IMPLEMENTASI PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM …
Transcript of IMPLEMENTASI PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM …
IMPLEMENTASI PENDEKATAN PARTISIPATIF
DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PEDESAAN
DI DESA SAMAULUE KABUPATEN PINRANG
THE IMPLEMENTATION OF PARTICIPATORY APPROACH IN RURAL
INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT AT VILLAGE OF SAMAULUE
PINRANG REGENCY
SUDARMONO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
M A K A S S A R 2 0 0 7
ii
IMPLEMENTASI PENDEKATAN PARTISIPATIF
DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PEDESAAN
DI DESA SAMAULUE KABUPATEN PINRANG
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Administrasi Pembangunan
Konsentrasi
Pemerintahan Daerah
SUDARMONO
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
M A K A S S A R 2 0 0 7
iv
PRAKATA Puji syukur tiada henti-hentinya kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, Tuhan Semesta Alam, yang senantiasa melimpahkan segenap
RahmatNya hingga kami (akhirnya) dapat menyelesaikan tesis ini.
Gagasan untuk mengangkat permasalahan ini tidak lain karena
keprihatinan penulis melihat fenomena eforia pemberdayaan masyarakat
yang malah dimanfaatkan oleh elit pemerintah daerah setempat dalam
mengangkat popularitasnya sebagai “malaikat penyelamat”, namun jauh
dilubuk keprihatinan sang jelata tersimpan harapan yang tidak mendapat
tempat di hati si pemimpin.
Tidak sedikit kendala yang penulis hadapi, namun tidak sedikit pula
pihak yang dengan tulus membantu penulis, hingga tesis ini selesai.
Dalam kesempatan ini, ijinkan penulis menghaturkan terima kasih yang
setulus -tulusnya kepada Ayahanda dan Ibunda penulis yang selalu
memberikan dorongan moril kepada penulis; Rahayu Widyastuti, SE.Ak
atas kesetiaannya mendampingi penulis; segenap kerabat di Pinrang dan
Bandung, terima kasih doanya; Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. Selaku Ketua
Komisi Penasihat dan Dr. Suratman, M.Si, selaku Sekretaris Komisi
Penasihat atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari
mengembangkan minat terhadap penelitian ini hingga selesainya tesis ini.
Terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada Seluruh rekan-rekan
di MPD-UH Angkatan VIII, rekan-rekan purna praja STPDN, “Bhinneka
v
Nara Eka Bhakti..”, serta adindaku tersayang, Ifah dengan Rahim, Hj. Anti
dengan Cunding, Atto’, Emma, Emmi dan Esse.
Akhir kata, terima kasih atas segala perhatian, mohon maaf atas
segenap kekurangan. Tidak banyak yang dapat kami persembahkan bagi
semua pihak yang telah membantu penulis, hanya doa yang dapat penulis
panjatkan, kiranya Allah SWT senantiasa menuntun kita kepada
keridhoannya, Amien.
Makassar, 24 November 2007
SUDARMONO
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Kegunaan Penelitian 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 10
A. Implementasi 10
B. Partisipasi Masyarakat 14
C. Pemberdayaan Masyarakat 18
D. Pembangunan Pedesaan 23
E. Pendekatan Pembangunan Berbasis Masyarakat 25
F. Kerangka Konseptual 28
III. METODOLOGI PENELITIAN 32
A. Jenis dan Desain Penelitian 32
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 32
iii
C. Jenis dan Sumber Data 33
D. Populasi Sampel 34
E. Teknik Pengumpulan Data 35
F. Analisis Data 36
G. Definisi Operasional 38
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 41
1. Gambaran Umum Kabupaten Pinrang 41
2. Deskripsi Kecamatan Lanrisang 52
3. Deskripsi Desa Samaulue 56
B. Deskripsi Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan
Di Desa Samaulue 62
1. Pelaksanaan Program P2D di Desa Samaulue 62
2. Penerapan Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif 69
C. Pengelolaan Pembangunan Infrastruktur di Desa Samaulue 73
1. Tahap Sosialisasi 73
2. Tahap Perencanaan Pembangunan 80
3. Tahap Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur 107
4. Tahap Pemantauan dan Evaluasi 120
D. Faktor-faktor yang menghambat implementasi Pendekatan
Partisipatif dalam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan 129
1. Penerapan Kebijakan yang Tidak Fleksibel terhadap
Kondisi Masyarakat Desa Samaulue 129
iv
2. Perbedaan Persepsi di dalam Masyarakat Desa Samaulue
mengenai Tujuan Pembangunan Desa Samaulue 133
3. Lemahnya Koordinasi Internal Pemerintah Desa 135
V. KESIMPULAN DAN SARAN 140
A. Kesimpulan 140
B. Saran 142
DAFTAR PUSTAKA 146
Lampiran
vi
ABSTRAK
SUDARMONO. Implementasi Pendekatan Partisipatif Dalam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan di Desa Samaulue Kabupaten Pinrang (dibimbing oleh Hasrat Arief Saleh dan Suratman). Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis implementasi pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur pedesaan di Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang dan untuk (2) mengetahui faktor-faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Desa Samaulue,. Sampel ditentukan dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, pengisian kuisioner dan dokumen. Wawancara dilakukan dengan informan memiliki pengalaman pribadi atau terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan di Desa Samaulue. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dan didukung dengan data analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur pedesaan di Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang secara umum belum terlaksana dengan baik. Sosialisasi mengenai pembangunan desa sebagian terlaksana dengan baik. Namun disisi lain, kegiatan sosialisasi belum mampu menciptakan persepsi yang sama di tengah masyarakat Desa Samaulue. Pada tahap perencanaan, masyarakat Desa Samaulue cukup antusias mengikuti kegiatan. Pada tahap pelaksanaan pembangunan, masyaraka t hanya terlibat pada awal pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pada tahap pemantauan dan evaluasi,masyarakat tidak terlalu memperdulikan tahapan ini. Faktor-faktor yang menghambat partisipasi masyarakat Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang dalam pembangunan infrastruktur pedesaan adalah (a) Penerapan Kebijakan yang tidak fleksibel terhadap kondisi masyarakat Desa Samaulue; (b) Perbedaan persepsi terhadap tujuan pembangunan Desa samaulue di dalam masyarakat Desa Samaulue; serta (c) Lemahnya koordinasi internal antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa yang lain.
vii
ABSTRACT
SUDARMONO. The Implementation of Participatory Approach in Rural Infrastructure Development in Village of Samaulue, Sub District of Lanrisang, Regency of Pinrang (supervised by Hasrat Arief Saleh and Suratman). This research aimed to (1) analyze the implementation of participatory approach in rural infrastructure development in Village of Samaulue, Regency of Pinrang and to (2) find out inhibiting factors of the citizen participation in infrastructure development in Samaulue Village .
This research is descriptive research with quantitative approach. The research was carried out in Samaulue Village. The sample was selected using Purposive Sampling. Datas were collected through interviewing, observation, questionnaire and documentation. Interviewing was done to the informans whose personal experiences of involved directly in Village of Samaulue rural infrastructure development. Data was qualitatively analyzed and supporting by descrip tive analyzing data. The result of research shows that the implementation of participatory approach in rural infrastructure development in Village of Samaulue, Regency of Pinrang generally didn’t running well. The socialization of development affairs didn’t running well. In planning phase, citizen of Samaulue village mostly payed enough attention to be involved.In execution phase, citizen only involved at the beginning. Their participation didn’t running well, however it’s should need additional labor from outside of Samaulue village. As well as the execution, the monitoring and evaluating phase, citizen was indifferent of it. The obstacles that constraint the citizen participation are (a) the policy implementation which didn’t flexible against the condition of Samaulue citizen; (b) The perception difference to the development goals in the middle of citizen; and (c) The weakness of internal coordination between Head of Samaulue village and his staffs.
viii
DAFTAR TABEL
No
Hal
1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Pinrang Tahun 2006
43
2 Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Pinrang Tahun 2006
44
3 Persentase PDRB Persektor Tahun 2006
45
4 Perkembangan PDRB Kabupaten Pinrang Tahun 2002 – 2006
45
5 Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut lapangan usaha Kabupaten Pinrang atas dasar harga berlaku dan harga konstan Tahun 2002 – 2006
46
6 PDRB Perkapita atas dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Kabupaten Pinrang Tahun 2002 s/d 2006
47
7 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan
Lanrisang Tahun 2006
55
8 Penduduk Desa Samaulue dirinci menurut Jenis Kelamin Tahun 2006
58
9 Penduduk Desa Samaulue dirinci menurut Klasifikasi Usia Tahun 2006
59
10 Penduduk Desa Samaulue menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
60
11 Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam sosialisasi kegiatan pembangunan infrastruktur desa
76
12 Pemahaman masyarakat akan pentingya peran mereka dalam pembangunan Desa Samaulue
78
13 Rekapitulasi Daftar Usulan Program Desa Samaulue Tahun 2007
88
ix
14 Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam perencanaan dan penyusunan rencana kegiatan pembangunan di tingkat desa
89
15 Rekapitulasi Daftar Pendek (Short List) usulan Des a / Kelurahan Hasil UDKP Kecamatan Lanrisang
103
16 Partisipasi masyarakat Desa Samaulue dalam mengusulkan hasil musbangdes untuk diprioritaskan dalam UDKP di tingkat Kecamatan Lanrisang
104
17 Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi fisik infrastruktur
114
18 Peran pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue
118
19 Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan program pembangunan
124
20 Persepsi masyarakat mengenai tanggapan atas pengaduannya
127
21 Penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue
131
22 Tingkat koordinasi internal antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa yang lain
137
x
DAFTAR GAMBAR No. Hal.
1. Kerangka Konseptual 31
2. Peta Administratif Kabupaten Pinrang
42
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Kuisioner
3. Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Kabupaten Pinrang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana
tercermin sejak UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU
No. 32 Tahun 2004 telah memberikan kewenangan yang semakin luas
kepada pemerintah daerah. Kebijakan tersebut juga menuntut berbagai
perubahan dalam sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu
perubahan tersebut adalah dalam sistem dan mekanisme perencanaan
pembangunan nasional yang lebih bersifat desentralistik.
Sesuai dengan perubahan tersebut saat ini telah dihasilkan suatu
perundang-undangan, yaitu UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Hal ini secara umum bertujuan
untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan adanya suatu sistem
perencanaan pembangunan nasional yang lebih demokratis,
desentralistik, sinergis, komprehensif dan berkesinambungan.
Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program
pembangunan kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top down).
Pendekatan ini kemudian diubah dan dikembangkan dengan
menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat
pengembangan (bottom up). Pendekatan tersebut lebih bersifat
memberdayakan masyarakat, yaitu model “pemberdayaan masyarakat”.
2
Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan
pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan
kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk
memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya,
menggunakan dan mengakses sumber daya setempat sebaik mungkin,
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses yang berjalan terus
menerus dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat
serta meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut masyarakat
bersama-sama:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya.
2. Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian.
3. Menerapkan rencana tersebut
4. Secara terus menerus memantau dan mengkaji proses dan
hasil kegiatannya (Adimihardja:2004)
Pemberdayaan masyarakat kerapkali dilakukan melalui pendekatan
kelompok dimana anggota kelompok bekerja sama dan berbagi
pengalaman dan pengetahuannya.
Salah satu implementasi keterlibatan masyarakat adalah
perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif adalah suatu tahap
proses pemberdayaan masyarakat yang dimulai dengan kajian keadaan
pedesaan secara partisipatif yang didapat dari informasi yang
dikumpulkan. Perencanaan partisipatif bermanfaat bagi masyarakat untuk
3
mengarahkan kegiatan atau program kerja mereka dan juga untuk
mengukur keberhasilan kegiatan atau program tersebut. Kalau
masyarakat sendiri berpartisipasi dalam melaksanakan proses
perencanaan secara partisipatif, maka kegiatan selanjutnya dilaksanakan
atas kemauan masyarakat sendiri sehingga akan menjadi salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan pelaksanaannya.
Pelaksanaan pembangunan masih dihadapkan pada
perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa yang relatif
tertinggal. Pada saat bersamaan, tuntutan pemberdayaan masyarakat
agar mewarnai program pembangunan juga menjadi ketat, sehingga
pemerintah menjalankan program yang berpihak kepada masyarakat
yang dijiwai semangat pemberdayaan. Sementara itu problem terbesar di
perdesaan adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sosial
ekonomi paling dasar yaitu prasarana transportasi (jalan, jembatan), air
bersih serta pendukung produksi (saluran irigasi tersier).
Dengan kondisi tersebut, maka dimunculkanlah beberapa
program-program pemerintah. Salah satu yang paling berkaitan dengan
pengembangan infrastruktur desa adalah Program Pengembangan
Prasarana Perdesaan (P2D). Program P2D adalah program yang
dilaksanakan dalam penyediaan pengembangan prasarana perdesaan.
Program P2D menerapkan pendekatan partisipatif (paticipative
proces) jika dilihat dari mekanisme pelaksanaannya. Mekanisme
pelaksanaan program P2D melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang
4
dimulai dari proses sosialisasi, pengambilan keputusan mengenai apa
yang akan dibangun, perencanaan program, pelaksanaan program,
pemanfaatan dan pemeliharaan hasil kegiatan, pemantauan kegiatan.
Dengan adanya program ini diharapkan dapat memberdayakan
masyarakat, mengurangi kemiskinan di perdesaan, meningkatkan
kemampuan masyarakat dan kelembagaan masyarakat dalam mengelola
pembangunan, menciptakan lapangan kerja, menyediakan prasarana
perdesaan, memperkuat kemampuan aparat dalam memfasilitasi
masyarakat dalam pengelolaan pembangunan.
Desa Samaulue merupakan salah satu desa yang terdapat di
Kecamatan Lanrisang Kabupaten Pinrang. Program Pengembangan
Prasarana Perdesan (P2D) di Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang,
dimulai sejak tahun 2000 ( sosialisasi dan perencanaan program). Peneliti
memilih desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena wilayahnya yang
cukup luas dan representatif terhadap karakteristif wilayah pertanian
Kabupaten Pinrang secara umum.
Kondisi geografis desa yang cukup luas menyebabkan munculnya
wilayah-wilayah yang terisolasi. Hal itu juga akibat kurangnya sarana
prasarana jalan, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
rendah, sebagian besar masyarakatnya miskin serta kemampuan aparat
dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan yang masih rendah.
Pendekatan pembangunan di desa selama ini dilakukan melalui beberapa
tahapan. Tahapan – tahapan tersebut terdiri atas tahap sosialisasi
5
program, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan pembangunan
prasarana, tahap pemanfaatan dan pemeliharaan, serta tahap
pemantauan dan evaluasi.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan tersebut ditandai
dengan rendahnya aktifitas perekonomian, kurangnya kesempatan kerja,
yang mempengaruhi daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
dasar, kurangnya sarana dan prasarana desa dan keterisolasian
masyarakat desa. Rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat
pedesaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga
atau masyarakat yang mempengaruhi kapasitas individu, keluarga dan
kelompok masyarakat yang melakukan interaksi sosial dan proses
produksi, struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar
lapangan usaha dan pendapatan rumah tangga atau masyarakat, potensi
daya dukung regional yaitu sumber daya alam dan kelembagaan sosial
ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial dan jaringan kerja
produksi dan pemasaran. Dengan kondisi ini dibutuhkan suatu program
yang bersifat terpadu dalam bentuk penguatan potensi sosial ekonomi
masyarakat di pedesaan.
Program ini merupakan salah satu upaya pemberdayaan
masyarakat di Desa Samaulue, karena masyarakat diberi kesempatan
yang besar untuk ikut aktif dalam implementasinya. Hasil pelaksanaan
P2D antara lain telah tersedianya sarana dan prasarana desa terutama
sarana jalan yang memungkinkan aksesibilitas dan mobilitas ekonomi
6
masyarakat makin meningkat. Agar sarana yang ada terpelihara dengan
baik dan lestari, masyarakat setempat membentuk suatu kelompok
tersendiri yang menangani pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada.
Pendekatan yang dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat
saat ini adalah pendekatan partisipatif. Partisipatif dapat diartikan sebagai
kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan
kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan dirinya
sendiri dan juga merupakan dana yang dihemat sebagai sumbangan
masyarakat desa terhadap pembangunan di desanya (Mubyarto, 1998).
Hal ini seiring dengan bergesernya pendekatan pembangunan dari
pendekatan dari atas yang sentralistik (top down) ke pendekatan berbasis
masyarakat yang partisipatif (bottom up). Dalam pembangunan yang
berbasis partisipatif pemerintah lebih banyak dituntut untuk menampakkan
diri sebagai fasilitator atau pencipta iklim bagi perkembangan
pembangunan yang kondusif dan tidak lagi menjadi pelaku langsung
dalam pembangunan. Dalam kaitan dengan program pembangunan,
masyarakatlah yang merencanakan kegiatan, menentukan kegiatan,
melaksanakan kegiatan, mengevaluasi dan menilai kegiatan, menikmati
dan mengembangkan hasil serta menjaga kelestarian program (Ndraha,
1987: 103-104).
Pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan pembangunan
infrastruktur pedesaan telah disadari sebagai suatu pendekatan yang
harus dikedepankan. Namun kenyatan di lapangan masih ditemui
7
berbagai kendala seperti pemanfaatan sumber daya lokal dilokasi
pelaksanaan proyek, pelibatan masyarakat lokal tidak optimal, kurangnya
koordinasi antara pelaku utama, kurang berfungsinya pemantauan dalam
pelaksanaan, tidak transparannya pelaksanaan di lapangan, prasarana
yang sudah dibangun tidak terpelihara dengan baik.
Faktor lain yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
program pembangunan infrastruktur pedesaan adalah faktor
kepemimpinan kepala desa. Kepala desa memiliki kewenangan yang
besar dan legitimasi yang kuat dalam konteks pemerintahan desa karena
ia dipilih langsung oleh masyarakat. Di desa Samaulue, kepala desa
masih memegang peran yang penting. Selain itu, dukungan masyarakat
Desa Samaulue terhadap kepala desanya cukup besar karena dianggap
memiliki akses yang kuat dengan pimpinan di pemerintahan Kabupaten
Pinrang dan di Kecamatan Lanrisang. Persoalan baru kemudian muncul
ketika adanya anggapan bahw a cukuplah kepala desa yang mengatur
urusan pembangunan desa, sehingga partisipasi masyarakat tetap
bergantung pada kepala desa.
Sementara itu, kebijakan Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun
2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif belum tersosialisasi
secara efektif, sehingga memunculkan anggapan yang beragam tentang
pengelolaan pembangunan desa. Hanya sebagian kecil masyarakat di
Desa Samaulue yang mengerti dan memahami pesan yang terkandung
dalam perda tersebut.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi pendekatan partisipatif dalam
pembangunan infrastruktur pedesaan di Desa Samaulue
Kecamatan Lanrisang?
2. Faktor apa saja yang menghambat partisipasi masyarakat Desa
Samaulue Kecamatan Lanrisang dalam pembangunan
infrastruktur pedesaan?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis implementasi pendekatan partisipatif dalam
pembangunan infrastruktur pedesaan di Desa Samaulue
Kecamatan Lanrisang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat partisipasi
masyarakat Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang dalam
pembangunan infrastruktur pedesaan.
9
D. Kegunaan penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi informasi balik
dalam mengkaji program-program pembangunan yang
mengutamakan partisipasi masyarakat.
2. Secara akademis, diharapkan menjadi bahan referensi dan
informasi bagi mereka yang ingin mendalami dan meneliti lebih
lanjut tentang penerapan pendekatan partisipatif dalam
pembangunan.
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Implementasi
Pentingnya partisipasi dalam konteks good governance merupakan
jastifikasi program-program pembangunan saat ini. Dalam berbagai
wujudnya, kebijakan publik dapat berupa program-program pembangunan
sebagaimana dikatakan oleh Harold Lasswell dan Abraham Kaplan dalam
Mifta Thoha (1992: 48), bahwa kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu
program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktika-
praktika. Dalam konteks sistem kebijaksanaan negara Indonesia sendiri,
program-program pembangunan termasuk di dalam klasifikasi Manajemen
Analisa dan Perumusan Kebijaksanaan (Tjokroamidjojo dan
Mustopadidjaja, 1998: 71). Sementara Implementasi menurut Salusu
(1996: 409) adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu
keputusan, atau dengan kata lain sebagai operasionalisasi dari berbagai
aktifitas guna mencapai sasaran tertentu.
Van Meter dan Van Horn (dalam Syahriani, 2000: 63) merumuskan
proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Mazmanian dan
Sabatier (Syahriani, 2000: 62) menjelaskan bahwa implementasi adalah
kegiatan yang dilakukan sesudah disahkan pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk
11
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat (dampak
nyata dalam masyarakat atau kejadian-kejadian). Jadi secara singkat bisa
dikatakan bahwa implementasi itu sebetulnya adalah cara-cara
bagaimana tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran sebagaimana yang
termuat dalam kebijaksanaan negara diwujudkan.
Selain itu, Abdullah (1985) mengatakan bahwa dalam proses
implementasi kebijaksanaan sekurang-kurangnya terdapat 3 unsur yang
mutlak penting, yaitu: (1) adanya program (kebijaksanaan) yang
dilaksanakan, (2) target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut,
perubahan atau peningkatan, dan (3) unsur pelaksana, baik organisasi
maupun perorangan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan,
pelaksanaan dan pengawasan dalam proses implementasi tersebut.
Warwich (1975) dalam Abdullah (1985: 101) menyatakan bahwa
pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor
yang mendorong atau memperlancar maupun kekuatan yang
menghambat atau memacetkan program. Dalam kondisi yang
menyebabkan keberhasilan suatu kebijaksanaan (faktor pendorong)
mencapai sasaran disebut “ facilitating conditions”, yang terdiri dari (1)
komitmen pimpinan politik, (2) kemampuan organisasi, (3) komitmen para
pelaksana, (4) dukungan dari kelompok kepentingan (partisipasi).
Sedangkan faktor atau kondisi yang menghambat pencapaian program
disebut “impending conditions” yang meliputi (1) banyaknya aktor yang
12
terlibat, (2) terdapat komitmen atau loyalitas ganda, (3) kerumitan yang
melekat pada proyek itu sendiri (instrinsc complexity), dan (4) jenjang
pengambilan keputusan yang terlalu banyak, dan berbagai faktor lain
serta masalah waktu dan perubahan kepemimpinan.
Hasil penelitian Nur (2003), menunjukkan bahwa implementasi
program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) di Kecamatan
Mattiro Sompe Kabupaten Pinrang secara umum belum terlaksana
dengan baik, meskipun semua fase-fase yang harus dilalui sudah
terlaksana dengan melibatkan masyarakat lokal. Namun salah satu fase
belum terlaksana dengan baik yakni pada fase pembentukan kelompok
pemanfaatan dan pemelihara tidak dilengkapi dengan program kerja.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
implementasi adalah proses penerapan kebijakan yang meliputi
sosialisasi program, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan
pembangunan prasarana, tahap pemanfaatan dan pemeliharaan serta
tahap pemantauan dan evaluasi. Dalam implementasi suatu program
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor pendukung maupun
faktor penghambat.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses
implementasi kebijakan dengan pendekatan partisipatif dalam
pembangunan infrastruktur adalah variabel bebas yang diperoleh dari
pengembangan dan penggabungan beberapa model yang disesuaikan
dengan kondisi real yang terjadi di lokasi penelitian.
13
Sabatier dan Mazmanian (Wahab, 2001) mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan dari keseluruhan
proses implementasi kebijakan yaitu : (1) Karakteristik masalah seperti
ketersediaan teknologi dan teori teknis, keragaman perilaku kelompok
sasaran, prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk,
ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan, (2) kemampuan
kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, seperti kejelasan
dan konsistensi tujuan, teori kausal yang memadai, sumber keuangan
yang mencukupi, integrasi organisasi pelaksana, diskresi pelaksana,
rekruitmen pejabat pelaksana, akses formal pihak luar, (3) Faktor-faktor
yang diluar peraturan seperti kondisi sosial ekonomi, dukungan publik,
sikap dan sumber daya, dukungan kewenangan, komitmen dan
kemampuan pejabat pelaksana. Menurut Grindle (1980) dalam Nugroho
(2004:174) keberhasilan suatu proses implementasi salah satunya
dipengaruhi oleh daya tanggap oleh kelompok sasaran. Menurut
Hoogwood dan A.Gun (1978) dalam Nugroho (2004:170), salah satu
syarat berhasilnya suatu proses implementasi adalah pemahaman yang
mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Menurut Warwich (1975)
dalam Abdullah (1985:101), terhambatnya suatu proses implementasi
disebabkan oleh terdapatnya loyalitas ganda.
Selain itu, Donald J. Calista (1994) dalan Nugroho (2004:181)
mengatakan bahwa efektifitas dari suatu implementasi harus memenuhi
syarat lingkungan. Calista (1994) menjelaskan syarat lingkungan yang
14
dimaksud adalah lingkungan eksogen yang terdiri atas public opinion yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan dan
interpretive institutions yang berkenaan dengan interpretasi dari lembaga-
lembaga srtategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok
penekan dan kelompok kepentingan dalam menginterpretasikan kebijakan
dan implementasi kebijakan.
B. Partisipasi Masayarakat
Partisipasi merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan
peran pihak lain, juga partisipasi merupakan suatu perhatian mendalam
mengenai perubahan yang akan dihasilkan oleh suatu kegiatan yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Partisipasi juga merupakan
kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain
untuk suatu kegiatan. Menurut Davis dan Newstrom (1998:79) partisipasi
diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam
situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi
kepada tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan
itu. Ada tiga gagasan penting dari definisi tersebut yakni keterlibatan,
kontribusi, dan tanggung jawab.
Menurut Stephenson dalam Kadang (2001: 7) mengemukakan
bahwa partisipasi adalah kerjasama dari semua yang terkait, merupakan
suatu arena dimana terjadi negosiasi. Harapan-harapan, persepsi-
persepsi, serta sistem komunikasi akan mempengaruhi perilaku dan cara
15
orang menginterpretasi apa yang dikehendaki oleh pemimpin. Slamet
(1989:23-24) mengusulkan bahwa partisipasi masyarakat dapat
diklasifikasikan atas partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Masyarakat
dikatakan melakukan partisipasi aktif jika mereka terlibat dalam
pembuatan keputusan dan atau pelaksanaan keputusan pembangunan.
Sedangkan partisipasi pasif jika keterlibatan tersebut tidak langsung.
Sementara Cohen dan Uphoff (1977:6), mengemukakan empat
jenjang partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan sekaligus
merupakan dimensi dari partisipasi yaitu: partisipasi dalam pembuatan
keputusan (perencanaan pembangunan), partisipasi dalam kegiatan
pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil, dan partisipasi dalam
kegiatan evaluasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka pengertian
partisipasi dapat disimpulkan sebagai bentuk keterlibatan individu atau
kelompok dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan serta pemantauan dan evaluasi, baik secara aktif maupun
pasif.
Dalam pelaksanaan pembangunan, berbagai bentuk partisipasi
dapat diberikan oleh anggota masyarakat antara lain: tenaga, buah pikiran
atau gagasan, dana, materi, waktu dan keterampilan. Besarnya
prosentase dari masing-masing bentuk partisipasi tergantung pada jenis
dan sifat kegiatan. Selain itu partisipasi masyarakat seringkali juga
menunjukkan kelas atau tingkat sosial dari masyarakat yang
16
berpartisipasi. Pada masyarakat yang termasuk kalangan ekonomi lemah
kecenderungan berpartisipasi dalam bentuk tenaga, sedangkan pada
masyarakat yang tergolong tingkat sosial ekonomi menengah dan atas
biasanya berbentuk uang, materi, ide.
Menurut Ndraha (1987), bentuk partisipasi dapat berupa: (1)
partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik
awal perubahan sosial; (2) partisipasi dalam memperhatikan/menyerap
dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima
(mentaati, mematuhi, melaksanakan) mengiakan, menerima dengan
syarat maupun dalam arti menolaknya; (3) partisipasi dalam perencanaan
pembangunan, termasuk pengambilan keputusan, partisipasi dalam
operasional pembangunan; (4) partisipasi dalam menerima, memelihara,
mengembangkan hasil pembangunan; (5) partisipasi dalam menilai
pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauhmana
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauhmana
hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sementara menurut Tikson (2000), bentuk-bentuk partisipasi yakni:
Pertama, Inisiated participation . Adalah partisipasi yang diciptakan oleh
masyarakat sendiri (swakarsa). Inisiatif untuk berpartisipasi datang dari
mereka, tanpa distimulasi oleh pihak lain. Dengan kata lain mereka
bertindak sendiri untuk kepentingan mereka. Kedua, Facilitated
participation. Adalah dalam bentuk partisipasi yang diciptakan oleh pihak
lain, seperti LSM, pemerintah, atau penyandang dana lembaga atau
17
organisasi luar menstimulasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kelompok. Dalam hal ini pihak luar melakukan intervensi untuk
menciptakan kesadaran dan memotivasi masyarakat dalam memecahkan
masalah mereka. Ketiga, Co-opted participation . Adalah bentuk partisipasi
yang dipaksakan oleh pihak luar, biasanya oleh LSM atau organisasi
pemberi dana. Dalam pelaksanaannya, biasanya masyarakat dilibatkan
melalui persuasi dan imbalan. Partisipasi jenis ini tidak digerakkan oleh
kebutuhan masyarakat. Keempat, Induced participation. Bentuk partisipasi
ini biasanya dilakukan dan diatur oleh Pemerintah dan/atau lembaga-
lembaga yang terkait. Dalam kegiatan ini biasanya dilakukan melalui
propaganda dan imbalan agar masyarakat mau berpartisipasi dalam
program pemerintah.
Berbagai hasil penelitian tentang partisipasi masyarakat seperti
penelitian Patonangi (2001), mengatakan bahwa partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan program PDMD-KE di Kabupaten Pinrang
menunjukkan tingginya partisipasi pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan, tetapi pada saat pelestarian mulai berkurang karena kurang
intensifnya pemerintah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat.
Demikian juga hasil penelitian Maggalatung (2002), tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Program PPK di Kabupaten Wajo menunjukkan tingkat
partisipasi pada saat perencanaan dan pelaksanaan tinggi, tapi pada
pelestarian berkurang.
18
C. Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment)
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan
sebuah konsep dan kerangka yang ditujukan untuk mengikis fenomena
kemiskinan dan mempromosikan keadilan serta keberlanjutan dalam
pembangunan masyarakat. Pemberdayaan tidak terlepas dari partisipasi
masyarakat. Konsep pembangunan masyarakat (community development)
partisipasi masyarakat menjadi pusat perhatian. Menurut Davis dan
Newstrom (1998:79) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan mental
dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong
mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan
berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan itu. Ada tiga gagasan penting
dari definisi tersebut yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
Selanjutnya Cohen dan Uphoff (1977:6), mengemukakan empat
jenjang partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan sekaligus
merupakan dimensi dari partisipasi yaitu: partisipasi dalam pembuatan
keputusan (perencanaan pembangunan), partisipasi dalam kegiatan
pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil, dan partisipasi dalam
kegiatan evaluasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka pengertian
partisipasi dapat disimpulkan sebagai bentuk keterlibatan individu atau
kelompok dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan/pemeliharaan serta pemantauan dan evaluasi, baik secara
aktif maupun pasif.
19
Pemberdayaan masyarakat merupakan model alternatif yang dapat
memecahkan masalah kemiskinan yang belum terjawab oleh pendekatan
pembangunan sebelumnya. Pemberdayaan masyarakat merupakan
partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pembangunan
(perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi) sebagai titik
sentral dari usaha-usaha pemakmuran masyarakat setempat, melalui
pemberdayaan sehingga menjadi dasar pembangunan berkelanjutan.
Menurut Ohama (2000), pemberdayaan masyarakat dapat melalui:
Pertama, penyadaran sosial (social conscietization). Pada masyarakat
perlu ditanamkan kesadaran kritis tentang potensi mereka miliki untuk
bisa mengakses sejumlah daya pada ruang sosial, ruang politik maupun
ruang psikologis. Bahwa kemiskinan yang mereka alami bukanlah
sepenuhnya karena ketidakmampuan yang melekat pada diri mereka,
melainkan karena bekerjanya struktur yang merampas daya kemampuan
mereka dimana daya tersebut bisa diperoleh kembali bila dikalangan
mereka ditanamkan kesadaran untuk memperjuangkannya.
Kedua, pengorganisasian masyarakat (community organizing).
Masyarakat perlu memiliki wadah untuk memperjuangkan/merebut
kembali sejumlah daya yang terampas. Wadah tersebut adalah
organisasi, karena melalui organisasi potens i mereka bisa disatukan,
saling konsultasi dan tukar pengalaman bisa berlangsung. Organisasi
dimaksud adalah organisasi masyarakat itu sendiri atau Civil Social
society Organizations (CSOs), organisasi yang lahir dari tubuh
20
masyarakat sendiri, berbasis pada prinsip dan pemilikan asset kolektif
dalam masyarakat, yang pada gilirannya menciptakan jaringan-jaringan
antar organisasi diantara mereka.
Melalui kesadaran kritis organisasi yang terbentuk, masyarakat
diasumsikan dapat memperjuangkan daya sosial, daya politik, dan daya
psikologis mereka secara bertahap dan gradual. Dilihat dari prosesnya
pemberdayaan masyarakat berlangsung secara partisipatoris, dalam arti
masyarakat sendiri menjadi pelaku utama dari agenda-agenda perbaikan
kehidupan melalui wadah organisasi mereka, dimana dalam proses
tersebut daya kemampuan mereka akan terus meningkat sebagai hasil
dari proses hasil belajar melalui pengalaman (experience based learning
process). Dengan pendekatan partisipatoris, pihak-pihak di luar
masyarakat hanya berfungsi sebagai fasilitator, pendukung dan penguat
dari experience based learning process yang berlangsung. Hakekat dari
pendekatan partisipatoris adalah proses belajar berdasarkan
pengalaman. Melalui proses ini diharapkan adanya peningkatkan
kemampuan (capability building ) dan penguatan kelembagaan
(institutional strenghtening) akan berlangsung, sehingga pada gilirannya
masyarakat akan dapat tampil sebagi pelaku utama bagi pembangunan
untuk dirinya sendiri. Peningkatan dan penguatan inilah yang menjadi
fokus sebenarnya dari pemberdayaan masyarakat.
Proses pembangunan masyarakat dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut: pertama, Self help
21
approach, dengan asumsi bahwa dengan bekerjasama dalam collectiv
action masyarakat akan meningkatkan dan memperbaiki kondisi sosial
ekonominya. Dalam pendekatan ini masyarakat mampu mendefinisikan
dan memecahkan masalahnya yang dibantu oleh agen pembaharu
(change agent) yang berfungsi sebagai fasilitator (Littrell dan Hobs dalam
Cristensen dan Robinson, 1989:48-67).
Kedua, technical assistance aproach, dengan asumsi dibalik
bantuan teknis atau bantuan perencanaan adalah bahwa struktur dapat
memperbaharui perilaku. Para agen pembangunan bekerja untuk
masyarakat, bukan bekerja bersama masyarakat. Perencanaan dalam
pendekatan ini dikerjakan oleh orang luar yang ahli dalam bidang
perencanaan (Fear, Gamm dan Fisher dalam Cristenson dan Robinson
(1989:69-86).
Ketiga, conflict approach, pendekatan konflik dalam community
development didasarkan kepada adanya tuntutan keadilan sosial dan
pemerataan kemakmuran serta memusatkan perhatian kepada
terciptanya distribusi sumberdaya ekonomi dan sosial yang lebih merata
dan membela kelompok masyarakat marjinal
Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi tiga sasaran pokok
yang berorientasi kepada masyarakat yakni: (a) peningkatan
kemakmuran masyarakat melalui, (b) pemberdayaan organisasi lokal (c)
penggerakan partisipasi. Dalam hal ini ada tiga bidang yang saling
22
berkaitan untuk mencapai tujuan, yakni Community Education,
Organizing, dan Community Resources Management.
Pertama, community education (Pendidikan Masyarakat). Bidang ini
berkenan dengan pengembangan kapasitas/kemampuan anggota
masyarakat yang menyangkut aspek nilai-nilai, seperti semangat/eti ka
kerja sama, kepedulian kolektif, semangat nasionalisme, persamaan
kepentingan, dan peningkatan keterampilan. Yang paling penting dalam
bidang ini adalah penyadaran, yaitu mau mendengar dan membentuk
persepsi atas kontradiksi sosial, politik dan ekonomi yang mereka hadapi,
kemudian mau bertindak melawan berbagai ketertinggalan di dalam
realitas sosial mereka.
Kedua, community organizing (Pengorganisasian Masyarakat).
Bidang ini berkenan dengan peningkatan partisipasi masyarakat yang
dapat dilakukan secara efektif melalui pengorganisasian. Organisasi
merupakan alat masyarakat untuk menyatakan kehendak mereka dan
untuk mempengaruhi proses perubahan yang diinginkan.
Ketiga, community resources management (Manajemen
Sumberdaya Manusia). Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin bahwa
kesejahteraan masyarakat akan dapat ditingkatkan apabila mereka
mampu mengelola sumberdaya dengan baik. Termasuk dalam bidang ini
adalah kegiatan-kegiatan pembangunan organisasi sosial yang dapat
melakukan fungsi pelayanan sosial, perumahan, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, transportasi, dan kegiatan lainnya yang dianggap perlu.
23
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa community
development merupakan rangkaian proses perubahan yang terencana,
dimana masyarakat tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan
tetapi sekaligus ditempatkan pula sebagai subyek pembangunan untuk
meningkatkan kehidupan sosial, ekonomi, poltik dan kebudayaan dengan
menggunakan potensi sumberdaya yang dimiliki.
D. Pembangunan Pedesaan Pembangunan desa mempunyai pengertian yang luas, yaitu
mencakup segala usaha pemerintah dan masyarakat. Pembangunan desa
dapat dikatakan sudah menjadi metode yang merupakan satu kebulatan,
terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling terkait, di
mana pembangunan masyarakat merupakan salah satu komponen yang
penting dan menentukan.
Pembangunan masyarakat desa menurut T.R. Batten yang dikutip
Khairuddin (2000: 67) adalah merupakan suatu proses di mana anggota-
anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan
keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama
untuk memenuhi keinginan mereka. Lebih lanjut Tjokrowinoto
(Khairuddin:67) mengatakan pembangunan masyarakat desa adalah
merupakan suatu bentuk tindakan kolektif suatu masyaraka t desa yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut dalam arti
material dan spiritual.
24
Menurut Chambers (Soepomo, 1990:5) untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat desa maka usaha yang dilakukan melalui
pembangunan desa yang mulai dari belakang atau proses belajar terbalik.
Maksudnya adalah kalau sebelumnya pembangunan desa dijalankan atas
program-program yang disusun dari luar yang belum tentu berorientasi
pada realitas kondisi di lapangan, maka seharusnya orang luar itu yang
lebih dahulu belajar dari kondisi dan kehidupan masyarakat desa.
Sementara Soepomo (1990:6-10), mengatakan bahwa
pembangunan masyarakat desa mempunyai prinsip-prinsip yakni: (1)
Merupakan proses perubahan yang disengaja dan terarah, (2) bertujuan
untuk meningka tkan taraf hidup warga masyarakat, (3) mengutamakan
pendayagunaan potensi dan sumber-sumber setempat, (4)
mengutamakan kreatifitas dan inisiatif masyarakat lokal, dan (5)
mengutamakan partisipasi masyarakat.
Pembangunan desa merupakan suatu proses, yaitu pembangunan
yang lebih ditekankan pada aspek perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, baik aspek sosial maupun aspek psikologis.
Sebagai metoda, yakni lebih menekankan pada aspek tujuan, dan
sebagai program yang berorientasi pada pelaksanaan kegiatan seperti
pendidikan, kesehatan dan pertanian (Kansil, 1985:249) .
Pembangunan desa sebagai suatu proses lebih menekankan pada
aspek perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik menyangkut dari
segi sosial maupun psikologis. Sebagai suatu metoda, pembangunan
25
desa lebih diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai. Sebagai program,
penekanan pada bidang-bidang yang dilaksanakan, seperti pendidikan,
kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Sebagai suatu gerakan, maka
pembangunan desa lebih merupakan kerangka idiologis yang mendasari
dan mengarahkan proses, metoda, dan program pembangunan desa
(Ndraha, 1990).
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembangunan desa adalah merupakan suatu proses perubahan kearah
yang lebih baik dengan menggunakan metode dan rencana untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
E. Pendekatan Pembangunan Berbasis Masyarakat
Pembangunan adalah proses multi dimensi yang mencakup
perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat
dan lembaga-lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality) dan pemberantasan
kemiskinan absolut Todaro (2000:20). Sementara Goulet (Todaro, 2000:
19) mengusulkan tiga komponen dasar atau nilai-nilai yang seharusnya
terdapat dalam konsep dan petunjuk praktis untuk memahami arti hakekat
dari pembangunan yaitu menjaga kelangsungan hidup kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, harga diri kemampuan untuk
menjadi seorang manusia, kemerdekaan dari penjajah dan perbudakan
dan kemampuan untuk memilih.
26
Pengalaman pelaksanaan program pembangunan selama ini,
seperti program IDT, P3DT, PPK menunjukkan bahwa keberhasilan
pelaksanaan program tersebut banyak dipengaruhi oleh pendekatan
pembangunan yang diterapkan dan motivasi dari masyarakat sendiri.
Mereka termotivasi untuk berpartisipasi karena diberi kepercayaan yang
besar dalam proses pelaksanaannya, diberi peluang untuk menentukan
sendiri pilihan kegiatan secara demokratis. Dengan demikian, masyarakat
merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan
pelestariannya.
Kondisi pembangunan dewasa ini, secara perlahan terjadi
pergeseran paradigma pembangunan yakni masyarakat sebagai objek
pembangunan menjadi pelaku utama pembangunan. Menurut
Sumodiningrat (1999), paradigma pembangunan secara keseluruhan
sejak repelita VI bergeser ke arah tercapainya pembangunan yang
terpusat pada manusia (people constered development).
Lebih lanjut Tjokrowinoto (1999:23), bahwa paradigma ini
memberikan peranan kepada individu bukan sebagai objek akan tetapi
sebagai pelaku atau aktor utama yang menentukan tujuan yang hendak
dicapai, menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses yang
menentukan hidup mereka. Karenanya paradigma ini memberi tempat
yang penting bagi prakarsa dan keanekaragaman lokal yang menentukan
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang
mengorganisasi diri mereka sendiri.
27
Sunyoto (1998:46), mengatakan bahwa pendekatan yang bertumpu
pada mas yarakat yang mendudukkan masyarakat sebagai pelaku utama
pembangunan sehingga semua keputusan dan tindakan pembangunan
didasarkan pada aspirasi, kepentingan/kebutuhan, kemampuan dan
upaya masyarakat. Aplikasi dari pembangunan bertumpu pada
masyarakat dalam kegiatan pembangunan diwujudkan melalui
pembangunan partisipatif, dimana tiap tahap pembangunan mulai dari
pengenalan permasalahan, pengoperasian dan pemeliharaan merupakan
kesepakatan bersama antar pelaku.
Menurut Korten (Soetomo, 1990:4), mengatakan pembangunan
yang berpihak kepada rakyat atau pembangunan yang berorientasi
kerakyatan sebagai sisi lain dari pembangunan yang mementingkan
produksi. Selanjutnya Korten dan Carner (Korten dan Syahrir, 1988:234)
berpendapat bahwa pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan
suatu pendekatan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif dari
rakyat sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dan memandang
kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin
dicapai oleh proses pembangunan.
Combs dan Manzoon (Korten dan Syahrir, 1988:277) pendekatan
pembangunan yang berbasis masyarakat merupakan modal utama dalam
pengembangan komunitas dan menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan dan prakarsa dari komunitas. Bantuan dan intervensi dari luar
sekedar sebagai stimulan yang memacu dan berkembangnya kemampuan
28
dari dalam komunitas sendiri. Dengan kata lain bantuan dan intervensi
dari luar harus didudukkan sebagai bagian dari proses membina
kemampuan masyarakat.
Beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pembangunan yang berbasis masyarakat adalah proses
perubahan yang bertumpu pada kemampuan, dan inisiatif masayarakat
lokal untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kalaupun ada
bantuan atau intervensi dari luar, sifatnya hanya sebagai stimulus.
F. Kerangka Konseptual
Pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur desa
dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat serta
memperkuat proses pemberdayaan masyarakat desa. Secara
konsepsional pendekatan partisipastif diterapkan untuk lebih
meningkatkan kualitas dimensi partisipasi masyarakat serta memberikan
dukungan kepada proses pembangunan yang ada.
Upaya untuk mengoperasikan konsepsi di atas adalah
meningkatkan proses komunikasi perencanaan dan pe laksanaan
pembangunan melalui wadah Musyawarah Pembangunan Desa dan
diskusi UDKP tingkat kecamatan. Melalui wadah pertemuan ini diharapkan
dapat berkembang menjadi salah satu wadah kesepakatan yang
transparan dan partisipatif antara seluruh pihak-pihak terkait dalam setiap
upaya pembangunan di desa.
29
Penelitian ini bermaksud melihat implementasi pendekatan
partisipatif dalam pembangunan desa di Desa Samaulue Kecamatan
Lanrisang pada setiap tahapan kegiatan yang meliputi tahap Sosialisasi,
tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, serta tahap monitoring. Program
pembangunan infrastruktur pedesaan selama ini merupakan program
pembangunan yang menggunakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat, maka aspek partisipasi setiap tahapan kegiatan menjadi
fokus perhatian.
Pada tahap sosialisasi, diawali dengan pemberian informasi tentang
keberadaan program pembangunan yang akan dijalankan. Masyarakat
akan menentukan sendiri kegiatan-kegiatan apa saja pada tahap ini
mereka akan berperan serta. Hal ini tergantung pada tingkat kemampuan
masyarakat, baik kemampuan pengetahuan maupun kemampuan
organisasional.
Pada tahap perencanaan dilaksanakan rangkaian kegiatan
musrembang dan UDKP tingkat kecamatan. Selain itu pengorganisasian
dalam masyarakat sangat diperlukan. Keberadaan fasilitator sangat
diperlukan karena fasilitator yang akan membantu masyarakat pada tahap
selanjutnya. Keberadaan fasilitator desa sangat dipengaruhi oleh
kepemimpinan kepala desa karena fasilitator desa akan banyak
berinteraksi dengan kepala desa. Selain hal tersebut, perlu juga dibentuk
organisasi dalam masyarakat. Organisasi dimaksud dapat berupa
kelompok kecil dan harus dibentuk dari masyarakat, oleh masyarakat,
30
dan untuk masyarakat. Kepala desa dalam hal ini berperan untuk
menginisiasi pembentukan organisasi.
Pada tahap pelaksanaan pembangunan, pola pelaksanaannya
dilakukan melalui kerjasama operasional. Dengan pola pelaksanaan ini
masyarakat ikut terlibat dalam penyediaan sebagian tenaga kerja,
bahan/material lokal dan peralatan. Sering dijumpai di hampir semua
pembangunan prasarana tidak terkecuali prasarana yang dibangun lewat
program pembangunan, seperti P2D, dimana suatu infrastruktur yang
telah selesai akan rusak lagi, hanya beberapa saat setelah selesai.
Karena itu pada tahap pemanfaatan dan pemeliharan memerlukan
pengorganisasian yang bagus, sebagaimana yang telah dibentuk pada
tahap sebelumnya .
Seiring dengan pelaksanaan pembangunan sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan, baik dari segi teknis atau keuangan,
maupun keterlambatan dari waktu yang telah dilaksanakan. Karena itu
diperlukan pemantauan (monitoring). Tujuan pemantauan adalah supaya
segala kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan.
Peran serta masyarakat dalam tahap monitoring ini tidak hanya serbatas
mengetahui adanya kegiatan tersebut dan memberi bahan masukan untuk
melakukan pemantauan dan evaluasi kepada pihak luar (konsultan dan
pemerintah) akan tetapi masyarakat diharapkan juga bisa ikut terlibat
dalam pemantauan, melakukan pengambilan tindak turun tangan apabila
dijumpai permasalahan.
31
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka untuk lebih jelas dapat
dilihat pada skema/kerangka konseptual sebagaimana Gambar 1 berikut
ini :
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
Pembangunan Infrastruktur Desa
Peran
Pemerintah Desa
Partisipasi Masyarakat
Desa
Peran Swasta
(Pelaksana Proyek)
Mekanisme pendekatan partisipatif dalam pembangunan:
1. Sosialisasi
2. Perencanaan
3. Pelaksanaan
4. Pengawasan
Hasil:
1. Tersedianya Infrastruktur Desa
2. Pemberdayaan Masyarakat Desa
32
B AB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk
memberikan gambaran secara menyeluruh (comprehensive) tentang
implementasi pendekatan partisipatif dalam pengelolaan program
pembangunan di Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang, mulai dari
perencanaan program hingga pemantauan dalam mekanisme proses
kegiatan pembangunan yang sudah berlangsung dengan
mengikutsertakan masyarakat setempat.
Untuk mendiskripsikan secara mendalam terhadap fenomena atau
kenyataan sosial yang berkenaan dengan permasalahan dan tujuan
penelitian, maka digunakan pendekatan kuantitatif, yaitu data-data
kuantitatif diklasifikasi kemudian dijelaskan dengan analisis kualitatif.
Dengan pendekatan ini temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan
secara lebih rinci, lebih jelas terutama yang berkaitan dengan mekanisme
pengelolaan program pembangunan, konsistensi antara petunjuk dengan
implementasi, serta keterlibatan masyarakat lokal dan pemberdayaan
masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Desa Samaulue Kecamatan
Lanrisang Kabupaten Pinrang. Desa ini merupakan salah satu desa di
33
Kecamatan Lanrisang. Desa Samaulue merupakan penerima beberapa
program bantuan pada Kecamatan Lanrisang, misalnya P2D, PKPS-BBM
dan PPK yang masih sedang bergulir. Penetapan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan: (a) potensi
wilayah yang cukup potensial pada bidang pertanian untuk dikembangkan
namun terhambat oleh sarana jalan, (b) pertimbangan dari hal
aksesibilitas di dalam pencapaian lokasi sasaran maupun perolehan data
cukup memudahkan di dalam pelaksanaan penelitian, (c) banyaknya
jumlah keluarga miskin di Desa Samaulue.
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yakni dari bulan
Agustus sampai dengan Oktober 2007.
C. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, jenis dan sumber data, terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara
mendalam, penyebaran kuisioner serta melalui pengamatan (observasi)
secara langsung. Dari hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian
dapat dilaporkan data mengenai :
1. Proyek rehabilitasi jembatan yang telah dibangun di Desa
Samaulue.
2. Proyek drainase jalan poros Ulo Desa Samaulue
3. Proyek perintisan jalan ke pemukiman warga di dusun Ulo Desa
Samaulue
34
Jenis data primer lainnya yang dihimpun melalui hasil wawancara
antara lain:
a) Persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan sosialisasi program
b) Persepsi masyarakat mengenai mekanisme pengelo laan atau
implementasi program pembangunan yang telah dilaksanakan,
partisipasi masyarakat serta kondisi kualitas fisik bangunan
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
berbagai sumber berupa dokumen perencanaan desa, laporan tertulis,
serta dokumen-dokumen lainnya antara lain seperti data lokasi penelitian
yang meliputi kondisi geografis, keadaan penduduk, serta aspek-aspek
lain yang menyangkut kondisi dan keadaan wilayah penelitian.
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam
penyusunan program pembangunan Desa Samaulue, sedangkan
pengamatannya diarahkan pada tugas dan fungsi pihak-pihak tersebut
dalam penyusunan program pembangunan desa di Kabupaten Pinrang
Adapun teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling yang dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa orang yang
bersangkutan memiliki pengalaman pribadi atau terlibat langsung dalam
pelaksanaan pembangunan Desa Samaulue, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk lingkungan pemerintah Desa Samaulue, dipilih 5 responden
yaitu: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pembangunan, Kaur
Pemerintahan dan Kaur Umum.
35
2. Untuk lingkungan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa
Samaulue, dipilih 8 responden yaitu Ketua BPD, Sekretaris BPD,
Ketua Bidang Pemerintahan, 1 orang anggota Bidang Pemerintahan,
Ketua Bidang Pembangunan, 1 orang anggota Bidang Pembangunan,
Ketua Bidang Kemasyarakatan dan 1 orang anggota Bidang
Kemasyarakatan.
3. Unsur masyarakat dipilih dari anggota Lembaga Ketahanan Desa
(LKD) Desa Samaulue dan Karang Taruna Bunga Tani Desa
Samaulue, dipilih 21 responden yaitu 1 orang Fasilitator Desa, 12
orang anggota Karang Taruna Bunga Tani yang pernah aktif pada
penerapan program P2D tahun 2003, dan 8 orang anggota LKD Desa
Samaulue.
Seluruhnya berjumlah 34 responden yang diharapkan dapat mewakili
populasi penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam studi ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Pengisian kuesioner, yaitu responden menjawab sejumlah
pertanyaan yang telah disiapkan berkaitan dengan proses
koordinasi perencanaan pembangunan Desa Samaulue.
b. Wawancara berstruktur yaitu suatu teknik pengumpulan data yang
digunakan melalui wawancara langsung kepada responden dengan
36
menggunakan daftar pertanyaan dan pedoman wawancara yang
telah disiapkan
c. Wawancara bebas yaitu suatu teknik pengumpulan data yang
digunakan melalui wawancara secara bebas kepada sejumlah
responden untuk menggali lebih jauh indikator penelitian
d. Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang digunakan
melalui pengamatan secara langsung terhadap obyek kegiatan
koordinasi perencanaan pembangunan seperti kegiatan
Musbangdes.
e. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari dokumen-dokumen
proses dan hasil perencanaan pembangunan di Desa Samaulue.
F. Analisis Data Hasil penelitian yang telah dikumpulkan dan dianalisis secara
kualitatif dan analisis deskriptif.
a. Analisis kualitatif
Proses analisis kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, yakni hasil wawancara, pengamatan yang
sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen, foto dan sebagainya.
Setelah dibaca dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya ialah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat
abstraksi.
37
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses
dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada
dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan yakni
mengelompokkan data yang sejenis sesuai dengan masalah penelitian.
Analisis data selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan
data kemudian dilakukan penafsiran data.
b. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini digunakan untuk variabel-variabel dan indikator-indikator
yang dinyatakan dengan sebaran frekwensi, baik dengan angka mutlak
maupun dengan persentase, dengan mengunakan skala Likert untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini
telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut
sebagai variabel penelitian.
Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan
menjadi variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau
pertanyaan.
Sesuai dengan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka
pertanyaan-pertanyaan tentang tingkat partisipasi masyarakat pada setiap
tahapan (sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan) serta
pertanyaan-pertanyaan tentang faktor penghambat partisipasi masyarakat
, masing-masing diberi bobot nilai dengan nilai tertinggi 4 dan terendah 1.
38
Hasil penjumlahan skor setiap pertanyaan dibagi dengan jumlah
responden, sehingga diperoleh rata-rata skor setiap pertanyaan.
Selanjutnya, rata-rata skor yang merupakan hasil perhitungan
tersebut, dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:
1. Rata-rata skornya mencapai > 3, maka termasuk dalam kelompok
kategori tinggi.
2. Rata-rata skornya antara 2 – 3, maka termasuk dalam kelompok
kategori sedang.
3. Rata-rata skornya < 2, maka termasuk dalam kelompok kategori
rendah.
G. Defenisi Operasional 1. Sosialisasi program adalah rangkaian kegiatan penyebarluasan
informasi tentang program pembangunan Desa Samaulue kepada
masyarakat Desa Samaulue, khusunya arti pentingnya keterlibatan
masyarakat. Indikatornya adalah:
a. Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam sosialisasi.
b. Pemahaman masyarakat pentingya peran mereka dalam
pembangunan Desa Samaulue.
2. Perencanaan adalah proses kegiatan penyusunan rencana kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Samaulue, panitia
pembangunan, aparat pemerintah Desa Samaulue dan
konsultan.Indikatornya :
39
a. Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam perencanaan dan
penyusunan rencana kegiatan pembangunan infrastruktur desa.
b. Partisipasi masyarakat Desa Samaulue dalam mengusulkan hasil
musbangdes untuk diprioritaskan dalam UDKP di tingkat
Kecamatan Lanrisang.
3. Pelaksanaan pembangunan prasarana fisik adalah kegiatan dalam
pelaksanaan pembangunan konstruksi fisik prasarana dengan
melibatkan masyarakat Desa Samaulue. Indikatornya :
a. Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam pelaksanaan
pembangunan konstruksi fisik infrastruktur.
b. Peran pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue.
4. Pemantauan (monitoring) dan evaluasi adalah serangkaian kegiatan
yang ditujukan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan di Desa Samaulue. Indikatornya adalah:
a. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan program
pembangunan.
b. Persepsi masyarakat mengenai tanggapan atas pengaduannya
6. Faktor-faktor yang menghambat adalah kendala-kendala yang
dihadapi dalam mengimplementasikan pendekatan partisipatif dalam
pembangunan infrastruktur pedesaan. Indikatornya adalah
40
a. Keseuaian antara mekanisme penerapan kebijakan dengan kondisi
sosial masyarakat Desa Samaulue.
b. Persepsi masyarakat Desa Samaulue mengenai pembangunan
Desa Samaulue.
c. Koordinasi internal antara Kepala Desa Samaulue dengan
perangkat desa.
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Kabupaten Pinrang
a. Letak Geografis
Kabupaten Pinrang merupakan wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan yang secara geografis terletak pada koordinat antara 40 10’ 30’ LS
- 4019 ‘ 13’ LS dan 1190 26’ 30” BT – 1190 47’ 20’ BT yang berbatasan
dengan :
? Kabupaten Tana Toraja di sebelah utara;
? Kabupten Enrekang dan Kabupaten Sidenreng Rappang disebelah
Timur;
? Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Selat Makassar di
sebelah barat dan
? Kota Pare pare di sebelah selatan.
Kabupaten Pinrang terletak dibagian tengah Provinsi Sulawesi
Selatan dengan luas wilayah sebesar 1.961,77 Km2 dan merupakan jalur
lalu lintas darat yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah melalui Kabupaten Mamuju.
Dipandang dari sudut topografinya, Kabupaten Pinrang yang
mempunyai luas kurang lebih 1.961,77 Km persegi yang terdiri dari tiga
dimensi kewilayahan meliputi dataran rendah, laut dan dataran tinggi.
Kabupaten Pinrang secara administratif pemerintahan terdiri dari 12 (dua
belas) kecamatan, 36 kelurahan dan 67 desa yang meliputi 81 lingkungan
42
dan 168 dusun. Sementra itu tipe iklim di wilayah termasuk tipe B dan C,
musim hujan terjadi pada bulan November dan Juni kemudian sebaliknya
musim kemarau terjadi bulan Agustus hingga September. Secara umum
curah hujan yang terjadi cukup tinggi dan sangat dipengaruhi oleh angin
musiman.
Peta administratif Kabupaten Pinrang dapat dilihat Pada gambar
2 berikut :
Gambar 2
PETA ADMINISTRATIF KABUPATEN PINRANG
Sumber: Kabupaten Pinrang Dalam Angka;2006
43
b. Demografi
1). Distribusi Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Pinrang pada tahun 2006
sebanyak 312.473 Jiwa yang tersebar di 12 Kecamatan. Kepadatan
penduduk adalah 159 jiwa/Km² dengan rata -rata 4,48 jiwa / Rumah
Tangga. Distribusi penduduk Kabupaten Pinrang dapat dilihat pada tabel
1.
Tabel 1 . Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten PinrangTahun 2006
Penduduk
Kecamatan
Luas (Ha)
Laki-laki Wanita Jumlah
Rumah Tangga
Kepada - tan Pendu duk (Km²)
Suppa 74,20 13.197 14.220 27.417 6.263 369
Mattiro Sompe 96,99 12.635 14.011 26.646 5.988 275
Mattiro Bulu 132,49 11.254 12.709 23.963 5.905 181
Wt. Sawitto 58,97 20.038 21.050 41.088 9.041 697
Patampanua 136,85 13.681 14.763 28.444 6.265 208
Cempa 90,30 7.600 8.094 15.694 3.481 174
Duampanua 291,86 20.340 21.817 42.157 9.142 144
Lembang 733,09 18.075 18.686 36.761 7.887 50
Lanrisang 73,01 7.613 8.565 16.178 3.721 222
Tiroang 37,29 13.056 14.165 27.222 6.145 730
Paleteang 77,73 8.430 9.148 17.578 4.669 226
Batulappa 158,99 4.570 4.755 9.325 1.918 59
J u m l a h 1961,77 150.489 161.983 312.473 69.825 159
Sumber data : Pinrang Dalam Angka 2006
2) Mata Pencaharian
Persentase mata pencaharian penduduk terbesar di Kabupaten
Pinrang pada tahun 2006 adalah bidang pertanian yaitu sebesar 68,61%
44
(90.651 KK), sedangkan mata pencaharian penduduk terkecil adalah
dibidang jasa dan lainnya yaitu1.019 (KK), 1,12%.
Uraian lebih rinci tentang mata pencaharian penduduk Kabupaten
Pinrang dapat dilihat pada Tabel 2 .
Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Pinrang Tahun 2006
Mata Pencaharian Jumlah (KK) Persentase (%)
Petani 62.198 68,61
Pedagang/Pengusaha 11.575 12,76
Nelayan 9.450 10,42
Peternak 4.745 5,23
Jasa 1.664 1,83
Lain-lain 1.019 1,12
Jumlah 90.651 100
Sumber data : Pinrang Dalam Angka 2006
Dengan mengamati Tabel 2, diketahui bahwa 68,61 % penduduk
Kabupaten Pinrang adalah petani. Hal ini berarti daya dukung infrastruktur
pedesaan sangat diperlukan demi menunjang kesejahteraan masyarakat
yang bermata pencaharian sebagai petani
c. Indikator Ekonomi Wilayah
1) Struktur Ekonomi dan PDRB
Struktur ekonomi digunakan untuk mengetahui sumbangan
atau peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam
perekonomian Kabupaten Pinrang yang dinyatakan dalam PDRB
45
Kabupaten Pinrang. Persentase PDRB persektor dalam PDRB total
Kabupaten Pinrang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase PDRB Persektor Tahun 2006
Sektor PDRB / Sektor harga berlaku
( Ribu Rp)
% dalam PDRB Total
Pertanian 1.110.564,07 66,41 Penggalian/Pertambangan 5.040,61 0,30 Industri Pengolahan 70.407,07 4,21 Listrik, Gas dan Air 10.060,38 0,60 Bangunan 54.212,03 3,24 Perdagangan dan Restoran, Hotel 173.851,31 10,39 Angkutan dan Komunikasi 45.731,05 2,73 Bank dan Lembaga Keuangan 47.236,28 2,82 Jasa-jasa 155.017,72 9,27
J u m l a h 1.672.120,52 100
Sumber data : PDRB Kab. Pinrang 2006
Uraian Tabel 3 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar
terhadap PDRB Kabupaten Pinrang adalah berasal dari sektor pertanian
yaitu Rp 1.110.564.070,-. Hubungan antara besarnya kontribusi pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Pinrang tidak terlepas dari banyaknya
penduduk Kabupaten Pinrang yang berprofesi sebagai petani. Dengan
demikian, kontribusi terbesar ini dapat semakin ditingkatkan dengan
adanya pembangunan infrastruktur di desa-desa.
Tabel 4 menunjukka uraian data perkembangan PDRB
Kabupaten Pinrang selama lima tahun terakhir dalam harga konstan dan
harga berlaku.
46
Tabel. 4 Perkembangan PDRB Kabupaten Pinrang Tahun 2002 – 2006
Harga Berlaku Harga Konstan Tahun (Juta Rp) Pertumbuhan
(%) Juta Rp Pertumbuhan
(%) 2002 1.070.721,68 98,77 394.350,15 -3,95 2003 1.160.610,91 8,40 398.175,35 0,97 2004 1.306.911,48 12,61 416.248,64 4,54 2005 1.521.053,79 16,39 437.004,25 4,99 2006 1.673.020,52 9,99 448.173,39 2,56 Rata-rata
- 14,06 - 3,41
Sumber data : PDRB Kab. Pinrang 2006
2). Laju Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Pinrang dari tahun ke tahun digunakan indikator perkembangan PDRB
untuk periode yang sama. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pinrang
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Pinrang Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2002 - 2006
Tahun
Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006
Rata-
rata
Pertanian -6,54 2,06 3,56 4,22 0,48 0,76 Penggalian 5,26 4,34 3,48 4,96 5,24 4,66 Industri Pengolahan -1,36 3,59 2,25 2,04 3,09 1,92 Listrik, Gas dan Air 5,82 6,18 14,70 3,02 5,74 7,09 Bangunan -8,79 2,51 3,74 4,47 8,17 2,02 Perdagangan, Restoran dan Hotel
4,37 3,70 6,25 4,96 7,14 5,28
Angkutan dan Komunikasi
-1,08 3,34 5,13 6,63 2,43 3,29
Keuangan 6,23 -30,58 20,92 6,28 8,39 2,25 Jasa -1,68 2,50 4,40 10,20 4,61 4,01
PDRB -3,95 0,97 4,54 4,99 2,56 1,82 Sumber data : PDRB Kab. Pinrang 2006
47
Dari Tabel 5 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Pinrang pada tahun 2004 dan 2005 cenderung stabil dengan
pertumbuhan ± 4 – 5%, sedangkan pada tahun 2006 mengalami
penurunan, hal ini disebabkan oleh sektor pertanian khususnya sub sektor
tanaman bahan makanan.
3) Pendapatan dan Pertumbuhan Perkapita
Data mengenai Pendapatan dan Pertumbuhan Perkapita
Kabupaten Pinrang dari tahun 2002 s/d 2006 rata-rata mengalami
kenaikan ± 4 - 6% atas das ar harga berlaku, sedangkan untuk atas dasar
harga konstan dari tahun 2002 s/d 2006 juga mengalami kenaikan setiap
tahunnya dengan gambaran pada Tabel 6.
Tabel 6 PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Kabupaten Pinrang Tahun 2002 s/d 2006
PDRB Perkapita Tahun Harga Berlaku
(Rp) Harga Konstan
(Rp)
Ket
2002 3.487.329 1.284.394
2003 3.764.575 1.291.528
2004 4.217.531 1.343.275
2005 4.873.173 1.400.080
2006 5.296.481 1.418.835
Sumber data : PDRB Kab. Pinrang 2006
48
d. Gambaran Singkat RKPD Kabupaten Pinrang
Menurut PP No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
adalah penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) pusat yamg memuat rancangan kerangka ekonomi
daerah, prioritas pembangunan daerah dan pendanaannya . RKPD juga
merupakan dokumen perencanaan taktis startegis yang menjabarkan
potret permasalahan pembangunan daerah serta indeks daftar program
dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah.
Rencana Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) Kabupaten
Pinrang tahun 2005 – 2009 adalah dokumen perencanaan pembangunan
Pemerintah Kabupaten Pinrang, yang merupakan kelanjutan Musrembang
tingkat Desa / Kelurahan, UDKP di tingkat Kecamatan hingga Rakorbang
pada tingkat Kabupaten Pinrang. Oleh karena itu RPJM Kabupaten
Pinrang digunakan sebagai acuan dalam menilai kinerja Bupati Pinrang
dalam kurun waktu lima tahun, yang dijabarkan ke dalam RKPD yang
selanjutnya menjadi landasan pokok penyusunan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD). Adapun isi dokumen RPJM Kabupaten Pinrang
secara garis besar dapat dilhat sebagai berikut :
? Visi Kabupaten Pinrang
”Terwujudnya Masyarakat Pinrang Yang Maju, Mandiri melalui
Pendekatan Agribisnis Dan Agroindustri Yang Berwawasan Lingkungan“
49
? Misi Kabupaten Pinrang
1. Meningkatkan kualitas SDM aparatur pemerintahan yang
profesional
2. Mengoptimalkan pemanfaatan dan pelestarian SDA yang
berwawasan lingkungan dan memperkuat agribisnis dan
agroindustri.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memperkuat
kemandirian lokal.
4. Meningkatkan kualitas pelayanan dibidang pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan.
5. Meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana
serta infrastruktur, terutama pada sektor pertanian.
6. Meningkatkan pengalaman nilai-nilai keagamaan, pancasila
dan budaya lokal.
7. Meningkatkan keamanan dan ketertiban.
? TUJUAN
Sebagai penjabaran misi, maka tujuan dapat menunjukkan
kondisi yang hendak dicapai di masa datang yang tetap berfokus pada
pelanggan/custumer. Melalui beberapa tahapan analisa lingkungan maka
tujuan Kabupaten Pinrang ditetapkan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas SDM.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Meningkatkatkan kompetensi dan kemandirian masyarakat.
50
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemnfaatan da
yangae berwawasan lingkungan.
5. Meningkatkan peran serta masyarakat, lembaga ekonomi,
swasta dan koperasi.
6. Meningkatkan kehidupan demokrasi dan supermasi hukum
? SASARAN
Sasaran merupakan penjabaran dari tujuan secara terukur yang
akan dicapai secara nyata dalam jangka waktu yang telah ditetapkan
(tahunan, semesteran atau bulanan). Berdasarkan pengertian sasaran
tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Pinrang menetapkan sasaran
sebagai berikut:
1. Tercapainya aparatur yang memiliki keterampilan teknis dan
manajerial.
2. Terciptanya pemanfaatan SDA melalui pendekatan
agriindustri dan agribisnis yang berwawasan lingkungan.
3. Terciptanya pelayanan publik yang prima pada masyarakat
4. Terciptanya pemerintahan yang baik
5. Terciptanya kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat
yang meningkat.
6. Teciptanya lembaga ekonomi, swasta dan kopersi yang
tangguh, produktif dan kompetitif
7. Teciptanya pemulihan dan pemerataan ekonomi daerah
rata-rata laju pertumbuhan ekonomi selalu naik tiap tahun
51
(tahun 2002 sebesar 2 %), tahun 2003 sebesar 2,5 %,
tahun2004 sebesar 3 % tahun 2005 sebesar 3,5 % dan
tahun 2006 sebesar 4 %)
8. Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat.
9. Tercapainya perubahan pola pikir masyarakat petani yang
bukan hanya peningkatan produksi tetapi juga pendekatan
agribisnis dan agri industri yang bewawasan lingkungan.
? KEBIJAKSANAAN
Kebijksanaan adalah merupakan ketentuan yang disepakati oleh
pihak terkait yang ditetapkan oleh pihak yang berwewenan untuk dijadikan
pedoman, pegangan dan petunjuk bagi setiap kegiatan aparatur
pemerintah dan masyarakat, agar tercapai kelancaran dan keterpaduan
dalam upayah mencapai tujuan, sasaran dan misi kabupaten.
Adapun kebijksanaan yang ditetapkan meliputi :
1. Pengaturan pemerintahan yang baik
2. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membuka
peluang usaha dan menumbuh kembangkan kegiatan
ekonomi produktif
3. Bekerja sama dengan pihak ketiga untuk pemanfaatan dan
pengembangan SDA dengan pendekatan agri bisnis dan
agroindusri yang berwawasan lingkungan.
52
4. Memberikan peluang kepada masyarakat dan investor untuk
menanamkan modalnya dalam rangka pengembangan agri
bisnis dan agroindusri yang berwawasan lingkungan.
5. Memberikan fasilitas dan kesempatan kepada masyarakat
dalam menjalankan usahanya
6. Penentuan jenis kedikalatan yang dibutuhkan
7. Pola kemitraan dalam pemanfaatan SDA yang berwawasan
lingkungan
8. Penataan dan penertiban pengunaan SDA yang berwawasan
lingkungan
9. Penyediaan penataan hukum yang berpihak kepada rakyat
10. Pemanfaatan lahan sesuai dengan daya dukung
11. Penentuan komuditi andalan berbasis SDA yang berwawasan
lingkungan
2. Deskripsi Kecamatan Lanrisang
a. Keadaan geografis
Kecamatan Lanrisang terletak dibagian barat Kabupaten Pinrang
yang merupakan salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten Pinrang.
Ibukota kecamatan berada di Kelurahan Lanrisang dengan ibukotanya
Lanrisang yang berjarak 16 Km dari ibukota Kabupaten Pinrang. Secara
georafis Kecamatan Lanrisang memiliki batas-batas wilayah, yakni
sebelah utara Desa Paero Kecamatan Mattiro Bulu, sebelah selatan Selat
53
Makassar, sebelah timur Kecamatan Mattiro Bulu dan Kecamatan Suppa,
dan sebelah barat Kecamatan Mattiro Sompe.
Pada akhir tahun 2005, luas wilayah Kecamatan Lanrisang adalah
73,01 Km2 atau 3,71 % dari luas wilayah Kabupaten Pinrang. Kecamatan
Lanrisang terbagi atas 6 desa dan 1 kelurahan.
Kecamatan Lanrisang berada pada ketinggian dengan rata-rata di
bawah 500 m dari permukaan laut. Ini menandakan bahwa wilayah
tersebut merupakan dataran rendah. Dengan kondisi daerah yang
demikian itu menyebabkan pemanfaatan lahanpun bervariasi disesuaikan
kondisi geografis. Penggunaan lahan di Kecamatan Lanrisang pada
umumnya untuk tambak dan pertanian.
Dari luas lahan yang ada di Kecamatan Lanrisang, tambak dan
wilayah persawahan merupakan lahan yang paling banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat. Wilayah persawahan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat yakni 7.301 ha. Sedangkan volume produksi perikanan
mencapai 3.269,14 ton yang terdiri atas 212,28 ton produksi udang dan
3.056,86 ton produksi ikan. Hal ini tidak terlepas dari mata pencaharian
penduduk sebagian besar bertani dan nelayan.
Sementara dari tahun ke tahun ada kecenderungan produksi untuk
pertanian relatif meningkat. Kondisi ini disebabkan karena pemanfaatan
lahan yang lebih efektif, yaitu dengan memanfaatkan bantaran sungai
tersier menjadi lahan kebun dengan berbagai alasan, diantaranya untuk
meningkatkan pendapatan ekonomi petani.
54
b. Demografi
Jumlah penduduk Kecamatan Lanrisang sampai akhir tahun 2006
berjumlah 17.215 jiwa dengan 3.904 KK yang terdiri dari 8.118 jiwa laki-
laki dan 9097 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kecamatan
Lanrisang adalah 1.946 jiwa per Km2.
Penduduk Kecamatan Lanrisang tahun 2003 berjumlah 16.981
jiwa, dan tahun 2006 berjumlah 17.215 jiwa, maka laju pertumbuhan
penduduknya adalah dibawah 1 %. Angka ini berada pada posisi dibawah
angka rata-rata pertumbuhan Kabupaten Pinrang sebesar 2,38 %.
Bagian terpenting dari pelaksanaan pembangunan selama ini
adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat khusunya di
Kecamatan Lanrisang. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi
masyarakat, maka beberapa indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tolak ukur yang digunakan dalam
berbagai kepentingan pembangunan adalah tingkat kesejahteraan
masyarakat yang diukur oleh BKKBN dengan menetapkan 5 (lima)
kategori tingkat kesejahteraan masyarakat, yaitu masyarakat pra
sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III plus.
Berdasarkan hal tersebut, maka tingkat kesejahteraan masyarakat
Kecamatan Lanrisang digambarkan pada tabel 7 .
55
Tabel 7 . Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan Lanrisang Tahun 2006
Tingkat Kesejahteraan
KK
Pra Sejahtera
Sejahtera I
Sejahtera II
Sejahtera III
Sejahtera III Plus
741
1.657
1.143
228
135
Jumlah 3.904
Sumber : Kantor Camat Lanrisang, Tahun 2006
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah kepala keluarga yang
masih tergolong masyarakat miskin adalah 2398 KK, atau sekitar 61,42 %
dari jumlah KK di Kecamatan Lanrisang. Dengan demikian masyarakat
miskin di Kecamatan Lanrisang relatif tinggi.
Dengan mengamati kondisi Kecamatan Lanrisang, maka
kecamatan tersebut dianggap perlu mendapat proiritas pembangunan dan
pengembangan kawasan, sehingga perekonomian masyarakat lebih
meningkat.
3. Deskripsi Desa Samaulue
a. Letak dan Luas Wilayah
Desa Samaulue merupakan salah satu desa di Kecamatan
Lanrisang dengan jarak 4 Km dari ibukota kecamatan, dan 15 Km dari
56
ibukota kabupaten, dengan ketinggian kurang dari 500 meter dari
permukaan laut. Desa Samaulue memiliki batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara Desa Barang Palie
- Sebelah selatan Kelurahan Lanrisang
- Sebelah Timur Desa Amassangang
- Sebelah barat Desa Wae Tuwoe.
Desa ini mempunyai luas 7,00 Km 2 , atau 9,58 % dari luas wilayah
Kecamatan Lanrisang. Aksessibilitas untuk mencapai desa ini bisa
menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Kondisi jalanan dari
ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan menuju desa ini beraspal
dengan baik. Namun jalan antara Kantor Kepala Desa Samaulue menuju
pemukiman warga tidak sebaik kondisi jalan utama. Hal ini disebabkan
jalan tersebut selalu dilalui oleh kendaraan roda enam yang mengangkut
hasil-hasil pertanian. Sebagian jalan dalam pemukiman warga desa
adalah pengerasan sirtu hasil pelaksanaan program P2D tahun 2003,
namun kondisinya sudah rusak .
b. Tata Guna Lahan
Dari segi penggunaan lahan di Desa Samaulue, dengan
dipengaruhi penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian petani,
dan semakin bertambahnya kebutuhan lahan akibat bertambahnya jumlah
penduduk, maka lahan yang dipergunakan untuk lahan tanah kering 96
Ha, lahan tegalan 47 Ha, lahan pekarangan 41 Ha, dan lain-lain 8 Ha.
Desa Samaulue memiliki kondisi sosial ekonomi dipengaruhi oleh mata
57
pencaharian sebagai petani, tentunya dengan mengandalkan tanaman
hortikultura seperti jagung dan kacang-kacangan.
c. Fasilitas Umum
Desa Samaulue terdiri atas 2 dusun, 7 RT, dengan fasilitas umum
yang ada pada umumnya kondisi bangunan baik yang terdiri dari 1 buah
kantor desa, 1 balai desa, pos kamling 2 buah, MCK 2 buah, Mesjid 2
buah, Musallah 1 buah, lapangan volley 3 buah, gedung sekolah dasar 1
buah.
d. Keadaan Penduduk
Desa Samaulue menurut data akhir tahun 2006 didiami oleh 1.845
jiwa yang terdiri dari 858 jiwa laki-laki dan 987 jiwa perempuan.
Keseluruhan itu terbagi dalam 393 kepala keluarga, dengan kepadatan
penduduk 264 jiwa/Km2 . Hal ini dapat dilihat pada tabel 8 berikut.
Tabel 8 . Penduduk Desa Samaulue dirinci menurut Jenis Kelamin Tahun 2006
Keadaan Penduduk
Jumlah Penduduk
Persentase
Laki-laki
Perempuan
858
987
46,5
53,5
Jumlah 1.845 100
Sumber: Kantor Desa Samaulue Tahun 2007
Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan
lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Salah satu
58
penyebabnya adalah banyak laki-laki yang migrasi ke luar dan angka
kelahiran perempuan lebih tinggi dari angka kelahiran laki-laki.
Keadaan penduduk menurut usia penting diketahui, karena dengan
mengetahui tingkat usia penduduk akan dengan mudah ditentukan
klasifikasi serta penggolongan usia produktif, dalam rangka implementasi
program pembangunan hubungannya dengan klasifikasi penduduk
menurut usia, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat agar berperan
aktif dalam pembangunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 9
berikut.
Tabel 9 . Penduduk Desa Samaulue dirinci menurut Klasifikasi Usia Tahun 2006
Tingkat Usia
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
0 - 4
5 - 9
10 - 14
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
40 - 44
45 - 49
50 - 54
55 - 59
60 - 64
65 ke atas
85
116
114
89
65
68
62
55
47
43
30
28
30
26
90
118
119
98
86
91
68
70
57
44
41
35
38
32
175
234
233
187
151
159
130
125
104
87
71
63
68
58
9,48
12,68
12,63
10,13
8,18
8,62
7,05
6,78
5,64
4,72
3,85
3,41
3,69
3,14
Jumlah 858 987 1845 100
Sumber : Kantor Desa Samaulue Tahun 2007
59
Tabel 9 menunjukkan tentang keadaan penduduk Desa Samaulue
menurut tingkat usia/umur. Keadaaan penduduk merupakan salah satu
potensi yang harus diketahui dalam pelaksanaan pembangunan desa. Hal
ini penting karena dengan mengetahui klasifikasi penduduk menurut
usia/umur akan lebih mudah mengidentifikasi keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan, terutama tingkat usia produktif.
Sementara keadaan penduduk Desa Samaulue menurut tingkat
pendidikan, dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Penduduk Desa Samaulue menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
Belum Sekolah
Taman Kanak-Kanak
Sekolah Dasar
Tidak Tamat SD
SLTP
Tidak Tamat SLTP
SLTA
Tidak Tamat SLTA
PT/Akademi
143
124
293
397
97
342
85
347
17
7,8
6,7
15,9
21,6
5,3
18,5
4,7
18,6
0,9
Jumlah
1845
100
Sumber: Kantor Desa Samaulue Tahun 2007
60
Tabel 10 menggambarkan bahwa jumlah penduduk Desa
Samaulue menurut tingkat pendidikan, sebagai salah satu indikator yang
sangat penting untuk mengetahui keterlibatan masyarakat terhadap
pembangunan. Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata
tingkat pendidikan penduduk Desa Samaulue adalah Sekolah Dasar,
dimana penduduk yang tidak tamat SLTP dan SLTA juga relatif besar.
Penduduk yang tidak tamat SLTP dan SLTA tersebut merupakan
penduduk usia produktif yaitu antara 25 – 40 tahun, oleh karena itu perlu
bimbingan dan pengarahan agar dapat berpartisipasi aktif dalam
pembangunan.
Penduduk Desa Samaulue menurut mata pencaharian berjumlah
514 orang, yang bermata pencaharian petani adalah 467 orang atau
sekitar 90,85 persen, sedangkan yang lainnya hanya 9,15 persen seperti
nelayan 21 orang, PNS/Guru 11 orang, pedagang dan jasa 15 orang, 11
orang tukang kayu/batu. Dengan banyaknya penduduk yang bermata
pencaharian petani menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk bertani
cukup tinggi.
Dari segi tingkat kesejahteraan penduduk, penduduk desa ini
memiliki 260 KK, yang terdiri dari 55 KK pra sejahtera, 105 KK sejahtera I,
50 Sejahtera II, dan 30 KK sejahtera III, 10 sejahtera III plus. Dengan
demikian penduduk miskin desa ini menurut definisi BKKBN yang
tergolong pra sejahtera dan sejahtera I. Dengan demikian jumlah
masyarakat miskin di Desa Samaulue yakni 160 KK, atau lebih 50 % dari
61
jumlah KK Desa Samaulue. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat
miskin di Desa Samaulue cukup tinggi, sehingga penempatan beberapa
program pengembangan desa sudah sesuai dengan peruntukannya yakni
untuk menanggulangi kemiskinan dengan melibatkan masyarakat miskin,
pemerataan pembangunan di pedesan dan pemberdayaan masyarakat
B. Deskripsi Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur
Pedesaan di Desa Samaulue
1. Pelaksanaan Program P2D di Desa Samaulue.
Berdasarkan observasi lapangan yang telah dilakukan selama
penelitian, didapatkan suatu gambaran umum mengenai implementasi
kegiatan pembangunan di Desa Samaulue. Implementasi tersebut dimulai
dari kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam sosialisasi, perencanaan,
pelaksanaan pembangunan infrastruktur, pemeliharaan serta pemantauan
dan evaluasi terhadap hasil pembangunan.
Pembangunan infrastruktur di desa Samaulue Kecamatan
Lanrisang mengalami peningkatan yang sangat signifikan ketika
dilaksanakan pencanangan program P3DT pada tahun 2000 dan berubah
nama menjadi P2D pada tahun 2001. Program ini terlaksana hingga tahun
2003.
Program P2D di Desa Samaulue dilaksanakan pada Tahun
Anggaran 2000 (perencanaan program) dan Tahun Anggaran 2001
(pelaksanaan pembangunan prasarana). Tahun Anggaran 2000 program
62
ini dikenal dengan nama Program Pembangunan Prasarana Pendukung
Desa Tertinggal (P3DT), yang dirubah namanya pada Tahun Anggaran
2001 menjadi program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D).
Program P2D bertujuan secara umum mendukung pembangunan ekonomi
regional, pemerataan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat
desa, serta mengurangi kemiskinan di perdesaan. Tujuan secara khusus
yakni: meningkatkan kemampuan masyarakat dan kelembagaan
masyarakat dalam mengelola pembangunan, menciptakan lapangan
kerja, menyediakan sarana transportasi di perdesaan, dan memperkuat
kemampuan aparat dalam memfasilitasi masyarakat dalam mengelola
pembangunan.
Pola atau pendekatan baru dalam P2D tersebut seiring dengan
paradigma otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan good
governance. Paradigma otonomi daerah maka pelaksanaan program ini di
Desa Samaulue didasarkan pada bottom-up planning, paradigma
pemberdayaan masyarakat nampak dalam masyarakat ikut serta aktif dan
mempunyai kebebasan memilih prasarana yang akan dibangun sesuai
kebutuhan mereka pada proses perencanaan dan masyarakat yang
memutuskan dokumen perencanaan tersebut serta paradigma good
governance ditunjukkan dengan peran pemerintah maupun konsultan
sebagai fasilitator. Sumber dana program P2D berasal dari pinjaman
Pemerintah Jepang ( Loand JBIC IP 105 ). Sementara Pemerintah Daerah
63
Kabupaten Pinrang menyiapkan dana pendamping untuk pembinaan
administrasi.
Pelaksanaan program dilaksanakan pada tahun 2000 yang diawali
dengan sosialisasi program P2D, baik di tingkat kecamatan, desa, serta
dusun. Proses perencanaan melalui Musyawarah Pembangunan Desa
(Musbangdes), diskusi UDKP yang merupakan forum kesepakatan antara
pelaksanana program P2D di Kecamatan Lanrisang yakni: UDKP-2
kesepakatan atas Rencana Strategis Kecamatan, UDKP-3 kesepakatan
atas Program Investasi Kecamatan (PIK), dan UDKP-4 kesepakatan atas
bentuk pelaksanaan tahun berikutnya. Selanjutnya perencanaan tersebut
menghasilkan dokumen Rencana Strategis (RESNTRA) 3 (tiga) tahun
Kecamatan Lanrisang, Program Investasi Prasarana/Sarana Kecamatan
Lanrisang (PIK) dan Penetapan Desain RAB untuk kegiatan Tahun 2001.
Tahap pelaksanaan pembangunan prasarana di Desa Samaulue
melalui pola pelaksanaan Kerjasama Operasional (KSO) berupa
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh Kontraktor bekerjasama
dengan LKD sebagai Organisasi Masyarakat Setempat, yang telah
mendapat persetujuan atau kesepakatan dalam rapat UDKP 4. Jenis
prasarana yang dibangun adalah sarana transportasi jalan berupa
perkerasan jalan Samaulue – Ulo, yang menghubungkan Desa Samaulue
dengan Desa Wae TuwoE.
Tahap Pemanfaatan dan Pemeliharaan merupakan tahap yang
tidak kalah pentingnya karena akan menentukan keberlanjutan prasarana
64
jalan tersebut. Untuk itu perlu adanya wadah organisasi pemanfaatan dan
pemeliharaan yang optimal oleh masyarakat serta bertanggung jawab
terhadap kesinambungannya. Wadah tersebut yakni Kelompok Pemanfaat
dan Pemeliharaan (KPP) di Desa Samaulue yang dibentuk khusus untuk
menangani prasarana tersebut. Organisasi ini dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Camat Lanrisang dengan fungsi utama yakni memelihara dan
memperbaiki prasarana bila rusak, dan mengembangkan prasarana yang
ada agar bertambah nilai dan umur manfaatnya serta agar prasarana
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Organisasi ini tidak berjalan
dengan baik karena tidak dilengkapi rencana kerja, walaupun dalam
realitasnya bila prasarana jalan rusak, masyarakat memperbaikinya, tapi
bukan inisiatif Kelompok Pemanfaat Pemelihara.
Tahap pemantauan dan evaluasi dimaksudkan agar bagaimana
dimanimalisir kenyimpangan-penyimpangan baik dari segi teknis dan
keuangan, maupun keterlambatan dari waktu yang direncanakan. Tujuan
pemantauan dalam P2D adalah agar supaya segala kegiatan dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan tujuan
evaluasi sebagai umpan balik untuk memaksimalkan manfaat prasarana
yang telah dan akan dibangun di Desa Samaulue. Pemantauan dilakukan
oleh masyarakat, konsultan dan aparat pemerintah
Kelembagaan atau organis asi P2D di Desa Samaulue Kecamatan
Lanrisang tidak terlepas dari organisasai P2D secara keseluruhan sesuai
dengan petunjuk umum tentang organisasi dan tata laksana program P2D.
65
Organisasi program P2D terdiri dari organisasi di desa, organisasi di
kecamatan, organisasi di kabupaten, organisasi di propinsi dan organisasi
di pusat. Dalam tulisan ini hanya organisasi di desa, kecamatan, dan
kabupaten yang akan digambarkan.
a. Organisasi di Desa
Dalam rangka kegiatan P2D di Desa Samaulue, dibentuk beberapa
kelompok/unit kerja, yang dikokohkan oleh Surat Keputusan Kepala Desa
Samaulue, yaitu :
? Kelompok Diskusi Sektor (KDS), merupakan wakil-wakil tokoh
masyarakat Desa Samaulue yang dipilih oleh masyarakat untuk
membicarakan dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat dalam pembangunan desanya di tingkat kecamatan.
Berdasarkan pengamatan peneliti, orang-orang yang menjadi
anggota kelompok ini adalah para anggota LKD Desa Samaulue,
yang berjumlah 8 orang dan masih aktif dalam setiap kegiatan
tingkat desa.
? Fasilitator Desa (FD), dipilih dari masyarakat setempat oleh KDS
sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat dalam
pembangunan prasarana Desa. Figur yang dipilih oleh masyarakat
Desa Samaulue juga merupakan salah seorang dari anggota LKD
Desa Samaulue.
? Organisasi Masyarakat Setempat (OMS), organisasi yang sudah
tumbuh di masyarakat perdesaan baik dari kalangan aparat desa,
66
tokoh masyarakat, kelompok keagamaan dan sosial dan bukan
kepanjangan dari organisasi sejenis di kecamatan atau kabupaten
dan tidak dibentuk hanya untuk keperluan P2D saja. OMS ini yang
bermitra dengan kontraktor yakni LKD Desa Samaulue.
Berdasarkan pengamatan peneliti, saat ini organisasi tersebut
sudah tidak banyak memberikan kontribusi, bahkan mengalami
banyak perubahan. Keanggotaannya banyak didominasi pemuda-
pemudi setempat. Sebagian anggotanya adalah anggota Karang
Taruna Bunga Tani, karang taruna yang aktif di Desa Samaulue.
Anggota aktif berjumlah 12 orang.
? Dalam rangka kegiatan pemanfaatan dan pemeliharaan dibentuk
Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP). Pembentukan KPP
berdasarkan Keputusan Camat Lanrisang dan perencanaan
kegiatan pemanfaatan dan pemeliharaan dibentuk pada saat
prasarana perdesaan hampir selesai, sebagai prasyarat
penyerahan bangunan kepada masyarakat. Anggotanya berjumlah
12 orang yang terdiri atas gabungan anggota LKD Desa Samaulue
dan anggota Karang Taruna Bunga Tani Desa Samaulue.
Secara umum, organisasi yang terbentuk pada saat
pencanangan P2D di Desa Samaulue mengalami perubahan. Artinya,
organisasi tersebut cenderung dipandang sebagai formalitas belaka.
Masyarakat tetap berpartisipasi. Keberadaan masyarakat bukan sebagai
anggota organisasi yang telah terbentuk, tapi semata-mata hanya sebagai
67
anggota masyarakat biasa. Namun demikian, tujuan-tujuan organisasi
tersebut tetap tercapai.
b. Organisasi di Kecamatan
Di Tingkat Kecamatan Lanrisang dibentuk Tim Kelompok Kerja
(Pokja) Kecamatan. Pembentukan dan struktur organisasi dari Pokja
Kecamatan merupakan wewenang Camat. Pokja Kecamatan terdiri dinas,
instansi terkait dengan kegiatan P2D di Kecamatan, tokoh masyarakat,
serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selain itu diangkat pula Kasi
PMD Kecamatan Lanrisang sebagai Pemimpin Bagian Proyek P2D
(Pimbagro) yang diangkat oleh Bupati Pinrang.
Berdasarkan pengamatan peneliti, bentukan tim pokja tersebut
sifatnya hanya temporer. Setelah Program P2D selesai, maka selesai pula
tugas dan fungsi masing-masing.
c . Organisasi di Kabupaten
Di tingkat Kabupaten Pinrang dibentuk Tim Koordinasi P2D dan
Tim Kelompok Kerja (POKJA) kabupaten yang diangkat oleh Bupati
Pinrang. Selanjutnya diangkat pula Pemimpin Proyek Pisik serta
Pemimpin Proyek Pembinaan Administrasi Proyek (PAP) Kabupaten
Pinrang. Setelah Program P2D selesai, maka selesai pula tugas dan
fungsi masing-masing.
d. Konsultan Manajemen
Dalam memfasilitasi pelaksanaan program P2D di Desa Samaulue
Kecamatan Lanrisang difasilitasi sepenuhnya oleh Tim Konsultan. Tim
68
Konsultan ini terdiri dari Konsultan Managemen Teknik (KMT-Kabupaten
Pinrang) dan Tim Konsultan Kecamatan yang terdiri atas 1 orang sebagai
Fasilitator Kecamatan (FK), Tim Teknis Lapangan (TtL) Kecamatan dan
Asisten Tenaga Teknis Lapangan (Ass. TtL). Tugas utama Tim Konsultan
ini memfasilitasi pelaksanaan P2D mulai dari sosialisasi program hingga
pemantaun dan evaluasi di Kecamatan Lanrisang. Setelah Program P2D
selesai, maka selesai pula tugas dan fungsi masing-masing.
2. Penerapan Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif
Pada tahun 2004 perencanaan pembangunan di Kabupaten
Pinrang mengacu kepada Kelender Pembangunan Partisipatif yang
merupakan penjabaran Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif. Pada Tahun 2004,
diterbitkan pula UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Dalam menyikapi undang-undang tersebut,
pemerintah Kabupaten Pinrang tidak serta merta melakukan revisi. Hal
tersebut disebabkan substansi yang hampir sama dengan perda yang
sebelumnya telah diterapkan.
Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Pembangunan Partisipatif memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam setiap perlaksanaan
69
pembangunan di Kabupaten Pinrang, termasuk perencanaan
pembangunan tingkat desa.
Penyusunan program kerja dalam pembangunan infrastruktur
perdesaan merupakan langkah yang sangat penting. Mengingat dengan
adanya program kerja yang baik pelaksanaan pembangunan infrastruktur
perdesaan akan lebih terarah. Dalam rangka penyusunan program ini di
Desa Samaulue dilaksanakan melalui Musyawarah Pembangunan Desa
(Musbangdes) di hadiri oleh Kepala Desa dan perangkat desa lainnya,
tokah-tokoh masyarakat yang duduk dalam Badan Permusyawaratan
Desa (BPD), pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyaraka t (LPM) dan
Perangkat Desa serta pimpinan instansi / unit kerja, Babinsa,
Babinkamtibmas dan para Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang ada di
Desa.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tokoh-tokoh
masyarakat yang duduk sebagai pengurus LPM, selain hasil pilihan
masyarakat ada juga yang duduk secara ex offisio karena menjabat
sebagai pucuk pimpinan dalam organisasi kemasyarakatan yang bersifat
spesifik seperti fungsionaris Karang Taruna Bunga Tani.
Dalam Musyawarah Desa penyusunan program kerja ini akan
diinventarisasi permasalahan-permasalahan yang ada serta upaya-upaya
yang perlu dilaksanakan dalam rangka menyelesaikan permasalaha
tersebut. Dari upaya-upaya dalam menyelesaikan permasalahan inilah
70
salah satunya akan muncul program kerja pembangunan infrastruktur
perdesaan.
Selanjutnya program kerja tersebut dipilah-pilah mana yang
langsung dapat dilaksanakan di Desa mana dan yang perlu diusulkan
untuk dilaksanakan oleh Pemerintah atau Instansi Sektoral tertentu.
Program kerja yang langsung dapat dikerjakan di desa betul-betul dipilih
berdasarkan skala prioritas dan memang sangat mendesak. Setelah itu,
akan dipilah kembali antara yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan
yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada
sesuai dengan bidangnya.
Selain dari pada itu juga diidentifikasi sumber dana yang dapat
dimanfaatkan untuk dapat melaksanakannya termasuk program kerja
yang perlu dimohonkan bantuan dana dari pemerintah, serta prioritas
waktu pelaksanaannya. Dengan demikian akan tersusun program kerja
yang jelas dan terarah baik dari waktu pelaksanaan, sumber dana dan
pelaksana dari program kerja tersebut.
Setelah adanya program kerja pembangunan infrastruktur
perdesaan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
persiapan pelaksanaanya. Untuk program kerja yang dilaksanakan
langsung oleh Desa, Pemerintah Desa Samaulue akan menjalin
kerjasama dengan LKD dengan membentuk Panitia Pembangunan yang
anggotanya terdiri dari unsur-unsur LKD dan Perangkat Desa. Sedangkan
fungs i BPD saat pelaksanaan kegiatan pembangunan adalah sebagai
71
pemantau yang melaksanakan monitoring secara berkala dan turut
memberikan masukan sehingga pelaksaan pembangunan tersebut dapat
sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan program kerja tersebut Panitia
Pembangunan terlebih dahulu membuat rencana kerja, yang
rancangannya digodok bersama-sama dengan anggota BPD. Setelah
rencana kerja tersebut siap untuk dilaksanakan, maka dimulailah kegiatan
pelaksaaannya dengan terlebih dahulu memobilitasi tenaga kerja, bahan
dan peralatan yang dibutuhkan. Untuk pengadaan tenaga kerja, bahan
dan peralatan, sepanjang tersedia di Desa sedapat mungkin
memanfaatkan yang ada di Desa. Namun apabila spesifikasi yang
dibutuhkan tidak ada di Desa barulah panitia akan mendatangkan dari luar
Desa. Pada setiap saat BPD melaksanakan monitoring panitia akan
melaporkan perkembangan pelaksaan kegiatan pembangunan termasuk
dana yang telah dihabiskan untuk pembangunan tersebut.
Setelah pembangunan selesai dilaksanakan panitia pembangunan
akan melaporkan secara detail dari kegiatan pembangunan tersebut
khususnya tentang perincian dana yang dihabiskan untuk pembangunan
tersebut.
Dengan adanya keterbukaan seperti itu dukungan masyarakat
dalam proses pembangunan perdesaan menjadi besar.
Dalam rangka mencapai waktu manfaat dari infrastruktur
perdesaan yang telah dibangun perlu dilaksanakan upaya pelestarian
72
berupa pemeliharaan baik secara rutin maupun berkala. Kegiatan
pemeliharaan ini dilaksanakan secara bergotong royong oleh masyarakat
pemanfaat langusng dari infrastruktur tersebut. Pemeliharan rutin seperti
untuk infrastruktur jaringan jalan dilaksanakan dengan mengadakan
pembersihan bahu dan saluran tepi jalan. Untuk pengadan bahan dan
peralatan guna mela ksanakan pemeliharaan ini diupayakan secara
swadaya dan atau dengan memohon bantuan dari Pemerintah Kabupaten
Pinrang.
C. Pengelolaan Pembangunan Infrastruktur di Desa Samaulue
Implementasi mekanisme pengelolaan ppembangunan di Desa
Samaulue Kecamatan Lanrisang dirinci dalam 5 tahapan kegiatan yang
diawali dengan (1) sosialisasi; (2) Perencanaan pembangunan; (3)
Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur; serta (4) Pemantauan dan
Evaluasi
1. Tahap Sosialisasi
Sosialisasi adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk
menyebarluaskan informasi kepada masyarakat Desa Samaulue tentang
pembangunan yang meliputi tujuan, sumber dana, pendekatan dan
prinsip-prinsip serta mekanisme pengelolaannya. Sosialisasi program
dilaksanakan setelah dilakukan pembentukan kelembagaan di tingkat
kabupaten dan kecamatan. Sosialisasi program dimulai di tingkat
kabupaten, kecamatan dan desa.
73
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh
masyarakat, diketahui bahwa sosialisasi program pembangunan di Desa
Samaulue biasanya dimulai dengan penyampaian di masjid-masjid.
Setelah itu kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan Tudang
Sipulung.
Pelaksanaan tudang sipulung tersebut berlangsung dengan
suasana kekekuargaan dan tidak terkesan sebagai pertemuan formal.
Meskipun demikian, subs tansi pertemuan tetap dapat terlaksana. Berikut
hasil wawancara dengan salah seorang informan.
“kalo ada pertemuan tudang sipulung biasanya tidak terlalu ramai, karena yang hadir biasanya tokoh masyarakat. Mereka saling bercerita pengalaman dan informasi. Setelah itu pak desa akan memberikan penyampaian. Biasanya dilaksanakan tudang sipulung kalau membahas masalah pembangunan desa. (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 17 September 2007 dgn Ltw, 55 tahun) Pelaksanaan kegiatan ini juga merupakan amanat dari Perda No.
10 tahun 2003, yang menjelaskan bahwa pelaksanaan perencanaan
pembangunan di tingkat desa dimulai dengan tudang sipulung.
Berkenaan dengan pelaksanaan tudang sipulung, diketahui bahwa
tidak dinyatakan secara tegas mengenai frekuensi pelaksanaan tudang
sipulung sebelum dilaksanakannya musbangdes. Hal ini terungkap dari
hasil wawancara dengan informan lainnya, yaitu salah satu anggota
panitia pembangunan Desa Samaulue sebagai berikut:
“Dalam pelaksanakan sosialisasi program kami melakukannya di kantor desa Samaulue, kami mengundang bapak-bapak disini yang kami anggap tokoh masyarakat, serta ibu-ibu PKK dan juga anak muda yang dirasa sudah bisa mewakili kelompoknya. Pelaksanaannya sekali kecuali
74
dipandang perlu baru dilakukan 2 kali. Saya kira sosialisasi ini hanya sebatas pada penyebarluasan informasi tentang rencana akan dilaksanakannya musbangdes. Informasi selanjutnya kami sampaikan pada kegiatan berikutnya, soalnya masih banyak pertemuan setelah sosialisasi, dan itu dapat disampaikan juga oleh petugas yang ada lapangan” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 17 September 2007 dgn Hky, 38 thn).
Menyimak persepsi yang dikemukakan itu, maka diketahui bahwa
tujuan pelaksanaan tudang sipulung tersebut adalah penyebarluasan
informasi tentang musrembang dan ajakan untuk berperan serta dalam
pelaksanaannya .
Setelah itu, selanjutnya dilakukan sosialisasi program terhadap
warga masyarakat desa. Sosialisasi langsung kepada masyarakat dalam
bentuk ceramah dilaksanakan di mesjid pada hari jumat, tepanya setelah
shalat Jumat. Pertimbangan yang mendasari dalam menentukan tempat
dan waktu tersebut adalah karena pada tempat dan waktu itulah
masyarakat berkumpul pada tempat dan waktu yang bersamaan. Dengan
demikian target sasaran dapat tepat tanpa melakukan mobilisasi
masyarakat.
Sosialisasi yang dilaksanakan melalui tudang sipulung maupun
yang langsung kepada warga masyarakat desa menunjukkan adanya
partisipasi masyarakat berupa kesediaan masyarakat meluangkan waktu
untuk mendengarkan penjelasan dari pemerintah desa.
75
Persentase pernyataan responden mengenai keterlibatan
masyarakat Desa Samaulue dalam sosialisasi kegiatan pembangunan
infrastruktur desa dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam sosialisasi kegiatan pembangunan infrastruktur desa
Kategori
b
F
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
3
4
20
7
12
12
40
7
8,82
11,76
58,82
20,59
Jumlah 34 71 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,09 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 11 diketahui keterlibatan masyarakat Desa Samaulue
dalam sosialisasi kegiatan pembangunan infrastruktur desa berada dalam
kategori sedang (2,09).
Selain itu, 58,82% responden menyatakan kurang berpartisipasi,
karena responden berpendapat bahwa sosialisasi hanya melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat tertentu saja. Selain itu, biasanya pertemuan di
tingkat desa hanya dihadiri oleh tokoh-tokoh tersebut saja Hal ini pun
berdasarkan pengamatan peneliti bahwa masyarakat lebih memiliki
antusiasme pada kegiatan yang menguntungkan secara pribadi atau
punya kepentingan tertentu.
76
Sejumlah 20,59% respoden lainnya meyatakan tidak
berpartisipasi, alasanya bahwa sosialisasi seharusnya menjadi tugas
pemerintah desa, jadi tidak perlu terlalu mengikutsertakan masyarakat.
Mereka beralasan bahwa terlalu melibatkan masyarakat justru
memperlambat pekerjaan karena sulitnya mempersatukan pendapat dan
membutuhkan waktu yang tidak singkat
Persentase respoden 11,76% menyatakan berpartisipasi, karena
anggapan responden bahwa sosialisasi pembangunan desa mampu
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pembangunan desa
Selanjutnya responden (5,88%) menyatakan sangat efektif karena
kegiatan sosialisasi mampu menumbuhkan rasa memiliki terhadap hasil-
hasil pembangunan, sehingga sebaiknya setiap kegiatan dalam
pembangunan harus diikuti sejak rangkaian kegiatan tersebut dimulai.
Sementara itu, setelah pelaksanaan sosialisasi, diharapkan
masyarakat mengetahui arti pentingnya keterlibatan mereka dalam
pembangunan Desa Samaulue. Keterlibatan mereka tidak hanya
menyukseskan pelaksanaan pembangunan, tetapi sampai pada tahap
menumbuhkan ikatan emosional dan rasa memiliki terhadap hasil
pembangunan Desa Samaulue. Sosialisasi dalam konteks tersebut
dikembangkan dengan pola interaksi, sehingga masyarakat tidak hanya
mendengarkan himbauan pemerintah, tetapi mengetahui betul pesan yang
terkandung dalam himbauan tersebut.
77
Selain terlibat dalam sosialisasi, hal yang tak kalah pentingnya
adalah mereka mengerti pentingnya keterlibatan mereka. Persentase
pernyataan responden mengenai pemahaman masyarakat akan pentingya
peran mereka dalam pembangunan Desa Samaulue dapat dilihat pada
tabel 12.
Tabel 12. Pemahaman Masyarakat Akan Pentingya Peran Mereka Dalam Pembangunan Desa Samaulue
Kategori
b
f
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
1
4
23
6
4
12
46
6
2,94
11,76
61,65
17,65
Jumlah 34 68 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,00 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 12 terlihat bahwa pemahaman masyarakat akan
pentingya peran mereka dalam pembangunan Desa Samaulue berada
pada kategori sedang (2,00).
Selain itu, sebagian besar responden atau 61,65% menyatakan
kurang memahami pentingnya peran mereka dalam pembangunan
infrastruktur Desa Samaulue. Pada umumnya responden tidak memahami
karena tingkat pendidikan yang rendah dan daya tanggap terhadap apa
yang disampaikan oleh pemerintah yang masih rendah.
78
Selanjutnya, terdapat 17,65% responden menyatakan bahwa
tidak memahami arti pentingnya peran mereka dalam pembangunan
infrastruktur Desa Samaulue. Hal itu disebabkan karena responden jarang
mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Desa Samaulue,
termasuk pelaksanaan tudang sipulung yang hanya diikuti oleh sebagian
tokoh masyarakat
Sementara itu, 11,76 % responden memahami pentingnya peran
mereka dalam pembangunan infrastruktur Desa Samaulue. Mereka
beranggapan bahwa pembangunan akan berjalan lancar bila didukung
oleh partisipasi masyarakat.
Hanya 2,94% respoden yang menyatakan sangat memahami
perannya dalam pembangunan karena dengan pelibatan masyarakat,
maka hasil pembangunan akan terjaga dengan baik.
Secara umum, masyarakat Desa Samaulue belum sepenuhnya
terlibat dalam kegiatan sosialisasi pembangunan infrastruktur di desanya.
Akibatnya, mereka tidak begitu memahami arti penting peran masyarakat
dalam pembangunan.
Wujud kontribusi masyarakat berupa kesediaan untuk meluangkan
waktu, dan menerima informasi dari beberapa sumber serta adanya
pertemuan informal yang dilakukan di mesjid menunjukkan partisipasi
masyarakat pada tahap sosialisasi. Informasi disampaikan dalam bahasa
yang sederhana. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat memahami
arti pentinya keterlibatan mereka.
79
Menurut Ndraha (1987) bentuk partisipasi dapat berupa partisipasi
dalam bentuk kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal
perubahan sosial dan partisipasi dalam memberi tanggapan terhadap
informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, mematuhi, melaksanakan)
mengiyakan, menerima dengan syarat maupun menolaknya. Bentuk
partisipasi ini menurut Tikson (2000) termasuk Facilitated Participation,
dimana partisipasi yang muncul dalam sosialisasi adalah karena ada
informasi dari luar berupa undangan yang difasilitasi oleh Kepala Desa
Samaulue dan Panitia Pembangunan. Kehadiran mereka dalam
sosialisasi merupakan wujud nyata partisipasi masyarakat tetapi
partisipasi tersebut bukan inisiatif dari masyarakat melainkan difasilitasi
oleh pihak luar dalam hal ini pemerintah desa dan konsultan kecamatan.
2. Tahap Perencanaan Pembangunan
Hal yang berlaku umum di banyak daerah bahwa pendekatan
perencanaan partisipatif di tingkat desa/kelurahan seringkali tidak
berkelanjutan dan tidak bersambung ke tingkat perencanaan
pembangunan di atasnya. Meskipun ada beberapa upaya untuk
memperbaiki kualitas perencanaan di tingkat desa/kelurahan, berbagai
masukan yang dihasilkan kurang mampu diserap dalam perencanaan di
tingkat yang lebih tinggi (kecamatan maupun kabupaten/kota).
Kecamatan sekarang lebih berfungsi sebagai pelaksana administrasi,
sedangkan fungsi pembangunan lebih diserahkan kepada masing-masing
80
desa/kelurahan. Justru disini peranan kecamatan lebih tepat sebagai
pendorong pembangunan desa/kelurahan dan memfasilitasi sinergi antar
desa untuk mendorong sinergi pembangunan antar desa. Kecamatan
sebagai kepanjangan tangan Bupati sangat penting untuk bisa
memecahkan hambatan (failure) pelayanan publik kepada masyarakat
bawah, sehingga koordinasi teknis pembangunan daerah masih sangat
relevan dilaksanakan di kecamatan.
Dalam konteks pembangunan partisipatif pada tingkat desa dan
kecamatan di Kabupaten Pinrang, digunakan pendekatan perencanaan
partisipatif. Perencanaan partisipatif yang paling dasar adalah dengan
dilakukannya identifikasi dan perumusan kebutuhan di tingkat
desa/kelurahan. Kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan UDKP di
tingkat kecamatan dan menghasilkan RPJM kecamatan.
Perencanaan pembangunan Desa Samaulue menganut
pendekatan partisipatif yang bersifat bottom-up, yang kemudian
diterapkan pada pelaksanaan musbangdes di Desa Samaulue dan UDKP
tingkat Kecamatan Lanrisang.
a. Pelaksanaan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) Desa
Samaulue
Setelah sosialisasi, maka dilanjutkan dengan kegiatan musrembang
tingkat desa. Musrembang inilah wahana bagi masyarakat untuk
menyampaikan semua aspirasi dan keinginan mereka. Berikut hasil
81
wawancara yang disampaikan oleh informan mengenai kegiatan kegiatan
musrembang tingkat desa di Desa Samaulue.
“Dalam pelaksanaan musrembang yang dilaksanakan di kantor desa, banyak tokoh masyarakat yang hadir. Bahkan lebih banyak dari acara tudang sipulung. Semua peserta antusias mengikuti sosialisasi, karena mereka beranggapan akan ada proyek yang masuk ke desanya” (Wawancara dilakukan pada Hari Kamis , 20 September 2007 dgn St, 46 Tahun). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa antusiasme
masyarakat desa untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan
pembangunan desa sangat besar, karena sasarannya adalah penyediaan
sarana dan prasarana perdesaan, serta memberi peluang yang besar
pada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa.
Pelaksanaan musyawarah difasilitasi oleh Kepala Desa Samaulue
dan panitia pembangunan dan dibimbing oleh konsultan. Dalam kegiatan
ini diharapkan masyarakat memutuskan rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan dan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat Desa
Samaulue. Kegiatan ini berpedoman pada Kalender Partisipatif Kabupaten
Pinrang yang telah diamanatkan dalam Perda No. 10 tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif. Kegiatan ini juga melibatkan
perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, anggota BPD, LKD
serta anggota masyarakat lainnya.
Musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) merupakan forum
yang memenuhi keinginan atau penggalian gagasan atau aspirasi dari
warga masyarakat desa melalui waki-wakilnya yang hadir dalam
musyawarah tersebut. Dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan
82
kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat, selalu dilaksanakan
musyawarah desa terlebih dahulu.
Demikian halnya dengan pembangunan desa. Pada tahap awal
pelaksanannya dilakukan musyawarah desa untuk menyusun rencana
kegiatan yang nantinya menjadi usulan desa. Sebelum Musbangdes
dilaksanakan, penggalian gagasan atau aspirasi masyarakat diawali dari
dusun. Setiap dusun berinisiatif mengadakan pertemuan informal guna
menggali gagasan guna mendapatkan gambaran mengenai apa yang
akan diusulkan nanti pada saat musbangdes. Seperti yang diungkapkan
salah seorang informan sebagai berikut:
“Sebelum rapat di desa terlebih dahulu kami mengadakan rapat di rumah Bapak Kepala Dusun Ulo. Kami mencoba menyusun beberapa jenis kegiatan yang kami butuhkan, kemudian disusun mana yang lebih didahulukan yang menurut kami sangat mendesak. Hasil diskusi itulah yang kami sampaikan di dalam rapat desa. Dusun lain juga melakukan hal yang sama. Pak Desa dalam rapat musyawarah di desa selalu memberikan pengarahan terutama kalau ada usul yang sama dari dusun lain, begitu juga usul dari kelompok pemuda maupun usul dari kelompok PKK” (Wawancara dilakukan pada Hari Kamis, 20 September 2007 dgn Jr, 38 thn).
Menyimak secara seksama dari pemaparan informan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya usulan kegiatan yang dihasilkan
dalam forum Musyawarah Pembangunan Desa itu bersumber dari hasil
musyawarah di tingkat paling bawah. Hal ini ditandai dengan adanya
pertemuan-pertemuan informal yang dilakukan masyarakat di setiap
dusun dalam bentuk urun rembug atau pertemuan informal yang bertu juan
untuk menyamakan persepsi dan kesepakatan mengenai kebutuhan yang
83
sesungguhnya dibutuhkan di lingkungan masing-masing. Apa yang
menjadi kesepakatan bersama dari pertemuan yang bersifat informal
itulah yang mereka kembangkan di desa melalui forum Musbangdes.
Pelaksanaan musyawarah desa yang dilakukan secara terbuka
dihadiri oleh Kasi PMD Kecamatan Lanrisang, Kepala desa dan perangkat
Desa Samaulue, pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), panitia pembangunan,
tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kepala dusun/Ketua RT, anggota
masyarakat serta unsur PKK.
Dalam forum musyawarah pembangunan desa tersebut dilakukan
penggalian gagasan dari peserta secara terbuka. Setiap peserta diberikan
kesempatan untuk mengajukan ide-ide atau usulan kegiatan yang
dianggap perlu di lingkungan masing-masing. Proses Musyawarah
Pembangunan Desa diawali dengan pembukaan oleh Ketua Panitia.
Dalam pembukaan tersebut, dipaparkan tujuan dan sasaran yang akan
dicapai dari kegiatan tersebut.
Berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan, mekanisme
pelaksanaan Musbangdes tahun 2007 tidak memiliki perbedaan yang
signifikan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terungkap berdasarkan
hasil wawancara dengan salah seorang informan.
“Musbangdes tahun ini (2007) diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat sebagaimana tahun lalu. Mereka tidak hanya memberikan usulan, tetapi mengevaluasi pelaksanaan pembangunan desa tahun lalu. Usulan yang ada sebagian merupakan tindak lanjut atas pembangunan tahun lalu.” (Wawancara dilakukan pada Hari Jumat, 21 September 2007 dgn Ld, 35 tahun)
84
Dari wawancara tersebut terungkap bahwa perencanaan secara
berkelanjutan tidak hanya sebatas membahas melanjutkan pembangunan,
tetapi hingga dalam konteks pelaksanaan musyawarah . Bahkan, pada
saat Musbangdes dalam rangka implementasi program P2D tahun 2001,
panitia pembangunan banyak mengadopsi teknis-teknis pelaksanaan
Musbangdes yang kemudian dikolaborasikan dengan Musbangdes tahun
ini.
Salah satu bentuk adopsi pelaksanaan Musbangdes adalah
pembentukan pokja tiap kelompok masyarakat. Hal ini serupa dengan
pemilihan anggota Kelompok Diskusi Sektor (KDS) pada waktu
implementasi program P2D. Kelompok kerja yang terbentuk berdasarkan
kesamaan masing-masing anggota pokja. Misalnya pokja irigasi dimana
anggotanya sebagian adalah para petani pengguna air. Usulan mereka
pun tidak terlepas dari masalah irigasi, misalnya perbaikan saluran irigasi
guna memperlancar distribusi air ke persawahan.
Selain pembentukan pokja, juga dilaksanakan pemilihan Fasilitator
Desa (FD). Untuk tahun 2007, Fasilitator Desa Samaulue dipilih secara
aklamasi oleh seluruh peserta Musbangdes. Hasilnya adalah menunjuk
Lodi, 35 tahun, sebagai Fasilitator Desa Samaulue. Ia dipilih atas
pertimbangan pengalaman beliau dalam pendampingan masyarakat.
Setelah pelaksanaan pemilihan Fasilitator Desa, maka dilanjutkan dengan
penentuan usulan desa dengan melakukan penggalian kebutuhan
masyarakat. Proses penggalian kebutuhan masyarakat, pemilihan
85
fasilitator maupun rangkaian kegiatan yang lainnya dilakukan melalui
musyawarah, seperti yang disampaikan salah seorang informan.
“Kalau saya bandingkan dengan rapat-rapat di desa, biasanya kegiatan Musrembang banyak yang hadir. Kami sepertinya berlomba mengajukan usul proyek untuk dibangun di desa kami. Setiap usul dari wakil setiap dusun mengajukan usul lalu ditanggapi bersama. Mana yang lebih perlu untuk diusulkan, begitu juga dalam memilih orang-orang yang mewakili wakil-wakil kami mengikuti rapat di kecamatan, seperti Fasilitator Desa, semua diputuskan melalui musyawarah” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 24 September 2007 dgn Dg, 65).
Pemaparan subjek di atas senada dengan keterangan yang
diungkapkan seorang tokoh pemuda Desa Samaulue yang
mengemukakan pengalamannya sebagai berikut :
“Sebenarnya kalau rapat-rapat pembangunan desa seperti penyusunan rencana kerja sudah sering dilakukan sebelumnya. Kami disini bersama tokoh-tokoh masyarakat di desa ini melakukan musyawarah dan semua yang diputuskan di dalam rapat merupakan kesepakatan bersama. Masyarakat sangat gembira menyambut, soalnya sudah dilihat buktinya bahwa apa yang dulu kami rencanakan hasilnya sudah dirasakan sekarang” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 24 September 2007 dgn Mdn, 34 thn).
Salah satu hal yang membuat mereka termotivasi adalah proses
perencanaan pembangunan desa melibatkan semua komponen
masyarakat dan semua keputusan yang dicapai berdasarkan musyawarah
dan kemufakatan bersama. Masyarakat merasa dihargai dan
menganggap bahwa diri mereka juga dapat memberikan kontribusi yang
berarti dalam proses pembangunan di desanya. Pada tahap ini
masyarakat adalah sebagai sumber informasi tentang keadaan diri
mereka, lingkungan mereka yang berhubungan dengan mereka
86
Partisipasi masyarakat yang diwujudkan dengan menghadiri
pertemuan-pertemuan pada rapat musyawarah desa serta keterlibatannya
secara aktif dalam proses penyusunan rencana kegiatan berupa daftar
usulan desa merupakan partisipasi masyarakat sebagaimana yang
diharapkan, terutama untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap hasil
pembangunan, karena mengikuti setiap proses yang ada di dalamnya.
Dalam Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif, untuk mendapatkan perencanaan
yang betul-betul bersumber dari masyarakat, digunakan metode
penggalian kebutuhan masyarakat yang dikenal dengan istilah Community
Need Assestment (CNA).
Dalam konsep community development, perencanaan
pembangunan dengan pendekatan partisipatif menempatkan masyarakat
sebagai subyek pembangunan. Dengan melakukan pendekatan
partisipatif, maka Community Need Assestment (CNA) dijadikan acuan
untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Dalam CNA inilah,
pemerintah, fasilitator dan masyarakat menggali kebutuhannya yang
nyata, serta bukan suatu perkiraan atau dugaan.
Untuk Desa Samaulue, pendekatan ini telah diterapkan sejak tahun
2004, dimana CNA bukan hanya digunakan dalam Musrembang tahunan,
tapi juga telah digunakan dalam menyusun Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Desa Samaulue Tahun 2005-2009. Teknik
CNA dikembangkan dengan mengidentifikasi masalah kemudian
87
mengelompokkan masalah. Pengelompokan ini dilakukan oleh masing-
masing pokja dalam musrembang, sehingga dihasilkan rumusan
kebutuhan yang nyata.
Setelah penyusunan rencana dari desa selesai dirumuskan, maka
hasil musyawarah dalam forum Musbangdes tersebut selanjutnya disusun
berdasarkan skala prioritas yang dirangkum dalam bentuk daftar usulan
kegiatan desa. Hasil dari Musbangdes inilah yang nantinya dibawah ke
Forum Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkat kecamatan.
Hasil dari Musbangdes di Desa Samaulue yang diusulkan ke
tingkat kecamatan, dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini:
Tabel 13. Rekapitulasi Daftar Usulan Program Desa Samaulue Tahun 2007
Jenis Usulan Kegiatan Satuan Volume Ket.
Jembatan Ulo + Talud
jembatan M 20,0 Rehab.
Perintisan jalan
Ulo – Waetuoe Km 6,0 Baru
Perpipaan Air Bersih Km 4,0 Baru
Drainase Jalan Desa
Samaulue Km 3,0 Baru
Sumber: Renstra Kecamatan Lanrisang Tahun 2006
Sementara itu, persentase pernyataan responden mengenai keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam perencanaan dan penyusunan rencana kegiatan pembangunan di tingkat desa dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14. Keterlibatan Masyarakat Desa Samaulue Dalam
Perencanaan dan Penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan di Tingkat Desa
88
Kategori b f ?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
17
14
1
8
51
28
1
5,88
50,00
41,18
2,94
Jumlah 34 68 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,09 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 14 terlihat bahwa keterlibatan masyarakat Desa
Samaulue dalam perencanaan dan penyusunan rencana kegiatan
pembangunan di tingkat desa berada dalam kategori sedang (2,09).
Selain itu, sebagaian besar responden atau 50,00% menyatakan
berpartisipasi. Responden berpendapat bahwa proses perencanaan
pembangunan desa di Desa Samaulue melibatkan semua komponen
masyarakat dan semua keputusan yang dicapai berdasarkan musyawarah
dan kemufakatan bersama. Masyarakat merasa dihargai dan
menganggap bahwa diri mereka juga dapat memberikan kontribusi yang
berarti dalam proses pembangunan di desanya.
Sejumlah 41,18% respoden lainnya meyatakan kurang
berpartisipasi, dengan alasan bahwa meskipun pada pelaksanaan
musrembang tingkat desa, memang banyak yang hadir. Namun kehadiran
mereka hanya sekedar mendengarkan. Memang diakui bahwa semua
usulan berasal dari masyarakat, namun dari semua yang memberikan
usulan, masih lebih banyak peserta yang hadir tapi tidak memberikan
89
usulan apa-apa. Sebagian besar hanya duduk sembari membahas hal
lain.
Persentase respoden 5,88% menyatakan sangat berpartisipasi,
karena anggapan responden bahwa kegiatan perencanaan dan
penyusunan program memang sepenuhnya dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat. Responden juga menganggap bahwa
wacana yang awalnya dikembangkan dalam tudang sipulung benar-benar
dituangkan dalam Musbangdes tingkat Desa Samaulue.sosialisasi
pembangunan desa mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
pembangunan desa
Selanjutnya responden 2,94% menyatakan tidak berpartisipasi karena
responden menganggap masih lebih banyak masyarakat Desa Samaulue yang
tidak hadir daripada yang hadir dalam rapat Musbangdes.
b. Musyawarah Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) Kecamatan
Lanrisang
Setelah penerapan Perda Kabupaten Pinrang No. 10 Tahun 2003,
maka bentuk dan mekanisme pertemuan yang dikembangkan di
Kabupaten Pinrang pada tingkat kecamatan adalah UDKP Partisipatif
(Unit Daerah Kerja Pembangunan). Usulan yang telah terumuskan di
tingkat desa/kelurahan selanjutnya dibawa ke tingkat kecamatan.
Pertemuan ini juga biasa disebut sebagai Forum Konsultasi Tingkat
Kecamatan.
90
Langkah membawa usulan perencanaan pembangunan dari tingkat
desa/kelurahan ke tingkat kecamatan ini sangat penting untuk dilakukan.
Pertimbangan kebutuhan ini didasarkan pada 3 hal:
1. Diskusi UDKP di tingkat kecamatan menjadi ajang saling bertukar
pengalaman atas hasil RPJMd/K dari masing-masing desa/kelurahan
2. Diskusi UDKP merupakan wahana untuk menyinergikan usulan-usulan
kegiatan pembangunan yang berasal dari masyarakat tingkat
desa/kelurahan dengan usulan kegiatan pembangunan yang berasal
dari organisasi nonpemerintah, sektor swasta, dan pemerintah
kabupaten/kota
3. Diskusi UDKP juga menjadi wahana pembelajaran bagi masyarakat.
Berkaitan dengan pentinganya pendekatan partisipatif dalam
proses pembelajaran bagi masyarakat, berikut hasil wawancara dengan
informan mengenai proses pembelajaran dalam penyusunan rencana.
“Kalau dulu saya cuma ikut menanyakan proyek di lapangan jadi banyak yang kutahu masalah di lapangan. Kalau sekarang ini saya ikut rapat mulai rapat di desa sampai ke kecamatan. Saya cukup banyak mendapat pengalaman bagaimana menyusun rencana kerja dan caranya mengisi blanko laporan pelaksanaan kegiatan. Hal ini dimungkinkan karena selalu terjadi diskusi yang baik, serta kita belajar banyak dari konsultan. Saya juga sudah tahu bagaimana caranya berdiskusi, karena waktu rapat lebih banyak didiskusikan proyek-proyek yang akan masuk kesini” (Wawancara dilakukan pada Hari Rabu, 26 September 2007 dgn Ld, 37 thn).
Jawaban yang diberikan oleh informan menggambarkan dengan
sangat jelas karakteristik masyarakat lokal pedesaan. Pendekatan
partisipatif dari sejak perencanaan tingkat desa hingga kecamatan banyak
91
melibatkan partisipasi masyarakat secara efektif, dimana didalamnya
terjadi proses pembelajaran terutama pengalihan pengetahuan dari
konsultan kepada masyarakat yang terlibat dalam proses perencanaan.
Dan secara umum bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat serta menanamkan sikap yang demokratis
dalam menerima perbedaan pendapat. Hal senada disampaikan oleh
salah seorang informan berikut ini.
“Pendekatan partisipatif memang dirancang untuk
memberdayakan masyarakat dan juga aparat pemerintah sehingga pengetahuan dan keterampilan dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan pendampingan dan pelatihan yang diberikan. Pada awalnya didalam rapat masyarakat boleh dikatakan belum banyak memahami bagaimana mekanisme kerja dari proses kegiatan pembangunan, namun setelah dilakukan beberapa kali pertemuan masyarakat mengalami kemajuan. Dalam setiap kesempatan didalam rapat baik di Musbangdes maupun di kecamatan masyarakat pada dasarnya punya potensi, tinggal mengembangkan potensi itu” (Wawancara dilakukan pada Hari Rabu, 26 September 2007 dgn Frd, 41 thn).
UDKP yang dicoba dikembangkan di Kecamatan Lanrisang adalah
UDKP Partisipatif. UDKP ini dinamakan UDKP Partisipatif oleh karena di
dalam pelaksanaannya menerapkan sepenuhnya pendekatan bottom-up,
sebagai upaya untuk mengatasi kendala -kendala pelaksanaan
perencanaan dari bawah. Kendala yang dimaksud adalah seperti belum
sepenuhnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat, dominasi elite
tertentu yang masih tinggi dan belum terlibatnya secara aktif masyarakat
dalam menentukan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.
92
Berdasarkan uraian di atas, maka UDKP Partisipatif adalah suatu
proses pembahasan, penilaian dan penentuan urutan prioritas rencana
pembangunan yang berasal dari masyarakat dan dari pemerintah di
tingkat Kecamatan Lanrisang. Proses pembahasan dilakukan secara
terpadu dan obyektif bersama unsur-unsur terkait dari tingkat desa dan
kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota untuk menghasilkan rencana
pembangunan tahunan daerah.
Maksud diselenggarakan UDKP adalah sebagai media untuk
membahas, menyusun dan merencanakan proyek-proyek pembangunan
kecamatan untuk tahun ke depan. Proyek pembangunan yang dibutuhkan
oleh masyarakat setempat ini, bisa saja dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBdes), swadaya masyarakat, sumber
dana lain yang sah dan atau yang akan diusulkan untuk dibiayai dari dana
APBD Kabupaten/Kota/Propinsi/APBN.
Sebagai pedoman pelaksanaan UDKP Partisipatif Kecamatan
Lanrisang, diperlukan pemahaman yang sama atas prinsip, mekanisme
dan unsur-unsur yang terkait di dalamnya.
Sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang mendorong
keberpihakan kepada masyarakat, partisipatif, saling terkait, menghargai
potensi, dan berkesinambungan, maka prinsip pelaksanaan UDKP
Partisipatif di Kecamatan Lanrisang adalah:
93
1. UDKP Partisipatif dilaksanakan secara terbuka dengan
mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam pengambilan
keputusan.
2. Pembahasan UDKP Partisipatif meliputi usulan rencana-
rencana pembangunan dari masyarakat dan pemerintah.
3. Hasil pembahasan UDKP Partisipatif ditetapkan dengan
melakukan penilaian berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan.
4. Hasil pembahasan UDKP Partisipatif akan menjadi bahan
penyusunan RAPBD, dan penetapan APBD
Dengan adanya prinsip pelaksanaan tersebut di atas, diharapkan
sejak proses pelaksanaan hingga pada perumusan hasilnya, UDKP
Partisipatif di Kecamatan Lanrisang akan mampu memberikan bahan
program pembangunan untuk tahap berikutnya, terutama dalam
penyusunan RAPBD.
Sementara itu, mekanisme pelaksanaan diarahkan untuk
membahas sebanyak mungkin berbagai sektor pembangunan yang ada
di tingkat Kecamatan Lanrisang. Sebagai media pembahasan, dibentuk
sidang kelompok yang menangani bidang-bidang penting seperti bidang
pembangunan fisik dan prasarana, ekonomi dan sosial budaya. Agar
forum ini bisa diketahui oleh seluruh masyarakat dalam wilayah
Kecamatan Lanrisang, maka disosialisasikan secara terbuka dengan
94
memasang spanduk-spanduk pada tempat-tempat yang ramai, misalnya
balai desa.
Secara skematis, mekanisme UDKP Partisipatif yang dilakukan
pada tahun 2006 di Kecamatan Lanrisang terdiri dari:
1. Sidang Pleno I
Sidang Pleno I dengan dihadiri seluruh peserta dan bertujuan
menetapkan kesepakatan-kesepakatan dalam pelaksanan Forum
Konsultasi Pembangunan Tingkat Kecamatan Partisipatif dan agenda-
agenda sidang kelompok berikutnya.
2. Sidang Kelompok (Bidang Fisik dan Prasarana, Ekonomi dan Sosial
Budaya)
Sidang kelompok merupakan sidang utama dalam UDKP Partisipatif
yang membahas dan melakukan penilaian serta menentukan urutan
prioritas kegiatan berdasarkan dokumen RPJMd/k di masing-masing
desa atau kelurahan wilayah kecamatan yang telah disiapkan menurut
bidang-bidang pembahasannya secara terpisah.
3. Sidang Pleno II
Sidang Pleno II dengan dihadiri seluruh peserta sidang membahas
hasil-hasil pembahasan sidang-sidang kelompok dan menetapkan
hasil UDKP Partisipatif.
Agar proses pelaksanaan pada seluruh tahapan sidang berjalan
lancar dan terarah, maka untuk setiap sidang pembahasan dipimpin
seorang fasilitator. Fasilitator sidang ini merupakan salah satu unsur
95
penting dalam UDKP Partisipatif yang disepakati dalam forum dan tidak
harus dari unsur kecamatan.
Adapun dalam pembahasan usulan, baik peserta maupun
fasilitator dapat mengemukakan pendapatnya dalam rangka menentukan
usulan yang disepakati dan usulan yang tidak disepakati. Dan dalam
tahap penilaian, pengambilan suara diambil dari peserta sidang
berdasarkan one vote one elemen (satu suara mewakili satu unsur) dan
fas ilitator tetap memiliki hak suara.
Unsur-unsur UDKP Partisipatif ini dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok input dan dan proses. Kelompok input terdiri dari:
peserta, fasilitator, alat peraga dan visualisasi, dan materi pembahasan.
Kelompok proses terdiri dari : partisipasi peserta, penilaian & urutan
prioritas, dan tahapan pelaksanaan UDKP Partisipatif. Sementara untuk
unsur dokumentasi mencakup kelompok input dan proses.
c. Tahap-Tahap Kegiatan dalam UDKP Partisipatif di Kecamatan
Lanrisang
Pada hakekatnya, tahap-tahap UDKP Partisipatif ini tidak terlepas
dari persoalan bagaimana menyelenggarakan suatu pertemuan publik
secara partisipatif. Hal ini berlaku pula untuk bentuk pertemuan atau
musyawarah lain seperti pertemuan tingkat RW, Musbangdes/kel maupun
Rakorbang. Dan harus disadari pula bahwa UDKP Partisipatif merupakan
media pertemuan yang sangat penting terutama sebagai media
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat.
96
Adapun penyelenggaraan UDKP Partisipatif dilakukan melalui
tiga tahap pokok, yakni pra-UDKP, pelaksanaan UDKP dan pasca UDKP.
Seluruh tahap kegiatan tetap mencerminkan nuansa partisipatif, yakni
sejak pengumpulan usulan, pembahasan usulan dalam sidang pleno
hingga dokumentasi dan rencana tindak.
1) Tahap Pra UDKP Partisipatif
Pembentukan tim pelaksana menjadi titik penting dalam tahap pra atau
persiapan, terutama untuk memfasilitasi dan memastikan agar proses
UDKP berjalan secara partisipatif. Tahap pra UDKP Partisipatif meliputi:
a. Pembentukan tim pelaksana UDKP Partisipatif, termasuk
menentukan fasilitator
b. Pengidentifikasian dan mengundang peserta UDKP
c. Pengumpulan usulan hasil Musbangdes/kel sebagai usulan dari
masyarakat
d. Pengumpulan usul pemerintah
e. Kompilasi kedua usul dari pemerintah dan masyarakat ke dalam
bidang ekonomi, prasarana fisik dan sosial budaya
2). Tahap Pelaksanaan UDKP Partisipatif
Tahap pelaksanaan pada hakekatnya merupakan perwujudan dari
mekanisme UDKP Partisipatif dengan titik tekan pada sidang kelompok
yang membahas kedua usulan dari pemerintah dan masyarakat sesuai
dengan bidang kegiatan masing-masing.
97
Berdasarkan penelitian, maka diketahui bahwa untuk
memudahkan pemahaman, berikut kutipan mengenai agenda sidang
mulai dari pembukaan, sidang pleno I, sidang kelompok , pleno II hingga
penutupan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada tahap sidang ini
peran fasilitator sangat penting dalam mengarahkan fokus sidang.
Adapun agenda sidang yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan
? Pembukaan oleh Camat
? Sambutan dari yang mewakili Kepala Daerah
2. Sidang Pleno I (fasilitator)
? Penjelasan tentang metode UDKP Partisipatif
? Penyampaian tata tertib dan jadwal UDKP
? Pembagian kelompok
3. Sidang Kelompok (fasilitator)
? Penyampaian kriteria dan penilaian kegiatan
? Penyampaian hasil usulan masyarakat tingkat kelurahan
? Penyampaian usulan kegiatan dari masing-masing dinas
? Pembahasan usulan kegiatan
? Usulan kegiatan yang disepakati dilanjutkan dalam tahap
penilaian
? Penetapan urutan prioritas kegiatan
4. Sidang Pleno II (fasilitator)
? Penyampaian hasil sidang kelompok
98
? Pembahasan umum hasil sidang kelompok
? Usulan kegiatan yang disepakati
? Usulan kegiatan yang tidak disepakati
5. Penutupan (camat)
? Penetapan hasil-hasil UDKP
? Penutupan.
3). Tahap Pasca UDKP Partisipatif
1. Dokumentasi hasil UDKP Partisipatif
? Hasil pembahasan UDKP Partisipatif dituangkan dalam format
usulan kegiatan yang disepakati dan usulan kegiatan yang tidak
disepakati.
2. Rencana tindak lanjut
? Usulan kegiatan yang dipakati diteruskan untuk dibahas pada
Rakorbang Partisipatif.
? Usulan kegiatan yang tidak disepakati dapat diajukan kembali
dalam pembahasan perencanaan pembangunan tahun
berikutnya mulai Musbangdes/kel, UDKP dan Rakorbang.
d. Penilaian dan Penetapan Urutan Prioritas
Permasalahan yang berasal dari tiap desa/ kelurahan dan
diangkat di tingkat kecamatan pasti sangat beragam dan masing-masing
pihak ingin agar permasalahan yang mereka usulkan segera ditangani.
Persoalannya adalah bahwa sumber daya yang digunakan untuk
99
menyelesaikan permasalahan sangat terbatas, termasuk di sini adalah
sumber pendanaan.
Untuk efisiensi dan efektifitas pertemuan di tingkat kecamatan
ini, perlu ditentukan standar penilaian dan penetapan urutan prioritas.
Sebab apabila tidak ditentukan sebelumnya, tidak mustahil akan muncul
dead lock (jalan buntu) dalam pelaksanaan pe rtemuan tersebut, di mana
masing-masing desa memaksakan kebutuhan mereka untuk segera
dipenuhi.
Berikut hasil wawancara dengan salah seorang responden
terkait mengenai sikap peserta rapat bila terjadi dead lock.
“Dulu kalau terjadi jalan buntu, rapat menjadi ribut karena semua menganggap usulannya yang paling penting. Bahkan cenderung terbawa emosi. Peristiwa seperti itu sering terjadi dan masih wajar-wajar saja. Namun pelaksanaan UDKP sekarang ini sudah memakai ukuran tertentu dan telah disepakati sebelumnya sehingga dapat dipakai untuk mengukur usulannya siapa yang paling penting” (Wawancara dilakukan pada Hari Rabu, 26 September 2007 dgn Mlim,47 tahun)
Dari wawancara diatas diketahui bahwa sangat penting untuk
menetapkan standar prioritas, dan terutama bahwa standar tersebut
berlaku bagi semua desa dan kelurahan secara adil.
Adapun ukuran standar penilaian dan penetapan urutan
prioritas tersebut adalah sebagai berikut:
1). Kriteria seleksi
Kriteria adalah alat ukur yang digunakan untuk membedakan
tingkat prioritas pengembangan dari satu bidang dengan bidang yang
100
lain. Sebagai alat ukur, penentuan kriteria menjadi sangat penting agar
setiap kesepakatan ataupun keputusan yang diambil telah melalui
pembahasan yang obyektif dan adil sesuai dengan kemufakatan yang
telah diproses sebelumnya.
Oleh karena itu kriteria seleksi harus memenuhi syarat:
? spesifik
? tajam
? bebas
? berdiri sendiri
? tidak saling mempengaruhi (kolinear)
Sehubungan dengan tuntutan terhadap sifat-sifat kriteria yang
harus dipenuhi, maka penentuan kriteria seleksi dan urutan prioritas
usulan kegiatan didasarkan pada spesifikasi bidang pembahasannya
sebagaimana terinci dalam tabel-tabel yang tersedia.
2). Penilaian dan urutan prioritas
? Penentuan urutan prioritas kegiatan dilakukan melalui penilaian
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti
kepentingan, kemendesakan (urgensi) dan kelayakan sehingga
dapat dibedakan tingkat kepentingannya. Penilaian dilakukan pada
setiap kriteria kegiatan.
? Tingkat kepentingan kriteria dikuantifikasikan melalui skala rasio.
Penilaian (scoring) tingkat kepentingan kriteria harus dilakukan
secara tegas mengenai berapa skor dan bagaimana tingkat
101
kepentingannya. Seperti angka 1 mewakili sangat rendah, 2
rendah, 3 sedang, 4 tinggi dan 5 mewakili tingkat kepentingan
sangat tinggi.
? Usulan kegiatan yang dibahas adalah usulan-usulan masyarakat
yang tidak dapat didanai/ dikerjakan oleh swadaya dalam
Musbangdes/kel.
Setelah melalui analisis tingkat prioritas dan penentuan skor
yang menghasilkan daftar pendek.
Short list ini adalah gambaran mengenai usulan-usulan yang
bersumber dari seluruh masyarakat dalam suatu lingkup kecamatan. Tidak
semua yang menjadi usulan dari peserta dalam UDKP dapam dituangkan
dalam rekapitulasi ini karena mengingat terbatasnya kemampuan
pemerintah dalam mengakomodir semua masukan yang berasal dari
bawah. Pemerintah kecamatan dan fasilitator desa akan mengupayakan
suatu tindakan maksimal dalam meloloskan apa yang telah tercantum
dalam short list ini. Untuk selanjutnya usulan tersebut akan dibahas pada
tingkat kabupaten bersama usulan usulan dari kecamatan yang lain.
Lebih jelasnya mengenai daftar pendek (short list) usulan kegiatan
dari desa/kelurahan di Kecamatan Lanrisang dapat dilihat pada tabel 15.
Tabel 15. Rekapitulasi Daftar Pendek (Short List) usulan Desa/Kelurahan Hasil UDKP Kecamatan Lanrisang
No Rangk Keg.
Jenis Usulan
Asal Usulan
Sat.
Vol.
Ket
1 2 3 4 5 6 7 1 1 Perkerasan jalan poros BarangPalie Km 4,0 Baru
102
Barangpalie 2 2 Perkerasan jalan poros
desa Waetuoe Waetuoe Km 3,0 Baru
3 3 Perkerasan jalan Waetuoe -Barangpalie
Waetuoe Km 3,0 Baru
4 3 Perkerasan jalan desa di Dusun Padanglampe
Amassangan Km 6,0 Baru
5 4 Jembatan Ulo + Talud jembatan
Samaulue M 20,0 Rehab.
6 5 Perkerasan jalan Lanrisang-Jam pue
Lanrisang Km 3,0 Baru
7 6 Rehab pasar Lanrisang Lanrisang unit 1 Rehab. 8 7 Perkerasan Amassanagan-
Padakkalawa Amassanagn Km 1,0 Baru
9 7 Perintisan jalan Ulo – Waetuoe
Samaulue Km 6,0 Baru
10 8 Tanggul Pantai Lanrisang Km 0,1 Baru 11 8 Perintisan jalan Lanrisang-
Padanglampe Amassangan Km 1,8 Baru
12 9 Pasar Desa waetuoe Unit 1,0 Baru 13 10 Perkerasan jalan
Lanrisang-Padakkalawa Lanrisang Km 3,0 Baru
14 11 Rehab jembatan jalan desa
Lanrisang Km 2,0 Baru
15 11 Perkerasan Farm road Waetoe Km 3,5 Baru 16 11 Perkerasan jalan
Amassangan-Ulo Amassangan Km 3,5 Baru
17 12 Drainase Jalan Desa Samaulue
Samaulue Km 3,0 Baru
18 13 Perintisan jalan Amassangan – Waetuoe
Amassangan Km 6,0 Baru
Sumber : Rencana Strategis Kecamatan Lanrisang, 2006
Persentase pernyataan responden mengenai partisipasi
masyarakat Desa Samaulue dalam mengusulkan hasil musbangdes untuk
diprioritaskan dalam UDKP di tingkat Kecamatan Lanrisang dapat dilihat
pada tabel 16.
Tabel 16. Partisipasi Masyarakat Desa Samaulue Dalam Mengusulkan Hasil Musbangdes Untuk Diprioritaskan Dalam UDKP Di Tingkat Kecamatan Lanrisang
Kategori
b
f
?
%
103
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
4
18
10
8
12
36
10
5,88
11,76
52,94
29,41
Jumlah 34 68 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 1,94 (Rendah)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 16 terlihat bahwa partisipasi masyarakat Desa
Samaulue dalam mengusulkan hasil musbangdes untuk diprioritaskan
dalam UDKP di tingkat Kecamatan Lanrisang termasuk dalam kategori
rendah (1,94).
Sementara itu, sebagaian besar responden atau 52,94%
menyatakan kurang berpartisipasi, karena responden berpendapat bahwa
proses partisipasi masyarakat Desa Samaulue dalam mengusulkan hasil
musbangdes sangat dibatasi. Berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan,
sekurang-kurangnya setiap desa mengutus satu orang. Sekalipun Desa
Samaulue diwakili oleh tiga orang, namun responden menganggap bahwa
hal itu tidak representatif terhadap semua masyarakat Desa Samaule.
Sejumlah 29,41% respoden lainnya menyata kan kurang
berpartisipasi, alasanya bahwa meskipun diwakili oleh tiga orang, namun
ketiganya kurang proaktif. Mereka lebih banyak diam dibanding wakil dari
desa lain. Akibatnya, bargaining position Desa Samaulue menjadi tidak
kuat.
104
Persentase respoden 11,76% menyatakan berpartisipasi, karena
sejumlah anggapan responden menyatakan bahwa kegiatan wakil dari
Desa Samaulue mampu meloloskan usulan Desa menjadi prioritas.
Persoalan jumlah personil tidak dipermasalahkan, yang penting kualitas
orang yang mewakili
Selanjutnya responden 5,88% menyatakan sangat berpartisipasi
karena responden menganggap bahwa usulan-usulan yang berhasil
dimasukkan dalam proiritas tingkat kecamatan adalah memang
merupakan infrastruktur vital dan sangat mendesak untuk segera
ditangani.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diketahui pada proses
perencanaan di Desa Samaulue dijalankan dengan pendekatan
partisipatif. Hal ini sejalan dengan jenjang partisipasi, sebagaimana oleh
Cohen dan Uphoff (1977) yang mengemukakan jenjang partisipasi dalam
pembangunan yakni partisipasi dalam pengambilan keputusan
(perencanaan), dimana setiap perencanaan dalam penyusunan program
idealnya melibatkan masyarakat. Masyarakat sudah semestinya diajak
untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka, mendiskusikan dan
memecahkan masalah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ndraha
(1987) yang mengemukakan bentuk partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan program termasuk pengambilan keputusan. Masyarakat
semestinya memahami permasalahan mereka, memecahkan masalah,
terlibat dalam pengambilan keputusan. Sementara Tikson (2000)
105
mengemukakan bahwa salah satu bentuk partisipasi yakni Facilitated
Participation.
Implementasi pendekatan partisipatif pada tahap perencanaan
termasuk Facilitated Participation dimana partisipasi masyarakat
distimulus oleh pihak luar dalam hal ini dari pemerintah dan konsultan.
Mereka berpartisipasi karena ada proyek yang akan masuk sehingga
menimbulkan kemauan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan
pembangunan Desa Samaulue.
Menurut Davis dan Newstrom (1998), partisipasi berarti keterlibatan
mental dan emosional masyarakat dalam situasi kelompok mereka untuk
mencapai tujuan. Dalam pembangunan Desa Samaulue, masyarakat
dilibatkan mulai dari pengenalan program, sampai dengan pembuatan
keputusan, kemudian memilih orang tertentu untuk memikul tanggung
jawab dalam memperjuangkan gagasan/ide yang berupa usulan kegiatan
dari desa hasil Musbangdes di tingkat kecamatan.
Menurut Amien (2003), model perencanaan partisipatif dalam
pembangunan diterapkan dengan melibatkan sebanyak mungkin
stakeholder dalam proses perencanaan.
Perencanaan pembangunan di Desa Samaulue dan Kecamatan
Lanrisang termasuk dalam kategori model perencanaan partisipatif,
dimana dalam prosesnya melibatkan stakeholder, Dengan demikian,
proses perencanaan di Desa Samaulue dijalankan dengan pendekatan
partisipatif.
106
3. Tahap Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur
Tahapan pelaksanaan pembangunan merupakan tahapan yang lebih
mudah dibanding dengan tahap perencanaan, karena merupakan
pelaksanaan dari apa yang telah di bahas sebelumnya. Berbeda dengan
tahap-tahap pembangunan infrastruktur yang telah diuraikan sebelumnya,
dalam tahapan pelaksanaan terdapat kegiatan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Oleh sebab itu maka dapat dibantu
oleh pihak ketiga antara masyarakat dengan kontraktor, baik melalui LKD
maupun secara langsung.
Selain itu, jenis pekerjaan yang ditangani melalui pola Kerjasama
Operasional (KSO), adalah pekerjaan yang dianggap sifatnya relatif
kompleks (misalnya diperlukan teknologi tinggi dan peralatan berat), biaya
diatas RP. 50 juta per paket pekerjaan, dan proyek yang ditangani
melintasi/mencakup beberapa desa.
Mengingat banyaknya infrastruktur yang telah dibangun di Desa
Samaulue, maka dalam penelitian ini, peneliti memilih objek berikut ini
sebagai obyek yang diteliti, yaitu:
1. Proyek rehabilitasi jembatan Ulo yang telah dibangun di Desa
Samaulue.
2. Proyek drainase jalan poros Ulo Desa Samaulue
3. Proyek perintisan jalan ke pemukiman warga di dusun Ulo Desa
Samaulue
107
Data di atas memperlihatkan bahwa jenis infrastruktur yang
dibangun di Desa Samaulue adalah infrastruktur yang mendukung
aksesibilitas wilayah (prasarana transportasi) yakni rehabilitasi jembatan,
proyek drainase jalan poros Ulo Desa Samaulue dan proyek perintisan
jalan ke pemukiman warga di dusun Ulo Desa Samaulue
Dari wawancara penulis dengan beberapa informan, dapat
dirangkum beberapa alasan yang menjadi pertimbangan terhadap
pemilihan jenis infrastruktur di Desa Samaulue antara lain memberikan
manfaat sosial ekonomi bagi sebagian besar masyarakat terutama
kelompok miskin desa, sedapat mungkin memanfaatkan tenaga kerja dan
bahan setempat, dapat dilaksanakan oleh masyarakat dan dipelihara
dengan baik, tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
memperluas aksesibiltas dengan pengembangan wilayah, dan mampu
membuka keterisolasian desa.
Manfaat dari prasarana yang dibangun di desa Samaulue antara
lain memperlancar transportasi antara dusun Ulo Desa Samaulue dan
Desa WaeTuwoE serta akses menuju ibukota kabupaten yang dapat
dilalui oleh kendaraan umum/kendaranaan berat sehingga mempercepat
pengangkutan hasil pertanian.
Dalam menganalisis implementasi pendekatan partisipatif pada
pelaksanaan pembangunan prasarana fisik, penulis menggunakan tiga
indikator yaitu: keterlibatan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur
fisik, kondisi fisik bangunan dan ketepatan waktu dalam penyelesaian
pelaksanaan pembangunan fisik. Ketiga indikator tersebut dijelaskan
berdasarkan hasil temuan melalui proses penelitian sebagai berikut:
108
a. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pembangunan infrastruktur
Hasil wawancara dengan beberapa informan diketahui
bahwa proses pelibatan masyarakat dalam pembangunan prasarana fisik
relatif kurang. Peneliti mengambil objek pengamatan pada proyek
perintisan jalan ke pemukiman warga di dusun Ulo Desa Samaulue
Pada awal pelaksanaan proyek ini masyarakat sangat antusias
untuk berpartisipasi, hal ini ditandai dengan banyaknya warga masyarakat
yang ikut pada penghamparan sirtu pada 500 meter pertama, sekitar 20-
30 orang tenaga kerja pada 10 hari bulan pertama. Pekerjaan ini tidak
setiap hari dilaksanakan, hal ini tergantung pada ketersediaan material
yang ada di lokasi, sehingga pekerjaan sering tertunda. Mereka bekerja
mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 sore, dengan memperoleh
upah kerja Rp. 15.000 perhari. Tapi setelah pembangunan berikutnya,
masyarakat sudah tidak mau berpartisipasi. Sehingga tenaga kerja dari
luar desa tersebut yang melanjutkan pembangunan prasarana tersebut.
“Partisipasi masyarakat dalam pembangunan prasarana ini kurang, memang pada awalnya antusias masyarakat sangat tinggi yang ditandai dengan banyaknya warga yang ikut gotong royong dengan asumsi bahwa jalan yang dibangun ini adalah milik kita bersama, tetapi setelah itu warga sudah tidak berminat untuk berpartisipasi karena adanya miskomunikasi antara masyarakat dan kontraktor. Miskomunikasi ini dipicu oleh pemahaman masyarakat bahwa kalau pengerasan harus pakai telford, sedangkan kontraktor tidak menyampaikan kepada masyarakat secara detail, sehingga masyarakat terlanjur tidak percaya pada kontraktor yang menyebabkan masyarakat malas untuk berpartisipasi” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 1 Oktober 2007 dgn Shr, 48 thn).
109
Pengungkapan hal tersebut merupakan sebuah pembenaran
bahwa komunikasi sangat penting dalam membangkitkan partisipasi
masyarakat, sehingga kalau komunikasi tidak lancar, maka akan
berpengaruh pada pelaksanaan program.
Hal lain yang sangat penting bahwa pihak kontraktor maupun LKD
kurang mensosialisasikan hasil perencanaan program kepada
masyarakat, sehingga pemahaman masyarakat tentang proyek tersebut
sangat minim.
Dalam desain proyek tersebut diketahui bahwa dalam wilayah Desa
Samaulue pengerasannya adalah dengan pengerasan sirtu, hal ini sudah
sesuai dengan material berupa sirtu yang diantar oleh pihak kontraktor.
Setelah itu, bukan lagi sirtu yang bagus diangkut tapi sirtu yang lebih
banyak tanahnya. Hal ini yang menjadikan masyarakat melapor ke
pemerintah dan DPRD sebagai Komite Pemantau Pemberdayaan
Masyarakat. Setelah itu pihak Pemerintah dan DPRD turun untuk
menjembatani masalah ini, dan hasilnya lebih menguntungkan pada pihak
kontraktor, yang pada akhirnya masyarakat tidak termotivasi untuk
berpartisipasi.
Pekerjaan yang direncanakan akan dikerjakan oleh tenaga
setempat, justru tidak diketahui oleh masyarakat, dan hanya diketahui
oleh LKD dan kontraktor, dengan kata lain prinsip pengelolaan proyek ini
tidak transparan sehingga belum berjalan dengan baik.
Berbeda dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
110
drainase jalan poros Ulo Desa Samaulue, dimana masyarakat sangat
antusias untuk berpartisipasi dalam pembangunan drainase tersebut.
Berikut hasil wawancara penulis dengan salah seorang informan.
“Dalam pembangunan drainase jalan poros Ulo, banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi mulai dari anak-anak, remaja dan orang tua dan bahkan ibu-ibu ikut bekerja. Ibu-ibu bukan hanya menyiapkan konsumsi tetapi juga ikut bekerja bersama-sama. Banyaknya warga yang berpartisipasi karena lokasi proyek ini berada tepat di pemukiman warga, sehingga terjangkau dengan sangat mudah, Proyek ini malah terkesan sebagai buah karya masyarakat karena masyarakat beramai-ramai berpartisipasi, apalagi berada tepat di pinggir jalan utama desa.” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin, 1 Oktober 2007 dgn Tjn, 39 thn).
Sistim penggajian dengan cara borongan dimana panjang
pemasangan 1.800 m dengan biaya Rp. 12.000.000,-. Tenaga kerja pada
pelaksanaan ini berasal dari Dusun Ulo sendiri. Sedangkan pada saat
pemindahan batu gunung, diangkat oleh tenaga kerja dari luar yang
dimiliki oleh kontraktor. Tentunya secara fisik tenaga atau kulih bangunan
lebih memahami hal tersebut.
Masyarakat termotivasi untuk berpartisipasi karena mereka
merasa bahwa drainase jalan yang dibangun tersebut adalah milik
mereka, kebutuhan mereka, sehingga muncul dalam dirinya bahwa
infrastruktur tersebut sangat penting. Partisipasi masyarakat sebagaimana
yang telah diuraikan adalah kontribusi dalam bentuk tenaga kerja.
Bentuk lain dari kontribusi masyarakat yang ditemui di lokasi
penelitian adalah kontribusi dalam bentuk materi/lahan dan kerelaan
bekerja hingga malam hari walaupun hanya menggunakan lampu
111
strongking. Bukti konkrit kontribusi masyarakat tersebut dapat dilihat pada
lokasi pembangunan drainase. Masyarakat merelakan pekarangan rumah
atau kebunnya untuk ditarik kurang lebih 1 hingga 2 meter untuk
memperlebar jalan dan saluran pembuangan air. Tentu saja tanah
pekarangan dan kebun mereka berkurang, namun masyarakat ikhlas
tanpa menuntut ganti rugi. Kerelaan masyarakat tersebut merupakan
kontribusi nyata dalam mendukung keberhasilan pembangunan di
wilayahnya.
Kontribusi kaum ibu-ibu rumah tangga juga sangat berarti dalam
menunjang keberhasilan pembangunan prasarana di masing-masing
dusun. Kontribusi kaum ibu-ibu rumah tangga tersebut jika dinilai memang
tidak seberapa besar jumlahnya, akan tetapi dapat memberikan dukungan
moral dalam menghidupkan rasa kebersamaan, gotong royong dan rasa
persaudaraan sesama anggota masyarakat.
Berikut petikan wawancara dengan salah seorang informan terkait
partisipasi mereka dalam pelaksanaan pembangunan.
“Kami disini kalau ada pekerjaan gotong royong selalu menyediakan minuman apa adanya, apalagi tidak memberatkan karena sudah dibag-bagi kelompok. Apa yang kami sumbangkan ini sudah menjadi kewajiban kami membantu masyarakat menyelesaiakan pekerjaan, mudah-mudahan bisa selesai supaya kita semua dapat menikmatinya. Apalagi banyak kaum ibu-ibu bekerja langsung di lokasi proye k karena mereka merasa bahwa apa yang dibangun itu adalah untuk kepentingan masyarakat di sini” (Wawancara dilakukan pada Hari Senin , 1 Oktober 2007 dgn Id Tj, 57 thn).
112
Makna yang terungkap bahwa kaum ibu-ibu di desa masih tertanam
sifat gotong royong dan kerjasama di kalangan kelompok masyarakat.
Adanya bukti nyata keterlibatan ibu-ibu rumah tangga dalam kegiatan
pembangunan meskipun belum banyak berperan menangani kegiatan
lainnya karena memang jenis proyek yang lebih dominan ditangani kaum
laki-laki, namun dari kalangan ibu-ibu rumah tangga tetap mendapat
kesempatan berpartisipasi.
Bentuk partisipasi masyarakat lokal diwujudkan melalui kegiatan
gotong royong sebagai mitra kerja kontraktor, namun partisipasi yang
muncul hanya pada proyek-proyek tertentu dan tidak optimal sehingga
pencapaian pemberdayaan masyarakat lokal belum sepenuhnya
maksimal. Hal tersebut dapat dilihat pada keterlibatan masyarakat lokal
kurang dioptimalkan.
Menurut Davis dan Newstrom (1998), mengartikan partisipasi
sebagai keterlibatan mental dan emosional dan orang-orang dalam situasi
kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada
tujuan kelompok. Dari gagasan itu terdapat tiga hal yang penting yakni
keterlibatan, kontribusi dan tanggung jawab. Pelaksanaan pembangunan
prasarana kurang melibatkan masyarakat, kontribusi sedikit, sehingga
kurang menimbulkan rasa tanggung jawab.
Persentase pernyataan responden mengenai keterlibatan
masyarakat Desa Samaulue dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi
fisik infrastruktur dapat dilihat pada tabel 17.
113
Tabel 17. Keterlibatan Masyarakat Desa Samaulue Dalam Pelaksanaan Pembangunan Konstruksi Fisik Infrastruktur
Kategori
b
F
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
7
19
6
8
21
38
6
5,88
20,59
55,88
17,65
Jumlah 34 73 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,15 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 17 terlihat bahwa secara umum keterlibatan masyarakat
Desa Samaulue dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi fisik
infrastruktur termasuk dalam kategori sedang (2,15). Sebagaian besar
responden atau 55,88% menyatakan kurang berpartisipasi, karena antara
masyarakat dan kontraktor terjadi suatu miskomunikasi yang berdampak
pada rendahnya partisipasi masyarakat. Selain itu, responden
berpendapat bahwa pekerjaan yang direncanakan akan dikerjakan oleh
tenaga setempat, justru tidak diketahui oleh masyarakat, dan hanya
diketahui oleh LKD dan Kontraktor. Hal ini semakin dijadikan alasan untuk
tidak berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur.
Sejumlah 20,59% respoden lainnya menyatakan berpartisipasi.
Alasan responden pun cukup bervariasi. Ada sebagian responden yang
beralasan bahwa partisipasi dalam pembangunan adalah bentuk lain dari
berkumpul-kumpul. Hal ini dipengaruhi oleh karakter sosial
114
kemasyarakatan yang menganggap mereka masih memeiliki hubungan
kekerabatan, sehingga akan merasa tidak enak jika tidak ikut bergabung.
Selain itu, responden juga beralasan bahwa siapa lagi yang akan
membangun Desa Samaulue kalau bukan warganya sendiri.
Persentase respoden 17,65% menyatakan tidak berpartisipasi pelaksanaan pembangunan konstruksi fisik infrastruktur, karena urusan pembangunan sebaiknya dikerjakan oleh orang yang berpengalaman dalam hal teknis pembangunan, seperti tukang batu. Sehingga apabila dikerjakan secara beramai-ramai, akan ada kecenderungan lain sehingga konsistensi dari rencana awal tidak terjaga. Sebagian responden bahkan menganggap bahwa partisipasi masyarakat cukup sampai pada tataran perencanaan. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, ada baiknya diserahkan saja kepada kontraktor
Selanjutnya responden 5,88% menyatakan sangat berpartisipasi
karena responden menganggap bahwa masyarakat sepatutnya
berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pembangunan desa. Terlebih lagi
pada tahapan pembangunan dimana sangat diperlukan adanya ikatan
emosional antara warga dengan hasil pembangunan. Hal tersebut
bertujuan agar nantinya infrastruktur memiliki waktu manfaat yang panjang
karena cukup terjaga oleh masyarakat yang telah membangunannya.
Menurut Davis dan Newstrom (1998), partisipasi diartikan sebagai
keterlibatan mental dan emosional dan orang-orang dalam situasi
kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada
tujuan kelompok. Dari gagasan itu terdapat tiga hal yang penting yakni
keterlibatan, kontribusi dan tanggung jawab. Pelaksanaan pembangunan
infrastruktur di Desa Samaulue kurang melibatkan masyarakat, kontribusi
sedikit, sehingga kurang menimbulkan rasa tanggung jawab.
115
b. Peran pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue
Mengenai peran pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa
Samaulue, penulis melakukan wawancara dengan anggota masyarakat
yang mengetahui banyak tentang pekerjaan fisik bangunan.
Keterangan yang diperoleh dari tokoh masyarakat yang terlibat
langsung dalam pembangunan di lapangan diketahui bahwa pemerintah
desa sangat antusias pelaksanaan pembangunan. Namun pemerintah
mengalami kesulitan dalam mengajak masyarakat Desa Samaulue untuk
terlibat dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue.
Kendali utama di jajaran pemerintah Desa Samaulue ada di tangan
Kepala Desa. Sementara itu para perangkat desa tidak begitu berperan.
Hal tersebut bertujuan untuk menghindari perbedaan persepsi antara
Kepala Desa dan perangkatnya, sehingga semua kebijakan pemerintah
Desa Samaulue berada di tangan kepala desa.
Dari pihak masyarakat diperoleh keterangan, bahwa pemerintah
Desa Samaulue pada dasarnya selalu mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi. Namun yang terjadi selama ini, pemerintah desa hanya
diwakili oleh Kepala Desa samaulue. Perangkat desa tidak sesering
kepala desa. Masyarakat pada dasarnya memaklumi kondisi tersebut.
Berikut hasil wawancara dengan salah seorang responden
116
Berdasarkan pengamatan penulis, kondisi tersebut disebabkan
sulitnya melakukan koordinasi karena penanganan pada saat
pelaksanaan pembangunan lebih banyak dilakukan di lokasi, sementara
perangkat desa lebih sering berada di Kantor Desa Samaulue. Selain itu
paternalistik yang kuat di Desa samaulue menempatkan Kepala Desa
Samaulue sebagai pengambil keputusan dalam pelaksanaan
pemerintahan Desa samaulue.
Kondisi ini kemudian menimbulkan kesan bahwa pelaksanaan
pembangunan hanya dimotori oleh Kepala Desa Samaulue saja,
sementara perangkat desa yang lain tidak terlalu mengambil peran.
Sementara itu, persentase pernyataan responden mengenai peran pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18. Peran Pemerintah Desa Samaulue Dalam Menumbuhkan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur di Desa Samaulue
Kategori
b
F
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
5
15
12
8
15
30
12
2,94
11,76
58,82
26,47
Jumlah 34 75 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,15 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 18 terlihat bahwa peran pemerintah Desa Samaulue
untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
117
infrastruktur di Desa Samaulue dalam kategori sedang (2,15). Sebagaian
besar responden atau 58,82% menyatakan bahwa peran Pemerintah
Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue berada dalam kategori
kurang berperan. Responden berpendapat bahwa pada pelaksanaan
pembangunan, kepala desalah yang paling berperan dalam
menumbuhkan partisipasi masyarakat. Sementara perangkat desa lainnya
tidak terlalu menunjukkan perannya.
Sejumlah 26,47 % respoden lainnya menyatakan peran
pemerintah Desa Samaulue untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue dalam kategori tidak
berperan. Alasan responden tidak jauh berbeda dari responden yang
menjawab kurang berperan. Masyarakat hanya melihat Kepala Desa
Samaulue yang paling aktif pada saat pelaksanaan pembangunan..
Persentase respoden 11,76% menyatakan berperan. Alasannya bahwa kepala desa sudah cukup mewakili pemerintah desa dalam mengajak masyarakat. Untuk alasan efektifitas, perangkat desa lainnya tidak perlu sesering kepala desa dalam mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan.
Selanjutnya hanya satu responden atau 2,49% yang menyatakan
sangat berperan. Ia menganggap bahwa dengan datangnya Kepala Desa
ke lokasi pembangunan, pada dasarnya itu sudah merupakan ajakan.
Masyarakat masih cukup peka dalam membaca ajakan pemerintah desa
sehingga masyarakat masih bisa turut membantu.
Menurut Lim dalam Sumaryadi (2005:156), para manager tidak mau
melepaskan kekuasaannya. Pelepasan kekuasaan hanya kepada orang -orang
118
dibawahnya. Oleh sebab itu, pemberdayaan yang optimal memerlukan
manajer yang individualistik terhadap hubungan kerja tim. Manajer yang
tidak mampu bekerja secara tim akan menghambat pemberdayaan. Artinya
bahwa Kepala Desa samaule harus menunjukkan loyalitas sebagai
pimpinan atau manajer atas perangkat desa lainnya, sehingga perangkat
desa dapat lebih diberdayakan.
4.Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Setiap kegiatan program/proyek pembangunan diperlukan adanya
monitoring dan evaluasi. Monitoring dalam prakteknya dapat diidentikkan
dengan pengawasan, pengendalian, atau pemantauan terhadap suatu
aktivitas/kegiatan yang sedang berjalan, sedangkan evalusi sering
diartikan sebagai penilaian terhadap suatu hasil aktivititas setelah
kegiatan berjalan. Dalam hubungannya dengan pembangunan,
pemantauan dilakukan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Maksud pemantauan/pengawasan adalah untuk menjaga agar
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan perencanaan pembangunan yang
telah ditentukan sebelumnya, sehingga efisiensi dan efektivitas dapat
tercapai.
Pada prinsipnya kegiatan pemantauan dilakukan supaya
pelaksanaan pembangunan tetap konsisten pada prinsip-prinsip
pendekatan pelaksanaannya. Kegiatan pemantauan bertujuan untuk
menjaga kinerja pelaksanaan kegiatan serta untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang timbul. Kegiatan evaluasi tetap
119
mengedepankan pendekatan partisipatif sehingga masyarakat tidak
melepaskan perannya dari sejak pembangunan direncanakan hingga
selesai.
Kegiatan pemantauan dalam pembangunan dapat mencakup
kemajuan dan kualitas pelaksanaan program, koordinasi antar pelaksana
program dan transparansi pengelolaan pembangunan . Dalam proses
pemantauan dilakukan oleh pemerintah, konsultan, dan masyarakat.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggambarkan pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat.
Pada saat dilaksanakan pembangunan proyek, dilakukan
pelaporan kemajuan fisik dan keuangan pelaksanaan setiap bulan. Dari
hasil wawancara dengan dan Kabag Pembangunan Setda Pinrang,
setiap bulan pelaksana proyek melaporkan kemajuan fisik, namun selalu
mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah disepakati yakni paling
lambat tanggal 10 setiap bulan. Hal ini berakibat pada keterlambatan pada
penyampaian laporan ke tingkat atas. Namun hal ini tidak hanya terjadi
pada proyek di Desa Samaulue. Banyak pelaksana proyek yang
melakukan hal yang sama. Ketika penulis mengkonfirmasikan kepada
pelaksana program mengenai keterlambatan laporan, kondisi ini
disebabkan karena keterbatasan prasarana dan sumberdaya manusia
yang mengelola adminstrasi pada pihak pelaksana.
Keterlibatan masyarakat dalam pemantauan dapat diketahui
dengan adanya laporan yang diterima oleh Camat Lanrisang dan
120
Pemimpin Proyek. Berikut hasil wawancara dengan informan mengenai
keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proyek pembangunan di Desa
Samaulue.
“Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan proyek terlihat pada saat saya bersama dua orang melapor ke Camat Lanrisang mengenai material yang diantar ke lokasi. Persepsi kami bahwa kalau pengerasan menggunakan batu yang agak besar, sementara yang dihampar adalah sirtu. Setelah kami tanyakan kepada pihak kecamatan, dalam hal ini konsultan kecamatan, ternyata yang dihampar sudah sesuai dengan petunjuk”( Wawancara dilakukan pada Hari Selasa, 2 Oktober 2007 dgn Mnd, 34 thn).
Salah satu contoh laporan pengaduan yang pernah diadukan oleh
masyarakat, yaitu mengenai penggunaan material pada pembangunan
jalan dimana material yang dihampar berupa sirtu,namun menurut
masyarakat bukan kategori sirtu. Solusi dari pengaduan ini, yakni
mengundang aparat terkait ke lokasi untuk melihat langsung kondisi
material. Hasil kesepakatan dalam pertemuan ini bahwa material yang ada
sudah sesuai dengan ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan. Biasanya
masyarakat cukup memaklumi apabila telah diberi pemahaman.
Sejumlah masyarakat menyampaikan pengaduan kepada pimpro
maupun kepada konsultan yang sedang berkunjung ke lokasi. Materi
pengaduannya menyangkut hal-hal yang teknis, dan pada saat itu
pengaduan masyarakat dapat diselesaikan secara musyawarah. Hal ini
juga disampaikan oleh beberapa anggota masyarakat, bahwa kalau
Pimpro atau Konsultan yang berkunjung ke lokasi beberapa anggota
masyarakat menyampaikan pengaduan tentang masalah-masalah yang
121
muncul berkaitan dengan pelaksanaan program ini. Setiap pengaduan
yang disampikan selalu diselesaikan secara musyawarah.
“Pada saat Pimpro mengunjungi lokasi pembangunan jalan, saya dan beberapa teman menyampaikan keluhan mengenai pembangunan tersebut diantaranya menyangkut material yang dihampar di lokasi pada perintisan Jalan Samaulue - Ulo. Contohnya ada beberapa titik dimana sirtu yang dihampar tipis. Ketika Pimpro datang kami menyampaikan, lalu Pimpro menyampaikan kepada pelaksana agar ditambah sirtu pada lokasi tersebut. Keesokan harinya pihak pelaksana melakukan penambahan sirtu dan langsung diwalas”. (Wawancara dilakukan pada Hari Selasa, 2 Oktober 2007 dgn Mnd, 34 thn).
Pada tahap pemantauan dan evalusai, partisipasi masyarakat
adalah mengawasi pelaksanaan konstruksi. Masyarakat memahami
bahwa jalanan yang dibangun adalah milik masyarakat dan karenanya
seyogyanya mereka turut mengawasi pelaksanaannya.
b. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan program
pembangunan
Mengenai keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan
program pembangunan, penulis melakukan wawancara dengan informan
yang dipandang mengetahui seluk beluk pekerjaan fisik serta terlibat
langsung di lapangan antara lain konsultan teknik lapangan, Pelaksana,
Pimpro serta pengawas lapangan. Selain itu dilakukan pula wawancara
dengan anggota masyarakat yang mengetahui banyak tentang pekerjaan
fisik bangunan.
Keterangan yang diperoleh dari pengawas lapangan diketahui
bahwa masyarakat sering datang dan melihat pelaksanaan pembangunan
122
infrastruktur. Sesekali masyarakat menanyakan banyak hal, mulai dari hal-
hal teknis pembangunan hingga segi kualitas fisik bangunan. Bahkan
pengawas lapangan sering memberikan masukan terhadap pelaksanaan
pembangunan infrastruktur, misalnya perilaku pelaksana teknis atau
tukang batu yang kadang-kadang mangkir pada jam-jam kerja, serta
pulang cepat sebelum waktunya.
Dari pihak masyarakat diperoleh keterangan, bahwa pengawas
lapangan yang ada selama ini cukup memberikan respon yang baik setiap
kali masyarakat menanyakan pelaksanaan pembangunan di Desa
Samaulue. Namun kondisi ini tidak serta merta membuat masyarakat tidak
lagi menaruh sikap kritis terhadap pelaksanaan pembangunan.
Persentase pernyataan responden mengenai keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan program pembangunan dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19. Keterlibatan Masyarakat Dalam Mengawasi Pelaksanaan
Program Pembangunan
Kategori
b
f
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
4
17
11
8
12
34
11
5,88
11,76
50,00
32,35
Jumlah 34 65 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 1,91 (Rendah)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 19 terlihat bahwa keterlibatan masyarakat Desa
Samaulue dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan termasuk dalam
123
kategori rendah (1,91). Sebagaian besar responden atau 50,00%
menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam
mengawasi pelaksanaan pembangunan termasuk dalam kategori kurang
berpartisipasi, karena responden bahwa pengawasan pelaksanaan
pembangunan sudah dilakukan oleh kepala desa bersama perangkatnya.
Sejumlah 32,35% respoden lainnya menyatakan tidak
berpartisipasi. Alasan responden pun cukup sangat jelas, yaitu
menganggap bahwa sudah ada pengawasan lapangan yang bertugas
mengawasi pelaksanaan pembangunan di Desa Samaulue.
Persentase respoden 11,76% menyatakan keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan termasuk dalam kategori berpartisipasi, karena responden berpendapat pengawasan merupakan tahapan yang tidak kalah penting mengingat pembangunan infrastruktur sangat rentan akan perilaku menyimpang, sebaiknya harus tetap diawasi
Selanjutnya responden 5,88% menyatakan sangat berpartisipasi
dengan alasan yang tidak berbeda dengan kategori sebelumnya, yaitu
untuk menghindari penyimpangan. Namun responden menilai hanya
segelintir saja tokoh masyarakat yang mengawasi pelaksanaan
pembangunan infrastruktur di Desa Samaulue
b. Persepsi masyarakat mengenai tanggapan atas pengaduannya
Pada tahap pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan,
masyarakat banyak memberikan pengaduan atas pelaksanaan
pembangunan tersebut. Pengaduan tersebut lebih banyak menyangkut
hal-hal teknis. Dalam menyikapi pengaduan masyarakat tersebut,
pelaksana pembangunan biasanya memberi pemahaman. Sebagai tindak
124
lanjut, pihak pelaksana akan melakukan perbaikan seperlunya. Dengan
menanggapai diharapkan hasil-hasil pembangunan betul-betul sesuai
selera masyarakat Desa Samaulue.
Berdasarkan observasi peneliti diketahui bahwa tidak semua
masyarakat merespon secara positif tanggapan yang diberikan oleh
pelaksana pembangunan. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang
responden.
“Pihak pelaksana selalu memberikan pengarahan-pengarahan yang berbelit-belit kalau kita mengkritik proyeknya. Padahal boleh dikata kritik itu mengenai hal yang betul-betul sudah nyata, tapi pelaksana selalu memberi tanggapan yang lain. Biasanya menyangkut bahan yang tidak terlalu bagus. Kalau sudah begitu, kami cuma maklum saja. Setelah itu nanti kita sampaikan kepada orang kecamatan.” (Wawancara dilakukan pada Hari Selasa, 2 Oktober 2007 dgn Cddg, 40 thn)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
rasa ketidakpuasan pada masyarakat Desa Samaulue bila memberikan
kritik atau pengaduan. Terkesan bahwa pelaksana seolah-olah ingin
mengalihkan perhatian masyarakat terhadap apa yang ia adukan.
Pengaduan bagi pelaksana pembangunan adalah “pekerjaan baru” yang
yang hanya buang-buang waktu dan pikiran, karena mereka menganggap
masyarakat hanya melihat satu bagian saja dari sebuah proses.
Masyarakat dianggap tidak mengetahui secara detail prosesnya secara
keseluruhan. Tentunya masyarakat akan semakin tidak puas.
Adapun persentase pernyataan responden mengenai persepsi masyarakat mengenai tanggapan atas pengaduannya dapat dilihat pada tabel 20.
125
Tabel 20. Persepsi Masyarakat Mengenai Tanggapan Atas Pengaduannya
Kategori
b
f
?
%
1 2 3 4=2x3 5 Sangat berpartisipasi
Berpartisipasi
Kurang berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
4
3
2
1
2
17
14
1
8
51
28
1
5,88
50,00
41,18
2,94
Jumlah 34 78 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 2,29 (Sedang)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 20 terlihat bahwa Secara umum, persepsi masyarakat
mengenai tanggapan atas pengaduannya berada pada kategori sedang
(2,29). Sebagaian besar responden atau 50,00% menyatakan bahwa
pelaksana proyek maupun pemerintah berpartisipasi dalam memberi
tanggapan atas pengaduan masyarakat. Responden berpendapat bahwa
pelaksanaan pembangunan sudah mengedepankan partisipasi
masyarakat desa, termasuk sikap pelaksana yang cukup merespon
tanggapan dan kritikan dari masyarakat
Sejumlah 41,18% respoden lainnya menyatakan pelaksana
proyek maupun pemerintah kurang berpartisipasi dalam memberi
tanggapan atas pengaduan masyarakat. Alasannya karena pelaksana
pembangunan cenderung berbelit-belit dalam menanggapi. Selain itu
responden juga melihat jika ada pengaduan, pelaksana tidak langsung
menanggapi pengaduan tersebut. Pengaduan yang dimasukkan oleh
126
masyarakat akan ditindaklanjuti oleh pelaksana jika pihak kecamatan yang
turun langsung ke lapangan.
Persentase respoden 5,88% menyatakan pelaksana proyek maupun pemerintah sangat berpartisipasi dalam memberi tanggapan atas pengaduan masyarakat. Alasannya bahwa pihak pelaksana sangat merespon tanggapan masyarakat Desa Samaulue apabila ada pengaduan atas pelaksanaan pembangunan
Selanjutnya responden 2,94% menyatakan tidak berpartisipasi
karena responden menganggap bahwa apa yang diadukan selama ini
tidak ditanggapi. Responden merasa kurang puas jika hanya melalui
negosiasi tanpa pelaksanaan yang real.
Menurut Cohen dan Uphoff partisipasi masyarakat dapat terjadi
pada pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan, dimana
masyarakat turut mengawasi dan menilai pelaksanaan proyek. Ndraha
mengemukakan bahwa partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu
keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauhmana pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan rencana. Kondisi ini tidak dijumpai dalam
tahap pemantauan dan evaluasi karena masyarakat mempunyai
keterbatasan dalam hal pengetahuan, wawasan serta desain dari proyek
tersebut.
D. Faktor-faktor yang menghambat implementasi pendekatan
partisipatif dalam pembangunan infrastruktur pedesaan
Dalam pelaksanaan pembangunan di Desa Samaulue, terdapat
beberapa hal yang menghambat proses implementasi. Adapun hal-hal
tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
127
1. Penerapan Kebijakan yang tidak fleksibel terhadap kondisi
masyarakat Desa Samaulue
Dengan diterbitkannya Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif, maka partisipasi masyarakat telah dilindungi secara hukum dan sekaligus menjadi landasan politis bagi keberpihakan pembangunan pada masyarakat.
Adapun tujuan dari diterbitkannya perda tersebut adalah untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan pembangunan yang berbasis
masyarakat; menghasilkan agenda pembangunan yang disusun dari, oleh
dan untuk masyarakat; menghasilkan program dan kegiatan
pembangunan yang efektif, efesien, tepat sasaran, tepat kebutuhan dan
tepat lokasi; serta menumbuhkan respon masyarakat menuju ke
pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas.
Berdasarkan observasi lapangan diketahui bahwa penerapan
kebijakan perda tentang pengelolaan pembangunan partisipatif di Desa
Samaulue masih menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah
metode penerapan kebijakan yang kaku dan tidak adaptif.
Operasionalisasi Perda No. 10 tahun 2003 tersebut yang masih
sentralistis dan seragam, padahal di lapangan terdapat keragaman sosial
dan budaya. Sebagai contoh, bahwa pelaksanaan sosialisasi kepada
masyarakat Desa Samaulue yang berada di dekat balai desa, berbeda
dengan pelaksanaan sosialisai di pemukiman warga yang jauh dari balai
desa, atau dengan kata lain, pemukiman yang terisolir.
Berikut hasil wawancara dengan salah seorang informan:
”Pada saat kita melaksanaan sosialisasi, banyak warga yang tidak begitu perduli, bahkan cenderung apatis, apalagi masyarakat yang
128
ada di dalam kampung-kampung. Mungkin karena jarang ada yang datang di sana, sehingga informasi juga tidak terlalu berkembang, sehingga sosialiasi paling efektif dilakukan di masjid-masjid. Mereka malas datang ke Kantor Desa karena jauh. Tapi kalo sudah dilaksanakan kegiatan di Balaidesa, mereka suka mengomel karena merasa tidak diundang. Padahal sudah diundang secara terbuka di mesjid.” (Wawancara dilakukan pada Hari Selasa, 2 Oktober 2007 dgn Sdri, 47 tahun) Dari hasil wawancara ini diketahui bahwa terdapat perbedaan
persepsi dalam merespon ajakan dari aparat; antara masyarakat di sekitar
balaidesa dengan masyarakat yang yang bermukim di kampung-kampung.
Hal ini salah satunya disebabkan oleh karakter dan interaksi sosial yang
berbeda. Perda No. 10 Tahun 2003 tidak menjelaskan adanya
pembedaan perlakuan atas adanya karakter yang berbeda dari
masyarakat, meskipun masih berada di wilayah yang sama. Dari kondisi
ini dapat disimpulkan bahwa penerapan perda dilakukan secara kaku,
tidak fleksibel dan belum mampu menghantarkan maksud dan tujuan
pembangunan ke seluruh lapisan masyarakat Desa Samaulue. Secara
umum, Perda No. 10 Tahun 2003 belum sesuai dengan kondisi sosial
kemasyarakatan Desa Samaulue.Adanya kondisi yang tidak fleksibel
terhadap penerapan perda tersebut menyebabkan munculnya persepsi
yang tidak seragam didalam masyarakat.
Persentase pernyataan responden mengenai penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21. Penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue
Kategori
b
F
?
%
1 2 3 4=2x3 5
129
Sangat efektif
Efektif
Kurang efektif
Tidak efektif
4
3
2
1
1
4
20
9
4
12
40
9
2,94
11,76
58,82
26,47
Jumlah 34 65 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 1,91 (Rendah)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 21 terlihat bahwa sebagaian besar responden atau
58,82% menyatakan bahwa penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue termasuk
dalam kategori kurang efektif, Hal ini disebabkan karena responden
menganggap bahwa penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue kurang sesuai
dengan kondisi sosial kemasyarakatan di desa Samaulue. Hal tersebut
tampak dari penerapan yang terlalu kaku dan terlalu berpedoman pada
prosedur tanpa melihat kondisi di lapangan.
Sejumlah 26,47% respoden lainnya menyatakan tidak efektif.
Pada umumnya responden menganggap bahwa perda tersebut sama saja
dengan perda yang sudah ada. Mekanisme pelaksanaan pembangunan
yang ada dalam perda tersebut sudah ada dan sudah berjalan di Desa
Samaulue, jauh sebelum perda itu dibuat, sehingga masyarakat menilai
perda itu tidak efektif
Persentase respoden 11,76% menyatakan penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue termasuk dalam kategori efektif, karena responden berpendapat bahwa kebijakan pembangunan partisipatif ini dapat
130
mendorong masyarakat untuk terlibat lansung dalam setiap tahap pembangunan.
Selanjutnya responden 2,94% menyatakan penerapan Perda No.
10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa
Samaulue masuk dalam kategori sangat efektif. Responden berpendapat
bahwa dengan adanya perda ini, maka masyarakat akan menjaga hasil
permbangunan karena partisipatisi masyarakat telah ditumbuhkan sejak
awal, sebagaimana yang disebutkan dalam perda tersebut.
Secara umum, penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif di Desa Samaulue termasuk
dalam kategori rendah.
Menurut Grindle (1980) dalam Nugroho (2004:174) keberhasilan
suatu proses implementasi salah satunya dipengaruhi oleh daya tanggap
oleh kelompok sasaran. Dalam konteks pembangunan di Desa Samaulue,
penerapan Perda No. 10 Tahun 2003 tidak menunjukkan adanya daya
tanggap yang efektif sebagai akibat dari penerapan kebijakan yang tidak
fleksibel.
2. Perbedaan persepsi di dalam masyarakat Desa Samaulue
mengenai tujuan pembangunan Desa samaulue
Pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur
pedesaan mensyaratkan adanya persepsi yang sama mengenai
kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai. Hal
tersebut sekaligus dijadikan pedoman selama berlangsungnya proses
131
implementasi. Hal tersebut juga sangat diperlukan mengingat tingkat
kompleksitas permasalahan pembangunan di desa cukup tinggi, termasuk
menyentuh persoalan struktur sosial dan sikap-sikap masyarakat. Dengan
adanya penyamaan persepsi,maka diharapkan masing-masing pihak
mengerti dan mempunyai pandangan yang sama terhadap pembangunan,
baik mengenai tujuannya, sasarannya maupun siapa pelaksananya.
Bahkan persepsi yang sama merupakan syarat mutlak untuk mencapai
kesuksesan dalam pembangunan, yaitu ketika masyarakat harus
memahami apa yang akan diberikan padanya, sehingga mengandung
waktu manfaat yang lebih lama.
Persoalan yang terjadi di Desa Samaulue adalah apa yang
diucapkan oleh pemerintah belum tentu dimengerti oleh masyarakat. Hal
ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteranaan dan
tingkat pendidikan masyarakat desa. Sebagaimana hasil yang didapatkan
pada tahapan sosialisasi dimana hal tersebut terhambat oleh rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat yang berdampak pada rendahnya
pemahaman masyarakat. Tentunya, apabila masyarakat tidak memahami,
maka akan sulit untuk menyatukan persepsi di tengah masyarakat.
Akibatnya, terjadi perbedaan pandangan dimana pemerintah
beranggapan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan
perekonomian dan partisipasi masyarakat desa, Sedangkan masyarakat
berpandangan bahwa pembangunan Desa Samaulue adalah urusan
pemerintah Kabupaten Pinrang dan pemerintah Desa Samaulue.
132
Persoalan tujuan pembangunan adalah persoalan pemerintah. Perbedaan
persepsi sangat menghambat partisipasi masyarakat Desa Samaulue
karena masyarakat akan menganggap urusan pembangunan hanya
urusan pemerintah.
Mencermati hal di atas menunjukkan tidak adanya persepsi yang
sama terhadap tujuan pembangunan serta kurangnya pemahaman
mengenai konsep partisipatif yang sedang dikembangkan oleh pemerintah
Kabupaten Pinrang.
Dalam konsep partisipatif yang ingin dikembangkan, semua
masyarakat diharapkan berpartisipasi, sekalipun hanya sekedar
mendengarkan. Walaupun hanya mendengarkan, diharapkan paling tidak
mereka tahu apa yang sedang dibahas, sehingga persepsi semua pihak
adalah sama dalam menyikapi pembangunan. Dengan terciptanya
kesamaan persepsi, maka diharapkan setiap stakeholder dapat
memahami peran dan fungsinya masing-masing.
Menurut Hoogwood dan A.Gun (1978) dalam Nugroho (2004:170),
salah satu syarat berhasilnya suatu proses implementasi adalah
pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Dalam
konteks pembangunan di Desa Samaulue, adanya perbedaan persepsi
yang menghambat pembangunan menunjukkan belum adanya
pemahaman yang mendalam terhadap tujuan bersama.
Selain itu, Donald J. Calista (1994) dalan Nugroho (2004:181)
mengatakan bahwa efektifitas dari suatu implementasi harus memenuhi
133
syarat lingkungan. Calista (1994) menjelaskan syarat lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan eksogen yang terdiri atas public opinion yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan dan
interpretive institutions yang berkenaan dengan interpretasi dari lembaga-
lembaga srtategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok
penekan dan kelompok kepentingan dalam menginterpretasikan kebijakan
dan implementasi kebijakan.
3. Lemahnya Koordinasi Internal Pemerintah Desa
Dalam konteks pembangunan desa, setiap pengambilan
keputusan selalu dilakukan oleh Kepala Desa Samaulue. Pengambilan
keputusan ini kadang-kadang dilakukan sendiri oleh kepala desa tanpa
diketahui oleh perangkat desa yang. Pada dasarnya, hal semacam ini
adalah sesuatu yang sangat wajar dan patut dimaklumi. Namun persoalan
kemudian muncul ketika hal tersebut tidak dikoordinasikan dengan
perangkat desa yang lain. Hal ini berdampak pada anggapan masyarakat
yang akan menilai bahwa didalam institusi desa tersebut tidak terdapat
koordinasi yang baik.
Salah satu syarat keberlangsungan suatu organisasi ketika
koordinasi antar unsur-unsur didalamnya berlangsung dengan tertib.
Kenyataan yang terjadi adalah lemahnya koordinasi
Kepemimpinan yang dijalankan oleh Kepala Desa Samaulue saat
ini dinilai cukup terbuka karena biasanya bergaul dengan masyarakat.
Selain itu, ia juga dinilai kurang terbuka oleh sebagian responden.
134
Ketidakterbukaan tersebut terutama bila menyangkut penggunaan dana
bantuan yang masuk ke desa. Salah seorang responden yang juga
perangkat desa mengatakan bahwa selama ini semua urusan
diselesaikan oleh kades. Ia jarang dilibatkan dalam proses-proses
pengambilan keputusan di desanya.
Ketidakterbukaan kades itu sempat menjadi ganjalan dalam
pelaksanaan pembangunan, terutama saat-saat pertama menjadi kepala
desa, sehingga muncul protes dari beberapa warga. Namun hal tersebut
masih dianggap sebagai hal yang wajar karena saat itu memang
pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing perangkat
desa yang masih kurang.
Melihat kondisi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan yang berjalan di desa Samaulue belum
menunjukkan adanya koordinasi yang baik. Adanya dominasi pekerjaan
dari Kepala Desa Samaulue membuat perangkat desa lainnya menjadi
malas untuk terlibat dalam pembangunan. Hal ini berakibat implementasi
pendekatan partisipatif lebih banyak dilakukan oleh kepala desa, namun
tidak sepenuhnya dibantu oleh perangkat desa.
Persentase pernyataan responden mengenai tingkat koordinasi
internal antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa yang lain
dapat dilihat pada tabel 22. Tabel 22. Tingkat Koordinasi Internal Antara Kepala Desa Samaulue
dengan Perangkat Desa Yang Lain
Kategori
b
F
?
%
135
1 2 3 4=2x3 5 Sangat efektif
Efektif
Kurang efektif
Tidak efektif
4
3
2
1
0
5
20
9
0
15
40
9
0,00
14,71
58,82
26,47
Jumlah 34 64 100
Rata-rata Skor { 4 : 3 } 1,88 (Rendah)
Sumber : Diolah dari data primer, September 2007
Pada tabel 22 terlihat bahwa tingkat koordinasi internal antara
kepala desa dengan perangkat desa lainnya termasuk dalam kategori
rendah. Sebagaian besar responden atau 58,82% menyatakan bahwa
koordinasi internal antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa
yang lain termasuk dalam kategori kurang efektif, Hal ini disebabkan
karena responden menganggap bahwa pengambilan keputusan selalu
dilakukan oleh kepala desa tanpa sepengetahuan perangkat desa,
sehingga apabila ada warga masyarakat yang akan berkonsultasi, maka
ia harus bertemu dengan kepala desa.
Sejumlah 26,47% respoden lainnya menyatakan tidak efektif.
Alasannya kurang lebih sama dengan alasan yang diungkapkan pada
kategori kurang efektif. Hanya saja, pada kategori tidak efektif, responden
juga berpendapat bahwa perangkat desa sangat jarang terlihat di lokasi
pembangunan. Responden beranggapan bahwa sepertinya tidak ada
koordinasi antara perangkat desa dengan kepala desa, sehingga
perangkat desa jarang mendapat perintah untuk melihat perkembangan
pembangunan.
136
Persentase respoden 14,71% menyatakan koordinasi internal
antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa yang lain
termasuk dalam kategori efektif, karena responden berpendapat bahwa
koordinasi cukup dilakukan pada hal-hal yang penting saja. Apabila kepala
desa bisa mengerjakan sendiri, maka untuk apa dilakukan koordinasi.
Sementara itu, tidak ada responden yang menyatakan koordinasi internal
antara Kepala Desa Samaulue dengan Perangkat desa yang lain
termasuk dalam kategori sangat efektif.
Menurut Warwich (1975) dalam Abdullah (1985:101), terhambatnya
suatu proses implementasi disebabkan oleh terdapatnya loyalitas ganda.
Dalam konteks pembangunan di Desa Samaulue, loyalitas ganda
ditunjukkan oleh peran Kepala Desa Samaulue yang banyak mengambil
alih tugas dari perangkat desa yang lainnya. Hal ini menunjukkan
lemahnya distribusi tugas kepada perangkat desa sebagai akibat
lemahnya koordinasi internal di dalam organisasi pemerintah Desa
Samaulue.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan
pada bagian terdahulu, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Implementasi pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur
pedesaan di Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang secara umum
belum terlaksana dengan baik. Sosialisasi mengenai pembangunan
desa sebagian terlaksana dengan baik. Namun disisi lain, kegiatan
sosialisasi belum mampu menciptakan persepsi yang sama di tengah
masyarakat Desa Samaulue, sehingga timbul tanggapan yang
beragam. Pada tahap perencanaan, masyarakat Desa Samaulue
cukup antusias mengikuti kegiatan. Meskipun kegiatan pada tahap ini
sangat sistematis, namun hal itu tidak mengurangi perhatian
masyarakat. Pada tahap pelaksanaan pembangunan, masyarakat
hanya terlibat pada awal pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Keterlibatan masyarakat lokal tidak optimal sehingga perlu
mendatangkan tenaga kerja dari luar. Demikian juga pada tahap
pemantauan dan evaluasi. Masyarakat tidak terlalu memperdulikan
tahapan ini. Hal itu disebabkan respons balik yang diberikan pelaksana
pembangunan tidak memberi kepuasan kepada masyarakat, sehingga
masyarakat kurang mempedulikan hal itu. Berdasarkan analisis
141
kuantitatif, implementasi pendekatan partisipatif dalam pembangunan
infrastruktur pedesaan termasuk dalam kategori sedang.
2. Faktor-faktor yang menghambat partisipasi masyarakat Desa
Samaulue Kecamatan Lanrisang dalam pembangunan infrastruktur
pedesaan adalah sebagai berikut:
a. Penerapan Kebijakan yang tidak fleksibel terhadap kondisi
masyarakat Desa Samaulue
Dengan diterbitkannya Perda No. 10 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pembangunan Partisipatif, maka partisipasi
masyarakat telah dilindungi secara hukum dan sekaligus menjadi
landasan politis bagi keberpihakan pembangunan pada
masyarakat. Namun pada tataran pelaksanaan Perda No. 10 tahun
2003 tersebut yang masih sentralistis dan seragam, padahal di
lapangan terdapat keragaman sosial dan budaya.Adanya kondisi
yang tidak fleksibel terhadap penerapan perda tersebut
menyebabkan munculnya persepsi yang tidak seragam didalam
masyarakat. Hal tersebut tampak dari penerapan yang terlalu kaku
dan terlalu berpedoman pada prosedur tanpa melihat kondisi di
lapangan.
b. Perbedaan persepsi terhadap tujuan pembangunan Desa
samaulue di dalam masyarakat Desa Samaulue
142
Pendekatan partisipatif dalam pembangunan infrastruktur
pedesaan mensyaratkan adanya persepsi yang sama mengenai
kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai.
Persoalan yang terjadi di Desa Sam aulue adalah apa yang
diucapkan oleh pemerintah belum tentu dimengerti oleh
masyarakat. Hal ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya
tingkat kesejahteranaan dan tingkat pendidikan masyarakat desa.
Sebagaimana hasil yang didapatkan pada tahapan sosialisasi
dimana hal tersebut terhambat oleh rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat yang berdampak pada rendahnya pemahaman
masyarakat. Tentunya, apabila masyarakat tidak memahami, maka
akan sulit untuk menyatukan persepsi di tengah masyarakat.
Akibatnya, terjadi perbedaan pandangan dimana pemerintah
beranggapan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk
meningkatkan perekonomian dan partisipasi masyarakat desa,
Sedangkan masyarakat berpandangan bahwa pembangunan Desa
Samaulue adalah urusan pemerintah Kabupaten Pinrang dan
pemerintah Desa Samaulue. Persoalan tujuan pembangunan
adalah persoalan pemerintah. Perbedaan persepsi sangat
menghambat partisipasi masyarakat Desa Samaulue karena
masyarakat akan menganggap urusan pembangunan hanya urusan
pemerintah.
143
c. Lemahnya koordinasi internal antara Kepala Desa Samaulue
dengan Perangkat desa yang lain
Lemahnya koordinasi dalam suatu organisasi adalah
sesuatu yang sangat wajar dan patut dimaklumi. Meskipun
demikian, koordinasi yang kemah akan berdampak pada anggapan
masyarakat yang akan menilai bahwa didalam institusi desa
tersebut tidak terdapat koordinasi yang baik.
Kepemimpinan yang berjalan di desa Samaulue belum
menunjukkan adanya koordinasi yang baik. Adanya dominasi
pekerjaan dari Kepala Desa Samaulue membuat perangkat desa
lainnya menjadi malas untuk terlibat dalam pembangunan. Hal ini
berakibat implementasi pendekatan partisipatif lebih banyak
dilakukan oleh kepala desa, namun tidak sepenuhnya dibantu oleh
perangkat desa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukan diatas, maka
disarankan hal-hal sebagai berikut :
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan
pada bagian terdahulu, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pembangunan infrastruktur pedesaan di Desa
Samaulue Kecamatan Lanrisang sebaiknya tetap dilakukan
dengan mengedepankan pendekatan partisipatif. Sosialisasi harus
144
dilakukan secara maksimal dengan tetap memperhatikan kondisi
di lapangan. Hal ini sangat penting agar masyarakat memahami
arti pentingnya keterlibatan mereka. Pada tahap perencanaan,
kiranya pihak terkait lebih mengefektifkan fasilitator desa untuk
melakukan pendampingan (advokasi) terhadap aspirasi
masyarakat, terutama pada tingkat UDKP di kecamatan. Pada
tahap pelaksanaan, kiranya tetap memperhatikan tenaga kerja
lokal. Pengawasan tetap harus dilakukan oleh masyarakat dengan
tetap mengacu pada prosedur yang sudah ada. Hal-hal yang telah
disarankan diharapkan untuk menjadi perhatian pemerintah Desa
Samaulue, sehingga masyarakat tetap merasa sebagai bagian
dari pembangunan desanya. Namun demikian, disarankan untuk
lebih mengevaluasi implementasi pendekatan partisipatif secara
gradual. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana
perkembangan yang telah dicapai dan bagaimana menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada.
2. Untuk mengatasi faktor-faktor yang menghambat partisipasi
masyarakat Desa Samaulue Kecamatan Lanrisang dalam
pembangunan infrastruktur pedesaan, maka disarankan beberapa
tindakan berikut ini.
a. Kebijakan yang diterapkan saat ini harus lebih fleksibel,
adaptif serta senantiasa disosialisasikan ke masyarakat
Desa Samaulue, sehingga masyarakat memahami secara
145
seksama kandungan dari kebijakan tersebut serta
memahami maksud pesan yang menjadi harapan
pemerintah Kabupaten Pinrang
b. Melaksanakan sosialisasi secara intensif sehingga tidak
terjadi perbedaan persepsi dalam memahamai tujuan
pembangunan
Sosialisasi yang intensif dapat menumbuhkan kesadaran
dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Dengan adanya sosialisasi secara optimal, peran
masyarakat akan tumbuh karena pesan yang disampaikan
dalam sosialisasi akan menumbuhkan kesadaran dan rasa
memiliki atas hasil pembangunan yang ada
c. Meningkatkan koordinasi internal dalam lingkup
pemerintahan desa, yaitu pemerintah Desa Samaulue
dengan BPD
Koordinasi merupakan urat nadi organisasi. Semakin
lancar koordinasi, maka semakin hidup organisasi tersebut.
Disarankan agar koordinasi dalam organisasi kembali
ditingkatkan. Hal tersebut akan mendorong tercptanya kesan
yang baik di dalam masyarakat terhadap pemerintahan desa
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 1985.Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta:Media Presindo.
Adimihardja, Kusnaka, Harry Nikmat, 2004, Participatory Research
Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat, Humaniora, Bandung
Bungin, Burhan, 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga
University Press. Cohen, J.M. and Uphoff, Norman T. 1977. Rural Development
Participation . Cornell University, Itacha. Davis. 1998. Sistem Informasi Manajemen. Balai Pustaka. Jakarta Kadang. 2001. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di
Kabupaten Enrekang (Kasus Hutan Lindung Latimojong). Tesis PPS Unhas, Makassar.
Kansil, C.S.T. 1985. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Ghalia
Indonesia Khairuddin.2000. Pembangunan Masyarakat, Liberty, Yokyakarta Korten, C. David dan Syahrir, penyunting.1988. Pembangunan Berdimensi
Kerakyatan. Jakarta.Yayaysan Obor Indonesia Maggalatung, Andi Arvan. 2002. Partisipasi masyarakat dalam
Pengembangan PPK di Kabupaten Wajo. Tesis Pasca Sarjana Unhas, Makassar.
Mubyarto, & Kartodirdjo. 1998. Pembangunan Pedesaan di Indonesia.
Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia, Jakarta. Ndraha, Talidziduhu.1990. Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas . Jakarta: PT Bina Aksara. Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Nur, Muhammad. 2003. Implementasi Program Pengembangan Prasarana
Perdesaan (P2D) di Kecamatan Mattiro Sompe Kabupaten Pinrang. Tesis Pasca Sarjana Unhas, Makassar.
.
Ohama, Yutaka, 2002. “Participatory Approach”, JICA International Training on PLSD: Theories and Practices. CIBIC : Nagoya.
Patonangi, Aslam. 2001. Analisis Partisipasi Masyarakat dalam
Implementasi Program PDM-DKE DI Kabupaten Pinrang. Tesis Pasca Sarjana Unhas, Makassar.
Robinson. 1989. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi
Aksara Slamet. 1989. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi,
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Soepomo. R. 1990. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita.
Jakarta Soetomo. 1990. Peningkatan Kemampuan Perencanaan dan
Pelaksanaan Pembangunan Daerah, Membangun Daerah Tanpa Otonomi, Prisma, LP3ES, Jakarta
Sudominingrat, Gunawan.1999. Responsi Pemerintah Terhadap
Kesenjangan Ekonomi: Study Empiris pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: PerPod
Sunyoto.1998. Telaah Kebijaksanaan Penerapan Metodologi PRA.
Jakarta: Rineka Cipta Syahriani. 2000. Peningkatan Kemampuan Perencanaan dan
Pelaksanaan Pembangunan Daerah, Membangun Daerah Tanpa Otonomi, Prisma, LP3ES: Jakarta.
Tikson, Deddy T.2000. Keterbelakangan dan Ketergantungan. Makassar:
Inninawa. Tjikrowinoto.1999 Pengantar Perencanaan Pembangunan, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tjokroamidjojo.1998. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Gunung
Agung. Thoha, Miftah. 1992. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: Rajawali
Press. Todaro , M.P.2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (H. Munandar,
Trans. Edisi Ketujuh ed.). Jakarta: Erlangga
Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan. Jakarta: Sinar Grafika Peraturan Perundang-undangan PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional Perda Kabupaten PinrangNo. 10 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Pembangunan Partisipatif.
- 1 -
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN
IMPLEMENTASI PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PEDESAAN DI DESA SAMAULUE
KECAMATAN LANRISANG KABUPATEN PINRANG
OLEH
SUDARMONO
PENGANTAR Penelitian ini berjudul “ Implementasi Pendekatan Partisipatif
dalam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Di Desa Samaulue, Kec.
Lanrisang. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan kontibusi
bagi Pemerintah Kabupaten Pinrang, khususnya Pemerintah Desa
Samaulue.
Sehubungan dengan itu, Dimohon kesediaan Bapak /Ibu/ sdr
responden dalam mengisi kuesioner ini memberi keterangan sesuai
dengan kondisi obyektif.
Atas Bantuan dan Partisipasi Bapak/Ibu/sdr responden diucapkan
terima kasih.
Peneliti,
- 2 -
1. Bagaimana gambaran pelaksanaan sosialisasi sosialisasi
kegiatan Pembangunan di Desa Samaulue?
2. Bagaimana keterlibatan masyarakat Desa Samaulue dalam
sosialisasi kegiatan Pembangunan Infrastruktur?
3. Apakah masyarakat memahami pentingnya peran mereka dalam
pembangunan?
4. Bagaimana gambaran persiapan pelaksanaan musrembang
tingkat desa di desa ini?
5. Bagaimana keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan
penyusunan rencana kegiatan pembangunan?
6. Bagaimana partisipasi masyarakat desa dalam mengusulkan hasil
musbangdes pada tingkat kecamatan?
7. Bagaimana gambaran pelaksanaan pembangunan sarana dan
prasarana di Desa Samaulue?
8. Bagaimana keterlibatan masyarakat lokal dalam pelaksanaan
pembangunan sarana dan prasarana di Desa Samaulue?
9. Apakah peran pemerintah setempat mampu meotivasi masyarakat
untuk terlibat?
10. Bagaimana pengawasan masyarakat terhadap pembangunan
desa?
11. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai tanggapan atas
pengaduan yang mereka ajukan?