Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

9
OPEN ACCESS Artikel Penelitian 1. Pendahuluan Wilayah pesisir dan laut memiliki potensi sumberdaya hayati yang cukup besar, karena didukung oleh tiga ekosistem utama yaitu ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Namun dibalik potensi yang besar tersebut, sangat rentan juga terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh alam maupun aktivitas manusia didaratan dan diperairan laut. Sebagai upaya mempertahankan keberadaan ekosistestem tersebut, perlunya dilakukan monitoring ekosistem guna mengetahui seberapa besar potensi yang

Transcript of Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Page 1: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

OPEN ACCESS

Artikel Penelitian

1. Pendahuluan

Wilayah pesisir dan laut memiliki potensi sumberdaya hayati yang cukup besar, karena didukung oleh tiga ekosistem utama yaitu ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Namun dibalik potensi yang besar

tersebut, sangat rentan juga terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh alam maupun aktivitas manusia didaratan dan diperairan laut.

Sebagai upaya mempertahankan keberadaan ekosistestem tersebut, perlunya dilakukan monitoring ekosistem guna mengetahui seberapa besar potensi yang

‘‘ ‘

‘‘ ’

‘ ’

‘ ’‘ ’ ‘ ’

‘ ’‘ ’ ‘ ’

Page 2: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Mosriula, M., Jaya, J., & Hamsir, M. Kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan Barrang Lompo

68 https://www.sangia.org/

masih tersedia dikawasan pesisir. Maka diperlukan perencanaan serta strategi dalam pengendalian kerusakan ekosistem pesisir dan laut.

Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mengsukseskan program pengendalian kerusakan di wilayah pesisir adalah melakukan inventarisasi kerusakan ekosisitem terumbu karang. Perairan kepulauan yang berada Kota Kendari khususnya Pulau Bungkutoko masih kurangnya informasi terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang, olehnya itu diperlukannya informasi serta data terkait kondisi ekosistem tersebut dalam hal ini terumbu karang. Sedangkan untuk perairan kepulauan Kota Makassar Pulau Barrang Lompo diperlukannya tambahan informasi dan data ekosistem yang terdapat di pulau tersebut terkhusus ekosistem terumbu karang.

Indikator kegiatan penelitian diharapkan dapat tersedianya basis data kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Pulau Bungkutoko dan Pulau Barrang Lompo yang ditujukan akan memberikan peningkatan terhadap kualitas ekosistem pesisir dan laut tersebut. Untuk itu data dan informasi tentang tingkat kerusakan ekosistem pesisir dan laut sangat dibutuhkan dalam upaya pencapaian peningkatan kualitas ekosistem pada kedua lokasi tersebut.

Inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan di Pulau Barrang Lompo ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran status dan kondisi kerusakan ekosistem.

Tujuan inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan Pulau Barrang Lompo ini adalah untuk mendapatkan data status dan kondisi kerusakan ekosistem.

2. Bahan dan Metode

2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni sampai

Agustus 2016 di 2 daerah yaitu Pulau Bungkutoko (Gambar 1) dan Pulau Barrang Lompo (Gambar 2).

Gambar 1. Lokasi pengambilan data di Pulau Bungkutoko.

Gambar 2. Lokasi pengambilan data di Pulau Barrang Lompo.

2.2. Alat dan Bahan Peralatan selam SCUBA, GPS (Global Positioning

System), Kamera Underwater, Roll Meter, Frame ukuran 58x44 cm, Speed Boat, Sabak, Harddisk eksternal, terumbu karang.

2.3. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk pengambilan data

dilapangan adalah dengan cara observasi, wawancara, serta studi pustaka.

2.4. Teknik Pengamatan dan Pengambilan Data Ekosistem Terumbu Karang Penentuan awal stasiun pengamatan terumbu karang

menggunakan metode pengamatan skala luas, seperti manta tow atau timed swim dengan tujuan melihat keanekaragaman terumbu karang yang masih dalam kategori baik maupun rusak serta mewakili keseluruhan lokasi pengamatan pada masing-masing lokasi survei. Pengambilan data ekosistem terumbu karang di lapangan dilakukan dengan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA dengan metode UPT (Underwater Photo Transect, Transek Foto Bawah Air).

Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut: a. Menarik dan meletakkan garis transek dengan

menggunakan roll meter (pita berskala) sepanjang 50 meter pada kedalaman dimana karang umumnya tumbuh yaitu pada kedalaman antara 3-7 m dan sejajar garis pantai, dimulai dari titik awal sebagai meter ke-0.

Gambar 3. Arah penarikan garis transek dan garis transek sepanjang 50 m.

Page 3: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Vol. 2 No. 2: 67-75, November 2018

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 69

b. Setelah garis transek terpasang, mulai dilakukan pengambilan data dengan melakukan pemotretan di bawah air dimulai meter ke-1, meter ke-2, dan seterusnya hingga meter ke-50 pada garis transek.

Gambar 4. Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode transek foto bawah air.

2.5. Pengolahan dan Analisis Data 2.5.1. Pengolahan Data a. Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan

dilakukan menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut.

Gambar 5. Proses pengolahan analisis data dengan 30 titik sampel acak menggunakan Software CPCe.

b. Bentuk pertumbuhan yang akan dianilisis setidaknya memuat dua kategori utama yaitu kelompok “Karang Hidup” dan “Karang Mati”.

c. Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑐𝑎𝑘 𝑥 100%

d. Sebagai catatan, banyaknya titik acak untuk setiap 1 foto

adalah 30 titik sehingga untuk 1 garis transek yang terdiri dari 50 buah foto maka banyaknya titik acak 1.500 titik.

e. Nilai tutupan karang hidup untuk satu stasiun pengamatan adalah sama dengan nilai tutupan karang hidup untuk satu garis transek pada stasiun pengamatan tersebut (bila hanya dilakukan satu transek saja pada setiap stasiun pengamatan).

f. Berdasarkan nilai tutupan karang hidup yang diperoleh, maka dapat ditetapkan status terumbu karang baik untuk setiap stasiun pengamatan maupun untuk setiap lokasi penelitian yang terdiri dari beberapa stasiun pengamatan. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Kepmen LH no. 04 Tahun 2001 sebagai berikut : o Rusak, bila persen tutupan karang hidup antara 0-

24,9% o Sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-

49,9% o Baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-

74,9%, dan o Sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup

75-100% g. Kerusakan ekosistem terumbu karang dapat diketahui

dengan melakukan perhitungan indeks kematian karang batu atau indeks mortalitas.

2.5.2. Analisis Spasial (GIS) 2.5.2.1. Persiapan Data

Data geospasial yang disiapkan sebelum dilakukan pengolahan terdiri dari dua jenis, yaitu berupa data vektor serta data raster. Data tersebut dapat digunakan baik sebagai data acuan maupun sebagai data pendukung. o Data Vektor

Pembuatan peta tematik menggunakan peta dasar, peta data citra dan data hasil survey. Sebaran Ekosistem Terumbu Karang dapat dianalisis dengan menggunakan perangkat GIS. o Data Raster

Data raster yang digunakan sebagai bahan dalam pembuatan peta habitat perairan laut dangkal adalah citra satelit Landsat 8. Citra satelit Landsat 8 memiliki 7 saluran multispektral dengan resolusi spasial 30 meter, serta 1 saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 m. 2.5.2.2. Pemprosesan Data Citra Satelit

Tahapan ini merupakan serangkaian proses untuk memperbaiki kualitas citra sebelum dilakukan interpretasi. Citra yang umumnya diperoleh mempunyai tiga tingkatan, yakni:

Page 4: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Mosriula, M., Jaya, J., & Hamsir, M. Kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan Barrang Lompo

70 https://www.sangia.org/

- Citra yang datanya masih dalam bentuk raw data sehingga belum mengalami koreksi radiometrik maupun geometrik,

- Citra yang sudah mengalami koreksi radiometrik namun belum terkoreksi secara geometri,

- Citra yang telah mengalami koreksi baik radiometrik maupun geometrik. Untuk pemetaan habitat dasar perairan dangkal.

Gambar 6. Citra sebelum (A) dan setelah terkoreksi radiometri (B), menggunakan regresi linier.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Terumbu Karang di Perairan Pulau Bungkutoko Kota Kendari

3.1.1. Kondisi ekosistem terumbu karang Stasiun pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang

di Pulau Bungkutoko. Penentuan titik sampling lokasi berdasarkan keberadaan terumbu karang di Kota Kendari dengan menggunakan citra Landsat.

Pulau Bungkutoko, Pengamatan kondisi tutupan karang di Pulau Bungkutoko terletak di bagian Selatan pulau dan dilakukan pada kedalaman 5 dan 10 m. Kondisi perairan pada saat pengambilan data cukup tenang dengan cuaca cerah berawan. Karakteristik dasar perairan bersubstrat pasir dengan sedimen yang tertutup oleh pecahan karang dan alga. Tutupan karang didominasi karang Non Acropora yang memiliki bentuk pertumbuhan foliose. Dasar perairan landai berpasir dengan arus bawah relatif tidak kuat, karena merupakan perairan terbuka, kondisi air cukup keruh dengan jarak pandang dibawah air sekitar 10 meter.

Penutupan hard coral (karang keras) di Pulau Bongkutoko pada kedalaman 5 meter sebesar 36.47% yang terdiri dari acropora 0,40% dan non acropora 36,07%. Dengan persentase tersebut, penutupan karang hidupnya masuk dalam kategori “Sedang”. Jenis acropora yang teridentifikasi adalah ACB dan ACD dengan persentase karang hidup masing-masing 0,20%, sedangkan kategori pertumbuhan yang teridentifikasi dari jenis non acropora yaitu coral branching (CB) 14,33% yang paling dominan dijumpai diikuti berturut-turut coral foliose (CF) 10,80%, coral massive (CM)

5,80%, coral mushroom (CMR) 3,20%, coral encrusting (CE) 1,33% serta coral meliopora (CME) 0,53%. Hasil pengamatan dengan menggunakan analisis Cpce pada Pulau Bungkutoko disajikan pada Gambar 7.

Pada kedalaman 10 meter, persentase karang hidup termasuk dalam kategori “sedang” (41,67%). Karang tipe foliose memiliki persentase tertinggi (21,60%) dan karang hidup dengan persentase terendah adalah tipe pertumbuhan submassive (0,80%). Kategori bentik Sponge 0,33% dan hamparan pasir sebesar 2,27%. Sedangkan biota lain yang teramati sebesar 2,33% terdiri dari alga berkoraline dan beberapa jenis fauna. Tingginya persentase karang jenis non acropora disebabkan karena karang jenis ini pada umumnya lebih tahan terhadap pengaruh tekanan biotik maupun abiotik seperti sedimentasi, bom maupun bius. Karang dengan polip yang besar seperti family Faviidae, Mussidae, Fungiidae atau beberapa jenis Gonioporidae umumnya tahan terhadap adanya sedimentasi dengan membersihkan tubuhnya menggunakan tentakel dari polip yang muncul keluar dan aktif. Karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk (Van Woesik 1997, dalam Sitepu 2008).

Gambar 7. Kondisi karang (A) dan jenis lifeform karang (B) bentuk kedalaman 5 m di perairan Pulau Bungkutoko, Kota Kendari.

A

B

Page 5: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Vol. 2 No. 2: 67-75, November 2018

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 71

3.1.2. Sebaran kondisi ekosistem terumbu karang Keberadaan terumbu karang di Kota Kendari terletak di

sepanjang Kecamatan Abeli. Terumbu karang Kota Kendari banyak tersebar di Pulau Bungkutoko dengan luasan hamparan karang 231,31 ha.

Sebaran karang di Pulau Bungkutoko banyak ditemukan di bagian Timur dan Selatan pulau sedangkan di bagian utara dan barat tidak terdapat terumbu karang Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran terumbu karang di perairan Pulau Bungkutoko, Kota Kendari.

Tipe terumbu karang di pulau ini adalah karang tepi (freenging reef), dengan bentuk topografi dasar lautnya relatif dangkal dan memiliki kemiringan lereng terumbu sekitar 30-500. Rataan terumbu karang tersebar pada kedalaman 5-15 meter dengan jenis karang yang paling banyak ditemukan adalah Montipora dan Porites. Di kedalaman 15 m sudah jarang ditemukan terumbu karang dan lebih di dominasi oleh substrat pasir.

3.1.3. Tingkat Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Tingkat Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Kota

Kendari, Hasil analisis Cpce, kondisi karang yang ada di Pulau Bungkutoko memang masuk dalam kategori sedang akan tetapi secara visual kondisi karang di lokasi tersebut cukup memprihatinkan, dimana banyak dijumpai karang yang ditumbuhi alga serta patahan karang. Beberapa faktor diduga penyebab utama kerusakan terumbu karang di lokasi tersebut antara lain adalah penambangan karang untuk pondasi rumah, penggunaan bahan peledak dan sianida (illegal fishing), penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pengerukan diarea sekitar terumbu karang (pembangunan pelabuhan PELNI di Pulau Bungkutoko), pembuangan limbah rumah warga ke laut, serta penebangan lahan hutan mangrove di daerah Pulau Bungkutoko. Hasil pengamatan data tutupan karang mati serta nilai indeks kematian karang di masing-masing stasiun Pulau Bungkutoko dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, tingkat persentase kerusakan karang Pulau Bungkutoko nilai indeks kematian karangnya juga masuk dalam kategori “sedang” baik kedalaman 10 dan 5 m dengan nilai 0,5593-0,6201%, dimana persentase karang mati berkisar 50-58%. Karang mati di dua kedalaman Pulau Bungkutoko lebih didominasi oleh karang mati yang

Tabel 1. Persentase tutupan karang mati dan nilai indeks mortalitas karang di perairan, Pulau Bungkutoko, Kota Kendari.

Lokasi Kedalaman

(m) Kategori %

Indeks Mortalitas (%)

Pulau Bungkutoko

5 Dead Coral Algae (DCA) Rubble (R)

58,53 1,00

0,62

10 Dead Coral Algae (DCA) Rubble (R)

52,60 0,53

0,56

Sumber: Hasil survei, 2016.

Gambar 8. Kondisi karang (A) dan jenis lifeform karang (B) persentase tutupan bentuk kedalaman 10 m di perairan Pulau Bungkutoko, Kota Kendari.

A

B

Page 6: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Mosriula, M., Jaya, J., & Hamsir, M. Kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan Barrang Lompo

72 https://www.sangia.org/

ditumbuhi alga. Kematian karang di lokasi ini bisa jadi disebabkan oleh lokasinya yang cukup dekat dengan aktifitas pembangunan pelabuhan PELNI. Hasil kerukan pembangunan pelabuhan menyebabkan partikel berupa pasir terangkat dan menutup polip-polip karang. Selain itu menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan warga sekitar, kerusakan karang di Pulau Bungkutoko juga diakibatkan oleh tingginya intensitas penangkapan ikan di area terumbu karang dengan menggunakan bahan peledak dan potassium oleh beberapa nelayan suku Bajo.

Berdasarkan hasil interpolasi dengan menggunakan analisis Geograpic Information System (GIS) dan hasil ground chek lapangan diperoleh tingkat kerusakan karang di Pulau Bungkutoko seperti pada Gambar 10.

Gambar 10. Peta tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Bungkutoko, Kota Kendari.

3.2. Ekosistem Terumbu Karang di perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar

3.2.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pulau Barrang Lompo, Pengamatan kondisi ekosistem

terumbu karang menggunakan metode UPT di Pulau Barrang Lompo dilakukan pada 2 stasiun arah Barat dan Timur. Pengamatan kondisi karang di Pulau Barrang Lompo terdiri dari 2 titik kedalaman yakni kedalaman 5 m mewakili kondisi karang bagian atas dan kedalaman 10 m mewakili kondisi karang di bagian bawah.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, kondisi karang pada stasiun 1 masuk dalam kategori “sedang” dengan persentase karang hidup 38,67% pada kedalaman 5 m dan 42,53% pada kedalaman 10 m. Sedangkan kondisi karang stasiun 2 masuk dalam kategori “rusak” dengan persentase karang hidup hanya 23,27%. Kondisi karang kedua stasiun hasil pengamatan pada Pulau Barrang

Lompo disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Grafik di atas, karang hidup pada stasiun 1

terdiri dari acropora dan non acropora. Di kedalaman 5 m karang hidup jenis non-acropora lebih mendominasi dengan persentase terbesar diwakili oleh coral mushroom (CMR) sebesar 25,53%, selain itu tercatat juga coral foliose (CF) 5,20%, coral branching (CB) 3,67% serta coral massive (CM) 1,40%. Sedangkan di kedalaman 10 m komponen penyusun karang hidupnya terdiri atas CF (20,73%), CMR (12,60%), CM

- Stasiun 1

Gambar 11. Persentase tutupan (A) dan jenis lifeform karang pada stasiun 1 kedalaman 5 m, di Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar.

Tabel 2. Persentase tutupan karang mati dan nilai indeks mortalitas karang di Pulau Barrang Lompo

Lokasi St Kedalaman

(m) Kategori %

Indeks Mortalitas (%)

Pulau Barrang Lompo

1 5

Dead Coral Algae (DCA) Diseased coral (DCOR)

58,20 0,07

0,60

10 Dead Coral Algae (DCA) Diseased coral (DCOR)

51,80 0,27

0,55

2 8 Dead Coral Algae (DCA) 63,73 0,73 Keterangan: ST = Stasiun.

B

A

Page 7: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Vol. 2 No. 2: 67-75, November 2018

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 73

(6,67%), serta CB 1,13%. Karang hidup jenis acropora sangat sedikit ditemukan baik di kedalaman 5 maupun 10 m, tercatat hanya 2 jenis lifeform yang berhasil ditemukan pada kedalaman 5 yakni acropora branching (1,80%) dan acropora tabulate (0,07%) sementara di kedalaman 10 m hanya terdapat acropora branching sebesar 1,20%.

Komponen penyusun karang hidup untuk stasiun 2 yang hanya 23,27% adalah karang jenis non acropora terdiri dari CM 17,60%, CF 2,80%, coral encrusting (CE) 1,27%, coral juvenile (CORJU) 1,13%, coral branching 0,40% serta CMR 0,07%. Selain itu terdapat beberapa other sebesar 2,07% yang merupakan biota asosiasi terumbu karang seperti ascidiant, anemone, kima dan bulu babi.

3.2.2. Sebaran Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang di Pulau Barrang Lompo tersebar

mengelilingi pulau dengan luas hamparan karang 127,47 ha. Tipe terumbu karang yang ada adalah karang tepi (fringing reef) yang sebarannya mengikuti garis pantai. Pada sisi timur depan dermaga publik, tidak terdapat terumbu karang, namun sisi timur ke arah tenggara, terumbu karang mulai ada di sebelah dermaga Universitas Hasanuddin. Hasil pengamatan di lapangan kemiringan lereng terumbu yang ada di Pulau Barrang Lompo yakni tubir berkisar 250-400 dengan rata-rata kedalaman maksimum terumbu antara 12-15 meter. Sebaran ekosistem terumbu karang di Pulau

Barrang Lompo disajikan dalam Gambar 14.

3.2.3. Tingkat Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Hasil pengamatan kondisi terumbu karang yang

dilakukan di Pulau Barrang Lompo menunjukkan bahwa terumbu karang di lokasi tersebut telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Tekanan aktivitas telah

Gambar 12. Grafik persentase tutupan bentuk stasiun 1 pada kedalaman 10 m, perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar.

- Stasiun 2

Gambar 13. Grafik persentase tutupan bentik stasiun 2 pada kedalaman 8 m perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar.

Gambar 14. Sebaran Terumbu Karang Pulau Barrang Lompo.

B

B

A

A

Page 8: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Mosriula, M., Jaya, J., & Hamsir, M. Kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bungkutoko dan Barrang Lompo

74 https://www.sangia.org/

berdampak cukup besar terhadap keberlangsungan sumber daya terumbu karang yang ada di kota Makassar dimana jenis dan populasi ikan karang mulai berkurang, jenis karang dan kualitas terumbu karang juga berkurang, hal ini merupakan fenomena kehilangan keanekaragaman hayati atau biodiversity lost. Pembangunan mega proyek Central Point of Indonesia (CPI) serta reklamasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di sekitar Kota Makassar berpengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan terumbu karang yang ada di pulau-pulau kecil Kota Makassar. Disamping itu, fenomena alam yang telah berlangsung selama bulan Juli-Agustus 2016, yakni peningkatan suhu air yang sangat tinggi juga berdampak pada kematian massal terumbu karang yang ada di pulau-pulau kecil kota Makassar.

Kerusakan karang yang tercatat paling parah di Pulau Barrang Lompo terletak pada stasiun 2, dimana persentase karang mati mencapai 63,73% yang didominasi oleh dead coral algae sebesar 63,73%, diikuti stasiun 1 pada kedalaman 5 m yakni 58,27% dengan komponen penyusun karang matinya adalah DCA 58,20% dan diseased coral (penyakit karang) 0,07%. Sedangkan kedalaman 10 m pada stasiun 1 tercatat persen tutupan karang mati sebesar 52,07% yang terdiri atas DCA 51,80% dan diseased coral (penyakit karang) 0,27%.

Berdasarkan hasil interpolasi dengan menggunakan analisis Geograpic Information System (GIS) dan hasil ground chek lapangan, maka tingkat kerusakan karang di Pulau Barrang Lompo dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Peta tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar.

Untuk stasiun 1 tingkat kerusakan karangnya tergolong

dalam kategori “sedang” dengan nilai indek mortalitas terbesar terletak di kedalaman 5 m dengan nilai indeks 0,6011%, sedangkan kedalaman 10 m memiliki nilai kematian karang sebesar 0,5504%. Walaupun kematian karang tergolong sedang akan tetapi nilai ini cukup mengkhawatirkan karena tingkat tekanan ekologis yang cukup tinggi, dan hal ini bisa mengakibatkan kematian karang terus terjadi.

Nilai terbesar indeks mortalitas karang di Pulau Barrang Lompo terletak pada stasiun 2 dengan nilai tingakat kematian karang sebesar 0,7326%, hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kematian karang dalam kategori “tinggi”. Tingginya tingkat persentase kematian karang pada stasiun 2 lebih disebabkan karena lokasi ini merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal besar nelayan Barrang Lompo, jangkar kapal dan tumpahan minyak solar kapal merupakan faktor yang dapat merusak terumbu karang.

4. Simpulan Kondisi tutupan terumbu karang hidup Pulau

Bungkutoko kedalaman 5 m sebesar 36.47%, kedalaman 10 m sebesar 41,67% kategori ‘sedang’. Sedangkan Pulau Barrang Lompo tutupan terumbu karang hidup stasiun 1 kedalaman 5 m sebesar 38,67%, kedalaman 10 m sebesar 42,53% kategori ‘sedang’, Stasiun 2 tutupan terumbu karang hidup 23,27% kategori ‘rusak’. Sebaran luasan terumbu karang Pulau Bungkutoko 231,31 ha, sedangkan sebaran luasan terumbu karang Pulau Barrang Lompo 127,47 ha. Tingkat kerusakan/indeks mortalitas terumbu karang Pulau Bungkutoko kedalaman 5 m, dan 10 m dengan persentase 0,5593-0,6201%, kategori ‘sedang’. Sedangkan Pulau Barrang Lompo tingkat kerusakan/indeks mortalitas terumbu karang stasiun 1 kedalaman 5 m sebesar 0,6011% dan kedalaman 10 m sebesar 0,5504%, kategori ‘sedang’. Stasiun 2 tutupan tingkat kerusakan/indeks mortalitas terumbu karang 0,7326% kategori ‘tinggi’.

Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

yang mendukung dan membantu selama penelitian. Terimakasih kepada orangtua yang sudah memberikan bantuan materil maupun nonmateril. Terimakasih kepada nelayan di pulau Bungkutoko dan di pulau Barrang Lompo atas kesediaannya membantu proses pengambilan data.

Referensi

Burke L., Selig E., Spalding M., 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia). World Resources Institute, Amerika Serikat.

Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dahuri, R, Jacub. R., Sapta, P.G., dan Sitepu,. M.J,. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu. PT. Pradnya. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Erawan, T.S. 2015. Kondisi Terumbu Karang dan Struktur

komunitas Karang Pantai Kelapa Tujuh Kota Cilegon Provinsi Banten. Departemen Biologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinagor.

Giyanto, Abrar., M., Hadi., T.A. dkk., 2017. Status Terumbu Karang Indonesia. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Hermawan., U.E., Sjafrie., N.D.M., Supriyadi., I.H., dkk. 2017. Status Padang Lamun Indonesia. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Mangadji, I.M., 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Konservasi Terumbu Karang Di Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Propinsi Maluku Utara. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 5 Tahun 2016 Tentang

Page 9: Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of ...

Vol. 2 No. 2: 67-75, November 2018

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 75

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bintan 2016-2021.

Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan No P.4/PPKPL/PKL 1/10/2017 Tentang Pedoman Inventarisasi Dan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang.

Pramudyanto, B., 2014. Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Di Wilayah Pesisir. Journal. Edisi 1 No 4 Oktober-Desember 2014. Widyaiswara Pusdiklat Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Banten.

Suharsono, Sumadhiharga., O.K. 2014. Panduan Monitoring

Kesehatan Terumbu Karang. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosisitem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Tobler,Waldo., 1987. “Measuring Spatial Resolution”. Proceedings, Land Resources Information Systems Conference. Beijing. P: 12-16.