IiS!DO-PAK ULAMA IN MODERN TIMES fileIiS!DO-PAK ULAMA IN MODERN TIMES
DI INDONESIA ORGANISASI NAHDATUL ULAMA MEMERANGI ... · organisasi nahdatul ulama memerangi...
Transcript of DI INDONESIA ORGANISASI NAHDATUL ULAMA MEMERANGI ... · organisasi nahdatul ulama memerangi...
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/303681488
ORGANISASI NAHDATUL ULAMA MEMERANGI RADIKALISME POLITIK ISLAM
DI INDONESIA
Thesis · January 2015
CITATIONS
0READS
8,110
1 author:
Hasbi Aswar
Universitas Islam Indonesia
5 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Hasbi Aswar on 31 May 2016.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
i
HI UII
PROPOSAL PENELITIAN
Kode Nomor:
JUDUL PENELITIAN
ORGANISASI NAHDATUL ULAMA MEMERANGI RADIKALISME
POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Diusulkan Oleh:
Hasbi Aswar, S.IP, MA
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2015
iv
DAFTAR ISI
Halaman Depan......................................................................................................i
Halaman Pengesahan.............................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radikalisme Islam..............................................................................................4
2.2 Kontraradikalisme..............................................................................................7
2.3 Peran NGOs dalam Kontraradikalisme..............................................................9
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Qualitatif............................................................................................12
3.2 Prosedur penelitian..........................................................................................12
a. Pra-riset......................................................................................................12
b. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................12
c. Teknik Analisis Data..................................................................................13
BAB IV NAHDLATUL ULAMA & FENOMENA RADIKALISME DI
INDONESIA..........................................................................................................14
4.1 Nadhlatul Ulama dalam Sejarah Politik Indonesia..........................................14
4.2 Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan NU........................................18
4.3 Radikalisme Politik Islam di Indonesia...........................................................24
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................30
5.1 NU versus Dakwah Politik Islam Radikal.......................................................30
v
5.2 NU membendung Gerakan Politik Islam Radikal...........................................37
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................................42
6.1 Kesimpulan......................................................................................................42
6.2 Rekomendasi....................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................v
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radikalisme Islam saat ini telah menjadi salah satu bagian dari problem yang tidak
hanya dihadapi oleh negeri-negeri mayoritas muslim tapi menjadi bagian dari
persoalan global. Pemimpin-pemimpin dunia membicarakan solusi persoalan
radikalisme Islam di forum-forum dunia. Semuanya mengecam dan mencari solusi
bagaimana menyelesaikan persoalan radikalisme ini.
Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme global, PBB telah
mengeluarkan strategi kontra terorisme global dan telah diadopsi oleh 192
anggotanya di majelis umum. PBB juga telah membentuk Pelaksana Tugas
Implementasi Kontraterorisme (CTITF) kemudian dibentuk lagi working grup untuk
khusus menangani radikalisasi dan ekstrimisme yang membawa kepada terorisme,
―working Group on “Addressing Radicalisation and Extremism that Lead to
Terrorism‖ (www.un.org).
Lembaga Think Thank Rand Corporation (2004) menjelaskan secara rinci dalam
laporan yang berjudul Muslim World after 9/11 mengenai ideologi radikalisme atau
fundamentalisme Islam. Laporan tersebut memberikan masukan-masukan kebijakan
(policy recommendation) kepada pemerintah Amerika Serikat mengenai strategi-
strategi yang seharusnya diterapkan untuk melawan atau menghadapi pemikiran dan
gerakan radikal di dunia Islam. Perang global melawan radikalisme Islam menurut
laporan tersebut tidak hanya melibatkan kekuatan militer tapi juga kekuatan ide dan
pemenang adu kekuatan tersebut hanya dianggap menang jika ideologi para radikal
ekstrimis sudah tidak menuai dukungan lagi. ―the United States is involved in a war
that is “both a battle of arms and a battle of ideas,” in which ultimate victory can
only be won when extremist ideologies are discredited in the eyes of their host
2
populations and tacit supporters‖. Dengan pertimbangan perang pemikiran, tahun
2007, Rand Corp mengeluarkan tulisan lagi khusus mengenai strategi membangun
jaringan masyarakat muslim yang moderat untuk melawan pemikiran-pemikiran
Radikal.
Bagi pemerintah Indonesia, radikalisme juga sama dianggap sebagai ancaman
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam banyak kesempatan di forum
nasional, regional ataupun global pemerintah Indonesai baik presiden Joko Widodo
maupun wakil presiden, Jusuf Kalla menyatakan sikap pemerintah mengenai
merebaknya paham radikal di tengah-tengah umat Islam di Indonesia. Pemerintah
Indonesia bahkan membentuk sebuah badan khusus untuk menangani masalah-
masalah terorisme dan ideologi radikalisme di Indonesia yaitu BNPT, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme. Badan ini terbentuk sejak era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tahun 2010.
Secara umum strategi pemerintah Indonesia dalam melawan terorisme dan
radikalisme adalah dengan menggunakan pendekatan keras (hard) dan lunak (soft).
Pendekatan hard dengan melakukan tindakan keras terhadap para pelaku teror dengan
melibatkan militer dan intelijen. Sementara tindakan lunak yaitu dengan melibatkan
kerjasama dengan seluruh institusi terkait, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa
(bnpt.go.id).
Salah satu lembaga keagamaan yang ada di Indonesia yang memiliki posisi yang
tegas terhadap maraknya fenomena radikalisme adalah organisasi Nahdhatul Ulama
(NU). Organisasi ini sangat banyak mengutarakan kecaman terhadap radikalisme di
Indonesia. Secara individual, para ulama dan kiai NU diberbagai ceramah dan
wawancara menunjukkan permusuhannya terhadap pemikiran-pemikiran radikalisme
dan telah memperlihatkan upaya-upaya untuk ikut terlibat dalam memerangi
pemikiran tersebut.
3
NU memiliki posisi yang sangat penting dalam dinamika keberagamaan di Indonesia.
NU adalah salah satu organisasi tertua di Indonesia dan memiliki basis pendukung
sekitar 40 juta orang dari semua kalangan baik di desa maupun di kota. Serta
memiliki jaringan pesantren yang cukup besar di Indonesia (www.nu.or.id). Dengan
argumen inilah sehingga penting untuk melihat respon dan peran NU terhadap
berkembangnya pengaruh politik Islam radikal di Indonesia. Pentingnya posisi NU
sebagai organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia bahkan di dunia menjadi
bahan kajian menarik bagaimana sikap dan aktifitas organisasi ini dalam melawan
radikalisme di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu bagian dari pemikiran radikalisme yang menjadi sorotan adalah ide
mengenai penyatuan agama dan politik. Gerakan-gerakan Islam yang muncul
belakangan ini di Indonesia yang disebut radikal selalu mengkampanyekan kepada
seluruh umat Islam untuk menegakkan negara Islam global dalam bentuk sistem
Khilafah. Penelitian ini akan mengkaji mengenai bagaimana peran NU dalam
menangkal pengaruh radikalisme politik Islam di Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan mendeskripsikan peran organisasi Nahdatul Ulama di Indonesia
dalam memerangi radikalisme politik Islam di Indonesia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radikalisme Islam
Istilah radikalisme, fundamentalisme, islamisme, revivalisme Islam dan Islam Politik
merupakan istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menyebutkan
sebuah fenomena gerakan Islam yang memiliki visi Islam tertentu. Menurut Esposito
(2002), terminologi Fundamentalisme ini diterapkan dalam spektrum yang luas
berkaitan dengan gerakan-gerakan atau aktor-aktor Islam yang memiliki visi untuk
mengembalikan visi Islam yang puritan seperti yang pernah terjadi di masa lalu
(romanticized past) atau gerakan yang memperjuangkan reformasi modern yang
berakar dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Angel Rabasa (2004)
mengggambarkan fundamentalisme Islam sebagai usaha sebagian kalangan muslim
untuk mengikuti keyakinan agamanya secara asasi atau fundamental dan
menginginkan untuk mengembalikan makna keberagamaan secara radikal.
Menurut Tibi (2012), hal yang paling esensial dari islamism adalah bahwa gerakan ini
bukanlah gerakan keagamaan dan memperjuangkan keimanan tapi Islamism adalah
gerakan politik yang dia istilahkan dengan (religionized politics). Religionized
politics bermakna sebagai sebuah proses untuk memperjuangkan sebuah tata
kehidupan politik (political order) yang diyakini bersumber atau terpancar dari
kehendak Allah dan bukan dari kedaulatan rakyat. Gerakan Islamis ini menurut Tibi
memiliki ideologi yang menjadikan agama (din) dan negara (dawlah) dalam tata
politik yang berlandaskan syariah dan memiliki lingkup global yaitu sebuah sistem
kekuasaan global. Tibi mengeritik penyebutan gerakan Islamis dengan menggunakan
istilah Islam Radikal, Islam Moderat, revivalisme Islam, jihadis & Islamis.
Pembagian tersebut menurutnya adalah hal yang menyesatkan karena esensinya
5
semua jenis gerakan tersebut memiliki visi dan agenda politik yang sama meskipun
caranya berlainan menggunakan kekerasan atau tidak.
Menurut Rabasa (2004) kelompok-kelompok Islam radikal-fundamentalis ini bisa
dipahami dari beberapa kriteria yaitu:
1. Memiliki agenda politik dengan memobilisasi Islam sebagai sarana untuk
menggapai cita-cita politiknya.
2. Memiliki ideologi yang berasaskan pada interpretasi literal dari sumber-sumber
ajaran Islam namun dengan beberapa pembaharuan-pembaharuan yang lebih
politis dan menekankan jihad sebagai sebuah kewajiban.
3. Memiliki karakter politik yang revolusioner, anti status quo, dan berusaha
untuk menegakkan negara Islam yang ketat (strict sharia-based state).
4. Menganggap demokrasi sebagai sebuah paham yang kafir (infidel religion).
Dengan memperjuangkan Pan-Islamic Caliphate.
5. Menolak konsep barat yang berkaitan dengan HAM dan kebebasan individu,
serta menolak hak-hak minoritas umat beragama lain atau hak muslim yang
berbeda pandangan.
6. Bersifat reaktif dan cenderung menggunakan kekerasan dan paksaan dalam
menerapkan pemahamannya baik dalam berpakaian atau berperilaku.
7. Kebanyakan kelompok teroris berasal dari kelompok radikal-fundamentalis ini.
Tidak jauh berbeda dengan tulisan Rabasa, Tibi (2012) mencatat beberapa karakter
yang khas yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis atau islamis. Poin yang
terpenting menurut Tibi adalah an ambition for a remaking of the word. Visi tata
dunia baru yang dicita-cita oleh kelompok Islamis adalah tata dunia yang berdasarkan
atas hakimiyyat Allah (aturan Allah) sebagai ganti atas konsep kedaulatan rakyat.
Konsep ini menurut Tibi hanyalah buatan dari kelompok Islamis semata dan tidak ada
dalam ajaran Islam tradisional (salaf) dan bukan dari warisan ajaran Islam. Poin
kedua, pemahaman mengenai konflik global antara Islam dan Yahudi. Terdapat
pemahaman dikalangan Islamis bahwa tata dunia baru yang akan dibangun oleh Islam
akan mengancam atau terancam oleh kaum Yahudi yang sekarang menguasai tata
dunia (world jewry). Ketiga, pandangan terhadap demokrasi, meskipun para Islamis
berbeda dalam memandang demokrasi, namun pada dasarnya mereka memiliki visi
6
akhir yang sama yaitu negara Islam. Terakhir, memahami jihad sebagai sarana untuk
menciptakan tata dunia yang berasaskan Islam (Tibi, 2012).
Kelompok-kelompok yang memiliki karakteristik seperti yang disebutkan diatas,
Rabasa menyebutkan, seperti: al-Jama’a al-Islamiyya (Mesir), Ansar al-Islam (Irak),
Hamas (Palestina), Kelompok Saudi Salafi-jihadist, gerakan Islam di Uzbekistan,
Hizb ut-Tahrir, DDII-Indonesia, MMI-Majlis Mujahidin Indonesia, KMM-Kumpulan
Militan Malaysia, Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara), Gerakan Islam Nigeria,
Jama’at al Ulema & Jama’at-i-Islami di Pakistan.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari munculnya kelompok-kelompok atau
gerakan radikal dalam Islam seperti yang diungkapkan Rabasa, antara lain:
Kegagalan rezim di negara-negara muslim dalam membangun kesejahteraan
masyarakatnya serta kondisi politik yang korup dan represif hal ini menimbulkan
kekecewaan yang mendalam di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, kemarahan
terhadap kebijakan Amerika Serikat dan negara-negara barat di negara-negara muslim
seperti pada Isu Israel-Palestina, pendudukan Iraq & Afghanistan serta dukungan
barat terhadap pemerintah-pemerintah totaliter di dunia Islam. Penyebab yang lain
adalah desentralisasi otoritas keagamaan dalam Islam Mazhab Sunni. Dalam Sunni,
ulama memiliki otoritas yang otonom dari kekuasaan untuk memberikan fatwa-fatwa
keagamaan yang hal ini berpotensi disalahgunakan oleh segelintir orang yang
mengatasnamakan diri sebagai ulama untuk menciptakan fatwa-fatwa yang
menyesatkan atau ekstrim. Yang terakhir adalah diamnya kelompok-kelompok
muslim moderat dan ketidak mampuan mereka untuk berhadap-hadapan secara
terbuka dengan kalangan radikal (Rabasa,2004).
Sebab-sebab kemunculan radikalisme kurang lebih sama diungkapkan oleh Zuly
Qodir (2013) yang menuliskan terdapat 4 faktor penyebab radikalisme khususnya di
kalangan para pemuda. Pertama, Kesehatan mental (mental health) yang rentan akibat
persoalan yang terjadi dalam keluarga atau dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
7
faktor ketimpangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat yang berakibat
menciptakan kecemburuan sosial, ditambah lagi maraknya penyimpangan dalam
masyarakat. Ketiga, perubahan kondisi sosial politik yang berpengaruh terhadap
perilaku dan bentuk organisasi keagamaan. Perubahan sosial politik global dan
dampaknya bagi masyarakat ikut mempengaruhi karakteri keberagamaan seseorang
dan arah atau tujuan sebuah organisasi keagamaan. Keempat, religious commitment,
yaitu munculnya paham keagamaan yang ketat dalam memahami dimensi agamanya.
Seluruh dimensi keagamaan dianggap sebagai sesuatu yang sakral termasuk
diantaranya penggunaan terminologi jihad.
Radikalisme Islam pada intinya adalah sebuah gerakan politik yang menjadikan Islam
sebagai sebuah ideologi untuk memperjuangkan cita-cita politiknya. Sebagian
kalangan lebih memilih untuk menggunakan gerakan tersebut sebagai gerakan politik
Islam karena mereka memiliki cita-cita untuk menegakkan kekuasaan politik Islam
yang melampau batas-batas negara bangsa yaitu negara Khilafah Islam global, Pan
Islamic Caliphate.
2.2 Kontraradikalisme
Kontraradikalisme dalam pengertian Counter-Terrorism Implementation Task Force
(CTITF), PBB merujuk kepada kebijakan-kebijakan dan program-program yang
bertujuan untuk menangani berbagai kondisi yang bisa mengarahkan individu-
individu menjadi teroris. Secara lebih luas, kontraradikalisme dipahami sebagai paket
kebijakan atau program baik sosial, politik, hukum, pendidikan, dan ekonomi yang
didesain khusus untuk mencegah setiap individu yang berpotensi menjadi radikal
untuk menjauh dari hal tersebut. Kontraradikalisme juga bisa dipahami sebagai
program untuk mengembalikan seorang individu yang telah menjadi radikal agar bisa
kembali terintegrasi lagi dalam masyarakat atau setidaknya mencegah dari tindakan
kekerasan (www.un.org)
8
Laporan CTITF juga menuliskan strategi-strategi yang seharusnya diambil dalam
melakukan kontraradikalisme: Seperti melibatkan kerjasama dengan masyarakat sipil,
program penahanan (prison programmes), pendidikan, dialog antar budaya dan
peradaban, menyelesaikan persoalan ekonomi dan kesenjangan sosial, program global
kontraradikalisme, internter, reformasi hukum, program rehabilitasi, pengembangan
dan penyebaran informasi dan pelatihan para agen yang terlibat dalam pelaksanaan
kontraradikalisme.
Untuk menangani persoalan radikalisme yang terjadi di negara-negara muslim,
beberapa kebijakan telah diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat seperti yang
tertuang dalam ringkasan Riset US Foreign Policy after 9/11:
1. Mendukung pembentukan jaringan Islam moderat. Dukungan terhadap
kalangan moderat bertujuan untuk mencounter propaganda kelompok radikal.
Kelompok radikal dianggap memiliki jaringan yang kuat walaupun minoritas,
sebaliknya kelompok moderat memiliki jaringan yang lemah padahal
mayoritas diantara kaum muslim.
2. Mengganggu jaringan kelompok radikal dengan cara memahami karakter dari
jaringan mereka dan komunitas yang mendukung mereka kemudian
kelemahan mereka untuk menghancurkan jaringan mereka dan mensupport
kelompok moderat untuk memegang kendali.
3. Mendukung reformasi masjid dan madrasah dengan cara menjamin
tersedianya pendidikan modern serta membangun dan memperkuat dewan
akreditasi pendidikan untuk memonitor dan mereview kurikulum di sekolah-
sekolah swasta ataupun negeri. Dan mendukung pemerintah dan kelompok-
kelompok moderat untuk menjamin supaya masjid terjaga dari penguasaan
kelompok-kelompok radikal.
4. Memperluas kesempatan ekonomi bagi masyarakat. Dengan dukungan
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat akan mengurangi para
ekstrimis untuk mengeksploitasi kemiskinan untuk visi politik mereka.
5. Mendukung gerakan-gerakan Civil Islam (moderat/liberal) untuk
mengembangkan pendidikan dan aktifitas-aktifitas kultural. (Rand, 2004)
Perang melawan radikalisme dipahami tidak semata melibatkan perang fisik ataupun
militer namun juga melibatkan perang pemikiran atau battle of ideas. Perang ini
meniscayakan kerjasama pemerintah dengan kelompok-kelompok sipil (civil society)
baik kelompok-kelompok komunitas, dan NGOs dalam masyarakat.
9
2.3 Peran NGOs dalam proyek Kontraradikalisme
Non-Governmental Organizations menurut pengertian PBB adalah sebuah kelompok
non-profit yang secara prinsip bukan bagian dari pemerintah yang beraktifitas di
level lokal, nasional atau internasional untuk mengatasi masalah dalam mendukung
kepentingan publik. a not-for-profit group, principally independent from government,
which is organized on a local, national or international level to address issues in
support of the public good. (study.com).
Dalam level Nasional ataupun global NGOs memiliki peran dalam berbagai isu dan
problem dalam masyarakat, seperti lingkungan, kemiskinan, protes terhadap
kebijakan negara, memperjuangkan nasib kemanusiaan, memobilisasi dukungan
publik, melakukan aktifitas melalui jalur hukum, analisis kebijakan, penyedia
layanan, pengawas kebijakan pemerintah, serta mengenforce komitmen negara baik
level nasional ataupun internasional. NGOs bahkan bisa mempengaruhi format
institusi politik nasional ataupun internasional dan menciptakan norma internasional
(Qian Ji Cheng, 2004).
Dalam hubungan internasional, NGOs telah memiliki posisi yang penting dalam
mempengarui proses-proses politik yang terjadi secara global. NGOs mampu
mempengaruhi bahkan mengubah proses pembuatan kebijakan dalam level
internasional seperti kesuksesan ―memaksa‖ negara-negara untuk menciptakan
regulasi lingkungan internasional seperti dalam kampanye global untuk melarang
ranjau darat menjadi peristiwa yang menjadi alasan di bentuknya Mide Ban Treaty
1997. NGOs bahkan telah dilibatkan dalam proses-proses yang terjadi di PBB,
seperti NGO working group on security council tahun 90a (Paul, 2000).
Dalam proyek kontraradikalisme, NGOs memiliki peran untuk terlibat langsung
dalam mencegah radikalisme melalui aktifitas membantu pemerintah dalam
mengatasi persoalan ekonomi, sosial dan politik yang bisa menjadi sumbu munculnya
radikalisme. NGOs juga memiliki peran sebagai penyebar pesan kepada masyarakat
10
untuk melawan ide-ide radikal dan ekstrimis. NGOs dianggap mampu berbaur dengan
masyarakat, memperkuat rasa solidaritas antar masyarakat kemudian mampu
membangun dialog dengan masyarakat untuk membahas isu-isu kontroversial
berkaitan dengan radikalisme. NGOs juga mampu untuk terlibat langsung dan bisa
mengetahui potensi-potensi munculnya radikalisme dalam masyarakat dan bisa
langsung mengambil tindakan pencegahan dengan melibatkan berbagai aktor dalam
masyarakat. Dalam proses deradikalisasi yang terjadi dalam sebuah keluarga
misalnya, NGOs bisa memberikan fasilitas kepada keluarga yang lain baik hal-hal
yang sifatnya praktis atau dukungan emosi (strategicdialogue.org)
Terkait peran NU sebagai salah satu NGOs di Indonesia, Selama ini belum ada kajian
yang spesifik mengenai keterlibatan organisasi Nahdhatul Ulama dalam merespon
berkembangnya pengaruh radikalisme politik Islam di Indonesia, Padahal NU
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap berkembangnya paham tersebut. Salah
satu penelitian mengenai Isu dan radikalisme politik Islam adalah hasil penelitian
Miftahul Ilmi, 2008, Persepsi Ulama Nu Tentang Sistem Khilafah (Studi Kasus
Ulama NU Kota Semarang). Tulisan tersebut mengungkapkan respon NU Kota
Semarang dan Ulama NU se Kota Semarang terhadap isu Khilafah dan argumen NU
terhadap cita-cita Khilafah Islamiah yang sering dikampanyekan oleh Hizbut Tahrir
Indonesia. Dalam tulisan tersebut memperlihatkan secara tegas sikap terhadap NKRI
dan Pancasila sebagai konsep yang sudah final di Indonesia sehingga konsep-konsep
lain termasuk khilafah yang ditawarkan di Indonesia, pasti akan ditolak. Sikap
kebangsaan NU yang kokoh ini diyakini adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.
Nilai kebngsaan yang dimaksud adalah nilai yang berdasarkan kepada nilai-nilai
keislaman, khususnya nilai ahlusunnah wal jamaah (ilmi, 2008).
Alasan Ulama Nu Semarang menolak Khilafah yang ditawarkan oleh HTI,
sebagaimana yang ditulis oleh Ilmi, bahwa Nabi tidak pernah memberikan contoh
model pemerintahan Islam yang baku, termasuk Khilafah. Sementara konsep khilafah
sendiri sudah tidak relevan dengan konteks kekinian dalam sistem negara nation-
11
state. Di tambah lagi, tidak ada satu dalilpun al-Quran maupun al-Hadits yang
mewajibkan tegaknya khilafah (ilmi, 2008). Namun, tulisan Ilmi hanya
mendeskripsikan respon NU terhadap ide khilafah dan tidak membahas mengenai
strategi NU dalam membendung ide tersebut.
Sebuah tulisan menarik ditulis oleh A. Rubaidi (2010) yang berjudul Radikalisme
Islam, Nahdhatul Ulama: Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, buku
tersebut menuliskan banyak hal terkait radikalisme Islam mulai konsep, sejarah,
organisasi-organisasi Islam Radikal di Indonesia. Dibuku tersebut dituliskan juga
mengenai kebangkitan gerakan Islam (non-mainstream) atau radikalisme di Indonesia
dan kelemahan gerakan-gerakan moderat seperti NU dan Muhammadiah. Disebutkan
bahwa penyebab lebih dominannya aksi dan wacana gerakan Islam Radikal di
Indonesia adalah mereka memiliki manajemen organisasi yang sehat dan sistem
kaderisasi yang teratur dibanding dengan NU dan kelompok moderat lain di
Indonesia. Sayangnya buku kajian mengenai Nahdhatul Ulama vis a vis radikalisme
Islam sangat minim ditulis dalam buku ini, bahkan hanya ditulis di bagian pengantar
saja, sementara sebagian besar yang lain hanya membahas radikalisme secara umum.
Padahal dari judul bukunya, ada harapan penulis buku menjelaskan mengenai
polemik Radikalisme dan Moderatisme Islam di Indonesia yang diwakili oleh NU
melawan gerakan-gerakan dan paham radikal di Indonesia.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Kualitatif
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu dengan melakukan observasi
langsung terhadap objek-objek yang akan diteliti yaitu aktifitas NU dan tokoh-tokoh
ulamanya dalam melawan Radikalisme Politik Islam, kemudian mendokumentasikan
aktifitas-aktifitas tersebut, merekam setiap perkataan dan ucapan mereka, dan
mengumpulkan dokumentasi-dokumentasi berkaitan dengan aktifitas kontra
radikalisme yang dilakukan oleh NU.
3.2 Prosedur Riset
a. Pra-Riset
Dalam tahap ini pra riset ini, berbagai aktifitas akan dilakukan untuk mempersiapkan
riset seperti, mempersiapkan surat untuk lembaga dan orang yang akan diwawancara,
mempersiapkan instrument-instrumen penelitian dan fiksasi jadwal penelitian.
b. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik penelitian pustaka yaitu dengan menelusuri berbagai dokumen
tertulis yang berkaitan dengan buku-buku, jurnal dan artikel-artikel yang mengenai
topik tersebut.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data
sekunder dan data primer. Data primer di dapat dari catatan-catatan resmi yang
dikeluarkan oleh Nahdhatul Ulama serta lembaga-lembaga terkait yang pernah
bekerjasama dengan lembaga ini. Sementara data sekunder didapat melalui tulisan-
tulisan, jurnal atau buku yang berkaitan dengan aktifitas NU baik institusional
maupun individual dalam merespon pengaruh radikalisme politik Islam di Indonesia.
13
c. Teknik Analisis Data
Setelah proses pengumpulan data, data tersebut akan dianalisis melalui beberapa
tahap sebagaimana dalam buku Cresswell (2009) yaitu, Mengelola dan
mempersiapkan data untuk dianalisis termasuk data hasil wawancara dan
dokumentasi data-data yang lain. Langkah selanjutnya adalah, membaca seluruh data
untuk memahami sebuah ide umum yang tersirat dari semua data kemudian akan
dicatat atau direkam ide tersebut. Langkah ketiga, melakukan proses coding, yaitu
dengan melakukan kategorisasi terhadap data-data yang telah dikumpulkan kemudian
diberikan penamaan, seperti Politik Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Aktifitas
Nahdlatul Ulama melawan Radikalisme. Langkah keempat adalah mengembangkan
narasi atau deskripsi berdasarkan atas hasil coding tersebut. Dimungkinkan akan ada
penambahan sub-sub tema dan kategori berdasarkan atas masing-masing kategorisasi
diatas. Langkah kelima, menuliskan deskripsi terhadap temuan yang dihasilkan dari
penelitian. Dan langkah terakhir, melakukan interpretasi terhadap hasil temuan dari
penelitian tersebut.
14
BAB IV
NAHDLATUL ULAMA &
FENOMENA RADIKALISME DI INDONESIA
4.1 Nadhlatul Ulama dalam Sejarah Politik Indonesia
Nahdlatul Ulama atau disingkat NU telah memiliki peran yang sangat besar dalam
dinamika pergolakan pemikiran Islam dan politik di Indonesia. Kader-kader
organisasi ini tercatat dalam sejarah Indonesia memiliki posisi yang penting, diantara
mereka ada yang menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, menduduki jabatan
pemerintahan, majelis ulama Indonesia, dan jaringan pesantren di seluruh Indonesia.
Jumlah warga NU dan basis pendukungnya berjumlah sekitar 40 juta orang dari
berbagai kalangan dan profesi, dari berbagai wilayah kota maupun desa (nu.or.id).
NU di Indonesia diklasifikasikan sebagai organisasi tradisional, beberapa ciri yang
menjadi khas dari Islam tradisionalyaitu: pertama, terdapat pola hubungan yang kuat
antara kiai, santri dan masyarakat sebagai akibat dari hubungan mereka yang
sederhana dan menempatkan kiai atau ulama dalam posisi yang sangat tinggi atau
terhormat. Kedua, keterikatan mazhab ahl al-sunnah wa al-jama`ah menciptakan
ikatan emosional yang kuat bagi pengikutnya, bahkan sampai ke tahap fanatisme
buta. Ketiga, bersifat inklusif terhadap budaya tradisional dalam masyarakat dan
mengintegrasikannya menjadi tradisi Islam di tengah masyarakat seperti Tahlilan,
Barazanji, sedekahan dll. Keempat, Pesantren menjadi pusat kaderisasis untuk
melanjutkan tradisi pemikiran dari kelompok Islam tradisional. Kelima, Ulama
ditempatkan dalam posisi yang penting dalam masyarakat, primordialisme (Daman,
2001: 31-33).
Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) menjadi fondasi atau landasan pemikiran dan
organisasi ini. Menurut NU, merujuk kepada Aswaja sebagai aliran yang harus diikuti
berangkat dari hadits nabi yang mengabarkan bahwa umat Islam akan terbagi dalam
15
73 aliran dan semuanya masuk surga kecuali satu golongan yaitu ahlu sunnah wal
jamaah.
Faham Ahlu Sunnah yang dimaksud oleh NU adalah, faham yang dicetuskan oleh
Abul Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi dalam aspek akidah, dan
mazhab empat (Hanafi, Hambali, Syafii, dan Maliki) dalam bidang fiqh dan Imam
Abu Qosim al Junaid dalam bidang Tasawwuf. Secara umum ciri khas dari teologi
aswaja adalah: mendahulukan dalil naqli (Al-Quran & Sunnah) daripada aqli,
menjadikan akal sebagai alat untuk membuktikan rasionalitas nash, dan tidak
gampang mengkafirkan atau memusyrikkan orang yang berbuat dosa (Daman, 2001:
64-65).
NU memang tidak mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik dan
memperjuangkan kepentingan politik tertentu, namun NU tidak bisa dilepaskan
dalam dinamika politik di Indonesia, begitupun sebaliknya Indonesia tidak bisa lepas
dari peran politik NU. Peran politik NU sejak awal berdirinya sudah kelihatan
mencolok, bahkan berdirinya NU sebenarnya tidak lepas dari persoalan politik yang
terjadi di dunia Islam saat itu. Salah satu pemicu berdirinya NU adalah respon para
ulama pesantren terhadap kongres dunia Islam ke-4, Agustus 1925 di Makkah yang
salah satu hasilnya adalah larangan mengajarkan aliran aswaja di masjidil haram,
Makkah waktu itu telah menjadi bagian dari kekuasaan wahhabi yang
memperjuangkan purifikasi Islam dari tradisi-tradisi lokal masyarakat. Hasil kongres
tersebut membuat cemas para ulama pesantren di Indonesia, akhirnya ulama
pesantren mengirim delegasi untuk menghadap raja Saud dan meminta untuk tidak
melarang pengajaran berbagai mazhab, tradisional dan tarekat di Hijaz, komite ini
bernama komite Hijaz yang kemudian hari menjadi Nahdlatul Ulama (Karim,1995:
48-49).
Selain dari momentum kongres dunia Islam, NU juga dianggap sebagai pewaris dan
pelembagaan terhadap perjuangan ulama sejak ratusan tahun lalu di nusantara, seperti
16
perlawanan Dipanegoro (1825-1830) dan perlawanan rakyat Aceh (1872-1912).
Kemudian pada abad dua puluh, KH. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul
Wathan sebagai wadah untuk menumbukan rasa perjuangan dan nasionalisme di
Indonesia serta untuk membentengi aswaja dari ancaman-ancaman pembaharuan kala
itu.
Perjalanan sejarah NU di Indonesia dibagi oleh Masyhur Amin dalam tiga periode
yaitu periode NU sebagai Jam`iyah Diniyah Mahdlah, organisasi keagamaan murni
(1926-1936), kedua, Keterlibatan NU dalam partai politik dan menjadi partai (1936-
1984), dan ketiga, NU kembali ke Khittah 1926 (1979-sekarang), (Amin, 1995: 61).
Pada periode sebagai keagamaaan murni, Amin menyebutkan, NU tidak melibatkan
diri dalam persoalan politik dan hanya disibukkan dalam aspek-aspek ritual
keagamaan semata seperti Isra Mi`raj, Nisfu Sya`ban, Maulid dsb. Melihat fakta-fakta
sikap NU dan perilaku NU dalam perpolitikan di Indonesia pada periode ini,
sebenarnya, pernyataan bahwa NU pernah berada di periode keagamaan murni masih
patut dipertanyakan. Sebab pada era ini malah NU memperlihatkan sikap politiknya
terhadap peristiwa yang terjadi baik nasional ataupun global, contohnya, kunjungan
KH. Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghanaim, perwakilan NU, diterima oleh raja Ibnu
Saud untuk menyampaikan pesan-pesan dari para ulama tradisional di Indonesia salah
satunya, mengusulkaan bahwa semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis sebagai
undang-undang.
Dalam berbagai muktamar NU I tahun 1926, Muktamar II, 1927, memperlihatkan
sikap politik NU terhadap situasi dan suasana keberislaman di Indonesia. Dalam
Muktamar I, 1926 di Surabaya, NU mempertegas dan mengharuskan umat Islam di
Indonesia untuk mengikuti salah satu dari mazhab 4 (Hanafi, Syafii, Hambali, Maliki)
kemudian dalam muktamar II, 1927 di Surabaya, NU menuntut agar pemerintah
melakukan pengawasan terhadap anak yang menikah di bawah umur, dan penghulu
nikah haruslah bermazhab ahlu sunnah dan telah disetujui oleh ulama setempat.
17
Keputusan yang lain, pakaian ala barat diperbolehkan kalau hanya mengikuti trend
saja (Amin, 1995: 61-63).
Untuk mempertegas sikap politik NU di masa itu Gaffar Karim menuliskan bahwa:
―betapapun NU terutama sekali lahir dan berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan
(Jam`iyah Diniyah Mahdlah), namun kibaran panji-panji keagamaan yang ada telah
dipikul dengan semangat politis yang cukup jelas pula. Visi politik jamaah yang
terwadahi dalam NU, dengan sub-sub wadah berupa pesantren-pesantren, tercermin
misalnya dalam sikap eskapisme mereka berhadapan dengan kolonialisme. Baik
secara fisik dengan mengundurkan diri dari daerah urban ke daerah pedesaan yang
relatif jauh dari jangkauan belanda, maupun secara psikologis dengan menjauhi segala
hal yang dianggap berbau Belanda, seperti pemakaian dasi, bahkan celana panjang‖
(Karim, 1995: 50).
Periode selanjutnya, adalah periode keterlibatan NU dalam politik atau periode
perjuangan politik (1936-1952). Periode ini diawali oleh hasil keputusan Muktamar
XI tahun 1936 di Banjarmasin yang menyatakan bahwa, negara dan tanah air
Indonesia wajib dilestarikan secara hukum fiqh, dalam muktamar ini juga diserukan
persatuan umat Islam dan menjauhkan diri dari persoalan-persoala khilafiyyah atau
furuiyyah yang bisa memicu perselisihan atau pertengkaran (Amin, 1995: 67-68).
Langkah konkrit dari keterlibatan Nu dalam politik di Indonesia bisa dilihat di saat
bergabungnya NU ke dalam MIAI (Majelis Islam A`la Indonesia) tahun 1939. MIAI
berpengaruh terhadap pandangan-pandangan politik NU seperti pada kongres-kongres
yang diadakan pada tahun 1938, 1939, 1940, perbincangan-perbincangan pokoknya
banyak menyinggung persoalan-persoalan kenegaraan, bahkan isu Palestina juga
menjadi bagian dari pembahasan kongres tersebut.
Pada tahun 1938, dalam muktamar XII di Banten telah muncul sebuah isu bahwa NU
harus berusaha mendudukkan wakilanya di dewan rakyat. Muktamar XV di
Surabaya, tahun 1940 dibahas mengenai tuntutan Indonesia berparlemen, pemerintah
memberikan pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang tertahan di Makkah
akibat perang Belanda Jerman, mencabut ordonansi guru 1925, dan pembicaraan
terkait pemimpin masa depan di Indonesia (Karim, 1995: 53). Di era kekuasaan
18
Jepang, hubungan NU dan penguasa Jepang terjaga dengan baik, K.H Hasyim Asyari
diangkat menjadi KUA (Shumubu) saat itu. MIAI membubarkan diri tahun 1943
karena hubungan yang tidak baik dengan Jepang kemudian membentuk Masyumi.
Tahun 1946 NU masuk ke Masyumi, namun keluar lagi karena kecewa terhadap
kepemimpinan Masyurmi dan akhirnya menjadi partai politik sendiri. Perwakilan
NU, KH. Wachid Hasyim dan Kiai Masykur, terlibat dalam panitia persiapan
kemerdekaan Indonesa tahun 1945 serta terlibat dalam perumusan Piagam Jakarta.
Dalam pemilu tahun 1955, NU berhasil menempatkan 45 kadernya di parlemen, serta
ikut terlibat dalam pemberantasan PKI tahun 1965. Pada tahun 1979 dalam Muktamar
di Semarang ke 26 diputuskan bahwa NU kembali sebagai jamiyyah seperti tahun
1926. Aspirasi politik NU disalurkan melalui partai persatuan pembangunan (PPP).
Hingga saat ini keterlibatan politik NU bersifat menyebar baik di partai Islam
maupun partai-partai Sekuler dan tetap menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan
yang bercorak Islam dan tetap bertahan sebagai benteng aswaja di Indonesia.
4.2 Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan NU
Dalam konsep Islam, negara merupakan bagian yang sangat penting, seluruh umat
Islam sepakat bahwa Islam dan negara tidak bisa dipisahkan. Islam yang menjadi
pembimbing negara dan negara sebagai penopang dan pelaksana ajaran-ajaran Islam.
Masalah yang muncul dan tidak pernah habis diperdebatkan adalah, bagaimana
hubungan antara Islam dan negara secara ideal. Munawwir Sjadzali (Nashir, 2013:
140-141) mengungkapkan perbedaan pandangan antar umat Islam mengenai Islam
dan negara.
Aliran pertama, bahwa praktek kenegaraan dan sistem politik sebuah negara adalah
bagian dari hukum Islam yang sudah jelas ketetapannya di dalam aturan Islam. Islam
merupakan agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi ada pengadopsian dari
sistem politik yang lain. Umat Islam hanya harus menjalankan yang nabi Muhammad
19
dan Khulafaur Rasyidin jalankan. Para pemikirnya seperti, Hasan Al-Banna, Sayyid
Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, Maulana Maududi, dan Taqiuddin an-Nabhani.
Aliran kedua, bahwa Islam dan negara tidak memiliki hubungan sama sekali. Nabi
Muhammad diutus hanya sebagai pembawa risalah moral keagamaan semata dan
bukan politik. Para pendukung gagasan ini adalah Thaha Husain dan Ali Abdul
Raziq. Aliran ketiga, Islam tidak mewariskan bentuk negara tertentu namun, Islam
mengajarkan berbagai etika dalam bernegara. Pendukungnya, Muhammad Husein
Haikal
Aliran pertama yang mengintegrasikan Islam dan politik dikenal dengan aliran
tradisional atau integralistik, aliran kedua di kenal dengan aliran modernis-sekuler
dan aliran ketiga dikenal sebagai aliran modernis-reformis.
Berbeda dengan Sjadzali, Bahtiar Effendi, tidak memasukkan kelompok modernis
sekuler dalam pengklasifikasiannya, Effendi menuliskan hanya dua cara pandang
mengenai hubungan Islam dan Politik di Indonesia, yaitu yang pro terhadap negara
Islam serta anti demokrasi, dan kelompok lain yang sama dengan kelompok
modernis-moderat, Islam tidak mewarisi negara namun, memiliki panduan-panduan
moral dan nilai dalam bernegara (Effendi, 2011: 14-15).
Klasifikasi aliran pemikiran Munawwir Sjadzali dan Bahtiar Effendi ini bisa menjadi
cara pandang dalam mengamati keragaman pemikiran Politik Islam di Indonesia
termasuk pemikiran politik Nahdlatul Ulama.
Dilihat dari sejarah politik Nahdlatul Ulama dan NKRI, NU tidak ada masalah
dengan NKRI dan sistem negara beserta paham kebangsaan yang ada di Indonesia.
Bahkan NU pernah ikut terlibat dalam proses-proses politik walaupun akhirnya
kembali menjadi ormas biasa, jam`iyyah. Hingga saat ini, kader-kader NU menyebar
di partai-partai politik yang ada di Indonesia dan menduduki jabatan-jabatan penting
di Pemerintahan seperti menteri agama, dan menjadi pengurus Majelis Ulama
Indonesia.
20
Di saat masa penjajahan Belanda, hubungan NU dan Belanda bersifat kooperatif
kecuali jika terdapat kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan umat Islam di
Indonesia, NU akan protes. Sikap kooperatif NU ini bisa dipahami karena NU
memandang Belanda adalah pemerintahan yang sah di Hindia Belanda serta, Nu
memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara Islam, darul Islam. Sikap NU ini
ditunjukkan saat muncul sebuah pertanyaan dalam Muktamar di Banjarmasin, tahun
1935 bahwa, wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan Hindia
Belanda yang diperintah oleh orangorang non-muslim? Muktamar menjawab, wajib.
Dengan alasan di wilayah Hindia Belanda Islam dipraktekkan secara bebas oleh
pemeluknya serta, kerajaan-kerajaan Islam sudah pernah ada di wilayah tersebut
(Wahid, 2011: 5).
Pemahaman ini membawa NU mengakui keabsahan pemerintahan kolonial belanda,
dan secara otomatis mengharamkan pemberontakan atau penggulingan terhadap
pemerintahan kolonial belanda. Keyakinan ini juga nampaknya menjadi alasan NU
untuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah Jepang. Di era pembentukan
konstitusi negara Indonesia, NU bersama tokoh-tokoh muslim yang berada dalam
front pro Islam sebagai dasar negara Indonesia berseberangan dengan kelompok-
kelompok nasionalis, dan kristen. Dalam berbagai sidang, akhirnya NU dan tokoh-
tokoh pro Islam bersepakat untuk menerima Pancasila.
Di era Soekarno, NU menunjukkan kembali sikapnya yang pro terhadap negara yang
baru lahir, Indonesia. Soekarno dalam pandangan NU adalah sah sebagai seorang ulil
amri yang diakui umat Islam indonesia dengan istilah, ulil-amri dharuri bis saukah.
Sementara NKRI sendiri menurut NU sah secara fiqih. Pandangan ini menjadi
landasan, Kyai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad bersama para ulalam pada
22 Oktober 1945 saat kembalinya tentara Sekutu dan Belanda yang ingin menjajah
Indonesia (Margono, 2011: 342).
Di era Soeharto, hubungan Nu dan pemerintah bermasalah. NU dimarjinalkan dan
tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan Soeharto sejak bertahta tahun 1967
21
termasuk departemen agama yang awalnya didominasi NU kemudian bergeser
kepada kelompok-kelompok modernis yang tidak punya afiliasi dengan NU.
Kebijakan ini diambil Soeharto dalam rangka menetralisir pengaruh NU dalam tubuh
pemerintahan. Berbeda di masa Soekarno, NU menikmati hak istimewa dalam
politik.
Yang mengherankan, disaat hubungan NU dan pemerintah tidak harmonis, NU
mendeklarasikan menerima asas tunggal Pancasila yang diproklamirkan oleh
Soeharto padahal banyak kalangan mengeritik dan menolak kebijakan Soeharto
tersebut. Seperti dikalangan kelompok modernis Muhammadiah. Malik Ahmad,
Wakil Ketua Muhammadiah, mengatakan lebih memilih Muhammadiyah bubar
daripada menerima Pancasila. Tokoh-tokoh Muhammadiyah bolak-balik melakukan
negosiasi dengan presiden dan berbagai menteri agar Muhammadiyah dikecualikan
dalam menerima asas tunggal, tetapi semuanya tetap mewajibkan untuk ikut asas
tunggal. Akhirnya Muhammadiyah menerima Pancasila dan tidak mempertanyakan
kembali sejak keputusan dalam kongres 41 di Surakarta pada tahun 1985
(Assyaukani, 2011: 137).
Tokoh yang paling penting dalam kebijakan NU menerima asas tunggal adalah
Abdurrahman Wahid dan Achmad Siddiq. Keduanya berhasil menyakinkan anggota
NU bahwa Islam dan Pancasila sejalan dan tidak bertentangan.
Siddiq, menyatakan Islam dan Pancasila tidak bertentangan dengan beberapa alasan.
Pertama, Islam mengajarkan sikap tawassut (jalan moderat), penerimaan pancasila
merupakan bagian dari sikap moderat tersebut dan penolakan terhadap Pancasila
merupakan sikap ekstrem yang bertentangan dengan Islam. Kedua, berdasarkan atas
dalil al-Quran, Surah Ali Imran, 64 yang menyuruh untuk bersatu dalam kalimatun
Sawa`, maka hal itu sama dengan poin yang telah dicantumkan dalam Pancasila.
Ketiga, penggunaan Qiyas. Menurut Siddiq, Pancasila telah dipakai di Indonesia
sudah berpuluh-puluh tahun (40 tahun), ibaratnya makanan yang telah dimakan sejak
sekian lama, maka tidak relevan lagi untuk mempertanyakan halal
22
haramnya(Assyaukani, 2011:134-135). Dalam satu kutipannya dalam meyakinkan
anggota NU untuk menerima pancasila, Siddiq menyatakan:
Pancasila dan Islam bisa berjalan beriring dan saling melengkapi. Keduanya tidak
bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Tidak perlu memilih salah satu dan
membuang yang lain…. Islam adalah agama wahyu sementara Pancasila adalah hasil
pemikiran manusia…. NU menerima Pancasila bukan karena pertimbangan politik
tapi lebih karena pertimbangan hukum Islam. (Assyaukanie, 2011: 136).
K.H. Abdurrahman Wahid, merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh
dalam NU dan menjadi salah satu rujukan terkait isu-isu kenegaraan dalam perspektif
NU. Abdurrahman Wahid yang sering dikenal dengan Gusdur di kalangan NU cukup
terkenal karena juga dia merupakan cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy`ari dan
anak dari KH. Wahid Hasyim seorang tokoh penting di NU.
Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2011), Abdurrahman Wahid
menuangkan berbagai pemikirannya diantaranya pandangan mengenai hubungan
Islam dan negara. Dalam buku tersebut Wahid menegaskan, Islam tidak pernah
mengajarkan untuk mendirikan negara tertentu, atau sistem negara Islam. Pendirian
negara Islam menurutnya hanya akan akan menjadikan warga non-muslim sebagai
warga kelas dua yang akan tersingkirkan. Serta akan berdampak pada warga muslim
yang abangan/nominal yang jelas berbeda derajat keislamannya dengan kaum santri.
Yang dibutuhkan oleh umat Islam yaitu menjadikan Islam menjadi bagian dari
pengamalan kehidupan sehari-hari seperti tauhid, pengamalan rukun islam,
menolong sesama manusia, profesional dalam pekerjaan termasuk bersabar dalam
setiap musibah dan cobaan yang terjadi. Jika semua nilai diatas sudah terlaksana,
menurut Wahid, sistem Islam tidak dibutuhkan lagi, bahkan ketaatan seorang
muslim tidak diukur dari perwujudan sistem atau negara Islam (Wahid, 2011: 4-5).
Lagipula, dalam pandangan Wahid, dalam sejarah Islam tidak ada sistem tunggal
yang sifatnya tetap tunggal seperti, teknis pengangkatan pemimpin yang tidak tetap
dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab, ke Utsman bin Affan dan ke Ali bin Abi
Thalib kemudian penguasa-penguasa setelahnya. Begitu juga, ukuran masyarakat
23
Islam sifatnya yang beragam. Di era Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar,
masyarakat Islam berwujud sebagai sebuah komunitas, kemudian berubah menjadi
imperium di era Umar, menjadi negara bangsa di era kolonialisme hingga kini dst.
Keragaman tersebut, menurut wahid, menjadikan konsep negara Islam tidak dapat
dibangun (Wahid, 2011: 15).
Wahid mempertegas sikapnya terhadap hubungan Islam dan negara dengan
mengungkapkan:
―Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya
sebuah sistem Islami, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah
negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada
pihakpihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-
Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam
jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan
hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan
Undang-Undang (UU) di pihak lain‖ (Wahid, 2011: 6)
Gaya berfikir Wahid yang anti formalistik dikelompokkan oleh Syafii Anwar sebagai
tipologi pemikiran substantif-inklusif. Pemikiran model ini memiliki beberapa
karakteristik yaitu, pertama, Islam tidak memiliki konsep negara tertentu dan al-
Quran hanya mengajarkan etika dan pedoman moral kehidupan manusia dan tidak
mendetailkan setiap persoalan dalam kehidupan termasuk bernegara. Kedua, Nabi
Muhammad diutus bukanlah untuk menjadi seorang pemimpin negara tapi hanya
sebagai pendakwah yang menyebarkan nilai Islam dan kebajikan. Ketiga, Syariat
tidak ada hubungannya dan tidak terikat dengan persoalan negara serta tidak boleh
diletakkan dalam lingkup negara. Keempat, menjadikan Islam sebagai sebuah acuan
nilai dalam berpolitik dan serta dalam membangun format pemikiran dan lembaga
politik (Wahid, 2011: xix-xxi) .
Pemikiran Abdurrahman Wahid ini diikuti atau sama dengan pemikiran-pemikiran
tokoh NU yang lain di PBNU termasuk, Hasyim Muzadi, Masdar Farid Masudi dan
Said Agil Siradj dan Ulil Abshar Abdallah. Dalam sebuah pidatonya pada hari
peringatan hari Pancasila 1 Juni di gedung DPR/MPR RI, Said Aqil Siradj ketum
24
PBNU (2010-Sekarang) menegaskan bahwa bagi NU, Pancasila merupakan hasil
final perjuangan umat Islam dan hasil kristalisasi dari nilai-nilai akidah, syariah dan
akhlak Islam Ahlusunnah wal Jamaah, sehingga mengamalkan Pancasila adalah
sama dengan mengamalkan syariat Islam aswaja itu sendiri. Sikap politik ini,
menurut Siradj, berimplikasi pada tidak perlu lagi ada aspirasi dan seruan untuk
menegakkan syariat Islam karena toh telah dijewantahkan dalam Pancasila (Siradj,
2012).
3.3. Radikalisme Politik Islam di Indonesia
Gerakan dan visi politik Islam telah ada di bumi Indonesia bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Kemunculannya dipengaruhi oleh konteks bertumbuhnya
sentimen kebangsaan dan sentimen anti penjajah di era kekuasaan Hindia Belanda.
Salah satu ikon perjuangan politik Islam saat itu adalah Sarikat Islam di tahun-tahun
awal abad 20 yang muncul untuk melawan kebijakan diskriminatif penjajah Belanda
baik di bidang ekonomi maupun sosial (Hadiz, 2010:13).
Visi politik Islam juga telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Islam yang ikut
memperjuangkan dan merumuskan konsep-konsep dasar Negara Republik Indonesia.
Kalangan yang pro terhadap negara Islam ini (Islamis) berkeinginan untuk
menjadikan Islam sebagai landasan dan konstitusi negara namun berseberangan
dengan kelompok nasionalis yang menginginkan Indonesia berdasarkan atas
nasionalisme saja dengan menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.
Salah satu peristiwa penting gerakan politik Islam di Indonesia adalah
pemberontakan gerakan Darul Islam yang mencita-citakan pendirian Negara Islam
Indonesia yang berlangsung cukup lama antara tahun 1948-1962. Pemberontakan
gerakan ini menyebar di Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Di era tahun 1945-1957, ikon perjuangan politik Islam saat itu adalah Masyumi,
Majelis Syura Muslim Indonesia, tempat berkumpulnya ormas-ormas Islam yang ada
di Indonesia baik dari kalangan tradisionalis dan modernis. Masyumi memiliki cita-
25
cita untuk menjadikan Indonesia berlandaskan hukum Islam. Organisasi ini pernah
menduduki posisi yang penting dalam pemerintahan Indonesia. Pernah menjadi salah
satu partai terbesar di Indonesia, dan beberapa kali memimpin kabinet di era
Soekarno. Peran Masyumi menjadi berkurang saat Soekarno semakin dekat dengan
Partai Komunis Indonesia. Tahun 1960, Soekarno membubarkan Masyumi.
Kondisi politik Islam juga dimarjinalkan di era Soeharto, orde bare dengan alasan
kecurigaan terhadap politik Islam yang bisa berpotensi menjadi ancaman terhadap
Pancasila. Sikap ini membawa Soeharto membuat kebijakan yang ketat terhadap
politik Islam termasuk mengakui hanya satu partai yang membawa aspirasi umat
Islam yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan) termasuk kebijakan asas tunggal
yang memaksa semua kelompok dan partai mengakui dan memperjuangkan
Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan melarang selainnya (Lee, 2004: 93-94).
Pasca reformasi, suara-suara yang meneriakkan penegakan syariat Islam dan
pengembalian piagam jakarta, kelompok-kelompok yang diera Soeharto tidak
memiliki panggung untuk menyuarakan aspirasinya, setelah reformasi, menjadi
terbuka lebar. Muncullah nama-nama kelompok Islam seperti, Dewan Dakwah
Islam, DDII Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Laskar Jihad, Forum
Komunikasi Ahlusunnah Wa al Jamaah, (FKAWJ), Front Pembela Islam, Jamaah
Ikhwan al-Muslimin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (Azra, 2005:15).
Kelompok-kelompok ini dikenal sangat tegas terhadap perjuangan penerapan syariat
Islam di Indonesia, anti terhadap berbagai produk-produk pemikiran dari barat
termasuk demokrasi, dan HAM, termasuk sangat kritis terhadap kebijakan Amerika
Serikat di Timur Tengah dan negara-negara muslim lainnya.
Salah satu kelompok Islam yang paling nyaring suaranya dalam meneriakkan
penegakan syariat Islam dalam bentuk negara Khilafah adalah Hizbut Tahrir (HT).
Negara yang diperjuangkan pun sifatnya melampau negara bangsa karena yang
dicita-citakan oleh Hizbut Tahrir adalah negara Islam internasional atau pan-khilafah
state.
26
Dalam perspektif Hizbut Tahrir, Khilafah wajib diterapkan oleh seluruh kaum
muslimin karena merupakan bagian dari kewajiban agama. Terdapat tiga alasan
fundamental HT mewajibkan khilafah yakni, dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijma`
Sahabat. Dalam al-Quran, menurut HT, disebutkan dalam banyak surat yang
mewajibkan seluruh umat Islam untuk terikat oleh hukum Islam dan menjalankan
kehidupan bernegaranya sesuai dengan aturan dari Allah SWT. Salah satu ayat
dikutip adalah surah al Maaidah: 48 ayat yang mewajibkan untuk berhukum kepada
hukum Allah dan tidak mengikuti hawa nafsu. Dari sisi Hadits Rasul, banyak hadits
yang ditunjukkan memiliki makna bahwa umat Islam harus mengangkat seorang
khalifah, seperti hadits riwayat imam ahmad dan thabrani, di situ nabi bersabda
bahwa orang yang mati dan tidak membaiat seorang khalifah maka matinya seperti
mati jahiliyah. Untuk ijma` shahabat, HT berargumen, bahwa pengangkatan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama setelah wafatnya nabi Muhammad SAW sebelum
nabi dikebumikan bermakna bahwa mengangkat khalifah adalah sebuah hal yang
paling utama daripada yang lain (an-Nabhani, 2002: 274-275).
Selain alasan normatif, HT memperjuangkan khilafah dengan alasan kegagalan
sistem saat ini yang dibangun dengan landasan sekulerisme. Sekulerisme
meniadakan peran agama dalam kehidupan dalam sehingga yang menjadi sumber
hukum adalah manusia, manusialah yang menjadi legislator terhadap kehidupan
mereka sendiri. Poin ini bertentangan dengan aqidah Islam yang memerintahkan
untuk hanya berhukum pada hukum Allah SWT dalam semua aspek kehidupan.
Sehingga demokrasi dan kapitalisme yang menjadi bagian dari sekulerisme juga
haram dan merupakan sistem kufur yang tidak boleh diadopsi oleh umat Islam
(Hizbut Tahrir, 2009: 75).
Ketiadaan khilafah, menurut HT, merupakan sumber dari semua persoalan umat
Islam saat ini. Tidak adanya khilafah berakibat pada terpecah belahnya umat Islam
dalam negara-negara bangsa yang mayoritas dibawah kekuasaan negara-negara kafir,
serta munculnya penguasa-penguasa antek kafir penjajah yang menindas rakyatnya.
27
Absennya khilafah menjadikan hukum yang diterapkan di dunia Islam adalah
hukum-hukum kufur miliki orang kafir, termasuk kafir mendidik generasi muda
Islam dengan kurikulum pendidikan barat yang akhirnya tercekoki pandangan barat
dan memusuhi Islam khususnya khilafah. Ketiadaan khilafah berakibat pada
dirampasnya kekayaan alam miliki kaum muslim sementara para pejuang khilafah
distigma sebagai pelaku kriminal dan teroris yang harus diburu dan diberikan
sanksi(al-Jawi, 2004: 6-7). Berbagai alasan inilah yang menjadi bahan pemikiran
bagi HT hingga akhirnya berkesimpulan bahwa Khilafah menjadi bagian kewajiban
umat Islam yang terpenting pada saat ini.
Dalam manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, HT memberikan jaminan terhadap
semua masalah yang terjadi di Indonesia dan dunia, bahwa dengan penegakan hukum
Islam maka semua persoalan umat manusia akan terselesaikan, berikut beberapa poin
kebijakan Khilafah yang tertuang dalam manifesto:
1. Khalifah yang dipilih oleh umat, memerintah hanya dengan syariah Islam saja,
bukan dengan hukum sekuler, baik yang bercorak kapitalistik maupun sosialistik.
2. Anggota Majelis Umat, baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai mazhab, ras,
dan bahasa serta agama, yang dipilih oleh rakyat dan bertugas untuk mengoreksi
kebijakan Khalifah menurut sudut pandang Islam.
3. Mahkamah Madzalim yang akan mengadili para penguasa, termasuk Khalifah, atas
berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Khalifah tidak berhak mengganti qadhi
Mahkamah Madzalim yang sedang menangani sebuah perkara terkait dengan
kebijakan Khalifah.
4. Sebuah masyarakat yang bisa menghimpun seluruh warganegara, tanpa melihat
perbedaan agama, mazhab, jenis kelamin, bahasa maupun ras.
5. Proses penyatuan kembali seluruh Dunia Islam menjadi sebuah negara yang paling
kuat di dunia, yang dilakukan melalui sebuah kebijakan yang progresif serta usaha
pembebasan negeri-negeri Muslim yang terjajah.
6. Sistem ekonomi yang memberikan jaminan kepada seluruh warga negara untuk
mendapatkan kebutuhan primer dan akses untuk terpenuhinya kebutuhan sekunder,
serta jaminan ketersediaan kebutuhan pokok (primer) bagi kalangan yang kurang
mampu.
7. Industri berat, termasuk industri penghasil mesin, motor, dan elektronik. Sebuah
kebijakan industri yang menjamin upaya pengembangan teknologi mutakhir,
28
termasuk teknologi energi nuklir, pengembangan energi alternatif, elektronik
nirkabel, nanoteknologi, dan perjalanan luar angkasa.
8. Pembebasan dari segala bentuk penjajahan baik politik maupun ekonomi, termasuk
penjajahan melalui pinjaman luar negeri yang disertai bunga maupun penguasaan
sumber-sumber kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
9. Pendidikan dengan standar internasional bebas bea bagi seluruh warganegara, tanpa
memandang agama, mazhab, kekayaan maupun pengaruh.
10. Sebuah negara yang akan memimpin dunia dan menyebarkan Islam ke seluruh
penjuru bumi. Sebuah negara yang akan menyuarakan harapan seluruh umat
manusia, termasuk bangsa-bangsa di kawasan Afrika dan Asia serta Amerika Latin
yang saat ini ditindas oleh negara-negara penjajah (Hizbut Tahrir Indonesia, 2009:
12-13).
Meskipun memiliki ide yang sama dengan kelompok-kelompok jihad seperti al-
Qaeda namun, HT bersifat non kekerasan. Aktifitas untuk memperjuangkan Khilafah
dilalukan melalui cara-cara persuasif yaitu dengan melakukan kajian-kajian rutin,
melakukan kontak-kontak dengan berbagai pihak, serta mengadakan acara-acara
besar seperti seminar, konferensi, dan demonstrasi-demonstrasi.
Dalam level internasional, HT dianggap sebagai sebuah organisasi yang berpotensi
paling berbahaya, disamping karena jaringan yang sangat meluas di berbagai benua,
Amerika, Eropa, Asia, HT mendukung berbagai aktifitas jihad di berbagai negara
utamanya yang berada dalam pendudukan koalisi Amerika Serikat. (Baran,2004:x).
Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara, tapi di Indonesia Hizbut Tahrir bebas untuk
menjalankan segala agenda politiknya. Hubungan dengan semua kalangan juga
terlihat sangat baik, baik di level masyarakat, ulama, pengusaha, politisi, keamanan
dsb. Bahkan aksi demonstrasi, seminar dan konferensi yang dilaksanakan oleh HT
sangat bebas dan terbuka di Indonesia. Meskipun demikian, banyak juga kalangan
yang resisten terhadap gerakan Hizbut Tahrir dan ide-ide yang dibawanya. Yang
jelas, ide-ide atau pemikiran politik HT termasuk ikut mempengaruhi wacana politik
Islam di Indonesia pasca reformasi.
Secara historis, gerakan HT di Indonesia dimulai saat bertemunya aktifis HT
internasional, Abdurrahman al-Baghdadi dan Abdullah bin Nuh, pemimpin pesantren
29
al-Ghazali, Bogor, tahun 1960an di Australia. Al-Baghdadi kemudian diajak ke
Indonesia dan menyebarkan ajaran HT di Indonesia melalui pesantren yang diasuh
oleh Abdullah. Saat itu HT belum secara terang-terangan menyatakan identitas
organisasinya mengingat kondisi politik saat itu di era Soeharto yang tidak ramah
terhadap Islam. Namun, pemikiran-pemikiran HT tetap menyebar di kalangan pelajar
dan mahasiswa khususnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas
Indonesia Depok. Setelah runtuhnya Soeharto tahun 1998, HT semakin bebas
bergerak dan mendeklarasikan dirinya sebagai salah satu kekuatan politik Islam di
Indonesia. Berbagai aktifitas dan publikasi dilakukan seperti penerbitan buku-buku
dan buletin al- Islam, majalah al-Wa`ie. Penyebaran HT juga semakin meluas hingga
memiliki struktur organisasi sampai ke daerah-daerah terpencil di Indonesia
(Muhtadi, 2009: 626-628).
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
4.1 NU versus Dakwah Politik Islam Radikal
Dari pembahasan terdahulu mengenai sikap NU terhadap NKRI dan kebangsaan, bisa
dilihat komitmen NU terhadap eksistensi negara Indonesia. Sikap NU ini terlihat dari
berbagai peristiwa politik yang terjadi sebelum Indonesia dideklarasikan hingga saat
ini. Indonesia telah diakui oleh NU sebagai darul Islam, negara Islam dan setiap
pemimpinnya diakui sebagai pemimpin yang sah dalam pandangan fiqih Nahdlatul
Ulama.
Pasca orde baru, gerakan-gerakan yang ingin menegakkan Negara Islam ikut
meramaikan pergerakan Islam di Indonesia bahkan, menurut Rubaidi (2010), opini
gerakan-gerakan tersebut cenderung mendominasi dan mengalahkan gerakan Islam
seperti NU dan Muhammadiah. Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang
Istimewa NU (PCINU) Amerika-Kanada, mengungkapkan kekhawatiran yang sama
dialami Rubaidi, Menurut Sahal, Suara NU dan Muhammadiah tak lagi tampak
sebagai pemain utama dan malah cenderung terdesak oleh berbagai organisasi lain
dalam percaturan wacana keislaman menurut Sahal. Bahkan gaung gerakan seperti
HTI dan FPI cenderung lebih keras dibanding kedua organisasi besar yang ada di
Indonesia (Ginanjar, 2015). NU jelas tidak tinggal diam, para petinggi dan ulama NU
secara tegas di berbagai kegiatan menyatakan sikap penolakan NU terhadap gerakan-
gerakan tersebut bahkan, dari berbagai pertemuan pimpinan dan ulama NU, isu yang
menjadi pembicaraan penting adalah penolakan mereka terhadap perjuangan negara
Islam atau khilafah serta mengajak untuk mempertahankan dan membela NKRI.
Penolakan NU terhadap sistem negara Islam dan Khilafah Islamiyah sebenarnya telah
banyak didiskusikan oleh KH. Abdurrahman Wahid, atau Gusdur. Telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya, pendirian tegas Gusdur terhadap ide formalisasi negara Islam
31
yang menurutnya absurd dan ahistoris. Gusdur lebih menyetujui Islam sebagai bagian
dari kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Ketaatan seorang hamba tidak
diukur apakah dia menerapkan negara Islam atau bukan tapi ketaatannya secara
individual kepada tuhannya.
Pemahaman Gusdur ini juga sama dengan pemimpin-pemimpin NU setelahnya,
seperti K.H Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU 1999-2010, dan juga K.H Said Aqil
Siradj yang juga sama menolak formalisasi syariat Islam dalam bentuk negara
khilafah.
Muzadi berpendapat, ideologi para pejuang Khilafah secara jelas mengancam NKRI,
Pancasila dan UUD karena ide ini tidak berasal dari tradisi dan budaya masyarakat
Indonesia. Sementara para pejuang ini ketika berada di sebuah negara hanyalah
menjadi mengganggu ketenangan bernegara karena hanya mengajak mendelegitimasi
dan mendekonstruksi negara yang sudah mapan dan berdaulat.
(muslimmedianews.com, 2014; NU Online, 2007a). Muzadi menganggap terjadi
kesalahan penafsiran bagi kalangan pejuang Khilafah mengenai pemahaman Islam
Kaffah. Gerakan pro-khilafah berkeyakinan Islam Kaffah itu bermakna harus
mendirikan pemerintahan Islam padahal, menurut Muzadi, Islam kaffah itu memang
wajib tapi tidak tidak perlu melalui pemerintahan Islam. ―Ber-Islam dengan sungguh-
sungguh tak harus dengan Khilafah Islamiyah. Mengakui dan taat pada
pemerintahan yang sah dan berdaulat adalah wajib‖ ((NU Online, 2007b).
Dalam pandangan Said Aqil Siradj, ketua PBNU 2010 – sekarang, Negara khilafah
bukanlah solusi terhadap persoalan bangsa. Konsep negara Indonesia menurutnya
jauh lebih baik dibandingkan negara-negara Islam lain termasuk negara Islam di
Timur Tengah. Sebab Indonesia saat ini dengan komitmen amanah keagamaan dan
komitmen kebangsaan membuatnya tak mudah untuk dipecah belah oleh pihak lain
kebalikan dengan negara-negara Islam Timur Tengah yang akhirnya justru hancur
karena tidak memperhatikan komitmen kebangsaan. Bila Indonesia berubah menjadi
konsep khilafah, Siradj mengkhawatirkan Indonesia akan hancur (islaminesia, 2015).
32
Seandainya pun Khilafah itu harus diadopsi maka haruslah khilafah yang bersinergi
dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme, dalam istilah Siradj, Khilafah
Nasionalisme. Intinya dalam pandangan Siradj, Pancasila dan NKRI adalah harga
mati, sehingga tidak boleh ada ide yang bertentangan dengan konsep yang sudah final
tersebut. Konsep nasionalisme di Indonesia pun merupakan sebuah konsep yang
sudah sempurna untuk sebuah negara atau kekhalifahan yang sangat plural dengan
berbagai keragaman agama, suku dan budaya (qiblat.net, 2014). Siradj menyatakan,
karena kepemimpinan nasional Indonesia sudah khilafah, Joko Widodo yang
berkuasa saat ini juga sudah layak untuk disebut sebagai khalifah sebagai perwakilan
sah umat Islam yang ada di Indonesia, (news.firmadani, 2014).
Pendapat Aqil Siradj sama dengan Muzadi dan Gusdur yang menganggap ide
Khilafah yang bersifat internasional tidak logis dan rasional sebab secara historis nabi
tidak pernah mendirikan negara Islam justru, nabi membuat piagam madinah sebagai
kesepakatan yang menjadi dasar hukum yang mengatur hubungan antar warga yang
berbeda suku, ras dan agamanya supaya bisa hidup rukun dan harmonis. Sepeninggal
rasul pun tidak ditemukan model pemerintahan yang sifatnya baku, umat Islam
pernah dipimpin dalam sistem khilafah, Imarah bahkan kesultanan yang jumlahnya
cukup banyak dan kebanyakan menurut Siradj, dalam pemerintahan Islam yang
pernah terjadi banyak pertumpahan darah sesama muslim sendiri. Sehingga yang
lebih penting menurut Siradj adalah adalah pemimpin jujur adil, dan melayani
masyarakat dengan baik (NU Online. 2007c).
Kritik secara metodologis kajian khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir di
Indonesia dilakukan oleh Ainur Rofiq al-Amin, Pimred majalah Nahdlah PCNU
Jombang dan Pengurus LTN-NU Jombang, dan Muhammad Idrus Ramli, Sekretaris
Lembaga Bahtsul Masail NU Kencong, Jawa Timur.
Idrus Ramli menulis khusus dua buku terkait Hizbut Tahrir yaitu Hizbut Tahrir dalam
sorotan (2011) dan Jurus Ampuh Membungkam HTI (2012). Idrus Ramli menolak
perjuangan Khilafah Islamiah dilandasi dengan beberapa argumen (Ramli, 2013) :
33
Pertama, kepemimpinan yang diwajibkan oleh Islam bermakna umum dan tidak
mesti bernama khilafah. Kedua, Kewajiban umat Islam mengangkat seorang
pemimpin tunggal yang memimpin seluruh umat Islam di dunia hanya berlaku ketika
umat Islam mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan itu, jika tidak mampu
maka kewajiban tersebut gugur. Argumen ini mengacu pada pendapat Abu Amr al-
Dani, dalam al-Risalah al-Wafiyah. Yang wajib untuk mengangkat seorang
pemimpin tunggal seandainya memungkinkan hanyalah ahlul halli wal-`aqdi dan
para tokoh yang layak jadi pemimpin umat, selain dua tersebut tidak diwajibkan. Jadi
ketika tidak ada pemimpin tunggal maka yang berdosa hanya dua kalangan. Ketiga,
mengutip pendapat dari imam al-Haramain al-Juwaini (1028-1085 M), bahwa ulama
tidak melarang untuk membentuk sebuah kepemimpinan di level lokal jika dalam
lingkup pemimpin global tidak bisa terpenuhi. Keempat, bahwa era kekhilafahan itu
hanyalah berusia 30 tahun sebagaimana hadits nabi yang menerangkan, kekhilafahan
itu usianya hanya 30 tahun setelah itu adalah kerajaan (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).
Kelima, disaat umat Islam tidak memiliki seorang khalifah, rasul tidak
memerintahkan untuk berjuang dan berpartisipasi dalam menegakkan seorang
khalifah bahkan rasul mengajak untuk menjauhi kelompok-kelompok yang mengajak
pada perpecahan. Pernyataan Ramli ini dilandasi oleh sebuah dalil dari Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan muslim. Hadits ini bercerita
tentang suatu kondisi umat Islam di suatu masa di mana akan muncul kelompok-
kelompok yang mengajak kepada keburukan dan mereka juga bagian dari kaum
muslimin. Nabi memerintahkan untuk tidak mengikuti mereka dan tetap dalam
jamaah kaum muslim dan pemimpinnya, jika tidak ada jamaah dan imam maka,
diperintahkan untuk tidak mengikuti satu aliran pun.
Sementara Ainur Rofiq al-Amin, secara khusus dalam disertasi doktornya yang
ditulis dalam buku, Mombongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia,
2012, mendiskusikan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir tentang khilafah dan
menuliskan bantahan-bantahannya.
34
Dalam salah satu artikelnya, al-Amin, mengajak warga NU untuk membentengi diri
dari HTI melalui warisan pemahaman yang diwariskan oleh KH. Abdul Wahab
Hasbullah. Abdul Wahhab Hasbullah dalam pidato di Parlemen tahun 1954 yang
berjudul ―Walijjul Amri Bissjaukah” menyampaikan pandangannya mengenai
keabsahan kepemimpinan negara Indonesia saat itu di bawah Soekarno. Hasbullah
menyatakan bahwa mengangkat seorang imam a`dhom itu adalah wajib bagi seluruh
kaum muslim di seluruh dunia sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama
ahlusunnah wal jamaah namun, yang berhak dipilih hanyalah yang memiliki kualitas
seorang mujtahid, sementara yang memiliki kemampuan tersebut sudah tidak ada
sejak 700 tahun lalu hingga sekarang. Karena sudah tidak ada lagi yang memenuhi
kualifikasi tersebut maka, umat islam harus mengangkat imam daruri, pemimpin
darurat di masing-masing negara.
Dari pidato Wahhab Hasbullah ini, al-Amin menyimpulkan bahwa Khilafah sudah
tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak ada lagi yang memiliki kualitas yang
berhak untuk menduduki kursi kekhilafahan, bahkan sejak 700 tahun lalu, kedua,
Presiden NKRI sah secara hukum Islam, dengan status imam daruri dan yang ketiga,
Wahab Hasbullah tidak pernah mencita-citakan untuk menegakkan khilafah (al-
Amin, 2015).
Amin juga mengeritik konsep khilafah yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir yang
dianggap berpotensi otoriter karena tidak pembagian kekuasaan dan usia
kepemimpinan seorang khalifah tidak dibatasi atau seumur hidup. Hizbut Tahrir juga
dianggap hanya memperlihatkan sisi positif sejarah khilafah tapi tidak jujur
memperlihatkan sisi negatif dalam kekhilafahan yaitu hampir seluruh sejarah khilafah
pergantian pemimpin dilakukan dengan penunjukan putra mahkota. Ditambah lagi
sejarah khilafah yang penuh dengan berbagai pelanggaran dan pertumpahan daraah.
Intinya, al-Amin berpendapat Islam tidak menetapkan sistem negara apapun,
sehingga NKRI juga sah secara Islam dan telah diakui oleh para ulama di Indonesia.
Menurut al-Amin mengganti NKRI dengan khilafah adalah buang-buang energi.
35
Yang dibutuhkan umat sekarang adalah mengisi NKRI dengan nilai-nilai yang ideal
bukan malah mendekontruksi karena hanya akan menghasilkan konflik dan
perpecahan.
―Maka NKRI kalau ditarik dalam konteks ushul fiqih, sudah merupakan ijma’ ulama
Indonesia, tentu sungguh tidak elok bila mau diganti dengan khilafah. Energi kita
nanti akan habis untuk hal tersebut. Kita tidak mau mengulang lagi sejarah piagam
Jakarta hingga Dekrit Presiden tahun 1959, dan mereproduksi kembali DI/TII.
Akan sangat bijaksana bila umat Islam semua rakyat Indonesia dengan ragam
pemikiran dan keyakinannya untuk mengisi NKRI dengan nilai-nilai yang mereka
idealkan, bukan malah mendekonstruksi. Cara dekonstruksi selain tidak benar, juga
political cost yang harus dikeluarkan sangat mahal, outputnya hanya friksi-friksi tajam
yang kontra-produktif dan destruktif‖. (al-Amin, 2013).
Respon terhadap konsep Khilafah dan NKRI secara institusional dibahas oleh ulama-
ulama NU dalam Musyawarah Alim Ulama pada 1-2 November 2014. Dalam
pembahasan mengenai khilafah, kesepakatan musyawarah tersebut adalah khilafah
sudah kehilangan relevansinya di era negara bangsa saat ini, Islam hanya
mewajibkan berdirinya sebuah negara tapi tidak menetapkan secara baku sebuah
bentuk negara Islam dan mewajibkannya. Yang terpenting adalah negara apapun sah,
termasuk NKRI, yang penting bisa menjamin kebutuhan pokok warganya. Sehingga,
umat Islam di Indonesia hanya wajib untuk memperjuangkan dan mempertahankan
keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Berikut kutipan lengkapnya (nu.or.id, 2014):
1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin
melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati
tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar
(mabadi` asasiyyah). Islam telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi
umatnya.
2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan
manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan para ulama terkemuka, antara lain:
a. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` „Ulum al-Din:
فضائع له حارس ال وها فوهدوم له أصل ال فوا حارس، والسلطاى أصل فالديي تىأهاى، والولك الديي “
36
“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan
fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak
memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan
tersia-siakan‖
b. Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syar‟iyyah fi
Ishlah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyyah:
بها إال للديي قيام ال إذ الديي، واجباث أعظن هي الناس أهر واليت إى
"Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam sebuah
pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal
itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya
dukungan negara‖
3. Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem
pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk
mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan
kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa
melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan
agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan.
4. Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah
dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model
yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di
bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat
dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia
bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi
umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide
khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.
5. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur
kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi
segenap elemen bangsa yang sangat mejemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan
agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan
memperkuat keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya
gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan
menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat.
6. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang
tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam
adagium yang populer di kalangan para ulama dikatakan: بالوظهر ال بالجىهر العبرة “Yang
menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah
37
‖ باإلسن ال بالوسوى العبرة “Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi
nama, bukan nama itu sendiri‖ Dengan demikian, memperjuangkan tagaknya nilai-
nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara—apapun nama negara itu, Islam
atau bukan—jauh lebih penting daripada memperjuangkan tegaknya simbol-simbol
negara Islam.
4.2 NU membendung Gerakan Politik Islam Radikal
Menyadari ancaman gerakan Politik Islam radikal di Indonesia, NU telah melakukan
banyak hal untuk menghadapi dan membendung hal tersebut. Di samping secara
individu tokoh-tokoh dan ulama NU diseluruh Indonesia yang melakukan kritik
melalui ceramah, diskusi publik, menulis buku dan mengkampanyekan lewat website,
NU juga bekerjasama dengan berbagai pihak baik kerjasama antar lembaga,
pemerintah maupun lembaga internasional.
As’ad Said Ali, wakil ketua PBNU, (2015) menyatakan NU telah dan akan membuat
berbagai kegiatan atau aksi untuk membentengi masyarakat dari ancaman pemikiran
radikal yang meliputi tiga hal, dakwah, kegiatan sosial dan pemberdayaan ekonomi.
Dibidang dakwah yakni dengan melakukan memperkuat nilai-nilai aswaja,
ahlusunnah wal jamaah an-nahdliyah dan melakukan kaderisasi yang
berkesinambungan termasuk, dengan terlibat dalam usaha-usaha menciptakan
kehidupan masyarakat global yang damai. Dibidang sosial, yaitu dengan melakukan
pelayanan sosial masyarakat melalui zakat, infaq dan shodaqoh untuk membantu
masyarakat keluar dari persoalan sosialnya, seperti mengembangkan kurikulum yang
membentuk karakter cinta tanah air serta mandiri. Dalam bidang pemberdayaan
ekonomi, NU mendorong masyarakat untuk berwirausaha dan juga mengembangkan
ekonomi shariah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat dan untuk mengikis
kesenjangan sosial di tengah masyarakat (Ali, 2015). Program-program NU tersebut,
menurut Ali, dilaksanakan mulai dari struktur paling atas hingga ke cabang termasuk
lembaga-lembaga otonom, lembaga pendidikan milik warga NU, pesantren, masjid,
dan surau-surau.
38
NU juga bekerjasama dengan pemerintah dan ormasi-ormas yang lain untuk melawan
radikalisme, seperti kerjasama Muslimat NU, Wahid Institute dan BNPT yang
tertuang dalam memorandum of understanding (MoU) tahun 2012 (NU Online,
2012). Kemudian, kerjasama pengurus pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPPNU) dan BNPT untuk menangkal pengaruh pemikiran radikal & terorisme
termasuk ISIS di kalangan pelajar Indonesia (Mulyana, 2015). Kerjasama NU dan
BNPT untuk penguatan jaringan anti radikalisme di kalangan ulama muda muda,
penguatan jaringan online NU & BNPT (Gombol,2015). Pesantren-pesantren yang
berafiliasi di NU juga sering digunakan untuk berbagai kegiatan kampanye anti
radikalisme di Indonesia. Dalam bidang pendidikan, PBNU bekerjasama dengan
kementerian pendidikan dan kebudayaan melalui penandatanganan notaksepahaman
untuk mendidik karaktek para pelajar di seluruh Indonesia dengan Islam moderat dan
jauh dari pemikiran-pemikiran radikal (Wulandari, 2015). Dalam bidang
kepemudaan, pemerintah melalui Kemenpora bekerjasama dengan NU untuk
membentengi pemuda dan para santri dari pengaruh radikalisme (Arifin, 2015).
Dalam level internasional, NU telah mengadakan penjajakan kerjasama dengan
berbagai pihak dari luar negeri untuk mendakwahkan Islam yang moderat. Seperti
penjajakan kerjasama NU dan kerajaan Uni Emirat Arab untuk melakukan pertukaran
pelajar NU dan UEA pada awal tahun 2015 (Wijaya, 2015). NU, melalui Aswaja
Center bersama Univerisit Tun Husein Onn Malaysia (UTHM) bekerjasama
membentuk majelis aswaja untuk memperkuat Islam moderat melalui ajaran
ahlusunnah wal jamaah di wilayah Asia Tenggara. Salah satu bentuk kerjasama
kedua lembaga tersebut adalah pertukaran, guru, ustad, dosen dan tukar menukar
informasi seputar gerakan radikalisme dan liberalisme di Indonesia dan Malaysia
(Rimanews, 2014). Masih banyak lagi kerjasama-kerjasama NU lain dan usaha-usaha
kampanye Islam Moderat NU di luar negeri.
Satu langkah penting yang dilakukan oleh NU pada adalah, mengangkat sebuah visi
besar Islam di Indonesia dalam momentum muktamar ke-33 di Jombang, Jawa
39
Timur, tahun 2015 dengan tema ‖Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia‖ dalam muktamar ini NU menawarkan sebuah visi baru untuk
Islam di Indonesia yaitu Islam Nusantara.
Konsep Islam Nusantara diterjemahkan oleh Said Aqil Siradj, Ketua PBNU, sebagai
konsep Islam yang telah melebur dengan tradisi atau budaya nusantara. Ciri khas
Islam nusantara ini adalah praktek-praktek berislam di Indonesia yang memiliki
kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah seperti tradisi hari
raya, tahlilan, baca al-Quran dibarengi sedekah, maulidan, barazanji dsb. Menurut,
KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriah PBNU, ―Makna Islam Nusantara tak lain
adalah pemahaman, pengamala, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu`amlah
sebagai hasil dialektika antara nash, syariat, urf, budaya, dan realita di bumi
nusantara” (Muhajir, 2015).
Said Aqil Siradj menjabarkan Islam Nusantara sebagai wujud Islam yang santun,
ramah beradab dan berbudaya. Islam Nusantara menghormati budaya dan tradisi yang
ada dan tidak menghancurkan budaya tersebut bahkan diadopsi jika tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Konsep ini, menurut Siradj, merupakan warisan
dari metode dakwah para Wali Songo yang mengedepankan dakwah nusantara
dengan hikmah (kebijaksanaan) dan nasihat serta diskusi dan tidak menggunakan
kekerasan. Ajaran Islam Walisongo juga tidak eksklusif dengan budaya-budaya
setempat bahkan, budaya yang ada dilebur menjadi bagian dari tradisi Islam dengan
catatan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Konsep Islam Nusantara ini dalam
pandangan Siradj, berbeda dengan praktek Islam yang disaksikan di negara-negara
Timur-Tengah. Wajah Islam di Timur Tengah adalah wajah yang buruk dengan
konflik, perang yang terjadi di wilayah itu (news.okezone.com, 2015).
Untuk melestarikan Islam Nusantara, Siradj menawarkan beberapa jalan yang harus
ditempuh. Pertama, memperkuat akhlak sebagai semangat keberagamaan, semangat
keberagamaan yang substantif dan tidak formalistis. Kedua, memperkuat semangat
kebangsaan atau nasionalisme serta tidak mempertentangkan antara Islam dan
40
Nasionalisme karena keduanya saling melengkapi. Ketiga, melestarikan semangat
Islam Nusantara, yakni semangat menghargai pluralitas dalam negara Indonesia.
Keempat, Menjaga semangat kemanusiaan yang akan menjadikan musyawarah dan
perdamaian adalah prioritas dalam menyelesaikan masalah-masalah atau konflik yang
terjadi (David & SAIF, 2015). Dari gambaran NU terkait proyek Islam Nusantara ini
sangat jelas merupakan bagian NU untuk membentengi Indonesia dari paham-paham
keagamaan yang radikal termasuk organisas-organisasi yang memperjuangkan negara
Islam, khilafah Islamiah seperti Hizbut Tahrir, dsb.
Visi Islam Nusantara Nahdlatul Ulama ini diapresiasi oleh banyak pihak baik
termasuk presiden Jokowi dan Jusuf Kalla. Bahkan kementerian agama mengadopsi
konsep Islam Nusantara ini untuk dikembangkan di Indonesia khususnya dalam
bidang pendidikan. Dana yang disiapkan untuk penulisan buku pun cukup banyak
sekitar, 50 juta bagi dosen, peminat kajian, peneliti dan penulis di tahun 2015
(Wulandari. red, 2015). Pemerintah, melalui kementerian pendidikan dan
kebudayaan, bahkan membangun Museum Islam Nusantara dengan biaya 30 miliar
untuk mensosialisasikan sejarah Islam, tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran Islam
yang pernah ada di nusantara ini (Yatimul, 2015).
Dari berbagai respon dan aktifitas NU serta kerjasama NU baik antar lembaga dalam
membendung pemikiran politik Islam radikal atau radikalisme di Indonesia
memperjelas peran penting dari lembaga-lembaga keagamaan non pemerintah atau
NGOs untuk ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan radikalisme yang
mengancam dunia saat ini. Peran penting NU sebagai gerakan moderat di Indonesia
diakui sendiri oleh presiden Jokowi yang menyatakan bahwa peran seluruh kalangan
masyarakat termasuk organisasi Islam moderat sangat penting untuk ikut terlibat
dalam mengajarkan Islam yang toleran, cinta damai dan sopan santun untuk
menjauhkan rakyat Indonesia dari pemikiran-pemikiran radikal yang memicu
terorisme di Indonesia. Strategi pelibatan jaringan kelompok Islam moderat juga telah
41
menjadi bagian dari strategi global Amerika Serikat dalam memerangi radikalisme
dan terorisme di dunia saat ini (Rand 2004).
NU telah menjalankan fungsinya sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan untuk
melawan berbagai pemikiran radikal di Indonesia, yakni sebagai penyampai pesan
atau kontra-narasi terhadap pemikiran-pemikiran radikal melalui berbagai kegiatan
baik seminar, training, muktamar, termasuk juga melalui publikasi-publikasi baik
cetak maupun via online. Di sisi lain NU juga telah mengambil peran dalam berbagai
kegiatan sosial, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bekerjasama
dengan pemerintah untuk memaksimalkan perannya dalam kegiatan kontradikalisme
di Indonesia.
42
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Organisasi Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dalam membendung pemikiran
politik Islam radikal di Indonesia. NU merupakan organisasi Islam moderat terbesar
bukan hanya di Indonesia namun, seluruh dunia. Dalam berbangsa dan bernegara NU
telah memperlihatkan sikapnya terhadap NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Dalam
pandangan NU, bangsa dan negara Indonesia sudah final karena sudah menjadi
kesepakatan para pendiri bangsa termasuk para ulama. Indonesia adalah hasil
perjuangan masyarakat muslim di Indonesia sehingga harus dipertahankan.
Sementara ideologi-ideologi baru, seperti negara Islam & Khilafah Islamiah, dalam
pandangan NU adalah ancaman bagi NKRI.
Khilafah bukanlah sebuah kewajiban agama dalam pemahaman NU dan Islam tidak
pernah mewajibkan umatnya untuk bernegara Islam karena memang Islam tidak
mewariskan negara. Sehingga, yang paling penting dalam pandangan NU adalah
mendirikan negara yang bisa menaungi dan mengayomi seluruh masyarakat islam
serta mampu memenuhi kebutuhan pokok seluruh warganya.
Untuk membendung pengaruh gerakan-gerakan Islam yang ingin memperjuangkan
khilafah, NU telah menempuh berbagai cara baik dilakukan oleh setiap individu-
individu tokoh dan ulama NU maupun secara institusional. Secara individual, tokoh
dan ulama NU telah merespon dan menangkal ide-ide para pejuang khilafah melalui
berbagai forum dan tulisan baik melalui buku, majalah, maupun media online.
NU juga telah bekerjasama dengan berbagai lembaga pemerintah seperti, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Agama untuk menyebarkan
43
ide-ide Islam yang moderat untuk menangkal pengaruh radikalisme di Indonesia. Tak
hanya, nasional, NU juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga dari berbagai negara
untuk ikut terlibat dalam melawan radikalisme secara global dan mengkampanyekan
ide-ide Islam yang ramah, damai dan toleran.
5.2 Rekomendasi
Proyek kontra radikalisme yang dijalankan oleh NU sebenarnya tidaklah tanpa pro
kontra, ide-ide atau isu khilafah pun dikalangan ulama NU masih ada yang
mendukung bahkan ada menyarankan NU untuk ikut memperjuangkan ide tersebut.
Termasuk visi Islam Nusantara yang sedang marak disosialisasikan NU juga masih
banyak mengundang perselisihan perihal layak tidaknya atau legal tidaknya
penggunaan istilah tersebut. Dalam tulisan hasil penelitian ini, penulis tidak
memberikan ruang untuk mendiskusikan polemik ini dengan pertimbangan penulis
ingin fokus kepada upaya NU untuk membendung radikalisme politik Islam di
Indonesia. Oleh sebab itu, polemik mengenai isu Khilafah dan Islam Nusantara di
internal tokoh dan ulama NU masih bisa menjadi tema menarik bagi para peneliti
yang ingin mengkajinya.
v
DAFTAR PUSTAKA
Al Jawi, Muhammad Shiddiq . (2004). Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah. Al
Azhar Press. Bogor
Amin, Masyhur. (1996). NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya. IAIN SUKA.
Yogyakarta
An-Nabhani, Taqiyuddin. (2009). Daulah Islam, (Edisi Mu’tamadah). HTI Press.
Jakarta
Assyaukanie, Luthfi. (2011). Ideologi Islam dan Utopia: tiga model negara
demokrasi di Indonesia. Freedom Institute. Jakarta
Azra, Azyumardi. (2005). Islam In Southeast Asia:Tolerance and Radicalism. Paper
Presented at Miegunyah Public Lecture, The University of Melbourne,
Wednesday 6 April
Baran, Zeyno, Editor. (2004). The Challenge of Hizb ut-Tahrir: Deciphering and
Combating Radical Islamist Ideology:Conference Report. The Nixon Center.
Washington
Baedowi, Ahmad, et.al. (2013). Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan
Aksi. MAARIF, VOL. 8, No. 1-Juli 2013
Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mix
Methods Approaches (2nd ed.). Sage. California.
Daman, Rozikin. (2001). Membidik NU: Dile Percaturan Politik NU Pasca Khittah.
Gama Media. Yogyakarta
Effendy, Bahtiar. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia: Edisi Digital. Democracy Project. Jakarta
Hadiz, Vedi R. (2010). Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. Crise
Working Paper No. 74, February.
Hizbut Tahrir. (2009). Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir.:
Pustaka Thariqul Izzah. Bogor
vi
Esposito, John L. (2002). What Everyone Needs to Know About Islam. Oxford
University Press. New York
Ilmi, Miftahul. (2008). Persepsi Ulama Nu Tentang Sistem Khilafah: (Studi Kasus
Ulama NU Kota Semarang). Skripsi, tidak dipublikasikan. Semarang: Fakultas
Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Karim, Gaffar. (1995). Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia. LkiS.
Yogyakarta,
Lee, Jeff. (2004). The Failure of Political Islam in Indonesia. Stanford Journal of
East Asian Affairs. Volume 1. No. IV
Muhtadi, Burhanuddin. (2009). The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia. Asian
Journal of Social Science 37 (2009) 623–645
Margono, Hartono. (2011). KH. Hasyim Asy‟ari dan Nahdlatul Ulama:
Perkembangan Awal dan Kontemporer. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli
Qodir, Zuly. (2013). Perspektif Sosiologi tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda.
Dalam Baedowi, Ahmad, et.al. Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan
dan Aksi (hal. 55-59). MAARIF, VOL. 8, No. 1-Juli 2013
Rabasa, Angel. (2004). Overview. Dalam Rabasa, Angel M, et.al. The Muslim World
After 9/11. (hal. 05-40) Rand Corporation. Santa Monica
Rand Project Air Force. (2004). U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11:
Research Brief. Rand Corporation. California
Rubaidi. A. (2010). Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama: Masa Depan Moderatism
Islam di Indonesia. Logung Pustaka. Yogyakarta
Tibi, Bassam. (2012). Islamism and Islam. London: Yale University Press
Wahid, Abdurrahman. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat,
Negara, Demokrasi. Edisi Digital. Jakarta. Democracy project
Ainun, Yatimul. (2015). Pemerintah Bangun Museum Islam Nusantara di Jombang.
Diakses 20/12/2015 dari
http://regional.kompas.com/read/2015/05/27/08523711/Pemerintah.Bangun.Mu
seum.Islam.Nusantara.di.Jombang
vii
Al-Amin, Ainur Rofiq. (2015). Kiai Wahab, NU Dan Khilafah: Sebuah Koreksi.
Diakses 15/12/2015 dari http://www.muktamarnu.com/kiai-wahab-nu-dan-
khilafah-sebuah-koreksi.html
Al-Amin, Ainur Rofiq . (2013). Muktamar Khilafah HTI, Penyimpangannya, dan
NKRI. Diakses 17/12/2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-
s,detail-ids,4-id,45181-lang,id-c,kolom-
t,Muktamar+Khilafah+HTI++Penyimpangannya++dan+NKRI-.phpx,
Ali, As’ad Said . (2015). Peran NU dalam Menangkal Radikalisme. Diakses
17/12/2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-
id,58396-lang,id-c,kolom-t,Peran+NU+dalam+Menangkal+Radikalisme-.phpx
Arifin, Nurul. (2015). Pemerintah Gandeng NU Lawan Radikalisme. Diakses
17/12/2015 dari
http://news.okezone.com/read/2015/08/03/519/1189859/pemerintah-gandeng-
nu-lawan-radikalisme
CounterTerrorism Implementation Task Force.(tt). First Report of the Working
Group on Radicalisation and Extremism that Lead to Terrorism: Inventory of
State Programmes. diakses 30 Oktober 2015, dari
http://www.un.org/en/terrorism/pdfs/radicalization.pdf
David & Saif. (2015). Ini Empat Semangat Melestarikan Islam Nusantara. Diakses
20/12/2015 dari http://www.muktamarnu.com/ini-empat-semangat-
melestarikan-islam-nusantara.html
Ginanjar, Ging. (2015). NU dan Muhammadiyah terdesak HTI,FPI,MUI?.
Diakses 15/12/2015 dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150802_indonesia_m
uktamar_nu_muhammadyah.
Gombol, Agus . (2015). BNPT: Generasi dan Ulama Muda Harus Bentengi Diri
Dengan Ilmu Agama Yang Kuat. Diakses 17/12/2015 dari
http://damailahindonesiaku.com/bnpt-generasi-dan-ulama-muda-harus-
bentengi-diri-dengan-ilmu-agama-yang-kuat.html
viii
Hizbut Tahrir Indonesia. (2009). Manifesto Hizbut Tahrir Untuk indonesia:
Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam. diakses 11/12/2015
dari http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/07/manifesto-ht-untuk-
indonesia.pdf
Institute for Strategic Dialogue. Tt. The Role of Civil Society in Counter-
Radicalisation and Deradicalisation: A Working paper of the Europian Policy
Planners, Network on Countering Radicalisation and Polarisation (PPN).
diakses 30/10/2015 dari http://www.strategicdialogue.org/PPN%20Paper%20-
%20Community%20Engagement_FORWEBSITE.pdf
islaminesia. (2015). KH. Said Aqil: „Negara Khilafah‟ Bukan Solusi Persoalan
Bangsa. Diakses 15/12/2015 dari http://islaminesia.com/2015/05/kh-said-aqil-
negara-khilafah-bukan-solusi-persoalan-
bangsa/?fb_comment_id=836527473088368_836649116409537
Muhajir, Afifuddin. (2015). Maksud Istilah Islam Nusantara. Diakses 20/12/2015.
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60458-lang,id-c,kolom-
t,Maksud+Istilah+Islam+Nusantara-.phpx
Muslimmedianews. (2014). Pandangan KH. Hasyim Muzadi terhadap Gerakan
Khilafah. Diakses 15/12/2015 dari
http://www.muslimedianews.com/2014/03/pandangan-kh-hasyim-muzadi-
terhadap.html.
Mulyana, Ade. (2015). IPNU Kerjasama BNPT Cegah Paham Isis Di Kalangan
Pelajar. Diakses 17/12/2015 dari
http://www.rmol.co/read/2015/08/12/213196/%E2%80%8EIPNU-Kerjasama-
BNPT-Cegah-Paham-ISIS-di-Kalangan-Pelajar-
news.okezone. (2015). Muktamar NU dan Islam Nusantara. Diakses 20/12/2015 dari
http://news.okezone.com/read/2015/07/31/337/1188494/muktamar-nu-dan-
islam-nusantara
ix
News.firmadani. (2014). Ketua PBNU Said Aqil: Jokowi Adalah Khalifah Indonesia.
Diakses 15/12/2015 dari http://news.fimadani.com/read/2014/11/04/ketua-
pbnu-said-aqil-jokowi-adalah-khilafah-indonesia/
NU Online. (2007). Silakan Khilafah, Jangan Bawa Nama NU. Diakses 15/12/2015
dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9829-lang,id-
c,warta-t,Silakan+Khilafah++Jangan+Bawa+Nama+NU-.phpx
NU Online. (2007). PBNU: Konsep Khilafah Islamiyah Tidak Pernah Jelas. Diakses
15/12/2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9731-
lang,id-c,warta-t,PBNU++Konsep+Khilafah+Islamiyah+Tidak+Pernah+Jelas-
.phpx,
NU Online. (2007). PBNU: Khilafah Islamiyah Celakakan Muslim Minoritas di
Negara Lain. Diakses 15/12/2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-
s,detail-ids,1-id,9577-lang,id-c,warta-
t,PBNU++Khilafah+Islamiyah+Celakakan+Muslim+Minoritas+di+Negara+Lai
n-.phpx
Paul, James A. (2000). NGOs and Global Policy-Making. diakses 30 Oktober 2015,
dari https://www.globalpolicy.org/empire/31611-ngos-and-global-policy-
making.html.
NU Online. (2012). BNPT-Muslimat NU Kerjasama Tekan Radikalisme. Diakses
17/12/2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-
id,36424-lang,id-c,warta-
t,BNPT+Muslimat+NU+Kerjasama+Tekan+Radikalisme-.phpx
Qathrunnada. (2014). Said Aqil: Tolak Negara Khilafah Kecuali Khilafah
Nasionalis!. Diakses 15/12/2015 dari http://www.kiblat.net/2014/11/05/said-
aqil-tolak-negara-khilafah-kecuali-khilafah-nasionalis/
Qian Ji Cheng. (2004). The Emerging Roles of NGOs in International Relations.
diakses 30/10/2015 dari
http://nccur.lib.nccu.edu.tw/bitstream/140.119/33686/8/53003108.pdf.
x
Ramli, Muhammad Idrus. (2013). Wajibkah Memperjuangkan Khilafah?. Diakses
15/12/2015 dari http://www.idrusramli.com/2013/wajibkah-memperjuangkan-
khilafah/
Siroj, Said Aqil. 2012.Pidato Ketua Umum Pbnu Pada Peringatan Hari Lahir
Pancasila: Menegakkan Kembali Pancasila. Diakses 15/12/2015 dari
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,38234-lang,id-
c,taushiyah-t,Menegakkan+Kembali+Pancasila-.phpx
Rimanews. (2014). RI-Malaysia Sepakat Perangi Radikalisme dan Liberalisme.
Diakses 17/12/2015 dari
http://nasional.rimanews.com/keamanan/read/20141224/188797/RI-Malaysia-
Sepakat-Perangi-Radikalisme-dan-Liberalisme
Wijaya, Akbar. (2015). Lawan Radikalisme, NU Gandeng Kerajaan Uni Emirat
Arab. Diakses 17/12/2015 dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/15/03/28/nlx5dx-
lawan-radikalisme-nu-gandeng-kerajaan-uni-emirat-arab
Wulandari, Indah. (2015).Cegah Radikalisme, NU Ikut Berikan Pendidikan Karakter.
Diakses 17/12/2015 dari
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/07/04/nqxknv-
cegah-radikalisme-nu-ikut-berikan-pendidikan-karakter
Wulandari, Indah. (2015). Kemenag Sediakan Dana Pembuatan Buku tentang Islam
Nusantara. Diakses 20/12/2015 dari
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/15/08/22/nth1xk346-kemenag-sediakan-dana-pembuatan-buku-
tentang-islam-nusantara
________.tt. Non-Governmental Organizations (NGOs) as International Political
Actors. diakses 30 Oktober 2015 dari http://study.com/academy/lesson/non-
governmental-organizations-ngos-as-international-political-actors.html,
View publication statsView publication stats