repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68814 › Chapter...
Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68814 › Chapter...
41
BAB III
PENERAPAN PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL
DALAM PERSEROAN TERBATAS
A. Sejarah Prinsip Piercing The Corporate Veil
Salah satu topik populer dalam hukum perusahaan adalah topik piercing
the corporate veil. Piercing the corporate veil sangat erat hubungannya dengan
sifat dari PT itu sendiri. PT adalah badan usaha yang memiliki status badan
hukum. Dengan status badan hukum tersebut, PT mempunyai harta kekayaan
sendiri, dan tanggung jawab sendiri.73
Tanggung jawab dan kekayaannya PT
terpisah dengan kekayaan milik organ perusahaan seperti direksi, dewan
komisaris, dan pemegang saham. Hal ini berarti setiap kewajiban atau utang PT
hanya dilunasi dari harta kekayaan PT itu sendiri. Hal tersebut sangat berbeda
dibandingkan dengan tanggung jawab suatu perusahaan yang tidak berbentuk
badan hukum seperti firma atau perseroaan komanditer, jika terjadi kerugian
terhadap pihak ketiga atas kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk perseroan
(yang bukan badan hukum), pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik
perusahaan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar harta
benda pribadi dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang.74
Awalnya dari pentingnya fungsi kontrol terhadap direktur tidak terlepas
dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu
sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan
73
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 2. 74
Ibid, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
42
kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd (1897). Teori ini mengungkapkan bahwa
sebuah pembentukan PT menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya
atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban
yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau
menjalankannya.75
Dalam perkembangannya, teori Salomon sering disalahgunakan oleh para
pemilik atau direktur yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini
terjadi karena seorang direktur dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan
dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan
berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan
mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam
perusahaan tersebut dengan membeli saham. Pemegang saham ini sering kali
hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap
prilaku direktur. Oleh karena itu dengan adanya pemisahan kekayaan antara
direktur dan perusahaannya, para direktur mempunyai moral hazard yang tinggi
karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila
keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para direktur yang
menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali
menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. Adanya penyimpangan ini
tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri dalam hukum perusahaan. Kerugian
perusahaan tentunya dapat merugikan pemilik modal perusahaan. Investasi
mereka akan hilang apabila perusahaan tersebut menjadi insolven. Demikian juga
75
Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2008), hlm 41.
Universitas Sumatera Utara
43
apabila ada barang atau jasa yang digunakan oleh perusahaan yang diperoleh
secara kredit, direktur akan mengelola barang dan jasa yang didalamnya terdapat
hak para kreditur yang baru akan hilang apabila hutang kredit tersebut dibayar
lunas.76
Terkait dengan perusahaan negara, secara umum dapat dikatakan bahwa
perusahaan negara yang terpisah badan hukumnya (separate legal entity) tidak
dapat dibebani apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum
yang lain.77
Pengakuan terhadap perusahaan yang memiliki badan hukum terpisah
sudah dilaksanakan oleh Inggris sejak 1817 dalam kasus Salomon v. Salomon
juga I Congreso del Partido, dimana pengadilan menyatakan bahwa,
“Perusahaan yang dikendalikan oleh negara, dengan kepribadian legal,
kemampuan untuk berdagang dan masuk ke dalam kontrak hukum privat,
meskipun sepenuhnya tunduk pada kendali negara mereka adalah fitur
yang terkenal dari dunia komersial modern. Perbedaan antara mereka, dan
negara pemerintahan mereka, mungkin tampak buatan: tapi ini adalah
perbedaan yang diterima dalam hukum Inggris dan negara-negara lain”.78
Dalam sejarah sistem hukum common law yang dianut di Inggris,
penerapan prinsip piercing the corporate veil ini sudah berkembang sejak awal
abad 20. Salah satu kasus yang menjadi pioneer adalah ketika pengadilan Inggris
memberikan putusan dalam kasus Salomon v Salomon & Co Ltd. Namun, dalam
76
Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007. Persepektif Hukum Bisnis Pembelaan
Direksi melalui Prinsip Business Judgment Rule, Disamping pada seminar Bisnis 46 tahun FE
USU: ìPengaruh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di
Sumatera Utaraî, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007, hlm. 4. 77
William C. Hoffman, “The Separate Entity Rule in International Perspective: Should
State Ownership of Corporate Shares Confer Sovereign Status for Immunity Purpose?”, Tulane
Law Review, Vol. 65, No. 3, February 1991, hlm. 546. 78
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
44
perkembangannya, penerapan prinsip piercing the corporate veil ini dapat
dikategorikan kedalam beberapa kelompok, yaitu:79
1. Periode Classical Veil Lifting (1897-1966), di mana pada periode ini,
terdapat beberapa putusan pengadilan tentang penerapan prinsip
piercing the corporate veil, diantaranya adalah:
a. Daimler Co Ltd v Continental Tyre and Rubber Co (Great Britain)
Ltd (1916) yang mana pengadilan memutuskan untuk menyingkap
tabir perusahaan untuk menentukan apakah Perusahaan Daimler
merupakan “musuh” pada saat Perang Dunia Ke-1, pada akhirnya
karena mayoritas pemegang saham adalah warga negara Jerman,
maka pengadilan memutuskan bahwa perusahaan tersebut
merupakan “musuh”
b. Gilford Motor Co Ltd v Horne (1933) dimana seorang mantan
pekerja, yaitu Horne, dari Perusahaan Gilford Motor Co Ltd yang
terikat pada perjanjian untuk tidak mengambil pelanggan dari
bekas tempatnya bekerja, namun Horne kemudian mendirikan
perusahaan untuk menyaingi Gilford Motor Co Ltd. Pengadilan
kemudian memutuskan bahwa perusahaan tersebut didirikan untuk
tujuan yang tidak baik sehingga pengadilan memutuskan untuk
memberikan perintah
c. Jones v Lipman (1962) yang mana Lipman setuju untuk menjual
tanahnya kepada Jones. Namun kemudian Lipman berubah pikiran
79
Nindyo Pramono, Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara, (Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012), hlm 27-32
Universitas Sumatera Utara
45
dan memutuskan untuk tidak menjual tanahnya. Lipman kemudian
mendirikan perusahaan untuk menghindari transaksi.
2. Periode Interventionist years (1966-1989), dimana pada periode ini,
pengadilan di Inggris merubah cara pandang dari yang sebelumnya sangat
berhatihati untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil, menjadi
lebih aktif untuk melakukan intervensi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat
Lord Denning dalam kasus Littlewoods Mail Order Stores v IRC (1969)
yang menyatakan bahwa :
“Doktrin yang ditetapkan dalam kasus Salomon harus diawasi dengan
sangat hati-hati Seringkali seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kepribadian sebuah perusahaan terbatas yang tidak
bisa dilihat oleh pengadilan Tapi itu tidak benar. Pengadilan bisa, dan
sering melakukannya, menarik topengnya. Mereka melihat apa yang
benar-benar tertinggal. Badan legislatif telah menunjukkan jalannya
dengan akun kelompok dan sisanya. Dan pengadilan harus mengikutinya”.
Putusan pengadilan tentang penerapan prinsip piercing the veil pada
periode ini yaitu :80
a. DHN Food Distributors Ltd v Tower Hamlets (1976) yang menurut
pendapat Lord Denning bahwa suatu grup usaha pada realitasnya
merupakan entitas tunggal sehingga harus diperlakukan sebagai satu
kesatuan. Namun dalam kasus Woolfson v Strathclyde Regional
Council (1978), House of Lords tidak sependapat dengan pendapat
Lord Denning dalam kasus DHN Food Distributors Ltd v Tower
Hamlets (1976).
80
Ibid, hlm. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
46
b. House of Lords menyatakan bahwa pengadilan dapat memutus untuk
menerapkan prinsip piercing the veil hanya dalam keadaan tertentu
saja. Tetapi, pendapat Lord Denning tersebut masih menjadi salah satu
pertimbangan seperti dalam kasus Re a Company (1985), dimana
Court of Appeal menyatakan bahwa :
“Kami melihat kasus-kasus sebelum dan sesudah Wallersteiner v Moir
1974 1 WLR 991. Kasus Lord Denning lainnya menunjukkan bahwa
pengadilan akan menggunakan kekuatannya untuk menembus jilbab
perusahaan jika perlu untuk mencapai keadilan terlepas dari
keefektifan hukum dari struktur perusahaan yang sedang
dipertimbangkan”.
3. Periode back to basics (1989-present), pada periode ini, salah satu putusan
pengadilan yang cukup terkenal adalah dalam kasus Adams v Cape
Industries Plc (1990). Dalam kasus ini pengadilan memutuskan untuk
tidak menyatakan bahwa Cape Industries Plc sebagai satu entitas tunggal
dengan subsidiaris lainnya. Hal penting dalam kasus Adams v Cape
Industries Plc (1990) adalah timbulnya pendapat bahwa pengadilan dapat
menerapkan prinsip piercing the corporate veil dalam tiga keadaan, yaitu:
a. Jika pengadilan memutuskan untuk menginterpretasikan statuta atau
peraturan, yaitu ketika Court of Appeal dalam SamengoTurner v J&H
Marsh & McLennan (Services) Ltd (2008) menyatakan grup usaha
sebagai satu objek yang keberadaannya dapat dibedakan terhadap
objek lain dengan dasar bahwa adanya kesamaan bisnis sebagai bentuk
penerapan dari EU Regulation;
Universitas Sumatera Utara
47
b. Adanya tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan fakta yang
sesungguhnya terjadi di perusahaan, sehingga dalam hal ini pengadilan
berwenang untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil;
c. Penerapan prinsip agensi. Dalam periode ini, terdapat beberapa
putusan pengadilan yang cukup menarik terkait dengan penerapan
prinsip piercing the veil, diantaranya adalah Creasey v Breachwood
Motors Ltd (1993) dan Ord v Belhaven Pubs Ltd (1998). Kedua kasus
tersebut mengilustrasikan penerapan classic veil lifting, bahwa apakah
pembentukan suatu perusahaan untuk menjalankan bisnis yang
legitimate atau hanya merupakan motif untuk menghindari kewajiban.
Jika tujuannya untuk menghindar dari kewajiban seperti dalam
Creasey v Breachwood Motors Ltd (1993), maka dapat dimungkinkan
untuk menerapkan prinsip piercing the veil.81
Prinsip bahwa perusahaan negara atau badan hukum lainnya milik negara
yang memiliki badan hukum tersendiri (separate legal entity) tidak dapat dibebani
apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum lain bukanlah
absolut. Hal ini dapat diterobos apabila pengadilan bisa membuktikan adanya
alter ego antara hubungan keduanya.82
Sejak tahun 1995 Indonesia telah memiliki UUPT tersendiri yang terdiri
dari 129 Pasal. UUPT 1995 sudah cukup rinci diatur mengenai hak dan
tanggungjawab organ perseroan serta kedudukan perseroan itu sendiri yang
dibatasi oleh norma-norma yang berlaku secara universal termasuk makna
81
Ibid, hlm. 31-32. 82
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan
Yurisprudensi Edisi Revisi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), hlm. 270.
Universitas Sumatera Utara
48
terbatasnya. PT pada dasarnya adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan tujuan untuk melakukan usaha dan mencari keuntungan. Tujuan
tersebut tidak disebutkan dalam UUPT dan KUHD, namun tujuan tersebut
terdapat dalam Pasal 1618 KUHPerdata yang mengatur tentang perseroan perdata
secara umum. Hubungan kontraktual antara para pihak dalam PT memiliki ciri
khas bahwa setiap pihak yang turut serta dalam hubungan kontraktual tersebut
akan menyetorkan modalnya akan dinilai dengan nominal saham PT tersebut.83
Para pihak yang lazimnya disebut sebagai pemegang saham hanya
bertanggungjawab sebatas nilai saham yang dimilikinya. Makna keterbatasan
tersebut menjadi unsur pembeda utama bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk
perseroan lainnya. Kata terbatas dalam PT mulai dikenal sejak kasus Salomon vs
Salomon Co.84
Konsep pemisahan identitas pribadi sebuah perselisahaan terhadap direksi
dan pemegang sahamnya telah melembaga sejak kasus Salomon v. Salomon &
Co. Dalam kasus itu, dipahami bahwa perusahaan tidak bertindak untuk salah satu
pemegang saham, kewajiban-kewajiban perusahaan juga bahkan kewajiban para
pemegang saham, sekalipun saham-saham tersebut dipercayakan kepada satu
orang." Selanjutnya, sebuah perusahaan tidak dapat dianggap sebagai agen dari
para pemegang sahamnya kecuali terdapat bukti kuat dan jelas untuk
menunjukkan bahwa perusahaan dimaksud secara nyata bertindak sebagai agen
dalam sebuah transaksi tertentu.85
83
Freddy Harris. Pemisahan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas. Jumal Hukum
dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No.1 Januari- Maret 2005. hlm. 91 84
Ibid . 85
Licht, Amir N. "Accountability and Corporate Governance ". 2002, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
49
Konsep tentang sebuah perusahaan memiliki tanggung jawab terpisah
terhadap direksi dan pemegang sahamnya mengacu kepada sejumlah referensi
yang berbeda, termasuk status pribadi hukum perusahaan, tabir perusahaan, dan
pemisahan pribadi hukum. Semua penamaan tersebut merefleksikan pemikiran
bahwa sebuah perusahaan sepenuhnya memiliki kepribadian hukum yang terpisah
terhadap pendiri, pemegang saham, direksi dan staf perusahaannya.86
Eksistensi PT dalam sistem hukum Indonesia pertama kalinya diatur
dalam KUHD (Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847 – 23) KUHD, dengan
demikian dapat dikatakan adanya lembaga PT dalam sistem hukum Indonesia
masuk melalui sistem hukum Belanda.87
Di Negeri Belanda PT dikenal dengan
nama naamloze vennootschap (NV). Secara harfiah NV mempunyai arti
persekutuan tanpa nama. Menurut Rudhy Prasetya, istilah NV atau persekutuan
tanpa nama ada hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD dan Pasal
36 KUHD.88
Pasal 16 KUHD mengatur tentang firma. Dalam Firma, orang-orang
menjalankan usaha bersama di bawah nama bersama. 89
Nama firma dapat saja
nama salah seorang dari anggota sekutu firma atau bisa juga nama-nama para
sekutu dalam firma sekaligus.90
Rudhy Prasetya menyatakan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD yang
mengatur tentang firma tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 36
86
Ibid, hlm 92 87
Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 10. 88
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-
undang Kepailitan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hlm. 11. 89
Ibid., hlm. 41. 90
Rudhy Prasetya, op.cit., hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
50
KUHD. Pasal 36 KUHD ini menunjuk perkecualian atas berlakunya Pasal 16
KUHD. Tegasnya justru nama-nama orang tidak dipergunakan dalam NV.91
Rudhy Prasetya maksud Pasal 36 KUHD ini adalah tiada lain untuk
mempertajam kedudukan mandiri PT agar terlepas dari orang-perorangannya,
yang membedakan PT dengan bentuk perusahaan lainnya.92
Guna menjawab tantangan tersebut maka diundangkanlah UUPT 1995.
Adapun alasan penggantian menurut UUPT 1995 tersebut dalam konsiderans
antara lain :
1. Ketentuan yang diatur dalam KUHD dianggap tidak sesuai lagi
peraturan PT yang ditentukan oleh KUHD, tidak sesuai lagi dengan
perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat, baik
secara nasional maupun internasional.
2. Menciptakan kesatuan hukum dalam perseroan yang berbentuk badan
hukum (rechts person, legal person, legal entity)93
Disamping konsideran yang dikemukakan, dalam penjelasan umum juga
dirumuskan hal-hal berikut antara lain:
1. Sasaran umum pembangunan, antara lain diarahkan kepada
peningkatan kemakmuran rakyat.
2. Untuk mencapai sasaran tersebut, sarana penunjang antara lain tatanan
hukum yang mampu mendorong dan mengendalikan berbagai kegiatan
pembangunan di bidang ekonomi.94
91
Ibid. 92
Ibid, hlm. 42. 93
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.
24.
Universitas Sumatera Utara
51
Kemudian diganti lagi dengan UUPT dan yang menjadi alasan
dilakukannya penggantian UUPT tersebut sebagaimana dalam konsideran
menimbang UUPT, yaitu:
1. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian
nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia
usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di era globalisasi pada
masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang
mengatur tentang PT yang mendapat menjamin terselenggaranya iklim
dunia usaha yang kondusif.
3. Bahwa PT sebagai salah satu pilar pengembangan perekonomian
nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu
pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.
94
Ibid
Universitas Sumatera Utara
52
4. Bahwa UUPT 1995 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dengan kebutuhan masyarakat sehingga perlu
diganti dengan undang-undang yang baru.95
B. Pengaturan Prinsip Piercing The Corporate Veil dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007
Berdasarkan Pasal 1 UUPT, PT merupakan badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.96
Dari pengertian tersebut, hal penting yang perlu digarisbawahi
adalah pada kata “badan hukum”. Dari pengertian tersebut dapat dianalisis
mengenai sebatas mana tanggung jawab perseroan dan tanggung jawab direksi. 97
Sebagai badan hukum pendirian PT sangatlah penting. Pendirian PT dapat
mengakibatkan hilangnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham sebesar
setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan
pribadi (piercing the corporate veil) apabila pendirian PT tidak sah. Artinya bila
pendirian tidak sah maka pemegang saham harus bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan atas kerugian PT. Sehingga
dengan demikian pendirian PT harus memperhatikan syarat dan mekanisme
pendirian PT yang diatur dalam regulasi di Indonesia.98
95
Ibid. 96
Indonesia,(Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 1. 97
Ibid, Pasal 5 98
Jandi Mukianto, Pendirian, Pengurusan, dan Pengawasan Perseroan Terbatas di
Indonesia, WIEM – Registered Indonesian Legal Consultant, 2014, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam ilmu hukum perusahaan istilah teori piercing the corporate veil
merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa
melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan
pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan
hukum dari perusahaan tersebut, serta membebankan tanggung jawab kepada
pihak pribadi dan pelaku dari perseroan tersebut, dengan mengabaikan prinsip
tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya
dinikmati oleh mereka.99
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:
1) Terjadinya penipuan.
2) Didapatkan suatu ketidakadilan
3) Terjadinya suatu penindasan (oppression).
4) Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5) Dominasi pemegang saham yang berlebihan.
6) Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.100
Teori piercing the corporate veil sangatlah berguna untuk menjembatani
kepentingan hukum antara holding company dengan tindakan hukum anak
99
Muhammad Syafi’i, op. cit, hlm. 218. 100
Ibid, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
54
perusahaan, karena bagaimanapun juga jika ada hubungan hukum, maka tentu
akan ada akibat hukumnya.101
Prinsip piercing the corporate veil ini telah dirumuskan dalam UUPT
secara tegas, namun terbatas, yakni dalam empat hal, sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa para pemegang
saham tetap bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan perseroan
bila:102
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
Menurut UUPT, status badan hukum perseroan baru diperoleh setelah akta
pendiriannya disahkan oleh menteri kehakiman. Selama status PT sebagai
badan hukum belum diperoleh, PT yang bersangkutan tidak berbeda
dengan firma, persekutuan komanditer, atau persekutuan perdata,
karenanya seluruh pemegang saham tanpa kecuali bertanggung jawab
secara pribadi atas segala perikatan yang dilakukan oleh PT tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) huruf a UUPT, maka sebelum memperoleh
pengesahan dari Menteri Kehakiman atau tidak dipenuhi persyaratan
perseroan sebagai badan hukum, tanggung jawab para pemegang saham,
direksi dan komisaris berubah menjadi tidak terbatas. Artinya, para
pemegang saham, direksi dan komisaris ikut bertanggung jawab secara
pribadi bila perseroan mengalami kerugian, sepanjang belum memperoleh
status badan hukum. Setelah memperoleh status sebagai badan hukum,
maka tanggung jawab pemegang saham dan komisaris menjadi terbatas,
101
Ibid. 102
Ryan Aulia Akbar, Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2012, hlm 16-17
Universitas Sumatera Utara
55
sedangkan tanggung jawab direksi masih tidak terbatas. Dalam Pasal 23
UUPT ditentukan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UUPT belum
dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
segala perbuatan hukum yang dilakukan. Lebih lanjut lagi, penjelasan
Pasal 23 UUPT ini menyatakan bahwa selain sanksi pidana yang diatur
dalam undang-undang tentang wajib daftar perusahaan, Pasal 23 ini
mengatur sanksi perdata dalam hal kewajiban, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22, UUPT tidak terpenuhi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk
kepentingan pribadi. Perseroan yang dimaksud dalam alasan ini adalah
perseroan yang berbadan hukum dan dengan hanya berlaku bagi pemegang
saham yang beritikad buruk yang memanfaatkan perseroan untuk
kepentingan pribadinya. Tentang ada tidaknya itikad buruk pada diri
pemegang saham harus dibuktikan.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab secara pribadi di
sini hanya berlaku bagi pemegang saham yang terlibat dalam perbuatan
hukum yang dilakukan perseroan. Perseroanlah yang melakukan perbuatan
yang melawan hukum, sedangkan pemegang sahamnya ikut terlibat saja
dalam perbuatan melawan hukum tersebut. Inipun juga harus dibuktikan.
Universitas Sumatera Utara
56
4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan. Berbeda dengan alasan diatas, di sini yang melakukan
perbuatan melawan hukum adalah pemegang sahamnya, dengan cara
menggunakan kekayaan perseroan, sehingga mengakibatkan kekayaan
perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dengan
kata lain, tanggung jawab para pemegang saham besifat residual, bahwa
para pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum
tersebut baru bertanggung jawab secara material setelah kekayaan
peseroan terbatas tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.103
Menurut Munir Fuadi, agar suatu piercing the corporate veil, secara
hukum di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1. Terjadinya penipuan.
2. Didapat suatu ketidakadilan.
3. Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5. Adanya dominsi pemegang saham yang berlebihan.
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya. 104
UUPT mengakui teori piercing the corporate veil dengan membebankan
tanggung jawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.
103
Ibid. 104
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2010)., hlm.9.
Universitas Sumatera Utara
57
Pengaturan terhadap prinsip piercing the corporate veil. Pasal 3 ayat (1)
UUPT mengatur mengenai prinsip tanggung jawab terbatas atau limited liability
atau limitatief aansprakelijkheid, sedangkan Pasal 3 ayat (2) mengatur mengenai
batasan terhadap prinsip limited liability tersebut. Pasal 3 ayat (2) UUPT
menyebutkan bahwa ketentuan yang diatur pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku
jika :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan
pribadi;
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan;
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.105
Selain itu, prinsip piercing the veil ini dapat ditemukan pula pada
ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa
“dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui,
pemegang saham tetap kurang dari dua orang, pemegang saham bertanggung
jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas
105
Nindyo Pramono. Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Press, 2012), hlm. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
58
permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan
perseroan tersebut”.106
C. Penerapan Piercing The Corporate Veil dalam Peraturan Perundang-
Undangan yang Terkait dengan Perseroan Terbatas
Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, doktrin piercing the
corporate veil ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip keterpisahan
tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dengan pemegang sahamnya,
walaupun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukan.
Cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak.
Dengan demikian ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut
bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan
oleh dan atas nama perseroan itu sendiri.107
Tanggung jawab terbatas dari pemegang saham bisa hapus atau hilang
dalam hal-hal tertentu.108
Hal-hal tertentu tersebut maksudnya antara lain apabila
terbukti terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta
kekayaan perseroan, sehingga perusahaan didirikan semata-mata sebagai alat yang
dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.109
Apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi
pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan
semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi
106
Indonesia, (Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 7. 107
Munir Fuady , op.cit, hlm.88 108
I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahan. (Jakarta: Megapoin, 2000), hlm 145. 109
Ibid, hlm.146.
Universitas Sumatera Utara
59
tujuan pribadinya, maka dalam keadaan demikian para pemegang saham, direksi
dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan prinsip
piercing the corporate veil harus bertanggungjawab dengan harta pribadinya dan
atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata.110
Terjadinya piercing the corporate veil adalah sebagai berikut :
1. Persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith)
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan atau PT (Pasal 3 ayat
(2) UUPT).111
Dengan demikian pemegang saham “dalam keadaan tertentu” dapat saja
kehilangan “kekebalan” atas tanggung jawab terbatasnya, atau dengan kata lain ia
harus bertanggungjawab penuh secara pribadi. Beberapa hal yang terhadapnya
dapat diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah :
1. Permodalan yang tidak layak;
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;
3. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan;
110
Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004), hlm. 4. 111
I.G. Rai Widjaya, op cit, hlm. 146.
Universitas Sumatera Utara
60
4. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan
hukum.112
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab induk perusahaan (holding
company) doktrin piercing the corporate veil melihat tanggung jawab induk
perusahaan tersebut dari 2 (dua) sisi yaitu:
a. Tanggung jawab perusahaan pengontrol sebagai induk perusahaan dalam
suatu kelompok usaha; dan
b. Tanggung jawab perusahaan holding sebagai pemegang saham.113
Ciri utama PT adalah PT merupakan subjek hukum yang berstatus badan
hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited
liability) bagi perseroan, para pemegang saham, anggota direksi, dan
komisaris.114
Dalam rangka meningkatkan tegaknya keadilan dan mencegah
ketidakwajaran, pada keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip keterpisahan
perseroan dari pemegang saham, secara kasuistik perlu digantikan dan dihapus
dengan cara menembus tembok atau tabir perseroan atas perisai tanggung jawab
terbatas.115 Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham ini pada mulanya
merupakan masalah yang kontroversial, karena ada yang berpendapat bahwa
tanggung jawab pemegang saham dalam PT tidak boleh lebih dari nilai saham
yang di ambilnya, sesuai dengan pengertian kata terbatas dalam nama badan
112
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm 61-62 113
Ibid, hlm 83 114
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 7 115
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm 76.
Universitas Sumatera Utara
61
hukum ini. 116
Persoalan yang timbul, apakah prinsip tersebut berlaku dalam segala
kondisi ataukah ada kondisi tertentu yang menyebabkan prinsip ini menjadi tidak
berlaku lagi. Kondisi-kondisi yang membuat prinsip tanggung jawab terbatas ini
menjadi tidak berlaku lagi, disebut sebagai kondisi di mana telah terjadi piercing
the corporate veil.117 Untuk istilah piercing the corporate veil kadang-kadang
disebut juga dengan istilah lifting the corporate veil atau going behind the
corporate veil. Penerapan prinsip ini mempunyai isi utama, yaitu untuk mencapai
keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan yang mempunyai
hubungan hukum tertentu.118
Kata piercing the corporate veil terdiri atas kata-kata sebagai berikut:
a. Pierce : menyobek/mengoyak/menembus
b. Veil : kain tirai atau cadar
c. Corporate : perusahaan
Secara harfiah istilah piercing the corporate veil berarti
mengoyak/menyikap/cadar perseroan, sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan
istilah tersebut sudah merupakan suatu doktrin atau teori yang mengartikan
sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau
perusahaan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan atau pelaku
usaha (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut
116
Ibid. 117
Leo J. Susilo, Good Corporate Governance Pada Bank, (Bandung: Hikayat Dunia,
Bandung 2007), hlm.42. 118
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62
sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.119 Penghapusan tanggung
jawab terbatas diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT, yang menyatakan
tanggung jawab pemegang saham hapus atau tidak berlaku apabila terjadi hal-hal
tertentu. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab
terbatas. 120
Kamus hukum merumuskan perusahaan sebagai tindakan peradilan yang
memaksakan pertanggungjawaban pribadi terhadap petugas korporasi, direktur,
dan pemegang saham perusahaan yang tidak sah atas perbuatan salah korporasi
tersebut.
Penjelasan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut di atas
menunjukkan bahwa, piercing the corporate veil hanya dapat terjadi dalam hal
adanya tindakan atau perbuatan yang salah. Perlu diperhatikan bahwa, dilarang
bukan saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau melakukan
sesuatu yang tidak boleh dilakukan, melainkan termasuk juga dalam kategori
melakukan tindakan atau perbuatan yang salah. Dengan demikian, untuk
mengetahui bagaimana piercing the corporate veil dapat diberlakukan,
bergantung sepenuhnya pada kewenangan yang dimiliki dan kewajiban yang
dipikul oleh pihak yang hendak dimintakan pertanggungjawaban pribadi
tersebut.121
Dengan demikian, berarti pada prinsipnya terdapat banyak sekali
kemungkinan penyebab terjadinya pelanggaran terhadap luasnya kewenangan
119
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.7. 120
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 76. 121
Black’s Law Dictionary, op.ci, hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
63
yang dimiliki dan atau kewajiban yang dipikul, yang dapat menyebabkan
berlakunya prinsip piercing the corporate veil ini.122
Penerapan teori piercing the corporate veil secara universal dilakukan
dalam hal-hal sebagai berikut: 123
a. Penerapan teori piercing the corporate veil, karena perusahaan tidak
mengikuti formalitas tertentu
Salah satu alasan untuk menerapkan teori piercing the corporate veil adalah
jika perusahaan tersebut tidak atau tidak cukup memenuhi formalitas tertentu
yang diharuskan oleh hukum perusahaan. Sasaran utama penerapan teori piercing
the corporate veil dalam hal ini agak berbeda dari biasanya. Dalam hal ini tidak
bertujuan langsung untuk melindungi pihak tertentu, seperti pihak minoritas atau
pihak ketiga, tetapi semata-mata untuk menegakkan hukum agar formalitas
tersebut dipenuhi.
b. Penerapan teori piercing the corporate veil terhadap badan-badan hukum
yang hanya terpisah secara artifisial
Penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam suatu perusahaan
yang sebenarnya dalam kenyataan adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut
dibagi kedalam beberapa perseroan secara artifisial. Misalnya, terdapat beberapa
perseroan yang terpisah secara artifisial, tetapi bisnisnya dilakukan sedemikian
rupa sehingga, seolah-olah bisnis tersebut dilakukan oleh satu unit perusahaan
saja. Oleh karena itu, dengan menerapkan teori piercing the corporate veil beban
tanggung jawab akan diberikan kepada seluruh perseroan yang saling terkait
122
Ibid. 123
Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, (Bandung:
Refika Aditama, 2015), hlm.278.
Universitas Sumatera Utara
64
tersebut.
c. Penerapan teori piercing the corporate veil berdasarkan hubungan
kontraktual
Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan jika ada hubungan
kontraktual antara perusahaan dengan pihak ketiga. Tanpa penerapan teori
piercing the corporate veil tersebut, kerugian terhadap pihak ketiga tidak
mungkin tertanggulangi. Agar dapat diterapkan teori piercing the corporate veil
dalam hubungan dengan kontrak pihak ketiga ini, biasanya dipersyaratkan
terdapat unsur keadaan yang tidak lazim pada aktivitas perusahaan. Keadaan tidak
lazim tersebut dapat berupa salah satu dari fakta-fakta seperti permodalan
perusahaan tidak dinyatakan dengan benar atau tidak disetor, pihak ketiga
diperdaya untuk bertransaksi dengan perseroan.124
d. Penerapan teori piercing the corporate veil karena perbuatan melawan
hukum atau tindak pidana
Jika terdapat unsur pidana dalam suatu kegiatan perseroan, meskipun hal
tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri. Berdasarkan teori piercing the
corporate veil, oleh hukum dibenarkan jika tanggung jawab dimintakan kepada
pihak-pihak lain, seperti direksi atau pemegang saham. Demikian juga jika
perusahaan melakukan perbuatan di bidang perdata (onrechtmatigedaad).
Misalnya manakala bisnis perusahaan berskala besar sementara modalnya sangat
kecil.125
124
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.12 125
Ibid, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
65
e. Penerapan teori piercing the corporate veil dalam hubungan dengan holding
company dan anak perusahaan
Selain terhadap perseroan tunggal, teori piercing the corporate veil juga
muncul dalam hal perusahaan dalam grup usaha. Dalam hal ini menurut ilmu
hukum dikenal apa yang disebut dengan doctrin instrumental. Menurut doktrin
ini, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan. Dalam hal ini berarti yang
bertanggung jawab, bukan hanya badan hukum yang melakukan perbuatan huum
yang bersangkutan, melainkan juga pemegang saham (induk perusahaan) ikut
bertanggung jawab secara hukum, yakni jika terdapat salah satu unsur- unsur
sebagai berikut:126
1) express agency,
2) Estoppels,
3) Direc tort, atau
4) Dapat dibuktikan adanya tiga unsur sebagai berikut:
a) Pengontrolan anak perusahaan oleh perusahaan holding.
b) Penggunaan kontrol oleh perusahaan holding untuk melakukan
penipuan, ketidakjujuran, atau tindakan tidak fair lainnya.
c) Terdapatnya kerugian sebagai akibat dari breach of duty dari
perusahaan holding.
Penerapan teori piercing the corporate veil kedalam tindakan suatu
perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari
perseroan tersebut (meskipun berbadan hukum), tetapi juga pertanggungjawaban
126
Ibid, hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
66
hukum dapat dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan, penerapan teori
piercing the corporate veil juga membebankan tanggung jawab hukum kepada
organ perusahaan yang lain, seperti direksi atau komisaris.127
Rumusan piercing the corporate veil menunjukkan bahwa, suatu perseroan
terbatas sering kali tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari kehendak pihak-
pihak yang merupakan dan menjadi pemegang saham dari perseroan terbatas
tersebut. Dalam konterks demikian, kehendak dari perseroan terbatas tersebut
adalah kehendak dari pemegang saham perseroan terbatas tersebut. Dalam konteks
yang demikian, konsep piercing the corporate veil menyatakan bahwa, jika
keadaan terpisah perseroan dengan pemegang sahamnya tidak ada, maka sudah
selayaknya jika sifat pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga
dihapuskan. Dengan disibaknya cadar pembatas antara perseroan dan pemegang
saham dalam melakukan pengelolaan perseroan, maka cadar pembatas
pertanggungjawaban terbataspun demi hukum hapus dan bercampur menjadi satu.
Jadi, dalam hal ini pemegang saham turut bertanggung jawab secara pribadi
terhadap kerugian perseroan terbatas.128
Penerapan piercing the corporate veil tidak hanya dapat dilakukan oleh
pemegang saham perseroan, melainkan juga oleh setiap pihak yang dalam
kedudukannya memungkinkan terjadinya penyimpangan atau dilakukannya hal-hal
yang dapat, atau dilakukannya hal-hal yang sepatutnya dilakukan, yang bermuara
pada terjadinya kerugian bagi perseroan, sehingga perseroan tidak dapat atau
127
Gunawan Widjaja, “Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris&Pemilik PT” ,
(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm.25
128 Ibid, hlm 27
Universitas Sumatera Utara
67
tidak sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibannya.129 Artinya, pengurus
perseroan atau direksi dan atau dewan komisaris dapat juga dimintakan
pertanggungjawaban pribadinya, atas kerugian perseroan.130
Penerapan piercing the corporate veil dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Perseroan Terbatas adalah sebagai
berikut:
1. Prinsip piercing the corporate veil dalam perundang-undangan Indonesia
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD, ketentuan tentang perseroan terbatas di atur dalam
Pasal 36 sampai dengan Pasal 55, Buku Kesatu, Bab Ketiga Bagian
Ketiga. Seharusnya ada dua pasal lagi yang mengatur tentang
perseroan terbatas, yaitu Pasal 57 dan 58, namun berdasarkan
Staatsblad 1938 Nomor 276, dua pasal tersebut telah dihapus. Hal-hal
yang diatur antara lain adalah syarat pendirian dan tata cara pendirian,
permodalan dan saham perseroan, pengurus perseroan, tempat
kedudukan perseroan dan jangka waktu berdirinya perseroan,
pembubaran perseroan, laporan keuangan (laporang untung rugi)
perseroan. Dari 19 pasal terkait dengan ketentuan PT tersebut, tidak
ada satu pasal pun yang menyingung keberadaan piercing the
corporate veil dalam konteks pertanggungjawaban pemegang saham.
Ketentuan Pasal 40 ayat (2) KUHD menyebutkan, “para persero atau
pemegang saham tersebut tidak bertanggungjawab untuk lebih dari
129
Ibid, hlm. 29. 130
Ibid, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
68
pada jumlah penuh andil tersebut”. Berbeda dengan UUPT, baik
UUPT 1995 maupun UUPT, KUHD tidak memberikan pengecualian
atas prinsip limited liability (pertanggungjawaban terbatas). Oleh
karenanya, piercing the corporate veil dalam konteks pemagang saham
tidak dikenal dalam ketentuan KUHD.131
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Dengan berlakunya UUPT 1995 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret
1996, maka segala ketentuan dalam Buku Kesatu Bagian III Bagian
Ketiga, Pasal 36 – 56 KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi. Prinsip
dasar limited liability ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995,
yang menyebutkan bahwa, “pemegang saham perseroan tidak
bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan
melebihi nilai saham yang telah diambilnya”. Namun demikian prinsip
tersebut tidaklah berlaku mutlak, di mana Pasal 3 ayat (2) UUPT 1995
membuka ruang pertanggungjawaban pemegang saham melebihi
saham yang ia setorkan apabila:132
1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;
131
Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veil Pada Perseroan Terbatas Di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Yustisia Vol.2 No.3 September - Desember 2013, hlm 29. 132
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
69
2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-
mata untuk kepentingan pribadi;
3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi hutangnya
c. UUPT sama halnya dengan UUPT 1995, UUPT sampai batas tertentu
juga mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil, dengan
membebankan tanggungjawab tersebut kepada pihak-pihak sebagai
berikut: 133
(1) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak pemegang saham;
(2) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak direksi dan dewan
komisaris. Pemindahan beban tanggungjawab kepada pemegang
saham dalam UUPT antara lain di atur dalam Pasal 33 ayat (1) dan
(2), Pasal 7 ayat (5) dan (6), serta Pasal 33. Selain itu, penerapan
piercing the corporate veil dapat dilihat juga dari ketentuan Pasal 7
ayat (1) UUPT yang menyebutkan bahwa, “perseroan didirikan
oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam
bahasa Indonesia”. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (5) dan (6), yang
133
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
70
menyatakan setelah perseroan memperoleh status sebagai badan
hukum dan pemegang saham kurang dari dua orang, maka dalam
jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak keadaan tersebut,
pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian
sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham
baru kepada orang lain. Selanjutnya, dalam jangka waktu enam
bulan tersebut, pemegang saham tetap kurang dari dua orang,
pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala
perikatan dan kerugian perseroan, dan atas pihak yang
berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan
tersebut.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak terdapat perluasan pengaturan
doktrin piercing the corporate veil dari KUHD sampai dengan UUPT 1995 dan
UUPT. Sebagai produk kolonial Belanda yang dibuat tahun 1840, KUHD belum
mengatur doktrin piercing the corporate veil, khusus terkait dengan untuk
pemegang saham. UUPT 1995 sebagai pengganti ketentuan mengenai PT yang
ada dalam KUHD, kemudian telah memasukkan ketentuan piercing the corporate
veil terkait keberadaan pemegang saham dan memperluas ketentuan piercing the
corporate veil yang berkaitan dengan direksi dan komisaris.134
UUPT sebagai
pengganti UUPT 1995, secara prinsip tidak mengubah atau menambahkan materi
atau bentuk pelanggaran piercing the corporate veil. Apabila dirunut dari KUHD
sampai dengan UUPT, dapat disimpulkan secara normatif perbuatan-perbuatan
134
Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veilpada Perseroan Terbatas Di Indonesia, Jurnal Yustisia Edisi 87 September - Desember 2013,
hlm 29.
Universitas Sumatera Utara
71
yang dapat dikategorikan sebagai piercing corporate veil, dalam hukum perseroan
terbatas di Indonesia, antara lain:135
a. Direksi melanggar anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar
perseroan;
b. Formalitas pendirian perseroan belum terpenuhi baik oleh Pemegang
Saham;
c. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk
kepentingan pribadi;
d. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
e. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengak ibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
hutangnya;
f. Perolehan saham melalui mekanisme pembelian saham kembali oleh
perseroan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
g. Direksi dan atau komisaris tidak melaksanakan fiduaciary duty;
h. Perhitungan laporan tahunan oleh direksi dan atau komisaris, khususnya
laporan keuangan yang tidak benar atau menyesatkan;
i. Direksi dan atau merupakan penyebab perusahaan mengalami kepailitan
135
Ibid, hlm.31.
Universitas Sumatera Utara
72
a. Penerapan prinsip piercing corporate veil dalam kasus (praktek) di
lapangan
Secara normatif ketentuan piercing the corporate veil baru dilembagakan
dalam undang-undang berdasarkan UUPT 1995, mengingat KUHD sebagai
warisan Kolonial Belanda belum mengatur doktrin piercing corporate veil, khusus
terkait dengan untuk pemegang saham. Namun dalam kasus PT. Bank
Pembangunan Asia dengan PT. Djaya Tunggal di tahun 1991, prinsip tersebut
telah dipakai oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya, meskipun belum ada
dasar hukumnya secara normatif, kecuali dalam KUHD yang diatur secara
terbatas.136
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Mahkamah Agung telah
menerapkan teori atau doktrin piercing the corporate veil, yaitu tindakan
persekongkoln antara direksi dan dewan komisaris, yang menyebabkan kerugian
pada perusahaan, dapat diminta pertanggungjawaban terhadap Direksi dan
Komisaris yang bersekongkol tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam kasus
O. Sibarani dengan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd” tahun
1973 dimana Mahkamah Agung membuat hukum sendiri berdasarkan doktrin
piercing the corporate veil, yang kemudian subtansi putusan kemudian diadopsi
dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT 1995 dan diadopsi lagi dalam Pasal 7 ayat (5)
UUPT, yang menyatakan bahwa setelah perseroan memperoleh status badan
hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang
saham bertanggungjawab secara pribadi apabila dalam jangka waktu paling lama
136
Ibid, hlm .30.
Universitas Sumatera Utara
73
6 (enam) bulan tidak mengalihkan sebagian saham kepada pihak lain atau
perseroan juga tidak mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Hal yang sama
juga diterapkan dalam PT. Usaha Sandang dengan PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland
Ltd. Sedikit berbeda dengan dalam kasus Raden Roosman dengan Perusahaan
Otobis N.V. Sendiko dengan mendasarkan pada Pasal 39 selama prosedur
pendirian perseroan belum terpenuhi, maka pengurus yang menyebabkan kerugian
perseroan yang belum berbadan hukum tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban.137
Organ-organ perseroan ini juga dapat disebut dengan alat perlengkapan
perseroan terbatas yang bedasarkan ketentuan-ketentuan yang memuat syarat-
syarat konstitutif dari badan hukum, berupa anggaran dasar dan atau undang-
undang serta peraturan-peraturan lain menunjukkan orang-orang mana yang dapat
bertindak untuk dan atas pertanggung-jawaban badan hukum, orang-orang ini
disebut dengan organ (alat perlengkapan) dari badan hukum tersebut.138
Undang-undang PT mensyaratkan bahwa PT harus memiliki organ yang
terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan
Komiaris. Berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-masing organ tersebut.
1. Rapat umum pemegang saham (RUPS)
Rapat umum pemegang saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang
memiliki kewenangan eksklusif. Kewenangan ini sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 ayat (4) UUPT, tidak akan pernah diberikan atau dialihkan kepada
komisaris ataupun direksi, konkretnya RUPS merupakan sebauh forum yang
137
Ibid, hlm.31 138
Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf. (Bandung:Alumni,1993),hlm, 33
Universitas Sumatera Utara
74
mewakili seluruh pemegang saham perseroan dimana para pemegang saham
memiliki kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai
perseroan, baik dari komisaris maupun direksi.139
Pemegang saham bertanggung jawab pada apa yang disetorkan atau
bertangung jawab terbatas (limited liability), tidak bertanggung jawab atas
kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya, tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan.140
Konsep hukum perseroan di Indonesia menganut sistem limited liability
(tanggung jawab yang terpisah). Hal ini berarti bahwa tindakan, perbuatan dan
kegiatan perseroan bukan tindakan pemegang saham dan kewajiban dan tanggung
jawab perseroan bukan kewajiban dan tanggung jawab pemegang saham.141
Konsep ini diberlakukan dengan maksud untuk melindungi pemegang saham dari
kerugian yang lebih besar di luar apa yang telah mereka investasikan, pemegang
saham mampu mengalihkan resiko kegagalan bisnis yang potensial kepada para
kreditor perseroan dan untuk mendorong investasi dan memfasilitasi akumulasi
modal perseroan.142
Setiap kerugian yang dialami perseroan akibat gagalnya
perseroan melakukan kewajibannya tidak menjadi tangggung jawab penuh dari
pemegang saham.Pasal 3 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa pemegang saham
139
Orinton Purba, Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan
Terbatas, agar Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 2. 140
I. G. Rai Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan undang-undang di Bidang
Usaha Hukum Perusahaan Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Pendaftaran
Perusahaan, TDUP & SIUP, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2013), hlm 143 141
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan, Catakan Ketiga, Edisi Ketujuh, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hlm. 71 142
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Total Media,
2009) hlm. 260.
Universitas Sumatera Utara
75
perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi
saham yang dimiliki atau hanya sebatas modal yang disetor kepada perseroan.143
Adapun wewenang RUPS menurut UUPT, antara lain :
a. Menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban
yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau
kuasanya. 144
b. Menyetujui perbuatan hukum perseroan yang dilakukan oleh semua
direksi, semua komisaris dan semua pendiri atas nama perseroan yang
dihadiri oleh semua pemegang saham.145
c. Menetapan perubahan anggaran dasar.146
d. Menyetujui pembelian kembali saham atau pengalihan saham yang telah
dikeluarkan oleh perseroan.147
.
e. menyerahkan kewenangan kepada komisaris untuk menyetujui
pelaksanaan RUPS untuk membeli atau mngalihan saham yang telah
dikeluarkan perseroan dalam jangka waktu paling lama satu tahun.148
f. menetapan penambahan modal dan pengurangan modal perseroan149
g. menyetujui rencana kerja tahunan apabila AD PT menentukan demikian150
h. menyetujui laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta
laporan tugas pengawasan komisaris.151
i. menetukan laba bersih termsuk penyisihan laba bersih yang akan digunkan
sebagai cadangan.152
j. menetapkan pembagian tugas dan wewenang antar anggota direksi.153
k. mengangkat anggota direksi.154
l. menetapkan besarnya gaji dan tunjangan direksi.155
m. menunjuk pihak yang akan mewakili perseroan apabila direksi atau
komisaris mempunyai benturan kepentingan.156
n. memberi persetujuan direksi untuk : 157
a) mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
143
Ibid. 144
Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit, hlm Pasal 13. 145
Ibid, Pasal 14. 146
Ibid, Pasal 19. 147
Ibid, Pasal 38. 148
Ibid, Pasal 39 149
Ibid, Pasal 43 dan Pasal 44 150
Ibid, Pasal 64. 151
Ibid, Pasal 69. 152
Ibid, Pasal 71. 153
Ibid, Pasal 92. 154
Ibid, Pasal 94. 155
Ibid, Pasal 96. 156
Ibid, Pasal 99. 157
Ibid, Pasal 102.
Universitas Sumatera Utara
76
b) menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan; persetujuan ini
diperlukan apabila lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah
kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik
yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.
o. Memberi persetujuan kepada direksi untuk mengajukan permohonan pailit
atas perseroan sendiri ke Pengadilan Niaga setempat. 158
p. memberhentikan direksi159
q. menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota direksi
yangbersangkutan diberhentikan untuk seterusnya 160
r. menggangkat komisaris.161
s. Menetapkan besarnya gaji dan honorarium dan tunjangan komisaris.162
t. Mengangkat komisaris independen.163
u. memberi persetujuan rancangan penggabungan.164
v. memberi persetujuan mengenai penggabungan, peleburan,
pengambilalihan atau pemisahan.165
w. memberi keputusan atas pembubaran perseroan.166
x. menerima pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi167
Tidak selamanya limited liability dapat menjadi perisai bagi para
pemegang saham dalam tanggung jawab atas kerugian perseroan. Ketika
pemegang saham berbuat dengan iktikad tidak baik atau tindakan dari pemegang
saham merugikan perseroan limited liability dapat disingkirkan atau ditembus
dengan mengoyak tabir perseroan atas perisai limited liability tersebut dengan
menggunakan doktrin piercing the corporate veil.168
Apabila tanggung jawab
(limited liability) tersebut terkoyak dan perisai dapat tertembus maka tanggung
jawab pemegang saham tertembus dan dapat menjangkau harta pribadi. Pasal 3
158
Ibid, Pasal 104. 159
Ibid, Pasal 105. 160
Ibid, Pasal 106. 161
Ibid, Pasal 111. 162
Ibid, Pasal 113. 163
Ibid, Pasal 120. 164
Ibid, Pasal 123. 165
Ibid, Pasal 127. 166
Ibid, Pasal 142. 167
Ibid, Pasal 143. 168
Nurini Aprilianda, Jurnal Arena Hukum,, volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, halaman
154-305, hlm. 163.
Universitas Sumatera Utara
77
ayat (2) UUPT memberikan tempat untuk diberlakukannya piercing the corporate
veil. Menurut UUPT piercing the corporate veil dapat diberlakukan ketika:169
a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
perseroan.
2. Direksi
Keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan.
Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin
ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi PT
sangat penting. Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan
terpisah dengan direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa PT
dianggap seakan-akan sebagai subjek hukum, sama seperti manusia.170
Direksi perseroan terbatas merupakan organ yang melaksanakan kegiatan
dan kepengurusan perseroan. Ketentuan ini menugaskan direksi untuk mengurus
169
Ibid. 170
Try Widiyono, Direksi Perseroaan Terbatas (Keberadaan, Tugas, Wewnang dan
Tanggungjawab, (berdasarkan doktrin hukum UUPT), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
78
perseroan yang antara lain, meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan.171
Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.172
Kedudukan direksi dalam perseroan adalah sebagai eksekutif, dimana
tindakan-tindakannya dibatasi oleh anggaran dasar perseroan. Artinya, mesti
memiliki kewenangan penuh dalam hal kepengurusan perseroan, langkah-langkah
direksi harus tetap dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang serta
anggaran dasar perseroan173
Direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan
kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan dalam UUPT ini
dan/atau anggaran dasar. Yang dimaksud dengan kebijakan yang dipandang tepat
adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia
dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.174
Direksi dalam menjalankan reprentasi di luar pengadilan diantaranya
adalah melakukan kontrak atau transaksi bisnis dengan pihak ketiga, mewakili
Perseroan untuk menandatangi kontrak tersebut, mewakili Perseroan untuk
menghadap pejabat negara dan masih banyak lagi yang lainnya. Mewakili
perseroan di dalam maupun di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Dilakukan sendiri
b. Dilakukan pegawainya yang ditunjuk untuk itu
171
Jamin Ginting, Hiukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2008), (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 113. 172
Ibid. 173
Orinton Purba, op.cit, hlm. 31. 174
Jamin Ginting. loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
79
c. Dilakukan komisaris jika direksi berhalangan, sesuai AD PT
d. Dilakukan oleh pihak ketiga sebagai agen dari perseroan175
Pengurusan oleh direksi dibatasi oleh Pasal 92 ayat (2) UU PT, yang mana
pada pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan pengurusan Perseroan oleh
Direksi sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat yang telah ditentukan dalam
AD PT dan peraturan perundang-undangan. Kepengurusan direksi dapat
dibedakan menjadi perbuatan beheren dan perbuatan beschickking atau perbuatan
van eigendom. Perbuatan beheren yaitu pengurusan dalam arti sempit yang
merupakan wewenang murni dan dapat dilakukan sehari-hari.Sedangkan
perbuatan beschickking merupakan berbuatan kepemilikan yang memerlukan
persetujuan dari organ lainnya.176
Begitu luas kewenangan dan tangggung jawab direksi suatu Perseroan
sehingga direksi wajib melakukan tugasnya dengan iktikad abaik (good faith) dan
penuh tanggung jawab. Direksi sebagai pengelola perseroan merupakan pemegang
amanah (fiduciary) dari pemegang saham. Fiduciary yang dimiliki oleh direksi
menyebabkan direksi mempunyai kewenangan yang sangat tinggi. Oleh karena
itu, seorang direksi dituntut harus dapat mempunyai kepedulian dan kemampuan
(duty of care and skill), iktikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap
perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).177
175
Munir Fuady. Perseroan Paradigma Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.
49. 176
Siti Hapsah Isfardiyana, Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas Dalam Kasus
Kepailitan, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014,
Halaman 151-302, hlm .162. 177
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
80
Direksi dalam menjalankan tugas pengurusan dan mewakili perseroan di
depan pengadilan maupun di luar pengadilan harus dengan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan perseroan disebut fiduciary dutiy. Fiduciary duty dijalankan
oleh direksi dengan cara:
a. Dilakukan dengan iktikad baik (bona fides)
b. Dilakukan dengan proper purpose
c. Dilakukan dengan kebebasan yang bertanggung jawab (unfettered discretion)
d. Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest) 178
Direksi wajib melaksanakan pengurusan dengan penuh tangung jawab,
yang meliputi aspek :
a. Wajib sesakma dan hati-hati melakukan pengurusan (the duty of the due care),
yakni kehati-hatian yang biasa dilakukan orang (ordinary prudent person)
dalam kondisi yang wajar atau disebut dengan kehati-hatian yang wajar
(reasional care)
b. Wajib melaksanakan pengurusan secara tekun (duty to be diligent), yakni terus
menerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejaian yang menimpa
perseroan
c. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian (duty to
display skill) sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang
dimilikinya.179
Seorang direksi tidak akan bertanggung jawab karena salah dalam
mengambil keputusan (mere errors of judgement) ketika direksi menjalankan
178
Ridwan Khairandy, Op.cit., hlm. 209. 179
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 383.
Universitas Sumatera Utara
81
tugasnya dengan iktikad baik dan penuh kehati-hatian. Hakim dalam hal ini tidak
diperbolehkan melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap
keputusan bisnis yang diambil oleh direksi sesuai dengan teori keputusan bisnis
(business judgement rule).180
Walaupun setiap keputusan direksi yang diambil
dilindungi oleh business judgement rule, direksi tetap harus beriktikad baik,
berhati-hati dan penuh loyalitas dalam menjalankan kepengurusan perseroan.181
Prinsip penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil)
diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang
atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku,
tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan
oleh/atas nama perseroan pelaku. Dengan demikian, doktrin piercing the
corporate veil ini pada hakikatnya merupakan doktrin yang memindahkan
tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham direksi atau komisaris,
dan bisanya prinsip ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada
perseroan.182
Terdapat perbedaan antara tanggung jawab direksi dengan pemegang
saham dari suatu perseroan, khususnya jika kepada mereka diterapkan doktrin
piercing the corporate veil. Perbedaan tersebut adalah sebagai konsekuensi logis
dari adanya perbedaan peran antara direksi dengan pemegang saham. Sebab,
pihak pemegang saham tidak mempunyai kewenangan eksekutif, yakni tidak
memiliki kewenangan untuk menjalankan servis dari perusahaan tersebut.
180
Munir Fuady, op.cit., hlm. 48. 181
Ibid, hlm 49. 182
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
82
Adapun yang merupakan perbedaan antara tanggung jawab direksi dengan
pemegang saham, khususnya dalam hal penerapan doktrin piercing the corporate
veil, adalah sebagai berikut:
1. Pihak pemegang saham tidak memiliki benturan kepentingan seperti yang
dimiliki oleh pihak direktur. Misalnya dalam hal berlakunya asas larangan
self dealing yang berlaku bagi direksi pada prinsipnya tidak berlaku bagi
pemegang saham. Jadi, biasa saja dan memang tidak ada larangan jiika
seseorang pemegang saham memberikan suara yang mendukung transaksi
self dealing yang menguntungkan dirinya sendiri, Akan tetapi, hal ini
berlaku bagi perusahaan terbuka berhubungan adanya keharusan RUPS
dari pemegang saham independen bagi suatu transaksi yang berbenturan
kepentingan bagi suatu perusahaan terbuka.
2. Meskipun pihak pemegang saham mempunyai tugas dan kewajiban
tertentu terhadap perusahaan, tetapi berbeda dengan direksi, pihak
pemegang saham tersebut tidak mempunyai tugas fiduciary duties.183
Tanggung jawab secara pribadi dari direksi berdasarkan prinsip
piercing the corporate veil ini dapat dielakkan atau setidak-tidaknya dapat
dikurangi jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Tindakan direksi tersebut dalam rangka menjalankan keputusan RUPS.
2. Diterima oleh RUPS yang dibuat setelah tindakan tersebut.
3. Tindakan tersebut bermanfaat bagi perseroan tanpa melanggar hukum
berlaku.
183
Munir Fuady. op.cit, hlm. 87-88.
Universitas Sumatera Utara
83
4. Terhadap direksi diberikan release and discharge (et quit et de charge)
oleh RUPS.
5. Mengikuti pendapat dari pihak luar yang professional, seperti legal
opinion dari layer, financial reports dari akuntan, pendapat tertulis dari
appraiser, dan lain-lain.184
Tolok ukur dari sebuah tindakan direksi tidak termasuk ultra vires ialah
ketika tindakan tersebut termasuk dalam kewenangan atau maksud dan tujuan
perseroan direksi dianggap mengetahui segala perbuatannya apakah termasuk
dalam ultra vires meskipun sebenarnya dia tidak mengetahui hal tersebut. Hal ini
disebut sebagi pengetahuan konstruktif (constructive notice). Akibat hukum dari
constructive notice adalah :
a. Direksi harus menaati transaksi ultra vires yang telah dibuatnya
b. Jika dengan transaksi tersebut ada keuntungan yang didapat oleh direksi,
keuntungan tersebut haruslah diserahkan kepada perseroan.
c. Direksi secara pribadi harus mengganti kerugian kepada pihak ketiga yang
telah dirugikan oleh tindakan ultra vires tersebut
d. Direksi secara pribadi harus mengganti kerugian atas kerugian Perseroan
karena adanya tindakan ultra vires tersebut.185
3. Komisaris
Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan,
secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasehat kepada direksi dalam
184
Ibid. 185
Ibid, hlm 125.
Universitas Sumatera Utara
84
menjalankan perseroan Pasal 1 ayat (5) UUPT.186
Perkataan komisaris
mengandung pengertian baik sebagai organ maupun sebagai orang perorangan.
Sebagai organ komisaris lazim juga disebut dewan komisaris, sedangkan sebagai
orang perorangan disebut anggota komisaris. Sebagai organ, dalam UUPT ini
pengertian komisaris termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan tugas
pengawasan khusus di bidang tertentu.
Munir Fuady menjelaskan mengenai beberapa pedoman yuridis
pengawasan Komisaris, yaitu:
a. Pengawasan dilakukan oleh komisaris baik diminta mapun tidak diminta
oleh direksi dan RUPS
b. Pengawasan tidak boleh berubah menjadi tugas eksekutif yang seharusnya
dilakukan oleh direksi
c. Pengawasan dilakukan terhadap putusan yang sudah diambil (ex post
facto) atau terhadap putusan yang akan diambil (preventive basisi)
d. Pengawasan bukan hanya menerima laporan dari direksi atau RUPS tetapi
dapat juga merupakan pengambilan tindakan yang bersifat korektif
e. Pengawasa bukan hanya menyetujui atau tidak menyetujui tindakan-
tindakan yang memerlukan persertujuan Komisaris sseperti yang terperinci
dalam anggaran dasar PT tetapi juga pengawasasan terhadap semua aspek
bisnis dan aspek korporat perseroan. 187
Pengawasan komisaris bukan hanya untuk mengawasi direksi tetapi juga
untuk mengawasi para pemegang saham. Pengawasan ditujukan untuk melindungi
186
C.S.T Kansil dan Christine, Pokok-Pokok Perseroan Terbatas Tahun 1995, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 42. 187
Munir Fuady, op.cit, hlm. 127.
Universitas Sumatera Utara
85
kepentingan Perseroan, pemgangku kepentingan, termasuk karyawan dan
lingkungan perseroan serta masyarakat Pengawasan komisaris antara lain
ditujukan pada:
a. Melakukan audit keuangan
b. Pengawasan atas organisasi PT
c. Pengawasan terhadap personalia.188
UUPT tidak terdapat penjelasan terperinci mengenai pemberian nasihat
kepada direksi oleh komisaris.Namun, menurut M. Yahya Harap pemberian
nasihat komisaris kepada direksi cakupannya sangatlah luas.Komisaris dapat
menyampaikan pendapat atau memberi pertimbangan yang layak dan tepat kepada
direksi. Bahkan dapat menyampaikan ajaran yang baik maupun petunjuk,
peringatan, atau teguran yang baik.189
Seperti halnya direksi, komisaris suatu
Perseroan juga diwajibkan untuk beriktikad baik dan penuh dengan kehati-hatian
dalam menjalankan tugasnya. Itikad baik yang harus dilakukan oleh komisaris
tidak berbeda dengan itikad baik yang dilakukan oleh direksi. Dimana komisaris
juga harus dipercaya dengan kejujurannya, pengawasan dan nasihat dilakukan
secara wajar, mematuhi peraturan perundangundangan, loyal terhadap Perseroan
dan menghindari benturan kepentingan dengan perseroan 190
Benturan kepentingan dengan perseroan dapat dihindari oleh komisaris
dengan cara:
a. Tidak menggunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi
188
Ibid, hlm. 128. 189
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 440. 190
Ibid, hlm 451.
Universitas Sumatera Utara
86
b. Tidak menggunkaan uang dan kekayaan perseroan untuk kepantingan
pribadi
c. Tidak menggunakan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi
d. Tidak mengambil sebagian keuntungan perseroan untuk kepentingan
pribadi
e. Tidak melakukan transaksi apapun dengan perseroan
f. Tidak melakukan persaingan dengan perseroan.191
Direksi diberikan kepercayaan oleh perseroan untuk mengawasi dan
memberikan nasihat kepada direksi. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya komisaris juga harus menggunakan prinsip fiduciary duty
sama halnya dengan direksi. Komisaris juga memegang amanah (fiduciary) dari
Perseroan untuk benar-benar memperhatikan perseroan dengan cara melakukan
pengawasan dan nasihat secara sungguh-sungguh dengan kepedulian, kehati-
hatian, iktikad baik, jujuran dan sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Pasal
114 ayat (3) UUPT menjelaskan mengenai pelanggaran fiduciary duty juga
berakibat pada tanggung jawab komisaris secara pribadi atas kerugian perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.Pengawasan
dan nasihat wajib dilakukan oleh komisaris dengan kehati-hatian yaitu tidak
sembrono dan tidak lalai dengan memperhatikan pertimbangan yang wajar.
Kesalahan dan kelalaian menjadi dasar penerapan piercing the corporate viel pada
komisaris sehingga komisaris dibebani tanggung jawab tidak terbatas sampai
kepada harta pribadi komisaris.192
191
Ibid., hlm. 458. 192
Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit Pasal 114.
Universitas Sumatera Utara
87
Piercing the corporate viel diberlakukan kepada komisaris dalam hal
sebagai berikut :
a. Komisaris tidak melaksakan fiduciary duty
b. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar
c. Kepailitan perseroan karena kelalaian komisaris193
Apabila komisaris merasa tidak bersalah, komisaris dapat melakukan
pembuktian terbalik sesuai ketentuan dalam Pasal 114 ayat (5) UUPT, yaitu: 194
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian;
dan
c. telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Komisaris dalam kaitannya dengan kepailitan sebuah perseroan telah
diatur dalam Pasal 115 ayat (1) dan ayat (2) UUPT yaitu dalam hal terjadi
kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan
pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan
perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat
kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung renteng ikut
bertanggung jawab dengan anggota direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi anggota
193
Munir Fuady, op.cit., hlm. 26 194
Indonesia (Perseroan Terbatas), loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
88
dewan komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan.195
Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum
Perseroan Terbatas bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama
bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang
dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak
ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan
hukum. Dimana doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan dalam PT
dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya penipuan dan
ketidakadilan serta untuk melindungi pemegang saham minoritas, dimana
pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan
pribadi, pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau pemegang saham yang bersangkutan,
baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan
kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.196
195
Munir Fuady, op.cit., hlm. 29. 196
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
89
BAB IV
TANGGUNGJAWAB HOLDING COMPANY DALAM TINDAKAN
HUKUM ANAK PERUSAHAAN
A. Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Viel dalam Tindakan Hukum
Anak Perusahaan
Prinsip piercing the corporate veil dapat dikaji penerapannya dalam kasus
meluapnya lumpur panas dari sumur bor PT Lapindo Brantas Inc. dimana casing
sebagai pelindung lubang bor tidak dipasang, sehingga lumpur meluap keluar
melalui celah-celah yang tidak tertutup casing. Meluapnya lumpur panas tersebut
berdampak dengan merembesnya lumpur tersebut ke pemukiman penduduk dan
infratruktur vital daerah Porong, Sidoarjo. Akhirnya PT Lapindo Brantas Inc.
harus membayar ganti rugi kepada berbagai pihak karena lumpur panas tersebut
menutupi dan menimbun pemukiman, persawahan, jalan raya dan perkantoran. PT
Lapindo Brantas Inc. Kerugian ditaksir mencapai Rp. 1, 536 Triliun. PT Lapindo
Brantas Inc. sebagai salah satu perusahaan kontraktor kontrak kerja sama yang
ditunjuk oleh Badan Pelaksana Migas melakukan proses pengeboran minyak dan
gas bumi di tepi Sungai Brantas. Sahamnya 100 persen dikantongi oleh PT Energi
Mega Persada Tbk. Dari kasus tersebut penerapan prinsip piercing the corporate
veil seyogyanya juga dapat menarik pertanggung jawaban holding company
bilamana Perseroan Anak (subsidiary):197
197
Benny Batara Tumpal Hutabarat. Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil
Terhadap Pemegang Saham Selaku Personil Pengendali Korporasi Dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang Oleh Perseroan Terbatas. Skripsi Universitas Indonesia, 2011, hlm 101-102
Universitas Sumatera Utara
90
1. dimodali oleh holding company, sehingga subsidiary tersebut benar-benar
dibawah permodalan holding company atau under capitalize, dan
2. dalam keadaan under capitalize tersebut, subsidiary berada dalam keadaan
tidak independent eksistensi ekonomi dan perusahaannya,
3. Subsidiary itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil (agent)
dalam melakukan bisnis holding company.
Kasus ini PT Lapindo Brantas dimiliki oleh Energi Mega Persada melalui
anak perusahaannya yakni PT Kalila Energy Ltd. sebesar 84,24 persen dan Pan
Asia Enterprise 15,76 persen. Sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas,
Energi Mega Persada merupakan anak perusahaan PT. Bakrie & Brothers Tbk.
(Grup Bakrie). Di perusahaan itu, Grup Bakrie memiliki 63,53 persen saham dan
sisanya dimiliki Rennier A.R. Latief sebanyak 3,11 persen, Julianto Benhayudi
2,18 persen, dan publik 31,18 persen. Disini dapat dilihat bahwa terjadi
undercapitalization terhadap PT Lapindo Brantas, Inc. Kemudian dominasi
holding terhadap subsidiary terlihat dari indikasi begitu besarnya kontrol dari
perusahaan induk terhadap moneter PT Lapindo Brantas, yang dijewantahkan
dengan niat untuk menjual saham PT Lapindo Brantas kepada pihak ketiga yakni
Lyte Ltd dan kemudian Freehold Group.198
Disini terdapat indikasi bahwasanya
perusahaan pengendali berniat untuk mengalihkan tanggung-jawab hukumnya
yang telah ada (existing-obligation) kepada pihak ketiga, sehingga karena ada
indikasi199
unsur itikad tidak baik atau penggunaan tidak wajar (improper use)
maka hapuslah tanggung jawab terbatas perseroan terbatas, sehingga dapat
198
Ibid, hlm. 103. 199
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
91
diterapkan penegakan piercing the corporate veil terhadap kewajiban hukum
perseroan tersebut. 200
Terlebih setelah belakangan diketahui bahwasanya
Freehold Group adalah perusahaan special purpose vehicle (SPV) yang terindikasi
bodong yang dimiliki oleh James Belcher.201
Beberapa alasan atau sebab diperlukannya piercing the corporate veil
terhadap holding company dalam tindakan hukum anak perusahaan yakni melihat
realitas bisnis yang ada sebagai berikut:202
1. Terjadinya dominasi tanpa tanggung jawab yang dilakukan holding
company terhadap anak perusahaan. Dalam hal ini terjadi pengendalian
yang dilakukan holding terhadap anak perusahaan. Induk perusahaan
sebagai pemegang saham anak perusahaan melakukan pengendalian anak
perusahaan dengan melaksanakan fungsi hak suara dalam RUPS anak
perusahaan, maupun mengangkat anggota direksi atau dewan komisaris
anak perusahaan. Pelaksanaan hak suara induk perusahaan ini diarahkan
bagi tercapainya fungsi penanaman modal pada anak perusahaan. Sehingga
mengakibatkan induk perusahaan melakukan tindakan oputunistik.203
a. Tindakan induk perusahaan melakukan eksternalisasi usaha yang
beresiko tinggi kepada anak perusahaan
b. Tindakan induk perusahaan memanfaatkan sebagain utang anak
perusahaan untuk membiayai kegiatan operasional anak perusahaan
yang lain tanpa sepengetahuan kreditur anak perusahaan
200
Ibid, hlm. 103. 201
Ibid. 202
Sulistiowati, Dominasi tanpa Tanggung Jawab Induk Perusahan, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2014), hlm.8 203
Ibid
Universitas Sumatera Utara
92
c. Tindakan induk perusahaan dapat mengalihkan sebagian asset dari
anak perusahaan yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan yang
lain, tanpa sepengetahuan dari pemegang saham minoritas atau
kreditur anak perusahaan tersebut.
2. Holding berlindung dibalik tirai limited liability. Berlakunya limited
liability menyebabkan tanggung jawab induk perusahaan semakin terbatas
pula. Dengan demikian, tanggung jawab induk semakin terbatas dan
mendekati tidak bertanggung jawab jika induk mengeksetrnalisasi kegiatan
usaha beresiko kepada anak perusahan lapisan kemepat, kelima dan
seterusnya
3. Adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dari holding
company. Dalam hal ini holding dapat diberlakukan piercing the corporate
veil apabila terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi terhadap perusahaan lainnya melalui anak perusahan. Unsur
kerugian dari suatu perbuatan melawan hukum atau wanprestasi menjadi
dasar bagi lahirnya tanggung jawab hukum atas pelaku dalam hal ini
holding sebagai pemegang saham. Apabila pelaku terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum, pelaku dapat dibebani suatu tanggung jawab
hukum. Demikian juga, tanggung jawab kontraktual lahir sejak adanya
kewajiban dalam hubungan kontraktual. Namun, tanggung jawab baru
lahir ketika kewajiban kontraktual tidak dilaksanakan. Dengan demikian,
apabila wanprestasi terjadi maka holding dapat diberlakukan.204
204
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Group di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), hlm..135.
Universitas Sumatera Utara
93
4. Karena adanya unsur kerugian terhadap pihak ketiga, yaitu
a. Banyak kasus tanggung jawab pada holding company menggunakan
undercapitalization sebagai dasar utama untuk mengajukan gugatan
piercing the corporate veil. Namun sebagian yuridis menggunakan
aturan bahwa undercapitalization tidak dapat menjadi alasan tunggal
untuk membenarkan pengabaian badan hukum perseroan sehingga
perlu pembenaran-pembenaran indikator lainnya.
b. Induk perusahaan dapat mengalihkan sebagian aset dari anak
perusahaan yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan yang lain,
tanpa sepengetahuan dari pemegang saham minoritas atau kreditur dari
anak perusahaan yang hampir bangkrut. Apabila anak perusahaan
akhirnya bangkrut, kepemilikan atas sebagian aset tersebut sudah
beralih kepada anak perusahaan yang lain. Hal ini mengakibatkan
pemegang saham minoritas maupun kreditur mengalami kerugian
karena mengalami kesulitan untuk menuntut aset yang dialihkan
kepada anak perusahaan yang lain.
c. Induk perusahaan dapat melakukan pengumpulan aset modal dan non
modal yang diarahkan untuk mendukung keputusan dan melaksanakan
kewajiban hutang korporasi. Sebaliknya, secara teoritis pemegang
saham pengendali melaksanakan pengurangan asset untuk menghindari
berbagai tanggung jawab yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.205
205
Ibid, hlm..140-141.
Universitas Sumatera Utara
94
Holding company bertanggung jawab terahadap tindakan anak hukum
perusahaan dalam hal:
a. Tidak menyetor modal dalam hal ini holding company tidak menyetorkan
modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang saham
pada saat pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
menurut Pasal 33 UUPT. Apabila hal tersebut merugikan perseroan
terbatas atau pihak ketiga, maka doktrin piercing the corporate veil
berlaku.
b. Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan. Dalam hal
terjadi pencampuradukan antara urusan perseroan terbatas dengan urusan
pribadi, maka tanggung jawab pemegang saham dapat dimintakan.
Contohnya adalah dalam hal :
1) Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.
2) Asset milik perseroan terbatas diatas namakan pribadi.
3) Terjadi percampuran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan
harta kekayaan perseroan terbatas.
4) Pembayaran perseroan terbatas dengan cek pribadi tanpa justifikasi
yang sah
c. Jaminan pribadi holding company,yaitu apabila holding company
memberikan jaminan pribadi bagi perjanjian bisnis yang dibuat oleh
perusahaan, maksudnya adalah holding company menginginkan kegiatan-
kegiatan tertentu yang dilakukan perseroan terbatas tersebut dibebankan
kepadanya, sehingga holding company dengan sendirinya turut
Universitas Sumatera Utara
95
bertanggung jawab apabila ada gugatan dari pihak ketiga atas kerugian
yang muncul dari kegiatan yang dijamin tersebut. Kapan dan sejauhmana
tanggung jawab holding company sebagai pemegang saham, tergantung
kepada isi perjanjian jaminan tersebut.206
B. Dampak Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Viel dalam Perseoran
Terbatas
Sebagai wadah untuk melakukan kegiatan usaha, suatu PT harus didukung
oleh perangkat organisasi serta para pengurus yang menjalankan perseroan. Untuk
itu dibutuhkan kerangka kerja hukum yang pasti agar perseroan dapat bekerja
dengan produktif dan efisien, dan terdapat arahan hukum yang jelas dalam
melaksanakan kegiatan perseroan.207
Salah satu perangkat kerja atau organ yang terpenting dalam perseroan
yaitu dewan direksi, Direksi sebagai salah satu pemegang saham/organ dalam
perseroan bertugas dan bertanggung jawab dalam pengelolaan perseroan. Pada
prinsipnya direksi bertanggung jawab terhadap perseroan bukan kepada pemegang
saham secara perseorangan, tugas kepengurusan direksi tidak terbatas pada
kegiatan rutin melainkan juga berwenang dan wajib mengambil inisiatif membuat
rencana dan perkiraan mengenai perkembangan perseroan untuk masa mendatang
dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan.208
Asas piercing the corporate veil mulai diterapkan dalam perseroan terbatas
ketika dirasa perlu adanya pengaturan baru dalam perseroan khususnya
206
Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: Utomo, 2005),
hlm. 20-23. 207
Ibid 208
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm..72.
Universitas Sumatera Utara
96
pengaturan bagi para pengurus perseroan. Hal ini mengingat banyaknya kesalahan
dan kelalaian yang ditimbullkan oleh para pengurus perseroan salah satunya
dewan direksi, dimana dewan direksi secara sengaja dengan itikad tidak baik
melakukan perbuatan melawan hukum dimana direksi menggunakan harta
kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadinya sehingga menyebabkan
timbulnya kerugian bagi perseroan.209
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diterapkan asas piercing the
corporate veil dimana tanggung jawab pengurus perseroan yang tadinya bersifat
terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas di mana dalam hal tertentu
tidak tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas direksi perseroan
terbatas, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad baik
maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan
terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan
hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada
organ PT tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas.210
Dengan adanya pengaturan tersebut maka para pemegang saham khususnya
dewan direksi dapat dituntut oleh pemegang saham yang lainnya ke pengadilan
negeri apabila terbukti melakukan perbuatan yang menyimpang yang
menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan.211
Penerapan teori piercing the corporate veil tersebut merubah tanggung
jawab pemegang saham dalam perseroan yang bersifat terbatas menjadi tanggung
jawab tidak terbatas, sehingga beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan
209
Ibid, hlm. 74. 210
Roni Ansari N.S, Piercing The Corporate Veil dan Penerapannya, 2011, hlm. 21. 211
Ibid ,hlm.22.
Universitas Sumatera Utara
97
kepada pihak lainnya selain pemegang saham, misalnya direksi atau komisaris.
Penerapan prinsip piercing the corporate veil terhadap direksi dapat dilakukan
dalam hal :212
1. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
2. Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.
3. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
4. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
5. Permodalan yang tidak layak
6. Perseroan beroperasi secara tidak layak.
7. Anggota direksi tidak melaporkan kepemilikan saham oleh anggota direksi
yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan terbatas.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang
dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta
pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan direksi
adalah direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di
antaranya:213
a. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan
(breach of duty);
b. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan
(omission of duty);
c. Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah
(misstatement);
212
Erman, Tanggungjawan Direksi dalam Perseroaan Terbatas Berdasarkan Prinsip
fiduciary relationship, Attikel Fakultas Hukum USAHID Jakarta,2011 hlm.9. 213
Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 69
Universitas Sumatera Utara
98
d. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan
(misleading statement);
e. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau
kekuasaan sebagai direksi;
f. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach
of warranty or authorithy commitment;
g. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Apabila direksi terbukti melakukan pelanggaran dalam perseroan, maka
kerugian yang di timbulkan perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi
seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan. Dengan
adanya penerapan asas piercing the corporate veil dalam PT tersebut, maka
memberikan dampak langsung pada para pengurus perseroan dimana para
pengurus perseroan tidak dapat melakukan perbuatan yang menyimpang dari
pelaksanaan perseroan. Dengan demikian tidak ada lagi ruang bagi direksi sebagai
pengurus perseroan untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi perseroan.
C. Bentuk Tanggungjawab Holding Company terhadap Tindakan Hukum Anak
Perusahaan Setelah Diterapkan Prinsip Piercing The Corporate Veil.
Bentuk tanggung jawab holding company dalam tindakan hukum anak
perusahaan setelah diterapkannya piercing the corporate veil adalah berbentuk
ganti rugi setelah melebihi saham yang disetorkan oleh holding pada anak
perusahaan. Tentunya berdasarkan atau dilihat dari kesalahan, atau mutlak. Dan
dilihat dari segi perdata menyarankan ada sarat-sarat yang memenuhi unsur
komponen kerugian starting point dari ganti rugi, bukan karena alasan forje
Universitas Sumatera Utara
99
mayour, saat terjadi kerugian-kerugian dapat diduga, maka ganti rugi dapat di
eksekusi dalam memenuhi kewajiban terhadap tindakan hukum perusahaan.214
Setelah dilakukannya penerapan piercing the corporate veil yang
kemudian diarahkan kepada jenis tanggung jawab perdata dan ditentukan dengan
fault on liability atau strik liability, maka bentuk tanggung jawab dari holding
company terhadap tindakan hukum anak perusahannya adalah dapat berupa ganti
rugi melebihi saham yang ditanamkan. Untuk menentukan bentuk tanggung jawab
holding terhadap tindakan hukum anak perusahaannya. Jika didalam perdata
holding company dapat ditembus dengan piercing the corporate veil sedangkan
dalam pidana dapat ditembus dengan vicarious liability. Sedangkan untuk
adiministrasi dapat dilihat dari teknisnya yang akan memberikan bentuk tanggung
jawab berupa pencabutan izin atau pembekuan.215
Holding company tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama anak perusahaan serta tidak bertanggung jawab atas
kerugian anak perusahaan melebihi saham yang dimilikinya tersebut. Ketentuan
tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama anak
perusahaan dapat disimpangi apabila memenuhi keteria yang terdapat dalam pasal
3 ayat (2) UUPT yaitu pertama, persyaratan anak perusahaan sebagai badan
hukum belum atau tidak terpenuhi, maka holding company harus bertanggung
jawab, yang kedua apabila holding company yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung beritikad buruk memanfaatkan anak perusahaan untuk
214
Muhammad Syafi’I, Piercing The Corporate Veil Terhdap Holding Company Dalam
Tindakan Hukum Anak Perusahaan. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, ISBN : 978-602-19568-3-0, 2016, hlm. 133. 215
Ibid, hlm. 132.
Universitas Sumatera Utara
100
kepentingan pribadi, maka juga harus dimintai pertanggungjawaban terhadap
holding company tersebut, ketiga apabila holding yang bersangkutan terlibat
dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak maka beban tanggung
jawab juga dikenakan kepada holding company tersebut dan yang terakhir adalah
apabila holding yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan anak perusahaan yang mengakibatkan
kekayaan anak perusahaan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang anak
perusahaan, maka holding company juga harus bertanggung jawab. Dengan
demikian dari ketentuan kriteria diatas terlihat bahwa tanggung jawab holding
company sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan akan
hapus apabila terbukti antara lain memenuhi unsur-unsur atau ketentuan-ketentuan
yang di atas216
Jadi, terkait dengan bentuk tanggung jawab holding company terhadap
tindakan anak hukum perusahaan adalah, setelah melihat dari sisi hubungan
hukumnya. Bentuk tanggung jawab dari holding company itu bermuara kesegi
perdata yang memberikan ganti rugi baik secara penuh ataupun tidak. Holding
company dapat bertanggung jawab jika dapat dibuktikan oleh pihak yang
dirugikan dengan menghubungkan teori fault on liability dimana beban
pembuktian terletak pada pihak ketiga yang mengajukan gugatan agar holding
company bertanggung jawab secara pribadi dengan dasar piercing the corporate
veil yang harus dapat mebuktikan kesalahannya. Dapat disimpulkan bahwasanya
segala yang terkait dengan pertanggung jawaban perdata dalam holding company
216
Iwan, Pertanggung jawaban perusahaan induk dalam perusahaan group selaku
pemegang saham terhadap anak perusahaan yang mengalamai kerugian menurut UU PT,
Universitas sebelas maret, Penelitian Ilmiah, 2014, hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
101
terhadap trindakan hukum anak perusahannya bermuara kepada tanggung jawab
ganti rugi setelah diterapkannya piercing the corporate veil terhadap holding
company tersebut.217
Ganti rugi yang dibebankan kepada holding company Paska diterapkannya
piercing the corporate veil terhadap tindakan hukum anak perusahaan, ditentukan
dari segi prinsip tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan. Ganti rugi yang
merupakan ganti rugi holding company terhadap tindakan hukum anak
perusahaan, apabila telah terpenuhi oleh satu prinsip tanggung jawab di atas, maka
dapat disimpulkan bahwasanya ganti ruginya merupakan ganti rugi yang terdapat
dalam Pasal 1246 KUHPerdata yakni biaya, rugi dan bunga yang oleh
siberpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas
rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.218
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut
Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
1. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
2. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga. 219
Kerugian nyata dan keuntungan yang tidak diperoleh dimaksudkan sebagai
hukuman bagi si pelaku, dalam hal ini adalah holding yang melakukan realitas
bisnis terhadap tindakan anak hukum perusahaan dituntut untuk ganti rugi,
penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-kasus kesengajaan yang berat.
217
Ibid. 218
Muhammad Syafi’i, op.cit, hlm.134. 219
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.14
Universitas Sumatera Utara
102
KUHPerdata ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari holding company
harus memenuhi persyaratan persyaratan sebagai berikut
1. Dilihat dari segi komponen kerugian yaitu biaya, rugi, dan bunga
2. Dilihat dari starting point dari ganti rugi
3. Kemudian bukan karena alasan force majour
4. Kemudian saat terjadinya kerugian, bahwasannya suatu ganti rugi hanya
dapat diberikan terhadap kerugian yang telah benar-benar dideritanya, kedua
kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan yang sedia yang
dapat dinikmati.
5. Kerugian yang dapat diduga, bahwasannya kerugian yang timbul tersebut
haruslah diharapkan akan terjadi atau patut diduga akan terjadi dugaan,
dimana sudah ada pada saat dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.
220
Dengan kata lain bahwasannya khusus ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh holding company harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh di atas agar holding company
memberikan ganti rugi terhadap tindakan anak hukum perusahaannya. Jika telah
melihat dari segi persyaratan-persyaratan tersebut maka dapatlah dilakukan
pembayaran ganti rugi setelah memenuhi syarat-syarat sedemikian rupa .221
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa holding company
bertanggung jawab atas tindakan hukum anak perusahaan. Hubungan hukum yang
220
Salim& Erlies Septiana Nurbani, Buku kedua penerapan teori hukum pada penelitian
disertasi dan tesis, (Jakarta: Rajagrafindo, 1998), hlm..239. 221
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm..140
Universitas Sumatera Utara
103
terjadi pada holding company dengan anak perusahaan timbul akibatnya adanya
ikatan kepemilikan saham yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-
masing pihak. Dengan kata lain holding company dan anak perusahaan harus
saling mematuhi hak dan kewajiban tersebut yang mana hak dan kewajiban yang
ada di dalamnya mengkibatkan tanggungjawab yang lebih dominan holding
company. Terjadinya dominasi tanggung jawab terhadap holdimg company
terhadap anak perusahaan dalam hal ini holding company sebagai pemegang
saham dari anak perusahaan melakukan pemgendalian yang sering kali sulit
ditembus berdasarkan prinsip limit liability.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diterapkanlah satu prinsip
modern lain yaitu piercing the corporate veil. Prinsip piercing the corporate veil
yang diterapkan tersebut bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil dari
tindakan sewenang-wenang atau tidak layak dlakukan atas nama perseroaan Baik
yang timbul dari transaksi dari pihak ketiga yang timbul dari perbuatan yang
menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.
Penerapan prinsip piercing the corporate veil tidak hanya dilakukan hanya
pemegang saham, tetapi oleh setiap pihak yang dalam kedudukannya
memungkinkan untuk dilakukannya penyimpangan atau kesalahan atau
diakukannnya hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukannya yang bermuara
pada terjadinya kerugian terhadap perseroan. Dengan demikian bentuk tanggung
jawab holding company dengan anak perusahaan setelah diterapkannya prinsip
piercing the corporate veil adalah berbentuk ganti rugi yang dimana sebelumnya
holding company tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang dibuat
Universitas Sumatera Utara
104
atas anak perusahaan serta tidak bertanggung jawab atas kerugian anak
perusahaan melebih saham yang dimilikinya tersebut.
Ketentuan tidak bertanggung jawab atas perikatan yang dibuat atas nama
anak perusahaan dapat disimpangi apabila memenuhi kriteria yang terdapat dalam
Pasal 3 ayat (2) UUPT. Ganti rugi yang dilakukan oleh holding company
merupakan ganti rugi sebesar apa yang dialami oleh siperugi dan akan bisa lebih
tentunya melihat objek kerugiannya. Hukuman ganti rugi tersebut dapat dilihat
berdasarkan dari kesalahan dan dilihat dari segi perdata dengan memenuhi syarat-
syarat dan unsur yang memenuhi komponen kerugian bukan karena alasan force
majour jadi saat terjadi kerugian-kerugian yang terduga, maka ganti rugi dapat
dieksekusi dalam memenuhi kewajiban hukum anak perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
105
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
1. Hubungan hukum yang terjadi pada holding company adalah hubungan yang
timbul akibat adanya suatu ikatan berdasarkan kepemilikan saham. Hal ini
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang satu sama lain
harus saling mematuhinya. Hak dan kewajiban yang ada di dalamnya dapat
melahirkan tanggung jawab yang lebih dominan dipegang oleh perusahaan
holding sebagai pemilik saham. Tanggung jawab tersebut berlaku sebatas berapa
besar saham yang dimiliki oleh holding company.
2. Penerapan prinsip piercing the corporate veil yang telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 3 ayat (2),
namun pada penerapan prinsip piercing the corporate veil yang ada di dalam
UUPT masih kurang jelas dan tegas diatur, namun prinsip piercing the corporate
veil ada dimuat dalam peraturan lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
3. Tanggung jawab holding company terhadap tindakan hukum Anak Perusahaan
setelah diterapkan piercing the corporate veil adalah ganti rugi. Ganti rugi yang
dibebankan kepada holding company setelah diterapkannya piercing the corporate
viel terhadap tindakan hukum anak perusahaan ditentukan dari segi prinsip
tanggung jawab hukum, dimana berdasarkan tanggung jawab berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
106
kesalahan. Baik karena perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Ganti rugi
yang dilakukan holding company terhadap tindakan hukum anak perusahaan
dapat terpenuhi setelah melalui prinsip tanggung jawab di atas. Hukuman ganti
rugi yang dimaksud merupakan ganti rugi sebesar apa yang dialami oleh siperugi
dan bisa akan lebih tentunya dengan melihat objek kerugiannya. Besarnya jumlah
ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku dalam hal ini
adalah holding company yang melakukan realitas bisnis terhadap tindakan anak
hukum perusahaan.
B. Saran
1. Prinsip piercing the corporate veil ini lebih dipertegas pengaturannya dalam salah
satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat melakukan
penerobosan atas tanggung jawab terbatas direksi yang sulit ditembus oleh
pengadilan dengan menambah pengetahuan dan keahlian dalam menangani
kasus-kasus dalam bidang hukum perusahaan, yang lebih banyak memakai asas-
asas atauprinsip-peinsip hukum yang berasal dari anglo saxon system.
2. Disarankan setiap perseroan di Indonesia untuk menerapkan prinsip piercing the
corporate veil yang dijadikan landasan oleh organ perseroan (RUPS, Direksi,
Dewan Komisaris) dalam menjalankan perseroan dengan baik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meminimalkan terjadinya
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan perseroan.
Universitas Sumatera Utara
107
3. Sebaiknya untuk mengetahui dengan jelas seluk beluk, mekanisme dan tanggung
jawab dalam perusahaan grup hendaklah masalah perusahaan grup atau
perusahaan kelompok diatur dalam peraturan pelaksana dari undang-undang
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Ddiaturnya perusahaan
group/kelompok kedalam perundang-undangan, maka diharapkan kepentingan
pihak ketiga dapat dilindungi dan perkembangan perusahaan grup atau perusahaan
kelompok tidak menjurus pada praktek monopoli.
Universitas Sumatera Utara