Caring Bagi Orang Menjelang Mati

36
CARING BAGI ORANG MENJELANG-MATI: Signifikansi Pelayanan Palliative Care dan Hospis di tengah Masyarakat Sibuk Oleh: Hendri M. Sendjaja “There is a sadness growing within me I do not want it so, but I know I cry with bitterness filling me It does not hurt the way It did Yesterday There is only room for just so much sorrow. What will I put in its place tomorrow?” 1 I. Pengantar Kematian merupakan realitas yang pasti dijalani semua orang. Beberapa orang siap menerima kenyataannya ini. Namun, beberapa lainnya tidak siap menerima kematian. Mereka memandang kematian sebagai peristiwa gelap dan menakutkan. Selain itu mereka pun menganggap kematian sebagai “peristiwa kehilangan”, kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintai mereka, kehilangan hal-hal eksistensial dalam hidup di dunia ini. Mereka ingin menolak kematian, tapi tidak berdaya. Orang yang tidak siap menerima kematian dan berada dalam proses menjelang-mati (dying), misalnya karena mengidap penyakit yang tak dapat 1 Puisi ini ditulis oleh Beth menjelang kematiannya. Dikutip dari: Elizabeth Kübler-Ross, To Live Until We Say Good-Bye, Prentice-Hall, Inc., New York 1978, 40.

description

Signifikansi Pelayanan Palliative Care dan Hospis di tengah Masyarakat Sibuk

Transcript of Caring Bagi Orang Menjelang Mati

Page 1: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

CARING BAGI ORANG MENJELANG-MATI:

Signifikansi Pelayanan Palliative Care dan Hospis di tengah

Masyarakat Sibuk

Oleh: Hendri M. Sendjaja

“There is a sadness growing within me I do not want it so, but I know I cry with bitterness filling me

It does not hurt the way It did Yesterday

There is only room for just so much sorrow. What will I put in its place tomorrow?”1

I. Pengantar

Kematian merupakan realitas yang pasti dijalani semua orang. Beberapa

orang siap menerima kenyataannya ini. Namun, beberapa lainnya tidak siap

menerima kematian. Mereka memandang kematian sebagai peristiwa gelap dan

menakutkan. Selain itu mereka pun menganggap kematian sebagai “peristiwa

kehilangan”, kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintai mereka,

kehilangan hal-hal eksistensial dalam hidup di dunia ini. Mereka ingin menolak

kematian, tapi tidak berdaya.

Orang yang tidak siap menerima kematian dan berada dalam proses

menjelang-mati (dying), misalnya karena mengidap penyakit yang tak dapat

1 Puisi ini ditulis oleh Beth menjelang kematiannya. Dikutip dari: Elizabeth Kübler-Ross, To

Live Until We Say Good-Bye, Prentice-Hall, Inc., New York 1978, 40.

Page 2: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

2

disembuhkan (uncurable illness) yang berangsur-angsur menggerogoti fisiknya, akan

menjalani hari-hari dalam (sisa) hidupnya dengan penuh derita. Ia bergulat bukan

saja dengan rasa sakit karena penyakitnya, melainkan juga dengan rasa sedih dan

pahit atas kematian yang mendekat. Itulah sebabnya ia mungkin akan berkata,

seperti diungkapkan Beth, seorang pasien yang didampingi Elizabeth Kübler-Ross,

dalam puisinya di atas, “There is a sadness growing within me … I cry with bitterness

filling me”.

Leuenberger pernah menuliskan, “Tidak layaklah bagi manusia untuk

meninggal tanpa pendamping.”2 Pernyataan ini tentu berkaitan dengan kenyataan

bahwa setiap pribadi manusia pada dasarnya memerlukan bantuan holistik tatkala

ia harus menghadapi kematian. Bantuan holistik ini jelas melibatkan orang lain.

Pada titik inilah caring bagi orang menjelang-mati (caring for the dying) menjadi

relevan dan signifikan untuk dilakukan.

Apakah itu caring bagi orang menjelang-mati dan bagaimana itu dapat

dilakukan? Itulah tema yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pemaparan tulisan

dilakukan sebagai berikut: pada bagian awal dijelaskan beberapa pengertian yang

digunakan dalam tulisan ini, yakni: caring, orang menjelang-mati, palliative care,

dan hospis. Bagian berikutnya beberapa aspek, seperti: fisik, psikosial, dan spiritual,

berkaitan dengan kondisi menjelang-mati dikemukakan. Lalu, hal-hal lebih lanjut

mengenai palliative care dan hospis dipaparkan. Akhirnya pandangan Alkitab

mengenai kematian dan caring, serta pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati

dan keluarganya, disampaikan agar tema ini dapat dipahami secara lebih utuh.

2 R. Leuenberger, “Menghibur: Suatu Pokok Iman Kristiani”, dalam B. Kieser (ed.), Ikut

Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende 1984, 26.

Page 3: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

3

II. Beberapa Pengertian

2.1. Caring

Dalam pengantar buku terjemahan On Caring, karya Milton Mayeroff, Agus

Cremers dan Frans Ceunfin mengemukakan bahwa kata Inggris ‘caring’ (dari kata

‘care’) memiliki liputan makna yang jauh lebih kaya dibandingkan dengan kata

terjemahannya dalam bahasa Indonesia: ‘memperhatikan’.3 Merriam-Webster’s

Collegiate Dictionary, 11th ed., misalnya, mengartikan kata ‘care’ sebagai berikut:

“n. 1: suffering of mind; 2 a: a disquited state of mixed uncertainty, apprehension, and responsibility; b: a cause for such anxiety; 3 a: painstaking or wathcful attention; b: maintenance; 4: regard coming from desire or esteem; 5: charge, supervision; 6: a person or thing that is an object of attention, anxiety, or solicitude. ... vb. 1 a: to feel trouble or anxiety; b: to feel interest or concern; 2: to give care; 3 a: to have a liking, fondness, or taste; b: to have an inclination.”4

Karena pertimbangan kekayaan makna yang tercakup dalam kata ‘care’,

maka kami memutuskan untuk tidak menerjemahkan ‘care’ atau ‘caring’ ke dalam

bahasa Indonesia. Di sini kami sepakat dengan pendapat Mayeroff bahwa ‘caring’

atau ‘to care’ pada hakikatnya berarti: “menolong orang lain berkembang dan

mewujudkan dirinya sendiri”.5

3 Agus Cremers – Frans Ceunfin, “Seni Memperhatikan: Sebuah Pengantar”, dalam Milton

Mayeroff, Seni Memperhatikan, diterjemahkan dari On Caring, oleh Agus Cremers – Frans Ceunfin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, 8.

4 Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th ed., Merriam-Webster, Inc., Massachussetts

2007, 187. 5 Milton Mayeroff, Seni Memperhatikan, diterjemahkan dari On Caring, oleh Agus Cremers –

Frans Ceunfin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, 27.

Page 4: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

4

2.2. Orang Menjelang-Mati

Secara sederhana, yang dimaksud dengan ‘orang menjelang-mati’ (the dying

person) ialah orang yang berada dalam proses menuju kematian. Seseorang dapat

mengalami kondisi ini lantaran beberapa hal, antara lain:

• Orang itu berusia sangat tua, sehingga organ biologisnya yang vital bagi

kelangsungan hidupnya menurun atau rusak;

• Orang itu berada dalam “keadaan sakit ambang-batas-hidup” (life-limiting

illness), misalnya karena penyakit tak dapat disembuhkan (incurable illness),

yang secara berangsur-angsur, cepat atau lambat, merusak organ biologis vital

bagi kelangsungan hidupnya. Perlu dikemukakan di sini, Lampiran I, Keputusan

Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/ VII/2007 tentang Kebijakan

Perawatan Paliatif, menuliskan beberapa penyakit yang tak dapat disembuhkan,

baik pada orang dewasa maupun anak, ialah: penyakit kanker (stadium lanjut),

penyakit degenaratif, penyakit paru obststruktif kronis, cystic fibrosis, stroke,

Parkinson, gagal jantung (heart failure), penyakit genetika dan penyakit infeksi

seperti HIV/AIDS.

• Orang itu mengalami kecelakaan atau musibah yang secara fatal merusak organ

biologisnya yang vital bagi kelangsungan hidupnya.

Kata ‘menjelang’ pada ‘orang menjelang-mati’ sebenarnya menegaskan

adanya suatu proses yang dijalani orang bersangkutan. Itu berarti, orang itu masih

memiliki rentang waktu sebelum ia benar-benar dinyatakan mati otak (brain death).

Rentang waktu itu bersifat relatif: bisa panjang, tapi juga bisa singkat. Di samping itu,

dengan adanya suatu proses, maka orang itu pada gilirannya menjalani tahap-tahap

(sikap) menjelang kematiannya. Di sinilah tulisan Elisabeth Kübler-Ross, On Death

Page 5: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

5

and Dying,6 sungguh menjadi relevan dan signifikan untuk memahami tahap-tahap

menjelang-mati secara psikososial (lihat bagian 3.2. tulisan ini).

2.3. Palliative Care

Kata ‘palliative’ atau ‘paliatif’ berasal dari kata Latin ‘palliare’ atau ‘pallio’

yang berarti ‘mengenakan mantel pada’ atau ‘menutupi’. Dalam kaitan dengan

caring bagi orang menjelang-mati, secara harfiah kata ‘paliatif’ berarti: “menutupi”

penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan upaya mengurangi rasa sakit dan rasa

nyeri yang ditimbulkan penyakit itu tanpa tindakan penyembuhan.7 Dalam tulisan

ini, kami memakai pengertian ‘palliative care’ seperti dikemukakan oleh World

Health Organization (WHO) berikut ini:

Palliative care is an approach that improves the quality of life of patients and their families facing the problem associated with life-threatening illness, through the prevention and relief of suffering by means of early identification and impeccable assessment and treatment of pain and other problems, physical, psychosocial and spiritual.8

6 Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, diterjemahkan dari On Death and Dying, oleh Wanti Anugrahani, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1998.

7 Bandingkan: Michael Joseph McCabe, The Hospice Movement: An Alternative to Euthanasia,

Pontificia Universitas Lateranensis, Roma 1994, 76. McCabe menuliskan: “The term comes from Latin word ‘palliare’ meaning ‘cloak’, ‘cloaked’ or ‘protect’, and involves care which seeks the terminally ill through the alleviation of their pain or disease without curing.”

8 World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam

http://www.who.int/cancer/ palliative/definition/en, diakses pada 26 Maret 2009. Pada gilirannya pengertian WHO ini diacu juga dalam “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif: “Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psiko-sosial dan spiritual.

Page 6: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

6

2.4. Hospis

Menurut Nataša Milićević, kata ‘hospis’ (‘hospice’) dan kata ‘hospital’

memiliki akar kata yang sama, berasal dari abad ke-4 (lihat bagian 4.2.1. tulisan ini),

yakni dari kata Latin kuno: ‘hospes’, yang berarti: ‘sahabat’, ‘tamu’. Kata Latin ini

merupakan terjemahan dari kata Yunani ‘xenodochium’, yang menunjuk pada

suatu tindakan menerima dengan suka dan ramah seseorang atau tamu.9 Kata

‘hospes’ kemudian berkembang menjadi ‘hospitium’. Dalam Kamus Latin-Indonesia,

kata ‘hospitium’ berarti:

“n. 1. Persahabatan-tetamu (ikatan persahabatan antara dua orang/ dua negara, yang menjaminkan sambutan yang hormat dan ramah); 2. Kesukaan menerima tamu; sambutan yang mesra; keramahan; 3 a) Rumah (yang ditinggali tamu); rumah pondokan; rumah penginapan; rumah-rumah dimana tentara-tentara dititipkan untuk menumpang sementara waktu (pondokan tentara); b) Hotel; tempat.”10

Dalam literatur modern, istilah ‘hospis’ sering digunakan sekurang-

kurangnya untuk menunjukkan tiga hal.11 Pertama, istilah ‘hospis’ dipakai untuk

menunjukkan “suatu tempat perawatan khusus dalam bentuk inpatient hospital atau

nursing home unit atau freestanding facility”.12 Kedua, istilah ini juga dipakai untuk

9 Nataša Milićević, 2002. “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”,

Archive of Oncology, 10, 1, 2002, diakses dari http://www.onk.ns.ac.yu/archieve/vol10/ PDFVol10/v10n1p29.pdf, pada 26 Februari 2009, 29.

10 K. Prent, et.al., Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta 1969, 390. 11 Committee on Care at the End of Life, Appraching Death: Improving Care at the End of Life,

National Academy Press, Washington D.C. 1997, 52-53. 12 Sebagai contoh, pengertian ini dapat ditemukan dalam “Lampiran I”, Keputusan Menteri

Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif: “Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.”

Page 7: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

7

menunjukkan “suatu organisasi atau program yang menyediakan, mengelola, dan

menganjurkan pelayanan medis lebih luas demi menolong orang-orang yang

menjelang-mati, dan sanak keluarga serta teman-teman dari orang-orang yang

menjelang-mati tersebut”.13 Ketiga, istilah ‘hospis’ dipakai untuk menunjukkan

“suatu pendekatan caring bagi orang-orang yang menjelang-mati berdasarkan

prinsip-prinsip klinis, sosial dan spiritual”.14 Dalam tulisan ini istilah ‘hospis’ lebih

sering digunakan sebagaimana pengertian yang ketiga. Untuk menegaskan

pengertian yang lain dari itu, kami menyebutkan istilah ini secara lebih rinci,

misalnya: ‘hospis sebagai tempat’, atau ‘hospis sebagai program’.

III. Menjelang-Mati: Beberapa Aspek

3.1. Aspek Fisik

Sebelum melihat kondisi fisik orang menjelang-mati, kita perlu mengingat

kembali bahwa dalam dunia medis masa kini, mati otak (brain death) menjadi

kriteria berakhirnya hidup manusia di dunia ini. Di sini kita perlu membedakan

antara mati otak dan persistent vegetatif state (PVS). Seseorang yang dinyatakan PVS

pada kenyataannya masih mampu hidup terus. Hal itu terjadi karena fungsi batang

13 The United States House of Representatives memakai pengertian semacam ini dalam

literaturnya: “Hospice: A program which provides palliative care for terminally ill patients and their families, either directly or on a conculting basis with the patient’s physician or another community agency …”. Lihat: McCabe, The Hospice Movement, 4.

14 Bandingkan juga definisi ‘hospice’ yang dipaparkan Hospice Home Care (HHC) – Yayasan

Kanker Indonesia: “Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual.” Lihat: Sekretariat Hospice Home Care (HHC) Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care (HHC)”, dalam http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009.

Page 8: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

8

otak (brain stem) masih bekerja, sementara fungsi bagian otak lainnya tidak. Ini

berbeda dengan seseorang yang dinyatakan mati otak. Orang yang dinyatakan mati

otak ialah orang yang benar-benar tidak hidup lagi, alias mati.15

Sebelum dinyatakan mati otak, seseorang yang menjelang-mati pada

kenyataannya mengalami penurunan fungsi organ-organ biologis, entah secara

cepat atau lambat. Dalam keadaan sakit ambang-batas-hidup, ia mengalami

gangguan keseimbangan, dan mengalami ketidakmampuan memenuhi banyak

kebutuhan (fisik, emosional, sosial, ekonomis, dan spiritual). Jika mengidap penyakit

parah, maka ia mungkin sering mendapatkan rasa sakit dan rasa nyeri yang kuat

dan tak tertahankan.16

Caroline Young dan Cyndie Koopsen menuliskan, fungsi indera orang

menjelang-mati patut diperhatikan oleh para pendamping dan orang-orang yang

ikut care terhadap orang menjelang-mati. Lebih lanjut Young dan Koopsen

memaparkan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan fungsi indera orang

menjelang-mati:17

• Indera perasa. Pada umumnya orang yang menjelang-mati membutuhkan

sentuhan yang lebih dari biasanya. Sentuhan ternyata dapat mengurangi rasa

keterasingan, rasa sakit dan rasa tidak nyaman. Sentuhan dapat “menyegarkan”

orang menjelang-mati, meski penyakitnya tidak sembuh. Ketika seseorang hanya

15 Adapun tanda-tanda seseorang telah mati otak ialah sebagai berikut: (1) tak sadar, dengan

reaksi negatif terhadap segala jenis rangsangan; (2) semua refleks yang berpusat di kepada (cranial reflex) adalah negatif: yaitu refleks pupil, refleks kornea, refleks muntah dsb.; (3) tidak ada pernafasan spontan, walaupun dengan rangsangan maksimal dengan CO2; (4) EEG (electroencephalograph) menunjukkan gambaran isoelektris selama 12-24 jam; (5) peredaran darah otak telah berhenti (terbukti dengan pemeriksaan angiografi otak). L. Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, dalam B. Kieser, Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende 1984, 52.

16 Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, 53. 17 Caroline Young – Cyndie Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan,

diterjemahkan dari Spirituality, Health, and Healing, Bina Media Perintis, Medan 2007, 232-233.

Page 9: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

9

duduk dan memegang tangan orang yang sedang menuju kematian (tentunya

jika diizinkan secara medis), maka ia akan memberikan rasa nyaman pada orang

tersebut.

• Indera pembau. Indera pembau mampu mengangkat emosi hebat dan

mengingatkan kenangan. Penyakit orang menjelang-mati mungkin saja

mengubah aneka bau yang bisa dimaklumi, sehingga beberapa aroma dapat

membuat dia muak dan tidak senang. Namun, orang menjelang-mati pada

umumnya suka dengan aroma yang harum, seperti cologne. Kekuatan bebauan

itu tampaknya dapat membantu mengurangi rasa sakit dan derita orang

menjelang-mati.

• Indera pencecap. Fungsi indera pencecap orang menjelang-mati pada umumnya

telah berkurang. Itulah sebabnya orang menjelang-mati sering tidak ingin

makan. Kadang-kadang dapat terjadi, orang menjelang-mati menginginkan

makanan/ minuman tertentu. Hal ini mesti disadari dan diantisipasi oleh setiap

pendamping dan orang yang ikut care terhadap orang menjelang-mati.

• Indera penglihatan. Orang menjelang-mati, secara khusus yang masih mampu

melihat, pada umumnya mengharapkan benda-benda yang bermakna dalam

hidupnya berada di sekitarnya. Benda-benda itu bisa saja berupa kartu ucapan,

benda seni, foto keluarga, atau benda-benda lainnya yang memiliki makna

personal dalam hidupnya. Maka, para pendamping dan orang-orang yang ikut

care terhadap orang menjelang-mati dapat menyediakan dan mengatur benda-

benda itu sedemikian rupa sehingga mudah dilihat orang menjelang-mati itu.

Selain benda-benda yang bermakna bagi orang menjelang-mati, hal lainnya yang

mungkin dapat diatur ialah pencahayaan ruangan di mana orang menjelang-

mati itu berbaring. Ruangan yang agak redup pada gilirannya memberikan rasa

suasana tenang.

Page 10: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

10

• Indera pendengaran. Fungsi indera pendengaran orang menjelang-mati

(tentunya yang tidak rusak) biasanya tajam. Itulah sebabnya pendamping orang

menjelang-mati tidak boleh berkata-kata secara sembarangan, misalnya

mengatakan bahwa kondisi orang menjelang-mati itu menjadi beban bagi

dirinya atau keluarganya. Ketika mendengar perkataan seperti itu, orang yang

sedang menuju kematian itu bisa menjadi sedih dan makin menderita.

3.2. Aspek Psikososial

Dalam penelitiannya, Elisabeth Kübler-Ross, seorang pakar thanatologi (studi

tentang kematian, terutama aspek psikosialnya) menemukan beberapa tahap yang

dialami oleh orang menjelang-mati ketika menghadapi penyakit mematikan. Tahap-

tahap itu ialah:

• Penyangkalan dan pengasingan diri. Ketika seseorang mengetahui, entah sejak

awal atau beberapa waktu kemudian setelah diagnosis, bahwa ia telah mengidap

penyakit ambang-batas-hidup, ia akan menyangkal atau menolak hasil diagnosis

dan semua kenyataan itu. Ia mungkin akan mencari dokter lain dengan harapan

“memperoleh penjelasan yang lebih baik tentang masalahku”. Biasanya

pengasingan diri menyertai penyangkalan.18

• Marah. Ketika penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahankan lagi, maka

kemarahan, kegusaran, keirian dan kebencian akan terjadi. Pertanyaan yang

mungkin akan terlontar ialah: “Mengapa aku?”, “Mengapa bukan orang itu

saja?”. Menurut Kübler-Ross, berbeda dengan tahap penyangkalan, tahap marah

ini sangat sulit diatasi oleh para pendamping (keluarga atau perawat dan petugas

rumah sakit). Alasannya kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan

18 Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, 48-62.

Page 11: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

11

diproyeksikan kepada lingkungan pada saat-saat yang tidak terduga. Kemarahan

bisa terlontar kepada entah orang-orang dekat (keluarga dan teman), orang-

orang yang berada di sekitarnya (misalnya perawat dan petugas rumah sakit),

atau Tuhan.19

• Menawar. Kübler-Ross menuliskan, tahap menawar ini tidak terlalu dikenal,

namun sebenarnya sangat menolong orang menjelang-mati, meskipun terjadi

hanya beberapa saat. Setelah masuk ke tahap marah, orang menjelang-mati

akan segera melakukan manuver menawar kepada dokter, keluarga, atau

Tuhan. Dalam manuver itu, orang menjelang-mati mungkin akan mengumbar

banyak janji. Contoh janji: “Ya, Tuhan, kalau aku sembuh, aku akan hidup bagi

pelayanan gereja.”20

• Depresi. Ketika orang menjelang-mati tidak mampu lagi menghindari

penyakitnya, ketika ia harus menjalani berbagai pembedahan atau perawatan

intensif, ia semakin lemah dan kurus, dan barangkali tidak dapat tersenyum lagi.

Sikap mati rasa serta kemarahan segera akan berganti dengan rasa kehilangan.

Ia mulai merasa kehilangan orang-orang yang berada di dekatnya. “Aku tidak

akan pernah bisa melupakanmu sepanjang hidupku,” demikian kata Tn. H,

seorang yang menjelang-kematian kepada Kübler-Ross. Pada saat-saat inilah ia

sebenarnya masuk ke dalam tahap depresi.21

• Menerima. Menurut Kübler-Ross, jika orang menjelang-mati mempunyai cukup

waktu (misalnya tidak menghadapi kematian mendadak) dan dibantu untuk

melewati tahap-tahap pertama hingga keempat, ia akan mencapai tahap tidak

merasa depresi atau marah terhadap apa yang sedang dialaminya. Kini ia

19 Ibid., 63-100. 20 Ibid., 101-104. 21 Ibid., 105-133.

Page 12: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

12

menerima semua kenyataannya. Menurut Kübler-Ross, penerimaan ini harus

dibedakan dari situasi bahagia, karena pada dasarnya ini lebih merupakan

kehampaan perasaan.22

• Harapan. Kübler-Ross memang tidak menuliskan secara eksplisit harapan sebagai

tahap keenam. Namun, ketika ia menyatakan bahwa berbagai tahap (tahap

pertama hingga kelima) itu merupakan mekanisme pertahanan dalam

pengertian psikologis dan mekanisme perlawanan atas situasi yang sangat sulit,

dan selanjutnya ia menunjukkan sebuah kondisi positif yang ternyata dialami

oleh orang-orang menjelang-mati, maka ketika itu Kübler-Ross sebenarnya

sedang menunjukkan suatu tahap yang lain dari tahap pertama hingga kelima.

Tahap yang lain itu ialah harapan. Dalam tahap ini, orang menjelang-mati

sungguh menunjukkan perjuangan hidup, meski ia akan mati tidak lama lagi.

Harapan menandakan suatu penerimaan kenyataan secara lebih positif, bukan

sebagai kehampaan perasaan, melainkan sebagai gerak menuju masa depan.23

3.3. Aspek Spiritual

Dalam menjalani proses menuju kematian, keyakinan yang tertanam kuat

pada diri seseorang akan diuji dan kesempatan untuk berkembang, atau regresi dan

putus asa, muncul. Chandler menuliskan, “Mungkin melebihi pengalaman manusia

manapun bahwa pengharapan hidup setelah mati, atau bahkan ketakutan akan

tidak adanya hidup itu, memunculkan sebuah perjalanan spiritual”.24 Jadi, dalam

pertimbangan spiritual, menjelang-mati merupakan suatu proses transformasi

22 Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, 134-163. 23 Ibid., 164-184. 24 E. Chandler, “Spirituality”, Hospice Journal, 14, 1999, 63; sebagaimana dikutip dari: Young –

Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 221.

Page 13: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

13

spiritual yang dalam. Inilah peristiwa spiritual yang sungguh penting. Di sinilah

perhatian seringkali akan berpaling dari rasa sakit dan derita yang dialami diri,

kepada kedamaian dan kenyamanan luar biasa dalam kepenuhan spiritual.25

Menurut Young dan Koopsen, semua orang adalah makhluk spiritual. Oleh

karena itu, para pendamping dan orang yang ikut care terhadap orang menjelang-

mati mesti menemukan spritualitas, pandangan hidup, dan sumber untuk

transendensi diri, yang dipahami oleh orang menjelang-mati yang mereka

dampingi. Selain itu, mereka juga mesti menemukan cara untuk menggunakan

pandangan-pandangan tersebut dengan kreatif dan sederhana untuk membawa

harapan kepada orang menjelang-mati tersebut.26

IV. Palliative Care dan Hospis

4.1. Palliative Care

Seperti telah dikemukakan di atas, WHO mengartikan palliative care sebagai

sebuah pendekatan guna memperbaiki kualitas hidup (the quality of life) pasien-

pasien dan keluarga mereka yang sedang menghadapi pergumulan berkaitan

dengan penyakit yang mengancam hidup (the life-threatening illness), melalui

tindakan mencegah dan meringankan penderitaan dengan cara mengidentifikasi

sedini mungkin dan meneliti seteliti mungkin, serta melakukan perawatan atas rasa

25 Young – Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 221. 26 Ibid., 222.

Page 14: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

14

sakit dan gangguan lainnya, pada fisik, psikososial dan spiritual. Lebih lanjut WHO

mengemukakan palliative care sebagai berikut:27

• Palliative care berusaha mengurangi rasa sakit dan gejala-gejala ketertekanan

lainnya;

• Palliative care memantapkan hidup dan menghargai proses menjelang-mati

(dying) sebagai proses yang normal;

• Palliative care bertujuan tidak untuk mempercepat atau menunda kematian;

• Palliative care memadukan aspek-aspek psikologis dan spiritual pada patient

care;

• Palliative care menawarkan suatu sistem dukungan untuk menolong pasien-

pasien agar hidup seaktif mungkin hingga kematian;

• Palliative care juga menawarkan suatu sistem dukungan untuk menolong

keluarga selama menghadapi penyakit pasien dan rasa kehilangan mereka;

• Palliative care menggunakan pendekatan tim untuk memikirkan kebutuhan

pasien-pasien dan keluarga mereka, termasuk konseling menghadapi rasa

kehilangan, jika memang diperlukan;

• Palliative care berusaha meningkatkan kualitas hidup dan barangkali dengan itu

akan berpengaruh positif terhadap perkembangan penyakit;

• Palliative care diterapkan sedini mungkin pada saat penyakit itu berjangkit,

seiring dengan terapi-terapi lainnya yang bertujuan memperpanjang hidup,

seperti kemoterapi atau terapi radiasi, termasuk penelitian-penelitian yang

diperlukan untuk memahami dan mengolah komplikasi-komplikasi klinis yang

menekan.

27 World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam http://www.who.int/

cancer/palliative/definition/en, diakses pada 26 Maret 2009.

Page 15: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

15

Dari pengertian yang dikemukakan oleh WHO di atas, kita dapat menarik

beberapa penegasan tentang palliative care. Pertama, palliative care tidaklah

dimaksudkan sebagai upaya menyembuhkan orang menjelang-mati dari penyakit

yang dideritanya, melainkan untuk memperbaiki kualitas hidup orang menjelang-

mati dan keluarganya. Di sini tindakan caring lebih ditekankan daripada curing. “It

is directed towards caring rather curing,” demikian tulis Milićević.28

Kedua, karena merupakan caring bagi orang menjelang-mati dan

keluarganya, maka palliative care dilakukan tidak hanya oleh tim medis (dokter,

perawat) tetapi juga melibatkan berbagai profesi, misalnya: rohaniwan dan psikolog.

Palliative care pada dasarnya merupakan “pelayanan kesehatan yang bersifat

holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah

bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir

hayatnya.”29

Ketiga, pengertian yang disampaikan WHO di atas menganjurkan suatu

konsep baru tentang palliative care. Masyarakat pada umumnya menganggap

palliative care itu diberikan kepada orang yang mengidap penyakit tak dapat

disembuhkan (incurable illness), misalnya kanker stadium lanjut, yang diperkirakan

akan segera meninggal dunia. Dengan perkataan lain, ketika orang sakit itu sudah

menjalani tindakan-tindakan medis sebagai upaya untuk menyembuhkan penyakit

itu, dan kemudian dokter menyatakan bahwa tindakan-tindakan itu tidak

bermanfaat lagi bagi kesembuhan, maka barulah palliative care dilakukan. Konsep

ini agaknya sudah usang, dan sekarang konsep baru menegaskan bahwa palliative

care diberikan sedini mungkin pada saat diagnosis menunjukkan bahwa seseorang

28 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29. 29 Lihat: “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007

tentang Kebijakan Perawatan Paliatif.

Page 16: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

16

telah mengidap penyakit tak dapat disembuhkan. Gambar di bawah ini kiranya

dapat memperjelas konsep baru ini.30

(a) Konsep Lama (b) Konsep Baru

4.2. Hospis

4.2.1. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Hospis

Nataša Milićević mengungkapkan, pada abad ke-4 Masehi seorang ibu (Ratu)

dari Roma, bernama Fabiola, membuka rumahnya bagi orang-orang miskin, dan

para peziarah yang lapar, haus dan sakit. Pada waktu itu kata ‘hospes’ menunjuk

pada pendatang atau tamu, dan kata ‘hospitium’ berarti tempat dimana perlakuan

yang ramah dan menyenangkan diberikan bagi tamu atau pendatang. Dalam

perkembangan kemudian tempat-tempat seperti itu bermunculan di sepanjang rute

para tentara Perang Salib (the Crusaders). Tempat-tempat itu pada gilirannya

menjadi persinggahan yang menyediakan makanan, minuman dan obat-obatan.

30 Berdasarkan: Martha L. Twaddle, “Hospice Care,” dalam John F. Kilner, et.al. (eds.), Dignity

and Dying: A Christian Appraisal, Paternoster-Wm. B. Eerdmans Publishing Co., Cumbria-Grand Rapids 1996, 188-189.

Composition of care

Composition of care

Time Time

Curative therapies

Curative therapies

Palliative care

Palliative care

Hospice care

Hospice care

Page 17: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

17

Tempat-tempat itu tidak secara khusus melakukan caring bagi orang menjelang-

mati, namun selalu terbuka bagi siapapun selama orang itu memerlukan

pertolongan.31

Pada pertengahan abad ke-19 Jeanne Garnier, seorang Katolik Roma,

membangun semacam institusi pertama di Lion, Prancis, yang memakai kata

‘hospis’ untuk caring bagi orang menjelang-mati. Ia menamakan institusi itu

“Calvaires”. Pada 1879 Sisters of Charity mendirikan hospis sebagai tempat orang

menjelang-mati di Dublin, Irlandia. Selanjutnya pada 1905 mereka pun

memperkenalkan konsep hospis di Inggris dengan mendirikan St. Joseph’s di

Hackney, London. Menarik untuk disimak, hanya satu hospis, sebagai tempat orang-

orang menjelang-mati, yang didirikan oleh seorang dokter, yaitu Dr. Howard Barret.

Pada 1893, dengan bantuan dari Kalangan Methodis, dokter ini menjadikan seluruh

rumahnya sebagai St. Luke’s Home for the Dying Poor. Tempat inilah yang kelak

memberikan inspirasi bagi Dame Cicely Saunder, seorang perintis modern hospice

movement.32

Dame Cicely Saunders, lahir pada 1918, terlatih sebagai perawat dan pekerja

sosial. Selama berkarya di rumah sakit, ia menjadi sadar akan kebutuhan-kebutuhan

psikologis dan spiritual bagi orang-orang menjelang-mati. Ketika menjadi sebagai

pekerja sosial, ia bertemu dengan seorang pasien Yahudi Polandia, bernama David

Tasma yang mengidap penyakit kanker. Pertemuan ini tampaknya mendorong

Cicely Saunders untuk belajar ilmu kedokteran. Pada 1957 Cicely Saunders lulus

sebagai dokter. Dengan pengalamannya sebagai perawat, pekerja sosial, dan dokter,

ia akhirnya mendirikan St. Christopher’s Hospice di London pada 1967. Sebagai

tempat bagi orang menjelang-mati, hospis ini menggabungkan tradisi hospis-hospis

31 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29-30. 32 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 30; Derek

Murray, Faith in Hospice: Spiritual Care and the End of Life, London 2002, 7.

Page 18: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

18

yang dikenal pada Abad Pertengahan, dengan pendekatan-pendekatan medis

modern, untuk mengurangi penderitaan pasien-pasien yang mengidap penyakit

terminal dan juga keluarga mereka.33

Di negeri Kincir Angin, Belanda, pendirian hospis sebagai tempat orang

menjelang-mati berkaitan erat dengan permintaan banyak orang untuk melakukan

euthanasia. Janssens, et.al., mengungkapkan bahwa bagaimana pun modern hospice

movement yang bermula dari St. Christopher’s Hospice turut mempengaruhi

perkembangan konsep palliative care dan juga hospis di Belanda. Namun, tulis

mereka, “This development cannot be understood without taking the practice of

euthanasia into account.”34

Menurut data the Hospice Information Service di St. Christopher’s Hospice,35

hingga 2002, hospis sebagai tempat orang menjelang-mati dan pelayanan palliative

care berkembang secara luas di lebih dari 90 negara di dunia. Di Eropa, hospis dan

pelayanan palliative care berkembang antara lain di: Inggris, Prancis, Belanda,

Jerman, Polandia, Swedia, Hungaria, Rumania, Croatia, Bosnia dan Herzegovina,

Bulgaria, dan Albania. Di Amerika Serikat, ada sekitar 3.000 hospis. Hospis juga

berkembang di Canada, Amerika Latin, Australia, New Zealand, dan beberapa

negara di Asia dan Afrika. Di sini perlu dicatat, di negara-negara sedang berkembang

(developing countries), yang sebenarnya menghadapi banyak orang menjelang-

mati, pengadaan hospis (entah sebagai tempat atau program) dan palliative care

masih tergolong lambat. Selain karena faktor dana, faktor tenaga-tenaga profesional

33 Milićević, Ibid., 30; Derek Murray, Ibid., 7. 34 Rien J. P. A. Janssens, et.al., “Hospice and Euthanasia in the Netherlands: An Ethical Point of

View”, dalam Journal of Medical Ethics, 25, 1999, 408. 35 Sebagaimana dikutip: Milićević, Op.Cit., 30.

Page 19: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

19

juga turut menentukan perkembangan hospis dan palliative care di negara-negara

ini.36

Pemerintah RI, melalui Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, pada 19 Juli

2007, mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/ Menkes/ SK/ VII/

2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif. Pemerintah RI merasa perlu untuk

mengeluarkan Keputusan ini lantaran rumah sakit yang mampu memberikan

pelayanan palliative care di Indonesia masih terbatas di lima ibukota propinsi, yaitu

Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Padahal ditinjau dari

besarnya kebutuhan pasien, jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan

palliative care masih terbatas.37

Untuk mengetahui perkembangan hospis di Indonesia, sebagai sebuah

contoh, kita dapat menunjukkan Hospice Home Care – Yayasan Kanker Indonesia

(HHC-YKI), yang diresmikan pada 17 April 1997. HHC-YKI sebenarnya bukanlah

hospis dalam arti sebuah tempat di mana caring bagi orang menjelang-mati

dilakukan, melainkan sebuah program pelayanan bagi pasien kanker stadium

terminal yang dilakukan di rumah pasien, setelah pasien itu dirawat di rumah sakit

dan kembali ke rumah. Program ini bertujuan untuk: (1) meringankan pasien dari

penderitaannya, baik fisik (rasa nyeri, mual, muntah) maupun psikis (sedih, marah,

kuatir) yang berhubungan dengan penyakitnya; (2) memberikan dukungan moral,

spiritual, dan pelatihan praktis dalam hal perawatan pasien bagi keluarga pasien dan

pelaku rawat (caregiver); dan (3) memberikan dukungan moral bagi keluarga pasien

selama masa dukacita.38

36 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 30-31. 37 “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/ VII/2007 tentang

Kebijakan Perawatan Paliatif. 38 Sekretariat Hospice Home Care (HHC) Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care

(HHC)”, dalam http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009.

Page 20: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

20

4.2.2. Kaitan dan Perbedaan antara Hospis dan Palliative Care

Salah satu cara agar kita dapat memahami hospis secara lebih baik ialah

melihat kaitan antara hospis dan palliative care, dan perbedaan antara kedua hal

itu. Menurut Young dan Koopsen, kaitan antara hospis dan palliative terletak pada

kenyataan bahwa hospis itu melibatkan ketersediaan dari palliative care. Di sini kita

melihat, palliative care berlaku sebagai metode yang (dapat) dipakai di dalam

hospis. Namun, palliative care agaknya sering menjadi salah satu program yang

ditawarkan oleh rumah sakit.39

Di bawah ini perbedaan antara pelayanan hospis dan palliative care:40

Hospice Service Hospital-Based Palliative Care

Service Patient population Patients with life-limiting illness and a likely

prognosis of 6 months or less if the illness runs its normal course

Patients with a prognosis of less than 1 year should be educated about hospice and in some states may receive hospice care

Patients at any stage of advanced or life-limiting illness

Sites of care Home Nursing home Assisted living facility Hospital Free-standing inpatient units

Hospital Provision of service elsewhere in the

community (eg, in outpatient programs and nursing homes) varies by program

Services provided Pain and symtom management, psychosocial and spiritual support, coordination of care

Delivered by an interdiciplinary team including physicians, nurses, social workers, home health aides, therapists, chaplains, counselors, and volunteers

Medical equipment, medications, supplies Family bereavement support for 1 year after

death

Services vary by program from a single health care provider to an interdisciplinary team

39 Young – Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 234. 40 Berdasarkan: Joan M. Teno – Stephen R. Connor, “Referring a Patient and Family to High-

Quality Palliative Care at the Close of Life: We Met a New Personality … With This Level of Compassion and Empathy”, JAMA, 301, 6, 2009, 653, diakses dari http://jama.ama-assn.org/cgi/content/ full/301/6/651, pada 10 Februari 2009.

Page 21: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

21

Financing system Set payment per day enrolled, at 1 of 4 levels of care: Routine home care Continuous home care General inpatient care Inpatients respite care

Charitable support funds not-for-profit hospices

Reimbursement through existing payment channels, including billing through CPT codes, hospital DRGs

Also can be supported by core hospital facility, and charitable contributions

Payment for individual professional or facility services

Length of stay Average length of stay is 2 months; median, 21 days

Varies, may be episodic provision of care based on identified needs

Choice In most communities there are multiple hospices to choose from

At health care facilities there is usually only 1 service

Large medical centers are more likely to have dedicated palliative care services

Role of PCP Usually continues to provide overall management of care

Hospice medical director consults and backs up PCP

PCP often requests a formal consult from the palliative care team

PCS or hospitalist physician may manage care during inpatient stays

Typical staffing A hospice team with a daily census of 30 patients may have 3 nurses, 1 to 2 home health aides, a full-time social worker, a part-time chaplain, volunteers, part-time medical director, and contract therapists

Staff certified in palliative care desirable

Palliative care teams ideally include physicians, nurses, social worker, and may include a pharmacist, a psychologist, and other therapists as needed

Staff certified in palliative care desirable Key differences Focus is on caring for patient and family or

caregivers at the of the life after efforts at curative treatment for the terminal illness are no longer effective or the patient decides to stop treatment with curative intent

Patient opts out of regular Medicare coverage for terminal illness and receives services that meet his/her terminal care needs across all settings of care

Focus is on providing expert palliative care throughout the continuum of a life-limiting illness

Can be delivered concurrently with continuing curative or life-prolonging therapies

Abbreviations: CPT, Current Procedural Terminology; DRG, Diagnosis Related Group; PCP, Primary Care Physician; PCS, Palliative Care Service.

4.2.3. Hospis sebagai Pendekatan Caring bagi Orang Menjelang-Mati

Sebagaimana arti katanya, hospis jelas menegaskan suatu pendekatan yang

ramah dan menyenangkan bagi para pendatang atau tamu. Sikap yang ramah dan

menyenangkan dalam menerima tamu memang mungkin saja merupakan tindakan

Page 22: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

22

demi kepentingan penerima tamu itu, dan bukan demi tamu itu sendiri. Di sini sikap

yang ramah dan menyenangkan sebenarnya menjadi sekadar sarana, atau tepatnya

metode, untuk mencapai maksud atau kepentingan dari orang yang melakukan itu.

Jika ini sungguh mungkin terjadi, maka kita perlu menegaskan apa hakikat hospis

itu, terutama ketika hospis dimaksudkan sebagai pendekatan caring bagi orang

menjelang-mati.

Untuk memahami hospis sebagai pendekatan caring bagi orang menjelang-

mati, maka pertama-tama kita bisa mulai dengan pemahaman tentang caring itu

sendiri. Seperti telah dikemukakan di atas, Milton Mayeroff mengartikan caring

sebagai tindakan “menolong orang lain berkembang dan mewujudkan dirinya

sendiri”. Di sini caring menjadi antitesis dari tindakan yang menggunakan pribadi

lain untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Kita tidak boleh mengacaukan arti

caring dengan hal-hal seperti mengharapkan orang lain selamat, suka, senang, atau

cuma menaruh minat terhadap apa yang terjadi pada orang lain. Caring bukanlah

suatu perasaan yang tersendiri atau suatu relasi sesaat, dan bukan juga suatu

keinginan untuk memperhatikan pribadi tertentu. Mayeroff menegaskan:

Memperhatikan [caring] dalam arti menolong pribadi lain dan berkembang dan mewujudkan diri merupakan suatu proses, suatu cara menjalin relasi dengan seseorang yang mengandaikan perkembangan, sama halnya dengan persahabatan yang hanya dapat terbentuk dalam waktu berkat kepercayaan timbal-balik dan melalui transformasi kualitatif sebuah relasi yang semakin mendalam.41

Lebih lanjut Mayeroff mengemukakan bahwa caring mencakup sekurang-

kurangnya unsur-unsur pokok berikut ini:42

• Mengenal. Dalam caring, kita mesti mengenal orang lain sebagaimana diri orang

lain tersebut. Kita mesti mengetahui banyak hal menyangkut orang lain tersebut,

41 Mayeroff, Seni Memperhatikan, 27. 42 Ibid., 36-49.

Page 23: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

23

misalnya siapa orang lain itu, apa kekuatan dan keterbatasannya, apa

kebutuhannya, dan apa yang memudahkan perkembangan dirinya. Kita pun

harus tahu bagaimana menjawab kebutuhan-kebutuhannya dan apa kekuatan

serta keterbatasan kita sendiri.

• Belajar dari irama yang berganti-ganti. Pada dasarnya kita tidak dapat

melakukan caring berdasarkan kebiasaan melulu. Kita mesti melihat proses yang

terjadi dalam relasi kita dengan orang yang kepadanya kita care: apakah ada

perkembangan pada diri orang tersebut? Seberapa jauh kita telah berhasil?

Apakah kita telah benar-benar membantu, atau sebaliknya? Dengan pertanyaan-

pertanyaan ini, kita pada gilirannya akan mengetahui bahwa irama relasi kita

dengan orang lain tersebut berganti-ganti. Dengan demikian, kita bisa belajar

dari irama yang berganti-ganti tersebut.

• Kesabaran. Dalam caring, kesabaran merupakan unsur yang penting. Dengan

bersikap sabar, kita membiarkan orang lain berkembang pada saatnya sendiri

dan menurut caranya sendiri. Dengan bersikap sabar, kita memberi waktu, dan

dengan demikian memungkinkan orang lain menemukan diri pada waktu

sendiri. Di sini, bersikap sabar tidaklah berarti secara pasif menantikan sesuatu

terjadi, melainkan lebih merupakan semacam partisipasi dengan orang lain yang

kepadanya kita memberi diri sepenuhnya. Dengan demikian, bersikap sabar

berarti juga memberi ruang kepada orang lain itu. Dengan mendengarkan orang

yang putus asa secara sabar, dengan menghadirkan diri baginya, kita sebenarnya

telah memberi dia ruang untuk berpikir dan merasa.

• Kejujuran. Dalam caring, kejujuran ada sebagai sesuatu yang positif, bukan

sekadar tidak mengatakan dusta, atau tidak menipu orang lain dengan sengaja.

Dalam caring, kejujuran lebih berarti “menjadi jadi jujur terhadap diri sendiri”.

Kita melihat orang lain itu sebagaimana dirinya, dan bukan seperti yang saya

Page 24: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

24

inginkan atau harapkan. Jika kita hendak menolong orang lain untuk

berkembang, maka kita harus menjawab kebutuhan-kebutuhannya yang

senantiasa berubah. Ini tentu mengandaikan adanya ketulusan dalam diri kita

yang melakukan caring bagi orang lain.

• Kepercayaan. Pada dasarnya caring menuntut kepercayaan terhadap orang lain

untuk berkembang pada saatnya dan dengan caranya sendiri. Caring

mengandaikan adanya penghargaan atas kemandirian orang lain, bahwa orang

lain itu memang lain. Selain kepercayaan terhadap orang lain, caring juga

menuntut kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Kita harus percaya pada

tindakan-tindakan kita dan juga kesalahan-kesalahan kita. Keasyikan yang terus-

menerus dengan soal apakah tindakan-tindakan saya benar menunjukkan sikap

kurang percaya diri sendiri, dan dengan memusatkan perhatian pada dirinya

sendiri mempertinggi sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan orang lain.

• Kerendahan hati. Dalam caring, sikap rendah hati tampil dalam berbagai bentuk.

Pertama, karena caring berarti tanggap terhadap perkembangan orang lain,

caring mengandaikan proses belajar yang terus-menerus tentang orang lain.

Orang yang care kepada orang lain akan sungguh-sungguh rendah hati dalam

kesediaan dan kerelaan untuk belajar lebih banyak tentang orang lain tersebut,

tentang dirinya sendiri, dan tentang tuntutan caring itu sendiri. Kedua,

kerendahan hati dalam caring tampil dalam suatu kesadaran bahwa apa yang

kita lakukan dalam caring itu bukanlah hal yang sangat istimewa. Ketiga, sikap

rendah hati tampil juga dalam bentuk suatu usaha untuk menaklukkan sikap diri

kita yang menganggap orang lain sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan

kita sendiri, atau sebagai beban. Akhirnya kerendahan hati tampil dalam bentuk

penerimaan atas keterbatasan-keterbatasan diri kita.

Page 25: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

25

• Harapan. Pada kenyataannya harapan, sebagai ekspresi kekinian yang penuh

dengan berbagai kemungkinan, mengerahkan tenaga dan membangkitkan daya

kita dan orang lain. Harapan bukanlah penantian pasif akan sesuatu yang akan

terjadi dari luar, melainkan sesuatu yang muncul dari dalam, dari relasi kita

dengan orang lain. Harapan pada gilirannya menciptakan keberanian, sebab

harapan sendiri mengadaikan adanya komitmen yang berharga.

• Keberanian. Dalam caring, kita sebenarnya sedang memasuki wilayah yang tidak

kita kenal. Itulah wilayah dalam diri orang lain sebagai yang lain, dan juga

wilayah dalam apa yang kita lakukan bersama orang lain tersebut. Oleh karena

itu, dalam caring, unsur keberanian juga menjadi penting, yakni keberanian

untuk menjelajahi wilayah-wilayah yang tidak kita kenal itu. Seperti telah

dinyatakan di atas, keberanian tercipta oleh harapan. Maka, harapan dan

keberanian sungguh tak terpisahkan.

Dari paparan di atas, kita dapat menegaskan bahwa hospis sebagai

pendekatan caring bagi orang menjelang-mati tidak terlepas dari unsur-unsur:

mengenal, belajar dari irama yang berganti-ganti, kesabaran, kejujuran,

kepercayaan, kerendahan hati, harapan, dan keberanian. Di sini kita perlu ingat

bahwa dalam hospis, kita menjalin relasi bukan dengan orang seperti biasanya,

tetapi orang menjelang-mati. Maka, pengetahuan tentang kondisi menjelang-mati,

termasuk tentang beberapa aspeknya (lihat bagian III tulisan ini) sungguh menjadi

penting.

Dalam hospis, apa yang kita lakukan sebenarnya lebih mau mengupayakan

agar hari-hari yang dijalani oleh orang menjelang-mati dapat sungguh berarti bagi

orang tersebut. Kita berusaha melihat hari-hari orang-orang menjelang-mati sebagai

Page 26: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

26

“last days but not lost days”.43 Itulah sebabnya, dalam hospis, kita harus

menghadirkan diri kita (being present): sungguh menjadi teman bagi orang

menjelang-mati, sungguh mendengarkan dan care pada kebutuhan-kebutuhan

dirinya.44

4.2.4. Beberapa Persoalan Hospis sebagai Tempat Orang Menjelang-Mati

Pada kenyataannya beberapa persoalan ditemukan berkaitan dengan hospis

sebagai tempat orang menjelang-mati. Di bawah ini kita akan melihat beberapa

persoalan itu:

• Kebutuhan dana. Menurut Sheila Cassidy, banyak hospis memperoleh sedikit

bantuan dana dari pemerintah, padahal hospis-hospis tersebut memerlukan

banyak uang untuk realisasi program-program hospis. Dana bagaimanapun juga

sangat berpengaruh bagi kualitas dan kelangsungan pelayanan hospis tersebut.45

• Kebutuhan tenaga. Selain kebutuhan dana, Cassidy juga melihat bahwa dalam

konteks zaman masa kini, orang agaknya kurang berminat terhadap pelayanan

caring bagi orang menjelang-mati, terutama di hospis-hospis. Akibatnya

kebutuhan tenaga pada hospis-hospis merupakan persoalan yang urgent. Cassidy

menuliskan:

They [hospices] need volunteers, lots of them, to do tedious, necessary things like manning the telephone, working in the charity shops, ferrying people backwards and forwards from home to hospice and so on. Generally speaking hospices don’t need people to counsel or talk to their patients but they do need those who are prepared to learn how to counsel the bereaved. They need men and women who will submit to the discipline of learning new

43 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29. 44 Elizabeth Turner Haase, “Pastoral Care of the Dying: The Art of Being Present”, New

Theology Review, 17, 2, 2004, 41-44. 45 Sheila Cassidy, “The Hospice Demystified”, Priest & People, 6, 1992, 418-419.

Page 27: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

27

skills and then have the tenacity and generosity to be faithful to a time commitment for a year or more.46

• Penyimpangan di lapangan. Pada kenyataannya tidak semua hospis, sebagai

tempat caring bagi orang menjelang-mati, sungguh mewujudkan hakikat

pelayanan hospis. Derek Murray, misalnya, menunjukkan bahwa dalam

perkembangannya saat ini beberapa hospis larut dalam rutinisasi pelayanan

sehingga tidak jarang menimbulkan kekecewaan pada orang yang dilayaninya.

Rutinisasi ini sangat berkaitan dengan institusionalisasi pelayanan yang

mengandaikan bahwa apa yang berlangsung dalam hospis itu dapat dipahami

secara mudah dan mekanis.47 Demikianlah hospis ini tidak lagi menjadi –

meminjam kata-kata Cassidy – “a living breathing organism, a community of

fragile, vulnerable people who find themselves called to walk alongside the

dying”,48 tetapi sekadar organisasi yang beku dan kaku.

V. Menjelang-Mati dan Caring dalam Pandangan Alkitab

5.1. Pandangan Kitab Suci

“Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun

berkuasa atas hari kematian,” tulis Kohelet atau Pengkhotbah (8:8). Pernyataan ini

jelas menegaskan bahwa manusia sungguh tidak berdaya atas kematiannya. Semua

orang pasti akan menerima kematian.

46 Cassidy, “The Hospice Demystified”, 419. 47 Murray, Faith in Hospice, 107-126. 48 Cassidy, Op.Cit., 419.

Page 28: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

28

Namun, kita pun patut mengingat perkataan Perempuan Tekoa dalam Kitab

kedua Samuel: “Kita pasti mati, kita seperti air yang tercurah ke bumi, yang tidak

terkumpulkan. Tetapi Allah tidak mengambil nyawa orang, melainkan Ia merancang

supaya seorang yang terbuang jangan tinggal terbuang dari pada-Nya.” (2 Sam 14:14)

Di sini nada positif tentang kematian dalam perkataan Perempuan Tekoa itu

sungguh terasa. Perempuan itu tampaknya menerima realitas kematian sebagai

bagian dari hidup manusia di dunia ini. Bahkan ia memandang realitas kematian

yang penuh misteri itu sebagai bagian dari rancangan Allah Sang Pencipta

Kehidupan, rancangan supaya manusia “yang terbuang jangan tinggal terbuang dari

pada-Nya”.

Apakah pandangan “positif” terhadap kematian mewarnai seluruh kitab

Perjanjian Lama (PL)? Pada kenyataannya tidaklah demikian. Dalam Mzm 6:6 kita

mendapati nada perkataan yang berbeda dengan nada Perempuan Tekoa: “Sebab di

dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur

kepada-Mu di dalam dunia orang mati?” Di sini kita menangkap nada cemas dari

Pemazmur terhadap kematian. Bagaimana pun ia pada saat itu ingin terlepas dari

bahaya maut. “Kembalilah pula, TUHAN, luputkanlah jiwaku, selamatkanlah aku

oleh karena kasih setia-Mu,” demikianlah Pemazmur berdoa (Mzm 6:5). Doa

semacam ini dapat kita temukan juga pada Hizkia ketika ia mengidap penyakit yang

membuatnya menderita (Yes 38:9-20).

Baik Pemazmur maupun Hizkia, sekadar menyebutkan dua contoh di dalam

PL, keduanya mengalami saat-saat dekat dengan kematian. Pemazmur dan Hizkia

sedang menjalani hari-hari penuh rasa sakit dan derita lantaran penyakit mereka.

Kita memang tidak dapat mengetahui apa persisnya penyakit yang menjangkiti

mereka. Namun, yang jelas mereka mengungkapkan rasa takut terhadap kematian.

Dalam hal ini paparan Hizkia sangat jelas kepada kita dan menarik untuk kita

perhatikan. Hizkia merinci ketakutannya terhadap kematian demikian:

Page 29: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

29

Aku ini berkata: Dalam pertengahan umurku, aku harus pergi; ke pintu gerbang dunia orang mati, aku dipanggil untuk selebihnya dari hidupku. Aku berkata: aku tidak akan melihat TUHAN lagi di negeri orang-orang yang hidup; aku tidak akan melihat seorang pun lagi di antara penduduk dunia. Pondok kediamanku dibongkar dan dibuka seperti kemah gembala; seperti tukang tenun menggulung tenunannya, aku mengakhiri hidupku; TUHAN memutuskan nyawaku dari benang hidup. Dari siang sampai malam Engkau membiarkan aku begitu saja, aku berteriak minta tolong sampai pagi; seperti singa demikianlah TUHAN menghancurkan segala tulang-tulangku; dari siang sampai malam Engkau membiarkan aku begitu saja. Seperti burung layang-layang, demikianlah aku menciap-ciap, suaraku redup seperti suara merpati. Mataku habis menengadah ke atas, ya Tuhan, pemerasan terjadi kepadaku; jadilah jaminan bagiku! (Yes 38:10-14)

Arie Jan Plaiser menilai bahwa pernyataan Hizkia di atas merupakan bukti

bahwa dalam PL, yang paling ditakuti orang ialah kematian ‘sebelum waktunya’.

Plaiser memandang Hizkia sebagai orang yang takut mati karena belum waktunya.

Ungkapan “dalam pertengahan umurku” menegaskan hal belum waktunya itu.49

Menurut kami, Plaiser terlalu cepat menarik kesimpulan. Barangkali Plaiser

tergoda menarik kesimpulan itu karena Mzm 90:10: “Masa hidup kami tujuh puluh

tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah

kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang

lenyap.” Dalam bagian Mazmur ini kita memang memperoleh kesan bahwa

kematian merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada manusia yang berumur antara

70 tahun hingga 80 tahun; dan pada saat itu kematian bukanlah hal yang

menakutkan. Kesan ini sebenarnya bisa menyesatkan. Alasannya, ketidaksiapan

seseorang dalam menerima kematian pada dasarnya tidak semata-mata berkaitan

dengan usianya, tetapi juga keyakinan (iman) dan pandangannya tentang kematian

49 Arie Jan Plaiser, Manusia, Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi

Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999, 155.

Page 30: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

30

(dan kehidupan setelah kematian), serta spiritualitasnya.50 Jadi, PL agaknya

memahami kematian sebagai hal yang ambigius, sebagai hal yang baik tetapi juga

buruk.51

Berbeda dengan PL, pemahaman Perjanjian Baru (PB) tentang kematian

tampak sudah lebih jelas, dan bercorak Kristosentris. Peristiwa Yesus turut

membentuk pemahaman yang baru tentang kematian. Refleksi atas Peristiwa Yesus,

yakni atas pelayanan, penderitaan dan kematian-Nya, serta misteri kebangkitan-

Nya, pada gilirannya mendorong orang untuk memandang kematian secara positif.

Dengan mengenangkan Peristiwa Yesus, orang memiliki harapan dan keberanian

untuk menghadapi kematian.52 Itulah sebabnya ketika menghadapi kematian yang

mendekat, Rasul Paulus menuliskan:

Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. (2Tim 4:6-8)

Dengan mengenangkan Peristiwa Yesus, pada gilirannya orang memiliki

harapan dan keberanian tidak hanya untuk menghadapi kematian, tetapi juga

untuk menjadi sesama bagi orang-orang yang menderita, termasuk orang-orang

50 Laksmiasanti menuliskan bahwa anak-anak tidak pernah takut akan kematian, atau tidak

mengerti arti kematian. Mereka hanya takut pada kesunyian dan takut ditinggalkan orang yang dekat. “The child does not know anything but senses everything.” Lihat: Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, 54.

51 Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God, Wm. B. Eerdmans Publishing Co.-

Regent College Publishing, Cambridge-Vancouver 2000, 576-578. 52 Grenz, Theology for the Community of God, 578-580.

Page 31: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

31

menjelang-mati. Di sini orang pada akhirnya menunaikan tugas perutusannya

sebagaimana tercermin dalam Kitab Yesaya 61:1-3:53

Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka ‘pohon tarbantin kebenaran’, ‘tanaman TUHAN’ untuk memperlihatkan keagungan-Nya.

Dalam Injil Lukas, perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang baik

hati (Luk 10:30-35) dapat menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya menjadi

sesama itu. Dalam perumpamaan ini, kita menemukan bahwa menjadi sesama bagi

orang lain berarti berelasi dengan dasar kasih. Beberapa kata kerja dengan subjek

Orang Samaria dapat kita perhatikan dalam perumpamaan ini: ‘melihat’, ‘pergi’,

‘membalut (luka-luka)’, ‘menyirami (dengan minyak dan anggur)’, ‘menaikkan (ke

atas keledai)’, ‘membawa’, dan ‘merawat’. (Luk 10:33-34) Kata-kata kerja ini dalam

arti tertentu menunjukkan tindakan caring dari Orang Samaria itu. Maka, pesan

yang hendak disampaikan melalui perumpamaan ini ialah menjadi sesama bagi

orang lain pada hakikatnya dapat diwujudkan dalam tindakan caring bagi orang

tersebut; dan dasar dari tindakan caring itu ialah kasih.54

53 Bandingkan Lukas 4:18-19. 54 Dalam pesannya kepada staf dan penghuni Rennweg Hospice, Vienna, Paus Johanes Paulus

II menyinggung perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Menarik untuk dicatat di sini, Paus Johanes Paulus II mengatakan bahwa “In the Good Samaritan’s inn lies one of the roots of the Christian hospice idea”. Lihat butir no. 9, Message of Pope John Paul II to the Staff and Residents of the Rennweg Hospice, Vienna, 21 June 1998, dari: http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/speeches/1998/ june/documents/hf_jp_ii_spe_19980621_ austria-infermi_en.html, diakses pada 23 Maret 2009.

Page 32: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

32

VI. Pelayanan Pastoral bagi Orang Menjelang-Mati dan Keluarganya

Tanpa bermaksud mengabaikan atau merendahkan pelayanan-pelayanan

pastoral lainnya, pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya

pada kenyataannya merupakan pelayanan pastoral yang signifikan yang harus

diemban oleh seorang pastor atau gembala. Memang tidaklah mudah melaksanakan

pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Alasannya pastor

akan menghadapi rupa-rupa perasaan dan emosi yang bisa muncul dari orang

menjelang-mati dan keluarganya, dan juga dari dirinya sendiri. Dalam kondisi

seperti itu, pastor pun mesti mampu “mengelola” rupa-rupa perasaan dan emosi itu,

sehingga akhirnya apa yang dilakukannya sungguh – memakai bahasa Mayeroff –

“menolong orang lain berkembang dan mewujudkan dirinya sendiri”. Jadi,

sekalipun tidak mudah, itu tidak berarti seorang pastor dapat menghindari

pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Justru sebaliknya

ketidakmudahan dalam pelayanan pastoral itu seharusnya menjadi tantangan yang

memicu pastor, untuk belajar tentang pelayanan pastoral bagi orang menjelang-

mati dan keluarganya, serta untuk terjun langsung ke ladang pelayanan ini.

J. L. Ch. Abineno mengemukakan tiga tugas yang mesti terlaksanakan dalam

pelayanan pastoral bagi orang berduka, termasuk bagi orang menjelang-mati dan

keluarganya: (1) tugas untuk menerima, baik secara rasional maupun emosional,

kehilangan yang dialami orang yang berduka; (2) tugas untuk mencernakan

perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang problematis yang muncul dari orang

berduka (orang menjelang-mati dan keluarganya) dan diri pastor; dan (3) tugas

Page 33: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

33

untuk menerima situasi hidup baru yang mengandung janji-janji (atau harapan) bagi

suatu masa depan yang lebih baik.55

Jika dikaitkan dengan pandangan Kübler-Ross tentang tahap-tahap sikap

dalam proses menjelang-mati, sebenarnya ketiga tugas pastor dalam pelayanan bagi

orang-menjelang mati dan keluarga di atas dapat disimpulkan demikian: pokok

tugas pastor dalam pelayanan bagi orang menjelang-mati dan keluarganya ialah

menjadi teman yang sungguh hadir dalam setiap tahap sikap orang menjelang-mati

dan keluarga hingga pada akhirnya orang menjelang-mati dan keluarganya itu

dapat menerima situasi baru dengan penuh harapan di dalam Allah. Di sini “menjadi

teman yang sungguh hadir” menjadi perwujudan solidaritas persaudaraan penuh

kasih bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Dalam kaitan itu, pastor

mengenangkan misteri peristiwa Kristus, terutama wafat dan kebangkitan-Nya,

sehingga orang menjelang-mati dan keluarganya sungguh merasakan kehadiran

Allah dalam setiap tahap pergumulan menuju kematian. Jika kehadiran Allah

sungguh dirasakan, maka pastor, orang menjelang-mati dan keluarganya akhirnya

dapat mengantisipasi masa depan dengan penuh harapan.

VII. Penutup

Ini cerita dari Imam Musbikin.56 Kejadian aneh di ICU rumah sakit. Pasien

selalu meninggal di kamar yang sama, tempat tidur yang sama, pada hari yang sama

(Jumat), dan pada jam yang sama (sekitar pukul 9 pagi). Dokter dan perawat

55 J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral kepada Orang Berduka, BPK Gunung Mulia, Jakarta,

2007, 28. 56 Imam Musbikin, Nasrudin Joha dan Kantong yang Haus, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004,

136-137.

Page 34: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

34

bingung, lantas berpikir bahwa kematian itu berkaitan dengan kejadian

supranatural. Kemudian mereka mulai menyelidiki kejadian itu dengan cara

menunggu secara diam-diam pasien yang dibaringkan di tempat tidur yang sama.

Apa gerangan yang terjadi? Pada pukul 9 Tukimin, part timer cleaning service,

masuk; lalu mencabut stop kontak peralatan di sebelah tempat tidur pasien itu, dan

menggantinya dengan stop kontak vacuum cleaner, dan mulailah membersihkan

kamar itu.

Imam Musbikin menuliskan, “Melihat apa yang dilakukan oleh tukang

pembersih ini, para dokter yang mengamati tempat itu langsung berkata: Jadi

kematian para pasien itu ternyata akibat kecerobohannya...!”

Dalam cerita di atas, siapa sebenarnya yang ceroboh? Yang ceroboh ialah

setiap orang yang tidak care terhadap para pasien yang terbaring di tempat tidur itu.

Untunglah ini hanya sebuah cerita humor.

Bagaimana pun orang menjelang-mati (the dying person) membutuhkan

orang yang sungguh care terhadap dirinya. Ia merindukan teman, teman yang

bersamanya menapaki hari-hari dengan penuh harapan dan keberanian, sehingga

hari esok selalu menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi, hingga hari kematian.

Pada baris-baris terakhir puisinya, Beth menuliskan: “There is only room for

just so much sorrow. What will I put in its place tomorrow?” Pertanyaan Beth ini

menunjukkan bahwa Beth masih menyimpan suatu harapan.

Hospis dan palliative care pada dasarnya bermaksud untuk menyirami dan

memupuki harapan yang tersimpan di dalam diri orang menjelang-mati. Kita

sebagai murid Kristus dan Gereja mestinya turut berperan di ladang pelayanan ini,

supaya bersama dengan Beth, kita sungguh meyakini bahwa “tomorrow will be

better”.

Jakarta, 29 April 2009

Hendri M. Sendjaja: Pendeta Jemaat GKI Samanhudi; dosen luar biasa di STT Jakarta.

Page 35: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

35

Kepustakaan

Buku-buku

Abineno, J.L.Ch. 2007. Pelayanan Pastoral kepada Orang Berduka, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Committee on Care at the End of the Life. 1997. Approaching Death: Improving Care at the End of Life,

National Academy Press, Washington, D.C. Grenz, Stanley J. 2000. Theology for the Community of God, Wm. B. Eerdmans Publishing Co. – Regent

College Publishing, Cambridge-Vancouver. Kübler-Ross, Elisabeth. 1978. To Live Until We Say Good-Bye, Prentice-Hall, Inc., New York. _______. 1998. On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, diterjemahkan oleh Wanti

Anugrahani, dari On Death and Dying, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mayeroff, Milton. 1991. Seni Memperhatikan, diterjemahkan oleh Agus Cremers – Frans Ceunfin, dari

On Caring, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. McCabe, Michael Joseph. 1994. The Hospice Movement – An Alternative to Euthanasia, Pontificia

Universitas Lateranensis, Roma. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th ed., 2007. Merriam-Webster, Inc., Massachussetts. Murray, Derek. 2002. Faith in Hospices: Spiritual Care and the End of Life, SPCK, London. Musbikin, Imam. 2004. Nasrudin Joha dan Kantong yang Haus, Mitra Pustaka, Yogyakarta. Plaisier, Arie Jan. 1999. Manusia, Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi

Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Prent, K., et.al. 1969. Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Young, Caroline – Cyndie Koosen. 2007. Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, diterjemahkan

dari Spirituality, Health, and Healing, Bina Media Perintis, Medan. Artikel-artikel Cassidy, Sheila. 1992. “The Hospice Demystified”, Priest & People, 6, 415-419. Haase, Elizabeth Turner. 2004. “Pastoral Care of the Dying: The Art of Being Present”, New Theology

Review, 17, 2, 36-45.

Page 36: Caring Bagi Orang Menjelang Mati

36

Janssens, Rien J.P.A., et.al. 1999. “Hospice and Euthanasia in the Netherlands: An Ethical Point of View”, dalam Journal of Medical Ethics, 25, 408-412.

Laksmiasanti, L. 1984. “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, dalam B. Kieser (ed.), Ikut Menderita Ikut

Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende, 51-62. Leuenberger, R. 1984. “Menghibur: Suatu Pokok Iman Kristiani”, dalam Bernhard Kieser (ed.), Ikut

Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende, 5-29. McGann, Bishop. 1997. “To Care for the Dying”, Origins, 26, 38, 640-648. Meador, Keith C. – L. Gregory Jones. 2000. “Bearing Witness in Life and Death”, The Christian Century,

August, 830-832, diakses dari http://www.religion-online.org/ showarticle.asp?title=2001, pada 23 Maret 2009.

Milićević, Nataša. 2002. “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, Archive of

Oncology, 10, 1, 29-32, diakses dari http://www.onk.ns.ac.yu/archieve/vol10/PDFVol10/v10n1p29. pdf, pada 26 Februari 2009.

Sekretariat Hospice Home Care (HHC) – Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care (HHC)”, dalam

http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009. Teno, Joan M. – Stephen R. Connor. 2009. “Referring a Patient and Family to High-Quality Palliative

Care at the Close of Life: We Met a New Personality … With This Level of Compassion and Empathy”, JAMA, 301, 6, 651-659, diakses dari http://jama.assn.org/ cgi/content/full/301/651, pada 10 Februari 2009.

Twaddle, Martha L. 1996. “Hospice Care”, dalam John F. Kilner, et.al. (eds.), Dignity and Dying: A

Christian Appraisal, Paternoster-Wm. B. Eerdmans Publishing Co., Cumbria-Grand Rapids. World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam http://www.who.int/cancer/

palliative/ definition/en, diakses pada 26 Maret 2009.