BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“While working at a Japanese hospital in the part of Broome, Dr. Ibaraki is arrested as an
enemy alien and sent to Loveday internment camp in a remote corner of South Australia. There, he learns to
live among a group of men who are divided by culture and allegiance.”
(Christine Piper, After Darkness)
Negara multikultural terbentuk karena adanya kultur yang beragam di sebuah
negara. Di satu sisi, negara multikultural dianggap ‘kaya’ karena memiliki budaya
yang bervarias namun di sisi lain keanekaragaman budaya ini juga menjadikan
masyarakat di negara multikultural hidup dalam ketidaksetaraan. Parekh (2008:15)
menyatakan keanekaragaman dalam negara multikultural merujuk pada perbedaan
yang diperoleh secara kultural. Perbedaan kultural yang tidak bisa dihindari ini
memunculkan masyarakat mayoritas dan minoritas. Hal inilah yang memicu
terjadinya konflik dalam masyarakat multikultural.
Dalam sebuah masyarakat multikultural, kelompok mayoritas adalah orang-
orang yang berasal dari budaya dominan. Sementara itu, komunitas budaya minoritas
merupakan orang-orang yang berasal dari budaya yang tidak dominan. Dalam
pemahaman Parekh (2008:29), dorongan bagi dominasi budaya tertanam sangat
2
dalam pada struktur pemikiran yang kuat. Hal ini menjadikan bentrokan akibat
perbedaan budaya menjadi suatu yang bisa diprediksi akan terjadi.
Beberapa kasus yang menunjukkan adanya bentrokan antara masyarakat
mayoritas dan minoritas bisa dilihat dari berbagai konflik yang pernah terjadi di
negara-negara yang memiliki masyarakat multikultural. Di Asia, kasus seperti ini
pernah terjadi di Indonesia dan India. Kasus serupa juga bisa ditemukan di Kanada.
Sementara itu, Amerika dan Australia juga menjadi representasi negara multikultural
lainnya yang kerap kali menampilkan konflik antara masyarakat mayoritas dan
minoritas.
Di Indonesia yang memiliki masyarakat dari beragam etnis, konflik menjadi hal
yang seringkali terjadi. Di Kalimantan Barat setidaknya telah tercatat adanya dua
belas konflik yang melibatkan masyarakat dari berbagai etnis1. Di Sampit, konflik
antara etnis Dayak dan etnis Madura merupakan hal yang berulangkali muncul.
Namun, salah satu konflik terparah yang dilatarbelakangi adanya perbedaaan kultur
dalam masyarakat Indonesia adalah konflik Poso yang terjadi antara 1997-20012.
Konflik ini dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis dan agama. The Jakarta Post, edisi
23 Oktober 2012, mencatat sekitar 1000 nyawa melayang dan 25.000 orang lainnya
harus mengungsi sebagai dampak dari konflik antara masyarakat mayoritas dan
minoritas di Poso. Sementara itu, di India, konflik antara masyarakat mayoritas dan
minoritas ini terjadi di daerah Kashmir. Kashmir merupakan negara bagian India
1 http://uny.ac.id/berita/indonesia-negara-multikultural-potensi-konflik-tinggi.html 2 http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/23/sectarian-conflict-looms-over-poso.html
3
yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat Kashmir
memilibudaya yang berbeda dengan masyarakat India lainnya yang kebanyakan
beragama Hindu. Pada Agustus 1947, kaum Sikh yang merupakan kelompok
mayoritas melakukan penyerangan tehadap masyarakat Kashmir3. Hal ini memicu
pertikaian antara masyarakat Muslim dan Hindu di India.
Hal serupa juga terjadi di Kanada. Kanada merupakan negara dengan
masyarakat multikultural yang terhimpun dalam komunitas-komunitas budaya yang
beragam. Salah satu komunitas budaya di Kanada yang menjadi minoritas yaitu orang
Quebec. Komunitas ini merupakan masyarakat Kanada yang tinggal di provinsi
Quebec dan dalam kehidupan sehari-harinya berbicara dengan bahasa Perancis. Hal
ini berbeda dengan mayoritas masyarakat Kanada yang berkomunikasi dengan bahasa
Inggris. Pertikaian mulai muncul ketika masyarakat dominan menuntut adanya
homogenitas di antara masyarakat Kanada, yaitu agar semua masyarakat Kanada
berbahasa Inggris. Dalam pandangan orang Quebec, ini merupakan sebuah tekanan
karena mereka dipaksa meninggalkan budaya yang telah diwariskan nenek moyang
mereka. Akibatnya, berbagai aksi demonstrasi dan konflik antara masyarakat Quebec
dan masyarakat mayoritas Kanada berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan,
pemerintah Kanada harus melakukan dua kali referendum (tahun 1980 dan 1995)
untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat minoritas Quebec dan masyarakat
mayoritas Kanada.
3 http://pendidikan4sejarah.blogspot.co.id/2011/07/konflik-kashmir.html
4
Permasalahan dalam masyarakat multikultural di Amerika juga penting untuk
dibahas. Hal ini dikarenakan Amerika merupakan negara tempat berkumpulnya
imigran dari seluruh dunia sehingga banyak kultur yang berkembang di sana4. Pada
tahun 1776, Amerika mengumandangkan janji kebebasan terhadap setiap anggota
masyarakatnya. Akan tetapi, masyarakat minoritas di Amerika hingga sekarang tetap
mengalami disikriminasi dan intimidasi dari masyarakat kulit putih yang merupakan
masyarakat dengan budaya dominan5. Salah satu kasus terbesar yang pernah terjadi
adalah bentrokan antara masyarakat kulih putih dengan masyarakat keturunan Afrika
di Los Angeles pada awal 1992. Konflik ini menyebabkan 54 orang meninggal, 2383
orang terluka, 17.00 orang diamankan, dan 5200 gedung rusak (Newsweek, May 1992
via Collins: 8).
Sementara itu, di Australia, keragaman budaya telah muncul sejak penjajahan
Inggris pada abad XVIII, terlebih ketika banyak imigran asal Jerman, Italia,
Malaysia, Cina, Jepang, dan Filipina bekerja dan menetap di Australia setelah Perang
Dunia I berakhir6. The Australian Collaboration menyatakan bahwa sejak sebelum
Perang Dunia II, sekitar 7 juta imigran yang berasal lebih dari 150 negara telah
menetap di Australia. Bahkan, sensus pada tahun 2011 mencatat bahwa 26% warga
negara Australia dilahirkan di luar negeri dan 20% lainnya berasal dari orangtua yang
dilahirkan di luar negeri. Persentase ini merupakan yang tertinggi di dunia. Fakta lain
juga menunjukkan terdapat lebih dari 260 bahasa yang dipakai di Australia. Akan
4 http://novatriutomo.blogspot.co.id/2013/02/kehidupan-multikulturalisme-amerika.html 5 idem 6 Australian Government, Department of Immigration and Citizenship (DIAC)
5
tetapi, sebagai negara yang telah memiliki masyarakat mutltikultural sejak lama,
ketidaksetaraan antara masyarakat mayoritas dan minoritas tetap menjadi masalah
yang muncul di Australia. Di antaranya, penyerangan yang dilakukan gerombolan
laki-laki kulit putih terhadap beberapa orang perempuan dan laki-laki keturunan
Timur Tengah pada 11 Desember 2005. Dalam kasus ini, 12 orang asal Timur
Tengah ini mengalami luka-luka. Tidak hanya itu, Collins dalam Minority Youth,
Crime, Conflict and Belonging in Australia mencatat bahwa kekerasan terhadap
komunitas minoritas Muslim oleh masyarakat kulit putih Australia sering menjadi
pemberitaan dunia, terutama ketika diskriminasi terhadap kelompok ini masih terjadi
setelah John Howard menjabat sebagai Perdana Menteri Australia. Padahal,
kesetaraan adalah isu utama yang diangkat Howard ketika masih melakukan
kampanye. Pada tahun 2000, poster yang menyatakan muslim sebagai ‘monsters’,
‘wild animals’, ‘barbarians’ banyak beredar di Sydney (Dagistanli via Collins:22).
Di negara-negara multikultural yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai
mainstream culture, larangan terhadap praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan
masyarakat minoritas menunjukkan adanya ketidaksetaraan yang terjadi di negara-
negara multikultural. Dalam bukunya, Rethinking Multiculturalism, Parekh mencatat
berbagai praktik kebudayaan dari kelompok minoritas ini. Beberapa di antaranya
adalah pernikahan yang terjadi lewat perjodohan. Kebiasaan ini banyak dipraktikkan
masyarakat keturunan Asia. Praktik lainnya yaitu tradisi yang dilakukan oleh
beberapa komunitas asal Afrika, seperti melukai pipi anak-anak dan bagian tubuh
6
lainnya sebagai bagian dari upacara inisiasi. Selanjutnya, kebiasaan gadis-gadis
Muslim yang mengenakan hijab ke sekolah, penolakan kaum Sikh untuk memakai
helm saat mengendarai motor karena hal itu membuat mereka harus melepaskan
surban tradisional mereka, penolakan komunitas Gipsy dan Amish untuk
menyekolahkan anak dengan dasar bahwa pendidikan modern tidak berguna dan
bahkan mengasingkan mereka dari komunitas mereka, serta permintaan umat Hindu
untuk diperbolehkan mengkremasi jenazah di tumpukan kayu bakar dan membuang
abunya di sungai.
Kondisi budaya dan sosial kelompok minoritas dalam masyarakat multikultural
juga seringkali direfleksikan dalam berbagai novel. Akan tetapi, gambaran-gambaran
yang disampaikan dalam novel tersebut terkadang tidak autentik. Padahal autentisitas
budaya yang ditampilkan dalam karya sastra merupakan hal yang sangat penting.
Dengan menampilkan kondisi budaya yang autentik dalam karya sastra bertema
multikultural, hal ini akan memberikan pemahaman yang benar dan jelas mengenai
sebuah komunitas budaya yang telah telanjur dimarginalkan. Oleh karena itu, karya
sastra multikultural yang autentik dianggap perlu dimasukkan ke dalam kurikulum
pembelajaran untuk anak-anak dan remaja. Hal ini ditujukan untuk memberikan
pemahaman yang sebenarnya tentang budaya yang diminoritaskan di negara-negara
multikultural (Cai, 2002:49).
Memasukkan multicultural literature sebagai bagian dari kurikulum untuk
anak-anak pada akhirnya akan memberikan pemahaman kepada mereka tentang
7
bagaiana komunitas minoritas yang sebenarnya. Dengan begitu, komunitas minoritas
tidak akan lagi diasingkan dalam masyarakat multikultural. Seperti yang disampaikan
Puryanto (2008:2), sastra anak merupakan sastra yang ditujukan untuk anak-anak,
bukan sastra tentang anak. Oleh karena itu, sastra anak akan memberikan pemahaman
kepada anak-anak.
Salah satu novel yang memperlihatkan gambaran tentang kondisi budaya dalam
masyarakat multikultural adalah After Darkness karya Christine Piper. Novel ini
memenangkan penghargaan bergengsi di Australia, The Australian/Vogel’s Literary
Award 2014, dan menjadi salah satu novel terbaik dalam Readings New Australian
Writing Award 2014. Novel ini menceritakan ketidakadilan yang terjadi dalam
masyarakat multikultural Australia. Piper dianggap mampu mengungkapkan
bagaimana interaksi antara sesama masyarakat minoritas dan interaksi antara
masyarakat minoritas dengan masyarakat dominan di Australia sebelum dan ketika
Perang Dunia II berlangsung7. Hal ini juga menegaskan bahwa Australia telah
memiliki masyarakat multikultural sebelum Perang Dunia II, bukan pada tahun 1970-
an seperti yang dikemukakan the White Australia Policy8.
Selain itu, After Darkness ditulis oleh pengarang insider yang bikultural. Piper
merupakan warga negara Australia yang dilahirkan di Seoul, Korea Selatan, pada
1979. Ibunya berkebangsaan Jepang dan ayahnya berkebangsaan Australia. Ketika
umur satu tahun, Piper dan keluarganya pindah ke Sydney. Di kota inilah Piper
7 http://www.smh.com.au/entertainment/books/christine-pipers-vogel-winner-after-darkness- 20140530-zrso1.html
8 https://matttodd.wordpress.com/2014/05/27/after-darkness-2014-christine-piper/
8
dibesarkan dan mendapat pendidikan. After Darkness adalah novel pertama Piper.
Sebelumnya, Piper menulis cerita pendek yang sering diterbitkan di koran dan
majalah. Di tahun 2012, Piper menulis beberapa cerita pendek yang diterbitkan di
Seizure, SWAMP, dan dinobatkan sebagai pemenang kedua dalam Margaret River
Short Story Competition. Ia juga pernah memenangkan 2014 Calibre Essay Prize,
2014 Guy Morrison Award for Literary Journailsm, dan 2013 Alice Hayes Writing.
1.2 Rumusan Masalah
After Darkness adalah novel yang ditulis oleh seorang pengarang insider yang
bikultural (Australian-Japanese). Piper memberikan gambaran kondisi budaya dan
sosial masyarakat keturunan Jepang yang hidup bersama masyarakat multikultural di
Australia dalam novel ini. Akan tetapi, autentisitas novel ini sebagai sebuah
multicultural literature perlu diungkapkan. Oleh karena itu, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
1. Apakah novel After Darkness karya Christine Piper merupakan
multicultural literature?
2. Bagaimana kadar autentisitas novel After Darkness sebagai multicultural
literature?
3. Mengapa novel After Darkness bisa memperlihatkan kadar autentisitas
tertentu?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
Bagian ini akan menguraikan tujuan dan manfaat penelitian ini. Tujuan
penelitian secara tidak langsung akan menjadi sinkronisasi dari jawaban atas rumusan
permasalahan. Sementara itu, manfaat penelitian akan menunjukkan kontribusi
penelitian ini secara teoretis dan praktis.
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik novel After Darkness
sebagai multicultural literature, membongkar autentisitas novel tersebut, serta
melihat penyebab yang menentukan kadar otentitas yang terdapat dalam novel After
Darkness. Ketika autentisitas novel ini telah bisa diukur, akan terlihat mampu atau
tidaknya Piper sebagai pengarang insider memberikan gambaran yang sebenarnya
tentang masyarakat minoritas di sebuah negara multikultural.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoretis dan praktis.
Adapun manfaat teoretis penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap
perkembangan kajian, teori, dan kritik sastra serta aplikasinya terhadap karya
sastra.
2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk akademisi (mahasiswa, dosen, dan
institusi).
Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
10
1. Penelitian ini diharapkan mampu merumuskan konsep multicultural literature
Mingshui Cai dengan tepat sehingga bisa memacu munculnya penelitian-
penelitian lain yang berfokus pada multicultural literature yang masih belum
banyak dilakukan oleh akademisi sastra di Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan mampu membantu pelaku sastra agar bisa
membedakan karya sastra yang termasuk multicultural literature dan yang
tidak serta menilai sejauh apa autentisitas karya tersebut dalam
merepresentasikan sebuah budaya.
3. Penelitian ini diharapkan mampu memicu pengarang multicultural literature
untuk memberikan gambaran yang autentik mengenai etnik yang ia tulis
sehingga etnik ini tidak lagi diasingkan dalam lingkungan masyarakat
multikultural.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang menggunakan novel After Darkness masih belum ditemukan
hingga saat ini. Oleh karena itu, penelitian terdahulu yang akan diuraikan dalam
subbab ini adalah penelitian lainnya yang menggunakan konsep multicultural
literature. Penelitian-penelitian tersebut memiliki kontribusi untuk menunjukkan
perbedaan tesis ini dengan penelitian-penelitian lainnya yang menggunakan konsep
multicultural lieterature. Beberapa penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
11
Penelitian pertama berjudul The Self Between Two Worlds: Cultural
Authenticity in Melina Marchetta’s “Looking for Alibrandi” and “Saving
Francesca” yang merupakan tesis Vasiliki Tassiopoulos di University of British
Columbia. Penelitian ini difokuskan untuk melihat keaslian budaya yang
direpsentasikan oleh tokoh remaja yang telah mengalami hibriditas. Dalam novel
Looking for Alibrandi dan Saving Francesca karangan Melina Marchetta, tokoh
remaja ini digambarkan sebagai masyarakat Australia yang memiliki latar belakang
budaya Italia. Dalam penelitiannya, Tassiopoulos mengaplikasikan konsep
poskolonialisme dan multikulturalisme untuk melihat hibriditas yang terjadi pada
tokoh remaja di kedua novel yang ditulis Marchetta. Selanjutnya, Tassiopoulos
mengungkap cultural identity tokoh. Setelah identitas budaya ini diketahui,
Tassiopoulos pun melakukan pengujian terhadap autentisitas budaya yang
ditampilkan oleh tokoh dalam kedua novel tersebut. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penggambaran budaya yang sangat detail menjadikan novel ini
berhasil memberikan gambaran budaya yang autentik.
Penelitian kedua ditulis oleh F. D. Yung yang berjudul A Study of Cultural
Authenticity in East Asian English Fiction for Children. Penelitian ini membahas
keautentikan kultur Asia Timur (Cina dan Jepang) yang direpresentasikan dalam
novel Inggris anak-anak yang dikategorikan dalam multicultural literature. Yung
juga menggabungkan prinsip New Historicism, konsep Orientalism, dan konsep
reader-response criticism untuk menganalisis novel tersebut. Di dalam penelitian ini,
12
Yung menganalisis lima buah fiksi yang dipilih berdasarkan latar belakang kultur
pengarangnya. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa warisan kultur yang
dimiliki pengarang akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menggambarkan
sebuah kultur secara autentik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun
latar belakang kultur yang dimiliki pengarang berpengaruh terhadap karya sastra yang
mereka tulis, hubungan ini tidak selalu positif. Beberapa faktor lainnya, seperti
pengetahuan tentang sejarah, memiliki peranan dalam menggambarkan kultur yang
autentik.
Selanjutnya, sebuah penelitian dari Diane Carver Sekeres yang diberi judul The
Profit Motive and the Prophet’s Message: A Multicultural Reading of the Christian
Worldview in Children’s Books for the Christian Market. Penelitian ini menggunakan
konsep multicultural literature dari Mingshui Cai, namun hanya difokuskan pada hal-
hal yang membahas tentang stereotip terhadap kelompok minoritas. Hasil penelitian
ini mengungkapkan bahwa penggambaran komunitas Kristen dalam novel anak-anak
menunjukkan adanya pengekalan stereotip. Di dalam novel tersebut, masyarakat
Kristen digambarkan berasal dari kelompok kulit putih, dari kelas menengah yang
sudah memiliki rumah sendiri, dan tidak pernah mengalami disfungsi dan disabilitas.
Kenyatannya, masyarakat Kristen lebih beragam daripada yang digambarkan di
novel. Penelitian ini juga diperluas dengan mencari motif penerbit Christian dalam
menerbitkan novel-novel tersebut.
13
Terakhir, penelitian yang berkaitan dengan multicultural literature juga bisa
ditemukan dari penelitian Marie Stodolova, Using Multicultural Children’s
Literature in TEFL. Penelitian ini diawali dengan memperlihatkan pentingnya sebuah
multicultural literature yang autentik untuk memberikan pengertian yang benar
mengenai masyarakat multikultural. Selanjutnya, penelitian ini lebih difokuskan
kepada pemakaian multicultural literature yang autentik dalam kurikulum pendidikan
dan untuk pembelajaran TEFL.
Berdasarkan pemaparan referensi atas tinjauan pustaka di atas, diketahui bahwa
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, baik berdasarkan objek kajian
maupun objek formal. Penelitian ini secara khusus mengkaji novel After Darkness
melalui kerangka berpikir multicultural literature Mingshui Cai yang melingkupi:
karakteristik multicultural literature, kadar otentistas, serta penyebab yang
menentukan kadar autentisitas novel After Darkness.
1.5 Landasan Teori
Sesuai dengan kebutuhan untuk membahas permasalahan yang dipaparkan
dalam latar belakang, penelitian ini secara khusus menggunakan buku Mingshui Cai
yang berjudul Multicultural Literature for Children and Young Adults: Reflections on
Critical Issues (2002). Mingshui Cai adalah seorang Profesor Pendidikan Sastra di
University of Northern Iowa. Ia juga merupakan anggota dari The Journal of
Children’s Literature. Buku ini merupakan hasil pembelajaran, pengajaran, dan
14
penelitian Cai yang dipengaruhi beberapa konsep dan ide dari Joe Taxel, Violet
Harris, dan Rudines Sims Bishop.
Kontribusi Taxel terhadap buku ini lebih kepada peranan multicultural
literature untuk anak-anak dan remaja. Menurut Taxel, kemunculan multicultural
literature tidak hanya merupakan pergerakan di bidang sastra, namun juga
pergerakan di bidang politik. Memberikan multicultural literature kepada anak-anak
dan remaja akan memberi pengetahuan kepada mereka tentang bagaimana kehidupan
multikultural yang sebenarnya. Mereka juga akan bisa memberikan penilaian tentang
etnis yang diceritakan dalam multicultural literature tersebut. Oleh karena itu, di satu
sisi, multicultural literature dianggap menjadi ancaman terhadap western civilization
(Taxel, 1997:417).
Sementara itu, pemikiran Harris terhadap konsep multicultural literature yang
diusung Cai berkaitan dengan peranan pengarang. Harris mencatat bahwa pengarang
nonkulit putih tidak memiliki akses ke industri penerbitan hingga tahun 1960. Sampai
sekarang, mereka tetap memiliki akses yang terbatas untuk menerbitkan karya yang
menyinggung soal kebudayaan dominan dan kebudayaan yang dipinggirkan.
Pemikiran Harris ini berlanjut pada pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya paling
mampu menuliskan multicultural literature. Lalu buku dari pangarang manakah yang
lebih banyak dipublikasikan dan mengapa banyak buku dari pengarang kulit putih
yang diterbitkan padahal mereka menulis tentang kultur lain.
15
Terakhir, Bishop memberi pengaruh terhadap konsep multicultural literature
karena ia dan Cai pernah berkolaborasi untuk melihat kontribusi multicultural
literature di bidang sastra dan pendidikan. Namun, Bishop lebih banyak
membicarakan peranan multicultural literature di bidang pendidikan. Menurutnya,
buku-buku multicultural literature yang memuat tentang people of color harus
dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran untuk anak-anak dan remaja di
negara-negara multikultural.
Melalui kontribusi ketiga orang tersebut, Cai mendasarkan teorinya pada
pertanyaan ‘Siapakah yang mampu menuliskan tentang multicultural literature
dengan benar?’, ‘Mampukah outsider menuliskan karya-karya yang autentik
mengenai sebuah kultur?’, ‘Bagaimana cara kita mengevaluasi multicultural
literature?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena Cai (2002: xiii) beranggapan
bahwa kemunculan multicultural literature merupakan sebuah pergerakan untuk
memberikan ruang di sastra kepada kelompok-kelompok yang telah dimarginalkan.
Akan tetapi, ketika multicultural literature dialihkan untuk memperkokoh ekonomi
dan politik dari dominant culture, hal ini sama saja dengan mengekalkan
misrepresentasi dan supresi terhadap kultur-kultur yang ada di sekelilingnya. Oleh
karena itu, Cai menganggap multicultural literature harus autentik agar bisa
digunakan untuk memahami budaya dari kelompok minoritas di negara-negara
multikultural. Cai juga beranggapan bahwa multicultural literature yang autentik ini
16
harus dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran untuk anak-anak dan remaja.
Melalui autentisitas dalam multicultural literature, pengasingan terhadap budaya
minoritas bisa dihindari.
Dosenbrock (dalam Cai, 2002:4) mendefinisikan multicultural literature
sebagai karya sastra yang menggambarkan tentang realitas masyarakat multikultural.
Harris dan Bishop (dalam Cai, 2002:8) memperjelas bahwa multicultural literature
harus difokuskan pada mereka yang diasingkan atau yang dimarginalkan. Cai
menambahkan harus terdapat power struggle di dalamnya, maka multicultural
literature harus berfokus pada oppressed groups. Berdasarkan hal ini, Cai
mengemukakan tujuan dari multicultural literature:
“The goal of the multicultural literature movement is to give voice to those who have been historically silenced, to represent those who have been underrepresented, to give true faces back to those whose images have been distorted.” (Cai, 2002:49)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa multicultural literature tidak hanya
bertujuan untuk memberikan suara kepada mereka yang sepanjang sejarah telah
didiamkan, tapi juga untuk merepresentasikan mereka yang tak terwakilkan, dan
memberikan gambaran yang sebenarnya tentang mereka yang images-nya telah
didistorsi. Oleh karena itu, isu-isu seperti ketidaksetaraan, diskriminasi, opresi dan
eksploitasi akan hadir dalam multicultural literature. Akan tetapi, menurut Cai,
banyak pengarang yang tidak bisa mencapai tujuan sebenarnya dari multicultural
literature. Bahkan, melalui karya-karyanya, pengarang ini malah mengekalkan
strereotip dan menampilkan informasi kultural yang tidak akurat (Cai, 2002:70).
17
Hal di atas juga memunculkan berbagai perdebatan tentang siapa yang lebih
mampu menuliskan multicultural literature yang autentik melalui imajinasi mereka.
Mengutip Bishop, Cai mengungkapkan beberapa orang berpendapat bahwa melalui
imajinasi mereka, hanya insiders yang mampu menuliskan multicultural literature
yang autentik, sedangkan outsiders hanya mampu memotret tentang minoritas.
Outsiders bisa didefinisikan sebagai orang yang tidak menjadi bagian dari kelompok
etnis yang ia tuliskan. Sementara itu, insiders adalah orang yang menjadi anggota dari
kelompok etnis yang ia tuliskan.
Perdebatan mengenai outsiders dan insiders ini tidak hanya berkutat pada
tulisan siapa yang lebih autentik, tapi juga perjuangan politik tentang buku siapa yang
lebih berpeluang untuk diterbitkan. Umumnya, karya-karya dari outsiders telah lebih
banyak diterbitkan dan dipertahankan dengan mempertimbangan kemampuan
bersastra dan kualitas imajinasi mereka yang dianggap lebih baik, dan mengabaikan
bagaimana karya tersebut sebenarnya telah membelokkan realitas dan
menstereotipkan orang-orang dari kultur yang mereka coba tampilkan (Sims dalam
Cai, 2002: 37). Ini merupakan sebuah ironi, menurut Cai, karena cultural imposition
telah dikekalkan di dalam buku-buku tersebut. Juga karena hal ini bertentangan
dengan cultural authenticity, karena pemalsuan realitas dan penstereotipan karakter
tidak dianggap merusak prinsip dasar penciptaan karya sastra. Menurut Cai, tulisan-
tulisan seperti ini bisa beredar luas tanpa hambatan karena adanya mentalitas yang
menganggap marginalized cultures sebagai nonentities-sesuatu yang tidak berharga
18
yang bisa dijadikan mainan atau bisa diinjak-injak. Harus diakui bahwa baik secara
eksplisit maupun implisit, kesastraan dan aspek politikal-sosial dari isu insiders
versus outsider saling berkaitan satu sama lain.
Gagasan di atas menggiring Cai pada sebuah pertanyaan, bisakah kita melintasi
perbedaan kultural melalui imajinasi? Selama ini, imajinasi memiliki kekuatan sendiri
sehingga bisa dijadikan sebagai ‘pelindung’ dari kesalahan atau riset buruk yang
dilakukan pengarang dalam karya sastra multikultural mereka. Bahkan, pengarang
outsiders menganggap imajinasi sebagai sumber inspirasi agar bisa berpetualang
dalam kultur yang asing dengannya. Oleh karena itu, fungsi imajinasi dalam
multicultural literature berkaitan dengan isu mengenai insiders versus outsiders. Jika
isu ini terselesaikan, tidak hanya pertanyaan-pertanyaan mengenai kesusastraan yang
terjawab, tetapi juga pertanyaan mengenai sisi sosial-politikal mengenai perdebatan
ini.
Isu mendasar yang perlu dibahas dalam perdebatan insiders versus outsiders
tidak hanya sekadar mengenai hubungan antara latar belakang etnis pengarang dan
karya sastra ciptaannya, tetapi lebih kepada hubungan antara imajinasi dan
pengalaman si pengarang (Cai, 2002:38). Realitas yang ditampilkan dalam
multicultural literature seharusnya telah dialami/dilalui oleh si pengarang. Oleh
karena itu, diperlukan sebuah ‘alat’ untuk mengevaluasi multicultural literature. Alat
tersebut adalah cultural authenticity.
19
Cultural authenticity bisa menjadi hal paling umum untuk mengevaluasi
multicultural literature. Haward menyatakan bahwa tujuan dari multicultural
literature yang autentik adalah untuk membebaskan kita dari semua stereotip salah
yang menggantung dan memenjarakan kita dalam batas-batas yang sempit. Oleh
karena itu, multicultural literature haruslah autentik. Dalam pemamparan Cai,
multicultural literature bisa dikatakan autentik jika tidak terdapat kesalahan dalam
menyampaikan makna dari the way of living, behaving, and believing sebuah
komunitas. Oleh karena itu, ketidakkuratan dalam penyampaian bentuk masih
dianggap sebagai minor inaccuracy (2002:64).
Jika tak dilakukan cultural authenticity, imajinasi hanya menggiring pada
misrepresentasi dan pembelokan realitas dalam multicultural literature. Cai
menekankan bahwa imajinasi yang lemah mungkin bisa membuat sebuah tulisan
menjadi tidak menginspirasi, namun imajinasi yang menyebabkan terjadinya
kesalahan interpretasi merupakan hal yang lebih mengerikan karena hal ini bisa
mengekalkan kedunguan dan prasangka yang menyimpang. Tentu saja, hal ini juga
sangat bertolak belakang dengan tujuan multicultural literature. Mengingat cultural
authenticity adalah patokan paling mendasar, maka seimajinatif dan sebagus apapun
sebuah tulisan, tulisan tersebut harus tetap ditolak jika tulisan itu mengganggu
integritas sebuah kultur.
Bagi Cai, cultural authenticity sangat diperlukan untuk bisa mencapai realistic
lieterature, dan bukannya untuk menjadikan literature sebagai bentuk propaganda.
20
Untuk bisa memakai cultural authenticity dalam mengevaluasi multicultural
literature, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan dikotomi antara
tulisan yang bagus dan tulisan yang autentik, karena tulisan yang bagus haruslah
autentik. Keperluan mengenai sebuah cerita yang autentik, karakter yang tidak
distereotipkan, historikal, dan kultural yang akurat, harusnya tidak bertentangan
dengan kualitas sebuah karya (Taxel dalam Cai, 2002:39). Oleh karena itu, bagi
mereka yang percaya bahwa hanya insiders yang mampu menulis karya yang
autentik, mereka akan selalu mengaitkan keetnisan seorang pengarang dengan karya
sastra yang ditulisnya. Bagi orang-orang ini, outsiders tidak akan mampu menuliskan
karya yang autentik tentang sebuah etnis, bahkan jika mereka telah memiliki
pengalaman secara langsung maupun tidak langsung dengan etnis yang akan
ditulisnya. Tetapi, hal ini dibantah oleh Gates, yang mengatakan bahwa tak ada satu
pun kultur yang tidak bisa diakses jika seseorang telah melakukan berbagai usaha
untuk memahami, mempelajari, dan menjalani hidup dengan kelompok kultur
tersebut. Salah satu contoh novel yang ditulis outsiders dan diterima oleh insiders
adalah The Education of Little Tree yang ditulis oleh Forrest Carter (Gates dalam Cai,
2002:39). Novel ini sukses diterbitkan dan mendapatkan banyak pujian dari kritikus
dan insiders (dalam hal ini native American). Akan tetapi, hal ini menjadi ironi ketika
diketahui bahwa pengarang novel sukses ini bukan hanya seorang outsiders, tapi juga
seorang rasis (pemimpin Ku Klux Klan). Hal ini menegaskan bahwa tidak hanya
insiders yang ternyata mampu menuliskan multicultural literature yang autentik.
21
Di sisi lain, ada kelompok yang menganggap bahwa kekuatan imajinasi akan
mampu membuat outsiders melintasi perbedaan kultur. Akan tetapi, Sims
beranggapan bahwa banyak pengarang kulit putih gagal mencerminkan Black di
dalam buku mereka karena mereka tidak bersosialisasi secara langsung dengan
mereka. Kepercayaan berlebihan mengenai kekuatan imajinasi inilah yang akhirnya
banyak memunculkan buku-buku yang membelokkan realitas dan menstereotipkan
kelompok tertentu beredar dengan luas.
1.5.1 Cultural Boundaries
Penyesuaian diri yang dilakukan berkali-kali terhadap kultur lain tentu
diperlukan. Akan tetapi, permasalahan sebenarnya adalah seberapa kuat dan autentik
hubungan dengan kultur itu sehingga seorang pengarang mampu menciptakan karya
yang autentik. Cai (2002:40) juga menyetujui konsep Banks yang mengusulkan
empat level hirarki untuk cross cultural competency yang bisa menjadi tolak ukur
untuk menguji seberapa autentik koneksi seseorang terhadap kultur lain. Empat level
hirarki tersebut adalah:
a. Level I : seseorang yang mengalami interaksi sosial budaya yang dangkal.
b. Level II : seseorang yang mulai mengasimilasikan beberapa simbol dan
karakteristik yang dimiliki etnik grup lain.
c. Level III : seseorang yang memang benar-benar bikultural.
d. Level IV : seseorang yang telah benar-benar berasimilasi ke dalam sebuah
kultur yang baru.
22
Jika seorang pengarang hanya melewati Level I, misalnya ia telah
mengunjungi Chinatown, makan beberapa makanan Cina, membaca beberapa buku
tentang Cina, maka tentunya pengarang tersebut tidak memiliki cukup kualifikasi
untuk menuliskan cerita tentang kultur Cina. Namun jika seorang pengarang telah
melewati level tertinggi, maka pemahamannya tentang etnik grup yang berbeda tentu
akan sangat bagus. Dengan begini, masalah rasial tentu bisa menurun dengan sangat
drastis dan seorang pengarang tidak akan mengalami kesulitan dalam menuliskan
etnik lain dalam sebuah multicultural literature. Cai (2002:40) menegaskan jika
cross-cultural competency seseorang diabaikan, maka hal ini sama saja dengan
melonggarkan tujuan utama dari multicultural literature.
1.5.2 Ethnic Perspective
Tugas paling sulit bagi seorang pengarang agar bisa merefleksikan realitas dari
sebuah etnik kultur (tak peduli apakah mereka berasal dari dalam atau luar kultur
tersebut) adalah untuk memahami perspektif dari kultur itu sehingga karya yang
autentik bisa tersaji. Dalam hal ini, agar bisa memahami perspektif sebuah etnis,
seorang pengarang harus berperan secara spesifik (in the way of living, believing,
behaving) ketika menggambarkan kondisi budaya sebuah kelompok masyarakat.
Sebuah novel dari Bunting, Happy Funeral, misalnya, menunjukkan kegagalan dalam
memahami ethnic perspective. Dalam novel ini, terlihatlah bagaimana pengarang
tidak melihat suatu tradisi dari perspektif orang Cina secara keseluruhan. Bunting
melakukan ketersesatan ketika kepercayaan etnis Cina untuk mencari hiburan sesaat
23
setelah salah seorang anggota keluarganya yang berumur panjang resmi meninggal
dinyatakan sebagai ‘happy funeral’. Sebaliknya, Cai mencontohkan Lawrence Yep
sebagai seorang pengarang yang mampu memberikan gambaran yang autentik
mengenai kelompok etnis Cina. Yep menjelaskan dengan rinci dan benar tentang the
way of living, believing, behaving komunitas masyarakat Cina. Untuk bisa mencapai
tahap ini, Yep terlebih dahulu melakukan berbagai observasi selama enam tahun
sehingga ia mampu menuliskan kultur masyarakat Cina sesuai dengan perspektif
masyarakat tersebut.
Pada dasarnya, memperkenalkan konsep dari sebuah kultur ke kultur lain
merupakan sebuah pekerjaan yang sangat menantang. Oleh karena itu, pengarang
multicultural literature harus berperan sebagai seorang cultural messenger, tapi
terkadang mereka secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai dan kepercayaan kultural
mereka pada sebuah kultur yang sedang mereka tuliskan kembali (Cai, 2002:41).
Nodelman menyebut ini dengan istilah cultural arrogance. Oleh karena itu, seorang
pengarang memang benar-benar harus berusaha memasuki kultur tersebut, yang tentu
saja tidak akan bisa dipahami hanya dengan kekuatan imajinasi, tak peduli seberapa
pun imajinatifnya seorang pengarang. Hal ini juga berlaku pada insiders. Meskipun
menuliskan tentang etnis mereka sendiri, tetapi insiders juga harus melakukan
observasi dan pembelajaran agar terhindar dari cultural arrogance. Pada dasarnya,
perspektif tentang sebuah etnis tidak diturunkan melalui gen, tapi melalui
pengalaman. Oleh karena itu, menjadi bagian dari sebuah etnis tidak menjamin
24
seorang pengarang mampu menuliskan multicultural literature yang autentik.
Beberapa multicultural literature dianggap gagal bukan karena pengarangnya kurang
imajinatif, tetapi karena mereka tidak menampilkan perspektif kultural dengan akurat.
1.5.3 Brute Facts
Imajinasi memang merupakan creative power, tetapi imajinasi bukanlah
master of reality. Sebaliknya, imajinasi bisa dibatasi oleh realitas. Akan tetapi,
perbedaan budaya seringkali menjadi kendala yang mempersempit imajinasi
pengarang sehingga ia tidak mampu menampilkan kondisi sosial yang akurat dalam
karya sastra ciptaannya. Cai menyebut ini sebagai brute facts. Untuk mengatasi hal
ini, pengarang perlu melakukan berbagai usaha agar bisa memberikan gambaran yang
nyata tentang kondisi sosial masyarakat etnis tertentu. Jika pengarang insider harus
melakukan beberapa usaha agar bisa memberikan gambaran kondisi sosial yang
sesuai dengan realitas, pengarang outsider harus melakukan usaha dua kali lipat
untuk mewujudkan ini.
Cai melihat bahwa seorang pengarang insider ternama, Amy Tan (Chinese-
American), juga bisa menampilkan kondisi sosial dan kultural yang tidak akurat di
dalam novelnya, The Kitchen God’s Wife. Tan menceritakan kondisi Cina ketika
Perang Dunia II sedang berlangsung dalam novel ini. Akan tetapi, Tan melakukan
minor inaccuracies ketika menceritakan seorang peramal yang mengatakan bahwa
25
salah satu pelanggan akan mendapatkan keberuntungan. Hal ini keliru karena
menjanjikan keberuntungan kepada pelanggan merupakan pantangan yang dipercaya
para peramal di Cina pada masa itu. Kesalahan lainnya yang ditampilkan Tan adalah
ketika ia menceritakan tokoh suami yang mencoba membebaskan istrinya yang
ditahan oleh petugas Kuomintang dengan cara mengaku sebagai bagian dari komunis.
Ini merupakan kekeliruan karena ketika Perang Dunia II berlangsung, Kuomintang
dan Komunis merupakan dua kelompok yang saling bermusuhan.
Kesalahan juga bisa ditemukan dalam novel peraih penghargaan, How My
Parents Learned to Eat. Di dalam novel ini, Allen Say menggambarkan seorang gadis
Jepang yang masih berseragam sekolah sedang menjalin kasih di ruang publik
bersama seorang pelaut Amerika, tetapi tak ada seorang pun yang memperhatikan
mereka. Padahal, pada masa cerita itu berlangsung, hubungan antara seorang gadis
Jepang dan pria Amerika harusnya menjadi suatu skandal yang besar.
Selanjutnya, brute facts tidak hanya merupakan fakta yang terlihat dalam
realitas eksternal, tetapi juga fakta-fakta yang tak terlihat dalam realitas internal.
Dalam kaitannya dengan hal ini, memang benar seorang pengarang akan bisa
menuliskan tentang kehidupan yang ia sendiri tak pernah mengalaminya, tetapi
setidaknya dia membutuhkan pengalaman tidak langsung sebagai basis imajinasinya.
Seperti yang dikatakan Coleridge, dalam penciptaan karya sastra, imajinasi
mengubah, mengembangkan, dan menghilangkan agar bisa menciptakan kembali.
Oleh karena itu, sebuah etnis tidak akan bisa diakses oleh imajinasi jika tidak ada
26
pengalaman. Selain itu, seorang pengarang juga harus melakukan cultural immersion.
Seorang pengarang harus membenamkan diri pada kultur yang ingin ia gambarkan.
Hal ini sekali lagi menekankan betapa pentingnya pengalaman dalam menulis
multicultural literature.
1.5.4 Reader Response Theory
Dalam multicultural literature, reader response theory diperlukan untuk
mengidentifikasi peranan pengarang. Reader response theory ini bertujuan untuk
mengungkapkan identitas kultural pengarang dan melihat sejauh apa identitas
tersebut mempengaruhi karya sastra yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, Cai
menawarkan reader response theory dalam menerapkan multicultural literature.
Reader response theory, pada dasarnya, menggeser fokus kritik sastra dari
pengarang dan teks ke pembaca. Tapi ini tidak berarti pengarang tidak memiliki
peran apapun. Dalam hal ini, pengarang memainkan peran melalui teks yang ia
ciptakan. Di dalam reader response theory, komunikasi dengan pengarang secara
nyata dilakukan melalui teks (Rosenblatt dalam Cai, 2002:54). Ini menjelaskan
bahwa dalam reader response theory, peranan pengarang sama pentingnya dengan
teks dan pembaca dalam proses pembuatan makna.
Di dalam beberapa reader response theory, peranan pengarang bahkan tidak
hanya diakui di dalam proses pembacaan teks, tetapi juga dikembangkan untuk
melihat kehadiran pengarang di dalam teks. Iser (Cai, 2002:56), misalnya,
27
menekankan bahwa setiap karya sastra memiliki dua kutub: artistic creation (teks)
oleh pengarang dan aesthetic realization (proses pembacaan) oleh pembaca. Karya
sastra terletak di antara tengah-tengah kutub ini; kehadiran pengarang hanya
disiratkan dalan artistic creation. Konsep yang berkaitan dengan peranan pengarang
juga muncul dalam berbagai terminologi. Misalnya, implied reader (Iser, 1974),
authorial audience (Rabinowits, 1978), dan implied author (Booth, 1961). Semua
terminologi tersebut mengacu pada kehadiran pengarang di dalam teks dan mengakui
peranan pengarang di dalam proses pembacaan (Cai, 2002:58).
Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan Booth (dalam Cai, 2002:58) bahwa
kehadiran pengarang tersirat di dalam teks yang mereka ciptakan. Kehadiran
pengarang yang dimaksud di sini berbeda dengan pengarang sebenarnya yang
menulis buku. Dalam hal ini, implied author, lebih dimaksudkan kepada ‘diri kedua’
si pengarang. Dalam phenomenological explication of the reading process, Iser
memfokuskan pada cara ‘diri kedua’ ini mengontrol atau memandu pembaca dalam
proses pembacaan. Panduan dari implied author muncul dalam schematized views-
konsep ini dipinjam dari Roman Ingarden. Schematized views tidak dinyatakan secara
terang-terangan di dalam teks, tetapi disembunyikan dengan beragam perspektif yang
ditawarlan oleh teks itu sendiri. Di dalam sebuah novel, misalnya, terdapat empat
persepektif: narrators, characters, plot and fictitious reader (the intended reader).
Ketika pembaca mencoba menggunakan keempat perspektif ini dan mengaitkan satu
sama lain dengan schematized views, si pambaca akan ‘menghidupkan’ teks.
28
Pembaca yang berbeda mungkin akan ‘menghidupkan’ teks dalam bentuk yang
berbeda pula. Akan tetapi, hubungan antara keempat perspektif tadi akan
memengaruhi pembaca untuk membaca dengan cara yang khas.
Berdasarkan uraian di atas, peranan cultural boundaries, ethnic perspective,
dan brute facts dalam mengungkapkan autentisitas sebuah multicultural literature
bisa dilihat melaui skema berikut:
Keterangan: CB : Cultural Boundaries KSB : Konteks Sosial Budaya TMC : Teks Multicultural Literature T : Tinggi R : Rendah 1.6 Hipotesis dan Variabel
Suriasumantri dan Wirawan (Faruk, 2012:21) menyimpulkan bahwa hipotesis
pada dasarnya adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan
CB
TMC
KSB
KADAR AUTENTISITA
S
T
R
29
berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Lebih lanjut Faruk
menyatakan, apabila sebuah masalah sudah teridentifikasi dan ditempatkan dalam
kerangka konseptual (teori), harusnya peneliti bisa menduga kemungkinan
penyelesaian dari masalah tersebut. Sebagai jawaban sementara terhadap
permasalahan, hipotesis merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-
konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antarkonsep tersebut
(Faruk, 2012:22).
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa hipotesis yang bisa diajukan.
Pertama, novel After Darkness karya Christine Piper memang merupakan sebuah
multicultural literature karena novel ini memberikan gambaran masyarakat
multikultural yang difokuskan pada ‘mereka yang diasingkan’ dan terdapat power
struggle di dalamnya. Kedua, kadar autentisitas novel ini bisa dilihat dari kesesuaian
ethnic perspective dengan budaya yang digambarkan dan kesesuaian brute facts
dengan kondisi sosial masyarakat yang digambarkan. Ketiga, novel ini bisa
memperlihatkan kadar autentisitas tertentu karena adanya variasi batas kultural yang
memisahkan pengarang dengan kultur yang dia tulis.
Selanjutnya, Wirawan (Faruk, 2012:22) menjelaskan konsep hipotesis dapat
mewujud ke dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi hitungan atau ukuran.
Berdasarkan hipotesis di atas, dapat diasumsikan bahwa variabel untuk melihat
autentisitas adalah teks dan konteks sosial budaya, sedangkan variabel untuk melihat
penyebab autentisitas adalah konteks pengarang.
30
1.7 Metode Penelitian
Pada bagian ini, akan dipaparkan bagaimana proses menentukan dan
mendapatkan data untuk penelitian, juga ditentukan klasifikasinya sehingga data
tersebut bisa dianalisis dan disajikan. Sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah menentukan objek material dan objek formal (Poedjawijatna dalam
Faruk, 2012:23). Di dalam penelitian ini, yang menjadi objek material adalah novel
After Darkness karya Christine Piper dan objek formalnya adalah konsep
multicultural literature dari Mingshui Cai.
Dalam melakukan metode penelitian, ada dua langkah yang harus dilakukan,
yaitu pengumpulan dan penganalisisan data. Di dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan tidak hanya berasal dari teks After Darkness, tetapi juga berasal dari
buku, jurnal, berita, dan artikel yang relevan dengan masalah yang diteliti. Data-data
yang akan dikumpulkan tersebut dapat diurai, diklasifikasikan, dan dianalisis seperti
di bawah ini:
1. Data yang berkaitan dengan pembuktian bahwa novel After Darkness memang
merupakan multicultural literature diambil secara tekstual dari dalam novel
tersebut. Data ini dianalisis untuk mengungkapkan gambaran masyarakat
multikultural: kondisi kelompok yang diasingkan dalam masyarakat
multikultural tersebut dan berbagai power struggle yang dilakukan oleh
kelompok marginal itu.
31
2. Data untuk melihat kadar autentisitas novel After Darkness didapatkan melalui
teks novel. Data yang dicari di dalam teks novel ini adalah data yang
menggambarkan kultur (the way of living, behaving, believing) dan kondisi
sosial masyarakat sebuah kelompok etnik. Kemudian, data dari teks novel ini
akan dianalisis kesesuaian ethnic perspective dan brute facts-nya melalui data
yang didapatkan dari artikel, buku, dan jurnal.
3. Data untuk melihat adanya variasi batas kultural yang memisahkan pengarang
dengan kultur yang dia tulis didapatkan dari teks novel dan artikel, buku, juga
berita. Pertama, data yang dicari adalah data pengalaman pengarang mengenai
kultur yang ia tulis. Kemudian, data ini dianalisis dengan menggunakan empat
level hirarki cross cultural competency untuk melihat sedekat apa pengarang
dengan kultur yang ia tulis (cultural boundaries). Terakhir, juga perlu dilihat
implied author untuk mengungkap identitas kultural pengarang.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab. Pembagian pembahasan tiap-tiap
babnya adalah sebagai berikut.
Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan
variabel, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
32
Bab II menjelaskan karakteristik multicultural literature yang terdapat dalam
novel After Darkness. Pada bab ini, dijelaskan tentang kehidupan masyarakat
multikultural yang terdapat dalam After Darkness.
Bab III terdiri atas empat subbab. Subbab pertama berisi analisis mengenai
kesesuaian kondisi budaya yang digambarkan dalam novel After Darkness dengan
kesesuaian ethnic perspective. Subbab kedua berisi analisis mengenai kesesuaian
kondisi sosial yang digambarkan dalam novel After Darkness dengan kesesuaian
brute facts. Subbab ketiga menjelaskan seberapa kuat hubungan pengarang dengan
kultur yang ia gambarkan di novelnya. Subbab keempat membahas sikap implied
author dalam novel After Darkness.
Bab IV adalah penutup. Bab ini terdiri dari dua subbab, yaitu kesimpulan dan
saran.