BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, … II.pdf · selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun...

71
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, SISA BIDANG TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengadaan Tanah Tanah adalah sumber daya alam yang terbatas, memiliki nilai yang tinggi dan merupakan fondasi sebuah pembangunan. Tanah menurut world university encyclopedia adalah “Land, in law, any soil, ground, or earth whatsoever, regarded as being subject to ownership and including everything annexed or appertaining to it.” 1 (Tanah, dalam hukum, adalah setiap tanah, permukaan tanah, atau di bagian bumi apapun, dianggap sebagai subjek untuk kepemilikan dan termasuk segala sesuatu yang dapat dilampirkan atau yang mendekati itu.) Selanjutnya Joseph R. Nolan dan M.J Connolyy mendefinisikan tanah (land) sebagai berikut: …. the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards, subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use of airspace granted, by law. 2 (bahan material dari bumi, apa pun mungkin bahan dari yang terdiri, apakah tanah, batuan, atau zat lainnya, dan termasuk 1 Houma-Lidice, The World University Encyclopedia, Volume 6, Publisher Company, Washington DC, page 213. 2 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, St. Paul Mminn: West Publishing Co. 1979, page 789.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, … II.pdf · selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun...

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH,

SISA BIDANG TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengadaan Tanah

Tanah adalah sumber daya alam yang terbatas, memiliki nilai yang tinggi dan

merupakan fondasi sebuah pembangunan. Tanah menurut world university

encyclopedia adalah “Land, in law, any soil, ground, or earth whatsoever, regarded

as being subject to ownership and including everything annexed or appertaining to

it.”1 (Tanah, dalam hukum, adalah setiap tanah, permukaan tanah, atau di bagian

bumi apapun, dianggap sebagai subjek untuk kepemilikan dan termasuk segala

sesuatu yang dapat dilampirkan atau yang mendekati itu.)

Selanjutnya Joseph R. Nolan dan M.J Connolyy mendefinisikan tanah (land)

sebagai berikut:

…. the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is

composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or

occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards,

subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use

of airspace granted, by law.2 (bahan material dari bumi, apa pun mungkin

bahan dari yang terdiri, apakah tanah, batuan, atau zat lainnya, dan termasuk

1 Houma-Lidice, The World University Encyclopedia, Volume 6, Publisher Company,

Washington DC, page 213. 2 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, St. Paul Mminn:

West Publishing Co. 1979, page 789.

ruang bebas atau ditempati untuk jarak terbatas ke atas serta ke bawah, tunduk

pada keterbatasan pada penggunaan wilayah udara, dan hak-hak dalam

penggunaan wilayah udara yang diberikan oleh hukum.)

Definisi tanah (land) ditulis oleh Judith Bray dalam bukunya unlocking land

law adalah sebagai berikut:

Land includes land of any tenure, and mines and minerals, whether or not

held apart from the surface, buildings, or parts of buildings (whether the

division is horizontal, vertical or made in any other way) and other corporeal

hereditaments.3 (Tanah termasuk tanah kepemilikan apapun, dan tambang dan

mineral, apakah termasuk atau tidak diadakan terpisah dari permukaan,

bangunan, atau bagian dari bangunan (apakah pembagian horizontal, vertikal

atau dibuat dengan cara lain) dan pewarisan.)

Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai

suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Tanah dalam pengertian

yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA).4 Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah

yang telah diamanatkan dalam Pasal 6 UUPA. Berdasarkan filosofi fungsi sosial hak

atas tanah tersebut, ditetapkan dasar pembentukan UU Pengadaan Tanah, yakni

menjamin tersedianya tanah untuk penyelenggaraan pembangunan dengan

mendasarkan pada penghormatan hak rakyat atas tanah.5

3 Judith Bray, 2004, Unlocking Land Law, first edition, hodder education, Milton Park,

Abingdon, page 23 4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: sejarah pembentukan undang-undang

pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, cet. 12, Djambatan, Jakarta, hal. 18 5 Erman Rajaguguk, 2012, Serba-Serbi Hukum Agraria: Tanah Untuk Kepentingan Umum,

Larangan Alih Fungsi Tanah Pertanian, Landreform Tanah Perkarangan, Cet. 1, Lembaga Studi

Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 34

Dalam usaha untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau

keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang

bijaksana. Pengadaan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan

bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.6

Penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan hendaknya

memperhatikan keseimbangan antara kepentingan perorangan, masyarakat, dan

Negara. Kepentingan perorangan dapat diambil untuk kepentingan umum, jika

kepada pemegang haknya diberikan ganti kerugian yang layak, karena tanah harus

dipergunakan sesuai fungsi dan peruntukannya sehingga bermanfaat, baik bagi

kesejahteraan yang memilikinya maupun bagi masyarakat luas dan negara.7 Dalam

Pasal 36 UU Pengadaan Tanah telah ditentukan dengan cukup baik tentang bentuk

ganti kerugian, yaitu uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham

dan bentuk lain yang disepakati kedua belah pihak. Kelima bentuk ganti kerugian

tersebut sejatinya cukup ideal apabila pemerintah melaksanakannya dengan sungguh-

sungguh sehingga tetap menyejahterakan masyarakat.8

Pembangunan infrastruktur selama lebih dari 69 tahun Indonesia merdeka,

pelaksanaannya selalu berbenturan dengan masalah klasik dan rumit, yakni

6 Adrian Sutedi, 2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakata, (selanjutnya disingkat Adrian I), hal. 49 7 H. Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan

Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, jakarta, hal. 28 8 Bernhard Limbong, 2014, Opini Kebijakan Agraria, PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Bernhard III), hal. 219

pengadaan tanah.9 Pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan pengadaan tanah juga

harus melaksanakan amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat,

sehingga akhirnya tidak terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan

komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat

banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.10

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan

suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi

hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach

(pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari

segi kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan

ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa

negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk

memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap

terpelihara.11

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah

Pengertian pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU Pengadaan Tanah

adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak

9 Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, 2015, Panduan Lengkap Ganti

Untung Pengadaan Tanah, ReneBook, Jakarta, hal. 39 10 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang

Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3 11 Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra

Aditya, Bandung, hal. 51

dan adil kepada pihak yang berhak. Pengertian tersebut senada dengan yang telah

diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 156),

selanjutnya disingkat Perpres Pengadaan Tanah. Pengadaan tanah yang dilakukan

oleh pemerintah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum menurut Pasal

1 angka 9 UU Pengadaan Tanah dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atas tanah

masyarakat menjadi tanah Negara melalui lembaga pertanahan yang wajib dikuti

dengan ganti rugi yang layak dan telah disepakati oleh para pihak.

Pengadaan tanah secara umum telah diatur dalam UU Pengadaan Tanah, dan

sebagai peraturan pelaksana dari UU Pengadaan Tanah yang mengatur teknis

pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah

menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah. Perpres ini mengatur tentang tata cara

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan

persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Belakangan,

pemerintah dan lembaga legislatif menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 94), selanjutnya disingkat

Perpres Nomor 40 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 223) untuk menyempurnakan beberapa pasal

dalam Perpres Pengadaan Tanah.

Dalam Pasal 111 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah ditentukan perlunya

penetapan mengenai petunjuk teknis tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yang

diatur oleh Kepala BPN, maka pada tanggal 30 Oktober 2012, kepala BPN telah

menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Tanah,

selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun 2012. Peraturan ini mengatur tentang

petunjuk teknis pengadaan tanah yang dilakukan di lembaga pertanahan dari tahapan

penyiapan pelaksanaan, inventaris, pemantauan, pelaksanaan ganti rugi, musyawarah,

evaluasi, koordinasi sampai dengan penyerahan hasil. Beberapa ketentuan hukum

lainnya yang mendasari proses dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria

a. Pasal 14 ayat (1) dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2)

dan (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah membuat

rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:

1. Untuk keperluan negara;

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai

dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

3. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan

dan lain-lain kesejahteraan;

4. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan

perikanan serta sejalan dengan itu;

5. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan

pertambangan.

b. Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan

bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, Hak-Hak

Atas Tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah

dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Jika keadaan mengharuskan

dilakukannya pencabutan Hak Atas Tanah maka Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 tidak lagi dapat diterapkan dan langkah

berikutnya adalah dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961 dan peraturan pelaksanaannya.

3. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

4. Beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri, antara lain:

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-

Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan

Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan

Tanah Oleh Pihak Swasta.

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Di Wilayah Kecamatan.

Ketiga Peraturan Menteri Dalam Negeri di atas dinyatakan tidak berlaku lagi dengan

dikeluarkannya:

5. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dinyatakan tidak

berlaku lagi dengan dikeluarkannya:

6. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah disempurnakan

oleh:

7. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 hanya mengatur mekanisme pengadaan tanah dan

tidak digunakan untuk melakukan pencabutan Hak Atas Tanah.

Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan bisa

dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni pencabutan hak, pelepasan hak dan melalui

tukar-menukar dan/atau jual beli.12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961

tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya

(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288; Tambahan Lembaran Negara Nomor

2324), selanjutnya disingkat UU Pencabutan Hak Tanah, menentukan bahwa untuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat dan kepentingan

pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah mendengar Menteri

Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-

hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Dalam ketentuan Pasal 18 UUPA hanya menentukan jaminan bagi rakyat

mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan

syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak. Hal ini dapat

dilihat dengan diterbitkannya UU Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan yang

menyatakan bahwa hak atas tanah masyarakat yang dicabut haknya itu tidak dapat

menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk banding

maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti rugi yang

12 Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi

Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong IV), hal.

338

ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan apakah tetap

pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah uang ganti rugi

tersebut.

Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 UU Pencabutan Hak Tanah,

yaitu melalui Kepala Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana

permohonan dan alasan-alasan pencabutan hak atas tanah, keterangan nama yang

berhak beserta luas dan jenis hak atas tanah disertai rencana penampungan

masyarakat yang ada di atasnya. Selain itu, Kepala Kantor Wilayah BPN akan

meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan tentang permohonan

tersebut dan penampungan masyarakat, kemudian agar tim penaksir bersidang

menetapkan ganti rugi.

Menurut Pasal 6 UU Pencabutan Hak Tanah maka Kepala Kantor Wilayah

BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada Kepala BPN

tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan tim penaksir. Kepala BPN akan

menetapkan suatu keputusan mendahului keputusan Presiden tersebut. Keputusan

tentang pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik

Indonesia dan isinya juga dimuat dalam surat kabar. Pasal 8 UU Pencabutan Hak

Tanah menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima jumlah uang

ganti rugi yang ditetapkan tim penaksir maka yang bersangkutan dapat mengajukan

permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar biaya perkara, yang

juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan

sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas tanah dan benda-benda

yang ada di atasnya dinyatakan dicabut.

Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa

penyelenggara pemerintahan sering mengambil keuntungan dari istilah kepentingan

umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan

konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum diberikan suatu pembatasan hak

pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan umum dengan tepat, pembuat undang-

undang harus mengemukakan beberapa hal dasar. Pertama, perwujudan kepentingan

umum sebagian besar merupakan sistem publik sebagai government centered

dibandingkan dengan suatu sistem pribadi market led. Kedua, definisi kepentingan

publik harus layak atau mempunyai alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum

sering dimasukkan ke dalam beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undang-

undang perlu membatasi kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di

dalam hak pribadi atas tanah yang dimilikinya.13

13 Putu Mia Rahmawati, 2013, Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta, tesis Program Studi Magister (S2) Magister

Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 70

2.1.2 Pengadaan Tanah Sebelum dan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum

Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka

pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan

pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan

tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde

baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas

tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah

karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang proporsional.

Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas

Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yang berisi pedoman jenis-jenis

kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material Inpres

tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu penting

tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis. Materi Inpres

itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena menyangkut hak rakyat banyak.

Pemberian bentuk Inpres atas kriteria kepentingan umum lebih merupakan tindakan

pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-programnya. 14

Sebelum diberlakukannya UU Pengadaan Tanah, pengaturan tentang

pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian

diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat Perpres

65 Tahun 2006. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh tim

pelaksana pengadaan tanah, yang dalam prosesnya pelaksanaannya sering terhambat

oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah

definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan.

Penyelenggaraan pengadaan tanah juga sering bersinggungan dengan isu hukum

mendasar seperti hak asasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara

kepentingan Negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun

kelompok.15

Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans UU Pengadaan Tanah,

termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut:

a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan

sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan

pembangunan;

14 Adrian Sutedi I, op. cit., hal. 89 15 Adi Suara, 2013, Tinjauan Atas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. http://bpk.go.id, diakses pada 4 Juni 2015.

b. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk

kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan

dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil;

c. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan

tanah untuk pelaksanaan pembangunan;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Perbaikan yang signifikan dari UU Pengadaan Tanah maupun Perpres

Pengadaan Tanah sebagai peraturan pelaksananya dibandingkan dengan peraturan

sebelumnya yaitu Perpres 65 Tahun 2006 tidak dapat dipungkiri. Sebagai contoh,

ketentuan Pasal 35 UU Pengadaan Tanah yang menyatakan apabila dalam hal bidang

tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat

difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat

meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Ketentuan pasal ini belum

pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya, dan tujuan pasal ini muncul

adalah dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.

Selain itu, dalam UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah

telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari

mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan

penyerahan hasil, termasuk di dalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-

masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam

proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Batasan waktu

sebenarnya juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam UU

Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah sudah secara tegas mengatur

durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan

umum paling lama (maksimal) 583 hari.

Berdasarkan UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah juga

diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Isi dari

dokumen tersebut di antaranya adalah tujuan rencana pembangunan, kesesuaian

dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang

dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Dokumen

perencanaan pengadaan tanah tersebut selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang

melingkupi wilayah di mana letak tanah berada.

Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian,

pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari

pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di

pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan

tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur

minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur di dalamnya.

UU Pengadaan Tanah ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-

jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum. Berdasarkan

ketentuan Pasal 10 UU Pengadaan Tanah dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol

dan semua jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan

umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja. Selain itu,

dalam UU Pengadaan Tanah ini tidak ditemukan mengenai definisi kepentingan

pembangunan dan kepentingan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan

kepentingan umum sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU

Pengadaan Tanah. Hal ini menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi

pembangunan untuk kepentingan umum dalam UU Pengadaan Tanah seperti halnya

peraturan-peraturan sebelumnya.16

Selain itu, ketentuan dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 UU

Pengadaan Tanah diatur bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk

dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14

hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian, karena hukum pihak yang

berhak (masyarakat) dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti

kerugian tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat, dan pada saat

pelaksanaan pelepasan hak, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak

menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hapusnya hak atas tanah dari pihak yang

berhak adalah hak atas tanah tersebut berakhir tanpa kerja sama ataupun persetujuan

16 Ibid.

seperti dalam sahnya suatu persetujuan, dan pihak yang berhak dalam hal ini

kehilangan sama sekali haknya secara paksa.17

Hapusnya kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak yang

menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 UU Pengadaan Tanah di atas,

menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja dibenturkan dengan UU

Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah ini jelas tidak

sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum

Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 UU Pengadaan Tanah yaitu pengadaan

tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan,

kesepakatan, dan asas-asas lain.18

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan di atas, UU Pengadaan Tanah

merupakan sebuah langkah perbaikan dibandingkan dengan Perpres Nomor 65 Tahun

2006, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi

rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Diterbitkannya undang-undang

tersebut memberi harapan permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah dapat

diatasi ke depannya. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah

dan menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan

umum selama ini antara lain:

17 A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA,

Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya di singkat Parlindungan II), hal. 1 18 Adi Suara, loc. it.

1. Belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme

pengadaan tanah;

2. Belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah;

3. Tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan

4. Belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai

kepentingan umum.19

Menurut M. Yamin Lubis dalam bukunya Pencabutan hak, pembebasan dan

pengadaan tanah, beberapa prinsip pengadaan tanah dapat dimasukkan dalam materi

undang-undang yang akan datang, antara lain dengan mempertimbangkan beberapa

prinsip yaitu:

a. Prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki rakyat yang

merupakan bagian dari hak asasi warga negara, sehingga tidak dengan sedemikian

rupa dapat dengan mudah diambil untuk kepentingan-kepentingan tertentu

termasuk untuk kepentingan umum, tanpa mengindahkan aturan hukum yang ada.

b. Prinsip kepastian hukum baik dalam pengaturannya (ketentuan materiil) dan

proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum (ketentuan formil/hukum

acaranya) maupun dalam proses pemberian hak atas tanah kepada instansi yang

membutuhkan sebagai pemangku dari kepentingan umum.

c. Prinsip kepastian atas kepentingan umum, menyangkut pengertian, penetapan

bidang kegiatan yang masuk dalam kategori kepentingan umum, dengan

penegasan adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat, kegiatan benar-benar

dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah, nyata-nyata tidak digunakan untuk

19 Ibid.

mencari keuntungan (tidak ada unsur komersil/bisnis), perencanaan dan

pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah.

d. Prinsip pelaksanaannya dengan cara tepat dan transparan, dengan pembentukan

tim pelaksana yang kompeten baik untuk tim pengadaan tanah maupun tim

penaksir harga tanah, lengkap dengan susunan dan uraian tugasnya secara

limitatif.

e. Prinsip musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah, terutama emngenai

hal yang berkaitan dengan kegiatan dan tujuan dari pengadaan tanah tersebut dan

juga mengenai penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

f. Prinsip pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atas setiap pengambilan hak

atas tanah rakyat, sebab hak atas tanah tersebut sebagai bagian dari aset seseorang

yang diperoleh dengan pengorbanan tertentu dan pabila sudah terdaftar telah ada

legalitas aset yang diberikan oleh Negara dan kepada penerima haknya biasanya

membayar kompensasi kepada Negara baik dalam bentuk kewajiban uang

pemasukan ke kas Negara maupun kewajiban perpajakan. Selain itu, harus

ditegaskan pengertian “ganti rugi yang layak dan adil”, sehingga diperoleh tolak

ukur yang dapat dipedomani dalam pemberian ganti kerugian yang mana telah

diatur dalam UU Pengadaan Tanah.

g. Prinsip pembedaan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umm sesuai

dengan kriteria yang ditentukan secara limitatif dengan pengadaan tanah bukan

untuk kepentingan umum (kepentingan pemerintah dengan unsur bisnis), serta

penetapan kriteria luasan tanah skala kecil dengan prosedur pengadaan tanahnya,

termasuk dalam hal penggunaan standar dan normanya seperti kemungkinan

penggunaan bantuan tim pengadaan tanah.20

Berikut adalah perbedaan singkat mengenai peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai pengadaan tanah, dimulai dari Keppres No. 55 Tahun 1993,

Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan UU Pengadaan Tanah,

dengan demikian dapat diketahui perubahan-perubahan dalam pengaturan

pelaksanaan pengadaan tanah di Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam

tabel di bawah ini:

Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah

Pokok

Perbanding

an

Keppres No.

55 Tahun

1993

Perpres No. 36

Tahun 2005

Perpres No. 65

Tahun 2006

UU No 2

Tahun 2012

20 M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan

Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis I), hal. 100-101

Pengadaan

Tanah

Pengadaan

tanah adalah

setiap kegiatan

untuk

mendapatkan

tanah dengan

cara

memberikan

ganti kerugian

kepada yang

berhak atas

tanah tersebut.

Pengadaan tanah

adalah setiap

kegiatan untuk

mendapatkan

tanah dengan

cara

memberikan

ganti rugi

kepada yang

melepaskan atau

menyerahkan

tanah,

bangunan,

tanaman, dan

benda-benda

yang berkaitan

dengan tanah

atau pencabutan

hak atas tanah

Pengadaan

tanah adalah

setiap kegiatan

untuk

mendapatkan

tanah dengan

cara

memberikan

ganti rugi

kepada yang

melepaskan

atau

menyerahkan

tanah,

bangunan,

tanaman dan

benda-benda

yang berkaitan

dengan tanah.

Pengadaan

Tanah adalah

kegiatan

menyediakan

tanah dengan

cara

memberi

ganti

kerugian

yang layak

dan adil

kepada pihak

yang berhak

Mekanisme

Pengadaan

Tanah

Pengadaan

tanah bagi

pelaksanaan

pembangunan

untuk

kepentingan

umum oleh

pemerintah

dilaksanakan

dengan cara

pelepasan atau

penyerahan

hak atas tanah.

Pengadaan tanah

bagi

pelaksanaan

pembangunan

untuk

kepentingan

umum oleh

Pemerintah atau

pemerintah

daerah

dilaksanakan

dengan cara :

a.Pelepasan atau

penyerahan hak

Pengadaan

tanah bagi

pelaksanaan

pembangunan

untuk

kepentingan

umum oleh

Pemerintah atau

Pemerintah

Daerah

dilaksanakan

dengan cara

pelepasan atau

penyerahan hak

Pengadaan

tanah bagi

pelaksanaan

pembanguna

n untuk

kepentingan

umum oleh

Pemerintah

atau

Pemerintah

Daerah

dilaksanakan

dengan cara

pelepasan

atau

atas tanah, atau

b. pencabutan

hak atas tanah

atas tanah penyerahan

hak atas

tanah

Kepentingan

umum

Kepentingan

umum adalah

kepentingan

seluruh lapisan

masyarakat.

Kepentingan

umum adalah

kepentingan

sebagian besar

lapisan

masyarakat.

Kepentingan

umum adalah

kepentingan

sebagian besar

lapisan

masyarakat.

Kepentingan

umum

adalah

kepentingan

bangsa,

negara dan

masyarakat

yang harus

diwujudkan

oleh

pemerintah

dan

digunakan

sebesar-

besarnya

untuk

kemakmuran

rakyat.

Cakupan

kepentingan

umum

a. jalan umum,

saluran

pembuangan

air;

b. waduk,

bendungan dan

bangunan

pengairan

lainnya

termasuk

saluran irigasi.

c. rumah sakit

umum dan

a. jalan umum,

jalan tol, rel

kereta api (di

atas tanah, di

ruang atas tanah,

ataupun di ruang

bawah tanah),

saluran air

minum/air

bersih, saluran

pembuangan air

dan sanitasi.

b. waduk,

a. jalan umum

dan jalan tol, rel

kereta api (di

atas tanah, di

ruang atas

tanah, ataupun

di ruang bawah

tanah), saluran

air minum/air

bersih, saluran

pembuangan air

dan sanitasi.

b. waduk,

a. pertahanan

dan

keamanan

nasional

b. jalan

umum, jalan

tol,

terowongan,

jalur kereta

api, stasiun

kereta api

dan fasilitas

operasi

pusat-pusat

kesehatan

masyarakat

d. pelabuhan

atau bandar

udara atau

terminal.

e. peribadatan.

f. pendidikan

atau sekolahan.

g. pasar umum

atau pasar

INPRES

h. fasilitas

pemakaman

umum

i. fasilitas

keselamatan

umum seperti

tanggul

penanggulanga

n bahaya

banjir, lahar

dan lain-lain

j. pos dan

telekomunikasi

k. sarana olah

raga

l. stasiun

penyiaran

radio, televisi

bendungan,

irigasi dan

bangunan

pengairan

lainnya.

c. rumah sakit

umum dan pusat

kesehatan

masyarakat.

d. pelabuhan,

bandar udara,

stasiun kereta

api dan terminal.

e. peribadatan.

f. pendidikan

atau sekolah

g. pasar umum

h. fasilitas

pemakaman

umum

i. fasilitas

keselamatan

umum

j. pos dan

telekomunikasi

k. sarana olah

raga

l.stasiun

penyiaran radio

dan televisi dan

sarana

bendungan,

bendungan

irigasi dan

bangunan

pengairan

lainnya;

c. pelabuhan,

bandar udara,

stasiun kereta

api, dan

terminal.

d. fasilitas

keselamatan

umum, seperti

tanggul

penanggulangan

bahaya banjir,

lahar, dan lain-

lain

e. tempat

pembuangan

sampah

f. cagar alam

dan cagar

budaya

g. pembangkit,

transmisi,

distribusi

tenaga listrik.

kereta api

c. waduk,

bendungan,

bendung,

irigasi,

saluran air

minum,

saluran

pembuangan

air dan

sanitasi dan

bangunan

pengairan

lainnya

d. pelabuhan,

bandar udara

dan terminal

e.

infrastuktur,

minyak gas

dan panas

bumi

f.

pembangkit,

transmisi,

gardu,

jaringan dan

distribusi

tenaga listrik

g. jaringan

telekomunik

asi dan

informatika

beserta

pendukungnta.

m. kantor

Pemerintah

n. fasilitas

Angkatan

Bersenjata

Republik

Indonesia

pendukungnya.

m. kantor

Pemerintah,

pemerintah

daerah,

mperwakilan

negara asing,

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

dan atau

lembaga-

lembaga

internasional di

bawah naungan

Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

n.fasilitas

Tentara

Nasional

Indonesia dan

Kepolisian

Negara

Republik

Indonesia sesuai

dengan tugas

pokok dan

fungsinya.

o. lembaga

permasyarakatan

dan rumah

tahanan

p. rumah susun

sederhana

q. tempat

Pemerintah

h. tempat

pembuangan

dan

pengolahan

sampah

i. rumah

sakit

Pemerintah/

Pemerintah

Daerah

j. fasilitas

keselamatan

umum

k. tempat

pemakaman

umum

Pemerintah/

Pemerintah

Daerah

l. fasilitas

sosial,

fasilitas

umum dan

ruang

terbuka hijau

publik

m. cagar

alam dan

cagar budaya

n. kantor

Pemerintah/

pembuangan

sampah

r. cagar alam

dan cagar

budaya.

s. pertamanan

t. panti sosial

u. pembangkit,

tansmisi,

distribusi tenaga

listrik

Pemerintah

Daerah/desa

o. Penataan

pemukiman

kumuhperkot

aan dan/atau

konsolidasi

tanah, serta

perumahan

untuk

masyarakat

berpenghasil

an rendah

dengan

status sewa

p. prasarana

pendidikan

atau sekolah

Pemerintah/

Pemerintah

Daerah

q. Prasarana

olahraga

Pemerintah/

Pemerintah

Daerah; dan

r. pasar

umum dan

lapangan

parkir

umum.

2.1.3 Cara dan Proses Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah

diatur secara jelas dalam UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksananya, mulai

dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan yang dijabarkan

sebagai berikut:

a. Tahap Perencanaan

Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,

sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pengadaan Tanah agar menyusun dokumen

perencanaan pengadaan tanah, yang sedikitnya memuat:

1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan,

2. Kesesuaian dengan rancangan tata ruang wilayah (rtrw) dan prioritas

pembangunan,

3. Letak tanah,

4. Luas tanah yang dibutuhkan,

5. Gambaran umum status tanah,

6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan

pembangunan,

7. Perkiraan nilai tanah, dan

8. Rencana penganggaran.

Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut sesuai ketentuan Penjelasan Atas

Pasal 15 ayat (2) UU Pengadaan Tanah disusun berdasarkan studi kelayakan yang

mencakup:

1. Survei sosial ekonomi,

2. Kelayakan lokasi,

3. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat,

4. Perkiraan harga tanah,

5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat

pengadaan tanah dan bangunan, serta

6. Studi lain yang diperlukan.

Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang

memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah di mana letak tanah

berada.

b. Tahap Persiapan

Dalam tahapan persiapan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat

(1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur membentuk tim persiapan dalam waktu

paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan:

1. Bupati/Walikota,

2. SKPD Provinsi terkait,

3. instansi yang memerlukan tanah, dan

4. instansi terkait lainnya.

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tim persiapan, Gubernur membentuk sekretariat

persiapan pengadaan tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Adapun

tugas tim persiapan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Perpres Pengadaan

Tanah adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan

Sesuai ketentuan Pasal 11 Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan rencana

pembangunan ditandatangani ketua tim persiapan dan diberitahukan kepada

masyarakat pada lokasi rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah

dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima resmi oleh Gubernur. Sesuai

ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan

dapat dilakukan secara langsung baik melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau

surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui

media cetak maupun media elektronik.

2. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan

Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan data

awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah bersama aparat

kelurahan/desa sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah,

paling lama adalah 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan.

Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah, hasil

pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara lokasi rencana

pembangunan yang ditandatangani ketua tim persiapan sebagai bahan untuk

pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.

3. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan

Konsultasi publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan

kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dan masyarakat

yang terkena dampak pengadaan tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (4) Perpres

Pengadaan Tanah dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal

ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana pembangunan. Hasil

kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara

kesepakatan.

Sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1), (2), (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah,

apabila dalam konsultasi publik, pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena

dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan, maka dilaksanakan

konsultasi publik ulang paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara

kesepakatan. Sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan

Tanah, jika dalam konsultasi publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan

atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan

keberatan kepada Gubernur melalui tim persiapan. Selanjutnya, Gubernur

membentuk tim kajian keberatan yang terdiri atas:

a. Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua

merangkap anggota;

b. Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota;

c. Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan

pembangunan daerah sebagai anggota;

d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota;

e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

f. Akademisi sebagai anggota.

Tugas tim kajian keberatan meliputi:

a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;

b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan;

c. Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan yang

ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada Gubernur.

Berdasarkan rekomendasi dari tim kajian, sesuai ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40

Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya

keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh

Gubernur dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan. Dalam

hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima keberatan, instansi yang

memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan atau memindahkan lokasi

rencana pembangunan ke tempat lain.

4. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan

Penetapan lokasi pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang telah

dilakukan tim persiapan dengan pihak yang berhak atau berdasarkan karena

ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan. Penetapan lokasi pembangunan

dilampiri peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang

memerlukan tanah.

Penetapan lokasi pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat

dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1

tahun kepada Gubernur yang diajukan paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya

jangka waktu penetapan lokasi pembangunan.

5. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan

Pengumuman atas penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum

sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, paling

lambat adalah 3 hari sejak dikeluarkan penetapan lokasi pembangunan yang

dilaksanakan dengan cara:

a. Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan

di lokasi pembangunan;

b. Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pengumuman penetapan lokasi pembangunan dilaksanakan selama paling kurang

14 hari kerja.

6. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.

Sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur dapat

mendelegasikan kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota

berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya

manusia dan pertimbangan lain.

c. Tahap Pelaksanaan

Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, sesuai

ketentuan Pasal 52 Perpres Pengadaan Tanah, instansi yang memerlukan tanah

mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada ketua pelaksana pengadaan tanah

dengan dilengkapi/dilampiri dokumen perencanaan pengadaan tanah dan penetapan

lokasi pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah

diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya sesuai ketentuan Pasal 50

Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku

ketua pelaksana pengadaan tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi

geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor

Pertanahan). Susunan keanggotaan pelaksana pengadaan tanah sesuai ketentuan Pasal

51 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah, berunsurkan paling kurang:

1. Pejabat yang membidangi urusan pengadaan tanah di lingkungan kantor

wilayah BPN;

2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi pengadaan tanah;

3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan;

4. Camat setempat pada lokasi pengadaan tanah;

5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi pengadaan tanah.

Pelaksana pengadaan tanah kemudian melakukan penyiapan pelaksanaan pengadaan

tanah yang dituangkan dalam rencana kerja, sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2)

Perpres Pengadaan Tanah, memuat paling kurang:

1. Rencana pendanaan pelaksanaan;

2. Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan;

3. Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan;

4. Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan;

5. Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam

pelaksanaan;

6. Sistem monitoring pelaksanaan.

Pelaksanaan pengadaan tanah secara garis besar meliputi:

1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah.

Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, dilakukan

dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun kegiatannya meliputi:

a. Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan

b. Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.

Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor

kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan

(4) UU Pengadaan Tanah, dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja.

Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat

mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu

paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk

kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari

kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.

2. Penilaian Ganti Kerugian

Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil inventarisasi dan

identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah dan sesuai ketentuan Pasal 62

Perpres Pengadaan Tanah, selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang

berhak dalam pemberian ganti kerugian. sesuai ketentuan Pasal 63 Perpres

Pengadaan Tanah, penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh ketua pelaksana

pengadaan tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang

ditunjuk dan ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah yang penilaiannya

dilaksanakan paling lama 30 hari kerja.

Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang

tanah sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, meliputi

tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan

dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai. Sesuai ketentuan Pasal 67

ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah

tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat

difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak

dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.

3. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian

Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak

sesuai ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan

dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai

disampaikan kepada ketua pelaksana pengadaan tanah untuk menetapkan bentuk

dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil

kesepakatan dalam musyawarah tersebut sesuai ketentuan Pasal 72 Perpres

Pengadaan Tanah, menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang

berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.

Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti

kerugian, sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah,

pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri

setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan

ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti

kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan

keberatan.

Sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, pihak yang

keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 hari

kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung

wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak

permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti

Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

4. Pemberian Ganti Kerugian

Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 74 Perpres

Pengadaan Tanah, dalam bentuk:

a. Uang

b. Tanah Pengganti

c. Pemukiman kembali

d. Kepemilikan saham

e. Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak

Pelaksana pengadaan tanah membuat penetapan mengenai bentuk ganti kerugian

berdasarkan berita acara kesepakatan dan/atau putusan Pengadilan

Negeri/Mahkamah Agung. Sesuai ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan (2) Perpres

Pengadaan Tanah, pemberian ganti kerugian dibuat dalam berita acara pemberian

ganti kerugian yang dilampiri dengan:

a. Daftar pihak yang berhak penerima ganti kerugian

b. Bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah diberikan

c. Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi

d. Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti penguasaan

atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang

memerlukan tanah melalui pelaksana pengadaan tanah.

Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian

berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung,

Sesuai ketentuan Pasal 86 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, ganti

kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Penitipan ganti kerugian juga

dilakukan terhadap:

a. Pihak yang berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui

keberadaannya;

b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan ganti kerugian:

1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;

2. Masih dipersengketakan kepemilikannya;

3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau

4. Menjadi jaminan di bank.

Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah

dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di Pengadilan

Negeri, sesuai ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah, kepemilikan atau hak

atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan

tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

d. Tahap Penyerahan

Sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, ketua

pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang

memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah paling lama 7 hari kerja sejak

pelepasan hak objek pengadaan tanah dengan berita acara. Setelah proses penyerahan,

paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan

pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses pembangunan.

Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, sesuai ketentuan Pasal 121 Perpres Pengadaan

Tanah sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014, pengadaan

tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat

dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para

pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau cara lain yang disepakati kedua

belah pihak.

2.1.4 Hak, Kewajiban, dan Peran Serta Masyarakat dalam Pengadaan Tanah

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum tentunya melibatkan masyarakat

yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan. Dalam penyelenggaraan pengadaan

tanah, sesuai dengan ketentuan UU Pengadaan Tanah, masyarakat mempunyai hak

yaitu:

1. Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah;

2. Memperoleh informasi yang lengkap mengenai pengadaan tanah;

3. Menerima ganti rugi dalam bentuk apapun sesuai dengan kesepakatan.

Selain menerima hak di atas, sesuai ketentuan Pasal 56 UU Pengadaan Tanah,

masyarakat diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum. Selain hak dan kewajiban di atas, Pasal 57 UU Pengadaan Tanah

menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan

pengadaan tanah, yaitu di antara lainnya:

1. Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai pengadaan tanah; dan;

2. Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah.

2.2 Sisa Bidang Tanah

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Sisa Bidang Tanah

Sisa bidang tanah adalah sisa dari bidang tanah yang terkena proyek

pengadaan tanah baik yang masih bisa maupun tidak bisa difungsikan sesuai dengan

peruntukan dan penggunaannya. Contohnya adalah terdapat bidang tanah dengan luas

100m2, kemudian bidang tanah tersebut digunakan untuk proyek pengadaan tanah

pembuatan jalan umum seluas 20m2. Bidang tanah setelah dikurangi untuk pengadaan

tanah dengan luas 80m2 adalah sisa bidang tanah yang dimaksud.

Sisa bidang tanah terdiri dari sisa bidang tanah yang masih bisa dan tidak bisa

difungsikan lagi sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Pasal 11 Perkaban 5

Tahun 2012, menentukan bahwa, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah tertentu

sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai

dengan peruntukan dan penggunaannya, bidang tanah tersebut diukur dan dipetakan

secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas dasar permintaan pihak yang berhak.

Sedangkan apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar

yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan

peruntukan dan penggunaannya, Pasal 13 ayat (1) dan (3) menentukan bahwa, bidang

tanah tersebut diukur dan dipetakan secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas

dasar permintaan pihak yang berhak atau masyarakat pemilik bidang tanah yang

terkena pengadaan tanah. Ganti kerugian wajib diberikan oleh instansi yang

memerlukan tanah kepada pihak yang berhak setelah dilakukan verifikasi oleh

pelaksana pengadaan tanah.

Pasal 12 Perkaban 5 Tahun 2012 juga mengatur dalam hal terdapat sisa dari

bidang tanah tertentu sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan masih dapat

difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, pemisahan haknya dilakukan oleh

Kepala Kantor Pertanahan atas biaya instansi yang memerlukan tanah. Sedangkan

apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar yang terkena

pengadaan tanah dan masih dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya

sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkaban 5 Tahun 2012, dicatat

dalam buku desa/kelurahan atau nama lain serta surat tanda alas hak tanahnya. Pihak

yang berhak meminta untuk dilakukan pengukuran dan/atau permohonan hak dan

pendaftaran hak, biaya dibebankan kepada pihak yang berhak.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Pemilik Sisa Bidang Tanah

Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan umum hanya menggunakan

sebagian tanah pihak yang berhak atau masyarakat, sehingga terdapat sisa bidang

tanah, baik yang masih bisa digunakan maupun tidak oleh masyarakat. Hak dan

kewajiban masyarakat sebagai pemilik sisa bidang tanah berdasarkan Perkaban 5

Tahun 2012 dapat disimpulkan sebagai berikut:

Hak masyarakat pemilik sisa bidang tanah:

1. Menerima ganti kerugian yang layak dan telah disepakati apabila sisa bidang

tanah sudah tidak dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan

penggunaannya, baik sisa bidang tanah tersebut sudah terdaftar maupun belum

terdaftar di BPN.

2. Pemisahan hak dibiayai oleh instansi yang memerlukan tanah, apabila sisa bidang

tanah milik masyarakat masih bisa difungsikan dan sudah terdaftar di BPN.

Sedangkan kewajiban masyarakat pemilik sisa bidang tanah yaitu melakukan

pengukuran dan/atau permohonan hak dan pendaftaran hak apabila sisa bidang tanah

masih bisa difungsikan dan belum terdaftar di BPN. Biaya mengenai proses

pendaftaran hak dibebankan kepada pihak yang berhak.

2.3 Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah merupakan persoalan sangat penting yang diatur dalam

UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti

kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya pendaftaran tanah tersebut sehingga

UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 19 UUPA yang

dinyatakan sebagai berikut:

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan

masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat

yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.21

Pendaftaran tanah dapat memberi jaminan kepastian hukum atas bidang tanah

apabila dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan

yang berlaku. Sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, diterbitkannya sertifikat

adalah sebagai alat pembuktian hak atas tanah paling kuat. Dokumen-dokumen

pertanahan sebagai hasil proses pendaftaran tanah adalah dokumen tertulis yang

memuat data fisik dan data yuridis tanah bersangkutan.22

Dalam rangka untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang dimaksud dalam

UUPA, pada tanggal 23 Maret 1961 oleh Presiden diterbitkan Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah pertama kali dikeluarkan di

Indonesia. Dalam pelaksanaannya kemudian disempurnakan dengan PP 24 Tahun

1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun

1997 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997.

21 Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 152 22 Sangsun, Florianus SP., 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Transmedia Pustaka,

Jakarta, hal. 1-2

2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Di dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa untuk menjamin

kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan

pemerintah. Sebutan pendaftaran tanah atau land registration menimbulkan kesan

bahwa seakan-akan obyek utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran

adalah tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah

yang merupakan obyek pendaftaran yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya,

luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam “daftar tanah”. Kata

“kadaster” yang menunjukkan pada kegiatan fisik tersebut berasal dari istilah latin

“Capistratum” yang merupakan daftar yang berisikan data mengenai tanah.23

Rudolf Hemanes, seorang mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan

Menteri Agraria, telah mencoba merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan

pendaftaran tanah (cadaster). Menurut beliau yang dimaksud dengan pendaftaran

tanah adalah “pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar,

berdasarkan pengukuran dan pemetaan, yang seksama dari bidang-bidang itu.”24

Dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran tanah dalam bahasa Latin

disebut “Capitastrum”, di Jerman dan Italia dsebut “Catastro”, di Belanda dan

23 Boedi Harsono, op.cit., hal. 74 24 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 2, Prestasi

Pustaka, Jakarta, hal. 1

Indonesia dikenal dengan istilah “Kadastrale”. Menurut Parlindungan, pendaftaran

tanah berasal dari kata cadastre suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman),

menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap

suatu bidang tanah. Kata ini menurut bahasa Latin berarti suatu register atau capita

atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti

yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan

pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, cadastre

merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dan juga sebagai

continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.25

Menurut Douglass J. Willem, pendaftaran tanah adalah pekerjaan yang

continue (berkelanjutan) dan consistence (konsisten) atas hak seseorang sehingga

memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang

didaftarkan, sebagaimana disebutkan sebagai berikut:

The register consists of the individual grant, certificates of folios contained

whitin it at anygiven time added to these are documents that may be deemed

to be embodied in the register upon registration. There are also ancillary

register which assist in the orderly administration of the system such as a

parcel index, a nominal index losting. Together these indicated in the parcel

of land in a particular title, the person entitle to interest there

in.26(Pendaftaran terdiri dari hibah individu, lembar sertifikat pada waktu

diberikan dan ditambahkannya ke dokumen ini yang terdaftar pada saat

pendaftaran. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam tertib sistem

administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal losting. Bersama ini

25 Parlindungan I, op. cit., hal 18-19. 26 M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,

Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis II), hal. 103, dikutip dari Douglas J. Whillam, 1992,

The Torren System In Australia, Sydney Melbourne Brisbone Perth, hal. 18

ditunjukkan dalam sebidang tanah dalam keterangan hak tertentu, orang

tersebut berhak untuk kepentingan yang ada di dalamnya.)

Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1 PP 24 Tahun

1997, yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Definisi pendaftaran tanah dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan

penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19

ayat (2) PP Nomor 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan

pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda

bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.27

2.3.2 Tujuan Diselenggarakannya Pendaftaran Tanah

Tujuan pendaftaran tanah berdasarkan UUPA adalah untuk mendapatkan

kepastian hukum bagi semua orang dan kepastian hak kepada setiap pemegang hak

27 Ibid., hal. 138

atas tanah. Adanya hukum tertulis maka pihak-pihak yang bersangkutan jika

memerlukannya akan mudah mengetahui kaidah-kaidah hukumnya dan juga akan

dengan mudah mengetahui wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban

berkenaan dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya. Judit Bray menambahkan

tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk membuat sistem yang akan

mengungkapkan semua rincian yang relevan tentang siapa yang memiliki setiap

bagian dari tanah dan semua hak dan kepentingan yang mengikat tanah.28

Tujuan pendaftaran tanah adalah adanya kepastian hukum dan kepastian hak

atas tanah. Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dicegah sengketa tanah.29

Pendaftaran tanah dilakukan bagi kepentingan pemegang hak atas tanah, agar dengan

mudah dapat membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah

tertentu.30 Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran

tanah yang dikenal juga dengan sebutan Rechts Cadaster atau Legal Cadaster ini,

meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak dan kepastian obyek

hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 31

Kebalikan dari pendaftaran tanah yang Rechts Cadaster, adalah Fiscal

Cadaster, yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib

membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah ini menghasilkan surat tanda bukti

28 Judit Bray, op. cit., hal. 51 29 Adrian Sutedi, 2009, Tinjauan Hukum Pertanahan, Pradnya Paramita, (selanjutnya

disingkat Adrian II), Jakarta, hal 1. 30 Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 9 31 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, cet. 2, Kencana, Jakarta,

hal. 2

pembayaran pajak atas tanah, yang sekarang dikenal dengan sebutan Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).32

Pendaftaran tanah menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak

atas tanah. Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP 24 Tahun

1997 yaitu:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar

agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan

utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19

UUPA.

Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak

pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh undang-undang.33 Jaminan kepastian

hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi:

a. Kepastian status hak yang didaftar, yang artinya pendaftaran tanah akan dapat

diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak

Tanggungan, atau Tanah Wakaf.

32 Ibid. 33 Boedi Harsono, op. cit., hal. 473

b. Kepastian subjek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat

diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga negara

Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok

orang secara bersama-sama, atau badan hukum, (badan hukum privat atau

badan hukum publik).

c. Kepastian obyek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat

diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah dan ukuran (luas) tanah.

Letak tanah berada di mana, batas-batas tanah yang meliputi sebelah utara,

selatan, timur dan barat berbatasan dengan siapa atau tanah apa.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk

Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah

susun yang susah didaftar. Untuk melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan

data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar

terbuka untuk umum, sehingga baik Pemerintah maupun masyarakat dapat

dengan mudah memperoleh informasi tentang data di lembaga pertanahan dalam

hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota apabila ingin mengadakan suatu

perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang

sudah terdaftar, misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, lelang atau

pembebanan Hak Tanggungan.

3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dengan menjalankan Program

Pemerintah di bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan,

yaitu:

a. Tertib Hukum Pertanahan;

b. Tertib Administrasi Pertanahan;

c. Tertib Penggunaan Tanah; dan

d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup.

Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan

tertib administrasi di bidang pertanahan. Usaha untuk mewujudkan tertib

administrasi pertanahan tersebut adalah dengan wajib mendaftarkan setiap

peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun.34

2.3.3 Obyek Pendaftaran Tanah

Dalam UUPA ditentukan bahwa obyek hak atas tanah yang didaftarkan adalah

Hak Milik yang mana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, selanjutnya disingkat

UU 40 tahun 1996, Hak Guna Usaha (HGU) yang diatur dalam Pasal 32 UU 40 tahun

1996, Hak Guna Bangunan (HGB) yang diatur dalam Pasal 38 UU 40 tahun 1996,

dan Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 UU 40 tahun 1996, sedangkan Hak Sewa untuk

34 Urip Santoso, op. cit., hal 18-21

bangunan tidak wajib didaftar. Menurut Pasal 9 PP 24 Tahun 1997, obyek

pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:

1. Hak Milik

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA, pengertian mengenai hak milik yaitu

“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai

orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.”

Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:

a. Hanya Warga Negara Indonesia

b. Bank Pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial (Permen

Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan)

2. Hak Guna Usaha

Pasal 28 ayat (1) UUPA menentukan bahwa “Hak Guna Usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu

paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun guna

perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.” Berdasarkan Pasal 8 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1996 Nomor 3643), selanjutnya disingkat PP Nomor 40 Tahun 1996, jangka

waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbarui

untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

Hak Guna Usaha hanya dapat dipunyai oleh:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia

3. Hak Guna Bangunan

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UUPA

menentukan bahwa “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan

jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu

paling lama 20 tahun.”

Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan

tanah Hak Milik. Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

menurut Pasal 29 PP Nomor 40 Tahun 1996 adalah paling lama 30 tahun, tidak

dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan pihak

pemilik tanah dan pemegang Hak Guna Bangunan.

Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia.

4. Hak Pakai

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu

asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang

ini.

Hak Pakai ada yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan ada

yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan. Hak Pakai yang diberikan

untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk

keperluan tertentu diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah, Non-

Departement, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan

Internasional, Badan Keagamaan dan Badan Sosial.

Jangka waktu Hak Pakai atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan adalah

untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka

waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama

25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai atas tanah Hak Milik adalah paling lama 25

tahun, tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan

pihak pemilik tanah dan pemegang Hak Pakai.

Hak Pakai hanya dapat dipunyai oleh:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia.

c. Departemen, Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Non-Departemen.

d. Badan keagamaan dan sosial.

e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

5. Tanah Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan menurut Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 jo. Pasal 1

angka 4 PP 24 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, adalah hak menguasai dari

Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegangnya.

Hak Pengelolaan hanya dapat dipunyai oleh:

a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.

b. Badan Usaha Milik Negara.

c. Badan Usaha Milik Daerah.

d. PT

e. Badan Otorita.

f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.

6. Tanah Wakaf

Wakaf tanah Hak Milik diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu perwakafan

tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 1

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 38; Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3107), yang dimaksud dengan

wakaf adalah “Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan

sebagain dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya

untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum

lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.”

Hak atas tanah yang dapat diwakafkan untuk kepentingan peribadatan atau

kepentingan lainnya menurut ajaran Agama Islam hanyalah Hak Milik.

7. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor

75; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318), yang

dimaksud Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah, “Hak milik atas satuan

yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi juga hak atas bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang

tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.”

8. Hak Tanggungan

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42; Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632), menyatakan bahwa :

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda

lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

9. Tanah Negara

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 PP 24 Tahun 1997, yang

dimaksud dengan tanah negara adalah, “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai

langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas

tanah.”

Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya

dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara

dalam daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang

memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Tanah negara

tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak

diterbitkan sertifikat.35

2.3.4 Sistem Pendaftaran Tanah

Sistem pendaftaran tanah yang diterapkan di suatu negara didasarkan pada

asas hukum yang dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanah. Asas

hukum yang dianut ada dua, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Asas

itikad baik berarti orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik akan tetap

menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum,36 sedangkan asas nemo plus yuris

yang berarti orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya,

berdasarkan asas ini maka pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah tidak

diperbolehkan dan batal demi hukum dengan tujuan melindungi pemegang hak yang

sebenarnya.37 Sistem publikasi yang digunakan untuk asas itikad baik adalah sistem

publikasi positif, sedangkan sistem asas nemo plus yuris menggunakan sistem

publikasi negatif. Di dunia ini tidak ada satu negara yang menganut salah satu asas

tersebut secara murni, karena masing-masing asas ini memiliki kelebihan dan

kekurangan.38

2.3.4.1 Sistem Publikasi Positif

35 Ibid., hal. 25-30 36 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, cet. 4, Sinar Grafika,

Jakarta, (selanjutnya di singkat Adrian III), hal. 116 37 Andy Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum

Terdaftar Hak Atas Tanahnya, cet. 2, LaksBang, Surabaya, hal. 48 38 Adrian III, op. cit., hal. 117-118

Sistem publikasi positif digunakan untuk melindungi orang yang memperoleh

suatu hak dengan itikad baik. Sistem publikasi positif mengandung pengertian apa

yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan

merupakan alat pembuktian yang mutlak, sehingga pihak ketiga yang bertindak atas

bukti-bukti tersebut mendapatkan perlindungan yang mutlak, meskipun di kemudian

hari terbukti bahwa keterangan yang terdapat di dalamnya tidak benar. Mereka yang

dirugikan akan mendapat kompensasi dalam bentuk lain. Menurut Arie S. Hutagalung

sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak

atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya dan negara sebagai pendaftar

menjamin bahwa pendaftaran yang dilakukan adalah benar.39 Ciri-ciri Pendaftaran

tanah yang menggunakan sistem publikasi positif adalah:

1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak

(registration of titles).

2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu

data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat tidak dapat

diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku

tanah.

3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis

dalam pendaftaran tanah adalah benar.

4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan

perlindungan hukum yang mutlak.

5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat tanah mendapatkan

kompensasi dalam bentuk yang lain.

6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama,

petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti,

dan biaya yang relatif tinggi.

39 Urip Santoso, op. cit., hal. 263-264

Sistem publikasi positif memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Menurut

Sudikno Mertokusumo, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah:

1. Adanya kepastian dari buku tanah yang bersifat mutlak.

2. Pelaksana pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti.

3. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah mudah dimengerti

orang lain.

Menurut Arie S. Hutagalung, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah:

1. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertifikat.

2. Adanya peranan aktif pejabat kadaster.

3. Mekanisme penerbitan sertifikat dapat dengan mudah diketahui publik.

Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi positif menurut Sudikno Mertokusumo

adalah:

1. Akibat dari pelaksanaan pendaftaran tanah bersifat aktif, waktu yang

digunakan sangat lama.

2. Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya berhak akan kehilangan haknya.

3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administrasi, yaitu

dengan diterbitkannya sertifikat tidak dapat diganggu gugat.

Hal yang senada dikemukakan oleh Arie S. Hutagalung yang mengemukakan

beberapa kekurangan sistem pendaftaran positif:

1. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah

tersebut telah ada sertifikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah

lagi.

2. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang

mahal.

3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan

administrasi.40

2.3.4.2 Sistem Publikasi Negatif

Sistem publikasi negatif digunakan untuk melindungi pemegang hak yang

sebenarnya, sehingga pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut

kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun.41 Pada sistem publikasi negatif

sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Ini

berarti semua keterangan yang terdapat di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan

harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan

sebaliknya dengan menggunakan alat pembuktian yang lain.42 Dalam sistem publikasi

negatif negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang

meminta pendaftaran, sehingga setiap saat dapat digugat oleh orang yang merasa

lebih berhak atas tanah tersebut.43

Sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of

deed).

2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik

dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak

40 Ibid., hal. 264-265. 41 Adrian III, op. cit., hal. 118. 42 Urip Santoso, loc.cit. 43 Ibid., hal. 266

dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan satu-satunya

tanda bukti hak.

3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam

pendaftaran tanah adalah benar.

4. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa (aqquisitive

verjaring atau adverse possessive).

5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan

keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat

ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak

sah.

6. Petugas pendaftaran tanah bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang

dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah.

Kelebihan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah:

1. Pemegang hak yang sesungguhnya terlindungi dari pihak lain yang tidak

berhak atas tanahnya.

2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertifikat.

3. Tidak adanya batas waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk

menuntut haknya yang telah disertifikatkan oleh pihak lain.

Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung

adalah:

1. Tidak ada kepastian atas keabsahan sertifikat karena setiap saat dapat atau

mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya.

2. Peranan pejabat pendaftaran tanah/adaster yang pasif tidak mendukung ke

arah akurasi dan kebenaran data yang tercantum dalam sertifikat.

3. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan kurang dapat

dipahami masyarakat awam.44

2.3.4.3 Sistem Publikasi di Indonesia

Mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997, sistem publikasi

yang digunakan di Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur

positif.45 Hal ini dapat ditunjukkan dari hal-hal berikut:

1. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem

publikasi negatif).

2. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum

dalam sertifikat (sistem publikasi negatif).

3. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan yuridis

(sistem publikasi positif).

4. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum

(sistem publikasi positif).

5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan

keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat

44 Ibid., hal. 267-268. 45 Boedi Harsono, op. cit., hal. 477.

atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertifikat dinyatakan tidak sah

(sistem publikasi negatif).46

Surat tanda bukti hak yang hanya memiliki kekuatan pembuktian yang kuat,

bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak juga menciptakan ketidakpercayaan

masyarakat dalam mengurus haknya, karena masyarakat menganggap dengan

mempertahankan bukti hak yang lama sudah meyakinkan pemiliknya terhindar dari

malapetaka gugatan dari pihak ketiga, sehingga masyarakat enggan mengurus hak

atas tanahnya (melakukan pendaftaran). Masyarakat juga enggan dengan

mendaftarkan tanahnya karena mahalnya biaya pengurusan dan jangka waktu yang

lama. Oleh karena itu, sering yang mendaftarkan tanah itu hanyalah orang yang

bermaksud untuk menggunakan bukti hak atas tanah itu sebagai jaminan hutang.47

Persoalan mendasar sebagai bentuk publikasi dengan karakter negatif

(berunsur positif) adalah tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi

kesalahan atau kekeliruan dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.

Artinya bahwa sistem publikasi ini tidak didapati adanya pertanggungjawaban atas

produk sertifikat yang diterbitkan.48

46 Urip Santoso, op.cit., hlm. 271-272 47 Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya di

singkat adrian IV), hal. 211-212 48 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 247

2.3.5 Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah

Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah dan bukan

oleh swasta. Dalam hal ini, secara operasional instansi penyelenggaranya adalah

Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah, yang terdapat pada setiap Daerah

Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya. Dalam rangka menyelenggarakan pendaftaran

tanah penting sekali untuk diketahui di mana lokasi (kelurahan atau desa) tanah itu

berada.49

Sebenarnya pada masa lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan

pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga

sebagai bersifata yuridis. Pendaftaran tanah ini ada yang didasarkan pada hukum adat

setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat,

ada pula yang didasarkan pada peraturan yang bersifat nasional misalnya saja:

1. Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi (Land rente),

sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administratif sesuai

dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat menganggap

surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang terkena

pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di

tangannya. Oleh karena itu, surat pajak ini bila memenuhi beberapa ketentuan

dalam peraturan konversi dapat dijadikan alas hak untuk pengkonversiannya.

49 Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 14

2. Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh pengurus Subak di Bali

berdasarkan hukum adat setempat.

3. Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan

peraturan Gemeente Medan.

4. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta

berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.50

Pasal 11 PP 24 Tahun 1997 telah menentukan bahwa, penyelenggaraan

pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan

pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan

pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum

terdaftar. Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran

tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek

pendaftaran tanah yang didaftar.51

Aspek hukum yang terkandung dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali

berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi:

1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik, terdiri dari kegiatan pengukuran dan

pemetaan, yang meliputi pekerjaan:

a. Pembuatan peta dasar pendaftaran;

b. Penetapan batas bidang-bidang tanah;

50 Adrian III, op. cit., hal. 116 51 M. Yamin Lubis II, op. cit., hal. 139

c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta

pendaftaran;

d. Pembuatan daftar tanah;

e. Pembuatan surat ukur;

2. Pembuktian hal dan pembukuannya, terdiri dari kegiatan pembuktian hak baru,

pembuktian hak lama dan pembukuan hak

a. Pembuktian hak baru, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan

dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan

hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku.

b. Pembuktian hak lama, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan atas

tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat

bukti mengenai adanya hak tersebut, berupa bukti-bukti tertulis, keterangan

saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya

dianggap cukup untuk mendaftar haknya.

c. Pembukuan hak, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan dengan

mencatat atau mendaftarkan hak atas tanah dalam suatu buku tanah yang

memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah yang bersangkutan.

3. Penerbitan sertifikat, dilakukan oleh Kepala kantor Pertanahan untuk kepentingan

atau diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, berfungsi

sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

4. Penyajian data fisik dan data yuridis, dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah

dalam hal penyajian informasi yang berhak diketahui oleh kepada pihak-pihak

yang berkepentingan dan terbuka bagi instansi pemerintah untuk keperluan

pelaksanaan tugasnya, disajikan dalam bentuk daftar umum yang terdiri dari peta

pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, dan daftar nama.

5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen, yakni kegiatan menyimpan data

pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan menyangkut dokumen yang

merupakan alat pembuktian yang digunakan sebagai dasar pendaftaran, antara

lain berupa peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, daftar nama,

dapat disimpan dan disajikan dengan alat elektronik dan mikrofilm serta hanya

dapat diberikan petikan, salinan dan rekaman dokumennya dengan izin tertulis

dari pejabat yang berwenang, atau hanya dapat ditunjukkan atau diperlihatkan

pada sidang pengadilan atas perintah pengadilan.52

Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran

tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisk dan data yuridis obyek

pendaftaran tanah yang terdaftar. Perubahan-perubahan yang ada wajib didaftarkan

oleh pemegang hak yang bersangkutan dan terhadap perubahan tersebut dilakukan

penyesuaian dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah

dan sertifikatnya.

52 Ibid., hal, 139-141

Aspek hukum pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau

maintenance) berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi:

1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, dalam hal ini peralihan hak karena

jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan (dengan Akta

PPAT), peralihan hak karena lelang (dengan risalah lelang), pemindahan hak

karena pewarisan (dengan surat kematian dan surat tanda bukti sebagai ahli

waris), peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau

koperasi (dengan pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan khusus dalam

rangka likuidasi dengan akta Notaris atau PPAT), sedang pembebanan hak yakni

pendaftaran pemberian hak tanggungan (dengan akta PPAT).

2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, yaitu kegiatan yang

dilakukan antara lain:

a. Karena perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;

c. Pembagian hak bersama;

d. Hapusnya hak atas tanah;

e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan.53

2.3.6 Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan karena adanya perubahan data

baik itu perubahan data fisik maupun data yuridis. Perubahan data tersebut harus

selalu didaftarkan di lembaga pertanahan (BPN), sehingga data yang tercantum di

buku tanah dan sertifikat tanah selalu update dengan keadaan yang sebenarnya.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 PP 24

Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan

data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah,

dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.

Pemegang hak diwajibkan untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data

yuridis kepada BPN. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah apabila diadakan

pemisahan, pemecahan atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar,

sedangkan perubahan data yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 36 PP 24 Tahun

1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis terjadi

apabila diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah

terdaftar.

53 M. Yamin Lubis II, op. cit., hal, 141-142

Kegiatan pemeliharaan data yuridis dalam pendaftaran tanah sesuai dengan

ketentuan PP 24 Tahun 1997 dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari:

a. Pemindahan hak;

b. Pemindahan hak dengan lelang;

c. Peralihan hak karena pewarisan;

d. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi;

e. Pembebanan hak;

f. Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

g. Lain-lain.

2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari:

a. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;

c. Pembagian hak bersama;

d. Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;

e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan;

g. Perubahan nama.

Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena beberapa hal,

yaitu:

1. Peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam

perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;

2. Peralihan hak karena pewarisan;

3. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau

koperasi;

4. Pembebanan hak tanggungan;

5. Peralihan hak tanggungan;

6. Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah

susun dan hak tanggungan;

7. Pembagian hak bersama;

8. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau

penetapan ketua pengadilan;

9. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;

10. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.54

Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat terjadi karena:

1. Pemecahan bidang tanah;

2. Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;

3. Penggabungan dua atau lebih bidang tanah.55

PP 24 Tahun 1997 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, sedangkan

ketentuan-ketentuan yang lebih rinci diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri,

sehingga aturan-aturan mengenai pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk

mengikuti perkembangan teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP 24 Tahun

1997 yang berlaku adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

54 Urip Santoso, op. cit., hlm. 36 55 Ibid.

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat

Perkaban 3/1997).56

56 Wibowo turnady, 2013, http://www.jurnalhukum.com/pelaksanaan-pendaftaran-tanah,

diakses pada 22 April 2015.