9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)
Transcript of 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)
1
SITUATIONAL LEADERSHIP INTERPRETIVEDALAM OPERASI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN
Usra H. Harahap1
Abstract - Peacekeeping Operation is a unique operation. It needs participation from allelement to conduct this operation that involve in such peace mision. The operation situationextremely complex and vary, in this context, the leader needs to implement an appropriateleadership style in establishing his folowers participation. The operation act in establishingfollowers participation not just running mechanically, but more specificaly a situationalleadership interpretive of a leader actor is became primarily to achieve the sucsess. Thisarticle, has identified a leader actor behavior on peacekeeping operation, starting from theinterpretation of a situation by the leader itself along with the followers through interactionprocess, to get the same perception and establish participation atmosphere in conductingoperation. Such establishing participation process like this case, has been identified assituational leadership interpretive.
Keywords : situational, leadership, interpretive, peacekeeping operation.
Pendahuluan
Kepemimpinan bersifat universal karena selalu ditemukan dan diperlukan dalam setiap
aktivitas, operasional, dan usaha bersama yang memerlukan pemimpin dan
kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan operasional, baik dalam
hubungan satuan terkecil maupun satuan hubungan yang besar, selalu digerakkan oleh
seorang pemimpin dengan menggunakan kepemimpinan yang variatif, adaptif, dan
situasional untuk menuju sukses.
Operasi pemeliharaan perdamaian bukan operasi militer, melainkan militer yang
dapat melaksanakan operasi. Kalimat itu sangat akrab di telinga penulis ketika
melaksanakan operasi pemeliharaan perdamaian sebagai pengamat militer di Bosnia
Herzegovina. Kalimat itu kembali terdengar di setiap seminar, workshop, dan latihan yang
terkait dengan misi perdamaian dan konferensi atau sidang yang dilaksanakan di Markas
PBB New York. Akhirnya, penulis sangat sadar bahwa kalimat tersebut selalu
1 Marsda TNI Dr. Usra H. Harahap adalah Komandan Sekolah Kajian Pertahanan Strategis UniversitasPertahanan Indonesia
2
disosialisasikan di semua kegiatan misi perdamaian. Mengapa hanya militer yang dapat
melaksanakan? Pertanyaan itu tentunya secara empirik dapat dijawab bahwa sejak 1957
militer selalu menjadi ujung tombak dalam operasi pemeliharaan perdamaian.
Untuk dapat mencapai sukses dalam misi perdamaian, tidak cukup hanya berjalan
secara mekanistik, tetapi ada langkah operasional yang memerlukan gaya kepemimpinan
yang dapat mengakomodasi seorang pemimpin dapat bekerja optimal. Penggunaan gaya
kepemimpinan tidak mudah untuk diimplementasikan secara tepat guna tanpa ada suatu
pemaknaan dan penafsiran dari seorang pemimpin terhadap situasi yang dihadapi karena
gaya kepemimpinan tertentu tidaklah optimal dalam semua situasi.2
Kompleksitas pelaksanaan misi perdamaian memicu para pemimpin lapangan untuk
mempunyai talenta dalam memimpin unit tugas yang juga sangat variatif sesuai dengan
tuntutan misi. Salah satu unsur tugas dalam operasi pemeliharaan perdamaian adalah
menjadi pengamat militer (military observer) atau yang lebih populer disingkat milops.
Milops bertugas mengamati, mencatat, menganalisis, dan melaporkan secara hierarki
semua peristiwa di daerah tugas (mission area) kepada pimpinan tertinggi PBB. Milops
merupakan unit tugas yang unik, yang terdiri atas berbagai bangsa dengan pangkat
bervariatif mulai kapten sampai dengan letnan kolonel dengan jumlah personel lebih
kurang sepuluh orang. Milops bentuk lain dari satuan tugas, seperti batalion infantri
mekanis (yonif mekanis) dengan jumlah 850 personel sampai dengan 1.018 personel yang
dipimpin seorang kolonel dengan pembagian tugas sesuai dengan struktur organisasi
sampai dengan unit operasional terkecil, seperti tim patroli.
Realitas pola kerja dan tata kelola organisasi kecil seperti milops secara administratif
dipimpin oleh komandan tim (team leader), secara operasional tidak memiliki pimpinan
tetap, dan setiap hari bergantian sabagai pimpinan patroli (patrol leader). Akan tetapi,
pengaturan tugas secara bergantian tersebut sudah dirumuskan dengan interpretasi
mendalam. Dengan demikian, pemilihan tersebut dapat dikategorikan pilihan demokratis
atas putusan kolektif yang menurut Kenney3 merupakan investasi besar bagi anggotanya
dan proses seperti itu merupakan pemberian otoritas formal (position power). Hal itu
merupakan titik tolak (starting point) untuk dapat membangun partisipasi anggota tim
2 G Yukl, Leadership in Organization, (New Jersey: Prentice-Hall International. Inc, 07632. 1998).3 R. A . Keney, Implicit Leaders Theories: Defining Leadership Described as Worth of Influence, (Virginia :Partner Through Training, Lynchburg, 1996).
3
lebih baik4 Berbeda dengan tim patroli (bagian yonif mekanis), dalam melaksanakan
tugas, tim patroli dipimpin oleh seorang bintara terpilih, tetapi dalam kondisi tertentu
dalam penugasan integratif dengan satuan dari negara lain dipimpin oleh seorang
perwira.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis perilaku pimpinan patroli sebagai
pimpinan kelompok kecil dalam operasi pemeliharaan perdamaian dalam memaknai
bahwa seorang pemimpin saat menghadapi tugas diawali dengan interpretasi situasi
bersama anggotanya melalui proses interaksi untuk menyamakan persepsi dan
membentuk partisipasi dalam melaksanakan tindakan operasional.
Tindakan Pimpinan Patroli Milops dalam Membentuk Partisipasi
Mekanisme pelaksanaan tugas milops dalam daerah tugas sangat dinamis dan berisiko
tinggi sehingga dibutuhkan kerja sama tim dengan sentuhan kepemimpinan yang adaptif
terhadap situasi. Dalam konteks itu ada beberapa pendapat yang relevan menyatakan
penggunaan gaya kepemimpinan berdasarkan situasi untuk mengambil suatu kebijakan
merupakan suatu gejala yang bersifat umum.5 Pemimpin sensitif memihak pada tuntutan
situasi yang berkembang6 dan membuat kebijakan dengan penilaian situasi yang dapat
menyelesaikan masalah.7
Setiap personel pengamat militer dalam misi pemeliharaan perdamaian dunia telah
diatur untuk menjabat sebagai pimpinan patroli. Dalam konteks gaya kepemimpinan itu,
pimpinan patroli mengimplementasikan gaya kepemimpinan situasional untuk
membangun partisipasi anggota tim yang dipimpinnya agar peka terhadap situasi, cepat
dan tepat mengambil keputusan, serta selaras dengan keputusan kolektif yang telah
dirumuskan secara interaktif antara pemimpin dan anggota tim untuk menyelesaikan
tugas dengan tingkat risiko tinggi. Pertanyaan menarik yang akan muncul adalah
bagaimana pimpinan patroli memberi makna terhadap gaya kepemimpinannya dalam
upaya membangun partisipasi anggota tim untuk sukses dalam tugas?
Dari pengalaman penulis, sebagai pimpinan patroli milops di Bosnia, implementasi
4 F.E. Fiedler, “Situation and Contigency”, internet/http/home, microsoft.com, New York, 19645 D, Osborne & T, Gaebler, Reinventing Government, (Jakarta: CV Terutama Grafica, 1998).6 M. C. Desch, Politisi vs Jenderal, Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser, Terjemahan, TriWibowo Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).7 U Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1984).
4
pengambilan keputusan dengan tingkat risiko tinggi tidak mendapat resistensi dari
anggota tim. Hal itu dapat diidentifikasi bahwa seluruh anggota tim yang akan mendapat
giliran tugas sebagai pimpinan patroli sudah mendapatkan interpretasi yang sama
terhadap situasi yg dihadapi dan meletakkan pemahaman bersama tersebut sebagai
pedoman pelaksanaan tugas. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang
situasi dan misi yang akan dihadapi, muncul pertanyaan berikutnya, yaitu bagaimana
pimpinan patroli mengindentifikasi dan mendeskripsikan aspek situasi untuk dijadikan
dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan operasional misi pemeliharaan
perdamaian? Apalagi, kalau hal itu dihadapkan pada pelaksanaan misi dengan tingkat
risiko yang variatif, tetapi tetap dengan tuntutan semangat dan partisipasi yang tinggi.
Sulit untuk dibayangkan tingkat keberhasilan membangun partisipasi dengan situasi
seperti itu. Namun, fakta empirik dari pengalaman penulis dapat dikemukakan melalui
suatu interaksi leader dan folowers secara sinergik, yaitu dilakukan langkah-langkah
interpretasi situasi untuk membangun komitmen bersama dalam implementasi misi.
Implementasi komitmen tersebut pernah dialami penulis dalam memimpin patroli
di daerah Bugojno Bosnia Herzegovina. Tugas yang sangat menantang harus dilakukan.
Tim patroli ditugaskan untuk membuat pos tinjau atau observation post (OP) di sebuah
ketinggian yang betul-betul dapat meninjau pertempuran antara Serbia dan Bosnia.
Persoalan mulai muncul ketika diidentifikasi, seluruh akses menuju keketinggian tersebut
penuh dengan ranjau antipersonel. Dalam hal itu, pimpinan patroli berperan aktif
membentuk partisipasi anggota tim untuk dapat melaksanakan tugas tanpa menimbulkan
korban jiwa. Setelah mengatur strategi bersama, diputuskan untuk tetap naik ketinggian
yang penuh dengan ranjau tersebut. Keputusan kolektif tersebut dilaksanakan setelah
pimpinan patroli melihat ada rombongan sapi di puncak ketinggian. Hal itu berarti sapi
tersebut telah melewati ladang ranjau dan dapat mencapai puncak walaupun mungkin di
antaranya ada korban yang meledak karena ranjau tersebut. Dari indikator tersebut tim
patroli dapat mengambil kesimpulan bahwa jejak sapi menuju puncak merupakan titik
aman untuk diinjak dan merupakan jalan setapak untuk menuju puncak ketinggian.
Perjalan ke puncak ketinggian tetap dilaksanakan dengan sangat berhati-hati karena
masih banyak ranjau yang belum terlokasi. Akhirnya, seluruh anggota tim patroli dapat
mencapai puncak ketinggian untuk membangun OP sesuai dengan kebutuhan misi.
Seluruh personel tim patroli bersedia melaksanakan tugas yang berisiko tinggi
5
karena pemimpin patroli menciptakan kesesuaian paham atau kesepakatan (leadership as
the art of including complience). Seni menciptakan kesesuaian paham ada relevansinya
dengan kekuatan dan pengaruh (power and influence) yang oleh Maxwell8 dikatakan
bahwa untuk membantu pemimpin maju dia mengajukan gagasan tentang segitiga
kekuasaan yang komponennya adalah komunikasi, pengakuan, dan pengaruh (langkah-
langkah komponen itu sudah dilakukan pimpinan patroli dalam membangun partisipasi
tim) .
Sinergi interpretasi situasi antara pemimpin dan pengikut iu dapat dideskripsikan
dari pengalaman empirik penulis dalam bertugas sebagai pengamat militer di wilayah
Gospic Kroasia. Pada saat itu, penulis ditugaskan sebagai pimpinan patroli dan akan
melaksanakan patroli melewati perbatasan ke wilayah Serbia. Sebelum pelaksanaan
patroli, diadakan rapat koordinasi membahas rencana patroli, seperti rute patroli, titik
lapor (check point) ke pos komando), memahami budaya masyarakat lokal dan tindakan
darurat (emergency), serta beberapa hal yang relevan untuk dilakukan. Dalam konteks
melewati perbatasan, ada hal penting yang harus dilakukan untuk memperlancar tugas
patroli, terutama terkait dengan budaya lokal yang sangat berpengaruh terhadap
sensitivitas masyarakat setempat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis sebagai
pimpinan patroli berkepentingan menyampaikan kemungkinan yang akan terjadi, seperti
sikap militer Serbia di perbatasan selalu mencurigai pengamat militer dari Uni Eropa yang
tergabung dalam NATO, mencurigai pengamat militer dari negara Muslim, dan mencurigai
pengamat militer dari negara antikomunis.
Faktor internal sangat memengaruhi kinerja tim. Hal itu disebabkan komposisi tim,
yang salah satu anggotanya penulis, anggotanya sangat bervariatif, terdiri atas berbagai
bangsa, seperti Eropa, Asia, Afrika, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Latin. Kondisi
heterogen itu menimbulkan perbedaan perspektif dalam menilai bagaimana seharusnya
bersikap terhadap penduduk lokal. Dengan melalui proses interpretasi misi secara
sinergik, dibangun komitmen bersama dengan menetapkan pola operasi dengan
pendekatan kultural imparsial.
Ketidakberpihakan (impartiality) merupakan kata kunci bagi pengamat militer.
Setiap anggota tim dari bangsa yang berbeda akan melihat tindakan tertentu sebagi
8 J. C. Maxwel,. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995).
6
suatu hal yang melanggar aturan PBB, seperti memberi salam dalam bahasa lokal bagi
pengamat militer Eropa dinyatakan sebagai tindakan parsial dan memberi sesuatu untuk
militer lokal walaupun dengan tujuan mempermudah tugas juga dipandang sebagai
tindakan yang melanggar aturan PBB. Dinamika di lapangan sangat ditentukan oleh
perencanaan awal. Hal itu dialami oleh penulis pada saat melaksanakan patroli ke
perbatasan Kroasia dan Serbia. Militer Serbia tidak mengizinkan tim patroli masuk wilayah
mereka. Resistensi mereka ditunjukkan dengan sikap tidak bersahabat dan menodongkan
senjata kepada tim patroli, bahkan pimpinan mereka sudah memukulkan popor senjata ke
mobil patroli dengan berteriak menyuruh keluar. Penulis sebagai pimpinan patroli secara
singkat memberi instruksi kepada anggota tim supaya bersikap tenang dan bertindak
sesuai dengan komitmen awal tim dalam menghadapi militer lokal dan menggunakan
langkah elegan dengan pendekatan budaya lokal.
Tindakan paling sederhana yang dapat dilakukan dalam menyentuh budaya lokal
diawali dengan menyapa para militer lokal (Serbia) dengan kata “dravo”. Hal itu
merupakan titik awal yang cukup ampuh untuk mencairkan suasana supaya dapat
menjelaskan bahwa tim patroli sedang melaksanakan misi perdamaian dengan imparsial.
Interaksi dirasakan lebih mengarah pada pemahaman bersama, yaitu bahwa kedua belah
pihak sedang melaksanakan tugas secara profesional, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Dua pak rokok Marlboro diberikan kepada kelompok militer Serbia untuk melanjutkan
komunikasi yang lebih teknis dan mulai diarahkan pada pencapaian tujuan tim patroli
dalam melaksanakan tugas di wilayah Serbia. Akhir dari pendekatan yang sederhana itu
bernuansa sentuhan kultural dan tim patroli diizinkan memasuki wilayah Serbia untuk
melaksanakan tugas sesuai dengan rencana operasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam menangani setiap permasalahan suatu komunitas besar, seperti di wilayah
Serbia, perlu adanya sinergi masyarakat lokal melalui suatu interaksi, dalam konteks itu
relevan dengan teori interaksi dan harapan. Menurut Homand 9, teori itu mendasarkan
diri pada variabel aksi, reaksi, interaksi, dan perasaan (action, reaction, interaction, and
sentiment). Teori itu berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan partisipasi dalam
kegiatan bersama, semakin meningkat rasa perasaan saling menyukai atau menyenangi
satu dengan yang lain akan semakin memperjelas pengertian atas norma kelompok.
Dalam membentuk partisipasi anggota tim patroli, pimpinan patroli beradaptasi
9 Homand dalam Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993).
7
dengan penyesuaian diri secara aloplastis10, yaitu penyesuaian diri yang dalam
penyesuaian itu lingkungan diubah oleh dirinya, lingkungan psikis, dan lingkungan
rohaniah.
Konsiderasi Komandan Patroli dalam Mengambil Keputusan
Komandan patroli dalam konteks ini diperankan oleh bintara terpilih secara selektif dan
sudah dibekali pengetahuan kepemimpinan tingkat satuan kecil dan dapat mengambil
keputusan dalam keadaan kritis. Implementasi pengambilan keputusan oleh komandan
patroli merupakan hal yang tidak sederhana apabila keputusan tersebut harus
dilaksanakan dengan benar dan tidak bertentangan dengan keputusan pimpinan tertinggi
di wilayah operasi (force commander). Bagaimana kemampuan seorang bintara
(komandan patroli) mengambil keputusan dalam situasi kritis dengan cepat, tepat, dan
tidak menimbulkan permasalahan baru bagi dirinya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan
suatu proposisi yang dapat dinyatakan sebagai hipotesis, yaitu sinergi interpretasi situasi
pemimpin dan pengikut yang diperoleh dari proses interaksi merupakan faktor dominan
dalam misi mereka bersama11 .Hal itu merupakan kekuatan bagi komandan patroli dalam
mengambil keputusan karena ia paham betul situasi yang sedang dihadapi dan tindakan
yang harus dilakukan sesuai dengan garis kebijakan pimpinan.
Pendekatan kultural merupakan ciri khas militer Indonesia dalam bertugas, baik di
dalam negeri maupun diluar negeri (misi perdamaian). Sentuhan awal dari pendekatan itu
dengan mengucapkan salam (greeting) dengan bahasa lokal, seperti yang telah diuraikan
di depan, cukup efektif untuk menarik simpati masyarakat lokal. Misalnya, pendekatan
yang dilakukan di perbatasan Serbia – Kroasia dengan ucapan salam kepada masyarakat
Serbia “dravo”, untuk masyarakat Kroasia “bok”, dan salam bagi masyarakat Bosnia
“marhabah”. Tindakan yang sama juga dilaksanakan dalam misi perdamaian di wilayah
lain, seperti di Lebanon, prajurit TNI sudah terbiasa mengucapkan “assalammualaikum
kifak” (apa kabar). Dalam konteks itu, ada perspektif yang berbeda antara militer
Indonesia dan sebagian militer negara Eropa yang memandang salam sebagai suatu
tindakan yang memihak (partial). Di sisi lain, militer Indonesia berorientasi pada
10 W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Bresco, 1995).11 U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat bagi PembangunanDesa, (Malang: Unmer, 2005).
8
pencapaian misi dengan cara elegan dan damai melalui pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan itu merupakan direktif dari pimpinan tertinggi TNI kepada prajurit yang akan
bertugas dalam misi perdamaian. Dalam konteks itu dapat dilihat dari pengarahan
Panglima TNI (Marsekal TNI Joko Suyanto) pada saat melaksanakan kunjungan kerja ke
Lebanon pada tahun 2007 sebagai berikut:
1. melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tugas pokok
yang diberikan force commander di daerah penugasan,
2. membuat atmosfer yang menyenangkan dalam melaksanakan tugas,
3. memelihara koordinasi dan komunikasi yang baik dengan institusi sipil dan
militer di daerah penugasan,
4. menjaga kehormatan bangsa Indonesia di forum internasional karena
setiap prajurit merupakan duta bangsa,
5. bersikap profesional dalam melaksanakan tugas, dan
6. menjaga hubungan baik dengan pasukan PBB dari negara lain.
Pengarahan Panglima TNI merupakan perintah dan harus dilaksanakan. Secara
hierarki direspons, diidentifikasi, dan dirumuskan sebagai pedoman kerja untuk menuju
sukses. Relevansi dari butir perintah tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Osborn
Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel, dan
bersemangat lebih tinggi daripada organisasi yang digerakkan oleh peraturan12.
Kunci mencapai sukses dirumuskan oleh para pemimpin lapangan dalam
implementasi tugas sebagai berikut:
1. menghormati kondisi sosial masyarakat lokal dengan tetap menjaga
netralitas,
2. melaksanakan moto “smile for all and makes all smile” tanpa
mengabaikan disiplin dalam bertugas,
3. bertindak bijaksana dan memelihara hubungan kerja yang baik dengan
semua elemen di medan penugasan,
12 D. Osborn, Reinventing Government, (Jakarta: CV Terutama Grafica, 1998).
9
4. bersikap rela berkorban demi tugas kemanusiaan, dan
5. cepat beradaptasi dan mengadopsi kondisi sosial masyarakat lokal tanpa
meninggalkan identitas bangsa.
Mekanisme seperti yang diuraikan di atas merupakan bentuk interpretasi tugas
yang disampaikan pemimpin kepada anak buah melalui interaksi untuk mendapatkan
pemahaman yang sama dalam melaksanakan tugas.
Implementasi tugas tersebut dapat terlihat dalam sebuah penelitian yang berjudul
“Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi
Perdamaian Internasional”13, yang merupakan hasil penelitian yang menunjukkan aplikasi
butir arahan Panglima TNI dan dilaksanakan seperti salah satu hipotesis yang ada dalam
disertasi tersebut. Batalion Indonesia (Indo Batt) memilih keputusan berbasis sosial lebih
tinggi. Penelitian itu juga mencantumkan komentar partisipan FGD tentang mengapa
mereka memilih moda sosial, seperti kutipan berikut ini.
Dari tugas pokok yang ada, kalau kita turun ke lapangan memang sangat banyak
bersentuhan dengan masalah sosial. Di samping melaksanakan tugas pokoknya,
menjaga perbatasan, ada satu, membantu pemerintah dalam tugas kemanusiaan.
Untuk dapat masuk ke tempat itu, kita harus mempunyai basis sosial yang kuat. Itulah
CIMIC dan itu unggulan Indonesia. Jadi, saya kira tidak salah dalam penelitian ini ketika
kita melihat responden mayoritas di setiap kasus sosial selalu ada. Kalau dia berbasis
peraturan, dia pasti akan diterima oleh masyarakat.
Di UNIFIL ada aturan (berkendaraan) di jalan terbuka, jalan tertutup, dan ada
peraturannya berapa kilometer (minimal). Akan tetapi, kalau kita melaksanakan itu,
seperti QRF (quick reaction force Prancis), setiap patrolinya kebanyakan mendapat
halangan dari masyarakat: dilempar, kemudian dihadang, dihadang oleh ibu-ibu. Akan
tetapi, karena kita melaksanakan sesuai dengan (moda) sosial, kita (jalan) pelan-pelan,
bertemu masyarakat, “assalamualaikum kifak?” (apa kabar). Karena moda sosial itu,
13 E.R. Hidayat, Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi PerdamaianInternasional, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011).
10
semuanya senang dengan kita dan apa yang kita lakukan semuanya dapat tercapai.
Kita melaksanakan CIMIC pengobatan gratis itu semuanya untuk menarik simpati
masyarakat di sekitar sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya pernah
mempunyai pengalaman. Ada masyarakat menemukan UXO (unexploded ordnance/
amunisi yang tidak meledak). Jadi, dia melaporkaan ke Indo Batt dan QRF. QRF
melaksanakan peraturan. Sesuai dengan prosedur, dia mengambil foto, sedangkan kita
mengetahui bahwa foto itu sangat sensitif bagi orang Lebanon. Akhirnya, orang QRF itu
dihadang, tidak boleh pulang sebelum foto yang diambil itu diberikan kepada masyarakat
karena dia itu tidak dekat dengan masyarakatnya. Dia lebih mengutamakan prosedur14.
Penelitian Hidayat dalam perspektif psikologi seperti pernyataan di atas juga
didukung oleh teori sosial, seperti Osborn lebih memilih organisasi digerakkan oleh misi
daripada digerakkan peraturan. Pendekatan yang digerakkan oleh misi, bagi Pasukan
Indonesia, lebih sering digunakan melalui berbagai cara, seperti berinteraksi dengan
masyarakat yang oleh Berfrand dan Gouldner15 dijelaskan bahwa interaksi sebagai aksi
dan interaksi di antara orang-orang. Dengan demikian, terjadinya interaksi, apabila satu
individu berbuat sedemikian rupa, menimbulkan reaksi dari individu atau individu
lainnya16.
Interpretasi bersama tentang situasi dalam misi perdamaian di Lebanon yang
disampaikan Panglima TNI kepada Pasukan Misi Perdamaian Indonesia melalui suatu
interaksi telah mendapatkan pemahaman yang sama untuk melaksanakan tugas di daerah
konflik dengan mengedepankan pendekatan sosial sesuai dengan anggapan dasar
Dahrendorf17 berikut ini.
1. Setiap masyarakat berada di dalam proses perubahan yang tidak berakhir.
2. Setiap masyarakat selalu mengandung pertentangan di dalam dirinya.
3. Setiap masyarakat selalu terintegrasi karena penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang terhadap sejumlah orang yang lainnya.
Dari pendapat iitu dapat dikatakan bahwa prajurit Indonesia adaptif dan dapat
mengadopsi nilai kondisi sosial masyarakat lokal untuk menuju sukses dalam tugas.
14 Berfrand dan Gouldner dalam S.B Taneko, Struktur dan Proses Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984).15 Ibid.16 Koentjaraninggrat, Antropologi, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1966).17 R. Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, (California: Stanford University Press, 1959)
11
Komunikasi Interaktif Pimpinan TNI dengan Pasukan dalam Konteks Interprestasi
Situasi dalam Misi Perdamaian
Komunikasi dengan format pengarahan Panglima TNI kepada pasukan yang merupakan
salah satu bentuk interaksi leader and followers dalam konteks menginterpretasi situasi
telah dijabarkan, dirumuskan, dan diimplementasikan oleh pemimpin lapangan dengan
tindakan: menghormati kondisi sosial masyarakat lokal tanpa meninggalkan netralitas,
melaksanakan moto “smile for all and makes all smile” dengan tidak mengabaikan disiplin
dalam bertugas, cepat beradaptasi, dan mengadopsi kondisi sosial masyarakat lokal
tanpa meninggalkan identitas bangsa.
Data implementasi tersebut dapat dilihat dari laporan purnatugas Satgas Yonif
Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFIL di wilayah Lebanon Selatan sebagai bagian dari Misi
Pemeliharaan Perdamaian PBB di bawah United Nations Interim Force in Lebanon
(UNIFIL) dalam rangka memantau proses Perjanjian Penghentian Permusuhan antara
pihak yang bertikai pascaterjadinya perang 34 hari pada tahun 2006 yang lalu. Hal
menonjol dan relevan yang dapat diidentifikasi penulis, antara lain, dari bidang intelijen.
Tidak mudah untuk mendapatkan data intelijen di daerah operasi karena dibutuhkan
kepiawaian seorang prajurit untuk memperoleh data tersebut seperti yang tertulis dalam
laporan purnatugas.
Informasi yang ada pada awalnya tidak mudah untuk didapatkan karena masyarakat
sangat tertutup dan sensitif terhadap pasukan UNIFIL. Pencarian informasi secara
simpatik dilaksanakan dengan memanfaatkan kegiatan Cimic, misalnya pada saat
pelaksanaan aktivitas penyuluhan dan pengobatan terhadap masyarakat di desa,
melaksanakan anjangsana yang dilakukan oleh personel dari Cimic yang menjadi
wilayah tanggung jawabnya, personel Mayon, serta dansatgas kepada tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang membuat makin eratnya hubungan kekeluargaan
Indo Batt dengan masyarakat. Dengan demikian, penggalian informasi lebih mudah
didapatkan. Informasi yang didapat dari masyarakat, seperti penemuan UXO
sebanyak 41 kali, insiden, dan hal lain sebanyak 21 kali, sedangkan selebihnya
12
masyarakat masih tertutup tentang keberadaan kelompok bersenjata18.
Implementasi perintah Panglima TNI dari perspektif pendekatan sosial-budaya
dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut :
Membantu sesuai dengan kemampuan terhadap masyarakat yang membutuhkan,
seperti pengobatan terbatas, mengunjungi masyarakat yang mendapat
musibah/kesusahan, dan kegiatan positif lainnya. Hal itu sering terlihat dari
banyaknya masyarakat yang datang ke Indo Batt dengan tujuan untuk mengucapkan
terima kasih dengan cara mengundang dansatgas/wadansatgas untuk dapat hadir
dalam acara yang diadakan oleh masyarakat atau penduduk di wilayah AO Indo Batt
dan di luar AO, termasuk menghadiri undangan pernikahan dan makan siang serta
bertamu kepada tokoh masyarakat/tokoh agama masyarakat lokal19.
Dari perspektif bidang Cimic yang diinterpretasikan oleh prajurit indonesia sebagai
bidang teritorial, diidentifikasi adanya implementasi kebijakan sesuai dengan instruksi
Panglima TNI kepada prajurit pelaksana operasi. Hal itu dapat dilihat dari pernyaaan
dalam buku laporan purnatugas sebagai berikut.
Kegiatan Cimic yang telah dilaksanakan oleh Prajurit Indo Batt sampai saat ini
mendapatkan penilaian yang sangat baik dari masyarakat wilayah desa binaan dan
dari luar desa binaan, termasuk dari UNIFIL, sehingga Indo Batt dinilai sebagai
pasukan UNIFIL yang bersikap netral dan imparsial serta mampu menjaga area
operasinya secara kondusif sepanjang tahun penugasan.
Masyarakat wilayah binaan Indo Batt hampir 98% penganut agama Syiah, yang secara
umum memiliki sensitivitas, adat istiadat, dan kultur yang khas, sehingga perlu
diwaspadai, terutama dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan
masyarakat setempat (larangan mengambil dokumentasi di semua tempat tanpa
izin).
Masyarakat wilayah binaan, terutama di Al Qantarah, Adhsit Al Qusayr, Al Qusayr, dan
Markabe, cukup sensitif dengan patroli dari kontingen lain, terutama yang berasal
18 Yonifmek/XXIII-B, Laporan Purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFIL di Wilayah LebanonSelatan, Jakarta, 2007.19 Ibid.
13
dari wilayah Eropa, tetapi Indo Batt sampai saat ini tidak mengalami permasalahan
dan dapat menjaga hubungan dengan baik dengan masyarakat setempat.
Sarana pelayanan kesehatan di wilayah desa binaan juga masih terbatas dengan
adanya beberapa dokter yang mayoritas berasal dari luar wilayah binaan dan mereka
hanya datang beberapa kali seminggu sehingga kadang kala banyak masyarakat
berobat ke markas Indo Batt dan pos Kompi Mekanis Indo Batt.
Dari data laporan itu terlihat bahwa pengarahan Panglima TNI telah dilaksanakan
secara responsif oleh para pimpinan lapangan yang memiliki posisi otoritas. Jika seorang
aktor pimpinan lapangan memiliki responsibilitas, aktor tersebut juga harus setaraf
dengan otoritas tersebut20.
Gaya Kepemimpinan dalam Membentuk Partisipasi dari Data
Berdasarkan data empirik sebagaimana yang telah divisualisasikan sebelumnya dalam
pelaksanaan patroli di misi pemeliharaan perdamaian, dapat diidentifikasi gaya
kepemimpinan dalam membentuk partisipasi atas dasar interpretasi situasi bersama
antara pimpinan dan pengikut. Dalam konteks tersebut dapat dilihat dari perspektif
makna kepemimpinan dalam membentuk partisipasi.
Dalam membentuk partisipasi diperlukan kreativitas dan gaya dari seorang
pemimpin untuk dapat menggerakkan aktivitas pengikutnya dalam mencapai tujuan
kolektif. Berdasarkan data dan fakta di wilayah tugas misi pemeliharan perdamaian,
kriteria membentuk partisipasi oleh pimpinan patroli atau pimpinan lapangan yang
merupakan temuan adalah sebagai berikut :
1. Dengan kekuasaan yang dimiliki secara legal formal, pimpinan patroli/
pimpinan lapangan telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab misi
pemeliharaan perdamaian secara maksimal serta telah membangun partisipasi
seluruh anggota tim untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan tingkat
risiko tinggi tanpa resistensi.
2. Dalam merespons inisiatif anggota tim, pimpinan patroli melaksanakan
20D.Boje,. Modern Leadership Theory and Sweatshops. mydocument/internet/mdl.Htm/www.link. New York, 2000.
14
langkah secara bertahap yang diawali dengan perencanaan, kemudian rapat
koordinasi dengan seluruh anggota tim secara internal untuk
menginterpretasi situasi dalam upaya mendapatkan pemahaman bersama
tentang misi.
3. Dengan menyadari secara penuh bahwa tidak mungkin mencapai sukses tanpa
partisipasi anggota tim dan masyarakat lokal, tidak lain bagi pimpinan patroli
hal itu merupakan jalan menuju sukses, kecuali bersosialisasi dengan
masyarakat lokal untuk memperlancar pelaksanaan tugas patroli.
4. Kemandirian tim sangat dipegang teguh dengan membangun partisipasi
anggota tim agar tetap konsisten melaksanakan tugas. Campur tangan tim
atau satuan atas dalam menyelesaikan tugas tim di wilayah tanggung
jawabnya dirasakan dapat mengurangi kredibilitas pimpinan patroli karena
dianggap kurang mampu membangun partisipasi anggota tim tersebut.
5. Makna kepemimpinan bagi pimpinan patroli yang diimplementasikan dalam
membentuk partisipasi anggota tim seperti yang diuraikan di atas merupakan
hasil temuan dalam penelitian yang selanjutnya akan diuraikan secara
substansial tentang implementasi kepemimpinan dari pimpinan patroli dalam
setiap kasus.
6. Dengan berorientasi pada suksesnya pelaksanaan operasi pemeliharaan
perdamaian dan tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang
berada di wilayah operasi, hal itu berarti secara cermat pimpinan mempelajari
karakter anggota tim yang relevan dengan kasus yang dihadapi dan itu juga
dimaknai sebagai pimpinan yang optimal dalam semua situasi.
7. Dalam menghadapi suatu tugas yang diberikan oleh pimpinan yang dilakukan
dengan mempelajari situasi secara komprehensif, hal itu berarti situasi di
medan tugas dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi sosial dalam
kehidupan sehari-hari dengan masyarakat lokal dan satuan dari negara lain.
Untuk mengambil suatu tindakan, tidaklah berlangsung mekanistis, tetapi
melibatkan proses interpretasi situasi.
8. Menjadi pemimpin bukan untuk popularitas, melainkan untuk kekuasaan yang
digunakan untuk menambah relasi yang sangat berarti bagi harmonisasi
kehidupan dalam membangun partisipasi memelihara perdamaian.
15
9. Membangun partisipasi dengan pendekatan sosial telah masuk dalam
kehidupan prajurit pemeliharaan perdamaian. Memberdayakan secara efektif
prajurit tersebut dinilai memiliki kredibilitas dan integritas tinggi bagi pimpinan
lapangan serta tetap memelihara semangat kebersamaan konstruktif dengan
mengutamakan hidup berdampingan, rukun dan damai, dan mengalah untuk
berhasil dalam tugas.
Berdasarkan temuan substansi implementasi kepemimpinan tersebut, dapat
diidentifikasi bahwa implementasi kepemimpinan tidak mekanistis, ada intervensi dinamis
dari hasil interpretasi situasi melalui proses interaksi sosial dalam membangun partisipasi.
Dengan demikian, dapat divisualisasikan makna implementasi kepemimpinan yang
diawali dengan interpretasi situasi yang didapat melalui proses interaksi antara pemimpin
dan pengikut sehingga menghasilkan persepsi yang sama, yaitu berfungsi membangun
partisipasi untuk menyelesaikan misi.
Gambar 1.1 Model Makna Kepemimpinan dalam Interaksi Membangun Partisipasi
Sumber : U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat
bagi Pembangunan Desa, (Malang: Unmer, 2005)
Interpretasi Situasi dalam Konteks Pengambilan Keputusan
Berdasarkan data empirik, implementasi kepemimpinan para pimpinan lapangan dalam
melaksanakan misi pemeliharaan perdamaian didahului dengan tindakan awal
16
menginterpretasi situasi secara komprehensif dari berbagai aspek untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan yang efektif. Selanjutnya, dapat diidentifikasi tindakan
interpretasi situasi untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, dari
perspektif makna yang diberikan pimpinan patroli terhadap situasi dalam upaya
membentuk suatu keputusan merupakan hasil temuan dalam penelitian. Selanjutnya, hal
itu akan diuraikan secara substansial, yaitu tentang implementasi interpretasi pimpinan
patroli dalam setiap kasus, seperti berikut ini :
1. Mengambil keputusan dengan interpretasi situasi secara komprehensif, dalam
arti makna situasi, diperoleh dari interpretasi melalui suatu proses perumusan
kolektif dalam konteks interaksi leader dan folowers secara sistimatis, runtun,
dan substantif.
2. Implementasi kepemimpinan situasional juga terlihat dalam menyelesaikan
kasus demi kasus. Hal itu terlihat dari tahap yang dilaksanakan pimpinan
lapangan yang diawali dari mempelajari situasi umum di wilayah operasi
dengan melihat aspek siapa target operasi dan siapa parner kerja, apa target
operasi, bilamana operasi dilaksanakan, bagaimana konsep operasi tersebut,
dan mengapa operasi tersebut dilaksanakan.
3. Untuk mempelajari situasi tidak hanya objek yang akan dituju, tetapi juga
subjek yang akan melaksanakan. Dalam hal itu situasi yang dipelajari pimpinan
lapangan, antara lain, bagaimana animo dan partisipasi anggota tim dalam
melaksanakan misi, apa yang harus disiapkan dalam operasi tersebut dan
bagaimana pola operasi yang dilaksanakan, kapan dimulai kegiatan patroli, di
mana tempat membuat perencanaan, di mana tempat konsolidasi untuk
memulai kegiatan, dan terakhir secara sistimatis selalu disosialisasikan
mengapa kegiatan tersebut harus dilaksanakan dan keuntungan apa yang
didapat oleh pihak yang bertikai dan warga lokal pada umumnya.
4. Kepemimpinan yang diimplementasikan pimpinan lapangan menunjukkan
adanya korelasi dalam menangani situasi dalam suatu misi dengan terlebih
dahulu mempelajari karakter anggota tim yang kompeten dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan situasi yang dihadapi dan dilanjutkan
dengan pemahaman mendalam untuk dimasukkan dalam koridor proses aksi
interaksi antara pimpinan lapangan dan anggotanya dalam menyelesaikan
17
suatu misi.
5. Dalam formulasi bersama antara pimpinan lapangan dan anggotanya, secara
kolektif diputuskan bahwa hasil interpretasi situasi yang sudah dipahami
dalam satu persepsi ditempatkan sebagai faktor dominan pada misi dan
berfungsi untuk menyelesaikan masalah.
Berdasarkan lima substansi interpretasi situasi, untuk selanjutnya secara kolektif
dijadikan referensi dalam membuat keputusan sehingga dapat diidentifikasi bahwa
sinergi interpretasi situasi pemimpin dan pengikut yang diperoleh dari proses interaksi
merupakan faktor dominan dalam misi mereka bersama.
Atas dasar proposisi tersebut, dapat divisualisasikan model interpretasi situasi
dengan rumusan siapa, apa, bilamana, di mana, bagaimana, dan mengapa.
Gambar 2.1 Model Interpretasi Situasi
(Harahap, 2005)
Faktor yang Membentuk Kepemimpinan Aktor Pimpinan Lapangan
Aktor pimpinan lapangan yang bertugas di misi Pemeliharaan Perdamaian Dunia adalah
personel TNI yang terpilih melalui seleksi yang kompetitif dengan menggunakan standar
PBB. Dalam melaksanakan tugas, pimpinan lapangan seorang perwira atau bintara
18
disesuaikan dengan bentuk tugas yang akan dihadapi. Pada prinsipnya pimpinan lapangan
sudah dibekali ilmu kepemimpinan secara formal di pendidikan militer secara bertahap,
bertingkat, dan berlanjut sesuai dengan strata kepangkatan.
Dalam konteks misi pemeliharaan perdamaian, pimpinan lapangan sering
dihadapkan dengan kemampuan membentuk partisipasi anggota tim, masyarakat lokal,
dan segenap komponen partisipan misi pemeliharaan perdamaian dari negara lain. Dalam
membentuk partisipasi tersebut, pimpinan lapangan secara adaptif menyesuaikan diri
yang oleh Gerungan disebut aloplastis21, yaitu penyesuaian diri yang lingkungannya itu
diubah oleh dirinya, lingkungan psikis, dan lingkungan rohaniah. Sebagai prajurit
berpengalaman, ilmu kepemimpinan tidak hanya dari pendidikan formal, tetapi juga
didapat dari pengalaman operasi, lingkungan kerja, dan tempat tinggal aktor pimpinan di
lingkungan masyarakat.
Faktor Internal
Kepemimpinan dari aktor pimpinan lapangan yang terbentuk dari faktor internal berjalan
secara normatif dalam sistem pendidikan TNI. Dalam konteks itu kemampuan memimpin
diperoleh dari pengalaman dalam bertugas. Penulis dapat mengindentifikasi faktor
tersebut sebagai berikut.
1. Dengan kapasitas yang dimiliki, terpilih masuk dalam kontingen misi
pemeliharaan perdamaian di bawah PBB merupakan pengalaman berharga
karena tidak semua prajurit TNI mendapat kesempatan yang sama.
2. Terpilih secara selektif merupakan indikator kualitas idividu sebagai pemimpin
yang berpengalaman, terlatih, adapatif, dan cepat membaca situasi dan
merupakan modalitas untuk dapat mengambil keputusan secara cepat dan
tepat.
3. Arahan pimpinan TNI untuk menggunakan pendekatan sosial dalam misi
pemeliharaan perdamaian membuat pimpinan lapangan lebih cepat dapat
membangun partisipasi semua pihak yang terkait, termasuk masyarakat lokal.
4. Pengalaman yang didapat dari operasi dalam negeri dan operasi teritorial
memengaruhi gaya kepemimpinan dalam membangun partisipasi dan cara
berinteraksi dengan internal tim dan masyarakat lokal untuk mencapai sukses
21 W.A. Gerungan, op.cit.
19
dalam misi pemeliharaan perdamaian.
Berdasarkan faktor tersebut, dapat diidentifikasi faktor internal yang memengaruhi gaya
kepemimpinan dalam membangun partisipasi untuk menyelesaikan permasalahan misi
perdamaian.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal dapat memengaruhi gaya kepemimpinan individu dalam melaksanakan
misi. Walaupun tidak secara utuh diimplementasikan, hal itu tetap dapat mewarnai
bentuk pengambilan keputusan. Faktor eksternal yang dimaksud dapat dideskripsikan
sebagai faktor yang didapat dari luar kedinasan, seperti berikut ini.
1. Sifat dasar bangsa Indonesia yang mudah bersosialisasi dengan semangat
kebersamaan telah memengaruhi gaya kepemimpinan, adaptif terhadap
budaya lokal, dan menghormati masyarakat di wilayah penugasan.
2. Sikap kaku dari sebagian prajurit Eropa dalam misi pemeliharaan perdamaian
memicu motivasi pasukan perdamaian Indonesia untuk bersikap luwes,
berorientasi pada keberhasilan tugas, dan berinteraksi dengan masyarakat
lokal tanpa menimbulkan resistensi. Hal itu didasari rasa kebersamaan saling
melengkapi dalam melaksanakan tugas di bawah bendera PBB.
3. Budaya masyarakat lokal merupakan faktor signifikan karena dapat
memengaruhi gaya kepemimpinan aktor pimpinan lapangan. Dalam konteks
itu, pimpinan lapangan secara situasional menentukan cara bertindak yang
adaptif dengan kebiasaan masyarakat lokal. Keputusan itu merupakan
keputusan kolektif yang dirumuskan dengan interpretasi bersama melalui
proses interaksi pimpinan dan anggota tim.
Berdasarkan faktor tersebut, diidentifikasi bahwa faktor eksternal sangat
berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan para pemimpin lapangan dalam membuat
keputusan yang cepat dan tepat tanpa menimbulkan resistensi dari pihak terkait.
Korelasi antara faktor internal dan eksternal dalam memengaruhi gaya
kepemimpinan individu sebagai pimpinan lapangan dapat diidentifikasi bahwa gaya
kepemimpinan variatif yang diterima individu pada posisi subordinasi di lingkungan kerja
yang diadopsi serta yang dikembangkan secara otodidak dan adaptif dengan lingkungan
domisili dapat membentuk karakter kepemimpinan situasional dalam membentuk
20
partisipasi.
Gambar 3.1. Model Pengaruh Faktor Lingkungan dalam Membentuk Kepemimpinan
Sumber : U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat
bagi Pembangunan Desa, (Malang: Unmer, 2005)
Kesimpulan
Gaya kepemimpinan yang diimplementasikan dalam misi pemeliharaan perdamaian di
bawah bendera PBB dianalisis dengan metode kualitatif berdasarkan data empirik dari
pengalaman tugas penulis dari penelitian yang relevan dengan judul “Pilihan Moda
Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi Perdamaian
Internasional” dan dari laporan purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-
B/UNIFIL di wilayah Lebanon Selatan.
Dalam konteks itu, penulis berusaha mengungkapkan implementasi gaya
kepemimpinan dari aktor pimpinan dalam misi pemeliharaan perdamaian, dalam hal itu,
secara variatif berperan sebagai pimpinan patroli, komandan tim, perwira staf, dan
bertugas sebagai negosiator. Fokus tulisan ini menganalisis situational leadership
interpretive dalam operasi pemeliharaan perdamaian.
Dengan melalui proses analisis, diidentifikasi terdapat temuan penelitian. Dalam
kesimpulan ini secara akumulatif ditemukan tiga proposisi sebagai berikut.
21
Proposisi 1: Implementasi kepemimpinan tidak mekanistis, ada intervensi dinamis dari
hasil interpretasi situasi melalui proses interaksi sosial dalam membangun
partisipasi.
Proposisi 2: Sinergi interpretasi situasi pimpinan dan pengikut yang diperoleh dari
proses interaksi merupakan faktor dominan dalam misi mereka bersama.
Proposisi 3: Gaya kepemimpinan variatif yang diterima individu di posisi subordinasi di
lingkungan kerja yang diadopsi serta dikembangkan secara otodidak dan
adaptif dengan lingkungan domisili dapat membentuk karakter
kepemimpinan situasional dalam membentuk partisipasi.
Atas dasar tiga proposisi di atas, dapat diidentifikasi bahwa gaya kepemimpinan dalam
operasi pemeliharaan perdamaian menggunakan gaya kepemimpinan situasional
interpretatif, dalam hal itu memperkuat teori substantif22 yang merekonstruksi teori
situational leadership dari Waddell.
Gambar 4.1. Model Kepemimpinan Situasional Interpretatif
22 U.H. Harahap, op.cit., hlm. 25.
22
Daftar Pustaka
Berfrand dan Gouldner. 1980. Struktur dan Proses Sosial. Dalam Taneko, S.B. 1984. Jakarta:Rajawali.
Boje, D. 2000. Modern Leadership Theory and Sweatshops. mydocument/internet/mdl.Htm/www.link. New York.
Desch, M. C. 2002. Politisi vs Jenderal, Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yangBergeser. Terjemahan. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dahrendorf, R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: StanfordUniversity Press.
Fiedler, F.E. 1964. Situation and Contigency, internet/http/home, microsoft.com, New York.
Gerungan, W. A. 1995. Psikologi Sosial. Bandung: PT Bresco.
Homand. 1950. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Dalam Pamudji. 1993. Jakarta:Bumi Aksara.
Harahap,U.H. 2005. Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk PartisipasiMasyarakat bagi Pembangunan Desa. Malang: Unmer.
Hidayat, E.R. 2011. Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalamOperasi Perdamaian Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia.
Keney, R. A. 1996. Implicit Leaders Theories: Defining Leadership Described as Worth ofInfluence. Virginia: Partner Through Training, Lynchburg.
Koentjaraninggrat. 1966. Antropologi. Jakarta: Universitas Jakarta.
Maxwel, J. C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda. Jakarta: BinarupaAksara.
Osborne, D & Gaebler, T. 1998. Reinventing Government. Jakarta: CV Terutama Grafica.
Sundhaussen, U. 1984. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Jakarta: ILP3ES.
Yukl, G. 1998. Leadership in Organization. New Jersey: Prentice-Hall International. Inc,07632.
Yonifmek/XXIII-B. 2007. Laporan Purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFILdi Wilayah Lebanon Selatan. Jakarta.
23