DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

21
ISSN 2527-8401 (p) 2527-838X (e) © 2019 JISH Pascasarjana UIN Walisongo Semarang http://journal.walisongo.ac.id/index.php/jish Journal of Islamic Studies and Humanities Vol. 4, No. 2 (2019) 262-282 DOI: http://dx.doi.org/10.21580/jish.42.5232 DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU Muhammad Alwi HS 1 , Nur Hamid 2 1 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2 Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: 1 [email protected], 2 [email protected] Abstract This paper is about to discuss discourse as the identity of the Qur'an which is now in the form of writing (Mushaf). In its history, the Qur'an is present in an environment that is familiar with oral traditions, delivered in oral form from the Prophet (speaker) to the Arab community (listeners). Based on the oral delivery, the Al-Qur'an indicates to be examined in the discourse discourse. The result of this paper is the discourse on the oral level of the Qur'an and even the naming as the Qur'an. Until the Qur'an takes the form of a text (mushaf) which is met today by Muslims, but the structure of orality can still be found clearly. With the structure of orality, it certainly presents a specific understanding of orality, as was the revelation understood by the Prophet Mu- hammad as a speaker and the Arab community as opposed to speech. The occurrence of understanding between the Prophet Muhammad and the Arab Society gives an un- derstanding that the Qur'an contains understanding at that time, so that if there is an inertia, then the Arab community will question the purpose of the verse delivered. From this, the context that is presented in the discourse of oral Qur'an is a clear context, which binds the speaker and listener, or also commonly referred to as contextual. Abstrak Tulisan ini hendak mendiskusikan wacana kelisanan sebagai jati diri Al- Qur’an yang saat ini telah berbentuk tulisan (mushaf). Dalam sejarahnya, Al-Qur’an hadir dilingkungan yang akrab dengan tradisi lisan (oral), disampaikan dalam bentuk lisan dari Nabi (penutur) kepada masyarak Arab (pendengar). Berdasarkan penyampaian secara lisan, maka Al- Qur’an mengindikasikan untuk dikaji dalam diskursus kelisanannya. Hasil dari tulisan ini adalah diskursus kelisanan Al-Qur’an bahkan terlihat penamaannya sebagai Al-Qur’an. Hingga Al-Qur’an berbentuk tulisan (mushaf) yang hari ini ditemui umat Islam, akan tetapi struktur kelisanan

Transcript of DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Page 1: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

ISSN 2527-8401 (p) 2527-838X (e) © 2019 JISH Pascasarjana UIN Walisongo Semarang http://journal.walisongo.ac.id/index.php/jish

Journal of Islamic Studies and Humanities Vol. 4, No. 2 (2019) 262-282

DOI: http://dx.doi.org/10.21580/jish.42.5232

DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS 1 , Nur Hamid 2 1Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

2Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: [email protected], [email protected]

Abstract This paper is about to discuss discourse as the identity of the Qur'an which is now in the form of writing (Mushaf). In its history, the Qur'an is present in an environment that is familiar with oral traditions, delivered in oral form from the Prophet (speaker) to the Arab community (listeners). Based on the oral delivery, the Al-Qur'an indicates to be examined in the discourse discourse. The result of this paper is the discourse on the oral level of the Qur'an and even the naming as the Qur'an. Until the Qur'an takes the form of a text (mushaf) which is met today by Muslims, but the structure of orality can still be found clearly. With the structure of orality, it certainly presents a specific understanding of orality, as was the revelation understood by the Prophet Mu-hammad as a speaker and the Arab community as opposed to speech. The occurrence of understanding between the Prophet Muhammad and the Arab Society gives an un-derstanding that the Qur'an contains understanding at that time, so that if there is an inertia, then the Arab community will question the purpose of the verse delivered. From this, the context that is presented in the discourse of oral Qur'an is a clear context, which binds the speaker and listener, or also commonly referred to as contextual.

Abstrak Tulisan ini hendak mendiskusikan wacana kelisanan sebagai jati diri Al-Qur’an yang saat ini telah berbentuk tulisan (mushaf). Dalam sejarahnya, Al-Qur’an hadir dilingkungan yang akrab dengan tradisi lisan (oral), disampaikan dalam bentuk lisan dari Nabi (penutur) kepada masyarak Arab (pendengar). Berdasarkan penyampaian secara lisan, maka Al-Qur’an mengindikasikan untuk dikaji dalam diskursus kelisanannya. Hasil dari tulisan ini adalah diskursus kelisanan Al-Qur’an bahkan terlihat penamaannya sebagai Al-Qur’an. Hingga Al-Qur’an berbentuk tulisan (mushaf) yang hari ini ditemui umat Islam, akan tetapi struktur kelisanan

Page 2: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 263

masih dapat dijumpai dengan jelas. Dengan struktur kelisanan tersebut, maka tentu menghadirkan pemahaman yang khas kelisanan, sebagaimana masa pewahyuannya yang dipahami oleh Nabi Muhammad sebagai penutur dan masyarakat Arab sebagai lawan tutur. Terjadinya pemahaman antara Nabi Muhammad dan Masyarakat Arab tersebut memberi satu pemahaman bahwa Al-Qur’an mengandung pemahaman saat itu, sehingga sekiranya terjadi ketidaksepemahaman, maka masyarakat Arab akan mempertanyakan maksud ayat yang disampaikan. Dari sini, maka konteks yang dihadirkan dalam diskursus kelisanan Al-Qur’an adalah konteks yang jelas, yang mengikat pembicara dan pendengar, atau biasa juga disebut sebagai kontekstual.

Keywords: kelisanan al-Qur’an; konteks; teks.

Pendahuluan

Muhammad Karim al-Kawwaz adalah satu dari sangat banyak

pemikir Islam yang mengambil diskursus berbeda dengan lainnya.

Melalui karyanya berjudul Kalam Allah: al-Janib asy-Syafahi min az-Za-

hirah Al-Qur’aniyyah1. Al-Kawwaz mencoba membuka serta

menganalisis fenomena kelisanan Al-Qur’an, ia berangkat dari fakta

bahwa Al-Qur’an turun di kawasan yang akrab dengan tradisi lisan.

Pembacaan tentang wacana kelisanan satu sisi, dengan Al-Qur’an sisi

lainnya, menjadi hal menarik untuk diperhatikan. Sebab bahasa lisan

dengan bahasa tulisan memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini

bisa dilihat misalnya pengungkapan kata Kita, kata kita akan me-

lahirkan perbedaan pemahaman makna ketika ia diungkapkan dalam

bentuk tulisan dengan diungkapkan dalam bentuk lisan. Kita dalam

bentuk tulisan melahirkan makna yang terbuka, sehingga dapat dipa-

hami secara leluasa. Sementara kata kita yang diungkapkan dalam

bentuk lisan memberikan pemahaman makna yang jelas (satu), yang

maknanya akan merujuk langsung kepada konteks yang melingkupi

pelaku yang mengucapkannya. Karena itu, ungkapan kita yang lahir

dari bahasa Indonesia umumnya, berbeda makna dengan kita yang

diungkapkan dalam bahasa Makassar. Dalam bahasa Indonesia, kata

1 Muhammad Karim Al-Kawwaz, Kalam Allah: Al-Janib Al-Syafahi Min Al-

Zahirah AlQur’aniyyah (Beirut: Dar al-Saqi, 2002).

Page 3: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

264 Journal of Islamic Studies and Humanitites

kita bermakna aku dan kamu, sementara dalam bahasa Makassar kata

kita bermakna kamu.

Kedudukan kata tersebut yang dituangkan dalam bentuk lisan

dan tulisan memunculkan diskusi yang mendalam (kompleks), apalagi

jika disadari bahwa sebuah ‘kata’ itu sendiri tidaklah ada karena

adanya huruf, ataupun susunan huruf. Tetapi kata tercipta dari unit

suara dengan menampilkan fungsinya 2. Artinya, sebuah ‘kata’ per-

tama lahir dari kelisanan (suara lisan). Dalam hal ini, bahasa lisan –

jika dibandingkan dengan bahasa tulisan, senantiasa menguasai se-

buah ‘kata’. Bahkan bahasa lisan telah dan akan tetap hidup sekalipun

tidak dilanjutkan ke dalam bentuk tulisan, sementara bahasa tulisan

berada kedua setelah lisan dan tidak dapat ada tanpa ada bahasa lisan.

Selain itu, sebuah tulisan akan tetap sama sekalipun berada dalam

waktu yang berbeda, dalam waktu yang berbeda itu, ia (tulisan) hanya

menjadi saksi tanpa dapat memberikan kesaksian, ini berbeda dengan

lisan yang dapat memberikan kesaksian 3. Kesaksian ini sangat erat

dengan konteks yang berlaku, sehingga tidak memicu banyak makna.

Perbedaan pemahaman makna tersebut ketika ditarik dalam

kajian Al-Qur’an menjadi hal penting untuk diamati, hal ini meng-

ingat satu sisi bahwa Al-Qur’an yang umat Islam temui hari ini adalah

tulisan (mushaf), sementara sisi lain bahwa Al-Qur’an pada dasarnya

berada dalam ranah lisan, yang tentu implikasi pemahaman atasnya

ketika dalam bentuk lisan dan tulisan memiliki perbedaan yang sig-

nifikan. Maka dari sini tidak heran jika muncul pemahaman tekstual

dan pemahaman kontekstual. Bagi mereka yang memahami Al-

Qur’an secara tekstual, maka pada dasarnya telah mengabaikan Al-

Qur’an yang berada dalam ranah lisan, hal ini disebabkan konteks Al-

Qur’an dalam teks itu bersifat kabur, tidak jelas, atau bebas. Semen-

tara bagi mereka yang memahami Al-Qur’an secara kontekstual,

maka ia pada dasarnya sedang berupaya ‘membaca’ sisi kelisanan Al-

2 Walter J. Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati (Yogyakarta:

Penerbit Gading, 2013). 3 Jan Vansina, Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk

(Yogyakarta: Ombak, 2014).

Page 4: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 265

Qur’an 4. Hal ini berdasarkan bahwa ketika Al-Qur’an (wahyu) turun

senantiasa merepon keadaan (konteks). Sifat merespon keadaan

(konteks) ini merupakan ciri kelisanan bahwa ungkapan senantiasa

terikat dan melekat dengan konteks penutur dan pendengar 5.

Nasr Hamid menyatakan bahwa kehadiran Al-Qur’an sebagai

kelisanan di ruang manusia senantiasa melekat erat dengan konteks

saat ia diturunkan 6. Maka dari sini Al-Qur’an mengalami apa yang

disebut historis, yakni bahwa Al-Qur’an hadir bukan di ruang yang

kosong, melainkan terikat dengan ruang dan waktu. Dalam konteks

kesejarahannya, Al-Qur’an ditulis pada dasarnya bertujuan hanya se-

bagai salah satu upaya ‘pengabadian’ kalam ilahi dalam bentuk tulisan 7. Kehadiran Al-Qur’an dalam bentuk tulisan mengalami transmisi

dari lisan ke tulisan. Dari transmisi tersebut, Al-Qur’an kehilangan

sisi kelisanannya, misalnya konteks yang nyata menjadi kabur, dan se-

terusnya. Lebih jauh, upaya penulisan yang tidak diikutsertakan sisi

kelisanannya –menurut Ahmad Rofiq- lebih dikarenakan Nabi dan

sahabat tidak memerlukan secara signifikan tentang adanya sisi-sisi

kelisanan tersebut, termasuk di dalamnya adalah pembacaan konteks

Al-Qur’an, hal ini karena Nabi (penutur) dan sahabat (pendengar)

masih dalam ruang konteks yang sama dengan Al-Qur’an. Karena itu,

paling tidak ada dua alasan yang menjadikan tulisan ini harus hadir,

pertama untuk mengangkat ke permukaan tentang wacana kelisanan

Al-Qur’an. Alasan kedua untuk membuka kesepahaman tentang

perlunya kontekstualisasi Al-Qur’an 8.

Variasi Makna Al-Qur’an

4 Muh Alwi HS, “Dewasa Dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah Wacana

Dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran Al-Qur’an,” Millati: Journal of Islamick Studies and Humanities 2, no. 1 (2017).

5 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 6 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema

(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003). 7 Athaillah, Sejarah Al-Qur’an: Verfikasi Tentang Otensitas Al-Qur’an

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 8 Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah

Pencarian Awal Metodologis),” in Islam, Tradisi Dan Peradaban (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012).

Page 5: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

266 Journal of Islamic Studies and Humanitites

Namanya sebagai Al-Qur’an, kutip William Graham, adalah

langka awal yang menuntut upaya untuk berfokus pada karakteristik

lisan sebagai bentuk pemahaman yang orisinil atas Kitab Suci umat

Islam tersebut 9. Berdasarkan namanya, ada tiga pandangan yang

terkenal mengenai akar kata nama Al-Qur’an, yakni Qaranah10

(menggabungkan), Qarinah11 (tanda), Qara’a12 (membaca), semua

pendapat tersebut mengindikasikan bahwa Al-Qur’an sebagai

kalamullah yang dibacakan atau dilisankan. Al-Qur’an sendiri dalam

banyak ayat menyatakan dirinya sebagai kalamullah yang dibacakan,

misalnya, Al-Qur’an disebut sebagai kalamullah yang didengar (QS.

Al-Taubah: 6), Al-Qur’an sebagai kalamullah yang dibacakan oleh

Rasul yang Ummi (QS. Al-Jumu’ah: 2), Al-Qur’an diturunkan untuk

dibacakan kepada mereka (QS. Al-Ankabut: 51), dan sebagainya.

Senada dengan pengertian tersebut, al-Ghazali mengatakan –se-

bagaimana dikutip Nur Kholis- bahwa Al-Qur’an adalah firman,

kalam, atau perkataan Allah SWT 13. Hal ini menunjukkan bahwa Al-

9 William Graham, “Al-Qur’an Sebagai Firman Yang Diucapkan:

Kontribusi Islam Untuk Memahami Kitab Suci,” in Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Baidhawy, ed. Richard C. Martin (Yogyakarta: SUKA-Press, 2001).

10 Pendapat ini dipegang oleh Imam Al-Asya’ari, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang bermakna menggabungkan dan menghim-pun sesuatu atas sesuatu yang lain, sehingga Al-Qur’an dipahami sebagai him-punan dari surah, ayat, dan huruf. Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Bei-rut: Muasasah Ar-Risalah Nasyirun, 2007), hlm.116.

11 Pendapat ini dipegang oleh Al-Farra’, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qarain (jamak dari qarinah) yang bermakna tanda, karena ayat satu dengan lainnya saling membenarkan untuk menunjukkan kebenaran. Kata qarain ini memiliki akar kata dengan qarana: q,r,n. Jalaluddin Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 116.

12 Pendapat ini diipegang oleh Al-Zujaj, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang bermakna menghimpun atau juga dimaknai tala’ (membaca berulang-ulang). Jalaluddin Asy-Syuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 116-117. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa membaca (qara’a) dalam perspektif bahasa Arab tidak mengharuskan adanya teks tulis, karena itu kata qara’a sebagai makna membaca, meneliti, menyampaikan dan sebagainya, pada hakikatnya berakar makna pada menghimpun. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 167.

13 Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008).

Page 6: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 267

Qur’an merupakan bahasa lisan yang dilakukan oleh Allah SWT,

kepada Malaikat Jibril, lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad,

dan akhirnya sampai ke umat Islam. Fazlu Rahman mengatakan

bahwa 14:

Menurut Al-Qur’an sendiri, dan sebagai konsekuensinya menurut umat Islam, Al-Qur’an adalah kalam Allah... Tidak hanya kata Qur’an yang bermakna ‘bacaan’, secara jelas mengindikasikan ini, akan tetapi teks Al-Qur’an itu sendiri menyebutkan pada beberapa tempat bahwa Al-Qur’an diturunkan secara verbal, dan tidak hanya dalam ‘makna’ dan ide saja.

Definisi di atas senada dengan definisi kalam yang dalam definisi

bahasa arab diartikan sebagai ucapan yang tersusun sehingga dapat

dipahami maksudnya. Dalam diskusi kelisanannya, Henry Sweet –

sebagaimana dikatakan oleh Walter J. Ong- menyatakan bahwa se-

buah ‘kata’ tidaklah ada karena dibentuk dari adanya huruf, ataupun

susunan huruf. Akan Tetapi kata tercipta dari unit suara (ucapan)

dengan menampilkan fungsinya 15. Artinya, sebuah ‘kata’ pertama la-

hir dari kelisanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al-

Qur’an pada dasarnya adalah kelisanan.

Al-Qur’an: Mengapa Berbahasa Arab?

Jika dilihat dari fungsi utama bahasa, yakni sebagai alat komu-

nikasi 16, hal ini masih bersifat abstrak dan masih belum memuaskan

pertanyaan tentang subjeknya. Siapa atau apa yang melakukan komu-

nikasi? Apakah manusia semata, atau juga melingkupi komunikasi un-

tuk makhluk lain? Menjawab persoalan-persoalan tersebut, kajian lin-

guistik memberi batasan dalam menangkap objeknya, yakni bahwa

bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang dituturkan oleh manusia

semata, bukan hewan, ataupun selainnya 17. Hal ini karena manusia

14 Fazlur Rahman, Islam: Sejarah: Kritik Pemikiran Dan Perdaban, Terj. M. Irsyad

Rafsadie (Bandung: Mizan, 2017). 15 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 16 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna,

Dan Tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009). 17 Sudaryanto, Linguistik: Esai Tentang Bahasa Dan Pengantar Ke Dalam Ilmu

Bahasa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).

Page 7: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

268 Journal of Islamic Studies and Humanitites

hanya mampu mengkaji dan meneliti serta memahami bahasanya

sendiri, sehingga manusia membatasi bahasa kepada manusia semata.

Al-Qur’an saat menempati posisi kalam ilahi (metafisik), tidak

pernah ada yang mengetahui secara pasti tentang bahasa apa yang

digunakan oleh Allah SWT. Lebih jauh, para pengkaji hanya menge-

tahui bahasa yang melingkupi diri Nabi Muhammad, yakni bahasa

Arab, sehingga dengan ini mereka menyebut Al-Qur’an

menggunakan bahasa Arab. Hal ini sebagaimana –misalnya-

dikatakan oleh Abd Al-Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Nashrud-

din Baidan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang berba-

hasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, secara lafal

maupun maknanya 18.

Al-Qur’an yang berbahasa Arab bukan hanya karena Nabi-nya

menggunakan bahasa tersebut, melainkan untuk merespons bangsa

Arab yang sangat mengagung-agungkan bahasa mereka. Pada pra-Is-

lam, bangsa Arab bahkan lebih mengagungkan dan khusyuk pada

kefashihan syair arab dibandingkan dengan berhala-berhala mereka.

Lebih dari itu, mereka pada pra-Islam, seringkali saling mengejek

berhala mereka, tetapi tidak pernah mengejek kefashihan bahasa

mereka 19. Karena itu, dari segi kebahasaaan (sastra) Al-Qur’an hadir

untuk mengambil ‘perhatian’ bangsa Arab dengan menggunakan ba-

hasa yang mereka gunakan, agar risalah Tuhan dapat tersampaikan

oleh mereka. Inilah yang dimaksud dalam ayat Allah “Kami (Allah)

tidak pernah mengirim seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan kepada mereka” (QS. Ibrahim: 4), lihat

juga penjelasan dalam ayat lainnya dalam Thaha: 113, Asy-Syuara:

195, Yusuf: 2, Az-Zumar: 28, Fushishilat: 3, Asy-Syura: 7, Az-

Zukhruf: 3, dan Al-Ahqaf: 12.

Meski menggunakan bahasa Arab, namun tingkat keindahan dan

keagungan Al-Qur’an jauh melebihi syair-syair bangsa Arab. Inilah

yang menyebabkan Walid Ibnul Mughirah sangat menyanjung bahasa

18 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011). 19 Malik bin Nabi, Fenonema Al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed (Bandung: PT

Alma’arif, 1983).

Page 8: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 269

Al-Qur’an, ia (Walid) mengatakan bahwa “Kalam itu mengandung

kemanisan disertai keindahan”, meski akhirnya Walid menolak kalam

ilahi itu, dan bahkan menyebutnya sebagai sihir 20. Selain itu,

penggunaan bahasa Arab oleh Al-Qur’an sebagai perantara untuk

memudahkan risalah (wahyu) yang hendak disampaikan Tuhan

kepada Manusia. Dalam hal ini –menurut Izutsu- Tuhan menampil-

kan jati dirinya melalui bahasa yang dapat dipahami oleh manusia 21.

Di sini dapat dipahami bahwa bahasa berbeda dengan wahyu, bahasa

menjadi perantara atau alat, sedangkan wahyu adalah spirit atau pesan

Ilahi yang termuat dalam bahasa Al-Qur’an tersebut. Hal ini se-

bagaimana dipaparkan oleh Al-Qur’an bahwa “Sesungguhnya Kami

menjadikannya (yakni Kalam Allah) berupa Qur’an yang berbahasa Arab agar

kamu dapat memahami (pesan-pesannya)” (QS. Az-Zukhruf:3).

Al-Qur’an: dari Lisan ke Tulisan

Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki objek sasaran, adapun

sasaran itu adalah masyarakat Arab sebagai masyarakat pertama yang

ditemuinya 22. Di sisi lain, masyarakat Arab dikenal sebagai masyara-

kat yang tajam hafalannya, tradisi lisan yang kuat menjadikan Al-

Qur’an mudah dihafalnya. Sepanjang masa pewahyuan (22 tahun),

Nabi beserta sahabat-sahabatnya senantiasa menghafalkan Al-

Qur’an, satu dengan lainnya saling mengulang-ulang bacaannya, Nabi

membaca (baca: muraja’ah) di hadapan malaikat Jibri, Sahabat mem-

baca di hadapan Nabi, atau dan sahabat satu dengan lainnya saling

mengahadapkan hafalan, dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar Al-

Qur’an senantiasa terjaga dalam memori masyarakat Islam 23.

20 Nabi. 21 Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron

Syamsuddin (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016). 22 Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu Dan Budaya

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). 23 Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron Syamsuddin.

Page 9: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

270 Journal of Islamic Studies and Humanitites

Selain terus dilakukan penjagaan Al-Qur’an melalui hafalan,

Nabi juga senantiasa memerintahkan sahabatnya untuk mengabadi-

kan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan 24. Dari sini kemudian muncul

nama Zaid bin Tsabit yang dikenal sebagai sekertaris Nabi untuk

menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilafalkan oleh Nabi secara

langsung. Selanjutnya, tradisi menulis Al-Qur’an dikembangkan

dengan mengkodifikasi Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu

Bakar, yang kemudian dilanjutkan sekaligus diseragamkan pada masa

kekhalifahan Utsman bin Affan 25.

Menarik menjadi perhatian bersama tentang proses perpindahan

Al-Qur’an (transmisi) dari lisan (hafalan) ke tulisan (mushaf). Dalam

proses transmisi tersebut, lisan senantiasa berperan secara signifikan

terhadap pemindahan wahyu menuju tulisan. Lebih jauh, bahwa se-

tiap Al-Qur’an yang hendak ditulis, senantiasa merujuk kepada cara

baca yang telah ada (lisan) 26. William Graham –sebagaimana dikutip

Ingrid Mattson- mengatakan bahwa “Perkataan selalu mendahului

tulisan, baik cara kosmis, antropologis, maupun historis”. Sekalipun

telah berbentuk teks (mushaf), ia (Al-Qur’an) senantiasa menjadi

bacaan yang disuarakan. Melalui pembacaan tersebut sehingga kal-

amullah tersebut dapat bertahan sejak Nabi Muhammad sampai

sekarang, bahkan sampai kapanpun selama ia (Al-Qur’an) dibacakan.

Karena itu, untuk mempertahankan keorisinal lisannya, dalam pem-

bacaan Al-Qur’an sangat ditekankan untuk memperhatikan cara baca

Al-Qur’an (qiraat Al-Qur’an) 27.

Cara Baca Yang Beragam: Bukti Kelisanan

Pada proses penulisan Al-Qur’an, masyarakat Arab dalam hal ini

adalah para sahabat menulis Al-Qur’an sesuai Qira’atnya masing-

24 Ali Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia

(Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty, 2012). 25 Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur’an (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). 26 Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah

Pencarian Awal Metodologis).” 27 Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami

Konteks Kisah, Dan Sejarah Al-Qur’an, Terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Penerbit Zaman, 2013).

Page 10: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 271

masing, sehingga pada saat penulisan mushhaf ‘Utsmani, yang

hendak menyeragamkan qira’at untuk masuk dalam mushhaf pada

masanya, mengakibatkan munculnya berbagai kontroversi dari

sahabat, seperti yang terjadi pada Abdullah bin Mas’ud. Menjadi per-

soalan ketika cara baca Al-Qur’an yang dipahami serta yang sering

dilakukan ternyata berbeda dengan cara baca yang dilakukan oleh

orang lain. Lebih jauh, dari perbedaan cara baca Al-Qur’an tersebut,

menjadi problem tersendiri dalam memahamai kandungan Al-

Qur’an sebagai kitab yang utuh, bahkan (boleh jadi) memicu adanya

keraguan atas keorisinal Al-Qur’an, hal ini sebagaimana yang terjadi

pada kasus sahabat Ubay bin Ka’b dan Ubadah bin shamit:

Ubadah bin Shamit bahwa Ubay bin Ka'b berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakan ayat kepadaku, dan aku (Ubadah) membacakannya kepada orang lain dengan selain bacaaan Ubay. Maka aku bertanya padanya, "Siapa yang mem-bacakannya padamu?" Ubay menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang membacakannya padaku." Aku berkata lagi, "Demi Allah, beliau telah membacakannya kepadaku begini dan be-gitu." Ubay lantas menyaut, "Aku tidak pernah merasakan kera-guan idalam Islam semisal saat hari itu, maka aku pun datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah membacakan ayat ini kepadaku begini dan begitu?" Beliau menjawab: "Ya." Ubay berkata, "Orang ini mengatakan bahwa engkau juga telah membacakannya begini dan begitu!" Beliau lalu memukulkan tangannya ke dadaku, hingga aku tidak lagi mendapati karaguan dalam hatiku setelah itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Jibril dan Mikail Alaihimassalam mendatangiku. Jibril berkata, 'Bacalah al Qur`an dengan satu huruf! 'lalu Mika`il berkata, 'Mintalah tambahan, ' lalu Jibril berkata lagi, 'Bacalah dengan dua huruf! 'Mika`il berkata lagi, 'Mintalah tambahan, ' hingga menjadi tujuh huruf. Maka setiap

bacaan adalah sempurna dan mencukupi."28

28 HR. Ahmad nomor 20179, hadits bermakna seperti ini juga diriwayatkan

oleh An-Nasai nomor 932. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.).

Page 11: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

272 Journal of Islamic Studies and Humanitites

Selain itu, perbedaan cara baca juga dapat menyebabkan

seseorang dengan orang lain terjadi kesalahpahaman yang menyebab-

kan pada tindakan kekerasan, ini dapat dilihat pada kasus ‘Umar bin

Khaththab yang hendak mencekik sahabat Ubay bin Ka’b ketika

mendengar Ubay membaca surah Al-Furqan dengan bacaan yang

berbeda dengannya. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, sebagai

berikut:

‘Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam sedang membaca surat Al Furqan di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Maka, ternyata ia membacakan dengan huruf yang banyak yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam be-lum pernah membacakannya seperti itu padaku. Maka aku hampir saja mencekiknya saat shalat, namun aku pun bersabar menunggu sampai ia selesai salam. Setelah itu, aku langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini yang te-lah aku dengan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah shallal-lahu 'alaihi wasallam yang telah membacakannya padaku." Aku ka-takan, "Kamu telah berdusta. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakannya padaku, namun tidak se-bagaimana apa yang engkau baca." Maka aku pun segera menun-tunnya untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Se-lanjutnya, kukatakan kepada beliau, "Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan huruf (dialek bacaan) yang belum pernah Anda bacakan kepadaku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bacalah wahai His-yam." Lalu ia pun membaca dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Begitulah ia diturunkan." Kemudian beliau bersabda: "Bacalah wahai Umar." Maka aku pun membaca dengan bacaan sebagaimana yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Setelah itu, beliau bersabda: "Seperti itulah su-rat itu diturunkan. Sesungguhnya Al Qur`an ini diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Maka bacalah ia, sesuai dengan

dialek bacaan yang kalian bisa."29

29 HR. Bukhari nomor 4608. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sem-

bilan imam hadits.).

Page 12: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 273

Hadits yang seperti kasus di atas (kasus ‘Umar dan Ubay), banyak

diriwayatkan oleh ulama hadits seperti hadits yang diriwayatkan Bu-

khari nomor 2241, Muslim nomor 1354, At-Tirmidzi nomor 2867,

An-Nasai nomor 927, 928, 929, dan 930, Ahmad bin Hanbal nomor

153, 180, 266.30

Fenomena perdebatan-perdebatan di atas adalah gambaran

bahwa ketidaksanggupan seseorang menjangkau hal-hal berbeda

dengannya, dalam hal ini adalah cara baca Al-Qur’an, akan memicu

kesalahpahaman satu sama lain, yang boleh jadi sampai pada tindakan

kekerasan. Berkenaan dengan cara baca Al-Qur’an ini, maka Nabi

sepanjang hidupnya selalu memberi tahukan bahwa Al-Qur’an tidak

hadir dalam satu bacaan, tetapi lebih dari satu. Lebih jauh, cara bacaan

yang berbeda-beda tersebut ada yang menyebutkan tujuh ragam

bacaan, tiga belas, dan seterusnya. Berapapun itu, yang jelas, ragam

bacaan Al-Qur’an bukanlah satu.

Lebih jauh lagi, Nabi selalu membuka diri untuk membaca Al-

Qur’an sesuai ‘kesanggupan’ sahabatnya. Dengan kata lain bahwa

Nabi membolehkan atau mengiyakan qira’at (bacaan) Al-Qur’an yang

dibaca oleh sahabat-sahabatnya. Pembolehan Nabi atas bacaan para

sahabat yang berbeda-beda itu, menurut penulis, disebabkan karena

Nabi Sendiri yang menimbulkan perbedaan itu ketika hendak diberi-

kan wahyu kepada malaikat Jibril. Nabi meminta agar Al-Qur’an tidak

hanya bisa dibaca dengan satu qira’at, tetapi beliau meminta agar Al-

Qur’an dapat dibaca lebih dari satu bacaan. Perhatikan hadits Nabi

sebagai berikut:

"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan)." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Al-lah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan

30 Hadits-hadits ini sesuai yang tercantum pada Lidwa Mausua i-Software-

kitab sembilan imam hadits.

Page 13: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

274 Journal of Islamic Studies and Humanitites

mampu akan hal itu." Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga ka-linya seraya berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf." Beliau bersabda "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan

mereka benar." 31

Selanjutnya, dari perbedaan cara membaca Al-Qur’an tersebut

kemudian tidak menutup kemungkinan memicu munculnya

perbedaan dalam memahami isi kandungan Al-Qur’an. Misalnya

pada kata كمdengan harakat fatha pada huruf) وأرجل lam), ada juga yang

membacanya dengan وأرجلكم (dengan harakat kasrah pada huruf lam).

Pada kata pertama dipahami bahwa kaki harus dibasuh, hal ini karena

kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat م ,Tetapi .وجوهك

jika di baca kasrah, sebagaimana disebutkan di atas, maka kaki tidak

harus dibasuh, melainkan cukup mengusapnya. Hal ini karena

kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat م .32 برءوسك

Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa cara baca yang

berbeda dapat menimbulkan pemahaman kandungan Al-Qur’an

yang berbeda pula, dan karena itu apa yang tertera dalam mushaf

(‘Utsman) yang sekarang dijumpai dan tersebar di mana-mana tidaklah

menjadi satu-satunya kunci dalam memahami kandungan Al-Qur’an,

apalagi menjadikannya ‘alasan’ untuk menyalahkan bacaan dan

pemahaman lainnya yang tidak sama dengannya. Lebih jauh, bahwa

banyaknya ragam bacaan Al-Qur’an merupakan bukti tersendiri ten-

tang kehadiran Al-Qur’an yang pada mulanya ada dan disebarkan da-

lam bentuk lisan. Dari sini, pembacaan Al-Qur’an yang beragam itu

31 HR. Muslim nomor 1355, hadits yang bermakna seperti ini juga dapat

dilihat pada hadits riwayat Ahmad nomor 2582, 2713, 19529, 19609. 32 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern. Terj. M. Alaika

Salamullah, Dkk (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2010).

Page 14: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 275

merupakan perantara atau strategi Nabi dalam menyampaikan risa-

lah-Nya, dengan kata lain, bahwa fokus Nabi Muhammad adalah pe-

san yang terkandung dalam Al-Qur’an, bukan teksnya.

Struktur Kelisanan Al-Qur’an

Al-Qur’an, menurut Neal Rabinson, mengandung irama yang

jelas –terutama di akhir ayat 33, di mana irama tersebut merupakan

satu kekhasan tersendiri yang dimiliki dalam tradisi lisan 34. Bentuk

irama Al-Qur’an dapat dijumpai sejak QS. al-Alaq: 1-5, yang menurut

Asy-Syuyuthi dan mayoritas ulama Al-Qur’an, merupakan wahyu

pertama yang diturunkan pada masa pewahyuan, tepatnya di gua

Hira, Mekkah. Ketika itu, Muhammad sering menyendiri dan

beribadah di gua Hira, hingga satu malam datang malaikat Jibril dan

menyampaikan QS. al-Alaq: 1-5.35

رأ ن خلق . خلق ٱلذي رب ك بٱسم ٱق نس . علق من ٱل

رأ ٱق

رم وربككأ قلم علم ٱلذي . ٱلأ ن علم . بٱلأ نس لمأ ل ما ٱل ي عأ

Berdasarkan iramanya, dalam lima ayat di atas terlihat irama yang

terdapat setiap akhir ayat, terutama ketika ia dibaca (disuarakan).

Irama tersebut dijumpai antara ayat satu dan dua, ayat tiga-empat-

lima. Neal Robinson menjelaskan, misalnya, bahwa irama yang

dibawa oleh ayat satu dan dua hanya dibedakan di awal kata khalaq

dan alaq: huruf kh dan ‘ain. Dalam hal pemahamannya, kata khalaq

(penciptaan) dan alaq (segumpal darah) dalam bahasa Arab

mengandung keselarasan makna 36. Selain itu, penggunaan pola

33 Neal Robinson, Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a Velled

Text (Wadhington: Georgetown University Press, 2003). 34 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 35 Penjelasan ini berdasarkan Hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat,

misalnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui riwayat Yahya bin Bukai ia ber-kata “Telah menceritakan kepada kami dari al-Laits dari ‘Uqail Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari Aisyah. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari, kitab Per-mulaan Wahyu, bab Permulaan Wahyu, nomor hadis 3. Lihat juga dalam riwayat Muslim, kitab Iman, bab Permulaan Wahyu untuk Rasulullah SAW, nomor hadis 231 dan 232. Dalam Lidwa Pusaka i-Software-Kitab 9 Imam Hadis.

36 Robinson, Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a Velled Text.

Page 15: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

276 Journal of Islamic Studies and Humanitites

redaksi yang menggunakan epitet dalam menandai konsep Tuhan

dalam ayat pertama ( ك Epitet yang dimaksud adalah Yang .( رب

menciptakan. Penggunaan epitet dalam tradisi lisan digunakan

untuk menguatkan ingatan yang telah ada. Karena itu, dalam tradsi

lisan, seseorang lebih memilih ungkapan prajurit yang gagah

berani daripada hanya prajurit 37. Dengan demikian, ungkapan

Tuhan dalam ingatan akan selalu Yang menciptakan selamanya.

Sampai di sini, paparan di atas memberikan pemahaman bahwa

sekalipun Al-Qur’an yang dijumpai telah berada dalam bentuk

tulisan (mushaf), akan tetapi struktur kelisanannya yang khas

masih dapat ditemukan.

Tekstualitas Al-Qur’an: Akar Keragaman Pemahaman

Seringkali ditemukan perdebatan tentang kandungan ajaran

agama,–misalnya- ada yang berpendapat jilbab itu wajib, ada juga

yang berpendapat tidak wajib, ada yang mengatakan hukuman bagi

pencuri adalah dipotong tangan, ada juga yang mengatakan bukan

potong tangan, ada yang mengatakan bahwa perempuan yang

menikah harus memiliki wali, ada juga yang mengatakan tidak perlu,

dan seterusnya. Semua perdebatan ini pada dasarnya disebabkan oleh

teks agama (baca: Al-Qur’an) itu sendiri. Dalam ulumul Qur’an

dikenal –misalnya- qath’i atau zanni¸ muhkam atau mutasyabih, ‘am atau

khash, semuanya dikenal sebagai pilihan-pilihan antara keterbatasan

atau kebebasan dalam memahami kandungan teks.

Senada dengan persoalan di atas, Ali bin Abi Thalib pernah

mengatakan –sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi- bahwa ka-

rena Al-Qur’an telah menjadi tulisan dalam mushaf, maka ia akan

menimbulkan perbedaan pemahaman, hal ini disebabkan Al-Qur’an

tidak dapat menjelaskan dirinya, akan tetapi manusialah (baca: pem-

baca teks) yang memahami teks tersebut, berdasarkan kapasitas

keilmuannya 38. Semenjak Al-Qur’an berbentuk tulisan, ia mengalami

37 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 38 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan

Lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2017).

Page 16: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 277

keterbukaan makna, sehingga siapapun dapat menyandarkan pema-

hamannya atas teks agama tersebut. Dari sini, kemudian setiap orang

memiliki peluang yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an.

Jika demikian adanya, maka bagaimana mungkin dibolehkan untuk

menutup makna Al-Qur’an pada satu pemahaman semata?

Dalam wacana Al-Qur’an, dijelaskan bahwa huruf-hurufnya

memiliki kandungan yang sangat besar. Digambarkan bahwa setiap

huruf seperti besarnya satu gunung Qaf, yang satu haruf tersebut

hanya Allah yang lebih mengetahui maknanya 39. Penggambaran hu-

ruf Al-Qur’an seperti sebuah gunung, disebabkan karena gunung

merupakan ciptaan terbesar dalam dunia ini. Di saat yang sama,

manusia memiliki pemahaman yang sangat terbatas. Sehingga, hal ini

menandakan ketidak mampuan manusia memastikan makna yang

terungkap dalam teks agama tersebut. Jika faktanya demikian, maka

pertanyaan yang mesti direnungi adalah bagaimana mungkin pema-

haman manusia –yang terbatas- dapat menggapai kesempurnaan teks

ajaran agama tersebut? Seperti inilah kenyataan tekstualitas Al-

Qur’an, ia dipenuhi dengan teka-teki yang sangat mengagumkan,

sekaligus sangat mencemaskan. Akhirnya, yang terjadi pada manusia,

hanya memahami sekelumit ajaran yang terkandung dalam teks

agama tersebut.

Kontekstual: Jati Diri Kelisanan Al-Qur’an

Fenomena transmisi Al-Qur’an dari lisan ke tulisan penting men-

jadi perhatian. Hal ini disebabkan terdapat bagian penting tentang

kelisanan yang ternyatan tidak ditemukan saat Al-Qur’an itu telah

menjadi tulisan, di antaranya adalah persoalan konteks yang meling-

kupinya. Dari wacana konteks inilah kemudian menimbulkan banyak

perdebatan dari umat, bahkan kalangan pengkaji ajaran Islam sendiri-

pun. Ada sangat banyak kajian telah menyinggung permasalahan

perlu atau tidaknya kesadaran tentang konteks pada Al-Qur’an. Per-

masalahan tersebut kemudian memunculkan konflik yang tidak

39 Zaid, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema.

Page 17: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

278 Journal of Islamic Studies and Humanitites

cukup berhenti pada rana wacana saja, tetapi bahkan sampai tindakan

kekerasan.

Dalam kajian ulumul Al-Qur’an dikenal kajian konteks 40. yang

disebut asbabun nuzul, yakni segala sesuatu yang menyebabkan mun-

culnya ayat 41. Dari Pengertian mendasar tersebut menunjukkan

adanya konteks nyata yang melingkupi kedua sumber ajaran Islam

tersebut. Tetapi kenyataannya, sisi ‘sebab-sebab’ munculnya teks ter-

sebut masih menjadi persoalan serius. Pasalnya ada yang memahami

ajaran Islam melalui teks sembari memerhatikan unsur sebab

kemunculannya, tetapi ada juga yang masa bodoh dengan unsur

sebab kemunculan teks tersebut. Persoalan ini terus berlangsung ka-

rena tidak ada kesepakatan dari kedua pihak dalam membaca kedua

teks Al-Qur’an tersebut. Dalam wacana konteks, terdapat perbedaan

yang sangat signifikan antara konteks yang dimiliki oleh lisan, dan

konteks yang dimiliki oleh tulisan. Konteks yang lahir dalam per-

kataan lisan menuntut masa kini, yakni ruang konteks yang sama an-

tara penutur dan pendengar. Sementara konteks dalam tulisan men-

ciptakan jarak dan tempat yang berbeda antara penulis dan pembaca 42.

Lebih jauh, konteks dalam wacana kelisanan menjadikan lisan

untuk bertindak sebagai kesaksian, kesaksian ini mengikuti konteks

dari penutur. Sebaliknya, bahasa tulisan –dalam hal ini adalah sebuah

teks- hanya dapat menjadi saksi, tetapi tak dapat memberi kesaksian 43. Hal ini karena tulisan tidak memiliki konteks yang jelas, atau biasa

dikenal sebagai bebas konteks. Tidak jelasnya konteks dalam tulisan,

menjadikan ajaran yang disampaikan dalam sebuah teks lebih sulit

dipahami dibanding dalam bentuk lisan, bahkan akibatnya dapat

menyebabkan makna yang lahir dari tulisan bersifat kabur 44. Dari

40 Zaid. 41 Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). 42 Ong, Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. 43 Vansina, Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk. 44 Ferdinand de Saussure, Pengantar Lingiustik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988).

Page 18: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 279

makna yang kabur inilah sehingga memahami teks sulit –jika enggang

mengatakan tidak dapat- secara sempurna.

Memahami Al-Qur’an melalui tulisan menyebabkan munculnya

tindakan mereka-reka konteks yang terdapat pada ajaran Islam terse-

but. Persoalannya kemudian, seberapa besar kemiripan hasil ‘mereka-

reka’ itu terhadap kenyataannya? Tentu ini pertanyaan penting dan

bahkan merupakan keharusan untuk mempertanyakannya, sehingga

terjadi upaya untuk membuka konteks dari teks agama tersebut.

Sebab, jika tidak demikian, maka akan ada sangat banyak kemung-

kinan-kemungkinan konteks yang tercipta ketika teks itu dibaca.

Inilah yang menyebabkan terjadinya pemahaman yang beragam pada

teks yang sama. Artinya memahami teks Al-Qur’an harus

mengembalikannya pada rana kelisanan Al-Qur’an, yang

disampaikan dengan konteks tertentu yang melingkupi kehadiran

teks tersebut.

Yang menjadi catatan penting bahwa upaya-upaya yang

dilakukan Nabi selama masa penyebaran ajaran Islam terjadi

beriringan dengan keadaan konteks yang dihadapinya –sebagaimana

dijelaskan sebelumnya. Sehingga setiap wahyu (baca: Al-Qur’an)

senantiasa saling merespons atau berdialog oleh keadaan disekitar

Nabi. Karena itu, melihat konteks kehidupan Nabi, konteks masyara-

kat Arab secara umum, menjadi keharusan, hal ini agar dapat

menemukan spirit atau pesan yang hendak disampaikan Allah dalam

Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat dipahami sesuai jati

dirinya, yakni pedoman hidup yang berdasar kelisanan.

Penutup

Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

kelisanan adalah anak kandung dan utama sejak awal kehadiran Al-

Qur’an kehadiran Al-Qur’an, hal ini mengindikasikan kajian Al-

Qur’an dengan berbasis kelisanan tidak boleh diabaikan dalam

diskursus Al-Qur’an. Diskursus kelisanan Al-Qur’an bahkan terlihat

penamaannya sebagai Al-Qur’an. Hingga Al-Qur’an berbentuk

tulisan (mushaf) yang hari ini ditemui umat Islam, akan tetapi struktur

kelisanan masih dapat dijumpai dengan jelas. Dengan struktur

Page 19: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

280 Journal of Islamic Studies and Humanitites

kelisanan tersebut, maka tentu menghadirkan pemahaman yang khas

kelisanan, sebagaimana masa pewahyuannya yang dipahami oleh

Nabi Muhammad sebagai penutur dan masyarakat Arab sebagai

lawan tutur.

Kemunculan perbedaan pemahaman atas Al-Qur’an berawal

dari ketika Al-Qur’an itu dalam bentuk tulisan (mushaf), hal ini

dikarenakan tulisan telah terbuka untuk dipahami secara leluasa

(open public), terlebih lagi setiap huruf Al-Qur’an diyakini

kandungannya seperti satu gunung qaf. Maka tidak heran jika muncul

berbagai pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an. Pembacaan

konteks dalam membuka kandungan Al-Qur’an menjadi sesuatu

yang harus terjadi, oleh karena kandungan (spirit) Al-Qur’an melekat

erat dengan konteks masyarakat Arab yang ditemuinya. Sehingga

‘membaca’ Al-Qur’an tanpa memerhatikan konteks kehadiran Al-

Qur’an, dan konteks Arab secara umum adalah sebuah kegagalan

dalam mengungkap makna Al-Qur’an. Lebih jauh, menafsirkan Al-

Qur’an adalah membuka makna Al-Qur’an dengan mendialogkan

konteks penafsir, konteks turunnya Al-Qur’an dan teks Al-Qur’an itu

sendiri.

Daftar Pustaka

Al-Kawwaz, Muhammad Karim. Kalam Allah: Al-Janib Al-Syafahi Min

Al-Zahirah AlQur’aniyyah. Beirut: Dar al-Saqi, 2002.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka

Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Athaillah. Sejarah Al-Qur’an: Verfikasi Tentang Otensitas Al-Qur’an.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011.

Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Erlangga,

2010.

Page 20: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Diskursus Kelisanan Al-Qur’an: Membuka Ruang Baru

Vol. 4, No. 2 (2019) 281

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern. Terj. M.

Alaika Salamullah, Dkk. Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press,

2010.

Graham, William. “Al-Qur’an Sebagai Firman Yang Diucapkan:

Kontribusi Islam Untuk Memahami Kitab Suci.” In Pendekatan

Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Baidhawy,

edited by Richard C. Martin. Yogyakarta: SUKA-Press, 2001.

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,

Makna, Dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

HS, Muh Alwi. “Dewasa Dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah

Wacana Dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran Al-Qur’an.”

Millati: Journal of Islamick Studies and Humanities 2, no. 1 (2017).

Kholis, Nur. Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits. Yogyakarta:

Teras, 2008.

Mattson, Ingrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami

Konteks Kisah, Dan Sejarah Al-Qur’an, Terj. R. Cecep Lukman

Yasin. Jakarta: Penerbit Zaman, 2013.

Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam

Rahmatan Lil ‘Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis, 2017.

Nabi, Malik bin. Fenonema Al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed. Bandung: PT

Alma’arif, 1983.

Ong, Walter J. Kelisanan Dan Keaksaan. Terj. Rika Iffati. Yogyakarta:

Penerbit Gading, 2013.

Rafiq, Ahmad. “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi

(Sebuah Pencarian Awal Metodologis).” In Islam, Tradisi Dan

Peradaban. Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012.

Rahman, Fazlur. Islam: Sejarah: Kritik Pemikiran Dan Perdaban, Terj. M.

Irsyad Rafsadie. Bandung: Mizan, 2017.

Robinson, Neal. Discovering the Qur’an a Contemporary Approach to a

Velled Text. Wadhington: Georgetown University Press, 2003.

Page 21: DISKURSUS KELISANAN AL-QUR’AN: MEMBUKA RUANG BARU

Muhammad Alwi HS, Nur Hamid

282 Journal of Islamic Studies and Humanitites

Romdhoni, Ali. Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia.

Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty, 2012.

Saeed, Abdullah. Pengantar Studi Al-Qur’an, Terj. Shulkhah Dan Sahiron

Syamsuddin. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016.

Saussure, Ferdinand de. Pengantar Lingiustik Umum. Terj. Rahayu S.

Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988.

Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu Dan Budaya.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Sudaryanto. Linguistik: Esai Tentang Bahasa Dan Pengantar Ke Dalam

Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.

Vansina, Jan. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terj. Astrid Reza, Dkk.

Yogyakarta: Ombak, 2014.

Zaid, Nasr Hamid Abu. Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema.

Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003.