DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU
Transcript of DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU
ISSN 2527-8401 (p) 2527-838X (e) © 2019 JISH Pascasarjana UIN Walisongo Semarang http://journal.walisongo.ac.id/index.php/jish
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol. 4, No. 2 (2019) 262-282
DOI: http://dx.doi.org/10.21580/jish.42.5232
DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU
Muhammad Alwi HS 1 , Nur Hamid 2 1Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: [email protected], [email protected]
Abstract This paper is about to discuss discourse as the identity of the Qur'an which is now in the form of writing (Mushaf). In its history, the Qur'an is present in an environment that is familiar with oral traditions, delivered in oral form from the Prophet (speaker) to the Arab community (listeners). Based on the oral delivery, the Al-Qur'an indicates to be examined in the discourse discourse. The result of this paper is the discourse on the oral level of the Qur'an and even the naming as the Qur'an. Until the Qur'an takes the form of a text (mushaf) which is met today by Muslims, but the structure of orality can still be found clearly. With the structure of orality, it certainly presents a specific understanding of orality, as was the revelation understood by the Prophet Mu-hammad as a speaker and the Arab community as opposed to speech. The occurrence of understanding between the Prophet Muhammad and the Arab Society gives an un-derstanding that the Qur'an contains understanding at that time, so that if there is an inertia, then the Arab community will question the purpose of the verse delivered. From this, the context that is presented in the discourse of oral Qur'an is a clear context, which binds the speaker and listener, or also commonly referred to as contextual.
Abstrak Tulisan ini hendak mendiskusikan wacana kelisanan sebagai jati diri Al-Qur’an yang saat ini telah berbentuk tulisan (mushaf). Dalam sejarahnya, Al-Qur’an hadir dilingkungan yang akrab dengan tradisi lisan (oral), disampaikan dalam bentuk lisan dari Nabi (penutur) kepada masyarak Arab (pendengar). Berdasarkan penyampaian secara lisan, maka Al-Qur’an mengindikasikan untuk dikaji dalam diskursus kelisanannya. Hasil dari tulisan ini adalah diskursus kelisanan Al-Qur’an bahkan terlihat penamaannya sebagai Al-Qur’an. Hingga Al-Qur’an berbentuk tulisan (mushaf) yang hari ini ditemui umat Islam, akan tetapi struktur kelisanan
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 263
masih dapat dijumpai dengan jelas. Dengan struktur kelisanan tersebut, maka tentu menghadirkan pemahaman yang khas kelisanan, sebagaimana masa pewahyuannya yang dipahami oleh Nabi Muhammad sebagai penutur dan masyarakat Arab sebagai lawan tutur. Terjadinya pemahaman antara Nabi Muhammad dan Masyarakat Arab tersebut memberi satu pemahaman bahwa Al-Qur’an mengandung pemahaman saat itu, sehingga sekiranya terjadi ketidaksepemahaman, maka masyarakat Arab akan mempertanyakan maksud ayat yang disampaikan. Dari sini, maka konteks yang dihadirkan dalam diskursus kelisanan Al-Qur’an adalah konteks yang jelas, yang mengikat pembicara dan pendengar, atau biasa juga disebut sebagai kontekstual.
Keywords: kelisanan al-Qur’an; konteks; teks.
Pendahuluan
Muhammad Karim al-Kawwaz adalah satu dari sangat banyak
pemikir Islam yang mengambil diskursus berbeda dengan lainnya.
Melalui karyanya berjudul Kalam Allah: al-Janib asy-Syafahi min az-Za-
hirah Al-Qur’aniyyah1. Al-Kawwaz mencoba membuka serta
menganalisis fenomena kelisanan Al-Qur’an, ia berangkat dari fakta
bahwa Al-Qur’an turun di kawasan yang akrab dengan tradisi lisan.
Pembacaan tentang wacana kelisanan satu sisi, dengan Al-Qur’an sisi
lainnya, menjadi hal menarik untuk diperhatikan. Sebab bahasa lisan
dengan bahasa tulisan memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini
bisa dilihat misalnya pengungkapan kata Kita, kata kita akan me-
lahirkan perbedaan pemahaman makna ketika ia diungkapkan dalam
bentuk tulisan dengan diungkapkan dalam bentuk lisan. Kita dalam
bentuk tulisan melahirkan makna yang terbuka, sehingga dapat dipa-
hami secara leluasa. Sementara kata kita yang diungkapkan dalam
bentuk lisan memberikan pemahaman makna yang jelas (satu), yang
maknanya akan merujuk langsung kepada konteks yang melingkupi
pelaku yang mengucapkannya. Karena itu, ungkapan kita yang lahir
dari bahasa Indonesia umumnya, berbeda makna dengan kita yang
diungkapkan dalam bahasa Makassar. Dalam bahasa Indonesia, kata
1 Muhammad Karim Al-Kawwaz, Kalam Allah: Al-Janib Al-Syafahi Min Al-
Zahirah AlQur’aniyyah (Beirut: Dar al-Saqi, 2002).
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
264 Journal of Islamic Studies and Humanitites
kita bermakna aku dan kamu, sementara dalam bahasa Makassar kata
kita bermakna kamu.
Kedudukan kata tersebut yang dituangkan dalam bentuk lisan
dan tulisan memunculkan diskusi yang mendalam (kompleks), apalagi
jika disadari bahwa sebuah ‘kata’ itu sendiri tidaklah ada karena
adanya huruf, ataupun susunan huruf. Tetapi kata tercipta dari unit
suara dengan menampilkan fungsinya 2. Artinya, sebuah ‘kata’ per-
tama lahir dari kelisanan (suara lisan). Dalam hal ini, bahasa lisan –
jika dibandingkan dengan bahasa tulisan, senantiasa menguasai se-
buah ‘kata’. Bahkan bahasa lisan telah dan akan tetap hidup sekalipun
tidak dilanjutkan ke dalam bentuk tulisan, sementara bahasa tulisan
berada kedua setelah lisan dan tidak dapat ada tanpa ada bahasa lisan.
Selain itu, sebuah tulisan akan tetap sama sekalipun berada dalam
waktu yang berbeda, dalam waktu yang berbeda itu, ia (tulisan) hanya
menjadi saksi tanpa dapat memberikan kesaksian, ini berbeda dengan
lisan yang dapat memberikan kesaksian 3. Kesaksian ini sangat erat
dengan konteks yang berlaku, sehingga tidak memicu banyak makna.
Perbedaan pemahaman makna tersebut ketika ditarik dalam
kajian Al-Qur’an menjadi hal penting untuk diamati, hal ini meng-
ingat satu sisi bahwa Al-Qur’an yang umat Islam temui hari ini adalah
tulisan (mushaf), sementara sisi lain bahwa Al-Qur’an pada dasarnya
berada dalam ranah lisan, yang tentu implikasi pemahaman atasnya
ketika dalam bentuk lisan dan tulisan memiliki perbedaan yang sig-
nifikan. Maka dari sini tidak heran jika muncul pemahaman tekstual
dan pemahaman kontekstual. Bagi mereka yang memahami Al-
Qur’an secara tekstual, maka pada dasarnya telah mengabaikan Al-
Qur’an yang berada dalam ranah lisan, hal ini disebabkan konteks Al-
Qur’an dalam teks itu bersifat kabur, tidak jelas, atau bebas. Semen-
tara bagi mereka yang memahami Al-Qur’an secara kontekstual,
maka ia pada dasarnya sedang berupaya ‘membaca’ sisi kelisanan Al-
2 Walter J. Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati (Yogyakarta:
Penerbit Gading, 2013). 3 Jan Vansina, Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk
(Yogyakarta: Ombak, 2014).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 265
Qur’an 4. Hal ini berdasarkan bahwa ketika Al-Qur’an (wahyu) turun
senantiasa merepon keadaan (konteks). Sifat merespon keadaan
(konteks) ini merupakan ciri kelisanan bahwa ungkapan senantiasa
terikat dan melekat dengan konteks penutur dan pendengar 5.
Nasr Hamid menyatakan bahwa kehadiran Al-Qur’an sebagai
kelisanan di ruang manusia senantiasa melekat erat dengan konteks
saat ia diturunkan 6. Maka dari sini Al-Qur’an mengalami apa yang
disebut historis, yakni bahwa Al-Qur’an hadir bukan di ruang yang
kosong, melainkan terikat dengan ruang dan waktu. Dalam konteks
kesejarahannya, Al-Qur’an ditulis pada dasarnya bertujuan hanya se-
bagai salah satu upaya ‘pengabadian’ kalam ilahi dalam bentuk tulisan 7. Kehadiran Al-Qur’an dalam bentuk tulisan mengalami transmisi
dari lisan ke tulisan. Dari transmisi tersebut, Al-Qur’an kehilangan
sisi kelisanannya, misalnya konteks yang nyata menjadi kabur, dan se-
terusnya. Lebih jauh, upaya penulisan yang tidak diikutsertakan sisi
kelisanannya –menurut Ahmad Rofiq- lebih dikarenakan Nabi dan
sahabat tidak memerlukan secara signifikan tentang adanya sisi-sisi
kelisanan tersebut, termasuk di dalamnya adalah pembacaan konteks
Al-Qur’an, hal ini karena Nabi (penutur) dan sahabat (pendengar)
masih dalam ruang konteks yang sama dengan Al-Qur’an. Karena itu,
paling tidak ada dua alasan yang menjadikan tulisan ini harus hadir,
pertama untuk mengangkat ke permukaan tentang wacana kelisanan
Al-Qur’an. Alasan kedua untuk membuka kesepahaman tentang
perlunya kontekstualisasi Al-Qur’an 8.
Variasi Makna Al-Qur’an
4 Muh Alwi HS, “Dewasa Dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah Wacana
Dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran Al-Qur’an,” Millati: Journal of Islamick Studies and Humanities 2, no. 1 (2017).
5 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 6 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003). 7 Athaillah, Sejarah Al-Qur’an: Verfikasi Tentang Otensitas Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 8 Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah
Pencarian Awal Metodologis),” in Islam, Tradisi Dan Peradaban (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012).
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
266 Journal of Islamic Studies and Humanitites
Namanya sebagai Al-Qur’an, kutip William Graham, adalah
langka awal yang menuntut upaya untuk berfokus pada karakteristik
lisan sebagai bentuk pemahaman yang orisinil atas Kitab Suci umat
Islam tersebut 9. Berdasarkan namanya, ada tiga pandangan yang
terkenal mengenai akar kata nama Al-Qur’an, yakni Qaranah10
(menggabungkan), Qarinah11 (tanda), Qara’a12 (membaca), semua
pendapat tersebut mengindikasikan bahwa Al-Qur’an sebagai
kalamullah yang dibacakan atau dilisankan. Al-Qur’an sendiri dalam
banyak ayat menyatakan dirinya sebagai kalamullah yang dibacakan,
misalnya, Al-Qur’an disebut sebagai kalamullah yang didengar (QS.
Al-Taubah: 6), Al-Qur’an sebagai kalamullah yang dibacakan oleh
Rasul yang Ummi (QS. Al-Jumu’ah: 2), Al-Qur’an diturunkan untuk
dibacakan kepada mereka (QS. Al-Ankabut: 51), dan sebagainya.
Senada dengan pengertian tersebut, al-Ghazali mengatakan –se-
bagaimana dikutip Nur Kholis- bahwa Al-Qur’an adalah firman,
kalam, atau perkataan Allah SWT 13. Hal ini menunjukkan bahwa Al-
9 William Graham, “Al-Qur’an Sebagai Firman Yang Diucapkan:
Kontribusi Islam Untuk Memahami Kitab Suci,” in Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Baidhawy, ed. Richard C. Martin (Yogyakarta: SUKA-Press, 2001).
10 Pendapat ini dipegang oleh Imam Al-Asya’ari, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang bermakna menggabungkan dan menghim-pun sesuatu atas sesuatu yang lain, sehingga Al-Qur’an dipahami sebagai him-punan dari surah, ayat, dan huruf. Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Bei-rut: Muasasah Ar-Risalah Nasyirun, 2007), hlm.116.
11 Pendapat ini dipegang oleh Al-Farra’, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qarain (jamak dari qarinah) yang bermakna tanda, karena ayat satu dengan lainnya saling membenarkan untuk menunjukkan kebenaran. Kata qarain ini memiliki akar kata dengan qarana: q,r,n. Jalaluddin Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 116.
12 Pendapat ini diipegang oleh Al-Zujaj, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang bermakna menghimpun atau juga dimaknai tala’ (membaca berulang-ulang). Jalaluddin Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 116-117. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa membaca (qara’a) dalam perspektif bahasa Arab tidak mengharuskan adanya teks tulis, karena itu kata qara’a sebagai makna membaca, meneliti, menyampaikan dan sebagainya, pada hakikatnya berakar makna pada menghimpun. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 167.
13 Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 267
Qur’an merupakan bahasa lisan yang dilakukan oleh Allah SWT,
kepada Malaikat Jibril, lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad,
dan akhirnya sampai ke umat Islam. Fazlu Rahman mengatakan
bahwa 14:
Menurut Al-Qur’an sendiri, dan sebagai konsekuensinya menurut umat Islam, Al-Qur’an adalah kalam Allah... Tidak hanya kata Qur’an yang bermakna ‘bacaan’, secara jelas mengindikasikan ini, akan tetapi teks Al-Qur’an itu sendiri menyebutkan pada beberapa tempat bahwa Al-Qur’an diturunkan secara verbal, dan tidak hanya dalam ‘makna’ dan ide saja.
Definisi di atas senada dengan definisi kalam yang dalam definisi
bahasa arab diartikan sebagai ucapan yang tersusun sehingga dapat
dipahami maksudnya. Dalam diskusi kelisanannya, Henry Sweet –
sebagaimana dikatakan oleh Walter J. Ong- menyatakan bahwa se-
buah ‘kata’ tidaklah ada karena dibentuk dari adanya huruf, ataupun
susunan huruf. Akan Tetapi kata tercipta dari unit suara (ucapan)
dengan menampilkan fungsinya 15. Artinya, sebuah ‘kata’ pertama la-
hir dari kelisanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al-
Qur’an pada dasarnya adalah kelisanan.
Al-Qur’an: Mengapa Berbahasa Arab?
Jika dilihat dari fungsi utama bahasa, yakni sebagai alat komu-
nikasi 16, hal ini masih bersifat abstrak dan masih belum memuaskan
pertanyaan tentang subjeknya. Siapa atau apa yang melakukan komu-
nikasi? Apakah manusia semata, atau juga melingkupi komunikasi un-
tuk makhluk lain? Menjawab persoalan-persoalan tersebut, kajian lin-
guistik memberi batasan dalam menangkap objeknya, yakni bahwa
bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang dituturkan oleh manusia
semata, bukan hewan, ataupun selainnya 17. Hal ini karena manusia
14 Fazlur Rahman, Islam: Sejarah: Kritik Pemikiran Dan Perdaban, Terj. M. Irsyad
Rafsadie (Bandung: Mizan, 2017). 15 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 16 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna,
Dan Tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009). 17 Sudaryanto, Linguistik: Esai Tentang Bahasa Dan Pengantar Ke Dalam Ilmu
Bahasa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
268 Journal of Islamic Studies and Humanitites
hanya mampu mengkaji dan meneliti serta memahami bahasanya
sendiri, sehingga manusia membatasi bahasa kepada manusia semata.
Al-Qur’an saat menempati posisi kalam ilahi (metafisik), tidak
pernah ada yang mengetahui secara pasti tentang bahasa apa yang
digunakan oleh Allah SWT. Lebih jauh, para pengkaji hanya menge-
tahui bahasa yang melingkupi diri Nabi Muhammad, yakni bahasa
Arab, sehingga dengan ini mereka menyebut Al-Qur’an
menggunakan bahasa Arab. Hal ini sebagaimana –misalnya-
dikatakan oleh Abd Al-Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Nashrud-
din Baidan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang berba-
hasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, secara lafal
maupun maknanya 18.
Al-Qur’an yang berbahasa Arab bukan hanya karena Nabi-nya
menggunakan bahasa tersebut, melainkan untuk merespons bangsa
Arab yang sangat mengagung-agungkan bahasa mereka. Pada pra-Is-
lam, bangsa Arab bahkan lebih mengagungkan dan khusyuk pada
kefashihan syair arab dibandingkan dengan berhala-berhala mereka.
Lebih dari itu, mereka pada pra-Islam, seringkali saling mengejek
berhala mereka, tetapi tidak pernah mengejek kefashihan bahasa
mereka 19. Karena itu, dari segi kebahasaaan (sastra) Al-Qur’an hadir
untuk mengambil ‘perhatian’ bangsa Arab dengan menggunakan ba-
hasa yang mereka gunakan, agar risalah Tuhan dapat tersampaikan
oleh mereka. Inilah yang dimaksud dalam ayat Allah “Kami (Allah)
tidak pernah mengirim seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan kepada mereka” (QS. Ibrahim: 4), lihat
juga penjelasan dalam ayat lainnya dalam Thaha: 113, Asy-Syuara:
195, Yusuf: 2, Az-Zumar: 28, Fushishilat: 3, Asy-Syura: 7, Az-
Zukhruf: 3, dan Al-Ahqaf: 12.
Meski menggunakan bahasa Arab, namun tingkat keindahan dan
keagungan Al-Qur’an jauh melebihi syair-syair bangsa Arab. Inilah
yang menyebabkan Walid Ibnul Mughirah sangat menyanjung bahasa
18 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011). 19 Malik bin Nabi, Fenonema Al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed (Bandung: PT
Alma’arif, 1983).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 269
Al-Qur’an, ia (Walid) mengatakan bahwa “Kalam itu mengandung
kemanisan disertai keindahan”, meski akhirnya Walid menolak kalam
ilahi itu, dan bahkan menyebutnya sebagai sihir 20. Selain itu,
penggunaan bahasa Arab oleh Al-Qur’an sebagai perantara untuk
memudahkan risalah (wahyu) yang hendak disampaikan Tuhan
kepada Manusia. Dalam hal ini –menurut Izutsu- Tuhan menampil-
kan jati dirinya melalui bahasa yang dapat dipahami oleh manusia 21.
Di sini dapat dipahami bahwa bahasa berbeda dengan wahyu, bahasa
menjadi perantara atau alat, sedangkan wahyu adalah spirit atau pesan
Ilahi yang termuat dalam bahasa Al-Qur’an tersebut. Hal ini se-
bagaimana dipaparkan oleh Al-Qur’an bahwa “Sesungguhnya Kami
menjadikannya (yakni Kalam Allah) berupa Qur’an yang berbahasa Arab agar
kamu dapat memahami (pesan-pesannya)” (QS. Az-Zukhruf:3).
Al-Qur’an: dari Lisan ke Tulisan
Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki objek sasaran, adapun
sasaran itu adalah masyarakat Arab sebagai masyarakat pertama yang
ditemuinya 22. Di sisi lain, masyarakat Arab dikenal sebagai masyara-
kat yang tajam hafalannya, tradisi lisan yang kuat menjadikan Al-
Qur’an mudah dihafalnya. Sepanjang masa pewahyuan (22 tahun),
Nabi beserta sahabat-sahabatnya senantiasa menghafalkan Al-
Qur’an, satu dengan lainnya saling mengulang-ulang bacaannya, Nabi
membaca (baca: muraja’ah) di hadapan malaikat Jibri, Sahabat mem-
baca di hadapan Nabi, atau dan sahabat satu dengan lainnya saling
mengahadapkan hafalan, dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar Al-
Qur’an senantiasa terjaga dalam memori masyarakat Islam 23.
20 Nabi. 21 Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron
Syamsuddin (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016). 22 Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu Dan Budaya
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). 23 Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron Syamsuddin.
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
270 Journal of Islamic Studies and Humanitites
Selain terus dilakukan penjagaan Al-Qur’an melalui hafalan,
Nabi juga senantiasa memerintahkan sahabatnya untuk mengabadi-
kan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan 24. Dari sini kemudian muncul
nama Zaid bin Tsabit yang dikenal sebagai sekertaris Nabi untuk
menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilafalkan oleh Nabi secara
langsung. Selanjutnya, tradisi menulis Al-Qur’an dikembangkan
dengan mengkodifikasi Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu
Bakar, yang kemudian dilanjutkan sekaligus diseragamkan pada masa
kekhalifahan Utsman bin Affan 25.
Menarik menjadi perhatian bersama tentang proses perpindahan
Al-Qur’an (transmisi) dari lisan (hafalan) ke tulisan (mushaf). Dalam
proses transmisi tersebut, lisan senantiasa berperan secara signifikan
terhadap pemindahan wahyu menuju tulisan. Lebih jauh, bahwa se-
tiap Al-Qur’an yang hendak ditulis, senantiasa merujuk kepada cara
baca yang telah ada (lisan) 26. William Graham –sebagaimana dikutip
Ingrid Mattson- mengatakan bahwa “Perkataan selalu mendahului
tulisan, baik cara kosmis, antropologis, maupun historis”. Sekalipun
telah berbentuk teks (mushaf), ia (Al-Qur’an) senantiasa menjadi
bacaan yang disuarakan. Melalui pembacaan tersebut sehingga kal-
amullah tersebut dapat bertahan sejak Nabi Muhammad sampai
sekarang, bahkan sampai kapanpun selama ia (Al-Qur’an) dibacakan.
Karena itu, untuk mempertahankan keorisinal lisannya, dalam pem-
bacaan Al-Qur’an sangat ditekankan untuk memperhatikan cara baca
Al-Qur’an (qiraat Al-Qur’an) 27.
Cara Baca Yang Beragam: Bukti Kelisanan
Pada proses penulisan Al-Qur’an, masyarakat Arab dalam hal ini
adalah para sahabat menulis Al-Qur’an sesuai Qira’atnya masing-
24 Ali Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia
(Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty, 2012). 25 Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur’an (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). 26 Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah
Pencarian Awal Metodologis).” 27 Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami
Konteks Kisah, Dan Sejarah Al-Qur’an, Terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Penerbit Zaman, 2013).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 271
masing, sehingga pada saat penulisan mushhaf ‘Utsmani, yang
hendak menyeragamkan qira’at untuk masuk dalam mushhaf pada
masanya, mengakibatkan munculnya berbagai kontroversi dari
sahabat, seperti yang terjadi pada Abdullah bin Mas’ud. Menjadi per-
soalan ketika cara baca Al-Qur’an yang dipahami serta yang sering
dilakukan ternyata berbeda dengan cara baca yang dilakukan oleh
orang lain. Lebih jauh, dari perbedaan cara baca Al-Qur’an tersebut,
menjadi problem tersendiri dalam memahamai kandungan Al-
Qur’an sebagai kitab yang utuh, bahkan (boleh jadi) memicu adanya
keraguan atas keorisinal Al-Qur’an, hal ini sebagaimana yang terjadi
pada kasus sahabat Ubay bin Ka’b dan Ubadah bin shamit:
Ubadah bin Shamit bahwa Ubay bin Ka'b berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakan ayat kepadaku, dan aku (Ubadah) membacakannya kepada orang lain dengan selain bacaaan Ubay. Maka aku bertanya padanya, "Siapa yang mem-bacakannya padamu?" Ubay menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang membacakannya padaku." Aku berkata lagi, "Demi Allah, beliau telah membacakannya kepadaku begini dan be-gitu." Ubay lantas menyaut, "Aku tidak pernah merasakan kera-guan idalam Islam semisal saat hari itu, maka aku pun datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah membacakan ayat ini kepadaku begini dan begitu?" Beliau menjawab: "Ya." Ubay berkata, "Orang ini mengatakan bahwa engkau juga telah membacakannya begini dan begitu!" Beliau lalu memukulkan tangannya ke dadaku, hingga aku tidak lagi mendapati karaguan dalam hatiku setelah itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Jibril dan Mikail Alaihimassalam mendatangiku. Jibril berkata, 'Bacalah al Qur`an dengan satu huruf! 'lalu Mika`il berkata, 'Mintalah tambahan, ' lalu Jibril berkata lagi, 'Bacalah dengan dua huruf! 'Mika`il berkata lagi, 'Mintalah tambahan, ' hingga menjadi tujuh huruf. Maka setiap
bacaan adalah sempurna dan mencukupi."28
28 HR. Ahmad nomor 20179, hadits bermakna seperti ini juga diriwayatkan
oleh An-Nasai nomor 932. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.).
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
272 Journal of Islamic Studies and Humanitites
Selain itu, perbedaan cara baca juga dapat menyebabkan
seseorang dengan orang lain terjadi kesalahpahaman yang menyebab-
kan pada tindakan kekerasan, ini dapat dilihat pada kasus ‘Umar bin
Khaththab yang hendak mencekik sahabat Ubay bin Ka’b ketika
mendengar Ubay membaca surah Al-Furqan dengan bacaan yang
berbeda dengannya. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, sebagai
berikut:
‘Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam sedang membaca surat Al Furqan di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Maka, ternyata ia membacakan dengan huruf yang banyak yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam be-lum pernah membacakannya seperti itu padaku. Maka aku hampir saja mencekiknya saat shalat, namun aku pun bersabar menunggu sampai ia selesai salam. Setelah itu, aku langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini yang te-lah aku dengan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah shallal-lahu 'alaihi wasallam yang telah membacakannya padaku." Aku ka-takan, "Kamu telah berdusta. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakannya padaku, namun tidak se-bagaimana apa yang engkau baca." Maka aku pun segera menun-tunnya untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Se-lanjutnya, kukatakan kepada beliau, "Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan huruf (dialek bacaan) yang belum pernah Anda bacakan kepadaku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bacalah wahai His-yam." Lalu ia pun membaca dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Begitulah ia diturunkan." Kemudian beliau bersabda: "Bacalah wahai Umar." Maka aku pun membaca dengan bacaan sebagaimana yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Setelah itu, beliau bersabda: "Seperti itulah su-rat itu diturunkan. Sesungguhnya Al Qur`an ini diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Maka bacalah ia, sesuai dengan
dialek bacaan yang kalian bisa."29
29 HR. Bukhari nomor 4608. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sem-
bilan imam hadits.).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 273
Hadits yang seperti kasus di atas (kasus ‘Umar dan Ubay), banyak
diriwayatkan oleh ulama hadits seperti hadits yang diriwayatkan Bu-
khari nomor 2241, Muslim nomor 1354, At-Tirmidzi nomor 2867,
An-Nasai nomor 927, 928, 929, dan 930, Ahmad bin Hanbal nomor
153, 180, 266.30
Fenomena perdebatan-perdebatan di atas adalah gambaran
bahwa ketidaksanggupan seseorang menjangkau hal-hal berbeda
dengannya, dalam hal ini adalah cara baca Al-Qur’an, akan memicu
kesalahpahaman satu sama lain, yang boleh jadi sampai pada tindakan
kekerasan. Berkenaan dengan cara baca Al-Qur’an ini, maka Nabi
sepanjang hidupnya selalu memberi tahukan bahwa Al-Qur’an tidak
hadir dalam satu bacaan, tetapi lebih dari satu. Lebih jauh, cara bacaan
yang berbeda-beda tersebut ada yang menyebutkan tujuh ragam
bacaan, tiga belas, dan seterusnya. Berapapun itu, yang jelas, ragam
bacaan Al-Qur’an bukanlah satu.
Lebih jauh lagi, Nabi selalu membuka diri untuk membaca Al-
Qur’an sesuai ‘kesanggupan’ sahabatnya. Dengan kata lain bahwa
Nabi membolehkan atau mengiyakan qira’at (bacaan) Al-Qur’an yang
dibaca oleh sahabat-sahabatnya. Pembolehan Nabi atas bacaan para
sahabat yang berbeda-beda itu, menurut penulis, disebabkan karena
Nabi Sendiri yang menimbulkan perbedaan itu ketika hendak diberi-
kan wahyu kepada malaikat Jibril. Nabi meminta agar Al-Qur’an tidak
hanya bisa dibaca dengan satu qira’at, tetapi beliau meminta agar Al-
Qur’an dapat dibaca lebih dari satu bacaan. Perhatikan hadits Nabi
sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan)." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Al-lah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan
30 Hadits-hadits ini sesuai yang tercantum pada Lidwa Mausua i-Software-
kitab sembilan imam hadits.
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
274 Journal of Islamic Studies and Humanitites
mampu akan hal itu." Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga ka-linya seraya berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf." Beliau bersabda "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan
mereka benar." 31
Selanjutnya, dari perbedaan cara membaca Al-Qur’an tersebut
kemudian tidak menutup kemungkinan memicu munculnya
perbedaan dalam memahami isi kandungan Al-Qur’an. Misalnya
pada kata كمdengan harakat fatha pada huruf) وأرجل lam), ada juga yang
membacanya dengan وأرجلكم (dengan harakat kasrah pada huruf lam).
Pada kata pertama dipahami bahwa kaki harus dibasuh, hal ini karena
kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat م ,Tetapi .وجوهك
jika di baca kasrah, sebagaimana disebutkan di atas, maka kaki tidak
harus dibasuh, melainkan cukup mengusapnya. Hal ini karena
kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat م .32 برءوسك
Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa cara baca yang
berbeda dapat menimbulkan pemahaman kandungan Al-Qur’an
yang berbeda pula, dan karena itu apa yang tertera dalam mushaf
(‘Utsman) yang sekarang dijumpai dan tersebar di mana-mana tidaklah
menjadi satu-satunya kunci dalam memahami kandungan Al-Qur’an,
apalagi menjadikannya ‘alasan’ untuk menyalahkan bacaan dan
pemahaman lainnya yang tidak sama dengannya. Lebih jauh, bahwa
banyaknya ragam bacaan Al-Qur’an merupakan bukti tersendiri ten-
tang kehadiran Al-Qur’an yang pada mulanya ada dan disebarkan da-
lam bentuk lisan. Dari sini, pembacaan Al-Qur’an yang beragam itu
31 HR. Muslim nomor 1355, hadits yang bermakna seperti ini juga dapat
dilihat pada hadits riwayat Ahmad nomor 2582, 2713, 19529, 19609. 32 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern. Terj. M. Alaika
Salamullah, Dkk (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2010).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 275
merupakan perantara atau strategi Nabi dalam menyampaikan risa-
lah-Nya, dengan kata lain, bahwa fokus Nabi Muhammad adalah pe-
san yang terkandung dalam Al-Qur’an, bukan teksnya.
Struktur Kelisanan Al-Qur’an
Al-Qur’an, menurut Neal Rabinson, mengandung irama yang
jelas –terutama di akhir ayat 33, di mana irama tersebut merupakan
satu kekhasan tersendiri yang dimiliki dalam tradisi lisan 34. Bentuk
irama Al-Qur’an dapat dijumpai sejak QS. al-Alaq: 1-5, yang menurut
Asy-Syuyuthi dan mayoritas ulama Al-Qur’an, merupakan wahyu
pertama yang diturunkan pada masa pewahyuan, tepatnya di gua
Hira, Mekkah. Ketika itu, Muhammad sering menyendiri dan
beribadah di gua Hira, hingga satu malam datang malaikat Jibril dan
menyampaikan QS. al-Alaq: 1-5.35
رأ ن خلق . خلق ٱلذي رب ك بٱسم ٱق نس . علق من ٱل
رأ ٱق
رم وربككأ قلم علم ٱلذي . ٱلأ ن علم . بٱلأ نس لمأ ل ما ٱل ي عأ
Berdasarkan iramanya, dalam lima ayat di atas terlihat irama yang
terdapat setiap akhir ayat, terutama ketika ia dibaca (disuarakan).
Irama tersebut dijumpai antara ayat satu dan dua, ayat tiga-empat-
lima. Neal Robinson menjelaskan, misalnya, bahwa irama yang
dibawa oleh ayat satu dan dua hanya dibedakan di awal kata khalaq
dan alaq: huruf kh dan ‘ain. Dalam hal pemahamannya, kata khalaq
(penciptaan) dan alaq (segumpal darah) dalam bahasa Arab
mengandung keselarasan makna 36. Selain itu, penggunaan pola
33 Neal Robinson, Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a Velled
Text (Wadhington: Georgetown University Press, 2003). 34 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 35 Penjelasan ini berdasarkan Hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat,
misalnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui riwayat Yahya bin Bukai ia ber-kata “Telah menceritakan kepada kami dari al-Laits dari ‘Uqail Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari Aisyah. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari, kitab Per-mulaan Wahyu, bab Permulaan Wahyu, nomor hadis 3. Lihat juga dalam riwayat Muslim, kitab Iman, bab Permulaan Wahyu untuk Rasulullah SAW, nomor hadis 231 dan 232. Dalam Lidwa Pusaka i-Software-Kitab 9 Imam Hadis.
36 Robinson, Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a Velled Text.
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
276 Journal of Islamic Studies and Humanitites
redaksi yang menggunakan epitet dalam menandai konsep Tuhan
dalam ayat pertama ( ك Epitet yang dimaksud adalah Yang .( رب
menciptakan. Penggunaan epitet dalam tradisi lisan digunakan
untuk menguatkan ingatan yang telah ada. Karena itu, dalam tradsi
lisan, seseorang lebih memilih ungkapan prajurit yang gagah
berani daripada hanya prajurit 37. Dengan demikian, ungkapan
Tuhan dalam ingatan akan selalu Yang menciptakan selamanya.
Sampai di sini, paparan di atas memberikan pemahaman bahwa
sekalipun Al-Qur’an yang dijumpai telah berada dalam bentuk
tulisan (mushaf), akan tetapi struktur kelisanannya yang khas
masih dapat ditemukan.
Tekstualitas Al-Qur’an: Akar Keragaman Pemahaman
Seringkali ditemukan perdebatan tentang kandungan ajaran
agama,–misalnya- ada yang berpendapat jilbab itu wajib, ada juga
yang berpendapat tidak wajib, ada yang mengatakan hukuman bagi
pencuri adalah dipotong tangan, ada juga yang mengatakan bukan
potong tangan, ada yang mengatakan bahwa perempuan yang
menikah harus memiliki wali, ada juga yang mengatakan tidak perlu,
dan seterusnya. Semua perdebatan ini pada dasarnya disebabkan oleh
teks agama (baca: Al-Qur’an) itu sendiri. Dalam ulumul Qur’an
dikenal –misalnya- qath’i atau zanni¸ muhkam atau mutasyabih, ‘am atau
khash, semuanya dikenal sebagai pilihan-pilihan antara keterbatasan
atau kebebasan dalam memahami kandungan teks.
Senada dengan persoalan di atas, Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan –sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi- bahwa ka-
rena Al-Qur’an telah menjadi tulisan dalam mushaf, maka ia akan
menimbulkan perbedaan pemahaman, hal ini disebabkan Al-Qur’an
tidak dapat menjelaskan dirinya, akan tetapi manusialah (baca: pem-
baca teks) yang memahami teks tersebut, berdasarkan kapasitas
keilmuannya 38. Semenjak Al-Qur’an berbentuk tulisan, ia mengalami
37 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 38 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2017).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 277
keterbukaan makna, sehingga siapapun dapat menyandarkan pema-
hamannya atas teks agama tersebut. Dari sini, kemudian setiap orang
memiliki peluang yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an.
Jika demikian adanya, maka bagaimana mungkin dibolehkan untuk
menutup makna Al-Qur’an pada satu pemahaman semata?
Dalam wacana Al-Qur’an, dijelaskan bahwa huruf-hurufnya
memiliki kandungan yang sangat besar. Digambarkan bahwa setiap
huruf seperti besarnya satu gunung Qaf, yang satu haruf tersebut
hanya Allah yang lebih mengetahui maknanya 39. Penggambaran hu-
ruf Al-Qur’an seperti sebuah gunung, disebabkan karena gunung
merupakan ciptaan terbesar dalam dunia ini. Di saat yang sama,
manusia memiliki pemahaman yang sangat terbatas. Sehingga, hal ini
menandakan ketidak mampuan manusia memastikan makna yang
terungkap dalam teks agama tersebut. Jika faktanya demikian, maka
pertanyaan yang mesti direnungi adalah bagaimana mungkin pema-
haman manusia –yang terbatas- dapat menggapai kesempurnaan teks
ajaran agama tersebut? Seperti inilah kenyataan tekstualitas Al-
Qur’an, ia dipenuhi dengan teka-teki yang sangat mengagumkan,
sekaligus sangat mencemaskan. Akhirnya, yang terjadi pada manusia,
hanya memahami sekelumit ajaran yang terkandung dalam teks
agama tersebut.
Kontekstual: Jati Diri Kelisanan Al-Qur’an
Fenomena transmisi Al-Qur’an dari lisan ke tulisan penting men-
jadi perhatian. Hal ini disebabkan terdapat bagian penting tentang
kelisanan yang ternyatan tidak ditemukan saat Al-Qur’an itu telah
menjadi tulisan, di antaranya adalah persoalan konteks yang meling-
kupinya. Dari wacana konteks inilah kemudian menimbulkan banyak
perdebatan dari umat, bahkan kalangan pengkaji ajaran Islam sendiri-
pun. Ada sangat banyak kajian telah menyinggung permasalahan
perlu atau tidaknya kesadaran tentang konteks pada Al-Qur’an. Per-
masalahan tersebut kemudian memunculkan konflik yang tidak
39 Zaid, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema.
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
278 Journal of Islamic Studies and Humanitites
cukup berhenti pada rana wacana saja, tetapi bahkan sampai tindakan
kekerasan.
Dalam kajian ulumul Al-Qur’an dikenal kajian konteks 40. yang
disebut asbabun nuzul, yakni segala sesuatu yang menyebabkan mun-
culnya ayat 41. Dari Pengertian mendasar tersebut menunjukkan
adanya konteks nyata yang melingkupi kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Tetapi kenyataannya, sisi ‘sebab-sebab’ munculnya teks ter-
sebut masih menjadi persoalan serius. Pasalnya ada yang memahami
ajaran Islam melalui teks sembari memerhatikan unsur sebab
kemunculannya, tetapi ada juga yang masa bodoh dengan unsur
sebab kemunculan teks tersebut. Persoalan ini terus berlangsung ka-
rena tidak ada kesepakatan dari kedua pihak dalam membaca kedua
teks Al-Qur’an tersebut. Dalam wacana konteks, terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara konteks yang dimiliki oleh lisan, dan
konteks yang dimiliki oleh tulisan. Konteks yang lahir dalam per-
kataan lisan menuntut masa kini, yakni ruang konteks yang sama an-
tara penutur dan pendengar. Sementara konteks dalam tulisan men-
ciptakan jarak dan tempat yang berbeda antara penulis dan pembaca 42.
Lebih jauh, konteks dalam wacana kelisanan menjadikan lisan
untuk bertindak sebagai kesaksian, kesaksian ini mengikuti konteks
dari penutur. Sebaliknya, bahasa tulisan –dalam hal ini adalah sebuah
teks- hanya dapat menjadi saksi, tetapi tak dapat memberi kesaksian 43. Hal ini karena tulisan tidak memiliki konteks yang jelas, atau biasa
dikenal sebagai bebas konteks. Tidak jelasnya konteks dalam tulisan,
menjadikan ajaran yang disampaikan dalam sebuah teks lebih sulit
dipahami dibanding dalam bentuk lisan, bahkan akibatnya dapat
menyebabkan makna yang lahir dari tulisan bersifat kabur 44. Dari
40 Zaid. 41 Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). 42 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 43 Vansina, Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk. 44 Ferdinand de Saussure, Pengantar Lingiustik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988).
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 279
makna yang kabur inilah sehingga memahami teks sulit –jika enggang
mengatakan tidak dapat- secara sempurna.
Memahami Al-Qur’an melalui tulisan menyebabkan munculnya
tindakan mereka-reka konteks yang terdapat pada ajaran Islam terse-
but. Persoalannya kemudian, seberapa besar kemiripan hasil ‘mereka-
reka’ itu terhadap kenyataannya? Tentu ini pertanyaan penting dan
bahkan merupakan keharusan untuk mempertanyakannya, sehingga
terjadi upaya untuk membuka konteks dari teks agama tersebut.
Sebab, jika tidak demikian, maka akan ada sangat banyak kemung-
kinan-kemungkinan konteks yang tercipta ketika teks itu dibaca.
Inilah yang menyebabkan terjadinya pemahaman yang beragam pada
teks yang sama. Artinya memahami teks Al-Qur’an harus
mengembalikannya pada rana kelisanan Al-Qur’an, yang
disampaikan dengan konteks tertentu yang melingkupi kehadiran
teks tersebut.
Yang menjadi catatan penting bahwa upaya-upaya yang
dilakukan Nabi selama masa penyebaran ajaran Islam terjadi
beriringan dengan keadaan konteks yang dihadapinya –sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Sehingga setiap wahyu (baca: Al-Qur’an)
senantiasa saling merespons atau berdialog oleh keadaan disekitar
Nabi. Karena itu, melihat konteks kehidupan Nabi, konteks masyara-
kat Arab secara umum, menjadi keharusan, hal ini agar dapat
menemukan spirit atau pesan yang hendak disampaikan Allah dalam
Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat dipahami sesuai jati
dirinya, yakni pedoman hidup yang berdasar kelisanan.
Penutup
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kelisanan adalah anak kandung dan utama sejak awal kehadiran Al-
Qur’an kehadiran Al-Qur’an, hal ini mengindikasikan kajian Al-
Qur’an dengan berbasis kelisanan tidak boleh diabaikan dalam
diskursus Al-Qur’an. Diskursus kelisanan Al-Qur’an bahkan terlihat
penamaannya sebagai Al-Qur’an. Hingga Al-Qur’an berbentuk
tulisan (mushaf) yang hari ini ditemui umat Islam, akan tetapi struktur
kelisanan masih dapat dijumpai dengan jelas. Dengan struktur
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
280 Journal of Islamic Studies and Humanitites
kelisanan tersebut, maka tentu menghadirkan pemahaman yang khas
kelisanan, sebagaimana masa pewahyuannya yang dipahami oleh
Nabi Muhammad sebagai penutur dan masyarakat Arab sebagai
lawan tutur.
Kemunculan perbedaan pemahaman atas Al-Qur’an berawal
dari ketika Al-Qur’an itu dalam bentuk tulisan (mushaf), hal ini
dikarenakan tulisan telah terbuka untuk dipahami secara leluasa
(open public), terlebih lagi setiap huruf Al-Qur’an diyakini
kandungannya seperti satu gunung qaf. Maka tidak heran jika muncul
berbagai pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an. Pembacaan
konteks dalam membuka kandungan Al-Qur’an menjadi sesuatu
yang harus terjadi, oleh karena kandungan (spirit) Al-Qur’an melekat
erat dengan konteks masyarakat Arab yang ditemuinya. Sehingga
‘membaca’ Al-Qur’an tanpa memerhatikan konteks kehadiran Al-
Qur’an, dan konteks Arab secara umum adalah sebuah kegagalan
dalam mengungkap makna Al-Qur’an. Lebih jauh, menafsirkan Al-
Qur’an adalah membuka makna Al-Qur’an dengan mendialogkan
konteks penafsir, konteks turunnya Al-Qur’an dan teks Al-Qur’an itu
sendiri.
Daftar Pustaka
Al-Kawwaz, Muhammad Karim. Kalam Allah: Al-Janib Al-Syafahi Min
Al-Zahirah AlQur’aniyyah. Beirut: Dar al-Saqi, 2002.
Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Athaillah. Sejarah Al-Qur’an: Verfikasi Tentang Otensitas Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2010.
Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru
Vol. 4, No. 2 (2019) 281
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern. Terj. M.
Alaika Salamullah, Dkk. Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press,
2010.
Graham, William. “Al-Qur’an Sebagai Firman Yang Diucapkan:
Kontribusi Islam Untuk Memahami Kitab Suci.” In Pendekatan
Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Baidhawy,
edited by Richard C. Martin. Yogyakarta: SUKA-Press, 2001.
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,
Makna, Dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
HS, Muh Alwi. “Dewasa Dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah
Wacana Dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran Al-Qur’an.”
Millati: Journal of Islamick Studies and Humanities 2, no. 1 (2017).
Kholis, Nur. Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits. Yogyakarta:
Teras, 2008.
Mattson, Ingrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami
Konteks Kisah, Dan Sejarah Al-Qur’an, Terj. R. Cecep Lukman
Yasin. Jakarta: Penerbit Zaman, 2013.
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam
Rahmatan Lil ‘Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis, 2017.
Nabi, Malik bin. Fenonema Al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed. Bandung: PT
Alma’arif, 1983.
Ong, Walter J. Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. Yogyakarta:
Penerbit Gading, 2013.
Rafiq, Ahmad. “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi
(Sebuah Pencarian Awal Metodologis).” In Islam, Tradisi Dan
Peradaban. Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012.
Rahman, Fazlur. Islam: Sejarah: Kritik Pemikiran Dan Perdaban, Terj. M.
Irsyad Rafsadie. Bandung: Mizan, 2017.
Robinson, Neal. Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a
Velled Text. Wadhington: Georgetown University Press, 2003.
Muhammad Alwi HS, Nur Hamid
282 Journal of Islamic Studies and Humanitites
Romdhoni, Ali. Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia.
Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty, 2012.
Saeed, Abdullah. Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron
Syamsuddin. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016.
Saussure, Ferdinand de. Pengantar Lingiustik Umum. Terj. Rahayu S.
Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988.
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu Dan Budaya.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Sudaryanto. Linguistik: Esai Tentang Bahasa Dan Pengantar Ke Dalam
Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Vansina, Jan. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk.
Yogyakarta: Ombak, 2014.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003.