Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

75
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus) PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA Oleh RINA RAHAYU FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA 2013

description

RINA RAHAYU. Embriogenesis Ikan Betok (Anabas testudineus) pada SuhuInkubasi yang Berbeda (Dibimbing oleh MUSLIM dan YULISMAN).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan embrio ikanbetok (Anabas testudineus) pada suhu inkubasi yang berbeda. Penelitian ini telahdilaksanakan pada tanggal 8-10 Pebruari 2013 di Laboratorium Dasar PerikananProgram Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya,Indralaya. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan suhu inkubasi yang berbedayaitu (A1) 26 ± 1oC, (A2) 28 ± 1oC, (A3) 30 ± 1oC, (A4) 32 ± 1oC dan (A5) 34 ±1oC. Parameter utama yang diamati adalah perkembangan embrio, sedangkanparameter penunjang adalah waktu penetasan, persentase penetasan, persentaseabnormalitas larva dan kualitas air.Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhumasing-masing perlakuan menghasilkan pola perkembangan embrio yang teraturdan baik. Dimana suhu inkubasi A1, A2 dan A3 tidak mempengaruhi stadiaformasi blastodisk hingga stadia blastula dan mulai mempengaruhi stadia gastrulahingga menetas, tetapi suhu perlakuan A4 dan A5 mempengaruhi stadia formasiblastodisk hingga menetas sehingga diperoleh larva abnormal sebesar 38,47% dan51,08%. Waktu penetasan pada perlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 20,41jam, 19,33 jam, 18,16 jam, 16,58 jam dan 14,50 jam. Persentase penetasan padaperlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 84,33%, 92,33%, 86%, 83,67% dan78,33%. Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing perlakuan adalah pH(6,72-7,74) dan DO (6,16-7,53). Perkembangan embrio ikan betok sebaiknyadiinkubasi pada kisaran suhu 26-30oC untuk menekan persentase abnormalitas danmeningkatkan persentase penetasannya

Transcript of Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

Page 1: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)

PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

Oleh

RINA RAHAYU

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA

2013

Page 2: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

SUMMARY

RINA RAHAYU. Embryonic Development of Climbing Perch (Anabas

testudineus) at Different Incubation Temperatures (Supervised by MUSLIM and

YULISMAN).

The objective of the study was to know embryonic development climbing

perch (Anabas testudineus) at different incubation temperatures. The research was

done on 8-10th

February 2013 in the Laboratory of Basic Fisheries, Aquaculture

Program Study in the Faculty of Agriculture, University of Sriwijaya, Indralaya.

This current experiments tested five the different incubation temperature

treatments, namely (A1) 26 ± 1oC, (A2) 28 ± 1

oC, (A3) 30 ± 1

oC, (A4) 32 ± 1

oC

and (A5) 34 ± 1oC. The main parameters measured were embryonic development,

while supporting parameters are hatching time, hatching percentage, percentage of

abnormal larvae and water quality.

The results showed that eggs incubated under temperature range of study

had normal sequence of embryonic development pattern. Where in the incubation

temperature A1, A2 and A3 does not affect the blastodisk formation stage to stage

blastula and gastrula stage to start affect the hatching stage, but the A4 and A5

treatment temperature affects the blastodisk formation stage until hatching stage so

obtained was 38.47% abnormal larvae and 51,08%. Hatching time in treatment A1,

A2, A3, A4 and A5 is 20.41 hours, 19.33 hours, 18.16 hours, 16.58 hours and

14.50 hours. The percentage of treatment hatching on A1, A2, A3, A4 and A5 are

84.33%, 92.33%, 86%, 83.67% and 78.33%. Results of water quality

measurements at each treatment is pH (6.72 to 7.74) and DO (6.16 to 7.53).

Embryonic Development of Climbing Perch should be incubated in the

temperature range 26-30ºC to push the percentage of abnormalities and increase

the hatching percentage.

Page 3: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

RINGKASAN

RINA RAHAYU. Embriogenesis Ikan Betok (Anabas testudineus) pada Suhu

Inkubasi yang Berbeda (Dibimbing oleh MUSLIM dan YULISMAN).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan embrio ikan

betok (Anabas testudineus) pada suhu inkubasi yang berbeda. Penelitian ini telah

dilaksanakan pada tanggal 8-10 Pebruari 2013 di Laboratorium Dasar Perikanan

Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya,

Indralaya. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan suhu inkubasi yang berbeda

yaitu (A1) 26 ± 1oC, (A2) 28 ± 1

oC, (A3) 30 ± 1

oC, (A4) 32 ± 1

oC dan (A5) 34 ±

1oC. Parameter utama yang diamati adalah perkembangan embrio, sedangkan

parameter penunjang adalah waktu penetasan, persentase penetasan, persentase

abnormalitas larva dan kualitas air.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhu

masing-masing perlakuan menghasilkan pola perkembangan embrio yang teratur

dan baik. Dimana suhu inkubasi A1, A2 dan A3 tidak mempengaruhi stadia

formasi blastodisk hingga stadia blastula dan mulai mempengaruhi stadia gastrula

hingga menetas, tetapi suhu perlakuan A4 dan A5 mempengaruhi stadia formasi

blastodisk hingga menetas sehingga diperoleh larva abnormal sebesar 38,47% dan

51,08%. Waktu penetasan pada perlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 20,41

jam, 19,33 jam, 18,16 jam, 16,58 jam dan 14,50 jam. Persentase penetasan pada

perlakuan A1, A2, A3, A4 dan A5 adalah 84,33%, 92,33%, 86%, 83,67% dan

78,33%. Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing perlakuan adalah pH

(6,72-7,74) dan DO (6,16-7,53). Perkembangan embrio ikan betok sebaiknya

diinkubasi pada kisaran suhu 26-30oC untuk menekan persentase abnormalitas dan

meningkatkan persentase penetasannya

Page 4: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)

PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

Oleh

RINA RAHAYU

Pada

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA

2013

Page 5: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)

PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

Oleh

RINA RAHAYU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan

Pada

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA

2013

Page 6: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

Skripsi

EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas tetudineus)

PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

Oleh RINA RAHAYU

05091005012

telah diterima sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan

Indralaya, Juli 2013

Fakultas Pertanian,

Universitas Sriwijaya

Dekan,

Dr. Ir. Erizal Sodikin

NIP. 196002111985031002

Pembimbing I

Muslim, S.Pi., M.Si

Pembimbing II

Yulisman, S.Pi., M.Si

Page 7: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

Skripsi berjudul “Embriogenesis Ikan Betok (Anabas testudineus) pada Suhu

Inkubasi yang Berbeda” oleh Rina Rahayu telah di pertahankan di depan Komisi

Penguji pada tanggal 17 Juli 2013

Komisi Penguji

1. Musli m, S.Pi., M.Si Ketua

(............................)

2. Yulisman, S.Pi, M.Si Sekretaris (............................)

3. Ade Dwi Sasanti, S.Pi, M.Si Anggota (............................)

4. Ferdinand Hukama T., S.Pi, M.Si Anggota (............................)

5. Mirna Fitrani, S.Pi, M.Si Anggota (............................)

Mengesahkan

Ketua Program Studi Budidaya Perairan

Ferdinand Hukama Taqwa, S.Pi, M.Si

NIP. 197602082001121003

Page 8: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa

seluruh data dan informasi yang disajikan dalam Skripsi ini, kecuali yang

disebutkan dengan jelas sumbernya, adalah hasil penelitian atau investigasi saya

sendiri dan belum pernah atau tidak sedang diajukan sebagai syarat untuk

memperoleh gelar kesarjanaan lainnya atau gelar kesarjanaan yang sama di tempat

lain.

Indralaya, Juli 2013

Yang membuat pernyataan

Rina Rahayu

Page 9: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada hari Senin, tanggal 20 Agustus

1990 di Desa Terate Sp. Padang Kab. OKI. Penulis merupakan

anak ke tiga dari empat bersaudara dari pasangan Eman

Sulaeman dan Rustini.

Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1995 di Sekolah Taman

Kanak-kanak Pertiwi di Desa Terate Sp. Padang Kab. OKI. Dan pendidikan

Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 3 Tanjungraja pada tahun 2003, Sekolah

Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 5 Tanjungraja pada tahun 2006 dan

Sekolah Menengah Umum diselesaikan oleh Penulis di SMUN 2 Tanjungraja pada

tahun 2009.

Penulis diterima di Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Universitas Sriwijaya, melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SMPTN) pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi

Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Reproduksi dan Asisten Praktikum Mata

Kuliah Pakan Alami.

Page 10: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrahim

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia dan

izin Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Embriogenesis Ikan

Betok (Anabas testudineus) pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda”.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Sarjana Perikanan. Dengan selesainya Skripsi ini, penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendampingi. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Ferdinand Hukama Taqwa, S.Pi., M.Si selaku ketua Program Studi

Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

2. Ibu Mirna Fitrani, S.Pi, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang

senantiasa membimbing, memberikan motivasi dan pelajaran yang

berharga

3. Bapak Muslim, S.Pi., M.Si dan Bapak Yulisman, S.Pi., M.Si selaku

pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Skripsi ini.

4. Semua staf dosen yang mengajar di Program Studi Budidaya Perairan yang

telah memberikan masukan atas penyelesaian skripsi ini

5. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan kasih sayang yang

tulus, mendoakan dan memberikan semangat

Page 11: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

6. Terima kasih kepada Andi Herlambang dan teman-teman angkatan 2009,

khususnya kepada Dontriska, Wahyu Angga Saputra, Suprimantoro,

Warasto, Gideon, Yuri Amiro Hiitosi, Aris Susanto, Burmansyah, Annisa

Septimesy, Linda Purnama Sari, Adriana Mariska, Eka Srimuliati, Resfiza,

Dwi Anggraini, Yenni Srimulyani, Winda Wulandari, Triayu Rahmadiah

dan fitri Apri Yanti yang telah membantu, memberikan tenaga, materi dan

rasa persaudaraan yang erat dalam berjalannya penelitian ini.

7. Terima kasih kepada Cintya Putu Wirantika, Catur Lestari, Eka Saputra,

Riko Ebidra, Ofan Bosman, Resti Amelia dan teman-teman yang tidak bisa

penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Indralaya, Juli 2013

Penulis

i

Page 12: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vi

I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Tujuan .............................................................................................................. 2

C. Hipotesis .......................................................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok (Anabas testudineus) .......................... 4

B. Habitat Ikan Betok (Anabas testudineus) ........................................................ 5

C. Proses Pembuahan ........................................................................................... 5

D. Perkembangan Embrio .................................................................................... 7

E. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Embrio ........................................... 12

F. Kualitas Air ...................................................................................................... 14

III. PELAKSANAAN PENELITIAN ........................................................................ 17

A. Tempat dan Waktu .......................................................................................... 17

B. Alat dan Bahan ................................................................................................ 17

C. Metode Penelitian ............................................................................................ 17

D. Cara Kerja ....................................................................................................... 18

E. Parameter yang Diamati .................................................................................. 22

ii

Page 13: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

F. Pengambilan Data ............................................................................................ 23

G. Analisis Data ................................................................................................... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 24

A. Perkembangan Embrio .................................................................................... 24

B. Kualitas Air ..................................................................................................... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 39

A. Kesimpulan .................................................................................................... 39

B. Saran ............................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 40

LAMPIRAN ............................................................................................................... 42

iii

Page 14: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Interval waktu pengamatan perkembangan embrio ......................................... 23

2. Tahapan waktu stadia perkembangan embrio ikan betok ................................. 24

3. Rata-rata waktu penetasan, persentase penetasan dan abnormalitas ................. 35

4. Kisaran kualitas air selama penelitian ............................................................... 37

iv

Page 15: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan betok (Anabas testudineus) ....................................................................... 4

2. Tahapan perkembangan embrio ........................................................................ 22

3. Tahapan perkembangan embrio ikan betok pada setiap stadia ......................... 28

v

Page 16: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Denah penelitian................................................................................................ 43

2. Waktu perkembangan embrio ikan betok pada setiap perlakuan ...................... 44

3. Data waktu penetasan telur ikan betok.............................................................. 49

4. Persentase penetasan telur ikan betok ............................................................... 50

5. Persentase abnormalitas larva ikan betok ......................................................... 51

6. Data pengukuran pH selama penelitian............................................................. 52

7. Data pengukuran oksigen terlarut selama penelitian ........................................ 53

8. Kisaran nilai kualitas air selama penelitian ....................................................... 54

9. Data suhu selama penelitian .............................................................................. 55

10. Data panjang total larva setelah menetas ........................................................ 56

11. Dokumentasi pelaksanaan penelitian .............................................................. 57

vi

Page 17: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan jenis ikan air tawar yang

hidup di perairan rawa, danau, sungai, dan genangan air lainnya (Suriansyah et al.,

2010). Menurut Ahmad dan Fauzi (2010), ikan betok memiliki potensi besar

untuk dibudidayakan, baik di lingkungan perairan rawa-rawa yang kritis dari segi

mutu air maupun tanahnya.

Menurut Kordi (2010), budidaya ikan betok belum dilakukan secara

intensif. Kendala utama dalam pengembangan budidaya ikan betok adalah

terbatasnya benih, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya (Marlida, 2008).

Kegiatan pembenihan merupakan peluang yang prospektif untuk memproduksi

ikan betok. Menurut Marlida (2008), keberhasilan budidaya ikan betok tergantung

pada teknologi pembenihan dan pemeliharaan larva. Kualitas larva ikan betok

dipengaruhi oleh perkembangan embrio. Periode kehidupan ikan betok sejak fase

embrio hingga fase larva merupakan periode kritis pada awal kehidupan (Marlida,

2008). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lagre (1972) dalam

Ariffansyah (2007) bahwa perkembangan embrio merupakan bagian awal siklus

hidup yang berhubungan dengan aspek-aspek evolusi, hereditas, mekanisme

perkembangan dan pengaruh lingkungan terhadap bentuk dan struktur organisme.

Menurut Sukendi (2003) perkembangan embrio dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan

embrio salah satunya adalah suhu. Suhu rendah ataupun tinggi dapat

1

Page 18: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

2

mempengaruhi proses perkembangan embrio, dimana suhu rendah akan

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk perkembangan embrio dibandingkan

suhu yang lebih tinggi (Sukendi, 2003). Menurut Marlida (2008), penetasan telur

ikan betok yang diinkubasi pada suhu 28oC membutuhkan waktu 19,74 jam yang

merupakan waktu lebih lama dibandingkan waktu inkubasi telur ikan betok pada

suhu 30 dan 32oC.

Suhu rendah atau tinggi yang dapat ditoleransi setiap jenis ikan berbeda-

beda, namun suhu rendah atau tinggi yang melewati batas toleransi perkembangan

embrio akan menyebabkan tingginya tingkat abnormalitas larva yang dihasilkan.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shafrudin (1997), bahwa pada

percobaan inkubasi telur ikan koki (Carasius auratus) didapatkan frekuensi

kejadian larva cacat yang tinggi pada suhu 27oC dan mencapai 90% pada suhu

12oC. Menurut Ariffansyah (2007) perkembangan embrio ikan gurami yang di

inkubasi pada suhu 32-34oC membutuhkan waktu perkembangan embrio yang

relatif lebih cepat dari perlakuan lainnya yaitu 27,5 jam, namun menghasilkan

larva kurang baik dan mengalami abnormalitas sebesar ± 40%. Dari hasil

penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa jika perkembangan embrio ikan

betok menggunakan suhu inkubasi dibawah 26oC akan menghasilkan waktu

perkembangan embrio semakin lama dan jika suhu inkubasi diatas 34oC akan

menghasilkan larva cacat yang semakin tinggi dan dapat menyebabkan kegagalan

penetasan bahkan kematian. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui perkembangan embrio pada masing-masing suhu perlakuan sehingga

Page 19: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

3

diketahui apa yang terjadi pada perkembangan embrio ikan betok yang

menghasilkan waktu perkembangan embrio paling lama dan paling singkat.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan embrio

ikan betok (Anabas testudineus) pada suhu inkubasi yang berbeda.

C. Hipotesis

Diduga suhu berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan betok

(Anabas testudineus)

Page 20: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok

Klasifikasi ikan betok menurut Saanin (1986) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Labyrinthici

Subordo : Anabantoidei

Famili : Anabantidae

Genus : Anabas

Spesies : Anabas testudineus Bloch

Gambar 1. Ikan betok (Anabas testudineus)

(http://arisandifarm.blogspot.com)

4

Page 21: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

5

Betok (Anabas testudineus) adalah salah satu jenis ikan di perairan umum

Indonesia. Bentuk tubuh ikan betok lonjong dengan kepala lebar dan memipih ke

belakang. Tubuh betok ditutupi oleh sisik berwarna hijau kehitam-hitaman pada

bagian punggung dan putih mengkilat atau putih kehijau-hijauan di bagian perut.

Betok termasuk ikan berukuran kecil, hanya dapat mencapai panjang sekitar 23

cm dan berat sekitar 200 g/ekor (Kordi, 2010).

B. Habitat

Ikan betok di temukan di semua jenis perairan tropis dan subtropis. Ikan

betok biasanya hidup diperairan rawa yang menjadi habitatnya. Meskipun ikan

betok dapat hidup di perairan tawar, namun ikan betok memiliki toleransi yang

tinggi terhadap salinitas (Jacob, 2005). Benih ikan betok berukuran 14,0 mm

dapat mentoleransi salinitas hingga 11,5% (Khan et al., 1976 dalam Jacob, 2005).

Meskipun suhu optimum ikan berkisar 20-30oC, tapi ikan betok dapat hidup pada

suhu yang sangat rendah (Hora dan Pillay, 1962 dalam Jacob, 2005). Ikan betok

dapat bertahan hidup pada kondisi kemarau dengan cara mengubur diri di dalam

lumpur seperti African Lungfish (Thiraphan, 1984 dalam Jacob, 2005).

C. Proses Pembuahan

Menurut Sjafei et al. (1992), pembuahan adalah proses dimana

spermatozoa membuahi sel telur dan disebut juga dengan fertilisasi yang menjadi

asosiasi gamet. Pertemuan antar gamet menyebabkan terjadinya perubahan-

perubahan pada spermatozoa yang mempengaruhi bagian pertama dan terpenting

yakni akrosom.

Page 22: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

6

Pembuahan ikan betok terjadi di luar tubuh, setelah induk betina

melepaskan telur maka induk jantan akan melepaskan spermatozoa. Karena

mikrofil yang merupakan ruang atau tempat bertemu dengan sel telur sangat kecil.

Oleh karena itu, sperma dikeluarkan dalam jumlah yang sangat banyak

dibandingkan dengan telur yang akan dibuahi. Namun semua spermatozoa

memiliki kesempatan yang sama untuk dapat membuahi sel telur (Sutisna dan

Ratno, 1995). Jika telur hasil pemijahan tidak dibuahi oleh sperma maka telur ikan

akan mati dengan tingkat kecerahan yang hilang, berwarna putih keruh dan pucat.

Menurut Murtidjo (2002) pembuahan telur ikan didukung dengan adanya

substansi yang disebut fertilizin yang akan merangsang spermatozoa untuk

mengejar telur yang dikeluarkan oleh induk betina, fertilizin dikeluarkan oleh telur

pada saat terakhir ketika telur dilepas dan siap untuk dibuahi. Menurut Sukendi

(2003) selain fertilizin terdapat juga antifertilizin yaitu substansi yang dihasilkan

oleh lapisan cortical oleh telur yang dapat menghambat spermophilik dari

fertilizin. Pada proses fertilisasi ini molekul bebas dari fertilizin setelah terjadi

penggabungan antara spermatozoa dengan telur, dengan tujuan agar tidak terjadi

polyspermi. Menurut Murtidjo (2002) pembuahan telur terjadi jika spermatozoa

memasuki telur lewat mikropil. Satu spermatozoa cukup untuk membuahi satu

telur ikan dan pembuahan itu sendiri terjadi dengan masuknya kepala seprmatozoa

kedalam sel telur dan ekor spermatozoa tertinggal di luar. Ketika spermatozoa

masuk ke dalam sel telur, sitoplasma dan khorion meregang dengan segera

menutup mikropil untuk menghalangi masuknya spermatozoa yang lain. Jika sel

telur yang sudah bergabung dengan spermatozoa, inti spermatozoa mulai

Page 23: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

7

membesar dan kromosomnya mengalami perubahan, sehingga memungkinkan

untuk berhimpun dengan kromosom dari sel telur sebagai fase awal.

Menurut kebanyakan literatur Eropa menyatakan bahwa zat yang

dikeluarkan oleh telur dan spermatozoa dinamakan Gamone. Gamone yang

berasal dari telur dinamakan Gynamone I dan Gynamone II, sedangkan Gamone

dari spermatozoa disebut Androgamone I dan Androgamone II (Ginszburg, 1972

dalam Sukendi, 2003). Gamone I berperan untuk mempercepat pengeluaran dan

menarik spermatozoa dari spesies yang sama secara kemotaksis. Gynamone II

berperan untuk mengumpulkan dan menahan spermatozoa pada permukaan sel.

Sedangkan androgamone I berperan untuk menekan aktifitas spermatozoa ketika

masih berada dalam saluran genital ikan jantan dan androgamone II berperan

untuk membuat permukaan chorion menjadi lunak sebagai lawan dari fungsi

Gynamone II.

D. Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio merupakan bagian awal siklus hidup yang

berhubungan dengan aspek-aspek evolusi, hereditas, mekanisme perkembangan

dan pengaruh lingkungan terhadap bentuk dan struktur organisme (Lagre 1972

dalam Ariffansyah 2007). Periode embrio terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase

pembelahan sel telur menjadi zygote (cleavage stage), fase embrio dan fase

embrio bebas. Fase pembelahan yaitu interval antara pembelahan sel pertama

sampai munculnya ciri-ciri tertentu yang dapat dikenal antara lain sistem-sistem

organ, terutama lempeng neural. Fase embrio merupakan interval antara dimana

Page 24: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

8

embrio dikenal sebagai vertebrata atau bukan, ketiga sistem organ utama mulai

muncul sampai terjadinya penetasan. Pada fase ini embrio masih berbentuk

melengkung. Terjadinya penetasan bervariasi baik antar spesies maupun antar

individu didalam satu spesies (Moyte dan cech, 188; Kendal et al., 1984 dalam

Sjafei et al., 1992).

Fase embrio bebas (eleutheroembryo stage), yaitu fase setelah embrio

terlepas dari selaput/cangkang telur. Pada fase ini embrio tidak melengkung lagi

bentuknya, tetapi lebih mirip ikan, masih menggunakan kuning telur sebagai

sumber makanannya (atau dari plasenta, bagi ikan vivipar dan ovovivipar),

biasanya masih tetap tinggal di lingkungan yang sama seperti pada fase

sebelumnya. Kisaran fase embrio bebas bervariasi, dapat sangat lama seperti fase

embrio ikan salmon di tempat pemijahan, dapat pula sangat cepat (Sjafei et al.,

1992).

Proses embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi suhu dimulai

dari stadia pembelahan sel telur (cleavage), morula, blastula, gastrula, dan

dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas (Waynarovich dan

Horvart, 1980 dalam Sjafei et al., 1992). Stadia Cleavage merupakan proses

pembelahan zigot secara cepat tanpa pertumbuhan yang menjadi unit-unit sel kecil

yang disebut blastomer (Murtidjo, 2002). Pada stadia ini terjadi pembelahan

holoblastic atau pembelahan keseluruhan sel telur yang terjadi pada spesies yang

memiliki kuning telur dalam jumlah kecil ataupun sedang. Pembelahan mengikuti

pola yang spesifik relatif terhadap kutub animal dan kutub vegetal zigot tersebut

(Safitri et al., 2003). Telur yang telah terbuahi oleh spermatozoa akan segera

Page 25: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

9

terjadi proses pembelahan yang dimulai dari dua sel hingga morula. Tipe

pembelahan ini menurut Billard (1964) dan Gilbert (1988) dalam Sukendi (2003),

adalah tipe pembelahan meroblastic-discaudal yang merupakan tipe pembelahan

yang tidak melibatkan kuning telur untuk melakukan pembelahan. Pembelahan

terjadi sekitar 10 menit setelah telur terbuahi, protoplasma bergerak menuju kutub

animal dan mulai terjadi pembentukan blastodisk. Setelah 30-45 menit kemudian

terbentuk tonjolan seperti mangkuk pada kutub animal. Selanjutnya mulai terjadi

pembelahan dua sel, yang merupakan pembelahan pertama dan terjadi sekitar 1

jam setelah pembuahan. Pada pembelahan ini sel blastomer embrio terbagi atas

dua sel yang sama. Pembelahan selanjutnya adalah pembelahan empat sel, yang

berlangsung setelah 1 jam 45 menit setelah pembuahan. Pada pembelahan ini

blastomer berubah seperti plat dan kemudian membelah secara bilateral yang

merupakan lanjutan dari pembelahan dua sel. Stadia pembelahan delapan sel

terjadi setelah 2 jam 30 menit setelah pembuahan dan merupakan pembelahan sel

ketiga. Empat sel blastomer berubah menjadi 8 sel blastomer dalam dua deretan

(bagian) dan tiap bagian terdiri atas empat sel. Stadia pembelahan enam belas sel

terjadi setelah 2 jam 45 menit setelah pembuahan, pada pembelahan ini sitoplasma

membelah secara berganda dan hasil pembelahannya berupa enam belas sel

blastomer (Sukendi, 2003).

Setelah pembelahan enam belas sel maka dilanjutkan dengan stadia

morula, yaitu dimulai dengan stadia morula awal. Stadia ini terjadi 4 jam 30 menit

setelah pembuahan, yang menyebabkan blastodisk terbagi kedalam sejumlah besar

sel. Blastomer-blastomer meningkat dalam jumlah besar dan semakin mengecil

Page 26: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

10

dan terbentuk tonjolan pada kutub animal. Kemudian dilanjutkan dengan stadia

morula akhir, yaitu 6 jam setelah pembuahan. Sel-sel morula terbagi pada bagian

tonjolan yang mengandung banyak lekukan kuning telur. Lapisan protoplasma

terkonsentrasi antara kuning telur dan massa sel (Perioblast) (Sukendi, 2003).

Stadia blastula merupakan proses yang menghasilkan blastula, suatu

campuran sel-sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan sebagai

blastokoel. Pada akhir stadia blastula, sel-sel blastoderm akan terdiri atas neural,

epidermal, notokhordal, mesodermal dan endodermal yang merupakan bakal

pembentuk organ-organ (Murtidjo, 2002). Menurut Sukendi (2003), stadia

blastula terjadi setelah 8 jam pembuahan dengan ciri terbentuknya lapisan yang

jelas dan membentuk suatu rongga (blastocoels). Menurut Sukra (2000), blastula

merupakan proses perkembangan morula menjadi blastula, pada stadia ini sel

blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga menjadi semakin kecil

dan menjelang berakhirnya pembelahan sebagian blastomer yang ada dibawah

morula rontok, sehingga tempat yang semula padat dengan blastomer berubah

menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau blastocoels. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Lagler (1972) dalam Sukendi (2003), stadia

blastula dicirikan dengan terbentuknya rongga (blastocoels) yang terletak antara

cincin kecambah (blastoderm) dengan plasma sel yang menjulur ke bagian dalam

(perioblast) yang menempel pada bagian kuning telur.

Gastrula merupakan kelanjutan dari stadia blastula, dimana lapisannya

berkembang dari satu menjadi dua lapis sel (Effendie, 2002). Stadia grastula

merupakan proses yang mengatur kembali blastula atau pembelahan sebuah

Page 27: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

11

embrio berlapis tiga dengan perut primitif dan disebut pembelahan bakal organ

yang sudah terbentuk pada saat blastula. Memiliki rongga pencernaan rudimenter

(arkenteron) dan tiga lapisan germinal embrionik yaitu ektoderm, endoderm, dan

mesoderm (Safitri et al., 2003). Bagian-bagian yang terbentuk nantinya akan

menjadi suatu organ atau suatu bagian dari organ (Murtidjo, 2002). Menurut

Sukendi (2003), stadia gastrula terjadi 3 jam setelah blastocoels terbentuk, dimana

sel-sel pada bagian marginal yang paling tebal mulai terbantuk lekukan

(invaginate) pada sitoplasma atau kuning telur dan merupakan awal dari stadia

gastrula. Stadia gastrula terdiri dari ektoderm dari kutub animal, endoderm dari

kutub vegetal dan mesoderm dari daerah marginal yang merupakan lapisan

kecambah (germ-ring).

Organogenesis merupakan proses terbentuknya berbagai organ tubuh yang

terjadi secara berturut-turut meliputi susunan saraf, notokhord, mata, somit,

rongga kupffer, olfaktori sac, ginjal, usus, sub-notokhord rod, linea literalis,

jantung, aorta, insang, infundibulum dan sirip dada berasal dari mesoderm. Usus,

rongga kuffer dan subnotokhord rod berasal dari endoderm. Insang, linea literalis

dan lipatan-lipatan sirip berasal dari ektoderm (Murtidjo, 2002). Menurut Safitri et

al. (2003), organ tubuh terbentuk dari tiga lapisan germinal embrio. Menurut

Sukendi (2003), stadia organogenesis terjadi 13 jam 30 menit setelah pembuahan

dimana terbentuk lima dasar pembentukan organ yang berhubungan dengan

notocord axial yaitu organ-organ epidermal, neural, endodermal dan mesodermal.

Bumbung neural terbentuk setelah tenggelamnya lekukan neural seperti otak,

ganglion dan mata. Organ yang berasal dari endodermal adalah bagian dalam

Page 28: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

12

seperti organ pencernaan, mesodermal membentuk organ ginjal dan gonad.

Setelah 21 jam pembuahan terbentuklah bintik mata (optic vesicle). Sedangkan

pembentukan pigmen mata dan sirip terjadi setelah 38-70 jam pembuahan.

Pada saat terjadi penetasan, kekerasan khorion menurun yang disebabkan

oleh substansi enzim khorionase yang bersifat mereduksi khorion yang terdiri

dari pseudokarotin menjadi lemak yang sifatnya lebih lemah (Sukendi, 2003).

Selain disebabkan oleh pelembutan khorion oleh enzim penetasan juga disebabkan

oleh gerakan-gerakan akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya atau penyerapan

tekanan oksigen (Blaxter, 1969 dalam Sukendi, 2003). Penetasan telur terjadi jika

embrio telah menjadi lebih panjang daripada lingkaran kuning telur dan telah

terbentuk perut. Selain itu, penetasan juga disebabkan oleh gerakan larva akibat

peningkatan temperatur, intensitas cahaya dan pengurangan tekanan oksigen.

Setelah telur menetas, embrio memasuki fase larva atau fase embrio yang masih

primitif dalam proses perubahan menjadi bentuk definitif secara metamorfosis

(Murtidjo, 2002).

E. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Embrio

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan larva,

yaitu faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan adalah

suhu (Sulistyowati, 2005). Proses perkembangan telur sangat dipengaruhi oleh

suhu air, ketika suhu semakin tinggi maka proses perkembangan embrio akan

semakin cepat (Melianawati et al., 2010). Menurut Thamrin et al. (2010),

kecepatan embriogenesis pada setiap jenis ikan akan berbeda-beda, namun

Page 29: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

13

perbedaan itu juga terjadi diantara tahap dengan tahap embrio berikutnya akibat

faktor lingkungan, salah satunya adalah suhu. Menurut Ariffansyah (2007) suhu

inkubasi mempengaruhi bentuk morfologi larva yang ditetaskan seperti panjang

embrio, volume kuning telur, pola-pola meristik dan pembentukan rahang. Namun

proses perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam

media penetasan yang suhunya berfluktuasi (Djarijah, 2001). Embrio yang

diinkubasi pada suhu optimal menghasilkan larva yang berukuran besar, porsi

kuning telur menjadi jaringan lebih tinggi, kemampuan makan dan berenang lebih

besar (Heming dan Buddington, 1988 dalam Budiardi, 2005).

Pemberian suhu inkubasi yang rendah pada fase awal inkubasi

mengakibatkan terhambatnya proses pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan oleh Ariffansyah (2007) dalam penelitiannya bahwa pada suhu

inkubasi yang rendah yaitu 23-25oC menyebabkan proses perkembangan embrio

setiap stadia terjadi lebih lambat dibandingkan dengan media inkubasi suhu tinggi

yaitu pada suhu 29-31oC. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugama

et al. (2001) dalam Melianawati et al., (2010) fase yang sangat peka dalam

perkembangan telur adalah sebelum stadia embrio, terutama sebelum mencapai

stadia blastula. Menurut Dwajad dan Jompa (2007), kejutan suhu dingin dapat

menurunkan persentase derajat penetasan telur ikan bandeng karena pada suhu

tersebut telur-telur tidak dapat berkembang secara normal sehingga mekanisme

penetasan yang meliputi proses mekanik dan proses enzimatik terganggu.

Meningkatnya suhu akan mempercepat kelangsungan metabolisme

sehingga nutrien dan energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar (Fosberg dan

Page 30: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

14

Summerfelt, 1992 dalam Budiardiet al., 2005). Suhu yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan larva prematur (lebih cepat menetas) sehingga larva yang dihasilkan

kurang siap dalam menghadapi lingkungannya (Woynarovich dan Horvath, 1980

dalam Ariffansyah, 2007). Suhu yang melewati batas optimal menyebabkan

nutrien dan energi akan lebih banyak digunakan untuk pemeliharan, sehingga

proporsi penggunaan energi untuk pertumbuhan akan menurun (Watanabe dan

Kiron 1994 dalam Budiardi et al., 2005). Menurut Budiardi et al. (2005), embrio

yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan larva yang

dihasilkan sehingga kelangsungan hidupnya meningkat dan penetasan embrio

akan terjadi apabila panjang embrio melebihi kapasitas pembungkusnya.

F. Kualitas Air

Kondisi lingkungan yang biasa mempengaruhi kehidupan embrio dan larva

ikan betok adalah kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut dan pH. Suhu yang

rendah akan menghasilkan waktu penetasan yang lambat dan suhu yang tinggi

akan mempercepat waktu penetasan embrio (Prochazka, 2009). Proses

perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam media

penetasan yang suhunya berfluktuasi (Djarijah, 2001). Menurut Budiardi et al.

(2005), embrio yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan

larva yang dihasilkan sehingga kelangsungan hidupnya meningkat dan penetasan

embrio akan terjadi apabila panjang embrio melebihi kapasitas pembungkusnya.

Suhu optimal pada penetasan dan pemeliharaan larva ikan manvis adalah 30oC,

dimana telur lebih cepat menetas dengan laju penyerapan kuning telur dan laju

Page 31: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

15

pertumbuhan relatif panjang terbaik dan menghasilkan tingkat kelangsungan

hidup tertinggi.

Kelangsungan hidup dan pertumbuhan dipengaruhi oleh kandungan oksigen

terlarut didalam air. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2 ppm maka

kebanyakan ikan berhenti makan, aktivitas bergerak menurun dan menggunakan

oksigen yang tersedia untuk mempertahankan sistem yang menunjang dasar-dasar

kehidupan, terutama sitem saraf dan peredaran darah (Farker dan Davis, 1981

dalam Shafrudin, 1997). Untuk mencapai keberhasilan penetasan dan

kelangsungan hidup larva ikan secara umum Alabster dan Lioyd (1982) dalam

Shafrudin (1997) menetapkan nilai minimal sebesar 5 ppm. Menurut Sukendi

(2003) oksigen terlarut akan dapat mempengaruhi jumlah elemen-elemen meristik

embrio, dimana kebutuhan oksigen optimum untuk setiap ikan berbeda tergantung

pada jenisnya. Berdasarkan UNESCO/WHO/UNEP (1992) kadar oksigen untuk

mendukung kehidupan organisme akuatik berkisar antara 5-9,0 mg/l. Pemakaian

oksigen meningkat perlahan saat terjadi pembelahan, dimana pada saat telur

menetas, pemakaian oksigen meningkat 29 kali dari pemakaian oksigen awal saat

fertilisasi (Kientjokowati, 1982 dalam Ariffansyah, 2007). Telur yang tidak

terbuahi menyerap 0,052 mm3 O2/telur/jam karena adanya jamur dan terjadi

proses pembusukan, sedangkan telur yang terbuahi membutuhkan 0,056 mm3

O2/telur/jam (Kamler, 1990 dalam Ariffansyah, 2007).

Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi penetasan, karena dapat

mempengaruhi kerja enzim Chorionase dan enzim ini akan dapat bekerja secara

optimum pada pH antara 7,1-9,6 (Sukendi, 2003). Menurut Yustina dan

Page 32: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

16

Darmawati (2003) dalam Arsianingtyas (2009) kisaran pH yang optimal untuk

penetasan adalah 6,2-7,8. Selain suhu, oksigen terlarut dan pH ada faktor lain

yang mempengaruhi perkembangan embrio yaitu cahaya dan salinitas. Menurut

Sukendi (2003) cahaya yang kuat dapat mempercepat penetasan, tetapi cahaya

juga dapat menyebabkan kematian dan pertumbuhan embrio yang jelek serta

terjadi banyak figmentasi yang berakibat terganggunya proses penetasan. Salinitas

dapat mempengaruhi osmoregulasi pada proses penetasan, telur ikan air tawar bila

diinkubasi pada larutan yang bersalinitas tinggi akan menyebabkan terjadinya

pengembungan karena cairan diluar telur yang hyperosmotik akan masuk kedalam

telur yang hypoosmotik sehingga terjadi pengembangan dan akhirnya akan pecah.

Page 33: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

17

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 8-10 Pebruari 2013 di

Laboratorium Dasar Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas

Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, peralatan untuk

penetasan telur yang terdiri dari lampu (sumber cahaya), pemanas air (heater),

serok, saringan, aerator beserta perlengkapannya. Alat yang digunakan untuk

pengamatan perkembangan telur yaitu mikroskop, mikrometer, kaca preparat,

pipet tetes, spatula, dan kamera digital. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air

terdiri dari DO meter untuk mengukur oksigen terlarut, termometer untuk

mengukur suhu, dan pH meter untuk mengukur pH. Bahan yang digunakan yaitu

ovaprim, NaCl dan indukan ikan betok.

C. Metodologi Penelitian

1. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

menggunakan lima taraf perlakuan dan tiga ulangan dengan kode perlakuan suhu

media penetasan dan pemeliharaan (A). Perlakuan tersebut sebagai berikut :

17

Page 34: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

18

A1 = Suhu 26 ± 1oC

A2 = Suhu 28 ± 1oC

A3 = Suhu 30 ± 1oC

A4 = Suhu 32 ± 1oC

A5 = Suhu 34 ± 1oC

D. Cara Kerja

1. Persiapan Media

Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium ukuran

25x25x25 cm3sebanyak 15 buah dan akuarium ukuran 70x40x30 cm

3 sebanyak

satu buah yang telah diisi air tawar dan diberi aerasi. Akuarium dengan ukuran

25x25x25 cm3 diberi pemanas air (heater) yang telah diatur suhunya sesuai

dengan perlakuan. Sedangkan akuarium ukuran 70x40x30 cm3

sebagai tempat

pemijahan ikan betok.

2. Pemeliharaan Induk

Induk yang digunakan untuk proses pemijahan berasal dari tangkapan

masyarakat yang tinggal di Indralaya Ogan Ilir dan didomestikasi pada kolam

pemeliharaan. Induk betok yang dipilih memiliki tubuh yang sehat, tidak cacat

dengan pergerakan tubuh lincah dan telah matang gonad yang terlihat dari bentuk

morfologinya, yaitu induk betina memiliki warna badan agak gelap, lubang

genital berwarna kemerahan, perut yang terlihat membesar dan apabila di

stripping keluar telur. Induk jantan yang sudah matang gonad memiliki bentuk

Page 35: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

19

tubuh ramping memanjang, warna badan sedikit cerah, bagian bawah perut agak

rata dan apabila di stripping keluar cairan putih susu/sperma.

3. Penyuntikan Ovaprim

Penyuntikan ikan betok jantan dan betina menggunakan ovaprim (hormon

a-SGnRH, LHRH dan domperidone) dengan dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan

dilakukan di intramuscular pada otot punggung induk. Induk betina dilakukan

penyuntikan sebanyak 2 kali, penyuntikan pertama sebanyak 1/3 dosis dan

penyuntikan ke dua sebanyak 2/3 dosis dengan selang waktu 6 jam setelah

penyuntikan pertama. Penyuntikan induk jantan 1 kali bersamaan pada

penyuntikan kedua induk betina. Setelah dilakukan penyuntikan antara induk ikan

jantan dan induk ikan betina maka induk ikan tersebut dimasukkan ke dalam

akuarium pemijahan untuk melakukan proses pemijahan, dengan perbandingan

1:1 (1 jantan 1 betina).

4. Pemijahan Induk

Pemijahan ikan betok terjadi 6 jam setelah penyuntikan kedua. Setelah

selesai memijah induk segera diangkat dengan hati-hati dan dipindahkan ke

akuarium penampungan induk.

5. Pengambilan Telur

Pengambilan telur dilakukan dengan selang waktu yang singkat setelah

induk ikan betok melakukan ovulasi dan kemudian dilakukan pengambilan

sampel telur untuk pengamatan perkembangan embrio di bawah mikroskop.

Page 36: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

20

6. Inkubasi Telur

Pada saat penempatan telur, media inkubasi telah berada di kondisi suhu

yang sesuai perlakuan dan telur berada pada stadia formasi blastodik. Pada

masing-masing akuarium perlakuan yang berukuran 25x25x25 cm3

diisi air

sebanyak 10,63 L dengan ketinggian 17 cm dan di inkubasikan telur ikan

sebanyak 100 butir di dalam wadah saringan dan 100 butir di luar saringan.

Sehingga setiap perlakuan menggunakan 600 butir untuk tiga ulangan.

7. Pengamatan Perkembangan Embrio

Pengamatan perkembangan embrio dilakukan dengan cara pengambilan

sampel telur yang berada didalam wadah saringan sebanyak 5% secara acak

dengan menggunakan pipet tetes dari setiap akuarium perlakuan dan

menempatkannya pada kaca preparat. Perkembangan embrio diamati pada stadia

formasi blastodisk sampai dengan telur menetas dan pada setiap stadia dilakukan

juga pengukuran diameter telur ikan betok pada setiap perlakuan. Pengamatan

perkembangan embrio dilakukan dengan menggunakan kamera digital sehingga

sampel telur di foto dengan interval waktu pemotretan antar perlakuan hanya

dalam hitungan detik dan setelah selasai dipotret sampel telur di letakkan kembali

pada setiap perlakuan untuk menjaga sampel telur tetap berada pada suhu

inkubasi. Interval waktu pengamatan pada setiap stadia dilakukan secara berulang

hingga memasuki stadia berikutnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 37: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

21

Stadia Interval Waktu

Pengamatan (Menit)

Keterangan

Pembelahan zigot 5 Pengamatan dimulai dari terbentuknya

formasi blastodisk yang diamati secara

berulang dengan interval waktu 5

menit hingga memasuki stadia

berikutnya

Morula 10 Pengamatan dilakukan secara berulang

setelah stadia pembelahan berakhir

dengan interval waktu 10 menit

hingga memasuki stadia berikutnya

Blastula 15 Pengamatan dilakukan dengan interval

waktu 15 menit secara berulang

setelah stadia morula berakhir hingga

memasuki stadia berikutnya

Gastrula 15 Pengamatan dilakukan secara berulang

dengan interval waktu 15 menit

setelah stadia blastula berakhir hingga

memasuki stadia berikutnya

Organogenesis 20 Pengamatan dilakukan setelah stadia

blastula berakhir dengan interval

waktu 20 menit secara berulang

hingga memasuki stadia berikutnya

Menetas 30 Pengamatan dilakukan setelah stadia

organogenesis berakhir dengan

interval waktu 30 menit secara

berulang hingga telur pada setiap

perlakuan menetas ±90%

Tabel 1. Interval waktu pengamatan

Page 38: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

22

E. Parameter yang diamati

Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini yaitu perkembangan

embrio dan parameter penunjang dalam penelitian ini meliputi waktu penetasan,

persentase penetasan, persentase abnormalitas dan kualitas air :

1. Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio diamati dengan interval waktu yang telah

ditentukan pada Tabel 1. Untuk memudahkan pengamatan perkembangan embrio,

Verma (1969) dalam Sukendi (2003) membuat tahapan perkembangan embrio

pada Gambar 2.

:

Gambar 2. Tahapan perkembangan embrio ikan dari Verma (1969) dalam

Sukendi (2003)

2. Waktu Penetasan

Waktu penetasan telur (t) diketahui dengan cara mencatat waktu terjadi

pembuahan (to) dan mencatat waktu telur menetas seluruhnya dari 100 butir telur

yang ditebar (tn) sehingga diperoleh rumus t = tn – to.

3. Persentase Penetasan

Persentase penetasan telur adalah persentase jumlah telur yang menetas

menjadi larva dengan menggunakan rumus Slamet et al, (1989) sebagai berikut :

a. Formasi blastodisk b. 2 Sel c. 4 Sel d. 8 Sel e Morula f. Blastula

g. Gastrula h. Neurula i. Organogenesis

0,5 mm 0,5 mm

0,5 mm

Page 39: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

23

4. Abnormalitas Larva

Abnormalitas larva merupakan persentase jumlah telur yang menetas

menjadi larva cacat (abnormal). Menurut Nirmala (2006) persentase abnormalitas

larva dihitung berdasarkan rumus berikut :

5. Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini yaitu pH dan

oksigen terlarut (DO).

F. Pengambilan Data

Data yang diambil dari penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh dari hasil penelitian meliputi perkembangan embrio, waktu

penetasan, persentase penetasan, persentase abnormalitas larva dan kualitas air.

Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil penelitian terdahulu dan studi

pustaka yang menunjang.

G. Analisis Data

Data perkembangan embrio ikan betok (Anabas testudineus, waktu

penetasan, persentase penetasan, persentase abnormalitas larva dan kualitas air

dianalisis secara deskriptif.

Page 40: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio ikan betok terjadi setelah sperma membuahi sel

telur. Proses perkembangan embrio terdiri dari beberapa tahapan yaitu

pembelahan sel, morula, blastula, gastrula dan stadia organogenesis. Hasil

pengamatan pada telur ikan betok diperoleh tahapan waktu stadia perkembangan

embrio ikan betok pada suhu inkubasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 (data

lengkap disajikan dalam Lampiran 2), sedangkan tahapan perkembangan embrio

ditampilkan pada Gambar 3.

Stadia

Perkembangan

Waktu Perkembangan Embrio pada setiap Perlakuan

(Menit)

A1 A2 A3 A4 A5

Blastodisk 60 60 60 40 35

Pembelahan

- 2 Sel 90 90 90 70 60

- 4 Sel 120 120 120 100 85

- 8 Sel 150 150 150 130 110

- 16 Sel 180 180 180 155 135

- 32 Sel 210 210 210 180 160

- 64 Sel 240 240 240 205 185

- 128 Sel 270 270 270 230 210

Morula 300 300 300 255 235

Blastula

- Awal 360 360 360 310 285

- Pertengahan 390 390 390 335 310

- Akhir 420 420 420 360 335

Gastrula

- Awal 520 510 505 430 400

- Pertengahan 550 540 530 455 425

- Akhir 680 660 640 565 510

Neurula

- Awal 745 720 695 620 550

- Akhir 805 775 750 675 590

Tabel 2. Tahapan waktu stadia perkembangan embrio ikan betok (menit)

24

Page 41: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

25

Telur ikan betok yang diinkubasi pada suhu berbeda mengalami

perkembangan embrio yang dimulai dengan terbentuknya formasi blastodisk.

Formasi blastodisk merupakan proses terbentuknya satu sel blastomer pada kutub

anima sehingga membentuk sebuah benjolan. Setelah formasi blastodisk

terbentuk, satu sel yang ada mengalami pembelahan yang pertama dengan

membaginya menjadi dua buah sel dengan ukuran yang sama besar. Pembelahan

yang kedua terjadi setelah dua sel yang terbentuk dipotong oleh garis horizontal

sehingga membelah dua sel yang ada menjadi dua bagian yang membentuk empat

buah sel yang sama besar.

Pembelahan ketiga terjadi ketika empat sel yang ada membelah menjadi

dua bagian setiap dua sel yang ada sehingga membentuk delapan sel. Pembelahan

terus terjadi hingga pembelahan keempat, kelima, keenam dan ketujuh, dimana

setiap baris blastomer terus membelah menjadi dua bagian yang sama besar. Pada

stadia pembelahan satu hingga pembelahan ketujuh, sel yang terbentuk semakin

meningkat jumlahnya hingga ukurannya pun semakin kecil.

Stadia morula terjadi ketika pembelahan sel terus terjadi sehingga jumlah

sel akan bertambah dalam jumlah banyak dengan ukuran yang lebih kecil. Sel-sel

ini akhirnya akan membentuk tonjolan dan mengalami penebalan pada kutub

Organogenesis

- 4 Somit 865 830 800 725 630

- 6 Somit 925 885 850 775 670

- 9 Somit 985 940 900 825 710

- 12 Somit 1045 995 950 875 750

- 16 Somit 1105 1050 1000 915 790

- 18-19 Somit 1165 1105 1050 955 830

Telur Menetas 1225 1160 1090 995 870

Lanjutan tabel 2.

Page 42: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

26

anima. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sukra (2000), stadia morula

merupakan stadia dimana jumlah blastomer sangat padat hingga blastomer yang

ada sangat kecil dan sulit untuk dilihat atau dihitung jumlahnya.

Stadia blastula dimulai dengan terbentuk dengan jelasnya dua lapisan yang

membentuk sebuah rongga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukra

(2000), bahwa stadia blastula merupakan proses perkembangan morula menjadi

blastula, dimana blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga

menjadi semakin kecil dan menjelang berakhirnya pembelahan sebagian

blastomer yang ada dibawah morula rontok, sehingga tempat yang semula padat

dengan blastomer berubah menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau

blastocoels.

Pada stadia gastrula, lapisan sel yang terdapat pada kutub anima bergerak

melapisi kuning telur hingga menuju kutub vegetative sehingga pada stadia ini

terdapat dua lapisan yang menutupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Sukra (2000), ketika stadia gastrula berlangsung,

lapisan sel menutupi seluruh permukaan kuning telur mulai dari 1/4 hingga ¾,

kecuali bagian yang disebut blastopore dan bagian tepi blastoderm mulai menebal

membentuk sebuah lingkaran seperti cincin kecambah (germ ring) yang akan

memanjang dan menebal pada salah satu sisinya hingga mengelilingi sepanjang

permukaan kuning telur yang pada akhirnya membentuk suatu perisai embrio.

Stadia neurula ditandai dengan terbentuknya bagian kepala dan ekor,

dimana tubuh embrio semakin memanjang sehingga mengelilingi kuning telur.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), bahwa stadia neurula

Page 43: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

27

ditandai dengan terbentuknya formasi awal bagian kepala embrio dari sel

neurocoele dan akan membentuk susunan saraf otak, Kuffers vesicles pada kutub

vegetatif akan mulai membentuk formasi awal bagian ekor. Menurut Sukra

(2000), stadia neurula merupakan stadia dimana terbentuknya susunan syaraf

pusat dari ektoderm.

Proses organogenesis ditandai dengan munculnya segmen pada bagian

dorsal tubuh embrio. Pembentukan tulang belakang tubuh embrio ditandai dengan

munculnya 4 buah segmen pada median tubuh embrio yang terdiri dari dua baris

yang setiap barisnya terdapat empat bagian, dan segmen tubuh embrio semakin

bertambah dengan bertambah panjangnya tubuh embrio hingga menetas. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012) bahwa somit merupakan ruas

atau segmen yang mulai muncul disepanjang tubuh embrio dengan warna yang

tidak begitu jelas, somit mulanya berjumlah 4, 6, 9, 12 hingga 19 buah dan akan

semakin bertambah jumlahnya hingga telur menetas.

Telur menetas ditandai dengan keluarnya ekor embrio dari lapisan

khorion. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan Effendie (2002), menetas

merupakan saat terakhir pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga

embrio keluar dari cangkangnya. Pada saat akan terjadinya penetasan, embrio

akan melakukan pergerakan-pergerakan menjauhi kuning telur di dalam khorion

hingga lapisan khorion menjadi lembek hingga pecah. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan Sukendi (2003), embrio akan terus menggerakkan tubuhnya dengan

berputar-putar semakin cepat hingga lapisan khorion menjadi lunak akibat

Page 44: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

28

gerakan ataupun karena adanya enzim khorionase yang menyebabkan lapisan

khorion menjadi pecah.

Hasil pengamatan pada larva betok yang baru menetas diperoleh bahwa

tubuh larva ikan betok yang baru menetas memiliki pigmen mata dan bercak-

bercak coklat hitam yang transparan disetiap bagian tubuhnya dengan tubuh yang

lurus dan berada dipermukaan air. Larva betok yang baru menetas sudah memiliki

sirip yang masih belum sempurna bentuknya dengan ukuran rahang mulut yang

besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), larva betok yang

baru menetas memiliki pigmen mata yang berwarna hitam dan memiliki bercak

coklat hitam dibagian tubuhnya yang disebut melanophore. Stadia perkembangan

embrio ikan betok dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 45: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

29

1. Telur terbuahi 2. Formasi blastodisk 3. 2 Sel 4. 4 Sel

5. 8 Sel 6. 16 Sel 7. 32 Sel 8. 64 Sel

9. 128 Sel 10. Morula awal 11. Morula Akhir 12. Blastula Awal

13. Blastula

pertengahan 14. Blastula akhir 15. Gastrula awal 16. Gastrula

Pertengahan

17. Gastrula akhir 18. Neurula

awal 19. Neurula akhir 20. 4 somit

21. 6 somit 22. 9 somit 23.12 somit 24. 16 somit

26. Larva menetas

Gambar 3. Tahap perkembangan embrio ikan betok

25. 18-19 somit

Page 46: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

30

Suhu mempengaruhi waktu perkembangan embrio ikan betok. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha et al. (2012) suhu mempengaruhi

cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan telur hingga

menjadi larva.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada suhu 26, 28 dan 30ºC tidak

mempengaruhi proses pembelahan embrio dari stadia formasi blastodisk hingga

stadia blastula barakhir, ini ditandai dengan tidak adanya perbedaan waktu pada

perlakuan suhu tersebut serta tidak terganggunya proses stadia formasi blastodisk

hingga blastula akhir. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha

(2012) dalam penelitiannya bahwa tidak terjadi perbedaan waktu pada suhu

inkubasi 24, 26, 28 dan 30ºC di saat stadia pembelahan hingga stadia blastula

akhir pada perkembangan embrio ikan black ghost (Apteronotus albifrons). Pada

perlakuan suhu 26, 28, dan 30ºC proses pembelahan tidak terganggu sehingga

telur-telur dapat melewati fase kritisnya dan menetas dengan bentuk tubuh yang

normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha et al.

(2012) untuk telur-telur ikan black ghost yang dapat melewati fase kritis pada

stadia pembelahan hingga stadia blastula akhir ketika diinkubasi pada suhu 24, 26,

28, dan 30ºC, selanjutnya dapat terus berkembang dengan baik hingga mencapai

stadia embrio dan akan menetas dengan bentuk tubuh normal.

Pada suhu perlakuan 32 dan 34ºC, waktu pembelahan sel hingga stadia

blastula terjadi lebih cepat sehingga proses pembelahan sel menjadi terganggu.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sugama (2001) dalam Melianawati et

Page 47: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

31

al. (2010), fase yang sangat peka dalam perkembangan embrio adalah sebelum

stadia embrio, terutama sebelum mencapai stadia blastula.

Hasil pengamatan pada suhu 32 dan 34ºC didapatkan telur yang mati pada

stadia blastula dan diperoleh larva yang abnormal setelah menetas. Diduga suhu

tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel dalam tubuh embrio ketika

dimulainya proses pembelahan sel dalam proses perkembangan embrio sehingga

embrio akan mati bahkan mengalami kecacatan jika tidak dapat bertahan pada

suhu inkubasi tersebut dan bagi embrio yang bisa bertahan akan menetas dengan

tubuh yang normal. Dugaan ini didukung oleh pendapat Gervai et al. (1980)

dalam Mukti (2005) yang menyatakan bahwa kejutan suhu dan tekanan dapat

merusak mikrotubulus yang membentuk benang-benang spindel selama

pembelahan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zug et al. (2001),

suhu tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada sel embrio dan mengganggu

aktivitas biokimia di dalam tubuh, dimana suhu tinggi menyebabkan seluruh

energi yang ada digunakan untuk proses metabolisme yang meningkat sehingga

kuning telur pada embrio akan habis sebelum semua proses perkembangan embrio

selesai sehingga akan menghasilkan larva abnormal.

Pada stadia awal gastrula hingga stadia gastrula berakhir, terjadi perbedaan

waktu pada setiap perlakuan, dimana suhu 26ºC terjadi lebih lama dari perlakuan

suhu inkubasi lainnya. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan suhu 26ºC baru

terjadi stadia gastrula pada menit ke 520 dan perlakuan suhu inkubasi 34ºC pada

menit ke 550 telah memasuki stadia neurula. Hal ini diduga karena suhu 26ºC

tersebut menyebabkan embrio lama dalam berkontraksi sehingga lapisan sel

Page 48: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

32

bergerak lambat ketika melingkupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2012) bahwa terjadi perbedaan

waktu stadia gastrula pada suhu inkubasi 24, 26, 28 dan 30oC, dimana pada suhu

24oC proses stadia gastrula terjadi lebih lama dibanding perlakuan suhu lainnya

dan ini disebabkan adanya kontraksi lambat pada lapisan kuning telur yang

mendorong blastodisk (lingkaran putih) sehingga blastodisk akan menurun

ketebalannya sebagai hasil dari tekanan mekanik dan penutupan lambat dari

kuning telur.

Stadia neurula hingga stadia organogenesis pada suhu inkubasi berbeda

telah menghasilkan waktu yang dibutuhkan untuk berjalannya proses ini berbeda

pula. Hal ini terlihat pada suhu inkubasi 24oC yang membutuhkan waktu lama

pada stadia neurula hingga stadia organogenesis dibanding suhu inkubasi lainnya.

Hal ini diduga karena suhu tersebut membuat embrio lebih lama untuk

membentuk jaringan dan bakal organ secara sempurna. Namun pada suhu

inkubasi 32 dan 34oC, stadia ini membutuhkan waktu yang lebih singkat

dibanding suhu inkubasi lainnya dan hal ini menyebabkan organ yang terbentuk

tidak sempurna serta menghasilkan larva prematur bahkan cacat. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian pada pengaruh perbedaan suhu terhadap perkembangan

embrio ikan black ghost yang dilakukan oleh Nugraha (2012), dimana terjadi

perbedaan waktu pada semua suhu inkubasi (24, 26, 28 dan 30

oC) pada stadia

neurula diduga terjadi karena adanya diference structural dan fungsional

pembentukan awal jaringan organ-organ yang berhubungan dengan aktivitas

motorik pada bagian anterior ikan, pada tahap ini sering terjadi pencampuran

Page 49: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

33

perivitelin dan aktivitas pectoral yang meningkat sehingga menyebabkan larva

yang menetas menjadi prematur.

Pada setiap perlakuan suhu inkubasi menghasilkan lama waktu penetasan

yang berbeda karena masing-masing suhu inkubasi menghasilkan kemampuan

embrio yang berbeda pula. Hal ini diduga karena suhu mempengaruhi sistem

metabolisme didalam tubuh embrio sehingga pada suhu inkubasi tinggi (suhu

inkubasi 32 dan 34oC) akan membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan

suhu yang lebih rendah (suhu inkubasi 26, 28 dan 30oC), dimana ini ditandai

dengan terjadinya penetasan pada menit ke 870 pada perlakuan suhu 34oC dan

pada menit ke 865 baru terjadi tahap pembentukan 4 somit pada perlakuan suhu

inkubasi 26oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nugraha (2012), dimana

perbedaan waktu penetasan pada setiap suhu inkubasi disebabkan oleh

kemampuan embrio yang berbeda sehingga bagi embrio yang tidak mampu

melepaskan diri dari cangkang telur akan meningkatkan adrenalin selama

penetasan sehingga menyebabkan stress fisik pada embrio saat akan

meninggalkan cangkang telur.

Waktu penetasan yang cepat pada telur yang diinkubasi pada suhu 32 dan

34ºC disebabkan suhu tersebut termasuk tinggi dari perlakuan suhu inkubasi

lainnya. Telur yang ditetaskan di daerah yang bersuhu tinggi, waktu penetasannya

lebih cepat dibanding telur yang ditetaskan di daerah bersuhu rendah, karena telur

yang diinkubasi pada suhu tinggi akan menghasilkan larva yang lebih cepat

menetas (Budiardi et al., 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh

Nugraha et al. (2012) suhu inkubasi 24oC merupakan suhu rendah dibanding suhu

Page 50: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

34

inkubasi 26, 28 dan 30oC sehingga suhu tersebut membuat enzim (chorionase)

tidak bekerja dengan baik pada kulit telur dan membuat embrio akan lama dalam

melarutkan kulit telur dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Masrizal et al. (2001)

dalam Nugraha et al. (2012) kelenjar akan bekerja untuk mensekresi enzim

chorionase yang akan mereduksi lapisan chorion telur sehingga akan menjadi

lunak/lembek, serta lapisan chorion juga sangat peka terhadap kondisi lingkungan

terutama suhu. Selain itu suhu terlalu tinggi dapat mengganggu aktivitas enzim

penetasan pada telur dan mengakibatkan pengerasan pada chorion, sehingga

menghambat proses penetasan telur dan dapat mengakibatkan terjadinya

keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan (Mukti, 2005). Biedwell

et al. (1985) dalam Mukti (2005) mengemukakan, larva ikan yang cacat dapat

disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan,

sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka

embrio akan keluar dalam keadaan tubuh cacat.

Semakin tinggi suhu seperti pada perlakuan suhu 34ºC yang lebih tinggi

dari perlakuan suhu lainnya yang menyebabkan proses perkembangan embrio

terjadi lebih cepat, dimana pada suhu tersebut proses metabolisme menjadi lebih

cepat sehingga menyebabkan larva lebih cepat menetas dibandingkan perlakuan

suhu lainnya. Menurut Sukendi (2003), suhu tinggi menyebabkan proses

metabolisme berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrio juga lebih cepat

yang berakibat lanjut pada pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif

sehingga mempercepat proses penetasan, namun suhu yang terlalu tinggi atau

terlalu rendah dapat menghambat proses penetasan, bahkan suhu yang terlalu

Page 51: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

35

ekstrim dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan dalam penetasan.

Suhu inkubasi perkembangan embrio ikan betok akan menghasilkan waktu

penetasan, persentase penetasan dan persentase abnormalitas larva yang

dihasilkan seperti pada Tabel 3 (data waktu penetasan, persentase penetasan,

persentase abnormalitas larva dan panjang total tubuh larva disajikan secara

lengkap pada Lampiran 4, 5, dan 9).

Penggunaan suhu inkubasi pada perkembangan embrio ikan betok yang

berbeda membuat lama waktu penetasan yang dihasilkan berbeda pula, dimana

pada perlakuan suhu 26ºC perkembangan embrio membutuhkan waktu yang lebih

lama dibandingkan dengan perlakuan suhu lainnya. Perlakuan suhu 34ºC

membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menetas dan persentase penetasan

yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya dikarenakan banyak

larva yang tidak dapat mentolerir suhu tersebut serta bagi larva yang bisa bertahan

pada suhu tersebut menjadi abnormal. Rendahnya persentase penetasan pada

perlakuan suhu 32ºC dan 34ºC karena telur-telur tersebut tidak dapat berkembang

secara normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elfeta (2008) telur ikan

baung yang diinkubasi pada suhu 32ºC tidak dapat berkembang secara normal

Perlakuan Waktu penetasan

(menit)

Persentase

penetasan (%)

Larva

Abnormal

(%)

A1 (26 ± 1ºC) 1225 (20,41 jam) 84,33 0

A2 (28 ± 1ºC) 1160 (19,33 jam) 92,33 0

A3 (30 ± 1ºC) 1090 (18,16 jam) 86 0

A4 (32 ± 1ºC) 995 (16,58 jam) 83,67 38,47

A5 (34 ± 1ºC) 870 (14,50 jam) 78,33 51,08

Tabel 3. Rata-rata waktu penetasan, persentase penetasan dan abnormalitas

larva setelah menetas

Page 52: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

36

sehingga mati sebelum menetas dan menghasilkan persentase penetasan sebesar

0%.

Hasil pengamatan diketahui bahwa pada perlakuan 32ºC dan 34ºC terdapat

telur yang sebelum dan setelah menetas mengalami kematian sehingga

diasumsikan bahwa telur-telur tersebut tidak mampu menahan suhu inkubasi yang

diberikan sehingga telur tersebut akan rusak baik sebelum dan sesudah menetas

ataupun bagi telur yang mampu menahan tekanan suhu tinggi menyebabkan

proses perkembangannya terganggu sehingga larva yang dihasilkan akan cacat.

Telur-telur yang tersisa pada perlakuan suhu 32 dan 34ºC adalah telur berkualitas

yang mampu melawan tekanan suhu tersebut.

Persentase penetasan pada suhu 28ºC lebih tinggi dibandingkan persentase

penetasan pada perlakuan suhu inkubasi 32 atau 34ºC, namun suhu 26ºC memiliki

persentase penetasan yang lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu 28ºC.

Perlakuan suhu 26ºC berada dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan

betok. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ariffansyah (2007), telur

ikan gurame memiliki persentase penetasan 87,6% pada suhu inkubasi 26-28ºC

yang merupakan persentase tertinggi dibanding suhu inkubasi 32-34ºC yang

memiliki persentase penetasan 80,66% karena telur masih bisa mentoleransi suhu

26-28ºC dibandingkan dengan suhu 32-34ºC, namun suhu inkubasi 23-25ºC

menghasilkan persentase penetasan terendah sebesar 55,73% karena suhu tersebut

dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan gurami. Menurut Fosberg dan

Summerfelt (1992) dalam Budiardi et al. (2005) meningkatnya suhu akan

Page 53: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

37

mempercepat kelangsungan metabolisme yang membutuhkan nutrien dan energi

yang lebih besar sehingga energi untuk pertumbuhan dan perkembangan sedikit.

B. Kualitas Air

Hasil pengukuran parameter kualitas air yang didapatkan masih berada

dalam batas normal penetasan telur. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat

pada Tabel 4.

1) Yustina dan Darmawati 2003 dalam Arsianingtyas et al. 2009

2) Effendi 2003

Parameter kualitas air selama penelitian masih berada dalam toleransi

untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Nilai pH pada penelitian ini

berkisar antara 6,72-7,74, dimana kisaran ini masih dalam batas toleransi untuk

penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Derajat keasaman (pH) akan

mempengaruhi penetasan, karena dapat mempengaruhi kerja enzim Chorionase

dan enzim ini akan dapat bekerja secara optimum pada pH antara 7,1-9,6

(Sukendi, 2003). Menurut Yustina dan Darmawati (2003) dalam Arsianingtyas

(2009) kisaran pH yang optimal untuk penetasan adalah 6,2-7,8.

Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 6,16-7,53

mg/l yang merupakan kisaran oksigen terlarut yang mendukung perkembangan

embrio dan pemeliharaan larva. Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut

tidak boleh kurang dari 2 mg/l karena dapat mengakibatkan kematian pada ikan

Parameter Perlakuan Kisaran

Optimum A1 A2 A3 A4 A5

pH 6,72-7,33 6,71-7,24 6,77-7,23 6,74-7,23 6,73-7,34 6,2-7,81)

Do (mg/l) 6,16-7,63 6,10-7,53 6,13-7,66 6,13-7,54 6,16-7,34 6-82)

Tabel 4. Kisaran kualitas air selama penelitian

Page 54: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

38

dan kadar oksigen terlarut yang baik untuk kepentingan perikanan sebaiknya tidak

kurang dari 5 mg/l dan kandungan oksigen yang optimum bagi penetasan dan

pemeliharaan larva yaitu 6-8 mg/l. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2

ppm maka kebanyakan ikan berhenti makan, aktivitas bergerak menurun dan

menggunakan oksigen yang tersedia untuk mempertahankan sistem yang

menunjang dasar-dasar kehidupan, terutama sitem saraf dan peredaran darah

(Farker dan Davis, 1981 dalam Shafrudin, 1997). Data kualitas air selama

penelitian secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 hingga 9.

Page 55: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

39

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing perlakuan

maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula

perkembangan embrio ikan betok (Anabas testudineus), ini terlihat pada perlakuan

suhu inkubasi 26-30ºC yang menghasilkan waktu perkembangan embrio yang

lama dengan persentase penetasan relatif lebih besar dan dapat menekan

persentase abnormalitas larva.

B. Saran

Perkembangan embrio ikan betok sebaiknya diinkubasi pada kisaran suhu

26-30oC untuk menekan persentase abnormalitas dan meningkatkan persentase

penetasannya.

39

Page 56: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

40

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M dan Fauzi. 2010. Percobaan pemijahan ikan puyu (Anabas

testudineus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 15 (1) : 16-24.

Ariffansyah. 2007. Perkembangan embrio dan penetasan telur ikan gurami

(Osphronemus gouramy) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Skripsi

Universitas Sriwijaya. Indralaya. (tidak dipublikasikan)

Arsianingtyas, H., A. T. Mukti dan S. Subekti. 2009. Pengaruh kejutan suhu panas

dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas

larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga, Surabaya. pp 1-15.

Budiardi, T., W. Cahyaningrum dan I. Effendi. 2005. Efisiensi pemanfaatan

kuning telur embrio dan larva ikan manvis (Pteorephyllum scalare) Pada

Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal akuakultur Indonesis. 4 (1): 57-61.

Djarijah, A. S. 2001. Pembenihan Ikan Mas. Kanasius. Yogyakarta.

Dwajad, M. I. dan H. Jompa. 2007. Pengaruh kejutan dingin terhadap masa

inkubasi, derajat penetasan dan sintasan prelarva ikan bandeng (Chanos

chanos Forsskal). Jurnal Sains dan Teknologi. 7 (3) : 119-124.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanasius. Yogyakarta.

Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Elfeta, Y. 2008. Daya tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.) pada

suhu inkubasi yang berbeda. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

(tidak dipublikasikan)

Jacob, P. K. 2005. Studies on some aspects of reproduction of female Anabas

testudineus (Bloch). Ph D Thesis. Cochin University Of Science and

Technology. India (unpublished).

Kordi K., M. G. H. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di

Kolam Terpal. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Marlida, R. 2008. Efek cekaman suhu terhadap penetasan telur dan keragaan larva

ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Ziraa’ah. 22 (2): 96-106.

Melianawati, R., P. T. Imanto, dan M. Suastika. 2010. Perencanaan waktu tetas

telur ikan kerapu dengan penggunaan suhu inkubasi yang berbeda. Jurnal

Ilmu dan Teknologi Kalautan Tropis. 2 (2): 83-91.

40

Page 57: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

41

Mukti, A. T. 2005. Perbedaan tingkat poliploidisasi ikan mas (Cyprinus carpio

Linn.) melalui kejutan panas. Berk. Penel. Rayati. (10): 133-138.

Murtidjo, B. A. 2002. Bandeng. Kanasius. Yogyakarta.

Nirmala, K., J. Sekarsari dan P. Suptijah. 2006. Efektifitas khitosan sebagai

pengkhelat logam timbal dan pengaruh terhadap perkembangan awal

embrio ikan zebra (Danio rerio). Jurnal Akuakultur Indonesia. 5 (2): 157-

165.

Nugraha, D., M. N. Supardjo dan Subiyanto. 2012. Pengaruh perbedaan suhu

terhadap perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan penyerapan

kuning telur ikan black ghost (Apteronotus albifrons) pada skala

laboratorium. Journal of management of aquatic resources. 1 (1): 1-6.

Pramono, T. B. dan S. Marnani. 2007. Pola penyerapan kuning telur dan

perkembangan organogenesis pada stadia awal larva brek (Puntius

orphiodes). Jurnal Penelitian dan Ilmu Kelautan. 6 (1) : 1-4.

Prochazka. 2009.Incidence of malformations in fish embryos/larvae (review).

Smart Water Research Facility, Griffith University. Nathan/Gold Coast

Campus, 18 September 2009. pp 1-15.

Shafrudin, D. 1997. Pengaruh suhu terhadap perkembangan serta pertumbuhan

embrio dan larva ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr.). Tesis. Institut

Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Safitri, A., L. Simarmata dan H. W. Hardani. 2003. Biologi Jilid 2 (Lux) Edisi

5.Erlangga. Jakarta.

Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo dan Sulistiono. 1992 Fisiologi

Ikan II Reproduksi Ikan (reviewer Prof. Dr. Nawangsari Sugiri). Fakulatas

Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Slamet, B., P. T. Imanto dan S. Diani 1989. Pengamatan pada pemijahan

rangsangan, perkembangan telur dan larva kakap putih. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. Terbit Khusus No. 01, 1990 :1-5.

Sukendi. 2003. Vitelogenesis dan Manipulasi Fertilisasi pada Ikan. Unri.

Pekanbaru.

Sukra, Y. 2000. Wawasan Pengetahuan Embrio Benih Masa Depan. Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidika Nasional. Jakarta.

Sulistyowati, D. T., Sarah dan H. Arfah. 2005. Organogenesis dan perkembangan

awalikan Corydoras panda. Jurnal akuakultur indonesia. 4 (2): 67-74.

Page 58: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

42

Suriansyah., A. O. Sudrajat dan M. Zairin Jr. 2010. Studi rangsangan hormon

gonadotropin (GtH) terahadap perkembangan pematangan gonad ikan

betok (Anabas testudineus Bloch). Jurnal Akuakultur Indonesia. 9 (1): 61-

66.

Sutisna, H.D. dan Ratno, S. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanasius.

Yogyakarta.

Thamrin, A. P. Rasyidi, Mulyadi dan Rosyadi. 2010. Penelitian pendahuluan

pengaruh temperature terhadap survival embrio dan embryogenesis ikan silais

(Tricopteris limpok). Journal of Enveronmetal Science. 4 (4): 1-10.

UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Asessment, Edited by Chapman. D.

Chapman and Hall Ltd. London. 585 p.

Zalina, I., C. R. Saad, A. Cristianus dan S. A. Harmin. 2012. Induced breeding

and embryonic development of climbing perch (Anabas testudineus,

Bloch). Journal of Fisheries and Aquatic Science. 7 (5): 291-306.

Zug, G. R., L. J. Vitt dan J. P. Caldwell. 2001. Herpetology. Academic Press.

London.

Page 59: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

43

LAMPIRAN

Page 60: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

44

Lampiran 1.Denah penelitian

Page 61: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

45

Stadia Waktu stadia perkembangan embrio pada setiap ulangan

(Menit)

Rata-Rata (Menit)

1 2 3

Fertilisasi Telur 0 0 0 0

Formasi Blastodik 59 61 60 60

2 Sel 89 91 90 90

4 Sel 119 121 120 120

8 Sel 149 151 150 150

16 Sel 178 182 180 180

32 Sel 208 212 210 210

64 Sel 236 244 240 240

128 Sel 266 274 270 270

Morula 296 304 300 300

Blastula Awal 356 364 360 360

Blastula Pertengahan 386 394 390 390

Blastula Akhir 416 424 420 420

Gastrula Awal 515 525 520 520

Gastrula memasuki fase pertengahan

545 555 550 550

Gastrula pertengahan 610 620 615 615

Gastrula Akhir 675 685 680 680

Neurula Awal 740 750 745 745

Neurula Akhir 800 810 805 805

4 Somit 860 870 865 865

6 Somit 920 930 925 925

9 Somit 980 990 985 985

12 Somit 1040 1050 1045 1045

16 Somit 1100 1110 1105 1105

18-19 Somit 1160 1170 1165 1165

Menetas 1220 1230 1225 1225

Perlakuan A1

Lampiran 2. Waktu perkembangan embrio ikan betok pada setiap perlakuan

Page 62: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

46

46

Page 63: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

47

Page 64: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

48

Page 65: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

49

Page 66: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

50

Lampiran 3. Data waktu penetasan telur ikan betok

Perlakuan Ulangan Waktu Pembuahan

(WIB)

Waktu Penetasan (WIB) Waktu Penetasan (menit) Rentang waktu

penetasan

(menit)

10% menetas menetas

seluruh

10% menetas menetas

seluruh

A1 1 02:00 20:05 22:20 1085 1220 135

2 02:00 20:08 22:30 1088 1230 142

3 02:00 20:09 22:25 1089 1225 136

Rata-rata 1087,33 1225 137,67

A2 1 02:00 19:45 21:20 1065 1160 95

2 02:00 19:40 21:27 1060 1167 107

3 02:00 19:39 21:13 1059 1153 94

Rata-rata 1061,33 1160 98,67

A3 1 02:00 18:45 20:04 1005 1084 79

2 02:00 19:00 20:10 1020 1090 70

3 02:00 19:02 20:16 1022 1096 74

Rata-rata 1015,67 1090 74,33

A4 1 02:00 17:40 18:32 940 992 52

2 02:00 17:46 18:38 946 998 52

3 02:00 17:45 18:35 945 995 50

Rata-rata 943,67 995 51,33

A5 1 02:00 16:05 16:25 845 865 20

2 02:00 16:10 16:35 850 875 25

3 02:00 16:08 16:30 848 870 22

Rata-rata 847,67 870 22,33

Page 67: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

51

Perlakuan Ulangan TelurAwal

ditebar (butir)

Telur Menetas

(ekor)

Persentase

penetasan (%)

A1 1 100 86 86

2 100 85 85

3 100 82 82

Rata-rata 100 84,33 84,33

A2 1 100 92 92

2 100 90 90

3 100 95 95

Rata-rata 100 92,33 92,33

A3 1 100 93 93

2 100 82 82

3 100 83 83

Rata-rata 100 86,00 86,00

A4 1 100 87 87

2 100 85 85

3 100 79 79

Rata-rata 100 83,67 83,67

A5 1 100 79 79

2 100 79 79

3 100 77 77

Rata-rata 100 78,33 78,33

Lampiran 4. Persentase penetasan telur ikan betok

Page 68: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

52

Perlakuan Ulangan Jumlah larva

menetas

(ekor)

Larva Abnormal

saat menetas

(ekor)

persentase penetasan

larva Abnormal (%)

A1 1 86 0 0

2 85 0 0

3 82 0 0

Rata-rata 84,33

A2 1 92 0 0

2 90 0 0

3 95 0 0

Rata-rata 92,33 0 0

A3 1 93 0 0

2 82 0 0

3 83 0 0

Rata-rata 86 0 0

A4 1 87 31 35,63

2 85 28 32,94

3 79 37 46,84

Rata-Rata 83,67 32 38,47

A5 1 79 43 54,43

2 79 36 45,57

3 77 41 53,25

Rata-rata 78,33 40 51,08

Lampiran 5. Persentase Abnormalitas larva

Page 69: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

53

Hari ke Ulangan Perlakuan A1 Kisaran

1 2 3

1 6,72 6,78 6,74 6,72-6,78

2 7,23 7,25 7,33 7,23-7,33

Hari ke Ulangan Perlakuan A2 Kisaran

1 2 3

1 6,74 6,72 6,71 6,71-6,74

2 6,79 7,18 7,24 6,79-7,24

Hari ke Ulangan Perlakuan A3 Kisaran

1 2 3

1 6,78 6,77 6,75 6,75-6,78

2 7,23 7,11 7,28 7,11-7,28

Hari ke Ulangan Perlakuan A4 Kisaran

1 2 3

1 6,77 6,74 6,79 6,74-6,79

2 7,14 7,23 7,22 7,14-7,23

Hari ke Ulangan Perlakuan A5 Kisaran

1 2 3

1 6,73 6,78 6,77 6,73-6,78

2 7,34 6,92 7,19 6,92-7,34

Lampiran 6. Data pengukuran pH selama penelitian

Page 70: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

54

Hari ke Ulangan Perlakuan A1 Kisaran

1 2 3

1 6,19 6,16 6,17 6,16-6,19

2 7,30 7,49 7,63 7,30-7,63

Hari ke Ulangan Perlakuan A2 Kisaran

1 2 3

1 6,18 6,10 6,21 6,10-6,21

2 7,43 7,38 7,52 7,38-7,52

Hari ke Ulangan Perlakuan A3 Kisaran

1 2 3

1 6,13 6,27 6,15 6,13-6,27

2 7,66 7,54 7,43 7,43-7,66

Hari ke Ulangan Perlakuan A4 Kisaran

1 2 3

1 6,20 6,13 6,17 6,13-6,20

2 7,54 7,29 7,43 7,29-7,54

Hari ke Ulangan Perlakuan A5 Kisaran

1 2 3

1 6,23 6,18 6,16 6,16-6,23

2 6,98 7,34 7,29 6,98-7,34

Lampiran 7. Data pengukuran oksigen terlarut selama penelitian

Page 71: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

55

Lampiran 8. Kisaran nilai kualitas air selama penelitian

1) Yustina dan Darmawati 2003 dalam Arsianingtyas et al. 2009

2) Effendi 2003

Parameter Perlakuan Kisaran

Optimum A1 A2 A3 A4 A5

pH 6,72-7,33 6,71-7,24 6,77-7,23 6,74-7,23 6,73-7,34 6,2-7,81)

DO (mg/l) 6,16-7,63 6,10-7,53 6,13-7,66 6,13-7,54 6,16-7,34 6-82)

Page 72: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

56

Perlakuan Waktu Suhu selama penelitian setiap 3 jam (ºC)

Ulangan

1 2 3

A1 2:00 26 26 26

5:00 26 26 25

8:00 27 25 26

11:00 26 27 27

14:00 26 26 26

17:00 25 26 27

20:00

23:00

26

26

25

26

26

26

A2 2:00 28 28 28

5:00 28 27 28

8:00 29 28 27

11:00 28 28 28

14:00 27 29 29

17:00 28 28 28

20:00

23:00

27

28

27

28

28

28

A3 2:00 30 30 30

5:00 29 30 29

8:00 30 29 30

11:00 30 30 30

14:00 31 31 31

17:00 30 30 30

20:00

23:00

31

30

29

30

29

30

A4 2:00 32 32 32

5:00 32 32 31

8:00 33 32 32

11:00 32 31 33

14:00 32 32 32

17:00 31 32 32

20:00

23:00

32

32

33

32

31

32

A5 2:00 34 34 34

5:00 35 33 33

8:00 34 34 34

11:00 34 35 35

14:00 34 34 34

17:00 33 34 33

20:00

23:00

34

34

33

34

34

34

Lampiran 9. Data suhu selama penelitian

Page 73: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

57

Perlakuan (panjang total larva setelah menetas (mm)

Ulangan

Rata-rata

(mm)

1 2 3

A1 0,35 0,38 0,36 0,36

A2 0,34 0,34 0,34 0,34

A3 0,32 0,31 0,32 0,32

A4 0,30 0,30 0,30 0,30

A5 0,27 0,28 0,28 0,28

Lampiran 10. Data panjang total larva setelah menetas

Page 74: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

58

Lampiran 11. Dokumentasi pelaksanaan penelitian

Media inkubasi Penimbangan induk ikan betok

Penyuntikan induk ikan betok Pengukuran oksigen terlarut

Pengamatan perkembangan embrio Pengamatan perkembangan embrio

Page 75: Embriogenesis Ikan Betok (Anabas Testudineus) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda

59

Larva Abnormal