ABSTRACT Document: INTERACTIVE SONIFICATION OF ABSTRACT DATA
Abstract
-
Upload
sarah-zielda-najib -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
description
Transcript of Abstract
ABSTRACT
Name : Sartini Kartikasari
Nim : 70100108076
Major : Pharmacy
Title : Formulation and Characterization of Prednisolon Matrix
Type Patch and Release Test by In Vitro
Research of the matrix polymer combination with different variation to be done to
observe the cumulative of prednisolon which is crossing the membrane and to see the flux
value from the three concentration variations between ethyl of sellulosa ( EC) with pirolidon
polivinil ( PVP) at comparison 7:3, 8:2 and 9:1. For increasing a penetration, it is enhanced by
materials of enhancer in the form 12% menthol, and also to see the characterization is formed
by enhancing materials of plastizer PEG 400 which also has a function to flex the polymer
supply are counted 36 % to each of the three formulas. It is conducted by examining of
medicine trajectory through a white mouse membrane by using a simple diffusion appliance.
The number of drug which is crossing the membrane is calculated by taking an impor
quotation equal to 5 ml to be measured at UV-VIS by observing of absorban value to know the
degree of prednisolon which is crossing the membrane. Then , the cumulative prednisolon is
counted and continued by using a Fick I law to know the flux value of the drug trajectory.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Prednisolon adalah suatu obat antiradang yang digunakan melalui kulit dengan efek
lokal maupun sistemik. Sebagai antiradang, glukokortikoid digunakan pada reaksi alergi,
udem otak, tumor ganas, radang pada kulit, mata, telinga, penyakit rematik, dan sebagainya
(Mutschler, 1991; Reynolds, 1982; Hayes, 1991).
Prednisolon merupakan jenis kortikosteroid yang paling sering diresepkan. Meskipun
prednison sedikit berbeda dengan prednisolon, namun informasi penggunaan prednison
sendiri juga diaplikasikan dalam pengobatan. Prednison juga merupakan kortikosteroid anti
inflamasi sintetik yang kuat dengan aktivitas mineralkortikoid yang lemah dibandingkan
dengan kortisol. Tetapi, prednison sendiri bersifat tidak aktif dan pada tahap awal perlu
direduksi menjadi prednisolon oleh 11-β hidrokortikosteroid dehidrogenase (Mary J. Mycek,
2001: 396).
Mekanisme kerja efek glukokortikoid terhadap komponen inflamasi/respon imun yaitu
efek yang besar terhadap konsentrasi, distribusi, memicu perubahan respon imun berbagai
tipe sel termasuk sel-T, makrofag, basofil, fibroblast, limfosit dan sel endotel (Mary J.
Mycek, 2001:582). Sitokin memiliki fungsi antara lain memelihara keseimbangan tubuh
selama terjadi respon imun, infeksi, kerusakan, perbaikan jaringan, membersihkan jaringan
mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan. Namun, jika proses sitokin meningkat
saat terjadinya inflamasi AR (artritis rematoid), kelebihan sitokin justru dapat menyebabkan
kerusakan serius pada sendi (Wiralis, 2008:38).
Efek terapeutik glukokortikoid yang paling penting adalah kemampuannya untuk
mengurangi respon peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas (imunopresan).
Penghambatan A2 secara tidak langsung (karena steroid diperantarai oleh peningkatan 1
lipokotrin), menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan leukotrien,
dari posfolipit yang terikat pada membran (Mary J. Mycek, 2001: 277,583).
Prednisolon memiliki waktu paruh yang relatif singkat, dosis pemakaian pun relatif
kecil dan sifat lipofilisitasnya yang cukup tinggi. Oleh Australian Rheumatology Association
menyatakan bahwa prednisolon dan golongan kortikosteroid lainnya seharusnya
dikombinasikan dengan golongan nonsteroid anti imflamasi untuk mengurangi efek samping
pada ganstrointestinal yang ditimbulkan akibat pemberian rute oral (ARA,2000 : 2).
Sehingga untuk menanggulangi, pemakaian dibutuhkan alternatif pemberian rute lain.
Awalnya, pemberian secara parenteral merupakan rute pemberian alternatif dari obat
yang diinaktivasi oleh enzim dan pH gastrointestinal yang tidak bisa diberikan secara per
oral. Namun, sekarang obat dapat diberikan menuju sirkulasi sistemik dengan rute
transdermal. Sifat lipofilisitas prednisolon cukup tinggi, rumus molekul (360,4), dengan
koefisien partisi (Log oktanol/water : 1.6), dan dosis terapi yang disediakan 5 mg-20 mg. Hal
tersebut menggambarkan syarat prednisolon ini dapat diberikan dalam bentuk rute sistem
penghantar (Transdermal Delivery). Rute transdermal merupakan salah satu cara pemberian
obat melalui kulit yang dapat memberikan efek sistemik. Dibandingkan terhadap pemberian
obat secara parenteral (intervena), cara pemberian transdermal lebih nyaman bagi pasien. Ini
pun diungkap dalam al-quran (Q.s.Al-Baqarah (2): 185) ...
... yang terjemahannya “... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu ...” Di dalam al-quran telah diajarkan pada umat manusia
dalam hal ini para pengembang tehnologi obat, untuk terus mempelajari pengetahuan dari
masing-masing profesinya, agar dapat terus berkreasi dalam menciptakan suatu cara
bagaimana para pengguna obat terus merasakan kemudahan dan kenyamanan dalam
menggunakan obat. Dalam hadis HR. Ibnu Majah mengungkapkan “siapa saja yang
memudahkan orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya baik di
dunia maupun di akhirat “. Kemudahan maupun kenyamanan para pengguna obat, semua
tidak lepas dari perkembangan tehnologi. Pengembangan tehnologi yang semakin maju
adalah sistem penghantaran obat (transdermal drugs delivery system).
Sediaan transdermal adalah sediaan obat yang diberikan melalui kulit untuk
menghasilkan efek sistemik melalui sistem patch. Kebanyakan sediaan transdermal patch
diformulasi untuk melepaskan bahan aktif pada laju pelepasan nol selama waktu tertentu.
Dimana dalam penggunaan sediaan patch tersebut, dapat dilakukan pemberhentian terapi
dengan melepaskan patch apabila terjadi efek toksik yang tidak diinginkan (Hendrati,
2009:7).
Syarat suatu obat dapat dibuat dalam bentuk transdermal patch yaitu memiliki dosis
kurang 20 mg per hari, waktu paruh pendek, tidak memberi efek toksik pada kulit, berat
molekul kurang dari 500 dalton, serta kelarutan dalam air dan minyak lebih besar dari 1
mg/mL (koefisien partisi rendah). Penghalang utama pemberian obat melalui kulit sesuai
dengan fungsinya sebagai pelindung organ dalam tubuh adalah lapisan stratum korneum
yang mempunyai struktur yang kompak dan sulit ditembus. Kemampuan pelepasan obat dari
polimer merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu patch.
Partikel obat pertama-tama harus terlarut sehingga terbentuk molekul yang dapat berdifusi
melewati polimer, kemudian obat akan berpenetrasi melewati barier kulit (Aiache, J.M.1993:
462).
Menurut Kandavilli et al, (2002); Rathbone et al, (2002), polimer yang digunakan
sebagai pembawa pada tipe matriks ada dua jenis, yaitu polimer hidrofilik seperti hidroksi
propil metil selulosa (HPMC), hidroksi propil selulosa (HPC) dan polivilnilpirolidon (PVP).
Yang kedua berupa polimer hidrofobik seperti etil selulosa (EC), polietilen dan polivinil
klorida. Penggunaan polimer hidofilik seperti : PVP akan menyebabkan media disolusi
mudah berpenetrasi ke dalam matriks, sehingga terjadi difusi bahan obat yang cepat. Namun
dalam penggunaannya, polimer hidrofilik tidak sesuai untuk bahan yang mudah larut dalam
air. Penggunaan polimer hidrofobik seperti etil selulosa dapat memperlambat laju pelepasan
obat, semakin tinggi konsentrasi etil selulosa yang digunakan, maka laju pelepasan obat
makin lama. Agar pelepasan obat lebih efektif perlu dilakukan modifikasi sifat polimer
dengan menggunakan campuran polimer yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik, seperti
kombinasi PVP dan etil selulosa. Pengaruh penambahan PVP ke dalam campuran etil
selulosa menyebabkan terbentuknya pori-pori sehingga menyebabkan laju pelepasannya
konstan (Kandavilli ; Rathbone. 2002: 64-66).
Mukherjee et al, (2005) dan Ubaidulla et al, (2007) juga mengemukakan bahwa
penelitian untuk mempelajari efek kombinasi dalam membantu pelepasan obat telah banyak
dilakukan. Salah satunya adalah kombinasi PVP dan etil selulosa dengan perbadingan 8:2
dan 7,5:2,5 menghasilkan profil pelepasan bahan aktif cervedilol yang baik (Udhumansha,
2007: 1). Pada perbandingan 7,5:2,5 memberikan jumlah kumulatif dan koefisien
permeabilitas tertinggi selama 24 jam. Kombinasi PVP dan EC pada perbandingan 3:5
dengan penambahan enhancer span 20 juga menunjukkan hasil profil pelepasan bahan aktif
garam diklofenak dietilamin yang baik (Hendrati, 2009: 5).
Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain yaitu air
sulfoksida dan senyawa sejenis ozone, pyrrolidones, asam-asam lemak, alkohol dan glikol,
surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Williams, 2004). Williams dan Barry,
(2004) mengungkapkan, mentol merupakan golongan terpen. Terpen adalah bahan yang
disukai sebagai peningkat penetrasi (enhancer) untuk bantuan sementara penghantaran obat
menembus membran kulit. Kandavilli et al, 2002 juga memaparkan bahwa, mentol memiliki
kemampuan berpenetrasi dengan lipid interseluler dan meningkatkan partisi obat ke dalam
kulit yang lebih baik dibandingkan dengan asam oleat, isopropyl miristat dan monooleat.
Hendrati (2009) melaporkan kombinasi antara Etil Selulosa (EC) dan
Polivinilipirolidon (PVP) pada perbadingan 9:1, 7:3, dan 6:4 dalam formulasi natrium
diklofenak pada sistem penghantar transdermal patch. Variasi polimer ini untuk
meningkatkan fluks pelepasan dan penetrasi natrium diklofenak dari matriks. Telah
diketahui bagaimana pengaruh polimer kombinasi antara EC (etil selulosa) dan PVP
(polivinilpirolidon) terhadap laju difusi zat dengan penambahan enhancer (Esti, Hendradi.
2009: 81) juga Polietilen Glikol (PEG) 400 sebagai plastizer dengan kadar 36% dengan
metode pembuatan secara matriks controlled, sehingga telah diperoleh perbandingan yang
tepat untuk sediaan patch tipe matriks.
Berdasarkan gambaran di atas bentuk transdermal patch sebagai bentuk penghantaran
obat prednisolon diharapkan lebih efektif, karena waktu paruh prednisolon yang relatif
singkat, dosis pemakaian relatif kecil dan sifat lipofilisitasnya yang cukup tinggi. Kombinasi
polimer EC: PVP dengan perbandingan (9:1, 8:2, dan 7:3) sebagai pengatur laju pelepasan
obat di kulit, digunakan untuk melihat laju penglepasan dan penetrasi dari zat aktif
prednisolon sehingga dapat membentuk tansdermal patch tipe matriks yang tepat.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan formulasi dan karakterisasi prednisolon patch tipe
matriks serta uji pelepasan secara in vitro.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah polimer dari jenis PVP dan EC dapat digunakan untuk membentuk tipe matriks.
2. Berapa perbandingan polimer yang dapat menghasilkan patch prednisolon dengan
karakterisasi yang baik.
3. Bagaimana propil pelepasan (fluks) prednisolon patch secara in vitro dari variasi polimer
penyusunnya.
4. Bagaimana tinjauan islam terhadap pengembangan formulasi prednisolon patch dalam
pengobatan rematik.
C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui gabungan polimer yang dapat membentuk matriks patch
2. Mendapatkan jenis polimer dan karakteristik perbandingan terbaik yang dapat
membentuk sediaan transdermal prednisolon patch tipe matriks.
3. Menentukan fluks pengelepasan dan penetrasi prednisolon yang terbaik dalam bentuk
sediaan transdermal patch tipe matriks dengan kombinasi Etil Selulosa (EC) dan
Polivinilpirolidon (PVP) K-30 pada perbandingan 9:1, 8:2, dan 7:3, serta penambahan
mentol sebagai enhancer.
4. Mengetahui pandangan islam tentang pengobatan rematik melalui penggunaan patch.
D. Manfaat penelitian
1. Penelitian ini memberi informasi pengaruh polimer etil selulosa (EC) dan
polivinilpirolidon (PVP) terhadap pembentukan polimer sebagai perkembangan sediaan
patch sebagai sistem pengantaran obat (Delivery system).
2. Memperoleh sediaan transdermal patch yang meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan
dalam penggunaan obat serta praktis digunakan untuk pengobatan penyakit rematik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kurva baku prednisolon dengan pelarut dapar posfat pH 7,4
Gambar11. Grafik Kurva Baku Prednisolon
2. Hasil rata-rata kumulatif dan fluks prednisolon dari sediaan patch yang melintasi
membran
Tabel 3. Rata-rata kumulatif dan fluks prednisolon dari sediaan patch yang melintasi membran
3.
Kumulatif
prednisolon (µg/cm2) melintasi membran terhadap waktu dengan perbandingan
polimer EC : PVP (7:3), (8:2), dan (9:1)
Perbandingan
Polimer
Rata-rata Fluks prednisolon
(μg.cm-2. Jam-1)
Rata-rataKumulatif
prednisolon
(μg.cm-2)
Regresi linier (R)
EC:PVP
(7:3) 1,723513 259,8713 0,896
EC:PVP
(8:2) 82,08738 12377,14 0,954
EC:PVP
(9:1) 3,053243 460,368 0,773
0 20 40 60 80 100 120 140-100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Series2
Series4
Series6
waktu (jam)
kum
ulati
f pr
edni
solo
n ya
ng m
elin
tasi
mem
bran
(µg/
cm2)
Gambar 12. Grafik hubungan kumulatif prednisolon yang melintasi membran (µg/cm2) terhadap waktu (jam)
4. Karakteristik polimer patch yang terbentuk
Table 4.Hasil Karakterisasi polimer patch yang terbentuk
Perbandingan polimer
Bau Warna KelenturanBentuk
permukaan
EC;PVP7:3
Khas Putih KakuBerpori-
pori
EC:PVP8:2
KhasPutih dan
sedikit transparan
LenturBerpori-
pori
EC:PVP9:1
Khas Transparan LenturBerpori-
pori
Lampiran 7. Formula polimer Transdermal Patch
EC :PVP (7:3)
EC :PVP (8:2)
EC :PVP (9:1)
Lampiran 8. Grafik rata-rata kumulatif prednisolon yang melintasi membran
0 2 4 6 8 10 120
50
100
150
200
250
300
f(x) = 21.2612361099622 x + 50.5829450096967R² = 0.896928349528285
waktu (jam)
rata
-rat
a ku
mul
atif
µg./
cm2
Gambar 16. Grafik rata-rata kumulatif ( µg/cm2) prednisolon yang melintasi membran dari sediaan patch kombinasi polimer EC:PVP (7:3)
0 20 40 60 80 100 120 1400
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
f(x) = 99.1344661718171 x − 1189.57379132255R² = 0.954792557549846
waktu (jam )
rata
-rat
a ku
mul
atif
µg./
cm2
Gambar 17. Grafik rata-rata kumulatif ( µg/cm2) prednisolon yang melintasi membran dari sediaan patch kombinasi polimer EC:PVP (8:2)
0 20 40 60 80 100 120 1400
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
f(x) = 3.38754602821181 x − 87.1902592122328R² = 0.773381183283969
waktu (jam)
Axi
s Tit
rata
-rat
a ku
mul
atif
µg./
cm2
le