Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth...

41
Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014 Halaman 145–152 DOI: 10.14692/jfi.10.5.145 ISSN: 0215-7950 Interaksi antara Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri pada Tomat Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth-Promoting Rhizobacteria to Control Bacterial Wilt Disease on Tomato Abdjad Asih Nawangsih*, Fitri Fatma Wardani Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 ABSTRAK Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tomat ialah adanya penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan untuk mengelola penyakit ini ialah dengan memanfaatkan agens biokontrol. Aplikasi bakteri endofit Staphylococcus epidermidis BC4 dan rizobacteria pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT) (Pseudomonas fluorescens RH4003 dan Bacillus subtilis AB89) diharapkan menjadi alternatif tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi interaksi antara bakteri endofit dan RPPT dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri dan pemacuan pertumbuhan tomat. Perlakuan bakteri yang dapat memacu pertambahan tinggi dan bobot kering tanaman ialah kombinasi antara 75% S. epidermidis BC4 dengan 25% P. fluorescens RH4003. Perlakuan yang dapat menekan insidensi penyakit paling tinggi ialah perlakuan P. fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal. Indeks penekanan penyakit oleh S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 secara tunggal berturut-turut mencapai 41.18 dan 45.88%. Interaksi antara bakteri endofit dan kedua bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman bersifat antagonis. Kata kunci: Bacillus subtilis, bakteri endofit, PGPR, Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus epidermidis ABSTRACT One of the factors affected production of tomato is the incidence of bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum. An alternative control to manage the disease which is environmentally friendly is the use of biocontrol agents. Application of endophytic bacteria (Staphylococcus epidermidis BC4) and plant growth promoting rhizobacteria (Pseudomonas fluorescens RH4003 and Bacillus subtilis AB89) as biocontrol of tomato bacterial wilt was expected to be an alternative method. The objective of this study is to evaluate the interaction among endophytic bacteria and PGPR to suppress the development of bacterial wilt disease (R. solanacearum) and promoting the growth of tomato. Bacterial treatment which caused the highest suppression on disease incidence was single application of P. fluorescens RH4003. Disease index caused by S. epidermidis BC4 and P. fluorescens RH4003 applied individually was up to 41.18 dan 45.88%, respectively. Interaction between the endophytic bacteria and both of the PGPRs were antagonistic. Key words: Bacillus subtilis, endophytic bacteria, PGPR, Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus epidermidis *Alamat Penulis Korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Jalan Kamper, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 02518629362, Surel: [email protected] 145

Transcript of Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth...

Page 1: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014Halaman 145–152

DOI: 10.14692/jfi.10.5.145ISSN: 0215-7950

Interaksi antara Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit

Layu Bakteri pada Tomat

Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth-Promoting Rhizobacteria to Control Bacterial Wilt Disease on Tomato

Abdjad Asih Nawangsih*, Fitri Fatma WardaniInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tomat ialah adanya penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan untuk mengelola penyakit ini ialah dengan memanfaatkan agens biokontrol. Aplikasi bakteri endofit Staphylococcus epidermidis BC4 dan rizobacteria pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT) (Pseudomonas fluorescens RH4003 dan Bacillus subtilis AB89) diharapkan menjadi alternatif tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi interaksi antara bakteri endofit dan RPPT dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri dan pemacuan pertumbuhan tomat. Perlakuan bakteri yang dapat memacu pertambahan tinggi dan bobot kering tanaman ialah kombinasi antara 75% S. epidermidis BC4 dengan 25% P. fluorescens RH4003. Perlakuan yang dapat menekan insidensi penyakit paling tinggi ialah perlakuan P. fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal. Indeks penekanan penyakit oleh S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 secara tunggal berturut-turut mencapai 41.18 dan 45.88%. Interaksi antara bakteri endofit dan kedua bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman bersifat antagonis.

Kata kunci: Bacillus subtilis, bakteri endofit, PGPR, Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus epidermidis

ABSTRACT

One of the factors affected production of tomato is the incidence of bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum. An alternative control to manage the disease which is environmentally friendly is the use of biocontrol agents. Application of endophytic bacteria (Staphylococcus epidermidis BC4) and plant growth promoting rhizobacteria (Pseudomonas fluorescens RH4003 and Bacillus subtilis AB89) as biocontrol of tomato bacterial wilt was expected to be an alternative method. The objective of this study is to evaluate the interaction among endophytic bacteria and PGPR to suppress the development of bacterial wilt disease (R. solanacearum) and promoting the growth of tomato. Bacterial treatment which caused the highest suppression on disease incidence was single application of P. fluorescens RH4003. Disease index caused by S. epidermidis BC4 and P. fluorescens RH4003 applied individually was up to 41.18 dan 45.88%, respectively. Interaction between the endophytic bacteria and both of the PGPRs were antagonistic.

Key words: Bacillus subtilis, endophytic bacteria, PGPR, Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus epidermidis

*Alamat Penulis Korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Jalan Kamper, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 02518629362, Surel: [email protected]

145

Page 2: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

PENDAHULUAN

Produksi tomat di Indonesia pada tahun 2000–2010 relatif mengalami kenaikan meskipun masih ada kendala di lapangan (BPS 2012). Salah satu kendala produksi tomat adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Di daerah tropika penyakit layu bakteri dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat menggagalkan panen (Alvarez et al. 2010).

Varietas tahan dapat mengendalikan penyakit layu bakteri dengan baik, tetapi pengendalian ini tidak dapat digunakan dalam jangka panjang. Varietas tahan akan memberikan tekanan biologi kepada patogen sehingga akan memunculkan galur baru yang lebih virulen (Almoneafy et al. 2012). Pengendalian menggunakan bahan kimia merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya ketahanan bakteri (EPPO 2011). Oleh karena itu, diperlukan pengendalian yang tepat.

Agens biokontrol adalah makhluk hidup yang berperan sebagai penekan perkembangan patogen dengan cara menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen tersebut. Kemampuan suatu agens biokontrol dapat ditingkatkan dengan mengombinasikan 2 atau lebih agens biokontrol (Guetsky et al. 2002). Persyaratan agar kombinasi 2 agens biokontrol atau lebih dapat bekerja secara optimal ialah mereka dapat bekerja pada tempat yang berbeda, misalnya pada rizosfer atau sisa-sisa bahan organik; memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis; memerlukan substrat yang berbeda, misalnya lendir tanaman untuk bakteri dan cendawan atau eksudat akar untuk bakteri kelompok pseudomonas; dan hidup kompatibel dengan lingkungan tanah serta perubahan yang terjadi karena peningkatan cara bercocok tanam (Roberts et al. 2005; Mishra et al. 2011).

Agens biokontrol yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian dalam rangka mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan adalah bakteri endofit dan

rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT) (Sutariati et al. 2006; Nawangsih et al. 2011). Bakteri endofit adalah bakteri yang mengolonisasi jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan penyakit pada inangnya, sedangkan RPPT adalah kelompok bakteri menguntungkan yang agresif mengolonisasi rizosfer. Bakteri Pseudomonas fluorescens RH4003 (Nawangsih et al. 2007) dan Bacillus subtilis AB89 adalah RPPT yang telah berhasil diisolasi dari perakaran tomat. Aplikasi di lapangan mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri.

Penelitian ini bertujuan menguji interaksi antara bakteri endofit dan RPPT dalam meningkatkan pertumbuhan tomat dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Tanaman UjiBenih yang digunakan ialah tomat varietas

Arthaloka. Varietas ini dipilih karena banyak digunakan oleh petani. Benih disemai pada nampan pot berukuran 25 cm × 35 cm. Pada setiap nampan ditanami 15 sampai 20 benih. Medium tanam yang digunakan dalam persemaian ialah tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Bibit dipelihara selama 3 minggu.

Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan Rizobakteria Pemacu Pertumbuhan Tanaman

Bakteri endofit dan RPPT yang digunakan dalam penelitian merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bakteri endofit yang digunakan ialah Staphylococcus epidermidis dan RPPT ialah P. fluorescens RH4003 (P1) dan B. subtilis AB89 (B12) yang diisolasi dari perakaran tomat (Nawangsih 2007).

Medium yang digunakan untuk pembuatan suspensi agens biokontrol ialah Nutrient Broth (NB). Suspensi S. epidermidis BC4, B. subtilis AB89, dan P. fluorescens RH4003 yang digunakan untuk perlakuan memiliki kerapatan 109–1010 cfu mL-1.

146

Page 3: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

Uji Penekanan Insidensi Penyakit pada Plot Percobaan

Medium tanam yang digunakan dalam uji penekanan insidensi penyakit ialah tanah steril, pupuk kandang, dan tanah yang telah terinfestasi R. solanacearum. Tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 dicampur secara merata. Kantong plastik yang digunakan untuk pot uji berukuran 30 cm × 30 cm. Pot dibagi menjadi 3 bagian, dengan ketebalan masing-masing ±6 cm. Bagian bawah diisi dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang, bagian tengah diisi dengan tanah yang terinfestasi R. solanacearum, dan yang paling atas diisi kembali dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang.

Bibit yang telah direndam dalam kombinasi suspensi bakteri selama sehari ditanam pada medium tanam. Masing-masing bibit disiram dengan 50 mL kombinasi suspensi yang sama. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman 2 hari sekali dengan air atau sesuai kebutuhan. Pemasangan ajir dilakukan pada waktu tanaman tomat berumur 2 minggu setelah pindah tanam. Jumlah perlakuan pada uji ini adalah 10 perlakuan (Tabel 1) dengan 5 tanaman per perlakuan dan ditanam pada 3 blok yang berbeda sehingga didapatkan 50 tanaman per blok.

Tanaman uji disiram dengan kombinasi RPPT dan bakteri endofit 2 kali, yaitu sehari sebelum pindah tanam dan pada hari saat pindah tanam. Untuk penyiraman bibit sebelum maupun setelah pindah tanam diperlukan volume kombinasi 50 mL. Misal untuk proporsi kombinasi 25:75 maka disiapkan 12.5 mL bakteri endofit dan 37.5 mL RPPT. Untuk perbandingan 0:0 (kontrol) kombinasi hanya berisi 50 mL air untuk penyiraman bibit dan 50 mL air untuk penyiraman bibit setelah pindah tanam.

Pengamatan terhadap insidensi penyakit (IP) dilakukan setiap minggu. Insidensi penyakit dihitung dengan rumus (Cooke 1998):

IP= n/N × 100%, denganIP, insidensi penyakit; n, jumlah tanaman yang terserang patogen; N, jumlah tanaman yang diamati.

Setelah insidensi penyakit diketahui kemudian dihitung nilai area under disease progress curve (AUDPC) dengan rumus Van der Plank (Cooke 1998) sebagai berikut:

y, persentase insidensi penyakit; t, hari.Nilai AUDPC yang telah diketahui

kemudian digunakan untuk menghitung indeks penekanan penyakit. Indeks penekanan penyakit ialah suatu angka yang dapat menyatakan tingkat keefektifan pengendalian suatu agens biokontrol terhadap patogen. Indeks penekanan penyakit dihitung dengan rumus:

Dic, AUDPC pada kontrol; Dib, AUDPC pada perlakuan agens biokontrol.

Agens biokontrol yang digunakan dalam penelitian merupakan 2 agens biokontrol yang dikombinasikan dengan berbagai proporsi. Untuk mengetahui tingkat sinergisme antara 2 agens biokontrol tersebut digunakan rumus Abbott’s (Guetsky et al. 2002):

SF, Synergy Factor; a, keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol I; b, keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol II; E(exp), keefektifan pengendalian dugaan oleh campuran agens biokontrol; E(obs), keefektifan pengendalian oleh campuran berdasarkan hasil pengamatan.

Hubungan interaksi kedua agens biokontrol ditentukan dengan ketentuan bila SF=1 maka interaksi antaragens biokontrol bersifat aditif, bila SF<1 maka interaksi antaragens biokontrol bersifat antagonis, bila SF>1 maka interaksi antaragens biokontrol bersifat sinergis (Guetsky et al. 2002).

Uji Pemacuan PertumbuhanMedium tanam yang digunakan adalah

tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Medium tanam dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan ukuran

,denganAUDPC = ∑ n=1

i

yi + yi+12 × (ti +1- ti)

Dic–DibDic × 100%, denganIndeks penekanan

penyakit =

danE(exp)– a+b – a × b100 SF =

E(obs)

E(exp)

147

Page 4: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

30 cm × 30 cm dan kemudian ditanami bibit tomat yang telah disiram dengan suspensi kombinasi bakteri endofit dan RPPT sehari sebelum pindah tanam. Kemudian tanaman disiram kembali dengan kombinasi yang sama pada saat pindah tanam.

Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan ulangan sebanyak 3 kali sebagai kelompok. Perlakuan yang diberikan sebanyak 10 perlakuan dan jumlah tanaman yang digunakan ialah 5 tanaman per perlakuan. Pengamatan terhadap tinggi tanaman di-lakukan setiap minggu hingga 42 hari setelah tanam (HST) dan bobot kering tanaman diukur pada 42 HST (Tabel 1).

Data tinggi tanaman yang diperoleh kemudian digunakan dalam penghitungan nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC). Nilai AUHPGC dihitung menggunakan rumus Van der Plank (Cooke 1998) sebagai berikut:

y, laju pertambahan tinggi tanaman; t, hari.

HASIL

Indisensi Penyakit Layu BakteriInsidensi penyakit layu bakteri pada

minggu ke-1 dan ke-2 paling tinggi terjadi pada tanaman yang diberi perlakuan B0P100

dengan insidensi sebesar 13.3% dan yang paling rendah terjadi pada perlakuan B25P75, B100P0, B0A100, dan B50A50 dengan insidensi penyakit layu masing-masing sebesar 0.0%. Pada minggu ke-7 insidensi penyakit layu bakteri paling rendah, yaitu sebesar 40.0% terjadi pada perlakuan B0P100 sedangkan yang tertinggi terjadi pada tanaman yang diberi perlakuan B75A25, yaitu sebesar 100%. Insidensi penyakit pada minggu ke-7 pada kontrol sebesar 65.0% (Gambar 1).

Nilai AUDPC tertinggi, yaitu 560 unit terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi S. epidermidis BC4 75% dan B. subtilis AB89 25% (B75A25) sedangkan nilai AUDPC terendah yaitu 220 unit terjadi pada tanaman dengan perlakuan P. fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal (B0P100). Nilai AUDPC pada kontrol sebesar 340 unit (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi P. fluorescens RH4003 secara tunggal dapat menekan tingkat insidensi penyakit layu bakteri lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi.

Jenis Hubungan Rizobakteria Pemacu Pertumbuhan Tanaman dan Bakteri Endofit

Perlakuan tunggal S. epidermidis BC4 (B100P0) dan P. fluorescens RH4003 (B0P100) memberikan indeks penekanan penyakit lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lain,

Kode perlakuan

Proporsi suspensi bakteri dalam perlakuan (%)Staphylococcus

epidermidis BC4 (B)

Bacillus subtilis AB89

(A)

Pseudomonas fluorescens RH4003

(P)Kontrol 0 0 0B0P100 0 0 100B25P75 25 0 75B50P50 50 0 50B75P25 75 0 25B100P0 100 0 0B0A100 0 100 0B25A75 25 75 0B50A50 50 50 0B75A25 75 25 0

Tabel 1 Kode perlakuan dan proporsi suspensi bakteri dalam perlakuan pada uji penekanan penyakit

,denganAUHPGC = ∑n=1

i

yi + yi+12 × (ti +1- ti)

148

Page 5: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

yaitu masing-masing sebesar 41.18% dan 45.88%. Perlakuan kombinasi yang memberikan penekanan terhadap perkembang-an penyakit ialah perlakuan B50B50 dan B50P50. Kedua perlakuan tersebut dapat menekan insidensi penyakit layu bakteri masing-masing sebesar 17.65% dan 11.76% (Tabel 3).

Berdasarkan nilai SF, hubungan antara S. epidermidis BC4 dengan B. subtilis AB89 maupun hubungan antara S. epidermidis BC4 dengan P. fluorescens RH4003 bersifat antagonis (Tabel 3).

Pertambahan Tinggi dan Bobot Kering Tanaman

Perlakuan B0P100 (P. fluorescens RH4003 secara tunggal), B75P25 dan B100P0 (S. epidermidis BC4 secara tunggal) menghasilkan nilai AUHPGC lebih besar dibandingkan dengan nilai AUHPGC pada kontrol yang menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut dapat meningkatkan pertambahan tinggi tanaman. Nilai AUHPGC pada perlakuan B0P100 sebesar 461.65 unit, pada perlakuan B75P25 sebesar 494.93 unit dan B100P0 sebesar 459.95 unit sedangkan pada kontrol sebesar 442.40 unit (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa kedua jenis agens biokontrol apabila dikombinasikan kurang dapat menekan indisensi penyakit maupun memacu

Perlakuana AUDPC (unit)b

Kontrol 340 ± 36.64 abB0P100 220 ± 124.89 bB25P75 340 ± 227.15 abB50P50 300 ± 103.92 bB75P25 380 ± 124.89 abB100P0 280 ± 34.64 bB0A100 400 ± 124.89 abB25A75 380 ± 173.21 abB50A50 280 ± 173.21 bB75A25 560 ± 36.64 a

Tabel 2 Nilai area under disease progress curve (AUDPC) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman di rumah kaca

a A, B. subtilis AB89; B, S. epidermidis BC4; P, P. fluorescens RH4003bAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Gambar 1 Indisensi penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan RPPT dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7. ,kontrol; , B0P100; , B25P75; , B50P50; , B75P25; , B100P0; , B0A100; , B25A75; , B50A50; , B75A25.K, kontrol; A, Bacillus subtilis AB89; B, Staphylococcus epidermidis BC4; P, Pseudomonas fluorescens RH4003.

1009080706050403020100

1 2 3 4 5 6 7Pengamatan minggu setelah tanam (MST)

Insid

ensi

peny

akit

bakt

eri (

%)

149

Page 6: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

Perlakuan Indeks penekananpenyakit (%)a

E(obs)b Sinergy factor

(SF)Jenis hubungan

B0A100c -17.65

B100P0 41.18B0P100 45.88B25A75 -11.76 30.79 -0.38 AntagonisB50A50 17.65 30.79 0.57 AntagonisB75A25 -64.71 30.79 -2.10 AntagonisB25P75 0.00 68.17 0.00 AntagonisB50P50 11.76 68.17 0.17 AntagonisB75P25 -11.76 68.17 -0.17 Antagonis

Tabel 3 Indeks penekanan penyakit, nilai sinergy factor (SF) dan jenis hubungan antara rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman dan bakteri endofit dari perlakuan kombinasi berdasarkan nilai area under disease progress curve (AUDPC)

a Relatif dibandingkan dengan kontrolb Keefektifan pengendalian dugaan oleh kombinasi RPPT dan bakteri endofitc A, B. subtilis AB89; B, S. epidermidis BC4; P, P. fluorescens RH4003

Perlakuana Nilai AUHPGC (unit)b Bobot kering per tanamanb (g)Kontrol 442.40 ± 40.13 abc 6.75 ± 1.76 abB0P100 461.65 ± 70.28 ab 6.14 ± 1.66 abB25P75 413.58 ± 64.88 bcd 6.43 ± 2.09 abB50P50 393.40 ± 42.13 bcd 6.30 ± 2.63 abB75P25 494.93 ± 48.87 a 7.87 ± 1.57 aB100P0 459.95 ± 31.77 ab 6.69 ± 0.52 abB0A100 413.63 ± 19.94 bcd 6.04 ± 0.32 ab B25A75 383.43 ± 17.13 cd 5.62 ± 0.82 abB50A50 414.05 ± 50.00 bcd 6.02 ± 0.84 abB75A25 362.55 ± 67.46 d 4.68 ± 1.68 b

Tabel 4 Nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC) dan rerata bobot kering tanaman berumur 6 minggu setelah tanam pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman

a A, B. subtilis AB89; B, S. epidermidis BC4; P, P. fluorescens RH4003bAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

pertambahan tinggi tanaman dibandingkan dengan apabila diaplikasikan secara tunggal. Hal tersebut berbeda dengan laporan Handini dan Nawangsih (2014). Mereka melaporkan P. fluorescens RH4003 kurang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dibandingkan dengan kombinasi S. epidermidis BC4.

P. fluorescens adalah bakteri ubiquitos dan biasanya ditemukan pada permukaan daun dan akar. P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pioverdin dan atau fenazin pada medium

King’s B dan akan berpendar di bawah sinar near ultra violet. Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari serangan patogen dengan mengolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa antimikrob dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe2+ (Couillerot et al. 2009).

B. subtilis adalah bakteri Gram positif, bersifat saprob dan dapat membentuk spora (Nihorimbere et al. 2010). Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan

150

Page 7: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

bakteri yang mengolonisasi akar tanaman. B. subtilis AB89 dapat memacu pertumbuhan tanaman (Handini dan Nawangsih 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kurang memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Berdasarkan nilai SF, ketiga jenis bakteri tersebut bersifat saling antagonis. Hal ini dapat terjadi karena adanya kompetisi antara 2 bakteri yang diaplikasikan. Kompetisi ruang dan nutrisi dapat terjadi sehingga memengaruhi penghambatan patogen. Nutrisiyang kurang pada medium tanam akan memperparah kompetisi antardua agens biokontrol (Nurbaya et al. 2011). Sifat antagonis ini dapat ditanggulangi dengan waktu aplikasi yang berbeda antara RPPT dan bakteri endofit atau yang biasa disebut dengan rotasi aplikasi agens biokontrol (Janousek et al. 2009).

Selain pertambahan tinggi tanaman, bobot kering tanaman juga digunakan sebagai peubah dalam uji pemacuan pertumbuhan. Bobot kering tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan B75P25, sedangkan bobot kering terendah dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan B75A25. Bobot kering tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi agens biokontrol secara kombinasi tidak memberikan penekan-an insidensi penyakit yang lebih baik di-bandingkan dengan perlakuan tunggal karena hubungan antara RPPT dan bakteri endofit yang digunakan bersifat antagonis. Indeks penekanan penyakit oleh S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal berturut-turut mencapai 41.18% dan 45.88%.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai sebagian dari Program Penelitian Desentralisasi (Hibah Bersaing) dengan judul: Upaya pemanfaatan bakteri endofit dan PGPR untuk mengendalikan penyakit layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum pada tomat (Tahun

III) atas biaya DIPA IPB berdasarkan kontrak Nomor: 01/I3.24.4/SPP/PHB/2011.

DAFTAR PUSTAKA

Almoneafy AA, Xie GL, Tian WX, Xu LH, Zhang GQ, Ibrahim M. 2012. Characterization and evaluation of Bacillus isolates for their potential plant growth and biocontrol activity against tomato bacterial wilt. Afr J Biotechnol. 11(28):7193–7201. DOI: http://dx.doi.org/10.5897/AJB11.2963.

Alvarez B, Biosca EG, Lopez MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Di dalam: Vilas AM, editor. Current Research, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology. Valencia (SP): Formatex. hlm 267–279.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi tomat pada tahun 2000-2009. Jakarta (ID): BPS.

Cooke BM. 1998. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor. The Epidomiology of Plant Diseases.Ed ke-2. London (UK): Kluwer. hlm 42–72.

Couillerot O, Combaret CP, Mellado JC, Loccoz YM. 2009. Pseudomonas fluorescens and closely-related fluorescent pseudomonads as biocontrol agents of soil-borne phytopathogens. Lett Appl Microbiol. 48(2009):505–512. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1472-765X.2009.02566.x.

[EPPO] European and MediterraneanPlant Protection Organization. 2011. Quarantine pest: data sheet of quarantine pest Ralstonia solanacearum. European Union. http://www.eppo.int/QUARANTINE/bacteria/Ralstonia_solanacearumPSDMSO_ds.pdf. [diakses 3 Mei 2011].

Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2001. Combining biocontrol agents to reduce the variability of biocontrol agent. Phytopathology. 91(7):621–627. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2001.91.7.621.

151

Page 8: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Nawangsih dan Wardani

Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopathology. 92(9):976–985. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2002.92.9.976.

Handini ZVT, Nawangsih AA. 2014. Keefektifan bakteri endofit dan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman dalam menekan penyakit layu bakteri pada Tomat. J Fitopatol Indones. 10(2):61–67. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.10.2.61.

Janousek CN, Lorber JD, Gubler WD. 2009. Combination and rotation of bacterial antagonists to control powdery mildew on pumpkin. JPDP. 116(6):260–262.

Mishra DS, Gupta AK, Prajapati CR, Singh US. 2011. Combination of fungal and bacterial antagonists for management of root and stem rot disease of soybean. Pakistan J Bot. 43(5):2569–2574.

Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and Characterization of endophytic bacteria as biological control agents of tomato bacteria wilt disease. Hayati. 18(1):66–70. DOI: http://dx.doi.org/10.4308/hjb.18.2.66.

Nawangsih AA, Kanehasi K, Tjahjono B, Sinaga MS, Suwanto A, Wattimena GA, Negishi H, Suyama K. 2007. Antibacterial activity of Pseudomonas fluorescens RH4003 against bacterial wilt of tomato. J ISSAAS. 13(2):30–39.

Nihorimbere V, Ongena M, Cawoy H, Brostaux Y, Kakana P, Jourdan E, Thonart

P. 2010. Beneficial effect of Bacillus subtilis on field-grown tomato in Burundi: reduction of local Fusarium disease and growth promotion. Afr J Microbiol Res. 4(11):1135–1142.

Nurbaya, Rahim MD, Kuswinanti T, Baharuddin. 2011. Sinergisme antar isolat bakteri antagonis dalam mengendalikan penyakit layu bakteri (R.solanacearum) pada sistem budidaya aeroponik tanaman kentang. Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan; 2011 Jun 7, Makassar (ID). PFI PEI Komda Sulsel. Tersedia pada: http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/uploads/2012/03/3-Nurbaya-dkk-Penggunaan-formulasi-sinbat.pdf.

Roberts DP, Lohrke SM, Meyer SLF, Buyer JS, Bowers JH, Baker CJ, Li wei, Souza JT, Lewis JA, Chung S. 2005. Biocontrol agents apllied individually and in combination for suppression of soilborne disease of cucumber. Crop Prot. 24(2005):141–155. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.cropro.2004.07.004.

Ryan RP, Germaine K, Franks A, Ryan DJ, Dowling DN. 2007. Bacterial endophytes: recent developments and applications. FEMS Microbiol Lett. 278:1–9. DOI:http://dx.doi.org/10.1111/j.1574-6968.2007.00918.x.

Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006. Pengaruh Perlakuan Rizo-bakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai. Bul Agron. 34(1):46–54.

152

Page 9: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014Halaman 139–144

DOI: 10.14692/jfi.10.5.139ISSN: 0215-7950

Pengendalian Penyakit Busuk Buah Phytophthora pada Kakao dengan Cendawan Endofit Trichoderma asperellum

Control of Phytophthora Pod Rot Disease on Cacao using Endophytic Fungi Trichoderma asperellum

Andi Akbar Hakkar, Ade Rosmana*, Muhammad Danial RahimUniversitas Hasanuddin, Makassar 90245

ABSTRAK

Busuk buah Phytophthora (BBP) yang disebabkan Phytophthora palmivora merupakan salah satu penyakit penting yang berperan dalam penurunan produksi kakao. Penggunaan cendawan endofit Trichoderma dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini. Laju insidensi penyakit BBP selama 12 minggu setelah 3 kali aplikasi penyemprotan susupensi Trichoderma asperellum ART-4/G.J.S 09-1559 pada konsentrasi 1 g L-1, 2 g L-1, dan 4 g L-1 berturut-turut ialah 5.4, 5.3, dan 3.7% per minggu; sedangkan pada kontrol mencapai 8.4% per minggu. Buah di lapangan yang tampak sehat dan telah diberi perlakuan T. asperellum dengan konsentrasi 2 dan 4 g L-1 tidak memperlihatkan gejala BBP setelah inkubasi di laboratorium selama 1 minggu, sedangkan pada kontrol hampir seluruh permukaan buahnya membusuk. T. asperellum dapat direisolasi dari jaringan buah 12 minggu setelah penyemprotan terakhir. Penelitian ini menunjukkan potensi penggunaan T. asperellum sebagai agens pengendali biologi P. palmivora.

Kata kunci : agens hayati, busuk buah kakao, Phytophthora palmivora

ABSTRACT

The Phytophthora pod rot (PPR) caused by Phytophthora palmivora is one of important diseases affecting the decrease of cacao productivity. The use of endophytic Trichoderma have a big potential for controlling this disease. The rate of PPR incidence in twelve weeks after three times application by spraying of ART-4/G.J.S 09-1559 isolate of Trichoderma asperellum with concentration of 1 g L-1, 2 g L-1, 4 g L-1 was 5.4%, 5.3%, and 3.7%, respectively per week; while the rate of PPR incidence on control was 8.4% per week. Apparently healthy pods pretreated with above concentrations of T. asperellum in field showed 30, 0, and 0% infested by PPR on its surface, respectively after one week incubation in laboratory, compared to a 90% of surface infestation by PPR on control. After 12 week of inoculation, T. asperellum was recovered from pod tissue. This data demonstrated the potential of T. asperellum as bio control agent of PPR disease on cacao.

Key words: bio control agent, Phytophthora palmivora, pod rot disease

*Alamat penulis korespondensi: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Tamalanrea Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10, Makassar 90245Tel: 0411-586477, Faks: 0411-586477; Surel: [email protected]

139

Page 10: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Hakkar et al.

PENDAHULUAN

Penyakit busuk buah Phytophthora (BBP) merupakan salah satu penyakit utama yang dapat mempengaruhi sistim produksi kakao di dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 90% terutama pada musim hujan atau musim kemarau pada lahan dengan populasi semut yang banyak (Rosmana et al. 2010a). Di Indonesia P. palmivora merupakan spesies utama yang menyerang semua fase perkembangan buah kakao sehingga selain menyebabkan busuk buah, juga menyebabkan layu cherelle (Acebo- Guerrero et al. 2012)

Salah satu teknik yang berpotensi dikembangkan untuk mengendalikan penyakit ini ialah penggunaan cendawan Trichoderma. Kemampuan pengendalian biologi sejumlah spesies Trichoderma telah dilaporkan. Peng-gunaan Trichoderma nonendofit isolat Sulawesi dapat menurunkan insidensi penyakit BBP hampir sama dengan penggunaan fungisida sintetik (Rosmana et al. 2006). Potensi pe-ngendalian P. palmivora dengan Trichoderma juga telah diteliti di beberapa negara dan memberikan hasil yang menjanjikan (Hanada et al. 2009).

Rosmana et al. (2014) mengidentifikasi sejumlah Trichoderma asperellum endofit dari buah di pertanaman kakao di Sulawesi dan dua isolat di antaranya telah diujicobakan pada penyakit hawar daun Phytophthora yang disebabkan P. palmivora di pembibitan kakao melalui aplikasi pada akar. Uji coba tersebut menunjukkan potensi T. asperellum dalam menurunkan penyakit (Azis et al. 2014). Potensi T. asperellum untuk mengendalikan penyakit BBP di lapangan dievaluasi lebih lanjut pada musim hujan. Kemampuan cendawan endofit tersebut untuk penetrasi pada buah dan berperan menginduksi ketahanan diamati pula.

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan T. asperellumTrichoderma asperellum yang digunakan

ialah isolat ART-4/G.J.S. 09-1559 koleksi

Dr Ade Rosmana. Isolat ini ditumbuhkan pada medium agar-agar kentang dekstrosa (ADK), kemudian diperbanyak pada medium beras dalam kantong plastik. Kultur yang telah berumur kurang lebih satu minggu, selanjutnya diformulasi dalam bentuk tepung sehingga formula ini selain mengandung spora juga memiliki miselium.

Aplikasi T. asperellum di Lapangan Pengujian di lapangan disusun dalam

rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan masing masing perlakuan diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas konsentrasi T. asperellum, yaitu 1 g L-1, 2 g L-1, 4 g L-1, dan sebagai pembanding tanpa T. asperellum. Pada masing-masing petak perlakuan terdapat 16 pohon kakao sehingga total pohon pada percobaan ialah 192 pohon. Dari jumlah pohon ini dipilih buah kakao berukuran panjang di bawah 10 cm sebanyak 600 buah kakao atau 50 buah per petak. Aplikasi T. asperellum pada buah dilakukan dengan 3 kali penyemprotan pada pagi hari dengan interval waktu penyemprotan setiap 7 hari. Suspensi yang disemprotkan merupakan campuran T. asperellum, air, dan carboxy methyl cellulose 0.7%.

Pengamatan Insidensi Penyakit Busuk Buah Phytophthora dan KeberadaanT. asperellum dalam Buah

Pengamatan terhadap insidensi penyakit BBP dilakukan selama 12 minggu dengan interval 1 minggu. Insidensi penyakit dihitung dengan rumus

IP = a/b × 100%, denganIP, insidensi penyakit BBP; a, jumlah buah yang terserang penyakit BBP; b, jumlah seluruh buah yang diamati.

Keberadaan T. asperellum dalam jaringan buah kakao diamati setelah buah dibilas dengan alkohol 70% dan dibiarkan selama 1–2 menit, kemudian dicuci berulang dengan menggunakan akuades steril. Kulit kakao dilepas dengan pisau steril, sampel jaringan buah yang terdiri atas plasenta dan potongan biji diambil dan diinokulasikan pada medium ADK. Deteksi keberadaan T. asperellum

140

Page 11: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Hakkar et al.

Gambar 1 Insidensi penyakit busuk buah Phytophthora (BBP) setelah 3 kali aplikasi penyemprotan Trichoderma asperellum ART-4/G.J.S. 09-1559 pada konsentrasi. a, kontrol; b, 1 g L-1; c, 2 g L-1; dan d, 4 g L-1.

100

80

60

40

20

00 4 8 12

Waktu pengamatan (minggu)

Insi

dens

i pen

yaki

t (%

)

c

100

80

60

40

20

00 4 8 12

Waktu pengamatan (minggu)

Insi

dens

i pen

yaki

t (%

)

d

Insi

dens

i pen

yaki

t (%

)

100

80

60

40

20

00 4 8 12

Waktu pengamatan (minggu)a

Insi

dens

i pen

yaki

t (%

)

100

80

60

40

20

00 4 8 12

Waktu pengamatan (minggu)b

141

juga dilakukan secara langsung dengan mengamati jaringan kulit bagian dalam buah yang diwarnai dengan lactophenol blue menggunakan mikroskop.

Sebanyak 2 buah kakao yang tampak sehat di lapangan diambil dari tanaman yang telah diberi perlakuan T. asperellum dan kontrol, kemudian diinkubasikan selama 1 minggu di laboratorium pada kondisi lembab. Hal ini dilakukan untuk melihat ketahanan buah pasca panen terhadap infeksi P. palmivora yang terbawa dari lapangan.

Untuk melihat lamanya T. asperellum bertahan pada tanaman kakao yang sudah diberi perlakuan, maka setelah 6 bulan pengujian berakhir sampel buah diambil dan dibawa ke laboratorium. Pengamatan dilakukan dengan metode yang sama seperti diuraikan sebelumnya.

Analisis DataLaju perkembangan penyakit BBP pada

setiap perlakuan dianalisis dengan persamaan regresi berdasarkan insidensi penyakit dan waktu pengamatan. Analisis dengan uji T dilakukan untuk mengevaluasi perbedaan antara koefisien regresi.

HASIL

Penyakit BBP mulai muncul pada minggu ke-3 pada perlakuan kontrol, sedangkan pada petak yang diberi perlakuan T. asperellum penyakit BBP muncul pada minggu ke-4. Laju perkembangan penyakit selama 12 minggu pada petak kontrol dan petak perlakuan T. asperellum 1 g L-1, 2 g L-1, 4 g L-1 berturut-turut ialah 8.4, 5.4, 5.3, dan 3.7% (Gambar 1). Laju perkembangan penyakit pada perlakuan

Page 12: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Hakkar et al.

kontrol berbeda nyata dengan perlakuan T. asperellum 1 g L-1, 2 g L-1, 4 g L-1, sedangkan antara perlakuan T. asperellum tidak berbeda nyata (P ≤ 0.05).

T. asperellum berhasil direisolasi dari 25% sampel biji dan plasenta 12 minggu setelah aplikasi T. asperellum, tetapi tidak ditemukan pada perlakuan kontrol. Hasil inkubasi buah yang tampak sehat dari lapangan dan tidak diberi perlakuan T. asperellum menunjukkan bahwa gejala busuk buah tampak menutupi seluruh permukaan buah. Sebaliknya, gejala busuk buah hanya menutupi 30% permukaan buah pada perlakuan 1 g L-1 T. asperellum. Gejala busuk sama sekali tidak tampak pada permukaan buah kakao pada perlakuan 2 g L-1

dan 4 g L-1 T. asperellum (Gambar 2). Pengamatan 6 bulan setelah panen terakhir menunjukkan hanya 1 dari 12 buah yang diamati mengandung T. asperellum.

PEMBAHASAN

Penelitian terdahulu menggunakan T. asperellum ART-4/G.J.S.09-1559 menunjuk-kan bahwa cendawan ini dapat mengolonisasi batang dan daun kakao melalui aplikasi akar dan sambungan pucuk (Aziz et al. 2014; Rosmana et al. 2014). Pada penelitian ini ditunjukkan pula bahwa isolat yang sama dapat mengolonisasi buah setelah aplikasi melalui permukaan buah kakao dan keberadaannya dalam buah relatif lama sampai buah dipanen. Belum ada informasi tentang mekanisme penetrasi Trichoderma pada buah kakao. Bailey et al. (2008) mengamati adanya kolonisasi trikoma batang oleh Trichoderma

dan hifanya keluar dari ujung trikoma setelah inokulasi bibit kakao melalui akar (Ishida et al. 2008). Buah kakao terutama buah muda memiliki banyak trikoma (Susilo et al. 2009) dan ujung trikoma yang merupakan tempat eksresi eksudat mungkin menjadi tempat masuk Trichoderma yang disemprotkan pada permukaan buah. Diketahui bahwa Trichoderma dapat menembus secara langsung pada rambut akar (Yedida 2000).

Penurunan insidensi penyakit BBP secara progresif berdasarkan konsentrasi T. asperellum yang diaplikasikan berhubungan dengan besarnya kesempatan inokulum awal untuk menembus dan mengolonisasi buah kakao sehingga memberikan proteksi yang lebih besar. Mekanisme Trichoderma menghambat patogen Phytophthora spp. ialah melalui cara langsung, yaitu dengan mikoparasitisme atau antibiosis (Bailey et al. 2008; Bae et al. 2011; Atanasova et al. 2013). Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa buah kakao yang tampak sehat di lapangan sudah terinfeksi oleh BBP. Semakin tinggi konsentrasi T. asperellum yang di-aplikasikan akan memberikan perlindungan semakin besar terhadap terjadinya busuk buah. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Rosmana (2013, tidak dipublikasikan). Hal ini memberikan hipotesis adanya mekanisme tidak langsung yang diberikan oleh T. asperellum untuk pertahanan buah terhadap P. palmivora yang terbawa buah dari lapangan. Sejumlah galur Trichoderma di antaranya DIS 70a, DIS 219b, DIS 219f, dan DIS 172ai telah dipelajari secara detail untuk asosiasi endofitiknya dengan jaringan kakao di atas

Gambar 2 Gejala busuk buah Phytophthora yang muncul setelah inkubasi selama 1 minggu di laboratorium. a, busuk buah pada kontrol; b, busuk buah pada perlakuan 1 g L-1 Trichoderma asperellum; c, perlakuan 2 g L-1 T. asperellum; d, perlakuan 4 g L-1 T. asperellum.

142

a b c d

Page 13: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Hakkar et al.

tanah serta kemampuannya untuk mengubah ekspresi gen kakao selama kolonisasinya (Bailey et al. 2006; Bailey et al. 2008). Bae et al. (2011) menunjukkan bahwa kolonisasi cendawan endofit kakao T. stilbohypoxyli pada tanaman cabai menginduksi pengenal yang berhubungan dengan pertahanan seperti protein lipid transferase. Gen yang ikut serta dalam respons hipersensitif, biosintesis fitoaleksin seskuiterpen, serta gen yang berperan dalam metabolisme hormon, seperti etilena, asam salisilat, asam jasmonat dan asam giberelat juga diinduksi.

Aplikasi T. asperellum pada konsentrasi 4 g L-1 dapat menghambat kemunculan penyakit BBP sekitar 50% di musim hujan. Hasil proteksi yang sama diperoleh dengan penggunaan pestisida kimiawi sintetis yang diaplikasikan berulang dengan interval satu minggu selama kurang lebih 3–4 bulan oleh petani kakao. Setelah enam bulan aplikasi, sejumlah buah terdeteksi mengandung T. asperellum yang sama. Hal ini merupakan bukti pertama yang menunjukkan bahwa T. asperellum dapat bertahan lama pada pertanaman kakao.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) yang telah membiayai penelitian ini melalui proyek Hort-2010/011.

DAFTAR PUSTAKA

Acebo-Guerrero Y, Hernandez-Rodriguez A, Heydrich-Perez M, El Jaziri M, Hernandez-Lauzardo AN. 2012. Management of black pod rot in cacao (Theobroma cacao L.): a review. Fruits. 67:41–48. DOI: http://dx.doi.org/10.1051/fruits/2011065.

Atanasova L, Le Crom S, Gruber S, Coulpier F, Seidl-Seiboth V, Kubicek CP, Druzhinina IS. 2013. Comparative transcriptomics reveals different strategies of Trichoderma mycoparasitism. BMC Genomics. 14:121. DOI: http://dx.doi.org/10.1186/1471-2164-14-121.

Aziz AI, Rosmana A, Dewi VS. 2014. Pengendalian penyakit hawar daun phytophthora pada bibit kakao dengan Trichoderma asperellum. J Fitopatol Indones. 9:15–20. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.9.1.15.

Bae H, Roberts DP, Lim HS, Strem MD, Park SC, Ryu CM, Melnick RL, Bailey BA. 2011. Endophytic Trichoderma isolates from tropical environments delay disease onset and induce resistance against Phytophthora capsici in hot pepper using multiple mechanisms. Mol Plant Microb In. 24:336–351. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/MPMI-09-10-0221.

Bailey BA, Bae H, Strem MD, Roberts DP, Thomas SE, Crozier J, Samuels GJ, Choi I-Y, Holmes KA, 2006. Fungal and plant gene expression during the colonization of cacao seedlings by endophytic isolates of four Trichoderma species. Planta. 224:1449–1464. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00425-006-0314-0.

Bailey BA, Bae H, Strem MD, Crozier J, Thomas SE, Samuels GJ, Vinyard BT, Holmes KA. 2008. Antibiosis, mycoparasitism, and colonization success for endophytic Trichoderma isolates with biological control potential in Theobroma cacao. Biol Control. 46:24–35. D O I : h t t p : / / d x . d o i . o rg / 1 0 . 1 0 1 6 / j .biocontrol.2008.01.003.

Hanada RE, Pomella AWV, Soberanis W, Leandro L, Loguercio LL, Pereira JO. 2009. Biocontrol potential of Trichoderma martiale against the black-pod disease (Phytophthora palmivora) of cacao. Biol Control. 50:143–149. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2009.04.005.

Ishida T, Kurata T, Okada K, Wada T. 2008. A genetic regulatory network in the development of trichomes and root hairs. Annu Rev Plant Biol. 59:365–386. DOI: http://dx.doi.org/10.1146/annurev.arplant.59.032607.092949.

Rosmana A, Sahrani E, Saharuddin W, Junaid M. 2006. Komparasi penggunaan Trichoderma dengan fungisida sintetik untuk mengendalikan penyakit busuk

143

Page 14: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Hakkar et al.

buah phytophthora kakao. Fitomedika. 6:22–25.

Rosmana A, Samuels GJ, Ismaiel A, Ibrahim ES, Chaverri P, Herawati Y, Asman, A. 2014. Trichoderma asperellum, a dominant endophyte species in cacao grown in Sulawesi with potential for controlling vascular streak dieback disease. Trop Plant Pathol. (in press).

Rosmana A, Shepard M, Hebbar P, Mustari A. 2010b. Control of cocoa pod borer and phytophthora pod rot using degradable plastic pod sleeves and a nematode Steinernema carpocapsae. Indon J Agric Sci. 11:41–47.

Rosmana A, Waniada C, Junaid M, Gassa A. 2010a. Peranan semut Iridomirmex

cordatus (Hyminoptera: Formicidae) dalam menularkan patogen busuk buah Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan. 26:169–176.

Susilo AW, Mangoendidjojo W, Witjaksono, Mawardi S. 2009. Pengaruh perkembangan umur buah beberapa klon kakao terhadap keragaan sifat ketahanan hama penggerek buah kakao. Pelita Perkebunan. 25:1–11.

Yedidia I, Benhamou N, Kapulnik Y, Chet I, 2000. Induction and accumulation of PR protein activity during early stages of root colonization by the mycoparasite Trichoderma harzianum strain T-203. Plant Physiol Bioch. 38:863–873. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0981-9428(00)01198-0.

144

Page 15: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014Halaman 153–159

DOI: 10.14692/jfi.10.5.153ISSN: 0215-7950

Formula Pelet Berbahan Aktif Trichoderma sp. dan Aplikasinya terhadap Penyakit Rebah Kecambah pada Tanaman Mentimun

Pellet Formulation with Active Material of Trichoderma sp. for Controlling Damping Off Disease in Cucumber Plants

Bonny Poernomo Wahyu Soekarno1*, Surono2, Susanti1

1Institut Pertanian Bogor, Bogor 166802Balai Penelitian Tanah, Bogor 16114

ABSTRAK

Mentimun (Cucumis sativus) merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, namun tingkat produksi mentimun masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas mentimun ialah gangguan penyakit tanaman. Penyakit rebah kecambah sering menimbulkan kerugian pada tanaman mentimun yang disebabkan oleh cendawan tular tanah Pythium sp. Upaya pengendaliannya diantaranya ialah dengan menggunakan agens hayati Trichoderma.Meskipun demikian dalam pemanfaatannya tidak praktis sehingga sulit diaplikasikan di lapangan. Formula pelet adalah salah satu alternatif yang lebih praktis untuk diaplikasikan karena berukuran kecil dan mudah dipindahkan. Tujuan penelitian ini ialah membuat formula pelet berbahan aktif Trichoderma dari bahan pembawa yang bernutrisi tinggi, murah, dan mudah. Penelitian ini menggunakan dua uji, yaitu uji in vitro dan in vivo. Uji in vitro dilakukan menggunakan enam formula pelet DAT, UAT, TAT, PAT, DDS and ATS. Formula pelet terbaik pada uji in vitro yaitu UAT dan DDS, kemudian digunakan dalam uji in vivo. Dua formula pelet tersebut mampu menekan serangan cendawan patogen Pythium pada uji in vivo.

Kata kunci: pengendalian hayati, Pythium, uji invitro, uji in vivo

ABSTRACT

Cucumber (Cucumis sativus) is an important vegetable comodity in Indonesia, but its production rate is still low. One of the factors that cause the low productivity is plant diseases. Damping-off disease often causes the damage of cucumber plant caused by a fungus that lives in the soil as soilborne disease, Phytium sp. The controlling effort of this disease have been done, for example using Trichoderma sp. as bio-agent, but the utilization of the bio-agent still is not practical so it is difficult to be applied in field. The pellet formula is more effective to be implemented because of the small size and easily moved. The purpose of this research was to produce the pellet formulation with active material of Trichoderma sp. with rich nutritious content, cheap and easy carrier. This research used two tests, in vitro and in vivo test. The in vitro test used six different pellet formulations, DAT, UAT, TAT, PAT, DDS and ATS. The best formulation in in vitro test are UAT and DDS, then the formulas were used in in vivo test. Both formulas could suppress the pathogenic fungus, Pythium, in vivo test.

Key words: bio-controlling, in vitro test , in vivo test, Pythium

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Jalan Kamper, Bogor Tel: 0251-8629364 Faks: 0251-8629362 Surel: [email protected]

153

Page 16: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

PENDAHULUAN

Rebah kecambah yang disebabkan oleh cendawan tular tanah Pythium merupakan penyakit yang menimbulkan kerugian pada tanaman mentimun (Cucumis sativus). Cendawan tersebut dapat menyebabkan kematian benih yang baru ditanam, juga menyerang perakaran dan batang yang belum muncul ataupun yang baru muncul ke permukaan tanah. Serangannya lebih parah bila didukung oleh kelembapan tanah yang tinggi (Suleiman dan Emmua 2009).

Upaya untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah telah banyak dilakukan, diantaranya ialah menggunakan Trichoderma sebagai agens hayati karena keunggulannya dapat mematikan patogen. Meskipun demikian masih perlu diupayakan cara aplikasi Trichoderma sebagai agens hayati yang efektif dan praktis.

Dalam pengendalian penyakit tanaman, Trichoderma sp. diaplikasikan dalam bentuk pelbagai substrat, misal dedak padi, kulit sekam, serbuk gergaji, tepung kulit sekam, tepung jagung, dan campuran beberapa substrat. Aplikasi Trichoderma dalam bentuk substrat kurang praktis karena membutuhkan wadah dan tenaga kerja yang cukup banyak, serta sering mengalami kendala untuk dibawa dan diaplikasikan di lapangan. Oleh karena itu, perlu dicari formula pelet Trichoderma yang lebih praktis, efektif, dan efisien.

Berbagai bahan pembawa yang dapat digunakan dalam formula pelet ialah dedak, tepung ubi jalar, tepung talas, dan tepung pisang. Bahan tersebut kaya karbohidrat. Selain karbohidrat, cendawan memerlukan asupan protein untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu, untuk memperkaya formula pelet Trichoderma dapat ditambahkan ampas tahu yang merupakan hasil samping pembuatan tahu, kadar proteinnya cukup tinggi, yaitu sebesar 26.6% pada kadar air 9% (Direktorat Gizi dan Kesehatan 1993).

Tujuan penelitian ialah membuat formula pelet berbahan aktif Trichoderma dengan bahan pembawa yang bernutrisi tinggi, murah, dan mudah diperoleh.

BAHAN DAN METODE

Pembuatan pelet menggunakan cendawan Trichoderma sp. koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi Tanah, Balai Penelitian Tanah Cimanggu Bogor. Trichoderma sp. ini diremajakan pada medium agar-agar dekstrose kentang (ADK).

Bahan membuat pelet terdiri atas tepung talas, ubi jalar, pisang, dan bawang putih dengan bobot yang sama. Semua bahan dikupas kulitnya, dicuci, kemudian ditiriskan sekitar 5 menit. Bahan dipotong tipis-tipis untuk mempercepat proses penjemuran dibawah sinar matahari yang selanjutnya digiling hingga menjadi tepung yang halus.

Pembuatan tepung ampas tahu lebih sederhana, yaitu dengan menjemur ampas tahu yang masih basah dan segar hingga kering tidak lengket satu sama lain, kemudian digiling dan disaring hingga menjadi tepung halus.

Penyediaan bahan pembawa dari dedak lebih sederhana karena hanya menyaring dedak hingga diperoleh butiran yang halus. Semua bahan untuk membuat pelet dianalisis kandungan C dan N-nya untuk menentukan nutrisi yang diperlukan oleh Trichoderma.

Komposisi Formula PeletBahan penyusun pelet terdiri atas tepung

pisang, ubi jalar, talas, dan dedak yang dicampur dengan tepung ampas tahu, tepung bawang putih, molase, dan air steril sesuai keperluan (Tabel 1).

Pembuatan Pelet Trichoderma Masing-masing bahan pembawa dengan

komposisi yang telah ditentukan ditambah 1.5 g tepung bawang putih yang berfungsi sebagai antibiotik. Bahan pembawa tersebut dibungkus menggunakan kertas alumunium, kemudian disterilkan dalam autoklaf.

Trichoderma berumur 7 hari pada medium PDA dibuat suspensinya dan diencerkan sampai kerapatan massa konidium 2.57 × 108.Sebanyak 10 mL suspensi konidium ini dimasukkan ke dalam campuran bahan pelet, kemudian ditambahkan 15 mL molase dan

154

Page 17: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

air steril sesuai komposisi masing-masing medium dan diaduk hingga homogen. Campuran ini dimasukkan ke dalam sedotan plastik steril berdiameter 1 cm dan panjang 1 cm dan dipadatkan. Butiran pelet dalam sedotan tersebut dikeringkan dibawah lampu 40 W di dalam kardus dengan aerasi dari kipas angin selama 7 hari. Selanjutnya pelet Trichoderma dikeluarkan dari sedotan dan dimasukkan ke kantong plastik. Proses pembuatan pelet dilakukan didalam ruang laminar secara aseptik.

Uji Pertumbuhan Trichoderma sp. dalam Pelet

Uji untuk menentukan daya hidup Trichoderma yang ada di dalam pelet dilakukan secara in vitro pada 6 formula pelet: DAT, UAT, TAT. PAT, DDS, dan ATS.

Sebutir pelet diletakkan pada medium ADK di dalam cawan dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Setiap formula pelet diulang sebanyak 5 kali. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter koloni Trichoderma setiap hari.

Penyiapan Tanah sebagai Medium Tumbuh pada Uji in Vivo

Uji ini menggunakan tanah yang berasal dari lahan pertanaman mentimun di Kampung Ciletuh Girang, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Tanah diinfestasi dengan Pythium sp., patogen penyebab rebah kecambah pada mentimun.

Buah mentimun disterilkan permukaannya menggunakan alkohol 70% kemudian dipotong melintang menjadi 2 bagian. Selanjutnya setiap potongan buah mentimun diletakkan pada permukaan tanah di dalam gelas plastik. Posisi

buah mentimun yang berada dipermukaan tanah adalah bagian yang dipotong. Potongan buah mentimun diinkubasi pada suhu dan kelembapan ruang selama 4 hari, setiap hari diamati secara mikroskopi untuk memastikan infestasi Pythium sp. pada tanah tersebut.

Uji Formula Pelet Trichoderma sp. secara in Vivo

Berdasarkan uji secara in vitro, dipilih 2 formula pelet yang menunjukkan per-tumbuhan koloni Trichoderma sp. paling cepat. Hasil uji tersebut akan diuji secara in vivo.

Uji Trichoderma sp. dalam formula pelet yang dilakukan secara in vivo terdiri atas 7 perlakuan: kontrol positif ialah tanah steril dari tanah endemik; kontrol negatif ialah tanah yang terinfestasi Pythium sp.; tanah terinfestasi Pythium sp. dan kompos; tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet ubi jalar + ampas tahu (UAT); tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet UAT; tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet dedak (DDS); dan tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet DDS.

Formula pelet ditanam pada medium tanah yang telah dicampur dengan kompos dan medium tanah yang tidak dicampur dengan kompos, kemudian medium tumbuh tersebut diinkubasi selama 7 hari, demikian juga pada perlakuan medium tanah yang dicampur dengan kompos saja tanpa formula pelet. Sebanyak 50 g medium tanam (tanah yang dicampur dengan kompos dan tanah saja) dimasukkan ke dalam pipa paralon berukuran panjang 10 cm dan diameter 4 cm. Selanjutnya sebanyak 3 butir pelet DDS (± 0.5 g) dan 4 butir pelet UAT (± 0.5 g) ditanam ke dalam

Formula Tepung (g) Ampas tahu (g) Bawang putih (g) Molase (mL) Air steril (mL)DAT Dedak 31.0 10.5 1.5 15 42UAT Ubi Jalar 12.0 19.5 1.5 15 52TAT Talas 17.0 24.5 1.5 15 42PAT Pisang 17.0 24.5 1.5 15 42DDS Dedak 41.5 0.0 1.5 15 42ATS - 41.5 1.5 15 52

Tabel 1 Komposisi bahan pembawa pelet

DAT, dedak dan ampas tahu; UAT, tepung ubi jalar dan ampas tahu; TAT, tepung talas dan ampas tahu; PAT, tepung pisang dan ampas tahu; DDS, dedak saja; ATS; ampas tahu saja.

155

Page 18: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

medium tumbuh tersebut, sedangkan pada kontrol tidak ditanami formula pelet tersebut. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali dan setiap ulangan terdiri atas 5 paralon, yang ditanami 1 butir benih mentimun.

Perbandingan formula pelet Trichoderma sp. yang diaplikasikan untuk medium dengan bobot 50 g ialah 0.5 g. Formula pelet UAT mempunyai bobot 0.148 g per butir sehingga formula pelet UAT yang diaplikasikan sebanyak 4 butir per paralon dengan total bobot 0.592 g.

Formula pelet DDS yang diaplikasikan sebanyak 3 butir per paralon, karena 1 butir formula pelet DDS mempunyai bobot lebih berat daripada 1 butir formula pelet UAT. Formula pelet DDS mempunyai bobot 0.195 g per butir sehingga hanya digunakan 3 butir formula pelet DDS, yaitu seberat 0.585 g.

Rancangan PercobaanPenelitian ini terdiri atas uji in vitro dan uji

in vivo. Uji in vitro disusun dalam 6 perlakuan dengan 5 ulangan. Peubah yang diamati adalah pertumbuhan Trichoderma sp. pada formula pelet yang diinkubasi pada cawan petri. Uji in vivo disusun dalam 7 perlakuan dengan 5 ulangan. Peubah yang diamati adalah jumlah benih yang tumbuh. Kedua uji tersebut disusun dalam rancangan acak lengkap.

Data hasil pertumbuhan Trichoderma sp. pada uji in vitro dan jumlah benih yang tumbuh pada uji in vivo dianalisis menggunakan SAS dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda duncan pada taraf 5%.

HASIL

Formula Pelet secara in VitroBerdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan

koloni Trichoderma sp. pada beberapa formula pelet yang disimpan selama 7 hari dan 14 hari, berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2 dan 3). Secara in vitro formula pelet dengan masa simpan 7 hari menunjukkan pertumbuhan koloni Trichoderma sp. yang paling cepat berturut-turut pada formula pelet DAT, DDS, TAT, UAT, PAT, dan ATS. Formula pelet yang masih tumbuh dengan baik pada penyimpanan 14 hari berturut-turut ialah DDS, TAT, UAT, DAT, PAT, dan ATS. Berdasarkan uji formula pelet dengan masa simpan 7 hari dan 14 hari, komposisi bahan pembawa yang paling baik untuk dijadikan substrat pelet Trichoderma sp. ialah pelet DDS. Hal ini didasarkan pada kecepatan pertumbuhan koloni Trichoderma sp. dari beberapa formula pelet dengan masa simpan 14 hari selama 7 hari pengamatan (Tabel 3). Urutan formula pelet dari yang paling baik untuk dijadikan substrat menurut hasil penelitian berturut-turut ialah pelet DDS, TAT, UAT, DAT, dan PAT.

Uji FormulaPelet secara in VivoPenambahan formula pelet DDS dan

UAT ke dalam medium tumbuh yang telah terinfestasi Pythium sp. dapat meningkatkan kemampuan benih mentimun berkecambah dan tumbuh dibandingkan dengan kontrol negatif (Table 4). Hal ini menunjukkan aplikasi Trichoderma sp. sebagai agens hayati dalam

Bahan pelet Rata-rata diameter koloni Trichoderma sp.pada hari ke-* (cm)1 2 3 4 5 6 7

DAT 0.24 b 4.36 a 7.30 a 9.00 a 9.00 a 9 a 9 aUAT 0.00 b 1.31 b 6.32 bc 8.75 bc 8.99 a 9 a 9 aTAT 0.00 b 1.12 b 6.37 bc 8.93 ab 9.00 a 9 a 9 aPAT 0.00 b 0.00 c 5.85 c 8.70 c 9.00 a 9 a 9 aDDS 1.41 a 4.98 a 6.70 ab 8.95 a 9.00 a 9 a 9 aATS 0.00 b 2.07 b 4.11 d 7.49 d 8.63 b 9 a 9 aKontrol 0.00 b 0.00 c 0.00 e 0.00 e 0.00 c 0 b 0 b

Tabel 2 Diameter koloni Trichoderma sp. pada beberapa bahan pembawa pelet selama masa simpan 7 hari

*Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf 5%.DAT, dedak dan ampas tahu; UAT, tepung ubi jalar dan ampas tahu; TAT, tepung talas dan ampas tahu; PAT,tepung pisang dan ampas tahu; DDS, dedak saja; dan ATS, ampas tahu saja.

156

Page 19: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

bentuk formula pelet DDS dan UAT mampu menekan pertumbuhan Pythium sp. patogen penyebab rebah kecambah (damping off) pada tanaman mentimun.

PEMBAHASAN

Trichoderma sp. merupakan agens hayati yang sudah banyak digunakan dalam perlindungan tanaman, baik sebagai pupuk hayati ataupun sebagai agens pengendali penyakit, tetapi pemanfaatannya kurang praktis jika diaplikasikan di lapangan, karena memerlukan wadah yang cukup banyak dan tenaga kerja banyak. Penggunaan cendawan antagonis sebagai agens hayati harus dalam bentuk formula yang tepat dengan bahan yang mudah tersedia (Lewis dan Papavizas 1991). Oleh karena itu, formula Trichoderma sp. dikembangkan dalam bentuk pelet dari beberapa bahan pembawa yang cocok sebagai substrat. Formula pelet ini berukuran kecil

sehingga lebih praktis untuk dibawa atau dikirim dan diaplikasikan di lapangan.

Keefektifan masing-masing formula pelet dipengaruhi oleh kandungan C/N dan faktor lain pada masing-masing bahan pembawa. Pada penyimpanan perlu diperhatikan kondisilingkungan agar spora cendawan dapat bertahan lama. Faktor lingkungan yang mempengaruhi umur penyimpanan cendawan dibedakan menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Arbianto (1980) menjelaskan faktor intrinsik terdiri atas jumlah C/N medium, struktur biologi, bahan baku dan kandungan air. Faktor ekstrinsik meliputi pH, suhu inkubasi, kelembapan, potensi terjadinya oksidasi reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi. Penentuan komposisi formula pelet didasarkan atas kebutuhan C/N untuk pupuk hayati. Berdasarkan syarat mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang persyaratan teknis minimal pupuk organik

Perlakuan Rata-rata diameter koloni Trichoderma sp. pada hari ke-*(cm)1 2 3 4 5 6 7

DAT 0.00 a 0 b 2.77 c 6.46 c 9.00 a 9 a 9 aUAT 0.00 a 0 b 3.34 bc 7.01 b 9.00 a 9 a 9 aTAT 0.00 a 0 b 3.82 b 7.31 b 9.00 a 9 a 9 aPAT 0.00 a 0 b 2.81 c 6.25 c 9.00 a 9 a 9 aDDS 0.33 a 3 a 6.31 a 9.00 a 9.00 a 9 a 9 aATS 0.00 a 0 b 3.08 c 6.44 c 8.52 b 9 a 9 aKontrol 0.00 a 0 b 0.00 d 0.00 d 0.00 c 0 b 0 b

Tabel 3 Diameter koloni Trichoderma sp. dari beberapa bahan pembawa pelet selama masa simpan 14 hari

*Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf 5%.DAT, dedak dan ampas tahu; UAT, tepung ubi jalar dan ampas tahu; TAT, tepung talas dan ampas tahu; PAT, tepung pisang dan ampas tahu; DDS, dedak saja: ATS, ampas tahu saja.

PerlakuanBenih mentimun yang tumbuh pada

hari ke- (%)5 6 7

Tanah terinfestasi Pythium sp. (kontrol negatif) 60 56 56Tanah steril (kontrol positif) 100 100 96Tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos 80 80 80Tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet UAT 76 80 80Tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet UAT 88 88 84Tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet DDS 88 88 80Tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet DDS 88 88 88

Tabel 4 Jumlah benih mentimun yang tumbuh pada pengujian formula pelet dedak (DDS) dan ubi jalar dan ampas tahu (UAT) dengan masa simpan 7 hari secara in vivo

157

Page 20: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

atau pupuk hayati (Kemetan 2009), indikator yang digunakan adalah pH, kandungan C-organik, N-total, C/N, unsur makro dan mikro. Perbandingan C/N yang dipersyaratkan ialah <25.0.

Dedak merupakan sumber nutrisi yang digunakan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan cendawan. Dedak di-tambahkan untuk meningkatkan nutrisi medium tanam sebagai sumber karbohidrat, karbon, dan nitrogen. Dedak mengandung protein dan lemak serta serat kasar. Ampas tahu adalah limbah industri yang berbentuk padatan dari kedelai yang diperas sebagai sisa dalam pembuatan tahu yang ketersediaanya cukup banyak, murah, dan mudah didapat. Berdasarkan pada bahan kering ampas tahu mengandung lemak 5.52%, serat kasar 17.06%, dan BETN 45.44% (Nuraini et al. 2009). Kadar protein ampas tahu cukup tinggi, yaitu sebesar 26.6%, pada kadar air 9% (Direktorat Gizi dan Kesehatan 1993), sehingga dapat dijadikan sumber protein pada formula pelet.

Formula pelet DDS mempunyai kandungan C/N sebesar 26.67. Nilai kandungan C/N pada formula pelet DDS lebih tinggi daripada batas yang ditetapkan Permentan, namun kualitas pertumbuhan koloni Trichoderma sp. menjadi lebih baik dibandingkan dengan formula pelet lain dengan C/N yang sesuai standar mutu berdasarkan ketetapan Permentan no 28 tahun 2009. Pupuk hayati dari Trichoderma sp. pada bahan pembawa dedak ini perlu diuji ulang untuk penetapan batas nisbah C/N-nya .

Formula pelet ATS mempunyai kandungan C/N lebih kecil daripada standar mutu yang ditentukan Permentan no 28 tahun 2009,yaitu sebesar 16.52. Hasil pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni Trichoderma sp. sangat lambat dibandingkan dengan formula pelet lain yang mempunyai kandungan C/N sesuai dengan standar mutu yang ditentukan Permentan. Hal ini disebabkan kandungan C/N pada ampas tahu tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan Trichoderma sp. sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat. Oleh karena itu, ampas tahu tidak cocok untuk

dijadikan substrat tunggal pada formula Trichoderma sp.. Pemanfaatan ampas tahu sebagai sumber protein dalam pembuatan formula pelet Trichoderma sp. sebaiknya dipadukan dengan bahan pembawa lain yang sesuai.

Kandungan C/N pada formula pelet TAT, UAT, DAT, dan PAT sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan Permentan dan menunjukkan sebagai substrat yang baik untuk cendawan uji. Meskipun demikian, masing-masing bahan pembawa pelet TAT, UAT, dan PAT menunjukkan perbedaan terhadap pertumbuhan Trichoderma sp yang disebabkan oleh perbedaan kandungan air masing-masing bahan pembawa. Dedak mempunyai kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubi, pisang, talas, dan ampas tahu. Tepung talas dan tepung ubi mempunyai kandungan air yang hampir sama, tetapi lebih besar daripada kandungan air pada tepung pisang dan ampas tahu. Tepung ampas tahu mempunyai kandungan air yang paling sedikit dibandingkan dengan bahan pembawa lainnya pada perlakuan ini. Formula pelet TAT hasilnya lebih baik dibandingkan dengan formula pelet UAT dan PAT sebagai substrat atau bahan pembawa Trichoderma sp., sedangkan formula pelet UAT lebih baik daripada formula pelet PAT.

Formula pelet yang dipilih untuk uji in vivo ialah formula pelet DDS dan UAT. Hasil uji in vitro, menunjukkan formula pelet DDS merupakan yang paling baik untuk dijadikan substrat karena pada substrat tersebut pertumbuhan diameter koloni Trichoderma sp. paling cepat dibandingkan dengan formula pelet yang lain. Formula pelet DDS juga menggunakan bahan baku yang murah dan mudah dicari sehingga dapat dengan mudah untuk diaplikasikan oleh petani. Formula pelet TAT dan UAT juga menunjukkan sebagai substrat yang baik untuk pertumbuhan koloni Trichoderma sp., meskipun diantara kedua formula pelet tersebut tidak berbeda nyata menurut uji statistik. Ketersediaan bahan baku untuk formula pelet TAT sulit didapat karena spesifik daerah dan harga bahan baku pada formula pelet TAT lebih mahal daripada

158

Page 21: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Soekarno et al.

formula pelet UAT. Dengan demikian formula pelet UAT dan DDS dipilih untuk digunakan pada uji in vivo karena lebih efektif, murah, dan mudah diperoleh.

Hasil pengujian secara in vivo me-nunjukkan bahwa pada kontrol negatif, jumlah benih mentimun yang tumbuh lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol positif dan berbeda nyata menurut uji statistik dari hari ke-5 sampai ke-7 setelah tanam. Berdasarkan pengamatan cendawan patogen Pythium sp. dalam tanah menyebabkan benih mentimun gagal berkecambah atau terhambat pertumbuhannya. Cendawan patogen tersebut dapat menyerang dan menyebabkan kematian pada benih yang baru ditanam, bahkan sering menyerang perakaran dan batang yang belum muncul ataupun yang baru muncul ke permukaan tanah (Agrios 2005). Secara umum, perlakuan formula pelet DDS dan UAT menyebabkan benih mentimun yang tumbuh lebih banyak dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan aplikasi formula pelet DDS dan UAT mampu menekan perkembangan Pythium sp.. Beberapa perlakuan pada pengujian in vivo yaitu pada perlakuan tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos dan tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet UAT, pada hari ke-5 sampai ke-7 menunjukkan jumlah benih mentimun yang tumbuh tidak berbeda nyata dengan kontrol positif, begitu juga penggunaan kompos pada perlakuan tersebut. Bahan organik (kompos) memiliki fungsi penting dalam budidaya tanaman, yaitu fungsi biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas jasad renik tanah.

Berdasarkan hal tersebut, pelet UAT dan kompos cukup efektif untuk menekan cendawan patogen Pythium sp. Sama halnya dengan perlakuan pada tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet UAT, tanah terinfestasi Pythium sp. + pelet DDS, dan tanah terinfestasi Pythium sp. + kompos + pelet DDS, beberapa perlakuan tersebut menunjukkan bahwa jumlah benih yang tumbuh tidak berbeda nyata menurut uji statistik terhadap kontrol positif. Hal ini juga

menunjukkan bahwa penggunaan pelet DDS cukup efektif untuk menekan pertumbuhan Pythium sp. penyebab damping off.

Formula pelet dari DDS dan formula pelet UAT merupakan substrat tumbuh yang baik bagi agens hayati untuk pengendalian penyakit rebah kecambah pada tanaman mentimun yang disebabkan oleh Pythium sp..

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Burlington (CA): Elsevier Academic Press.

Arbianto P. 1980. The Indigenous Fermented Food Process. Kumpulan Paper Fermented Food II. Bogor (ID): Pusbangtepa IPB.

Direktorat Gizi dan Kesehatan RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 28/Permentan/ SR.130/5/2009 tentang persyaratan teknis minimal pupuk organik atau pupuk hayati. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

Lewis JA, Papavizas GC. 1983. Production of Clamyidospores and Conidia by Trichoderma sp. In Liquid and Solid Growth Medium. Soil Biol Biochem. 15(4):351–357. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/0038-0717(83)90083-4.

Nuraini SA, Latif, Sabrina. 2009. Improving the quality of tapioka by paoduct thrugh fermentation by Neurospora crassa to produce β caroten rich feed. Pak J Nutr. 8(4):487–490. DOI: http://dx.doi.org/10.3923/pjn.2012.605.608.

Suleiman MN, Emua SA. 2009. Efficacy of four plant extracts in the control of root rot. disease cowpea (Vigna unguiculata (L.) Walp). Afr J Biotechnol. 8(16):3806–3808.

159

Page 22: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014Halaman 160–169

DOI: 10.14692/jfi.10.5.160ISSN: 0215-7950

Kompatibilitas Bacillus spp. dan Aktinomiset sebagai Agens Hayati Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan

Pemacu Pertumbuhan Padi

Compatibility of Bacillus spp. and Actinomycetes as Biocontrol Agent for Xanthomonas oryzae pv. Oryzae and

Growth Promoter for Rice

Candra Putra, Giyanto*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Penyakit hawar daun bakteri merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Bakteri ini bersifat tular benih dan bertahan dalam waktu yang lama. Beberapa mikrob diketahui berpotensi sebagai agens hayati patogen ini, seperti Bacillus spp. dan aktinomiset. Penelitian ini bertujuan mendapatkan isolat aktinomiset sebagai agens hayati X. oryzae pv. oryzae dan kompatibel terhadap Bacillus galur B12 yang dapat diaplikasikan pada benih padi. Aktinomiset yang diisolasi dari tanah, diseleksi dengan metode pembiakan ganda (dual culture) pada medium agar-agar dan medium tumbuh berupa tanah dan pupuk kandang (1:1 b/b). Enam belas aktinomiset yang berhasil diisolasi, 3 isolat memiliki sifat antagonis terhadap patogen X. oryzae pv oryzae dan kompatibel terhadap Bacillus galur B12, yaitu APS 7, APS 9, dan APS 12. Bacillus galur B12 dan aktinomiset diaplikasikan pada benih padi varietas Ciherang dengan metode pelapisan benih dengan bahan pembawa ialah tepung arang sekam. Perlakuan tunggal aktinomiset APS 9 dapat menekan populasi X. oryzae pv. oryzae (88.89%) dan mampu memacu pertumbuhan tajuk tanaman sebesar 36.13%. Persentase kemunculan bibit tertinggi diperoleh berturut-turut pada perlakuan kombinasi Bacillus galur B12 dan aktinomiset APS 7 (83.33%), dan APS 9 (79.0%) yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (56.67%). Aplikasi Bacillus galur B12 dan aktinomiset pada benih padi dapat menekan populasi X. oryzae pv. oryzae pada bibit padi serta meningkatkan pertumbuhan bibit padi.

Kata kunci: antagonis, hawar daun bakteri, pembiakan ganda, tular benih

ABSTRACT

Bacterial leaf blight caused by Xanthomonas oryzae pv. oryzae is an important disease on rice. The bacteria is seed borne and survives for a long time in the seed. Some beneficial microbes, such as Bacillus spp. and actinomycetes has been reported as biocontrol agents for the disease. The objectives of the research was to select isolates of actinomycetes as biocontrol agents for X. oryzae pv. oryzae which is also compatible with Bacillus spp. by seed application. Actinomycetes isolated from soil was selected using dual culture method on agar medium and on growing medium composing of mixture of soil and manure (1:1 w/w). Three isolates out of

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Jalan Kamper, Bogor Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

160

Page 23: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

16 isolated actinomycetes, i.e. APS 7, APS 9, and APS 12 showed antagonistic activities against X. oryzae pv. oryzae and compatible with Bacillus spp. Both Bacillus spp. and actinomycetes was applied to rice seed variety Ciherang using seed coating method in formulation containing rice husk. Actinomycetes treatment using APS 9 isolate was able to suppress population of X. oryzae pv. oryzae by (88.89%) and induce crown growth by 36.13%. The highest percentage of seedling emergence was obtained on combination treatment of B12 + APS 7 and single treatment of APS 9, i.e. 83.33% and 79%, respectively and significantly different with those of control treatment (56.67%). Application of Bacillus spp. and actinomycetes on rice seed was able to suppress population of X. oryzae pv. oryzae on rice seedling and induce rice growth.

Key words : antagonism, bacterial leaf blight, dual culture, seed borne

PENDAHULUAN

Penyakit hawar daun bakteri merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi. Penyakit ini dapat merusak tanaman mulai dari fase bibit hingga generatif. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae yang dapat terbawa benih dan bertahan lama dalam benih selama fase dorman. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini, mulai dari penanaman varietas tahan hingga aplikasi bahan kimia sintetik yang bersifat toksik. Saat ini, perhatian mulai beralih ke sumber daya biologi dalam meningkatkan kesehatan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit, antara lain melalui peran mikrob tanah yang bermanfaat.

Mikrob yang banyak diteliti ialah kelompok rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT). Salah satu bakteri RPPT ialah Bacillus spp. yang merupakan bakteri gram positif pendegradasi amilum yang umumnya ditemukan di tanah. Bakteri ini memiliki kemampuan membentuk struktur bertahan berupa endospora yang memungkin-kan organisme ini tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem, seperti kadar air yang rendah (Dan et al. 2012). Selain Bacillus spp., aktinomiset juga berpotensi mengendalikan mikoroorganisme penyebab penyakit, khusus-nya pada tanaman. Aktinomiset dikenal sebagai bakteri yang bersifat saprob dan sangat umum dijumpai di rizosfer hingga lapisan tanah dalam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aktinomiset merupakan kelompok mikrob yang menjanjikan untuk pengendalian biologi (Crawford et al. 1993)

dan diketahui dapat menghasilkan beragam antibiotik sebagai metabolit sekundernya (Sabaratnam dan Traquair 2001).

Bacillus spp. dan aktinomiset dapat menghasilkan spora yang bertahan pada kondisi ekstrem. Berdasarkan persamaan sifat ini, kedua mikrob berpotensi untuk diaplikasikan dalam suatu formulasi dengan bahan pembawa berupa tepung. Hal ini dilakukan agar dapat digunakan dengan mudah dalam pengendalian penyakit tanaman yang efektif dan aman bagi manusia serta lingkungan sekitarnya. Selain itu, mikrob dalam bahan pembawa berbentuk tepung memiliki umur simpan yang relatif lebih panjang karena mikrob berada dalam fase dorman, yaitu dalam bentuk spora yang dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan bentuk sel vegetatifnya.

Pembuatan suatu formulasi yang me-ngandung lebih dari satu jenis mikrob perlu diawali dengan kajian kompatibilitas antarmikrob tersebut. Hal ini diperlukan agar mikrob yang digunakan tidak saling meniadakan karena memiliki sifat antagonis satu sama lain. Penelitian ini bertujuan mendapatkan isolat aktinomiset sebagai agens hayati bagi patogen X. oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri yang kompatibel dengan Bacillus spp. dan dapat diaplikasikan pada benih padi.

BAHAN DAN METODE

Peremajaan Isolat Bacillus spp.Isolat Bacillus galur B12 dan X. oryzae pv.

oryzae yang digunakan berasal dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut

161

Page 24: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

Pertanian Bogor. Isolat tersebut berupa suspensi bakteri pada larutan gliserol 20% dan disimpan dalam keadaan beku pada suhu -20 °C. Isolat diremajakan pada medium Tryptone Soy Agar (TSA), selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu ruang selama 1–2 hari.

Isolasi dan Seleksi Aktinomiset sebagai Agens Hayati

Aktinomiset diisolasi dari sampel tanah yang berasal dari tanah lapisan atas. Tanah dikeringanginkan pada suhu ruang selama 7–10 hari. Sebanyak 10 g tanah sampel disuspensikan pada 100 mL air steril dan diinkubasi pada inkubator bergoyang selama 15 menit. Teknik pencawanan dilakukan ter-hadap suspensi ini pada konsentrasi 10-1–10-8.Pencawanan dilakukan pada medium semi selektif water-yeast extract agar (WYE) dan casamino acids-yeast extract-glucose-agar (YCED) (Crawford et al. 1993). Koloni aktinomiset yang tumbuh dalam waktu 7–10 hari, dimurnikan dan dijadikan sebagai isolat murni.

Seleksi aktinomiset sebagai agens hayati dilakukan dengan metode biakan ganda. Sebanyak 1 lup biakan X. oryzae pv. oryzae berusia 24 jam diambil dari medium yeast dextrose calcium carbonate agar (YDCA) dan diinokulasikan ke erlenmeyer berisi 10 mL medium Luria Broth (LB) serta diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm pada suhu ruang selama 18 jam. Pada waktu yang sama, sebanyak 1 lup spora aktinomiset, yang diperoleh dari biakan berusia 7 hari, diinokulasikan ke erlenmeyer berisi 10 mL medium LB dan diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm pada suhu ruang selama 18 jam. Setelah masa inkubasi, sebanyak 100 µL suspensi bakteri X. oryzae pv. oryzae disebar pada medium TSA, kemudian dikeringanginkan selama 15 menit pada laminar air flow cabinet. Sebanyak 4 buah kertas saring berdiameter 0.5 cm diletakkan pada medium TSA yang telah disebari suspensi bakteri X. oryzae pv. oryzae. Pada masing-masing kertas saring diteteskan 10 µL suspensi aktinomiset. Setelah itu medium diinkubasi pada suhu ruang selama beberapa hari. Pengamatan terhadap

aktivitas antagonisme dilakukan setiap hari. Aktivitas antagonisme ditunjukkan dengan pembentukan zona bening di sekitar kertas saring. Isolat aktinomiset yang menunjukkan sifat antagonis terhadap bakteri patogen X. oryzae pv. oryzae kemudian dijadikan isolat stok yang akan digunakan pada uji lanjut.

Uji Kompatibilitas Bacillus Galur B12 dan Aktinomiset

Uji kompatibilitas Bacillus galur B12 dan aktinomiset pada medium padat TSA dilakukan dengan metode biakan ganda. Sebanyak 10 μL suspensi biakan aktinomiset diteteskan pada kertas saring yang terdapat pada medium agar-agar yang telah disebari susupensi Bacillus galur B12. Aktinomiset yang bersifat antagonis terhadap Bacillus spp. akan membentuk zona bening dan tidak akan digunakan sebagai bahan uji.

Tahap selanjutnya ialah uji kompatibilitas antara Bacillus galur B12 dan aktinomiset yang dilakukan pada medium tumbuh berupa tanah dan pupuk kandang (1:1 b/b) yang sudah disterilkan. Suspensi biakan Bacillus galur B12 dan aktinomiset dengan kepadatan 105 cfu g-1 diinokulasikan pada medium tumbuh. Setelah diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang, kepadatan populasi Bacillus spp. dan aktinomiset dihitung.

Penyiapan Spora Bacillus Galur B12 dan Aktinomiset

Produksi spora diawali dengan peremajaan biakan Bacillus galur B12 sebanyak 1 lup biakan bakteri berumur 1 hari diinokulasikan ke dalam tabung reaksi berisi 5 mL medium cair LB dan diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 13 jam. Sebanyak 5 mL suspensi bakteri diinokulasi ke dalam erlenmeyer 1000 mL berisi 300 mL medium cair Dickinson dan diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 6 hari. Penghitungan spora Bacillus galur B12 dilakukan dengan memanaskan suspensi pada suhu 80 °C selama 15 menit dengan tujuan untuk mematikan sel vegetatif Bacillus spp., tetapi tidak mematikan sporanya. Setelah itu, dilakukan pengenceran berseri dan dilanjutkan dengan pencawanan

162

Page 25: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

pada medium TSA. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni Bacillus galur B12 yang tumbuh setelah diinkubasi selama 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan cfu mL-1 dengan rumus:

x, jumlah koloni yang tumbuh pada cawan; p, faktor pengenceran; ʋ, volume suspensi yang disebar pada cawan.

Penyiapan aktinomiset dilakukan dengan menggoreskan kultur murni ke medium WYE atau YCED dan diinkubasi selama 8–10 hari. Spora akan tumbuh pada permukaan medium yang ditumbuhi koloni aktinomiset dengan penampakan kasar seperti beludru.

Penyiapan Formula Spora Bacillus Galur B12 dan Aktinomiset pada Bahan Pembawa Tepung

Spora Bacillus galur B12 dipanen dengan sentrifugasi menggunakan tabung plastik konikal pada 7500 rpm pada suhu ruang selama 6 menit dari medium kultur Dickinson yang telah berumur 7 hari. Pelet yang diperoleh dicuci 2 kali dengan larutan phosphate buffer saline (PBS) 0.05M pH 7.0. Spora bakteri yang telah dicuci diresuspensi kembali pada larutan PBS kemudian kepadatan spora bakteri pada suspensi tersebut dihitung dengan teknik pengenceran berseri.

Spora aktinomiset dipanen dari kultur aktinomiset yang telah berumur 10 hari pada cawan petri berisi medium padat. Sebanyak 10 mL aquades steril dituang pada cawan tersebut, kemudian dengan spatula steril koloni aktinomiset digores dengan lembut hingga sporanya lepas dari permukaan agar-agar dan tersuspensi pada aquades steril. Setelah itu, suspensi spora tersebut diteteskan pada cawan kultur lain dengan menggunakan pipet. Penghitungan terhadap kepadatan spora dilakukan dengan alat haemasitometer.

Setelah dipanen, spora diinokulasikan pada bahan pembawa. Setiap bahan pembawa berukuran 50 mesh. Bahan pembawa dalam penelitian ini adalah campuran tepung arang sekam, dedak halus, tepung jagung, dan

tepung cangkang udang dengan perbandingan 86.5:3:10:0.5. Bahan pembawa yang sudah dicampur kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas untuk disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit.

Formula dibuat dengan cara menyebarkan susupensi spora bakteri dan aktinomiset secara merata pada bahan pembawa, masing-masing 5 mL untuk setiap 10 g bahan pembawa. Selanjutnya, campuran tersebut diaduk secara merata. Kepadatan spora Bacillus galur B12 dan aktinomiset yang diinokulasikan ialah 108 cfu g-1 bahan pembawa. Formula ini selanjutnya diletakkan pada kertas aluminium steril dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C selama 2 jam.

Aplikasi Formula Agens Hayati pada Benih Padi

Uji dilakukan menggunakan benih padi varietas Ciherang yang telah dianalisis meng-gunakan teknik pencawanan dengan pe-ngenceran berseri untuk mengetahui infestasi awal X. oryzae pv. oryzae. Sebanyak 20 benihdipilih dan disterilkan permukaannya, lalu digerus serta disuspensikan pada 10 mL larutan PBS. Suspensi tersebut diencerkan hingga 10-8 kali dan disebar pada cawan berisi medium YDCA. Medium diinkubasi selama 2 hari dan X. oryzae pv. oryzae yang tumbuh sebagai koloni mukoid dan berwarna kuning dengan permukaan licin dihitung (Schaad et al. 2000).

Medium tanam yang digunakan berupa nampan plastik yang berisi cocopeat steril. Sebelum diberi perlakuan dan ditumbuhkan pada medium semai, benih padi direndam dalam tabung erlenmeyer steril berisi air steril selama 1 malam. Sebanyak 100 benih padi disebar pada formula bakteri yang diletakkan di atas aluminium steril dan dicampurkan secara merata hingga seluruh benih tertutupi formula bakteri. Tahap ini dinamakan pelapisan benih.

Uji Formula Agens Hayati terhadap Penekanan Populasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Analisis populasi X. oryzae pv. oryzae dilakukan pada bibit tanaman padi yang

163

xp × ʋ2Populasi bakteri = , dengan

Page 26: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

berumur 7 HST. Sebanyak 20 dari 100 sampel bibit pada setiap ulangan dari setiap perlakuan digerus kemudian disuspensikan pada 50 mL air steril. Pencawanan X. oryzae pv. oryzae dilakukan pada medium YDCA. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae yang tumbuh setelah diinkubasi selama 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan cfu mL-1 dengan rumus:

x, jumlah koloni yang tumbuh pada cawan (cfu); p, faktor pengenceran; v, volume suspensi yang disebar pada cawan (mL).

Uji formula agens hayati Bacillus galur B12 dan aktinomiset terhadap penekanan populasi X. oryzae pv. oryzae disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 8 perlakuan (Tabel 1). Peubah yang diamati ialah jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae yang tumbuh berdasarkan hasil pengenceran berseri dan pencawanan pada medium YDCA. Uji dilakukan dengan 3 ulangan. Pada setiap ulangan diambil 20 unit sampel yang dipilih secara acak yang akan dijadikan sebagai sumber pengamatan.

Uji Formula Agens Hayati terhadap Pertumbuhan Bibit Padi

Uji formula agens hayati Bacillus galur B12 dan aktinomiset terhadap pertumbuhan tanaman disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 8 perlakuan (Tabel 1). Peubah yang diamati ialah kemunculan bibit padi dan tinggi tajuk dari bibit yang tumbuh. Uji dilakukan dengan 3 ulangan. Pada setiap ulangan diambil 20 unit sampel yang dipilih

secara acak yang dijadikan sebagai sumber pengamatan.

Analisis StatistikData uji formulasi Bacillus galur B12 dan

aktinomiset terhadap penekanan populasi X. oryzae pv. oryzae dan pertumbuhan tajuk pada bibit padi diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan program SAS dan uji beda nyata dilakukan pada taraf 5%.

HASIL

Isolat Bacillus Galur B12 dan AktinomisetPada medium agar-agar padat, Bacillus

spp. berbentuk tidak beraturan dengan pinggiran bergerigi dan berwarna putih pucat kecokelatan. Koloni aktinomiset memiliki ciri khas berupa penampakan yang terlihat berdebu atau bertekstur seperti beludru. Penampakan tersebut merupakan spora yang dihasilkan oleh hifa aerial yang hanya dimiliki oleh aktinomiset. Hal ini berbeda dengan bakteri yang memiliki koloni mukoid ataupun permukaan licin yang khas.

Berdasarkan perbedaan fenotipe yang diamati, diperoleh 16 isolat aktinomiset dengan ciri fenotipe yang berbeda. Perbedaan ini meliputi penampakan koloni yang ter-bentuk pada medium agar-agar, warna koloni, serta pertumbuhan isolat tersebut dalam meng-hasilkan spora. Isolat aktinomiset yang tumbuh pada medium WYE ialah APS 1, APS 8, APS 9, APS 10, APS 12, APS 13, dan APS 16; sedangkan isolat yang tumbuh pada medium YCED ialah APS 2, APS 3, APS 4, APS 5, APS 6, APS 7, APS 11, APS 14, dan APS 16.

Perlakuan KeteranganKontrol Tanpa perlakuanB12 Formulasi Bacillus galur B12APS 7 Formulasi aktinomiset isolat APS 7APS 9 Formulasi aktinomiset isolat APS 9APS 12 Formulasi aktinomiset isolat APS 12B12 + APS 7 Formulasi campuran Bacillus galur B12 dan aktinomiset isolat APS 7B12 + APS 9 Formulasi campuran Bacillus galur B12 dan aktinomiset isolat APS 9B12 + APS 12 Formulasi campuran Bacillus galur B12 dan aktinomiset isolat APS 12

Tabel 1 Perlakuan terhadap benih padi pada pengujian formulasi spora Bacillus galur B12 dan aktinomiset

xp × ʋ2Populasi bakteri = , dengan

164

Page 27: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

Seleksi Aktinomiset sebagai Agens HayatiIsolat aktinomiset yang diperoleh kemudian

diseleksi berdasarkan daya antagonismenya terhadap bakteri X. oryzae pv. oryzae. Terdapat 16 isolat aktinomiset yang berhasil diisolasi dan hanya 4 isolat yang memiliki daya hambat terhadap X. oryzae pv. oryzae, yaitu isolat APS 4, APS 7, APS 9, dan APS 12 (Tabel 2). Kemampuan daya hambat yang dimiliki aktinomiset diketahui dengan terbentuknya zona hambatan pada medium biakan cawan.

Kompatibilitas antara Bacillus Galur B12 dan Aktinomiset

Uji menggunakan metode biakan ganda menunjukkan bahwa satu-satunya isolat aktinomiset yang menunjukkan aktivitas antagonisme terhadap Bacillus galur B12 ialah isolat APS 4 (Tabel 3). Sebanyak 3 isolat

aktinomiset yang kompatibel terhadap Bacillus galur B12, ialah isolat aktinomiset APS 7, APS 9, dan APS 12. Uji lanjut dilakukan dengan menumbuhkan masing-masing isolat aktinomiset bersama Bacillus galur B12 pada medium tanah dan pupuk kandang steril dengan masa inkubasi 3 minggu.

Berdasarkan penghitungan jumlah populasibakteri diketahui bahwa terdapat perbedaan jumlah populasi antara bakteri yang ditumbuhkan secara tunggal dan bakteri yang ditumbuhkan secara bersamaan. Jumlahpopulasi Bacillus galur B12 maupun aktinomiset lebih rendah saat keduanya ditumbuhkan secara bersamaan dibandingkan dengan bila ditumbuhkan secara tunggal. Jumlah populasi Bacillus galur B12 yang ditumbuhkan bersamaan dengan APS 7 dan APS 9 lebih rendah daripada secara tunggal. Hal yang sama terjadi juga pada aktinomiset. Jumlah populasi APS 7, APS 9, dan APS 12yang ditumbuhkan bersama dengan Bacillus galur B12 lebih rendah daripada yang ditumbuhkan secara tunggal (Gambar 1). Penurunan populasi yang terjadi dapat disebabkan oleh terjadinya kompetisi nutrisi serta ruang hidup sehingga pertumbuhan dan perkembangan bakteri ini lebih terbatas. Kompetisi ini tidak bersifat antagonis karena bakteri masih dapat tumbuh sehingga hubungan antara Bacillus spp. dan aktinomiset ini dapat dikatakan kompatibel. Populasi Bacillus galur B12 ketika ditumbuhkan bersama APS 12 mengalami peningkatan berbeda dengan dua isolat aktinomiset yang lain.

Penekanan Populasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pertumbuhan Bibit Padi

Populasi X. oryzae pv. oryzae yang terbawa benih padi sebelum diberi perlakuan bakteri

Isolat aktinomiset Pembentukan zona bening

APS 1 -APS 2 -APS 3 -APS 4 +APS 5 -APS 6 -APS 7 +APS 8 -APS 9 +APS 10 -APS 11 -APS 12 +APS 13 -APS 14 -APS 15 -APS 16 -

Tabel 2 Pembentukan zona hambatan oleh aktinomiset terhadap koloni Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada medium tryptone soy agar

+, terbentuk zona bening; -, tidak terbentuk zona bening

Isolat aktinomiset Pembentukan zona hambatan

Kompatibilitas terhadap Bacillus galur B12

APS 4 + Tidak kompatibelAPS 7 - KompatibelAPS 9 - KompatibelAPS 12 - Kompatibel

Tabel 3 Pembentukan zona hambatan oleh aktinomiset terhadap koloni Bacillus galur B12 pada medium tryptone soy agar

+, terbentuk zona bening; -, tidak terbentuk zona bening

165

Page 28: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

Gambar 1 Populasi Bacillus galur B12 dan aktinomiset (APS 7, APS 9, dan APS 12) pada medium campuran tanah dan pupuk kandang steril (setelah 3 minggu periode inkubasi) pada berbagai perlakuan. , aktinomiset; , Bacillus galur B12.

876

54

321

0

Log

popu

lasi

(cfu

g-1

med

ium

)

B12 APS 9APS 7 B12 + APS 7APS 12 B12 + APS 9 B12 + APS 12

6.15

3.87

7.56

2.92

5.005.30

2.30

4.92

3.78

5.04

Perlakuan Bacillus galur B12 dan aktinomiset

166

ialah 2.7 × 104 cfu g-1 benih padi. Perlakuan Bacillus galur B12 dan aktinomiset pada benih padi berpengaruh terhadap populasi bakteri patogen X. oryzae pv. oryzae pada bibit padi (Tabel 4). Semua perlakuan bakteri dapat menekan populasi X. oryzae pv. oryzae pada bibit dibandingkan dengan benih yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Perlakuan aktinomiset isolat APS 9 dapat menekan populasi X. oryzae pv. oryzae sebesar 88.89%. Hal ini menunjukkan adanya sifat antagonisme yang dimiliki oleh aktinomiset terhadap bakteri X. oryzae pv. oryzae yang terdapat pada bibit padi.

Adanya aktivitas mikrob pada benih padi menimbulkan keragaman dalam pertumbuhan bibit padi pada usia semai (Tabel 5). Perlakuan kombinasi Bacillus galur B12 dan aktinomiset isolat APS 7 (B12 + APS7) merupakan per-lakuan dengan hasil paling maksimal di antara perlakuan lain. Pada 4, 5, 6, dan 7 HST sebanyak berturut-turut 20.67, 42.33, 64.67, dan 83.33%benih padi telah berkecambah. Hal ini menunjukkan adanya akivitas mikrob yang dapat memacu proses perkecambahan padi.

Perlakuan bakteri pada benih juga mengakibatkan perbedaan nyata pada tinggi tajuk bibit padi (Tabel 6). Tinggi tajuk dari benih yang tidak diberi perlakuan (kontrol) ialah 7.64 cm, sedangkan benih yang diberi

perlakuan aktinomiset isolat APS 9 memiliki tinggi tajuk paling maksimal, yaitu 10.40 cm.

PEMBAHASAN

Bacillus merupakan bakteri gram positif yang dapat membentuk endospora yang berbentuk oval di bagian sentral sel. Endospora tersebut memungkinkan bakteri bertahan hidup pada suhu dan kondisi lingkungan yang ekstrem (Dan et al. 2012). Kemampuan bakteri ini mengolonisasi bagian rizosfer tanaman menyebabkan potensinya sangat tinggi untuk berinteraksi dengan tanaman dan berperan sebagai agens hayati dan agens pemacu pertumbuhan tanaman. Pembentukan siderofor merupakan salah satu aktivitas Bacillus sebagai agens hayati sekaligus agens pemacu pertumbuhan seperti dilaporkan oleh Dan et al. (2012) untuk B. licheniformis 9555. Chakraborty et al. (2006) juga melaporkan pada B. megatorium dan B. cereus UW85 (Husen 2003).

Aktinomiset ialah kelompok besar dari bakteri berfilamen, umumnya bersifat gram positif dan mampu menghasilkan eksospora dari ujung-ujung miselium yang terbentuk. Beberapa aktinomiset diketahui merupakan organisme endofit dan dapat diisolasi dari tanaman. Streptomyces sp. merupakan

Page 29: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

Perlakuan Tinggi tajuk (cm)Kontrol 7.64 eBacillus B12 9.09 cdAktinomiset APS 7 9.89 abcAktinomiset APS 9 10.40 aAktinomiset APS 12 8.66 dBacillus B12 + aktinomiset APS 7 8.80 dBacillus B12 + aktinomiset APS 9 9.21 bcdBacillus B12 + aktinomiset APS 12 10.07 ab

Tabel 6 Rata-rata tinggi tajuk bibit padi berumur 7 hari setelah tanam setelah perlakuan Bacillus galur B12 dan aktinomiset

Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada α 5%

167

Perlakuan Populasi X. oryzae pv. oryzae (× 105 cfu g-1bibit)Kontrol 108.00 aBacillus B12 45.33 cAktinomiset APS 7 91.00 bAktinomiset APS 9 12.00 dAktinomiset APS 12 23.33 dBacillus B12 + aktinomiset APS 7 53.00 cBacillus B12 + aktinomiset APS 9 16.00 dBacillus B12 + aktinomiset APS 12 48.00 c

Tabel 4 Populasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada bibit padi berumur 7 hari setelah tanam setelah perlakuan Bacillus galur B12 dan aktinomiset

Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada α 5%

Perlakuan Kemunculan bibit padi (%)*4 HST 5 HST 6 HST 7 HST

Kontrol 6.67 b 23.67 bc 40.00 bc 56.67 cBacillus B12 6.33 b 16.67 c 30.67 c 56.33 cAktinomiset APS 7 20.67 a 35.33 ab 44.33 abc 73.33 abcAktinomiset APS 9 12.67 ab 29.33 abc 58.33 ab 79.00 abAktinomiset APS 12 7.67 b 15.67 c 35.67 bc 63.00 bcBacillus B12 + aktinomiset APS 7 20.67 a 42.33 a 64.67 a 83.33 aBacillus B12 + aktinomiset APS 9 7.67 b 17.33c 30.33 c 57.00 cBacillus B12 + aktinomiset APS 12 16.00 bc 27.00 bc 46.33 abc 77.00 bc

Tabel 5 Pengaruh perlakuan formulasi pada benih padi terhadap kemunculan bibit padi

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada α 5%HST, hari setelah tanam

anggota aktinomisetes yang penting karena kemampuannya menghasilkan antibiotik dansalah satunya aktif menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada tumbuhan.Aktinomisetes dilaporkan dapat mengendali-kan beberapa patogen penting, seperti Rhizoctonia solani (Sabaratnam dan Traquair 2001) dan Pythium ultimum (Crawford et al. 1993). Nakaew et al. (2009) melaporkan aktinomiset Spirillospora albida menunjukkan aktivitas antimikrob terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Paenibacillus larvae.

Kombinasi aktinomiset dan Bacillus galur B12 dapat meningkatkan aktivitasnya apabila bersifat kompatibel. Aktinomiset tergolong bakteri yang aktif dalam mendegradasi bahan-bahan organik, seperti lignoselulosa, kitin, dan pati dalam tanah (Igarashi et al. 2005). Kemampuan aktinomiset dan Bacillus mendegradasi senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana akan mempengaruhi kompatibilitas keduanya. Pada pengujian menggunakan medium tanah dan pupuk kandang, aktinomiset isolat APS 12 dan Bacillus galur B12 menunjukkan sifat

Page 30: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

kompatibel. Isolat APS 12 kemungkinan merupakan aktinomiset yang memiliki ke-mampuan mendegradasi pati yang tinggi sehingga menyediakan amilum dalam jumlah besar. Amilum merupakan senyawa turunan dari pati yang mampu dimanfaatkan oleh Bacillus galur B12 sebagai sumber nutrisi.

Bakteri patogen X. oryzae pv. oryzae merupakan bakteri gram negatif yang tidak dapat membentuk spora dalam siklus hidupnya. Bakteri X. oryzae pv. oryzae yang terbawa benih padi terdapat pada bagian bawah glume dan terkadang berada pada endosperma. Keberadaan bakteri pada benih dapat mengganggu proses metabolisme dari benih, diantaranya menghambat proses perkecambahan benih (Singh dan Mathur 2004). Benih padi yang tidak diberi perlakuan aktinomiset atau Bacillus galur B12 memiliki tingkat kemunculan bibit yang paling rendah. Pemberian Bacillus galur B12 maupun aktinomiset mengakibatkan terhambatnya perkembangan X. oryzae pv. oryzae sehingga tingkat kemunculan bibit kembali tinggi.

Perbedaan pertumbuhan kecambah padi pada berbagai perlakuan berkaitan dengan aktivitas hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh Bacillus galur B12 dan aktinomiset. Igarashi et al. (2005) melaporkan bahwa Streptomyces hygroscopicus S-17, salah satu anggota aktinomiset, mampu memacu pertumbuhan tomat dua kali lebih tinggi dan delapan kali lebih besar dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Aktinomiset diketahui memproduksi toyocamicin, hormon mirip sitokinin, yang dapat memacu pertumbuhan kalus dan asam pteridat, hormon mirip auksin, yang dapat memacu perkembangan akar. Bakteri Bacillus galur B12 mampu memacu pertumbuhan tanaman karena diketahui dapat membantu tanaman menghasilkan hormon pertumbuhan seperti asam indoleasetat, asam giberelat, sitokinin, dan etilena pada tanaman (Husen 2003). Dalam jumlah yang sesuai, hormon-hormon tersebut dapat memacu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Formulasi tepung yang mengandung Bacillus spp. dan aktinomiset berpotensi untuk digunakan dalam pengendalian penyakit

hawar daun bakteri padi yang disebabkan X. oryzae pv. oryzae. Dari beberapa isolat aktinomiset yang diperoleh, terdapat 3 isolat yang memiliki sifat antagonis terhadap X. oryzae pv. oryzae dan kompatibel terhadap Bacillus spp., yaitu APS 7, APS 9, dan APS 12. Kombinasi Bacillus galur B12 dan APS7 pada benih padi mengakibatkan penekanan populasi X. oryzae pv. oryzae pada bibit padi dan peningkatan pertumbuhan bibit padi.

DAFTAR PUSTAKA

Chakraborty U, Chakraborty B, Basnet M. 2006. Plant growth promotion and induction of resistance in Camellia sinensis by Bacillus megaterium. J Basic Microbiol. 46:186–195. DOI: http://dx.doi.org/10.1002/jobm.200510050.

Crawford DL, James ML, John MW, Margaret AO. 1993. Isolation and characterization of Actinomycetes antagonist of a fungal root pathogen. Appl Environ Microbiol. 11:3899–3905.

Dan VM, Mishra S, Chaudhry V, Tripathi S, Singh P, Yadav S, Mishra S, Ijinu TP, George V, Varma A, Nautiyal CS. 2012. Biocontrol, plant growth promotion and conferring stress tolerance: multifaceted role of Bacillus licheniformis 9555. Iternat J Sci Nat. 3(4):780–783.

Husen E. 2003. Screening of soil bacteria for plantgrowth promotion activities in vitro. Indon J Agric Sci. 4:27–31.

Igarashi Y, Miura S, Azumi M, Furumai T, Yoshida R. 2005. Studies on plant-associated Actinomycetes and their secondary metabolites. J Biosci Biotechnol Biochem. 21:1427–1441.

Nakaew N, Wasu P, Saisamorn L. 2009. First record of the isolation, identification and biological activity of a new strain of Spirillospora albida from Thai cave soil. Actinomycetologica. 23:1–7. DOI: http://dx.doi.org/10.3209/saj.SAJ230102.

Sabaratnam S, Traquair JA. 2001. Formulation of a Streptomyces biocontrol agent for the suppression of rhizoctonia damping-off in tomato transplant. J Biol Control. 23:245–

168

Page 31: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Putra dan Giyanto

253. DOI: http://dx.doi.org/10.1006/bcon.2001.1014.

Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of Plant Phatogenic Bacteria. Minnesota (US): APS Press.

Singh D, Mathur SB. 2004. Histopathology of Seed Borne Infection. Florida (US): CRC Press. DOI: http://dx.doi.org/10.1201/9781420038170.

169

Page 32: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

Volume 10, Nomor 5, Oktober 2014Halaman 170–179

DOI: 10.14692/jfi.10.5.170ISSN: 0215-7950

Pengaruh Kemasaman, Suhu, dan Cahaya terhadap Golovinomyces sordidus Penyebab Penyakit

Embun Tepung pada Plantago major

Acidity, Temperature and Light Effects on Golovinomyces sordidus, Plantago major Powdery Mildew Causal Agent

Dini Florina, Dyah Manohara, Dono Wahyuno*Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor 16111

ABSTRAK

Ki-urat (Plantago major) merupakan herba yang digunakan sebagai obat. Gejala embun tepung dijumpai pada tanaman ki-urat dan di Indonesia cendawan penyebabnya belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengetahui pengaruh kemasaman, suhu dan cahaya terhadap cendawan penyebab embun tepung. Identifikasi didasarkan pada karakteristik morfologi. Proses infeksi diamati dengan cara pewarnaan daun yang telah diinokulasi di bawah mikroskop 24, 48, dan 72 jam setelah inokulasi. Pengaruh kemasaman terhadap perkecambahan konidium dan panjang hifa dilakukan dengan membuat suspensi konidium dalam larutan dengan kemasaman 3–9, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 25 °C dan dihindarkan dari cahaya. Pengaruh suhu terhadap perkecambahan konidium dan panjang hifa diuji dengan meletakkan suspensi konidium pada gelas preparat, diinkubasi pada kisaran suhu 20–35 °C selama 24 jam dalam gelap. Pengaruh cahaya terhadap perkecambahan konidium dan panjang hifa diuji dengan inkubasi suspensi konidium pada kondisi gelap atau terang (400 Lux) selama 24 jam. Pengaruh lama inkubasi di tempat teduh diuji dengan meletakkan ki-urat yang telah diinokulasi di tempat teduh selama 0, 24, 48, 72, 96, 120, dan 144 jam setelah inokulasi. Penyebab gejala embun tepung pada tanaman ki-urat diidentifikasi sebagai Golovinomyces sordidus (syn. Erysiphe sordida) dengan bentuk tidak sempurna berupa Oidium. Koloni embun terbentuk pada hari ke-6 sampai ke-8 setelah inokulasi. Konidium berkecambah dan menginfeksi daun dengan menembus kutikula, kurang dari 24 jam setelah inokulasi. Kemasaman antara 4–7, suhu antara 25–30 °C dan dihindarkan dari cahaya merupakan konidisi optimum untuk berkecambah dan menginfeksi tanaman.

Kata kunci: Golovinomyces sordidus, Ki-urat, Oidium, suspensi konidium

ABSTRACT

Unidentified powdery mildew was found on leaves of a medicinal plant, Plantago major in Indonesia. The present studies were aimed to identify the causal fungal species of powdery mildew of P. major and study the effect of acidity, temperature and light on the causal fungus. Identification was conducted by observing morphological characteristics of the fungus scraped from diseased leaves under light microscope. The infection process was observed by staining the inoculated leaves followed observation under light microscope. Conidia were suspended in various pH solutions to examine effect of pH on conidial germination and hyphal length. For testing effects of temperature on conidial germination and hyphal length, conidial suspensions were dropped onto glass slides then incubated in temperature ranges from 20–35 °C, the germinating conidia and length of the existing hypha were counted and measured

*Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Badan Litbang Pertanian. Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111Telp. 0251-8321879 , Faks. 0251-8327010, Surel: [email protected]; [email protected]

170

Page 33: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

24 hours later. With the same method as above the glass slides were incubated in 25 °C either in the dark or exposed under illuminated white light tube (400 Lux) for study effect of light on conidial germination. The causal fungus was identified as Golovinomyces sordidus (syn. Erysiphe sordida) with its anamorph state as Oidium. The germinating conidia penetrate directly into leaf tissue within 24 hours. The optimal conditions for the conidia to germinate are pH between 4 and 7, temperature between 25 °C and 30 °C, and dark condition.

Key words: Golovinomyces sordidus, Ki-urat, Oidium, suspension of conidium

PENDAHULUAN

Ki-urat atau daun sendokan (Plantago major) merupakan tanaman herba yang kadang dianggap sebagai kelompok gulma. Biji dan daun tanaman ki-urat banyak digunakan sebagai bahan berbagai obat tradisional (Samuelsen 2000). Daun tanaman ki-urat mengandung senyawa fenol, flavonoid dan antioksidan yang tinggi (Kobeasy et al. 2011). Tanaman Ki-urat juga berpotensi sebagai fitoremedia tanah yang tercemar Plumbum (Kosobrukhov et al. 2004) atau air yang tercemar insektisida dengan bahan aktif cyanophos (Romeh 2014). Ki-urat merupakan tanaman herba tahunan yang berbentuk roset dan tumbuh di padang rumput, lahan yang basah, tepi pantai hingga di dataran tinggi 2700 m dpl (Pangemanan 1999). Di Indonesia, tanaman ki-urat belum dibudidayakan secara intensif, sehingga keperluan akan tanaman ini diambil dari alam.

Gejala penyakit embun tepung banyak ditemukan pada daun tanaman Plantago yang terdapat di Instalasi Penelitian Cimanggu, Balittro, Bogor. Penyakit ini banyak ditemukan selama musim kemarau dan sebaliknya pada saat musim hujan.

Gejala embun tepung berwarna putih umumnya ditemukan di permukaan atas daun (epiphyllous). Pada serangan yang lebih lanjut embun tepung juga terbentuk dikedua permukaan daun (amphigenous), juga tangkai daun (petiole). Pada kondisi tersebut koloni-koloni embun tepung tumbuh dan menyatu, menyebabkan permukaan daun tertutup oleh kumpulan koloni yang berwarna putih, terbentuk nekrosis, daun gugur lebih awal, dan tanaman menjadi lemah. Koloni embun tepung banyak dijumpai pada tanaman ki-urat

yang ternaungi dibandingkan dengan tanaman yang tidak ternaungi. Kehilangan hasil akibat penyakit embun tepung pada tanaman ki-urat belum diketahui, tetapi serangan embun tepung menjadi penting karena selain bijinya, tanaman ki-urat juga dipanen daunnya. Di daerah yang lembap dan bersuhu rendah di Lithuania, kehilangan hasil gandum akibat serangan dengan gejala embun tepung yang disebabkan oleh Erysiphe graminis dapat mencapai 50% (Ruzgas et al. 2002), dan di India, embun tepung yang disebabkan oleh Erysiphe pisi dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 50% pada kacang kapri (Pisum sativum) (Nisar et al. 2006).

Di Indonesia, cendawan penyebab embun tepung pada tanaman ki-urat belum pernah dilaporkan (Kobayashi et al. 1993). Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi patogen penyebab penyakit embun tepung dan mengamati pengaruh kemasaman, suhu dan cahaya terhadap perkecambahan konidium cendawan penyebabnya.

BAHAN DAN METODE

IdentifikasiIdentifikasi didasarkan pada pengamatan

dan pengukuran struktur karakteristik morfologi cendawan yang ditemukan. Cendawan diambil dari permukaan daun yang menunjukkan gejala embun tepung, dimasukkan ke dalam larutan Shear’s di kaca preparat, selanjutnya diamati menggunakan mikroskop cahaya (Crous et al. 2009). Data morfologi yang diperoleh dibandingkan dengan deskripsi yang ada. Bahan tanaman yang diamati diawetkan sebagai herbarium dan disimpan di laboratorium Hama dan Penyakit, Balittro, Bogor (HBAL-Bal 301).

171

Page 34: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

Penyediaan inokulum embun tepung untuk uji pengaruh lingkungan terhadap perkecambahan dan infeksi dilakukan dengan cara membuat suspensi konidium yang berasal dari satu koloni. Konidium dikumpulkan dengan cara merendam daun yang mengandungkoloni embun tepung ke dalam air steril kemudian dikocok selama 2–3 menit dengan alat pengocok (Shomari dan Kennedy 1999). Suspensi konidium yang diperoleh diinokulasikan menggunakan kuas pada daun ki-urat yang masih sehat (Bardin et al. 2007). Tanaman yang telah diinokulasi diinkubasi di tempat teduh di rumah kaca dengan kisaran suhu antara 24–30 °C. Tanaman ki-urat yang telah terserang tersebut digunakan sebagai sumber inokulum pada uji selanjutnya.

Uji Patogenisitas dan Proses InfeksiUji patogenisitas dilakukan menggunakan

tanaman ki-urat yang diperbanyak dari benih. Massa konidium embun tepung diambil dari tanaman ki-urat yang diinokulasi secara buatan. Inokulasi dilakukan dengan mengoleskan suspensi konidium dengan konsentrasi 1.8 × 106 konidium mL-1 pada permukaan daun yang sehat, kemudian tanaman diinkubasi di rumah kaca. Pengamatan gejala penyakit yang timbul dilakukan setiap hari. Kontrol adalah tanaman yang diinokulasi dengan air dengan cara yang sama seperti di atas.

Perkecambahan konidium dan proses infeksi pada tanaman yang telah diinokulasi diamati pada 24, 36, dan 72 jam setelah inokulasi. Potongan daun (1 cm × 1 cm) dimasukkan ke dalam larutan pewarna laktofenol biru metilen (laktophenol cotton blue) dan dipanaskan selama ± 1 menit, kemudian dibiarkan selama 48 jam (Liberato et al. 2005). Potongan daun kemudian direndam dalam larutan kloral hidrat (2:1) untuk mengurangi pewarnaan yang berlebihan, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan gliserol campur air (1:1) pada kaca preparat, dan diamati menggunakan mikroskop cahaya.

Kemasaman MediumUji pengaruh kemasaman air terhadap

perkecambahan konidium, dilakukan dengan

cara merendam daun yang membawa koloni embun tepung ke dalam air dengan kemasaman 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 selama 60 detik. Kemasaman air diatur menggunakan HCl atau NaOH 0.1 M (Schrandt dan Davis 1994). Suspensi konidium dibuat dengan mencampur konidium pada larutan yang telah diatur kemasamannya dengan konsentrasi berkisar antara 3.5–6.2 × 104 konidium mL-1 diteteskan pada kaca preparat (Bahadur et al. 2008), kemudian dikeringanginkan dan diinkubasi selama 24 jam di dalam kotak yang telah diberi kertas yang sudah dibasahi. Konidium yang berkecambah dan panjang hifa yang terbentuk pada masing-masing perlakuan dihitung dan diukur menggunakan mikroskop.

SuhuUji pengaruh suhu terhadap perkecambahan

dan pertumbuhan hifa dilakukan dengan meneteskan suspensi konidium pada kaca preparat, diletakkan dalam kotak plastik yang alasnya telah diberi kertas saring basah. Kotak plastik yang berisi suspensi konidium diinkubasi pada kisaran suhu 20, 25, 30, dan 35 °C, selama 24 jam dalam keadaan gelap. Larutan laktofenol diteteskan pada permukaan kaca preparat untuk menghentikan proses perkecambahan, kemudian diamati menggunakan mikroskop. Pengamatan, ter-hadap 100 konidium yang berkecambah dan panjang hifa yang terbentuk, dihitung dan diukur menggunakan mikroskop dengan 3 kali ulangan untuk setiap perlakuan.

Cahaya Uji pengaruh cahaya terhadap per-

kecambahan konidium dilakukan dengan meneteskan suspensi konidium pada per-mukaan kaca preparat, kemudian diletakkan ke dalam cawan petri dengan kertas saring basah di dalamnya. Cawan petri berisi kaca preparat diletakkan di bawah cahaya selama 24 jam pada suhu ± 25 °C. Sebagai sumber cahaya digunakan lampu TL 20 W (400 Lux; Tokyo Koden, ANA 500) dan kontrol tanpa pencahayaan. Jumlah konidium yang ber-kecambah dan hifa yang terbentuk dihitung dan diukur, seperti perlakuan suhu.

172

Page 35: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

Pengaruh Lama Inkubasi di Tempat Teduh terhadap Insidensi Penyakit

Penelitian dilakukan di kebun meng-gunakan tanaman berumur ± 4 bulan yang dipelihara pada medium tanah dicampur pupuk kandang (2:1) dan dihindarkan tertular oleh konidium dari luar. Inokulasi dilakukan pagi hari dengan cara menyemprotkan suspensi konidium (konsentrasi 8 × 104 konidium mL-1) ke permukaan tanaman. Tanaman diletakkan di lapangan dengan perlakuan 0, 24, 48, 72, 96, 120, dan 144 jam setelah diinokulasi. Tanaman diletakkan di bawah naungan dengan atap plastik transparan dan diatur sedemikian rupa sehingga tanaman akan terpapar cahaya matahari antara pukul 08.00–13.30 WIB. Jarak antar pot ialah ± 15 cm sehingga tidak ada saling ternaungi antar kanopi. Jarak antara atap dan daun tanaman berkisar ± 50 cm dengan intensitas cahaya pada pukul 12.00 WIBsebesar ± 23 000 Lux, dengan kisaran suhu 23–31 °C. Sebagai kontrol, tanaman diinkubasi di rumah kaca dan terhindar dari cahaya langsung. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah daun dan tanaman yang terserang, serta jumlah koloni embun tepung yang terbentuk dari tiap perlakuan pada hari ke-10 setelah inokulasi.

HASIL

IdentifikasiMorfologi telomorf cendawan tidak

ditemukan, yang ada hanya bentuk anamorf Oidium. Konidiofor dengan sel kaki (foot-cell) tersusun dari tiga sel dengan ukuran tidak sama. Sel pertama biasanya lebih panjang daripada dua sel lainnya. Sel kaki umumnya agak melengkung, kecil di bagian bawah dan lebar di atas, berukuran 25.0–(32.8)–50.0 μm × 6.3–(10.2)–17.5 μm dan tidak berwarna (hialin). Panjang sel pertama 35.0–(45.2) –62.5 μm × 8.8–(12.1)–15.0 μm (Gambar 1b). Konidium tidak berornamen, terbentuk pada konidiofor, tersusun seperti rantai, berbentuk lonjong dengan sudut membulat (oblong) sampai silindris (cylindric). Konidium hialin, berukuran 30.0–(34.7)–40.0 μm × 11.3–(14.1)–18.8 μm (Gambar 1c). Berdasarkan

pada ciri morfologi ini cendawan pada daun ki-urat ini ialah Golovinomyces sordidus.

Uji Patogenisitas dan Proses InfeksiGejala penyakit embun tepung berupa

bintik-bintik berwarna putih dengan diameter 3–5 mm terlihat di permukaan atas daun pada 6–8 hari setelah inokulasi dengan konidium yang terbentuk masih muda dan tidak mudah terlepas. Konidium pada konidiofor menjadi dewasa dan dapat menginfeksi daun sehat pada 11–13 hari setelah inokulasi, ditandai dengan ukuran konidium yang besar dan terlihat tepung berwarna putih berhamburan di udara apabila daun tersentuh.

Pada saat 24 jam setelah inokulasi perkecambahan konidium ialah sebesar 24.3% dengan konidium yang berkecambah lebih dari satu tabung kurang dari 3%. Tabung kecambah tumbuh menjadi hifa dengan panjang antara 15 dan 550 µm (Gambar 1d).Pada tahap ini belum ditemukan hifa yang tumbuh di dalam jaringan daun.

Konidium yang berkecambah 48 jam setelah inokulasi ialah 22% dengan panjang hifa berkisar antara 17 dan 625 µm. Beberapa hifa telah membentuk percabangan dan beberapa diantaranya telah menginfeksi daun yang ditandai dengan terlihatnya hifa yang tumbuh di dalam jaringan daun. Infeksi terjadi secara langsung dengan cara menembus kutikula daun tanpa membentuk apresorium dan tidak ditemukan infeksi yang melalui stoma. Bagian hifa yang menginfeksi berasal dari percabangan yang keluar dari tabung kecambah. Konidium yang berkecambah 72 jam setelah inokulasi ialah 25.5% dengan panjang hifa antara 20 dan 640 µm. Hifa yang sudah ada di dalam jaringan tanaman membentuk percabangan dan haustorium (Gambar 1e).

KemasamanKonidium dapat berkecambah pada

kisaran kemasaman antara 3 dan 9, dengan kemasaman optimum antara 5 dan 6 (Gambar 2a), tetapi rata-rata panjang hifa tidak berbeda nyata pada semua perlakuan kemasaman yang diuji (Gambar 2b).

173

Page 36: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

SuhuKonidium dapat berkecambah pada semua

kisaran suhu yang diuji (20–35 °C) dengan persentase perkecambahan yang baik pada kisaran 20–35 °C (Gambar 3a). Pada konidium yang berkecambah, rata-rata panjang hifa tidak berbeda nyata pada semua perlakuan lainnya (Gambar 3b).

CahayaCahaya dengan intensitas ± 400 Lux,

menghambat perkecambahan konidium sebesar 30% dibandingkan dengan yang diinkubasi di tempat gelap. Panjang hifa yang terbentuk pada perlakuan gelap lebih pendek, tetapi panjang hifa yang terbentuk tidak

berbeda nyata antara perlakuan inkubasi di tempat gelap dan terang (Gambar 4).

Insidensi PenyakitPada hari ke-10 setelah inokulasi, koloni

cendawan terlihat di permukaan atas daun pada perlakuan yang diinkubasi 24‒144 jam di tempat teduh, sebelum dipindah ke lapangan berupa bercak-bercak warna putih halus dengan diameter ± 3‒5 mm. Semua tanaman terserang cendawan embun tepung. Koloni cendawan yang terbentuk pada permukaan bawah daun jumlahnya hanya kurang dari 10%. Koloni embun tepung tidak ditemukan pada daun tanaman yang diberi perlakuan inkubasi ditempat teduh selama 0 jam (Gambar 5).

Gambar 2 Perkecambahan konidium Golovinomyces sordidus dan panjang tabung kecambahnya pada beberapa kemasaman medium setelah diinkubasi selama 24 jam. a, persentase perkecambahan G. sordidus. Notasi huruf yang sama menunjukkan persentase perkecambahan yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%; dan b, panjang hifa. Garis vertikal menunjukkan kisaran nilai panjang tabung kecambah

a b

Perk

ecam

baha

n (%

)

50

40

30

20

10

0

abbc c c bc

a

a

3 4 5 6 7 8 9Kemasaman (pH) Kemasaman (pH)

3 4 5 6 7 8 9

120

100

80

60

40

20

0Panj

ang

tabu

ng k

ecam

bah

(µm

)

Gambar 1 Tanaman ki-urat terserang Golovinomyces sordidus. a, gejala embun tepung; b, konidiofor dengan sel kaki (→); c, konidium; d, konidium berkecambah; dan e, hifa menginfeksi jaringan daun dan membentuk haustorium (→). Skala: 1b dan 1c = 20 μm.

a b c d e

174

Page 37: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

Gambar 3 Perkecambahan konidium Golovinomyces sordidus pada beberapa suhu inkubasi selama 24 jam. a, persentase perkecambahan G. sordidus. Notasi huruf yang sama menunjukkan persentase perkecambahan yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%; dan b, panjang hifa G. sordidus. Garis vertikal menunjukkan kisaran nilai panjang tabung kecambah.

Suhu (°C)20 25 30 35

b

50

40

30

20

10

0

Perk

ecam

baha

n (%

) b b

a

12010080

60

40

200Pa

njan

g ta

bung

kec

amba

h (µ

m)

Suhu (°C)20 25 30 35

a b

Gambar 4 Perkecambahan konidium Golovinomyces sordidus pada kondisi gelap dan terang setelah diinkubasi selama 24 jam. a, persentase perkecambahan G. sordidus. Notasi huruf yang sama menunjukkan persentase perkecambahan yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%; dan b, panjang hifa G. sordidus. Garis vertikal menunjukkan kisaran nilai panjang tabung kecambah.

40

30

20

10

0

Perk

ecam

baha

n (%

)

Gelap Terang

b

a

Pencahayaan (400 Lux)Terang

Pencahayaan (400 Lux)Gelap

100

80

60

40

20

0

Panj

ang

tabu

ng k

ecam

bah

(µm

)

a b

175

Gambar 5 Daun dan tanaman ki-urat yang terserang penyakit embung tepung dan jumlah koloni masa konidium pada daunnya setelah diinokulasi di tempat teduh selama 0–144 jam.

, daun ki-urat; , tanaman ki-urat. Notasi huruf yang sama menunjukkan persentasi daun yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%. Garis vertikal menunjukkan kisaran nilai jumlah koloni cendawan pada daun dan garis horizontal ialah rata-rata jumlah koloni.

100

80

60

40

20

0 0 24 48 72 96 120 144 TeduhInkubasi di tempat teduh setelah diinokulasi (jam)

Dau

n at

au ta

nam

an te

rser

ang

(%)

ab

b

bbbbbb

0 24 48 72 96 120 144 Teduh

Inkubasi di tempat teduh setelah diinokulasi (jam)

40

30

20

10

0

Kol

oni p

er d

aun

a b

Page 38: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

PEMBAHASAN

Ada tiga spesies cendawan diketahui menimbulkan gejala embun tepung pada Plantago spp. Di Amerika, G. sordidus (syn. Erysiphe sordida) dan Sphaerotheca macularis menyebabkan gejala embun tepung pada Plantago spp. (Farr et al. 1989; Dugan dan Glawe 2007). Cendawan G. sordidus ditemukan pada P. tomentosa di Argentina (Delhey et al. 2003); Golovinomyces sp. pada P. australis di Brasil (Dallagnol et al. 2012). Di Eropa, G. sordidus (syn E. sordida) pada P. major dan Sphaerotheca plantaginis pada P. eriopoda, P. lanceolata, P. major (Braun 1987). Selain Golovinomyces dan Sphaerotheca, gejala embun tepung pada Plantago spp. juga disebabkan oleh cendawan Leveillula taurica (Braun 1987).

Cendawan Golovinomyces, Sphaerotheca, dan Leveillula dapat dibedakan berdasarkan karakter bentuk dan jumlah sel pada sel kaki, serta bentuk konidium dari stadium anamorfnya, yaitu Oidium. Golovinomyces mempunyai sel kaki berbentuk silindris dan melengkung, dengan konidium berbentuk lonjong (oblong). Sel kaki S. plantaginis berbentuk silindris dan tegak, konidiumnya berbentuk elips (ellipsoid) sampai membulat telur (ovoid); sedang L. taurica di atas sel kakinya hanya menghasilkan satu konidium berbentuk lanset, yaitu lebar di bagian dasar meruncing di ujung (lanceolate) (Braun 1987).

Berdasarkan karakter bentuk dan jumlah sel pada sel kaki, serta konidium yang umumnya berbentuk lonjong maka cendawan penyebab embun tepung pada tanaman ki-urat diidentifikasi sebagai Golovinomyces sordidus (Delhey et al. 2003) yang sebelumnya dikenal sebagai Erysiphe sordida (Braun 1987).

Penelitian ini merupakan laporan pertama yang menyatakan keberadaan G. sordidus pada tanaman Plantago di Indonesia. Cendawan G. sordidus mempunyai sebaran geografi yang luas meliputi Amerika, Asia, dan Eropa. Sebaran inangnya sangat terbatas yaitu hanya pada tanaman Plantago spp. dan tidak menyerang tanaman lainnya (Braun 1987).

Fase perkecambahan konidium merupakan saat yang peka bagi cendawan terhadap perubahan lingkungan dibandingkan dengan pertumbuhan hifa. Hasil uji menunjukkan bahwa konidium yang berkecambah berkurang dengan naiknya kemasaman, suhu inkubasi, dan paparan cahaya.

Konidium G. sordidus dapat berkecambah kurang dari 24 jam. Rata-rata perkecambahan konidium G. sordidus kurang dari 30% meskipun telah diinkubasi lebih dari 76 jam. Hifa konidium yang berkecambah selalu menembus permukaan sel daun dan tidak ditemukan hifa yang masuk melalui stoma meskipun beberapa hifa terlihat tumbuh di atas permukaan lubang stoma. Infeksi E. necator penyebab gejala embun tepung pada anggur umumnya melibatkan proses mekanik dari hifa, tetapi beberapa spesies dari Erysiphe dapat mensintesis enzim yang menyebabkan depolimerasi kutikula dan dinding sel tanaman inang (Schnee et al. 2013).

Setiap cendawan mempunyai kepekaan yang tidak sama terhadap kuantitas dan kualitas cahaya, bahkan tiap fase dari tiap cendawan mempunyai kepekaan yang berbedaterhadap cahaya. Tanaman yang tidak langsung terpapar cahaya merupakan kondisi ideal bagi G. sordidus untuk berkembang. Shomari dan Kennedy (1999) mendapatkan koloni embun tepung yang disebabkan oleh Oidium anacardii yang ada di cabang bagian dalam kanopi tanaman mete tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang ada di bagian luar.

Cahaya menghambat perkecambahan konidium, sehingga mengurangi peluang terjadinya infeksi, mungkin juga karena terjadi kenaikan suhu mikro di sekitar permukaan daun yang terkena cahaya matahari. Oleh karena itu, tanaman yang segera diletakkan di lapangan setelah diinokulasi tidak ada yang terinfeksi. Inkubasi pada tempat yang terhindar dari cahaya selama 48 jam atau lebih meningkatkan peluang G. sordidus berkecambah dan menginfeksi daun. Dalam batas tertentu, hifa G. sordidus yang telah berada di dalam jaringan tanaman relatif lebih tahan terhadap pengaruh cahaya maupun

176

Page 39: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

kenaikan suhu, sehingga dapat berkembang membentuk koloni baru, yang selanjutnya akan menjadi sumber inokulum. Suhu lingkungan juga mempengaruhi daya sporulasi cendawan penyebab embun tepung. Jumlah konidium Oidium sp. asal tanaman Euphorbia pulcherima yang terperangkap berkurang seiring dengan naiknya suhu di rumah kaca, dan koloni yang ada tidak bertambah apabila suhu rata-rata mingguan melebihi 30 °C (Byrne et al. 2000). Peduto et al. (2013) mendapatkan konidium E. necator membutuhkan suhu optimum untuk berkecambah 33.5 °C, dan konidiumnya sudah berkecambah kurang dari 24 jam, perkecambahan akan terjadi kurang dari 4 jam apabila diinkubasi pada suhu 40.5 °C. Inkubasi pada suhu 36 °C atau lebih tinggi selama 12 jam akan menyebabkan koloni E. necator tidak mampu bersporulasi meskipun lingkungan kembali normal (Peduto et al. 2013). Cendawan E. necator apabila diinkubasi pada suhu 8 °C akan menghasilkan apresorium yang lebih sedikit tetapi percabangan hifa yang lebih banyak di-bandingkan dengan yang diinkubasi pada 2 °C (Moyer et al. 2010). Suhu merupakan faktor lingkungan yang penting untuk ketahanan tanaman, E trifolii mampu menginfeksi kacang kapri (P. sativum) yang mengandung gen tahan Er3, ditandai adanya koloni embun tepung pada hari ke-9 apabila tanaman di-inkubasi pada suhu 25 °C, tetapi tidak apabila diinkubasi pada 20 °C (Fondevilla et al. 2013). Shi dan Mmbaga (2006) menyarankan melakukan pemangkasan di awal musim semi untuk mengurangi serangan embun tepung pada Lagerstroemiae indica yang disebabkan oleh E. australiana, karena cendawan yang tidak membentuk stadia sempurna dapat bertahan berupa miselia pada pucuk L. indica yang dorman selama musim dingin. Aplikasi fungisida pada waktu yang tepat, pada bagian tanaman yang peka dan periode aplikasi yang tepat dilaporkan efektif menekan embun tepung (Oidium sp.) pada rambutan (Rajapakse et al. 2006).

Cendawan G. sordidus yang bersifat sebagai parasit sejati, dan kisaran inang yang terbatas, serta tanaman ki-urat yang

mampu tumbuh pada kisaran lingkungan yang kering, memungkinkan untuk melakukan pengendalian embun tepung secara kultur teknis. Serangan G. sordidus dapat ditekan dengan dengan menanam ki-urat di tempat yang tidak terlalu teduh, disertai dengan tindakan pengendalian secara mekanis dengan mengambil dan me-musnahkan bagian tanaman terserang.

DAFTAR PUSTAKA

Bahadur A, Singh UP, Singh DP, Sarma BK, Singh KP, Singh A, Aust HJ. 2008. Control Erysiphe pisi causing powdery mildew of pea (Pisum sativum) by cashewnut (Anacardium occidentale) shell extract. Mycobiology. 36(1):60–65. DOI: http://dx.doi.org/10.4489/MYCO.2008.36.1.060.

Bardin M, Suliman ME, Sage-Palloix AM, Mohamed YF, Nicot PC. 2007. Inoculum production and long-term conservation methods for cucurbits and tomato powdery mildews. Myc Res. 111:740–747. DOI: http://dx.doi.org/ 10.1016/j.mycres.2007.03.15.

Braun U. 1987. A monograph of the Erysiphales (powdery mildews). Berlin (DE): Nova Hedwigia.

Byrne JM, Hausbeck MK, Shaw BD. 2000. Factor affecting concentrations of air borne conidia of Oidium sp. among Poinsettias in a green house. Plant Dis. 84:1089–1095. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2000.84.10.1089.

Crous PW, Verkley GJM, Groennewald JZ, Samson RA. 2009. Fungal Biodiversity. Utrecht (NL): CBS-Knaw Fungal Biodiverisity Centre.

Dallagnol LJ, de Castro FR, Garcia EN, Camargo LEA. 2012. First report of powdery mildew caused by Golovinomycs sp. on Plantago australis in Brazil. Plant Dis. 97(3):421. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-07-12-0660-PDN.

Delhey R, Braun U, Kiehr M. 2003. Some new records of powdery mildew from Argentina (2). Schlectendalia. 10:79–90.

177

Page 40: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

Dugan FM, Glawe DA. 2007. Powdery mildews on weeds in the Pacific Northwest: a miscellany of new reacords. Pacific Northwest Fungi. 2(1):1‒7. DOI: 10.2509/pnwf.002.001.

Farr DF, Bills GF, Chamuris GP, Rossman AY. 1989. Fungi on Plants and Plant Products in the United States. St. Paul Minnesota (US): APS Pr.

Fondevilla S, Chattopadhyay C, Khare N, Rubiales D. 2013. Erysiphe trifolii is able to overcome er1 and Er3, but not er2, in resistance genes in pea. Eur J Plant Pathol. 136:557‒563. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10658-013-0187-6.

Kobayashi T, Oniki M, Matsumoto K, Sitepu D, Manohara D, Tombe M, Djiwanti SR, Nurawan A, Rachmat A, Wahyuno D, Nazarudin SB, Mustika I, Shiomi T, Tsuchiya K, Katumoto K. 1993. Diagnostic Manual for Industrial Crop Diseases in Indonesia. Jakarta (ID): JICA-RISCM.

Kobeasy MI, Abdel-Fatah OM, El-Salam SMA, Mohamed ZEM. 2011. Biochemical studies on Plantago major L. and Cyamopsis tetragonoloba L. Int J Biodivers Conserv. 3(3):83–91.

Kosobrukhov A, Knyazeva I, Mudrik V. 2004. Plantago major plants response to increase content of lead of leaf in soil: growth and photosynthesis. Plant Growth Regulation. 42:145–151. DOI: http://dx.doi.org/10.1023/B:GROW.0000017490.59607.6b.

Liberato JR, Barreto RW, Shivas RG. 2005. Leaf-clearing and staining technique for the observation of conidiophores in the Phyllactinioides (Erysiphaeceaei). Aus Plant Pathol. 34:401–404. DOI: http://dx.doi.org/10.1071/AP05027.

Moyer MM, Gadoury DM, Cadle-Davidson L, Dry IB, Magarey PA, Wilcox WF, Seem RC. 2010. Effect of acute low-temperature events on development of Erysiphe necator and susceptibility of Vitis vinifera. Phytopathology. 100(11):1240–1249. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO-01-10-0012.

Nisar M, Ghafoor A, Rashid K, Quresh AS. 2006. Screening of Pisum sativum L.

germplasm against Erysiphe pisi Syd. Acta Biol Cracov Ser Bot. 48(2):33–37.

Pangemanan L. 1999. Plantago. Di dalam: Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ, editor. Plant Resources of South-East Asia. Medicinal and Poisonous Plants. No 12(1). Bogor (ID): Prosea. hlm 397–403.

Peduto F, Backup P, Hand EK, Janousek CN, Gubler WD. 2013. Effect of high temperature and exposure time on Erysiphe necator growth and reproduction: revisions to the UC Davis Powdery Mildew Risk Index. Plant Dis. 97(11):1438–1447. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-01-13-0039-RE.

Rajapakse RGAS, Edirimanna ERSP, Kahwatta J. 2006. Management of powdery mildew disease of rambutan (Nephelium lappaceum) in Sri Lanka. J Agric Sci. 2(3):8‒14.

Romeh AA. 2014. Phytoremediumtion of cynaophos insecticide by Plantago major L. in water. J Environ Health Sci Eng. 12:1–8.DOI: http://dx.doi.org/10.1186/2052-336X-12-38.

Ruzgas V, Petrauskas P, Liatukas Ź. 2002. Resistance of winter wheat varieties to fungal diseases Erysiphe graminis DC sp. tritici E. Marshal, Septoria tritici Rob et Desm and Stagonospora nodorum Berk. Biologija. 1:43–45.

Samuelsen AB. 2000. The traditional uses, chemical constitutents and biological activities of Plantago major L. A review. J Ethnopharmacol. 71:1–21. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0378-8741(00)00212-9.

Schnee S, Rougeux E, Pezet R, Viret O, Gindro K. 2013. Evidence for constitutive cutinase in urgeminated conidia of Erysiphe necator Schwein. J Cytol Histol. 4(5):197. DOI: http://dx.doi.org/10.4172/2157-7099.1000197.

Schrandt JK. Davis RM.. 1994. Host range and influence of nutrition, temperature and pH on growth of Phytium violae from carrot. Plant Dis. 78:335–338. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-78-0335.

178

Page 41: Interaction between Endophytic Bacteria and Plant Growth ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.5.pdf · merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya

J Fitopatol Indones Florina et al.

Shi A, Mmbaga MT. 2006. Perpetuation of powdery mildew infection and identification of Eysiphe australiana as the crape myrtle pathogen in mid-Tennessee. Plant Dis. 90(8):1098–1101. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-90-1098.

Shomari SH, Kennedy R. 1999. Survival of Oidium anacardii in cashew (Anacardium occidentale) in Southern Tanzania. Plant Pathol. 48:505–513. DOI: http://dx.doi.org/10.1046/j.1365-3059.1999.00363.x.

179