Atrial Febrilasiii

28
LAPORAN PENDAHULUAN ATRIAL FIBRILASI (AF) A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum (ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung (Corwin, 2009) 2. Klasifikasi : a) Klasifikasi atrial fibrilasi (Surya Dharma, 2012) berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi; Klasifikasi AF Keterangan AF paroksimal AF ini dapat hilang dan timbul secara spontan, tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi. AF persisten AF ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus, baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik. AF permanen AF ini tak dapat dikonversi menjadi irama

description

lp

Transcript of Atrial Febrilasiii

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRIAL FIBRILASI (AF)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI

Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum (ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatutakikardisupraventrikulerdengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung (Corwin, 2009)

2. Klasifikasi :

a) Klasifikasi atrial fibrilasi (Surya Dharma, 2012) berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi;

Klasifikasi AF

Keterangan

AF paroksimal

AF ini dapat hilang dan timbul secara spontan, tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi.

AF persisten

AF ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus, baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik.

AF permanen

AF ini tak dapat dikonversi menjadi irama sinus.

b) Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan menjadi :

1. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik lainnya,

2. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti gangguan tiroid.

c) Berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas:

1. AFCoarse(kasar) jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali.

2. AFFine(halus) jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus

Sumber : (Levy, Camm, Saksena, 2003. Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hanantoet al, 2009).

3. ETIOLOGI

Atrial fibrilasi (AF) (Berry and Padgett, 2012). Biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh. Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya adalah (5)(Corwin, 2009):

a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium (Penyakit katup jantung, kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium, hipertrofi jantung, kardiomiopati dan hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary diseasedancor pulmonal chronic), serta tumor intracardiac.

b. Proses infiltratif dan inflamasi (pericarditis/miocarditis, amiloidosis dan sarcoidosis dan faktor peningkatan usia)

c. Proses infeksi (demam dan segala macam infeksi)

d. Kelainan Endokrin (hipertiroid, feokromositoma)

e. Neurogenik(Atrial Fibrilasi dan perdarahan subarachnoid)

f. Iskemik Atrium (infark myocardial)

g. Obat-obatan (alcohol dan kafein)

h. Keturunan/genetic

4. TANDA DAN GEJALA

1. Alpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau "berdebar" dalam dada)

2. Sesak napas

3. Kelemahan atau kesulitan berolahraga

4. Nyeri dada

5. Pusing atau pingsan

6. Kelelahan (kelelahan)

7. Kebingungan (Corwin, 2009)

4. PATOFISIOLOGI

(Surya Dharma, 2012) Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya gelombang yang menetap dariMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.

Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium. Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung.

Patofisiologi Pembentukan Trombus pada AF. Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan Atrial Fibrilasi emboli dibandingkan dengan AF tanpa Atrial Fibrilasi emboli. 2/3 sampai Atrial Fibrilasi iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena Atrial Fibrilasi emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF. (Surya Dharma, 2012)

5. PAT (Peningkatan aliran transmitral atau penurunan diastolik) (Peningkatan aliran transmitral atau penurunan diastolik)HWAY

( Huda, Amin 2013 )

(Agen Streptococus hemolitik group A menginfeksi manusia)

(Faringitis streptococcus)

(B cell memproduksi antibodi antistreptokokus) (T cell diaktifkan oleh antigen streptococcus)

(Antibodi dan T-cell saling bereaksi dengan antigen dari caerdiac sarkolema dan valvular glycopeptides)

(Miokarditis, Valvulitis)

(Rhematic heart disease kronis)

(Perikarditis) (Bacteria endokarditis) (Chronic valvulitis stenosis(mitral, aorta, trikuspid))

(Penyempitan pada katup mitral)

(Atrial fibrilasi)

(Konsekuensi hemodinamik) (Aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri di dorong oleh gradien tekanan dan gradien transmitral) (Peningkatan aliran transmitral atau penurunan diastolik)

(Ventricular rate cepat) (Peningkatan tekanan atrium kiri)

(Penurunan curah jantung) (Peningkatan tekanan atrium kiri) (Pemendekan periode diastolik) (Edema paru) (Peningkatan vena pulmonal) (Peningkatan complian paru) (Tekanan atrium kiri dipantulkan lagi ke sirkulasi paru) (Ventrikel tidak terisi) (Hipertropi Atrium )

(Tekanan arteri rerata (MAP))

( Pengaktivan simpatis) ( ADH) (Pelepasan renin )

( Katekolamin) ( Reabsorbsi air)

(Angiotensin I)

(HR ) (SVT) ( Volume plasma) (Angiotensin II)

( Kerja jantung )

(Retensi Na-H2O ) (Aldosteron ) (Vasokonstriksi perifer )

(Mekanisme kompensasi)

(Pengisian kapiler paru > pengisian pembuluh darah) ( BP)

( LVEDP, LAP) (CHF/gagal jantung ) ( Perfusi jaringan) (Kelebihan volume cairan) (Ketidakefektifan pola nafasIntoleran aktivitas) (Bersihan jalan nafas tidak efektif) (ronki) (Dispnea, orthopnea, PND) (Gangguan pertukaran gas) ( Peningkatan tekanan arteri ventrikel kanan/ kiri) (Edema paru) (alveoli) (Transudasi cairan)

(Hepatomegali) ( CVP, JVP) (Ketidakefektifan perfusi jaringan)

(mual)

(Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh)

6. KOMPLIKASI

Menurut (Berry and Padgett, 2012).

a. Cardiac arrest / gagal jantung

b. Atrial Fibrilasi

c. Dimensia

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung.

2. Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya iskemia.

3. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.

4. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.

5. Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol.

6. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung.

7. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi elektrofisiolagi.

8. PENATALAKSANAAN

AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control).Namun pada pasien dengan AF yang persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju denyut ventrikular (rate control) saja. (Corwin, 2009).

Terdapat 3 kategori tujuan perawatan AF yaitu :

1) Terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli,

2) Mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan

3) Memperbaiki irama yang tidak teratur.

Berikut penatalaksanaan AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) RS Harapan Kita Edisi III 2009, yaitu:

a. Farmakologi

1. Rhythm control,

Tujuann ya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus / irama jantung yang normal.

a) Diberikan anti-aritmia gol. I (quinidine, disopiramide dan propafenon).

b) Untuk gol.III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock

2. Rate control

Rate controlbertujuan untuk mengembalikan / menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan obat-obat yang bekerja pada AV node seperti : digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta ( bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat dipakai untuk rate control

3. Profilaksis tromboemboli

Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan anti- koagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet.

b. Non-farmakologi

1. Kardioversi

Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya Atrial Fibrilasi akibat emboli. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan transesofageal ekhokardiografi

2. Pemasangan pacu jantung (pacemaker)

Beberapa tahun belakangan ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu jantung yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian menunjukkan bahwa pacu jantung kamar ganda (dual chamber), terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal (single chamber).

3. Ablasi kateter

Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu jantung permanen

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1) Pengkajian

a. Anamnesis

Identitas klien meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama

yang sering menjadi alasan klien untuk meminta bantuan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.

c. Riwayat penyakit saat ini

Serangan Atrial Fibrilasi hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dalam hal perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.

d. Riwayat penyakit dahulu

Ada riwayat hipertensi, riwayat Atrial Fibrilasi sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

e. Riwayat penyakit keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus atau riwayat Atrial Fibrilasi dari generasi terdahulu.

f. Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien Atrial Fibrilasi meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah ( gangguan citra tubuh).

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri yang didapatkan, klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif. Pola penaggulangan stres, klien biasa mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berfikir dan kesulitan berkomunikasi. Pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

g. Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Keadaan umum

a) B1 (breathing)

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi didapatkan bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien Atrial Fibrilasi dengan penurunan tingkat kesadaran koma.

Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kiri dan kanan. Auskultasi tidak didapatka bunyi napas tambahan.

b) B2 (blood)

Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang terjadi pada klien Atrial Fibrilasi. TD biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat adanya hipertensi masif TD > 2oo mmHg.

c) B3 (Brain)

Atrial Fibrilasi menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 merupakan pemerikasaan terfokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

1. Tingkat kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk mendeteksi disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.

2. Fungsi serebri

a) Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai bicara klien, observasi wajah, dan aktivitas motorik dimana pada klien Atrial Fibrilasi tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

b) Fungsi intelektual : didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami kerusakan otak, yaitu kerusakan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.

c) Kemampuan bahasa : penurunan kemampuan bahasa tergantung dari daerah lesi yang mempengaruhi fungsi dari serebri. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia resertif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada daerah posterior dari girus frontalis inferior (area broca) didapatkan disfagia ekspresif dimana klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara) ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya) seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

d) Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.

d) B4 (bladder)

Setelah Atrial Fibrilasiklien ungkin mengalami inkontenensia urine sementara kerena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.

e) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

f) B6 (Bone)

Atrial Fibrilasi adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunteer terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan control motor volunteer pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan otak.

i. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan atrial fibrilasi adalah:

a. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, perubahan structural.

b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, tirah baring atau imobilisasi.

c. Kelebihan volume cairan b.d menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/ meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air

d. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas b.d perubahan alveolar-kapiler.

j. Intervensi

Resiko penurunan curah jantung b.d. perubahan konduksi elektrik miokard, penurunan kontraktilitas miokard

Tujuan

Mempertahankan curah jantung tetap adekuat, tidak berlanjut kepada munculnya tanda/ gejala dekompensasi.

Kriteria hasil

Frekuensi serangan disritmia berkurang

Klien mampu bertoleransi terhadap aktivitas

Klien tidak mengalami keluhan gagal jantung

Intervensi

Palpasi nadi, femoral, dorsum pedis ), catat frekuensi per menit, keteraturan, dan ampnya litudo.

Dokumentasi adanya pulsus alterans, denyut bigemini, atau defisit nadi.

Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, permenit, irama. Catat adanya ekstrasistole, hilangnya denyut dan cardiac jantung

Monitor tanda vital, dan observasi keadekuatan perfusi jaringan. Laporkan jika terjadi perubhan tekanan darah, denyut nadi, respirasi yang bermakna, nilai dan catat MAP, tekanan nadi, perubahan warna atau suhu kulit, tingkat kesadaran, dan produksi rine selama periode disritmia.

Tentukan jenis disritmia dan dokumentasikan melalui rhytim strip: tachicardi, bradikardia, atrial disritmia, ventrikuler disritmia, heart blok.

Rasional :

Disritmia menyebabkan penurunan tekanan darah, serta perubahan frekuensi dan amplitudo nadi yang berakibat menurunnya curah jantung dan perfusi organ/ jaringan. Kondisi ini akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard.

Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.Jelaskan pembatasan aktifitas selama faseakut

Ajarkan dan anjurkan melakukan teknik managemen stres ( relaksasi, napas dalam, dan imaginasi secara terbimbing ).

Kaji lebih lanjut keluhan nyeri dada. Dokumentasikan nyerinya, lokasinya, durasi, intensitas, serta faktor yang dapat mengurangi atau memperparah keluhan.Catat respon nonverbal nyeri : grimace wajah, menangis, perubahan tekanan darah, dan frekuensi denyut nadi.

Persiapkan peralatan dan obat-obatan resusitsi kardiopulmonal ( sesuai indikasi ).

Rasional :

Mengrangi kecemmasan yang memicu peningkatan konsumsi oksigen miokard dan disritmia. Nyeri dada mengindikasikan iskemia miokard.

Kolaborasi

Monitor hasil studi laboratorium ( elektrolit,level pemakaian obat/ kadar serum digitalis )

Pemberian oksigen

Pemberian suplemen kaliun sesuai indikasi dan hasil elektrolit serum

Pemberian obat anti disritmia

Persiapan atau bantu cardioversion; digunakan untuk atrial vibrilasi,atau disritmia tertentu yang tidak stabil

Bantu mempertahankan fungsi atau insersi pacemaker

Pasang dan pertahankan iv line

Persiapkan prosedur diagnostik atau pembedahan sesuai indikasi

Rasional:

Ketidakseimbangan elektrolit dan kadar digitalis darah memicu disritmia yang membahayakan

Meningkatkan suplai oksigen jaringan

Hipokalemia menurunkan kontraktilitas miokard

Terapi disritmia sesuai jenis disritmia dan indikasi akan memperbaiki kontraktilitas jantung, serta meningkatkan curah jantung danperfusi jaringan.

Disritmia membahayakan harus dihentikan segera dengan sinkronisasi impuls listrik miokard.Kardioversi akanmengembalikan denyut jantung normal atau mengurangi gejala gagal jantung

Pacemaker membantu mengembalikan denyut jantung dalam batas normal

Akses intravena untuk kondisi darurat

Prosedur diagnostik membantu menengakkan diagnostic

a. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, tirah baring atau imobilisasi.

Tujuan /kriteria evaluasi :

Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri, Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.

Intervensi

1. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.\

Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.

2. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat.

Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.

3. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.

Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas.

4. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)

Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali.

b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.

Tujuan /kriteria evaluasi,

Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema., Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.

Intervensi :

1. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.

Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.

2. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam

Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.

3. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.

Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.

4. Pantau TD dan CVP (bila ada)

Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.

5. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.

Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.

6. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)

7. Konsul dengan ahli diet.

Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.

c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-alveolus.

Tujuan /kriteria evaluasi,

Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi.

Intervensi :

1. Pantau bunyi nafas, catat krekles

Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.

2. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.

Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.

3. Dorong perubahan posisi.

Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.

4. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.

Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.

Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther. 2009. Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC

Dharma, Surya. 2012, Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG, Jakarta : EGC

Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing