Cover Herbal UNPATTI

download Cover Herbal UNPATTI

of 7

Transcript of Cover Herbal UNPATTI

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    1/16

    BLOK HERBAL MEDICINE TUGAS MANDIRI

    FAKULTAS KEDOKTERAN (NOVEMBER 2014)

    UNIVERSITAS PATTIMURA

    TUGAS HERBAL

    DISUSUN OLEH:

    Wahyuni Noor Rizky Renfaan

    (2010-83-027)

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS PATTIMURAAMBON

    2014

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    2/16

    TUGAS

    HERBAL MEDICINE

    DISUSUN OLEH:

    CAROLINE TUPAN

    (2010-83-028)

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS PATTIMURA

    AMBON

    2014

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    3/16

    1.  Mengidentifikasi problem kesehatan terkait derajat kesehatan, sanitasi, higiene, penggunaan

    kearifan lokal dalam pengobatan penyakit masyarakat di daerah kepulauan.

    Jawab:

    Indikator dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat pada suati daerah, adalah:

    a.  Angka kematian ibu (AKI)

     b.  Angka kematian bayi (AKB)

    c.  Umur harapan hidup ((UHH)

    d.  Status gizi

    Indikator ini dapat ditentukan dengan 4 faktor yakni perilaku masyarakat, lingkungan,

     pelayanan kesehatan dan genetik. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, dapat

    diidentifikasikan data sebagai berikut:

    A.  Derajat kesehatan, dilihat dari keberadaan pelayanan kesehatan dan keterjangkauan

    fasilitas kesehatan.

    Di Indonesia terdapat fasilitas kesehatan yang terdiri dari RS swasta dan

     pemerintah, Puskesmas atau puskesmas bantu (PUSTU), praktek dokter atau klinik,

     praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu poskesdes atau poskestren, dan polindes,

    terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Di Maluku untuk kesadaran

    masyarakat akan keberadaan rumah sakit yaitu ≤60% untuk rumah sakit swasta dan

    ≤20% rumah sakit pemerintah, dibanding dengan Indonesia secara keseluruhan yaitu

    69,6% untuk rumah sakit pemerintah dan 53,9% untuk rumah sakit swasta.

    Untuk kesadaran masyarakat di maluku terhadap adanya keberadaan bidan

     praktek atau rumah bersalin yaitu ≤20% dan dibanding dengan tingkat kesadaran nasional

    yaitu 66,3%. Kemudian untuk kesadaran masyarakat Maluku terhadap keberadaan

     posyandu yaitu ≤60% sedangkan di Indonesia yaitu 65,2%. Dengan kata lain masyarakat

    Maluku memiliki tingkat kesadaran pelayanan kesehatan yang cukup baik lebih dari 50%.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    4/16

     

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    5/16

    Untuk keterjangkauan fasilitas kesehatan masyarakat kepulauan Maluku berbeda-

     beda dikarenakan kondisi geografis yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, juga

    dimana fasilitas kesehatan yang harus memadai di setiap pulau tersebut.

    B. 

    SanitasiRuang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan

    fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis

    tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara

     pengelolaan sampah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam

    Angka. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    6/16

    JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki

    akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakan

    fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan

    tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.

    Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia

    menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas

    umum (4,2%). Lima provinsi tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan

    fasilitas BAB milik sendiri adalah Riau (88,4%), Kepulauan Riau (88,1%), Lampung(88,1%), Kalimantan Timur (87,8%), dan DKI Jakarta (86,2%). Meskipun sebagian besar

    rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang

    tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9

     persen. Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB

    sembarangan tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah

    (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).

    Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas

    BAB milik sendiri di perkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan di perdesaan (67,3%);

    sedangkan proporsi rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun

    BAB sembarangan di perdesaan (masing-masing 6,9%, 5,0%, dan 20,8%) lebih tinggi

    dibandingkan dengan di perkotaan (6,6%, 3,5%, dan 5,1%). Semakin tinggi kuintil indeks

    kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    7/16

    BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga

    yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi. Untuk Maluku ≤70% rumah tangga

    memiliki tempat pembuangan akhir tinja tangki septik.

    Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, proporsi

    rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved

    cenderung mengalami peningkatan (tahun 2007: 40,3%; tahun 2010:51,5%; tahun

    2013:59,8%).

    Menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari

    kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di

    Indonesia membuang limbahnya langsung ke got (46,7%) dan tanpa penampungan

    (17,2%). Hanya 15,5 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    8/16

    dengan dilengkapi SPAL, 13,2 persen menggunakan penampungan terbuka di

     pekarangan, dan 7,4 persen penampungannya di luar pekarangan.

    Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan

    cara diangkut petugas lebih tinggi di perkotaan (46,0%) dibandingkan di perdesaan

    (3,4%), sedangkan proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar

    di perdesaan (62,8%) lebih tinggi dibanding perkotaan (37,7%). Semakin tinggi kuintil

    indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara

    diangkut petugas semakin tinggi. Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang mengelola

    sampah dengan cara dibakar cenderung lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan yang

    lebih rendah (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).

    Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola

    sampahnya dengan dibakar adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%),

    Riau (66,4%), Kalimantan Barat (64,3%). Lima provinsi terendah adalah DKI Jakarta

    (5,3%), Maluku Utara (25,9%), Maluku (28,9%), Kepulauan Riau (31%), Kalimantan

    Timur (32,1%) (Gambar 3.3 13).

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    9/16

    2.  Menjelaskan faktor penyebab, kendala dan penanggulangan masalah kesehatan di daerah

    kepulauan

    Secara umum wilayah kepulauan mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan

    yang rendah dibandingkan dengan bukan wilayah kepulauan, antara lain dalam hal KB,

     persalinan oleh tenaga kesehatan, melahirkan di pelayanan kesehatan, ANC, dan

    imunisasi dasar. Permasalahan yang dihadapi di daerah kepulauan dalam hal kesehatan

    terjadi karena beberapa faktor penyebab dan kendala seperti:

    a.  Jaringan transportasi yang belum memadai

     b.  Persebaran penduduk tidak merata pada tiap-tiap pulau

    c.  Keterbatasan fasilitas pelayanan sosial dasar: air, listrik, pasar, dll

    d.  Jumlah dan kualitas SDM lokal masih terbatas

    e. 

    Sarana komunikasi terbatas

    f.  Skala ekonomi yang tidak mencukupi, terutama di pulau kecil

    g.  Kondisi alam yang sulit

    h.  Sumberdaya perikanan dan kelautan belum dimanfaatkan secara optimal dan

     berkelanjutan

    i.  Budaya masyarakat yang bervariasi

    Semua permasalahan di atas mengakibatkan akses terhadap pelayanan kesehatan

    rendah dan berdampak pada status kesehatan masyarakat kepulauan dan untuk menyiasati

     permasalahan di atas, ada kebijakan khusus di daerah kepulauan, yaitu menggerakkan

    dan memberdayakan masyarakat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan

    kesehatan yang berkualitas, meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan,

    meningkatkan pemberdayaan SDM Kesehatan, meningkatkan ketersediaan obat dan

    alkes, meningkatkan sistem survailance dan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) serta dan

    meningkatkan manajemen kesehatan.

    Dalam pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat ke depan, perlu diawali

    dengan pemetaan masalah dan potensi kesehatan yang tersedia. Selain itu, keberpihakan

     pemerintah kabupaten melalui penyelenggaraan pembangunan daerah yang berorientasi

     pada kesehatan dan peningkatan dukungan biaya dari pemerintah pusat yang lebih

     berorientasi pada kebutuhan dan kondisi khusus daerah (tidak bersifat top down) juga

    sangat diperlukan.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    10/16

    I.  Mengidentifikasi problem kesehatan terkait derajat kesehatan, sanitasi, higiene, penggunaan

    kearifan lokal dalam pengobatan penyakit masyarakat di daerah kepulauan.

    Jawab:

    Indikator dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat pada suati daerah, adalah Angka

    kematian ibu (AKI), Angka kematian bayi (AKB), Umur harapan hidup ((UHH) dan Status

    gizi Indikator ini dapat ditentukan dengan 4 faktor yakni perilaku masyarakat, lingkungan,

     pelayanan kesehatan dan genetik. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, dapat

    diidentifikasikan data sebagai berikut:

    1.  Derajat kesehatan, dilihat dari keberadaan pelayanan kesehatan dan keterjangkauan

    fasilitas kesehatan.

    Di Indonesia terdapat fasilitas kesehatan yang terdiri dari RS swasta dan

     pemerintah, Puskesmas atau puskesmas bantu (PUSTU), praktek dokter atau klinik,

     praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu poskesdes atau poskestren, dan polindes,

    terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Di Maluku untuk kesadaran

    masyarakat akan keberadaan rumah sakit yaitu ≤60% untuk rumah sakit swasta dan

    ≤20% rumah sakit pemerintah, dibanding dengan Indonesia secara keseluruhan yaitu

    69,6% untuk rumah sakit pemerintah dan 53,9% untuk rumah sakit swasta.

    Untuk kesadaran masyarakat di maluku terhadap adanya keberadaan bidan

     praktek atau rumah bersalin yaitu ≤20% dan dibanding dengan tingkat kesadaran nasional

    yaitu 66,3%. Kemudian untuk kesadaran masyarakat Maluku terhadap keberadaan

     posyandu yaitu ≤60% sedangkan di Indonesia yaitu 65,2%. Dengan kata lain masyarakat

    Maluku memiliki tingkat kesadaran pelayanan kesehatan yang cukup baik lebih dari 50%.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    11/16

     

    Untuk keterjangkauan fasilitas kesehatan masyarakat kepulauan Maluku berbeda-

     beda dikarenakan kondisi geografis yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, juga

    dimana fasilitas kesehatan yang harus memadai di setiap pulau tersebut.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    12/16

     

    2.  Sanitasi

    Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan

    fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis

    tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara

     pengelolaan sampah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalamAngka. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria

    JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki

    akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakan

    fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan

    tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    13/16

     

    Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia

    menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas

    umum (4,2%). Lima provinsi tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan

    fasilitas BAB milik sendiri adalah Riau (88,4%), Kepulauan Riau (88,1%), Lampung

    (88,1%), Kalimantan Timur (87,8%), dan DKI Jakarta (86,2%). Meskipun sebagian besar

    rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang

    tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9

     persen. Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BABsembarangan tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah

    (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).

    Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas

    BAB milik sendiri di perkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan di perdesaan (67,3%);

    sedangkan proporsi rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun

    BAB sembarangan di perdesaan (masing-masing 6,9%, 5,0%, dan 20,8%) lebih tinggi

    dibandingkan dengan di perkotaan (6,6%, 3,5%, dan 5,1%). Semakin tinggi kuintil indeks

    kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas

    BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga

    yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi. Untuk Maluku ≤70% rumah tangga

    memiliki tempat pembuangan akhir tinja tangki septik.

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    14/16

    Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, proporsi

    rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved

    cenderung mengalami peningkatan (tahun 2007: 40,3%; tahun 2010:51,5%; tahun

    2013:59,8%).

    Menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari

    kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di

    Indonesia membuang limbahnya langsung ke got (46,7%) dan tanpa penampungan(17,2%). Hanya 15,5 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan

    dengan dilengkapi SPAL, 13,2 persen menggunakan penampungan terbuka di

     pekarangan, dan 7,4 persen penampungannya di luar pekarangan.

    Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan

    cara diangkut petugas lebih tinggi di perkotaan (46,0%) dibandingkan di perdesaan

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    15/16

    (3,4%), sedangkan proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar

    di perdesaan (62,8%) lebih tinggi dibanding perkotaan (37,7%). Semakin tinggi kuintil

    indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara

    diangkut petugas semakin tinggi. Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang mengelola

    sampah dengan cara dibakar cenderung lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan yang

    lebih rendah (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).

    Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola

    sampahnya dengan dibakar adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%),

    Riau (66,4%), Kalimantan Barat (64,3%). Lima provinsi terendah adalah DKI Jakarta

    (5,3%), Maluku Utara (25,9%), Maluku (28,9%), Kepulauan Riau (31%), Kalimantan

    Timur (32,1%) (Gambar 3.3 13).

    II.  Menjelaskan faktor penyebab, kendala dan penanggulangan masalah kesehatan di daerah

    kepulauan

    Secara umum wilayah kepulauan mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan

    yang rendah dibandingkan dengan bukan wilayah kepulauan, antara lain dalam hal KB,

  • 8/19/2019 Cover Herbal UNPATTI

    16/16

     persalinan oleh tenaga kesehatan, melahirkan di pelayanan kesehatan, ANC, dan

    imunisasi dasar. Permasalahan yang dihadapi di daerah kepulauan dalam hal kesehatan

    terjadi karena beberapa faktor penyebab dan kendala seperti:

      Jaringan transportasi yang belum memadai

      Persebaran penduduk tidak merata pada tiap-tiap pulau

      Keterbatasan fasilitas pelayanan sosial dasar: air, listrik, pasar, dll

      Jumlah dan kualitas SDM lokal masih terbatas

      Sarana komunikasi terbatas

      Skala ekonomi yang tidak mencukupi, terutama di pulau kecil

      Kondisi alam yang sulit

      Sumberdaya perikanan dan kelautan belum dimanfaatkan secara optimal dan

     berkelanjutan

      Budaya masyarakat yang bervariasi

    Semua permasalahan di atas mengakibatkan akses terhadap pelayanan kesehatan

    rendah dan berdampak pada status kesehatan masyarakat kepulauan dan untuk menyiasati

     permasalahan di atas, ada kebijakan khusus di daerah kepulauan, yaitu menggerakkan

    dan memberdayakan masyarakat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan

    kesehatan yang berkualitas, meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan,

    meningkatkan pemberdayaan SDM Kesehatan, meningkatkan ketersediaan obat dan

    alkes, meningkatkan sistem survailance dan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) serta dan

    meningkatkan manajemen kesehatan.

    Dalam pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat ke depan, perlu diawali

    dengan pemetaan masalah dan potensi kesehatan yang tersedia. Selain itu, keberpihakan

     pemerintah kabupaten melalui penyelenggaraan pembangunan daerah yang berorientasi

     pada kesehatan dan peningkatan dukungan biaya dari pemerintah pusat yang lebih

     berorientasi pada kebutuhan dan kondisi khusus daerah (tidak bersifat top down) juga

    sangat diperlukan.