Budidaya Pembesaran Udang Karang

10
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006 Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 39- 48 ISSN 0216-1877 Budidaya Pembesaran Udang Karang Bayu Suprianto Bidang Ilmu………. Instansi, indonesia email Abstrak. Spiny lobster belongs to family Palinuridae and genus Panulirus. There are six species of spiny lobster found in Indonesian waters, i.e. Panulirus peniculatus). P. longipes P. versicolor, P. polyphagus, P homarus and P. ornatus. Demand for spiny lobster in the export market is continually increasing, causing the local price of this product escalated significantly at attractive value. This attractive price leads and motivates the local fishermen to increase their effort to catch lobster. Due to the intensive fishing, in some areas are proposed had over-fishing, especially in southern Java waters. Based on the field studies funded by Iptekda LIPI at Pacitan dan Gunungkidul, juvenile spiny lobster which ineligible for export (<100 g) could be grown up in cages and tanks easily. Juveniles with body weight of 75 g can grow to over 100 g within 2-3 month of fattening. However, it is a limitation to extensively grow up spiny lobster in Indonesia, there is no seed produced in hatchery. At the moment, fishermen and farmers catch seed or juveniles in nature. PENDAHULUAN Lobster atau udang barong atau udang karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas perikanan yang poten sial dan bern ilai ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan lobster, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus meningkat. Pada awal tahun 2006 di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, harga lobster dengan berat per ekor 300-400 g (Gambar 1) di tingkat nelayan (on the beach) berkisar antara Rp 170.000,- - Rp 260.000,- per kg, tergantung ukuran, jenis, dan kondisi fisik (cacat/tidaknya) lobster. Akibat tingginya per mintaan dan kecenderungan harga yang terus meningkat, nelayan selalu meningkatkan upaya/usahanya untuk menangkap lobster dari alam. Penangkapan yang semakin intensif tersebut tentunya akan sangat membahayakan populasi lobster di alam jika tidak segera diimbangi dengan pembenihan dan restocking. Pada tahun- tahun terakhir ini disinyalir telah terjadi penurunan populasi yang ditandai dengan penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran udang yang tertangkap di alam (KADAFI et al, 2006), khususnya di perairan selatan Jawa (Banyuwangi, Trenggalek, Pacitan, 1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta 39

Transcript of Budidaya Pembesaran Udang Karang

Page 1: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 39- 48 ISSN 0216-1877

Budidaya Pembesaran Udang Karang

Bayu Suprianto Bidang Ilmu………. Instansi, indonesia

email

Abstrak. Spiny lobster belongs to family Palinuridae and genus Panulirus. There are

six species of spiny lobster found in Indonesian waters, i.e. Panulirus peniculatus).

P. longipes P. versicolor, P. polyphagus, P homarus and P. ornatus. Demand for

spiny lobster in the export market is continually increasing, causing the local price

of this product escalated significantly at attractive value. This attractive price leads

and motivates the local fishermen to increase their effort to catch lobster. Due to the

intensive fishing, in some areas are proposed had over-fishing, especially in southern

Java waters. Based on the field studies funded by Iptekda LIPI at Pacitan dan

Gunungkidul, juvenile spiny lobster which ineligible for export (<100 g) could be

grown up in cages and tanks easily. Juveniles with body weight of 75 g can grow to

over 100 g within 2-3 month of fattening. However, it is a limitation to extensively grow

up spiny lobster in Indonesia, there is no seed produced in hatchery. At the moment,

fishermen and farmers catch seed or juveniles in nature.

PENDAHULUAN

Lobster atau udang barong atau udang

karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas

perikanan yang poten sial dan bern ilai

ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan

lobster, baik untuk pasar domestik maupun

ekspor, terus meningkat. Pada awal tahun 2006

di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, harga

lobster dengan berat per ekor 300-400 g

(Gambar 1) di tingkat nelayan (on the beach)

berkisar antara Rp 170.000,- - Rp 260.000,-

per kg, tergantung ukuran, jenis, dan kondisi

fisik (cacat/tidaknya) lobster.

Akibat tingginya per mintaan dan

kecenderungan harga yang terus meningkat,

nelayan selalu meningkatkan upaya/usahanya

untuk menangkap lobster dari alam.

Penangkapan yang semakin intensif tersebut

tentunya akan sangat membahayakan populasi

lobster di alam jika tidak segera diimbangi

dengan pembenihan dan restocking. Pada tahun-

tahun terakhir ini disinyalir telah terjadi

penurunan populasi yang ditandai dengan

penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran

udang yang tertangkap di alam (KADAFI et al,

2006), khususnya di perairan selatan Jawa

(Banyuwangi, Trenggalek, Pacitan,

1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta

39

Page 2: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Gambar 1. Udang karang atau lobster hasil tangkapan alam dengan berat 300 - 400 gram.

Gunungkidul, Kebumen, dan Pangandaran). Di

daerah tersebut pada saat puncak musim

penangkapan lobster (November - Januari)

sering dijumpai banyak anakan lobster yang

belum layak jual (<100 g) ikut tertangkap. Hal

ini tentunya akan sangat mengganggu proses

rekruitmen alami.

Berdasarkan pengalaman pada

kegiatan program Iptekda LIPI di Pacitan dan

Gunungkidul tahun 2005, tulisan ini disajikan

untuk memberikan informasi bahwa anakan

lobster yang ikut tertangkap jaring tetapi

belum layak jual (<100 g) dapat

dipelihara/ digemukkan (fattened) hingga

mencapai ukuran layak jual (>100 g).

Jenis dan Habitat

Di perairan dunia, udang karang dijumpai mulai

dari pantai timur Afrika, Jepang, Indonesia,

Australia, dan Selandia Baru (HOLTHUIS,

1991). Di perairan Indonesia diketahui ada

enam jenis udang karang bernilai ekonomis

penting. Enam jenis lobster termasuk dalam

genus Panulirus, yaitu udang batu (Panulirus

peniculatus), udang raja (P. longipes), udang

rejuna (P. versicolor), udang jarak (P.

polyphagus), udang pantung (P. homarus), dan

udang ketangan (P ornatus) (MOOSA, 1984

dan MOOSA & ASWANDY, 1984). Udang-

udang karang tersebut banyak dijumpai di

perairan pesisir dengan dasar perairan berupa

pasir berbatu. Di Indonesia udang karang

dijumpai di perairan Pangandaran, Jawa Barat

dan Gunungkidul, DIY, biasanya berkelompok

di dalam lubang-lubang batu (TRIJOKO, 1994).

Berdasarkan informasi dari beberapa eksportir

lobster, perairan Indonesia yang mempunyai

potensi untuk penangkapan lobster meliputi

Paparan Sunda, Selat Malaka, Kalimantan

Timur, Sumatra bagian timur, Pesisir Utara

Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, Pantai selatan

Papua, dan seluruh pesisir Samodra Indonesia.

40

Page 3: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Biologi

Udang karang atau lobster laut

diklasifikasikan sebagai berikut (MOOSA

& ASWANDY, 1984):

Bentuk fisik udang karang secara

umum terdiri atas dua bagian, yaitu bagian

depan di seb u t cepha lo tora x d an bag i an

belakang disebut abdomen. Seluruh tubuh

lobster dilindungi oleh kerangka luar (cangkang)

yang keras dan terbagi atas ruas-ruas. Bagian

depan (kepala dan dada) terdiri atas tiga belas

ruas dan bagian badan terdiri atas enam ruas.

Pada bagian kepala (rostrum) terdapat organ-

organ seperti rahang (mandibula), insang, mata

majemuk, antenulla, antenna, dan lima pasang

kaki jalan (pereiopoda). Pada bagian badan

terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda)

dan sirip ekor (uropoda).

Udang karang bersifat nocturnal yaitu

melakukan aktifitas mencari makan pada malam

hari. Pada siang hari mereka bersembunyi di

tempat-tempat yang gelap dan terlindung, di

dalam lobang-lobang batu karang.

Udang karang bertelur sepanjang tahun

dengan puncak pemijahan pada awal musim

hujan. Sebagai contoh, di perairan Pangandaran

udang karang ditemukan bertelur sepanjang

tahun dengan puncak pemijahan pada bulan

Oktober (TRIJOKO, 1994). Namun demikian,

di laboratorium TRIJOKO et al. (2004)

berhasil memijahkan induk udang karang

pada bulan Desember sampai Februari, di

luar puncak musim pemijahan alaminya.

Pada kegiatan pemijahan udang karang

(Panulirus homarus L.) tersebut, 75% dari 32

induk yang dipelihara berhasil memijah.

Contoh ukuran induk udang karang dengan

berat tubuh 800 g dapat dilihat pada Gambar 2.

Rasio kelamin jantan dan betina pada

populasi alam biasanya seimbang. Di perairan

pantai Ayah, Kebumen, populasi alam udang

jantan sedikit lebih banyak daripada udang

betina, dengan perbandingan jantan dan betina

yaitu 1,06 : 1. Pada musim pemijahan lobster

akan berpindah ke perairan yang lebih dalam

untuk melakukan perkawinan atau pemijahan

(KADAFI et al., 2006). Seekor induk P

homarus dapat menghasilkan telur sekitar

275.000 butir (SUMAN, 1993) dan seekor

induk P. versicolor mampu menghasilkan telur

seb an yak 46 0.000 bu tir (MOOSA &

ASWANDY, 1984)

Sampai saat ini belum ada usaha

pembenihan udang karang yang berhasil

menghasilkan benih untuk memenuhi kebutuhan

usaha budidaya. Kendala yang dihadapi pada

usaha pembenihan udang karang yaitu waktu

atau perkembangan dari stadia larva menjadi

juvenil sangat lama, yaitu sekitar 6 bulan

(PHILLIPS & COBS, 1980 dan KITTAKA,

1997). Sedangkan penelitian yang dilakukan

oleh para pakar dari perguruan tinggi (UGM)

dan lembaga penelitian (BRKP) belum mampu

melewati masa/stad ia larv a tersebu t

(REJEK I,19 95 ). Oleh karena itu usah a

pembesaran lobster sampai saat ini masih

bergantung pada stok benih dari alam. Usaha

pembenihan terus dirintis sampai suatu saat

benih lobster untuk usaha budidaya bisa

terpenuhi dari hasil pembenihan di hatchery.

41

Page 4: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Gambar 2. Induk udang karang dengan berat sekitar 800 gram

PENGGEMUKAN (FATTENING)

ANAKAN LOBSTER

Anakan Lobster

Anakan udang karang biasanya banyak

ditemukan hidup di perairan pantai berbatu.

Pada awal perkembangan hidupnya, udang

karang bersifat bentik, hidup merayap dan selalu

berasosiasi dengan dasar habitat. Anakan udang

karang selalu mendekati suatu benda yang dapat

digunakan untuk melindungi dirinya (shelter)

dari predator. Kedekatan atau asosiasi udang

karang terhadap suatu shelter semakin menurun

sehubungan dengan pertumbuhan tubuhnya

(WAHLE & STENECK, 1992). Udang-udang

dewasa akan lebih bebas berenang ke laut dalam

yang lebih terbuka dan kurang terlindung. Oleh

karena itu, Berdasarkan pengamatan lapangan

pada kegiatan Iptekda LIPI 2005, nelayan udang

karang yang memasang perangkap di perairan

pesisir biasanya akan memperoleh hasil

tangkapan udang berukuran kecil (termasuk

anakan <100 g). Untuk memasang jaring dan

perangkap di perairan yang lebih dalam untuk

menangkap udang karang berukuran besar

diperlukan keberanian, ketrampilan, dan

peralatan (jaring dan perahu) yang memadai.

42

Page 5: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Anakan udang karang atau lobster

dengan berat kurang dari 100 gram per ekor

(Gambar 3 A) tidak layak untuk ekspor sehingga

nilai jualnya sangat rendah. Pada tahun 2005,

anakan udang karang yang berukuran kurang

dari 100 g di desa Watukarung Pacitan dijual

dengan harga antara Rp 12.500,- dan Rp 15.000,- per kg. Harga tersebut naik menjadi sekitar Rp 60.000,- per kg setelah diketahui bahwa anakan udang karang dapat dipelihara atau dibudidayakan untuk mencapai ukuran berat lebih dari l00 g per ekor (Gambar 3B). Program pembesaran anakan udang karang tersebut dirintis oleh staf peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI melalui Program Iptekda LIPI bekerjasama dengan Fakultas Biologi UGM dan Balai Benih Ikan Pantai - DKP DIY di Sundak - Gunungkidul.

Pertumbuhan

Secara periodik lobster akan berganti kulit (moulting), yaitu kulit yang lama akan ditanggalkan dan diganti dengan kulit yang baru. Pada saat pergantian kulit tersebut bisanya diikuti dengan pertumbuhan dan pertambahan berat. Pemberian pakan yang baik, jumlah dan nutrisinya mencukupi, akan merangsang lobster untuk cepat berganti kulit. Pada saat ganti kulit kondisi lobster menjadi sangat lemah dan perlu tempat berlindung untuk menghindari serangan (kanibalisme) dari teman-temannya. Proses pengerasan kulit akan berlangsung selama satu hingga dua minggu. Proses pengerasan kulit tersebut dipengaruhi oleh jumlah dan gizi (nutrisi) pakan.

Hasil percobaan sampingan yang dilakukan oleh DKP Pacitan, yaitu menampung anakan udang karang di karamba jaring apung bekas budidaya ikan kerapu, diketahui bahwa anakan udang karang dengan berat krang dari 50 g yang diberi pakan ikan rucah dapat tumbuh mencapai ukuran layak jual (>100 g) dalam waktu empat bulan.

Di Balai Benih Ikan Pantai Sundak, Gunungkidul, anakan udang karang (<100 g) yang dipelihara di dalam bak beton dengan diberi pakan kerang dan bulu babi dapat mencapai ukuran lebih dari 100 g dalam waktu

dua hingga bulan. Pada program penelitian di Balai Benih Ikan Pantai Sundak, Gunungkidul tersebut diketahui bahwa anakan udang karang menghasilkan pertumbuhan yang signifikan, yaitu 25 - 40 gram per bulan dengan tingkat kematian akibat transportasi benih dari lapangan ke laboratorium sekitar 5-7 %.

TEKNIK BUDIDAYA UDANG KARANG

Penentuan lokasi Usaha budidaya merupakan salah satu

kegiatan bisnis yang memerlukan modal, ketrampilan, ketekunan, dan kemampuan memprediksi perkembangan pasar. Usaha budidaya akan berkaitan dengan beberapa disiplin ilmu dan pengetahuan, atara lain aspek perikanan, biologi, hukum, teknik dan ekonomi (SETYONO, 2004).

Selain aspek personil (manusia) dan ekonomi (permodalan), penentuan lokasi untuk usaha budidaya juga harus memperhatikan keamanan, baik keamanan bagi pekerja maupun keamanan unit usaha (bangunan, peralatan, dan hewan yang dipelihara). Selain itu, prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi juga perlu dipertimbangkan.

Usaha budidaya tidak terlepas dari

kondisi air sebagai media tempat hidup hewan

yang dipelihara. Kualitas air akan sangat

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan

yang dipelihara. Khusus untuk 'onland farming'

atau budidaya sistem kolam dan bak yang

dibangun di darat, maka sumber air (kuantitas

dan kualitas) harus mendapat perhatian utama

(SETYONO, 2004). Sedangkan untuk budidaya

di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain

k ond isi air (k u alitas) in situ ju g a p erlu

diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang

dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan,

salinitas (kadar garam), pH (keasaman),

kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar

perairan (lumpur, pasir, batu). Pemilihan lokasi

untuk budidaya pembesaran udang karang tidak

jauh berbeda dengan persyaratan untuk

budidaya biota laut pada umumnya (PILLAY, 1990; LANDAU, 1992). Kondisi lingkungan tersebut tentunya akan berkaitan erat dengan teknik budidaya yang akan dipilih.

43

Page 6: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Gambar 3. Perbandingan ukuran antara anakan lobster yang belum layak ekspor dengan berat

<100 g (A) dan lobster yang telah layak ekspor dengan berat >100 g (B).

Teknik Budidaya

Ada dua teknik budidaya pembesaran

anakan udang karang yang telah dipraktekkan

dan berhasil, yaitu sistem pemeliharaan di dalam

karamba jaring apung (Gambar 4) dan sistem

pemeliharaan di dalam bak/kolam terkontrol di

darat, baik di dalam ruangan maupun di luar

ruangan (Gambar 5). Di dalam karamba dan

bak/kolam dipasang potongan bambu atau pipa

PVC sebagai tempat bersembunyi (shelter).

Penentuan teknik budidaya pembesaran udang

karang sangat tergantung pada kondisi ekonomi

(permodalan), ekologi (lingkungan), geografi,

dan bahkan kondisi politik (keamanan) di

wilayah tersebut.

Budidaya pembesaran anakan udang

karang di dalam karamba jaring apung

mempunyai beberapa keuntungan, antara lain;

biaya investasi dan operasional relatif rendah,

dapat memilih lingkungan yang sesuai, hewan

terlindungi dari predator, makanan dapat

dikontrol secara optimal, dapat dilakukan

polikultur, dan dapat dipelihara dengan

kepadatan tinggi. Namun demikian, teknik ini

mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

pemberian makanan memerlukan teknik

tertentu, sulit dalam melakukan perawatan

kurungan, kemungkinan kurungan rusak

akibat badai, kemungkinan serangan predator

(ikan-ikan besar), sehingga perlu penjagaan

(keamanan) secara intensif, dan beberapa

problem yang berkaitan dengan biota pengotor

(fauling organisms) (SETYONO, 1997).

44

Page 7: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Gambar 4. Konstruksi kerangka apung (A) dan Ilustrasi karamba jaring apung dilihat dari

samping (B).

45

Page 8: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

46

Page 9: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

Budidaya pembesaran di dalam bak/

kolam terkontrol di darat memerlukan biaya

investasi yang tinggi guna membangun

fasilitas budidaya (gedung, kolam, peralatan,

pompa air dan udara), biaya operasional dan

tenaga kerja. Gangguan dan kerusakan fasilitas

dan peralatan akan berakibat fatal. Namun

demikian, teknik ini sangat baik dan mudah

untuk melakukan kontrol terhadap hewan yang

dipelihara serta memberikan hasil yang lebih

pasti (SETYONO, 1997).

Kepadatan Tebar dan Pakan

Kanibalisme jarang terjadi pada

udang karang selama udang tersebut

memperoleh pakan yang cukup dan merasa

aman (ada shelter). Pada sistem karamba

jaring apung dapat ditebarkan anakan udang

karang sebanyak 15-20 ekor per m2

luas dasar

karamba. Untuk sistem bak/kolam dapat

ditebarkan anakan sebanyak 10-15 ekor per

m2

luas dasar bak/kolam.

Jenis pakan untuk udang karang yang

dipelihara di dalam karamba jaring apung

berupa ikan rucah sebanyak 10% dari berat

tubuhnya per hari. Pakan utamanya diberikan

pada sore hari menjelang malam. Ikan yang

akan diberikan untuk pakan sebaiknya

ditempatkan pada suatu wadah supaya tidak

hanyut keluar dari karamba. Untuk ikan pakan

yang berukuran sedang (lemuru, laying,

tongkol) bisa diikat pangkal ekornya dan

digantungkan di sekitar shelter supaya mudah

dijangkau oleh anakan udang karang. Pakan

harus diberikan secara merata di dalam

karamba untuk menghindari udang berkelahi

karena berebut pakan.

Pada budidaya sistem bak/kolam,

udang karang diberi pakan kerang dan bulu

babi yang masih hidup sebanyak 5-10% dari

berat badannya per hari. Dari kegiatan

budidaya anakan udang karang di Balai Benih

Ikan Pantai Sundak- Gunungkidul, diketahui

bahwa kebutuhan pakan rata-rata per hari

sekitar 7% dari berat tubuhnya. Pakan dalam

bentuk biota hidup ini dimaksudkan untuk

menjaga kualitas air supaya tidak banyak

menurun akibat kotoran pakan. Untuk menjaga

kestabilan kualitas air laut di dalam bak

pemeliharaan dibuat sirkulasi air. Air dari bak

pemeliharaan dialirkan ke bak pengendapan,

kemudian dipompa/dialirkan kembali masuk ke

bak pemeliharaan melalui suatu sistem filter.

Air di dalam bak/kolam pemeliharaan diberi

aerasi.

Selain pakan berupa ikan rucah dan

kerang hidup, anakan udang karang juga diberi

pakan tambahan (supplement) berupa rumput

laut jenis Gracilaria. Penambahan pakan

supplement bisa meningkatkan berat badan dan

kesehatan udang karang.

Hama dan Penyakit

Udang karang termasuk jenis udang

laut yang sangat sensitif terhadap perubahan

salinitas dan suhu. Kualitas air yang buruk bisa

menyebabkan udang karang kurang sehat dan

mati karena stress dan tidak ada nafsu makan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga

kestabilan kondisi air (salinitas dan suhu) di

dalam bak pembesaran anakan udang karang.

Pada dasarnya hama dan penyakit pada udang

karang adalah sangat jarang. Namun demikian

perlu kewaspadaan bahwa meskipun

kematian udang karang akibat hama dan

penyakit sangat rendah, serangan (kanibalisme)

terhadap udang yang sedang ganti kulit

(moulting) bisa sangat fatal dan merugikan.

Oleh karena itu, jumlah shelter sebagai tempat

berlindung di dalam kurungan atau bak

pemeliharaan harus memadai.

Berdasarkan pengalaman pada

budidaya karamba jaring apung di perairan

Lombok NTB, hama yang perlu diwaspadai

adalah ikan buas (carnivora) seperti ikan hiu,

kerapu, bandeng lelaki, kakap, dan serangan

kepiting.

47

Page 10: Budidaya Pembesaran Udang Karang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006

DAFTAR PUSTAKA

HOLTHUIS, L.B. 1992. Marine lobster of the

world. FAO Fisheries Synopsis, Vol.

13, No. 125. FAO Rome: 139-141.

URL: http://www.lobster.org. Down

loaded November 2002.

KADAFI, M.; R. WIDANINGROEM dan

SOEPARNO 2006. Aspek biologi dan

potensi lestari sumberdaya lobster

(Panulirus spp.) di perairan pantai

Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen.

Journal of fisheries Science, 8 (1): 108- 117.

KITTAKA, J. 1997. Application of ecosystem

cu ltu re met h od fo r co mp lete

development of spiny lobster.

Aquaculture, 155: 319-331.

LANDAU, M. 1992. Aquaculture Vol 1. Ellis

Horwood, New York: 528 p.

MOOSA, M.K. 1984. Udang karang

(Panulirus spp.) dari perairan

Indonesia. Lembaga Oseanologi

Nasional, LIPI, Jakarta: 40 hal.

MOOSA, M.K. dan I. ASWANDI 1984. Udang

karang (Panulirus spp.) dari perairan

Indonesia. Proyek Studi Potensi

Sumberdaya Alam Indonesia, Studi

Potensi Sumberdaya Ikan. Lembaga

Oseanologi Nasional, LIPI, Jakarta: 1- 23.

PHILLIPS, B.F and J.S. COBS 1980. The

biology and management of lobster.

Vol. I. Academic Press, New York: 480

P.

PILLAY, T.V.R. 1990. Aquaculture: Principles

and Practice. Fishing News Books,

London: 574 p.

REJEKI, S. 1995. Pertumbuhan larva udang

barong (Panulirus homarus L.) yang

diberi pakan rotifera yang diperkaya

dengan minyak ikan. Prosiding seminar 01/Pros/03.95. Balitbang Pertanian,

Serang: 10-21.

SETYONO, D.E.D. 1997. Culture techniques

on the farming of abalone (Haliotis sp.),

a perspective effort for aquaculture in

Indonesia. Oseana Vol. 32(1): 1-8.

SETYONO, D.E.D. 2004. Pengetahuan dasar

akuakultur. Oseana, 29 (1): 27-32.

SUMAN, A., W. SUBANI, dan P. PRAHORO

1993. Beberapa parameter biologi

udang panning (Panulirus homarus) di

Perairan Pangandaran Jawa Barat.

Jurnal Penelitian Perikanan Laut (85):

10-21.

TRIJOKO 1994. Sex rasio dan masa bertelur

udang karang (Panulirus spp.) di

perairan Pangandaran, Jawa Barat.

Makalah dipresentasikan pada

Seminar Nasional Biologi Menuju

Milenium III. Fakultas Biologi, UGM

Yogyakarta: 14 hal.

TRIJOKO; S. TRIYANTO; HELMIATI dan N.

UNTARI 2004. Pemijahan udang

karang (Panulirus homarus L.) untuk

pengadaan juvenil bagi konservasi

sumberdaya hayati. Makalah

dipres en t a sik a n p ada Si mp osiu m

Nasional Perkembangan dan Inovasi

Teknologi Akuakultur. Forum Temu

Kontak Bisnis Akuakultur Indonesia,

Konggres Masyarakat Akuakultur

Indonesia, Semarang. 15 hal.

WAHLE, R.A. and R.S. STENECK 1992.

Habitat restriction in early benthic life:

experiments on habitat selection and in

situ predation with the American

lobster. Journal of Experimental

Marine Biology and Ecology, 157: 91-

114.

48