EFISIENSI DAYA SAING UNTUK SEKTOR UNGGULAN...
Transcript of EFISIENSI DAYA SAING UNTUK SEKTOR UNGGULAN...
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 13 ISBN 978-979-3812-42-7
EFISIENSI DAYA SAING UNTUK SEKTOR UNGGULAN JAWA TENGAH
Daryono Soebagyo, Erma Setyowati, Maulidyah Indira Hasmarini
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
E-mail Address: [email protected]
Abstrak
Daya saing daerah menjadi salah satu isu dalam pembangunan daerah semenjak
berlakunya kebijakan otonomi daerah. Penelitian bertujuan untuk melihat distribusi sebaran
peringkat daya saing daerah di 35 Kota/Kabupaten Jawa Tengah yang dianalisis berdasarkan
karakteristik daya saing input dan outputnya, di mana dalam jangka pendek, kebutuhan
semua daerah dituntut memiliki daya saing sektor unggulan untuk menghasilkan rancangan
strategi yang tepat, sedangkan dalam jangka panjang diupayakan mengkaji model daya saing
daerah yang mampu mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi daerah. Metode analisis di
studi penelitian menggunakan metode analisis statistik deskriptif, shift share Estaban
Marquillas, Location Qoution, Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa pada daerah
dengan spesialisasi sektoral tiga tertinggi yaitu; 1) Banyumas, Kota Pekalongan; 2)
Pemalang, Kota Magelang, Kota Salatiga; 3) Kota Surakarta. Daerah dengan keunggulan
kompetitif sektoral tiga tertinggi meliputi; 1) Blora; 2) Banjarnegara; 3) Wonosobo dan
Wonogiri. Daerah dengan spesialisasi dan keunggulan kompetitif sektoral tiga meliputi; 1)
Wonogiri; 2) Wonosobo, Banjarnegara; 3) Blora. Daerah yang memiliki keunggulan
komperatif tiga tertinggi meliputi;: 1) Banyumas, Kota Magelang, Kota Pekalongan; 2)
Pemalang, Kota Salatiga; 3) Kota Surakarta.
Kata Kunci: Efisiensi, Daya Saing, Sektor Unggulan, Shift Share Estaban Marquillas
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Keberhasilan ekonomi suatu negara
dapat dilihat dari daya saingnya. Daya
saing ini merupakan suatu konsep umum
yang digunakan di dalam ekonomi, yang
merujuk kepada komitmen terhadap
persaingan pasar terhadap
keberhasilannya dalam persaingan
internasional. Konsep daya saing daerah
berkembang dari konsep daya saing yang
digunakan untuk perusahaan dan negara.
Selanjutnya konsep tersebut di
kembangkan untuk tingkat negara sebagai
daya saing global, khususnya melalui
lembaga World Economic Forum (Global
Comvetitiveness Report) dan International
Institute for management Development (
World Competitiveness Yearbook).
Gambar.1 Piramida Daya Saing
Daerah
Sumber: PPSK Bank Indonesia-PL3E FE
UNPAD (2008), Santosa (2011)
PPSK Bank Indonesia dan
LP3E Unpad (2008) melakukan kajian,
bahwa daya saing ekonomi suatu negara
seringkali merupakan cerminan dari daya
siang ekonomi daerah secara keseluruhan.
Disamping itu, dengan adanya tren
desentralisasi, posisi dan peringkat daya
saing dari masing-masing
Kabupaten/Kota, maka makin-
Gambar.2 Peta Penelitian Daerah
Kabupaten/Kota Jawa Tengah
kuat kebutuhan untuk mengetahui daya
saing pada tingkat daerah. Lembaga
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 14 ISBN 978-979-3812-42-7
tersebut juga telah melakukan kajian
pengukuran indeks daya saing daerah
terhadap 434 Kabupaten/Kota di
Indonesia dengan menggunakan
kerangka piramida, yang terdiri dari
interaksi antara faktor input-output-
outcome. Hasil pemetaan tersebut telah
menghasilkan posisi dan peringkat daya
saing dari masing-masing
Kabupaten/Kota.
Penelitian dari Daryono,
Yuli, Triyono (2014) menyatakan bahwa
hasil pemetaan daya saing daerah secara
keseluruhan menunjukkan daerah yang
memiliki daya saing tinggi secara umum
didominasi oleh Kabupaten/Kota yang
memiliki basis ekonomi yang bersumber
pada kekayaan sumber daya alam
dan/atau daerah-daerah yang memiliki
aktivitas ekonomi berbasis sektor industri
dan sektor jasa.
Kondisi daya saing daerah di Jawa
Tengah berdasarkan hasil pemetaan daya
saing kabupaten/kota di Indonesia
menunjukkan adanya perbedaan daya
saing antar daerah, di mana kawasan
perkotaan yang memiliki sumber daya
alam terbatas tetapi sektor industri dan
sektor jasa berkembang dengan baik,
yang selebihnya mempunyai tingkat
daya saing yang baik. Tingginya tingkat
efisiensi Kabupaten/Kota dipengaruhi
oleh tingginya capaian indikator output,
yaitu besarnya petumbuhan ekonomi
PDRB per kapita, terutama kontribusi
sektor sekunder (termasuk tekstil) yang
meningkat.
Penelitian Terdahulu
Michael Porter (1990)
menyatakan bahwa konsep daya saing
yang dapat diterapkan pada level nasional
adalah “produktivitas” yang
didefinisikannya sebagai nilai output yang
dihasilkan oleh seorang tenaga kerja.
World Bank menyatakan hal yang relatif
sama di mana “daya saing mengacu
kepada besaran serta laju perubahan
nilai tambah perunit input yang dicapai
oleh perusahaan”. Akan tetapi, baik
World Bank, Porter, serta literatur-literatur
lain yang mengulas mengenai daya saing
nasional memandang bahwa daya saing
tidak secara sempit mencakup hanya
sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan.
Daya saing mencakup aspek yang lebih
luas, tidak berkutat hanya pada level
mikro perusahaan, tetapi juga mencakup
aspek diluar perusahaan seperti iklim
berusaha yang jelas diluar kendali
perusahaan.
Sedangkan studi penelitian
mengenai sektor basis dan pertumbuhan
ekonomi pernah dilakukan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya. Diantaranya, studi
penelitian dilakukan oleh Holly Wise dan
Sokol Shtylla dengan judul The Role of
the Extractive Sector in Expanding
Economic Opportunity pada tahun 2007,
yang menyatakan Perusahaan berinvestasi
dengan sumber daya yang melimpah,
padahal daerah tersbut rawan bencana dan
ekonomi selalu dalam masa transisi atau
dengan struktur pemerintahan yang
lemah, sedangkan industri ekstraktif atau
primer tidaklah mudah. Biaya produksi
mereka dipengaruhi oleh keadaan
ekonomi. Perusahaan ekstraktif mengakui
bahwa pasang surut keadaan ekonomi
dapat menimbulkan peluang ekonomi
yang lebih besar, biaya produksi
perusahaan dan penjualan lokal serta
regional akan terpengaruh secara positif.
Perusahaan tidak hanya mengambil
keuntungan dari kesempatan ekonomi
yang lebih besar tetapi juga melihat
kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Hasil Kajian lain dari Penelitian
Daryono dan Maulidyah (2008 dan 2010),
Daryono dan Arifin (2013 dan 2016) yang
menyatakan bahwa dalam suatu hasil
studi penelitiannya berkaitan dengan
kompetensi unggulan daerah di mana
perspektif daerah mempunyai daya tarik
tingkat Wilayah atau daerah, karena
adanya perbedaan dalam aktivitas
ekonomi pada setiap daerah yang
mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan
sektor unggulan daerah.
Daryono Soebagyo dkk.
(2013 dan 2014) melakukan kajian
studinya kembali mengenai Analisis Daya
Saing Daerah dan Implikasinya terhadap
pembangunan Wilayah di Jawa Tengah.
Hasil dari penelitian tersebut menyatakan
daerah mempunyai LQ yang berbeda-beda
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 15 ISBN 978-979-3812-42-7
yang mengindikasikan adanya base
keunggulan daerah masing-masing sektor.
Identifikasi variabel dengan menggunakan
smart PLS menunjukkan : Variabel
Keunggugulan komparatif dengan 7
indikator (LQ sektor primer, LQ sektor
sekunder, LQ sektor tersier, Indeks
spesialisasi, Kepadatan Penduduk,
angkatan kerja, penduduk tamat SMA
menunjukkan hanya 3 indikator saja yang
valid yaitu indeks spesialisasi dan
angkatan kerja serta penduduk tamat
SMA. Variabel Keunggulan kompetitif
dengan 6 indikator (indeks aglomerasi,
investasi publik, Goverment Size,
Penduduk tamat PT, rasio pelayanan
jaringan, Kualitas Jaringan Jalan). Dari 6
indikator tersebut hanya indikator rasio
pelayanan jaringan saja yang tidak valid.
Variabel produktivitas daerah dengan 4
indikator (produktivitas sektor primer,
produktivitas Sekunder, produktivitas
tersier dan produktivitas tenaga kerja)
menunjukkan bahwa data indikator valid.
Variabel pembangunan wilayah dengan 6
indikator (pertumbuhan ekonomi,
pendapatan perkapita, Indeks
pembangunan manusia, kemiskinan,
angka harapan hidup, tingkat
penggangguran terbuka). Dari 6 indikator
tersebut hanya indikator pertumbuhan
ekonomi yang tidak valid.
Sedangkan hasil studi
penelitian dari Eko Budi Santoso (2011)
menunjukkan bahwa daya saing daerah
merupakan wujud dari pengembangan
keunggulan komparatif dan kompetitif.
Kedua keunggulan tersebut bersifat
komplementer, sehingga pemilihan
model daya saing daerah harus
memperhatikan karakteristik daerah.
Daerah yang mempunyai keunggulan
komparatif dan kompetitif kuat akan
menunjukkan daya saing daerah yang
kuat pula, demikian pula sebaiknya. Bagi
daerah yang mempunyai keunggulan
komparatif dan kompetitif rendah, dapat
memilih jalur pengembangan sendiri
sesuai dengan kondisi daerahnya, apakah
melalui penguatan keunggulan
komparatifnya ataukah memberikan
sumber daya untuk meningkatkan
keunggulan kompetitif. Pandangan dari
sisi keunggulan komparatif memberikan
gambaran bahwa daya saing daerah
terbentuk akibat persaingan antar sektor
baik di tingkat daerah maupun antar
daerah. Sehingga untuk meningkatkan
kemampuan daya saing daerah perlu
setiap daerah menentukan sektor-sektor
andalan yang mampu bersaing dalam
tingkat regional.
Studi Penelitian yang pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti di negara
lain, diantaranya Fauzi Hussin dan Chee
Wuan Ching dengan judul The
Contribution of Economic Sectors to
Economic Growth: The Cases of Malaysia
and China pada tahun 2013. Penelitian ini
melihat trend perkembangan sektor
pertanian, industri dan jasa dari tahun
1978-2007. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sektor jasa adalah kontributor
tertinggi terhadap PDB riil per kapita di
Malaysia Di sisi lain, sektor industri
menjadi penyumbang sektor ketiga
terbesar terhadap PDB riil per kapita di
Cina. Oleh karena itu, kontribusi dari
masing-masing sektor ekonomi terhadap
pertumbuhan ekonomi berbeda di
Malaysia dan China sangat penting,
karena perbedaan latar belakang, tingkat
produktivitas, teknologi, tenaga kerja
profesional, sumber daya, tenaga kerja
dan kebijakan di kedua negara.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji model
daya saing daerah untuk mengurangi
ketimpangan pembangunan ekonomi
daerah di Jawa Tengah. Secara khusus
penelitian mempunyai tujuan:
1. Menganalisis kewilayahan kondisi
ekonomi daerah di wilayah kajian.
2. Menganalisis sektor-sektor yang
berpotensi sebagai sektor basis yang
mempunyai keunggulan kompetitif
dan spesialisasi di wilayah kajian.
3. Menemukan strategis dan kebijakan
integritas pengembangan wilayah
kajian berbasis pada sektor unggulan
di kota dan kabupaten Provinsi Jawa
Tengah.
Urgensi Penelitian
Kajian penelitian ini, untuk
melihat bagaimana perkembangan daya
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 16 ISBN 978-979-3812-42-7
saing daerah Jawa Tengah implikasinya
terhadap produktivitas, keunggulan
daerah dan pembangunan wilayah.
dengan titik berat pada sektor unggulan,
efisiensi, daya saing dan dapat
menemukan konsep, strategi serta
variabel yang dapat mendorong
terjadinya peningkatan produktivitas,
sektor unggulan, daya saing daerah
input-output secara berkelanjutan sesuai
dengan potensi dan kemampuan daerah.
STUDI PUSTAKA Teori Adam Smith dapat menjelaskan
fenomena yang terjadi dalam perdagangan
dunia. Namun demikian, secara perlahan
telah terjadi tren selama berabad-abad
bahwa negara-negara yang telah memiliki
keunggulan absolut berupaya untuk
mengungguli daya saing negara-negara
lain dengan membuat barang yang serupa.
Semenjak revolusi industri, teori
keunggulan absolut tersebut mulai pudar
seiring dengan terciptanya teknologi baru
yang dapat membuat barang-barang
serupa dengan harga yang lebih murah.
Teknologi baru mengurangi penggunaan
buruh sehingga upah buruh menjadi lebih
murah. Murahnya upah buruh menjadikan
ongkos produksi dapat ditekan sehingga
membuat harga barang menjadi lebih
murah daripada harga barang dari
pesaingnya. Dalam hal ini, produktivitas
sudah tidak lagi menjadi isu yang penting.
David Ricardo melihat fenomena ini yang
tidak sinkron dengan teori keunggulan
absolut. Kemudian Ricardo sedikit
memodifikasi teori Adam Smith dengan
sebuah pertanyaan, bisakah terjadi
perdagangan di dua negara jika satu
negara memiliki semua keunggulan
absolutnya? Jawabannya adalah bias
mengingat di dunia empiris hal itu telah
terjadi. Modifikasi Ricardo terhadap teori
keunggulan absolute adalah pada
perbedaan harga domestik tiap-tiap
barang. Meskipun satu negara memiliki
keunggulan absolut atas semua produksi
barang namun perbedaan dasar tukar
kedua barang yang diproduksi di kedua
negaralah yang tetap memicu
perdagangan internasional. Teori ini
disebut teori keunggulan komparatif.
Upaya memodifikasi teori keunggulan
komparatif dengan memasukkan satu
input baru, yaitu kapital, tidak terlalu
berhasil karena menyesuaikan dengan
konsekuensi spesialisasi penuh. Satu-
satunya upaya perbaikan teori keunggulan
komparatif yang paling berhasil sebelum
Heckscher Ohlin adalah tulisan John
Stuart Mill yang sedikit memperbaiki
teori keunggulan komparatif dengan
menambah satu asumsi, yaitu dasar tukar
antar kedua negara adalah 1 berbanding 1.
Heckscher dan Ohlin bekerja sama
membangun model keunggulan
komparatif dengan dua input, tenaga kerja
dan kapital. Dengan mengompromikan
konsekuensi spesialisasi penuh menjadi
terspesialisasi sebagian akhirnya kedua
guru dan murid tersebut berhasil
menyusun teori baru yang cukup
revolusioner. Teori keunggulan
komparatif telah diperbaiki menjadi teori
yang modern karena telah mencakup input
penting lainnya, yaitu kapital. Apa yang
dijelaskan dalam model yang disusun oleh
Heckscher-Ohlin tampaknya sesuai
dengan situasi perdagangan internasional
saat itu di mana banyak negara mulai
melakukan strategi substitusi impor
sehingga asumsi terspesialisasi penuh
sudah tidak dapat diterima lagi.
Konsekuensi dari teori H-O adalah pada
sumber daya saingnya. Keunggulan
teknologi sudah tidak terlalu penting,
tetapi keunggulan terhadap kepemilikan
input menjadi lebih penting. Negara
dengan satu input yang lebih dominan
terhadap input lainnya menjadi sumber
daya saing negara tersebut. Teori
Heckscher-Ohlin amat berpengaruh
terhadap strategi Negara dalam
mempertahankan atau bahkan
meningkatkan daya saing negara. Fokus
pada pengembangan produksi yang
didukung oleh melimpahnya input untuk
menjadikan sebuah produk unggulan
membuat teori H-O sangat sering dipakai
untuk pembenaran atas strategi substitusi
impor ataupun promosi ekspor. Tentunya
strategi ini membutuhkan perbaikan daya
saing agar strategi substitusi impor
maupun promosi ekspor menjadi sukses.
Dengan fokus kepada Penggunaan input
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 17 ISBN 978-979-3812-42-7
yang melimpah, diharapkan daya saing
menjadi meningkat.
Perkembangan selanjutnya adalah mulai
munculnya fenomena multinational
corporation (perusahaan multi nasional
atau MNC) yang mulai mencari daerah
investasi baru di luar negaranya. Mulai
saat itu, prediksi model H-O atas
perdagangan menjadi kabur. Konsekuensi
dari fenomena ini amat jelas, penggunaan
model H-O sebagai dasar analisis daya
saing dalam perdagangan dunia menjadi
kehilangan gregetnya. Setelah itu Michael
E. Porter (1990) mengajukan teori baru
untuk daya saing dalam perdagangan
internasional. Menurut Porter, terdapat
sinergi antara pemerintah dan dunia usaha
untuk mengingkatkan daya saing negara
dalam perdagangan internasional. Sinergi
tersebut amat membantu untuk
mendukung eleman-elemen penting yang
membentuk keunggulan kompetitif.
Daya saing suatu Negara selalu menjadi
bahan pembicaraan yang menarik, baik di
ekonomi, politik, sosial, maupun
teknologi. Daya saing suatu Negara
dianggap sebagai salah satu sumber dari
ketahanan suatu Negara menghadapi
segala rintangan dalam membangun
peradaban bangsa. Peradaban yang hanya
bisa dibangun melalui kekuatan ekonomi,
politik, dan budaya yang unggul. Dengan
daya saing yang tinggi, perekonomian
dapat menjaga pertumbuhan ekonominya
dan mulai membangun kehidupan Negara
yang teratur dan saat itu pembangunan
peradaban dimulai (Tylor, 1887).
Pembangunan peradaban tidak dapat
dilakukan tanpa adanya kekuatan
ekonomi. Dan kekuatan ekonomi tidak
dapat ditegakkan tanpa adanya daya saing.
Dengan demikian, daya saing menjadi
sangat penting selain untuk kelanjutan
perekonomian juga kelanjutan peradaban
suatu bangsa.
Konsep Daya Saing Global
Global Economics Forum (Schwab, 2013)
menyatakan bahwa daya saing
dipengaruhi oleh 12 pilar yang meliputi
factor‐driven economies (Institutions,
Infrastructure, Macroeconomic
environment, Health and primary),
factor‐efficiency economies (Higher
education and Training, Goods market
efficiency, Labor market efficiency,
Financial market development,
Technological readiness, Market size, dan
innovation‐driven economies (Business
sophistication, Innovation). Ke-12 pilar
tersebut menempatkan ranking daya saing
perekonomian suatu negara. Semakin
tinggi ranking daya saing, maka sumber
daya ekonomi yang dimiliki oleh negara
tersebut memiliki tingkat produktivitas
tinggi. Tingginya produktivitas akan
menjadi penentu bagi peningkatan
kesejahteraan ekonomi dan tingkat
pengembalian investasi melalui
pertumbuhan ekonomi
berkesinambungan. Peningkatan investasi
akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi
tersebut pada akhirnya memberikan
pengembalian kepada investor. Semakin
tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin
tinggi pula tingkat pengembalian Investasi
kepada investor. Dengan kata lain,
perekonomian, yang memiliki tingkat
produktivitas yang lebih tinggi, cenderung
tumbuh lebih cepat dari waktu kewaktu.
Dalam pemeringkatan World Economic
Forum (WEF), daya saing Indonesia
mengalami lompatan besar dari peringkat
50 menjadi 38. Lompatan peringkat ini
merupakan prestasi besar bagi Indonesia,
Namun, lompatan peringkat Indonesia
tersebut baru mendekati peringkat negara-
negara ASEAN lain, terutama Negara
Singapore, Malaysia, Thailand, dan
Brunei Darussalam.
Konsep daya saing, yang dikembangkan
oleh Global Economics Forum,
melibatkan komponen statis dan dinamis.
Daya saing dapat disebabkan oleh
kepemilikan sumber daya ekonomi
tertentu yang melimpah, sehingga
perekonomian tersebut memiliki daya
saing yang relative tinggi atas hasil
produksi yang menggunakan sumber daya
ekonomi tersebut secara intensif. Selain
itu, daya saing dapat ditumbuhkan dan
dikembangkan. Penguasaan teknologi
akan membawa perekonomian tersebut
memiliki daya saing tinggi.
World Economic Forum (WEF), suatu
lembaga yang menerbitkan “Global
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 ISBN 978-979-3812-42-7
Competitiveness Report” mendefenisikan
daya saing nasional secara lebih luas
memberikan makna dengan kalimat yang
sangat sederhana. WEF mendefenisikan
daya saing nasional sebagai
“kemampuan perekonomian nasional
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan”.
Fokusnya adalah pada kebijakan-
kebijakan yang tepat, institusi-institusi
yang sesuai, serta karakteristik-
karakteristik ekonomi lain yang
mendukung terwujudnya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat
konsensus yang secara tegas
mendefinisikan daya saing. Setidaknya
walau dengan definisi yang tidak begitu
seragam, hampir semua ahli mempunyai
kesamaan pendapat tentang apa saja yang
harus dilakukan dalam rangka
meningkatkan daya saing (Sachs dkk,
2000, dalam PPSK BI, 2008). Dengan
demikian, definisi yang pasti dan
disepakati semua pihak tidak lagi menjadi
syarat mutlak dalam rangka mengetahui
faktor-faktor apa saja yang dapat
menentukan daya saing suatu negara.
Hasil studi penelitian Daryono dkk.
(2008; 2010; 2013) yang dikemukakan
dalam suatu kajiannya berkaitan dengan
kompetensi unggulan daerah di mana
perspektif daerah mempunyai daya tarik
tingkat wilayah atau nasional, karena
adanya perbedaan dalam aktivitas
ekonomi pada setiap daerah yang
mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan
daya saing daerah. Kebijakan nasional
menjadi salah satu pertimbangan bagi
pengambil kebijakan di daerah untuk
menentukan tindakan ke depan.
Sedangkan aset regional dapat
dipengaruhi dan dibentuk oleh kebijakan
pembangunan daerah, sehingga menjadi
fokus bagi pengambil kebijakan untuk
mendorong pertumbuhan di daerah.
Ukuran Daya Saing
Menurut OECD (2005) daya
saing wilayah dicapai melalui tahapan,
(1) memperbaiki daya saing pada tingkat
mikro atau perusahaan untuk
memperbaiki kinerja makro ekonomi,
(2), keuntungan dari daya saing
perusahaan yang meningkat dapat
diterjemahkan ke dalam standar
kehidupan lebih baik untuk semua, dan
(3), kompetisi berlangsung dan diuji oleh
kondisi pasar yang terbuka. Konsep ini
selanjutnya diperluas pada tingkat
wilayah, di mana setiap ruang
mempunyai anugerah (endowment) dan
tingkat daya tarik berbeda. Huggins
(2003) menggunakan indeks sebagai
metode pengukuran daya saing
berdasarkan model tiga faktor terdiri dari
(1) input, (2) output, dan (3) hasil
sebagai kerangka daya saing daerah dan
regional. Hubungan ketiga faktor
tersebut menjadi penentu keberhasilan
dalam meningkatan daya saing daerah.
Kinerja dari faktor-faktor
utama pembentuk daya saing daerah
akan menimbulkan perbedaan dalam
output dan kinerja perekonomian
masing-masing daerah, pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan pada
tingkat keberlanjutan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakatnya.
Sektor Perekonomian Unggulan
Pengembangan sektor
perekonomian diprioritaskan pada
pengembangan sektor-sektor
perekonomian yang potensi unggulan
berkembangnya cukup besar.
Perkembangan ekonomi daerah/wilayah
merupakan upaya membangun suatu
aktivitas perekonomian yang mampu
tumbuh pesat serta memiliki keterkaitan
tinggi dengan sektor lain sehingga
membentuk forward linkage dan
backward linkage. Pertumbuhan cepat
dari sektor unggulan akan mendorong
polarisasi unit-unit ekonomi lainnya
yang pada akhirnya secara tidak
langsung sektor perekonomian lainnya di
daerah akan mengalami perkembangan.
Manfaat Penelitian
Penelitian tahap awal ini
dalam jangka pendek bertujuan untuk
manganalisis sektor unggulan di masing-
masing kabupaten/kota dan
mengahasilkan rancangan strategi yang
tepat. Jangka panjangnya penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji model daya
saing daerah yang mampu mengurangi
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 19 ISBN 978-979-3812-42-7
tingkat ketimpangan pembangunan
ekonomi daerah di Jawa Tengah. metode
analisis yang digunakan dalam untuk
mencapai tujuan menggunakan beberapa
penghitungan dengan metode kuantitatif
( Statistik deskriptif dan shift share )
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan keilmuan
(teori dan konsep) bagi perencanaan
kebijakan pengembangan daya saing
sektor unggulan b a g i pe r t u mb uh an
e ko no mi daerah.
Manfaat praktis s t u d i
penelitian ini bagi pembangunan daerah
adalah terwujudnya peningkatan daya
saing daerah berdasarkan keunggulan
masing-masing daerah, memperkuat
daya saing daerah, dan mampu
mengembangkan daya saing daerah bagi
sektor unggulan yang semakin kuat
melalui desain pengembangan
perencanaan wilayah khususnya di Jawa
Tengah.
Metode Penelitian
Permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini yaitu menganalisis daya
saing daerah dengan menguji hubungan
pengaruh antara keunggulan komparatif,
keunggulan kompetitif, produktivitas
daerah, dan pembangunan wilayah, maka
rancangan penelitian ini melakukan
eksplorasi berdasarkan fakta-fakta empiris
yang terdapat di wilayah penelitian dan
dianalisis dengan pendekatan kuantitatif.
Adapaun lokasi dan obyek penelitian ini
mengambil pengamatan di willayah Jawa
Tengah, yang meliputi 35 Wilayah/daerah
kota/kabupaten.
Metode Analisis Analisis data pada penelitian ini
menggunakan metode analisa statistik
deskriptif dan metode analisa statistik
inferensial yang dibagi dalam dua tahap
(dua tahun). Pada tahun pertama
menggunakan metode analisis statistik
deskriptif, shift share Estaban Marquillas.
Variabel Penelitian Dan Definisi
Operasional Variabel Adapun variabel yang diteliti merupakan
variabel laten yang terdiri dari variabel
keunggulan komparatif (X1), variabel
keunggulan kompetitif (X2), variabel
produktivitas daerah (Y1), dan variabel
pembangunan wilayah (Y2). Masing-
masing variabel laten tersebut dijabarkan
ke dalam indikator-indikator yang lebih
operasional untuk pengukurannya.
Penjabaran masing-masing variabel laten
tersebut adalah:
1. Variabel keunggulan komparatif (X1),
dijabarkan dan diukur dalam
beberapa indikator, yaitu:
X1.1 LQ sektor primer yaitu
jumlah tenaga kerja di sektor
primer (ekstraktif) dibagi tenaga
kerja total sektor di
kabupaten/kota dibandingkan
jumlah tenaga kerja di sektor
primer (ekstraktif) dibagi tenaga
kerja total sektor di wilayah
propinsi.
X1.2 LQ sektor sekunder yaitu
jumlah tenaga kerja di sektor
sekunder (manufaktur) dibagi
tenaga kerja total sector di
kabupaten/kota dibandingkan
jumlah tenaga kerja di sektor
sekunder (manufaktur) dibagi
tenaga kerja total sektor di
wilayah propinsi.
X1.3 LQ sektor tersier yaitu
jumlah tenaga kerja di sektor
tersier (perdagangan dan jasa)
dibagi tenaga kerja total sektor
di kabupaten/kota dibandingkan
jumlah tenaga kerja di sektor
tersier (perdagangan dan jasa)
dibagi tenaga kerja total sektor
di wilayah propinsi.
X1.4 Indeks spesialisasi regional
yaitu untuk melihat tinggi
rendahnya tingkat spesialisasi
suatu daerah terhadap daerah
lainnya berdasarkan nilai PDRB
sektor tertentu dan total PDRB.
X1.5 kepadatan penduduk yaitu
jumlah penduduk dibagi luas
wilayah,
X1.6 jumlah angkatan kerja yaitu
jumlah penduduk dalam usia
kerja baik yang bekerja maupun
sedang mencari kerja.
X1.7 persentase penduduk
dengan pendidikan terendah
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 20 ISBN 978-979-3812-42-7
tamat SMA sederajat yaitu
jumlah penduduk dengan
pendidikan terendah tamat SMA
sederajat dibagi total penduduk.
2. Variabel keunggulan kompetitif (X2),
dijabarkan dan diukur dalam
beberapa indikator, yaitu:
X2.1 investasi publik yaitu
jumlah belanja pelayanan publik
per kapita,
X2.2 government size yaitu total
pengeluaran pemerintah daerah
dibagi nilai PDRB,
X2.3 persentase penduduk yang
tamat pendidikan di Perguruan
Tinggi yaitu jumlah penduduk
lulusan perguruan tinggi dibagi
total penduduk,
X2.4 rasio pelayanan jaringan
jalan yaitu panjang jalan dibagi
jumlah penduduk,
X2.5 kualitas pelayanan jaringan
jalan yaitu persentase panjang
jalan dengan kondisi baik,
3. Variabel produktivitas daerah (Y1),
dijabarkan dalam beberapa
indikator, yaitu:
Y1.1 produktivitas sektor primer
(ekstraktif) yaitu nilai PDRB
sektor primer (ekstraktif) dibagi
tenaga kerja di sektor primer
(ekstraktif),
Y1.2 produktivitas sektor
sekunder (manufaktur) yaitu
nilai PDRB sektor sekunder
(manufaktur) dibagi tenaga
kerja di sektor sekunder
(manufaktur),
Y1.3 produktivitas sektor tersier
(perdagangan dan jasa) yaitu
nilai PDRB sektor tersier
(perdagangan dan jasa) dibagi
tenaga kerja di sektor tersier
(perdagangan dan jasa),
Y1.4 produktivitas tenaga kerja
yaitu nilai PDRB dibagi total
tenaga kerja.
4. Variabel pembangunan wilayah (Y2),
dijabarkan dalam beberapa
indikator, yaitu:
Y2.1 pertumbuhan ekonomi,
yaitu besarnya pertumbuhan
ekonomi pada masing-masing
daerah
Y2.2 pendapatan per kapita yaitu
nilai PDRB dibagi jumlah
penduduk,
Y2.3 indeks pembangunan
manusia yaitu pengukuran
perbandingan dari harapan
hidup, melek huruf, pendidikan
dan standar hidup di setiap
kabupaten/ kota.
Y2.4 tingkat kemiskinan yaitu
jumlah penduduk miskin dibagi
jumlah penduduk,
Y2.5 angka harapan hidup
(AHH) yaitu rata-rata tahun
hidup yang masih akan dijalani
oleh seseorang yang telah
berhasil mencapai umur x, pada
suatu tahun tertentu.
Y2.6 tingkat pengangguran yaitu
jumlah penduduk yang tidak
bekerja atau sedang mencari
kerja dibagi jumlah penduduk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Sektor Unggulan di 35
Kabupaten/Kota Jawa Tengah
Analisis sektor unggulan
merupakan aspek penting dalam
menentukan daya saing dan
pembangunan suatu daerah. Sektor yang
mempunyai peranan yang sangat besar
dalam usaha peningkatan pertumbuhan
suatu wilayah yang dapat dilihat dari
tingginya nilai share dan
pertumbuhannya, yang secara umum
suatu sektor dianggap layak menjadi
sektor unggulan apabila memiliki
kontribusi yang besar, baik secara
langsung maupun tidak langsung
terhadap aktivitas perekonomian wilayah
dalam mencapai tujuan pembangunan.
Sehingga dengan diketahuinya sektor
unggulan dan dioptimalkannya sektor
tersebut maka akan berdampak positif
bagi kemajuan perekonomian daerah.
Dalam penelitian ini untuk
menentukan sektor unggulan di
kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah
menggunakan analisis shift share-estaban
marquellas yang akan mengidentifikasi
sektor berdasarkan spesialisasi sektoral
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 21 ISBN 978-979-3812-42-7
dan keunggulan kompetitif sektoral.
Untuk mempertajam analisis maka akan
dikombinasikan dengan analisis location
quotient yang akan mengidenfikasi
keunggulan suatu daerah. Adapun data
yang digunakan dalam analisis shift shate
menggunakan data PDRB berdasarkan
harga konstan kabupen/kota Provinsi
Jawa Tengah tahun 2010 dan 2014.
Sedangkan analisis location qoutient
menggunakan data tahun 2010-2014.
Adapun hasil analisis sshift share sebagai
berikut:
1. Bahwa masing-masing daerah di
Provinsi Jawa Tengah mempunyai
spesialisasi sektoral yang berbeda-
beda. Spesialiasi sektoral tiga
tertinggi di Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah meliputi: Banyumas;
Kota Pekalongan (14); Pemalang;
Kota Magelang; Kota Salatiga (13);
Kota Surakarta (12). Sedangkan
spesialisasi sektoral tiga terendah
meliputi: Kudus (1); Cilacap (2);
Kendal dan Brebes (3). Adapun 3
sektor dominan yang memiliki
spesialisasi di masing-masing daerah
meliputi: sektor Jasa Pendidikan (28);
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
(26) dan Jasa lainnya (25). Sedangkan
yang 3 sektor yang memiliki
spesialisasi namun tidak dominan
meliputi: sektor Industri Pengolahan
(6); Konstruksi (8); Informasi dan
Komunikasi (10). Hal tersebut
menunjukkan berdasarkan daerah
masih ada perbedaan yang cukup jauh
antara daerah satu dengan yang
lainnya.
2. Analisis unggulan pada masing-
masing daerah juga tidak lepas dari
keunggulan kompetitif. Artinya
Sektor yang memiliki keunggulan
kompetitif di dalamnya memiliki
lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan sektor tersebut.
Adapun hasil analisis keunggulan
kompetitif sektoral Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah sebagai
berikut: bahwa masing-masing daerah
di Provinsi Jawa Tengah juga
mempunyai keunggulan kompetitif
sektoral yang berbeda-beda.
Keunggulan kompetitif sektoral tiga
tertinggi di Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah meliputi: Blora (15);
Banjarnegara (14); Wonosobo dan
Wonogiri (13). Sedangkan
keunggulan kompetitif tiga terendah
meliputi: Karanganyar (2);
Purworejo, Sukoharjo, Tegal, Kota
Salatiga (4); dan Kota Semarang (5).
Adapun 3 sektor dominan yang
memiliki keunggulan kompetitif
dimasing-masing daerah meliputi:
sektor Industri Pengolahan (31),
Informasi dan Komunikasi (25) dan
Konstruksi (20). Sedangkan yang 3
sektor yang memiliki keunggulan
kompetitif namun tidak dominan
meliputi: sektor Penyediaan
Akomodasi dan Makan Minum (12);
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
(13); Real Estate dan Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, Limbah dan
Daur Ulang (14). Hasil ini
menunjukkan bahwa masing-masing
daerah masih ada perbedaan. Hal
tersebut telihat pada daerah yang
hanya mempunyai 2 sektor unggulan
kompetitif dibandingkan dengan
daerah yang mempunyai 15 sektor
unggulan.
3. Adapun hasil akumulasi dari adanya
spesialisasi dan keunggulan
kompetitif Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Tengah sebagai berikut: bahwa
masing-masing daerah di Provinsi
Jawa Tengah yang mempunyai
spesialisasi dan keunggulan
kompetitif sektoral yang bervariasi.
Spesialisasi dan Keunggulan
kompetitif sektoral tiga tertinggi di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Tengah meliputi: Wonogiri (9);
Wonosobo; Banjarnegara (8); Blora
(7). Sedangkan spesialisasi dan
keunggulan kompetitif tiga terendah
meliputi: Cilacap; Kudus (0);
Purworejo; Karanganyar; Tegal; Kota
Semarang (2); Sukoharjo; Semarang;
Batang; Pekalongan; Brebes; Kota
Salatiga (3). Adapun 3 sektor
dominan yang memiliki spesialisasi
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 22 ISBN 978-979-3812-42-7
dan keunggulan kompetitif dimasing-
masing daerah meliputi: sektor Jasa
Pendidikan (15); Jasa Kesehatan dan
Kegiatan Sosial (14); Jasa lainnya dan
Pertambangan dan Penggalian (13).
Sedangkan yang 3 sektor yang
memiliki spesialisasi dan keunggulan
kompetitif namun tidak dominan
meliputi: sektor Konstruksi (3);
Industri Pengolahan; Informasi dan
Komunikasi; Real Estate (4);
Pengadaan Listrik dan Gas (5). Hasil
ini menunjukkan bahwa masing-
masing daerah masih ada yang tidak
memiliki sektor spesialisasi sekaligus
keunggulan kompetitif. Bahkan pada
masing-masing sektoral yang
berjumlah 17 sektor dibandingkan
dengan jumlah kabupaten/kota yang
berjumlah 35 daerah tidak mencapai
50 persen yang mempunyai
spesialisasi dan keunggulan
kompetitif di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah.
4. Selain spesialisasi dan keuggulan
kompetitif dalam mendorong daya
saing daerah tentu diperlukan
keunggulan komparatif. Adapun hasil
analisis keunggulan komperatif
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Tengah sebagai berikut: bahwa secara
dominan daerah mempunyai
komoditas unggulan yang beragam.
Artinya tidak ada daerah yang secara
keseluruhan memiliki komoditas
unggulan/keunggulan komperatif.
Daerah yang memiliki keunggulan
komperatif tiga tertinggi di
kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah
meliputi: Banyumas; Kota Magelang;
Kota Pekalongan (14); Pemalang;
Kota Salatiga (13); dan Kota
Surakarta (12). Sedangkan
keunggulan komperatif tiga terendah
meliputi: Kudus (1); Cilacap (2);
Demak; Kendal; Brebes (5). Adapun
3 sektor dominan yang memiliki
keunggulan komperatif di masing-
masing daerah meliputi: sektor Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial (28);
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
(26); dan Jasa lainnya (25).
Sedangkan yang 3 sektor yang
memiliki keunggulan komperatif
namun tidak dominan meliputi: sektor
Industri Pengolahan (6); Konstruksi
(8); Informasi dan Komunikasi (11).
Hasil ini juga menunjukkan bahwa
daerah kota cenderung lebih dominan
memilki keunggulan komperatif yang
memiliki sektor unggulan lebih besar
dari 10 sektor. Namun terlihat juga
keunggulan komperatif tidak meliputi
sektor pertanian.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian
tentang efisiensi dan daya saing dan
implikasinya bagi unggulan sektor di
daerah, maka dapat disimpulkan:
1. Daerah dengan spesialisasi sektoral 3
tertinggi yaitu; 1) Banyumas, Kota
Pekalongan; 2) Pemalang, Kota
Magelang, Kota Salatiga; 3) Kota
Surakarta.
2. Sektor dominan yang memiliki
spesialisasi yaitu; 1) sektor Jasa
Pendidikan; 2) Perdagangan Besar dan
Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor; 3) Jasa lainnya.
3. Daerah dengan keunggulan kompetitif
sektoral 3 tertinggi meliputi; 1) Blora;
2) Banjarnegara; 3) Wonosobo dan
Wonogiri.
4. Sektor dominan yang memiliki
keunggulan kompetitif dimasing-
masing daerah meliputi; 1) sektor
Industri Pengolahan, 2) Informasi dan
Komunikasi; 3) Konstruksi.
5. Daerah dengan spesialisasi dan
keunggulan kompetitif sektoral 3
meliputi; 1) Wonogiri; 2) Wonosobo,
Banjarnegara; 3) Blora.
6. Sektor dominan yang memiliki
spesialisasi dan keunggulan kompetitif
dimasing-masing daerah meliputi; 1)
sektor Jasa Pendidikan; 2) Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial; 3)
Jasa lainnya dan Pertambangan dan
Penggalian.
7. Daerah yang memiliki keunggulan
komperatif 3 tertinggi meliputi;: 1)
Banyumas, Kota Magelang, Kota
Pekalongan; 2) Pemalang, Kota
Salatiga; 3) Kota Surakarta.
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 23 ISBN 978-979-3812-42-7
8. Sektor dominan yang memiliki
keunggulan komperatif di masing-
masing daerah meliputi; 1) sektor Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial; 2)
Perdagangan Besar dan Eceran,
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; 3)
dan Jasa lainnya.
REFERENSI
Amzul, Rifin. 2011. The Role of palm Oil
Industry in Indonesia Economy
And its Export Competitiveness.
Disertation. University of Tokyo
Arifin, Bustanul. 2013. “On the
Competitiveness and Sustainability
of the Indonesian Agricultural
Export Commodities”. ASEAN
Journal of Economics,
Management and Accounting 1
(1): 81-100 (June 2013)
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2015. Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional Tahun 2014
Provinsi Jawa Tengah. Semarang:
BPS Provinsi Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2015. Produk Domestik
Regional Bruto Jawa Tengah:
Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah
2005 – 2014. Kerjasama Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah dan Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah
Provinsi Jawa Tengah. Semarang
BPS Provinsi Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2015. Analisa Indikator
Ekonomi dan Sosial Jawa Tengah
Tahun 2014. Kerjasama
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
dengan BPS Provinsi Jawa
Tengah.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2014. Analisa
Penyusunan Kinerja Makro
Ekonomi dan Sosial Jawa Tengah
Tahun 2014. Kerjasama
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
dengan BPS Provinsi Jawa
Tengah.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2014. Data
Ketenagakerjaan di Jawa Tengah
2008. Surakarta: BPS Provinsi
Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah. 2015. Statistik Keuangan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota 2005 – 2015.
Semarang: BPS Provinsi Jawa
Tengah.
Blochliger, H. And B. Egert, 2013,
“Decentralisation and Economic
Growth – Part 2: The Impact on
Economic Activity, Productivity
and Investment”, OECD Working
Papers on Fiscal Federalism, No.
15, OECD Publishing
Bristow Gillian, 2009, Resilient regions:
re-‘place'ing regional
competitiveness, Accepted
December 9, 2009, Cambridge
Journal Regions, Economy and
Society, Published by Oxford
University Press
Bristow Gillian, 2010, Critical
Reflections on Regional
Competitiveness, Theory, Policy
and Practice, Routledge, New
York.
Boschma, R.A. 2004. Competitiveness of
regions from an evolutionary
perspective, Regional Studies. 38:
993 –1006.
Budi Santoso, Eko, 2011 Analisis Daya
Saing Daerah dan Implikasinya
terhadap pembangunan Wilayah
di Jawa Timur, Penelitian Tidak
Dipublikasikan, Program Doktor
Ilmu Ekonomi Universitas
Brawijaya Malang.
Chung, Sungchul. 2010. “Innovation,
Competitiveness, and Growth:
Korean Experiences”. Paper for
Annual World Bank Conference on
Development Economics 2010.
Seoul: The Science and
Technology Policy Institute
(STEPI).
Delgado, Mercedes., Christian Ketels,
Michael E. Porter, and Scott
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 24 ISBN 978-979-3812-42-7
Stern. 2012. The Determinants of
National Competitivesness.
Working Paper 18249. Cambridge,
MA: National Bureau of
Economics Research.
Dawkins, C.J. 2003. Regional
Development Theory: Conceptual
Foundations, Classic Works, and
Recent Developments. Journal of
Planning Literature. Vol. 18, No.
2. November 2003.
Djakapermana, R.D. 2010.
Pengembangan Wilayah Melalui
Pendekatan Kesisteman. Bogor:
IPB Press.
Farole, Thomas and Deborah Winkler.
2012. EXPORT
COMPETITIVENESS IN
INDONESIA’S
MANUFACTURING SECTOR.
Report for the World Bank study
on The competitiveness
manufacturing sector and is
funded by Multi-Partner Facility
for Trade and Investment Climate.
Jakarta: World Bank
Fujita, M. and Krugman, P. 2004. The
New Economic Geography: Past,
Present and the Future. Papers in
Regional Science, 83: 139 – 164.
Hussin and Wuan Ching. 2013. The
Contribution of Economic Sectors
to Economic Growth: The Cases
of Malaysia and China.
International Journal of Academic
Research in Economics and
Management Sciences. Vol.2 No.2
Maret 2013.
Isard, Walter, et.al. 1998. Methods of
Interregional and Regional
Analysis. Aldeshot: Ashgate.
Lengyel, I. 2004. The Pyramid Model:
Enhancing Regional
Competitiveness in Hungary. Acta
Oeconomica. Vol. 54 (3): pp. 323–
342.
Jansson Johan, and Anders Waxell,
2011, Quality and Regional
Competitiveness, Centre for
Research on Innovation and
Industrial Dynamics (CIND),
Department for Social and
Economic Geography, Revision
received April 28, 2011. Uppsala
University, PO Box 513, 751 20
Uppsala, Sweden
Jogiyanto, dan Abdillah W. 2009.
Konsep dan Aplikasi Partial Least
Square untuk Penelitian Empiris.
Yogyakarta: BPFE.
Kitson, M., Martin, R. and Tyler, P.
2004. Regional Competitiveness:
An Elusive yet Key Concept?
Regional Studies, 38 (9): 991 —
999.
Kline, R.B. 2005. Principles and Practice
of Structural Equation Modeling.
New York, NY: The Guilford
Press.
KPPOD. 2007. Tata Kelola Ekonomi
Daerah di Indonesia 2007.
Jakarta: KPPOD-USAID-Asia
Foundation.
Krugman, Paul. 1991. Increasing returns
and economic geography. Journal
of Political Economy 99: 483 –
499.
Martin Rona & Peter Sunleyb , 2016,
Original Articles: Paul
Krugman's Geographical
Economics and Its Implications
for Regional Development
Theory: A Critical Assessment,
pages 259-292,
DOI:10.2307/144401, Publishing
models and article dates
explained, Published online: 09
Jun 2016, Economic Geography
, Volume 72, Issue 3, 1996,
Routledge.
OECD Reviews of Regional
Innovation. 2007. Competitive
Regional Clusters: National
Policy Approaches. Paris: OECD
Publishing. OECD. 2009. How Regions Grow:
Trends and Analysis. Paris: OECD
Publishing.
OECD, 2012. OECD Economic Surveys:
Korea. April 2012
OECD, Indonesia's Trade Potential”,
OECD Trade Policy Papers, No.
82, OECD Publishing
PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE
Unpad. 2008. Profil dan
Pemetaan Daya Saing Ekonomi
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 25 ISBN 978-979-3812-42-7
Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Porter,Michael E. 2009. International
Cluster Competitiveness Project.
Institute for Strategy and
Competitiveness, Harvard
Business School; Molnar, M. and
M. Lesher. 2008. “Recovery and
Beyond: Enhancing
Competitiveness to Realise.
Ray, S.C. 2004. Data Envelopment
Analysis: Theory and Techniques
for Economics and Operations
Research. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Romer, D. 2006. Advanced
Macroeconomics, 3rd edition. New
York: Mc.Graw-Hill.
Rustiadi, E., Saefulhakim S. dan
Panuju D.R. 2009. Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta: Crestpent Press dan
Yayasan Obor Indonesia.
Saxena, Sanchita Banerjee and
Veronique Salze-Lozac’h. 2010.
Competitiveness in the Garment
And Textiles Industry: Creating a
supportive environment: A CASE
STUDY OF BANGLADESH,
OCCASIONAL PAPER, NO. 1,
JULY 2010, Asia Foundation.
Schwab, Klaus., Xavier Sala-I Martin,
and Børge Brende. 2013. The
Global Competitiveness Report
2013–2014. Geneva: World
Economic Forum.
Sheffi, Yossi. 2010. Logistics Intensive
Clusters: Global Competitiveness
and Regional Growth. Elisha Gray
II Professor of Engineering
Systems, MIT.
Soebagiyo Daryono, 2008, Analisis
Kompetensi Unggulan Daerah
Pada Produk Batik Tulis dan Cap
di Dati II Kota Surakarta, JEP
Vol.9, No.2 Desember 2008
Soebagiyo Daryono dan Darmansyah,
2010 Stimulus Ekspor Terhadap
Kinerja Perusahaan Perusahaan
Batik, JEP Vol 11 No.2 Desember
2011
Soebagiyo Daryono, 2013 Regional
Competitiveness and its
Implications for Development,
JEP Vol 14 No.2, December 2013
Balai Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi UMS,
Surakarta.
Soebagiyo Daryono, 2014 Analisis Daya
Saing Daerah dan Implikasinya
terhadap Pembangunan Wilayah
di Jawa Tengah, Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi,
Belum Dipublikasikan, UMS
Surakarta.
Soebagiyo Daryono, Arifin Sri
Hascaryo, 2016, Leading Sectors
15 Countries-Districts in Central
Java, Jurnal Ekonomi
Pembangunan ISSN 1411-6081,
Vol. 17 (1) June 2016, Page 74-83,
online at http:// Journals.
Ums.ac.id
Tsoulfidis, Lefteris. 2010. Competing
Schools of Economic Thought.
Berlin: Springer Verlag.
Villaverde, J. 2006. A New Look to
Convergence in Spain: A Spatial
Econometric Approach, European
Urban and Regional Studies 2006;
13 (2): 131 – 141.
Wise and Shtylla. 2007. The Role of the
Extractive Sector in Expanding
Economic Opportunity. Harvard
University
World Bank, 2012. ”Connecting to
Compete. Trade Logistics in the
Global Economy” Washington DC
World Bank, 2012 . ”Connecting to
Compete. Trade Logistics in the
Global Economy” Washington DC
World Bank. 2012. Picking up the Pace:
Reviving Growth in Indonesia’s
Manufacturing Sector. Jakarta:
World Bank.