Dimensions of Ethics and Telemedicine in Indonesia: Enough ...
Transcript of Dimensions of Ethics and Telemedicine in Indonesia: Enough ...
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 1
Dimensions of Ethics and Telemedicine in Indonesia: Enough of Permenkes Number 20 Year 2019 As a Frame of Telemedicine
Practices in Indonesia? Dimensi Etik dan Hukum Telemedisin di Indonesia :
Cukupkah Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 Sebagai Bingkai Praktik Telemedisin di Indonesia?
Carolina Kuntardjo email: [email protected]
Law Doctoral Student Airlangga University Surabaya
Abstract: Telemedisin in Indonesia was known a few years ago but unfortunately did not make progress in its implementation. As technology developed during the Industrial Revolution 4.0 era, Indonesia returned to pay attention to the telemedicine system. One manifestation is the enactment of Minister of Health Regulation No. 20 of 2019 concerning the Implementation of Telemedicine Between Health Service Facilities. In the preamble of this Permenkes, it appears that the spirit of doing telemedicine is in order to bring health services closer and improve the quality of health services in health facilities in remote areas that prioritize patient interests and safety. Despite the fact that telemedicine currently available in Indonesia is more personal between doctors and patients. Of course, this can be considered to violate existing regulations, because there are no rules that frame them. In addition to the benefits derived from telemedicine because health services for remote areas are increasingly affordable and faster, there are still many obstacles in terms of ethics and law. In legal matters, the lack of rules that frame the implementation of telemedicine can jeopardize the position of doctors in the event of a medical dispute. In terms of ethics, there are still a number of things that are not in accordance with the principles of bioethics, namely beneficence, non‐maleficence, autonomy, and justice. It is feared that the doctor‐patient relationship will fade in telemedicine. The doctor's professional standard is also the case, because a doctor may not be able to conduct a direct examination of patients. There are still many obstacles in the implementation of telemedicine that this should be a challenge for the Indonesian government through the Ministry of Health to pay more attention and make clearer rules to frame the implementation of telemedicine in Indonesia.
Keywords: telemedicine, law, ethics, doctor‐patient relationship
PENDAHULUAN
Dunia kesehatan mengalami kemajuan yang cukup pesat akhir‐akhir ini. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di Asia Tenggara berusaha mengikuti perkembangan bentuk layanan kesehatan sesuai era Revolusi Industri 4.0, diantaranya dengan telemedisin yang banyak menggunakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Kesehatan adalah hak asasi manusia, seperti disebutkan dalam UUD 1945 pasal 28H, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Sayangnya mewujudkan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17000 pulau, bukanlah sesuatu yang mudah.
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 2
Pelayanan kesehatan konvensional yaitu secara face to face antara pasien dengan dokter, seringkali sulit terwujud di daerah pelosok yang untuk menjangkaunya saja tidak mudah karena kendala geografis.
Warga negara Indonesia berhak mendapat informasi kesehatan melalui berbagai cara, salah satunya melalui teknologi informasi. Hal ini seperti tertulis dalam UUD 1945 pasal 28G, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang kesehatan di Indonesia tidak berjalan selaras dengan regulasi yang ada. Dengan semakin banyaknya tuntutan malpraktik, regulasi yang belum jelas akan membahayakan posisi dokter dalam telemedisin. Di sisi lain, prinsip‐prinsip etika kedokteran yang bersumber dari empat prinsip bioetika yaitu non‐maleficence, beneficence, autonomy, dan justice kurang dipertimbangkan dalam telemedisin. Dalam pasal 2 KODEKI tahun 2012 disebutkan bahwa “Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi”. Perilaku profesional di sini dapat diartikan bahwa dokter harus memeriksa pasien dahulu sebelum memberikan terapi berdasarkan diagnosis yang dibuat. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan dengan telemedisin. Dari sisi etik, telemedisin akan berdampak pada pudarnya relasi dokter‐pasien, karena tidak adanya tatap muka.
Telemedisin berasal dari Bahasa Yunani, yaitu tele yang artinya jauh, dan medicus yang artinya pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan. Istilah telemedisin, di dunia kesehatan mulai dikenal sejak tahun 1970‐an dan dimaknai sebagai “healing at a distance. Telemedicine dan telehealth seringkali dianggap sama. Namun World Health Organization (WHO) memberikan pengertian yang berbeda. Telehealth diartikan sebagai integrasi dari sistem komunikasi pada pelayanan kesehatan, terutama dalam pencegahan dan promosi kesehatan (protecting and promoting health), sedangkan telemedicine merupakan penggunaan sistem tersebut dalam hal terapi (curative medicine). Dapat diartikan bahwa telehealth berkaitan dengan aktivitas WHO secara internasional dalam kesehatan masyarakat, yang meliputi pendidikan kesehatan, kesehatan masyarakat dan komunitas, perkembangan sistem kesehatan, dan epidemiologi. Sedangkan telemedisin lebih mengarah pada aspek klinis.1,2
Apabila digambarkan perbedaan antara telemedisin dan telehealth adalah seperti gambar 1 berikut ini :3
1 Adam W Darkins and Margaret A Cary. Telemedicine and Telehealth (Principles, Policies, performance, and Pitfalls, Springer Publishing Company Inc., New York, 2000, h.3 2 WHO, Telemedicine Oppurtunities and Developments in Memver States : Report on The Second Global Survey on eHealth, Global Observatory for eHealth Series, Vol.2, 2009 3 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Telemedisin : Rekomendasi IDI Untuk masa Depan Digitalisasi Kesehatan di Indonesia, 2018, h.5
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 3
Gambar 1. eHealth, Telehealth, and Telemedicine
Sumber : Pengurus Besar IDI, Telemedisin Rekomendasi IDI Untuk masa Depan Digitalisasi Kesehatan di Indonesia, 2018
Secara umum, telemedisin dapat dikatakan sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan medis dari jarak yang terpisah atau tidak ada tatap muka. Fasilitas komunikasi yang digunakan dapat berupa telepon, panggilan video, situs internet, atau alat komunikasi canggih lainnya.4 Komunikasi ini dapat terjadi antara dokter dan pasien, maupun antar tenaga kesehatan misalnya dalam konsultasi berjenjang dari dokter umum kepada dokter spesialis. Meskipun WHO memberikan definisi yang sedikit berbeda antara telemedicine dan telehealth, tetapi kedua istilah ini dapat digunakan secara bergantian. Dalam Permenkes Nomor 20 tahun 2019, telemedisin diartikan sebagai “pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh professional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan Pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan kesehatan individu dan masyarakat”.
Dalam pelaksanaan telemedisin terdapat dua konsep yaitu real time (synchronous) dan store‐and‐fordward (asynchronous). Synchronous telemedicine memerlukan kehadiran kedua pihak pada saat itu karena diperlukan interaksi. Sedangkan asynchronous telemedicine tidak memerlukan kehadiran kedua pihak saat itu karena dilakukan pengumpulan data medis yang selanjutnya dikirim kepada dokter untuk dievaluasi secara offline. Telemedisin yang disarankan di Indonesia berdasarkan panduan IDI tentang telemedisin dibagi menjadi lima, yaitu : 5
1. Tele‐expertise, yang menghubungkan dokter umum dan dokter spesialis atau antar dokter spesialis, misalnya teleradiologi.
2. Tele‐consultation, yang menghubungan pasien dan dokter 3. Tele‐monitoring, yang digunakan tenaga kesehatan untuk memonitor berbagai parameter
tubuh pasien secara virtual
4 Pukovisa Prawiroharjo, Peter Pratama, Nurfanida Librianty, Layanan Telemedis di Indonesia : keniscayaan, risiko., dan Batasan etika, JEKI. 2019;3(1):1–9. doi: 10.26880/jeki.v3i1.27. 5 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Telemedisin,h.8
eHealth
(not only over a distance)
telehealth
telemedicine
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 4
4. Tele‐assistance, yang digunakan untuk memberikan arahan kepada pasien, misalnya dalam proses rehabilitasi
5. Tele‐robotic / tele‐intervention, yaitu pengendalian jarak jauh terhadap sebuah robot dalam suatu tele‐surgery
Sejarah dan Perkembangan Telemedisin Telemedisin mulai dikenal sejak akhir tahun 1960 di USA, yakni sejak mulai dikenalnya "close circuit telephone system". Awalnya sistem ini dipakai sebagai sarana pendidikan dan konsultasi jarak jauh antara Nebraska Psychiatri Institute dengan layanan kesahatan di daerah atau pelosok. Pada tahun 1965, seorang ahli bedah jantung, Michael DeBakey, melaksanakan bedah jantung di USA dan mentransmisikan prosedur operasi secara langsung ke rumah sakit di Genewa, Swiss menggunakan satelit Comsat's Early Bird. Saat itu telepon dipakai pada saat "summon emergency assistant", mendapatkan second opinion, memberikan advis kesehatan jarak jauh, dan memonitor kondisi pasien dari jarak jauh. 6
Pada tahun 1927 dikenal “radio‐doctor” yaitu konsultasi video secara langsung antara dokter dan pasien. Pada tahun 1950 digunakan satelit untuk berkomunikasi di pedesaan Alaska yang terpencil, dengan panduan yang dikeluarkan oleh Indian Health Service. Dokter yang berada di kota dapat memonitor pasien dari jarak jauh dan memberikan terapi melalui dokter yang ada di pedesaan melalui panggilan radio.7 Sayangnya pada tahun 1970 perkembangan telemedisin seperti tidak mengalami kemajuan. Hal ini terutama disebabkan karena mahalnya harga teknologi pendukung telemedisin dan kualitas gambar yang jelek :8 Telemedisin yang paling banyak digunakan adalah teleradiologi, yakni mencapai 70% dari seluruh praktik radiologi di USA. Teleradiologi diawali tahun 1950 oleh radiolog Canada.9 Perbandingan perkembangan telemedisin di beberapa negara tampak dalam uraian berikut:10
Korea Selatan Telemedisin di Korea Selatan diawali dengan transfer data electrocardiography pada awal abad ke 20. Pada tahun 1993, dilakukan wawancara dan pemeriksaan oleh Kyungpook National University Hospital and Chonnam National University Hospital dengan sarana kesehatan di daerah dengan tingkat pelayanan kesehatan rendah (Uljin, Gurye) dengan menggunakan PSTN (Public Switched Telephone Network). Tetapi setelah itu tidak ada perkembangan telemedisin, karena lingkungan sosial, teknologi yang tidak berkembang, dan tidak adanya sistem hukum yang adekuat. Revisi Hukum Kesehatan Korea pada tahun 2002, menjadi awal adanya sistem hukum yang menunjang telemedisin. Hingga revisi hukum kesehatan pada tahun 2013, tidak ada program nasional telemedisin. Sehingga telemedisin tidak cukup popular di Korea, yakni hanya 0,1% berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2013‐2014. Pada bulan juli 2015, Korea menyediakan telemedisin untuk daerah dengan layanana kesehatan rendah. Pemerintah Korea menyelenggarakan ETCT (Emergency
6 Adam W Darkins and Margaret A Cary. Telemedicine and Telehealth, h.6 7Peter A Clark, Kevin Capuzzi., Joseph Harisson., Telemedicine : medical, Legal, and Ethical Perspectives, Med Sci Monit, 2010;16(12):RA261-272 8 Adam W Darkins and Margaret A Cary. Telemedicine and Telehealth, h.7 9 Adnan Atac., Engin Kurt, Eray Yurdakul., An Overview to Ethical Problems in Telemedicine Technology, Social and Behavioural Science 103(2013)116-121 10 Ji-Young Oh, Yaoung-Taek Park, Emmanuel C Jo, et al., Current Status and Progress of Telemedicine in Korea and Other Countries, Healthc Inform Res, 2015, October;21(4):239-243
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 5
Telemedicine Cooperation Treatment), untuk kasus kegawatdaruratan, melalui konsultasi dari dokter di daerah pedesaan kepada dokter di rumah sakit besar di perkotaan.
Uni Eropa Negara uni Eropa beranggapan bahwa telemedisin adalah penting. Terutama dengan makin banyaknya penyakit kronis dan sumber daya yang terbatas terutama untuk warga usia lanjut. Di Jerman telah dilakukan telemedisin sejak tahun 1990, dengan dilakukannya monitoring pasien. Riset yang dilakukan pada tahun 2012, didapatkan 31% rumah sakit dan 15% klinik menggunakan telemedisin dalam konsultasi dokter‐pasien.
USA The American Telemedicine Association pertama kali dibentuk pada tahun 1993, dan Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPPA) yang mengatur tentang penggunaan informasi kesehatan dibuat pada tahun 1996. Saat ini HIPPA dianggap sebagai hukum telemedisin yang paling komprehensif dan banyak dipakai oleh negara lain. Telemedisin telah digunakan secara luas, misalnya proyek Medical Body Area Network (MBAN), yang menggunakan separate mobile‐frequency untuk memonitor kondisi pasien secara efektif. Dokter dapat memantau status kesehatan pasien dari mana saja. Lebih dari 60% institusi layanan kesehatan dan 40% sampai 50% dari seluruh rumah sakit di USA menggunakan telemedisin. Di USA terdapat 100.000 konsultasi telemedisin dalam satu bulan. Meskipun angka ini tampak besar, tetapi angka konsultasi dokter dan pasien dalam satu bulan di USA sebanyak 80 juta.11
Indonesia Indonesia sebagai anggota Asia Pacific Association for Medical Informatics (APAMI), tergolong masih tertinggal dalam hal telemedisin. Sampai dengan tahun 1999 health informatics masih belum dikenal. Tahun 2001 Indonesia menggunakan satelit untuk komunikasi kesehatan antar pulau. Tahun 2003 low‐speed communication system digunakan sebagai akses internet melalui radio pocket. Komunikasi antara dokter di daerah terpencil dengan dokter di kota besar hanya dapat dilakukan melalui email. Tahun 2004 PT Telkom membuat web‐based medical information system dengan menggunakan WAP (wireless Acces Protocol). Mulai saat ini teknologi yang digunakan mulai berkembang menggunakan panggilan video (video‐phone) yang memungkinkan dilakukan video‐streaming. Teknologi telemedisin terus berkembang sampai pada tahun 2010, telemedisin dimasukkan sebagai bagian dari teknis biomedis, salah satunya adalah adanya medical station yang memfasilitasi telemedisin baik secara real time teleconsultation maupun secara store and forward. Pada tahun 2011, MMS digunakan sebagai teknologi untuk melakukan audio dan video streaming. Pada tahun 2013 aplikasi e‐kesehatan dipakai untuk mendiagnosa penyakit jantung dan paru dan pada tahun 2014, email dan telepon digunakan sebagai sarana komunikasi kesehatan mental di Aceh.12
RUMUSAN MASALAH
1. Kendala pelaksanaan telemedisin di Indonesia ditinjau dari dimensi etik dan hukum
2. Peranan Permenkes Nomor 20 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam membingkai praktik telemedisin di Indonesia
11 Richard J Boxer, Telemedicine in Global Context, mHealth 2015;1:12, available at : www.themhealth.org 12 Dwi C, An Overview of e-Health in Indonesia : Past and Present Applications, IJECE Vol.7, No.5, October 2017:2441-2450
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 6
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma‐norma atau kaidah‐kaidah dalam hukum positif. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang‐undangan (statute approach)13, yaitu mengkaji berbagai aturan yakni undang‐undang dan regulasi yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Selain itu digunakan pula pendekatan konseptual (conceptual approach), dengan tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. 14
PEMBAHASAN
1. KENDALA PELAKSANAAN TELEMEDISIN DI INDONESIA DITINJAU DARI DIMENSI ETIK DAN HUKUM
Menurut data Biro Pusat Statistik bedasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa.15 Penyebaran penduduk yang tidak merata dan tidak berimbang dengan luas wilayah akan membawa dampak terhadap pemerataan pelayanan kesehatan. Kondisi geografis Indonesia yang mempunyai banyak pegunungan serta banyak dipisahkan oleh laut semakin mempersulit transportasi. Apalagi belum ditunjang oleh infrastruktur yang memadai. Selain itu penyebaran tenaga kesehatan tidak merata. Hanya 20% tenaga kesehatan yang tersebar di daerah terpencil, sisanya memilih bekerja di daerah perkotaan yang memiliki sarana memadai. Pemerintah telah berusaha mengatasi kesenjangan tenaga kesehatan ini dengan berbagai program bagi lulusan dokter. Misalnya dengan program internship, dimana penempatan dokter peserta internship ikatan dinas wajib melaksanakan tugas melalui penempatan di fasilitas kesehatan publik yang ditunjuk Menteri, seperti tercantum dalam pasal 14 butir ke 2 Permenkes Nomor 39 tahun 2017 tentang Penyelengaraan Program Internship Dokter dan Dokter Gigi Indonesia, yang berbunyi “penempatan dokter paska internship dilaksanakan selama satu tahun dalam rangka pemerataan pelayananan kesehatan bagi masyarakat”. Tetapi pemerataan pelayanan kesehatan masih sulit dilakukan. Telemedisin sebagai salah satu upaya pemerataan kesehatan di Indonesia masih mempunyai hambatan dan kendala:16
1. Pengembangan infrastruktur komunikasi, terutama jaringan internet yang belum merata di Indonesia terutama di daerah terpencil
2. Ketersediaan hardware dan software, yang masih membutuhkan biaya mahal 3. Sumber daya manusia, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. 4. Kesenjangan teknologi antara daerah perkotaan dan daerah pelosok 5. Regulasi yang belum memadai untuk mengatur penggunaan format digital 6. Otentikasi, privasi dan keamanan data belum dapat terjamin sepenuhnya, sedangkan
peningkatan sistem keamanan data akan meningkatkan biaya 7. Sistem pembiayaan jasa bagi pemberi layanan telemedisin. 8. Akurasi data yang dikirimkan dikhawatirkan tidak memiliki kualitas yang cukup baik
sehingga mempengaruhi proses penegakan diagnosis dan terapi.
13Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum edisi revisi, Prenadamedia Grup, Jakarta,2005, h.136 14Ibid, h. 177 15 www.bps.po.id 16 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Telemedisin, p.29-33
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 7
9. Relasi dokter‐pasien serta antar tenaga kesehatan yang tidak dilakukan secara langsung akan mengurangi kualitas relasi tersebut.
1. Aspek Hukum Telemedisin di Indonesia
Masyarakat Indonesia semakin akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi, karena makin mudah dan murahnya mendapat sambungan internet dan alat telekomunikasi. Adanya cybermedicine, yaitu teknologi internet untuk menyebarkan informasi klinis dan non‐klinis kepada masyarakat membuat masyarakat semakin terbiasa dengan hubungan dokter‐pasien melalui internet. Cyber medicine membuat banyak orang berlomba mendiagnosis penyakitnya sendiri melalui sumber dari internet yang seringkali berasal juga dari sumber yang tidak dapat dipercaya atau tidak kompeten.17
Awalnya telemedisin bertujuan untuk pengembangan layanan kesehatan bagi masyarakat daerah terpencil. Hal ini tampak dalam pasal 15 Permenkes Nomor 90 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kawasan Terpencil dan Sangat Terpencil yang menyebutkan bahwa pengembangan pola pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan kawasan terpencil dan sangat terpencil, salah satunya dilaksanakan dengan pelayanan kesehatan berbasis telemedisin. Sedangkan pada pasal 19 disebutkan bahwa, “pelayanan kesehatan berbasis telemedicine sebagaimana dimaksud pada pasal 15 huruf d bertujuan untuk memberikan manfaat dalam peningkatan ketepatan dan kecepatan diagnosis medis serta konsultasi medis di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat rujukan tingkat lanjutan yang tidak memiliki tenaga kesehatan tertentu”.
Regulasi yang sudah ada belum cukup lengkap sebagai payung hukum telemedisin di Indonesia, sehingga dapat berdampak pada timbulnya risiko ancaman tuntutan malpraktik bagi dokter yang melakukan telemedisin. World Medical Association (WMA) pada 30 September 2007 mengeluarkan rekomendasi terkait telemedisin yang berbunyi, "The WMA and National Medical Asociation should encourage the development of national legislation and international agreements on subjects related to the practice of telemedicine, such as e‐prescribing, physician registration, liability, and the legal status of electronic medical records". Malaysia telah mempunyai Telemedicine Act 1997, India mempunyai Telemedicine Act 2003, dan California USA mempunyai Telehealth Advancement Act of 2011.18 Di Indonesia dasar hukum berkaitan dengan pelaksanaan telemedisin adalah sebagai berikut :
Undang‐Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang‐Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 tentang fasilitas Pelayanan kesehatan
Permenkes Nomor 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis.
Permenkes Nomor 2052 tahun 2011 tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Permenkes Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia kedokteran
17 Frans Santosa, Agus Purwadianto, Prijo Sidipratomo, et al., Sikap Etis Dokter pada Paien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine, Jurnal Etika kedokteran Indonesia Vol.2, 2018;2(2):53-7 18 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Telemedisin, h.53
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 8
Permenkes Nomor 90 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kawasan Terpencil dan Sangat Terpencil
Permenkes Nomor 409 tahun 2016 tentang Rumah Sakit Uji Coba Program Pelayanan Telemedicine Berbasis Video Conference dan Teleradiologi
Permenkes Nomor 46 tahun 2017 tentang Strategi e‐Kesehatan Nasional
Permenkes Nomor 20 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Peraturan Menkominfo nomor 4 tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi
Peraturan Menkominfo nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik
Beberapa masalah telemedisin terkait hukum di Indonesia yaitu :
Ijin Praktik Dokter Ijin praktek dokter sebagaimana diatur dalam pasal 37 undang‐undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa surat ijin praktik (SIP) dokter hanya diberikan untuk paling banyak tiga tempat dan hanya berlaku untuk satu tempat praktik, sedangkan pada pasal 38 butir kedua disebutkan untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud seorang dokter harus mempunyai tempat praktik. Apabila seorang dokter telah mempunyai tiga SIP dan dia tetap melakukan praktik telemedisin dapat dikatakan bahwa dokter tersebut melakukan praktik tanpa ijin. Berdasarkan pasal 76 undang‐undang ini, seorang dokter yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa SIP dikenakan pidana dengan denda paling banyak sebesar Rp 100.000.000,‐.
Dalam pasal 4 Permenkes nomor 2052 tahun 2011 tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa SIP sebanyak tiga buah diberikan untuk fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta, atau praktik perorangan. Pada Peraturan Pemerintah pasal 4 Nomor 47 tahun 2016 disebutkan jenis‐jenis pelayanan kesehatan dan pada ayat kedua disebutkan “dalam hal tertentu untuk memeuhi pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, menteri dapat menetapkan jenis fasilitas pelayanan kesehatan selain jenis yang disebutkan pada ayat 1”. Telemedisin dapat dianggap sebagai jenis falititas layanan kesehatan yang diselenggarakan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sayangnya hingga saat ini tidak diatur secara jelas mendetil tentang praktik mandiri dokter secara perorangan dalam hal telemedisin.
Demikian juga apabila dilihat dari pasal 41 undang‐undang praktik kedokteran, dokter yang menyelenggarakan praktik kedokteran wajib memasang papan nama praktik kedokteran, yang apabila tidak dilakukan berdasarkan pasal 79 undang‐undang yang sama akan dikenakan ddenda paling banyak sebesar Rp 50.000.000,‐. Seorang dokter yang melakukan praktik telemedisin secara pribadi otomatis sudah melanggar hal ini.
Pada bulan September 2018, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan surat edaran nomor 010838/PB/A.3/09/2018 tentang Pelayanan Kedokteran Berbasis Teknologi dan Informasi. Surat ini menimbulkan suatu kejanggalan karena seakan mengijinkan seorang dokter berpraktik telemedisin asalkan dokter tersebut memiliki SIP yang masih berlaku. Padahal belum ada aturan yang secara jelas mengaturnya
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 9
Keamanan dan Kerahasiaan Data Pasien Dokter dalam relasi dokter‐pasien harus menjaga rahasia kedokteran. Hal ini jelas disebutkan dalam pasal 48 Undang‐undang praktek kedokteran,dan pasal 51 undang‐undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan. Dalam pasal 57 undang‐undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya. Apabila hal tersebut dilanggar maka akan dikenakan pidana penjara maupun denda sesuai pasal 322 KUHP serta menurut pasal 15 Permenkes 36 tahun 2012 tentang rahasia Kedokteran. Demikian juga dalam pasal 66 UU Praktik kedokteran, pasal 58 UU Kesehatan, UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien dapat meminta ganti rugi apabila dia merasa dirugikan salah satunya dalam hal kerahasiaan medis.
Menurut Peraturan Menkominfo nomor 4 tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi, keamanan informasi adalah terjaganya kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity), dan ketersediaan (availability) informasi. Pelayanan kesehatan tergolong sebagai badan hukum yang melakukan pelayanan publik, maka dari itu rumah sakit yang melakukan praktik telemedisin harus menjaga keamanaan informasinya. Mengacu pada peraturan ini, maka diperlukan standardisasi dalam penyelenggaraaan sistem elektronik dengan memberikan sertifikat sistem Menejemen Pengamanan Informasi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan aturan mengenai perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik sesuai Permenkominfo nomor 20 tahun 2016.
Rekam Medis dan Informed Consent Sesuai pasal 46 UU Praktik Kedokteran, dalam melakukan suatu praktik kedokteran seorang dokter harus membuat rekam medis pasien. Demikian juga mengenai sanksinya terdapat dalam pasal 79. Dalam pasal 2 Permenkes Nomor 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis ditulis bahwa rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap, dan jelas, atau secara elektronik. Rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri. Sayangnya, hingga lebih dari 10 tahun permenkes ini dibuat belum ada aturan lebih lanjut mengenai hal ini. Tentunya akan sulit apabila terjadi suatu sengketa medis apabila tidak ada rekam medis yang baik dan memenuhi syarat sebagai rekam medis elektronik yang dapat dijadikan bukti dalam persidangan.
Aturan yang belum jelas tentang rekam medis tentunya juga akan bersinggungan dengan informed consent yang seharusnya diberikan oleh pasien setelah menerima penjelasan dokter dan bersedia untuk mendapatkan terapi dari dokter. Meskipun dengan telemedisin dokter tidak melakukan suatu tindakan terhadap pasien, namun pemberian obat sebagai terapi dapat menimbulkan risiko bagi pasien misalnya reaksi alergi. Maka sebaiknya pada obat‐obat yang ada kemungkinan menimbulkan efek samping pada pasien tetap dilakukan informed consent secara tertulis. Pada pasal 53 UU Praktik kedokteran disebutkan tentang kewajiban pasien untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. Dalam telemedisin yang umumnya tidak ada tatap muka antara dokter dan pasien, sulit bagi dokter untuk menilai kejujuran pasien mengenai riwayat penyakitnya baik saat ini maupun sebelumnya.
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 10
2. Dilema Etis Dalam Telemedisin
Masalah hukum dalam bidang kesehatan tidak dapat dipisahkan dari masalah etik. Karena hukum berada dalam ranah etik. Dalam bidang kedokteran, etik yang dijadikan dasar adalah prinsip‐prinsip bioetika, yang terdiri dari : beneficence, non maleficence (“first do no harm”), autonomy and respect for person, dan justice.
Keempat prinsip ini ditekankan pada veracity, privacy, confidentiality, dan fidelity. 19
Komunikasi adalah bagian terpenting dalam relasi dokter‐ pasien juga dalam kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam pemberian terapi. Tujuan komunikasi ini adalah educating, collaborating, coordinating, understanding, decision making, dan partnering. Dalam komunikasi menggunakan sarana teknologi tanpa ada tatap muka, komunikasi non verbal tidak mungkin dilakukan. Shared decision making sebagai perwujudan otonomi pasien dimana dokter dan pasien saling mengutarakan pendapat sebelum mengambil keputusan lebih sulit untuk terwujud.20 Comfort dan compassion on dapat terwujud apabila dokter dan pasien bertemu secara langsung.21
Selain masalah di atas, terdapat beberapa masalah etik dalam telemedisin diantaranya adalah kurangnya pertukaran informasi, misalnya karena transmisi gambar yang kurang memadai, apa yang dilakukan selanjutnya apabila dalam komunikasi tenaga kesehatan ternyata tidak ada kesepakatan, kerahasiaan informasi, informed consent, serta kepercayaan sebagai dasar relasi dokter‐pasien22
Di dalam pasal 2 KODEKI 2012 yang mengacu pada sumpah Hipokrates disebutkan bahwa seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Sedangkan pada pasal 7 disebutkan bahwa seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Dokter diajarkan untuk melakukan pemeriksaan fisik secara teliti sebelum menegakkan diagnosa dan memberikan terapi untuk pasien. Meskipun anamesa juga menentukan 20% penegakan diagnosa. Tentunya pemeriksaan fisik pasien tidak dapat dilakukan dalam telemedisin. Sehingga ada kemungkinan penegakan diagnosa tidak dapat dilakukan secara akurat. Bagaimana dengan prinsip beneficence dan non maleficence bagi pasien dalam mendapatkan terapi apabila penegakan diagnosa kurang akurat ?
2. PERANAN PERMENKES NOMOR 20 TAHUN 2019 TENTANG PENYELENGGARAAN
TELEMEDICINE ANTAR FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM MEMBINGKAI PRAKTIK TELEMEDISIN DI INDONESIA
Permenkes Nomor 20 tahun 2019 yang baru diundangkan pada 7 Agustus 2019 hanya mengatur telemedisin antar fasilitas pelayanan kesehatan, bukan mengatur telemedisin
19 Tom L Beauchamp and James F.Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th edition, Oxford University Press, New York, 2013. 20 Penny Duquenoy, Carlisle George, Kai Kimppa, Ethical, Legal, and Social Issues in Medical Informatics, Medical Information Science reference, New York, 2008, p.228-229 21 B Stanberry , Telemedicine : barriers and opportunity in the 21st century, Journal of internal medicine 2000;247:615-628 22 Adnan Atac., Engin Kurt, Eray Yurdakul., An Overview to Ethical Problems in Telemedicine Technology, Social and Behavioural Science 103(2013)116-121
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 11
antara dokter dan pasien secara pribadi, yang justru saat ini makin banyak terjadi termasuk dengan adanya aplikasi konsultasi dokter‐pasien secara online.
Pada pasal 4 disebutkan bahwa pelayanan telemedisin harus dilakukan sesuai dengan standar. Permenkes Nomor 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran pada pasal 10 menyebutkan bahwa Panduan Praktik Klinik harus memuat beberapa hal salah satunya adalah pemeriksaan fisik. Demikian juga di dalam Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006, bahwa dokter harus melakukan pemeriksaan fisik dan mental pasien.23 Nampak di sini bahwa praktik telemedisin tidak dapat mengikuti standar prosedur operasional, karena dokter tidak melakukan pemeriksaan fisk pasien. Karena tidak semua pemeriksaan fisik dapat dilakukan hanya melalui gambar.
Pada pasal 6 disebutkan bahwa fasyankes pemberi konsultasi yang dimaksud adalah rumah sakit, sedangkan fasyankes peminta konsultasi adalah rumah sakit, fasyankes tingkat pertama, dan fasyankes lain, serta dilakukan oleh dokter yang ber SIP di fasyankes tersebut. Jelas bahwa permenkes ini hanya mengatur telemedisin antar fasyankes, tidak dapat diterapkan pada praktik telemedisin yang saat ini banyak berkembang di masyarakat yaitu antara dokter secara pribadi dengan pasien. Saat ini kementrian kesehatan telah mempunyai aplikasi “Temenin (Telemedicine Indonesia)” yang memberikan pelayanan tele‐radiologi, tele‐EKG, tele‐USG, dan tele‐konsultasi yang telah menghubungkan 39 rumah sakit pengampu dan 115 rumah sakit dan puskesmas yang diampu. Sebenarnya dengan aplikasi ini diharapkan amanah pasal 12 Permenkes nomor 20 tahun 2019 ini dapat dipenuhi yakni adanya aplikasi yang disediakan oleh kementrian kesehatan. Tetapi sayangnya sosialisasi yang masih belum optimal menyebabkan aplikasi dan pelayanan telemedisin ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengembangkan telemedisin antar fasyankes.
Perlu diingat sebagaimana tercantum pada pasal 11, bahwa pelayanan telemedisin harus mempunyai ruang tersendiri. Sehingga jelas tidak mungkin melakukan pelayanan telemedisin melalui alat elektronik masing‐masing dokter misalnya melalui telepon genggam atau komputer pribadi yang tidak teregistrasi. Sayangnya tidak ada penjelasan tentang registrasi aplikasi yang digunakan oleh rumah sakit. Demikian juga masih tidak ada sosialisasi yang cukup tentang registrasi rumah sakit pengampu dan fasyankes yang diampu.
Hal penting berkaitan dengan etik dan hukum adalah keamanan data pasien. Pada permenkes ini ditekankan kewajiban menjaga rahasia pasien baik bagi fasyankes pemberi maupun peminta konsultasi. Apabila dikaitkan dengan pasal 6 Peraturan Menkominfo nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, proses perolehan, penyimpanan, pengiriman, dan pemusnahan data pribadi elektronik harus dengan persetujuan tertulis dari pemilik data. Data pribadi ini wajib disimpan dalam sistem elektronik paling singkat selama 5 (lima) tahun. Pengguna data pribadi wajib menjaga kerahasiaan dan melakukan sertifikasi sistem elektronik yang dikelolanya (pasal 27 dan 28), serta apabila terjadi kegagalan perlindungan rahasia data yang dikelola, terdapat beberapa ketentuan yang wajib dilakukan. Berdasarkan Peraturan Menkominfo nomor 4 tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi, rumah sakit tergolong sebagai penyelenggara sistem elektronik pelayanan publik yang berupa korporasi,
23 Konsil Kedokteran Indonesia, Penyelengaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia, 2006, h.8
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 12
sehingga harus menerapkan sistem manajemen pengamanan informasi. Sistem elektronik yang dipakai, berdasarkan asas risiko adalah sistem elektronik rendah yang harus menerapkan pedoman Indeks Keamanan Informasi. Pada pasal 10 disebutkan bahwa penyelenggara harus memiliki sertifikat sistem manajemen pengamanan informasi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi tertentu.
Dalam pasal 15 permenkes nomor 20 tahun 2019, diatur tentang pembiayaan pelayanan telemedisin. Prinsip justice sebagai salah satu asas bioetik juga harus memperhatikan keadilan bagi dokter sebagai pemberi layanan telemedisin. Tidak mungkin dokter sebagai seorang profesional yang harus siap melakukan konsultasi dalam 24 jam seperti dalam pasal 17 permenkes ini, tidak mendapatkan jasa medis yang layak. Namun dalam permenkes ini tidak ada penjelasan terperinci tentang tata cara pembiayaan layanan telemedisin, meskipun pada pasal 16 disebutkan bahwa pengajuan klaim biaya dilakukan melalui aplikasi. Dikhawatirkan apabila tidak ada pengaturan yang jelas, maka sistem pembiayaan ini tidak akan berjalan dengan baik dan akan menghambat pelaksanaan telemedisin karena tidak ada keadilan dalam hal pemenuhan hak pemberi layanan telemedisin.
KESIMPULAN 1. Pelaksanaan telemedisin di Indonesia masih mempunyai banyak kendala dari sisi etik dan
hukum. Perkembangan telemedisin tidak berjalan selaras dengan regulasi yang dibuat. Dari sisi etika yang mengacu pada prinsip bioetika beneficence, non‐maleficence, autonomy, dan justice, praktik telemedisin memungkinkan untuk membahayakan keselamatan pasien karena dokter tidak melakukan pemeriksaan secara langsung pada pasien. Relasi dokter‐pasien juga makin memudar. Di sisi lain hal ini juga akan membahayakan posisi dokter yang melakukan telemedisin karena saat ini makin banyak tuntutan malpraktik.
2. Permenkes Nomor 20 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan belum cukup sebagai pedoman pelaksanaan telemedisin di Indonesia, karena aturan yang ada di dalamnya tidak cukup terperinci. Belum adanya penjelasan tentang registrasi dan aturan pembiayaan merupakan salah satu kekurangan dalam permenkes ini. Apabila permenkes ini tidak diperjelas dengan peraturan pelaksanaannya, dikhawatirkan layanan telemedisin akan “mati suri” dan tidak tercapai tujuan semula yaitu pemerataan layanan kesehatan di Indonesia.
SARAN 1. Dibuat peraturan yang lebih terperinci berkaitan dengan etik dan hukum, sehingga
pelaksanaan telemedisin tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga tidak membahayakan bagi pihak pemberi maupun penerima layanan telemedisin
2. Ditetapkannya Permenkes Nomor 20 tahun 2019 diharapkan memicu adanya aturan tentang telemedisin tidak hanya antar fasyankes, tetapi antar dokter dan pasien secara pribadi sehingga dapat memfasilitasi perkembangan telemedisin yang saat ini mulai berkembang di Indoneisa.
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 13
DAFTAR PUSTAKA
Kode Etik Kedokteran Indonesia, tahun 2012
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia, 2006
Atac, Adnan., Kurt, Engin, Yurdakul, Eray., An Overview to Ethical Problems in Telemedicine Technology, Social and Behavioural Science 103(2013)116‐121
Beauchamp, Tom L. and James F.Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th edition, Oxford University Press, New York, 2013.
Boxer, Richard J., Telemedicine in Global Context, mHealth 2015;1:12, available at : www.themhealth.org
Clark, Peter A., Capuzzi, Kevin., Harisson, Joseph., Telemedicine : medical, Legal, and Ethical Perspectives, Med Sci Monit, 2010;16(12):RA261‐272
Darkins, Adam W. and Cary Margaret A. Telemedicine and Telehealth (Principles, Policies, performance, and Pitfalls, Springer Publishing Company Inc., New York, 2000
Duquenoy, Penny., George, Carlisle., Kimppa, Kai., Ethical, Legal, and Social Issues in Medical Informatics, Medical Information Science reference, New York, 2008
Doherty, Regina F., Purtilo, Ruth B., Ethical Dimension in The Health Proffesions, Elsevier, USA, 2016
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Telemedisin Rekomendasi IDI Untuk masa Depan Digitalisasi Kesehatan di Indonesia, 2018
WHO, Telemedicine Oppurtunities and Developments in Memver States : Report on The Second Global Survey on eHealth, Global Observatory for eHealth Series, Vol.2, 2009
Konsil Kedokteran Indonesia, Penyelengaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia, 2006
Nugraha, Dwi C., An Overview of e‐Health in Indonesia : Past and Present Applications, IJECE Vol.7, No.5, October 2017:2441‐2450
Oh, Ji‐Young., Park, Yaoung‐Taek, Jo, Emmanuel C., et al., Current Status and Progress of Telemedicine in Korea and Other Countries, Healthc Inform Res, 2015, October;21(4):239‐243
Prawiroharjo, Pukovisa., Mulyana, Rudi M., Pratomo, Sidi., benarkah Dokter Spesialis yang Tugas Jaga Pasti Melakukan Pelanggaran Etik Jika Sekedar menjawab Konsul per Telepon Untuk Pertolongan Kegawatdaruratan ?, Jurnal Etika kedokteran Indonesia Vol.2, 2018;2(1):31‐9
Prawiroharjo, Pukovisa., Pratama,Peter., Librianty, Nurfanida., Layanan Telemedis di Indonesia : keniscayaan, risiko., dan Batasan etika, JEKI. 2019;3(1):1–9. doi: 10.26880/jeki.v3i1.27.
Santosa, Frans., Purwadianto, Agus., Sidipratomo, Prijo., et al.,Sikap Etis Dokter pada Paien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine,Jurnal Etika kedokteran Indonesia Vol.2, 2018;2(2):53‐7
Stanberry B., Telemedicine : barriers and opportunity in the 21st century, Journal of imnternal medicine 2000;247:615‐628
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan TERAKREDITASI RISTEKDIKTI Peringkat 4 ISSN:2548‐818X (media online) Vol. 6 (1) Juni 2020
http://journal.unika.ac.id/index.php/shk 14
Tarigan, Irwan J., Alamsyah, Bhakti., Aryza, Solly., et al., Crime Aspect of Telemedicine Health Technology, International Journal of Civil engineering and Technology, Vol 9, Issue 10, October 2018, pp.480‐490
Tuckson, Reed V., Edmunds Margo., Hodgkin Michael L., Telehealth, The New England Journal of Medicine, 2017;377:1585‐1592
www.bps.go.id
DOI: https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606