acute arterial occlusion translate.docx

28
TUGAS KARDIOLOGI ACUTE LIMB ISCHEMIA Oleh: Vidi Prasetyo Utomo 0910710128 Moderator: Prof. Dr. dr. Djanggan Sargowo, Sp.PD., Sp JP(K) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 

Transcript of acute arterial occlusion translate.docx

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 1/28

TUGAS KARDIOLOGI

ACUTE LIMB ISCHEMIA

Oleh:

Vidi Prasetyo Utomo

0910710128

Moderator:

Prof. Dr. dr. Djanggan Sargowo, Sp.PD., Sp JP(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013 

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 2/28

Chapter 46 : Sumbatan Arteri Akut

Piotr S. Sobieszczyk

 Adanya sumbatan akut nontraumatik pada arteri yang memvaskularisasi ekstremitas atau

organ akan menyebabkan munculnya kumpulan gejala yang spesifik terkait penurunan perfusi

 jaringan mendadak. Tanpa mempedulikan segmen arteri manapun yang terlibat, keadaan ini sudah

dianggap sebagai suatu kegawatan vaskular. Kerusakan organ permanen dapat terjadi dalam

beberapa detik pada kasus sumbatan emboli akut pada arteri cerebri media (ACM) atau dapat

terjadi setelah beberapa jam jika sumbatan ini terjadi pada ekstremitas bagian bawah. Pada kasus

yang sering ditemukan di praktek klinik, sumbatan arteri akut sinonim dengan iskemia anggota

gerak akut. Penegakan diagnosa dan penerapan terapi yang cepat diperlukan untuk mencegah

kemungkinan amputasi maupun morbiditas lain yang membahayakan jiwa. Iskemia anggota gerak

akut didefinisikan sebagai suatu kondisi penurunan perfusi arteri yang mengancam terjadinya

kerusakan pada ekstremitas yang terjadi dalam kurun waktu < 14 hari. Hal ini dapat terjadi sebagai

akibat adanya oklusi emboli atau thrombosis arteri in situ. Selama beberapa decade terakhir,

etiologi dari terjadinya iskemia ekstremitas akut bervariasi seiring perubahan prevalensi dari tiap-

tiap kondisi penyebab. Tatalaksana untuk sindrom ini telah berkembang, akan tetapi keterampilan

mendiagnosis yang dibutuhkan untuk mendiagnosis kondisi klinis ini tetap tidak berubah.

Epidemiologi Acute Limb Ischemia (Iskemia Anggota Gerak Akut)

 Acute limb ischemia merupakan suatu kasus vaskular yang jarang terjadi, dan insidensinya

memerlukan kuantifikasi yang tepat. Insidensi acute limb ischemia dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan kondisi medis dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah pasien yang mendapat terapi

antiplatelet dan antitrombotik, mendapat terapi efektif untuk atrial fibrillation (AF), dan terapi tingkat

lanjut untuk penyakit katup jantung dan PJK telah mempengaruhi angka kejadian acute limb

ischemia dengan menurunkan angka kejadian emboli. Hal ini mungkin dapat terimbangi dengan

peningkatan jumlah pasien yang menjalani terapi pembedahan dan revaskularisasi endovascular 

elektif, yang mana tindakan tersebut memiliki resiko, yang rendah tapi tetap dapat diperhitungkan

untuk terjadinya thrombosis graft atau stent. Estimasi yang dilakukan pada tahun 1990 menyatakan

pada bahwa suatu pusat pelayanan kesehatan yang khusus melayani penyakit vaskular, dapat

diperkirakan sekitar 75 dari 500.000 merupakan pasien penderita acute limb ischemia pada

ekstremitas bawah.4 

 Acute limb ischemia dapat menyerang pria maupun wanita dengan perbandingan yang

sama. Penyakit ini jarang terjadi pada pasien yang telah terdiagnosa PAD (Peripheral artery

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 3/28

disease), kecuali pada pasien-pasien yang menjalani operasi atau revaskularisasi endovascular 

dan berlanjut mengalami komplikasi berupa thrombosis akut pada pembuluh, graft, atau stent.

 Acute limb ischemia sering menyerang populasi dewasa tua dan geriatric, tapi juga dapat

menyerang pasien dengan usia yang lebih muda dengan kondisi klinis tertentu seperti embolisme

paradoksikal, massa di intracardiac dan endocarditis, atau suatu sindrom hiperkoagulabilitas yang

mempengaruhi sirkulasi arteri.

 Acute nontraumatic ischemia pada anggota gerak atas merupakan kondisi yang lebih jarang

terjadi. Kondisi ini jarang sampai menyebabkan limb loss (amputasi karena matinya jaringan akibat

tidak mendapat vaskularisasi), sehingga jarang mendapat perhatian dimana tertutupi oleh sindrom

iskemik pada anggota gerak bawah yang lebih dapat menyebabkan kegawatan. Beberapa hasil

publikasi telah dilaporkan, dan tidak didapatkan trial-trial acak yang mengevaluasi sindroma klinis

ini dan bagaimana terapinya. Meskipun demikian, konsekuensi dari gangguan fungsi anggota

gerak sama-sama dapat memberikan beban keterbatasan yang sama beratnya bagi penderita.5 

Rata-rata, acute arm ischemia terjadi sekitar 16,6% dari semua kasus iskemia akut pada

ekstremitas dan, dengan ekstrapolasi, terjadi dengan angka insidensi 1,2-3,5 kasus per 100.000

kasus per tahun6. Meskipun demikian, estimasi ini dibuat hanya berdasarkan rangkaian

pembedahan. Survey yang dilakukan pada semua pasien dengan iskemia ekstremitas atas akut

diperkirakan memiliki insidensi 1,13 per 100.000 per tahun7. Dengan tidak adanya studi populasi

yang lebih teliti, angka insidensi sebenarnya hanya dapat diestimasikan. Pasien dengan iskemia

anggota gerak atas, cenderung terjadi pada rentang usia yang lebih tua dibanding pasien dengan

iskemia anggota gerak bawah, dengan usia rata-rata pada iskemia anggota gerak atas sekitar 74

th dan iskemia anggota gerak bawah sekitar 70 th.

 Angka keberhasilan bebas amputasi dipengaruhi berbagai factor, baik yang dapat

dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi9. Di antara faktor-faktor yang dapat dimodifikasi,

factor yang paling utama adalah keterlambatan dalam mendiagnosa. Ras non-kaukasian, usia tua,

keganasan, dan gagal jantung kongestif, dan berat badan rendah meningkatkan resiko terjadinya

amputasi, sementara stherosklerosis sistemik meningkatkan kemungkinan keberhasilan bebas

amputasi. Di antara pasien dengan usia lebih dari 75 tahun, secara keseluruhan angka kematian

dalam 30 hari mencapai 42%. Angka keselamatan dan penyembuhan fungsional pada pasien

dengan iskemia anggota gerak akut secara langsung terkait pada komorbiditas yang mendasari

serta keterlambatan dalam mendiagnosis dan memberikan terapi.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 4/28

Etiologi Iskemia Anggota Gerak Akut

Iskemia anggota gerak atas

Lokasi oklusi yang paling sering terjadi pada ekstremitas atas adalah pada arteri brachialis

dan arteri aksillaris, terjadi pada 85% kasus oklusi emboli. Arteri subclavian diduga merupakan

lokasi yang paling sering menjadi tempat oklusi pada kasus thrombosis in situ.

SEBAB IATROGENIK

Pada jaman dulu, iskemia akut pada lengan disebabkan terutama oleh kateterisasi jantung

yang dilakukan via arteri brachial. Pada rangkaian penelitian yang dilakukan sejak tahun 1980

dilaporkan 37 kasus iskemia anggota gerak atas akut pada pasien yang pernah menjalani terapi

pembedahan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, tercatat 56% kasus disebabkan oleh komplikasi

iatrogenic ini, 24% terkait kejadian emboli, dan sisanya disebabkan luka sayat operasi.

Dikarenakan kateterisasi arteri brachial memberikan hasil yang di luar harapan, penyebab iskemia

anggota gerak atas telah berubah. Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan pada 65 pasien

dengan iskemia lengan akut yang pernah menjalani pembedahan dalam kurun waktu 8 tahun

terakhir, 41% pasien dikarenakan sebab cardioemboli, 17% pasien akibat emboli arterial, dan 28%

akibat oklusi iatrogenic, terutama karena kateterisasi jantung. Saat ini peningkatan ketertarikan

para ahli medis dalam menggunakan akses arteri radialis untuk prosedur koroner tampaknya tidak

meningkatkan frekuensi iskemia anggota gerak atas. Oklusi pada arteri radialis, terlihat pada 5%

prosedur, hal ini tampaknya tidak mengganggu perfusi tangan pada pasien yang mendapat

pemeriksaan untuk memastikan patensi arkus palmar yang dilakukan preprosedur dengan tepat.

EMBOLISME

Oklusi emboli merupakan penyebab yang paling sering pada iskemia anggota gerak atas,

terjadi pada sekitar 74-100% kasus yang dilaporkan. Dari seluruh kejadian emboli yang dilaporkan

ini, 72% merupakan cardioemboli, 12% berasal dari emboli pada pembuluh darah proksimal, dan

sisanya dari lokasi yang tidak diketahui. Atrial fibrillation dan thrombus pada ventrikel kiri pada

pasien dengan disfungsi ventrikel merupakan penyebab tersering terjadinya emboli jantung.

Penyebab yang umum terjadinya embolisasi meliputi atrial myxoma dan emboli paradoksikal. Arteri

proksimal pada lengan dapat menjadi sumber embolisme arterial. Embolisasi dari arteri satu ke

arteri yang lain dapat menyebabkan oklusi pada arteri dengan caliber sedang atau besar, tapi lebih

sering muncul dengan embolisasi digital. Atherosclerotic stenosis pada arteri subclavia jarang

menjadi penyebab embolisme akan tetapi dapat menyebabkan iskemia tangan dan lengan yang

akut. Aneurisma pada arteri subclavia atau aneurisma yang terjadi akibat kompresi eksternal pada

thoracic outlet syndrome (TOS) dapat menyebabkan oklusi tromboemboli pada arteri-arteri

ekstremitas atas. Atheroma arkus aorta juga dapat menjadi penyebab iskemia lengan akut.

Penyebab emboli arteri yang jarang terjadi lainnya adalah malignant emboli atau paradoxical

emboli pada intracardiac shunting.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 5/28

THROMBOSIS

Penyakit atherosklerotik lebih jarang ditemukan pada kasus ekstremitas atas dibanding

ekstremitas bawah. Demikian juga, thrombosis in situ merupakan sebab yang jarang terjadi dan

diperkirakan hanya sekitar 5% dari seluruh kasus iskemia di populasi dan berkisar antara 5-35%

pada kasus pembedahan. Banyak dari lesi pada arteri proksimal yang berperan menyebabkan

embolisasi distal dapat menyebabkan thrombosis in situ. Arteritis, injuri radiasi, dan sindrom

hiperkoagulabilitas dilaporkan menjadi penyebab yang jarang terjadi pada kasus thrombosis arterial

in situ pada ekstremitas atas.

Iskemia anggota gerak bawah

Perlunya membedakan antara emboli dengan

thrombosis in situ tidak boleh mengurangi kepentingan

dalam mendiagnosa dan memberikan terapi secara

cepat, tepat. Meskipun demikian, kondisi iskemia yang

disebabkan oleh emboli terkait dengan adanya onset

yang cepat, riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan

tidak adanya riwayat PAD sebalumnya. Ekstremitas yang

kontralateral cenderung memberikan hasil normal pada

pemeriksaan, tanpa ada stigmata kejadian

atherosclerosis sistemik. Beberapa penyebab iskemia

anggota gerak akut akan ditampilkan pada box 46-1.

IN SITU THROMBOSIS

Thrombosis in situ lebih berperan sebagai penyebab kasus iskemia anggota gerak akut

dibandingkan emboli sebagaimana ditunjukkan pada trial Thrombolysis or Peripheral Arterial

Surgery (TOPAS), sekitar 85% dari seluruh kasus. Angka kejadian kasus emboli telah menurun

sejak beberapa decade terakhir. Pada penelitian yang dilakukan di Yunana, yang mengevaluasi

penyebab iskemia anggota gerak akut pada pusat-pusat rujukan antara tahun 2000 dan 2004, 40%

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 6/28

kasus disebabkan oleh kejadian emboli, sedangkan in situ thrombosis menjadi penyebab pada

50% kasus, dan sisanya sebsar 10% disebabkan oleh trauma, injuri iatrogenic, vaskulitis, atau

diseksi. Sebanyak 78% kasus emboli berasal dari jantung, dan sebanyak 9% dari kasus emboli

tidak ditemukan asalnya. Di antara seluruh kasus thrombosis in situ, 30% terjadi pada arteri

normal, sedangkan 70% terjadi pada pembuluh darah yang mendapat intervensi (65% graft

thrombosis dan 5% berupa thrombosis akibat pemasangan stent di iliac atau infrainguinal). 30%

penyebab iskemia anggota gerak akut dikarenakan surgical graft thrombosis. Pasien dengan graft

dapat mengalami graft thrombosis dan berkembang menjadi gejala iskemia anggota gerak akut

dikarenakan degenerasi graft atau adanya permasalahan mekanis seperti stenosis anastomosis

atau retained valves. Kompresi atau kinking pada graft juga dapat menyebabkan thrombosis.

Dengan adanya metode stent grafting untuk penyakit aneurisma aortoiliac, maka thrombosis stent

graft akut ditambahkan menjadi salah satu penyebab iskemia anggota gerak.

Trombosis in situ pada aneurisma arteri poplitea biasanya muncul bersama dengan iskemia

anggota gerak akut. Pada suatu review yang dilakukan pada hampir 900 pasien yang mengalami

iskemia anggota gerak akut sekunder akibat thrombosis aneurisma popliteal, dilaporkan angka

kejadian amputasi sebesar 14%. Pada penelitian ini, terapi trombolisis dengan dipandu kateter 

yang dilakukan sebelum tindakan pembedahan tidak dapat menurunkan angka kemungkinan

dilakukan amputasi, akan tetapi hal ini secara signifikan akan meningkatkan patensi graft dalam

 jangka panjang, diduga karena dengan melakukan tindakan ini akan memaksimalkan patensi

pembuluh darah tibial32. Keputusan untuk melakukan trombolisis dengan panduan kateter harus

disesuaikan dengan kondisi klinis dan kegawatan untuk dilakukan revaskularisasi. Pada

pencatatan masalah vascular di Swedia, angka amputasi pada kejadian thrombosis akut pada

aneurisma popliteal sebesar 17% pada pasien yang mengalami iskemia akut dan hanya sebesar 

1,8% pada aneurisma asimtomatik yang memerlukan terapi reapir elektif.

EMBOLI

Iskemia anggota gerak akut sering disebabkan oleh emboli, seringkali berasal dari jantung.

Embolus sering menyumbat pada bifurkasio aortoiliac, bifurkasio femoral, atau trifurkasio popliteal.

Selama beberapa dekade terakhir, etiologi kejadian cardioemboli telah makin berkembang. Emboli

yang disebabkan oleh rheumatic mitral stenosis dengan pembesaran atrium merupakan suatu

kejadian yang jarang terjadi karena prevalensi penyakit katup jantung rematik saat ini telah

menurun secara substansial. Fibrilasi atrium yang terkait usia dan disfungsi ventrikel kiri dengan

pembentukan thrombus di apeks merupakan penyebab terbanyak kejadian cardioemboli.

Penyebab yang lebih jarang meliputi endocarditis, intracardiac myxoma, atau paradoxical embolism

yang disebabkan oleh patent foramen ovale yang memungkinkan transit thrombus yang ada di

vena ke dalam sirkulasi arteri. Oklusi emboli akut terkait aneurisma aorta dan thrombus intramural

 jarang terjadi.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 7/28

PENYEBAB IATROGENIK

Iskemia anggota gerak akut dapat disebabkan oleh metode akses arterial melalui arteri

femoralis dan injuri pembuluh darah di lokasi akses, baik dengan terbebasnya alat penutup

vaskular ataupun dengan adanya injuri langsung pada arteri femoralis major maupun arteri iliaca

major. Demikian juga, thrombosis yang terjadi terkait kateter dan emboli pada arteri popliteal dapat

terjadi

SEBAB LAIN

Vasospasme yang intens, seperti akibat ergotism atau konsumsi kokain, telah dilaporkan

dapat menyebabkan oklusi pada distal aorta dan pembuluh darah iliaka dimana tunika intima

mengalami kompresi oleh tunika media. DVT (deep vein thrombosis) Iliofemoral dengan

pembengkakan massif pada paha dapat menyebabkan gangguan pada aliran arterial ke kaki.

Sindroma phlegmasia cerulean dolens membutuhkan terapi trombolisis dengan dipandu kateter 

yang harus dilakukan segera untuk mengembalikan aliran darah balik vena dan juga aliran arterial

ke ekstremitas bawah.

Patofisiologi Iskemia Anggota Gerak Akut

Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri : bifurkasio aorta,

iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio brachial pada lengan. Thrombosis in situ

seringkali menyebabkan gangguan pada arteri femoral dan popliteal, terutama pada kondisi pasien

yang pernah mengalami bypass arteri, rupture plak atherosclerosis, atau pada keadaan low output.

Penghentian aliran arteri ke ekstremitas secara mendadak memicu kompleks proses patofisiologis.

Jaringan yang mengalami malperfusi akan mengalami perubahan metabolism, dari metabolism

aerob menjadi metabolism anaerob. Perubahan rasio laktat  – piruvat akan meningkatkan produksi

laktat, meningkatkan konsentrasi ion hydrogen, dan akhirnya menyebabkan terjadi acidosis.

Iskemia yang progresif menyebabkan disfungsi dan kematian sel. Hipoksia otot akan menurunkan

simpanan adenosine triphosphate (ATP) intraseluler, dan menyebabkan disfungsi

sodium/potassium-ATPase dan kanal calcium/sodium sehigga menyebabkan kebocoran kalsium

intrasel ke dalam miosit. Level kalsium bebas intraseluler akan meningkat dan berinteraksi dengan

actin, myosin, dan protease, menyebabkan nekrosis pada serabut otot. Bersamaan dengan

kerusakan pada integritas mikrovaskular dan membrane sel, potassium, fosfat, kreatinin kinase dan

myoglobin intrasel akan keluar dari sel ke sirkulasi sistemik. Lebih lanjut, reperfusi meningkatkan

perubahan-perubahan yang terjadi dalam sel ini.

Jaringan otot dan saraf cukup rentan mengalami injuri iskemia, sehingga ada atau tidaknya

deficit neuromotor merupakan suatu poin yang sangat penting untuk menilai keparahan iskemia

anggota gerak akut. Kerusakan otot yang ireversibel akan dimulai sejak 3 jam setelah terjadi

iskemia dan kerusakan ini akan total setelah mencapai 6 jam. Selain injuri miosit, injuri pada otot

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 8/28

skeletal akan diikuti dengan kerusakan mikrovaskular yang progresif. Semakin parah kerusakan

seluler yang terjadi, makin besar perubahan yang dialami mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis

otot, aliran mikrovaskular berhenti dalm waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu sekitar 6

 jam untuk menyebabkan injuri fungsional yang ireversibel. Rentang waktu ini dapat lebih lama pada

kondisi ekstremitas yang memiliki aliran darah kontralateral.

Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusim suatu proses yang dipicu oleh

pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks kaskade sitokin, reactive oxygen species

(ROS), dan neutrofil. reactive oxygen species (cth : superoxide anion, hydrogen peroksida,

hidroksil radikal, peroksinitrit) diproduksi oleh neutrofil teraktivasi dan xanthine oxidase, suatu

enzim yang berlokasi di sel endotel mikrovaskular pada otot skeletal dan teraktivasi pada kondisi

iskemik. Di bawah kondisi normal, xanthine dehydrogenase menggunakan nicotinamide adenine

dinucleotide untuk mengoksidase hypoxanthine menjadi xanthine. Xanthine dehydrogenase diubah

menjadi xanthine oksidase setelah 2 jam iskemia. Selama iskemia berlangsung, ATP didegradasi

menjadi hypoxanthine, akan tetapi xanthin oxidase membutuhkan oksigen untuk mengubah

hypoxanthine menjadi xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan terakumulasi selama iskemia. Ketika

oksigen diperoleh selama fase reperfusi, isoform xanthine dehydrogenase akan teraktivasi.

Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan menciptakan reactive oxygen species.

Substrat yang esensial dalam produksi radikal-radikal ini, oksigen molecular, dihasilkan

selama proses reperfusi. Oksidan yang berasal dari xanthine oxidase memediasi peningkatan

permeabilitas vaskular dalam otot postischemic. Peran penting oksigen elemental dan peran

oksigen radikal dalam injuri reperfusi sering diabaikan pada penelitian-penelitian yang

menunjukkan bahwa reperfusi yang dimulai dengan darah autolog yang terdeoksigenasi mencegah

peningkatan permeabilitas setelah iskemik. Merubah darah yang memperfusi menjadi darah yang

teroksigenasi selama reperfusi mirip dengan respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah

reperfusi normoxic. Demikian juga, pengenalan oksigen kembali secara bertahap di awal reperfusi

akan menurunkan injuri postischemic. Suplementasi tambahan dengan pembasmi radikal bebas

dan menurunkan konsumsi oksigen akan menurunkan injuri pada nekrosis postischemic.

Neutrofil yang teraktivasi merupakan agen utama yang berperan menyebabkan kerusakan

local maupun sistemik yang disebabkan proses reperfusi. Leukosit juga memegang peran yang

sama pentingnya dalam menyebabkan injuri reperfusi. Neutrofil teraktivasi akan terakumulasi di

dalam otot yang mengalami reperfusi dan memproduksi metabolit oksigen reaktif, melepaskan

enzim sitotoksik, dan mengoklusi jalur mikrosirkulasi. Menurunkan jumlah leukosit telah diketahui

mampu mereduksi injuri iskemia-reperfusi. Reperfusi dengan darah yang teroksigenasi dengan

 jumlah kandunga leukosit yang telah terdeplesi menggunakan filter dapat mencegah peningkatan

permeabilitas vaskular pada otot skelet canine. Menariknya, menginduksi terjadinya neutropenia

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 9/28

sebelum iskemia pada tikus akan mengembalikan membran potensial transmembran dan fungsi

kontraksi pada otot postischemic tikus.

Iskemia dan reperfusi otot skelet akan menstimulus sejumlah kaskade inflamasi tambahan

yang melibatkan aktivasi komplemen, meningkatkan ekspresi molekul adhesi, pelepasan sitokin,

sintesa eicosanoid, pembentukan radikal bebas, perubahan sitoskeletal, deplesi adenine

nucleotide, perubahan metabolism kalsium dan fosfolipid, aktivasi leukosit, dan disfungsi endotel.

Interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF) – α dapat segera dideteksi setelah reperfusi dan

memicu molekul adhesi pada permukaan sel endotel, emningkatkan kebocoran kapiler, dan

menstimulasi produksi IL-6 dan IL-8, yang mana lebih lanjut meningkatkan permeabilitas endotel,

menghancurkan integritas endotel, dan mengaktivkan leukosit.

Efek klinis dari respon seluler terhadap reperfusi berupa pembengkakan jaringan, suatu

kondisi kerusakan yang hebat pada ruang tertutup di lengan bawah, paha, betis, dan pantat.

Peningkatan tekanan kompartemen di dalam batas fascia menyebabkan compartment syndrome:

tekanan kompartemen yang meningkat menyebabkan penurunan gradient perfusi dan aliran darah

kapiler sehingga tidak mencukupi kebutuhan metabolic, menyebabkan kondisi iskemia dan

nekrosis yang semakin parah. Pelepasan mioglobin dapat menyebabkan kerusakan ginjal.

Peningkatan permeabilitas endotel dapat menyebabkan acute lung injuri, suatu proses yang telah

diujikan pada hewan coba dengan menginduksi terjadinya neutropenia secara kimiawi,

menunjukkan bahwa aktivasi dan transmigrasi neutrofil serta hilangnya integritas endotel

merupakan hal-hal penting dalam acute lung injury pada injuri reperfusi. Sehingga, edema paru

noncardiac dapat terjadi setelah proses reperfusi pada ekstremitas bawah, suatu proses yang

dapat dicegah dengan deplesi granulosit.

Sindroma reperfusi terdiri atas dua komponen. Respon local terhadap reperfusi memicu

terjadinya pembengkakan jaringan, sedangkan respon sistemik terhadap reperfusi dapat berupa

kegagalan multiorgan dan kematian. Respon sistemik inilah yang menyebabkan kegagalan

intervensi pada iskemia anggota gerak tingkat lanjut dan ireversibel. Derajat respon inflamasi yang

terjadi setelah proses reperfusi bervariasi. Ketika nekrosis otot seragam maka dikatakan respon

inflamasinya kecil. Derajat kerusakan iskemik, meskipun begitu, akan bervariasi tergntung

proksimitas jaringan terhadap lokasi oklusi dan efisiensi suplai darah melalui pembuluh

kolateral.Besar kecilnya respon inflamasi akan ditentukan oleh seberapa luas zona iskemik (tapi

tidak sepenuhnya nekrotik). Sehingga reperfusi pada sekelompok besar otot yang terjadi dengan

injuri iskemik tingkat lanjut dan nekrosis jaringan akan menyebabkan pelepasan sejumlah besar 

mediator inflamasi toksik ke dalam sirkulasi sistemik. Efek perusak dari proses reperfusi dapat

menyebabkan pasien dengan injuri iskemik ireversibel harus diamputasi.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 10/28

Diagnosis Iskemia Anggota Gerak Akut

Diagnosis Iskemia Anggota Gerak Akut dapat sulit ditegakkan, terutama pada pasien yang

 juga mengalami defisit sensoris dan motoris yang menyebabkan perhatian kita langsung terarah

pada pemeriksaan secara neurologis. Tanda dan gejala klinis pada iskemia anggota gerak akut

bermanifestasi dengan variasi temuan gejala terkait keparahan iskemia dan durasi malperfusi

arterial. Diagnosis iskemia anggota gerak akut dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan

radiologi untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan computed tomographic angiography (CTA) atau

magnetic resonance angiography (MRA) meyebabkan adanya potensi keterlambatan dalam

memberikan intervensi terapeutik. Bedside USG duplex dapat dilakukan secara cepat dan dapat

memberikan informasi mengenai lokasi oklusi dan pemilihan strategi akses arteri untuk prosedur 

endovascular. Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara cermat, melibatkan evaluasi dengan

Doppler untuk mendeteksi sinyal arteri dan vena, biasanya cukup untuk mendapatkan informasi ini.

Pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi oklusi di arteri dan mengurangi kebutuhan

untuk dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya.

Gejala klasik dan temuan yang didapat pada pemeriksaan fisik pada penderita iskemia

anggota gerak akut sering dikenal dengan sebutan 6 P : Pulselessness, pallor, pain, poikilothermia,

paralysis, dan paresthesia. Nyeri merupakan gejala yang paling umum ditemukan dan makin

meningkat seiring keparahan iskemia. Pallor (pucat) merupakan temuan awal pada ekstremitas

yang mengalami iskemik dan hal ini disebabkan oleh pengosongan pdan vasospasme arteri

komplit (Gbr.46-6). Stagnasi sirkulasi mikrovaskular yang terjadi berikutnya akan menyebabkan

kerusakan kulit, yang mana kulit akan berwarna pucat ketika ditekan. Ketika kondisi iskemik terus

berlanjut, akan muncul paresthesia, dan kemudian rasa kebas/numbness menggantikan rasa nyeri,

yang mana hal ini menyebabkan pasien dan dokter mendapatkan kepastian yang salah. Pada

stadium akhir injuri iskemik, akan terjadi paralisis, pengelupasan kulit akan terjadi, tanpa kulit

menjadi pucat.

Kehilangan fungsi

motorik dan kulit

mengkilat seperti

marmer memperkuat

dugaan telah terjadi

injuri iskemik

ireversibel.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan seksama dapat menentukan level oklusi dengan

mendeteksi gradient temperature di sepanjang ekstremitas dan deficit nadi baik secara palpasi

maupun dengan pemeriksaan arteri dengan Doppler. Perubahan kulit menjadi pucat dan

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 11/28

perubahan suhu kulit terdeteksi pada satu level di bawah level terjadinya oklusi. Pemeriksaan fisik

harus melibatkan pencarian sumber iskemik yang potensial. Temuan berupa atrial fibrillation,

murmur jantung pada penyakit katub jantung, atau adanya gejala CHF dapat berimplikasi pada

sebab cardioemboli. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan menggigil dapat

mengacu pada endocarditis sebagai etiologi emboli jantung. Stigmata adanya PAD di ekstremitas

kontralateral atau tanda-tanda pernah mendapatkan terapi revaskularisasi berupa pembedahan

mengacu pada kondisi thrombosis arterial in situ, sedangkan nyeri dada, hipertensi, dan denyut

arteri yang asimetris pada ekstremitas atas mungkin memerlukan pemeriksaan radiologi tambahan

untuk mengeksklusi kemungkinan diseksi aorta.

Lebih penting lagi, pemeriksaan fisik merupakan cara untuk menentukan klasifikasi

keparahan iskemia, urgensi untuk dilakukan revaskularisasi, dan prognosis setelah dilakukan

revaskularisasi (Tabel 46-1), Klasifikasi klinis ini juga berguna untuk menentukan strategi intervensi

yang terbaik. Secara umum, Rutherford class I merepresentasikan ekstremitas yang viable dan

tidak terancam, seperti pada pasien dengan iskemia kronik dan nonkritis. Rutherford class II

menampilakn gejala-gejala sebagaimana ekstremitas yang terganggu. Ekstremitas klas IIA

ditunjukkan dengan kondisi sensoris dan motoris yang intak meskipun tidak didapatkan sinyal

arterial pada Doppler. Klass IIB meliputi pasien dengan ekstremitas yang terancam, kehilangan

fungsi sensori, gangguan fungsi motoris ringan, dan tidak ada sinyal arteri Doppler. Ekstremitas

pada tingkat klasifikasi ini masih dapat diselamatkan jika mendapatkan penatalaksanaan segera.

Iskemia ekstremitas yang ireversibel ditunjukkan pada kalsifikasi Rutherford class III, dengan

kerusakan saraf permanen, hilangnya fungsi sensoris dan paralisis motoris, dan hilangnya sinyal

arteri dan vena pada Doppler. Revaskularisasi pada ekstremitas yang mengalami hal tersebut

sangat berbahaya, sehingga dibutuhkan amputasi.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 12/28

   Adanya penyakit sumbatan arteri yang mendasari dapat mnimbulkan “precondition” pada

ekstremitas dengan mengembangkan aliran darah kolateral untuk 0 mengurangi keparahan

malperfusi jaringan ketika terjadi oklusi akut. Sehingga, pasien dengan thrombosis in situ pada

pembuluh adarh atherosclerosis dan pasien dengan kegagalan graft/cangkok dapat mentoleransi

iskemia akut lebih baik dibanding pasien-pasien tanpa penyakit arterial yang mengalami iskemia

anggota gerak akut akibat cardioemboli atau sebab iatrogenic. Beberapa karakteristik klinis dapat

digunakan untuk membedakan kejadian emboli dan thrombosis in situ. Pasien dengan onset nyeri

yang mendadak dan batas demarkasi perubahan suhu kulit dan pengelupasan kulit yang jelas.

Pasien-pasien ini biasanya memiliki tanda dan gejala sesuai Rutherford class IIb dan III. Pasien

dengan thrombosis arterial in situ biasanya memiliki tanda PAD dan onset gejalanya lebih samar.

Temuan dari pemeriksaan fisik tidak terlalu mencolok, dengan batas demarkasi perubahan iskemik

yang kurang tampak dan lebih cenderung mengalami cyanosis dibanding pucat. Pasien ini jatuh

pada kategori Rutherford class I dan IIa.

Terapi Iskemia Anggota Gerak Akut

Penegakan diagnosis iskemia anggota gerak akut dan pengembalian perfusi arteri

merupakan poin penting dalam terapi. Keputusan apakah akan dilakukan revaskularisasi atau

amputasi primer harus dilakukan dengan memperhatikan viabilitas dari ekstremitas yang terkena.

Pada pasien dengan ekstremitas yang masih bisa diselamatkan, pemilihan tipe terapi

revaskularisasi juga sama pentingnya. Dua faktor utama yang mempengaruhi morbiditas dan

mortalitas pasien dengan iskemia anggota gerak akut terdiri atas beban komorbiditas medis dan

keterlambatan dalam mengenali dan menangani ekstremitas yang mengalami iskemik. Faktor lain

terkait dengan angka keselamatan bebas amputasi yang lebih rendah meliputi usia yang semakin

tua, ras, diabetes, dan tidak adanya tatalaksana awal berupa antikoagulasi

Terapi pembedahan telah lama dikaitkan dengan angka mortalitas perioperatif yang tinggi.

Dari sejumlah 3000 pasien yang dikumpulkan untuk mendapatkan terapi pembedahan untuk

iskemia anggota gerak akut pada 30 pusat pelayanan kesehatan yang diamati antara rentang

waktu 1963 dan 1978, angka kematian dalam 30 hari sebesar 25%. Meskipun telah banyak

perkembangan dalam teknik pembedahan dan anastesi, Jivegard melaporkan sebanyak 20%

angka kematian masih terjadi selama 1 dekade berikutnya. Bahkan pada tahun 1990an, angka

kematian dalam 30 hari setelah terapi pembedahan pada pasien-pasien yang dipilih untuk

berpartisipasi dalam TOPAS, Surgery versus Thrombolysis for Ischemia of the Lower Extremity

(STILE), dan trial acak Rochester, masih sebesar 5% - 18%

Tingginya beban penyakit kardiopulmonar dan tingginya angka kematian operasi yang

dilakukan pada populasi pasien yang menderita iskemia anggota gerak akut mendorong untuk

dilakukannya strategi terapi endovascular yang lebih tidak invasive. Hasil-hasil trial acak

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 13/28

menunjukkan keseimbangan antara terapi endovascular dan terapi pembedahan pada pasien

tertentu, terutama pasien yang masuk dalam klasifikasi I dan IIa. Penyebab dari iskemia

ekstremitas, lokasi sumbatan, klasifikasi Rutherford, demikian juga karakteristik tiap pasien

memegang peran penting dalam memilih strategi terapi revaskularisasi. Trial Rochester, STILE,

dan TOPAS membentuk kerangka kerja untuk menyeleksi pasien yang akan mendapatkan terapi

endovascular.Trial-trial ini mendemonstrasikan bahwa pasien dengan penyakit PAD yang

mendasari atau thrombosis graft dan Rutherford class I dan IIa mendapatkan hasil akhir yang lebih

baik dengan terapi endovascular berbasis trombolitik. Pasien dengan kondisi cardioemboli

biasanya memiliki gejala klas IIb Rutherford dan paling baik diterapi dengan pembedahan

embolektomi.

Pada praktek modern, pembagian antara pembedahan dan terapi endovascular cenderung

dibuat-buat. Meskipun banyak pasien dapat diterapi dengan pendekatan endovascular 

sepenuhnya, dan pasien lain membutuhkan pembedahan tradisional embolektomi, sejumlah besar 

pasien diterapi dengan pendekatan gabungan. Tentu saja, penggunaan angiografi perioperatif 

secara rutin meningkatkan kemungkinan terjadi residual thrombus, sehingga perlu dilakukan

pembedahan gabungan dan intervensi endovascular pada 90% kasus kompleks.

Sebagai tambahan terhadap terapi revaskularisasi, sekuele dari iskemia anggota gerak akut

 juga meliputi injuri iskemia-reperfusi, yang dapat bervariasi dari injuri ringan tanpa gangguan

fungsional maupun sistemik sampai respon inflamasi sistemik dan kegagalan multiorgan. Terapi

untuk konsekuensi metabolic pada iskemia anggota gerak akut ini penting untuk meningkatkan

angka survival pasien.

Terapi Medis Awal

Tanpa mempedulikan teknik revaskularisasi yang dipilih, prinsip dasar terapi awal adalah

sama: resusitasi cairan, analgesic, dan pemberian obat-obatan antitrombin dan antiplatelet.

Setelah berpuluh-puluh tahun penelitian klinis dilakukan, terapi heparin telah diketahui mampu

menurunkan injuri iskemik, mengurangi perkembangan pembentukan thrombus, dan meningkatkan

survival. Beberapa penelitian membantah adanya manfaat pemberian antikoagulasi perioperatif,

bahkan pada pasien dengan emboli yang berasal dari jantung, akan tetapi sejumlah besar data

mendukung pemberian antikoagulan perioperatif dengan heparin. Unfractioned heparin (UFH)

harus diberikan pada dosis tinggi (100-150 unit/kgBB), dengan tujuan untuk mendapatkan level

terapeutik antikoagulasi dan peningkatan partial thromboplastin time (PTT) dengan factor 2-2.5 di

atas baseline secara cepat. Pasien dengan heparin induced thrombocytopenia (HIT) harus diterapi

dengan direct thrombin inhibitors (DTI) yang diberikan secara intravena seperti lepirudin atau

argatroban. Bivalirudin, jenis lain DTI, yang sering digunakan untuk intervensi koroner dan

endovascular, memiliki waktu paruh yang relative pendek dan lebih familiar digunakan oleh

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 14/28

kebanyakan spesialis. Keputusan dalam menggunakan antikoagulan kerja panjang harus dibuat

berdasarkan penyebab iskemik, hasil akhir revaskularisasi, dan keseimbangan antara resiko

perdarahan dan trombotik.

Koreksi abnormalitas laboratorium dan stabilisasi kondisi medis akut yang mendasari

sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir kondisi klinis yang terbaik. Karakteristik laboratorium

tertentu dapat memprediksi kesuksesan terapi. Pasien yang megalami peningkatan creatinin

kinase dan jumlah neutrofil memiliki 50% resiko diamputasi sebagaimana dibandingkan pada 5%

resiko yang dimiliki pasien dengan level enzim dan neutrofil yang normal. Temuan ini menegaskan

bahwa pasien dengan injuri iskemik tingkat lanjut pada otot skelet memiliki prognosa yang buruk.

Pada pasien yang mengalami irreversible tissue loss, mungkin diperlukan alkalinisasi urin untuk

mencegah injuri renal akibat myoglobinuria. Pada beberapa kasus, penyebab iskemia anggota

gerak akut sendiri sudah merupakan suatu hal yang mengancam jiwa, seperti infark miokard (MI)

yang memiliki komplikasi thrombus ventrikel kiri dan shock kardiogenik, atau diseksi aorta atau

endocarditis infektif dengan gangguan hemodinamik akibat inkompetensi katup. Pada beberapa

kasus, prinsip “life over limb” dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih strategi terapi. 

Terapi Endovaskular pada Iskemia Anggota Gerak Akut

Prinsip dasar di balik terapi endovascular adalah untuk mengembalikan aliran arteri, baik

dengan melisiskan thrombus atau dengan mencari dan menterapi lesi yang mendasari, sehingga

dapat mengeliminasi keharusan untuk dilakukan operasi atau mengurangi lama waktu operasi.

Terapi endovascular untuk iskemia anggota gerak akut menjadi mungkin untuk dilakukan

sejak Tillet dan Garner menemukan komponen fibrinolitik pada streptococcus hemolyticus pada

tahun 1933. Tidak lama setelah penggunaan pertama streptokinase secara intravena pada

volunteer sehat yang dilakukan oleh Tillet dkk pada tahun 1955, pada tahun 1957 Clifton

melaporkan adanya fungsi terapeutik streptokinase untuk melarutkan thrombus patologis di arteri

dan vena. Pemberian streptokinase intraarterial (IA) dengan kateter dicetuskan oleh Charles Dotter 

dkk. Pada tahun 1974. Berridge dkk juga mengkonfirmasi bahwa pengiriman agen fibrinolitik

melalui kateter secara langsung ke arteri yang terganggu memberikan hasil yang lebih baik

dibanding pemberian trombolitik secara intravena, dan meningkatkan angka keselamatan

ekstremitas (dari 45% menjadi 80%) dan menurunkan komplikasi perdarahan.

 Agen trombolitik modern bekerja dengan meningkatkan proses fibrinolitik intrinsic melalui

aktivasi plasminogen dan perubahannya menjadi plasmin, yang akan mendegradasi fibrin (Tabel

46-2). Pengubahan plasminogen menjadi plasmin membutuhkan hidrolisis ikatan lysine-arginin,

suatu tahapan yang dikatalisasi oleh tissue type plasminogen activator (tPA), model activator 

plasminogen rekombinan terkini. Teknik trombolisis yang diarahkan dengan kateter dianggap

sukses ketika aliran antegrade dapat dikembalikan dan thrombus mengalami resolusi komplit atau

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 15/28

hamper komplit. Keberhasilan terapi ditunjukkan dengan berkurangnya gejala iskemik akut atau

penurunan level keharusan dilanjutkan dengan intervensi pembedahan atau amputasi. Pelarutan

thrombus secara enzimatik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pembedahan

embolektomi, terutama pada kumpulan pembuluh darah arterial distal dan pada kasus embolisasi

distal. Terapi endovascular makin berkembang dan menjadi makin efektif untuk dilakukan seiring

berkembangnya pengalaman kumulatif antara tahun 1980 sampai 1990. Pengembangan

penggunaan multihole infusion cathether dan peningkatan pengetahuan tentang pentingnya

menembus oklusi thrombus dengan kateter dan memasukkan obat langsung ke dalam clot

dibandingkan diberikan di atas lokasi clot telah dengan jelas meningkatkan efikasi prosedur ini.

Tiga percobaan acak yang dilakukan pada tahun 1990 membandingkan terapi endovascular 

dengan intervensi pembedahan pada pasien dengan iskemia anggota gerak akut. Percobaan

Rochester mengambil 114 pasien acak dengan iskemia yang mengancam ekstremitas yang

disebabkan oleh emboli dan sumbatan thrombosis pada pembuluh darah normal maupun

cangkokan yang akan menerima terapi IA pengiriman urokinase atau pembedahan. Pemberian

trombolisis melalui kateter memberikan hasil berupa resolusi thrombus pada 70% pasien. Setelah 1

tahun, angka kejadian amputasi identik pada kedua jenis terapi yang diperbandingkan ini yaitu

sebesar 18%, akan tetapi angka mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada tindakan

pembedahan : 16% vs 42%, dengan mayoritas kematian pada pembedahan terkait komplikasi

kardiopulmonal. Terapi trombolitik juga memiliki keuntungan berupa biaya terapi yang lebih rendah.

Trial STILE yang lebih besar yang melibatkan 393 pasien dengan pembuluh darah asli atau

pembuluh darah hasil cangkokan kurang dari 6 bulan secara acak dipilih untuk mendapatkan terapi

pembedahan atau terapi trombolisis. Trial ini memiliki kecacatan dengan melibatkan pasien yang

mengidap gejala iskemia kronik yang cenderung tidak respon terhadap terapi trombolisis. Meskipun

demikian, 70% pasien yang mendapat terapi trombolitik pada dasarnya sudah memiliki gejala

kronik. Kegagalan teknik menyebabkan terjadinya kegagalan proses klinis dalam fraksi besar pada

sisi terapi dengan fibrinolitik. Kegagalan dalam menembus lesi oklusi dilaporkan pada 28% pasien.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 16/28

Pada pasien yang mendapatkan terapi kateterisasi yang sukses, angka patensi pada pembuluh

darah hasil cangkokan sebesar 81% sedangkan pada arteri asli sebesar 69% (P=NS).

Kemampuan dalam melintasi lesi dengan menggunakan kawat menjadi titik prediksi kesuksesan

terapi, suatu kunci penting yang telah digunakan sebagai panduan dalam terapi endovascular 

untuk iskemia anggota gerak akut sejak saat itu.

Pada sisi percobaan dengan fibrinolitik, pasien menerima recombinant tPA (rtPA) dengan

dosis 0.05 mg/kg/jam sampai 12 jam atau urokinase sampai 36 jam. Dosis tPA yang digunakan

dalam trial ini lebih besar dibandingkan dosis yang umum dipakai di praktek klinik yaitu sebesar 1

mg/jam. Trial ini dihentikan segera setelah terjadi kombinasi endpoint of death, amputasi mayor,

dan iskemia berulang terjadi pada 61,7% pasien dengan terapi lisis dan 36,1% pasien pada pasien

yang mendapat terapi pembedahan (P<0.001). Angka kematian dalam waktu 30 hari sebesar 4,0%

pada sisi terapi dengan trombolisis dan 4,9% pada sisi yang mendapatkan terapi pembedahan

(P=NS), dengan angka amputasi sebesar 5,2% pada sisi trombolisis dan 6,3% pada sisi

pembedahan (P=NS). Perbedaan angka morbiditas sebesar 21% pada kelompok yang mendapat

terapi trombolisis dan 16% pada kelompok yang mendapat terapi pembedahan berakar pada

perdarahan dan komplikasi akses vaskular dan iskemia berulang yang diketahui pada kelompok

sebelumnya. Pasien-pasien yang berada pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis tidak

sampai harus melakukan terapi pembedahan revaskularisasi. Analisa post hoc menyusun

tingkatan pasien berdasarkan durasi gejala: di antara pasien dengan durasi gejala kurang dari 14

hari, angka kejadian amputasi cenderung lebih rendah pada pasien dengan terapi trombolitik

dibandingkan pasien yang mendapatkan terapi pembedahan (5,7% vs 17,9%; P = 0,06). Di antara

pasien dengan durasi gejala yang lebih lama, sejumlah 5,3% pasien yang mendapat terapi

trombolisis mengalami amputasi, dan sejumlah 2,1% pada kelompok pasien yang mengalami

pembedahan (P=NS). Pada pasien-pasien dengan durasi gejala 14 hari, angka kematian dan

amputasi dalam 6 bulan sebesar 15,3% pada kelompok yang mendapat terapi fibrinolitik dan

sebesar 37,5% pada kelompok yang mendapat terapi pembedahan (P=0,01). Studi ini secara

tegas menyatakan bahwa terapi trombolitik tidak efektif di sebagian besar kasus iskemia

ekstremitas kronis.

Trial TOPAS, trial ketiga yang membandingkan antara intervensi pembedahan dengan

trombolisis dengan panduan kateter, melibatkan pasien yang memiliki durasi gejala kurang dari 14

hari. Kondisi thrombosis merupakan etiologi utama iskemia anggota gerak akut, berperan dalam

85% kasus, dan terjadi lebih sering pada arteri cangkokan dibanding arteri asli. Sebagai tambahan,

hanya sebesar 19% dari arteri cangkokan terbuat dari pembuluh vena autolog, pengembangan

praktek modern. Fase pencarian dosis awal pada trial ini mengambil secara acak 213 pasien untuk

mendapatkan infus urokinase dengan dosis yang bervariasi diikuti infuse dosis rendah dalam

 jangka panjang. Trombolisis lengkap berhasil diperoleh di 71% pasien, tanpa ada perbedaan angka

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 17/28

keselamatan ekstremitas atau angka kematian dalam kurun waktu 12 bulan, baik pada kelompok

yang mendapat terapi urokinase maupun kelompok yang mendapat terapi pembedahan, yang

signifikan secara statistik. Pasien yang diterapi dengan urokinase memiliki angka kejadian

perdarahan intracranial yang lebih tinggi (2,1%), terutama terkait penggunaan dosis urokinase

yang lebih tinggi. Pada fase kedua trial, 542 pasien dipilih secara acak untuk mendapatkan terapi

pembedahan atau mendapat terapi infuse urokinase dengan dosis yang paling aman. Rekanalisasi

terjadi pada 79,7% pasien dan trombolisis komplit terjadi pada 67,9% pasien. Setelah 1 tahun,

angka keselamatan-bebas amputasi baik pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis

maupun kelompok yang mendapat terapi pembedahan hamper sama satu sama lain (65% vs

69,9%; P=NS) akan tetapi pada kelompok dengan terapi trombolitik memiliki angka kejadian

perdarahan intracranial yang lebih tinggi yaitu 1,6%. Perdarahan intracranial terkait dengan

pemberian infuse UFH dalam dosis terapeutik dan terjadi pada 4,8% pasien yang mendapatkan

dosis yang ditujukan untuk antikoagulasi sistemik penuh, dibandingkan dengan 0,5% pasien yang

menerima dosis subterapeutik heparin.

Komplikasi utama perdarahan lebih tinggi pada kelompok trombolitik dibanding kelompok

yang menerima terapi pembedahan (12,5% vs 5,5%; P=0.005). Pada waktu KRS, kematian terjadi

pada 5,9% pasien yang mendapat terapi pembedahan dan 8,8% pada pasien yang diterapi dengan

urokinase (P=NS). Terapi trombolitik dengan urokinase terkait dengan tingginya angka kejadian

komplikasi perdarahan, akan tetapi terapi ini secara efektif menurunkan kebutuhan untuk dilakukan

terapi pembedahan tanpa mempengaruhi angka survival-bebas amputasi pada pasien dengan

sumber iskemik murni karena trombotik dibanding pasien dengan sebab emboli.

Review Cochrane yang meliputi lima trial penggunaan trombolisis dengan panduan kateter 

melibatkan 1283 pasien dan melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kedua jenis

strategi ketika membandingkan angka keselamatan ekstremitas atau angka kematian dalam kurun

waktu 30 hari atau satu tahun. Pasien yang menjalani terapi trombolisis dengan panduan kateter 

lebih mudah mengalami komplikasi perdarahan (8,8% vs 3,3 %; 95% confidence interval [CI] : 1,7-

4,6) dan stroke (1,3% vs 0 %; 95% confidence interval [CI] : 1,57-26,22). Pengalaman di kenyataan

yang sebenarnya tentang penggunaan catheter-directed thrombolysis ditunjukkan pada laporan

yang diberikan oleh National Audit of Thrombolysis for Acute Leg Ischemia (NATALI) yang

mencatat 1133 pasien yang diterapi dengan obat-obatan trombolisis antara tahun 1990 dan 1999.

Studi ini menunjukkan angka keselamatan-bebas amputasi sebesar 75%, dengan angka kejadian

amputasi dan kematian masing-masing sebesar 12% pada 30 hari pertama, dan angka kejadian

perdarahan mayor sebesar 7,8%. Belum jelas apakah pencatatan tipe seperti yang disebutkan di

atas melibatkan pasien yang mana memilih dilakukan terapi trombolitik dikarenakan tingginya

angka mortalitas perioperatif . 

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 18/28

Analisis multivariable mengidentifikasi sejumlah faktor yang digunakan untuk memprediksi

kesuksesan terapi trombolitik. Kemampuan dalam menembus thrombus dan posisi kateter yang

bertugas menginfuskan trombolitik langsung ke thrombus mendukung kesuksesan fibrinolisis.

Demikian juga, arteri native atau arteri prosthetic cangkokan lebih responsive terhadap trombolisis,

sedangkan pasien dengan diabetes cenderung kurang sukses dalam mendapat terapi ini.

Kesuksesan terapi trombolitik telah mendorong untuk dilakukan penelitian yang intens

tentang regimen dosis dan agen yang optimal dalam upaya yang berkelanjutan untuk

menghasilkan efek trombolisis yang maksimal dengan komplikasi perdarahan yang minimal.

Regimen yang paling banyak digunakan dalam trombolisis arteri adalah streptokinase, urokinase,

dan rtPA. Urokinase telah diketahui mampu menghasilkan efek trombolisis lebih cepat dan lebih

sedikit komplikasi perdarahan dibandingkan streptokinase. Sehingga penggunaan streptokinase

telah ditinggalkan dikarenakan efek imunogeniknya, efek aktivasi platelet, dan angka kejadian

perdarahan yang lebih besra dibandingkan agen-agen generasi terbaru. Urokinase telah ditarik dari

produksi pada tahun 1999 setelah munculnya kekhawatiraan adanya kontaminasi dalam proses

produksi. Sejak saat itu, agen rtPA telah menjadi fibrinolitik yang dominan digunakan dalam praktek

klinik. Tiga agen yang tersedia dalam kelas ini : alteplase, reteplase, dan tenecteplase.

 Alteplase dan tenecplase memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk mengaktivasi fibrin-bound

plasminogen dibandingkan urokinase dan reteplase, yang mana kurang spesifik fibrin. Penurunan

kemampuan mengikat fibrin pada reteplase menyebabkan lebih banyak obat bebas untuk

mempenetrasi thrombus sehingga menhasilkan efek lisis yang lebih besar dibandingkan tPA.

 Alteplase sering digunakan untuk catheter-directed thrombolysis. Catheter-directed thrombolysis

menggunakan rtPA telah menunjukkan hasil yang lebih superior dibandingkan dengan

streptokinase, dimana didapatkan hasil angiografi yang lebih baik dan peningkatan angka

keselamatan ekstremitas dalam waktu 30 hari. Ketika dibandingkan dengan urokinase, alteplase

memiliki efikasi yang lebih baik dalam resolusi thrombus tapi memiliki resiko lebih tinggi terjadinya

hematoma di lokasi akses. Pada trial STILE, meskipun begitu, tidak ada perbedaan antara

urokinase dan alteplase. Suatu review dari berbagai studi yang mengevaluasi alteplase

menyimpulkan bahwa resiko perdarahan secara langsung terkait durasi infuse dan dosis

keseluruhan, tapi tidak berbeda dari komplikasi yang diperoleh dengan pemakaian urokinase.

Reteplase, derivate tPA generasi ketiga memiliki waktu paruh yang lebih panjang sekitar 13-16

menit dan telah dengan sukses diujikan pada sejumlah kecil pasien dengan iskemia anggota gerak

akut. Proliferasi terapi endovascular tambahan telah membuat perbandingan langsung antar 

macam macam agen litik menjadi makin sulit, akan tetapi, tidak ada bukti bahwa satu jenis

thrombolitik rtPA lebih superior dibanding jenis agen yang lain dalam hal efikasi dan keamanan.

Terapi ajuvan dengan inhibitor glikoprotein (GP) IIb/IIIa abciximab telah diujikan dalam

suatu trial kecil pemberian trombolisis dengan reteplase. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 19/28

terapi kombinasi akan memperpendek waktu infuse agen trombolitik tanpa meningkatkan

komplikasi perdarahan. Efikasi dari menggabungkan infuse fibrinolitik dan inhibitor GP IIb/IIIa lebih

 jauh dievaluasi dalam trial RELAX (judul resmi : Phosphodiesterase-5 Inhibition to Improve Clinical

Status and Exercise Capacity in Diastolic Heart Failure [RELAX]). Pada studi ini, 74 pasien dengan

oklusi akut menerima berbagai dosis reteplase yang diberikan tunggal atau reteplase yang

digabung dengan infus abciximab. Pada 90 hari, hasil akhir yang didapatkan pada pasien dengan

terapi rtPA dosis 1 mg/jam tidak berbeda, baik yang menerima placebo ataupun kelompok yang

menerima abciximab. Menariknya, tidak ada kejadian perdarahan intracranial ditemukan pada dua

kelompok ini. Agen ajuvan tidak disetujui untuk digunakan sebagai terapi standard. Di sisi lain,

unfractioned heparin seringkali digunakan sebagai terapi infuse pada kelompok yang mendapat

terapi kateter untuk memperoleh angka PTT sekitar 40-50. Analisa subgroup pada trial STILE

menunjukkan bahwa pemberian heparin selama pemberian infus alteplase berperan menurunkan

angka kematian, amputasi, morbiditas mayor, dan iskemia berulang. Lebih penting lagi, infuse

heparin yang ditambahkan pada baik kelompok urokinase atau alteplase tidak menyebabkan

peningkatan kejadian perarahan. Pemberian infuse heparin melalui sidearm juga menurunkan

resiko thrombosis kateter. Dengan demikian, disarankan untuk diberikan heparin dengan dosis

400-600 unit/jam, beberapa penulis merekomendasikan dosis yang lebih rendah yaitu sebesar 100

unit/jam.

Resiko komplikasi perdarahan meningkat seiring durasi terapi. Telah diperkirakan bahwa

resiko munculnya komplikasi mayor terkait terapi trombolitik meningkat dengan peningkatan durasi

infuse, dari 4% pada pemberian infus selama 8 jam menjadi 34% pada pemberian infuse selama

40 jam. Durasi optimal pemberian infuse trombolitik masih belum bisa ditentukan dengan tegas.

Telah terjadi penurunan bertahap durasi terapi yang diberikan, dari 48 jam infuse pada percobaan-

percobaan awal menjadi 6-18 jam durasi infuse yang diberikan pada era teknik adjunctive.

Monitorisasi level fibrinogen selama pemberian infuse trombolitik telah lama ditekankan. Level

fibrinogen dicek secara berkala selama pemberian infuse, dan jika level fibrinogen menunjukkan

angka di bawah 100-150 mg/dL maka hal tersebut mengindikasikan disfibrinogenemia dan

membutuhkan penurunan dosis obat atau bahkan penghentian seluruh terapi infuse. Level

fibrinogen yang lebih rendah terkait dengan kejadian perdarahan pada trial STILE, akan tetapi

masih belum jelas apakah level fibrinogen merupakan predictor yang dapat dipercaya untuk

memprediksi munculnya komplikasi perdarahan.

Satu dari kelemahan catheter-directed thrombolysis adalah pemanjangan waktu infuse,

harga agen fibrinolitik yang mahal, perlunya pemeriksaan angiografi berulang, dan monitoring

pasien di intensive care units (ICU). Keterlambatan dalam mengembalikan patensi pembuluh darah

membuat terapi ini tidak cocok untuk pasien yang membutuhkan revaskularisasi segera, sehingga

terapi pembedahan menjadi pilihan strategi terapi untuk pasien dengan gejala yang masuk dalam

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 20/28

klasifikasi IIb Rutherford. Dorongan untuk mengatasi permasalahan ini, penurunan dosis trombolitik

dibutuhkan untuk memperoleh keberhasilan klinis, dan menurunkan komplikasi perdarahan telah

mendorong pengembangan sejumlah teknik tambahan dan peralatan yang didesain untuk

memperoleh hasil reperfusi pada ekstremitas yang terganggu yang lebih cepat. Mechanical

thrombectomy, pulse-spray thrombectomy, dan ultrasound accelerated thrombolysis merupakan

contoh-contoh dari teknik ini. Pada praktek modern, prosedur endovascular untuk tatalaksana

iskemia anggota gerak akut mengkombinasikan catheter-directed thrombolysis dengan mechanical

thrombectomy, pulse-spray thrombectomy, distal embolic protection devices, dan angioplasty dan

stenting. Meskipun ada macam-macam terapi ajuvan, prinsip-prinsip dasar tertentu tetap

diaplikasikan untuk trombolisis endovascular yakni : seluruh segmen oklusi harus terlewati, dan

infuse dengan multiple side holes diposisikan melintasi thrombus untuk kemudian secara langsung

menginfuskan obat trombolitik ke dalam thrombus. Kedua hal ini harus terpenuhi. Rekombinan

activator plasminogen jaringan merupakan agen trombolitik yang paling sering digunakan,

diinfuskan dengan kecepatan 0,5-1 mg/jam untuk minimal 12 jam.

Alat Trombektomi Mekanis

 AngioJet Xpeedior rheolytic thrombectomy catheter (Medrad Interventional/Possis,

Warrendale, Pa.) merupakan kateter trombektomi mekanik yang paling sering digunakan. Kateter 

dengan diameter kecil ini menggunakan system menyemprotkan jet larutan salin dari ujung kateter 

ke fragmen thrombus, sementara fungsi vacuum yang dihasilkan pada bagian proksimal jet

penyemprot akibat efek Venturi akan membantu mengaspirasi fragmen debris. Modifikasi

sederhana dapat dilakukan dengan mengganti larutan saline dengan obat trombolitik, yang dapat

disemprotkan ke dalam thrombus tanpa dilanjutkan aspirasi. Sekitar 20-30 menit setelah terapi

penyemprotan, thrombus yang terinjeksi fibrinolitik akan terpecah-pecah dan diaspirasi dengan

mode trombektomi standard, mengurangi volume trombotik dan mengembalikan aliran arteri.

Trombektomi mekanik dapat dilakukan tanpa teknik pulse spray untuk mengembalikan aliran darah

pada pasien dengan intoleransi terhadap obat trombolitik. Pada penelitian awal, trombektomi

dengan kateter AngioJet pada iskemia anggota gerak akut pada pembuluh arteri native dan graft

bypass mengembalikan aliran arteri pada 90% pasien. Perbaikan klinis tampak pada 82% pasien,

dengan angka kejadian embolisasi di distal thrombus terjadi pada hanya 2%. Catheter-directed

thrombolysis secara rutin digunakan dengan terapi ajuvan ini, akan tetapi dosis dan durasi terapi

fibrinolitik yang diberikan dikurangi.

Rheolytic thrombectomy diteliti dalam suatu pusat kesehatan yang mencatat pasien yang

sebagian besar terdiri atas kelompok klasifikasi IIa dan IIb yang diterapi dengan catheter directed

infusion sebelum atau sesudah diberikan terapi rheolytic thrombectomy. Setelah angioplasty ajuvan

dan stenting atau pembedahan elektif dilakukan pada 80% pasien ini, angka kejadian amputasi

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 21/28

sebesar 7,1% dan angka mortalitas sebesar 4,0% dalam 30 hari. Pengalaman yang didapat

dengan menggunakan rheolytic thrombectomy menunjukkan bahwa teknik ini cukup efektif 

digunakan pada kasus thrombosis in situ, tergantung tipe pembuluh darah yang terkena. Alat-alat

trombektomi tidak mampu untuk memindahkan thrombus yang sudah padat dan melekat dan alat-

alat trombektomi ini paling baik digunakan untuk menterapi thrombus akut. Secara keseluruhan

angka keberhasilan teknik dengan AngioJet berkisar antara 56% sampai 95%, dengan angka

kejadian munculnya emboli di dista sebasar 9,5% dan angka keselamatan bebas amputasi

mencapai 75% dalam 2 tahun. Peralatan ini juga dapat digunakan tanpa diikuti trombolitik, dengan

angka keselamatan anggota gerak mencapai 95%.

Beberapa alat lain digunakan untuk metode trombektomi mekanik perkutan. Trellis

merupakan suatu alat yang terdiri dari kateter dengan lubang infuse multiple yang dibatasi oleh

balon di bagian proksimal dan distal yang ketika balon tersebut dikembangkan, akan melokalisir 

obat trombolitik pada segmen thrombus dan berpotensi membatasi efek sistemik agen tersebut.

Suatu sinusoidal wire (kawat sinusoid) yang bersumberdaya baterai berotasi di sekeliling kateter,

secara efektif mencampur thrombus dengan agen trombolitik. Sebelum balon dikempiskan, debris

yang berada di antara balon diaspirasi. Peralatan ini, lebih sering digunakan pada thrombosis vena,

peralatan ini juga telah diaplikasikan pada sejumlah pasien dengan oklusi arteri, akan tetapi

penggunaannya terkait dengan angka kejadian embolisasi di distal sebesar 11,5%. Alat Rotarex

(Straub Medical AG, Wangs, Switzerland) tersedia di Eropa dan telah diujicobakan aman dan

efektif digunakan pada kasus tromboemboli di arteri perifer. Kateter jenis over-the-wire ini didesain

untuk membuang thrombus dari pembuluh darah perifer. Bagian ujung kateter yang berbentuk

spiral berotasi dengan kecepatan 40.000 rpm dan akan memecahkan partikel-partikel trombul

kemudian mengaspirasinya dengan kecepatan 180 ml/min. Kateter ini kemudian akan bergerak

maju ke dalam thrombus dan secara perlahan akan ditarik selama proses aspirasi. Kekuatan

penghisapan dapat diatur untuk menghindari terjadinya kolaps dan injuri pembuluh darah di sekitar 

kateter. Kateter Hydrolyser (Cordis, Warren, N.J) awalnya didesain untuk terapi trombolisis dengan

akses dialisa. Kateter 6F 0.018-inch guidewire-compatible ini menggunakan efek Venturi untuk

menciptakan kondisi vakum ketika diberi tenaga oleh injector kontras standar yang berisi larutan

salin. Alat ini telah terbukti efektif dalam menterapi thrombosis pada pembuluh darah hasil

cangkokan/graft, dan dari penelitian in vitro didapatkan angka kejadian embolisasi distal yang lebih

rendah dibandingkan dengan menggunakan AngioJet. Angka keberhasilan teknik ini sebesar 88%

pada pembuluh darah cangkokan dan 73% pada arteri native, dengan angka kejadian amputasi

sebesar 11%.

Semua alat trombektomi membutuhkan pemakaian trombolisis berulang. Tidak ada satupun

dari peralatan ini yang diteliti secara mendetail, akan tetapi peralatan ini sudah menjadi bagian

terapi ajuvan yang penting dalam mempercepat proses reperfusi dan menurunkan jumlah obat

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 22/28

trombolitik yang digunakan. Efek positif berupa pengurangan lama waktu prosedur dan dosis

trombolitik, cenderung diimbangi dengan efek buruk berupa efek traumatik yang lebih besar 

dibanding efek farmakoterapi yang akan didapat. Obat-obat trombolitik juga berperan untuk

menciptakan patensi pada cabang-cabang pembuluh darah dan pembuluh kolateral yang terlalu

kecil untuk mendapat terapi dengan peralatan ini.

Suction Embolectomy

Percutaneous aspiration thrombectomy dapat menjadi metode yang efektif untuk pembuluh

darah popliteal dan tibial. Kateter dengan lumen yang besar (6F-8F) dihubungkan dengan syringe

60 cc digerakkan menuju bagian proksimal oklusi, vakum diperoleh dengan melakukan aspirasi

syringe dan thrombus diaspirasi ke dalam kateter dan disingkirkan dari arteri. Kombinasi antara

catheter suction embolectomy dengan trombolisis dapat meningkatkan angka kesuksesan hingga

90%, dengan angka keselamatan ekstremitas sebesar 86% setelah follow up selama 4 tahun.

Ultrasound Assisted Thrombolysis

Ultrasound-emitting catheters (kateter yang dapat dideteksi dengan ultrasound) telah

digunakan untuk membantu dan mempercepat proses trombolisis. Pemakaian ultrasound energy

tinggi dapat secara mekanik memecah-mecah thrombus, dimana ultrasound dengan energy rendah

dapat mempercepat proses lisis thrombus secara enzimatik dengan meleburkan benang-benang

fibrin, mengekspose lebih banyak titik ikatan dengan fibrin, dan meningkatkan permeabilitas

thrombus sehingga mudah dipenetrasi oleh trombolitik. Efek-efek ini dapat berpotensi

mempercepat reperfusi dan menurunkan angka komplikasi perdarahan pada terapi trombolitik.

Empat studi kecil meneliti tentang penggunaan teknik trombolisis yang dipandu ultrasound

untuk iskemia anggota gerak akut. Sistem rendah energy EKOS EndoWave (EKOS Corp., Bothell,

Wash.) telah diujikan pada 25 pasien dengan oklusi arteri di ekstremitas bawah. Resolusi thrombus

komplit didapatkan pada 88% pasien setelah mendapat waktu terapi rata-rata hanya sekitar 16,9 +

10,9 jam. Suatu studi lain membandingkan antara penggunaan ultrasound accelerated

thrombolysis dengan trombektomi mekanik yang menggunakan Rotarex pada 20 pasien yang

mengalami oklusi pembuluh darah cangkokan femoropopliteal akut. Motarjeme menggunakan

ultrasound-accelerated thrombolysis untuk menterapi 24 kasus oklusi arteri subakut, dengan angka

keberhasilan teknik sebesar 100% dan lisis thrombus komplit pada 96% kasus setelah pemberian

terapi dengan durasi rata-rata 16,4 jam (rentang 3-25 jam). Rata-rata durasi pemberian infuse

trombolitik pada kelompok yang menggunakan teknik ultrasound adalah 15 jam, dengan angka

kesuksesan sebesar 90%. Suatu studi prospektif lainnya menggunakan 21 pasien yang diterapi

dengan menggunakan ultrasound-accelerated thrombolysis menunjukkan bahwa sebanyak 20

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 23/28

pasien mendapatkan hasil lisis thrombus komplit, tanpa komplikasi perdarahan patensi pembuluh

darah baik native maupun cagkokan sebesar 18%. Studi Dutch DUET akan membandingkan

efikasi dari pemberian terapi catheter-directed thrombolysis dengan ultrasound-assisted

thrombolysis pada suatu penelitian acak pada kasus thrombosis akut dan kronik pembuluh darah

native maupun pembuluh darah infrainguinal postbypass dengan gejala kategori I dan IIa.

Pelarutan thrombus secara bertahap dapat memicu terjadinya embolisasi distal dari

fragmen-fragmen yang lebih kecil yang masuk ke sirkulasi distal. Komplikasi ini dapat terjadi pada

5% prosedur dan bermanifestasi sebagai keluhan berupa rasa nyeri yang memberat mendadak

atau hilangnya pulsasi distal. Komplikasi ini membutuhkan peningkatan dosis trombolitik secara

temporer dan, jika gejala tidak membaik dalam waktu 1-2 jam berikutnya, maka perlu dilakukan

angiografi ulang.

Pada praktek modern, perbedaan antara teknik pembedahan dan endovascular seringkali

tidak jelas, dan pasien dengan gejala iskemik akut sering diterapi dengan catheter-directed

thrombolysis yang diikuti dengan terapi endovascular, gabungan, atau prosedur pembedahan.

Pada seri penelitian terbaru yang melibatkan 119 pasien dengan iskemia ekstremitas akut, 54%

kasus diberikan terapi teknik endovascular tunggal, 13% mendapat terapi pembedahan, dan 25%

teknik gabungan. Trombosis femoropopliteal dan tibial cenderung memiliki prognosis yang kurang

baik dibandingkan pasien yang menderita oklusi pada segmen aortoiliaka. Setelah 30 hari, 82%

pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini dapat bertahan hidup tanpa harus mengalami amputasi.

Komplikasi yang dapat terjadi berupa hematoma di lokasi akses terjadi pada 11% pasien,

perdarahan yang membutuhkan tranfusi pada 8% pasien, dan sindroma kompartemen pada 4%

pasien. Angka kematian dalam 30 hari ditemukan pada 6% pasien, kebanyakan dari mereka telah

mendapatkan terapi pembedahan amputasi, sedangkan angka keselamatan ekstremitas dalam

waktu 1 tahun adalah sebesar 74,6% dan angka keselamatan dalam waktu 1 tahun sebasar 

85,7%.

Terapi Pembedahan pada Iskemia Anggota Gerak Akut

Terapi pembedahan modern untuk kasus iskemia anggota gerak akut diperkenalkan pada

tahun 1963 dalam studi landmark yang dilakukan oleh Fogarty dkk. Sebelum adanya

pengembangan kateter Fogarty, tatalaksana emboli adalah dengan secara langsung memaparkan

arteri yang tersumbat dan dilakukan eksplorasi dengan menggunakan berbagai instrument dan alat

suction yang rigid. Metode-metode ini tidak hanya sangat tidak efektif tapi juga dapat merusak

arteri. Teknik milik Fogarty dilakukan dengan memaparkan arteri jauh dari segmen yang

mengalami sumbatan, dengan resiko injuri arteri yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan fisik dapat

membantu dalam menentukan tempat paparan pembedahan; pada kasus nadi popliteal tidak

teraba, dilakukan pembedahan untuk mengekspose arteri femoral tanpa menghiraukan ada atau

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 24/28

tidaknya nadi femoral. Pendekatan ini memungkinkan dilakukan embolektomi pada arteri iliac,

femoralis superfisialis, femoralis profunda, dan popliteal. Pemeriksaan fisik yang mendukung

diagnose adanya oklusi infrapopliteal akan menjadi panduan untuk mengekspose arteri popliteal

dan memungkinkan untuk dilakukan kanulasi pada pembuluh darah tibial. Pada kasus-kasus

dengan iskemia anggota gerak atas akut, lokasi paparan lebih dipilih di arteri brachial. Kateter 

embeloektomi yang memiliki balon dengan ukuran yang telah disesuaikan di ujungnya didorong

masuk ke dalam arteri yang mengalami oklusi, bagian distalnya dikembangkan dan kemudian

ditarik balik sehingga thrombus ikut tertarik keluar. Pilihan teknik yang tepat sangat penting untuk

mencegah diseksi arteri dan injuri endotel berlebih.

Ketika embolektomi tidak dapat mengembalikan perfusi bagian distal, maka angiografi

intraoperatif dilakukan untuk menentukan apakan perlu dilakukan terapi pembedahan ajuvan atau

intervensi endovascular untuk menangani sisa-sisa thrombus distal. Eksplorasi langsung pada

pembuluh darah tibia pada bagian pergelangan kaki bertanggung jawab dalam tingginya angka

kejadian rethrombosis, sehingga terapi fibrinolitik intraoperatif dapat menjadi terapi yang efektif.

 Angiografi intraoperatif harus dilakukan untuk mengkonfirmasi embolektomi komplit. Sisa thrombus

dapat dilihat dalam 30% prosedur embolektomi. Demikian juga, pemeriksaan Doppler harus

dilakukan setelah angiografi untuk mengetahui kembalinya perfusi arteri, meskipun adanya spasme

arteri dapat melemahkan sinyal yang dideteksi. Ruptur arteri, perforasi arteri, injuri intima, dan

embolisasi distal dapat mempersulit proses embolektomi dan mengabaikan pentingnya melakukan

angiografi.

Pada kasus iskemia anggota gerak akut yang disebabkan oleh emboli, embolektomi

biasanya cukup sebagai terapi. Pembuangan debris intravascular dari pembuluh darah yang sehat

dapat mengembalikan perfusi tanpa harus diberikan intervensi tambahan. Pasien dengan iskemia

akut akibat thrombosis, harus dicari terlebih dulu ada atau tidak penyakit atherosklerotik yang

mendasari, baik dengan operasi bypass atau pendekatan campuran endovascular dengan

angioplasty atau pemasangan stent. Memang, karena populasi yang menderita iskemia anggota

gerak akut sudah bergeser ke pasien-pasien yang lebih tua dengan riwayat PAD dan thrombosis in

situ, Embolektomi Fogarty telah terbatasi menjadi teknik yang berjalan sendiri. Meskipun demikian,

terapi pembedahan modern untuk mengatasi iskemia anggota gerak akut tersusun atas

rekonstruksi vaskular komplit, angiografi, embolektomi, dan teknik endovascular gabungan.

Terapi untuk Iskemia Anggota Gerak Atas

Sebagian besar penelitian yang dilakukan mengenai manajemen iskemia pada ekstremitas

atas berasal dari pengalaman yang didapat saat pembedahan, dan oleh karena itu memiliki titik

bias dimana kurang melaporkan hasil akhir dari terapi konservatif. Perkembangan teknik

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 25/28

embolektomi yang sederhana dan dapat ditoleransi dengan baik telah meningkatkan frekuensi

tindakan pembedahan untuk terapi iskemia anggota gerak atas.

Sebelum teknik pembedahan embolektomi menjadi populer, manajemen konservatif berupa

warming (kompres hangat), pemberian obat-obatan vasodilator, dan antikoagulasi, dengan

simpatektomi untuk nyeri yang tidak dapat ditahan banyak dilakukan. Baird melaporkan

penelitiannya yang terdiri atas 95 pasien yang dirawat muncul metode dengan balon Fogarty. Di

antara 78 pasien yang dirawat secara konservatif, 68% tidak menderita efek residual, 24%

mengalami masalah sisa berupa kelemahan atau kaudikasio, dan 8% membutuhkan amputasi atau

ekstremitasnya telah mengalami kehilangan fungsi komplit. Hasil-hasil tersebut dan sirkulasi

kolateral superior pada ekstremitas atas mengarahkan rekomendasi terapi ke arah terapi

konservatif, suatu tindakan yang saat ini sudah sangat diabaikan dikarenakan adanya metode

pembedahan embolektomi. Laporan yang diberikan mengindikasikan bahwa sekitar 50% pasien

yang mendapat terapi konservatif masih mengalami kegagalan fungsi yang signifikan, menguatkan

pendapat bahwa intervensi yang diberikan harus lebih agresif.

Sebelum adanya perkembangan metode embolektomi balon, terapi pembedahan

melibatkan arteriotomi pada berbagai lokasi dan eliminasi clot dengan cara “memerah” lengan

atau menggunakan corkscrew wires and forceps. Dengan dikenalkannya kateter balon Fogarty

memungkinkan pembuangan thrombus dengan anastesi local melalui satu arteriotomi brachial di

fossa antecubiti. Teknik pembedahan modern memberikan hasil berupa bebas amputasi dan gejala

pada sekitar 80-90% pasien. Suatu penelitian yang lebih baru yang melibatkan 251 pasien yang

diterapi dengan pembedahan embolektomi selama periode 2 dekade melaporkan angka amputasi

sebesar 2% dan angka mortalitas sebesar 5,6% yang diakibatkan oleh komplikasi jantung dan

cerebrovascular, meskipun faktanya bahwa anastesi umum digunakan hanya pada 3% prosedur.

 Angka mortalitas perioperative yang tinggi dan angka mortalitas sebesar 40% pada postoperative

menyebabkan terabaikannya keparahan kondisi medis pasien dengan oklusi arteri akut.

Catheter-directed thrombolysis telah banyak digunakan sebagai terapi iskemia anggota

gerak atas akut. Dengan angka keselamatan ekstremitas atas jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan oklusi pada arteri di ekstremitas bawah, dan dengan demikian mungkin resiko perdarahan

terkait terapi trombolitik harus lebih diperhitungkan pada intervensi untuk ekstremitas bawah.

Meskipun demikian, laporan awal tentang catheter-directed thrombolysis memberikan hasil yang

baik. Coulon dkk menjelaskan bahwa pada penelitian yang melibatkan 13 pasien dengan oklusi

akut arteri axillari dan arteri brachialis yang sebagian besar disebabkan oleh atrial fibrillation.

Catheter-directed thrombolysis memberikan hasil berupa resolusi thrombus komplit pada 8 pasien,

sembuh total pada 11 pasien, dan tidak ada amputasi/limb loss. Penelitian lain telah melaporkan

hasil yang sama dalam kelompok-kelompok kecil pasien yang diteliti. Terapi trombolitik mungkin

dapat berguna untuk kasus thrombosis di pembuluh darah jari.

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 26/28

 

Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen menyusul perdarahan intracranial sebagai salah satu komplikasi

yang paling ditakutkan dari prosedur revaskularisasi pada pasien dengan iskemia anggota gerak

akut. Sindroma kompartemen post reperfusi seringkali terjadi pada pasien yang mendapat terapi

pembedahan yaitu kelompok pasien klasifikasi IIb dan III, akan tetapi juga dapat terjadi pada

pasien dengan iskemia yang tidak terlalu parah yang menjalani terapi endovascular. Injuri reperfusi

iskemia dapat terjadi bahkan setelah sekitar 1 jam iskemia. Angka kematian akibat sindroma ini

berkisar antara 7,5% sampai 41% pada rentang waktu 1960 dan 1970 dan tetap tinggi hingga

sekarang. Kecenderungan dalam mengembangkan sindroma kompartemen secara langsung

tergantung durasi iskemia; makin lama periode iskemia, makin tinggi kecenderungan untuk

mengalami sindroma reperfusi dan semakin buruk prognosisnya. Reperfusi yang terjadi dalam

waktu 12 jam setelah onset iskemia memiliki angka mortalitas sebesar 12% dan angka

keselamatan anggota gerak sebesar 93%. Reperfusi yang terjadi setelah lebih dari 12 jam onset

iskemia memberikan prognosis yang jauh lebih buruk dimana angka mortalitas mencapai 31% dan

angka keselamatan akstremitas 78%.

Sindroma kompartemen disebabkan oleh pembengkakan jaringan yang mengikuti proses

kembalinya aliran darah dan injuri reperfusi. Injuri jaringan yang terinisiasi selama periode iskemia

dilanjutkan dengan reperfusi oleh darah yang teroksigenasi, dengan paparan oksigen radikal dan

sel-sel radang. Radikal bebas memperoksidasi komponen lipid di membrane sel, sehingga

meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema otot. Sindroma kompartemen terjadi ketika terdapat

tekanan tinggi di dalam rongga antarfascia menekan pembuluh darah sehingga menurunkan

perfusi kapiler hingga level di bawah kebutuhan untuk mempertahankan viabilitas jaringan.

Tekanan yang dihasilkan menurunkan drainase vena dari kelompok otot yang membengkak yang

terbungkus dalam lapisan fascia yang ketat. Tekanan dalam kompartemen di ekstremitas

meningkat hingga menurunkan aliran darah vena dan kapiler dan kemudian mengalahkan tekanan

arteri dan menghentikan perfusi arteri. Kecuali dapat dengan cepat dilakukan dekompresi, tekanan

kompartemen dapat menyebabkan kerusakan neuromuscular yang ireversibel.

Tanda dan gejala klinis sindrom ini meliputi nyeri yang makin meningkat secara progresif 

yang tidak sesuai dengan situasi klinis. Pemeriksaan klinis meliputi nyeri pada peregangan pasif 

otot dengan kompartemen yang terganggu, paresthesia otot di dalam kompartemen, dan

hypoesthesia pada penjalaran saraf yang mempersarafi otot pada kompartemen yang terkena.

Pemeriksaan ekstremitas yang lain meliputi tampak ekstremitas yang tampak pucat, bagian betis,

paha, dan lengan bawah yang bengkak dan nyeri. Pulsasi distal dapat tidak teraba jika tekanannya

sangat kuat, akan tetapi jikalaupun pulsasi dapat ditemukan, hal ini tidak menutup kemungkinan

terjadi sindroma kompartemene. Waktu untuk menegakkan diagnosis pada komplikasi ini sangat

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 27/28

krusial karena tekanan kompartemen lebih dari 30 mmHg selama 6-8 jam menyebabkan injuri pada

anggota gerak yang irreversible dan dapat mengakibatkan kehilangan anggota gerak. Beberapa

penelitian mengindikasikan bahwa sindroma kompartemen yang tidak diterapi menyebabkan

nekrosis dalam waktu 3 jam. Diagnosis sindroma ini dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik, akan

tetapi pengukuran tekanan kompartemen dapat membantu mengkonfirmasi diagnose pada

sejumlah kasus. Kriteria tekanan kompartemen yang digunakan untuk memandu pembuatan

keputusan untuk dilakukan fasciotomi urgensi bervariasi mulai 30-45 mmHg, atau tekanan

berapapun yang melebihi tekanan diastolic arterial sebesar 10-30 mmHg.

Segera setelah didiagnosis, direkomendasikan untuk dilakukan fasciotomy segera pada

tiga kompartemen regio femur atau empat kompartemen regio cruris (anterior, lateral, posterior 

profunda, dan posterior superfisial). Keterlambatan terapi akan menyebabkan kematian tungkai,

rhabdomyolisis, nekrosis jaringan, gagal ginjal, dan kematian. Bahkan setelah berhasil dilakukan

fasciotomy, tingkat amputasi masih berkisar antara 11 hingga 21%. Di antara pasien yang

menjalani fasciotomy untuk reperfusion injury , 36% dari tungkai yang berhasil diselamatkan masih

mengalami beberapa disfungsi.

Frekuensi fasciotomy yang dilakukan setelah revaskularisasi dilaporkan sekitar 16 hingga

22%, meskipun banyak dari prosedur tersebut dilakukan sebagai upaya profilaksis untuk

mencegah compartment syndrome. Pasien yang menjalani terapi thrombolysis biasanya

mengalami iskemia dengan derajat yang lebih rendah dan reperfusi berjalan secara lebih bertahap.

Konsekuensinya, tingkat compartment syndrome pada pasien yang diterapi dengan terapi

endovaskuler hanya sebesar 2%. Peningkatan tekanan intra kompartemen seringkali dijumpai

paska revaskularisasi tungkai yang mengalami iskemia, namun tekanan jarang sekali mencapai

nilai yang sangat tinggi yang dapat memberikan gejala klinis. Bukti penelitian menunjukkan bahwa

fasciotomy profilaktik yang dilakukan saat reperfusi dapat menurunkan tingkat kejadian injury otot,

bila dibandingkan dengan fasciotomy yang dilakukan beberapa jam sesudahnya. Beberapa penulis

merekomendasikan fasciotomy profilaktik pada kasus-kasus di mana iskemia sudah terjadi >6jam,

usia pasien masih muda, reperfusi berjalan tidak sempurna, dan terjadi pembengkakan jaringan

segera setelah atau bahkan sebelum reperfusi.

Terapi Medis Tambahan

Selain penyakit yang mendasari, reperfusion injury  merupakan penyebab utama mortalitas

dan morbiditas setelah dilakukannya revaskularisasi. Untuk menurunkan kejadian ischemic 

reperfusion injury , telah dilakukan penelitian pada model hewan berupa reperfusi bertahap

menggunakan reperfusat yang dimodifikasi. Hipotermia dan tingkat aliran awal yang lambat terbukti

dapat menurunkan keparahan reperfusion injury  pada otot bergaris pada hewan. Reperfusi

terkontrol terdiri atas pemberian infus selama 30 menit berupa solusi reperfusi kristaloid yang

7/27/2019 acute arterial occlusion translate.docx

http://slidepdf.com/reader/full/acute-arterial-occlusion-translatedocx 28/28

dicampur dengan darah teroksigenasi langsung ke arteri revaskularisasi dan otot. Reperfusi

terkontrol ini tidak menghilangkan reperfusion injury sama sekali namun tetap dapat menurunkan

kejadian reperfusion injury  secara signifikan dengan menurunkan edema jaringan serta menjaga

otot tetap hidup dan dapat berkontraksi. Strategi lain juga telah diusulkan bertahun-tahun

sebelumnya, namun belum pernah dipraktekkan secara klinis. Pemberian scavenger radikal bebas

dan agen antiinflamasi juga terbukti dapat menurunkan efek buruk reperfusi. Reperfusi terkontrol

dengan menggunakan darah yang dicampur dengan kristaloid untuk mendapatkan sebuah cairan

reperfusat yang alkalotik, hipokalsemik, dan kaya substrate, terbukti dapat menurunkan derajat

reperfusion injury . Pasien yang diberikan reperfusi terkontrol akan mengalami perbaikan fungsional

yang lebih baik dan tingkat amputasi yang lebih rendah.

Iloprost, sebuah analog prostacyclin sintetis, telah diteliti sebagai terapi tambahan untuk

menurunkan komplikasi tungkai dengan memperbaiki mikrosirkulasi. Pada sebuah studi acak

terhadap 300 pasien dengan iskemia tungkai akut, pasien yang diterapi dengan infus iloprost

intraarteri maupun intravena memiliki tingkat kematian 90 hari yang jauh lebih rendah dibandingkan

pasien yang diberikan placebo. Namun, tidak ada perbedaan pada tingkat amputasi. Belum ada

satupun dari terapi tahap penelitian ini yang sudah dipakai luas dalam praktek klinis modern.