BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, … II.pdf · selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, … II.pdf · selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun...
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH,
SISA BIDANG TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengadaan Tanah
Tanah adalah sumber daya alam yang terbatas, memiliki nilai yang tinggi dan
merupakan fondasi sebuah pembangunan. Tanah menurut world university
encyclopedia adalah “Land, in law, any soil, ground, or earth whatsoever, regarded
as being subject to ownership and including everything annexed or appertaining to
it.”1 (Tanah, dalam hukum, adalah setiap tanah, permukaan tanah, atau di bagian
bumi apapun, dianggap sebagai subjek untuk kepemilikan dan termasuk segala
sesuatu yang dapat dilampirkan atau yang mendekati itu.)
Selanjutnya Joseph R. Nolan dan M.J Connolyy mendefinisikan tanah (land)
sebagai berikut:
…. the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is
composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or
occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards,
subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use
of airspace granted, by law.2 (bahan material dari bumi, apa pun mungkin
bahan dari yang terdiri, apakah tanah, batuan, atau zat lainnya, dan termasuk
1 Houma-Lidice, The World University Encyclopedia, Volume 6, Publisher Company,
Washington DC, page 213. 2 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, St. Paul Mminn:
West Publishing Co. 1979, page 789.
ruang bebas atau ditempati untuk jarak terbatas ke atas serta ke bawah, tunduk
pada keterbatasan pada penggunaan wilayah udara, dan hak-hak dalam
penggunaan wilayah udara yang diberikan oleh hukum.)
Definisi tanah (land) ditulis oleh Judith Bray dalam bukunya unlocking land
law adalah sebagai berikut:
Land includes land of any tenure, and mines and minerals, whether or not
held apart from the surface, buildings, or parts of buildings (whether the
division is horizontal, vertical or made in any other way) and other corporeal
hereditaments.3 (Tanah termasuk tanah kepemilikan apapun, dan tambang dan
mineral, apakah termasuk atau tidak diadakan terpisah dari permukaan,
bangunan, atau bagian dari bangunan (apakah pembagian horizontal, vertikal
atau dibuat dengan cara lain) dan pewarisan.)
Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai
suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA).4 Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah
yang telah diamanatkan dalam Pasal 6 UUPA. Berdasarkan filosofi fungsi sosial hak
atas tanah tersebut, ditetapkan dasar pembentukan UU Pengadaan Tanah, yakni
menjamin tersedianya tanah untuk penyelenggaraan pembangunan dengan
mendasarkan pada penghormatan hak rakyat atas tanah.5
3 Judith Bray, 2004, Unlocking Land Law, first edition, hodder education, Milton Park,
Abingdon, page 23 4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: sejarah pembentukan undang-undang
pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, cet. 12, Djambatan, Jakarta, hal. 18 5 Erman Rajaguguk, 2012, Serba-Serbi Hukum Agraria: Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Larangan Alih Fungsi Tanah Pertanian, Landreform Tanah Perkarangan, Cet. 1, Lembaga Studi
Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 34
Dalam usaha untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau
keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang
bijaksana. Pengadaan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.6
Penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan hendaknya
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan perorangan, masyarakat, dan
Negara. Kepentingan perorangan dapat diambil untuk kepentingan umum, jika
kepada pemegang haknya diberikan ganti kerugian yang layak, karena tanah harus
dipergunakan sesuai fungsi dan peruntukannya sehingga bermanfaat, baik bagi
kesejahteraan yang memilikinya maupun bagi masyarakat luas dan negara.7 Dalam
Pasal 36 UU Pengadaan Tanah telah ditentukan dengan cukup baik tentang bentuk
ganti kerugian, yaitu uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham
dan bentuk lain yang disepakati kedua belah pihak. Kelima bentuk ganti kerugian
tersebut sejatinya cukup ideal apabila pemerintah melaksanakannya dengan sungguh-
sungguh sehingga tetap menyejahterakan masyarakat.8
Pembangunan infrastruktur selama lebih dari 69 tahun Indonesia merdeka,
pelaksanaannya selalu berbenturan dengan masalah klasik dan rumit, yakni
6 Adrian Sutedi, 2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakata, (selanjutnya disingkat Adrian I), hal. 49 7 H. Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan
Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, jakarta, hal. 28 8 Bernhard Limbong, 2014, Opini Kebijakan Agraria, PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Bernhard III), hal. 219
pengadaan tanah.9 Pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan pengadaan tanah juga
harus melaksanakan amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat,
sehingga akhirnya tidak terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan
komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.10
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan
suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi
hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach
(pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari
segi kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk
memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap
terpelihara.11
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Pengertian pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU Pengadaan Tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak
9 Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, 2015, Panduan Lengkap Ganti
Untung Pengadaan Tanah, ReneBook, Jakarta, hal. 39 10 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3 11 Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra
Aditya, Bandung, hal. 51
dan adil kepada pihak yang berhak. Pengertian tersebut senada dengan yang telah
diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 156),
selanjutnya disingkat Perpres Pengadaan Tanah. Pengadaan tanah yang dilakukan
oleh pemerintah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum menurut Pasal
1 angka 9 UU Pengadaan Tanah dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atas tanah
masyarakat menjadi tanah Negara melalui lembaga pertanahan yang wajib dikuti
dengan ganti rugi yang layak dan telah disepakati oleh para pihak.
Pengadaan tanah secara umum telah diatur dalam UU Pengadaan Tanah, dan
sebagai peraturan pelaksana dari UU Pengadaan Tanah yang mengatur teknis
pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah
menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah. Perpres ini mengatur tentang tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan
persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Belakangan,
pemerintah dan lembaga legislatif menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 94), selanjutnya disingkat
Perpres Nomor 40 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 223) untuk menyempurnakan beberapa pasal
dalam Perpres Pengadaan Tanah.
Dalam Pasal 111 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah ditentukan perlunya
penetapan mengenai petunjuk teknis tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yang
diatur oleh Kepala BPN, maka pada tanggal 30 Oktober 2012, kepala BPN telah
menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Tanah,
selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun 2012. Peraturan ini mengatur tentang
petunjuk teknis pengadaan tanah yang dilakukan di lembaga pertanahan dari tahapan
penyiapan pelaksanaan, inventaris, pemantauan, pelaksanaan ganti rugi, musyawarah,
evaluasi, koordinasi sampai dengan penyerahan hasil. Beberapa ketentuan hukum
lainnya yang mendasari proses dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
a. Pasal 14 ayat (1) dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2)
dan (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah membuat
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
1. Untuk keperluan negara;
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan
dan lain-lain kesejahteraan;
4. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
5. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
b. Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, Hak-Hak
Atas Tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Jika keadaan mengharuskan
dilakukannya pencabutan Hak Atas Tanah maka Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 tidak lagi dapat diterapkan dan langkah
berikutnya adalah dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 dan peraturan pelaksanaannya.
3. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
4. Beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri, antara lain:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan
Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan
Tanah Oleh Pihak Swasta.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Di Wilayah Kecamatan.
Ketiga Peraturan Menteri Dalam Negeri di atas dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
dikeluarkannya:
5. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan dikeluarkannya:
6. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah disempurnakan
oleh:
7. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 hanya mengatur mekanisme pengadaan tanah dan
tidak digunakan untuk melakukan pencabutan Hak Atas Tanah.
Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan bisa
dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni pencabutan hak, pelepasan hak dan melalui
tukar-menukar dan/atau jual beli.12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288; Tambahan Lembaran Negara Nomor
2324), selanjutnya disingkat UU Pencabutan Hak Tanah, menentukan bahwa untuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat dan kepentingan
pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah mendengar Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-
hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Dalam ketentuan Pasal 18 UUPA hanya menentukan jaminan bagi rakyat
mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan
syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak. Hal ini dapat
dilihat dengan diterbitkannya UU Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan yang
menyatakan bahwa hak atas tanah masyarakat yang dicabut haknya itu tidak dapat
menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk banding
maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti rugi yang
12 Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi
Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong IV), hal.
338
ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan apakah tetap
pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah uang ganti rugi
tersebut.
Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 UU Pencabutan Hak Tanah,
yaitu melalui Kepala Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana
permohonan dan alasan-alasan pencabutan hak atas tanah, keterangan nama yang
berhak beserta luas dan jenis hak atas tanah disertai rencana penampungan
masyarakat yang ada di atasnya. Selain itu, Kepala Kantor Wilayah BPN akan
meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan tentang permohonan
tersebut dan penampungan masyarakat, kemudian agar tim penaksir bersidang
menetapkan ganti rugi.
Menurut Pasal 6 UU Pencabutan Hak Tanah maka Kepala Kantor Wilayah
BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada Kepala BPN
tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan tim penaksir. Kepala BPN akan
menetapkan suatu keputusan mendahului keputusan Presiden tersebut. Keputusan
tentang pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan isinya juga dimuat dalam surat kabar. Pasal 8 UU Pencabutan Hak
Tanah menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima jumlah uang
ganti rugi yang ditetapkan tim penaksir maka yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar biaya perkara, yang
juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya dinyatakan dicabut.
Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa
penyelenggara pemerintahan sering mengambil keuntungan dari istilah kepentingan
umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan
konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum diberikan suatu pembatasan hak
pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan umum dengan tepat, pembuat undang-
undang harus mengemukakan beberapa hal dasar. Pertama, perwujudan kepentingan
umum sebagian besar merupakan sistem publik sebagai government centered
dibandingkan dengan suatu sistem pribadi market led. Kedua, definisi kepentingan
publik harus layak atau mempunyai alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum
sering dimasukkan ke dalam beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undang-
undang perlu membatasi kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di
dalam hak pribadi atas tanah yang dimilikinya.13
13 Putu Mia Rahmawati, 2013, Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta, tesis Program Studi Magister (S2) Magister
Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 70
2.1.2 Pengadaan Tanah Sebelum dan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka
pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan
pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan
tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde
baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas
tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah
karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang proporsional.
Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yang berisi pedoman jenis-jenis
kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material Inpres
tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu penting
tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis. Materi Inpres
itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena menyangkut hak rakyat banyak.
Pemberian bentuk Inpres atas kriteria kepentingan umum lebih merupakan tindakan
pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-programnya. 14
Sebelum diberlakukannya UU Pengadaan Tanah, pengaturan tentang
pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian
diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat Perpres
65 Tahun 2006. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh tim
pelaksana pengadaan tanah, yang dalam prosesnya pelaksanaannya sering terhambat
oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah
definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan.
Penyelenggaraan pengadaan tanah juga sering bersinggungan dengan isu hukum
mendasar seperti hak asasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara
kepentingan Negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun
kelompok.15
Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans UU Pengadaan Tanah,
termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut:
a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan
pembangunan;
14 Adrian Sutedi I, op. cit., hal. 89 15 Adi Suara, 2013, Tinjauan Atas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. http://bpk.go.id, diakses pada 4 Juni 2015.
b. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk
kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan
dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil;
c. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan
tanah untuk pelaksanaan pembangunan;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Perbaikan yang signifikan dari UU Pengadaan Tanah maupun Perpres
Pengadaan Tanah sebagai peraturan pelaksananya dibandingkan dengan peraturan
sebelumnya yaitu Perpres 65 Tahun 2006 tidak dapat dipungkiri. Sebagai contoh,
ketentuan Pasal 35 UU Pengadaan Tanah yang menyatakan apabila dalam hal bidang
tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat
difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat
meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Ketentuan pasal ini belum
pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya, dan tujuan pasal ini muncul
adalah dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Selain itu, dalam UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah
telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari
mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan
penyerahan hasil, termasuk di dalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-
masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam
proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Batasan waktu
sebenarnya juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam UU
Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah sudah secara tegas mengatur
durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan
umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Berdasarkan UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah juga
diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Isi dari
dokumen tersebut di antaranya adalah tujuan rencana pembangunan, kesesuaian
dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang
dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Dokumen
perencanaan pengadaan tanah tersebut selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang
melingkupi wilayah di mana letak tanah berada.
Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian,
pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari
pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di
pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan
tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur
minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur di dalamnya.
UU Pengadaan Tanah ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-
jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum. Berdasarkan
ketentuan Pasal 10 UU Pengadaan Tanah dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol
dan semua jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan
umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja. Selain itu,
dalam UU Pengadaan Tanah ini tidak ditemukan mengenai definisi kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan
kepentingan umum sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU
Pengadaan Tanah. Hal ini menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi
pembangunan untuk kepentingan umum dalam UU Pengadaan Tanah seperti halnya
peraturan-peraturan sebelumnya.16
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 UU
Pengadaan Tanah diatur bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14
hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian, karena hukum pihak yang
berhak (masyarakat) dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti
kerugian tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat, dan pada saat
pelaksanaan pelepasan hak, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak
menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hapusnya hak atas tanah dari pihak yang
berhak adalah hak atas tanah tersebut berakhir tanpa kerja sama ataupun persetujuan
16 Ibid.
seperti dalam sahnya suatu persetujuan, dan pihak yang berhak dalam hal ini
kehilangan sama sekali haknya secara paksa.17
Hapusnya kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak yang
menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 UU Pengadaan Tanah di atas,
menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja dibenturkan dengan UU
Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah ini jelas tidak
sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 UU Pengadaan Tanah yaitu pengadaan
tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan,
kesepakatan, dan asas-asas lain.18
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan di atas, UU Pengadaan Tanah
merupakan sebuah langkah perbaikan dibandingkan dengan Perpres Nomor 65 Tahun
2006, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi
rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Diterbitkannya undang-undang
tersebut memberi harapan permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah dapat
diatasi ke depannya. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah
dan menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan
umum selama ini antara lain:
17 A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA,
Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya di singkat Parlindungan II), hal. 1 18 Adi Suara, loc. it.
1. Belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme
pengadaan tanah;
2. Belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah;
3. Tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan
4. Belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai
kepentingan umum.19
Menurut M. Yamin Lubis dalam bukunya Pencabutan hak, pembebasan dan
pengadaan tanah, beberapa prinsip pengadaan tanah dapat dimasukkan dalam materi
undang-undang yang akan datang, antara lain dengan mempertimbangkan beberapa
prinsip yaitu:
a. Prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki rakyat yang
merupakan bagian dari hak asasi warga negara, sehingga tidak dengan sedemikian
rupa dapat dengan mudah diambil untuk kepentingan-kepentingan tertentu
termasuk untuk kepentingan umum, tanpa mengindahkan aturan hukum yang ada.
b. Prinsip kepastian hukum baik dalam pengaturannya (ketentuan materiil) dan
proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum (ketentuan formil/hukum
acaranya) maupun dalam proses pemberian hak atas tanah kepada instansi yang
membutuhkan sebagai pemangku dari kepentingan umum.
c. Prinsip kepastian atas kepentingan umum, menyangkut pengertian, penetapan
bidang kegiatan yang masuk dalam kategori kepentingan umum, dengan
penegasan adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat, kegiatan benar-benar
dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah, nyata-nyata tidak digunakan untuk
19 Ibid.
mencari keuntungan (tidak ada unsur komersil/bisnis), perencanaan dan
pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah.
d. Prinsip pelaksanaannya dengan cara tepat dan transparan, dengan pembentukan
tim pelaksana yang kompeten baik untuk tim pengadaan tanah maupun tim
penaksir harga tanah, lengkap dengan susunan dan uraian tugasnya secara
limitatif.
e. Prinsip musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah, terutama emngenai
hal yang berkaitan dengan kegiatan dan tujuan dari pengadaan tanah tersebut dan
juga mengenai penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian.
f. Prinsip pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atas setiap pengambilan hak
atas tanah rakyat, sebab hak atas tanah tersebut sebagai bagian dari aset seseorang
yang diperoleh dengan pengorbanan tertentu dan pabila sudah terdaftar telah ada
legalitas aset yang diberikan oleh Negara dan kepada penerima haknya biasanya
membayar kompensasi kepada Negara baik dalam bentuk kewajiban uang
pemasukan ke kas Negara maupun kewajiban perpajakan. Selain itu, harus
ditegaskan pengertian “ganti rugi yang layak dan adil”, sehingga diperoleh tolak
ukur yang dapat dipedomani dalam pemberian ganti kerugian yang mana telah
diatur dalam UU Pengadaan Tanah.
g. Prinsip pembedaan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umm sesuai
dengan kriteria yang ditentukan secara limitatif dengan pengadaan tanah bukan
untuk kepentingan umum (kepentingan pemerintah dengan unsur bisnis), serta
penetapan kriteria luasan tanah skala kecil dengan prosedur pengadaan tanahnya,
termasuk dalam hal penggunaan standar dan normanya seperti kemungkinan
penggunaan bantuan tim pengadaan tanah.20
Berikut adalah perbedaan singkat mengenai peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai pengadaan tanah, dimulai dari Keppres No. 55 Tahun 1993,
Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan UU Pengadaan Tanah,
dengan demikian dapat diketahui perubahan-perubahan dalam pengaturan
pelaksanaan pengadaan tanah di Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini:
Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah
Pokok
Perbanding
an
Keppres No.
55 Tahun
1993
Perpres No. 36
Tahun 2005
Perpres No. 65
Tahun 2006
UU No 2
Tahun 2012
20 M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan
Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis I), hal. 100-101
Pengadaan
Tanah
Pengadaan
tanah adalah
setiap kegiatan
untuk
mendapatkan
tanah dengan
cara
memberikan
ganti kerugian
kepada yang
berhak atas
tanah tersebut.
Pengadaan tanah
adalah setiap
kegiatan untuk
mendapatkan
tanah dengan
cara
memberikan
ganti rugi
kepada yang
melepaskan atau
menyerahkan
tanah,
bangunan,
tanaman, dan
benda-benda
yang berkaitan
dengan tanah
atau pencabutan
hak atas tanah
Pengadaan
tanah adalah
setiap kegiatan
untuk
mendapatkan
tanah dengan
cara
memberikan
ganti rugi
kepada yang
melepaskan
atau
menyerahkan
tanah,
bangunan,
tanaman dan
benda-benda
yang berkaitan
dengan tanah.
Pengadaan
Tanah adalah
kegiatan
menyediakan
tanah dengan
cara
memberi
ganti
kerugian
yang layak
dan adil
kepada pihak
yang berhak
Mekanisme
Pengadaan
Tanah
Pengadaan
tanah bagi
pelaksanaan
pembangunan
untuk
kepentingan
umum oleh
pemerintah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan atau
penyerahan
hak atas tanah.
Pengadaan tanah
bagi
pelaksanaan
pembangunan
untuk
kepentingan
umum oleh
Pemerintah atau
pemerintah
daerah
dilaksanakan
dengan cara :
a.Pelepasan atau
penyerahan hak
Pengadaan
tanah bagi
pelaksanaan
pembangunan
untuk
kepentingan
umum oleh
Pemerintah atau
Pemerintah
Daerah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan atau
penyerahan hak
Pengadaan
tanah bagi
pelaksanaan
pembanguna
n untuk
kepentingan
umum oleh
Pemerintah
atau
Pemerintah
Daerah
dilaksanakan
dengan cara
pelepasan
atau
atas tanah, atau
b. pencabutan
hak atas tanah
atas tanah penyerahan
hak atas
tanah
Kepentingan
umum
Kepentingan
umum adalah
kepentingan
seluruh lapisan
masyarakat.
Kepentingan
umum adalah
kepentingan
sebagian besar
lapisan
masyarakat.
Kepentingan
umum adalah
kepentingan
sebagian besar
lapisan
masyarakat.
Kepentingan
umum
adalah
kepentingan
bangsa,
negara dan
masyarakat
yang harus
diwujudkan
oleh
pemerintah
dan
digunakan
sebesar-
besarnya
untuk
kemakmuran
rakyat.
Cakupan
kepentingan
umum
a. jalan umum,
saluran
pembuangan
air;
b. waduk,
bendungan dan
bangunan
pengairan
lainnya
termasuk
saluran irigasi.
c. rumah sakit
umum dan
a. jalan umum,
jalan tol, rel
kereta api (di
atas tanah, di
ruang atas tanah,
ataupun di ruang
bawah tanah),
saluran air
minum/air
bersih, saluran
pembuangan air
dan sanitasi.
b. waduk,
a. jalan umum
dan jalan tol, rel
kereta api (di
atas tanah, di
ruang atas
tanah, ataupun
di ruang bawah
tanah), saluran
air minum/air
bersih, saluran
pembuangan air
dan sanitasi.
b. waduk,
a. pertahanan
dan
keamanan
nasional
b. jalan
umum, jalan
tol,
terowongan,
jalur kereta
api, stasiun
kereta api
dan fasilitas
operasi
pusat-pusat
kesehatan
masyarakat
d. pelabuhan
atau bandar
udara atau
terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan
atau sekolahan.
g. pasar umum
atau pasar
INPRES
h. fasilitas
pemakaman
umum
i. fasilitas
keselamatan
umum seperti
tanggul
penanggulanga
n bahaya
banjir, lahar
dan lain-lain
j. pos dan
telekomunikasi
k. sarana olah
raga
l. stasiun
penyiaran
radio, televisi
bendungan,
irigasi dan
bangunan
pengairan
lainnya.
c. rumah sakit
umum dan pusat
kesehatan
masyarakat.
d. pelabuhan,
bandar udara,
stasiun kereta
api dan terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan
atau sekolah
g. pasar umum
h. fasilitas
pemakaman
umum
i. fasilitas
keselamatan
umum
j. pos dan
telekomunikasi
k. sarana olah
raga
l.stasiun
penyiaran radio
dan televisi dan
sarana
bendungan,
bendungan
irigasi dan
bangunan
pengairan
lainnya;
c. pelabuhan,
bandar udara,
stasiun kereta
api, dan
terminal.
d. fasilitas
keselamatan
umum, seperti
tanggul
penanggulangan
bahaya banjir,
lahar, dan lain-
lain
e. tempat
pembuangan
sampah
f. cagar alam
dan cagar
budaya
g. pembangkit,
transmisi,
distribusi
tenaga listrik.
kereta api
c. waduk,
bendungan,
bendung,
irigasi,
saluran air
minum,
saluran
pembuangan
air dan
sanitasi dan
bangunan
pengairan
lainnya
d. pelabuhan,
bandar udara
dan terminal
e.
infrastuktur,
minyak gas
dan panas
bumi
f.
pembangkit,
transmisi,
gardu,
jaringan dan
distribusi
tenaga listrik
g. jaringan
telekomunik
asi dan
informatika
beserta
pendukungnta.
m. kantor
Pemerintah
n. fasilitas
Angkatan
Bersenjata
Republik
Indonesia
pendukungnya.
m. kantor
Pemerintah,
pemerintah
daerah,
mperwakilan
negara asing,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dan atau
lembaga-
lembaga
internasional di
bawah naungan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
n.fasilitas
Tentara
Nasional
Indonesia dan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia sesuai
dengan tugas
pokok dan
fungsinya.
o. lembaga
permasyarakatan
dan rumah
tahanan
p. rumah susun
sederhana
q. tempat
Pemerintah
h. tempat
pembuangan
dan
pengolahan
sampah
i. rumah
sakit
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah
j. fasilitas
keselamatan
umum
k. tempat
pemakaman
umum
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah
l. fasilitas
sosial,
fasilitas
umum dan
ruang
terbuka hijau
publik
m. cagar
alam dan
cagar budaya
n. kantor
Pemerintah/
pembuangan
sampah
r. cagar alam
dan cagar
budaya.
s. pertamanan
t. panti sosial
u. pembangkit,
tansmisi,
distribusi tenaga
listrik
Pemerintah
Daerah/desa
o. Penataan
pemukiman
kumuhperkot
aan dan/atau
konsolidasi
tanah, serta
perumahan
untuk
masyarakat
berpenghasil
an rendah
dengan
status sewa
p. prasarana
pendidikan
atau sekolah
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah
q. Prasarana
olahraga
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah; dan
r. pasar
umum dan
lapangan
parkir
umum.
2.1.3 Cara dan Proses Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah
diatur secara jelas dalam UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksananya, mulai
dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan yang dijabarkan
sebagai berikut:
a. Tahap Perencanaan
Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pengadaan Tanah agar menyusun dokumen
perencanaan pengadaan tanah, yang sedikitnya memuat:
1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan,
2. Kesesuaian dengan rancangan tata ruang wilayah (rtrw) dan prioritas
pembangunan,
3. Letak tanah,
4. Luas tanah yang dibutuhkan,
5. Gambaran umum status tanah,
6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan
pembangunan,
7. Perkiraan nilai tanah, dan
8. Rencana penganggaran.
Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut sesuai ketentuan Penjelasan Atas
Pasal 15 ayat (2) UU Pengadaan Tanah disusun berdasarkan studi kelayakan yang
mencakup:
1. Survei sosial ekonomi,
2. Kelayakan lokasi,
3. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat,
4. Perkiraan harga tanah,
5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat
pengadaan tanah dan bangunan, serta
6. Studi lain yang diperlukan.
Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah di mana letak tanah
berada.
b. Tahap Persiapan
Dalam tahapan persiapan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat
(1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur membentuk tim persiapan dalam waktu
paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan:
1. Bupati/Walikota,
2. SKPD Provinsi terkait,
3. instansi yang memerlukan tanah, dan
4. instansi terkait lainnya.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tim persiapan, Gubernur membentuk sekretariat
persiapan pengadaan tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Adapun
tugas tim persiapan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Perpres Pengadaan
Tanah adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
Sesuai ketentuan Pasal 11 Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan rencana
pembangunan ditandatangani ketua tim persiapan dan diberitahukan kepada
masyarakat pada lokasi rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah
dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima resmi oleh Gubernur. Sesuai
ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan
dapat dilakukan secara langsung baik melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau
surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui
media cetak maupun media elektronik.
2. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan
Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan data
awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah bersama aparat
kelurahan/desa sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah,
paling lama adalah 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan.
Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah, hasil
pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara lokasi rencana
pembangunan yang ditandatangani ketua tim persiapan sebagai bahan untuk
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
3. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan
Konsultasi publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dan masyarakat
yang terkena dampak pengadaan tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (4) Perpres
Pengadaan Tanah dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana pembangunan. Hasil
kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara
kesepakatan.
Sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1), (2), (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah,
apabila dalam konsultasi publik, pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena
dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan, maka dilaksanakan
konsultasi publik ulang paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara
kesepakatan. Sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan
Tanah, jika dalam konsultasi publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan
atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan
keberatan kepada Gubernur melalui tim persiapan. Selanjutnya, Gubernur
membentuk tim kajian keberatan yang terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota;
c. Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan
pembangunan daerah sebagai anggota;
d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota;
e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
f. Akademisi sebagai anggota.
Tugas tim kajian keberatan meliputi:
a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;
b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan;
c. Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan yang
ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada Gubernur.
Berdasarkan rekomendasi dari tim kajian, sesuai ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40
Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh
Gubernur dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan. Dalam
hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima keberatan, instansi yang
memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan atau memindahkan lokasi
rencana pembangunan ke tempat lain.
4. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan
Penetapan lokasi pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang telah
dilakukan tim persiapan dengan pihak yang berhak atau berdasarkan karena
ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan. Penetapan lokasi pembangunan
dilampiri peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang
memerlukan tanah.
Penetapan lokasi pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat
dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1
tahun kepada Gubernur yang diajukan paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu penetapan lokasi pembangunan.
5. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan
Pengumuman atas penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, paling
lambat adalah 3 hari sejak dikeluarkan penetapan lokasi pembangunan yang
dilaksanakan dengan cara:
a. Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan
di lokasi pembangunan;
b. Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan dilaksanakan selama paling kurang
14 hari kerja.
6. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.
Sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur dapat
mendelegasikan kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota
berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya
manusia dan pertimbangan lain.
c. Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, sesuai
ketentuan Pasal 52 Perpres Pengadaan Tanah, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada ketua pelaksana pengadaan tanah
dengan dilengkapi/dilampiri dokumen perencanaan pengadaan tanah dan penetapan
lokasi pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah
diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya sesuai ketentuan Pasal 50
Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku
ketua pelaksana pengadaan tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi
geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan). Susunan keanggotaan pelaksana pengadaan tanah sesuai ketentuan Pasal
51 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah, berunsurkan paling kurang:
1. Pejabat yang membidangi urusan pengadaan tanah di lingkungan kantor
wilayah BPN;
2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi pengadaan tanah;
3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat pada lokasi pengadaan tanah;
5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi pengadaan tanah.
Pelaksana pengadaan tanah kemudian melakukan penyiapan pelaksanaan pengadaan
tanah yang dituangkan dalam rencana kerja, sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2)
Perpres Pengadaan Tanah, memuat paling kurang:
1. Rencana pendanaan pelaksanaan;
2. Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan;
3. Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan;
4. Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan;
5. Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam
pelaksanaan;
6. Sistem monitoring pelaksanaan.
Pelaksanaan pengadaan tanah secara garis besar meliputi:
1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah.
Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, dilakukan
dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun kegiatannya meliputi:
a. Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
b. Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor
kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan
(4) UU Pengadaan Tanah, dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat
mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu
paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk
kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari
kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.
2. Penilaian Ganti Kerugian
Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil inventarisasi dan
identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah dan sesuai ketentuan Pasal 62
Perpres Pengadaan Tanah, selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang
berhak dalam pemberian ganti kerugian. sesuai ketentuan Pasal 63 Perpres
Pengadaan Tanah, penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh ketua pelaksana
pengadaan tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah yang penilaiannya
dilaksanakan paling lama 30 hari kerja.
Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang
tanah sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, meliputi
tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan
dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai. Sesuai ketentuan Pasal 67
ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah
tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat
difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak
dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
3. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak
sesuai ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai
disampaikan kepada ketua pelaksana pengadaan tanah untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah tersebut sesuai ketentuan Pasal 72 Perpres
Pengadaan Tanah, menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang
berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian, sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah,
pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan
ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan
keberatan.
Sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, pihak yang
keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 hari
kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti
Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
4. Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 74 Perpres
Pengadaan Tanah, dalam bentuk:
a. Uang
b. Tanah Pengganti
c. Pemukiman kembali
d. Kepemilikan saham
e. Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak
Pelaksana pengadaan tanah membuat penetapan mengenai bentuk ganti kerugian
berdasarkan berita acara kesepakatan dan/atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung. Sesuai ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan (2) Perpres
Pengadaan Tanah, pemberian ganti kerugian dibuat dalam berita acara pemberian
ganti kerugian yang dilampiri dengan:
a. Daftar pihak yang berhak penerima ganti kerugian
b. Bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah diberikan
c. Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi
d. Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti penguasaan
atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang
memerlukan tanah melalui pelaksana pengadaan tanah.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung,
Sesuai ketentuan Pasal 86 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, ganti
kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Penitipan ganti kerugian juga
dilakukan terhadap:
a. Pihak yang berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui
keberadaannya;
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan ganti kerugian:
1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4. Menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah
dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di Pengadilan
Negeri, sesuai ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah, kepemilikan atau hak
atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan
tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
d. Tahap Penyerahan
Sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, ketua
pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang
memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah paling lama 7 hari kerja sejak
pelepasan hak objek pengadaan tanah dengan berita acara. Setelah proses penyerahan,
paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan
pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses pembangunan.
Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, sesuai ketentuan Pasal 121 Perpres Pengadaan
Tanah sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014, pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat
dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para
pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau cara lain yang disepakati kedua
belah pihak.
2.1.4 Hak, Kewajiban, dan Peran Serta Masyarakat dalam Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum tentunya melibatkan masyarakat
yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan. Dalam penyelenggaraan pengadaan
tanah, sesuai dengan ketentuan UU Pengadaan Tanah, masyarakat mempunyai hak
yaitu:
1. Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah;
2. Memperoleh informasi yang lengkap mengenai pengadaan tanah;
3. Menerima ganti rugi dalam bentuk apapun sesuai dengan kesepakatan.
Selain menerima hak di atas, sesuai ketentuan Pasal 56 UU Pengadaan Tanah,
masyarakat diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Selain hak dan kewajiban di atas, Pasal 57 UU Pengadaan Tanah
menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah, yaitu di antara lainnya:
1. Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai pengadaan tanah; dan;
2. Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah.
2.2 Sisa Bidang Tanah
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Sisa Bidang Tanah
Sisa bidang tanah adalah sisa dari bidang tanah yang terkena proyek
pengadaan tanah baik yang masih bisa maupun tidak bisa difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya. Contohnya adalah terdapat bidang tanah dengan luas
100m2, kemudian bidang tanah tersebut digunakan untuk proyek pengadaan tanah
pembuatan jalan umum seluas 20m2. Bidang tanah setelah dikurangi untuk pengadaan
tanah dengan luas 80m2 adalah sisa bidang tanah yang dimaksud.
Sisa bidang tanah terdiri dari sisa bidang tanah yang masih bisa dan tidak bisa
difungsikan lagi sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Pasal 11 Perkaban 5
Tahun 2012, menentukan bahwa, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah tertentu
sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai
dengan peruntukan dan penggunaannya, bidang tanah tersebut diukur dan dipetakan
secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas dasar permintaan pihak yang berhak.
Sedangkan apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar
yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya, Pasal 13 ayat (1) dan (3) menentukan bahwa, bidang
tanah tersebut diukur dan dipetakan secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas
dasar permintaan pihak yang berhak atau masyarakat pemilik bidang tanah yang
terkena pengadaan tanah. Ganti kerugian wajib diberikan oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada pihak yang berhak setelah dilakukan verifikasi oleh
pelaksana pengadaan tanah.
Pasal 12 Perkaban 5 Tahun 2012 juga mengatur dalam hal terdapat sisa dari
bidang tanah tertentu sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan masih dapat
difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, pemisahan haknya dilakukan oleh
Kepala Kantor Pertanahan atas biaya instansi yang memerlukan tanah. Sedangkan
apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar yang terkena
pengadaan tanah dan masih dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkaban 5 Tahun 2012, dicatat
dalam buku desa/kelurahan atau nama lain serta surat tanda alas hak tanahnya. Pihak
yang berhak meminta untuk dilakukan pengukuran dan/atau permohonan hak dan
pendaftaran hak, biaya dibebankan kepada pihak yang berhak.
2.2.2 Hak dan Kewajiban Pemilik Sisa Bidang Tanah
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan umum hanya menggunakan
sebagian tanah pihak yang berhak atau masyarakat, sehingga terdapat sisa bidang
tanah, baik yang masih bisa digunakan maupun tidak oleh masyarakat. Hak dan
kewajiban masyarakat sebagai pemilik sisa bidang tanah berdasarkan Perkaban 5
Tahun 2012 dapat disimpulkan sebagai berikut:
Hak masyarakat pemilik sisa bidang tanah:
1. Menerima ganti kerugian yang layak dan telah disepakati apabila sisa bidang
tanah sudah tidak dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, baik sisa bidang tanah tersebut sudah terdaftar maupun belum
terdaftar di BPN.
2. Pemisahan hak dibiayai oleh instansi yang memerlukan tanah, apabila sisa bidang
tanah milik masyarakat masih bisa difungsikan dan sudah terdaftar di BPN.
Sedangkan kewajiban masyarakat pemilik sisa bidang tanah yaitu melakukan
pengukuran dan/atau permohonan hak dan pendaftaran hak apabila sisa bidang tanah
masih bisa difungsikan dan belum terdaftar di BPN. Biaya mengenai proses
pendaftaran hak dibebankan kepada pihak yang berhak.
2.3 Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah merupakan persoalan sangat penting yang diatur dalam
UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti
kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya pendaftaran tanah tersebut sehingga
UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 19 UUPA yang
dinyatakan sebagai berikut:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.21
Pendaftaran tanah dapat memberi jaminan kepastian hukum atas bidang tanah
apabila dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, diterbitkannya sertifikat
adalah sebagai alat pembuktian hak atas tanah paling kuat. Dokumen-dokumen
pertanahan sebagai hasil proses pendaftaran tanah adalah dokumen tertulis yang
memuat data fisik dan data yuridis tanah bersangkutan.22
Dalam rangka untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang dimaksud dalam
UUPA, pada tanggal 23 Maret 1961 oleh Presiden diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah pertama kali dikeluarkan di
Indonesia. Dalam pelaksanaannya kemudian disempurnakan dengan PP 24 Tahun
1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun
1997 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997.
21 Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 152 22 Sangsun, Florianus SP., 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Transmedia Pustaka,
Jakarta, hal. 1-2
2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Di dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan
pemerintah. Sebutan pendaftaran tanah atau land registration menimbulkan kesan
bahwa seakan-akan obyek utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran
adalah tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah
yang merupakan obyek pendaftaran yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya,
luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam “daftar tanah”. Kata
“kadaster” yang menunjukkan pada kegiatan fisik tersebut berasal dari istilah latin
“Capistratum” yang merupakan daftar yang berisikan data mengenai tanah.23
Rudolf Hemanes, seorang mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan
Menteri Agraria, telah mencoba merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah (cadaster). Menurut beliau yang dimaksud dengan pendaftaran
tanah adalah “pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar,
berdasarkan pengukuran dan pemetaan, yang seksama dari bidang-bidang itu.”24
Dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran tanah dalam bahasa Latin
disebut “Capitastrum”, di Jerman dan Italia dsebut “Catastro”, di Belanda dan
23 Boedi Harsono, op.cit., hal. 74 24 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 2, Prestasi
Pustaka, Jakarta, hal. 1
Indonesia dikenal dengan istilah “Kadastrale”. Menurut Parlindungan, pendaftaran
tanah berasal dari kata cadastre suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman),
menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap
suatu bidang tanah. Kata ini menurut bahasa Latin berarti suatu register atau capita
atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti
yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan
pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, cadastre
merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dan juga sebagai
continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.25
Menurut Douglass J. Willem, pendaftaran tanah adalah pekerjaan yang
continue (berkelanjutan) dan consistence (konsisten) atas hak seseorang sehingga
memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang
didaftarkan, sebagaimana disebutkan sebagai berikut:
The register consists of the individual grant, certificates of folios contained
whitin it at anygiven time added to these are documents that may be deemed
to be embodied in the register upon registration. There are also ancillary
register which assist in the orderly administration of the system such as a
parcel index, a nominal index losting. Together these indicated in the parcel
of land in a particular title, the person entitle to interest there
in.26(Pendaftaran terdiri dari hibah individu, lembar sertifikat pada waktu
diberikan dan ditambahkannya ke dokumen ini yang terdaftar pada saat
pendaftaran. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam tertib sistem
administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal losting. Bersama ini
25 Parlindungan I, op. cit., hal 18-19. 26 M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,
Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis II), hal. 103, dikutip dari Douglas J. Whillam, 1992,
The Torren System In Australia, Sydney Melbourne Brisbone Perth, hal. 18
ditunjukkan dalam sebidang tanah dalam keterangan hak tertentu, orang
tersebut berhak untuk kepentingan yang ada di dalamnya.)
Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1 PP 24 Tahun
1997, yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Definisi pendaftaran tanah dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan
penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19
ayat (2) PP Nomor 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan
pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda
bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.27
2.3.2 Tujuan Diselenggarakannya Pendaftaran Tanah
Tujuan pendaftaran tanah berdasarkan UUPA adalah untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi semua orang dan kepastian hak kepada setiap pemegang hak
27 Ibid., hal. 138
atas tanah. Adanya hukum tertulis maka pihak-pihak yang bersangkutan jika
memerlukannya akan mudah mengetahui kaidah-kaidah hukumnya dan juga akan
dengan mudah mengetahui wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban
berkenaan dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya. Judit Bray menambahkan
tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk membuat sistem yang akan
mengungkapkan semua rincian yang relevan tentang siapa yang memiliki setiap
bagian dari tanah dan semua hak dan kepentingan yang mengikat tanah.28
Tujuan pendaftaran tanah adalah adanya kepastian hukum dan kepastian hak
atas tanah. Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dicegah sengketa tanah.29
Pendaftaran tanah dilakukan bagi kepentingan pemegang hak atas tanah, agar dengan
mudah dapat membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah
tertentu.30 Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran
tanah yang dikenal juga dengan sebutan Rechts Cadaster atau Legal Cadaster ini,
meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak dan kepastian obyek
hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 31
Kebalikan dari pendaftaran tanah yang Rechts Cadaster, adalah Fiscal
Cadaster, yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib
membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah ini menghasilkan surat tanda bukti
28 Judit Bray, op. cit., hal. 51 29 Adrian Sutedi, 2009, Tinjauan Hukum Pertanahan, Pradnya Paramita, (selanjutnya
disingkat Adrian II), Jakarta, hal 1. 30 Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 9 31 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, cet. 2, Kencana, Jakarta,
hal. 2
pembayaran pajak atas tanah, yang sekarang dikenal dengan sebutan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).32
Pendaftaran tanah menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak
atas tanah. Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP 24 Tahun
1997 yaitu:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan
utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19
UUPA.
Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak
pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh undang-undang.33 Jaminan kepastian
hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi:
a. Kepastian status hak yang didaftar, yang artinya pendaftaran tanah akan dapat
diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak
Tanggungan, atau Tanah Wakaf.
32 Ibid. 33 Boedi Harsono, op. cit., hal. 473
b. Kepastian subjek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat
diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga negara
Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok
orang secara bersama-sama, atau badan hukum, (badan hukum privat atau
badan hukum publik).
c. Kepastian obyek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat
diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah dan ukuran (luas) tanah.
Letak tanah berada di mana, batas-batas tanah yang meliputi sebelah utara,
selatan, timur dan barat berbatasan dengan siapa atau tanah apa.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah
susun yang susah didaftar. Untuk melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan
data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar
terbuka untuk umum, sehingga baik Pemerintah maupun masyarakat dapat
dengan mudah memperoleh informasi tentang data di lembaga pertanahan dalam
hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota apabila ingin mengadakan suatu
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang
sudah terdaftar, misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, lelang atau
pembebanan Hak Tanggungan.
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dengan menjalankan Program
Pemerintah di bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan,
yaitu:
a. Tertib Hukum Pertanahan;
b. Tertib Administrasi Pertanahan;
c. Tertib Penggunaan Tanah; dan
d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan
tertib administrasi di bidang pertanahan. Usaha untuk mewujudkan tertib
administrasi pertanahan tersebut adalah dengan wajib mendaftarkan setiap
peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun.34
2.3.3 Obyek Pendaftaran Tanah
Dalam UUPA ditentukan bahwa obyek hak atas tanah yang didaftarkan adalah
Hak Milik yang mana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, selanjutnya disingkat
UU 40 tahun 1996, Hak Guna Usaha (HGU) yang diatur dalam Pasal 32 UU 40 tahun
1996, Hak Guna Bangunan (HGB) yang diatur dalam Pasal 38 UU 40 tahun 1996,
dan Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 UU 40 tahun 1996, sedangkan Hak Sewa untuk
34 Urip Santoso, op. cit., hal 18-21
bangunan tidak wajib didaftar. Menurut Pasal 9 PP 24 Tahun 1997, obyek
pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
1. Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA, pengertian mengenai hak milik yaitu
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.”
Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:
a. Hanya Warga Negara Indonesia
b. Bank Pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial (Permen
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan)
2. Hak Guna Usaha
Pasal 28 ayat (1) UUPA menentukan bahwa “Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun guna
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.” Berdasarkan Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 3643), selanjutnya disingkat PP Nomor 40 Tahun 1996, jangka
waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbarui
untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.
Hak Guna Usaha hanya dapat dipunyai oleh:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia
3. Hak Guna Bangunan
Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UUPA
menentukan bahwa “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun.”
Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan
tanah Hak Milik. Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
menurut Pasal 29 PP Nomor 40 Tahun 1996 adalah paling lama 30 tahun, tidak
dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan pihak
pemilik tanah dan pemegang Hak Guna Bangunan.
Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
4. Hak Pakai
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang
ini.
Hak Pakai ada yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan ada
yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan. Hak Pakai yang diberikan
untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk
keperluan tertentu diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah, Non-
Departement, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan
Internasional, Badan Keagamaan dan Badan Sosial.
Jangka waktu Hak Pakai atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan adalah
untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama
25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai atas tanah Hak Milik adalah paling lama 25
tahun, tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan
pihak pemilik tanah dan pemegang Hak Pakai.
Hak Pakai hanya dapat dipunyai oleh:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
c. Departemen, Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Non-Departemen.
d. Badan keagamaan dan sosial.
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
5. Tanah Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan menurut Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 jo. Pasal 1
angka 4 PP 24 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, adalah hak menguasai dari
Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya.
Hak Pengelolaan hanya dapat dipunyai oleh:
a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.
b. Badan Usaha Milik Negara.
c. Badan Usaha Milik Daerah.
d. PT
e. Badan Otorita.
f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.
6. Tanah Wakaf
Wakaf tanah Hak Milik diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 1
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 38; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3107), yang dimaksud dengan
wakaf adalah “Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagain dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.”
Hak atas tanah yang dapat diwakafkan untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan lainnya menurut ajaran Agama Islam hanyalah Hak Milik.
7. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor
75; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318), yang
dimaksud Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah, “Hak milik atas satuan
yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.”
8. Hak Tanggungan
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632), menyatakan bahwa :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
9. Tanah Negara
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 PP 24 Tahun 1997, yang
dimaksud dengan tanah negara adalah, “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai
langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas
tanah.”
Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya
dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara
dalam daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Tanah negara
tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak
diterbitkan sertifikat.35
2.3.4 Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang diterapkan di suatu negara didasarkan pada
asas hukum yang dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanah. Asas
hukum yang dianut ada dua, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Asas
itikad baik berarti orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik akan tetap
menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum,36 sedangkan asas nemo plus yuris
yang berarti orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya,
berdasarkan asas ini maka pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah tidak
diperbolehkan dan batal demi hukum dengan tujuan melindungi pemegang hak yang
sebenarnya.37 Sistem publikasi yang digunakan untuk asas itikad baik adalah sistem
publikasi positif, sedangkan sistem asas nemo plus yuris menggunakan sistem
publikasi negatif. Di dunia ini tidak ada satu negara yang menganut salah satu asas
tersebut secara murni, karena masing-masing asas ini memiliki kelebihan dan
kekurangan.38
2.3.4.1 Sistem Publikasi Positif
35 Ibid., hal. 25-30 36 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, cet. 4, Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya di singkat Adrian III), hal. 116 37 Andy Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum
Terdaftar Hak Atas Tanahnya, cet. 2, LaksBang, Surabaya, hal. 48 38 Adrian III, op. cit., hal. 117-118
Sistem publikasi positif digunakan untuk melindungi orang yang memperoleh
suatu hak dengan itikad baik. Sistem publikasi positif mengandung pengertian apa
yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan
merupakan alat pembuktian yang mutlak, sehingga pihak ketiga yang bertindak atas
bukti-bukti tersebut mendapatkan perlindungan yang mutlak, meskipun di kemudian
hari terbukti bahwa keterangan yang terdapat di dalamnya tidak benar. Mereka yang
dirugikan akan mendapat kompensasi dalam bentuk lain. Menurut Arie S. Hutagalung
sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak
atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya dan negara sebagai pendaftar
menjamin bahwa pendaftaran yang dilakukan adalah benar.39 Ciri-ciri Pendaftaran
tanah yang menggunakan sistem publikasi positif adalah:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak
(registration of titles).
2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu
data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat tidak dapat
diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku
tanah.
3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis
dalam pendaftaran tanah adalah benar.
4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan
perlindungan hukum yang mutlak.
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat tanah mendapatkan
kompensasi dalam bentuk yang lain.
6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama,
petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti,
dan biaya yang relatif tinggi.
39 Urip Santoso, op. cit., hal. 263-264
Sistem publikasi positif memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Menurut
Sudikno Mertokusumo, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah:
1. Adanya kepastian dari buku tanah yang bersifat mutlak.
2. Pelaksana pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti.
3. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah mudah dimengerti
orang lain.
Menurut Arie S. Hutagalung, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah:
1. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertifikat.
2. Adanya peranan aktif pejabat kadaster.
3. Mekanisme penerbitan sertifikat dapat dengan mudah diketahui publik.
Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi positif menurut Sudikno Mertokusumo
adalah:
1. Akibat dari pelaksanaan pendaftaran tanah bersifat aktif, waktu yang
digunakan sangat lama.
2. Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya berhak akan kehilangan haknya.
3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administrasi, yaitu
dengan diterbitkannya sertifikat tidak dapat diganggu gugat.
Hal yang senada dikemukakan oleh Arie S. Hutagalung yang mengemukakan
beberapa kekurangan sistem pendaftaran positif:
1. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah
tersebut telah ada sertifikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah
lagi.
2. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang
mahal.
3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan
administrasi.40
2.3.4.2 Sistem Publikasi Negatif
Sistem publikasi negatif digunakan untuk melindungi pemegang hak yang
sebenarnya, sehingga pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut
kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun.41 Pada sistem publikasi negatif
sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Ini
berarti semua keterangan yang terdapat di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan
harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan
sebaliknya dengan menggunakan alat pembuktian yang lain.42 Dalam sistem publikasi
negatif negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang
meminta pendaftaran, sehingga setiap saat dapat digugat oleh orang yang merasa
lebih berhak atas tanah tersebut.43
Sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of
deed).
2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik
dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak
40 Ibid., hal. 264-265. 41 Adrian III, op. cit., hal. 118. 42 Urip Santoso, loc.cit. 43 Ibid., hal. 266
dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan satu-satunya
tanda bukti hak.
3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam
pendaftaran tanah adalah benar.
4. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa (aqquisitive
verjaring atau adverse possessive).
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan
keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat
ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak
sah.
6. Petugas pendaftaran tanah bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang
dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah.
Kelebihan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah:
1. Pemegang hak yang sesungguhnya terlindungi dari pihak lain yang tidak
berhak atas tanahnya.
2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertifikat.
3. Tidak adanya batas waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk
menuntut haknya yang telah disertifikatkan oleh pihak lain.
Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung
adalah:
1. Tidak ada kepastian atas keabsahan sertifikat karena setiap saat dapat atau
mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya.
2. Peranan pejabat pendaftaran tanah/adaster yang pasif tidak mendukung ke
arah akurasi dan kebenaran data yang tercantum dalam sertifikat.
3. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan kurang dapat
dipahami masyarakat awam.44
2.3.4.3 Sistem Publikasi di Indonesia
Mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997, sistem publikasi
yang digunakan di Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur
positif.45 Hal ini dapat ditunjukkan dari hal-hal berikut:
1. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem
publikasi negatif).
2. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum
dalam sertifikat (sistem publikasi negatif).
3. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan yuridis
(sistem publikasi positif).
4. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
(sistem publikasi positif).
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan
keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat
44 Ibid., hal. 267-268. 45 Boedi Harsono, op. cit., hal. 477.
atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertifikat dinyatakan tidak sah
(sistem publikasi negatif).46
Surat tanda bukti hak yang hanya memiliki kekuatan pembuktian yang kuat,
bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak juga menciptakan ketidakpercayaan
masyarakat dalam mengurus haknya, karena masyarakat menganggap dengan
mempertahankan bukti hak yang lama sudah meyakinkan pemiliknya terhindar dari
malapetaka gugatan dari pihak ketiga, sehingga masyarakat enggan mengurus hak
atas tanahnya (melakukan pendaftaran). Masyarakat juga enggan dengan
mendaftarkan tanahnya karena mahalnya biaya pengurusan dan jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu, sering yang mendaftarkan tanah itu hanyalah orang yang
bermaksud untuk menggunakan bukti hak atas tanah itu sebagai jaminan hutang.47
Persoalan mendasar sebagai bentuk publikasi dengan karakter negatif
(berunsur positif) adalah tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi
kesalahan atau kekeliruan dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.
Artinya bahwa sistem publikasi ini tidak didapati adanya pertanggungjawaban atas
produk sertifikat yang diterbitkan.48
46 Urip Santoso, op.cit., hlm. 271-272 47 Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya di
singkat adrian IV), hal. 211-212 48 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 247
2.3.5 Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah dan bukan
oleh swasta. Dalam hal ini, secara operasional instansi penyelenggaranya adalah
Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah, yang terdapat pada setiap Daerah
Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya. Dalam rangka menyelenggarakan pendaftaran
tanah penting sekali untuk diketahui di mana lokasi (kelurahan atau desa) tanah itu
berada.49
Sebenarnya pada masa lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan
pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga
sebagai bersifata yuridis. Pendaftaran tanah ini ada yang didasarkan pada hukum adat
setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat,
ada pula yang didasarkan pada peraturan yang bersifat nasional misalnya saja:
1. Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi (Land rente),
sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administratif sesuai
dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat menganggap
surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang terkena
pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di
tangannya. Oleh karena itu, surat pajak ini bila memenuhi beberapa ketentuan
dalam peraturan konversi dapat dijadikan alas hak untuk pengkonversiannya.
49 Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 14
2. Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh pengurus Subak di Bali
berdasarkan hukum adat setempat.
3. Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan
peraturan Gemeente Medan.
4. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.50
Pasal 11 PP 24 Tahun 1997 telah menentukan bahwa, penyelenggaraan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum
terdaftar. Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran
tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang didaftar.51
Aspek hukum yang terkandung dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali
berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi:
1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik, terdiri dari kegiatan pengukuran dan
pemetaan, yang meliputi pekerjaan:
a. Pembuatan peta dasar pendaftaran;
b. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
50 Adrian III, op. cit., hal. 116 51 M. Yamin Lubis II, op. cit., hal. 139
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran;
d. Pembuatan daftar tanah;
e. Pembuatan surat ukur;
2. Pembuktian hal dan pembukuannya, terdiri dari kegiatan pembuktian hak baru,
pembuktian hak lama dan pembukuan hak
a. Pembuktian hak baru, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan
dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan
hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku.
b. Pembuktian hak lama, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan atas
tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat
bukti mengenai adanya hak tersebut, berupa bukti-bukti tertulis, keterangan
saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya
dianggap cukup untuk mendaftar haknya.
c. Pembukuan hak, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan dengan
mencatat atau mendaftarkan hak atas tanah dalam suatu buku tanah yang
memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah yang bersangkutan.
3. Penerbitan sertifikat, dilakukan oleh Kepala kantor Pertanahan untuk kepentingan
atau diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, berfungsi
sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
4. Penyajian data fisik dan data yuridis, dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah
dalam hal penyajian informasi yang berhak diketahui oleh kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan terbuka bagi instansi pemerintah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, disajikan dalam bentuk daftar umum yang terdiri dari peta
pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, dan daftar nama.
5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen, yakni kegiatan menyimpan data
pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan menyangkut dokumen yang
merupakan alat pembuktian yang digunakan sebagai dasar pendaftaran, antara
lain berupa peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, daftar nama,
dapat disimpan dan disajikan dengan alat elektronik dan mikrofilm serta hanya
dapat diberikan petikan, salinan dan rekaman dokumennya dengan izin tertulis
dari pejabat yang berwenang, atau hanya dapat ditunjukkan atau diperlihatkan
pada sidang pengadilan atas perintah pengadilan.52
Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran
tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisk dan data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang terdaftar. Perubahan-perubahan yang ada wajib didaftarkan
oleh pemegang hak yang bersangkutan dan terhadap perubahan tersebut dilakukan
penyesuaian dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah
dan sertifikatnya.
52 Ibid., hal, 139-141
Aspek hukum pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau
maintenance) berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi:
1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, dalam hal ini peralihan hak karena
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan (dengan Akta
PPAT), peralihan hak karena lelang (dengan risalah lelang), pemindahan hak
karena pewarisan (dengan surat kematian dan surat tanda bukti sebagai ahli
waris), peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau
koperasi (dengan pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan khusus dalam
rangka likuidasi dengan akta Notaris atau PPAT), sedang pembebanan hak yakni
pendaftaran pemberian hak tanggungan (dengan akta PPAT).
2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, yaitu kegiatan yang
dilakukan antara lain:
a. Karena perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;
b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;
c. Pembagian hak bersama;
d. Hapusnya hak atas tanah;
e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.53
2.3.6 Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan karena adanya perubahan data
baik itu perubahan data fisik maupun data yuridis. Perubahan data tersebut harus
selalu didaftarkan di lembaga pertanahan (BPN), sehingga data yang tercantum di
buku tanah dan sertifikat tanah selalu update dengan keadaan yang sebenarnya.
Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 PP 24
Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan
data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah,
dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Pemegang hak diwajibkan untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data
yuridis kepada BPN. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah apabila diadakan
pemisahan, pemecahan atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar,
sedangkan perubahan data yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 36 PP 24 Tahun
1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis terjadi
apabila diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah
terdaftar.
53 M. Yamin Lubis II, op. cit., hal, 141-142
Kegiatan pemeliharaan data yuridis dalam pendaftaran tanah sesuai dengan
ketentuan PP 24 Tahun 1997 dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari:
a. Pemindahan hak;
b. Pemindahan hak dengan lelang;
c. Peralihan hak karena pewarisan;
d. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi;
e. Pembebanan hak;
f. Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
g. Lain-lain.
2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari:
a. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;
b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;
c. Pembagian hak bersama;
d. Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;
e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan;
g. Perubahan nama.
Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu:
1. Peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
2. Peralihan hak karena pewarisan;
3. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau
koperasi;
4. Pembebanan hak tanggungan;
5. Peralihan hak tanggungan;
6. Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah
susun dan hak tanggungan;
7. Pembagian hak bersama;
8. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau
penetapan ketua pengadilan;
9. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;
10. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.54
Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat terjadi karena:
1. Pemecahan bidang tanah;
2. Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;
3. Penggabungan dua atau lebih bidang tanah.55
PP 24 Tahun 1997 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, sedangkan
ketentuan-ketentuan yang lebih rinci diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri,
sehingga aturan-aturan mengenai pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk
mengikuti perkembangan teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP 24 Tahun
1997 yang berlaku adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
54 Urip Santoso, op. cit., hlm. 36 55 Ibid.