Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di ... · tebu, dan dinamika konflik yang...
Transcript of Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di ... · tebu, dan dinamika konflik yang...
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
1
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan Studi Kasus : BKPH Pandean, Perum Perhutani KPH Ngawi
The Dynamic of Conflict in the AgriBusiness of Sugar Cane in Dry Land Forests Case study on Pandean Village, Pandean BKPH, Perum Perhutani KPH Ngawi
Teguh Yuwono
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 55281
A b s t r a c t
This research was aimed to map those who were involved in the programme as well as its
conflict dynamic. Besides, the study was intended to discover the impact brought about by the
programme upon the quality of the teak forests ‘growth.
The research findings indicated that those who were directly involved in this programme were
Perum Perhutani as the manager of the forest land, sugar cane entrepreneurs as investors (about local
investors and non-local investors), and the community, as cheap workers, surrounding the forest.
Besides those three, sugar cane factory and investors from other regencies were also involved.
Perhutani’s field-officials were the key actors playing the roles especially in th expansion of the
illegal sugar cane business.
With the sugar cane programme thriving, young teak forests have not grown-well with sugar
cane. The procentage of living teak trees in the sugar cane field was only 69.7%, with only 27 cm in
height on the average. Different from this, the procentage of the living teak tress in tumpangsari field
was 96.4% with 73.9 cm in height on the average.
The local community’s roles is as mere workers, who have no capitals, sufficient to support
them to be actively involved in the programme.
Keyword : agribusiness, sugar cane, conflict dynamic
Alamat korespondensi : [email protected];[email protected]
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1965-an hutan di BKPH Pandean KPH Ngawi mengalami kerusakan yang
cukup parah karena adanya peningkatan gangguan keamanan hutan. Akibatnya sejak saat itu
tegakan hutan di wilayah BKPH Pandean di dominasi kelas hutan umur muda. Luas kelas
hutan tidak produktif berupa Tanah Kosong (TK) dan Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang
(TJBK) semakin meningkat. Kerusakan hutan di wilayah ini semakin diperparah dengan aksi
penjarahan hutan pasca tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 – 2000 yang mengakibatkan
meluasnya hamparan TK dan TJBK lebih dari seribu hektar (Anonim, 1999).
Mengingat pembiayaan Perum Perhutani untuk melakukan rehabilitasi hutan sangat
terbatas, sampai tahun 2001/2002 kegiatan penanaman hutan di wilayah BKPH Pandean
belum selesai. Masih banyak areal tanah kosong yang dibiarkan terbengkalai. Pada saat yang
bersamaan di tahun 2001, di wilayah BKPH Tangen KPH Surakarta digalakkan budidaya
agribisnis tebu lahan kering yang dikemas dengan pola PHBM Agribisnis Tebu, kerjasama
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
2
Pemerintah Kabupaten Sragen, Pabrik Gula (PG) Mojo Sragen, dan KPH Surakarta. (Anonim,
2001). Terimbas program penanaman tebu lahan kering di hutan BKPH Tangen KPH
Surakarta itulah, mulai tahun 2001 di wilayah BKPH Pandean, KPH Ngawi-- yang berbatasan
langsung dengan BKPH Tangen -- dikembangkan budidaya tebu lahan kering.
Di lain pihak, seiring dengan gaung program PHBM, mulai tahun 2003 di wilayah
Perum Perhutani KPH Ngawi digulirkan implementasi program PHBM dengan pendekatan
petak pangkuan hutan, artinya setiap desa hutan memiliki petak-petak hutan sesuai batas
wilayah administratif desanya. Melalui pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ngawi, Konsorsium LSM
PHBM Kabupaten Ngawi, dan Perum Perhutani secara perlahan tumbuh kesadaran
masyarakat desa hutan akan hak-haknya dalam pengelolaan hutan. Mengingat sebagian besar
petak wengkon sudah beralih fungsi menjadi lahan tebu, pada tahun 2005 mencuat konflik
horisontal antara LMDH dengan para pengusaha tebu. Beberapa LMDH di wilayah BKPH
Pandean menuntut hak kelola atas wilayah petak pangkuan hutan (wengkon) sesuai dengan isi
perjanjian kerjasama PHBM antara LMDH dengan Perhutani, padahal kenyataan di lapangan
petak tersebut telah ditanami tebu.
Permasalahan antara LMDH dengan pengusaha tebu sendiri sebenarnya dipicu adanya
“penanaman tebu secara illegal” oleh pengusaha tebu. Penanaman tebu dikatakan ”ilegal”
karena kegiatan penanaman tersebut dilakukan oleh pengusaha tebu di lahan hutan tanpa
melalui prosedur kerjasama resmi dengan pihak Perhutani. Secara garis besar ada dua modus
penanaman tebu ilegal yaitu pertama penanaman tebu pada kawasan hutan yang berstatus
Tanah Kosong dengan menggunakan ”ijin” petugas Perhutani di lapangan, tanpa melalui
perjanjian kerjasama resmi dengan Perum Perhutani di tingkat KPH, kedua pengusaha tebu
masih melakukan pemeliharaan di areal agribisnis tebu tahun tanam 2001 dan/atau 2002 pada
tahun 2005/2006, padahal berdasarkan perjanjian kerjasama agribisnis tebu di tahun tersebut
masa berlaku perjanjian sudah berakhir. Keberanian pengusaha tebu untuk menanami lahan
hutan dengan tebu tanpa perjanjian kerjasama tersebut diindikasikan melibatkan kerjasama di
bawah tangan dengan “oknum petugas Perhutani” di tingkat lapangan.
Berkaitan dengan dinamika permasalahan yang melingkupi program agribisnis tebu
tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui interaksi para pihak dalam agribisnis
tebu, dan dinamika konflik yang terjadi dalam program agribisnis tebu. Penelitian ini juga
ingin menggali dampak agribisnis tebu bagi kelestarian hutan. Apakah budidaya tebu di lahan
hutan mampu menjamin kelestarian hutan ataukah menjadi salah satu faktor yang
menghambat tercapainya kelestarian hutan.
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
3
TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya tanaman tebu sudah berkembang di Indonesia semenjak jaman penjajahan,
khususnya saat pemerintah Hindia Belanda membangun perkebunan secara besar-besaran di
Jawa melalui program cultuurstelsel tahun 1830-an. Selama lebih dari satu abad Indonesia
mengalami swasembada dan menjadi eksportir gula yang kuat. (Simon, 2005). Umumnya
budidaya tebu dilakukan pada daerah-daerah yang cukup pengairannya, karena tebu termasuk
tanaman yang membutuhkan cukup air khususnya pada saat pertumbuhan. Secara umum, daur
produktif tanaman tebu umumnya 4 – 5 tahun, dimana pada tahun ke-4 atau ke-5, tanaman
tebu ditebang dan kemudian dibongkar/diganti dengan bibit tanaman baru karena
produktifitasnya sudah menurun (Sutardjo, 2005).
Pasca kemerdekaan, tepatnya tahun 1950-an Pemerintah Republik Indonesia
mengaktifkan kembali 30 pabrik gula (PG) dengan lahan tebu seluas 27.783 Ha dan
produktifitas 9.4 ton/Ha. Seiring dengan waktu, karena kesulitan memperoleh lahan lokasi
perkebunan tebu, untuk menjamin ketersediaan bahan baku tebu bagi pabrik gula pada tahun
1975 dikeluarkan Inpres No. 9 tahun 1975 tentang Intensifikasi Tebu Rakyat (Program TRI).
Dengan program TRI tersebut berhasil meningkatkan luas lahan tebu dari 104.777 Ha pada
tahun 1975 menjadi 188.772 Ha pada tahun 1980 dan produksi gula naik dari 1.035.052 ton di
tahun 1975 menjadi 1.249.946 ton pada tahun 1980. ((Isma’il, 2001).
Karena faktor semakin sulitnya mencari areal-areal yang memiliki pengairan yang
cukup, dan dilain pihak ditemukannya varietas tebu yang mampu hidup di lahan kering, untuk
memacu peningkatan produksi tebu menuju swasembada gula pada tahun 1980 dikeluarkan
program Peningkatan Produksi Gula yang Dipercepat melalui lahirnya Keputusan Menteri
Pertanian No. 941/1980 tentang pengembangan tebu di lahan sawah dan lahan kering. Mulai
saat itulah dikembangkan budidaya tebu di lahan kering dengan pengairan yang terbatas
(Sutardjo, 2005).
Dari perluasan areal tanaman tebu di lahan kering pada tahun 1988 tersebut luas
perkebunan tebu mendapat tambahan lahan baru seluas 10.000 Ha, dan pada akhir Pelita V
akan ditingkatkan menjadi 140.000 Ha. Namun perluasan budidaya tebu di lahan kering
tersebut menghadapi berbagai kendala yaitu pertama produktifitas tebu di lahan kering lebih
rendah apabila dibandingkan dengan produktiftas di lahan sawah irigasi; kedua keterbatasan
persediaan air untuk pertumbuhan tanaman, dan ketiga umumnya terletak di daerah miring
hingga terjal sehingga memerlukan upaya konservasi tanah yang memadai. Kendala di atas
mengakibatkan budidaya tebu di lahan kering mengalami perbedaan dengan budidaya tebu di
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
4
lahan sawah dalam hal waktu dan cara pengolahan lahan, waktu tanam, dan pembagian petak
pertanaman dan jaringan saluran drainase (Wardojo, 1996).
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, dilakukan reformasi besar-besaran pada
kebijakan pergulaan nasional, dimana Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang program TRI dicabut
melalui Inpres No. 5/1998 karena dianggap tidak berhasil membuat petani mandiri.
Pemerintah kemudian memberika kebebasan pada petani untuk memilih komoditi dan cara
budi daya tebu. Di samping itu program bimbingan masal (BIMAS) diganti pola kemitraan,
dimana pabrik gula menjadi Pemimpin Kerja Operasional Lapangan (PKOL) dengan
koordinasi Dinas Perkebunan (Anonim, 1999). Penghapusan proram TRI inilah yang saat ini
menjadi salah satu faktor yang mengancam keberlangsungan industri pergulaan nasional,
selain faktor usia mesin yang semakin tua.
Untuk menyelamatkan industri gula, selain melakukan peremajaan mesin, Pemerintah
mencari terobosan baru untuk mendapatkan tambahan bahan baku tanaman tebu. Wacana
yang berkembang adalah pembukaan areal perkebunan tebu di luar Jawa atau pengembangan
budidaya tebu dilahan- lahan kering. Mengingat lokasi pabrik gula sebagian besar ada di
Jawa, tidaklah efisien apabila lokasi perkebunan tebu di luar Jawa, sehingga alternatif yang
dipilih adalah perluasan areal tebu lahan kering di Jawa.
Menindaklanjuti kebijakan pengembangkan budidaya tebu di lahan kering, pada tahun
2001 Departemen Pertanian mulai melakukan kesepakatan kerjasama dengan beberapa
BUMN, salah satunya Perum Perhutani untuk pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif
untuk digunakan sebagai lokasi budidaya tanaman tebu lahan kering. Secara umum kebijakan
tersebut tidaklah salah, karena pada saat itu banyak kelas hutan yang tidak produktif di
kawasan hutan negara yang kelola Perhutani, sebagai dampak dari penjarahan hutan tahun
1998 – 2000, yang tidak mungkin bisa direboisasi dalam waktu singkat.
Di daerah, kebijakan tingkat nasional untuk mengamankan pasokan bahan baku tebu
menuju swasembada gula tersebut ditindaklanjuti dengan adanya kesepakatan antara Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jawa Tmur dengan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
dimana Perum Perhutani diharapkan mampu menyediakan areal kawasan hutan untuk lokasi
budidaya tanaman tebu lahan kering. Salah satu lokasi yang ditetapkan menjadi lokasi
budidaya tebu lahan kering adalah wilayah Perhutani KPH Ngawi. Adanya dukungan politik
dan kebijakan nasional untuk mengembangkan budidaya tebu menuju swasembada gula
tersebut membuat budidaya tebu lahan kering di kawasan hutan berkembang sangat pesat.
Hanya dalam waktu beberapa tahun luas lahan hutan di KPH Ngawi yang beralih fungsi
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
5
menjadi kawasan budidaya tebu ini berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan hektar, yang
terutama berpusat di wilayah BKPH Pandean.
METODE PENELITIAN
Lokasi & Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah BKPH Pandean KPH Ngawi. Alasan
pengambilan lokasi penelitian tersebut dengan pertimbangan wilayah ini merupakan salah
satu lokasi budidaya agribisnis tebu yang paling luas di wilayah KPH Ngawi, melibatkan
banyak pengusaha tebu, dan pernah terjadi konflik antar masyarakat dengan pengusaha tebu.
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth
interview) dengan beberapa pihak yaitu pengusaha tebu, petugas Perhutani, dan masyarakat
desa hutan baik pengurus LMDH maupun para pesanggem untuk mendapatkan gambaran riil
tentang ragam pihak yang terlibat, bentuk keterlibatan para pihak, dan dinamika konflik yang
terdapat dalam agribisnis tebu. Sedangkan untuk mengetahui dampak agribisnis tebu terhadap
pertumbuhan tegakan dilakukan dengan membandingkan prosen jadi dan rata-rata tinggi
tanaman tebu yang ditanam dengan pola tumpangsari maupun pola agribisnis tebu. Data
sekunder yang berhubungan dengan budidaya tebu dikumpulkan dari kantor BKPH Pandean,
dan Perum Perhutani KPH Ngawi, khususnya perjanjian kerjasama agribisnis tebu dan
laporan kemajuan program agrbisnis tebu yang disepakati para pihak dalam kerjasama
tersebut.
Metode Analisis Data
Metode dasar analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Menurut Nazir, (2003) metode deskriptif digunakan untuk mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta
situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandngan-
pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.
Untuk mengetahui ragam dan keterkaitan antar pihak dalam agribisnis tebu, serta
memetakan para pihak dan dinamika konflik yang terjadi dalam program ini dilakukan
analisis stakeholders. Dengan pendekatan metode ini diharapkan dapat mengambarkan
hubungan/keterkaitan para pihak, akar permasalahan yang terjadi, dan upaya resolusi konflik
yang pernah dilakukan. Sedangkan untuk mengetahui dampak/pengaruh agribisnis tebu
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
6
terhadap kondisi pertumbuhan tegakan pohon dilakukan dengan metode komparasi, yaitu
membandingkan kondisi pertumbuhan tegakan di areal petak agribisnis tebu dengan petak
tumpangsari biasa.
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
I. Potret Agribisnis Tebu di KPH Ngawi
a. Tahun 2001 – 2002
Perkembangan agribisnis tebu di kawasan hutan KPH Ngawi tahun 2001 ditandai
dengan adanya Perjanjian Kerjasama Agribisnis Tebu antara Perum Perhutani KPH Ngawi
selaku Pihak Kesatu, Investor (Pemodal) selaku Pihak Kedua, dan Kelompok Tani Hutan
(KTH) sebagai Pihak Ketiga pada bulan Agustus 2001. Pada tahun 2001 kegiatan agribisnis
tebu di kawasan hutan KPH Ngawi mengambil lokasi di 11 RPH, 6 BKPH dengan total luas
237.08 Ha dan melibatkan 15 mitra usaha (investor), yang tersebar di 8 desa, 5 kecamatan, 2
kabupaten. Dalam perjanjian kerjasama agribisnis tebu tahun 2001 disepakati bahwa sistem
bagi hasil produksi tanaman berdasarkan kesepakatan bersama, dan mulai tahun ke-3 setelah
panen tebu masa tanam 2003 – 2004 akan dilakukan penanaman tanaman kehutanan pada
petak lokasi agribisnis tebu dengan jarak tanam 6 x 2 meter.
Pada tahun 2002, kegiatan agribisnis tebu di kawasan hutan KPH Ngawi mengalami
peningkatan baik luas maupun sebaran lokasi. Apabila di tahun 2001 kegiatan agribisnis tebu
hanya tersebar di 11 RPH pada 6 BKPH dengan total luas 237.08 Ha, maka di tahun 2002
areal agribisnis tebu meningkat menjadi 392.25 Ha, dan tersebar di 15 RPH pada 7 BKPH
yang termasuk wilayah administratif 17 desa di 6 kecamatan dan 2 kabupaten, dengan
melibatkan 24 mitra usaha (investor), dimana 9 diantaranya merupakan investor baru.
Pada perjanjian kerjasama agribisnis tebu tahun 2002 – 2006, pihak-pihak yang
terlibat dalam kerjasama agribisnis tebu masih sama dengan tahun 2001 yaitu Perum
Perhutani sebagai Pihak Kesatu, Investor/Pemodal sebagai Pihak Kedua, dan Kelompok Tani
Hutan sebagai Pihak Ketiga. Perbedaan utama perjanjian kerjasama agribisnis tebu tahun
2002 dibandingkan perjanjian tahun 2001, adalah adanya perubahan waktu penanaman dan
pola tanam tanaman kehutanan untuk kerjasama agribisnis tebu tahun 2002 - 2006.
Berdasarkan perjanjian kerjasama agribisnis tebu tahun 2002, pelaksanaan penanaman
tanaman kehutanan dilaksanakan langsung pada tahun ke-1 (tahun 2002), bukan setelah masa
panen tahun ke-3, menggunakan pola tanam PLONG-PLONGAN atau STRIP dengan pola
85% untuk lahan tebu dan 15% untuk lahan tanaman kehutanan.
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
7
b. Tahun 2003 – 2005
Selama kurun waktu tahun 2003 – 2005, secara de-jure Perum Perhutani KPH Ngawi
tidak pernah melakukan perjanjian kerjasama baru agribisnis tebu. Sehingga seharusnya tidak
ada penambahan lokasi agribisnis tebu di lapangan. Akan tetapi kenyataan di lapangan
menunjukkan fakta sebaliknya. Semenjak tahun 2001 banyak bermunculan tanaman tebu
diluar perjanjian resmi (tebu illegal), dengan eskalasi yang terus meningkat dari waktu ke
waktu dan mengalami ”booming” pada tahun 2005. Penambahan luas tebu illegal tersebut
paling banyak terjadi di wilayah sub KPH Ngawi Barat khususnya di wilayah BKPH
Pandean, dan BKPH Payak. Berdasarkan hasil inventarisasi Perum Perhutani KPH Ngawi di
wilayah BKPH Pandean pada akhir tahun 2005 ditemukan luas tanaman tebu illegal di luar
perjanjian kerjasama selama rentang waktu 2001 – 2005 seluas 765.25 Ha. Dibawah ini
adalah data tanaman tebu illegal yang terdapat di wilayah BKPH Pandean tahun 2001 – 2005.
Tabel 1. Luas Petak Tanaman Tebu Illegal di BKPH Pandean Tahun 2001 – 2005
Luas Total %
Wil Luas Tebu vs
(Ha) 2001 2002 Total 2001 2002 2003 2004 2005 Total Tebu Luas Wil
Alas Tuwo 738.1 30.0 10.7 40.7 3.0 136.3 139.3 180.0 24.4
Kebonwaru 655.9 0.0 51.8 125.5 177.3 177.3 27.0
Komplang 997.2 3.8 7.0 10.8 29.0 146.5 175.5 186.3 18.7
Pandean 968.6 10.7 0.0 10.7 24.0 128.7 152.7 163.4 16.9
Tlogo 620.8 52.6 48.5 101.0 20.0 6.5 3.5 20.5 70.0 120.5 221.5 35.7
Jumlah 3980.6 97.0 66.2 163.2 20.0 9.5 3.5 125.3 607.0 765.3 928.4 23.3
RPH
Luas Tanaman Tebu di Lapangan (Ha)
Ada Perj. Kerjasama Diluar Perj. Kerjasama
Sumber: Laporan Tim Inventarisasi Petak Tanaman Tebu, KPH Ngawi 2005
Menyikapi semakin meluasnya tanaman tebu illegal di wilayah KPH Ngawi, dan
adanya desakan dari berbagai pihak khususnya Konsorsium LSM PHBM Kabupaten Ngawi,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ngawi, serta Forum Komunikasi LMDH di lingkup
Kabupaten Ngawi, Perum Perhutani KPH Ngawi mengambil kebijakan akan menyetop
perluasan tanaman tebu illegal baru, dan menertibkan tebu-tebu illegal yang sudah terlanjur
ditanam dilapangan dengan secepatnya menerbitkan perjanjian kerjasama agribisnis tebu.
c. Tahun 2006 – 2007
Menyikapi banyaknya petak-petak tanaman tebu illegal yang tersebar di beberapa
BKPH di wilayah KPH Ngawi, kebijakan yang diambil oleh pimpinan KPH Ngawi adalah
menyetop perluasan tanaman tebu baru di lapangan, dan melakukan ”pemutihan” perjanjian
kerjasama untuk petak-petak yang ”terlanjur” ada tanaman tebu. Sebagai tindak lanjut
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
8
kebijakan penyetopan tanaman tebu baru, Perum Perhutani KPH Ngawi mengirimkan surat
kepada jajaran aparat Perhutani di tingkat lapangan (Asper/KBKPH dan Mantri/KRPH) untuk
menghentikan pembukaan areal tebu baru. Sedangkan untuk lokasi yang sudah ada tanaman
tebu, dilakukan perjanjian kerjasama yang terealisasi pada tanggal 19 September 2006.
Berikut ini merupakan gambaran sebaran lokasi agribisnis tebu dari perjanjian kerjasama
tahun 2006 dari eks tanaman tebu illegal yang dilakukan ”pemutihan”.
Dalam perjanjian kerjasama agribisnis tebu tahun 2006 ini, terjadi perubahan pihak-
pihak yang terlibat kerjasama agribisnis tebu. Pihak ketiga yang selama ini adalah Kelompok
Masyarakat Desa Hutan diganti dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Di
samping itu dalam perjanjian kerjasama tahun 2006 terjadi perubahan pola tanam dimana
penanaman tanaman kehutanan pada petak areal tebu illegal dibuat dengan pola plong-
plongan (3 x 2) – 4 meter, dengan penjelasan: a). Tanaman pokok kehutanan ditanam dengan
jarak 3 x 2 meter, b). tanaman tebu dipelihara dalam jalur selebar 4 meter, dan c). Jalur
tanaman kehutanan harus bebas dari tanaman tebu dengan jarak minimal 1 (satu) meter kiri-
kanan jalur tanaman kehutanan.
Meskipun secara de jure sudah ada larangan untuk menanam tebu di lahan hutan sejak
tahun 2006, akan tetapi secara de facto ternyata di lapangan masih saja ditemui pembukaan
tanaman tebu baru. Berdasarkan pendataan dari Asper/KBKPH Pandean masih ditemukan
petak-petak tanaman tebu illegal baru hasil penanaman pada akhir tahun 2006 (pasca
perjanjian kerjasama tanggal 19 September 2006). Luas tanaman tebu baru hasil penanaman
akhir tahun 2006 di BKPH Pandean seluas 423.7 Ha.
II. Dinamika Konflik antar Pihak dalam Agribisnis Tebu
Mengingat rentang waktu pelaksanaan kerjasama agribisnis tebu sudah berjalan
semenjak tahun 2001 – 2007, dan adanya beberapa perubahan dilapangan, maka untuk
mempermudah dalam memetakan para pihak tersebut, dilakukan pembagian tahapan
berdasarkan tata waktu yaitu sebelum terbentuknya LMDH, dan setelah terbentuknya LMDH.
a. Sebelum Terbentuknya LMDH (Tahun 2001 – 2004)
Dalam kerjasama agribisnis tebu di wilayah KPH Ngawi antara tahun 2001 – 2004
sebenarnya hanya melibatkan kerjasama antara dua pihak yaitu Perum Perhutani sebagai
Pihak Kesatu dengan Investor/pemodal/mitra usaha sebagai Pihak Kedua. Kelompok Tani
Hutan/Kelompok Masyarakat Desa Hutan (KTH/KMDH) sebagai Pihak Ketiga dalam
kenyataan di lapangan tidak pernah ada wujud kelembagaannya. KTH/KMDH hanya
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
9
merupakan ”lembaga boneka” bentukan dari pemodal/mitra usaha. Karena persyaratan dalam
perjanjian kerjasama agribisnis tebu harus melibatkan KTH/KMDH, maka investor/pemodal
merekrut beberapa orang dari desa setempat sebagai tenaga kerja investor/pemodal dan
mereka diminta menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP-nya) sebagai persyaratan untuk
pembuatan oganisasi KTH dan proses administrasi perjanjian kerjasama tebu.
Ditinjau dari aspek permodalan, agribisnis tebu termasuk kegiatan yang padat modal,
dimana modal awal yang dibutuhkan untuk menanam tebu di tahun pertama (mulai kegiatan
babat/bongkar, pengolahan lahan, beli bibit tebu, penanaman, bumbun, pupuk, seset) cukup
besar, berkisar antara 8 – 10 juta/Ha. Oleh karena itu mitra usaha dalam kerjasama agribisnis
tebu ini umumnya bukanlah masyarakat biasa/pesanggem, tetapi umumnya kelompok orang
kaya. Bahkan pengusaha tebu yang memiliki areal tanaman tebu > 10 ha, untuk menambah
modal usaha terkadang harus bekerjasama dengan pemodal besar, dan/atau pabrik gula untuk
mendapatkan pinjaman/kredit lunak. Keterlibatan pabrik gula untuk meminjamkan modal
kerja umumnya bertujuan untuk mendapatkan tambahan pasokan bahan baku tebu, dan
pinjaman tersebut akan dipotong dari hasil gula yang diperoleh.
Tabel 2. Analisa Usaha Budidaya Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan (per Ha) No Deskripsi Sat Kbthn Harga Total
a Tahun Pertama
1 Bibit tebu ton 14 350,000 4,900,000
2 Pembersihan lahan ha 800,000
3 Pembuatan lubang tanam (cemplong) ha 1300 100 130,000
4 Biaya penanaman ha 700,000
5 Biaya Dangir ha 500,000
6 Biaya Pupuk (Urea, TSP, ZA) kw 8 15,000 120,000
7 Biaya Klethek ha 400,000
Total Biaya 7,550,000 -
Produksi kw 800 15,000 12,000,000
Keuntungan 4,450,000
b Tahun Kedua (sekitar 3 jutaan)
1 Biaya Dangir ha 500,000
2 Biaya Pupuk (urea, TSP, ZA) kw 8 150,000 1,200,000
3 Biaya Klethek ha 400,000
Biaya lain-lain ha 500,000
Total Biaya 2,600,000 Sumber: Hasil Indepth Interview dengan Pengusaha Tebu
Dari hasil penelusuran di lapangan, berikut ini adalah model keterlibatan dan
hubungan para pihak dalam kerjasama agribisnis tebu pada tahun 2001 – 2004.
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
10
Gambar 1. Para Pihak dan Bentuk Hubungannya dalam Agribisnis Tebu 2001 – 2004
b. Pasca Terbentuknya LMDH (2005 – 2007)
Pada tahun 2005 dan 2006, proses pembentukan desa pangkuan hutan dalam program
PHBM di wilayah BKPH Pandean sudah dilakukan, dengan terbentuknya LMDH dan
penandatanganan perjanjian kerjasama PHBM antara LMDH dengan Perum Perhutani KPH
Ngawi. Seiring dengan implementasi PHBM, wilayah BKPH Pandean terbagi dalam petak-
petak pangkuan desa-desa hutan, yaitu Desa Pandean, Desa Sekarjati, Desa Sriwedari, dan
Desa Jatimulyo. Pada saat pembagian wilayah pangkuan desa hutan tersebut, sebagian besar
wilayah hutan di BKPH Pandean sudah beralih fungsi menjadi areal budidaya tebu. Kondisi
ini menyebabkan LMDH-LMDH tersebut kebingungan karena wilayah pangkuan hutannya
sudah berubah menjadi hamparan tanaman tebu, yang dikuasai oleh para pemodal dan akses
masyarakat untuk terlibat sebagai ”pemilik wengkon” tidak terwadahi. Kenyataan ini
diperparah dengan maraknya penanaman tebu illegal pada tahun 2005.
Pada akhir tahun 2005, dengan maraknya penanaman ”tebu illegal” di wilayah sub
KPH Ngawi Barat, muncul ”babak baru” dinamika konflik dalam kerjasama agribisnis tebu,
dimana muncul dua pemain baru yaitu pertama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ngawi dan
kedua Konsorsium LSM PHBM Kabupaten Ngawi. Menindaklanjuti aspirasi LMDH-LMDH
di wilayah BKPH Pandean tentang kepastian petak-petak pangkuan hutan yang beralih fungsi
menjadi areal tebu illegal, pada akhir tahun 2005 permasalahan tebu illegal di wilayah BKPH
Pandean ini diangkat sebagai isu utama dalam Rapat Koordinasi PHBM Kabupaten Ngawi
yang melibatkan Bupati Ngawi dan Adm/KKPH Ngawi. Kesimpulan dari pertemuan tersebut,
Agribisnis Tebu
Perhutani KPH Ngw
Pemodal KTH/KMDH
Pb. Gula
Petugas Lap Perhutani
Pemodal Besar
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
11
pihak KPH Ngawi berjanji akan segera menghentikan praktek penanaman tebu illegal baru
dan menertibkan petak-petak tanaman tebu illegal.
Perkembangan terbaru dari kerjasama agribisnis tebu pada tahun 2007 adalah
keterlibatan penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat menyangkut beberapa
penyimpangan yang terjadi selama proses kerjasama agrobisnis tebu. Kejaksaan Negeri
Ngawi secara intensif melakukan penyidikan terhadap beberapa pejabat di lingkup Perum
Perhutani KPH Ngawi dan beberapa pengusaha tebu. Dari hasil penyelidikan sementara ada 2
orang petugas Perhutani yang ditetapkan statusnya sebagai tersangka.
Gambar 2. Para Pihak dan Hubungannya dalam Agribisnis Tebu Tahun 2005 - 2007
III. Posisi Perum Perhutani KPH Ngawi
Ditinjau dari tata hubungan kerja antar pihak yang terlibat dalam implementasi
agribisnis tebu, Perum Perhutani KPH Ngawi terlihat kurang memiliki ketegasan dan
konsistensi dalam melaksanakan perjanjian kerjasama. Beberapa bukti ketidaktegasan Perum
Perhutani KPH Ngawi dalam implementasi perjanjian kerjasama agribisnis tebu antara lain:
a. Tidak ada kegiatan pembuatan tanaman kehutanan di petak-petak lahan tanaman tebu.
Berdasarkan perjanjian kerjasama tahun 2001 akan dilakukan kegiatan pembuatan
tanaman kehutanan pada tahun 2004, sedangkan untuk perjanjian kerjasama tahun
2002 akan dilakukan pembuatan tanaman dengan model strip/plong-plongan ± 15%,
akan tetapi kenyataan di lapangan tidak dilakukan pembuatan tanaman kehutanan.
b. Perum Perhutani KPH Ngawi tidak berani melakukan pemutusan kerjasama terhadap
mitra usaha/pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja sama,
Agribisnis
Tebu
Perhutani
KPH Ngw
Pemodal LMDH
Pb. Gula
Ptgas Lap
Perhutani DisHutBun
LSM PHBM
Kejaksaan
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
12
seperti tidak taat membayar iuran, tidak mau membongkar tanaman tebu untuk
ditanami tanaman kehutanan, maupun melanjutkan pemeliharaan tanaman tebu setelah
habis masa kontraknya.
c. Perum Perhutani tidak memberikan punishment/ hukuman kepada bawahan yang
terbukti terlibat dalam peluasan petak tebu-tebu illegal di kawasan hutan.
Di luar pihak Perum Perhutani KPH Ngawi dan mitra usaha yang resmi terlibat dalam
kerjasama agribisnis tebu, salah satu pihak yang memiliki peranan yang cukup siginifikan
dalam kerjasama agribisnis tebu ini adalah Petugas Perhutani di lapangan. Dari hasil
penelusuran, sebagian Asper/KBKPH, Mantri/KRPH, dan Mandor di wilayah BKPH Pandean
”ikut bermain” dan memiliki kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
perluasan petak-petak tanaman tebu illegal. Dari hasil indepth interview dengan beberapa
orang pengusaha tebu di BKPH Pandean, oknum Petugas Perhutani di BKPH Pandean terlibat
dalam kegiatan agribisnis tebu ilegal. Beberapa bentuk keterlibatan petugas Perhutani di
lapangan dalam kerjasama agribisnis tebu, antara lain: a). Terlibat langsung sebagai
pengusaha tebu. Ada beberapa orang Mantri/KRPH dan Mandor yang ikut menanam tebu di
wilayah BKPH Pandean; b). Memberikan ”ijin” pada mitra usaha (pemodal) untuk menanam
tebu di luar areal yang resmi dikerjasamakan, dengan imbalan uang dengan kisaran nilai Rp.
500.000,- sampai Rp 1.500.000,- / per Ha; c). Menarik/meminta pungutan kepada
mitra/pengusaha tebu diluar pungutan resmi, dengan alasan untuk biaya pengawasan; dan d).
Melakukan kolusi dengan pengusaha tebu saat kegiatan ubinan sebelum panen. Tanaman tebu
dianggap puso atau terbakar sehingga pengusaha yang bersangkutan terbebas dari kewajiban
membayar kewajiban bagi hasil kepada Perhutani.
IV. Dampak Agribisnis Tebu terhadap Tegakan Hutan
Untuk mengetahui dampak kegiatan agribisnis tebu terhadap tegakan hutan dilakukan
pengukuran kondisi dan kualitas pertumbuhan tanaman kehutanan di petak tanaman tebu
dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kehutanan di petak tumpangsari palawija.
Mengingat tanaman kehutanan di petak-petak tanaman tebu baru ditanam pada tahun 2006,
maka dalam penelitian ini yang dapat dibandingkan adalah pertumbuhan tanaman umur 1
tahun dari petak tanaman tebu dan petak tanaman tumpangsari. Parameter yang dibandingkan
ada dua yaitu prosen keberhasilan tanaman dan rata-rata tinggi tanaman. Di bawah ini adalah
perbandingan prosen jadi dan rata-rata tinggi tanaman jati di petak tanaman tebu dan petak
tumpangsari palawija.
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
13
Tabel 3. Perbandingan Kondisi Tanaman Jati pada Petak Agribisnis Tebu dan Petak
Tumpangsari
Rt2 Tinggi
(cm)
Agribisnis Tebu
1 157 1 Komplang Pandean 87.3 27.1
2 2 Komplang Pandean 79.3 34.3
3 150 1 Komplang Pandean 75.3 28.9
4 159c 1 Tlogo Pandean 37.3 10.4
5 2 Tlogo Pandean 47.3 12.0
6 73 a 1 Alas Tuwo Pandean 75.3 24.3
7 1 e 1 Payak Payak 68.7 24.4
8 2 Payak Payak 87.3 54.29
69.7 27.0
Tumpangsari
1 65 b 1 Alas Tuwo Pandean 94 73.57
2 2 Alas Tuwo Pandean 98 68.9
3 1 e 1 Payak Payak 98.3 74.6
4 2 Payak Payak 95.3 78.4
96.4 73.9Rata-rata
PU BKPH
Rata-rata
No Petak RPH % Jadi
Sumber : Hasil Pengukuran Primer, 2007
Dari hasil pengukuran di lapangan sebagaimana terlihat pada Tabel 6 nampak bahwa
prosen jadi keberhasilan tanaman pokok yang ditanam tumpangsari dengan tanaman tebu
hanya 69.7%, dengan rata-rata tinggi tanaman 27,0 cm. Sedangkan untuk petak tumpangsari
palawija, prosen jadi keberhasilan tanaman pokok sebesar 96.4% dengan rata-rata tinggi
adalah 73.9 cm. Di samping itu kerataan tanaman pada petak agribisnis tebu sangat beragam
dimana ada jati yang tingginya > 100 cm, tetapi banyak dijumpai tanaman jati yang tingginya
hanya 5 cm, 10 cm , atau 15 cm.
4 (a) 4 (b) 4. (c)
Gambar 4 (a,b,c). Kondisi Tegakan Jati Umur 1 Tahun pada Petak Agrisbisnis Tebu
Kerusakan tegakan jati pada petak agribisnis tebu ini bukan hanya karena kalah dalam
persaingan unsur hara dengan tanaman tebu, tetapi juga karena kegiatan pemanenan tebu yang
tidak sesuai prosedur. Banyak tanaman jati yang mati dan rusak karena terinjak, tertimpa
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
14
tumpukan tebu, ataupun patah karena terlindas truk tebu yang masuk ke dalam petak agribsnis
tebu. Di samping itu, di beberapa lokasi, serasah tebu (daduk) setelah panen selesai secara
sengaja/tidak “terbakar” sehingga mematikan tanaman jati muda.
5. (a) 5. (b)
Gambar 5. (a, b). Kerusakan Tanaman Jati saat Kegiatan Panen Tebu
5. (c) 5. (d)
Gambar 5. (c, d). Kerusakan Tanaman Jati akibat Pembakaran Seresah Tebu
KESIMPULAN
1. Para pihak yang terlibat dalam agribisnis tebu di kawasan hutan adalah Perum Perhutani
KPH Ngawi sebagai pengelola lahan, pengusaha tebu sebagai pemodal. Sedangkan posisi
masyarakat baik dalam posisi KMDH maupun LMDH hanya berperan sebagai tenaga
kerja/buruh, karena agribisnis tebu merupakan kegiatan padat modal.
2. Sebagian Petugas Perhutani di lapangan (Asper/KBKPH, Mantri/KRPH dan Mandor)
merupakan “aktor kunci” yang memainkan peranan cukup signifikan dalam meluasnya
areal tanaman tebu illegal di BKPH Pandean.
3. Agribisnis tebu menyebabkan pertumbuhan tegakan jati tidak optimal. Prosentase
keberhasilan tanaman jati di petak tebu hanya 69.7% dengan tinggi rata-rata 27,0 cm,
berbeda dengan prosentase keberhasilan tanaman jati dengan pola tumpangsari sebesar
96.4%, dan tinggi rata-rata adalah 73.9 cm.
Dinamika Konflik dalam Agribisnis Tebu Lahan Kering di Kawasan Hutan
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1999. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan KPH Ngawi Jangka 1999 –
2008, Seksi Perencanaan Hutan II Madiun.
---------------.1999. Analisis dan Rekomendasi Kebijakan Pergulaan Indonesia.Tim Kecil
Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia. Departemen Pertanian.Jakarta.
---------------. 2001. Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) tentang Agribisnis Tebu di Kawasan Hutan . PT.
Perhutani KPH Surakarta.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ngawi. 2003, Laporan Akhir Tahun Program
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten
Ngawi Tahun 2003. Ngawi
--------------, 2004, Laporan Akhir Tahun Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten Ngawi tahun 2004. Ngawi
--------------, 2005, Laporan Akhir Tahun Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten Ngawi tahun 2005. Ngawi.
--------------, 2006, Laporan Akhir Tahun Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten Ngawi tahun 2006. Ngawi
Fisher, Simon etc. 2000, Working with Conflict: Skills and Strategies for Action, Zed Book
Ltd, London
Isma’il, Nur Mahmudi. 2001. Peningkatan Daya Saing Industri Gula Nasional sebagai
Langkah Menuju Persaingan Bebas, Artikel pada ISTECS Journal, II (2001). Di
download pada tanggal 2 Mei 2008.
Nazir, M., 1988, Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta
Nugroho, Fera dkk. 2004. Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal, Pustaka Percik, Salatiga
Perhutani, PT. 2001. Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No.
136/Kpts/Dir/2001, tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat.. Jakarta.
Perhutani KPH Ngawi, PT. 2001. Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sumber daya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) tentang Agribisnis Tebu di Kawasan Hutan .
Ngawi.
--------------. 2002. Perjanjian Kerjasama Penanaman Tebu dan Tanaman Kehutanan di
Kawasan Hutan. Ngawi
--------------.2002. Keputusan Direksi PT. Perhutani Nomor 001/KPTS/DIR/2002 tentang
Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. PT. Perhutani. Jakarta.
--------------. 2006. Perjanjian Kerjasama Tumpangsari Tanaman Tebu di Kawasan Hutan.
Perum Perhutani KPH Ngawi
--------------. 2006. Agribisnis Tanaman Tebu tahun 2002 - 2005, laporan PHBM Bidang
SupLap KPH Ngawi, Perum Perhutani KPH Ngawi
--------------. 2005. Berita Acara Serah Terima Pejabat Asper PHBM, Perhutani KPH Ngawi
Simon, 2005. Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Sutardjo, Edhi. 2005. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara. Jakarta
Sutjahjo, Bambang Aji. 2001. PHBM, Paradigma Baru Pengelolaan Hutan di Jawa.
Seminar PHBM.
Wardojo, 1996. Konservasi Tanah pada Budidaya Tebu di Lahan Kering. Balai Teknologi
Pengelolaan DAS Departemen Kehutanan. Surakarta