FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

20
FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PADA UMK (Studi Pengenalan Produksi Tempe Kacang Lupin Kepada Produsen Tempe) Lieli Suharti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email: [email protected] Like Sugiono Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email: [email protected] Yenny Purwati Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email: [email protected] ABSTRACT Tempe is a typical and traditional food in Indonesia, also well known as product that is made with simple production technology and unstandardized. The application of technology innovation is a must to produce a high quality and hygienic tempe. The preliminary study showed there were pretty much tempe producers categorized as laggards. They will adopt a new production technology after seeing the tangible results of others. However, the study also found that there were numbers of tempe producers which can be called as innovators and early adopters. Accelerating the adoption of a new innovation in small businesses is important to enhance the competitiveness of tempe producers. Therefore, this study aimed to explore the key success factors of knowledge transfer (knowledge sharing) to accelerate the adoption of new innovations on the tempe producers. Research carried out on a number of producers especially innovators and early adopters.The results of the study show the key success factors of knowledge and technology transferred were influenced by several factors such as characteristics of technology agent, characteristics of environment, characteristics of media, characteristics of target groups, and characteristics of knowledge to be transferred. Keywords : Adoption of technology, Transfer of knowledge, Tempe producers ABSTRAK Tempe adalah makanan khas dan tradisional di Indonesia, juga dikenal sebagai produk yang dibuat dengan teknologi produksi sederhana dan tidak terstandardisasi. Penerapan inovasi teknologi adalah suatu keharusan untuk menghasilkan kualitas tinggi dan tempe higienis. Penelitian awal menunjukkan ada produsen tempe cukup banyak dikategorikan sebagai lamban. Mereka akan mengadopsi teknologi produksi baru setelah melihat hasil nyata dari orang lain. Mempercepat adopsi inovasi baru dalam usaha kecil sangat penting untuk meningkatkan daya saing produsen tempe. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan (knowledge sharing) yang mempercepat adopsi inovasi baru produsen tempe. Penelitian ini dilakukan terhadap produsen tempe kelompok innovator dan early adopter Hasil penelitian menunjukkan faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan dan teknologi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik agen teknologi, karakteristik lingkungan, karakteristik media, karakteristik kelompok sasaran, dan karakteristik pengetahuan yang ditransfer. Kata Kunci: Adopsi Teknologi, Transfer Pengetahuan, Produsen Tempe

Transcript of FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Page 1: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER PENGETAHUAN

DAN TEKNOLOGI PADA UMK

(Studi Pengenalan Produksi Tempe Kacang Lupin Kepada Produsen Tempe)

Lieli Suharti

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Email: [email protected]

Like Sugiono

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Email: [email protected]

Yenny Purwati

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Email: [email protected]

ABSTRACT

Tempe is a typical and traditional food in Indonesia, also well known as product that

is made with simple production technology and unstandardized. The application of

technology innovation is a must to produce a high quality and hygienic tempe. The

preliminary study showed there were pretty much tempe producers categorized as laggards.

They will adopt a new production technology after seeing the tangible results of others.

However, the study also found that there were numbers of tempe producers which can be

called as innovators and early adopters. Accelerating the adoption of a new innovation in

small businesses is important to enhance the competitiveness of tempe producers. Therefore,

this study aimed to explore the key success factors of knowledge transfer (knowledge sharing)

to accelerate the adoption of new innovations on the tempe producers. Research carried out

on a number of producers especially innovators and early adopters.The results of the study

show the key success factors of knowledge and technology transferred were influenced by

several factors such as characteristics of technology agent, characteristics of environment,

characteristics of media, characteristics of target groups, and characteristics of knowledge to

be transferred.

Keywords : Adoption of technology, Transfer of knowledge, Tempe producers

ABSTRAK

Tempe adalah makanan khas dan tradisional di Indonesia, juga dikenal sebagai

produk yang dibuat dengan teknologi produksi sederhana dan tidak terstandardisasi.

Penerapan inovasi teknologi adalah suatu keharusan untuk menghasilkan kualitas tinggi dan

tempe higienis. Penelitian awal menunjukkan ada produsen tempe cukup banyak

dikategorikan sebagai lamban. Mereka akan mengadopsi teknologi produksi baru setelah

melihat hasil nyata dari orang lain. Mempercepat adopsi inovasi baru dalam usaha kecil

sangat penting untuk meningkatkan daya saing produsen tempe. Oleh karena itu, penelitian

ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan

(knowledge sharing) yang mempercepat adopsi inovasi baru produsen tempe. Penelitian ini

dilakukan terhadap produsen tempe kelompok innovator dan early adopter Hasil penelitian

menunjukkan faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan dan teknologi dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti karakteristik agen teknologi, karakteristik lingkungan, karakteristik

media, karakteristik kelompok sasaran, dan karakteristik pengetahuan yang ditransfer.

Kata Kunci: Adopsi Teknologi, Transfer Pengetahuan, Produsen Tempe

Page 2: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

PENDAHULUAN

Keberhasilan usaha sangat tergantung pada kemampuan usaha menerapkan berbagai

teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan efisiensi usaha dan pada gilirannya dapat

meningkatkan daya saing usaha. Penggunaan teknologi yang masih sederhana dan tradisional

diyakini menjadi salah satu kendala yang menyebabkan industri kecil tidak dapat maju dan

berkembang secara optimal disamping kendala lain seperti terbatasnya modal, kurangnya

keahlian dan keterampilan sumberdaya manusia, dan masalah manajemen (Hanani, 2003

dalam Sumarno, 2010).

Indonesia sebagai negara penghasil tempe terbesar di dunia, isu meningkatkan

kualitas dan efisiensi produksi tempe menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian yang

dilakukan Hidayat, Sukardi dan Insani (2004) memperlihatkan bahwa teknologi pengolahan

tempe di Indonesia sangat bervariasi dan sebagian besar produsen masih menggunakan cara

yang konvensional sehingga belum ada standar yang dapat digunakan secara nasional. Hal ini

antara lain yang menyebabkan produk tempe belum mampu memperluas jangkauan

pemasaran maupun menjadi pemasok bagi industri pengolahan makanan berbahan baku

tempe.

Julianto dan Wahyudi (2010) menemukan bahwa pelaku usaha kecil seringkali

kesulitan dalam mengadopsi teknologi baru karena mereka tidak memiliki kemampuan

sumber daya yang cukup dan kesulitan dalam mengelola perubahan teknologi yang

berkembang dengan cepat. Dengan keterbatasan – keterbatasan tersebut, usaha kecil perlu

membentuk budaya belajar untuk meningkatkan kapabilitas mengadopsi inovasi baru yang

menuntun pada peningkatan daya saing. Usaha kecil akan dapat memanfaatkan inovasi baru

guna peningkatan daya saing jika mereka mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk dapat

memanfaatkan apa yang dipelajari. Oleh karena itu, proses transfer pengetahuan menjadi

penting dalam meningkatkan kapasitas menyerap informasi dan mengadopsi inovasi

teknologi baru.

Beberapa tahun terakhir ini tepatnya sejak tahun 2010 telah diperkenalkan kepada

para produsen tempe di Indonesia sejenis kacang bernama Lupin sebagai alternatif pengganti

kacang kedele yang harganya tidak menentu. Lupin merupakan grain legume yang telah

digunakan cukup lama sebagai bahan pangan dari Australia Barat. Kacang Lupin mulai

diperkenalkan ke Indonesia karena memiliki manfaat dan nilai gizi tinggi serta berpotensi

menjadi bahan baku pembuatan Tempe dan Tahu yang memiliki harga yang lebih murah

dibanding harga kedele import dari Amerika (www.detikfinance.com, 9April 2010).

Berkaitan dengan itu, maka terjadi kegiatan transfer pengetahuan dan teknologi dari pihak

Page 3: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

pemerintah Australia Barat (Western Australia) kepada para produsen tempe di Indonesia

yang tergabung dalam wadah KOPTI (Koperasi Tahu Tempe Indonesia).

Studi tentang transfer pengetahuan dan teknologi menemukan adanya sejumlah faktor

yang dapat menjadi kunci keberhasilan transfer teknologi seperti kelayakan sisi SDM yang

menerima transfer, keberadaan media pendukung, bentuk pengetahuan/teknologi yang

ditransfer, karakteristik penerima, karakteristik lingkungan dan karakteristik agen yang

melakukan transfer (Bozeman, 2000; Emery, 2002; Gouza, 2006). Pemaparan di atas

memperlihatkan bahwa keberhasilan pemanfaatan teknologi oleh industri kecil tidak terlepas

dari proses transfer pengetahuan dan teknologi. Dengan kerangka berpikir seperti yang telah

dipaparkan di atas, maka muncul beberapa persoalan penelitian berikut: (1) Apa yang

menjadi faktor kunci Keberhasilan Transfer pengetahuan/teknologi baru pada produsen

Tempe, dan (2) Sampai tahap apa transfer pengetahuan/ teknologi baru yang dicapai para

produsen tempe?.

KAJIAN PUSTAKA

Transfer Pengetahuan dan Teknologi

Transfer pengetahuan adalah proses atau cara para peneliti melakukan penyebaran

pembuktian suatu teori atau menyebarkan pengetahuan baru (Profetto, 2004). Sedangkan, transfer

pengetahuan dan teknologi oleh Sung dan Gibson (2001) didefinisikan sebagai sebuah proses

komunikasi pengetahuan dan teknologi antar individu ataupun antar organisasi yang memiliki

tingkat kesulitan tinggi karena memerlukan kolaborasi antara dua atau lebih individu maupun unit

fungsional yang berbeda kultur budaya. Proses transfer teknologi tidak dapat terpisah dari proses

transfer pengetahuan seperti yang dapat disimpulkan dari gambar berikut ini.

Gambar 1. Proses Transfer Teknologi Sumber: Roger, dkk (2012)

Pengetahuan adalah dasar dari penciptaan teknologi yang nantinya pengetahuan akan

teknologi tersebut perlu ditransfer dalam mendorong adopsi dan penerapan teknologi. Devine dkk

(1987) mengemukakan tiga model umum untuk menerangkan proses transfer teknologi yaitu (1)

Page 4: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Appropriability Model, memberikan penekanan akan pentingnya kualitas penelitian dan

persaingan pasar yang kompetitif; (2) Dissemination Model yang berfokus pada penyebaran

inovasi antar individu; dan (3) Knowledge Utilization Model yang menekankan pentingnya

komunikasi interpersonal serta hambatan dan pendorong proses transfer dari aspek organisasi.

Knowledge Utilization Model digunakan oleh para peneliti untuk memahami proses

tranfer pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan. Terkait dengan knowledge

utilization model, Gibson dan Smilor (1991) mengemukakan empat tahapan dalam proses

transfer pengetahuan dan teknologi, seperti yang tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Tahapan Proses Transfer Pengetahuan dan Teknologi Sumber: Gibson dan Smilor (1991)

Penciptaan pengetahuan dan teknologi merupakan tahap awal dari proses transfer

pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, pengetahuan dan teknologi tersebut di sebarkan atau

dibagikan (knowledge and technology sharing) kepada pengguna. Tahap dua ini dikatakan

berhasil apabila pengetahuan dan teknologi yang disebarkan tersebut dapat diterima dan dipahami

dengan baik oleh pengguna. Tahap ketiga, merupakan tahap implementasi, yaitu penerapan dari

pengetahuan dan teknologi yang diciptakan pada individu ataupun organisasi yang menjadi role

model. Tahap terakhir dari proses transfer pengetahuan dan teknologi ini adalah komersialisasi

yaitu penyebarluasan pengetahuan dan teknologi tersebut dalam skala besar.

Indriartiningtias dan Wirajmadja (2012) mengembangkan model transfer pengetahuan

dan teknologi bagi industri kecil berdasarkan penelaahan berbagai variabel endogen dan variabel

eksogen dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi pada industri kecil, seperti yang

tampak pada gambar berikut ini.

Page 5: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Gambar 3. Modifikasi Model Transfer Pengetahuan dan TeknologiIndustri Kecil Sumber: Indriartiningtias dan Wirajmadja (2012)

Keberhasilan transfer pengetahuan dan teknologi pada usaha kecil dan mikro (UKM)

tergantung pada lima unsur, yaitu karakteristik dari agen teknologi, karakteristik media,

karakteristik pengetahuan, karakteristik lingkungan dan karakteristik target (UKM). Mekanisme

transfer pengetahuan dan teknologi dalam karakteristik media dapat dipilah menjadi tipe kategori

(Nokes, 2009). Mekanisme pertama adalah analogical transfer, mekanisme tranfer ini terdiri dari

3 kegiatan utama: 1) meniru pengetahuan yang telah ada, 2) melakukan pemetaan kondisi saat ini

dan masalah yang dihadapi, serta 3) memanfaatkan pemetaan kondisi dan masalah untuk

merumuskan solusi yang relevan dengan konteks aplikatif yang dihadapi. Tipe mekanisme

transfer pengetahuan dan teknologi yang kedua disebut knowledge compilation. Dalam

knowledge compilation, pelaku transfer pengetahuan berusaha mencari solusi pemecahan masalah

dengan merumuskan sebuah prosedur berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Tipe

ketiga dari mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi disebut constraint violation,

mekanisme ini juga merupakan jenis transfer prosedural namun melibatkan proses kognitif pelaku

dalam menyusun sebuah pengetahuan. Di dalam mekanisme constraint violation ada kegiatan

mengevaluasi dan merevisi dalam rangka menyempurnakan pengetahuan guna meningkatkan

kinerja.

Adapun sistem informasi dan bentuk media tranfer yang tepat dalam proses transfer

pengetahuan terkait dengan bentuk pengetahuan yang ditransfer dalam proses tersebut. Merujuk

pada knowledge based view dan information richness (IR) theory diperlukan adanya penyesuaian

antara sistem informasi dan bentuk media transfer dengan degree of tacitness of knowledge

Karakteristik

Pengetahuan

Bentuk pengetahuan

Kompleksitas

Ambiguitas

Bukti kegunaan

Karakteristik

media

Mekanisme transfer Sistem informasi

Bentuk transfer

Karakteristik

agent technology

Sumber daya

Kepemimpinan

Organisasi

Arah/Tujuan

Keandalan

Pengalaman

Transfer pengetahuan dan

teknologi

Karakteristik

Lingkungan

Hubungan personal/sosial

Budaya

Dana

Pemerintah

Perguruan Tinggi

Karakteristik

Industri Kecil (UMKM)

Kemampuan SDM

Ketersediaan SDM

Motivasi industri kecil

Daya serap industri kecil

Page 6: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

(Windsperger dan Gorovaia, 2010). Alternatif pilihan sistem informasi dan bentuk media transfer

yang sesuai dengan bentuk pengetahuan yang ditransfer disajikan dalam gambar berikut ini.

Gambar 4. Hubungan antara sistem dan bentuk media tranfer dengan bentuk

pengetahuan Sumber: (Windsperger dan Gorovaia, 2010)

Dimana semakin eksplisit bentuk pengetahuan yang ditransfer serta mudah dikoding

maka media pos, media surat, email, serta media internet dapat digunakan. Di lain sisi, apabila

bentuk pengetahuan yang ditransfer adalah pengetahuan tacit dan susah dikoding maka media

pelatihan, media pertemuan, serta seminar lebih sesuai.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang menggunakan pendekatan penelitian

dan pengembangan (research and development) serta pendekatan penelitian aksi (action

research). Penelitian ini dilakukan di Kotamadya Salatiga, Propinsi Jawa Tengah dengan

populasi pengusaha kecil yang bergerak dalam industri tempe. Pemilihan lokasi ini didasarkan

pada kondisi sosial dan perekonomian pengusaha kecil tempe yang bisa menggambarkan situasi

penelitian. Pertimbangan lainnya adalah mendukung usaha Primkopti Jawa Tengah dalam

menciptakan teknologi baru untuk menunjang kegiatan produksi tempe yang lebih efisien dan

lebih higienis.

Populasi dari penelitian ini adalah produsen tempe di Kotamadya Salatiga serta Pengurus

PRIMKOPTI Propinsi Jawa Tengah dan Jakarta Pusat. Produsen tempe yang menjadi responden

atau nara sumber dalam penelitian ini adalah produsen yang termasuk kategori Early adopter dan

Innovator yang memenuhi kriteria berikut: 1) ikut serta atau menghadiri pertemuan – pertemuan

PRIMKOPTI mengenai penggunaan kacang lupin sebagai bentuk teknologi baru, serta 2) telah

mencoba mengolah kacang lupin menjadi produk tempe dan produk makanan olahan lainnya.

Data-data diperoleh dengan pendekatan focus group discussion (FGD) dan in-depth interview.

Page 7: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Kunci Keberhasilan Proses Transfer Pengetahuan/teknologi pada UMK

Karakteristik Agen

Gambaran proses transfer pengetahuan dan teknologi dari sudut agen akan dilihat

dari faktor sumber daya, kepemimpinan agen, keandalan organisasi, kejelasan arah tujuan dan

pengalaman akan pengetahuan/teknologi yang ditransfer. Pengenalan tentang Kacang Lupin

ke produsen tempe di Indonesia dilakukan melalui organisasi WATO (Western Australian

Trade Organization). Lupin pertama kali di perkenalkan ke Indonesia pada tahun 2009 di

wilayah Jakarta, yang kemudian dilanjutkan ke berbagai wilayah lain seperti Jawa tengah,

Jawa timur dan Bali. Dengan terlibatnya secara langsung pihak pemerintah dari Australia

menunjukkan keseriusan pihak agen untuk mensukseskan program transfer pengetahuan

tentang Lupin ini kepada pelaku usaha tempe di Indonesia. Dari perspektif organisasi,

nampak bahwa keberadaan organisasi agen cukup meyakinkan.

Dalam melakukan pendekatan kepada pihak pengguna (user) di Indonesia, pihak

agen selalu menunjuk pihak yang memiliki wibawa. Untuk proses transfer pengetahuan

tentang Lupin kepada pihak Primkopti di Jakarta, pihak yang dilibatkan antara lain menteri

Pangan dan Pertanian Australia Barat (Mr. Terry Redman), Mr. Martin Newbery (Regional

Diretor of WATO) dan Mr. Bralen dari kedutaan Australia di Indonesia.

Wakil dari pihak agen melakukan turun lapangan secara langsung. Mereka memiliki gaya

kepemimpinan yang partispatif terlihat dari sejumlah upaya yang dilakukan pihak LUPIN

untuk mendapat masukan dari pelaku bisnis di Indonesia, melalui sejumlah kegiatan FGD

maupun melalui kegiatan gathering.

Berbagai kegiatan yang dilakukan pihak agen untuk mengintrodusir kacang Lupin di

Indonesia dari tahun 2009-2014 memperlihatkan adanya kejelasan arah, perencanaan dan

tujuan yang ingin dicapai. Adapun gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan pihak agen

untuk proses transfer pengetahuan dan teknologi produksi tempe Lupin dari tahun 2009 sd

tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kegiatan yang dilakukan pihak Agen (Produsen Lupin)

Tahun Hal Hal yang dilakukan pihak agen (produsen Lupin)

2009 Kacang Lupin mulai diperkenalkan ke Primkopti Jakarta, waktu itu kacang lupin masih

berbentuk butir kacang lupin yang belum dikupas.

Maret

2010

Melibatkan LIPI melalui kerja sama dengan Curtin University Australia, dengan disponsori

oleh Grain Foods CRC ltd. Australia, meneliti kualitas dan kesesuaian kacang Lupin sebagai

pengganti kacang kedele untuk memproduksi tempe dan menghasilkan rekomendasi

penggunaan kacang lupin sebagai bahan baku pembuat tempe lupin,

Juni Melalui kementrian Pertanian dan Pangan Australia barat bekerja sama dengan Primkopti

Page 8: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Tahun Hal Hal yang dilakukan pihak agen (produsen Lupin)

2010 Jakarta pusat melakukan sosialisasi pembuatan tempe dari kacang Lupin kepada produsen

tempe di Jakarta dan sekitarnya. Sosialisasi di lakukan di Hotel Ritz Carlton Jakarta.

Sept

2010

Melakukan tes kualitas produk Tempe Lupin oleh konsultan dari LIPI. Tempe Lupin yang

diuji merupakan hasil produksi produsen tempe anggota PRIMKOPTI Jakarta Pusat yang

memproduksi sejumlah 100 potong

Jan

2011

Memberikan contoh sampel gratis kacang Lupin tanpa kulit sebanyak 1 container untuk

kepada sejumlah produsen tempe untuk membuat tempe Lupin. Pada tahap ini telah

dilakukan percobaan penjualan hasil produksi ke beberapa area di Jabodetabek

Mei 2011 Melakukan Promosi pembuatan tempe lupin untuk bahan dasar pizza di Sanur Hotel Bali

dengan melibatkan chef dari WA bernama Theo Kalogeracos.

Agustus

2012

Bersama dengan pihak IPB mengadakan seminar Nasional dengan tema: “Price Volatility of

Soybean and It’s Solutions” di IPB International Conference Centre

2012 Pihak Lupin Mengadakan pertemuan di Hotel Sheraton Surabaya dengan mengundang wakil

produsen dari 5 Primkopti, dan PT Inja selaku importir Lupin

2012 Bapak H. Slamet Hanafie dan Bp Suyoto selaku pengurus Primkopti Jakarta Pusat

berkunjung ke Australia Barat atas undangan pihak Lupin.

2013 Pihak Lupin dengan di fasilitasi Primkopti Jakarta Pusat gencar memperkenalkan lupin

keprodusen tempe di Salatiga, Purwodadi, Surabaya dan Bali

2014 Melihat tanggapan pasar yang lamban terhadap tempe Lupin, bahkan cenderung menolak,

produsen (agen) melakukan berbagai upaya penyempurnaan proses produksi tempe Lupin

Sumber: Hasil Wawancara dengan Primkopti Jakarta, 2014

Dari sisi sumber daya yang dimiliki, pihak agen mampu meyakinkan bahwa

ketersediaan Lupin akan dapat dipenuhi dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa luas lahan areal penanaman di Australia Barat masih terbuka lebar dan

memiliki potensi besar untuk budidaya tanaman kacang Lupin sehingga dapat menjamin

ketersediaan supply jangka panjang. Selain luas areal tanam, produsen Lupin di Australia

juga memiliki tenaga petani yang terampil dan skillfull. Disamping itu pihak agen selalu

berusaha meyakinkan akan komitmen mereka menyediakan bahan baku kacang Lupin yang

berkualitas dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal itu ditunjukkan dari usaha produsen

Lupin menyempurnakan kacang Lupin dari yang semula masih berkulit -- sehingga

menambah biaya dan waktu dalam pengolahan untuk dibuat tempe--, menjadi kacang Lupin

yang sudah bersih dari kulit sehingga dapat diolah dengan proses produksi yang lebih efisien.

Untuk meyakinkan pihak Indonesia akan dukungan sumberdaya mereka, maka pengurus

Primkopti Jakarta pusat dan sekretarisnya (bp. H.Slamet Hanafie & bp. Suyoto) diajak

berkunjung ke Australia pada tahun 2013 guna menyaksikan sendiri kondisi dan potensi

sumberdaya pendukung disana. Australia Barat merencanakan akan memenuhi 70% dari

kebutuhan impor domestik kacang kedele yaitu sejumlah 1,2 juta ton kacang Lupin Ke

Indonesia (The West Australian news, 10 Nov 2010).

Karakteristik Media

Pembahasan mengenai karakteristik media dalam hal ini akan mencakup mekanisme

transfer, sistem informasi dan bentuk transfer. Mekanisme transfer pengetahuan untuk produk

Page 9: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

kacang Lupin dilakukan dengan membawa contoh bentuk fisik kacang Lupin dari Australia

untuk diperlihatkan langsung kepada para produsen tempe. Berdasarkan hasil wawancara

dengan Pengurus Primkopti Jakarta Pusat diperoleh informasi bahwa kacang lupin telah

diperkenalkan pada tahun 2009 berupa butiran kacang Lupin berkulit. Karena kacang Lupin

berkulit menimbulkan in efisiensi dalam proses produksi tempe, maka pada tahun 2011 Pihak

produsen Lupin berhasil membuat kacang Lupin bebas kulit.

Pada awalnya pihak produsen Lupin telah memiliki pengetahuan awal mengenai

prosedur pengolahan lupin menjadi tempe Lupin yang kemudian didesiminasikan kepada

produsen, yaitu sebagai berikut 1) butiran kacang lupin direndam air yang memiliki pH 4,5

selama 12 sampai 20 jam dalam suhu ruang dengan perbandingan 3 liter air untuk 1 kg

kacang lupin; 2) Setelah ditiriskan, kacang lupin tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih

selama 2-10 menit; 3) Tiriskan dan diberi ragi lalu dikemas (www.lupinfoods.com.au/

indonesian-information-for-tempe-producers/). Namun prosedur awal pembuatan tempe

Lupin ini ternyata tidak menghasilkan produk tempe seperti yang diharapkan diberbagai

daerah. Hasil produksi tempe Lupin berlendir dan kalau dijadikan tempe goreng menjadi

keras. Hal ini disebabkan kacang Lupin banyak mengandung gluten disamping keberhasilan

pembuatan tempe sangat tergantung pada kondisi air serta suhu udara setempat.

Hal ini kemudian mendorong pihak produsen menggunakan mekanisme transfer lain

yaitu memberikan sampel gratis kepada sejumlah produsen di sejumlah daerah (Salatiga,

Surabaya, Purwokerto, Bali) untuk diuji coba oleh para produsen dalam membuat tempe

dari Lupin dengan maksud untuk memperoleh sebuah proses produksi yang sesuai dengan

kondisi masing-masing daerah. Dari hasil wawancara dan FGD terungkap ada kegiatan

evaluasi dan revisi secara terus menerus yang didasarkan pada aspek kognitif terhadap hasil

pengetahuan yang ditransfer setiap tahapnya untuk menyempurnakan kinerja produk yang

dihasilkan. Mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi terkait dengan penggunaan

kacang Lupin sebagai pengganti bahan baku kedele dalam proses pembuatan tempe yang

terjadi di kalangan UMK produsen tempe anggota Primkopti dapat dikategorikan sebagai

constraint violation. Merujuk Nokes (2009), constraint violation merupakan jenis transfer

prosedural namun melibatkan proses kognitif pelaku dalam menyusun sebuah pengetahuan.

Di dalam mekanisme constraint violation ada kegiatan mengevaluasi dan merevisi dalam

rangka menyempurnakan pengetahuan guna meningkatkan kinerja.

Sistem informasi dalam proses transfer pengetahuan yang terjadi di kalangan UMK

produsen tempe anggota Primkopti dimulai dari pengurus Primkopti Jakarta Pusat yang

bekerjasama dengan produsen kacang lupin Australia. Dimana bentuk media transfer

Page 10: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

pengetahuan yang dipilih adalah melalui media pertemuan, Bapak Haji Slamet melakukan

kunjungan ke beberapa Primkopti di daerah seperti Malang, Purwodadi, Salatiga, dan Bali

untuk membagikan pengetahuan prosedur pengolahan kacang lupin menjadi produk tempe.

Media pelatihan juga dipilih dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi yang

berlangsung ditengah produsen tempe anggota Primkopti. Sebagai contoh, Ibu Nurchayati

dari Salatiga yang dinilai berhasil dalam memproduksi tempe dan kripik tempe berbahan

baku kacang lupin diminta untuk melatih produsen tempe di Bali. Selain media pertemuan

dan media pelatihan, media massa serta media internet juga menjadi alternatif bentuk media

terpilih dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi produsen tempe anggota Primkopti.

TEMPO adalah salah satu media massa yang pernah mengulas mengenai pemanfaatan

kacang lupin oleh produsen tempe di Malang (www.tempo.co/read/news/2014

/01/26/090548396/Perajin-Tempe-di-Malang-Tergoda-Kacang-Lupin). Selain itu tersedia

juga web khusus mengenai kacang lupin yang dikelola oleh pihak produsen Australia

www.lupinfoods.com.au/, dimana disajikan mengenai berbagai informasi maupun cara

pengolahan kacang lupin.

Penelitian ini menemukan perkembangan proses transfer pengetahuan produsen tempe

di Jakarta cenderung stagnan dikarenakan aliran informasi hanya terhenti pada tataran

pengurus sehingga penciptaan pengetahuan kurang berkembang. Lain halnya dengan

produsen tempe di Salatiga yang lebih berhasil proses transfer pengetahuannya dikarenakan

adanya aliran informasi dua arah antara pengurus dan anggota dimana anggota berperan aktif

dalam kegiatan transfer pengetahuan, berpartisipasi aktif melakukan evaluasi dan revisi

sehingga tercipta pengetahuan baru, serta adanya kegiatan berbagi pengetahuan antar anggota

dan pengurus melalui pertemuan – pertemuan rutin.

Merujuk pada knowledge based view dan information richness (IR) theory diperlukan

adanya penyesuaian antara sistem informasi dan bentuk media transfer dengan degree of

tacitness of knowledge (Windsperger dan Gorovaia, 2010). Semakin eksplisit bentuk

pengetahuan yang ditransfer serta mudah dikoding maka media pos, media surat, email, serta

media internet dapat digunakan. Di lain sisi, apabila bentuk pengetahuan yang ditransfer

adalah pengetahuan tacit dan susah dikoding maka media pelatihan, media pertemuan, serta

seminar lebih sesuai. Dengan demikian terlihat bahwa proses transfer pengetahuan /teknologi

kacang Lupin ini telah menggunakan media yang tepat.

Page 11: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Karakteristik Pengetahuan

Karakteristik pengetahuan meliputi bentuk, kompleksitas, ambiguitas, dan bukti

penggunaan. Untuk pembuatan tempe lupin, pengetahuan yang terjadi terbagi dalam

pengetahuan mengenai kacang lupin dan pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe

lupin. Pengetahuan mengenai kacang lupin merupakan karakteristik kacang lupin berupa

wujud fisik (utuh, kupas, dan pecah biji), jenis tanaman, kandungan gizi, rasa dan kegunaan.

Responden produsen tempe di Jakarta memperoleh pengetahuan mengenai kacang lupin dari

pihak produsen kacang lupin, sedangkan untuk responden produsen tempe di Salatiga

memperoleh pengetahuan dari pihak produsen kacang lupin dan pengurus Primkopti Jakarta

yang telah memperoleh transfer pengetahuan tentang kacang Lupin terlebih dahulu. Kondisi

tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai kacang lupin merupakan pengetahuan

explicit, karena dapat diformulasikan. Karakteristik pengetahuan untuk kacang lupin yang

diperoleh oleh Primkopti Jakarta dan Salatiga tertuang dalam tabel berikut.

Tabel 2. Karakteristik Pengetahuan mengenai Produk Lupin

Karakteristik Kacang Lupin

Bentuk Secara fisik kacang lupin terdiri dari bentuk utuh, kupas, dan pecah biji

teridentifikasi.

Kompleksitas Memiliki kandungan gluten yang tinggi, tidak dapat direbus karena akan

menggumpal

walaupun dapat digunakan untuk membuat tempe, tapi proses produksi tidaklah

sama,dan tempe yang dihasilkan cenderung berlendir

kalau digoreng cenderung memiliki tekstur yang keras

Ambiguitas Kacang lupin sebagai bahan substitusi atau komplementer dalam produksi

tempe, karena karakter produk yang “mirip” dengan kacang kedele tetapi “tidak

sama” dengan kacang kedele.

Bukti Penggunaan Kandungan gizi dalam kacang lupin telah diuji cobakan kepada pihak ketiga

dan terbukti memiliki nilai gizi tinggi (Hasil uji Laboratorium IPB)

Telah digunakan sebagai bahan dasar pembuatan berbagai jenis makanan di

Australia (www.lupinfoods.com.au/indonesian-information-for-tempe-

producers/).

Telah di uji coba sebagai bahan dasar membuat tempe oleh pengurus dan

produsen tempe Primkopti Jakarta.

Sumber: Hasil in-depth interview diolah, 2014

Pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe lupin, menggunakan dasar

pengetahuan pembuatan tempe kacang kedele yang telah dimiliki oleh produsen tempe.

Tahapan pembuatan tempe secara umum adalah sama melalui proses perendaman, pencucian,

perebusan, dan pemberian ragi. Pengetahuan tahapan umum tersebut tersimpan dalam pikiran

produsen tempe, tetapi dapat diformulasikan. Untuk detil setiap proses pembuatan tidak

dengan mudah diformulasikan karena pengalaman dan kerahasiaan produk untuk dapat

bersaing menjadi bagian pengembangan pengetahuan tersebut. Pengetahuan mengenai proses

pembuatan tempe merupakan tacit yang dapat diubah menjadi explicit. Oleh karena itu

Page 12: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

karakteristik pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe Lupin menunjukkan adanya

perbedaan beberapa karakteristik antara produsen tempe di Primkopti Jakarta dengan

produsen tempe di Primkopti Salatiga seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut

Tabel 3. Karakteristik Pengetahuan mengenai Proses Pembuatan Tempe Lupin

Karakteristik Primkopti Jakarta

Bentuk Pengetahuan pengurus dan produsen untuk tahapan pembuatan tempe merupakan

hasil turun temurun dan pengalaman menjalankan usaha. Perbedaan pada setiap

produsen terjadi karena modifikasi (tahapan, waktu proses dan komposisi) untuk

kepentingan keunggulan bersaing. Pengetahuan pemrosesan tempe lupin

difasilitasi oleh pengurus Primkopti Jakarta.

Tahapan dalam proses pembuatan tempe lupin dirancang sama dengan tahapan

dalam proses pembuatan tempe kedele. Sehingga membantu mempercepat

penyerapan pengetahuan pembuatan tempe lupin.

Kompleksitas Kompleksitas muncul dalam tahap uji coba untuk proses pembuatan tempe Lupin

karena perbedaan karakter kacang lupin dengan kacang kedele.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, pihak produsen mencoba menggali dari pihak

ketiga dengan pendekatan ilmiah.

Ambiguitas Standarisasi proses karena karakteristik produk kacang lupin tidak sama dengan

kedele.

Bukti

Penggunaan Tempe yang dihasilkan dari kacang lupin memiliki waktu pemrosesan yang relatif

lebih pendek dibandingkan dengan pemrosesan tempe kedele, sehingga lebih

efisien dan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produsen.

Pengrajin tempe di Salatiga mengolah menjadi produk turunan yang dapat

mengatasi kekerasan dan berlendirnya produk tempe lupin.

Sumber: Hasil in-depth interview diolah, 2014

Berdasarkan pendapat dan uji coba produsen menggunakan kacang lupin sebagai

bahan dasar pembuatan tempe menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai produk lupin

maupun proses pembuatan tempe kacang lupin mudah dipahami bagi produsen baik dari

Primkopti Jakarta maupun Primkopti Salatiga. Ambiguitas pengetahuan yang muncul adalah

setelah proses uji coba pembuatan tempe kacang lupin. Pada awal pengetahuan yang

dipahami oleh produsen, kacang lupin adalah barang substitusi untuk kacang kedele dalam

pembuatan tempe. Tetapi setelah uji coba dilakukan dan masih adanya masalah berkaitan

dengan produk tempe kacang lupin (berlendir dan keras kalau digoreng) dan adanya ketidak

stabilan harga kacang lupin, maka terjadi pergeseran dari produk substitusi menjadi

komplementer dalam pembuatan tempe. Apabila masalah hasil produk tempe kacang lupin

yang berlendir dan lengket dapat diatasi, maka produsen mempertimbangkan untuk

menggunakan kacang lupin sebagai produk substitusi bahan baku kacang kedele, tetapi jika

masalah tidak dapat diatasi yang paling memungkinkan adalah menggunakan sebagai barang

komplementer dalam pembuatan tempe.

Page 13: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Karakteristik UMK

Karakteristik UMK dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi mencakup

kemampuan dan ketersediaan SDM, motivasi UMK serta daya serap UMK. Dari segi

ketersediaan SDM dapat dikatakan di kedua wilayah amatan yaitu Jakarta Pusat dan Salatiga

memiliki jumlah produsen tempe yang cukup banyak. Berdasarkan rekapitulasi data anggota,

PRIMKOPTI Jakarta Pusat memiliki 504 orang anggota pada tahun 2010 (Daftar Anggota

Primkopti Jakarta Pusat, 2010). Sedangkan pada tahun 2012 tercatat 424 orang produsen

tempe merupakan anggota PRIMKOPTI Handayani Salatiga (Daftar Anggota Primkopti

Salatiga, 2012). Terkait dengan kemampuan dan daya serap UMK terhadap pengetahuan dan

teknologi baru diwakili oleh tingkat adopsi produsen UMK. Suharti dkk (2013) menemukan

bahwa lebih dari 50% produsen tempe anggota PRIMKOPTI Salatiga terkategori sebagai

innovator, early adopter dan early majority. Berdasarkan temuan ini dapat diduga bahwa

produsen tempe Salatiga memiliki kemampuan dan daya serap yang baik dalam proses

transfer pengetahuan dan teknologi. Dugaan ini diperkuat dengan temuan cukup tingginya

jumlah produsen tempe (30 orang) yang melakukan uji coba pengolahan kacang lupin sebagai

bahan baku tempe (Daftar Hadir FGD, 2014).

Terkait perihal motivasi UMK, aspek ini menjadi salah satu penentu perbedaan hasil

proses transfer pengetahuan dan teknologi di Jakarta Pusat dengan Salatiga. UMK produsen

tempe di Jakarta Pusat terbilang telah memiliki kapasitas produksi dan pemasaran yang cukup

besar, rata – rata per produsen membutuhkan bahan baku kedelai 55 kg per hari (Daftar

Anggota Primkopti Jakarta Pusat, 2010) dimana berdasarkan keterangan Bapak Haji Slamet

jumlah produksi produsen setiap harinya selalu habis. Kestabilan aspek pemasaran tersebut

mendorong produsen tempe Jakarta Pusat enggan mencoba sesuatu yang baru dan belum

pasti, seperti mengolah Lupin sebagai bahan baku tempe pengganti kedele. Oleh karena itu

dapat disimpulkan motivasi UMK produsen tempe dalam proses transfer pengetahuan dan

teknologi ini rendah dan mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok adopter late majority

dan laggards.

UMK produsen tempe Salatiga memiliki kapasitas produksi dan kapasitas pemasaran

lebih rendah dimana rata – rata kebutuhan kedelai per hari adalah 16 kg untuk perorangan.

Hal ini menyebabkan produsen memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk mempelajari

sesuatu yang baru yang dapat meningkatkan kapasitas usaha serta kemampuan bersaing

mereka. Hal ini terlihat melalui antusiasme mereka dalam proses FGD dimana produsen yang

belum sukses dalam mengolah kacang lupin mendengarkan dan bertanya secara aktif.

Sebagai contoh Bapak Amat Rohim, salah satu produsen yang telah mencoba kacang lupin

Page 14: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

namun berhenti di tengah jalan karena produk yang dihasilkan tidak sesuai harapan dan

keinginan pasar. Bapak Amat Rohim secara antusias bertanya kepada Bapak Basori dan Ibu

Nurchayati selaku produsen yang telah berhasil dalam mengolah kacang lupin mengenai

proses dan perlakuan yang mereka lakukan sehingga produk yang dihasilkan sesuai yang

diharapkan. Motivasi para produsen tempe di Salatiga yang tinggi semakin jelas terlihat

dengan adanya berbagai upaya inovasi produk turunan dari tempe Lupin yang dikembangkan

oleh mereka setelah hasil produk tempe Lupin kurang dapat diterima pasar. Sejumlah produk

turunan tempe Lupin yang dihasilkan produsen tempe Primkopti Salatiga antara lain Kripik

tempe Lupin (Bapak Basori dan Ibu Nurchayati), Minuman instant kacang Lupin (Bapak Eko

susilo), pia Lupin (Bapak Slamet). Ke semua produk turunan tersebut memiliki potensi besar

untuk dikembangkan dan memberi sumbangan nilai tambah yang jauh lebih besar kepada

produsen tempe daripada menjual dalam bentuk tempe mentah.

Karakteristik Lingkungan

Berbagai upaya telah dilakukan pihak Lupin dalam konteks menjalin relasi/

hubungan sosial/personal dengan berbagai pihak yang dihormati dalam lingkungan produsen

tempe di Indonesia. Untuk memperkenalkan kacang Lupin di Indonesia khususnya di Jakarta

dilakukan dengan menggandeng pihak Primkopti Jakarta Pusat yang menjadi pendiri dan

perintis berdirinya Kopti di Indonesia. Melalui Kopti pusat ini pihak Lupin juga berharap

pendekatan kepada pihak pemerintah akan lebih mudah. Selanjutnya untuk transfer

pengetahuan dan teknologi tentang Lupin ke produsen tempe diwilayah lain seperti di

Kotamadya Salatiga, maka pihak Lupin mengandalkan pihak Primkopti Jakarta sebagai

kepanjangan tangan pihak Lupin. Wawancara dengan bapak haji Slamet Ketua pengurus

Primkopti Jakarta dapat disimpulkan bahwa ada hubungan sosial yang dekat dan terjalin baik

antara Primkopti di daerah dengan Primkopti Jakarta. Hal ini dipercaya menjadi salah satu

faktor yang menjadikan sosialisasi dan transfer pengetahuan mengenai kacang Lupin dapat

diterima dengan baik di sejumlah Primkopti daerah termasuk Salatiga.

Selain itu Pihak WATO / Lupin juga secara sistematis dan terencana menggandeng

dan melibatkan pihak perguruan tinggi seperti Curtin University di Australia dan Institut

Pertanian Bogor (IPB) serta lembaga riset LIPI di Indonesia untuk menguji kelayakan nilai

gizi Lupin sebagai substitusi kacang kedele untuk produksi tempe. Upaya ini cukup

meyakinkan pihak Primkopti maupun produsen tempe akan manfaat dan nilai gizi kacang

Lupin. Hal ini seperti yang diakui oleh seorang nara sumber dari Salatiga (Pak Amat Rohim)

sebagai berikut:

Page 15: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

“Kalau dari sudut khasiat kacang Lupin bagi kesehatan kami tidak meragukan, yang penting

kacang Lupin dapat digunakan sebagai bahan pengganti kedele dan dapat diterima oleh

pasar..”.

Peranan pihak Pemerintah sangat penting dalam kaitannya dengan ketersediaan

kacang lupin sebagai substitusi kacang kedele. Salah satu hal yang akan menjadi nilai tambah

bagi produsen tempe dengan mengadopsi lupin adalah apabila harga kacang Lupin bisa

lebih murah dibanding harga kacang kedele. Untuk itu adanya pembebasan bea masuk

terhadap kacang Lupin menjadi penentu harga kacang Lupin. Berbagai upaya telah dilakukan

pihak Lupin bersama Primkopti Jakarta untuk memuluskan import kacang Lupin dengan

pembebasan bea masuk, namun sampai sekarang hal tersebut belum terealisasi dan masih

dalam proses.

Selain berbagai aspek lingkungan di atas yang telah diakomodir dengan baik oleh

pihak produsen Lupin, faktor lain yang penting juga untuk diperhatikan adalah aspek social

budaya dan juga pasar. Seperti yang kita ketahui, tempe menjadi makanan yang sudah

merakyat di Indonesia, dan bagi konsumen tempe di Indonesia tempe identik dengan kacang

kedele. Sehingga berbagai upaya untuk mensubstitusi kacang kedele dengan bahan baku lain

untuk pembuatan tempe perlu mempertimbangkan aspek sosial budaya dan persepsi

konsumen diIndonesia. Kenyataannya setelah kacang Lupin diperkenalkan hampir selama 5

tahun sejak tahun 2009, tempe Lupin belum dikenal luas di pasar Indonesia. Hal ini diduga

sangat erat berhubungan dengan lingkungan Indonesia yang memiliki nilai-nilai dan budaya

yang khas berkaitan dengan persepsi terhadap suatu makanan tradisional.

Penerimaan Pasar atau Konsumen menjadi salah satu aspek yang sangat penting

ditemukan dalam penelitian ini. Hasil produksi tempe Lupin yang ternyata bertekstur lebih

keras dan berlendir dibanding tempe dari kedele membuat produk tempe sulit diterima oleh

konsumen pecinta produk tempe di Indonesia. Dalam benak konsumen, tempe Lupin yang

secara fisik bentuknya hampir sama dengan tempe Kedele diharapkan juga memiliki rasa

yang sama dengan tempe kedele. Lain halnya dengan tempe “benguk” maupun tempe “koro”

yang dapat diterima sebagian mayarakat Indonesia karena bentuk dan teksturnya berbeda

dengan tempe kedele, sehingga konsumen dapat menerima “rasa khas” yang memang

berbeda dengan tempe berbahan kedele. Kurang diterimanya produk tempe Lupin oleh

konsumen menjadi salah satu alasan berhentinya produsen tempe di Jakarta meneruskan

memproduksi tempe Lupin. Demikian juga produsen tempe di Primkopti Salatiga, juga tidak

memproduksi tempe Lupin untuk dijual ke konsumen dalam bentuk tempe mentah,

Page 16: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

melainkan diproses lagi menjadi produk turunan seperti kripik Lupin, pia Lupin dan lain

sebagainya yang dapat diterima pasar.

Capaian Tahap Transfer Pengetahuan dan Teknologi padaUMK Tempe

Gibson dan Smilor (1991) mengemukakan ada empat tahapan dalam proses transfer

pengetahuan dan teknologi, yaitu tahap creation, sharing, implementation dan commercialization.

Pada kasus transfer pengetahuan/teknologi Lupin ini juga melewati beberapa tahap. Yang

menarik ditemukan dalam penelitian adalah bahwa tahap Creation dalam proses transfer

pengetahuan kacang Lupin cukup panjang. Pertama-tama, dilakukan sosialisasi tentang

kacang lupin sebagai bahan baku kepada produsen tempe. Selanjutnya pengembangan

pengetahuan yang terjadi mengalami proses internalisasi untuk awal pengetahuan proses

pembuatan kacang lupin. Kondisi ini sangat menarik karena untuk menemukan proses

pembuatan tempe lupin, pihak agen sebenarnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup

untuk proses pembuatan tempe. Sehingga pengembangan untuk menemukan pengetahuan

tersebut dilakukan oleh produsen. Hasil uji coba dari para produsen tempe berlanjut pada

proses sharing pengetahuan yang dimiliki oleh produsen, produsen, ahli gizi, uji coba

pelanggan, dan lembaga perguruan tinggi untuk pendekatan ilmiah menuju formulasi yang

tepat terkait pembuatan tempe lupin. Semua kegiatan ini termasuk dalam tahap Creation.

Yang menarik disini, dalam tahap Creation juga terjadi kegiatan Sharing, seperti kegiatan

sharing pengetahuan/ teknologi produksi tempe Lupin awal dari Primkopti Jakarta ke

Primkopti Salatiga. Dalam tahap sharing terjadi juga penciptaan pengetahuan baru dari hasil

memadukan hasil uji coba masing-masing produsen dalam membuat tempe Lupin. Tahap

sharing terjadi ketika produsen saling berdiskusi dalam forum FGD maupun pertemuan non

formal berbagi pengalaman untuk menyempurnakan hasil tempe lupin. Dengan demikian,

dalam penelitian ini ditemukan tahap Creation berjalan bersama dengan tahap Sharing.

Pada umumnya kegiatan transfer pengetahuan dan teknologi pembuatan tempe

menggunakan kacang Lupin baik pada produsen tempe dari Primkopti Jakarta maupun

produsen tempe dari Primkopti Salatiga telah sampai pada tahap Implementasi. Produsen

tempe di Jakarta telah berhasil membuat tempe Lupin dan telah mencoba memasarkan pada

kalangan terbatas. Namun karena tidak mendapat respon positif dari pasar, produsen tempe

dari Primkopti Jakarta berhenti memproduksi tempe Lupin yang berarti tidak melanjutkan

sampai tahap komersialisasi (commercialization stage).

Hasil penelitian menemukan hal yang berbeda menyangkut tahap transfer

pengetahuan /teknologi ini pada produsen tempe di Salatiga yang lebih berhasil dibandingkan

Page 17: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

produsen di Jakarta. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa produsen yang telah

memasuki tahap komersialisasi dengan memproduksi produk turunan dari kacang lupin

lainnya, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tempe Lupin yang berlendir

dan kurang disukai konsumen. Beberapa produsen seperti Bu Nurchayati dan Bapak Basori

yang membuat kripik tempe Lupin mendapat tanggapan positif dari pasar dan sering

kewalahan melayani permintaan konsumen. Capaian tahapan dalam Proses transfer

pengetahuan dalam pembuatan tempe lupin ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Creation: Bahan Baku Lupin

Analisis Hasil

Tempe Lupin

Evaluasi Hasil

Tempe Lupin

Uji Coba

Organisasi

Primkopti

Jakarta Pembahasan

Pengenalan produk Lupin

oleh Produsen kepada

pengurus di Primkopti

Jakarta

Proses pembuatan tempe lupin

menggunakan pengetahuan yang telah

dimiliki oleh pengrajin tempe kedele di

Primkopti Jakarta.

Sharing: Proses Pembuatan Tempe Lupin

Produsen

Lupin

Implementation: Formulasi Pembuatan tempe Lupin

Produsen Pengrajin

Kajian Ilmiah

Ahli

gizi

Uji Coba:

pelanggan

Commercialization: Formulasi Pembuatan tempe Lupin

Mengeumpulkan pengetahuan

kelompok, untuk membangun

konsep baru proses pembuatan

tempe lupin sesuai dengan karakter

bahan baku.

1

2

3

Organisasi

Primkopti

JakartaOrganisasi

Primkopti

Salatiga

Transfer pengetahuan untuk

dibagikan kepada orgranisasi

lainnya

4

Pengenalan produk lupin dan

proses pembuatan tempe

lupin oleh Pengurus

Primkopti Jakarta kepada

pengrajin tempe kedele

dibawah binaan Primkopti

Salatiga

Proses pembuatan tempe lupin

menggunakan pengetahuan yang telah

dimiliki oleh pengrajin tempe kedele di

Salatiga.

Berbagi pengetahuan untuk

mengatasi masalah lendir dalam

forum non formal dan FGD

Inovasi Produk turunan untuk

mengatasi lendir dan selera

konsumen5

6

7

Gambar 5. Capaian Tahapan Proses Transfer Pengetahuan Pembuatan Tempe

Lupin Sumber: Hasil in-depth interview diolah

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini menemukan bahwa proses transfer pengetahuan dan teknologi di kalangan

produsen tempe baik untuk anggota primkopti Jakarta maupun Primkopti Salatiga telah

berjalan baik. Hal ini terlihat dari capaian transfer yang telah mencapai tahap implementasi

untuk Primkopti Jakarta dan tahap komersialisasi untuk produsen tempe di Primkopti

Salatiga. Sejumlah faktor yang ditemukan menjadi kunci sukses dalam proses transfer

pengetahuan dan teknologi kepada UMK tempe ini adalah:

1. Pihak agen harus memiliki keandalan organisasi dan dukungan sumber daya yang

memadai. Pihak agen mampu menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah, perguruan

tinggi dan dunia industri.

Page 18: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

2. Menggunakan media yang meliputi mekanisme dan bentuk transfer yang sesuai dengan

kondisi dan karakteristik target yang akan ditransfer. Kepada UMK mekanisme transfer

dilakukan melalui pemberian sampel, uji coba, pelatihan, pertemuan, media massa serta

media internet mrupakan karakteristik media yang sesuai digunakan untuk transfer

pengetahuan tacit seperti proses pembuatan tempe dari kacang Lupin dalam penelitian ini

3. Bentuk dan kegunaan pengetahuan dan teknologi yang ditransfer haruslah jelas, eksplisit

dan tidak menimbulkan ambiguitas. Dalam penelitian ini ditemukan ambiguitas

pengetahuan dan teknologi yang ditransfer membuat kegiatan transfer berjalan lamban

4. Faktor lingkungan terutama hubungan sosial dalam proses transfer merupakan salah satu

kunci sukses yang penting. Dalam penelitian ini upaya pihak agen (produsen)

menggandeng pengurus Primkopti Jakarta untuk membantu kegiatan transfer pengetahuan

bagi primkopti primkopti didaerah merupakan satu langkah yang cerdik. Hubungan sosial

yang baik antara Primkopti Jakarta selaku pendiri Primkopti dengan primkopti daerah

dapat memuluskan kegiatan transfer dari pihak agen kepada primkopti daerah.

5. Faktor lingkungan berkaitan dengan penerimaan pasar juga menjadi penentu keberhasilan

transfer. Kegiatan transfer bagi para produsen tempe di Jakarta tidak sampai tahap

komersialisasi karena pasar belum dapat menerima tempe kacang Lupin. Dari hasil FGD

dan penelitian yang dilakukan sebenarnya ditemukan bahwa para produsen tempe tidak

merasa keberatan maupun menghadapi kesulitan dalam mengadopsi kacang Lupin

sebagai pengganti kedele, asal produk tempe Lupin dapat diterima konsumen sehingga

produksi mereka dapat laku terjual.

6. Motivasi target dalam hal ini UMK tempe sangat menentukan keberhasilan transfer.

Produsen tempe di Salatiga lebih berhasil dibandingkan di Jakarta Pusat disebabkan

antara lain motivasi UMK di salatiga sangat tinggi untuk berkreasi dan berinovasi

sehingga dapat menghasilkan produk turunan tempe Lupin yang dapat dikomersialisasi.

Lain halnya dengan produsen di Jakarta, kurang punya motivasi untuk mencoba hal baru

karena mereka sudah nyaman dengan memproduksi tempe kedele dengan omzet yang

relatif sudah besar.

Saran

Beberapa saran berikut dikemukakan berdasarkan temuan hasil penelitian:

1. Ada ambiguitas pengetahuan yang akan ditransfer yaitu proses produksi yang selalu

berubah-ubah dan belum ada standard baku. Walaupun dari sudut proses produksi tempe

Lupin tidak memperlihatkan adanya kompleksitas yang berarti, bahkan terkesan lebih

Page 19: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

mudah dan efisien penanganannya ketimbang kacang kedele, namun tidak adanya

standard produksi yang jelas yang dapat menjamin kualitas hasil produksi yang dihasilkan

(berlendir dan keras kalau digoreng) membuat pihak target transfer menjadi ragu-ragu

mengadopsi kacang lupin sebagai bahan baku substitusi kacang kedele. Demikian juga,

kegiatan proses produksi belum meliputi pengelolaan pasca produksi yaitu saat tempe

Lupin tidak laku dipasar, bagaimana memanfaatkan produk yang tidak laku mengingat

tempe adalah produk yang mudah busuk. Hal ini menjadi tugas pihak produsen Lupin

kedepan, apakah mau membuat tempe Lupin yang identik dengan tempe kedele, atau

ingin membuat tempe Lupin yang “khas”. Jika ingin membuat tempe Lupin yang identik

dengan tempe kedele, maka tugas Lupin kedepan adalah perlu menghasilkan suatu proses

produksi yang mampu menghasilkan output yang hampir sama dengan kualitas tempe

kedele. Untuk itu mungkin perlu melakukan perbaikan mulai dari sisi input seperti

rekayasa budidaya tanaman kacang Lupin, dan dari sisi proses produksi sampai pasca

produksi. Sebaliknya jika yang diharapkan adalah tempe Lupin dapat diterima konsumen

dengan segala kekhasannya (lebih keras dan agak berlendir), maka pihak produsen

tentunya perlu meyakinkan pihak konsumen akan kelebihan dan manfaat mengkonsumsi

tempe Lupin sambil terus berupaya menyempurnakan proses produksi tempe Lupin.

2. Dari 5 tahun usaha produsen melakukan upaya introdusir, transfer pengetahuan dan

teknologi kacang Lupin yang dilakukan kepada pasar di Indonesia terkesan pihak

produsen Lupin lebih fokus pada target mengekspor kacang Lupin dalam jumlah besar ke

pasar Indonesia. Oleh karena itu upaya yang dilakukan pihak produsen lebih terfokus

pada usaha meyakinkan pihak pengguna kacang Lupin yaitu para produsen tempe. Ada

kesan bahwa pihak produsen Lupin sebagai pihak agen transfer pengetahuan

mengabaikan penerimaaan pasar/ konsumen terhadap produk tempe Lupin. Padahal hal

tersebut merupakan elemen terpenting yang dapat mengatur kegiatan dan jumlah produksi

tempe Lupin dari pihak produsen. Oleh sebab itu sebelum kegiatan transfer dilakukan

seharusnya pihak agen juga memiliki informasi mengenai pasar/ konsumen dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bozeman, B., 2000. Technology Transfer and Public Policy: A Review of Research and Theory.

Journal of Research Policy, 29: 627-655.

Devine, M. D., T. E. James, Jr., and I. T. Adams. 1987. Government Supported Industry Research

Centers: Issues for Successful Technology Transfer. Journal of Technology Transfer,

Vol. 12, No.1, pp. 27-38.

Page 20: FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER …

Djmbp.esdm.go.id., 2008. Undang – Undang RI tentang Usaha Kecil dan Menengah. Diunduh

dari http://www.djmbp.esdm.go.id/sijh/UU_2008_20_TENTANG_USAHA_MIKRO_

KECIL_ DAN_MENENGAH.pdf, tanggal unduh 24 November 2011.

Gibson, David and Smilor, Raymond. 1991. Key Variables in Technology Transfer: A Field-

Study Based Empirical Analysis. Journal of Engineering and Technology Management,

Vol.8, pp. 287-312.

Hidayat, Sukardi dan Nurul Insani. 2004. Analisis perbandingan pembuatan tempe. Laporan

Penelitian Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya. Diunduh dari

http://ptp2007.wordpress.com/2007/08/31/ , tanggal 20 Januari 2012

Indriartiningtias, R., dan Wirajmadja, I.I. 2012. Pengembangan Model Konseptual Transfer

Pengetahuan dari Perguruan Tinggi ke Industri Kecil. Diunduh dari

ejournal.umm.ac.id/index.php/industri/article/.../613, tanggal unduh 3 Desember 2013.

Julianto, D. E dan Wahyudi, E. 2010. Model Peningkatan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Di

Tulungagung. Diunduh dari http://www.jurnalinspirat.com/Download/JI2_8.pdf, tanggal

unduh 5 Maret 2014.

Lupinfoods.com.au. 2013. Informasi Bagi Pengrajin Tempe. Diakses dari

http://www.lupinfoods.com.au/indonesian-information-for-tempe-producers/, tanggal

akses 17 Agustus 2014.

Nokes, T.J. 2009. Mechanismm of Knowledge Transfer. Thinking and Reasoning, Vol. 15, No. 1,

pp. 1-36.

Profetto, J. 2004. Knowledge transfer : what it is and what it takes to do it best. Diakses dari;

http://doc.mbalib.com/view/78ddb71531aa1561f55d2e8741435525.html, tanggal akses 17

Maret 2014.

Sumarno, Muhammad. 2010. Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha Sentra Industri Kecil

Kerajinan Gerabah Kasongan Kabupaten Bantul. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan,

Vol.12, NO. 1, MARET : 1-10.

Sung T.K., dan Gibson D. 2001. Knowledge and Technology Transfer: Levels and KeyFactors.

Diunduh dari web.bsru.ac.th/~orapim/my_doc/knowledge.pdf, tanggal unduh 18 Maret

2014.

Tempo.co. 2014. Perajin Tempe di Malang Tergoda Kacang Lupin. Diakses dari

http://www.tempo.co/read/news/2014/01/26/090548396/Perajin-Tempe-di-Malang-

Tergoda-Kacang-Lupin, tanggal akses 17 Agustus 2014.

Windsperger, J. dan Gorovaia, N. 2010. Knowledge Attributes and The Choice of Knowledge

Transfer Mechanism in Networks: the case of franchising. Journal of Management &

Governance, Vol. 15, No. 4, pp 617-640.