9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

23
1 SITUATIONAL LEADERSHIP INTERPRETIVE DALAM OPERASI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Usra H. Harahap 1 Abstract - Peacekeeping Operation is a unique operation. It needs participation from all element to conduct this operation that involve in such peace mision. The operation situation extremely complex and vary, in this context, the leader needs to implement an appropriate leadership style in establishing his folowers participation. The operation act in establishing followers participation not just running mechanically, but more specificaly a situational leadership interpretive of a leader actor is became primarily to achieve the sucsess. This article, has identified a leader actor behavior on peacekeeping operation, starting from the interpretation of a situation by the leader itself along with the followers through interaction process, to get the same perception and establish participation atmosphere in conducting operation. Such establishing participation process like this case, has been identified as situational leadership interpretive. Keywords : situational, leadership, interpretive, peacekeeping operation. Pendahuluan Kepemimpinan bersifat universal karena selalu ditemukan dan diperlukan dalam setiap aktivitas, operasional, dan usaha bersama yang memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan operasional, baik dalam hubungan satuan terkecil maupun satuan hubungan yang besar, selalu digerakkan oleh seorang pemimpin dengan menggunakan kepemimpinan yang variatif, adaptif, dan situasional untuk menuju sukses. Operasi pemeliharaan perdamaian bukan operasi militer, melainkan militer yang dapat melaksanakan operasi. Kalimat itu sangat akrab di telinga penulis ketika melaksanakan operasi pemeliharaan perdamaian sebagai pengamat militer di Bosnia Herzegovina. Kalimat itu kembali terdengar di setiap seminar, workshop, dan latihan yang terkait dengan misi perdamaian dan konferensi atau sidang yang dilaksanakan di Markas PBB New York. Akhirnya, penulis sangat sadar bahwa kalimat tersebut selalu 1 Marsda TNI Dr. Usra H. Harahap adalah Komandan Sekolah Kajian Pertahanan Strategis Universitas Pertahanan Indonesia

Transcript of 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

Page 1: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

1

SITUATIONAL LEADERSHIP INTERPRETIVEDALAM OPERASI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN

Usra H. Harahap1

Abstract - Peacekeeping Operation is a unique operation. It needs participation from allelement to conduct this operation that involve in such peace mision. The operation situationextremely complex and vary, in this context, the leader needs to implement an appropriateleadership style in establishing his folowers participation. The operation act in establishingfollowers participation not just running mechanically, but more specificaly a situationalleadership interpretive of a leader actor is became primarily to achieve the sucsess. Thisarticle, has identified a leader actor behavior on peacekeeping operation, starting from theinterpretation of a situation by the leader itself along with the followers through interactionprocess, to get the same perception and establish participation atmosphere in conductingoperation. Such establishing participation process like this case, has been identified assituational leadership interpretive.

Keywords : situational, leadership, interpretive, peacekeeping operation.

Pendahuluan

Kepemimpinan bersifat universal karena selalu ditemukan dan diperlukan dalam setiap

aktivitas, operasional, dan usaha bersama yang memerlukan pemimpin dan

kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan operasional, baik dalam

hubungan satuan terkecil maupun satuan hubungan yang besar, selalu digerakkan oleh

seorang pemimpin dengan menggunakan kepemimpinan yang variatif, adaptif, dan

situasional untuk menuju sukses.

Operasi pemeliharaan perdamaian bukan operasi militer, melainkan militer yang

dapat melaksanakan operasi. Kalimat itu sangat akrab di telinga penulis ketika

melaksanakan operasi pemeliharaan perdamaian sebagai pengamat militer di Bosnia

Herzegovina. Kalimat itu kembali terdengar di setiap seminar, workshop, dan latihan yang

terkait dengan misi perdamaian dan konferensi atau sidang yang dilaksanakan di Markas

PBB New York. Akhirnya, penulis sangat sadar bahwa kalimat tersebut selalu

1 Marsda TNI Dr. Usra H. Harahap adalah Komandan Sekolah Kajian Pertahanan Strategis UniversitasPertahanan Indonesia

Page 2: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

2

disosialisasikan di semua kegiatan misi perdamaian. Mengapa hanya militer yang dapat

melaksanakan? Pertanyaan itu tentunya secara empirik dapat dijawab bahwa sejak 1957

militer selalu menjadi ujung tombak dalam operasi pemeliharaan perdamaian.

Untuk dapat mencapai sukses dalam misi perdamaian, tidak cukup hanya berjalan

secara mekanistik, tetapi ada langkah operasional yang memerlukan gaya kepemimpinan

yang dapat mengakomodasi seorang pemimpin dapat bekerja optimal. Penggunaan gaya

kepemimpinan tidak mudah untuk diimplementasikan secara tepat guna tanpa ada suatu

pemaknaan dan penafsiran dari seorang pemimpin terhadap situasi yang dihadapi karena

gaya kepemimpinan tertentu tidaklah optimal dalam semua situasi.2

Kompleksitas pelaksanaan misi perdamaian memicu para pemimpin lapangan untuk

mempunyai talenta dalam memimpin unit tugas yang juga sangat variatif sesuai dengan

tuntutan misi. Salah satu unsur tugas dalam operasi pemeliharaan perdamaian adalah

menjadi pengamat militer (military observer) atau yang lebih populer disingkat milops.

Milops bertugas mengamati, mencatat, menganalisis, dan melaporkan secara hierarki

semua peristiwa di daerah tugas (mission area) kepada pimpinan tertinggi PBB. Milops

merupakan unit tugas yang unik, yang terdiri atas berbagai bangsa dengan pangkat

bervariatif mulai kapten sampai dengan letnan kolonel dengan jumlah personel lebih

kurang sepuluh orang. Milops bentuk lain dari satuan tugas, seperti batalion infantri

mekanis (yonif mekanis) dengan jumlah 850 personel sampai dengan 1.018 personel yang

dipimpin seorang kolonel dengan pembagian tugas sesuai dengan struktur organisasi

sampai dengan unit operasional terkecil, seperti tim patroli.

Realitas pola kerja dan tata kelola organisasi kecil seperti milops secara administratif

dipimpin oleh komandan tim (team leader), secara operasional tidak memiliki pimpinan

tetap, dan setiap hari bergantian sabagai pimpinan patroli (patrol leader). Akan tetapi,

pengaturan tugas secara bergantian tersebut sudah dirumuskan dengan interpretasi

mendalam. Dengan demikian, pemilihan tersebut dapat dikategorikan pilihan demokratis

atas putusan kolektif yang menurut Kenney3 merupakan investasi besar bagi anggotanya

dan proses seperti itu merupakan pemberian otoritas formal (position power). Hal itu

merupakan titik tolak (starting point) untuk dapat membangun partisipasi anggota tim

2 G Yukl, Leadership in Organization, (New Jersey: Prentice-Hall International. Inc, 07632. 1998).3 R. A . Keney, Implicit Leaders Theories: Defining Leadership Described as Worth of Influence, (Virginia :Partner Through Training, Lynchburg, 1996).

Page 3: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

3

lebih baik4 Berbeda dengan tim patroli (bagian yonif mekanis), dalam melaksanakan

tugas, tim patroli dipimpin oleh seorang bintara terpilih, tetapi dalam kondisi tertentu

dalam penugasan integratif dengan satuan dari negara lain dipimpin oleh seorang

perwira.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis perilaku pimpinan patroli sebagai

pimpinan kelompok kecil dalam operasi pemeliharaan perdamaian dalam memaknai

bahwa seorang pemimpin saat menghadapi tugas diawali dengan interpretasi situasi

bersama anggotanya melalui proses interaksi untuk menyamakan persepsi dan

membentuk partisipasi dalam melaksanakan tindakan operasional.

Tindakan Pimpinan Patroli Milops dalam Membentuk Partisipasi

Mekanisme pelaksanaan tugas milops dalam daerah tugas sangat dinamis dan berisiko

tinggi sehingga dibutuhkan kerja sama tim dengan sentuhan kepemimpinan yang adaptif

terhadap situasi. Dalam konteks itu ada beberapa pendapat yang relevan menyatakan

penggunaan gaya kepemimpinan berdasarkan situasi untuk mengambil suatu kebijakan

merupakan suatu gejala yang bersifat umum.5 Pemimpin sensitif memihak pada tuntutan

situasi yang berkembang6 dan membuat kebijakan dengan penilaian situasi yang dapat

menyelesaikan masalah.7

Setiap personel pengamat militer dalam misi pemeliharaan perdamaian dunia telah

diatur untuk menjabat sebagai pimpinan patroli. Dalam konteks gaya kepemimpinan itu,

pimpinan patroli mengimplementasikan gaya kepemimpinan situasional untuk

membangun partisipasi anggota tim yang dipimpinnya agar peka terhadap situasi, cepat

dan tepat mengambil keputusan, serta selaras dengan keputusan kolektif yang telah

dirumuskan secara interaktif antara pemimpin dan anggota tim untuk menyelesaikan

tugas dengan tingkat risiko tinggi. Pertanyaan menarik yang akan muncul adalah

bagaimana pimpinan patroli memberi makna terhadap gaya kepemimpinannya dalam

upaya membangun partisipasi anggota tim untuk sukses dalam tugas?

Dari pengalaman penulis, sebagai pimpinan patroli milops di Bosnia, implementasi

4 F.E. Fiedler, “Situation and Contigency”, internet/http/home, microsoft.com, New York, 19645 D, Osborne & T, Gaebler, Reinventing Government, (Jakarta: CV Terutama Grafica, 1998).6 M. C. Desch, Politisi vs Jenderal, Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser, Terjemahan, TriWibowo Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).7 U Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1984).

Page 4: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

4

pengambilan keputusan dengan tingkat risiko tinggi tidak mendapat resistensi dari

anggota tim. Hal itu dapat diidentifikasi bahwa seluruh anggota tim yang akan mendapat

giliran tugas sebagai pimpinan patroli sudah mendapatkan interpretasi yang sama

terhadap situasi yg dihadapi dan meletakkan pemahaman bersama tersebut sebagai

pedoman pelaksanaan tugas. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang

situasi dan misi yang akan dihadapi, muncul pertanyaan berikutnya, yaitu bagaimana

pimpinan patroli mengindentifikasi dan mendeskripsikan aspek situasi untuk dijadikan

dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan operasional misi pemeliharaan

perdamaian? Apalagi, kalau hal itu dihadapkan pada pelaksanaan misi dengan tingkat

risiko yang variatif, tetapi tetap dengan tuntutan semangat dan partisipasi yang tinggi.

Sulit untuk dibayangkan tingkat keberhasilan membangun partisipasi dengan situasi

seperti itu. Namun, fakta empirik dari pengalaman penulis dapat dikemukakan melalui

suatu interaksi leader dan folowers secara sinergik, yaitu dilakukan langkah-langkah

interpretasi situasi untuk membangun komitmen bersama dalam implementasi misi.

Implementasi komitmen tersebut pernah dialami penulis dalam memimpin patroli

di daerah Bugojno Bosnia Herzegovina. Tugas yang sangat menantang harus dilakukan.

Tim patroli ditugaskan untuk membuat pos tinjau atau observation post (OP) di sebuah

ketinggian yang betul-betul dapat meninjau pertempuran antara Serbia dan Bosnia.

Persoalan mulai muncul ketika diidentifikasi, seluruh akses menuju keketinggian tersebut

penuh dengan ranjau antipersonel. Dalam hal itu, pimpinan patroli berperan aktif

membentuk partisipasi anggota tim untuk dapat melaksanakan tugas tanpa menimbulkan

korban jiwa. Setelah mengatur strategi bersama, diputuskan untuk tetap naik ketinggian

yang penuh dengan ranjau tersebut. Keputusan kolektif tersebut dilaksanakan setelah

pimpinan patroli melihat ada rombongan sapi di puncak ketinggian. Hal itu berarti sapi

tersebut telah melewati ladang ranjau dan dapat mencapai puncak walaupun mungkin di

antaranya ada korban yang meledak karena ranjau tersebut. Dari indikator tersebut tim

patroli dapat mengambil kesimpulan bahwa jejak sapi menuju puncak merupakan titik

aman untuk diinjak dan merupakan jalan setapak untuk menuju puncak ketinggian.

Perjalan ke puncak ketinggian tetap dilaksanakan dengan sangat berhati-hati karena

masih banyak ranjau yang belum terlokasi. Akhirnya, seluruh anggota tim patroli dapat

mencapai puncak ketinggian untuk membangun OP sesuai dengan kebutuhan misi.

Seluruh personel tim patroli bersedia melaksanakan tugas yang berisiko tinggi

Page 5: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

5

karena pemimpin patroli menciptakan kesesuaian paham atau kesepakatan (leadership as

the art of including complience). Seni menciptakan kesesuaian paham ada relevansinya

dengan kekuatan dan pengaruh (power and influence) yang oleh Maxwell8 dikatakan

bahwa untuk membantu pemimpin maju dia mengajukan gagasan tentang segitiga

kekuasaan yang komponennya adalah komunikasi, pengakuan, dan pengaruh (langkah-

langkah komponen itu sudah dilakukan pimpinan patroli dalam membangun partisipasi

tim) .

Sinergi interpretasi situasi antara pemimpin dan pengikut iu dapat dideskripsikan

dari pengalaman empirik penulis dalam bertugas sebagai pengamat militer di wilayah

Gospic Kroasia. Pada saat itu, penulis ditugaskan sebagai pimpinan patroli dan akan

melaksanakan patroli melewati perbatasan ke wilayah Serbia. Sebelum pelaksanaan

patroli, diadakan rapat koordinasi membahas rencana patroli, seperti rute patroli, titik

lapor (check point) ke pos komando), memahami budaya masyarakat lokal dan tindakan

darurat (emergency), serta beberapa hal yang relevan untuk dilakukan. Dalam konteks

melewati perbatasan, ada hal penting yang harus dilakukan untuk memperlancar tugas

patroli, terutama terkait dengan budaya lokal yang sangat berpengaruh terhadap

sensitivitas masyarakat setempat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis sebagai

pimpinan patroli berkepentingan menyampaikan kemungkinan yang akan terjadi, seperti

sikap militer Serbia di perbatasan selalu mencurigai pengamat militer dari Uni Eropa yang

tergabung dalam NATO, mencurigai pengamat militer dari negara Muslim, dan mencurigai

pengamat militer dari negara antikomunis.

Faktor internal sangat memengaruhi kinerja tim. Hal itu disebabkan komposisi tim,

yang salah satu anggotanya penulis, anggotanya sangat bervariatif, terdiri atas berbagai

bangsa, seperti Eropa, Asia, Afrika, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Latin. Kondisi

heterogen itu menimbulkan perbedaan perspektif dalam menilai bagaimana seharusnya

bersikap terhadap penduduk lokal. Dengan melalui proses interpretasi misi secara

sinergik, dibangun komitmen bersama dengan menetapkan pola operasi dengan

pendekatan kultural imparsial.

Ketidakberpihakan (impartiality) merupakan kata kunci bagi pengamat militer.

Setiap anggota tim dari bangsa yang berbeda akan melihat tindakan tertentu sebagi

8 J. C. Maxwel,. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995).

Page 6: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

6

suatu hal yang melanggar aturan PBB, seperti memberi salam dalam bahasa lokal bagi

pengamat militer Eropa dinyatakan sebagai tindakan parsial dan memberi sesuatu untuk

militer lokal walaupun dengan tujuan mempermudah tugas juga dipandang sebagai

tindakan yang melanggar aturan PBB. Dinamika di lapangan sangat ditentukan oleh

perencanaan awal. Hal itu dialami oleh penulis pada saat melaksanakan patroli ke

perbatasan Kroasia dan Serbia. Militer Serbia tidak mengizinkan tim patroli masuk wilayah

mereka. Resistensi mereka ditunjukkan dengan sikap tidak bersahabat dan menodongkan

senjata kepada tim patroli, bahkan pimpinan mereka sudah memukulkan popor senjata ke

mobil patroli dengan berteriak menyuruh keluar. Penulis sebagai pimpinan patroli secara

singkat memberi instruksi kepada anggota tim supaya bersikap tenang dan bertindak

sesuai dengan komitmen awal tim dalam menghadapi militer lokal dan menggunakan

langkah elegan dengan pendekatan budaya lokal.

Tindakan paling sederhana yang dapat dilakukan dalam menyentuh budaya lokal

diawali dengan menyapa para militer lokal (Serbia) dengan kata “dravo”. Hal itu

merupakan titik awal yang cukup ampuh untuk mencairkan suasana supaya dapat

menjelaskan bahwa tim patroli sedang melaksanakan misi perdamaian dengan imparsial.

Interaksi dirasakan lebih mengarah pada pemahaman bersama, yaitu bahwa kedua belah

pihak sedang melaksanakan tugas secara profesional, responsibilitas, dan akuntabilitas.

Dua pak rokok Marlboro diberikan kepada kelompok militer Serbia untuk melanjutkan

komunikasi yang lebih teknis dan mulai diarahkan pada pencapaian tujuan tim patroli

dalam melaksanakan tugas di wilayah Serbia. Akhir dari pendekatan yang sederhana itu

bernuansa sentuhan kultural dan tim patroli diizinkan memasuki wilayah Serbia untuk

melaksanakan tugas sesuai dengan rencana operasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam menangani setiap permasalahan suatu komunitas besar, seperti di wilayah

Serbia, perlu adanya sinergi masyarakat lokal melalui suatu interaksi, dalam konteks itu

relevan dengan teori interaksi dan harapan. Menurut Homand 9, teori itu mendasarkan

diri pada variabel aksi, reaksi, interaksi, dan perasaan (action, reaction, interaction, and

sentiment). Teori itu berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan partisipasi dalam

kegiatan bersama, semakin meningkat rasa perasaan saling menyukai atau menyenangi

satu dengan yang lain akan semakin memperjelas pengertian atas norma kelompok.

Dalam membentuk partisipasi anggota tim patroli, pimpinan patroli beradaptasi

9 Homand dalam Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993).

Page 7: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

7

dengan penyesuaian diri secara aloplastis10, yaitu penyesuaian diri yang dalam

penyesuaian itu lingkungan diubah oleh dirinya, lingkungan psikis, dan lingkungan

rohaniah.

Konsiderasi Komandan Patroli dalam Mengambil Keputusan

Komandan patroli dalam konteks ini diperankan oleh bintara terpilih secara selektif dan

sudah dibekali pengetahuan kepemimpinan tingkat satuan kecil dan dapat mengambil

keputusan dalam keadaan kritis. Implementasi pengambilan keputusan oleh komandan

patroli merupakan hal yang tidak sederhana apabila keputusan tersebut harus

dilaksanakan dengan benar dan tidak bertentangan dengan keputusan pimpinan tertinggi

di wilayah operasi (force commander). Bagaimana kemampuan seorang bintara

(komandan patroli) mengambil keputusan dalam situasi kritis dengan cepat, tepat, dan

tidak menimbulkan permasalahan baru bagi dirinya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan

suatu proposisi yang dapat dinyatakan sebagai hipotesis, yaitu sinergi interpretasi situasi

pemimpin dan pengikut yang diperoleh dari proses interaksi merupakan faktor dominan

dalam misi mereka bersama11 .Hal itu merupakan kekuatan bagi komandan patroli dalam

mengambil keputusan karena ia paham betul situasi yang sedang dihadapi dan tindakan

yang harus dilakukan sesuai dengan garis kebijakan pimpinan.

Pendekatan kultural merupakan ciri khas militer Indonesia dalam bertugas, baik di

dalam negeri maupun diluar negeri (misi perdamaian). Sentuhan awal dari pendekatan itu

dengan mengucapkan salam (greeting) dengan bahasa lokal, seperti yang telah diuraikan

di depan, cukup efektif untuk menarik simpati masyarakat lokal. Misalnya, pendekatan

yang dilakukan di perbatasan Serbia – Kroasia dengan ucapan salam kepada masyarakat

Serbia “dravo”, untuk masyarakat Kroasia “bok”, dan salam bagi masyarakat Bosnia

“marhabah”. Tindakan yang sama juga dilaksanakan dalam misi perdamaian di wilayah

lain, seperti di Lebanon, prajurit TNI sudah terbiasa mengucapkan “assalammualaikum

kifak” (apa kabar). Dalam konteks itu, ada perspektif yang berbeda antara militer

Indonesia dan sebagian militer negara Eropa yang memandang salam sebagai suatu

tindakan yang memihak (partial). Di sisi lain, militer Indonesia berorientasi pada

10 W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Bresco, 1995).11 U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat bagi PembangunanDesa, (Malang: Unmer, 2005).

Page 8: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

8

pencapaian misi dengan cara elegan dan damai melalui pendekatan sosio-kultural.

Pendekatan itu merupakan direktif dari pimpinan tertinggi TNI kepada prajurit yang akan

bertugas dalam misi perdamaian. Dalam konteks itu dapat dilihat dari pengarahan

Panglima TNI (Marsekal TNI Joko Suyanto) pada saat melaksanakan kunjungan kerja ke

Lebanon pada tahun 2007 sebagai berikut:

1. melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tugas pokok

yang diberikan force commander di daerah penugasan,

2. membuat atmosfer yang menyenangkan dalam melaksanakan tugas,

3. memelihara koordinasi dan komunikasi yang baik dengan institusi sipil dan

militer di daerah penugasan,

4. menjaga kehormatan bangsa Indonesia di forum internasional karena

setiap prajurit merupakan duta bangsa,

5. bersikap profesional dalam melaksanakan tugas, dan

6. menjaga hubungan baik dengan pasukan PBB dari negara lain.

Pengarahan Panglima TNI merupakan perintah dan harus dilaksanakan. Secara

hierarki direspons, diidentifikasi, dan dirumuskan sebagai pedoman kerja untuk menuju

sukses. Relevansi dari butir perintah tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Osborn

Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel, dan

bersemangat lebih tinggi daripada organisasi yang digerakkan oleh peraturan12.

Kunci mencapai sukses dirumuskan oleh para pemimpin lapangan dalam

implementasi tugas sebagai berikut:

1. menghormati kondisi sosial masyarakat lokal dengan tetap menjaga

netralitas,

2. melaksanakan moto “smile for all and makes all smile” tanpa

mengabaikan disiplin dalam bertugas,

3. bertindak bijaksana dan memelihara hubungan kerja yang baik dengan

semua elemen di medan penugasan,

12 D. Osborn, Reinventing Government, (Jakarta: CV Terutama Grafica, 1998).

Page 9: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

9

4. bersikap rela berkorban demi tugas kemanusiaan, dan

5. cepat beradaptasi dan mengadopsi kondisi sosial masyarakat lokal tanpa

meninggalkan identitas bangsa.

Mekanisme seperti yang diuraikan di atas merupakan bentuk interpretasi tugas

yang disampaikan pemimpin kepada anak buah melalui interaksi untuk mendapatkan

pemahaman yang sama dalam melaksanakan tugas.

Implementasi tugas tersebut dapat terlihat dalam sebuah penelitian yang berjudul

“Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi

Perdamaian Internasional”13, yang merupakan hasil penelitian yang menunjukkan aplikasi

butir arahan Panglima TNI dan dilaksanakan seperti salah satu hipotesis yang ada dalam

disertasi tersebut. Batalion Indonesia (Indo Batt) memilih keputusan berbasis sosial lebih

tinggi. Penelitian itu juga mencantumkan komentar partisipan FGD tentang mengapa

mereka memilih moda sosial, seperti kutipan berikut ini.

Dari tugas pokok yang ada, kalau kita turun ke lapangan memang sangat banyak

bersentuhan dengan masalah sosial. Di samping melaksanakan tugas pokoknya,

menjaga perbatasan, ada satu, membantu pemerintah dalam tugas kemanusiaan.

Untuk dapat masuk ke tempat itu, kita harus mempunyai basis sosial yang kuat. Itulah

CIMIC dan itu unggulan Indonesia. Jadi, saya kira tidak salah dalam penelitian ini ketika

kita melihat responden mayoritas di setiap kasus sosial selalu ada. Kalau dia berbasis

peraturan, dia pasti akan diterima oleh masyarakat.

Di UNIFIL ada aturan (berkendaraan) di jalan terbuka, jalan tertutup, dan ada

peraturannya berapa kilometer (minimal). Akan tetapi, kalau kita melaksanakan itu,

seperti QRF (quick reaction force Prancis), setiap patrolinya kebanyakan mendapat

halangan dari masyarakat: dilempar, kemudian dihadang, dihadang oleh ibu-ibu. Akan

tetapi, karena kita melaksanakan sesuai dengan (moda) sosial, kita (jalan) pelan-pelan,

bertemu masyarakat, “assalamualaikum kifak?” (apa kabar). Karena moda sosial itu,

13 E.R. Hidayat, Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi PerdamaianInternasional, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011).

Page 10: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

10

semuanya senang dengan kita dan apa yang kita lakukan semuanya dapat tercapai.

Kita melaksanakan CIMIC pengobatan gratis itu semuanya untuk menarik simpati

masyarakat di sekitar sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya pernah

mempunyai pengalaman. Ada masyarakat menemukan UXO (unexploded ordnance/

amunisi yang tidak meledak). Jadi, dia melaporkaan ke Indo Batt dan QRF. QRF

melaksanakan peraturan. Sesuai dengan prosedur, dia mengambil foto, sedangkan kita

mengetahui bahwa foto itu sangat sensitif bagi orang Lebanon. Akhirnya, orang QRF itu

dihadang, tidak boleh pulang sebelum foto yang diambil itu diberikan kepada masyarakat

karena dia itu tidak dekat dengan masyarakatnya. Dia lebih mengutamakan prosedur14.

Penelitian Hidayat dalam perspektif psikologi seperti pernyataan di atas juga

didukung oleh teori sosial, seperti Osborn lebih memilih organisasi digerakkan oleh misi

daripada digerakkan peraturan. Pendekatan yang digerakkan oleh misi, bagi Pasukan

Indonesia, lebih sering digunakan melalui berbagai cara, seperti berinteraksi dengan

masyarakat yang oleh Berfrand dan Gouldner15 dijelaskan bahwa interaksi sebagai aksi

dan interaksi di antara orang-orang. Dengan demikian, terjadinya interaksi, apabila satu

individu berbuat sedemikian rupa, menimbulkan reaksi dari individu atau individu

lainnya16.

Interpretasi bersama tentang situasi dalam misi perdamaian di Lebanon yang

disampaikan Panglima TNI kepada Pasukan Misi Perdamaian Indonesia melalui suatu

interaksi telah mendapatkan pemahaman yang sama untuk melaksanakan tugas di daerah

konflik dengan mengedepankan pendekatan sosial sesuai dengan anggapan dasar

Dahrendorf17 berikut ini.

1. Setiap masyarakat berada di dalam proses perubahan yang tidak berakhir.

2. Setiap masyarakat selalu mengandung pertentangan di dalam dirinya.

3. Setiap masyarakat selalu terintegrasi karena penguasaan atau dominasi oleh

sejumlah orang terhadap sejumlah orang yang lainnya.

Dari pendapat iitu dapat dikatakan bahwa prajurit Indonesia adaptif dan dapat

mengadopsi nilai kondisi sosial masyarakat lokal untuk menuju sukses dalam tugas.

14 Berfrand dan Gouldner dalam S.B Taneko, Struktur dan Proses Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984).15 Ibid.16 Koentjaraninggrat, Antropologi, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1966).17 R. Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, (California: Stanford University Press, 1959)

Page 11: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

11

Komunikasi Interaktif Pimpinan TNI dengan Pasukan dalam Konteks Interprestasi

Situasi dalam Misi Perdamaian

Komunikasi dengan format pengarahan Panglima TNI kepada pasukan yang merupakan

salah satu bentuk interaksi leader and followers dalam konteks menginterpretasi situasi

telah dijabarkan, dirumuskan, dan diimplementasikan oleh pemimpin lapangan dengan

tindakan: menghormati kondisi sosial masyarakat lokal tanpa meninggalkan netralitas,

melaksanakan moto “smile for all and makes all smile” dengan tidak mengabaikan disiplin

dalam bertugas, cepat beradaptasi, dan mengadopsi kondisi sosial masyarakat lokal

tanpa meninggalkan identitas bangsa.

Data implementasi tersebut dapat dilihat dari laporan purnatugas Satgas Yonif

Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFIL di wilayah Lebanon Selatan sebagai bagian dari Misi

Pemeliharaan Perdamaian PBB di bawah United Nations Interim Force in Lebanon

(UNIFIL) dalam rangka memantau proses Perjanjian Penghentian Permusuhan antara

pihak yang bertikai pascaterjadinya perang 34 hari pada tahun 2006 yang lalu. Hal

menonjol dan relevan yang dapat diidentifikasi penulis, antara lain, dari bidang intelijen.

Tidak mudah untuk mendapatkan data intelijen di daerah operasi karena dibutuhkan

kepiawaian seorang prajurit untuk memperoleh data tersebut seperti yang tertulis dalam

laporan purnatugas.

Informasi yang ada pada awalnya tidak mudah untuk didapatkan karena masyarakat

sangat tertutup dan sensitif terhadap pasukan UNIFIL. Pencarian informasi secara

simpatik dilaksanakan dengan memanfaatkan kegiatan Cimic, misalnya pada saat

pelaksanaan aktivitas penyuluhan dan pengobatan terhadap masyarakat di desa,

melaksanakan anjangsana yang dilakukan oleh personel dari Cimic yang menjadi

wilayah tanggung jawabnya, personel Mayon, serta dansatgas kepada tokoh

masyarakat dan tokoh agama yang membuat makin eratnya hubungan kekeluargaan

Indo Batt dengan masyarakat. Dengan demikian, penggalian informasi lebih mudah

didapatkan. Informasi yang didapat dari masyarakat, seperti penemuan UXO

sebanyak 41 kali, insiden, dan hal lain sebanyak 21 kali, sedangkan selebihnya

Page 12: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

12

masyarakat masih tertutup tentang keberadaan kelompok bersenjata18.

Implementasi perintah Panglima TNI dari perspektif pendekatan sosial-budaya

dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut :

Membantu sesuai dengan kemampuan terhadap masyarakat yang membutuhkan,

seperti pengobatan terbatas, mengunjungi masyarakat yang mendapat

musibah/kesusahan, dan kegiatan positif lainnya. Hal itu sering terlihat dari

banyaknya masyarakat yang datang ke Indo Batt dengan tujuan untuk mengucapkan

terima kasih dengan cara mengundang dansatgas/wadansatgas untuk dapat hadir

dalam acara yang diadakan oleh masyarakat atau penduduk di wilayah AO Indo Batt

dan di luar AO, termasuk menghadiri undangan pernikahan dan makan siang serta

bertamu kepada tokoh masyarakat/tokoh agama masyarakat lokal19.

Dari perspektif bidang Cimic yang diinterpretasikan oleh prajurit indonesia sebagai

bidang teritorial, diidentifikasi adanya implementasi kebijakan sesuai dengan instruksi

Panglima TNI kepada prajurit pelaksana operasi. Hal itu dapat dilihat dari pernyaaan

dalam buku laporan purnatugas sebagai berikut.

Kegiatan Cimic yang telah dilaksanakan oleh Prajurit Indo Batt sampai saat ini

mendapatkan penilaian yang sangat baik dari masyarakat wilayah desa binaan dan

dari luar desa binaan, termasuk dari UNIFIL, sehingga Indo Batt dinilai sebagai

pasukan UNIFIL yang bersikap netral dan imparsial serta mampu menjaga area

operasinya secara kondusif sepanjang tahun penugasan.

Masyarakat wilayah binaan Indo Batt hampir 98% penganut agama Syiah, yang secara

umum memiliki sensitivitas, adat istiadat, dan kultur yang khas, sehingga perlu

diwaspadai, terutama dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan

masyarakat setempat (larangan mengambil dokumentasi di semua tempat tanpa

izin).

Masyarakat wilayah binaan, terutama di Al Qantarah, Adhsit Al Qusayr, Al Qusayr, dan

Markabe, cukup sensitif dengan patroli dari kontingen lain, terutama yang berasal

18 Yonifmek/XXIII-B, Laporan Purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFIL di Wilayah LebanonSelatan, Jakarta, 2007.19 Ibid.

Page 13: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

13

dari wilayah Eropa, tetapi Indo Batt sampai saat ini tidak mengalami permasalahan

dan dapat menjaga hubungan dengan baik dengan masyarakat setempat.

Sarana pelayanan kesehatan di wilayah desa binaan juga masih terbatas dengan

adanya beberapa dokter yang mayoritas berasal dari luar wilayah binaan dan mereka

hanya datang beberapa kali seminggu sehingga kadang kala banyak masyarakat

berobat ke markas Indo Batt dan pos Kompi Mekanis Indo Batt.

Dari data laporan itu terlihat bahwa pengarahan Panglima TNI telah dilaksanakan

secara responsif oleh para pimpinan lapangan yang memiliki posisi otoritas. Jika seorang

aktor pimpinan lapangan memiliki responsibilitas, aktor tersebut juga harus setaraf

dengan otoritas tersebut20.

Gaya Kepemimpinan dalam Membentuk Partisipasi dari Data

Berdasarkan data empirik sebagaimana yang telah divisualisasikan sebelumnya dalam

pelaksanaan patroli di misi pemeliharaan perdamaian, dapat diidentifikasi gaya

kepemimpinan dalam membentuk partisipasi atas dasar interpretasi situasi bersama

antara pimpinan dan pengikut. Dalam konteks tersebut dapat dilihat dari perspektif

makna kepemimpinan dalam membentuk partisipasi.

Dalam membentuk partisipasi diperlukan kreativitas dan gaya dari seorang

pemimpin untuk dapat menggerakkan aktivitas pengikutnya dalam mencapai tujuan

kolektif. Berdasarkan data dan fakta di wilayah tugas misi pemeliharan perdamaian,

kriteria membentuk partisipasi oleh pimpinan patroli atau pimpinan lapangan yang

merupakan temuan adalah sebagai berikut :

1. Dengan kekuasaan yang dimiliki secara legal formal, pimpinan patroli/

pimpinan lapangan telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab misi

pemeliharaan perdamaian secara maksimal serta telah membangun partisipasi

seluruh anggota tim untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan tingkat

risiko tinggi tanpa resistensi.

2. Dalam merespons inisiatif anggota tim, pimpinan patroli melaksanakan

20D.Boje,. Modern Leadership Theory and Sweatshops. mydocument/internet/mdl.Htm/www.link. New York, 2000.

Page 14: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

14

langkah secara bertahap yang diawali dengan perencanaan, kemudian rapat

koordinasi dengan seluruh anggota tim secara internal untuk

menginterpretasi situasi dalam upaya mendapatkan pemahaman bersama

tentang misi.

3. Dengan menyadari secara penuh bahwa tidak mungkin mencapai sukses tanpa

partisipasi anggota tim dan masyarakat lokal, tidak lain bagi pimpinan patroli

hal itu merupakan jalan menuju sukses, kecuali bersosialisasi dengan

masyarakat lokal untuk memperlancar pelaksanaan tugas patroli.

4. Kemandirian tim sangat dipegang teguh dengan membangun partisipasi

anggota tim agar tetap konsisten melaksanakan tugas. Campur tangan tim

atau satuan atas dalam menyelesaikan tugas tim di wilayah tanggung

jawabnya dirasakan dapat mengurangi kredibilitas pimpinan patroli karena

dianggap kurang mampu membangun partisipasi anggota tim tersebut.

5. Makna kepemimpinan bagi pimpinan patroli yang diimplementasikan dalam

membentuk partisipasi anggota tim seperti yang diuraikan di atas merupakan

hasil temuan dalam penelitian yang selanjutnya akan diuraikan secara

substansial tentang implementasi kepemimpinan dari pimpinan patroli dalam

setiap kasus.

6. Dengan berorientasi pada suksesnya pelaksanaan operasi pemeliharaan

perdamaian dan tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang

berada di wilayah operasi, hal itu berarti secara cermat pimpinan mempelajari

karakter anggota tim yang relevan dengan kasus yang dihadapi dan itu juga

dimaknai sebagai pimpinan yang optimal dalam semua situasi.

7. Dalam menghadapi suatu tugas yang diberikan oleh pimpinan yang dilakukan

dengan mempelajari situasi secara komprehensif, hal itu berarti situasi di

medan tugas dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi sosial dalam

kehidupan sehari-hari dengan masyarakat lokal dan satuan dari negara lain.

Untuk mengambil suatu tindakan, tidaklah berlangsung mekanistis, tetapi

melibatkan proses interpretasi situasi.

8. Menjadi pemimpin bukan untuk popularitas, melainkan untuk kekuasaan yang

digunakan untuk menambah relasi yang sangat berarti bagi harmonisasi

kehidupan dalam membangun partisipasi memelihara perdamaian.

Page 15: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

15

9. Membangun partisipasi dengan pendekatan sosial telah masuk dalam

kehidupan prajurit pemeliharaan perdamaian. Memberdayakan secara efektif

prajurit tersebut dinilai memiliki kredibilitas dan integritas tinggi bagi pimpinan

lapangan serta tetap memelihara semangat kebersamaan konstruktif dengan

mengutamakan hidup berdampingan, rukun dan damai, dan mengalah untuk

berhasil dalam tugas.

Berdasarkan temuan substansi implementasi kepemimpinan tersebut, dapat

diidentifikasi bahwa implementasi kepemimpinan tidak mekanistis, ada intervensi dinamis

dari hasil interpretasi situasi melalui proses interaksi sosial dalam membangun partisipasi.

Dengan demikian, dapat divisualisasikan makna implementasi kepemimpinan yang

diawali dengan interpretasi situasi yang didapat melalui proses interaksi antara pemimpin

dan pengikut sehingga menghasilkan persepsi yang sama, yaitu berfungsi membangun

partisipasi untuk menyelesaikan misi.

Gambar 1.1 Model Makna Kepemimpinan dalam Interaksi Membangun Partisipasi

Sumber : U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat

bagi Pembangunan Desa, (Malang: Unmer, 2005)

Interpretasi Situasi dalam Konteks Pengambilan Keputusan

Berdasarkan data empirik, implementasi kepemimpinan para pimpinan lapangan dalam

melaksanakan misi pemeliharaan perdamaian didahului dengan tindakan awal

Page 16: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

16

menginterpretasi situasi secara komprehensif dari berbagai aspek untuk dijadikan dasar

pengambilan keputusan yang efektif. Selanjutnya, dapat diidentifikasi tindakan

interpretasi situasi untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, dari

perspektif makna yang diberikan pimpinan patroli terhadap situasi dalam upaya

membentuk suatu keputusan merupakan hasil temuan dalam penelitian. Selanjutnya, hal

itu akan diuraikan secara substansial, yaitu tentang implementasi interpretasi pimpinan

patroli dalam setiap kasus, seperti berikut ini :

1. Mengambil keputusan dengan interpretasi situasi secara komprehensif, dalam

arti makna situasi, diperoleh dari interpretasi melalui suatu proses perumusan

kolektif dalam konteks interaksi leader dan folowers secara sistimatis, runtun,

dan substantif.

2. Implementasi kepemimpinan situasional juga terlihat dalam menyelesaikan

kasus demi kasus. Hal itu terlihat dari tahap yang dilaksanakan pimpinan

lapangan yang diawali dari mempelajari situasi umum di wilayah operasi

dengan melihat aspek siapa target operasi dan siapa parner kerja, apa target

operasi, bilamana operasi dilaksanakan, bagaimana konsep operasi tersebut,

dan mengapa operasi tersebut dilaksanakan.

3. Untuk mempelajari situasi tidak hanya objek yang akan dituju, tetapi juga

subjek yang akan melaksanakan. Dalam hal itu situasi yang dipelajari pimpinan

lapangan, antara lain, bagaimana animo dan partisipasi anggota tim dalam

melaksanakan misi, apa yang harus disiapkan dalam operasi tersebut dan

bagaimana pola operasi yang dilaksanakan, kapan dimulai kegiatan patroli, di

mana tempat membuat perencanaan, di mana tempat konsolidasi untuk

memulai kegiatan, dan terakhir secara sistimatis selalu disosialisasikan

mengapa kegiatan tersebut harus dilaksanakan dan keuntungan apa yang

didapat oleh pihak yang bertikai dan warga lokal pada umumnya.

4. Kepemimpinan yang diimplementasikan pimpinan lapangan menunjukkan

adanya korelasi dalam menangani situasi dalam suatu misi dengan terlebih

dahulu mempelajari karakter anggota tim yang kompeten dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan situasi yang dihadapi dan dilanjutkan

dengan pemahaman mendalam untuk dimasukkan dalam koridor proses aksi

interaksi antara pimpinan lapangan dan anggotanya dalam menyelesaikan

Page 17: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

17

suatu misi.

5. Dalam formulasi bersama antara pimpinan lapangan dan anggotanya, secara

kolektif diputuskan bahwa hasil interpretasi situasi yang sudah dipahami

dalam satu persepsi ditempatkan sebagai faktor dominan pada misi dan

berfungsi untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan lima substansi interpretasi situasi, untuk selanjutnya secara kolektif

dijadikan referensi dalam membuat keputusan sehingga dapat diidentifikasi bahwa

sinergi interpretasi situasi pemimpin dan pengikut yang diperoleh dari proses interaksi

merupakan faktor dominan dalam misi mereka bersama.

Atas dasar proposisi tersebut, dapat divisualisasikan model interpretasi situasi

dengan rumusan siapa, apa, bilamana, di mana, bagaimana, dan mengapa.

Gambar 2.1 Model Interpretasi Situasi

(Harahap, 2005)

Faktor yang Membentuk Kepemimpinan Aktor Pimpinan Lapangan

Aktor pimpinan lapangan yang bertugas di misi Pemeliharaan Perdamaian Dunia adalah

personel TNI yang terpilih melalui seleksi yang kompetitif dengan menggunakan standar

PBB. Dalam melaksanakan tugas, pimpinan lapangan seorang perwira atau bintara

Page 18: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

18

disesuaikan dengan bentuk tugas yang akan dihadapi. Pada prinsipnya pimpinan lapangan

sudah dibekali ilmu kepemimpinan secara formal di pendidikan militer secara bertahap,

bertingkat, dan berlanjut sesuai dengan strata kepangkatan.

Dalam konteks misi pemeliharaan perdamaian, pimpinan lapangan sering

dihadapkan dengan kemampuan membentuk partisipasi anggota tim, masyarakat lokal,

dan segenap komponen partisipan misi pemeliharaan perdamaian dari negara lain. Dalam

membentuk partisipasi tersebut, pimpinan lapangan secara adaptif menyesuaikan diri

yang oleh Gerungan disebut aloplastis21, yaitu penyesuaian diri yang lingkungannya itu

diubah oleh dirinya, lingkungan psikis, dan lingkungan rohaniah. Sebagai prajurit

berpengalaman, ilmu kepemimpinan tidak hanya dari pendidikan formal, tetapi juga

didapat dari pengalaman operasi, lingkungan kerja, dan tempat tinggal aktor pimpinan di

lingkungan masyarakat.

Faktor Internal

Kepemimpinan dari aktor pimpinan lapangan yang terbentuk dari faktor internal berjalan

secara normatif dalam sistem pendidikan TNI. Dalam konteks itu kemampuan memimpin

diperoleh dari pengalaman dalam bertugas. Penulis dapat mengindentifikasi faktor

tersebut sebagai berikut.

1. Dengan kapasitas yang dimiliki, terpilih masuk dalam kontingen misi

pemeliharaan perdamaian di bawah PBB merupakan pengalaman berharga

karena tidak semua prajurit TNI mendapat kesempatan yang sama.

2. Terpilih secara selektif merupakan indikator kualitas idividu sebagai pemimpin

yang berpengalaman, terlatih, adapatif, dan cepat membaca situasi dan

merupakan modalitas untuk dapat mengambil keputusan secara cepat dan

tepat.

3. Arahan pimpinan TNI untuk menggunakan pendekatan sosial dalam misi

pemeliharaan perdamaian membuat pimpinan lapangan lebih cepat dapat

membangun partisipasi semua pihak yang terkait, termasuk masyarakat lokal.

4. Pengalaman yang didapat dari operasi dalam negeri dan operasi teritorial

memengaruhi gaya kepemimpinan dalam membangun partisipasi dan cara

berinteraksi dengan internal tim dan masyarakat lokal untuk mencapai sukses

21 W.A. Gerungan, op.cit.

Page 19: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

19

dalam misi pemeliharaan perdamaian.

Berdasarkan faktor tersebut, dapat diidentifikasi faktor internal yang memengaruhi gaya

kepemimpinan dalam membangun partisipasi untuk menyelesaikan permasalahan misi

perdamaian.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal dapat memengaruhi gaya kepemimpinan individu dalam melaksanakan

misi. Walaupun tidak secara utuh diimplementasikan, hal itu tetap dapat mewarnai

bentuk pengambilan keputusan. Faktor eksternal yang dimaksud dapat dideskripsikan

sebagai faktor yang didapat dari luar kedinasan, seperti berikut ini.

1. Sifat dasar bangsa Indonesia yang mudah bersosialisasi dengan semangat

kebersamaan telah memengaruhi gaya kepemimpinan, adaptif terhadap

budaya lokal, dan menghormati masyarakat di wilayah penugasan.

2. Sikap kaku dari sebagian prajurit Eropa dalam misi pemeliharaan perdamaian

memicu motivasi pasukan perdamaian Indonesia untuk bersikap luwes,

berorientasi pada keberhasilan tugas, dan berinteraksi dengan masyarakat

lokal tanpa menimbulkan resistensi. Hal itu didasari rasa kebersamaan saling

melengkapi dalam melaksanakan tugas di bawah bendera PBB.

3. Budaya masyarakat lokal merupakan faktor signifikan karena dapat

memengaruhi gaya kepemimpinan aktor pimpinan lapangan. Dalam konteks

itu, pimpinan lapangan secara situasional menentukan cara bertindak yang

adaptif dengan kebiasaan masyarakat lokal. Keputusan itu merupakan

keputusan kolektif yang dirumuskan dengan interpretasi bersama melalui

proses interaksi pimpinan dan anggota tim.

Berdasarkan faktor tersebut, diidentifikasi bahwa faktor eksternal sangat

berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan para pemimpin lapangan dalam membuat

keputusan yang cepat dan tepat tanpa menimbulkan resistensi dari pihak terkait.

Korelasi antara faktor internal dan eksternal dalam memengaruhi gaya

kepemimpinan individu sebagai pimpinan lapangan dapat diidentifikasi bahwa gaya

kepemimpinan variatif yang diterima individu pada posisi subordinasi di lingkungan kerja

yang diadopsi serta yang dikembangkan secara otodidak dan adaptif dengan lingkungan

domisili dapat membentuk karakter kepemimpinan situasional dalam membentuk

Page 20: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

20

partisipasi.

Gambar 3.1. Model Pengaruh Faktor Lingkungan dalam Membentuk Kepemimpinan

Sumber : U.H. Harahap, Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk Partisipasi Masyarakat

bagi Pembangunan Desa, (Malang: Unmer, 2005)

Kesimpulan

Gaya kepemimpinan yang diimplementasikan dalam misi pemeliharaan perdamaian di

bawah bendera PBB dianalisis dengan metode kualitatif berdasarkan data empirik dari

pengalaman tugas penulis dari penelitian yang relevan dengan judul “Pilihan Moda

Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalam Operasi Perdamaian

Internasional” dan dari laporan purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-

B/UNIFIL di wilayah Lebanon Selatan.

Dalam konteks itu, penulis berusaha mengungkapkan implementasi gaya

kepemimpinan dari aktor pimpinan dalam misi pemeliharaan perdamaian, dalam hal itu,

secara variatif berperan sebagai pimpinan patroli, komandan tim, perwira staf, dan

bertugas sebagai negosiator. Fokus tulisan ini menganalisis situational leadership

interpretive dalam operasi pemeliharaan perdamaian.

Dengan melalui proses analisis, diidentifikasi terdapat temuan penelitian. Dalam

kesimpulan ini secara akumulatif ditemukan tiga proposisi sebagai berikut.

Page 21: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

21

Proposisi 1: Implementasi kepemimpinan tidak mekanistis, ada intervensi dinamis dari

hasil interpretasi situasi melalui proses interaksi sosial dalam membangun

partisipasi.

Proposisi 2: Sinergi interpretasi situasi pimpinan dan pengikut yang diperoleh dari

proses interaksi merupakan faktor dominan dalam misi mereka bersama.

Proposisi 3: Gaya kepemimpinan variatif yang diterima individu di posisi subordinasi di

lingkungan kerja yang diadopsi serta dikembangkan secara otodidak dan

adaptif dengan lingkungan domisili dapat membentuk karakter

kepemimpinan situasional dalam membentuk partisipasi.

Atas dasar tiga proposisi di atas, dapat diidentifikasi bahwa gaya kepemimpinan dalam

operasi pemeliharaan perdamaian menggunakan gaya kepemimpinan situasional

interpretatif, dalam hal itu memperkuat teori substantif22 yang merekonstruksi teori

situational leadership dari Waddell.

Gambar 4.1. Model Kepemimpinan Situasional Interpretatif

22 U.H. Harahap, op.cit., hlm. 25.

Page 22: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

22

Daftar Pustaka

Berfrand dan Gouldner. 1980. Struktur dan Proses Sosial. Dalam Taneko, S.B. 1984. Jakarta:Rajawali.

Boje, D. 2000. Modern Leadership Theory and Sweatshops. mydocument/internet/mdl.Htm/www.link. New York.

Desch, M. C. 2002. Politisi vs Jenderal, Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yangBergeser. Terjemahan. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dahrendorf, R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: StanfordUniversity Press.

Fiedler, F.E. 1964. Situation and Contigency, internet/http/home, microsoft.com, New York.

Gerungan, W. A. 1995. Psikologi Sosial. Bandung: PT Bresco.

Homand. 1950. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Dalam Pamudji. 1993. Jakarta:Bumi Aksara.

Harahap,U.H. 2005. Gaya Kepemimpinan Situasional dalam Membentuk PartisipasiMasyarakat bagi Pembangunan Desa. Malang: Unmer.

Hidayat, E.R. 2011. Pilihan Moda Keputusan dan Kompetensi Kognitif Lintas Budaya dalamOperasi Perdamaian Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia.

Keney, R. A. 1996. Implicit Leaders Theories: Defining Leadership Described as Worth ofInfluence. Virginia: Partner Through Training, Lynchburg.

Koentjaraninggrat. 1966. Antropologi. Jakarta: Universitas Jakarta.

Maxwel, J. C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda. Jakarta: BinarupaAksara.

Osborne, D & Gaebler, T. 1998. Reinventing Government. Jakarta: CV Terutama Grafica.

Sundhaussen, U. 1984. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Jakarta: ILP3ES.

Yukl, G. 1998. Leadership in Organization. New Jersey: Prentice-Hall International. Inc,07632.

Yonifmek/XXIII-B. 2007. Laporan Purnatugas Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-B/UNIFILdi Wilayah Lebanon Selatan. Jakarta.

Page 23: 9. Situational Leadership Interpretive (Marsma Tni Usra Harahap)

23