INTERPRETASI STACKEDMIRESEQUENCE … · proceeding,seminarnasionalkebumianke-11...

9
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11 PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA 5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA 427 INTERPRETASI STACKED MIRE SEQUENCE BERDASARKAN LITOTIPE PADA BATUBARA COKING FORMASI TANJUNG DI DAERAH SEKAKO, KALIMANTAN TENGAH Oyinta Fatma Isnadiyati 1 Beny Wiranata 1 Agung Rizki Perdana 1 Deddy N. S. Putra Tanggara 1 Hendra Amijaya 1* 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika 2, Yogyakarta *corresponding author: [email protected] ABSTRAK Batubara Formasi Tanjung berumur Eosen yang berada di Kalimantan Tengah adalah batubara yang diindikasikan berpotensi sebagai coking coal. Formasi Tanjung yang merupakan bagian dari synrift sequence dari Cekungan Barito tersusun atas sedimen batupasir, batulanau, serpih, batugamping dan konglomerat serta batubara. Studi ini memperlihatkan proses perkembangan palomire pada seam batubara di Daerah Sekako, Kalimantan Tengah berdasarkan karakterisasi litotipenya. Analisis karakteristik litotipe pada batubara Formasi Tanjung dilakukan pada seam 5.1 dan seam 6 untuk mengetahui kondisi paleomire dan stacked mire sequence. Suksesi vertikal litotipe batubara pada seam 5.1 terdiri atas 5 ply dan seam 6 terdiri atas 9 ply, dengan didominasi batubara bright coal dan banded bright coal. Litotipe bright coal dan banded bright coal seam 5.1 dan seam 6 diperkirakan terbentuk pada paleomire telmatic wet forest swamp. Berdasarkan analisis suksesi vertikal dan kehadiran parting menunjukkan seam 5.1 terdiri atas 3 multiple mire atau paleopeat body yang berbeda yang kemudian membentuk stacked mire sequence. Seam 6 terdiri atas 4 multiple mire atau paleopeat body yang berbeda, yang kemudian membentuk stacked mire sequence. Kata Kunci : litotipe, stacked mire sequence, batubara Formasi Tanjung 6. Pendahuluan Secara administratif daerah penelitian berada di Sekako, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah (Gambar 1). Persebaran batubara di Indonesia paling banyak dijumpai di Pulau Sumatra dan Kalimantan, dimana terdapat cekungan Kenozoikum yang luas tersusun atas deposit batubara yang tebal dan dengan biaya penambangan yang rendah (Friedrich dan van Leeuwen, 2017). Secara fisiografis daerah penelitian berada di dalam fisiografi Pulau Kalimantan. Daerah penelitian berada pada bagian Utara - Baratlaut dari Cekungan Barito. Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan yang terbentuk pada Kenozoik Awal di Asia Tenggara (Doust and Sumner, 2007; Hall and Morley, 2004; Hamilton, 1979; Hutchison, 1989 dalam Witts et al., 2012). Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan Tersier di Indonesia yang mempunyai potensi sumber daya energi cukup besar, salah satunya batubara (Heryanto, 2010). Cekungan ini memiliki dimensi lateral yang cukup luas mulai dari Kalimantan Selatan sampai Kalimantan TengahAkumulasi persebaran deposit batubara yang ada di Kalimantan berada di dalam Cekungan Barito dan Cekungan Kutai. Secara umum struktur yang berkembang pada Cekungan Barito dapat terbagi menjadi dua rezim tektonik (Darman dan Sidi, 2000). Rezim pertama berupa rezim transtensional yang menghasilkan sesar geser sinistral yang memiliki arah orientasi Baratlaut - Tenggara dan rezim yang kedua berupa rezim transpresional yang diikuti convergent uplift, reaktivasi dan

Transcript of INTERPRETASI STACKEDMIRESEQUENCE … · proceeding,seminarnasionalkebumianke-11...

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

427

INTERPRETASI STACKED MIRE SEQUENCE BERDASARKAN LITOTIPE PADABATUBARA COKING FORMASI TANJUNG DI DAERAH SEKAKO,

KALIMANTAN TENGAH

Oyinta Fatma Isnadiyati1

Beny Wiranata 1

Agung Rizki Perdana 1

Deddy N. S. Putra Tanggara 1

Hendra Amijaya 1*

1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika 2, Yogyakarta*corresponding author: [email protected]

ABSTRAKBatubara Formasi Tanjung berumur Eosen yang berada di Kalimantan Tengah adalah batubara yangdiindikasikan berpotensi sebagai coking coal. Formasi Tanjung yang merupakan bagian dari synriftsequence dari Cekungan Barito tersusun atas sedimen batupasir, batulanau, serpih, batugamping dankonglomerat serta batubara. Studi ini memperlihatkan proses perkembangan palomire pada seambatubara di Daerah Sekako, Kalimantan Tengah berdasarkan karakterisasi litotipenya. Analisiskarakteristik litotipe pada batubara Formasi Tanjung dilakukan pada seam 5.1 dan seam 6 untukmengetahui kondisi paleomire dan stacked mire sequence. Suksesi vertikal litotipe batubara pada seam5.1 terdiri atas 5 ply dan seam 6 terdiri atas 9 ply, dengan didominasi batubara bright coal dan bandedbright coal. Litotipe bright coal dan banded bright coal seam 5.1 dan seam 6 diperkirakan terbentukpada paleomire telmatic wet forest swamp. Berdasarkan analisis suksesi vertikal dan kehadiran partingmenunjukkan seam 5.1 terdiri atas 3 multiple mire atau paleopeat body yang berbeda yang kemudianmembentuk stacked mire sequence. Seam 6 terdiri atas 4 multiple mire atau paleopeat body yangberbeda, yang kemudian membentuk stacked mire sequence.Kata Kunci : litotipe, stacked mire sequence, batubara Formasi Tanjung

6. PendahuluanSecara administratif daerah penelitian berada di Sekako, Kabupaten Barito Utara, KalimantanTengah (Gambar 1). Persebaran batubara di Indonesia paling banyak dijumpai di PulauSumatra dan Kalimantan, dimana terdapat cekungan Kenozoikum yang luas tersusun atasdeposit batubara yang tebal dan dengan biaya penambangan yang rendah (Friedrich dan vanLeeuwen, 2017).

Secara fisiografis daerah penelitian berada di dalam fisiografi Pulau Kalimantan. Daerahpenelitian berada pada bagian Utara - Baratlaut dari Cekungan Barito. Cekungan Baritomerupakan salah satu cekungan yang terbentuk pada Kenozoik Awal di Asia Tenggara (Doustand Sumner, 2007; Hall and Morley, 2004; Hamilton, 1979; Hutchison, 1989 dalam Witts etal., 2012). Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan Tersier di Indonesia yangmempunyai potensi sumber daya energi cukup besar, salah satunya batubara (Heryanto, 2010).Cekungan ini memiliki dimensi lateral yang cukup luas mulai dari Kalimantan Selatan sampaiKalimantan TengahAkumulasi persebaran deposit batubara yang ada di Kalimantan berada didalam Cekungan Barito dan Cekungan Kutai.

Secara umum struktur yang berkembang pada Cekungan Barito dapat terbagi menjadi duarezim tektonik (Darman dan Sidi, 2000). Rezim pertama berupa rezim transtensional yangmenghasilkan sesar geser sinistral yang memiliki arah orientasi Baratlaut - Tenggara danrezim yang kedua berupa rezim transpresional yang diikuti convergent uplift, reaktivasi dan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

428

pembalikan struktur yang telah ada sebelumnya dan menghasilkan wrenching, lipatan sertapatahan.

Secara stratigrafi regional Cekungan Barito dapat dibagi menjadi 4 megasequences yaitupre-rift sequence, syn-rift sequence, post-rift sequence dan syn-inversion sequence (Satyanadan Silitonga, 1994). Secara stratigrafi regional daerah penelitian berada di dalam FormasiTanjung. Formasi Tanjung secara stratigrafi regional dengan umur Eosen – Oligosen(Soetrisno et al., 1994). Formasi Tanjung secara umum terbagi menjadi 2 yaitu bagian bawahdan bagian atas. Formasi Tanjung bagian bawah tersusun atas perselingan antara batupasir,serpih, batulanau dan konglomerat aneka bahan, sebagian bersifat gampingan. FormasiTanjung bagian atas tersusun atas perselingan antara batupasir kuarsa bermika, batulanau,batugamping dan batubara. Formasi Tanjung merupakan bagian dari synrift dan postriftsequence di dalam Cekungan Barito (Satyana dan Silitonga, 1994). Formasi Tanjungmerupakan formasi pembawa endapan batubara (Satyana dan Silitonga, 1994).

Amrullah (2009) menyatakan batubara Formasi Tanjung di Daerah Lemo, KabupatenBarito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan high – low volatile bituminous danberpotensi sebagai kokas. Batubara tersebut dengan karakteristik makroskopis berwarna hitam,mengkilap, rapuh atau brittle, pecahan berbentuk kubus, kadang-kadang terdapat pirit.Heryanto (2009) menyatakan batubara Formasi Tanjung di Daerah Binuang, KalimantanSelatan secara makroskopis berwarna hitam, mengkilap (bright – bright banded), gores warnahitam, pecahan konkoidal, dan ringan serta batubara tersebut merupakan fasies wet forestswamp. Madiadipoera dan Trafimov (1969 dalam Friedrich dan van Leeuwen, 2017)menyatakan batubara Eosen (cekungan Kutai Atas dan Barito) secara kualitas (properties)merupakan coking coal.

Mire yaitu merupakan lahan basah (wetland) yang merupakan tempat terakumulasinyagambut (peat). Mire mencakup semua ekosistem tempat terakumulasi atau terbentuknyagambut yang meliputi swamp, bog, fen, moor, muskeg dan peatland (Taylor et al., 1998).Stacked mire sequence yaitu merupakan penumpukan mire (multiple mire) pada saatpembentukan gambut. Batas antar paleomire atau peleopeat yang satu dengan yang lainnyaditandai dangan adanya parting baik berupa inorganic parting (sedimen detrital) atau organikparting (Shearer, et al., 1994). Analisis karakterisitk litotipe dan paleomire batubara FormasiTanjung sudah banyak dilakukan. Namun penelitian karakteristik litotipe, interpretasipaleomire dan interpretasi stacked mire sequence batubara high rank atau bituminous coalFormasi Tanjung yang berpotensi sebagai coking coals masih sedikit dilakukan.

Tujuan penelitian ini untuk menginterpretasikan stacked mire sequence berdasarkanlitotipe pada batubara coking Formasi Tanjung di daerah Sekako, Kalimantan Tengah.

7. Metode PenelitianMetode yang digunakan yaitu pengamatan singkapan permukaan di lapangan. Sampel

batubara diambil dengan menggunakan metode channel sampling dan diambil dari setiap ply(Thomas, 2002). Analisis suksesi vertikal litotipe batubara dilakukan dengan metodestratigrafi terukur. Analisis litotipe batubara didasarkan atas warna, kilap, dan fracture(Diessel, 1992; Diessel, 1965a dan Marchioni, 1980 dalam Lamberson et al., 1991).Pengklasifikasian litotipe batubara mengacu pada standar Australia yang sudah dimodifikasi(Tabel 1).

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

429

8. DataSampel batubara yang digunakan yaitu sampel batubara permukaan seam 5.1 dan seam 6

dari wilayah kerja PT. Suprabari Mapanindo Mineral (SMM) di Sekako, Kalimantan Tengah(Gambar 3). Analisis makroskopis yang dilakukan terhadap seam 5.1 batubara denganketebalan lebih kurang 1,5 meter (Gambar 3 dan Gambar 4) diperoleh sebanyak 5 ply. Seambatubara tersebut terdiri atas 3 Litotipe batubara yang tersusun dominan atas bright coal (ply1,3 dan 5) dan terdapat 2 lapisan inorganic parting yaitu pada ply 2 dan ply 4 (Gambar 3).Lapisan inorganic parting tersebut tersusun atas litologi batulempung.

Pada seam 6 batubara dengan ketebalan lebih kurang 3 meter (Gambar 3 dan Gambar 5)diperoleh sebanyak 9 ply. Seam 6 terdiri atas 6 litotipe batubara yang tersusun dominan atas 4litotipe bright coal pada ply 1, 4, 7 dan 9 serta 2 litotipe banded bright coal pada ply 2 dan ply5 (Gambar 3). Seam 6 ini memiliki 3 lapisan inorganic parting yaitu pada ply 3, 6 dan 8.Inorganic parting tersebut pada umumnya tersusun atas litologi batulempung.

9. Hasil dan PembahasanBatubara seam 5.1 dan seam 6 Formasi Tanjung di daerah penelitian dengan tebal

berturut-turut yaitu lebih kurang 1,5 meter dan 3 meter. Kedua seam batubara tersebut secaradominan tersusun atas litotipe bright dan banded bright coal serta terdapat batulempungsebagai inorganic parting (Gambar 3). Menurut Belkin et al., (2009) batubara Eosen FormasiTanjung di Senakin dengan komposisi maseral vitrinite 77%, fusinite 1,2%, semifusinite 3,4%,funginite 13,4%, sporinite 0,6%, cutinite 1,8%, resinite 0,8% dan sulfida 1,8%.

Menurut Lamberson et al., (1991) komposisi maseral vitrinit menurun dan terjadipeningkatan komposisi maseral inertinit seiring terjadinya perubahan litotipe dari bright coalke dull coal. Perubahan litotipe tersebut menunjukan bahwa terjadinya perubahan lingkunganpengendapan dari forest swamp menjadi dry. Litotipe bright coal dan banded bright coaldengan komposisi dominan tersusun atas kelompok maseral vitrinit (≥ 77%) dan diikuti olehkelompok maseral inertinit dan liptinit. Kelompok maseral vitrinit tersebut tersusun dominanatas maseral structured vitrinit (pseudovitrinit, tellinit, telocollinit) dan sedikit maseraldegraded vitrinit (desmocolinit dan vitrodetrinit). Analisis diagram ternary denganmenggunakan data maseral structured vitrinit, degraded vitrinit dan total inertinitmenunjukan bahwa terjadi peningkatan komposisi maseral inertinit dan degraded vitrinit dansebaliknya terjadi penurunan komposisi maseral structured vitrinit dari litotipe bright coal kedull coal

Menurut Diessel (1992) litotipe bright coal dan banded bright coal dengan komposisimaseral dominan vitrinit (telovitrinit dan sedikit detrovitrinit) dan diikuti oleh komposisimaseral liptinit dan inertinit. Dull coal dan banded dull coal dengan komposisi dominankelompok maseral inertinit dan diikuti oleh maseral vitrinit dan liptinit. Analisis mikrolitotipemenunjukan bahwa litotipe bright coal dan banded bright coal tersusun secara dominan olehvitrite dan clarite, sedangkan dull coal dan banded dull coal tersusun secara dominan olehinertite dan vitrinertite. Dull coal dan banded dull coal dengan kandungan rasioalipatik/aromatik yang ralatif tinggi. Berdasarkan karakteristik litotipe, komposisi maseral,mikrolitotipe dan rasio kandungan alipatik/aromatik kemudian dinyatakan bahwa bright coaldan banded bright coal relatif mempunyai tissue preservation index (TPI) dan gelificationindex (GI) yang tinggi. Fasies batubara dengan nilai TPI dan GI yang relatif tinggi terbentukpada paleomire telmatic wet forest swamp (Diessel, 1986).

Menurut Shearer et al., (1994) Keberadaan parting baik berupa inorganic maupunorganic parting merupakan penanda berakhirnya suatu seri paleomire untuk pengendapan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

430

deposit gambut. Hal tersebut terjadi karena suplai material organik berhenti dan terjadinyasuplai material inorganik atau sedimen klastika ke dalam mire. Terjadinya pengendapandeposit gambut (peat) kembali dibagian atas dari parting tersebut merupakan seri paleomireyang berbeda dari yang sebelumnya. Hal tersebut disebut juga sebagai reinisiasi mire ataupaleopeat.

Batubara seam 5.1 dan seam 6 di daerah penelitian secara umum tersusun atas litotipebright coal dan banded bright coal (Gambar 3). Mengacu pada peneliti terdahulu dapatdiinterpretasikan bahwa batubara seam 5.1 dan seam 6 di daerah penelitian tersusun dominanoleh maseral structured vitrinit (terutama structured vitrinit) dan diikuti oleh maseral liptinitdan inertinit serta dengan nilai tissue preservation index (TPI) dan gelification index (GI)yang tinggi. Dengan nilai TPI dan GI yang tinggi diiterpretasikan bahwa batubara seam 5.1dan seam 6 terbentuk pada paleomire telmatic wet forest swamp.

Batubara seam 5.1 secara dominan tersusun atas litotipe bright coal (ply 1,3 dan 5) dan 2lapisan inorganic parting (ply 2 dan ply 4) berupa litologi batulempung (Gambar 3).Kehadiran lapisan inorganic parting ply 4 sebagai penanda berakhirnya seri paleomire untukpengendapan deposit gambut dari ply 5. Pengendapan deposit gambut pada ply 3 merupakanseri paleomire baru yang berbeda dari ply 5 yang disebut juga reinisiasi mire ditandai adanyalapisan inorganic parting pada ply 4 sebagai pembatasnya. Sementara itu, setelah terjadinyapengendapan deposit gambut pada ply 3 terjadi pengendapan material sedimen klastika(inorganic parting) pada ply 2 sebagai penciri berakhirnya seri paleomire pengendapangambut pada ply 3. Pada bagian atas dari lapisan inorganic parting pada ply 2 tersebutterendapkan deposit gambut pada ply 1 dengan seri paleomire yang baru sebagai reinisiasimire. Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa seam 5.1 tersusun atas 3multiple mire atau 3 paleopeat body. 3 multiple mire atau paleopeat body yang berbedatersebutlah yang kemudian membentuk stack mire sequence batubara pada seam 5.1.

Pada batubara seam 6 secara umum tersusun atas 4 litotipe bright coal (ply 1, 4, 7 dan 9)dan 2 litotipe banded bright coal (ply 2 dan ply 5). Seam 6 ini memiliki 3 lapisan inorganicparting (ply 3, 6 dan 8). Lapisan inorganic parting tersebut pada umumnya tersusun ataslitologi batulempung. Kehadiran lapisan inorganic parting ply 8 sebagai penanda berakhirnyaseri paleomire untuk pengendapan deposit gambut dari ply 9. Pengendapan deposit gambutpada ply 7 merupakan seri paleomire baru yang berbeda dari ply 9 yang disebut juga reinisiasimire ditandai adanya lapisan inorganic parting pada ply 8 sebagai pembatasnya. Sementaraitu, setelah terjadinya pengendapan deposit gambut pada ply 7 terjadi pengendapan materialsedimen klastika (inorganic parting) pada ply 6 sebagai penciri berakhirnya seri paleomirepengendapan gambut pada ply 7. Pada bagian atas dari lapisan inorganic parting pada ply 6tersebut terendapkan deposit gambut pada ply 5 dan ply 4 dengan seri paleomire yang barusebagai reinisiasi mire. Pengendapan lapisan inorganic parting pada ply 3 merupakanpenanda berakhirnya seri paleomire pengendapan gambut pada ply 5 dan ply 4. Pengendapandeposit gambut pada ply 2 dan ply 1 diatas lapisan inorganic parting pada ply 3 merupakanseri paleomire atau reinisiasi mire yang baru yang berbeda dengan paleomire deposit gambutpada ply 5 dan ply 4. Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa batubara seam 6didaerah peneilitan tersusun atas 4 multiple mire atau 4 paleopeat body. 4 multiple mire ataupaleopeat body yang berbeda tersebutlah yang kemudian membentuk stack mire sequencebatubara pada seam 6.

10. KesimpulanBatubara coking seam 5.1 Formasi Tanjung di daerah penelitian dengan ketebalan lebih

kurang 1,5 meter dan secara dominan tersusun atas litotipe bright coal dan dengan 2 lapisan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

431

inorganic parting berupa batulempung. Batubara seam 5.1 diinterpretasikan terbentuk padapaleomire telmatic wet forest swamp dan tersusun atas 3 multiple mire atau paleopeat bodyyang kemudian membentuk stacked mire sequence batubara seam 5.1. Batubara coking seam6 Formasi Tanjung di daerah penelitian dengan tebal lebih kurang 3 meter dan secaradominan tersusun atas litotipe bright coal dan diikuti litotipe banded bright coal. Batubaraseam 6 diinterpretasikan terbentuk pada paleomire telmatic wet forest swamp dan tersusunatas 4 multiple mire atau paleopeat body yang kemudian membentuk stacked mire sequencebatubara seam 6.

AcknowledgementsTerimakasih kami ucapkan pada pihak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian

penelitian ini, terutama kepada PT. Suprabari Mapanindo Mineral (SMM) di Sekako,Kalimantan Tengah yang telah mengizinkan kami untuk melakukan kunjungan danpengambilan sampel di daerah wilayah kerja di SMM.

Daftar PustakaAmarullah, D. (2009). Suatu Pemikiran Untuk Memanfaatkan Potensi Batubara Formasi

Tanjung Di Daerah Lemo Kalimantan Tengah Sebagai Kokas. Kelompok ProgramPenelitian Energi Fosil, Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung, v. 4, p. 1-11.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009, Peta Pulau Kalimantan:geospasial.bnpb.go.id (diakses pada Mei 2018)

Belkin, H.E., Tewalt, S.J., Hower, J.C., Stucker, J.D., O’Keefe, J.M.K. (2009). Geochemistryand petrology of selected coal samples from Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua,Indonesia. International Journal of Coal Geology 77, p. 260-268.

Darman, H., Sidi, F.H. (2000). An Outline of The Geology of Indonesia. Ikatan Ahli GeologiIndonesia.

Diessel, C.F.K. (1986). On The Correlation Between Coal Facies and DepositionalEnvironments. in: Advances in the Study of the Sydney Basin, Proc. 20th Symposium.University of Newcastle, Australia, p. 19–22.

Diessel, C.F.K. (1992). Coal-Bearing Depositional System. Thompson Press (India) Ltd.,New Delhi, 679 p.

Friedrich, M.C., Moore, T.M., Flores, R.M. (2016). A Regional Review And New Insights IntoSE Asian Cenozoic Coal-Bearing Sediments: Why Does Indonesia Have Such ExtensiveCoal Deposits?. International Journal of Coal Geology 166, Elsevier, p. 2-35.

Friedrich, M.C., dan van Leeuwen, T. (2017). A Review of The History of Coal Exploration,Discovery and Production in Indonesia : The Interplay of Legal Framework, CoalGeology and Exploration Strategy. International Journal of Coal Geology 178, Elsevier, p.56-73.

Heryanto, R. (2009). Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara FormasiTanjung Di Daerah Binuang dan Sekitarnya, Kalimantan Selatan. Jurnal GeologiIndonesia, v. 4, p. 239-252.

Heryanto, R. (2010). Geologi Cekungan Barito, Badan Geologi. Kementerian Energi DanSumber Daya Mineral, Bandung, 139 hal.

Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. (1991). Lithotype (maceral) Composition andVariation As Correlated With Paleo-Wetland Environments, Gates Formation,

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

432

Northeastern British Columbia, Canada. International Journal of Coal Geology 18,Elsevier, p. 87-124.

Satyana, A.H., and Silitonga, P.D. (1994). Tectonic reversal in East Barito Basin, SouthKalimantan: consideration of the types of inversion structures and petroleum systemsignificance: in Proceedings of the IPA 23rd Annual Convention, p. 57-74.

Shearer, J.C., Staub, J.R., Moore, T.A. (1994). The Conundrum of Coal Bed Thickness : ATheory for Stacked Mire Sequence. The Journal of Geology 102, university of Chicago, p.611-617.

Soetrisno et al. (1994). Peta Geologi Lembar Buntok, Kalimantan. Pusat Penelitian danPengembangan Geologi, Bandung.

Taylor, G.H., Teichmuller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R., Robert, P. (1998).Organic Petrology. Gebruder Borntraeger, Stuttgart, 704 p.

Thomas, L.(2002). Coal Geology First Edition. John Wiley & Sons, Ltd, West Sussex, UnitedKingdom, 384 p.

Witts, D., Hall, R., Nichols, G., dan Morley, R. (2012). A New Depositional and ProvenanceModel For The Tanjung Formation, Barito Basin, SE Kalimantan, Indonesia. Journal ofAsia Earth Science 56, p. 77-104.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

433

Tabel 1. Klasifikasi litotipe batubara subbituminus – bituminus (modifikasi dari Diessel,1965a dan Marchioni, 1980 dalam Lamberson et al., 1991).

Gambar 1. A. Daerah penelitian (daerah penelitian ditunjukan dengan kotak berwarna merah)secara fisiografi terletak pada fisiografi Kalimantan (Witt et al., 2012) dan B. Lokasi daerahpenelitian ditunjukan dengan warna merah (peta dari geospatial.bnpb.go.id).

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

434

Gambar 2. Profil batubara coking seam 5.1 dan seam 6 Formasi Tanjung di Sekako.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

435

Gambar 3. A. Singkapan seam batubara 5.1 dengan tebal lebih kurang 1,5 meter; B.Kenampakan singkapan bright coal dan C. Kenampakan singkapan bright coal dengan 2lapisan inorganic parting berupa batulempung.

Gambar 4. A. Kenampakan singkapan batubara seam 6 dengan tebal lebih kurang 3 meter; B.Kenampakan singkapan bright coal dan C. Kanampakan singkapan bright coal dengan lapisantipis inorganic parting batulempung.