BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingrepository.ump.ac.id/619/3/Ika Fajriyati BAB...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingrepository.ump.ac.id/619/3/Ika Fajriyati BAB...
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Subjective Well-Being
1. Pengertian Subjective Well-Being
Diener (2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian
global dari semua aspek kehidupan individu. Senada dengan pernyataan
tersebut, Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai
suatu bidang dalam ilmu perilaku mengenai evaluasi individu terhadap
kehidupan yang dipelajarinya. Subjective well-being memiliki beragam
konsep mulai dari suasana hati sebagai penilaian global terhadap kepuasan
hidup, dan dari depresi ke euforia.
Compton (2005) menjelaskan subjective well-being merupakan suatu
proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan
hidup individu. Sedangkan Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan
subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait
dengan perasaan yang baik.
Diener, dkk (dalam Snyder & Lopez, 2008) subjective well-being
diartikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu dari dirinya sendiri.
Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian
kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian,
subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
16
pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat pengalaman
negatif yang terdapat dalam tingkat subjective well-being yang tinggi adalah
konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidupnya
bermanfaat.
Diener, dkk (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa subjective well-being
merupakan suatu analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi
kehidupan, baik pada saat ini dan pada masa lalunya, seperti kehidupannya di
tahun lalu. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional individu terhadap peristiwa,
suasana hati individu, dan penilaian individu tentang kepuasan hidup mereka,
pemenuhan, dan kepuasan dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan.
Senada dengan pernyataan tersebut, Mc Gillivray & Clarke (2006)
menyatakan bahwa subjective well-being melibatkan evaluasi
multidimensional kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup
dan evaluasi afektif emosi dan suasana hati. Area subjective well-being terdiri
dari analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan
individu tentang suatu peristiwa, suasana hati, penilaian mereka tentang
bentuk kepuasan hidup, pemenuhan kebutuhan kepuasan pada domain seperti
pernikahan dan pekerjaan.
Subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupan yang
positive dan berjalan dengan baik. Individu dikatakan memiliki subjective
well-being tinggi jika individu tersebut memiliki kepuasan hidup dan lebih
sering merasakan kebahagiaan, serta jarang mengalami emosi yang tidak
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
17
menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu
dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika individu merasa tidak
puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kebahagiaan dan kasih sayang
serta lebih sering merasakan emosi yang negatif seperti kemarahan atau
kecemasan (Diener, dalam Eid, & Larnsen 2008).
Sedangkan Eid & Larnsen (2008) mendefinisikan subjective well-being
dengan membuat perbedaan antara penilaian kehidupan secara kognitif dan
afektif. Kepuasan hidup bukan sekedar penilaian kognitif semata tetapi
merupakan penilaian keseluruhan hidup yang mengacu pada dua sumber
informasi yakni penilaian kognitif yang merupakan standar kehidupan yang
baik (kepuasan) dan informasi afektif merupakan bagaimana individu
merasakan kehidupannya atau kebahagiaan secara keseluruhan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
subjective well-being adalah suatu penilaian umum individu terhadap
kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga
individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit
emosi yang negatif.
2. Teori Subjective Well-Being
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan
tentang subjective well-being. Berikut ini adalah gambaran singkat mengenai
beberapa teori subjective well being sebagaimana dijelaskan oleh Diener
(2009) yakni:
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
18
a. Teori Telic
Teori telic menjelaskan bahwa subjective well-being terdiri dari
kebahagiaan yang diperoleh dari beberapa keadaan seperti tujuan atau
kebutuhan yang telah dicapai.
b. Teori Aktifitas
Teori aktifitas memandang kebahagiaan sebagai hasil samping dari
aktifitas individu. Individu akan mendapatkan kebahagiaan melalui
kegiatan yang dilakukan dengan baik.
c. Teori Top-Down Versus Bottom-Up
Teori bottom-up memandang kebahagiaan berasal dari banyaknya
kebahagiaan atau peristiwa-peristiwa kecil yang dialami individu. Sebuah
kebahagiaan dalam pandangan ini merupakan akumulasi dari peristiwa-
peristiwa bahagia yang dialami individu. sedangkan teori top-down
memandang kebahagiaan yang dialami individu tergantung dari cara
individu tersebut mengevaluasi dan penginterpretasi suatu peristiwa atau
kejadian dalam sudut pandang yang positif.
d. Teori Asosiasi
Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai
keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Penelitian mengenai jaringan
memori menunjukkan bahwa individu dapat mengembangkan banyak
jaringan memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang
negatif. Pada individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
19
pemikiran positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan
positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih
positif.
e. Teori Judgement
Teori ini mengatakan kebahagiaan merupakan hasil dari sebagian
perbandingan antara beberapa kondisi standar dan aktual. Jika keadaan
aktual melebihi standar individu maka individu akan mendapatkan
kebahagiaan.
Di dalam penelitian ini teori yang dipakai adalah teori top-down versus
buttom up. Teori tersebut dipakai karena menurut Diener (dalam Compton,
2005) kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan
menggunakan dua pendekatan umum yaitu teori buttom up dan teori top down.
Teori bottom-up memandang individu dapat merasakan kebahagiaan dan
kepuasan hidup dengan adanya peristiwa-peristiwa kecil yang dialami dalam
kehidupan individu. Sedangkan teori top-down melihat subjective well-being
yang dialami individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan
menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian dalam sudut pandang yang
positif. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-
cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk
meningkatkan subjective well-being diperlukan usaha yang terfokus pada
mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
20
3. Komponen Subjective Well-Being
Komponen-komponen subjective well-being menurut Diener (dalam
Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut:
a. Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup merupakan penilaian individu mengenai
kehidupannya, apakah kehidupan yang diajalaninya berjalan dengan baik.
kepuasan hidup dapat diukur dengan melihat derajat kepuasan individu
terhadap hidupnya.
b. Afeksi Positif
Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi
jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh
perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga,
ditentukan, kuat dan aktif.
c. Afeksi Negatif
Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi
jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih,
bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.
Berdasarkan poin-poin di atas maka dapat disimpulkan bahwa subjective
well-being memiliki 3 komponen yakni kepuasan hidup, afeksi positif, dan
afeksi negatif.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
21
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Eddington & Shuman (2005) menemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi subjective well-being individu yang meliputi faktor demografis
dan faktor lingkungan. Adapun uraian faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Perbedaan Jenis Kelamin
Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi
dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk
mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan
tingkat kebahagiaan global yang sama.
b. Usia
Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar dengan
subjective well-being yang dimeditasi oleh harapan-harapan. Meskipun
demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit mempengaruhi
kepuasan hidup.
c. Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan subjective well-being merupakan
hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan
pendapatan. Namun pengaruh antara pendidikan dan subjective well-being
adalah kecil meskipun signifikan.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
22
d. Pendapatan
Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata individu,
menunjukkan sangat sedikit pengaruh subjective well-being. Beberapa
teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan prediktor negatif
subjective well-being, dalam pencapaian materi terkadang menjadi tidak
produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial dan aktualisasi diri.
e. Perkawinan
Individu yang menikah memiliki subjective well-being lebih tinggi
dibandingkan dnegan individu yang tidak pernah menikah, bercerai,
berpisah, atau janda.
f. Kepuasan kerja
Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well-being
dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak
bekerja memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang
lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang bekerja.
g. Kesehatan
Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well-being
muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada
penilaian secara objectif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa
persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara
objektif dalam mempengaruhi subjective well-being.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
23
h. Agama
Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well-being
berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan
Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan.
i. Waktu Luang
Veenhoven (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukkan bahwa
kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan
tingkatan aktifitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan di waktu
luang dapat meningkatkan subjective well-being, seperti aktifitas
menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan hiburan.
Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan
yang berat kurang dapat meningkatkan kebahagiaan (Eddington &
Shuman, 2005).
Berbagai penelitian lain telah menemukan beberapa faktor-faktor
subjective well-being, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kepribadian
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Lucas (dalam Eid &
Lanrsen, 2008) menemukan faktor internal yang stabil jelas memainkan
peran penting dalam subjective well-being. Pengaruh positif, pengaruh
negatif, dan kepuasan hidup yang cukup stabil dari waktu ke waktu sangat
berkorelasi dengan indikator psikofisiologis dan ciri-ciri kepribadian
seperti sebagai extraversion dan neurotisisme. Hal ini didukung oleh
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
24
Diener (2009) beberapa variabel kepribadian menunjukkan hubungan yang
konsisten dengan subjective well-being. Harga diri yang tinggi adalah
salah satu prediktor terkuat subjective well-being.
b. Penerimaan Diri
Studi yang dilakukan yang dimulai di akhir tahun 1940-an, sebagian
besar di bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri,
telah menegaskan bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait
dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan
penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif (Szentagotai & David
dalam Bernard, 2013). Ryff, dkk (2002) menjelaskan penerimaan diri
adalah faktor yang terkait dengan subjective well-being. Apabila individu
menerima dirinya maka dapat menyesuaikan diri dan merasa diri berharga
sehingga merasakan emosi negatif yang sedikit, dapat merasakan emosi
positif yang lebih banyak sehingga individu merasa puas dengan
kehidupannya dan mendukung kesejahteraan.
c. Status Pekerjaan
Winkelmann dan Winkelmann (dalam OECD, 2013) menyatakan
status pekerjaan dikenal memiliki pengaruh besar pada subjective well-
being, pada pengangguran khususnya memiliki kaitan yang kuat dengan
dampak negatif pada ukuran kepuasan hidup individu.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
25
d. Status kesehatan
Dolan, Peasgood dan Putih (dalam OECD, 2013) mengemukakan
Status kesehatan baik kesehatan fisik dan mental berkorelasi dengan
ukuran subjective well-being, dan ada bukti bahwa perubahan status
kecacatan menyebabkan perubahan dalam kepuasan hidup individu (Lucas
dalam OECD, 2013).
e. Hubungan sosial
Kontak sosial adalah salah satu pengendali yang paling penting untuk
subjective well-being, karena kontak sosial individu memiliki dampak
yang besar baik pada evaluasi hidup maupun afek positif dan afek negatif
(Helliwell Dan Wang; Kahneman Dan Krueger; Boarini dkk, dalam
OECD, 2013).
Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi subjective
well-being dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempergaruhi subjective
well-being adalah perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan,
perkawinan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kepribadian,
penerimaan diri, status pekerjaan, dan hubungan sosial. Penerimaan diri
merupakan faktor penting dalam meningkatkan subjective well-being karena
tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan
hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan
negatif, sehingga individu akan memiliki subjective well-being.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
26
B. Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri
Secara umum penerimaan diri dikonseptualisasikan sebagai penegasan
atau penerimaan diri individu meskipun individu memiliki kelemahan atau
kekurangan (Bernard, 2013). Penerimaan diri adalah sikap yang pada dasarnya
merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan
pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011)
Pannes (dalam Sari dan Nuryoto, 2002) menjelaskan lebih lanjut bahwa
penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang
karakteristik pribadinya dan adanya kemauan untuk hidup dengan keadaan
tersebut. Senada dengan pernyataan tersebut Jahoda (dalam Ardilla dan
Herdiana, 2013) mengungkapkan bahwa individu yang dapat menerima
dirinya adalah individu yang sudah mampu belajar untuk dapat hidup dengan
dirinya sendiri, dalam arti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan
yang ada dalam dirinya.
Jersild (dalam Sari dan Reza, 2013) mengatakan individu yang menerima
dirinya sendiri adalah yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap
dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain, dan memiliki perhitungan
akan keterbatasan dirinya, serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional.
Shepard (dalam Bernard, 2013) melengkapi penjelasan tersebut bahwa
penerimaan diri dapat dicapai dengan berhenti mengkritik dan memcahkan
kecacatan dalam diri sendiri, dan kemudian menerima semua kekurangan diri
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
27
untuk menjadi bagian dalam diri individu; yaitu, toleransi diri untuk menjadi
sempurna di beberapa bagian.
Penerimaan diri ialah suatu kemampuan seorang individu untuk dapat
melakukan penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hasil analisa,
evaluasi atau penilaian terhadap diri sendiri akan dijadikan dasar bagi seorang
individu untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam rangka penerimaan
terhadap keberadaan diri sendiri (Dariyo, 2011). Individu yang dapat
menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri mereka sendiri, dapat
menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup
bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat
menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat, kuat, sebaliknya, orang
yang mengalami kesulitan dalam menerima diri tidak menyukai karakteristik
mereka sendiri, merasa diri mereka tidak berguna dan tidak percaya diri
(Ceyhan & Ceyhan, 2011).
Penerimaan diri sangat penting untuk kesehatan mental. Tidak adanya
kemampuan untuk menerima diri sendiri dapat menyebabkan berbagai
kesulitan emosional, termasuk kemarahan yang tidak terkontrol dan depresi
(Carson & Ellen, 2006). Sedangkan menurut Supratiknya (1995), penerimaan
diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak
bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan
membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
28
individu lain, kesehatan psikologis individu, serta penerimaan terhadap
individu lain.
Carson & Ellen (2006) menjelaskan salah satu aspek penting dari
penerimaan diri adalah kemampuan dan kemauan untuk membiarkan orang
lain melihat seseorang diri sejati. Hidup penuh kesadaran memerlukan hidup
kehidupan sehari-hari tanpa kepura-puraan dan tanpa kekhawatiran bahwa
orang lain menilai satu negatif. Salah satu hambatan utama untuk penerimaan
diri adalah ketidakmampuan untuk menerima kesalahan masa lalu, yang nyata
atau yang dirasakan.
Jadi berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas
dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan individu dalam
menerima segala hal yang ada di dalam dirinya dan apapun yang menimpa
dirinya baik kejadian buruk maupun kejadian baik sehingga individu akan
senantiasa merasakan perasaan yang menyenangkan dan tetap bertahan untuk
menjalani hidupnya.
2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri
Sheerer (dalam Sari & Nuryoto, 2002) mengemukakan beberapa aspek-
aspek penerimaan diri sebagai berikut:
a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi
persoalan.
b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan
sederajat dengan orang lain
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
29
c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada
harapan ditolak orang lain.
d. Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri.
e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif.
g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya
ataupun mengingkari kelebihannya.
Menurut Supratiknya (1995) penerimaan diri tidak bisa lepas dari aspek
konsep diri dan harga diri sehingga membentuk suatu konsep yang diyakini
yaitu segala hal yang berkaitan dengan diri sendiri. Aspek-aspek individu
yang memiliki penerimaan diri adalah:
a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan.
b. Menganggap diri berharga sebagai manusia sederajat dengan individu lain.
c. Berani memikul tanggungjawab atas perilakunya.
d. Menerima kritik dan pujian secara objektif.
e. Tidak mengingkari kesalahan dan menyalahkan keterbatasan yang
dimiliki.
Berdasarkan uraian aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-
aspek dari penerimaan diri yaitu keyakinan akan kemampuan individu untuk
menghadapi persoalan, harga diri sebagai seorang manusia dan sederajat
dengan orang lain, tidak menganggap diri sendiri aneh atau abnormal, tidak
malu atau hanya memperhatikan diri sendiri, berani memikul tanggung jawab
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
30
terhadap perilakunya, menerima pujian atau celaan secara objektif, dan tidak
menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya.
3. Ciri-ciri Penerimaan diri
Jersild (dalam Sari & Nuryoto, 2002) mengemukakan beberapa ciri
penerimaan diri untuk membedakan antara individu yang menerima keadaan
diri dengan individu yang menolak keadaan diri (denial). Berikut ini adalah
ciri dari individu yang menerima keadaan diri :
a. Individu yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap
keadaannnya dan menghargai dirinya sendiri.
b. Individu yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa
terpaku pada pendapat individu lain.
c. Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada
dirinya sendiri secara irasional.
d. Menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik
atau melakukan keinginannya.
e. Menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang memiliki
harapan yang realistis terhadap keadaannya dan menghargai dirinya sendiri,
individu akan senantiasa yakin akan standar-standar dan mengakui dirinya
tanpa terpaku pada pendapat individu lain, memiliki perhitungan akan
keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irasional,
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
31
menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau
melakukan keinginannya, serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan
diri sendiri.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock (2013) mengemukakan tentang faktor-faktor yang berperan
dalam meningkatkan penerimaan diri adalah sebagai berikut:
a. Aspirasi Realistis
Supaya individu dapat menerima dirinya, individu harus realistis
tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai.
Ini tidak berarti bahwa individu harus mengurangi ambisi atau
menentykan saran di bawah kemampuan individu. sebaliknya mereka
harus mentapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka,
walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang individu cita-citakan.
b. Keberhasilan
Bila tujuan itu realistis, kesempatan berhasil sangat meningkat. Lagi
pula, agar individu menerima dirinya, individu harus mengembangkan
faktor peningkat keberhasilan suapaya potensinya berkembang secara
maksimal. Faktor peningkat keberhasilan ini mencakup keberanian
mengambil inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa
yang harus dilakukan, teliti dan bersungguh-sungguh dalam apa saja yang
dilakukan, bekerja sama dan mau melakukan lebih dari semestinya.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
32
c. Wawasan Diri
Kemampuan dan kemajuan menilai diri secara realistis serta
mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan
meningkatkan penerimaan diri.
d. Wawasan Sosial
Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat individu dapat
menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan individu
memenuhi harapan sosial. Sebagai kontras, perbedaan mencolok antara
pendapat orang lain dan pendapat individu tentang dirinya akan menjurus
ke perilaku yang membuat orang lain kesal, dan menurunkan penilaian
orang lain tentang dirinya.
e. Konsep Diri yang Stabil
Bila individu melihat dirinya dengan satu cara pada satu saat dan cara
lain pada saat yang lain kadang-kadang menguntungkan dan kadang-
kadang tidak individu menjadi ambivalen tentang dirinya. Untuk mencapai
kestabilan seperti halnya dengan konsep diri yang menguntungkan, orang
yang berarti dalam hidupnya harus menganggap individu secara
menguntungkan sebagian besar waktu. Pandangan mereka membentuk
dasar bayangan cermin individu tentang dirinya.
Selain itu Jersild (dalam Anggraini, 2012) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi peneriman diri individu, faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
33
a. Usia
Peneriman diri individu cenderung sejalan dengan usia individu
tersebut. Semakin matang dan dewasa individu semakin tingi pula tingkat
penerimaan dirinya.
b. Pendidikan
Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tingi tentu akan
memilki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan potensi dan
kemampuan yang dimilki, sehinga semakin tingi kepuasan diri yang
diraih. Seseorang yang merasa puas akan dirinya, tentu dapat menerima
dirinya secara realistis.
c. Keadan Fisik
Menurut Fuhrman (dalam Anggraini, 2012), keadan fisik individu
akan mempengaruhi tingkat peneriman diri.
d. Dukungan Sosial
Peneriman diri juga lebih mudah dilakukan oleh individu yang
mendapat perlakuan yang lebih baik dan menyenangkan.
e. Pola Asuh Orang Tua
Hurlock (dalam Anggraini, 2012) menyebutkan bahwa pola asuh
demokratik membuat individu merasa dihargai sebagai manusia dalam
keluarga. Individu yang merasa dihargai sebagai manusia cenderung akan
menghargai dirinya sendiri dan memperkirakan sendiri tangung jawab
yang harus dipikulnya, sehinga individu akan mengendalikan perilakunya
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
34
sendiri dengan kerangka aturan yang dibuat dengan berpedoman pada
norma-norma yang ada di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yaitu aspirasi realistis,
keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial, konsep diri yang stabil, usia,
pendidikan, keadaan fisik, dukungan sosial, dan pola asuh orang tua.
5. Cara Penerimaan Diri
Menurut Supratiknya (1995), cara individu dapat menerima diri ada lima,
antara lain:
a. Reflected Self Acceptance (Penerimaan Diri Tercermin)
Jika orang lain menyukai diri kita maka kita akan cenderung untuk
menyukai diri kita juga.
b. Basic Self Acceptance (Penerimaan Diri Mendasar)
Perasaan yakin bahwa dirinya tetap dicintai dan diakui oleh orang lain
walaupun seseorang tersebut tidak mencapai patokan yang diciptakannya
oleh orang lain terhadap dirinya.
c. Conditional Self Acceptance (Penerimaan Diri Kondisional)
Penerimaan diri yang berdasarkan pada seberapa baik seseorang
memenuhi tuntutan dan harapan orang lain terhadap dirinya.
d. Self Evaluation (Evaluasi Diri)
Penilaian seseorang tentang seberapa positifnya berbagai atribut yang
dimilikinya dibandingkan dengan berbagai atribut yang dimiliki orang lain
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
35
yang sebaya dengan seseorang, atau dengan kata lain membandingkan
keadaan dirinya dengan keadaan orang lain yang sebaya dengannya.
e. Real Ideal Comparison (Perbandingan Diri Ideal)
Derajat kesesuaian antara pandangan seseorang mengenai diri yang
sebenarnya dan diri yang diciptakan yang membentuk rasa berharga
terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa cara penerimaan diri
ada lima yaitu reflected self scceptance, basic self acceptance, conditional self
acceptance, self evaluation, dan real ideal comparison.
C. Stroke
1. Pengertian Stroke
Stroke menurut WHO adalah gejala-gejala penurunan fungsi susunan
saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh
yang lain dari itu. Sedangkan menurut Lingga (2013) stroke adalah suatu
kondisi yang ditandai dengan serangan otak akibat pukulan telak yang terjadi
secara mendadak. Stroke juga didefinisikan sebagai gangguan saraf permanen
akibat terganggunya peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau
lebih. Sindrom klinis ini terjadi secara mendadak serta bersifat progresif
sehingga menimbulkan kerusakan otak secara akut dengan tanda klinis.
Stroke merupakan penyakit yang menyerang jaringan otak yang
disebabkan berkurangnya aliran darah dan oksigen ke dalam otak.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
36
Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini disebabkan karena adanya
sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah di dalam otak tersebut
(Junaidi, 2011). Lingga (2013) menjelaskan bahwa kebutuhan oksigen yang
banyak tersebut diperlukan untuk berfungsinya seluruh aktifitas otak yang
sangat berat. Oksigen diperlukan untuk aktifitas jutaan sel saraf yang ada pada
otak. Sel saraf otak bertugas mengatur seluruh proses biologi yang
berlangsung di dalam tubuh, termasuk untuk memelihara keseimbangan
emosi. Jika pasokan darah yang membawa oksigen dan nutrisi tidak dapat
mencapai otak, maka fungsi otak akan terhenti yang akhirnya berujung pada
kematian.
2. Pasca Stroke
Keadaan penderita pasca stroke dalam perjalanannya sangat beragam,
bisa pulih sempurna bisa sembuh dengan cacat ringan, sedang, dan cacat berat
khususnya pada kelompok umur di atas 45 tahun. Setelah serangan stroke
berlalu maka sel-sel otak yang mati dan bekuan darah akan diserap kembali,
lalu diganti dengan kista yang mengandung cairan otak. Proses di atas akan
berlangsung sekitar 3 bulan, dan 30 persennya akan tergantung pada alat atau
mungkin mengalami komplikasi yang dapat menimbulkan kematian (Junaidi,
2011).
Junaidi (2011) juga mengatakan bahwa banyak perubahan yang akan
terjadi pada diri penderita pasca stroke. Perubahan yang terjadi untuk
penderita yang mengalami stroke yang mengenai otak bagian kanan adalah
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
37
penderita akan memperlihatkan tingkah laku yang aneh, salah satunya adalah
menabrak barang-barang pada bagian kiri tubuh, walaupun tidak ada fungsi
tubuh yang hilang. Bila membaca hanya pada bagian kanan, mengetik,
memakai baju hanya dengan tangan kanan, dan makan hanya bagian kanan
piring. Serta terjadi kesulitan dengan oerientasi dan jarak meskipun dalam
lingkungan yang sudah biasa.
Penderita pasca stroke juga akan mengalami perubahan pikiran berupa
hilangnya semangat, ingatan, konsentrasi, dan fungsi kecerdasan. Penderita
juga akan mengalami gangguan indera perasa sehingga tidak dapat merasakan
panas, dingin, sakit pada satu sisi tubuh, termasuk kehilangan sensori yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk bicara atau mengerti bahasa (Junaidi,
2011).
Tidak hanya perubahan secara fisik saja, penderita pasca stroke juga akan
mengalami perubahan secara Psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Lingga
(2013) kondisi tidak berdaya akibat stroke yang dialami penderita pasca
stroke membuat penderita mengalami perubahan mental yang sulit ditutupi.
Perubahan-perubahan fisik yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan
penderita akhirnya mengalami stress, depresi, mudah tersinggung, mudah
marah, dan sedih. Ada pula yang putus asa dan kehilangan semangat hidup.
Junaidi (2011) juga berpendapat bahwa penderita pasca stroke akan
mengalami perubahan kepribadian dimana umumnya terjadi kejengkelan
karena hanya berbaring di tempat tidur sehingga dapat mengalami
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
38
ketidaktenangan, halusinasi dan atau delusi. Rangsangan yang berlebihan
karena bising dan banyak pengunjung. Individu yang baru mengalam stroke
memiliki daya memperhatikan amat singkat. Penderita juga menjadi galak dan
umumnya sulit hidup bersama mereka dan memperlihatkan sifat kekanak-
kanakan. Perubahan emosi juga akan dialami penderita pasca stroke yaitu
berupa gampang tertawa atau menangis silih berganti dengan sebab yang tidak
jelas. Penjelasan yang senada juga dikemukakan oleh Lingga (2013) sebagian
besar penderita pasca stroke tidak dapat menerima kehidupan baru yang
dialaminya. Penderita merasa gelisah, sedih, takut, dan stress atas kekurangan
fisik dan mental yang serba berubah. Kondisi seperti ini menyebabkan mereka
mudah tersinggung, cenderung marah tanpa sebab yang jelas, lesu, apatis dan
minder. Penderita juga tidak menyadari terjadinya gangguan emosi yang oleh
orang lain terasa sangat nyata.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan secara umum
bahwa penderita pasca stroke adalah kondisi dimana individu telah
mengalami mengalami stroke atau terserang stroke, sehingga mengakibatkan
penderita mengalami perubahan secara fisik yang akan berpengaruh pula pada
kondisi psikologis seperti stress, depresi, mudah tersinggung, mudah marah,
sedih, putus asa, takut, mudah marah, dan mudah tersinggung.
3. Jenis-Jenis Stroke
Menurut Lingga (2013) berdasarkan penyebabnya, stroke dibagi menjadi
dua, yaitu stroke iskemik atau stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
39
Stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah otak oleh plak
(materi yang terdiri atas protein, kalsium, dan lemak) yang menyebabkan
aliran oksigen yang melalui liang arteri terhambat. Adapun stroke hemoragik
adalah stroke yang terjadi karena perdarahan otak akibat pecahnya pembuluh
darah otak.
a. Stroke Iskemik
Sekitar 82% stroke merupakan stroke iskemik. Penggumpalan darah
yang bersirkulasi melalui pembuluh darah arteri merupakan penyebab
utama stroke iskemik. Ketika lemak terutama kolesterol, sel-sel arteri yang
rusak, kalsium serta materi lain bersatu dan membentuk plak, maka plak
tersebut akan menempel di bagian dalam dinding arteri terutama di bagian
pencabangan arteri. Pada saat yang bersamaaan sel-sel yang menyusun
arteri memproduksi zat kimia tertentu yang menyebabkan plak tersebut
menebal dan akhirnya liang arteri menyempit. Penyempitan liang arteri
menyebabkan aliran darah yang akan melalui liang tersebut terhambat.
Lokasi penyumbatan tersebut dapat terjadi pada pembuluh darah besar,
dan pembuluh darah sedang atau pembuluh darah kecil.
Proses penyumbatan berawal dari luka pada pembuluh darah yang
dipicu oleh radikal bebas, toksin yang berasal dari rokok, dan lemak tak
sehat yang bercampur dengan darah serta akibat infeksi patogen tertentu
pada dinding pembuluh darah. Penyebab lainnya adalah penyumbatan
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
40
pembuluh darah jantung yang menyebabkan darah yang berasal dari
jantung tidak dapat disalurkan ke otak.
Berdasarkan lokasi penggumpalan darah, stroke iskemik dibagi
menjadi dua, yaitu stroke iskemik trombolitik dan stroke iskemik embolitik.
1) Stroke Iskemik Trombolitik
Jenis stroke ini ditandai dengan pengumpalan darah pada pembuluh
darah yang mengarah menuju otak. Biasa pula disebut selebral
thrombosis. Proses thrombosis dapat terjadi di dua lokasi yang berbeda
yaitu pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil.
2) Stroke Iskemik Embolitik
Stroke iskemik embolitik merupakan jenis stroke iskemik dimana
penggumpalan darah bukan terjadi pada pembuluh darah otak melainkan
pada pembuluh darah yang lainnya. Menurunnya pasokan darah dari
jantung yang kaya oksigen dan nutrisi ke otak adalah faktor utama yang
menjadi penyebabnya. Stroke iskemik embolitik sering dipicu oleh
penurunan tekanan darah yang berlangsung secara drastis, misalnya ketika
seseorang melakukan aktifitas fisik berat sehingga mengalami kelelahan
fisik yang luar biasa.
b. Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik terjadi akibat pembuluh darah yang menuju ke
otak mengalami kebocoran (perdarahan). Kebocoran tersebut diawali
karena adanya tekanan yang tiba-tiba meningkat ke otak sehingga
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
41
pembuluh darah yang tersumbat tersebut tidak dapat lagi menahan
tekanan, akhirnya pecah dan menyebabkan perdarahan. Perdarahan
umumnya terjadi pada batang otak, selaput otak, dan serebrum.
Kebocoran tersebut menyebabkan darah tidak dapat mencapai sasarannya,
yaitu sel otak yang membutuhkan sel darah. Jika suplai darah terhenti,
dapat dipastikan suplai oksigen dan nutrisi yang diperlukan otak akan
terhenti pula dan akhirnya sel otak mengalami kematian.
Ada sejumlah faktor yang memicu terjadinya stroke hemoragik. Salah
satu penyebab stroke hemoragik adalah penyumbatan pada dinding
pembuluh darah yang rapuh mudah menggelembung, dan rawan pecah
terutama pada kelompok berusia lanjut. Hipertensi merukapan faktor
resiko terkuat yang menyebabkan terjadi perdarahan otak. Selain itu,
trauma fisik yang terjadi di kepala atau leher serta tumor di kepala juga
dapat mendorong perdarahan otak.
Berdasarkan lokasi perdarahan, stroke hemoragik dibedakan menjadi
dua, yaitu stroke hemoragik intraserebral dan stroke hemoragik
subaraknoid.
1) Stroke Hemoragik Intraserebral
Perdarahan terjadi di dalam otak, biasanya pada ganglia, batang otak,
otak kecil, dan otak besar. Jenis stroke ini yang menimbulkan dampak
paling fatal. Sebagain besar menderita yang mendapatkan stroke jenis ini
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
42
tidak dapat tertolong jiwanya karena untuk mengatasinya memerlukan
tindakan operasi yang harus dilakukan sesegera mungkin.
2) Stroke Hemoragik Subaraknoid
Stroke hemoragik subaraknoid ditandai dengan perdarahan yang
terjadi di luar otak, yaitu di pembuluh darah yang berada di bawah oak
atau di selaput otak. Perdarahan tersebut menekan otak sehingga suplai
darah ke otak terhenti. Ketika darah yang berasal dari pembuluh darah
yang bocor bercampur dengan cairan darah yang ada di batang dan selaput
otak, maka darah tersebut akan menghalangi aliran cairan otak sehingga
menimbulkan tekanan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirangkum kesimpulan
bahwa stroke dibagi menjadi dua secara garis besar yaitu stroke iskemik atau
stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik dibagi lagi
menjadi dua macam yaitu stroke iskemik trombolitik dan stroke iskemik
embolitik. Sedangkan stroke hemoragik dibagi lagi menjadi dua yakni stroke
hemoragik intraserbral dan stroke hemoragik subaraknoid.
4. Faktor-Faktor Resiko Stroke
Menurut Lingga (2013) faktor resiko stroke secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu:
a. Faktor tidak Terkendali
Faktor tidak terkendali adalah faktor yang tidak dapat diubah yang
terdiri dari:
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
43
1) Faktor Genetik
Gen tertentu memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap stroke.
Sifat genetik yang terbawa oleh bangsa berkulit hitam berisiko tinggi
terhadap stroke. Resiko yang hampir sama juga dimiliki oleh gen
keturunan Afrika-Amerika.
2) Cacat Bawaan
Individu yang memiliki cacat pada pembuluh darahnya (cadasil)
berisiko tinggi terhadap stroke. Jika individu mengalami kondisi seperti
ini, maka mereka umumnya akan mengalami stroke pada usia yang
terbilang masih muda.
3) Usia
Pertambahan usia meningkatkan resiko terhadap stroke. Hal ini
disebabkan melemahnya fungsi tubuh secara menyeluruh terutama terkait
dengan fleksibilitas pembuluh darah.
4) Gender
Pria lebih beresiko terhadap stroke disbanding wanita. Sejumlah
faktor turut memengaruhi mengapa hal tersebut dapat terjadi. Kebiasaan
merokok yang lebih banyak dilakukan oleh kaum pria menjadi salah satu
pemicu stoke pada sebagian besar kaum pria. Pola hidup tidak teratur yang
umumnya dilakukan oleh kaum pria tampaknya merupakan sebuah alasan
mengapa kaum pria lebih beresiko terhadap stroke disbanding kaum
wanita.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
44
5) Riwayat penyakit dalam keluarga
Resiko terhadap stroke terkait dengan garis keturunan. Para ahli
menyatakan adanya gen resesif yang memengaruhinya. Gen tersebut
terkait dengan peyakit-penyakit yang merupakan faktor resiko pemicu
stroke. Penyakit terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes,
hipertensi, hiperurisemia, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, dan
kelainan pada pembuluh darah yang bersifat menurun.
b. Faktor yang dapat Dikendalikan
Faktor-faktor yang bisa dikendalikan ini terdiri dari gaya hidup tidak
sehat yang memicu terjadinya penyakit-penyakit tertentu yang mendorong
serangan otak. Faktor-faktor resiko yang dapat dicegah ini diantaranya
adalah:
1) Kegemukan (obesitas)
2) Penyakit jantung, diabetes, tumor otak, hipertensi, hiperlipidemia
(kadar lemak dalam darah yang tinggi), hiperurisemia (kadar asam
urat dalam darah yang tinggi).
3) Gaya hidup seperti kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi
alkohol, malas berolahraga, konsumsi obat-obatan bebas dan
psikotropika, dan stres
4) Cedera pada leher dan kepala
5) Kontasepsi berbasis hormon dan terapi sulih hormon
6) Infeksi
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
45
7) Mengorok
Berdasarkan poin-poin yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa faktor resiko stroke secara garis besar dibagi menjadi dua
yaitu faktor tak terkendali, dan faktor yang tidak dapat dikendalikan. Faktor
terkendali diantaranya adalah faktor genetik, cacat bawaan, usia, gender, dan
riwayat penyakit dalam keluarga. Sedangkan faktor yang tidak dapat
dikendalikan meliputi kegemukan, penyakit jantung, diabetes, tumor otak,
hipertensi, hiperlipidemia (kadar lemak dalam darah yang tinggi),
hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah yang tinggi), gaya hidup, cedera
pada leher dan kepala kontasepsi berbasis hormone dan terapi sulih hormone,
infeksi, dan mengorok.
5. Kelumpuhan Penderita Pasca Stroke
Lingga (2013) mengatakan bahwa kelumpuhan adalah cacat paling umum
dialami oleh penderita stroke. Stroke umumnya ditandai dengan cacat pada
salah satu sisi tubuh, jika dampaknya tidak terlalu parah hanya menyebabkan
anggota tubuh tersebut menjadi tidak bertenaga. Kelumpuhan dapat terjadi di
berbagai bagian tubuh, mulai dari wajah, tangan, kaki, lidah, dan tenggorokan.
Berikut adalah skala kelumpuhan akibat stroke menurut Neil F. Gordon
(dalam Lingga, 2013):
a. Skala 1: Penderita masih dapat melakukan hal-hal ringan yang sebelumnya
mampu dilakukannya.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
46
b. Skala 2: Penderita tidak mampu melakukan semua pekerjaan seperti
semula, namun tanpa bantuan orang lain masih bisa berusaha
melakukannya sendiri.
c. Skala 3: Penderita memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan
pekerjaan tertentu, namun masih dapat berjalan tanpa dibantu orang lain
meskipun harus menggunakan tongkat.
d. Skala 4: Penderita tidak dapat lagi berjalan tanpa dipapah oleh orang lain.
Mereka juga memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan pekerjaan
yang sebelumnya dilakukannya sendiri, misalnya mandi, ke toilet dan
menyisir rambut.
e. Skala 5: Penderita tidak lagi dapat melakukan aktivitas fisik apa pun.
Semua aktivitas dan kebutuhan hidupnya bergantung bantuan orang lain
serta memerlukan perhatian seseorang yang merawatnya.
Dampak kelumpuhan tidak hanya diklasifikasikan ke dalam bentuk skala,
akan tetapi kelumpuhan penderita stroke juga dibedakan berdasarkan stroke
yang dialami mengenai otak kanan atau otak kiri. Seperti yang dijelaskan oleh
Lingga (2013) jika sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan adalah sisi kiri
disebut stroke kiri, dan jika yang mengalami kelumpuhan sisi tubuh bagian
kanan maka disebut stroke kanan.
Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh terkait dengan sisi otak yang
mengalami kerusakan. Stroke kiri disebabkan otak kanan mengalami
kerusakan, adapun stroke kanan disebabkan otak kiri yang mengalami
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
47
kerusakan, dalam istilah medis, stroke kiri disebut nondominan stroke dan
stroke kanan disebut dominan stroke. Selain ditandai oleh kelumpuhan pada
sisi tubuh yang berbeda, antara stroke nondominan dan stroke dominan juga
ditandai dengan gejala spesifik yang berbeda, yaitu:
a. Gejala spesifik stroke nondominan:
1) Penderita mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang berhubungan
dengan ruang misalnya menggambar.
2) Penderita mengalami gangguan dalam menginterpretasikan apa yang
dilihatnya.
3) Penderita mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi atau kurang atensi
terhadap sesuatu.
4) Penderita mengalami kesulitan ketika berpakaian.
b. Gejala spesifik dominan stroke:
1) Penderita tidak bisa lagi melakukan pekerjaan yang sebelumnya dapat
dilakukan termasuk pekerjaan paling sederhana.
2) Penderita sulit memahami pembicaraan orang lain dan sulit berbicara.
D. Dinamika Psikologis
Penderita pasca stroke setelah mengalami stroke akan mengalami berbagai
perubahan di dalam kehidupannya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan
fisik dan perubahan psikologis. Perubahan fisik diantaranya adalah mengalami
kelumpuhan, kurangnya kemampuan berbicara, perubahana daya pikir,
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
48
perubahan perilaku dan emosi. Sedangkan perubahan fisik tersebut juga akan
memberikan kontribusi pada perubahan psikologis yaitu penderita akan menjadi
mudah marah, mudah tersinggung, emosinya mudah berubah, sulit mengontrol
emosi negatif, dan sedih.
Perubahan fisik maupun perubahan psikologis tersebut membuat penderita
menilai atau mengevaluasi kehidupannya secara negatif, karena kehidupan yang
dijalani sudah berubah tidak seperti yang diharapkan oleh penderita yaitu seperti
semula ketika sebelum mengalami stroke. Penilaian dan evaluasi yang negatif
terhadap hidup akan membuat penderita menjadi merasa tidak tidak puas dengan
kehidupannya.
Perubahan kondisi fisik, kondisi psikologis serta penilaian atau evaluasi
yang negatif terhadap kehidupannya tersebut, mengakibatkan penderita akan sulit
mengontrol emosi negatifnya. Hal ini dikarenakan perubahan kondisi psikologis
yang dialami penderita sudah mengarah pada sulitnya mengontrol emosi negatif
ditambah penilaian penderita terhadap hidupnya yang cenderung negatif. Kondisi
penderita yang sulit mengontrol emosi negatifnya membuat penderita menjadi
jarang merasakan emosi positif.
Kondisi tersebut menggambarkan permasalahan subjective well-being yang
dimiliki penderita pasca stroke setelah mengalami stroke dengan berbagai
perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya. Permasalahan subjective well-
being tersebut akan dapat diminimalisir dengan cara penderita pasca stroke
menerima dirinya atau memiliki penerimaan diri.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
49
Penderita pasca stroke yang dapat menerima dirinya tidak akan
menyalahkan dirinya atas keterbatasan yang dimiliki. Keterbatasan-keterbatasan
yang dialaminya tidak dianggap sebagai hal yang aneh atau abnormal sehingga
penderita tidak merasa ditolak oleh orang lain. Penderita pasca stroke yang tidak
menganggap dirinya aneh atau abnormal tidak akan merasa malu sehingga
penderita tidak hanya memperhatikan dirinya dengan melakukan segala cara
untuk kesembuhannya akan tetapi tetap memiliki harapan yang realistis untuk
kesembuhannya, sehingga penderita akan tetap bermanfaat bagi orang lain.
Penderita yang merasa rendah diri terhadap kekurangan dirinya akan memiliki
keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi persoalan-persolan yang
dialaminya setelah mengalami stroke. Keyakinan penderita pasca stroke terhadap
kemampuannya dalam menghadapi permasalahan membuat penderita berani
dalam memikul tanggung jawab atas perilakunya di masa lalu yang
menyebabkan penderita mengalami stroke. Proses panjang yang dialami
penderita pasca stroke dalam menerima dirinya akan membawa penderita
menjadi merasa berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang
lain.
Ketika penderita pasca stroke mengalami proses dalam menerima dirinya
dan merasa berharga sebagai seorang manusia, penderita akan mulai dapat
mengevaluasi kehidupannya secara lebih positif. Evaluasi yang positif tersebut
akan menumbuhkan emosi positif dalam diri penderita. Evaluasi positif terhadap
kehidupan juga akan membuat penderita mampu mengontrol emosi yang negatif.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
50
Sehingga penderita pasca stroke akan senantiasa merasakan subjective well-
being.
E. Pengaruh Penerimaan Diri terhadap Subjective Well Being pada Penderita
Pasca Stroke
Stroke mengakibatkan berbagai perubahan di dalam diri penderitanya. Selain
dampak secara fisik yang sangat menonjol, stroke akan berdampak pada kondisi
sosial dan ekonominya. Selain itu, penderita juga akan mengalami perubahan
secara psikologis. Perubahan secara psikologis pada penderita pasca stroke
disebabkan oleh perubahan aktifitas keseharian dari penderita.
Penderita pasca stroke tetap harus menjalani kehidupannya dan bisa
berdampingan dengan penyakit yang dideritanya. Penderitaan yang dialami oleh
penderita pasca stroke bukan berarti penderita tidak bisa merasakan kesejahteraan
dan kebahagiaan. Karena rasa bahagia akan mampu membawa dampak positif
bagi kesembuhan penderita pasca stroke. Hal ini dijelaskan oleh Myers (2015)
bahwa keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari
penyakit dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak
bahagia. Kebahagiaan dapat ditemukan ketika seseorang individu memiliki
subjective well-being.
Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya
memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan
lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
51
hidup dengan lebih baik. Sedangkan individu yang dikatakan memiliki subjective
well-being rendah individu merasa tidak puas dengan kehidupannya, mengalami
sedikit kebahagiaan dan kasih sayang serta lebih sering merasakan emosi yang
negatif seperti kemarahan atau kecemasan (Diener dkk, dalam Eid & Lanrsen,
2008). Penderita pasca stroke yang memiliki subjective well-being akan
senantiasa merasakan emosi yang positif dan mampu mengontrol emosinya serta
mampu menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya meskipun pada
kenyataannya peristiwa yang dialami adalah hal yang tidak menyenangkan. Akan
tetapi jika penderita pasca stroke tersebut memiliki subjective well-being rendah,
maka penderita akan memandang bahwa peristiwa yang dialaminya adalah hal
yang tidak menyenangkan sehingga individu merasakan lebih banyak emosi-
emosi yang negatif.
Stroke adalah salah satu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dialami
oleh penderitanya. Hal ini dikarenakan stroke dapat membuat perubahan yang
besar dalam kehidupan penderita. Perubahan tersebut membuat penderita pasca
stroke harus menjalani kehidupannya dalam kondisi yang tidak menyenangkan
setelah mengalami serangan stroke. Kondisi yang tidak menyenangkan ini akan
mempengaruhi subjective well-being penderita pasca stroke. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Wyller, dkk (1998) yang menunjukkan bahwa kondisi
subjective well-being pada penderita stroke lebih rendah dibandingkan penderita
non-stroke.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
52
Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan kondisi kehidupan yang
dialaminya, penderita pasca stroke dapat bangkit dari ketidakberdayaannya
dengan menerima kenyataan yang terjadi sehingga akan mendapatkan subjective
well-being. Penderita pasca stroke akan memandang kehidupannya lebih positif,
memiliki kepuasan hidup, kepuasan domain, seringkali merasakan emosi positif
dan jarang mengalami emosi negatif.
Menerima kenyataan yang dialami dalam kehidupan individu akan membuat
individu merasakan kenyamanan dalam hidupnya sehingga akan merasakan emosi
yang lebih positif. Hal ini dijelaskan dalam penelitian mengenai subjective well-
being dan penerimaan diri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nayana (2013)
yang menjelaskan walaupun individu memiliki kondisi diri yang tidak stabil
namun bila individu tersebut memiliki penerimaan diri, penyesuaian diri atau
adaptasi yang baik dengan lingkungannya juga akan membuatnya menjadi
nyaman dengan kondisi dirinya. Selain itu, Noviyanti (2014) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa ketika individu mampu berpikir positif dengan melihat
kelebihan dibalik kekurangannya, maka pada saat itu pula muncul usaha untuk
menyesuaikan diri. Pada penyesuaian diri tersebut secara tidak langsung, individu
akan mampu mengendalikan diri secara emosional. Jika individu mampu
mengendalikan emosinya maka individu tersebut akan mampu merasakan emosi
yang positif.
Kepuasan hidup yang dimiliki oleh individu merupakan salah satu komponen
subjective well-being. Kepuasan hidup adalah kondisi individuatif dari keadaan
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
53
pribadi individu sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari
adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan
dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 2011). Rasa senang atau tidak senang
penderita pasca stroke dalam menghadapi kenyataan yang dirasakannya dapat
memperlihatkan apakah penderita memiliki subjective well-being. Penderita pacsa
stroke yang tetap merasa senang dengan kenyataan yang dialami maka
sebelumnya individu tersebut sudah menerima keadaan dirinya sehingga tetap
mampu merasakan perasaan senang.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being pada
penderita pasca stroke baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar
dirinya. Faktor yang terdapat dari dalam diri salah satunya adalah penerimaan diri.
Di dalam studi yang dilakukan mulai akhir tahun 1940-an, sebagian besar di
bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri, telah menegaskan
bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif,
memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa
kehidupan negatif (Szentagotai dan David dalam Bernard, 2013).
Banyak penelitian yang dilakukan mengenai dampak positif penerimaan diri
bagi kondisi psikologis individu. Penerimaan diri yang positif dapat
meningkatkan kebahagiaan pada diri penderita pasca stroke. Seperti yang
disampaikan oleh Rykman (2006) bahwa penerimaan diri yang positif akan
menumbuhkan perasaan bahagia dan nyaman, karena pada dasarnya salah satu
komponen yang dapat menimbulkan individu merasa bahagia adalah adanya
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
54
penerimaan diri, menerima apa adanya kelebihan dan kelemahan diri. Sedangkan
menurut Xu dkk (2014) telah ditemukan bukti-bukti kuat adanya hubungan antara
penerimaan diri dengan subjective well-being.
Oleh karena itu peneliti menduga penerimaan diri memberikan pengaruh
positif terhadap subjective well-being pada penderita pasca stroke. Penderita
pasca stroke yang dapat menerima dirinya akan berusaha untuk berpikir positif
tentang segala peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya. Penerimaan diri
akan membantu penderita pasca stroke untuk mengevaluasi dirinya secara positif,
tetap merasakan emosi yang positif dan dapat mengendalikan emosi negatif.
Berdasarkan kajian yang telah diuraikan peneliti menduga adanya pengaruh
positif antara penerimaan diri terhadap subjective well-being yang akan diujikan
pada penderita pasca stroke.
F. Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dijelaskan bahwa setelah
mengalami stroke penderita pasca stroke akan mengalami berbagai perubahan
yang signifikan dalam kehidupannya baik perubahan secara fisik maupun
psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Lingga (2013) kondisi tidak berdaya akibat
stroke yang dialami penderita pasca stroke membuat penderita mengalami
perubahan mental yang sulit ditutupi. Perubahan-perubahan fisik yang telah
dijelaskan sebelumnya menyebabkan penderita akhirnya mengalami stress,
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
55
depresi, mudah tersinggung, mudah marah, dan sedih. Ada pula yang putus asa
dan kehilangan semangat hidup.
Beban fisik maupun psikologis yang harus ditanggung, menimbulkan reaksi
yang berbeda bagi setiap penderitanya. Ada yang tetap dapat merasakan
kebahagiaan, merasa puas dengan kehidupan yang telah dijalani, memiliki
penilaian positif tentang dirinya, dan tidak banyak merasakan emosi yang negatif
sehingga individu tersebut memiliki subjective well-being. Akan tetapi ada pula
yang tidak mampu merasakan emosi yang positif, tidak memiliki kepuasan hidup,
menilai diri secara negatif, dan lebih banyak merasakan emosi yang negatif.
Banyak faktor yang mempengaruhi subjective well-being, diantaranya adalah
faktor dari dalam dan faktor dari luar individu.
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dilakukan dalam studi
pendahuluan, penderita pasca stroke setelah terserang stroke, mengalami
perubahan di dalam dirinya baik perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan
fisik dan perubahan psikologis tersebut merupakan suatu permasalahan yang
diduga mengakibatkan penderita pasca stroke kurang dapat memiliki subjective
well-being. Akan tetapi di sisi lain ada penderita pasca stroke yang tetap dapat
merasakan subjective well-being karena penderita berusaha untuk berpikir bahwa
stroke yang diderita merupakan ujian dari Tuhan yang harus diterimanya. Peneliti
mengindikasikan bahwa penerimaan diri menjadi faktor yang dapat membantu
penderita pasca stroke untuk merasakan subjective well-being. Berdasarkan
pengakuan penderita pasca stroke yang telah diobservasi dan diwawancara,
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
56
penderita yang menunjukkan sikap menerima dirinya lebih memiliki penilaian
positif tentang dirinya, dan tidak banyak merasakan emosi yang negatif.
Oleh karena itu, penerimaan diri dianggap penting dalam membantu
penderita pacsa stroke untuk tetap merasakan subjective well-being. Penelitian ini
akan dilaksanakan dengan menguji pengaruh penerimaan diri terhadap subjektif
well-being penderita pasca stroke dan seberapa besar pengaruhnya. Jika
penerimaan diri yang dimiliki oleh penderita pasca stroke rendah maka subjective
well-being yang dialami oleh penderita pasca stroke rendah. Begitu pula
sebaliknya, jika penerimaan diri yang dimiliki oleh penderita pasca stroke tinggi
makan subjective well-being yang dialami oleh penderita pasca stroke tinggi pula.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
57
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Penderita Pasca Stroke
Psikologis
Penerimaan Diri:
1. Keyakinan akan kemampuan
individu untuk menghadapi
persoalan.
2. Harga diri sebagai seorang
manusia dan sederajat dengan
orang lain.
3. Tidak menganggap diri sendiri
aneh atau abnormal.
4. Tidak malu atau hanya
memperhatikan diri sendiri.
5. Berani memikul tanggung
jawab terhadap perilakunya.
6. Menerima pujian atau celaan
secara objektif.
7. Tidak menyalahkan diri atas
keterbatasan yang dimilikinya.
Subjective Well-Being:
1. Kepuasan hidup
2. Afeksi positif
3. Afeksi negatif
Rendah
Fisik
Tinggi Rendah Tinggi
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
58
G. Hipotesis
Berdasarkan uraian permasalahan dan teori yang telah dijelaskan, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh penerimaan diri
terhadap subjective well-being pada penderita pasca stroke di Puskesmas wilayah
Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.
Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015