BAB I PENDAHULUAN wrong to marry a man that tempted to do...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN wrong to marry a man that tempted to do...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
'I know it is; and I know there is truth and sense in what you say; but youneed not fear me, for I not only should think it wrong to marry a man thatwas deficient in sense or in principle, but I should never be tempted to doit; for I could not like him, if he were ever so handsome and ever socharming in other respects; I should hate him—despise him—pity him—anything but love him. My affections not only ought to be founded onapprobation, but they will and must be so: for without approving I cannotlove. It is needless to say I ought to be able to respect and honour the manI marry as well as love him, for I cannot love him without. So set yourmind at rest (Bronte: P.127-128).'
The Tenant of Wildfell Hall menceritakan bentuk usaha seorang perempuan
untuk keluar dari sistem sosial yang dianggap normal dalam masyarakat Inggris.
Sistem tersebut sangat merugikan kaum perempuan. Di dalam novel TToWH ini,
karakter utama perempuan, Helen, berusaha keluar dari sistem tersebut untuk
mendapatkan kesataraan antara hak perempuan dan laki-laki. The Tenant of Wildfell
Hall adalah novel kedua dan terakhir dari karya penulis Inggris, Anne Brontë. Novel
ini diterbitkan pada tahun 1848 di bawah nama samaran Acton Bell. Mungkin yang
paling mengejutkan dari novel Bronte ini adalah novel ini memiliki kesuksesan
2
fenomenal instan tapi setelah kematian Anne, novel ini dicegah untuk di re-publikasi.
Novel ini juga telah dianggap sebagai novel klasik Sastra Inggris.
Novel ini dibagi menjadi tiga volume. Pada bagian satu dari novel ini
menceritakan tentang seorang janda, Helen Graham dan anaknya,Arthur, yang baru
tinggal di Wildfell Hall, disebuah rumah tua. Di Wildfell Hall, Helen berkenalan
dengan Gilbert Markham, seorang petani muda yang cukup berada disana. Keduanya
pun saling suka satu sama lain. Pada satu saat, Gilbert dilanda rasa cemburu karena
dia mempercayai rumor yang berkembang bahwa Helen berpacaran dengan temannya
Lawrence. Rumor ini sengaja diciptakan oleh Eliza sahabat Gilbert. Oleh sebab itu,
satu kesempatan ketika Gilbert ketemu Lawrence diperjalanan, Gilbert memukul
Lawrence dengan gagang cambuk, yang menyebabkan dia jatuh dari kudanya dan
terluka. Dengan kejadian ini, Helen menolak untuk menikahi Gilbert, tetapi Helen
memberi Gilbert buku hariannya dengan tujuan Gilbert tahu siapa Helen sebenarnya.
Pada bagian kedua dari novel ini merupakan cerita yang ada di buku harian
Helen. Buku harian tersebut menceritakan pernikahannya dengan Arthur Huntingdon.
Arthur adalah laki-laki tampan, cerdas, egois, dan manja. Sebelum Helen yang
dibesarkan paman dan bibinya menikah dengan Arthur, Helen sempat dijodohkan
paman dan bibinya dengan seorang lelaki tua kaya yang patut jadi ayahnya. Helen
menolak dan berusaha menyakinkan paman dan bibinya bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memilih pasangan hidupnya. Helen berpendapat
3
bahwa dia harus mencintai dan menghormati seseorang yang akan menjadi suaminya
bukan dijodohkan karena ketampanan dan kekayaan saja.
Akhirnya dia menikah dengan seorang laki-laki pilihannya, Arthur. Dia
berpikir dengan menikahi pria pilihannya sendiri akan membuat dia bahagia, tetapi
kehidupan tidak semulus yang dia pikirkan. Arthur selalu menyakitinya dan dia selalu
diperlakukan buruk. Helen ibarat bagai burung didalam sangkar yang tak mampu
berbuat apa-apa. Arthur selalu mabuk-mabukan, berpesta pora dan selalu berpergian.
Helen merasa kedudukan dia sebagai seorang istri tidak pernah dihargai dan juga
pendapatnya tidak pernah didengar. Oleh karena itulah, dia mencoba untuk
memperbaiki keadaan tersebut. Dia ingin diperlakukan selayaknya seorang istri atau
manusia yang bisa memberikan pendapat pada suami. Seorang suami seharusnya
peduli dengan perasaan istrinya, bukan mementingkan dirinya sendiri dengan mabuk-
mabukan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Disamping itu, Arthur juga
sangat sewenang-wenang sebagai suami dan Arthur juga punya hubungan khusus
dengan perempuan lain, Lady Lowborough. Helen menyadari bahwa kalau dia
berusaha untuk keluar dari sistem sosial yang sudah normal dalam masyarakat. Maka
hal ini, akan sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat. Aturan
yang sangat berpegang teguh pada ajaran agama. Ajaran yang mengajarkan seorang
istri harus tunduk pada suaminya. Baik agama Protestant dan agama Katolik
menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada kedudukan laki-laki.
Menurut ajaran-ajaran Marthin Luther dan John Calvin, walaupun pria dan
4
perempuan bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, perempuan tidak layak
berpergian, perempuan harus tinggal dirumah dan mengatur rumah tangganya. Kitab
Injil mengutip ucapan Santo Paulus: "and the head of every woman is man. Let your
women be silent in the churches, for it is not permitted unto them to speak". Kitab
injil juga mengutip ucapan Santo Petrus: "Ye wives, be in subjection to your own
husbands," (para istri hendaknya tunduk kepada suaminya) (Djajanegara S, 2000: 2).
Arthur juga dianggap memberikan contoh yang kurang baik bagi anaknya
sehingga hal ini yang ingin Helen perbaiki. Menurutnya, tidak selamanya suami
selalu benar dan istri harus menurut pada suami. Sebagai suami istri, mereka
seharusnya saling bahu membahu dalam mengarungi rumah tangga dan membesarkan
anak-anak. Akhirnya karena tidak tahan dengan kondisi semua ini, Helen kabur dari
rumah dengan melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan istri pada masa itu.
Dengan kaburnya Helen tanpa seizin suaminya, berarti Helen telah melakukan hal
yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat inggris waktu
itu. Aturan yang tidak membolehkan seorang istri kabur tanpa seizin suaminya.
Aturan yang juga tidak membolehkan seorang istri membanting pintu kamar didepan
suaminya. Hal ini membuat gempar masyarakat Inggris pada waktu itu. Menurut
mereka, Helen sudah melanggar aturan dan norma yang ada dalam masyarakat pada
masa Victoria. Di bagian ketiga diceritakan Arthur sakit parah dan Helen terpaksa
kembali kerumah suaminya dan akhirnya Arthur meninggal dan Helen menikah
dengan Gilbert.
5
Dari novel ini, terlihat adanya kompetesi kekuasaan terhadap perebutan
sesuatu yang dianggap normal. Disisi yang satu, menganggap bahwa sistem sosial
yang telah dikonstruksi oleh norma-norma agama yang sudah ada dan juga nilai-nilai
tradisional yang dicetuskan Ratu Victoria. Norma dan nilai-nilai yang mengharuskan
perempuan tunduk, patuh, bersikap pasif, pasrah dan rajin mengurus keluarga dan
rumah tangga atau memelihara domestisitas benar (Djajanegara S, 2000: 5). Disisi
yang lain dari novel ini, semua itu merupakan ideologi gender yang bias yang
dipandang sangat merugikan kaum perempuan pada era Victoria. Oleh karena itu, dia
berusaha melawan dan keluar dari sistem sosial yang dianggap normal tersebut. Atau
dengan kata lain karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall
berusaha mende-normalisasikan sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakat
terutama sistem patriarki. Sistem Patriarki, istilah yang dipakai untuk
menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok
mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Sesuai dengan konsep Foucault
tentang kekuasaan, menurutnya: "kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari
relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung
dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini
berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan
regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan
susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya
terjadi (Foucault, 2002 : 144).’
6
Pada uraian tersebut telah dijelaskan bahwa novel ini ditulis oleh Anne Bronte
pada era Victoria. Pada era Victoria, perbedaan peranan antara perempuan dan laki-
laki masih menjadi suatu hal yang sangat menguntungkan kaum laki-laki. Mereka
masih beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki tugas yang berbeda-
beda. Laki-laki menurut ideal zamannya memiliki fisik yang lebih unggul, rasional
dan mendominasi kegiatan sosial. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai
subject yang pasif, emosional, dan spiritual. Pada masa ini, kedudukan perempuan
diposisikan pada kelompok yang inferior, tidak hanya dijelaskan secara biologis saja
tetapi juga tercatat dalam alkitab. Perempuan pada masa ini juga dituntut untuk
memiliki nilai moral yang tinggi serta harus taat beragama. Mereka diharapkan untuk
dapat membangun suasana rumah tangga yang religius. Di Era ini juga perempuan di
tuntut untuk menjadi perempuan “ideal” yang memenuhi standar yang telah
ditetapkan oleh masyarakat pada waktu itu. Perempuan sangat tergantung kepada
ayah dan suami mereka. Mereka dituntut untuk bisa menjadi putri yang baik, istri
yang patuh, dan menjadi ibu yang harus bisa merawat anak- anaknya. Gambaran
perempuan yang seperti ini memperlihatkan bagaimana kuatnya sistem patriarki
dalam komunitas sosial. Tidak jarang perempuan di era Victoria menjadi depresi
karena tekanan-tekanan dan beban yang diberikan di setiap tahap kehidupan mereka.
Apapun yang mereka lakukan harus sesuai yang kaum lelaki inginkan walaupun itu
salah ( Abrams, 2001:1-5 & Viernes, 21 de enero de 2011).
Situasi ini telah berjalan selama berabad-abad dengan posisi relasi yang
timpang antara perempuan dan laki-laki. Artinya jika kaum perempuan sendiri tidak
7
menyadari bahwa posisinya berada dalam ketertindasan memang bisa dipahami
karena struktur dan kultur patriarkhi yang ditanamkan sangat kuat, sekalipun hal ini
sangat tragis. Disini terjadi kekuasaan khas ideologi gender yang bias, yakni menang
dengan cara melenyapkan pihak lain. Keberadaan pihak lain dinisbikan karena dialah
yang dianggap benar.
Dalam situasi seperti itulah, bisa dipahami bagaimana pola relasi yang
timpang telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang secara
intensif terjadi terus menerus, sepanjang hari dalam praktek kehidupan keluarga.
Dengan ayah sebagai posisi kepala keluarga maka ideologi gender seolah
dikukuhkan. Akibat ideologi gender ini, membuat relasi perempuan dan laki-laki sulit
untuk keluar dari stigma masyarakat. Perempuan pada akhirnya berada dalam posisi
dengan subordinat dari dominasi laki-laki. Relasi perempuan dan laki-laki tampak
sebagai sebuah relasi yang tidak adil, korup, manipulatif dan bersifat vertikal.
Novel ini juga dibuat menjelang abad ke-19 dimana feminisme lahir menjadi
gerakan yang cukup mendapatkan perhatian. Pada awalnya, gerakan ini memang
diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamenatalisme agama
yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Sebagian kaum
perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau
yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan
yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya
8
mereka itu dari kalangan perempuan karir yang sukses, punya prestasi, punya
background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua
perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau
perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya
era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang
kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia (Gamble, 2004)
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang
cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang
demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan
tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial
dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792
Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of
Women yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian
hari. Pada tahun-tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek
perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum
ini mulai diperbaiki. Mereka juga diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi
hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum
pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum
perjuangannya: Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak
berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah
9
gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan
perempuan, dan phalogosentrisme. (Gamble, 2004)
Maka dari itu Anne Bronte (17 Januari 1820 - 28 Mei 1849) adalah seorang
novelis Inggris dan penyair, anggota termuda dari Brontë keluarga sastra. Putri
seorang pendeta Irlandia yang miskin di Gereja Inggris, mencoba mengubah
pandangan masyarakat Inggris pada waktu itu dengan mencoba menulis sebuah karya
berjudul The Tenant of Wildfell Hall, dan dianggap sebagai salah satu novel yang
pertama yang membawa ide tentang feminis, muncul pada tahun 1848. (debate.org,
2014)
Disamping itu juga novel ini merupakan novel yang sangat fenomenal karena
banyak dibicarakan dan membuat gempar seluruh Inggris masa Victoria karena ada
bagian yang sangat berani dan sangat melanggar konvensi social, dan hukum Inggris
seperti yang penulis baca disebuah artikel yang ditulis Mei Sinclair pada tahun 1913.
Dari uraian diatas, membuat penulis untuk lebih dalam lagi menganalisa novel ini,
karena novel ini tidak hanya membawa ide feminisme saja tapi dianggap juga novel
klasik sastra inggris yang sangat fenomenal.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di latar belakang masalah diatas, terlihat jelas bahwa pada zaman
Victoria terdapat nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang sangat kuat yang
10
mengharuskan perempuan harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan kaum laki-
laki. Sehingga hal ini sangat merugikan kaum perempuan. Namun didalam novel
karya Anne Bronte, ada karakter utama perempuan yang mencoba untuk keluar atau
mendobrak sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu, sehingga penulis
tertarik untuk menganalisa novel tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk de-normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter
utama perempuan yang terjadi dalam novel The Tenant of Wildfell Hall?
2. Mengapa pengarang mencoba menjelaskan de-normalisasi kekuasaan lewat novel
The Tenant of Wildfell Hall?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan,
melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang direncanakan. Penelitian ini
memiliki tujuan teoritis untuk mengungkapkan bentuk De-Normalisasi kekuasaan
yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall.
Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengungkapkan mengapa pengarang, Anne
Bronte mencoba menjelaskan de-normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal
pada masa Victoria. Sedangkan tujuan praktis dalam penelitian ini adalah hasil
penelitian ini nantinya diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa,
pengajar, peneliti dan pembaca tentang feminisme.
11
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka, penulis mencoba mencari penelitian yang terdahulu
yang menggangkat novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte, dan setelah
penulis mencoba mencari penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa
penelitian yang menggangkat novel ini sepanjang pengetahuan penulis diantaranya
adalah sebagai berikut: Pertama, M.Rizal (2007) telah menganalisa novel The Tenant
of Wildfell Hall, thesisnya berjudul Main Female Character Domination to Be
Independent in Anne Bronte's The Tenant Of Wildfell Hall. Dalam analisanya
menyatakan bahwa novel ini merupakan novel yang sangat penting dan bagus pada
zaman Victoria dan yang layak mendapatkan perhatian khusus sebagai sebuah karya
fiksi. Dalam analisisnya, M. Rizal menyatakan bahwa novel Anne Bronte ini
mengandung ide-ide feminisme yang digambarkan dalam karakter Helen, Helen
mewakili karakter perempuan dalam novel ini. Dia ingin menyampaikan pesan bahwa
seharusnya ada kebebasan setiap perempuan untuk menentukan seorang laki-laki
yang ingin dia nikahi. Dia menyatakan bahwa seharusnya tidak ada ikatan pernikahan
(Wedlock) karena setiap orang-perempuan-mempunyai hak untuk memilih seseorang
untuk dicintai dan mencintai.
Kedua, Rebecca Lynn Lupold, University of Montana Missoula USA (2008)
telah menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall dalam thesisnya berjudul
Dwelling and The Woman Artist in Anne Bronte's The Tenant of Wildfell Hall. Dalam
thesisnya, Lupold menggunakan teori Heidegger tentang konsep Dwelling untuk
12
menganalisa bagaimana lingkungan dan spaces rumah yang nyaman buat Helen untuk
mengembangkan karir keartisannya sebagai pelukis di Wildfell Hall dan Grassdale,
dan mampu menghidupi dia dan anaknya dari keartisannya. Serta menganalisa
hubungannya dengan Albert yang mampu memberikan dwelling yang diinginkan,
beda halnya dengan Arthur suaminya Helen. Lupold menganalisa novel ini per
volume dari volume 1 sampai volume 3.
Ketiga, Miftakhul Maarif (2010) dengan judul thesisnya Woman's struggle
against Gender inequality in The Tenant of Wildfell Hall by Anne Bronte. Dalam
thesisnya, Miftakhul Maarif menggunakan kritik sastra feminis untuk menganalisa
karakter utama khususnya karakter perempuan dalam novel Anne Bronte. Analisanya
mengambil pandangan tentang feminisme yang menghadirkan masalah perjuangan
perempuan terhadap ketimpangan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Fokus
utamanya pada posisi dan peranan karakter perempuan yang ditempatkan inferior
atau di marginalkan oleh kaum laki-laki.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh peneliti dari University of Findlay,
Nicole A. Diederich (2013) dengan judul penelitian The Art of Comparison:
Remarriage in Anne Brontë's The Tenant of Wildfell Hall, dipenelitian ini, Diederich
mengatakan bahwa novel ini merupakan novel yang membawa ide-ide tentang
feminisme dan merupakan sebuah kritik terhadap hubungan kojugal yang sangat
merugikan kaum perempuan pada zaman victoria. Perempuan zaman Victoria, ketika
mereka diikat oleh sistem perkawinan mereka harus tunduk dan patuh kepada suami
13
mereka dan tugas mereka hanya mengurus rumah tangga, suami dan merawat anak-
anak mereka tanpa bisa memikirkan untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Hukum perkawinan di abad ke-19, Inggris membatasi peluang perempuan untuk
bercerai, untuk mempertahankan hak asuh anak, dan untuk menjaga semua properti
mereka setelah menikah. Demikian halnya yang terjadi pada karakter utama
perempuan pada novel karya Anne Bronte. Didalam novel ini, Helen sebagai seorang
seniman khususnya pelukis ketika menikah dengan Arthur Huntingdon, semua urusan
Helen sebagai seorang seniman dihambat oleh suaminya sendiri. Helen tidak bisa
mengembangkan karir keartisan, dia hanya bisa melakukan urusan rumah tangganya
sebagai seorang istri yang tunduk pada kemauan suaminya dan merawatnya. Hal ini
berbeda dengan ketika Helen berhubungan dengan seorang pemuda di Wildfell Hall,
Gilbert Markham. Gilbert sangat menghargai hubungan perkawinan dan menghargai
seorang istrinya untuk mengembangkan karir dan kemampuannya sebagai seorang
artis, pelukis dan Gilbert berusaha memberikan dukungan untuk Helen untuk
mengembangkan kemampuannya dan Gilbert akhirnya menjadi suami kedua Helen
ketika Arthur suami pertama Helen meninggal dan seluruh harta jatuh ketangan Helen
dan Helen juga membawa anaknya dalam pelarian ke Wildfell Hall.
Selanjutnya, penelitian akan novelnya karya Anne Bronte yang kedua ini
dilakukan oleh Çağla Narter (2014) berjudul Anne Bronte's "The Tenant of Wildfell
Hall": An Opposition To The Patriarchal Society of The 19th Century Britain. Pada
jurnal ini Narter mengatakan bahwa novel ini dengan beraninya pengarang
14
melakukan sebuah protes bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama dan pengarang begitu berani melakukan perlawanan terhadap sistem
patriarkhi yang didominasi oleh kaum lelaki. The Tenant adalah sebuah karya seni
yang sangat penting yang mengandung benih feminisme, Sastra Era Victorian oleh
Anne Bronte yang menginterogasi peran gender, menolak tunduk pada dominasi laki-
laki, dan pemodelan kekuatan seorang perempuan muda untuk membebaskan diri dari
batas-batas yang menghubungkan kepada suaminya. Pertanyaan tentang peran gender
yang bekerja melalui argumen antara Helen dan Gilbert dalam novel.
Jadi dari kelima penelitian tersebut diatas, penulis ingin menggangkat tentang
bagaimana karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya
Anne Bronte melakukan De-Normalisasikan sistem sosial yang sudah normal dari
sistem patriakhi yang ada dalam masyarakat zaman victoria. Penulis menggunakan
konsepnya Michel foucault tentang kekuasaan (normalisasi) yang belum pernah
diterapkan dalam novel ini dan penelitian sebelomnya sepanjang pengetahuan
penulis.
1.5 Landasan Teori
Tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan karya sastra merupakan tiruan dari
kenyataan yang ada dalam kehidupan. Hal ini juga ditegaskan oleh Teeuw bahwa
sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (1990:11) sehingga sastra sebagai fiksi,
15
memungkinkan adanya fakta-fakta di dalamnya. Fakta- fakta social budaya inilah
yang kemudian menjadi background seorang pengarang dalam proses kreatifnya.
Demikian halnya Kleden (2004:8-9) mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat
mengelak dari kondisi masyarakat dan kebudayaan tempat karya itu dihasilkan,
walaupun seorang pengarang telah dengan sengaja mengambil jarak dan melakukan
transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah yang
menglingkupi.
Oleh karena itulah, dalam telaah sastra, tentunya tidak dapat diabaikan
peranan teori sastra, karena teori sastra memiliki sifat-sifat yang terdapat dalam teks-
teks sastra (Jan van Luxemburg, 1984:2). Sifat-sifat tersebut tentu tidak dapat
dilepaskan dari analisis sastra baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Adanya
penguasaaun teori sastra akan mengarahkan seorang penelaah sastra untuk lebih
sistematik dalam menguraikan teks sastra yang dibacanya.
Untuk mengerti, memahami, dan menilai teks sastra memang tidak hanya
bergantung pada teori sastra. Persoalan-persoalan yang terdapat diluar teks seperti
politik, agama, budaya, psikologi, ekonomi seringkali merupakan dasar bangunan
karya sastra yang diciptakan pengarang. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
teks sastra sebenarnya merupakan karya yang amat kompleks, karena sastra juga
merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada.
Karena itu, mempelajari teks sastra secara sistematik, penelaah sastra tidak saja
dituntut untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu lainnya seperti
16
filsafat, sosiologi, psikologi, agama, politik, dan sebagainya (Fananie Zainuddin,
2002:2-3).
Oleh karena itu, dalam landasan teori, penulis menggunakan teori Michel
Foucault tentang kekuasaan seperti yang penulis singgung dalam latar belakang.
Banyak konsep-konsep dari Foucault yang digunakan dalam dunia sastra. Yang
pertama, konsep Foucault digunakan dalam New Historicism (NH). NH adalah satu
dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade
terakhir abad ke-20. NH ini digunakan pertama kali oleh Stephen Greenbatt dalam
mendefiniskan kebudayaan dalam kajian NH, dan juga dalam pengantar edisi Jurnal
Genre 1982. ‘Aspek politis dan ideologis yang bermain dalam produk-produk
budaya, tidak bias tidak terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tantanan
masyarakat. Dalam hal ini, kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep
kekuasaan Michel Foucault (Budianto 2006:7).’ Kedua, Judith Butler dalam bukunya
‘Gender Trouble’, banyak menggunakan konsep relasi kuasa Foucault dalam
memaparkan konsep Gendernya. In this paper I will critique JudithButler’s recent
views on gender, which I will argue, fail to be a convincing synthesis ofFreudian and
Foucauldian views. In The Psychic Life of Power (1997a), Butler writesabout gender
not only to deconstruct other modern theories of gender, subjectivity andthe self, but
to present her own, arguably modernist, theory of gender based on anamalgam of
Freud and Foucault (P.1). Kutipan penulis kutipan dari jurnal Ann Ferguson yang
berjudul Butler, Subjectivity, Sex/Gender, and a Postmodern Theory of Gender. Jadi
17
dari dua uraian diatas, sangat beralasan kalau penulis menggunakan konsep Foucault
dalam penelitian yang penulis angkat dalam tesis ini.
Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan
perdebatan manusia sepanjang masa. Foucault adalah tokoh yang terkenal dalam
feminisme, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang
diadopsi oleh feminism dari Foucault adalah ia menjadikan ilmu pengetahuan
“dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian
“dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu
pengetahuan yang ditaklukan. Hal tersebut mendukung bagi perkembangan
feminisme dan ini erat kaitan dengan objek formal yang akan penulis teliti, yakni
tentang de-normalisasi sistem kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan
dalam novelnya The Tenant of Wildfell Hall.
Jika berbicara mengenai kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak
pernah selesai dibahas. Hal ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus
berlangsung sampai zaman ini. Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan
kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Kuasa adalah
konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi
definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya
menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya kuasa tidaklah represif dan negatif,
kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa yang
18
disebutnya sebagai regulasi dan normalisasi. Pemikirannya mengenai kuasa, sering
kali disebut sebagai kritik paling tajam terhadap Marxisme.
Berbeda dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik
melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-mana,
kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi terutama melalui
normalisasi dan regulasi. Terakhir, kuasa tidaklah bersifat destruktif melainkan
produktif. Konsep kekuasaan Foucault dipengaruhi oleh Nietzsche. Foucault menilai
bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan
adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang
memungkinkan untuk negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhi.
Menurut Foucault kekuasaan adalah suatu dimensi dari relasi. Menurut pendapat
Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak untuk berkuasa.
Peradaban Foucault melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai
kelompok yang mendominan pada masa tertentu.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menguraikan konsep kekuasaan Michel
Foucault berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya. Ada
beberapa hal yang akan penulis tulis dalam mengkonsepkan tentang kekuasaan dari
pemikiran Michel Foucault: Normalisasi, Konsep Kekuasaan, dan De-normalisasi
Kekuasaan. Penulis juga akan menguraikan definisi dari ideologi. Karena di BAB III,
penulis akan menguraikan analisa tentang ideologi pengarang.
19
1.5.1 Definisi Konsep Kekuasaan
Kalau bicara tentang kekuasaan, banyak sekali orang-orang mendefinisikan
kekuasaan itu seperti apa. Berikut ini, penulis mencoba memberikan pengertian
tentang kekuasaan menurut beberapa para ahli. Weber (dalam Rafael, 2001:190)
mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan
orang-orang lain untuk berprilaku sesusai kehendaknya”. Kekuasaan adalah salah
satu jenis-jenis intreaksi sosial, namun jelas sekali adanya perbedaan-perbedaan
penting diantara tipe-tipe kekuasaan yang dijalankan manusia. Menurut Weber
(dalam Rafael, 2001:191) kekuasan akrab dengan istilah coercion, (paksaan). Kerap
kali mereka atau seseorang menggunakan tipe kekuasaan yang memiliki pengaruh.
Memperoleh pengaruh bisa didapat dari kekayaan, popularitas, daya tarik,
pengetahuan, keyakinan, atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orang-
orang disekitar.
Konsep ”kekuasaan” merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 2000:35). Dengan
demikan konsep ‘kekuasaan’ itu sangat luas, karena setiap manusia pada hakikatnya
merupakan subyek dan sekaligus sebagai obyek kekuasaan.
Dalam konteks perilaku organisasi, John R. Schemerhorn et.al.
mendefinisikan kekuasaan sebagai “...kemampuan yang mampu membuat orang
melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal menjadi
20
kenyataan menurut cara yang kita inginkan (Schemerhorn,et all, 2002:173).”
Kekuasaan biasanya dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan
merupakan mekanisme kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi.
Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam
organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft
kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau
departemen) untuk mempengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan
perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Daft menyebut
definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan pemahaman bahwa kekuasaan
adalah kemampuan untuk meraih tujuan atau hasil sebagaimana dikehendaki
pemegang kekuasaan. Pencapaian hasil yang dikehendaki adalah dasar utama dari
definisi kekuasaan. Definisi kekuasaan dari Daft sendiri adalah “... the ability of one
person or department in an organization to influence other people to bring about
desired outcomes.” Kekuasaan berpotensi untuk mempengaruhi orang lain dalam
organisasi dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang
kekuasaan (Daft, 2010:497).
Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat
diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik seorang
kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia delegasikan
kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula kuasa yang ada
padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah demikian, baginya “kuasa
dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara
21
strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran” (Bertens, K:
2001 P.354). Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi
memilikinya. Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga bekerja
bahkan pada level terkecil. Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat
dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan relasi
diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi. Foucault lebih
melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak tampak langsung, namun
dapat dirasakan akibatnya.
Jadi dari beberapa definisi kekuasaan diatas, penulis menilai bahwa kekuasaan
yang didefinisikan tersebut lebih bersifat memaksakan suatu kehendak terhadap orang
yang dikuasai. Atau dengan kata lain, bagaimana kemauan seseorang dapat di ikuti
orang lain serta mempengaruhinya, sehingga penulis menilai definisi kekuasaan
seperti itu bersifat sebagai suatu yang negative dan destruktif. Penulis lebih cendrung
setuju dengan definisi kekuasaan menurut Foucault bahwa kuasa itu tersebar dimana-
mana, atau bersifat cair, berarti setiap orang hanya bisa mempraktekannya. Sehingga
penulis menyimpulkan bahwa kuasa yang terbesar, ditangan orang-orang yang
memiliki modal yang lebih dari semua orang. Modal berupa kekayaan yang lebih
banyak dan juga modal pengetahuan yang lebih luas sehingga mereka dapat
melakukan apa yang mereka inginkan dalam memenuhi keinganan mereka.
Disamping itu juga, Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi
Marxis, tidak hanya pada bagimana kuasa bekerja. Akan tetapi juga pada penilaian
22
terhadap kuasa. Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang
negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir Marxis.
Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang lahirnya pengetahuan
baru.
Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan
regulasilah masyarakat digerakkan. Aturan yang menabukan perempuan untuk
berbicara mengenai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam
masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap perempuan yang berbicara
sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan perempuan “baik-
baik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi.
Pembicaraan kuasa dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret
pada apa yang disebut Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan
pengetahuan dengan kekuasaan selalu bersitegang, bersilangan, terkadang malah
identik. Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa
menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang
masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari
itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan
produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam
ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan
banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang
fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran
23
akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa.
“Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek
tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu” (Haryatmoko, 2003: 225).
Foucault kemudian melanjutkan analisanya mengenai kuasa dengan
mengatakan bahwasanya sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Apa yang
dimaksud Foucault dengan tubuh dan kepatuhan sebagai sasaran kekuasaan dapat
dilihat dalam bukunya Discipline and Punish.
Dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan
dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi
kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka
mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Kendati demikian, subjek dalam
pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba
membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana
kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi.
Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas
untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault
komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan
menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk
melawan.
24
1.5.2 Normalisasi
Dalam jurnal research online yang berjudul Retooling the Corporate Brand:
A Foucauldian perspective on Normalization and differentiation karya S. R. Leitch
(2007: 8) menjelaskan bahwa "Normalization was a central theme within Foucault’s
work, much of which focused on the creation of institutions to accommodate those
who were deemed abnormal and who therefore should be excluded from society. The
insane, the criminal, the sexually deviant and the unhealthy, along with the asylums,
prisons, legal systems and sanatoriums created to identify and isolate them from
normal citizens, were all the subjects of major works by Foucault. He did not single
these systems out because of their prominence within society but because of what he
saw as their centrality to the relations of power underpinning society. He stated that:
To put it very simply, psychiatric internment, the mental normalisation of individuals,
and penal institutions have no doubt a fairly limited importance if one is only looking
for their economic significance. On the other hand, they are undoubtedly essential to
the general functioning of the wheels of power.''
Dari kutipan diatas, normalisasi merupakan suatu proses penciptaan ide-ide
untuk menampung orang-orang yang dianggap tidak normal (abnormal) dalam
masyarakat, seperti orang gila, penjahat dan orang yang menyimpang secara seksual
dan tidak sehat kedalam sebuah wadah lembaga. Wadah yang merupakan hasil karya
Foucault seperti rumah sakit, penjara, sistem hukum dan sanatorium, yang diciptakan
untuk mengidentifikasi dan mengisolasi mereka dari warga biasa. Hal ini bukan
25
merupakan sistem kekuasaan tunggal, sistem karena keunggulan mereka dalam
masyarakat sebagai hubungan pondasi kekuasaan dalam masyarakat dan juga
dianggap penting untuk fungsi umum roda kekuasaan.
Disamping itu juga S. R. Leitch menjelaskan Foucault melihat normalisasi
sebagai proses yang tidak hanya bertugas untuk menandai mayoritas 'kami' dari
minoritas 'mereka' tapi keberadaan mereka untuk mendukung hubungan kekuasaan
yang ada dalam masyarakat. Melalui karyanya tentang normalisasi, Foucault
berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling konstitutif. Ia menentang
pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, pandangan yang
melihat pengetahuan sebagai sumber daya yang langka yang diberikan kekuasaan
pada orang-orang yang memilikinya. Sebaliknya, Foucault berpendapat bahwa
"pelaksanaan kekuasaan terus-menerus menciptakan pengetahuan dan, sebaliknya,
pengetahuan terus-menerus menyebabkan efek pada kekuasaan." Pengetahuan adalah
yang menciptakan kekuasaan dan membuat kekuasaan untuk berkreasi seperti yang
terlihat pada kutipan dibawah ini:
Foucault saw normalization as a process that not only served to mark out themajority of ‘us’ from the minority of ‘them’ but which existed to support thepower relations of society. Through his work on normalization, Foucault cameto the view that power and knowledge were mutually constitutive. Hechallenged the accepted view that knowledge was power, a view which sawknowledge as a scarce resource that conferred power on those who possessedit. In contrast, Foucault argued that ‘The exercise of power perpetually createsknowledge and, conversely, knowledge constantly induces effects of power’.Knowledge was, then, both a creator of power and a creation of power.(Leitch. S. R, 2007: 9)
26
Dari kutipan diatas, dijelaskan Normalisasi mengacu pada proses-proses
sosial melalui ide-ide dan tindakan yang terlihat sebagai "sesuatu yang normal" dan
dijadikan sebagai granted atau 'yang bersifat alami' untuk mengontrol masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Konsep normalisasi ditemukan dalam karya Michel
Foucault, terutama Discipline and Punish, dalam konteks disiplin kekuasaan.
Foucault menggunakan istilah normalisasi untuk menciptakan sebuah norma yang
ideal dari perilaku-misalnya seorang prajurit ideal harus berdiri tegap, memiliki
perawakan gagah, berdada lebar, berperut ramping, dan selalu berjalan dengan
langkah-langkah yang tegap. Dengan kata lain, Foucault menjelaskan bahwa
normalisasi adalah salah satu dari sebuah strategi untuk mengerakkan kontrol sosial
secara maksimum dengan kekuatan minimum, yang Foucault sebut dengan "disiplin
kekuasaan". Daya Disiplin muncul selama abad ke-19, datang untuk digunakan secara
luas di barak militer, rumah sakit, panti-panti, sekolah, pabrik, kantor, dan
sebagainya. Oleh karenanya semua itu menjadi aspek penting dari struktur sosial
dalam masyarakat modern
Didalam bukunya Foucault tentang Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan
yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat (1997:4) dijelaskan bahwa represi, sejak
zaman klasik, merupakan dasar sesungguhnya yang menghubungkan dengan
kekuasaan, pengetahuan, dan seksualitas, namun tidak semudah itu membebaskan diri
darinya. Kita harus membayar mahal, dengan melanggar hukum, menanggalkan
berbagai hal yang tabu, menggunakan kata-kata, membiarkan seksual tampil kembali
27
dalam kenyataan, dan terutama menyusun kembali ekonomi kekuasaan yang baru
sama sekali, karena setiap letusan kebenaran terkait pada kondisi politik...maka
konformisme Freud diserang. Psikoanalisis dituduh sebagai alat normalisasi.
Jadi dari tiga uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa normalisasi
mengandung arti sebuah proses melalui ide-ide atau tindakan yang normal dan
abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang bekerja lewat regulasi dan
normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan dan adanya
sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman bahkan sampai pada
kematian yang ditampung dalam suatu wadah lembaga. Kekuasaan tersebut juga tidak
terlepas dari pengetahuan.
Disisi lain, normalisasi merupakan hukuman disiplin dan hal ini berlawanan
dengan hukuman pengadilan yang mengacu pada sejumlah badan hukum yang harus
dihapal. Jadi norma muncul melalui disiplin-disiplin. Normalisasi menjadi perangkat
kuasa seperti pemantauan. Kuasa normalisasi menghasilkan keserupaan tetapi
normalisasi juga mengindividualisasikan individu dengan menciptakan jarak yang
membatasi, menentukan tingkat, menentukan spesialisasi dan mengubah perbedaan
menjadi berguna dengan membuat cocok yang satu terhadap yang lain. Dalam bentuk
aturan norma berfungsi menampilkan seluruh bayangan perbedaan individual didalam
sistem kesamaan formal.(Foucault, 1997:98)
28
1.5.3 De-Normalisasi
Kata De- penulis pinjam dari istilah de-institusional (lepas dari kelembagaan)
dalam buku karya Foucault disiplin tubuh (1997: 115), sehingga pengertian De-
normalisasi berarti lepas dari normalisasi. Kata normalisasi yang telah penulis
jelaskan sebelumnya, mengandung pengertian yakni sebuah proses melalui ide-ide
atau tindakan yang normal dan abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang
bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat
digerakkan dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman.
Kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengetahuan. Seperti yang telah penulis
uraikan diatas bahwa Foucault menjelaskan kuasa dan pengetahuan saling berkaitan
erat satu sama lain. Dia meninggalkan anggapan lama yang memandang bahwa
pengetahuan hanya berkembang diluar wilayah kekuasaan. Menurut Foucault, antara
kekuasaan dan pengetahuan justru terdapat relasi yang saling memperkembangkan.
Tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan, dan
tidak ada pengetahuan yang didalamnya tidak mengandung relasi kuasa. (Foucault,
1997:30)
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini, penulis akan mengacu
pada bentuk-bentuk usaha karakter utama perempuan dalam mendobrak sistem
kekuasaan yang telah dianggap normal pada masa Victoria. Penulis juga akan
menguraikan tujuan pengarang dalam menjelaskan de-normalisasi dari sistem
kekuasaan tersebut dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte.
29
Penulis dalam ini menggunakan konsep normalisasi dan kekuasaan yang diusung oleh
Foucault untuk memperoleh kebebasan dan jauh dari segala bentuk penindasan.
Pada uraikan tersebut sudah dijelaskan bahwa dalam berbagai bentuk
strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang
ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara
menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan
distribusi kekayaan. Namun, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang
manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian
kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau
tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran
Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana
yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah
kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang
terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. Didalam novel ini, Helen
mencoba untuk melawan atau mendobrak sistem kekuasaan yang sangat kuat dan
dianggap normal pada masa Victoria. Sistem yang menganggap bahwa perempuan
harus tunduk pada kekuasaan laki-laki. Karena Helen seorang pelukis maka secara
tidak langsung dia memiliki relasi kuasa untuk melakukan resistensi terhadap
kekuasaan yang mendominasi dirinya. Atau dengan kata lain, Helen melakukan De-
Normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu. Helen
mempunyai hak untuk diperlakukan selayaknya manusia dan menentukan nasibnya
30
untuk diperlakukan sama dengan laki-laki; dalam menentukan jodohnya, sebagai
seorang istri yang ingin diperlakukan selayaknya seorang istri dan seorang ibu yang
mempunyai hak yang sama dalam mendidik anaknya. Helen adalah seorang artis
dalam hal ini pelukis yang otomatis punya pengetahuan untuk menentukan nasibnya
sendiri dan berkuasa pada dirinya sendiri, namun tidak terlepas dari kodratnya
sebagai perempuan.
1.5.4 Konsep Dan Pengertian Ideologi
1.5.4.1 Arti Kata Ideologi
Kata Ideologi berasal dari bahasa Yunani yakni idea dan logos, yang artinya
gagasan atau ide dan ilmu atau pengetahuan. Sehingga secara sederhana dapat
diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan tentang gagasan atau ide manusia. Perlu
diketahui bahwa defenisi ideologi sendiri sangat beragam dan nampaknya agak sulit
untuk menentukan satu konsep tunggal.
Akar kata ideology dapat dilacak dalam pemikiran tokoh klasik seperti Plato.
Walaupun tidak secara implisit berbicara tentang ideologi, pemikiran Plato tentang
dunia idea dapat disetarakan dengan konsep ideologi. Dunia idea merupakan sebuah
gambaran tentang konsep ideal yang diingikan manusia dalam kehidupannya.
Kerangka pemikiran Plato berangkat dari konsep tentang kebenaran sejati,
yang masuk bersama pengetahuan melalui jiwa. Sedangkan badan merupakan sesuatu
31
yang bersifat fana, dan hancur bersama hancurnya materi, berbeda dengan idea atau
pengetahuan ia bersifat abadi.
Selanjutnya, istilah ideologi secara ilmiah, digunakan pertama kali oleh
Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, untuk mendefinisikan "sains tentang ide".
Destutt de Tracy mengatakan bahwa “ideologi adalah studi terhadap ide–ide atau
pemikiran tertentu”. Sementara, Descartes mengatakan “ideologi adalah inti dari
semua pemikiran manusia”; inilah yang disebut dengan ideologi dalam pengertian.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir
untuk melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia.
1.5.4.2 Pengertian Ideologi
Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang
sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-cita yang mereka
inginkan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi suatu
keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen
(keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis
seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya.
Secara etimologis (asal-usul bahasa) ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan
atau ilmu yang mempelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi
sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya
pendapat yang bersifat agama ataupun politik.
32
Machiavelli menyebutkan “ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan
yang dimiliki oleh penguasa”. Thomas Hobbes, mengatakan “ideologi adalah suatu
cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur
rakyatnya. Francis Bacon mendefisikan ideologi sebagai sintesa pemikiran mendasar
dari suatu konsep hidup. Karl Marx mengatakan ideologi merupakan alat untuk
mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Napoleon bahkan
menyebutkan ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai
visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan
Weltanschauung), secara umum atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang
dominan pada seluruh anggota masyarakat. Ideologi adalah kumpulan ide atau
gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir untuk melahirkan aturan-aturan
dalam kehidupan manusia.
Tujuan utama dibalik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses
pemikiran yang normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya
sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik, sehingga membuat
konsep ideologi dapat dianggap menjadi inti politik. Secara implisit, setiap pemikiran
politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir
yang eksplisit.
33
Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai pandangan hidup yang
dikembangkan berdasarkan kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam
bidang politik atau sosial ekonomi. Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa
ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang
dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Ramlan Surbakti mengemukakan ada dua pengertian Ideologi yaitu Ideologi
secara fungsional dan Ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan
seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara
yang dianggap paling baik. Ideologi secara fungsional ini digolongkan menjadi dua
tipe, yaitu Ideologi yang doktriner dan Ideologi yang pragmatis. Ideologi yang
doktriner bilamana ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi itu dirumuskan
secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau
aparat pemerintah. Sebagai contohnya adalah komunisme. Sedangkan Ideologi yang
pragmatis, apabila ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi tersebut tidak
dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya
prinsip-prinsipnya, dan Ideologi itu disosialisasikan secara fungsional melalui
kehidupan keluarga, sistem pendidikan, system ekonomi, kehidupan agama dan
sistem politik.
Di dalam feminisme, ideologi mengajarkan seseorang untuk menciptakan
persamaan hak antara pria dan wanita dengan cara pemerataan dan kesetaraan gender.
34
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah pemikiran yang
mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk
merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran
tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode
untuk menyebarkannya.
Dengan demikian secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa Ideologi
adalah kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh
dan sistematis, yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah dengan cara memanfaatkan
studi kepustakaan yaitu berupa pencarian dari sumber-sumber data tertulis. Penelitian
ini dibedakan atas dua objek yaitu objek formal dan material. Adapun hal yang
pertama yang penulis lakukan adalah menentukan objek material. Objek material
berkaitan dengan materi penelitian, wilayah penelitian, dan lapangan penelitian.
Penulis mencari novel yang akan di analisis, Kemudian penulis melakukan
pembacaan terhadap novel yang dianalisis atau dengan membaca sinopsis dari novel
yang akan penulis analisis yaitu novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte
dan mencari masalah atau topik apa yang akan diangkat sebagai topik yang akan
teliti. Setelah menentukan kajian penelitian, baru setelah itu penulis menentukan
35
objek formal. Objek formal berkaitan dengan sudut pandang yang digunakan dalam
usaha penelitian untuk memahami objek material. Objek formalnya yaitu De-
Normalisasi sistem kekuasaan pada masa Vicotria yang dianggap normal dalam novel
The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte.
Dalam mendapatkan hasil analisis yang maksimal. Penulis melakukan teknik
kajian pustaka untuk mendapatkan data-data yang akan mendukung penulis dalam
mengkaji objek yang akan diteliti. Sumber-sumber data diperoleh dari buku-buku,
jurnal, majalah, web internet, dan laporan-laporan penelitian seperti disertasi, tesis,
dan skripsi serta laporan ilmiah lainnya yang memiliki relavansi dengan penelitian
ini. Buku-buku yang terkait dengan penelitian seperti buku terjemahan karyanya
Michel Foucault tentang Normalisasi yang ada kaitannya dengan kekuasaan dan
pengetahun serta buku-buku yang terkait dengan penelitian dan biograpi pengarang
dan segala sesuatu yang erat kaitannya dengan ideologi pengarang dan tujuan
pengarang dalam menulis karyanya; kemudian penulis melakukan pemilihan sampel
atau data yang akan diteliti dengan mencatat beserta halamannya dikertas data, yakni
teks-teks yang diindentifikasi mengandung unsur yang akan dikaji; setelah itu penulis
melakukan analisis terhadap data dilakukan melalui strategi pembacaan dengan
menggunakan teori kekuasaan Michel Foucault dan di dukung dengan buku-buku
feminisme yang mendukung penulis menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall.
36
Dalam melakukan penelitian kualitatif menjadi prosedur analisis dan
interpretasi sebagai teknik memahami sampling yang bersifat nonstatistik—
matematik untuk mendapatkan temuan atau teori. Hasil temuan diperoleh dari data-
data material yang dikumpulkan berupa teks-teks sastra, yang selanjutnya akan
disajikan ke dalam bentuk tulisan deskriptif (Stauss dan Corbin, 2003, hal. 4-7).
Teks-teks yang berkaitan dengan bentuk bentuk De-Normalisasi sistem kekuasaan
yang dianggap normal yang dilakukan karakter perempuan, Helen dalam novel The
Tenant of Wildfell Hall dan tujuan pengarang dalam usahanya menjelaskan de-
normalisasi kekuasaan tersebut lewat novel The Tenant of Wildfell Hall. Teks-teks
tersebut terwujud dalam narasi, dialog, dan monolog oleh tokoh atau narrator.
Kemudian yang terakhir, penulis mencoba menguraikannya dalam bentuk deskriptif.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian "De-Normalisasi Kekuasaan pada Novel The Tenant of Wildfell
Hall karya Anne Bronte akan disajikan dalam empat bab.
Bab I berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II akan membahas bentuk-bentuk De-Normalisasi kekuasaan yang
dilakukan karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall dari
37
volume satu sampai dengan volume tiga. Mulai dari karakter utama perempuan yang
hidup berdua bersama anaknya, ketika Helen tinggal bersama bibi dan pamannya
yang kemudian akan di jodohkan serta kehidupannya ketika hidup dalam pelarian dan
kembali ke rumah suaminya dan bersama lelaki pilihannya. Penulis juga menguraikan
tentang kondisi sosial masyarakat Inggris Era Victoria
Bab III mengemukakan mengenai tujuan pengarang dalam usaha untuk
menjelaskan de-normalisasi kekuasaan lewat novel The Tenant of Wildfell Hall.
Disini penulis menguraikan pandangan pengarang tentang sistem perjodohan,
hubungan konjugal, dan single parent.
Bab IV merupakan kesimpulan, di bab terakhir ini penulis mencoba menarik
kesimpulan apa yang didapat dari hasil analisis. Serta penulis juga melampirkan
biograpi dari pengarang itu sendiri.
38
Bagan Langkah Kerja Penelitian
Pembacaan
Karya Sastra Teori Normalisasi
Michel Foucault
The Tenant of Wildfell Hall by
Anne Bronte
PengetahuanKekuasaan
De---Normalisasi Sistem Kekuasaan Era Victoria
1. De-Normalisasi Sistem Perjodohan.
2. De-Normalisasi Hubungan Konjugal dari Normalisasi.
3. Existensi Helen dalam Pelarian dan menjadi Single Parent.