Artikel -- Asas Ultimum Remedium Dlm Pembinaan Anak Nakal

20
1 ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK NAKAL Riza Alifianto Kurniawan Abstract The juvenile judges’ decision to sentence juvenile delinquent in prison seems not to give protection for the best interest of the child. Many facts have shown that the increasing number of juvenile delinquent cases reflects the objective of prison punishment is far from the expectation. Prison punishment decisions should then be the last option; this is in line with the “last resort” principle (ultimum remedium). This article is aimed to analyze the application of ultimum remedium principle in sentencing juvenile delinquent. Keywords: juvenile sentencing, juvenile judges, ultimum remedium. I. PENDAHULUAN Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah berlaku selama kurang lebih satu dasawarsa. Undang Undang ini mengatur secara khusus mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang masih berusia kurang dari 18 tahun. Dengan demikian substansi Undang Undang ini lebih lengkap dibandingkan dengan pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 KUHP Keberadaan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak ini memberikan harapan akan tersedianya peraturan hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap anak nakal. Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut peraturan hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak terdapat pengaturan tentang batas usia anak yang menjadi kompetensi absolutnya, sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acara, dan tindakan (maatregel) bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak). Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap artikel ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].

description

a

Transcript of Artikel -- Asas Ultimum Remedium Dlm Pembinaan Anak Nakal

1

ASAS ULTIMUM REMEDIUM

DALAM PEMIDANAAN ANAK NAKAL

Riza Alifianto Kurniawan

Abstract

The juvenile judges’ decision to sentence juvenile delinquent in prison

seems not to give protection for the best interest of the child. Many

facts have shown that the increasing number of juvenile delinquent

cases reflects the objective of prison punishment is far from the

expectation. Prison punishment decisions should then be the last

option; this is in line with the “last resort” principle (ultimum

remedium). This article is aimed to analyze the application of ultimum

remedium principle in sentencing juvenile delinquent.

Keywords: juvenile sentencing, juvenile judges, ultimum remedium.

I. PENDAHULUAN

Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah berlaku

selama kurang lebih satu dasawarsa. Undang Undang ini mengatur secara khusus

mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana

yang masih berusia kurang dari 18 tahun. Dengan demikian substansi Undang Undang

ini lebih lengkap dibandingkan dengan pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 KUHP

Keberadaan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak ini memberikan

harapan akan tersedianya peraturan hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap

anak nakal. Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak

yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang

terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut peraturan

hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam Undang Undang Tentang Pengadilan

Anak terdapat pengaturan tentang batas usia anak yang menjadi kompetensi

absolutnya, sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acara, dan tindakan

(maatregel) bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang

melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak).

Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap artikel

ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].

2

Mekanisme perlindungan dan pembinaan dalam Undang Undang Pengadilan

Anak mencerminkan perlindungan kepentingan anak yang berhadapan dengan

hukum. Perkara anak yang menjadi kompetensi pengadilan anak semakin lama

semakin meningkat jumlah perkaranya, hal ini disebabkan selain karena faktor

ekonomi dari anak tersebut juga karena tujuan pemidanaan secara umum (general

deterence) yaitu mencegah masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana berjalan

kurang efektif1.

Perlindungan yang diberikan oleh Undang Undang Pengadilan Anak berbeda

dengan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP yang sudah dinyatakan tidak berlaku

oleh Pasal 67 yang isinya adalah sebagai berikut :

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan

Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Adanya perlindungan pada anak yang dijatuhi pidana dalam undang undang

ini tercermin dalam ketentuan di bawah ini Pasal 26 ayat 1 Undang Undang

Pengadilan Anak yang isinya sebagai berikut :

Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama

1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi

orang dewasa

Maksimum pidana penjara yang diancamkan juga tidak boleh lebih dari

½(setengah). dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa. Selain itu, pidana

mati juga tidak dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal

23 ayat 2 Undang Undang Pengadilan Anak yang isi pasal selengkapnya adalah

sebagai berikut :

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a) pidana penjara;

b) pidana kurungan;

c) pidana denda; atau

d) pidana pengawasan.

Selain itu perlindungan yang diberikan tidak hanya dalam hukum materiil saja

tetapi juga dalam hukum formil. Sekalipun dalam Undang Undang Pengadilan Anak

1Lihat Penelitian Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan

Hukum Di Kota Palembang”, 2005.

3

diatur secara khusus hukum acara untuk pengadilan anak, namun masih memakai

KUHAP sebagai hukum generalisnya. Selanjutnya penegasan tentang batas umur

minimum dan maksimum dalam undang undang ini sesungguhnya merupakan bentuk

perlindungan hukum terhadap anak nakal.

Meningkatnya jumlah perkara anak dan recidivis anak menunjukkan

pemidanaan yang diatur dalam Undang Undang Pengadilan Anak masih menunjukkan

kelemahan.2 Banyaknya putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan

pidana penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan

filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak

tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak

seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/the last resort principle)

dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai

ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk

perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak.

Asas ultimum remidium atau the last resort untuk pemidanaan anak juga

memiliki landasan hukum dalam Instrumen-Instrumen Internasional yaitu Beijing

Rules, Riyadh Guidelines, Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang

Kehilangan Kebebasannya. Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules

(United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice)

menegaskan bahwa Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan

anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar

hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada

pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya. Anak-anak hanya

dapat dihilangkan kebebasannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam The

Beijing Rules. Ditegaskan bahwa, menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah

merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang

minimum serta terbatas pada kasus-kasus yang luar biasa. Ketentuan demikian

terdapat dalam bagian satu prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang Tujuan-tujuan

peradilan bagi anak. Selanjutnya dalam The Riyadh Guidelines (United Nations

Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency) butir 54 menyebutkan tidak

seorang anak atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman

2 Ibid h.2

4

yang keras dan merendahkan martabat di rumah, sekolah atau institusi-institusi lain.

Ditegaskan dalam Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan

Kebebasannya (United Nations Rules For The Protection of Juveniles Deprived of

Their Liberty) bahwa, Sistem pengadilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan

keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental anak. Hukuman penjara

harus digunakan sebagai upaya terakhir. Dalam The United Nations Rules for The

Protection of Juvenile Deprived Of Their Liberty ini menyebutkan seperti dalam

Beijing Rules bahwa perampasan kemerdekaan anak hendaknya ditempatkan sebagai

usaha terakhir dan itupun untuk jangka waktu yang pendek. Perampasan kemerdekaan

atas diri anak, hendaknya tetap memperhatikan penghormatan hak-hak asasi anak,

yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat kegiatan yang bermanfaat demi

peningkatan kesehatan dan munculnya self-respect pada diri anak dalam rangka

mempersiapkan anak berintegrasi di masyarakat.

Dalam kepustakaan dan doktrin ditekankan bahwa, tujuan pemidanaan yang

mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan menjadi pandangan yang banyak

diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat

bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan

martabat dari terpidana sehingga ketika dia kembali ke masyarakat, terpidana menjadi

orang yang berguna di masyarakat.

Tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada

pelaku tindak pidana sesuai juga dengan tujuan pemidanaan kelompok utilitarian,

yang terfokus pada segi manfaat atau kegunaannya. Dalam konteks ini, penekanannya

pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan melalui penjatuhan pidanatersebut.

Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan

di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus mempunyai sifat penjeraan

(detterence).

Seorang penulis lain, Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak

adalah “…to provide for welfare and healthy development of all children who come

before it, including those who are charged with violating the criminal law.”3 Jadi

3Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Sec ed, MacMillan Publishing Company, New York,1990

h.309

5

pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan

perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam anak yang dituntut karena

pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap anak nakal

haruslah tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan fisik

dan psikis anak.

Instrumen-instrumen Internasional seperti Beijing Rules, Riyadh Guidelines,

dan Peraturan PBB(United Nation Conventions) memberikan perlindungan bagi

pelaku tindak pidana yang belum berumur 18 tahun ketika menghadapi proses

peradilan sampai pemberian putusan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas,

dirumuskan permasalahan di bawah :

1. Apakah pemidanaan terhadap anak nakal telah mempertimbangkan asas ultimum

remedium demi perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak?

2. Apakah alternatif sanksi lain yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal?

II. TUJUAN PEMIDANAAN ANAK

Pada dasarnya ada 3 teori tentang tujuan pemidanaan pada umumnya yang

dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu4 :

1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie)

Pokok dari ajaran teori ini adalah bahwa yang dianggap sebagai dasar

daripada pidana adalah sifat pembalasan (‘vergelding’ atau ‘vergeltung’). Para

sarjana yang berpendapat demikian ini alam pikirannya diliputi oleh pendapat

bahwa pidana adalah suatu pembalasan. Pemberian pidana dapat dibenarkan,

karena telah terjadi suatu kejahatan, kejahatan dimana telah menggoncangkan

masyarakat. Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, maka karena

perbuatannya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota

masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan semula sebagaimana

sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu

penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa), dan pidana ini

harus dirasakan sebagai suatu nestapa (‘leed’). Ajaran ini dianut oleh para Sarjana

4Periksa Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka

Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 hal : 7-13;Bandingkan juga dengan

Bemmelen dan Van Hatum

6

Hukum pada masa awal berkembangnya hukum pidana yang masih berpendapat

bahwa pemberian pidana sebagai balasan atas perbuatan pelaku tindak pidana.

2. Teori Tujuan atau Relevansi

Teori ini bertujuan :

a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de

maatschappelijke);

b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat

daripada terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad ontstane

maatschappelijke nadeel);

c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader)

d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

e. Untuk mencegah kejahatan (ter verkoming van de misdaad)

Dalam kepustakaan ditegaskan bahwa teori berkembang setelah teori

absolut mulai banyak ditinggalkan alasannya karena tujuan pemidanaan relevansi

ini yang didasarkan pada teori absout tidak membuat para pelaku tindak pidana

berkurang tetapi justru semakin bertambah. Pelaku disini diperlakukan tidak

manusiawi.

Mengenai pencegahan kejahatan yang dimaksud dalam huruf e dapat

diperinci dalam dua aliran yang berkembang yaitu :

1. Algemene atau generale preventie (pencegahan umum) yaitu pencegahan yang

ditujukan kepada masyarakat, sehingga sifat pencegahannya bersifat umum.

Cara yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang menganut Algemene atau

generale preventive ialah dengan menakut-nakuti masyarakat dengan

memberikan ancaman-ancaman hukuman yang berat kepada semua pelanggar

pelaku tindak pidana.

2. Bijzondere atau Speciale Preventie (pencegahan khusus), yaitu pencegahan

yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri. Para sarjana yang menganut

speciale preventie lebih mengedepankan pendidikan dan memasyarakatkan

lagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Cara-cara yang mereka

lakukan bisa dengan memberikan pendidikan kepada para narapidana,

memberikan mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan mereka tidak

mengulangi perbuatan pidana lagi.

7

3. Teori Gabungan atau Campuran (Verenigings atau Gemengde Theorien)

Pemikiran dari teori ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari teori-teori

absolut dan relatif. Kelebihan-kelebihan dari teori absolut dan relatif menjadi

kekuatan dari teori ini. Diharapkan kelemahan-kelemahan dari teori absolut dan

relatif menjadi hilang.

Adapun kelemahan-kelemahan dari teori absolut ialah :

a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak

semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus

dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.

b. Apabila yang menjadi dasar daripada teori ini adalah untuk pembalasan,

maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?

Sedangkan kelemahan-kelemahan teori tujuan adalah5 :

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya apabila tujuan untuk

mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku

kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-

nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana yang bertentangan

dengan keadilan.

2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata adalah

untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan

dengan demikian diabaikan.

3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan

dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya

terhadap recidivis.

Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang

disangka, dituduh, atau diakui sebagai telah melanggar undang undang hukum pidana.

Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikan sebagai

berikut a child or young person who is alleged to have committed or who has been

found to have committed an offence. Dalam konvensi Hak Anak/KHA (Convention

On The Rights of The Child), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan

sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). UNICEF

mengkatagorikan anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult

5Ibid h.7-13

8

circumstances karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami

tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas

institusi Negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, dan membutuhkan

perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi

karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari

orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani

hidup.

Pengaturan yang seharusnya dijadikan pedoman oleh hakim anak di Indonesia,

terdapat dalam hukum positif sehingga merupakan landasan yuridis yang kuat.

Penyimpangan terhadap dasar hukum sedemikian dapat bersifat fatal bagi masa depan

anak. Bahkan dalam Konsideran huruf b Undang Undang Tentang Pengadilan Anak

menyebutkan bahwa, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan

terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun

perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan

mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.

Selanjutnya dikemukakan dalam Penjelasan Umum Undang Undang Tentang

Pengadilan Anak terdapat konsep pembedaan perlakuan (individualisasi perlakuan)

terhadap perkara anak. Pemberian perlindungan ini dimaksudkan untuk melindungi

dan mengayomi anak agar masa depan anak tersebut dapat diselamatkan. Pembedaan

perlakuan itu sendiri diharapkan juga mampu membina anak agar memperoleh jati

diri untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri,

keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Penegasan bahwa dalam pelaksanaan hukum kepentingan anak harus

merupakan pertimbangan utama tercantum juga dalam Konvensi Hak Anak PBB di

dalam prinsip ke 2 yaitu yang berbunyi :

In the enactment of laws for this purpose the best interests of the

child shall be paramount consideration.6

Anak pelaku tindak pidana akan tumbuh dan berpotensi menjadi penjahat dewasa di

masa depan, jika tidak ditangani secara tepat. Penjatuhan pidana pada pelaku yang

belum berumur 18 tahun diharapkan mencapai tiga tujuan yaitu :

a. Bahwa pidana dan penanganan orang yang belum berumur 18 tahun akan

lebih ditujukan pada perbaikan individu,

6Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h:114

9

b. Bahwa pidana dan tindakan sedapat mungkin harus disesuaikan pada

pandangan hidup yang terbatas dari pelaku yang berumur kurang dari 18

tahun,

c. Bahwa dengan pidana dan tindakan, akan dicegah pengulangan kejahatan

dan jumlah residivis akan berkurang.

Peradilan anak (Juvenile Justice System) menurut Beijing Rules juga mempunyai

tujuan (Aims of Juvenile Justice) dalam rule 5.1 yaitu :

The Juvenile justice system shall emphasize the well being of the

juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders

shall always be in proportion to the circumstances of both the

offender and the offence7.

The Aims of Juvenile Justice System dalam Beijing rules ini mempunyai dua sasaran

yang penting yaitu8 :

1. Memajukan kesejahteraan anak. Sasaran ini merupakan fokus utama dalam

sistem hukum yang menangani perkara anak, khususnya di dalam sistem

hukum yang mengikuti model peradilan pidana yang menekankan

kesejahteraan anak

2. Prinsip proporsionalitas. Prinsip yang merupakan alat untuk mengekang

penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-

mata (just desort)

Peradilan anak sebagai bagian integral dari kebijakan keadilan sosial anak,

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak dengan berpegang pada asas

proporsionalitas. Prinsip pencerminan keadilan sosial anak ini selanjutnya tersirat pula

dari berbagai ketentuan di setiap tahapan proses peradilan anak. Tuntutan agar anak

tetap diperhatikan dalam proses peradilan anak dan pemberian kesempatan diskresi

seluas-luasnya pada setiap tingkatan pemeriksaan merupakan cerminan dari prinsip

tersebut. Di samping perlu diperhatikannya hak-hak anak dalam kontak awal anak

dengan penegak hukum(polisi) dan penggunaan sarana yang berupa diversion. Hak-

hak anak itu antara lain 9:

1. Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges)

2. Hak untuk tetap diam (the right to remain silent)

3. Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to counsel)

7Ibid h: 114

8Ibid h: 116

9Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1992 h: 126

10

4. Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent or

guardian)

5. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right

to confront and cross-examine witnesses)

6. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas (the right to appeal to a higher

authority)

Ditegaskan bahwa, pada fase ajudikasi dan disposisi, dituntut agar ada

kejelasan mengenai pihak-pihak yang diberi wewenang dalam proses ajudikasi dan

disposisi. Dalam hal ini terkait dengan pemberian kesempatan pada orang tua dan

penasihat hukum untuk terlibat selama proses ajudikasi dan disposisi, penyediaan

laporan sosial anak dan penyusunan kriteria yang jelas tentang penempatan anak

dalam lembaga koreksi. Prinsip yang harus diperhatikan dalam disposisi adalah,

penempatan anak di dalam lembaga koreksi harus ditempatkan sebagai usaha terakhir

dan dalam jangka waktu yang pendek.

Dalam instrumen internasional diatur juga beberapa konvensi yang

memberikan perlindungan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Perlindungan

ini tidak hanya mengenai hak-hak normatif anak saja tetapi juga ada perlindungan

terhadap anak yang akan dikenakan sanksi pidana. Perlindungan itu berupa pengenaan

tindakan daripada pidana. Pidana sebagai alterantif terakhir dan jangka waktunya

diusahakan sesingkat mungkin.

Pemberian pembedaan perlakuan terhadap perkara anak adalah salah satu

bentuk perlindungan yang diakui dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak.

Asas ultimum remedium atau asas yang menggunakan sanksi pidana sebagai pilihan

terakhir untuk menyelesaikan perkara anak tidak dapat dilepaskan dari sistem

pemidanaan dari hukum pidana anak atau dalam hal ini pemidanaan yang terdapat

dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Pemidanaan anak di sini diatur

dalam pasal 22 sampai pasal 32. Pemberian sanksi terhadap anak nakal dalam undang

undang ini bukan hanya dengan diberikan berupa pemidanaan tetapi juga dengan

pemberian tindakan. Pemberian sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak

pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik

menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang

hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, diberikan sanksi yang

berbeda. Menurut pasal 25 Undang Undang Tentang Pengadilan Anak :

11

Pasal 25

(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b,

Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Dalam penjelasannya disebutkan :

Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim

memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh

anak yang bersangkutan. Disamping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan

anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara

anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib

memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.

Selain itu, sistem pemidanaan anak dalam Undang Undang ini memuat juga

sanksi pidana bersyarat, sebagaimana terdapat dalam pasal 29. Pidana bersyarat ini

dapat dijatuhkan oleh hakim apabila pelaku dipidana penjara yang dijatuhkan paling

lama 2(dua) tahun. Alternatif lain adalah pidana pengawasan yang dapat juga

dijatuhkan tetapi hanya untuk anak nakal yang melakukan tindak pidana. Pidana

Pengawasan ini lama penjatuhannya paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun.

Pengaturannya terdapat dalam pasal 30, yang menyebutkan :

Pasal 30

(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama

2 (dua) tahun.

(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf

a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak

tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing

Kemasyarakatan.

(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Dalam Penjelasannya disebutkan :

Yang dimaksud dengan ‘pidana pengawasan’, adalah pidana yang khusus dikenakan

untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak

dalam kehidupan sehari-hari, di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang

dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

12

Memang dalam pengaturan tersebut di atas tidak secara eksplisit tercantum bahwa

pemberian pidana terhadap anak nakal merupakan upaya terakhir/ultimum remedium

dalam menyelesaikan perkara anak. Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap

perkara anak masih digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam

menerapkan hukum positif hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu

pengetahuan hukum (Pidana) sebagai salah satu sumber hukum. Berdasarkan

beberapa dokumen putusan Pengadilan Negeri Semarang antara tahun 2002 sampai

dengan 2005 ditemukan bahwa Hakim anak dalam menangani perkara anak

cenderung menjatuhkan putusan yang berisi pemidanaan berupa penjara meskipun

dengan jangka pendek10

. Kecenderungan sedemikian bertentangan atau tidak sesuai

dengan asas ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka

waktu pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang

harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Seharusnya, pemberian pidana

penjara merupakan upaya terakhir dan berorientasi pada kesejahteraan anak.

Selain dalam hukum positif, ternyata dalam Rancangan Undang Undang KUHP

disebutkan dalam pasal 51 RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan yaitu :

1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang baik dan berguna;

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana11

.

Pandangan yang memberikan pemidanaan yang berorientasi kepada

kesejahteraan dan perlindungan pelaku sudah dipikirkan sampai kepada peraturan

hukum yang berorientasi ke masa depan (ius constituendum). Namun untuk

menyelesaikan perkara anak secara konseptual pendekatan kesejahteraan yang paling

tepat dalam konteks ini adalah pendekatan restorative justice, karena pendekatan ini

mencakup hal-hal sebagai berikut :

10Sri Sutatiek, “Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak

Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007, hal : 93. 11

Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005

13

1. mengindentifikasi dan menentukan langkah-langkah pemulihan kerugian

2. melibatkan semua stakesholders dalam menyelesaikan perkara

3. mentransformasi relasi tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam

merespon tindak pidana.

Secara lebih rinci, Muladi menyatakan bahwa restorative justice model

mempunyai beberapa karakteristik yaitu :

1. kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain

dan diakui sebagai konflik;

2. titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan

kewajiban pada masa depan;

3. sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi;

4. restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi

sebagai tujuan utama;

5. keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar

hasil;

6. sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

7. masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

8. peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah

maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak

pidana didorong untuk bertanggung jawab;

9. pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman

terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

10. tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan

ekonomis;

11. stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.12

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang merupakan

penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan

sarana reparatif. Abolosionis menganggap sistem peradilan pidana menganggap

sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara

realistis harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem

12Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 h :

90

14

sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masuk akal untuk mencari

alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara13

.

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan

yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol,

sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai langkah dalam

memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam

membangun meperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam

memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam

membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat

komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan

rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang

dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan

usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan

sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka

dan memperbaiki luka-luka mereka. Anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana

harus didahulukan kepentingannya baik selama proses perkara itu berlangsung

maupun waktu anak menjalani pidananya. Pendekatan restorative justice adalah

pendekatan penyelesaian masalah anak yang paling sesuai untuk menyelesaikan

masalah tindak pidana anak karena pendekatan ini melihat dari kesejahteraan dan

perlindungan terhadap anak.

Penjabaran dari prinsip-prinsip dalam instrument internasional, oleh Clement

Barttolas diintrodusir 4 macam Model tujuan pemidanaan yaitu14

:

1. The Rehabilitation Model. Tujuan pemidanaan menurut Rehabilitation Model

adalah atau pola-pola perilaku pelanggar untuk mengurangi kecenderungan-

kecenderungan terjadinya kejahatan di kalangan anak muda. Ada 3 model

yaitu :

a. Medical Model

b. Adjustment Model

c. Integration Model

13Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Pemidanaan, Pidana, dan tindakan dalam

rancangan KUHP, Jakarta, 2005 14

Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company, New

York,1990 h : 220

15

2. The Justice Model. Tujuan pemidanaan adalah pemidanaan terhadap pelaku

tindak pidana adalah hak. Pemidanaan haruslah beralasan kemanusiaan

merubah watak sikap dan konstitusional dalam praktek pelaksanaannya.

3. The Crime Control Model. Tujuan Pemidanaan menurut model ini adalah

upaya pemecahan (penyeleseian) permasalahan yang terbaik dalam rangka

melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan (preventif).

Pemidanaannya dapat membantu mengajarkan tanggung jawab, ketekunan,

kejujuran, dan mengefektifkan sistem peradilan.

4. The Logical Consequences Model. Tujuan pemidanaan menurut model ini

adalah membentuk kesadaran dan mendidik juvenile delinquency untuk

bertanggung jawab. Konsekuensi dari pemidanaan menurut model ini adalah

pelaku dapat dibebaskan, dimasukkan sekolah khusus Juvenile Delinquency,

atau diberi sanksi pidana sesuai dengan perbuatannya.

Tujuan Pemidanaan anak tercapai atau tidak, dapat tercermin dari jumlah anak

nakal yang relatif tereliminasi, karena penanganan yang tepat dalam proses peradilan.

Di satu pihak, jika dilihat dari jumlah anak nakal dan residivis anak yang semakin

meningkat, sedangkan di lain pihak telah tersedia perangkat hukum dari tingkat

internasional sampai tingkat nasional yang memadai, maka cukup beralasan adanya

keraguan tentang peranan aparat penegak hukum khususnya dalam konteks ini Hakim

Anak. Terkait dengan pertimbangannya tentang asas ultimum remedium dalam

menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak nakal.

III. ALTERNATIF SANKSI BAGI ANAK NAKAL

Asas ultimum remidium atau the last resort principle dalam peradilan anak

tidak terlepas dari peranan Hakim anak dalam mengadili perkara anak. Peranan hakim

dalam peradilan anak sangat penting karena vonis dari hakim apakah akan

menjatuhkan pidana(straf) atau memberikan tindakan(maatregel) menjadi hal yang

penting.

Dalam Undang Undang No 3 Tahun 1997 ini telah diatur juga tentang

beberapa syarat hakim anak. Menurut pasal 10, salah satu syarat untuk diangkat

menjadi hakim anak adalah mempunyai minat perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah anak. Persyaratan sedemikian, mencerminkan adanya unsur perlindungan

16

terhadap anak. Diharapkan Hakim Anak yang mengadili anak nakal dalam

memberikan keputusannya, memutus dengan lebih mengedepankan dan melindungi

kepentingan yang terbaik bagi anak.(the best interest of the child).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Semarang tahun 2002

sampai dengan tahun 2005, hakim yang memutus perkara anak nakal dengan usia

antara 12 sampai belum 18 tahun cenderung memvonis pidana penjara terhadap

pelakunya.15

Penjatuhan pidana penjara tersebut, memang hanya untuk waktu yang

relatif singkat yaitu kurang dari 6 bulan. Pidana pokok lainnya adalah pidana denda.

Namun ternyata pidana denda dianggap lebih ringan dilihat dari segi jumlahnya.

Sedangkan pelaksanaan pidana yang memungkinkan terpidana menjalaninya di luar

lembaga yaitu pidana bersyarat ternyata tidak atau belum banyak digunakan.

Dalam kenyataannya, anak pidana yang ditempatkan di lembaga

pemasyarakatan dapat menimbulkan resiko yang besar bagi anak. Mengingat bahwa

kondisi di Lembaga Pemasyarakatan, baik sarana dan prasarananya sangat kurang.

Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat berkumpulnya para narapidana yang

melakukan berbagai macam kejahatan. Dengan demikian, akan sangat berbahaya bagi

anak nakal yang dikumpulkan menjadi satu di tempat seperti itu. Penjatuhan pidana

penjara juga memberikan stigma negatif bagi anak. Stigma negatif tersebut akan

berpengaruh kepada tingkah laku anak pada masa yang akan datang, karena akan

memunculkan kenakalan baru. Pemikiran ini dapat ditelaah didasarkan pada teori

labeling. Menurut Labeling theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya

stigma ”nakal” dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau

masyarakatnya, bahkan putusan pengadilan. Berkaitan dengan ini ada 3 proposisi teori

labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan terhadap anak nakal,

yaitu16

:

a) seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-

undangan, melahirkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa;

b) tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling;

c) labeling merupakan suatu proses yang melakukan identifikasi dengan citra sebagai

devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the rejector.

15Periksa hasil Penelitian Sri Sutatiek, loc cit h : 120

16Romli,Atmasasmita, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, 1983, Bandung, h : 50.

17

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian status ”tahanan anak”,

”tersangka anak”, ”terdakwa anak”, ”anak pidana”, atau ”anak negara” melalui sistem

peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan

kenakalan anak yang bersangkutan pada masa yang akan datang. Kenakalan anak

yang muncul setelah anak diberi label oleh negara sebagai ”anak nakal” merupakan

secondary deviant.

Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau mengabaikan asas

ultimum remedium bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam The Riyadh

Guidelines yang menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan

berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan

jaminan perlindungan. Juga harus dipertimbangkan tentang kondisi fisik dan

psikologis anak, tempat atau lokasi perbuatan pidana tersebut dilakukan. Sealin itu

dipertimbangkan juga tentang perbuatan pidana tersebut dapat membahayakan orang

tua anak, dan atau membahayakan anak nakal. Sebenarnya masih banyak jenis

tindakan/maatregel yang dapat diberikan agar anak nakal terhindar dari sanksi yang

bersifat institusionalisasi.

Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah 17

:

a) tindakan/perintah perawatan, bimbingan, dan pengawasan (care, guidance,

and supervision orders)

b) pengawasan (probation)

c) perintah kerja social (community service orders)

d) pidana yang bersifat uang dang anti rugi (financial penalties, compensation

and restitutions)

e) perawatan lanjutan dan tindakan perawatan lainnya (intermediate treatment

and other treatment orders)

f) tindakan/perintah untuk ikut berpartisipasi dalam kelompok-kelompok

konseling dan kegiatan lain yang serupa (orders to participate in group

counseling and similar activities)

g) tindakan-tindakan atau perintah yang berhubungan dengan perawatan untuk

membantu perkembangan dengan tinggal di dalam masyarakat atau dalam

lingkungan yang bersifat mendidik (orders concerning foster care, living

communities or other educational settings)

17Barda Nawawi Arief, op cit, h:. 118.

18

h) tindakan-tindakan lain yang relevan (other relevant orders).

Dengan demikian banyak pilihan tindakan untuk ditetapkan oleh hakim anak

dan berlaku secara universal di Negara-negara yang telah meratifikasi Declaration Of

The Rights Of The Child dan Convention On The Rights Of The Child. Apabila

filosofi pemidanaan anak dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi

penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal dapat dieliminasi. Kenyataan bahwa

hakim anak yang ada sekarang ini di Indonesia adalah hakim biasa yang merupakan

hakim Pengadilan Negeri, namun yang ditugaskan di Pengadilan Anak karena

diangkat sebagai hakim anak. Persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10

Undang Undang Tentang Pengadilan Anak dapat saja dipenuhi tetapi hanya

formalitas. Hal ini menunjukkan bahwa memang sampai saat ini belum ada hakim

yang dikhususkan untuk anak nakal. Kenyataan menyedihkan dan memperihatinkan

beberapa tahun lalu, terkait dengan kasus Raju yang diperlakukan sebagai orang

dewasa. Oleh Karena mulai dari penahanan sampai persidangannya Raju dihadapkan

dengan penegak hukum serta institusi yang disiapkan untuk adult criminal.

Efek negatif pidana penjara dan keunggulan sanksi-sanksi lain selain itu bukan

hanya perlu dipahami tetapi yang lebih penting adalah ditindak lanjuti dengan

pemberian keputusan yang bersifat melindungi anak nakal. Kondisi sarana dan

prasarana lembaga pemasyarakatan yang kurang baik, terlebih lagi lembaga

pemasyarakatan yang telah menjadi pusat pengendalian peredaran narkoba di

masyarakat, harus dipertimbangkan oleh hakim anak. Pemecahan masalah seperti ini

dapat dicapai dengan cara mengurangi jumlah penggunaannya. Pengurangan

penjatuhan pidana penjara secara berangsur-angsur dapat dilakukan dengan cara

menetapkan bentuk-bentuk pidana pengganti atau alterantif, misalnya pidana

bersyarat/pidana atau pidana pengawasan, pidana denda, pidana pekerjaan di luar

lembaga pemasyarakatan dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung unsur

perampasan kemerdekaan. Namun, dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak

dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana yang

dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama. Juga proses pembinaannya harus

bersifat konstruktif, pribadi dan dilakukan dalam lembaga terbuka (open institution).

19

IV. PENUTUP

Penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal sebagai ultimum remedium

seharusnya menjadi pertimbangan hakim anak. Untuk itu diperlukan pemahaman

dalam menerapkan Undang Undang Tentang Pengadilan Anak, sehingga aparat

penegak hukum, khususnya hakim anak, dapat menjamin perlindungna hukum yang

mengutamakan kepentingan anak secara optimal.

Hakim seharusnya mempertimbangkan putusannya dengan cermat apabila

akan menjatuhkan pidana penjara terhadap anak nakal. Oleh karena menjatuhkan

tindakan (maatregel) atau pidana bersyarat sesungguhnya merupakan putusan yang

lebih baik menurut aspek perlindungan hukum anak.

20

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Ruben, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di

Kota Palembang, Universitas Sriwijaya, Penelitian, 2005.

Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan : Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung, 1983.

Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Edition, MacMillan Publishing Company,

New York,1990.

Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency : Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka

Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,

1995.

Rampen, Tilly A.A., Hermien Hadiati Koeswadji, Sarwirini, “Buku Ajar Hukum Pidana

Anak”,Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2007.

Sri Sutatiek, Putusan Pengadilan Anak Sebagai Manifestasi Perlindungan Dan

Kesejahteraan Anak Di Indonesia, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, 2007.

Lain-lain:

Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun 2005.

Undang Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.