Full Text Epilepsi Juga
-
Upload
tony-hermawan -
Category
Documents
-
view
140 -
download
12
Transcript of Full Text Epilepsi Juga
GANGGUAN KOGNITIF PADA PASIEN
EPILEPSI PARSIAL KOMPLEKS
Oleh :
dr.Karina Dewi
Pembimbing:
dr. Aris Catur Bintoro, SpS
Diajukan pada
The 4th Congress of Asian Society Against Dementia (ASAD)/International Working Group
on Dementia Drug Harmonization (IWGH) Chapter Asia and 1st National Joint Meeting of
Working Group on Neurobehavior, Neurogeriatry, & Movement Disorder, Indonesia
Neurological Association, Bali, Indonesia October 28-31st, 2010.
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO / RSUP dr. KARIADI
SEMARANG 2010
GANGGUAN KOGNITIF PADA PASIEN EPILEPSI PARSIAL KOMPLEKSKarina Dewi* Aris Catur Bintoro**
Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP dr. Kariadi Semarang
ABSTRAKLatar Belakang :
Epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya (ILAE dan IBE 2005). Prevalensi epilepsi ±1 %, berarti dari 220 juta penduduk di Indonesia ± 2.200.000 penderita epilepsi, menurut WHO. Pada penderita epilepsi banyak dijumpai gangguan fungsi kognitif, yang mencakup gangguan dalam menerima informasi verbal dan visual, gangguan memori, gangguan persepsi, gangguan berbahasa dan gangguan dalam pemecahan masalah atau pemusatan perhatian (atensi).
Tujuan :
Untuk mengetahui adanya gangguan kognitif pada pasien epilepsi parsial kompleks di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang .
Laporan Kasus :
Dilaporkan 6 pasien dengan epilepsi parsial kompleks di RSDK dengan fungsi kognitif yang berbeda. Pasien dilakukan pemeriksaan Test IQ dan MMSE. Didapatkan 6 kasus, terdiri dari 4 pasien laki-laki dan 2 pasien wanita yang berusia 18-35 tahun. Frekuensi serangan pada 4 kasus mengalami serangan ≥12x/tahun . Fokus epileptikus terbanyak pada pasien epilepsi parsial kompleks terletak pada sisi kanan sebanyak 5 pasien. Usia serangan pertama kali pada 5 kasus mengalami serangan saat usia ≤ 5tahun .Terapi OAE pada epilepsi parsial kompleks, 3 kasus (50%) mendapatkan terapi carbamazepine yang merupakan OAE lini 1 pada epilepsi parsial kompleks. Pada pemeriksaaan Test IQ didapatkan 5 pasien memiliki IQ dibawah rata-rata dan 1 pasien memiliki IQ normal. Pada pemeriksaan MMSE didapatkan hasil 1 pasien definite gangguan kognitif , 4 pasien probable gangguan kognitif dan 1 pasien normal.
Kesimpulan :
Sebagai kesimpulan pada pasien epilepsi parsial kompleks sebagian besar dijumpai pada laki-laki dengan letak fokus epileptikus pada sisi kanan, dan ditemukan adanya gangguan kognitif baik probable maupun definite gangguan kognitif, yang dapat dipengaruhi oleh onset dan frekuensi serangan, serta terapi OAE.
Kata kunci :Gangguan kognitif,Epilepsi parsial kompleks
* Residen Bagian IP . Saraf FK UNDIP / RSDK Semarang** Staf Pengajar Senior Bagian IP.Saraf FK UNDIP /RSDK Semarang
COGNITIVE IMPAIRMENT IN COMPLEX PARTIAL EPILEPSY PATIENTKarina Dewi * Aris Catur Bintoro **
Neurology Departement of Medical Faculty of Diponegoro University /RSUP. Kariadi Semarang
ABSTRACT Background:
Epilepsy is a brain disorder characterized by the presence of predisposing factors that can trigger epileptic generation, changes in neurobiological, cognitive, psychological and social consequences of the resulting (ILAE and IBE 2005). Prevalence of epilepsy ± 1%, mean of the 220 million people in Indonesia, ± 2.2 million people with epilepsy, according to WHO. In people with epilepsy are often found impaired cognitive function, including disruption in receiving verbal and visual information, memory disturbances, impaired perception, language disorders and disturbances in problem solving or concentration of attention (attention).
Objectives: To determine the existence of cognitive impairment in patients with complex partial epilepsy at Dr.Kariadi Hospital in Semarang.
Case Report: It was reported 6 patients with complex partial epilepsy in RSDK with different cognitive functions. Patient examination IQ Test and MMSE. Found 6 cases, 4 male patients and 2 female patients aged 18-35 years. The frequency of attacks ,4 cases had ≥ 12x/tahun attack. The focus of most epilepticus in patients complex partial epilepsy is located on the right side as much as 5 patients. Age of first attack , 5 cases had an attack at the age of ≤ 5 years. OAE therapy in complex partial epilepsy, 3 cases (50%) received carbamazepine which is the OAE line 1 in complex partial epilepsy. On examination IQ Test found 5 patients had an IQ below average and 1 patient had a normal IQ. On the MMSE examination results 1 patient obtained definite cognitive impairment, 4 patients with probable cognitive impairment and 1 patient normal.
Conclusion: Patients with complex partial epilepsy mostly found in men with the location of the epilepticus focus on the right side, and found the existence of cognitive impairment either probable or definite cognitive impairment, which can be affected by the therapy of OAE, onset and frequency of attacks.
Key words: cognitive disorders, complex partial Epilepsy
* Resident of Neurology Departement Medical Faculty of UNDIP / RSDK Semarang ** Senior Lecturer of Neurology Departement Medical faculty of UNDIP / RSDK Semarang
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu sindrom elektro-klinik ditandai dengan dua atau lebih epileptic
seizure (recurrent seizure), sebagian besar oleh karena unprovoked Epilepsi adalah gangguan
otak yang ditandai dengan kejang berulang tanpa rangsangan yang mungkin dapat terjadi
sebagai gambaran suatu penyakit yang sebabnya umum atau merupakan sindrom dengan pola
khusus kejang dan gejala fisik. Prevalensi epilepsi diperkirakan, ada sekitar 1 %,ini berarti
dari 220 juta penduduk di Indonesia ada sekitar 2.200.000 penderita epilepsi. WHO
memperkirakan 2-5% dari penduduk dunia pernah mengalami kejang. Epilepsi terdapat pada
semua bangsa dengan hanya sedikit variasi pada penyebaran geografik. Sekitar 30%
mependerita yang mendapat serangan pertamanya sebelum usia 4 tahun dan menjadi
penderita epilepsi pada usia 10tahun 25% dan 75% pada umur 20 tahun.Hanya sekitar 15%
dari penderita yang mengalami serangan pertama setelah usia 25 tahun dan kurang dari2%
yang mendapat serangan usia 50 tahun. Epilepsi parsial ditemukan pada 2/3 penderita
epilepsi dewasa dan pada ½ penderita epilepsi anak-anak.6,7
Definisi fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk belajar, menerima dan
mengelola informasi dari lingkungan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Gangguan
yang terjadi dapat berupa gangguan dalam menerima informasi verbal/visual, gangguan
memori, gangguan persepsi, gangguan berbahasa, gangguan dalam pemecahan masalah.
Paling banyak dijumpai gangguan kemampuan pemuatan perhatian (atensi) dan kemampuan
daya ingat (memori). Berbagai faktor penyebab gangguan kognitif antara lain adalah usia saat
terjadinya epilepsi, jenis serangan dan frekuensinya, penyebab epilepsi, bagian otak yang
terkena, stressor psikososial dan pengobatan dengan obat antiepilepsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat
dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan
listrik abnormal dan berlebihan dineuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai etiologi. 6 International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya.11 Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
• Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
• Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
• Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
konsekuensi sosial yang ditimbulkan.10,11
KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan
(umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang
berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi
berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.12
Sejarah klasifikasi sudah dimulai sejak jaman kuno dan hingga sekarang belum memuaskan
semua pihak : sejak tahun 1969 klasifikasi sudah berganti sebanyak 4 kali.First workshop on
Basic Mechanism of the Epilepsis (BME) pada tahun 1969 di Colorado springs.Sekitar Tahun
tersebut juga ada rapat international League Against Epilepsy 1981 dengan keluarnya update
establish sistem. 7
2
Epilepsi Parsial (Fokal)
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan listrik di suatu
daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus di korteks serebri).2,6,11
Dibagi menjadi 3 macam :
Epilepsi parsial sederhana (simpel)
Epilepsi parsial kompleks
Bangkitan umum sekunder
1. Epilepsi Parsial Sederhana (Simpel)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena,
bisa dengan gejala motorik, sensorik, autonom ataupun psikis, dapat memprediksi
kemungkinan lokasi anatomik tetapi yang sering pada lobus frontalis dan temporalis,
merupakan penyakit serebral fokal, dapat mengenai berbagai umur, tidak terjadi
penurunan kesadaran.
2. Epilepsi parsial kompleks
Fokus di lobus temporalis ± 60% dan di lobus frontalis ± 30%. Pada epilepsi parsial
kompleks terdapat3 komponen, yaitu : aura, penurunan kesadaran dan automatisms.
Epilepsi parsial kompleks disebut juga sebagai epilepsi psikomotor. Pada epilepsijenis
ini, meskipun terdapat gangguan kesadaran, penderita masih dapat melakukan
gerakan – gerakan otomatis. Setelah serangan berakhir penderita lupaapa yang telah
dilakukanya (amnesia). Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul afasia
sensorik dan hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis.pada rekaman
EEG,akan terdapat gambaran spike,kadang – kadang slow-wave di daerah temporal.
3. Epilepsi partial secondary generalized
- Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam
waktu singkat menjadi serangan umum.
- Bangkitan parsial dapat berupa aura
- Bangkitan mum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik klonik
Jenis serangan kejang partial
Gejala awal serangan kejang partial tergantung seberapa luas bagian asal terjadinya. Serangan
kejang partial dapat berasal dari lobus mana saja. Tetapi, serangan kejang partial kompleks
paling sering berfokus pada lobus temporal. Klasifikasi serangan kejang berdasar bagian
asalnya bukan merupakan bagian klasifikasi serangan kejang secara internasional, tetapi
sangat berguna. Lokalisasi paling umum daerah onset kejang partial dalam urutannya adalah:
Temporal
Frontal
Parietal
Occipital
Serangan kejang dapat juga muncul dari lobus insula. Serangan kejang yang berasal dari
struktur subkortikal dan cerebellum sangat jarang dan tidak akan dibahas lebih lanjut.
Serangan kejang partial yang dapat berasal dari lobus mana saja dapat berupa simple partial,
partial kompleks atau serangan umum kedua tergantung penyebaran aktifitas serangan
kejang.
Lobus Temporal
Temporal lobe epilepsy (TLE) merupakan epilepsy partial simptomatik/ kriptogenik paling
umum. Manifestasi karakterisstik serangan kejang lobus temporal telah lama dikenali. Tetapi,
video pengamatan EEG terbaru dan kegunaannya dalam evaluasi peroperasi telah
berpengaruh besar dalam pengertian simptomatologi serangan kejang lobus temporal.
Epilepsy lobus temporal (TLE) sering sukar diterapi medis, dan sering diterapi dengan
operasi. Hasil operasi tergantung pada ketepatan lokasi fokus epileptogenik.
Aura (perasaan sebelum) serangan
Kebanyakan pasien dengan TLE melaporkan aura serangan. Hal ini benar-benar terjadi pada
TLE mesial, sampai saat ini merupakan kelompok terbesar TLE. Dalam sekelompok pasien
terseleksi dengan asal serangan lobus temporal mesial yang telah dibuktikan, lebih dari 90%
pasien dilaporkan memiliki aura. Yang paling sering adalah aura epigastrika. Walaupun
ketidakadaan aura spesifik bagi serangan kejang lobus temporal, beberapa sangat terkait
dengan sebuah daerah asal serangan di lobus temporal, yaitu viscerosensorik (seperti sensasi
epigastrik) dan aura eksperiental atau mental (seperti “deja-vu”). Kedua jenis aura ini
biasanya terkait dengan focus temporal kanan, tetapi ini hanya tradisi saja. Dimana aura
viscerosensorik biasanya lebih umum pada TLE mesial terkait dengan sclerosis hipokampus,
aura eksperiental dan deja-vu lebih umum pada sindroma epileptik lobus temporal familial
benign. Kedinginan dan merinding (tegak bulu roma) lebih sering pada focus temporal kiri,
dan bila unilateral, biasanya respon ini ipsilateral terhadap focus serangan. Sebuah aura
auditorik sangat terkait pada daerah asal temporal lateral. Hal ini dapat berupa gejala positif
(seperti contoh, suara bel) atau negatif (kehilangan pendengaran). Aura auditorik merupakan
tanda pasti bentuk dominan autosomal pada epilepsy lobus temporal lateral. Aura sefalik
(sensasi non-spesifik di kepala) dan vertigo biasanya ekstratemporal.
Manifestasi motorik
Fase partial kompleks serangan lobus temporal mesial biasanya dimulai dengan hambatan
motorik dan pandangan tidak bergerak, oroalimentary automatisms, atau automatism
ekstremitas non-spesifik.
Oroalimentary automatisms, utamanya memukul bibir, gerakan mengunyah dan menelan
terkait lobus temporal. Tetapi, hal ini menunjukkan penyebaran aktifitas serangan ke lobus
temporal dari lokasi lain, dan dapat juga terlihat pada bentuk halus pada serangan akejang
absens, atau yang sering terjadi setelah serangan kejang pada beragam jenis serangan.
Automatisme ekstremitas kurang spesifik dan dapat terlihat pada epilepsy temporal seperti
juga pada epilepsy ekstratemporal.
Gerakan kepala pada TLE merupakan bahasan kontoversi yang utama. Bukti terbaru
memperlihatkan gerakan kepala diawal, khususnya yang terkait sikap distonik, cenderung
sebagai ipsilateral focus. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan dengan baik. Beberapa
memperkirakan hal ini menunjukkan kealpaan hemisphere kontralateral. Tetapi, dalam
banyak hal gerakan kepala di awal merupakan kebiasaan tonik, yang memacu kemungkinan
gerakan motorik, mungkin dari ganglia basalis. Dalam satu penelitian, keberadaan gerakan
kepala dalam 30 detik onset serangan, dengan keterkaitan sikap distonik, dan tidak menjadi
serangan kejang umum benar-benar merupakan ipsilateral focus serangan temporal.
Sebaliknya, gerakan kepala di akhir lebih merupakan kontralateral. Gerakan kepala yang
menjadi serangan umum sekunder dapat memiliki karakter tonik atau klonik dan disebut
“versive” atau “adversive”. Gerakan kepala versive hampir selalu kontralateral focus
serangan. Tetapi, gerakan kepala versive ipsilateral telah dilaporkan dalam akhir serangan
tonik-klonik umum sekunder pada beberapa pasien.
Manifestasi bahasa
Manifestasi bahasa berkemungkinan sangat berharga dalam daerah asal TLE lateralisasi.
Ictal speech arrest sepertinya tidak memilki nilai samping. Kemungkinan terkait gangguan
mekanisme bahasa, sehingga kehilangan kesadaran/ respon, atau efek motorik positif atau
negatif. Terdapat kemungkinan, bagaimanapun, bahwa dalam serangan simple partial
temporal tidak bisa bicara dapat menunjukkan aphasia dan kemungkinan lobus temporal
dominan.
Well-formed ictal language memperlihatkan focus lobus temporal kanan non-dominan.
Tetapi tidak benar sebuah kata atau vokalisasi non-verbal.
Logat khusus saat serangan (ictal jargon) jarang terjadi tetapi telah dikaitkan dengan focus
lobus temporal dominan. Hal ini mungkin memperlihatkan gangguan partial mekanisme
bahasa seperti terlihat pada aphasia Wernicke kronik.
Aphasia global mungkin terjadi dalam kaitannya dengan serangan simple partial terlokalisasi
khusus di lobus temporal, termasuk daerah bahasa di bagian basal temporal. Lesi lobus
temporal kronik tidak menghasilkan aphasia global. Tetapi stimulasi elektrik akut pada
daerah Wernicke sebagaimana daerah bahasa basal temporal menghasilkan aphasia global.
Aphasia setelah serangan (aphasia postictal) sangat berkaitan dengan lokalisasi temporal kiri
dominan. Pada pasien-pasien dengan representasi bahasa atipikal, signifikasi lateral disfungsi
bahasa telah dire-interpretasikan.
Transisi menjadi serangan umum sekunder
Manifestasi motorik selama transisi menjadi serangan umum sekunder penting dalam
lateralisasi. Gerakan kepala versive, postur tonik, dan aktifitaas klonik lebih sering
kontralateral daerah asal serangan. Tetapi biasanya mengalami lateralisasi palsu jika terdapat
penyebaran serangan kontralateral sebelum menjadi umum.
Manifestasi setelah serangan (postictal manifestations)
Batuk setelah serangan (postictal cough) terlihat secara predominan mengikuti
serangan temporal kanan
Menyeka hidung setelah serangan (postictal nose wiping) biasanya dilakukan
memakai tangan yang ipsilateral terhadap focus serangan.
Hasrat miksi setelah serangan (postictal urinary urgency) berkaitan dengan lokasi
temporal kanan
Tidak satupun dari yang telah disebutkan diatas signifikan bila hanya sendiri. Tetapi
kombinasi dari beberapa tanda dan gejala dapat menjadi panduan dalam lokalisasi dan
lateralisasi epilepsy lobus temporal. Tambahan informasi simptomatologi penting dalam
kemampuan lokalisasi evaluasi preoperasi.
Lobus Frontal
Aura
Lobus frontal merupakan sumber serangan paling umum kedua setelah lobus temporal.
Beragam jenis manifestasi serangan dapat terkait dengan daerah asal lobus frontal. Serangan
limbik lobus frontal dapat memiliki aura autonomisme yang sama , termasuk sensasi
epigastrik. Aura autonomisme ini telah dianggap berasal dari region orbitofrontal dan
cingula. Aura somatosensorik umumnya dianggap berasal dari aktifasi korteks sensorik
primer. Serangan kejang lobus frontal yang awalnya dari area motorik suplementorik sering
kali terkait dengan aura sensorik akibat aktifasi area sensorik suplementorik. Aura sensorik
yang terkait serangan motorik suplementorik biasanya tidak memilki gerakan, lebih sering
proksimal, dan kemungkinan penyebarannya bilateral walaupun terjadinya kontralateral lebih
mungkin. Mungkin aura paling umum pada serangan lobus frontal adalah sensasi sefalik non-
spesifik, yang tidak dapat dilokalisasi.
Manifestasi motorik
Aktifasi korteks motorik primer telah dikenal terkait dengan aktifitas klonik. Karenanya
serangan klonik fokal atau tonik-klonik paling sering berasal dari korteks motorik primer.
“Mioklonus cortical fokal” adalah manifestasi lain epileptogenisitas korteks motorik primer.
Pada umumnya, pasien akan benar-benar sadar jika tidak terjadi penyebaran aktifitas
serangan ke hemisphere kontralateral.
Serangan motorik tambahan juga cenderung menjadi serangan simple partial, dengan tidak
adanya perubahan kesadaran. Hal ini ditandai dengan postur yang mempengaruhi satu
ekstremitas bawah, dua ekstremitas bawah, atau semua keempat ekstremitas. Hal ini
merupakan pengecualian pada aturan bahwa aktifitas serangan bilateral seharusnya diikuti
oleh hilangnya kesadaran. Serangan ini cenderung berdurasi singkat, cenderung cluster,
cenderung kebanyakan nocturnal dan terkait waktu tidur. Karena daerah asalnya ada pada
korteks frontal mesial, sering terdapat rekaman aktifitas EEG antar serangan atau saat
serangan akibat orientasi dipole yang tidak baik. Postur ekstremitas proksimal menonjol
dimana tangan dan jari-jari tangan atau kaki dan jari-jari kaki terlihat bebas bergerak dan
pasien-pasien akan menggerak-gerakkan bagian distal ekstremitas. Sering terdapat suara
rintihan atau erangan dan pasien melaporkan tidak mampu bernafas.
Serangan partial kompleks yang ganjil dianggap berasal dari serangan yang berasal dari girus
cinguli atau regio orbitofrontal, serangan-serangan seperti ini sering diperlihatkan oleh
automatisme sikap panik/hiruk-pikuk yang sering bilateral, kecuali jika terdapat keterkaitan
dengan postur kontralateral. Serangan-serangan berasal dari regio frontal mesial-anterior
kadang-kadang meniru ketiadaan serangan melalui sinkronisasi bilateral sekunder yang cepat.
Serangan-serangan ini sering dinyatakan sebagai frontal absences. Serangan-serangan seperti
ini dapat sepenuhnya tidak terbedakan dari absence akibat serangan umum, kecuali
keberadaan sebuah lesi frontal, dan kadang-kadang keberadaan asimetri konsisten pada EEG.
Serangan-serangan yang berasal dari lobus frontal dapat meniru beragam jenis serangan
umum lain, termasuk serangan tonik umum, atonik umum, dan tonik-klonik umum. Serangan
lobus frontal dikenal memiliki penyebaran lebih cepat kepada hemisphere kontralateral.
Karena inilah mengapa jatuh (drop attack) dan inkontinensia lebih merupakan ciri khas
serangan lobus frontal.
Hasil lateralisasi tanda-tanda serangan lobus frontal mungkin kurang dari serangan lobus
temporal, terkait kecenderungan cepatnya penyebaran kontralateral dan aktifasi hemisphere
kontralateral.
Lobus parietal
Lobus parietal merupakan sumber seringnya terjadi serangan setelah lobus temporal dan
frontal. Akibat yang paling dikenali dari serangan yang berasal dari lobus parietal adalah aura
sensorik, khususnya jika terkait dengan gerakan. Sensasi dapat digambarkan berupa mati
rasa, rasa geli, gelisah, panas, ataupun sensasi yang tidak dapat digambarkan.
Gerakan sensorik memperlihatkan keterkaitan korteks sensorik post central primer.
Aura sensorik tanpa gerakan dapat berasal dari area sensorik sekunder, yang berlokasi diatas
operculum parietal. Walaupun manifestasi lebih sering terjadi kontralateral, tetapi kadang-
kadang ipsilateral atau bilateral.
Vertigo, kesulitan keseimbangan, sensasi adanya bagian tubuh yang bergerak-gerak, atau
satu ekstremitas tidak ada merupakan aura sensorik yang kurang sering terjadi yang
memperlihatkan serangan berasal dari lobus parietal.
Kelemahan fokal juga dikaitkan dengan focus parietal. Serangan-serangan ini disamakan
dengan serangan-serangan motorik inhibitor fokal atau serangan atonik fokal. Mereka
kadang-kadang menghasilkan aura sensorik.
Serangan tanpa gejala-gejala lobus parietal. Kebanyakan pasien dengan epilepsy lobus
parietal tidak memiliki gejala-gejala lobus parietal tetapi memiliki manifestasi dari
penyebaran ke lobus occipital, temporal, atau frontal.
Manifestasi yang umum terjadi meliputi:
Postur tonik kontralateral
Aktifitas klonik fokal
Postur tonik asimetri umum
Deviasi kepala dan mata, diperlihatkan pada hampir 50% pasien
Ketika serangan-serangan partial kompleks terjadi, mereka dapat berupa:
Membelalak
Immobilitas relatif dengan automatisme minimal, atau
Aktifitas motorik hiperkinetik (tidak sering terjadi)
Lobus occipital
Gejala-gejala sensorik yang memperlihatkan lobus occipital sebagai asal serangan adalah:
Aura visual merupakan manifestasi utama yang menunjukkan lobus occipital
sebagai daerah asal
Halusinasi visual dasar memperlihatkan keterlibatan korteks visual primer.
Halusinasi pendengaran, vertigo, perasaan sensorik fokal mungkin juga terlihat,
tetapi hal ini menunjukkan serangan menyebar ke regio temporal lateral atau
parietal.
Gejala-gejala motorik yang menunjukkan daerah asal serangan merupakan lobus occipital
adalah:
Mengedip bilateral (bilateral blinking)
Deviasi mata, biasanya bilateral
Patofisiologi
Dewasa ini sudah diketahui , bahwa dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi membran
neuron-neuron piramidal dan transmisi pada sinaps. Dapat dikatakan, bahwa mekanisme
serangan epilepsi ialah mekanisme fisiologik normal yang berlebihan.
Tiap sel yang hidup, termasuk neuron-neuron otak, mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari
ruang ekstra ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel
terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na dan Cl,sedangkan
keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion inilah yang
menimbulkan potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang
dapat dipertahankan oleh karena adanya suatu proses metabolisme aktif, “pompa sodium”
yang mengeluarkan ion Na dari dalam sel. Energi yang diperlukan untuk mendistribusi ion K
dan Na serta mempertahankan potensial membran diperoleh dari hasil proses metabolisme
sel.
Dalam keadadan istirahat neuron mempunyai potensial listrik tertentu. Tiap neuron yang aktif
melepaskan muatan listriknya dan tergantung pada neuron-neuron otak mana yang
melepaskan muatan listriknya akan terjadi gerakan otot, rasa sesuatu atau timbul persa panca
indera. Dalam keadaan fisiologis neuron melepaskan muatan listriknya apabila potensial
membrannya diturunkan oleh potensial aksi yang tiba pada neuron tersebut. Potensial aksi itu
disalurkan melalui neurit asendens dan desendens yang bersinaps dengan dendrit-dendrit dan
badan sel neuron. Dendrit-dendrit dan neurit adalah bagian dari suatu neuron, sehingga
membran dendrit dan neurit adalah juga membran neuron.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan neuron-neuron
lain, membentuk sinaps dan melepaskan zat transmiter kimiawi yang melalui sela sinaps dan
merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Zat kimiawi tersebut dikenal sebagai
neurotransmiter. Ada dua jenis neurotransmiter asam amino yang berperan, yakni
neurotransmiter eksitatorik yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmiter inhibitorik yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron menjadi
lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik. Diantara neurotransmiter-
neurotransmiter eksitasi dapat disebut glutamat dan aspartat, sedangkan neurotransmiter
inhibisi yang terkenal ialah gama-amino-butirik-asid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis neurotransmiter pada sinaps bersifat memudahkan, akan timbul lepas muatan
listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan berlepas muatan listrik.
Hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps akan memungkinkan impuls
diteruskan ke neuron berikutnya. Segera setelah terjadi depolarisasidalam waktu singkat
sekali (2-5 msec) keadaan potensial membran kembali seperti semula.
Berbagai faktor diantaranya keadaan patologik dan faktor genetik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron, sehingga mudah dilalui oleh ion Na dan Ca dari ruang
ekstra ke intraseluler. Dasar serangan epilepsi adalah depolarisasi berlebihan secara sinkron
pada sejumlah neuron piramidal dalam fokus epileptik. Potensial depolarisasi ini pada
elektroensefalogram dapat dilihat sebagai suatu gelombang tajam (spike), meskipun secara
klinis tidak terjadi serangan (EEG interictal).
Potensial depolarisasi yang mendasari serangan epilepsi ini disebut penggeseran depolarisasi
(depolarizing shift atau DS). Setelah DS biasanya terjadi hiperpolarisasi hebat dan
berlangsung lama (post-DS HP), sehingga neuron-neuron secara bergantian terpacu pada
waktu DS dan mengalami inhibisi selama post-DS HP. DS mencerminkan kombinasi arus-
arus depolarisasi yang tergantungpada voltase (arus yang disebabkan oleh terbukanya
saluran-saluran di membran bila sel-sel mengalami depolarisasi, yakni arus Na dan Ca) dan
arus-arus pada sinaps akibat pengaruh neuro-transmiter eksitorik.
Influks Na dan Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran, sehingga terjadi lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Pada sinaps-sinaps
neurotransmiter-neurotransmiter eksitatorik memacu saluran-saluran yang dapat
menimbulkan depolarisasi. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Sinkronisasi neuron-neuron terjadi karena
beberapa mekanisme, diantaranya peningkatan lingkaran-lingkaran (sirkuit) eksitatorik lokal
sebagai akibat reorganisasi lingkaran sinaptik secara menahun setelah terjadi suatu lesi atau
secara akutpeningkatan kekuatan sinaps-sinaps eksitatorik yang dihasilkan oleh aktivitas
berfrekuensi tinggi neuron-neuron. Peningkatan kekuatan sinaps eksitatorik dapat disebabkan
oleh pengerahan reseptor N,methyl-D-asprtat (NMDA) yang diaktifkan oleh glutamat atau
aspartat. Kompleks reseptor/ saluran ini selama tranmisi sinaps normal relatif tidak aktif,
karena dibendung oleh magnesiuam. Namun bila neuron-neuron mengalami depalarisasi
bendungan magnesium menjadi kurang efektif dan makin banyak saluran untuk depolarisasi
akan diaktifkan.mekanisme tersebut di atas sebenarnya terdapat pada neuron-neuron normal
dalam korteks, namun aktivasi yang berlebihan dapat dikendalikan oleh mekanisme inhibisi
yang kuat.
Neuron-neuron juga dapat bersinkronisasi karena adnya arus-arus besar yang mengalir di
ruang ekstraseluler sekitar dendrit-dendritnya, adanya perubahan lingkungan ekstraseluler
selama kegiatan berlebihan (kadar K ekstraseluler meningkat dan Ca ekstraseluler menurun)
dan karena adnya perangkai listrik.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa setelah berapa saat, serangan berhenti akibat
pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptik, selain itu jugasistem-sistem inhibisi pre- dan post-sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan ikut berperan.
Hiperpolarisasi yang terjadi setelah DS (pada EEG terlihat sebagai gelombang lambat dalam
kompleks spike-wive) disebabkan oleh beberapa mekanisme. Misalnya inhibisi pada sinaps
yang disebabkan oleh GABA, interneuron-interneuron inhibisi yang diaktifkan karena lepas
muatan sel-sel piramid dan melakukan inhibisi pada neuron-neuron dalam fokus epileptik dan
sekitarnya.selain itu arus-arus yang menyebabkan hiperpolarisasi (kebanyakan arus K)
diaktifkan selama DS influks Ca selam DS dapat mengaktifkan arus-arus yang dibangkitkan
oleh saluran-saluran ion (K dan CL ion) apabila konsentrasi Ca intraseluler mencapai tingkat
tertentu.
Keadaan lain yang menyebabkan suatu serangan terhenti, ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak, diantaranya oksigen, ATP, kreatin
fosfat dan neurotransmiter serta tertimbunnya zat-zat yang dapat menyebabkan inhibisi
seperti CO2, sisa-sisa metabolisme dan zat asam amino. 1,2,11,12
FUNGSI KOGNITIF
Fungsi Kognitif adalah kemampuan seseorang untuk belajar, menerima dan mengelola
informasi dari lingkungan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Fungsi kognitif
meliputi pikiran, daya ingat, daya pengertian,persepsi dan fungsi intelektual. Gangguan
fungsi kognitif seringkai luput dari pengamatan dokter. Hal ini berkaitan dengan pasien
sering menutupi kekurangan daya ingatnya. Sehingga diperlukan pemahaman lebih lanjut
untuk kelainan fingsi kognitif yang seharusnya dievaluasi.
Fungsi kognitif terdiri dari :
- Atesni / konsentrasi
- Daya ingat / memori
- Fungsi Intelektual
Pendapat lain menyatakan bahwa gangguan kognitif dapat berupa :
- Gangguan dalam menerima informasi verbal dan visual
- Gangguan Memori
- Gangguan persepsi
- Gangguan berbahasa
- Gangguan dalam pemecahan masalah atau pemusatan perhatian (atensi)
Terganggunya fungsi kognitif tersebut bisa sederhana maupun kompleks. Pada penyandang
epilepsi paling banyak dijumpai adanya gangguan kemampuan pemusatan perhatian (atensi)
dan kemampuan daya ingat (Memori).Berbagai faktor penyebab gangguan kognitif secara
garis besar adalah:
- Usia saat terjadinya serangan epilepsi
- Jenis serangan dan frekuensinya
- Penyebab epilepsi
- Letak fokus epilepsi
- Stressor psikososial
- Pengobatan dengan lebih dari satu obat epilepsi.
Faktor-faktor yang berikutini saling berkaitan dapat mempengaruhi fungsi kognitif penderita
epilepsi. Faktor –faktor tersebut saling berkaitan adalah :
Penyebab Epilepsi
Faktor emosi dan kepribadian Aktifitas serangan
Fungsi Kognitif
Faktor Lingkungan Efek samping(OAE)
Lrtak Fokus Epilepsi
Seperti yang telah dikemukakan diatas, penderita dengan serangan epilepsi sering mengalami
defisit kognitif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif pada penderita epilepsi adalah :
Letak fokus epilepsi :
Otak pada sisi kiri atau kanan, gejala berbeda misalnya :
- Pada fokus sisi kiri memberi gangguan bahasa dan kemampuan verbal, mengenal,
dan mengingat apa yang didengar, mengeja, membaca, berbicara, matematika
maupun berhitung.
- Fokus dikanan memberi gejala gangguan kemampuan persepsi visual, mengenal
dan mengingat kembali apa yang dilihat, menulis, koordinasi motorik sehingga
tidak terampil, sukar membedakan sisi kiri dan kanan.
Penyebab Epilepsi :
- Epilepsi simtomatik (penyebab sudah jelas) lebih banyak menimbulkan gangguan
kognitif
- Epilepsi idiopatik (penyebab tidak jelas).
Faktor Obat Anti Epilepsi (OAE)
Pengobatan polifarmasi (kombinasi 2 macam obat atau lebih) lebih buruk
dibanding monoterapi dalam hal fungsi kognitif. Terdapat peningkatan
performance pasien setelah pengobatan dengan politerapi diganti dengan
monoterapi. Fenobarbital menimbulkan gangguan pada memori jangka pendek.
Dan juga menganggu performance pada tes kewaspadaan dan kemampuan verbal,
serta aritmatika. OAE yang memiliki efek samping minimal terhadap fungsi
kognitif adalah carbamazepine dan asam valproat.
Hampir semua OAE pada kadar yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan defe
pada kognisi. Derajat gangguan kognitif yang terjadi pada kadar terapeutik tidak
jelas.
Pada kadar yang tinggi OAE yang berikut ini diduga mempunyai penagruh yaitu :
Phenytoin : menganggu kecepatan motoris, konsentrasi dan memori
Fenobarbital : perubahan afek perilaku, agresif, gangguan fungsi kognitif
terutama gangguan memori jangka pendek. Pada anak didapatkan adanya
gangguan kognitf disertai I yang lebih rendah.
Carbamazepine Tidak didaptakan adanya gangguan fungsi kognitif, atensi
, perilaku secara bermakna.
Asam valproat : tidak banyak berpengaruh pada fungsi memori
Clobazam : agak mengantuk dan peka namun tidak ada gangguan kognitif.
Dilaporkan bahwa fenitoin dan fenobarbital menyebabkan efek kurang baik pada kognitif
bilamana dibandingkan dengan carbamazepine dan asam valproat. Penelitian lain juga
melaporkan bahwa phenobarbital dan fenitoin berpengaruh pada fungsi memori sedangkan
sodium valproat dan karbamazepin kurang berpengaruh pada fungsi memori. Dalam hal ini
terdapat gangguan memori jangka pendek pada penderita yang minum obat phenobarbital.
Penting untuk diketahui bahwa terdapat efek merugikan pada penggunaan obat-obat epilepsi
secara politerapi.
TUJUAN TERAPI
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengusahakan tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien yang sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Untuk tercapainya keadaan ini beberapa hal perlu di lakukan, antara lain
menghentikan bangkitan , mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek
samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping obat
anti epilepsi (OAE).
PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi (OAE) mulai diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi dipastikan (confirmed),
b. Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
c. Setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
dan kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul.
Dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping (kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif)
Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, di tambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama di turunkan bertahap (tapering off) perlahan lahan
Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
BAB III
Laporan Kasus
Kasus 1, Nn.R.S seorang wanita, 29 tahun datang dengan keluhan utama kejang. 20 tahun
yang lalu saat pasien sedang beraktivitas harian tiba-tiba pasien kejang seluruh tubuh
kelojotan, mata mendelik keatas, mulut terlihat mengecap-ngecap kadang mulut terlihat
menutup, menurut keluarga sebelum kejang pasien tampak mondar-mandir dirumah, kejang
berlangsung 3 menit,setelah kejang pasien tampak tertidur sesaat, lalu saat terbangun pasien
bicara kacau selama 10-15 menit. Kadang setelah 30 menit pasien tampak membuka kancing
bajunya berulang-ulang dan timbul kejang lagi, dalam sehari dapat 4-5 kali serangan.
Menurut keluarga setelah kejang tubuh pasien sering luka dan memar, terbanyak disisi tubuh
kiri. Oleh keluarga dibawa ke dokter dikatakan epilepsi diberi obat 1 macam obat yang
diminum sehari 3 kali (carbamazepin). Pasien tidak teratur minum obat, dalam sebulan masih
sering kejang 2 minggu sekali. Lalu keluarga menghentikan obat tersebut, hanya sesekali
meminum obat. 2 tahun terakhir pasien bebas obat, dan masih kejang 2 minggu sekali, dalam
1 hari dapat 4-5 kali serangan. Lalu oleh keluarga pasien dibawa ke Semarang dan dirujuk ke
RSDK.
Menstruasi lancar setiap bulan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Usia 1 tahun pasien kejang demam, dirawat diRS selama 2 minggu, selama
dirawat pasien kejang terus menerus dan tidak sadar sempat masuk ICU, lalu
pulang dengan perbaikan.
Pemeriksaan Neurologis : dbn
EEG : Hasil rekaman long term ditemukan gelombang epilepticform discharge di mid temporal kiri
dan mid temporal kanan, dominan disisi kanan.
Test MMSE : 17
Test IQ :
- IQ verbal : 75 (70-79) = bodoh sekali
- IQ Performance : 65 (50-69) = Debil / mampu didik
- IQ Total : 69 (50-69) = Debil / mampu didik
- SPM Test : Grade V = 5 PP = Debil / mampu didik
Kasus 2, Tn. A.W usia 31 tahun, datang dengan keluhan usia 5 tahun pasien kejang, namun hanya
lengan kanan terlihat kelojotan , pasien sadar . Lalu pasien berobat, namun tidak tahu jenis obatnya,
menurut keluarga setiap bulaan ada serangan. Usia 11 tahun, pasien kejang dimulai lengan kanan
lalu kaki kanan, pasien terlihat bengong, tidak dapat diajak komunikasi, selama 2 menit , lalu selang
30 menit pasien sadar kembali, lalu berobat keRS dikatakan epilepsi diberi obat dan minum teratur,
namun setiap 5 bulan pasien masih kejang. Usia 19 tahun pasien kejang separuh badan sebelah
kanan, muka menoleh kekanan, mata mendelik keatas, selama 2-3 menit, lalu pasien tertidur dan
kembali sadar, setelah sadar pasien sering bicara kacau, frekuensi kejang 1x perbulan, pasien
konsumsi obat teratur. Karena tidak ada perbaikan pasien dibawa ke RSDK. Pasien mengkonsumsi
carbamazepine 2x200mg.
Riwayat Penyakit dahulu :
- Kejang demam disangkal
- Usia 5 tahun trauma kepala (+) jatuh dari pohon, sempat pingsan namun
tidak dibawa kedokter.
EEG :
Hasil rekaman long term ditemukan gelombang epilepticform discharge di mid temporal kanan.
Test IQ :
- IQ verbal : 82 = Rata-rata bawah
- IQ Performance : 80 = Rata-rata bawah
- IQ Total : 81 = Rata-Rata bawah
- SPM Test : Grade III + 50 PP
Test MMSE : 19 = probable gangguan kognitif
Kasus 3, Nn.A usia 18 tahun, datang dengan keluhan 1 tahun yang lalu pasien kejang
kelojotan, menurut pasien sebelum kejang pasien mengeluh mual, lalu pasien tidak sadar,
kejang separuh badan sebelah kanan, mata mendelik keatas, selama 3 menit, mulut
mengecap-ngecap dan berbusa, setelah kejang pasien tertidur selama 1 jam lalu sadar.
Menurut keluarga dalam setahun 3 kali serangan. Lalu oleh keluarga dibawa ke RSDK. Saat
ini pasien mengkonsumsi asam valproat 2x 500mg selama setahun terakhir.
Riwayat penyakit dahulu : disangkal
EEG : Hasil rekaman long term ditemukan gelombang epilepticform discharge di mid temporal kiri.
Test IQ :
- IQ verbal : 96 = normal
- IQ Performance : 94 = Normal
- IQ Total : 95 = Normal
Test MMSE : 27 = Normal
Kasus 4 , Tn. F H usia 19 tahun, datang dengan keluhan kejang 2 hari yang lalu, dalam
sehari kejang 7x, sebelum kejang pasien mengeluh mengantuk, dan terlihat bingung, lalu
kejang badan miring kekanan, wajah menoleh kekanan, mata mendelik keatas, mulut
mengecap-ngecap berbusa, pasien tidak sadar saat serangan, selama 1 menit, lalu selang 15
menit kejang kembali, setelah kejang pasien tertidur, setelah sadar bicara kacau. Pasien
pertama kejang usia 5 tahun, kejang setahun 1-2 x. Sebelumnya belum pernah berobat.
Riwayat penyakit dahulu : disangkal
EEG : gelombang epileptogenik disisi kanan dan abnormalitas struktur dihemisfer kanan.
Test MMSE : 19 = probable gangguan kognitif
Test IQ =
- IQ verbal : 88 = Rata-rata bawah
- IQ Performance : 84 = Rata-rata bawah
- IQ Total : 86 = Rata-Rata bawah
- SPM Test : Grade III + 50 PP
Kasus 5, Tn.T usia 35 tahun, datang dengan keluhan kejang kelojotan seluruh badan, 3 jam
MRS pasien tiba-tiba kejang, diawali muka menoleh kekiri , mata melirik kekiri, lalu anggota
gerak kiri terlihat kelojotan selama 2 menit, saat kejang pasien tidak sadar, lalu pasien terlihat
binggung, 1 jam kemudian pasien sadar. Dalam 1 hari pasien kejang 4-5x, lalu pasien dibawa
ke RSDK. Pasien mengkonsumsi fenitoin dan asam folat 1x sehari. Pasien kejang sejak usia 2
tahun, didahului kejang, lalu sejak usia 4 tahun pasien kejang tanpa demam, frekuensi kejang
1x perbulan, kadang 1-2x perbulan. Lalu 5 hari yang lalu obat diganti namun pasien tidak
tahu jenis obat yang baru.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat kejang demam (+)
- Riwayat trauma kepala (-)
EEG : Gelombang epileptogenik di regio frontotemporal kanan dan terdapat gangguan
elektrofisiologis difus ringan.
Test MMSE : 8 = definite gangguan kognitif
Test IQ :
- IQ verbal : 58 (50-69) = Debil / mampu didik
- IQ Performance : 69 (50-69) = Debil / mampu didik
- IQ Total : 61 (50-69) = Debil / mampu didik
- SPM Test : Grade V = 5 PP = Debil / mampu didik
Kasus 6, Tn. DTY , usia 19 tahun, pasien kejang sejak usia 5 tahun, semiologi : kejang
diawali lengan kiri fleksi, tonik, lengan kanan fleksi, wajah menoleh kekiri, wajah sisi kiri
klonik. Tubuh roboh kekanan. Kejang berlangsung selama 2 menit, ssat kejang tidak sadar,
setelah kejang pasien tertidur. Frekuensi kejang 1x sebulan. Pasien mengkonsumsi
carbamazepin sehari 3x, teratur.
Riwayat penyakit dahulu ;
EEG : Gangguan struktural pada regio temporofrontal kanan, dan didapatkan gelombang
epileptic discharge hemisfer kanan.
Test MMSE : 20 = probable gangguan kognitif
Test IQ :
- IQ verbal : 68 (50-69) = Debil / mampu didik
- IQ Performance : 65 (50-69) = Debil / mampu didik
- IQ Total : 67 (50-69) = Debil / mampu didik
- SPM Test : Grade V = 5 PP = Debil / mampu didik
HASIL :
Kasus Usia
Penderita
(Tahun)
Onset
Serangan
(Tahun)
Fokus
Epileptikus
Frekuensi
Serangan
(Tahun)
Terapi
OAE
MMSE IQ
Kasus 1 29 1 Sisi kanan 24x/tahun Carbamazepin 17 69
Kasus 2 31 5 Sisi kanan 12x/tahun Carbamazepin 19 81
Kasus 3 18 17 Sisi kiri 3x/tahun Asam Valproat 27 95
Kasus 4 19 5 Sisi kanan 1-2x/tahun ( - ) 19 86
Kasus 5 35 2 Sisi kanan 24x/tahun Fenitoin 8 62
Kasus 6 19 5 Sisi kanan 12x/tahun Carbamazepin 20 67
Diperoleh data 12 pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai penyandang epilepsi
Parsial Kompleks yang datang ke RS Dr. Kariadi. Usia proporsi terbanyak pada kelompok
usia 15-24 tahun (50%) (Tabel 1). Penderita epilepsi parsial kompleks lebih banyak pada
pasien laki-laki yaitu 4 orang sebesar, 66.,7 % (Tabel 2). Fokus epileptikus terbanyak pada
pasien epilepsi parsial kompleks tereltak pada sisi kanan (hemisfer kanan) sebanyak 5
pasien ( 83,3%)( Tabel 3). Usia serangan pertama pasien epilepsi parsial kompleks hampir
semua pasien mengalami serangan kurang dari 5 tahun sebanyak 5 pasien (83,3%) ( tabel
4). Terapi OAE pada epilepsi parsial kompleks, 3 kasus (50%) mendapatkan terapi
carbamazepine , 1 kasus (16,6%) mendapatkan asam valproat, dan 1 kasus (16,7%)
mendapat terapi fenitoin (Tabel 5). Penderita Epilepsi parsial Kompleks sebagian besar
mengalami probable gangguan kognitif 4 pasien (66,6%) dan definite gangguan kognitif 1
pasien ( 16,7%) (Tabel 6). Hasil test IQ pada epilepsi parsial kompleks didapatkan 3
pasien debil ( 50%), dan 2 pasien rata-rata bawah ( 33,3%) (Tabel 7).
Tabel 1. Karakteristik Penyandang Epilepsi Parsial Kompleks Berdasarkan Usia
USIA JUMLAH PRESENTASE (%)
15-24 Tahun 3 50
25-34 Tahun 2 33,3
34-44 Tahun 1 16,7
TOTAL 6 100
Grafik 1. Proporsi Penyandang Epilepsi Parsial Kompleks Berdasarkan Usia
Tabel 2. Karakteristik Penyandang Epilepsi Parsial kompleks Berdasarkan Jenis
Kelamin
Laki-Laki 4 66,7
Perempuan 2 33,3
TOTAL 6 100
Grafik 2. Proporsi Penyandang Epilepsi Parsial KompleksBerdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 3 Letak Fokus epileptikus pada Epilepsi parsial Kompleks
Kanan 5 83,3
Kiri 1 16,7
TOTAL 6 100
JENIS KELAMIN
JUMLAH PERSENTASE
Letak Fokus Epileptikus
JUMLAH PERSENTASE
Grafik 3. Proporsi Letak Fokus epileptikus pada Epilepsi Parsial Kompleks
Tabel 4 Frekuensi serangan pada Epilepsi parsial Kompleks
≥ 12x 4 66,7
< 12x 2 33,3
TOTAL 6 100
Grafik 4 Frekuensi serangan pada Epilepsi Parsial Kompleks
Tabel 5 Usia Serangan pertama pada Epilepsi parsial Kompleks
≤ 5 tahun 5 83,3
>5 tahun 1 16,7
TOTAL 6 100
Onset Serangan JUMLAH PERSENTASE
Frekuensi Serangan(tahun) JUMLAH PERSENTASE
Grafik 5. Usia Serangan Pertama pada Epilepsi Parsial Kompleks
Tabel 6 : Terapi OAE pada Epilepsi parsial Kompleks
Carbamazepin 3 50%
Asam Valproat 1 16,6%
Fenitoin 1 16,6%
Tanpa Terapi 1 16,6%
TOTAL 6 100
Grafik 6. Terapi OAE pada Epilepsi Parsial Kompleks
Tabel 7 : F ungsi Kognitif pada Epilepsi parsial Kompleks
24-30 (normal) 1 16,7
17-23 (probable gangguan kognitif) 4 66,6
0-16 (definite gangguan kognitif) 1 16,7
TOTAL 6 100
MMSE JUMLAH PERSENTASE
Terapi OAE JUMLAH PERSENTASE
Grafik 7. Fungsi Kognitif pada Epilepsi Parsial Kompleks
Tabel 8 : Distribusi IQ pada Epilepsi parsial Kompleks
50-69 (Debil) 3 50
70-79 ( Bodoh Sekali)1 0 0
80-89 (Rata-rata bawah) 2 33,3
≥ 90 (Normal) 1 16,7
TOTAL 6 100
Grafik 8. Distribusi IQ pada Epilepsi Parsial Kompleks
IV. PEMBAHASAN
Onset epilepsi yang tersering memang pada dekade pertama kehidupan, dekade selanjutnya
akan semakin berkurang, namun epilepsi dengan onset bangkitan pada usia dewasa bukan
merupakan phenomena yang jarang. Paling tidak sekitar 20-25% pasien epilepsi mempunyai
bangkitan pertama pada usia setelah 25 tahun. Hal ini yang disebut late onset epilepsy. Sesuai
ke 5 kasus diatas onset serangan pertama (83,3% ) terjadi sebelum usia 5 tahun, dan 1 kasus
(16,7%) pada usia 17 tahun. Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering
IQ JUMLAH PERSENTASE
dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari
wanita, pada kasus ini 4 kasus berjenis kelamin laki-laki. Pada 6 kasus yang diperiksa, hanya
5 kasus yang pernah mendapat terapi OAE dan 1 kasus belum pernah mengkonsumsi OAE. 3
kasus mendapat terpai OAE Carbamazepine, 1 kasus terapi asam valproat dan 1 kasus terapi
Fenitoin, dari beberapa penelitian mengemukakan bahwa carbamazepin dan asam
valproateyang merupakan OAE lini pertama untuk epilepsi parsial kompleks memberikan
efek samping terhadap fungsi kognitif yang minimal atau tidak bermakna. Namun Fenitoin
dikemukakan memberikan efek samping berupa menganggu kecepatan motoris, konsentrasi
dan memori. Namun dikemukakan juga hampir semua OAE pada kadar yang tinggi dalam
darah dapat menyebabkan defek pada fungsi kognisi. Pada 5 kasus terdapat gangguan
kognitif(MMSE) dan tingkat kecerdasan (IQ), hal ini berhubungan dengan frekuensi serangan
yang tinggi, onset pertama kali serangan pada usia kurang dari 5 tahun namun letak fokus
epileptikus sebelah kanan, kurang mendukung terjadinya penurunan IQ pasien karena otak
sisi kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ), Misalnya sosialisasi,
komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini
pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh,
seperti menyanyi, menari, dan melukis sedang otak sisi kiri yang mengatur dalam hal-hal
yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan
pusat matematika. Bagian otak ini merupakan pengendali intelligence quotient (IQ). Daya
ingat otak bagian ini juga bersifat jangka pendek. Namun frekuensi kejang yang tinggi
menyebabkan kerusakan atau lesi yang bersifat irreversibel yang menyebabkan disfungsi dari
otak yang mempengaruhi fungsi kognitif, dimana pada ke 6 kasus diatas , 4 diantaranya
mengalami serangan (kejang) ≥12x pertahun.
V. KESIMPULAN
Telah dilakukan dilakukan studi terhadap pasien epilepsi parsial kompleks yang datang di
RSUP Dr. Kariadi,dengan hasil:
1. Diperoleh data 6 pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai penyandang Epilepsi
parsial Kompleks.
2. Usia berkisar antara 18-35 tahun dengan proporsi terbanyak pada kelompok usia 15-
24 tahun (50 %).
3. Proporsi laki-laki dan perempuan hampir , pasien laki-laki lebih banyak 4 orang
(66,7%)
4. Frekuensi serangan pada pasien epilepsi parsial kompleks, 4 kasus mengalami
serangan lebih dari 12x/tahun (66,7%).
5. Fokus epileptikus terbanyak pada pasien epilepsi parsial kompleks tereltak pada sisi
(hemisfer kanan) sebanyak 5 pasien ( 83,3%)
6. Usia serangan pertama kali pada pasien epilepsi parsial kompleks, 5 kasus mengalami
serangan saat usia ≤5tahun (83,3%).
7. Penderita Epilepsi parsial Kompleks sebagian besar mengalami probable gangguan
kognitif 4 pasien (66,6%) dan definite gangguan kognitif 1 pasien ( 16,7%)
8. Terapi OAE pada epilepsi parsial kompleks, 3 kasus (50%) mendapatkan terapi
carbamazepine yang merupakan OAE lini 1 pada epilepsi parsial kompleks, 1 kasus
(16,6%) mendapatkan asam valproat, dan 1 kasus (16,7%) mendapat terapi fenitoin.
9. Hasil test IQ pada epilepsi parsial kompleks didapatkan 3 pasien debil ( 50%), dan 2
pasien rata-rata bawah ( 33,3%) .
Sebagai kesimpulan pada pasien epilepsi parsial kompleks sebagian besar dijumpai
pada laki-laki dengan letak fokus epileptikus pada sisi kanan, dan ditemukan adanya
gangguan kognitif baik probable maupun definite gangguan kognitif, yang dapat
dipengaruhi oleh onset serangan, frekuensi serangan, serta terapi OAE. Dari kasus
tersebut didapatkan semakin awal onset serangan yang terjadi dan semakin tinggi
frekuensi serangan menyebabkan rendahnya nilai IQ dan MMSE.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams D.R,Victor M, Ropper.AH, Principles of Neurology .6thed. McGraw-Hill: USA,
1997.
2. Scott AJ, Joey DE,John WE, Harrison”s Neurology in Clinical Medicine, McGraw-Hill
International.US.2006.
3. Lindsay KW, Bone I. Neurology and neurosurgery illustrated. 4thed. Toronto: Elsevier,
2004;300-16.
4. Jean A, Marc AD,Epilepy A comprehensive Textbook.Volume III.Lippincott Williams &
Wilkins.USA.2008
5. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, Pedoman tatlaksana Epilepsi. 3thed.Perdossi.
Jakarta.2008.
6. Pendidikan Berkelanjutan V.Update on Neurology.SMF IPS FK UNAIR.Surabaya.2001
7. Muttaqin Z. Perkembangan Tindakan Bedah Saraf untuk Epilepsi di Indonesia. Pidato
Pengukuhan. Semarng: Badan Penerbit UNDIP, 2007.
8. Hadinoto, S,Epilepsi Pengelolan Mutakhir.Temu Regional Neurologi JATENG,Semarang.
Badan Penerbit UNDIP.1996
9. Noerjanto MM. Epidemiologi dan diagnosis epilepsi. Dalam : Kustiowati E, Rahmawati D,
Tugasworo D, eds. Peningkatan Kualitas hidup Penyandang Epilepsi. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2001: 1-10.
10. Kustiowati E. Penggunaan EEG dalam diagnosis dan evaluasi epilepsi. Dalam : Kustiowati
E, Rahmawati D, Tugasworo D, eds. Peningkatan Kualitas hidup Penyandang Epilepsi.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001: 69-82.
11. Mardjono M. Dasar-dasar Pelayanan Epilepsi dan Neurologi. Jakarta: PERPEI 2003.
12. Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi . Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
2004.