cdk_153_Stemcell

53
http://www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125-913X 2006 153. Stem Cell

Transcript of cdk_153_Stemcell

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

2006

153.Stem Cell

2006

http://www.kalbefarma.com/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

153.

Stem Cell Daftar isi :

2006

153.Stem Cell

Two human retinal cells (brown and red) on theirfeeder cells (yellow)

Prof. Miodrag Stojkovicspl

http:// www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 –913X

2. Editorial

Artikel

5. Aplikasi Terapeutik Sel Stem Embrionik pada Berbagai Penyakit Degeneratif – Boenjamin Setiawan

9. Aspek Bioetika Penelitian Stem Cell – M.K. Tadjudin 13. Aplikasi Terapi Stem Cell pada Infark Miokard Akut – RWM Kaligis 14. Stem Cell Therapy in Hematologic Malignancies – A. Harryanto

Reksodiputro 16. Application of Stem Cell Therapy in Parkinson Disease – Ismail

Setyopranoto 17. Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis – Mohammad Saiful

Islam 20. Aplikasi Terapi Stem Cell pada Luka Bakar – Nurhadi Ibrahim 21. Dasar-dasar Stem Cell dan Potensi/Aplikasinya dalam Ilmu

Kedokteran – Virgi Saputra 26. Kultur dan Potensi Stem Cells dari Darah Tali Pusat – Richard

Prayogo, Maria Teresa Wijaya 29. Stem Cell Retina : Harapan baru untuk mengatasi kebutaan ? – Meta

W. Djojosubroto 33. Penggunaan Human Mesenchymal Stem Cells untuk Perbaikan

Tulang Rawan Sendi pada Osteoarthritis - Adiwirawan Mardjuadi 36. Penyakit yang Berhubungan dengan Penghambatan Apoptosis -

Rochman Naim 39. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis - Jansen Silalahi

43. Kapsul 44. Informatika Kedokteran 45. Kegiatan Ilmiah 48. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 2006 50. Abstrak 52. RPPIK

EEDDIITTOORRIIAALL

Ilmu kedokteran selalu berusaha untuk memperpanjang dan memperbaiki kualitas kehidupan manusia; praktis seluruh penelitian dan usaha pengobatan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut – antibiotika dikembangkan untuk memerangi penyakit-penyakit infeksi, obat-obat antihipertensi, antidiabetik dan lain-lain ditujukan untuk mengatasi kelemahan atau gangguan metabolisme tubuh agar tetap optimal mendukung kehidupan; kanker terus menerus dicari penyebabnya dan diperangi dengan obat-obat antikanker agar tidak merusak sel-sel yang masih sehat dan penyakit Alzheimer sampai saat ini merupakan target utama penelitian untuk dapat ditanggulangi.

Dalam semangat yang sama, dengan kemungkinan yang sangat besar dan karenanya akan sangat menarik untuk diselidiki dan dikembangkan, adalah bagaimana manusia bisa mencegah penuaan, bagaimana kita bisa ‘meremajakan’ kembali sel-sel yang sudah uzur sehingga dapat lebih lama mendukung kehidupan dan bagaimana kita bisa mengatasi penyakit-penyakit degeneratif yang juga berkaitan dengan penurunan fungsi tubuh.

Oleh karena itu penelitian stem cell sangat menarik untuk dicermati karena membuka kemungkinan baru yang boleh dikatakan merupakan the new frontier; yang mudah-mudahan juga the last frontier bagi usaha memelihara dan mengisi kehidupan manusia agar tetap berhasil guna dan berdaya guna.

Naskah yang kami terbitkan dalam edisi khusus ini merupakan makalah sebagian topik yang dibahas dalam simposium Stem Cell yang telah diselenggarakan pada tanggal 2 September 2006 di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta berkat kerjasama Unit Riset Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, PT Kalbe Farma Tbk., dan majalah Cermin Dunia Kedokteran, ditambah dengan beberapa makalah lain yang tidak termasuk dalam yang dibahas dalam simposium tersebut, tetapi masih berkaitan dengan topik bahasan.

Semoga terbitan ini dapat bermanfaat, terutama bagi sejawat yang tidak

bisa hadir mengikuti simposium tersebut; tentu dengan harapan bisa membuka cakrawala pemikiran baru mengenai bagaimana kita bisa mengatasi masalah-masalah kesehatan di kemudian hari.

Selamat membaca, Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 2

2006 International Standard Serial Number: 0125 - 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Guru Besar Purnabakti Infeksi Tropik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

- Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.

Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

TATA USAHA Dodi Sumarna

-

-

INFORMASI/DATABASE Ronald T. Gultom, SKom

Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

DR.Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

-

-

PENCETAK PT. Temprint

Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

http://www.kalbefarma.com/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Simposium Stem Cell

“Menyongsong Era Stem Cell di Indonesia”

Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 2 September 2006 FKUI (MRU) + PT Kalbe Farma + Jurnal Cermin Dunia Kedokteran

Waktu Acara Pembicara / Moderator 07.30 – 08.00 Registrasi peserta 08.00 – 08.05 Pembukaan MC 08.05 – 08.15 Sambutan Ketua Panitia dr. Budhi Antariksa, SpP, PhD 08.15 – 08.25 Sambutan Dekan FKUI dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K) 08.25 – 08.35 Sambutan Menristek, dilanjutkan dengan

pembukaan acara simposium Menteri Riset dan Teknologi, Bpk Kusmayanto Kadiman

Sesi I Prof. Dr. dr. Frans Suyatna, SpFK 08.35 – 08.55 Selayang pandang mengenai stem cell dan

potensi komersialnya dr. Boenjamin Setiawan, PhD

08.55 – 09.15 Peranan makmal dalam penelitian stem cell Prof. Dr. dr. Ali Baziad, SpOG(K) 09.15 – 09.35 Aspek mediko etika legal pengobatan dengan

stem cell Prof. Dr. dr. MK Tadjudin

09.35 – 09.55 Aplikasi terapi stem cell pada infark miokard akut

dr. RWM Kaligis, SpJP

09.55 – 10.15 Diskusi 10.15 – 10.35 Coffee break

Sesi II Dr. dr. Sri Bekti Subakir, MS 10.35 – 10.55 Aplikasi terapi stem cell pada stroke dr. Salim Haris SpS 10.55 – 11.15 Aplikasi terapi stem cell pada kanker darah Prof. Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro,

SpPD, KHOM 11.15 – 11.35 Aplikasi terapi stem cell pada Penyakit

Parkinson dr. Ismail Setyopranoto, SpS (FK UGM-Yogyakarta)

11.35 – 11.55 Aplikasi pengobatan stem cell pada trauma tulang belakang

dr. Mohammad Saiful Islam, SpS (FK UNAIR - Surabaya)

11.55 – 12.15 Diskusi 12.15 – 13.15 Lunch

Sesi III Dr. Andon Hestiantoro, Sp.OG-KFER 13.15 – 13.35 Aplikasi terapi stem cell pada luka bakar dr. Nurhadi Ibrahim, PhD 13.35 – 13.55 Body, Heal Thyself: Potential applications of

cord blood stem cells dr. Sunny Tan (Senior Director CyGenics - Singapore)

13.55 – 14.15 Aplikasi stem cell pada rejuvenasi dr. Boenjamin Setiawan, PhD 14.15 – 14.35 Diskusi 14.35 – 14.40 Penutupan MC

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 4

MAKALAH

Aplikasi Terapeutik

Sel Stem Embrionik pada Berbagai Penyakit Degeneratif

Boenjamin Setiawan

Presiden Komisaris PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Sel stem embrionik mempunyai kemampuan untuk berproliferasi secara terus menerus dalam kultur optimal dan dalam keadaan tertentu mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel jaringan, seperti otot polos, kardiomiosit, neuron, sel beta pankreas, khondrosit, dsb. Karena sifat ini maka sel stem embrionik ini dapat dipakai untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif yang sekarang termasuk dalam bidang kedokteran regeneratif. Dalam beberapa tahun lagi sel stem embrionik manusia ini dapat dipakai untuk transplantasi berbagai organ yang rusak, seperti ginjal, hati, jantung, tulang dsb. Penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi oleh berbagai masalah etik dan masih dilarang di beberapa negara seperti di AS, Jerman, Perancis dsb. sehingga menghambat kemajuan penelitian. Tetapi di berbagai negara lain seperti, UK, Singapura, Korea, India, China dsb. penggunaan sel stem embrionik manusia untuk kedokteran regeneratif diperbolehkan, sehingga penelitian di negara-negara tersebut telah mengalami banyak kemajuan. Untuk mencegah kontroversi ini, maka alternatif lain adalah menggunakan human Umbilical Cord Blood (hUBC) yang mengandung banyak adult stem cells dan mempunyai kemampuan proliferasi lebih baik daripada sel stem sumsum tulang (hBM=human Bone Marrow).

Di Indonesia keadaannya masih belum jelas. 1. SUMBER SEL STEM 1.1. Arti Sel Stem embrionik

Sel stem embrionik adalah sel yang diambil dari inner cell mass - suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst yang berumur 5 hari dan terdiri dari 100 sel. Sel stem ini mempunyai sifat dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal dan pada keadaan tertentu dapat diarahkan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel yang terdiferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit dan sebagainya. 1.2. Sel stem dewasa (Adult stem cells) adalah sel stem yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi melakukan regenerasi untuk mengatasi

berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Tubuh kita mengalami pengrusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan nekrosis (kematian jaringan dan sel) akan dibersihkan oleh sel makrofag yang beredar dalam darah. Sel stem dewasa sebaliknya berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Sel stem dewasa dapat diambil dari fetus (fetal stem cells), sumsum tulang (bone marrow stem cells), darah perifer atau tali pusat (umbilical cord blood stem cells, UCB). 1.3. Sel stem embrionik maupun sel stem dewasa sangat besar potensinya untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, seperti infark jantung, stroke, penyakit Parkinson, diabetes, berbagai macam kanker terutama kanker darah, osteoarthritis dan sebagainya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 5

Sel stem embrionik sangat plastis dan mudah dikembang-

kan menjadi berbagai macam jaringan sel, seperti neuron, kardiomiosit, osteoblast, fibroblast dan sebagainya., sehingga dapat dipakai untuk trans-plantasi jaringan yang rusak. Lagipula immunogenicity nya rendah, selama belum meng-alami diferensiasi.

Sel stem dewasa juga bisa dipakai untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, tetapi plastisitasnya sudah berkurang. Mengingat masalah etik, maka banyak negara lebih mengutamakan penelitian pemanfaatan sel stem dewasa pada berbagai penyakit degeneratif, sehingga tidak dihadapkan pada masalah dan kontroversi etika.

Karena sel stem tali pusat (Umbilical cord blood= UCB) mudah didapat dan ternyata banyak mengandung sel stem, maka sekarang banyak diteliti mengenai manfaatnya untuk mengatasi berbagai penyakit degeneratif. Sel stem UCB mudah diperbanyak, immunogenicitynya rendah dan plastisitasnya cukup baik. 1.4. SCNT, atau somatic cell nuclear transfer merupakan teknik untuk menghasilkan klon sel stem embrionik yang seratus persen sama seperti donor nukleusnya. Bilamana oosit manusia dikeluarkan nukleusnya (enukleasi) kemudian pada oosit tersebut dimasukkan nukleus somatik dari seorang donor dan kemudian pada oosit tersebut diberi aliran listrik, maka oosit mengalami “reprogramming” DNA, sehingga berkembang biak menjadi embrio. Keberhasilan SCNT masih sangat rendah dan embrio yang dihasilkan banyak mengalami kelainan kongenital. Tetapi bilamana berhasil maka embrio ini akan merupakan klon dari donor nukleus, sehingga DNA donor nukleus dan embrio seratus persen sama, sehingga jika dilakukan transplantasi tidak akan terjadi penolakan terhadap transplan Teknik SCNT teoretis dapat dipergunakan untuk transplantasi berbagai organ dan jaringan tubuh manusia. 2. Sel stem pada berbagai penyakit degenerasi SSP 2.1. Stroke iskemik pada tikus maupun domba dapat disembuhkan dengan pemberian hUCB. Percobaan pada binatang dengan memberikan CD34+ hUCB dapat menimbulkan perbaikan fungsional dengan terbentuknya angiogenesis dan neurogenesis. Berdasarkan hasil percobaan binatang yang sangat prospektif maka beberapa pusat penelitian sedang merencanakan untuk melakukan uji klinis pada manusia. 2.2. Penyakit Parkinson yang banyak menghinggapi orang tua juga mempunyai prospek baik untuk dapat disembuhkan oleh sel stem. Patogenesis penyakit Parkinson adalah karena degenerasi sel neuron dopaminergik di substansia nigra. Berbagai percobaan telah berhasil untuk mengubah sel stem menjadi neuron dopaminergik dan jika sel ini disuntikkan ke otak dapat menimbulkan perbaikan. Tetapi sayang sampai sekarang belum ada laporan percobaan klinik yang baik sehingga masih belum dapat diambil kesimpulan yang objektif. 2.3. Spinal cord injury, disertai demielinasi menyebabkan

hilangnya fungsi neuron. Remielinasi dengan sel stem dapat mengembalikan fungsi yang hilang. Percobaan pendahuluan dengan ES tikus dapat menghasilkan oligodendrosit yang kemudian dapat menyebabkan remielinisasi akson yang rusak. 3. Sel stem dan diabetes tipe I

Pada diabetes tipe I sel pankreas beta yang mensekresi insulin mengalami kerusakan oleh faktor genetik, lingkungan dan imunologik. Akibatnya terjadi defisiensi insulin dan menyebabkan hiperglikemi. Transplantasi seluruh organ pankreas kadaver dapat menyembuhkan penderita. Tetapi jumlah kadaver sangat sedikit dan obat imunosupresi yang dibutuhkan untuk mencegah reaksi imunologik menimbulkan banyak efek samping. Transplantasi sel stem merupakan alternatif baik dan telah menunjukkan hasil positif pada mencit. Tetapi masih banyak kendala yang harus diatasi supaya penggunaan sel stem untuk menyembuhkan pasien diabetes tipe I dapat terlaksana. 4. Sel stem pada infark jantung

Pada infark miokard akut, sel stem sumsum tulang (bone marrow) yang beredar dalam darah perifer dan sel stem yang sudah berada di jantung akan menuju ke daerah infark, tetapi jumlahnya tidak cukup untuk dapat mengatasi dan menyembuhkan daerah infark tersebut. Sel stem akan membentuk sel kardiomiosit dan juga mengadakan neovaskularisasi. Karena jumlah sel stem endogen kurang banyak maka logis untuk mecarikan bantuan sel stem dari luar yang bisa berasal dari sumsum tulang atau sumber lain seperti UCB. Hal ini telah dilakukan dengan hasil yang cukup menggembirakan. Bartinek juga telah melakukan intracoronary infusion BM stem cell otolog pada 22 pasien dengan AMI dan melaporkan hasil yang sangat baik. Sekarang dalam literatur sudah banyak dilaporkan hasil positif pemberian sel stem BM intrakoroner pada AMI. 5. Sel stem pada osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif yang banyak sekali menghinggapi orang tua maupun para atlet. Lutut, bahu, dan berbagai sendi mengalami degenerasi tulang rawan dan menyebabkan rasa nyeri pada pergerakan.

Sel stem dapat membentuk khondroblast dan osteoblast dan melalui tissue engineering sel stem dapat diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat membentuk jaringan tulang rawan, yang dapat dimasukkan ke dalam sendi sehingga dapat berfungsi sebagai pengganti tulang rawan yang rusak. Jika kerusakan tulang rawan masih ringan maka sel stem dapat langsung dimasukkan ke dalam sendi; sel stem akan berubah menjadi chondroblast dan membentuk lapisan tulang rawan baru. Berbagai percobaan sudah membuktikan manfaat yang sangat besar sel stem untuk osteoarthritis. 6. Sel stem hematopoetik pada kanker

Salah satu sebab mengapa sel stem hematopoetik (sel stem sumsum tulang) dapat dipakai untuk pengobatan kanker adalah karena dalam keadaaan tertentu harus diberi kemoterapi atau radiasi dosis tinggi sehingga membunuh semua sel yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 6

berkembang biak cepat (termasuk sel kanker, tetapi juga sel stem sumsum tulang, endotel usus dan sel rambut, sehingga pada radiasi atau kemoterapi dosis tinggi selain membunuh sel kanker, pasien akan menderita diare dan rambutnya rontok). Karena sel stem hematopoetik di dalam sumsum tulang yang membentuk leukosit untuk memerangi infeksi, eritrosit untuk membawa oksigen dan trombosit untuk pembekuan darah, bilamana diradiasi atau diberi obat kemoterapi akan mati semua, maka seseorang sebelum diradiasi/diberi obat kemoterapi dosis tinggi, sumsum tulangnya dipanen dulu. Setelah radiasi, dimasukkan lagi dalam darah dan sel stem hematopoetik akan kembali masuk sumsum tulang dan akan berkembang biak lagi. Penggunaan sel stem hematopoetik untuk kanker sudah dipakai sejak beberapa puluh tahun lamanya.

Selain sel stem sumsum tulang, juga dapat dipakai sel stem UCB dan darah perifer yang juga mengandung sel stem. Jika diambil dari darah perifer maka pasien diberi CGSF (Colony Growth Stimulating Factor) yang akan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi dan melepaskan banyak sel stem ke sirkulasi dan kemudian dengan alat apheresis, sel stem dipisah dan darah dikembalikan ke dalam sirkulasi.

Jika sel stem diambil dari pasien yang sama maka disebut transplantasi otolog. Jika sel stem diambil dari saudara kembar maka disebut transplantasi syngeneik, sedangkan kalau sel stem diambil dari saudara maka disebut transplantasi alogeneik.

7. Sel stem untuk Rejuvenasi

Belakangan diketahui bahwa kerusakan jaringan tubuh akan diperbaiki oleh sel stem yang mengalir di darah perifer dan berasal dari sumsum tulang beserta sel stem yang memang selalu berada di setiap organ. Cara kerja sel stem mungkin melalui 3 mekanisme : menciptakan lingkungan mikro yang kondusif untuk regenerasi sel endogen jaringan, transdiferensiasi (sel stem dewasa akan berubah menjadi sel jaringan pengganti yang rusak) dan mungkin melalui fusi sel.

Memang sampai sekarang pertanyaan yang timbul adalah bagaimana tubuh kita dapat memperbaiki jaringan yang rusak? Pada tanaman dan organisme sederhana seperti hydra, planaria, atau salamander dan newt, jika cabang pohon dipotong atau kaki salamander dipotong maka secara otomatis akan tumbuh kembali. Telah terbukti pada organisme sederhana ini sel stem sangat besar peranannya.

Dengan penemuan bahwa sel stem embrionik dan dewasa dapat berkembang biak secara tidak terbatas dan dapat mengalami transdiferensiasi, maka sekarang sudah jelas bahwa perbaikan kerusakan jaringan tubuh dapat diperbaiki oleh sel stem dewasa yang beredar dalam darah dan sel stem yang terdapat dalam setiap organ.

Dengan penemuan ini maka teoretis setiap kerusakan dapat diperbaiki dengan melakukan infus sel stem eksogen karena sel stem endogen tidak cukup banyak untuk dapat melakukan regenerasi. Sumber sel stem endogen yang paling mudah didapatkan adalah sel stem sumsum tulang dan sel stem UCB, jika kita menghendaki sel stem otolog. Karena itu pengambilan dan penyimpanan sel stem UCB akan sangat bermanfaat, tidak hanya untuk pengobatan kanker pasca radiasi atau pemberian

kemoterapi dosis tinggi, tetapi juga untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan organ tubuh. Sel stem ini dapat dipergunakan untuk melakukan rejuvenasi dan regenerasi jaringan dan organ tubuh yang rusak. 8. Sel stem juga dapat dimanfaatkan untuk transplantasi kulit, mengobati penyakit oto-imun, terapi gen, skrining obat dan mempelajari perkembangan embrio (developmental biology) dan masih banyak sekali potensi lain yang belum dapat dibayangkan dewasa ini. KESIMPULAN

Manfaat sel stem untuk pengobatan regeneratif sangat besar dan potensinya masih belum digali secara optimal. Sayang masih banyak negara, dipelopori oleh AS yang menghambat penelitian mengenai sel stem ini. Untung beberapa negara Eropa dan negara Asia seperti Swedia, Finlandia, Rusia, Belgia, Korea, China, India, Singapura dan Malaysia sangat mendukung penelitian sel stem. Semoga mereka dapat memanfaatkan kebebasan dan dorongan pemerintah mereka untuk dapat memetik hasil optimal dari penelitian ini. Sayang dalam hal ini kita di Indonesia masih belum berani mengambil keputusan tegas, apakah juga mendorong penelitian mengenai sel stem ini untuk kegunaan terapeutik bukan untuk reproduksi.

Pemerintah, dunia akademis dan industri sebaiknya membangun kerjasama yang erat untuk memanfaatkan kesempatan penelitian sel stem ini untuk kemudian dapat diaplikasikan untuk pengobatan regeneratif, rejuvenasi orang tua, skrining obat baru dan membantu terapi gen.

Banyak hal yang masih bisa dilakukan untuk meneliti sel stem ini dan semoga akan membawa manfaat tak terhingga untuk mengurangi penderitaan orang sakit dan meningkatkan kesejahteraan manusia.

KEPUSTAKAAN 1. Blelloch R, Wang Z, Meissner A, Pollard S, Smith A, Jaenisch R.

Reprogramming Efficiency following Somatic Cell Nuclear Transfer is influenced by the Differentiation and Methylation State of the Donor NucleusStem Cell Express, published online May 18 : doi: 10.1634/ stemcells. 2006-0050

2. Peterson DA. Umbilical cord blood cell and brain stroke injury: bringing fresh blood to address an old problem. J.Clin.Invest. 2004; 114 (3). http://www.jci.org

3. Kawasaki H, Suemori,H, Mizuseki,K et al. Generation of dopaminergic neurons and pigmented epithelia from primate ES cells by stromal cell-derived inducing activity. PNAS 2002;99 (3): 1580-1585.

4. Liu S, Qu Y, Stewart TJ et al. Embryonic stem cells differentiate into oligodendrocytes and myelinate in culture and after spinal cord transplantation. PNAS 2000; 97 (11): 6126-6131.

5. Rajagopal J, Anderson WJ, Kume S,.Martinez OI,.Melton DA. Insulin staining of ES cell progeny from insulin uptake. Science 2003; 299 (56050): 363.

6. Caprice NM, Gersh BJ. Stem cell to repair the heart. A clinical perspective. Circulation Res. 2003; 92:6

7. Goussetis E, Manginas A, Kotelou M. Peristen I et al. Intracoronary delivery of selected BM-progenitors. Stem Cells Express. published online June 29, 2006; doi:10.1634/stemcells.2005-0589

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 7

8. Bartinek,J, Vanderheyden M, Vandekerchove B et al., Intracoronary

injection of CD133-positive enriched bone marrow progenitor cells promotes cardiac recovery after recent myocardial infarction. Circulation 2005;112 (9 suppl):78-83.

11. http://www.cancer.bov/cancertopics/factsheet/Therapy/bone-marrow-transplant. Bone Marrow Transplantation and Peripheral Blood Stem Cell

12. Transplantation: Questions and Answers. 13. Prockop DJ,.Gregory CA,.Spees JL. One strategy for cell and gene

therapy: Harnessing the power of adult stem cells to repair tissues. PNAS, September 30,2003;.100, suppl.1: 11917-11923

9. Amado LC,.Saliaris AP,.Schuleri KH et al., Cardiac repair with intra-myocardial injection of allogeneic mesenchymal stem cells after myocardial infarction, PNAS, August 9, 2005; 102(32): 11474-11479 14. Snyder EY, Loring JF. A Role for Stem Cell Biology in the Physiological

and Pathological Aspects of Aging. J. Amer. Geriatr. Soc. September 2005;. 53: S287, doi : 10.1111/j.1532-414.2005.53491.x

10. Acosta Jr, FL, Lotz J,.Ames CP, The potential role of mesenchymal stem cell therapy for intervertebral disc degeneration: a critical review Neurosurg.Focus 19 (3): E4, 2005.

15. Alonso L, Fuchs E. Stem cells of the skin epithelium. PNAS, September 30, 2003;.100, suppl.1.:11830-11835

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE NOVEMBER – DESEMBER 2006

Bulan Tanggal Kegiatan Tempat dan Informasi

04 – 05 Biennial Symposium DIGM : Geriatrics Update 2006

Hotel Le Meridien, Jakarta Global Medica Communications Ph. : 021-30042089; Fax. : 021-30041027 E-mail : [email protected]

05 – 10 XVIII FIGO World Congress of Gynecology and Obstetrics

Kuala Lumpur Convention Center Ph. : +60 3 4252 9100 ; Fax.: +60 3 4257 1133 E-mail : [email protected] http://www.figo2006kl.com

10 – 13 28th World Congress of Internal Medicine (2006 WCIM)

Taipei International Convention Center Ph.: 886-2-2375-8068 ; Fax.: 886-2-2375-8072 http://www.icim2006-taipei.org.tw

13 – 15 7th Congress of Asia Pacific Society of Medical Virology

India Habitat Centre Ph. : +91-11-26594926 ; Fax.: +91-11-26588663 E-mail : [email protected] http://www.apcmv2006.com

16 – 19 World Menopause Day: Menopause and ageing Quality of life and sexuality

Hotel Borobudur, Jakarta Ph.: 021-570 5800 ext. 426/555 ; Fax.: 021-5705798 E-mail : [email protected]

16 – 19 The 6th Asian & Oceanian Epilepsy Congress Kuala Lumpur Ph. : +353 1 2059720 ; Fax.: +353 1 2056156 http://www.epilepsykualalumpur2006.org

18 – 19 The 2nd International Symposium for Healthy Travellers Jakarta Ph.: 021-30042089; Fax.: 021-30041027 E-mail: [email protected]

22 – 25 19th Indonsian Int’l Hospital Medical Pharmaceutical

Clinical Laboratories Equipment And Medicine Exhibition

Jakarta Convention Center Ph.: 021-458 45303, 458 45304 ; Fax.: 021-458 57833 E-mail: [email protected] http://www.hospital-expo.com

22 – 26 WFAS International Symposium of Acupuncture 2006

Sanur Paradise Plaza Hotel, Bali Ph.: 021-570 5800 ext. 428/420 ; Fax.: 021-570 5798 E-mail: [email protected] http://www.wfasbali2006.org

24 – 25 Kongres Nasional I PERKAPI Anti Aging: A New Challenge in Medicine

Jakarta Convention Center Ph.: 021-53677981, 53677982; Fax.: 021-53677983 E-mail: [email protected]

NOVEMBER

25 Seminar & Workshop

PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia): Restoring Youthful Hormone Level

Hotel Borobudur, Jakarta Phone : 021-729 0623 Fax.: 021-7289 5871

02 – 04 11th Asian Symposium on Rhinology Kuala Lumpur Ph.: 603-2093 0100 / 2092 5262; Fax.: 603-2093 0900 E-mail: [email protected]

DESEMBER

15 – 17 PIN PAPDI

Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Ph.: 021-3910294, 31931384, 3193808 pes. 6703 Fax.: 021-3148163 E-mail: [email protected]

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 8

MAKALAH

Aspek Bioetika

Penelitian Stem Cell

M. K. Tadjudin

Ketua Kelompok Kerja Stem Cell, Komisi Bioetika Nasional, Jakarta, Indonesia

PENGANTAR

Laporan tentang keberhasilan pengisolasian sel stem (stem cell ) manusia serta laporan tentang eksperimen fusi sel telur sapi yang telah dienukleasi dengan sel manusia telah menghangatkan kembali perdebatan tentang etika penelitian yang menggunakan sel embrio (mudigah) manusia dan kloning pada manusia. Berbagai teknologi baru telah memungkinkan berbagai cara untuk membuat embrio manusia seperti melalui transfer inti somatik, fusi sel, dan pembuatan hibrida manusia/bukan-manusia. Perlu diingat pula bahwa manipulasi embrio kemungkinan besar akan menyebabkan kematian embrio itu.

Pada tanggal 12 Pebruari 2004 sejumlah peneliti Korea telah mengumumkan di Seoul tentang pembuatan stem cell manusia pertama dalam laboratorium dengan transplantasi sel somatik yang kemudian ditarik kembali karena tuduhan manipulasi data atau sedikitnya perilaku tidak etis dari para peneliti. Temuan itu, jika benar, amat penting karena telah menunjukkan suatu cara untuk membuat stem cell dari sel somatik. Mereka telah membuktikan kemungkinan untuk membiak stem cell dari seseorang serta kemudian membuat sel atau jaringan yang secara genetika identik dengan donor sel tersebut. Hal itu juga mendorong sejumlah negara maju untuk menggiatkan penelitian stem cell dan pengklonan embrio guna pemakaian dalam pengobatan penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson. Kanada membolehkan penggunaan embrio sisa bayi tabung (BT) untuk penelitian stem cell. Swedia mendukung kegiatan pengklonan embrio untuk tujuan pengobatan. Di Inggris pihak swasta diperbolehkan membuat stem cell embrio. Singapura menanam modal dalam upaya penelitian stem cell embrio sebesar US$ 300 juta dengan mengembangkan Biopolis, suatu taman ilmu yang modern dengan tujuan khusus penelitian stem cell. Di Singapura juga telah didirikan suatu bank penyimpanan darah tali pusat.

Pemerintah federal Amerika Serikat melarang pendanaan penelitian yang menggunakan stem cell berasal dari embrio, namun tidak melarang penelitian itu sendiri. Hal itu menyebabkan penelitian dilakukan oleh pihak swasta tanpa

pengawasan yang baik (Spar, 2004). Di negara bagian Kalifornia, di bawah kepemimpinan gubernur Arnold Schwarzenegger, penelitian itu diperbolehkan dan dapat didanai dari anggaran pemerintah negara bagian Kalifornia. Yang menjadi pokok permasalahan adalah sumber stem cell tersebut.

Hal itu menimbulkan berbagai masalah etika seperti: 1. Apakah penelitian embrio manusia secara moral dapat

dipertanggungjawabkan ? 2. Apakah penelitian embrio yang menyebabkan kematian

embrio itu akan mendorong pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dan merupakan tindakan yang menunjukkan berkurangnya penghormatan terhadap mahluk hidup ?

3. Apakah penyalahgunaan dapat diketahui dan dikendalikan?

4. Apakah secara moral dapat dibedakan antara penelitian yang menggunakan embrio sisa proses bayi tabung dan penelitian khusus membuat embrio untuk digunakan, sehingga yang pertama dibolehkan tetapi yang ke dua dilarang ?

5. Apakah yang disebut embrio ?

JENIS STEM CELL

Suatu keputusan etika yang benar hanya dapat diambil dengan mengetahui dasar ilmiah proses yang dilakukan. Untuk dapat membahas aspek bioetika penelitian stem cell perlu dijelaskan bahwa ada berbagai jenis stem cell. Jika ditinjau dari asalnya maka stem cell dapat dibagi dalam stem cell embrio dan stem cell bukan embrio. Stem cell sesuai potensinya untuk berkembang lebih lanjut dapat dibagi dalam sel totipoten, pluripoten, dan multipoten. Aspek bioetika penggunaan berbagai jenis sel tersebut berbeda.

Banyak harapan yang timbul dari penelitian stem cell embrio, karena sel itu mempunyai potensi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel yang menyusun berbagai jenis organ tubuh. Sel demikian, yang juga disebut stem cell totipoten (SCT), ditemukan pada jaringan embrio dan pada jaringan tertentu makhluk dewasa seperti sumsum tulang merah dan sel

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 9

kelamin. Sel darah yang diperoleh dari tali pusat bayi baru lahir juga mempunyai kemampuan menjadi stem cell. Sementara ini sumber stem cell yang banyak dipakai untuk berbagai jenis penelitian berasal dari embrio tingkat blastosis. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan SCT dalam bidang kedokteran amat besar, namun sumber SCT tersebut merupakan suatu masalah etika yang perlu mendapat perhatian.

SCT dapat digunakan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit, mulai dari pembentukan sel pankreas baru untuk penderita diabetes, sel miokard (otot jantung) baru untuk penderita infark jantung dan gagal jantung, hingga sel neuron baru untuk penderita penyakit Alzheimer dan Parkinson. Permasalahannya adalah apakah sel embrio dapat dipakai sebagai sumber untuk SCT?

SCT terbaik didapat dari blastosis. Di negara-negara yang membolehkan melakukan BT, embrio yang sudah tidak dipakai setelah proses BT selesai dapat digunakan sebagai sumber stem cell, karena pada proses BT biasanya diperoleh blastosis yang melebihi keperluan. Blastosis yang berlebihan itu dapat disimpan beku (deepfreeze ) atau dibuang. Sebagian ilmuwan berpendapat ketimbang sisa blastosis dibuang lebih baik dipakai sebagai sumber SCT. Namun sebagian lain berpendapat bahwa walaupun tujuan memperoleh SCT baik, dalam proses perolehannya terjadi pemusnahan embrio manusia. Ada pula yang berpendapat bahwa jika kegiatan pengambilan SCT dari embrio diizinkan, hal itu akan membuka jalan ke arah hal yang bertentangan dengan kemanusiaan seperti ‘peternakan embrio’ (embryo farms ), pengklonan bayi, penggunaan janin untuk ‘suku cadang’, dan komersialisasi kehidupan manusia (Sandel, 2004). Tabel 1. Jenis stem cell dewasa/multipoten, asal dan derivatnya

Jenis stem cell Asal Sel/jaringan yang dihasilkan

Hematopoetik Sumsum tulang merah, darah tepi

Sumsum tulang, darah, sel limfo/hematopoetik

Mesenkim Sumsum tulang merah, darah tepi

Tulang, tulang rawan, tendon, lemak, lemak, otot, stroma sumsum, sel saraf

Sel saraf Sel ependim, astrosit SSP

Neuron, astrosit, oligodendrosit

Hati Di sekitar saluran Hering

Sel lonjong yang menghasilkan hepatosit dan sel duktus

Pankreas Dalam pulau Langerhans, sel nestin positif, sel lonjong, dan sel saluran

Sel beta pankreas

Otot skelet atau sel satelit

Serat otot Serat otot skelet

Keratinosit (kulit) Lapisan basal epidermis, folikel rambut

Epidermis dan folikel rambut

Sel epitel paru Sel basal trakhea dan sel mukus, sel Clara bronkiolus, pneumosit alveolus tipe II

Sel mukus dan sel bersilia, pneumosit tipe I dan II

Epitel usus Sel epitel yang berada di sekitar dasar kriptus

Sel Paneth, enterosit brush border , sel goblet yang mensekresikan mukus, sel enteroendokrin vilus

Sel totipoten mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi suatu organisme lengkap atau mempunyai potensi yang tidak tebatas. Sel totipoten hanya ditemukan pada perkembangan dini embrio sampai stadium blastosis (gumpalan sel). Pada stadium morula terbentuk inner cell mass, yang kemudian akan berkembang menjadi berbagai jaringan embrio dan tubuh, kecuali membentuk plasenta. Sel blastosis dapat berkembang menjadi organisme lengkap jika ditempatkan dalam rahim. Sel blastosis disebut sel pluripoten karena dapat berkembang lebih lanjut menjadi berbagai jaringan dan organ tubuh. Secara alami sel pluripoten yang telah berkembang dan melakukan spesialiasi disebut sel multipoten dan merupakan stem cell dewasa. Pada tabel 1 dapat dilihat beberapa contoh stem cell dewasa/multipoten yang dapat berkembang menjadi berbagai sel dan jaringan. Tantangan bagi para peneliti sebenarnya adalah bagaimana memanipulasi stem cell dewasa sehingga dapat berkembang menghasilkan sel atau produk yang diinginkan yang dapat digunakan untuk pengobatan.

Dewasa ini sudah ada beberapa peneliti yang melaporkan suatu cara memperoleh ’embrio yang etis’, a.l. dengan cara membuat embrio partenogenetik dan melalui ’transfer inti yang diubah’ (altered nuclear transfer), (The President’s Council on Bioethics, 2005) yang disebut juga sebagai pembuatan ’embrio yang etis’. Pembentukan embrio partenogenetik dilakukan dengan penyuntikan PLC-zeta (suatu protein sperma) pada sel telur. PLC-zeta memicu proses fertilisasi dan sel telur mulai membelah. Pembelahan sel telur itu hanya dapat berkembang sampai stadium blastosis dan stem cell embrio kemudian dapat dipanen. Pada ’transfer inti yang diubah’ dilakukan transfer inti dengan DNA yang sudah diubah sehingga hasil fertilisasi tidak dapat berkembang menjadi embrio atau fetus tetapi terhenti pada pada stadium blastosis. Menurut pendukung gagasan ini gumpalan sel yang terbentuk tidak dapat disebut blastosis atau embrio karena tidak sempurna.

Nature advance online publication pada tanggal 23 Agustus 2006 memuat laporan Klimanskaya dkk. (2006) yang memberi secercah harapan kepada para peneliti stem cell. Mereka menulis tentang pembuatan galur stem cell yang berasal dari salah satu sel blastosis stadium 8 sel. Pada IVF jika ada kecurigaan kelainan genetika sering dilakukan pengambilan salah satu sel pada stadium blastosis 8 sel untuk dilakukan pemeriksaan genetika. Jika tidak ada kelainan, maka blastosis yang tinggal 7 sel kemudian ditanam ke dalam rahim dan umumnya berkembang normal.

ISU BIOETIKA DALAM PENELITIAN DAN PENGGUNAAN STEM CELL 1. Isu utama penelitian dan penggunaan stem cell adalah perihal penggunaan stem cell embrio terutama perihal sumber sel tersebut yaitu embrio. Sumber embrio adalah hasil abortus, zigot sisa IVF, dan hasil pengklonan.

Pengklonan embrio manusia untuk memperoleh stem cell merupakan isu yang sangat menimbulkan kontroversi. Isu ini berhubungan dengan isu ’awal kehidupan’ dan penghormatan terhadap kehidupan. Pengklonan embrio manusia untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 200610

memperoleh stem cell menimbulkan kontroversi karena berhubungan dengan pengklonan manusia atau pengklonan reproduksi yang ditentang oleh semua agama. 2. Dalam proses pemanenan stem cell embrio terjadi kerusakan pada embrio yang menyebabkan embrio tersebut akan mati. Pandangan bahwa embrio mempunyai status moral yang sama dengan manusia menyebabkan hal tersebut sulit diterima, sehingga membuat embrio manusia untuk tujuan penelitian merupakan hal yang tidak dapat diterima. 3. Pengambilan sel dari blastosis 8 sel merupakan suatu alternatif jika kemungkinan blastosis mati dapat diterima sebagai bukan pelanggaran etika. Aspek etika lain dari cara ini adalah bahwa sel yang diambil dari blastosis 8 sel merupakan suatu sel totipoten yang berpotensi menjadi manusia. Beberapa peneliti mengusulkan untuk membiak sel yang diambil untuk diagnostik kemudian baru dilakukan berbagai uji yang diperlukan. Kesulitan cara ini adalah tenggang waktu antara pengambilan sel dan hasil uji menjadi lebih lama dan dapat mempengaruhi keberhasilan penanaman blastosis. 4. Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio harus diperlakukan sebagai manusia atau sebagai sesuatu yang berpotensi sebagai manusia atau sebagai jaringan hidup seperti jaringan tubuh lainnya. Di sini perlu kejelasan antara apa yang dimaksud dengan hidup dan kehidupan. Sel tubuh manusia semuanya hidup tetapi apakah dapat dianggap sebagai kehidupan. Ditinjau dari sudut biologi tidak jelas apakah embrio yang hidup dapat dianggap sebagai kehidupan.

Pandangan yang ’moderat’ menganggap bahwa suatu embrio berhak mendapat penghormatan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin tua umur embrio semakin tinggi pula tingkat penghormatan yang harus diberikan. Pandangan yang ’liberal’ menganggap embrio pada stadium blastosis hanya sebagai suatu ’gumpalan sel’ dan belum merupakan ’manusia’ sehingga dapat dipakai untuk penelitian termasuk untuk melakukan pengklonan untuk pengobatan (therapeutic cloning). Sebaliknya pandangan yang ’konservatif’ menganggap blastosis sebagai mahluk hidup. 5. Materi biologi manusia yang diperoleh dari biopsi dan ekstirpasi selama pembedahan sudah lama dipakai untuk berbagai jenis penelitian demi kemajuan ilmu kedokteran dan kemaslahatan manusia. Hal itu dapat diterima oleh semua pihak sejauh donor tidak dirugikan dan memberi persetujuan (informed consent). 6. Penggunaan stem cell yang berasal dari kadaver erat berhubungan dengan penerimaan masyarakat perihal abortus. Jika hal ini akan dilakukan maka diperlukan dua persetujuan, y.i. persetujuan untuk abortus dan persetujuan untuk menggunakan hasil abortus untuk penelitian. Kedua persetujuan itu harus diberikan terpisah dan penggunaan hasil abortus tidak boleh mempengaruhi keputusan untuk melakukan abortus dan sebaliknya. 7. Penggunaan stem cell yang berasal dari surplus zigot pembuatan bayi tabung juga menimbulkan kontroversi. Pendapat yang moderat mengatakan ketimbang surplus zigot itu dibuang, sebaiknya dipakai saja untuk penelitian stem cell. Sebaliknya ada pula yang beranggapan sisa itu dipelihara

sebaik mungkin sampai zigot itu mati sendiri. Jika zigot itu akan digunakan untuk penelitian stem cell, seperti pada penggunaan sisa abortus, perlu dua persetujuan, yaitu untuk melakukan fertilisasi in vitro dan untuk melakukan penelitian pada zigot yang tidak terpakai lagi. 8. Upaya pembuatan ’embrio etis’ perlu kajian ilmiah dan etika yang lebih mendalam. Hal ini menyangkut juga definisi dari embrio. 9. Salah satu cara untuk menghindari masalah etika penggunaan embrio manusia adalah dengan eksperimen pengklonan lintas spesies. Teknologi masih dikembangkan dan belum banyak kajian baik dari segi ilmiah maupun aspek etika masalah ini. Saya pribadi dapat menyetujui cara ini jika tujuan atau niat bukan untuk memperoleh organisme hibrida tetapi untuk untuk memperoleh stem cell blastosis yang akan terbentuk. Masalah ini perlu dibahas lebih lanjut karena bagi orang Islam misalnya apakah halal untuk menggunakan sel dari hewan seperti babi untuk memperoleh suatu klon? 10. Manfaat bagi donor yang menghasilkan suatu galur stem cell. Donor harus mendapat manfaat dari hasil galur itu.

ISU PERUNDANGAN DALAM PENELITIAN STEM CELL 1. Apakah diperlukan peraturan perundangan untuk mengatur penelitian dan komersialisasi hasil penelitian stem cell ? Mengingat demikian banyaknya permasalahan yang dapat timbul dari penelitian stem cell maka peraturan perundangan diperlukan. Peraturan ini ada yang dibuat secara nasional dan masing-masing lembaga penelitian perlu pula membuat peraturan intern. 2. Apakah perlu dibentuk suatu badan pengawas penelitian stem cell ? Peraturan tanpa pengawasan tidak berguna, oleh karena itu perlu pengawasan tentang penelitian stem cell. Mengingat lagi demikian banyaknya permasalahan yang dapat timbul dari penelitian stem cell maka pengawasan sebaiknya dilakukan oleh suatu badan independen yang terdiri dari para ilmuwan, ahli bioetika, agamawan, dan awam. Badan pengawasan selain dibuat secara nasional juga perlu diadakan di masing-masing lembaga yang melakukan penelitian stem cell. 3. Sosialisasi dan pendidikan masyarakat tentang stem cell. Keresahan dalam masyarakat dapat timbul akibat ketidaktahuan, oleh karena itu perlu ada sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat perihal penelitian stem cell. Sosialisasi pada masyarakat perlu dilakukan secara jujur karena ada kecenderungan untuk melaporkan keberhasilan dan menyembunyikan kegagalan (Adams, 2006).

KESIMPULAN 1. Penelitian stem cell demikian pula aspek etikanya perlu

membedakan antara penelitian yang menggunakan stem cell embrio, stem cell yang berasal dari blastosis 8 sel, dan penelitian yang menggunakan stem cell dewasa.

2. Penelitian yang menggunakan stem cell dewasa dapat

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 11

dilakukan dengan persyaratan yang lazim untuk penelitian biomedik.

3. Pengklonan untuk menghasilkan embrio yang akan digunakan untuk penelitian stem cell dari segi etika sulit diterima, sedangkan upaya pembuatan ’embrio etis’ perlu kajian ilmiah dan etika lebih lanjut.

4. Penelitian yang menggunakan jaringan yang berasal dari kadaver abortus dan sisa zigot IVF perlu dua persetujuan, yaitu persetujuan untuk abortus dan persetujuan untuk menggunakan hasil abortus sebagai sumber stem cell.

5. Upaya pembuatan ’embrio etis’ perlu kajian etika yang lebih mendalam. Hal ini menyangkut juga definisi dari embrio dan hidup serta kehidupan.

6. Pengklonan lintas spesies untuk memperoleh blastosis yang menghasilkan stem cell memerlukan kajian ilmiah dan etika yang lebih mendalam.

7. Peraturan perundangan dan badan pengawas penelitian stem cell perlu diadakan pada tingkat nasional dan tingkat lembaga penelitan.

8. Tantangan bagi para peneliti adalah bagaimana membuat stem cell dewasa yang multipoten menjadi sel yang pluripoten.

KEPUSTAKAAN 1. Adams A. Blood-forming stem cells fail to repair heart muscle in

Stanford study. Stanford School of Medicine. http://www.mednews. stanford.edu diakses 18 Agustus 2006.

2. Klimanskaya I, Chung Y, Becker S, Lu SJ, Lanza R. Human embryonic stem cell lines derived from single blastomeres. Nature advance online publication 23 Agustus 2006.

3. http://www.nature.com/nature/journal/vaop/ncurren/abs/nature05142.hml. diakses 24 Agustus 2006.

4. Sandel MJ. Embryo ethics – The moral logic of stem cell research. N. Engl. J. Med. 2004;351:207-209,

5. Spar D. The business of stem cells. N. Engl. J. Med. 2004;351:211-213, 6. The President’s Council on Bioethics. Alternative sources of human

pluripotent stem cells. Washington DC, 2005. 7. http://www.bioethics.gov/reports/white_paper/alternative_sources_white_

paper.pdf diakses 24 Agustus 2006.

No word is ill spoken if it be not ill taken

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 12

ABSTRAK

Aplikasi Terapi Stem Cell pada Infark Miokard Akut

R W M Kaligis

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

Infark Miokard tercatat sebagai penyebab utama gagal jantung kongestif dan kematian di negara-negara industri maju. Sampai saat ini belum ada terapi yang secara tuntas bisa mencegah progresifitas remodeling ventrikel dan gagal jantung kongestif.

Perhatian dan harapan saat ini tertuju pada terapi sel, yaitu suatu bentuk terapi dengan menggunakan stem cell. Stem cell adalah sel yang belum berdiferensiasi dan diketahui memiliki dua karakteristik, yaitu kemampuan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dan kemampuan untuk memperbaharui dirinya sendiri. Prinsip biologis yang mendasari terapi stem cell adalah diferensiasi arahan jaringan.Sebagai contoh, stem cell dewasa yang diisolasi dari jaringan hati jika diinjeksi kembali ke dalam jaringan hati akan berubah menjadi hepatosit. Namun jika sel yang sama ditransplantasi ke dalam jaringan miokard maka akan menjadi miosit. Regenerasi miokard dengan transplantasi stem cell kini menjadi suatu model pengobatan yang diharapkan dapat memperbaiki fungsi ventrikel yang buruk dan gagal jantung kongestif pasca suatu kejadian infark miokard akut. Berbagai penelitian klinis yang dipublikasikan belum lama ini menunjukkan bahwa terapi stem cell memang layak dilakukan dan bermanfaat dalam mencegah remodeling ventrikel dan memperbaiki gagal jantung kongestif pada penderita infark miokard akut. Namun demikian ada juga beberapa penelitian yang gagal membuktikan manfaat tersebut. Karena itu masih diperlukan penelitian-penelitian lain yang lebih besar di masa depan dan sebaiknya dilakukan secara acak dan terkontrol agar dapat memastikan besarnya manfaat terapi stem cell.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 13

EXTENDED ABSTRACT

Stem Cell Therapy in

Hematologic Malignancies

A. Harryanto Reksodiputro

Hematologic-Medical Oncology Division, Dept. of Internal Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

In recent years stem cells has become the subject of

increasing interest because their utility in numerous biomedical application. Stem cells are capable of renew in themselves. They can be continuously cultured in their undifferentiated state. These undifferentiated cells can be cultured into more specialized cells such as bone marrow, heart, liver, pancreatic, blood vessel, and nerve cells. Therefore they can be utilized in vitro to replace damaged cells and/or to test drugs or chemicals. The ability to differentiate is the ability to develop into other cell types. A stem cell can develop into cells from all three germinal layers.

Tissue engineering is a developing field that combines biology and engineering in order to create a biological method which can replace or restore malfunctioning tissues. Cells from bone marrow or peripheral blood has been cultured in the laboratory and selected subpopulation of these cells are then used to treat malfunctioning tissue/organs.

Adult patients suffering from coronary artery and peripheral vascular diseases continously need small-diameter vascular graft. In 1986, Science published a report by Weinberg and Bell who were among the first scientists able to construct a vessel in the laboratory using collagen and vascular cells which resembled a normal vessel in structure as well as in function. In 1999 Niklason demonstrated the feasibility of creating small arteries in the laboratory that mimics physiologically pulsatile blood flow and pressure.

Tissue engineering in the cardiovascular system may offer several advantages over the current treatment. Tissue-engineered structures contain living cells so that it has the potential to grow and remodel over the time and might function for decades or even a lifetime. Since the cells are mostly derived from the patient who received the implant there should be no rejection by the immune system; neither thrombus formation.

Pittengter (1999) published a technique for isolation of pure mesenchymal stem cells (MSC) which have the potential to differentiate into fat, bone, cartilage, muscle as well as cardiac cells. Hoerstrup has described the use of MSC from bone marrow to create heart valves.

Guleserian et al, reported in 2001 to have been able to isolate endothelial progenitor cells (EPC) from human umbilical cord, and demonstrated these cells could grow in culture in response to vascular endothelial growth factor (VEGF) and basic fibroblast growth factor (bFGF). In 2002 Hoerstrup reported that EPCs isolated from human umbilical cord have cellular, extracellular matrix, and biochemical properties similar to native tissue.

Bone marrow stem cells can become brain cells, liver cells precursors, heart cells, skeletal as well as smooth muscle.

Harvesting umbilical cord blood poses no risk to mother or child, whereas a bone marrow donor must undergo anaesthesia and is exposed to the risk of infection. Because the stem cells in those in the bone marrow are more primitive from adult donors, they carry much lower incidence of GVHD.

This makes it possible to perform transplant with less than perfect matches of type.

Many regenerative therapies are being developed which use the patient’s own stem cell. One of the most common and promising is the use of stem cell for heart repair ; adult patients who have banked cord blood would have a ready source of stem cells regenerative medicine. On the other hand, they also have a rich source of stem cells in their bone marrow. When parents bank the cord blood from a new baby, in the near term they are most likely providing medical insurance fpr the child’s siblings. Only in the long term when the donor grows up will they have value for self-use.

The diseases in which stem cells has been tried most widely are bone marrow, heart disease, diabetes, and Parkinson’s disease. Bone marrow stem cells either taken from the peripheral blood or from the bone marrow have been widely used and reported.

Only bone marrow transplantations have been performed

in Indonesia in around 1989-1990, one in Yogyakarta, one in Semarang, one in Bandung and four in Jakarta. Of the four bone marrow transplantation performed in the Jakarta, one is done with stem cells that is mobilized from the bone marrow into the peripheral blood. Financial condition is the main

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 14

problem for bone marrow transplantation in Indonesia. Perhaps the best-known stem cell therapy to date is the

bone marrow transplantation, which is used to treat leukemia and other types of cancer, as well as various blood disorders.

Leukemia is a cancer of white blood cells, or leukocytes. Like other blood cells, leukocytes are made in the bone marrow through a process that begins with multipotent adult stem cells. Mature leukocytes are released into the bloodstream, where they work to fight off infections in our bodies.

Leukemia results when leukocytes begin to grow and function abnormally, becoming cancerous. These abnormal cells cannot fight off infection, and they interfere with the functions of other organs.

Successful treatment for leukemia depends on getting rid of all the abnormal leukocytes in the patient, allowing healthy ones to grow in their place. One way to do this is through chemotherapy, which uses potent drugs to target and kill the abnormal cells. When chemotherapy alone can't eliminate them all, physicians sometimes turn to bone marrow transplants.

In a bone marrow transplant, the patient's bone marrow stem cells are replaced with those from a healthy, matching donor. To do this, all of the patient's existing bone marrow and abnormal leukocytes are first killed using a combination of chemotherapy and radiation. Next, a sample of donor bone marrow containing healthy stem cells is introduced into the patient's bloodstream.

If the transplant is successful, the stem cells will migrate into the patient's bone marrow and begin producing new, healthy leukocytes to replace the abnormal cells.

Bone marrow transplantation (BMT) has been used to treat lymphoma for over ten years, much of that time on a trial basis but now much more in the mainstream. Sometimes lymphoma becomes resistant to treatment with radiation therapy or chemotherapy. Very high doses of chemotherapy may then be used to treat the cancer. Because the high doses of

chemotherapy can destroy the patient’s bone marrow, marrow is taken from the bones before treatment. The marrow is then frozen, and the patient is given high-dose chemotherapy with or without radiation therapy to treat the cancer. The marrow that was taken out is then thawed and given back through a needle in a vein to replace the marrow that was destroyed. This type of transplant is called an autologous transplant. If the marrow given is taken from another person, the transplant is called an allogeneic transplant.

REFERENCES 1. Fraser JK, Schreiber RE, Zuk PA, Hedrick MH. Adult stem cell therapy

for the Heart, Intl J. Biochem. CellBiol 2004;36: 658-666. 2. Seaberg RM, Smukler SR, Kleefer TJ, EnikolopovG, Asghar Z, et al.

Clonal identification of multipotent precursors from adult mouse pancreas that generate neural and pancreatic lineages. Nat Biotechnol 2004;22: 1115-1124.

3. Nakajima-Nagata N, Sakurai T, Mitakai T, Yamaot E et al. In vitro induction of adult hepatic progenitor cells into insulin producing cellls. Biocehem Biophys Res Common. 2004; 318, 625-630.

4. Nosrat IV, Smith CA, Mullaly P, Olson L, Nosrat CA. Dental pulp cells provide neutrophic support for dopaminergic neurons and differentiate into neurons in vitro, implications for tissue engineering and repair in the nervous system, Eur J of Neurosci. 2004; 19: 2388-2398.

5. Julio CD, Gabriela GC, Thiede M, Storm S, Miki T. et al. Use and application of stem cells in toxicology. Science 2004; 79.214-223.

6. Sophie BP, Charge,.Rudnicki MA. Cellular and molecular regulation of muscle regeneration. Am. Phys. Soc. 2004; 84: 209-238.

7. International Society for Stem Cell Research. Stem Cell Primer. Available at http://www.jsscr.or/public/index.htm last accessed May 18th 2006.

8. Gravy Y, Turgeman G, Lebergal M, Palled G, et al. Stem Cells as vehicles for orthopedic gene therapy. Gene Therapy 2004; 11: 417-426.

9. Stem Cell Research Foundation. What are stem cells ?. Available at http://www.stemcellresearchfoundation.org

10. National Institutes of Health. Stem Cell Information. Available at http://www.stemcells.nih.gov/info/basics/basic3.asp, last accessed May 18th 2005.

Hope is the only good which is common to all men (Thales)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 15

ABSTRAK

Application of Stem Cell Therapy

in Parkinson Disease

Ismail Setyopranoto

Stroke Unit, Department of Neurology, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University/ Dr Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

Embryonic stem (ES) cells have been suggested as candidate therapeutic tools for cell replacement therapy in neurodegenerative disorders. However, limitations for the use of these cells lie in our restricted knowledge on the molecular mechanisms involved in their specialized differentiation and in the risk of tumor formation.

Although most cells of the body, such as muscle cells, are committed to fulfilling a particular function, a stem cell is uncommitted until it receives a signal to develop into a specialised cell. Stem cells can be obtained from embryonic, foetal and adult tissues. Based on their differentiation potential, stem cells can be: (i) Pluripotent, meaning that they can individually give rise to all types of cells that

develop from the germ layers (endoderm, mesoderm and ectoderm) and germ cells,

(ii) Totipotent, cells that have the capability of pluripotent cells plus the ability to give rise to placental tissue,

(iii) Unipotent, can give rise to only one type of differentiated cell, and (iv) Multipotent, a state between unipotent and pluripotent.

Parkinson’s Disease exemplifies a type of disorder that could prove miraculously tractable to stem cell therapies. Even early studies that injected crude human fetal tissue extracts (presumably containing stem cells) appear to have had some long-term benefits, although those results are continually re-evaluated. Unfortunately, this approach has daunting drawbacks, including how much tissue is needed for each treatment and a lack of uniformity in tissue extracts used for each individual treatment.

There are parallels between Parkinson’s and diabetes, that appears to respond to stem cell therapies in a mouse model. Although molecular mechanisms are not completely understood, in the initial progression of diabetes only islet cells die, and therefore only one kind of cell needs regeneration. In research in mice, scientists took cells from the pancreas and grew them in culture. Unable to characterize stem cells visually, they simply took all the cultured cells and transplanted them. The mice seemed to grow normal islet cells and their diabetic condition seemed to reverse (long-term results are pending). An islet cell transplant protocol is being developed for diabetes, but—as in Parkinson’s—this approach is limited by the availability and consistency of the cells.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 16

MAKALAH

Terapi Sel Stem

pada Cedera Medula Spinalis

Mohammad Saiful Islam

Bagian / SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Indonesia

INTRODUKSI

Cedera medula spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia.

Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian (insidens) CMS sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Belum termasuk dalam data tersebut jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut. ETIOLOGI

CMS terutama disebabkan oleh trauma. Selain itu, CMS dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, misalnya arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular. CMS traumatik lebih sering terjadi di daerah servikal.

Diantara berbagai penyebab trauma spinal, yang tersering dikemukakan adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, tembakan senapan, serta bencana alam, misalnya gempa bumi. PATOFISIOLOGI

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung. Selain itu, trauma dapat pula menimbulkan fraktur dan instabilitas tulang belakang sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara tidak langsung.

Cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah yang terjadi beberapa saat setelah trauma. Iskemia mengakibatkan pelepasan eksitotoksin, terutama glutamat, yang diikuti influks kalsium dan pembentukan

radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis. Semua ini mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula spinalis yang terkena. Deplesi ATP (adenosin trifosfat) akibat iskemia akan menimbulkan kerusakan mitokondria. Selanjutnya, pelepasan sitokrom c akan mengaktivasi ensim kaspase yang dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat) sehingga mengakibatkan kematian sel neuron karena apoptosis. Edema yang terjadi pada daerah iskemik akan memperparah kerusakan sel neuron.

Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan parut yang terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia. Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen pada CMS. GAMBARAN KLINIS

CMS akut dapat mengakibatkan renjatan spinal (spinal shock). Renjatan spinal (RS) merupakan sindrom klinik yang sering dijumpai pada sebagian besar kasus CMS di daerah servikal dan torakal. RS ditandai oleh adanya gangguan menyeluruh fungsi saraf somatomotorik, somatosensorik, dan otonomik simpatik. Gangguan somatik berupa paralisis flaksid, hilangnya refleks kulit dan tendon, serta anastesi sampai setinggi distribusi segmental medula spinalis yang terganggu. Sedangkan gangguan otonomik berupa hipotensi sistemik, bradikardia, dan hiperemia pada kulit. RS dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Semakin hebat CMS yang terjadi, semakin lama dan semakin hebat pula RS yang terjadi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 17

Sebagian besar CMS traumatik terjadi di daerah servikal. Akan tetapi yang paling sering mengakibatkan cedera berat adalah trauma di daerah torakal. Hal ini berkaitan dengan penampang melintang kanalis spinalis di daerah torakal yang lebih sempit dibanding servikal. CMS di segmen torakal dapat mengakibatkan paraplegia, disertai kelemahan otot interkostal yang dapat mengganggu kemampuan inspirasi dan ekspirasi. Semakin tinggi segmen medula spinalis yang terkena, semakin berat pula gangguan fungsi respirasi yang terjadi. Cedera setinggi segmen servikal (C4-C8) dapat mengakibatkan tetraplegia dan kelemahan otot interkostal yang lebih berat, sehingga otot diafragma harus bekerja lebih keras. Cedera servikal di atas segmen C4 dapat mengakibatkan pentaplegia, yaitu tetraplegia disertai kelumpuhan otot diafragma dan otot leher. Pada keadaan terakhir ini, diperlukan ventilator untuk membantu kelangsungan hidup penderita. TERAPI

Terapi umum CMS akut meliputi upaya dalam memelihara fungsi organ untuk mencegah berbagai penyulit pada sistem pernafasan, dan kardiovaskular, serta berbagai prosedur penanganan trauma.

Terapi farmakologik pada CMS akut, saat ini, terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya cedera sekunder yang dapat mengakibatkan kematian sel neuron. Untuk mencegah terjadinya edema, dianjurkan pemberian metilprednisolon dosis tinggi yang dimulai dalam rentang waktu kurang dari 8 jam setelah terjadinya cedera spinal akut. Meskipun begitu, prosedur ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Dengan prosedur ini, harus diwaspadai timbulnya pneumonia, sepsis, dan kematian akibat penyulit pada sistem pernafasan.

Gangliosida GM1, suatu senyawa kompleks karbohidrat yang merupakan unsur pokok penyusun membran sel neuron, telah diteliti pula untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan sel neuron pada CMS. Namun sampai saat ini, pemakaian obat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Hasil yang sama juga diperoleh pada pemberian obat ini segera setelah disuntikkan metilprednisolon dosis tinggi.

Untuk terapi farmakologik di masa mendatang, saat ini sedang dilakukan penelitian beberapa obat yang dapat menghambat pembentukan jaringan parut oleh sel glia. Beberapa jenis obat yang diharapkan dapat menghambat pertumbuhan sel glia, antara lain antagonis reseptor Nogo, inhibitor Rho kinase, dan antagonis proteoglikans kondroitin sulfat. Reseptor Nogo (NogoR) diekspresikan oleh sel neuron untuk merangsang pertumbuhan sel glia. NogoR terdapat pula pada permukaan akson, untuk menghambat pertumbuhan akson melalui aktivasi Rho kinase. Sedangkan proteoglikans kondroitin sulfat merupakan inhibitor yang kuat terhadap pertumbuhan akson.

Beberapa faktor pertumbuhan, terutama golongan neurotrofin, yang dapat mempengaruhi NogoR, diteliti pula untuk merangsang pertumbuhan akson. Karena pertumbuhan akson juga dipacu oleh kadar cAMP (siklik adenosin monofosfat) yang tinggi, diduga inhibitor PDE (fosfodiesterase) dapat pula digunakan untuk pengobatan CMS.

Terapi Gen Terapi gen menggunakan fragmen DNA untuk

memperbaiki gen yang mengalami kerusakan atau cacat , secara ex vivo maupun in vivo, dengan menggunakan vektor virus. Beberapa penelitian dengan menggunakan vektor adenovirus (AD) maupun herpes simpleks (HSV) mendapatkan peningkatan ekspresi bcl2 dan HSP72, sehingga mampu mencegah kematian sel neuron karena apoptosis. Peneliti lain mendapatkan berkurangnya nekrosis sel neuron karena iskemia, setelah transfeksi dengan gen antagonis reseptor interleukin-1beta (IL-1β).

Meskipun ada penelitian klinik dengan terapi gen yang mendapatkan hasil yang baik, namun masih perlu waktu yang panjang untuk penerapan terapi gen yang aman dan efektif untuk CMS. Terapi sel stem

Sel stem memiliki kemampuan klonogenik dan memperbaiki diri, serta berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel (totipoten).

Sel stem embrionik (SSE) berasal dari sekumpulan sel di bagian dalam dari embrio mamalia pada awal konsepsi (stadium blastosist). Dalam pembiakan, sebagian sel ini tumbuh menjadi prekursor neural. Prekursor neural yang ditransplantasikan pada hewan percobaan yang mengalami neurodegenerasi apoptotik, akan bermigrasi ke daerah yang mengalami degenerasi.. Selanjutnya, sel tersebut akan berdiferensiasi menjadi sel neuron dan menggantikan fungsi sel neuron yang mengalami degenerasi.

Penggunaan SSE yang berasal dari janin manusia saat ini menghadapi banyak tantangan, karena bertentangan dengan etika dan norma agama.

Pada manusia dewasa, saat ini telah diketahui keberadaan sel stem endogen, yaitu sel stem saraf (SSS) atau neuroblast. SSS pada orang dewasa hanya terdapat dalam jumlah sedikit, karena sebagian besar telah mengalami proliferasi dan diferensiasi pada masa tumbuh kembang. SSS terutama ditemukan di otak, yaitu di daerah subventrikuler, periventrikularis lateralis, girus dentatus, hipokampus, dan substansia alba subkortikal. Selain itu, populasi SSS juga ditemukan di sekitar kanalis sentralis medula spinalis. Jika terjadi kerusakan sel neuron, seperti yang terjadi pada CMS, neuroblast di dekatnya akan bermigrasi ke daerah lesi. Selanjutnya, terjadi neurogenesis, yaitu proliferasi dan diferensiasi neuroblast menjadi sel neuron.

Pada hewan percobaan yang mengalami CMS di bagian dorsal, dijumpai peningkatan jumlah sel progenitor di sekitar kanalis sentralis, dan meluas ke bagian dorsal medula spinalis yang mengalami cedera.

Beberapa faktor pertumbuhan, misalnya EGF (epidermal growth factor), insuline-like growth factor-I, FGF-2 (fibroblast growth factor-2), ikut berperan secara langsung dalam proses neurogenesis. Pada beberapa penelitian dengan menggunakan hewan percobaan telah dibuktikan pula adanya peningkatan berbagai faktor pertumbuhan tersebut.

Pemberian BMPs (bone morphogenetic proteins), suatu PGF (polypeptide growth factor), akan meningkatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 18

diferensiasi neuroblast menjadi astrosit. Sedangkan antagonis BMPs, misalnya noggin, chordin, follistatin, cerberus, dan nr3, dapat menginduksi terjadinya diferensiasi neuronal.

Aktivasi lintasan Shh (sonic hedgehog) juga berperan penting dalam memacu proliferasi dan diferensiasi neuroblast. Penambahan Shh pada tikus dewasa yang mengalami CMS akibat kontusio spinal, menunjukkan perbaikan fungsi saraf dan konduksi aksonal yang lebih baik dibandingkan dengan hewan kontrol.

Induser SSS yang lain adalah asam retinoat (AR), suatu derivat vitamin A yang aktif secara biologik. Pada awal fase embrional, AR dihasilkan oleh sel mesoderm di medula spinalis melalui aktivasi ensim Raldh2. Melalui reseptor AR, terjadi induksi proliferasi dan diferensiasi neuronal.

Sel stem dewasa lainnya adalah sel stem mesenchymal (SSM). SSM adalah sel stem non-hematopoietik yang berasal dari sumsum tulang darah tepi, yang dapat berdiferensiasi menjadi sel tulang, kartilago, tendon, jaringan lemak, dan stroma sumsum tulang. Selain itu, SSM dapat pula berdiferensiasi menjadi sel saraf.

Implantasi lokal SSM telah dilakukan pada hewan percobaan yang mengalami kerusakan tulang, baik secara ex vivo maupun in vivo. Transplantasi sistemik pada anak yang mengalami osteogenesis imperfekta pun pernah dilakukan, akan tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pernah pula dilakukan kombinasi terapi sel stem dan terapi genetik dengan cara modifikasi genetik pada SSM. Dengan cara ini, diharapkan SSM akan lebih mampu mengekspresikan beberapa faktor yang menginduksi proliferasi dan diferensiasi dalam jangka waktu lebih lama.

Terapi sel stem sampai saat ini masih dalam fase uji coba pada hewan. Untuk aplikasi klinik masih diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang mekanisme molekuler dan genetik yang berkaitan dengan proses neurogenesis. Namun terapi sel stem mempunyai potensi pengobatan yang menjanjikan kesembuhan dan harapan bagi para penderita CMS.

KEPUSTAKAAN 1. Bambakidis NC et al. Endogenous Stem Cell Proliferation After Central

Nervous System Injury. Alternative Therapeutic Options. Neurosurg Focus 2005; 19(3)

2. Bronner-Fraser M, Hatten MB Neurogenesis and Migration. In Squire LR et al (eds). Fundamental Neuroscience 2nd ed. Academic Press, Amsterdam, 2003. 391-416.

3. Cummings BJ et al. Human Neural Stem Cell Differentiate and Promote Locomotor Recovery in Spinal Cord-Injured Mice. PNAS 2005; 102(39):14069-74.

4. Han SSW, Fischer I. Neural Stem Cell and Gene Therapy: Prospects for Repairing the Injured Spinal Cord. JAMA 2000; 283: 2300-1.

5. Harris WA, Hartenstein V. Cellular Determination. In Squire LR et al (eds). Fundamental Neuroscience 2nd ed. Amsterdam: Academic Press, 2003. pp.417-48.

6. Hefti FF. Drug Discovery for Nervous System Diseases. Wiley-Interscience, , California: John Wiley & Sons Inc2005. pp 205-24.

7. Hof PR, Trapp BD, Vellis JD, Claudio L, Colman DR. Cellular Components of Nervous Tissue. In Squire LR et al (eds). Fundamental Neuroscience 2nd ed. Amsterdam :Academic Press. 2003

8. Karimi-Abdolrezaee S et al. Delayed Transplantation of Adult Neural Precursor Cells Promotes Remyelination and Functional Neurological Recovery after Spinal Cord Injury. J. Neurosci. 2006; 26(13):3377-89.

9. Kassem M, Kristiansen M, Abdallah BM. Mesenchymal Stem Cell: Cell Biology and Potential Use in Therapy. Basic & Clin. Pharmacol. & Toxicol. 2004; 95:209-14.

10. Keirstead HS et al. Human Embryonic Stem Cell-Derived Oligodendrocyte Progenitor Cell Transplants Remyelinate and Restore Locomotion after Spinal Cord Injury. J. Neurosci. 2005;25(19): 4694-4705.

11. Korbling M, Estrov Z. Adult Stem Cells for Tissue Repair – A New Therapeutic Concept? N Engl J Med 2003; 349:570-82.

12. Lumsden A, Kintner C Neural Induction and Pattern Formation. In Squire LR et al (eds). Fundamental Neuroscience 2nd ed. Amsterdam: Academic Press, 2003. pp. 363-390.

13. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publ. Div., 2005.

14. Sanai N, Alvarez-Buylla A, Berger MS. Neural Stem Cell and the Origin of Glioma. N Engl J Med 2005; 353: 811-22.

15. Santiago P, Fessler RG. Spinal Cord Trauma. In Bradley WG et al (eds). Neurology in Clinical Practice 4th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann, 2004. pp 1149-78.

16. Teng YD et al. Functional Recovery Following Traumatic Spinal Cord Injury Mediated by A Unique Polymer Scaffold Seeded With Neural Stem Cells. PNAS 2001; 99(5): 3024-9.

A careless master makes a negligent servant

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 19

ABSTRAK

Aplikasi Terapi Stem Cell

pada Luka Bakar

Nurhadi Ibrahim

Departemen Ilmu Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Luka bakar akan menimbulkan kelainan fisiologis dan psikologis. Luka bakar yang luas memerlukan penanganan khusus dan terintegrasi untuk mencegah timbulnya berbagai komplikasi yang berat bahkan sampai menimbulkan kematian. Penyebab utama kematian pada luka bakar yang luas adalah sepsis yang berkaitan dengan luka terbuka yang luas. Penutupan atau penyembuhan luka terbuka yang cepat dan permanen merupakan faktor yang paling penting untuk menurunkan risiko timbulnya komplikasi yang berat.

Penyembuhan luka merupakan proses biologis yang dinamis meliputi berbagai mekanisme yang kompleks yaitu; berbagai fase pembekuan darah, proses inflamasi, proliferasi sel, pertumbuhan atau pembentukan pembuluh darah baru dan rekonstruksi matriks ekstrasel atau repair and remodeling. Interaksi faktor-faktor pertumbuhan dan sel epitel fibroblas dan sel endotel berperan penting dalam proses biologis penyembuhan luka. Transplantasi jaringan kulit sampai saat ini masih merupakan pilihan utama untuk menutup jaringan kulit yang terbuka luas. Metode transplantasi ini menimbulkan berbagai masalah seperti timbulnya jaringan parut, nyeri permanen pada bagian kulit yang diambil dan lain lain.

Teknologi stem cell atau teknologi kultur jaringan sangat memungkinkan untuk diterapkan pada terapi luka bakar yang luas guna menghilangkan komplikasi yang ditimbulkan metode transplantasi jaringan kulit. Oleh karena itu sudah saatnya dikembangkan teknologi stem cell di Indonesia.

Keyword: Luka bakar, penyembuhan luka, faktor pertumbuhan, fibroblast, keratinocyte, stem cell

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 20

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dasar-dasar Stem Cell

dan Potensi Aplikasinya dalam Ilmu Kedokteran

Virgi Saputra

Business Development Corporate Department, PT Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Minat terhadap stem cell atau sel induk jelas meningkat dalam beberapa dekade terakhir

ini. Hal itu disebabkan karena potensi stem cell yang sangat menjanjikan untuk terapi berbagai penyakit sehingga menimbulkan harapan baru dalam pengobatan berbagai penyakit.

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai definisi stem cell, jenis dan sifat stem cell, dan potensi pemakaiannya untuk berbagai penyakit.

DEFINISI STEM CELL(1,2)

Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai 2 sifat: 1. Kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain

(differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel matang, misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas, dan lain-lain.

2. Kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri (self-regenerate/self-renew). Dalam hal ini stem cell dapat membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.

JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi(1,2,3)

Berdasarkan kemampuan berdiferensiasi, stem cell dibagi menjadi: 1. Totipotent. Dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel.

Yang termasuk dalam stem cell totipotent adalah zigot (telur yang telah dibuahi).

2. Pluripotent. Dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan germinal: ektoderm, mesoderm, dan endoderm, tapi tidak dapat menjadi jaringan ekstraembryonik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk stem cell pluripotent adalah embryonic stem cells.

3. Multipotent. Dapat berdiferensiasi menjadi banyak jenis sel. Misalnya: hematopoietic stem cells.

4. Unipotent. Hanya dapat menghasilkan 1 jenis sel. Tapi berbeda dengan non-stem cell, stem cell unipoten mempunyai sifat dapat memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self-renew)

Berdasarkan Sumbernya(1,3,4)

Stem cell ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh. Berdasarkan sumbernya, stem cell dibagi menjadi: 1) Zygote. Yaitu pada tahap sesaat setelah sperma bertemu

dengan sel telur 2) Embryonic stem cell. Diambil dari inner cell mass dari

suatu blastocyst (embrio yang terdiri dari 50 – 150 sel, kira-kira hari ke-5 pasca pembuahan). Embryonic stem cell biasanya didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada IVF (in vitro fertilization). Tapi saat ini telah dikembangkan teknik pengambilan embryonic stem cell yang tidak membahayakan embrio tersebut, sehingga dapat terus hidup dan bertumbuh. Untuk masa depan hal ini mungkin dapat mengurangi kontroversi etis terhadap embryonic stem cell.

3) Fetus. Fetus dapat diperoleh dari klinik aborsi. 4) Stem cell darah tali pusat. Diambil dari darah plasenta dan

tali pusat segera setelah bayi lahir. Stem cell dari darah tali

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 21

pusat merupakan jenis hematopoietic stem cell, dan ada yang menggolongkan jenis stem cell ini ke dalam adult stem cell.

5) Adult stem cell. Diambil dari jaringan dewasa, antara lain dari: • Sumsum tulang. Ada 2 jenis stem cell dari sumsum tulang: − hematopoietic stem cell. Selain dari darah tali pusat

dan dari sumsum tulang, hematopoietic stem cell dapat diperoleh juga dari darah tepi.

− stromal stem cell atau disebut juga mesenchymal stem cell.

• Jaringan lain pada dewasa seperti pada: − susunan saraf pusat − adiposit (jaringan lemak) − otot rangka − pankreas Adult stem cell mempunyai sifat plastis, artinya selain

berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya, adult stem cell juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain. Misalnya: neural stem cell dapat berubah menjadi sel darah, atau stromal stem cell dari sumsum tulang dapat berubah menjadi sel otot jantung, dan sebagainya. PERAN STEM CELL DALAM RISET (1,8)

1. Terapi gen. Stem cell (dalam hal ini hematopoietic stem cell) digunakan sebagai alat pembawa transgen ke dalam tubuh pasien, dan selanjutnya dapat dilacak jejaknya apakah stem cell ini berhasil mengekspresikan gen tertentu dalam tubuh pasien. Dan karena stem cell mempunyai sifat self-renewing, maka pemberian pada terapi gen tidak perlu dilakukan berulang-ulang, selain itu hematopoietic stem cell juga dapat berdiferensiasi menjadi bermacam-macam sel, sehingga transgen tersebut dapat menetap di berbagai macam sel.

2. Mengetahui proses biologis, yaitu perkembangan organisme dan perkembangan kanker. Melalui stem cell dapat dipelajari nasib sel, baik sel normal maupun sel kanker.

3. Penemuan dan pengembangan obat baru, yaitu untuk mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan

4. Terapi sel berupa replacement therapy. Oleh karena stem cell dapat hidup di luar organ tubuh manusia misalnya di cawan petri, maka dapat dilakukan manipulasi terhadap stem cell itu tanpa mengganggu organ tubuh manusia. Stem cell yang telah dimanipulasi tersebut dapat ditransplantasi kembali masuk ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-penyakit tertentu.

Ada 3 golongan penyakit yang dapat diatasi oleh stem cell: a. Penyakit autoimun. Misalnya pada lupus, artritis reumatoid

dan diabetes tipe 1. Setelah diinduksi oleh growth factor agar hematopoietic stem cell banyak dilepaskan dari sumsum tulang ke darah tepi, hematopoietic stem cell dikeluarkan dari dalam tubuh untuk dimurnikan dari sel

imun matur. Lalu tubuh diberi agen sitotoksik atau terapi radiasi untuk membunuh sel-sel imun matur yang tidak mengenal self antigen (dianggap sebagai foreign antigen). Setelah itu hematopoietic stem cell dimasukkan kembali ke tubuh, bersirkulasi dan bermigrasi ke sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi sel imun matur sehingga sistem imun tubuh kembali seperti semula.

b. Penyakit degeneratif. Pada penyakit degeneratif seperti stroke, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, terdapat beberapa kerusakan atau kematian sel-sel tertentu sehingga bermanifestasi klinis sebagai suatu penyakit. Pada keadaan ini stem cell setelah dimanipulasi dapat ditransplantasi ke dalam tubuh pasien agar stem cell tersebut dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel organ tertentu yang menggantikan sel-sel yang telah rusak atau mati akibat penyakit degeneratif.

c. Penyakit keganasan. Prinsip terapi stem cell pada keganasan sama dengan penyakit autoimun. Hematopoietic stem cell yang diperoleh baik dari sumsum tulang atau darah tali pusat telah lama dipakai dalam terapi leukemia dan penyakit darah lainnya.

Ada beberapa alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus dalam cell-based therapy: 1. Stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri.

Artinya transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang sesuai (match), transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai.

2. Mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh sel dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar luas, jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lesi luka bakar yang luas. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna.

3. Mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi melalui metode transfer gen. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan mengenai terapi gen di atas.

4. Dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya.

Therapeutic Cloning(2,6)

Therapeutic cloning atau yang lebih panjangnya disebut SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer) adalah suatu teknik yang bertujuan untuk menghindari risiko penolakan/rejeksi. Pada therapeutic cloning, inti sel telur donor dikeluarkan dan diganti dengan inti sel resipien misalnya diambil dari sel mukosa pipi. Lalu sel ini akan membelah diri dan setelah menjadi blastocyst, maka inner cell massnya akan diambil sebagai embryonic stem cell dan setelah dimasukkan kembali ke dalam tubuh resipien maka stem cell tersebut akan berdiferensiasi menjadi sel organ yang diinginkan (misalnya sel beta pankreas, sel otot jantung, dan lain lain), tanpa reaksi penolakan karena sel tersebut mengandung materi genetik resipien.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 22

Keuntungan dan Kerugian Memakai Jenis Stem Cell Tertentu dalam Cell-based Therapy(1,2,3,5,7)

Keuntungan embryonic stem cell: 1. Mudah didapat dari klinik fertilitas. 2. Bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi

segala jenis sel dalam tubuh. 3. Immortal. Berumur panjang, dapat berproliferasi beratus-

ratus kali lipat pada kultur. 4. Reaksi penolakan rendah. Kerugian embryonic stem cell: 1. Dapat bersifat tumorigenik. Artinya setiap kontaminasi

dengan sel yang tak berdiferensiasi dapat menimbulkan kanker.

2. Selalu bersifat allogenik sehingga berpotensi menimbulkan penolakan.

3. Secara etis sangat kontroversial. Keuntungan umbilical cord blood stem cell (stem cell dari darah tali pusat): 1. Mudah didapat (tersedia banyak bank darah tali pusat). 2. Siap pakai, karena telah melalui tahap prescreening,

testing dan pembekuan. 3. Kontaminasi virus minimal dibandingkan dengan stem cell

dari sumsum tulang. 4. Cara pengambilan mudah, tidak berisiko atau menyakiti

donor. 5. Risiko GVHD (graft-versus-host disease) lebih rendah

dibandingkan dengan menggunakan stem cell dari sumsum tulang, dan transplantasi tetap dapat dilakukan walaupun HLA matching tidak sempurna atau dengan kata lain toleransi terhadap ketidaksesuaian HLA matching lebih besar dibandingkan dengan stem cell dari sumsum tulang.

Kerugian umbilical cord blood stem cell: 1. Kemungkinan terkena penyakit genetik. Ada beberapa

penyakit genetik yang tidak terdeteksi saat lahir sehingga diperlukan follow up setelah donor beranjak dewasa.

2. Jumlah stem cell relatif terbatas sehingga ada ketidaksesuaian antara jumlah stem cell yang diperlukan resipien dengan yang tersedia dari donor, karena jumlah sel yang dibutuhkan berbanding lurus dengan usia, berat badan dan status penyakit.

Keuntungan adult stem cell: 1. Dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari

penolakan imun. 2. Sudah terspesialisasi sehingga induksi menjadi lebih

sederhana. 3. Secara etis tidak ada masalah. Kerugian adult stem cell: 1. Jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan

matur sehingga sulit mendapatkan adult stem cell dalam jumlah banyak.

2. Masa hidupnya tidak selama embryonic stem cell. 3. Bersifat multipoten, sehingga diferensiasi tidak seluas

embryonic stem cell yang bersifat pluripoten.

TERAPI BERDASARKAN SEL (CELL-BASED THERAPY)

Dalam tulisan ini, pembahasan bersifat singkat dan hanya

membahas potensi stem cell pada sebagian kecil penyakit. Stem Cell untuk Diabetes(1)

Pada diabetes, terjadi kekurangan insulin atau kurangnya kepekaan terhadap insulin. Dalam hal ini transplantasi sel pulau Langerhans diharapkan dapat memenuhi kebutuhan insulin. Pada awalnya, kira-kira 10 tahun yang lalu, hanya 8% transplantasi sel pulau Langerhans yang berhasil. Hal ini terjadi karena reaksi penolakannya besar sehingga diperlukan sejumlah besar steroid; padahal makin besar steroid yang dibutuhkan, makin besar pula kebutuhan metabolik pada sel penghasil insulin. Namun, baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh James Shapiro dkk. di Kanada, berhasil membuat protokol transplantasi sel pulau Langerhans dalam jumlah banyak dengan metode imunosupresi yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pada penelitian tersebut, 100% pasien yang diterapi transplantasi sel pulau Langerhans pankreas tidak memerlukan injeksi insulin lagi dan gula darahnya tetap normal setahun setelah transplantasi. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan untuk diabetes ini mengambil sumber stem cell dari kadaver, fetus, dan dari embryonic stem cell. Selanjutnya, masih dibutuhkan penelitian untuk menemukan cara membuat kondisi yang optimal dalam produksi insulin, sehingga dapat menggantikan injeksi insulin secara permanen. Stem Cell untuk Skin Replacement(4)

Dengan bertambahnya pengetahuan mengenai stem cell, maka peneliti telah dapat membuat epidermis dari keratinosit yang diperoleh dari folikel rambut yang dicabut. Hal ini memungkinkan transplantasi epidermis autolog, sehingga menghindari masalah penolakan. Pemakaian skin replacement ini bermanfaat dalam terapi ulkus vena ataupun luka bakar. Stem Cell untuk Penyakit Parkinson(1,9)

Pada penyakit Parkinson, didapatkan kematian neuron-neuron nigra-striatal, yang merupakan neuron dopaminergik. Dopamin merupakan neurotransmiter yang berperan dalam gerakan tubuh yang halus. Dengan berkurangnya dopamin, maka pada penyakit Parkinson terjadi gejala-gejala gangguan gerakan halus. Dalam hal ini transplantasi neuron dopamin diharapkan dapat memperbaiki gejala penyakit Parkinson. Tahun 2001, dilakukan penelitian dengan menggunakan jaringan mesensefalik embrio manusia yang mengandung neuron-neuron dopamin. Jaringan tersebut ditransplantasikan ke dalam otak penderita Parkinson berat dan dipantau dengan alat PET (Positron Emission Tomography). Hasilnya setelah transplantasi terdapat perbaikan dalam uji-uji standar untuk menilai penyakit Parkinson, peningkatan fungsi neuron dopamin yang tampak pada pemeriksaan PET; perbaikan bermakna ini tampak pada penderita yang lebih muda. Namun setelah 1 tahun, 15% dari pasien yang ditransplantasi ini kambuh setelah dosis levodopa dikurangi atau dihentikan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 23

Stem Cell untuk Stroke(10,11,12) 3. Stem Cell – Wikipedia - http://en.wikipedia.org/wiki/Stem_cell 4. Stem Cells for Cell-Based Therapies, Lauren Pecorino – American

Institute of Biological Science. Dahulu dianggap bahwa sekali terjadi kematian sel pada stroke, maka akan menimbulkan kecacatan tetap karena sel otak tidak mempunyai kemampuan regenerasi. Tapi anggapan berubah setelah para pakar mengetahui adanya plastisitas pada sel-sel otak dan pengetahuan mengenai stem cell yang berkembang pesat belakangan ini.

5. Stem Cell Therapy – Research in focus - MRC (Medical Research Council)

6. Therapeutic Use of Cell Nuclear Replacement: Therapeutic Cloning – Research in focus - MRC (Medical Research Council)

7. F2-S-Cord Blood Stem Cell Transplantation – Leukemia & Lymphoma Society.

Beberapa penelitian dengan menggunakan stem cell dari darah tali pusat manusia yang diberikan intravena kepada tikus yang arteri serebri medianya dioklusi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ada pengurangan volume lesi sebanyak 40% dan adanya kemampuan kembali ke 70% fungsi normal. Terdapat pemulihan fungsional pada kelompok yang ditransplantasi stem cell dari darah tali pusat dibandingkan dengan kelompok kontrol dan tampak stem cell dari darah tali pusat bermigrasi masuk ke otak. Penelitian dengan menggunakan mesenchymal stem cell (MSC) dari sumsum tulang autolog yang diberikan intravena pada 30 penderita stroke juga memperbaiki outcome yang dinilai dari parameter Barthel Index dan modified Rankin Scale.

http://www.leukemia-lymphoma.org/all_mat_toc.adp?item_id=9622 8. What Are Stem Cells? – CSA Guide to Discovery -

http://www.csa.com/discoveryguides/stemcell/overview.php 9. Transplantation of Embryonic Dopamine Neurons for Severe for Severe

Parkinson’s Disease . NEJM 2001;344:710 – 719 10. Intravenous Administration of Human Umbilical Cord Blood Reduces

Behavioral Deficits After Stroke in Rats. Stroke 2001;32:2682 11. Umbilical cord blood-derived stem cells given intravenously reduce

stroke damage. www.medicalnewstoday.com 12. Autologous mesenchymal stem cell transplantation in stroke patients –

Ann. Neurol. 2005 Jun;57(6):874-82 13. Stem-Cell Transplantation in Myocardial Infarction: A Status Report –

Ann. Intern. Med. 2004 May;140(9):729 – 737

Stem Cell untuk Penyakit Jantung(13) Penelitian terkini memberikan bukti awal bahwa adult

stem cells dan embryonic stem cell dapat menggantikan sel otot jantung yang rusak dan memberikan pembuluh darah baru. Strauer dkk. mencangkok mononuclear bone marrow cell autolog ke dalam arteri yang menimbulkan infark pada saat PTCA 6 hari setelah infark miokard akut. Sepuluh pasien yang diberi stem cell area infarknya menjadi lebih kecil dan indeks volume stroke, left ventricular end-systolic volume, kontraktilitas area infark, dan perfusi miokard menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Perin dkk. memberikan transplantasi bone marrow

mononuclear cells autolog yang diinjeksikan pada miokard yang lemah dengan panduan electromechanical mapping pada 14 pasien gagal jantung iskemik kronik berat. Single-photon emission computed tomography myocardial perfusion

scintigraphy menunjukkan penurunan defek yang signifikan dan perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri global pada pasien yang diterapi.

KEPUSTAKAAN 1. The Stem Cells – Stem cell information – The Official National Institute

of Health Resource for Stem cell Research 2. Anatomy 101: Stem cells – Reeve Irvine Research Center -

http://www.reeve.uci.edu/anatomy/stemcells.php

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 24

Grace is to the body what good sense is to the mind (La Rochefoucauld)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 25

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Kultur dan Potensi Stem Cells

dari Darah Tali Pusat

Richard Prayogo, Maria Teresa Wijaya

Kalbe Farma Research Center, Jakarta

Semuanya dimulai dari tahun 1988 yaitu saat pertama kali dilakukannya transplantasi allogeneic darah tali pusat (umbilical cord blood) ke seorang anak penderita anemia Fanconi di Paris(1). Keberhasilan ini membuka horison baru dalam pemanfaatan darah tali pusat yang sebelumnya dianggap tidak berguna dan mulai berkembanglah minat dunia sains untuk meneliti lebih dalam tentang potensi yang terkandung di dalamnya. Saat ini darah tali pusat termasuk salah satu topik yang paling banyak diminati di dunia riset. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keuntungan yang ditawarkan, terutama jika dibandingkan dengan transplantasi sumsum tulang yang sebelumnya menjadi primadona. Darah tali pusat memiliki immunogenicity yang lebih rendah (untuk review lihat Ryan et al, 2005(2)), isolasinya tidak membutuhkan prosedur yang invasif, dan untuk transplantasi tidak membutuhkan 100% ketepatan HLA (human leucocyte antigen) (3).

Dalam artikel ini akan didiskusikan mengenai darah tali pusat, khususnya mengenai mesenchymal stem cells (MSC) yang terkandung di dalamnya. Pembahasan akan meliputi aspek metode isolasi dan ekspansi sel ex vivo, aplikasinya dalam terapi untuk degenerative diseases, serta rencana pengembangan untuk terapi penuaan di masa depan Darah tali pusat: isolasi dan pemrosesan awal

Darah tali pusat dapat diisolasi dengan dua cara, yaitu secara in utero (saat plasenta masih di dalam rahim) dan ex utero (saat plasenta sudah di luar rahim). Literatur menunjukkan bahwa dengan isolasi secara in utero, bisa didapatkan 100ml darah sedangkan dengan isolasi secara ex utero hanya bisa didapatkan 80 ml(4). Pada mulanya, transplantasi dilakukan dengan whole blood yang berarti bahwa darah tali pusat ditransplantasikan secara utuh, tanpa dipisahkan komponennya terlebih dahulu. Penggunaan whole blood untuk transplantasi memiliki risiko timbulnya reaksi graft vs host disease (GVHD) yang lebih tinggi, antara lain karena adanya inkompatibilitas yang disebabkan oleh antigen

permukaan sel darah merah yang ikut tertransplantasi (antigen ABO), namun ada juga literatur yang menyatakan bahwa inkompatibilitas ABO tidak menimbulkan reaksi GVHD yang berat(5).

Meskipun demikian, semua hal yang meningkatkan kemungkinan terjadinya rejection harus diatasi, salah satunya dengan cara memproses darah tali pusat sebelum transplantasi, sehingga hanya stem cells yang bergunalah yang ditransplantasikan ke pasien. Dua proses yang umum dilakukan adalah red blood cells depletion dan volume reduction. Selain untuk menurunkan kemungkinan timbulnya reaksi inkompatibilitas, kedua proses tersebut juga dilakukan untuk mempermudah penyimpanan jangka panjang. Berbagai macam metode bisa digunakan, contohnya metode Ficoll-Hypaque yang digunakan untuk memisahkan mononuclear cells (MNC) yang mengandung sel (stem cells) yang dibutuhkan. Sampai saat ini ada dua tipe stem cells yang telah ditemukan dalam darah tali pusat, yaitu hematopoietic stem cells dan me-sencyhmal stem cells. Sebenarnya masih ada beberapa tipe lain yang juga sudah ditemukan, seperti neuron-like stem cells(6) namun dua yang disebutkan di atas adalah yang sudah dianalisis secara mendalam dan menyeluruh. Stem cells dalam darah tali pusat: kultur dan ekspansi

Masalah yang timbul dari pemrosesan darah tali pusat pra-transplantasi adalah berkurangnya kuantitas stem cells yang bisa didapatkan. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa darah tali pusat memang hanya mengandung sedikit stem cells. Pada kenyataannya, dari setiap 1x108 MNC hanya bisa didapatkan 0-2.3 MSC clones (mean 1.1 ± 0.2) (7). Oleh karena itu, untuk bisa memenuhi jumlah sel yang dibutuhkan untuk transplantasi, yang untuk manusia berkisar antara 106-108 sel per kg berat badan, diperlukan teknik untuk memperbanyak jumlah sel secara ex vivo. Untuk bisa mendapatkan hasil ekspansi yang cepat dan memuaskan, ada beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu (a) jeda yang tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 26

melebihi 15 jam dari waktu pengambilan darah tali pusat dan isolasi MSC (b) volume darah tali pusat harus lebih dari 33ml (c) jumlah MNC yang diisolasi harus melebihi 1x108 dan (d) tidak boleh ada tanda-tanda hemolisis dan koagulasi (7).

Banyak ilmuwan dari berbagai lembaga telah melakukan kultur MSC, masing-masing dengan metode mereka sendiri. Umumnya, media kultur yang dipergunakan adalah media standar dengan suplemen fibroblast growth factor (FGF) untuk menunjang proliferasi sel, antibiotik untuk mengatasi kontaminasi, serta serum dari bovine (fetal bovine serum, FBS) ataupun calf (fetal calf serum, FCS). Untuk bisa melangkah maju ke penggunaan MSC sebagai terapi rutin di manusia, penggunaan animal-derived serum harus dihilangkan atau dengan kata lain, kultur harus dilakukan secara xenofree. Hal ini untuk mencegah kemungkinan transfer patogen dari hewan ke manusia serta untuk mencegah terjadinya kontaminasi protein hewan yang dapat menyebabkan reaksi penolakan.

Ada beberapa alternatif untuk menggantikan penggunaan serum hewan dalam kultur, antara lain adalah penggunaan serum dari manusia, baik yang autologous (serum berasal dari pasien sendiri) maupun yang allogeneic (serum berasal dari orang lain), dan penggunaan media tanpa serum.

Dalam laporan di jurnal Experimental Hematology penggunaan autologous serum dan FBS dalam kuantitas yang sama memberikan hasil ekspansi kultur yang sama, ditinjau dari segi morfologi, tingkat proliferasi dan kemampuan diferensiasi. Bahkan penggunaan autologous serum dapat meningkatkan kemampuan MSC untuk berdiferensiasi menjadi sel tulang(8). Walaupun hasil yang ditunjukkan nampak menggembirakan, ada dua hal yang membatasi penggunaan autologous serum untuk ekspansi MSC berskala besar, yaitu berbedanya kandungan protein dalam serum tiap-tiap orang sehingga kuantitas growth factor yang dibutuhkan juga berbeda dan terbatasnya jumlah serum yang bisa diambil dari satu orang.

Alternatif lain adalah penggunaan allogeneic serum seperti yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dari Norwegia(9). Mereka menggunakan FBS, allogeneic serum dan autologous serum untuk ekspansi MSC yang diisolasi dari sumsum tulang belakang. Hasilnya adalah bahwa ternyata penggunaan allogeneic serum menyebabkan berhentinya metabolisme sel dan apoptosis, sedangkan penggunaan autologous serum memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan FBS.

Dengan kurang memuaskannya hasil penggunaan serum manusia serta adanya hambatan-hambatan dalam peng-gunaannya, alternatif yang tersisa adalah penggunaan serum-free media. Ada beberapa pemasok produk bioteknologi yang memproduksi media bebas serum, sebagai gantinya ditam-bahkanlah protein-protein komponen serum dengan komposisi yang pasti, dan dengan begitu masalah yang timbul dari ketidakpastian kandungan protein dalam serum dapat dipecahkan. Walaupun demikian, tidak semua serum-free media bebas dari produk hewani karena beberapa komponen protein di dalamnya ada yang diproduksi dari hewan juga.

Selain dari upaya menuju kultur xenofree, perkembangan lainnya adalah penggunaan bioreaktor untuk ekspansi MSC. Dengan bioreaktor, sistem kultur sel dilakukan tidak secara statis seperti kultur biasa. Sistem kultur yang dinamis dengan

bioreaktor memberikan lingkungan yang lebih kondusif untuk proliferasi sel, meningkatkan growth rate, mengurangi kemungkinan kontaminasi, dan dengan demikian menghasilkan ekspansi sel yang lebih efisien. Chen et al dalam percobaan mereka membandingkan hasil ekspansi MSC yang diisolasi dari sumsum tulang belakang dengan dan tanpa menggunakan bioreaktor. Mereka menemukan bahwa penggunaan bioreaktor dapat meningkatkan efisiensi pengembangbiakan sel sambil tetap mempertahankan potensi diferensiasi mereka (10).

Stem cells dalam darah tali pusat: sekilas mengenai aplikasi klinis

Saat ini penggunaan darah tali pusat dalam terapi klinis lebih banyak dilakukan untuk pasien kanker yaitu dengan transplantasi hematopoietic stem cells, sementara penggunaan MSC masih relatif lebih sedikit. Secara khusus, dalam terapi untuk penyakit degeneratif, MSC telah digunakan untuk mengobati stroke dan Buerger’s disease. Namun keduanya belum ada yang memasuki tahap clinical trial, percobaan masih hanya sampai pada tahap studi di mencit, tikus ataupun case study di manusia dengan jumlah pasien yang sangat terbatas.

Untuk terapi stroke, telah diteliti kegunaan sel CD34+ dan CD34- untuk me-repopulasi bagian otak tikus yang rusak akibat rusaknya pembuluh darah. Hasilnya menunjukkan bahwa transplantasi sel dari darah tali pusat mendorong mobilisasi sel-sel otak tikus menuju ke daerah lesi dan perbaikan performa tikus percobaan dalam behavioral test yang dilakukan. Dari hasil penelitian post-mortem nampak bahwa mekanisme perbaikan oleh sel-stem cells yang disuntikkan adalah terutama melalui sekresi neurotrophic factors dan bukan melalui neurogenesis (11).

Dalam percobaan MSC untuk terapi Buerger’s disease, sebanyak empat orang pasien menerima transplantasi MSC yang diisolasi dari darah tali pusat dan semuanya menunjukkan perbaikan kondisi penyakit; nekrosis sel-sel kulit berkurang hanya dalam waktu empat minggu. Keberhasilan yang sama juga ditunjukkan dari hasil transplantasi MSC ke mencit sebagai model (12).

Darah tali pusat: looking to the future on rejuvenation

Setelah melihat potensi yang begitu besar dari darah tali pusat dalam terapi berbagai macam penyakit, maka ide berikutnya yang muncul ialah menerapkan darah tali pusat untuk terapi rejuvenasi bagi orang tua. PBB telah mengeluarkan angka statistik per 2006 bahwa penduduk yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 687 juta orang atau 1 dari 10 orang adalah manula(13). Dan angka ini akan terus meningkat di masa mendatang. Melihat fakta bahwa populasi penduduk usia tua dunia semakin meningkat karena membaiknya pelayanan kesehatan masyarakat dan kemajuan dunia kedokteran, potensi sel terapi untuk rejuvenasi amatlah besar nilainya.

Seperti kita ketahui dari berbagai macam teori tentang proses penuaan (ageing), tubuh makhluk hidup akan menurun kemampuannya seiring dengan bertambahnya usia karena mengalami banyak hal yang mendukung ke arah tersebut.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 27

Berkurangnya kemampuan memperbaiki mutasi DNA, mempertahankan keseimbangan homeostasis radikal bebas, menjaga ketepatan siklus sel, serta memendeknya ujung telomer kromosom adalah ciri-ciri khas dari sel yang sudah menua (14). Bahkan beberapa jurnal juga menunjukkan bahwa stem cells pun mengalami proses degenerasi seiring berjalannya waktu dengan ciri-ciri berkurangnya jumlah passage dan population doubling, serta memendeknya telomere dari hasil eksperimen southern blotting(15) . Berkurangnya kemampuan regeneratif stem cells pada organisme usia tua merupakan salah satu faktor penunjang melemahnya tubuh di usia tua.

Dengan mengansumsikan bahwa stem cells dari darah tali pusat bisa menghasilkan regenerasi sel-sel dan jaringan-jaringan yang rusak seperti pada contoh-contoh sebelumnya, maka kita bisa berhipotesa bahwa stem cells dari darah tali pusat bisa mendorong proses regenerasi dari komponen-komponen tubuh yang sudah aus dimakan usia. Salah satu argumen kuat mengapa darah dari tali pusat dengan stem cells di dalamnya merupakan kandidat terkuat untuk terapi rejuvenasi ialah bahwa darah tali pusat merupakan sesuatu yang masih segar dan baru. Darah tersebut mempunyai sifat “kemudaan” karena dihasilkan dari bayi yang baru lahir. Kami berharap bahwa sesuatu yang masih baru dan segar ini bisa menggantikan sel-sel yang sudah tua. Hipotesis dan argumen kami pun didukung oleh percobaan dari sekelompok ilmuwan dari Stanford Medical School yang melakukan isochromatic dan heterochromatic parabiosis(16). Eksperimen ini menggunakan sepasang tikus, masing-masing tua dan muda yang saling berbagi aliran darah. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sel-sel dari darah muda bisa “menghidupkan kembali” sel-sel dari darah tua, namun tidak sebaliknya. Peningkatan kemampuan regeneratif ini ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari ligan Notch, yaitu protein Delta. Aktivasi Delta sendiri adalah salah satu penanda biokimia dari aktivasi sel satelit (stem cells untuk sel otot).

Oleh karena itu, kami dari Kalbe Farma Research Center tertarik sekali untuk menguji ampuhnya darah tali pusat untuk terapi rejuvenasi. Konsep eksperimen yang akan kami lakukan cukup sederhana, walaupun sebenarnya detailnya cukup rumit. Kami ingin menerapkan darah tali pusat ataupun mesenchymal stem cells yang ada di dalam darah tali pusat kepada tikus tua dan mengecek efeknya melalui perbandingan dengan tikus yang masih berusia muda. Untuk menerapkan mesenchymal stem cell, kami perlu mengekspansi jumlah sel terlebih dahulu sampai mencapai jutaan sel untuk cukup diinjeksi kepada tikus. Tentunya selama ekspansi, sel-sel tersebut harus kami pertahankan dalam wujud tidak terdiferensiasi alias masih murni stem cells. Untuk ekspansinya akan digunakan medium yang tidak menggunakan serum dan tidak mengandung komponen protein dari hewan untuk menunjang impian kami mengejar kultur sel yang xenofree.

Selama kultur sel, kami akan juga terus memonitor keadaan tidak terdiferensiasinya stem cell dengan teknik yang sudah umum seperti immunocytochemistry, flow cytometry, dan reverse transcription PCR assay. Untuk percobaan di tikus, kami akan menggunakan beberapa parameter kemampuan fisik dan kognitif sebagai pembanding antara tikus yang muda dan tua. Kedua parameter tersebut akan dianalisis melalui berbagai macam assay.

Jikalau segala sesuatu pada percobaan di tikus ini sukses, tahap berikutnya tentu saja akan kami lanjutkan pada clinical trial di manusia. Kita semua berharap terapi sel benar-benar akan terwujud sebagai obat dan penyembuhan generasi berikutnya.

KEPUSTAKAAN

1. Gluckman E. et al. Hematopoietic reconstitution in a patient with Fanconi’s anemia by means of umbilical-cord blood from an HLA-identical sibling. N Engl J Med. 1989; .321:1174–8.

2. Ryan JM et al. Mesenchymal stem cells avoid allogeneic rejection. J. Inflammation. 2005; .2: 8-18.

3. Bradley MB, Cairo MS. Cord blood immunology and stem cells transplantation. Human Immunol. 2005; 66: 431- 46.

4. Craven CM, Ward K. Transfusion of fetal cord blood cells: an improved method of hematopoietic stem cells transplantation? J Repro Immunol 1998; 42: 59-77.

5. Wagner JE et al. Allogeneic sibling umbilical cord blood transplantation in children with malignant and non-malignant disease. Lancet 1995; 346: 214-9.

6. Jurga M, et al. Neurogenic potential of human umbilical cord blood: neural-like stem cells depend on previous long-term culture conditions. J Neurosci Res. 2006; .83: 627-37.

7. Bieback K., et al. Critical parameters for the isolation of mesenchymal stem cells from umbilical cord blood. Stem Cells 2004; 22: 625-34.

8. Stute N et al. Autologous serum for isolation and expansion of human mesenchymal stem cells for clinical use. Exp Hematol. 2004; .32:1212-25.

9. Shahdadfar et al. In vitro expansion of human mesenchymal stem cells: choice of serum is a determinant of cell proliferation, differentiation, gene expression and transcriptome stability. Stem Cells 2005; 23: 1357- 66.

10. Chen et al. Bioreactor expansion of human adult bone marrow derived mesenchymal stem cells (MSC). Stem Cells (August online publication) 2006.

11. Boltze J et al. Experimental treatment of stroke in spontaneously hypertensive rats by CD34+ and CD34- cord blood cells. GMS Ger Med Sci.3: Doc09. 2005.

12. Kim SW et al. Successful stem cells therapy using umbilical cord blood derived multipotent stem cells for Buerger’s disease and ischemic limb disease animal model. Stem Cells 2006; 24: 1620-1626.

13. United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division. 2006. http://www.un.org/esa/population/unpop.htm

14. Lou Z. , Chen J. Cellular senescence and DNA repair. Exp Cell Res. 2006; .312: 2641-46.

15. Bonab MM, et al. Aging of mesenchymal stem cells in vitro. BMC Cell Biology 2006; 7:14.

16. Conboy IM,et al. Rejuvenation of aged progenitor cells by exposure to a youthful systemic environment. Nature 2005; 433: 760- 4.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 28

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Stem Cell Retina: Harapan Baru

untuk Mengatasi Kebutaan?

Meta W. Djojosubroto

Hôpital Ophtalmique Jules Gonin, Avenue de France 15 1044 Lausanne, Switzerland

Retinitis pigmentosa (RP) dan degenerasi makular akibat penuaan (DMP) merupakan dua jenis kebutaan yang disebabkan oleh kelainan pada sel-sel fotoreseptor. Hingga saat ini belum ditemukan cara pengobatan yang paling sesuai untuk mengatasi kedua kondisi kebutaan tersebut. Walaupun demikian, penelitian telah menunjukkan kemajuan dalam pengembangan beberapa terapi yang dapat digunakan. Salah satunya adalah dengan menggunakan stem cells yang ditransplantasikan pada retina.

Penyakit degenerasi dan trauma pada sistem saraf sentral yang terjadi pada otak, retina, maupun sumsum tulang belakang merupakan sumber utama kelumpuhan jangka panjang. Pada retina, degenerasi dapat terjadi pada sel-sel fotoreseptor, yang dapat menyebabkan antara lain retinitis pigmentosa (RP). RP adalah penyakit mata keturunan. Pada pasien RP, degenerasi sel fotoreseptor terjadi secara bertahap menyebabkan hilangnya penglihatan secara progresif. Jumlah penderita RP diperkirakan memiliki rasio 1:4000 dan gejala klinis umumnya timbul pada usia 20-30 tahun. Selain RP, penyakit degenerasi retina lain yang menyebabkan hilangnya penglihatan sentral secara progresif adalah degenerasi makular akibat penuaan (DMP). DMP umumnya terjadi pada usia 60-70 tahun, dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang-orang yang berusia lebih dari 55 tahun. Sampai saat ini belum ada metode penyembuhan RP maupun DMP. Walaupun demikian, para peneliti telah berhasil mengembangkan beberapa metode pengobatan yang menjanjikan, antara lain dengan artificial retinal implants1, terapi gen2,3, transplantasi stem cell4, maupun pemberian nutrisi khusus5,6. STEM CELLS

Stem cells adalah sel-sel yang memiliki potensi tinggi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel dalam tubuh. Pada dasarnya, stem cells berfungsi sebagai salah satu mekanisme perbaikan tubuh. Dengan kemampuan membelah diri yang dapat dikatakan tak terhingga, stem cells dapat menggantikan sel-sel yang rusak atau mati sepanjang hidup suatu organisme. Jika suatu stem cell membelah, sel anakan

yang baru memiliki potensi untuk tetap menjadi stem cell atau menjadi suatu jenis sel dengan fungsi spesifik, misalnya sel otot, sel darah, atau sel otak.

Berdasarkan asalnya, stem cell dibedakan menjadi stem cell embrio dan stem cell dewasa. Stem cell embrio diperoleh dari embrio yang berkembang dari sel telur yang dibuahi sel sperma secara in vitro, dilakukan di klinik fertilisasi in vitro, dan didonasikan untuk riset dengan sepengetahuan donor. Berbeda dengan stem cell embrio, stem cell dewasa umumnya berada di beberapa jaringan tertentu dan berfungsi menghasilkan sel-sel yang membentuk jaringan tersebut. Contohnya stem cell hematopoetik pada sumsum tulang belakang dapat menghasilkan berbagai jenis sel darah seperti eritrosit dan leukosit. Stem cell embrio memiliki potensi tertinggi (totipotensi atau multipotensi) untuk berkembang menjadi hampir semua jenis sel pada tubuh, sedangkan stem cell dewasa memiliki potensi berkembang yang lebih rendah (pluripotensi) karena umumnya terbatas pada jenis-jenis sel tertentu.

Sampai saat ini, penelitian stem cell pada umumnya masih berkutat pada pertanyaan-pertanyaan dasar: bagaimana mengarahkan stem cell agar dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel yang diperlukan untuk mengobati kondisi tertentu (misalnya neuron untuk mengobati penyakit Parkinson), bagaimana memastikan sel-sel tersebut tetap hidup setelah transplantasi, bagaimana supaya sel-sel tersebut tidak ditolak oleh sistem imun inang, serta bagaimana mencegah terjadinya pembelahan sel yang tak terkendali yang dapat berakibat kanker. Stem cells untuk pengobatan

Transplantasi stem cells pada berbagai jaringan dan organ, terutama penggunaan stem cells hematopoetik dari darah tali pusat (cord blood) untuk pengobatan penyakit darah, sangat menjanjikan. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan penggunaan darah tali pusat untuk pengobatan pasien dari berbagai golongan usia. Jepang telah menggunakan darah tali pusat pada lebih dari 50% transplantasi pada pasien anak-anak maupun dewasa. Di Amerika Serikat, darah tali

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 29

pusat juga telah digunakan lebih dari 50% dari total transplantasi pada anak-anak, sedangkan pada pasien dewasa mendekati 20%7.

Keberhasilan transplantasi stem cells pada jaringan darah sayangnya belum berhasil diikuti keberhasilan pada sistem saraf. Pada saat ini, pengobatan penyakit saraf seperti penyakit Parkinson, Alzheimer, atau degenerasi sel retina dengan transplantasi stem cells masih terlalu dini untuk dilakukan. Walaupun demikian, percobaan transplantasi stem cell saraf pada berbagai hewan percobaan telah menunjukkan berbagai kemajuan yang makin mendekatkan penggunaan stem cells untuk pengobatan penyakit saraf ke arah klinik (diulas di Ref.8).

TRANSPLANTASI PADA RETINA

Transplantasi menggunakan enten (graft) retina pada otak inang neonatal menunjukkan bahwa enten retina dapat sintas (survive), berkembang, dan bahkan membuat hubungan saraf dengan otak inang9. Hasil eksperimen tersebut menimbulkan asumsi bahwa penggunaan enten retina yang ditransplantasikan pada retina lain bisa lebih mudah menghasilkan hubungan saraf dibandingkan enten retina pada otak. Sayangnya, ternyata tidak semudah itu. Selama lebih dari satu dekade terakhir para peneliti retina masih berkutat pada permasalahan pengentenan, sintasan, dan diferensiasi sel-sel yang ditransplantasikan.

Teknik bedah mata modern telah memungkinkan transplantasi sel pada daerah subretina. Transplantasi menggunakan kumpulan sel-sel yang berbentuk lembaran diperkirakan lebih menjanjikan daripada transplantasi menggunakan sel-sel tunggal. Salah satu hasil eksperimen yang menggunakan metode tersebut dilaporkan oleh group Maureen A. McCall10. Retina dari fetus tikus normal ditransplantasikan pada retina tikus yang memiliki mutasi pada gen rhodopsin. Rhodopsin adalah pigmen di retina yang berperan dalam pembentukan sel fotoreseptor pada fetus dan dalam persepsi cahaya pada mata dewasa. Karena tidak adanya rhodopsin, tikus mutan mengalami degenerasi retina seperti pada RP. Beberapa minggu setelah transplantasi, uji histologi menunjukkan bahwa retina donor dapat mengenten dengan baik. Yang lebih menarik lagi, retina tikus inang menunjukkan respon saat diberi rangsangan cahaya pada daerah transplantasi, sementara daerah yang tidak mendapat transplan tidak memberikan respon karena fotoreseptornya telah mengalami degenerasi. Walaupun hasil penelitian ini sangat menjanjikan, kelemahannya adalah diperlukannya banyak embrio sebagai donor retina untuk dapat meliput seluruh retina mata dewasa. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan pada manusia dan dalam hal ini stem cells menjadi donor yang lebih menjanjikan.

Sebagaimana penggunaan stem cells pada penyakit saraf lainnya, stem cell untuk mengobati kebutaan akibat RP atau DMP hingga saat ini masih dalam tahap penelitian. Beberapa grup peneliti telah menunjukkan kemajuan yang membesarkan hati. Salah satu contohnya adalah transplantasi stem cell dari hipokampus yang disuntikkan ke vitreous mata. Hasil pengamatan setelah 4 minggu menunjukkan bahwa sel-sel tersebut dapat bermigrasi dari vitreous menuju berbagai lapisan retina11. Walaupun menjanjikan, keberhasilan sel donor

berintegrasi pada lapisan retina menjadi mentah bila tidak diikuti oleh kemampuan stem cell donor untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel retina yang tepat. Hasil uji ternyata menunjukkan bahwa walaupun stem cells hipokampus berhasil berintegrasi dan menunjukkan morfologi yang menyerupai sel neuron, tidak ditemukan penanda-penanda khas retina pada sel-sel tersebut, yang mengisyaratkan bahwa neuron dari stem cell hipokampus tersebut belum mampu menggantikan fungsi neuron retina.

Kemampuan stem cell hipokampus mengenten pada retina dan bahkan berdiferensiasi menjadi neuron menimbulkan pemikiran bahwa penggunaan stem cell yang benar-benar berasal dari retina mungkin memberikan hasil yang lebih baik. Bersama dengan laboratorium Dr. van der Kooy, grup kami telah berhasil mengembangkan metode isolasi stem cells retina manusia dari donor berbagai usia (prenatal hingga 70-an tahun)12. Stem cell retina dewasa tersebut ditemukan pada daerah pars plicata dan pars plana pada retinal ciliary margin, dengan rasio 1:50012.

Dalam penelitian kami, selain stem cell retina manusia juga digunakan stem cell retina dewasa yang diisolasi dari mencit. Sel-sel tersebut dapat dikultur hingga lebih dari satu tahun (setara dengan sekitar 1046 sel) menunjukkan bahwa kondisi kultur yang digunakan dapat menunjang self-renewal sel-sel tersebut13. Lebih meyakinkan lagi, hasil uji kimia imunitas dan RT-PCR menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengekspresikan protein nestin, yaitu protein pada rangka sel epitelial saraf immature yang merupakan penanda sel saraf progenitor14, dan protein Bmi1 yang merupakan penanda stem cell. Selain Bmi1, penanda stem cell lainnya yang sering digunakan adalah Notch, Numb, Musashi-1 dan Presenilin. Selain itu ada pula penanda inti seperti FGF4, Fz9, Sox2, dan Nucleostemin yang banyak digunakan sebagai penanda stem cell saraf15,16.

Selain dari jaringan otak maupun retina, sel-sel retina dapat pula dihasilkan dari stem cells embrio. Baru-baru ini, grup Thomas Reh dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat, telah mempublikasikan hasil penemuan mereka mengenai kondisi kultur yang dapat digunakan untuk menginduksi stem cell embrio manusia menjadi sel-sel retina (sel-sel ganglion dan amakrin)17.

Walaupun keberhasilan mengisolasi dan membiakkan stem cell retina secara in vitro sangat menjanjikan, sayangnya belum cukup untuk menjamin penggunaannya untuk mengatasi kebutaan. Masalah yang dihadapi peneliti stem cell di seluruh dunia antara lain adalah bagaimana mengatur sintasan dan diferensiasi sel-sel yang telah mengenten. Sel yang ditransplantasikan harus dari tahap yang tepat agar dapat menyintas dengan baik, dan agar kemudian dapat berdiferensiasi menjadi sel yang tepat untuk mengobati penyakit yang menjadi target. Salah satu cara misalnya dengan melakukan priming dengan kondisi in vitro tertentu selama 7 hari sebelum transplantasi, yang terbukti menunjang sintasan stem cells saraf fetus tikus setelah transplantasi18.

Untuk mengetahui cara menginduksi diferensiasi yang tepat dilakukan eksperimen menggunakan berbagai kombinasi faktor pertumbuhan sel secara in vitro. Salah satu studi yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 30

sedang saya lakukan adalah upaya mengarahkan stem cell agar berdiferensiasi menjadi sel-sel retina yang spesifik, misalnya agar menjadi sel-sel fotoreseptor, bipolar, amakrin, dan sebagainya. Penting untuk diketahui bahwa sel-sel retina terbentuk dengan urutan yang spesifik. Pada perkembangan mata pra- dan post-natal, sel retina yang pertama terbentuk adalah sel ganglion retina, diikuti oleh fotoreseptor runjung (cone) dan sel-sel amakrin. Kemudian muncul sel horisontal yang diikuti fotoreseptor batang (rod). Sel bipolar dan sel glia Müller merupakan sel-sel yang terbentuk paling akhir pada neurogenesis19. Jelas bahwa organisasi sel-sel pada retina terbentuk melalui suatu proses perkembangan yang rumit yang mengikutsertakan berbagai faktor instrinsik dan ekstrinsik.

Penelitian menunjukkan bahwa faktor ekstrinsik sangat mempengaruhi pembentukan sel-sel retina. Perkembangan fotoreseptor batang didorong oleh berbagai faktor, antara lain fibroblast growth factor-2 (FGF-2), sonic hedgehog (SHH) dan laminin b2. Ciliary neurotrophic factor (CNTF) dan leukemia inhibitory factor (LIF) diketahui berperan menghalangi diferensiasi fotoreseptor batang dengan mendorong sel-sel yang sedang berdiferensiasi menjadi fotoreseptor batang untuk membentuk sel-sel bipolar. Secara in vitro, retinoic acid diketahui mendorong diferensiasi fotoreseptor. Activin A juga diketahui meregulasi diferensiasi pada perkembangan retina. Selanjutnya diketahui pula bahwa protein Prox-1 mempengaruhi keluarnya sel progenitor retina dari siklus sel, dan ditemukan pada sel-sel horizontal, bipolar dan amakrin sepanjang perkembangan retina. Selain itu, ada pula Math3 dan NeuroD yang meregulasi spesifikasi sel amakrin. Walaupun kemajuan teknologi transgenik telah membawa pengertian lebih lanjut terhadap pekembangan retina, masih perlu banyak penelitian yang dilakukan sebelum peneliti dapat dengan mudah memanipulasi dan mengontrol diferensiasi stem cell retina.

Eksperimen in vitro yang grup kami lakukan berusaha meniru keadaan pembentukan mata pada fetus. Pada saat cawan optik terbentuk, sel-sel yang membentuk lensa mata mensekresikan FGF ke sel-sel di sekitarnya, termasuk sel-sel yang kemudian akan menjadi retina. Grup kami berusaha meniru kondisi ini dengan memaparkan kultur stem cells terhadap FGF-2 selama 2 hari (tahap priming), diikuti dengan pemberian B27 (suplemen yang mengandung retinoic acid). Metode tersebut terbukti efektif untuk menginduksi stem cell retina menjadi sel neuron retina (57%), termasuk sel-sel dengan penanda sel fotoreseptor (antara 25-35% dari jumlah sel total)20. Saat ini, kami sedang mencoba berbagai kombinasi faktor ekstrinsik untuk menginduksi diferensiasi in vitro menjadi sel-sel retina yang lain dengan jumlah yang lebih banyak.

Secara in vivo, grup kami telah melakukan transplantasi stem cells retina pada vitreous mata mencit. Setelah 4 minggu, sebagian besar sel-sel tersebut telah bermigrasi secara acak ke lapisan sel ganglion dan beberapa sel mencapai lapisan inner plexiform. Sel-sel tersebut berdiferensiasi menjadi jenis sel retina sesuai dengan lapisan retina di mana sel-sel tersebut berintegrasi. Sayangnya, dalam eksperimen ini, grup kami tidak berhasil menemukan sel yang berdiferensiasi menjadi

fotoreseptor21. Saat ini kami mencoba berbagai pendekatan lain dalam teknik transplantasi, selain juga berupaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan kami dalam memproduksi stem cell retina yang berada dalam tahap yang tepat untuk transplantasi. Hal-hal yang dapat dilakukan saat ini dan di masa depan untuk menunjang riset stem cell retina

Untuk dapat mencapai keberhasilan penggunaan stem cells retina untuk mengobati kebutaan, para peneliti perlu mengembangkan eksperimennya secara sederhana namun tepat pada sasaran. Banyak masalah yang perlu diselesaikan sebelum transplantasi dapat diterapkan pada manusia, dan setiap usaha ke arah itu harus multidisiplin, mulai dari riset sains yang paling mendasar hingga yang paling klinis. Selain itu, penerapan berbagai metode baru seperti tissue engineering dapat meningkatkan keberhasilan transplantasi.

Kemampuan untuk menginduksi diferensiasi stem cells menjadi sel-sel retina secara in vitro walaupun belum dapat digunakan untuk transplantasi pada manusia tidak menjadi percuma. Sel-sel retina yang spesifik seperti fotoreseptor sangat berguna misalnya untuk skrining kandidat obat yang dapat memproteksi fotoreseptor terhadap degenerasi. Selain itu, sel-sel tersebut juga dapat digunakan untuk uji coba transplantasi pada hewan percobaan.

Mengingat proses transplantasi pada hewan kecil (misalnya mencit dan tikus) memiliki banyak halangan teknis, transplantasi telah mulai dicoba pada hewan percobaan yang lebih besar, misalnya pada babi22. Transplantasi menggunakan hewan besar sangat berguna untuk menentukan keberhasilan graft secara lebih akurat, serta dapat digunakan untuk mengembangkan metode operasi transplantasi yang selanjutnya dapat digunakan di klinik.

KEPUSTAKAAN

1. Chow AY et al. The artificial silicon retina microchip for the treatment

of vision loss from retinitis pigmentosa. Arch. Ophthalmol. 2004;122, 460-469.

2. Yanez-Munoz,RJ et al. Effective gene therapy with nonintegrating lentiviral vectors. Nat. Med. 2006; 12: 348-353.

3. Kostic,C. et al. Activity analysis of housekeeping promoters using self-inactivating lentiviral vector delivery into the mouse retina. Gene Ther. 2003; 10: 818-821

4. Otani,A. et al. Rescue of retinal degeneration by intravitreally injected adult bone marrow-derived lineage-negative hematopoietic stem cells. J. Clin. Invest 2004; 114: 765-774

5. Schmidt-Erfurth,U. Nutrition and retina. Dev. Ophthalmol. 2005; 38, 120-147

6. Berson,E.L. Nutrition and retinal degenerations. Int. Ophthalmol. Clin. 2000; 40: 93-111

7. Rubinstein,P. Why cord blood? Hum. Immunol. 2006; 67: 398-404 8. Lindvall,O., Kokaia,Z. Stem cells for the treatment of neurological

disorders. Nature 2006; 441: 1094-1096 9. Klassen,H. & Lund,R.D. Retinal transplants can drive a pupillary reflex

in host rat brains. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 1987; 84: 6958-6960. 10. Sagdullaev BT, Aramant RB, Seiler MJ, Woch G,. McCall MA. Retinal

transplantation-induced recovery of retinotectal visual function in a rodent model of retinitis pigmentosa. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. 2003 ; 44:1686-1695.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 31

11. Young MJ, Ray J, Whiteley SJ, Klassen H, Gage FH. Neuronal differentiation and morphological integration of hippocampal progenitor cells transplanted to the retina of immature and mature dystrophic rats. Mol. Cell Neurosci. 2000; 16:197-205.

12. Coles BL et al. Facile isolation and the characterization of human retinal stem cells. Proc. Natl. Acad. Sci. U S A 2004; 101:15772-15777.

13. Angenieux B, Schorderet DF, Arsenijevic Y. Epidermal growth factor is a neuronal differentiation factor for retinal stem cells in vitro. Stem Cells 2006; 24: 696-706.

14. Lendahl U, Zimmerman LB, McKay RD. CNS stem cells express a new class of intermediate filament protein. Cell 1990; 60: 585-595.

15. Cai J. et al. Properties of a fetal multipotent neural stem cell (NEP cell). Dev. Biol. 2002;251: 221-240

16. Tsai RY, McKay RD. A nucleolar mechanism controlling cell proliferation in stem cells and cancer cells. Genes Dev. 2002;16: 2991-3003

32

17. Lamba DA, Karl MO, Ware CB, Reh TA. Efficient generation of retinal progenitor cells from human embryonic stem cells. Proc. Natl. Acad. Sci. U S A 2006.

18. Gao J. et al. Transplantation of primed human fetal neural stem cells improves cognitive function in rats after traumatic brain injury. Exp. Neurol. 2006.

19. Young RW. Cell differentiation in the retina of the mouse. Anat. Rec. 1985; 212: 199-205

20. Merhi-Soussi F et al. High Yield of Cells Committed to the Photoreceptor Fate from Expanded Mouse Retinal Stem Cells. Stem Cells 2006.

21. Canola K. et al. Retinal stem cells transplanted into models of late stages of retinitis pigmentosa preferentially adopt a glial or a retinal ganglion cell fate. 2006. Ref Type: Unpublished Work

22. Warfvinge K. et al. Retinal progenitor cell xenografts to the pig retina: morphologic integration and cytochemical differentiation. Arch. Ophthalmol. 2005; 123: 1385-1393.

Cermin Dunia Kedokteran merasa sangat kehilangan atas meninggalnya :

Bapak Sriwidodo WS Salah seorang yang pengabdiannya untuk Majalah Cermin Dunia Kedokteran

sejak awal sangat berarti dalam membesarkan majalah ini

di RS Husada, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2006

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penggunaan Human Mesenchymal Stem Cells

untuk Perbaikan Tulang Rawan Sendi pada Osteoarthritis

telaah literatur

Adiwirawan Mardjuadi, Rheumatologist

Medika Reuma Klinik Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN

OA (Osteoarthritis ) adalah penyakit sendi yang paling banyak dijumpai dan merupakan penyebab sakit, nyeri dan disabilitas dengan frekuensi 15-40 % untuk usia 40-50 tahun dan lebih dari 80% menjelang usia 70 tahun(1). Tulang rawan sendi yang baik dengan lubrikasi normal penting sekali untuk mempertahankan fungsi dari sendi. Studi epidemilogi melaporkan bahwa kelainan radiografik yang timbul pada OA lutut tidak selalu paralel dengan keluhan penderitanya terutama sebelum usia 45 tahun, kecuali setelah usia 65 tahun (grafik 1).(2)

PATOGENESIS

OA perdefinisi adalah destruksi tulang rawan sendi / articular cartilage (chondrolysis) sebagian akibat kegagalan khondrosit untuk mempertahankan keseimbangan normal antara sintesis dan degradasi matriks sehingga terjadi edema di subchondral dan timbul hipertrofi tulang rawan/osteofit dan akhirnya reaksi radang sinovial. Telah diketahui bahwa khondrosit artikular yang avaskular merupakan satu-satunya sel yang ada di sendi dan mempunyai kapasitas untuk mensintesis, mengorganisasi dan mengatur komposisi matrik sekitarnya

secara baik dan efisien.(2) Teori anabolisme dan katabolisme diperkuat dengan low synthesis dan high degradation cartilage dapat menerangkan terjadinya OA. Marker untuk sintesis/anabolisme kartilago yaitu collagen type II A meningkat di sendi OA pada stadium dini tapi menurun di serum; sedangkan Type II C telopeptide merupakan marker degradasi / katabolisme. (3)

Proses patogenesis OA dijelaskan dalam 4 stadia (gambar

1-4).

Gb 1. Tulang rawan sendi normal. Khondrosit normalnya dikelilingi oleh

ruangan yang kaya akan protein adhesion dan adhesines (fibronectine, collagene mineur seperti typeIX, collagen VI, tenascine) Ruangan periseluler membatasi khondrosit dengan matrix extraselular. matrix extraselular yang essensial terdiri dari rantai-rantai fibre collagen type II yang terbenam di dalam proteoglycanes yang kaya akan bahan untuk lubrikasi.Collagen type II bersama-sama proteoglycan diperkuat oleh protein lainnya seperti collagen type IX dan fibromoduline. bekerja menstabilisasi struktur tulang rawan(4)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 33

Gb. 2. Melukiskan adanya imbalans/ketidak seimbangan antara sintesis

dan katabolisme pada proses terjadinya OA Proses anabolik dimotori oleh stimulasi pembentukan collagen type II, proteoglygan dan enzim inhibitor terhadap TGFB sedangkan di sisi lainnya proses katabolisme terjadi dengan pelepasan sitokin pro–inflamasi seperti IL-1 dan TNF alpha yang dihasilkan oleh autokrin dari khondrosit.. Sitokin tersebut memproduksi enzim-enzim untuk memecah komponen matriks collagen type II dan agrecane serta fibronectine menjadi fragmen-fragmen dari fibronectine.(4)

Gb. 3. Khondrosit juga mensekresi plasmin, plasminogen aktivator (UPA),

terutama MMP (metalloproteases) yang selanjutnya mensekresi stromelysine, agrecanase, collagenase dan gelatinase. yang berfungsi memecah/degradasi matriks makromolekul. MMP pada keadaan normal dikontrol oleh inhibitor spesifik TIMP. Proses katabolisme ini mestimulasi sintesis matriks seperti proteoglycans yang pada mulanya berhasil meningkat/anabolik, akhirnya mengalami kemunduran/insufisien untuk mengimbangi katabolisme tersebut.(circle vitiosus).(4)

PENGOBATAN DAN PERANAN STEM CELLS

Pengobatan OA menggunakan NSAID, Coxib, Glukosamin, Khondroitin sulfat, Asam Hyaluronat Intra Artikular (5) serta pengurangan berat badan, latihan sendi dan fisioterapi. Pada kasus berat kadang-kadang perlu operasi koreksi dan penggantian sendi.

Belakangan ini selain pengobatan dengan apa yang disebut autolog chondrocyte transplant juga dikembangkan tissue engineering of articular cartilage dengan menggunakan multipotential human adult mesenchymal stem cells (hMSCs)

sebagai sumber sel kandidat untuk pembentukan khondrosit. HMSCs terdapat di sumsum tulang dan jaringan lain seperti periosteum dan perichondrium yang dapat berdiferensiasi menjadi human chondrocyte in vivo dan in vitro. HMSCs berdiferensiasi menjadi multipotential mesenchymal lineage antara lain, tulang, otot, ligamen, tendon, adiposa dan marrow.

Oleh karena itu hHMSCs setelah diisolasi, ekspansi, purifikasi dan dimanipulasi secara genetik cocok digunakan sebagai khondrosit yang mature dalam proses cell-based cartilage repair. Peranan khondrosit sangat vital dalam pengobatan OA.(6)

Gb. 4. Fase kongestif pada tulang subchondral, akhirnya dapat

menimbulkan jaringan sikatrik yang ireversibel. Merupakan akibat dari berlanjutnya proses tersebut di atas sehingga kerusakan jaringan rawan sendi berlanjut, edema subkhondral dan reaksi pembentukan osteofit sebagai respon tulang subkhondral atas inflamasi melalui osteoblast.(4)

Gb. 5. Daun telinga kelinci setelah berbagai perlakuan

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 34

Gambar 5 memperlihatkan sel khondrosit normal mampu mengkoreksi konsentrasi proteoglikan dan mengembalikan fungsi seperti semula pada percobaan kelinci. Daun telinga kelinci yang disuntik dengan enzim chymopapain menjadi kolaps 4 hari kemudian; kembali tegak 5 hari berikutnya setelah penyuntikan khondrosit.(7) Demikian pula penyuntikan intraartikular ke dalam lutut kelinci menyebabkan penyusutan kadar proteoglikan 50 % di ruang sendi dan kembali seperti sebelumnya setelah 2-3 minggu. Jelas peranan dari keutuhan sel khondrosit sangat penting, tetapi regulasinya hingga kini belum diketahui.(7)

Ada hubungan antara human chondrocyte senescence dengan pertambahan usia dan peningkatan timbulnya OA(9) sejajar dengan umur khondrosit donor, dan pemendekan ini berhubungan dengan perubahan di fenotip asosiasi dengan cell senescence expression dari SA beta Gal, enzim petanda keuzuran (senescence) dan aktivitas mitosis yang diukur dengan inkorporasi H3–thymidin. Ternyata studi tersebut tidak memberikan kesimpulan bahwa cell senescence yang menyebabkan peningkatan risiko OA, akan tetapi menurunnya kapabilitas khondrosit untuk mempertahankan fungsi articular cartilage tersebut sehubungan dengan bertambahnya usia.(9)

Ada 3 tipe cell senescence yaitu cell senescence (irreversible growth arrest accompanied by loss of phenotype), replicate senescence (Hayflick limit, in vitro after certain doublings) dan progressive senescence (decline of proliferative activity and loss of differentiated phenotype) (8). OA adalah pre-senescence yang diumpamakan sebagai penyakit Alzheimer dari khondrosit.(9)

Oshima Y et al. melaporkan perangai transplantasi bone marrow derived mesenchymal cells yang mengandung mesenchymal stem cells (MSCs) berasal dari tikus transgenik. MSCs tikus transgenik yang telah dikultur (hanging drop culture), setelah difiksasi dengan fibrin glue ditranplantasi ke tikus liar. Setelah 24 minggu terjadi reparasi/perbaikan defek dan subkhondral. Adanya sel GFP positif mengindikasi berhasilnya tranplantasi setelah diobservasi selama 24 minggu. Sel GFP positif ternyata jumlahnya menurun dengan waktu. GFP tidak menimbulkan imunoreaksi, juga bisa dianggap sebagai transplantasi autolog dengan survivability yang nyata. Hasil ini diharapkan bisa digunakan sebagai tissue engineering dalam proses regenerasi defek osteokhondral menggunakan original hyalin cartilage dan tulang subkhondral.(11)

Kemajuan peranan cartilage tissue engineering dari hMSCs untuk pengobatan OA mendapat titik terang dengan ditemukannya Scrapie Responsive Gene 1 (SCRG 1) gene (11). Observasi mikroskopis sering menunjukkan reparasi cartilage yang heterogen dan tidak akurat pada OA sehingga selain pembentukan cartilage sering berlanjut ke arah hipertropi.

Telah diketahui bahwa setelah high tibial valgus osteotomy degenarasi pada OA dapat memperbaiki/regenerasi sendiri. Reaksi reparatif ini menunjukkan bahwa khondrosit artikular dapat mensekresi factor bioaktif yang dapat menginduksi pembentukkan articular cartilage yang berasal dari sel progenitor termasuk hMSCs. Proses ini juga bisa terjadi pada OA. Berdasarkan ide tersebut maka dilakukan cDNA microarray analysis untuk mengidentifikasi gen yang mampu

mengekspresikan secara bermakna terutama di articular cartilage dan mengencode sekresi SCRG 1.(12)

Dengan bantuan RT-PCR terlihat bahwa articular cartilage dan sumsum tulang mengekpresikan SCRG 1 secara bermakna dibandingkan dengan jaringan otak dan jantung. SCRG 1 merupakan salah satu gen spesifik yang memenuhi kriteria untuk pembentukan articular cartilage secara in vitro.

Ekspresi SCRG 1 tergantung dari deksametason (Dex) pada saat khondrogenesis in vitro. Telah diketahui sebelumnya bahwa Dex dapat menginduksi hMSCs in vitro untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast, myoblast dan adipocytes. Secara klinis penggunaan Dex pada OA dapat memperburuk /mempercepat degradasi kartilago. Efek samping tersebut dapat dihambat dengan aplikasi Dex melalui ekspresi SCRG1 untuk stimulasi khondrogenesis sebagai rekayasa jaringan articular cartilage.(12)

MSC engineering dapat memberikan hasil yang lebih baik. Beberapa problem yang harus dibahas adalah mengenai biologi, survival dan kapasitas MSCs mempopulasikan ke jaringan host, juga efektifitas MSCs topikal dibandingkan dengan MSCs sistemik.(12) KESIMPULAN

Selain pengobatan konvensional dan pembedahan, transplantasi khondrosit autolog disertai hMSCs untuk regenerasi khondrosit diharapkan berperanan penting dalam pengobatan OA di masa mendatang. Email penulis: [email protected]

KEPUSTAKAAN

1. Bandt de Michel, Donnees epidemiologiques. Dalam : Arthrose, La prise

en charge global. Labo. Pharmascience, hal. 6. 2. Dequeker J. Epidemiologie. Dalam : Osteoartrose, hal. 17. 3. Sandell LJ. Is there a Role for Anabolism in Osteoarthritis. ACR Annual

Meeting. San Diego, Nov 12-17, 2005. 4. Amor Bernart. Vie, survie et mort du cartilage au cours de l”arthrose:

poits d’impact therapeutiques. Dalam : La gonarthrose. Pathology Science, Paris: John Libbey 1999, hal. 43-58.

5. Gerard D, Brocq O, Roux CH et al. Intra-articular injection of hyaluronic acid (Durolane) for hip osteoarthritis: an open study. Presented at EULAR, Berlin, June 2004.

6. Bradley J, Johnson D. Dalam: Lecture Note on Molecular Medicine. Stolz JF (ed.) Blackwell Science, 2nd ed., 2002. hal. 90-9.

7. Altman RD, Luescher. Osteoarthritis: is there potential for condroprotective therapy. In vitro & in vivo studies. Eular Publ., Basel, Switzerland 1991, hal. 10-2.

8. Aigner T. Osteoarthritis - derangement of matrix and cells. ACR Annual Meeting, San Diego, Nov 12-17, 2005.

9. Martin JA, Buckwalter JA. Human chondrocyte senescence and osteoarthritis, Biorheology 39, 2002. 145-52 dikutip dari Mechano biology: Cartilage and Chondrocyte Vol.2. 2004

10. Yasushi O et al. Behavior of Transplanted Bone Marrow-derived GFP Mesenchymal Cells in Osteochondral Defect as a Stimulation of Autologous Transplantion ..J.Histochem Cytochem 2005; 53: 207-216,

11. Ochi K et al. A predominantly articular cartilage-associated gene SCRG1 is induced by glucocorticoid and stimulates chondrogenesis in vitro. Osteoarthritis and Cartilage 2006 ;14 : 30-38.

12 Pountos I et al. Growing Bone and Cartilage : The role of mesenchymal stem cells. J.Bone Joint Surg . April 1, 2006 : 421-426

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 35

ULASAN

Penyakit yang Berhubungan

dengan Penghambatan Apoptosis

Rochman Naim

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Pada mahluk hidup multiseluler, homeostasis dipertahan-kan melalui keseimbangan antara proliferasi/perkembang-biakan sel dan kematian sel. Dengan ketiadaan perubahan dalam laju proliferasi sel, perubahan dalam laju kematian sel dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi atau kehilangan sel. Akumulasi sel terjadi bila laju kematian sel lebih rendah dibanding proliferasi sel, sebaliknya bila laju kematian sel lebih besar maka kehilangan sel akan terjadi.

Walaupun telah banyak diketahui tentang kontrol dari proliferasi sel, kontrol dari kematian sel masih sangat sedikit diketahui dan masih terus dipelajari. Kematian sel secara fisiologik terjadi terutama melalui bentuk kematian sel yang disebut dengan apoptosis. Keputusan dari suatu sel mengalami apoptosis dapat dipengaruhi oleh sejumlah rangsangan dari luar sel.

Kegagalan sel untuk mengalami kematian sel apoptotik mungkin melibatkan patogenesis dari sejumlah penyakit manusia yang meliputi penyakit-penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya akumulasi sel, yaitu kanker, penyakit autoimun, dan penyakit viral tertentu. Akumulasi sel dapat berasal dari proliferasi sel yang meningkat atau kegagalan sel untuk melakukan proses apoptosis terhadap rangsangan yang sesuai. Walaupun banyak perhatian telah difokuskan pada peran potensial dari proliferasi sel pada penyakit-penyakit di atas, makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa perubahan-perubahan dalam kontrol sel yang dapat bertahan hidup merupakan hal yang penting dalam patogenesis penyakit di atas yang disebut juga dengan penyakit proliferatif. KEMATIAN SEL DALAM KANKER

Sel-sel dari sejumlah tumor ganas (malignancy) pada manusia memiliki kemampuan yang menurun untuk mengalami apoptosis dalam responnya terhadap beberapa rangsangan fisiologik(1). Hal ini lebih terlihat pada tumor-tumor yang bersifat metastatik. Kebanyakan sel normal tergantung pada faktor-faktor spesifik lingkungannya untuk mempertahankan viabilitasnya(2). Ketergantungan ini yang mungkin mencegah

sel normal untuk dapat bertahan hidup pada lingkungan non-fisiologiknya. Sel-sel tumor metastatik dapat menghindari mekanisme homeostatik ini dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang berbeda dengan lingkungan/jaringan tempat mereka berkembang. Untuk melakukan proses ini, sel-sel tumor harus meningkatkan kemampuannya untuk tidak terikat/tergantung dari faktor-faktor bertahan hidup yang membatasi distribusinya. Kemajuan yang telah dicapai saat ini telah membuka basis molekuler tentang peningkatan resistensi sel tumor terhadap apoptosis, dan beberapa gen yang kritikal dalam regulasi apoptosis telah diketahui.

Gen BCL2 ditemukan pertama kali lokasinya pada sisi translokasi antara kromosom 14 dan 18, dan berada dalam kebanyakan limfoma folikuler manusia(3). Sebagai suatu oncogene, pada awalnya BCL2 ditemukan memiliki sedikit atau tidak ada kemampuan untuk meningkatkan progresi siklus sel atau proliferasi sel. Namun, terjadinya overekspresi dari BCL2 secara spesifik menghambat sel untuk mengalami apoptosis dalam responnya terhadap sejumlah rangsangan(4). Lebih lanjut, introduksi gen yang menghambat fungsi BCL2 dapat menginduksi apoptosis pada sejumlah tipe tumor. Hal ini telah menghantarkan pada suatu hipotesis bahwa kebanyakan tumor secara kontinyu bersandar pada produk gen BCL2 atau gen yang berhubungan dengan BCL2 untuk mencegah kematian sel. Sesuai dengan hipotesis ini, ekspresi BCL2 telah berhubungan dengan prognosis yang buruk pada kanker prostat, kanker kolon, dan neuroblastoma(5).

Gen BCL2 merupakan salah satu dari sejumlah gen yang dapat mengontrol proses awal apoptosis suatu sel(6). Pada sel tumor yang dikultur, overekspresi BCL2 atau gen yang berhubungan ditemukan mendukung resistensi sel terhadap kematian dalam responnya terhadap agen kemoterapetika seperti cytosine arabinoside, methotrexate, vincristine, dan cisplatin(7). Penemuan ini telah memberi gambaran baru karena agen kemoterapi pada awalnya diduga membunuh sel dengan menginduksi kerusakan metabolik yang irreversible yang berakibat kematian nekrosis sel target. Saat ini terlihat bahwa mekanisme primer kebanyakan agen kemoterapetika dalam

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 36

menginduksi kematian sel terjadi melalui penyimpangan fisiologi seluler yang berakibat terinduksinya apoptosis. Hal ini sesuai dengan penemuan bahwa overekspresi BCL2 atau gen yang berhubungan secara in-vitro dapat mengakibatkan fenotipe resistensi multidrug.

Sejumlah agen kemoterapetika bekerja dengan cara menginduksi kerusakan DNA. Kematian sel dalam responnya terhadap kerusakan DNA pada banyak kasus merupakan akibat dari apoptosis. Produk gen p53 dibutuhkan oleh sel untuk menginduksi apoptosis dalam responnya terhadap kerusakan genotoksik(8). Hal ini terlihat pada tumor yang tidak memiliki gen p53 ternyata tidak dapat mengalami apoptosis dalam responnya terhadap kerusakan DNA yang diinduksi oleh agen kemoterapetika dan radiasi(9). Sel-sel yang tidak dapat mengalami apoptosis dalam responnya terhadap kerusakan DNA mungkin lebih cenderung untuk memperoleh penyimpangan genetik dibanding sel yang normal. Kesalahan atau kekeliruan dalam “perbaikan” DNA yang rusak dapat berkontribusi terhadap laju mutasi yang tinggi yang telah diobservasi pada banyak kasus kanker manusia.

Tumor promoter seperti phorbol myristate acetate (PMA) dan alpha-hexachlorocyclo-hexane dapat bertindak sebagai faktor spesifik untuk bertahan hidup bagi sel-sel yang memperlihatkan perkembangan tumor(10). Hal ini menunjukkan bahwa penghambatan apoptosis merupakan hal yang lebih penting dalam perkembangan tumor ganas. KEMATIAN SEL DAN AUTOIMUNITAS

Regulasi fisiologik dari kematian sel merupakan hal esensial untuk “pemusnahan” limfosit yang secara potensial autoreaktif dalam perkembangannya dan untuk “pemusnahan” sel-sel yang berlebih setelah selesainya respon imun. Kegagalan memusnahkan sel autoimun yang meningkat selama perkembangan atau yang berkembang sebagai hasil mutasi somatik selama respon imun dapat mengakibatkan penyakit autoimun. Hasil pada hewan model telah mendemonstrasikan pentingnya disregulasi apoptosis dalam etiologi penyakit autoimun. Sebagai contoh, satu molekul yang penting dalam regulasi kematian sel pada limfosit adalah reseptor permukaan sel yang dikenal dengan nama Fas, anggota dari famili reseptor tumor necrosis factor (TNF)(11). Stimulasi Fas pada limfosit yang teraktivasi dapat menginduksi apoptosis. Dua bentuk dari penyakit autoimun yang bersifat herediter berhubungan dengan apoptosis berperantara Fas (Fas-mediated apoptosis)(12). Mencit (mouse) strain MRL-lpr, yang memperlihatkan systemic lupus erythematosus yang fatal pada umur 6 bulan, memiliki suatu mutasi pada reseptor Fas. Sebaliknya, mencit strain GLD, yang memperlihatkan penyakit yang mirip, memiliki suatu mutasi pada Fas ligand(12). Pada manusia telah diidentifikasi adanya bentuk Fas yang disekresikan(13). Pasien systemic lupus erythematosus memiliki level Fas soluble yang meningkat, yang mungkin secara kompetitif menghambat interaksi Fas ligand-Fas. Akibatnya akan terjadi penurunan apoptosis berperantara Fas yang akan mendukung akumulasi sel-sel autoimun pada penyakit tersebut di atas. Penyakit autoimun mirip lupus yang juga dilaporkan pada mencit

transgenik memperlihatkan adanya overekspresi BCL2 pada sel-sel B-nya(14). Mencit strain nonobese diabetik (NOD) memperlihatkan adanya hubungan antara lokus BCL2 dan diabetes autoimun(15).

Investigasi terhadap peran apoptosis dalam perkembangan penyakit autoimun pada manusia seperti systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan autoimmune diabetes mellitus mulai meningkat. Perubahan kepekaan limfosit terhadap kematian apoptosis secara in vitro telah dilaporkan pada beberapa penyakit di atas(16). KEMATIAN SEL DALAM INFEKSI VIRAL

Kerusakan fisiologi sel sebagai akibat infeksi virus dapat menyebabkan sel yang terinfeksi mengalami apoptosis. Kematian sel yang terinfeksi mungkin digambarkan sebagai suatu mekanisme pertahanan seluler untuk mencegah propagasi virus. Sel T sitotoksik juga beraksi untuk mencegah penyebaran virus dengan mengenal dan membunuh sel-sel yang mengandung peptida viral dalam kaitannya dengan molekul kelas I dari kompleks histokompatibilitas utama permukaan sel(17). Sel T dapat menginduksi kematian sel dengan aktivasi program endogen kematian sel dari sel target. Sel T sitotoksik menginduksi apoptosis dengan aktivasi reseptor Fas pada permukaan sel target atau dengan introduksi protease seperti granzyme B yang mengaktivasi apoptosis dari dalam sitoplasma sel target(18).

Untuk menghindari sistem pertahanan host, sejumlah virus telah mengembangkan mekanisme untuk merusak regulasi normal apoptosis dalam sel yang terinfeksi. Sebagai contoh infeksi adenoviral yang efektif tergantung pada fungsi protein E1B dengan berat molekul 19 kDa(19). Protein ini telah memperlihatkan penghambatan secara langsung apoptosis, dan fungsinya pada adenovirus dapat digantikan oleh BCL2. Sekuens primer dan analisis mutasional menunjukkan bahwa ada kemiripan struktural di antara kedua gen E1B dan BCL2(20). Gen BHRF1 dari virus Epstein-Barr dan gen LMW5-HL dari virus African swine fever memiliki sekuens dan fungsi yang mirip dengan BCL2(21).

Gen viral lainnya yang tidak memiliki kemiripan dengan BCL2 dapat juga menghambat apoptosis. Sebagai contoh gen p35 dan inhibitor of apoptosis gene (IAP) yang ditemukan pada baculovirus dapat menghambat apoptosis dalam responnya terhadap sejumlah rangsangan(22). Kemampuan p35 untuk menghambat apoptosis tidak tergantung pada ekspresi protein viral lainnya. Virus pox terlihat menghambat apoptosis dengan memproduksi inhibitor molekul efektor kematian interleukin-1�-converting enzyme (ICE). ICE merupakan suatu cysteine protease yang berhubungan erat dengan protein yang dikode oleh gen kematian sel ced3 pada cacing Caenorhabditis elegans. Produk gen ced3 dibutuhkan oleh sel untuk mengalami apoptosis selama perkembangan dalam C. elegans(23). Gen crmA dari virus cowpox berfungsi sebagai inhibitor ICE(24). Gen crmA dapat menghambat apoptosis dalam responnya terhadap sejumlah rangsangan dan juga dibutuhkan untuk menghambat perkembangan respon inflama-torik terhadap sel-sel yang terinfeksi virus cowpox(24,25).

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 37

Pencegahan apoptosis juga penting untuk pembentukan viral latency. Virus Epstein-Barr membentuk infeksi laten pada sel-sel B. Gen viral LMP-1 yang diproduksi selama infeksi laten secara spesifik meregulasi upstream ekspresi BCL2, yang secara potensial mengakibatkan sel yang terinfeksi laten bertahan hidup(26). Infeksi kronis dari virus Sindbis juga telah dilaporkan tergantung pada ekspresi BCL2 sel host(27).

Inhibitor-inhibitor Apoptosis Inhibitor fisiologik Gen-gen viral Agen farmakologik

1. Faktor

pertumbuhan 2. Matriks

ekstraseluler 3. Ligand CD40 4. Asam amino

netral 5. Zinc 6. Estrogen 7. Androgen

1. Adenovirus E1B 2. Baculovirus p35 3. Baculovirus IAP 4. Cowpox virus crmA 5. Epstein-Barr virus

BHRF1, LMP-1 6. African swine fever

virus LMW5-HL 7. Herpesvirus √1 34.5

1. Inhibitor calpain 2. Inhibitor cysteine

protease 3. Tumor promoter:

PMA, fenobarbital, alfa hexachloro- cyclohexane

38

Penyakit-penyakit Penghambat Apoptosis 1. Kanker: follicular lymphomas, carcinoma dengan mutasi p53,

hormone-dependent tumor (breast cancer, prostate cancer, ovarian cancer)

2. Penyakit autoimun: systemic lupus erythematosus, immune-mediated glomerulonephritis

3. Infeksi viral: herpesvirus, poxvirus, adenovirus

KEPUSTAKAAN 1. Hoffman B, Liebermann DA. Oncogene 1994; 9: 1807. 2. Boudreau N, Sympson CJ, Werb Z, Bissel MJ. Science 1995; 267: 891. 3. Tsujimoto Y, Gorham J, Cossman J, Jaffe E, Croce CM. Science 1985;

229: 1390. 4. Hockenbery DM, Oltvai ZN, Yin XM, Milliman CL, Korsmeyer SJ.,

1993. Cell 75: 241. 5. Hague A, Moorghen M, Hicks D, Chapman M, Paraskeva C. Oncogene

1994; 9: 3367. 6. Oltvai ZN, Milliman CL, Korsmeyer SJ. Cell 1993; 74: 609. 7. Miyashita T, Reed JC. Blood 1993; 81: 151. 8. Lowe SW, Schmitt EM, Smith SW, Osborne BA, Jacks T. Nature 1993;

362: 847. 9. Lowe SW et al. Science 1994; 266: 807. 10. Bursch W et al. Carcinogenesis 1990; 11: 847. 11. Watanabe-Fukunaga R, Brannan CI, Copeland NG, Jenkins NA, Nagata

S. Nature1992; 356: 314. 12. Suda T, Takahashi T, Golstein P, Nagata S. Cell 1993; 75: 1169. 13. Cheng J et al. Science 1994; 263: 1759. 14. Strasser A et al. Proc Natl Acad Sci USA 1991; 88: 8661. 15. Garchon HJ, Luan JJ, Eloy L, Bedossa P, Bach JF. Eur J Immunol.

1994; 24: 380. 16. Emlen W, Niebur J, Kadera R. J Immunol. 1994; 152: 3685. 17. Henkart PA. Immunity 1994; 1: 343. 18. Kagi D et al. Science 1994; 265: 528. 19. Rao L. et al. Proc Natl Acad Sci USA 1992 ; 89: 7742. 20. Boyd JM et al. Cell 1994; 79: 341. 21. Neilan JG et al. J Virol. 1993 ; 67: 4391. 22. Sugimoto A, Friesen PD, Rothman JH. EMBO J. 1994; 13: 2023. 23. Miura M, Zhu H, Rotello R, Hartwieg EA, Yuan J. Cell 1993; 75: 653. 24. Ray CA et al. Cell 1992; 69: 597. 25. Gagliardini V et al. Science 1994; 263: 826. 26. Henderson S et al. Cell 1991; 65: 1107. 27. Levine B et al.. Nature 1993; 361: 739.

Good books, like good friends, are few and chosen ; the more select, the more enjoyable

(AB Alcott)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Antioksidan dalam Diet

dan Karsinogenesis

Jansen Silalahi

Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

ABSTRAK

Pada keadaan normal pergantian dan peremajaan sel akan terjadi sesuai kebutuhan melalui

proliferasi sel dan apoptosis (kematian sel terprogram) di bawah pengaruh proto-onkogen dan gen supresor tumor. Perubahan DNA yang terjadi di dalam proto-onkogen dan gen supresor tumor akan mengubah kecepatan proliferasi dan apoptosis. Keadaan demikian dapat menyebabkan proliferasi tanpa terkendali dan berakhir menjadi kanker. Kerusakan oksidatif pada DNA akibat radiasi, radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif yang bersifat oksidatif merupakan penyebab penting kanker. Radikal bebas yang dibentuk di dalam tubuh akan menginduksi proses apoptosis yang menyebabkan kematian sel termasuk sel tumor dan berarti menghambat karsinogenesis. Antioksidan adalah peredam radikal bebas, dan secara epidemiologis antioksidan dalam makanan terutama sayur dan buah bersifat protektif terhadap kanker. Akan tetapi hasil penelitian eksperimental tentang hubungan antara antioksidan dan karsinogenesis tidak konsisten. Pendapat yang menyatakan bahwa antioksidan bersifat antikanker masih memerlukan penelitian yang lebih rinci. Fakta yang telah ada menunjukkan bahwa konsumsi suplemen antioksidan tunggal dosis tinggi secara sembarangan perlu dihindari.

PENDAHULUAN

Berdasarkan data epidemiologis, ada hubungan antara meningkatnya konsumsi antioksidan dalam diet dan menurunnya insidensi kanker. Data ini didukung oleh percobaan eksperimental pada sel kultur dan hewan. Dalam hal ini ditemukan bahwa karsinogenesis erat kaitannya dengan kerusakan oksidatif DNA(1). Oleh karena itu adalah rasional jika ada anjuran mengkonsumsi suplemen antioksidan dalam diet untuk mencegah kanker. Walaupun penelitian tentang peran antioksidan pada pencegahan penyakit degeneratif terutama kanker belum tuntas, dan masih terus berlangsung, dewasa ini banyak ditawarkan produk suplemen antioksidan untuk mencegah proses penuaan dan kanker. Survai menunjukkan bahwa konsumsi suplemen antioksidan oleh masyarakat Amerika meningkat tajam; hampir 50% menggunakannya dengan komponen utama vitamin C, vitamin E dan karotenoida. Pada umumnya yang mengkonsumsi suplemen antioksidan adalah individu yang memiliki kepedulian terhadap kesehatan khususnya mereka yang telah

didiagnosis menderita kanker(1,2). Oleh karena itu perlu ditelusuri peran antioksidan terhadap kesehatan khususnya kanker. Lagipula hasil penelitian eksperimental mengenai sifat protektif antioksidan pada insidensi kanker tidak konsisten. Berikut ini diuraikan peran antioksidan dalam karsinogenesis berdasarkan informasi dan hasil penelitian . MUTASI GEN DAN KANKER

Kanker dianggap suatu kelompok penyakit seluler dan genetik karena dimulai dari satu sel yang telah mengalami mutasi DNA sebagai komponen dasar gen. Sel-sel yang mengalami kerusakan genetik tidak peka lagi terhadap mekanisme regulasi siklus sel normal sehingga akan terus melakukan proliferasi tanpa kontrol. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel, dan salah satu akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis. Ada tiga cara atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 39

faktor penting dalam proses terjadinya mutasi gen yaitu; (1) faktor lingkungan yang meliputi nutrisi, agen infektor, gaya hidup; (2) faktor kebetulan, dan (3) faktor keturunan atau bawaan (3,4).

Faktor lingkungan seperti gaya hidup dan pola makan berkorelasi dengan insiden kanker; misalnya paparan sinar ultraviolet dengan kanker kulit, merokok dengan kanker paru-paru. Tetapi tidak semua perokok akan mengidap kanker paru-paru atau berjemur akan selalu menderita kanker kulit; berarti ada faktor lain di luar faktor lingkungan yakni kesalahan replikasi DNA dan bawaan (3,5,6,7).

Adanya faktor kebetulan dapat diterangkan sebagai berikut. Tubuh mengadakan replikasi DNA secara akurat, tetapi masih terjadi kesalahan satu kali dari 10 juta pasangan basa. Kemudian 99,9% dari yang salah dalam replikasi, dikoreksi dan diperbaiki, berarti replikasi DNA yang salah masih ada tersisa. Di samping itu, proses metabolisme normal dalam tubuh menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap DNA secara terus-menerus. Kanker dapat terjadi akibat akumulasi DNA termutasi dalam gen terutama yang mengatur proses siklus dan pertumbuhan sel. Mekanisme ke tiga cara terjadinya mutasi DNA adalah melalui faktor keturunan atau bawaan, yang menyebabkan 5-10% kanker. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel akan mengakibatkan penyimpangan, dan salah satu dampak negatifnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (3,4).

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (tumor suppresor gene = TSG) dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor biasanya menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker (3,4).

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi ketiga gen: proto-onkogen, gen tumor supressor dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Misalnya, pada kondisi TSG kurang aktif atau proto-onkogen terlalu aktif. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan

menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai(3,4,8).

Karsinogenesis berlangsung lama dan dibagi tiga tahap yakni inisiasi, promosi dan perkembangan.

Pada tahap inisiasi sudah terjadi perubahan permanen di dalam genom sel akibat kerusakan DNA yang berakhir pada mutagenesis. Sel yang telah berubah ini tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sel normal di sekitarnya. Pada tahap ini proses mutasi akan mengaktivasi atau menghambat proto-onkogen (9). Yang mengubah fungsi proto-onkogen dan tumor suppressor gene antara lain adalah karsinogen yang mengubah struktur DNA, radiasi yang memicu pembentukan spesies kimia reaktif dan radikal bebas, dan virus. Tahap inisiasi berlangsung dalam satu sampai beberapa hari.

Tahap promosi berlangsung lama bisa lebih dari sepuluh tahun. Suatu proses panjang yang disebabkan oleh kerusakan yang melekat dalam materi genetik di dalam sel. Melalui mekanisme epigenetik akan terjadi ekspansi sel-sel rusak membentuk premalignansi dari populasi multiseluler tumor yang melakukan proliferasi(10). Senyawa-senyawa yang merangsang pembelahan sel disebut promotor atau epigenetik karsinogen.

Pada tahap perkembangan (progression), terjadi insta-bilitas genetik yang menyebabkan perubahan-perubahan mutagenik dan epigenetik. Proses ini akan menghasilkan klon baru sel-sel tumor yang memiliki aktivitas proliferasi, bersifat invasif (menyerang) dan potensi metastatiknya meningkat. Selama tahapan ini, sel-sel maligna berkembang biak menyerbu jaringan sekitar, menyebar ke tempat lain. Jika tidak ada yang menghalangi pertumbuhannya, akan terbentuk dalam jumlah yang cukup besar untuk mempengaruhi fungsi tubuh, dan gejala-gejala kanker muncul. Tahap terakhir ini berlangsung selama lebih dari satu tahun, sehingga seluruh karsinogenesis dapat berlangsung selama dua puluh tahun (3,9-12).

Insiden kanker pada orang yang lebih tua lebih tinggi daripada orang muda, karena perubahan DNA akibat paparan lingkungan berisiko dan kesempatan akumulasi yang lebih besar seiring dengan bertambahnya usia, oleh karena itu jika timbul kanker pada usia muda patut diselidiki adanya faktor keturunan. Pengenalan lebih dini risiko kanker pada satu keluarga sangat penting untuk manajemen pencegahan dan terapi(11). Kemajuan di bidang genetik tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang keterkaitan gen dengan penyakit tetapi juga membuka kesempatan yang lebih luas untuk meneliti kerentanan genetik. Tes genetik meliputi analisis DNA, RNA, kromosom, protein, dan metabolit dapat meramalkan atau mendeteksi penyakit. Tes ini biasanya dilakukan terhadap DNA dan kromosom yang diisolasi dari sampel darah atau sel tumor(13). Tes ini biasanya bermanfaat untuk meramalkan kerentanan terhadap suatu penyakit; juga sangat bermanfaat dalam mengevaluasi risiko penyakit di kalangan keluarga yang salah satu anggotanya mengalami kelainan genetik sehingga jika mungkin dapat diambil langkah-

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 40

langkah preventif. Tes genetik juga bermanfaat untuk mengetahui respon seseorang terhadap proses terapi farmakogenetik dan nutrien di dalam makanan sehari-hari. Nutrien yang berinteraksi di dalam makanan dan interaksi nutrien dengan gen dapat menyebabkan perubahan gen dan selanjutnya menyebabkan perubahan ekspresi gen sehingga respon terhadap nutrien juga dapat berubah (8,13). FAKTOR DIET SEBAGAI PEMICU KANKER

Kanker disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi dari aspek lingkungan ada tiga penyebab utama karsinogenesis pada manusia yakni makanan, merokok, dan infeksi. Diet menyebabkan 35% kanker pada manusia dan makanan adalah penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika (10,14). Faktor makanan sebagai penyebab kanker dikelompokkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah mikrokomponen genotoksik yang menyebabkan kerusakan DNA, dalam golongan ini termasuk senyawa amin heterosiklik yang terbentuk selama memanggang dan menggoreng daging. Paparan nitrosamin dalam daging yang diolah menggunakan natrium nitrit meningkatkan insidensi kanker kolorektal. Kontaminasi Aflatoksin B dalam makanan dapat menimbulkan kanker termasuk kanker hati (7,10,15).

Golongan ke dua adalah makrokomponen yang jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan memicu promosi karsinogenesis. Konsumsi lemak di atas 30% total kebutuhan kalori dapat memicu kanker, sedangkan asupan 20 % justru akan mengurangi risiko kanker. Perbandingan antara asam lemak jenuh dengan lemak tak jenuh juga berperan dalam karsinogenesis; terlalu banyak lemak jenuh atau terlalu banyak lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fats) dapat memicu karsinogenesis (10). Walaupun masih memerlukan penelitian yang lebih rinci, kesimpulan sementara berdasarkan review atas sejumlah penelitian eksperimental dan beberapa penelitian klinis mengindikasikan bahwa konsumsi suplemen asam lemak omega-3 khususnya eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) bermanfaat selama terapi kanker. Minuman beralkohol juga dapat memicu terjadinya kanker saluran cerna terutama kanker kolorektal (7,16). ANTIOKSIDAN DAN KANKER

Masyarakat yang mengkonsumsi banyak sayur dan buah

lebih sehat dengan risiko penyakit degeneratif termasuk kanker yang rendah. Sifat protektif ini diyakini karena kandungan berbagai jenis antioksidan yang terdapat di dalam sayur dan buah (10,17). Fakta ini sesuai dengan hasil penelitian pada kultur dan hewan percobaan yang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif DNA merupakan bagian dari karsinogenesis. Oleh karena itu adalah logis jika dianjurkan untuk mengkonsumsi antioksidan dalam diet sebagai bagian dari pencegahan kanker. Akan tetapi, sebaliknya di dalam tubuh, diproduksi senyawa oksigen reaktif termasuk radikal bebas (komponen oksidan atau pengoksidasi) untuk menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram) yang juga bertujuan terutama untuk membunuh sel-sel kanker. Proses apoptosis ini adalah faktor kritis dalam

mekanisme pengobatan kemoterapi dan radiasi. Barangkali, sebelum pasien kanker mengkonsumsi suplemen antioksidan, hambatan atau inhibisi terhadap apoptosis oleh antioksidan perlu diperhitungkan (1,2).

Apoptosis terjadi jika monitor internal mendeteksi adanya kerusakan atau disfungsi dan memberi signal untuk memulai serangkaian proses (cascade) yang akhirnya mengaktifkan caspases dan endonucleases untuk membunuh sel kanker. Regulasi apoptosis adalah untuk mempertahankan homeostasis normal, menjaga keseimbangan proliferasi dan kematian sel di dalam organ multiseluler. Salah satu fungsi apoptosis adalah mencegah kanker dengan cara mengeliminasi sel-sel preneoplastik dan neoplastik (pertambahan baru yang tak normal) (1,10). Pada hampir semua proses kematian sel, signal cascade terjadi melalui bantuan senyawa oksigen reaktif sebagai molekul pembawa isyarat atau berita (messenger). Antioksidan bersifat meredam atau menetralkan radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif, dengan demikian antioksidan bersifat menghambat apoptosis. Antioksidan seperti α-tokoferol yang terdapat di dalam kompartemen lipida sel, atau N-asetilsistein, suatu peredam radikal bebas yang berada di dalam fase air sitosol, dapat memperlambat atau menghambat apoptosis, akibatnya akan memicu pertumbuhan kanker. Sebaliknya diperkirakan dengan meniadakan antioksidan dalam makanan mungkin akan menginduksi apoptosis, dengan demikian secara logis akan menekan pertumbuhan kanker (1,18).

Hasil penelitian Zeisel (2004)(1) menunjukkan bahwa pemberian diet tanpa antioksidan mengurangi ukuran dan jumlah tumor otak pada tikus karena adanya peningkatan apoptosis di dalam tumor. Dengan menggunakan model tikus transgenik yang mengalami karsinogenesis payudara, juga diperoleh kesan bahwa diet tanpa antioksidan menghambat pertumbuhan tumor dan mengurangi metastasis. Dibandingkan dengan tikus kontrol yang diberikan diet standar, tikus dengan diet tanpa antioksidan menunjukkan peningkatan apoptosis lima kali lipat, dan persentase sel-sel tumor yang mengalami mitosis menurun dua kali lipat.

Antioksidan, dengan mencegah kerusakan oksidatif oleh pengaruh oksidan terhadap target (DNA, RNA, protein dan lipida), akan bersifat protektif pada individu yang tidak memiliki sel kanker; akan tetapi dengan menghambat apoptosis, antioksidan akan bersifat memicu terjadinya kanker pada pasien atau seseorang yang menderita kanker karena kerusakan atau perubahan DNA. Inhibisi apoptosis oleh antioksidan dapat menjelaskan mengapa sebagian penelitian yang dilakukan pada perokok berat, antioksidan vitamin E dan β-karoten justru memicu karsinogenesis di paru-paru (diduga sudah terjadi proses awal karsinogenesis akibat merokok sebelum pemberian antioksidan), tetapi menurunkan karsinogenesis di prostat (diduga belum terjadi tumor sebelum diberi antioksidan). Oleh karena itu, walaupun pemberian lebih awal antioksidan mungkin mencegah inisiasi dan perkembangan kanker dengan meredam aktivitas sifat mutagenik radikal bebas, mungkin juga akan meredam radikal bebas yang berperan penting pada peningkatan apoptosis. Ketidakseimbangan ini memungkinkan kecepatan proliferasi dalam tumor melebihi kemampuan untuk apoptosis yang berakhir dengan karsinogenesis (1,10).

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 41

KESIMPULAN 3. McKelvey KD, Evans JP. Cancer Genetics in Primary Care. J. Nutr. 2003; 133 (11S-I): 3767S-3772S.

Peranan ganda antioksidan pada proses karsinogenesis belum diketahui dengan jelas. Walaupun penelitian eksperimental tentang hubungan antara suplemen antioksidan tunggal dosis tinggi dan karsinogenesis menunjukkan hasil yang tidak konsisten, data epidemiologis masih memperlihatkan manfaat makanan sehari-hari khususnya sayur dan buah yang kaya antioksidan dalam mengurangi risiko kanker. Hasil ini mungkin disebabkan efek kombinasi dari berbagai jenis antioksidan dalam sayur dan buah dengan dosis rendah tanpa efek samping dari masing-masing antioksidan dibandingkan dengan antioksidan tunggal dosis tinggi. Tampaknya sangat beralasan untuk mempertimbangkan potensi risiko atau manfaat antioksidan dosis tinggi secara kasus per kasus, dan konsumsi sembarangan suplemen antioksidan tunggal dosis tinggi harus dihindari.

4. Gondhowiarjo S. Proliferasi Sel dan Keganasan. Maj. Kedokt. Indon. 2004; 54(7): 289-299.

5. Milner JA. Molecular Targets for Bioactive Food Components. J Nutr. 2004. 134(9): 2492S-2498S.

6. Go VW, Butrum RR, Wong DA. Diet, Nutrition, and Cancer Prevention: The Postgenomic Era. J. Nutr. 2003. 133 (11S-I): 3830S-3836S.

7. Nowell SA, Ahn J, Ambrosone CB. Gene-Nutrient Interaction in Cancer Etiology. Nutr. Rev. 2004; 62 (11): 427-434.

8. Walker WA, Blackburn G. Symposium Introduction: Nutrition and Gene Regulaton. J. Nutr. 2004; 134(9): 2434S-2436S.

9. McKee T, McKee JR. Biochemistry. The Moleculer Basis of Life. 3rd ed. Singapore: .McGrawHill. 2003: 656-657.

10. Lee KW, Lee HJ, Lee CY. Vitamins, Phytochemicals, Diets and Their Implementation in Cancer Chemoprevention. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 2004; 44: 437-447.

11. Wardlaw GM, Kessel MW. Perspective in Nutrition. 5th ed. Singapore: McGrawHill. 2002: 412-415.

12. Silalahi J, Tambunan ML. Zat Bersifat Antikanker di Dalam Makanan. Medika; 2003; 39 (7): 440-446.

13. Keku TO, Burris TR, Millikan R. Gene Testing: What the Health Professional Needs to Know. J. Nutr. 2003; 133 (11S-I): 3754S-3757S. 14. Kritchevsky D. Diet and Cancer: What’s Next? J. Nutr. 2003; 133 (11S): 3827S-3829S.

15. Cassens RG. Use of Sodium Nitrite in Cured Meats Today. Food Technol. 1995. July: 72-80. KEPUSTAKAAN

16. Hardman WE. (n-3) Fatty Acids and Cancer Therapy. J. Nutr. 2004; 134 (12S): 3427S-3430S. 1. Zeisel SH. Antioxidants Suppress Apoptosis. J Nutr. 2004;134(11):

3179S-3180S. 17. Wargovich MJ, Cunningham JE. Diet, Individual Responsiveness and Cancer Prevention. J. Nutr. 2003; 133 (7S): 2400S-2403S. 2. Rock CL, Newman VA., Nuehouser,ML, Major J, Barnett MJ.

Antioxidant Supplement Use in Cancer Survivor and the General Population. J. Nutr. 2004; 134 (11): 3194S-3195S.

18. Borek C. Antioxidants and Radiation Therapy. J. Nutr. 2004; 134(11): 3207S-3209

Don’t fly till your wings are fledged

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 42

apsul

MRI

Saat ini sudah banyak alat pemeriksaan MRI tersedia di Indonesia; selain itu makin banyak keadaan/penyakit yang dapat diperiksa dengan cara ini.

Meskipun demikian, mengingat MRI bekerja berdasarkan prinsip medan magnit, beberapa hal/keadaan harus diperhatikan agar tidak membahayakan pasien yang diperiksa maupun petugas yang ada di sekitarnya.

Di dalam ruang MRI tidak boleh ada benda logam, bahkan klip atau jepit rambut sekalipun karena benda-benda tersebut dapat tertarik dengan kecepatan sampai 60 km/jam di dalam medan magnit 1,5 Tesla; apalagi gunting, klem atau alat bedah logam lain; bahkan tangki oksigen tidak boleh berada di dalam ruangan.

Lalu bagaimana dengan implan atau klip atau alat elektronik yang tertanam di dalam tubuh seseorang ? Implan logam dan prostesis

Implan logam dapat bergeser kedudukannya, atau menjadi panas di dalam medan magnit dan menyebabkan artefak. Implan bukan logam tidak berubah kedudukannya, tetapi dapat memanas dalam medan magnit. Klip aneurisma intrakranial

Kedudukan klip dapat bergeser menyebabkan robekan pembuluh darah, menyebabkan perdarahan, iskemi, bahkan kematian; meskipun terbuat dari bahan nonmagnetik, tetap dapat bergeser dalam medan magnit. Alat pacu jantung

Sangat sensitif terhadap medan magnit, dapat bergeser dan menyebabkan kekacauan program. Pada pasien/orang yang alat pacu jantungnya telah diangkat, masih mungkin tertinggal serpihan kabelnya yang dapat menyebabkan fibrilasi jantung. Prostesis katup jantung

Dapat bergeser dalam medan magnit, tetapi umumnya minimal dibandingkan dengan gerak jantungnya sendiri; meskipun demikian tetap perlu diwaspadai. Implan kokhlea

Dapat tertarik dan teraktivasi dalam medan magnit.

Benda asing logam dalam bola mata Pada pekerja logam, sering terdapat/tertinggal serpihan halus logam di sekitar mata, yang dapat tertarik/bergeser

dalam medan magnit sehingga mencederai jaringan di sekitarnya. Semua pasien dengan dugaan trauma/perlukaan mata sebaiknya di foto Ro biasa terlebih dulu sebelum menjalani MRI.

Implan ortopedik

Sebagian besar implan ortopedik aman dalam medan magnit; meskipun demikian, prostesis yang besar seperti untuk sendi panggul dapat memanas dalam pengaruh medan magnit. Umumnya implan ortopedik dapat diperiksa dengan MRI tanpa bahaya. Klip abdomen

Klip yang digunakan untuk menutup luka abdomen pasca operasi umumnya aman karena tertanam di dalam jaringan ikat, tetapi menyebabkan artefak sesuai dengan kalibernya dan dapat mempengaruhi mutu gambar yang dihasilkan.

Sumber : Westbrook C. MRI at a Glance. Blackwell Science, 2002 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 43

Informatika Kedokteran

Beberapa strategi e-Health Dunia diringkas dari tulisan Nancy M. Lorenzi* dalam IMIA Yearbook of Medical Informatics 2005

Definisi e-Health

Ada banyak definisi mengenai e-health. Dua di antaranya yang sering digunakan adalah: 1. Pemanfaatan internet dan teknologi yang berhubungan

dengannya dalam industri pelayanan kesehatan guna meningkatkan akses, efisiensi, efektifitas dan kualitas dari proses klinis dan bisnis yang dijalankan organisasi pelayanan kesehatan, para praktisi, pasien dan konsumen dalam rangka peningkatan status kesehatan pasien (Healthcare Information and Management Systems Society [HIMSS]).

2. E-health adalah e-commerce versi kesehatan: yaitu pemanfaatan bisnis kesehatan secara elektronik. E-health adalah kombinasi dari pemanfaataan komunikasi elektronik dan teknologi informasi pada bidang kesehatan, baik di tempat sendiri (lokal) maupun di klinik yang jauh, untuk tujuan klinik, pengajaran dan administratif.

Pertumbuhan dunia internet dan pelayanan kesehatan

Selama lebih dari 12 tahun terakhir ini, di seluruh dunia terjadi pertumbuhan industri internet. Pertumbuhan yang melewati perkiraan semula dalam bidang pemanfaatan teknologi komputer dan telekomunikasi ini menyentuh semua sektor ekonomi. Terjadi kemudahan proses komunikasi dan transaksi menggunakan media ini. Konsumen sangat diuntungkan karena kemudahan mencari informasi dari pelbagai sumber di seluruh dunia. Memasuki dunia ini sangatlah mudah dengan mengunjungi website, melakukan chatting (diskusi seketika) termasuk bergabung pada pelbagai mailinglist-mailinglist khusus mengenai topik kesehatan/penyakit tertentu. Sayangnya, sebagian gerbang-gerbang informasi ini tidak terkontrol alias kurang bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu usaha meminimalisasi risiko ini adalah dengan hanya bergabung pada situs/ milis yang terpercaya. Pertumbuhan organisasi pelayanan kesehatan

Bersamaan dengan bertumbuhnya industri internet, pemain pada dunia pelayanan kesehatan pun juga turut meningkatkan investasi mereka dalam infrastruktur teknisl. Para klinikus yang sudah pernah menggunakan komputer saat menempuh kuliah kedokteran dahulu, sekarang mempunyai kebutuhan akan material referensi yang bisa diakses online. Sebagai cara yang baru, sama seperti Picture Archive Communications Systems (PACS), sistem laboratorium dan medical record, para klinikus mengharapkan mereka bisa memperoleh informasi terkini setiap waktu. Baik saat berada di rumah, di kantor termasuk di rumah sakit.

Kompetisi kebutuhan akses instant akan informasi dan transaksi, menuntut percepatan peningkatan peralatan teknis yang mendukung, yang bisa dihantar melalui website. Sudah banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang kesehatan melihat potensi pemanfaatan teknologi informasi ini. Sayangnya, tidak kalah banyak juga yang asal mencantumkan awalan "e-" pada solusi tua mereka.

Arti E pada e-health Menurut Gunter Eysenbach, "e" pada e-health tidak hanya

mengandung arti "electronic" melainkan juga melingkupi: 1. Eficiency 2. Enhancing quality of care 3. Evidence based 4. Empowerment of consumers and patients 5. Encouragement of a new relationship between the patient and

health professional 6. Education of physicians and consumers through online

sources 7. Enabling information exchange, an communication in a

standardized way between health care establishments 8. Extending the scope of healthcare beyond its conventional

boundaries 9. Ethics 10. Equity Beberapa perkembangan e-Health dunia, area Asia-Pasifik - Indonesia

Rumah-rumah sakit di Indonesia telah memiliki sistem informasi rumah sakit untuk pelayanan Medical Record. Secara umum mereka mengembangkan sendiri-sendiri sesuai dengan sistem manual yang telah dijalankan. Untuk meningkatkan sistem ini, ada yang membeli dari vendor-vendor luar negeri. Saat ini, selain pengembang software sistem informasi rumah sakit dari Indonesia sendiri, banyak juga pengembang dan konsultan IT yang berasal dari luar negeri seperti dari Malaysia, Singapura dan India.

Beberapa Seminar Sistem Informasi Rumah Sakit/Kesehatan yang telah diadakan: 1. Pemilihan Hospital Information System yang tepat untuk

Rumah Sakit, diselenggarakan oleh PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia), http://www.permapkin.or.id

2. Sistem Informasi Kesehatan dan Pengembangan Bank Data Kesehatan Kabupaten/Kota, diselenggarakan oleh PUSDATIN DepKes RI, http://www.depkes.go.id

3. Keabsahan dokumen Teknologi Informasi (TI) dalam mendukung sistem manajemen rawat jalan rumah sakit, diselenggarakan di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, http://irj3.tripod.com/semilokakarya.

Website Kesehatan/Kedokteran

Di Indonesia terdapat 2 buah website kesehatan/kedokteran yang telah mapan. Yang dimaksud dengan website kesehatan/kedokteran adalah website yang hanya memproduksi tulisan-tulisan kesehatan/kedokteran yang terjadi di Indonesia maupun di dunia. Satu situs dijalankan oleh perusahaan farmasi, http://www.kalbefarma.com, dan satunya lagi dijalankan oleh Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), http://www.pdpersi.co.id.

* President of the International Medical Informatics Association (IMIA)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 44

Kegiatan Ilmiah

Simposium Stem Cell, Jakarta 2 September 2006

Semua hasil yang besar dimulai dari mimpi. Begitu juga dengan penggunaan stem cell sebagai terapi berbagai macam penyakit yang ingin diwujudkan di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dr. Boenjamin Setiawan, PhD dalam Simposium Stem Cell hari Sabtu lalu di Aula FKUI Salemba. Mengangkat tema "Menyongsong Era Stem Cell di Indonesia", simposium ini dihadiri sekitar 400 peserta yang sebagian besar adalah dokter dari berbagai bidang spesialis termasuk dokter umum. Peserta lainnya adalah mahasiswa dan beberapa kalangan pemerhati stem cell. Acara ini terselenggara berkat kerjasama MRU FKUI, PT Kalbe Farma Tbk dan Jurnal Cermin Dunia Kedokteran (CDK). Collegium Internationale Geronto Pharmacologicum Congress 2006, Jakarta, 11-13 Agustus 2006

Collegium Internationale Geronto Pharmacologicum Congress (CIGP) 2006 yang berlangsung selama 3 hari tersebut diadakan di hotel Borobudur Jakarta dengan tema From Traditional Through Bio-Molecular to Nano-Technology Medication. Jumlah peserta yang hadir dalam seminar tersebut sekitar 300 peserta dari kalangan dokter umum dan dokter spesialis berbagai bidang. Diarrhea Treatment and Prevention with Tyndallized LAB, Batam 18 Juni 2006

Tidak seperti yang diketahui banyak orang, ternyata fungsi saluran cerna tidak hanya mencerna (kemudian mengabsorbsi) makanan. Ada beberapa fungsi lain yang tidak kalah penting seperti: fungsi barier dan fungsi pengembangan daya tahan tubuh. Demikian dikemukakan Food Microbiologist Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, DR. Endang Sutriswati Rahayu. Bersama-sama dengan Dr. M. Juffrie Ph.D SpA(K), kedua pakar tersebut membahas topik yang menarik yaitu " Diarrhea Treatment and Prevention with Tyndallized LAB" di RS Budi Kemuliaan Batam. Acara ini terselenggara atas kerjasama IDAI Riau komisariat Kepri dengan PT Kalbe Farma Tbk. The Perspective of Integrative Anti Aging Medicine, Jakarta 10 Juni 2006

Latihan fisik yang dilakukan saat ini kebanyakan masih menitikberatkan pada latihan aerobik yang bertujuan lebih terarah pada peningkatan kemampuan kardiorespirasi atau ketahanan jantung paru. Demikian dikemukakan dr Suharto dari Perhimpunan Dokter

Spesialis Kedokteran Olahraga, pada acara The Perspective of Integrative Anti Aging Medicine yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta 10 Juni 2006. Acara ini terlaksana berkat kerjasama Center for Study of Anti-Aging Medicine, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali, IDI Jakarta Barat, AustralAsian Academy of Anti-Aging Medicine dan Cermin Dunia Kedokteran (CDK), sebagai media partner. Sidang Ilmiah IV Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Jakarta 18 Mei 2006

Perbedaan Rekam Medik Kertas (konvensional) dan Rekam Medik Elektronik (e-MR) adalah yang pertama ialah objek atau produk yang dapat dipindah-pindahkan menurut kebutuhan dalam rumah sakit, sedangkan rekam medik elektronik sebaiknya ditinjau sebagai proses pembentukan dan penggunaan rekam medik tersebut. Demikian dijelaskan Dr. dr. Johan Harlan, MSc. pada acara Sidang Ilmiah IV institusi tersebut. Selain Johan, turut juga menyumbangkan pendapat selaku narasumber adalah Aris Muslim, SKom, MMSi. Acara ini turut didukung oleh Perhimpunan Informatika Kedokteran Indonesia (PIKIN). Pengobatan kanker yang "nyaman" di RSK Dharmais, 31 Mei 2006

Pasien-pasien kanker di Indonesia, boleh berlega hati. Teknik-teknik penyinaran yang cukup canggih sudah bisa dilakukan di RS Kanker Dharmais Jakarta. Dengan teknik yang sudah dikuasai para radiolog rumah sakit, penderita bisa merasakan 'kenyamanan' saat proses penyinaran. Efek samping seperti diare, dll. sudah sangat jauh berkurang. Demikian terungkap dalam salah satu sesi yang dibawakan oleh dr. Fielda Djuita Sp.Rad(K) Onk.Rad. saat menjelaskan mengenai "Pengobatan Radioterapi pada Kanker Leher Rahim". Acara ini merupakan workshop yang kedua kalinya bagi para wartawan yang diselenggarakan oleh DETAK, suatu badan yang aktif memberikan informasi kanker kepada masyarakat. Websitenya, http://www.detak.org.

Automated Peritoneal Dialysis (APD)

Automated Peritoneal Dialysis (APD) adalah suatu metode dialisis peritoneum, yang sebagian besar pertukaran cairannya dilakukan tanpa partisipasi aktif seseorang, melainkan mengandalkan mesin dialisis peritoneal yang telah diprogram terlebih dahulu, dikatakan dr. Tunggul Diapari Situmorang, Sp.PD-KGH, pada acara JNHC 20 Mei 2006.

Wisuda dan penutupan Promag Mulia Enterpreneur Congress, Bandung, 3 Juli 2006

Program Promag Mulia merupakan program pelatihan kepada wirausaha muda yang terseleksi dari 6 kota besar di Indonesia. Program yang tahun ini untuk kedua kalinya, merupakan kerja sama antara PT Kalbe Farma, Manajemen Qolbu Corporation (MQ Corporation) dan LP2ES. Jumlah peserta yang terseleksi hingga kemarin diwisuda sebanyak 25 wirausahawan muda. Acara pelatihan ini berlangsung selama 30 hari, bertempat di pesantren Daarut Tauhid, Geger kalong, Bandung. Website: http://www.promagmulia.com. Hidup dengan gagal ginjal, RS Pluit Jakarta, 26 Agustus 2006 Beberapa tanda gagal ginjal menurut ahli ginjal RS Pluit, dr. Widodo Sutandar, antara lain: kelelahan, mual dan muntah, nafas

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 45

pendek, sulit tidur, keringat berlebihan, tekanan darah tinggi, nafsu makan berkurang, dll. Penuturan ini disampakan pada acara seminar awam bulanan dari Indonesian Kidney Care Club (IKCC), Sabtu 26 Agustus 2006 di RS Pluit Jakarta bertepatan dengan perayaan 10 tahun berdirinya rumah sakit tersebut. Oleh sebab itu tidak heran selain berkaraoke ria, pada akhir acara dibagikan banyak door prize, termasuk 1 buah DVD player. Website: http://www.ikcc.or.id National Obesity Symposium (NOS V), Jakarta 20-21 Mei 2006

Acara NOS ke V ini diselenggarakan di Mercure Convention Centre - Ancol Jakarta pada tanggal 20-21 Mei 2006. Sebagai kesinambungan dari NOS I hingga IV, maka kali ini mengangkat tema “Building Basic-Clinical Cross-talk for Effective Management of Obesity & Metabolic Syndrome”. Simposium ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dan mahasiswa kedokteran. The 6th Jakarta Nephrology and Hypertension Course, 19 - 20 Mei 2006

Peningkatan kadar lemak darah sering dijumpai pada penderita penyakit ginjal. Ini merupakan konsekuensi penyakit tersebut. Sayangnya banyak pasien yang masih tidak memperdulikan hal ini; padahal menurut penelitian yang telah dilakukan, kadar kolesterol dan trigliserid plasma yang tinggi bisa mempercepat perjalanan penyakitnya. Demikian diungkap Guru Besar Penyakit Dalam FKUI, Prof.Wiguno Prodjosudjadi PhD, SpPD-KGH saat memberi ceramah dengan judul "Hiperlipidemia dan Progresi Penyakit Ginjal: Mekanisme dan Penanggulangannya". Acara ini merupakan bagian dari Kursus Tahunan PERNEFRI yang terkenal dengan nama singkatan JNHC (Jakarta Nephrology and Hypertension Course).

Laporan Temu Ilmiah Geriatri V, Jakarta, 27-28 Mei 2006

Acara Temu Ilmiah Geriatri V telah terselenggara dengan sukses dan meriah. Penyelenggaraan acara ini bertepatan dengan ‘Satu Dasawarsa Hari Usia Lanjut Nasional’ yang seharusnya jatuh pada tanggal 29 Mei 2006. Acara tersebut merupakan hasil kerjasama antara Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Sub Bagian Geriatri dan Pengurus Besar PERGEMI JAYA (Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia). Dihadiri sekitar 957 dokter baik dokter Penyakit Dalam, dokter Neurologi dan dokter umum dari seluruh Indonesia. Seminar Kesehatan & Penyakit Perut, Jakarta 15 Juni 2006

Perut orang Indonesia meskipun secara anatomis sama, namun fungsional berbeda dengan orang luar negeri. Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh: kondisi gigi-geligi, enzim pencernaan, gaya makan, alergi dan bibit penyakit. Demikian penjelasan dr. Handrawan Nadesul, dokter keluarga, saat memberi presentasi mengenai "Penyakit Perut Orang Indonesia" di Hotel The Ritz Carlton Jakarta, 15 Juni 2006. Acara ini merupakan kerjasama dari ParkwayGroup Healthcare, Trijaya Network, Bisnis Indonesia.

Fluid, Acid Base & Electrolyte Workshop (PERDICI), Jakarta, 15 Juni 2006

Fluid, Acid Base & Electrolyte Workshop kali ini membahas materi tentang pendekatan Stewart dalam menghitung keseimbangan asam basa, serta membandingkannya dengan teori tradisional tentang keseimbangan asam basa (Hendersen-Hasselbach), yang dihadiri oleh sekitar 70 orang terdiri dari dokter Anestesi dan dokter-dokter umum.

The 2nd Annual Meeting of Indonesian Society of Intensive Care Medicine (PERDICI), Jakarta, 16-17 Juni 2006

Acara the 2nd Annual Meeting of Indonesian Society of Intensive Care Medicine (PERDICI) ini diselenggarakan bersamaan dengan the

Surviving Sepsis Campaign (PERDICI Road Show Jakarta) dengan mengambil tema “A Novel of Intensive Care Medicine : To Be or Not To Be, An Evidence Based Process?”. Dihadiri sekitar 500 orang dari kalangan dokter spesialis dan dokter umum. ASEAN Federation of Psychiatry Congress, Jakarta 29 Juni-1 Juli 2006

Telah terselenggara acara 10th ASEAN Federation of Psychiatry and Mental Health (AFPMH) Congress bersamaan dengan 14th ASEAN Forum on Child and Adolescent Psychiatry dan 3rd Indonesian Mental Health Convention di Hotel Borobudur Jakarta kemarin. Tema yang dipilih dalam kesempatan kali ini adalah “Regional Collaboration for a Better Mental Health, It is Ttime to Act Now”. Kongres ini dihadiri sekitar 300 dokter mulai dari psikiater, dokter umum, psikolog dan juga utusan dari berbagai lembaga yang bertugas di seluruh Indonesia dan dari negara ASEAN.

Konferensi Nasional Kesehatan Jiwa Islami, Solo, 1-2 Juli 2006

Awal Juli kemarin telah terselenggara sebuah konferensi yang baru pertama diadakan di Indonesia yaitu Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami. Acara ini diselenggarakan di Hotel Sahid Raya Solo dan dihadiri sekitar 300 dokter psikiatri, dokter umum, psikolog serta ahli agama dari berbagai daerah di Indonesia.

7th National Congress PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, Malang 29 Juni - 2 Juli 2006

Simposium PERKENI 2006 bertemakan "Recent Advances in Endocrinology for a Better Life." dihadiri oleh sekitar 600 peserta dokter spesialis dan dokter umum dari seluruh Indonesia. Acara ini dibuka oleh ketua PERKENI Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo. Menurut beliau saat ini ruang lingkup endokrin semakin luas, contohnya sel lemak yang dahulu hanya dianggap sebagai storage sekarang masuk ke dalam ruang endokrin..

Kongres Obstetri dan Ginekologi (KOGI) XIII, Manado, 7-12 Juli 2006

Kongres Obstetri dan Ginekologi (KOGI) XIII diadakan di Hotel Ritzy, Manado 7- 12 Juli 2006. Kongres yang bertema “Memantapkan Profesionalisme dengan Meningkatkan Mutu Pendidikan dan Pelayanan di Bidang Obstetri dan Ginekologi Berlandaskan Etika Profesi” dihadiri oleh sekitar 1.500 peserta baik dokter spesialis obstetri dan ginekologi, dokter umum, dan tenaga paramedis lainnya.

Simposium PIN II Nyeri Kepala, Nyeri dan Vertigo, Surabaya, 14-16 Juli 2006

Pertemuan Ilmiah Nasional II telah diselenggarakan oleh

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dengan tema: Nyeri Kepala, Nyeri dan Vertigo. Acara yang terselenggara di Surabaya ini sangat meriah dihadiri sekitar 700 dokter terdiri dari hampir seluruh dokter Spesialis Saraf di seluruh Indonesia, dokter umum dan para ahli lainnya. Termasuk juga para peminat ilmu ini dari pelbagai disiplin ilmu.

Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia XIII (KOPAPDI XIII), Palembang 5-9 Juli 2006

Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia XIII (KOPAPDI XIII) diadakan di Hotel Aston, Palembang berlangsung selama 5 hari. Jumlah dokter yang berpartisipasi sekitar 1.900 dokter spesialis Penyakit Dalam dari seluruh Indonesia. Puluhan pembicara menyampaikan makalahnya dalam kuliah umum, simposium hingga presentasi makalah bebas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 46

The 6th Annual Scientific Meeting on Pharmacology & Therapy, Jakarta 21-22 Juli 2006

Pertemuan ilmiah tahunan Farmakologi dan Terapi yang ke-6 ini berlangsung selama 2 hari dengan mengambil tema Update in Pharmacotherapy & Pharmacoeconomics 2006. Berbagai topik pembicaraan dirangkum menjadi 12 sesi simposium. Acara ini dihadiri oleh 500 peserta yang terdiri dari para dokter umum, dokter spesialis farmakologi, sarjana farmasi, serta mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan bidang farmasi.

Liver Update 2006, Jakarta 28 - 30 Juli 20066

Sekitar 70% dari mereka yang menderita Hepatitis C akut akan berkembang menjadi kronik. Setelah itu, setengahnya tidak akan terjadi apa-apa (no progression), seperempatnya akan menjadi sirosis dalam 50 tahun berikutnya, dan seperempatnya lagi dalam 20 tahun berkembang menjadi sirosis. Demikian diungkapkan Guru Besar bidang Hepatologi dari Amerika Serikat, Detlef Schuppan, dalam acara Liver Update 2006, yang diikuti oleh sekitar 1.200 dokter peminat penyakit ini.

14th IUSTI-Asia Pacific Conference on STI's & HIV/AIDS, Kuala Lumpur, 27-30 Juli 2006 Acara ini merupakan konferensi ke 14 yang diadakan oleh organisasi IUSTI wilayah Asia Pasifik, bekerja sama dengan Malaysian Medical Association & Academy of Family Physicians of Malaysia, yang diketuai oleh Dr. M K Rajakumar; berlangsung selama 4 hari di Kuala Lumpur, Malaysia dan dihadiri oleh sekitar 400 undangan dari berbagai negara se Asia Pasifik.

2nd Malaysia Indonesia Medical Science Conference 2006, Jakarta 3-4 Agustus 2006

Acara Malindo 2006 yang diadakan 2 hari tersebut mengambil tema "Improving Health Service through Integrated Basic, Clinical and Epidemiological Research" dihadiri oleh sekitar 300 peserta yang berasal dari kalangan dokter spesialis dan dokter umum. Konferensi ini merupakan pertemuan ke-2; konferensi pertama diadakan di Kuala Lumpur Juli 2005 lalu. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara FKUI dan FK Universiti Kebangsaan Malaysia, sehingga pembicara dalam seminar inipun berasal dari dokter Indonesia dan Malaysia.

One day Semiloka Anti Aging - PASTI, Jakarta 6 Agustus 2006

One day SEMILOKA Anti Aging 2006 ini mengambil tema “Current Hormone Treatment in Anti Aging Medicine : What Doctors Should Know”, diselenggarakan oleh PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 30 dokter spesialis dan umum yang tertarik dengan bidang anti aging.

12th APLAR (Asia Pacific League of Associations for Rheumatology) 2006, Kuala Lumpur 1-5 Agustus 2006

Kongres 12th APLAR 2006 yang berlangsung selama 5 hari ini, mengambil tema "Asian Rheumatology - Facing the Challenges".

Dihadiri sekitar 1.800 peserta dari 23 negara anggota APLAR, dan negara di luar anggota APLAR. 2nd Congress of The Association of Sexology and The 1st INA International Symposium on Sexual Medicine, Surabaya, 10-13 Agustus 2006

2nd Congress of The Association of Sexology and The 1st INA International Symposium on Sexual Medicine diadakan di Hotel Hyatt Regency, Surabaya. Kongres yang bertema “Better Sexual Life For The Best Quality of Life” ini dihadiri oleh sekitar 300 peserta baik dokter spesialis terutama dokter spesialis andrologi dan dokter umum.

Fetomaternal Update Prenatal Care, Jakarta, 14-16 Agustus 2006

Acara Fetomaternal Update Prenatal Care yang berlangsung selama 3 hari ini mengambil tema "Menyiapkan Generasi Berkualitas" dihadiri oleh sekitar 200 peserta yang terdiri dari dokter spesialis obstetri dan ginekologi, beberapa dokter anak, dokter umum dan juga bidan. Selama tiga hari tersebut berlangsung berbagai rangkaian kegiatan seminar, workshop dan kursus penyegar.

The 11th Congress of the International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD), Hongkong, 25-29 Agustus 2006

Kongres ini mengambil tempat di Hongkong Convention Centre dan berlangsung selama 5 hari; diikuti oleh peserta dari lebih dari 70 negara dengan lebih dari 50 topik yang dipresentasikan. Acara ini dibuka oleh Prof. Philip Kam Tao Li selaku President Organizing Committee dan Dr.Alex Wai-Yin Yu selaku Chairman Hongkong Society of Nephrology. Untuk kongres kali ini tema yang diangkat adalah "Achieving PD Excellence" dengan harapan bahwa melalui kongres ini maka para peserta akan makin dapat memiliki standar yang lebih tinggi dalam menjalankan suatu prosedur PD dan makin dapat memperbaiki kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis peritoneal.

Peresmian Jakarta Heart & Vascular Center, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Sabtu 9 September 2006

Kekerapan Serangan Jantung Akut (acute myocardial infarction) di Amerika Serikat menurut Preskom Kalbe, dr. Boenyamin Setiawan PhD, adalah sekitar 1,5 juta kasus per tahun. Itu berarti sekitar 0,1 %. Jika hal ini diterapkan di Indonesia, berarti ada sekitar 270.000 kasus per tahun (asumsi penduduk 270 juta); di Jakarta sendiri dengan estimasi penduduk 10 juta, diperkirakan ada sekitar 10.000 kasus per tahun. Dari kasus tersebut, menurut Ir. Rustiyan Oen, MBA, Managing Director RS Mitra Keluarga Group, diperkirakan 30 persen harus menemui ajalnya. Pernyataan ini disampaikan pada acara peresmian Jakarta Heart & Vascular Center yang berlokasi di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Sabtu 10 September 2006.

Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas (dalam Bahasa Indonesia / English), bisa diakses pada http://www.kalbefarma.com/seminar.

Dignity is often a veil between us and the real truth

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 47

Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran

Tahun 2006

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 48

CDK 150. Masalah Hepar English Summary JB. Suharjo, B. Cahyono - Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis Raflizar, Cornelis Adimunca, Sulistyowati Tuminah - Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai Obat Radang Hati Akut Azhari Gani - Sindrom Hepatorenal B. Singgih, EA. Datau - Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal Suyono, Sofiana, Heru, Novianto, Riza, Musrifah - Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr. Moewardi Candra Wibowo - Farmakoterapi Rasional pada Amebiasis Myrna Justina - Perdarahan Varises Gastroesofageal pada Hipertensi Portal Azamris - Korelasi Sidik Tiroid Radioaktif dengan Pemeriksaan Histopatologis pada Tonjolan Tiroid Santoso M, Lian S, Yudy - Gambaran Pola Penyakit Diabetes Melitus di Bagian Rawat Inap di RSUD Koja 2000-2004 Suyono, Isa, Henry, Nugroho - Derajat Keasaman Air Ludah pada Penderita Diabetes Melitus Enrico Merentek - Resistensi Insulin pada Diabetes Melitus Tipe 2 Iris Rengganis - Penggunaan dan Efek Samping Steroid Santoso M, Lyta, Pina - Gambaran Pola Komplikasi Penderita Hipertensi yang Dirawat di RSUD Koja 2000-2004 Carta A. Gunawan - Sindrom Nefrotik - Patogenesis dan Penatalaksanaan Sardjana Atmadja - Peramalan Kadar Endometriosis Menggunakan Model Regresi Logistik Amarullah H. Siregar - Spa Medic - pilar Anti Aging Medicine Produk Baru : Terapi dan Profilaksis Netropeni akibat Kemoterapi Informatika Kedokteran : Laporan pelbagai Simposium pada Website Kalbe Farma Kegiatan Ilmiah Kapsul : A Grading System for Hepatic Encephalopathy Abstrak Risiko Skizofrenia dan Malnutrisi JAMA 2005; 294: 557-61 SMS untuk Berhenti Merokok BMJ 2005; 331: 72 Funduskopi pada Hipertensi BMJ 2005; 331: 73-6 Sildenafil untuk Hipertensi Pulmonal N. Engl. J. Med. 2005; 353: 2148-57 Opioid untuk Neuropati JAMA 2005; 293: 3043-52 Efek Dinas Malam N. Engl. J. Med. 2005; 125-34 Diet dan Exercise N. Engl. J. Med. 2005; 353: 2111-20 Studi Populasi atas Kejadian Vaskuler Lancet 2005; 366: 1773-83 Diazepam vs. Midazolam untuk Kejang Anak-anak Lancet 2005; 366 : 205-10

4

5 – 9

10 – 14 15 – 17

18 – 21

22 – 25

26 – 28

29 – 30

31 – 33

34 – 35

36 – 37

38 – 41 42 – 46

47 – 49

50 – 54

55 – 56

57 – 60

61

62 63 – 64

65

66 66 66

66 66 67 67

67

67

CDK 151. Infeksi pada Kehamilan English Summary Kornia Karkata, TGA Suwardewa - Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah Denpasar Enny Muchlastriningsih - Pengaruh Infeksi TORCH terhadap Kehamilan I Ketut Suwiyoga, I Made Agus Supriatmaja - Lama Perawatan dan Komplikasi Kuretasi Segera dan Tunda pada Abortus Infeksiosus Raka Budayasa AAG, Suwiyoga IK, Soetjiningsih - Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm Sofie Rifayani Krisnadi - Dampak Infeksi Genital terhadap Persalinan Kurang Bulan R. Haryono Roeshadi - Sulbaktam / Ampisilin sebagai Antibiotika Profilaksis pada Seksio Sesarea Elektif di RSIA Rosiva Medan John Rambulangi - Sindrom HELLP I Ketut Suwiyoga - Tes Human Papillomavirus sebagai Skrining Alternatif pada Kanker Serviks Conny Riana Tjampakasari - Karakteristik Candida albicans Zulkhairi, Salli R Nasution - Sindrom Nefrotik pada Kehamilan William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri - Sindrom Antifosfolipid dan Trombosis Sriana Azis, S.R. Muktiningsih - Studi Manfaat Daun Katuk (Sauropus androgynus) Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper SP Manalu - Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio Demografi yang Melatar-belakanginya Tjandra Yoga Aditama - Perkembangan Terbaru Pengobatan Flu Burung Phaidon Lumban Toruan - Latihan Beban Meningkatkan Kualitas Hidup Menghadapi Penuaan Produk Baru: Neural Tube Defects – Fact and Prevention Kegiatan Ilmiah Kapsul : Uji Laboratorium yang Dianjurkan untuk Kasus Baru HIV Positif Abstrak Asam Valproat untuk Infeksi HIV Lancet 2005; 366 : 549-55 Pengobatan untuk HIV Positif N. Engl. J. Med. 2006; 354: 251-60 Penyakit setelah Perjalanan Wisata N. Engl. J. Med. 2006; 354: 119-30 Benazepril dan Fungsi Ginjal N. Engl. J. Med. 2006; 354; 131-40 Terapi Karsioma Ovarium N. Engl. J. Med. 2006; 354: 34-43

4

5 – 7

8 – 10

11 – 13

14 – 17

18 – 20

21 – 23 24 – 28

29 - 32

33 – 36

37 – 41

42 – 47

48 - 50

51 – 54

55 – 57

58 – 59

60 61

62

63

63

63

63

63

CDK 152. Kesehatan Wisata English Summary

Levina S. Pakasi – Pelayaran Kedokteran Wisata – suatu peluang Ana Rima, Reviono - Peranan Ilmu Kedokteran Wisata dalam Pencegahan Penyebaran Avian Influenza Sri Rezeki - Kesehatan Wisata pada Anak Iris Rengganis - Perlukah Imunisasi Dewasa Faisal Yatim Lubis - Giardiasis (Demam Linsang) Masri S Maha - Gejala Klinis dan Pengobatan Leptospirosis Faisal Yatim Lubis - Babesiosis (Piroplasmosis) PN. Harijanto - Perubahan Radikal dalam Pengobatan Malaria di Indonesia Noer Endah Pracoyo, Siti R, Melati Wati, dkk. - Penelitian Bakteriologik Air Minum Isi Ulang di Daerah Jabotabek 2003 - Maret 2004 Noer Endah Pracoyo, Danayati, Dewi Parwa - Analisis Mikrobiologik Beberapa Jenis Makanan Jajanan (Moko) di DKI Jakarta Misnadiarly AS - Faktor-Faktor Berpengaruh terhadap Masalah Kesehatan Kulit Hendrik, Kurnianto Trubus Pranowo, Anton Sulistyo, dkk. - Pengaruh Waktu Penatalaksanaan Kegawatdarurat-an Medis terhadap Mutu Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Bantul Azamris - Analisis Faktor Risiko pada Pasien Kanker Payudara di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang Prosedur Pemeriksaan Virus Avian Influenza Produk Baru: Glisodin – the first orally effective SOD Informatika Kedokteran : Konsep Standarisasi Protokol untuk bidang health-care information Kegiatan Ilmiah Kapsul : Undesirable Effects and Complications of Treatment with Hypnotic Drugs at Therapeutic Doses Abstrak Manfaat Statin Revaksinasi BCG Lancet 2005;366: 1267-78 tidak Bermanfaat Lancet 2005; 366: 1290-95 Terapi Meningitis Meningokok Lancet 2005; 366: 308-13 Cedera pada Epilepsi Neurology 2004; 63: 1565-70

4

5 – 8

9 – 12

13 – 17 18 – 21 22 – 23

24 – 26 27 – 29

30 – 36

37 – 40

41 – 42

43 – 45

46 – 52

53 – 56 57

58

59 – 60

61

62

63 63 63 63

CDK 153. Stem cell Boenjamin Setiawan – Aplikasi Terapeutik Sel Stem Embrionik pada Berbagai Penyakit Degeneratif M.K. Tadjudin – Aspek Bioetika Penelitian Stem Cell RWM Kaligis – Aplikasi Terapi Stem Cell pada Infark Miokard Akut A. Harryanto Reksodiputro – Stem Cell Therapy in Hematologic Malignancies Ismail Setyopranoto – Application of Stem Cell Therapy in Parkinson Disease Mohammad Saiful Islam – Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis Nurhadi Ibrahim – Aplikasi Terapi Stem Cell pada Luka Bakar Virgi Saputra – Dasar-dasar Stem Cell dan Potensi /Aplikasinya dalam Ilmu Kedokteran Richard Prayogo, Maria Teresa Wijaya – Kultur dan Potensi Stem Cells dari Tarah Tali Pusat Meta W. Djojosubroto – Stem Cell Retina : Harapan baru untuk mengatasi kebutaan ? Adiwirawan Mardjuadi – Penggunaan Human Mesenchymal Stem Cells untuk Perbaikan Tulang Rawan Sendi pada Osteoarthritis Rochman Naim – Penyakit yang Berhubungan dengan Penghambatan Apoptosis Jansen Silalahi – Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis Kapsul : MRI Informatika Kedokteran : Beberapa Strategi e-Health Dunia Kegiatan Ilmiah : Laporan Simposium Stem Cell, dll. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 2006 Abstrak Vaksinasi BCG Mengurangi Risiko Infeksi TBC Lancet 2005; 366: 1443-51 Bunuh Diri Menggunakan Insektisida Lancet 2005; 366: 1452-59 Pola Infeksi HPV di Berbagai Negara Lancet 2005; 366: 991-98 Terapi Metilfenidat Clin.Drug Invest.2006;26(3):161-7 Risiko Thallium test Lancet 2006;366:342 Angka Kelahiran Bayi Perempuan di India Lancet 2006;367:211-18 Terapi Neuralgia Pasca Herpes Zoster Lancet 2006;367:219-24 NSAID dan Kanker Mulut Lancet 2005;366:1359-66

5

9

13

14

16

17

20

21

26

29

33

36

39

43

44 45 48

50

50

50 50 51

51

51 51

Beauty blemished once, forever lost (Shakespeare)

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 49

ABSTRAK VAKSINASI BCG MENGURANGI RISIKO INFEKSI TBC

Penelitian dilakukan di Istanbul,

Turki untuk menilai risiko infeksi tbc paru pada anak-anak dengan kontak positif. Infeksi dideteksi melalui pemeriksaan ELISpot (T-cell based enzyme-linked immunospot assay).

Sejumlah 979 anak berusia sampai 16 tahun (median 7, IQR 3-11) kontak dengan 414 dewasa penderita tbc paru sputum positif, 770 (79%) di antaranya mempunyai scar BCG.

Ternyata intensitas paparan dalam rumah dan usia (petanda paparan tuberkulosis di luar rumah) berhu-bungan kuat dengan risiko infeksi seperti diukur melalui TST (tuberculin skin test) dan ELISpot. ELISpot juga menemukan bahwa tidak adanya scar BCG merupakan faktor risiko infeksi independen di kalangan anak-anak yang terpapar; odds ratio infeksi tuberkulosis anak-anak yang divaksinasi BCG 0.60 (95%CI 0.43-0.83, p=0.003) dibandingkan dengan anak-anak yang tidak divaksinasi.

Mereka menyimpulkan bahwa vaksinasi BCG melindungi anak-anak tidak hanya dari penyakit tbc tetapi juga dari infeksi tbc.

Lancet 2005;366:1443-51 brw

BUNUH DIRI MENGGUNAKAN INSEKTISIDA

Efek insektisida organofosfat pada

manusia seperti terlihat pada usaha bunuh diri ternyata tidak seragam, meskipun mereka berasal dari satu golongan (organofosfat).

Penelitian dilakukan di tiga rumahsakit di Srilanka selama kurun waktu yang berbeda, antara 31 Maret 2002 sampai 25 Mei 2004. Selama jangka waktu tersebut tercatat 802 pasien usaha bunuh diri menggunakan

tiga jenis insektisida organofosfat – chlorpyrifos, dimethoate dan fenthion.

Dibandingkan dengan kematian akibat penggunaan chlorpyrifos (35 dari 439, 8.0%), kematian tertinggi berasal dari penggunaan dimethoate (61/264, 23.1%, OR 3.5, 95%CI 2.2-5.4) atau fenthion (16 dari 99, 16.2%, OR 2.2, 1.2 – 4.2); demikian juga dengan keperluan intubasi endotrakheal (66 dari 439 pengguna chlorpyrifos – 15.0%, 93 dari 264 pengguna dimethoate – 35.2%, OR 3.1, 2.1-4.4; 31 dari 99 pengguna fnethion, 31.3%, 2.6, 1.6-4.2).

Pasien keracunan dimethoate meninggal lebih cepat, sering disebabkan oleh syok hipotensif. Keracunan fenthion gejala awalnya ringan tetapi banyak di antaranya yang akhirnya memerlukan intubasi. Asetilkholinesterase yang dihambat oleh fenthion atau dimethoate kurang responsif terhadap pralidoxime dibandingkan dengan yang dihambat oleh chlorpyrifos.

Hasil ini tidak sesuai dengan percobaan binatang yang menunjukkan bahwa chorpyrifos paling beracun untuk tikus, tetapi ternyata kurang beracun untuk manusia.

Lancet 2005;366:1452-59 brw

POLA INFEKSI HPV DI BERBA-GAI NEGARA

Proporsi perempuan yang

terinfeksi HPV (human papilloma virus) sangat bervariasi di kalangan dan lokasi demografik yang berbeda.

Suatu survai dilakukan atas populasi umum 15 613 perempuan berusia 15 – 74 tahun tanpa kelainan sitologik berasal dari 13 area di 11 negara dengan protokol standar menggunakan uji PCR based EIA.

Prevalensi age-standardized HPV sangat bervariasi di lokasi penelitian, berkisar dari 1.4% (95%CI 0.5 – 2.2)

di Spanyol sampai 25.6% (22.4 – 28.8) di Nigeria.

Prevalensi umum HPV dan HPV 16 tertinggi di Afrika Subsahara ; tetapi perempuan HPV positif di Eropa lebih berisiko terinfeksi HPV16 daripada mereka di Subsahara (OR 2.64, p=0.0002) dan lebih sedikit terinfeksi HPV risiko tinggi selain HPV 16 (OR 0.57, p=0.004) dan /atau tipe HPV risiko rendah (OR 0.44, p=0.0002).

Pola distribusi tipe HPV di Amerika Selatan berada di antara pola Subsahara dan pola Eropa, sedangkan pola di Asia sangat heterogen.

Heterogenitas pola distribusi tipe HPV ini hendaknya diperhatikan dalam pengembangan tes penyaring dan meramalkan efek vaksinasi terhadap kejadian infeksi.

Lancet 2005;366: 991-98 brw

TERAPI METILFENIDAT

Dilakukan studi longitudinal atas

populasi semua anak yang tinggal di Clalit, Israel yang diliput oleh asuransi kesehatan untuk menilai penggunaan metilfenidat selama tahun 1998-2004.

Prevalensi 1 tahun penggunaan metilfenidat di kalangan anak usia 0-18 tahun meningkat dari 0.7% di tahun 1998 menjadi 2.5% di tahun 2004; suatu peningkatan sebesar 3.54 (95%CI 3.31-3.79). Di tahun 1998 penggunaan metilfenidat berkisar dari 0.20% di kalangan perempuan usia sekolah sampai 1.2% di kalangan anak laki-laki; perbedaan sex mengecil menjadi 3.45. Kecuali di kalangan perempuan taman kanak-kanak, penggunaan metilfenidat meningkat di semua usia dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan.

Clin.Drug Invest.2006;26(3):161-7 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 50

ABSTRAK

RISIKO THALLIUM TEST

Seorang pilot pesawat komersial

mengaktifkan detektor radiasi saat melewati pemeriksaan di bandara. Pilot tersebut 2 hari sebelumnya menjalani thallium-201 myocardial perfusion scintigram. Empat hari kemudian saat pilot tersebut kembali melewati pemeriksaan yang sama, alarm masih berbunyi.

Laporan ini menguatkan laporan sebelumnya bahwa 2 orang pernah ditahan oleh petugas Gedung Putih karena mengaktifkan detektor beberapa hari setelah mereka menjalani thallium test; satu pasien lainnya mendapat kesulitan karena mengaktifkan detektor di sebuah bank. Thallium 201 mempunyai waktu paruh 73 jam dengan dosis rata-rata saat tes 80 MBq, sehingga dapat mengaktifkan detektor radioaktif sampai dua minggu setelah pemeriksaan. Isotop lain yang sering digunakan pada penelitian medis ada lah I -131 dapa t mengaktifkan detektor sampai 100 hari setelah pemeriksaan; I-123 hanya beberapa hari, sama seperti Tc-99m dan F-18. Sedangkan Indium - 111 dan Gallium - 67 antara 20-30 hari.

Laporan ini patut diperhatikan bagi orang-orang yang akan bepergian beberapa saat setelah menjalani tes yang menggunakan bahan tersebut.

Lancet 2005; 366 : 342

brw

ANGKA KELAHIRAN BAYI PEREMPUAN DI INDIA

Analisis data kelahiran tahun 1997 di India menunjukkan bahwa angka kelahiran bayi laki-laki lebih besar daripada angka kelahiran bayi perempuan, terutama jika anak pertamanya perempuan.

Dari 133 738 kelahiran yang

dianalisis, jika anak pertamanya perempuan, adjusted sex ratio untuk anak ke dua ialah 759 perempuan untuk setiap 1000 laki-laki (99%CI 731-787), sedangkan untuk anak ke tiga jika dua anak sebelumnya perempuan ialah 719 (675-762).

Sebaliknya jika anak sebelumnya laki-laki, maka angka tersebut masing-masing 1102 untuk kelahiran ke dua dan 1176 untuk kelahiran ke tiga.

Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai perbandingan yang lebih rendah (683, 610-756) dibandingkan dengan ibu yang buta huruf (869, 820-917). Sebaliknya data lahir mati dan kematian neonatal lebih banyak mengenai bayi laki-laki - total lahir mati perempuan adalah 809 (689-929) untuk setiap 1000 lahir mati laki-laki.

Para peneliti menduga aborsi bayi perempuan merupakan penyebab distorsi ini, terutama pada ibu yang sebelumnya melahirkan satu atau dua anak perempuan; dan ini menyebabkan 'hilang'nya kira-kira 0.5 juta bayi perempuan tiap tahun.

Lancet 2006; 367: 211-18

brw

TERAPI NEURALGIA PASCA HERPES ZOSTER

Sampai saat ini terapi neuralgia

pasca herpes zoster masih belum memuaskan; oleh karena itu sekelompok peneliti di Belanda mencoba tambahan pemberian satu kali injeksi 80 mg. metilprednisolon + 10 mg. bupivakain epidural saat akut, di samping pengobatan antiviral oral dan analgetik biasa pada 598 pasien herpes zoster fase akut (< 7 hari) di bawah dermatom C7.

Setelah 1 bulan, 137 (48%) pasien epidural melaporkan nyeri, dibanding-kan dengan 164 (58%) di kelompok kontrol (RR 0.83; 95%CI 0.75-0.97;

p=0.02); setelah 3 bulan 58 (21%) di kelompok epidural dan 63 (24%) di kelompok kontrol melaporkan nyeri (0.89, 0.65-1.21, p=0.47) dan setelah 6 bulan frekuensinya menjadi 39 (15%) dan 44 (17%) di masing-masing kelompok.

Tidak dijumpai efek samping yang berarti. Mereka menyimpulkan bahwa injeksi steroid + anestetika lokal saat akut tidak efektif untuk mencegah nyeri pasca herpes zoster dalam jangka panjang.

Lancet 2006: 367: 219-24

brw

NSAID DAN KANKER MULUT

Anti inflamasi non steroid diduga

mencegah beberapa jenis kanker, tetapi meningkatkan risiko kardiovaskuler.

Analisis case-control dilakukan atas data population based di Norwegia, dari penderita kanker oral yang dideteksi di antara 9241 orang berisiko tinggi kanker oral karena perokok berat (> 15 pack-years) dibandingkan dengan kontrol dari kelompok yang sama.

Penggunaan NSAID (tetapi bukan parasetamol) dikaitkan dengan penurunan risiko kanker oral (termasuk di kalangan perokok aktif) - hazard ratio 0.47., 95%CI 0.37-0.60, p< 0.0001). Berhenti merokok juga me-nurunkan risiko kanker oral (0.41, 0.32-0.52, p < 0.0001).

Selain itu penggunaan NSAID jangka panjang (tetapi bukan parasetamol) juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian kardio-vaskular (2.06, 1.34 – 3.18, p=0.001). NSAID tidak menurunkan mortalitas keseluruhan (p=0.17).

Lancet 2005;366: 1359-66 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006 51

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Yang paling mudah didapat :

a) Fetal stem cells b) Bone marrow stem cells c) Umbilical cord blood stem cells d) Embryonic stem cells e) Semua sama mudahnya

2. Keuntungan umbilical cord stem cells :

a) Mudah didapat b) Plastisitasnya cukup baik c) Immunogenecity nya rendah d) Telah banyak diteliti e) Semua benar

3. Yang telah digunakan dalam klinik adalah transplantasi

stem cell pada : a) Infark miokard b) Leukemi c) Stroke d) Rejuvenasi kulit e) Artritis

4. Stem cell yang paling besar potensinya untuk

berdiferensiasi : a) Sel totipoten b) Sel pluripoten c) Sel multipoten d) Sel omnipoten e) Semua sama

5. Sumber stem cell yang terbaik berasal dari :

a) Embrio b) Sumsum tulang c) Kultur jaringan d) Domba e) Sapi

6. Transplantasi sumsum tulang di Indonesia telah dilakukan di : a) Jakarta b) Bandung c) Semarang d) Yogyakarta e) Semua di atas

7. Cedera medulla spinalis yang berisiko menyebabkan

kegagalan pernafasan ialah jika di atas segmen : a) C 4 b) C 6 c) C 7 d) T 1 e) T 4

8. Sel retina yang terbentuk paling awal :

a) Sel ganglion b) Sel runjung (cone) c) Sel batang (rod) d) Sel amakrin e) Sel horisontal

9. Terapi stem cells pada osteoarthritis ditujukan untuk

meremajakan : a) Osteosit b) Khondrosit c) Cairan sinovial d) Jaringan ikat/tendon e) Sel saraf

10. Penerapan teknologi stem cell pada terapi luka bakar ialah

untuk kultur : a) Sel jaringan ikat b) Sel saraf c) Sel pembuluh darah d) Sel kulit e) Semuanya

JAWABAN : 1.C 2.E 3.B 4.A 5. A 6.E 7.A 8.A 9.B 10. D

Cermin Dunia Kedokteran No.153, 2006 52