BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN...

27
4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:“the activity of measuring the performance of an activity or the entire value chain.” Kemudian Kinerja menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti “suatu yang dicapai” atau prestasi yang dicapai atau diperlihatkan sehingga kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kinerja oleh organisasi publik. Sedangkan pengukuran kinerja menurut Donelly Gibson dan Irnacevich (1994) adalah suatu tingkatan keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja itu sendiri dapat dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Sedangkan menurut Tangen (2005), sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sekumpulan ukuran kinerja yang menyediakan perusahaan dengan informasi yang berguna, sehingga membantu mengelola, mengontrol, merencanakan, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan adanya pengukuran kinerja maka perusahaan diharapkan mampu bertahan dan mengikuti persaingan dan perkembangan yang ada. Sistem pengukuran kinerja dikelompokkan menjadi tiga sistem, yaitu: 1. Kelompok Pertama “Fully Integrated” Sistem pengukuran kinerja pada kelompok ini merupakan system pengukuran yang paling baik (advanced), yang mana banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sistem ini mampu menjelaskan hubungan kausal yang melintasi organisasi. Kebutuhan dari seluruh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dipertimbangkan. Database dan system pelaporan harus terintegrasi satu dengan yang lainnya. 2. kelompok Kedua “Balanced” Sistem ini mampu melihat kinerja dari pandangan yang multidimensi, dari perspektif dan horizon waktu yang berbeda. Sistem ini mendukung inovasi dan pembelajaran dan berorientasi

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengukuran Kinerja

Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran

kinerja sebagai:“the activity of measuring the performance of an activity or

the entire value chain.”

Kemudian Kinerja menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti “suatu

yang dicapai” atau prestasi yang dicapai atau diperlihatkan sehingga kinerja

dapat diartikan sebagai prestasi kinerja oleh organisasi publik. Sedangkan

pengukuran kinerja menurut Donelly Gibson dan Irnacevich (1994) adalah

suatu tingkatan keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja itu sendiri dapat

dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan

baik.

Sedangkan menurut Tangen (2005), sistem pengukuran kinerja yang

baik adalah sekumpulan ukuran kinerja yang menyediakan perusahaan

dengan informasi yang berguna, sehingga membantu mengelola, mengontrol,

merencanakan, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh

perusahaan. Dengan adanya pengukuran kinerja maka perusahaan diharapkan

mampu bertahan dan mengikuti persaingan dan perkembangan yang ada.

Sistem pengukuran kinerja dikelompokkan menjadi tiga sistem, yaitu:

1. Kelompok Pertama “Fully Integrated” Sistem pengukuran kinerja pada

kelompok ini merupakan system pengukuran yang paling baik (advanced),

yang mana banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sistem ini mampu

menjelaskan hubungan kausal yang melintasi organisasi. Kebutuhan dari

seluruh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dipertimbangkan.

Database dan system pelaporan harus terintegrasi satu dengan yang lainnya.

2. kelompok Kedua “Balanced” Sistem ini mampu melihat kinerja dari

pandangan yang multidimensi, dari perspektif dan horizon waktu yang

berbeda. Sistem ini mendukung inovasi dan pembelajaran dan berorientasi

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

5

3. pelanggan. Tujuan dari system ini adalah lebih kepada memperbaiki

dibandingkan dengan memonitornya.

4. Kelompok Ketiga “Mostly Financial” Kelompok ketiga merepresentasikan

sistem pengukuran kinerja yang berbasiskan pengukuran kinerja tradisional,

seperti ROI, aliran kas, dan produktifitas pekerja. Sistem ini berorientasi pada

profit dan optimasi berdasarkan efisiensi biaya dan pada umumnya hasilnya

berorientasi jangka pendek.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran

kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap berbagai

aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan/organisasi publik. Hasil

pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan

memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di

mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan

pengendalian tersebut

2.1.1 Tujuan Pengukuran Kinerja

Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan

dalam mencapai sasaran organisai dan mematuhi standar perilaku yang telah

ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan. Dalam

hal ini Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah menurut

Mulyadi & Setiawan ( 1999) :

1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh

personil terlibat dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan.

2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata

rantai pelanggan dan emasok internal.

3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya

pengurangan terhadap pemborosan tersebut.

4. Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih

kongkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran perusahaan.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

6

2.2 Supply Chain Management

Daft (2003) mendefinisikan supply chain management sebagai istilah bagi

pengelolaan rantai pemasok dan pembeli, yang mencakup semua tahap

pemrosesan dari pembelian bahan baku sampai pendistribusian barang jadi

kepada konsumen akhir. Supply chain management (manajemen rantai

pasokan) adalah integrasi aktivitas pengadaan bahan dan pelayanan,

pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman

ke pelanggan Heizer and Render (2010).

Simchi-Levi, Kaminsky et al (2004) menyatakan manajemen rantai

pasokan sebagai sebuah pendekatan yang diterapkan untuk menyatukan

pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya (distributor,

retailer, dan pengecer) secara efisien, sehingga produk dapat dihasilkan dan

distribusikan dengan jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, dan waktu yang

tepat untuk menurunkan biaya dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Definisi

tersebut didasarkan atas beberapa hal yaitu Manajemen rantai pasokan yang

perlu mempertimbangkan bahwa semua kegiatan mulai dari pemasok,

manufaktur, gudang, distributor, retailer, sampai ke pengecer berdampak pada

biaya produk yang diproduksi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan

tujuan dari manajemen rantai pasokan adalah agar total biaya dari semua

bagian, mulai dari transportasi dan distribusi persediaan bahan baku, barang

dalam proses, dan barang jadi menjadi lebih efektif dan efisien sehingga

mengurangi biaya. Kemudian manajemen rantai pasokan berputar pada

integrasi yang efisien dari pemasok, manufaktur, gudang, distributor, retailer,

dan pengecer yang mencakup semua aktivitas perusahaan, mulai dari tingkat

strategis sampai tingkat taktik operasional. Pada supply chain biasanya ada

tiga macam aliran yang harus dikelola yaitu Aliran barang/material yang

mengalir dari hulu ke hilir, Aliran uang/financial, yang mengalir dari hilir ke

hulu. Dan aliran informasi, yang mengalir dari hulu ke hilir atau sebaliknya.

Finansial : invoice,term pembayaran Material : bahan baku, komponen,

produk jadi Informasi : kapasitas, status pengiriman,kuantitas Finansial :

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

7

pembayaran Material : retur, recycle, repair Informasi : order, ramalan untuk

lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2

Sumber : pujawan and Mahendrawati (2010)

Gambar 2.2 Simplikasi model supply chain dan 3 macam aliran yang dikelola

Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya memuaskan

konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan

tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Ukuran performansi Supply

Chain Management, meliputi: Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas

pelanggan, ketepatan pengiriman),Waktu (total replenishment time, business

cycle time), Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah) dan

Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi)

Supply Chain Management juga bisa diartikan jaringan organisasi yang

menyangkut hubungan ke hulu (upstream) dan ke hilir (downstream), dalam

proses yang berbeda dan menghasilkan nilai dalam bentuk barang/jasa di

tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user). Dalam supply chain

ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang

mempunyai kepentingan yang sama menurut Indrajit and Jokopranoto (2002)

yaitu:

Chain 1 : Suppliers Merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama.

Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan

penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang, dan sebagainya.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

8

Chain 1-2 : Suppliers - Manufacturer Manufacturer atau bentuk lain yang

melakukan pekerjaan membuat, mempabrikasi, mengasembling, merakit, dan

mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan

kedua rantai tersebut sudah mempunyai potensi untuk melakukan

penghematan. Penghematan dapat diperoleh dari inventories bahan baku,

bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers,

manufacturer, dan tempat transit merupakan target untuk penghematan ini.

Chain 1-2-3 : Supplier – Manufacturer - Distribution Barang sudah jadi yang

dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai harus disalurkan kepada

pelanggan. Penyaluran barang dilakukan melalui distributor. Barang dari

pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor (wholesaler) atau

pedagang besar dalam jumlah besar, dan pedagang besar menyalurkan dalam

jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer.

Chain 1-2-3-4 : Supplier – Manufacturer – Distribution - Retail Outlets

Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri yang digunakan

untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer.

Walaupun ada beberapa pabrik yang langsung menjual barang hasil

produksinya kepada customer, namun secara realtif jumlahnya tidak banyak

dan kebanyakan menggunakan pola seperti di atas.

Chain 1-2-3-4-5 : Supplier – Manufacturer – Distribution – Retailer Outlets –

Customers. Customer merupakan rantai terakhir yang dilalui dalam supply

chain. Para pengecer atau retailers ini menawarkan barangnya langsung

kepada para pelangan atau pembeli atau pengguna barang tersebut.

Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya ingin

memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah,

mengirimkan tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus (Rahmasari, 2011).

Dengan melakukan ukuran performasi supply chain management, sebagai

berikut: Kualitas (tingkat kepuasan pelangan, loyalitas pelanggan, ketepatan

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

9

pengiriman), Waktu (total replenishment time, business cycle time), Biaya

(total delivered cost, efisiensi nilai tambah).

Supply chain Management (SCM) yang merupakan manajemen logistik

era baru, menaungi dan mengintegrasikan seluruh kegiatan-kegiatan yang

diperlukan untuk menghasilkan produk yang memiliki value added dan

diinginkan oleh konsumen. SCM adalah usaha pengelolaan rangkaian

kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah, mentransportasikan bahan

mentah tersebut menjadi barang dalam proses dan barang jadi dan

mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi (Heizer

& Render, 2005). SCM relatif sudah banyak mendapatkan perhatian dari para

akademisi dan praktisi (Kim, 2000; Fu dan Piplani, 2004; Kelle dan Akbulut,

2005; Kuncoro dkk, 2009). SCM sangat diperlukan ketika suatu industri atau

pelaku usaha ingin memenuhi kepuasan pelanggan atas ketersediaan produk

yang dimiliki. Oleh karena itu service level suatu produk menjadi

permasalahan yang penting dalam pertimbangan desain supply chain suatu

industri pertanian. Penyelesaian problem dengan pendekatan SCM dilakukan

sehingga dapat mensinergikan seluruh elemen SCM (Chopra dan Meindl,

2007).

2.2.1 Kinerja Supply Chain Management Perusahaan

Kinerja merupakan kemampuan kerja yang diperlihatkan oleh hasil

kerja. Kinerja perusahaan adalah sesuatu yang dihasilkan perusahaan dalam

masa periode tertentu dengan merujuk pada standar yang telah ditentukan.

Kinerja usaha merujuk pada seberapa banyak perusahaan berorientasi pada

Pasar serta tujuan keuntungan (Rahadi and Rianto, 2012) . Konsep

pengintegrasian aktivitas-aktivitas fisik dalam perusahan dinyatakan oleh

Christopher yang mendefinisikan rantai pasokan sebagai suatu “jaringan

kerja” organisasi yang melibatkan hubungan vertikal ke atas (upstream) dan

hubungan vertikal ke bawah (downstream), dalam proses yang berbeda dan

aktivitas yang berbeda pula yang menghasilkan nilai dalam bentuk produk

dan jasa di tangan konsumen akhir. Kemudian dijelaskan pula oleh (pujawan

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

10

and Mahendrawati, 2010) yaitu Supply chain merupakan jaringan

perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama untuk menciptakan dan

menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Adapun aktivitas-

aktivitas yang tercakup dalam sebuah rantai pasokan antara lain pencarian

sumber, pengadaan, desain produk, perencanaan produksi, penanganan

material, proses pemesanan, pengelolaan persediaan, transportasi,

penggudangan, sampai pada layanan pelanggan (Shankar dikutip oleh

Ariefin, 2004).

Relasi dengan pelanggan/konsumen akhir adalah sebuah keharusan

dalam meraih kesuksesan dalam rantai pasokan, rantai pasokan harus dekat

dengan konsumen akhir mereka untuk membentuk hubungan kerjasama

dalam perencanaan permintaan (Cook dan Graver dalam Bernard, 2011).

Mengelola rantai supply yang sukses menurut Heizer dan Render (2010)

dimulai dari kesepakatan atas tujuan bersama, kepercayaan bersama, dan

dilanjutkan dengan budaya organisasi yang sejalan.

1. Kesepakatan atas tujuan bersama Sebuah rantai pasokan yang terintegrasi

memerlukan kerjasama yang baik dalam hubungan dengan anggotanya.

Anggota rantai pasokan harus menghargai bahwa satu-satunya pihak yang

menanamkan modal pada sebuah rantai pasokan adalah pelanggan akhir. Oleh

karena itu, perlu pemahaman timbal balik mengenai misi, strategi, dan

sasaran dari organisasi. Rantai pasokan yang terintegrasi menambah nilai

ekonomi dan memaksimalkan isi total produk.

2. Kepercayaan Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam rantai

pasokan yang efektif dan efisien. Anggota rantai pasokan harus masuk ke

dalam hubungan dan saling berbagi informasi. Hubugan yang dibangun

didasarkan rasa saling percaya cenderung akan berhasil.

3. Budaya organisasi yang sesuai Sebuah hubungan yang positif di antara

organisasi pembeli dan pemasok dengan budaya organisai yang sesuai, dapat

menjadi keuntungan nyata dalam membuat rantai pasokan menjadi lebih baik.

Dapat disimpulkan bahwa jika kinerja perusahaan semakin meningkat maka

perusahaan semakin dekat dengan target yang ingin dicapai oleh perusahaan

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

11

tersebut, dan tergambar dengan jelas bahwa betapa pentingnya kinerja dari

supply chain management pada perusahaan, hal ini dapat dilihat dari definisi-

definisi yang dikemukakan oleh para ahli.

2.3 Green Supply Chain Management (GrSCM)

Green Supply Chain Management dikenal sebagai konsep yang lebih

baru daripada Supply Chain Management. Green Supply Chain Management

adalah pembangunan berkelanjutan bagi perusahaan yang telah muncul

sebagai pendekatan scm inovatif baru yang penting bagi setiap organisasi

untuk mencapai manfaat secara bersamaan keuangan dan manfaat lingkungan

dalam rangka mengurangi dampak negatif dan resiko dalam lingkungan

(Hock, 2000). GrSCM sebagai sebuah konsep untuk mengintegrasikan

manajemen rantai pasokan dengan berfikir lingkungan yang memiliki tujuan

untuk mengurangi limbah, emisi, energi dan limbah padat. terutama,

manajemen rantai pasokan hijau melibatkan "fase penghijauan" dengan

kegiatan rantai pasokan. sebagai definisi dari manajemen rantai pasokan yang

mencakup semua pihak yang terlibat seperti pemasok, produsen, distributor,

grosir, pengecer dll., yang menambahkan "hijau" di SCM mencakup

serangkaian kegiatan hijau di semua kegiatan SCM mereka (wisner et al.,

2012)

Pelaksanaan GrSCM adalah berbagai istilah dari kerangka konseptual

dan kegiatan buiness. kerangka konseptual di GrSCM telah dilakukan oleh

Chin, Tat et al. (2015), yang menyelidiki hubungan antara praktek GrSCM

dan kolaborasi lingkungan dan keberlanjutan kinerja. praktik GrSCM terlibat

pengadaan hijau, produksi hijau, distribusi hijau dan reverse logistik

sementara kinerja keberlanjutan termasuk lingkungan, kinerja sosial dan

ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan appositive antara faktor-

faktor dari GrSCM dan praktek keberlanjutan kinerja. Banyak penelitian

membahas GrSCM dan membandingkan manfaat dari penerapan manajemen

rantai pasokan hijau dan SCM konvensional. Pada dampak keuangan, itu

membuktikan bahwa ada korelasi yang kuat antara penerapan manufaktur dan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

12

hijau logistik hijau, yang merupakan bagian dari komponen GrSCM dan

kinerja keuangan perusahaan (Tippayawong et al., 2015)

Hal itu juga didukung oleh penelitian oleh Phuah and Fernando (2015)

yang menyatakan bahwa tujuan utama dari aplikasi GrSCM mencapai seluruh

keseimbangan kinerja keuangan dan kinerja lingkungan dari rantai pasokan.

penghematan biaya, menerapkan praktek-praktek GrSCM akan mendapatkan

penghematan biaya yang signifikan dalam bahan dilestarikan, mengurangi air

dan energi yang digunakan dan citra publik yang lebih baik, sementara

mengabaikan "hijau" atau prinsip-prinsip lingkungan dampak SCM pada

kerugian uang harga saham yang lebih rendah (Flamer, 2012)

Rao (2002) menyatakan kegiatan outbond dari GrSCM seperti logistik

cadangan, kemasan ramah lingkungan, eco distribusi dapat menyebabkan

penghematan biaya dan meningkatkan daya saing global. , Apalagi,

transportasi dan biaya distribusi

Saridogan (2012) menemukan bahwa penerapan GrSCM telah

mengurangi biaya transportasi dalam hal konsumsi bahan bakar,

pemeliharaan, perbaikan dan pengeluaran. Penelitian lain (Harja and P., 2014)

menghasilkan bahwa aplikasi sukses dari GrSCM di industri makanan dapat

meningkatkan penghematan biaya transportasi serta efisiensi logistik.

Menurut literatur, ada banyak sudut pandang terkait untuk menentukan

dimensi perlu dilibatkan sebagai menerapkan GrSCM. Lee, Kim et al (2012)

percaya bahwa praktek GrSCM harus mencakup strategi perusahaan strategis

dan operasional seperti manajemen internal lingkungan, pembelian hijau,

manajemen hubungan pelanggan dan eco-design. kemudian sebuah studi oleh

Jr, Zelbst et al (2012) menyarankan bahwa praktek GrSCM perlu

menyertakan manajemen internal lingkungan, sistem informasi hijau,

pembelian hijau, desain eko dan pemulihan investasi. apalagi, ada empat

dimensi aplikasi GrSCM perlu dipertimbangkan seperti pengadaan hijau,

manufaktur hijau, distribusi hijau dan reverse logistik (Thoo et al., 2014).

Berbagai penelitian telah dikemukakan berbagai praktik yang dapat

digunakan untuk mencapai GrSCM. Peneliti lain menyebut mereka GrSCM

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

13

atau kegiatan. Penting untuk dicatat bahwa berbeda organisasi bisa

melaksanakan praktik GrSCM berbeda tergantung pada operasi dan

karakteristik mereka Liu et al (2011) dan sektor industri Huang et al (2012)

.Dheeraj dan Vishal (2012) membahas empat praktik utama GrSCM:Green

Procurement, Green Manufacturing, Green Distribution dan pemasaran dan

Reverse Logistik. Ninlawan, Seksan et al (2010) di sisi lain membahas Green

Procurement , Green manufacturing, Green Distribution, dan Reverse

Logistik (Ngemba and Rasmita, 2011)

Ninlawan et. Al. (2010)

Gambar 2.1 Aktivitas Green Supply Chain Management

Berikut ini adalah penjelasan gambar 2.1 :

1. Green Procurement

Green Procurement didefinisikan sebagai pembelian lingkungan yang

terdiri dari keterlibatan dalam kegiatan yang meliputi pengurangan,

penggunaan kembali dan daur ulang bahan dalam proses pembelian. Selain

pengadaan hijau merupakan solusi untuk bisnis yang peduli lingkungan dan

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

14

ekonomi konservatif, dan konsep memperoleh pilihan produk dan layanan

yang meminimalkan dampak lingkungan (Salam, 2008) . Temuan dalam

kegiatan green procurement disajikan: pemilihan Supplier:

a. bahan pembelian yang memenuhi standar kualitas lingkungan mitra hijau dan

lulus proses audit dalam mengikuti peraturan untuk zat yang berhubungan

dengan lingkungan

b. mempertimbangkan pemasok yang memperoleh ISO14000, OHSAS18000

dan / atau RoHS arahan

c. memilih pemasok yang mengontrol zat berbahaya dalam daftar standar

perusahaan dan memperoleh prestasi sertifikat hijau

2. Green Manufacturing

Green Manufacturing adalah sistem yang mengintegrasikan produk dan

masalah desain proses dengan masalah manufaktur, perencanaan dan

pengendalian sedemikian rupa untuk mengidentifikasi, mengukur, menilai

dan mengelola aliran limbah lingkungan dengan tujuan mengurangi dan

akhirnya mengurangi lingkungan dampak sementara juga mencoba untuk

memaksimalkan sumber daya efisiensi (ginmine, 2015) Temuan dalam

kegiatan manufaktur hijau dari produsen adalah :

a) Kontrol zat berbahaya

b) teknologi hemat energi

3. Green Distribution

Produk yang diproduksi harus mencapai pasar dalam waktu yang telah

ditentukan ; pasar harus diberitahu tentang ketersediaan produk. fitur dan

kemampuan mereka. Ini membutuhkan distribusi dan pemasaran sistem.

penting bahwa masalah lingkungan dilakukan dengan menawarkan produk

ramah lingkungan melalui distribusi ramah lingkungan dan sistem pemasaran.

Green distribution dicapai melalui; kemasan yang ramah lingkungan,

transportasi yang tidak terlalu berpolusi dan logistik (Nimawat dan Namdev,

2012). Menurut Ninlawan, Seksan et al (2010) kemasan ramah lingkungan

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

15

melibatkan kemasan yang dirampingkan dan penggunaan bahan kemasan.

Mereka juga menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan vendor

untuk standarisasi kemasan, mendorong dan mengadopsi metode recycle

kemasan , mempromosikan daur ulang dan penggunaan kembali bahan

kemasan. Fasilitas penyimpanan lain yang penting aspek green distribution.

Fasilitas penyimpanan harus mampu menyimpan berbagai kategori bahan.

Sebagai tambahan, desain dan pembangunan fasilitas penyimpanan harus

memenuhi persyaratan lingkungan non-tercemar, sementara memperkuat

pemeliharaan kelembaban yang baik, korosi, waterproofing antara faktor-

faktor lain (Zheng, 2010)

4. Reverse Logistics

Menurut Nimawat dan Namdev (2012), reverse logistik mengacu pada

peran logistik di pengembalian produk, pengurangan sumber, daur ulang,

bahan substitusi, penggunaan kembali bahan, pembuangan limbah, perbaikan

dan rekondisi. Ini adalah sebuah sistem untuk pemulihan bahan yang

digunakan dan produk. Organisasi dapat menerapkan sebaliknya logistik

melalui daur ulang dan limbah logistik yang dapat dibentuk sesuai dengan

kebutuhan yang sebenarnya untuk koleksi, klasifikasi, pengolahan,

pengemasan, penanganan, penyimpanan, dan distribusi untuk fasilitas

perawatan khusus untuk pengolahan (Zheng, 2010)

Sedangakan menurut Olaf (2013) , reverse logistik melibatkan

kegiatan untuk menghindari kembali, untuk mengurangi bahan dalam sistem

maju sehingga dapat mengurangi aliran bahan kembali dan memastikan

penggunaan kembali dan daur ulang bahan..

2.4 Key Perfomance Indicator (KPI)

Key perfomance indicators (KPI) merupakan seperangkat tindakan yang

berfokus pada aspek – aspek kinerja organisasi yang paling penting untuk

keberhasilan saat ini dan masa depan organisasi KPI berfungsi untuk

mengidentifikasi ukuran kinerja pada objective yang telah dirumuskan

Rangkuti (2010). Dalam konteks bisnis, banyak perusahaan yang telah

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

16

menerpakan KPI juga dapat meyakinkan pencapaian saat ini terhadap

keberhasilan KPI. Pengukuran KPI juga dapat meyakinkan tentang posisi

persaingan kita. Key Perfomance Indicators merupakan indikator yang

memberikan informasi sejauh mana kita telah berhasil mewujudkan target

kerja yang telah kita tetapkan yaitu Indikator KPI harus bersifat terukur.

Harus bisa dihitung/diukur. Kemudian Indikator Key Perfomance Indicators

juga merujuk pada hasil kerja kita (output kerja) selanjutnya Ukuran

keberhasilan harus menunjukkan indikator kinerja yang jelas, spesifik dan

terukur (measurable).

Ghosh (2009) mendefinisikan bahwa semua KPI harus berdampak

keputusan bisnis dalam beberapa skala waktu, tergantung pada jendela waktu

yang tersedia. Yang membuat proses keputusan yang sulit dari keputusan

yang dibuat di bawah tidak ada kendala waktu. Organisasi harus

mengidentifikasi daerah-daerah proses bisnis yang paling penting untuk

keberhasilan keuangan organisasi.

Selanjutnya, KPI dapat dibagi menjadi indikator masa lalu dan indikator

masa depan . Norton (2007) menjelaskan perbedaan antara mereka. Indikator

masa depan adalah metrik yang terutama mengacu pada perkembangan masa

depan dan driver / penyebab. Indikator masa lalu adalah metrik yang terutama

mengacu pada masa lalu perkembangan dan efek / hasil, misalnya

mencerminkan sejarah dan hasil dari tindakan tertentu dan proses. Bauer

(2004) menekankan bahwa salah satu perhatian utama selama pelaksanaan

KPI adalah kemampuan untuk membedakan metrik strategi-driven lebih

penting dari metrik biasa . Pemilihan metrik salah untuk KPI secara

signifikan dapat merusak atau bahkan mengurang inisiatif kinerja manajemen.

Eckerson (2009) dalam makalahnya menyatakan bahwa metrik kuat kekuatan

yang dapat mendorong perubahan dalam suatu organisasi - tetapi hanya jika

metrik yang tepat dikembangkan dan diterapkan. Metrik yang salah dapat

mendatangkan malapetaka pada proses organisasi dan moral para karyawan.

Selanjutnya dijelaskan apa yang menjadi ciri khas “baik” KPI. Menurutnya

poin yang efektif KPI-nya adalah:

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

17

Jarang: Semakin sedikit KPI yang lebih baik.

Detail : Pengguna dapat mengetahui lebih detail.

Sederhana: Pengguna memahami KPI.

Ditindaklanjuti : Pengguna tahu bagaimana mempengaruhi hasil.

Dimiliki: KPI memiliki dan pemilik.

Direferensikan: Pengguna dapat melihat asal-usul dan konteks.

Berkorelasi: KPI dapat berkolerasi untuk mendapat hasil yang diinginkan.

Seimbang: KPI terdiri dari kedua metrik keuangan dan non-keuangan.

Selaras: KPI jangan melemahkan satu sama lain.

Di sisi lain, Hursman (2010) mendefinisikan lima kriteria berikutnya untuk

KPI yang efektif:

Spesifik

terukur

Tercapai

Relevan

Dibatasi waktu

Hursman (2010) secara singkat menjelaskan proses tentang bagaimana

mengembangkan KPI:

Tentukan tujuan perusahaan Anda .

Mengidentifikasi metrik untuk kemajuan kelas terhadap tujuan tersebut.

Cronin (2007) menyatakan isu penting lainnya mengenai KPI. KPI, baik

keuangan dan non-keuangan, adalah elemen penting dari komunikasi yang

efektif dari kemajuan company's menuju nya gol. Memilih KPI yang relevan

membutuhkan pemikiran disejajarkan dengan strategi dan tujuan; sekali ini

dilakukan, pilihan ukuran keberhasilan adalah jelas. Selanjutnya Cronin

(2007) mengatakan bahwa itu adalah tidak pantas untuk menentukan berapa

banyak KPI perusahaan harus memiliki - tapi nya Pengalaman menunjukkan

bahwa ada kunci untuk sebagian besar organisasi antara empat dan sepuluh

langkah.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

18

Harvey (2005) menegaskan bahwa tidak pedulibagaimana KPI digunakan,

mereka harus mencerminkan strategi bisnis dan dirumuskan secara berkala

untuk beradaptasi dengan perubahan kewirausahaan lingkungan Hidup.

Prioritas untuk organisasi adalah dengan menggunakan KPI dalam konteks

bisnis setiap saat, untuk mengukur margin pelanggan dan layanan, membuat

keputusan bisnis yang efektif dan menawarkan menarik proposisi pelanggan

untuk menggerakkan bisnis ke depan.

2.5 SCOR dan GreenSCOR

Salah satu metode pengukuran kinerja yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi kinerja supply chain adalah metode Supply Chain Operations

Reference (SCOR). Perbedaan metode SCOR dengan metode pengukuran

kinerja antara lain seperti balanced scorecard (BSC), performance prism dan

integrated performance measurement system (IPMS), terletak pada fokus area

pengukuran. Metode pengukuran, seperti BSC, IPMS, dan performance prism

hanya berfokus pada aktivitas-aktivitas internal perusahaan saja. Sedangkan

metode SCOR mengukur aktivitas perusahaan dari hulu sampai hilir

(Rosenbaum, 2003).

Penggunaan metode SCOR dapat membantu perusahaan meningkatkan

kinerja SC dengan menganalisis secara komprehensif dari hulu hingga hilir.

Dalam perkembangannya, metode SCOR diintegrasikan dengan metode

Analytic Hierarchy Process (AHP). Penelitian yang dilakukan oleh Huan et al

(2004) ini, menggunakan AHP sebagai alat bantu hitung dalam proses

pengukuran performa SCM sebuah perusahaan. Alasan digunakannya AHP

sebagai alat bantu dalam SCOR adalah karena perusahaan membutuhkan

sebuah metode yang dapat mengkuantifikasikan suatu tujuan tertentu. Hal ini

berhubungan dengan tujuan perusahaan dalam memperbaiki dan

meningkatkan performanya.

Model Green Supply Chain Operations Reference (GSCOR)

dikembangkan oleh kelompok perusahaan yang bergabung dalam Supply

Chain Council. SCOR adalah suatu kerangka untuk menggambarkan aktivitas

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

19

bisnis antar komponen rantai pasok mulai dari hulu (suppliers) hingga ke hilir

(customers) untuk memenuhi permintaan pelanggan dan tujuan dari rantai

pasok. Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen

yaitu business process reengineering, benchmarking, dan process

measurement ke dalam kerangka lalu lintas fungsi dalam supply chain. Model

SCOR memiliki 5 komponen utama dalam mengelola suatu proses yaitu Plan,

Source, Make, Deliver, dan Return. Kerangka SCOR menyediakan berbagai

variasi ukuran kinerja untuk mengevaluasi rantai pasok yang disusun dalam

beberapa tingkatan metrik ukuran yang berasosiasi pada salah satu dari atribut

kinerja, yaitu: Reliability, Responsiveness, Flexibility, Cost, dan Asset.

Dengan melakukan analisis dan penjabaran proses, model SCOR dapat

mengukur kinerja supply chain secara obyektif berdasarkan data dan dapat

mengidentifikasi di mana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan

keunggulan bersaing. Implementasi SCOR tentu saja membutuhkan usaha

yang tidak sedikit untuk menggambarkan proses bisnis saat ini maupun

mendefinisikan proses yang diinginkan.

Model Green SCOR merupakan pengembangan dari model SCOR yang

telah ada sebelumnya. Model ini merupakan pengembangan dari model

SCOR dengan menambahkan beberapa pertimbangan yang terkait dengan

lingkungan di dalamnya. Dengan demikian model ini dijadikan alat untuk

mengelola dampak lingkungan dari suatu rantai pasok. Karena berbasis pada

model SCOR, model ini juga memiliki 5 komponen utama yang sama seperti

pada model SCOR yaitu Plan, Source, Make, Deliver, dan Return serta

memiliki atribut kerja yang sama seperti model SCOR yaitu Reliability,

Responsiveness, Flexibility, Cost, dan Asset. Akan tetapi pada model green

SCOR semua hal tersebut memiliki arti yang berbeda karena pada model ini

semua hal tersebut terkait dengan lingkungan.

Menurut LMI (2003), konsep dari Green Supply Chain Operations

Reference (GSCOR) cukup sederhana karena merupakan modifikasi dari

model Supply Chain Operations Reference (SCOR) dan manajemen rantai

pasokan yang dibangun dengan memasukkan unsur-unsur sistem manajemen

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

20

lingkungan. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu alat analisis yang

memberikan gambaran tentang hubungan antara fungsi rantai pasokan dengan

aspek lingkungan agar tercipta peningkatan kinerja manajemen diantara

keduanya. Sebagai dasar untuk membangun GSCM maka digunakanlah

pendekatan SCOR, yang kini alat pengukurannya disebut dengan GSCOR.

Keuntungan dalam menggunakan pendekatan GSCM, antara lain adalah (1)

meningkatkan kinerja manajemen lingkungan, (2) meningkatkan kinerja

manajemen rantai pasokan, dan (3) meningkatkan inisiatif terhadap GSCM.

Gambar struktur model GSCOR dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Sumber : (LMI 2003)

Gambar 2.2 struktur model GSCOR

2.6 Analytical Hierarcy Process (AHP)

Metode AHP digunakan untuk mencari proses SC yang harus

diprioritaskan Rosenbaum (2003) menyatakan bahwa supply chain perlu

diukur untuk memastikan keberhasilan dari perencanaan. Metode yang dapat

digunakan untuk pengukuran supply chain adalah SCOR. SCOR memiliki

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

21

performance attribute yang merupakan satu sel atribut yang digunakan untuk

menilai proses rantai suplai dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Peralatan utama AHP adalah sebuah hierarki fungsional

dengan inpututamanya persepsi manusia. Keberadaan hierarki memungkinkan

dipecahnya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub – sub

masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hierarki (Kusrini, 2007).

Konsep dasar AHP adalah penggunaan matriks pairwise

comparison (,atriks perbandingan berpasangan) untuk menghasilkan bobot

relative antar kriteria maupun alternative. Suatu kriteria akan dibandingkan

dengan kriteria lainnya dalam hal seberapa penting terhadap pencapaian

tujuan di atasnya (Saaty, 1993).

Tabel 2. 1 Skala dasar perbandingan berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi Keterangan

1 Sama Pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh

yang sama

3 Sedikit lebih

penting

Pengalaman dan penilaian sangat

memihak satu elemen dibandingkan

dengan pasangannya

5 Lebih Penting

Satu elemen sangat disukai dan secara

praktis dominasinya sangat nyata,

dibandingkan dengan elemen

pasangannya.

7 Sangat Penting

Satu elemen terbukti sangat disukai

dan secara praktis dominasinya sangat

nyata, dibandingkan dengan elemen

pasangannya.

9 Mutlak lebih

penting

Satu elemen terbukti mutlak lebih

disukai dibandingkan dengan

pasangannya, pada keyakinan tertinggi.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

22

2,4,6,8 Nilai Tengah

Diberikan bila terdapat keraguan

penilaian di antara dua tingkat

kepentingan yang berdekatan.

(Sumber : Saaty, 1993)

Penilaian dalam membandingkan antara satu kriteria dengan kriteria

yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada

ketidak konsistensian. Saaty (1993) telah membuktikan

bahwa indeks konsistensi dari matrik ber ordo n dapat diperoleh dengan

rumus :

CI = (λmaks-n)/(n-1)................................................... (1)

Dimana :

CI = Indeks Konsistensi (Consistency Index)

λmaks = Nilai eigen terbesar dari matrik berordo n

Nilai eigen terbesar didapat dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah

kolom dengan eigen vector. Batas ketidak konsistensian di ukur dengan

menggunakan rasio konsistensi (CR), yakni perbandingan indeks konsistensi

(CI) dengan nilai pembangkit random (RI). Nilai ini bergantung pada ordo

matrik n.

Rasio konsistensi dapat dirumuskan :

CR = CI/RI............................................................... (2)

Bila nilai CR lebih kecil dari 10%, ketidak konsistensian pendapat masih

dianggap dapat diterima.

Tabel 2. 2 Daftar Indeks random konsistensi (RI)

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59

Analytical Hierarchy Process dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,

seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk

mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

23

menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan

memecahkan persoalan tersebut kedalam bagianbagiannya, menata bagian

atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada

pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis

berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang

memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil

pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan

yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang

berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna

mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan

kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai

persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi

hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang

dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat. (Saaty, 1993)

Metode AHP memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah:

Struktur yang berhierarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih

sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, Memperhitungkan validitas

sampai batas toleransi inkonsentrasi sebagai kriteria dan alternatif yang

dipilih oleh para pengambil keputusan dan memperhitungkan daya tahan atau

ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan Metode

pairwise comparison AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan

masalah yang diteliti multi obyek dan multi kriteria yang berdasar pada

perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki.

Jadi model ini merupakan model yang komperehensif. Pembuat

keputusan menetukan pilihan atas pasangan perbandingan yang sederhana,

membangun semua prioritas untuk urutan alternatif. Pairwaise comparison

AHP menggunakan data yang ada bersifat kualitatif berdasarkan pada

persepsi, pengalaman, intuisi sehigga dirasakan dan diamati, namun

kelengkapan data numerik tidak menunjang untuk memodelkan secara

kuantitatif. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah ketergantungan

model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

24

ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga

model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang

keliru. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara

statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang

terbentuk.

Adapun langkah – langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah

sebagai berikut (Saaty, 1993):

1. Mendefinisikan permasalahan dan penentuan tujuan. Jika AHP digunakan

untuk memilih alternatif atau menyusun prioriras alternatif, pada tahap ini

dilakukan pengembangan alternatif.

2 Menyusun masalah kedalam hierarki sehingga permasalahan yang

kompleks dapat ditinjau dari sisi yang detail dan terukur.

3. Penyusunan prioritas untuk tiap elemen masalah pada hierarki. Proses ini

menghasilkan bobot atau kontribusi elemen terhadap pencapaian tujuan

sehingga elemen dengan bobot tertinggi memiliki prioritas penanganan.

Prioritas dihasilkan dari suatu matriks perbandingan berpasangan antara

seluruh elemen pada tingkat hierarki yang sama.

4. Melakukan pengujian konsitensi terhadap perbandingan antar elemen yang

didapatan pada tiap tingkat hierarki.

Setelah dilakukan pengolahan tersebut, maka dapat disimpulkan adanya

konsistensi dengan tidak, bila data tidak konsisten maka diulangi lagi dengan

pengambilan data seperti semula.

2.7 Scoring System dengan metode Objective Matrix (OMAX)

Scoring system dilakukan untuk mengetahui nilai pencapaian terhadap

target yang telah ditentukan bagi setiap indikator kinerja Vanany (2009).

Sebelum dilakukan penilaian dilakukan penentuan jenis skor telebih dahulu

Adapun 2 macam skor yang dikenakan pada KPI adalah sebagai berikut :

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

25

Smaller is Better Untuk proses pengukuran ini berdasarkan nilai ukur

data dimana untuk penilaian semakin rendah nilainya kualitasnya

semakin baik.

Larger the Better Untuk proses pengukuran ini berdasarkan nilai ukur

data dimana untuk penilaian semakin besar nilainya kualias semakin

baik.

Objective Matrix (OMAX) adalah suatu sistem pengukuran produktivitas

parsial yang dikembangkan untuk memantau produktivitas disetiap bagian

perusahaan dengan kriteria produktivitas yang sesuai dengan keberadaan

bagian tersebut (objective). Model ini dikembangkan oleh Dr. James L. Riggs

(Department of Industrial Engineering di Oregon State University). OMAX

diperkenalkan pada tahun 80-an di Amerika Serikat. Model pengukuran ini

mempunyai ciri yang unik, yaitu kriteria performansi kelompok kerja

digabungkan ke dalam suatu matriks. Setiap kriteria performansi memiliki

sasaran berupa jalur khusus menu perbaikan serta memiliki bobot sesuai

dengan tingkat kepentingan terhadap tujuan produktivitas. Hasil akhir dari

pengukuran ini adalah nilai tunggal untuk kelompok kerja. Dalam OMAX

diharapkan aktivitas seluruh personal perusahaan turut menilai, memperbaiki,

dan mempertahankan performansi unitnya, karena sistem ini merupakan

sistem pungukuran yang diserahkan langsung ke bagaian-bagian/unit.

Kegunaan dari OMAX adalah:Sebagai sarana pengukuran produktivitas,

Sebagai alat bantu pemecahan masalah produktivitas dan Alat pemantau

pertumbuhan produktivitas

Langkah–langkah yang harus dilakukan dalam penyelesaian pemodelan

OMAX antara lain(Ngemba and Rasmita, 2011) :

1. Defining

langkah ini dilakukan pendefinisian dari kriteria produktivitas yang ingin

diteliti. Kriteria ini sebaiknya independen dan mudah diukur. Ada dua

pengukuran dan pengambilan data yang harus ditetapkan yaitu; kriteria

produktifitas adalah kriteria yang menjadi tolak ukur produktifitas pada

bagian dari pekerjaan tersbut. Sedangkan performansi adalah nilai tiap

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

26

produktifitas berdasarkan pengukuran selama periode yang ditetapkan. Dalam

Penelitian ini kriteria dan rasio yang digunakan adalah kuantitas yaitu output

/jam kerja ; kuantitas adalah jumlah pelayanan yang disediakan ; waktu yaitu

total waktu tunggu / ttal waktu yang tersedia ; dan utilisasi adalah tenaga

kerja actual / tenaga kerja standar.

2. Quantifying

Quantifying adalah badan dari matriks yang berisi tentang tingkat

pencapaian dari kriteria produktivitas. Skala penilaian meliputi ; level 10

merupakan tingkat pencapaian realitias optimal yang mungkin dicapai. Level

3 merupakan tingkat performansi pada waktu awal pengukuran. Level 0

merupakan tingkat terburuk yang mungkin terjadi. Diantara level 0 samapai

dengan level 10 terdapat level 1-9 yang mempunyai kisaran pencapaian dari

nilai terjelek sampai nilaio optimal. Level 1 dan 2 diperoleh dari interpolasi

nilai level 1 dan 3; level 4-9 diperoleh dari interpolasi nilai level 3 dan 10.

3. Monitoring

pada dasarnya adalah perhitungan dari performance indicator (indikasi

unjuk kerja), hasil dari perhitungan ini terletak dibagian paling bawah dari

matriks, Pengamatan terdiri : Score (Skor) Nilai level dimana nilai

pengukuran produktivitas berada. Misalnya, jika output / jam sama dengan

100 terletak pada level 5, maka skor untuk pengukuran itu adalah 5. Jika

terdapat pengukuran yang tidak tepat sesuai dengan angka pada matriks,

maka harus dilakukan pembulatan kebawah.

4. Weight (Bobot)

Besarnya bobot dari setiap kriteria mempunyai pengaruh yang berbeda-

beda terhadap tingkat produktivitas yang diukur, maka dari itu perlu dicatat

prosentase kepentingan total produktivitas. Bobot ini yang nantinya akan

diukur menggunakan metode AHP.

5. Value (Nilai)

Nilai yang dihasilkan dari perkalian skor pada criteria tertentu dengan

bobot criteria tersebut.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

27

Adapun tabel yang digunakan dalam penilaian OMAX adalah sebagai

berikut :

Skala Penilaian OMAX

Sumber : Riggs and james (1987)

Gambar 2.3 Skala Penilaian OMAX

Berikut ini adalah penjelasan gambar dari 2.3

A

B

C

Bagian A,

1. bagian defining atau faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan.

2. Baris kedua (performance) merupakan hasil pencapaian kinerja perusahaan

pada masing-masing KPI tersebut.

Bagian B, bagian quantifying, pembagian level pencapaian kinerja dari level 10

(tertinggi) hingga level terendah atau nol.

3. Level 10 adalah level pencapaian tertinggi atau merupakan target yang telah

ditetapkan oleh perusahaan.

4. Tingkat pencapaian awal matriks dioperasikan (pencapaian kinerja perusahan

sebelumnya) diletakkan pada level 3,

5.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

28

Bagian C, bagian monitoring, sebagai analisa terhadap level, weight dan

value untuk masing-masing KPI.

– Baris level atau score diisikan sesuai dengan posisi level

pencapaian KPI yang telah ditentukan pada bagian B.

– Baris weigth diisi sesuai dengan bobot masing-masing KPI yang

diisi oleh pihak perusahaan.

– Baris value merupakan hasil penilaian atau pengalian antara baris

level dengan bobot masing-masing KPI.

Index, hasil penjumlahan seluruh nilai (value) dari setiap kriteria yang

menyatakan indikator pencapaian kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja

dapat ditentukan dari besarnya kenaikan indicator pencapaian bila

dibandingkan dengan pengukuran periode sebelumnya.

2.7.1 Kelebihan Metode OMAX

Pengukuran produktivitas dapat menjadi suatu hal yang menyulitkan

karena adanya beberapa hal yang harus dilibatkan seperti rasio-rasio, indeks,

persentase dan lain-lain.. Hasil perpaduan beberapa ukuran keberhasilan atau

kriteria produktivitas ini kemudian dinilai ke dalam satu indikator atau indeks

yang berguna untuk : Memperlihatkan sasaran atau target peningkatan

produktivitas, Alat peringatan dalam pengambilan keputusan bagi

peningkatan produktivitas, Mengetahui posisi dalam pencapaian target.

Adapun Kelebihan model OMAX dibandingkan dengan model pengukuran

produktivitas yang lainnya yaitu (Nasution, 2005) :

1. Model ini memungkinkan menjalankan aktivitas-aktivitas perencanaan,

pengukuran, penilaian dan peningkatan produktivitas sekaligus.

2. Adanya sasaran produktivitas yang jelas dan mudah dimengerti yang akan

memberi motivasi bagi karyawan untuk mencapainya.

3. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas dapat

diidentifikasikan dengan baik dan dapat dikuantifikasikan.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

29

4. Adanya pengertian bobot yang mencerminkan pengaruh masing-masing

faktor terhadap peningkatan produktivitas yang penentuannya memerlukan

persetujuan manajemen.

5. Model ini menggabungkan seluruh faktor yang berpengaruh terhadap

peningkatan produktivitas dan dinilai ke dalam satu indikator atau indeks.

6. Bentuk model ini fleksibel, tergantung lingkungan mana diterapkan. Dalam

hal ini juga berarti bahwa data-data yang diperlukan dalam model ini mudah

diperoleh di lingkungan perusahaan dimana model ini digunakan.

Adapun Tiga aspek yang penting dalam pengukuran OMAX yaitu :

Awareness (kesadaran), Improvement (peningkatan) dan Maintenance

(pemeliharaan). (Nasution, 2005)

2.8 Traffic Light System (TLS)

Traffic Light System adalah suatu metode yang digunakan untuk

mempermudah dalam memahami pencapaian kinerja perusahaan dengan

bantuan tiga kategori warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Batas dari

masing-masing kategori warna tersebut, ditetapkan melalui hasil diskusi

dengan pihak perusahaan. Kategori warna tersebut dapat mempermudah

pihak perusahaan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan yang sesuai dengan

target maupun yang tidak mencapai target. Adapun batasan – batasan menurut

Nurcahyanie (2008) adalah sebagai berikut :

1. Warna merah menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas nol

hingga tiga kategori ini tergolong pada penilaian performa kurang baik, yang

realisasinya berada di bawah target yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

2. Warna kuning menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas empat

hingga tujuh yang berarti kinerja perusahaan tergolong pada penilaian

performa yang cukup atau yang realisasinya belum mencapai target

maksimum.

3. Warna hijau menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas delapan

hingga sepuluh yang berarti kinerja perusahaan telah mencapai performa yang

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerja Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan

30

diharapkan. Golongan yang berwarna hijau ini sangat baik, karena telah

mencapai target maksimum yang telah ditetapkan oleh perusahaan.