ILWI Buletin No 03-2010

13
 ILWI Buletin No 03-2010 1  uletin  No : 03-2010  Agustus 2010 ILWI (  Indonesian Land reclamation & Water management Institute), adalah sebuah lembaga kajian dibidang reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga ini berupaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan di bidang reklamasi & pengelolaan air kepada masyarakat. Salah satunya dengan penerbitan buletin.  Buletin ini kami kirimkan secara gratis. Tulisan, saran dan pemberitaan media menjadi bagian dari isi buletin ini. Alamat : Kompleks Rawa Bambu I Jln. D No.12A, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12520 atau P.O. Box 7277/JKSPM Jakarta Selatan 12072 Email : [email protected] KALI CODE RIWAYATMU KINI  

Transcript of ILWI Buletin No 03-2010

Page 1: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 1/12

 ILWI Buletin No 03-2010 1

 

uletin  No : 03-2010

 Agustus 2010

ILWI (  Indonesian Land 

reclamation & Water management Institute),

adalah sebuah lembaga kajian dibidang

reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga ini

berupaya untuk menyebarkan informasi dan

pengetahuan di bidang reklamasi &

pengelolaan air kepada masyarakat. Salah

satunya dengan penerbitan buletin. 

Buletin ini kami kirimkan secara

gratis. Tulisan, saran dan pemberitaan media

menjadi bagian dari isi buletin ini.

Alamat :

Kompleks Rawa Bambu I

Jln. D No.12A, Pasar Minggu

Jakarta Selatan 12520

atau

P.O. Box 7277/JKSPM

Jakarta Selatan 12072

Email : [email protected]  

KALI CODE

RIWAYATMU KINI 

Page 2: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 2/12

 ILWI Buletin No 03-2010 2

 

Pengantar Redaksi

Pembaca yang budiman, tidak terasa kita sudah masuk ke bulan Ramadhan lagi, bulan yang oleh

umat Islam dianggap sebagai bulan baik. Semoga apa yang kita lakukan selama ini membawa berkah dan

bermanfaat bagi orang banyak.

Dalam penerbitan buletin kali ini , kami akan mengangkat beragam tulisan mengenai pengelolaan air

di Kota Yogyakarta. Membahas sistem tata air di Kota Gudeg ini, tentu tidak lepas dari penanganan Kali

Code. Sungai yang diera tahun 80’an sempat menimbulkan kontroversi, berkenaan dengan kebijakan

penanganan masyarakat yang bertempat tinggal di bantarannya.

Setelah lebih dua puluh tahun berlalu, ternyata ada perubahan besar di sungai ini. Tentunyaperubahan yang dimaksud bukanlah perubahan drastis, yang bisa menjadikan Code sebagai satu sungai yang

  jernih dengan samping kiri-kanannya lebar serta dipenuhi rumput hijau dan taman. Untuk berubah ideal

seperti itu memang masih jauh. Akan tetapi lebih pada terjadinya perubahan sosial dan budaya masyarakat

setempat, yang akhirnya bisa membawa perubahan fisik sungai menjadi lebih baik. Pesan inilah yang akan

kami sampaikan dalam buletin kali ini, dimana perubahan lebih gampang dilakukan jika perilku

masyarakatpun berubah.

Pembaca, disamping Kali Code, kami juga mengangkat beberapa cerita lain berkenaan dengan

pengelolaan air di Kota Budaya ini. Salah satunya adalah liputan mengenai Selokan Mataram, yang kalau

lebih serius lagi diperhatikan, sangat berpotensi menjadi daya tarik wisata. Bagi Anda yang lebaran nanti

berencana mudik ke Yogyakarta, mungkin bisa mencoba membuktikan keindahannya.

Akhir kata kami mengucapkan selamat menikmati Buletin Edisi 03-2010. Tak lupa pula kami

mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Redaksi ILWI 

Page 3: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 3/12

 ILWI Buletin No 03-2010 3

 

CODE TERUS BERBENAHKali Code sekarang jauh lebih baik dibanding dua puluh tahun lalu. Peran serta masyarakat menjadi kunci 

sukses perubahannya. Masih perlu banyak perbaikan agar code menjadi lokasi yang benar-benar ideal 

sebagai tempat wisata sunga i .

Lama tidak pulang ke Yogyakarta, Suryadi, 35

tahun, memutuskan untuk segera meminjam sepeda

motor kerabatnya sekedar untuk jalan-jalan

membangkitkan kenangan masa lalunya. Di ujung jalan

Malioboro, laki-laki yang bekerja sebagai karyawan

bank swasta di Jakarta ini, memarkirkan motornya.Tidak seperti kebanyakan orang, dia tidak langsung

berjalan-jalan menyusuri ruas jalan yang palingtersohor di kota gudeg itu.

Sambil menenteng kamera dia bergegas

berjalan ke arah timur, menyebrang Jalan Mataram dan

langsung berhenti di atas jembatan Kali Code, yangberada di Kawasan Kota Baru. Beberapa kali dia

menjepretkan kameranya, untuk mengambil gambar

taman-taman yang ada di sekitarnya serta pemandangan

kali dari atas jembatan. Puas mengambil gambar , laki-

laki berkulit legam ini, langsung turun melalui tangga

di tepi jembatan.Sejurus kemudian dia sudah berada dekat

sekali dengan air yang mengalir di Kali Code, duduk 

dibangku yang ada ditepian sungai dan melihat anak-

anak yang sedang mandi di sungai, yang berada di

tengah kota Yogyakarta itu. “Pemandangan seperti ini

tidak mungkin saya lihat di sungai di tengah kota

Jakarta,” katanya berguman.

Meski air kali tidak bening tapi kualitasnya

  jauh lebih baik dibandingkan air yang mengalir di

Sungai Ciliwung ,Jakarta atau Cikapundung,

Bandung. “Setidaknya anak-anak masih bisa bermaindan orang masih bisa membangun keramba ikan di

sini,” ujar Suryadi. Apa lagi dia masih dapat melihatikan tawes, wader dan shapu-shapu berenang bebas

dihadapannya. “Sungguh menyenangkan.”

Di luar sungai masih ada pemandangan lain

yang tidak biasa. Jejeran rumah susun yang dibangunpemerintah untuk disewakan, untuk warga pinggiran

kali yang ingin pindah -tentunya dengan harga sewa

yang murah-, terlihat cukup memadai untuk dihuni.

Selain itu juga ada rumah-rumah panggung berwana

warni dipinggiran sungai.

Untuk satu kota yang penduduknya cukuppadat, kondisi Sungai Code ini relatif lebih baik jika

dibandingkan dengan sungai-sungai yang berada di

kota-kota besar lainnya di Indonesia. Memang tentu

saja kondisinya masih kalah jauh dibandingkan sungai-

sungai di negara-negara yang sudah punya tradisi

Page 4: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 4/12

 ILWI Buletin No 03-2010 4

menjaga kebersihan sungainya. Seperti negara-negara

di Eropa atau beberapa negara maju di Asia.

 Rumah susun di tepian kali Juga masih kalah bersihnya jika dibandingkan

sungai-sungai yang berada di daerah lain di Indonesia

yang penduduknya tidak sepadat kota-kota besar di

Pulau Jawa. Di daerah semacam ini sungai relatif belum

banyak tercemar oleh limbah dan penduduk pun belummerasa terpaksa untuk mendirikan bangunan di

bantaran sungai. Jadi kondisi sungai di daerah semacam

ini relatif masih bersifat alami.

Meski demikian, kondisi Kali Code sekarang

  jauh lebih baik dibandingkan sepuluh atau dua puluh

tahun yang lalu. Saat dimana orang berkoar-koartentang kumuh dan kotornya sungai yang membelah

kota Yogyakarta ini. Permukiman yang tidak tertata, air

kotor, dan banyaknya orang membuang segala macam

kotoran menjadi penyebab muramnya sungai kebangaanWong Yogya ini.

Kini disepanjang Kali Code kita bisa berjalandengan aman karena ada jalan dipinggiran kali yang

ditata sedemikian rupa sehingga nyaman untuk 

dilewati. Jalan yang terbuat dari con block  berada di

kiri kanan sungai dengan pot-pot tanaman berada

dipinggiran sungai. Air sungai yang tidak lagi

berwarna hitam menjadi pemandangan yang enak untuk dilihat. Tidak hanya oleh para pelancong tapi juga oleh

penduduk-penduduk sekitar.

Tempat pejalan kaki di kiri-kanan sungai 

Warga menolak sampah 

Sampah pun nyaris tidak terlihat di aliransungai, yang banyak terlihat dipinggiran sungai adalah

tulisan-tulisan peringatan tentang himbauan agar tidak 

membuang sampah ke dalam kali. Jika dulu kita melihat

Kali Code yang masih digunakan orang sebagai “toilet”

terpanjang di Yogyakarta, kini pemandangan semacamitu tidak ada lagi.Kesadaran penduduk, yang merasa malu

buang air di sungai, sudah bisa dirasakan. Sebagai

gantinya beberapa toilet umum yang jauh lebih resik 

disediakan dibeberapa lokasi ditepian kali. Kondisi

toilet ini cukup memadai sehingga warga jauh merasa

nyaman menggunakannya dibandingkan harusnongkrong di pinggir kali.

Beberapa komunitas warga berusaha untuk 

membuat enak suasana di sekitar kali, agar mereka

betah untuk berlama-lama di tempat ini. Untuk itu

mereka mendirikan beberapa tempat beraktivitas seperti

tempat bacaan, lapangan olah raga, tempat mancingatau sekedar tempat-tempat duduk. Tentunya jangan

dibayangkan bahwa fasilitas yang dibangun itu mewah,

sederhana saja kalau tidak mau disebut seadanya. Akan

tetapi sudah cukup memadai sebagai fasilitas

pelengkap untuk menikmati kali.

Warga menikmati aliran sungai 

Page 5: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 5/12

 ILWI Buletin No 03-2010 5

 Warung menghadap sungai

Perjalanan Panjang Merubah Budaya

Kondisi Kali Code sekarang memang sudah

lebih baik, meski masih jauh dari indah dan memadai

  jika ingin dibuat sebagai tempat wisata. Meski

demikian ada pelajaran yang bisa dipetik dariperubahan Kali Code ini. Yang kita lihat sekarang ini

adalah proses dimana kali ini berubah lebih baik.

Belum tahu dimana nanti ujungnya, walaupun demikian

  jika proses ini berlangsung terus maka kita boleh

berharap Kali Code yang lebih indah akan bisa diraih

warga Yogyakarta.Ini adalah perubahan budaya masyarakat di

sekitar Code dalam memperlakukan sungai yang selalu

bersanding dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Ditengah-tengah kertelanjuran yang sudah mereka

lakukan, perlahan-lahan warga mulai merubahperilakuanya. Terlanjur tinggal di bantaran sungai,terlanjur menganggap kali sebagai tong sampah

raksasa, terlanjur menjadikan kali sebagai tempat

pembuangan limbah sehari-hari, terlanjur menganggap

kali sebagai halaman belakang rumah dan lain-lain.

Teduh di pinggiran kali 

Semua keterlanjuran itu berakumulasi padaburuknya kondisi sungai, baik dari segi fisik maupun

kualitas airnya. Tidak hanya di Yogyakarta, fenomena

keterlanjuran itu hampir dirasakan seluruh sungai yang

berada di banyak kota besar di Indonesia. Di Jakarta

umpamanya, entah bagaimana caranya merubah

lingkungan Sungai Ciliwung agar lebih bisa membuataliran sungai menjadi lebih baik mutunya dan lebih elok 

dipandang.

Di Kali Code fenomena keterlanjuran itu

mulai dilawan masyarakatnya sendiri. Sehingga

perubahan menuju yang lebih baik mulai dirasakan,

tentunya juga dengan dukungan pemerintah daerah.

Kondisi Code yang sekarang ini tidak terlepas

dari peranan almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

yang dikenal dengan nama Romo Mangun. Diawaltahun 80’an romo datang dengan pendekatan yang

“tidak lazim” kala itu.

Kawasan Kali Code dengan rumah-rumahkumuh dengan hanya berdinding triplek dan kardus

selalu menjadi ancaman banjir. Rumah-rumah yang

 jauh dari layak itu dibangun hingga merangsek ke aliran

sungai.

 Hulu Kali Code 

Pemerintah geram, meminta masyarakat

setempat untuk segera beranjak dari tempat itu.

Alasannya masuk akal, disamping membuat air sulitbergerak juga membahayakan warga sendiri. Tapi,

mereka tidak mau beranjak, maklum kondisi ekonomi

mereka yang terseok-seok membuat mereka tidak tahu

harus tinggal dimana. Romo Mangun pun tidak setuju

dengan keinginan pemerintah kala itu.

 Puluhan Keramba di tengah kali 

Page 6: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 6/12

 ILWI Buletin No 03-2010 6

YB Mangunwijaya, demikian sebutan lain dari

romo, akhirnya menawarkan konsepnya yang

disandarkan kepada pendekatan sosial budaya.

Masyarakat diminta untuk mengerti pentingnya

menjaga lingkungan, kesehatan serta keamanan, -

terutama aman dari bahaya banjir-. Sementara disisilain rumah-rumah susun dibangun untuk memindahkan

warga yang berada di bantaran sungai. Tidak, hanya itufasilitas-fasilitas lain pun dibangun untuk mengurangi

pencemaran air sungai dan pemandangan yang tidak 

sedap. Seperti pembangunan wc-wc umum

Merasa di”uwongke” warga setempat

mengikuti solusi itu. Secara perlahan-lahan namun

pasti masyarakat menata rumahnya, sampah tidak lagi

dibuang seenaknya di sungai, mulai merasa malu untuk buang air besar disungai, membebaskan sungai dari

bangunan-bangunan yang menghambat alirannya dan

kegiatan positif lainnya.

Mulanya program ini hanya dilakasanakan di Kampung

Code Utara , Kelurahan Kota Baru, Kecamatan

Gondokusuman. Akan tetapi karena terbukti cukup

berhasil, masyarakat dan pemerintah daerah mulai

menerapkan hingga ke ruas-ruas sungai yang lain.

Lambat laun secara berangsur-angsur terasa adanya

perubahan budaya masyarakat dalam memperlakukanSungai Code. Salah satunya adalah menempatkan

rumah atau tempat usaha menghadap ke kali, sehingga

secara psikologis mereka akan menjaga kali agar tetap

enak dipandang.

Tentu saja perubahan ke arah lebih baik yang

dilihat hingga saat ini masih jauh dari ideal. Misalnyabeberapa bantaran sungai masih ada yang dihuni meski

bangunannya cukup kuat untuk menahan gempuran air.Akan tetapi, apa yang dicapai sekarang sudah cukup

untuk dijadikan contoh betapa pola urun rembug 

dengan masyarakat setempat menjadi pilihan terbaik 

untuk menata aliran sungai.

Kini pemerintah tidak lagi disibukkan dengan

membuat larangan tidak boleh membuang sampah di

kali. Masyarakat sendirilah yang menegur orang-orang

yang membuang sampah di kali ini. Program “Nol

Sampah Sungai Code Tahun 2010” di dukung oleh

beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta seperti

Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam

Indonesia (UII), Universitas Atmajaya Yogyakarta

(UAJY) dan lain-lain. Harapannya tentu saja agar Kali

Code menjadi contoh program kali bersih, sehat danaman, di Indonesia.

 Ank-anak bermain di kali 

Page 7: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 7/12

 ILWI Buletin No 03-2010 7

 

PELAJARAN DARI KEARIFAN LOKAL

Perubahan Kali Code adalah perjalanan panjang yang belum berakhir. Kearifan lokal masyarakat setempat menjadi sandaran untuk melakukan perubahan. Jadi pelajaran bagi kota-kota lain dan masyarakat Code sendiri . 

 Menatap air di tengah kali

Berharap jangan sampai air yang mengaliri

Kali Code tercemar limbah adalah salah satu keinginanpara pemilik keramba ikan di sekitar aliran yang berada

di daerah Kotabaru. “Jika tercemar, ikan nila yang

yang saya pelihara pasti akan semaput,” ujar salah

seorang pemilik keramba. Bagi mereka hasil dari

budidaya ikan air tawar ini, cukup untuk menambahpenghasilan. Karena itu mereka berharap agarmasyarakat bersama-sama menjaga kebersihan Kali

Code. “Semoga tidak ada yang membuang limbah di

sini.”

Di banyak kota besar yang padat penduduknya

di Indonesia, bisa memelihara ikan di aliran sungai

yang terletak di tengah kota merupakan anugrahtersendiri. Ini artinya air sungai yang melalui kota

tersebut belum tercemar berat, masih bisa dipakai untuk 

menghidupi mahluk hidup lainnya. Betapa tidak 

dibeberapa kota lain di Indonesia, air sungainya tidak 

hanya tercemar, tapi juga mengeluarkan bau yang tidak sedap. Jangankan untuk sekedar menyentuhnya,mendekat saja orang enggan untuk melakukannya.

Meski pengurangan pencemaran di Code

belum maksimal dan diyakini masih bisa ditingkatkan

lagi, tapi keberhasilan ini bisa dijadikan pelajaran

untuk melihat perubahan apa sebenarnya yang terjadi

sehingga sungai bisa bertambah baik kualitasnya. Iniperlu dilakukan untuk dijadikan pelajaran bagi

masyarakat yang memiliki sungai di kota lain, atau

untuk lebih memperbaiki kondisi Sungai Code sendiri,

diwaktu-waktu yang akan datang. Sebagai catatan

semakin ke arah selatan kondisi Code semakin buruk,diantaranya karena ada tempat pembuangan sampahyang berdampingan dengan sungai. Ini masih perlu

diperhatikan

Beberapa pengaruh positif yang membuat

kualitas aliran sungai dan daerah aliran sungai menjadilebih baik adalah ; adanya sumur resapan warga,

bangunan mulai menghadap ke sungai, adanya toilet

umum, budaya ewuh pekewuh masyarakat setempat,

besarnya keterlibatan masyarakat serta dukungan dari

pemerintah daerah setempat. Kombinasi itu membuatperkembangan penataan Kali Code semakin lamasemakin baik.

Di daerah ini warga jarang sekali membuat

saluran drainase untuk tempat pembuangan air

limbahnya. Di sini masyarakatnya sudah terbiasa

membangun sumur resapan untuk menyimpan dan

menyerapkan air limbah rumah tangga yang merekabuang. Sehingga air limbah yang dibanyak kota,

akhirnya dialirkan ke sungai, tidak terjadi di

Yogyakarta.

Walaupun belum mencapai tingkat yang ideal

dimana peresapannya belum melalui proses yang ideal,namun hal ini juga telah memberikan beberapakeuntungan. Diantaranya lingkungan perumahan tidak 

bau, karena biasanya ada got-got terbuka yang menjadi

tempat mengaliri air limbah tersebut, disamping itu

tentu saja limbah yang mengalir ke sungai menjadi jauh

lebih berkurang. Dampaknya pencemaran terhadap

sungai juga bisa ditekan.Untuk Yogyakarta yang bukan kota industri,

limbah domestik menjadi dominan sebagai potensi

pencemaran air sungai. Akan tetapi karena limbah-

limbah tersebut kebanyakan tidak dialirkan ke sungai

maka, sangat mempengaruhi peningkatan kualitassungai.Dikemudian hari tentu saja harus ada penilaian

terhadap banyaknya limbah domestik yang terserap

Page 8: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 8/12

 ILWI Buletin No 03-2010 8

tanah di wilayah ini, apakah sudah melebih ambang

batas pencemaran atau belum. Karena bagimanapun

 juga jika semakin banyak penduduk yang menyerapkan

limbahnya ke dalam tanah, tentu mau tak mau pada

akhirnya akan mencemari airtanah juga.

Sedang memperbaiki kerambaSolusi yang mungkin bisa mulai dijalankan

adalah mengolah terlebih dahulu limbah cair, sebelum

diserapkan ke dalam tanah. Masalahnya membuat

tempat pengolahan limbah juga tidak bisa dibilang

murah, apa lagi kalau ditanggung sendiri-sendiri untuk setiap rumah tangga. Karena tidak mungkin untuk membuat pengolahan limbah secara pribadi-pribadi,

kemungkinannya adalah membuat tempat pengelolaan

limbah secara komunal harus dipikirkan.

Keberhasilan mengurangi limbah rumah tangga

yang mengalir ke Sungai, didukung oleh keinginan

warga Kali Code yang mulai memanfaatkan sungaisebagai bagian dari halaman depan rumahnya. Ini tentu

saja mendorong masayarakat setempat untuk menjaga

agar “beranda” rumahnya tersebut menjadi bersih.

Bukan saja dari sampah-sampah miliknya sendiri,

bahkan juga mereka menjaga dari ulah usil orang-orang

yang masih ingin membuang sampah ke sungai.Kondisi semacam ini berdampak pada

perubahan kebiasaan masyarakat. Dengan

menghadapkan rumah ke sungai, otomatis mengurangi

kebiasaan warga lain yang masih menjadikan sungai

sebagai toiletnya. Tatapan sebagian penduduk membuat

sebagian lagi penduduk yang terbiasa membuang hajatdi sungai menjadi risih. Perlahan-lahan merubah

kebiasaannya untuk tidak buang air di sungai.

Apalagi pemerintah dan beberapa organisasi

kemasyarakatan membantu mendirikan toilet-toilet

umum di sekitar sungai. Meski pertama kali agak 

canggung, tetapi perlahan-lahan warga bisa jugamenggunakan toilet-toilet umum yang pasti lebih bersih

dan lebih sehat itu. Kini penduduk setempat sudah

terbiasa menggunakan jamban-jamban seperti itu,bahkan mungkin jika disuruh kembali ke “selera” asal

mereka sudah tidak bisa lagi. Dalam hal ini terlihat

benar, perubahan kebiasaan masyarakat setempat

menjadi lebih baik.

Di kebanyakan kota di Indonesia, bantaran di

sepanjang sungai dianggap lahan yang cocok untuk 

membangun rumah bedeng liar. Karena ada lahan dan“tidak ada pemiliknya”, karena itu membuat rumah ala

kadarnya di daerah semacam ini dianggap lebih mudah.

Padahal lahan-lahan itu sebenarnya milik pemerintah

yang dikosongkan agar air bisa berjalan dengan leluasa.

Fenomena semacam ini juga pernah terjadi di KaliCode.

Akan tetapi karena ada program-program dari

Romo Mangun maka masyarakat bisa diberi pengertian(baca : Code Terus Berbenah), apalagi disokong oleh

bantuan pemerintah dalam mendirikan rumah-rumah

susun.

Rumah susun yang jaraknya hanyasepelemparan batu dari bedeng-bedeng di bantaran

sungai, tentu sangat membantu untuk memindahkan

warga. Karena jarak rumah mereka yang dulu tak jauh

berbeda dengan rumah susun yang mereka tempati. Ini

tentu tidak begitu memberatkan mereka. Hanya sajamereka harus membayar biaya sewa rumah susun

tersebut, tarifnya sendiri sangat murah karena sudah

diukur menurut kemampuan warga setempat.

Paling menarik adalah keterlibatan masyarakat

yang cukup serius untuk mengembalikan fungsi kali

yang sebenarnya. Warga benar-benar mendukung setiapprogram yang membuat kawasan yang mereka tinggali

menjadi lebih baik. Ini dibuktikan dengan turut

mengambil bagian dalam setiap kegiatan yang

berkaitan dengan kebersihan Kali, warga merasa gerah

 jika melihat kali sudah mulai kotor. Apalagi masyarakat

di sana masih memiliki sifat ewuh pekewuh , tidak enak  jika tidak turut membantu membersihkan.

Dalam masyarakat Jawa, kearifan lokal yang

mendorong keterlibatan masyarakat sering kali menjadi

bagian penting dalam menyelesaikan masalah di daerah

setempat. Sebagai contoh, ketika terjadi gempa bumi

tahun 2006, lalu, pemerintah menyerahkan sendirikepada komunitas-komunitas masyarakat untuk 

membangun kembali rumahnya. Bantuan uang,diberikan langsung kepada korban, mereka sendirilah

yang mengelola. Hasilnya, proses rehabilitasi dan

rekonstruksi perumahan pasca gempa di Yogyakarta

dan Jawa Tengah, menjadi proses recovery pascabencana yang tercepat di dunia.

Belajar dari kejadian ini, tampaknya dalam

menata sungai dimanapun di Indonesia, yang utama

adalah menempatkan dan melibatkan masyarakat

setempat untuk turut membuat kebijakan dan sekaligus

melaksanakannya.

Page 9: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 9/12

 ILWI Buletin No 03-2010 9

Konservasi Air di Yogyakarta :

TAHAN AIR DI UTARAStruktur tanah yang berpasir mempermudah Yogyakarta bagian utara untuk menyerap banyak air. Menggalakan

 konservasi air di bagian utara dapat menjaga keseimbangan air di kota budaya ini. Perlu ditambah jumlah waduk

 sebagai tempat penyimpanan air. 

Bagi masyarakat Kota Yogyakarta dan

sekitarnya, memperoleh air bersih dengan menggali

sumur dangkal, sudah lazim dilakukan. Memang ada  juga warga yang menggunakan air ledeng untuk 

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tapi

  jumlahnya tidak banyak , jauh dibawah yang

menggunakan airtanah. Maklum air sumur di

Yogayakarta relatif cukup bersih dan bening.

Waduk tempat rekreasi di Sleman

Memang sudah bertahun-tahun masyarakat

Yogyakarta, terutama di Kotamadya Yogyakarta dan

Kabupaten Sleman , dimanjakan dengan gampangnya

mendapatkan air sumur yang bersih. Tidak perlu

membuat lubang terlalu dalam untuk sekedar

mendapatkan air. Karena itu, warga cenderung tidak mau direpotkan dengan memasang instalasi air melalui

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Penggunaan sumur dalam jumlah terbatas

memang tidak menjadi masalah, akan tetapi jika tidak 

mulai dikurangi pasti akan berdampak pada

keseimbangan alam. Karena tinggi muka air semakin

lama semakin menurun, akibat terus menerus diambilsecara masal oleh masyarakat. Salah satu ancamannya

adalah bisa saja terjadi amblesan seperti yang terjadi di

Jakarta.

Bagaimana seharusnya konsevasi air di

Yogyakarta ? Hal ini memang harus mulaidiperhatikan, agar dikemudian hari kelak tidak timbul

krisis sumber-sumber air di Yogyakarta. Struktur

tanah di Yogyakarta, terutama bagian utara, yang

cenderung berpasir, sebenarnya mempermudah

penyerapan air ke tanah. Jadi jika hujan terjadi,

sebaiknya air yang turun tidak langsung dibuang ke

sungai-sungai dan selanjutnya dialirkan ke laut .Seharusnya dipakai kesempatan untuk 

menahan air di dalam sumur resapan khusus air hujan

atau dengan model peresapan biopori. Sebagai catatan,

meski sumur resapan sudah familiar di daerah ini, tapi

yang khusus dibuat untuk menampung air hujan masih

sedikit jumlahnya. Padahal air hujan perlu untuk ditahan di dalam tanah, apalagi kualitas airnya relatif 

masih bersih. Jika setiap rumah memilikinya maka

akan cukup banyak air yang tertahan.

Disamping itu jika setiap rumah juga memiliki

lubang-lubang biopori , pasti akan sangat membantu

penyerapan air. Sistem biopori ini tampaknya memang

harus disosialisaikan di Yogyakarta, karena belumbanyak yang mengetahui. Caranya sederhana hanya

dengan melubangi tanah dengan diameter 10-15 cm

sedalam 1 meter, setelah itu diisi dengan daun-daun

atau sampah-sampah organik, sehingga air bisa terserap

ke dalamnya. Disamping menyerap air sistem bioporiseperti ini juga menyuburkan tanah.

Diluar sumur resapan dan biopori, warga juga

bisa mengalirankan air hujan ke tempat parkir

sementara. Misalnya lapangan-lapangan sepak bola,

halaman rumah, tempat-tempat lain yang tidak diberi

perkerasan, sehingga air bisa tertahan disana danlangsung terserap. Dengan struktur tanah berpasir

seperti ini, hanya butuh beberapa menit saja untuk 

menyerapkannya.

Satu lagi yang sangat kurang jumlahnya adalah

waduk/situ. Danau semacam ini sangat sedikit

 jumlahnya padahal sangat berguna untuk menyerapkanair ke tanah. Karena itu pemerintah daerah perlu

menambah jumlah waduk, yang bisa juga dipakai

sebagai tempat rekreasi.

 Membuat lubang biopori

Page 10: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 10/12

 ILWI Buletin No 03-2010 10

MENUJU DWIFUNGSI SELOKAN MATARAM 

Selokan Mataram mempunyai potensi keindahan yang cukup besar. Disamping sebagai saluran irigasi,

 selokan ini juga menarik dijadikan pemandangan kota. Perlu ada upaya pemerintah untuk mendorong

 masyarakat agar turut menjaga dan merawat saluran ini.

Selokan Mataram melintas UGM Jika memasuki kawasan Universitas Gadjah

Mada (UGM), Yogyakarta, dari ruas Jalan Kaliurang

sebelah utara, maka Anda pasti akan melihat aliran air

yang begitu tenang melintas jalan itu. Persis di depan

kampus Megister Management (MM) UGM, atausekitar 50 meter sebelah utara dari Gedung Pusat UGM.

Jika dilihat sepintas memang selokan ini mirip aliran

sungai yang pinggirnya diberi perkerasan.

Selokan ini adalah saluran irigasi yang

digunakan untuk mengairi sawah di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) sebelah utara. Pembangunan selokanini dilakukan saat jaman Jepang, di mana kala itu Sri

Sultan Hamengku Buwono IX berinisiatif untuk 

membangunan saluran irigasi untuk mengairi sawah-

sawah yang ada di Yogyakarta bagian utara.

Konon, pembangunan saluran ini hanya “akal-

akalan”   Ngerso Dalem, demikian masyarakat Jawasering menyebut nama Sri Sultan, saja. Pasalnya, saat

itu Jepang lagi getol-getolnya menggalakkan romusha 

(kerja paksa). Dimana penduduk dipaksa bekerja keras

tanpa diberi makan dan minum yang cukup.

Tidak sudi warganya diperlakukan secara

kejam Sri Sultan mencari akal dengan meminta

warganya membangun saluran irigasi. Maksud utamapembangunan itu adalah agar para penjajah Jepang,

tidak lagi memaksa warganya untuk ikut kerja paksa.

Pada jaman Jepang itu pula, saluran sepanjang 30

kilometer ini bisa dirampungkan. Kala itu nama yang

diberikan untuk saluran ini adalah Kanal Yoshiro, dan

langsung digunakan untuk mengairi sawah-sawah disekitarnya.

Saluran ini berhulu di Kali Progo yang terletak di Barat

Laut Kota Yogyakarta dan berhilir di Kali Opak,

sebelah Timur, Kota Yogyakarta. Hingga saat ini

Selokan Mataram masih berfungsi dengan baik dan

digunakan untuk memenuhi kebutuhan air para petani.Meski demikian, sudah kelihatan adanya warga

yang mulai mengalihkan fungsi selokan ini sebagai

tempat pembuangan air limbah domestik. Memang

Page 11: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 11/12

 ILWI Buletin No 03-2010 11

belum terlalu banyak warga yang memperlakukan

selokan seperti ini, akan tetapi jika dibiarkan cukup

mengancam keberadaan saluran ini sendiri.

 Bendungan Krasak Beberapa bulan lalu, sebuah harian ibukota

menulis artikel tentang kekhawatirannya bahwa selokan

ini menjadi tidak terawat. Karena mulai banyaknya

masyarakat yang membuang limbah dan semakin  jarangnya masyarakat yang mau bergotong royong

membersihkan saluran ini. Maklum karena semakin

banyaknya masyarakat yang bertempat tinggal di

sekitar selokan, semakin sedikit saja masyarakat yang

membutuhkan airnya untuk pertanian. Bahkan lebih

memilih untuk membuang limbah cair dan sampahnyake dalam saluran.

Keresahan ini cukup masuk akal, karena

sebenarnya jika mau merawatnya disamping bisa tetap

mengairi sawah, Selokan Mataram bisa menjadi dayatarik tersendiri bagi pariwisata. Dimana pemandangan

air mengalir dengan kualitas yang relatif bersih, tidak dipenuhi sampah, sangat langka di kota-kota besar di

Indonesia.

Sebenarnya potensi seperti ini dipunyai oleh

Selokan Mataram. Jika kita menyusuri selokan dari

sumbernya di Kali Progo menuju Kali Opak maka kita

akan melihat warna-warni pemandangan yang cukupmenarik di balik tenangnya air yang mengaliri saluran.

 Pintu air masuk ke Selokan Mataram

Disamping itu kita akan mendapat cerita-ceritamenarik di sepanjang saluran, dan bagi yang tertarik 

dengan bangunan air perjalanan menyusuri selokan

benar-benar menambah pengatuhan. Orang juga akan

kagum karena air mengalir melalu jalur-jalur sulit.

Terowongan melewati perkampunganDi hulu saluran, pertama-tama yang kita lihat

adalah bendungan besar yang menahan aliran Sungai

Progo. Sungai yang jarang sekali kering di musimkemarau dihambat alirannya oleh bendungan yang

cukup panjang untuk dialirkan ke Selokan Mataram

melalui empat buah pintu air. Selepas pintu, air

langsung bergerak tenang menuju ke arah Selatan.

Saat-saat saluran memotong Sungai Krasak

Page 12: ILWI Buletin No 03-2010

8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2010

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-03-2010 12/12

 ILWI Buletin No 03-2009 12

Sekitar 200 meter dari intake, ada pintu air

lagi untuk mengeluarkan limpasan air jika tingginya

melebihi kapasitas saluran. Beberapa puluh meter dari

pintu air tersebut saluran langsung menghilang masuk 

ke dalam terowongan. Bagi orang dari luar desa

setempat tentu tidak bisa melihat kemana sebenarnyaair mengalir. Ternyata selokan itu berada jauh dibawah

tanah di perkampungan penduduk, hingga muncul lagidari sebuah terowongan bawah tanah.

Selanjutnya air mengalir dengan ketinggian

berada jauh dibawah jalan inspeksi yang berada

disebelah timurnya, sementara di arah seberah baratnyaada segelintir rumah penduduk dengan dikelilingi

pepohonan yang cukup besar dan rimbun. Meski

terkesan hening dan senyap, karena melalui areal yang

lumayan sepi, tapi kondisi ini justru memberi daya tarik 

sendiri bagi warga kota yang kebetulan melewati jalur

ini.

 Mencuci di Selokan Mataram

Tidak kalah menariknya adalah , bagaimanasaluran ini harus melalui Sungai Krasak yang cukup

lebar . Ternyata sebelum mencapai sungai, air saluranmasuk melalui pintu air yang cukup besar, melewati

siphon, saluran ini bergerak melalui bawah sungai,

hingga muncul lagi ke permukaan beberapa puluh meter

di Selatan Sungai Krasak. Benar-benar pemandangan

yang fantastik, bagi orang awam yang belum begitu

paham dengan seluk beluk saluran irigasi.Selepas itu saluran masih melewati satu sungai

yang relatif lebih kecil, tapi tidak melalui tanah

melainkan cukup dengan saluran beton yang terbuka di

atas permukaannya. Secara teknis, ada perlakuan yang

berbeda terhadap bangunan saluran, dalam hal melewati

kedua buah sungai tersebut.

 Mengembala kambing di pinggir saluran

Taman di pinggir selokan

Setelah itu air lebih banyak bergerak denganleluasa di dalam saluran yang cukup lebar, dimana ruas-

ruas saluran antar jembatan cukup panjang. Sebenarnya

ruas-ruas seperti ini bisa dimanfaatkan untuk bermain

kano, atau menjadi tempat wisata air lainnya. Kondisi

saluran lebar seperti ini hingga mencapai daerah Ring

 Road Barat .Selepas itu mulailah Selokan Mataram ini

mengalir di dekat-dekat rumah penduduk, alurnya

masih teratur karena memang diapit oleh Jalan aspal di

kiri kanannya. Bahkan beberapa warga rela membuat

taman di depan rumahnya yang berbatasan dengan

saluran. Kesedian warga semacam ini cukup membantumenambah eloknya selokan Mataram.

Paling menarik adalah ketika saluran ini

melalui UGM, kampus yang mulai tertata

lingkungannnya ini, seolah-olah senagaja dilengkapialiran “sungai” yang tenang. Pemandangan saluran

dan lingkungan kampus menjadi cukup asri dan salingmelengkapi. Selanjutnya saluran bergerak melalui

kampus-kampus lainnya dan beberapa kompleks

perumahan mewah. Di atas Sungai Babarsari, saluran

ini mengalir di dalam satu bangunan air yang tertutup,

dengan ditopang pilar-pilar yang cukup kokoh. Sampai  Ring Road Utara, pemandangan Selokan Mataram,masih bisa untuk dinikmati.

Anti klimak justru berada menjelang hilir

saluran ini, setelah Jalan   Ring Road Utara, saluran

menjadi sempit dan warga semakin banyak membuanglimbah cair ke saluran. Kesannya mulai tidak terurus

dan banyak dipenuhi tanah-tanah akibat sedimentasi

yang sudah ditumbuhi rumput. Sangat disayangkan,padahal jika terus bisa dijaga bukan tidak mungkin

saluran ini menjadi daya tarik wisata tersendiri.

Tampaknya Yogyakarta harus lebih

memperhatikan Selokan Mataram ini, mumpung masih

baik dan belum terlalu rusak. Kesempatan itu ada,

karena biasanya jika sosialisasi berjalan baik,masyarakat setempat pasti mau untuk menjaga dan

memelihara saluran ini. Prinsipnya, mereka tentu lebih

senang jika lingkungan menjadi indah dan enak dilihat.Ayo selamatkan Selokan Mataram.