repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68814 › Chapter...

67
41 BAB III PENERAPAN PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM PERSEROAN TERBATAS A. Sejarah Prinsip Piercing The Corporate Veil Salah satu topik populer dalam hukum perusahaan adalah topik piercing the corporate veil. Piercing the corporate veil sangat erat hubungannya dengan sifat dari PT itu sendiri. PT adalah badan usaha yang memiliki status badan hukum. Dengan status badan hukum tersebut, PT mempunyai harta kekayaan sendiri, dan tanggung jawab sendiri. 73 Tanggung jawab dan kekayaannya PT terpisah dengan kekayaan milik organ perusahaan seperti direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham. Hal ini berarti setiap kewajiban atau utang PT hanya dilunasi dari harta kekayaan PT itu sendiri. Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan tanggung jawab suatu perusahaan yang tidak berbentuk badan hukum seperti firma atau perseroaan komanditer, jika terjadi kerugian terhadap pihak ketiga atas kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk perseroan (yang bukan badan hukum), pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik perusahaan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar harta benda pribadi dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang. 74 Awalnya dari pentingnya fungsi kontrol terhadap direktur tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan 73 Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 2. 74 Ibid, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara

Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68814 › Chapter...

41

BAB III

PENERAPAN PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL

DALAM PERSEROAN TERBATAS

A. Sejarah Prinsip Piercing The Corporate Veil

Salah satu topik populer dalam hukum perusahaan adalah topik piercing

the corporate veil. Piercing the corporate veil sangat erat hubungannya dengan

sifat dari PT itu sendiri. PT adalah badan usaha yang memiliki status badan

hukum. Dengan status badan hukum tersebut, PT mempunyai harta kekayaan

sendiri, dan tanggung jawab sendiri.73

Tanggung jawab dan kekayaannya PT

terpisah dengan kekayaan milik organ perusahaan seperti direksi, dewan

komisaris, dan pemegang saham. Hal ini berarti setiap kewajiban atau utang PT

hanya dilunasi dari harta kekayaan PT itu sendiri. Hal tersebut sangat berbeda

dibandingkan dengan tanggung jawab suatu perusahaan yang tidak berbentuk

badan hukum seperti firma atau perseroaan komanditer, jika terjadi kerugian

terhadap pihak ketiga atas kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk perseroan

(yang bukan badan hukum), pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik

perusahaan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar harta

benda pribadi dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang.74

Awalnya dari pentingnya fungsi kontrol terhadap direktur tidak terlepas

dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu

sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan

73

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 2. 74

Ibid, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

42

kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd (1897). Teori ini mengungkapkan bahwa

sebuah pembentukan PT menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya

atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban

yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau

menjalankannya.75

Dalam perkembangannya, teori Salomon sering disalahgunakan oleh para

pemilik atau direktur yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini

terjadi karena seorang direktur dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan

dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan

berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan

mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam

perusahaan tersebut dengan membeli saham. Pemegang saham ini sering kali

hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap

prilaku direktur. Oleh karena itu dengan adanya pemisahan kekayaan antara

direktur dan perusahaannya, para direktur mempunyai moral hazard yang tinggi

karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila

keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para direktur yang

menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali

menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. Adanya penyimpangan ini

tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri dalam hukum perusahaan. Kerugian

perusahaan tentunya dapat merugikan pemilik modal perusahaan. Investasi

mereka akan hilang apabila perusahaan tersebut menjadi insolven. Demikian juga

75

Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta:

Forum Sahabat, 2008), hlm 41.

Universitas Sumatera Utara

43

apabila ada barang atau jasa yang digunakan oleh perusahaan yang diperoleh

secara kredit, direktur akan mengelola barang dan jasa yang didalamnya terdapat

hak para kreditur yang baru akan hilang apabila hutang kredit tersebut dibayar

lunas.76

Terkait dengan perusahaan negara, secara umum dapat dikatakan bahwa

perusahaan negara yang terpisah badan hukumnya (separate legal entity) tidak

dapat dibebani apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum

yang lain.77

Pengakuan terhadap perusahaan yang memiliki badan hukum terpisah

sudah dilaksanakan oleh Inggris sejak 1817 dalam kasus Salomon v. Salomon

juga I Congreso del Partido, dimana pengadilan menyatakan bahwa,

“Perusahaan yang dikendalikan oleh negara, dengan kepribadian legal,

kemampuan untuk berdagang dan masuk ke dalam kontrak hukum privat,

meskipun sepenuhnya tunduk pada kendali negara mereka adalah fitur

yang terkenal dari dunia komersial modern. Perbedaan antara mereka, dan

negara pemerintahan mereka, mungkin tampak buatan: tapi ini adalah

perbedaan yang diterima dalam hukum Inggris dan negara-negara lain”.78

Dalam sejarah sistem hukum common law yang dianut di Inggris,

penerapan prinsip piercing the corporate veil ini sudah berkembang sejak awal

abad 20. Salah satu kasus yang menjadi pioneer adalah ketika pengadilan Inggris

memberikan putusan dalam kasus Salomon v Salomon & Co Ltd. Namun, dalam

76

Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007. Persepektif Hukum Bisnis Pembelaan

Direksi melalui Prinsip Business Judgment Rule, Disamping pada seminar Bisnis 46 tahun FE

USU: ìPengaruh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di

Sumatera Utaraî, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007, hlm. 4. 77

William C. Hoffman, “The Separate Entity Rule in International Perspective: Should

State Ownership of Corporate Shares Confer Sovereign Status for Immunity Purpose?”, Tulane

Law Review, Vol. 65, No. 3, February 1991, hlm. 546. 78

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

44

perkembangannya, penerapan prinsip piercing the corporate veil ini dapat

dikategorikan kedalam beberapa kelompok, yaitu:79

1. Periode Classical Veil Lifting (1897-1966), di mana pada periode ini,

terdapat beberapa putusan pengadilan tentang penerapan prinsip

piercing the corporate veil, diantaranya adalah:

a. Daimler Co Ltd v Continental Tyre and Rubber Co (Great Britain)

Ltd (1916) yang mana pengadilan memutuskan untuk menyingkap

tabir perusahaan untuk menentukan apakah Perusahaan Daimler

merupakan “musuh” pada saat Perang Dunia Ke-1, pada akhirnya

karena mayoritas pemegang saham adalah warga negara Jerman,

maka pengadilan memutuskan bahwa perusahaan tersebut

merupakan “musuh”

b. Gilford Motor Co Ltd v Horne (1933) dimana seorang mantan

pekerja, yaitu Horne, dari Perusahaan Gilford Motor Co Ltd yang

terikat pada perjanjian untuk tidak mengambil pelanggan dari

bekas tempatnya bekerja, namun Horne kemudian mendirikan

perusahaan untuk menyaingi Gilford Motor Co Ltd. Pengadilan

kemudian memutuskan bahwa perusahaan tersebut didirikan untuk

tujuan yang tidak baik sehingga pengadilan memutuskan untuk

memberikan perintah

c. Jones v Lipman (1962) yang mana Lipman setuju untuk menjual

tanahnya kepada Jones. Namun kemudian Lipman berubah pikiran

79

Nindyo Pramono, Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara, (Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012), hlm 27-32

Universitas Sumatera Utara

45

dan memutuskan untuk tidak menjual tanahnya. Lipman kemudian

mendirikan perusahaan untuk menghindari transaksi.

2. Periode Interventionist years (1966-1989), dimana pada periode ini,

pengadilan di Inggris merubah cara pandang dari yang sebelumnya sangat

berhatihati untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil, menjadi

lebih aktif untuk melakukan intervensi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat

Lord Denning dalam kasus Littlewoods Mail Order Stores v IRC (1969)

yang menyatakan bahwa :

“Doktrin yang ditetapkan dalam kasus Salomon harus diawasi dengan

sangat hati-hati Seringkali seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-

undangan mengenai kepribadian sebuah perusahaan terbatas yang tidak

bisa dilihat oleh pengadilan Tapi itu tidak benar. Pengadilan bisa, dan

sering melakukannya, menarik topengnya. Mereka melihat apa yang

benar-benar tertinggal. Badan legislatif telah menunjukkan jalannya

dengan akun kelompok dan sisanya. Dan pengadilan harus mengikutinya”.

Putusan pengadilan tentang penerapan prinsip piercing the veil pada

periode ini yaitu :80

a. DHN Food Distributors Ltd v Tower Hamlets (1976) yang menurut

pendapat Lord Denning bahwa suatu grup usaha pada realitasnya

merupakan entitas tunggal sehingga harus diperlakukan sebagai satu

kesatuan. Namun dalam kasus Woolfson v Strathclyde Regional

Council (1978), House of Lords tidak sependapat dengan pendapat

Lord Denning dalam kasus DHN Food Distributors Ltd v Tower

Hamlets (1976).

80

Ibid, hlm. 29-30.

Universitas Sumatera Utara

46

b. House of Lords menyatakan bahwa pengadilan dapat memutus untuk

menerapkan prinsip piercing the veil hanya dalam keadaan tertentu

saja. Tetapi, pendapat Lord Denning tersebut masih menjadi salah satu

pertimbangan seperti dalam kasus Re a Company (1985), dimana

Court of Appeal menyatakan bahwa :

“Kami melihat kasus-kasus sebelum dan sesudah Wallersteiner v Moir

1974 1 WLR 991. Kasus Lord Denning lainnya menunjukkan bahwa

pengadilan akan menggunakan kekuatannya untuk menembus jilbab

perusahaan jika perlu untuk mencapai keadilan terlepas dari

keefektifan hukum dari struktur perusahaan yang sedang

dipertimbangkan”.

3. Periode back to basics (1989-present), pada periode ini, salah satu putusan

pengadilan yang cukup terkenal adalah dalam kasus Adams v Cape

Industries Plc (1990). Dalam kasus ini pengadilan memutuskan untuk

tidak menyatakan bahwa Cape Industries Plc sebagai satu entitas tunggal

dengan subsidiaris lainnya. Hal penting dalam kasus Adams v Cape

Industries Plc (1990) adalah timbulnya pendapat bahwa pengadilan dapat

menerapkan prinsip piercing the corporate veil dalam tiga keadaan, yaitu:

a. Jika pengadilan memutuskan untuk menginterpretasikan statuta atau

peraturan, yaitu ketika Court of Appeal dalam SamengoTurner v J&H

Marsh & McLennan (Services) Ltd (2008) menyatakan grup usaha

sebagai satu objek yang keberadaannya dapat dibedakan terhadap

objek lain dengan dasar bahwa adanya kesamaan bisnis sebagai bentuk

penerapan dari EU Regulation;

Universitas Sumatera Utara

47

b. Adanya tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan fakta yang

sesungguhnya terjadi di perusahaan, sehingga dalam hal ini pengadilan

berwenang untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil;

c. Penerapan prinsip agensi. Dalam periode ini, terdapat beberapa

putusan pengadilan yang cukup menarik terkait dengan penerapan

prinsip piercing the veil, diantaranya adalah Creasey v Breachwood

Motors Ltd (1993) dan Ord v Belhaven Pubs Ltd (1998). Kedua kasus

tersebut mengilustrasikan penerapan classic veil lifting, bahwa apakah

pembentukan suatu perusahaan untuk menjalankan bisnis yang

legitimate atau hanya merupakan motif untuk menghindari kewajiban.

Jika tujuannya untuk menghindar dari kewajiban seperti dalam

Creasey v Breachwood Motors Ltd (1993), maka dapat dimungkinkan

untuk menerapkan prinsip piercing the veil.81

Prinsip bahwa perusahaan negara atau badan hukum lainnya milik negara

yang memiliki badan hukum tersendiri (separate legal entity) tidak dapat dibebani

apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum lain bukanlah

absolut. Hal ini dapat diterobos apabila pengadilan bisa membuktikan adanya

alter ego antara hubungan keduanya.82

Sejak tahun 1995 Indonesia telah memiliki UUPT tersendiri yang terdiri

dari 129 Pasal. UUPT 1995 sudah cukup rinci diatur mengenai hak dan

tanggungjawab organ perseroan serta kedudukan perseroan itu sendiri yang

dibatasi oleh norma-norma yang berlaku secara universal termasuk makna

81

Ibid, hlm. 31-32. 82

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan

Yurisprudensi Edisi Revisi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), hlm. 270.

Universitas Sumatera Utara

48

terbatasnya. PT pada dasarnya adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang

atau lebih dengan tujuan untuk melakukan usaha dan mencari keuntungan. Tujuan

tersebut tidak disebutkan dalam UUPT dan KUHD, namun tujuan tersebut

terdapat dalam Pasal 1618 KUHPerdata yang mengatur tentang perseroan perdata

secara umum. Hubungan kontraktual antara para pihak dalam PT memiliki ciri

khas bahwa setiap pihak yang turut serta dalam hubungan kontraktual tersebut

akan menyetorkan modalnya akan dinilai dengan nominal saham PT tersebut.83

Para pihak yang lazimnya disebut sebagai pemegang saham hanya

bertanggungjawab sebatas nilai saham yang dimilikinya. Makna keterbatasan

tersebut menjadi unsur pembeda utama bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk

perseroan lainnya. Kata terbatas dalam PT mulai dikenal sejak kasus Salomon vs

Salomon Co.84

Konsep pemisahan identitas pribadi sebuah perselisahaan terhadap direksi

dan pemegang sahamnya telah melembaga sejak kasus Salomon v. Salomon &

Co. Dalam kasus itu, dipahami bahwa perusahaan tidak bertindak untuk salah satu

pemegang saham, kewajiban-kewajiban perusahaan juga bahkan kewajiban para

pemegang saham, sekalipun saham-saham tersebut dipercayakan kepada satu

orang." Selanjutnya, sebuah perusahaan tidak dapat dianggap sebagai agen dari

para pemegang sahamnya kecuali terdapat bukti kuat dan jelas untuk

menunjukkan bahwa perusahaan dimaksud secara nyata bertindak sebagai agen

dalam sebuah transaksi tertentu.85

83

Freddy Harris. Pemisahan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas. Jumal Hukum

dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No.1 Januari- Maret 2005. hlm. 91 84

Ibid . 85

Licht, Amir N. "Accountability and Corporate Governance ". 2002, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

49

Konsep tentang sebuah perusahaan memiliki tanggung jawab terpisah

terhadap direksi dan pemegang sahamnya mengacu kepada sejumlah referensi

yang berbeda, termasuk status pribadi hukum perusahaan, tabir perusahaan, dan

pemisahan pribadi hukum. Semua penamaan tersebut merefleksikan pemikiran

bahwa sebuah perusahaan sepenuhnya memiliki kepribadian hukum yang terpisah

terhadap pendiri, pemegang saham, direksi dan staf perusahaannya.86

Eksistensi PT dalam sistem hukum Indonesia pertama kalinya diatur

dalam KUHD (Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847 – 23) KUHD, dengan

demikian dapat dikatakan adanya lembaga PT dalam sistem hukum Indonesia

masuk melalui sistem hukum Belanda.87

Di Negeri Belanda PT dikenal dengan

nama naamloze vennootschap (NV). Secara harfiah NV mempunyai arti

persekutuan tanpa nama. Menurut Rudhy Prasetya, istilah NV atau persekutuan

tanpa nama ada hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD dan Pasal

36 KUHD.88

Pasal 16 KUHD mengatur tentang firma. Dalam Firma, orang-orang

menjalankan usaha bersama di bawah nama bersama. 89

Nama firma dapat saja

nama salah seorang dari anggota sekutu firma atau bisa juga nama-nama para

sekutu dalam firma sekaligus.90

Rudhy Prasetya menyatakan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD yang

mengatur tentang firma tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 36

86

Ibid, hlm 92 87

Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 10. 88

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-

undang Kepailitan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hlm. 11. 89

Ibid., hlm. 41. 90

Rudhy Prasetya, op.cit., hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara

50

KUHD. Pasal 36 KUHD ini menunjuk perkecualian atas berlakunya Pasal 16

KUHD. Tegasnya justru nama-nama orang tidak dipergunakan dalam NV.91

Rudhy Prasetya maksud Pasal 36 KUHD ini adalah tiada lain untuk

mempertajam kedudukan mandiri PT agar terlepas dari orang-perorangannya,

yang membedakan PT dengan bentuk perusahaan lainnya.92

Guna menjawab tantangan tersebut maka diundangkanlah UUPT 1995.

Adapun alasan penggantian menurut UUPT 1995 tersebut dalam konsiderans

antara lain :

1. Ketentuan yang diatur dalam KUHD dianggap tidak sesuai lagi

peraturan PT yang ditentukan oleh KUHD, tidak sesuai lagi dengan

perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat, baik

secara nasional maupun internasional.

2. Menciptakan kesatuan hukum dalam perseroan yang berbentuk badan

hukum (rechts person, legal person, legal entity)93

Disamping konsideran yang dikemukakan, dalam penjelasan umum juga

dirumuskan hal-hal berikut antara lain:

1. Sasaran umum pembangunan, antara lain diarahkan kepada

peningkatan kemakmuran rakyat.

2. Untuk mencapai sasaran tersebut, sarana penunjang antara lain tatanan

hukum yang mampu mendorong dan mengendalikan berbagai kegiatan

pembangunan di bidang ekonomi.94

91

Ibid. 92

Ibid, hlm. 42. 93

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.

24.

Universitas Sumatera Utara

51

Kemudian diganti lagi dengan UUPT dan yang menjadi alasan

dilakukannya penggantian UUPT tersebut sebagaimana dalam konsideran

menimbang UUPT, yaitu:

1. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,

serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

2. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian

nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia

usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan

kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di era globalisasi pada

masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang

mengatur tentang PT yang mendapat menjamin terselenggaranya iklim

dunia usaha yang kondusif.

3. Bahwa PT sebagai salah satu pilar pengembangan perekonomian

nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu

pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan.

94

Ibid

Universitas Sumatera Utara

52

4. Bahwa UUPT 1995 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan hukum dengan kebutuhan masyarakat sehingga perlu

diganti dengan undang-undang yang baru.95

B. Pengaturan Prinsip Piercing The Corporate Veil dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007

Berdasarkan Pasal 1 UUPT, PT merupakan badan hukum yang merupakan

persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha

dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan

pelaksanaannya.96

Dari pengertian tersebut, hal penting yang perlu digarisbawahi

adalah pada kata “badan hukum”. Dari pengertian tersebut dapat dianalisis

mengenai sebatas mana tanggung jawab perseroan dan tanggung jawab direksi. 97

Sebagai badan hukum pendirian PT sangatlah penting. Pendirian PT dapat

mengakibatkan hilangnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham sebesar

setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan

pribadi (piercing the corporate veil) apabila pendirian PT tidak sah. Artinya bila

pendirian tidak sah maka pemegang saham harus bertanggung jawab secara

pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan atas kerugian PT. Sehingga

dengan demikian pendirian PT harus memperhatikan syarat dan mekanisme

pendirian PT yang diatur dalam regulasi di Indonesia.98

95

Ibid. 96

Indonesia,(Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 1. 97

Ibid, Pasal 5 98

Jandi Mukianto, Pendirian, Pengurusan, dan Pengawasan Perseroan Terbatas di

Indonesia, WIEM – Registered Indonesian Legal Consultant, 2014, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

53

Dalam ilmu hukum perusahaan istilah teori piercing the corporate veil

merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk

membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan

hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa

melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan

pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan

hukum dari perusahaan tersebut, serta membebankan tanggung jawab kepada

pihak pribadi dan pelaku dari perseroan tersebut, dengan mengabaikan prinsip

tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya

dinikmati oleh mereka.99

Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara

hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:

1) Terjadinya penipuan.

2) Didapatkan suatu ketidakadilan

3) Terjadinya suatu penindasan (oppression).

4) Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).

5) Dominasi pemegang saham yang berlebihan.

6) Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.100

Teori piercing the corporate veil sangatlah berguna untuk menjembatani

kepentingan hukum antara holding company dengan tindakan hukum anak

99

Muhammad Syafi’i, op. cit, hlm. 218. 100

Ibid, hlm. 129.

Universitas Sumatera Utara

54

perusahaan, karena bagaimanapun juga jika ada hubungan hukum, maka tentu

akan ada akibat hukumnya.101

Prinsip piercing the corporate veil ini telah dirumuskan dalam UUPT

secara tegas, namun terbatas, yakni dalam empat hal, sebagaimana diatur dalam

Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa para pemegang

saham tetap bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan perseroan

bila:102

1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.

Menurut UUPT, status badan hukum perseroan baru diperoleh setelah akta

pendiriannya disahkan oleh menteri kehakiman. Selama status PT sebagai

badan hukum belum diperoleh, PT yang bersangkutan tidak berbeda

dengan firma, persekutuan komanditer, atau persekutuan perdata,

karenanya seluruh pemegang saham tanpa kecuali bertanggung jawab

secara pribadi atas segala perikatan yang dilakukan oleh PT tersebut.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) huruf a UUPT, maka sebelum memperoleh

pengesahan dari Menteri Kehakiman atau tidak dipenuhi persyaratan

perseroan sebagai badan hukum, tanggung jawab para pemegang saham,

direksi dan komisaris berubah menjadi tidak terbatas. Artinya, para

pemegang saham, direksi dan komisaris ikut bertanggung jawab secara

pribadi bila perseroan mengalami kerugian, sepanjang belum memperoleh

status badan hukum. Setelah memperoleh status sebagai badan hukum,

maka tanggung jawab pemegang saham dan komisaris menjadi terbatas,

101

Ibid. 102

Ryan Aulia Akbar, Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang

Hak Tanggungan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2012, hlm 16-17

Universitas Sumatera Utara

55

sedangkan tanggung jawab direksi masih tidak terbatas. Dalam Pasal 23

UUPT ditentukan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UUPT belum

dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas

segala perbuatan hukum yang dilakukan. Lebih lanjut lagi, penjelasan

Pasal 23 UUPT ini menyatakan bahwa selain sanksi pidana yang diatur

dalam undang-undang tentang wajib daftar perusahaan, Pasal 23 ini

mengatur sanksi perdata dalam hal kewajiban, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 21 dan Pasal 22, UUPT tidak terpenuhi.

2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk

kepentingan pribadi. Perseroan yang dimaksud dalam alasan ini adalah

perseroan yang berbadan hukum dan dengan hanya berlaku bagi pemegang

saham yang beritikad buruk yang memanfaatkan perseroan untuk

kepentingan pribadinya. Tentang ada tidaknya itikad buruk pada diri

pemegang saham harus dibuktikan.

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab secara pribadi di

sini hanya berlaku bagi pemegang saham yang terlibat dalam perbuatan

hukum yang dilakukan perseroan. Perseroanlah yang melakukan perbuatan

yang melawan hukum, sedangkan pemegang sahamnya ikut terlibat saja

dalam perbuatan melawan hukum tersebut. Inipun juga harus dibuktikan.

Universitas Sumatera Utara

56

4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

utang perseroan. Berbeda dengan alasan diatas, di sini yang melakukan

perbuatan melawan hukum adalah pemegang sahamnya, dengan cara

menggunakan kekayaan perseroan, sehingga mengakibatkan kekayaan

perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dengan

kata lain, tanggung jawab para pemegang saham besifat residual, bahwa

para pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum

tersebut baru bertanggung jawab secara material setelah kekayaan

peseroan terbatas tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.103

Menurut Munir Fuadi, agar suatu piercing the corporate veil, secara

hukum di jalankan dengan memenuhi ketentuan :

1. Terjadinya penipuan.

2. Didapat suatu ketidakadilan.

3. Terjadinya suatu penindasan (oppression)

4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).

5. Adanya dominsi pemegang saham yang berlebihan.

6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya. 104

UUPT mengakui teori piercing the corporate veil dengan membebankan

tanggung jawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.

103

Ibid. 104

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya

dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2010)., hlm.9.

Universitas Sumatera Utara

57

Pengaturan terhadap prinsip piercing the corporate veil. Pasal 3 ayat (1)

UUPT mengatur mengenai prinsip tanggung jawab terbatas atau limited liability

atau limitatief aansprakelijkheid, sedangkan Pasal 3 ayat (2) mengatur mengenai

batasan terhadap prinsip limited liability tersebut. Pasal 3 ayat (2) UUPT

menyebutkan bahwa ketentuan yang diatur pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku

jika :

1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan

pribadi;

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan;

4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

utang perseroan.105

Selain itu, prinsip piercing the veil ini dapat ditemukan pula pada

ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa

“dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui,

pemegang saham tetap kurang dari dua orang, pemegang saham bertanggung

jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas

105

Nindyo Pramono. Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara,

(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Press, 2012), hlm. 33-34.

Universitas Sumatera Utara

58

permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan

perseroan tersebut”.106

C. Penerapan Piercing The Corporate Veil dalam Peraturan Perundang-

Undangan yang Terkait dengan Perseroan Terbatas

Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, doktrin piercing the

corporate veil ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip keterpisahan

tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dengan pemegang sahamnya,

walaupun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu

perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukan.

Cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak.

Dengan demikian ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut

bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan

oleh dan atas nama perseroan itu sendiri.107

Tanggung jawab terbatas dari pemegang saham bisa hapus atau hilang

dalam hal-hal tertentu.108

Hal-hal tertentu tersebut maksudnya antara lain apabila

terbukti terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta

kekayaan perseroan, sehingga perusahaan didirikan semata-mata sebagai alat yang

dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.109

Apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi

pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan

semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi

106

Indonesia, (Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 7. 107

Munir Fuady , op.cit, hlm.88 108

I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahan. (Jakarta: Megapoin, 2000), hlm 145. 109

Ibid, hlm.146.

Universitas Sumatera Utara

59

tujuan pribadinya, maka dalam keadaan demikian para pemegang saham, direksi

dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan prinsip

piercing the corporate veil harus bertanggungjawab dengan harta pribadinya dan

atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata.110

Terjadinya piercing the corporate veil adalah sebagai berikut :

1. Persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.

2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith)

memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau

4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan

menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan atau PT (Pasal 3 ayat

(2) UUPT).111

Dengan demikian pemegang saham “dalam keadaan tertentu” dapat saja

kehilangan “kekebalan” atas tanggung jawab terbatasnya, atau dengan kata lain ia

harus bertanggungjawab penuh secara pribadi. Beberapa hal yang terhadapnya

dapat diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah :

1. Permodalan yang tidak layak;

2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;

3. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan;

110

Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum

Perusahaan. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004), hlm. 4. 111

I.G. Rai Widjaya, op cit, hlm. 146.

Universitas Sumatera Utara

60

4. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan

hukum.112

Dalam hubungannya dengan tanggung jawab induk perusahaan (holding

company) doktrin piercing the corporate veil melihat tanggung jawab induk

perusahaan tersebut dari 2 (dua) sisi yaitu:

a. Tanggung jawab perusahaan pengontrol sebagai induk perusahaan dalam

suatu kelompok usaha; dan

b. Tanggung jawab perusahaan holding sebagai pemegang saham.113

Ciri utama PT adalah PT merupakan subjek hukum yang berstatus badan

hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited

liability) bagi perseroan, para pemegang saham, anggota direksi, dan

komisaris.114

Dalam rangka meningkatkan tegaknya keadilan dan mencegah

ketidakwajaran, pada keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip keterpisahan

perseroan dari pemegang saham, secara kasuistik perlu digantikan dan dihapus

dengan cara menembus tembok atau tabir perseroan atas perisai tanggung jawab

terbatas.115 Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham ini pada mulanya

merupakan masalah yang kontroversial, karena ada yang berpendapat bahwa

tanggung jawab pemegang saham dalam PT tidak boleh lebih dari nilai saham

yang di ambilnya, sesuai dengan pengertian kata terbatas dalam nama badan

112

Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2002), hlm 61-62 113

Ibid, hlm 83 114

Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum

Perusahaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 7 115

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm 76.

Universitas Sumatera Utara

61

hukum ini. 116

Persoalan yang timbul, apakah prinsip tersebut berlaku dalam segala

kondisi ataukah ada kondisi tertentu yang menyebabkan prinsip ini menjadi tidak

berlaku lagi. Kondisi-kondisi yang membuat prinsip tanggung jawab terbatas ini

menjadi tidak berlaku lagi, disebut sebagai kondisi di mana telah terjadi piercing

the corporate veil.117 Untuk istilah piercing the corporate veil kadang-kadang

disebut juga dengan istilah lifting the corporate veil atau going behind the

corporate veil. Penerapan prinsip ini mempunyai isi utama, yaitu untuk mencapai

keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan yang mempunyai

hubungan hukum tertentu.118

Kata piercing the corporate veil terdiri atas kata-kata sebagai berikut:

a. Pierce : menyobek/mengoyak/menembus

b. Veil : kain tirai atau cadar

c. Corporate : perusahaan

Secara harfiah istilah piercing the corporate veil berarti

mengoyak/menyikap/cadar perseroan, sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan

istilah tersebut sudah merupakan suatu doktrin atau teori yang mengartikan

sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau

perusahaan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan atau pelaku

usaha (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut

116

Ibid. 117

Leo J. Susilo, Good Corporate Governance Pada Bank, (Bandung: Hikayat Dunia,

Bandung 2007), hlm.42. 118

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

62

sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.119 Penghapusan tanggung

jawab terbatas diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT, yang menyatakan

tanggung jawab pemegang saham hapus atau tidak berlaku apabila terjadi hal-hal

tertentu. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab

terbatas. 120

Kamus hukum merumuskan perusahaan sebagai tindakan peradilan yang

memaksakan pertanggungjawaban pribadi terhadap petugas korporasi, direktur,

dan pemegang saham perusahaan yang tidak sah atas perbuatan salah korporasi

tersebut.

Penjelasan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut di atas

menunjukkan bahwa, piercing the corporate veil hanya dapat terjadi dalam hal

adanya tindakan atau perbuatan yang salah. Perlu diperhatikan bahwa, dilarang

bukan saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau melakukan

sesuatu yang tidak boleh dilakukan, melainkan termasuk juga dalam kategori

melakukan tindakan atau perbuatan yang salah. Dengan demikian, untuk

mengetahui bagaimana piercing the corporate veil dapat diberlakukan,

bergantung sepenuhnya pada kewenangan yang dimiliki dan kewajiban yang

dipikul oleh pihak yang hendak dimintakan pertanggungjawaban pribadi

tersebut.121

Dengan demikian, berarti pada prinsipnya terdapat banyak sekali

kemungkinan penyebab terjadinya pelanggaran terhadap luasnya kewenangan

119

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya

Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.7. 120

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 76. 121

Black’s Law Dictionary, op.ci, hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

63

yang dimiliki dan atau kewajiban yang dipikul, yang dapat menyebabkan

berlakunya prinsip piercing the corporate veil ini.122

Penerapan teori piercing the corporate veil secara universal dilakukan

dalam hal-hal sebagai berikut: 123

a. Penerapan teori piercing the corporate veil, karena perusahaan tidak

mengikuti formalitas tertentu

Salah satu alasan untuk menerapkan teori piercing the corporate veil adalah

jika perusahaan tersebut tidak atau tidak cukup memenuhi formalitas tertentu

yang diharuskan oleh hukum perusahaan. Sasaran utama penerapan teori piercing

the corporate veil dalam hal ini agak berbeda dari biasanya. Dalam hal ini tidak

bertujuan langsung untuk melindungi pihak tertentu, seperti pihak minoritas atau

pihak ketiga, tetapi semata-mata untuk menegakkan hukum agar formalitas

tersebut dipenuhi.

b. Penerapan teori piercing the corporate veil terhadap badan-badan hukum

yang hanya terpisah secara artifisial

Penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam suatu perusahaan

yang sebenarnya dalam kenyataan adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut

dibagi kedalam beberapa perseroan secara artifisial. Misalnya, terdapat beberapa

perseroan yang terpisah secara artifisial, tetapi bisnisnya dilakukan sedemikian

rupa sehingga, seolah-olah bisnis tersebut dilakukan oleh satu unit perusahaan

saja. Oleh karena itu, dengan menerapkan teori piercing the corporate veil beban

tanggung jawab akan diberikan kepada seluruh perseroan yang saling terkait

122

Ibid. 123

Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, (Bandung:

Refika Aditama, 2015), hlm.278.

Universitas Sumatera Utara

64

tersebut.

c. Penerapan teori piercing the corporate veil berdasarkan hubungan

kontraktual

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan jika ada hubungan

kontraktual antara perusahaan dengan pihak ketiga. Tanpa penerapan teori

piercing the corporate veil tersebut, kerugian terhadap pihak ketiga tidak

mungkin tertanggulangi. Agar dapat diterapkan teori piercing the corporate veil

dalam hubungan dengan kontrak pihak ketiga ini, biasanya dipersyaratkan

terdapat unsur keadaan yang tidak lazim pada aktivitas perusahaan. Keadaan tidak

lazim tersebut dapat berupa salah satu dari fakta-fakta seperti permodalan

perusahaan tidak dinyatakan dengan benar atau tidak disetor, pihak ketiga

diperdaya untuk bertransaksi dengan perseroan.124

d. Penerapan teori piercing the corporate veil karena perbuatan melawan

hukum atau tindak pidana

Jika terdapat unsur pidana dalam suatu kegiatan perseroan, meskipun hal

tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri. Berdasarkan teori piercing the

corporate veil, oleh hukum dibenarkan jika tanggung jawab dimintakan kepada

pihak-pihak lain, seperti direksi atau pemegang saham. Demikian juga jika

perusahaan melakukan perbuatan di bidang perdata (onrechtmatigedaad).

Misalnya manakala bisnis perusahaan berskala besar sementara modalnya sangat

kecil.125

124

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya

Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.12 125

Ibid, hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

65

e. Penerapan teori piercing the corporate veil dalam hubungan dengan holding

company dan anak perusahaan

Selain terhadap perseroan tunggal, teori piercing the corporate veil juga

muncul dalam hal perusahaan dalam grup usaha. Dalam hal ini menurut ilmu

hukum dikenal apa yang disebut dengan doctrin instrumental. Menurut doktrin

ini, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan. Dalam hal ini berarti yang

bertanggung jawab, bukan hanya badan hukum yang melakukan perbuatan huum

yang bersangkutan, melainkan juga pemegang saham (induk perusahaan) ikut

bertanggung jawab secara hukum, yakni jika terdapat salah satu unsur- unsur

sebagai berikut:126

1) express agency,

2) Estoppels,

3) Direc tort, atau

4) Dapat dibuktikan adanya tiga unsur sebagai berikut:

a) Pengontrolan anak perusahaan oleh perusahaan holding.

b) Penggunaan kontrol oleh perusahaan holding untuk melakukan

penipuan, ketidakjujuran, atau tindakan tidak fair lainnya.

c) Terdapatnya kerugian sebagai akibat dari breach of duty dari

perusahaan holding.

Penerapan teori piercing the corporate veil kedalam tindakan suatu

perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari

perseroan tersebut (meskipun berbadan hukum), tetapi juga pertanggungjawaban

126

Ibid, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

66

hukum dapat dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan, penerapan teori

piercing the corporate veil juga membebankan tanggung jawab hukum kepada

organ perusahaan yang lain, seperti direksi atau komisaris.127

Rumusan piercing the corporate veil menunjukkan bahwa, suatu perseroan

terbatas sering kali tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari kehendak pihak-

pihak yang merupakan dan menjadi pemegang saham dari perseroan terbatas

tersebut. Dalam konterks demikian, kehendak dari perseroan terbatas tersebut

adalah kehendak dari pemegang saham perseroan terbatas tersebut. Dalam konteks

yang demikian, konsep piercing the corporate veil menyatakan bahwa, jika

keadaan terpisah perseroan dengan pemegang sahamnya tidak ada, maka sudah

selayaknya jika sifat pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga

dihapuskan. Dengan disibaknya cadar pembatas antara perseroan dan pemegang

saham dalam melakukan pengelolaan perseroan, maka cadar pembatas

pertanggungjawaban terbataspun demi hukum hapus dan bercampur menjadi satu.

Jadi, dalam hal ini pemegang saham turut bertanggung jawab secara pribadi

terhadap kerugian perseroan terbatas.128

Penerapan piercing the corporate veil tidak hanya dapat dilakukan oleh

pemegang saham perseroan, melainkan juga oleh setiap pihak yang dalam

kedudukannya memungkinkan terjadinya penyimpangan atau dilakukannya hal-hal

yang dapat, atau dilakukannya hal-hal yang sepatutnya dilakukan, yang bermuara

pada terjadinya kerugian bagi perseroan, sehingga perseroan tidak dapat atau

127

Gunawan Widjaja, “Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris&Pemilik PT” ,

(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm.25

128 Ibid, hlm 27

Universitas Sumatera Utara

67

tidak sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibannya.129 Artinya, pengurus

perseroan atau direksi dan atau dewan komisaris dapat juga dimintakan

pertanggungjawaban pribadinya, atas kerugian perseroan.130

Penerapan piercing the corporate veil dalam beberapa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan Perseroan Terbatas adalah sebagai

berikut:

1. Prinsip piercing the corporate veil dalam perundang-undangan Indonesia

a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Dalam KUHD, ketentuan tentang perseroan terbatas di atur dalam

Pasal 36 sampai dengan Pasal 55, Buku Kesatu, Bab Ketiga Bagian

Ketiga. Seharusnya ada dua pasal lagi yang mengatur tentang

perseroan terbatas, yaitu Pasal 57 dan 58, namun berdasarkan

Staatsblad 1938 Nomor 276, dua pasal tersebut telah dihapus. Hal-hal

yang diatur antara lain adalah syarat pendirian dan tata cara pendirian,

permodalan dan saham perseroan, pengurus perseroan, tempat

kedudukan perseroan dan jangka waktu berdirinya perseroan,

pembubaran perseroan, laporan keuangan (laporang untung rugi)

perseroan. Dari 19 pasal terkait dengan ketentuan PT tersebut, tidak

ada satu pasal pun yang menyingung keberadaan piercing the

corporate veil dalam konteks pertanggungjawaban pemegang saham.

Ketentuan Pasal 40 ayat (2) KUHD menyebutkan, “para persero atau

pemegang saham tersebut tidak bertanggungjawab untuk lebih dari

129

Ibid, hlm. 29. 130

Ibid, hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara

68

pada jumlah penuh andil tersebut”. Berbeda dengan UUPT, baik

UUPT 1995 maupun UUPT, KUHD tidak memberikan pengecualian

atas prinsip limited liability (pertanggungjawaban terbatas). Oleh

karenanya, piercing the corporate veil dalam konteks pemagang saham

tidak dikenal dalam ketentuan KUHD.131

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Dengan berlakunya UUPT 1995 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret

1996, maka segala ketentuan dalam Buku Kesatu Bagian III Bagian

Ketiga, Pasal 36 – 56 KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi. Prinsip

dasar limited liability ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995,

yang menyebutkan bahwa, “pemegang saham perseroan tidak

bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama

perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan

melebihi nilai saham yang telah diambilnya”. Namun demikian prinsip

tersebut tidaklah berlaku mutlak, di mana Pasal 3 ayat (2) UUPT 1995

membuka ruang pertanggungjawaban pemegang saham melebihi

saham yang ia setorkan apabila:132

1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak

terpenuhi;

131

Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate

Veil Pada Perseroan Terbatas Di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada

Yogyakarta. Yustisia Vol.2 No.3 September - Desember 2013, hlm 29. 132

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

69

2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-

mata untuk kepentingan pribadi;

3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan

perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak

cukup untuk melunasi hutangnya

c. UUPT sama halnya dengan UUPT 1995, UUPT sampai batas tertentu

juga mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil, dengan

membebankan tanggungjawab tersebut kepada pihak-pihak sebagai

berikut: 133

(1) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak pemegang saham;

(2) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak direksi dan dewan

komisaris. Pemindahan beban tanggungjawab kepada pemegang

saham dalam UUPT antara lain di atur dalam Pasal 33 ayat (1) dan

(2), Pasal 7 ayat (5) dan (6), serta Pasal 33. Selain itu, penerapan

piercing the corporate veil dapat dilihat juga dari ketentuan Pasal 7

ayat (1) UUPT yang menyebutkan bahwa, “perseroan didirikan

oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam

bahasa Indonesia”. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (5) dan (6), yang

133

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

70

menyatakan setelah perseroan memperoleh status sebagai badan

hukum dan pemegang saham kurang dari dua orang, maka dalam

jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak keadaan tersebut,

pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian

sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham

baru kepada orang lain. Selanjutnya, dalam jangka waktu enam

bulan tersebut, pemegang saham tetap kurang dari dua orang,

pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala

perikatan dan kerugian perseroan, dan atas pihak yang

berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan

tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, tampak terdapat perluasan pengaturan

doktrin piercing the corporate veil dari KUHD sampai dengan UUPT 1995 dan

UUPT. Sebagai produk kolonial Belanda yang dibuat tahun 1840, KUHD belum

mengatur doktrin piercing the corporate veil, khusus terkait dengan untuk

pemegang saham. UUPT 1995 sebagai pengganti ketentuan mengenai PT yang

ada dalam KUHD, kemudian telah memasukkan ketentuan piercing the corporate

veil terkait keberadaan pemegang saham dan memperluas ketentuan piercing the

corporate veil yang berkaitan dengan direksi dan komisaris.134

UUPT sebagai

pengganti UUPT 1995, secara prinsip tidak mengubah atau menambahkan materi

atau bentuk pelanggaran piercing the corporate veil. Apabila dirunut dari KUHD

sampai dengan UUPT, dapat disimpulkan secara normatif perbuatan-perbuatan

134

Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate

Veilpada Perseroan Terbatas Di Indonesia, Jurnal Yustisia Edisi 87 September - Desember 2013,

hlm 29.

Universitas Sumatera Utara

71

yang dapat dikategorikan sebagai piercing corporate veil, dalam hukum perseroan

terbatas di Indonesia, antara lain:135

a. Direksi melanggar anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar

perseroan;

b. Formalitas pendirian perseroan belum terpenuhi baik oleh Pemegang

Saham;

c. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk

kepentingan pribadi;

d. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

e. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengak ibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

hutangnya;

f. Perolehan saham melalui mekanisme pembelian saham kembali oleh

perseroan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,

g. Direksi dan atau komisaris tidak melaksanakan fiduaciary duty;

h. Perhitungan laporan tahunan oleh direksi dan atau komisaris, khususnya

laporan keuangan yang tidak benar atau menyesatkan;

i. Direksi dan atau merupakan penyebab perusahaan mengalami kepailitan

135

Ibid, hlm.31.

Universitas Sumatera Utara

72

a. Penerapan prinsip piercing corporate veil dalam kasus (praktek) di

lapangan

Secara normatif ketentuan piercing the corporate veil baru dilembagakan

dalam undang-undang berdasarkan UUPT 1995, mengingat KUHD sebagai

warisan Kolonial Belanda belum mengatur doktrin piercing corporate veil, khusus

terkait dengan untuk pemegang saham. Namun dalam kasus PT. Bank

Pembangunan Asia dengan PT. Djaya Tunggal di tahun 1991, prinsip tersebut

telah dipakai oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya, meskipun belum ada

dasar hukumnya secara normatif, kecuali dalam KUHD yang diatur secara

terbatas.136

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Mahkamah Agung telah

menerapkan teori atau doktrin piercing the corporate veil, yaitu tindakan

persekongkoln antara direksi dan dewan komisaris, yang menyebabkan kerugian

pada perusahaan, dapat diminta pertanggungjawaban terhadap Direksi dan

Komisaris yang bersekongkol tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam kasus

O. Sibarani dengan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd” tahun

1973 dimana Mahkamah Agung membuat hukum sendiri berdasarkan doktrin

piercing the corporate veil, yang kemudian subtansi putusan kemudian diadopsi

dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT 1995 dan diadopsi lagi dalam Pasal 7 ayat (5)

UUPT, yang menyatakan bahwa setelah perseroan memperoleh status badan

hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang

saham bertanggungjawab secara pribadi apabila dalam jangka waktu paling lama

136

Ibid, hlm .30.

Universitas Sumatera Utara

73

6 (enam) bulan tidak mengalihkan sebagian saham kepada pihak lain atau

perseroan juga tidak mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Hal yang sama

juga diterapkan dalam PT. Usaha Sandang dengan PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland

Ltd. Sedikit berbeda dengan dalam kasus Raden Roosman dengan Perusahaan

Otobis N.V. Sendiko dengan mendasarkan pada Pasal 39 selama prosedur

pendirian perseroan belum terpenuhi, maka pengurus yang menyebabkan kerugian

perseroan yang belum berbadan hukum tersebut dapat dimintakan

pertanggungjawaban.137

Organ-organ perseroan ini juga dapat disebut dengan alat perlengkapan

perseroan terbatas yang bedasarkan ketentuan-ketentuan yang memuat syarat-

syarat konstitutif dari badan hukum, berupa anggaran dasar dan atau undang-

undang serta peraturan-peraturan lain menunjukkan orang-orang mana yang dapat

bertindak untuk dan atas pertanggung-jawaban badan hukum, orang-orang ini

disebut dengan organ (alat perlengkapan) dari badan hukum tersebut.138

Undang-undang PT mensyaratkan bahwa PT harus memiliki organ yang

terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan

Komiaris. Berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-masing organ tersebut.

1. Rapat umum pemegang saham (RUPS)

Rapat umum pemegang saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang

memiliki kewenangan eksklusif. Kewenangan ini sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1 ayat (4) UUPT, tidak akan pernah diberikan atau dialihkan kepada

komisaris ataupun direksi, konkretnya RUPS merupakan sebauh forum yang

137

Ibid, hlm.31 138

Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan,

Koperasi, Yayasan, Wakaf. (Bandung:Alumni,1993),hlm, 33

Universitas Sumatera Utara

74

mewakili seluruh pemegang saham perseroan dimana para pemegang saham

memiliki kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai

perseroan, baik dari komisaris maupun direksi.139

Pemegang saham bertanggung jawab pada apa yang disetorkan atau

bertangung jawab terbatas (limited liability), tidak bertanggung jawab atas

kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya, tidak

bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama

perseroan.140

Konsep hukum perseroan di Indonesia menganut sistem limited liability

(tanggung jawab yang terpisah). Hal ini berarti bahwa tindakan, perbuatan dan

kegiatan perseroan bukan tindakan pemegang saham dan kewajiban dan tanggung

jawab perseroan bukan kewajiban dan tanggung jawab pemegang saham.141

Konsep ini diberlakukan dengan maksud untuk melindungi pemegang saham dari

kerugian yang lebih besar di luar apa yang telah mereka investasikan, pemegang

saham mampu mengalihkan resiko kegagalan bisnis yang potensial kepada para

kreditor perseroan dan untuk mendorong investasi dan memfasilitasi akumulasi

modal perseroan.142

Setiap kerugian yang dialami perseroan akibat gagalnya

perseroan melakukan kewajibannya tidak menjadi tangggung jawab penuh dari

pemegang saham.Pasal 3 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa pemegang saham

139

Orinton Purba, Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan

Terbatas, agar Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 2. 140

I. G. Rai Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan undang-undang di Bidang

Usaha Hukum Perusahaan Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Pendaftaran

Perusahaan, TDUP & SIUP, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2013), hlm 143 141

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan, Catakan Ketiga, Edisi Ketujuh, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), hlm. 71 142

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Total Media,

2009) hlm. 260.

Universitas Sumatera Utara

75

perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas

nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi

saham yang dimiliki atau hanya sebatas modal yang disetor kepada perseroan.143

Adapun wewenang RUPS menurut UUPT, antara lain :

a. Menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban

yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau

kuasanya. 144

b. Menyetujui perbuatan hukum perseroan yang dilakukan oleh semua

direksi, semua komisaris dan semua pendiri atas nama perseroan yang

dihadiri oleh semua pemegang saham.145

c. Menetapan perubahan anggaran dasar.146

d. Menyetujui pembelian kembali saham atau pengalihan saham yang telah

dikeluarkan oleh perseroan.147

.

e. menyerahkan kewenangan kepada komisaris untuk menyetujui

pelaksanaan RUPS untuk membeli atau mngalihan saham yang telah

dikeluarkan perseroan dalam jangka waktu paling lama satu tahun.148

f. menetapan penambahan modal dan pengurangan modal perseroan149

g. menyetujui rencana kerja tahunan apabila AD PT menentukan demikian150

h. menyetujui laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta

laporan tugas pengawasan komisaris.151

i. menetukan laba bersih termsuk penyisihan laba bersih yang akan digunkan

sebagai cadangan.152

j. menetapkan pembagian tugas dan wewenang antar anggota direksi.153

k. mengangkat anggota direksi.154

l. menetapkan besarnya gaji dan tunjangan direksi.155

m. menunjuk pihak yang akan mewakili perseroan apabila direksi atau

komisaris mempunyai benturan kepentingan.156

n. memberi persetujuan direksi untuk : 157

a) mengalihkan kekayaan Perseroan; atau

143

Ibid. 144

Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit, hlm Pasal 13. 145

Ibid, Pasal 14. 146

Ibid, Pasal 19. 147

Ibid, Pasal 38. 148

Ibid, Pasal 39 149

Ibid, Pasal 43 dan Pasal 44 150

Ibid, Pasal 64. 151

Ibid, Pasal 69. 152

Ibid, Pasal 71. 153

Ibid, Pasal 92. 154

Ibid, Pasal 94. 155

Ibid, Pasal 96. 156

Ibid, Pasal 99. 157

Ibid, Pasal 102.

Universitas Sumatera Utara

76

b) menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan; persetujuan ini

diperlukan apabila lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah

kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik

yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.

o. Memberi persetujuan kepada direksi untuk mengajukan permohonan pailit

atas perseroan sendiri ke Pengadilan Niaga setempat. 158

p. memberhentikan direksi159

q. menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota direksi

yangbersangkutan diberhentikan untuk seterusnya 160

r. menggangkat komisaris.161

s. Menetapkan besarnya gaji dan honorarium dan tunjangan komisaris.162

t. Mengangkat komisaris independen.163

u. memberi persetujuan rancangan penggabungan.164

v. memberi persetujuan mengenai penggabungan, peleburan,

pengambilalihan atau pemisahan.165

w. memberi keputusan atas pembubaran perseroan.166

x. menerima pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi167

Tidak selamanya limited liability dapat menjadi perisai bagi para

pemegang saham dalam tanggung jawab atas kerugian perseroan. Ketika

pemegang saham berbuat dengan iktikad tidak baik atau tindakan dari pemegang

saham merugikan perseroan limited liability dapat disingkirkan atau ditembus

dengan mengoyak tabir perseroan atas perisai limited liability tersebut dengan

menggunakan doktrin piercing the corporate veil.168

Apabila tanggung jawab

(limited liability) tersebut terkoyak dan perisai dapat tertembus maka tanggung

jawab pemegang saham tertembus dan dapat menjangkau harta pribadi. Pasal 3

158

Ibid, Pasal 104. 159

Ibid, Pasal 105. 160

Ibid, Pasal 106. 161

Ibid, Pasal 111. 162

Ibid, Pasal 113. 163

Ibid, Pasal 120. 164

Ibid, Pasal 123. 165

Ibid, Pasal 127. 166

Ibid, Pasal 142. 167

Ibid, Pasal 143. 168

Nurini Aprilianda, Jurnal Arena Hukum,, volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, halaman

154-305, hlm. 163.

Universitas Sumatera Utara

77

ayat (2) UUPT memberikan tempat untuk diberlakukannya piercing the corporate

veil. Menurut UUPT piercing the corporate veil dapat diberlakukan ketika:169

a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi

b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi

c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang

perseroan.

2. Direksi

Keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan.

Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin

ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi PT

sangat penting. Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan

terpisah dengan direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa PT

dianggap seakan-akan sebagai subjek hukum, sama seperti manusia.170

Direksi perseroan terbatas merupakan organ yang melaksanakan kegiatan

dan kepengurusan perseroan. Ketentuan ini menugaskan direksi untuk mengurus

169

Ibid. 170

Try Widiyono, Direksi Perseroaan Terbatas (Keberadaan, Tugas, Wewnang dan

Tanggungjawab, (berdasarkan doktrin hukum UUPT), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

78

perseroan yang antara lain, meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan.171

Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan

sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.172

Kedudukan direksi dalam perseroan adalah sebagai eksekutif, dimana

tindakan-tindakannya dibatasi oleh anggaran dasar perseroan. Artinya, mesti

memiliki kewenangan penuh dalam hal kepengurusan perseroan, langkah-langkah

direksi harus tetap dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang serta

anggaran dasar perseroan173

Direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan

kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan dalam UUPT ini

dan/atau anggaran dasar. Yang dimaksud dengan kebijakan yang dipandang tepat

adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia

dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.174

Direksi dalam menjalankan reprentasi di luar pengadilan diantaranya

adalah melakukan kontrak atau transaksi bisnis dengan pihak ketiga, mewakili

Perseroan untuk menandatangi kontrak tersebut, mewakili Perseroan untuk

menghadap pejabat negara dan masih banyak lagi yang lainnya. Mewakili

perseroan di dalam maupun di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

a. Dilakukan sendiri

b. Dilakukan pegawainya yang ditunjuk untuk itu

171

Jamin Ginting, Hiukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2008), (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 113. 172

Ibid. 173

Orinton Purba, op.cit, hlm. 31. 174

Jamin Ginting. loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

79

c. Dilakukan komisaris jika direksi berhalangan, sesuai AD PT

d. Dilakukan oleh pihak ketiga sebagai agen dari perseroan175

Pengurusan oleh direksi dibatasi oleh Pasal 92 ayat (2) UU PT, yang mana

pada pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan pengurusan Perseroan oleh

Direksi sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat yang telah ditentukan dalam

AD PT dan peraturan perundang-undangan. Kepengurusan direksi dapat

dibedakan menjadi perbuatan beheren dan perbuatan beschickking atau perbuatan

van eigendom. Perbuatan beheren yaitu pengurusan dalam arti sempit yang

merupakan wewenang murni dan dapat dilakukan sehari-hari.Sedangkan

perbuatan beschickking merupakan berbuatan kepemilikan yang memerlukan

persetujuan dari organ lainnya.176

Begitu luas kewenangan dan tangggung jawab direksi suatu Perseroan

sehingga direksi wajib melakukan tugasnya dengan iktikad abaik (good faith) dan

penuh tanggung jawab. Direksi sebagai pengelola perseroan merupakan pemegang

amanah (fiduciary) dari pemegang saham. Fiduciary yang dimiliki oleh direksi

menyebabkan direksi mempunyai kewenangan yang sangat tinggi. Oleh karena

itu, seorang direksi dituntut harus dapat mempunyai kepedulian dan kemampuan

(duty of care and skill), iktikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap

perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).177

175

Munir Fuady. Perseroan Paradigma Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.

49. 176

Siti Hapsah Isfardiyana, Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas Dalam Kasus

Kepailitan, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014,

Halaman 151-302, hlm .162. 177

Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara

80

Direksi dalam menjalankan tugas pengurusan dan mewakili perseroan di

depan pengadilan maupun di luar pengadilan harus dengan penuh tanggung jawab

untuk kepentingan perseroan disebut fiduciary dutiy. Fiduciary duty dijalankan

oleh direksi dengan cara:

a. Dilakukan dengan iktikad baik (bona fides)

b. Dilakukan dengan proper purpose

c. Dilakukan dengan kebebasan yang bertanggung jawab (unfettered discretion)

d. Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest) 178

Direksi wajib melaksanakan pengurusan dengan penuh tangung jawab,

yang meliputi aspek :

a. Wajib sesakma dan hati-hati melakukan pengurusan (the duty of the due care),

yakni kehati-hatian yang biasa dilakukan orang (ordinary prudent person)

dalam kondisi yang wajar atau disebut dengan kehati-hatian yang wajar

(reasional care)

b. Wajib melaksanakan pengurusan secara tekun (duty to be diligent), yakni terus

menerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejaian yang menimpa

perseroan

c. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian (duty to

display skill) sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang

dimilikinya.179

Seorang direksi tidak akan bertanggung jawab karena salah dalam

mengambil keputusan (mere errors of judgement) ketika direksi menjalankan

178

Ridwan Khairandy, Op.cit., hlm. 209. 179

M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 383.

Universitas Sumatera Utara

81

tugasnya dengan iktikad baik dan penuh kehati-hatian. Hakim dalam hal ini tidak

diperbolehkan melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap

keputusan bisnis yang diambil oleh direksi sesuai dengan teori keputusan bisnis

(business judgement rule).180

Walaupun setiap keputusan direksi yang diambil

dilindungi oleh business judgement rule, direksi tetap harus beriktikad baik,

berhati-hati dan penuh loyalitas dalam menjalankan kepengurusan perseroan.181

Prinsip penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil)

diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang

atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku,

tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan

oleh/atas nama perseroan pelaku. Dengan demikian, doktrin piercing the

corporate veil ini pada hakikatnya merupakan doktrin yang memindahkan

tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham direksi atau komisaris,

dan bisanya prinsip ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada

perseroan.182

Terdapat perbedaan antara tanggung jawab direksi dengan pemegang

saham dari suatu perseroan, khususnya jika kepada mereka diterapkan doktrin

piercing the corporate veil. Perbedaan tersebut adalah sebagai konsekuensi logis

dari adanya perbedaan peran antara direksi dengan pemegang saham. Sebab,

pihak pemegang saham tidak mempunyai kewenangan eksekutif, yakni tidak

memiliki kewenangan untuk menjalankan servis dari perusahaan tersebut.

180

Munir Fuady, op.cit., hlm. 48. 181

Ibid, hlm 49. 182

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

82

Adapun yang merupakan perbedaan antara tanggung jawab direksi dengan

pemegang saham, khususnya dalam hal penerapan doktrin piercing the corporate

veil, adalah sebagai berikut:

1. Pihak pemegang saham tidak memiliki benturan kepentingan seperti yang

dimiliki oleh pihak direktur. Misalnya dalam hal berlakunya asas larangan

self dealing yang berlaku bagi direksi pada prinsipnya tidak berlaku bagi

pemegang saham. Jadi, biasa saja dan memang tidak ada larangan jiika

seseorang pemegang saham memberikan suara yang mendukung transaksi

self dealing yang menguntungkan dirinya sendiri, Akan tetapi, hal ini

berlaku bagi perusahaan terbuka berhubungan adanya keharusan RUPS

dari pemegang saham independen bagi suatu transaksi yang berbenturan

kepentingan bagi suatu perusahaan terbuka.

2. Meskipun pihak pemegang saham mempunyai tugas dan kewajiban

tertentu terhadap perusahaan, tetapi berbeda dengan direksi, pihak

pemegang saham tersebut tidak mempunyai tugas fiduciary duties.183

Tanggung jawab secara pribadi dari direksi berdasarkan prinsip

piercing the corporate veil ini dapat dielakkan atau setidak-tidaknya dapat

dikurangi jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. Tindakan direksi tersebut dalam rangka menjalankan keputusan RUPS.

2. Diterima oleh RUPS yang dibuat setelah tindakan tersebut.

3. Tindakan tersebut bermanfaat bagi perseroan tanpa melanggar hukum

berlaku.

183

Munir Fuady. op.cit, hlm. 87-88.

Universitas Sumatera Utara

83

4. Terhadap direksi diberikan release and discharge (et quit et de charge)

oleh RUPS.

5. Mengikuti pendapat dari pihak luar yang professional, seperti legal

opinion dari layer, financial reports dari akuntan, pendapat tertulis dari

appraiser, dan lain-lain.184

Tolok ukur dari sebuah tindakan direksi tidak termasuk ultra vires ialah

ketika tindakan tersebut termasuk dalam kewenangan atau maksud dan tujuan

perseroan direksi dianggap mengetahui segala perbuatannya apakah termasuk

dalam ultra vires meskipun sebenarnya dia tidak mengetahui hal tersebut. Hal ini

disebut sebagi pengetahuan konstruktif (constructive notice). Akibat hukum dari

constructive notice adalah :

a. Direksi harus menaati transaksi ultra vires yang telah dibuatnya

b. Jika dengan transaksi tersebut ada keuntungan yang didapat oleh direksi,

keuntungan tersebut haruslah diserahkan kepada perseroan.

c. Direksi secara pribadi harus mengganti kerugian kepada pihak ketiga yang

telah dirugikan oleh tindakan ultra vires tersebut

d. Direksi secara pribadi harus mengganti kerugian atas kerugian Perseroan

karena adanya tindakan ultra vires tersebut.185

3. Komisaris

Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan,

secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasehat kepada direksi dalam

184

Ibid. 185

Ibid, hlm 125.

Universitas Sumatera Utara

84

menjalankan perseroan Pasal 1 ayat (5) UUPT.186

Perkataan komisaris

mengandung pengertian baik sebagai organ maupun sebagai orang perorangan.

Sebagai organ komisaris lazim juga disebut dewan komisaris, sedangkan sebagai

orang perorangan disebut anggota komisaris. Sebagai organ, dalam UUPT ini

pengertian komisaris termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan tugas

pengawasan khusus di bidang tertentu.

Munir Fuady menjelaskan mengenai beberapa pedoman yuridis

pengawasan Komisaris, yaitu:

a. Pengawasan dilakukan oleh komisaris baik diminta mapun tidak diminta

oleh direksi dan RUPS

b. Pengawasan tidak boleh berubah menjadi tugas eksekutif yang seharusnya

dilakukan oleh direksi

c. Pengawasan dilakukan terhadap putusan yang sudah diambil (ex post

facto) atau terhadap putusan yang akan diambil (preventive basisi)

d. Pengawasan bukan hanya menerima laporan dari direksi atau RUPS tetapi

dapat juga merupakan pengambilan tindakan yang bersifat korektif

e. Pengawasa bukan hanya menyetujui atau tidak menyetujui tindakan-

tindakan yang memerlukan persertujuan Komisaris sseperti yang terperinci

dalam anggaran dasar PT tetapi juga pengawasasan terhadap semua aspek

bisnis dan aspek korporat perseroan. 187

Pengawasan komisaris bukan hanya untuk mengawasi direksi tetapi juga

untuk mengawasi para pemegang saham. Pengawasan ditujukan untuk melindungi

186

C.S.T Kansil dan Christine, Pokok-Pokok Perseroan Terbatas Tahun 1995, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 42. 187

Munir Fuady, op.cit, hlm. 127.

Universitas Sumatera Utara

85

kepentingan Perseroan, pemgangku kepentingan, termasuk karyawan dan

lingkungan perseroan serta masyarakat Pengawasan komisaris antara lain

ditujukan pada:

a. Melakukan audit keuangan

b. Pengawasan atas organisasi PT

c. Pengawasan terhadap personalia.188

UUPT tidak terdapat penjelasan terperinci mengenai pemberian nasihat

kepada direksi oleh komisaris.Namun, menurut M. Yahya Harap pemberian

nasihat komisaris kepada direksi cakupannya sangatlah luas.Komisaris dapat

menyampaikan pendapat atau memberi pertimbangan yang layak dan tepat kepada

direksi. Bahkan dapat menyampaikan ajaran yang baik maupun petunjuk,

peringatan, atau teguran yang baik.189

Seperti halnya direksi, komisaris suatu

Perseroan juga diwajibkan untuk beriktikad baik dan penuh dengan kehati-hatian

dalam menjalankan tugasnya. Itikad baik yang harus dilakukan oleh komisaris

tidak berbeda dengan itikad baik yang dilakukan oleh direksi. Dimana komisaris

juga harus dipercaya dengan kejujurannya, pengawasan dan nasihat dilakukan

secara wajar, mematuhi peraturan perundangundangan, loyal terhadap Perseroan

dan menghindari benturan kepentingan dengan perseroan 190

Benturan kepentingan dengan perseroan dapat dihindari oleh komisaris

dengan cara:

a. Tidak menggunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi

188

Ibid, hlm. 128. 189

M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 440. 190

Ibid, hlm 451.

Universitas Sumatera Utara

86

b. Tidak menggunkaan uang dan kekayaan perseroan untuk kepantingan

pribadi

c. Tidak menggunakan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi

d. Tidak mengambil sebagian keuntungan perseroan untuk kepentingan

pribadi

e. Tidak melakukan transaksi apapun dengan perseroan

f. Tidak melakukan persaingan dengan perseroan.191

Direksi diberikan kepercayaan oleh perseroan untuk mengawasi dan

memberikan nasihat kepada direksi. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam

menjalankan tugasnya komisaris juga harus menggunakan prinsip fiduciary duty

sama halnya dengan direksi. Komisaris juga memegang amanah (fiduciary) dari

Perseroan untuk benar-benar memperhatikan perseroan dengan cara melakukan

pengawasan dan nasihat secara sungguh-sungguh dengan kepedulian, kehati-

hatian, iktikad baik, jujuran dan sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Pasal

114 ayat (3) UUPT menjelaskan mengenai pelanggaran fiduciary duty juga

berakibat pada tanggung jawab komisaris secara pribadi atas kerugian perseroan

apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.Pengawasan

dan nasihat wajib dilakukan oleh komisaris dengan kehati-hatian yaitu tidak

sembrono dan tidak lalai dengan memperhatikan pertimbangan yang wajar.

Kesalahan dan kelalaian menjadi dasar penerapan piercing the corporate viel pada

komisaris sehingga komisaris dibebani tanggung jawab tidak terbatas sampai

kepada harta pribadi komisaris.192

191

Ibid., hlm. 458. 192

Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit Pasal 114.

Universitas Sumatera Utara

87

Piercing the corporate viel diberlakukan kepada komisaris dalam hal

sebagai berikut :

a. Komisaris tidak melaksakan fiduciary duty

b. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar

c. Kepailitan perseroan karena kelalaian komisaris193

Apabila komisaris merasa tidak bersalah, komisaris dapat melakukan

pembuktian terbalik sesuai ketentuan dalam Pasal 114 ayat (5) UUPT, yaitu: 194

a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian;

dan

c. telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian tersebut.

Komisaris dalam kaitannya dengan kepailitan sebuah perseroan telah

diatur dalam Pasal 115 ayat (1) dan ayat (2) UUPT yaitu dalam hal terjadi

kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan

pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan

perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat

kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung renteng ikut

bertanggung jawab dengan anggota direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi anggota

193

Munir Fuady, op.cit., hlm. 26 194

Indonesia (Perseroan Terbatas), loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

88

dewan komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan.195

Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum

Perseroan Terbatas bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama

bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang

dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak

ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan

hukum. Dimana doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan dalam PT

dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya penipuan dan

ketidakadilan serta untuk melindungi pemegang saham minoritas, dimana

pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan

pribadi, pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau pemegang saham yang bersangkutan,

baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan

kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.196

195

Munir Fuady, op.cit., hlm. 29. 196

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

89

BAB IV

TANGGUNGJAWAB HOLDING COMPANY DALAM TINDAKAN

HUKUM ANAK PERUSAHAAN

A. Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Viel dalam Tindakan Hukum

Anak Perusahaan

Prinsip piercing the corporate veil dapat dikaji penerapannya dalam kasus

meluapnya lumpur panas dari sumur bor PT Lapindo Brantas Inc. dimana casing

sebagai pelindung lubang bor tidak dipasang, sehingga lumpur meluap keluar

melalui celah-celah yang tidak tertutup casing. Meluapnya lumpur panas tersebut

berdampak dengan merembesnya lumpur tersebut ke pemukiman penduduk dan

infratruktur vital daerah Porong, Sidoarjo. Akhirnya PT Lapindo Brantas Inc.

harus membayar ganti rugi kepada berbagai pihak karena lumpur panas tersebut

menutupi dan menimbun pemukiman, persawahan, jalan raya dan perkantoran. PT

Lapindo Brantas Inc. Kerugian ditaksir mencapai Rp. 1, 536 Triliun. PT Lapindo

Brantas Inc. sebagai salah satu perusahaan kontraktor kontrak kerja sama yang

ditunjuk oleh Badan Pelaksana Migas melakukan proses pengeboran minyak dan

gas bumi di tepi Sungai Brantas. Sahamnya 100 persen dikantongi oleh PT Energi

Mega Persada Tbk. Dari kasus tersebut penerapan prinsip piercing the corporate

veil seyogyanya juga dapat menarik pertanggung jawaban holding company

bilamana Perseroan Anak (subsidiary):197

197

Benny Batara Tumpal Hutabarat. Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil

Terhadap Pemegang Saham Selaku Personil Pengendali Korporasi Dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang Oleh Perseroan Terbatas. Skripsi Universitas Indonesia, 2011, hlm 101-102

Universitas Sumatera Utara

90

1. dimodali oleh holding company, sehingga subsidiary tersebut benar-benar

dibawah permodalan holding company atau under capitalize, dan

2. dalam keadaan under capitalize tersebut, subsidiary berada dalam keadaan

tidak independent eksistensi ekonomi dan perusahaannya,

3. Subsidiary itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil (agent)

dalam melakukan bisnis holding company.

Kasus ini PT Lapindo Brantas dimiliki oleh Energi Mega Persada melalui

anak perusahaannya yakni PT Kalila Energy Ltd. sebesar 84,24 persen dan Pan

Asia Enterprise 15,76 persen. Sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas,

Energi Mega Persada merupakan anak perusahaan PT. Bakrie & Brothers Tbk.

(Grup Bakrie). Di perusahaan itu, Grup Bakrie memiliki 63,53 persen saham dan

sisanya dimiliki Rennier A.R. Latief sebanyak 3,11 persen, Julianto Benhayudi

2,18 persen, dan publik 31,18 persen. Disini dapat dilihat bahwa terjadi

undercapitalization terhadap PT Lapindo Brantas, Inc. Kemudian dominasi

holding terhadap subsidiary terlihat dari indikasi begitu besarnya kontrol dari

perusahaan induk terhadap moneter PT Lapindo Brantas, yang dijewantahkan

dengan niat untuk menjual saham PT Lapindo Brantas kepada pihak ketiga yakni

Lyte Ltd dan kemudian Freehold Group.198

Disini terdapat indikasi bahwasanya

perusahaan pengendali berniat untuk mengalihkan tanggung-jawab hukumnya

yang telah ada (existing-obligation) kepada pihak ketiga, sehingga karena ada

indikasi199

unsur itikad tidak baik atau penggunaan tidak wajar (improper use)

maka hapuslah tanggung jawab terbatas perseroan terbatas, sehingga dapat

198

Ibid, hlm. 103. 199

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

91

diterapkan penegakan piercing the corporate veil terhadap kewajiban hukum

perseroan tersebut. 200

Terlebih setelah belakangan diketahui bahwasanya

Freehold Group adalah perusahaan special purpose vehicle (SPV) yang terindikasi

bodong yang dimiliki oleh James Belcher.201

Beberapa alasan atau sebab diperlukannya piercing the corporate veil

terhadap holding company dalam tindakan hukum anak perusahaan yakni melihat

realitas bisnis yang ada sebagai berikut:202

1. Terjadinya dominasi tanpa tanggung jawab yang dilakukan holding

company terhadap anak perusahaan. Dalam hal ini terjadi pengendalian

yang dilakukan holding terhadap anak perusahaan. Induk perusahaan

sebagai pemegang saham anak perusahaan melakukan pengendalian anak

perusahaan dengan melaksanakan fungsi hak suara dalam RUPS anak

perusahaan, maupun mengangkat anggota direksi atau dewan komisaris

anak perusahaan. Pelaksanaan hak suara induk perusahaan ini diarahkan

bagi tercapainya fungsi penanaman modal pada anak perusahaan. Sehingga

mengakibatkan induk perusahaan melakukan tindakan oputunistik.203

a. Tindakan induk perusahaan melakukan eksternalisasi usaha yang

beresiko tinggi kepada anak perusahaan

b. Tindakan induk perusahaan memanfaatkan sebagain utang anak

perusahaan untuk membiayai kegiatan operasional anak perusahaan

yang lain tanpa sepengetahuan kreditur anak perusahaan

200

Ibid, hlm. 103. 201

Ibid. 202

Sulistiowati, Dominasi tanpa Tanggung Jawab Induk Perusahan, (Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada, 2014), hlm.8 203

Ibid

Universitas Sumatera Utara

92

c. Tindakan induk perusahaan dapat mengalihkan sebagian asset dari

anak perusahaan yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan yang

lain, tanpa sepengetahuan dari pemegang saham minoritas atau

kreditur anak perusahaan tersebut.

2. Holding berlindung dibalik tirai limited liability. Berlakunya limited

liability menyebabkan tanggung jawab induk perusahaan semakin terbatas

pula. Dengan demikian, tanggung jawab induk semakin terbatas dan

mendekati tidak bertanggung jawab jika induk mengeksetrnalisasi kegiatan

usaha beresiko kepada anak perusahan lapisan kemepat, kelima dan

seterusnya

3. Adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dari holding

company. Dalam hal ini holding dapat diberlakukan piercing the corporate

veil apabila terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum atau

wanprestasi terhadap perusahaan lainnya melalui anak perusahan. Unsur

kerugian dari suatu perbuatan melawan hukum atau wanprestasi menjadi

dasar bagi lahirnya tanggung jawab hukum atas pelaku dalam hal ini

holding sebagai pemegang saham. Apabila pelaku terbukti melakukan

perbuatan melawan hukum, pelaku dapat dibebani suatu tanggung jawab

hukum. Demikian juga, tanggung jawab kontraktual lahir sejak adanya

kewajiban dalam hubungan kontraktual. Namun, tanggung jawab baru

lahir ketika kewajiban kontraktual tidak dilaksanakan. Dengan demikian,

apabila wanprestasi terjadi maka holding dapat diberlakukan.204

204

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Group di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), hlm..135.

Universitas Sumatera Utara

93

4. Karena adanya unsur kerugian terhadap pihak ketiga, yaitu

a. Banyak kasus tanggung jawab pada holding company menggunakan

undercapitalization sebagai dasar utama untuk mengajukan gugatan

piercing the corporate veil. Namun sebagian yuridis menggunakan

aturan bahwa undercapitalization tidak dapat menjadi alasan tunggal

untuk membenarkan pengabaian badan hukum perseroan sehingga

perlu pembenaran-pembenaran indikator lainnya.

b. Induk perusahaan dapat mengalihkan sebagian aset dari anak

perusahaan yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan yang lain,

tanpa sepengetahuan dari pemegang saham minoritas atau kreditur dari

anak perusahaan yang hampir bangkrut. Apabila anak perusahaan

akhirnya bangkrut, kepemilikan atas sebagian aset tersebut sudah

beralih kepada anak perusahaan yang lain. Hal ini mengakibatkan

pemegang saham minoritas maupun kreditur mengalami kerugian

karena mengalami kesulitan untuk menuntut aset yang dialihkan

kepada anak perusahaan yang lain.

c. Induk perusahaan dapat melakukan pengumpulan aset modal dan non

modal yang diarahkan untuk mendukung keputusan dan melaksanakan

kewajiban hutang korporasi. Sebaliknya, secara teoritis pemegang

saham pengendali melaksanakan pengurangan asset untuk menghindari

berbagai tanggung jawab yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan.205

205

Ibid, hlm..140-141.

Universitas Sumatera Utara

94

Holding company bertanggung jawab terahadap tindakan anak hukum

perusahaan dalam hal:

a. Tidak menyetor modal dalam hal ini holding company tidak menyetorkan

modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang saham

pada saat pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

menurut Pasal 33 UUPT. Apabila hal tersebut merugikan perseroan

terbatas atau pihak ketiga, maka doktrin piercing the corporate veil

berlaku.

b. Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan. Dalam hal

terjadi pencampuradukan antara urusan perseroan terbatas dengan urusan

pribadi, maka tanggung jawab pemegang saham dapat dimintakan.

Contohnya adalah dalam hal :

1) Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.

2) Asset milik perseroan terbatas diatas namakan pribadi.

3) Terjadi percampuran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan

harta kekayaan perseroan terbatas.

4) Pembayaran perseroan terbatas dengan cek pribadi tanpa justifikasi

yang sah

c. Jaminan pribadi holding company,yaitu apabila holding company

memberikan jaminan pribadi bagi perjanjian bisnis yang dibuat oleh

perusahaan, maksudnya adalah holding company menginginkan kegiatan-

kegiatan tertentu yang dilakukan perseroan terbatas tersebut dibebankan

kepadanya, sehingga holding company dengan sendirinya turut

Universitas Sumatera Utara

95

bertanggung jawab apabila ada gugatan dari pihak ketiga atas kerugian

yang muncul dari kegiatan yang dijamin tersebut. Kapan dan sejauhmana

tanggung jawab holding company sebagai pemegang saham, tergantung

kepada isi perjanjian jaminan tersebut.206

B. Dampak Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Viel dalam Perseoran

Terbatas

Sebagai wadah untuk melakukan kegiatan usaha, suatu PT harus didukung

oleh perangkat organisasi serta para pengurus yang menjalankan perseroan. Untuk

itu dibutuhkan kerangka kerja hukum yang pasti agar perseroan dapat bekerja

dengan produktif dan efisien, dan terdapat arahan hukum yang jelas dalam

melaksanakan kegiatan perseroan.207

Salah satu perangkat kerja atau organ yang terpenting dalam perseroan

yaitu dewan direksi, Direksi sebagai salah satu pemegang saham/organ dalam

perseroan bertugas dan bertanggung jawab dalam pengelolaan perseroan. Pada

prinsipnya direksi bertanggung jawab terhadap perseroan bukan kepada pemegang

saham secara perseorangan, tugas kepengurusan direksi tidak terbatas pada

kegiatan rutin melainkan juga berwenang dan wajib mengambil inisiatif membuat

rencana dan perkiraan mengenai perkembangan perseroan untuk masa mendatang

dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan.208

Asas piercing the corporate veil mulai diterapkan dalam perseroan terbatas

ketika dirasa perlu adanya pengaturan baru dalam perseroan khususnya

206

Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: Utomo, 2005),

hlm. 20-23. 207

Ibid 208

Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm..72.

Universitas Sumatera Utara

96

pengaturan bagi para pengurus perseroan. Hal ini mengingat banyaknya kesalahan

dan kelalaian yang ditimbullkan oleh para pengurus perseroan salah satunya

dewan direksi, dimana dewan direksi secara sengaja dengan itikad tidak baik

melakukan perbuatan melawan hukum dimana direksi menggunakan harta

kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadinya sehingga menyebabkan

timbulnya kerugian bagi perseroan.209

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diterapkan asas piercing the

corporate veil dimana tanggung jawab pengurus perseroan yang tadinya bersifat

terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas di mana dalam hal tertentu

tidak tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas direksi perseroan

terbatas, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad baik

maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan

terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan

hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada

organ PT tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas.210

Dengan adanya pengaturan tersebut maka para pemegang saham khususnya

dewan direksi dapat dituntut oleh pemegang saham yang lainnya ke pengadilan

negeri apabila terbukti melakukan perbuatan yang menyimpang yang

menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan.211

Penerapan teori piercing the corporate veil tersebut merubah tanggung

jawab pemegang saham dalam perseroan yang bersifat terbatas menjadi tanggung

jawab tidak terbatas, sehingga beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan

209

Ibid, hlm. 74. 210

Roni Ansari N.S, Piercing The Corporate Veil dan Penerapannya, 2011, hlm. 21. 211

Ibid ,hlm.22.

Universitas Sumatera Utara

97

kepada pihak lainnya selain pemegang saham, misalnya direksi atau komisaris.

Penerapan prinsip piercing the corporate veil terhadap direksi dapat dilakukan

dalam hal :212

1. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.

2. Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.

3. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.

4. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.

5. Permodalan yang tidak layak

6. Perseroan beroperasi secara tidak layak.

7. Anggota direksi tidak melaporkan kepemilikan saham oleh anggota direksi

yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan terbatas.

Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang

dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta

pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan direksi

adalah direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan

keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di

antaranya:213

a. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan

(breach of duty);

b. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan

(omission of duty);

c. Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah

(misstatement);

212

Erman, Tanggungjawan Direksi dalam Perseroaan Terbatas Berdasarkan Prinsip

fiduciary relationship, Attikel Fakultas Hukum USAHID Jakarta,2011 hlm.9. 213

Indonesia (Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 69

Universitas Sumatera Utara

98

d. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan

(misleading statement);

e. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau

kekuasaan sebagai direksi;

f. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach

of warranty or authorithy commitment;

g. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.

Apabila direksi terbukti melakukan pelanggaran dalam perseroan, maka

kerugian yang di timbulkan perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi

seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan. Dengan

adanya penerapan asas piercing the corporate veil dalam PT tersebut, maka

memberikan dampak langsung pada para pengurus perseroan dimana para

pengurus perseroan tidak dapat melakukan perbuatan yang menyimpang dari

pelaksanaan perseroan. Dengan demikian tidak ada lagi ruang bagi direksi sebagai

pengurus perseroan untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan

kerugian bagi perseroan.

C. Bentuk Tanggungjawab Holding Company terhadap Tindakan Hukum Anak

Perusahaan Setelah Diterapkan Prinsip Piercing The Corporate Veil.

Bentuk tanggung jawab holding company dalam tindakan hukum anak

perusahaan setelah diterapkannya piercing the corporate veil adalah berbentuk

ganti rugi setelah melebihi saham yang disetorkan oleh holding pada anak

perusahaan. Tentunya berdasarkan atau dilihat dari kesalahan, atau mutlak. Dan

dilihat dari segi perdata menyarankan ada sarat-sarat yang memenuhi unsur

komponen kerugian starting point dari ganti rugi, bukan karena alasan forje

Universitas Sumatera Utara

99

mayour, saat terjadi kerugian-kerugian dapat diduga, maka ganti rugi dapat di

eksekusi dalam memenuhi kewajiban terhadap tindakan hukum perusahaan.214

Setelah dilakukannya penerapan piercing the corporate veil yang

kemudian diarahkan kepada jenis tanggung jawab perdata dan ditentukan dengan

fault on liability atau strik liability, maka bentuk tanggung jawab dari holding

company terhadap tindakan hukum anak perusahannya adalah dapat berupa ganti

rugi melebihi saham yang ditanamkan. Untuk menentukan bentuk tanggung jawab

holding terhadap tindakan hukum anak perusahaannya. Jika didalam perdata

holding company dapat ditembus dengan piercing the corporate veil sedangkan

dalam pidana dapat ditembus dengan vicarious liability. Sedangkan untuk

adiministrasi dapat dilihat dari teknisnya yang akan memberikan bentuk tanggung

jawab berupa pencabutan izin atau pembekuan.215

Holding company tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan

yang dibuat atas nama anak perusahaan serta tidak bertanggung jawab atas

kerugian anak perusahaan melebihi saham yang dimilikinya tersebut. Ketentuan

tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama anak

perusahaan dapat disimpangi apabila memenuhi keteria yang terdapat dalam pasal

3 ayat (2) UUPT yaitu pertama, persyaratan anak perusahaan sebagai badan

hukum belum atau tidak terpenuhi, maka holding company harus bertanggung

jawab, yang kedua apabila holding company yang bersangkutan baik langsung

maupun tidak langsung beritikad buruk memanfaatkan anak perusahaan untuk

214

Muhammad Syafi’I, Piercing The Corporate Veil Terhdap Holding Company Dalam

Tindakan Hukum Anak Perusahaan. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta, ISBN : 978-602-19568-3-0, 2016, hlm. 133. 215

Ibid, hlm. 132.

Universitas Sumatera Utara

100

kepentingan pribadi, maka juga harus dimintai pertanggungjawaban terhadap

holding company tersebut, ketiga apabila holding yang bersangkutan terlibat

dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak maka beban tanggung

jawab juga dikenakan kepada holding company tersebut dan yang terakhir adalah

apabila holding yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara

melawan hukum menggunakan kekayaan anak perusahaan yang mengakibatkan

kekayaan anak perusahaan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang anak

perusahaan, maka holding company juga harus bertanggung jawab. Dengan

demikian dari ketentuan kriteria diatas terlihat bahwa tanggung jawab holding

company sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan akan

hapus apabila terbukti antara lain memenuhi unsur-unsur atau ketentuan-ketentuan

yang di atas216

Jadi, terkait dengan bentuk tanggung jawab holding company terhadap

tindakan anak hukum perusahaan adalah, setelah melihat dari sisi hubungan

hukumnya. Bentuk tanggung jawab dari holding company itu bermuara kesegi

perdata yang memberikan ganti rugi baik secara penuh ataupun tidak. Holding

company dapat bertanggung jawab jika dapat dibuktikan oleh pihak yang

dirugikan dengan menghubungkan teori fault on liability dimana beban

pembuktian terletak pada pihak ketiga yang mengajukan gugatan agar holding

company bertanggung jawab secara pribadi dengan dasar piercing the corporate

veil yang harus dapat mebuktikan kesalahannya. Dapat disimpulkan bahwasanya

segala yang terkait dengan pertanggung jawaban perdata dalam holding company

216

Iwan, Pertanggung jawaban perusahaan induk dalam perusahaan group selaku

pemegang saham terhadap anak perusahaan yang mengalamai kerugian menurut UU PT,

Universitas sebelas maret, Penelitian Ilmiah, 2014, hlm.15.

Universitas Sumatera Utara

101

terhadap trindakan hukum anak perusahannya bermuara kepada tanggung jawab

ganti rugi setelah diterapkannya piercing the corporate veil terhadap holding

company tersebut.217

Ganti rugi yang dibebankan kepada holding company Paska diterapkannya

piercing the corporate veil terhadap tindakan hukum anak perusahaan, ditentukan

dari segi prinsip tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan. Ganti rugi yang

merupakan ganti rugi holding company terhadap tindakan hukum anak

perusahaan, apabila telah terpenuhi oleh satu prinsip tanggung jawab di atas, maka

dapat disimpulkan bahwasanya ganti ruginya merupakan ganti rugi yang terdapat

dalam Pasal 1246 KUHPerdata yakni biaya, rugi dan bunga yang oleh

siberpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas

rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.218

Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut

Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :

1. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi

2. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga. 219

Kerugian nyata dan keuntungan yang tidak diperoleh dimaksudkan sebagai

hukuman bagi si pelaku, dalam hal ini adalah holding yang melakukan realitas

bisnis terhadap tindakan anak hukum perusahaan dituntut untuk ganti rugi,

penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-kasus kesengajaan yang berat.

217

Ibid. 218

Muhammad Syafi’i, op.cit, hlm.134. 219

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian dan Dari Undang-Undang), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.14

Universitas Sumatera Utara

102

KUHPerdata ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari holding company

harus memenuhi persyaratan persyaratan sebagai berikut

1. Dilihat dari segi komponen kerugian yaitu biaya, rugi, dan bunga

2. Dilihat dari starting point dari ganti rugi

3. Kemudian bukan karena alasan force majour

4. Kemudian saat terjadinya kerugian, bahwasannya suatu ganti rugi hanya

dapat diberikan terhadap kerugian yang telah benar-benar dideritanya, kedua

kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan yang sedia yang

dapat dinikmati.

5. Kerugian yang dapat diduga, bahwasannya kerugian yang timbul tersebut

haruslah diharapkan akan terjadi atau patut diduga akan terjadi dugaan,

dimana sudah ada pada saat dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.

220

Dengan kata lain bahwasannya khusus ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh holding company harus memenuhi

persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh di atas agar holding company

memberikan ganti rugi terhadap tindakan anak hukum perusahaannya. Jika telah

melihat dari segi persyaratan-persyaratan tersebut maka dapatlah dilakukan

pembayaran ganti rugi setelah memenuhi syarat-syarat sedemikian rupa .221

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa holding company

bertanggung jawab atas tindakan hukum anak perusahaan. Hubungan hukum yang

220

Salim& Erlies Septiana Nurbani, Buku kedua penerapan teori hukum pada penelitian

disertasi dan tesis, (Jakarta: Rajagrafindo, 1998), hlm..239. 221

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2005), hlm..140

Universitas Sumatera Utara

103

terjadi pada holding company dengan anak perusahaan timbul akibatnya adanya

ikatan kepemilikan saham yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-

masing pihak. Dengan kata lain holding company dan anak perusahaan harus

saling mematuhi hak dan kewajiban tersebut yang mana hak dan kewajiban yang

ada di dalamnya mengkibatkan tanggungjawab yang lebih dominan holding

company. Terjadinya dominasi tanggung jawab terhadap holdimg company

terhadap anak perusahaan dalam hal ini holding company sebagai pemegang

saham dari anak perusahaan melakukan pemgendalian yang sering kali sulit

ditembus berdasarkan prinsip limit liability.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diterapkanlah satu prinsip

modern lain yaitu piercing the corporate veil. Prinsip piercing the corporate veil

yang diterapkan tersebut bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil dari

tindakan sewenang-wenang atau tidak layak dlakukan atas nama perseroaan Baik

yang timbul dari transaksi dari pihak ketiga yang timbul dari perbuatan yang

menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.

Penerapan prinsip piercing the corporate veil tidak hanya dilakukan hanya

pemegang saham, tetapi oleh setiap pihak yang dalam kedudukannya

memungkinkan untuk dilakukannya penyimpangan atau kesalahan atau

diakukannnya hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukannya yang bermuara

pada terjadinya kerugian terhadap perseroan. Dengan demikian bentuk tanggung

jawab holding company dengan anak perusahaan setelah diterapkannya prinsip

piercing the corporate veil adalah berbentuk ganti rugi yang dimana sebelumnya

holding company tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang dibuat

Universitas Sumatera Utara

104

atas anak perusahaan serta tidak bertanggung jawab atas kerugian anak

perusahaan melebih saham yang dimilikinya tersebut.

Ketentuan tidak bertanggung jawab atas perikatan yang dibuat atas nama

anak perusahaan dapat disimpangi apabila memenuhi kriteria yang terdapat dalam

Pasal 3 ayat (2) UUPT. Ganti rugi yang dilakukan oleh holding company

merupakan ganti rugi sebesar apa yang dialami oleh siperugi dan akan bisa lebih

tentunya melihat objek kerugiannya. Hukuman ganti rugi tersebut dapat dilihat

berdasarkan dari kesalahan dan dilihat dari segi perdata dengan memenuhi syarat-

syarat dan unsur yang memenuhi komponen kerugian bukan karena alasan force

majour jadi saat terjadi kerugian-kerugian yang terduga, maka ganti rugi dapat

dieksekusi dalam memenuhi kewajiban hukum anak perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

105

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

1. Hubungan hukum yang terjadi pada holding company adalah hubungan yang

timbul akibat adanya suatu ikatan berdasarkan kepemilikan saham. Hal ini

menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang satu sama lain

harus saling mematuhinya. Hak dan kewajiban yang ada di dalamnya dapat

melahirkan tanggung jawab yang lebih dominan dipegang oleh perusahaan

holding sebagai pemilik saham. Tanggung jawab tersebut berlaku sebatas berapa

besar saham yang dimiliki oleh holding company.

2. Penerapan prinsip piercing the corporate veil yang telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 3 ayat (2),

namun pada penerapan prinsip piercing the corporate veil yang ada di dalam

UUPT masih kurang jelas dan tegas diatur, namun prinsip piercing the corporate

veil ada dimuat dalam peraturan lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

3. Tanggung jawab holding company terhadap tindakan hukum Anak Perusahaan

setelah diterapkan piercing the corporate veil adalah ganti rugi. Ganti rugi yang

dibebankan kepada holding company setelah diterapkannya piercing the corporate

viel terhadap tindakan hukum anak perusahaan ditentukan dari segi prinsip

tanggung jawab hukum, dimana berdasarkan tanggung jawab berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

106

kesalahan. Baik karena perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Ganti rugi

yang dilakukan holding company terhadap tindakan hukum anak perusahaan

dapat terpenuhi setelah melalui prinsip tanggung jawab di atas. Hukuman ganti

rugi yang dimaksud merupakan ganti rugi sebesar apa yang dialami oleh siperugi

dan bisa akan lebih tentunya dengan melihat objek kerugiannya. Besarnya jumlah

ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku dalam hal ini

adalah holding company yang melakukan realitas bisnis terhadap tindakan anak

hukum perusahaan.

B. Saran

1. Prinsip piercing the corporate veil ini lebih dipertegas pengaturannya dalam salah

satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat melakukan

penerobosan atas tanggung jawab terbatas direksi yang sulit ditembus oleh

pengadilan dengan menambah pengetahuan dan keahlian dalam menangani

kasus-kasus dalam bidang hukum perusahaan, yang lebih banyak memakai asas-

asas atauprinsip-peinsip hukum yang berasal dari anglo saxon system.

2. Disarankan setiap perseroan di Indonesia untuk menerapkan prinsip piercing the

corporate veil yang dijadikan landasan oleh organ perseroan (RUPS, Direksi,

Dewan Komisaris) dalam menjalankan perseroan dengan baik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meminimalkan terjadinya

berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan perseroan.

Universitas Sumatera Utara

107

3. Sebaiknya untuk mengetahui dengan jelas seluk beluk, mekanisme dan tanggung

jawab dalam perusahaan grup hendaklah masalah perusahaan grup atau

perusahaan kelompok diatur dalam peraturan pelaksana dari undang-undang

Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Ddiaturnya perusahaan

group/kelompok kedalam perundang-undangan, maka diharapkan kepentingan

pihak ketiga dapat dilindungi dan perkembangan perusahaan grup atau perusahaan

kelompok tidak menjurus pada praktek monopoli.

Universitas Sumatera Utara