depresi jadi
Transcript of depresi jadi
Depresi, Sindrom Metabolik dan Resiko KardiovaskularVIOLA VACCARINO, MD, PHD, CANDACE MCCLURE, BS, B. DELIA JOHNSON, PHD, DAVID S. SHEPS, MD, MSPH,
VERA BITTNER, MD, MSPH, THOMAS RUTLEDGE, PHD, LESLEE J. SHAW, PHD, GEORGE SOPKO, MD,
MARIAN B. OLSON, MS, DAVID S. KRANTZ, PHD, SUSMITA PARASHAR, MD, MPH, OSCAR C. MARROQUIN, MD,
AND C. NOEL BAIREY MERZ, MD
PENDAHULUAN
Depresi umum terjadi di masyarakat dan pada pasien jantung, terutama pada wanita. Studi
observasional menunjukkan hubungan yang kuat antara depresi dengan penyakit
kardiovaskuler atau mortalitas total, baik pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler
maupun dengan penyakit kardiovaskuler. Walaupun demikian mekanisme yang mendasari
terjadinya hubungan ini masih belum jelas.
Belakangan, depresi dihubungkan dengan sindrom metabolik, penyakit yang semakin
berkembang di Amerika Serikat dan faktor resiko penting terjadinya penyakit kardiovaskuler
maupun kematian. Penyebab terjadinya hubungan ini kemungkinan disebabkan oleh gaya
hidup kurang sehat yang disertai dengan disregulasi sistem adrenokortikal dan susunan saraf
otonom, yang akan meningkatkan adiposit visceral dan resistensi insulin. Apabila hubungan
antara depresi dengan sindrom metabolik dapat ditegakkan, dapat disimpulkan bahwa
keduanya memiliki peran dalam meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung dan
pembuluh darah (Cardiovascular disease (CVD)). Namun depresi dan sindrom metabolik
tidak memiliki kaitan konstan, dan penelitian terbaru gagal menunjukkan hubungan
hubungan ini. Terlebih lagi, tidak ada penelitian sebelumnya yang dapat menjelaskan
sindrom metabolik baik secara keseluruhan atau sebagian dapat menunjukkan keterkaitan
antara depresi dengan CVD.
Penelitian ini berusaha menggali peran sidrom metabolik dalam hubungannya dengan depresi
dan kejadian CVD pada wanita dengan kecurigaan memiliki iskemi myokardial dan memiliki
beban psikologis yang bermakna. Tujuan utama dari penelitian ini untuk memastikan
hubungan sindrom metabolik dengan segala komponennya berkaitan dengan depresi, terlepas
dari faktor demografis dan faktor gaya hidup. Selain itu untuk mencari bagaimana peran
sindrom metabolik dalam menjelaskan pengaruh depresi pada insiden terjadinya CVD dengan
median follow-up selama 5.9 tahun.
1
METODE
Sampel Penelitian dan Prosedur Umum
Women’s Ischemia Syndrome Evaluation (WISE) merupakan studi multisenter yang dibiayai
oleh National Hearth, Lung, and Blood Institute (NHLBI) untuk penelitian penyakit jantung
iskemik pada wanita. 936 wanita antara tahun 1996 sampai 2000 dengan keluhan nyeri dada,
dicurigai memiliki iskemik miokardiak, atau keduannya yang selama studi dirujuk dengan
indikasi klinis dilakukan angiografi koroner. Kriteria ekslusi meliputi rujukan gawat darurat,
faktor komorbid mayor yang menggagu follow-up, kehamilan, memiliki kontra indikasi
untuk dilakukan test diagnosis provokatif, kardiomiopati, gagal jatung berat, infark miokard
akut atau unstable angina selama 1 bulan sebelum penelitian, menjalani revaskularisasi
koroner 6 bulan sebelum penelitian, kelainan signifikan pada katup jantung dan penyakit
jantung bawaan, kendala bahasa, dan kondisi lain yang mungkin berpengaruh terhadap
terhambatnya penelitian (alkoholisme, penyalahgunaan zat, atau penyakit psikiatri berat).
Seluruh pasien yang diikutkan dalam penelitian diambil data dasarnya berupa informasi
demografis, riwayat pengobatan, dan penggunaan obat-obatan, gejala dan pemeriksaan
psikososial, pemeriksaan fisik dan tekanan darah dan gambaran gula darah puasa untuk
pemeriksaan lipid dan glukosa.
Pemeriksaan laboratorium pusat WISE dilakukan di Centers for Disease Control and
Prevention dengan standarisasi program lemak yang sebelumnya digunakan dalam multiple
NHLBI-sponsored lipid-lowering intervention trials. Koefisien variasi untuk kolesterol total,
HDL, dan trigliserida berturut-turut 1.80%, 1.23%, dan 3.93%. LDL didapat menggunakan
formula Friedwald. The Homeostatis Model Assesment of Insulin Resistance index dihitung
dari gula darah puasa dan nilai insulinnya.
Lingkar pinggang diukur pada umbilikus. Kapasitas fungsionalnya dinilai dengan rerata Duke
Activity Status Inventory (DASI), berupa kuisioner berisi 12 item yang dihubungkan dengan
hasil test treadmill yang merupakan faktor prognostik yang kuat. Aktivitas fisik dievaluasi
dengan kuisioner Postmenopausal Estrogen-Progestin Interventory, berupa kuisioner
pelaporan mandiri mengenai derajat aktivitas fisik di rumah, pekerjaan, dan waktu luang. Dan
sebagai tambahan, seluruh obat-obat yang diminum seminggu terakhir, termasuk antidepresi,
dicatat dan diklasifikasikan dalam kelas obat-obatan mayor.
2
Pengukuran depresi
Rekrutmen dalam WISE dimulai dengan pengisian kuisioner psikologis selama 4 bulan,
walaupun data psikologis untuk pasien-pasien awal belum tersedia. Sebagai bagian dari
komponen psikologis, responden menyelesaikan Beck Depression Inventory (BDI), berupa
kuisioner yang berisikan 21 butir skala gejala depresif yang digunakan untuk memprediksi
outcome kardiovaskuler dalam berbagai penelitian. BDI menyediakan skor untuk gejala
depresi dengan rentang dari 0 sampai 63, dan skor > 10 menunjukkan gejala moderat depresi.
Riwayat psikiatri selama hidup tidak dinilai secara formal, namun responden ditanya
mengenai apakah pernah didiagnosa dan membutuhkan pengobatan psikiatri. Pertanyaan ini
tidak menyebutkan jenis dan lama pengobatannya. Setelah berjalannya WISE informasi
dalam gejala depresi dan laporan sendiri mengenai riwayat pengobatan depresi digunakan
untuk mengelompokkan wanita dalam 3 kelompok peningkatan derajat depresi. Wanita
dengan peningkatan gejala depresi (BDI>10) dan laporan adanya riwayat pengobatan ataupun
diagnosis depresi dipertimbangkan sebagai derajat terberat atau kasus depresi yang telah ada
sejak lama, kemungkinan termasuk berbagai kasus kelainan depresif mayor. Kelompok ini
menurut penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan resiko kematian dan cardiac event
yang bermakna dibandingkan dengan wanita tanda atau hanya satu dari dua indikator
depresi. Pasien dengan baik BDI ≥10 atau sebelumnya didiagnosis depresi tapi bukan kedua-
duanya, diklasifikasikan sebagai kelompok menengah, dan wanita tanpa kedua kondisi
tersebut diklasifikasikan sebagai non-depresi.
Diagnosis Sindrom Metabolik
Studi ini menggunakan kriteria ATP-III, revisi terakhir dari American Heart Association dan
NHLBI untuk mengklasifikasikan wanita sebagai menderita sindrom metabolik dan tidak
dengan berdasarkan ada tidaknya tiga atau lebih faktor berikut ini : a) lingkar pinggang > 88
cm; b) trigliserida puasa ≥ 150 mg/dL atau menggunakan obat lipid-lowering; c) HDL < 50
mg/dL atau menggunakan obat lipid-lowering; d) tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, atau
tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg, atau penggunaan obat anti hipertensi; e) glukosa puasa
≥ 100 mg/dL atau menerima obat anti diabetes. Selain itu untuk mengklasifikasi wanita
berdasarkan diagnosis sindrom metabolik, kita mengkalkulasi skor dari nomor faktor resiko
sindrom metabolik, dengan rentang 0-5.
Pemeriksaan Angiografi Coronary Artery Disease
3
Analisis kualitatif angiogram koroner dilakukan off-line di WISE Angiographic Core
Laboratory oleh peneliti secara blind terhadap seluruh data subyek. Diameter lumen diukur
pada seluruh bagian stenosis dan pada dekat segmen rujukan menggunakan electronic cine
projector-based “cross-hair” technique. Ditemukannya stenosis lumen lebih dari 50%
diklasifikasikan sebagai “obstructive” coronary artery disease (CAD). Skor derajat
keparahan CAD didapatkan dengan menilai peningkatan persentase stenosis (0-19, 20-49, 50-
69, 70-89, 90-98, 99-100), setelah melakukan penyesuaian terhadap adanya kolateral. Lokasi
lesi diambil dilakukann scoring, dimana semakin proksimal lesi menerima weighting lebih
tinggi.
Penelusuran Cardiovascular Events
Follow-up terjadinya CVD didapat melalui wawancara per telepon pada 6 minggu dan
follow-up selanjutnya tiap 1 tahun. Menggunakan wawancara tertulis, perawat terlatih dan
dokter mengikuti setiap pasien untuk adanya perawatan di rumah sakit dan penyebabnya.
Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan end point cardiovaskuler event mayor, termasuk
kematian akibat CVD atau rawat inap karena infark miokard yang tidak fatal, stroke, atau
gagal jantung kongestif. Pada kematian, sertifikat kematian diambil dan penyebab kematian
dinilai oleh peneliti WISE secara blind terhadap data penelitian yang lain. Apabila terdapat
perbedaan pendapat, konsus dan keputusan final diambil oleh steering comitee. Median
lamanya follow-up selama 5,9 tahun.
Analisis Statistik
Pertama, kita melakukan perbandingan secara deskriptif pada faktor dasar berdasarkan status
depresinya. Karena berberapa variabel ( indeks massa tubuh, lingkar pinggang, skor kapasitas
fungsional, kadar lemak dan gula) tidak terdistribusi normal, maka median yang dipakai
bukan mean, yang dikalkulasi berdasarkan kelompok BDI, dan nilai p untuk kecenderungan
didapat menggunakan tes nonparametrik. Untuk menghitung kecenderungan statistik, kami
menggunakan tes Mantel-Haenszel untuk data katagorikal, dan metode Jonckheere-Terpstra
untuk data kontinu.
Kemudian, model regresi logistik digunakan untuk mencari hubungan antara kelompok
depresi dan kelompok sindrom metabolik, dan ood rasio, konfiden interval 95% untuk
sindrom metabolik berdasarkan status depresi didapat setelah melakukan penyesuaian
4
terhadap faktor lainnya. Dalam tahapan lain model disesuaikan terhadap faktor demografik
( umur, ras, tingkat pendidikan, dan status perkawinan), variabel prilaku dan status fungsional
(riwayat merokok, aktivitas fisik, dan kapasitas fungsional yang diukur dengan DASI), dan
penggunaan beta-blocker. Untuk menilai hubungan antara depresi dengan komponen
individual dari sindrom metabolik, kami melakukan rangkaian model regresi logistik dimana
tiap komponen merupakan variabel dependen. Kami juga membuat model kumulatif regresi
logistik untuk ordered catagories untuk memeriksa hubungan antara depresi dan jumlah
resiko sindrom metabolik sebagai variabel ordinal dengan rentang 0 sampai 5. Analisis
tambahan dilakukan dengan BDI sebagai variabel kontinu.
Hubungan individual dan bersama depresi dan sindrom metabolik dengan insiden terjadinya
CVD ditest menggunakan Cox proportional hazards model. Dilakukan dalam seberapa
tahapan : a) penyesuaian terhadaf faktor demografik; b) penambahan faktor prilaku; c)
penambahan skor derajat CAD; dan yang terakhir d) penambahan sindrom metabolik untuk
menilai kemudian hubungan antara depresi dengan outcome yang terjadi. Kami juga menilai
apakan penambahan jumlah resiko sindrom metabolik, sebagai pengganti variabel sindrom
metabolik akan menghasilkan hasil yang mirip. Asumsi proporsi hazards dari rasio invariant
hazard selama follow-up di test dan didapatkan untuk hasil yang memuaskan.
Karena orang kemungkinan akan mengalami depresi sebagai konsekuensi diagnosis CHD,
kami mengulang analisis setelah mengeksklusi wanita dengan riwayat sebelumnya menderita
CHD, didefinisikan sebagai riwayat infark myokard, intervensi koroner perkutan atau artery
bypass graft surgery, atau dengan sebelum riwayat didiagnosis diabetes. Seluruh analisis
dilakukan menggunakan perangkat lunak SAS versi 9 dan seluruh test untuk kemaknaan
statistik menggukanan 2-tailed.
HASIL
Total sebanyak 936 wanita diikitkan dalam WISE, sebanyak 383 wanita dieksklusi karena
informasi BDI-nya tidak didapat, 2 wanita dieksklusi lagi karena hilangnya informasi
diagnosis depresi. Menyisakan 652 wanita untuk dianalisis. 10 wanita lagi dieksklusi karena
missing follow-up. Wanita tanpa informasi depresi secara signifikan bukan kulit putih (75%
banding 84%), memiliki CAD lebih berat dalam angiogram (severity score 9.25 banding
7.50), dan memiliki resiko sedikit lebih tinggi untuk memenuhi kriteria sindrom metabolik
(67% banding 60%).
5
Perbandingan data dasar karakteristik berdasarkan kelompok depresi (tabel 1) menunjukkan
wanita dengan peningkatan skor BDI adalah sebelumnya didiagnosis depresi pada usia muda,
pendidikan rendah, dan tidak menikah. Mereka juga lebih pasif, kapasitas fungsional lebih
rendah, dan memiliki riwayat merokok. Walaupun demikian CAD berdasarkan hasil
angiograpy tidak berbeda oleh status depresi. Status menopause tidak berkaitan dengan
depresi tetapi wanita dengan depresi memiliki kecenderungan menggunakan hormone
replacement therapy.
6
Depresi dan Sindrom Metabolik
Kadar trigliserida dan lingkar pinggang merupakan faktor resiko sindrom metabolik yang
memiliki hubungan yang paling kuat dengan depresi. Selain glukosa, keseluruhan faktor
resiko sindrom metabolik memiliki kecenderungan lebih umum terjadi pada wanita dengan
depresi (Gambar 1). Sebagai hasilnya, prevalensi sindrom metabolik lebih tinggi pada wanita
dengan peningkatan BDI atau sebelumnya didiagnosis depresi (66,7%) atau keduanya
(63,3%), dibandingkan dengan wanita tanpa depresi (53.4%, p <.001 ; test for trend :p =.01).
Jumlah faktor resiko sindrom metabolik yang memenuhi criteria ATP-III meningkat secara
progresif seiring peningkatan derajat depresinya , secara berurutan 2.7, 3.0 dan 3,1 (p = .003).
Model regresi logistik, setelah melakukan penyesuaian terhadap faktor demografi, kedua
derajat depresi berhubungan dengan peningkatan odd sebanyak 80% untuk sindrom
metabolik dibanding tanpa depresi. (Tabel 2). Asosiasinya sedikit melemah yaitu menjadi
sebesar 60% ketika diadjust dengan merokok, aktivitas fisik, kapasitas fungsional (skor
DASI), dan penggunaan beta blocker.
7
Kategori depresi juga memiliki hubungan peningkatan menurut derajat terhadap jumlah
faktor resiko sindrom metabolik. Setelah diadjust dengan seluruh variabel yang telah
disebutkan diatas, peningkatan BDI dan riwayat didiagnosis depresi sebelumnya memiliki
peningkatan kemungkinan untuk memiliki 1 faktor resiko sindrom metabolik sebesar 58%
8
jika dibanding dengan tanpa depresi (p = .04). Gejala depresi juga berhubungan dengan
sindrom metabolik sebagai variabel kontinu: dalam model regresi logistik setelah diadjust
dengan seluruh variabel datas, setiap peningkatan 5 poin dalam BDI odd sindrom metabolik
meningkat 20% (p = .002). Sedangkan diagnosis depresi sebelumnya tanpa memperhatikan
tingkat skor BDI, tidak memiliki asosiasi dengan sindrom metabolik : ood rasio = 1.00, p
= .99.
Ketika subyek dengan riwayat CAD dieksklusi, asosiasinya meningkat (Tabel 2): dalam
analisis multivariabel, wanita dengan peningkatan skor BDI dan sebelumnya pernah
didiagnosis depresi memiliki odd dua kali lipat untuk sindrom metabolik dibandingkan
dengan wanita tanpa depresi (p < .001).
Depresi merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya sindrom metabolik sebagai suatu
kesatuan bukan hanya secara terpisah sebagai faktor resiko sindrom metabolik. Ketika faktor
resiko sindrom metabolik dianalisis secara individual dalam model yang telah diadjust diatas,
hanya hipertensi (p = .04) dan peningkatan trigliserida (p = .03) secara signifikan lebih umum
pada wanita dengan depresi, walaupun faktor lain menunjukkan asosiasi borderline.
Depresi, Sindrom Metabolik dan Insiden Penyakit Kardiovaskuler
Selama 5.9 tahun follow-up, terdapat 104 outcome event, termasuk 31 kematian akibat CVD
dan 73 kejadian CVD yang tidak fatal. Setelah diadjust berdasarkan faktor demografik,
wanita dengan peningkatan baik peningkatan BDI dan riwayat diagnosis depresi sebelumnya
meningkatkan resiko hampir 2 kali lipat terjadinya CVD dibanding dengan wanita tanpa
depresi. Setelah penyesuaian lanjutan terhadap faktor prilaku, kapasitas fungsional,
penggunaan beta blocker dan keparahan CAD, asosiasinya sedikit menurun. Sedangkan untuk
kategori depresi menengah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya CVD.
Seperti terlihat pada table 3, sindrom metabolik juga memiliki asosiasi kuat dengan insiden
CVD. Ketika sindrom metabolik dimasukkan kedalam model, resiko asosiasi dengan depresi
turun sebanyak 7% dan baik depresi dan sindrom metabolik merupakan prediktor terjadinya
CVD. Ketika jumlah faktor resiko metabolik sindrom dimasukkan ke dalam model dimana
seharusnya merupakan tempat sindrom metabolik, hasil yang didapat hampir sama dan tidak
ditunjukkan. Penambahan variabel penggunaan antidepresan selama seminggu terakhir dalam
model akhir tidak merubah estimasi studi secara material. Skor BDI sebagai variabel kontinu
juga secara signifikan berhubungan dengan CVD: setiap peningkatan 5 point BDI, resiko
9
CVD meningkat sebanyak 17% (p = .004). Walaupun demikian setelah diadjust dengan
berbagai faktor resiko, estimasinya menjadi 8% (p = .25). Riwayat diagnosis depresi
sebelumnya berhubungan dengan resiko CVD (adjusted hazards ratio = 1.87, p = .04).
Kembali, eksklusi wanita dengan riwayat CAD menguatkan hubungan dan menghasilkan
relitif risk yang lebih besar (Tabel 4). Wanita dengan baik peningkatan BDI dan riayat
depresi sebelumnya memiliki resiko terjadinya CVD empat kali lipat dibandingkan dengan
wanita tanpa depresi (p=.004), dan ditambah dengan sindrom metabolik, sekali lagi sedikit
mengurangi kekuatan hubungan hanya sebesar 7%.
DISKUSI
Walaupun hubungan antara depresi dan sindrom metabolik telah diketahui sejak lama, tidak
ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan apa yang menyebabkan, bagaimana peranan
sindrom metabolik sebagai mediator yang penting dalam hubungannya dengan depresi dan
CVD. Pada studi kohort pada wanita yang dicurigai CAD, kami menemukan hubungan yang
kuat antara depresi dengan prevalensi sindrom metabolik, faktor demografik independen,
gaya hidup, dan status fungsuonal. Wanita dengan depresi memiliki kecenderungan 80%
lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan wanita tanpa depresi;
estimasi ini berkuramg kira-kira menjadi 60% setelah disesuaikan dengan faktor gaya hiduo,
status fungsional, dan penggunaan beta blocker. Sebagai tambahan. Jumlah faktor resiko
sindrom metabolik meningkat seiring dengan peningkatan derajat depresi. Tetapi sindrom
metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil, 20% dari asosiasi antara depresi dengan insiden
CVD.
Hubungan antara depresi mayor dengan sindrom metabolik telah diteliti dalam tiga studi
sebelumnya. Diantara orang dewasa muda (umur <40 tahun) dalam the Third National Health
and Nutritional Examination Survey, prevalensi sindrom metabolik pada wanita dengan
riwayat episode depresi mayor dua kali lipat dibandingkan yang tanpa depresi. Hubungan ini
tidak dijelaskan dengan fakor demografi dan faktor tingkah laku, termasuk umur, ras, tingkat
pendidikan, riwayat merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi karbohidrat dan alkohol. Tidak
ditemukan hubungan yang sama pada laki-laki, karena wanita mungkin memiliki kerentanan
khusus terhadap gangguan metabolism sekunder kemudian menjadi depresi. Hal yang sama,
pada sampel studi wanita paruh baya, gejala depresi dan sindrom metablik memiliki
hubungan yang signifikan, tetapi hasilnya belum disesuaikan dengan faktor demografis dan
10
faktor gaya hidup. Sedangkan studi terakhir dalam young Finnish gagal menemukan asosiasi
antara depresi dan sindrom metabolik. Namun studi ini tidak memeriksa wanita terpisah
dengan laki-laki.
Ketika faktor resiko sindrom metabolik diperiksa secara terpisah, hanya hipertensi dan
peningkatan trigliserida yang secara signifikan berhubungan dengan depresi dalam analisis
multivariate. Namun, jumlah faktor resiko semakin meningkat seiring penigkatan derajat
depresi, selanjutnya menyokong mereka dalam kombinasi dalam sebuah kluster dibawah
definisi sindrom metabolik dalam studi ini.
11
Dalam studi ini, kami mengklasifikasikan depresi berdasarkan riwayat pengobatan dan
derajat depresi saat ini. Seperti telah dilaporkan sebelumnya kombinasi antara kedua penanda
depresi sebagai prediktor kuat terjadinya CVD, dan indikator resiko yang jauh lebih baik
dibandingkan hanya skor BDI atau hanya riwayat pengobatannya saja. Wanita dengan dengan
kedua faktor tersebut cenderung memiliki depresi yang lebih berat, persisten dan sering
12
kambuh. Studi sebelumnya menunjukkan wanita dengan riwayat depresi mayor berulang
memiliki resiko plak karotis, koroner dan aorta lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
dengan episode depresi hanya sekali atau tidak memiliki riwayat, sehingga paparan episode
depresi multipel mengganggu kesehatan kardiovaskuler wanita.
Mekanisme Potensial
Telah banyak diketahui bahwa individu dengan depresi memiliki kecenderungan untuk
mengikuti gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kebiasaan bermalas-malasan, pola
makan yang tidak sehat, dan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. Namun dalam
studi kami, seperti yang dilaporkan Kinder dkk, hubungan masing kuat walaupun telah
disesuaikan dengan faktor prilaku, menyiratkan mereka hanya memeran peran kecil.
Depresi dihubungkan dengan kelainan fisiologis yang kemungkinan memiliki konsekuensi
metabolik termasuk hypothalamus-pituitary-adrenal axis hyperactivity dan disfungsi system
saraf otonom. Kelainan ini berpengaruh terhadap sebagian sebar, jika bukan seluruh
komponen sindrom metabolik, dan faktor psikososial memiliki peran yang lebih besar dalam
hubungan atara adrenal/gangguan otonomik dan sindrom metabolik.
Meskipun terdapat berbagai mekanisme yang masuk akal, penelitian kami masih belum
mampu membedakan depresi yang terjadi merupakan penyebab, konsekuensi, atau
merupakan penanda sindrom metabolik. Sebagai contoh keterbatasan fisik dan stigma sosial
akibat obesitas mungkin menjadi faktor predisposisi menjadi depresi, namun studi kami
menilai dengan menggunakan kapasitas fungsional. Masalah emosional pada pada orang
dengan obesitas mungkin merupakan akibat produksi berlebihan sitokin, yang mungkin
memegang peran dalam menentukan penyebab depresi. Meskipun demikian asosiasi yang
kuat ditemukan dan pola respon dosis, dengan peningkatan gejala depresi mengarahkan pada
hubungan yang lebih longgar. Bagaimanapun arah kecenderungannya, adalah penting untuk
mengenali masalah prilaku/emosional dan sindrom metabolik adalah saling berkaitan dan
kemungkinan saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam studi
longitudinal pada wanita, depresi, tensi, dan kemarahan pada baseline dapat memprediksi
terbentuknya sindrom metabolik selama follow-up, tetapi memiliki sindrom metabolik pada
baseline dapat memprediksi peningkatan amarah dan kekhawatiran pada tahun-tahun berikutn
13
Hubungan terhadap Resiko Kardiovaskuler
Dalam pandangan desain studi prospektif kami dapat mengevaluasi untuk pertama kali,
kepentingan relatif depresi dan sindrom metabolik dalam resiko CVD. Kami menemukan
bahwa hanya 20% dari resiko CVD yang berhubungan dengan depresi yang dapat dijelaskan
dengan sindrom metabolik. Pertamanya depresi dan sindrom metabolik keduanya
dimasukkan dalam model yang sama, dan keduanya masih berupa prediktor independen
untuk CVD. Mamiliki peran penting dalam menentukan prognosis sindrom metabolik, dan
memiliki asosiasi kuat dengan depresi dalam penelitian ini, namun secara mengejutkan hanya
dapat menjelaskan dalam proporsi sedikit dalam menjelaskan peningkatan resiko CVD dalam
hububngannya dengan depresi. Disisi lain, keterkaitan antara depresi dan CVD nmerupakan
multifaktorial. Sebagai tambahan dalam gaya hidup dan faktor resiko CVD tradisional
buktinya d puncak dari peran disfungsi otonomik, koagulasi, dan inflamasi, yang
kemungkinan dapat menjelasjkan patofisiologi yang lebih langsung antara depresi dengan
CVD.
Keterbatasan
Studi WISE mengikutsetrakan wanita yang telah diseleksi secara khusus dari wanita yang
dirujuk untuk angiografi koroner karena adanya kecurigaan iskemia, sehingga generalisasi
hasil penelitian menjadi terbatas. Walaupun demikian penelitian ini merupakan penelitian
kelompok pasien yang relevan, memberikan distress psikososial yang tinggi dan paparan
faktor resiko CHD, khususnya faktor resiko sindrom metabolik. Kusioner psikososial tidak
tersedia untuk pasien-pasien awal sehingga mengurangi jumlah sampel untuk dianalisis.
Sebagai tambahan, wanita tanpa informasi depresi memiliki CAD yang lebih parah dan faktor
resiko sindrom metabolik yang lebih tinggi dibandingkan wanita lainnya, menunjukkan
bahwa pasien-pasien awal memiliki status resiko lebih tinggi. Selain itu kami tidak memiliki
informasi dalam depresi mayor dari wawancara diagnostic,atau dalam jenis dan durasi
pengobatan antidepresan. Walaupun demikian, klasifikasi kami berdasarkan pada gejala
depresi sekarang dan dihubungkan dengan diagnosis depresi sebelumnya yang memerlukan
pengobatan seharusnya lebih baik dalam memperkirakan depresi mayor dibanding definisi
yang fokus pada gejala saat ini. Di sisi lain, desain penelitian multisenter, detail informasi
pasien, pemeriksaan laboratoriu untuk memeriksa faktor resiko CVD dan CAD dinilai dengan
14
angigrafi koroner yang merepresentasikan kekuatan unik study ini dan menambah validitas
temuan kami.
KESIMPULAN
Pada wanita dengan kecurigaan CAD, depresi dan sindrom metabolik satu sama lain saling
berhubungan secara independen terhadap gaya hidup dan status fungsional. Mengejutkan,
walaupun sindrom metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil dari asosiasi antara depresi
dengan insiden CVD, menunjukkan bahwa depresi dan sindrom metabolik meningkatkan
resiko CVD sebagian besar melalui independent pathway. Walaupun temuan kami sekilas
menunjukkan baik depresi dan sindrom metabolik sebagai faktor resiko independen untuk
CVD pada wanita, mereka mengidentifikasi kebutuhan melakukan lebih banyak penelitian
yang bertujuan mengungkapkan mekanisme yang komplek dalam mengaitkan depresi
dengan resiko CVD.
15
Depresi, Sindrom Metabolik dan Resiko KardiovaskularVIOLA VACCARINO, MD, PHD, CANDACE MCCLURE, BS, B. DELIA JOHNSON, PHD, DAVID S. SHEPS, MD, MSPH,
VERA BITTNER, MD, MSPH, THOMAS RUTLEDGE, PHD, LESLEE J. SHAW, PHD, GEORGE SOPKO, MD,
MARIAN B. OLSON, MS, DAVID S. KRANTZ, PHD, SUSMITA PARASHAR, MD, MPH, OSCAR C. MARROQUIN, MD,
AND C. NOEL BAIREY MERZ, MD
Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang paling sering terjadi, depresi dapat menyertai
berbagai penyakit salah satunya penyakit jantung. Studi observasional menunjukkan
hubungan yang kuat antara depresi dengan penyakit kardiovaskuler ataupun kematian, namun
mekanismenya masih belum jelas. Sindrom metabolik merupakan salah satu faktor resiko
penyakit kardiovaskuler, hal ini mungkin disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat dan
diregulasi sistem adrenokortikal dan susunan saraf otonom, yang akan meningkatkan jaringan
lemak visceral dan resistensi insulin. Diperkirakan terdapat hubungan antara depresi dengan
sindrom metabolik yang nantinya berperan dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit
jantung dan pembuluh darah. Namun penelitian terakhir gagal menggambarkan hubungan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sindrom metabolik dalam hubungannya
dengan depresi terhadap kejadian CVD pada wanita dengan iskemi miokardiak dan beban
psikologis yang bermakna.
WISE (Women’s Ischemia Syndrome Evaluation (WISE) merupakan studi multisenter yang
dibiayai oleh National Hearth, Lung, and Blood Institute (NHLBI) untuk penelitian penyakit
jantung iskemik pada wanita. 936 wanita antara tahun 1996 sampai 2000 dengan keluhan
nyeri dada, dicurigai memiliki iskemi miocardiak, atau keduannya yang selama studi dirujuk
dengan indikasi klinis dilakukan angiografi koroner. Kriteria ekslusi meliputi rujukan gawat
darurat, faktor komorbid mayor yang mengganggu follow-up, kehamilan, memiliki kontra
indikasi untuk dilakukan test diagnosis provokatif, cardiomyopathy, gagal jatung berat, infak
miokard akut atau unstable angina selama 1 bulan sebelum penelitian, menjalani
revaskularisasi koroner 6 bulan sebelum penelitian, kelainan signifikan pada katup jantung
dan penyakit jantung bawaan, kendala bahasa, dan kondisi lain yang mungkin berpengaruh
terhadap terhambatnya penelitian (alkoholisme, penyalahgunaan zat, atau penyakit psikiatri
berat).
Walaupun hubungan antara depresi dan sindrom metabolik telah diketahui sejak lama, tidak
ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan apa yang menyebabkan, bagaimana peranan
16
sindrom metabolik sebagai mediator yang penting dalam hubungannya dengan depresi dan
CVD. Pada studi kohort pada wanita yang dicurigai CAD, ditemukan hubungan yang kuat
antara depresi dengan prevalensi sindrom metabolik, faktor demografik independen, gaya
hidup, dan status fungsional. Wanita dengan depresi memiliki kecenderungan 80% lebih
tinggi untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan wanita tanpa depresi;
estimasi ini berkuramg kira-kira menjadi 60% setelah diadjust dengan faktor gaya hidup,
status fungsional, dan penggunaan beta blocker. Jumlah faktor resiko sindrom metabolik
meningkat seiring dengan peningkatan derajat depresi. Tetapi sindrom metabolik hanya
menjelaskan sebagian kecil, 20% dari asosiasi antara depresi dengan insiden CVD.
Hubungan antara depresi mayor dengan sindrom metabolik telah diteliti dalam tiga studi
sebelumnya. Diantara orang dewasa muda (umur <40 tahun) dalam the Third National Health
and Nutritional Examination Survey, prevalensi sindrom metabolik pada wanita dengan
riwayat episode depresi mayor dua kali lipat dibandingkan yang tanpa depresi. Hubungan ini
tidak dijelaskan dengan fakor demografi dan faktor tingkah laku, termasuk umur, ras, tingkat
pendidikan, riwayat merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi karbohidrat dan alcohol. Tidak
ditemukan hubungan yang sama pada laki-laki, karena wanita mungkin memiliki kerentanan
khusus terhadap gangguan metabolisme sekunder kemudian menjadi depresi. Hal yang sama,
pada sampel studi wanita paruh baya, gejala depresi dan sindrom metablik memiliki
hubungan yang signifikan, tetapi hasilnya belum diadjust dengan faktor demografis dan
faktor gaya hidup. Sedangkan studi terakhir dalam young Finnish gagal menemukan asosiasi
antara depresi dan sidrom metabolik. Namun studi ini tidak memeriksa wanita terpisah
dengan laki-laki.
Ketika faktor resiko sindrom metabolik diperiksa secara terpisah, hanya hipertensi dan
peningkatan trigliserida yang secara signifikan berhubungan dengan depresi dalam analisis
multivariate.
Dalam studi ini, depresi dikalsifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan dan derajat depresi
saat ini. Seperti telah dilaporkan sebelumnya kombinasi antara kedua penanda depresi
sebagai prediktor kuat terjadinya CVD, dan indikator resiko yang jauh lebih baik
dibandingkan hanya skor BDI atau hanya riwayat pengobatannya saja. Wanita dengan dengan
kedua faktor tersebut cenderung memiliki depresi yang lebih berat, persisten dan sering
kambuh. Studi sebelumnya menunjukkan wanita dengan riwayat depresi mayor berulang
17
memiliki resiko plak karotis, koroner dan aorta lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
dengan episode depresi hanya sekali atau tidak memiliki riwayat, sehingga paparan episode
multiple depresi mengganggu kesehatan kardiovaskuler wanita.
Telah banyak diketahui bahwa individu dengan depresi memiliki kecenderungan untuk
mengikuti gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kebiasaan bermalas-malasan, pola
makan yang tidak sehat, dan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. Namun dalam
studi kami, seperti yang dilaporkan Kinder dkk, hubungan masing kuat walaupun telah
disesuaikan dengan faktor prilaku, menyiratkan mereka hanya memeran peran kecil.
Depresi dihubungkan dengan kelainan fisiologis yang kemungkinan memiliki konsekuensi
metabolik termasuk hypothalamus-pituitary-adrenal axis hyperactivity dan disfungsi sistem
saraf otonom. Kelainan ini berpengaruh terhadap sebagian sebar, jika bukan seluruh
komponen sindrom metabolik, dan faktor psikososial memiliki peran yang lebih besar dalam
hubungan antara adrenal/gangguan otonomik dan sindrom metabolik.
Meskipun terdapat berbagai mekanisme yang masuk akal, penelitian ini masih belum mampu
membedakan depresi yang terjadi merupakan penyebab, konsekuensi, atau merupakan
penanda sindrom metabolik. Masalah emosional pada pada orang dengan obesitas mungkin
merupakan akibat produksi berlebihan sitokin, yang mungkin memegang peran dalam
menentukan penyebab depresi. Meskipun demikian asosiasi yang kuat ditemukan dan pola
respon dosis, dengan peningkatan gejala depresi mengarahkan pada hubungan yang lebih
longgar. Bagaimanapun arah kecenderungannya, adalah penting untuk mengenali masalah
prilaku/emosional dan sindrom metabolik adalah saling berkaitan dan kemungkinan saling
menguatkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam studi longitudinal pada wanita,
depresi, tensi, dan kemarahan pada baseline dapat memprediksi terbentuknya sindrom
metabolik selam follow-up, tetapi memiliki sindrom metabolik pada baseline dapat
memprediksi peningkatan amarah dan kekhawatiran pada tahun-tahun berikutnya.
Studi ini menemukan bahwa hanya 20% dari resiko CVD yang berhubungan dengan depresi
yang dapat dijelaskan dengan sindrom metabolik. Awalnya depresi dan sindrom metabolik
keduanya dimasukkan dalam model yang sama, dan keduanya masih berupa prediktor
independen untuk CVD. Mamiliki peran penting dalam menentukan prognosis sindrom
metabolik, dan memiliki asosiasi kuat dengan depresi dalam penelitian ini, namun secara
mengejutkan hanya dapat menjelaskan dalam proporsi sedikit dalam menjelaskan
18
peningkatan resiko CVD dalam hububngannya dengan depresi. Disisi lain, keterkaitan antara
depresi dan CVD merupakan multifaktorial.
Kelemahan studi ini dimana WISE mengikutsetrakan wanita yang telah diseleksi secara
khusus dari wanita yang dirujuk untuk angiografi koroner karena adanya kecurigaan iskemia,
sehingga generalisasi hasil penelitian menjadi terbatas. Walaupun demikian penelitian ini
merupakan penelitian kelompok pasien yang relevan, memberikan distress psikososial yang
tinggi dan paparan faktor resiko CHD, khususnya faktor resiko sindrom metabolik. Kusioner
psikososial tidak tersedia untuk pasien-pasien awal sehingga mengurangi jumlah sampel
untuk dianalisis. Sebagai tambahan, wanita tanpa informasi depresi memiliki CAD yang lebih
parah dan faktor resiko sindrom metabolik yang lebih tinggi dibandingkan wanita lainnya,
menunjukkan bahwa pasien-pasien awal memiliki status resiko lebih tinggi. Selain itu kami
tidak memiliki informasi dalam depresi mayor dari wawancara diagnostik ,atau dalam jenis
dan durasi pengobatan antidepresan. Walaupun demikian, klasifikasi kami berdasarkan pada
gejala depresi sekarrang dan dihubungkan dengan diagnosis depresi sebelumnya yang
memerlukan pengobatan seharusnya lebih baik dalam memperkirakan depresi mayor
dibanding definisi yang focus pada gejala saat ini. Di sisi lain, desain penelitian multisenter,
detail informasi pasien, pemeriksaan laboratoriu untuk memeriksa faktor resiko CVD dan
CAD dinilai dengan angiografi koroner yang merepresentasikan kekuatan unik studi ini dan
menambah validitas temuan kami.
Jadi dapat disimpulkan pada wanita dengan kecurigaan CAD, depresi dan sindrom metabolik
satu sama lain saling berhubungan secara independen terhadap gaya hidup dan status
fungsional. Mengejutkan, walaupun sindrom metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil
dari asosiasi antara depresi dengan insiden CVD, menunjukkan bahwa depresi dan sindrom
metabolik meningkatkan resiko CVD sebagian besar melalui independent pathway.
19