INTEGRATED FOOD THERAPY PRODUCT DARI ...repository.ub.ac.id/3571/1/Nike Nurlaily Fitria.pdfNike...
Transcript of INTEGRATED FOOD THERAPY PRODUCT DARI ...repository.ub.ac.id/3571/1/Nike Nurlaily Fitria.pdfNike...
INTEGRATED FOOD THERAPY PRODUCT DARI FORMULA PEKTIN KULIT
PISANG AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica), MANGGA DAN
DAUN MINT SEBAGAI ANTI KONSTIPASI PADA TIKUS WISTAR
(Kajian Rasio Transit Gastrointestinal)
SKRIPSI
Oleh:
Nike Nurlaily Fitria
NIM 135100101111042
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
INTEGRATED FOOD THERAPY PRODUCT DARI FORMULA PEKTIN KULIT
PISANG AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica), MANGGA DAN
DAUN MINT SEBAGAI ANTI KONSTIPASI PADA TIKUS WISTAR
(Kajian Rasio Transit Gastrointestinal)
SKRIPSI
Oleh:
Nike Nurlaily Fitria
NIM 135100101111042
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
RIWAYAT HIDUP
Nike Nurlaily Fitria dilahirkan pada 9 Maret 1995 di
kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang merupakan
anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Harun Asmadin dan Ibu Puji Astutik. Penulis
mengenyam pendidikan dasar sejak tahun 2001 – 2007
di SDN Kutorenon 1, lalu melanjutkan pendidikan
menengah pertama di SMPN 1 Sukodono dan lulus
pada tahun 2010. Tahun 2010 penulis melanjutkan
pendidikan menengah atas di SMAN 2 Lumajang, tiga
tahun kemudian tepatnya tahun 2013 penulis lulus dan melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi di Universitas Brawijaya, Fakultas Teknologi
Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Selama masa pendidikannya, penulis aktif di berbagai kepanitiaan, baik di
tingkat jurusan maupun di tingkat universitas. Kegiatan kepanitiaan yang diikuti
oleh penulis adalah sebagai anggota Divisi Transkoper pada OPJH 2014,
anggota Divisi Kesehatan PKKFTP 2014 dan 2015 serta anggota Divisi
Pendamping Raja Brawijaya 2015. Selain aktif di kepanitiaan, penulis juga aktif
dalam kegiatan kompetisi dan mendapatkan dana penelitian dari PT. Indofood
Sukses Makmur Tbk. dalam program Indofood Riset Nugraha (IRN). Pada tahun
2017, penulis menyelesaikan masa pendidikannya dan mendapatkan gelar
Sarjana Teknologi Pertanian di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi dengan judul “Integrated Food Therapy Product dari Formula Pektin
Kulit Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica), Mangga dan
Daun Mint sebagai Anti Konstipasi pada Tikus Wistar (Kajian Rasio Transit
Gastrointestinal)”. Skripsi ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian pada Universitas Brawijaya Malang.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan
dan bimbingan dari berbagi pihak, untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang
mendalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan kakak penulis yang telah mencurahkan semua
perhatian dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes, selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing dan memberikan nasihat serta saran bagi penulis selama
pelaksanaan tugas akhir dan penyusunan laporan tugas akhir.
3. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. yang telah memberikan dana pada
penelitian ini sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik.
4. Rofiqoh Fajarwati selaku teman seperjuangan tugas akhir yang setia bekerja
sama dalam penyelesaian laporan skripsi ini.
5. Laboran laboratorium Nutrisi Pangan mas Agus Subekti yang telah
membantu dan memberikan kritik serta saran dalam pengerjaan tugas akhir.
6. Teman suka duka Ivani, Ella, Via, Anis, Gaby, Elina, Ida, Nana, Aya, Erna,
Vela, rekan-rekan THP 2013 dan teman-teman di laboratorium nutrisi pangan
yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan laporan
ini.
7. Dan semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, referensi dan pengalaman,
penulis mengharapkan saran dan masukan demi lebih baiknya skripsi ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
semua pihak yang membutuhkan.
Malang, 20 Juni 2017
Penulis
Nike Nurlaily Fitria. 135100101111042. Integrated Food Therapy Product
dari Formula Pektin Kulit Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica), Mangga dan Daun Mint sebagai Anti Konstipasi pada Tikus
Wistar (Kajian Rasio Transit Gastrointestinal). Pembimbing: Dr. Ir. Tri
Dewanti Widyaningsih, M. Kes
RINGKASAN
Pisang merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Produksi pisang yang besar juga menghasilkan limbah kulit pisang yang melimpah. Salah satu cara pemanfaatan limbah kulit pisang ini adalah dengan cara ekstraksi pektin. Pektin hasil ekstraksi akan diformulasikan bersama mangga dan daun mint untuk membuat integrated food therapy product berupa serbuk effervescent
yang memiliki potensi sebagai anti konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk optimasi formulasi serbuk effervescent.
Selain itu juga mengetahui pengaruh serbuk effervescent berbasis pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica), mangga dan daun mint
terhadap penurunan gejala konstipasi pada tikus jantan galur wistar yang diinduksi dengan loperamid ditinjau dari profil feses (jumlah, berat dan kadar air feses) dan uji rasio transit gastrointestinal. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Response Surface Methodology (RSM) dengan rancangan Central Composite Design (CCD) untuk optimasi formula serbuk effervescent dan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan pakan selama masa pemeliharaan tikus 5 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula serbuk effervescent yang memiliki kadar serat pangan optimal adalah formula dengan proporsi 45% pektin kulit pisang Agung Semeru, 30% mangga Podang dan 20% daun mint dengan kadar serat pangan hasil verifikasi sebesar 30,35%. Pada pengujian efek anti konstipasi serbuk effervescent didapatkan hasil bahwa pemberian serbuk effervescent dengan dosis 180 mg / 200 g BB memiliki pengaruh yang nyata (α =
0,05%) terhadap kadar air feses, berat feses dan rasio transit gastrointestinal, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah feses pada tikus konstipasi yang diinduksi loperamid.
Kata Kunci : Effervescent, Konstipasi, Pektin
Nike Nurlaily Fitria. 135100101111042. Integrated Food Therapy Product of
Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) Banana Peel Pectin, Mango
and Mint Formula as an Anti-Constipation in Wistar Rats (Study of
Gastrointestinal Transit Ratio). Supervisor: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih,
M. Kes
Summary
Banana is one of superior Indonesian commodities. High production of
banana also produces overflow of banana peels waste. One way of banana peel
utilization is pectin extraction. Pectin will be formulated with mango and mint to
produce integrated food therapy product in the form of effervescent powder which
has potential as an anti constipation.
This research aims to optimize the formula of effervescent powder and
to know the effect of effervescent powder made from Agung Semeru (Musa
paradisiaca formatypica) banana peel pectin, mango, and mint leaves to the
reduction of constipations symptom of Wistar rats inducted by loperamid, looked
from feces profile (amount, weight, and water degree of feces), and
gastrointestinal transit ratio test. This research uses Response Surface
Methodology (RSM) with Central Composite Design (CCD) to optimize the
formula of effervescent powder and Complete Randomized Design (CRD)
method with feed treatment factor for five days.
The result of this research shows that the formula of effervescent powder
which has high fibrous degree is the formula with 40% of Agung Semeru banana
peel pectin, 30% Podang mango, and 25% mint leaves proportion with verified
fibrous degree is 30,35%. Then, in anti-constipation test shows that effervescent
powder feeding with dosage 180 mg / 200 g BB has real effect (α = 0,05%) to the
water degree feces, weight feces, and gastrointestinal transit ratio, but it does not
influence the number of feces in constipation mouse which is inducted by
loperamid.
Key words: Effervescent, Constipation, Pectin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
RINGKASAN ................................................................................................... vii
SUMMARY ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 3
1.5 Hipotesis .................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
2.1 Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) ............................. 4
2.2 Kulit Pisang ................................................................................................ 6
2.3 Mangga ...................................................................................................... 6
2.4 Daun Mint .................................................................................................. 8
2.5 Pektin......................................................................................................... 9
2.6 Ekstraksi .................................................................................................... 12
2.7 Serat Pangan ............................................................................................. 14
2.8 Serbuk Effervescent ................................................................................... 16
2.9 Bahan Tambahan Serbuk Effervescent ...................................................... 17
2.9.1 Dekstrin ............................................................................................. 17
2.9.2 Asam Sitrat ....................................................................................... 17
2.9.3 Asam Tartrat ..................................................................................... 17
2.9.4 Natrium Bikarbonat ........................................................................... 18
2.9.5 Stevia ................................................................................................ 18
2.9.6 PVP ................................................................................................... 19
2.10 Response Surface Methodology (RSM) ............................................. 19
2.11 Konstipasi ................................................................................................ 20
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................................ 22
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................... 22
3.2.1 Alat.................................................................................................... 22
3.2.2 Bahan ............................................................................................... 22
3.3 Metodologi Penelitian ................................................................................. 23
3.3.1 Tahap Persiapan Bahan .................................................................... 23
3.3.2 Metode Penelitian Tahap I ................................................................ 23
3.3.3 Metode Penelitian Tahap II................................................................ 25
3.3.3.1 Populasi dan Sampel Percobaan ........................................... 25
3.4 Penentuan Besar Dosis Perlakuan ............................................................ 26
3.4.1 Dosis Induksi Loperamid ................................................................... 26
3.4.2 Dosis Serbuk Effervescent ................................................................ 26
3.4.3 Dosis Suplemen Vegeta .................................................................... 27
3.5 Pelaksanaan Penelitian.............................................................................. 27
3.6 Analisa Data .............................................................................................. 30
3.7 Diagram Alir ............................................................................................... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 35
4.1 Karakteristik Bahan Baku ........................................................................... 35
4.2 Karakteristik Ekstrak Pektin dari Kulit Pisang Agung Semeru..................... 37
4.2.1 Rendemen ........................................................................................ 37
4.2.2 Kadar Air ........................................................................................... 38
4.2.3 Berat Ekivalen ................................................................................... 38
4.2.4 Kadar Metoksil .................................................................................. 38
4.2.5 Kadar Asam Galakturonat ................................................................. 39
4.2.6 Derajat Esterifikasi ............................................................................ 39
4.2.7 Warna (L*, a*, b*) .............................................................................. 40
4.3 Optimasi Formula Serbuk Effervescent ...................................................... 40
4.4 Analisa Ragam (ANOVA) ........................................................................... 42
4.4.1 Analisa Kadar Serat Pangan ............................................................. 42
4.4.1.1 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Kadar Serat Pangan ...... 43
4.4.2 Analisa Kelarutan .............................................................................. 45
4.4.2.1 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Kelarutan ...................... 47
4.5 Verifikasi Hasil Optimal .............................................................................. 49
4.6 Karakteristik Serbuk Effervescent Hasil Optimasi....................................... 50
4.7 Pengujian Efek Anti Konstipasi Serbuk Effervescent pada Hewan Coba ... 52
4.7.1 Pengaruh Pemberian Serbuk Effervescent terhadap Jumlah Feses .. 55
4.7.2 Pengaruh Pemberian Serbuk Effervescent terhadap Berat Feses ..... 56
4.7.3 Pengaruh Pemberian Serbuk Effervescent terhadap Kadar Air ......... 58
4.7.4 Pengaruh Pemberian Serbuk Effervescent terhadap Rasio
Transit Gastrointestinal...................................................................... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 62
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 62
5.2 Saran ......................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65
LAMPIRAN ...................................................................................................... 71
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Tanaman Pisang Agung Semeru ................................. 5
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Pisang Agung Semeru .......................................... 5
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kulit Pisang dalam 100 gram Bahan ..................... 6
Tabel 2.4 Kadar Pektin Berbagai Sayuran dan Buah-buahan .......................... 11
Tabel 2.5 Standar Mutu Pektin Berdasarkan International Pectin
Producers Association ..................................................................... 12
Tabel 3.1 Rancangan Tiga Faktor Metode Permukaan Respon Formula
Serbuk Effervescent ......................................................................... 24
Tabel 3.3 Formulasi Serbuk Effervescent ........................................................ 29
Tabel 3.4 Kandungan Gizi Susu Pap ............................................................... 30
Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Tepung Kulit Pisang, Mangga dan Daun Mint ..... 35
Tabel 4.2 Karakteristik Ekstrak Pektin Dari Kulit Pisang Agung Semeru .......... 37
Tabel 4.3 Data Analisa Respon Kadar Serat Pangan dan Kelarutan ................ 41
Tabel 4.4 Analisa Ragam (Anova) Respon Kadar Serat Pangan ..................... 42
Tabel 4.5 Analisa Ragam (Anova) Respon Kelarutan ...................................... 46
Tabel 4.6 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan ............................................ 49
Tabel 4.7 Analisa Serbuk Effervescent Hasil Optimasi..................................... 50
Tabel 4.8 Rerata Jumlah Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda ............. 55
Tabel 4.9 Rerata Jumlah Pakan Tikus selama Perlakuan ................................ 56
Rerata Berat Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda ................................ 57
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru ................................................................. 4
Gambar 2.2 Buah Mangga Podang.................................................................. 8
Gambar 2.3 Daun Mint..................................................................................... 8
Gambar 2.4 Struktur Dinding Sel Tanaman ..................................................... 10
Gambar 2.5 Struktur Kimia Asam Poligalakturonat .......................................... 12
Gambar 2.6 Reaksi pada Serbuk Effervescent ................................................ 16
Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Kulit Pisang Agung Semeru ...................... 31
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Mangga Podang ....................... 32
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Daun Mint ................................ 32
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent.............................. 33
Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo ..................................................................... 34
Gambar 4.1 Kurva Normal Plot Of Residuals ................................................... 43
Gambar 4.2 (A) Kontur Plot.............................................................................. 44
(B) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan .............. 45
Gambar 4.3 Kurva Normal Plot Of Residuals ................................................... 47
Gambar 4.4 (A) Kontur Plot.............................................................................. 48
(B) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kelarutan............................... 48
Gambar 4.5 Rerata Kadar Air Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda ...... 59
Gambar 4.5 Rerata Rasio Transit Gastrointestinal Tikus pada Perlakuan
yang Berbeda .............................................................................. 61
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman pisang merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, dimana
menurut data rata-rata produksi tahun 2009 – 2013 sebanyak 70,3% produksi pisang
di Indonesia dipasok dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah
dan Sumatera Utara. Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi
pisang Indonesia, yaitu sebesar 20,03%, diikuti oleh Jawa Timur yang memberikan
kontribusi sebesar 19,60%, Lampung sebesar 12,38%, Jawa Tengah 12,20% dan
Sumatera Utara sebesar 6,10%, sedangkan provinsi lainnya memberikan kontribusi
terhadap produksi pisang Indonesia kurang dari 5% (Pusdatin, 2014). Lumajang
merupakan salah satu daerah penghasil pisang di Jawa Timur dengan salah satu
komoditas pisang unggulannya yaitu pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica). Produksi pisang di kabupaten Lumajang pada tahun 2015 adalah
sebesar 233,43 kuintal/ha dimana luas keseluruhan lahan yang ditanami adalah
sebesar 4.732,633 ha dengan populasi per ha adalah sebanyak 1000 pohon (Dinas
Pertanian, 2015). Besarnya produksi pisang ini tentunya juga menghasilkan limbah
kulit pisang yang melimpah, sehingga diperlukan penanganan untuk memanfaatkan
limbah kulit pisang yang ada.
Kulit pisang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak, alkohol, anggur, kompos.
Selain itu, kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan limbah kulit
pisang yang melimpah adalah dengan mengekstrak pektin yang terkandung didalam
kulit pisang tersebut. Didalam 100 gram kulit pisang terkandung pektin sebesar 0,93
gram (Sulistyaningrum, 2009). Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada
sebagian besar tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada
pertumbuhan jaringan dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman,
pektin juga berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel
(Tuhuloula dkk, 2013). Pektin dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang industry,
contohnya pada industry pangan dan industry farmasi. Dalam industry pangan,
pektin dimanfaatkan dalam pembuatan jeli, selai dan marmalade. Selain itu, pektin
juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan terapi diare, konstipasi dan obesitas (Fitria,
2013).
2
Perubahan pola hidup masyarakat di era modern ini yang lebih menyukai
makanan cepat saji dengan komponen gizi yang tidak seimbang menyebabkan
berbagai masalah kesehatan. Salah satu masalah kesehatan yang dapat terjadi
adalah konstipasi yang disebabkan karena pola konsumsi yang tidak seimbang zat
gizinya (Nainggolan dan Adimunca, 2005). Konstipasi adalah suatu gejala sulit
buang air besar yang ditandai dengan konsistensi feses keras, ukuran besar, dan
penurunan frekuensi buang air besar. Konstipasi dapat terjadi karena perubahan
diet, pengobatan, operasi abdominal atau stress emosi akut (Suarsyaf dan Dyah,
2015). Untuk mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan yang disebabkan
karena kekurangan serat, maka konsumsi serat haruslah menjadi hal yang
diutamakan. Pembuatan minuman berserat pektin kulit pisang dengan penambahan
serbuk mangga dan serbuk daun mint yang dibuat dalam bentuk serbuk effervescent
menjadi salah satu alternatif konsumsi serat yang praktis. Penambahan natrium
bikarbonat dalam serbuk effervescent yang memberikan sensasi segar dapat
menutupi rasa sepat dari pektin kulit pisang yang digunakan, sehingga serbuk
effervescent dipilih sebagai produk. Penambahan serbuk mangga dan serbuk daun
mint bertujuan untuk memberikan rasa buah yang segar pada produk yang
dihasilkan. Untuk mengetahui efektifitas serat yang terkandung didalam produk,
maka dilakukan pemberian produk pada hewan coba yang mengalami konstipasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah formulasi terbaik serbuk effervescent berbasis pektin kulit pisang
Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan serbuk
mangga dan serbuk daun mint?
2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan serbuk effervescent pektin kulit pisang
dengan penambahan serbuk mangga dan serbuk daun mint sebagai anti
konstipasi?
3. Seberapa banyak dosis pemakaian anti konstipasi dari serbuk effervescent
pektin kulit pisang dengan penambahan serbuk mangga dan serbuk daun mint
untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar?
1.3 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
3
1. Mengetahui formulasi terbaik serbuk effervescent berbasis pektin kulit pisang
Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan serbuk
mangga dan serbuk daun mint.
2. Mengetahui efektivitas penggunaan serbuk effervescent pektin kulit pisang
Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan serbuk
mangga dan serbuk daun mint sebagai anti konstipasi.
3. Mengetahui dosis terbaik pemberian serbuk effervescent pektin kulit pisang
Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan serbuk
mangga dan serbuk daun mint terhadap penurunan gejala konstipasi pada tikus
wistar yang diinduksi loperamid.
1.4 Manfaat
Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu:
1. Menjadi salah satu teknologi alternatif dalam mengolah pektin hasil ekstraksi
kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang digunakan
sebagai bahan dasar dalam pembuatan serbuk effervescent.
2. Memberikan informasi mengenai formulasi terbaik dalam pembuatan serbuk
effervescent berbasis pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica) dengan penambahan serbuk mangga dan serbuk daun mint.
3. Memberikan informasi mengenai pengaruh serbuk effervescent berbasis pektin
kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan
serbuk mangga dan serbuk daun mint terhadap konstipasi pada tikus wistar.
4. Memberikan informasi mengenai dosis terbaik pemberian serbuk effervescent
pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan
penambahan serbuk mangga dan serbuk daun mint terhadap penurunan gejala
konstipasi pada tikus wistar yang diinduksi loperamid.
1.5 Hipotesis
Diduga pemberian serbuk effervescent berbasis pektin kulit pisang Agung
Semeru (Musa paradisiaca formatypica) dengan penambahan serbuk mangga dan
serbuk daun mint pada dosis tertentu dapat memberikan efek anti konstipasi pada
tikus wistar jantan yang diinduksi loperamid ditinjau dari profil (berat, jumlah, dan
kadar air) feses dan uji rasio transit gastrointestinal.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica)
Pisang merupakan tanaman yang berasal dari kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar dimana
pohon pisang ini biasanya memiliki batang semu yang tersusun dari pelepah-
pelepah daun (Fitria, 2013). Pisang (Musa paradisiaca) adalah salah satu jenis
buah-buahan tropis yang tumbuh subur dan memiliki wilayah penyebaran yang
merata di seluruh wilayah Indonesia dan pisang ini merupakan salah satu
komoditas unggulan yang ada di Indonesia. Buah pisang dapat dimanfaatkan
sebagai buah meja, selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
produk olahan (Ongelina, 2013). Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang
diklasifikasikan sebagai berikut (Satuhu dan Ahmad, 2008):
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiacal
Berdasarkan cara konsumsinya, pisang dikelompokkan kedalam dua
kategori, yaitu banana merupakan pisang yang dapat dikonsumsi secara
langsung tanpa melalui proses pengolahan seperti pisang ambon, pisang raja,
pisang muli, dan lain lain. Kategori kedua adalah jenis plantain yaitu pisang yang
baru bisa dikonsumsi setelah melalui proses pengolahan seperti pisang kepok,
pisang tanduk, pisang janten, pisang Agung Semeru (Musita, 2009).
Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) (Efendi, 2007)
5
Pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica) merupakan salah
satu jenis pisang yang termasuk kedalam golongan plantain, yaitu pisang yang
harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Pisang
Agung Semeru ini banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang dimana
varietas ini dapat tumbuh pada ketinggian 450 – 650 mdpl. Karakteristik tanaman
pisang Agung Semeru disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Tanaman Pisang Agung Semeru
Parameter Karakteristik
Kedudukan Batang Tegak Bentuk Batang Silindris Tinggi Tanaman 6 – 8 m Warna Batang Hijau muda kemerahan Warna Pangkal Batang Hijau muda kemerahan Lingkar Batang (cm) 60 – 80 Lebar Tajuk 3 – 4 m Tekstur Kulit Batang Halus
Sumber : Prahardini, 2010
Keunggulan varietas Agung Semeru terlihat dari jumlah anakan yang
berkisar 1 – 2 anakan per rumpun sehingga tidak memerlukan penjarangan.
Ukuran buah dari varietas ini panjang dan besar yang jumlahnya 1 – 2 sisir per
tandan dengan bobot 10 – 20 kg per tandannya. Keunggulan lainnya dari
varietas Agung Semeru adalah memiliki kulit buah yang tebal sehingga akan
tahan meskipun disimpan dalam waktu 3 – 4 minggu setelah waktu petik, selain
itu varietas ini juga lebih tahan terhadap bercak daun dibandingkan dengan
kultivar pisang olahan lainnya (Prahardini, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati dkk (2014) yang
memanfaatkan pisang Agung Semeru menjadi tepung pisang termodifikasi,
menyatakan bahwa komposisi kimia pada pisang Agung Semeru cukup lengkap.
Komposisi kimia pisang Agung Semeru dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Pisang Agung Semeru
Komposisi Kadar (%)
Air 5,07 Abu 2,30 Lemak 1,07 Protein 2,09 Karbohidrat 93,50 Pati 70,16 Amilosa 13,56
Sumber : Nurhayati dkk, 2014
6
2.2 Kulit Pisang
Kulit pisang merupakan bahan buangan yang cukup banyak jumlahnya,
namun pada umumnya kulit pisang belum banyak dimanfaatkan secara optimal,
hanya digunakan sebagai makanan ternak atau hanya dibuang. Jumlah produksi
pisang yang tinggi tentunya juga akan menghasilkan kulit pisang dalam jumlah
yang tinggi pula, sehingga apabila kulit pisang ini dapat dimanfaatkan secara
optimal maka kulit pisang ini akan dapat memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Kulit pisang mengandung zat gizi yang cukup lengkap seperti karbohidrat,
serat, lemak, protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan juga air
(Rois, 2012). Kulit pisang mengandung 30% serat serta energi sebesar 3727
kkal/kg (Maulana, 2015).
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kulit Pisang dalam 100 gram Bahan
Komposisi Kimia Jumlah (g)
Protein 8,6 Lemak 13,1 Pati 12,78 Abu 15,25 Serat Pangan Total 50,25
Sumber: Wachirasiri et.al., 2009
Kulit pisang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak, alkohol, anggur,
kompos. Selain itu, kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan
limbah kulit pisang yang melimpah adalah dengan mengekstrak pektin yang
terkandung didalam kulit pisang tersebut. Didalam 100 gram kulit pisang
terkandung pektin sebesar 0,93 gram (Sulistyaningrum, 2009).
2.3 Mangga
Buah manga (Mangifera indica L.) termasuk kedalam famili Anacardiaceae
dan ditanam di banyak bagian dunia, terutama di Negara dengan iklim tropis.
Setiap bagian dari tanaman mangga, seperti daun, bunga, kulit kayu, buah, kulit
buah dan bijinya mengandung nutrien essensiaal yang dapat dimanfaatkan.
Jumlah produksi, perdagangan dan konsumsi buah mangga mengalami kenaikan
yang signifikan baik secara domestik maupun internasional, karena nilai
nutrisional yang dimiliki oleh buah mangga (Jahurul et al., 2015). Berikut ini
adalah klasifikasi tanaman mangga (Ide, 2010):
Divisi : Magnoliophyta
7
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Family : Anacardiaceae
Genus : Mangifera
Spesies : Mangifera indica L.
Mangga merupakan salah satu buah yang secara ekstensif dimanfaatkan
dalam bidang makanan, minuman, flavor dan warna serta menjadi bahan utama
dalam pangan fungsional yang kemudian disebut sebagai superfruit. Buah
mangga yang telah matang bervariasi pada ukuran dan warnanya, mulai dari
kuning, oranye, merah atau hijau ketika matang, tergantung pada kultivarnya.
Ketika matang, buah mangga memberikan aroma manis yang khusus. Buah
mangga kaya akan serat pangan prebiotik, vitamin C, polifenol dan karotenoid.
Selain itu, buah mangga juga kaya akan polisakarida sebagai sumber serat,
khususnya pati dan pektin. Senyawa antioksidan yang terdapat pada buah
mangga termasuk karotenoid, seperti provitamin A, β-karoten, lutein dan α-
karoten. Sedangkan senyawa polifenol yang termasuk dalam buah mangga
diantaranya adalah quercetin, kaempferol, asam gallat, asam kaffeat, katekin,
tannin, xanthone dan mangiferin. Senyawa triterpen pada buah mangga, yaitu
lupeol merupakan inhibitor yang efektif terhadap kanker prostat dan kanker kulit
(Fowomola, 2010). Menurut USDA (2016), kandungan serat pangan yang
terdapat pada mangga adalah sebesar 1,6 g dalam 100 g bahan.
Terdapat lebih dari 1000 varietas mangga di dunia, salah satunya adalah
mangga Podang. Mangga Podang merupakan varietas mangga yang menjadi
komoditas khas Kabupaten Kediri, Kecamatan Semen, Banyakan, Grogol,
Tarokan dan Mojo. Tanaman mangga Podang telah berkembang di Kabupaten
Kediri dengan jumlah tanaman 524.126 pohon. Terdapat cirri khas dari buah
mangga podang yang membedakannya dari buah mangga lain, yakni warna
kulitnya merah jingga (Rachmawaty, 2013). Buah mangga Podang dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
8
Gambar 2.2 Buah Mangga Podang (Yahido, 2015)
2.4 Daun Mint
Tanaman mint merupakan tanaman herbal yang banyak diolah di seluruh
dunia dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Daun
mint seringkali digunakan dalam teh herbal dan di bidang kuline dengan tujuan
untuk menambah flavour dan aroma. Aroma dan flavour khusus yang dimiliki
oleh daun mint dikarenakan adanya alkohol terpena siklik yang disebut mentol.
Menthol dapat digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit perut, pilek dan
penyakit muskuloskeletal. Selain digunakan sebagai penghias hidangan
makanan maupun minuman, daun mint juga terkenal sebagai daun yang dapat
memberikan efek rasa dingin pada produk makanan karena adanya senyawa
menthol pada tanaman ini. Tanaman mint mengandung sumber yang kaya zat
besi dan magnesium, yang memegang peranan penting bagi nutrisi manusia
(Pramila et al., 2012).
Gambar 2.3 Daun Mint (Anonim, 2013)
9
Pada daun dan ujung-ujung cabang tanaman mint yang sedang berbunga
mengandung 1% minyak atsiri, 78% mentol bebas, 2% mentol tercampur ester,
dan sisanya resin, tannin, asam cuka, dan lain-lain (Tjitrosoepomo, 2010).
Menurut penelitian Hidayat dkk (2013), minyak mint yang telah diisolasi dari daun
mint segar menggunakan distilasi uap-air selama 4 jam menghasilkan rendemen
sebanyak 0,06 % dengan C). Analisis minyak mint hasil distilasi uap-air dengan
KG-SM menunjukkan adanya 25 komponen, dengan komponen terbesar adalah
karvon (52,46 %). Pada tanaman mint terdapat beberapa senyawa volatil yaitu
menthol, menthon, menthyl asetat, neomenthol, isomenthon, methofuran,
limonene, pulegone, α-pinene dan β-pinene, serta trans-sabinen hidrat.
Pada daun mint terdapat pula senyawa fitokimia yaitu tannin dan flavonoid,
yang kemudian memliki aktivitas scavenger radikal bebas dan aktivitas
antibakteri. Tannin dan flavonoid dapat digunakan sebagai antiinflamasi,
antifungi, dan antioksidan. Ekstrak dari daun mint memiliki aktivitas antibakteri
bagi Helicobacter pylori, mikroorganisme yang menyebabkan penyakit gastritis
kronis (Pramila et al., 2012).
2.5 Pektin
Pektin merupakan substansi alami yang terdapat pada sebagian besar
tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan
dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga berperan
sebagai perekat dan juga menjaga stabilitas jaringan dan sel. Pektin merupakan
senyawa polisakarida dengan bobot molekul tinggi, pektin digunakan sebagai
pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly, marmalade, makanan
rendah kalori dan dalam bidang farmasi digunakan untuk obat diare (Tuhuloula
dkk, 2013). Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada
makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan
protein. Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses
metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan tingkat
kolesterol (Rofikah, 2013). Commite on Food Chemical Codex (1996),
menyatakan bahwa pektin sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam
poligalakturonat dan sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin
merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih,
kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan
sayuran matang. Kata pektin berasal dari bahasa Latin “pectos” yang berarti
10
pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras / padat. Pektin ditemukan
oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790,
pektin belum diberi nama, dimana nama pektin pertama kali digunakan pada
tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh
Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam
pektat (Hariyati, 2006).
Gambar 2.4 Struktur Dinding Sel Tanaman (IPPA, 2002)
Secara umum senyawa pektin dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok senyawa, yaitu asam pektat, asam pektinat (pektin) dan protopektin.
Pada asam pektat, gugus karboksil asam galakturonat dalam ikatan polimernya
tidak tersesterkan. Asam pektat dapat membentuk garam seperti halnya asam-
asam lain dan terdapat dalam jaringan tanaman sebagai kalsium atau
magnesium pektat. Asam pektinat yang sering disebut dengan pektin, didalam
molekulnya terdapat ester metal pada beberapa gugus karboksil sepanjang
rantai polimer galakturonat. Sedangkan protopektin merupakan istilah untuk
senyawa-senyawa pektin yang tidak larut, yang banyak terdapat pada jaringan
tanaman yang muda. Bila jaringan-jaringan tanaman ini dipanaskan dalam air
yang juga mengandung asam maka protopektin akan dapat berubah menjadi
pektin (Maulana, 2015). Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan
dengan cara ekstraksi dimana pektin ini dapat larut dalam beberapa macam
pelarut seperti air, beberapa senyawa organic, senyawa alkalis dan juga asam.
Didalam ekstraksi pektin tersebut dapat menyebabkan protopektin berubah
menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu
11
dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan senyawa pektin
akan berubah menjadi asam pektat (Tuhuloula dkk, 2013). Komposisi kandungan
protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam buah sangat bervariasi tergantung
pada derajat kematangan buah. Pada umumnya, protopektin yang tidak larut itu
lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang (Rofikah, 2013).
Komposisi pektin dalam berbagai sayuran dan buah-buahan dapat dilihat pada
Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kadar Pektin Berbagai Sayuran dan Buah-buahan
Sumber Kadar (% bobot kering)
Apel - Kulit
17,44
- Daging 17,63 Jeruk
- Albedo
16,4 - Flavedo 14,2
Jambu Biji 3,4 Terong 11
Bawang Bombay 4,8 Tomat - Hijau
3,43
- Kuning 4,65 - Merah 4,63 Kubis 4,57 Wortel 7,14 Bayam 11,58 Pisang 52,4
Sumber : Fitriani, 2013
Pektin merupakan serbuk halus berwarna putih yang hampir tidak berbau.
Berat molekul pektin bervariasi antara 30.000 – 300.000 dan dengan kelarutan
yang berbeda-beda bergantung pada kadar metoksilnya, dimana pektin dengan
kadar metoksil tinggi larut dalam air dingin sedangkan pektin dengan kadar
metoksil rendah larut dalam larutan alkali atau oksalat (Tuhuloula dkk, 2013).
Standar mutu pektin berdasarkan standar mutu International Pectin Producers
Association dapat dilihat pada Tabel 2.5.
12
Tabel 2.5 Standar Mutu Pektin Berdasarkan International Pectin Producers Association
(Tarigan dkk, 2012)
Faktor Mutu Kandungan
Kekuatan Gel, grade min 150 Kandungan Metoksil: - Pektin Metoksil Tinggi
> 7,12 %
- Pektin Metoksil Rendah 2,5 – 7,12 % Kadar Asam Galakturonat, % min 35 %
Kadar Air, % maks 12 % Kadar Abu, % maks 10 % Derajat Esterifikasi
- Pektin Ester Tinggi, % min
50 % - Pektin Ester Rendah, % maks 50 %
Bilangan Asetil 0,15 – 0,45 % Berat Ekivalen 600 - 800
Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan
ikatan α- (1,4) glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus
karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol
sekunder terasetilasi. Masing – masing cincin merupakan suatu molekul dari
asam poligalakturonat, dimana terdapat 300 – 1000 cincin serupa dalam suatu
molekul pektin yang dihubungkan dengan suatu rantai linier.
Gambar 2.5 Struktur Kimia Asam Poligalakturonat (Hariyati, 2006)
Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua
golongan, yakni pektin berkadar metoksil tinggi (HMP) dan pektin berkadar
metoksil rendah (LMP), dimana pektin bermetoksil tinggi memiliki kandungan
metoksil minimal 7% sedangkan pektin bermetoksil rendah memiliki kandungan
metoksil maksimal 7% (Hariyati, 2006).
2.6 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
memisahkan zat terlarut dengan pelarutnya yang didasarkan pada titik didih
13
pelarutnya (Damanik dkk, 2014). Dibawah ini merupakan jenis-jenis ekstraksi
yang dapat digunakan (Mukhriani, 2014):
a. Maserasi
Maserasi adalah suatu metode yang banyak digunakan karena metode ini
tergolong sederhana, dimana metode ini dilakukan dengan cara
memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai kedalam suatu wadah
tertutup yang bersifat inert pada suhu kamar. Setelah proses ekstraksi
selesai, yang ditandai dengan tercapainya kesetimbangan antara konsentrasi
pelarut dan zat terlarut maka pelarut akan dipisahkan dari sampel dengan
menggunakan metode penyaringan. Kelebihan dari penggunaan metode
maserasi adalah dapat menghindari terjadinya kerusakan senyawa yang
bersifat termolabil. Selain memiliki suatu kelebihan, metode ekstraksi
maserasi ini juga memiliki kekurangan yaitu menghabiskan banyak waktu,
pelarut yang digunakan cukup banyak serta memiliki kemungkinan
kehilangan beberapa senyawa.
b. Ultrasound – Assisted Solvent Extraction
Metode ini merupakan modifikasi dari metode maserasi yang dilakukan
menggunakan bantuan ultrasound atau sinyal yang memiliki frekuensi tinggi.
Cara kerja metode ini adalah dengan menempatkan wadah yang berisi
serbuk sampel dalam wadah ultrasonic dan ultrasound.
c. Perkolasi
Metode ini dilakukan dengan cara membasahi serbuk sampel dalam
sebuah perkolator (wadah silinder yang memiliki kran pada bagian
bawahnya), kemudian ditambahkan pelarut diatas serbuk sampel dan
dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah.
d. Soxhlet
Merupakan suatu metode yang dilakukan dengan menempatkan serbuk
sampel diatas sarung selulosa dalam selongsong yang ditempatkan diatas
labu dan dibawah kondensor, pelarut yang digunakan kemudian dimasukkan
kedalam labu dengan suhu penangas diatur dibawah suhu reflux.
e. Reflux dan Destilasi Uap
Metode Reflux dilakukan dengan cara memasukkan sampel dan pelarut
secara bersamaan kedalam labu yang dihubungkan dengan kondensor,
kemudian pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didihnya, uap akan
terkondensasi dan kemudian kembali kedalam labu sedangkan destilatnya
14
akan ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Metode
destilasi uap biasanya digunakan untuk ekstraksi minyak esensial dengan
proses yang sama seperti pada metode reflux.
2.7 Serat Pangan
Serat merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan dalam tubuh. Serat makanan bersifat hidrofilik atau pembentuk
massa. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa tergantung
pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh proses
fermentasi bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan
efek laksatif (Eva, 2015). Sedangkan menurut The American Association of
Cereal Chemist (AACC, 2001), definisi serat merupakan bagian dari tanaman
yang dapat dimakan atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan
dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus
besar.
Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air (serat
kasar), dimana jumlah kandungan dari keduanya pada sebuah bahan tergantung
pada jenis dan umur panen dari bahan pangan tersebut. Terdapat tiga macam
serat yang tidak larut air, yaitu selulosa, hemiselulosa dan juga lignin yang
berfungsi untuk memperbesar volume feses dan mempersingkat waktu transitnya
di usus besar. Serat tidak larut ini banyak terdapat pada sayuran dan buah-
buahan serta kacang-kacangan. Sedangkan serat yang larut air contohnya
adalah pektin, musilase dan gum yang akan mengalami fermentasi di usus dan
menghasilkan produk akhir yang biasanya baik bagi kesehatan. Pektin dan
musilase banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran dan sereal, sedangkan
gum banyak ditemukan pada aksia (Haerunnisa, 2008). Telah banyak penelitian
yang menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kesehatan, dibawah ini
merupakan beberapa manfaat serat (Santoso, 2011) :
1. Mencegah Gangguan Gastrointestinal
Konsumsi serat pangan yang cukup dapat meningkatkan kadar air dalam
feses sehingga akan menghasilkan feses yang lembut dan tidak keras
sehingga hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan
15
dengan lancar. Hal ini berdampak pada fungsi gastrointestinal yang lebih baik
dan sehat.
2. Mencegah Kanker Kolon (Usus Besar)
Penyebab kanker usus besar diduga karena adanya kontak antara sel-sel
dalam usus besar dengan senyawa karsinogen dalam konsentrasi tinggi
serta dalam waktu yang lebih lama. Beberapa hipotesis dikemukakan
mengenai mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker usus besar,
yaitu dengan konsumsi serat pangan tinggi maka akan mengurangi waktu
transit makanan dalam usus, serat pangan mempengaruhi mikroflora usus
sehingga senyawa karsinogen tidak terbentuk, serat pangan bersifat
mengikat air sehingga konsentrasi senyawa karsinogen menjadi lebih rendah.
3. Mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas)
Serat larut air (soluble fiber), seperti pektin serta beberapa hemiselulosa
mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental
dalam saluran pencernaan, sehingga waktu cerna lebih lama dalam lambung,
kemudian serat akan menarik air dan memberi rasa kenyang lebih lama
sehingga mencegah untuk mengkonsumsi makanan lebih banyak. Makanan
dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori
rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi
terjadinya obesitas.
4. Penanggulangan Penyakit Diabetes
Serat pangan mampu menyerap air dan mengikat glukosa, sehingga
mengurangi ketersediaan glukosa. Diet cukup serat juga menyebabkan
terjadinya kompleks karbohidrat dan serat, sehingga daya cerna karbohidrat
berkurang. Keadaan tersebut mampu meredam kenaikan glukosa darah dan
menjadikannya tetap terkontrol.
5. Mengurangi Tingkat Kolesterol dan Penyakit Kardiovaskuler
Serat larut air dapat mengikat lemak di dalam usus halus, dengan begitu
serat dapat menurunkan tingkat kolesterol dalam darah sampai 5% atau
lebih. Selain itu, didalam saluran pencernaan serat dapat mengikat garam
empedu (produk akhir kolesterol) kemudian dikeluarkan bersamaan dengan
feses sehingga akan mengurangi kadar kolesterol dalam plasma darah dan
mencegah resiko penyakit kardiovalkuler.
Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung pada komposisi
dinding sel tanaman penghasillnya, dimana dinding sel tanaman ini tersusun dari
16
selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan mucilage yang semuanya termasuk
kedalam jenis serat. Sayuran dan buah-buahan merupakan salah satu sumber
serat yang paling sering dijumpai, dimana sebagai sumber serat, sayuran dapat
dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan
(Santoso, 2011).
2.8 Serbuk Effervescent
Effervescent dapat diartikan sebagai bentuk sediaan yang menghasilkan
gelembung sebagai hasil dari reaksi kimia yang terjadi didalam larutan. Reaksi
yang terjadi pada pelarutan serbuk effervescent adalah reaksi antara senyawa
asam dan senyawa karbonat untuk menghasilkan gas CO2 dimana gas yang
dilepaskan ini akan memberikan rasa segar. Garam-garam effervescent biasanya
diolah dari suatu kombinasi asam sitrat dan asam tartrat, karena apabila hanya
digunakan asam tartrat saja maka granul yang dihasilkan akan mudah
kehilangan kekuatannya dan akan menggumpal, sedangkan apabila yang
digunakan hanya asam sitrat saja maka akan dihasilkan campuran yang lekat
dan sukar untuk menjadi granul. Reaksinya adalah sebagai berikut:
a) H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 Na2C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2
b) H2C4H4O6 + 2 NaHCO3 Na2C4H4O6 + H2O + 2 CO2
Gambar 2.6 Reaksi pada Serbuk Effervescent (Munir, 2012)
Reaksi diatas terjadi secara spontan apabila serbuk effervescent
dilarutkan didalam air, reaksi inipun juga dapat terjadi dengan adanya sedikit air
baik air yang terikat maupun air yang terabsorbsi. Sebagian besar produk
effervescent bersifat tidak stabil dalam keadaan lembab dan higroskopik
sehingga pada keadaan lembab dapat menyebabkan terjadinya reaksi prematur,
yaitu reaksi yang terjadi sebelum serbuk diletakkan didalam air maupun ketika
serbuk berada dalam kemasannya (Munir, 2012). Senyawa asam yang
diperlukan dalam reaksi effervescent dapat diperoleh dari tiga sumber utama
yaitu asam makanan, asam anhidrida, dan garam asam. Asam makanan yang
paling sering digunakan karena asam ini merupakan asam yang umum
Karbondioksida Air Na Tartrat Na - Bikarbonat Asam Tartrat
Na Sitrat Na - Bikarbonat Asam Sitrat Air Karbondioksida
17
digunakan pada makanan dan secara alami terdapat pada makanan, contohnya
adalah asam sitrat, asam tartarat, asam malat, asam adipat dan asam suksinat
(Dwijayanti, 2009).
2.9 Bahan Tambahan Serbuk Effervescent
2.9.1 Dekstrin
Dekstrin merupakan suatu bahan yang dibuat dengan cara melembabkan
pati kering menggunakan campuran asam klorida (HCl) dan asam nitrat (HNO3),
dimana campuran ini disebarkan pada lempengan besi bergelombang yang
terpapar panas dari oven hingga benar-benar kering dan sedikit menguning.
Dekstrin tersedia dalam berbagai bentuk, tetapi karakteristik dan karakteristik
mekanisnya tergantung dari cara pembuatannya, seperti waktu pemanasan, ada
atau tidaknya agen perubah, karakteristik bahan baku, konsentrasi asam yang
digunakan, dll. Warna dekstrin beragam, mulai dari putih sampai coklat gelap,
beberapa ada yang bersifat adhesive dan dapat kering dengan cepat. Bahan
utama dalam pembuatan dekstrin adalah pati seperti pati jagung, kentang,
tapioka dan lain-lain dengan sedikit penambahan dari bahan lain (Azeez, 2005).
2.9.2 Asam Sitrat
Asam sitrat adalah asam hidroksi trikarboksilat (2 hidroksi – 1, 2, 3 –
propane trikarboksilat) yang diperoleh dari ekstraksi buah-buahan atau hasil
proses fermentasi. Asam sitrat merupakan senyawa organik yang pertama kali
diisolasi dan dikristalkan oleh Scheele pada tahun 1784 dari sari buah jeruk
kemudian dibuat secara komersial pada tahun 1860 di Inggris. Pada suhu kamar,
asam sitrat berbentuk bubuk kristal putih terdiri dari asam sitrat yang tidak berair
(anhydrous) atau sebagai monohydrate (satu molekul air dalam setiap molekul
asam sitrat). Asam sitrat anhydrous mengkristal dari air panas sedangkan
monohydrate dikristalkan dari air dingin. Asam sitrat monohydrate dapat
dikonversi menjadi anhydrous melalui pemanasan di atas 74℃ (Purnamawati,
2006).
2.9.3 Asam Tartrat
Asam tartrat merupakan senyawa kimia yang secara alami terdapat pada
anggur, pisang dan tamarin. Asam tartrat memiliki bentuk hablur tidak berwarna
18
atau bening atau serbuk hablur halus sampai granul, berwarna putih, tidak
berbau dan memiliki rasa yang asam serta memiliki sifat yang stabil di udara.
Asam tartrat bersifat higroskopis dan sangat larut didalam air. Asam tartrat
berfungsi sebagai zat asidulan yaitu pengatur keasaman, sebagai penegas rasa
dan warna atau untuk menyamarkan after taste yang tidak disukai (Prasetyo dkk,
2015).
2.9.4 Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan salah satu bahan yang harus
ditambahkan dalam pembuatan effervescent karena garam karbonat merupakan
penghasil gas CO2 yang menjadi ciri khas dari minuman effervescent. Contoh
garam karbonat adalah NaHCO3, Na2CO3, KHCO3, K2CO3, Na – seskuikarbonat,
Na – glisin karbonat, L – lisin karbonat, arginin karbonat dan CaCO3 amorf
(Herunnisa, 2008). Na – bikarbonat (NaHCO3) lebih dipilih sebagai senyawa
karbondioksida dalam pembuatan serbuk effervescent karena harganya yang
relative murah dan memiliki sifat yang larut sempurna dalam air. Selain memiliki
sifat larut sempurna dalam air, Na – bikarbonat juga bersifat non higroskopis dan
tersedia secara komersial mulai dari bentuk bubuk hingga bentuk granul
(Prasetyo dkk, 2015).
2.9.5 Stevia
Stevia merupakan bahan pemanis non tebu dengan kelebihan memiliki
tingkat kemanisan 200 – 300 kali dari gula tebu yang diperoleh dengan cara
mengekstrak daun stevia. Tujuan utama penggunaan gula stevia bukanlah untuk
menggantikan gula tebu, tetapi lebih dimaksudkan untuk menggantikan pemanis
sintetik yang menurut berbagai penelitian dapat bersifat karsinogen. Karena
diperoleh dari tanaman, maka gula stevia penggunaannya lebih aman karena
bersifat non karsinogenik dan non kalori sehingga aman dikonsumsi penderita
diabetes. Kelebihan lainnya dari gula stevia adalah tidak menyebabkan karies
gigi dan tidak menyebabkan kanker pada pemakaian dalam jangka panjang
(Buchori, 2007).
Stevia rebaudiana bertoni termasuk familia compositae merupakan
tumbuhan tahunan berbentuk perdu basah, tinggi tanaman 60-70 cm bercabang
banyak. Duduk daun berhadapan, tunggal, bentuknya sederhana lonjong dan
langsing serta tepi daun bergerigi halus, tangkai daun pendek, tulang daun
19
menyirip dan pada permukaan daun bagian bawah kelihatan menonjol. Stevia
berasal dari distrik Amambai dan Iquaqu, perbatasan Paraguay- Brazil –
Argentina. Tumbuhan itu tumbuh liar atau dibudidayakan oleh penduduk
setempat dan dikenal dengan nama lokal Caa-hehe, Caa-enhe atau Kaa- he-e
(Ratnani dan Anggraeni, 2005).
2.9.6 PVP
Polivinil pirolidon (PVP) atau disebut juga dengan povidon memiliki rumus
molekul (C6H9NO)n dengan berat molekul 2500 – 3.000.000. PVP banyak
digunakan sebagai disintegran, peningkat disolusi, agen pensuspensi dan
pengikat pada tablet. Povidon juga digunakan sebagai solubilizer pada sediaan
oral dan parenteral yang telah terbukti dapat meningkatkan disolusi dari obat
yang sulit larut dalam sediaan padat. Larutan povidon juga dapat digunakan
sebagai agen pelapis dan pengikat. Povidon tersedia dalam bentuk halus,
memiliki warna putih hingga krem, tidak berbau atau hamper tidak berbau dan
bersifat higroskopis dengan titik leleh 150℃ (Munir, 2012).
2.10 Response Surface Methodology (RSM)
Response Surface Methodology (RSM) merupakan sebuah kumpulan
teknik statistik dan matematika yang dapat digunakan dalam pengembangan
proses baru, optimasi suatu produk dan memperbaiki rancangan percobaan,
sehingga tujuan untuk meningkatkan produk dan proses dapat diselesaikan
langsung menggunakan RSM. Pada metodologi permukaan respon, variabel
bebas didefinisikan sebagai X1, X2,…Xk dan diasumsikan sebagai variabel yang
kontinyu, sedangkan respon didefinisikan sebagai variabel tak bebas Y yang
merupakan variabel acak. Apabila suatu hubungan matematika diketahui, maka
formulasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi operasi paling
efisien (Montgomery, 2001).
Berdasarkan hasil rancangan percobaan akan didapatkan hasil data yang
nantinya akan dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi optimal yang
diinginkan. Dalam penelitian, seorang peneliti harus menentukan nilai-nilai yang
akan diujikan terlebih dahulu, dimana nilai yang akan diujikan ini tergantung pada
respon yang diinginkan. Dalam teori matematika, kasus ini dapat disebut
functional relationship (Box dan Draper, 2007).
20
2.11 Konstipasi
Konstipasi adalah suatu gejala sulit buang air besar yang ditandai dengan
konsistensi feses keras, ukuran besar, dan penurunan frekuensi buang air besar.
Konstipasi ditandai dengan sulit atau menurunnya frekuensi buang air besar,
frekuensi kurang dari 3 kali dalam satu minggu. Konstipasi dapat terjadi karena
perubahan diet, pengobatan, operasi abdominal atau stress emosi akut. Buang
air besar adalah suatu proses pengeluaran tinja dari dalam rectum, yaitu sisa
pencernaan makanan yang tidak digunakan lagi dan harus dikeluarkan dari
dalam tubuh. Buang air besar memiliki pola, dimana pola yang ada ini akan
berbeda tergantung pada fungsi organ, susunan saraf, pola makan serta usia.
Berdasarkan patofisiologi, konstipasi diklasifikasikan atas konstipasi akibat
kelainan organik dan konstipasi fungsional (Suarsyaf dan Dyah, 2015).
Penanganan konstipasi fungsional dapat dilakukan dengan terapi farmakologi
dan non farmakologi, dimana terapi farmakologi ini merupakan terapi yang
menggunakan obat laksatif, sedangkan terapi non farmakologi adalah terapi yang
dilakukan dengan cara perubahan perilaku dan pola makan (Suarsyaf dan Dyah,
2015).
Pada banyak kasus yang telah terjadi, konstipasi sering terjadi pada anak
yang dimulai dari rasa nyeri saat buang air besar, karena nyeri inilah biasanya
anak-anak akan menahan untuk tidak buang air besar demi menghindari rasa
nyeri dan tidak nyaman tersebut. Jika menahan buang air besar ini dilakukan
secara terus menerus, maka akan mengakibatkan penumpukan tinja.
Penumpukan tinja ini akan menyebabkan feses mengeras karena jumlahnya
lebih banyak dari biasanya yang mengakibatkan spasme sfingter anus (Wyllie,
2007). Buang air besar terjadi saat tekanan rektum mencapai 55 mmHg yang
mengakibatkan melemasnya sfingter ani internus dan eksternus sehingga feses
terdorong keluar. Gerakan peristaltik pada kolon sigmoid dan distensi dinding
rektum menstimulasi kontraksi otot di rectum sehingga meningkatkan tekanan
rektal dan menstimulasi relaksasi sfingter internal dan eksternal. Otot dinding
abdomen, normalnya berkontraksi secara volunter untuk meningkatkan tekanan
intra abdominal selama gerakan usus besar, juga meningkatkan buang air besar
dengan tekanan feses dari dalam ke bawah (Sarmen dkk, 2014).
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian
Loening-Baucke (2007) didapatkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4-17
tahun adalah 22,6%, sedangkan prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4
21
tahun hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin et al. (2006) didapatkan bahwa
16% anak usia 9-11 tahun menderita konstipasi. Konstipasi pada anak 95%
akibat konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan
perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya
asupan cairan, psikologis, takut atau malu ke toilet (Eva, 2015).
Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai peranan serat dalam
menurunkan gejala konstipasi. Penelitian yang dilakukan oleh Septiyanti (2015)
mengemukakan bahwa serat yang terkandung didalam daun Cincau Hitam
(Mesona palustris BL) dapat menurunkan gejala konstipasi yang terlihat pada
perubahan jumlah, berat dan kadar air feses yang mengalami peningkatan
setelah diberikan diet tinggi serat yang berasal dari jelly drink cincau hitam,
dengan dosis efektif 7,2 ml / 200 gram berat badan tikus wistar. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Wijayanti (2013) yang menggunakan Muelleri Glukomanan
dari Porang (Amorphophallus muelleri Blume) sebagai sumber serat
menunjukkan bahwa pemberian Muelleri Glukomanan dengan dosis efektif 600
mg / kg berat badan tikus / hari dapat mengurangi gejala konstipasi pada tikus
Spraque dawley yang dilihat dari kadar air dan berat feses serta menurunnya
waktu transit feses dalam saluran pencernaan yang diuji melalui uji rasio transit
gastrointestinal.
22
III BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan
Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan dan Rekayasa Proses Pangan dan
Hasil Pertanian, Laboratorium Nutrisi Pangan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Sentral Ilmu Hayati,
Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober
2016 sampai Mei 2017.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam proses pembuatan serbuk effervescent pektin
kulit pisang meliputi tempat merendam kulit pisang, loyang, blender, pengering
kabinet, color reader, ayakan 60 mesh, timbangan analitik, alumunium foil, pisau,
labu ukur, pipet tetes, pipet volum, gelas ukur, gelas beker, kain saring, kompor
gas, panci, dan desikator.
Peralatan yang digunakan untuk analisa yaitu timbangan analitik,
Erlenmeyer, labu takar, kertas saring whatman no 42, oven, desikator, pipet
volum, labu ukur, color reader, cawan petri, krus porselen, muffle furnace, gelas
beker, gelas ukur dan corong. Peralatan yang digunakan untuk uji anti konstipasi
secara in vivo adalah kandang untuk pemeliharaan tikus, jarum sonde, alat
bedah tikus, wadah minum dan timbangan digital.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang Agung
Semeru (pisang Agung tua yang masih berwarna hijau) yang diperoleh dari Kota
Lumajang Jawa Timur, serbuk mangga dan serbuk daun mint. Bahan lain yang
digunakan meliputi bahan tambahan dalam pembuatan serbuk effervescent
seperti mangga, daun mint, dekstrin, asam sitrat, asam tartrat, natrium
bikarbonat, stevia dan PVP yang didapatkan di pasaran serta natrium metabisulfit
yang digunakan untuk merendam kulit pisang.
23
Bahan yang digunakan untuk analisa pektin dan serbuk effervescent
adalah kertas saring halus, plastik, HCl, aquades, NaOH, indikator Phenolftalin,
NaCl, etanol 96%, etanol 70%, asam sitrat.
Bahan yang digunakan dalam uji in vivo terdiri dari tikus galur wistar
jantan dengan berat 200 – 250 gram, pakan susu pap, air minum tikus,
Loperamid, suplemen serat Vegeta dan Norit sebagai marker.
3.3 Metodologi Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan dua tahap penelitian. Sebelum
memasuki tahap I, dilakukan persiapan bahan terlabih dahulu yang meliputi
ekstraksi pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica),
pembuatan serbuk mangga dan serbuk daun mint. Tahap I adalah pembuatan
serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica) dan tahap II adalah pengujian anti konstipasi serbuk effervescent
secara in vivo.
3.3.1 Tahap Persiapan Bahan
Ekstraksi pektin kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica) dilakukan menggunakan pelarut asam sitrat dengan suhu 90℃
selama 1 jam. Penentuan jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi ditentukan
berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Erawati (2009), dimana
pada penelitiannya didapatkan hasil perlakuan terbaik didapatkan dari pektin
yang diekstraksi menggunakan pelarut asam sitrat suhu ekstraksi 90℃ selama 1
jam. Selain itu, pada tahap persiapan bahan dilakukan juga pembuatan serbuk
mangga dengan pengeringan menggunakan pengering kabinet suhu 60℃
selama 10 ± 0,25 jam serta pembuatan serbuk daun mint menggunakan
pengering kabinet dengan suhu 40℃ selama 3 ± 0,25 jam.
3.3.2 Metode Penelitian Tahap I
Setelah didapatkan ekstrak pektin, serbuk mangga dan serbuk daun mint,
kemudian dilakukan optimasi formulasi menggunakan Response Surface
Methodology (RSM) sehingga akan didapatkan produk serbuk effervescent yang
memiliki kadar serat optimum. Optimasi kadar serat dari pektin kulit pisang
Agung Semeru, mangga Podang dan daun mint dilakukan dengan menggunakan
Central Composite experimental Design (CCD), dengan kombinasi tiga faktor
24
yaitu persentase dari pektin kulit pisang Agung Semeru, mangga Podang dan
daun mint. Pektin kulit pisang Agung Semeru memiliki batasan level terendah
40% dan level tertinggi 50% dengan center point 45%, mangga Podang memiliki
batasan level terendah 30% dan level tertinggi 40% dengan center point 35%,
sedangkan daun mint memiliki batasan level terendah 15% dan level tertinggi
25% dengan center point 20%. Center point yang digunakan dalam penelitian
didapatkan dari penelitian pendahuluan. Respon yang diamati adalah kadar serat
pangan (%) dan kelarutan (%) dari produk yang dihasilkan. Hasil formulasi yang
telah dioptimasi kemudian akan dilanjutkan dengan analisa secara fisik dan
kimia pada titik perlakuan paling optimum. Central Composite experimental
Design dengan tiga faktor akan menghasilkan total 20 eksperimen. Berikut
adalah gambaran dari rancangan metode RSM:
Tabel 3.1 Rancangan Tiga Faktor Metode Permukaan Respon Formula Serbuk
Effervescent
Run Faktor 1
A: Pektin Kulit Pisang (%)
Faktor 2 B: Mangga Podang (%)
Faktor 3 C: Daun Mint (%)
Respon 1 Kadar Serat Pangan (%)
Respon 2 Kelarutan (%)
1 45,00 35,00 20,00
2 50,00 30,00 15,00
3 40,00 40,00 15,00
4 50,00 40,00 25,00
5 45,00 35,00 11,59
6 45,00 26,59 20,00
7 40,00 30,00 25,00
8 45,00 35,00 20,00
9 40,00 40,00 25,00
10 36,59 35,00 20,00
11 45,00 35,00 28,41
12 45,00 35,00 20,00
13 45,00 35,00 20,00
14 45,00 35,00 20,00
15 45,00 43,41 20,00
16 40,00 30,00 15,00
17 50,00 40,00 15,00
18 53,41 35,00 20,00
19 45,00 35,00 20,00
20 50,00 30,00 25,00
25
3.3.3 Metode Penelitian Tahap II
Setelah dilakukan analisa fisik dan kimia terhadap serbuk effervescent
dengan perlakuan terbaik, kemudian dilakukan uji in vivo anti konstipasi pada
tikus wistar jantan yang diinduksi dengan loperamid. Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan
pakan selama masa pemeliharaan tikus selama 5 hari.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan 5 kelompok perlakuan,
dimana setiap kelompok perlakuan berisi 6 tikus wistar. Kelompok perlakuannya
adalah sebagai berikut:
T1 (-) : Tanpa diinduksi loperamid sebagai kontrol negatif
T2 (+) : Diinduksi loperamid 3 mg/kg bb selama 3 hari, kemudian
diberikan minum selama 5 hari
T3 : Diinduksi loperamid 3 mg/kg bb selama 3 hari kemudian
diberikan masing-masing 0,09 gram serbuk effervescent pektin
kulit pisang selama 5 hari
T4 : Diinduksi loperamid 3 mg/kg bb selama 3 hari kemudian
diberikan masing-masing 0,18 gram serbuk effervescent pektin
kulit pisang selama 5 hari
T5 : Diinduksi loperamid 3 mg/kg bb selama 3 hari kemudian
diberikan masing-masing 0,09 gram Vegeta selama 5 hari
Variabel tergantung dari penelitian ini adalah berat feses, jumlah feses,
kadar air feses dan uji rasio transit gastrointestinal. Selain tikus wistar yang
digunakan sebagai kontrol negatif, semua tikus diinduksi menggunakan
loperamid sebanyak 3 mg/kg bb yang dilakukan selama 3 hari dengan tujuan
agar tikus mengalami gangguan defekasi.
3.3.3.1 Populasi dan Sampel Percobaan
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Rattus
norvegicus strain Wistar berjenis kelamin jantan dengan umur pada kisaran 3 – 4
bulan dengan berat sekitar 200 gram. Estimasi tikus yang akan digunakan dalam
penelitian didasarkan pada banyaknya perlakuan yang akan diberikan nantinya.
Pada penelitian ini terdapat 5 kelompok perlakuan, sehingga jumlah tikus untuk
masing-masing perlakuan dapat dihitung sebagai berikut:
(t – 1) (n – 1) ≥ 15
(5 – 1) (n – 1) ≥ 15
26
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
Dengan perhitungan yang telah didapatkan diatas, maka tikus yang
digunakan dalam kelompok harus berjumlah minimal 5 ekor tikus pada setiap
kelompok, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka
setiap kelompok ditambahkan sebanyak 1 ekor tikus sebagai cadangan sehingga
tiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus wistar jantan. Sehingga jumlah keseluruhan
tikus untuk semua perlakuan adalah sebanyak 30 ekor tikus.
3.4 Penentuan Besar Dosis Perlakuan
3.4.1 Dosis Induksi Loperamid (Septiyanti, 2015)
1. Dosis induksi loperamid untuk tikus adalah sebesar 3 mg/kg BB.
2. Syarat volume maksimum larutan uji yang dapat diberikan pada tikus seberat
200 g adalah maksimal sebanyak 5 ml.
3. Dosis loperamid yang diberikan pada tikus seberat 200 g
= (3 mg / 1 kg) x berat badan
= (3 mg / 1000000 mg) x 200000 mg
= 0,6 mg
3.4.2 Dosis Serbuk Effervescent
Pemberian perlakuan serbuk effervescent pektin kulit pisang dibagi menjadi
2 dosis, dimana besarnya dosis yang akan diberikan pada hewan coba
dianalogikan dengan dosis terhadap manusia. Menurut Prasetyo dkk (2015),
dosis untuk tikus adalah sebesar 0,018 kali dosis untuk manusia. Perhitungan
dosisnya adalah sebagai berikut:
1. Saran penyajian suplemen vegeta herbal untuk orang dewasa adalah 5 g.
2. Dosis untuk tikus dengan berat rata-rata 200 gram
= 5 g x 0,018
= 0,09 g
= 90 mg / 200 g
Dosis 1 = 90 mg serbuk effervescent pektin kulit pisang
Dosis 2 (2x dosis 1) = 180 mg serbuk effervescent pektin kulit pisang
27
3.4.3 Dosis Suplemen Vegeta
Berat bersih dari suplemen Vegeta herbal adalah 5 gram, dari berat
tersebut maka dibuatlah dosis untuk hewan coba.
Dosis suplemen = 5 gram x 0,018
= 0,09 gram
=90 mg / 200 g
3.5 Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan Bahan
Pembuatan tepung kulit pisang (Erawati, 2009):
- Kulit pisang dicuci bersih kemudian direndam didalam larutan Na –
Metabisulfit 0,1% selama 15 menit untuk mencegah terjadinya browning.
- Kulit pisang kemudian dipotong hingga ukurannya menjadi lebih kecil dan
diletakkan di dalam loyang.
- Kulit pisang dikeringkan menggunakan kabinet pengering dengan suhu 55℃
selama 8 ± 0,25 jam kemudian diblender dalam keadaan kering.
- Tepung kulit pisang diayak menggunakan ayakan 60 mesh.
Ekstraksi dan pembuatan tepung pektin meliputi (Erawati, 2009):
- Kulit pisang ditimbang kemudian ditambahkan dengan pelarut asam sitrat
dan dipanaskan diatas kompor listrik dengan suhu 90℃ selama 1 jam dalam
keadaan tertutup.
- Dilakukan penyaringan larutan menggunakan kain saring untuk memisahkan
ampas tepung kulit pisang dan ekstrak pektin.
- Kemudian filtrat dievaporasi dengan cara dipanaskan diatas air mendidih
selama 45 ± 5 menit.
- Ekstrak pekat didinginkan dan kemudian setelah dingin ditambahkan etanol
teknis 96% sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga mencapai perbandingan
1 : 2, kemudian dilakukan pengendapan selama 2 jam.
- Gumpalan pektin kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dicuci
dengan 100 ml etanol 70% sebanyak dua kali dan dicuci sekali lagi
menggunakan etanol 96%.
28
- Gumpalan pektin kemudian dikeringkan dengan suhu 60℃ selama 3 ± 0,25
jam dan setelah kering ditepungkan kemudian diayak menggunakan ayakan
60 mesh.
Analisa yang dilakukan pada pektin yang dihasilkan meliputi analisa
rendemen (Bambang dkk, 1998), analisa kadar air (AOAC, 1990), analisa berat
ekivalen (Ranganna, 1997), analisa kadar metoksil (Sulihono dkk, 2012), analisa
kadar asam galakturonat (Sulihono dkk, 2012), derajat esterifikasi (Sulihono,
2012) dan analisa warna (Yuwono, 2001).
Pembuatan serbuk mangga, meliputi:
- Buah mangga dicuci bersih kemudian dikupas kulitnya, setelah itu
ditimbang sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
- Dihancurkan menggunakan blender selama ±1 menit sambil ditambahkan
5% dekstrin sebagai bahan pengisi.
- Bubur mangga kemudian dioleskan diatas loyang yang telah dilapisi
plastik dan dikeringkan menggunakan pengering kabinet dengan suhu
60℃ selama ±10 jam.
- Lembaran kering mangga dihancurkan dengan blender kering.
- Serbuk kering mangga diayak menggunakan ayakan 60 mesh untuk
menyeragamkan ukuran.
Pembuatan serbuk daun mint, meliputi:
- Daun mint segar dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran yang
menempel.
- Daun mint yang telah bersih diletakkan diatas loyang kemudian
dikeringkan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 40℃ selama 3
jam.
- Daun mint kering dihaluskan dengan blender dan setelah halus diayak
menggunakan ayakan 60 mesh agar ukurannya seragam.
Tahap 1. Pembuatan Serbuk Effervescent
- Pektin hasil ekstraksi, ekstrak mangga dan bubuk daun mint ditimbang sesuai
dengan formula yang telah ditentukan.
- Pektin hasil ekstraksi, ekstrak mangga dan bubuk daun mint dicampur
dengan asam sitrat, asam tartrat, stevia dan sebagian PVP dicampurkan
menggunakan blender kering sehingga menghasilkan suatu campuran yang
disebut dengan komponen asam.
29
- Sisa PVP kemudian dicampurkan dengan Na – bikarbonat menggunakan
blender kering dan menghasilkan campuran yang disebut sebagai komponen
basa.
- Komponen asam dan komponen basa kemudian dicampurkan menggunakan
blender kering hingga homogen.
- Serbuk effervescent diayak menggunakan ayakan 60 mesh.
Formulasi serbuk effervescent ditampilkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Formulasi serbuk effervescent
Bahan Persentase
Pektin Kulit Pisang Sesuai Formulasi Design Expert Mangga Podang Sesuai Formulasi Design Expert Daun Mint Sesuai Formulasi Design Expert Asam Sitrat 13% Asam Tartrat 7% Stevia 5% PVP 2% Na – Bikarbonat 10%
Analisa yang dilakukan pada formulasi terbaik serbuk effervescent meliputi
analisa kadar serat pangan (Sudarmaji dkk, 1997), kadar air (AOAC, 1990),
kecepatan alir (Kholidah dkk, 2014), sudut diam (Kholidah dkk, 2014), rehidrasi
(Yuwono, 2001), waktu larut (Kholidah dkk, 2014) dan warna (Yuwono, 2001).
Tahap 3. Pengujian Efek Anti Konstipasi Serbuk Effervescent pada Hewan
Coba
Pada awal percobaan, semua tikus yang digunakan ditimbang berat
badannya kemudian diadaptasi dengan lingkungan penelitian selama 1 minggu
dan dikelompokkan menjadi 5 kelompok acak dimana setiap kelompoknya terdiri
dari 6 ekor tikus. Pakan yang diberikan pada tikus selama masa percobaan
adalah pakan susu pap dengan jumlah yang sama untuk masing-masing tikus,
yaitu 15 g/hari. Pada akhir masa adaptasi, berat tikus kembali ditimbang untuk
memastikan bahwa tikus dalam keadaan baik dan berat badannya dapat
terpantau. Kandungan gizi pada pakan susu pap dapat dilihat pada Tabel 3.3.
30
Tabel 3.3 Kandungan Gizi Susu Pap
Kandungan Jumlah (%)
Air 12 Protein Kasar 16 Lemak Kasar 3 – 7 Serat Kasar Maks 8 Abu Maks 10 Kalsium 0,9 – 1,2 Phosphor 0,6 – 1,0
Sumber: PT. Japfa Comfeed Indonesia, 2013
Kelompok T1 (-) merupakan kelompok tikus tanpa induksi loperamid dan
4 kelompok lainnya yaitu T2 (+), T3, T4 serta T5 diinduksi dengan loperamid
sebanyak 3 mg/kg bb yang dilakukan selama 3 hari (Septiyanti, 2015). Setelah
masa pengkondisian, maka dilanjutkan dengan masa perlakuan dimana masing-
masing tikus akan diberikan pakan sesuai dengan perlakuan. Kelompok T1 dan
T2 hanya diberi pakan tanpa perlakuan sebanyak 15 gram, kelompok T3
diberikan pakan yang sama dan diberikan serbuk effervescent pektin kulit pisang
sebanyak 90 mg / 200 g bb sedangkan kelompok T4 diberikan pakan yang sama
dan diberikan serbuk effervescent pektin kulit pisang sebanyak 180 mg / 200 g
bb dan kelompok T5 diberikan pakan sama dan ditambah dengan suplemen
Vegeta sebanyak 90 mg / 200 g bb. Selama masa pengkondisian dan masa
perlakuan dilakukan pengukuran jumlah, berat, dan kadar air feses setiap hari.
Setelah itu tikus dipuasakan selama 18 jam dan hanya diberi minum. Kemudian
tikus diberikan pakan susu pap dan didiamkan selama 45 menit, lalu tikus
diberikan suspensi norit 1 ml/ekor sebagai marker. Setelah 20 menit, tikus dibius
dan dibedah kemudian dikeluarkan usus halusnya, lalu usus diregangkan dan
diukur panjang keseluruhan dan panjang usus yang dilalui oleh norit untuk uji
rasio transit gastrointestinal (Wijayanti, 2013).
3.6 Analisa Data
Data yang diperoleh dari parameter profil (jumlah, berat, kadar air) feses
dan rasio transit gastrointestinal akan ditampilkan sebagai rata-rata dari tiap
ulangan, kemudian dianalisa dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan apabila
menunjukkan perbedaan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
menggunakan selang kepercayaan 5%. Semua analisa data dilakukan dengan
menggunakan program Design Expert 7.1.5 dan Microsoft Excel.
31
3.7 Diagram Alir
3.7.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang
Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Kulit Pisang Agung Semeru
Pengeringan (60℃, 3 ± 0,25 jam)
Ekstraksi (Asam sitrat (rasio bahan:pelarut 1:20), suhu 90℃, 1 jam)
Ampas
Penyaringan
Filtrat
Pemekatan (100℃, 45 ± 5 menit)
Pendinginan dan penambahan etanol teknis 96%
Pengendapan (2 jam)
Gumpalan Pektin
Pencucian (2 x 50 ml etanol 70% dan 50 ml etanol 96%)
Penghancuran dan pengayakan (60 mesh)
Tepung Pektin
Analisa: - Rendemen - Kadar Air - Berat Ekivalen - Kadar Asam Galakturonat - Kadar Metoksil - Warna - Derajat Estrifikasi
Pengeringan dengan pengering kabinet suhu 55℃ selama 8 ± 0,25 jam
Na – Metabisulfit
0,1%, 15 menit
Kulit Pisang Agung Semeru
Pencucian
Perendaman
Penghancuran (blender) dan pengayakan (60 mesh)
Tepung Kulit Pisang
32
3.7.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Mangga Podang
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Kering Buah Mangga Podang
3.7.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Daun Mint
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Daun Mint (Modifikasi Sari, 2016)
Daun Mint Segar
Pengeringan dengan pengering kabinet 40℃ selama 3 ± 0,25 jam
Penghalusan (blender) dan pengayakan (60 mesh)
Tepung Daun Mint
Pengeringan dengan pengering kabinet (60℃, 10 ± 0,25 jam)
Kulit dan Biji
Serbuk Mangga
Pengayakan (60 mesh)
Mangga
Pencucian
Pengupasan
Penimbangan
Penghancuran (blender, 2 menit)
Kotoran
Penghancuran (blender kering)
5% Dekstrin
33
3.7.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent (Modifikasi Prasetyo dkk,
2015)
Pencampuran (blender kering)
Analisa:
- Kadar Serat Pangan
- Kadar Air
- Kecepatan Alir dan Sudut Diam
- Warna
- Waktu Larut
- Rehidrasi
Pektin Kulit Pisang Agung Semeru, Serbuk Kering Buah
Mangga, Bubuk Daun Mint
Pencampuran bahan-
bahan serbuk, meliputi:
1. Asam sitrat (13%)
2. Asam tartrat (7%)
3. Stevia (5%)
4. PVP (1%)
Pencampuran Na –
bikarbonat (10%) dan
sisa PVP (1%)
Serbuk Effervescent
Komponen Asam
Komponen Basa
Pengayakan (60 mesh)
4
3.7.5 Diagram Alir In Vivo
Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo (Modifikasi Wijayanti, 2013)
Pengkondisian konstipasi selama 3 hari
30 Ekor Tikus
Adaptasi pakan susu pap selama 7 hari
Induksi Loperamid
3 mg/kg BB
T2 (+)
Pakan Susu Pap +
Air Minum
T3 (+) Pakan Susu Pap + Air Minum + Serbuk Effervescent 90 mg
selama 5 hari
T4 (+) Pakan Susu Pap + Air Minum + Serbuk
Effervescent 180
mg selama 5 hari
T5 (+) Pakan Susu Pap + Air Minum + Vegeta (Kontrol Suplemen)
90 mg selama 5 hari
T1 (-)
Pakan Susu Pap +
Air Minum
Penghitungan jumlah feses, berat feses, kadar air feses selama 5 hari
18 jam sebelum percobaan tikus dipuasakan dan hanya diberi minum, semua tikus kecuali T1 (-) diberikan bahan uji sesuai dosis, didiamkan selama 45 menit lalu tikus diberi suspense norit 1 ml / tikus. 20 menit kemudian tikus dibedah dan usus halusnya dikeluarkan
Usus diregangkan dan diukur panjang keseluruhan dan panjang usus yang dilalui norit
Analisis Data
35
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Penelitian dimulai dengan melakukan analisa bahan baku mentah berupa
kulit pisang, yaitu analisa kadar pektin. Dimana pada kulit pisang yang digunakan
dalam penelitian, kadar pektinnya adalah sebesar 0,32%. Setelah dilakukan
analisa pada bahan baku mentah, kemudian dilakukan analisa mengenai
karakteristik bahan baku kering yang digunakan, yaitu tepung kulit pisang Agung
Semeru (Musa paradisiaca formatypica), tepung mangga Podang dan tepung
daun mint yang meliputi analisa kadar air, warna dan juga kadar serat pangan.
Hasil analisa dari tepung kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca
formatypica), tepung mangga Podang dan tepung daun mint dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Tepung Kulit Pisang, Mangga dan Daun Mint
Analisa
Bahan
Tepung Kulit Pisang
Tepung Mangga Tepung Daun
Mint
Rendemen (%) 7,35 17,97 6,00
Kadar Serat Pangan (%) 61,81 ± 0,51 12,45 ± 0,31 44,24 ± 0,33
Kadar Air (%) 1,99 ± 0,03 1,07 ± 0,08 2,07 ± 0,03
Warna
L* 57,6 ± 0,00 70,57 ± 1,76 49,9 ± 0,26
a* 3,03 ± 0,06 6,4 ± 0,46 -2,17 ± 0,15
b* 14,5 ± 0,1 30,2 ± 0,9 16,8 ± 0,2
Berdasarkan Tabel 4.1, didapatkan hasil untuk analisa rendemen, kulit
pisang yang dikeringkan dan dioleh menjadi tepung kulit pisang menghasilkan
rendemen sebesar 7,35%, mangga Podang yang dikeringkan menghasilkan
tepung mangga dengan rendemen sebesar 17,97% dan daun mint yang
dikeringkan menghasilkan serbuk daun mint dengan rendemen sebesar 6%.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada bahan baku, kadar
serat pangan total yang terkandung didalam setiap bahan baku nilainya berbeda-
beda dimana kadar serat pangan total tertinggi adalah tepung kulit pisang Agung
Semeru yang mencapai angka 61,81% yang terdiri dari kadar serat pangan tidak
larut sebesar 51,63% dan kadar serat pangan larut sebesar 10,18%. Kadar serat
36
pangan total yang terdapat pada tepung mangga Podang yang digunakan dalam
penelitian adalah sebesar 12,45% yang terdiri dari serat pangan tidak larut
sebesar 6,56% dan serat pangan larut sebesar 5,89%. Sedangkan kadar serat
pangan total pada tepung daun mint adalah sebesar 44,24% yang terdiri dari
serat pangan tidak larut sebesar 42,57% dan serat pangan larut sebesar 1,67%.
Kadar serat pangan total pada bahan baku nilainya beragam karena komposisi
kimia serat pangan bervariasi tergantung pada komposisi dinding sel tanaman
penghasillnya, dimana dinding sel tanaman ini tersusun dari selulosa,
hemiselulosa, pektin, lignin dan mucilage yang semuanya termasuk kedalam
jenis serat (Santoso, 2011).
Kadar air tepung kulit pisang Agung Semeru adalah sebesar 1,99%,
kadar air mangga Podang sebesar 1,07 dan kadar air pada tepung daun mint
memiliki nilai terbesar diantara ketiga bahan, yaitu sebesar 2,07%. Kadar air dari
mangga Podang ini berbeda dari penelitian yang telah dilakukan oleh Wijana dkk
(2014) dimana kadar air mangga Podang dengan penambahan dekstrin 5%
adalah sebesar 3,56%. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan
jumlah sampel yang digunakan dalam analisa serta metode pengeringan yang
dilakukan, pada penelitian Wijana dkk (2014) pengering yang digunakan adalah
tunnel drying. Kemungkinan lain perbedaan kadar air dapat disebabkan karena
umur mangga yang digunakan berbeda sehingga kadar air yang terdapat
didalam mangga pun berbeda. Kadar air merupakan salah satu unsur penting
yang dapat berpengaruh terhadap umur simpan bahan baku, dimana penurunan
kadar air melalui proses pengeringan dapat menginaktivasi enzim sehingga
bahan tidak mudah busuk dan meningkatkan umur simpan bahan tersebut.
Dari analisa warna yang dilakukan, tepung kulit pisang Agung Semeru
memiliki nilai derajat kecerahan (L*) sebesar 57,6 dengan derajat kemerahan (a*)
sebesar 3,03 dan derajat kekuniningan (b*) sebesar 14,5. Sedangkan tepung
kulit mangga Podang memiliki derajat kecerahan (L*) sebesar 70,57, derajat
kemerahan (a*) sebesar 6,4 dan derajat kekuningan (b*) sebesar 30,2. Tepung
daun mint memiliki nilai derajat kecerahan (L*) sebesar 49,9, derajat kemerahan
(a*) -2,17 dan derajat kekuningan (b*) sebesar 16,8. Dari ketiga bahan dapat
diketahui bahwa tepung daun mint cenderung memiliki warna yang lebih gelap
jika dibandingkan dengan tepung kulit pisang dan juga tepung mangga yang
dapat dilihat pada tingkat kecerahan (L*) tepung daun mint yang lebih rendah jika
37
dibandingkan dengan kedua bahan lainnya, begitu juga dengan nilai kemerahan
(a*) dan kekuningan (b*).
4.2 Karakteristik Ekstrak Pektin dari Kulit Pisang Agung Semeru
Pektin yang digunakan dalam analisa merupakan pektin yang didapatkan
dari kulit pisang Agung Semeru yang diekstraksi menggunakan asam sitrat
dengan (rasio bahan : pelarut 1:20) metode maserasi yang dilakukan dengan
memanaskan campuran bahan dan pelarut pada suhu 90℃ selama ±1 jam.
Analisa yang dilakukan berupa analisa rendemen, kadar air, berat ekivalen,
kadar metoksil, kadar asam galakturonat, derajat esterifikasi dan juga warna.
Hasil analisa pektin kulit pisang Agung Semeru dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Karakteristik Ekstrak Pektin dari Kulit Pisang Agung Semeru
Analisa Hasil
Rendemen (%) 12,95%
Kadar Air (%) 5,0% ± 0,14
Berat Ekivalen 1010,205 ± 14,43
Kadar Metoksil (%) 5,022% ± 0,09
Kadar Asam Galakturonat (%) 46,112% ± 0,00
Derajat Esterifikasi (%) 61,83% ± 1,08
Warna L* a* b*
56,75 ± 1,06 13,2 ±0,28 11,25 ± 0,21
4.2.1 Rendemen
Rendemen pektin kulit pisang Agung yang dihasilkan dalam penelitian
adalah sebesar 12,95%. Rendemen yang didapatkan dari tanaman yang berbeda
akan berbeda karena pada setiap varietas akan berbeda kadar pektin yang
terkandung didalamnya. Didalam jaringan tanaman, pektin terdapat sebagai
protopektin yang tidak larut didalam air karena berbentuk garam kalsium dan
magnesium. Karena hal itulah, maka perlu dilakukan hidrolisis protopektin
dengan menggunakan asam dengan tujuan untuk mengubah protopektin menjadi
pektin yang bersifat larut didalam air (Sulihono dkk, 2012). Semakin tinggi suhu
yang digunakan dan semakin lama waktu ekstraksi maka rendemen yang
diperoleh akan semakin tinggi. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebesar 90℃ dengan waktu ekstraksi selama 1 jam, dimana penentuan suhu dan
38
waktu ekstraksi ini didasarkan pada penelitian Erawati, 2009 yang menyebutkan
bahwa perlakuan terbaik didapatkan dari kulit pisang yang diekstraksi
menggunakan asam sitrat dengan suhu 90℃ dan waktu ekstraksi selama 1 jam.
4.2.2 Kadar Air
Pengeringan pektin pada penelitian ini dilakukan menggunakan cabinet
dryer dengan suhu 60℃ selama ±2,5 jam sehingga menghasillkan pektin dengan
kadar air sebesar 5,0 ± 0,14. Nilai kadar air tersebut sudah sesuai dengan kadar
air pektin yang ditentukan oleh International Pectin Producers Association
dimana kadar air pektin yang diperbolehkan adalah maksimal 12%. Kadar air
bahan menyatakan banyaknya air yang terkandung didalam bahan, dimana
kadar air ini berpengaruh pada masa simpan bahan. Semakin rendah kadar air
suatu bahan, maka semakin lama masa simpan bahan tersebut karena tidak
adanya air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
berkembang.
4.2.3 Berat Ekivalen
Berat ekivalen merupakan banyaknya karboksil tidak teresterifikasi dalam
rantai poligalaturonat pektin, dimana berat ekivalen pektin ini ditentukan
berdasarkan reaksi penyabunan gugus karboksil oleh NaOH. Berat ekivalen akan
berbanding terbalik dengan banyaknya volume NaOH yang digunakan untuk
bereaksi dengan gugus karboksil (Prasetyowati, 2009). Pada penelitian ini, berat
ekivalen pektin kulit pisang Agung adalah sebesar 1010,205 ± 14,43. hasil pada
penelitian tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh International
Pectin Producers Association karena bahan yang digunakan berbeda. Asam
pektat murni memiliki berat ekivalen sebesar 176, dimana asam pektat murni ini
merupakan asam pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat
yang bebas dari gugus metal ester, jadi tidak mengalami esterifikasi. Apabila
semakin sedikit gugus asam maka berat ekivalen akan semakin tinggi
(Tuhuloula, 2013).
4.2.4 Kadar Metoksil
Analisa kadar metoksil yang dilakukan pada pektin kulit pisang
menunjunjukkan bahwa pektin kulit pisang Agung termasuk kedalam golongan
pektin metoksil rendah karena kadar metoksilnya sebesar 5,022% ± 0,09, dimana
39
menurut International Pectin Producers Association pektin dikatakan masuk
kedalam golongan pektin metoksil rendah apabila kadar metoksilnya berkisar
antara 2,5% - 7,12%. Sebaliknya, pektin dapat dikatakan sebagai pektin metoksil
tinggi apabila pektin yang terkandung didalam suatu bahan kadarnya memiliki
nilai yang lebih besar dari 7,2%. Pektin yang tergolong kedalam pektin metoksil
rendah lebih menguntungkan karena dapat langsung diproduksi tanpa melalui
proses demetilasi. Kadar metoksil merupakan jumlah methanol yang terdapat
didalam pektin. Kadar metoksildapat didefinisikan sebagai jumlah methanol yang
terdapat didalam pektin, dimana tinggi rendahnya kadar metoksil ini memiliki
peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat
mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang dihasilkan (Maulidiyah
dkk, 2014).
4.2.5 Kadar Asam Galakturonat
Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan
ikatan α-(1,4)-glikosida yang membentuk asam poligalakturonat. Semakin tinggi
mutu pektin maka akan semakin tinggi nilai kadar asam galakturonatnya. Tinggi
rendahnya kadar asam galakturonat ini dapat mengindikasikan bahwa tingkat
kemurnian pektin yang dihasilkan tinggi. Selain asam D-galakturonat sebagai
penyusun utama pektin, adanya D-galaktosa, L-arabinosa dan L-rhamnosa juga
berperan sebagai komponen penyusun pektin (Maulidiyah dkk, 2014). Pada
penelitian ini kadar asam galakturonat dari pektin kulit pisang Agung adalah
sebesar 46,112% ± 0,00. Pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang ini
terbilang rendah karena kemungkinan pada saat ekstraksi terdapat komponen-
komponen lainnya yang ikut terekstrak sehingga kemurnian pektin rendah.
Namun, kadar asam galakturonat pektin kulit pisang Agung tersebut sudah
sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh International Pectin Producers
Association, dimana kadar asam galakturonat dari pektin minimal adalah 35%.
4.2.6 Derajat Esterifikasi
Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-
galakturonat yang gugus karboksilnya tersterifikasi dengan etanol, dimana nilai
derajat estrifikasi ini didapatkan dari perbandingan antara kadar metoksil dengan
kadar asam galakturonat (Tuhuloula, 2013). Menurut ketentuan International
Pectin Producers Association, berdasarkan nilai derajat esterifikasi, pektin
40
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pektin ester tinggi dan pektin ester rendah,
pektin dapat dikatakan berester tinggi apabila nilai derajat esterifikasinya minimal
50% sedangkan apabila derajat esterifikasinya dibawah 50% maka pektin
tersebut tergolong kedalam pektin ester rendah. Pada penelitian ini, derajat
esterifikasi yang pada pektin kulit pisang Agung ini adalah sebesar 61,83% ±
1,08. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pektin kulit pisang
Agung yang dihasilkan termasuk kedalam golongan pektin ester tinggi.
4.2.7 Warna (L*, a*, b*)
Warna merupakan cirri-ciri suatu bahan yang dapat kita kenali dengan
mudah melalui indera penglihatan, dimana warna bahan akan tergantung pada
penampakan bahan. Selain hal itu, warna dari suatu bahan juga dipengaruhi oleh
kemampuan dari bahan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap dan
meneruskan sinar tampak. Pada penelitian ini, hasil analisa menunjukkan bahwa
pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang Agung semeru memiliki nilai kecerahan (L*)
sebesar 56,75, nilai kemerahan (a*) sebesar 13,2, dan nilai kekuningan (b*)
sebesar 11,25. Pektin hasil ekstraksi pektin kulit pisang Agung yang dihasilkan ini
memiliki warna yang cenderung agak gelap, yaitu berwarna kecoklatan dan
sangat berbeda apabila dibandingkan dengan pektin komersial yang berwarna
putih kekuningan. Hal ini disebabkan karena penggunaan bahan baku yang
berbeda dan juga sifat bahan yang berbeda. Kulit pisang yang mudah mengalami
browning menjadi salah satu penyebab warna pektin yang dihasilkan menjadi
cenderung gelap.
4.3 Optimasi Formula Serbuk Effervescent
Optimasi formula pembuatan serbuk effesrvescent pektin kulit pisang
Agung Semeru, mangga Podang dan daun mint dilakukan dengan cara
mengontrol proporsi ketiga bahan yang digunakan agar didapatkan produk
dengan perlakuan paling baik sehingga menghasilkan produk dengan kadar serat
maupun kelarutan yang optimum. Effervescent dibuat dengan cara mereaksikan
senyawa asam dan senyawa karbonat untuk menghasilkan gas CO2 dimana gas
yang dilepaskan ini akan memberikan rasa segar (Munir, 2012). Metode yang
digunakan untuk optimasi formula serbuk effervescent dalam penelitian ini adalah
metode Response Surface Methodology (RSM) dengan rancangan Central
Composite Design (CCD).
41
Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya bertujuan untuk
menentukan level tertinggi dan terendah kadar pektin kulit pisang, mangga dan
daun mint yang akan digunakan didalam penelitian utama formulasi serbuk
effervescent. Pektin kulit pisang Agung Semeru memiliki batasan level terendah
40% dan level tertinggi 50% dengan center point 45%, mangga Podang memiliki
batasan level batasan terendah 30% dan level tertinggi 40% dengan center point
35%, sedangkan daun mint memiliki batasan level terendah 15% dan level
tertinggi 25% dengan center point 20%. Penetapan level tertinggi dan terendah
ini didasarkan pada hasil analisa kadar serat pangan yang dihasilkan selama
penelitian pendahuluan. Data hasil analisis respon kadar serat pangan dan
kelarutan yang digunakan dalam penelitian formula serbuk effervescent dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data Analisa Respon Kadar Serat Pangan dan Kelarutan
Run Faktor 1
A: Pektin Kulit
Pisang (%)
Faktor 2
B: Mangga
Podang (%)
Faktor 3
C: Daun
Mint (%)
Respon 1
Kadar Serat
Pangan (%)
Respon 2
Kelarutan (%)
1 45,00 35,00 20,00 26,81±0,01 77,11±0,01
2 50,00 30,00 15,00 14,89±0,00 77,12±0,01
3 40,00 40,00 15,00 5,5%±0,00 76,62±0,02
4 50,00 40,00 25,00 29,35±0,03 78,69±0,03
5 45,00 35,00 11,59 26,05±0,04 83,00±0,02
6 45,00 26,59 20,00 27,28±0,03 71,81±0,02
7 40,00 30,00 25,00 28,00±0,01 71,42±0,02
8 45,00 35,00 20,00 29,04±0,01 76,92±0,01
9 40,00 40,00 25,00 21,99±0,02 71,67±0,02
10 36,59 35,00 20,00 21,08±0,01 77,82±0,04
11 45,00 35,00 28,41 22,31±0,04 68,54±0,03
12 45,00 35,00 20,00 21,57±0,01 75,51±0,02
13 45,00 35,00 20,00 25,11±0,01 75,31±0,00
14 45,00 35,00 20,00 21,21±0,02 74,12±0,02
15 45,00 43,41 20,00 17,51±0,00 71,31±0,01
16 40,00 30,00 15,00 24,57±0,00 75,11±0,02
17 50,00 40,00 15,00 28,15±0,00 76,32±0,05
18 53,41 35,00 20,00 21,41±0,01 69,60±0,02
19 45,00 35,00 20,00 23,66±0,01 74,83±0,01
20 50,00 30,00 25,00 24,21±0,02 67,18±0,04
42
Data diatas digunakan dalam analisis statistik untuk mengoptimasi kadar
pektin kulit pisang Agung Semeru , mangga Podang dan daun mint yang
dibutuhkan pada proses formulasi serbuk effervescent. Hasil optimasi
menunjukkan bahwa formula optimum dengan kadar serat dan kelarutan tertinggi
terdapat pada formula dengan rasio pektin kulit pisang : mangga Podang : daun
mint sebesar 45% : 30% : 20%. Prediksi model persamaan setiap respon akan
dianalisis statistik diperoleh dari program Design Expert DX 7.1.5.
4.4 Analisa Ragam (ANOVA)
4.4.1 Analisa Kadar Serat Pangan
Berdasarkan analisa ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model 2FI
memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap respon kadar serat pangan
dimana hal ini dapat dilihat dari nilai p yang kurang dari 0,05 yaitu sebesar
0,0381 (3,81%). Sedangkan pada kolom lack of fit (ketidaksesuaian model)
memiliki nilai sebesar 0,1527 (15,27%) sehingga dapat dianggap
ketidaksesuaian model tidak berpengaruh nyata terhadap respon kadar serat
pangan karena nilai ketidaksesuaian model lebih besar dari nilai P 0.05 (5%)
Data analisa ragam dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Analisa Ragam (ANOVA) Respon Kadar Serat Pangan
Source Sum of Squares
df Mean Square
F Value
p-value Prob > F
Model A-Pektin Kulit Pisang B-Mangga Podang C-Daun Mint AB AC BC
352,43 6 58,74 3,18 0,0381 Significant 21,27 1 21,27 1,15 0,3028 38,94 1 38,94 2,11 0,1703 42,53 1 42,53 2,30 0,1532 235,57 1 235,77 12,76 0,0034 10,93 1 10,93 0,59 0,4556 2,99 1 2,99 0,16 0,6941
Residual Lack of Fit Pure Error
240,22 193,81 46,41
13 8 5
18,48 24,23 9,28
2,61
0,1527
Not significant
Cor Total 592,65 19
Variabel pektin kulit pisang, mangga podang, daun mint, interaksi antara
pektin kulit pisang dan daun mint serta interaksi antara mangga podang dan
daun mint tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon kadar serat
pangan. Hal ini ditunjukkan dari nilai P yang lebih dari 5% dimana pektin kulit
43
pisang memiliki p-value sebesar 30,28%, mangga podang sebesar 17,03%, daun
mint sebesar 15,32%, interaksi antara pektin kulit pisang dengan daun mint
sebesar 45,56% dan interaksi antara mangga podang dengan daun mint sebesar
69,41%. Sedangkan interaksi antara pektin kulit pisang dan mangga podang
memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon serat pangan dengan nilai P
sebesar 3,4%. Hal ini diduga karena proporsi pektin kulit pisang dan mangga
yang lebih besar dari daun mint menyebabkan kadar serat pangan pada produk
menjadi meningkat.
Berdasarkan hasil analisa ragam (ANOVA) pada respon kadar serat
pangan model 2FI akan menghasilkan persamaan yang diberikan oleh program
Design Expert 7.1.5. Berikut merupakan persamaan aktual yang terpilih terhadap
respon kadar serat pangan yang dihasilkan:
Y = 333,56746 – 6,41563 X1 – 10,59847 X2 + 1,60094 X3 + 0,21715 X1X2 –
0,046750 X1X3 + 0,024450 X2X3
4.4.1.1 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kadar Serat Pangan
Berdasarkan program Design Expert 7.1.5 dapat diketahui bahwa model
yang terpilih untuk respon kadar serat pangan adalah model 2FI (lampiran 3),
sehingga perlu diketahui apakah model tersebut dapat memberikan pengaruh
yang nyata atau tidak terhadap respon kadar serat pangan. Gambar 4.1
menunjukkan Kurva Normal Plot of Residuals dari model yang disarankan
program untuk respon kadar serat pangan.
Gambar 4.1 Kurva Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Color points by value of
Kadar Serat Pangan:
29.35
5.55
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.19 -1.24 -0.28 0.67 1.63
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
44
Dari Gambar 4.1 diatas dapat diketahui bahwa tidak semua titik residual
berada tepat di sepanjang garis tengah antara persentase peluang kenormalan
dengan residual. Titik-titik data yang letaknya semakin mendekati garis
kenormalan menunjukkan bahwa penyebaran data yang dihasilkan normal,
dimana hal ini berarti bahwa hasil aktual akan mendekati hasil yang telah
diprediksikan oleh program Design Expert 7.1.5 (Kumari et al., 2008).
Pada penelitian ini proporsi bahan baku berupa pektin kulit pisang dan
mangga podang yang digunakan berpengaruh terhadap kadar serat pangan dari
produk yang dihasilkan. Berikut merupakan hubungan antara proporsi pektin kulit
pisang dan mangga podang yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
(a)
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Design Points
29.35
5.55
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kadar Serat Pangan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
16.9945
19.367
21.7394
21.7394
24.1119
24.1119
26.4843
26.4843
6
45
(b)
Gambar 4.2 (a) Kontur Plot (b) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan
Berdasarkan Gambar 4.2 (a) menunjukkan bahwa sumbu x merupakan
variabel pektin kulit pisang dan sumbu y menunjukkan variabel mangga podang
terhadap respon kadar serat pangan. Garis-garis melingkar pada gambar
menunjukkan respon yang dihasilkan. Respon optimum terletak pada bagian
tengah kontur plot yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah (node).
Gambar 4.2 (b) adalah kurva permukaan respon variabel pektin kulit pisang dan
mangga podang terhadap respon kadar serat pangan dengan model yang tidak
cembung maupun tidak cekung karena pada gambar terdapat sisi yang tertarik
ke bawah dan tertarik ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa kadar serat pangan
yang diharapkan maksimal, tetapi beberapa perlakuan memiliki kadar serat
pangan yang belum bisa dikatakan maksimal sehingga bentuk dari kurva tidak
beraturan.
4.4.2 Analisa Kelarutan
Berdasarkan analisa ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model linier
memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap respon kelarutan dimana hal ini
dapat dilihat dari nilai p yang kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,0112 (1,12%).
Pada kolom lack of fit (ketidaksesuaian model) memiliki nilai sebesar 0,0129
(1,29%) sehingga dapat dianggap ketidaksesuaian model berpengaruh nyata
terhadap respon kelarutan karena nilai ketidaksesuaian model lebih kecil dari
46
nilai P 0.05 (5%), dimana seharusnya ketidaksesuaian model ini tidak
berpengaruh nyata terhadap respon. Data analisa ragam dapat dilihat pada
Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Analisa Ragam (ANOVA) Respon Kelarutan
Source Sum of Squares
df Mean
Square F
Value p-value Prob > F
Model A-Pektin Kulit Pisang B-Mangga Podang C-Daun Mint
136,56 3 45,52 5,13 0,0112 Significant 6,38 1 6,38 0,72 0,4089 9,90 1 9,90 1,12 0,3064 120,27 1 120,27 13,56 0,0020
Residual Lack of Fit Pure Error
141,93 16 8,87 135,04 11 12,28 8,91 0,0129 Significant 6,89 5 1,38
Cor Total 278,49 19
Variabel pektin kulit pisang dan mangga podang yang digunakan dalam
penelitian tidak memberikan pengaruh nyata terhadap respon kelarutan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai P yang lebih dari 0,05 (5%), dimana pektin kulit pisang
memiliki nilai P sebesar 0,4089 (40,89) dan mangga podang memiliki nilai P
sebesar 0,3064 (30,64). Dari ketiga bahan yang digunakan dalam penelitian,
hanya daun mint yang berpengaruh nyata terhadap respon kelarutan karena
daun mint memiliki nilai P kurang dari 0,05 (5%) yaitu sebesar 0,0020 (0,20%).
Hal ini disebabkan karena daun mint yang digunakan tidak dapat larut sempurna
dalam aquades ketika dilkukan analisa kelarutan, sehingga banyak residu yang
tertinggal pada kertas saring dan mempengaruhi berat kertas saring dan
mempengaruhi tingkat kelarutan produk. Pada kolom lack of fit nilai P lebih dari
0,05 (5%) yaitu sebesar 0,0129 (1,29%), sehingga ketidaksesuaian model
berpengaruh nyata terhadap respon. Ketidaksesuaian model yang berpengaruh
nyata terhadap respon ini salah satunya dapat disebabkan karena variasi data
yang masih tinggi.
Berdasarkan hasil analisa ragam (ANOVA) pada respon kelarutan, model
linier akan menghasilkan persamaan yang diberikan oleh program Design Expert
7.1.5. Berikut merupakan persamaan aktual yang terpilih terhadap respon
kelarutan yang dihasilkan:
Y = 86,56186 – 0,13670 X1 + 0,17030 X2 – 0,59353 X3
47
4.4.2.1 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kelarutan
Berdasarkan program Design Expert 7.1.5 dapat diketahui bahwa model
yang terpilih untuk respon kelarutan adalah model linier (lampiran 3), sehingga
perlu diketahui apakah model tersebut dapat memberikan pengaruh yang nyata
atau tidak terhadap kelarutan. Gambar 4.3 menunjukkan Kurva Normal Plot of
Residuals dari model yang disarankan program untuk respon kelarutan.
Gambar 4.3 Kurva Normal Plot of Residuals
Dari Gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa tidak semua titik residual berada
tepat di sepanjang garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan
residual. Titik-titik data yang letaknya semakin mendekati garis kenormalan
menunjukkan bahwa penyebaran data yang dihasilkan normal, dimana hal ini
berarti bahwa hasil aktual akan mendekati hasil yang telah diprediksikan oleh
program Design Expert 7.1.5 (Kumari et al., 2008).
Pada penelitian ini daun mint yang digunakan berpengaruh terhadap
kadar kelarutan dari produk yang dihasilkan. Berikut merupakan hubungan
antara proporsi daun mint terhadap respon kelarutan yang ditunjukkan pada
Gambar 4.4.
Design-Expert® Software
Kelarutan
Color points by value of
Kelarutan:
83
67.18
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-1.80 -0.66 0.47 1.61 2.75
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
48
(a)
(b)
Gambar 4.4 (a) Kontur Plot (b) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kelarutan
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design Points
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kelarutan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
73.4772
73.9888
74.5005
75.0122
75.5238
6
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design points above predicted value
Design points below predicted value
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00
42.50
45.00
47.50
50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00
72.9
73.975
75.05
76.125
77.2
K
ela
ruta
n
A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang
49
Berdasarkan Gambar 4.4 (a) menunjukkan bahwa sumbu x merupakan
variabel pektin kulit pisang dan sumbu y menunjukkan variabel mangga podang
terhadap respon kelarutan. Garis-garis lurus pada gambar menunjukkan respon
yang dihasilkan, dimana semakin terang warna yang ditunjukkan maka respon
kelarutan semakin kecil. Respon optimum terletak pada bagian tengah kontur
plot yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah (node). Gambar 4.4 (b)
adalah kurva permukaan respon variabel pektin kulit pisang dan mangga podang
terhadap respon kelarutan dengan bentuk kurva yang datar karena model yang
disarankan adalah linier.
4.5 Verifikasi Hasil Optimal
Verifikasi pada hasil optimal yang disarankan oleh program Design Expert
perlu dilakukan untuk memastikan bahwa respon yang diperoleh sudah sesuai
dengan yang disarankan oleh program. Nilai prediksi akan dapat diterima apabila
selisih kesalahan antara nilai respon dengan prediksi dari program tidak lebih
dari 5%. Berdasarkan hasil prediksi, titik optimal yang disarankan program
adalah proporsi pektin kulit pisang Agung 40%, mangga Podang 30% dan daun
mint sebesar 25% dengan respon kadar serat pangan sebesar 31,179% dan nilai
desirability 1,000. Analisa kadar serat pangan hasil verifikasi serbuk effervescent
dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan
Pektin Kulit
Pisang
Mangga
Podang Daun Mint
Kadar Serat
Pangan
Prediksi* 40% 30% 25% 31,179%
Verifikasi** 40% 30% 25% 30,35% ± 1.9
Perbedaan (%) 2,66%
Keterangan: *Hasil Perhitungan Design Expert
**Hasil Perhitungan Aktual
Hasil analisa untuk verifikasi produk serbuk effervescent menunjukkan
bahwa kadar serat pangan produk secara aktual dengan hasil prediksi yang
diberikan oleh program Design Expert sudah dapat diterima, karena kesalahan
atau perbedaan dari kedua hasil tidak lebih dari 5%.
50
4.6 Karakteristik Serbuk Effervescent Hasil Optimasi
Formula optimum yang diberikan oleh Design Expert dianalisa parameter
fisik dan juga kimia dari produk, diantaranya analisa kadar serat pangan, kadar
air, warna, waktu larut, kecepatan alir dan sudut diam. Hasil analisa serbuk
effervescent hasil optimasi dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Analisa Serbuk Effervescent Hasil Optimasi
Analisa Hasil
Kadar Serat Pangan 30,35% ± 1,9
- Serat Pangan Larut 15,12% ± 0,12
- Serat Pangan Tak Larut 15,23% ± 1,77
Kadar Air 6,46% ± 0,36
Warna L 48,0 ± 0,83
a -0,06 ± 0,06
b 11,6 ± 0,12
Waktu Larut 1 menit 45 detik ± 0,08
Kecepatan Alir 0,27 g/s ± 1,07
Sudut Diam 67,44° ± 1,94
Pada Tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa kadar serat pangan produk
akhir hasil optimasi adalah sebesar 30,35%, dimana kadar serat pangan ini tidak
jauh berbeda dengan kadar serat pangan yang diprediksi oleh program maupun
kadar serat pangan hasil verifikasi. Kadar serat pangan tersebut terdiri dari kadar
serat pangan larut (15,12%) dan serat pangan tidak larut (15,23%). Serat
merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan
dalam tubuh. Serat makanan bersifat hidrofilik atau pembentuk massa.
Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa tergantung pada
jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh proses
fermentasi bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan
efek laksatif (Eva, 2015). Karena pentingnya serat tersebut, maka Dietary
Guidelines of American menganjurkan untuk banyak mengkonsumsi serat,
dimana untuk orang dewasa anjuran konsumsi serat adalah sebesar 20 – 35 /
hari (Fairudz dan Nisa, 2015). Komposisi kimia serat pangan bervariasi
tergantung pada komposisi dinding sel tanaman penghasillnya, dimana dinding
sel tanaman ini tersusun dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan mucilage
yang semuanya termasuk kedalam jenis serat (Santoso, 2011).
Analisa kadar air dalam pembuatan produk serbuk effervescent memiliki
tujuan untuk mengetahui kadar kelembaban didalam serbuk effervescent, dimana
51
pada penelitian ini hasil analisa menunjukkan bahwa serbuk effervescent pektin
kulit pisang Agung Semeru, mangga Podang dan daun mint memiliki kadar air
sebesar 6,46%.kadar air hasil analisa tersebut tidak sesuai dengan persyaratan
mutu minuman serbuk menurut (SNI 01-4320-1996), dimana kadar air dari produk
yang dianjurkan adalah tidak boleh melebihi angka 3%. Ketidaksesuaian ini
dapat terjadi karena salah satu bahan yaitu mangga Podang mengandung gula
dalam kadar yang cukup tinggi yaitu sebesar 13,66% (USDA, 2016). Gula
bersifat higroskopis atau memiliki kemampuan mengikat air, sehingga produk
mejadi sedikit menggumpal pada saat proses pembuatan dan mengakibatkan
naiknya nilai kadar air pada saat dilakukan analisa kadar air. Serbuk effervescent
yang memiliki kadar air melebihi persyaratan ini akan memiliki sifat fisik yang
kurang baik, contohnya dalah waktu larut yang lama, mudah menggumpal dan
juga daya alir yang kurang baik (Anshory dkk, 2007).
Warna merupakan ciri-ciri suatu bahan yang dapat kita kenali dengan
mudah melalui indera penglihatan, dimana warna bahan akan tergantung pada
penampakan bahan. Selain hal itu, warna dari suatu bahan juga dipengaruhi oleh
kemampuan dari bahan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap dan
meneruskan sinar tampak. Meskipun warna tidak bersangkutan dengan nilai gizi
suatu produk, namun akan mempengaruhi preferensi konsumen terhadap produk
yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan cenderung memiliki warna hijau gelap,
yang dipengaruhi karena warna daun mint yang ditambahkan dan juga warna
pektin kulit pisang yang juga cenderung gelap sehingga menghasilkan produk
dengan warna cenderung gelap. Pada penelitian ini, hasil analisa menunjukkan
bahwa pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang Agung semeru memiliki nilai
kecerahan (L*) sebesar 48,00, nilai kemerahan (a*) sebesar -0,06, dan nilai
kekuningan (b*) sebesar 11,6.
Analisa waktu larut dilakukan dengan cara melarutkan sejumlah granul
pada 200 ml air dengan suhu antara 15℃ - 25℃. Waktu larut dihitung
menggunakan stopwatch dimulai dari granul tercelup kedalam aquades sampai
semua granul terlarut dan gelembung-gelembung di sekitar wadah sudah
menghilang. Waktu larut granul effervescent berkisar antara 1 – 2 menit. Bila
granul tersebut terdispersi dengan baik dalam air dalam waktu ≤5 menit, maka
sediaan tersebut memenuhi persyaratan waktu larut. Analisa waktu larut yang
dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa waktu larut yang dimiliki oleh
serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru, mangga Podang dan juga
52
daun mint adalah 1 menit 45 detik. Dengan hasil tersebut, dapat dikatakan
bahwa serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru, mangga Podang
dan daun mint sudah memenuhi persyaratan waktu larut.
Kecepatan alir menyatakan waktu yang dibutuhkan sejumlah granul untuk
mengalir, dimana pada penelitian ini analisa kecepatan alir dilakukan dengan
menggunakan bantuan corong kaca. Analisa ini dilakukan dengan cara
memasukkan sejumlah granul dituang kedalam corong yang ditutup ujungnya,
kemudian ujung corong dibuka perlahan dan granul dibiarkan mengalir keluar.
Waktu untuk granul mengalir dicatat menggunakan stopwatch. Kecepatan alir
dapat dihitung dengan satuan g/waktu. Kecepatan alir dari serbuk effervescent
pektin kulit pisang Agung Semeru, mangga Podang dan daun mint adalah
0,27g/s. Kecepatan alir produk ini dapat dikatakan kurang baik karena kecepatan
alir serbuk effervescent dapat dikatakan baik apabila kecepatan alirnya sebesar
10g/s. Kecepatan alir serbuk effervescent yang kurang baik ini dapat disebabkan
karena kadar air yang terkandung didalam lebih tinggi dari standar yang telah
ditetapkan. Kadar air yang lebih tinggi dari standar ini akan menyebabkan ukuran
partikel serbuk effervescent menjadi lebih besar sehingga gaya gesek antar
partikel serbuk effervescent akan meningkat sehingga mobilitas granul menjadi
menurun yang menyebabkan kecepatan alirnya menjadi rendah.
Sudut diam adalah sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel yang
berbentuk kerucut dengan bidang horizontal. Prinsip dari pengujian sudut diam
ini adalah mengukur kemiringan timbunan granul yang jatuh dari analisa
kecepatan alir. Pada penelitian ini, besarnya sudut diam adalah sebesar 67.44°.
Sudut diam pada penelitian ini dapat dikatakan kurang baik karena memiliki nilai
sudut yang besar, granul effervescent yang baik memiliki nilai sudut diam yang
rendah karena alirannya yang lancer sehingga akan membentuk tumpukan
granul yang rendah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa waktu alir
granul kurang baik, maka juga berdampak pada sudut diam yang menyebabkan
nilai sudut diam menjadi tinggi.
4.7 Pengujian Efek Anti Konstipasi Serbuk Effervescent pada Hewan Coba
Serbuk effervescent hasil optimasi menggunakan program Design Expert
yaitu produk dengan rasio bahan pektin kulit pisang Agung Semeru sebesar
40%, mangga Podang sebesar 30% dan daun mint sebesar 25% memiliki kadar
serat pangan sebesar 30,18%. Kemudian produk hasil optimasi tersebut
dilakukan verifikasi untuk memastikan bahwa kadar serat yang diprediksikan oleh
53
program sudah tepat. Jika hasil analisa kadar serat pangan sudah sesuai dengan
kadar serat pangan yang diprediksi oleh program, maka dilanjutkan dengan
analisa produk akhir yang meliputi analisa kadar serat pangan, kadar air, warna,
waktu larut, kecepatan alir dan sudut diam. Produk yang telah dilakukan analisa
fisik dan juga kimia pada analisa produk akhir tersebut kemudian diberikan pada
hewan coba yang sebelumnya telah dikondisikan konstipasi dengan cara
diberikan loperamid per oral.
Loperamid merupakan obat antidiare yang bekerja dengan cara bereaksi
langsung pada otot-otot usus untuk menghambat gerakan peristaltis usus yang
berakibat pada semakin panjangnya waktu transit di usus, selain itu loperamid
juga dapat mempengaruhi perpindahan air dan elektrolit melalui mukosa usus,
mengurangi volume feses dan meningkatkan viskositas (Tjay dan Rahardja,
2007). Apabila loperamid diberikan pada hewan coba yang tidak mengalami
diare atau saluran pencernaanya dalam keadaan normal, maka hewan coba
akan mengalami kesulitan defekasi. Loperamid adalah opioid (Analgetika
narkotika) yang paling tepat untuk efek lokal pada usus karena tidak menembus
ke dalam sawar otak. Oleh karena itu Loperamid tidak dapat menyebabkan
ketergantungan. Obat antimotilitas secara luas digunakan sebagai terapi
simtomatis pada diare akut ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin,
difenoksilat dan kodein menstimulasi aktivitas reseptor pada neuron mienterikus
dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan konduktasi kaliumnya.
Hal tersebut menghambat pelepasan asetilkolin dari pleksus mienterikus dan
menurunkan motilitas usus (Rizal dkk, 2016). Loperamid yang diberikan adalah
sebesar 3 mg/kg berat badan dan diberikan selama 3 hari dengan tujuan untuk
membuat hewan coba mengalami kondisi konstipasi. Pengkondisian hewan coba
yang dilakukan selama 3 hari tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa
hewan coba benar-benar telah mengalami kondisi kontipasi.
Sebagai pembanding produk serbuk effervescent digunakan suplemen
serat yang banyak beredar di pasaran, yaitu vegeta herbal. Vegeta merupakan
sumpleme alami yang berbahan Plantago ovata dan akar Chicory, dimana
suplemen ini dapat membantu menjaga kesehatan sistem pencernaan pada
tubuh manusia. Jenis suplemen vegeta yang digunakan adalah vegeta herbal
karena fungsi dari suplemen ini adalah melancarkan defekasi yang sudah
bermasalah, apabila digunakan suplemen vegeta jeruk kurang sesuai karena
suplemen tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan serat harian dan bukan
54
membantu melancarkan sistem pencernaan. Suplemen jenis ini memiliki
kemampuan untuk melunakkan feses yang kering serta dapat memperlancar
jalannya feses yang terlanjur macet pada saluran pencernaan dengan cara
memicu pergerakan otot-otot pada usus sehingga ketika motilitas usus tinggi
maka feses akan lebih mudah untuk dikeluarkan.
Salah satu analisa yang dilakukan pada feses hewan coba ini adalah
pengukuran rasio transit gastrointestinal, dimana pada pengukuran rasio transit
gastrointestinal ini akan dibandingkan jarak makanan yang telah melalui usus
dengan panjang usus keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan marker atau
penanda yang akan menandai sejauh mana makanan yang telah melewati usus,
dan hal ini menunjukkan kecepatan makanan untuk melalui usus yang
dipengaruhi oleh motilitas usus. Marker yang digunakan pada penelitian ini
adalah norit. Norit atau karbon aktif merupakan laksansia dengan area kerja yang
luas dan masa kerja yang cepat dapat menyerap bakteri, toksin dan gas, akan
tetapi tidak spesifik sehingga obat, nutrien serta enzim dalam saluran
pencernaan juga akan ikut terserap (Pudjiastuti dan Nugroho, 2006).
Pada penelitian ini hewan coba yang digunakan adalah tikus wistar jantan
dengan usia 2 – 3 bulan yang memiliki berat badan ±200 gram, dimana
penggunaan hewan coba yang berjenis kelamin jantan ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya perubahan kondisi hewan coba yang terpengaruh karena
kondisi hormonal yang dapat mempengaruhi hasil dalam penelitian. Hewan coba
yang digunakan dalam penelitian dipisahkan menjadi 5 kelompok dimana setiap
kelompok terdiri dari 6 hewan coba sehingga jumlah keseluruhan hewan coba
adalah sebanyak 30 ekor. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif yang
tidak dikondisikan konstipasi, hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimana
pengaruh produk terhadap kondisi konstipasi pada hewan coba. Kelompok 2
adalah kelompok yang dikondisikan konstipasi dan tidak diberikan obat untuk
meringankan kondisi konstipasinya. Sedangkan kelompok 3 adalah kelompok
yang dikondisikan konstipasi terlebih dahulu selama 3 hari, kemudian diberikan
produk berupa serbuk effervescent dengan dosis sebesar 0,09 g dimana
penentuan dosis ini berdasarkan dari saran penyajian vegeta untuk orang
dewasa yaitu 5 g. Kelompok 4 juga diberikan serbuk effervescent tetapi dosisnya
dilipatgandakan menjadi 0,18 g per ekor. Kelompok 5 yang merupakan kelompok
pembanding diberikan vegeta dengan dosis 0,09 g. Selama 5 hari perlakuan,
parameter yang diamati adalah profil feses yang meliputi kadar air, berat dan
55
jumlah feses serta uji rasio transit gastrointestinal. Serat yang dapat mengikat air
dapat memperbesar volume feses dan akan menyebabkan efek peregangan
pada usus besar sehingga nantinya akan merangsang hewan coba untuk
defekasi (Wijayanti, 2013).
4.7.1 Pengaruh Pemberian Effervescent Pektin Kulit Pisang Agung Semeru
terhadap Jumlah Feses
Jumlah feses tikus dapat diperoleh dengan cara menghitung butiran feses
yang dikeluarkan tikus setiap 24 jam selama masa perlakuan. Rerata jumlah
butiran feses tikus selama 5 hari perlakuan adalah 38,76 – 48,48 butir feses per
tikus per hari. Kelompok yang mengeluarkan feses paling banyak adalah
kelompok 5 yang diberikan suplemen vegeta herbal, yaitu sebanyak 48,48 butir /
tikus / hari, dimana jumlah ini adalah jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan
kelompok yang lainnya. Sedangkan kelompok yang mengeluarkan feses dengan
jumlah paling sedikit adalah kelompok 1 yang merupakan kontrol negatif.
Hasil analisa ragam (ANOVA) yang disajikan dalam lampiran 10,
menunjukkan bahwa pemberian serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung
Semeru tidak memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap jumlah feses
tikus. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberian serbuk effervescent tidak
berpengaruh terhadap jumlah feses yang dikeluarkan oleh tikus. Tabel 4.8
menyajikan data rerata jumlah feses tikus pada perlakuan yang berbeda.
Tabel 4.8 Rerata Jumlah Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda
Kelompok Rerata Jumlah Feses (Butir/Tikus/Hari)
1 (Kontrol Negatif) 38,76 ± 6,44
2 (Kontrol Positif) 42,84 ± 14,46
3 (Effervescent dosis 1) 41,68 ± 6,62
4 (Effervescent dosis 2) 44,2 ± 7,60
5 (Suplemen Vegeta) 48,48 ± 7,60
Dari Tabel 4.8 diatas dapat dikatakan bahwa pemberian loperamid tidak
dapat mempengaruhi jumlah feses yang dikeluarkan selama defekasi, sehingga
tidak diperlukan adanya uji lanjut. Selain itu, konsumsi serbuk effervescent dan
juga suplemen vegeta juga tidak berpengaruh terhadap jumlah feses yang
dikeluarkan selama defekasi. Jumlah feses yang dikeluarkan oleh hewan coba ini
juga tidak dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan. Hal ini dapat dibuktikan
56
melalui data konsumsi pakan pada penelitian yang dilakukan Fajarwati (2017),
yang menunjukkan bahwa meskipun konsumsi pakannya sedikit, pada kelompok
tertentu feses yang dihasilkan tetaplah banyak. Jumlah pakan yang diberikan
pada kelompok tikus selama 5 hari perlakuan adalah sebesar 15 gram per tikus.
Tabel 4.9 menyajikan data rerata jumlah konsumsi pakan hewan coba selama
masa perlakuan 5 hari.
Tabel 4.9 Rerata Jumlah Pakan Tikus selama Perlakuan
Kelompok Rerata Jumlah Pakan (g)/Tikus/Hari
1 (Kontrol Negatif) 21,95 ± 0,84
2 (Kontrol Positif) 15,85 ± 0,36
3 (Effervescent dosis 1) 20,44 ± 1,39
4 (Effervescent dosis 2) 21,05 ± 0,72
5 (Suplemen Vegeta) 22,79 ± 1,81
Hal yang membedakan feses antar kelompok dapat diamati secara visual
dari ukuran feses itu sendiri, dimana terdapat perbedaan antara ukuran feses
antara kelompok kontrol positif dengan kelompok lain yang diberikan perlakuan
baik dengan serbuk effervescent pektin kulit pisang maupun yang diberi
perlakuan dengan suplemen vegeta. Ukuran feses dari kelompok kontrol positif
terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok yang lain, selain itu feses
dari kelompok ini tidak terlihat mengkilap sebagaimana feses dari kelompok
perlakuan lain terlihat. Hal ini dikarenakan induksi dengan loperamid yang
merupakan obat antidiare menyebabkan penurunan kadar air pada feses
sehingga feses tidak terlihat mengkilap dan juga ukurannya kecil serta keras.
4.7.2 Pengaruh Pemberian Effervescent Pektin Kulit Pisang Agung Semeru
terhadap Berat Feses
Analisa berat feses pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah
massa feses yang dikeluarkan tikus per hari pada masa perlakuan selama 5 hari,
dimana feses tikus diambil setiap 24 jam dan kemudian ditimbang sehingga
dapat diketahui berat dari butiran feses tiap ekor tikus pada kelompok yang
berbeda. Rerata jumlah feses selama masa perlakuan adalah 0,14 gram hingga
0,23 gram per tikus per hari. Berat feses terendah ditunjukkan ditunjukkan oleh
feses tikus dari kelompok 2 yaitu kelompok kontrol positif yang memiliki rerata
berat feses sebesar 0,14 gram per tikus per hari, sebaliknya rerata berat feses
57
tertinggi terdapat pada kelompok kontrol negatif dan kelompok yang diberikan
serbuk effervescent dosis 2 yaitu seberat 0,23 gram/tikus/hari.
Hasil analisa ragam (ANOVA) yang disajikan dalam lampiran 8,
menunjukkan bahwa pemberian serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung
Semeru memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat feses tikus pada taraf
kepercayaan 5%. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberian serbuk effervescent
memiliki pengaruh nyata terhadap berat feses yang dikeluarkan oleh tikus. Tabel
4.10 menyajikan data rerata berat feses tikus pada perlakuan yang berbeda.
Tabel 4.10 Rerata Berat Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda
Kelompok Rerata Berat Feses (g)/Tikus/Hari
1 (Kontrol Negatif) 0,23 ± 0,03 b
2 (Kontrol Positif) 0,14 ± 0,02 a
3 (Effervescent dosis 1) 0,22 ± 0,04 b
4 (Effervescent dosis 2) 0,23 ± 0,07 b
5 (Suplemen Vegeta) 0,21 ± 0,06 b
BNT 0.05 0,03
Dari Tabel 4.10 diatas, menunjukkan bahwa berat feses dari kelompok
tikus yang diberikan perlakuan dengan pemberian serbuk effervescent, kelompok
yang diberi suplemen vegeta maupun kelompok kontrol negatif memberikan
pengaruh berbeda nyata (α = 0,05) dengan perlakuan kontrol positif. Meskipun
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara keempat kelompok, namun dapat
dilihat bahwa berat feses tikus yang diberikan serbuk effervescent dosis 2 lebih
besar jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan serbuk effervescent
dosis 1 maupun kelompok yang diberikan suplemen vegeta. Dari data tersebut
dapat diartikan bahwa pemberian serbuk effervescent dengan dosis yang lebih
tinggi dapat meningkatkan volume feses sehingga berat feses akan bertambah.
Peningkatan berat feses pada kelompok tikus yang diberikan effervescent
dikarenakan kandungan serat yang terdapat didalam produk mampu mengikat air
sehingga volume feses menjadi meningkat dan lunak sehingga mempercepat
kontraksi didalam usus dan memicu keinginan untuk defekasi. Rerata berat feses
tikus yang diberi perlakuan dengan pemberian serbuk effervescent dosis 2
memiliki nilai yang hampir sama dengan rerata berat feses dari tikus kontrol
negatif yang tidak mengalami konstipasi. Dengan kata lain, pemberian serbuk
58
effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru ini efektif untuk membantu
mengurangi gejala konstipasi yang diderita oleh tikus.
Pektin yang merupakan serat larut dapat membentuk gel yang viskos,
sehingga pada saat melewati saluran pencernaan akan dengan mudah
difermentasikan oleh mikrobiota usus (Fairudz dan Nisa, 2015). Karena
kemampuan serat mengikat air seperti yang telah dijelaskan pada poin
sebelumnya, maka feses yang mengandung serat menjadi lebih mudah
dikeluarkan atau dengan kata lain waktu transit makanan didalam usus menjadi
lebih singkat. Dengan demikian, kontak antara zat-zat beracun didalam feses
dengan saluran cerna menjadi lebih singkat, sehingga dapat mencegah
terjadinya penyakit didalam kolon dan rektum (Kusharto, 2006).
Rerata berat feses yang didapatkan dari pemberian suplemen vegeta
herbal pada tikus memiliki nilai yang sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan
kelompok yang diberikan perlakuan pemberian serbuk effervescent pektin kulit
pisang Agung Semeru, yaitu sebesar 0,21 gram per tikus per hari. Walaupun
vegeta herbal diproduksi menggunakan bahan-bahan yang tinggi serat, namun
efek yang ditimbulkan pada setiap individu akan berbeda, sehingga kelompok
tikus yang diberikan perlakuan dengan suplemen vegeta memiliki berat feses
yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan dengan serbuk
effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru.
4.7.3 Pengaruh Pemberian Effervescent Pektin Kulit Pisang Agung Semeru
terhadap Kadar Air Feses
Kadar air pada feses merupakan salah satu parameter yang penting untuk
mengetahui apakah telah terjadi konstipasi pada tikus. Semakin tinggi kadar air
feses menunjukkan bahwa efektifitas serat yang diberikan pada tikus selama
perlakuan semakin tinggi. Pada penelitian ini, kadar air feses didapatkan dengan
menimbang feses sebelum dan sesudah dikeringkan dengan kabinet dryer
dengan suhu ±40℃. Kadar air feses selama perlakuan berkisar pada angka
37,07% - 55,08%, dimana kadar air feses tikus pada kelompok kontrol positif
dengan kadar air sebesar 37,07% sedangkan kadar air feses tertinggi adalah
pada kelompok yang diberikan perlakuan serbuk effervescent dengan dosis 2.
Hasil analisa ragam (ANOVA) yang disajikan dalam lampiran 6,
menunjukkan bahwa pemberian serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung
59
Semeru memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat kadar air feses tikus
pada taraf kepercayaan 5%. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberian serbuk
effervescent memiliki pengaruh nyata terhadap kadar air feses yang dikeluarkan
oleh tikus. Gambar 4.5 menyajikan data rerata berat feses tikus pada perlakuan
yang berbeda.
Gambar 4.5 Rerata Kadar Air Feses Tikus pada Perlakuan yang Berbeda
Berdasarkan pada Gambar 4.5 diatas, uji lanjut yang dilakukan
menunjukkan hasil bahwa pemberian serbuk effervescent pada tikus
memberikan pengaruh yang nyata antara kadar air feses tikus kontrol positif
dengan keempat kelompok tikus lainnya pada selang kepercayaan 5%.
Kelompok kontrol negatif dan kelompok yang diberikan serbuk effervescent dosis
2 tidak berbeda nyata, dimana hal ini dapat dilihat dari notasi yang tercantum.
Namun keduanya berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol positif. Begitu
juga dengan kelompok yang diberikan serbuk effervescent dosis 1 dan kelompok
yang diberikan suplemen vegeta yang menunjukkan perbedaan yang nyata jika
dibandingkan dengan kelompok 2. Dari data yang didapatkan diatas terlihat
bahwa kadar air feses tertinggi berada pada kelompok dengan pemberian serbuk
effervescent dosis 2 yaitu dengan kadar air feses sebesar 55,08%. Peningkatan
kadar air feses tikus berbanding lurus dengan meningkatnya dosis serbuk
effervescent yang diberikan. Selain itu, dapat dilihat pula pada tabel diatas
bahwa kadar air feses tikus yang diberikan perlakuan serbuk effervescent dosis 2
lebih tinggi daripada kadar air feses tikus yang diberikan perlakuan suplemen
54.32 c
37.07 a
50.04 b55.08 c
50.27 b
0
10
20
30
40
50
60
70
Negatif Positif Dosis 1 Dosis 2 Vegeta
Ka
da
r A
ir F
ese
s
Perlakuan
Rerata Kadar Air Feses/Tikus/Hari
60
vegeta, sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian serbuk effervescent pektin
kulit pisang Agung Semeru efektif untuk mengurangi gejala konstipasi pada tikus.
Peningkatan kadar air feses pada kelompok tikus yang diberikan effervescent
dosis 2 dikarenakan kandungan serat yang terdapat didalam produk mampu
mengikat air sehingga volume feses menjadi meningkat dan lunak sehingga
mempercepat kontraksi didalam usus dan memicu keinginan untuk defekasi.
4.7.4 Pengaruh Pemberian Effervescent Pektin Kulit Pisang Agung Semeru
terhadap Rasio Transit Gastrointestinal
Rasio transit gastrointestinal merupakan parameter konstipasi untuk
mengetahui motilitas saluran cerna terutama pada usus halus. Sebelum
dilakukan pengamatan rasio transit gastrointestinal, tikus dipuasakan selama 12
jam tetapi tetap diberikan minum, setelah dipuasakan tikus diberikan perlakuan
sesuai dengan kelompoknya dan didiamkan selama 45 menit dengan tujuan
untuk memberikan waktu pada bahan untuk dapat diserap. Kemudian tikus
disonde menggunakan norit yang berfungsi sebagai marker yang menandai
kecepatan makanan dalam melewati usus halus, setelah 20 menit, tikus dibedah
dan diambil usus halusnya mulai dari pylorus hingga sekum. Rasio transit
gastrointestinal pada kelompok yang diberikan perlakuan bebeda berada pada
kisaran antara 69,22% - 85,88%, dimana nilai rasio transit gastrointestinal
tertinggi diperoleh dari kelompok yang diberikan perlakuan effervescent dosis 2
dan nilai rasio transit gastrointestinal terendah adalah kelompok kontrol positif.
Hasil analisa ragam (ANOVA) pada lampiran 12 menunjukkan bahwa
pemberian serbuk effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru memberikan
pengaruh yang nyata (α = 0,05) pada rerata rasio transit gastrointestinal jika
dibandingkan dengan kelompok 2 yang merupakan kontrol positif. Gambar 4.6
menunjukkan hasil uji lanjut BNT untuk melihat pengaruh antar perlakuan yang
berbeda terhadap rasio transit gastrointestinal.
61
Gambar 4.6 Rerata Rasio Transit Gastrointestinal Tikus pada Perlakuan yang Berbeda
Berdasarkan data yang didapat pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa
rasio transit gastrointestinal kelompok kontrol positif berbeda nyata (α = 0,05)
dengan kelompok negatif. Rasio transit gastrointestinal dari ketiga kelompok
lainnya pun berbeda nyata pada selang kepercayaan 5% jika dibandingkan
dengan rasio transit gastrointestinal pada kelompok kontrol positif meskipun tidak
ada perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok tersebut jika dibandingkan.
Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa rasio transit gastrointestinal pada
kelompok tikus yang diberikan serbuk effervescent dosis 2 memiliki rasio transit
gastrointestinal yang tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok lainnya yaitu
sebesar 85,88%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis serbuk
effervescent maka nilai rasio transit gastrointestinal akan semakin besar juga.
Didalam saluran pencernaan, serat akan menunda waktu pengosongan
lambung sehingga makanan akan lebih lama berada di lambung. Sedangkan
didalam usus halus, serat akan mempercepat waktu transit sehingga dapat
menghindari kontak yang terlalu lama antara feses dengan saluran cerna. Kontak
yang terlalu lama antara feses dengan saluran cerna dapat menyebabkan zat-zat
beracun yang terdapat dalam feses akan terserap sehingga menimbulkan
penyakit pada saluran pencernaan, salah satunya adalah kanker kolon. Oleh
karena itu, serat dapat membantu menghindari kanker kolon karena dapat
mempercepat waktu transit feses didalam usus (Kusharto, 2006).
82.11 b
69.22 a
83.77 b 85.88 b 83.03 b
0102030405060708090
100
Negatif Positif Dosis 1 Dosis 2 Vegeta
Re
rata
Ra
sio
Tra
nsit
G
astr
oin
testi
na
l
Perlakuan
Rerata Rasio Transit Gastrointestinal
Rerata Rasio Transit Gastrointestinal
62
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk effervescent pektin kulit
pisang Agung Semeru dan suplemen Vegeta efektif dalam mengatasi konstipasi
pada tikus wistar jantan yang diinduksi loperamid. Hasil pengujian menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap berat feses, kadar air feses dan rasio transit
gastrointestinal dan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap jumlah feses
tikus. Jika dibandingkan dengan pemberian suplemen vegeta, pemberian serbuk
effervescent pektin kulit pisang Agung Semeru dosis 2 lebih mampu
meningkatkan berat dan kadar air feses serta rasio transit gastrointestinal.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai serbuk effervescent pektin
kulit pisang Agung Semeru (Musa paradisiaca formatypica), mangga Podang dan
daun mint sebagai minuman sumber serat untuk menanggulangi penyakit
degeneratif seperti diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, kolesterol dll.
63
Daftar Pustaka
AACC. 2001. The Definition of Dietary Fiber. Cereal Fds. World
Anonym. 2013. Mengenal Manfaat Daun Mint untuk Kecantikan. Diakses 22
September 2016. <http://perawatan-kulit.com/mengenal-manfaat-
daun-mint-untuk-kecantikan/>
Anshory, H., Syukri, Y., dan Malasari, Y.2007. Formulasi Tablet Effervescent
dari Ekstrak Ginseng Jawa (Tlinum paniculatum) dengan Variasi
Kadar Pemanis Aspartam. Jurnal Ilmiah Farmasi 4 (1)
Azeez, O.S. 2005. Production of Dextrins from Cassava Starch. Leonardo
Journal of Science.
Azis, L. 2015. Potensi Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca) sebagai
Agen Atihiperkolesterolemia pada Model Tikus Wistar Jantan
(Rattus novergicus) Hiperkolesterol. Skripsi. Malang. Universitas
Brawijaya.
Box, G.E.P., and Draper, N.R. 2007. Response Surface, Mixture and Ridge
Analysis, 2nd edition. International Statistical Review.
Buchori, L. 2007. Pembuatan Gula Non Karsinogenik Non Kalori dari Daun
Stevia. Reaktor 11(2): 57
Damanik, D. P., N. Surbakti., R. Hasibuan. Ekstraksi Katekin dari Daun
Gambir (Uncaria gambir roxb) dengan Metode Maserasi. Teknik
Kimia 3(2): 10
Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang. 2015. Luas Panen, Produksi dan Rata-
rata Produksi Tanaman Buah-buahan Tahun 2015. Diakses 19 Juli
2017.<https://lumajangkab.go.id/pertanian2015/Buah%202
015.pdf>
Dwijayanti, R. 2009. Pemanfaatan Natrium Alginat sebagai Fortifikasi Serat
dalam Pembuatan Minuman Serbuk Effervescent Bercitarasa
Jeruk Lemon. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
64
Efendi, Y. 2007. Pisang Agung. Diakses 17 September 2016.
<http://lukopi.blogspot.co.id/2007/12/pisang-agung.html>
Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisang (Kajian
Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam). Skripsi. Malang.
Universitas Brawijaya.
Eva, F. 2015. Prevalensi Konstipasi dan Faktor Risiko Konstipasi pada
Anak. Tesis. Denpasar. Universitas Udayana.
Fairudz, A., K. Nisa. 2015. Pengaruh Serat Pangan terhadap Kadar Kolesterol
Penderita Overweight. Majority 4(8):123 – 124
Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang
Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. Jakarta. UIN Syarif
Hidayatullah.
Fitriani, Vina. 2003. Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari Kulit Jeruk
Lemon (Citrus medica var Lemon). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian
Bogor.
Fajarwati, R. 2017. Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga dan Daun Mint pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi. Skripsi. Malang.
Universitas Brawijaya.
Food Chemical Codex. 1996. Pectin. Diakses 31 Juli 2016.
<http://arjournals.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.bi.20.07
0 151.000435>.
Fowomola, M. A. 2010. Some Nutrients And Antiutrients Contents of Mango
Seed. Journal of Food Science 4(8): 472-476
Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan 2. Tarsito.
Bandung.
Hariyati, M. N. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses
Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa).
Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
65
Haerunnisa. 2008. Analisa Kualitas dan Formulasi Alginat Hasil Ekstraksi
Sargassum filipendula untuk Pembuatan Minuman Suplemen
Serat dalam Bentuk Effervescent. Skripsi. Jakarta. UIN Syarif
Hidayatullah.
Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. Diakses 1 Agustus 2016.
<http://www.herbstreithfox. de/pektin/forschung und entwicklung
/forschung_entwicklung04a.htm>.
Hidayat, F., Rurini R., dan Soebiantoro. 2013. Isolasi dan Karakterisasi
Komponen Minyak Mint dari Daun Mentha arvensis Linn. Hasil
Distilasi Air. Jurnal Murid Kimia, Vol. 2, No. 2: 567-573
Ide, P. 2010. Health Secret of Mango. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin.
Diakses 1 Agustus 2016.
<http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm>.
Jahurul, M. H. A., Zaidul, I. S.M., Ghafoor, K., Al-Juhaimi, F. Y., Nyam, K.L.,
Norulaini, N. A. N., Sahena, F., Omar, A. K. M. 2015. Mango By-
Products And Their Valuable Components. Food Chemistry 183:
173-180
Jurnalis YD, Sarmen S, Sayoeti Y. 2013. Konstipasi pada Anak. CDK-200
40(1):27-31
Kholidah, S., Yuliet., A. Khumaidi. 2014. Formulasi Tablet Effervescent Jahe (Z
Officinale Roscoe) dengan Variasi Konsentrasi Sumber Asam
dan Basa. Online journal of Natural Science 3(3):220
Kumari, K. S., Babu, I. S., and Rao, G. H. 2008. Process Optimization for Citric
Acid Production From Raw Glycerol using Response Surface
Methodology. Indian Journal of Biotechnology 7(1): 496 – 501
Kusharto, C. M. 2006. Serat Makanan dan Peranannya bagi Kesehatan. Jurnal
Gizi dan Pangan 1(2): 45
Loening, B. V. 2007. Prevalence Rates for Constipation and Faecal and
Urinary Incontinence. Arch Dis Child 92(6):486-9.
66
Maulana, S. 2015. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Kulit
Pisang Uli (Musa Paradisiaca L. AAB). Skripsi. Jakarta. UIN Syarif
Hidayatullah.
Maulidiyah., Halimatussadiyah., F. Susanti., M. Nurdin., Ansharullah. 2014.
Isolasi Pektin dari Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) dan
Uji Daya Serapnya terhadap Logam Tembaga (Cu) dan Logam
Seng (Zn). Jurnal Agroteknos 2(4): 115
Montgomery, D. C. 2001. Design and Analysis of Experiments: Response
Surface Method and Designs. New Jersey: John Wiley and Sons,
Inc.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa
Aktif. Jurnal Kesehatan VII(2): 362 - 363
Munir, M. B. 2012. Formulasi Tablet Effervescent Ekstrak Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Skripsi. Jakarta. Universitas
Indonesia.
Musita, N. 2009. Kajian Kandungan dan Karakteristik Pati Resisten dari
Berbagai Varietas Pisang. Teknologi Industri dan Hasil Pertanian
14(1): 68
Naibaho, L. T., Ismed S., Sentosa G. Pengaruh Suhu Pengeringan dan
Konsentrasi Dekstrin terhadap Mutu Minuman Instan Bit Merah.
Rekayasa Pangan dan Pertanian 3(2): 178
Nainggolan, O., dan Adimunca, C. 2005. Diet Sehat untuk Serat. Cermin
Kedokteran no 147
Ongelina, S. 2013. Daya Hambat Ekstrak Kulit Pisang Raja (Musa
paradisiaca var. Raja) terhadap Polibakteri Ulser Recurrent
Aphthous Stomatitis. Skripsi. Surabaya. Universitas Airlangga.
Pramila, D.M., Xavierm R., Marimuthu, K., Kathiresan, S., Khoo, M. L.,
Senthilkumar, M., Sathya, K. And Sreeramanan, S. 2012.
Phytochemical Analysis And Antimicrobial Potential of
67
Methanolic Leaf Extract of Peppermint. Journal of Medicinal Plants
Research Vol. 6(2): 331-335.
Prasetyo, G., I. Z Zumroh., M. Etikasari., R. F. Fajdi., T.D Widyaningsih. 2015.
Pengaruh Pemberian Serbuk Effervescent Berbasis Cincau Hitam
(Mesona palustris BL) terhadap Penurunan Tekanan Darah dan
Kadar Malondialdehid pada Tikus Wistar. Jurnal Pangan dan
Agroindustri 3(1).
Prasetyowati., K.P. Sari., H. Pesantri. 2009. Ektstraksi Pektin dari Kulit
Mangga. Jurnal Teknik Kimia 4(16): 44-45
Pudiastuti, L. dan Tika P. 2013. Pembuatan Dekstrin dari Tepung Tapioka
secara Enzimatik dengan Pemanas Microwave. Teknologi Kimia
dan Industri 2(2): 170
Pudjiastuti., dan Y. A. Nugroho. 2006. Uji Laksatif dan Toksisitas Akut Jus
Daun Pace (Morinda citrifolia L) pada Tikus Putih. Jurnal Bahan
Alam Indonesia 5(1).
Purnamawati, D. 2006. Kajian Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Asam
Sitrat terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi. Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi Pisang.
Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian.
Rachmawaty, N. 2013. Pembuatan Pasta Mangga Podang (Mangifera indica
L) (Kajian Konsentrasi Asam Sitrat dan Gula Pasir). Skripsi.
Malang. Universitas Brawijaya.
Rasquin, A., Di Lorenzo, C., Forbes, D., Guiraldes, E., Hyams, J.S., Staiano, A.
2006. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Child /
Adolescent. Gastroenterology 130(5).
Ratnani, R.D. dan R. Anggraeni. 2005. Ekstraksi Gula Stevia dari Tanaman
Stevia rebaudiana bertoni. Momentum 1(2): 27 – 28
Rizal, M., Yusransyah., S. N. Stiani. 2016. Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak
Etanol 70% Kulit Buah Jengkol (Archidendrom pauciflorum
68
(Benth.) I.C.Nielsen) terhadap Mencit Jantan yang Diinduksi
Oleum Ricini. Jurnal Ilmiah Manuntung 2(2): 134
Rofikah. 2013. Pemanfaatan Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca
Linn) untuk Pembuatan Edible Film. Skripsi. Semarang. Universitas
Negeri Semarang.
Rois, F. 2012. Pembuatan Mie Tepung Kulit Pisang Kepok (Kajian Substitusi
Tepung Kulit Pisang Kepok pada Tepung Terigu dan
Penambahan Telur). Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur. Surabaya.
Santoso, A. 2011. Serat Pangan (Dietary Fiber) dan Manfaatnya bagi
Kesehatan. Magistra no 75.
Sari, P.P.R. 2016. Pengaruh Proporsi Tepung Mengkudu (Morinda citrifolia)
dan Tepung Daun Mint (Mentha cordifolia) serta Konsentrasi
Sukrosa terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik
dari Tablet Herbal Buah Mengkudu. Skripsi. Malang. Universitas
Brawijaya.
Satuhu, S. dan Ahmad S. 2008. Pisang Budidaya, Pengolahan dan Prospek
Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Septiyanti, N. P. 2015. Efek Anti Konstipasi Jelly Drink Cincau Hitam
(Mesona palustris BL) pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi
dengan Loperamid. Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya.
Setyowati, W.T. 2013. Formulasi Biskuit Tinggi Serat (Kajian Proporsi
Bekatul Jagung : Tepung Terigu dan Penambahan Baking
Powder). Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya.
Suarsyaf, H.Z. dan Dyah W.S. 2015. Pengaruh Terapi Pijat terhadap
Konstipasi. Majority 4(9): 98 – 99
Subagyo, P. 2010 Pemungutan Pektin dari Kulit dan Ampas Apel secara
Ekstraksi. Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Sudarmaji, S., B. Haryono., Suhardi. 1997. Prosedur untuk Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
69
Sulihono, A. B. Tarihoran., T.E Agustina. 2012. Pengaruh Waktu, Temperatur,
dan Jenis Pelarut terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Bali
(Citrus Maxima). Jurnal Teknik Kimia 4(18): 5
Sulistyaningrum, F. 2009. Karakterisasi Pektin Kasar dari Limbah Kulit
Pisang (Kajian Varietas dan Jenis Pengendap). Skripsi. Malang.
Universitas Brawijaya.
Tarigan, M ., Kaban, I. M. dan Hanum, Farida.2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit
Buah Pisang Kepok (Musa Paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Edisi Kelima. PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Tjitrosoepomo, G. 2010. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Tuhuloula, A., Lestari B., Etha N. 2013. Karakterisasi Pektin dengan
Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode
Ekstraksi. Konversi 2(1): 22-26
USDA National Nutrient Database. 2016. Mangos Raw. Diakses 10 Juni 2017.
<https://ndb.nal.usda.gov./ndb/foods/show/2271?manu=&fgcd=&ds=>
Wachirasiri, P., Siripan J., Sorada W. 2009. The Effect of Banana Peel
Preparations on the Properties of Banana Peel Dietary Fibre
Concentrate. Songklanakarin Journal of Science and Technology
31(6): 607
Wijayanti, N. 2013. Potensi Muelleri Glukomanan dari Porang sebagai
Prebiotik dan Anti Konstipasi pada Tikus Spraque dawley. Tesis.
Malang. Universitas Brawijaya.
Wyllie R. 2007. Constipation. Nelson Text Book of Pediatrics. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Yuwono, S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Universitas
Brawijaya. Malang
70
Yahido. 2015. Manfaat Buah Mangga untuk Kesehatan. Diakses 22 September
2016. <http://www.yahido.com/2015/11/manfaat-buah-mangga-untuk-
kesehatan.html >