2O fromlowland rice. Balance sulfur fertilization could improve yield and grain quality of rice as well as mitigatedgreenhouse gas emissions from the lowland rice areas. Keywords: Sulfur, paddy soil, grain yield, emission, greenhouse gas.

ABSTRAK

Kebutuhan pangan nasional terutama beras, terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlahpenduduk. Penyediaan beras masih mengandalkan intensifikasi lahan sawah beririgasi maupun tadahhujan melalui pemupukan berimbang, termasuk pengelolaan hara sulfur (S). Sulfur dibutuhkan untuksintesis protein dan enzim, penyusun asam-asam amino, dan terlibat dalam aktivitas metabolisme tanaman.Di sisi lain, budidaya padi sawah dapat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer.Tulisan ini membahas kontribusi pengelolaan hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya terhadapemisi gas rumah kaca pada lahan sawah di Indonesia. Pemupukan 20 kg S/ha cukup memberikanpertumbuhan dan hasil gabah 5 t/ha, bersamaan dengan pemberian pupuk N, P, K. Pupuk S yang diberikansebelum fase anakan aktif tanaman padi dengan cara disebar pada permukaa lahan sawah tergenangmeningkatkan efisiensi pemupukan. Selain meningkatkan produktivitas tanaman, pemupukan S padatanaman padi sawah berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK). Pupuk yang mengandung Sdapat menekan pelepasan gas rumah kaca, terutama CH4, dan N2O dari lahan sawah ke atmosfer.Pemupukan S secara berimbang memperbaiki hasil dan kualitas gabah yang sekaligus sebagai upayamitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan sawah.Kata kunci: Sulfur, tanah sawah, hasil gabah, emisi, gas rumah kaca.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

10

PENDAHULUAN

Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalandengan laju pertambahan penduduk. Padi menjadi panganutama bagi lebih dari 90% populasi Indonesia meskipunPemerintah telah menggalakan diversifikasi pangan.Stabilitas produksi pangan nasional didukung olehintensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, antara lainpencetakan sawah baru di luar Jawa, penggunaan masukansarana produksi tinggi seperti benih, bahan agrokimia(pupuk dan pestisida). Namun penggunaan masukan tinggidan intensif dapat berdampak terhadap ketidakseimbanganekologi, terjadinya ledakan hama dan penyakit di beberapadaerah, kekahatan hara, keracunan unsur kimia,pencemaran terhadap air dan tanah, dan berkontribusiterhadap emisi gas rumah kaca (Kurnia 2008).

Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK)mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim.Salah satu sumber emisi GRK di sektor pertanian adalahbudidaya padi sawah sebagai sumber metana (CH4) dandinitrogen oksida (N2O) (Johnson et al. 2007). Indonesiatelah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 26%secara mandiri pada tahun 2020, dengan target penurunanemisi GRK dari sektor pertanian sebesar 0,008 Giga tonsetara CO2 (Balitbangtan 2011). Hal ini tertuang dalamPeraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang rencanaaksi nasional penurunan emisi GRK. Salah satu kegiatanyang mampu menurunkan emisi GRK di sektor pertanianadalah penerapan teknologi budidaya tanaman, antaralain penggunaan pupuk yang mengandung sulfur (S) (Sasaet al. 2000).

Intensifikasi dan peningkatan produksi tanaman padinyata meningkatkan penyerapan hara dari dalam tanah,serta diprediksi meningkatkan laju emisi dan konsentrasigas rumah kaca di atmosfer (van Groenigen et al. 2013).Di beberapa daerah di Indonesia, petani padi umumnyamenggunakan pupuk NPK dengan takaran relatif tinggi,misalnya petani padi di Jawa yang umum menggunakanpupuk urea lebih dari 300 kg/ha (Chaerun dan Anwar 2008).Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara unsur harayang diambil tanaman dan hara yang diberikan, sehinggamemacu penurunan kesuburan tanah dan kekahatan haratanaman tertentu, termasuk sulfur dan seng (Mamaril etal. 1991, Zuzhang et al. 2010).

Dalam upaya peningkatan produksi padi, perhatianlebih besar seyogianya diberikan kepada pengelolaanhara berimbang, termasuk sulfur dan hara-hara esensialselain NPK. Dalam beberapa dekade terakhir jarang ditelitipenggunaan hara sulfur bagi tanaman padi. Referensiyang berkaitan dengan pemupukan hara S umumnya terbitpada tahun 1970-80an. Tulisan ini membahas kontribusihara S pada sistem produksi padi dan dampaknya

terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawahdi Indonesia.

PERAN SULFUR DALAM BUDIDAYATANAMAN

Sulfur dalam Tanaman

Sulfur merupakan penyusun asam-asam amino esensial(sistin, sistein, methionin) yang terlibat dalampembentukan klorofil, dan dibutuhkan dalam sintesisprotein dan struktur tanaman (Mengel and Kirby 1987).Sulfur juga sebagai penyusun koenzim A dan hormonbiotin dan thiamin yang dibutuhkan dalam metabolismekarbohidrat (Dobermann and Fairhurst 2000). Kahat Smenghambat sintesis protein dan menurunkan kualitasproduk tanaman. Lebih lanjut, asam-asam amino yangtidak mengandung S seperti asparagin, gluitamin, danarginin terakumulasi pada tanaman kahat S yangberakibat pada buruknya aktivitas fotosintesis dan gulayang dihasilkan (Mamaril 1994).

Kahat S pada tanah sawah tergenang terjadi akibatkonversi sulfat menjadi fero sulfida tidak larut. Inimenjelaskan mengapa banyak petani mendrainaselahannya dengan maksud untuk mengatasi masalahtersebut dan merangsang pertumbuhan tanaman. Melaluidrainase, sulfida (bentuk S tereduksi) dioksidasi menjadisulfat (bentuk S teroksidasi) yang tersedia bagi tanaman(Mamaril et al.1976).

Tanaman padi yang tumbuh pada tanah kahat Sdalam percobaan rumah kaca mempunyai kandunganmethionin yang lebih rendah dalam gabah daripada yangtumbuh pada tanah cukup S (Ismunadji and Miyake 1978).Hasil penelitian Juliano et al. dalam Mamaril (1995)menunjukkan kandungan sistein dan methionin dalamprotein beras merah meningkat dengan pemberian S padatanah kahat S di Bangladesh dan Indonesia. Kandungansistein dan methionin rendah dalam protein teramati padapercobaan pot pada beras cokelat dengan nisbah N:Ssebesar 16:25. Ini menjelaskan kandungan S dalam asamamino pada protein beras hanya terdeteksi bilamana adakelebihan serapan N (Mamaril et al. 1991).

Pada percobaan pot dengan menggunakan contohtanah Grumusol dari Ngale Jawa Timur dengan kandungansulfur rendah, efektivitas pupuk ZA sama dengan K2SO4dalam meningkatkan kandungan S tanaman padi padabatas normal. Tanaman tanpa pupuk S hanyamengandung 0,10-0,13% S, yang merupakan nilai bataskritis (Ismunadji et al. 1975).

Hara S kurang mobil dalam tanaman dibandingnitrogen, sehingga kahat S cenderung terlihat pertama

WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI

11

kali pada daun yang muda. Kahat S menyebabkan reduksikandungan sistein dan methionin pada tanaman padi(Dobermann and Fairhurst 2000). Gejala kahat S padatanaman padi umumnya terlihat dari menguningnya daun,tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, pembungaantertunda, jumlah gabah hampa tinggi, dan perpanjanganakar terhambat (Yoshida and Chaudhry 1979). MenurutJones et al. (1982), gejala kekuningan tanaman tidakseragam dan biasanya terjadi selama tahap pertumbuhanawal (dua minggu setelah tanam hingga fase anakanmaksimum) pada kondisi tanaman kahat S sedang. Padafase anakan maksimum, gejala kuning mungkin hilang,tanaman cenderung pulih, menjadi lebih hijau, namunjumlah anakan berkurang.

Kahat S pada tanaman padi sering dilaporkan padaawal abad ke-21. Pada tahun 1970-an, penyakit padi yangdisebut ‘mentek’ disebabkan oleh kahat S seperti yangterjadi di Ngale dan Magelang (Ismunadji et al. 1975).Mengapa kahat S pada tanaman padi tidak teramati hinggakini. Hal ini disebabkan karena pupuk yang mengandungS umumnya diberikan lebih awal. Pupuk beranalisis tinggidan bebas S seperti urea dan TSP telah digunakan secarameluas. Penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi,peningkatan intensitas tanam, penurunan penggunaanpestisida dan fungisida mengandung S, pengendalianemisi SO2 lebih besar pada area industri, penurunanpendaurulangan biomassa dan penurunan pelepasan Stanah juga mendukung terjadinya peningkatan kahat S(Jones et al. 1982, Morris 1988).

Serapan Sulfur oleh Tanaman Padi

Tanaman umumnya menyerap S dalam bentuk SO42- dari

tanah. Namun, ada sejumlah bukti yang (menunjukkantanaman juga dapat menggunakan SO2 dari atmosfer(Mengel and Kirby 1987). Komponen-komponen pool Sdalam tanah yang memasok tanaman padi adalah S-SO4

2-

dari larutan tanah dan yang dijerap partikel tanah,sedangkan bentuk ester-sulfat tersedia dalam jumlah yangkecil.

Banyaknya hara S yang diserap tanaman padibergantung pada banyak faktor, di antaranya varietas,jumlah hara S dan N yang diberikan dan ketersediaan Sdi tanah, pengelolaan air, dan status hara lainnya di tanah.Sulfur total yang terangkut oleh tanaman padi berkisarantara 7,8-16,8 kg S/ha. Pada ekosistem sawah tadahhujan, serapan S total tanaman padi antarmusim tanamsangat beragam, di mana serapannya pada sistemgogorancah (padi musim hujan) lebih tinggi daripada padasistem walik jerami (padi musim kering) seperti terlihatpada Tabel 1. Hasil gabah yang tinggi tidak selalu diikutioleh jumlah S total yang diangkut tanaman. Bagian haraS yang diambil tanaman lebih banyak terdapat jerami.

Percobaan rumah kaca yang dilaksanakan di Filipinamenunjukkan jumlah hara S yang diambil tanaman padiberasal dari pupuk S yang diberikan berkisar dari 7,2-27,7%, bergantung pada tipe tanah dan takaran S yangdiberikan (Cacnio and Mamaril 1990).

Respon Tanaman Padi terhadap Sulfur

Masukan S kebanyakan berasal dari penggunaanammonium sulfat (24% S) atau superfosfat tunggal (12%S). Sulfur yang diberikan dengan takaran 20-40 kg S/harelatif cukup untuk memperoleh hasil yang tinggi, namunkeragaman tanggap tanaman bergantung pada tingkatkekahatan S, potensi hasil varietas, interaksi hara,takaran yang diberikan, dan efisiensi penggunaan S(Dobermann and Fairhurst 2000). Peningkatan hasil rata-rata dari 28 lokasi di Sulawesi Selatan akibat pemberianhara S adalah 19% (Blair et al. 1979). Pada percobaanmultilokasi di Sulawesi Selatan, efisiensi penggunaan Sberkisar antara 65-157 kg gabah/kg S, berbeda denganefisiensi penggunaan S di tanah sawah tadah hujan diJakenan, Jawa Tengah yang hanya 25-33 kg gabah/kg S(Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Di beberapadaerah, tanggap S tidak konsisten. Di Jakenan, JawaTengah, tanggap terhadap S konsisten selama musimkering, tetapi tidak pada tanaman musim hujan yangmenghasilkan gabah lebih tinggi di lokasi yang sama(Mamaril dalam Dobermann et al. 1998).

Besarnya tanggap padi terhadap pemberian Sbergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) ketersediaanS dalam tanah, air irigasi dan hujan, (2) budi dayatanaman, (3) sumber S, (4) takaran, waktu dan metodepemberian, (5) pengelolaan air, dan (6) musim (Mamaril1994). Tanggap tanaman padi terhadap hara S yang tidakkonsisten dapat disebabkan oleh sumber S alami lainseperti air hujan, air irigasi, dan SO2 di atmosfer.Konsentrasi S dalam air hujan sangat beragam danumumnya makin turun dengan meningkatnya jarak lokasibudi daya dari pantai atau kawasan industri (Lefroy et al.1992). Yoshida (1981) melaporkan bahwa kandungan S

Tabel 1. Serapan S total padi sawah tadah hujan di Jakenan, JawaTengah.

Hasil Total Unsur S yangPertanaman* gabah serapan S terangkut per

(t/ha) (kg/ha) ton gabah (kg)

Gogorancah 4,9 11,5 2,34(Musim Hujan)Walik Jerami 3,1 7,8 2,52(Musim Kemarau)

* Rata-rata dari tiga musim tanamSumber: Mamaril (1994)

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

12

dalam air sungai dan irigasi di beberapa negara berkisarantara 0,2-4,7 ppm dengan rata-rata 4,1 ppm. MenurutIsmunadji (1982), 44% air irigasi yang diambil di Jawamengandung kurang dari 2 ppm S. Yoshida dan Chaudhry(1979) menegaskan bahwa 2,7 ppm S dalam air irigasicukup untuk memasok kebutuhan tanaman padi denganasumsi tanaman membutuhkan 100 cm air hingga masak.Lebih lanjut, Lefroy et al. (1992) melaporkan takarandeposisi S dalam air hujan di negara penghasil padiberkisar antara 0,4-2,9 ppm S/m2. Daerah yang memilikicurah hujan relatif tinggi mempunyai kandungan S tinggi,sehingga mengurangi kahat S.

Pada kondisi sawah tadah hujan dengan teksturlempung pasir di Jawa Tengah, pemberian 20 kg S/haammonium sulfat meningkatkan hasil rata-rata 0,55 t/haselama tiga musim tanam (Gambar 1). Peningkatan hasildiperoleh dari penggunaan ammonium sulfat selama faseawal pertumbuhan tanaman. Namun tanggap S di tempatyang sama hanya teramati selama musim tanam kedua dibawah kondisi tergenang. Tanaman padi gogorancah tidaktanggap terhadap pemberian pupuk S. Pupuk ZA yangdiberikan 20 hari setelah padi gogorancah tumbuh tidakefektif meningkatkan hasil gabah. Padi gogorancah ditanamsaat tanah tidak tergenang sehingga berpengaruh terhadapketersediaan hara S bagi tanaman. Menurut Nearpass danClark dalam Mamaril (1995), penggenangan tanah sawahmenurunkan ketersediaan hara S bagi tanaman, sehinggatanggap terhadap pemupukan yang mengandung S.Rendahnya ketersediaan hara S di tanah tergenangdisebabkan oleh reduksi ion sulfat menjadi sulfida.

Pengelolaan Pupuk Sulfur di Lahan Sawah

Besarnya tanggap S juga dipengaruhi oleh pengelolaanpupuk S, seperti sumber, takaran, waktu dan metode

pemberian. Oleh karena tanaman umumnya menyerapS-SO4

2-, bahan yang mengandung bentuk S tersebutseharusnya memilikiki efektivitas yang sama. Bahan yangmengandung S lain seharusnya juga efektif sepanjangdapat membuat kondisi tanah menguntungkan bagitransformasi sulfur menjadi bentuk S-SO4

2-, terutamaselama pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi.Beberapa kajian lapangan menunjukkan bahwaammonium sulfat (ZA) dan gipsum sama-sama efektifsebagai sumber S (Mamaril and Gonzales 1989, FAO1989). Efektivitas S-elemen (So) dan bahan lain yangmengandung So kurang konsisten dibandingkan denganbahan yang mengandung S-SO4

2-. Blair (1987) sertaMamaril dan Gonzales (1988) melaporkan bahwa So

sama-sama efektif seperti ZA, tetapi S-bentonit yangmengandung So dilaporkan tidak efektif. Lebih lanjut,bahan So yang diberikan 20 hari sebelum tanam, menurunefektivitasnya (Blair et al. 1993). Sulfur tunggal sepertiZA juga tidak efektif pada percobaan lapang di JawaTengah (Wihardjaka et al. 1999). Pemberian ammoniumsulfat meningkatkan hasil gabah 5,4% dibanding So.Sebaliknya, bahan lain yang mengandung So dalam ureaS (US) efektif meskipun efektivitasnya lebih rendahdaripada ZA, baik pada kondisi rumah kaca maupun dilapangan (Mamaril and Gonzales 1988).

Dalam beberapa laporan disebutkan bahwapemupukan S dengan takaran 20-30 kg S/ha memberikanhasil gabah terbaik (FAO 1989), di mana setiap ton hasilgabah, tanaman menyerap rata-rata 2,3 kg S/ha. MenurutCacnio dan Mamaril (1990), pemberian pupuk S dengantakaran 20 kg S/ha cukup untuk memenuhi kebutuhantanaman padi menghasilkan gabah 5 t/ha.

Semua sumber pupuk S sama efektifnya sepanjangtersedia bagi tanaman (Blair et al. 1979). Hasil penelitian

Gambar 1. Pengaruh sumber dan waktu pemberian pupuk S terhadap hasil padi IR64 pada lahan sawah tadah hujan, Jakenan, JawaTengah. Rata-rata dari 3 musim tanam (Wihardjaka dan Suprapto 1997, Wihardjaka et al.1999).

Kontrol ZA S-elemen

Hasil

gaba

h(t/

ha)

1

0

2

3

4

5

6 Padi walik jerami

20 HST5 HST 35 HST

Kontrol ZA S-elemen

Hasil

gaba

h(t/

ha)

1

0

2

3

4

5

6 Padi gogorancah

20 HST5 HST 35 HST

WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI

13

Tidak seperti N, pupuk S seharusnya diberikan padapermukaan tanah untuk memperoleh efisiensi pemupukanlebih tinggi. Pemberian hara S-SO4

2- pada lapisan reduktiftanah sawah tergenang dimungkinkan terjadi reduksimenjadi sulfida dan dipresipitasikan oleh logam beratseperti Fe, sehingga kurang tersedia bagi tanaman padi.Sulfur yang diberikan pada lapisan tanah reduksi juga dapatdivolatilisasi sebagai H2S. Demikian pula jika So

dibenamkan atau diberikan pada zona reduktif tidak akandioksidasi dengan cepat dan menjadi tersedia bagitanaman. Tanaman menyerap S lebih efisien jika So

diberikan pada zona reduktif karena sulfur dapat dioksidasimenjadi sulfat pada perakaran tanaman padi dan sulfatyang terbentuk kemungkinan tercuci relatif rendah (He etal. 1994). Menurut Blair (1987), pembenaman So bubukhalus ke dalam tanah tergenang tidak efektif sepertipemberian pada permukaan dalam meningkatkan hasilbiomassa kering dan serapan S pada lima varietas padiyang diuji (IR20, IR2755, B4-62, IR26, Mudgo).Disimpulkan bahwa hara S dan N seharusnya tidakdikombinasikan dan diterapkan dengan cara yang samadi tanah sawah tergenang untuk memperoleh efisiensiyang tinggi dari penggunaan kedua hara tersebut, terutamabilamana tanah terlalu reduktif.

Di beberapa lokasi pengujian, pemberian S dalambentuk amonium sulfat selain mengatasi kekahatan S jugasekaligus dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan hasilpadi sawah dan padi gogorancah masing-masing 10,8%dan 52,9% dibanding tanpa S (Bastari 1996). Pemberianhara S dalam ramuan pupuk NPK dapat meningkatkanefisiensi penggunaan pupuk. Untuk memperoleh 1 kggabah kering giling, takaran pupuk NPKS lebih rendahdibandingkan dengan pupuk NPK saja (Tabel 3).

di Sulawesi Selatan menunjukkan tidak ada perbedaanpengaruh sumber pupuk S terhadap hasil gabah (Tabel2). Pada satu lokasi, pemberian S-elemen 20 hari setelahtanam kurang menguntungkan dibanding diberikan padasaat tanam. Oksidasi awal S-elemen dan reduksi menjadiH2S pada 20 hari sebelum tanam menyebabkanpenurunan hasil gabah (Blair et al. 1979).

Pemberian hara S mempengaruhi anakan tanamanpadi. Dengan demikian pupuk S seharusnya diberikanantara awal fase pertumbuhan dan sebelum fase anakanmaksimum (Dobermann and Fairhurst 2000, Singh et al.2012). Pada fase anakan aktif, tanaman padi lebih aktifmenyerap S. Jika S kurang tersedia pada awal pertumbuhantanaman maka jumlah anakan berkurang dan hasil padiakan turun (Singh et al. 2012). Bilamana hara S terbatas,penambahan pupuk nitrogen tidak mengubah hasil dankandungan protein dalam tanaman (Zuzhang et al. 2010).

Kajian di Filipina dengan tiga waktu pemberian Sberbeda memberikan keragaman dalam kemasakantanaman padi (Mamaril et al. 1991). Pemberian So (S-elemen) saat 30 HST pada tanaman padi varietas IR66berumur pendek tidak memberikan banyak manfaat,namun tanggap S nyata tercapai bilamana gipsumdiberikan 30 HST. Padi berumur genjah seperti IR64memberikan tanggap yang nyata terhadap S, baik dalambentuk So maupun gipsum setelah 30 HST. Pada varietasberumur dalam seperti IR72, tanaman berumur 30 HSTmasih termasuk periode antara anakan aktif dan anakanmaksimum, dimana tanaman masih tanggap terhadappemberian S. Pada percobaan selama tiga tahun (enammusim tanam) di Jawa Tengah menggunakan varietasIR64 umur genjah (110 hari), pemberian ZA pada 35 HSTmenghasilkan gabah yang sama antara sistem walikjerami dengan perlakuan kontrol (0S). Pemberian ZA pada20 HST masih menghasilkan gabah padi walik jerami lebihtinggi daripada kontrol (Gambar 1).

Tabel 2. Hasil padi pada lahan sawah dengan sumber S yangberbeda di Sulawesi Selatan.

Hasil gabah (t/ha)Perlakuan

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

Kontrol 0,96 a 3,88 a 3,33 aAmmonium sulfat 2,72 b 5,21 b 4,72 cGipsum 2,62 b 4,85 b 4,61 cS-elemen, saat tanam 2,68 b 5,25 b 4,55 cS-elemen, 20 HST - - 4,11 b

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT.HST = hari setelah tanamSumber: Blair et al. (1979)

Tabel 3. Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan untuk memperoleh1 ton gabah kering giling pada beberapa lokasi di Indonesia.

Jumlah pupuk yangLokasi Tanaman digunakan (kg)

N P K S N P K

Jember Padi sawah 112 119Bulukumba Padi sawah 125 139Sidrap Padi sawah 66 94Polmas Padi sawah 71 88Sampang Padi gora 106 129Bangkalan Padi gora 143 150Limapuluh Koto Padi gora 123 154Lampung Selatan Padi gora 148 193Gowa Padi gora 80 100Takalar Padi gora 144 152Kampar Padi gora 221 226

Gora = gogorancahSumber: Bastari (1996)

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

14

Peran Sulfur dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Pada dekade terakhir, isu lingkungan yang menjadiperhatian dunia adalah pemanasan global dan perubahaniklim akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer. Budi daya padi sawah merupakan salah satusumber pembentukan gas metana (CH4) dan dinitrogenoksida (N2O). Kedua gas tersebut bersifat radiaktif diatmosfer bersama-sama CO2 (Partohardjono 2002). Gasmetana menyokong 18-25% fenomena pemanasan global,di mana 25-50% dari total emisi metana global berasaldari lahan sawah (Bouman dalam Setyanto et al. 1997).Organisme pengoksidasi metana dapat menyebabkantanah-tanah tertentu sebagai rosot (sink) metana (IPCC1992). Gas dinitrogen oksida yang mempunyai waktutinggal 150 tahun selain menyebabkan pemanasan global,juga dapat merusak lapisan ozon di stratosfer (Sasa etal. 2000, Johnson et al. 2007).

Emisi metana dari lahan sawah tergenang adalah 40-50 Tg CH4/tahun atau mendekati 10% dari total emisimetana global (Dubey 2005). Pasokan air terkontrol danpersiapan lahan intensif di lahan sawah tergenangmemberikan kontribusi terhadap perbaikan pertumbuhanpadi yang menghasilkan dan emisi CH4 lebih besar. Teknikperbaikan pengelolaan air dapat mengurangi emisi dari lahansawah, tetapi pengelolaan praktis yang dapat dikerjakanuntuk mengurangi emisi CH4 tanpa meningkatkankehilangan N dan mengurangi hasil belum dikembangkan.

Pemupukan nitrogen yang mengandung S sepertiammonium sulfat yang diberikan tiga tahap (1/3 porsisebelum tanam, 1/3 porsi pada fase anakan aktif, dan 1/3 porsi pada fase primordia bunga) dapat mengurangiemisi metana berkisar antara 43-61%, sedangkan ureatablet yang dibenamkan ke dalam lapisan reduksi tanahsawah menurunkan emisi metana sebesar 22-61%(Setyanto et al. 1999) (Tabel 4).

Pemupukan ZA dapat menggantikan pupuk urea prilpada padi sawah karena mampu mengurangi metanasebesar 28 kg CH4/ha dan meningkatkan hasil gabah7,5%. Menurut Schultz et al. dalam Setyanto et al. (1999),

pupuk N yang mengandung S menyebabkan terjadinyapersaingan antara bakteri penghasil metana (metanogen)dan bakteri pereduksi sulfat dalam memperoleh hidrogen,sehingga menghambat pembentukan metana.Terbentuknya ion sulfit sebagai hasil samping darihidrolisis ZA memperlambat penurunan potensial redokstanah akibat terjadinya proses oksidasi sulfit menjadisulfat, sehingga Eh tanah cenderung lebih tinggi. Bagibakteri penghasil metana, sulfit dan sulfat bersifat toksik(Jacobsen dalam Setyanto et al. 1999). Pemupukan ZAdi lahan sawah mereduksi emisi metana 25-36% (Jain etal. 2004).

Sebanyak 60-70% dari pupuk N yang diberikan hilangsebagai N dalam bentuk gas, terutama melalui prosesvolatilisasi NH3 dan denitrifikasi. Menurut Byrnes (1990),hampir 90% emisi gas N2O berasal dari tanah melaluireaksi biologi nitrifikasi-denitrifikasi selama periode tanahbasah-kering secara bergantian. Pada sistem sawahirigasi dengan kontrol air yang tepat, emisi N2O biasanyakecil, kecuali jika pupuk N diberikan dalam jumlah yangberlebihan pada tanah sawah yang subur. Pada tanahberdrainase buruk, pelumpuran tanah sawah, nitrifikasirendah berlangsung dan kehilangan NO3 tercuci biasanya< 10% dari pupuk N yang diberikan (Dobermann andFairhurts 2000).

Peningkatan takaran pupuk N berpotensimengakibatkan terjadinya kehilangan N lebih besar tanpapengelolaan yang tepat. Rendahnya efisiensi pemupukannitrogen menyebabkan pelepasan N dalam bentuk gas,terutama N2O menjadi tinggi. Namun pemberian pupuk Nyang mengandung sulfur dalam bentuk ZA atau S-elemendapat menekan pelepasan gas dinitrogen oksida keatmosfer. Pemberian S-elemen (So) bersamaan dengan115 kg N/ha pada lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengahmenurunkan emisi gas dinitrogen oksida 45-52%,meskipun tidak nyata mempengaruhi hasil gabah (Tabel5). Penelitian Suharsih et al. (2001) juga menunjukkanpenambahan hara S pada urea pril dapat menurunkanemisi gas dinitrogen oksida (Tabel 6). Penggunaan pupukurea yang dilapisi sulfur selain meningkatkan efisiensi

Tabel 4. Emisi gas metana dan hasil gabah IR64 pada perlakuan pemberian pupuk N pada lahan sawah irigasi. Pati, 1998.

Emisi gas metana (kg CH4/ha) Hasil gabah (t/ha) kg CH4/t gabahPemupukan1)

MH MK MH MK MH MK

Tanpa pupuk 207 185 3,15 3,79 66 49Urea pril diberikan 3 tahap 186 174 5,81 4,76 32 36ZA diberikan 3 tahap 175 164 6,68 5,86 26 28Urea tablet 197 184 7,62 4,83 26 38

1) Pupuk N diberikan dengan takaran 120 kg N/ha, MH = musim hujan, MK = musim kemarauSumber: Setyanto et al. (1999)

WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI

15

pemupukan N juga mengurangi pelepasan gas dinitrogenoksida ke udara (Sasa et al. 2000).

Tantangan Penelitian Sulfur pada Padi Sawah

Selain kajian transformasi dan perilaku sulfur pada lahansawah tergenang, juga perlu dilakukan penelitian dampakkahat S terhadap sistem pertanian berkelanjutan ramahlingkungan, daerah dan gejala kekahatan S, dan diperkuatoleh pengujian tanah atau analisis jaringan tanaman.Perbaikan penggunaan metode uji tanah untukmengungkap status S perlu diusahakan pada berbagaiagroekologi tanaman padi.

Terkait dengan tekanan populasi penduduk danpenurunan luas lahan untuk produksi pertanian, banyaknegara menerapkan pertanian intensif dan diversifikasiuntuk meningkatkan produksi pangan. Alternatif polatanam melalui rotasi tanaman padi dengan tanamanpalawija pada lahan sawah diharapkan dapatmeningkatkan dinamika ketersediaan hara-hara esensialdalam tanah, termasuk S, sehingga dapat digunakanuntuk memperbaiki kesuburan tanah dan sebagaipertimbangan dalam strategi pengelolaan pupuk padatanaman berbeda yang dirotasi.

Interaksi S dan hara-hara lain seperti NPK perlumendapat perhatian lebih besar karena ketersediaan hara-hara tersebut dalam tanah menurun cepat, terutama padapertanaman intensif.

Kontribusi S dari sumber-sumber alami seperti hujandan irigasi pada lingkungan tertentu juga perlu mendapatperhatian. Hara S dari sumber-sumber alami telahdimanfaatkan oleh tanaman, sehingga dapat digunakandalam menetapkan imbangan S yang sesuai untukmemperoleh produktivitas yang optimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Efektivitas pupuk yang mengandung S-SO42- sama

dengan bahan yang mengandung So. Pada kondisiyang menguntungkan, So segera dapat dimanfaatkantanaman melalui transformasi So menjadi bentuk S-SO4

2- pada perakaran tanaman padi. Pemberian haraS dengan takaran 20 kg/ha bersamaan denganpemberian pupuk lainnya (N, P, K) cukup untukmendukung pertumbuhan tanaman padi dengan hasilgabah 5 t/ha di lokasi yang tanggap terhadappemberian S.

2) Pupuk S disarankan untuk diberikan pada saatpertumbuhan tanaman padi antara fase anakan aktifhingga fase anakan maksimum. Pemberian S padafase pertumbuhan anakan aktif lebih efektif diseraptanaman padi. Pemberian pupuk S disebar dipermukaan tanah sawah tergenang memberikanefisiensi yang lebih tinggi daripada cara pemberianlainnya.

Tabel 5. Emisi gas dinitrogen oksida pada beberapa takaran S-elemen pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 1999.

Emisi gas N2OPemupukan (kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N2O/t gabah(kg S/ha)

MH MK MH MK MH MK

12 0,071 0,111 3,4 3,1 0,02 0,0424 0,056 0,100 3,2 3,2 0,02 0,0336 0,034 0,061 3,4 3,2 0,01 0,02

MH = musim hujan, MK = musim kemarauSumber: Sasa et al. (2000)

Tabel 6. Emisi gas dinitrogen oksida pada pemberian urea dan belerang pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 2000.

Emisi gas N2O (kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N2O/t gabahPemupukan

MH MK MH MK MH MK

Urea pril 0,225 0,073 3,95 4,01 0,06 0,02Urea pril + S 0,182 0,047 3,90 4,12 0,05 0,01Tanpa pupuk 0,203 0,069 2,59 3,43 0,08 0,02

Takaran pupuk N dan S masing-masing 90 kg N dan 20 kg S/ha, MH = musim hujan, MK= musim kemarauSumber: Suharsih et al. (2001)

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

16

3) Penggunaan hara S sulfur seharusnya mulaidimasukkan dalam paket pemupukan tanamanproduksi padi di tingkat petani. Sulfur yang diberikandalam bentuk ZA atau So dalam budidaya tanamanpadi sawah dapat mengurangi pelepasan gas metanadan dinitrogen oksida ke atmosfer. Sulfur berperanpenting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca di lahansawah. Informasi emisi gas rumah kaca dari tanahsawah melalui penggunaan sulfur di Indonesia masihterbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

4) Uji tanah atau analisis jaringan tanaman dapatdigunakan untuk diagnosis kahat S. Gejala kahat Syang terdeteksi cukup awal relatif mudah diatasidengan menggunakan pupuk yang mengandung S,seperti urea yang diselimuti S (SCU), ZA, superfosfattunggal, sebagai bagian dari paket pengelolaan haraterpadu dengan mempertimbangkan masukan S dariair hujan dan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan. 2011. Road Map Strategi PertanianMenghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Jakarta. 89 p.

Bastari, T. 1996. Penerapan anjuran teknologi untukmeningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. pp. 7-35dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Blair, G.J. 1987. Nitrogen-sulfur interaction in rice. pp.195-203 in Efficiency of Nitrogen Fertilizer for Rice.International Rice Research Institute. Los Banos,Philippines.

Blair, G.J., E.O. Momuat, and C.P. Mamaril. 1979. Sulfurnutrition of wetland rice. IRRI Res. Pap. Ser. No. 21.29 pp.

Blair, G.J., R.D.B. Lefroy, N. Chinoim, and G.C. Anderson.1993. Sulfur soil testing. Plant Soil 156: 383-386.

Byrnes, B.H. 1990. Environmental effects of N fertilizeruse – an overview. Fertilizer Res. 26: 209-215.

Cacnio, V.N. and C.P. Mamaril. 1990. Influence ofpreplanting moisture regime and two sulfur sourceson growth, yield and sulfur uptake of rice. TheNucleus 28: 1-2.

Chaerun, S.K. and C. Anwar. 2008. Dampak lingkunganpenggunaan pupuk urea pada pembebanan n danhilangnya kandungan n di sawah. Jurnal PendidikanIPA 6(7): 1-8.

Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrientdisorders & nutrient management. PPI – PPIC – IRRI.

Dobermann, A., K.G. Cassman, C.P. Mamaril, and J.E.Sheehy. 1998. Management of phosphorus,potassium, and sulfur in intensive, irrigated lowlandrice. Field Crops Res. 56: 13-138.

Dubey, S.K. 2005. microbial ecology of methaneemission in rice agroecosystem: A review. Appl. Eco.Environ. Res. 3(2):1-27.

FAO. 1989. The sulphur newsletter No. 4. Fertilizer andplant nutrition service, FAO, Rome.

He, Z.L., A.G. Odonnell, J.S. Wu, and J.K. Syers. 1994.Oxidation and transformation of elemental sulphurin soils. J. Sci. Food. Agric. 65: 59-65.

IPCC. 1992. Methane emission and oppurtunities forcontrol: Workshop Results of Intergovermental Panelon Climate Change. JAE & EPA. September 1991.

Ismunadji, M. 1982. Pengaruh pemupukan belerangterhadap susunan kimia dan produksi padi sawah.Tesis Doktor Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Ismunadji, M. and M. Miyake. 1978. Sulphur applicationand amino acid content of brown rice. JARQ 12(3):180-182.

Ismunadji, M., I. Zulkarnaini, and M. Miyake. 1975.Sulphur deficiency in lowland rice in Java. Contr.Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 14.

Jain, N., H. Pathak, S. Mitra, and A. Bhatia. 2004.Emission of methane from rice fields: A review. J.Sci. Indust. Res. 63: 101-115.

Johnson, J.M.F., A.J. Franzluebbers, S.L. Weyers, andD.C. Reicosky. 2007. Agricultural opportunities tomitigate greenhouse gas emissions. EnvironmentalPollution 150: 107-124.

Jones, U.S., J.C. Katyal, C.P. Mamaril, and C.S. Park.1982. Wetland rice-nutrient deficiencies other thannitrogen. pp. 327-378 in Rice Research Strategiesfor the Future. International Rice Research Institute.Los Banos, Philippines.

Mamaril, C.P. 1994. Contribution of sulphur research onrice production in Southeast Asia. CooperativeDepagri-IRRI Program. Bogor.

Mamaril, C.P. 1995. Zinc and sulphur nutrition for rice.Rice Management Biotechnology. AssociatedPublishing Co. New Delhi. pp. 135-146.

Mamaril, C.P., A.P. Umar, I. Manwan, and C.J.S. Momuat.1976. Sulphur response of lowland rice in SouthSulawesi, Indonesia. Contr. Centr. Res. Inst. Agric.Bogor No. 22: 12p.

Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales. 1988. Response oflowland rice to S in the Philippines. pp. 70-76 in theProceedings of the International Symposium on

WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI

17

Sulphur for Korean Agriculture. Korean Society ofSoil Science and Fertilizer, Seoul-The SulphurInstitute, Washington, D.C.

Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales. 1989. Agronomiceffectiveness of S sources for lowland rice. pp. 115-119 in Proceedings of a Seminar on Sulphur FertilizerPolicy for Lowland and Upland Rice CroppingSystems in Indonesia. ACIAR Proceding No. 29.Australia.

Mamaril, C.P., P.B. Gonzales, and V.N. Cacnio. 1991.Sulfur management in lowland rice. Paper presentedduring the International Symposium on the Role ofSulphur, Magnesium and Micronutrients in BalancedPlant Nutrition held at Chengdu, Sichuan, Proc. onApril 3-10, 1991.

Mengel, K. and E.A. Kirby. 1987. Principles of plantnutrition. 4th Edition. International Potash Institute,Bern, Switzerland.

Morris, R.J. 1988. Sulphur – the fourth major plantnutrient. pp. 9-16 in the Proceedings of theInternational Symposium on Sulphur for KoreanAgriculture. Korean Society of Soil Science, Seoul-The Sulphur Institute, Washington, D.C.

Kurnia, U. 2008. Strategi pengelolaan lingkunganpertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(1): 59-74.

Lefroy, R.D.B., C.P. Mamaril, G.J. Blair, and P.B.Gonzales. 1992. Sulphur cycling in rice wetlands.pp. 279-299 in Howard, R.W., J.W.B. Steward, M.V.Ivanov (Eds.). Sulphur Cycling on the Continents.Wiley. New York.

Partohardjono, S. 2002. Pengelolaan lahan sawah irigasidalam menekan emisi gas metan. pp. 37-42 dalamProsiding Seminar Nasional Membangun SistemProduksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan.Puslitbangtan. Bogor.

Sasa, I.J., Mulyadi, and S. Partohardjono. 2000.Kombinasi urea tablet dan belerang pada padi tanambenih langsung: Upaya mereduksi gas N2O di lahansawah. Penelitian Pertanian 19(3): 8-12.

Setyanto, P., A.K. Makarim, and A.M. Fagi. 1997.Methane emission from rainfed rice field at Jakenan,

Central Java as affected by organic matter and watercondition. Penelitian Pertanian 16(1): 19-25.

Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim.1999. Pengaruh pemberian pupuk anorganikterhadap emisi gas metan pada lahan sawah. pp.36-43 dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian EmisiGas Rumah Kaca dan Peningkatan ProduktivitasPadi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor.

Singh, A.K., Manibhushan, M.K. Meena, and A.Upadhyaya. 2012. Effect of Sulphur and Zinc on RicePerformance and Nutrient Dynamics in Plants andSoil of Indo Gangetic Plains. Journal of AgriculturalScience 4(11): 162-170.

Suharsih, P. Setyanto, dan T. Sopiawati. 2001. Pengaruhpenggunaan pupuk N lambat urai terhadap emisi gasN2O pada lahan sawah tadah hujan. pp. 67-72 dalamProsiding Seminar Nasional Budidaya TanamanPangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan.Bogor.

van Groenigen, K.J., C. van Kessel, and B.A. Hungate.2013. Increased greenhouse-gas intensity of riceproduction under future atmospheric conditions.Nature Climate Change 3: 288-291.

Wihardjaka, A. dan Soeprapto. 1997. Tanggap tanamanpadi sawah tadah hujan terhadap sulfur di JawaTengah. J. Agroland 4(4): 1-8.

Wihardjaka, A., Soeprapto, and C.P. Mamaril. 1999.Response of rainfed lowland rice and soybean tosulphur in light textured soils in Central Java.Indonesian J. Crop Sci. 14(2): 29-34.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science.International Rice Research Institute. Los Banos,Philippines.

Yoshida, S. and M.R. Chaudhry. 1979. Sulfur nutrition ofrice. Soil Sci. Plant Nutr. 25(1): 121-1345.

Zuzhang, L., L. Guangrong, Y. Fusheng, T. Xiangan, andG. Blair. 2010. Effect of sources of sulphur on yieldand disease incidence in crops in Jiangxi Province,hina. Pp. 60-63 in Proceeding of World Congress ofSoil Science, Soil Solutions for a Changing World1-6 August 2010 at Brisbane, Australia.

SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK

19

Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak(Improvement of Soybean Resistant to Armyworm)

Titik Sundari1 dan Kurnia Paramita Sari2

1Staf Peneliti Pemuliaan di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi2Staf Peneliti Hama di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Jl. Raya Kendalpayak Km 8 Malang, Kotak Pos 66 Malang 65101E-mail: [email protected], [email protected]

Naskah diterima 20 Maret 2015 dan disetujui diterbitkan 18 Mei 2015

ABSTRACT

Armyworm (Spodoptera litura) is a major pest on soybean. Severe attack of this pest could cause 100% leafdefoliation and harvest failure. Soybean resistant to armyworm follows antibiosis and antixenosis mechanism.Antibiosis resistance was induced by certain chemical substances in the parts of plant that disturbed thephysiological and biological processes of pest. Antixenosis resistance was a mechanism by plantmorphological barrier that could affect the behavior of pests, such as leaf morphology, especially related tothe pubescense density. The availability of soybean variety resistant to armyworm was expected to reducethe use of insecticides and to minimize the harvest failure. Soybean variety resistant to armyworm would bepossible to be developed considering the source of genes for resistance had been identified, such as varietySodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay, and W / 80-2-4- 20. An effective and efficientbreeding method had also been available, through repeated backcrosses assisted by DNA markers asselection indicator. IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, and IAC-100/Burangrang-G-119 were reported as promising lines, having moderately resistance toresistance to the pest, each line derived from the progenies of crossbreeding using IAC 100 as parent.Keywords: Soybean, armyworm, resistance, antibiosis, antixenosis.

ABSTRAK

Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kedelai. Seranganparah oleh hama ini dapat menyebabkan defoliasi hingga 100% dan gagal panen. Mekanisme ketahanankedelai terhadap hama ulat grayak mengikuti model ketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahananantibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitasfisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanyapenghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama. Dalam hal ini adalah morfologidaun, terutama kepadatan bulu. Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayak berperan penting untukmengurangi penggunaan insektisida dan meminimalisasi gagal panen. Perakitan varietas unggul kedelaitahan ulat grayak memiliki peluang besar untuk berhasil, mengingat sumber ketahanan terhadap ulatgrayak sudah teridentifikasi, diantaranya Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay, dan W/80-2-4-20. Selain itu, metode pemuliaan yang efektif dan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balikberulang dengan menggunakan penanda DNA sebagai indikator seleksi. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119, hasilpersilangan dengan menggunakan IAC 100 sebagai tetua, merupakan galur harapan kedelai, yang tergolongagak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak.Kata kunci: Kedelai, ulat grayak, ketahanan, antibiosis, antixenosis.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

20

PENDAHULUAN

Ulat grayak merupakan salah satu hama penting yangtersebar luas di daerah tropis hingga subtropis, diantaranya Asia, Australia dan Kepulauan Pasifik, dengankisaran inang yang luas. Hama ini tidak hanya merusaktanaman pangan, tetapi juga tanaman perkebunan,sayuran, dan buah-buahan, antara lain kacang tanah,jagung, padi, kedelai, talas, kapas, rami, teh, tembakau,terong, labu, kentang, ubi jalar, termasuk tanaman hias,tanaman liar, dan gulma (Dhaliwal et al. 2010, CABI 2015).

Ulat grayak bersifat polifag, dapat menyerang berbagaijenis tanaman dan termasuk hama pemakan daun kedelai(Endo et al. 2007, Adie et al. 2012). Selain merusak daun,larva ulat grayak juga dapat merusak polong muda. Padakondisi endemis, ulat grayak dapat menyebabkandefoliasi/kerusakan daun hingga 100% dan merupakankendala utama dalam mewujudkan potensi hasil kedelai(Tengkano dan Suharsono 2005, Bhatia et al. 2008).

Di Indonesia, serangan ulat grayak banyak terjadipada pertanaman kedelai musim kering (Marwoto danSuharsono 2008). Di beberapa sentra kedelai di JawaTimur seperti di Kabupaten Jombang, Ponorogo,Pasuruan, dan Banyuwangi, ulat grayak telah berkembangmenjadi hama yang tahan terhadap insektisida golonganmonokrotofos, endosulfan, dan dekametrin yangdigunakan petani secara terus-menerus (Marwoto danBedjo 1996).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangiperkembangan biotipe ulat grayak yang tahan insektisidakimia adalah menggunakan varietas tahan. Penanamanvarietas tahan juga diperlukan untuk mengurangi aplikasiinsektisida kimia dalam pengendalian ulat grayak(Komatsu et al. 2010). Varietas unggul tahan atau toleranhama merupakan komponen penting dalam pengelolaanhama terpadu (PHT). Penggunaan varietas tahan dapatmenekan tingkat kerusakan tanaman, mengurangi ataumenghilangkan input pestisida dan tidak merusaklingkungan (Endo et al. 2002, Wada et al. 2006).Penggunaan varietas tahan juga dapat menekankehilangan hasil akibat serangan ulat grayak.

Hasil penelitian Sari (2013) menunjukkan bahwainvestasi ulat grayak pada galur tahan (G 100 H) tidakmenurunkan hasil biji, sedangkan pada varietas Ijen yangtoleran ulat grayak dibandingkan dengan kontrol yanghasil bijinya 15% lebih rendah. Tingkat kehilangan hasiltergantung pada varietas yang digunakan, fasepertumbuhan, dan waktu serangan (Adie et al. 2012).

Ketahanan tanaman kedelai terhadap hama ulatgrayak dapat ditingkatkan melalui program pemuliaantanaman. Untuk mendukung program tersebut perludiidentifikasi plasma nutfah yang tahan terhadap hamaulat grayak. Penelitian di Jepang berhasil mengidentifikasisumber genetik yang tahan ulat grayak dan telahdigunakan sebagai tetua donor ketahanan. Mekanismeketahanannya juga telah dipelajari berdasarkan karaktermorfologi dan fisiologi (Hara and Ohba 1981).

Ketahanan sumber daya genetik terhadap ulat grayakdan serangga hama pemakan daun lainnya telahteridentifikasi melalui pendekatan biomolekuler. Denganmenggunakan penanda DNA, seleksi ketahanan dapatdilakukan lebih efisien. Studi genetika ketahanan terhadapulat grayak telah berkembang dengan baik, dan galurharapan tahan ulat grayak telah dikembangkan melaluiseleksi dengan bantuan penanda molekuler yangdikombinasikan dengan silang balik (Komatsu et al. 2004,2008). Komatsu et al. (2010) telah mengidentifikasi dualokus sifat kuantitatif (QTL) untuk ketahanan terhadapulat grayak dan 23 QTL untuk ketahanan terhadap hamapemakan daun lainnya. Kemajuan dalam studi genetikaketahanan ini memberikan peluang yang besar terhadapperakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak.

Makalah ini membahas peluang perbaikan ketahanantanaman kedelai terhadap hama ulat grayak.

GEJALA SERANGAN ULAT GRAYAK

Serangan ulat grayak pada tanaman kedelai ditandai olehgejala kerusakan daun, daun berlubang dan hanya tersisatulang daun (Gambar 1). Kerusakan daun tersebutdisebabkan oleh larva, dimana setelah telur menetasmenghasilkan larva instar 1 yang kemudian menyebarke seluruh permukaan daun (Gambar 2). Larva-larvatersebut memakan permukaan daun bagian bawah danhanya meninggalkan tulang daun (Sullivan 2007). Larvapertama kali memangsa daun, namun apabila terjadiledakan populasi (outbreak) larva juga dapat memakanpolong (Waterhouse and Norris 1987), bunga, dan tunas(Dunkle 2005, Vennila et al. 2007). Menurut penelitianPunithavalli et al. (2014), ledakan populasi hama ulatgrayak terjadi pada pertengahan September, bertepatandengan fase reproduksi tanaman kedelai.

Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai, mulaidari ringan hingga berat, dapat dilihat pada Gambar 3.Pada kebanyakan tanaman, kerusakan serius disebabkanoleh larva. Serangan berat pada tanaman mudamenyebabkan perkembangan tanaman terhambat, danpolong menjadi kecil (Dunkle 2005, USDA 2005).

SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK

21

Gambar 1. Gejala kerusakan daun kedelai akibat serangan ulat grayak.

Gambar 2. Telur yang baru menetas (a), larva instar 1 (b), dan serangan parah pada daun (c).

Gambar 3. Peringkat kerusakan daun. Angka-angka di bawah gambar menunjukkan tingkat kerusakan daun (skala 0 sampai 10) untuk setiappotongan daun (Sumber: Oki et al. 2012).

2 4 6 8 100

ba c

DAMPAK SERANGAN HAMA ULAT GRAYAKTERHADAP HASIL KEDELAI

Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi kedelaiadalah serangan hama, baik hama pemakan daun maupunperusak polong. Berdasarkan hasil identifikasi terhadapsembilan jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayakmerupakan hama pemakan daun yang sangat penting.

Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapatmencapai 80%, bahkan dapat menyebabkan puso apabilatidak dikendalikan (Marwoto dan Suharsono 2008,Dhaliwal and Koul 2010). Hasil penelitian Gregorutti et al.(2012) menunjukkan bahwa kerusakan daun pada fasepembentukan polong (R3) dapat menurunkan hasil bijihingga 90%. Penelitian lain mengemukakan bahwapenurunan hasil biji terjadi apabila serangan ulat grayak

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

22

dan Himeshirazu memiliki ketahanan terhadap ulat grayak.Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa varietas Baymemiliki tingkat antibiosis yang tinggi terhadap ulat grayak(Endo et al. 2005). Galur IAC-100 juga tahan terhadapulat grayak (Kraemer et al. 1997).

Di Indonesia, identifikasi sumber ketahanan terhadaphama ulat grayak dilakukan pada plasma nutfah kedelaidi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi(Balitkabi). Beberapa galur kedelai yang tahan terhadapulat grayak di antaranya adalah galur introduksi dariBrazilia, yaitu IAC-100, IAC-80-596-2, W/80-2-4-20(Suharsono dan Adie 2010). Ketahanan galur IAC-100 danIAC-80-596-2 terhadap ulat grayak adalah antixenosis,karena kurang disukai oleh ulat grayak sebagai inang (Igitaet al. 1998). Adie et al. (2000) menyatakan terdapat indikasiketahanan antibiosis sebagai faktor ketahanan kedelaiterhadap ulat grayak.

Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayakditentukan oleh faktor morfologi daun, terutama kepadatanbulu dibandingkan dengan panjang bulu pada daun.Kepadatan bulu berkorelasi negatif nyata denganintensitas kerusakan daun pada berbagai stadia tanaman(Adie 2008). Hal yang sama juga disampaikan oleh Hulburtet al. (2004), bahwa keberadaan bulu pada permukaantanaman kedelai menjadi faktor yang menentukanketahanan terhadap hama, baik pada tingkat antixenosismaupun antibiosis. Laporan lain menunjukkan bahwa bulupada daun menjadi penghalang bagi hama.

Menurut Boerma dan Specht (2004), terdapatsembilan gen kedelai yang berhubungan dengankeberadaan bulu daun. Empat gen (Pd1, P1, Ps dan Pb)diantaranya telah dipetakan pada Chr 1, 9, 12 dan 15(Cregan et al. 1999, Song et al. 2004). Gen Pd1, Ps, danP1 masing-masing mengekspresikan keberadaan bulu,yaitu padat, jarang dan tidak berbulu (gundul). Pbmenunjukkan bulu tajam (PbPb atau Pbpb) dan pb tumpul(pbpb). Hulbert et al. (2004) melaporkan bahwamemasukkan gen Pb ke varietas kedelai bermanfaat untukmeningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap hamaLepidoptera. Dua QTL, Pd1 dan Ps yangmengekspresikan kepadatan bulu terdeteksi pada posisiyang sama dengan gen yang mengekspresikankeberadaan bulu dari populasi yang sama untuk identifikasiketahanan terhadap ulat grayak. Namun QTL tersebuttidak terletak pada posisi yang tumpang tindih denganQTL pengendali ketahanan antibiosis (Komatsu et al.2005, 2007). Mekanisme antixenosis dapat berfungsiuntuk meningkatkan ketahanan Himeshirazu terhadap ulatgrayak, disamping mekanisme antibiosis.

Rector et al. (1998, 1999, 2000) mengungkapkanbahwa QTL ketahanan antixenosis terhadap ulat grayakterdapat pada lima kromosom (Chr 2, 6, 7, 12 dan 13),

menyebabkan kerusakan daun sebesar 75-100% (Pickleand Cavinnes 1984). Hasil biji menurun 40-80% apabilakerusakan daun terjadi pada fase pembentukan biji (R5)(Board and Harville 1998). Borras et al. (2004)mengemukakan bahwa penurunan hasil biji disebabkanoleh berkurangnya aktivitas fotosintesis akibat kerusakandaun. Selain mengakibatkan penurunan hasil biji,kerusakan daun kedelai pada fase R3 jugamengakibatkan penurunan ukuran biji hingga 32%(Gregorutti et al. 2012).

Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman(2008), luas serangan ulat grayak pada tahun 2002mencapai 2.216 ha, dan 80 ha diantaranya mengalamipuso. Pada tahun 2006, luas serangan ulat grayakmencapai 1.316 ha, dan 140 ha di antaranya gagal panen.

SUMBER KETAHANAN HAMAULAT GRAYAK

Pengembangan varietas tahan hama, termasuk ulatgrayak, memerlukan pengetahuan dan pemahamantentang mekanisme ketahanannya. Secara umum, adatiga model ketahanan tanaman terhadap serangga, yaituantibiosis, antixenosis (non-preferensi untuk tanamantahan), dan toleran (van Emden 2002).

Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimiatertentu dalam bagian tanaman yang dapat menggangguaktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama,sehingga kelimpahan hama dan kerusakan berkurangdibandingkan dengan yang akan terjadi apabila hamaberada pada tanaman rentan (Heng-Moss et al. 2006).Ketahanan antibiosis sering mengakibatkan peningkatanmortalitas atau memperpendek umur dan mengurangireproduksi serangga.

Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanyapenghalang morfologis tanaman yang dapatmempengaruhi perilaku hama, sehingga menghambatterjadinya interaksi antara tanaman inang dengan hama.Toleransi adalah ketahanan dimana tanaman mampubertahan atau pulih kembali dari kerusakan yangdisebabkan oleh kelimpahan hama. Mekanisme toleransiberbeda dengan antibiosis dan antixenosis (Teetes, 2013).Toleransi mengacu pada kemampuan tanaman untukmampu memberikan hasil yang lebih besar dari varietasrentan pada tingkat serangan hama yang sama.

Ketahanan terhadap ulat grayak telah diskriningsecara luas dari plasma nutfah kedelai, baik di luarmaupun dalam negeri. Di Jepang telah teridentifikasisumber gen ketahanan terhadap ulat grayak. Hasilpenelitian Komatsu et al. (2004, 2010) menunjukkanbahwa galur PI229358 (Sodendaizu), PI227687, PI171451,

SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK

23

dan ketahanan antibiosis terdeteksi pada lima kromosom(Chr 7, 13, 14, 16 dan 18). Di antara QTL tersebut,terdapat satu QTL ketahanan antibiosis dan satu QTLketahanan antixenosis yang berada pada posisi yanghampir sama pada Chr 7. Hal ini menunjukkan duamekanisme ketahanan tersebut dikendalikan oleh genyang berbeda.

Struktur genetik antibiosis dan antixenosis hampirsama, sekitar 51,1-75,7% variasi fenotipe dijelaskan oleh42,2-60,3% variasi genetik, dan 0 - 6 QTL aditif masing-masing menjelaskan 0,0-11,8% dari total variasi fenotipe0,0-27,4%, dan 0-3 pasang QTL epistatik masing-masingmenjelaskan 0,0-7,6% dari total variasi fenotipe 0,0-14,0%. Di antara QTL yang terdeteksi, qCCW6_1,qCCW10_1, dan qCCW12_2 merupakan kontributorutama antibiosis, dan qCCW10_1, qCCW10_2 danqCCW12_1 kontributor utama antixenosis (Kim et al.2014).

PEWARISAN KETAHANAN VARIETAS

Hingga saat ini, varietas tahan ulat grayak belum tersediadi Indonesia. Namun upaya perakitan varietas tahan terusdilakukan. Perakitan diawali dengan proses pencarian danidentifikasi plasma nutfah untuk mendapatkan genotipeyang memiliki ketahanan terhadap hama ulat grayak.

Dari beberapa genotipe kedelai yang diidentifikasi olehIgita et al. (1996), tidak satu pun genotipe asal Indonesiayang bereaksi tahan terhadap ulat grayak, namun genotipeintroduksi asal Jepang (Himeshirazu and Sodendaizu) danBrasilia (IAC 80 dan IAC 100) dilaporkan tahan. Hasilpenelitian Prayogo dan Suharsono (2005); Sulistyowatidan Suharsono (2011), serta Suharsono dan Suntono(2008) menunjukkan terdapat peluang untuk mendapatkanvarietas tahan hama perusak daun, khususnya ulat grayakdengan memanfaatkan galur IAC-100 dan IAC-80-596-2sebagai sumber gen ketahanan. Galur IAC-100 yangdisilangkan dengan Himeshirazu (tahan) menghasilkangalur G 100 H, yang mempunyai tingkat ketahanan yanglebih tinggi terhadap ulat grayak dibandingkan dengankedua tetuanya (IAC-100 dan Himeshirasu). Genotipe G100 H memiliki bentuk ketahanan antibiosis danantixenosis (trikoma daun padat) dan berpeluangdigunakan sebagai sumber tetua tahan dalam perbaikanketahanan kedelai terhadap ulat grayak (Adie et al. 2003).

Perakitan varietas tahan ulat grayak dengan karakteragronomis yang baik membutuhkan waktu cukup panjang,karena karakter agronomis dari tetua tahan yang kurangbaik, seperti tanaman pendek, potensi hasil rendah,ukuran biji kecil. Keturunan persilangan antara tetua donortahan dan galur kedelai lainnya menyebabkan terjadinyapewarisan beberapa sifat yang tidak diinginkan, seperti

tanaman pendek, jumlah cabang sedikit, dan ukuran bukupendek.

Pada tahun 2003, telah dilepas varietas Ijen sebagaisatu-satunya varietas kedelai di Indonesia yangdinyatakan agak tahan ulat grayak, merupakan hasilsilang balik antara Himeshirazu (tahan) dengan varietasWilis (Suhartina 2005). Tingkat kerusakan daun varietasIjen pada 12 hari setelah infestasi (HIS) relatif samadengan varietas Wilis, meskipun pada awalnya tingkatkerusakan daun varietas Ijen hampir dua kali lipat darivarietas Wilis (Tabel 1). Berdasarkan deskripsi varietas,Ijen mempunyai ukuran biji 11,23 g/100 biji dan umurpolong masak 83 hari, apabila dibandingkan dengan Wilisukuran biji tersebut sedikit lebih besar dan umur lebihgenjah, Wilis mempunyai ukuran 10 g/100 biji dan umurpolong masak 85-89 hari.

Perbaikan ketahanan varietas unggul kedelai terhadapulat grayak di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacangdan Umbi (Balitkabi) dimulai tahun 2007, melaluipersilangan antara IAC-100 sebagai sumber genketahanan terhadap ulat grayak dengan varietas Kaba(tanaman tinggi, tidak mudah rebah, dan polong tidakmudah pecah) dan Burangrang (tanaman tinggi, tidakmudah rebah, dan ukuran biji besar). Dari persilangantersebut diperoleh beberapa galur yang konsisten agaktahan hingga tahan terhadap ulat grayak, baikberdasarkan metode uji dengan pilihan maupun tanpapilihan. Galur-galur tersebut adalah IAC-100/Kaba-G-80,IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119 (Tabel 2)(Sari, 2013). Menurut hasil penelitian Suharsono et al.(2010), galur-galur kedelai hasil kombinasi persilanganmenggunakan tetua IAC-100 atau IAC-80-596-2 sebagianbesar mengandung sifat tahan terhadap ulat grayak.

Pada tahun 2013, galur-galur hasil persilangan IAC-100 x Kaba dan IAC-100 x Burangrang (Tabel 2) diuji diPasuruan. Pada saat pengujian terjadi serangan ulatgrayak dengan intensitas tinggi, sehingga dapat dilihatrespon dari masing-masing galur terhadap serangan ulat

Tabel 1. Intensitas kerusakan daun beberapa galur kedelai.

Intensitas kerusakan daun (%)Galur pada umur (HSI) Bobot biji

(g/tanaman)3 6 9 12

Cikuray 7,13 8,63 24,91 22,79 6,96Detam-1 7,12 14,15 20,00 21,14 5,10G 100 H 5,36 8,38 7,57 10,47 5,89Ijen 9,16 16,80 21,67 20,30 8,10Wilis 4,67 10,72 18,33 21,10 7,53

HIS (hari setelah infestasi), Sumber: Sari (2013)

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

24

grayak (Gambar 4 dan 5). Tingkat serangan ulat grayakpada galur harapan kedelai tahan lebih rendahdibandingkan dengan galur rentan yang mengelilinginya(investasi hama terjadi secara alami). Tingkat seranganulat grayak pada galur harapan hasil persilangan IAC-100 x Kaba jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietasAnjasmoro yang ditanam petani (Gambar 4 dan 5). Hasildan komponen hasil kedelai dari pengujian di Pasuruandisajikan pada Tabel 3.

Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, danIAC-100/Kaba-G-47 yang tegolong agak tahan hinggatahan terhadap ulat grayak memiliki hasil yang lebih tinggidibanding varietas Kaba (tetua jantan), demikian jugaukuran bijinya yang lebih besar (Tabel 3).

Pemuliaan ketahanan kedelai terhadap hama ulatgrayak telah dilakukan di Jepang melalui persilangan(silang balik berulang) antara Himeshirazu (tahan) danFukuyutaka (rentan), dengan tujuan menggabungkanketahanan terhadap ulat grayak dan karakter agronomiyang baik. Kegiatan tersebut menghasilkan galur Kyushuu155 yang mewarisi dua gen ketahanan dari Himeshirazu,sedangkan karakter agronomis (umur masak, tinggitanaman, jumlah cabang, hasil, dan kualitas benih) miripdengan Fukuyutaka (Komatsu et al. 2008).

Ketahanan kedelai terhadap ulat grayak mengikutiketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahanan

antixenosis kedelai terhadap hama ulat grayak mempunyainilai heritabilitas arti luas yang tinggi (73,2%) (Komatsuet al. 2004). Artinya, karakter ketahanan antixenosistersebut mempunyai peluang yang cukup tinggi untukdiwariskan.

Uji bioassay antixenosis terhadap populasi inbridarekombinan yang berasal dari persilangan antara varietasFukuyutaka (rentan) dengan Himeshirazu (tahan) telahdilakukan oleh Oki et al. (2012). Hasil pengujianmenunjukkan adanya dua QTL ketahanan antixenosis,yaitu qRslx1 dan qRslx2, yang teridentifikasi pada Chr 7dan 12, dan alel tahan dari qRslx1 dan qRslx2, masing-masing berasal dari Himeshirazu dan Fukuyutaka. Padapengujian ini juga dilakukan analisis karakteristikkeberadaan bulu daun untuk mengetahui hubungannyadengan ketahanan terhadap hama kedelai. Hasil analisismengidentifikasi adanya dua QTL untuk panjang bulu

Tabel 2. Rata-rata intensitas kerusakan dan kriteria ketahanangenotipe kedelai terhadap ulat grayak pada metode denganpilihan dan tanpa pilihan pakan.

Dengan pilihan Tanpa pilihanGalur

Intensitas Kriteria Intensitas Kriteriakerusakan keta- kerusakan keta-

(%) hanan (%) hanan

IAC-100/Kaba-G-80 8,5 AT 39,9 ATIAC-100/Kaba-G-67 5,2 T 33,7 TIAC-100/Burangrang-P-94 11,1 R 46,4 RIAC-100/Burangrang-P-95 11,3 AT 40,0 ATIAC-100/Kaba-G-47 7,2 AT 38,8 ATIAC-100/Burangrang-G-119 11,8 T 27,0 STIAC-100/Burangrang-G-121 9,3 R 42,0 RKaba/IAC/Burangrang-P-91 11,6 R 50,5 RIAC-100/Burangrang-P-97 6,3 T 41,4 RIAC-100/Burangrang-P-96 11,1 R 43,0 RIAC-100/Burangrang-G-625 9,1 R 46,1 RIAC-100/Burangrang-G-645 8,6 R 43,9 RKaba 15,2 R 55,2 SRIjen 20,6 SR 42,6 RArgomulyo 14,0 R 47,3 RG 100 H 11,8 AT 40,3 RIAC 100 4,6 T 34,7 T

T = tahan, AT = agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan,SR = sangat rentan (Sumber: Sari 2013).

Anjasmoro

IAC-100/Kaba-G-80

Gambar 4. Tingkat serangan ulat grayak pada daun varietasAnjasmoro dan galur harapan kedelai toleran ulat grayak(IAC 100/Kaba-G-80) di Pasuruan(Sumber: Koleksipribadi).

Gambar 5. Tingkat serangan ulat grayak pada daun galur harapankedelai hasil persilangan IAC 100 dengan Kaba danpada varietas Anjasmoro di Pasuruan (Sumber: Koleksipribadi).

SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK

25

(pada Chr 7 dan 12) dan dua QTL untuk kepadatan bulu(pada Chr 1 dan 12). QTL keberadaan bulu pada Chr 7dan 12 masing-masing terletak berdekatan dengan qRslx1dan qRslx2. Hal ini menunjukkan bahwa ketahananantixenosis dikendalikan secara genetik oleh dua QTL,dan karakteristik keberadaan bulu diduga mempunyaikontribusi terhadap ketahanan antixenosis kedelaiterhadap ulat grayak (Oki et al. 2012).

Pada varietas tahan, Himeshirazu terdapat dua QTLketahanan antibiosis terhadap ulat grayak, dan ketahananantibiosis dikendalikan oleh gen resesif yang terdapat padaLG-M (linkage group M) (Komatsu et al. 2004, 2005). Efekdari QTL tersebut telah diverifikasi melalui uji bioassayantibiosis menggunakan galur isogenik. Melalui silangbalik berulang, gen ketahanan pada Himeshirazu berhasildisisipkan ke dalam Fukuyutaka (rentan) denganmenghasilkan varietas baru Fukuminori. Namun, tingkatketahanan Fukuminori masih lebih rendah dibandingHimeshirazu (Komatsu et al. 2008).

Hasil penelitian Adie (2008) menunjukkan bahwakepadatan bulu pada kedelai hasil persilangan ICH x Wilis,G100H x ICH dan G100H x Wilis dikendalikan secarapoligenik. Pada persilangan antara kedelai berbulu dengankedelai tanpa bulu terdapat pengaruh gen dominan danpengaruh tipe interaksi gen dominan x dominan. Padapersilangan kedelai berbulu padat dengan moderatterdapat pengaruh rata-rata, pengaruh gen aditif danpengaruh gen dominan. Kepadatan bulu dapat digunakansebagai kriteria seleksi tak langsung ketahanan kedelaiterhadap ulat grayak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak bersifatantibiosis dan antixenosis. Ketahanan antibiosisdisebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanamanyang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama danmempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosisdisebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanamanyang dapat mempengaruhi perilaku hama. Pada tanamankedelai, ketahanan antixenosis ditentukan oleh morfologidaun, terutama kepadatan bulu.

Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayakberperan penting untuk mengurangi penggunaaninsektisida dan meminimalisasi gagal panen. Peluangperakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak cukuptinggi karena terdapat sumber genetik tahan, di antaranyaSodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay,dan W/80-2-4-20. Selain itu, metode pemuliaan yang efektifdan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balikberulang dengan menggunakan penanda DNA sebagaiindikator seleksi.

Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119, hasil persilangan menggunakan IAC100 sebagai tetua, adalah galur harapan kedelai yangbersifat agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak.

Tabel 3. Komponen hasil dan hasil galur-harapan kedelai toleran ulat grayak pada uji adaptasi di Pasuruan, 2013.

Tinggi Jumlah Jumlah Jumlah Umur Umur Hasil BobotNomor galur tanaman cabang buku polong berbunga masak biji biji

(cm) subur isi (hari) (hari) (kg/12 m2) (g/100 biji)

IAC-100/Kaba-G-80 44,6 3 13 43 35 77 2,77 12,95IAC-100/Kaba-G-67 42,6 3 13 42 35 77 2,59 12,68IAC-100/Burangrang-P-94 33,0 3 10 25 34 76 2,26 13,91IAC-100/Burangrang-P-95 33,5 3 10 25 34 76 2,11 14,75IAC-100/Kaba-G-47 43,0 3 12 39 36 78 2,48 12,40IAC-100/Burangrang-G-119 36,4 2 9 26 34 76 2,50 14,85IAC-100/Burangrang-G-121 31,9 3 10 29 34 76 2,30 14,82Kaba/IAC/Burangrang-P-91 32,2 3 9 26 34 76 2,18 13,43IAC-100/Burangrang-P-97 32,3 3 11 26 34 76 2,24 14,15IAC-100/Burangrang-P-96 31,7 3 10 26 34 75 2,29 14,25IAC-100/Burangrang-G-625 32,5 3 10 28 35 75 1,72 14,16IAC-100/Burangrang-G-645 35,7 3 11 29 34 76 2,35 14,18Kaba 68,0 3 16 48 36 77 2,13 11,81Ijen 63,5 2 14 43 35 77 1,94 14,30Burangrang 73,2 2 10 33 35 75 2,72 15,60

Uji F ** * ** ** ** ** ** **

* dan **: menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji α 5% dan 1%.Sumber: Balitkabi 2014.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

26

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M.M., Tridjaka, dan K. Igita. 2000. Pewarisantrikoma, penentu sifat ketahanan kedelai terhadapulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan19:47-50.

Adie, M.M., G.W.A. Susanto, dan R. Kusumawaty. 2003.Ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap ulatgrayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan22(1):1-5.

Adie, M.M. 2008. Perbaikan ketahanan kedelai terhadapulat grayak. http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-M-Muchlish-Adie-Perbaikan-Ketahanan-Kedelai-4734-id.html Diakses tanggal 16 Maret 2015.

Adie, M.M., A. Krisnawati, dan A.Z. Mufidah. 2012.Derajat ketahanan genotipe kedelai terhadap hamaulat grayak. p. 29-36. Dalam: A.A. Rahmianna et al.(Eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian TanamanAneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saingdan Implementasi Pengembangan KomoditasKacang dan Umbi Mendukung Pencapaian EmpatSukses Pembangunan Pertanian. Malang, 5 Juli2012. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. Bogor.

Bhatia, V.S., Piara Singh, S.P. Wani, G.S. Chauhan,A.V.R. Kesava Rao, A.K. Mishra, and K. Srinivas.2008. Analysis of potential yields and yield gaps ofrainfed soybean in India using CROPGRO-Soybeanmodel. Agricultural and Forest Meteorology148:1252-1265.

Board, J.E. and B.G. Harville. 1998. Late-planted soybeanyield response to reproductive source/sink stress.Crop Sci. 38: 763-771.

Boerma, H.R. and J.E. Specht. 2004. Soybeans:Improvement, production, and uses. 3rd edn.American Society of Agoronomy. Madison. p.170.

Borras, L.G.A. Slafer and M.E. Otegui. 2004. Seed dryweight respone to source-sink manipulations inwheat, maize and soybean: a quantitativereappraisal. Field Crops Res. 86: 131-146.

CABI. 2015. Spodoptera litura (taro caterpillar). http://www.cabi.org/isc/datasheet/44520#20127201272Diakses tanggal 2 Mei 2015.

Cregan, P.B., T. Jarvik, A.L. Bush, R.C. Shoemaker, K.G.Lark, A.L.Kahler, N. Kaya, T.T. VanToai, D.G. Lohnes,and J. Chung. 1999. An integrated genetic linkagemap of the soybean genome. Crop Sci. 39: 1464-1490.

Dhaliwal, G.S. and O. Koul. 2010. Quest for PestManagement: From Green Revolution to GeneRevolution. Kalyani Publishers, New Delhi. 386p.

Dhaliwal GS, V. Jindal, and A.K. Dhawan. 2010. Insectpest problems and crop losses: changing trends.Indian Journal of Ecology, 37: 1-7.

Direktorat Perlindungan Tanaman. 2008. Laporan luasdan serangan hama dan penyakit tanaman pangandi Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman.Jakarta.

Dunkle, R.L. 2005. New pest response guidelinesSpodoptera. www.aphis.usda.gov/.../nprg... Diaksestanggal 3 Februari 2015.

Emden, van Helmut. 2002. Mechanism of resistance:antibiosis, antixenosis, tolerance, nutrition. In: D.Pimentel (Ed.) Encyclopedia of pest manajemen.https://books.google.co.id/books?isbn... Diaksestanggal 2 Mei 2015.

Endo, N., T. Wada, N. Mizutani, and M. Takahashi. 2002.Possible resistance and tolerance of a soybeanbreeding line, Kyukei 279 to the common cutworm,Spodoptera litura and soybean stink bugs. KyushuPlant Prot. Res. 48:68-71 (in English summary)a g r i s . f a o . o r g / a g r i s - s e a r c h /search.do?recordID=JP2003002362 [3 Februari2015].

Endo, N., T. Wada, and S. Tojo. 2005. Resistance ofsoybean cultivar ‘Bay’ to the common cutworm,Spodoptera litura (Fabricius) (Lepidoptera:Noetuidae). Kyushu Plant Prot. Res. 51:49-52. http://agris.fao.org/aos/records/ Diakses tanggal 29Januari 2015.

Endo, N., I. Hirakawa, T. Wada, and S. Tojo. 2007.Induced resistance to the common cutworm,Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) in threesoybean cultivars. Appl. Entomol. Zool. 42(2):199-204. http://ci.nii.ac.jp/naid/110006278157/enDiakses tanggal 30 Januari 2015.

Gregorutti, V.C., O.P. Caviglia, and A. Saluso. 2012.Defoliation affects soybean yield depending on timeand level of light interception reduction. AustralianJournal of Crop Science 6(7):1166-1171.

Hara, M., and T. Ohba. 1981. On the phytophagous insectresistance in soybean. Rep. Kyushu Br. Crop Sci.Soc. Japan 48:65-67.

Heng-Moss, T.M., T. Macedo, L. Franzen, F.P.Baxendale, L. Higley, and G. Sarath. 2006.Physiological responsesof resistant and susceptiblebuffalograsses to Blissus occiduus (Hempitera:Blissidae) feeding. J. Econ. Entomol. 99: 222-228.

Hulburt, D.J., H.R.Boerma, and J.N. All. 2004. Effect ofpubescence tip on soybean resistance tolepidopteran insect. J. Econ. Entomol. 97:621-627.

SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK

27

Igita, K., M.M. Adie, Suharsono, and Tridjaka. 1996.Second brief report: Method of cultivation of soybeanin cropping systems with low input (pesticide) inIndonesia. RILET-JIRCAS. Malang.

Igita, K., Adie, M.M. Suharsono, and Tridjaka. 1998. Lowinput cultivation method or soybean in Indonesiacropping system. Proc. Of RILET-JIRCAS Workshopon soybean Res. Malang, Indonesia.

Kim, H.G. Xing, Y. Wang, T. Zhao, D. Yu, S. Yang, Y. Li,S. Chen, R.G. Palmer, and J. Gai. 2014. Constitutionof resistance to common cutworm in terms ofantibiosis and antixenosis in soybean RILpopulations. Euphytica. 196(1): 137-154. http://springer.libdl.ir/article/10.1007/s10681-013-1021-0 (5Februari 2015).

Komatsu, K.S. Okuda, M. Takahasi, and R. Matsunaga.2004. Antibiotic effect of insect-resistant soybeanon common cutworm (Spodoptera litura) and itsinheritance. Breed. Sci. 54:27-32.

Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga,and Y. Nakazawa. 2005. QTL mapping of antibiosisresistance to common cutworm (Spodoptera lituraFabricius) in soybean. Crop Sci. 45:2044-2048.

Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga,and Y. Nakazawa. 2007. Quantitative trait locimapping of pubescence density and flowering timeof insect-resistant soybean (Glycine max L. Merr.).Genet. Mol. Biol. 30: 635-639.

Komatsu, K., M. Takahashi, and Y. Nakazawa. 2008Antibiosis resistance of QTL introgressive soybeanlines to common cutworm (Spodoptera lituraFabricius). Crop Sci. 48, 527-532.

Komatsu, K. M. Takahasi, and Y. Nakazawa. 2010.Genetic study on resistance to the common cutwormand other leaf-eating insects in soybean. JARQ 44(2), 117-125 (2010) http://www.jircas.affrc.go.jpDiakses tanggal 29 Januari 2015.

Kraemer, M.E., M.Rangappa, and A.I. Mohamed. 1997.Evaluation of vegetable soybean genotypes forresistance to corn earworm (Lepidoptera: Noctuidae).J. Entomol. Sci. 32:25-36.

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponenteknologi pengendalian ulat grayak (Spodopteralitura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal LitbangPertanian 27(4):131-136.

Marwoto dan Bedjo. l996. Resistensi hama ulat grayakterhadap insektisida di daerah sentra produksikedelai di Jawa Timur. Seminar Hasil Penelitian BalaiPenelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbiantahun 1996.

Oki, N., K. Komatsu, T. Sayama, M. Ishimoto, and M.Takahashi. 2012. Genetic analysis of antixenosisresistance to the common cutworm (Spodopteralitura Fabricius) and its relationship with pubescencecharacteristics in soybean (Glycine max (L.) Merr.).Breeding Science 61: 608-617.

Pickle, C.S and C.E Cavinnes. 1984. Yield reduction fromdefoliation and plant cut off of determinate andsemideterminate soybean. Agron J 76:474-476.

Prayogo, Y. and Suharsono. 2005. Optimalisasipengendalian hama pengisap polong kedelai(Riptortus linearis) dengan cendawanentomopatogen Verticillium lecanii pada mediaminyak nabati. Prosiding Peningkatan ProduksiKacang-kacangan dan Umbi-umbian MendukungKemandirian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. p.385-395.

Punithavalli, M., A.N. Sharma, and M. Balaji Rajkumar.2014. Seasonally of the common cutwormSpodoptera litura in a soybean ecosystem.Phytoparasitica. 42:213-222.

Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma.1998. Identification of molecular markers associatedwith quantitative trait loci for soybean resistance tocorn earworm. Theor. Appl. Genet. 96:786-790.

Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma.1999. Quantitative trait loci for antixenosis resistanceto corn earworm in soybean. Crop Sci. 39:531-538

Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma.2000. Quantitative trait loci for antibiosis resistanceto corn earworm in soybean. Crop Sci. 40:233-238.

Sari, K.P. 2013. Evaluasi galur-galur kedelai hitamterhadap ulat grayak Spodoptera litura F. LaporanHasil Penelitian Tahun 2013.

Song, Q.J., L.F. Marek, R.C. Shoemaker, K.G. Lark, V.C.Concibido, X. Delannay, J.E. Specht, and P.B.Cregan. 2004. A new integrated genetic linkage mapof the soybean. Theor. Appl. Genet. 109: 122–128.h t t p : / / d i g i t a l c o m m o n s . u n l . e d u / c g i /viewcontent.cgi?....... [3 Februari 2015]

Suharsono dan M. M. Adie.2010. Identifikasi sumberketahanan aksesi plasma nutfah kedelai untuk ulatgrayak Spodoptera litura F. Buletin PlasmaNutfah.16(1):29-37.

Suharsono, Y. Prayogo, Bedjo, S. Hardaningsih,Sumartini, dan S.W. Indiati. 2010. Formulasipestisida nabati dan agens hayati untukpengendalian OPT kedelai ramah lingkungan, hematpestisida kimia 50%. Laporan Akhir Penelitian 2010.Balai penelitian Tanaman Kacang-kacangan danUmbi-umbian Malang. p.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

28

Suharsono dan Suntono. 2008. Preferensi peneluranhama penggerek polong pada beberapa galur varietaskedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan23 (01):38-43.

Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbianMalang. 154p.

Sulistyowati dan Suharsono. 2011. Hama dan penyakittumbuhan di era globalisasi dan carapengendaliannya. Prospek dan tantangan pertanianIndonesia di era globalisasi. p:354-365. Dalam: W.A.Setiawan dan S. Wardoyo (Eds.). 35 Tahun PTAgricon.

Sullivan, M. 2007. CPHST pest datasheet for Spodopteralitura. USDA-APHIS-PPQ-CPHST.

Balitkabi. 2013. Laporan Tahunan 2014. Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian,Malang. 147p.

Teetes, G.L. 2013. Plant resistance to insects: Afundamental component of IPM. Dept. of Entomology.

Texas A&M University. http://ipmworld.umn.edu/chapters/teetes.ht Diakses tanggal 3 Februari 2015.

Tengkano, W. dan Suharsono. 2005. Ulat grayakSpodoptera litura F. pada kedelai danpengendaliannya. Buletin Palawija 10: 43-52.

USDA. 2005. New pest response guidelines, Spodoptera.United States Department of Agriculture, Animal andPlant Health Inspection Service. 82pp.

Wada, T., N. Endo, and M.Takahashi. 2006. Reducingseed damage by soybean bugs by growing small-seeded soy-beans and delaying the sowing time.Crop Prot.25:726-731.

Waterhouse, D.F. and K.R. Norris. 1987. Biologicalcontrol, pacific prospects. Australian Centre forInternational Agricultural Research. http://aciar.gov.au/files/node/326/biological_control_pacific_prospects_supplement_17154.pdf Diakses tanggal16 Naret 2015.

Venilla, S., V.K. Biradar, M. Sabesh, and O.M.Bambawale. 2007. Know your cotton insect pestsdefoliators (semi-looper, leaf roller and leaf worm).Central Institute for Cotton Research. 2p.

(Aflatoxin Contamination on the GroundnutDistribution Chain in Indonesia)

Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl Raya Kendalpayak Km 8 Malang

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 9 November 2014 dan disetujui diterbitkan 7 Mei 2015

ABSTRACT

Aflatoxin is a secondary metabolite substance produced by Aspergillus flavus fungus living on the grain.The substance is very toxic, which may cause health problem when consumed by human or by animal. Ofthe twelve aflatoxin members, the B1-aflatoxin was reported as the most prevalence in Indonesia, and it wasalso the most toxic. Therefore, B1-aflatoxin was used as a criterion for the maximum tolerable limit ofaflatoxin content in food and feed stuff. Aflatoxin B1 contamination was reported on groundnut grains sold inthe retail traditional markets throughout Indonesia. The contaminated grains were noted derived from thenationally produced as well as from the imported ones. The aflatoxin contamination increased as the grainof groundnut reached the final retail markets destination. Contaminated grain processed into various foodretained the aflatoxin in a toxic form. The negative effect on health from consuming food contaminated byaflatoxin must be minimized. The government of Indonesia had established food safety regulation regardingaflatoxin contamination, but prevention through the proper cultural practices and post harvest handling ofgroundnut, were equally important measure.Keywods: Groundnut, Aspergillus flavus, contamination, aflatoxin-B1.

ABSTRAK

Aflatoxin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus. Senyawa inibersifat toksik yang mengganggu kesehatan manusia dan ternak, antara lain melalui gangguan fungsihati. Di antara dua belas macam aflatoxin, aflatoxin B1 paling banyak dijumpai di Indonesia dan merupakansenyawa yang paling berbahaya sehingga digunakan sebagai kriteria ambang batas maksimum aflatoxindalam bahan pangan dan pakan. Kontaminasi aflatoxin B1 yang tinggi dilaporkan pada biji kacang tanahyang berada pada pedagang pengecer di pasar tradisional di banyak tempat di Indonesia. Biji kacangtanah terkontaminasi aflatoxin B1 berasal dari hasil panenan pertanaman di Indonesia dan juga berasaldari impor dan penggunaannya untuk keperluan konsumsi. Kontaminasi aflatoxin pada biji kacang tanahasal dari dalam negeri dan impor meningkat menjadi tinggi setelah sampai pada pedagang pengecer.Makanan berbahan baku kacang tanah yang terkontaminasi aflatoxin dilaporkan juga mengandung aflatoxinB1 dengan beragam level. Bahaya gangguan kesehatan oleh dikonsumsinya kacang tanah terkontaminasiaflatoxin perlu diminimalisasi dengan cara menetapkan kebijakan tentang penanganan produkterkontaminasi aflatoxin dan teknologi anjuran proses produksi kacang tanah bebas aflatoxin.Kata kunci: Kacang tanah, Aspergillus flavus, kontaminasi, aflatoxin B1.

toxin. Afla mengacu pada nama jamur Aspergillus flavusdan toxin berarti racun. Oleh karena itu aflatoxin berartiracun yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus (Guo et al.2009). Lebih detail, aflatoxin merupakan senyawametabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi olehAspergillus flavus, parasiticus, dan numius (Klich 2007).Penemuan aflatoxin bermula dari munculnya penyakit‘Turkey X’ di Inggris pada tahun 1962 dimana 100.000kalkun mati setelah makan kacang tanah terkontaminasiaflatoxin (Forgacs and Carll 1962 dalam Amaike and Keller2011). Selain pada ternak, aflatoxin juga berbahaya bagikesehatan manusia, misal kasus ratusan orang meninggaldunia di Kenya (Lewis et al. 2005).

Senyawa aflatoxin mengakibatkan aflatoksikosispada manusia atau ternak karena menghirup ataumengkonsumsi makanan atau pakan terkontaminasiaflatoxin dalam kadar yang tinggi. Akibat buruk yangditimbulkan oleh senyawa aflatoxin telah menjadi isudunia. Aflatoksikosis menjadi masalah serius di negaraberkembang, terutama di Asia dan Afrika, di mana sistemkeamanan pangan belum berkembang secara baik untukmelindungi konsumen dari produk makanan yang tidaksehat. Di negara-negara yang sudah berkembang,pemerintah menaruh perhatian yang serius pada isukeamanan pangan, termasuk aflatoxin, dan permintaanyang terus meningkat kepada industri untuk memenuhiregulasi standard keamanan pangan yang ketat. Meskipundemikian, di negara maju seperti Amerika Serikat,kehilangan hasil akibat kontaminasi aflatoxin dilaporkanmencapai jutaan dolar (Amaike and Keller 2011).

Di Indonesia, meski kesadaran masyarakat akanbahaya aflatoxin masih rendah, namun penelitian tentangbahaya aflatoxin bagi kesehatan sudah dilakukan. Panget al. (1974) dan Muhilal dan Nurjadi (1977) dalamMachmud (1989) melaporkan bahwa kontaminasi aflatoxinB1 dan G1 kebanyakan pada biji kacang tanah dan produkberbahan baku kacang tanah. Kedua jenis aflatoxin inimerupakan senyawa karsinogen yang berpotensimenyebabkan kanker hati di mana saat itu insiden kankerhati pada manusia dan hewan sangat tinggi. Pernyataanini diperkuat oleh studi yang dilakukan kemudian, bahwaaflatoxin terdeteksi pada jaringan hati 58% pasien yangmenderita kanker hati primer. Tipe dan jumlah aflatoxinterdeteksi pada spisemen hati adalah aflatoxin B1, G1 danM1 hingga >400 µg/kg (ppb). Makanan yang dikonsumsioleh pasien yang terdeteksi tersebut termasuk oncom(tempe kacang difermentasi dengan jamur Rhizopusoligosporus), kacang tanah goreng, bumbu kacang,bungkil kacang, kecap, ikan asin, dan beragam obat

berhubungan dengan aflatoxin dan virus hepatitis B(Tjindarbumi dan Mangunkusumo 2002). Rasyid (2006)melaporkan bahwa aflatoxin B1 diduga berperan dalammemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnyamenimbulkan kanker sel hati.

Tulisan ini memaparkan status kontaminasi aflatoxindan infeksi jamur Aspergillus flavus pada beragam matarantai perdagangan, faktor-faktor yang mempengaruhi ataumemicu produksi racun, dan strategi menekankontaminasi aflatoxin, baik dari segi kebijakan maupunteknisnya, untuk menghasilkan produk yang aman bagikesehatan.

SIFAT DAN MACAM AFLATOXIN

Aflatoxin bersifat karsinogenik, mutagenik, dan immunosuppressive (IARC 1987 dalam Mobeen et al. 2011). Olehkarena itu, aflatoxin termasuk golongan karsinogen kelas1 terhadap manusia (IARC 1993 dalam Bankole et al.2005, Mutegi et al. 2013), serta mempunyai predikatsebagai hepatotoxic, carcinotoxic dan teratogenic (Klichet al. 2009; Jha et al. 2013; Abdalla et al. 2014). Aflatoxinberpotensi menyebabkan kerusakan hati, pengerasan hati(cirrhosis) dan kanker hati (Hongkong Food danEnvironmental Hygiene 2001 dalam Paramawati et al2006). Sifat karsinogenik yang dipunyai aflatoxinmemungkinkan hubungan sebab akibat antaramengkonsumsi kacang tanah atau produk olahannyayang mengandung aflatoxin dengan kanker hati. Selainkacang tanah, beragam komoditas pertanian berpeluangterkontaminasi aflatoxin, antara lain jagung, biji kapas,beras dan produk dari ternak yang mengkonsumsi bahantersebut, seperti susu dan telur.

Jamur A. flavus dan A. parasiticus mampumenghasilkan empat senyawa utama aflatoxin (AfB1,AfB2, AfG1, dan AfG2) dan aflatoxin M1 dan M2 (M: Milkyang berarti susu) yang merupakan turunan aflatoxin B1dan B2 pada lingkungan yang mendukung (Guo et al2009). Aspergillus flavus secara umum memproduksigolongan toksin B, dengan demikian jagung, biji kapas,dan kacang tanah yang telah terkolonisasi A. flavusumumnya terkontaminasi oleh aflatoxin B1 (Abbas et al.2009). Senyawa-senyawa toksin tersebut diberi namasesuai dengan karakteristik warna fluoresen pada saatpendeteksian menggunakan gelombang ultraviolet (λ =365 nm). AfB1 dan AfB2 menghasilkan warna fluoresenbiru, sedangkan AfG1 dan AfG2 memproduksi warnafluoresen hijau (Klich 2007). Aflatoxin B1, B2, G1, G2 umum

terhadap hewan dan manusia (Bhatnagar et al. 2006),dan karena paling berbahaya, AfB1 dipakai sebagaiambang batas maksimum aflatoxin dalam bahan pangandan pakan.

CEMARAN AFLATOXIN PADA RANTAIPERDAGANGAN KACANG TANAH

Biji kacang tanah yang sampai ke konsumen akhir telahmelewati banyak mata rantai perdagangan atau jalurdistribusi (Gambar 1), di mana pada setiap mata rantaimengalami perubahan bentuk dan proses, misal daribentuk polong basah di tingkat petani menjadi polongkering di tingkat pedagang pengumpul, biji ose di tingkatpedagang pengecer, dan aneka produk di tingkat prosesor.

berakibat buruk dari sisi keamanan pangan karenaberpotensi terjadi dan meningkatnya cemaran aflatoxin.Kontaminasi aflatoxin dapat terjadi pada saat polongbelum dipanen (Guo et al. 2009), setelah panen dansebelum polong dikeringkan, selama proses pengeringandan selama disimpan (Mutegi et al. 2013; Waliyar et al.2015), karena spora A. flavus secara alami terdapat ditanah dan udara. Kontaminasi aflatoxin yang terjadi padabiji, bungkil, tepung, dan produk makanan berbahan bakukacang tanah menunjukkan produksi racun ini dapat terjadidi setiap mata rantai perdagangan.

Kacang tanah ditanam, dipelihara, dan dipanen olehpetani, sedangkan di beberapa sentra produksi panendilaksanakan oleh penebas. Tingkat kontaminasi aflatoxinB1 pada biji kacang tanah di tingkat petani umumnyarendah, yaitu <15 ppb (Tabel 2) baik berasal dari

Gambar 1. Jalur perdagangan komoditas kacang tanah di Indonesia. (Sumber: Damardjati et al. 1979, dengan perubahan).

Tabel 1. Cemaran aflatoxin B1 pada kacang tanah sejak di lapangan hingga masa perdagangan.

Prosesor ProsesorUraian Petani Penebas Pengumpul Pedagang Pedagang kacang kulit aneka olahan

besar pengecer oven kc tanah

Bentuk Tanaman Polong Polong Polong kering Biji ose Polong Biji osesegar kering atau biji ose segar

Lama waktu 80-100 1-2 1-10 Sd 10 bulan 7-90 <2 3-30(hari) (polong kering),

4 bulan (ose)Kadar air biji 35-47 35-45 4-16 7-15 5-14 2-10 3-15pada MK (%)Kadar air biji 40-51 9-35 8-15pada MH (%)Kisaran cemaran <6 <15 4-132 5-20 <3,6-1.804 6-28 <3,6-3.355aflatoxin pada MK (ppb)Kisaran cemaran <3,6-94 <3,6-1.366 <3,6-1.859aflatoxin pada MH (ppb)Rata-rata cemaran <15 <15 <15 <15->15 >15 <15 <15->15aflatoxin (ppb)

Petani Penebas Pengumpul

Pengolah pabrik

Pengusaha besar(grosir)

Pengecer

Pedagangpengecer

Ekspor

Konsumen

Pengusaha besar(grosir)

Lingkungan. Parameter lingkungan prapanen yangpaling penting dalam produksi aflatoxin adalah lengas dansuhu tanah di sekitar polong. Deraan kekeringan yangtinggi selama 4-6 minggu hingga kacang tanah dipanensangat berpeluang terbentuknya aflatoxin di dalam bijiyang sudah terinfeksi jamur A. flavus. Suhu tanah yangoptimum untuk produksi aflatoxin berkisar antara 26,3-30,5oC (Schearer et al. 1999 dalam Wright andCruickshank 1999). Kekeringan menginduksi peningkatanproline dan senyawa ini dilaporkan memicu pembentukanaflatoxin (Payne and Hagler 1983). Selain itu, pembentukanphytoalexin (senyawa antimikrobia) terhambat oleh deraankekeringan. Kemungkinan lain adalah jamur kompetitorA. flavus tidak berkembang secara optimal pada kondisikekeringan dan suhu tinggi, sedangkan A. flavus yangtermasuk xerotolerant atau toleran terhadap suhu tinggi(25-42oC) sehingga masih mampu bertahan (Klich 2007).Oleh karena itu, salah satu tindakan yang dianjurkanuntuk mencegah infeksi jamur A. flavus dan kontaminasiaflatoxin adalah pengairan (Rahmianna et al. 2007c).Pengairan yang cukup, terutama pada fase generatif akhirsangat dianjurkan untuk menjaga kadar air biji lebih tinggidari 30%, kulit polong tetap utuh sehingga mampumenekan kontaminasi aflatoxin meskipun suhu tanahberada pada kisaran optimal untuk produksi aflatoxin.

Keadaan fisik polong dan biji. Biji rusak atau yangmasih muda (keriput) mempunyai kandungan aflatoxinlebih tinggi daripada biji utuh maupun sudah matang panen(Rahmianna et al. 2015). Sanders et al. (1993) melaporkanbahwa pada kondisi terdera kekeringan dan suhulingkungan yang tinggi maka kontaminasi aflatoxin terjadilebih awal dan pada tingkat yang lebih parah terjadi padabiji muda. Hal ini karena pada kondisi kekeringan dantercekam suhu tinggi mekanisme resistensi biji muda

tingkat kontaminasi kemungkinan disebabkan tinggi ataurendahnya kandungan air di dalam biji atau kandunganlengas di sekitar polong (Rahmianna et al. 2007a,c;Sumiyati 2009). Namun ada pula kacang tanah yangmempunyai tingkat kontaminasi tinggi, lebih dari ambangbatas aman untuk konsumsi.

Pengamatan menunjukkan kacang tanah di pedagangpengecer, satu mata rantai yang sudah mendekatikonsumen akhir, terkontaminasi aflatoxin dalam kadaryang tinggi. Fakta ini menunjukkan besarnya peluangkontaminasi aflatoxin pada proses penyimpanan danselama dalam jalur pemasaran dari pedagang pengumpulsampai ke pedagang pengecer. Kontaminasi aflatoxin B1<15 ppb dari semua mata rantai perdaganganmenginformasikan bahwa semakin jauh kacang tanahbergerak dari produsen semakin rendah jumlah sampelyang rendah tingkat cemaran aflatoxinnya. Dengan katalain, semakin mendekati konsumen akhir, tingkat cemaranaflatoxin semakin tinggi (Gambar 2).

INFEKSI JAMUR ASPERGILLUS FLAVUSPADA RANTAI PERDAGANGAN

KACANG TANAH

Produksi aflatoxin diawali ketika jamur A. flavus atau A.paraciticus berhasil masuk ke dalam polong melalui lukamakro maupun mikro pada kulit polong, dan menginfeksibiji. Pada periode itu jamur sebagai makhluk hidupmelaksanakan metabolisme. Jamur memproduksiaflatoxin di dalam biji dipengaruhi oleh komposisi genetikindividu isolat jamur, komposisi substrat, organismekompetitor, kadar air biji maupun kelembaban relatif dansuhu lingkungan sekitar biji (Pettit 1984). Aspergillus flavusoptimum menghasilkan aflatoxin pada kadar air substrat15-30%, suhu 25-30oC dan kelembaban nisbi 85% (Wrightdan Cruickshank 1999).

Infeksi prapanen

Jamur A. flavus adalah jamur tular tanah, sehinggainfeksinya pada polong kacang tanah sangat mungkinterjadi ketika polong masih berada di lapang (infeksiprapanen). Selain menginfeksi polong, jamur jugamenginfeksi tanaman dengan gejala umum daunmenguning dan mengalami klorosis, kemudian layu,mengering dan tanaman ditumbuhi miselia berwarna coklatatau hitam dengan spora-spora kuning kehijauan(Mohammed dan Chala 2014). Faktor-faktor pemicu

d k i fl t i l h j A fl d l h

Gambar 2. Tingkat keamanan kacang tanah ditinjau dari cemaranaflatoxin B1 ≤15 ppb pada mata rantai utamaperdagangan kacang tanah (Sumber: Dharmaputra etal. 2005a, Dharmaputra et al. 2007, Rahmianna et al.2007c).

Infeksi Pascapanen

Pada mata rantai penebas, pedagang pengumpul hinggapedagang, faktor yang mempengaruhi infeksi jamur A.flavus adalah:

Tindakan pascapanen. Penundaan pengeringan,terutama pada musim hujan, akan memberi peluang bagipertumbuhan A. flavus menghasilkan aflatoxin. Adanyapolong/biji luka pada saat perontokan dan pengupasanbiji juga memberi peluang bagi infeksi jamur. Selamapenyimpanan, kadar air tinggi (>9%), kondisipenyimpanan yang lembab dan panas serta rendahnyasanitasi dan perlindungan ruang penyimpan akan memacukontaminasi aflatoxin (Ginting 2006).

Lama Penyimpanan. Peningkatan kandunganaflatoxin sepanjang rantai perdagangan merupakanakumulasi cemaran aflatoxin mulai dari panen hingga saatitu. Hal ini disebabkan oleh: 1) sifat resistensi dari aflatoxindi dalam biji yang tidak dapat terdegradasi, dan 2)terdapatnya jamur yang tumbuh. Kondisi penyimpanandi dalam kantong plastik yang tidak kedap udara telahmenghasilkan lingkungan dengan kandungan oksigenberlimpah sehingga memacu jamur untuk memproduksiaflatoxin (Dharmaputra et al. 2006).

KONTAMINASI AFLATOXIN PADA KACANGTANAH ASAL IMPOR

Selain dari dalam negeri, pasokan kacang tanah di pasarjuga berasal dari China, India, Thailand, dan Vietnam(Dharmaputra et al. 2005b). Pengambilan sampel kacangtanah impor (diimpor dalam bentuk ose) pada berbagai

dan kemarau. Secara umum, tingkat cemaran aflatoxinB1 sangat beragam, mulai dari sangat rendah hinggasangat tinggi, baik pada saat baru tiba di pelabuhanmaupun yang sudah beredar di tingkat pengecer di pasartradisional (Tabel 2). Persentase jumlah sampel dengantingkat kontaminasi aflatoxin B1 ≤15 ppb bervariasi,umumnya kurang dari 50%. Hal ini berarti bahwa kacangtanah asal impor umumnya terkontaminasi aflatoxin padatingkat yang tidak aman bagi kesehatan (Tabel 2).

USAHA PENANGANAN KONTAMINASIAFLATOXIN

Tingkat kesadaran dan pengetahuan yang masih rendahterhadap bahaya aflatoxin, baik di tingkat petani, penebas,pedagang dan prosesor, memperbesar peluang terjadinyakontaminasi aflatoxin. Hal ini dapat dilihat dari penentuanharga di tingkat pedagang yang hanya berdasarkan mutufisik dan tidak adanya pembedaan harga jual antara polongyang baik dengan polong jelek di tingkat petani akibatsistem tebasan. Dengan demikian, dapat dipahamikekurangpedulian petani untuk menangani sendiri hasilpanennya dengan baik. Demikian pula di tingkat prosesor,terutama skala kecil, yang cenderung memilih bahan bakudengan harga yang relatif murah tanpa memper-timbangkan kualitasnya.

Dalam melindungi warga negara, pemerintah melaluikementerian teknis telah menghasilkan teknologipenanganan komoditas bebas atau rendah aflatoxin. Untukmenurunkan risiko kontaminasi aflatoxin pada kacangtanah di Indonesia, telah dirumuskan serangkaianpengelolaan mulai dari pra hingga pascapanen. Intinya

Tabel 2. Tingkat kontaminasi aflatoxin B1 pada beragam mata rantai perdagangan kacang tanah asal impor.

Jumlah sampel denganRantai perdagangan Kota Jumlah sampel Tingkat cemaran kadar aflatoxin B1 ≤15

aflatoxin ppb (%)

Pelabuhan Jakarta 11 4,0-167,9 36,4Importir Jakarta 6 <3,6-47,8 16,7

Bandung 6 <3,6-798,3 33,4Wholesaler Bogor 4 <3,6-38,8 50,0

Cianjur 2 <3,6-4,2 0Jakarta 15 <3,6-167,2 20,0Bandung 7 <3,6-117,5 57,1

Pedagang pengecer Bogor 6 <3,6-330,2 16,7di pasar tradisional Cianjur 15 7,2-100,5 46,7

Cipanas 4 <3,6-279,9 25,0Jakarta 2 <3,6-25,3 50,0

kekeringan, kelembaban tanah optimal selama akhir masapertumbuhan tanaman, budi daya tanaman sehat, dansaat panen yang tepat. Berhubungan dengan pascapanenyaitu saat mencabut tanaman, perontokan (pemisahanpolong dari tanaman), sortasi/pembersihan sisa-sisatanaman maupun material lain dan pengeringan polong(Rahmianna et al. 2007b). Berhubungan denganpenyimpanan, maka dianjurkan biji kacang tanahmempunyai kadar air biji rendah (10%) dan konsentrasioksigen rendah di sekitar biji dalam kemasan(Dharmaputra et al. 2006).

Pengolahan kacang ose menjadi produk olahan dapatmenurunkan tingkat kontaminasi aflatoxin. Misal, ekstraksiminyak dari kacang tanah dapat menurunkan kandunganaflatoxin sebanyak 47,1-77,6% (Fardiaz 1997). Pembuatantempe kacang dengan fermentasi menggunakan jamurRhizopus oligosporus (bungkil kacang hitam) danNeurospora sitophila (bungkil kacang oranye) menurunkankontaminasi aflatoxin masing-masing 70-86,6% dan 50-58,9% (Fardiaz 1997, Machmud 1989). Studi semacamini diperlukan untuk mengontrol aflatoxin selama prosespengolahan pangan karena aflatoxin tahan panas, tidaklarut dalam air, tidak berwarna dan tidak berbau, sehinggatidak dapat dihilangkan 100% selama proses pengolahanpangan. Sebaliknya, produk yang dibuat dari kacang tanahyang dipanen dari petani yang menerapkan cara budi dayaanjuran atau ose berkualitas bagus dari pasar lokalmengandung aflatoxin B1 <20 ppb (Ginting 2006). Produkyang demikian aman dikonsumsi. Oleh karena itu sangatdianjurkan menggunakan bahan baku kacang tanah yangbermutu tinggi.

STRATEGI PEMERINTAH MENEKANBAHAYA AFLATOXIN

Peraturan Pemerintah

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bermuarapada rendahnya tingkat cemaran aflatoxin pada produkmakanan dalam rangka menyediakan pangan yang aman.Batasan kadar aflatoxin telah ditetapkan oleh pemerintah.Secara spesifik, Badan Pengawas Obat dan Makanantelah menetapkan ambang batas cemaran aflatoxin B1pada kacang tanah dan produk olahannya sebesar 20µg/kg (ppb = part per billion) (SK Kepala Badan POM NoHK.00.05.1.4057 tahun 2004), dan pada tahun 2009diperbaiki menjadi maksimum 15 ppb untuk aflatoxin B1dan 20 ppb untuk total aflatoxin pada produk olahankacang tanah (Peraturan Kepala Badan POM Nomor

di pasaran dan aman dikonsumsi. Banyak negara yangtelah menetapkan ambang batas dalam rangka melindungiwarganya. Misal Amerika Serikat menetapkan ambangmaksimum sebesar 20 µg/kg untuk makanan, 0,5 µg/kguntuk susu, dan 300 µg/kg untuk jagung dan biji kapassebagai pakan (Klich 2007). Codex AlimentariusCommision FAO menetapkan batasan 15 ppb untuk totalaflatoxin (B1, B2, G1 and G2) pada biji kacang tanah yangdiproses lebih lanjut, sementara negara-negara Uni Eropasangat ketat menerapkan batasan 4 ppb untuk totalaflatoxin dan 2 ppb aflatoxin B1 untuk kacang tanah yangsiap dikonsumsi (Murphy et al. 2006). Peraturanmengenai ambang batas maksimum cemaran aflatoxintotal dalam makanan yang bervariasi antarnegaramengindikasikan perbedaan toleransi cemaran yangdiperbolehkan untuk dikonsumsi.

Penelitian/Pelatihan/Pembinaan/Penyuluhan

Dunia ilmiah telah memulai penelitian kontaminasiaflatoxin sejak tahun 1960an dan telah berhasilmendokumentasikan tiga faktor yang berperan pentingdalam produksi dan peningkatan kontaminasi aflatoxin,yaitu cekaman kekeringan, suhu tanah di sekitar polongyang tinggi, dan polong rusak. Penelitian kemudianbergerak pada pengembangan metode skrining danidentifikasi sumber ketahanan tanaman kacang tanahterhadap infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoxin yangdigunakan sebagai landasan program pemuliaan tanamanuntuk mengembangkan galur-galur harapan denganpotensi hasil tinggi dan rendah cemaran aflatoxin.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengantarpeneliti menggunakan pendekatan genetika molekuleruntuk menurunkan kontaminasi aflatoxin (Holbrook et al.2008).

Bahaya aflatoxin sudah disadari oleh berbagaikalangan. Para ilmuwan Indonesia telah meneliti aflatoxinpada tahun 1969. Penelitian awalnya fokus pada (1) surveiinvasi dan infeksi jamur A. flavus dan cemaran aflatoxin,(2) pencegahan produksi aflatoxin pada kacang tanah,dan (3) kajian hubungan antara kandungan aflatoxin dalammakanan dan manusia, terutama dalam insiden kankerhati (Husaini et al. 1974 dalam Machmud 1989). Datatingkat cemaran aflatoxin pada beragam produk olahanberbahan baku kacang tanah dari berbagai mata rantaiperdagangan sudah tersedia. Melalui penelitian antara laintelah dirakitnya varietas unggul kacang tanah yangmempunyai ketahanan terhadap cekaman kekeringanpada fase generatif, penyakit daun, infeksi jamur A. flavus

f

kacang tanah untuk menurunkan tingkat kontaminasiaflatoxin juga sudah didapatkan. Dari dunia kedokteran,sudah semakin jelas bahwa aflatoxin berhubungan eratdengan penurunan imunitas tubuh, dan insiden kankerhati. Hingga saat ini masih banyak peneliti yang menelitikontaminasi aflatoxin karena besarnya kerugian ekonomidan kesehatan yang ditimbulkannya.

Standar Mutu

Di Indonesia, semua bahan pangan yang diperdagangkanharus memenuhi standar yang telah ditetapkan.Pemerintah telah menetapkan standar mutu fisik untukkacang tanah yang dapat diperdagangkan dalam bentukpolong (gelondong) maupun ose (biji). Standar mutu yangtertuang dalam Standar Nasional Indonesia tahun 1995hanya mengatur mutu fisik (Tabel 3 dan 4). Dari keduastandar mutu fisik polong dan biji, diisyaratkan bahwakacang tanah yang diperdagangkan harus bermutu tinggiyaitu utuh, kadar air rendah, dan bebas dari kotoran.

KESIMPULAN

Aflatoxin yang diindikasi sebagai salah satu senyawapenyebab kanker hati, masuk ke dalam tubuh manusiadan mengendap di dalam hati setelah mengkonsumsi

penyimpanan dan transportasi biji sebagai komoditasperdagangan harus dilakukan dengan tepat dan cepat.

Teknologi pengelolaan prapanen, pascapanenmaupun pengolahan kacang tanah untuk menekan ataumengatasi kontaminasi aflatoxin B1 pada kacang tanahtelah dihasilkan. Namun aplikasi di lapang masih sangatterbatas karena belum adanya insentif untuk produk yangaman dan bersih dari kontaminasi aflatoxin. Edukasitentang aflatoxin, cara penanganan, dan cara memilihbahan baku dengan mutu yang baik kepada setiap aktordi setiap mata rantai perdagangan harus terus dilakukanbahkan perlu digalakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H., J. Wilkinson, R.M. Zablotowicz, C. Accinelli,C. Abel, H. Bruns, and M. Weaver. 2009. Ecology ofAspergillus flavus, regulation of aflatoxin production,and management strategies to reduce aflatoxincontamination of corn. Toxin Reviews, 28: 142-153.

Abdalla, M.S., A. Saad-Hussein, W.G. Shousha, G.Moubarz, and A.H. Mohamed. 2014. Hepatotoxiceffects of aflatoxin in workers exposed to wheat flourdust. Egyptian Journal of Environmental Research2: 51-56.

Amaike, S. and N.P. Keller. 2011. Aspergillus flavus.Annual Review of Phytopathology, 49: 107-133.

Bahri, S., R. Maryam, dan R. Widiastuti. 2005. Cemaranaflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapadaerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV, 10(3): 236-241.

Bankole, S.A., B.M. Ogunsanwo, and D.A. Eseigbe.2005. Aflatoxins in Nigerian dry-roasted groundnuts.Food Chemistry, 89: 503-506.

Bhatnagar, D., J. Cary, K. Ehrlich, J. Yu, and T. Cleveland.2006. Understanding the genetics of regulation ofaflatoxin production and Aspergillus flavusdevelopment. Mycopathologia, 162: 155-166.

Damardjati, D.S., R. Mudjisihono, Suparyono, P.K. Utami,E. Soeprapto, dan Roestamsyah. 1979. Polapenanganan lepas panen dan hubungannya dengankontaminasi Aspergillus sp pada kacang tanah segardi beberapa daerah di Jawa. Hlm: 103-115.Proceedings Seminar Teknologi Pangan IV tanggal16-17 Mei 1979. Balai Penelitian Kimia. DepartemenPerindustrian. Bogor.

Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, and S. Ambarwati. 2006.

jI II III

Kadar air (maksimum) % 8 9 9Kotoran (maksimum) % 1 2 3Polong keriput (maksimum) % 2 3 4Polong rusak (maksimum) % 0,5 1 2Polong berbiji satu (maksimum) % 3 4 5Rendemen (maksimum) % 65 62,5 60

Sumber: SNI (1995)

Tabel 4. Standar mutu fisik biji kacang tanah (ose).

Persyaratan mutuJenis uji Satuan

I II III

Kadar air (maksimum) % 6 7 8Butir rusak (maksimum) % 0 1 2Butir belah (maksimum) % 1 5 10Butir warna (maksimum) % 0 2 3Kotoran (maksimum) % 0 0,5 3Diameter (maksimum) mm 8 7 6

Sumber: SNI (1995)

Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, and S. Ambarwati. 2007.Aspergillus flavus infection and aflatoxincontamination in peanuts at various stages of thedelivery chain in Wonogiri regency, Central Java,Indonesia. Biotropia, 14(2): 9-21.

Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, S. Ambarwati, and E.Maysra. 2005a. Aspergillus flavus infection andaflatoxin contamination in peanuts at various stagesof the delivery chain in Cianjur regency, West Java,Indonesia. Biotropia, 24: 1-19.

Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, S. Ambarwati, and E.Maysra. 2005b. Aspergillus flavus infection andaflatoxin contamination in imported peanuts at variousstages of the delivery chain in West Java, Indonesia.Paper presented at the 1st International Conferenceof Crop Security 2005. Malang, Indonesia 20-27September 2005.

Fardiaz, D. 1997. Mycotoxin contamination of grains – areview of research in Indonesia. Proc. of the 17th

ASEAN technical seminar on Grain Post-harvestTechnology in Lumut, Perak Malaysia AGPP.Bangkok. p 112-119.

Ginting, E. 2006. Mutu dan kandungan aflatoksin bijikacang tanah varietas Kancil dan Mahesa yangdisimpan dalam beberapa jenis bahan pengemas.Jurnal Agrikultura, 17(3):165-172.

Ginting, E., and A.A. Rahmianna. 2015. Infection ofAspergillus flavus and physical quality of peanutscollected from farmers, local merkets, andprocessors. Procedia Food Science, 3: 280-288.

Guo, B., J. Yu, C.C. Holbrook, T.E. Cleveland, W.C.Nierman, and B.T. Scully. 2009. Strategies inprevention of preharvest aflatoxin contamination inpeanuts: Aflatoxin biosynthesis, genetics andgenomics. Peanut Science 36: 11-20.

Holbrook, C.C., P. Ozias-Akins, P. Timper, D.M. wilson,E. Cantonwine, B.Z. Guo, D.G. Sullivan, and W.Dong. 2008. Reseach from the Coastal PlainExperiment Station, Tifton, Georgia, to minimizeaflatoxin contamination in peanut. Toxin Review,27(3&4): 391-410.

Jha, A., R. Krithika, D. Manjeet, and R.J. Verma. 2013.Protective effect of black tea infusion on aflatoxin-induced hepatotoxicity in mice. Journal of Clinicaland Experimental Hepatology 3(1): 29-36.

Klich, M.A. 2007. Aspergillus flavus: the major producerof aflatoxin. Molecular Plant Pathology, 8, 713-722.

191.Lewis, L., M. Onsongo, H. Njapau, H. Schurz-rogers, G.

Luber, S. Kieszak, J. Nyamongo, L. Backer, A.M.Dahiye, A. Misore, K. Decock, and C. Rubin. 2005.Aflatoxin contamination of commercial maizeproducts during an outbreak of acute aflatoxicosisin Eastern and Central Kenya. Environ HealthPerspect, 113.

Lilieanny, O.S. Dharmaputra, and A.S.R. Putri. 2005.Population of storage mould and aflatoxin contentof processed peanut products. Indonesian Journalof Microbiology, (10)1: 17-20.

Mahmud, M. 1989. Groundnut aflatoxin problems inIndonesia. p. 215-222. In D. McDonald dan V.K.Mehan (ed). Proceedings of the InternationalWorkshop on Aflatoxin Contamination of Groundnuts.ICRISAT, Patancheru, India, 6-9 October 1987.

Mobeen, A.K., A. Aflab, A. Asif, and A.S. Zuzzer. 2011.Aflatoxin B1 and B2 contamination of peanut andpeanut products and subsequent microwavedetoxification. J. Pharm. Nutr. Sci. 1(1):1-3.

Mohammed, A., and A. Chala. 2014. Incidence ofAspergillus contamination of groundnut (Arachishypogaea L.) in Eastern Ethiopia. African Journal ofMicrobiology Research, 8(8): 759-765.

Murphy, P.A., S. Hendrich, C. Landgren, and C.M. Pryant.2006. Food mycotoxins: An update. Journal of FoodScience, 71(5):R51-R65.

Mutegi, C.K., J.M. Wagacha, M.E. Christie, J. Kimani,and L. Karanja. 2013. Effect of storage conditionson quality and aflatoxin contamination of peanuts(Arachis hypogaea L.). International Journal ofAgricultural Science, 3(10): 746-758.

Paramawati, R., R.W. Arief dan S. Triwahyudi. 2006.Upaya menurunkan kontaminasi aflatoksin B1 padakacang tanah dengan teknologi pascapanen (Studikasus di Lampung). Jurnal Enjiniring Pertanian,4(1):1-8.

Payne, G.A. and W.M. Hagler. 1983. Effect of specificamino acids on growth and aflatoxin production byAspergillus parasiticus and Aspergillus flavus indefined media. Applied and EnvironmentalMicrobiology, 46, 805-812.

Pettit, R.E. 1984. Yellow mold and aflatoxin. P. 35-36.In: D.M. Porter et al. (Eds.). Compendium of PeanutDiseases. The Amer., Phytophatological Soc.

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(3):206-211.

Rahmianna, A.A., A. Taufiq, dan E. Yusnawan. 2007b.Effect of harvest timing and postharvest storageconditions on aflatoxin contamination in groundnutsharvested from Wonogiri regency in Indonesia. SATeJournal 5: 1-3.

Rahmianna, A.A, E. Ginting, dan E. Yusnawan. 2007c.Cemaran aflatoxin B1 pada kacang tanah yangdiperdagangkan di sentra produksi Banjarnegara.Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(2):137-144.

Rahmianna, A.A., J. Purnomo, dan E. Yusnawan. 2015.Assessment of groundnut varietal tolerant to aflatoxincontamination in Indonesia. Procedia Food Science,3: 330-339.

Rasyid, A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hatihepato seluler (hepatoma). Majalah KedokteranNusantara 2006, 39(2):100-103

Rubak, Y.T. 2011. Tingkat kontaminasi aflatoksin B1 padaproduk olahan jagung dan kacang tanah diKabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan (NTT).Media Exata, 11(1): 6 hlm.

Sanders, T.H., R.J. Cole, P.D. Blakenship, and J.W.Dorner. 1993. Aflatoxin contamination of peanut from

g1995. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 7p.

Sumiyati. 2009. Studi tentang Aspergillus flavus danaflatoksin pada tahap budi daya kacang tanah daribeberapa lokasi lahan kering di KabupatenKaranganyar. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi,6(2): 91-98.

Tjindarbumi, D. dan R. Mangunkusumo. 2002. Cancer inIndonesia, Present and Future. Jpn J Clin Oncol 32:S17-S21 (Supplement 1).

Waliyar, F., M. Osiru, B.R. Ntare, K.V.K. Kumar, H.Sudini, A. Traore, and B. Diarra. 2015. Post-harvestmanagement of aflatoxin contamination in groundnut.World Mycotoxin Journal 8(2): 245-252.

Wotton, H.R., and R.N. Strange. 1985. Circumstantialevidence for phytoalexin in involvement in therisistance of peanut to Aspergillus flavus. J. GeneralMicrobiol., 131: 487-494.

Wright, G.M. and A.L. Cruickshank. 1999. Agronomic,genetic and crop modeling strategies to minimizeaflatoxin contamination in peanuts. p. 12-17. In. R.G.Dietzgen (Eds.). Elimination of AflatoxinContamination in Peanut. ACIAR Proceeding No. 89.Canberra.

SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG

39

Determinan Agronomis Produktivitas Jagung(The Agronomic Factors Determining Maize Productivity)

Sutoro

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJl. Tentara Pelajar 3A BogorE-mail: [email protected]

Naskah diterima 4 Mei 2015 dan disetujui diterbitkan 20 Mei 2015

ABSTRACT

The national maize productivity is lower than its genetic potential of the variety. Maize yields varied amongregions, due to differences of the technological practices, which mainly included seed quality and varietyplanted by farmers, rate of fertilizers and the availability of soil moisture. Productivity could be optimized byplanting hybrid variety and supplying nutrients through fertilization and providing adequate soil moisture.Open pollinated variety was reported as more suitable for the suboptimum environment. To mitigate theclimatic changes which were difficult to predict, proper cultivation techniques and water conservation werethe determinant keys for increasing maize productivity. General climatic condition was not a limiting factorfor producing maize in Indonesia. Expansion of planted area could be carried out on almost all kinds offarm-lands, provided the three determinant yield factors were implemented. When those program wasimplemented, it was suggested that Indonesia would reach self sufficiency in maize production.Keywords: Maize, productivity, hybrid variety, fertilization, irrigation.

ABSTRAK

Produktivitas jagung nasional masih jauh dari potensi genetik dari varietas unggul yang ada. Hasil jagungberagam antar wilayah, disebabkan oleh perbedaan tingkat kemajuan teknologi budidaya yang mencakupkomponen benih dan varietas yang ditanam, penggunaan pupuk, dan pengelolaan air. Produktivitas jagungdapat ditingkatkan melalui penanaman varietas unggul berupa varietas jagung hibrida yang adaptif disertaipenyediaan hara secara optimal dan kelembaban tanah yang cukup, serta penanaman varietas unggulbersari bebas untuk lahan suboptimal. Untuk menghadapi perubahan iklim yang sulit diprediksi, teknikbudidaya dan konservasi air menjadi kunci penentu keberhasilan dalam peningkatan produktivitas jagung.Iklim Indonesia tidak menjadi hambatan dalam usaha produksi jagung, sehingga perluasan areal tanamdapat dilakukan pada segala jenis lahan pertanian, asalkan dibarengi oleh penerapan tiga komponen produksitersebut. Apabila hal itu dapat dilaksanakan, akan dapat menjadikan Indonesia berswasembada jagung.Kata kunci: jagung, produktivitas, varietas, pemupukan, pengairan.

PENDAHULUAN

Jagung secara historis merupakan tanaman bahan pangan.Di Amerika Tengah, jagung menjadi pangan pokok bangsaMaya sejak 5.000 SM (Jugenheimer 1975). Hingga akhir abad-19 penggunaan jagung tetap sebagai pangan, terutama diAmerika Selatan, Asia, dan negara-negara Afrika. Biji jagungmengandung karbohidrat (75%), protein (8-9%), dan minyak(5%) yang tinggi, sehingga mulai abad ke-20 jagung telahberubah menjadi komoditas multiguna. Dari total produksijagung dunia pada tahun 2009 sekitar 709 juta ton, 472 jutaton atau 66% di antaranya digunakan untuk pakan, 20% diolah

dalam industri, dan 14% sebagai pangan manusia (Orenstein2010). Di Amerika Serikat sejak 2007 sebanyak 83 juta tonbiji jagung diolah menjadi ethanol sebagai bahan bioenergidan kecenderungan penggunaannya terus meningkat(Assadourian 2007, Orenstein 2010). Di Asia, total produksijagung sekitar 180 juta ton, terbesar di China (140,4 juta ton)dan India (14,7 juta ton) sedangkan Indonesia menurut dataUSDA-FAS (2008) hanya memproduksi 6,8 juta ton per tahun.Menurut data BPS (2014) produksi jagung di Indonesiamencapai 17 juta ton per tahun. Penggunaan jagung di Asia,termasuk Indonesia, selain untuk industri pakan juga sebagaibahan pangan.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

40

Walaupun hasil penelitian jagung di Indonesia dapatmenghasilkan 10-11 t/ha, namum produktivitas di lahanpetani sangat beragam, berkisar antara 3,2-8 t/ha (Yasinet al. 2014, Girsang et al. 2010). Produktivitas jagungnasional pada tahun 2014 menurut data BPS adalah 4,8t/ha. Secara empiris keragaman produktivitas jagungantarwilayah di Indonesia dan antarpetani disebabkan olehperbedaan penerapan teknologi budi daya yang mencakupbenih, varietas, pupuk, dan pengelolaan air. Di Indonesiawilayah tengah dan barat, usahatani jagung padaumumnya dilakukan secara komersil, menggunakanbenih varietas hibrida, pupuk anorganik dan suplementasipengairan pada musim kemarau. Akan tetapi di wilayahtimur, jagung sebagian besar merupakan komponenusahatani subsistensi, menggunakan benih varietas lokal,pemupukan minimal atau pupuk organik dosis rendah dansumber air sepenuhnya berasal dari hujan.

Kebutuhan jagung untuk industri pakan yang terusberkembang, mengakibatkan Indonesia mengimporjagung 1-3 juta ton per tahun, terutama untuk memenuhikebutuhan industri pakan. Hal ini menunjukkan pangsapasar jagung di dalam negeri masih terbuka, di sampingpeluang ekspor juga cukup besar karena terjadinyapengurangan stok jagung dunia untuk industri ethanol.

Sistem produksi jagung di Indonesia, seperti juga dinegara-negara Asia, masih menunjukkan dikotomi dalamhal teknik produksi dan status usahataninya, sepertiterlihat pada Tabel 1.

Kedua sistem usahatani tersebut tetap memerlukanupaya peningkatan produktivitas mencapai optimal, agardiperoleh efisiensi produksi, peningkatan pendapatan, dantercukupinya kebutuhan pangan pokok. Pencapaianproduktivitas optimal jagung sangat penting karenasempitnya pemilikan lahan petani, dan secara nasionaljuga terbatasnya ketersediaan lahan. Sebagai komoditasperdagangan internasional, harga jagung dalam negerisangat dipengaruhi harga di pasar internasional. Untuk dapatbersaing dengan harga jagung impor dan pasar bebaswilayah Asean, produktivitas jagung dalam negeri haruslebih tinggi dibanding produktivitas di negara tetanggadengan biaya produksi yang sebanding atau lebih rendah.

Walaupun teknologi anjuran jagung telah tersedia,petani menerapkan teknologi yang beragam. Hal iniberkaitan dengan kemampuan modal usahatani dankebiasaan individu petani dalam praktek usahatani.Kepemilikan lahan yang sempit mendorong petanimembeli dan mengaplikasikan pupuk, terutama nitrogen,yang lebih banyak dari dosis yang dianjurkan. Di sampingmenurunkan efisiensi produksi, hal ini juga memboroskanpenggunaan pupuk yang mendapat subsidi daripemerintah. Dosis pupuk mendasarkan pada pendekatanpengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL) atau site spesific

nutrient management (SSNM) dilaporkan mampumeningkatkan produktivitas dan efisiensi pemupukan(Murni et al. 2010, Syaffrudin et al. 2007). Tingkatkelembaban tanah sering menjadi pembatas produktivitasjagung pada musim kemarau. Dengan memberikansuplementasi irigasi atau pengaturan rotasi tanaman,tanam jagung yang dilakukan lebih awal dapat mencegahtanaman dari cekaman kekeringan (Oseni andMasarirambi 2011, Hadijah 2010).

Makalah ini menelisik faktor determinan atau penentuutama produktivitas optimal jagung, mencakup varietas,pupuk, dan kelembaban tanah untuk memperolehinformasi guna penyediaan teknologi yang sesuai dengankondisi setempat.

FAKTOR PENENTU PRODUKTIVITASJAGUNG DI INDONESIA

Produktivitas jagung ditentukan oleh kualitas lingkungantumbuh dan varietas yang ditanam. Hal ini terjadi karenaadanya pengaruh interaksi antara genotipe denganlingkungan. Secara umum, iklim sangat menentukanpertumbuhan tanaman, terutama suhu, curah hujan, danintensitas cahaya matahari. Dari aspek iklim, hampirseluruh wilayah di Indonesia sesuai untuk memproduksijagung. Ketersediaan hara tanah untuk pertumbuhantanaman jagung juga sangat menentukan keberhasilan

Tabel 1. Dikotomi sistem produksi jagung di Indonesia.

Komponen pembeda Usahatani Usahatanisubsisten komersial

1. Cara/teknik produksi Tradisional Mengadopsi SOPmaju

2. Penggunaan oleh Bahan pangan Dijual, untuk pakanpetani

3. Wilayah produksi Lahan marjinal Lahan subur4. Benih dan varietas Asalan, varietas Bersertifikat,

lokal atau hibridavarietas bersaribebas, sintetik

5. Pelaku usaha Petani miskin Petani pengusaha6. Penggunaan saran Minimal atau Pupuk anorganik

produksi tanpa tinggi7. Pengairan Curah hujan Suplementasi

sewaktu irigasi8. Pendorong usaha Kebutuhan pangan, Perkembangan

penambahan industri pakan danpenduduk ekspor

9. Peran swasta minimal Besar dan dinamis10. Peran pemerintah besar kecil11. Penghambat usaha Faktor alam Harga sarana dan

harga jual produk12. Perbaikan usaha Stabilitas hasil Efisiensi produksi

panen

Diadopsi dari Falcon (2008).

SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG

41

budi daya jagung (Syafruddin et al. 2006. Banyak faktoryang menentukan produktivitas optimal jagung. Faktorlain yang mempengaruhi hasil jagung yaitu kecukupanhara yang diperoleh dari pemberian pupuk, pengendalianhama penyakit dan penyiangan, serta kelembaban tanah(Syafruddin et al. 2006, Aqil et al. 2007, Ahmed et al.2011).

Produksi jagung di Indonesia belum dapat memenuhikebutuhan nasional karena beberapa faktor, di antaranyarendahnya produktivitas, berkisar antara 4-5 t/ha, luasarea pertanaman relatif sempit karena kalah bersaingdengan komoditas ekonomis lainnya. Faktor iklim dibeberapa wilayah seperti NTT, dan tingkat kesuburan tanahtidak menunjang pertumbuhan tanaman. Pertumbuhanjagung dapat optimal apabila kelembaban tanah cukupyang dapat mendukung proses penyerapan hara secaraoptimal dan terhambatnya hara yang bersifat toksik bagitanaman. Kandungan bahan organik dalam tanahmempengaruhi tingkat serapan hara oleh tanaman daridalam tanah, baik yang berasal dari pupuk maupunmineral tanah (Kasno et al. 2006).

Teknologi budi daya jagung yang dapat memberikanproduktivitas tinggi harus bersifat operasional dan layakditerapkan petani. Kelembaban tanah berperan pentingsebagai determinan produktivitas (Aqil et al. 2007, Oseniand Masarirambi 2011, Djaman et al. 2013). Pada polatanam padi-jagung di lahan irigasi, tanaman jagung lebihmudah mendapatkan air tetapi petani lebih suka menanampadi, karena lebih menguntungkan (Bahtiar et al. 2010)a

Teknologi produksi jagung sangat beragam,bergantung pada orientasi produksi, kondisi lahan, dankemampuan petani dapat digolongkan menjadi empatkelas, bergantung kualitas lingkungan dan teknik budidaya (Zubactirodin et al. 2007), yaitu: 1) sangat rendahpada usahatani tradisional-subsisten; 2) rendah padalahan kering dengan input suboptimal; 3) tinggi pada lahankering dengan input medium; dan 4) sangat tinggi padausahatani jagung komersial. Produktivitas jagung di lahanpetani menunjukkan keragaman yang sangat besar,walaupun dapat dioptimalkan pada kisaran 6-7 t/ha. Dilahan yang diusahakan secara subsisten, produktivitasjagung masih rendah. Pertanian subsisten secara umummenggunakan masukan sarana produksi (input) rendahyang berasal dari bahan yang tersedia di lokasi usahatani,yaitu benih dari hasil panen musim tanam sebelumnya,pupuk kandang dosis rendah, dan pengelolaan tanamansecara tradisional. Dengan teknologi input rendahtersebut, hasil jagung hanya sekitar 2 t/ha. Denganteknologi budi daya baku, hasil jagung dapat mencapai9-10 t/ha (Syafruddin et al. 2007).

PERAN VARIETAS

Produktivitas jagung sangat dipengaruhi oleh mutu genetikvarietas yang ditanam (Yasin et al. 2010). Varietas ungguljagung dapat berbentuk varietas bersari bebas dan varietashibrida. Varietas jagung hibrida memiliki potensi hasil lebihtinggi daripada jagung bersari bebas, karena adanya efekheterosis dari gen-gen penyusun hibrida. Tingkatproduktivitas varietas bersari bebas dan hibrida dipengaruhioleh adaptabilitas masing-masing varietas. Tingkatadaptabilitas bergantung pada proses seleksi varietastersebut (Sutoro 2007). Jagung hibrida maupun jagungkomposit yang bersifat adaptif pada lahan spesifik sangatdiperlukan untuk menunjang peningkatan produksi padalahan tertentu.

Budi daya jagung di Indonesia mengalami evolusi limatahapan sebagai berikut (Mejaya et al. 2010, Hermantoet al. 2009).

(1) Periode sebelum kemerdekaan, berbagai varietaslokal adaptif agroekologi setempat mendominasi areapertanaman jagung di Indonesia. Varietas lokaltersebut umumnya berasal dari hasil seleksi alamdan seleksi oleh petani, dari populasi yang tidak jelas.Varietas lokal yang terkenal antara lain ManadoKuning, Jawa Timur Kuning, Genjah Warangan,Genjah Kretek. Daya hasil varietas lokal tersebutsekitar 2,5 t/ha dan umur panen 80-85 hari.

(2) Awal kemerdekaan, 1945-1965. Dari hasil penelitiansebelum kemerdekaan, yang diteruskan pada periodeawal kemerdekaan, tersedia benih jagung varietasunggul bersari bebas atau sintetik antara lain GenjahWarangan, Perta, Metro , Bastar Kuning, Kania Putih,Harapan, Bima. Varietas tersebut dibentukmenggunakan populasi genetik yang berasal daridalam dan luar negeri dengan daya hasil 4 t/ha umurpanen 100-110 hari. Pada periode tersebut varietaslokal masih ditanam petani.

(3) Masa 1966-1985. Periode ini ditandai oleh tersedianyavarietas unggul bersari bebas yang daya hasilnyamencapai 5 t/ha, dibarengi tersedianya pupuk ureadan ZA di semua wilayah di Indonesia.Tingkat adopsivarietas unggul dan pemupukan urea semakin meluasdan varietas lokal semakin terdesak. Varietas yangterkenal pada masa itu antara lain Bisma, Pandu,Bayu, Bogor Composit-2, dan Arjuna.

(4) Periode awal adopsi hibrida, 1986-2000. Pada periodeini penggunaan pupuk urea dan ZA sudah meluas olehhampir semua petani jagung. Varietas jagung hibridamulai diperkenalkan dan diadopsi petani. Di sentraproduksi jagung seperti Jawa Timur, Jawa Tengah,Lampung, dan Sumatera Utara, petani mulaimengadopsi varietas hibrida, seperti Pioner-1, CPI-1,

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

42

PERAN PUPUK

Sifat fisik dan kimia tanah yang dapat menunjangpertumbuhan jagung adalah bertekstur gembur (ringan)dengan drainase yang baik dan mengandung hara yangcukup. Pada tanah bertekstur berat diperlukan pemberianbahan organik berupa pupuk kandang atau pupuk organikuntuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Ofor et al.2009). Sistem pertanaman intercropping jagung-glirisidiadilaporkan sebagai alternatif perbaikan kesuburan tanah(Akinnifesi et al. 2006).

Kandungan N tanah merupakan faktor penting yangmenentukan produktivitas jagung (Gentry et al. 2013).Jagung memerlukan hara N cukup banyak. Selain pupukN anorganik, pupuk kandang dapat digunakan sebagaisuplementasi sumber N (Amaral et al. 2015). Jenis tanahmempengaruhi serapan hara oleh tanaman jagung, tetapijenis tanah bukan merupakan faktor penentu hasil jagung,selama pengelolaan lapangan memadai (Li et al. 2012).Dinamika kesuburan tanah dalam budi daya jagungmenunjukkan kandungan C organik, total N, K, Ca dan Mgdipengaruhi oleh lamanya pertanaman jagung di lapangan(Agreda 2005). Produktivitas jagung pada pola jagung-jagung di lahan yang berproduktivitas tinggi dan cekamanrendah tidak terjadi penurunan hasil (Porter et al. 1997).Pada pertanaman jagung terus-menerus sepanjang tahun,menurun dibandingkan dengan pertanaman jagung yangdirotasi dengan kedelai (Doerge 2007).

Faktor penentu produktivitas jagung terutama adalahketersediaan hara N, P, K dan unsur mikro. Pemberianpupuk N dengan dosis sedang mengakibatkan kehilanganhasil 10-22%, tanpa pupuk K menurunkan hasil 13%,tanpa pupuk fosfat dan tanpa Zn dan Mn menurunan hasil10-12% (Subedi and Ma 2009). Syafruddin et al. (2006),menyatakan bahwa pupuk nitrogen menjadi determinanhasil jagung yang tinggi pada tanah Inceptisol di Bone.Pemupukan lengkap NPK pada jagung dengan dosissedang (67,5 kg N + 45 kg P2O5 + 30 kg K2O) memberihasil 7,3 t/ha, sedangkan tanpa N dengan dosis P dan Kyang sama hanya memberi hasil 3,4 t/ha. Hasil jagungdari perlakuan penambahan N menjadi 135 kg/ha padadosis P dan K yang sama memberikan hasil 7,97 t/ha,atau hanya meningkat 0,67 t/ha. Pemupukan N berlebihanmenurunkan efisiensi agronomis pupuk dan menekanrecovery hara P. Oleh karena itu, jumlah pupuk yangdiberikan perlu memperhatikan tingkat kesuburan tanah.Untuk menghasilkan setiap 1.000 kg jagung, serapan harayang terakumulasi pada tanaman bagian atas 17-20 kg N,3-4,5 kg P, and 15-16 kg K (XinpengXu et al. 2013).Serapan hara oleh tanaman jagung yang tumbuh suburmencapai 114 kg N, 51 kg P, dan 66 kg K/ha (Kasno danRostaman 2013). Pada lahan dengan kondisi N cukup,perakaran tanaman lebih berkembang sehingga laju

C-2, dan BISI-2 dengan produktivitas 6-7 t/ha. Namunpetani pada lahan kering masih banyak yangmenanam varietas unggul bersari bebas sepertiArjuna, Rama, Bisma, Lagaligo, Surya, Lamuru, danAndalas-4; yang produktivitasnya sekitar 5 t/ha.

(5) Periode adopsi varietas hibrida, 2001-2015 danselanjutnya. Sebagian besar petani telah menjadikanjagung sebagai komoditas komersial karena didorongoleh permintaan yang tinggi untuk industri pakan,tersedianya pupuk bersubsidi, dan tersedianya benihvarietas hibrida pada kios pertanian di seluruh wilayah.Bachtiar et al. (2007) berdasarkan data DirektoratPerbenihan Kementerian Pertanian melaporkanbahwa pada tahun 2005 area pertanaman jagunghibrida telah mencapai 89%, varietas bersari bebas5% dan varietas lokal 6% dari total luas panen 3,6juta ha. Walaupun data tersebut mungkin tidak akuratnamun dapat menggambarkan tingkat adopsi varietashibrida oleh petani.

Varietas unggul bersari bebas yang masih ditanampetani hingga kini antara lain Arjuna, Bisma, Kalingga,Lamuru, dan Sukmaraga, menempati lahan keringsubsisten, terutama di NTT, NTB, Maluku dan wilayahpegunungan di Jawa (Bachtiar et al. 2007). Potensi hasiljagung hibrida berkisar antara 7,7-9,2 t/ha pada musimhujan (Hipi et al. 2010). Penanaman varietas hibrida yanglebih luas mulai awal tahun 2000 dan telah berkontribusinyata terhadap kenaikan produksi jagung nasional, dari8,1 juta ton pada tahun 1995 menjadi 12,5 juta ton padatahun 2005 dan 18 juta ton pada tahun 2013 (BPS 2014).

Varietas jagung yang dipilih petani umumnyaditentukan oleh kemampuan penyediaan modal dankualitas lahan (Hadijah 2010). Rendahnya produktivitasjagung di wilayah timur Indonesia disebabkan karenapetani menanam benih turunan hibrida atau varietas bersaribebas. Pada lahan kering suboptimal, hasil jagung hibridasering lebih rendah daripada varietas bersari bebas (Taufikdan Thamrin 2009). Konstruksi gen jagung kompositbersifat stabil dari generasi ke generasi selama terjadipersilangan yang berlangsung secara acak. Hal tersebutberbeda dengan jagung hibrida yang akan berubahkonstruksi genetiknya antargenerasi, sehingga potensihasil dari benih turunan akan lebih rendah. Benih jagunghibrida memberikan hasil terbaik pada kondisi optimum.Pada kondisi kurang optimum (lahan marginal atau inputrendah), penggunaan jagung komposit lebihmenguntungkan daripada jagung hibrida (Pixley andBanziger 2001). Penggunaan varietas unggul bersaribebas mampu meningkatkan hasil 108-172%dibandingkan dengan varietas lokal (Samijan dan Prastuti2010).

SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG

43

serapan hara dan aliran melalui phloem dan xylemmeningkat (Liangzheng Xu et al. 2009).

Niehues et al. (2004) melaporkan bahwa pemberian22 kg N/ha pada tanaman jagung sebagai starter padasaat tanam tanpa olah tanah menaikkan bobot biomassadan hasil biji dibandingkan dengan total dosis pupuk Nyang sama (168 kg N/ha) yang diberikan sekali padatanaman berumur 4 minggu. Apabila proporsi pupuk Nsebagai starter lebih dari 22 kg N/ha, bobot biomassadan hasil biji tidak meningkat. Pengaruh pemberian pupukstarter bergantung pada kualitas lingkungan. Hasilpenelitian Bermudes dan Mallarino (2002) pada 11 lokasidi Iowa, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa dosis Nsebagai starter 16-27 kg N/ha dari total dosis 180 kg N/ha meningkatkan hasil jagung 200-671 kg pada tujuhlokasi, tidak berpengaruh nyata pada tiga lokasi, danmenurunkan hasil 230 kg/ha pada satu lokasi. Tingkathasil yang dicapai antarlokasi beragam, berkisar antara7,3-11,4 t/ha.

Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimiatanah. Pemberian bahan organik akan memperbaikistruktur dan tekstur tanah, menjadi lebih gembur sehinggadrainase lebih baik. Pemberian pupuk hijau Gliricidiaepada tanah Ultisol dapat mengurangi penggunaan pupukN sebanyak 75% dan penggunaan Sesbaniaa rostratameningkatkan hasil jagung 42% (Syafruddin et al. 2007).Pemberian pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapimeningatkan kandungan K pada daun tanaman jagung(Veronica 2010). Fotosintesis radiasi aktif dan hasil bijimeningkat dengan meningkatnya pemberian pupuk N danpeningkatan populasi tanaman diikuti dengan peningkatanpemberian pupuk (Mehdi 2011). Pemberian hara S yangdiimbangi oleh pupuk N mengoptimalkan serapan hara(Rahman et al. 2011). Pemberian pupuk organik dapatmeningkatkan hasil jagung, terutama pada lahan dengantekstur liat berlempung (Suratmini 2009, Singh et al.2010).

Respon jagung hibrida terhadap pemupukan Nberbeda antarlahan maupun musim (Areerak et al. 2010,Murni et al. 2010). Pemberian pupuk N dengan dosis yangtepat pada jagung hibrida mampu menghasilkan 9-12 t/ha (Syafruddin et al. 2008, Efendi et al. 2012). Efisiensipenggunaan pupuk berkisar antara 20-40 kg biji/kg N,25-45 kg biji/kg P, dan 2-13 kg biji/kg K (Girsang et al.2010, Samijan 2010). Efisiensi NPK dapat ditingkatkanmelalui inokulasi cendawan mikoriza arbuskuler (Musfaldan Jamil 2009). Pada pola tanam padi-jagung, porsipemberian pupuk jagung 50% atau lebih memberikan hasillebih tinggi dibandingkan dengan porsi pupuk untuk padilebih banyak (Faesal dan Syafruddin 2010).

PERAN KELEMBABAN TANAH DANPENGAIRAN

Faktor iklim yang sangat mempengaruhi pertumbuhandan produktivitas jagung di Indonesia curah hujan. Suhuudara menentukan pemasakan fisiologis tanaman yangsecara langsung berpengaruh terhadap hasil jagung(Elmore and Abendroth 2008). Pada dataran rendah dansedang, suhu tidak menjadi faktor pembatas. Pada lahanirigasi, perubahan iklim yang mengarah kepada cekamankekeringan pada fase pembungaan hingga pengisian bijidapat menurunkan hasil 25% (Yasin et al., 2010).Temperatur dan curah hujan mengubah ketersediaan airdan fenologi tanaman yang berdampak terhadappenurunan produktivitas tanaman (Wang et al. 2011). Iklimpendukung pertanaman jagung yang dibudidayakan padamusim hujan dan musim kemarau disajikan pada Tabel2. Varietas toleran kekeringan umumnya memiliki bobotkering akar lebih besar daripada yang peka (Efendi et al.2009).

Air sebagai bahan pelarut hara dan prosesmetabilisme sangat dibutuhkan oleh tanaman melaluiproses evapotranspirasi. Kebutuhan jagung untukevapotranspirasi 210 mm untuk 90 hari pertumbuhan dan273 mm untuk 110 hari pertumbuhan (Abdul Salam danAl Mazrooei 2006). Konsumsi air tanaman jagung berkisarantara 3,10-4,35 mm/hari (Tekwa and Bwade 2011).Kebutuhan air berbeda antara varietas jagung, bervariasiantarvarietas berkisar 2-6 mm/hari atau 411-550 mm/musim. Tingkat evapotranspirasi jagung hibrida lebih besardaripada varietas lokal terkait dengan perbedaan lajupertumbuhan dan habitus tanaman (Adeniran et al. 2010,Tekwa and Bwade 2011, Zain Ul Abideen 2014). Defisitair karena perubahan iklim meningkatkan risiko penurunanhasil jagung (Ceglar et al. 2013). Masa kritis tanamanjagung terhadap defisit air adalah pada fase pertumbuhanvegetatif dan awal generatif, tetapi pengurangan air irigasi

Tabel 2. Faktor pendukung iklim untuk pertumbuhan tanaman jagungdi Indonesia.

Waktu Faktor iklim pendukung Faktor iklim pendukungtanam hasil baik hasil buruk

Musim Tanam pada musim hujan Intensitas cahayahujan mendapatkan curah hujan matahari kurang optimal

cukup bagi pertumbuhanKelembaban yang tinggimemicu serangan hamapenyakit

Musim Tanam awal musim kemarau Ketersediaan airkemarau mendapatkan intensitas terbatas terutama pada

matahari yang cukup untuk daerah yang tidakpertumbuhan tanaman memiliki fasilitas irigasi

Diadopsi dari Elmore dan Abendroth (2008).

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

44

pada awal pertumbuhan dan masa masak biji kurangberpengaruh terhadap hasil biji (Xiukang Wang 2013).Fase pembungaan dan pengisian biji adalah masa yangpaling kritis memerlukan air. Semakin banyak air tersediasemakin banyak nitrogen dapat diabsorbsi tanaman yangberdampak terhadap tingginya hasil jagung (Xiukang Wang2013). Cekaman kekeringan berpengaruh negatif terhadappertumbuhan tanaman, pembentukan biomassa, prosesanthesis (anthesis-silking interval), pengisian biji dan hasiljagung, terutama pada masa kritis terhadap defisit air padastadia pembungaan dan proses penyerbukan (FAO 2001).Pemanfaatan air hujan dengan membuat embungmerupakan cara pengairan tanaman pada musim kemarau(Aqil et al. 2007).

Pengolahan tanah berpengaruh terhadap kandunganair tanah. Kandungan air tanah pada guludan lebih tinggidaripada lahan datar sehingga menyediakan kelembabanyang lebih baik. Pemberian mulsa juga dapatmengkonservasi air tanah dan meningkatkan hasil jagung(Arora et al. 2010). Pada kondisi air cukup, pengolahantanah minimal (zero tillage) dapat mengurangi tenaga danmenghemat biaya produksi. Pada musim dimana cuacatidak menentu, hasil jagung sangat beragam (Yadev andSingh 2010).

KESIMPULAN

Produksi jagung di Indonesia berpeluang dapatditingkatkan dengan perbaikan teknik budi daya dankualitas lingkungan. Faktor penentu keberhasilanpeningkatan produksi jagung adalah sebagai berikut:1. Tanaman jagung dapat dibudi dayakan pada hampir

semua lahan di dataran rendah hingga sedang diIndonesia, sehingga peluang perluasan tanamancukup besar.

2. Varietas unggul sangat menentukan peningkatanproduktivitas jagung nasional. Penanaman varietasjagung hibrida yang adaptif disertai penyediaan harasecara optimal melalui pemupukan NPK danpenyediaan kelembaban tanah yang cukup menjadipenentu utama peningkatan produktivitas jagung.Dengan mengoptimalkan tiga komponen teknologitersebut, produktivitas jagung mampu mencapai 7-9t/ha, sebanding dengan produktivitas jagung di negaralain.

3. Untuk menghadapi perubahan iklim yang sulitdiprediksi, penanaman jagung lebih awal dankonservasi air menjadi kunci keberhasilan budi dayajagung pada musim kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam M. and S. Al Mazrooei. 2006. Crop waterand irrigation water requirement of maize (Zea maysL.) in the entisols of Kuwait. Tenth International WaterTechnology Conference, IWTC10 2006, Alexandria,Egypt. p.781-793.

Adeniran K.A , M.F. Amodu, M.O. Amodu, and F.A.Adeniji. 2010. Water requirements of some selectedcrops in Kampe dam irrigation project. Australian J.Agric. Eng. 1(4):119-125.

Ahmed M.B., K. Hayat, Q. Zama, and N.H. Malik. 2001.Contribution of some maize production factorstowards grain yield and economic return under theagro-climatic condition of Dera Ismail Khan. OnlineJournal of Biological Sciences 1 (4): 209-211.

Agreda, F.M., J.M.J.J. Janssens, and J. Borgman. 2005.Effects of production systems with maize (Zea maysL.) on soil fertility and biological diversity in theSoconusco, Chiapas, Mexico. Deutscher Tropentag,October 11-13, 2005, Hohenheim.

Akinnifesi, F.K. , W. Makumba, and F.R. Kwesiga. 2006.Sustainable maize production using gliricidia/maizeintercropping in Southtern Malawi. Expl. Agric.(2006), volume 42, pp. 1-17. doi:10.1017/S0014479706003814

Amaral T.A., C.L.T. Andrade, J.O. Duarte, J.C. Garcia,A. Garcia y Garcia, D.F. Silva, W.M. Albernaz, andG. Hoogenboom. 2015. Nitrogen managementstrategies for smallholder maize production systems:Yield and profitability variability. International Journalof Plant Production 9(1): 75-98.

Aqil, M., I.U. Firmansyah, dan M. Akil. 2007. Pengelolaanair tanaman jagung. p.219-237. In: Sumarno,Suyamto, A. Widjono, Hermanto, H. Kasim (eds.).Jagung. Teknik produksi dan pengembangan. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Areerak, C. La-ied, P. Intanai, and P. Grudloyma. 2010.Optimum nitrogen fertilizer rate of elite droughttolerant hybrid corn. p.514-517. In: P.H. Zaidi, M.Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. Ofthe 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministryof Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M.Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta.

Arora, S., M.S. Hadda, K.R. Sharma, and R. Bhatt. 2010.Soil moisture conservation for improving maize yieldsthrough participatory micro-watershivaliks. p.467-470. In: P.H. Zaidi, M. Azrai and K. Pixley (eds.):Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional

SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG

45

Maize Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia),CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD.Jakarta.

Assadourian, E. 2007. Vital sign 2007-2008. The Worldwatch Institute, W.W. Norton & Company. New York.p.165.

Badan Pusat Statistik. 2014. Jakarta.Bahtiar, S. Pakki, dan Zubachtirodin. 2007. Sistem

perbenihan jagung. Hlm. 177-191. Dalam: Sumarnoet al. (eds). Jagung. Teknik produksi danpengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. 508hlm.

Bahtiar, A.F. Fadhly, and S. Panikkai. 2010. Opportunityand challenge in maize farming with limitedirrigation.p565-567. In: P.H. Zaidi, M. Azrai and K.Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th AsianRegional Maize Workshop. Ministry of Agriculture(Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. SehgalFoundation. IAARD. Jakarta.

Bermudes, M. and A.P. Mallarino. 2002. Yield and earlygrowth responses to starter fertilizer in no-till cornassessed with precision agriculture technologies.Agron. J. 94: 1024-1033.

Ceglar, A., O. Chukaliev, G. Duvellier, and S. Niemeyer.2013. Water requirements for maize production inEurope under changing climate conditions. ImpactsWorld 2013, International Conference on ClimateChange Effects, Potsdam, May 27-30.

Djaman, K., S. Irmak, W.R. Rathje, D.L. Martin, and D.E.Eisenhauer. 2013. Maize evapotranpiration, yieldproductions, biomass, grain yield, harvest index, andyield response factors under full and limited irrigation.American Society of Agricultural and BiologicalEngineers 56(2): 273-293.

Doerge, T. 2007. A new look at corn and soybean rotationoptions. Crop Insights Vol. 17. No. 2. DuPont Pioneer,Johnston, Iowa.

Efendi, R., Sudarsono, S. Ilyas, dan E. Sulistiono. 2009.Seleksi dini toleransi genotipe jagung terhadapkekeringan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan28(2):63-68.

Elmore, R. and L. Abendroth. 2008. Factors needed tomaximize corn yield potential in 2008. http://www.extension.iastate.edu/CropNews/

Falcon, W.P. 2008. The Asian maize economy in2025,p.435-456. In: A. Gulati and D. Dixon (eds.):Maize in Asia, Changing market, and incentives.Academic Foundation, New Delhi.

FAO. 2001. Crop water management-maize. Land andWater Development Division (www.fao.org).p3-8.

Faesal and Syafruddin. 2010. Nutrinet management inrainfed lowland rice-maize cropping system ofIndonesia. p.557-559. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, andK. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10thAsian Regional Maize Workshop. Ministry ofAgriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M.Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta.

Gentry, F., M.L. Ruffo, and F.E. Below. 2013. Identifyingfactors controlling the continuous corn yield penalty.Agron. J. 105:295-303.

Girsang, S.S., M.P. Yufdy, and Akmal. 2010. Fertilizerrecommendation based on the SSNM approach inupland Karo district, North Sumatera. p.540-544. In:P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize forAsia. Proc. of the 10th Asian Regional MaizeWorkshop.Ministry of Agriculture (Indonesia),CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation.IAARD.Jakarta.

Hadijah, A.D. 2010. Peningkatan produksi jagung melaluipenerapan inovasi pengelolaan tanaman terpadu(PTT). Bul. IPTEK Tan. Pangan Vol 5(1):64-73.

Hermanto, D. Sadikin, dan E. Hikmat. 2009. Deskripsivarietas unggul palawija 1918-2009. PuslitbangTanaman Pangan Bogor.330 hlm.

Hipi, A., B.T. Erawati, M. Azrai, and A. Takdir M.Agronomic characteristics and yield potential ofpromising maize hybrids in dryland agroecosystemsof Western Nusa Tenggara. p. 568-570. In: P.H. Zaidi,M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc.of the 10th Asian Regional Maize Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADBand S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta.

Jugenheimer, R.W. 1975. Corn. improvemnet, seedproduction and uses. John Wiley & Sons. New York.670p.

Kasno, A., D. Setyorini, dan E. Tuberkih. 2006. Pengaruhpemupukan fosfat terhadap produktivitas tanahinceptisol dan ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu PertanianIndonesia. Volume 8(2): 91-98.

Kasno, A. dan Tia Rostaman. 2013. Serapan hara danpeningkatan produktivitas jagung dengan aplikasipupuk NPK majemuk. Penelitian Pertanian TanamanPangan 32(3):179-186.

Liangzheng Xu, J. Niu, C. Li, and F. Zhang. 2009. Growth,nitrogen uptake and flow in maize plants affected byroot growth restriction. Journal of Integrative PlantBiology 51(7): 689-697.

Li, S.L., Y.B. Zhang, Y.K. Rui, and X.F. Chen. 2012.Nutrient content in maize kernels grown on differenttypes of soil. International J. of. Exp. Botany 81:41-43.

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015

46

Mejaya, M.J., A. Takdir, N. Iriany, and M. Yasin. HG.2010. Development of improved maize vatieties inIndonesia.p109-112. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K.Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th AsianRegional Maize Workshop. Ministry of Agriculture(Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. SehgalFoundation.IAARD. Jakarta.

Meng Wang, Yinpeng Li, Wei Ye, Janet F. Bornman,and Xiaodong Yan. 2011. Effects of climate changeon maize production, and potential adaptationmeasures: a case study in Jilin Province, China.Clim. Res. 46: 223-242.

Mehdi, D. 2011. Effect of plant density and nitrogen rateon PAR absorbsion and maize yield. American J.Plant Physiol. 6(1):44-49.

Murni, A.M., J.M. Pasuquin, and C. Witt. 2010.Performance of site specific nutrient management(SSNM) for maize an upland Lampung. p.536-539.In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maizefor Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize

Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia),CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD.Jakarta.

Musfal, Delivan, dan A. Jamil. 2009. Efisiensi penggunaanpupuk NPK melalui pemanfaatan cendawan mikorizaarbuskuler pada jagung. Penelitian PertanianTanaman Pangan 28(3):165-169.

Niehues, B.J., R.E. Lamond, C.B. Godsey, and C.J.Olsen. 2004. Starter N fertilizer management forcontinuous no-till corn production. Agron. J. 96:1412-1418.

Ofor, M.O., I.I. Ibeawuchi, and A.M. Oparaeke. 2009. Cropprotection in production of maize and Guinea cornin Northhern Guinea savanna of Nigeria . Nature andScience 7(11):45-51.

Orenstein, O. 2010. Asian maize market opportunitiessmall and large. p.3-4. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, andK. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc.Of the 10th

Asian Regional Maize Workshop.Ministry ofAgriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M.Sehgal Foundation.IAARD. Jakarta.