Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda
-
Upload
hae-rina-agasi -
Category
Documents
-
view
1.166 -
download
5
description
Transcript of Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)
PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
Oleh
RINA RAHAYU
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
SUMMARY
RINA RAHAYU. Embryonic Development of Climbing Perch (Anabas
testudineus) at Different Incubation Temperatures (Supervised by MUSLIM and
YULISMAN).
The objective of the study was to know embryonic development climbing
perch (Anabas testudineus) at different incubation temperatures. The research was
done on 8-10th
February 2013 in the Laboratory of Basic Fisheries, Aquaculture
Program Study in the Faculty of Agriculture, University of Sriwijaya, Indralaya.
This current experiments tested five the different incubation temperature
treatments, namely (A1) 26 ± 1oC, (A2) 28 ± 1
oC, (A3) 30 ± 1
oC, (A4) 32 ± 1
oC
and (A5) 34 ± 1oC. The main parameters measured were embryonic development,
while supporting parameters are hatching time, hatching percentage, percentage of
abnormal larvae and water quality.
The results showed that eggs incubated under temperature range of study
had normal sequence of embryonic development pattern. Where in the incubation
temperature A1, A2 and A3 does not affect the blastodisk formation stage to stage
blastula and gastrula stage to start affect the hatching stage, but the A4 and A5
treatment temperature affects the blastodisk formation stage until hatching stage so
obtained was 38.47% abnormal larvae and 51,08%. Hatching time in treatment A1,
A2, A3, A4 and A5 is 20.41 hours, 19.33 hours, 18.16 hours, 16.58 hours and
14.50 hours. The percentage of treatment hatching on A1, A2, A3, A4 and A5 are
84.33%, 92.33%, 86%, 83.67% and 78.33%. Results of water quality
measurements at each treatment is pH (6.72 to 7.74) and DO (6.16 to 7.53).
Embryonic Development of Climbing Perch should be incubated in the
temperature range 26-30ºC to push the percentage of abnormalities and increase
the hatching percentage.
RINGKASAN
RINA RAHAYU. Embriogenesis Ikan Betok (Anabas testudineus) pada Suhu
Inkubasi yang Berbeda (Dibimbing oleh MUSLIM dan YULISMAN).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan embrio ikan
betok (Anabas testudineus) pada suhu inkubasi yang berbeda. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada tanggal 8-10 Pebruari 2013 di Laboratorium Dasar Perikanan
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya,
Indralaya. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan suhu inkubasi yang berbeda
yaitu (A1) 26 ± 1oC, (A2) 28 ± 1
oC, (A3) 30 ± 1
oC, (A4) 32 ± 1
oC dan (A5) 34 ±
1oC. Parameter utama yang diamati adalah perkembangan embrio, sedangkan
parameter penunjang adalah waktu penetasan, persentase penetasan, persentase
abnormalitas larva dan kualitas air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhu
masing-masing perlakuan menghasilkan pola perkembangan embrio yang teratur
dan baik. Dimana suhu inkubasi A1, A2 dan A3 tidak mempengaruhi stadia
formasi blastodisk hingga stadia blastula dan mulai mempengaruhi stadia gastrula
hingga menetas, tetapi suhu perlakuan A4 dan A5 mempengaruhi stadia formasi
blastodisk hingga menetas sehingga diperoleh larva abnormal sebesar 38,47% dan
51,08%. Waktu penetasan pada perlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 20,41
jam, 19,33 jam, 18,16 jam, 16,58 jam dan 14,50 jam. Persentase penetasan pada
perlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 84,33%, 92,33%, 86%, 83,67% dan
78,33%. Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing perlakuan adalah pH
(6,72-7,74) dan DO (6,16-7,53). Perkembangan embrio ikan betok sebaiknya
diinkubasi pada kisaran suhu 26-30oC untuk menekan persentase abnormalitas dan
meningkatkan persentase penetasannya
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)
PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
Oleh
RINA RAHAYU
Pada
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)
PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
Oleh
RINA RAHAYU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
Pada
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
Skripsi
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas tetudineus)
PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
Oleh RINA RAHAYU
05091005012
telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
Indralaya, Juli 2013
Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya
Dekan,
Dr. Ir. Erizal Sodikin
NIP. 196002111985031002
Pembimbing I
Muslim, S.Pi., M.Si
Pembimbing II
Yulisman, S.Pi., M.Si
Skripsi berjudul “Embriogenesis Ikan Betok (Anabas testudineus) pada Suhu
Inkubasi yang Berbeda” oleh Rina Rahayu telah di pertahankan di depan Komisi
Penguji pada tanggal 17 Juli 2013
Komisi Penguji
1. Musli m, S.Pi., M.Si Ketua
(............................)
2. Yulisman, S.Pi, M.Si Sekretaris (............................)
3. Ade Dwi Sasanti, S.Pi, M.Si Anggota (............................)
4. Ferdinand Hukama T., S.Pi, M.Si Anggota (............................)
5. Mirna Fitrani, S.Pi, M.Si Anggota (............................)
Mengesahkan
Ketua Program Studi Budidaya Perairan
Ferdinand Hukama Taqwa, S.Pi, M.Si
NIP. 197602082001121003
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
seluruh data dan informasi yang disajikan dalam Skripsi ini, kecuali yang
disebutkan dengan jelas sumbernya, adalah hasil penelitian atau investigasi saya
sendiri dan belum pernah atau tidak sedang diajukan sebagai syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan lainnya atau gelar kesarjanaan yang sama di tempat
lain.
Indralaya, Juli 2013
Yang membuat pernyataan
Rina Rahayu
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada hari Senin, tanggal 20 Agustus
1990 di Desa Terate Sp. Padang Kab. OKI. Penulis merupakan
anak ke tiga dari empat bersaudara dari pasangan Eman
Sulaeman dan Rustini.
Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1995 di Sekolah Taman
Kanak-kanak Pertiwi di Desa Terate Sp. Padang Kab. OKI. Dan pendidikan
Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 3 Tanjungraja pada tahun 2003, Sekolah
Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 5 Tanjungraja pada tahun 2006 dan
Sekolah Menengah Umum diselesaikan oleh Penulis di SMUN 2 Tanjungraja pada
tahun 2009.
Penulis diterima di Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya, melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SMPTN) pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi
Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Reproduksi dan Asisten Praktikum Mata
Kuliah Pakan Alami.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia dan
izin Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Embriogenesis Ikan
Betok (Anabas testudineus) pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda”.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan. Dengan selesainya Skripsi ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendampingi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ferdinand Hukama Taqwa, S.Pi., M.Si selaku ketua Program Studi
Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
2. Ibu Mirna Fitrani, S.Pi, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa membimbing, memberikan motivasi dan pelajaran yang
berharga
3. Bapak Muslim, S.Pi., M.Si dan Bapak Yulisman, S.Pi., M.Si selaku
pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Skripsi ini.
4. Semua staf dosen yang mengajar di Program Studi Budidaya Perairan yang
telah memberikan masukan atas penyelesaian skripsi ini
5. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan kasih sayang yang
tulus, mendoakan dan memberikan semangat
6. Terima kasih kepada Andi Herlambang dan teman-teman angkatan 2009,
khususnya kepada Dontriska, Wahyu Angga Saputra, Suprimantoro,
Warasto, Gideon, Yuri Amiro Hiitosi, Aris Susanto, Burmansyah, Annisa
Septimesy, Linda Purnama Sari, Adriana Mariska, Eka Srimuliati, Resfiza,
Dwi Anggraini, Yenni Srimulyani, Winda Wulandari, Triayu Rahmadiah
dan fitri Apri Yanti yang telah membantu, memberikan tenaga, materi dan
rasa persaudaraan yang erat dalam berjalannya penelitian ini.
7. Terima kasih kepada Cintya Putu Wirantika, Catur Lestari, Eka Saputra,
Riko Ebidra, Ofan Bosman, Resti Amelia dan teman-teman yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Indralaya, Juli 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Tujuan .............................................................................................................. 2
C. Hipotesis .......................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok (Anabas testudineus) .......................... 4
B. Habitat Ikan Betok (Anabas testudineus) ........................................................ 5
C. Proses Pembuahan ........................................................................................... 5
D. Perkembangan Embrio .................................................................................... 7
E. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Embrio ........................................... 12
F. Kualitas Air ...................................................................................................... 14
III. PELAKSANAAN PENELITIAN ........................................................................ 17
A. Tempat dan Waktu .......................................................................................... 17
B. Alat dan Bahan ................................................................................................ 17
C. Metode Penelitian ............................................................................................ 17
D. Cara Kerja ....................................................................................................... 18
E. Parameter yang Diamati .................................................................................. 22
ii
F. Pengambilan Data ............................................................................................ 23
G. Analisis Data ................................................................................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 24
A. Perkembangan Embrio .................................................................................... 24
B. Kualitas Air ..................................................................................................... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 39
A. Kesimpulan .................................................................................................... 39
B. Saran ............................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 40
LAMPIRAN ............................................................................................................... 42
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Interval waktu pengamatan perkembangan embrio ......................................... 23
2. Tahapan waktu stadia perkembangan embrio ikan betok ................................. 24
3. Rata-rata waktu penetasan, persentase penetasan dan abnormalitas ................. 35
4. Kisaran kualitas air selama penelitian ............................................................... 37
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ikan betok (Anabas testudineus) ....................................................................... 4
2. Tahapan perkembangan embrio ........................................................................ 22
3. Tahapan perkembangan embrio ikan betok pada setiap stadia ......................... 28
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Denah penelitian................................................................................................ 43
2. Waktu perkembangan embrio ikan betok pada setiap perlakuan ...................... 44
3. Data waktu penetasan telur ikan betok.............................................................. 49
4. Persentase penetasan telur ikan betok ............................................................... 50
5. Persentase abnormalitas larva ikan betok ......................................................... 51
6. Data pengukuran pH selama penelitian............................................................. 52
7. Data pengukuran oksigen terlarut selama penelitian ........................................ 53
8. Kisaran nilai kualitas air selama penelitian ....................................................... 54
9. Data suhu selama penelitian .............................................................................. 55
10. Data panjang total larva setelah menetas ........................................................ 56
11. Dokumentasi pelaksanaan penelitian .............................................................. 57
vi
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan jenis ikan air tawar yang
hidup di perairan rawa, danau, sungai, dan genangan air lainnya (Suriansyah et al.,
2010). Menurut Ahmad dan Fauzi (2010), ikan betok memiliki potensi besar
untuk dibudidayakan, baik di lingkungan perairan rawa-rawa yang kritis dari segi
mutu air maupun tanahnya.
Menurut Kordi (2010), budidaya ikan betok belum dilakukan secara
intensif. Kendala utama dalam pengembangan budidaya ikan betok adalah
terbatasnya benih, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya (Marlida, 2008).
Kegiatan pembenihan merupakan peluang yang prospektif untuk memproduksi
ikan betok. Menurut Marlida (2008), keberhasilan budidaya ikan betok tergantung
pada teknologi pembenihan dan pemeliharaan larva. Kualitas larva ikan betok
dipengaruhi oleh perkembangan embrio. Periode kehidupan ikan betok sejak fase
embrio hingga fase larva merupakan periode kritis pada awal kehidupan (Marlida,
2008). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lagre (1972) dalam
Ariffansyah (2007) bahwa perkembangan embrio merupakan bagian awal siklus
hidup yang berhubungan dengan aspek-aspek evolusi, hereditas, mekanisme
perkembangan dan pengaruh lingkungan terhadap bentuk dan struktur organisme.
Menurut Sukendi (2003) perkembangan embrio dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan
embrio salah satunya adalah suhu. Suhu rendah ataupun tinggi dapat
1
2
mempengaruhi proses perkembangan embrio, dimana suhu rendah akan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk perkembangan embrio dibandingkan
suhu yang lebih tinggi (Sukendi, 2003). Menurut Marlida (2008), penetasan telur
ikan betok yang diinkubasi pada suhu 28oC membutuhkan waktu 19,74 jam yang
merupakan waktu lebih lama dibandingkan waktu inkubasi telur ikan betok pada
suhu 30 dan 32oC.
Suhu rendah atau tinggi yang dapat ditoleransi setiap jenis ikan berbeda-
beda, namun suhu rendah atau tinggi yang melewati batas toleransi perkembangan
embrio akan menyebabkan tingginya tingkat abnormalitas larva yang dihasilkan.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shafrudin (1997), bahwa pada
percobaan inkubasi telur ikan koki (Carasius auratus) didapatkan frekuensi
kejadian larva cacat yang tinggi pada suhu 27oC dan mencapai 90% pada suhu
12oC. Menurut Ariffansyah (2007) perkembangan embrio ikan gurami yang di
inkubasi pada suhu 32-34oC membutuhkan waktu perkembangan embrio yang
relatif lebih cepat dari perlakuan lainnya yaitu 27,5 jam, namun menghasilkan
larva kurang baik dan mengalami abnormalitas sebesar ± 40%. Dari hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa jika perkembangan embrio ikan
betok menggunakan suhu inkubasi dibawah 26oC akan menghasilkan waktu
perkembangan embrio semakin lama dan jika suhu inkubasi diatas 34oC akan
menghasilkan larva cacat yang semakin tinggi dan dapat menyebabkan kegagalan
penetasan bahkan kematian. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui perkembangan embrio pada masing-masing suhu perlakuan sehingga
3
diketahui apa yang terjadi pada perkembangan embrio ikan betok yang
menghasilkan waktu perkembangan embrio paling lama dan paling singkat.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan embrio
ikan betok (Anabas testudineus) pada suhu inkubasi yang berbeda.
C. Hipotesis
Diduga suhu berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan betok
(Anabas testudineus)
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok
Klasifikasi ikan betok menurut Saanin (1986) adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Labyrinthici
Subordo : Anabantoidei
Famili : Anabantidae
Genus : Anabas
Spesies : Anabas testudineus Bloch
Gambar 1. Ikan betok (Anabas testudineus)
(http://arisandifarm.blogspot.com)
4
5
Betok (Anabas testudineus) adalah salah satu jenis ikan di perairan umum
Indonesia. Bentuk tubuh ikan betok lonjong dengan kepala lebar dan memipih ke
belakang. Tubuh betok ditutupi oleh sisik berwarna hijau kehitam-hitaman pada
bagian punggung dan putih mengkilat atau putih kehijau-hijauan di bagian perut.
Betok termasuk ikan berukuran kecil, hanya dapat mencapai panjang sekitar 23
cm dan berat sekitar 200 g/ekor (Kordi, 2010).
B. Habitat
Ikan betok di temukan di semua jenis perairan tropis dan subtropis. Ikan
betok biasanya hidup diperairan rawa yang menjadi habitatnya. Meskipun ikan
betok dapat hidup di perairan tawar, namun ikan betok memiliki toleransi yang
tinggi terhadap salinitas (Jacob, 2005). Benih ikan betok berukuran 14,0 mm
dapat mentoleransi salinitas hingga 11,5% (Khan et al., 1976 dalam Jacob, 2005).
Meskipun suhu optimum ikan berkisar 20-30oC, tapi ikan betok dapat hidup pada
suhu yang sangat rendah (Hora dan Pillay, 1962 dalam Jacob, 2005). Ikan betok
dapat bertahan hidup pada kondisi kemarau dengan cara mengubur diri di dalam
lumpur seperti African Lungfish (Thiraphan, 1984 dalam Jacob, 2005).
C. Proses Pembuahan
Menurut Sjafei et al. (1992), pembuahan adalah proses dimana
spermatozoa membuahi sel telur dan disebut juga dengan fertilisasi yang menjadi
asosiasi gamet. Pertemuan antar gamet menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan pada spermatozoa yang mempengaruhi bagian pertama dan terpenting
yakni akrosom.
6
Pembuahan ikan betok terjadi di luar tubuh, setelah induk betina
melepaskan telur maka induk jantan akan melepaskan spermatozoa. Karena
mikrofil yang merupakan ruang atau tempat bertemu dengan sel telur sangat kecil.
Oleh karena itu, sperma dikeluarkan dalam jumlah yang sangat banyak
dibandingkan dengan telur yang akan dibuahi. Namun semua spermatozoa
memiliki kesempatan yang sama untuk dapat membuahi sel telur (Sutisna dan
Ratno, 1995). Jika telur hasil pemijahan tidak dibuahi oleh sperma maka telur ikan
akan mati dengan tingkat kecerahan yang hilang, berwarna putih keruh dan pucat.
Menurut Murtidjo (2002) pembuahan telur ikan didukung dengan adanya
substansi yang disebut fertilizin yang akan merangsang spermatozoa untuk
mengejar telur yang dikeluarkan oleh induk betina, fertilizin dikeluarkan oleh telur
pada saat terakhir ketika telur dilepas dan siap untuk dibuahi. Menurut Sukendi
(2003) selain fertilizin terdapat juga antifertilizin yaitu substansi yang dihasilkan
oleh lapisan cortical oleh telur yang dapat menghambat spermophilik dari
fertilizin. Pada proses fertilisasi ini molekul bebas dari fertilizin setelah terjadi
penggabungan antara spermatozoa dengan telur, dengan tujuan agar tidak terjadi
polyspermi. Menurut Murtidjo (2002) pembuahan telur terjadi jika spermatozoa
memasuki telur lewat mikropil. Satu spermatozoa cukup untuk membuahi satu
telur ikan dan pembuahan itu sendiri terjadi dengan masuknya kepala seprmatozoa
kedalam sel telur dan ekor spermatozoa tertinggal di luar. Ketika spermatozoa
masuk ke dalam sel telur, sitoplasma dan khorion meregang dengan segera
menutup mikropil untuk menghalangi masuknya spermatozoa yang lain. Jika sel
telur yang sudah bergabung dengan spermatozoa, inti spermatozoa mulai
7
membesar dan kromosomnya mengalami perubahan, sehingga memungkinkan
untuk berhimpun dengan kromosom dari sel telur sebagai fase awal.
Menurut kebanyakan literatur Eropa menyatakan bahwa zat yang
dikeluarkan oleh telur dan spermatozoa dinamakan Gamone. Gamone yang
berasal dari telur dinamakan Gynamone I dan Gynamone II, sedangkan Gamone
dari spermatozoa disebut Androgamone I dan Androgamone II (Ginszburg, 1972
dalam Sukendi, 2003). Gamone I berperan untuk mempercepat pengeluaran dan
menarik spermatozoa dari spesies yang sama secara kemotaksis. Gynamone II
berperan untuk mengumpulkan dan menahan spermatozoa pada permukaan sel.
Sedangkan androgamone I berperan untuk menekan aktifitas spermatozoa ketika
masih berada dalam saluran genital ikan jantan dan androgamone II berperan
untuk membuat permukaan chorion menjadi lunak sebagai lawan dari fungsi
Gynamone II.
D. Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio merupakan bagian awal siklus hidup yang
berhubungan dengan aspek-aspek evolusi, hereditas, mekanisme perkembangan
dan pengaruh lingkungan terhadap bentuk dan struktur organisme (Lagre 1972
dalam Ariffansyah 2007). Periode embrio terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase
pembelahan sel telur menjadi zygote (cleavage stage), fase embrio dan fase
embrio bebas. Fase pembelahan yaitu interval antara pembelahan sel pertama
sampai munculnya ciri-ciri tertentu yang dapat dikenal antara lain sistem-sistem
organ, terutama lempeng neural. Fase embrio merupakan interval antara dimana
8
embrio dikenal sebagai vertebrata atau bukan, ketiga sistem organ utama mulai
muncul sampai terjadinya penetasan. Pada fase ini embrio masih berbentuk
melengkung. Terjadinya penetasan bervariasi baik antar spesies maupun antar
individu didalam satu spesies (Moyte dan cech, 188; Kendal et al., 1984 dalam
Sjafei et al., 1992).
Fase embrio bebas (eleutheroembryo stage), yaitu fase setelah embrio
terlepas dari selaput/cangkang telur. Pada fase ini embrio tidak melengkung lagi
bentuknya, tetapi lebih mirip ikan, masih menggunakan kuning telur sebagai
sumber makanannya (atau dari plasenta, bagi ikan vivipar dan ovovivipar),
biasanya masih tetap tinggal di lingkungan yang sama seperti pada fase
sebelumnya. Kisaran fase embrio bebas bervariasi, dapat sangat lama seperti fase
embrio ikan salmon di tempat pemijahan, dapat pula sangat cepat (Sjafei et al.,
1992).
Proses embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi suhu dimulai
dari stadia pembelahan sel telur (cleavage), morula, blastula, gastrula, dan
dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas (Waynarovich dan
Horvart, 1980 dalam Sjafei et al., 1992). Stadia Cleavage merupakan proses
pembelahan zigot secara cepat tanpa pertumbuhan yang menjadi unit-unit sel kecil
yang disebut blastomer (Murtidjo, 2002). Pada stadia ini terjadi pembelahan
holoblastic atau pembelahan keseluruhan sel telur yang terjadi pada spesies yang
memiliki kuning telur dalam jumlah kecil ataupun sedang. Pembelahan mengikuti
pola yang spesifik relatif terhadap kutub animal dan kutub vegetal zigot tersebut
(Safitri et al., 2003). Telur yang telah terbuahi oleh spermatozoa akan segera
9
terjadi proses pembelahan yang dimulai dari dua sel hingga morula. Tipe
pembelahan ini menurut Billard (1964) dan Gilbert (1988) dalam Sukendi (2003),
adalah tipe pembelahan meroblastic-discaudal yang merupakan tipe pembelahan
yang tidak melibatkan kuning telur untuk melakukan pembelahan. Pembelahan
terjadi sekitar 10 menit setelah telur terbuahi, protoplasma bergerak menuju kutub
animal dan mulai terjadi pembentukan blastodisk. Setelah 30-45 menit kemudian
terbentuk tonjolan seperti mangkuk pada kutub animal. Selanjutnya mulai terjadi
pembelahan dua sel, yang merupakan pembelahan pertama dan terjadi sekitar 1
jam setelah pembuahan. Pada pembelahan ini sel blastomer embrio terbagi atas
dua sel yang sama. Pembelahan selanjutnya adalah pembelahan empat sel, yang
berlangsung setelah 1 jam 45 menit setelah pembuahan. Pada pembelahan ini
blastomer berubah seperti plat dan kemudian membelah secara bilateral yang
merupakan lanjutan dari pembelahan dua sel. Stadia pembelahan delapan sel
terjadi setelah 2 jam 30 menit setelah pembuahan dan merupakan pembelahan sel
ketiga. Empat sel blastomer berubah menjadi 8 sel blastomer dalam dua deretan
(bagian) dan tiap bagian terdiri atas empat sel. Stadia pembelahan enam belas sel
terjadi setelah 2 jam 45 menit setelah pembuahan, pada pembelahan ini sitoplasma
membelah secara berganda dan hasil pembelahannya berupa enam belas sel
blastomer (Sukendi, 2003).
Setelah pembelahan enam belas sel maka dilanjutkan dengan stadia
morula, yaitu dimulai dengan stadia morula awal. Stadia ini terjadi 4 jam 30 menit
setelah pembuahan, yang menyebabkan blastodisk terbagi kedalam sejumlah besar
sel. Blastomer-blastomer meningkat dalam jumlah besar dan semakin mengecil
10
dan terbentuk tonjolan pada kutub animal. Kemudian dilanjutkan dengan stadia
morula akhir, yaitu 6 jam setelah pembuahan. Sel-sel morula terbagi pada bagian
tonjolan yang mengandung banyak lekukan kuning telur. Lapisan protoplasma
terkonsentrasi antara kuning telur dan massa sel (Perioblast) (Sukendi, 2003).
Stadia blastula merupakan proses yang menghasilkan blastula, suatu
campuran sel-sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan sebagai
blastokoel. Pada akhir stadia blastula, sel-sel blastoderm akan terdiri atas neural,
epidermal, notokhordal, mesodermal dan endodermal yang merupakan bakal
pembentuk organ-organ (Murtidjo, 2002). Menurut Sukendi (2003), stadia
blastula terjadi setelah 8 jam pembuahan dengan ciri terbentuknya lapisan yang
jelas dan membentuk suatu rongga (blastocoels). Menurut Sukra (2000), blastula
merupakan proses perkembangan morula menjadi blastula, pada stadia ini sel
blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga menjadi semakin kecil
dan menjelang berakhirnya pembelahan sebagian blastomer yang ada dibawah
morula rontok, sehingga tempat yang semula padat dengan blastomer berubah
menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau blastocoels. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Lagler (1972) dalam Sukendi (2003), stadia
blastula dicirikan dengan terbentuknya rongga (blastocoels) yang terletak antara
cincin kecambah (blastoderm) dengan plasma sel yang menjulur ke bagian dalam
(perioblast) yang menempel pada bagian kuning telur.
Gastrula merupakan kelanjutan dari stadia blastula, dimana lapisannya
berkembang dari satu menjadi dua lapis sel (Effendie, 2002). Stadia grastula
merupakan proses yang mengatur kembali blastula atau pembelahan sebuah
11
embrio berlapis tiga dengan perut primitif dan disebut pembelahan bakal organ
yang sudah terbentuk pada saat blastula. Memiliki rongga pencernaan rudimenter
(arkenteron) dan tiga lapisan germinal embrionik yaitu ektoderm, endoderm, dan
mesoderm (Safitri et al., 2003). Bagian-bagian yang terbentuk nantinya akan
menjadi suatu organ atau suatu bagian dari organ (Murtidjo, 2002). Menurut
Sukendi (2003), stadia gastrula terjadi 3 jam setelah blastocoels terbentuk, dimana
sel-sel pada bagian marginal yang paling tebal mulai terbantuk lekukan
(invaginate) pada sitoplasma atau kuning telur dan merupakan awal dari stadia
gastrula. Stadia gastrula terdiri dari ektoderm dari kutub animal, endoderm dari
kutub vegetal dan mesoderm dari daerah marginal yang merupakan lapisan
kecambah (germ-ring).
Organogenesis merupakan proses terbentuknya berbagai organ tubuh yang
terjadi secara berturut-turut meliputi susunan saraf, notokhord, mata, somit,
rongga kupffer, olfaktori sac, ginjal, usus, sub-notokhord rod, linea literalis,
jantung, aorta, insang, infundibulum dan sirip dada berasal dari mesoderm. Usus,
rongga kuffer dan subnotokhord rod berasal dari endoderm. Insang, linea literalis
dan lipatan-lipatan sirip berasal dari ektoderm (Murtidjo, 2002). Menurut Safitri et
al. (2003), organ tubuh terbentuk dari tiga lapisan germinal embrio. Menurut
Sukendi (2003), stadia organogenesis terjadi 13 jam 30 menit setelah pembuahan
dimana terbentuk lima dasar pembentukan organ yang berhubungan dengan
notocord axial yaitu organ-organ epidermal, neural, endodermal dan mesodermal.
Bumbung neural terbentuk setelah tenggelamnya lekukan neural seperti otak,
ganglion dan mata. Organ yang berasal dari endodermal adalah bagian dalam
12
seperti organ pencernaan, mesodermal membentuk organ ginjal dan gonad.
Setelah 21 jam pembuahan terbentuklah bintik mata (optic vesicle). Sedangkan
pembentukan pigmen mata dan sirip terjadi setelah 38-70 jam pembuahan.
Pada saat terjadi penetasan, kekerasan khorion menurun yang disebabkan
oleh substansi enzim khorionase yang bersifat mereduksi khorion yang terdiri
dari pseudokarotin menjadi lemak yang sifatnya lebih lemah (Sukendi, 2003).
Selain disebabkan oleh pelembutan khorion oleh enzim penetasan juga disebabkan
oleh gerakan-gerakan akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya atau penyerapan
tekanan oksigen (Blaxter, 1969 dalam Sukendi, 2003). Penetasan telur terjadi jika
embrio telah menjadi lebih panjang daripada lingkaran kuning telur dan telah
terbentuk perut. Selain itu, penetasan juga disebabkan oleh gerakan larva akibat
peningkatan temperatur, intensitas cahaya dan pengurangan tekanan oksigen.
Setelah telur menetas, embrio memasuki fase larva atau fase embrio yang masih
primitif dalam proses perubahan menjadi bentuk definitif secara metamorfosis
(Murtidjo, 2002).
E. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Embrio
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan larva,
yaitu faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan adalah
suhu (Sulistyowati, 2005). Proses perkembangan telur sangat dipengaruhi oleh
suhu air, ketika suhu semakin tinggi maka proses perkembangan embrio akan
semakin cepat (Melianawati et al., 2010). Menurut Thamrin et al. (2010),
kecepatan embriogenesis pada setiap jenis ikan akan berbeda-beda, namun
13
perbedaan itu juga terjadi diantara tahap dengan tahap embrio berikutnya akibat
faktor lingkungan, salah satunya adalah suhu. Menurut Ariffansyah (2007) suhu
inkubasi mempengaruhi bentuk morfologi larva yang ditetaskan seperti panjang
embrio, volume kuning telur, pola-pola meristik dan pembentukan rahang. Namun
proses perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam
media penetasan yang suhunya berfluktuasi (Djarijah, 2001). Embrio yang
diinkubasi pada suhu optimal menghasilkan larva yang berukuran besar, porsi
kuning telur menjadi jaringan lebih tinggi, kemampuan makan dan berenang lebih
besar (Heming dan Buddington, 1988 dalam Budiardi, 2005).
Pemberian suhu inkubasi yang rendah pada fase awal inkubasi
mengakibatkan terhambatnya proses pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Ariffansyah (2007) dalam penelitiannya bahwa pada suhu
inkubasi yang rendah yaitu 23-25oC menyebabkan proses perkembangan embrio
setiap stadia terjadi lebih lambat dibandingkan dengan media inkubasi suhu tinggi
yaitu pada suhu 29-31oC. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugama
et al. (2001) dalam Melianawati et al., (2010) fase yang sangat peka dalam
perkembangan telur adalah sebelum stadia embrio, terutama sebelum mencapai
stadia blastula. Menurut Dwajad dan Jompa (2007), kejutan suhu dingin dapat
menurunkan persentase derajat penetasan telur ikan bandeng karena pada suhu
tersebut telur-telur tidak dapat berkembang secara normal sehingga mekanisme
penetasan yang meliputi proses mekanik dan proses enzimatik terganggu.
Meningkatnya suhu akan mempercepat kelangsungan metabolisme
sehingga nutrien dan energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar (Fosberg dan
14
Summerfelt, 1992 dalam Budiardiet al., 2005). Suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan larva prematur (lebih cepat menetas) sehingga larva yang dihasilkan
kurang siap dalam menghadapi lingkungannya (Woynarovich dan Horvath, 1980
dalam Ariffansyah, 2007). Suhu yang melewati batas optimal menyebabkan
nutrien dan energi akan lebih banyak digunakan untuk pemeliharan, sehingga
proporsi penggunaan energi untuk pertumbuhan akan menurun (Watanabe dan
Kiron 1994 dalam Budiardi et al., 2005). Menurut Budiardi et al. (2005), embrio
yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan larva yang
dihasilkan sehingga kelangsungan hidupnya meningkat dan penetasan embrio
akan terjadi apabila panjang embrio melebihi kapasitas pembungkusnya.
F. Kualitas Air
Kondisi lingkungan yang biasa mempengaruhi kehidupan embrio dan larva
ikan betok adalah kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut dan pH. Suhu yang
rendah akan menghasilkan waktu penetasan yang lambat dan suhu yang tinggi
akan mempercepat waktu penetasan embrio (Prochazka, 2009). Proses
perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam media
penetasan yang suhunya berfluktuasi (Djarijah, 2001). Menurut Budiardi et al.
(2005), embrio yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan
larva yang dihasilkan sehingga kelangsungan hidupnya meningkat dan penetasan
embrio akan terjadi apabila panjang embrio melebihi kapasitas pembungkusnya.
Suhu optimal pada penetasan dan pemeliharaan larva ikan manvis adalah 30oC,
dimana telur lebih cepat menetas dengan laju penyerapan kuning telur dan laju
15
pertumbuhan relatif panjang terbaik dan menghasilkan tingkat kelangsungan
hidup tertinggi.
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan dipengaruhi oleh kandungan oksigen
terlarut didalam air. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2 ppm maka
kebanyakan ikan berhenti makan, aktivitas bergerak menurun dan menggunakan
oksigen yang tersedia untuk mempertahankan sistem yang menunjang dasar-dasar
kehidupan, terutama sitem saraf dan peredaran darah (Farker dan Davis, 1981
dalam Shafrudin, 1997). Untuk mencapai keberhasilan penetasan dan
kelangsungan hidup larva ikan secara umum Alabster dan Lioyd (1982) dalam
Shafrudin (1997) menetapkan nilai minimal sebesar 5 ppm. Menurut Sukendi
(2003) oksigen terlarut akan dapat mempengaruhi jumlah elemen-elemen meristik
embrio, dimana kebutuhan oksigen optimum untuk setiap ikan berbeda tergantung
pada jenisnya. Berdasarkan UNESCO/WHO/UNEP (1992) kadar oksigen untuk
mendukung kehidupan organisme akuatik berkisar antara 5-9,0 mg/l. Pemakaian
oksigen meningkat perlahan saat terjadi pembelahan, dimana pada saat telur
menetas, pemakaian oksigen meningkat 29 kali dari pemakaian oksigen awal saat
fertilisasi (Kientjokowati, 1982 dalam Ariffansyah, 2007). Telur yang tidak
terbuahi menyerap 0,052 mm3 O2/telur/jam karena adanya jamur dan terjadi
proses pembusukan, sedangkan telur yang terbuahi membutuhkan 0,056 mm3
O2/telur/jam (Kamler, 1990 dalam Ariffansyah, 2007).
Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi penetasan, karena dapat
mempengaruhi kerja enzim Chorionase dan enzim ini akan dapat bekerja secara
optimum pada pH antara 7,1-9,6 (Sukendi, 2003). Menurut Yustina dan
16
Darmawati (2003) dalam Arsianingtyas (2009) kisaran pH yang optimal untuk
penetasan adalah 6,2-7,8. Selain suhu, oksigen terlarut dan pH ada faktor lain
yang mempengaruhi perkembangan embrio yaitu cahaya dan salinitas. Menurut
Sukendi (2003) cahaya yang kuat dapat mempercepat penetasan, tetapi cahaya
juga dapat menyebabkan kematian dan pertumbuhan embrio yang jelek serta
terjadi banyak figmentasi yang berakibat terganggunya proses penetasan. Salinitas
dapat mempengaruhi osmoregulasi pada proses penetasan, telur ikan air tawar bila
diinkubasi pada larutan yang bersalinitas tinggi akan menyebabkan terjadinya
pengembungan karena cairan diluar telur yang hyperosmotik akan masuk kedalam
telur yang hypoosmotik sehingga terjadi pengembangan dan akhirnya akan pecah.
17
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 8-10 Pebruari 2013 di
Laboratorium Dasar Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, peralatan untuk
penetasan telur yang terdiri dari lampu (sumber cahaya), pemanas air (heater),
serok, saringan, aerator beserta perlengkapannya. Alat yang digunakan untuk
pengamatan perkembangan telur yaitu mikroskop, mikrometer, kaca preparat,
pipet tetes, spatula, dan kamera digital. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air
terdiri dari DO meter untuk mengukur oksigen terlarut, termometer untuk
mengukur suhu, dan pH meter untuk mengukur pH. Bahan yang digunakan yaitu
ovaprim, NaCl dan indukan ikan betok.
C. Metodologi Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan lima taraf perlakuan dan tiga ulangan dengan kode perlakuan suhu
media penetasan dan pemeliharaan (A). Perlakuan tersebut sebagai berikut :
17
18
A1 = Suhu 26 ± 1oC
A2 = Suhu 28 ± 1oC
A3 = Suhu 30 ± 1oC
A4 = Suhu 32 ± 1oC
A5 = Suhu 34 ± 1oC
D. Cara Kerja
1. Persiapan Media
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium ukuran
25x25x25 cm3sebanyak 15 buah dan akuarium ukuran 70x40x30 cm
3 sebanyak
satu buah yang telah diisi air tawar dan diberi aerasi. Akuarium dengan ukuran
25x25x25 cm3 diberi pemanas air (heater) yang telah diatur suhunya sesuai
dengan perlakuan. Sedangkan akuarium ukuran 70x40x30 cm3
sebagai tempat
pemijahan ikan betok.
2. Pemeliharaan Induk
Induk yang digunakan untuk proses pemijahan berasal dari tangkapan
masyarakat yang tinggal di Indralaya Ogan Ilir dan didomestikasi pada kolam
pemeliharaan. Induk betok yang dipilih memiliki tubuh yang sehat, tidak cacat
dengan pergerakan tubuh lincah dan telah matang gonad yang terlihat dari bentuk
morfologinya, yaitu induk betina memiliki warna badan agak gelap, lubang
genital berwarna kemerahan, perut yang terlihat membesar dan apabila di
stripping keluar telur. Induk jantan yang sudah matang gonad memiliki bentuk
19
tubuh ramping memanjang, warna badan sedikit cerah, bagian bawah perut agak
rata dan apabila di stripping keluar cairan putih susu/sperma.
3. Penyuntikan Ovaprim
Penyuntikan ikan betok jantan dan betina menggunakan ovaprim (hormon
a-SGnRH, LHRH dan domperidone) dengan dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan
dilakukan di intramuscular pada otot punggung induk. Induk betina dilakukan
penyuntikan sebanyak 2 kali, penyuntikan pertama sebanyak 1/3 dosis dan
penyuntikan ke dua sebanyak 2/3 dosis dengan selang waktu 6 jam setelah
penyuntikan pertama. Penyuntikan induk jantan 1 kali bersamaan pada
penyuntikan kedua induk betina. Setelah dilakukan penyuntikan antara induk ikan
jantan dan induk ikan betina maka induk ikan tersebut dimasukkan ke dalam
akuarium pemijahan untuk melakukan proses pemijahan, dengan perbandingan
1:1 (1 jantan 1 betina).
4. Pemijahan Induk
Pemijahan ikan betok terjadi 6 jam setelah penyuntikan kedua. Setelah
selesai memijah induk segera diangkat dengan hati-hati dan dipindahkan ke
akuarium penampungan induk.
5. Pengambilan Telur
Pengambilan telur dilakukan dengan selang waktu yang singkat setelah
induk ikan betok melakukan ovulasi dan kemudian dilakukan pengambilan
sampel telur untuk pengamatan perkembangan embrio di bawah mikroskop.
20
6. Inkubasi Telur
Pada saat penempatan telur, media inkubasi telah berada di kondisi suhu
yang sesuai perlakuan dan telur berada pada stadia formasi blastodik. Pada
masing-masing akuarium perlakuan yang berukuran 25x25x25 cm3
diisi air
sebanyak 10,63 L dengan ketinggian 17 cm dan di inkubasikan telur ikan
sebanyak 100 butir di dalam wadah saringan dan 100 butir di luar saringan.
Sehingga setiap perlakuan menggunakan 600 butir untuk tiga ulangan.
7. Pengamatan Perkembangan Embrio
Pengamatan perkembangan embrio dilakukan dengan cara pengambilan
sampel telur yang berada didalam wadah saringan sebanyak 5% secara acak
dengan menggunakan pipet tetes dari setiap akuarium perlakuan dan
menempatkannya pada kaca preparat. Perkembangan embrio diamati pada stadia
formasi blastodisk sampai dengan telur menetas dan pada setiap stadia dilakukan
juga pengukuran diameter telur ikan betok pada setiap perlakuan. Pengamatan
perkembangan embrio dilakukan dengan menggunakan kamera digital sehingga
sampel telur di foto dengan interval waktu pemotretan antar perlakuan hanya
dalam hitungan detik dan setelah selasai dipotret sampel telur di letakkan kembali
pada setiap perlakuan untuk menjaga sampel telur tetap berada pada suhu
inkubasi. Interval waktu pengamatan pada setiap stadia dilakukan secara berulang
hingga memasuki stadia berikutnya dapat dilihat pada Tabel 1.
21
Stadia Interval Waktu
Pengamatan (Menit)
Keterangan
Pembelahan zigot 5 Pengamatan dimulai dari terbentuknya
formasi blastodisk yang diamati secara
berulang dengan interval waktu 5
menit hingga memasuki stadia
berikutnya
Morula 10 Pengamatan dilakukan secara berulang
setelah stadia pembelahan berakhir
dengan interval waktu 10 menit
hingga memasuki stadia berikutnya
Blastula 15 Pengamatan dilakukan dengan interval
waktu 15 menit secara berulang
setelah stadia morula berakhir hingga
memasuki stadia berikutnya
Gastrula 15 Pengamatan dilakukan secara berulang
dengan interval waktu 15 menit
setelah stadia blastula berakhir hingga
memasuki stadia berikutnya
Organogenesis 20 Pengamatan dilakukan setelah stadia
blastula berakhir dengan interval
waktu 20 menit secara berulang
hingga memasuki stadia berikutnya
Menetas 30 Pengamatan dilakukan setelah stadia
organogenesis berakhir dengan
interval waktu 30 menit secara
berulang hingga telur pada setiap
perlakuan menetas ±90%
Tabel 1. Interval waktu pengamatan
22
E. Parameter yang diamati
Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini yaitu perkembangan
embrio dan parameter penunjang dalam penelitian ini meliputi waktu penetasan,
persentase penetasan, persentase abnormalitas dan kualitas air :
1. Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio diamati dengan interval waktu yang telah
ditentukan pada Tabel 1. Untuk memudahkan pengamatan perkembangan embrio,
Verma (1969) dalam Sukendi (2003) membuat tahapan perkembangan embrio
pada Gambar 2.
:
Gambar 2. Tahapan perkembangan embrio ikan dari Verma (1969) dalam
Sukendi (2003)
2. Waktu Penetasan
Waktu penetasan telur (t) diketahui dengan cara mencatat waktu terjadi
pembuahan (to) dan mencatat waktu telur menetas seluruhnya dari 100 butir telur
yang ditebar (tn) sehingga diperoleh rumus t = tn – to.
3. Persentase Penetasan
Persentase penetasan telur adalah persentase jumlah telur yang menetas
menjadi larva dengan menggunakan rumus Slamet et al, (1989) sebagai berikut :
a. Formasi blastodisk b. 2 Sel c. 4 Sel d. 8 Sel e Morula f. Blastula
g. Gastrula h. Neurula i. Organogenesis
0,5 mm 0,5 mm
0,5 mm
23
4. Abnormalitas Larva
Abnormalitas larva merupakan persentase jumlah telur yang menetas
menjadi larva cacat (abnormal). Menurut Nirmala (2006) persentase abnormalitas
larva dihitung berdasarkan rumus berikut :
5. Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini yaitu pH dan
oksigen terlarut (DO).
F. Pengambilan Data
Data yang diambil dari penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil penelitian meliputi perkembangan embrio, waktu
penetasan, persentase penetasan, persentase abnormalitas larva dan kualitas air.
Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil penelitian terdahulu dan studi
pustaka yang menunjang.
G. Analisis Data
Data perkembangan embrio ikan betok (Anabas testudineus, waktu
penetasan, persentase penetasan, persentase abnormalitas larva dan kualitas air
dianalisis secara deskriptif.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio ikan betok terjadi setelah sperma membuahi sel
telur. Proses perkembangan embrio terdiri dari beberapa tahapan yaitu
pembelahan sel, morula, blastula, gastrula dan stadia organogenesis. Hasil
pengamatan pada telur ikan betok diperoleh tahapan waktu stadia perkembangan
embrio ikan betok pada suhu inkubasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 (data
lengkap disajikan dalam Lampiran 2), sedangkan tahapan perkembangan embrio
ditampilkan pada Gambar 3.
Stadia
Perkembangan
Waktu Perkembangan Embrio pada setiap Perlakuan
(Menit)
A1 A2 A3 A4 A5
Blastodisk 60 60 60 40 35
Pembelahan
- 2 Sel 90 90 90 70 60
- 4 Sel 120 120 120 100 85
- 8 Sel 150 150 150 130 110
- 16 Sel 180 180 180 155 135
- 32 Sel 210 210 210 180 160
- 64 Sel 240 240 240 205 185
- 128 Sel 270 270 270 230 210
Morula 300 300 300 255 235
Blastula
- Awal 360 360 360 310 285
- Pertengahan 390 390 390 335 310
- Akhir 420 420 420 360 335
Gastrula
- Awal 520 510 505 430 400
- Pertengahan 550 540 530 455 425
- Akhir 680 660 640 565 510
Neurula
- Awal 745 720 695 620 550
- Akhir 805 775 750 675 590
Tabel 2. Tahapan waktu stadia perkembangan embrio ikan betok (menit)
24
25
Telur ikan betok yang diinkubasi pada suhu berbeda mengalami
perkembangan embrio yang dimulai dengan terbentuknya formasi blastodisk.
Formasi blastodisk merupakan proses terbentuknya satu sel blastomer pada kutub
anima sehingga membentuk sebuah benjolan. Setelah formasi blastodisk
terbentuk, satu sel yang ada mengalami pembelahan yang pertama dengan
membaginya menjadi dua buah sel dengan ukuran yang sama besar. Pembelahan
yang kedua terjadi setelah dua sel yang terbentuk dipotong oleh garis horizontal
sehingga membelah dua sel yang ada menjadi dua bagian yang membentuk empat
buah sel yang sama besar.
Pembelahan ketiga terjadi ketika empat sel yang ada membelah menjadi
dua bagian setiap dua sel yang ada sehingga membentuk delapan sel. Pembelahan
terus terjadi hingga pembelahan keempat, kelima, keenam dan ketujuh, dimana
setiap baris blastomer terus membelah menjadi dua bagian yang sama besar. Pada
stadia pembelahan satu hingga pembelahan ketujuh, sel yang terbentuk semakin
meningkat jumlahnya hingga ukurannya pun semakin kecil.
Stadia morula terjadi ketika pembelahan sel terus terjadi sehingga jumlah
sel akan bertambah dalam jumlah banyak dengan ukuran yang lebih kecil. Sel-sel
ini akhirnya akan membentuk tonjolan dan mengalami penebalan pada kutub
Organogenesis
- 4 Somit 865 830 800 725 630
- 6 Somit 925 885 850 775 670
- 9 Somit 985 940 900 825 710
- 12 Somit 1045 995 950 875 750
- 16 Somit 1105 1050 1000 915 790
- 18-19 Somit 1165 1105 1050 955 830
Telur Menetas 1225 1160 1090 995 870
Lanjutan tabel 2.
26
anima. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sukra (2000), stadia morula
merupakan stadia dimana jumlah blastomer sangat padat hingga blastomer yang
ada sangat kecil dan sulit untuk dilihat atau dihitung jumlahnya.
Stadia blastula dimulai dengan terbentuk dengan jelasnya dua lapisan yang
membentuk sebuah rongga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukra
(2000), bahwa stadia blastula merupakan proses perkembangan morula menjadi
blastula, dimana blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga
menjadi semakin kecil dan menjelang berakhirnya pembelahan sebagian
blastomer yang ada dibawah morula rontok, sehingga tempat yang semula padat
dengan blastomer berubah menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau
blastocoels.
Pada stadia gastrula, lapisan sel yang terdapat pada kutub anima bergerak
melapisi kuning telur hingga menuju kutub vegetative sehingga pada stadia ini
terdapat dua lapisan yang menutupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Sukra (2000), ketika stadia gastrula berlangsung,
lapisan sel menutupi seluruh permukaan kuning telur mulai dari 1/4 hingga ¾,
kecuali bagian yang disebut blastopore dan bagian tepi blastoderm mulai menebal
membentuk sebuah lingkaran seperti cincin kecambah (germ ring) yang akan
memanjang dan menebal pada salah satu sisinya hingga mengelilingi sepanjang
permukaan kuning telur yang pada akhirnya membentuk suatu perisai embrio.
Stadia neurula ditandai dengan terbentuknya bagian kepala dan ekor,
dimana tubuh embrio semakin memanjang sehingga mengelilingi kuning telur.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), bahwa stadia neurula
27
ditandai dengan terbentuknya formasi awal bagian kepala embrio dari sel
neurocoele dan akan membentuk susunan saraf otak, Kuffers vesicles pada kutub
vegetatif akan mulai membentuk formasi awal bagian ekor. Menurut Sukra
(2000), stadia neurula merupakan stadia dimana terbentuknya susunan syaraf
pusat dari ektoderm.
Proses organogenesis ditandai dengan munculnya segmen pada bagian
dorsal tubuh embrio. Pembentukan tulang belakang tubuh embrio ditandai dengan
munculnya 4 buah segmen pada median tubuh embrio yang terdiri dari dua baris
yang setiap barisnya terdapat empat bagian, dan segmen tubuh embrio semakin
bertambah dengan bertambah panjangnya tubuh embrio hingga menetas. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012) bahwa somit merupakan ruas
atau segmen yang mulai muncul disepanjang tubuh embrio dengan warna yang
tidak begitu jelas, somit mulanya berjumlah 4, 6, 9, 12 hingga 19 buah dan akan
semakin bertambah jumlahnya hingga telur menetas.
Telur menetas ditandai dengan keluarnya ekor embrio dari lapisan
khorion. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan Effendie (2002), menetas
merupakan saat terakhir pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga
embrio keluar dari cangkangnya. Pada saat akan terjadinya penetasan, embrio
akan melakukan pergerakan-pergerakan menjauhi kuning telur di dalam khorion
hingga lapisan khorion menjadi lembek hingga pecah. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Sukendi (2003), embrio akan terus menggerakkan tubuhnya dengan
berputar-putar semakin cepat hingga lapisan khorion menjadi lunak akibat
28
gerakan ataupun karena adanya enzim khorionase yang menyebabkan lapisan
khorion menjadi pecah.
Hasil pengamatan pada larva betok yang baru menetas diperoleh bahwa
tubuh larva ikan betok yang baru menetas memiliki pigmen mata dan bercak-
bercak coklat hitam yang transparan disetiap bagian tubuhnya dengan tubuh yang
lurus dan berada dipermukaan air. Larva betok yang baru menetas sudah memiliki
sirip yang masih belum sempurna bentuknya dengan ukuran rahang mulut yang
besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), larva betok yang
baru menetas memiliki pigmen mata yang berwarna hitam dan memiliki bercak
coklat hitam dibagian tubuhnya yang disebut melanophore. Stadia perkembangan
embrio ikan betok dapat dilihat pada Gambar 3.
29
1. Telur terbuahi 2. Formasi blastodisk 3. 2 Sel 4. 4 Sel
5. 8 Sel 6. 16 Sel 7. 32 Sel 8. 64 Sel
9. 128 Sel 10. Morula awal 11. Morula Akhir 12. Blastula Awal
13. Blastula
pertengahan 14. Blastula akhir 15. Gastrula awal 16. Gastrula
Pertengahan
17. Gastrula akhir 18. Neurula
awal 19. Neurula akhir 20. 4 somit
21. 6 somit 22. 9 somit 23.12 somit 24. 16 somit
26. Larva menetas
Gambar 3. Tahap perkembangan embrio ikan betok
25. 18-19 somit
30
Suhu mempengaruhi waktu perkembangan embrio ikan betok. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha et al. (2012) suhu mempengaruhi
cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan telur hingga
menjadi larva.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada suhu 26, 28 dan 30ºC tidak
mempengaruhi proses pembelahan embrio dari stadia formasi blastodisk hingga
stadia blastula barakhir, ini ditandai dengan tidak adanya perbedaan waktu pada
perlakuan suhu tersebut serta tidak terganggunya proses stadia formasi blastodisk
hingga blastula akhir. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha
(2012) dalam penelitiannya bahwa tidak terjadi perbedaan waktu pada suhu
inkubasi 24, 26, 28 dan 30ºC di saat stadia pembelahan hingga stadia blastula
akhir pada perkembangan embrio ikan black ghost (Apteronotus albifrons). Pada
perlakuan suhu 26, 28, dan 30ºC proses pembelahan tidak terganggu sehingga
telur-telur dapat melewati fase kritisnya dan menetas dengan bentuk tubuh yang
normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha et al.
(2012) untuk telur-telur ikan black ghost yang dapat melewati fase kritis pada
stadia pembelahan hingga stadia blastula akhir ketika diinkubasi pada suhu 24, 26,
28, dan 30ºC, selanjutnya dapat terus berkembang dengan baik hingga mencapai
stadia embrio dan akan menetas dengan bentuk tubuh normal.
Pada suhu perlakuan 32 dan 34ºC, waktu pembelahan sel hingga stadia
blastula terjadi lebih cepat sehingga proses pembelahan sel menjadi terganggu.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sugama (2001) dalam Melianawati et
31
al. (2010), fase yang sangat peka dalam perkembangan embrio adalah sebelum
stadia embrio, terutama sebelum mencapai stadia blastula.
Hasil pengamatan pada suhu 32 dan 34ºC didapatkan telur yang mati pada
stadia blastula dan diperoleh larva yang abnormal setelah menetas. Diduga suhu
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel dalam tubuh embrio ketika
dimulainya proses pembelahan sel dalam proses perkembangan embrio sehingga
embrio akan mati bahkan mengalami kecacatan jika tidak dapat bertahan pada
suhu inkubasi tersebut dan bagi embrio yang bisa bertahan akan menetas dengan
tubuh yang normal. Dugaan ini didukung oleh pendapat Gervai et al. (1980)
dalam Mukti (2005) yang menyatakan bahwa kejutan suhu dan tekanan dapat
merusak mikrotubulus yang membentuk benang-benang spindel selama
pembelahan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zug et al. (2001),
suhu tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada sel embrio dan mengganggu
aktivitas biokimia di dalam tubuh, dimana suhu tinggi menyebabkan seluruh
energi yang ada digunakan untuk proses metabolisme yang meningkat sehingga
kuning telur pada embrio akan habis sebelum semua proses perkembangan embrio
selesai sehingga akan menghasilkan larva abnormal.
Pada stadia awal gastrula hingga stadia gastrula berakhir, terjadi perbedaan
waktu pada setiap perlakuan, dimana suhu 26ºC terjadi lebih lama dari perlakuan
suhu inkubasi lainnya. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan suhu 26ºC baru
terjadi stadia gastrula pada menit ke 520 dan perlakuan suhu inkubasi 34ºC pada
menit ke 550 telah memasuki stadia neurula. Hal ini diduga karena suhu 26ºC
tersebut menyebabkan embrio lama dalam berkontraksi sehingga lapisan sel
32
bergerak lambat ketika melingkupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2012) bahwa terjadi perbedaan
waktu stadia gastrula pada suhu inkubasi 24, 26, 28 dan 30oC, dimana pada suhu
24oC proses stadia gastrula terjadi lebih lama dibanding perlakuan suhu lainnya
dan ini disebabkan adanya kontraksi lambat pada lapisan kuning telur yang
mendorong blastodisk (lingkaran putih) sehingga blastodisk akan menurun
ketebalannya sebagai hasil dari tekanan mekanik dan penutupan lambat dari
kuning telur.
Stadia neurula hingga stadia organogenesis pada suhu inkubasi berbeda
telah menghasilkan waktu yang dibutuhkan untuk berjalannya proses ini berbeda
pula. Hal ini terlihat pada suhu inkubasi 24oC yang membutuhkan waktu lama
pada stadia neurula hingga stadia organogenesis dibanding suhu inkubasi lainnya.
Hal ini diduga karena suhu tersebut membuat embrio lebih lama untuk
membentuk jaringan dan bakal organ secara sempurna. Namun pada suhu
inkubasi 32 dan 34oC, stadia ini membutuhkan waktu yang lebih singkat
dibanding suhu inkubasi lainnya dan hal ini menyebabkan organ yang terbentuk
tidak sempurna serta menghasilkan larva prematur bahkan cacat. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian pada pengaruh perbedaan suhu terhadap perkembangan
embrio ikan black ghost yang dilakukan oleh Nugraha (2012), dimana terjadi
perbedaan waktu pada semua suhu inkubasi (24, 26, 28 dan 30
oC) pada stadia
neurula diduga terjadi karena adanya diference structural dan fungsional
pembentukan awal jaringan organ-organ yang berhubungan dengan aktivitas
motorik pada bagian anterior ikan, pada tahap ini sering terjadi pencampuran
33
perivitelin dan aktivitas pectoral yang meningkat sehingga menyebabkan larva
yang menetas menjadi prematur.
Pada setiap perlakuan suhu inkubasi menghasilkan lama waktu penetasan
yang berbeda karena masing-masing suhu inkubasi menghasilkan kemampuan
embrio yang berbeda pula. Hal ini diduga karena suhu mempengaruhi sistem
metabolisme didalam tubuh embrio sehingga pada suhu inkubasi tinggi (suhu
inkubasi 32 dan 34oC) akan membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan
suhu yang lebih rendah (suhu inkubasi 26, 28 dan 30oC), dimana ini ditandai
dengan terjadinya penetasan pada menit ke 870 pada perlakuan suhu 34oC dan
pada menit ke 865 baru terjadi tahap pembentukan 4 somit pada perlakuan suhu
inkubasi 26oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nugraha (2012), dimana
perbedaan waktu penetasan pada setiap suhu inkubasi disebabkan oleh
kemampuan embrio yang berbeda sehingga bagi embrio yang tidak mampu
melepaskan diri dari cangkang telur akan meningkatkan adrenalin selama
penetasan sehingga menyebabkan stress fisik pada embrio saat akan
meninggalkan cangkang telur.
Waktu penetasan yang cepat pada telur yang diinkubasi pada suhu 32 dan
34ºC disebabkan suhu tersebut termasuk tinggi dari perlakuan suhu inkubasi
lainnya. Telur yang ditetaskan di daerah yang bersuhu tinggi, waktu penetasannya
lebih cepat dibanding telur yang ditetaskan di daerah bersuhu rendah, karena telur
yang diinkubasi pada suhu tinggi akan menghasilkan larva yang lebih cepat
menetas (Budiardi et al., 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh
Nugraha et al. (2012) suhu inkubasi 24oC merupakan suhu rendah dibanding suhu
34
inkubasi 26, 28 dan 30oC sehingga suhu tersebut membuat enzim (chorionase)
tidak bekerja dengan baik pada kulit telur dan membuat embrio akan lama dalam
melarutkan kulit telur dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Masrizal et al. (2001)
dalam Nugraha et al. (2012) kelenjar akan bekerja untuk mensekresi enzim
chorionase yang akan mereduksi lapisan chorion telur sehingga akan menjadi
lunak/lembek, serta lapisan chorion juga sangat peka terhadap kondisi lingkungan
terutama suhu. Selain itu suhu terlalu tinggi dapat mengganggu aktivitas enzim
penetasan pada telur dan mengakibatkan pengerasan pada chorion, sehingga
menghambat proses penetasan telur dan dapat mengakibatkan terjadinya
keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan (Mukti, 2005). Biedwell
et al. (1985) dalam Mukti (2005) mengemukakan, larva ikan yang cacat dapat
disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan,
sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka
embrio akan keluar dalam keadaan tubuh cacat.
Semakin tinggi suhu seperti pada perlakuan suhu 34ºC yang lebih tinggi
dari perlakuan suhu lainnya yang menyebabkan proses perkembangan embrio
terjadi lebih cepat, dimana pada suhu tersebut proses metabolisme menjadi lebih
cepat sehingga menyebabkan larva lebih cepat menetas dibandingkan perlakuan
suhu lainnya. Menurut Sukendi (2003), suhu tinggi menyebabkan proses
metabolisme berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrio juga lebih cepat
yang berakibat lanjut pada pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif
sehingga mempercepat proses penetasan, namun suhu yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah dapat menghambat proses penetasan, bahkan suhu yang terlalu
35
ekstrim dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan dalam penetasan.
Suhu inkubasi perkembangan embrio ikan betok akan menghasilkan waktu
penetasan, persentase penetasan dan persentase abnormalitas larva yang
dihasilkan seperti pada Tabel 3 (data waktu penetasan, persentase penetasan,
persentase abnormalitas larva dan panjang total tubuh larva disajikan secara
lengkap pada Lampiran 4, 5, dan 9).
Penggunaan suhu inkubasi pada perkembangan embrio ikan betok yang
berbeda membuat lama waktu penetasan yang dihasilkan berbeda pula, dimana
pada perlakuan suhu 26ºC perkembangan embrio membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan perlakuan suhu lainnya. Perlakuan suhu 34ºC
membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menetas dan persentase penetasan
yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya dikarenakan banyak
larva yang tidak dapat mentolerir suhu tersebut serta bagi larva yang bisa bertahan
pada suhu tersebut menjadi abnormal. Rendahnya persentase penetasan pada
perlakuan suhu 32ºC dan 34ºC karena telur-telur tersebut tidak dapat berkembang
secara normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elfeta (2008) telur ikan
baung yang diinkubasi pada suhu 32ºC tidak dapat berkembang secara normal
Perlakuan Waktu penetasan
(menit)
Persentase
penetasan (%)
Larva
Abnormal
(%)
A1 (26 ± 1ºC) 1225 (20,41 jam) 84,33 0
A2 (28 ± 1ºC) 1160 (19,33 jam) 92,33 0
A3 (30 ± 1ºC) 1090 (18,16 jam) 86 0
A4 (32 ± 1ºC) 995 (16,58 jam) 83,67 38,47
A5 (34 ± 1ºC) 870 (14,50 jam) 78,33 51,08
Tabel 3. Rata-rata waktu penetasan, persentase penetasan dan abnormalitas
larva setelah menetas
36
sehingga mati sebelum menetas dan menghasilkan persentase penetasan sebesar
0%.
Hasil pengamatan diketahui bahwa pada perlakuan 32ºC dan 34ºC terdapat
telur yang sebelum dan setelah menetas mengalami kematian sehingga
diasumsikan bahwa telur-telur tersebut tidak mampu menahan suhu inkubasi yang
diberikan sehingga telur tersebut akan rusak baik sebelum dan sesudah menetas
ataupun bagi telur yang mampu menahan tekanan suhu tinggi menyebabkan
proses perkembangannya terganggu sehingga larva yang dihasilkan akan cacat.
Telur-telur yang tersisa pada perlakuan suhu 32 dan 34ºC adalah telur berkualitas
yang mampu melawan tekanan suhu tersebut.
Persentase penetasan pada suhu 28ºC lebih tinggi dibandingkan persentase
penetasan pada perlakuan suhu inkubasi 32 atau 34ºC, namun suhu 26ºC memiliki
persentase penetasan yang lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu 28ºC.
Perlakuan suhu 26ºC berada dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan
betok. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ariffansyah (2007), telur
ikan gurame memiliki persentase penetasan 87,6% pada suhu inkubasi 26-28ºC
yang merupakan persentase tertinggi dibanding suhu inkubasi 32-34ºC yang
memiliki persentase penetasan 80,66% karena telur masih bisa mentoleransi suhu
26-28ºC dibandingkan dengan suhu 32-34ºC, namun suhu inkubasi 23-25ºC
menghasilkan persentase penetasan terendah sebesar 55,73% karena suhu tersebut
dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan gurami. Menurut Fosberg dan
Summerfelt (1992) dalam Budiardi et al. (2005) meningkatnya suhu akan
37
mempercepat kelangsungan metabolisme yang membutuhkan nutrien dan energi
yang lebih besar sehingga energi untuk pertumbuhan dan perkembangan sedikit.
B. Kualitas Air
Hasil pengukuran parameter kualitas air yang didapatkan masih berada
dalam batas normal penetasan telur. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat
pada Tabel 4.
1) Yustina dan Darmawati 2003 dalam Arsianingtyas et al. 2009
2) Effendi 2003
Parameter kualitas air selama penelitian masih berada dalam toleransi
untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Nilai pH pada penelitian ini
berkisar antara 6,72-7,74, dimana kisaran ini masih dalam batas toleransi untuk
penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Derajat keasaman (pH) akan
mempengaruhi penetasan, karena dapat mempengaruhi kerja enzim Chorionase
dan enzim ini akan dapat bekerja secara optimum pada pH antara 7,1-9,6
(Sukendi, 2003). Menurut Yustina dan Darmawati (2003) dalam Arsianingtyas
(2009) kisaran pH yang optimal untuk penetasan adalah 6,2-7,8.
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 6,16-7,53
mg/l yang merupakan kisaran oksigen terlarut yang mendukung perkembangan
embrio dan pemeliharaan larva. Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut
tidak boleh kurang dari 2 mg/l karena dapat mengakibatkan kematian pada ikan
Parameter Perlakuan Kisaran
Optimum A1 A2 A3 A4 A5
pH 6,72-7,33 6,71-7,24 6,77-7,23 6,74-7,23 6,73-7,34 6,2-7,81)
Do (mg/l) 6,16-7,63 6,10-7,53 6,13-7,66 6,13-7,54 6,16-7,34 6-82)
Tabel 4. Kisaran kualitas air selama penelitian
38
dan kadar oksigen terlarut yang baik untuk kepentingan perikanan sebaiknya tidak
kurang dari 5 mg/l dan kandungan oksigen yang optimum bagi penetasan dan
pemeliharaan larva yaitu 6-8 mg/l. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2
ppm maka kebanyakan ikan berhenti makan, aktivitas bergerak menurun dan
menggunakan oksigen yang tersedia untuk mempertahankan sistem yang
menunjang dasar-dasar kehidupan, terutama sitem saraf dan peredaran darah
(Farker dan Davis, 1981 dalam Shafrudin, 1997). Data kualitas air selama
penelitian secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 hingga 9.
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing perlakuan
maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula
perkembangan embrio ikan betok (Anabas testudineus), ini terlihat pada perlakuan
suhu inkubasi 26-30ºC yang menghasilkan waktu perkembangan embrio yang
lama dengan persentase penetasan relatif lebih besar dan dapat menekan
persentase abnormalitas larva.
B. Saran
Perkembangan embrio ikan betok sebaiknya diinkubasi pada kisaran suhu
26-30oC untuk menekan persentase abnormalitas dan meningkatkan persentase
penetasannya.
39
40
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M dan Fauzi. 2010. Percobaan pemijahan ikan puyu (Anabas
testudineus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 15 (1) : 16-24.
Ariffansyah. 2007. Perkembangan embrio dan penetasan telur ikan gurami
(Osphronemus gouramy) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Skripsi
Universitas Sriwijaya. Indralaya. (tidak dipublikasikan)
Arsianingtyas, H., A. T. Mukti dan S. Subekti. 2009. Pengaruh kejutan suhu panas
dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas
larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga, Surabaya. pp 1-15.
Budiardi, T., W. Cahyaningrum dan I. Effendi. 2005. Efisiensi pemanfaatan
kuning telur embrio dan larva ikan manvis (Pteorephyllum scalare) Pada
Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal akuakultur Indonesis. 4 (1): 57-61.
Djarijah, A. S. 2001. Pembenihan Ikan Mas. Kanasius. Yogyakarta.
Dwajad, M. I. dan H. Jompa. 2007. Pengaruh kejutan dingin terhadap masa
inkubasi, derajat penetasan dan sintasan prelarva ikan bandeng (Chanos
chanos Forsskal). Jurnal Sains dan Teknologi. 7 (3) : 119-124.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanasius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Elfeta, Y. 2008. Daya tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.) pada
suhu inkubasi yang berbeda. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Indralaya.
(tidak dipublikasikan)
Jacob, P. K. 2005. Studies on some aspects of reproduction of female Anabas
testudineus (Bloch). Ph D Thesis. Cochin University Of Science and
Technology. India (unpublished).
Kordi K., M. G. H. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di
Kolam Terpal. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Marlida, R. 2008. Efek cekaman suhu terhadap penetasan telur dan keragaan larva
ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Ziraa’ah. 22 (2): 96-106.
Melianawati, R., P. T. Imanto, dan M. Suastika. 2010. Perencanaan waktu tetas
telur ikan kerapu dengan penggunaan suhu inkubasi yang berbeda. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kalautan Tropis. 2 (2): 83-91.
40
41
Mukti, A. T. 2005. Perbedaan tingkat poliploidisasi ikan mas (Cyprinus carpio
Linn.) melalui kejutan panas. Berk. Penel. Rayati. (10): 133-138.
Murtidjo, B. A. 2002. Bandeng. Kanasius. Yogyakarta.
Nirmala, K., J. Sekarsari dan P. Suptijah. 2006. Efektifitas khitosan sebagai
pengkhelat logam timbal dan pengaruh terhadap perkembangan awal
embrio ikan zebra (Danio rerio). Jurnal Akuakultur Indonesia. 5 (2): 157-
165.
Nugraha, D., M. N. Supardjo dan Subiyanto. 2012. Pengaruh perbedaan suhu
terhadap perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan penyerapan
kuning telur ikan black ghost (Apteronotus albifrons) pada skala
laboratorium. Journal of management of aquatic resources. 1 (1): 1-6.
Pramono, T. B. dan S. Marnani. 2007. Pola penyerapan kuning telur dan
perkembangan organogenesis pada stadia awal larva brek (Puntius
orphiodes). Jurnal Penelitian dan Ilmu Kelautan. 6 (1) : 1-4.
Prochazka. 2009.Incidence of malformations in fish embryos/larvae (review).
Smart Water Research Facility, Griffith University. Nathan/Gold Coast
Campus, 18 September 2009. pp 1-15.
Shafrudin, D. 1997. Pengaruh suhu terhadap perkembangan serta pertumbuhan
embrio dan larva ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr.). Tesis. Institut
Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Safitri, A., L. Simarmata dan H. W. Hardani. 2003. Biologi Jilid 2 (Lux) Edisi
5.Erlangga. Jakarta.
Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo dan Sulistiono. 1992 Fisiologi
Ikan II Reproduksi Ikan (reviewer Prof. Dr. Nawangsari Sugiri). Fakulatas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Slamet, B., P. T. Imanto dan S. Diani 1989. Pengamatan pada pemijahan
rangsangan, perkembangan telur dan larva kakap putih. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Terbit Khusus No. 01, 1990 :1-5.
Sukendi. 2003. Vitelogenesis dan Manipulasi Fertilisasi pada Ikan. Unri.
Pekanbaru.
Sukra, Y. 2000. Wawasan Pengetahuan Embrio Benih Masa Depan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidika Nasional. Jakarta.
Sulistyowati, D. T., Sarah dan H. Arfah. 2005. Organogenesis dan perkembangan
awalikan Corydoras panda. Jurnal akuakultur indonesia. 4 (2): 67-74.
42
Suriansyah., A. O. Sudrajat dan M. Zairin Jr. 2010. Studi rangsangan hormon
gonadotropin (GtH) terahadap perkembangan pematangan gonad ikan
betok (Anabas testudineus Bloch). Jurnal Akuakultur Indonesia. 9 (1): 61-
66.
Sutisna, H.D. dan Ratno, S. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanasius.
Yogyakarta.
Thamrin, A. P. Rasyidi, Mulyadi dan Rosyadi. 2010. Penelitian pendahuluan
pengaruh temperature terhadap survival embrio dan embryogenesis ikan silais
(Tricopteris limpok). Journal of Enveronmetal Science. 4 (4): 1-10.
UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Asessment, Edited by Chapman. D.
Chapman and Hall Ltd. London. 585 p.
Zalina, I., C. R. Saad, A. Cristianus dan S. A. Harmin. 2012. Induced breeding
and embryonic development of climbing perch (Anabas testudineus,
Bloch). Journal of Fisheries and Aquatic Science. 7 (5): 291-306.
Zug, G. R., L. J. Vitt dan J. P. Caldwell. 2001. Herpetology. Academic Press.
London.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1.Denah penelitian
45
Stadia Waktu stadia perkembangan embrio pada setiap ulangan
(Menit)
Rata-Rata (Menit)
1 2 3
Fertilisasi Telur 0 0 0 0
Formasi Blastodik 59 61 60 60
2 Sel 89 91 90 90
4 Sel 119 121 120 120
8 Sel 149 151 150 150
16 Sel 178 182 180 180
32 Sel 208 212 210 210
64 Sel 236 244 240 240
128 Sel 266 274 270 270
Morula 296 304 300 300
Blastula Awal 356 364 360 360
Blastula Pertengahan 386 394 390 390
Blastula Akhir 416 424 420 420
Gastrula Awal 515 525 520 520
Gastrula memasuki fase pertengahan
545 555 550 550
Gastrula pertengahan 610 620 615 615
Gastrula Akhir 675 685 680 680
Neurula Awal 740 750 745 745
Neurula Akhir 800 810 805 805
4 Somit 860 870 865 865
6 Somit 920 930 925 925
9 Somit 980 990 985 985
12 Somit 1040 1050 1045 1045
16 Somit 1100 1110 1105 1105
18-19 Somit 1160 1170 1165 1165
Menetas 1220 1230 1225 1225
Perlakuan A1
Lampiran 2. Waktu perkembangan embrio ikan betok pada setiap perlakuan
46
46
47
48
49
50
Lampiran 3. Data waktu penetasan telur ikan betok
Perlakuan Ulangan Waktu Pembuahan
(WIB)
Waktu Penetasan (WIB) Waktu Penetasan (menit) Rentang waktu
penetasan
(menit)
10% menetas menetas
seluruh
10% menetas menetas
seluruh
A1 1 02:00 20:05 22:20 1085 1220 135
2 02:00 20:08 22:30 1088 1230 142
3 02:00 20:09 22:25 1089 1225 136
Rata-rata 1087,33 1225 137,67
A2 1 02:00 19:45 21:20 1065 1160 95
2 02:00 19:40 21:27 1060 1167 107
3 02:00 19:39 21:13 1059 1153 94
Rata-rata 1061,33 1160 98,67
A3 1 02:00 18:45 20:04 1005 1084 79
2 02:00 19:00 20:10 1020 1090 70
3 02:00 19:02 20:16 1022 1096 74
Rata-rata 1015,67 1090 74,33
A4 1 02:00 17:40 18:32 940 992 52
2 02:00 17:46 18:38 946 998 52
3 02:00 17:45 18:35 945 995 50
Rata-rata 943,67 995 51,33
A5 1 02:00 16:05 16:25 845 865 20
2 02:00 16:10 16:35 850 875 25
3 02:00 16:08 16:30 848 870 22
Rata-rata 847,67 870 22,33
51
Perlakuan Ulangan TelurAwal
ditebar (butir)
Telur Menetas
(ekor)
Persentase
penetasan (%)
A1 1 100 86 86
2 100 85 85
3 100 82 82
Rata-rata 100 84,33 84,33
A2 1 100 92 92
2 100 90 90
3 100 95 95
Rata-rata 100 92,33 92,33
A3 1 100 93 93
2 100 82 82
3 100 83 83
Rata-rata 100 86,00 86,00
A4 1 100 87 87
2 100 85 85
3 100 79 79
Rata-rata 100 83,67 83,67
A5 1 100 79 79
2 100 79 79
3 100 77 77
Rata-rata 100 78,33 78,33
Lampiran 4. Persentase penetasan telur ikan betok
52
Perlakuan Ulangan Jumlah larva
menetas
(ekor)
Larva Abnormal
saat menetas
(ekor)
persentase penetasan
larva Abnormal (%)
A1 1 86 0 0
2 85 0 0
3 82 0 0
Rata-rata 84,33
A2 1 92 0 0
2 90 0 0
3 95 0 0
Rata-rata 92,33 0 0
A3 1 93 0 0
2 82 0 0
3 83 0 0
Rata-rata 86 0 0
A4 1 87 31 35,63
2 85 28 32,94
3 79 37 46,84
Rata-Rata 83,67 32 38,47
A5 1 79 43 54,43
2 79 36 45,57
3 77 41 53,25
Rata-rata 78,33 40 51,08
Lampiran 5. Persentase Abnormalitas larva
53
Hari ke Ulangan Perlakuan A1 Kisaran
1 2 3
1 6,72 6,78 6,74 6,72-6,78
2 7,23 7,25 7,33 7,23-7,33
Hari ke Ulangan Perlakuan A2 Kisaran
1 2 3
1 6,74 6,72 6,71 6,71-6,74
2 6,79 7,18 7,24 6,79-7,24
Hari ke Ulangan Perlakuan A3 Kisaran
1 2 3
1 6,78 6,77 6,75 6,75-6,78
2 7,23 7,11 7,28 7,11-7,28
Hari ke Ulangan Perlakuan A4 Kisaran
1 2 3
1 6,77 6,74 6,79 6,74-6,79
2 7,14 7,23 7,22 7,14-7,23
Hari ke Ulangan Perlakuan A5 Kisaran
1 2 3
1 6,73 6,78 6,77 6,73-6,78
2 7,34 6,92 7,19 6,92-7,34
Lampiran 6. Data pengukuran pH selama penelitian
54
Hari ke Ulangan Perlakuan A1 Kisaran
1 2 3
1 6,19 6,16 6,17 6,16-6,19
2 7,30 7,49 7,63 7,30-7,63
Hari ke Ulangan Perlakuan A2 Kisaran
1 2 3
1 6,18 6,10 6,21 6,10-6,21
2 7,43 7,38 7,52 7,38-7,52
Hari ke Ulangan Perlakuan A3 Kisaran
1 2 3
1 6,13 6,27 6,15 6,13-6,27
2 7,66 7,54 7,43 7,43-7,66
Hari ke Ulangan Perlakuan A4 Kisaran
1 2 3
1 6,20 6,13 6,17 6,13-6,20
2 7,54 7,29 7,43 7,29-7,54
Hari ke Ulangan Perlakuan A5 Kisaran
1 2 3
1 6,23 6,18 6,16 6,16-6,23
2 6,98 7,34 7,29 6,98-7,34
Lampiran 7. Data pengukuran oksigen terlarut selama penelitian
55
Lampiran 8. Kisaran nilai kualitas air selama penelitian
1) Yustina dan Darmawati 2003 dalam Arsianingtyas et al. 2009
2) Effendi 2003
Parameter Perlakuan Kisaran
Optimum A1 A2 A3 A4 A5
pH 6,72-7,33 6,71-7,24 6,77-7,23 6,74-7,23 6,73-7,34 6,2-7,81)
DO (mg/l) 6,16-7,63 6,10-7,53 6,13-7,66 6,13-7,54 6,16-7,34 6-82)
56
Perlakuan Waktu Suhu selama penelitian setiap 3 jam (ºC)
Ulangan
1 2 3
A1 2:00 26 26 26
5:00 26 26 25
8:00 27 25 26
11:00 26 27 27
14:00 26 26 26
17:00 25 26 27
20:00
23:00
26
26
25
26
26
26
A2 2:00 28 28 28
5:00 28 27 28
8:00 29 28 27
11:00 28 28 28
14:00 27 29 29
17:00 28 28 28
20:00
23:00
27
28
27
28
28
28
A3 2:00 30 30 30
5:00 29 30 29
8:00 30 29 30
11:00 30 30 30
14:00 31 31 31
17:00 30 30 30
20:00
23:00
31
30
29
30
29
30
A4 2:00 32 32 32
5:00 32 32 31
8:00 33 32 32
11:00 32 31 33
14:00 32 32 32
17:00 31 32 32
20:00
23:00
32
32
33
32
31
32
A5 2:00 34 34 34
5:00 35 33 33
8:00 34 34 34
11:00 34 35 35
14:00 34 34 34
17:00 33 34 33
20:00
23:00
34
34
33
34
34
34
Lampiran 9. Data suhu selama penelitian
57
Perlakuan (panjang total larva setelah menetas (mm)
Ulangan
Rata-rata
(mm)
1 2 3
A1 0,35 0,38 0,36 0,36
A2 0,34 0,34 0,34 0,34
A3 0,32 0,31 0,32 0,32
A4 0,30 0,30 0,30 0,30
A5 0,27 0,28 0,28 0,28
Lampiran 10. Data panjang total larva setelah menetas
58
Lampiran 11. Dokumentasi pelaksanaan penelitian
Media inkubasi Penimbangan induk ikan betok
Penyuntikan induk ikan betok Pengukuran oksigen terlarut
Pengamatan perkembangan embrio Pengamatan perkembangan embrio
59
Larva Abnormal