Fix jurnal kulit.docx
-
Upload
irsandi-rizki-farmananda -
Category
Documents
-
view
20 -
download
1
description
Transcript of Fix jurnal kulit.docx
![Page 1: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/1.jpg)
Egyptian Dermatology Online Journal Vol. 4 No 1: 1, June 2008
© 2008 Egyptian Dermatology Online Journal
Stevens - Johnson syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) In Sarawak: A
Four Years’ Review
Yap FBB, MRCP; Wahiduzzaman M, MBBS; Pubalan M, MRCP.
Egyptian Dermatology Online Journal 4 (1): 1, June 2008.
Department of Dermatology, Sarawak General Hospital, Jalan Hospital, 93586 Kuching,
Sarawak
Mail to: [email protected]
Submitted for Publication: May 10th, 2008
Accepted for publication: May 28th, 2008
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan
Dilakukan peninjauan kasus secara retrospektif pada pasien yang datang ke rumah sakit
umum Sarawak dengan Sindroma Stevens Johnson (SSJ), Nekrolosis Epidermal Toksin (NET)
dan SSJ-NET mulai dari Januari 2004 sampai Desember 2007 dengan tujuan untuk menetapkan
penyebab dan penatalaksanannya.
Metode dan Hasil
Dua puluh empat kasus datang dengan 54,2% kasus SSJ, 25% kasus SSJ-NET, 20,8%
kasus NET. Tujuh puluh Sembilan persen diantaranya diinduksi oleh obat-obatan. Antikonvulsan
adalah penyebab utama, diikuti oleh Allopurinol. Tercatat angka kematian sebesar 12,5%. Semua
kasus yang terjadi tertolong dengan pemberian immunoglobulin intravena.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa SSJ, SSJ-NET dan NET umumnya diinduksi oleh obat dan
memiliki angka kematian yang tinggi. Pemberian immunoglobulin intravena nampaknya cukup
menjanjikan. Pertimbangan dalam pemberian obat-obatan sangat dibutuhkan. Pengenalan secara
dini sangat penting. Perawatan yang optimal di bagian dermatologi merupakan pilihan yang
terbaik.
1
![Page 2: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/2.jpg)
Pendahuluan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksin (NET) merupakan
penyakit mukokutaneus bullosa yang jarang terjadi. Meskipun jarang dengan insiden 0,05-2
orang per 1 juta populasi pertahunnya, namun cukup memiliki dampak terhadap angka kesakitan
dan angka kematian pada kesehatan masyarakat. Penyebab terbanyak adalah diinduksi oleh obat-
obatan. Hal tersebut juga yang terbanyak terjadi di seluruh dunia.
Penelitian mengenai SSJ dan NET di Malaysia masih sedikit karena kasusnya jarang. Di
Malaysia Timur tidak ada tercatat penelitian mengenai hal ini. Oleh karena itu penelitian kami
bertujuan untuk menetapkan penyebab dan penatalaksanaan terhadap kasus-kasus SSJ, SSJ-NET
dan NET yang datang ke Rumah Sakit Umum Sarawak selama periode 4 tahun mulai dari
Januari 2004 sampai Desember 2007.
Bahan dan Cara
Peninjauan secara retrospektif terhadap kasus-kasus yang datang ke Rumah Sakit Umum
Sarawak dengan SSJ, SSJ-NET dan NET dilakukan selama 4 tahun mulai dari Januari 2004
sampai Desember 2007. Data diperoleh berdasarkan catatan klinik di bagian pencatatan medik.
Diagnosis klinik terhadap SSJ, SSJ-NET dan NET dilakukan berdasarkan ganbaran klinis
dari kasus-kasus tersebut. Tidak dilakukan biopsi kulit. Diklasifikasikan sebagai SSJ, peralihan
SSJ-NET dan NET berdasarkan Bastuji Garin dkk. SSJ digambarkan dengan vesikel-vesikel
yang tersebar luas dan tingkat pengelupasan kulit kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh,
SSJ-NET dengan tingkat pengelupasan kulit 10-29% dari luas permukaan tubuh, dan NET
dengan tingkat pengelupasan kulit lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh.
Catatan klinik yang diteliti mengenai demografi obat-obatan penyebab, gambaran klinik
dan penatalaksanaanya. Data terkumpul disusun pada microsoft excel dan diolah secara
deskriptif dengan analisis statistik.
Hasil
Tabel I menunjukkan demografi pasien-pasien yang datang ke Rumah Sakit Umum
Sarawak mulai dari Januari 2004 sampai Desember 2007. Total 24 kasus yang datang, 54,2%
SSJ; 25% peralihan SSJ-NET dan 20,8% NET. Dengan jumlah pasien pria 58% diantaranya.
2
![Page 3: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/3.jpg)
Usia rata-rata yang terjadi pada NET 23,3 tahun, peralihan SSJ-NET 44,5 tahun dan SSJ 40,3
tahun. Dengan interval usia mulai dari 8 sampai 73 tahun.
Tabel I : Data Demografi Pasien
SSJ SSJ-NET
NET
Kasus 13 6 5Sex
Pria 10 2 2Wanita 3 4 3
UsiaUmur
rata-rata40,3 44,5 25,4
Rentang Umur
13-70 8-73 10-42
RasChina 4 2 1
Malaysia
3 3 2
Iban 4 0 1Bidayuh 2 1 1
Tujuh puluh sembilan persen dari kasus diinduksi oleh obat-obatan. Antikonvulsan dan
allopurinol merupakan penyebab utama masing-masing menyumbang antara 5-7 kasus.
Pengobatan tradisional tercatat pada 2 kasus. Obat-obatan lainnya termasuk antibiotik, obat anti
inflamasi non steroid, obat sulfa dan obat anti helminthes.
Tabel II : Penggunan Obat
Empat kasus diberi antikonvulsan selama
gangguan nyeri sedangkan 2 kasus diberi
selama kejang untuk mencegah terjadinya
perdarahan intrakranial. Hanya satu kasus
3
SJS (n=11)
SJS-NET (n=5)
NET (n=3)
AntikonvulsanCarbamazepine 2 2 1Phenytoin 2 0 0
Non Steroidal Anti Inflammatory DrugsIbuprofen 0 1 0Asam mefenamat
0 0 1
Obat TradisionalAsam urat 0 1 0Obat herbal china
0 0 1
Anti goutAllopurinol 4 1 0
Lain-lainSulfasalazine 1 0 0Amoksisilin 1 0 0Albendazol 1 0 0
![Page 4: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/4.jpg)
yang diberikan antikonvulsan selama epilepsi. Semua kasus Allopurinal terjadi pada pemberian
untuk hiperurisemia asimptomatik.
Tabel III menggambarkan waktu inkubasi, sebagai contoh rata-rata waktu mulainya
pemberian obat sampai munculnya onset penyakit intervalnya 4,7 hari pada NET dan 21,6 hari
pada SSJ. Kasus rawat inap di Rumah Sakit pasien dengan NET lebih lama, dengan perkiraan
sekitar 12,4 hari dibandingkan SSJ hanya 8,9 hari. (Tabel IV).
Tabel III : Masa Inkubasi Obat
Tabel IV: Waktu Rawat Inap di RS
Tabel V menggambarkan catatan pengobatan. Semua pasien dengan SSJ dan dua per tiga
kasus SSJ-NET diberikan kortikosteroid. Delapan puluh persen kasus NET diberikan
imunoglobulin intravena.
Tabel V : Hasil Pengobatan
SSJ SSJ-
NET
NET
Obat
Kortikosteroid 13 4 1
4
SSJ SSJ-
NET
NET
Rata-
rata
(Hari)
21,6 12,1 4,7
Rentang
(hari)
2-40 1-21 2-10
SJS SJS-
NET
NET
Rata-
rata(hari)
8,9 9,2 12,4
Rentang
(hari)
2-46 2-23 7-19
![Page 5: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/5.jpg)
IVIG 0 0 4
Cyclosporine 0 1 0
Hanya
dirawat
0 1 0
Hasil
Hidup 13 4 4
Meninggal 0 2 1
Hanya ada tiga kematian yang tercatat dengan angka kematian 12,5%. Hal ini terjadi
akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan sepsis. Obat penyebabnya adalah jamu
asam urat yang mengandung fenilbutazon (sejenis obat inflamasi non steroid) pada satu kasus
sedangkan tidak ada obat pada dua kasus lainnya. Mereka diberikan kortikosteroid dan
siklosporin. Semua kasus NET yang diberi imunoglobulin intravena dapat diselamatkan.
Angka kesakitan yang terlihat seperti skin dyspigmentation (52%), nail dystrophies
(10%) dan komplikasi pada mata (10%). Dua pasien mengalami gangguan penglihatan akibat
keratitis yang hebat.
Diskusi
Spektrum penyakit ini mulai dari SSJ sampai NET umumnya disebabkan oleh induksi
obat. Kami menemukan bahwa 4 dari 5 kasus yag datang adalah akibat induksi obat. Penelitian
regional dan internasional mengutip angka 50% sampai 90% kasus.
Antikonvulsan merupakan salah satu yang paling sering menjadi agen penyebab.
Perkiraan insiden per 10.000 pengguna baru adalah 1 sampai 10 bergantung pada agen yang
digunakan. Reaksi obat paling sering muncul pada obat yang lambat dimetabolisme akibat
polimorfik genetik. Hipersensitivitas terhadap karbamazepine, polimorfisme terjadi pada posisi
gen 308 dan 328 dari regio promoter TNF-£.
SSJ dan NET dianggap disebabkan akibat gangguan T cell mediated yang mana aktivasi
dari limfosit T CD 8 menyebabkan destruksi dan apoptosis dari keratinosit. Obat-obatan bisa
mengaktivasi T cell dengan cara bertindak sebagai hapten, prohapten, atau melalui interaksi
farmakologi antar obat secara langsung, molekul Major Histocompability Complex (MHC) dan
5
![Page 6: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/6.jpg)
reseptor T cell. Hal tersebut dijadikan dalil bahwa karbamazepin yang secara kimia dalam bentuk
inert dapat berikatan dengan MHC dan reseptor T cell yang menyebabkan aktivasi T cells
sehingga mengakibatkan terjadinya SSJ dan NET.
Kami menemukan bahwa 36% kasus disebabkan oleh antikonvulsan. Di antara
antikonvulsan, penyebab utama (71%) disebabkan oleh karbamazepine. Ini juga terjadi di India,
Taiwan, Singapore, dan Timur Laut Malaysia. Peningkatan penggunaan antikonvulsan pada
penanganan nyeri dan profilaksis pada pasien bedah saraf mungkin menjelaskan hal ini.
Keuntungan penggunaan profilaks antikonvulsan pada perawatan krisis neurologik merupakan
hal yang kontroversi dan sering tidak berdasarkan bukti. Karbamazepine menginduksi SSJ dan
NET juga ditemukan lebih sering pada Han Chinese dengan fenotipe HLA-B1502 di Taiwan. Ini
mungkin menjelaskan kejadian di Singapura dan beberapa kasus kami meskipun tidak dilakukan
penentuan fenotipe.
Kasus-kasus akibat reaksi obat yang tidak diinginkan pada karbamazepine sebaiknya
tidak diberikan antikonvulsan aromatik lainnya seperti fenitoin dan fenobarbital karena dapat
terjadi reaksi silang antar obat. Mockenhaupt dkk. menemukan bahwa SSJ dan TEN terjadi pada
1-1000 pengguna baru antikonvulsan aromatik dan 2,5 per 1000 pengguna baru Lamotrigine,
yang merupakan kelas antikonvulsan terbaru. Sodium valproat dan antikonvulsan baru lainnya
jarang menyebabkan reaksi obat di kulit yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kami
menganjurkan bahwa antikonvulsan aromatik harus digunakan secara hati-hati. Sebaiknya
digunakan alternatif yang lebih aman untuk mengatasi nyeri. Sebaiknya juga digunakan secara
hati-hati pada keturunan Han Chinese.
Allopurinol berkontribusi pada 26% kasus kami. Halevy dkk menemukan bahwa di Eropa
dan Israel, Allopurinol merupakan penyebab yang paling sering pada SSJ dan NET. Mereka
menemukan adanya peningkatan resiko pada dosis 200 mg per hari atau lebih. Semua kasus kami
yang mendapatkan 300 mg per hari seperti pada form yang tersedia di malaysia. Halevy dkk
tidak menemukan peningkatan resiko Allopurinol dalam menginduksi SSJ dan NET dengan co
medication dengan diuretik, aminopenisilin, angiotensin converting enzymes inhibitors (ACEI),
non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dan aspirin. Pada Han Chinese, HLA-B5801
allele dihubungkan dengan reaksi yang tidak diinginkan pada kulit yang berat akibat Allopurinol.
Allopurinol ditemukan pada semua kasus hiperurisemia asimptomatik. Penelitian lainnya juga
menyatakan indikasi yang tidak tepat untuk allopurinol lebih dari 86% pasien. Sehingga, kami
6
![Page 7: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/7.jpg)
merekomendasikan kebijaksanaan dalam pembuatan resep terhadap Allopurinol. Petunjuk
peresepan Allopurinol sebaiknya ditetapkan di Malaysia untuk mencegah terjadinya penggunaan
yang tidak tepat. Ini diharapkan akan mengurangi ancaman hidup akibat reaksi obat yang tidak
diinginkan akibat Allopurinol.
Resiko terbesar untuk perkembangan SSJ dan NET dengan penggunaan obat terjadi
melalui 2 bulan insisi. Kami juga mencatat yang sama dengan periode inkubasi paling panjang
hanya 40 hari. Menariknya kami juga mengamati bahwa periode rata-rata inkubasi yang paling
pendek dihubungkan dengan gambaran klinik yang lebih berat. Penggunaan ini perlu perbaikan
yang lebih jauh melalui penelitian dimasa yang akan datang agar memiliki nilai prognostik yang
signifikan.
Seluruh kematian yang kami catat adalah 12,5% dengan kematian akibat SSJ-NET 33,3%
dan NET 20%. Angka kematian yang tercatat berkisar antara 5% sampai 40%. Dua dari tiga
kematian adalah anak-anak dengan penyebab terkait obat tidak terbukti. Kami menduga bahwa
mereka mendapat infeksi virus yang sangat berat dan mungkin sepsis akibat infeksi bakteri
sekunder. Kemudian imunitasnya juga ditekan oleh penggunaan kortikosteroid dan siklosporin
yang berlanjut pada kematian. Oleh karena itu, obat-obat imunosupresif sebaiknya digunakan
secara hati-hati khususnya pada penderita infeksi. Kortikosteroid sistemik tidak menguntungkan
dalam mengatasi kasus SSJ dan NET secara dini dan merugikan dalam bentuk yang lebih lanjut.
Kami mencatat 100% yang mampu bertahan dari kasus NET adalah yang diberikan
imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena adalah derivat dari sejumlah plasma dari
beberapa ribu pendonor dan mengandung IgG. Menghambat interaksi fas-fas ligand dengan
mencegah ikatan fas terhadap ligand maka dapat mencegah apoptosis dari keratosit. Stella dkk,
di turin mencatat penurunan angka kematian dari 75% menjadi 26% dengan penggunaan
imunoglobulin intravena. Pada peninjauan dari 8 penelitian terhadap penggunaan imunoglobulin
intravenapada SSJ dan NET, French dkk, menemukan bahwa 6 penelitian menilai keuntungan
penggunaan imunoglobulin terhadap kejadian kematian akibat NET. Dengan demikian,
penggunaan imunoglobulin intravena pada NET sangat menjanjikan. Penelitian secara prospektif
sebaiknya dilakukan di Malaysia untuk menetapkan efek dari pengunaan imunoglobulin
intravena sebagai pengobatan lini pertama pada NET.
Kesimpulan
7
![Page 8: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/8.jpg)
Kami menyimpulkan bahwa obat-obatan terutama antikonvulsan dan Allopurinol adalah
penyebab utama SSJ dan NET. Dengan demikian, pencatatan untuk antiepileptik dan Allopurinol
akan membantu menetapkan insiden nasional SSJ dan NET dalam pengobatan. Ini selanjutnya
akan memperluas pengetahuan kita terhadap reaksi ini. Angka kematian akibat SSJ dan NET
meninggalkan kemajuan yang cukup besar di bidang kedokteran. Penggunaan imunoglobulin
intravena cukup menjanjikan. Penelitian secara prospektif dalam pnggunaan imunoglobulin
intravena pada SSJ dan NET akan membantu menetapkan keuntungannya pada masyarakat.
Selain itu, juga dapat ditetapkan pedoman dalam penggunaan imunoglobulin intravena. Terakhir,
kami merekomendasikan kebijaksanaan dalam pengggunaan obat-obatan untuk mencegah erupsi
obat iatrogenik dengan angka kematian yang tinggi.
Referensi
1. Rzany B, Mockenhunpt M, Baur S et al., Epidemiology of erythema exsudativum multiforme
majus, Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Germany (1990-1992):
Structure and results of a population-based registry, J Clin Epidemiol. 49(7): 769- 73, 1996.
2. Li LF, MaC, Epidemiological study of severe cutaneous adverse drug reactions in a city
district in China, Clin Exp Dermatol. 31(5): 642- 7, 2006.
3. Schopf E, Stuhmer A, Rzany B, Victor N, Zentgraf R, Kapp JF, Toxic epidermal necrolysis
and Stevens-Johnson syndrome: An epidemiologic study from West Germany, Arch
Dermatol. 127: 839- 42, 1991.
4. Kamaliah MD, Zainal D, Mokhtar N, Nazmi N, Erythema multiforme, Stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis in north eastern Malaysia, Int J Dermatol. 37: 520-
3, 1998.
5. Yamane Y, Aihara M, Ikezawa Z, Analysis of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis in Japan from 2000-2006, Allergol Int. 56(4): 419- 25, 2007.
6. Bastuji-Garin S, Rzany B, Stern RS, A clinical classification of cases of toxic epidermal
necrolysis, Stevens-Johnson syndrome and erythema multiforme, Arch Dermatol. 129: 92- 6,
1993.
7. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, Correia O, Schroder W, Correlations between
clinical patterns and causes of erythema multiforme majus, Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis, Arch Dermatol. 138: 1019- 24, 2002.
8
![Page 9: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/9.jpg)
8. Devi K, Sandhya G, Criton S, Suja V, Sridevi PK, Carbamazepine – The commonest cause
of toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: A study of 7 years, Indian J
Dermatol Venereol Leprol. 71: 325- 28, 2005.
9. Mockenhaupt M, Messenhaimer J, Tennis P, Schlingmann J, Risk of Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of anticonvulsants, Neurology. 64:
1134- 8, 2005.
10. Pirmohamed M, Lin K, Chadwick D, Park BK, TNF-alpha promoter region gene
polymorphism in carbamazepinehypersensitive patients, Neurology. 56: 890- 6, 2001.
11. Kehren J, Desvignes C, Krasteva M et al., Cytotoxicity is mandatory for CD8 (+) T cell-
mediated contact hypersensitivity, J Exp Med. 189: 779- 86, 1999.
12. Pichler WJ, Delayed drug hypersensitivity reactions, Ann Intern Med. 139: 683- 93, 2003.
13. Khoo AKM, Foo CL, Toxic epidermal necrolysis in a burns centre: a 6 year review, Burns.
22: 275- 8, 1996.
14. Liu KC, Bhardwaj A, Use of prophylactic anticonvulsants in neurologic critical care: A
critical appraisal, Neurocrit Care. 7(2): 175-84, 2007.
15. Chung WH, Hung SI, Hong HS et al., Medical genetics: a marker for Stevens-Johnson
syndrome, Nature. 428: 486, 2004.
16. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M et al., Allopurinol is the most common cause of
Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and Isreal, J Am Acad
Dermatol. 2007 doi:10.1016/j.jaad.2007.08.036. Published online October 3, 2007.
17. Hung SI, Chung WH, Liou LB et al., HLA-B5801 allele as a genetic marker for severe
cutaneous adverse reactions caused by Allopurinol, Proc Natl Acad Sci USA. 102: 4134- 9,
2005.
18. Bellamy N, Brooks PM, Emmerson BT, Gilbert JR, Campbell J, McCredie M, A survey of
current prescribing practices of antiinflammatory and urate lowering drugs in gouty arthritis
in New South Wales and Queensland, Med J Aust. 151: 531- 7, 1989.
19. Stuart RA, Gow PJ, Bellamy N, Campbell J, Grigor R, A survey of current prescribing
practices of anti-inflammatory and uratelowering drugs in gouty arthritis, NZ Med J. 104:
115-7, 1991.
20. Ghislain PD, Roujeau JC, Treatment of severe drug reactions: Stevens- Johnson syndrome,
toxic epidermal necrolysis and hypersensitivity syndrome, Dermatol Online J. 8(1): 5, 2002.
9
![Page 10: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/10.jpg)
21. Pereira FA, Mudgil AV, Rosmarin DM, Toxic epidermal necrolysis, J Am Acad Dermatol.
56: 181- 200, 2007.
22. Stella M, Clemete A, Bollero D, Risso D, Dalmasso P, Toxic epidermal necrolysis (TEN)
and Stevens-Johnson syndrome (SJS): Experience with high dose intravenous immuno-
globulins and topical conservative approach- A retrospective review, Burns. 33: 452- 9,
2006.
23. French LE, Trent JT, Kerdel FA, Use of intravenous immunoglobulin in toxic epidermal
necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: Our current understanding, International
Immunopharmacology. 6: 543- 9, 2006.
Journal Reading
STEVENS-JOHNSON SYNDROM (SJS) AND TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN) IN SARAWAK : A
FOUR YEARS’S REVIEWYap FBB, MRCP; Wahiduzzaman M, MBBS; Pubalan M, MRCP
10
![Page 11: Fix jurnal kulit.docx](https://reader035.fdocuments.us/reader035/viewer/2022071708/55cf9b2c550346d033a504b6/html5/thumbnails/11.jpg)
Pembimbing :
Dr. Farida Hartati, Msc, Sp.KK
Oleh :
Irmawan Farindra 06.06.0025
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN
KULIT DAN KELAMIN RSUD PATUH PATUT PADJU GERUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2013
11