Isolasi Saponin Daun Petai Cina (Leucaena Leucocephala...
Transcript of Isolasi Saponin Daun Petai Cina (Leucaena Leucocephala...
1
ISOLASI SAPONIN DAUN PETAI CINA (Leucaena leucocephala (Lam.) De
Wit.) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PEMBUSA ALAMI SERTA AGENSIA
ANTIBAKTERI DALAM SHAMPO
ISOLATION OF SAPONINS FROM WHITE POPINAC (Leucaena leucocephala
(Lam.) De Wit.) LEAF EXTRACT AND THE UTILIZATION AS NATURAL
FOAM BOOSTER AND ANTIBACTERIA AGENT IN SHAMPOO
Mega Pertiwi*, Hartati Soetjipto**, Sri Hartini**
*Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
**Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Jl. Diponegoro no 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah – Indonesia
ABSTRACT
Isolation of saponins from white popinac ((Leucaena leucocephala) was done in
this study. Except to saponins, antibacterial activity of the extract also was detected.
Saponins is going to aplicate for the shampoo formulation and compare the result with
SNI 06-2692-1992. The last aims is to measure the stability of the saponins foam of
shampoo. The soxhlet method was used to obtain saponins and follow by TLC and
Liberman-Burchard test. Antibacterial activity was tested by the disk diffusion method
against gram positive and negative bacterials. Data were analized by Randomized
Completely Block Design (RCBD), 7 treatments and 4 replications. the average
Minimum Inhibitor Concentration (MIC) and foam stability will compared with the test
Honestly Significant Difference (HSD) with significance level of 5%. The result
showed that the yield of white popinac leaf saponins is 6,74%. Minimum Inhibitor
Concentration (MIC) of white popinac leaf saponins for B.subtilis are 2000 ppm and
shampoo is 10%. Respectively, MIC of white popinac leaf saponins for E. coli is 4000
ppm and MIC of shampoo is 20%. The Average of the highest foam stability of 15%
(95.01 ± 0.58%) and the shampoo white popinac extract was fulfilled SNI 06-2692-
1992.
Keywords: Antibacterial activity, foam stability, saponin,, shampoo, white popinac
PENDAHULUAN
Shampo merupakan salah satu kosmetik yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat, karena berfungsi sebagai pembersih serta perawatan rambut dan kulit
kepala dari segala macam kotoran, baik yang berupa minyak, debu, maupun sel- sel
yang sudah mati (Tranggono dan Latifaf, 2010). Bahan yang terkandung dalam shampo
salah satunya adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa
aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka suatu
cairan (Aisyah, 2011). Sifat tersebut terkait dengan struktur molekulnya memiliki dua
gugus yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik.
2
Masyarakat menganggap shampo yang menghasilkan busa banyak, lebih efektif
dalam membersihkan kotoran. Sedangkan pada umumnya, bahan pembusa atau foam
booster yang digunakan dalam shampo berupa bahan sintentik. Penggunaan agensia
pembusa sintetik dalam dosis yang berlebih dapat menyebabkan iritasi kulit, karena
dapat masuk ke dalam jaringan kulit (Aisyah, 2011).
Sebenarnya alam juga menyediakan bahan yang dapat berbusa yang dikenal
dengan nama saponin. Saponin dapat menimbulkan busa dikarenakan adanya kombinasi
struktur senyawa penyusunnya, yaitu rantai sapogenin nonpolar dan rantai samping
polar yang larut dalam air. Menurut Chen dkk. (2010) surfaktan yang berasal dari alam,
memiliki kestabilan busa cukup besar dan menunjukkan sifat pembusa yang berbeda-
beda. Surfaktan yang berasal dari alam seperti saponin dapat digunakan sebagai
pembusa alami dalam berbagai produk kosmetik. Selain itu saponin juga bersifat
antibakteri (Mandal, 2005).
Petai cina (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman pelindung berasal dari
Amerika Tengah dan India. Petai cina digunakan untuk pupuk hijau dan sering ditanam
sebagai tanaman pagar sedangkan daun muda, tunas bunga, dan biji bisa dimakan
sebagai lalap mentah ataupun dimasak terlebih dahulu. Menurut Sartinah (2010), daun
Petai cina memiliki kandungan alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin. Saponin dalam
daun petai cina dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan alami yang membentuk busa bila
dilarutkan dalam air dan lebih ramah lingkungan. Selain itu, dilaporkan bahwa ekstrak
daun petai cina menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dengan diameter hambatan rata-rata sebesar 11,4 mm dan 12,8 mm.
Dalam penelitian ini ingin diketahui potensi saponin daun petai cina serta
kemungkinan diaplikasikan pada produk shampo. Maka dari itu, tujuan dari penelitian
ini adalah
1. Mengisolasi dan menentukan rendemen senyawa saponin dari daun petai cina
(Leucaena leucocephala).
2. Menentukan kadar isolat saponin daun petai cina (Leucaena leucocephala) yang
tepat dalam pembuatan shampo dan membandingkan hasil shampo dengan SNI 06-
2692-1992 serta mengukur kestabilan busa dari shampoo.
3. Menentukan aktivitas antibakteri isolat dan shampo daun petai cina (Leucaena
leucocephala) terhadap bakteri Bacillus subtilis dan Escherichia coli
3
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan yaitu dari bulan September 2013
sampai dengan bulan April 2014, di Laboratorium Fakultas Sains dan Matematika,
Universitas Kristen Satya Wacana.
METODOLOGI
Bahan dan Piranti
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun petai cina (Leucaena
leucocephala) yang diperoleh dari Salatiga dan sekitarnya, sedangkan bahan kimiawi
yang digunakan adalah akuades, heksana (derajat teknis), metanol (derajat teknis), dietil
eter (derajat teknis), n-butanol (derajat PA,), kloroform (derajat PA) ,asam asetat, Asam
klorida, asam sulfat (derajat PA). indikator fenolftalin, indikator biru metilen, NaOH
(derajat teknis), H2SO4 (derajat teknis), natrium klorida, sodium lauryl sulfate, coco
amido propyl betaine, Pearl concentrate, ethylene diamine tetra acetic acid, asam
benzoat dan nipagin (Merck).
Piranti yang digunakan antara lain: neraca analitis 4 digit (Mettler H 80, Mettler
Instrument Corp., USA), neraca analitis 2 digit (Ohaus TAJ602, Ohaus Corp., USA),
soxhlet, penangas air (Memmert), rotary evaporator, plat silica gel G/UV 254 nm
(10x10cm), pH meter (Hanna H19812, Romania), dan peralatan gelas.
Metode Penelitian
Preparasi Sampel
Daun petai cina dikering anginkan, lalu dihaluskan menggunakan grinder
Uji Busa (Faradisa, 2008)
Sebanyak 0,5 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi
akuades secukupnya kemudian dikocok kuat-kuat selama 5 menit dan diamati busa yang
timbul sampai stabil dan diukur tinggi busanya (ketinggian busa 1-3 cm). Sebelum busa
hilang ditetesi HCl 1 M bila busa stabil menunjukkan reaksi positif.
Uji Liberman-Burchard (LB) (Jaya, 2010)
0,5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi I, 5 ml
CHCl3 ditambahkan kemudian dipanaskan 5 menit di atas penangas air sambil dikocok-
kocok lalu didinginkan. 1 ml campuran dari tabung reaksi I diambil dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi II. Ke dalam tabung reaksi II diteteskan peraksi (LB) (1 ml
4
asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat), kemudian diamati perubahan
warna yang timbul sampai kira-kira 30 menit. Bila muncul warna coklat atau violet
pada perbatasan 2 pelarut maka saponin yang terkandung didalamnya dari jenis
triterpenoid, sedangkan bila muncul warna hijau kebiruan maka saponin yang
terkandung termasuk jenis saponin steroid.
Ekstraksi Sampel Metode Soxhlet dengan Defatisasi (Sartinah, 2010 Yang
Termodifikasi)
Lima puluh gram serbuk kering sampel di ekstraksi dengan menggunakan
sokhlet dengan 500 mL n-heksan selama 24 jam. Kemudian Filtrat ditampung dan
ampasnya diangin-anginkan sampai terbebas dari bau n-heksan. Kemudian ampas yang
telah terbebas dari bau n-heksan, disokhlet kembali dengan menggunakan 500 mL
metanol sampai pelarutnya tampak jernih. Filtrat diuapkan dengan rotary evaporator
Isolasi Saponin (Jaya, 2010)
Ekstrak pekat dari daun petai cina dimasukkan dalam corong pisah 250mL.
Disuspensikan dengan 35 mL akuades, dan dicuci dengan dietil eter 1:1, dikocok dan
dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air diambil dan diekstraksi dengan n-
butanol 1:1. Kemudian lapisan n-butanol diambil dan dipekatkan dengan rotary
evaporator.
Identifikasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis (Kristianingsih, 2005).
Identifikasi saponin dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis. Fase gerak
yang digunakan adalah klorofom: metanol: akuades (v/v/v) dengan variasi kosentrasi
(6,5:2,5:1), (6,5;5:1), (2:6:4), (2:6:1), (5,5:3,5:1), (4,5:4,5:1). Pengamatan menggunakan
lampu UV pada λ254 nm dan λ366 nm.
Uji Aktifitas Antibakteri (Faradisa, 2008)
Larutan Plate Count Agar (PCA) dimasukkan dalam cawan petri dan
masing-masing dicampur dengan 0,1 mL suspensi bakteri B. subtilis (ATCC 6051)
dan E. coli (ATCC 0091IFO) dengan jumlah bakteri yaitu Mc Farland sebesar 6 x108
CFU/ml, kemudian dihomogenkan. Kertas cakram diteteskan 20 µl ekstrak dengan
berbagai konsentrasi selama 15 menit, selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama
24 jam sampai muncul daerah hambatan. Pengukuran zona hambatan dilakukan
5
dengan mengukur diameter daerah jernih menggunakan jangka sorong. Langkah-
langkah ini diulangi untuk pengujian antibakteri pada shampo.
Pembuatan Shampo (Soetjipto, 2010)
4,8 gram natrium klorida dilarutkan dalam 10 ml akuades, diambil setengah
bagian dan dimasukkan dalam 14,4 gram sodium lauryl sulfate diaduk sampai homogen.
2,4 mL coco amido propyl betaine, 2,4 gram pearl concentrate dan 0,3 gram nipagin
ditambahkan ke dalamnya sambil terus diaduk sampai homogen. Kemudian, asam
kaboksilat 0,048 gram dalam 6 ml akuades dan 0,036 gram ethylene diamine tetra
acetic acid (EDTA) dalam 24 ml air ditambahkan. 60 mL liter air beserta sisa larutan
garam dimasukkan perlahan sambil terus diaduk sampai cairan mengental, selanjutnya
larutan ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) ditambahkan dengan
konsentrasi 0% (kontrol), 0% (tanpa penambahan coco amido propyl betaine ) , 5%,
7,5%, 10%, 15%, dan 20%, kemudian diaduk sampai homogen.
Pengukuran Kestabilan Busa (Ratnawulan, 2009)
Larutan shampo 1%,dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup. Selama 20
detik dikocok dengan cara membalikan gelas ukur secara beraturan. Tinggi busa yang
terbentuk diukur, kemudian setelah 5 menit diamati kembali dan diukur kestabilan
busanya.
Pengujian Standar Mutu Shampo Menurut SNI 06-2692-1992
Penentuan Kadar Surfaktan Non Ionik Menurut SNI (2005)
100 mL larutan baku surfaktan non ionik 1% dimasukkan ke dalam corong
pemisah 250 mL, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenoltalin. Larutan NaOH
1N ditambahkan tetes demi tetes. Kemudian, larutan biru metilen sebanyak 25 mL
ditambahkan dalam corong pisah. 10 mL kloroform juga ditambahkan, dan dibiarkan
hingga terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah dipisahkan dan ditampung dalam
corong pemisah yang lain. Fasa air diekstraksi kembali dalam corong pisah dengan
menambahkan 10 mL kloroform dan fase klorofom yang terbentuk ditampung.
Ekstraksi diulangi sekali lagi, kemudian 50 mL larutan pencuci ( 4,1 ml H2SO4 6M + 50
mL akuades + 5 gr NaH2PO42H2O + akuades sampai batas tera dalam labu ukur 100
mL) ditambahkan ke dalam fasa kloroform gabungan dan dikocok kuat-kuat selama 30
detik, dibiarkan terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah, fasa kloroform dipisahkan dan
di tampung. 10 mL kloroform ditambahkan ke dalam fasa air. dan dikocok kuat-kuat
6
sampai terjadi pemisahan fasa, lapisan bawah dikeluarkan. Setelah itu di ekstraksi
kembali fasa air dalam corong pisah dan disatukan semua fasa kloroform dalam labu
ukur. Isi labu ukur ditepatkan hingga tanda tera dengan kloroform. Kemudian diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan dicatat
serapannya.
Langkah di atas diulangi dengan mengganti larutan baku surfaktan dengan
larutan shampo 1%.
Pengukuran pH (Standar Nasional Indonesia, SNI 06-2692-1992)
Larutan shampo 10% diukur pH nya dengan menggunakan pH meter digital.
Pengukuran Kadar Air Shampo (Standar Nasional Indonesia, SNI 06-2692-
1992)
1 gram sampel ditimbang dalam cawan petri yang telah diketahui massa awalnya
(triplo). Sampel dan cawan petri dipanaskan dalam oven pada suhu 103-105°C selama
24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah dingin, sampel
dipanaskan selama 2 jam dan ditimbang kembali. Langkah ini dilakukan sampai
diperoleh berat yang konstan.
Analisa Data
Kestabilan busa dan diameter daya hambat dianalisis dengan menggunakan
rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan.
Sebagai perlakuan adalah konsentrasi ekstrak saponin daun Petai Cina yaitu: 0%
(kontrol); 0% (tanpa penambahan coco amido propyl betaine); 5%; 7,5%; 10%;15%;
dan 20%. Sebagai kelompok adalah waktu uji. Pengujian antar rataan perlakuan
dilakukan dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat
kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen isolat saponin daun petai cina sebesar 16,50 gram atau 6,74%, jika
dibandingkan dengan rendemen saponin daun akasia sebesar 3,42% (Anidya
dkk.,2013), dan rendemen saponin akar putri malu sebesar 1% (Jaya, 2010) maka
rendemen isolat saponin daun petai cina relatif lebih besar. Nampaknya kandungan
saponin pada tumbuhan bervariasi jumlahnya. Ekstrak saponin yang diperoleh berupa
pasta berwarna coklat. Uji busa dilakukan sebagai uji pendahuluan, busa yang terbentuk
tidak hilang selama 30 detik dengan ketinggian 1cm. Hasil uji Liberman-Burchard
7
menunjukkan adanya cincin coklat sehingga saponin ini termasuk saponin jenis
triterpenoid.
Identifikasi senyawa saponin daun petai cina dilakukan dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis dengan menggunakan fase gerak klorofom: metanol: akuades.
Hasil optimasi konsentrasi fase gerak diperoleh perbandingan 2:6:1 (v/v/v) sebagai
eluen terbaik untuk identifikasi senyawa saponin daun petai cina. Hasil uji KLT ekstrak
saponin daun petai cina menunjukan bercak coklat pada Rf 0,512.
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Saponin dan Shampo
Uji antibakteri pada ekstrak saponin dan shampo daun petai cina dilakukan
dengan menggunakan metode standar Mc Farland, yaitu dengan kerapatan bakteri 9.108
CFU/ml. Bakteri yang digunakan adalah bakteri gram positif yaitu B. subtilis dan gram
negatif yaitu E. coli. Penggunaan bakteri gram positif dan gram negatif bertujuan untuk
mengetahui daya hambat pada ekstrak saponin dan shampo daun petai cina, di mana
dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri,
dan dikatakan berspektrum sempit bila hanya mampu menghambat pertumbuhan dari
salah satu bakteri saja (Pelezar dan Chan,1998). Uji antibakteri positif, jika terbentuk
daerah bening atau transparan di sekitar paper disc yang berisi sampel. Kemudian,
diukur diameter daya hambat senyawa tersebut, semakin besar diameter yang dibentuk
maka semakin aktif senyawa tersebut sebagai antibakteri.
Hasil uji antibakteri dari ekstrak dan shampo saponin daun petai cina terhadap
kedua bakteri menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, dibuktikan dengan adanya
zona terang di daerah sekitar paper disc yang berisi ekstrak dan shampo saponin daun
petai cina. (Tabel 1 dan Tabel 2).
8
Tabel 1. Rataan Diameter Daya Hambat (mm±SE) Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena
Leucocephala) Terhadap Bakteri B.subtilis Dan E. coli.
Keterangan : *SE = Simpangan Baku Taksiran
*W = BNJ 5 %
*Angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata sedangkan angka
yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata.
Keterangan berlaku juga untuk Tabel 2 dan Tabel 3
Hasil uji antibakteri untuk shampo dari saponin daun petai cina disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Diameter Daya Hambat (mm±SE) Shampo Ekstrak Daun Petai Cina
(Leucaena Leucocephala) Terhadap Bakteri B.subtilis Dan E. coli.
Hasil uji antibakteri baik untuk ekstrak saponin daun petai cina maupun shampo
daun petai cina menunjukkan hasil yang bervariasi terkait dengan konsentrasi saponin
dan jenis bakteri yang digunakan. Untuk ekstrak saponin daun petai cina, diameter daya
hambat dari konsentrasi 500-4000 ppm berkisar 6 mm sampai 12 mm. Sedangkan untuk
shampo diameter daya hambat yang dihasilkan dari konsentrasi 0% sampai 20%
berkisar 7 mm sampai 12 mm untuk bakteri gram positif B.subtilis, sedangkan untuk
bakteri gram negatif E.coli baik untuk shampo maupun ekstrak saponin berkisar 6 mm
Bakteri Konsentrasi (ppm)
500 750 1000 1500 2000 3000 4000
B.subtilis
SE (6,80±0,20) (7,75±0,13) (8,58±0,52) (9,07±0,43) (10,20±0,42) (11,85±0.12) (12,70±0,28)
W = 0,59 a b c c d e f
Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat
E. coli
SE (6,12±0,16) (6,41±045) (6.64±0,88) (7.23±0.1,56) (7.92±0,48) (9,45±4,56) (10,51±5,99)
W = 0,22 a b c d e f g
Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat
Bakteri
Konsentrasi (%)
Kontrol
(dengan
betain)
0% 5% 7,5% 10% 15% 20%
B.subtilis
SE (7,04±0,20) (7,45±0,34) (8,33±0,50) (9,50±1,62) (10,28±0,18) (11,53±0.23) (12,19±0,13)
W = 0,557 a a b c d e f
Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat
E. coli
SE (6,04±0,09) (6,10±0,08) (7.0±0,01) (7.61±0.38) (8,31±0,31) (9,38±0,24) (10,78±0,12)
W = 1,809 a a a a b b c
Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang kuat
9
sampai 10 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak saponin daun petai cina lebih
efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif B.subtilis dibandingkan
dengan bakteri gram negatif E.coli. Hal ini diduga terkait dengan struktur dinding sel
bakteri E. coli yang relatif lebih tebal dari bakteri B. subtilis karena tersusun dari lapisan
peptidoglikan dan lipid dengan kadar yang tinggi (11-22 %), sehingga ekstrak saponin
daun petai cina lebih sulit menembus dinding sel bakteri ini (Lathifah, 2008).
Davis and Stout (1971), membagi kriteria kekuatan daya hambat antibakteri
sebagai berikut; daya hambat lemah, jika daerah daya hambatnya berkisar 5 mm,
tergolong sedang jika diameter daya hambat 5-10 mm, tergolong kuat jika diameter
daya hambat 10-20 mm, dan tergolong sangat kuat jika diameter daya hambat lebih dari
20 mm. Berdasarkan kriteria tersebut, ekstrak saponin daun petai cina terhadap bakteri
gram positif B.subtilis pada konsentrasi 2000 ppm sudah menunjukkan daya hambat
kuat, sedangkan untuk bakteri gram negatif E.coli menunjukkan daya hambat kuat pada
konsentrasi 4000 ppm. Hasil uji antibakteri pada shampo untuk bakteri B.subtilis
menunjukkan daya hambat kuat pada konsentrasi 10%, dan untuk bakteri gram negatif
menunjukkan daya hambat kuat pada konsentrasi 20%.
Menurut Jaya (2010), mekanisme kerja saponin dalam menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara merusak membran sitoplasma pada bakteri yang
menyebabkan bocornya metabolit yang menonaktifkan sistem enzim bakteri. Membran
sitoplasma yang rusak dapat mencegah masuknya nutrisi yang diperlukan bakteri untuk
menghasilkan energi. Hal ini menyebabkan bakteri mengalami hambatan pertumbuhan
bahkan menyebabkan kematian bakteri.
Kesetabilan Busa Shampo
Hasil rata-rata kestabilan busa shampo dengan berbagai konsentrasi ekstrak
saponin daun petai cina dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kestabilan Busa (%) Shampo pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Saponin
Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.
Konsentrasi (%)
Kontrol 0 5 7.5 10 15 20
± SE 94,62±2,51 82,51±1,51 88,05±0,33 89,67±0,74 92,27±0,71 95,01±0,58 95,89±0,17
W=
2,187 d a b b c d d
10
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan, semakin banyak dan
stabil pula busa yang terbentuk. Pada konsentrasi 15% dan 20% busa yang dihasilkan
banyak dan stabil. Peningkatan kestabilan busa pada konsentrasi 15% dan 20% sudah
mampu menyamai kestabilan busa shampo yang menggunakan foam booster (kontrol).
Nampaknya, saponin daun petai cina mampu menghasilkan busa yang kestabilannya
sama dengan foam booster sintetik, sehingga saponin daun petai cina dapat digunakan
sebagai alternatif pembusa alami menggantikan foam booster sintetik. Kemampuan
saponin sebagai agensia pembusa alami tidak terlepas dari gugus hidrofilik dan
hidrofobik yang dimiliki. Kombinasi struktur senyawa penyusun saponin, berupa
fragmen sapogenin nonpolar dan rantai samping polar yang larut dalam air. Tabel 3
menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak saponin yang optimal dalam pembuatan
shampo adalah 15% dengan kestabilan busa 95,01±0,58%
Hasil pengukuran tinggi busa mencerminkan kemampuan suatu deterjen untuk
menghasilkan busa (Liliyana, 2008). Pengukuran tinggi busa merupakan salah satu cara
untuk pengendalian mutu suatu produk deterjen agar sediaan memiliki kemampuan
yang sesuai dalam menghasilkan busa.
Pengujian SNI 06-2692-1992
Hasil pengujian sifat fisika-kimiawi shampo ekstrak saponin daun petai cina
berdasarkan SNI 06-2692-1992 mengenai shampo ditampilkan pada tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Mutu Shampo Ekstrak Saponin Dengan SNI 06-2692-1992
Shampo
Kriteria uji
Bentuk
(cair) Warna
Kadar
surfaktan non
ionik
pH Kadar air
SNI
Kontrol (dgn
betain)
0% (tanpa betain)
5%
7.5%
10%
15%
20%
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
-
Putih mengkilat
Putih mengkilat
Coklat muda
Coklat
Coklat +
Coklat tua
Coklat tua +
Min 4,5%
6.2±0.07
6.1±0.18
6.1±0.17
5.9±0.07
5.9±0.08
5.9±0.06
5.8±0.05
5,0-9,0
7.36±0.05
7.35±0.06
7.08±0.06
6.93±0.11
6.75±0.07
6.48±0.06
6.35±0.12
Maks 95%
89.01 ±1.60
87.89±0.67
86.57±2.20
85.13±0.72
85.04±3.84
84.48±1.57
84.72±1.33
11
Semakin besar penambahan konsentrasi ekstrak saponin semakin coklat warna
yang dihasilkan, karena pengaruh warna dari ekstrak saponin berwarna coklat. Untuk
hasil uji kadar surfaktan non ionik dalam shampo terjadi penurunan yang tidak begitu
besar dari 6.2% hingga 5.8%. Hasil uji ini menunjukkan shampo dengan ekstrak
saponin daun petai cina masuk dalam standar SNI yaitu minimal 4,5%.
Nilai pH shampo, terjadi penurunan seiring dengan besarnya penambahan
konsentrasi saponin yang ditambahkan. Penurunan nilai pH berkisar 7.36 hingga 6.35.
Nilai pH ini masih sesuai dengan kisaran syarat mutu yang ditetapkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI), yaitu antara 5,0 – 9,0. Untuk hasil analisa kadar air pada
shampo ekstrak saponin daun petai cina, semua shampo yang dibuat masuk dalam
syarat mutu kadar air menurut SNI. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), kadar
air shampo maksimum sebesar 95%. Nilai kadar air sangat penting untuk diketahui
dalam sebuah produk shampo, karena kadar air terkait dengan fisik shampo serta
mempengaruhi daya simpan suatu produk shampo.
12
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Rendemen hasil isolasi ekstrak saponin daun petai cina yang diperoleh adalah
sebesar 6,74%
2) Aktivitas antibakteri isolat saponin daun petai cina terhadap B.subtilis tergolong
kuat pada konsentrasi 2000 ppm dan untuk shampo daun petai cina tergolong
kuat pada konsentrasi 10%, sedangkan terhadap E. coli untuk isolat saponin
daun petai cina tergolong kuat 4000 ppm dan untuk shampo pada konsentrasi
20%.
3) Konsentrasi isolat saponin daun petai cina yang optimal dalam pembuatan
shampo adalah 15% dan shampo memenuhi SNI 06-2692-1992. Serta
kesetabilan busa shampo petai cina tertinggi pada konsentrasi 15% sebesar
(95.01 ± 0.58%)
13
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. (2011). Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (Apg) Dan Aplikasinya Pada
Sabun Cuci Tangan Cair. Tesis Institut Pertanian Bogor .
Ariani, A., Hartati.S., dan Yohanes. M. (2013). Pemanfaatan Saponin Daun Akasia
(Acacia auriculiformis A.Cunn) Sebagai Pembusa Alami Dan Agensia
Antibakteri Dalam Sabun Cair. Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Badan Standarisasi Nasional Indonesia. SNI 06-2692-1992: Shampoo.Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional Indonesia
Badan Standarisasi Nasional Indonesia. SNI 06-6989-51-2005: Penentuan Kadar
Surfaktan Anionik. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia
Chen, Y.F., Chao, H.Y., Ming, S.C., Yong. P.C., and Yu.C.H., (2010). Foam Properties
and Detergent Abilities of the Saponins from Camellia oleifera. Int. J. Mol. Sci.
2010, 11, 4417-4425; doi:10.3390/ijms11114417
Davis, W.W and Stout, T.R. (1971). Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic
Assay. Microbiology. 22(4): 659-665.
Faizatun, Kartiningsih, dan Liliyana., (2008). Formulasi Sediaan Shampo Ekstrak
Bunga Chamomile dengan Hidroksi Propil Metil Selulosa sebagai Pengental.
Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
Faradisa, M. (2008). Uji Efektifitas Antimikroba Senyawa Saponin Dari Tanaman
Blimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn). Skripsi-UIN Malang, Malang
Jaya, M.A. (2010). Isolasi Dan Uji Efektivitas Antibakteri Senyawa Saponin Dari Akar
Putri Malu (Mimosa Pudica). Universitas Islam Negeri, Malang.
Kristianingsih. (2005). Isolasi dan Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari Akar
Tanaman Kedongdong Laut (Polyscias Fruticosa), Skripsi Mahasiswa Jurusan
Kimia, F-MIPA, Universitas Brawijaya
Mandal, P. (2005). Antimicrobial activity of saponins from Acacia auriculiformis.
Fitoterapia, (76), 462-465.
Pelezer, M.J., S.Chan. (1998). Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Jakarta. UI-Press.
Ratnawulan, S. (2009). Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis (Brassica oleracea var.
Capitata l. )Asal Kabupaten Bandung Barat dalam Bentuk Sampo Antiketombe
terhadap Jamur Malassezia furfur. Universitas Padjajaran.
Sartinah, A., Astuti, P., dan Wahyuono, S. (2010). Isolasi Dan Identifikasi Senyawa
Antibakteri Dari Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.).
Majalah Obat Tradisional
Soetjipto, Hartati. (2010). Petunjuk Praktikum Produk Kosmetika. Universitas Kristen
Satya wacana, Salatiga.
Surendar. M, S. (2011). Extraction, Isolation and Purification of Saponins from Herbal
Plants. Herbal Tech Industry
14
Steel, R.G.D and James,H.T.(1980). Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan
Biometrik. Jakarta:Gramedia.
Tranggono, R.I.S, dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 7-8, 93-96.
15
Lampiran
Makalah yang telah
diseminarkan dalam
SNKPK-VI UNS
Solo, 21 Juni 2014
16
17
dalam daun petai cina relatif tinggi
sehingga, bermanfaat sebagai surfaktan
alami yang mampu membentuk busa bila
dilarutkan dalam air. Kandungan saponin
yang tinggi pada daun petai cina,
nampaknya berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai agensia pembusa
alami pada produk-produk kosmetika.
Maka dari itu, dalam penelitian ini daun
petai cina digunakan sebagai salah satu
sumber saponin alami.
Berdasarkan latar belakang diatas
maka, tujuan dari penelitian ini adalah
mengisolasi senyawa saponin dari daun
petai cina, menentukan konsentrasi
ekstrak saponin yang optimal dalam
pembuatan sampo dengan variasi
konsentrasi kontrol (dengan betain);
0%(tanpa betain); 5%;7,5%;10%;15%;
dan 20%, serta mengukur kestabilan busa
dari sampo, serta membandingkan hasil
sampo dengan SNI 06-2692-1992.
METODE PENELITIAN
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: rotary evaporator
(Buchi R1 14), plat silica gel G/UV 254 nm
(10x10cm), pH meter (Hanna H19812,
Romania), shaker (Kika Labortechnik
KS501 digital),
Bahan kimia yang digunakan adalah
Akuades, heksana (derajat teknis),
metanol (drajat teknis), dietil eter (drajat
teknis) n-butanol (derajat PA, Merck),
kloroform (derajat PA) ,asam asetat
(Merck), Asam Klorida (Merck), Asam
Sulfat (derajat PA). indikator fenolftalin,
indikator biru metilen, NaOH (derajat
teknis), H2SO4 (derajat teknis), natrium
klorida (Merck), sodium lauryl sulfat
(Merck), Coco amido propyl betaine (Merck),
Pearl concentrate (Merck), ethylene diamine
tetra acetic acid (Merck), asam karboksilat
(Merck) dan nipagin (Merck).
Metode
Preparasi Sampel
Sampel dikering anginkan, lalu
dihaluskan menggunaan grinder
Uji Busa [3]
Sebanyak 0,5 mg sampel dimasukkan
ke dalam tabung reaksi yang berisi akuades
secukupnya kemudian dikocok kuat-kuat
selama 5 menit dan diamati busa yang
timbul sampai stabil dan diukur tinggi
busanya (ketinggian busa 1-3 cm). Sebelum
busa hilang ditetesi HCl 1 N bila busa stabil
menunjukkan reaksi positif.
Uji Liberman-Burchard (LB) [4]
Sampel ditimbang 0,5 mg dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
berisi 5 ml CHCl3, kemudian tabung
dipanaskan 5 menit di atas pemangas air
sambil dikocok-kocok lalu didinginkan. 1 ml
campuran dari tabung reaksi I diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi II.
Ke dalam tabung reaksi II diteteskan
peraksi (LB) (1 ml asam asetat anhidrat
dan 1 tetes asam sulfat pekat).
Kemudian diamati perubahan warna yang
timbul sampai kira-kira 30 menit. Bila
muncul warna coklat atau violet pada
perbatasan 2 pelarut maka saponin yang
terkandung didalamnya dari jenis
triterpenoid, sedangkan bila muncul warna
hijau kebiruan maka saponin yang
terkandung termasuk jenis saponin steroid.
Ekstraksi Sampel Metode Soxhlet dengan
Defatisasi [5]
18
Sampel 50 gr serbuk kering disokhlet
dengan 500 mL n-heksan selama 24 jam.
Kemudian Filtrat ditampung dan
ampasnya diangin-anginkan sampai
terbebas dari bau n-heksan. Selanjutnya,
disokhlet kembali dengan menggunakan
500 mL metanol sampai pelarutnya
tampak jernih. Filtrat diuapkan dengan
rotary evaporator
Ekstraksi Saponin [4]
Ekstrak pekat dari daun petai cina
dimasukan dalam corong pisah 250mL,
kemudian dilarutkan dengan 35 mL
akuades. Selanjutnya, dicuci dengan dietil
eter 1:1, dikocok dan dibiarkan sampai
terbentuk dua lapisan. Lapisan air diambil
dan diekstraksi dengan n-butanol 1:1.
Kemudian lapisan n-butanol diambil dan
dipekatkan dengan rotary evaporator.
Identifikasi Saponin dengan KLT [6]
Identifikasi saponin dilakukan dengan
Kromatografi Lapis Tipis. Fase gerak yang
digunakan adalah klorofom: metanol:
akuades dengan variasi kosentrasi
(65:25:10),(65;50:10),(20:60:4),(20:60:10),
(55:35:10),(45:45:10). Pengamatan
menggunakan lampu UV pada λ256 nm
dan λ366 nm.
Pembuatan Sampo [7]
4,8 gram natrium klorida dilarutkan
dalam 10 ml akuades, diambil setengah
bagian dan dimasukkan dalam 14,4 gram
sodium lauril sulfat diaduk sampai
homogen. 2,4 mL coco amido propyl
betaine, 2,4 gram pearl concentrate dan
0,3 gram nipagin ditambahkan
kedalamnya sambil terus diaduk sampai
homogen. selanjutnya, ditambahkan
campuran 0,048 gram asam karboksilat
dalam 6 ml akuades dan 0,036 ethylene
diamine tetra acetic acid (EDTA) dalam 24
ml air. 60 mL liter air beserta sisa larutan
garam dimasukkan perlahan sambil terus
diaduk sampai cairan mengental,
selanjutnya larutan ekstrak daun petai cina
(Leucaena leucocephala) ditambahkan
dengan konsentrasi 0% (kontrol), 0% (tanpa
penambahan coco amido propyl betaine ) ,
5%, 7,5%, 10%, 15%, dan 20%, kemudian
diaduk sampai homogen.
Pengukuran Kestabilan Busa [8]
Larutan sampo 1%,dimasukan
kedalam tabung reaksi bertutup. Selama 20
detik dikocok dengan cara membalikan
gelas ukur secara beraturan. Tinggi busa
yang terbentuk diukur,kemudian setelah 5
menit diamati kembali dan diukur kestabilan
busanya.
Pengujian Standar Mutu Sampo Menurut
SNI (1992) [9]
Penentuan Kadar Surfaktan Non Ionik
Menurut SNI (2005)
100 mL larutan baku surfaktan non ionik 1%
dimasukkan ke dalam corong pemisah 250
mL, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator
fenoltalin. Larutan NaOH 1N ditambahkan
tetes demi tetes. Kemudian, larutan biru
metilen sebanyak 25 mL ditambahkan
dalam corong pisah. 10 mL kloroform juga
ditambahkan, dan dibiarkan hingga terjadi
pemisahan fasa. Lapisan bawah dipisahkan
dan ditampung dalam corong pemisah
yang lain. Fasa air diekstraksi kembali
dalam corong pisah dengan menambahkan
10 mL kloroform dan fase klorofom yang
19
terbentuk ditampung. Ekstraksi diulangi
sekali lagi, kemudian 50 mL larutan
pencuci ( 4,1 ml H2SO4 6N + 50 mL
akuades + 5 gr NaH2PO42H2O + akuades
sampai tera dalam labu ukur 100 mL)
ditambahkan ke dalam fasa kloroform
gabungan dan dikocok kuat-kuat selama
30 detik, dibiarkan terjadi pemisahan fasa.
Lapisan bawah, fasa kloroform
dipisahkan dan di tampung. 10 mL
kloroform ditambahkan ke dalam fasa air.
dan dikocok kuat-kuat sampai terjadi
pemisahan fasa, lapisan bawah
dikeluarkan. Setelah itu di ekstraksi
kembali fasa air dalam corong pisah dan
disatukan semua fasa kloroform dalam
labu ukur. Isi labu ukur ditepatkan hingga
tanda tera dengan kloroform. Kemudian
diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang
gelombang 652 nm dan dicatat
serapannya.
Langkah diatas diulangi dengan
mengganti larutan baku surfaktan dengan
larutan sampo 1%.
Pengukuran pH [9]
Larutan sampo 10% diukur pH nya
dengan menggunakan pH meter digital.
Pengukuran Kadar Air Sampo [9]
1 gram sampel ditimbang dalam
cawan petri yang telah diketahui massa
awalnya (triplo). Sampel dan cawan petri
dipanaskan dalam oven pada suhu Oven
103-105°C selama 24 jam kemudian
didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Setelah dingin, sampel
dipanaskan selama 2 jam dan ditimbang
kembali. Langkah ini dilakukan sampai
diperoleh berat yang konstan.
Analisa Data [10]
Kestabilan busa dan parameter
fisiko-kimiawi menurut SNI dianalisis dengan
menggunakan rancangan dasar RAK
(Rancangan Acak Kelompok) dengan 7
perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai
perlakuan adalah konsentrasi ekstrak
saponin daun Petai Cina yaitu: 0% (kontrol);
0% (tanpa penambahan coco amido propyl
betaine); 5%; 7,5%; 10%;15%; dan 20%.
Sebagai kelompok adalah waktu uji.
Pengujian antar rataan perlakuan dilakukan
dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur
(BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%
(Steel dan Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 300 gram daun petai cina yang
diekstrak, diperoleh ekstrak saponin
16,5045 gram atau rendemen sebesar
6,74%. Ekstrak saponin yang diperoleh
berupa pasta berwarna coklat. Uji busa
dilakukan sebagai uji pendahuluan, busa
yang terbentuk tidak hilang selama 30 detik
dengan ketinggian 1cm. Untuk hasil uji
Liberman-Burchard menunjukan adanya
cincin coklat sehingga saponin ini termasuk
saponin jenis triterpenoid.
Identifikasi senyawa saponin daun
petai cina dilakukan dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis dengan
menggunakan fase gerak klorofom: metanol:
akuades.
Hasil optimasi konsentrasi fase gerak
diperoleh perbandingan 20:60:10 sebagai
eluen terbaik untuk identifikasi senyawa
saponin daun petai cina.
Kesetabilan Busa Sampo
20
Hasil rata-rata kestabilan busa
sampo dengan berbagai konsentrasi
ekstrak saponin daun petai cina dapat
dilihat pada tabel 1 (lampiran 1).
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak
yang ditambahkan, semakin banyak dan
stabil pula busa yang terbentuk. Pada
konsentrasi 15% busa yang dihasilkan
banyak dan stabil, sedangkan pada
konsentrasi 20%, kestabilan busa tidak
berbeda jauh dari konsentrasi 15%.
Peningkatan kestabilan busa pada
konsentrasi 15% dan 20% sudah mampu
melampaui kestabilan busa sampo yang
menggunakan foam booster (kontrol).
Nampaknya, saponin daun petai cina
mampu menghasilkan busa yang
kestabilannya lebih tinggi dibandingkan
dengan foam booster sintetik.
Kemampuan saponin sebagai agensia
pembusa alami tidak terlepas dari gugus
hidrofilik dan hidrofibik yang dimiliki.
Kombinasi struktur senyawa penyusun
saponin, berupa fragmen sapogenin
nonpolar dan rantai samping polar yang
larut dalam air.
Tabel 1 menunjukan bahwa
konsentrasi ekstrak saponin yang optimal
dalam pembuatan sampo adalah 15%
dengan kestabilan busa 95,01±0,58%
Hasil pengukuran tinggi busa
mencerminkan kemampuan suatu
deterjen untuk menghasilkan busa [11].
Pengukuran tinggi busa merupakan salah
satu cara untuk pengendalian mutu suatu
produk deterjen agar sediaan memiliki
kemampuan yang sesuai dalam
menghasilkan busa.
Pengujian SNI 06-2692-1992
Hasil pengujian sifat fisika-kimiawi
sampo ekstrak saponin daun petai cina
berdasarkan SNI 06-2692-1992 mengenai
sampo ditampilkan pada tabel 2 (lampiran
1).
Semakin besar penambahan
konsentrasi ekstrak saponin semakin coklat
warna yang dihasilkan, karena pengaruh
warna dari ekstrak saponin berwarna coklat.
Untuk hasil uji kadar surfaktan non ionik
dalam sampo terjadi penurunan yang tidak
begitu besar dari 6.2% hingga 5.8%. Hasil
uji ini menunjukan sampo dengan ekstrak
saponin daun petai cina masuk dalam
standar SNI yaitu minimal 4,5%.
Untuk nilai pH sampo, terjadi
penurunan seiring dengan besarnya
penambahan konsentrasi saponin yang
ditambahkan. Penurunan nilai pH berkisar
7.36 hingga 6.35. Nilai pH ini masih sesuai
dengan kisaran syarat mutu yang ditetapkan
menurut Standar Nasional Indonesia (SNI),
yaitu antara 5,0 – 9,0.
Untuk hasil analisa kadar air pada
sampo ekstrak saponin daun petai cina,
semua sampo yang dibuat masuk dalam
syarat mutu kadar air menurut SNI. Menurut
Standar Nasional Indonesia (1992), kadar
air sampo maksimum sebesar 95%. Nilai
kadar air sangat penting untuk diketahui
dalam sebuah produk sampo, karena kadar
air terkait dengan fisik sampo serta
mempengaruhi daya simpan suatu produk
sampo.
KESIMPULAN
Rendemen ekstrak saponin yang
diperoleh adalah sebesar 6,74%.
Konsentrasi ekstrak saponin daun petai cina
yang optimal dalam pem buatan sampo
21
adalah 15%, dan kestabilan busa sampo
yang paling besar adalah pada
penambahan ekstrak saponin dengan
konsentrasi 15%, serta sampo ekstrak
saponin daun petai cina memenuhi syarat
mutu SNI 06-2692-1992.
DAFTAR RUJUKAN
[1] Tranggono, R.I.S, dan Latifah, F., Buku
Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2007, 7-8, 93-96.
[2] Aisyah, S., 2011. Produksi Surfaktan
Alkil Poliglikosida (Apg) Dan
Aplikasinya Pada Sabun Cuci
Tangan Cair. Tesis Institut Pertanian
Bogor
[3] Faradisa, Maria., 2008. Uji Efektifitas
Antimikroba Senyawa Saponin Dari
Tanaman Blimbing Wuluh (Averrhoa
Bilimbi Linn). Skripsi-UIN Malang,
Malang
[4] Jaya, Miko Ara., 2010. Isolasi Dan Uji
Efektivitas Antibakteri Senyawa
Saponin Dari Akar Putri Malu
(Mimosa Pudica). Universitas Islam
Negeri, Malang.
[5] Sartinah, A., Astuti, P., & Wahyuono,
S., 2010. Isolasi Dan Identifikasi
Senyawa Antibakteri Dari Daun
Petai Cina (Leucaena leucocephala
(Lam.) De Wit.).
[6] Kristianingsih.,2005. Isolasi dan
Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari
Akar Tanaman Kedongdong Laut
(Polyscias Fruticosa), Skripsi
Mahasiswa Jurusan Kimia, F-MIPA,
Universitas Brawijaya
[7] Soetjipto, Hartati., 2010. Petunjuk
Praktikum Produk Kosmetika.
Universitas Kristen Satyawacana,
Salatiga
[8] Ratnawulan, Soraya., 2009.
Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis
(Brassica oleracea var.Capitata l. )
Asal Kabupaten Bandung Barat dalam
Bentuk Sampo Antiketombe terhadap
Jamur Malassezia furfur. Universitas
Padjajaran.
[9] SNI. 1992. Shampoo. Badan
Standarisasi Nasional Indonesia SNI
No. 06-2692-1992, Jakarta.
[10] Steel, R.G.D dan JH.Torrie.,1980.
Prinsip dan Prosedur Statistika suatu
Pendekatan Biometrik. Gramedia,
Jakarta.
[11] Faizatun, Kartiningsih, dan Liliyana.,
2008. Formulasi Sediaan Sampo
Ekstrak Bunga Chamomile dengan
Hidroksi Propil Metil Selulosa
sebagai Pengental. Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia
22
Lampiran 1
Tabel 1. Kestabilan Busa Sampo Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Saponin daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.
Konsentrasi (%)
Kontrol 0% 5% 7.5% 10% 15% 20%
±
SE
94,62±2
,51
82,51±
1,51
88,05±0,3
3
89,67±0,7
4
92,27±0,7
1
95,01±0,5
8
95,89±0,1
7
W=
2,187 cd a b B c d d
Keterangan : *SE : Simpangan Baku Taksiran * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan
tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna.
Tabel 2. Perbandingan Mutu Sampo Ekstrak Saponin Dengan SNI 06-4085-1996 Sampo
Kriteria uji
Bentuk
(cair) Warna
Kadar
surfaktan non
ionik
pH Kadar air
SNI
Kontrol (dgn betain)
0% (tanpa betain)
5%
7,5%
10%
15%
20%
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
Homogen
-
Putih mengkilat
Putih mengkilat
Coklat muda
Coklat
Coklat +
Coklat tua
Coklat tua +
Min 4,5%
6.2±0.07
6.1±0.18
6.1±0.17
5.9±0.07
5.9±0.08
5.9±0.06
5.8±0.05
5,0-9,0
7.36±0.05
7.35±0.06
7.08±0.06
6.93±0.11
6.75±0.07
6.48±0.06
6.35±0.12
Maks 95%
89.01 ±1.60
87.89±0.67
86.57±2.20
85.13±0.72
85.04±3.84
84.48±1.57
84.72±1.33
Keterangan : *SE : Simpangan Baku Taksiran * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak
berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama
menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna
1