FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

14
1 FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU- XIII/2015 Sita Ulima Ekawati ([email protected]) Mahasiswa S2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Burhanudin Harahap ([email protected]) Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Absract This article aims to know and analyze function of ratification of the marriage agreement agreed by the parties. Research Methods used to achieve the purpose of this study using the method of normative approach, is descriptive. Data collection methods used in this study are primary data with legislation and official records, treatises in the making of legislation and judgment as well as sourced from Islamic Law. In this study the authors use the primary legal material sourced from legislation. The result of this research is an agreement must be in the form of notarial deed as required in notarial deed so that it can be written dukcapil, notarial deed has perfect and binding force for the parties Then after it is listed to be in accordance with the provisions of the principle of publicity that is binding both parties and applies to third parties. The notarial deed will not have binding legal power before it is registered / registered in the civil registry office, an important point in this case is a marriage agreement must be registered, to fulfill the publicity element of the marriage agreement in question so that a third party (outside of the spouse) knows and subject to the rules in the marriage agreement that the couple has made. In this article the authors advise that the need for socialization of the Marriage Registration Service in registering the marriage agreement that the marriage agreement must be authenticated by the notary, if there is no authentic deed then the marriage agreement is not legally enforceable. Keywords: Agreement; Marriage; Endorsement.

Transcript of FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

Page 1: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

1

FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH NOTARIS

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-

XIII/2015

Sita Ulima Ekawati ([email protected])

Mahasiswa S2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta

Burhanudin Harahap ([email protected])

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Absract

This article aims to know and analyze function of ratification of the marriage

agreement agreed by the parties. Research Methods used to achieve the purpose

of this study using the method of normative approach, is descriptive. Data

collection methods used in this study are primary data with legislation and official

records, treatises in the making of legislation and judgment as well as sourced

from Islamic Law. In this study the authors use the primary legal material sourced

from legislation. The result of this research is an agreement must be in the form of

notarial deed as required in notarial deed so that it can be written dukcapil,

notarial deed has perfect and binding force for the parties Then after it is listed to

be in accordance with the provisions of the principle of publicity that is binding

both parties and applies to third parties. The notarial deed will not have binding

legal power before it is registered / registered in the civil registry office, an

important point in this case is a marriage agreement must be registered, to fulfill

the publicity element of the marriage agreement in question so that a third party

(outside of the spouse) knows and subject to the rules in the marriage agreement

that the couple has made. In this article the authors advise that the need for

socialization of the Marriage Registration Service in registering the marriage

agreement that the marriage agreement must be authenticated by the notary, if

there is no authentic deed then the marriage agreement is not legally enforceable.

Keywords: Agreement; Marriage; Endorsement.

Page 2: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

2

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis fungsi pengesahan oleh

Notaris terhadap perjanjian perkawinan yang disepakati oleh para pihak. Metode

Penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini menggunakan

metode pendekatan normatif, bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dengan peraturan perundang-

undangan dan catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan hakim serta juga yang bersumber dari Hukum Islam. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan. Hasil penelitian ini adalah Suatu perjanjian harus berbentuk

akta notariil sebagaimana yang telah diharuskan dlm bntuk akta notariil agar

dapat di catatkan dukcapil, akta notariil memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna dan mengikat bagi para pihak Kemudian setelah dicatatkan agar sesuai

dengan ketentuan asas publisitas yaitu mengikat kedua belah pihak dan berlaku

bagi pihak ketiga. Akta notaris tersebut tidak akan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sebelum didaftarkan/ dicatatkan di kantor catatan sipil, poin penting

dalam hal ini adalah perjanjian perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi

unsur publisitas dari perjanjian perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga

(diluar pasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan

dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Dalam

artikel ini penulis memberikan saran yaitu Perlunya sosialisasi terhadap Dinas

Pencatatan perkawinan dalam mendaftarkan perjanjian perkawinan bahwa

perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik dari notaris, apabila tidak ada

akta otentik tersebut maka perjanjian perkawinan tidak berkekuatan hukum.

Kata Kunci : Perjanjian; Perkawinan; Pengesahan.

A. Pendahuluan

Negara Indonesia mempunyai hukum positif yang mengatur serta

melindungi warga negaranya, baik itu secara umum atau secara khusus

termasuk mengenai perkawinan. Perkawinan merupakan perilaku sakral yang

menjadikan perilaku interaksi antara lawan jenis menjadi terhormat dan

bernilai ibadah. Interaksi yang harmonis inilah yang menciptakan kehidupan

berumah tangga. Perkawinan adalah realitas sosial di mana-mana, ditemui atau

dialami oleh hampir semua orang. Akibatnya, kebanyakan orang percaya

bahwa mereka mengerti pernikahan. seperti yang akan kita lihat, keyakinan itu

dapat menghalangi pekerjaan hukum yang dapat dipertahankan mengenai

masalah perkawinan.( Monte Neil S.2008. 366)

Page 3: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

3

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk

selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) yaitu pada Pasal 29, Kompilasi Hukum

Islam (untuk selanjutnya disebut “KHI”) yaitu pada Pasal 45 sampai dengan

Pasal 52. Berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan, mempelai laki-laki dan

mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat

perjanjian perkawinan, adapun syarat-syarat pembuatan perjanjian perkawinan

tersebut antara lain dibuat waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,

dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat, isi perjanjian

tidak melanggar batas hukum agama, dan kesusilaan, mulai berlaku sejak

perkawinan dilangsungkan, selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak

dapat diubah, perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 PP No. 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)

Dalam hal ini perkawinan dapat dilakukan menurut tata tertib aturan hukum

yang berlaku dari salah satu agama yang dianut oleh masing-masing pasangan

dan setiap perkawinan wajib memenuhi persyaratan administrasi dari

pemerintahan dengan cara pencatatan yang ditentukan oleh Undang-undang

yang tercantum dalam daftar catatan resmi Pemerintah yaitu pejabat yang

berwenang untuk itu. ( M. Yahya Harahap.1975. 8)

Perjanjian perkawinan yang selama ini berjalan, materinya masih terkait

dengan harta gono gini atau pembagian harta pencampuran setelah perkawinan

akan diatur sesuai kesepakatan apabila terjadi perceraian. Menurut Pasal 29

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan

perngertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk

tentang isi dari perjanjian perkawinan. Tidak adanya pengertian yang jelas

tentang perjanjian perkawinan maka diantara para ahli terdapat juga perbedaan

dalam memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan dan pengertian

perjanjian perkawinan yang diberikan umumnya mengarah pada ketentuan

yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. R. Subekti

memberikan pengertian perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian

mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang

Page 4: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

4

menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.(R.

Subekti. 1994. 21)

Pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian

perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami-istri dalam

perkawinan saja, dimana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami

atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan,

apakah akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka

melakukan harta secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak

melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka

jalani.(Hilman Hadikusuma.2003.6) Mahkamah Konstitusi (selanjutnya

disebut “MK”) melalui putusannya atas permohonan uji materiil terhadap

UU Perkawinan dan UUPA dengan Nomor register 69/PUU-XIII/2015

telah membuat suatu terobosan baru mengenai perjanjian perkawinan pada

Pasal 29 UU Perkawinan. MK sendiri memang diberi kewenangan khusus

untuk melakukan pengujian isi materi dari suatu Undang-undang yang

dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1).

Adapun alasan pertimbangan hukum hakim dalam hal ini, yaitu adanya

fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan kebutuhan

membuat perjanjian perkawinan, sedangkan ketentuan yang ada saat ini

hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum

atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya yaitu pembuatan

perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan berlangsung di karenakan

adanya kealpaan dan ketidaktahuan mengenai perjanjian perkawinan yang

hanya dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung. ( I Nyoman Putu

Budiarta. 2017. 4)

Perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan akan tetapi pasca keluarnya putusan MK, Pasal

29 UU Perkawinan ayat (1) penambahan frasa “…selama dalam ikatan

perkawinan…”, mengakibatkan pembuatan perjanjian perkawinan tidak lagi

harus dilakukan pada saat sebelum atau pada saat hari dilangsungkannya

Page 5: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

5

perkawinan, melainkan pasangan suami istri dapat membuat perjanjian

perkawinan selama ikatan perkawinan sedang berlangsung. Kemudian di ayat

(1) juga terdapat penambahan frasa “…perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”. Sebelum adanya putusan

ini, pengesahan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan. Pasca putusan MK, notaris juga diberikan kewenangan

untuk mengesahkan perjanjian perkawinan, yang mana hal ini bertentangan

dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) pada Pasal 16 ayat (1) huruf

f UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, yang pada intinya menyebutkan bahwa dalam

menjalankan jabatannya Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu

mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna

pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-

undang menentukan lain. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk

mengkaji lebih dalam mengenai fungsi pengesahan perjanjian perkawinan oleh

Notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif, Penelitian dalam penulisan

hukum (tesis) ini bersifat preskriptif. Penelitian bersifat preskriptif yang

dimaksud adalah untuk memberikan argumentasi dari hasil penelitian yang

telah dilakukan, karena berusaha menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum tentang Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 atas perjanjian perkawinan

yang dibuat setlah menikah bagi pihak ketiga, untuk selanjutnya dianalisis

dengan berpedoman dan menggambarkan aturan Hukum perkawinan yang

terdapat dalam KHI, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Peraturan

Pelaksanaanya yaitu PP nomor 1 tahun 1975, Burgerlijk wetboek, beserta

peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori hukum dan

praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut masalah dalam penulisan

ini. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan metode penalaran deduksi. Metode penalaran deduksi ini digunakan

Page 6: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

6

untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menuju ke dalam hal

yang bersifat khusus yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan. Dalam

penelitian ini penulis meneliti pertama kali mengenai Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 atas perjanjian perkawinan

yang dibuat setlah menikah bagi pihak ketiga.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tujuan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan

bahagia, keluarga merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari

suami, istri, dan anak yang berdiam dalam suatu tempat tinggal. Ahmad Azhar

Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk

memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-laki dan

perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran

Allah dan Rasul-Nya.( Ahmad Azhar Basyir. 86)

Perkawinan adalah sarana pemenuhan kebutuhan alam manusia. Hanya

dengan cara itu dimungkinkan untuk membangun dan melindungi moral dan

budaya manusia. Untuk alasan ini, pernikahan telah disebut sebagai Ihsan.

(Shahzad Iqbal Sham.2011.14) Menurut hukum adat pada umumnya di

Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi

juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga merupakan perikatan

kekerabatan dan ketetanggaan. Ikatan perkawinan bukan semata-mata

membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan

kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban

orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan,

kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-

upacara adat dan keagamaan. Menurut hukum logika tidak bisa dikaitkan

dengan pendapat Ter Haar yang menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah

urusan kerabat, keluarga dan masyarakat termasuk juga urusan martabat dan

urusan pribadi. Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini

adalah sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling

memahami hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang

Page 7: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

7

dari kehormatan dan kemuliaan. Dalam melangsungkan suatu perkawinan

harus ada dasar-dasar yang mengatur didalamnya yaitu :

a) Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

b) Dalam Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa pengadilan dapat memberi

izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

d) Dalam Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal seorang suami

akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tesebut dalam Pasal 3

ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada

Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Dasar Perkawinan dalam KHI ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan

Pasal 10 KHI.

a) Dalam Bab II Pasal 3 KHI menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah.

b) Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

c) Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) KHI menentukan bahwa agar terjamin

ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus

dicatat, lalu dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi ketentuan

dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya

merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan,

Page 8: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

8

sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh

ditinggalkan. Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak

lengkap. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika

salahsatu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun

perkawinan diantaranya calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi

dua orang saksi dan ijab qabul. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian

(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap

harta kekayaan mereka. Adanya persetujuan dalam perkawinan juga penting

karena persetujuan perkawinan adalah hal yang penting karena merupakan

kesepakatan antara calon suami dan istri untuk mengikat dalam tali

perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.

Ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam

KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata,

dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta

notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan

tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148

KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan

cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah.

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-

Undang.

Page 9: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

9

Persetujuan atau kata sepakat dari calon suami istri merupakan unsur hakiki

dari perkawinan karena mengandung suatu keharusan adanya sifat akan

berlangsungnya perkawinan yang langgeng. Oleh karena itulah, persetujuan

tersebut haruslah berlandaskan kesadaran dari pihak yang bersangkutan

dan juga persetujuan itu harus bebas dari segala pengaruh tertentu yang

mengganggu kebebasan tersebut karena perkawinan pada asasnya adalah

untuk berlaku dan berlangsung langgeng selamanya atau seumur hidup.

Undang-undang memperkenankan kedua calon pasangan suami istri

untuk membuat suatu sebagai “perjanjian perkawinan”, yang umumnya

hanya menyangkut seputar pengaturan terhadap harta perkawinan, yang

dimaksudkan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin akan

timbul apabila perkawinan tersebut berakhir. Perjanjian perkawinan sebagai

suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk

dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang

ditetapkan oleh undang-undang.

Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon

suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang,

agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada

waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan waktu, sebelum

dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan dengan diadakannya akta

notaris.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perihal

perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan

ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat

sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian

tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan tersebut tidak

dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk

mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Sejalan dengan

kewenangan Notaris tentang membuat akta, khususnya akta perjanjian

perkawinan sebagaimana yang ternyata dalam pasal 15 UUJN dijelaskan

wewenang yang ada pada notaris dapat dipahami dua hal yaitu;

Page 10: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

10

1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/ tindakan para

pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang

berlaku.

2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti

lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut

tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib

membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa notaris berwenang

membuat akta otentik , sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian

wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak

berarti memberikan kualifikasi sebagai pejabat umum tapi hanya menjalankan

fungsi sebagai pejabat umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan

oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti

semula sebagai pegawai negeri. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan

Notaris, Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan

menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam

buku khusus. Ketentuan ini, merupakan legalisasi terhadap akta di bawah

tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di

atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku

khusus, yang disediakan oleh Notaris. Poin dari legalisasi ini adalah, para pihak

membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan

Notaris, kemudian dicatatkan dalam buku legalisasi. Tanggal pada saat

penandatanganan dihadapan Notaris, sebagai tanggal terjadinya perbuatan

hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak.

Notaris dapat pula membacakan/menjelaskan isi dari surat tersebut atau

hanya mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggalnya saja. Poinnya tetap

pada para pihak harus membubuhkan tanda tangannya di hadapan Notaris,

untuk kemudian tanda tangan tersebut disahkan olehnya. Notaris menetapkan

kepastian tanggal, sebagai tanggal ditandatanganinya perjanjian di bawah

Page 11: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

11

tangan antara para pihak. Notaris kemudian menuliskan redaksi legalisasi pada

surat tersebut. Pengesahan tanda tangan dan penetapan kepastian tanggal,

dicatatkan dalam buku legalisasi. Notaris yang menyaksikan dan mengesahkan

tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal, sebagai pejabat yang diberi

kewenangan oleh UU untuk menjelaskan/membenarkan/memastikan bahwa

benar pada tanggal sebagaimana tertulis dalam buku legalisasi, para pihak

membuat perjanjian di bawah tangan dan menghadap padanya untuk

menandatangani surat tersebut. Redaksi yang tertulis di lembar legalisasi

tersebut, sebatas itu pertanggungjawaban Notaris.

Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak

atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan

akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur

pembuatan akta notaris, sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum.

Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya, Notaris diperkenankan untuk menjalankan

jabatannya, adapun wewenang yang dimiliki oleh notaris meliputi;

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu

dibuat.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta.

Mengenai kewenangan Notaris membuat akta, berkaitan dengan hal

tersebut bahwa suatu perjanjian harus berbentuk akta notariil sebagaimana

yang telah diharuskan dlm bntuk akta notariil agar dapat di catatkan dukcapil ,

akta notariil memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi

para pihak Kemudian setelah dicatatkan agar sesuai dengan ketentuan asas

publisitas yaitu mengikat kedua belah pihak dan berlaku bagi pihak ketiga.

Salah satu hal yang baru dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 69/PUU/XIII/2015 adalah kewenangan notaris untuk mengesahkan

perjanjian perkawinan. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Page 12: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

12

69/PUU/XIII/2015 untuk sahnya perjanjian perkawinan harus ditindaklanjuti

dengan pencatatan oleh Pegawai Negeri Sipil. Adanya putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 ini notaris mempunyai fungsi untuk

mengesahkan perjanjian perkawinan. Pengesahannya yaitu dalam bentuk

perjanjian yang dibuat dalam Akta notariil. Selama ini di dalam praktek tugas

pencatatan perkawinan merupakan kewenangan dari Kantor Catatan Sipil,

notaris hanya berwenang membuat akta saja. Akta notaris tersebut tidak akan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sebelum didaftarkan/dicatatkan di

kantor catatan sipil, poin penting dalam hal ini adalah Pertama, perjanjian

perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari perjanjian

perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga (diluar pasangan suami atau

istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan

yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka

perjanjian perkawinan hanya mengika atay berlaku bagi para pihak yang

membuatnya, yakni suami dan istri yang bersangkutan. Kedua, sejak Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut berlaku, maka

pendaftaran/pengesahan/ pencatatan perjanjian perkawinan tidak lagi dilakukan

di kepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk pasangan yang beragama islam.

Pencatatannya dilakukan oleh KUA pada buku nikah, sedangkan untuk yang

nonmuslim, pencatatan dilakukan oleh kantor catatan sipil setempat pada akta

nikah. Putusan MK Nomor 69/PUU/XIII/2015 telah membawa perubahan

besar atas norma yang selama ini berlaku.

Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan

tersebut dilakukan dengan melakukan pembukuan atau pencatatan perjanjian

perkawinan tersebut di dalam buku daftar yang memang disediakan untuk

melakukan pencatatan..

Bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami

istri sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian

perkawinan tersebut. Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan

Page 13: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

13

akan berakibat terhadap status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh

di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan

tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Menjadi permasalahan adalah

bagaimana cara mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan

pembuatan perjanjian perkawinan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU/XIII/2015 maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut

telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan

tersebut mengikat pihak ketiga. Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga

tersebut sudah seharusnya terdapat tata cara yang harus ditempuh agar pihak

ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh suami istri sepanjang perkawinan yang ternyata

merugikan pihak ketiga.

D. Simpulan

Suatu perjanjian harus berbentuk akta notariil sebagaimana yang telah

diharuskan dalam bntuk akta notariil agar dapat di catatkan dukcapil, akta

notariil memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi para

pihak. Setelah dicatatkan agar sesuai dengan ketentuan asas publisitas yaitu

mengikat kedua belah pihak dan berlaku bagi pihak ketiga. Akta notaris

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebelum didaftarkan/

dicatatkan di kantor catatan sipil, poin penting dalam hal ini adalah perjanjian

perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari perjanjian

perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga (diluar pasangan suami atau

istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan

yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka

perjanjian perkawinan hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang

membuatnya, yakni suami dan istri yang bersangkutan.

E. Saran

1. Kepada Pegawai pencatat perkawinan atau kantor catatan sipil hendaknya

mengadakan sosialisasi kepada masyarakat bahwa dalam mendaftarkan

perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik dari notaris, apabila tidak

Page 14: FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH …

14

ada akta otentik tersebut maka perjanjian perkawinan tidak berkekuatan

hukum.

2. Adanya perlindungan hukum terhadap pihak ketiga diakibatkan karena

adanya perjanjian perkawinan.

F. Daftar Pustaka

Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Group.

Ahmad Azhar Basyir. 2000. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres.

Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Hilman Hadikusuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan

Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju.

I Nyoman Putu Budiarta. 2017. “Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-

xii/2015 (Persoalan Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)”,

Jurnal Notariil Vol. 1, No. 2, Mei Universitas Warmadewa.

Laurensius Mamahit. 2013. “Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akibat

Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia”, Lex

Privatum Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013 Manado: FH Universitas Sam

Ratulangi

M. Yahya Harahap. 1975. Hukum Perkawinan Nasional, Medan; Zahir.

Monte Neil S. 2008. “Marriage Facts”, Harvard Journal of Law and Public Policy Vol

31 No. 1.

R. Subekti. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.

Shahzad Iqbal Sham. 2011. Some Aspects of Marriage and Divorce in Muslim Family

Law, Sharia Academy, International Islamic University, Islamabad.

Ter Haar. 1960. Asas-asas Susunan Hukum Adat, (terjemahan Soebakti Poesponoto

K.Ng, Jakarta : Pradnya Paramita.

Utsman Ali. Pengertian dan Tujuan Pernikahan dalam

http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-

pernikahan-perkawinan.html