gender dlm masyarakat

36
Home About RSS Peni Adji USD Sastra Indonesia USD Hey there! Thanks for dropping by Peni Adji USD! Take a look around and grab the RSS feed to stay updated. See you around! IKLAN KAJIAN DRAMA INDONESIA GENDER DALAM DRAMA INDONESIA Filed under: KAJIAN DRAMA INDONESIA by Peni Adji — Leave a comment December 1, 2010 I. Pengantar Menurut Warren (Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174) gender ber-hubungan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksii sosial yang diwujudkan dalam perbedaan peran dan sifat anatara laki-laki dan perempuan. Kemudian, perbedaan peran dan sifat ini membentuk suatu budaya yang dianggap bersifat “alamiah” oleh tatanan masyarakat. Selain itu, dalam Analisis Sosial (November 1996) gender juga dijelaskan sebagai perbedaan tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil konstruksi masyarakat. Sifatnya bukan biologi dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah

Transcript of gender dlm masyarakat

Home About RSSGO

Peni Adji USDSastra Indonesia USD Hey there! Thanks for dropping by Peni Adji USD! Take a look around and grab the RSS feed to stay updated. See you around!

IKLAN KAJIAN DRAMA INDONESIA

GENDER DALAM DRAMA INDONESIAFiled under: KAJIAN DRAMA INDONESIA by Peni Adji Leave a comment December 1, 2010 I. Pengantar Menurut Warren (Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174) gender ber-hubungan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksii sosial yang diwujudkan dalam perbedaan peran dan sifat anatara laki-laki dan perempuan. Kemudian, perbedaan peran dan sifat ini membentuk suatu budaya yang dianggap bersifat alamiah oleh tatanan masyarakat. Selain itu, dalam Analisis Sosial (November 1996) gender juga dijelaskan sebagai perbedaan tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil konstruksi masyarakat. Sifatnya bukan biologi dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antara kelas yang satu dengan kelas yang lainnya. Masalah gender muncul, bermula dari pandangan universal, yaitu bahwa kebudayaan berusaha menguasai dan mengelola alam untuk keperluan manusia. Dalam hal ini, lakilaki diidentifikasikan dengan kebudayaan dan perempuan diidentifikasikan dengan alam yang dikuasai dan dikelola oleh alam karena kehidupannya dianggap dekat dengan proses biologisnya, yaitu fungsi reproduksinya (Other via Moore, 1988:13). Bermula dari padangan tersebut perempuan secara stereotip dinilai mewarisis sifat-sifat feminine, yaitu emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang keluarga; sedangkan laki-laki dinilai mewarisis sifat-sifat masculine, yaitu rasional, aktif,

superior, berkuasa, keras, dan menguasai peran dalam masyarakat (Moore, 1988:14 dan Budiman, 1985:1). Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana gender perempuan dalam tradisi penulisan drama di Indonesia, maupun gender yang tercermin dalam drama itu sendiri, serta gender perempuan dalam tradisi pementasan drama. II. Gender dalam Tradisi Penulisan Drama Dalam sejarah penulisan drama sebagai genre sastra Indonesia modern (menurut Teeuw yang yang diawali tahun 20-an) selalu didominasi oleh laki-laki. Mereka adalah Rustam Effendi , Sanusi Pane, Armijn Pane, Usmar Ismail, El Hakim, Utuy Tatang Sontani, Motinggo Busje, B. Soelarto, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Rendra, Riantiarno , dan Wisran Hadi. Baru pada tahun 1990-an, muncul penulis drama perempuan, Ratna Sarumpaet dengan drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Hal ini agak berbeda jika dibandingkan dengan perkembangan penulisan prosa. Perempuan sudah mulai berkarya tahun 1930-an akhir; mereka adalah Hamidah, Arti Purbani, Selasih, dan Rukiyah. Kemudian, tahun 1950-an muncul N.H. Dini yang sampai tahuan 90-an masih produktif. Pada tahun 90-an seiring dengan maraknya sastra populer banyak pengarang perempuan muncul dan mereka cukup produktif. Pada tahun 1990-an muncul Ayu Utami yang menggemparkan; dan tahun 2000 muncul Dewi, Okka Rusmini, dan beberapa nama yang menulis karya sastra chiklist. Tentu, selain karena hakikat antara drama dan prosa yang berbeda (drama ditulis untuk dipentaskan sementara prosa untuk dibaca) Juga ada hal lain yang menyebabkan adanya perbedaan tradisi penulisan ini. Untuk menulis prosa, orang cukup dengan berbekalkan banyak membaca (termasuk karya sastra) dan peka akan kehidupan. Hal yang dapat dilakukan di dalam batas bangunan rumah tangga (domestik). Sementara itu, untuk menulis drama, selain dibutuhkan bekal yang sama untuk menulis prosa, juga dibutuhkan bekal pengalaman langsung menonton pementasan dan juga terlibat dalam pementasan. Suatu hal yang harus dilakukan di luar rumah (publik). Hal yang tidak mudah dilakukan oleh perempuan karena selama itu ruang lingkupnya dibatasi dalam bidang domestik. Munculnya penulis drama perempuan, Ratna Sarumpaet, pada tahun 1990-an, dimungkinkan. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat sudah lebih terbuka untuk menerima perempuan di bidang publik[1]. Juga disebabkan karena ia termasuk perempuan kelas atas (terdidik, intelek) yang lebih mempunyai kemungkinan dan keleluasaan untuk berkiprah di bidang publik. Ia bisa mengemukakan suara keras (karakter yang sudah keluar dari bingkai feminine). Dia bisa terlibat dalam dunia pementasan drama yang melelahkan dengan harus banyak di luar rumah. Hanya satu naskah dramanya yang diterbitkan, yaitu Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah (1994). Terdapat beberapa naskah yang ia buat dan dipentaskan, tetapi tidak diterbitkan. Berturut-turut adalah Terpasung (Pemerkosaan itu .) tahun 1996: masih berkaitan dengan kasus Marsinah buruh perempuan di Sidoarjo; Pesta Terakhir :

Marsinah Menggugat (Monolog), dan Sang Raja ; yang ketiganya ini dibuat tahun 1997. Kritik-kritik kerasnya dalam dramanya itu menyebabkan ia ditahan pada masa Orde Baru. Pada tahun 1999/2000 dia mementaskan Aulia, kritik tentang kasus Aceh. Tahun 2000-an Riris Sarumpaet menulis drama berjudul Cairan Vagina. Naskah ini beberapa kali dipentaskan, tetapi naskah drama ini tidak diterbitkan. Perempuan dan politik adalah tema-tema utama yang tampak pada karya-karya kedua pengarang perempuan di atas.

III. Gender dalam Naskah Drama Indonesia Drama yang mengangkat permasalahan sosial masyarakat sezaman mulai terlihat pada masa Jepang. Adapun naskah drama yang secara tematik menyingggung permasalahan perempuan, yaitu Kami Perempuan karya Armijn Pane yang terbit tahun 1943; Tjitra karya Usmar Ismail yang terbit tahun 1943;Dewi Reni karya El Hakim yang terbit tahun 1944; serta , Djinak-Djinak Merpati Karya Armin Pane yang terbit tahun 1945. Karena diciptakan pada masa Jepang, secara sekilas karya-karya tersebut sangat kental unsur propaganda Jepang. Adapun permasalahan perempuan yang diangkat masih berkisar masalah pemilihan cinta kepada lawan jenis. Misalnya, Sri dalam Kami Perempuan yang memutuskan pertunangannya pada Supono karena tidak menjadi tentara Peta. Setelah diakhir cerita diketahui bahwa tunangannya itu secara diam-diam mendaftarkan diri menjadi tentara Peta, ia kembali mencintainya. Tjitra dan Dewi Reni juga berkaitan dengan pemilihan cinta yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki. Cerita dalam drama itu diakhiri bahwa tokoh perempuan akhirnya menjatuhkan pilihan pada laki-laki yang tidak ekspresif dalam menyatakan cintanya, tetapi mempunyai hati yang teguh, bijaksana, dan , ternyata tulus dalam mencintai. Sementara dalam JinakJinak Merpati digambarkan adanya tokoh gadis yang selalu menggoda suami orang. Suatu ketika ia benar-benar jatuh hati kepada pemuda yang berhati teguh, yang ternyata adalah tunangan sahabatnya. Akhirnya, ia memilih pemuda pelaut yang sedari dulu selalu mencintainya. Pada periode tahun 1950-an, muncul karya-karya Utuy Tatang Sontani. Karya-karya Utuy oleh Sumardjo (1992) dikategorikan sebagi karya psikologis. Dua karyanya yang memikat adalah Awal dan Mira dan Di Langit ada Bintang Dua karya ini berisi kritikan tehadap sikap kemunafikan manusia. Drama Awal dan Mira mengangkat tokoh perempuan bernama Mira yang cacat kakinya dan sehari-hari bekerja dengan membuka kedai kopi. Ia selalu melayani para tamu dari balik deretan dagangannya. Dengan begitu, ia tidak pernah menampakkan kecacatan kakinya. Yang tampak adalah kecantikannya dan keramahannya melayani. Ia adalah saksi kemunafikan berbagai tamu yang berkunjung di kedainya, sekaligus menjadi korban kata-kata iseng yang dilontarkan oleh para tamunya. Hanya ada seorang lelaki yang serius, baik hati, dan tampak gembel. Lelaki ini dapat mengubah Mira untuk menerima kecacatannya. Dan mereka saling mencintai.

Drama Di Langit ada Bintang mengisahkan tokoh Marlina (perempuan kampung) yang mengusir suaminya karena masalah gaji yang tak mencukupi untuk hidup sedikit mewah. Ia berhubungan dengan Tuan Hamdan (seorang pejabat), dan berharap untuk dijadikan istri kedua. Tampaknya gaya hidup mempunyai beberapa istri memang mewabah di kalangan para pejabat. Melihat perilaku suaminya, istri Tuan Hamdan yang terdidik itu, justru menjadi masa bodoh, dingin, dan egois. Ia tidak mau uring-uringan untuk bersaing dengan Marlina yang berbeda kelas dengannya. Bibi Marlina hadir untuk menasihati, agar Marlina kembali kepada suaminya karena mereka masih saling mencinta. Namun, Marlina menolak dengan alasan hidup tidak cukup dengan cinta. Cerita berakhir dengan mengambang, semua tokoh tidak berhasil meraih impian mereka. Dari karya-karya tersebut sudah mulai terlihat bahwa permasalahan perempuan adalah segmented . Terlihat adanya perempuan yang tidak lagi sekedar berkecipung dengan masalah-masalah cinta (personal, domestik). Perempuan sudah berperan dalam bidang publik untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, meskipun peran itu masih berkarakteristik perempuan, yaitu melayani. Di sisi lain, terlihat perempuan yang hedonis; mencari kesenangan duniawi dengan meninggalkan suami dan mengacuhkan nasihat bibi, seorang perempuan yang bijaksana. Terdapat juga perempuan terdidik kelas atas, yang justru menjadi egois, masa bodoh, dan dingin; ketika merasa tersaingi dalam masalah cinta dengan perempuan yang dianggapnya berkelas rendah. Mulai tahun 60-an naskah drama di Indonesia berkembang dengan beraneka ragam. Drama konvensional tetap bermunculan, dan di sisi lain mulai marak drama absurd (dengan filsafat eksistensialismenya). Termasuk yang konvensional adalah Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya dan Malam Pengantin di Bukit Kera karya Motinggo Busje. Bila Malam Bertambah Malam mengangkat tokoh perempuan kelas atas, Gusti Biang, yang sering marah kepada abdinya yang laki-laki. Ia sering membanggakan keperkasaan suaminya (baik sebagai orang yang berkasta tinggi, maupun sebagai pejuang). Namun, ternyata Gusti Biang mempunyai aib di masa lalu yang selalu ia tutupi. Masalah mempertahankan gambaran kesempurnaan suaminya sebagai laki-laki dan hasrat kodratinya untuk memiliki keturunan, menyebabkan ia mau ditiduri laki-laki lain. Laki-laki itu kemudian menjadi abdinya. Untuk menutupi semuanya itu, ia berlaku kasar dan menguasai abdinya itu. Malam Pengantin di Bukit Kera mempermasalahkan kemunafikan yang dikontraskan dengan kejujuran. Untuk siasat dapat menikahi Maya, Bujang Tambun mengaku bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik dan keturunan bangsawan. Ketika menikmati malam pengantin di rumah nenek Bujang di kampung Bukit Kera, barulah Maya ketahui bahwa nenek moyang Bujang adalah petani. Nenek Bujang bercerai dengan Kakek (almarhum) karena masalah judi. Hal ini membuat Maya marah kepada Bujang karena telah membohonginya. Konflik juga terjadi antara Maya dan Nenek. Karena melihat perilaku Nenek yang terkadang aneh dan karena dibisiki oleh perempuan kampung, Maya menuduh Nenek gila. Sementara itu, Nenek menanggapi tuduhan Maya dengan perkatakaan bahwa dia adalah keturunan petani tangguh yang sangat menjunjung kejujuran, berbeda dengan Maya yang meskipun tampak halus dan lembut, selalu mendorong suaminya untuk melakukan korupsi.

Lingkup permasalahan yang diangkat dalam drama Bila Malam Bertambah Malam dan Malam Pengantin di Bukit Kera berkaitan dengan masalah keluarga, domestik, lingkup yang secara kovensional dekat perempuan. Namun, terdapat adanya karakter yang tidak feminin yang dimiliki Gusti Biang, yaitu sangat keras, pemarah, dan suka berkata kasar kepada laki-laki yang adalah abdinya. Tidaklah jauh diintepretasi, bahwa hal ini dapat terjadi karena ia adalah perempuan kelas atas yang lebih banyak mempunyai keleluasaan. Sementara dalam malam Pengantin di Bukit Kera, terlihat adanya perbedaan perempuan dalam mensikapi kejujuran. Maya yang adalah perempuan kota, halus, dan lembut sangat marah ketika mengetahui bahwa suaminya tidak jujur dalam hal keturunan, namun di sisi lain dia mendorong suaminya untuk berlaku tidak jujur, korupsi dalam pekerjaannya. Perilaku Maya ini ditanggapi dengan sinis oleh Nenek Bujang: meski ia keras, tampak aneh, dan sempat dituduh Maya gila, Nenek adalah orang yang sangat menjunjung kejujuran. Drama monolog Prita Istri Kita karya Arifin C. Noor (1960) men-ceritakan konflik tokoh aku yang perempuan. Dia menyesal menikah dengan suaminya yang adalah seorang guru (miskin). Dia mengeluh tentang tekanan ekonomi dan kesederhanaann hidupnya. Marah dengan ketidakmampuannya bersenang-senang karena gaji suaminya yang sedikit. Dia membayangkan menikah dengan orang lain yang kaya, yang dapat membebaskannya dari kemiskinan. Sekali-lagi drama ini masih mengangkat permasalahan keluarga dalam lingkup domestik. Dan hal ini mungkin suatu stereotip perempuan yang biasanya ditangkap oleh laki-laki. Menarik untuk menyimak drama Iwan Simatupang yang berjudul Petang di Taman (1966) yang dikategorikan sebagai drama absurd. Dari empat tokoh penting terdapat satu tokoh perempuan. Semua tokoh ini datang ke taman membawa permasalahan eksistensi mereka masing-masing. Yang lebih menarik lagi, bahwa tokoh perempuan itu marah ketika disapa dengan sebutan Nyonya. Suatu sebutan yang sifatnya bias gender karena keberadaannya sangat ditentukan oleh laki-laki (suami). Misalnya untuk mengacu diri perempuan digunakan istilah Nyonya Sutanto atau Nyonya Broto, bukan nama perempuan itu sendiri. Kedirian perempuan itu lebur dalam eksistensi suaminya. Sebaliknya, ketika dipanggil dengan sebutan Ibu, tokoh perempuan itu menjadi tenang. Suatu sebutan yang sifatnya netral, tidak bias gender karena mengacu pada kedirian yang sifatnya kodrati. Kembali menyinggung drama Ratna Sarumpaet yang berjudul Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Drama ini menceritakan perjuangan TOKOH perempuan ketika ia sudah mati. Namun, masih terlihat adanya latar belakang kejadian yang menimpa tokoh itu ketika ia hidupdi dunia. Selama hidup, Tokoh ini bekerja sebagai buruh yang berarti adalah kelas bawah. Dalam drama itu digambarkan bahwa Tokoh tidak hanya ditindas oleh kelas atas (penguasa dalam sistem kapitalisme), tetapi juga ditindas oleh sistem patriarki. Tokoh perempuan ini tidak mampu menyuarakan hati nuraninya ketika ia hidup. Ia mampu menyuarakan suaranya ketika sudah mati. Dengan kata lain, ia mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menyuarakan ketertindasannya selamam hidup di dunia, justru setelah ia hidup dalam dunia kematian.

IV. Penutup Ada beberapa nama yang be-rkaitan dengan pementasan drama (atau yang lebih dikenal dengan teater. Tidak begitu banyak, hal ini bisa dikembangkan dalam diskusi). Terdapat beberapa artis yang dicatat sebagai aktris terbaik versi Dewan Kesenian Jakarta. Mereka adalah Sri Suhita (1977), Reni Jayusman (1979), dan Neno Warisman (1981). Selain nama-nama itu juga dikenal Ken Juraida, Ratna Majid, dan saya sebut lagi Ratna Sarumpaet. Reni Jayusman sampai sekarang masih berkecipung dalam dunia teater (dengan diwarnai kehidupan pribadi yang jatuh bangun). Ken Juraida membantu pementasan suaminya, Rendra. Ratna Madjid dahulu adalah artis, kini banyak bekerja sebagai manajer Teater Koma yang saat ini dipimpin oleh suaminya N. Riantiarno. Peran Ken dan Ratna dalam dunia publik, yaitu teater berkaitan erat dengan suaminya. Terdapat bias ketimpangan gender. Setelah berjilbab, Neno Warisman tidak banyak lagi berteater. Mengapa? Adakah pertentangan antara ketaatan beribadah dengan dunia teater? Bisa jadi. Sri Suhita namanya tidak lagi dikenal. Dulu dia adalah guru STM, tetapi karena kemampuannya berakting dia ditarik menjadi dosen di IKIP Jakarta yang kini adalah UNJ. Konon, setelah berkeluarga dia tidak lagi berkecipung dalam teater. Keteaterannya yang masih tersisa sekedar berkaitan dengan pengajaran. Alasannya, dia menginginkan kebersihan dalam rumah tangganya. Ironis? Mungkin. Dalam banyak hal perempuan harus memilih. Sosok Ratna Sarumpaet berbeda dengan perempuan-perempuan di atas. Taeter adalah pilihannya untuk terjun di bidang publik dan berkarir. Sejak tahun 1969 ia mulai berkarir dalam dunia teater. Dalam perjalanan karirnya ia tidak hanya menjadi aktris, tetapi juga sutradara, penulis naskah drama, dan pemimpim kelompok teater: Satu Merah Panggung. Tampaknya, sebagai sosok pribadi ia tidak terlibas oleh adanya ketimpangan gender. Namun, ia sangat peka terhadap ketimpangan gender yang dialami oleh sebagian besar kaumnya.

DAFTAR PUSTAKA Analisis Sosial. 1996, November. Istilah-istilah Umum dalam Gender. Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja Secara Sexual. Jakarta: Gramedia. Heraty, Toety. 1998/1999. Perempuan dan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal

Perempuan. Ed.9. November 1998-Januari 1999. Kramarae, Cheris dan Paula A. Treichler. 1985. A Feminit Dictionary. London: Pandora. Noor, Arifin C. 1977. Prita Istri Kita. dalam Ajib Rosidi Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya. Moore, Henrietta. 1988. Feminist and Antropology. Singapore: Polity Press. Sarumpaet, Ratna. 1997. Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Yogyakarta: Bentang. Sontani, Utuy T. 1969. Awal dan Mira. Jakarta: Balai Pustaka. Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Airlangga. Tan, Mely G. (ed). 1991. Perempuan Indoneisa Pemimpin Masa Depan? Jakarta: Sinar Harapan. Wijaya, Putu. 1971. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta : Pustaka Jaya.

[1] Hal ini terlihat (1) secara resmi ide tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sudah diimplementasikan melalui UU RI No. 7 tahun 1984, (2) adanya peningkatan peran dan kedudukan perempuan di berbagai sektor kemasyarakatan (laporan Pemerintah RI bersama Unicef, januari 1989, (3) kiprah dan kesempatan kerja serta kemampuan mengungkapkan pendapat perempuan kelas atas di Indonesia dapat sejajar dengan laki-laki (Tan, 1991). Tags: KAJIAN DRAMA INDONESIA Comments RSS feedLike Be the first to like this post.

Leave a ReplyYour email address will not be published. Required fields are marked *

Name * Email * Website

Comment You may use these HTML tags and attributes: Post CommentNotify me of follow-up comments via email. Notify me of site updates SILABUS KAJIAN DRAMA INDONESIA 4. ASPEK PEMENTASAN Recent entrieso o o o o o oSILABUS PEMBUATAN IKLAN 1. ASPEK NASKAH 2. SUTRADARA 3. ASPEK PEMAIN 4. ASPEK PEMENTASAN GENDER DALAM DRAMA INDONESIA SILABUS KAJIAN DRAMA INDONESIABrowse popular tagsIKLANKAJIAN DRAMA INDONESIA SilabusRegister Log inMetao oo oEntries RSS Comments RSSFriends & linkso o o o o o oDiscuss Get Inspired Get Polling Get Support Learn WordPress.com WordPress Planet WordPress.com NewsPagesoAboutMonthly archivesoDecember 2010Blog at WordPress.com. | Theme: Motion by 85ideas. [ Back to top ]http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN%20LUAR %20SEKOLAH/196111091987031%20-%20MUSTOFA%20KAMIL/Bhaan%20kuliah/ANALISIS%20GENDER%20DAN%20RENCANA%20AKSI%20DALAM %20PEMBANGUNAN%20PENDIDIKAN.pdfhttp://www.zef.de/module/register/media/e0ad_Kerangka%20Analisis %20Perencanaan%20Gender-Jonatan%20Hivos.doc Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks)1 Jonatan A. Lassa2 Sudah banyak kritik bahwa gender planning dalam kerja-kerja rekonstruksi di Aceh merupakan hal yang mendapatkan perhatian kurang. Kritik ini tidak selalu ditanggapi secara serius karena memang sudah banyak lembaga mencoba untuk melakukan pengarus utamaan gender dalam level proyek dan program mereka, berdasarkan gender analisis versi tiap lembaga. Di samping itu, ada ratusan alat gender analisis dan gender planning. Mana yang terbaik? Tentu pula, sudah banyak training berjudul gender training level dasar yang diberikan dari dan untuk pegiat kemanusian terutama LSM/NGOs/CSOs. Namun tidak banyak training bagaimana melakukan pengarusutamaan gender dalam proyek dan program. Langkah pertama pengarus utamaan gender adalah gender analisis (WHO, 2002: 2). Bukan hal yang mudah bila sebuah lembaga atau staf pekerja kemanusiaan untuk rekonstruksi tidak memiliki alat analisis gender planning yang baik. Oleh karena itu, ringkasan alat analisis gender ini ditulis secara sederhana dalam bahasa Indonesia dan ditujukan lebih pada para perencana proyek dan program pada level komunitas (mikro), maupun makro. Kerangka analisis perencanaan gender atau disingkat kerangka analisis gender merupakan upaya untuk menerjemahkan ide-ide dari analisis gender yang akademis serta konseptual ke dalam kerja-kerja dan panduan untuk para praktisi LSM, pekerjapekerja pembangunan, relief dan dalam konteks Aceh saat ini adalah perencanaan rekonstruksi Aceh. Kerangka-kerangka ini digunakan untuk memperkenalkan secara singkat konsep gender bagi mereka yang awam dengan issu perempuan/gender dalam pembangunan, dengan menekankan bahwa gender adalah isu pembangunan dan bahwa pembangunan tidak bebas nilai sehingga potensial menindas gender tertentu. Tidak dimaksudkan untuk1Paper ini ditujukan tidak terbatas pada mitra-mitra Hivos, tetapi bagi semua pihak yang merasa membutuhkan untuk mengarusutamakan Gender dalam perencanaan proyek-proyek rehabilitasi di Aceh. Paper ini disarikan dari berbagai sumber-sumber berbahasa Inggris yang dipakai Penulis yakni: 1. March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2. March C. A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996. 3. Bahan Kulian Gender & Rural Livelihood, Fall Term 2004, The University of East Anglia, UK. 2 Saat ini bekerja sebagai Coordinator Program, HIVOS.terjebak dalam berpikir secara mengisi matrix semata dan terkotak-kotak, tetapi memberikan dasar-dasar analisis gender. Di samping itu, kegunaan lain adalah bisa dijadikan dasar kebijakan gender (gender policy) pada institusi-institusi seperti masyarakat sipil, LSM, CBOs, NGOs, BRA, pemerintahan dan sebagainya. Umumnya, kerangka analisis gender yang berbeda digunakan untuk saling melengkapi demi menjawabi kebutuhan kebijakan lembaga dan pembangunan kembali masyarakat Aceh. Ada banyak model yang sering digunakan tetapi yang akan diperkenalkan di sini adalah 4 jenis alat analisis yang berbeda satu sama lain, yakni Kerangka Harvard, Moser, Longway dan Kerangka Relasi Sosialnya Naila Kabeer.3 Tujuan utama paper singkat ini adalah utuk memperlengkapi,teman-teman di Aceh, tentunya tidak tertutup bagi mitra-mitra Hivos, supaya bersama-sama memiliki pemahaman gender secara umum dalam kerja-kerja mereka. Tidak ada tendensi di sini untuk mengatakan mana yang paling benar, tetapi diharapkan pengguna (users) bisa memilih sendiri alat analisis yang disajikan berikut, lebih cocok dalam kerja-kerja mereka. Walaupun, preferensi Penulis adalah pada model yang dikembangkan Longwe dan Kabeer. I. Harvard Framework (Kerangka Harvard).Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat control atas sumberdaya yang kelihatan. Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi perencanaan program terhadap gender perempuan adalah diperlukan analisis yang menutupi bolong (gaps) pada level beban kerja, pengambilan keputusan dsb antara perempuan dan laki-laki. Tiga data set utama yang diperlukan: 1. Siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan berapa banyak alokasi waktu yang diperlukan? Hal ini dikenal sebagai Profil Aktifitas. 2. Siapa yang memiliki akses dan kontrol (seperti pembuatan kebijakan) atas sumber daya tertentu? Hal ini kerap dikenal dengan Profil Akses dan Kontrol Siapa yang memeliki akses dan kontrol atas benefit seperti produksi pangan, uang dsb? 3. Faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pembagian kerja berbasis gender, serta akses dan kontrol yang ada pada profil aktifitas dan profil akses dan kontrol. Tujuan dari alat analisis ini adalah: Membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan3Untuk mengetahui lebih jauh,Membantu perencana proyek untuk lebih efisien dan meningkatan produtifitas secara keseluruhan Laki-lakiTabel 1. Alat Profil Aktifitas Aktifitas Perempuan Aktifitas produksi Pertanian Livelihood Pekerjaan Peternakan Perikanan Dsb Aktifitas reproduksi Mengambil air Pemenuhan energi KK Penyiapan makanan Menjaga anak Kesehatan Membersihkan rumah Memperbaiki rumah Belanja/jual di/ke PasarCatatan: Parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks: Gender dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa, laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas tertentu Alokasi waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan apakah dilakukan secara harian atau kadang-kadang? Lokus aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya bisa melihat peta mobilitas penduduk. Tabel 2. Profil Akses dan Kontrol atas sumber daya dan benefitPerempuan Sumber daya Tanah Alat produksi Tenaga kerja Cash/uang Pendidikan Pelatihan Tabungan Dll Benefit Aset kepemilikan Non pendapatan Akses Laki-laki Perempuan Kontrol Laki-laki Kebutuhan dasar Pendidikan Kekuasaan politis dllTabel 3. Faktor saling pengaruh antara profil aktifitas dan profil akses dan kontrol. Faktor Pengaruh Hambatan (constraints) Kesempatan (opportunities) Norma-norma dan hierarki sosial Faktor demografi Struktur kelembagaan Faktor ekonomi Faktor politik Parameter hukum Training Sikap komunitas terhadap pihak luar spt LSM? Dll Kekuatan/keutamaan dari Kerangka Harvard: Praktis dan mudah digunakan khususnya pada analisis mikro yakni level komunitas dan keluarga Berguna untuk baseline informasi yang detail Fokus pada hal-hal yang kasat mata, fakta objektif, fokus pada perbedaan gender dan bukan pada kesenjangan Gampang dikomunikasikan pada pemula/awam Keterbatasan: Tidak ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality) Tidak efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial dan sosial kapital Terlalu menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi, tawar-menawar dan pembagian peran. II. Kerangka Moser (The Gender Roles Framework)Dikenal juga sebagai the University College-London Department of Planning Unit (DPU) Framework. Secara singkat, kerangka ini menawarkan pembedaan antarakebutuhan praktis dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban kerja perempuan. Uniknya, ia tidak berfokus pada kelembaggan tertentu tetapi lebih berfokus pada rumah tangga. Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah: 1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif dan kerja komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja 2. Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan (spt subordinasi). 3. Pendekatan analisis kebijakan dari fokus pada kesejahteraan (welfare), Kesamaan (equity), anti kemiskinan, effisiensi dan pemberdayaan atau dari WID ke GAD. Tabel 4: Tiga alat utama Kerangka Moser Alat 1: Peran lipat tiga (triple roles) Perempuan Alat 2: Gender need assessment Alat 3: Gender Disaggregated data - intrahousehold A. Kerja reproduksi perempuan B. Kerja Produktif C. Kerja komunitas A. Kebutuhan/kepentingan praktis B. Kebutuhan/kepentingan strategis Siapa mengotrol apa dan siapa yang memiliki kekuasaan atas pengambilan keputusan?Kekuatan/Keutamaan Kerangka Moser: Mampu melihat kesenjangan perempuan dan laki-laki Penekanan pada seluruh aspek kerja di mana membuat peranan ganda perempuan terlihat Menekankan dan mempertanyakan asumsi dibalik proyek-2 intervensi Penekanan pada perbedaan antara memenuhi kebutuhan dasar-praktis dengan kebutuhan strategis Keterbatasan/Kelemahan Kerangka Moser: Fokus pada perempuan dan laki-laki dan tidak pada relasi sosial Tidak menekanakan aspek lain dari kesenjangan spt akses atas sumber daya Jika ditanyakan, perempuan akan mengidentifikasikan kebutuhan praktisnya. Menemukan ukuran-2 kebutuhan strategis sulit. Perubahan strategis adalah sebuah proses yang kompleks dan kontradiktif. Dalam prakteknya, sesuatu yang praktis dan strategis berkaitan erat. Pendekatan kebijakan yang berbeda-2 bercampur dalam prakteknya Kerja secara efektif lebih berfungsi sebagai alat analisis intervensi ketimbang perencanaan.Table 5. Perkembangan Pendekatan Kebijakan Gender (dari Moser 1989)Pendekatan kebijakan Kesejahteraan (Welfare) 19501970, masih digunakan Tujuan Melibatkan perempuan dalam kegiatan pembangunan sematamata sebagai ibu yang lebih baik dan ibu rumah tangga -upaya mensejajarkan perempuan dalam pembangunan -mempromosikan perempuan sebagai peserta aktif dalam pembangunan -menjawab masalah subordinasi perempuan dalam pembangunan -untuk meningkatakan produktifitas perempuan miskin -pengentasan kemiskinan melalui peningkatan produksi -mengentaskan kemiskinan dengan meningkatkan efisiensi dalam penelitian dan pembangunan -meningkatkan partisipasi perempuan dalam penelitian dan pembangunan Implementasi Proyek-2 kesejahteraan social focus pada bantuan pangan, nutrisi spt. Ketrampilan masak yang lebih tinggi, dan proyek-2 KB Asalinya dikenal dengan istilah Perempuan dalam pembangunan WID/Women in Development yang dipromosikan pada permulaan dekade Perempuan PBB dan Nairobi Forward Looking Strategies Asumsi -Perempuan dilihat sebagai penyebab ketertinggalan -peran pasif perempuan dalam penelitian pertanian, SDA dan pembangunan -Tidak ada kaitan antara perempuan, gender dan isu strategis spt nutrisi, kesehatan dan pangan -pengakuan atas triple roles perempuan dalam pembangunan pada ranah rumah tangga, ekonomi dan komunitas -pengakuan bahwa perempuan memiliki hak-hak dasar tapi juga kebutuhan strategis -penelitian pertanian dan SDA mulai mengakui peran lipat tiga dan kebutuhan strategis perempuan dalam pembangunan -perempuan mulai dilihat sebagai korban pembangunan -Prioritas utama pada kerentanan dan marginalisasi ekonomi perempuan -penelitian-2 pertanian dan pembangunan mulai konsentrasi pada IGA perempuan tapi belum melihat kepentingan strategis perempuan -Perempuan diakui produktif dalam pertanian dan management SDA. -perempuan dilihat sebagai solusi terhadap pembangunan; waktu mereka dilihat sebagai elastis -relasi gender sebagai relasi kuasa belum dikenali -Pengarusutamaan isu perempuan dan gender dalam pembangunan untuk efisiensi sumber daya proyekKesamaan (Equity) 1975-1985, sangat dipromosikan pada konferensi perempuan IAnti Kemiskinan 1970anProyek-2 WID berubah fokus pada proyek-2 income generating (IGA) skala kecil, proyek-2 kerajinan tangan adalah tipikal proyek perempuan -Proyek-2 WID berfokus pada proyek-2 sektoral seperti perempuan dan kehutanan, perempuan dan perikanan dsb. -proyek-2 pembangunan masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar perempuan -beberapa proyek mulai mengadopsi perspektif gender ketimbang berbicara semata tentang perempuan Gender dan pembangunan (GAD-gender and development) berfokus pada kebutuhan dasar dan strategis dan kerap dipisahkan.Effisiensi 1980anPemberdayaan Akhir 1980an-pemberdayaan perempuan melalui hak yang lebih besar untuk menentukan nasip sendiri -sub-ordinasi sebagai akibat dari penindasan laki-2 tapi juga sistim yang meninda laki-2 terlebih perempuan-pengakuan bahwa walaupun fokus pada peran perempuan adalah penting, namun relasi dengan laki-2 dan seluruh sistim politik dan ekonomi adalah sangat penting -Perempuan sebagai agen pembangunan dan agenda kolektif perempuan adalah penting -Perlu dikaji ulang penelitian dan pembangunanIII.Longwe Framework Kerangka Kerja PemberdayaanKerangka Longwe berfokus langsung pada penciptaan situasi/pengkondisian di mana masalah kesenjangan, diskriminasi dan subordinasi diselesaikan. Longwe menciptakan jalan untuk mencapai tingkat pemberdayaan dan kesederajatan (equality) di mana ditunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar-praktis perempuan tidak pernah sama dengan, pemberdayaan maupun sederajat (equal). Pengambilan keputusan (kontrol) merupakan puncak dari pemberdayaan dan kesederajatan (equality). Table 4 memberikan gambaran jelas mengenai hal ini. Dalam assessment proyek, kerangka Longwe bisa diturunkan menjadi dua alat: 1. Level kesederajatan (Equality level) Tujuan utama alat ini adalah untuk menilai apakah sebuah proyek/program intervensi pembangunan mampu mempromosikan kesederajatan dan pemberdayaan perempuan atau tidak. Asumsi dasar dibalik alat ini adalah bahwa titik tercapainya kesederajatan (equality) antara perempuan dan laki-laki mengindikasikan level pemberdayaan perempuan. Ada lima level dalam aras kesederajatan dan pemberdayaan yang perlu dicermati: Bentuk ini, menurut saya, seolah mengikuti alur pikirnya Abraham Maslow tentang teori hierarki of human needs, dengan meletakan kebutuhan dasar-praktikal pada titik yang paling bawah dan kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi diterjemahkan sebagai kontrol dan decision making. Tentunya, ilustrasi ini memiliki kelemahan dan terkesan dipaksakan. Tabel 6. Level kesederajatan dan pemberdayaan Equality Perempuan Laki-laki Kontrol (decision Making) Partisipasi Kesadaran Kritis (conscienticicao) Akses Welfare (kebutuhan dasarpraktis) Anak panah di atas menunjukan arah peningkatan menuju pemberdayaan dan equality. 2. Isu Spesifik Perempuan dengan tujuan pada pengenalan akan kebutuhan spesifik perempuan. Pemberdayaan perempuan Laki-lakiAsumsi utamanya adalah bahwa semua isu perempuan berkaitan dengan equality dalm peran sosial dan ekonomis. Tiga level pengenalan atas isu perempuan di dalam proyek adalah NEGATIF, NETRAL & POSITIF. IV. Kerangka Analisis Relasi SosialKerangka relasi social ini awalnya dikemukakan oleh Naila Kabeer yang sebelumnya adalah pengajar pada Institute of Development Studies, Sussex, UK. (Lihat Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development, Verso, 1994). Tujuan dari kerangka ini adalah untuk: Menganalisis ketimpangan gender yang ada di dalam distribusi sumber daya, tanggung jawab dan kekuasaan. Menganalisis relasi antara orang, relasi mereka dengan sumber daya, aktifitas dan bagaimana posisi mereka melailui lensa kelembagaan. Menekankan kesejahteraan manusia (human well-being) sebagai tujuan utama dalam pembangunanKerangka ini didasarkan pad aide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan manusia (human well-being), yang terdiri atas survival, security dan otonomi. Produksi dilihat bukan hanya relasinya terhadap pasar, tetapi juga reproduksi tenaga kerja, kegiatan subsistent, dan kepedulian lingkungan hidup. Kemiskinan dilihat sebagai relasi social yang tidak seimbang, yang dihasilkan oleh ketidak seimbangan distrubusi sumber daya, klaim, dan tanggun jawab. Relasi gender adalah salah satu tipe relasi social. Relasi social bukanlah sesuatu yang kaku dan kekal. Mereka dapat dan berubah melalui faktor-faktor seperti perubahan makro atau agen manusia. Relasi social termasuk sumber daya yang dimiliki orang. Perempuan miskin kerap dikeluarkan dari akses dan kempemilikan atas sumber daya dan bergantung pada hubungan patron dan ketergantungan. Pembangunan dapat menolong si miskin untuk membangun solidaritas, reciprocity and otomomi dalam akses terhadap sumber daya Kelembagaaan menjamin produksi, memperkuat dan reproduksi relasi social, dank arena itu perbedaan social dan kesenjangan. Ketimpangan gender di reproduksi bukan hanay di level KK, tapi melalui sekelompok kelembaggaan termasuk komunitas internasional, negara dan pasar. Kelembagaan didefinisikan sebagai kerangka yang nyata atas aturan main organsasi sebagai bentuk structural khusus Oleh karena itu analisis gender mengandung pengertian atau pemahaman untuk melihat pada bagaimana kelembagaan menciptakan dan mereproduksi ketidak seimbangan dan ketimpangan. Ada empat ranah kelembaggan utama yakni negara, pasar, komunitas dan keluarga.Table 7. Ranah Kelembagaan Bentuk organisasi/struktur Negara Lembaga hukum, administrasi, militer, GAM dsb Pasar Perusaan, tukang kredit, industri pertanian, multi nasionanl dsb., Komunitas Lembaga nonformal gampong, organisasi desa, PKK, jaringan informal, relasi patron-client, NGOs, panglima Laot dsb. Keluarga-kekerabatan Rumah tangga, garis keturunan, keluarga household, extended families, lineage groupingsRanah KelembagaanLima dimensi relasi social kelembagaan yang relevan dengan gender analisis: Aturan (Rules), atau bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal) Aktifitas (Activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa berhak mengklaim atas apa. Aktifitas bisa saja yang bersifat produktif, regulative, dan distributive. Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk input sdm (tenaga kerja, pendidikan), material (pangan, capital aset, dan sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan jaringan. Orang (People), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa? Kelembagaan relative selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang, menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan mereka dalam hierarkis dsb. Kekuatan (Power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa yang dilayani.Analisis kelembagaan ini menyingkapkan beta gender dan berbagai jenis kesenjangan/ketimpangan diproduksi dan direproduksi ulang. Naila Kabeer mengkalsifikasikan kebijakan pembangunan sebagai berikut: Gender-blind (Buta gender) Tidak membedakan perbedaan perempuan dan laki-laki Terjebak built in Cenderung mengeluarkan perempuanSadar gender (Gender-aware) Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-lakiTabel 8. Kebijakan sensitive gender ada tiga jenis:gender-neutral dalam terang perbedaan gender, targeting layanan kebutuhan praktisperempuan dan laki-laki Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumberdaya dan tanggung jawab berbasi gender dan laki-laki secara spesifikgender-specific dalam terang perbedaan gender, merespon kebutuhan praktis perempuan Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumbergender redistributive daya dan tanggung jawab berbasis gender Dimaksudkan untuk transformasi relasi gender yang ada untuk menciptakan keseimbagan relasi. Menargetkan secara spesifik perempuan dan laki-laki Bekerja untuk kebutuhan praktis gender secara transformative Bekerja untuk kebutuhan strategis genderKerangka analisisi relasi social menekankan pada akar masalah ketimpangan gender dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif (underlying) dan yang bersifat structural. Lihat table 7. Table 7. Analisis Akar Masalah Gender Pada Berbagai Aras Dampak jangka panjang Dampak jangka menengah (Intermediate)/underlying causes Dampak Langsung (Immediate) Masalah Utama Dampak Langsung di level: Rumah tangga Komunitas Pasar Negara Dampak jangka menengah (Intermediate)/underlying causes Rumah tangga Komunitas Pasar Negara Rumah tangga Komunitas Pasar NegaraKekuatan: Melihat kemiskinan bukan semata sebagai deprivasi material tetapi pada marginalisasi social Mengkonsepkan gender sebagai pusat dari pembangunan dan bukan terpisah Menghubungkan analisis makro dan mikro. Membuat interaksi antara berbagai bentuk kesenjangan berbasis kelas, gender dan ras Memusatkan analisis pada kelembangaan dan memberikan inspirasi pada aspek politik kelembagaan. Dinamis karena berupaya membongkar proses-proses pemiskinan dan pemberdayaan Bisa digunakan pada proyek level ataupun perencanaan kebijakan pada berbagai level.KelemahanKarena lebih kompleks, analisis gender jadi bisa tenggelam dalam konteks yang lebih luas.V. Selected Referensi WHO (2002) Gender Gender analysis in health: A Review of Selected Tools. March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2. March C. (1996) A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996. Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website http://www.undp.org/gender Kabeer, N. (1994) Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development 1994 Sumber-sumber di Internet: Eldis http://www.eldis.org/gender Bridge http://www.ids.ac.uk/bridge/index.html Genie http://www.genie.ids.ac.uk/ Siyanda http://www.siyanda.org/ UNDP http://www.undp.org/gender ILO http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/socrelfw.htm DFID GEM http://www.genie.ids.ac.uk/gemSilakan dibaca: Pesan pribadi dari Lilaroja, penulis di WikipediaBaca SekarangGender (sosial)Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Untuk kegunaan lain dari Gender, lihat Gender (disambiguasi). Gender (cara pengucapan: [gnder]) dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."[1] Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral"). Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam kasus waria. Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosialbudaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.[sunting] Rujukan1. ^ What do we mean by "sex" and "gender"?. World Health Organization. Diakses pada29 September 2009.[sunting] Pranala luar Children's Gender Beliefs Gendercide Watch: a project of the Gender Issues Education Foundation (GIEF), a registered charitable foundation based in Edmonton, Alberta WikEdGender Differences WikEdGender Inequities in the ClassroomArtikel bertopik sosiologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)" Kategori: Sosiologi Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik sosiologiPeralatan pribadiMasuk log / buat akunRuang nama Halaman PembicaraanVarian Tampilan Baca Sunting Versi terdahuluTindakanCariNavigasi Halaman Utama Perubahan terbaru Peristiwa terkini Halaman sembarangKomunitas Warung Kopi Portal komunitas BantuanWikipedia Tentang Wikipedia Pancapilar Kebijakan MenyumbangCetak/ekspor Buat buku Unduh sebagai PDF Versi cetakKotak peralatan Pranala balik Perubahan terkait Halaman istimewa Pranala permanen Kutip halaman iniBahasa lain Azrbaycanca Catal esky Deutsch English Esperanto Espaol Suomi Franais Ido slenska Italiano Bahasa Melayu Norsk (nynorsk) Norsk (bokml) Polski Portugus Srpskohrvatski / Simple English Slovenina Svenska Tagalog Trke Winaray Halaman ini terakhir diubah pada 19:23, 12 Juni 2010. Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. Kebijakan privasi Tentang Wikipedia Penyangkalan