DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI ...
Transcript of DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI ...
167
Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi ISSN : 2442 - 9708 (Online)
Vol. 19 No. 2 September 2019 :167-190 ISSN : 1411 - 8831 (Print)
Doi: http://dx.doi.org/10.25105/mraai.v19i2.3854
DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG
TERALIENASI: DIALOG IMAJINER KONSTRUKSIONIS DAN
DEKONSTRUKSIONIS
Akhmad Riduwan1
Andayani2 1,2Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
Abstract
This article aims to elevate the critical dimension of accounting thoughts which is
alienated and repressed by dominant mainstream thought. This article is also aims to
build awareness of accounting academics and practitioners that financial accounting
can developed by reflecting on critical theories of sociology. This article is prepared
based on the literature review. The literature of accounting practices and financial
reporting are explore along with the exploration of the underlying critical thoughts. To
achieve the objectives of the study, the conceptual framework of financial reporting is
examined from a constructionist and deconstructionist perspective. The study was
conducted contemplatively on the basis of critical sociological theory. The results of the
study from the constructionist and deconstructionist perspective are presented in an
imaginary-contemplative dialogue format. The results of the review indicate that: (1)
the critical dimension of accounting thought needs to be raised in the effort to develop
the concept and practice of financial reporting, so that it can become alternative
thinking without destructing mainstream thinking; (2) the concepts and practices of
ongoing financial reporting practices can be evaluated by reflecting on sociological-
critical theories relevant to the context; and (3) the development of concepts and
practices of financial reporting should also be based on public interest in general
Keywords: Accounting Thought; Constructionist; Critical Theory; Deconstructionist;
Financial Reporting; Imaginary Dialogue.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk meningkatkan dimensi kritis pemikiran akuntansi yang
teralienasi dan ditekan oleh pemikiran utama yang dominan. Artikel ini juga bertujuan
untuk membangun kesadaran akademisi dan praktisi akuntansi bahwa akuntansi
keuangan dapat dikembangkan dengan merefleksikan teori kritis sosiologi. Artikel ini
disusun berdasarkan tinjauan literatur. Literatur praktik akuntansi dan pelaporan
keuangan mengeksplorasi bersama dengan eksplorasi pemikiran kritis yang
mendasarinya. Untuk mencapai tujuan penelitian, kerangka kerja konseptual
pelaporan keuangan diperiksa dari perspektif konstruksionis dan dekonstruksionis.
Studi ini dilakukan secara kontemplatif berdasarkan teori sosiologis kritis. Hasil studi
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
168
dari perspektif konstruksionis dan dekonstruksionis disajikan dalam format dialog
imajiner-kontemplatif. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa: (1) dimensi kritis pemikiran
akuntansi perlu dinaikkan dalam upaya mengembangkan konsep dan praktik pelaporan
keuangan, sehingga dapat menjadi pemikiran alternatif tanpa merusak pemikiran
mainstream; (2) konsep dan praktik pelaporan keuangan yang sedang berlangsung
dapat dievaluasi dengan merefleksikan teori sosiologis-kritis yang relevan dengan
konteksnya; dan (3) pengembangan konsep dan praktik pelaporan keuangan juga
harus didasarkan pada kepentingan publik secara umum
Kata kunci: Pemikiran Akuntansi; Konstruksi; Teori Kritis; Dekonstruksionis;
Laporan keuangan; Dialog Imajiner.
JEL Classification : M41
Submission date: Januari 2019 Accepted date: Agustus 2019
*Corresponding Author
PENDAHULUAN
Masyarakat akuntansi (accounting society) makin plural. Pluralistik masyarakat
akuntansi tersebut terefleksi dari perkembangan kelompok pemikir akuntansi yang
dikelompokkan oleh Chua (1986) dalam tiga klasifikasi, yaitu mainstream accounting
thinker, interpretive accounting thinker, dan critical accounting thinker. Chua (1986)
berpendapat bahwa masing-masing kelompok pemikir tersebut memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengembangkan praktik akuntansi menjadi lebih baik, tetapi melalui jalan
atau perspektif pemikiran yang berbeda. Bebbington et al. (2007) dan Norreklit et al.
(2016a, 2016b) meyakini bahwa perkembangan praktik akuntansi dari waktu ke waktu
tidak lepas dari kontribusi kelompok pemikir tersebut, baik dari hasil pemikiran
konseptual maupun hasil-hasil penelitian empiris.
Pemikiran dan penelitian akuntansi, sejak sebelum tahun 1980-an, menurut Chua
(1986), sudah tidak lagi didominasi oleh mainstream accounting thinker, karena
interpretive accounting thinker dan critical accounting thinker mulai menunjukkan
eksistensinya. Pemikiran konseptual maupun penelitian empiris dalam rangka evaluasi
dan pengembangan praktik akuntansi tidak lagi dijustifikasi dari aspek ekonomik yang
serba terukur (oleh mainstream accounting thinker), tetapi juga dijustifikasi secara
kritis dari aspek sosiologi akuntansi (oleh interpretive dan critical accounting thinker).
Rosenfield (2003) mengakui bahwa akuntansi memang berakar dari ilmu ekonomi atau
ilmu keuangan, tetapi tidak seharusnya justifikasi akuntansi hanya berefleksi pada ilmu
ekonomi dan keuangan.
Annisette dan Richardson (2011) menyatakan bahwa analisis dan justifikasi
praktik akuntansi dengan teori-teori sosiologi akan menjadikan diskursus akuntansi
lebih mudah dipahami dan lebih bermakna, daripada sekadar justifikasi dengan teori
ekonomi dan teori keuangan. Pernyataan Annisette dan Richardson (2011) tersebut
dilandasi oleh fakta bahwa dimensi pemikiran dan penelitian akuntansi telah
mengalami perkembangan signifikan. Justifikasi pemikiran dan penelitian akuntansi
saat ini tidak hanya dilakukan dengan berefleksi pada teori ekonomi maupun keuangan
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
169
sebagai induk dari akuntansi, tetapi juga berefleksi pada teori-teori sosiologi kritis
(critical sociology theory) (Cooper dan Hopper, 1987).
Pemikiran dan penelitian akuntansi dengan basis teori sosiologi kritis sebagai
justifikasi sudah banyak dilakukan. Sebagai contoh, Cooper dan Gallhofer (1992)
berfikir kritis tentang akuntansi dengan filsafat dekonstruksi Jacques Derrida; Stewart
(1992), Tinker (2005), Edgley (2010) saling berargumen tentang keunggulan dan
kelemahan praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori sosiologi Michel Foucault;
Hammond et al. (1992) melakukan kritik dan mengusulkan perbaikan praktik akuntansi
dengan teori feminisme; Broadbent dan Laughlin (1997) serta Hassan (2008)
mengevaluasi era perkembangan organisasi dan kompleksitas praktik akuntansi dengan
berefleksi pada teori kritis Jurgen Habermas.
Contoh lain penggunaan teori sosiologi kritis dalam menjustifikasi keunggulan
dan kelemahan praktik akuntansi dapat dilihat pada Bryer (1999a dan 1999b) yang
mengkritik praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori ekonomi-politik (political-
economy) Karl Marx. Lihat pula Goddard (2004), Shenkin dan Coulson (2007), Yin-Xu
dan Xiaoqun-Xu (2008) Malsch et al. (2011), Jacobs dan Evans (2012), Lupu dan
Empson (2015), Lombardi (2016); Kartalis et al. (2016), mereka saling berargumen
tentang keunggulan dan kelemahan praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori
sosiologi kritis Habitus Pierce Bourdieu.
Pemikiran dan penelitian akuntansi lain yang juga menggunakan teori sosiologi
kritis adalah Goddard (2002) dan Andrew (2012) yang mengkritik praktik akuntansi
sebagai alat dominasi (hegemoni) oleh suatu pihak atas pihak lain, dan karenanya,
praktik akuntansi yang demikian harus direvisi. Goddard (2002) dan Andrew (2012)
mengemukakan dan menjustifikasi kritik mereka dengan berefleksi pada pemikiran
kritis Antonio Gramsci tentang Prison and Hegemony. Sementara itu, Macintosh et al.
(2000) mengkritik bahwa realitas ekonomik yang direpresentasikan oleh akuntansi
melalui laporan keuangan (dalam konteks income dan capital) bersifat melampaui
realitas yang ingin direpresentasikan atau hyperreality. Macintosh et al. (2000)
berefleksi pada teori kritis Jean Baudrillard tentang Order of Simulacra. Pandangan
Macintosh et al. (2000) tersebut ditepis oleh Mouck (2004) dengan berefleksi pada
filsafat John Searle, ditepis oleh McKernan (2007) berbasis filasafat Donald Davidson,
dan juga dikritik balik oleh Davison (2011) dengan berefleksi pada teori semiotika
Roland Barthes.
Pemikiran dan penelitian-penelitian akuntansi berbasis pada teori sosiologi kritis
tersebut di atas, mengacu pada Cooper dan Hopper (1987), dapat diklasifikasikan
dalam dua kelompok pemikir, yaitu konstruksionis (constructionist) dan
dekonstruksionis (deconstructionist). Konstruksionis adalah kelompok yang memiliki
pemikiran konstruktif, yang selalu melihat aspek kekuatan atau keunggulan praktik
akuntansi; sedangkan dekonstruksionis adalah kelompok yang memiliki pemikiran
dekonstruktif yang selalu melihat aspek kelemahan atau kekurangan akuntansi. Namun
demikian, seperti dikemukakan oleh Chua (1986), konstruksionis dan dekonstruksionis
memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan praktik akuntansi lebih baik, bermakna,
dan bernilai (lihat juga Morgan dan Willmott, 1993; Laughlin, 1999; serta Lee dan
Humphrey, 2006).
Skinner (2003) menyatakan bahwa dekonstruksi dalam pandangan post-
structuralist berbeda dengan rekonstruksi dan destruksi. Dekonstruksionis tidak
bermaksud merusak konstruksi (tatanan) praktik akuntansi, tetapi menolak penunggalan
konstruksi yang dianggap superior dan dominan. Dekonstruksionis bermaksud
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
170
memasukkan pemikiran alternatif tanpa merusak pemikiran lain. Walaupun perspektif
pemikiran konstruksionis dan dekonstruksionis berbeda dalam mengevaluasi praktik
akuntansi, tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu mengunakan teori sosiologi kritis
sebagai refleksi. Artinya, dalam menjustifikasi keunggulan dan kelemahan praktik
akuntansi, mereka meninggalkan teori ekonomi dan keuangan. Perspektif
konstruksionis dan dekonstruksionis tersebut berbeda dengan perspektif kelompok
pemikir strukturalis (structuralist).
Artikel ini bertujuan untuk membangun kesadaran akademisi dan praktisi
akuntansi, bahwa (1) perkembangan akuntansi tidak lepas dari pertentangan pemikiran
dari waktu ke waktu; (2) akuntansi tidak hanya dapat dikembangkan dengan berefleksi
pada teori ekonomi dan keuangan, tetapi juga dapat dikembangkan dengan berefleksi
pada teori-teori sosiologi kritis yang selama ini termarjinalkan atau bahkan teralienasi;
dan (3) akuntan bukan manusia satu dimensi (one dimension man), tetapi manusia yang
mampu memandang dan menemukan realitas profesinya dari berbagai dimensi secara
kritis.
REVIU LITERATUR
Konstruksionisme
Konstruksionisme (constructionism) adalah sebuah pemikiran atau perspektif
yang meyakini bahwa seluruh realitas sosial merupakan hasil konstruksi manusia
secara kolektif dan bukan realitas yang muncul secara berian (given) seperti realitas
alam (Talja et al., 2015). Konstruksi realitas yang dimaksud adalah hasil dari proses
sosial yang memerlukan keterlibatan banyak orang (yang disebut para aktor), dan tidak
dapat dilakukan secara individual (Wilson dan Tagg, 2010). Karena merupakan hasil
konstruksi sosial, maka realitas tersebut bersifat subjektif, nilai (value)-nya bergantung
pada self-image yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, dan self-image
itulah yang selanjutnya akan menentukan bagaimana norma-norma sosial dibentuk dan
dijalankan bersama (Antonio dan Ponea, 2010).
Jika dikaitkan dengan akuntansi, konstruksionis (constructionist) adalah
kelompok pemikir yang memiliki perspektif bahwa akuntansi merupakan praktik sosial
yang dibentuk dan disepakati bersama oleh para akuntan sebagai aktor (Norreklit et al.,
2016). Dalam komunitasnya, para akuntan (aktor) membangun self-image tentang nilai
(value) dari akuntansi, yang kemudian self-image tersebut diwujudkan sebagai standar
akuntansi yang menjadi norma dalam praktik akuntansi (Rutherford, 2003; Norreklit et
al., 2016). Dengan demikian, konsisten dengan pernyataan Antonio dan Ponea (2010),
praktik akuntansi secara substantif bersifat subjektif (Pianezzi dan Cinquini, 2016).
Para konstruksionis berpandangan bahwa praktik akuntansi harus dilaksanakan
berdasarkan norma yang disepakati, dan norma tersebut dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan yang juga disepakati (Quattrone, 2000; Macintosh dan Beech,
2011). Konstruksionis juga berpandangan bahwa norma akuntansi tersebut harus dibuat
secara holistik dengan memerhatikan berbagai aspek yang tidak terbatas pada aspek
ekonomik, tetapi juga aspek sosial secara luas (Refai et al., 2015; Seal dan Mattimoe,
2016).
Dekonstruksionisme
Dekonstruksionisme (deconstructionism) memiliki keyakinan yang sama dengan
konstruksionisme (constructionism), bahwa seluruh realitas sosial merupakan hasil
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
171
konstruksi manusia secara kolektif (Fuchs et al., 1994). Namun demikian, seperti
dijelaskan Fuchs et al. (1994), pemikiran dekonstruksionisme mengambil perspektif
yang agak berbeda dengan konstruksionisme dalam hal proses pembentukan realitas.
Dekonstruksionisme meyakini bahwa pembentukan realitas sosial tidak bebas dari
ideologi dan kepentingan para aktor, dan karenanya, realitas sosial sarat nilai, bukan
sekedar subjektif. Farmer (1997) menyatakan bahwa dekonstruksionisme yakin selalu
ada kepentingan tersembunyi di balik realitas yang dibangun oleh para aktor.
Lebih lanjut, Farmer (1997) menegaskan bahwa dekonstruksionisme memandang
self-image atas realitas sosial merupakan produk dari bahasa (language). Para aktor
memilih kata-kata secara cermat dan penuh kesadaran untuk membangun narasi besar
(grand narrative) tentang nilai (value) atas realitas, dengan memasukkan faktor
ideologi ke dalamnya (lihat juga MacDonald, 1999). Oleh karena itu, seperti
dikemukakan oleh Weitzner (2007), dekonstruksionis selalu membawa kecurigaan
dalam upaya memahami realitas sosial, yaitu kecurigaan pada narasi besar (yang pada
umumnya dimanifestasikan dalam bentuk teks – dalam arti luas) yang dibangun untuk
menciptakan nilai (value) atas realitas dan menumbuhkan keyakinan atas value
tersebut. Weitzner (2007) menjelaskan lebih lanjut, bahwa narasi besar itulah yang
menjadi sasaran para dekonstruksionis untuk dianalisis (dibongkar) dalam rangka
menemukan kepentingan-kepentingan tersembunyi, atau setidaknya, menemukan nalar
yang dianggap keliru.
Jika dikaitkan dengan akuntansi, dekonstruksionis (deconstructionist) adalah
kelompok pemikir yang memiliki perspektif bahwa akuntansi merupakan praktik sosial
yang sarat nilai, ideologis, dan tentu saja politis (Choudhury, 2015). Dalam sudut
pandang dekonstruksionis, praktik akuntansi dibentuk dan disepakati bersama oleh para
akuntan (sebagai aktor) untuk memenuhi berbagai tujuan dan kepentingan, misalnya
kepentingan entitas pelaporan (manajemen), pemegang saham (pemilik modal),
kreditor, atau bahkan kepentingan kelompok profesional akuntan sendiri, dan dengan
demikian, akuntansi tidaklah netral (McKernan dan Kosmala, 2007).
Chabrak dan Burrowes (2006) memberikan gambaran bahwa dekonstruksionis
memandang para akuntan membangun self-image tentang nilai (value) dari akuntansi
melalui narasi besar (grand narrative) untuk memberikan keyakinan kepada khalayak.
Narasi besar tersebut terefleksi pada berbagai bentuk teks, dan salah satu di antara teks
tersebut adalah standar akuntansi yang menjadi norma dalam praktik akuntansi.
Sebelum Chabrak dan Burrowes (2006), telah diungkapkan oleh Macintosh dan Baker
(2002), bahwa narasi besar (grand narrative) dalam “teks” akuntansi merupakan
sasaran para dekonstruksionis untuk dianalisis dalam rangka menemukan nalar yang
dianggap keliru, atau lebih ekstrim, menemukan pemikiran yang dianggap superior dan
merepresi pemikiran yang lain.
Skinner (2003) mengungkapkan bahwa dekonstruksionis memposisikan diri
sebagai penyeimbang konstruksionis dalam memandang realitas. Konstruksionis dan
dekonstruksionis sebenarnya memiliki pandangan yang sama tentang akuntansi
(sebagai praksis), akuntan (sebagai pribadi), dan akuntabilitas (sebagai tujuan), yaitu
menjadikan ketiganya bermakna dan bernilai secara sosial. Namun demikian, kedua
kelompok pemikir tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang kebermaknaan,
kebernilaian, atau kebenaran. Konstruksionis memandang bahwa kebenaran harus
bersifat universal, sedangkan dekonstruksionis memandang bahwa kebenaran bersifat
parsial atau segmental.
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
172
Teori Kritis
Carr (2005) menyatakan bahwa teori kritis (critical theory) adalah sebuah istilah
yang merujuk pada semua konsep atau pemikiran yang menekankan evaluasi reflektif
dan kritis pada suatu realitas. Konsep dan pemikiran tersebut pada umumnya
dikembangkan dari ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dant (2003) menjelaskan
bahwa pada awalnya istilah teori kritis menggambarkan pemikiran-pemikiran filosofis
neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Tokoh
kritis Mazhab Frankfurt adalah Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer,
Walter Benjamin, dan Erich Fromm, yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya,
antara lain Gyorgy Lukacs (Hungaria), Antonio Gramsci (Italia), Jean Baudrillard
(Perancis), Jacques Derrida (Algeria), Paul Ricouer (Perancis), Jürgen Habermas
(Jerman), Pierce Bourdieu (Perancis), dan lainnya. Dant (2003) menegaskan bahwa
pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt muncul karena kepedulian mereka
terhadap dasar dan suprastruktur sosial yang timpang pada saat itu. Pemikiran kritis
Mazhab Frankfurt pada hakikatnya merujuk pada realitas sosial bahwa kepentingan dan
ideologi adalah dua alat dominasi suatu kelompok masyarakat atas kelompok
masyarakat lainnya, dan karenanya, kepentingan dan ideologi merupakan kendala
utama untuk pembebasan manusia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa teori kritis (critical theory) bukanlah teori
tunggal, tetapi mencakup berbagai pemikiran kritis yang berbeda, dengan arah dan
tujuan yang sama, yaitu pembebasan (liberation) manusia dari dominasi. Carr (2003)
mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya, sebagai istilah, teori kritis memiliki
dua makna berdasarkan asal-usul dan sejarah yang berbeda. Pertama, sesuai dengan
asal-usulnya, teori kritis bermakna sebagai pemikiran kritis (critical thinking), dan
kedua, sesuai dengan perkembangan sejarah, teori kritis bermakna sebagai alat analisis
kritis (critical analysis tools). Oleh karena itu, pada saat ini banyak akademisi dan
praktisi yang menyebut dirinya dengan nama pemikir kritis yang bersangkutan ketika
mereka menggunakan teori kritis tertentu untuk menganalisis suatu realitas sosial.
Sebagai contoh, penyebutan diri sebagai Habermasian (pengagum dan pengguna
pemikiran Jurgen Habermas), Derridean (pengagum pemikiran Jacque Derrida),
Gramscian (pengagum pemikiran Antonio Gramsci), Baudrillardian (pengagum
pemikiran Jean Baudrillard), dan lain-lain.
Dant (2003) menjelaskan bahwa tradisi kritis memiliki tiga karakteristik esensial.
Pertama, tradisi kritis memandang sistem, struktur kekuasaan dan ideologi yang
mendominasi masyarakat, dengan cara perspektif khusus misalnya: siapa berkuasa dan
siapa dikuasai; siapa dapat menyuarakan kepentingan dan siapa tidak; kepentingan
siapa yang dilayani dan kepentingan siapa yang dikorbankan. Kedua, para pemikir
(penyusun teori) dalam tradisi kritis secara khusus berkeinginan untuk melawan kondisi
sosial dan struktur kekuasaan yang tidak adil untuk membangkitkan emansipasi atau
membebaskan masyarakat dari dominasi dan represi. Ketiga, tradisi kritis berusaha
membangun kesadaran sosial melalui pemikiran-pemikiran lain yang berbeda untuk
menimbulkan perubahan kondisi masyarakat, sehingga tradisi kritis lebih memberi
perhatian dan berpihak kepada kelompok yang termarginalkan.
Dant (2003) juga menjelaskan bahwa tradisi kritis menaruh minat pada
penggunaan dan permainan bahasa. Dalam perspektif pemikir kritis, bahasa digunakan
oleh pihak-pihak dominan untuk menyembunyikan kepentingan. Bahasa mampu
mengkonstruksi pikiran manusia, bahkan mampu menempatkan manusia pada posisi
tertentu. Menurut Dant (2003), kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
173
suatu bahasa penindasan dan penge-kangan, yang membuat kelas terdominasi menjadi
ragu atas pikirannya sendiri, bahkan teralienasi dari dirinya sendiri (lihat juga Reiter,
1995; Farrands dan Worth, 2005).
Kewajiban teori kritis, menurut Dant (2003) adalah menciptakan bentuk-bentuk
bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannnya paradigma dominan. Tugas teori
kritis adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui
analisis dialektika. Hanya dengan melihat dialektika dari kekuatan-kekuatan yang
saling berlawanan, akan terbentuk suatu sintesis tentang tatanan baru, tatanan yang
tidak mendominasi. Dialektika juga merupakan suatu bentuk tindakan atau, dalam
istilah teori kritis, praxis, karena meruntuhkan kemamapan melalui seperangkat
kontradiksi.
METODE PENELITIAN
Objek Kajian
Literatur merupakan objek kajian dalam artikel ini. Literatur kerangka konseptual
dan pelaporan keuangan dieksplorasi bersamaan dengan eksplorasi hasil penelitian dan
pemikiran kritis yang melandasinya. Dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas
diskusi, tanpa mengesampingkan tujuan, artikel ini dibatasi pada dua objek kajian,
yaitu (a) representasi fenomena ekonomik melalui simbol bahasa akuntansi, serta (b)
standar akuntansi berbasis prinsip (principles-based standards) dan standar akuntansi
berbasis aturan (rules-bases standards).
Untuk mencapai tujuan kajian, kerangka konseptual pelaporan keuangan dikaji
dari sudut pandang kelompok pemikir konstruksionis dan dekonstruksionis. Kajian
dilakukan secara kontemplatif dengan berfleksi pada teori sosiologi kritis. Posisi
konstruksionis dan dekonstruksionis disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Bidang Kajian, Kelompok Pemikir, Objek Kajian, dan Refleksi
Bidang Kajian Kelompok Pemikir Objek Kajian Refleksi (Teori Kritis)
1. Representasi
Fenomena
Ekonomik
Melalui Simbol
Bahasa Akuntansi
a. Dekonstruksionis Kelemahan representasi
fenomena ekonomik
melalui simbol bahasa
akuntansi
Teori Order of
Simulacra Jean
Baudrillard
b. Konstruksionis Keunggulan
representasi fenomena
ekonomik melalui
simbol bahasa
akuntansi
Teori Communicative-
Action Jurgen
Habermas
2. Principles-Based
Standards dan
Rules-Based
Standards
a. Dekonstruksionis Kelemahan Principles-
Based Standards
Teori Archeology of
Knowledge Michel
Foucault
b. Konstruksionis Keunggulan Principles-
Based Standards
Teori Etika Keutamaan
(Virtue Ethics)
Aristoteles
Penyajian Hasil
Terinspirasi oleh Hines (1988), hasil kajian pemikiran konstruksionis dan
dekonstruksionis disajikan dalam format dialog imajiner-kontemplatif. Hines (1988)
menyatakan bahwa dialog imajiner (imaginary dialogue) merupakan dialog yang tidak
benar-benar terjadi, tetapi hanya merupakan imajinasi penulis (peneliti) untuk
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
174
menggambarkan dua pihak atau lebih yang sedang bercakap atau beropini, karena
pihak-pihak tersebut tidak benar-benar dihadirkan untuk didengar percakapannya.
Dalam artikel ini, format dialog imajiner dipandang sebagai sebuah cara
[alternatif] untuk menggambarkan atau menjelaskan perbedaan pandangan dua
kelompok pemikir melalui suatu bentuk percakapan. Dialog imajiner disajikan secara
kontemplatif, yaitu disajikan melalui perenungan dan mengandalkan kemampuan akal
atau intuisi penulis dalam memahami situasi atau konteks dialog.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Representasi Fenomena Ekonomik Melalui Simbol Bahasa Akuntansi
Metafora “akuntansi sebagai bahasa bisnis” sudah sangat lama digunakan dalam
buku-buku teks akuntansi untuk menjelaskan fungsi akuntansi dan pelaporan keuangan
(Bloomfiels, 2008). Dalam konteks akuntansi sebagai bahasa bisnis tersebut, agar
informasi keuangan menjadi berguna, Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan
menetapkan “relevansi (relevance)” dan “representasi tepat (faithfull representation)”
sebagai karakteristik kualitatif fundamental, dan “keterpahaman (understandability)”
sebagai karakteristik kualitatif yang mampu meningkatkan kebermanfaatan informasi
keuangan bagi pengguna.
Berefleksi pada teori sosiologi kritis (critical sociology theory), konstruksionis
dan dekonstruksionis memberikan pandangan yang berbeda tentang hal tersebut.
Dekonstruksionis : Keterpahaman memang hal penting dalam komunikasi. Makin
terpahami makna kata dan angka sebagai simbol bahasa bisnis,
makin berguna informasi akuntansi. Tetapi, di sinilah letak
masalahnya, makin banyak simbol-simbol akuntansi yang
hyperreality, sehingga sulit dipahami.
Konstruksionis : Hiperreality? Apa yang anda maksud?
Dekonstruksionis : Hyperreality adalah situasi di mana realitas (fenomena) yang
direpresentasikan oleh simbol tidak jelas, realitas tidak ada dalam
dunia nyata sebagai fenomena ekonomik, atau simbol tidak
bersinggungan sama sekali dengan realitas. Dampaknya, laporan
keuangan saat ini makin sulit terpahami.
Konstruksionis : Hhmmm... sudut pandang apa yang anda pakai sehingga anda
memiliki pemikiran demikian.
Dekonstruksionis : Saya berfikir dari sudut pandang Order of Simulacra, pemikiran
Jean Baudrillard, filsuf pos-strukturalis Perancis. Berefleksi pada
pemikiran Baudrillad tentang order of simulacra dalam kehidupan
sosial, saya sependapat dengan Macintosh et al. (2000), bahwa
saat ini makin banyak simbol akuntansi, kata dan angka, yang
tidak memiliki rujukan secara jelas pada objek dan peristiwa nyata.
Baudrillard menyebutnya simulacra, yaitu ada simbol, tetapi tidak
jelas atau bahkan tidak ada realitas yang disimbolkan. Sulit
dipahami.
Konstruksionis : Saya rasa hal itu tidak mugkin terjadi pada akuntansi.
Dekonstruksionis : Baiklah, saya akan jelaskan pemikiran saya. Berefleksi pada
pemikiran Baudrillard, saya melihat beberapa simbol dalam
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
175
laporan keuangan merupakan hasil produksi dari simbol lain, dan
simbol baru tersebut selanjutnya mereproduksi simbol baru yang
lain lagi. Baudrillard menyatakan bahwa simbol-simbol itu
hanyalah hasil simulasi belaka.
Konstruksionis : Coba beri contoh.
Dekonstruksionis : Saya beri contoh yang sangat sederhana. Akun beban kerugian
piutang merupakan akun yang diproduksi oleh akun lain, yaitu
kenaikan jumlah penyisihan piutang tak tertagih. Realitas
(fenomena) ekonomik apa yang direpresentasikan oleh beban
kerugian piutang? Tidak ada, karena memang tidak atau belum
ada piutang yang benar-benar tidak tertagih.
Konstruksionis : Wah, pikiran anda mulai kacau. Apakah anda tidak sadar bahwa
fenomena ekonomik beban kerugian piutang adalah estimasi
kerugian akibat ada piutang yang telah lama jatuh tempo tetapi
belum juga diterima pembayarannya?. Prinsip konservatif
mengharuskan pengakuan estimasi kerugian tersebut.
Dekonstruksionis : Ha ha ha...saya sudah menduga anda akan berargumen dengan
dasar prinsip konservatif. Saya juga sependapat dengan prinsip
konservatif, dan karenanya, saya sependapat untuk menurunkan
nilai piutang dengan membentuk “penyisihan piutang tak
tertagih”. Sebagai simbol fenomena ekonomik, penyisihan
piutang tak tertagih memang merepresentasikan fenomena
ekonomik yang jelas, yaitu fenomena adanya piutang yang
kemungkinan tidak tertagih berdasarkan estimasi. Tetapi, beban
kerugian piutang hanyalah murni simbol (pure simulacrum), hasil
produksi dan simulasi dari akun “penyisihan piutang tak tertagih”,
fenomena ekonomik yang disimbolkan tidak ada dalam dunia
nyata, kecuali dirasionalisasi oleh prinsip korservatif.
Coba bayangkan, jika pada periode akuntansi berikutnya jumlah
penyisihan kerugian piutang mengalami penurunan, akan terjadi
reproduksi simbol berupa akun “laba penurunan penyisihan
piutang tak tertagih” yang juga murni simbol (pure simulacrum),
hasil simulasi, tidak terpahami oleh awam.
Konstruksionis : Tampaknya anda lupa definisi “beban” dan “pendapatan” dalam
akuntansi. Ingat bahwa beban adalah penurunan nilai aset atau
kenaikan nilai kewajiban yang tidak disebabkan oleh transaksi
dengan pemilik modal. Demikian pula, pendapatan adalah
kenaikan nilai aset atau penurunan nilai kewajiban yang tidak
disebabkan oleh transaksi dengan pemilik modal. Jadi, beban
kerugian piutang adalah jumlah penurunan nilai piutang karena
ada estimasi jumlah piutang yang mungkin tidak tertagih.
Demikian sebaliknya, untuk laba penurunan penyisihan piutang
tak tertagih.
Dekonstruksionis : Ha ha ha... ada terjebak definisi. Dalam akuntansi, semua menjadi
benar jika dikembalikan pada definisi, tak terkecuali munculnya
simbol “beban kerugian piutang” atau “laba penurunan
penyisihan piutang tak tertagih” tadi.
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
176
Mengomunikasikan informasi keuangan melalui simbol bukanlah
persoalan definisi asal-usul simbol, tetapi lebih berkaitan dengan
persoalan “fenomena ekonomik” apa yang disimbolkan. Pengguna
laporan keuangan harus memahami fenomena ekonomik yang
direpresentasikan tanpa harus memahami definisi asal-usul simbol
yang merepresentasikan.
Konstruksionis : Hhmm...bagaimana mungkin menjelaskan dan menjustifikasi
kebenaran logis informasi akuntansi tanpa didasari oleh definisi
yang disepakati?
Dekonstruksionis : Oooo...maaf kawan, bukan berarti saya tidak setuju dengan adanya
definisi-definisi dalam akuntansi. Dalam pandangan saya, definisi
tetap penting. Dalam akuntansi, definisi dibuat untuk menjelaskan
ciri-ciri esensial dari suatu aset, kewajiban, penghasilan, dan beban
untuk membedakan pengertiannya yang ada pada “dunia lain” di
luar “dunia akuntansi” yang kita sepakati. Tetapi, hal yang perlu
kita fikirkan adalah bagaimana seharusnya agar kita dapat
menyajikan laporan keuangan yang merepresentasikan fenomena
ekonomik dengan bahasa berupa kata dan angka yang mudah
dipahami oleh pengguna yang berada di luar “dunia akuntansi”.
Konstruksionis : Tentu. Hal itulah yang terus diupayakan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) untuk
memperbaiki kualitas informasi akuntansi sehingga bermanfaat
bagi pengguna. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
terus ditinjau ulang, dan direvisi jika diperlukan. Bahkan, dalam
perjalanan waktu, Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan
(KKPK) pun direvisi.
Dekonstruksionis : Syukurlah, semoga upaya DSAK-IAI, tahap demi tahap, mampu
mengeliminasi simbol-simbol fenomena ekonomik yang pure
simulacrum. Saya berharap demikian, karena sampai saat ini
laporan keuangan masih banyak merepresentasikan fenomena
ekonomik dengan simbol-simbol berupa kata dan angka yang sulit
dipahami.
Konstruksionis : Anda bisa memberi contoh lagi?
Dekonstruksionis : Baiklah, saya beri contoh yang lain. Dalam pandangan saya,
berefleksi pada pemikiran Baudrillard, akun aset pajak tangguhan
dan kewajiban pajak tangguhan adalah simbol yang merujuk pada
fenomena ekonomik yang benar-benar ada, yaitu penghematan
pembayaran pajak atau pembayaran pajak lebih besar di masa
datang sebagai akibat perbedaan temporer penghasilan kena pajak
antara standar akuntansi dan peraturan perpajakan.
Konstruksionis : Jika demikian, apa masalahnya?
Dekonstruksionis : Masalah representasi fenomena ekonomik timbul ketika terjadi
produksi simbol melalui proses simulasi. Kenaikan (penurunan)
jumlah aset pajak tangguhan akan memproduksi simbol “manfaat
(beban) pajak tangguhan”. Demikian pula proses simulasi
berkaitan dengan penurunan (kenaikan) jumlah kewajiban pajak
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
177
tangguhan akan memproduksi simbol yang sama, yaitu “manfaat
(beban) pajak tangguhan”. Fenomena ekonomik yang
disimbolkan tidak jelas, kecuali hasil simulasi penurunan
(kenaikan) jumlah aset atau kewajiban pajak tangguhan.
Saat ini, akun-akun pure simulacrum sebagai simbol-simbol
komunikasi informasi akuntansi cukup banyak. Cobalah anda
perhatikan simbol-simbol yang digunakan untuk menyampaikan
informasi ekonomik berkaitan dengan imbalan pasca kerja dan
instrumen keuangan. Ha ha ha... banyak pure simulacrum... sulit
terpahami...
Konstruksionis : Baiklah kawan, saya hargai pendapat dan kritik anda pada
akuntansi dimana anda berefleksi pada filsafat order of simulacra
Jean Baurillard.
Dekonstruksionis : Terima kasih.
Konstruksionis : Dalam konteks komunikasi, informasi akuntansi memang tidak
akan berguna jika akuntansi merepresentasikan fenomena
ekonomik secara tidak tepat, apalagi jika tidak mencapai
keterpahaman atas informasi yang dikomunikasikan. Hal itu telah
disadari, bahkan diakui oleh DSAK-IAI.
Baiklah, saya coba untuk memberikan penjelasan kepada anda
dengan berefleksi pada pemikiran filosofis Jurgen Habermas
tentang Communicative Action.
Dekonstruksionis : Wow..., anda ternyata juga terbuka dan menerima teori sosiologi
kritis sebagai “alat” untuk mengevaluasi konsep dan praktik
akuntansi?
Konstruksionis : Ya. Mengapa tidak? Dalam pandangan saya, teori sosiologi kritis
juga baik digunakan untuk mengevaluasi konsep dan praktik
akuntansi. Oleh karena itu, saya menghargai dan menerima
pandangan-pandangan anda yang berefleksi pada order of
simulacra Jean Baudrillard tadi, walaupun saya memiliki
pandangan yang berbeda dengan anda. Pandangan anda dengan
berefleksi pada Jean Baudrillard, berbeda dengan pandangan saya
yang berefleksi pada Jurgen Habermas.
Dekonstruksionis : No problems bagi saya.
Konstruksionis : Begini kawan, DSAK-IAI telah mengakui dan menyatakan secara
jujur dalam Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan, bahwa
“representasi tepat (faithfull representation)” dan “keterpahaman
(understandability)” adalah cerminan kualitas informasi akuntansi.
Namun demikian, diakui dan disadari bahwa representasi tepat
bukan berarti akurat dalam segala hal. Bebas dari kesalahan juga
tidak berarti akurat dan sempurna dalam segala hal. Yang penting,
akuntan tidak lalai dalam mendeskripsikan fenomena, dan proses
yang digunakan untuk menghasilkan informasi telah dipilih dan
diterapkan tanpa dilandasi kesengajaan untuk menyesatkan.
Dekonstruksionis : Ya. Saya menyadari hal itu.
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
178
Konstruksionis : Pemikiran filosofis Jurgen Habermas sangat relevan untuk
menjelaskan apa yang saya katakan tadi. Saya sependapat dengan
Hassan (2008), bahwa kompleksitas akuntansi dalam
merepresentasikan fenomena ekonomik tidak lepas dari
kompleksitas perkembangan entitas bisnis dan transaksi bisnis
yang dilakukan. Artinya, perkembangan akuntansi tidak berdiri
sendiri terpisah dari perkembangan entitas bisnis dan transaksi-
nya...
Teori sosiologi kritis Jurgen Habermas (seperti dijelaskan oleh
Hassan, 2008) menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu
berkembang dari waktu ke waktu, dari yang paling sederhana dan
mudah hingga yang paling kompleks dan rumit. Pergaulan
manusia juga berkembang, dari pergaulan sempit keluarga hingga
pada pergaulan luas di lingkungan masyarakat yang berbeda-
beda...
Kehidupan dan pergaulan, kata Jurgen Habermas, harus dihadapi
manusia dengan cara yang berbeda sesuai dengan tempat maupun
kompleksitasnya. Cara hidup dan bergaul di suatu tempat tentu
berbeda dengan cara hidup dan bergaul di tempat lain. Pada setiap
tempat hidup dan bergaul, mereka menemukan konsensus. Tanpa
konsensus, kehidupan sosial tidak akan mencapai keteraturan.
Demikian pula yang terjadi pada akuntansi sebagai bahasa bisnis.
Dekonstruksionis : Hhmm...
Konstruksionis : Dengan berefleksi pada pemikiran Jurgen Habermas, Hassan
(2008), menggambarkan bahwa perkembangan konsep dan praktik
akuntansi sebagai bahasa bisnis tidak berbeda dengan
perkembangan kehidupan dan pergaulan manusia. Ketika
organisasi dan transaksi bisnis masih sangat sederhana, misalnya
transaksi jual-beli produk riil secara tunai, akuntansi (bahasa
bisnis) juga sangat sederhana, simbol bahasa berupa kata dan
angka sangat sederhana. Dalam keadaan seperti itu, akuntansi
cukup dengan cash basis. Praktik akuntansi cash basis tersebut
disepakati berdasarkan konsensus...
Ketika organisasi dan transaksi bisnis mulai berkembang, misalnya
mulai timbul transaksi dengan pembayaran tangguh, maka kosa
kata akuntansi sebagai simbol bahasa juga bertambah. Dalam
keadaan seperti itu, konsensus praktik akuntansi berubah menjadi
accrual basis...
Demikian pula, ketika organisasi dan transaksi bisnis makin
kompleks, di mana instrumen keuangan diperdagangkan bahkan
dapat digunakan pula sebagai alat pembayaran, maka kosa kata
akuntansi sebagai simbol bahasa juga makin kompleks. Dalam
keadaan seperti itu, konsensus praktik akuntansi pun berubah,
tidak hanya melibatkan accrual, tetapi juga deferral. Tidak hanya
melaporkan fakta, tetapi juga melaporkan estimasi. Karena fakta
yang secara konkrit terjadi pada saat ini dapat menimbulkan
ketidakpastian di masa datang, maka akuntansi wajib melaporkan
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
179
estimasi tersebut sehingga pengguna laporan keuangan dapat
mengevaluasi risiko yang dihadapi oleh entitas sebelum mereka
mengambil keputusan. Dengan demikian, keterpahaman
(understandability) memang sangat bergantung pada subjek yang
memahami.
Dekonstruksionis : Maksud anda?
Konstruksionis : Maksud saya, dengan berefleksi pada Teori Tindakan-Komunikatif
(Communicative-Action) Jurgen Habermas, bahasa akuntansi pada
hakikatnya sama dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk
memahami komunikasi, setiap orang wajib memahami konteks
komunikasi, dan kosakata yang digunakan dalam komunikasi.
Dekonstruksionis : Ya, benar sekali.
Konstruksionis : Anda orang Jawa? Maaf, ha ha ha..
Dekonstruksionis : Mengapa kalau saya orang Jawa?
Konstruksionis : Anda tahu bahwa bahasa Jawa itu ada tiga tingkatan, yaitu bahasa
ngoko, tingkat bahasa paling rendah, dan paling umum dipakai di
kalangan orang Jawa, biasanya digunakan dalam percakapan
dengan sesama teman. Kedua, bahasa krama madya,
pemakaiannya dianjurkan ketika berbicara dengan orang yang
lebih tua untuk menunjukkan sikap sopan. Ketiga, bahasa krama
inggil, merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa digunakan
untuk menunjukkan sikap saling menghormati. Jadi, sekali lagi,
keterpahaman (understandability) memang sangat bergantung
subjek yang memahami.
Kalau kita biasa ngoko, tetapi berhadapan dengan orang yang
menggunakan bahasa krama madya atau krama inggil, tentu saja
keterpahaman kita rendah, sehingga kita tidak dapat menyentuh
realitas yang sedang dikomunikasikan.
Dekonstruksionis : Ya, itu pasti.
Konstruksionis : Dengan demikian, bukan salah orang yang berkomunikasi dengan
bahasa krama madya atau krama inggil, tetapi kita yang harus
belajar memahami, karena kita berada di lingkungan yang
mengharuskan digunakannya bahasa tersebut.
Jadi, menurut saya, dengan berefleksi pada Teori Communicative-
Action Jurgen Habermas, keterpahaman (understandability) atas
informasi akuntansi tidak hanya bergantung pada bahasa akuntansi
yang digunakan, tetapi juga bergantung pada kemauan subjek
untuk mau belajar memahami bahasa akuntansi, dan fenomena
ekonomik yang direpresentasikan oleh simbol-simbol bahasa
tersebut.
Saya pikir, Teori Tindakan-Komunikatif Jurgen Habermas telah
diakomodasi dalam penyusunan Kerangka Konseptual Pelaporan
Keuangan (KKPK). Secara eksplisit KKPK telah menegaskan
bahwa laporan keuangan disiapkan untuk pengguna yang memiliki
pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis dan ekonomi, serta
disiapkan untuk pengguna yang bersedia meninjau dan
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
180
menganalisa informasi dengan tekun. Bahkan KKPK juga
menegaskan bahwa pengguna yang telah terinformasikan dengan
baik dan tekun juga perlu mencari bantuan dari seorang penasihat
untuk memahami informasi tentang fenomena ekonomik yang
kompleks.
Dekonstruksionis : Terimakasih kawan atas pandangan-pandangan anda. Pandangan
kita berbeda, karena kita memang menggunakan sudut pandang
yang juga berbeda.
Rule-Based Standard dan Principle-Based Standard
Dengan argumen untuk memperoleh laporan keuangan entitas antar negara yang
berkualitas dan berdaya banding, pada tahun 2001 International Accounting Standard
Board (IASB) membentuk suatu standar pelaporan keuangan yang berlaku secara
internasional (International Financial Reporting Standards – IFRS). Sejak saat itulah
muncul diskusi tentang rules-based standard dan principle-based standards yang
diasosiasikan dengan US-GAAP dan IFRS. Satu tahun sesudahnya, yaitu pada tahun
2002, Financial Accounting Standards Board (FASB) mengeluarkan discussion paper
yang bertujuan meminta pendapat publik apakah US-GAAP perlu diubah dari rules-
based standard menjadi principle-based standards (Nobes, 2005).
Berefleksi pada teori sosiologi kitis (critical sociology theory), konstruksionis
dan dekonstruksionis memberikan pandangan yang berbeda tentang principles-based
standards yang melekat sebagai karakteristik IFRS tersebut.
Dekonstruksionis : Discussion paper yang diterbitkan FASB merupakan cerminan
realitas bahwa kekuasaan (power) IASB sedemikian kuat dan
cepat dalam membangun pengetahuan (knowledge).
Konstruksionis : Pengetahuan tentang apa?
Dekonstruksionis : IASB membangun pengetahuan bahwa IFRS akan menjadi standar
pelaporan keuangan global bermutu tinggi dan berdaya banding.
Konstruksionis : Ya, memang itulah visi IASB, menyeragamkan praktik akuntansi
inter-nasional yang selama ini sangat variatif. Bagi perusahaan di
negara manapun, dengan menganut IFRS, akses ke pendanaan
internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan
lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.
Dekonstruksionis : Ha ha ha... anda pun tampak sedemikian yakin dengan
pengetahuan yang dibangun IASB. Fakta ini menunjukkan bahwa
Teori Arkeologi Pengetahuan (Archeology of Knowledge) Michel
Foucault benar-benar terbukti dalam upaya IASB menjadikan
IFRS sebagai standar akuntansi global.
Konstruksionis : Siapa Michel Foucault? Apa relevansinya dengan IASB dan IFRS?
Dekonstruksionis : Michel Foucault adalah filsuf pos-strukturalis Perancis yang
memiliki teori kritis tentang hubungan kekuasaan (power) dan
pengetahuan (knowledge). Michel Foucault berteori bahwa orang
yang memiliki pengetahuan (knowledge) akan mudah meraih
kekuasaan (power), dan pada proses selanjutnya, orang yang
memiliki kekuasaan efektif akan mampu mengendalikan
pengetahuan atau kebenaran apa yang ingin dikembangkan (Mohr
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
181
dan Neely, 2009). Demikian seterusnya, pengetahuan dan
kekuasaan saling melakukan reproduksi.
Konstruksionis : Oh ya?
Dekonstruksionis : Kekuasaan, dalam pandangan Foucault, bukanlah sesuatu yang
memiliki ranah tunggal seperti kedudukan atau kewenangan, tetapi
kekuasaan memiliki bentuk beragam yang terdapat dimana-mana,
sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, serta mencakup semua
aspek kehidupan (Mohr dan Neely, 2009). Kekuasaan menurut
Foucault adalah mampu membangun pengetahuan, keyakinan, dan
kebenaran dengan berbagai cara, yaitu dengan cara represif
melalui paksaan atau tekanan, maupun dengan cara persuasif
melalui indoktrinasi nilai-nilai.
Konstruksionis : Lalu.., apa relevansinya dengan IASB dan IFRS?
Dekonstruksionis : Teori kritis Michel Foucault, Archeology of Knowledge, relevan
untuk mendiskusikan internasionalisasi standar akuntansi. Marilah
kita lihat apa yang ada saat ini. Keunggulan IFRS telah menjadi
pengetahuan (knowledge) yang berkembang bagi umum.
Akademisi maupun praktisi memiliki pengetahuan baru, bahwa
IFRS merupakan standar akuntansi yang mampu menghasilkan
laporan keuangan berkualitas tinggi dan berdaya banding. Peta
pengetahuan tentang standar akuntansi dan pelaporan keuangan
telah berubah.
Konstruksionis : Betulkah demikian?
Dekonstruksionis : Coba anda amati dan renungkan, melalui kekuasaan (power)-nya,
IASB berupaya membangunan kebenaran dan keyakinan bahwa
IFRS merupakan standar akuntansi berkualitas tinggi dengan
menonjolkan tiga karakteristik utama, yaitu principle-based
standards, maksimalisasi penggunaan fair value, dan menuntut
tingkat disclosure tinggi. FASB pun, yang selama ini US-GAAP
hasil pemikirannya menjadi barometer standar akuntansi di dunia,
menjadi terpengaruh.
Konstruksionis : FASB terpengaruh?
Dekonstruksionis : Ya, seperti saya katakan di awal, sesaat setelah IASB
mengumumkan internasionalisasi standar pelaporan keuangan,
FASB menerbitkan discussion paper yang bertujuan untuk
meminta pendapat publik apakah US-GAAP perlu diubah dari
rules-based standards menjadi principle-based standards.
Walaupun implisit, discussion paper FASB mengandung
interpretasi bahwa FASB memandang principle-based standards
lebih baik daripada rules-based standards. Berefleksi pada
pemikiran kritis Michel Foucault tentang Archeology of
Knowledge, tampak bahwa FASB meyakini bahwa IASB adalah
benar, principle-based standards lebih baik daripada rules-based
standards.
Konstruksionis : Wow..., menurut saya, FASB tidak terpengaruh oleh IASB. FASB
hanya berupaya menghimpun pendapat publik, khususnya publik
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
182
USA. Saya melihat discussion paper FASB bertujuan untuk
menepis anggapan bahwa principle-based standards lebih baik
dari rules-based standards, tetapi cara yang dilakukan FASB
sangat taktis, yaitu dengan cara [berpura-pura] meminta pendapat
publik.
Dekonstruksionis : Hhmm...
Konstruksionis : Nyatanya, tanggapan atas discussion paper tampaknya
menyenangkan FASB. Schipper (2003) menanggapi pertanyaan
FASB bahwa, jika US-GAAP menekankan pada aturan (rules), hal
itu tidak berarti US-GAAP mengabaikan prinsip, karena tidak
mungkin FASB membuat rules tanpa memerhatikan principles.
Dengan demikian, rules-based standards tidak perlu diubah
menjadi principle-based standards mengikuti IFRS. Tanggapan
Schipper (2003) tersebut didukung oleh Nelson (2003) yang
menyatakan bahwa keunggulan rules-based standards lebih
banyak daripada principle-based standards.
Dekonstruksionis : Berefleksi pada pemikiran Michel Foucault, saya memang
berharap agar knowledge tentang standar pelaporan keuangan tidak
semata-mata dipengaruhi oleh power, tetapi lebih mengutamakan
kepentingan yang lebih luas. Principle-based standards yang
dianggap lebih baik dari rules-based standards hanyalah
pengetahuan (knowledge) hasil bentukan kekuasaan (power) yang
mengandung kepentingan tersembunyi IASB, yaitu agar dunia
usaha di seluruh penjuru dunia memilih IFRS sebagai standar
pelaporan keuangan.
Konstruksionis : Dengan membawa teori kritis Michel Foucault, anda tampak tidak
welcome dengan IFRS yang merupakan principle-based standards.
Apakah persepsi saya ini salah?
Dekonstruksionis : Oh, tidak. Persepsi anda benar. Seperti saya katakan tadi,
principle-based standards yang dianggap lebih baik dari rules-
based standards hanyalah pengetahuan (knowledge) hasil
bentukan kekuasaan (power) yang mengandung kepentingan
tersembunyi IASB. Principle-based standards tidak lebih lebih
baik dari rules-based standards. Principle-based standards akan
menyulitkan dalam praktik akuntansi dan pelaporan keuangan.
Konstruksionis : Oh ya?
Dekonstruksionis : Peningkatan daya banding laporan keuangan berbasis IFRS itu
hanya konsep. Principle-based standards sangat membuka
peluang penurunan daya banding laporan keuangan karena
pengaruh penggunaan professional judgment. Berbeda dengan
rules-based standard yang keseragaman penerapannya dapat
dikontrol. Principle-based standards bukan hanya meningkatkan
kesulitan dalam praktik, tetapi kesulitan sudah ditemui pada saat
pendidikan, khususnya pada pengajaran akuntansi keuangan dan
teori akuntansi.
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
183
Konstruksionis : Ha ha ha... Bagaimana mungkin principles-based standards
menyulitkan pendidikan akuntansi?
Dekonstruksionis : Pengajaran teori akuntansi pada pendidikan sarjana misalnya, pada
umumnya adalah dengan subjek Teori Akuntansi [Normatif].
Pengajaran pada umumnya diawali dengan membahas principles
yang harus dipenuhi dalam pelaporan keuangan. Berikutnya,
dibahas berbagai alternatif teknik, prosedur, dan metode akuntansi
yang dapat diterapkan untuk memenuhi principles tersebut. Dari
berbagai alternatif, akan diambil alternatif mana yang terbaik
untuk dipilih sebagai rules dan diterapkan dalam praktik.
Dengan pembelajaran seperti ini, dapat diperoleh suatu
pemahaman mengapa rules-based standards memilih dan
menetapkan rules tersebut. Sulit untuk melakukan pembelajaran
seperti itu dalam keadaan di mana standar akuntansi bersifat
principle-based standards.
Konstruksionis : Ha ha ha... saya menghargai pandangan anda tentang IFRS dengan
semua atribut yang melekat padanya.
Dekonstruksionis : Terima kasih.
Konstruksionis : Sekali lagi, saya memahami pendapat anda. Tetapi, saya memiliki
perspektif lain untuk menilai IFRS sebagai principles-based
standards.
Dekonstruksionis : No problem, kawan.
Konstruksionis : Apakah anda pernah mendengar ajaran etika keutamaan (virtue
ethics) dari Aristoteles, seorang filsuf Yunani?
Dekonstruksionis : Ya, saya mendengar dan saya tahu.
Konstruksionis : Syukurlah jika anda pernah mendengar dan tahu. Esensi tujuan
hidup manusia itulah ajaran Aristoteles. Saya sependapat dengan
West (2017) yang menyatakan bahwa profesi akuntan akan lebih
bermakna, bermutu, dan bernilai jika mengimplementasikan
keutamaan (virtue) yang dimiliki, sebagaimana dimaksud oleh
Aristoteles.
Etika keutamaan (virtue ethics) tidak menilai baik/buruk perbuatan
secara normatif, karena etika sesungguhnya bersifat substantif.
Menurut Aristoteles, perilaku etis (baik/buruk) manusia
sebenarnya tidak perlu diatur, karena setiap manusia terlahir
memiliki bekal pikiran (jiwa) dan akhlak yang baik sebagai
karunia Tuhan. Dengan demikian, secara naluriah, setiap manusia
mampu menilai perbuatannya baik atau buruk, benar atau salah,
tanpa memandang apakah perbuatannya itu sesuai aturan/norma
atau tidak.
Jadi, menurut Aristoteles, etika bersifat substantif. Suatu saat
seseorang akan melanggar norma/aturan karena pikirannya
menuntun bahwa melanggar aturan tersebut akan membawa suatu
kebaikan pada sisi yang lain.
Dekonstruksionis : Hhmm... ya, saya tahu ajaran keutamaan (virtue) Aristoteles itu.
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
184
Konstruksionis : Dasar utama teori etika keutamaan Aristoteles adalah tindakan-
tindakan apa yang secara naluriah seharusnya dilakukan oleh
manusia sehingga hidup manusia menjadi baik, mulia, bernilai,
dan bermutu. Aristoteles menyatakan bahwa setiap tindakan
manusia, bertujuan pada sesuatu yang baik, atau suatu nilai
(value). Apa pun yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya
bertujuan untuk mencapai tujuan yang baik, sesuai karunia Tuhan
berupa pikiran dan akhlak yang menjadi penuntunnya. Tujuan
yang ingin dicapai manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).
Dekonstruksionis : Apa kaitan etika keutamaan Aristoteles dengan principle-based
standards?
Konstruksionis : Principles-based standards merupakan refleksi dari kesadaran
(consciousness) akuntan bahwa untuk berbuat baik tidak perlu
diatur. Sebagai manusia, akuntan memiliki keutamaan sebagai
karunia Tuhan, yaitu akal budi (akhlak) atau pikiran (jiwa) yang
menuntunnya ke arah kebaikan. Principle-based standard lebih
baik daripada rule-based standard, karena principle-based
standards memberi ruang kepada profesi akuntan untuk berfikir
dan berbuat kebaikan tanpa dibatasi oleh aturan. Lakukanlah yang
terbaik dalam memberikan informasi kepada pengguna laporan
keuangan, itulah esensi principles-based standards.
Dekonstruksionis : Hhmm...
Konstruksionis : Ontologi objektif dari principle-based standards adalah, bahwa
dengan akal budi atau jiwanya, akuntan memahami transaksi bisnis
yang terjadi dan akan memilih prinsip pelaporan terbaik yang tidak
menyesatkan pengguna informasi akuntansi. Jadi, principle-based
standards pun sesungguhnya memiliki keutamaan Aristoteles,
yaitu mengajak, mendorong dan memberi ruang akuntan untuk
bekerja secara profesional dan bermanfaat bagi orang lain. Oleh
sebab itu, principle-based standards mengandalkan professional
judgement dan kejujuran akuntan dalam penyajian informasi
akuntansi.
Dekonstruksionis : Saya dapat memahami jalan pikiran anda.
Konstruksionis : Principle-based standards memposisikan akuntan sebagai manusia
yang secara naluriah selalu ingin mencapai kebahagiaan
(eudaimonia). Untuk mencapai hal tersebut, dalam koridor
profesinya, akuntan ingin berbuat kebaikan dalam memberikan
informasi akuntansi yang bermanfaat, tidak sekedar berbuat
sesuatu mengikuti instruksi seperti robot.
Sebagai contoh sederhana, laporan keuangan harus
dikonsolidasikan jika akuntan mengetahui ada pengendalian suatu
entitas terhadap entitas lain, meskipun saham yang dimiliki 50%
atau kurang. Berefleksi pada etika keutamaan Aristoteles, prinsip
ini membuka ruang bagi akuntan untuk mengaktualisasi naluri
kebaikan yang sebelumnya terpagari oleh rule-based standard
yang mematok kewajiban konsolidasi laporan keuangan jika
kepemilikan saham lebih dari 50%.
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
185
Coba lihat juga standar akuntansi yang lain, pada prinsipnya
semua membuka ruang bagi akuntan untuk memilih yang terbaik
sesuai naluri profesionalnya dalam menyajikan informasi yang
tepat dan bermanfaat bagi pengguna. Jadi, dalam pandangan saya,
principles-based standards akan menghasilkan informasi
akuntansi yang relevan dan merepresentasikan fenomena ekonomi
secara tepat, karena naluri akuntanlah yang mengetahui substansi
ekonomik suatu peristiwa, bukan aturan atau rules-nya.
Dekonstruksionis : Terimakasih, kawan. Seperti halnya anda dapat menerima
pandangan dan pemikiran saya, saya pun sangat menghargai
kecerdasan anda dalam memberikan argumen atas pandangan-
pandangan anda.
SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil kajian berdasarkan teori sosiologi kritis menunjukkan bahwa: (1) dimensi
kritis pemikiran akuntansi perlu diangkat dalam upaya pengembangan konsep dan
praktik pelaporan keuangan, sehingga mampu menjadi pemikiran alternatif tanpa
mendestruksi pemikiran arus utama; (2) konsep dan praktik praktik pelaporan
keuangan yang sedang berjalan tidak hanya dapat dievaluasi dengan berefleksi pada
teori induk disiplin akuntansi (yaitu ekonomi dan keuangan), tetapi juga dapat
dievaluasi dengan berefleksi pada teori-teori sosiologi-kritis yang relevan dengan
konteksnya. Hal ini membangun kesadaran bahwa praktik akuntansi sesungguhnya
berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan akuntansi juga
memiliki peran penting atas perkembangan peradaban tersebut; (3) pengembangan
konsep dan praktik pelaporan keuangan tidak harus didasarkan pada kepentingan
ekonomi dan keuangan entitas pelaporan, tetapi juga harus didasarkan pada
kepentingan kemasyarakatan secara umum. Hal ini berarti bahwa akuntan tidak
seharusnya menjadi “manusia satu dimensi”, tetapi menjadi individu yang mampu
menemukan profesinya pada berbagai dimensi secara kritis.
Kajian ini berimplikasi pada pentingnya memberi ruang kebebasan berfikir dan
memberi kebebasan cara pandang setiap individu untuk mengevaluasi prinsip dan
praktik pelaporan keuangan. Akuntansi memang berakar dari ilmu induknya, yaitu
ekonomi dan keuangan, tetapi implementasi akuntansi tidak harus selalu dijustifikasi
dari perspektif ilmu induk tersebut. Praktik pelaporan keuangan dapat dievaluasi secara
kritis dan dijustifikasi dalam perspektif multi disiplin, khususnya dengan berefleksi
pada teori-teori sosiologi.
Keterbatasan
Keterbatasan kajian ini terutama terletak pada jumlah objek kajian. Kajian ini
hanya menggambarkan pandangan-pandangan kritis konstruksionis dan
dekonstruksionis pada dua objek kajian, yaitu (a) representasi fenomena ekonomik
melalui simbol bahasa akuntansi, dan (2) principle-based standards dan rules-based
standards. Kedua objek kajian tersebut hanya berada dalam lingkup Kerangka
Konseptual Pelaporan Keuangan (KKPK), sehingga tujuan kajian yang bermaksud
memperkaya pemikiran akuntansi melalui penggunaan teori sosiologi kritis (critical
sociology theory) belum tercapai secara maksimum. Kajian praktik akuntansi dengan
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
186
berefleksi pada teori sosiologi kritis sebenarnya dapat dilakukan pada berbagai aspek
dan ruang lingkup yang lebih luas, misalnya lingkup Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) maupun lingkup praktik akuntansi dan pelaporan keuangan oleh
entitas.
Saran Untuk Penelitian Selanjutnya
Eksplorasi pandangan konstruksionis dan dekonstruksionis pada kajian atau
penelitian-penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada tataran konsep atau prinsip,
misalnya pandangan konstruksionis dan dekonstruksionis pada prinsip substansi
mengungguli bentuk, konservatisme akuntansi, fair value, dan disclosure, atau pada
tataran praktik akuntansi lainnya yang layak dikaji dengan berefleksi pada teori
sosiologi kritis. Tujuan kajian pada hakikatnya adalah menemukan dimensi kritis
pemikiran akuntansi yang selama ini teralienasi, karena terepresi oleh pemikiran arus
utama yang dominan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, J. 2012. Accounting ang the constructiom of the “cost effective” prison. The
Journal of Australian Political Economy Issue 68 (Summer): 194-212.
Annisette, M. dan A.J. Richardson. 2011. Justification and accounting: applying
sociology of worth to accounting research. Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 24 Issue 2: 229-249.
Antonio, A., dan S. Ponea. 2010. Constructionist-Fractal Analysis: A Transmodern
View of Truth. Economy Transdisciplinarity Cognition, Volume 13, Issue 2: 45-
52.
Bebbington, J., J. Bryer, B. Frame, dan I. Thomson. 2007. Theorizing engagement: the
potential of a critical dialogic approach. Accounting, Auditing & Accountability
Journal Vol. 20, Iss. 3: 356-381
Bloomfield, R. J. (2008). Accounting as the language of business. Accounting
Horizons, 22 (4), 433-436.
Broadbent, J., dan R. Laughlin. 1997. Developing empirical research: an example
informed by a Habermasian approach. Accounting, Auditing & Accountability
Journal, Vol. 10 Issue 5: 622-648.
Bryer, R.A. 1999a. A Marxist Critique of the FASB’s Conceptual Framework. Critical
Perspectives on Accounting Vol.10: 551-589.
Bryer, R.A. 1999b. Marx and Accounting. Critical Perspectives on Accounting
Vol.10: 683-709.
Carr, A.N. 2005. The Challenge of Critical Theory for Those in Organization Theory
and Behavior: An Overview. International Journal of Organization Theory and
Behavior Vol. 8, Issue 4 (Winter): 466-494.
Chua, W.F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting
Review Volume LXI No.4 (Oktober): 601-632.
Cooper, D.J., dan T.M. Hopper. 1987. Critical Studies in Accounting. Accounting,
Organizations, dan Society Vol. 12 No.5: 407-414.
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
187
Cooper, C. dan S. Gallhofer. 1992. The Non and Nom of Accounting for (M)other
Nature; M(othering) View on: The Non and Nom of Accounting for (M)other
Nature. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 5, Issue 3: 16.
Chabrak, N., dan A. Burrowes. 2006. The Language of the Rochester School: Positive
Accounting Theory Deconstructed. IDEAS Working Paper Series from RePEc:
St. Louis.
Choudhury, M. 2015. Subjective probability and financial valuation: contrasting
paradigms. Journal of Financial Reporting and Accounting, Vol. 13 Issue 1: 20-
38.
Dant, T. 2003. Critical Social Theory: Culture, Society and Critique. Sage Publication:
London. 185p.
Davison, J. 2011. Barthesian perspectives on accounting communication and visual
images of professional accountancy. Accounting, Auditing & Accountability
Journal Vol. 24, Issue 2: 250-283.
Edgley, C.R.P. 2010. Backstage in legal theatre: A Foucauldian interpretation of
‘Rationes Decidendi’ on the question of taxable business profits. Critical
Perspective on Accounting Vo. 21: 560–572.
Farmer, D.J. 1997. Derrida, deconstruction, and public administration. The American
Behavioral Scientist. Volume 41, Issue 1: September.
Farrands, C., dan O. Worth. 2005. Critical theory in Global Political Economy:
Critique? Knowledge? Emancipation? Capital & Class Issue 85 (Spring): 43-61.
Fuchs, S., S. Ward, dan B. Agger. 1994. What is deconstruction, and where and when
does it take place? Making facts in science, building cases in law. American
Sociological Review. Vol. 59, Iss. 4, (Aug): 481.
Goddard, A. 2002. Development of the accounting profession and practices in the
public sector - a hegemonic analysis. Accounting, Auditing & Accountability
Journal Vol. 15, Issue 5: 655-688.
Goddard, A. 2004. Budgetary practices and accountability habitus: A grounded theory.
Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 17, Issue 4: 543-577.
Hammond, T., L.S. Oakes, dan C. Chabrak. 1992. Some Feminisms and Their
Implications for Accounting Practice: M(othering) View on "Some Feminisms
and Their Implications for Accounting Practice". Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 5, Issue 3: 52.
Hassan, M.K. 2008. Financial accounting regulations and organizational change: a
Habermasian perspective. Journal of Accounting & Organizational Change Vol.
4 Issue 3: 289-317.
Hines, R.D. 1988. Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct
Reality. Accounting, Organizations and Society Vol. 13 No.3: 251-261.
Jacobs, K. dan S. Evans. 2012. Constructing accounting in the mirror of popular music.
Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 25, Issue 4: 673-702.
Kartalis, N., M. Tsamenyi, dan K. Jayasinghe. 2016. Accounting in new public
management (NPM) and shifting organizational boundaries: Evidence from the
Greek Show Caves. Accounting, Auditing & Accountability Journal
Vol. 29, Issue 2: 248-277.
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
188
Laughlin, R. 1999. Critical accounting: nature, progress and prognosis. Accounting,
Auditing & Accountability Journal Vol. 12, Issue 1: 73-78.
Lee, B., dan C. Humphrey. 2006. More than a numbers game: qualitative research in
accounting. Management Decision Journal Vol. 44, Issue 2: 180-197.
Lombardi, L. 2016. Disempowerment and empowerment of accounting: an Indigenous
accounting context. Accounting, Auditing & Accountability Journal
Vol. 29, Issue 8: 1320-1341.
Lupu, I. dan L. Empson. 2015. Illusio and overwork: playing the game in the
accounting field. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 28, Issue 8:
1310-1340.
MacDonald, E. 1999. Deconstruction's promise: Derrida's rethinking of Marxism.
Science & Society Volume 63, Issue 2, (Summer): 145-172.
Macintosh, N.B., T. Shearer, D.B. Thornton, dan M. Welker. 2000. Accounting as
simulacrum and hyperreality: perspectives on income and capital. Accounting,
Organizations and Society 25: 13-50.
Macintosh, N.B., dan C.R. Baker. 2002. A literary theory perspective on accounting:
Towards heteroglossic accounting reports. Accounting, Auditing & Accountability
Journal; Vol. 15, Iss. 2: 184-222.
Macintosh, R., dan N. Beech. 2011. Strategy, strategists and fantasy: a dialogic
constructionist perspective. Accounting, Auditing & Accountability Journal.
Volume 24, Issue 1: 15-37.
Malsch, B., Y. Gendron, dan F. Grazzini. 2011. Investigating interdisciplinary
translations: The influence of Pierre Bourdieu on accounting literature.
Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 24, Issue 2: 194-228.
McKernan, J.F., dan K. Kosmala. 2007. Doing the truth: religion - deconstruction -
justice, and accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal
Volume 20, Issue 5: 729-764.
Mohr, J.W., dan B. Neely. 2009. Modeling Foucault: Dualities of power in institutional
fields. Research in the Sociology of Organizations Vol. 27: 185-234.
Mouck, T. 2004. Institutional reality, financial reporting and the rules of the game.
Accounting, Organizations and Society 29: 525–541.
Morgan, G., dan H. Willmott. 1993. The “new” accounting research: On making
accounting more visible. Accounting, Auditing & Accountability Journal
Vol. 6, Issu 4: 3-21
Nelson, M. W. 2003. Behavioral evidence on the effects of principles- and rules-based
standards. Accounting Horizons 17 (1): 91–104.
Nobes, C.W. 2005. Rules-Based Standards and the Lack of Principles in Accountint.
Accounting Horizons Volume 19 No.1 (March): 25-34.
Norreklit, H. , M.R. Møller , dan F. Mitchell. 2016a. A pragmatic constructivist
approach to accounting practice and research. Qualitative Research in Accounting
& Management, Volume 13 Issue 3: 266-277.
Norreklit, H., L. Norreklit, dan F. Mitchell. 2016b. Understanding practice
generalisation - opening the research/practice gap. Qualitative Research in
Accounting and Management Vol. 13, Issue 3: 278-302.
Pianezzi, D. dan L. Cinquini. 2016. Assessing the validity of accounting for human
rights: A pragmatic constructivist perspective. Qualitative Research in
Accounting & Management, Volume 13 Issue 3.
Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis
dan Dekonstruksionis
189
Quattrone, P. 2000. Constructivism and accounting research: towards a
trans‐disciplinary perspective. Accounting, Auditing & Accountability Journal,
Volume 13 Issue 2.
Refai, D., R.G. Klapper, dan J. Thompson. 2015. A holistic social constructionist
perspective to enterprise education. International Journal of Entrepreneurial
Behavior & Research, Vol. 21 Issue 3: 316-337
Reiter, S.A. 1995. Theory and politics: Lessons from feminist economics. Accounting,
Auditing & Accountability Journal Vol. 8, Iss. 3: 34-41.
Rosenfield, P. Presenting Discounted Future Cash Receipts and Payments in Financial
Statements. Abacus Vol. 9 No.3: 233-249.
Rutherford, B.A. 2003. The social construction of financial statement elements under
Private Finance Initiative schemes. Accounting, Auditing & Accountability
Journal, Vol. 16 Issue 3: 372-396.
Rutherford, B. A. 2016. Articulating accounting principles: Classical accounting theory
as the pursuit of "explanation by embodiment" Journal of Applied Accounting
Research Vol. 17, Iss. 2: 118-135.
Schipper, K. 2003. Principles-based accounting standards. Accounting Horizons 17 (1):
61–72.
Seal, W., dan R. Mattimoe. 2016. The role of narrative in developing management
control knowledge from fieldwork: A pragmatic constructivist perspective.
Qualitative Research in Accounting & Management, Vol. 13 Issue: 3, pp.330-
349.
Shenkin, M., dan A.B. Coulson. 2007. Accountability through activism: learning from
Bourdieu. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 20, Iss. 2: 297-
317.
Skinner, R. 2003. Accounting, accountants and accountability: Poststructuralist
positions. Canadian Accounting Perspectives Vol. 2, Iss. 2: 179-189.
Stewart, R.E. 1992. Pluralizing Our Past: Foucault in Accounting History. Accounting,
Auditing & Accountability Journal Vol. 5, Issue 2: 57.
Talja, S., K. Tuominen, dan R. Savolainen. 2015. “Isms” in information science:
constructivism, collectivism and constructionism. Journal of Documentation,
Volume 61 Issue 1.
Tinker, T. 2005. The withering of criticism: A review of professional, Foucauldian,
ethnographic, and epistemic studies in accounting. Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 18 Issue 1: 100-135.
Weitzner, D. 2007. Deconstruction Revisited: Implications of Theory Over
Methodology. Journal of Management Inquiry Volume 16, Issue 1, (March): 43-
54.
West, A. 2017. The ethics of professional accountants: an Aristotelian perspective.
Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 30 Issue 2:328-351
Wilson, F., dan S. Tagg. 2010. Social constructionism and personal constructivism:
Getting the business owner's view on the role of sex and gender. International
Journal of Gender and Entrepreneurship, Volume 2 Issue 1.
Yin-Xu dan Xiaoqun-Xu. 2008. Social actors, cultural capital, and the state: The
standardization of bank accounting classification and terminology in early
twentieth-century China. Accounting, Organizations and Society 33: 73–102
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019
190