Artikel -- Asas Ultimum Remedium Dlm Pembinaan Anak Nakal
-
Upload
rocky-marbun -
Category
Documents
-
view
69 -
download
5
description
Transcript of Artikel -- Asas Ultimum Remedium Dlm Pembinaan Anak Nakal
1
ASAS ULTIMUM REMEDIUM
DALAM PEMIDANAAN ANAK NAKAL
Riza Alifianto Kurniawan
Abstract
The juvenile judges’ decision to sentence juvenile delinquent in prison
seems not to give protection for the best interest of the child. Many
facts have shown that the increasing number of juvenile delinquent
cases reflects the objective of prison punishment is far from the
expectation. Prison punishment decisions should then be the last
option; this is in line with the “last resort” principle (ultimum
remedium). This article is aimed to analyze the application of ultimum
remedium principle in sentencing juvenile delinquent.
Keywords: juvenile sentencing, juvenile judges, ultimum remedium.
I. PENDAHULUAN
Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah berlaku
selama kurang lebih satu dasawarsa. Undang Undang ini mengatur secara khusus
mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana
yang masih berusia kurang dari 18 tahun. Dengan demikian substansi Undang Undang
ini lebih lengkap dibandingkan dengan pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 KUHP
Keberadaan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak ini memberikan
harapan akan tersedianya peraturan hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap
anak nakal. Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak
yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang
terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut peraturan
hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam Undang Undang Tentang Pengadilan
Anak terdapat pengaturan tentang batas usia anak yang menjadi kompetensi
absolutnya, sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acara, dan tindakan
(maatregel) bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang
melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak).
Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap artikel
ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].
2
Mekanisme perlindungan dan pembinaan dalam Undang Undang Pengadilan
Anak mencerminkan perlindungan kepentingan anak yang berhadapan dengan
hukum. Perkara anak yang menjadi kompetensi pengadilan anak semakin lama
semakin meningkat jumlah perkaranya, hal ini disebabkan selain karena faktor
ekonomi dari anak tersebut juga karena tujuan pemidanaan secara umum (general
deterence) yaitu mencegah masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana berjalan
kurang efektif1.
Perlindungan yang diberikan oleh Undang Undang Pengadilan Anak berbeda
dengan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP yang sudah dinyatakan tidak berlaku
oleh Pasal 67 yang isinya adalah sebagai berikut :
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan
Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Adanya perlindungan pada anak yang dijatuhi pidana dalam undang undang
ini tercermin dalam ketentuan di bawah ini Pasal 26 ayat 1 Undang Undang
Pengadilan Anak yang isinya sebagai berikut :
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa
Maksimum pidana penjara yang diancamkan juga tidak boleh lebih dari
½(setengah). dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa. Selain itu, pidana
mati juga tidak dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal
23 ayat 2 Undang Undang Pengadilan Anak yang isi pasal selengkapnya adalah
sebagai berikut :
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a) pidana penjara;
b) pidana kurungan;
c) pidana denda; atau
d) pidana pengawasan.
Selain itu perlindungan yang diberikan tidak hanya dalam hukum materiil saja
tetapi juga dalam hukum formil. Sekalipun dalam Undang Undang Pengadilan Anak
1Lihat Penelitian Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum Di Kota Palembang”, 2005.
3
diatur secara khusus hukum acara untuk pengadilan anak, namun masih memakai
KUHAP sebagai hukum generalisnya. Selanjutnya penegasan tentang batas umur
minimum dan maksimum dalam undang undang ini sesungguhnya merupakan bentuk
perlindungan hukum terhadap anak nakal.
Meningkatnya jumlah perkara anak dan recidivis anak menunjukkan
pemidanaan yang diatur dalam Undang Undang Pengadilan Anak masih menunjukkan
kelemahan.2 Banyaknya putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan
pidana penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan
filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak
tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak
seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/the last resort principle)
dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai
ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk
perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak.
Asas ultimum remidium atau the last resort untuk pemidanaan anak juga
memiliki landasan hukum dalam Instrumen-Instrumen Internasional yaitu Beijing
Rules, Riyadh Guidelines, Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang
Kehilangan Kebebasannya. Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules
(United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice)
menegaskan bahwa Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan
anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar
hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya. Anak-anak hanya
dapat dihilangkan kebebasannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam The
Beijing Rules. Ditegaskan bahwa, menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah
merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang
minimum serta terbatas pada kasus-kasus yang luar biasa. Ketentuan demikian
terdapat dalam bagian satu prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang Tujuan-tujuan
peradilan bagi anak. Selanjutnya dalam The Riyadh Guidelines (United Nations
Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency) butir 54 menyebutkan tidak
seorang anak atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman
2 Ibid h.2
4
yang keras dan merendahkan martabat di rumah, sekolah atau institusi-institusi lain.
Ditegaskan dalam Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya (United Nations Rules For The Protection of Juveniles Deprived of
Their Liberty) bahwa, Sistem pengadilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan
keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental anak. Hukuman penjara
harus digunakan sebagai upaya terakhir. Dalam The United Nations Rules for The
Protection of Juvenile Deprived Of Their Liberty ini menyebutkan seperti dalam
Beijing Rules bahwa perampasan kemerdekaan anak hendaknya ditempatkan sebagai
usaha terakhir dan itupun untuk jangka waktu yang pendek. Perampasan kemerdekaan
atas diri anak, hendaknya tetap memperhatikan penghormatan hak-hak asasi anak,
yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat kegiatan yang bermanfaat demi
peningkatan kesehatan dan munculnya self-respect pada diri anak dalam rangka
mempersiapkan anak berintegrasi di masyarakat.
Dalam kepustakaan dan doktrin ditekankan bahwa, tujuan pemidanaan yang
mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan menjadi pandangan yang banyak
diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat
bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan
martabat dari terpidana sehingga ketika dia kembali ke masyarakat, terpidana menjadi
orang yang berguna di masyarakat.
Tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada
pelaku tindak pidana sesuai juga dengan tujuan pemidanaan kelompok utilitarian,
yang terfokus pada segi manfaat atau kegunaannya. Dalam konteks ini, penekanannya
pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan melalui penjatuhan pidanatersebut.
Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan
di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pandangan ini dikatakan
berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus mempunyai sifat penjeraan
(detterence).
Seorang penulis lain, Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak
adalah “…to provide for welfare and healthy development of all children who come
before it, including those who are charged with violating the criminal law.”3 Jadi
3Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Sec ed, MacMillan Publishing Company, New York,1990
h.309
5
pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan
perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam anak yang dituntut karena
pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap anak nakal
haruslah tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan fisik
dan psikis anak.
Instrumen-instrumen Internasional seperti Beijing Rules, Riyadh Guidelines,
dan Peraturan PBB(United Nation Conventions) memberikan perlindungan bagi
pelaku tindak pidana yang belum berumur 18 tahun ketika menghadapi proses
peradilan sampai pemberian putusan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas,
dirumuskan permasalahan di bawah :
1. Apakah pemidanaan terhadap anak nakal telah mempertimbangkan asas ultimum
remedium demi perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak?
2. Apakah alternatif sanksi lain yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal?
II. TUJUAN PEMIDANAAN ANAK
Pada dasarnya ada 3 teori tentang tujuan pemidanaan pada umumnya yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu4 :
1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie)
Pokok dari ajaran teori ini adalah bahwa yang dianggap sebagai dasar
daripada pidana adalah sifat pembalasan (‘vergelding’ atau ‘vergeltung’). Para
sarjana yang berpendapat demikian ini alam pikirannya diliputi oleh pendapat
bahwa pidana adalah suatu pembalasan. Pemberian pidana dapat dibenarkan,
karena telah terjadi suatu kejahatan, kejahatan dimana telah menggoncangkan
masyarakat. Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, maka karena
perbuatannya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota
masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan semula sebagaimana
sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu
penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa), dan pidana ini
harus dirasakan sebagai suatu nestapa (‘leed’). Ajaran ini dianut oleh para Sarjana
4Periksa Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 hal : 7-13;Bandingkan juga dengan
Bemmelen dan Van Hatum
6
Hukum pada masa awal berkembangnya hukum pidana yang masih berpendapat
bahwa pemberian pidana sebagai balasan atas perbuatan pelaku tindak pidana.
2. Teori Tujuan atau Relevansi
Teori ini bertujuan :
a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de
maatschappelijke);
b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat
daripada terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad ontstane
maatschappelijke nadeel);
c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader)
d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
e. Untuk mencegah kejahatan (ter verkoming van de misdaad)
Dalam kepustakaan ditegaskan bahwa teori berkembang setelah teori
absolut mulai banyak ditinggalkan alasannya karena tujuan pemidanaan relevansi
ini yang didasarkan pada teori absout tidak membuat para pelaku tindak pidana
berkurang tetapi justru semakin bertambah. Pelaku disini diperlakukan tidak
manusiawi.
Mengenai pencegahan kejahatan yang dimaksud dalam huruf e dapat
diperinci dalam dua aliran yang berkembang yaitu :
1. Algemene atau generale preventie (pencegahan umum) yaitu pencegahan yang
ditujukan kepada masyarakat, sehingga sifat pencegahannya bersifat umum.
Cara yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang menganut Algemene atau
generale preventive ialah dengan menakut-nakuti masyarakat dengan
memberikan ancaman-ancaman hukuman yang berat kepada semua pelanggar
pelaku tindak pidana.
2. Bijzondere atau Speciale Preventie (pencegahan khusus), yaitu pencegahan
yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri. Para sarjana yang menganut
speciale preventie lebih mengedepankan pendidikan dan memasyarakatkan
lagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Cara-cara yang mereka
lakukan bisa dengan memberikan pendidikan kepada para narapidana,
memberikan mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan mereka tidak
mengulangi perbuatan pidana lagi.
7
3. Teori Gabungan atau Campuran (Verenigings atau Gemengde Theorien)
Pemikiran dari teori ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari teori-teori
absolut dan relatif. Kelebihan-kelebihan dari teori absolut dan relatif menjadi
kekuatan dari teori ini. Diharapkan kelemahan-kelemahan dari teori absolut dan
relatif menjadi hilang.
Adapun kelemahan-kelemahan dari teori absolut ialah :
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak
semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
b. Apabila yang menjadi dasar daripada teori ini adalah untuk pembalasan,
maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?
Sedangkan kelemahan-kelemahan teori tujuan adalah5 :
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya apabila tujuan untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-
nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana yang bertentangan
dengan keadilan.
2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata adalah
untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan
dengan demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan
dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya
terhadap recidivis.
Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang
disangka, dituduh, atau diakui sebagai telah melanggar undang undang hukum pidana.
Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikan sebagai
berikut a child or young person who is alleged to have committed or who has been
found to have committed an offence. Dalam konvensi Hak Anak/KHA (Convention
On The Rights of The Child), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan
sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). UNICEF
mengkatagorikan anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult
5Ibid h.7-13
8
circumstances karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami
tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas
institusi Negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, dan membutuhkan
perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi
karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari
orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani
hidup.
Pengaturan yang seharusnya dijadikan pedoman oleh hakim anak di Indonesia,
terdapat dalam hukum positif sehingga merupakan landasan yuridis yang kuat.
Penyimpangan terhadap dasar hukum sedemikian dapat bersifat fatal bagi masa depan
anak. Bahkan dalam Konsideran huruf b Undang Undang Tentang Pengadilan Anak
menyebutkan bahwa, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan
mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Selanjutnya dikemukakan dalam Penjelasan Umum Undang Undang Tentang
Pengadilan Anak terdapat konsep pembedaan perlakuan (individualisasi perlakuan)
terhadap perkara anak. Pemberian perlindungan ini dimaksudkan untuk melindungi
dan mengayomi anak agar masa depan anak tersebut dapat diselamatkan. Pembedaan
perlakuan itu sendiri diharapkan juga mampu membina anak agar memperoleh jati
diri untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Penegasan bahwa dalam pelaksanaan hukum kepentingan anak harus
merupakan pertimbangan utama tercantum juga dalam Konvensi Hak Anak PBB di
dalam prinsip ke 2 yaitu yang berbunyi :
In the enactment of laws for this purpose the best interests of the
child shall be paramount consideration.6
Anak pelaku tindak pidana akan tumbuh dan berpotensi menjadi penjahat dewasa di
masa depan, jika tidak ditangani secara tepat. Penjatuhan pidana pada pelaku yang
belum berumur 18 tahun diharapkan mencapai tiga tujuan yaitu :
a. Bahwa pidana dan penanganan orang yang belum berumur 18 tahun akan
lebih ditujukan pada perbaikan individu,
6Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h:114
9
b. Bahwa pidana dan tindakan sedapat mungkin harus disesuaikan pada
pandangan hidup yang terbatas dari pelaku yang berumur kurang dari 18
tahun,
c. Bahwa dengan pidana dan tindakan, akan dicegah pengulangan kejahatan
dan jumlah residivis akan berkurang.
Peradilan anak (Juvenile Justice System) menurut Beijing Rules juga mempunyai
tujuan (Aims of Juvenile Justice) dalam rule 5.1 yaitu :
The Juvenile justice system shall emphasize the well being of the
juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders
shall always be in proportion to the circumstances of both the
offender and the offence7.
The Aims of Juvenile Justice System dalam Beijing rules ini mempunyai dua sasaran
yang penting yaitu8 :
1. Memajukan kesejahteraan anak. Sasaran ini merupakan fokus utama dalam
sistem hukum yang menangani perkara anak, khususnya di dalam sistem
hukum yang mengikuti model peradilan pidana yang menekankan
kesejahteraan anak
2. Prinsip proporsionalitas. Prinsip yang merupakan alat untuk mengekang
penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-
mata (just desort)
Peradilan anak sebagai bagian integral dari kebijakan keadilan sosial anak,
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak dengan berpegang pada asas
proporsionalitas. Prinsip pencerminan keadilan sosial anak ini selanjutnya tersirat pula
dari berbagai ketentuan di setiap tahapan proses peradilan anak. Tuntutan agar anak
tetap diperhatikan dalam proses peradilan anak dan pemberian kesempatan diskresi
seluas-luasnya pada setiap tingkatan pemeriksaan merupakan cerminan dari prinsip
tersebut. Di samping perlu diperhatikannya hak-hak anak dalam kontak awal anak
dengan penegak hukum(polisi) dan penggunaan sarana yang berupa diversion. Hak-
hak anak itu antara lain 9:
1. Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges)
2. Hak untuk tetap diam (the right to remain silent)
3. Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to counsel)
7Ibid h: 114
8Ibid h: 116
9Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h: 126
10
4. Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent or
guardian)
5. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right
to confront and cross-examine witnesses)
6. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas (the right to appeal to a higher
authority)
Ditegaskan bahwa, pada fase ajudikasi dan disposisi, dituntut agar ada
kejelasan mengenai pihak-pihak yang diberi wewenang dalam proses ajudikasi dan
disposisi. Dalam hal ini terkait dengan pemberian kesempatan pada orang tua dan
penasihat hukum untuk terlibat selama proses ajudikasi dan disposisi, penyediaan
laporan sosial anak dan penyusunan kriteria yang jelas tentang penempatan anak
dalam lembaga koreksi. Prinsip yang harus diperhatikan dalam disposisi adalah,
penempatan anak di dalam lembaga koreksi harus ditempatkan sebagai usaha terakhir
dan dalam jangka waktu yang pendek.
Dalam instrumen internasional diatur juga beberapa konvensi yang
memberikan perlindungan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Perlindungan
ini tidak hanya mengenai hak-hak normatif anak saja tetapi juga ada perlindungan
terhadap anak yang akan dikenakan sanksi pidana. Perlindungan itu berupa pengenaan
tindakan daripada pidana. Pidana sebagai alterantif terakhir dan jangka waktunya
diusahakan sesingkat mungkin.
Pemberian pembedaan perlakuan terhadap perkara anak adalah salah satu
bentuk perlindungan yang diakui dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak.
Asas ultimum remedium atau asas yang menggunakan sanksi pidana sebagai pilihan
terakhir untuk menyelesaikan perkara anak tidak dapat dilepaskan dari sistem
pemidanaan dari hukum pidana anak atau dalam hal ini pemidanaan yang terdapat
dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Pemidanaan anak di sini diatur
dalam pasal 22 sampai pasal 32. Pemberian sanksi terhadap anak nakal dalam undang
undang ini bukan hanya dengan diberikan berupa pemidanaan tetapi juga dengan
pemberian tindakan. Pemberian sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak
pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, diberikan sanksi yang
berbeda. Menurut pasal 25 Undang Undang Tentang Pengadilan Anak :
11
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b,
Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dalam penjelasannya disebutkan :
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim
memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh
anak yang bersangkutan. Disamping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan
anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara
anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib
memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Selain itu, sistem pemidanaan anak dalam Undang Undang ini memuat juga
sanksi pidana bersyarat, sebagaimana terdapat dalam pasal 29. Pidana bersyarat ini
dapat dijatuhkan oleh hakim apabila pelaku dipidana penjara yang dijatuhkan paling
lama 2(dua) tahun. Alternatif lain adalah pidana pengawasan yang dapat juga
dijatuhkan tetapi hanya untuk anak nakal yang melakukan tindak pidana. Pidana
Pengawasan ini lama penjatuhannya paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun.
Pengaturannya terdapat dalam pasal 30, yang menyebutkan :
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak
tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Dalam Penjelasannya disebutkan :
Yang dimaksud dengan ‘pidana pengawasan’, adalah pidana yang khusus dikenakan
untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak
dalam kehidupan sehari-hari, di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang
dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
12
Memang dalam pengaturan tersebut di atas tidak secara eksplisit tercantum bahwa
pemberian pidana terhadap anak nakal merupakan upaya terakhir/ultimum remedium
dalam menyelesaikan perkara anak. Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap
perkara anak masih digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam
menerapkan hukum positif hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu
pengetahuan hukum (Pidana) sebagai salah satu sumber hukum. Berdasarkan
beberapa dokumen putusan Pengadilan Negeri Semarang antara tahun 2002 sampai
dengan 2005 ditemukan bahwa Hakim anak dalam menangani perkara anak
cenderung menjatuhkan putusan yang berisi pemidanaan berupa penjara meskipun
dengan jangka pendek10
. Kecenderungan sedemikian bertentangan atau tidak sesuai
dengan asas ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka
waktu pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang
harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Seharusnya, pemberian pidana
penjara merupakan upaya terakhir dan berorientasi pada kesejahteraan anak.
Selain dalam hukum positif, ternyata dalam Rancangan Undang Undang KUHP
disebutkan dalam pasal 51 RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan yaitu :
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana11
.
Pandangan yang memberikan pemidanaan yang berorientasi kepada
kesejahteraan dan perlindungan pelaku sudah dipikirkan sampai kepada peraturan
hukum yang berorientasi ke masa depan (ius constituendum). Namun untuk
menyelesaikan perkara anak secara konseptual pendekatan kesejahteraan yang paling
tepat dalam konteks ini adalah pendekatan restorative justice, karena pendekatan ini
mencakup hal-hal sebagai berikut :
10Sri Sutatiek, “Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak
Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007, hal : 93. 11
Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005
13
1. mengindentifikasi dan menentukan langkah-langkah pemulihan kerugian
2. melibatkan semua stakesholders dalam menyelesaikan perkara
3. mentransformasi relasi tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam
merespon tindak pidana.
Secara lebih rinci, Muladi menyatakan bahwa restorative justice model
mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
1. kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
2. titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
3. sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi;
4. restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
5. keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar
hasil;
6. sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
7. masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
8. peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
9. pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10. tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan
ekonomis;
11. stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.12
Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang merupakan
penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan
sarana reparatif. Abolosionis menganggap sistem peradilan pidana menganggap
sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara
realistis harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem
12Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 h :
90
14
sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masuk akal untuk mencari
alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara13
.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan
yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol,
sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam
membangun meperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam
membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat
komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan
rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang
dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan
usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan
sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka
dan memperbaiki luka-luka mereka. Anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana
harus didahulukan kepentingannya baik selama proses perkara itu berlangsung
maupun waktu anak menjalani pidananya. Pendekatan restorative justice adalah
pendekatan penyelesaian masalah anak yang paling sesuai untuk menyelesaikan
masalah tindak pidana anak karena pendekatan ini melihat dari kesejahteraan dan
perlindungan terhadap anak.
Penjabaran dari prinsip-prinsip dalam instrument internasional, oleh Clement
Barttolas diintrodusir 4 macam Model tujuan pemidanaan yaitu14
:
1. The Rehabilitation Model. Tujuan pemidanaan menurut Rehabilitation Model
adalah atau pola-pola perilaku pelanggar untuk mengurangi kecenderungan-
kecenderungan terjadinya kejahatan di kalangan anak muda. Ada 3 model
yaitu :
a. Medical Model
b. Adjustment Model
c. Integration Model
13Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Pemidanaan, Pidana, dan tindakan dalam
rancangan KUHP, Jakarta, 2005 14
Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company, New
York,1990 h : 220
15
2. The Justice Model. Tujuan pemidanaan adalah pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana adalah hak. Pemidanaan haruslah beralasan kemanusiaan
merubah watak sikap dan konstitusional dalam praktek pelaksanaannya.
3. The Crime Control Model. Tujuan Pemidanaan menurut model ini adalah
upaya pemecahan (penyeleseian) permasalahan yang terbaik dalam rangka
melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan (preventif).
Pemidanaannya dapat membantu mengajarkan tanggung jawab, ketekunan,
kejujuran, dan mengefektifkan sistem peradilan.
4. The Logical Consequences Model. Tujuan pemidanaan menurut model ini
adalah membentuk kesadaran dan mendidik juvenile delinquency untuk
bertanggung jawab. Konsekuensi dari pemidanaan menurut model ini adalah
pelaku dapat dibebaskan, dimasukkan sekolah khusus Juvenile Delinquency,
atau diberi sanksi pidana sesuai dengan perbuatannya.
Tujuan Pemidanaan anak tercapai atau tidak, dapat tercermin dari jumlah anak
nakal yang relatif tereliminasi, karena penanganan yang tepat dalam proses peradilan.
Di satu pihak, jika dilihat dari jumlah anak nakal dan residivis anak yang semakin
meningkat, sedangkan di lain pihak telah tersedia perangkat hukum dari tingkat
internasional sampai tingkat nasional yang memadai, maka cukup beralasan adanya
keraguan tentang peranan aparat penegak hukum khususnya dalam konteks ini Hakim
Anak. Terkait dengan pertimbangannya tentang asas ultimum remedium dalam
menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak nakal.
III. ALTERNATIF SANKSI BAGI ANAK NAKAL
Asas ultimum remidium atau the last resort principle dalam peradilan anak
tidak terlepas dari peranan Hakim anak dalam mengadili perkara anak. Peranan hakim
dalam peradilan anak sangat penting karena vonis dari hakim apakah akan
menjatuhkan pidana(straf) atau memberikan tindakan(maatregel) menjadi hal yang
penting.
Dalam Undang Undang No 3 Tahun 1997 ini telah diatur juga tentang
beberapa syarat hakim anak. Menurut pasal 10, salah satu syarat untuk diangkat
menjadi hakim anak adalah mempunyai minat perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak. Persyaratan sedemikian, mencerminkan adanya unsur perlindungan
16
terhadap anak. Diharapkan Hakim Anak yang mengadili anak nakal dalam
memberikan keputusannya, memutus dengan lebih mengedepankan dan melindungi
kepentingan yang terbaik bagi anak.(the best interest of the child).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Semarang tahun 2002
sampai dengan tahun 2005, hakim yang memutus perkara anak nakal dengan usia
antara 12 sampai belum 18 tahun cenderung memvonis pidana penjara terhadap
pelakunya.15
Penjatuhan pidana penjara tersebut, memang hanya untuk waktu yang
relatif singkat yaitu kurang dari 6 bulan. Pidana pokok lainnya adalah pidana denda.
Namun ternyata pidana denda dianggap lebih ringan dilihat dari segi jumlahnya.
Sedangkan pelaksanaan pidana yang memungkinkan terpidana menjalaninya di luar
lembaga yaitu pidana bersyarat ternyata tidak atau belum banyak digunakan.
Dalam kenyataannya, anak pidana yang ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan dapat menimbulkan resiko yang besar bagi anak. Mengingat bahwa
kondisi di Lembaga Pemasyarakatan, baik sarana dan prasarananya sangat kurang.
Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat berkumpulnya para narapidana yang
melakukan berbagai macam kejahatan. Dengan demikian, akan sangat berbahaya bagi
anak nakal yang dikumpulkan menjadi satu di tempat seperti itu. Penjatuhan pidana
penjara juga memberikan stigma negatif bagi anak. Stigma negatif tersebut akan
berpengaruh kepada tingkah laku anak pada masa yang akan datang, karena akan
memunculkan kenakalan baru. Pemikiran ini dapat ditelaah didasarkan pada teori
labeling. Menurut Labeling theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya
stigma ”nakal” dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau
masyarakatnya, bahkan putusan pengadilan. Berkaitan dengan ini ada 3 proposisi teori
labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan terhadap anak nakal,
yaitu16
:
a) seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-
undangan, melahirkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa;
b) tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling;
c) labeling merupakan suatu proses yang melakukan identifikasi dengan citra sebagai
devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the rejector.
15Periksa hasil Penelitian Sri Sutatiek, loc cit h : 120
16Romli,Atmasasmita, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, 1983, Bandung, h : 50.
17
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian status ”tahanan anak”,
”tersangka anak”, ”terdakwa anak”, ”anak pidana”, atau ”anak negara” melalui sistem
peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan
kenakalan anak yang bersangkutan pada masa yang akan datang. Kenakalan anak
yang muncul setelah anak diberi label oleh negara sebagai ”anak nakal” merupakan
secondary deviant.
Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau mengabaikan asas
ultimum remedium bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam The Riyadh
Guidelines yang menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan
berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan
jaminan perlindungan. Juga harus dipertimbangkan tentang kondisi fisik dan
psikologis anak, tempat atau lokasi perbuatan pidana tersebut dilakukan. Sealin itu
dipertimbangkan juga tentang perbuatan pidana tersebut dapat membahayakan orang
tua anak, dan atau membahayakan anak nakal. Sebenarnya masih banyak jenis
tindakan/maatregel yang dapat diberikan agar anak nakal terhindar dari sanksi yang
bersifat institusionalisasi.
Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah 17
:
a) tindakan/perintah perawatan, bimbingan, dan pengawasan (care, guidance,
and supervision orders)
b) pengawasan (probation)
c) perintah kerja social (community service orders)
d) pidana yang bersifat uang dang anti rugi (financial penalties, compensation
and restitutions)
e) perawatan lanjutan dan tindakan perawatan lainnya (intermediate treatment
and other treatment orders)
f) tindakan/perintah untuk ikut berpartisipasi dalam kelompok-kelompok
konseling dan kegiatan lain yang serupa (orders to participate in group
counseling and similar activities)
g) tindakan-tindakan atau perintah yang berhubungan dengan perawatan untuk
membantu perkembangan dengan tinggal di dalam masyarakat atau dalam
lingkungan yang bersifat mendidik (orders concerning foster care, living
communities or other educational settings)
17Barda Nawawi Arief, op cit, h:. 118.
18
h) tindakan-tindakan lain yang relevan (other relevant orders).
Dengan demikian banyak pilihan tindakan untuk ditetapkan oleh hakim anak
dan berlaku secara universal di Negara-negara yang telah meratifikasi Declaration Of
The Rights Of The Child dan Convention On The Rights Of The Child. Apabila
filosofi pemidanaan anak dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi
penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal dapat dieliminasi. Kenyataan bahwa
hakim anak yang ada sekarang ini di Indonesia adalah hakim biasa yang merupakan
hakim Pengadilan Negeri, namun yang ditugaskan di Pengadilan Anak karena
diangkat sebagai hakim anak. Persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10
Undang Undang Tentang Pengadilan Anak dapat saja dipenuhi tetapi hanya
formalitas. Hal ini menunjukkan bahwa memang sampai saat ini belum ada hakim
yang dikhususkan untuk anak nakal. Kenyataan menyedihkan dan memperihatinkan
beberapa tahun lalu, terkait dengan kasus Raju yang diperlakukan sebagai orang
dewasa. Oleh Karena mulai dari penahanan sampai persidangannya Raju dihadapkan
dengan penegak hukum serta institusi yang disiapkan untuk adult criminal.
Efek negatif pidana penjara dan keunggulan sanksi-sanksi lain selain itu bukan
hanya perlu dipahami tetapi yang lebih penting adalah ditindak lanjuti dengan
pemberian keputusan yang bersifat melindungi anak nakal. Kondisi sarana dan
prasarana lembaga pemasyarakatan yang kurang baik, terlebih lagi lembaga
pemasyarakatan yang telah menjadi pusat pengendalian peredaran narkoba di
masyarakat, harus dipertimbangkan oleh hakim anak. Pemecahan masalah seperti ini
dapat dicapai dengan cara mengurangi jumlah penggunaannya. Pengurangan
penjatuhan pidana penjara secara berangsur-angsur dapat dilakukan dengan cara
menetapkan bentuk-bentuk pidana pengganti atau alterantif, misalnya pidana
bersyarat/pidana atau pidana pengawasan, pidana denda, pidana pekerjaan di luar
lembaga pemasyarakatan dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung unsur
perampasan kemerdekaan. Namun, dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak
dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana yang
dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama. Juga proses pembinaannya harus
bersifat konstruktif, pribadi dan dilakukan dalam lembaga terbuka (open institution).
19
IV. PENUTUP
Penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal sebagai ultimum remedium
seharusnya menjadi pertimbangan hakim anak. Untuk itu diperlukan pemahaman
dalam menerapkan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak, sehingga aparat
penegak hukum, khususnya hakim anak, dapat menjamin perlindungna hukum yang
mengutamakan kepentingan anak secara optimal.
Hakim seharusnya mempertimbangkan putusannya dengan cermat apabila
akan menjatuhkan pidana penjara terhadap anak nakal. Oleh karena menjatuhkan
tindakan (maatregel) atau pidana bersyarat sesungguhnya merupakan putusan yang
lebih baik menurut aspek perlindungan hukum anak.
20
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ruben, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di
Kota Palembang, Universitas Sriwijaya, Penelitian, 2005.
Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung, 1983.
Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company,
New York,1990.
Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency : Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
1995.
Rampen, Tilly A.A., Hermien Hadiati Koeswadji, Sarwirini, “Buku Ajar Hukum Pidana
Anak”,Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2007.
Sri Sutatiek, Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan
Kesejahteraan Anak Di Indonesia, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007.
Lain-lain:
Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005.
Undang Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.