BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kinerjaeprints.umm.ac.id/43760/3/BAB II.pdf4 BAB II LANDASAN...
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengukuran Kinerja
Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran
kinerja sebagai:“the activity of measuring the performance of an activity or
the entire value chain.”
Kemudian Kinerja menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti “suatu
yang dicapai” atau prestasi yang dicapai atau diperlihatkan sehingga kinerja
dapat diartikan sebagai prestasi kinerja oleh organisasi publik. Sedangkan
pengukuran kinerja menurut Donelly Gibson dan Irnacevich (1994) adalah
suatu tingkatan keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja itu sendiri dapat
dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan
baik.
Sedangkan menurut Tangen (2005), sistem pengukuran kinerja yang
baik adalah sekumpulan ukuran kinerja yang menyediakan perusahaan
dengan informasi yang berguna, sehingga membantu mengelola, mengontrol,
merencanakan, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
perusahaan. Dengan adanya pengukuran kinerja maka perusahaan diharapkan
mampu bertahan dan mengikuti persaingan dan perkembangan yang ada.
Sistem pengukuran kinerja dikelompokkan menjadi tiga sistem, yaitu:
1. Kelompok Pertama “Fully Integrated” Sistem pengukuran kinerja pada
kelompok ini merupakan system pengukuran yang paling baik (advanced),
yang mana banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sistem ini mampu
menjelaskan hubungan kausal yang melintasi organisasi. Kebutuhan dari
seluruh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dipertimbangkan.
Database dan system pelaporan harus terintegrasi satu dengan yang lainnya.
2. kelompok Kedua “Balanced” Sistem ini mampu melihat kinerja dari
pandangan yang multidimensi, dari perspektif dan horizon waktu yang
berbeda. Sistem ini mendukung inovasi dan pembelajaran dan berorientasi
5
3. pelanggan. Tujuan dari system ini adalah lebih kepada memperbaiki
dibandingkan dengan memonitornya.
4. Kelompok Ketiga “Mostly Financial” Kelompok ketiga merepresentasikan
sistem pengukuran kinerja yang berbasiskan pengukuran kinerja tradisional,
seperti ROI, aliran kas, dan produktifitas pekerja. Sistem ini berorientasi pada
profit dan optimasi berdasarkan efisiensi biaya dan pada umumnya hasilnya
berorientasi jangka pendek.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran
kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap berbagai
aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan/organisasi publik. Hasil
pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan
memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di
mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian tersebut
2.1.1 Tujuan Pengukuran Kinerja
Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan
dalam mencapai sasaran organisai dan mematuhi standar perilaku yang telah
ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan. Dalam
hal ini Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah menurut
Mulyadi & Setiawan ( 1999) :
1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh
personil terlibat dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan.
2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata
rantai pelanggan dan emasok internal.
3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya
pengurangan terhadap pemborosan tersebut.
4. Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih
kongkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran perusahaan.
6
2.2 Supply Chain Management
Daft (2003) mendefinisikan supply chain management sebagai istilah bagi
pengelolaan rantai pemasok dan pembeli, yang mencakup semua tahap
pemrosesan dari pembelian bahan baku sampai pendistribusian barang jadi
kepada konsumen akhir. Supply chain management (manajemen rantai
pasokan) adalah integrasi aktivitas pengadaan bahan dan pelayanan,
pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman
ke pelanggan Heizer and Render (2010).
Simchi-Levi, Kaminsky et al (2004) menyatakan manajemen rantai
pasokan sebagai sebuah pendekatan yang diterapkan untuk menyatukan
pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya (distributor,
retailer, dan pengecer) secara efisien, sehingga produk dapat dihasilkan dan
distribusikan dengan jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, dan waktu yang
tepat untuk menurunkan biaya dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Definisi
tersebut didasarkan atas beberapa hal yaitu Manajemen rantai pasokan yang
perlu mempertimbangkan bahwa semua kegiatan mulai dari pemasok,
manufaktur, gudang, distributor, retailer, sampai ke pengecer berdampak pada
biaya produk yang diproduksi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan
tujuan dari manajemen rantai pasokan adalah agar total biaya dari semua
bagian, mulai dari transportasi dan distribusi persediaan bahan baku, barang
dalam proses, dan barang jadi menjadi lebih efektif dan efisien sehingga
mengurangi biaya. Kemudian manajemen rantai pasokan berputar pada
integrasi yang efisien dari pemasok, manufaktur, gudang, distributor, retailer,
dan pengecer yang mencakup semua aktivitas perusahaan, mulai dari tingkat
strategis sampai tingkat taktik operasional. Pada supply chain biasanya ada
tiga macam aliran yang harus dikelola yaitu Aliran barang/material yang
mengalir dari hulu ke hilir, Aliran uang/financial, yang mengalir dari hilir ke
hulu. Dan aliran informasi, yang mengalir dari hulu ke hilir atau sebaliknya.
Finansial : invoice,term pembayaran Material : bahan baku, komponen,
produk jadi Informasi : kapasitas, status pengiriman,kuantitas Finansial :
7
pembayaran Material : retur, recycle, repair Informasi : order, ramalan untuk
lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2
Sumber : pujawan and Mahendrawati (2010)
Gambar 2.2 Simplikasi model supply chain dan 3 macam aliran yang dikelola
Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya memuaskan
konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan
tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Ukuran performansi Supply
Chain Management, meliputi: Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas
pelanggan, ketepatan pengiriman),Waktu (total replenishment time, business
cycle time), Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah) dan
Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi)
Supply Chain Management juga bisa diartikan jaringan organisasi yang
menyangkut hubungan ke hulu (upstream) dan ke hilir (downstream), dalam
proses yang berbeda dan menghasilkan nilai dalam bentuk barang/jasa di
tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user). Dalam supply chain
ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang
mempunyai kepentingan yang sama menurut Indrajit and Jokopranoto (2002)
yaitu:
Chain 1 : Suppliers Merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama.
Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan
penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang, dan sebagainya.
8
Chain 1-2 : Suppliers - Manufacturer Manufacturer atau bentuk lain yang
melakukan pekerjaan membuat, mempabrikasi, mengasembling, merakit, dan
mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan
kedua rantai tersebut sudah mempunyai potensi untuk melakukan
penghematan. Penghematan dapat diperoleh dari inventories bahan baku,
bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers,
manufacturer, dan tempat transit merupakan target untuk penghematan ini.
Chain 1-2-3 : Supplier – Manufacturer - Distribution Barang sudah jadi yang
dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai harus disalurkan kepada
pelanggan. Penyaluran barang dilakukan melalui distributor. Barang dari
pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor (wholesaler) atau
pedagang besar dalam jumlah besar, dan pedagang besar menyalurkan dalam
jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer.
Chain 1-2-3-4 : Supplier – Manufacturer – Distribution - Retail Outlets
Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri yang digunakan
untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer.
Walaupun ada beberapa pabrik yang langsung menjual barang hasil
produksinya kepada customer, namun secara realtif jumlahnya tidak banyak
dan kebanyakan menggunakan pola seperti di atas.
Chain 1-2-3-4-5 : Supplier – Manufacturer – Distribution – Retailer Outlets –
Customers. Customer merupakan rantai terakhir yang dilalui dalam supply
chain. Para pengecer atau retailers ini menawarkan barangnya langsung
kepada para pelangan atau pembeli atau pengguna barang tersebut.
Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya ingin
memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah,
mengirimkan tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus (Rahmasari, 2011).
Dengan melakukan ukuran performasi supply chain management, sebagai
berikut: Kualitas (tingkat kepuasan pelangan, loyalitas pelanggan, ketepatan
9
pengiriman), Waktu (total replenishment time, business cycle time), Biaya
(total delivered cost, efisiensi nilai tambah).
Supply chain Management (SCM) yang merupakan manajemen logistik
era baru, menaungi dan mengintegrasikan seluruh kegiatan-kegiatan yang
diperlukan untuk menghasilkan produk yang memiliki value added dan
diinginkan oleh konsumen. SCM adalah usaha pengelolaan rangkaian
kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah, mentransportasikan bahan
mentah tersebut menjadi barang dalam proses dan barang jadi dan
mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi (Heizer
& Render, 2005). SCM relatif sudah banyak mendapatkan perhatian dari para
akademisi dan praktisi (Kim, 2000; Fu dan Piplani, 2004; Kelle dan Akbulut,
2005; Kuncoro dkk, 2009). SCM sangat diperlukan ketika suatu industri atau
pelaku usaha ingin memenuhi kepuasan pelanggan atas ketersediaan produk
yang dimiliki. Oleh karena itu service level suatu produk menjadi
permasalahan yang penting dalam pertimbangan desain supply chain suatu
industri pertanian. Penyelesaian problem dengan pendekatan SCM dilakukan
sehingga dapat mensinergikan seluruh elemen SCM (Chopra dan Meindl,
2007).
2.2.1 Kinerja Supply Chain Management Perusahaan
Kinerja merupakan kemampuan kerja yang diperlihatkan oleh hasil
kerja. Kinerja perusahaan adalah sesuatu yang dihasilkan perusahaan dalam
masa periode tertentu dengan merujuk pada standar yang telah ditentukan.
Kinerja usaha merujuk pada seberapa banyak perusahaan berorientasi pada
Pasar serta tujuan keuntungan (Rahadi and Rianto, 2012) . Konsep
pengintegrasian aktivitas-aktivitas fisik dalam perusahan dinyatakan oleh
Christopher yang mendefinisikan rantai pasokan sebagai suatu “jaringan
kerja” organisasi yang melibatkan hubungan vertikal ke atas (upstream) dan
hubungan vertikal ke bawah (downstream), dalam proses yang berbeda dan
aktivitas yang berbeda pula yang menghasilkan nilai dalam bentuk produk
dan jasa di tangan konsumen akhir. Kemudian dijelaskan pula oleh (pujawan
10
and Mahendrawati, 2010) yaitu Supply chain merupakan jaringan
perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama untuk menciptakan dan
menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Adapun aktivitas-
aktivitas yang tercakup dalam sebuah rantai pasokan antara lain pencarian
sumber, pengadaan, desain produk, perencanaan produksi, penanganan
material, proses pemesanan, pengelolaan persediaan, transportasi,
penggudangan, sampai pada layanan pelanggan (Shankar dikutip oleh
Ariefin, 2004).
Relasi dengan pelanggan/konsumen akhir adalah sebuah keharusan
dalam meraih kesuksesan dalam rantai pasokan, rantai pasokan harus dekat
dengan konsumen akhir mereka untuk membentuk hubungan kerjasama
dalam perencanaan permintaan (Cook dan Graver dalam Bernard, 2011).
Mengelola rantai supply yang sukses menurut Heizer dan Render (2010)
dimulai dari kesepakatan atas tujuan bersama, kepercayaan bersama, dan
dilanjutkan dengan budaya organisasi yang sejalan.
1. Kesepakatan atas tujuan bersama Sebuah rantai pasokan yang terintegrasi
memerlukan kerjasama yang baik dalam hubungan dengan anggotanya.
Anggota rantai pasokan harus menghargai bahwa satu-satunya pihak yang
menanamkan modal pada sebuah rantai pasokan adalah pelanggan akhir. Oleh
karena itu, perlu pemahaman timbal balik mengenai misi, strategi, dan
sasaran dari organisasi. Rantai pasokan yang terintegrasi menambah nilai
ekonomi dan memaksimalkan isi total produk.
2. Kepercayaan Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam rantai
pasokan yang efektif dan efisien. Anggota rantai pasokan harus masuk ke
dalam hubungan dan saling berbagi informasi. Hubugan yang dibangun
didasarkan rasa saling percaya cenderung akan berhasil.
3. Budaya organisasi yang sesuai Sebuah hubungan yang positif di antara
organisasi pembeli dan pemasok dengan budaya organisai yang sesuai, dapat
menjadi keuntungan nyata dalam membuat rantai pasokan menjadi lebih baik.
Dapat disimpulkan bahwa jika kinerja perusahaan semakin meningkat maka
perusahaan semakin dekat dengan target yang ingin dicapai oleh perusahaan
11
tersebut, dan tergambar dengan jelas bahwa betapa pentingnya kinerja dari
supply chain management pada perusahaan, hal ini dapat dilihat dari definisi-
definisi yang dikemukakan oleh para ahli.
2.3 Green Supply Chain Management (GrSCM)
Green Supply Chain Management dikenal sebagai konsep yang lebih
baru daripada Supply Chain Management. Green Supply Chain Management
adalah pembangunan berkelanjutan bagi perusahaan yang telah muncul
sebagai pendekatan scm inovatif baru yang penting bagi setiap organisasi
untuk mencapai manfaat secara bersamaan keuangan dan manfaat lingkungan
dalam rangka mengurangi dampak negatif dan resiko dalam lingkungan
(Hock, 2000). GrSCM sebagai sebuah konsep untuk mengintegrasikan
manajemen rantai pasokan dengan berfikir lingkungan yang memiliki tujuan
untuk mengurangi limbah, emisi, energi dan limbah padat. terutama,
manajemen rantai pasokan hijau melibatkan "fase penghijauan" dengan
kegiatan rantai pasokan. sebagai definisi dari manajemen rantai pasokan yang
mencakup semua pihak yang terlibat seperti pemasok, produsen, distributor,
grosir, pengecer dll., yang menambahkan "hijau" di SCM mencakup
serangkaian kegiatan hijau di semua kegiatan SCM mereka (wisner et al.,
2012)
Pelaksanaan GrSCM adalah berbagai istilah dari kerangka konseptual
dan kegiatan buiness. kerangka konseptual di GrSCM telah dilakukan oleh
Chin, Tat et al. (2015), yang menyelidiki hubungan antara praktek GrSCM
dan kolaborasi lingkungan dan keberlanjutan kinerja. praktik GrSCM terlibat
pengadaan hijau, produksi hijau, distribusi hijau dan reverse logistik
sementara kinerja keberlanjutan termasuk lingkungan, kinerja sosial dan
ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan appositive antara faktor-
faktor dari GrSCM dan praktek keberlanjutan kinerja. Banyak penelitian
membahas GrSCM dan membandingkan manfaat dari penerapan manajemen
rantai pasokan hijau dan SCM konvensional. Pada dampak keuangan, itu
membuktikan bahwa ada korelasi yang kuat antara penerapan manufaktur dan
12
hijau logistik hijau, yang merupakan bagian dari komponen GrSCM dan
kinerja keuangan perusahaan (Tippayawong et al., 2015)
Hal itu juga didukung oleh penelitian oleh Phuah and Fernando (2015)
yang menyatakan bahwa tujuan utama dari aplikasi GrSCM mencapai seluruh
keseimbangan kinerja keuangan dan kinerja lingkungan dari rantai pasokan.
penghematan biaya, menerapkan praktek-praktek GrSCM akan mendapatkan
penghematan biaya yang signifikan dalam bahan dilestarikan, mengurangi air
dan energi yang digunakan dan citra publik yang lebih baik, sementara
mengabaikan "hijau" atau prinsip-prinsip lingkungan dampak SCM pada
kerugian uang harga saham yang lebih rendah (Flamer, 2012)
Rao (2002) menyatakan kegiatan outbond dari GrSCM seperti logistik
cadangan, kemasan ramah lingkungan, eco distribusi dapat menyebabkan
penghematan biaya dan meningkatkan daya saing global. , Apalagi,
transportasi dan biaya distribusi
Saridogan (2012) menemukan bahwa penerapan GrSCM telah
mengurangi biaya transportasi dalam hal konsumsi bahan bakar,
pemeliharaan, perbaikan dan pengeluaran. Penelitian lain (Harja and P., 2014)
menghasilkan bahwa aplikasi sukses dari GrSCM di industri makanan dapat
meningkatkan penghematan biaya transportasi serta efisiensi logistik.
Menurut literatur, ada banyak sudut pandang terkait untuk menentukan
dimensi perlu dilibatkan sebagai menerapkan GrSCM. Lee, Kim et al (2012)
percaya bahwa praktek GrSCM harus mencakup strategi perusahaan strategis
dan operasional seperti manajemen internal lingkungan, pembelian hijau,
manajemen hubungan pelanggan dan eco-design. kemudian sebuah studi oleh
Jr, Zelbst et al (2012) menyarankan bahwa praktek GrSCM perlu
menyertakan manajemen internal lingkungan, sistem informasi hijau,
pembelian hijau, desain eko dan pemulihan investasi. apalagi, ada empat
dimensi aplikasi GrSCM perlu dipertimbangkan seperti pengadaan hijau,
manufaktur hijau, distribusi hijau dan reverse logistik (Thoo et al., 2014).
Berbagai penelitian telah dikemukakan berbagai praktik yang dapat
digunakan untuk mencapai GrSCM. Peneliti lain menyebut mereka GrSCM
13
atau kegiatan. Penting untuk dicatat bahwa berbeda organisasi bisa
melaksanakan praktik GrSCM berbeda tergantung pada operasi dan
karakteristik mereka Liu et al (2011) dan sektor industri Huang et al (2012)
.Dheeraj dan Vishal (2012) membahas empat praktik utama GrSCM:Green
Procurement, Green Manufacturing, Green Distribution dan pemasaran dan
Reverse Logistik. Ninlawan, Seksan et al (2010) di sisi lain membahas Green
Procurement , Green manufacturing, Green Distribution, dan Reverse
Logistik (Ngemba and Rasmita, 2011)
Ninlawan et. Al. (2010)
Gambar 2.1 Aktivitas Green Supply Chain Management
Berikut ini adalah penjelasan gambar 2.1 :
1. Green Procurement
Green Procurement didefinisikan sebagai pembelian lingkungan yang
terdiri dari keterlibatan dalam kegiatan yang meliputi pengurangan,
penggunaan kembali dan daur ulang bahan dalam proses pembelian. Selain
pengadaan hijau merupakan solusi untuk bisnis yang peduli lingkungan dan
14
ekonomi konservatif, dan konsep memperoleh pilihan produk dan layanan
yang meminimalkan dampak lingkungan (Salam, 2008) . Temuan dalam
kegiatan green procurement disajikan: pemilihan Supplier:
a. bahan pembelian yang memenuhi standar kualitas lingkungan mitra hijau dan
lulus proses audit dalam mengikuti peraturan untuk zat yang berhubungan
dengan lingkungan
b. mempertimbangkan pemasok yang memperoleh ISO14000, OHSAS18000
dan / atau RoHS arahan
c. memilih pemasok yang mengontrol zat berbahaya dalam daftar standar
perusahaan dan memperoleh prestasi sertifikat hijau
2. Green Manufacturing
Green Manufacturing adalah sistem yang mengintegrasikan produk dan
masalah desain proses dengan masalah manufaktur, perencanaan dan
pengendalian sedemikian rupa untuk mengidentifikasi, mengukur, menilai
dan mengelola aliran limbah lingkungan dengan tujuan mengurangi dan
akhirnya mengurangi lingkungan dampak sementara juga mencoba untuk
memaksimalkan sumber daya efisiensi (ginmine, 2015) Temuan dalam
kegiatan manufaktur hijau dari produsen adalah :
a) Kontrol zat berbahaya
b) teknologi hemat energi
3. Green Distribution
Produk yang diproduksi harus mencapai pasar dalam waktu yang telah
ditentukan ; pasar harus diberitahu tentang ketersediaan produk. fitur dan
kemampuan mereka. Ini membutuhkan distribusi dan pemasaran sistem.
penting bahwa masalah lingkungan dilakukan dengan menawarkan produk
ramah lingkungan melalui distribusi ramah lingkungan dan sistem pemasaran.
Green distribution dicapai melalui; kemasan yang ramah lingkungan,
transportasi yang tidak terlalu berpolusi dan logistik (Nimawat dan Namdev,
2012). Menurut Ninlawan, Seksan et al (2010) kemasan ramah lingkungan
15
melibatkan kemasan yang dirampingkan dan penggunaan bahan kemasan.
Mereka juga menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan vendor
untuk standarisasi kemasan, mendorong dan mengadopsi metode recycle
kemasan , mempromosikan daur ulang dan penggunaan kembali bahan
kemasan. Fasilitas penyimpanan lain yang penting aspek green distribution.
Fasilitas penyimpanan harus mampu menyimpan berbagai kategori bahan.
Sebagai tambahan, desain dan pembangunan fasilitas penyimpanan harus
memenuhi persyaratan lingkungan non-tercemar, sementara memperkuat
pemeliharaan kelembaban yang baik, korosi, waterproofing antara faktor-
faktor lain (Zheng, 2010)
4. Reverse Logistics
Menurut Nimawat dan Namdev (2012), reverse logistik mengacu pada
peran logistik di pengembalian produk, pengurangan sumber, daur ulang,
bahan substitusi, penggunaan kembali bahan, pembuangan limbah, perbaikan
dan rekondisi. Ini adalah sebuah sistem untuk pemulihan bahan yang
digunakan dan produk. Organisasi dapat menerapkan sebaliknya logistik
melalui daur ulang dan limbah logistik yang dapat dibentuk sesuai dengan
kebutuhan yang sebenarnya untuk koleksi, klasifikasi, pengolahan,
pengemasan, penanganan, penyimpanan, dan distribusi untuk fasilitas
perawatan khusus untuk pengolahan (Zheng, 2010)
Sedangakan menurut Olaf (2013) , reverse logistik melibatkan
kegiatan untuk menghindari kembali, untuk mengurangi bahan dalam sistem
maju sehingga dapat mengurangi aliran bahan kembali dan memastikan
penggunaan kembali dan daur ulang bahan..
2.4 Key Perfomance Indicator (KPI)
Key perfomance indicators (KPI) merupakan seperangkat tindakan yang
berfokus pada aspek – aspek kinerja organisasi yang paling penting untuk
keberhasilan saat ini dan masa depan organisasi KPI berfungsi untuk
mengidentifikasi ukuran kinerja pada objective yang telah dirumuskan
Rangkuti (2010). Dalam konteks bisnis, banyak perusahaan yang telah
16
menerpakan KPI juga dapat meyakinkan pencapaian saat ini terhadap
keberhasilan KPI. Pengukuran KPI juga dapat meyakinkan tentang posisi
persaingan kita. Key Perfomance Indicators merupakan indikator yang
memberikan informasi sejauh mana kita telah berhasil mewujudkan target
kerja yang telah kita tetapkan yaitu Indikator KPI harus bersifat terukur.
Harus bisa dihitung/diukur. Kemudian Indikator Key Perfomance Indicators
juga merujuk pada hasil kerja kita (output kerja) selanjutnya Ukuran
keberhasilan harus menunjukkan indikator kinerja yang jelas, spesifik dan
terukur (measurable).
Ghosh (2009) mendefinisikan bahwa semua KPI harus berdampak
keputusan bisnis dalam beberapa skala waktu, tergantung pada jendela waktu
yang tersedia. Yang membuat proses keputusan yang sulit dari keputusan
yang dibuat di bawah tidak ada kendala waktu. Organisasi harus
mengidentifikasi daerah-daerah proses bisnis yang paling penting untuk
keberhasilan keuangan organisasi.
Selanjutnya, KPI dapat dibagi menjadi indikator masa lalu dan indikator
masa depan . Norton (2007) menjelaskan perbedaan antara mereka. Indikator
masa depan adalah metrik yang terutama mengacu pada perkembangan masa
depan dan driver / penyebab. Indikator masa lalu adalah metrik yang terutama
mengacu pada masa lalu perkembangan dan efek / hasil, misalnya
mencerminkan sejarah dan hasil dari tindakan tertentu dan proses. Bauer
(2004) menekankan bahwa salah satu perhatian utama selama pelaksanaan
KPI adalah kemampuan untuk membedakan metrik strategi-driven lebih
penting dari metrik biasa . Pemilihan metrik salah untuk KPI secara
signifikan dapat merusak atau bahkan mengurang inisiatif kinerja manajemen.
Eckerson (2009) dalam makalahnya menyatakan bahwa metrik kuat kekuatan
yang dapat mendorong perubahan dalam suatu organisasi - tetapi hanya jika
metrik yang tepat dikembangkan dan diterapkan. Metrik yang salah dapat
mendatangkan malapetaka pada proses organisasi dan moral para karyawan.
Selanjutnya dijelaskan apa yang menjadi ciri khas “baik” KPI. Menurutnya
poin yang efektif KPI-nya adalah:
17
Jarang: Semakin sedikit KPI yang lebih baik.
Detail : Pengguna dapat mengetahui lebih detail.
Sederhana: Pengguna memahami KPI.
Ditindaklanjuti : Pengguna tahu bagaimana mempengaruhi hasil.
Dimiliki: KPI memiliki dan pemilik.
Direferensikan: Pengguna dapat melihat asal-usul dan konteks.
Berkorelasi: KPI dapat berkolerasi untuk mendapat hasil yang diinginkan.
Seimbang: KPI terdiri dari kedua metrik keuangan dan non-keuangan.
Selaras: KPI jangan melemahkan satu sama lain.
Di sisi lain, Hursman (2010) mendefinisikan lima kriteria berikutnya untuk
KPI yang efektif:
Spesifik
terukur
Tercapai
Relevan
Dibatasi waktu
Hursman (2010) secara singkat menjelaskan proses tentang bagaimana
mengembangkan KPI:
Tentukan tujuan perusahaan Anda .
Mengidentifikasi metrik untuk kemajuan kelas terhadap tujuan tersebut.
Cronin (2007) menyatakan isu penting lainnya mengenai KPI. KPI, baik
keuangan dan non-keuangan, adalah elemen penting dari komunikasi yang
efektif dari kemajuan company's menuju nya gol. Memilih KPI yang relevan
membutuhkan pemikiran disejajarkan dengan strategi dan tujuan; sekali ini
dilakukan, pilihan ukuran keberhasilan adalah jelas. Selanjutnya Cronin
(2007) mengatakan bahwa itu adalah tidak pantas untuk menentukan berapa
banyak KPI perusahaan harus memiliki - tapi nya Pengalaman menunjukkan
bahwa ada kunci untuk sebagian besar organisasi antara empat dan sepuluh
langkah.
18
Harvey (2005) menegaskan bahwa tidak pedulibagaimana KPI digunakan,
mereka harus mencerminkan strategi bisnis dan dirumuskan secara berkala
untuk beradaptasi dengan perubahan kewirausahaan lingkungan Hidup.
Prioritas untuk organisasi adalah dengan menggunakan KPI dalam konteks
bisnis setiap saat, untuk mengukur margin pelanggan dan layanan, membuat
keputusan bisnis yang efektif dan menawarkan menarik proposisi pelanggan
untuk menggerakkan bisnis ke depan.
2.5 SCOR dan GreenSCOR
Salah satu metode pengukuran kinerja yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kinerja supply chain adalah metode Supply Chain Operations
Reference (SCOR). Perbedaan metode SCOR dengan metode pengukuran
kinerja antara lain seperti balanced scorecard (BSC), performance prism dan
integrated performance measurement system (IPMS), terletak pada fokus area
pengukuran. Metode pengukuran, seperti BSC, IPMS, dan performance prism
hanya berfokus pada aktivitas-aktivitas internal perusahaan saja. Sedangkan
metode SCOR mengukur aktivitas perusahaan dari hulu sampai hilir
(Rosenbaum, 2003).
Penggunaan metode SCOR dapat membantu perusahaan meningkatkan
kinerja SC dengan menganalisis secara komprehensif dari hulu hingga hilir.
Dalam perkembangannya, metode SCOR diintegrasikan dengan metode
Analytic Hierarchy Process (AHP). Penelitian yang dilakukan oleh Huan et al
(2004) ini, menggunakan AHP sebagai alat bantu hitung dalam proses
pengukuran performa SCM sebuah perusahaan. Alasan digunakannya AHP
sebagai alat bantu dalam SCOR adalah karena perusahaan membutuhkan
sebuah metode yang dapat mengkuantifikasikan suatu tujuan tertentu. Hal ini
berhubungan dengan tujuan perusahaan dalam memperbaiki dan
meningkatkan performanya.
Model Green Supply Chain Operations Reference (GSCOR)
dikembangkan oleh kelompok perusahaan yang bergabung dalam Supply
Chain Council. SCOR adalah suatu kerangka untuk menggambarkan aktivitas
19
bisnis antar komponen rantai pasok mulai dari hulu (suppliers) hingga ke hilir
(customers) untuk memenuhi permintaan pelanggan dan tujuan dari rantai
pasok. Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen
yaitu business process reengineering, benchmarking, dan process
measurement ke dalam kerangka lalu lintas fungsi dalam supply chain. Model
SCOR memiliki 5 komponen utama dalam mengelola suatu proses yaitu Plan,
Source, Make, Deliver, dan Return. Kerangka SCOR menyediakan berbagai
variasi ukuran kinerja untuk mengevaluasi rantai pasok yang disusun dalam
beberapa tingkatan metrik ukuran yang berasosiasi pada salah satu dari atribut
kinerja, yaitu: Reliability, Responsiveness, Flexibility, Cost, dan Asset.
Dengan melakukan analisis dan penjabaran proses, model SCOR dapat
mengukur kinerja supply chain secara obyektif berdasarkan data dan dapat
mengidentifikasi di mana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan
keunggulan bersaing. Implementasi SCOR tentu saja membutuhkan usaha
yang tidak sedikit untuk menggambarkan proses bisnis saat ini maupun
mendefinisikan proses yang diinginkan.
Model Green SCOR merupakan pengembangan dari model SCOR yang
telah ada sebelumnya. Model ini merupakan pengembangan dari model
SCOR dengan menambahkan beberapa pertimbangan yang terkait dengan
lingkungan di dalamnya. Dengan demikian model ini dijadikan alat untuk
mengelola dampak lingkungan dari suatu rantai pasok. Karena berbasis pada
model SCOR, model ini juga memiliki 5 komponen utama yang sama seperti
pada model SCOR yaitu Plan, Source, Make, Deliver, dan Return serta
memiliki atribut kerja yang sama seperti model SCOR yaitu Reliability,
Responsiveness, Flexibility, Cost, dan Asset. Akan tetapi pada model green
SCOR semua hal tersebut memiliki arti yang berbeda karena pada model ini
semua hal tersebut terkait dengan lingkungan.
Menurut LMI (2003), konsep dari Green Supply Chain Operations
Reference (GSCOR) cukup sederhana karena merupakan modifikasi dari
model Supply Chain Operations Reference (SCOR) dan manajemen rantai
pasokan yang dibangun dengan memasukkan unsur-unsur sistem manajemen
20
lingkungan. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu alat analisis yang
memberikan gambaran tentang hubungan antara fungsi rantai pasokan dengan
aspek lingkungan agar tercipta peningkatan kinerja manajemen diantara
keduanya. Sebagai dasar untuk membangun GSCM maka digunakanlah
pendekatan SCOR, yang kini alat pengukurannya disebut dengan GSCOR.
Keuntungan dalam menggunakan pendekatan GSCM, antara lain adalah (1)
meningkatkan kinerja manajemen lingkungan, (2) meningkatkan kinerja
manajemen rantai pasokan, dan (3) meningkatkan inisiatif terhadap GSCM.
Gambar struktur model GSCOR dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Sumber : (LMI 2003)
Gambar 2.2 struktur model GSCOR
2.6 Analytical Hierarcy Process (AHP)
Metode AHP digunakan untuk mencari proses SC yang harus
diprioritaskan Rosenbaum (2003) menyatakan bahwa supply chain perlu
diukur untuk memastikan keberhasilan dari perencanaan. Metode yang dapat
digunakan untuk pengukuran supply chain adalah SCOR. SCOR memiliki
21
performance attribute yang merupakan satu sel atribut yang digunakan untuk
menilai proses rantai suplai dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Peralatan utama AHP adalah sebuah hierarki fungsional
dengan inpututamanya persepsi manusia. Keberadaan hierarki memungkinkan
dipecahnya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub – sub
masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hierarki (Kusrini, 2007).
Konsep dasar AHP adalah penggunaan matriks pairwise
comparison (,atriks perbandingan berpasangan) untuk menghasilkan bobot
relative antar kriteria maupun alternative. Suatu kriteria akan dibandingkan
dengan kriteria lainnya dalam hal seberapa penting terhadap pencapaian
tujuan di atasnya (Saaty, 1993).
Tabel 2. 1 Skala dasar perbandingan berpasangan
Tingkat
Kepentingan Definisi Keterangan
1 Sama Pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh
yang sama
3 Sedikit lebih
penting
Pengalaman dan penilaian sangat
memihak satu elemen dibandingkan
dengan pasangannya
5 Lebih Penting
Satu elemen sangat disukai dan secara
praktis dominasinya sangat nyata,
dibandingkan dengan elemen
pasangannya.
7 Sangat Penting
Satu elemen terbukti sangat disukai
dan secara praktis dominasinya sangat
nyata, dibandingkan dengan elemen
pasangannya.
9 Mutlak lebih
penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih
disukai dibandingkan dengan
pasangannya, pada keyakinan tertinggi.
22
2,4,6,8 Nilai Tengah
Diberikan bila terdapat keraguan
penilaian di antara dua tingkat
kepentingan yang berdekatan.
(Sumber : Saaty, 1993)
Penilaian dalam membandingkan antara satu kriteria dengan kriteria
yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada
ketidak konsistensian. Saaty (1993) telah membuktikan
bahwa indeks konsistensi dari matrik ber ordo n dapat diperoleh dengan
rumus :
CI = (λmaks-n)/(n-1)................................................... (1)
Dimana :
CI = Indeks Konsistensi (Consistency Index)
λmaks = Nilai eigen terbesar dari matrik berordo n
Nilai eigen terbesar didapat dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah
kolom dengan eigen vector. Batas ketidak konsistensian di ukur dengan
menggunakan rasio konsistensi (CR), yakni perbandingan indeks konsistensi
(CI) dengan nilai pembangkit random (RI). Nilai ini bergantung pada ordo
matrik n.
Rasio konsistensi dapat dirumuskan :
CR = CI/RI............................................................... (2)
Bila nilai CR lebih kecil dari 10%, ketidak konsistensian pendapat masih
dianggap dapat diterima.
Tabel 2. 2 Daftar Indeks random konsistensi (RI)
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Analytical Hierarchy Process dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk
mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan
23
menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan
memecahkan persoalan tersebut kedalam bagianbagiannya, menata bagian
atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis
berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang
memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan
yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang
berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna
mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan
kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai
persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi
hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang
dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat. (Saaty, 1993)
Metode AHP memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah:
Struktur yang berhierarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih
sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, Memperhitungkan validitas
sampai batas toleransi inkonsentrasi sebagai kriteria dan alternatif yang
dipilih oleh para pengambil keputusan dan memperhitungkan daya tahan atau
ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan Metode
pairwise comparison AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang diteliti multi obyek dan multi kriteria yang berdasar pada
perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki.
Jadi model ini merupakan model yang komperehensif. Pembuat
keputusan menetukan pilihan atas pasangan perbandingan yang sederhana,
membangun semua prioritas untuk urutan alternatif. Pairwaise comparison
AHP menggunakan data yang ada bersifat kualitatif berdasarkan pada
persepsi, pengalaman, intuisi sehigga dirasakan dan diamati, namun
kelengkapan data numerik tidak menunjang untuk memodelkan secara
kuantitatif. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah ketergantungan
model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang
24
ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga
model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang
keliru. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara
statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang
terbentuk.
Adapun langkah – langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah
sebagai berikut (Saaty, 1993):
1. Mendefinisikan permasalahan dan penentuan tujuan. Jika AHP digunakan
untuk memilih alternatif atau menyusun prioriras alternatif, pada tahap ini
dilakukan pengembangan alternatif.
2 Menyusun masalah kedalam hierarki sehingga permasalahan yang
kompleks dapat ditinjau dari sisi yang detail dan terukur.
3. Penyusunan prioritas untuk tiap elemen masalah pada hierarki. Proses ini
menghasilkan bobot atau kontribusi elemen terhadap pencapaian tujuan
sehingga elemen dengan bobot tertinggi memiliki prioritas penanganan.
Prioritas dihasilkan dari suatu matriks perbandingan berpasangan antara
seluruh elemen pada tingkat hierarki yang sama.
4. Melakukan pengujian konsitensi terhadap perbandingan antar elemen yang
didapatan pada tiap tingkat hierarki.
Setelah dilakukan pengolahan tersebut, maka dapat disimpulkan adanya
konsistensi dengan tidak, bila data tidak konsisten maka diulangi lagi dengan
pengambilan data seperti semula.
2.7 Scoring System dengan metode Objective Matrix (OMAX)
Scoring system dilakukan untuk mengetahui nilai pencapaian terhadap
target yang telah ditentukan bagi setiap indikator kinerja Vanany (2009).
Sebelum dilakukan penilaian dilakukan penentuan jenis skor telebih dahulu
Adapun 2 macam skor yang dikenakan pada KPI adalah sebagai berikut :
25
Smaller is Better Untuk proses pengukuran ini berdasarkan nilai ukur
data dimana untuk penilaian semakin rendah nilainya kualitasnya
semakin baik.
Larger the Better Untuk proses pengukuran ini berdasarkan nilai ukur
data dimana untuk penilaian semakin besar nilainya kualias semakin
baik.
Objective Matrix (OMAX) adalah suatu sistem pengukuran produktivitas
parsial yang dikembangkan untuk memantau produktivitas disetiap bagian
perusahaan dengan kriteria produktivitas yang sesuai dengan keberadaan
bagian tersebut (objective). Model ini dikembangkan oleh Dr. James L. Riggs
(Department of Industrial Engineering di Oregon State University). OMAX
diperkenalkan pada tahun 80-an di Amerika Serikat. Model pengukuran ini
mempunyai ciri yang unik, yaitu kriteria performansi kelompok kerja
digabungkan ke dalam suatu matriks. Setiap kriteria performansi memiliki
sasaran berupa jalur khusus menu perbaikan serta memiliki bobot sesuai
dengan tingkat kepentingan terhadap tujuan produktivitas. Hasil akhir dari
pengukuran ini adalah nilai tunggal untuk kelompok kerja. Dalam OMAX
diharapkan aktivitas seluruh personal perusahaan turut menilai, memperbaiki,
dan mempertahankan performansi unitnya, karena sistem ini merupakan
sistem pungukuran yang diserahkan langsung ke bagaian-bagian/unit.
Kegunaan dari OMAX adalah:Sebagai sarana pengukuran produktivitas,
Sebagai alat bantu pemecahan masalah produktivitas dan Alat pemantau
pertumbuhan produktivitas
Langkah–langkah yang harus dilakukan dalam penyelesaian pemodelan
OMAX antara lain(Ngemba and Rasmita, 2011) :
1. Defining
langkah ini dilakukan pendefinisian dari kriteria produktivitas yang ingin
diteliti. Kriteria ini sebaiknya independen dan mudah diukur. Ada dua
pengukuran dan pengambilan data yang harus ditetapkan yaitu; kriteria
produktifitas adalah kriteria yang menjadi tolak ukur produktifitas pada
bagian dari pekerjaan tersbut. Sedangkan performansi adalah nilai tiap
26
produktifitas berdasarkan pengukuran selama periode yang ditetapkan. Dalam
Penelitian ini kriteria dan rasio yang digunakan adalah kuantitas yaitu output
/jam kerja ; kuantitas adalah jumlah pelayanan yang disediakan ; waktu yaitu
total waktu tunggu / ttal waktu yang tersedia ; dan utilisasi adalah tenaga
kerja actual / tenaga kerja standar.
2. Quantifying
Quantifying adalah badan dari matriks yang berisi tentang tingkat
pencapaian dari kriteria produktivitas. Skala penilaian meliputi ; level 10
merupakan tingkat pencapaian realitias optimal yang mungkin dicapai. Level
3 merupakan tingkat performansi pada waktu awal pengukuran. Level 0
merupakan tingkat terburuk yang mungkin terjadi. Diantara level 0 samapai
dengan level 10 terdapat level 1-9 yang mempunyai kisaran pencapaian dari
nilai terjelek sampai nilaio optimal. Level 1 dan 2 diperoleh dari interpolasi
nilai level 1 dan 3; level 4-9 diperoleh dari interpolasi nilai level 3 dan 10.
3. Monitoring
pada dasarnya adalah perhitungan dari performance indicator (indikasi
unjuk kerja), hasil dari perhitungan ini terletak dibagian paling bawah dari
matriks, Pengamatan terdiri : Score (Skor) Nilai level dimana nilai
pengukuran produktivitas berada. Misalnya, jika output / jam sama dengan
100 terletak pada level 5, maka skor untuk pengukuran itu adalah 5. Jika
terdapat pengukuran yang tidak tepat sesuai dengan angka pada matriks,
maka harus dilakukan pembulatan kebawah.
4. Weight (Bobot)
Besarnya bobot dari setiap kriteria mempunyai pengaruh yang berbeda-
beda terhadap tingkat produktivitas yang diukur, maka dari itu perlu dicatat
prosentase kepentingan total produktivitas. Bobot ini yang nantinya akan
diukur menggunakan metode AHP.
5. Value (Nilai)
Nilai yang dihasilkan dari perkalian skor pada criteria tertentu dengan
bobot criteria tersebut.
27
Adapun tabel yang digunakan dalam penilaian OMAX adalah sebagai
berikut :
Skala Penilaian OMAX
Sumber : Riggs and james (1987)
Gambar 2.3 Skala Penilaian OMAX
Berikut ini adalah penjelasan gambar dari 2.3
A
B
C
Bagian A,
1. bagian defining atau faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
2. Baris kedua (performance) merupakan hasil pencapaian kinerja perusahaan
pada masing-masing KPI tersebut.
Bagian B, bagian quantifying, pembagian level pencapaian kinerja dari level 10
(tertinggi) hingga level terendah atau nol.
3. Level 10 adalah level pencapaian tertinggi atau merupakan target yang telah
ditetapkan oleh perusahaan.
4. Tingkat pencapaian awal matriks dioperasikan (pencapaian kinerja perusahan
sebelumnya) diletakkan pada level 3,
5.
28
Bagian C, bagian monitoring, sebagai analisa terhadap level, weight dan
value untuk masing-masing KPI.
– Baris level atau score diisikan sesuai dengan posisi level
pencapaian KPI yang telah ditentukan pada bagian B.
– Baris weigth diisi sesuai dengan bobot masing-masing KPI yang
diisi oleh pihak perusahaan.
– Baris value merupakan hasil penilaian atau pengalian antara baris
level dengan bobot masing-masing KPI.
Index, hasil penjumlahan seluruh nilai (value) dari setiap kriteria yang
menyatakan indikator pencapaian kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja
dapat ditentukan dari besarnya kenaikan indicator pencapaian bila
dibandingkan dengan pengukuran periode sebelumnya.
2.7.1 Kelebihan Metode OMAX
Pengukuran produktivitas dapat menjadi suatu hal yang menyulitkan
karena adanya beberapa hal yang harus dilibatkan seperti rasio-rasio, indeks,
persentase dan lain-lain.. Hasil perpaduan beberapa ukuran keberhasilan atau
kriteria produktivitas ini kemudian dinilai ke dalam satu indikator atau indeks
yang berguna untuk : Memperlihatkan sasaran atau target peningkatan
produktivitas, Alat peringatan dalam pengambilan keputusan bagi
peningkatan produktivitas, Mengetahui posisi dalam pencapaian target.
Adapun Kelebihan model OMAX dibandingkan dengan model pengukuran
produktivitas yang lainnya yaitu (Nasution, 2005) :
1. Model ini memungkinkan menjalankan aktivitas-aktivitas perencanaan,
pengukuran, penilaian dan peningkatan produktivitas sekaligus.
2. Adanya sasaran produktivitas yang jelas dan mudah dimengerti yang akan
memberi motivasi bagi karyawan untuk mencapainya.
3. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas dapat
diidentifikasikan dengan baik dan dapat dikuantifikasikan.
29
4. Adanya pengertian bobot yang mencerminkan pengaruh masing-masing
faktor terhadap peningkatan produktivitas yang penentuannya memerlukan
persetujuan manajemen.
5. Model ini menggabungkan seluruh faktor yang berpengaruh terhadap
peningkatan produktivitas dan dinilai ke dalam satu indikator atau indeks.
6. Bentuk model ini fleksibel, tergantung lingkungan mana diterapkan. Dalam
hal ini juga berarti bahwa data-data yang diperlukan dalam model ini mudah
diperoleh di lingkungan perusahaan dimana model ini digunakan.
Adapun Tiga aspek yang penting dalam pengukuran OMAX yaitu :
Awareness (kesadaran), Improvement (peningkatan) dan Maintenance
(pemeliharaan). (Nasution, 2005)
2.8 Traffic Light System (TLS)
Traffic Light System adalah suatu metode yang digunakan untuk
mempermudah dalam memahami pencapaian kinerja perusahaan dengan
bantuan tiga kategori warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Batas dari
masing-masing kategori warna tersebut, ditetapkan melalui hasil diskusi
dengan pihak perusahaan. Kategori warna tersebut dapat mempermudah
pihak perusahaan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan yang sesuai dengan
target maupun yang tidak mencapai target. Adapun batasan – batasan menurut
Nurcahyanie (2008) adalah sebagai berikut :
1. Warna merah menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas nol
hingga tiga kategori ini tergolong pada penilaian performa kurang baik, yang
realisasinya berada di bawah target yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
2. Warna kuning menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas empat
hingga tujuh yang berarti kinerja perusahaan tergolong pada penilaian
performa yang cukup atau yang realisasinya belum mencapai target
maksimum.
3. Warna hijau menandakan bahwa skor/level berada di ambang batas delapan
hingga sepuluh yang berarti kinerja perusahaan telah mencapai performa yang
30
diharapkan. Golongan yang berwarna hijau ini sangat baik, karena telah
mencapai target maksimum yang telah ditetapkan oleh perusahaan.