instrumen perc 2

8
Mulawarman Scientifie, Volume 9, Nomor 2, Oktober 2010 ISSN 1412-498X FMIPA Universitas Mulawarman 111 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG, KURVA KALIBRASI DAN UJI PRESISI TERHADAP SENYAWA KOMPLEKS Fe(II) -1,10-FENANTROLIN DETERMINATION OF WAVE LENGTH, CALIBRATION CURVE AND PRECISION TEST TO Fe(II)-1,10-FENANTROLIN COMPLEX COMPOUND Nurlisa Hidayati Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sriwijaya Jln. Raya Palembang- Indralaya Km 32 Ogan Ilir Sumatera Selatan ABSTRACT. The research about determination of wave length, calibration curve and precision test to fe(II) -1,10-fenantrolin complex compound has been done. The aims of this research were the determination of wave length, calibration curve and precision test to Fe(II)-1,10-fenantrolin complex compound. The determination of wave length, calibration curve and precision test to Fe(II)-1,10-fenantrolin complex compound were using spectrometry 20D at wave length (maximum), based on Lambert-Beer law and three times replication of measuring respectively. The result of this research showed that the wave length of maximum absorption Fe(II)- 1,10-fenantrolin complex compound was 510 nm with absorption of 0,230. Correlation coefficient (R) to calibration curve of Fe(II)-1,10 fenantrolin complex compound was 0,999 and the value of % RSD at calibration curve of Fe(II)-1,10 fenantrolin complex compound was under 5 %. Keywords: Fe(II)-1,10 fenantrolin, wave length, calibration curve, precision test PENDAHULUAN Kajian mengenai senyawa kompleks menjadi salah satu perhatian, karena sampai saat ini masih terus berkembang dengan ruang lingkup yang semakin luas. Banyak penelitian tentang senyawa koordinasi yang berhasil diungkapkan dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari (Martak, 2003). Pembentukan senyawa senyawa kompleks Fe(II)- 1,10 Fenantrolin terjadi antara ion logam Fe(II) dengan pereaksi yang biasa digunakan untuk penentuan logam besi adalah ligan yang mengandung gugus –N=C-C=N- yang dikenal dengan ligan α-diimin, karena ligan ini mampu membentuk kompleks berwarna yang cukup stabil. Intensitas warna yang kuat diperoleh dari hasil koordinasinya dengan Fe(II), sehingga ligan organik ini dikenal sebagai feroin. Ligan jenis feroin yang sering digunakan adalah 1,10-fenantrolin. Bila ligan 1,10-fenantrolin bereaksi dengan ion besi, maka akan terbentuk senyawa kompleks yang disebut ferroin berwarna merah dan ditulis [Fe(Phen) 3 ] 2+ agar lebih sederhana. Senyawa kompleks ini cukup stabil dan memiliki intensitas warna yang

description

jurnal ilmiah

Transcript of instrumen perc 2

  • Mulawarman Scientifie, Volume 9, Nomor 2, Oktober 2010 ISSN 1412-498X

    FMIPA Universitas Mulawarman

    111

    PENENTUAN PANJANG GELOMBANG, KURVA KALIBRASI DAN UJI PRESISI TERHADAP SENYAWA KOMPLEKS Fe(II) -1,10-FENANTROLIN

    DETERMINATION OF WAVE LENGTH, CALIBRATION CURVE AND PRECISION TEST TO Fe(II)-1,10-FENANTROLIN COMPLEX COMPOUND

    Nurlisa Hidayati Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sriwijaya

    Jln. Raya Palembang- Indralaya Km 32 Ogan Ilir Sumatera Selatan

    ABSTRACT. The research about determination of wave length, calibration curve and precision test to fe(II) -1,10-fenantrolin complex compound has been done. The aims of this research were the determination of wave length, calibration curve and precision test to Fe(II)-1,10-fenantrolin complex compound. The determination of wave length, calibration curve and precision test to Fe(II)-1,10-fenantrolin complex compound were using spectrometry 20D at wave length (maximum), based on Lambert-Beer law and three times replication of measuring respectively. The result of this research showed that the wave length of maximum absorption Fe(II)-1,10-fenantrolin complex compound was 510 nm with absorption of 0,230. Correlation coefficient (R) to calibration curve of Fe(II)-1,10 fenantrolin complex compound was 0,999 and the value of % RSD at calibration curve of Fe(II)-1,10 fenantrolin complex compound was under 5 %.

    Keywords: Fe(II)-1,10 fenantrolin, wave length, calibration curve, precision test

    PENDAHULUAN Kajian mengenai senyawa kompleks menjadi salah satu perhatian, karena sampai

    saat ini masih terus berkembang dengan ruang lingkup yang semakin luas. Banyak penelitian tentang senyawa koordinasi yang berhasil diungkapkan dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari (Martak, 2003). Pembentukan senyawa senyawa kompleks Fe(II)-1,10 Fenantrolin terjadi antara ion logam Fe(II) dengan pereaksi yang biasa digunakan untuk penentuan logam besi adalah ligan yang mengandung gugus N=C-C=N- yang dikenal dengan ligan -diimin, karena ligan ini mampu membentuk kompleks berwarna yang cukup stabil. Intensitas warna yang kuat diperoleh dari hasil koordinasinya dengan Fe(II), sehingga ligan organik ini dikenal sebagai feroin. Ligan jenis feroin yang sering digunakan adalah 1,10-fenantrolin.

    Bila ligan 1,10-fenantrolin bereaksi dengan ion besi, maka akan terbentuk senyawa kompleks yang disebut ferroin berwarna merah dan ditulis [Fe(Phen)3]2+ agar lebih sederhana. Senyawa kompleks ini cukup stabil dan memiliki intensitas warna yang

  • Nurlisa Hidayati Penentuan Panjang Gelombang, Kurva Kalibrasi dan Uji Presisi

    FMIPA Universitas Mulawarman 112

    kuat (Harjadi, 1992). Dalam penelitian ini dilakukan penentuan panjang gelombang, kurva kalibrasi dan uji presisi terhadap senyawa kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin.

    Senyawa kompleks atau senyawa koordinasi, terbentuk karena adanya ikatan koordinasi antara ion pusat dengan ligan yang mengelilinginya. Ion logam transisi dapat berperan sebagai ion pusat, sedangkan yang bertindak sebagai ligan adalah ion negatif atau molekul yang mempunyai pasangan elektron bebas.

    Dalam teori mengenai struktur logam dalam kompleks dikenal 3 postulat dasar, yang dikemukakan oleh ahli kimia dari Swiss yaitu Albert Werner (1866-1919). Tiga postulat dasar tersebut yaitu : 1. Beberapa ion logam mempunyai 2 jenis valensi yaitu valensi utama dan valensi

    tambahan atau valensi koordinasi. Valensi utama berkaitan dengan keadaan oksidasi ion logam, sedangkan valensi tambahan berkaitan dengan bilangan koordinasi ion logam.

    2. Ion-ion logam cenderung jenuh baik valensi utamanya maupun valensi tambahannya. 3. Valensi koordinasi mengarah ke dalam ruangan mengelilingi ion logam pusat

    (Nuryano, 1999). Werner juga mengemukakan bahwa senyawa kompleks mampu menyerap cahaya

    dengan panjang gelombang tertentu, oleh karena itu spektrumnya dapat diamati secara spektrofotometri serapan. Penyerapan cahaya oleh senyawa kompleks logam transisi ini menunjukkan bahwa ada energi yang diserap, terkait dengan elektron orbital d yang dimiliki oleh ion pusat.

    Besi terletak pada periode ke-4 dan golongan VIII B dalam sistem periodik, mempunyai nomor atom 26 dan berat atom 55,85 g/mol. Besi (Fe) merupakan logam transisi yang dapat terionisasi dalam beberapa bilangan oksidasi, tapi yang paling umum adalah besi dengan bilangan oksidasi +2 dan +3. Fe(II) dan Fe(III) dengan adanya satu ligan dapat membentuk senyawa kompleks.

    Besi yang murni adalah logam yang berwarna putih perak yang kukuh dan liat. Jarang terdapat besi komersial yang murni karena biasanya besi mengandung sejumlah kecil karbida, silida, fosfida dan sulfida serta sedikit grafit. Besi memiliki titik leleh 15350C dan titik didih 27000C (Vogel, 1990).

    Ligan 1,10-fenantrolin seperti dalam gambar 1 atau yang dikenal dengan nama 4,5 diazophenantren monohidrat dengan rumus molekul C12H8N2 adalah suatu ligan dimana pada gugus tersebut terdapat gugus -diimin, berbentuk serbuk kristal berwarna putih yang dapat larut dalam air yang mempunyai titik leleh 93-940C, bersifat higroskopik disimpan dalam N2, tidak dapat bersamaan dengan asam kuat karena merupakan agen oksidasi kuat. Senyawa ini dibuat dari pemanasan campuran senyawa o-fenilendiamin dengan gliserin nitribenzena dan asam sulfat pekat.

    NN

    Gambar 1. Struktur Ligan 1,10-Fenantrolin

  • Mulawarman Scientifie, Volume 9, Nomor 2, Oktober 2010 ISSN 1412-498X

    FMIPA Universitas Mulawarman

    113

    Bila ligan 1,10-fenantrolin bereaksi dengan ion besi, maka akan terbentuk senyawa kompleks yang disebut ferroin berwarna merah dan ditulis [Fe(Phen)3]2+ agar lebih sederhana. Senyawa kompleks ini cukup stabil dan memiliki intensitas warna yang kuat (Harjadi, 1992). Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitans atau absorbansi suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang, di mana pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal dapat pula dilakukan. Instrumen ini dapat dikelompokkan secara manual atau merekam atau pengelompokan lain yaitu berkas tunggal dan berkas rangkap. Spektrofotometer berkas tunggal biasanya dijalankan secara manual dan dimungkinkan untuk merekam suatu spektrum, sedangkan instrumen berkas rangkap umumnya merupakan perekaman automatik terhadap spektra serapan. Metoda spektrofotometer ini didasarkan atas interaksi antara materi dan larutan standar. Suatu spektrofotometer memiliki komponen komponen penting sebagai berikut 1. Sumber energi cahaya

    Sumber energi yang biasa digunakan adalah sebuah lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfram. Keluaran lampu wolfram ini memadai dari sekitar 325 atau 350 nm. Di bawah kira kira 350 nm, keluaran lampu wolfram itu tidak memadai untuk spektrofotometer dan haruslah digunakan sumber yang berbeda. Paling sering adalah lampu tabung tak-bermuatan (discas) hidrogen (atau deuterium) yang digunakan dari kira kira 175 ke 375 atau 400 nm.

    2. Monokromator Monokromator yaitu suatu alat untuk memencilkan pita sempit panjang panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Komponen yang penting dari sebuah monokromator adalah suatu sistem celah dari suatu dispersif. Radiasi dari sumber difokuskan ke celah masuk, kemudian disejajarkan oleh sebuah lensa atau cermin sehingga suatu berkas sejajar jatuh ke unsur pendispersi, yang berupa prisma atau kisi difraksi.

    3. Wadah untuk sampel Pada umumnya spektrofotometer melibatkan larutan dan karenanya kebanyakan wadah sampel adalah sel untuk meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel itu haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektral yang diinginkan; jadi sel kaca yang digunakan untuk daerah tampak, sel kuarsa atau kaca silika tinggi istimewa untuk daerah ultraviolet dan garam dapur alam untuk inframerah.

    4. Detektor Detektor adalah alat untuk mengubah energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik. Detektor dalam suatu spektrofotometer dapat memberikan kepekaan yang tinggi dalam daerah spektral yang diinginkan, respon yang linier terhadap daya radiasi, waktu respons yang cepat, dapat digandakan dan kestabilan tinggi atau tingkat bisingan yang rendah. Detektor fotolistrik digunakan dalam daerah tampak dan UV dan detektor yang didasarkan pada efek termal digunakan dalam inframerah. Detektor fotolistrik yang paling sederhana adalah tabung foton, berupa tabung hampa udara, dengan jendela yang tembus cahaya, yang berisi sepasang elektroda.

    5. Amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik itu bisa dibaca

  • Nurlisa Hidayati Penentuan Panjang Gelombang, Kurva Kalibrasi dan Uji Presisi

    FMIPA Universitas Mulawarman 114

    6. Sistem pembacaan yang menyatakan besarnya isyarat listrik.

    Gambar 2 menjelaskan tentang diagram blok yang menunjukkan komponen-komponen sebuah spektrofotometer berkas tunggal. Anak panah tunggal menunjukkan energi cahaya, anak panah ganda menunjukkan hubungan listrik. Bagian optis dan bagian listrik dari instrumen itu bertemu pada detektor.

    Spektrofotometer yang biasanya digunakan dalam analisis adalah jenis spektrofotometer berkas tunggal yaitu spektronik 20 D. Diagram bagan dari sistem optis spektronik 20 dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.

    Gambar 2. Diagram bagan sistem optis spektronik 20

    Kelinieran dari suatu metode analisis, menyebabkan sifat khusus dari parameter seperti serapan, tinggi puncak, area puncak dan respon sebagai fungsi dari komponen. Dengan menarik hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi akan diperoleh suatu garis lurus. Suatu linieritas dapat dikatakan baik apabila koefisien korelasi (R) mendekati 1. Uji presisi adalah uji kedekatan hasil dari masing-masing replikasi. Penyimpangan yang diperbolehkan terhadap nilai dari masing-masing replikasi dinyatakan sebagai standar deviasi (SD) dan penyimpangan standar relatif (RSD). Metode analisis ini dapat dikatakan teliti dan baik apabila prosentase penyimpangan standar relatif kurang atau sama dengan 5%.

    Uji keberulangan kurva kalibrasi adalah uji presisi yang dilakukan untuk mengetahui apakah kurva kalibrasi yang dibuat dapat dipakai berulang atau tidak untuk beberapa replikasi sampel di bawah kondisi yang sama. Uji keberulangan ini berdasarkan nilai koefisien variasi (kv). Kurva kalibrasi yang dapat dipakai berulang jika nilai kv masih berada di bawah 5%. Variabel yang digunakan untuk uji ini adalah standar deviasi () dari slope (b) dan rata-rata slope. Koefisien variasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini :

    kv =

    x 100%

    METODE Bahan

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektronik 20D, timbangan, hot plate dan alat-alat gelas standar laboratorium. Bahan-bahan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah bufer pH 4,1,10 fenantrolin, etanol absolut, akuades, Ferrous

  • Mulawarman Scientifie, Volume 9, Nomor 2, Oktober 2010 ISSN 1412-498X

    FMIPA Universitas Mulawarman

    115

    amonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O) atau garam mohr, dan asam klorida (HCl) pekat .

    Prosedur Pembuatan Larutan Ditimbang 0,07 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O, dilarutkan dengan sedikit akuades dalam

    labu ukur 100 mL. Kemudian ditambah 2 mL HCl pekat, selanjutnya diencerkan dengan akuades sampai garis tanda. Larutan baku standar Fe2+ dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm dibuat dari pengenceran larutan baku standar ini dengan akuades. Ditimbang 0,0280 g 1,10-fenantrolin, lalu dilarutkan dengan etanol absolut. Kemudian diencerkan dalam labu ukur volume 100 mL sampai garis tanda.

    Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Ke dalam labu ukur 50 mL dimasukkan 10 mL larutan baku standar Fe2+ dengan

    konsentrasi 3 ppm. Kemudian berturut-turut ditambahkan 6,5 mL buffer pH 4, 5 mL larutan fenantrolin 0,001 M dan 1,5 mL akuades. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektronik 20D pada panjang gelombang 400 550 nm.

    Pembuatan Kurva Kalibrasi Ke dalam 5 labu ukur 50 mL dimasukkan masing-masing 10 mL larutan baku

    standar Fe2+ 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm. Kemudian berturut-turut ditambahkan 6,5 mL buffer pH 4, 5 mL larutan fenantrolin 0,001M dan 1,5 mL akuades. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektronik 20D pada panjang gelombang serapan maksimum. Perulangan 3 kali untuk uji presisi dan keberulangan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan cara mengalurkan konsentrasi terhadap absorbansi dan ditentukan persamaan garis lurus serta koefisien korelasinya.

    HASIL DAN PEMBAHASAN Kompleks Fe2+ dengan ligan 1,10-fenantrolin stabil dengan rumus [Fe(Phen)3]2+.

    Pembentukan kompleks Fe2+ dengan fenantrolin ditandai dengan adanya warna oranye pada larutan. Komposisi pembentukan kompleks antara Fe2+ dan fenantrolin adalah 1 : 3 yang dapat dilihat pada gambar 3.

    N

    N

    Fe

    N

    N

    N

    N

    Gambar 3. Struktur senyawa kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin

    Penentuan panjang gelombang serapan maksimum pada kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin didapatkan pada panjang gelombang 510 nm dengan serapan sebesar 0,230.

  • Nurlisa Hidayati Penentuan Panjang Gelombang, Kurva Kalibrasi dan Uji Presisi

    FMIPA Universitas Mulawarman 116

    Penentuan panjang gelombang ini dilihat pada gambar 4. Pemilihan panjang gelombang sebagai panjang gelombang serapan maksimum ditentukan dengan pengukuran serapan pada kisaran panjang gelombang tertentu untuk setiap satuan konsentrasi. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang gelombang yang mempunyai serapan paling besar. Panjang gelombang ini disebut panjang gelombang serapan maksimum ( maks). Panjang gelombang serapan maksimum pada 510 nm untuk seterusnya digunakan pada pengukuran serapan larutan baku standar Fe2+ serta serapan sampel.

    0,000

    0,050

    0,100

    0,150

    0,200

    0,250

    400 410 420 430 440 450 460 470 480 490 500 510 520 530 540 550 560

    Absorbansi

    Panjang gelombang (nm)

    Gambar 4. Hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang

    Pembuatan kurva kalibrasi didasarkan pada hukum Lambert-Beer, dimana absorbansi sebanding dengan konsentrasi. Hubungan antara konsentrasi larutan baku standar Fe2+ dengan absorbansi dapat dilihat dengan menggunakan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dari kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin dapat dilihat pada gambar 5.

    0

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0 1 2 3 4 5

    Konsentrasi (ppm)

    Abs

    orb

    an

    si

    Gambar 5. Kurva kalibrasi Kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin

    Kelinieran suatu kurva kalibrasi dapat diketahui dari nilai koefisien korelasi (R), koefisien korelasi akan sangat bagus apabila nilainya mendekati 1. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS, koefisien korelasi (R) untuk kurva kalibrasi kompleks Fe-fenantrolin didapatkan sebesar 0,999. Hal ini menunjukkan hubungan yang

  • Mulawarman Scientifie, Volume 9, Nomor 2, Oktober 2010 ISSN 1412-498X

    FMIPA Universitas Mulawarman

    117

    sangat erat karena nilainya mendekati 1. Dari kurva kalibrasi dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi maka absorbansi juga semakin meningkat. Linieritas juga dapat dilihat dari nilai R square yang berkisar antara 0-1. Jika nilai R square mendekati 1 maka hubungan antara kedua variabel yaitu absorbansi dan konsentrasi sangat kuat. Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 3 didapatkan R square 0,997.

    Pada penelitian ini dilakukan uji presisi yang bertujuan untuk mengetahui keberulangan suatu pengukuran. Uji presisi dilakukan dengan melakukan replikasi pengukuran sebanyak 3 kali masing-masing untuk konsentrasi 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm larutan baku standar Fe2+ dengan ligan 1,10-fenantrolin. Besarnya presisi (ketelitian) ditunjukkan dengan harga %RSD (relatif standar deviasi) seperti dalam tabel 1.

    Tabel 1. % RSD kurva kalibrasi Fe(II)-1,10 fenantrolin

    Konsentrasi larutan standar Fe2+ (ppm)

    Fe-Fenantrolin

    Standar deviasi %RSD 1

    2

    3

    4

    5

    0,002646 0,004509 0,007550 0,013892 0,016042

    3,675 2,953 3,401

    4,424

    4,065

    Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa semua nilai dari % RSD pada kurva kalibrasi Fe(II)-1,10 fenantrolin berada di bawah 5%. Hal ini menunjukkan presisi pengukuran dalam analisis dikatakan baik dan dapat diterima.

    Uji keberulangan kurva kalibrasi maksudnya adalah untuk menguji apakah kurva kalibrasi harus dibuat secara bersama-sama tiap kali pemeriksaan sampel ataukah cukup hanya satu kali dan kurva kalibrasi tersebut dapat dipakai untuk pemeriksaan sampel seterusnya. Dalam uji keberulangan ini dapat ditentukan dengan menghitung koefisien variasi (kv). Suatu kurva kalibrasi dapat dipakai berulang jika nilai koefisien variasi di bawah 5%, artinya kemiringan dari kurva adalah tetap.

    KESIMPULAN DAN SARAN 1. Panjang gelombang serapan maksimum pada kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin

    adalah 510 nm dengan serapan sebesar 0,230. 2. Koefisien korelasi (R) untuk kurva kalibrasi kompleks Fe(II)-1,10 fenantrolin

    adalah 0,999. 3. Nilai dari % RSD pada kurva kalibrasi Fe(II)-1,10 fenantrolin berada di bawah 5 %.

    .

  • Nurlisa Hidayati Penentuan Panjang Gelombang, Kurva Kalibrasi dan Uji Presisi

    FMIPA Universitas Mulawarman 118

    DAFTAR PUSTAKA Haryadi W., 1992. Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Martak, F, 2003. Sintesis dan Karakterisasi Kompleks Besi (II) dengan ligan Di-2-Piridin

    keton, Majalah IPTEK ITS, Surabaya. Nuryono, 1999. Kimia Koordinasi, Jurusan Kimia FMIPA UGM, Yogyakarta. Vogel., 1990. Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan semimikro, Bagian I, Setiono dkk

    (penerjemah), PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta. Underwood, A.L dan Day, R.A., 1986. Analisis Kimia Kuantitatif, Pudjaatmaka

    (penerjemah), Erlangga, Jakarta.