Endometriosis and Infertilitas
-
Upload
arsy-prestica-rosadi -
Category
Documents
-
view
257 -
download
8
description
Transcript of Endometriosis and Infertilitas
Endometriosis sebagai salah satu faktor penyebab infertilitas
Andon Hestiantoro
Sub.Bag. Imunoendokrinologi reproduksi, Bag. Obstetri dan Ginekologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
JAKARTA
I. Pendahuluan
Endometriosis adalah kelainan ginekologi yang ditandai dengan adanya pertumbuhan
kelenjar dan stroma endometrium ektopik di luar rongga uterus, termasuk pertumbuhan di
otot uterus (1-3). Deposit endometrium tersebut pada umumnya ditemukan di rongga
pelvik seperti ovarium, peritoneum, ligamentum sakro-uterina, kavum Douglas dan
septum rektovaginal (4). Walaupun endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang
bersifat jinak, namun endometriosis ternyata memiliki sifat infiltratif yang mirip dengan
suatu keganasan (5). Sehingga sering endometriosis tampil dalam bentuk progresif-
infiltratif yang menembus lapisan peritoneum dan masuk kedalam area ekstraperitoneum
(6).
Endometriosis umumnya diderita oleh wanita pada usia reproduksi dan
kejadiannya berkurang saat wanita memasuki usia menopause atau menjalani
pengangkatan kedua ovarium. Sehingga diperkirakan bahwa estrogen sangat berperan
penting pada proses pertumbuhan dan perkembangan endometriosis.
Walaupun banyak teori diajukan terkait dengan etiologi endometriosis, namun
tampaknya teori regurgitasi darah haid melalui tuba Fallopii yang berlanjut dengan
implantasi ektopik jaringan endometrium (teori transplantasi dari Sampson) (7), masih
merupakan teori yang paling banyak dianut oleh para dokter. Saat ini mulai berkembang
pula teori etiologi endometriosis yang terkait dengan genetik dan cacat dari sistem
imunitas (5).
1
Endometriosis dapat dijumpai pada wanita tanpa keluhan apapun dengan insidens
berkisar antara 2-22% (8), pada wanita dengan keluhan nyeri pelvik sebesar 40-60% (9),
serta pada wanita dengan subfertilitas/infertilitas sebesar 20-40% (8,10).
Tujuan dari pengobatan endometriosis pada kasus infertilitas adalah
menghilangkan sebanyak mungkin deposit endometriosis demi mempertahankan fertilitas
melalui kombinasi terapi medikamentosa dan terapi pembedahan (5,11).
Pada tulisan ini akan dibahas kaitan antara endometriosis dan kejadian infertilitas,
sehingga diharapkan dapat memberikan sedikit informasi tentang permasalahan dan
tatalaksana endometriosis pada wanita dengan masalah infertilitas.
II. Prevalensi endometriosis pada wanita dengan infertilitas
Dari penelitian yang ada, endometriosis dijumpai lebih banyak pada wanita dengan
infertilitas jika dibandingkan dengan wanita tanpa infertilitas (12). Secara retrospektif
diketahui bahwa endometriosis dijumpai pada sekitar 20-40% wanita dengan masalah
infertilitas sedangkan pada wanita tanpa masalah infertilitas, endometriosis hanya
dijumpai sekitar 0.5-5% saja (12).
III. Klasifikasi endometriosis
Sebagai upaya untuk standarisasi diagnosis, derajat keparahan penyakit, progresifitas
penyakit dan respon pengobatan, maka telah ditentukan beberapa buah sistem klasifikasi
endometriosis. Sebuah sistem klasifikasi endometriosis yang paling banyak dipakai saat
ini adalah revisi terbaru yang dibuat oleh “the American Society for Reproductive
Medicine (ASRM)” pada tahun 1996 (13,14)(gambar 1.). Berdasarkan visualisasi rongga
pelvik saat pembedahan, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman
susukan endometriosis serta adanya perlekatan. Terdapat empat klasifikasi berdasarkan
faktor-faktor tersebut di atas yaitu derajat minimal, derajat ringan, derajat sedang dan
derajat berat (13,14).
Namun ternyata derajat keparahan endometriosis tidak berbanding lurus dengan
besar/kecilnya kemungkinan kehamilan pada seorang wanita yang menderita
endometriosis (13). Disamping itu, derajat keparahan endometriosis tidak pula
2
berbanding lurus dengan derajat keparahan nyeri pelvik (15,16). Hal ini disebabkan oleh
karena masih terbatasnya pengetahuan manusia terhadap patofisiologi endometriosis.
Susukan endometriosis yang klasik akan tampak dalam bentuk susukan yang berwarna
hitam kebiruan (the blue-black “powder-burn” lesion). Namun saat ini telah banyak
dijumpai pula adanya warna-warna susukan lain yang tampil lebih tidak mencolok,
seperti warna merah (“red”, “red-pink” dan “merah-bening”) atau warna putih (“white”,
“yellow-brown”, dan cacat pada peritoneum). Sehingga tampaknya warna susukan
“powder-burn” hanya akan terlihat jika susukan endometriosis telah berada pada stadium
akhir dari proses perkembangan susukan endometriosis (14).
IV. Endometriosis dan infertilitas
1. Perlekatan genitalia interna, perubahan struktur anatomi dan infertilitas
Terjadinya infertilitas pada wanita dengan endometriosis salah satunya dapat disebabkan
oleh faktor perlekatan genitalia interna. Perubahan kualitas jaringan endometrium
penderita endometriosis dibandingkan dengan wanita normal menjadi faktor pencetus
terjadinya perlekatan genitalia interna tersebut. Jaringan endometrium wanita dengan
endometriosis ternyata mengandung banyak E-cadherin-negative epithelial cells dan
Matrix metalloproteinase, yang merupakan materi kimiawi bersifat invasif yang mampu
menembus jaringan kolagen (17). Disamping itu jaringan endometrium penderita
endometriosis mengandung pula banyak sitokin seperti tumor-necroting-factor (TNF)-α,
interleukin (IL)-8 dan IL-6. IL8 diketahui mampu merangsang perlekatan antara
endometrium dan fibronektin (18). Sehingga jika terjadi regurgitasi darah haid maka
endometrium patologis tersebut akan memicu timbulnya reaksi peradangan dan berakhir
dengan terbentuknya benang-benang perlekatan berupa fibrin (18).
Benang-benang perlekatan pada endometriosis derajat berat akan merubah struktur
anatomi dari tuba Fallopii, merubah fungsi gerak fimbriae, serta menyebabkan
penyumbatan tuba Fallopii sebelah distal, sehingga berakhir dengan infertilitas. Susukan
endometriosis pada permukaan ovarium akan disusul dengan proses invaginasi, yang
kemudian berlanjut menjadi kista endometriosis yang dikenal pula sebagai
endometrioma. Kista ini memiliki dinding yang tebal dan berisi cairan coklat yang kental.
Sehingga kista ini disebut dengan nama kista coklat. Endometriosis derajat berat dengan
3
kista endometriosis juga mampu menciptakan perubahan anatomi dan fungsi dari tuba
Fallopii sehingga dapat menjadi penyebab infertilitas (11).
2. Gangguan fungsi ovarium pada penderita endometriosis
Endometriosis dapat menyebabkan gangguan fungsi ovarium dalam berbagai bentuk,
antara lain seperti: a. kegagalan folikulogenesis, b. cacat steroidogenesis di sel granulosa,
c. sindrom LUF (luteinized unruptured follicle), d. penurunan mutu oosit dan e. cacat fase
luteal (1). Adanya faktor-faktor di atas tidak hanya dapat menyebabkan kesulitan
kehamilan secara spontan, namun juga menjadi penyebab rendahnya angka kehamilan
setelah fertilisasi in vitro (FIV) pada penderita endometriosis (1). Gangguan fungsi
ovarium pada penderita endometriosis juga dapat disebabkan oleh karena
hiperprolaktinemia (19).
3. Autiantibodi pada penderita endometriosis
Pada penderita endometriosis dapat dijumpai adanya pembentukkan autoantibodi antara
lain seperti: a. antibodi antifosfolipid, dan b. autoantibodi antilaminin-1. Autoantibodi
yang terbentuk pada pasien endometriosis tersebut dapat menghambat fungsi sperma,
proses fertilisasi dan proses pertumbuhan kehamilan normal (20,21).
4. Cacat imunitas pada penderita endometriosis
Pada cairan peritoneum penderita endometriosis dijumpai adanya perubahan kadar
beberapa sitokin, peningkatan kadar beberapa faktor pertumbuhan (growth factor), serta
peningkatan jumlah sel-sel makrofag. Peningkatan IL-6 pada kasus endometriosis terkait
dengan mekanisme embriotoksitas dari cairan peritoneum penderita endometriosis (22).
Penurunan fungsi sel NK pada kasus dengan endometriosis sangat terkait dengan
interaksi antara IL-12 dan p40 bebas (antagonis IL-12) (23).
5. Cacat faktor implantasi
Pada penderita endometriosis, kejadian infertilitas dapat pula disebabkan akibat
rendahnya ekspresi integrin (αvβ3) pada endometrium penderita endometrosis
dibandingkan dengan kontrol (24).
4
V. Diagnosis (11,12,25,26)
Berdasarkan anamnesis, maka diagnosis endometriosis kemungkinan dapat ditegakkan
jika wanita infertilitas datang ke dokter dengan adanya keluhan nyeri haid atau nyeri
pelvik. Namun perlu diperhatikan pula bahwa derajat keparahan endometriosis tidaklah
berbanding lurus dengan kejadian infetilitas. Pasien infertilitas dapat ke dokter hanya
dengan kondisi endometriosis derajat ringan saja. Pada pemeriksaan ginekologi, adanya
endometriosis dapat dikenali dengan perabaan parametrium yang kaku atau teraba nodul-
nodul sepanjang ligamentum sakro-uterina. Uterus mungkin terfiksasi dengan mobilitas
yang sangat terbatas akibat perlekatan. Ovarium mungkin membesar kistik dan
menimbulkan nyeri pada saat pemeriksaan.
Alat ultrasonografi transvaginal atau magnetic resonance imaging (MRI) dapat
dimanfaatkan untuk menemukan adanya kista endometriosis, adenomyosis dan
perlekatan di rongga pelvik.
Untuk menegakkan diagnosis serta penentuan derajat keparahan endometriosis maka
laparoskopi diagnostik merupakan cara yang terbaik. Pada saat laparoskopi diagnostik
dapat pula dilakukan biopsi pada susukan endometriosis sehingga dapat ditegakkan
diagnosis endometriosis yang lebih pasti. Saat ini tindakan laparoskopi diagnostik
umumnya dilanjutkan dengan tindakan laparoskopi operatif.
VI. Terapi (5,8,11)
Tujuan terapi endometriosis adalah untuk menghilangkan atau mengangkat deposit
endometriosis. Jenis-jenis terapinya adalah
A. Terapi medikamentosa
B. Terapi pembedahan
Berdasarkan observasi maka masalah akibat endometriosis akan menghilang atau
berkurang bila wanita mengalami kehamilan atau mengalami menopause. Sehingga terapi
medikamentosa untuk endometriosis pada dasarnya meniru salah satu dari dua kondisi
fisiologis tersebut. Disamping itu obat-obatan lain seperti penghambat reseptor estrogen,
penghambat reseptor progestogen, penghambat enzim steroidogenesis, penghambat
angiogenesis atau obat yang mampu memperbaiki sistem imunitas tubuh, tampaknya
mempunyai peran tersendiri dalam tatalaksana pengobatan endometriosis.
5
Jenis-jenis terapi medikamentosa antiendometriosis antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pseudomenopause (misal: GnRH analog, danazol)
b. Pseudopregnancy (misal: progestogen, kombinasi estrogen-progestogen)
c. Antiprogestogen (misal: gestrinon dan mifepriston)
d. Penghambat enzim aromatase
e. Terapi imunologi
f. Terapi antiangiogenesis
A. Terapi medikamentosa
1. Terapi progestogen
Pemberian terapi progestogen secara kontiyu atau malar dapat menciptakan kondisi an-
ovulasi dan kondisi hipo-estrogen dengan cara melalui penghambatan penglepasan
gonadotropin dari hipofisis. Disamping itu terapi progestogen bergina untuk
menciptakan desidualisasi sel endometrium baik eutopik maupun ektopik, sehingga akan
terjadi atrofi susukan endometriosis. Keuntungan terapi progestogen ini adalah murah,
dapat ditoleransi dengan baik dan relatif sedikit efek samping.
Jenis-jenis terapi progestogen:
a. Medroksiprogesterone asetat (MPA)
Dapat diberikan secara injeksi dengan dosis 150 mg intramuskular setiap 3 bulan atau
secara oral dengan dosis 30 mg perhari, malar selama 90 hari. Dosis oral 50-100 mg
perhari tidak memberikan manfaat lebih jika dibandingkan dengan dosis 30 mg
perhari.
Depo MPA dapat menyebabkan masa anovulasi yang berkepanjangan setelah
injeksinya dihentikan, sehingga cara ini mungkin tidak begitu cocok bagi wanita yang
menginginkan fertilitas. Efek samping dari preparat MPA ini adalah perdarahan
bercak, penambahan berat badan, depresi dan perut terasa penuh.
b. Jenis progestogen lain yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi endometriosis
adalah didrogesteron dan megesterol asetat.
6
2. Antiprogestogen
Gestrinon dan mifepriston (RU-486) merupakan obat antiprogestogen. Antiprogestogen
mampu menghambat ovulasi dan menyebabkan kondisi hipoestrogen, sehingga memiliki
mekanisme kerja antiendometriosis yang mirip dengan progestogen.
Antiprogestogen ini merupakan salah satu jenis terapi yang diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk terapi adenomyosis.
3. Danazol
Danazol merupakan isoxasol yang berasal dari turunan steroid sintetik 17α-ethinyl
testosterone. Memiliki mekanisme yang kompleks sebagi antiendometriosis berupa
penghambatan terhadap reseptor progestogen, penghambatan terhadap beberapa enzim
steroidogenik dan memiliki efek agonis terhadap reseptor androgen. Danazol juga dapat
mencegah terjadinya lonjakan luteinizing hormone (LH), sehingga kesemuanya akan
berakhir dengan hasilberupa anovulasi dengan hipoestrogen. Danazol mempengaruhi
pula sistem imun didaerah rongga pelvik. Namun salah satu efek samping dari danazol
adalah hiperandrogenisme yang merupakan akibat dari efek agonis terhadap reseptor
androgen, sehingga gejala yang dapat ditimbulkannya adalah timbulnya jerawat di wajah,
kulit dan rambut yang berminyak, penambahan berat badan dan suara yang bertambah
berat.
4. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral berupa kombinasi estrogen dan progestogen dapat dimanfaatkan sebagai
obat antiendometriosis dengan tujuan menciptakan suasana mirip kehamilan
(pseudopregnancy). Jika diberikan secara kontinyu (malar) tanpa jeda maka kontrasepsi
akan menimbulkan efek amenore, sehingga dapat menghilangkan nyeri haid.
5. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
GnRH agonis merupakan turunan sintetik dari dekapeptida GnRH alamiah. Nafarelin,
goserelin dan trptorelin adalah dekapeptida, sedangkan buserelin, leuprolin (leuprolid)
dan histerelin adalah nonapeptida. Jika diberikan secara kontinyu(malar) maka GnRH
agonis dapat menyebabkan penurunan produksi gonadotropin di hipofisis s, yang pada
7
akhirnya akan menciptakan kondisi hipoestrogen (pseudomenopause). Nafarelin,
leuprolid dan goserelin merupakan GnRH agonis yang dianjurkan untuk pengobatan
endometriosis. Nafarelin diberikan secara topikal melalui hidung, dua kali dalam satu
minggu. Leuprolid diberikan secara subkutaneus atau intramuskular setiap satu bulan.
Dan Goserelin yang merupakan susuk GnRH, diberikan secara subkutaneus setiap satu
bulan atau setiap tiga bulan, tergantung kebutuhan. Efek samping jangka pendek dari
penggunaan GnRH agonis ini adalah timbulnya gejolak panas dan vagina kering,
sedangkan efek samping jangka panjangnya adalah osteoporosis. Untuk menghindari
osteoporosis tersebut maka penggunaan GnRH agonis tidak dianjurkan lebih lama
daripada enam bulan.
Namun saat ini telah diketahui bahwa pemberian terapi “add-back” yaitu penambahan
progestogen saja atau kombinasi estrogen dan progestogen bermanfaat untuk
menghilangkan efek samping terapi GnRH agonis seperti gejolak panas, vagina kering
dan mencegah osteoporosis, tanpa mengurangi manfaat GnRH agonis sebagai obat anti
endometriosis. Dengan penambahan terapi “add-back” ini maka terapi GnRH agonis
dapat diperpanjang sampai dengan 12 bulan.
6. Penghambat enzim aromatase
Enzim aromatase P450 (P450arom) merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap
proses biosintesis estrogen, dan hormon estrogen tersebut merupakan hormon penting
dalam proses pertumbuhan endometriosis. Pada jaringan endometriosis ternyata dijumpai
enzim P450arom dengan kadar yang tinggi. Enzim P450arom juga dijumpai pada
endometrium wanita yang menderita endometriosis. Sedangkan sebaliknya,
endometrium wanita yang tidak menderita endometriosis, sama sekali tidak memiliki
enzim ini pada endometriumnya. Disamping itu, ternyata hampir tidak dijumpai aktivitas
enzim 17beta-hidroksi steroid dehidrogenase (17β-HSD) tipe-2, yaitu enzim yang
bertugas untuk mengubah estradiol (E2) menjadi estron (E1), pada jaringan endometrium
wanita yang menderita endometriosis. Meningkatnya aktivitas enzim P450arom dan
menurunnya aktivitas enzim 17β-HSD tipe-2 pada endometrium wanita, menyebabkan
timbulnya endometriosis pada wanita tersebut (27).
8
Pemberian terapi aromatase sebagai antiendometriosis merupakan salah satu alternatif
terapi endometriosis masa kini, terutama jika terapi jenis lain mengalami kegagalan (28).
7. Terapi imunologi
Adanya cacat fungsional sel NK di rongga peritoneum wanita endometriosis,
menyebabkan susukan endometrium dapat tumbuh dan berkembang menjadi susukan
endometriosis. IL-12 merupakan interleukin yang mampu meningkatkan kemampuan sel
NK untuk mematikan susukan endometriosis, sehingga IL-12 dapat dimanfaatkan sebagai
terapi imunologi untuk mengatasi endometriosis (29).
8. Antiangiogenesis
Susukan endometriosis sangat bergantung kepada banyaknya vaskularisasi agar susukan
endometriosis tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada lokasi tertentu di peritoneum
(30). Sehingga tidaklah mengherankan jika susukan endometriosis selalui dijumpai pada
lokasi yang kaya dengan vaskularisasi. Saat ini sedang dikembangkan obat
antiangiogenesis seperti anti-hVEGF, Endostatin and Anginex yang diharapkan dapat
menjadi salah satu alternatif terapi antiendometriosis (31).
B. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan pada endometriosis, baik yang bersifat konservative maupun radikal,
pada dasarnya bertujuan untuk:
a. Menghancurkan atau menghilangkan susukan endometriosis di peritoneum dan
ovarium
b. Mengangkat kista endometriosis
c. Reseksi adenomiosis/mengangkat uterus
d. Mengangkat susukan endometriosis di sekat rekto-vaginal
e. Pembebasan perlekatan akibat endometriosis
Idealnya terapi pembedahan pada endometriosis dilakukan dengan metoda “minimally
invasive surgery” yaitu berupa pembedahan endoskopi dengan laparoskopi, agar tercapai
adekuasi operasi yang baik, dengan efek samping perlekatan yang minimal. Namun
tidakan laparotomi juga diperlukan terutama jika terdapat kista endometriosis yang besar,
adenomiosis uterus yang soliter, serta adanya perlekatan didaerah rongga pelvik yang
9
sangat hebat. Tindak operatif radikal terkadang juga diperlukan dengan indikasi utuk
mengangkat uterus dan kedua ovaria.
VII. Terapi untuk mengatasi masalah infertilitas (5,11,13)
Terapi medikamentosa untuk endometriosis yang khususnya terkait dengan
pseudomenopause atau pesudopregnancy, dapat menimbulkan situasi anovulasi sehingga
tentu akan menurunkan fertilitas wanita dengan endometriosis. Sehingga terapi
medikamentosa yang dapat menimbulkan anovulasi sebenarnya tidak dianjurkan jika
wanita tersebut menderita endometriosis dan memiliki masalah infertilitas.
Inseminasi intrauterin (IIU) atau fertilisasi invitro (FIV), walaupun tidak termasuk
dalam terapi medikamentosa pada wanita dengan endometriosis, ternyata memiliki angka
keberhasilan hamil yang cukup baik jika dibandingkan dengan kontrol. Angka kehamilan
wanita endometriosis setelah FIV sangat bergantung dengan usia si wanita (angka
kehamilan berbanding terbalik dengan usia ibu), faktor endometrium (kadar integrin
endometrium, αVβ3, rendah pada endometrisis) dan faktor ovarium (rendahnya kualitas
ovum dan kualitas embrio pada penderita endometriosis). Berdasarkan sebuah penelitian,
diperlukan dosis yang lebih besar untuk memicu ovulasi pada wanita yang menderita
kista endometriosis dengan stadium menengah dan berat, namun tidak dijumpai adanya
perbedaan dari angka kehamilan kumulatif dan angka kelahiran hidup penderita
endometriosis dibandingkan dengan ovarium normal atau dengan kelainan pada tuba.
Terapi pembedahan terutama “minimally invasive surgery” pada wanita
endometriosis dengan infertilitas, diketahui dapat meningkatkan angka kehamilan.
Terapi kombinasi antara medikamentosa dan pembedahan ternyata bermanfaat
bagi wanita endometriosis dengan masalah infertilitas. Pemberian terapi medikamentosa
2-3 seri sebelum pembedahan berguna untuk mengurangi perdarahan saat pembedahan,
mempermudah pembebasan perlekatan saat operasi, mengurangi terjadinya perlekatan
pasca pembedahan dan sebagai ajuvan untuk menghilangkan sisa susukan endometriosis
yang tidak berhasil diangkat atau dihilangkan saat pembedahan (32).
10
Gambar 1. ASRM revised classification of
endometriosis 1996(14)
Daftar pustaka
1. Bedaiwy MA, Falcone T. Peritoneal fluid environment in endometriosis. Clinicopathological implications. Minerva Ginecol 2003;55(4):333-45.
11
2. Kyama CM, Debrock S, Mwenda JM, D'Hooghe TM. Potential involvement of the immune system in the development of endometriosis. Reprod Biol Endocrinol 2003;1(1):123.
3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Hum Reprod Update 1998;4(4):312-22.
4. dell'Endometriosi GIplS. Relationship between stage, site and morphological characteristics of pelvic endometriosis and pain. Hum Reprod 2001;16(12):2668-71.
5. Schindler AE. Pathophysiology, diagnosis and treatment of endometriosis. Minerva Ginecol 2004;56(5):419-35.
6. Chapron C, Dubuisson JB, Chopin N, Foulot H, Jacob S, Vieira M, Barakat H, Fauconnier A. Deep pelvic endometriosis: management and proposal for a "surgical classification". Gynecol Obstet Fertil 2003;31(3):197-206.
7. Sampson J. Benign and malignant endometrial implants in the peritoneal cavity and their relation to certain ovarian tumours. Surg Gynecol Obstet 1924;36:287-311.
8. Farquhar CM. Extracts from the "clinical evidence". Endometriosis. Bmj 2000;320(7247):1449-52.
9. Chapron C. Chronic pelvic pain and endometriosis. J Gynecol Obstet Biol Reprod (Paris) 2003;32(8 Pt 2):S32-6.
10. Waller KG, Lindsay P, Curtis P, Shaw RW. The prevalence of endometriosis in women with infertile partners. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1993;48(2):135-9.
11. Child TJ, Tan SL. Endometriosis: aetiology, pathogenesis and treatment. Drugs 2001;61(12):1735-50.
12. D'Hooghe TM, Debrock S, Hill JA, Meuleman C. Endometriosis and subfertility: is the relationship resolved? Semin Reprod Med 2003;21(2):243-54.
13. Schenken RS. Modern concepts of endometriosis. Classification and its consequences for therapy. J Reprod Med 1998;43(3 Suppl):269-75.
14. Revised American Society for Reproductive Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertil Steril 1997;67(5):817-21.
15. Porpora MG, Koninckx PR, Piazze J, Natili M, Colagrande S, Cosmi EV. Correlation between endometriosis and pelvic pain. J Am Assoc Gynecol Laparosc 1999;6(4):429-34.
16. Vercellini P, Trespidi L, De Giorgi O, Cortesi I, Parazzini F, Crosignani PG. Endometriosis and pelvic pain: relation to disease stage and localization. Fertil Steril 1996;65(2):299-304.
17. Ueda M, Yamashita Y, Takehara M, Terai Y, Kumagai K, Ueki K, Kanda K, Hung YC, Ueki M. Gene expression of adhesion molecules and matrix metalloproteinases in endometriosis. Gynecol Endocrinol 2002;16(5):391-402.
18. Konno R, Yamada-Okabe H, Fujiwara H, Uchiide I, Shibahara H, Ohwada M, Ihara T, Sugamata M, Suzuki M. Role of immunoreactions and mast cells in pathogenesis of human endometriosis--morphologic study and gene expression analysis. Hum Cell 2003;16(3):141-9.
19. Cunha-Filho JS, Gross JL, Lemos NA, Brandelli A, Castillos M, Passos EP. Hyperprolactinemia and luteal insufficiency in infertile patients with mild and minimal endometriosis. Horm Metab Res 2001;33(4):216-20.
12
20. Inagaki J, Kondo A, Lopez LR, Shoenfeld Y, Matsuura E. Anti-laminin-1 autoantibodies, pregnancy loss and endometriosis. Clin Dev Immunol 2004;11(3-4):261-6.
21. Malinowski A, Dynski MA, Glowacka E, Nowak M, Wilczynski JR, Kolasa D, Tchorzewski H, Szpakowski M. [Antiphospholipid autoantibodies in women treated for infertility]. Ginekol Pol 2000;71(9):1011-6.
22. Gomez-Torres MJ, Acien P, Campos A, Velasco I. Embryotoxicity of peritoneal fluid in women with endometriosis. Its relation with cytokines and lymphocyte populations. Hum Reprod 2002;17(3):777-81.
23. Mazzeo D, Vigano P, Di Blasio AM, Sinigaglia F, Vignali M, Panina-Bordignon P. Interleukin-12 and its free p40 subunit regulate immune recognition of endometrial cells: potential role in endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 1998;83(3):911-6.
24. Lessey BA. Implantation defects in infertile women with endometriosis. Ann N Y Acad Sci 2002;955:265-80; discussion 293-5, 396-406.
25. Berkkanoglu M, Arici A. Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol 2003;50(1):48-59.
26. Bedaiwy MA, Falcone T. Laboratory testing for endometriosis. Clin Chim Acta 2004;340(1-2):41-56.
27. Miller WR, Jackson J. The therapeutic potential of aromatase inhibitors. Expert Opin Investig Drugs 2003;12(3):337-51.
28. Shippen ER, West WJ, Jr. Successful treatment of severe endometriosis in two premenopausal women with an aromatase inhibitor. Fertil Steril 2004;81(5):1395-8.
29. Fedele L, Berlanda N. Emerging drugs for endometriosis. Expert Opin Emerg Drugs 2004;9(1):167-77.
30. Maas JW, Calhaz-Jorge C, ter Riet G, Dunselman GA, de Goeij AF, Struijker-Boudier HA. Tumor necrosis factor-alpha but not interleukin-1 beta or interleukin-8 concentrations correlate with angiogenic activity of peritoneal fluid from patients with minimal to mild endometriosis. Fertil Steril 2001;75(1):180-5.
31. Nap AW, Griffioen AW, Dunselman GA, Bouma-Ter Steege JC, Thijssen VL, Evers JL, Groothuis PG. Antiangiogenesis therapy for endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 2004;89(3):1089-95.
32. Schindler AE. Gonadotropin-releasing hormone agonists for prevention of postoperative adhesions: an overview. Gynecol Endocrinol 2004;19(1):51-5.
13